SATU
SUARA lolongan serigala menghempas
di tengah malam buta. Lolongannya mendi-
riremangkan bulu roma. Begitu angker,
mengerikan, dan membuat orang yang men-
dengarnya langsung menutup telinga. Malam
menggigit dalam. Keheningan melanda se-
saat, tetapi segera diusik lagi oleh lo-
Di atas sana, gerombolan awan hitam
pekat tak bergeming dari tempatnya. Terus
menghalangi sinar bulan yang berusaha me-
nembus pekatnya awan-awan hitam itu.
Satu sosok tubuh tinggi besar yang
berdiri tegak di sebuah tempat yang agak
tersembunyi di balik ranggasan semak itu,
tetap berdiri tanpa terpengaruh apa pun.
Dia sama sekali tak menghiraukan keadaan
yang mengerikan. Melipat kedua tangannya
di depan dada dengan sepasang mata yang
memerah terus diarahkan pada samping ka-
nannya .
Cukup lama dia berdiri tanpa mela-
kukan tindakan apa-apa sebelum akhirnya
terdengar geramannya gusar.
"Terkutuk! Ke mana manusia itu,
hingga saat ini belum datang juga?!" maki
lelaki yang diperkirakan berusia sekitar
tiga puluh delapan tahun gusar. Tangan
kanannya mengusap dagunya yang kelimis.
Mulutnya berkemak-kemik, kendati tak ada
lagi suara yang terdengar tetapi jelas
kalau lelaki berkepala lonjong ini nampak
sedang gusar.
Lolongan serigala kembali mengusik,
ditingkahi dengan suara burung gagak yang
tidak sedap yang makin membuat suasana
laksana didatangi oleh puluhan setan ku-
buran. Berada di tempat yang sepi seperti
itu seorang diri, bila orang yang berada
di sana tidak memiliki nyali besar atau
memiliki satu kepentingan, tak akan mung-
kin ada yang mau singgah di sana.
Lelaki berkepala lonjong ini kemba-
li mengeluarkan geraman. Lebih keras dari
sebelumnya.
"Keparat betul! Sudah hampir sepe-
minuman teh aku menunggu di sini! Tetapi
orang pincang itu belum juga muncul! Sia-
lan betul I Rupanya dia hendak mempermain-
kan ku! Setan laknat! Akan kuhajar dia
sampai mampus bila ternyata memang punya
niatan keparat seperti itu!"
Baru saja lelaki yang mengenakan
pakaian merah dan berompi hitam ini menu-
tup mulut, mendadak saja didengarnya sua-
ra gerakan dari samping kanan. Serta mer-
ta matanya dibuka lebih lebar, lalu agak
dipicingkan.
"Terkutuk! Akhirnya dia datang juga! ! "
Lalu dengan rahang menggembung, le-
laki ini memutar sedikit tubuhnya untuk
menyambut kedatangan orang yang ditung-
gunya .
Orang yang ditunggunya itu tak jauh
berbeda dengan usianya. Bertubuh agak se-
dikit bongkok. Mengenakan pakaian putih
penuh tambalan berwarna-warni. Wajahnya
tirus dengan cambang panjang. Tak memili-
ki kumis, tetapi jenggotnya menjulai.
Begitu berada sejarak sepuluh lang-
kah di hadapan lelaki yang tengah gusar
itu, si pendatang sudah buka suara, "De-
mit Merah! Maafkan aku yang datang ter-
lambat ! Bukan maksudku membiarkan kau me-
nunggu di sini! Tetapi aku baru saja la-
kukan hal yang sangat penting!"
Lelaki yang dipanggil dengan sebu-
tan Demit Merah itu perdengarkan geraman.
"Pengemis Pincang! Jangan berdalih
bila sudah terlambat! Jangan coba lunak-
kan hatiku bila takut mampus! Kau telah
menyalahi janji! Apakah aku salah bila
menghukum mu?!"
Lelaki berpakaian putih penuh tam-
balan warna-warni itu melangkah. Saat me-
langkah nampak tubuhnya agak turun naik
ke kiri. Rupanya kaki sebelah kirinya ke-
cil sebelah!
Orang ini menghentikan langkahnya
lagi dan berkata, "Bila kau tahu apa yang
kulakukan, mungkin kau tak akan bersikap
seperti itu!"
"Biar bagaimanapun juga, kau telah
membuang waktuku! Bila kau tak punya ala-
san yang masuk akal, jangan salahkan aku
untuk mencabut nyawamu 1"
"Mencabut nyawaku bukanlah urusan
sulit bila kau memang menginginkannya!
Tetapi... bagaimana dengan rencana ki-
ta?!" balas Pengemis Pincang. Kendati se-
pasang matanya membuka lebar, tetapi sua-
ranya agak parau. Diam-diam dia menyam-
bung dalam hati, "Manusia satu ini memang
panasan. Dia selalu mengukur segala sesu-
atunya melalui kacamatanya sendiri. Aku
harus berhati-hati. Bila tidak, bisa-bisa
rencanaku untuk mendapatkan apa yang
kuinginkan di Taman Kematian akan gagal.
Biarlah dia terus bersikap kasar dan aku
selalu bersikap ketakutan. Padahal...
membunuhnya semudah membalikkan telapak
tangan!"
"Aku tak peduli dengan rencana itu
sebelum kau katakan alasan membuatku me-
nunggu seperti ini?!" bentak orang berma-
ta merah keras.
Pengemis Pincang mengangguk-
anggukkan kepala. Wajahnya dibuat agak
tegang. Dan dia senang melihat lelaki di
hadapannya itu begitu yakin akan kemam-
puan dirinya.
"Aku telah menghubungi Peramal Sakti ! "
Mata Demit Merah memicing.
"Apa maksudmu dengan menghubungi
Peramal Sakti?!" desisnya setengah tak
percaya.
Pengemis Pincang mengangkat kepa-
lanya. Dipandanginya sesaat Demit Merah.
Untuk beberapa lama dia tak keluarkan su-
ara. Setelah mendengar suara rahang di-
kertakkan oleh orang yang berdiri di ha-
dapannya, barulah dia berkata, "Kau telah
tahu tentang Taman Kematian! Menurut ka-
bar yang kudengar, di tempat itu terdapat
harta karun yang melimpah ruah! Tidak
sembarang orang yang mengetahui tentang
tersimpannya harta karun itu di Taman Ke-
matian! Saat ini, hanya kau dan aku sa-
ja!"
"Bodoh! Apakah kau tidak memikirkan
tentang Ki Dundung Kali?! Tujuh hari lalu
kau datang kepadaku menceritakan tentang
Taman Kematian! Dan ketika kutanyakan da-
ri siapa kau tahu tentang taman berikut
harta karun yang dipendamnya, kau menga-
takan dari guru mu sendiri! Ki Dundung
Kali!"
Pengemis Pincang mendengus pelan.
"Kau tak perlu merisaukan tentang
Ki Dundung Kali! Kakek tua itu sudah tak
punya kemampuan apa-apa!"
"Apa maksudmu dengan tak punya ke-
mampuan apa-apa?!"
"Setan terkutuk! Manusia ini bukan
hanya membuatku memutuskan untuk membu-
nuhnya saat ini juga, tetapi dia terlalu
banyak ingin tahu urusan! maki Pengemis
Pincang dalam hati. Tatapannya tajam me-
nusuk. Namun di kejap lain dia membuat
lagi parasnya menjadi ketakutan.
Kemudian dia berkata, "Demit Merah!
Urusan Ki Dundung Kali adalah urusanku!
Yang terpenting sekarang, kau tetap akan
ikut denganku menuju ke Taman Kematian,
atau hanya jadi orang yang selalu banyak
tanya?!"
"Setaaann!" maki Demit Merah. Tan-
gan kanannya mendadak dikibaskan ke arah
Pengemis Pincang. Sinar merah menggebrak
cepat!
Pengemis Pincang menjerengkan ma-
tanya. Dia hampir saja memutar tangan ka-
nannya untuk menahan serangan tiba-tiba
itu. Tetapi begitu diingatnya kalau dia
harus berlagak bodoh, maka dia hanya
menggeser tubuhnya!
Lalu dengan gerakan tak sengaja,
dia menyerimpungkan kakinya sendiri hing-
ga terhuyung. Bahkan dia keluarkan jeri-
tan tertahan saat jatuh di atas tanah!
Blaaarrr!!
Sinar merah yang dilepaskan tiba-
tiba oleh Demit Merah itu melesat di atas
tubuhnya dan menghantam ranggasan semak
yang seketika rengkah.
"Jangan bicara sembarangan kalau
masih ingin hidup!" maki Demit Merah gu-
sar.
Pengemis Pincang buru-buru berdiri.
Kali ini tegak karena dia berdiri dengan
kaki kanannya, sementara kaki kirinya
yang kecil sebelah menjuntai-juntai.
"Maaf... maaf... aku tak bermaksud
bicara lancang!" serunya kemudian sambil
menyembah-nyembah.
"Manusia satu ini tergolong orang
bodoh! Dia mau memberitahukan sebuah ra-
hasia kepadaku! Dan aku akan menjadi
orang bodoh pula bila tak mau menjalankan
apa yang dikatakannya! Harta karun di Ta-
man Kematian? Luar biasa! Aku akan menja-
di orang terkaya di jagat ini!"
Habis membatin demikian, Demit Me-
rah berseru angkuh, "Apa yang dikatakan
Peramal Sakti?!"
Pengemis Pincang buru-buru menja-
wab, sikapnya tetap dibuat takut-takut,
"Aku coba memastikan tentang harta karun
yang terdapat di Taman Kematian padanya!
Sudah tentu kukatakan kalau aku diperin-
tahkan oleh guruku untuk menanyakan soal
itu padanya! Bila tidak kulakukan seperti
itu, mana sudi Peramal Sakti menjawab
pertanyaanku!"
"Apa jawabannya?!"
"Dari dia aku lebih pasti tentang
keberadaan harta karun pada Taman Kema-
tian! "
Seringaian lebar segera terpampang
di bibir Demit Merah.
"Bagus! Kita berangkat sekarang!"
Pengemis Pincang tersenyum.
"Kau telah dibutakan oleh kesombon-
gan dan keangkuhan mu hingga tak memper-
gunakan otakmu! Kau akan menemukan sesua-
tu yang tak pernah kau bayangkan di Taman
Kematian! Aku menjumpai Peramal Sakti bu-
kanlah untuk menanyakan tentang ramalan-
nya mengenai Taman Kematian! Karena aku
tahu dia mengetahui tentang Taman Kema-
tian. Seperti yang pernah diceritakan gu-
ruku sendiri. Kalau dia menguburkan benda
itu di dalam Taman Kematian bersama-sama
Peramal Sakti," desisnya dalam hati.
Lalu dengan sedikit mempergunakan
ilmu peringan tubuhnya, Pengemis Pincang
mendahului Demit Merah yang segera menyu-
sul. Di benaknya tergambar rencana yang
sudah disusunnya agak lama, rencana yang
sama sekali tak diketahui Demit Merah.
Terutama, apa yang dikehendakinya di Ta-
man Kematian.
* * *
Perjalanan yang keduanya lakukan
sungguh bukanlah perjalanan biasa. Karena
keduanya harus melewati ladang, pematang
sawah, ranggasan semak, jalan setapak,
bahkan perbukitan dan gunung-gunung.
Demit Merah menggeram dalam hati
karena sejak berlari Pengemis Pincang be-
lum juga berhenti sekali pun. Padahal
saat ini bukan lagi malam atau pagi teta-
pi sudah menjelang senja! Astaga! Kedua-
nya sudah melewati waktu satu hari!
"Setan betul si Pincang itu! Apa
yang diinginkannya sebenarnya?! Kalau Ta-
man Kematian berada di tempat yang sangat
jauh begini, mengapa dia harus mengadakan
pertemuan denganku di tempat semalam?!"
Kalau Demit Merah merutuk demikian
dengan napas yang sudah terputus-putus,
lelaki pincang berwajah tirus itu masih
terus berlari dengan enaknya. Tak terli-
hat tanda-tanda kelelahan pada dirinya.
Memang keringat sesekali mengalir, dan
napas yang agak terengah. Tetapi kelela-
han tak kelihatan sedikit juga.
"Hemm... aku memang sengaja menga-
dakan pertemuan di tempat semalam, padah-
al jarak Taman Kematian dengan tempat se-
malam itu sangat jauh! Ingin kulihat se-
berapa tangguhnya Demit Merah! Dan aku
tahu akan keserakahannya! Harta karun
yang ada di Taman Kematian akan kuberikan
padanya! Dan aku hanya akan meminta
'benda' butut itu! Aku yakin, dia mau
memberikannya! Urusan ini nampaknya begi-
tu mudah!"
Sambil berlari Pengemis Pincang me-
lirik ke belakang. Dia tertawa dalam hati .
"Bagus! Dia masih cukup tangguh!
Menurut Ki Dundung Kali, orang yang bisa
masuk ke Taman Kematian hanyalah Dadu
Ganggang! Kakek yang berdiam di Gua Tapak
Sepuluh! Dan... Demit Merah adalah murid-
nya! Aku yakin, dia telah menguasai ilmu
'Tapak Sepuluh' milik Dadu Ganggang! Den-
gan ilmu itulah dia akan kusuruh untuk
masuk ke Taman Kematian!"
Terdengar geraman keras Demit Me-
rah, "Manusia pincang! Hendak kau bawa ke
mana aku sebenarnya, hah?!"
"Kita akan menuju ke Taman Kema-
tian!" seru Pengemis Pincang sambil mem-
perlambat larinya. Begitu Demit Merah
mendekat, tiba-tiba saja Pengemis Pincang
terhuyung.
Demit Merah segera menyambar ba-
junya dan seketika berhenti.
"Kalau kau tak mampu berlari, jan-
gan berlagak menjadi jago!" makinya sam-
bil melepaskan tangannya yang mencengke-
ram baju Pengemis Pincang.
Lelaki pincang itu terjatuh. Napas-
nya terengah-engah. Wajahnya sedikit pu-
cat. Dia memandang Demit Merah yang juga
terengah-engah dengan sikap takut-takut.
"Untuk saat ini aku mengalah saja.
Biarlah dia melakukan apa pun juga. Asal-
kan dia tetap bisa kuperalat untuk menda-
patkan apa yang kuinginkan di Taman Kema-
tian, senyumnya dalam hati.
Di pihak lain orang berkepala lon-
jong yang berdiri dl hadapannya mengge-
ram. Dadanya serasa ingin pecah. Setelah
mengusap keringatnya dia mendesis dingin,
"Jarak dari tempat semalam ke Taman
Kematian rupanya sangat jauh! Mengapa kau
menyuruhku untuk menjumpai mu di tempat
semalam, hah?!"
Pengemis Pincang menjawab dengan
suara dibuat terengah, "Demit Merah...
apakah kau lupa kalau apa yang akan kita
lakukan ini sangat rahasia? Di rimba per-
silatan ini banyak mata dan telinga yang
tak pada tempatnya! Berita apa pun akan
segera menyebar! Itulah sebabnya aku me-
mintamu untuk datang di tempat semalam!
Dengan tujuan agar pertemuan kita tidak
ada yang menciumnya! Kalaupun ada, orang
itu akan sulit menemukan Taman Kematian!"
Jawaban yang diberikan Pengemis
Pincang membuat kepala Demit Merah men-
gangguk-angguk. Kendati dapat menerima
apa yang dikatakan Pengemis Pincang,
orang tinggi besar itu membentak juga,
"Katakan padaku! Masih jauhkah Taman
Kematian berada?!"
"Kita masih harus menempuh waktu
sepananakan nasi!"
"Setan! Kau mempermainkan ku ru-
panya?!" bentak Demit Merah. Tangan ka-
nannya terangkat siap memukul, tetapi
tertahan karena Pengemis Pincang buru-
buru berkata,
"Tak akan mungkin aku berani mem-
permainkan mu! ilmu yang kumiliki tak se-
berapa! Kau pernah kuceritakan bukan, ka-
lau aku menyesali karena tak menuntut il-
mu dengan tekun seperti yang diajarkan Ki
Dundung Kali?"
Mendengar jawaban itu, dada Demit
Merah membuncah. Dia mengangkat kepalanya
dengan sikap angkuh. Tangan kanannya di-
turunkan lagi.
"Aku sebenarnya tak mempercayai ka-
ta-katamu! Sedikit pun tidak sama seka-
li ! "
"Kau maksudkan... kau tidak memper-
cayai ada harta karun di Taman Kema-
tian? ! "
"Kali ini aku percaya karena kau
telah menghubungi Peramal Sakti!"
"Lantas apa yang membuatmu meragu-
kan kata-kataku?"
Demit Merah tatap tajam-tajam Pen-
gemis Pincang. "Tentang harta karun itu!"
"Aku tak mengerti!"
"Bila harta karun itu kudapatkan...
apa yang kau inginkan?!"
Pengemis Pincang sesaat terdiam se-
belum mendadak tertawa.
"Astaga! Kupikir apa? Kalau kau su-
dah mendapatkannya... ya sudah tentu kau-
lah yang berhak memilikinya?!"
Pandangan Demit Merah menyipit. Bi-
birnya menyunggingkan sinis. "Semudah
itukah?"
"Itu kulakukan karena aku ingin
menjadi sahabatmu!"
"Hemm... tak ada orang yang tak
menginginkan harta! Apalagi harus bersu-
sah payah mengelabui gurunya sendiri dan
seorang tokoh berjuluk Peramal Sakti!
Pengemis Pincang... jangan memutar omon-
gan . . . . "
"Keparat! Ternyata dia tidak sebo-
doh dugaanku! Aku harus memeras akal agar
dia dapat percaya," desis Pengemis Pin-
cang dalam hati. Lalu sambil memamerkan
senyuman, dia berkata, "Demit Merah...
sudah lama kudengar tentang kehebatanmu
yang merajai daerah utara! Juga kudengar
nama besar gurumu Dadu Ganggang! Siapa
pun orangnya yang berani berlaku lancang
di hadapanmu, sudah tentu dia hanya men-
cari penyakit! Aku tak mau menjadi orang
seperti itu! Kau kuajak bergabung untuk
mendapatkan harta karun di Taman Kema-
tian, karena aku ingin menjadi sahabat
mu! "
"Jadi... kau tak berkeinginan sedi-
kit juga untuk mendapatkan bagian?!"
Pengemis Pincang menggelengkan ke-
pala tegas.
"Demi Setan! Aku bersumpah! Tak
kuinginkan sama sekali harta karun itu!
Sekecil apa pun juga!"
Seringaian lebar segera terpampang
di bibir Demit Merah.
"Bagus! Kau mengerti gelagat ru-
panya I Tunjukkan padaku di mana Taman
Kematian berada?!"
"Kalau begitu... kita segera berge-
rak kembali!" sahut Pengemis Pincang. Be-
gitu melihat kepala Demit Merah mengang-
guk, dia memaki dalam hati, "Benar-benar
setan manusia satu ini! Rasanya aku sudah
tak sabar untuk membunuhnya! Tetapi...
sebelum kudapatkan 'benda' itu, aku tak
akan melakukannya! Ilmu yang dimilikinya
harus ku manfaatkan sepenuhnya untuk men-
dapatkan apa yang kucari!"
Saat lain Pengemis Pincang sudah
bergerak mendahului Demit Merah.
Lewat sepenanakan nasi dari malam
yang datang kembali, masing-masing orang
sudah berada di jalan setapak yang tum-
pang tindih. Pengemis Pincang kali ini
melangkah. Di saat dia berlari tadi sama
sekali tak terlihat kalau kaki kirinya
kecil sebelah, justru di saat berjalan
tubuhnya agak sedikit turun naik. Di be-
lakangnya, Demit Merah hanya mengikuti
dengan seringaian lebar yang tak putus di
bibirnya.
Udara malam tetap dingin menusuk.
Lolongan serigala tetap terdengar. Burung
gagak yang berkepakan terbang disertai
suara yang tak enak didengar, menambah
keangkeran suasana di jalan setapak itu.
Namun masing-masing orang tak ada yang
menghiraukan keadaan.
Kalau pikiran Demit Merah dipenuhi
dengan harta karun yang luar biasa jum-
lahnya, Pengemis Pincang justru memikir-
kan bagaimana cara dia membujuk lelaki
tinggi besar itu nanti setelah tiba di
Taman Kematian.
Tanpa setahu masing-masing orang,
sepasang mata angker yang berada di atas
sebuah pohon yang kemudian dilintasi ke-
duanya, memperhatikan tak berkedip. Sak-
ing angkernya tatapan itu, bila ada orang
yang melihat sudah tentu akan berpikir
dua kali untuk melakukan tindakan lancang
terhadap si pemilik mata.
Pemilik mata angker ini melompat
turun tatkala kedua orang itu sudah men-
jauh. Tak ada suara yang terdengar sama
sekali saat kaki kanan kirinya menginjak
tanah secara bersamaan.
Pemilik mata angker ini terus men-
garahkan tatapannya pada jalan yang di-
tempuh keduanya.
"Hemm... sebelum malam datang aku
sudah berada di sini. Tetapi tak seorang
pun yang melewati tempat ini. Lantas mun-
cul kedua orang itu yang kendati melang-
kah pelan tetapi jelas terlihat ketegan-
gan yang terpancar dari mata masing-
masing," desis si pemilik mata angker
yang ternyata seorang pemuda gagah. Di
saat rembulan berhasil membebaskan diri
dari gumpalan awan hitam yang menghalangi
sinarnya, terlihat sosok si pemuda yang
betul-betul mengejutkan.
Kalau parasnya sedemikian tampan,
tetapi kedua lengannya sebatas siku dipe-
nuhi sisik kecoklatan! Pemuda ini menge-
nakan rompi berwarna agak ungu. Rambutnya
gondrong acak-acakan. Sosoknya benar-
benar membikin orang tegang, terutama so-
rot matanya.
Pemuda yang bukan lain Boma Paksi
adanya alias Raja Naga ini kembali mende-
sis, "Melihat gerakan yang dilakukan ke-
duanya, masing-masing orang jelas memili-
ki tenaga dalam cukup tinggi. Ah, aku ja-
di penasaran ingin mengetahui apa yang
keduanya lakukan di malam seperti ini."
Memutuskan demikian, pemuda dari
Lembah Naga ini segera mengeluarkan ilmu
peringan tubuhnya untuk menyusul kedua
orang yang dilihatnya tadi.
DUA
BEGITU melihat kedua orang yang di-
ikutinya sudah menghentikan langkah dan
berdiri di hadapan sepetak tanah yang tak
begitu luas. Raja Naga langsung melompat
ke balik ranggasan semak, tetap tanpa me-
nimbulkan suara apa pun.
"Aneh! Mengapa keduanya berhenti
melangkah? Hemm... sempat kulihat kalau
wajah orang yang kakinya pincang itu sem-
pat tegang. Sementara orang berompi hitam
justru tersenyum lebar. Ada apa ini sebe-
narnya?"
"Taman Kematian... sudah tiga kali
aku mendatangi tempat ini dan mencoba
mengambil apa yang dipendamnya, tetapi
selalu gagal. Pada kedatanganku yang
keempat ini, aku tak boleh gagal," desis
Pengemis Pincang dalam hati sambil meman-
dang sepetak tanah yang dipenuhi rerumpu-
tan dan bunga-bunga warna merah.
Demit Merah membuka mulut, "Penge-
mis Pincang! Kau berhenti di hadapan tem-
pat yang dipenuhi bunga ini! Apakah tem-
pat ini yang kau maksudkan sebagai Taman
Kematian?!"
Pengemis Pincang mengangkat kepala
dan mengangguk.
Demit Merah mendengus.
"Tempat seindah ini kau namakan Ta-
man Kematian?!" ejeknya keras.
"Guruku yang mengatakannya."
"Hhhh! Bukan hanya kau yang bodoh
rupanya, tetapi juga Ki Dundung Kali!"
Kalau seorang murid akan tersing-
gung gurunya dimaki seperti itu. Pengemis
Pincang cuma menganggukkan kepala.
"Di sinilah harta karun itu terpendam. "
Demit Merah tak segera menyahut.
Sementara itu di balik ranggasan semak,
murid Dewa Naga mengerutkan keningnya.
"Taman Kematian? Aneh! Baru kali
ini aku mendengar tentang Taman Kematian?
Orang tinggi besar itu pun merasa tak
percaya dengan tempat yang seindah itu
dinamakan Taman Kematian. Dan harta ka-
run? Oh! Rupanya kedua orang ini hendak
memburu harta karun yang terdapat di Ta-
man Kematian!"
Demit Merah menggeram dalam hati,
"Keparat betul! Dia benar-benar begitu
tenang dan penuh keyakinan! Tempat sein-
dah inikah yang dinamakan Taman Kematian?
Kupikir taman itu merupakan sebuah tempat
yang mengerikan! Huh! Menilik keterangan-
nya, aku mulai yakin kalau memang inilah
Taman Kematian! Peduli setan! Kalau dia
membohongiku, akan kuhajar sampai tung-
gang langgang!"
Habis membatin demikian. Demit Me-
rah mendesis kasar, "Tunjukkan di mana
letak harta karun itu?! Aku akan mengam-
bilnya sekarang juga!!"
Pengemis Pincang mengarahkan lagi
pandangan-nya pada taman yang dipenuhi
bunga-bunga. Lalu katanya tanpa menoleh
pada Demit Merah, "Kau lihat tangkai ma-
war merah berkuntum tiga itu?!"
Demit Merah memperhatikan sesaat.
"Setiap tangkai mawar yang tumbuh
di taman itu berkuntum satu. Tetapi men-
gapa tangkai itu berkuntum tiga?" desis-
nya dalam hati. Lalu katanya, "Mengapa
dengan tangkai mawar berkuntum tiga itu?"
"Tepat di bagian yang ditumbuhi
tangkai mawar berkuntum tiga itulah harta
karun yang kau inginkan akan kau da-
patkan! Menurut Ki Dundung Kali maupun
Peramal Sakti, tempat pada tanah yang
tumbuh tiga kuntum mawar satu tangkai
itu, tersimpan harta karun yang tak ter-
nilai harganya! Tapi..."
"Tapi apa, hah?!" maki Demit Merah
yang urung melangkah.
"Menurut Ki Dundung Kali maupun si
Peramal Sakti, kita tak akan bisa tiba di
tempat itu!" "Gila! Apa lagi ini, hah?!"
Pengemis Pincang melirik, lalu ber-
kata, "Di bagian tempat itu terdapat se-
buah tenaga gaib yang sangat luar biasa!
Tak akan mudah orang untuk bisa tiba di
tempat itu! Kau tahu kemampuan ilmuku,
bukan? Aku tak akan mungkin sanggup untuk
menghadang tenaga gaib itu! Dan tak seo-
rang pun yang bisa mencapainya!"
"Terkutuk! Dengan kata lain kau
menganggap aku tak mampu mendapatkan-
nya? ! "
"Jangan gusar! Sesusah apa pun,
pasti ada orang yang bisa mendapatkannya!
Terutama..."
"Kau selalu bicara dipotong-
potong!" sengat Demit Merah gusar.
Pengemis Pincang tak menjawab. Dia
membatin dalam hati, "Aku sudah tiga kali
mencobanya. Tetapi jangankan untuk menca-
but tangkai mawar berkuntum tiga itu,
mendekati saja aku sudah terhajar lintang
pukang! Guruku dan Peramal Sakti yang te-
lah tanam tenaga gaib dengan kemampuan
mereka di sana! Untuk berjaga-jaga bila
suatu saat orang mengetahui tentang raha-
sia Taman Kematian."
Kemudian katanya pada Demit Merah,
"Orang yang memiliki langkah ringan dalam
sepuluh langkah maka dialah orang yang
bisa mencabut tangkai mawar berkuntum ti-
ga itu. "
Demit Merah mengerutkan keningnya.
"Langkah ringan dalam sepuluh lang-
kah? Apakah yang kau maksudkan dengan se-
kali langkah berarti sudah berada pada
langkah ke sepuluh?"
"Kau betul!"
"Dan gerakan itu tak akan bisa di-
ikuti oleh mata karena begitu cepatnya?"
"Ya! "
"Aku memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'!
Ilmu yang bila kupergunakan akan dapat
melangkah sedemikian cepat!"
Seolah baru mengetahui hal itu.
Pengemis Pincang mengangkat kepala dengan
mata membelalak.
"Oh! Kau... kau... dapat memecahkan
rahasia itu, Demit Merah!"
Wajah Demit Merah menyiratkan ke-
banggaan yang tidak di tutupinya. Dadanya
dibusungkan.
"Masih banyak yang belum kau keta-
hui tentang kehebatanku!" desisnya bang-
ga .
Pengemis Pincang yang sesungguhnya
sudah mengetahui tentang ilmu 'Tapak Se-
puluh' yang dimiliki oleh Demit Merah,
mengangguk-anggukkan kepala sambil mena-
tap kagum. Lalu keluar pujiannya yang se-
makin membuat hidung Demit Merah kembang-
kempis,
"Hebat! Hebat sekali! Berarti aku
tak salah mengajak mu ke Taman Kematian,
Demit Merah!"
Senyuman bangga itu masih terpam-
pang. Matanya memancarkan sinar meremeh-
kan. Secara tiba-tiba senyuman itu lenyap
dan berganti dengan suara merandek din-
gin, "Ingat! Kau sudah mengatakan kalau
seluruh harta karun yang terdapat pada
Taman Kematian akan menjadi milikku! Be-
rani kau punya pikiran untuk meminta ba-
gian, Taman Kematian ini akan jadi kubu-
ranmu ! ! "
Pengemis Pincang buru-buru menja-
wab, "Tidak... aku tidak menginginkannya
sama sekali. Aku hanya ingin menjadi sa-
habatmu. Itu saja...."
"Bagus! Dari mana aku bisa memu-
lainya? ! "
Pengemis Pincang yang sudah tiga
kali mencoba untuk mencabut tangkai mawar
berkuntum tiga itu tetapi selalu gagal,
sudah tentu sangat paham dari mana lang-
kah harus dimulai, Berhari-hari dia memi-
kirkan cara untuk bisa mencabut tiga kun-
tum mawar itu. Bahkan dicobanya dengan
ilmu peringan tubuhnya dan bergerak ce-
pat. Tetapi selalu gagal. Karena sebelum
dia tiba di tempat tumbuhnya tangkai ma-
war berkuntum tiga, satu tenaga dahsyat
sudah menghantamnya.
Pada percobaannya yang terakhir.
Pengemis Pincang berhasil menemukan cara
yang menurutnya sangat tepat. Sayangnya,
dia tak bisa lakukan percobaannya itu.
Dipikirkannya untuk mencari orang yang
dapat melakukannya hingga dia mendengar
kabar tentang Dadu Ganggang yang memiliki
ilmu 'Tapak Sepuluh'.
Meminta bantuan Dadu Ganggang sudah
tentu adalah tindakan percuma. Tetapi dia
tak habis akal. Dengan bujuk rayu akhir-
nya Pengemis Pincang berhasil mempengaru-
hi Demit Merah yang merupakan murid Dadu
Ganggang satu-satunya.
Dipandanginya Demit Merah sesaat.
"Kau bisa memulai dari tempatmu me-
langkah. Aku tak bermaksud menggurui mu,
tetapi aku memiliki keterangan yang ba-
gus. Kau harus mempergunakan ilmu 'Tapak
Sepuluh' yang kau miliki. Lantas segera
mencabut tangkai mawar berkuntum tiga itu
sekaligus, lalu menghindar secepat-
cepatnya ! "
"Huh! Untuk urusan sepele seperti
ini kau masih banyak omong!" dengus Demit
Merah. Dengan kepala terangkat angkuh dia
memandang lagi pada tangkai mawar merah
berkuntum tiga yang tumbuh di tengah-
tengah Taman Kematian.
Di balik ranggasan semak, Raja Naga
mengerutkan kening. Dari sela-sela semak
itu dia memandangi keduanya bergantian.
"Aku menangkap satu siasat licik.
Orang yang kakinya kecil sebelah dan di-
panggil dengan sebutan Pengemis Pincang
itu, nampaknya sedang bermain sandiwara.
Dari gelagatnya jelas sekali terlihat ka-
lau dia mencoba memanfaatkan orang tinggi
besar yang memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'
itu. Aku yakin, bila orang berjuluk Demit
Merah itu mau mempergunakan sedikit otak-
nya, tentunya dengan mudah dia sudah me-
nangkap gelagat tak baik dari Pengemis
Pincang. Hemmm . . tentunya karena selalu
dipuji yang membuatnya menjadi besar ke-
pala dan bayangan harta karun itulah yang
bikin dia tak sadari keadaan. Kalau begi-
tu. . . biar aku berada di sini dulu...."
Demit Merah menarik napas dalam-
dalam. Matanya memandang tak berkedip
pada tiga kuntum mawar itu. Secara tiba-
tiba tanah yang dipijaknya membubung se-
tinggi lutut. Kemudian tubuhnya bergetar.
Kedua tangannya mengepal kuat-kuat.
Melihat keadaan itu ,Pengemis Pin-
cang mundur dua tindak ke belakang.
"Kalau sejak tadi tanah yang dipi-
jaknya tak mengalami apa-apa, sekarang
terjadi perubahan. Hemm... tentunya dia
sudah mengeluarkan ilmu 'Tapak Sepuluh'.
Bagus! Dan kalau saja dia bisa menghinda-
ri tenaga gaib yang keluar dari dalam ta-
nah, mungkin semua yang kuinginkan akan
tercapai. Kalau begitu... aku harus ber-
siap pula untuk membantunya...." katanya
dalam hati.
Wuuutttt I !
Terdengar angin berkesiuran kencang
disusul dengan tanah yang membubung ting-
gi. Lelaki berompi hitam itu sudah mele-
sat ke depan. Tubuhnya seperti melayang.
Langkahnya tak menginjak tanah, tetapi
kedua kakinya bergerak-gerak seperti
orang berlari di saat melompat. Kecepatan
tubuh Demit Merah laksana bayangan bela-
ka!
Pengemis Pincang menahan napas dan
memperhatikan tak berkedip.
Raja Naga mendesis kagum dalam ha-
ti. Demit Merah terus melayang. Bersamaan
dengan itu dirasakannya satu tenaga mele-
sat ke arahnya. Tetapi dengan ilmu yang
dimilikinya yang dapat membuatnya berge-
rak laksana angin dia berhasil menghinda-
ri tenaga dahsyat yang siap menghantamnya
tadi. Bersamaan suara letupan keras yang
menghantam sebuah pohon yang langsung me-
ranggas gugur dedaunannya, Demit Merah
sudah tiba di dekat tangkai mawar berkun-
tum tiga.
Dan.... tap!
Tangan kanannya telah meraup tang-
kai bunga mawar berkuntum tiga itu, lalu
ditariknya.
Bersamaan dengan tangkai mawar ber-
kuntum tiga itu ditarik, seketika terden-
gar suara bergemuruh dari dalam tanah.
Begitu kencang seolah perut bumi hendak
muntah secara bersamaan.
Menyusul...
Jlegaaaarrr!!
Laksana sumber air deras yang am-
brol ke udara, gelombang angin menderu
lintang pukang. Menerjang apa saja yang
ada di sana. Tempat yang semula tenang
itu benar-benar diamuk badai dahsyat.
Kendati Demit Merah hanya mengang-
gap kecil omongan Pengemis Pincang, teta-
pi dia sudah melompat dengan memperguna-
kan ilmu 'Tapak Sepuluh' begitu berhasil
mencabut tangkai mawar berkuntum tiga.
Saat kedua kakinya tegak kembali di atas
tanah, dia terperangah melihat gelombang
angin yang muncul dari dalam tanah di ma-
na dia mencabut tangkai mawar berkuntum
tiga tadi.
"Gila! Untung aku masih punya otak
untuk langsung menghindar begitu tangkai
mawar ini berhasil kucabut!"
Gelombang angin yang seketika mem-
buat tempat itu diamuk badai, terus meng-
hantam! apa saja yang ada di sekitarnya.
Pepohonan tumbang terseret, ranggasan se-
mak pecah rengkah dan tanah membubung
tinggi. Kiamat kecil telah datang!
Pengemis Pincang sudah merunduk
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Raja
Naga merebahkan tubuh di atas tanah dan
menamengi diri dengan tenaga dalam. Pemu-
da dari Lembah Naga itu sebenarnya bisa
menahan gelombang angin yang mengarah pa-
danya, tetapi bila dilakukannya itu be-
rarti keberadaannya di sana akan diketa-
hui oleh Pengemis Pincang dan Demit Me-
rah. Makanya dia memutuskan untuk mere-
bahkan tubuh saja!
Di pihak lain. Demit Merah mengang-
kat dan mendorong kedua tangannya tatkala
gelombang angin memutar menderu ke arah-
nya. Bersamaan dia mendorong kedua tan-
gannya, dia segera melompat ke belakang.
Blaaaarrr!!
Hamparan angin yang melesat dari
kedua tangannya tadi pecah terhantam ge-
lombang angin memutar yang agak berbelok
sedikit. Dan melibas ranggasan semak yang
berpentalan ke berbagai penjuru.
"Orang pincang keparat!! Bagaimana
cara menghentikan badai itu, hah?!" se-
runya keras.
Masih merunduk Pengemis Pincang
berseru, "Aku tidak tahu!"
"Jahanam sial!" geram Demit Merah
seraya mengertakkan rahangnya.
Didengarnya lagi seruan Pengemis
Pincang, "Menurut Ki Dundung Kali, badai
itu akan berhenti dengan sendirinya!"
"Ya! Setelah menghantam dan melibas
kita sampai mampus!"
Di balik ranggasan semak yang sudah
tak menghalangi lagi tubuhnya karena su-
dah pecah berhamburan. Raja Naga mendon-
gak dengan tangan kanan menghalangi kedua
matanya.
"Kalau tak segera kuhentikan, badai
yang keluar ganas itu akan membikin han-
cur tempat ini! Mungkin pula akan melibas
ku! Selagi bubungan tanah itu menghalangi
pandangan, sebaiknya kuhentikan saja se-
mua ini!" desisnya sambil menajamkan pan-
dangannya .
Dengan gerakan sangat cepat pemuda
yang kedua tangan hingga sikunya bersisik
kecoklatan ini berdiri. Tubuhnya terlihat
agak samar-samar karena tanah yang membu-
bung. Mendadak saja dia menghentakkan ka-
ki kanannya. Anak muda dari Lembah Naga
ini sudah mengeluarkan ilmu 'Barisan Naga
Penghancur Karang'!
Seketika tanah itu bergerak sangat
cepat, suara bergemuruh semakin menjadi-
jadi, dipadu dengan ganasnya badai yang
terus keluar dari dalam tanah!
Menyusul.... blaaaarrr! Blaaarrr!
Blaaaarr!!
Terdengar ledakan dahsyat beberapa
kali yang semakin membuat tempat itu ber-
goncang hebat. Demit Merah yang sedang
mengerahkan tenaga dalam, terpental ke
belakang. Sosok Pengemis Pincang terhem-
pas di atas tanah.
Raja Naga mengulangi lagi tindakan-
nya. Bersamaan dengan ledakan dahsyat
yang kembali terdengar, dia langsung me-
lompat ke atas sebuah pohon yang agak
jauh dari tempatnya!
Letupan terdengar beberapa kali,
menyusul api dahsyat yang sesaat menggem-
brus .
Brussss!!
Bersamaan api yang menggembrus dan
menghamburkan asap hitam terjadi, badai
yang muncul dari dalam tanah perlahan-
lahan mengecil dan lenyap. Tinggal kepu-
lan asap yang membubung tinggi.
Secara bersamaan pula terdengar ko-
kokan ayam jantan di kejauhan.
***
TIGA
PENGEMIS Pincang yang telah berdiri
tegak, memandangi kepulan asap itu dengan
seksama. Seperti mengingat sesuatu, sa-
mar-samar kening lelaki pincang ini ber-
kerut .
"Ada sesuatu yang terjadi... ada
sesuatu yang membuat badai dari dalam ta-
nah itu terhenti...." desisnya.
Perlahan-lahan lelaki berkaki kecil
sebelah ini mengedarkan pandangannya.
Yang terpampang di de-pan matanya hanya-
lah tempat yang telah porak poranda. Pe-
pohonan tumbang tumpang tindih. Tanah
terbongkar di sana-sini.
Matanya menyipit dengan kening ber-
kerut .
"Kendati tak kulihat adanya orang,
tetapi aku yakin, aku masih sempat meli-
hat tanah bergerak cepat dengan suara ke-
ras. Hemm... jelas bergeraknya tanah itu
tak mungkin terjadi tanpa ada yang menye-
babkannya
"Badai telah usai! Tangkai mawar
berkuntum tiga telah tercabut! Mana harta
karun itu?!"
Bentakan keras Demit Merah membuat
Pengemis Pincang tak lagi meneruskan apa
yang jadi pikirannya. Dipandanginya orang
tinggi besar itu sesaat.
Lalu dengan langkah pincang dia ma-
ju tiga langkah seraya berkata, "Kau te-
lah lalui ujian pertama untuk mendapatkan
harta karun itu!"
Setan! Lantas kau maksudkan akan
ada ujian kedua?!" geram Demit Merah ke-
ras .
"Apa yang akan kau lakukan sekarang
bukanlah sesuatu yang menyulitkan, " sahut
Pengemis Pincang sambil melangkah lagi,
ke arah Taman Kematian yang telah porak
poranda.
Diikuti pandangan curiga dari Demit
Merah, lelaki pincang itu menghentikan
langkahnya tepat pada tanah di mana tadi
Demit Merah mencabut tangkai mawar ber-
kuntum tiga. Lalu dengan tangan kanannya
Pengemis Pincang mulai menggali.
Melihat hal itu Demit Merah menggeram .
"Terkutuk! Dia rupanya hendak me-
langkahi ku!" makinya gusar. Kemudian
bentaknya, "Orang pincang celaka! Apa
yang kau lakukan, hah?!"
Pengemis Pincang menghentikan pe-
kerjaan menggalinya. Mengangkat wajahnya
pada Demit Merah.
"Kau telah melakukan tugasmu! Kali
ini biarlah aku yang melakukan tugasku!"
"Apa maksudmu?!"
"Tanganmu akan menjadi kotor bila
kau menggali tanah ini! Biarlah aku yang
melakukannya!"
Demit Merah tak buka suara. Matanya
memperhatikan penuh curiga.
"Hemm... dari semula aku menyangsi-
kan apa yang dikatakannya. Tetapi dia
sangat meyakinkan, hingga aku dapat mem-
percayainya. Membunuhnya semudah memba-
likkan telapak tangan. Berarti bila dia
nekat mendustai ku, akan kubunuh saat ini
j uga."
Karena tak ada sahutan atau tinda-
kan apa-apa dari Demit Merah, Pengemis
Pincang meneruskan pekerjaannya. Sesung-
guhnya, dengan ilmu yang dimilikinya.
Pengemis Pincang akan dengan mudah dan
singkat saja menggali tanah itu. Tetapi
karena dia berkeinginan tetap berlaku bo-
doh makanya dia menggali tanpa mempergu-
nakan ilmunya.
Pekerjaan menggali itu baru selesai
tatkala matahari mulai sepenggalah.
"Kau sudah melihat harta karun
itu?" seru Demit Merah.
"Kau bisa melihatnya sendiri seka-
rang .
Dengan langkah lebar dan hati dipe-
nuhi sedikit ketegangan. Demit Merah me-
langkah mendekat. Dia melongok pada lu-
bang sedalam setengah badannya. Dari da-
lam lubang itu terlihat sinar indah ber-
kilau -kilau. Seketika mata Demit Merah
membelalak lebar. Mulutnya menganga tanpa
mengeluarkan suara. Untuk sesaat lelaki
tinggi besar ini terdiam terpana menyak-
sikan apa yang ada di dalam lubang itu.
"Astaga!" desisnya tertahan.
Di balik rimbunnya dededaunan, Raja
Naga memperhatikan dengan seksama. Dia
juga melihat sedikit kilatan cahaya indah
dari dalam lubang yang digali Pengemis
Pincang.
"Hemm... seruan Demit Merah jelas
kalau dia melihat harta yang dicarinya.
Berarti orang pincang itu tidak berbo-
hong. Hanya saja aku menangkap satu ke-
janggalan. Sepertinya orang pincang itu
memang tak menginginkan harta yang terda-
pat pada lubang itu. Lantas apa yang di-
inginkannya? Dan mengapa dia berpura-pura
bodoh? Dia menggali dengan mempergunakan
tangannya dan membutuhkan waktu yang cu-
kup lama, tetapi tak sebutir keringat pun
membasahi wajahnya. Ini menandakan kalau
dia memang bukan orang sembarangan. Ah,
bila saja Demit Merah lebih memperhati-
kan. ..."
Raja Naga melihat Demit Merah ber-
lutut dan memasukkan kedua tangannya ke
dalam lubang lebar. Saat ditarik keluar
tawa Demit Merah menggelegar.
"Ha ha ha... dengan kekayaan ini,
aku dapat mewujudkan seluruh rencanaku!!"
serunya seraya mengangkat tinggi-tinggi
bungkusan kain hitam usang. Dari balik
kain hitam itulah terlihat samar-samar
kilauan cahaya di dalamnya.
Dengan sesekali terdengar tawanya,
Demit Merah meletakkan benda yang ter-
bungkus kain hitam usang itu pada telapak
tangan kirinya. Lalu berhati-hati dia mu-
lai membuka.
Kilauan cahaya batu berlian segera
membayang pada wajahnya. Butiran berlian
indah menumpuk pada bungkusan itu!
"Menakjubkan! Sungguh menakjub-
kan! ! " serunya berulang-ulang.
Pengemis Pincang tersenyum.
"Demit Merah... apakah aku membo-
hongimu?"
Demit Merah hanya tertawa keras.
Kepuasan membayangi wajahnya. Dan secara
tiba-tiba dia memutuskan tawanya. Dengu-
sannya seketika terdengar. Tatapannya
mengeras, tajam pada Pengemis Pincang.
"Mengapa kau menatapku seperti itu,
hah?!"
Pengemis Pincang hanya tersenyum.
"Orang pincang celaka! Kau sudah
mengatakan kalau harta karun ini untukku!
Mengapa kau memandangku seperti itu,
hah?!"
Pengemis Pincang buru-buru mengang-
gukkan kepalanya.
"Aku hanya senang melihat kau puas
seperti itu...."
"Bagus! Urusan sudah selesai! Me-
nyingkir dari si ni! " bentak Demit Merah
sambil membungkus kembali berlian indah
yang banyak jumlahnya.
Pengemis Pincang berkata, "Puluhan
batu berlian itu akan menjadi harta ke-
kayaanmu tujuh turunan! Benda-benda yang
banyak diinginkan orang! Demit Merah...
sebaiknya kau membungkus berlian-berlian
itu dengan kain yang lebih bagus dan
baik. Rasanya tak pantas kalau dibungkus
dengan kain hitam yang usang seperti
itu...."
Demit Merah sesaat memperhatikan
kain hitam yang membungkus berlian-
berlian itu.
Kemudian dengusannya, "Aku tak me-
miliki kain lain sebagai ganti! Biar kain
hitam usang ini yang membungkusnya!"
"Kau tak menghargai sebuah keinda-
han tiada tara. Sudah tentu kain usang
itu tak pantas dijadikan sebagai pembung-
kus...." kata Pengemis Pincang tenang.
Lalu memasukkan tangan kanannya ke balik
pakaiannya. Saat ditarik keluar, ditan-
gannya telah terpegang sebuah kain warna
jingga terbuat dari sutera. "Kain inilah
yang pantas membungkus berlian-berlian
itu...."
Demit Merah memandang tajam Penge-
mis Pincang. Yang dipandang menganggukkan
kepala seraya mengangsurkan kain sutera
berwarna jingga itu.
Tiba-tiba Demit Merah terbahak-bahak.
"Kau memang pandai! Kau dapat me-
nyenangkan orang!" serunya keras sambil
menyambar kain sutera itu. Lalu ditua-
ngnya berlian-berlian itu ke dalam kain
sutera. Kain hitam usang pembungkusnya
tadi di lontarkan asal saja dan jatuh ke
tempat yang cukup jauh. Setelah itu dima-
sukkannya berlian-berlian yang telah ter-
bungkus kain sutera itu ke balik pakaian-
nya .
Kemudian katanya, "Urusan ini sudah
selesai! Aku tak punya urusan lagi! Kecu-
ali... kalau kau hendak merebut berlian-
berlian ini dari tanganku!"
Pengemis Pincang buru-buru mengge-
leng .
"Tidak, aku tak pernah punya niatan
seperti itu! Kau bebas pergi ke mana saja
dengan membawa berlian-berlian itu! Kare-
na urusan memang sudah selesai!"
"Bagus! Kau tahu gelagat rupanya!"
"Tapi... kau mau menganggapku seba-
gai seorang sahabat, bukan?" suara Penge-
mis Pincang penuh harap.
Demit Merah terbahak-bahak keras.
Masih terbahak dia sudah melangkah me-
ninggalkan tempat itu. Tawa kerasnya se-
makin lama semakin menghilang dan lenyap
sama sekali.
Pengemis Pincang masih berdiri di
tempatnya.
Raja Naga yang menyaksikan semua
itu dari balik rimbunnya dedaunan menge-
rutkan keningnya.
"Aneh! Aku melihat semua ini seba-
gai sebuah keanehan! Apa yang sesungguh-
nya diinginkan oleh lelaki pincang itu?
Dia sama sekali tak menghendaki berlian-
berlian yang kini dibawa Demit Merah! Dan
tak ada tanda-tanda dia menginginkannya
atau mencoba merebutnya di sebuah tempat!
Bahkan dia telah mempersiapkan sebuah
kain sutera sebagai pengganti kain hitam
usang yang sebelumnya membungkus berlian-
berlian itu. Sebenarnya apa yang di...
hei! Apa yang dia lakukan?!"
Di bawah, Pengemis Pincang mendadak
saja tertawa keras. Wajahnya yang bila
berhadapan dengan Demit Merah selalu te-
gang dan ketakutan, kali ini tak keliha-
tan ketakutannya sama sekali. Kedua ba-
hunya yang kurus sampai berguncang.
"Aku berhasil! Aku berhasil menge-
labuinya!" serunya berulang-ulang.
Ditempatnya Raja Naga membatin la-
gi, "Dia berhasil mengelabui orang itu?
Astaga! Aku jadi makin penasaran! Apa
yang sebenarnya diingininya?!"
Pengemis Pincang tiba-tiba memutus
tawanya. Dia berbalik dan melangkah ber-
gegas ke arah kanan, di mana kain hitam
usang yang tadi sebagai pembungkus ber-
lian tergeletak.
Raja Naga melihat lelaki pincang
itu memungut kain hitam usang tadi.
"Inilah yang kucari! Benda inilah
yang selalu dibicarakan oleh guruku, Ki
Dundung Kali, tetapi tak pernah mau mem-
beritahukan padaku bagaimana cara mengam-
bilnya! Hahaha... benda inilah yang kuin-
ginkan! Kain Pusaka Setan!"
Raja Naga tersentak dengan kepala
terangkat. Sepasang matanya yang selalu
menyiratkan keangkeran memandang tak ber-
kedip pada Pengemis Pincang yang sedang
terbahak-bahak.
"Pantas kalau dia tak menginginkan
berlian-berlian itu... pantas pula dia
telah menyiapkan sebuah kain pengganti
kain hitam usang itu. Karena... kain itu-
lah yang diinginkannya.... Luar biasa!
Sungguh dia memiliki kecerdikan yang
tinggi! Dan kalau tidak ada apa-apanya,
tak mungkin dia mau bersusah payah mela-
kukan sandiwara di hadapan Demit Me-
rah . . . . "
Di bawah. Pengemis Pincang masih
tertawa keras sambil memandangi kain hi-
tam usang yang berada di tangan kanannya.
"Kain Pusaka Setan! Benda ini yang
kuinginkan! Dengan benda ini aku dapat
melakukan apa saja!! Ha ha ha....!"
Masih tertawa Pengemis Pincang mem-
bebatkan kain hitam usang itu pada tela-
pak tangan kanannya. Lalu diputus tawanya
sendiri. Dipandanginya sekelilingnya den-
gan tatapan tak berkedip.
"Menurut cerita Ki Dundung Kali...
benda ini tak ada tandingannya di muka
bumi! Hemm... aku harus mencobanya!!"
Habis mendesis demikian, mendadak
saja Pengemis Pincang terdiam. Dari si-
kapnya jelas kalau dia sedang memusatkan
pikiran pada satu masalah. Dan seperti
melihat lawan yang sudah siap menyerang-
nya, di gerakkan tangan kanannya itu den-
gan cara menyentak ke depan.
Breeerrrrrr!!!
Serta merta menghampar gelombang
angin laksana badai yang segera menghan-
tam tanah. Letupan dahsyat terdengar be-
berapa kali bersamaan tanah yang muncrat
dahsyat! Kedahsyatan yang terjadi tidak
hanya sampai di sana. Karena mendadak sa-
ja hamparan gelombang angin tadi berbalik
arah, menyentak naik ke udara dan melun-
cur kembali ke bawah disertai letupan be-
rulang-ulang .
Dan.... Buummm! !
Begitu gelombang angin yang melun-
cur tadi menghantam tanah, letupan menge-
rikan terjadi seiring tanah yang membuyar
ke udara. Cukup lama tanah-tanah itu
menghalangi pandangan sebelum kemudian
sirap kembali. Dan terlihat kemudian ba-
gaimana sebuah lubang besar yang mengelu-
arkan asap telah terbentuk sejarak sepuluh
langkah dari hadapan Pengemis Pincang .
Kontan tawa Pengemis Pincang mele-
dak .
Raja Naga yang menyaksikan kejadian
itu dan sempat merasakan pohon di mana
dia bersembunyi bergetar, melengak kaget.
Mulutnya membuka lebar.
"Astaga!" desisnya. "Kain hitam
usang itu ternyata memang bukan benda
sembarangan?I"
"Tak sia-sia aku berlaku bodoh di
hadapan Demit Merah! Tak sia-sia ku dus-
tai Peramal Sakti! Dan tak sia-sia aku
meracuni guruku untuk menjelaskan semua-
nya! "
Sepasang mata angker Raja Naga ber-
sinar lebih angker ketika mendengar se-
ruan itu. Gelegak amarah mendadak saja
merajai tubuhnya.
"Orang seperti dialah yang membuat
segala urusan jadi berantakan. Orang be-
rotak licik yang menghancurkan siapa pun
juga dengan mempergunakan akalnya ini le-
bih berbahaya daripada melakukannya den-
gan jalan kekerasan. Karena tak nampak di
mata," desisnya dalam hati.
Lalu di lihatnya Pengemis Pincang
yang berdiri tegak dengan kaki kanan, se-
mentara kaki kirinya menjulai. Kain Pusa-
ka Setan masih terbebat pada telapak tan-
gan kanannya.
Tawa kepuasan Pengemis Pincang ter-
henti sudah. Mulutnya merapat dingin. Ma-
tanya menyipit. Menyusul desisannya yang
bernada dingin.
"Dengan benda sakti ini, aku dapat
menuntut balas perbuatan perempuan celaka
yang menolak cintaku! Yang menyakiti ha-
tiku! Dan yang telah menghinaku!" Orang
ini melangkah ke depan. Matanya diedar-
kan. Dewi Bintang... tak lama lagi kau
akan mampus di tanganku!!"
Raja Naga membatin, "Hemmm. . . Dewi
Bintang. Aku tak tahu siapa adanya perem-
puan itu. Tetapi yang pasti. Pengemis
Pincang berkeinginan membunuhnya. Ah,
apakah ini suatu pengkhianatan cinta se-
perti yang dilakukan Nenek Konde Satu
terhadap Bandung Sulang? Hingga saat ini
aku tak tahu kabar Nenek Konde Satu. Bisa
jadi kalau dia telah tewas dibunuh oleh
Hantu Menara Berkabut." (Untuk mengetahui
tentang Nenek Konde Satu, Bandung Sulang
dan Hantu Menara Berkabut, silakan baca:
"Tapak Dewa Naga" sampai Misteri Menara
Berkabut").
Tiba-tiba saja gemuruh angin lin-
tang pukang menerjang ganas ke arah lima
buah pohon yang berdiri
sejarak lima belas langkah dari
tempat Pengemis Pincang berdiri. Rupanya
lelaki pincang itu sudah mendorong lagi
tangan kanannya!
Letupan dahsyat beberapa kali ter-
dengar mengerikan! Pepohonan itu berpen-
talan dan pecah di udara dan menimbulkan
suara cukup keras 1
Pengemis Pincang terdiam dengan da-
da naik turun. Parasnya kini dibiasi se-
juta dendam yang ingin segera ditun-
taskan .
"Dewi Bintang.... kau akan mampus!
Kau akan menyesali tindakanmu kepadaku!!"
serunya berulang-ulang.
Di tempatnya Raja Naga berkata da-
lam hati, "Aku tak ada urusan apa-apa da-
lam hal ini. Tetapi maksud busuk Pengemis
Pincang itu harus kuhentikan. Sudah dapat
kupastikan kalau urusan ini akan jadi ru-
nyam
Memutuskan demikian, Raja Naga me-
narik napas dalam-dalam. Mata angkernya
terus memandang pada Pengemis Pincang.
Dan baru saja dia hendak mengempos tubuh
untuk turun, mendadak saja dilihatnya sa-
tu bayangan kuning melesat dari arah de-
pan Pengemis Pincang!
Lelaki pincang itu sempat menangkap
bayangan yang mengarah padanya. Dia se-
saat melengak kaget. Menyusul teriakannya
terdengar keras,
"Terkutuk! Kembali kau!!"
Sosoknya sudah melesat menyusul
bayangan kuning yang telah menyambar Kain
Pusaka Setan yang terbelit di tangannya
tadi. Melihat hal itu jelas kalau si
Bayangan Kuning bukan orang sembarangan.
Kain yang terbelit di tangan itu tak mu-
dah dilepaskan begitu saja, tetapi si
Bayangan Kuning berhasil merebutnya!
Raja Naga terperangah. Dia kembali
pada maksud semula untuk turun. Tetapi
kali ini dengan tujuan untuk melihat sia-
pa adanya si Bayangan Kuning.
Tatkala mendengar deru angin dah-
syat yang mengarah pada Pengemis Pincang,
murid Dewa Naga ini mengurungkan niat.
"Manusia setaaannn!!I" makian Pen-
gemis Pincang terdengar keras bersamaan
dia membuang tubuh ke samping kanan.
Blaaaammmm!I
Tanah di mana tadi dia berdiri,
kontan rengkah ke udara dan tatkala sirap
telah terbentuk sebuah lubang yang cukup
besar serta mengeluarkan asap!
Si Bayangan Kuning yang tadi mele-
sat itu dan tiba-tiba berbalik seraya ke-
pretkan kain hitam usang itu, sudah le-
nyap dari pandangan.
Hanya tawanya yang menggema berke-
panj angan.
"Setan alas!" geram Pengemis Pin-
cang yang sudah berdiri tegak. "Manusia
berpakaian kuning! Kau telah membuka uru-
san denganku! Berarti kau harus mampus!!"
Kejap berikutnya, lelaki pincang
ini sudah berkelebat ke arah perginya si
Bayangan Kuning.
Tiga kejapan mata berikutnya, Raja
Naga melompat turun dan segera menyusul.
Anak muda dari Lembah Naga ini memperki-
rakan urusan akan bertambah kacau. Penge-
mis Pincang telah mendapatkan Kain Pusaka
Setan dengan susah payah. Niatan untuk
membunuh Dewi Bintang telah terpampang.
Tetapi ada orang lain yang kemudian men-
dapatkannya dengan cara merebutnya.
"Luar biasa! Cara orang berpakaian
kuning itu berkelebat dan merebut Kain
Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang
sungguh luar biasa! Dan serangannya baru-
san. .. hemm... jelas kalau manusia berpa-
kaian kuning itu bukan orang sembaran-
gan! " desis Boma Paksi dalam hati. "Dan
aku jelas melihat... kalau si Bayangan
Kuning adalah seorang gadis berambut kun-
cir kuda!"
Sambil terus membatin, murid Dewa
Naga terus berlari menyusul.
* * *
EMPAT
MALAM kembali membentang kelam.
Udara dingin berhembus, kian menusuk tu-
lang, dan seperti membawa kabar yang men-
gerikan ke tempat yang agak landai dan
dipenuhi pepohonan itu. Lolongan serigala
terdengar di kejauhan, lambat dan pan-
jang, menggema dingin dan mengerikan.
Di tengah-tengah tempat yang boleh
dikatakan seperti sebuah lembah, terdapat
sebuah gubuk yang sudah condong ke kanan.
Gubuk yang kelihatan tak lama lagi akan
ambruk. Bila saja malam ini angin berhem-
bus lebih kencang, tak mustahil gubuk itu
akan terbongkar pecah.
Di dalam gubuk reyot itu seorang
kakek berjenggot putih yang panjang hing-
ga perut, duduk di atas sebuah dipan
usang. Tangan kanan si kakek terus mene-
rus mengusap-usap jenggot putihnya. Sepa-
sang matanya redup, bersinar agak sedikit
terang. Si kakek yang rambut putihnya di-
kuncir ekor kuda ini nampak sedang memi-
kirkan sesuatu. Jelas dari keningnya yang
sesekali dikerutkan.
Lamat-lamat terdengar helaan napas-
nya bersamaan wajahnya yang agak murung.
"Ah... entah apa yang terjadi sebe-
narnya, perasaanku semakin tidak enak sa-
ja! Dan sungguh aneh, mengapa aku mera-
malkan kalau telah terjadi sesuatu di Ta-
man Kematian?" desisnya pelan, terus men-
gusap-usap jenggot putihnya yang menjadi
kebiasaannya. Dia terdiam sejenak sebelum
meneruskan ucapannya seraya menggeleng-
gelengkan kepala, "Kedatangan Karna Dirga
atau yang berjuluk Pengemis Pincang, sam-
pai saat ini masih menjadi pikiranku. Ta-
pi. . . mengapa?"
Kakek berpakaian putih panjang ini
kembali terdiam, memikirkan jawaban atas
pertanyaannya sendiri. Otaknya sesekali
berkerut lagi. Tangan kanannya masih te-
rus mengusap-usap jenggot putih panjang-
nya .
"Benarkah memang dia yang menyuruh-
nya datang padaku untuk menanyakan kepas-
tian tentang Kain Pusaka Setan yang ter-
dapat di Taman Kematian? Semula aku me-
mang tak percaya dengan ucapan Pengemis
Pincang kalau dia disuruh Ki Dundung Kali
untuk menjumpai ku menanyakan kejelasan
tentang benda setan itu. Tetapi... ah,
apakah aku telah lakukan kesalahan? Kesa-
lahan yang harus kutebus dengan sebuah
perjalanan panjang mengerikan?"
Si kakek yang berjuluk Peramal Sak-
ti ini kembali terdiam. Perasaan tidak
enak menyiksa batinnya. Angin dingin ma-
suk melalui pintu yang terbuka lebar, ka-
rena memang tak ada daun pintu di sana.
Kembali terdengar helaan napasnya pan-
j ang-panj ang.
"Mungkin aku telah melakukan kesa-
lahan. Karena entah mengapa aku meramal-
kan kalau akan terjadi sebuah urusan be-
sar yang diakibatkan oleh Kain Pusaka Se-
tan. Hanya aku dan Ki Dundung Kali yang
dapat mengambil benda sakti itu dengan
mudah. Karena kami sama-sama tahu bagai-
mana cara menanggulangi tenaga dahsyat
yang akan keluar dari dalam tanah setelah
tangkai mawar berkuntum tiga tercabut.
Karena memang aku dan Ki Dundung Kali-lah
yang menanam tenaga gaib itu di sana. Dan
telah memberikan tenaga dalam pada tang-
kai mawar berkuntum tiga hingga tak per-
nah layu selama seratus tahun."
Kakek berjenggot putih panjang ini
menarik napas pendek. Lalu melanjutkan,
"Ki Dundung Kali tak mungkin melakukan
tindakan itu. Kami telah bersumpah untuk
tidak mengutak-atik Taman Kematian, tem-
pat kami menguburkan barang celaka itu.
Tetapi Pengemis Pincang? Ah, begitu bo-
dohnya aku yang tak meramalkan kejadian
ini sebelumnya. Aku memang meramalkan
akan kedatangan seorang tamu, dan ternya-
ta si Pengemis Pincang yang mengatakan
kalau dia disuruh gurunya untuk. . . ah. . .
aku telah melakukan kesalahan... kesala-
han besar
Memutus sendiri ucapannya. Peramal
Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketimbang ini jadi pikiranku se-
mentara ramalanku jelas-jelas mengisya-
ratkan akan terjadi kejadian buruk, se-
baiknya aku datangi saja si Dundung Kali.
Mudah-mudahan dia bisa memberikan kejela-
sannya. Dan kuharapkan pula kalau ramalan
ku kali ini meleset..."
Memutuskan demikian, si kakek ber-
jenggot putih panjang segera berdiri. La-
lu turun dari dipan yang di dudukinya dan
melangkah ringan keluar. Udara malam me-
nyergapnya. Tetapi tak terlihat dia meng-
gigil. Bahkan, pakaian panjang yang dike-
nakannya tak bergerak sedikit pun dihem-
bus angin! Demikian pula rambut dan jeng-
got panjangnya!
Si kakek memperhatikan dulu seki-
tarnya sebelum kemudian melangkah mening-
galkan gubuk yang tak ditutupnya, karena
memang tak memiliki daun pintu. Langkah-
nya nampak perlahan dan begitu tenang,
tetapi hanya dalam waktu tiga kejapan ma-
ta saja, sosoknya sudah lenyap sama seka-
li !
Jarak yang ditempuh Peramal Sakti
untuk menjumpai Ki Dundung Kali seharus-
nya ditempuh dalam waktu satu hari satu
malam perjalanan berkuda. Dan kalau ber-
jalan kaki bisa ditempuh hingga satu hari
dua malam. Tetapi menjelang pagi dia su-
dah tiba di tempat yang dituju.
Tempat itu merupakan sebuah tempat
yang dipenuhi ranggasan semak belukar.
Keheningan yang terjaga di tempat itu cu-
kup mendebarkan. Tak jauh dari sana ter-
dapat sebuah sungai yang alirannya cukup
deras. Suaranya bergemuruh kencang, teru-
tama pada telinga si kakek yang sangat
peka.
"Aneh! Mengapa sepi sekali?" desis
si kakek sambil mengusap-usap jenggot pu-
tih panjangnya. "Tak terdengar suara ge-
rakan apa pun atau desahan napas kecuali
burung-burung yang beterbangan. Apakah
ada sesuatu yang telah terjadi? Atau...
si Dundung Kali sudah berangkat menuju
Taman Kematian? Kalau memang demikian,
berarti dugaanku salah. Bisa jadi Karna
Durga memang diperintah olehnya untuk
menjumpai ku."
Si kakek kembali terdiam, hanya me-
mandangi ranggasan semak belukar setinggi
dada yang terpampang di depannya sambil
mengusap-usap jenggot putihnya. Kemudian
seraya melangkah digerakkan tangannya se-
dikit. Tiba-tiba saja ranggasan semak itu
menguak dan membentuk sebuah jalan.
Terlihat di balik ranggasan semak
itu sebuah gubuk yang tak begitu besar
tetapi masih kokoh. Dengan enaknya Peram-
al Sakti melangkah ke sana. Begitu dia
berada di balik ranggasan semak, semak
yang tadi menguak memberinya jalan itu
sudah menutup kembali.
"Dundung Kali! Aku datang untuk me-
nyambangi mu! Bila kau berada di dalam,
jangan sampai aku masuk ke dalam gubukmu
yang bau apak!" serunya. Lalu sambungnya,
"Sama seperti bau apak yang menguar di
gubukku sendiri I"
Tak ada sahutan apa-apa dari dalam
gubuk.
Si kakek menghentikan langkahnya.
"Memmm... jangan-jangan gubuk itu
kosong. Dundung Kali rupanya sudah be-
rangkat menuju ke Taman Kematian. Hanya
saja aku tak habis mengerti, mengapa dia
meminta aku menjelaskan tentang Taman Ke-
matian, seperti yang dikatakan muridnya,
si Pengemis Pincang?"
Kembali Peramal Sakti merapatkan
mulutnya. Di usap-usap lagi jenggot putih
panj angnya.
"Aneh! Ramalanku mengatakan sesuatu
telah terjadi di Taman Kematian. Kain Pu-
saka Setan telah di dapatkan oleh seseo-
rang. Tidak! Bukan oleh Dundung Kali mau-
pun muridnya! Tetapi orang lain yang tak
kuketahui siapa..."
Habis berpikir begitu. Peramal Sak-
ti melangkah mendekati gubuk itu seraya
berseru, "Dundung Kali! Apakah kau berada
di dalam?!"
Hanya suara angin dan burung-burung
yang terdengar. Untuk kesekian kali Pe-
ramal Sakti menghentikan langkahnya. Dia
terdiam sejenak. Lalu terlihat wajahnya
agak tegang Bergegas dia melangkah ke da-
lam .
"Dundung Kali!" desisnya terkejut.
Dilihatnya satu sosok tubuh sedang
berbaring di atas lantai dengan kedua
tangan membujur di sisi kanan kiri ping-
gang. Wajah tua yang dilihatnya meringis.
Mulutnya susah payah membuka, tetapi tak
ada suara yang keluar.
"Siapa yang lakukan ini?" tanya Pe-
ramal Sakti sambil berlutut. Diperiksanya
tubuh tua yang mengenakan pakaian merah
penuh tambalan itu. Terlihat kemudian ke-
ningnya berkerut. "Aneh! Aku tak merasa-
kan sesuatu yang membuatnya terbujur tan-
pa daya! Bahkan aku tak melihat adanya
luka di sekujur tubuhnya. Berarti...."
"Kau telah diracuni seseorang," ka-
tanya kemudian. Lalu mengambil sesuatu
dari tabung kecil yang berada di balik
pakaiannya. Diangkatnya kepala Ki Dundung
Kali. Tiga buah pil hitam yang kini dipe-
gangnya dimasukkan ke mulut Ki Dundung
Kali yang sesaat tersedak, lalu terbatuk
dan terdiam menahan sakit.
"Tahan! Jangan kau alirkan dulu te-
naga dalam mu...." kata Peramal Sakti.
Sikapnya benar-benar tenang. Keterkeju-
tannya hanya sekali saja tatkala melihat
sahabatnya terbujur tanpa daya. Kemudian
diletakkan telapak tangan kanannya se-
jengkal di atas dada kakek berpakaian me-
rah. Satu tenaga keluar, masuk ke dada Ki
Dundung Kali yang semakin meringis mena-
han sakit. Tetapi tetap tak mengeluarkan
suara. "Jangan kau tahan tenaga dalamku
dengan tenaga dalammu ..."
Mulut Ki Dundung Kali membuka. Dia
berusaha keras untuk mengeluarkan suara.
Dia berhasil melakukannya, tetapi sangat
pelan, "Tenaga dalamku... keluar... ke-
luar dengan sendirinya...."
"Hemm... dalam soal tenaga dalam
aku memang mengakui keunggulan nya. Dan
jelas kalau orang yang meracuninya ini
punya keberanian tinggi. Rasanya tak
mungkin orang lain yang melakukannya. Be-
rarti... dia adalah muridnya sendiri. Ah,
pantas ramalanku mengatakan kalau sesuatu
telah terjadi di Taman Kematian...."
Tarik menarik dan tolak menolak an-
tara tenaga dalam yang dialirkan Peramal
Sakti dengan tenaga dalam yang keluar
sendirinya milik Ki Dundung Kali, semakin
kuat. Lama kelamaan Peramal Sakti nampak
bergetar hebat. Keringat sudah mengalir
di sekujur tubuhnya.
Susah payah dan menahan sakit Ki
Dundung Kali bersuara, "Sobat... jangan
kau lakukan lagi... Karena aku merasakan
tenaga dalamku akan menolak kuat tenaga
dalammu. . . . Yang akan. . . menyebabkan mu
terluka dalam...."
"Tak usah kau menghiraukan soal
itu! Biar bagaimanapun juga aku harus
mengeluarkan racun celaka yang mengalir
di tubuhmu menjadi uap!"
"Bukan bermaksud mengecilkan kemam-
puanmu. .. tetapi kau... kau akan mencela-
kakan dirimu sendiri..."
Peramal Sakti tak peduli. Dia tetap
tenang melakukan apa yang menurutnya baik
dilakukan.
"Sobat... tenaga dalamku sudah tak
kuasa ku bendung. Dia.... akan terlontar
keluar... Hentikan... hentikan tindakan-
mu...." suara Ki Dundung Kali makin susah
payah dan bertambah serak.
Peramal Sakti tak menjawab. Dia te-
rus mengerahkan tenaga dalamnya. Telapak
tangan kanannya yang berada sejengkal di
atas dada Ki Dundung Kali makin bergetar
hebat. Keringat terus membanjiri tubuh-
nya. Dan dia mulai merasakan telapak tan-
gannya terangkat naik karena dorongan
kuat yang keluar menyentak dari dada Ki
Dundung Kali.
Sebelum tenaga dalam yang keluar
dengan sendirinya itu menyentaknya lebih
kuat, mendadak Peramal Sakti melakukan
totokan melalui tangan kirinya pada dada
Ki Dundung Kali.
Tuk! Tuk!
Tubuh Ki Dundung Kali melonjak se-
saat. Suaranya seperti orang tercekik.
Tindakan yang dilakukan Peramal
Sakti memang tepat. Karena begitu tubuh
Ki Dundung Kali tertotok kaku, tenaga da-
lam yang keluar sendiri itu sudah terhen-
ti sama sekali.
Tinggal Peramal Sakti yang terus
melakukan pengobatannya. Lamat-lamat ke-
luar uap hitam dari dada Ki Dundung Kali
yang menempel pada telapak tangan kanan-
nya. Semakin lama telapak tangan Peramal
Sakti semakin menghitam. Itu berarti ra-
cun yang mengalir di
tubuh Ki Dundung Kali yang telah
menjadi uap hitam telah berkurang dan se-
makin lama akan berangsur lenyap sama se-
kali .
Peramal Sakti tersentak ke belakang
begitu selesai melakukan pengobatan aneh-
nya. Lalu diusap telapak tangan kanannya
dengan tangan kiri seraya mulutnya berke-
mak-kemik. Kemudian disentaknya lalu di-
tiupnya. Uap hitam yang menempel itu te-
lah lenyap.
Peramal Sakti segera melepaskan to-
tokan yang di lakukannya.
"Bagaimana keadaanmu, Sobat?"
Ki Dundung Kali memejamkan matanya
beberapa saat. Ketika dibukanya kembali,
wajahnya sudah sedikit cerah dan berke-
ringat .
Terima kasih atas bantuanmu, " ka-
tanya seraya duduk berselonjor. "Bila sa-
ja kau datang terlambat... sebelum mata-
hari tepat di atas kepala, mungkin kau
hanya menjumpai mayatku di sini...."
"Ke mana muridmu itu?" tanya Peram-
al Sakti kemudian. "Ramalanku mengatakan
kalau telah terjadi sesuatu di Taman Ke-
matian. Kain Pusaka Setan yang kita kubur
empat puluh tahun lalu di sana, telah
terbongkar dan kini berada di tangan se-
seorang . "
Ki Dundung Kali terdiam menahan na-
pas. Seraya menghembuskan napas digeleng-
gelengkan kepalanya.
"Semua di luar dugaanku... sama se-
kali di luar dugaanku. Bukan maksudku un-
tuk membocorkan rahasia yang berpuluh ta-
hun kita pendam. Tetapi muridku itu sung-
guh licik hingga dia bisa mengorek semua
keterangan
"Bahkan... dia telah datang kepada-
ku untuk meminta kejelasan."
Tatapan Ki Dundung Kali membuka.
Celaka! Tentunya dia..."
"Dia mengatakan kaulah yang menyu-
ruhnya untuk menjumpai ku. Dan karena ke-
bodohan ku, aku telah membuka semuanya.
Mungkin sama seperti yang kau lakukan.
Karena menurut dugaanku, kau telah menga-
takan tentang rahasia itu padanya...."
Ki Dundung Kali menggeleng-
gelengkan kepala. Wajahnya nampak gusar.
"Sobat... ucapanmu sudah menandakan
kalau kau tahu aku tak pernah menyuruhnya
untuk menjumpai mu. Yah... tak kusangka
kalau aku memiliki murid murtad seperti
itu...."
"Kau tak boleh menyesali keadaan.
Yang pasti, kita harus merebut kembali
Kain Pusaka Setan. Tapi menurut ramalan-
ku. . . benda sakti itu bukan berada di
tangan muridmu."
"Okh!" Ki Dundung Kali melengak.
"Kau..." Peramal Sakti berdiri. Memandang
keluar. Lalu berkata tenang, "Ramalanku
mengatakan... muridmu memang telah menda-
patkan Kain Pusaka Setan dengan mempera-
lat seseorang yang tak kuketahui siapa.
Tetapi seseorang telah merebut benda sak-
ti itu. Dundung Kali... ingatkah kau pada
peristiwa empat puluh tahun lalu, di mana
kita pertama kali merebut Kain Pusaka Se-
tan dari mendiang manusia terkutuk berju-
luk Durjana Kayangan?! Benda itu telah
banyak menimbulkan keonaran! Membuat sua-
sana lintang pukang tak menentu! Bahkan
kau dan aku sama-sama terluka dalam dan
harus menderita selama lima tahun setelah
berhasil merebut Kain Pusaka Setan!" Ki
Dundung Kali berdiri,
"Sudah tentu aku tak pernah melupa-
kannya. Bahkan Kain Pusaka Setan itu kita
jadikan pembungkus berlian-berlian milik
Durjana Kayangan. Peramal Sakti... ke
arah mana yang harus kita tuju?"
"Aku belum meramalkannya. Tetapi
entah mengapa... semalam aku meramalkan
kalau seseorang akan datang sebagai pe-
nengah! Seseorang yang memiliki kesaktian
tinggi yang akan berhasil merebut Kain
Pusaka Setan dan menguburkannya kembali
selama-lamanya...."
"Siapakah orang itu?"
Peramal Sakti menggeleng.
"Aku tidak tahu siapa dia! Tetapi
ramalanku mengatakan, dialah yang akan
berhasil menanggulangi semua urusan yang
kelak akan jadi kacau balau! Dundung
Kali... kau tahu bukan, kita harus berbu-
lan-bulan memikirkan cara yang tepat un-
tuk menghentikan sepak terjang Durjana
Kayangan empat puluh tahun lalu. Dan ren-
cana itu pun tak membawa keberhasilan
yang menggembirakan. Hanya karena kebera-
nian dan kebulatan tekad kita saja dapat
menghentikan tindakan makar Durjana
Kayangan sebagai pemilik Kain Pusaka Se-
tan. "
"Lantas... bagaimana dengan ramalan
mu itu?" "Ramalanku mengatakan kalau
orang itu akan berhasil melakukannya."
Tak ada yang mengeluarkan suara.
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam
gubuk.
Ki Dundung Kali berkata, "Sobat...
keadaan ini bermula dari kesalahanku. Aku
akan menebusnya...."
Peramal Sakti berbalik. Menatap sa-
habatnya yang telah sama-sama tua.
"Aku juga telah dikelabui oleh Pen-
gemis Pincang. Aku punya kepentingan yang
sama."
"Tak pernah kusangka kalau muridku
yang selama ini kukenal baik ternyata
punya maksud busuk. Bahkan dia tega sam-
pai meracuniku."
Peramal Sakti mengusap-usap jenggot
putih panjangnya.
"Barangkali... dia memiliki satu
urusan yang selama ini dirahasiakannya
darimu. Dia membutuhkan sebuah benda sak-
ti yang dapat dipergunakan untuk membantu
apa yang hendak dilakukannya..."
Ki Dundung Kali terdiam sejenak se-
belum berkata, "Barangkali memang begitu
adanya... Sobat... kita berangkat seka-
rang . . . . "
Ki Dundung Kali sudah mendahului
keluar. Disusul oleh Peramal Sakti. Ber-
samaan mereka hendak melangkah meninggal-
kan tempat itu, terdengar suara bentakan
yang luar biasa keras,
"Dundung Kali! Di mana murid kepa-
ratmu itu?! Bila dia tidak ada di sini
atau kau melindunginya, maka kau yang ha-
rus bertanggung jawab atas kematian mu-
ridku ! ! "
Belum habis bentakan itu terdengar,
satu sosok tubuh telah berdiri sejarak
sepuluh langkah di hadapan masing-masing
orang.
Ki Dundung Kali mendesis, "Dadu Ganggang....
***
LIMA
KAKEK bongkok yang usianya tak jauh
berbeda dengan Ki Dundung Kali dan Peram-
al Sakti, melangkah bergegas. Wajahnya
gusar. Tatapannya penuh kemarahan. Pa-
kaian hitam yang dikenakannya berkibar
dihembus angin.
Saat dia menghentikan lagi langkah-
nya, mulutnya sudah berseru tertuju pada
Ki Dundung Kali, "Dundung Kali! Mana mu-
rid jahanammu itu?! Suruh dia keluar un-
tuk menerima kematian! Tapi... bila kau
ingin menangani urusan ini, silakan kau
coba-coba berdusta padaku!"
Ki Dundung Kali mengerutkan kening-
nya .
"Ada urusan apa tahu-tahu Dadu
Ganggang muncul dengan membawa amarah da-
lam? Mengapa dia mencari muridku?" desis-
nya dalam hati.
Lalu dengan senyuman di bibir Ki
Dundung Kali berkata, "Lama tak jumpa ta-
hu-tahu datang dengan membawa amarah! Da-
du Ganggang... bukankah kita bisa bersi-
kap lebih tenang sebelum membicarakan
urusan?"
Kakek berwajah tirus dengan hidung
bengkok itu mendengus.
"Urusanku datang ke tempat ini ada-
lah untuk mencabut nyawa murid celakamu
itu! "
Meskipun agak jengkel dengan sikap
kakek agak bongkok itu, Ki Dundung Kali
tetap bersikap tenang.
"Terus terang, aku belum tahu ten-
tang urusan yang kau bawa! Bukankah se-
baiknya kau jelaskan?!"
"Sepanjang hidupku kita tak pernah
buka urusan! Tetapi bila pagi ini kau
hendak buka urusan denganku, tak ada sa-
lahnya! Aku menerimanya!"
"Kakek satu ini bila sedang marah
memang tak pernah mempertimbangkan akal
sehat! Dia akan melontarkan langsung ke-
marahannya! Bisa berabe kalau dia lang-
sung menyerang tanpa menjelaskan uru-
san...." kata Ki Dundung Kali dalam hati.
"Karena... aku juga tak akan tinggal diam
bila dia mendadak menyerang. Dan ini ar-
tinya, urusan akan bertambah runyam."
Sementara itu Peramal Sakti berka-
ta, "Dadu Ganggang... kau muncul di sini
dengan membawa amarah tinggi! Apakah ini
tindakan yang baik?"
"Peramal Sakti! Aku tak punya si-
lang urusan denganmu! Sebaiknya kau jan-
gan campuri urusan ini!" bentak Dadu
Ganggang gusar. Tongkat yang dipegangnya
tahu-tahu amblas hingga setengah ke dalam
tanah.
Peramal Sakti melirik tongkat yang
amblas itu sejenak sebelum berkata, "Se-
jak dulu kita bertiga saling kenal dan
tak punya silang urusan! Sampai hari ini
pun aku akan menjaga keadaan agar tetap
terjadi seperti itu! Seperti yang dikata-
kan oleh Ki Dundung Kali... apakah tak
sebaiknya kau menjelaskan dulu urusan
ini?"
Dadu Ganggang memandang gusar pada
kakek yang selalu mengusap jenggot putih
panjangnya. Lalu dengan kepala diangkat
angkuh, dia buka mulut,
"Kalian tentunya telah tahu, kalau
aku memiliki seorang murid yang kujuluki
Demit Merah! Dan sekarang... dia telah
mampus dengan dada jebol!"
Baik Ki Dundung Kali maupun Peramal
Sakti sama-sama melengak kaget.
"Astaga! Siapakah yang melakukan-
nya?"
"Dundung Kali! Kau masih juga ber-
laku bodoh di hadapanku dengan bertanya
seperti itu!"
Ki Dundung Kali terdiam. Perasaan-
nya menjadi tidak enak tatkala dia memi-
kirkan sesuatu. Kemudian katanya,
"Sebaiknya kau jelaskan semua ini...."
Dadu Ganggang menggeram. Tetapi mu-
lutnya berbunyi juga,
"Beberapa hari lalu, muridku me-
ninggalkanku! Dia mengatakan akan menemui
Pengemis Pincang yang kuketahui adalah
muridmu! Aku tak banyak tanya apa yang
akan keduanya lakukan! Dan semalam aku
menemukan muridku sudah menjadi mayat di
Bukit Beringin!" Dadu Ganggang terdiam
sesaat lalu sambungnya lebih gusar, "Apa-
kah sekarang kau akan berlaku bodoh kare-
na merasa kesulitan untuk menebak siapa-
kah yang telah membunuh muridku?! Atau...
kaulah yang sebenarnya melakukannya?!"
Ki Dundung Kali menarik napas pen-
dek.
"Astaga! Tak kusangka kalau mulut-
nya menilaiku sedemikian keji," katanya
sambil menindih kegeramannya. Kemudian
sambungnya, "Aku sama sekali tak tahu
persoalan itu! Bahkan aku tak tahu kalau
muridku pergi bersama dengan Demit Merah,
yang entah ke mana tujuan mereka! Tapi...
Dadu Ganggang, mengapa kau menuduh murid-
ku yang melakukannya?!"
"Keparat! Kau mau membela muridmu
rupanya?!"
"Ketahuilah... sebelum kau datang
tadi, aku sudah tak menganggapnya sebagai
muridku!"
"Bualan kosong!"
"Kau belum menjawab pertanyaanku?!"
"Siapa orangnya yang memiliki ilmu
'Menggiring Awan Hitam" selain dirimu,
hah?! Sudah tentu muridmu memilikinya ju-
ga! Ilmu itu jelas sekali dapat terlihat,
karena mengarah pada jantung dan menje-
bolkan dada! Apa yang dialami muridku
bernasib demikian! Dan satu hal yang tak
bisa dipungkiri, kalau muridku pergi ber-
sama murid celakamu!"
Ki Dundung Kali tak buka suara.
Peramal Sakti yang berkata, "Kau
dan aku tahu tentang ciri ilmu
'Menggiring Awan Hitam'! Apakah kau sudah
menelitinya lebih lanjut?!"
Paras Dadu Ganggang memerah. Tata-
pannya menusuk tajam.
"Sejak tadi sudah kukatakan, jangan
turut campur urusan ini!" bentaknya din-
gin. "Tapi bila kau ingin ambil bagian...
aku tak pernah menghalangi!!"
Peramal Sakti tersenyum.
"Kita sedang mencoba menyelesaikan
keadaan ini! Perlu kau ketahui... ketika
aku datang, aku menjumpai Dundung Kali
dalam keadaan terkapar tanpa daya! Dia
telah diracuni seseorang yang ternyata
muridnya!"
Kepala orang berpakaian hitam pan-
jang itu menegak. Sorot matanya tetap ta-
jam. Tetapi keningnya berkerut.
"Diracuni oleh muridnya sendiri?
Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya dalam
hati. Tetapi di lain saat dia sudah men-
dengus gusar. Kemudian bentaknya, "Kau
pandai memutar omongan Peramal Sakti!"
"Aku mengatakan apa adanya! Baik-
lah... kuulangi lagi pertanyaanku tadi!
Apakah kau sudah meneliti bekas pukulan
yang menewaskan muridmu?!"
"Jangan mengajariku!"
"Aku hanya ingin mencari kebenaran
hingga urusan ini tak berkembang menjadi
kesalahpahaman! Kalau memang terbukti mu-
rid Dundung Kali yang melakukannya... itu
bukanlah tanggung jawab Ki Dundung Kali,
karena dia sudah tak dianggap lagi seba-
gai seorang murid! Berarti... semua tin-
dakannya sudah menjadi tanggung jawabnya
sendiri! Dan kalau bukan dia yang melaku-
kannya, kau telah salah tempat!"
"Peduli setan dia atau bukan yang
melakukannya! Aku hanya tahu kalau murid-
ku pergi bersama Karna Dirga!"
"Terlepas dari semua itu... jawab-
lah pertanyaan ku!"
Dadu Ganggang yang agak sedikit me-
redakan kemarahannya karena mendengar ka-
ta-kata Peramal Sakti sebelumnya, menga-
rahkan pandangannya ke tempat lain.
Lalu dengan suara angkuh dia berka-
ta, "Dada muridku jebol dan jantungnya
hangus! Sekujur tubuhnya pun menghitam!"
"Coba kau ulangi sekali lagi?" de-
sis Peramal Sakti dengan kening berkerut.
Serta merta Dadu Ganggang mengarah-
kan tatapan menusuk pada Peramal Sakti.
"Apakah kau mendadak menjadi tuli?! "
Peramal Sakti tersenyum. Di pihak
lain Ki Dundung Kali menghela napas lega.
Peramal Sakti berkata, 'Kau rupanya
belum mengetahui tentang kehebatan ilmu
"Menggiring Awan Hitam'. Atau... kau ber-
lagak sudah melupakannya?"
"Apa maksudmu dengan berlagak melu-
pakannya? ! "
"Sasaran dari ilmu 'Menggiring Awan
Hitam" memang dada yang akan jebol bila
terhantam! Kehebatan dari ilmu itu, akan
membikin sekujur tubuh orang yang terhan-
tam akan menghitam! Tetapi... jantungnya
tidak akan hangus kendati dada adalah sa-
saran utamanya...."
Mendengar penjelasan itu. Dadu
Ganggang tersentak kaget. Bahkan dia sam-
pai surut satu langkah.
"Astaga! Aku baru ingat akan hal
itu! Ilmu "Menggiring Awan Hitam' tak
akan membuat hangus jantung!" desisnya
dalam hati.
Peramal Sakti menyambung, "Berarti
sudah jelas kalau bukan bekas murid Ki
Dundung Kali yang melakukannya?"
Dadu Ganggang tak buka suara. Wa-
jahnya kini kelihatan sedikit malu.
Ki Dundung Kali berkata, "Kau sudah
mendengar kenyataan yang ada, bukan?
Dan kurasa... kau sudah salah tempat,
Sobat . . . . "
Kembali Dadu Ganggang merapatkan
mulutnya.
Dia hanya memandang keduanya ber-
gantian .
Saat lain dia berkata, tetapi sua-
ranya sudah tak sekeras tadi, "Kalau be-
gitu... siapakah yang telah membunuh mu-
ridku?"
"Itu yang harus diselidiki!"
"Lantas... di mana muridmu seka-
rang?"
"Setelah dia meracuniku... dia
menghilang tak tahu ke mana...."
"Dundung Kali I Aku ingin tahu apa
sebabnya muridmu meracuni mu?!"
Ki Dundung Kali menarik napas pen-
dek. Dia memandang Peramal Sakti seolah
meminta pendapat. Yang dipandang mengang-
gukkan kepala. Kemudian Ki Dundung Kali
segera menceritakan apa yang terjadi.
Dadu Ganggang terdiam setelah Ki
Dundung Kali selesai bercerita. Sementara
itu Peramal Sakti membatin,
"Berarti ramalanku yang mengatakan
kalau Pengemis Pincang dibantu seseorang,
adalah Demit Merah, yang ternyata murid
Dadu Ganggang."
"Dundung Kali... baru kali ini ku-
dengar tentang Taman Kematian! Tetapi...
tentang Kain Pusaka Setan telah kudengar
lama! Bila aku tak salah, kain penyebar
maut itu adalah milik si Durjana Kayangan
yang kalian kalahkan dulu! Lantas... apa-
kah maksud murid mu mengajak muridku per-
gi ke sana?!"
"Secara pasti aku tak bisa menja-
wabnya, karena aku sama sekali tidak ta-
hu! Dan sekarang, memang tak ada yang
perlu ditutupi lagi! Sekian lama aku dan
Peramal Sakti mencoba melupakan dan men-
gubur rapat-rapat tentang Kain Pusaka Se-
tan yang kami kuburkan di sebuah tempat!
Kami pula yang menamakan tempat itu den-
gan nama Taman Kematian! Karena khawatir
suatu ketika ada orang yang akan menemu-
kan tempat itu dan secara tak sengaja
mendapatkan Kain Pusaka Setan, maka kami
letakkan satu tenaga rahasia di sana!
Saat itu aku dan Peramal Sakti berdebat
cukup sengit, mengingat bila seseorang
tak sengaja mencabut tangkai mawar ber-
kuntum tiga, maka dia akan celaka. Tetapi
kala itu, kami memutuskan untuk tetap me-
lakukannya! Mengorbankan nyawa seseorang
lebih baik ketimbang puluhan orang akan
menjadi celaka akibat teror Kain Pusaka
Setan! Di saat Durjana Kayangan berhasil
kami bunuh, kami menemukan butiran ber-
lian yang sangat banyak! Kain Pusaka Se-
tan kami jadikan sebagai pembungkus ber-
lian-berlian itu!!"
Dadu Ganggang lagi-lagi terdiam.
Kakek berpakaian hitam ini sudah tak se-
keras tadi suaranya. Tetapi parasnya ma-
sih menyiratkan kemarahan tinggi.
Didengarnya lagi kata-kata Ki Dun-
dung Kali, "Besar dugaanku, kalau muridmu
lah yang diminta oleh murid ku untuk men-
cabut tangkai mawar berkuntum tiga! Kare-
na... muridmu tentunya memiliki ilmu
'Tapak Sepuluh'".
Dadu Ganggang masih terdiam. Napas-
nya terdengar agak memburu dengan dada
naik turun. Kemudian katanya pada Ki Dun-
dung Kali, "Dundung Kali! Kau tadi menga-
takan kalau kau sudah tak anggap lagi
Karna Dirga sebagai muridmu! Berarti...
membunuhnya pun tak jadi masalah yang be-
sar ! "
"Itu urusanmu! Hanya saja... menga-
pa kau hendak membunuhnya? Padahal kau
sudah tahu kalau bukan dia yang telah
membunuh muridmu?! Aku memang akan menca-
rinya untuk meminta pertanggungjawaban
atas perlakuannya, tetapi tidak untuk
membunuhnya!"
"Karena... dialah yang mengajak mu-
ridku untuk mencari Kain Pusaka Setan!"
"Aku yakin... Pengemis Pincang tak
pernah mengatakan soal Kain Pusaka Setan!
Karena bila dia mengatakannya, sudah ten-
tu Demit Merah akan merebutnya! Jadi du-
gaanku... muridmu dibujuknya dengan ber-
lian-berlian yang banyak itu!"
"Keparat! Kau hendak mengatakan mu-
ridku seorang yang tamak?!" bentak Dadu
Ganggang dengan mata seperti hendak me-
lompat keluar. "Aku tak berkata demi-
kian!"
Dadu Ganggang menggeram dingin.
"Dundung Kali! Kuharap semua kete-
ranganmu ini memang benar! Karena bila
kelak terjadi kesalahan dari ucapanmu
ini, jangan salahkan aku untuk datang ke-
padamu membawa urusan!"
Habis ucapannya, kakek itu mencabut
tongkatnya yang amblas ke tanah tadi.
Terdengar suara 'brol' yang cukup keras
dan tanah seketika membubung sepinggang-
nya.
Lalu dipandanginya Ki Dundung Kali
dan Peramal Sakti bergantian. Kejap beri-
kutnya, dia sudah bergerak dengan langkah
lebar dan dengusan keras. Saat melangkah,
terbayang ketika dia menemukan mayat mu-
ridnya yang kemudian dikuburnya. Dan se-
mua itu membuatnya semakin gusar.
Sepeninggal Dadu Ganggang, Ki Dun-
dung Kali berkata, "Sobat... ramalan mu
memang luar biasa. Kau mengatakan akan
terjadi urusan yang besar dan runyam.
Urusan pertama sudah datang dibawa Dadu
Ganggang. Bila saja atau kau salah bica-
ra, tak mustahil akan terjadi kesalahpa-
haman
Kakek berkuncir kuda itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. Sambil mengu-
sap-usap jenggot putih panjangnya, dia
berkata, "Muridmu memang tak pantas di
maafkan. Bila aku memiliki murid seperti
itu, membunuhnya pun aku tak menyes-
al .... "
Ki Dundung Kali tak menjawab.
"Ku benarkan apa yang di inginkan
oleh Dadu Ganggang. Tetapi kesalahan tak
sepenuhnya berada pada muridmu. Kesalahan
justru berpulang pada kita, kau dan aku,
yang telah menceritakan tentang Kain Pu-
saka Setan yang membungkus berlian-
berlian milik Durjana Kayangan pa-
danya . . . . "
Ki Dundung Kali perlahan-lahan me-
narik napas panjang.
"Sobat... aku bertanggung jawab se-
penuhnya atas urusan ini. Tetapi seperti
yang telah kau ramalkan, kalau Kain Pusa-
ka Setan tak lagi berada di tangan murid
ku. Aku justru punya dugaan, kalau orang
yang telah merebut Kain Pusaka Setan itu-
lah yang telah membunuh murid Dadu Gang-
gang . . . . "
Peramal Sakti mengangguk, tetap
sambil mengusap-usap jenggot putihnya.
"Aku pun punya pikiran yang sama.
Mengingat ciri khas dari Kain Pusaka Se-
tan bila telah mengenai korbannya. Tubuh
korbannya akan hangus seluruhnya."
Habis itu tak ada yang mengeluarkan
suara. Sehelai daun gugur melayang dan
jatuh di atas tanah. Peramal Sakti menen-
gadah. Memandang ke langit yang cerah.
Tanpa menoleh pada kakek berpakaian
merah penuh tambalan itu, dia berkata,
"Dundung Kali... kita berangkat seka-
rang
* * *
ENAM
BOMA Paksi yang mengikuti ke mana
perginya Pengemis Pincang yang sedang
mengejar si Bayangan Kuning, menghentikan
langkahnya di sebuah persimpangan. Sejak
tadi malam dia sudah tak lagi melihat so-
sok Pengemis Pincang maupun si Bayangan
Kuning.
Si Bayangan Kuning yang diduga oleh
murid Dewa Naga ini adalah seorang gadis
berparas jelita, ternyata memiliki ilmu
lari yang luar biasa. Karena dalam waktu
singkat saja dia sudah berhasil mening-
galkan Pengemis Pincang yang menghentikan
larinya sembari menyumpah-nyumpah. Raja
Naga yang berada di belakangnya, tak mau
menghentikan larinya. Dia tak menghirau-
kan Pengemis Pincang. Anak muda bersisik
coklat dari jari jemari hingga sikunya
itu terus berusaha menyusul si Bayangan
Kuning.
Namun sampai hari menjadi siang se-
perti ini, dia pun kehilangan jejak orang
yang dikejarnya.
Raja Naga menarik napas panjang.
Matanya yang bersinar angker dan dapat
membuat orang ciut bila menatapnya, di-
edarkan ke sekelilingnya.
"Heemm... ke mana perginya gadis
berpakaian kuning itu? Larinya seperti
setan! Sungguh luar biasa!" desisnya pe-
lan. Lalu dia melangkah ke depan. Indera
penglihatan dan pendengarannya di tajam-
kan. "Pengemis Pincang bisa jadi sudah
menderita batin sekarang!
Dia yang berusaha membujuk Demit
Merah dan berlaku bodoh dengan bersikap
mengalah dan ketakutan, kini harus gigit
jari karena benda yang diinginkannya te-
lah direbut orang. Ah, menilik kedahsya-
tan Kain Pusaka Setan... aku khawatir ka-
lau si gadis berpakaian kuning akan mem-
pergunakannya untuk tindakan makar.
Atau... dia bertindak atas suruhan orang
lain? Ah... aku tak bisa menduga-duga se-
belum mendapat kepastian."
Baru saja selesai ucapannya. Raja
Naga tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Se-
pasang matanya yang tajam memandang ke
depan. Dua sosok tubuh sedang melangkah
mendekatinya. Yang seorang tertawa-tawa
manja, sementara yang seorang lagi sedang
berkata,
"Wah! Kau ini pelit amat?! Masa'
aku mencowel pantatmu yang mumbul itu sa-
ja tidak boleh? Atau... kau ingin gunung
kembarmu itu yang kucowel?!"
"Ih! Kau ini! Seharusnya berkaca
dulu! Lihat wajahmu yang sudah keriputan
seperti itu!"
"Busyet! Kau ingin kubantu atau ti-
dak? Kalau ingin... ayo, sinikan pantat
mumbulmu itu! Masih untung kucowel pakai
tangan! Coba kalau pakai.."
"Pakai apa?"
"Eh! Nantang ya?! Kucowel gunungmu
saja deh! Wadaouuuuww! Lembut amat! Lagi,
lagi ah!"
"Sttt! ! Kau tidak lihat di depan
itu? Malu!"
Raja Naga yang memperhatikan ting-
kah laku kedua orang yang baru datang
itu, mengerutkan keningnya. Matanya yang
bersinar angker memandang tak berkedip.
Kakek bertelanjang dada yang mem-
perlihatkan tulang belulang tubuhnya,
langsung melotot ke arahnya.
"Busyet! Hei, anak muda! Menyingkir
kau dari sini! Kami ingin pakai tempat
ini untuk bersenang-senang!"
Boma Paksi tak buka mulut. Keangke-
ran matanya sangat menusuk.
Melihat si pemuda di hadapannya tak
menyahut, si kakek berambut putih acak-
acakan yang beriap sudah hendak membentak
lagi. Mulutnya memang sudah membuka, te-
tapi tak ada suara yang keluar. Justru
kedua matanya yang membelalak lebar.
"Gila! Tatapannya! Seperti ada satu
kekuatan yang dapat mempengaruhi seseo-
rang? ! "
Sementara itu, perempuan setengah
baya yang berwajah jelita dan bertubuh
sintal laksana seorang penari jaipong,
juga mengalami hal yang sama. Dia tak
berkedip memandang sinar angker dari mata
pemuda berompi ungu di hadapannya.
"Seumur hidupku... baru kali ini
kulihat tatapan yang sangat mengerikan
seperti itu. Dan kedua lengannya sebatas
siku? Astaga! Bersisik coklat yang agak
terang! Gila! Padahal parasnya sedemikian
tampan! Tetapi sorot matanya sangat ang-
ker menusuk!"
Si kakek bertelanjang dada yang be-
berapa saat terperangah melihat sorot ma-
ta angker milik pemuda di hadapannya,
mendadak mendengus.
"Anak muda! Apakah kau tuli dan bi-
su hingga tak bisa mendengar dan menjawab
pertanyaan orang?! Atau... kau terpesona
melihat tubuh indah dengan buah dada se-
besar pepaya ini?!"
Raja Naga mendengus dingin.
"Kakek tanpa baju! Kau katakan hen-
dak mencari tempat untuk bersenang-
senang, silakan! Tapi jangan usik kete-
nanganku I "
"Astaga! Suaranya begitu dingin!
Sedingin tatapan angkernya!" desis si ka-
kek bertelanjang dada. Tetapi karena yang
berucap itu seorang anak muda yang baru
dikenalnya, si kakek sudah menggeram,
"Setan bersisik! Lidahmu tajam juga bila
bicara! Menyingkir dari sini! Menyingkir
kataku!!"
Raja Naga tak bergeming dari tem-
patnya. Murid Dewa Naga ini memang memi-
liki sifat yang keras. Dia sudah tak suka
melihat kemunculan kedua orang itu diha-
dapannya. Terlebih lagi si kakek sudah
melontarkan ucapan yang tak enak diden-
gar .
Merasa didiamkan orang, mendidih
darah kakek tanpa baju itu. Tetapi dia
urung bicara, karena perempuan yang tubuh
sintalnya ditutupi kain panjang berwarna
keemasan yang terbuka sebatas bagian ten-
gah payudara besarnya, yang mau tak mau
menyembul keluar, sudah buka mulut,
"Anak muda... maafkan sikap saha-
batku ini. Dia memang sudah senewen bila
hendak menggeluti tubuhku. Jadi... dia
bersikap seperti itu... Harap kau maklumi
saj a ...."
Ucapan bernada kotor dari si perem-
puan yang puncak dan belahan bukit gem-
palnya dipamerkan tanpa risih, membuat
Raja Naga mendengus.
"Mungkin kau tak pernah punya pa-
kaian yang lengkap, hingga kau membiarkan
mata leluasa memandang tubuhmu!"
"Kunyuk!" si kakek yang membentak.
"Mulutmu bicara begitu, tetapi hatimu ju-
stru mengharapkan agar dia mau menurunkan
lagi sedikit pakaiannya! Hingga kau dapat
melihat semuanya dengan jelas!"
Raja Naga mengentakkan rahangnya.
"Manusia-manusia cabul ini akan bi-
kin runyam urusan. Lebih baik aku me-
nyingkir dari sini
Memutuskan demikian, murid Dewa Na-
ga ini berkata, "Kurasa sudah cukup kita
buka percakapan! Kalian bisa meneruskan
apa yang kalian inginkan?!"
"Apakah kau tak ingin ambil ba-
gian?" ucap si perempuan tiba-tiba. Dia
maju dua langkah ke muka. Saat melangkah,
terlihat belahan panjang pakaian yang di-
kenakannya sebatas pangkal paha sedikit
membuka. Bukan hanya sepasang paha gempal
halus mulus yang terlihat, sesuatu yang
ditutup kain warna merah jambu sekilas
terpampang di mata Raja Naga.
Bukannya Raja Naga yang menyahut,
si kakek sudah berseru, "Lara Dewi! Apa-
apaan kau mengajaknya untuk bergabung,
hah?! Apakah kau tidak puas dengan apa
yang kuberikan?!"
Perempuan mesum berpayudara besar
yang gempal dan mulus itu, mencolek dagu
si kakek yang ditumbuhi jenggot jarang
dan kasar.
"Mengapa harus berucap keras seper-
ti itu? Siapa bilang aku tak puas dengan
apa yang kau berikan?!"
Si kakek tertawa senang. Matanya
dimeram-pejamkan menikmati colekan Lara
Dewi. Lalu dengan nakalnya, ganti dia
yang mencolek. Bukan dagu Lara Dewi yang
menggantung indah, melainkan belahan bu-
kit kembarnya.
"AmboooiiiII" serunya kegirangan.
Raja Naga mendengus. Dia tak mau
lagi melihat pemandangan yang menjengkel-
kannya. Tanpa bicara apa-apa, pemuda yang
kedua tangannya sebatas siku bersisik
coklat itu sudah berbalik dan melangkah.
"Tunggu I"
Ucapan si perempuan mesum itu mem-
buat Raja Naga menghentikan langkahnya.
Tetapi tidak memutar tubuhnya.
"Kalian memintaku menyingkir dari
sini, tetapi menahanku sekarang! Ada uru-
san apa lagi?!"
"Anak muda... kau tak perlu gusar
seperti itu? Sahabatku ini memang suka
kasar kalau bicara! Tetapi sesungguhnya
dia baik hati, terbukti mau membantuku
untuk menyelesaikan urusan...."
"Aku bukanlah orang yang suka mem-
bantu dengan imbalan sesuatu! Tetapi buat
kakek tanpa baju itu, dengan imbalan tu-
buhmu, melompat ke jurang paling dalam
pun akan dilakukannya seperti kerbau di-
cucuk hidung!"
"Ih! Mengapa bicaramu seketus itu?"
sahut Lara Dewi sambil tersenyum. "Aku
tak meminta bantuanmu... tetapi aku ber-
harap kau dapat menjawab pertanyaan-
ku .... "
"Aku bukanlah orang yang pantas di-
jadikan sebagai tempat bertanya!"
Perempuan berpakaian keemasan yang
terbuka hingga pangkal paha dan bila me-
langkah menampakkan sesuatu yang tersem-
bunyi yang dibalut dengan kain merah jam-
bu ini, tak mempedulikan sahutan Raja Na-
ga.
Dia mengajukan pertanyaan, "Perta-
ma. . . siapakah namamu? Melihat gayamu
tentunya kau adalah orang rimba persila-
tan. Berarti kau punya julukan .."
"Tak semua orang rimba persilatan
punya julukan! Maaf... masih ada yang ha-
rus kuselesaikan....
"Jawab pertanyaannya bila kau masih
ingin melihat matahari esok pagi!!" suara
tajam dan keras itu menggelegar.
Raja Naga mengertakkan rahangnya.
Lalu perlahan-lahan berbalik. Terlihat
sisik-sisik coklat yang terdapat pada ke-
dua tangannya sebatas siku, agak menyala
terang.
"Aku tak pernah menginginkan urusan
menjadi runyam!"
"Bagus! Jawab pertanyaannya!" ben-
tak si kakek tajam. Matanya mencoba mem-
balas tatapan angker Raja Naga. Tetapi
tiga tarikan napas berikutnya dia sudah
mengarahkan pandangannya ke bagian lain
dengan mulut berkemak-kemik gusar.
"Bila kalian memaksa juga, aku akan
menjawab. Namaku Boma Paksi! Aku dijuluki
Raj a Naga!"
"Huh! Julukan keren tetapi aku ya-
kin hanya kosong melompong!!" sahut si
kakek.
Raja Naga tak mempedulikannya.
"Apa yang kalian inginkan sudah ku-
lakukan ! Berarti.. . aku..."
"Tunggu!" seru Lara Dewi sambil
tersenyum. Dadanya sengaja digoyangkan.
Payudaranya yang nampak sesak karena kain
panjang keemasan yang dikenakannya begitu
kelat, sedikit bergerak seolah mencari
ruang yang lebih terbuka. Gerakan payuda-
ranya itu sungguh menggiurkan.
Si kakek sudah menjulurkan lidah-
nya. Lalu dengan nakal menyelipkan tangan
kanannya ke balik bukit kembar sebelah
kiri. Kemudian ditariknya dan segera di-
cium-ciumnya.
"Wangi...."
Lara Dewi tak menghiraukan tindakan
si kakek. Dia berkata pada Boma Paksi,
"Raja Naga... aku ingin bertanya lagi pa-
damu! Kenalkah kau dengan orang yang ber-
juluk Peramal Sakti dan Ki Dundung Kali?"
"Kedua nama itu pernah kudengar da-
ri mulut Pengemis Pincang dan Demit Me-
rah. Tetapi aku belum pernah berjumpa
dengan keduanya. Hemmm... ada maksud apa
perempuan mesum itu menanyakan mereka?"
Habis membatin demikian, pemuda
tampan bersorot mata angker ini mengge-
leng, "Aku tak mengenal kedua orang yang
kau sebutkan I"
"Kalau begitu... bila kau bertemu
dengan keduanya atau salah seorang dari
mereka, maukah kau untuk menyampaikan pe-
sanku?"
"Bila aku berjumpa dengan mere-
ka. ... " "Katakan... aku Lara Dewi dan sa-
habatku ini Setan Gemolong... datang un-
tuk mencari keduanya...."
"Dengan pertanyaanmu tadi, aku su-
dah tahu kalau kau dan kakek tanpa baju
itu sedang mencari mereka!"
Sepasang mata Lara Dewi menyipit
mendengar ejekan pemuda di hadapannya.
"Aku belum selesai bicara!" sua-
ranya mendadak menggelegar.
"Bila kau belum selesai, silakan
kau teruskan!"
"Katakan pada mereka... aku akan
menuntut balas tindakan yang mereka laku-
kan terhadap kakak kandungku, si Durjana
Kayangan!"
Raja Naga tak segera bicara. Tata-
pannya tetap angker pada keduanya.
Setan Gemolong mendesis, "Lara De-
wi. . . sudahlah... untuk apa kau berkata
demikian pada tikus got itu! Ayo! Aku su-
dah tidak tahan! Barangku sudah turun
naik nih!"
Lara Dewi melirik, tatapannya ta-
jam.
"Bila saja aku tak membutuhkan ban-
tuannya, mana sudi aku diperlakukan se-
perti ini!" geramnya dalam hati.
Lalu katanya, "Apakah kau tak bisa
tahan sedikit saja?"
"Bagaimana aku bisa tahan kalau gu-
nung kembar itu pun sudah melambai-lambai
padaku?!"
Lara Dewi tersenyum dingin. Kemu-
dian mengarahkan pandangannya pada pemuda
tampan di hadapannya.
"Raja Naga... mengapa kau tak bica-
ra?"
"Lara Dewi... aku tak mau campuri
urusanmu! Karena, aku sendiri masih punya
urusan yang harus kuselesaikan!"
Perempuan setengah baya yang masih
memiliki tubuh sintal dan padat itu men-
gembangkan senyuman sinis.
"Kau memang terlalu banyak tingkah.
Raja Naga! Tindakanmu sudah kelewat ba-
tas ! "
"Aku tak pernah menyukai orang-
orang yang bersikap tanpa memakai otak!"
"Keparat!! Setan Gemolong! Bila kau
ingin meniduri ku lagi... bunuh pemuda
itu! "
Kakek tanpa baju itu segera men-
gangkat kepala.
"Bagus! Sejak tadi aku memang sudah
ingin membunuhnya!"
Kejap berikutnya, tangan kanannya
sudah didorong ke depan. Seketika mengge-
brak gelombang angin memutar yang menye-
ret tanah dan ranggasan semak. Suara ber-
gemuruh seketika menggebah. Dan kejap itu
pula gelombang angin memutar tadi menge-
luarkan letupan. Seperti ada tenaga yang
menyentak, gelombang angin itu naik ke
atas. Menyebar dan meluruk turun dengan
ganasnya laksana air hujan!
** *
TUJUH
KALAU Lara Dewi tersentak kagum
disertai decakan. Raja Naga menjerengkan
mata. Kepalanya didongakkan, melihat ge-
muruh angin yang meluruk turun laksana
hujan. Dengan kecepatan luar biasa, pemu-
da yang lengannya coklat itu menghindar
ke samping kanan.
Letupan terdengar berulang-ulang,
disertai muncratan tanah ke udara silih
berganti. Dan yang mengejutkan, serangan
yang dilancarkan Setan Gemolong ternyata
tak berhenti di sana. Dari muncratan ta-
nah yang menghalangi pandangan, tiba-tiba
menyeruak gelombang angin yang menyusur
tanah!
"Hemm... si kakek rupanya memang
ingin membunuhku!" desis Raja Naga dengan
tatapan yang kian angker. Kejap itu juga
dia menghentakkan kaki kanannya di atas
tanah.
Terdengar suara letupan kecil, dis-
usul dengan gelombang tanah yang bergerak
dahsyat dengan memperdengarkan suara ke-
ras. Bertemunya angin yang menyusur tanah
dengan tanah yang bergerak itu mengaki-
batkan letupan keras terjadi.
Blaaaammm!!
Tanah di mana bertemunya dua tenaga
dahsyat itu seketika rengkah dan muncrat
setinggi satu tombak! Tatkala sirap kem-
bali di atas tanah, terlihat sosok Raja
Naga agak surut satu langkah ke belakang.
Tubuhnya
berdiri kaku. Sorot matanya kian
angker dan sisik-sisik coklat sebatas si-
kunya menjadi lebih terang!
Di pihak lain. Setan Gemolong tak
bergeser dari tempatnya. Tetapi tubuh ka-
kek tanpa baju ini bergetar hebat. Di
kertakkan kedua tangannya. Lamat-lamat
terlihat getaran pada tubuhnya melemah.
Matanya memandang tajam ke depan.
Sementara itu Lara Dewi diam-diam
kembangkan senyum.
"Dengan kemampuan yang dimiliki Se-
tan Gemolong, aku yakin kalau dua musuh
besarku yang telah membunuh kakak kan-
dungku akan mampus dengan mudah! Berarti,
tak sia-sia ku korbankan tubuh mulus ku
ini padanya...."
Tatapan tajam Setan Gemolong terus
mengarah pada Raja Naga yang terdiam den-
gan sorot mata angker. Lamat-lamat terli-
hat mulut si kakek berambut acak-acakan
itu membuka.
"Aku mengenal serangan yang kau la-
kukan, Anak muda!"
"Bagus kalau kau mengenalnya!"
"Hanya seorang saja di muka bumi
ini yang memiliki ilmu 'Barisan Naga
Penghancur Karang'! Katakan padaku, ada
hubungan apa kau dengan kakek tukang ken-
tut berjuluk Dewa Naga?!"
Kalau Raja Naga hanya perlihatkan
senyuman sinis, kepala Lara Dewi menegak.
"Gila! Apakah Setan Gemolong tak
salah berucap? Dewa Naga? Bukankah dia
kakek penghuni Lembah Naga yang namanya
begitu disegani oleh lawan maupun ka-
wan? ! "
"Setan Gemolong!" seru Boma Paksi.
"Bila kau bertanya demikian, sudah tentu
aku akan menjawabnya! Dewa Naga adalah
guruku! Kau puas dengan jawabanku itu?!"
Di luar dugaan Setan Gemolong ju-
stru mengeluarkan makian keras. "Terku-
tuk! Lama kucari tak pernah berjumpa! Dan
sekarang... aku berjumpa dengan muridnya!
Bagus! Kau harus membayar semua hutang-
hutang gurumu itu!"
Belum habis makiannya terdengar,
Setan Gemolong sudah melompat ke muka.
Tangan kanan kirinya dikibaskan berulang-
ulang. Gelombang angin mengerikan menda-
hului gebrakannya.
Raja Naga terdiam sesaat. Murid De-
wa Naga ini memperhitungkan dulu apa yang
akan terjadi. Kejap lain dia sudah men-
gangkat kaki ke samping kiri, bersamaan
dengan itu didorong kedua tangan kanan
kirinya.
Blaaamm!
Lagi letupan keras terjadi. Raja
Naga goyah dan surut ke belakang. Pada
saat itu Setan Gemolong sudah meluncur ke
depan.
Plaak!
Dalam keadaan agak goyah Boma Paksi
masih dapat menahan jotosan Setan Gemo-
long .
Sesaat tubuhnya agak goyah. Di se-
berang, Setan Gemolong merasakan tangan
kanannya yang membentur tangan kanan si
pemuda yang bersisik coklat hingga siku
itu agak bergetar.
"Astaga! Tangannya memiliki satu
kekuatan tinggi I
Dan nampaknya kekuatan itu bukan
berasal dari tenaga dalamnya! Melain-
kan... hemm, bisa jadi berasal dari si-
sik-sisik coklat sebatas sikunya! Kepa-
rat! Aku harus berusaha untuk tidak mem-
bentur kedua tangannya!"
Kemudian dengan gerakan yang sukar
diikuti mata, Setan Gemolong melancarkan
serangan kembali!
Buk!
Jotosannya sudah menghantam perut
Raja Naga yang membuatnya terbanting di
atas tanah!
"Ternyata kau belum sepenuhnya men-
guasai seluruh ilmu Dewa Naga! Tetapi...
tak bisa membunuh kakek itu membunuh mu-
ridnya pun tak percuma!" seru Setan Gemo-
long seraya menerjang kembali. Di mengu-
langi lagi serangan yang pertamanya tadi.
Raja Naga tak mau lagi menghindar.
Biarpun perut nya terasa mulas, tetapi
pemuda berompi ungu itu sudah cepat ber-
diri kendati agak goyah. Begitu gelombang
angin berputar tadi mendadak naik ke
atas, menyebar dan turun laksana hujan.
Raja Naga sudah mengangkat kedua tangan-
nya !
Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan
sudah dilepaskan!
Letupan keras beberapa kali terden-
gar di udara. Habis menahan serangan la-
wan, sosok Raja Naga tiba-tiba saja men-
celat ke arah Setan Gemolong. Gerakannya
kail ini benar-benar sukar diikuti mata,
seperti menyusup di antara kegelapan.
Setan Gemolong masih sempat melihat
gerakan lawan, namun sebelum dia melaku-
kan tindakan apa apa tahu-tahu...
Desss ! !
Tubuhnya sudah terhuyung ke bela-
kang. Bila saja dia tidak segera menje-
jakkan kaki kanannya di atas tanah, tak
mustahil tubuhnya akan terbanting.
"Hamparan Naga Tidur'!" serunya
dingin.
Di pihak lain. Raja Naga agak goyah
kembali. Dia tergontai-gontai ke bela-
kang .
Mendadak terdengar suara 'breeet'!
yang cukup keras. Suara yang berasal dari
kibasan kain panjang Lara Dewi. Sosoknya
sendiri sudah melesat ke arah Raja Naga!
Merasakan adanya gelombang angin
yang siap menghantamnya, pemuda bersisik
coklat itu berusaha untuk mempertahankan
keseimbangannya. Dia meliuk sedikit sebe-
lum memapaki jotosan Lara Dewi.
Plak! Plak!
Benturan tadi itu membuat Lara Dewi
terkejut. Karena tangan kanan kirinya di-
rasakan ngilu. Tetapi dia cepat melancar-
kan serangan susulan.
Raja Naga cepat merundukkan kepa-
lanya karena kaki kiri Lara Dewi sudah
melayang ke arah kepalanya.
Wuuuttt!
Kesiur angin yang ditimbulkan dari
tendangan kaki kiri si perempuan menerpa
wajah Boma Paksi yang seketika merasa pe-
rih . Lalu...
Buk!
Perutnya kembali terhantam. Tendan-
gan kaki kanan Lara Dewi sudah mampir di
sana!
"Lara Dewi! Tahan! Dia adalah ba-
gianku!" Perempuan berkain keemasan yang
perlihatkan sebagian besar bagian atas
buah dadanya, menghentikan gerakannya.
Dia mengerling manja pada Setan Gemolong.
"Kau akan membantuku untuk membunuh
Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti! Seka-
rang aku pun harus membantumu!"
"Dengan imbalan tubuh yang sintal
padat itu, sudah cukup bagiku sebagai
alasan untuk membantumu! Menyingkir!"
Lara Dewi hanya tersenyum, lalu me-
langkah agak menjauh. Saat melangkah,
kain panjang ke emasannya berkibar dan
memperlihatkan lagi sesuatu yang ditutupi
kain merah jambu.
Di pihak lain untuk kesekian ka-
linya Raja Naga merasa sekujur tubuhnya
agak nyeri. Walaupun dia merasakan kenye-
rian itu, tetapi tatapan angkernya tetap
bersorot tajam.
"Mereka menginginkan nyawa Ki Dun-
dung Kali dan Peramal Sakti! Aku memang
belum mengenal keduanya! Kakak kandung
Lara Dewi yang berjuluk Durjana Kayangan,
tentunya punya urusan yang sangat serius
dengan kedua orang itu! Hemm... apakah
ini berkaitan dengan Taman Kematian?
Atau... berhubungan langsung dengan Kain
Pusaka Setan?!"
Selagi pemuda gagah dari Lembah Na-
ga itu membatin. Setan Gemolong sudah
membentak, "Raja Naga! Bertahun-tahun la-
manya aku mencari gurumu yang pernah me-
nyakiti hatiku! Karena perempuan yang ku-
cintai justru berpaling padanya!"
Mendengar seruan itu membuat kening
Raja Naga berkerut.
"Lagi-lagi urusan cinta! Tak ku-
sangka kalau Guru juga mengalami persoa-
lan itu!" desisnya dalam hati. Kemudian
katanya, "Sebagai seorang murid, sudah
tentu aku harus membela guruku sendiri!
Nama besar guruku harus kujunjung tinggi!
Setan Gemolong, kau katakan kalau perem-
puan yang kau cintai justru beralih pada
guruku! Bukankah itu menandakan kalau pe-
rempuan yang kau cintai tidak mencintai-
mu? ! "
"Itu dikarenakan kehadirannya di
saat aku sedang berusaha mendapatkan cin-
ta kasihnya!" desis Setan Gemolong din-
gin. Wajahnya tegang kaku.
"Kalau begitu, tak seharusnya kau
merasa gusar dan mendendam pada guruku,
karena toh perempuan itu tak mencintaimu!
Kalaupun kemudian perempuan itu berpaling
cintanya pada guruku, itu adalah haknya!"
"Tetapi gurumu justru menyakiti ha-
tinya ! "
"Apa maksudmu dengan menyakiti ha-
tinya?!" sahut pemuda yang kedua tangan
sebatas sikunya itu bersisik coklat den-
gan kening berkerut. Tatapannya tetap
angker menusuk.
Setan Gemolong menggeram dingin.
Sepasang rahangnya kaku. Kedua tangannya
dikepalkan kuat-kuat. Lalu dengan suara
terdengar seperti dari dalam sumur dia
menyahut, "Karena... ternyata gurumu ti-
dak mencintainya!"
"Astaga! Benar-benar bikin pusing
urusan masa lalu guruku ini!" dengus Raja
Naga dalam hati. Lalu serunya, "Itu pun
haknya, bukan?!"
"Tidak! Itu bukanlah haknya, tetapi
itu adalah sebuah kesalahan! Perempuan
yang kucintai berpaling dari ku karena
kehadirannya! Dan hingga saat ini merana
karena cintanya justru ditolak Dewa Na-
ga!"
"itu artinya... kau mempunyai ke-
sempatan untuk mendapatkan cintanya kem-
bali?! "
"Bila mudah kulakukan, sudah tentu
aku tak menyimpan dendam berkepanjangan
pada guru mu! tetapi... justru dengan
keadaan yang dialaminya, perempuan yang
kucintai semakin dingin dan menjauh!"
sentak Setan Gemolong keras.
Raja Naga tak bicara lagi. Diperha-
tikannya Setan Gemolong dalam-dalam.
"Tak kusangka kalau guru punya ma-
salah cinta yang rumit. Setan Gemolong
mencintai si perempuan yang tak mencin-
tainya, tetapi malah mencinta' guruku.
Tetapi justru guruku yang tak mencintai
perempuan itu. Ah... bikin pusing kepala
saj a ...."
Terdengar suara rahang dikertakkan.
"Kau harus membayar tindakan gurumu
itu!
Kejap lain Setan Gemolong sudah me-
nerjang ke arah Raja Naga. Yang diserang
segera melayani serangannya. Sadar kalau
lawan setingkat dengan gurunya, Boma Fak-
si melipatgandakan tenaga dalam dan me-
lancarkan serangan-serangan berbahaya.
Tidak tanggung lagi, dia sudah mengelua-
rkan ilmu 'Naga Mengamuk'!
Suara gerengannya terdengar keras.
Melihat perubahan angin yang dah-
syat tatkala si pemuda melancarkan seran-
gannya, Setan Gemolong pun melipatganda-
kan kecepatan dan kekuatannya.
Apa yang terjadi kemudian sungguh
mengejutkan. Pepohonan di sana bertumban-
gan terhantam tangan kanan kiri Boma Pak-
si yang memang memiliki kekuatan tinggi.
Bahkan kedua lengannya itu dapat menahan
senjata hebat sekalipun. Parasnya mere-
gang tegang. Tatapan matanya dingin dan
bertambah dingin. Sisik-sisik coklat yang
terdapat pada kedua tangan sebatas si-
kunya itu semakin terang menyala, berki-
lat-kilat .
Lara Dewi yang melihat serangan
mengerikan dari pemuda bersisik, mau tak
mau berdebar juga dadanya.
"Hebat! Aku bisa memperkirakan ka-
lau anak muda bersisik coklat itu mampu
mengimbangi serangan Setan Gemolong. Ka-
laupun gagal, mungkin dia kurang pengala-
man saja untuk menyiasati kelicikan Setan
Gemolong! Hemm... aku tak ingin kakek itu
mampus sebelum apa yang kuinginkan terca-
pai! Sebaiknya... dia ku bantu saja!"
Memutuskan demikian, perempuan ber-
payudara besar itu sudah melesat ke de-
pan. Buah dadanya bergoyang-goyang meng-
giurkan. Kalau biasanya Setan Gemolong
sudah datang usilnya, kali ini dia tak
mempedulikannya.
Menghadapi dua serangan yang dilan-
carkan sekaligus, mau tak mau membuat Ra-
ja Naga agak kewalahan. Menghadapi Setan
Gemolong saja belum tentu dia dapat men-
gatasinya. Kali ini sudah disusul dengan
serangan yang tak kalah berbahayanya dari
Lara Dewi!
Amukan ganas dari ilmu 'Naga Menga-
muk' membikin suasana menjadi kacau ba-
lau. Ditingkahi dengan serangan berbahaya
dari Setan Gemolong dan Lara Dewi, sema-
kin membuat tempat itu bertambah kacau.
Bahkan tak ubahnya sebuah kiamat
kecil sudah melanda tempat itu.
Pepohonan bertumbangan disertai
ranggasan semak yang berhamburan. Tanah
sudah muncrat melebihi dua tombak. Kenda-
ti pandangan sesekali terhadang oleh ta-
nah-tanah itu tetapi serangan-serangan
berbahaya yang masing-masing dilancarkan
secara gencar tak berkurang.
Raja Naga berpikir, "Aku bisa mati
konyol menghadapi dua serangan berbahaya
sekaligus! Sebaiknya aku segera menying-
kir dari sini! Urusan Kain Pusaka Setan
yang direbut oleh si bayangan kuning dari
tangan Pengemis Pincang, masih sedikit
yang kuketahui! Aku memperkirakan justru
bahaya lebih dahsyat akan terjadi yang
diakibatkan Kain Pusaka Setan!"
Memutuskan demikian. Raja Naga me-
mikirkan cara yang tepat untuk loloskan
diri. Dia pun sudah lepaskan ilmu
'Barisan Naga Penghancur Karang" yang se-
makin membuat tanah berhamburan ke udara.
Sesekali dia juga melepaskan ilmu
'Hamparan Naga Tidur' yang kemudian dis-
ertai teriakan tertahan baik dari Setan
Gemolong maupun Lara Dewi.
Bahkan dia sudah memutar tubuhnya
laksana pusaran baling-baling. Tanah ma-
kin berhamburan ke udara dan menghalangi
pandangan. Sadar bahaya yang akan muncul
tiba-tiba, membuat Setan Gemolong dan La-
ra Dewi mundur. Mereka menunggu serangan
berikutnya dengan kesiagaan penuh.
Tetapi sampai hamburan tanah itu
sirap kembali dan tak menghalangi pandan-
gan lagi, tetap tak ada serangan yang da-
tang. Menyusul terdengar geraman Setan
Gemolong sambil menghentakkan kaki kanan-
nya yang seketika amblas ke tanah!
"Terkutuk! Terkutuk! Pemuda itu cu-
kup cerdik! Dia sengaja membikin tanah-
tanah sialan itu berhamburan hingga meng-
halangi pandangan! Maksudnya sudah jelas,
agar dia dapat mempergunakan kesempatan
untuk meloloskan diri!"
Lara Dewi sesungguhnya juga kesal
dengan lolosnya pemuda bersisik naga itu.
Tetapi di lain pihak dia sudah tersenyum.
"Aku tak punya urusan dengan Raja
Naga maupun Dewa Naga. Urusanku adalah
untuk membunuh Ki Pundung Kali dan Peram-
al Sakti. Dengan kemunculan Raja Naga,
sudah memberikan bayang-bayang yang jelas
kalau dengan bantuan Setan Gemolong selu-
ruh urusanku akan tuntas dengan mudah.
Karena kesaktian Setan Gemolong sudah
terbukti sekarang. Bila aku sendiri, be-
lum tentu aku dapat mengatasi pemuda ber-
sisik coklat itu...."
Habis membatin demikian, dideka-
tinya Setan Gemolong yang masih dilanda
kemarahan.
"Kau tak perlu gusar lagi... Biar-
kan pemuda itu pergi!"
Bila biasanya Setan Gemolong akan
langsung timbul usilnya, kali ini dia
hanya melirik dingin. Tetapi tetap saja
pandangannya menghujam pada bongkahan
'bola-bola' indah yang menggantung manja
itu.
Lara Dewi menggayut pada bahunya.
"Dengan kepergiannya, malah kau tak
banyak membuang tenaga. Karena siapa tahu
dia memberitahukan kemunculanmu ini pada
Dewa Naga. Dengan kata lain, kau tak lagi
akan mematahkan rantingnya, tetapi lang-
sung mencabut akarnya...."
Kata-kata Lara Dewi yang disertai
kecupan kecil pada pipinya, menurunkan
kemarahan Setan Gemolong. Dadanya yang
kurus tipis itu mulai mereda turun naik-
nya .
"Kau betul.. . Aku sudah lama me-
nunggu saat-saat ini. Dewa Naga harus
mampus kubunuh...."
"Bila memang kau mau melakukan-
nya... mengapa kau tidak mendatangi Lem-
bah Naga?"
Setan Gemolong hanya mendengus.
"Bila bukan orang yang memang sen-
gaja diundang atau diizinkan masuk oleh
Dewa Naga, tak akan bisa orang lain mene-
mukan Lembah Naga. Berulang kali aku men-
coba untuk menemukan di mana tempat itu,
tetapi sampai setua ini pun aku belum
berhasil menemukannya...," desis Setan
Gemolong dalam hati.
Lalu diliriknya wajah jelita berku-
lit kencang itu. Kemudian diarahkan pan-
dangannya pada dada sesak yang memperli-
hatkan sebagian besar bagian atas dan be-
lahan indahnya. Sambil mendengus, tangan
kurus Setan Gemolong masuk ke dalam kain
yang dikenakan Lara Dewi.
Si pemilik dada besar itu hanya
tertawa mengikik tatkala Setan Gemolong
mengangkat tubuhnya dan membawanya ke ba-
lik ranggasan semak.
***
DELAPAN
BAYANGAN kuning itu terus berkele-
bat dengan lincahnya. Melompati akar me-
lintang dan ranggasan semak belukar tanpa
membuat dedaunan bergerak. Dia terus ber-
lari tanpa tanda-tanda akan menghentikan
larinya.
Menjelang senja, bayangan kuning
ini sudah memperlambat larinya di dekat
sebuah patung yang lebih tinggi sedikit
darinya. Patung itu terbuat dari batu
yang sangat keras. Berwujud seorang lela-
ki berparas kejam dengan kedua tangan dan
kaki merapat pada tubuh. Sesaat si bayan-
gan kuning memandang patung itu sebelum
kemudian melangkah bergegas.
"Dayang Kuning... kau sudah kemba-
li ! Bila kedatanganmu tak membawa hasil,
lebih baik siap serahkan kepalamu!"
Suara yang terdengar keras penuh
ancaman itu membuat sosok yang melangkah
itu seketika menghentikan langkahnya. Dia
segera merangkapkan kedua tangannya, ke-
palanya agak ditundukkan.
"Guru... aku datang bukan dengan
tangan kosong...."
Seketika meledak tawa yang sangat
keras, menggema di sekitar tempat itu.
Saking kerasnya, seperti ada gelombang
angin yang membuat angin yang berhembus
lebih kencang.
"Bagus! Berarti tugasmu sudah sele-
sai! Tetapi,., mengapa kau tidak bersama
Dayang Biru?"
"Maafkan aku, Guru... Dayang Biru
mengambil arah yang berlainan. Dengan
maksud, agar kami lebih cepat tiba di Ta-
man Kematian. Dan ternyata akulah yang
lebih dulu tiba di sana. Nasibku sungguh
beruntung, karena begitu aku tiba di sa-
na, kulihat lelaki pincang sedang menguji
coba Kain Pusaka Setan!"
"Bagus! Berikan benda itu kepada-
ku ! "
Habis terdengar seruan itu, menda-
dak saja ranggasan semak di hadapan si
gadis terangkat naik, membubung setinggi
satu tombak. Si gadis segera melangkah.
Setelah dia berada di balik semak, semak
yang terangkat naik itu segera merapat
kembali. Sejenak si gadis memandangi dulu
ranggasan semak itu, sebelum meneruskan
langkahnya.
Tempat di mana dia berjalan seka-
rang ini cukup gelap, karena pepohonan
tinggi menghalangi sinar matahari senja.
Tak lama kemudian dia tiba di sebuah ban-
gunan berwarna hitam yang di sana-sini
telah banyak yang runtuh.
Dayang Kuning terus melangkah ma-
suk, menuju ke satu ruangan yang berhawa
lembab. Di sana dihentikan langkahnya dan
dirangkapkan kedua tangannya di depan da-
da.
Berselang satu tarikan napas, satu
sosok tubuh yang entah dari mana datang-
nya tahu-tahu telah berdiri di hadapan
Dayang Kuning.
"Mana benda itu?!" serunya agak ke-
ras .
Dayang Kuning mengambil kain hitam
usang yang direbutnya dari tangan Penge-
mis Pincang. Dia menyerahkannya pada ne-
nek berkonde yang menerimanya sambil ter-
bahak-bahak. Jari jemari si nenek berpa-
kaian hitam dengan jubah hitam ini pan-
jang disertai kuku-kuku yang runcing. Pa-
rasnya dipenuhi keriput. Kedua pipinya
kempot karena dia tak memiliki gigi se-
buah pun.
"Bagus! Bagus! Kau telah berhasil
menjalankan perintahku, Dayang Kuning!"
"Saya, Guru... . "
"Kau sudah melihat kehebatan Kain
Pusaka Setan ini?"
Dayang Kuning mengangguk.
"Kau akan melihatnya sekali lagi."
Lalu nenek berkonde itu segera me-
langkah keluar, disusul dengan muridnya
yang mengekor patuh. Di luar, si nenek
segera membebatkan Kain Pusaka Setan pada
tangan kanannya yang seketika didorong ke
depan.
Sesuatu yang sangat mengerikan ter-
jadi. Gempuran dahsyat meledakkan tempat
itu. Berulangkali si nenek melakukannya
sambil tertawa puas.
"Gila! Gila! Benda ini lebih dah-
syat dari yang ku perkirakan semula!!"
serunya berulang-ulang.
Dayang Kuning membatin, "Benar-
benar sebuah kain yang sangat mengerikan.
Padahal bila melihat potongannya, kain
itu tak lebih dari kain biasa belaka.."
Si nenek mengajaknya kembali ke
bangunan yang telah rusak. Sesampai di
dalam. Dayang Kuning berkata,
"Guru... setelah aku berhasil men-
dapatkannya, lelaki pincang berjuluk Pen-
gemis Pincang itu mengejarku. Tetapi ber-
hasil kulalui. Kulihat juga seorang pemu-
da bersisik coklat berlari di belakang
Pengemis Pincang yang kemudian melesat
cepat untuk mencapai lariku. Tetapi, aku
berhasil pula mengatasinya
"Bagus! Tak kan sia-sia kau ku di-
dik menjadi murid ku!"
"Setelah aku berhasil mengatasi ke-
dua pengejar ku, aku berjumpa dengan seo-
rang lelaki tinggi besar berpakaian merah
dan berompi hitam. Aku memang curiga pa-
danya. Terlebih lagi tatkala dia bermak-
sud kotor. Dan... aku... aku..."
"Mengapa kau menghentikan kata-
katamu, Dayang Kuning?" desis si nenek
tak senang.
"Maafkan aku. Guru... aku telah
mempergunakan Kain Pusaka Setan untuk
membunuh lelaki berjuluk Demit Merah
itu...."
Meledak tawa si nenek.
"Gila! Mengapa kau harus ragu-ragu
seperti itu? Siapa pun yang ingin kau bu-
nuh, boleh kau bunuh tanpa peduli! Bila
waktu itu kau mempergunakan Kain Pusaka
Setan untuk membunuhnya, tak ada salah-
nya! ! "
Wajah Dayang Kuning menjadi cerah.
"Setelah lelaki itu mati, aku meli-
hat sesuatu bergulir dari balik pakaian-
nya yang segera kuambil .."
"Hemmm... apa yang kau ambil itu?"
Dayang Kuning mengambil bungkusan
yang terbalut kain sutera yang sedikit
menghangus. Di bukanya bungkusan itu.
"Astaga!!" seruan tertahan si nenek
terdengar. Sepasang mata tuanya membela-
lak melihat benda apa yang berada di te-
lapak tangan Dayang Kuning. "Gila! Ber-
lian! Berlian yang indah!"
Dayang Kuning tersenyum senang me-
lihat gurunya yang berjuluk Ratu Dayang-
dayang gembira seperti itu.
Ratu Dayang-dayang segera mengambil
butiran berlian yang berada di tangan
Dayang Kuning.
"Luar biasa! Sungguh luar biasa!
Kau hebat sekali. Dayang Kuning! Kau
sungguh hebat!"
Dayang Kuning tersenyum senang.
Dilihatnya gurunya mempermainkan
butiran berlian indah itu. Kemudian di-
dengarnya kata-kata gurunya setelah mem-
bungkus berlian-berlian itu kembali.
"Dengan benda ini, kita akan dapat
mengubah bangunan ini menjadi istana yang
megah! Dayang Kuning... tak ada waktumu
untuk berlama-lama di sini I Segera kau
susul Dayang Biru sekarang juga! Bila kau
sudah menemukannya, ajak dia untuk menca-
ri seorang lelaki tua berjuluk Peramal
Sakti! Bila kalian sanggup, bunuh kakek
celaka yang menjadi musuh besarku itu!
Bila kalian merasa tak mampu, cepat ka-
lian kembali ke sini!"
Dayang Kuning mengangguk. Lalu di-
angkat kepalanya dan ditatap gurunya yang
sedang memandangi Kain Pusaka Setan yang
masih membebat di tangan kanannya.
"Guru...."
"Hemmm....!"
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Bila tak perlu lebih baik jangan
lontarkan!"
"Guru... mungkin aku agak lancang
bicara, tetapi aku ingin tahu lebih jelas
lagi."
Ratu Dayang-dayang mengangkat wa-
jahnya dari Kain Pusaka Setan. Matanya
tajam pada Dayang Kuning yang seketika
menjadi ciut dan saat itu juga dia segera
mengurungkan niat bertanyanya.
Apalagi gurunya berkata, "Dayang
Kuning! Aku paling tak suka punya murid
yang banyak tanya! Jalankan perintahku
sekarang juga!"
"Baik, Guru... baik! Aku akan me-
laksanakan perintahmu...." sahut Dayang
Kuning terburu buru Lalu dia mundur ke-
luar. Sesampai di luar dia segera memper-
gunakan ilmu peringan tubuhnya untuk ce-
pat-cepat meninggalkan tempat itu. Kalau
dia datang melalui ranggasan semak yang
terangkat naik, saat dia pergi justru dia
berkelebat ke arah timur.
Di dalam bangunan yang di sana-sini
hancur itu, si nenek berkonde menggeram.
"Aku tahu apa yang hendak ditanya-
kan Dayang Kuning!" desisnya dengan mata
menerawang. Lalu sambungnya, "Dia belum
saatnya untuk tahu... demikian pula den-
gan Dayang Biru yang sesungguhnya adalah
saudara kandungnya...."
Kemudian sambil melepaskan bebatan
Kain Pusaka Setan pada tangan kanannya.
Ratu Dayang-dayang melangkah. Melewati
pula ranggasan semak yang mendadak naik
ke atas. Lalu dia mendekati patung batu
bertampang lelaki bengis.
Di pandanginya patung itu beberapa
lama. "Peramal Sakti punya rahasia ten-
tang Patung Darah Dewa...." desisnya pe-
lan. Suasana di sekitarnya sepi. Angin
berhembus agak dingin. "Sampai saat ini,
aku masih penasaran untuk mengetahui ra-
hasia apa yang ada pada Patung Darah De-
wa. . . Menurut Kiai Gede Arum yang telah
tewas ku racun karena tak mau mengatakan
rahasia Patung Darah Dewa, terdapat sesu-
atu yang sangat mengerikan. Karena petaka
akan terjadi itulah dia tak mau mengata-
kan apa yang menjadi rahasia Patung Darah
Dewa! Huh! Aku tak percaya dengan apa
yang dikatakannya! Aku lebih percaya bila
Patung Darah Dewa menyimpan sesuatu yang
nilainya lebih tinggi dari Kain Pusaka
Setan...."
Kembali nenek berjubah hitam dengan
kuku-kuku runcing ini terdiam. Kedua pi-
pinya yang tanpa gigi kelihatan tertarik
ke dalam saat dia merapatkan mulutnya.
Mendadak dia menggeram. "Kiai Gede Arum
selalu berlaku curang! Dia terlalu mele-
bih-lebihkan Gadang Junjung yang sekarang
berjuluk Peramal Sakti! Dan aku yakin,
hanya padanyalah dia mau menceritakan ra-
hasia apa yang terdapat pada Patung Darah
Dewa! Juga bagaimana caranya mendapatkan
apa yang menjadi rahasia Patung Darah De-
wa! Huh! Berulangkali aku mencoba menda-
patkan rahasia itu dari mulutnya, tetapi
selalu gagal! Hingga kemudian dia menjadi
murka begitu mengetahui kalau akulah
orang yang telah membunuh Kiai Gede Arum!
Terkutuk! Terkutuk! Aku harus tetap men-
getahui rahasia apa dan bagaimana menda-
patkan rahasia pada Patung Darah Dewa!"
Wajah Ratu Dayang-dayang berubah
sengit.
"Aku tak yakin Dayang Kuning dan
Dayang Biru dapat mengalahkannya! Tapi
peduli setan! Dengan kain sakti ini, akan
kubunuh Peramal Sakti!"
***
Pada saat yang bersamaan, dara je-
lita berambut dikuncir kuda menghentikan
langkahnya di tepi sebuah hutan. Sepasang
mata dara jelita berpakaian biru ini be-
gitu indah. Parasnya cantik dengan hidung
bangir. Untaian poni yang menghiasi ke-
ningnya menambah kecantikan si dara.
Perlahan-lahan dara berpakaian biru
ketat ini menarik napas pendek.
"Ah, ke mana lagi jalan yang harus
kutempuh menuju Taman Kematian?" desisnya
pelan sambil memperhatikan sekelilingnya.
Lalu diangkat kepalanya untuk menatap ma-
tahari senja yang semakin menurun. "Apa-
kah Dayang Kuning sudah tiba di sana dan
berhasil mendapatkan Kain Pusaka Setan?"
Dara jelita ini kembali menarik na-
pas, lalu menghembuskannya perlahan-
lahan. Menilik sikapnya jelas dia sedang
masygul.
"Bisa kubayangkan apa yang akan aku
dan Dayang Kuning alami bila gagal menda-
patkan Kain Pusaka Setan! Guru tentu akan
murka dan menghukum kami! Ah, mudah-
mudahan Dayang Kuning sudah berhasil men-
dapatkannya! Biar bagaimanapun juga salah
seorang dari kami harus berhasil menda-
patkan Kain Pusaka Se tan, itu tak akan
membuat Guru murka...."
Gadis berponi indah mengarahkan
pandangannya ke depan. Seluas mata meman-
dang, dia melihat jajaran padi menguning.
Dari kejauhan kuningnya padi itu seolah
berubah menjadi keemasan karena terkena
bias-bias merah matahari senja.
Tanpa sepengetahuan si gadis, sepa-
sang mata yang sebelum gadis itu menghen-
tikan langkahnya sudah berada di sana,
memandang tak berkedip dari balik rangga-
san semak.
"Hemmm... gadis jelita itu nampak-
nya sedang menuju ke Taman Kematian. Dia
juga menyebutkan tentang Kain Pusaka Se-
tan. Bahkan dia nampak ketakutan bila dia
atau kawannya yang dipanggil dengan sebu-
tan Dayang Kuning gagal mendapatkan Kain
Pusaka Setan. Guru mereka tentu akan mur-
ka. Hemm... apakah ini ada hubungannya
dengan si bayangan kuning yang telah me-
rebut Kain Pusaka Setan dari tanganku?"
Sementara sepasang mata di balik
ranggasan semak itu terus memandang tak
berkedip, gadis berponi yang sedang pus-
ing memikirkan urusannya berkata lagi,
"Seharusnya aku tak berpisah dengan
Dayang Kuning. Tetapi... ah, usulan itu
memang berasal dariku dengan maksud, agar
aku atau Dayang Kuning lebih dulu tiba di
Taman Kematian. Satu hal yang kusesali
sekarang, mengapa aku tak membuat kesepa-
katan untuk berjumpa lagi dengan Dayang
Kuning di suatu tempat, bila salah seo-
rang dari kami sudah menemukan Kain Pusa-
ka Setan? Tapi... aku dan Dayang Kuning
telah membuat kesepakatan, siapa yang le-
bih dulu mendapatkan Kain Pusaka Setan
harus segera menyerahkan pada Guru...."
Gadis berponi indah ini terus men-
geluh .
Sepasang mata di balik ranggasan
semak semakin menyipit.
"Dari kata-katanya, makin kuat du-
gaanku kalau gadis berpakaian biru itu
ada hubungannya dengan si bayangan kun-
ing. Bila ternyata salah, paling tidak
aku mengetahui kalau bukan aku saja yang
menginginkan Kain Pusaka Setan. Kedua ga-
dis itu yang diperintahkan oleh gurunya
yang entah siapa, pun menginginkan benda
yang sama. Berarti... bukan hanya aku sa-
ja yang mengetahui tentang Kain Pusaka
Setan yang berada di Taman Kematian. Ke-
duanya juga tahu yang tentunya dari mulut
gurunya. Hemmm... siapakah gurunya?"
Gadis berpakaian biru perlahan-
lahan menarik napas panjang. Poninya se-
dikit berkibar tatkala angin lembut meng-
hembus ke arahnya. "Aku tak ingin urusan
ini jadi bumerang buatku dan Dayang Kun-
ing. Biar bagaimanapun juga aku harus te-
tap menemukan di mana Taman Kematian be-
rada. Dengan kata lain..."
Tiba-tiba saja gadis berponi ini
memutus ucapannya. Mulutnya merapat den-
gan tatapan yang mengarah pada kejauhan.
Diam-diam dia membatin,
"Keparat! Ada orang lain di sekitar
sini! Kutangkap satu gerakan kecil di ba-
lik ranggasan semak sebelah kanan. Setan
alas! Tentunya orang itu sudah sejak tadi
berada di sini, dan tentunya dia telah
mendengar segala ucapanku! Padahal Guru
telah berpesan, agar aku dan Dayang Kun-
ing menjalankan perintahnya dengan hati-
hati tanpa ada orang yang tahu! Setan
alas!! Benar-benar hendak cari mampus
orang itu!"
Gadis berponi indah ini bukannya
mengarahkan tatapan pada ranggasan semak
yang diperkirakan dijadikan sebagai tem-
pat persembunyian oleh orang yang sudah
dirasakan kehadirannya, dia justru meman-
dang ke kejauhan.
Kejap lain dia bersuara keras, "Se-
baiknya... ku tinggalkan saja tempat ini...."
Kemudian dia melangkah cepat. Baru
lima langkah dia bergerak, mendadak saja
gadis ini sudah melompat seraya mengi-
baskan tangan kanannya.
"Manusia celaka!" bentaknya memba-
hana. "Jangan cuma bisa jadi tikus got
belaka I I"
Wrrrrr!I
Serangkum angin berwarna biru me-
nerjang ganas. Blaaaarrrl!
Ranggasan semak yang ditujunya se-
ketika rengkah. Terdengar letupan di be-
lakangnya, disusul suara berderak dan
tumbangnya sebuah pohon.
Sebelum gelombang angin biru yang
dilepaskan si gadis mengenai sasarannya,
pemilik sepasang mata yang tadi sudah
hendak bergerak untuk mengikuti si gadis
karena diperkirakan si gadis akan mening-
galkan tempat itu, sudah melompat keluar.
Melihat munculnya orang, si gadis
sudah mendorong tangan kanan kirinya.
"Kematianlah yang pantas bagi orang
yang kerjanya cuma mencuri dengar kata-
kata orang!I"
Dua gelombang angin biru menggebrak
dengan suara menggebubu angker. Pemilik
sepasang mata yang tadi sudah melompat
tersentak kaget.
Bersamaan dengusannya, dia sudah
mendorong tangan kanan kirinya pula.
Blaaamm! Blaaammm!!
Gelombang angin biru yang dile-
paskan si gadis putus di tengah jalan,
membuyar ke udara ditingkahi dengan tanah
yang membubung.
Si gadis tak segera menyusulkan se-
rangan berikutnya. Dia justru membuang
tubuh ke belakang. Kedua kakinya tegak di
atas tanah dengan kedudukan angkuh dan
penuh siaga. Sepasang matanya menatap ta-
jam pada orang yang diserangnya, yang te-
lah berdiri dengan tatapan menusuk!
"Gadis celaka! Katakan, siapa guru-
mu yang berani lancang perintahkan kau
dan temanmu berjuluk Dayang Kuning untuk
mencari Kain Pusaka Setan?!"
Gadis berpakaian biru tak menjawab.
Matanya makin bersinar tajam. Kesiagaan-
nya terpampang penuh.
Lamat-lamat dia berseru, "Ada manu-
sia pengecut yang kerjanya hanya bisa
bersembunyi di belakang dinding! Ada juga
manusia yang tak punya nyali, tetapi ju-
stru mencoba memperlihatkan nyali dan ta-
ringnya ! "
Mendengar ejekan itu, orang bertu-
buh agak sedikit bongkok mengenakan pa-
kaian putih penuh tambalan berwarna-warni
menggeram dingin. Kedua tangannya mengep-
al kuat seperti hendak meremukkan jari
jemarinya sendiri. Wajahnya yang tirus
dengan cambang panjang, mengeras. Tak me-
miliki kumis, tetapi jenggotnya menjulai.
Dia berdiri dengan kaki kanannya, semen-
tara kaki kirinya menggantung karena ke-
cil sebelah!
***
SEMBILAN
ORANG yang bukan lain Pengemis Pin-
cang ini sudah mengeluarkan dengusan. So-
rot matanya tajam tak berkedip. Kejap
lain dia sudah membentak, "Tiga kejapan
mata lagi kau masih bungkam, jangan sa-
lahkan aku bila nyawamu melayang!"
Ancaman yang dilontarkan oleh Pen-
gemis Pincang tak digubris si gadis. Dia
tetap memandang tak berkedip. Tenang dan
dingin.
"Seorang lelaki pincang yang curi
dengar ucapanku..." desisnya dalam hati.
Diamnya si gadis itu sudah membuat
Pengemis Pincang menjadi gusar.
"Kau telah sia-siakan waktu yang
kuberikan!" Gadis berponi indah itu tetap
tak buka suara. Bahkan di perlihatkan se-
nyuman sinisnya yang membuat darah Penge-
mis Pincang mendidih. Tanpa berucap apa-
apa lagi, orang berwajah tirus ini sudah
melesat ke depan!
Lesatan yang dilakukannya sangat
cepat. Tangan kanan kirinya digerakkan ke
atas dan ke bawah. Bersamaan lesatan tu-
buhnya yang terus mengarah pada si gadis
berponi indah, angin dari atas ke bawah
sudah mendahului menggebrak.
Gadis berpakaian biru masih tetap
berdiri di tempatnya, kejap itu pula dis-
ilangkan kedua tangannya di depan dada,
disusul dengan dorongan cepat ke depan!
Wuusss!I
Gelombang angin menyilang warna bi-
ru menggebrak dengan suara tak kalah ke-
rasnya . Dan...
Jlegaaarrr!I
Berbenturannya serangan Pengemis
Pincang dengan gelombang angin menyilang
itu, menimbulkan letupan yang sangat ke-
ras. Tempat itu sesaat bergetar ditingka-
hi muncratan tanah ke udara. Belum lagi
tanah itu sirap kembali sosok berpakaian
putih penuh tambalan warna-warni sudah
menyeruak dari bubungan tanah, menderu ke
depan!
"Heii!!I"
Gadis berpakaian biru yang sesaat
surutkan langkah akibat benturan keras
tadi, segera mengempes tubuh ke samping
kanan diiringi makian.
WuuutttI
Jotosan yang dilancarkan Pengemis
Pincang luput dari sasaran. Tetapi orang
berkaki kecil sebelah ini sudah membuat
gebrakan yang mengejutkan. Begitu joto-
sannya mengenai sasaran kosong, kaki ka-
nannya sudah digerakkan, yang tiba-tiba
mencuat!
Wuuuttt!!
"Gila! I" seru si gadis sambil mema-
pak! tendangan itu.
Plaaak!
Tubuhnya agak terseret ke belakang,
yang kejap itu pula langsung melompat
menjauh karena Pengemis Pincang sudah me-
lancarkan serangan kembali.
"Sebutkan siapa namamu dan siapa
gurumu yang memerintahkanmu untuk mengam-
bil Kain Pusaka Setan?!" geram Pengemis
Pincang hentikan serangannya.
Si gadis yang telah berdiri tegak
kembali di atas tanah memandang tak ber-
kedip ke depan. Dada padatnya naik turun.
Keringat sudah menghiasi keningnya.
"Hebat! Gebrakan yang dilakukannya
sungguh hebat! Dia dapat melancarkan se-
rangan beruntun dalam satu gebrakan! Ra-
sanya, akan sulit kuhadapi! Tetapi... aku
lebih ngeri akan amukan Guru ketimbang
serangannya bila aku gagal mendapatkan
Kain Pusaka Setan!" kata gadis itu dalam
hati.
Lalu diangkat kepalanya dengan ta-
tapan angkuh.
"Lelaki pincang! Kau telah melaku-
kan satu kesalahan besar karena berani
bertindak lancang di hadapanku! Sebelum
mampus, ketahuilah., julukanku Dayang Bi-
ru dan guruku berjuluk Ratu Dayang-
dayang 1 "
Pengemis Pincang yang amarahnya su-
dah berada di atas kepala sesaat tersen-
tak mendengar julukan yang terakhir dis-
ebut si gadis. Beberapa saat lamanya dia
terdiam.
"Ratu Dayang-dayang? Hemmm, aku
pernah mendengar julukan itu dari mulut
guruku sendiri, Ki Dundung Kali! Kalau
tak salah ingat, perempuan itu punya uru-
san dengan Peramal Sakti yang bukan lain
kakak seperguruannya. Hemm... aku bisa
menebak sekarang. Ratu Dayang-dayang me-
merintahkan muridnya si Dayang Biru dan
Dayang Kuning untuk mendapatkan Kain Pu-
saka Setan, tentunya akan dipergunakan
untuk membunuh Peramal Sakti!"
Habis berpikir demikian. Pengemis
Pincang berseru, "Dayang Biru! Tindakan
gurumu si Ratu Dayang-dayang benar-benar
sungguh memuakkan! Kau di perintahnya un-
tuk mendapatkan Kain Pusaka Setan, semen-
tara dia tetap berdiam di tempat yang tak
kuketahui. Apakah kau tak pernah berpikir
kalau Kain Pusaka Setan itu milik seseo-
rang? ! "
"Aku tak punya urusan untuk ber-
tanya tentang itu! Semua perintah Guru
harus ku junjung tinggi!" sahut Dayang
Biru keras dan angkuh.
Pengemis Pincang tahan kegusaran-
nya. "Semakin kuat dugaanku kalau si
Bayangan Kuning adalah Dayang Kuning,
yang tentunya juga diperintah oleh Ratu
Dayang-dayang untuk mendapatkan Kain Pu-
saka Setan! Ini artinya akan memudahkan
untuk mendapatkan kembali Kain Pusaka Se-
tan! Biar bagaimanapun juga, benda sakti
itu harus kudapatkan untuk membunuh Dewi
Bintang. Berarti
Memutus jalan pikirannya sendiri
Pengemis Pincang membentak, "Tentunya kau
tak ingin mampus secara mengerikan! Aku
masih bisa bertindak adil untuk tidak
membunuhmu bila kau segera menjawab per-
tanyaanku! Katakan, di mana Gurumu ting-
gal, maka kau akan selamat?!"
Dayang Biru ganti terdiam. Dia ber-
pikir, "Aneh! Mengapa tahu-tahu dia mena-
nyakan tentang tempat tinggal Guru? Pa-
dahal sejak tadi kelihatan dia ingin mem-
bunuhku! Aku harus mengorek keterangan
sebelum menjawab!"
Kemudian Dayang Biru angkat bicara,
"Lelaki pincang! Tak ada angin tak ada
hujan kau sudah berlaku kurang ajar den-
gan bersembunyi yang kemudian melancarkan
serangan! Bila aku yang melakukannya per-
tama kali, memang pantas kulakukan! Kare-
na tindakan mu yang bersembunyi mendengar
apa yang kukatakan sungguh satu tindakan
yang tak bisa dimaafkan! Sekarang, apa
urusanmu menanyakan di manakah guruku
tinggal?I"
"Tadi kau katakan, mengapa gurumu
menyuruhmu mencari Kain Pusaka Setan, bu-
kankah urusanmu kecuali menjalankannya!
Sekarang, kau bisa menganggap kalau apa
yang kutanyakan ini bukanlah urusanmu!"
"Apakah kau menganggap aku hanya
memandang sebelah mata dari pertanyaanmu
barusan?! Terlalu sempit bila kau berpi-
kir demikian! Karena nyatanya, aku dan
guruku tetaplah berhubungan! Tak seorang
pun yang akan tahu di mana dia tinggal!"
"Kalau begitu... kau akan menerima
kematian!!" Dengan sikap tenang dan sedi-
kit angkuh. Dayang Biru berkata, "Lelaki
pincang! Kau begitu bersikeras sekali,
padahal kau tidak tahu dengan siapa kau
berhadapan! Apakah kau sebenarnya juga
menghendaki Kain Pusaka Setan?!"
"Jangan banyak mulut!" bentak Pen-
gemis Pincang gusar. "Sungguh bodoh bila
kau memang menginginkan benda yang diin-
ginkan guruku!" sahut Dayang Biru tetap
tenang. Lalu sambungnya dingin, "Itu tan-
danya kau mencari kematian!"
"Terkutuk!" geram Pengemis Pincang
dengan darah mendidih. Lalu dengan menje-
rengkan mata dia mendesis dingin, "Aku
telah mendapatkan Kain Pusaka
Setan! Tetapi, satu sosok tubuh
berpakaian kuning telah menyambar benda
itu! Dan aku punya dugaan, kalau orang
yang telah merebut Kain Pusaka Setan ada-
lah kawanmu yang berjuluk Dayang Kuning!"
Ucapan yang di luar dugaan Dayang
Biru itu membuat kepala si gadis menegak.
Untuk beberapa saat dia terdiam. Pikiran-
nya seketika dibuncah sesuatu yang sedi-
kit melegakannya tetapi juga mengejutkan-
nya .
Kemudian desisnya, "Kau telah men-
dapatkan Kain Pusaka Setan tetapi seseo-
rang berpakaian kuning telah merebutnya!
Lantas atas dasar apa kau mengatakan ka-
lau Dayang Kuning yang telah merebutnya,
padahal kau tak mengenali orang itu?!"
"Baru hari ini kuketahui... kalau
ada orang lain yang juga menginginkan
Kain Pusaka Setan! Orang itu adalah kau
dan Dayang Kuning! Jelas sudah siapa
orang keparat yang berani merebut Kain
Pusaka Setan dari tanganku!"
"Kalau memang benar Dayang Kuning
yang merebut Kain Pusaka Setan, tentunya
dia memang sudah menjumpai Guru, sesuai
dengan kesepakatan yang aku dan dirinya
ambil. Hemmm... pantas lelaki pincang ini
ingin tahu di mana Guru tinggalkata
Dayang Biru dalam hati.
"Gadis celaka! Apakah kau mendadak
bisu sekarang?!" hardik Pengemis Pincang
gusar.
Dayang Biru merandek gusar. Sesaat
dia memandangi orang di hadapannya sebe-
lum berkata dingin, "Kau tak perlu menja-
di sinis seperti itu! Aku yakin Kain Pu-
saka Setan bukanlah milikmu! Siapa yang
lebih unggul dialah yang berhak untuk
mendapatkannya! Dan kau sudah dipecundan-
gi oleh Dayang kuning! Itu artinya, dia
lebih unggul darimu! Tetapi bila kau ma-
sih penasaran, aku dapat mewakili Dayang
Kuning sebagai sasaran mu!"
"Bagus! Berarti kau sudah siap un-
tuk menebus kesalahan Dayang Kuning! in-
gin kulihat apakah kau memang lebih hebat
dari kata-katamu?!"
Belum habis bentakannya terdengar.
Pengemis Pincang sudah melesat cepat dis-
ertai teriakan membahana.
Dayang Biru yang sejak tadi bersiap
pun tak mau tinggal diam. Kini dia sudah
tenang karena mengetahui kalau Dayang
Kuning telah berhasil merebut Kain Pusaka
Setan. Kendati begitu, masih ada sedikit
keraguan di hatinya. Bagaimana bila ter-
nyata orang yang merebut Kain Pusaka Se-
tan dari tangan lelaki pincang itu bukan
Dayang Kuning? Berarti, urusan masih pan-
jang!
Bukan urusan dengan lelaki pincang
ini yang jadi pikiran Dayang Biru, me-
lainkan urusan dengan gurunya bila ter-
nyata Dayang Kuning bukanlah orang yang
telah berhasil mendapatkan Kain Pusaka
Setan dari tangan si lelaki pincang.
Dua orang yang bergebrak itu sama-
sama memperlihatkan kemampuan tinggi yang
seketika membuat tempat itu menjadi kacau
balau. Kalau sebelumnya Dayang Biru sem-
pat kewalahan menerima serangan Pengemis
Pincang, karena dia tak diberi kesempatan
untuk membalas. Kali ini Dayang Biru me-
lancarkan taktik mundur maju. Mundur saat
diserang dan maju saat menyerang!
Taktik yang dijalankannya membawa
hasil.
"Keparat!!" maki Pengemis Pincang
karena merasa dipermainkan. Dia terus me-
lancarkan serangan ganas-nya, berusaha
untuk mengurung ruang gerak Dayang Biru
agar tak bisa melepaskan serangan.
Tetapi murid Ratu Dayang-dayang ini
tetap berhasil melepaskan diri, karena
taktik yang dijalankannya. Justru dialah
yang kemudian berhasil mendesak mundur
Pengemis Pincang yang menggeram sejadi-
j adinya.
"Keparat! Gadis ini benar-benar be-
rotak cerdik! Huh! Aku harus mengeluarkan
ilmu 'Menggiring Awan Hitam' rupanya!"
Memutuskan demikian. Pengemis Pin-
cang berusaha melepaskan diri dari kurun-
gan serangan Dayang Biru. Tetapi tak se-
mudah yang dilakukannya. Bahkan Dayang
Biru berhasil mampirkan jotosannya pada
dada lawan yang seketika terhuyung.
"Terkutuk!!" geram Pengemis Pincang
dengan suara serak. Mendadak dijejakkan
kaki kanannya di atas tanah yang serta
merta membuat tubuhnya melenting ke uda-
ra. Masih melenting di udara, mendadak
sontak didorong kedua tangannya.
Dayang Biru yang mencoba melakukan
sergapan tersentak kaget, karena tiba-
tiba menderu keras awan-awan hitam yang
mengeluarkan hawa dingin I
"HeiiiiII"
Cepat dia membuang tubuh ke samping
kiri. Blaaaarrrl!
Sebatang pohon tinggi terhantam sa-
lah sebuah awan hitam yang dilepaskan
Pengemis Pincang. Pohon itu tidak tum-
bang, walau bergetar sesaat. Tetapi lama
kelamaan terlihat pohon itu mulai menghi-
tam, yang kemudian menghangus. Tatkala
angin berhembus, laksana debu pohon itu
berhamburan.
"Astaga!" Wajah Dayang Biru menjadi
pias. Dia menelan ludahnya berkali-kali
dengan mata membelalak. "Ilmu yang diper-
lihatkan bukan ilmu sembarangan! Aku ha-
rus lebih berhati-hati sekarang! Teta-
pi... ah, begitu bodoh bila ku lanjutkan
pertarungan ini. Bila memang Dayang Kun-
ing telah berhasil merebut Kain Pusaka
Setan untuk apa aku bersusah payah seka-
rang? Lebih baik aku menghindar daripada
mati konyol!"
Baru saja habis kata hati gadis
berponi indah ini, lima buah awan hitam
yang mengeluarkan hawa dingin sudah meng-
gebubu ke arahnya!
Dayang Biru mencoba menahan dengan
gelombang angin birunya, tetapi kandas di
tengah jalan. Awan-awan hitam itu terus
menggebrak ke arahnya!
Sebisanya Dayang Biru berusaha
menghindari ganasnya serangan lawan. Dia
sampai jungkir balik keblingsatan menye-
lamatkan diri. Di pihak lain Pengemis
Pincang terus mencecar. Dia tak lagi
mengharapkan dapat mengetahui di mana Ra-
tu Dayang-dayang tinggal. Tetapi keingi-
nannya sekarang adalah mencabut nyawa ga-
dis berpakaian biru ini.
Seraya terus lepaskan ilmu
'Menggiring Awan Hitam', Pengemis Pincang
mengurung langkah Dayang Biru, dia sema-
kin mendekat.
Keringat yang mengaliri sekujur tu-
buh Dayang Biru semakin banyak keluar.
Gadis jelita berambut dikuncir
kuda ini sudah benar-benar kewala-
han. Wajahnya pucat dan tegang. Dari mu-
lutnya sesekali keluar teriakan tertahan.
Lima buah pohon sudah hangus dan
berhamburan laksana debu, semakin mem-
buatnya menggigil ngeri. Jalan untuk me-
mapak! serangan itu tak mungkin dilaku-
kannya, yang bisa hanyalah menghindar.
Tetapi menghindar pun sudah sedemikian
sulit.
Sampai suatu ketika, dua buah awan
hitam mendadak melesat ke atas, lalu me-
luruk turun siap menghantam kepala Dayang
Biru. Sementara dari depan, tiga buah
awan hitam telah mengurungnya hingga su-
lit baginya untuk hindari serangan!
Namun sebelum maut menelan mentah-
mentah nyawa Dayang Biru, satu deheman
keras terdengar disusul dengan gelombang
angin memutar yang dihiasi asap merah me-
lesat .
Terdengar letupan berulang-ulang
yang sangat keras. Bersamaan dengan itu.
Dayang Biru merasa tubuhnya terangkat
naik. Seseorang telah menyambarnya, mem-
bawanya melenting ke atas dan hinggap
kembali di atas tanah dalam keadaan te-
gak .
Di depan. Pengemis Pincang yang su-
dah hendak tertawa melihat si gadis tak
berdaya dalam lingkaran serangannya, ber-
diri dengan satu kaki. Kepalanya menegak
dengan mata melotot. Mulutnya membuka le-
bar.
Dia melihat satu sosok tubuh berom-
pi ungu telah berdiri di samping kiri
Dayang Biru yang melirik sosok tubuh itu
dengan kening berkerut. Tatapan mata pe-
muda tampan itu begitu angker, menyi-
ratkan sinar kematian yang membuat ciut
hati orang. Dia melipat kedua tangannya
di atas dada. Dan terlihat sisik-sisik
coklat yang terdapat mulai dari jari je-
marinya hingga sebatas siku....
Ikuti kelanjutannya
KAIN PUSAKA SETAN
E-Book by Abu Keisel
Emoticon