SATU
Pratiwi yang masih dalam keadaan polos,
segera menyembunyikan dirinya di belakang Raja
Paras gadis jelita ini nampak tegang, karena
tak disangkanya akan muncul dua orang bersosok
aneh di tempat itu.
Di pihak lain pemuda berompi ungu dari
Lembah Naga, memandang tak berkedip pada
orang-orang yang baru muncul. Sorot mata anak
muda itu tetap tajam. Mereka masih berada di da-
lam sungai.
Kedua orang yang muncul secara tiba-tiba
itu saling pandang dengan seringaian lebar di bibir
masing-masing. Si nenek berpakaian compang-
camping hingga memperlihatkan pepaya busuk
yang menggantung di dadanya, harus menunduk.
Sementara lelaki tua kontet berambut sejumput
harus mendongak untuk balas memandangnya.
"Kontet!" seru si nenek berpunuk sambil
terkikik. Cairan merah yang berasal dari sirih yang
dikunyahnya muncrat. Sedikit membasahi wajah
si kontet yang mengelap dengan punggung tangan
kanannya sambil mendengus. "Rupanya kita tidak
perlu bersusah payah mencari jejaka tampan dan
gadis jelita! Tuh, kau lihat sendiri, bukan?! Hik hik
hik... mereka seperti hidangan empuk yang me-
mang telah disediakan untuk kita!"
Lelaki tua kontet berpakaian warna hijau
sangat kusam, terkekeh-kekeh geli. Tongkat yang
di ujungnya melingkar kawat berwarna hitam yang
dipegangnya digerak-gerakkan.
"Nyi Bawung! Kali ini sih aku tidak perlu
harus berpikir hingga mau tak mau menghisap
pepaya busukmu yang menggantung itu! Kita juga
tidak perlu memilih!"
Si nenek tanpa gigi yang rambutnya dige-
lung ke atas itu memandang kembali ke arah sun-
gai. Dia menyeringai lebar sebelum berkata, "Yang
satu tampan..., yang satu cantik! Amboi, betul-
betul pasangan yang serasi! Betul, betul! Kau tidak
perlu berpikir sehingga dadaku yang montok ini ti-
dak harus dihisap oleh mulutmu yang bau!"
Si Kontet mendengus.
"Montok?! Edan! Nyi Bawung... apa kau su-
dah sinting, model dada kayak pepaya busuk itu
kau katakan montok?! Tuli! Kau lihat tadi kan?
Sepasang bukit kembar gadis yang bersembunyi
karena malu padaku itu yang bisa disebut mon-
tok!"
Si nenek tak peduli.
"Tapi sialannya, kita tidak melihat lagi ke-
lanjutan kemesraan mereka! Ini gara-gara kau,
Kontet! Yang sudah tidak sabaran!"
Si Kontet yang bernama asli Beliung Kutuk
terkekeh-kekeh sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Mana bisa aku menahan lebih lama lagi.
Apa kau tidak lihat tadi, bukit kembar halus yang
menggantung di dada gadis itu?! Bagus betul! Ti-
dak seperti bukitmu yang sudah rata begitu! Tidak
tahu malu lagi, karena nekat masih menggantung!
Benar-benar pepaya busuk!"
Tak!
Si nenek menjitak kepala si Kontet yang se-
gera mengusap-ngusapnya.
"Ayo eepat hisap dadaku biar kau bisa ber-
pikir!"
Si Kontet melotot.
"Buat apa aku menghisap dadamu lagi? Se-
karang sih tidak perlu dipikir aku juga sudah tahu
apa yang harus kulakukan!"
Sementara orang-orang bersosok aneh itu
berbicara, Raja Naga berbisik, "Pratiwi... kau mun-
dur pelan-pelan. Usahakan agar tubuhmu tidak
terlihat oleh mereka...."
Di belakangnya Pratiwi yang masih dalam
keadaan polos mengangguk. Ucapan pemuda yang
lengan kanan kirinya sebatas siku dipenuhi sisik
coklat itu, menandakan kalau si pemuda men-
ganggap kedua orang yang baru muncul itu bukan
orang baik-baik.
Pratiwi sendiri juga menduga seperti itu. Pe-
lan-pelan dibenamkan tubuhnya di dalam air, lalu
melangkah ke belakang. Diputuskan dia akan se-
gera melompat bila jarak sudah cukup dekat den-
gan tanah.
Tetapi... blaaarrr!!
Serangkum angin telah menghantam air di
hadapannya hingga muncrat ke udara dan mau
tak mau membuat Pratiwi mengurungkan niatnya.
"Brengsek! Kau ini mau ke mana, hah?! Aku
masih ingin melihat tubuhmu!!" seru Beliung Ku-
tuk yang tadi menggerakkan tongkat berujung ka-
wat melingkar.
"Setan kontet!!" geram Pratiwi gusar. Ham-
pir saja dia berdiri tegak untuk melepaskan seran-
gan balasan bila tak ingat keadaannya.
"Tahan amarahmu," bisik Raja Naga. "Kita
sama-sama belum mengenal siapa kedua orang
ini. Dan nampaknya mereka bukan tergolong
orang baik-baik. Di mana kau simpan pakaian-
mu?"
"Di balik ranggasan semak sebelah kanan...."
Raja Naga tak buka suara lagi. Sorot mata
angkernya tetap tajam pada masing-masing orang
aneh yang berdiri di seberang.
"Kau memang tak sabaran, Kontet! Kau kan
seharusnya memberi gadis itu kesempatan untuk
berpikir?!"
"Berpikir? Berpikir apa?" sambar si Kontet
diiringi dengusan. Kepalanya mendongak pada Nyi
Bawung.
"Ya... berpikir untuk memutuskan apakah
dia mau melayanimu atau tidak!" sahut Nyi Ba-
wung sambil terkikik.
"Tidak lucu! Sudah tentu dia akan melaya-
niku! Lagi pula, kalau dia tidak mau... akan ku
eabik-eabik tubuh mulusnya! Tapi... tidak, ah!
Sayang, ah!"
Nyi Bawung terkikik seraya mengangkat ke-
palanya ke depan. Mulutnya yang tanpa gigi asyik
mengunyah-ngunyah sirihnya.
"Hei, Jejaka tampan dan Gadis manis! Ayo
kalian cepat kemari! Kedua majikanmu ini sudah
tidak sabar untuk kau layani! Betul tidak, Tet?!"
"Nenek setani Pergi kau dari sini!" bentak
Pratiwi sengit. Gadis itu sudah tidak sabar untuk
membungkam mulut kedua orang itu. Tetapi kare-
na keadaannya yang tidak memungkinkan, maka
dia hanya bisa memendamnya dalam hati.
Di pihak lain. Raja Naga sejak tadi belum
juga beranjak dari tempatnya. Kalau dia beranjak,
berarti dia membiarkan kedua orang itu bebas
memandangi Pratiwi walaupun Pratiwi bisa me-
nyembuNyikan tubuhnya di dalam air. Tetapi ke-
mungkinan lelaki kontet berpakaian hijau sangat
kusam segera memburu ke dalam air, tidak mus-
tahil terjadi.
Di samping itu Raja Naga juga masih dibin-
gungkan oleh kenyataan mengapa dia tak menge-
tahui kehadiran kedua orang itu. Dari sikap mas-
ing-masing orang, jelas kalau keduanya sudah eu-
kup lama berada di sana. Bisa jadi di saat dia
bermesraan dengan Pratiwi di dalam air, menjadi
tontonan kedua orang aneh itu.
Memerah paras Raja Naga menahan geram
memikirkan soal itu. Sorot mata angkernya berki-
lat-kilat bertambah angker.
Beliung Kutuk berseru jengkel, "N}^ Ba-
wung! Mereka rupanya semacam anak-anak nakal
juga! Kau lihat sendiri kan, kalau mereka tak men-
gindahkan perintahmu?!"
Nenek bongkok karena punggungnya ber-
punuk itu terkikik.
"Kalau kau berpikir begitu, mengapa tidak
segera kau sergap saja yang gadis? Lihat! Dia pasti
sudah menggigil kedinginan, dan itu tugasmu un-
tuk menghangatkannya! Tapi apa iya ya kau bisa
melakukannya kalau anumu itu cuma segede ke-
lingking?!"
"Kau lihat saja nanti! Kau pasti iri setelah
melihat bagaimana gadis itu menjerit penuh ke-
nikmatan!"
Habis ucapannya, tiba-tiba saja Beliung Ku-
tuk melompat ke arah sungai. Lompatannya san-
gat cepat dan meninggalkan bekas kedua kakinya
di atas tanah.
Pratiwi yang sudah tak kuasa menahan
amarahnya, siap untuk mendorong tangan kanan
kirinya, menyambut tubuh Beliung Kutuk. Tetapi
Raja Naga sudah bertindak lebih dulu.
Buk! Buk!
Tangan kanannya membentur tangan ka-
nan Beliung Kutuk yang siap menyambar Pratiwi.
Benturan itu membuat Beliung Kutuk memekik
tertahan seraya membuang tubuh ke belakang.
Jarak tanah dengan tubuh Beliung Kutuk
cukup jauh sementara lompatan tubuhnya agak
sedikit limbung karena benturan tadi. Maka mau
tak mau tubuhnya pun masuk ke dalam air.
Byuurrr!!
Nyi Bawung seketika terkekeh keras.
"Busyet! Kau ini mau menikmati tubuh mu-
lus itu, atau mau mandi?!"
"Setan!!" seru Beliung Kutuk yang segera
menggerakkan kedua kakinya bila tidak ingin
tenggelam. Dalamnya sungai itu sebenarnya hanya
sebatas pinggang Raja Naga, tetapi karena tubuh
Beliung Kutuk lebih pendek makanya dia bisa
tenggelam.
Pyaaanrr!
Wrrruussss!!
Air itu seperti terbelah dan bermuneratan
ketika Beliung Kutuk memukulkan telapak tangan
kirinya. Muneratan air sungai itu tidak seperti
muneratan biasa. Muncratan itu laksana puluhan
jarum berkekuatan tinggi
Raja Naga mendeham.
Blaaarrr!!
Muncratan air yang menyerbu ke arahnya
tertahan dan beterbangan ke udara. Tatkala ber-
hamburan lagi di atas air terdengar suara letupan
cukup keras.
"Hebat!" desis Raja Naga dalam hati melihat
hal itu. "Aku bisa jadi menjatuhkan si Kontet itu
sekarang juga. Tetapi bila aku bergeser dari tem-
patku ini, maka mau tak mau mereka akan meli-
hat tubuh Pratiwi yang masih polos? Ah, mengapa
aku tidak mengetahui kehadiran mereka?"
Semua itu terjadi karena Nyi Bawung telah
mengerahkan ilmu 'Penyesat Suara' yang dimili-
kinya. Bila ilmu itu sudah dikerahkan, maka tak
seorang pun yang akan mengetahui kehadirannya.
Nyi Bawung terkikik melihat wajah Beliung
Kutuk memerah.
"Ayo! Kenapa kau masih main-main, hah?!
Masa menghadapi anak ingusan begitu kau harus
lintang pukang?!"
Beliung Kutuk melotot. Main-main? Sung-
guh keparat nenek itu! Padahal dia sudah mem-
pergunakan seperempat tenaga dalamnya untuk
menghamburkan butiran air sungai tadi.
"Nyi Bawung!" serunya sambil melompat
dan hinggap di samping kanan Nyi Bawung. Selu-
ruh tubuhnya basah. Tetapi rambutnya yang se-
jumput tetap berdiri kaku. "Kau akan melihat apa
yang akan kulakukan?!"
"Busyet! Sejak tadi aku juga melihatnya?!
Ayo, cepatan kau ambil gadis montok itu! Aku su-
dah tidak sabar untuk mendapatkan jejaka tam-
pan itu!"
Mengkelap wajah Beliung Kutuk mendengar
ejekan Nyi Bawung. Tiba-tiba tangan kirinya sudah
berada di depan dada, sementara kepalanya sedi-
kit ditegakkan. Sepasang matanya melotot gusar,
seperti hendak menelan Raja Naga yang dua kali
menghalangi niatnya.
Raja Naga memperhatikan tak berkedip. Ba-
tinnya mengatakan kalau si Kontet hendak menge-
luarkan salah satu ilmunya yang sudah tentu tak
bisa dipandang sebelah mata.
Di belakangnya, Pratiwi berbisik, "Boma...
apa yang harus kulakukan? Dalam keadaan seper-
ti ini aku seperti berada dalam pasungan."
"Kau tetap berada di dalam air. Usahakan
jangan menampakkan bagian tubuhmu. Pratiwi...
aku akan meneoba memaneing manusia kontet itu
untuk mengalihkan perhatiannya sejenak darimu.
Setelah itu, kau eepat keluar dari dalam air. Men-
gerti?"
Pratiwi mengangguk. "Ya, ya...."
Di seberang Beliung Kutuk masih berdiri te-
gak, tetapi sekarang mulutnya telah berkemak-
kemik.
Nyi Bawung terkikik-kikik sambil mundur
dua langkah.
"Busyet! Kau mau keluarkan Ilmu Tongkat
Menohok Matahari’? Wah! Mana bisa kau pergu-
nakan ilmu jelek kayak begitu?!"
Beliung Kutuk tak mempedulikan ejekan itu
kendati hatinya menjadi mangkel. Karena ucapan
Nyi Bawung itu mengingatkannya akan kekala-
hannya dari Nyi Bawung.
Raja Naga sendiri tetap berdiri tegak di da-
lam air. Lambat-lambat dilihatnya dari kawat yang
melingkari ujung tongkat si Kontet mengeluarkan
asap hitam yang menyebarkan bau busuk. Bahkan
baunya telah tercium oleh Raja Naga dan Pratiwi.
Menyusul asap hitam yang menyebarkan
bau busuk itu melingkar-lingkar ke udara dan
mengeluarkan suara cukup keras.
Mendadak....
Wussss!!
Pusaran asap hitam yang menyebarkan bau
busuk itu meliuk, dan menyerbu ganas ke arah
Raja Naga. Kendati telah bersiaga untuk mengha-
dapi serangan si Kontet, tetapi pemuda dari Lem-
bab Naga itu tersentak juga.
Dia mendeham, yang merupakan pengera-
han tenaga dalam yang dapat memutuskan seran-
gan lawan.
Blaaammm!!
Letupan itu terdengar cukup memekakkan
telinga. Asap hitam yang menyerbu ke arahnya
meletup dan lenyap. Tetapi secara mengejutkan,
asap hitam busuk itu muncul kembali dan meng-
gebrak. Pusarannya bertambah membesar. Pepo-
honan yang tumbuh di sekitar sungai itu, lang-
sung mengering dedaunannya.
"Astaga!" seru Raja Naga tertahan. Segera
saja didorong kedua tangannya untuk melepaskan
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'.
Serta-merta menderu gelombang angin yang
disemburati asap merah, menabrak pusaran asap
hitam yang menyebarkan bau busuk.
Bertemunya dua tenaga dalam tingkat tinggi
itu menyebabkan air sungai muncrat setinggi dua
tombak dan asap hitam serta merah berhamburan
di udara. Bau busuk menyengat keras.
Sosok Raja Naga terbanting, menimpa tu-
buh Pratiwi yang masih merendam di belakangnya.
Gadis itu menjerit tertahan. Raja Naga sendiri se-
gera berdiri kembali. Sekujur tubuhnya basah.
Di seberang. Beliung Kutuk berada dalam
tahanan kedua tangan Nyi Bawung. Rupanya lela-
ki tua kontet itu pun terlempar ke belakang yang
segera ditangkap oleh Nyi Bawung.
"Sudah kubilang ilmu yang kau pergunakan
itu tak berguna!" gerutu Nyi Bawung.
Beliung Kutuk melotot. Tangan kanannya
yang memegang tongkat bergetar. Dari mulutnya
mengalir darah segar yang tak dirasakannya.
"Kalau sudah tahu begitu, mengapa kau di-
am saja?!" makinya gusar.
"Hik hik hik... diam saja bagaimana? Kau
sendiri yang mengambil bagianku! Kau tahu kan.
kalau pemuda itu adalah bagianku?!"
"Cepat kau bunuh dia!"
Tak!
Kepala Beliung Kutuk kena jitak Nyi Bawung.
"Enaknya ngomong! Kalau dia mampus, aku
mau berbagi kenikmatan sama siapa?! Sama kau
yang punya barang segede kelingking itu?!"
Beliung Kutuk memaki-maki. Bara dendam
dan amarah bergolak di dadanya. Ketika dia hen-
dak melancarkan serangan Nyi Bawung mendesis,
"Busyet! Katanya pemuda itu bagianku? Kenapa
masih mau menyerang juga?!"
"Pemuda itu penghalang bagiku untuk
mendapatkan gadis itu! Aku sudah tidak sabar un-
tuk membunuhnya!"
"Membunuh pemuda itu atau menggeluti si
gadis?!"
Beliung Kutuk memaki-maki tanpa kelua-
rkan suara.
Raja Naga masih memperhatikan masing-
masing orang yang bertingkah laku aneh itu. Dili-
riknya Pratiwi yang masih merendam di dalam air
sambil mengusap kepalanya. Bahu kanannya se-
dikit memerah akibat tertimpa tubuhnya tadi.
"Huh! Mengapa aku mesti terbawa arus
emosi gairahku tadi? Padahal aku bisa segera me-
lanjutkan perjalanan bersama Pratiwi ke Pusara
Keramat untuk mengabarkan pada Malaikat Biru
kalau bencana akan datang padanya. Apakah saat
ini Datuk Meong Moneng telah berjumpa dengan
Kembang Darah? Ah, aku masih belum tahu kea-
daan Lesmana dan Ratih. Dan kedua manusia
aneh itu...."
Raja Naga memutus kata batinnya sendiri.
Parasnya kini menegang. Kedua matanya makin
angker. Kemarahan sudah melanda diri murid De-
wa Naga itu.
Di seberang Nyi Bawung sedang berkata,
"Mengapa aku tidak segera menyerangnya, begitu
kan pertanyaanmu, Kontet? Karena... aku sedang
berpikir!"
"Berarti kau harus menghisap pepaya bu-
sukmu sendiri!" maki Beliung Kutuk jengkel.
Nyi Bawung terkikik-kikik.
"Mana bisa aku menghisap buah dadaku
yang montok ini? Kalau menghisap... hik hik hik...
malu, ah!"
Beliung Kutuk memaki-maki. Penasaran
masih melanda dirinya. Berulang kali dicobanya
untuk melihat tubuh Pratiwi yang semakin mem-
benamkan tubuhnya di dalam air sungai.
"Kau berpikir apa?!"
"Serangan pemuda tampan itu!"
"Kenapa dengan serangannya?!"
"Rasanya... aku seperti pernah mendengar
kehebatan sebuah jurus sekitar tiga puluh tahun
yang lalu! "
"Kau masih muda waktu itu!"
"Hik hik hik... saat ini aku juga masih mu-
da, masih bergairah, masih penuh pesona dan ma-
sih...."
"Terus apa?!" bentak Beliung Kutuk bosan.
Matanya terus berusaha mencuri lihat tubuh Pra-
tiwi.
"Hik hik hik... ya, ya... aku ingat sekarang.
Hei, Kontet! Apakah kau lupa dengan seseorang
yang menghuni Lembah Naga?"
"Lembah aneh yang seluruhnya berwarna
merah?"
"Tidak salah!"
"Kenapa dengan penghuni Lembah Naga
yang berjuluk Dewa Naga itu?!"
"Nah, itu dia! Aku yakin, yakin sekali... ka-
lau jurus yang diperlihatkan si pemuda saat me-
nahan serangan jelekmu itu, adalah salah satu ju-
rus milik Dewa Naga!"
"Sinting! Apa kau pikir Dewa Naga menjadi
muda kembali?!"
"Dasar kontet! Sudah jelas itu tidak mung-
kin! Kita juga sudah sama-sama mendengar, kalau
Dewa Naga mempunyai seorang murid! Muridnya
itulah yang menghabisi jejak Dadung Bongkok, Ra-
tu Sejuta Setan dan Hantu Menara Berkabut!"
"Lalu kau pikir pemuda itu adalah murid
Dewa Naga?!"
"Siapa lagi? Pemuda itu tentunya orang
yang berjuluk Raja Naga!!"
***
DUA
SEKETIKA kepala bulat Beliung Kutuk me-
negak. Sorot matanya bertambah penuh bahaya.
"Laknat!! Jadi dia yang telah membunuh saudara-
ku si Dadung Bongkok?!" geramnya setinggi langit.
"Siapa lagi? Nah! Ketimbang kita harus
mencari Kembang Darah yang telah memiliki Bun-
ga Kemuning Biru, mengapa tidak kau tuntaskan
dulu saja dendammu? Cuma ingat... pemuda itu
tidak boleh kau bunuh dulu sebelum kuperas te-
naganya untuk memuaskankull"
Sementara Beliung Kutuk dibuncah amarah
tinggi, tanpa sadar Raja Naga menjadi sedikit te-
gang.
"Astaga! Rupanya si kontet yang bernama
Beliung Kutuk itu saudara dari Dadung Bongkok?
Ah... nampaknya urusan ini akan lebih lama, pa-
dahal aku harus segera menuju ke Pusara Kera-
mat. Aku juga masih memikirkan satu kejanggalan
yang terjadi ketika aku dan Pratiwi berjumpa den-
gan Datuk Meong Moneng... apakah sebaiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri, pemuda be-
rambut dikuncir kuda itu sudah mendorong tan-
gan kanan kirinya, melepaskan jurus 'Kibasan Na-
ga Mengurung Lautan'.
Baik Beliung Kutuk maupun Nyi Bawung
sama-sama membuang tubuh ke samping kanan.
Raja Naga terus melancarkan serangannya tanpa
bergeser dari tempatnya. Di saat kedua orang aneh
itu terus menghindari serangannya, disambarnya
tangan kanan Pratiwi. Lalu ditariknya.
"Sekarang!!"
Walaupun tidak sigap, Pratiwi masih bisa
memahami apa yang diinginkan Raja Naga. Diban-
tu sentakan tangan kanan anak muda itu, dike-
rahkan ilmu peringan tubuhnya untuk melompat.
"Heiiii!!"
Beliung Kutuk berteriak ketika melihat tu-
buh Pratiwi melayang dan hinggap di balik semak.
Diiringi kemarahan tinggi, dia memburu ke sana.
Raja Naga yang tak perlu lagi menghalangi
tubuh Pratiwi yang masih polos dari pandangan
Beliung Kutuk, segera melompat keluar dari dalam
sungai untuk menghadang gerakan Beliung Kutuk.
Tetapi satu sambaran kuat dari samping kanannya
membuatnya harus membuang tubuh ke samping
kanan.
"Biarkan temanku itu bermain-main dengan
gadismu. Anak muda! Untukmu, biar kulayani...."
Nyi Bawung terkikik sambil mengunyah sirihnya.
Raja Naga terdiam dengan mata memieing.
"Pratiwi tentunya bisa menghadapi lelaki
tua kontet itu bila dia sudah berpakaian. Dan ten-
tunya dia sudah berpakaian sekarang. Hemm... bi-
ar kuhadapi nenek ini...."
"Ayo, ayo, anak muda! Ingin kulihat kau
dapat apa dari Dewa Naga?!" seru Nyi Bawung.
"Atau... kau sebenarnya sudah tidak sabar untuk
menggeluti tubuhku? Hanya karena ada gadis itu
saja kau merasa enggan? Hik hik hik... ayolah! Ti-
dak perlu malu-malu sekarang, toh dia sedang
asyik melayani si Kontet!"
Raja Naga tak mempedulikan ueapan itu.
"Kita sama-sama tidak saling kenal, tetapi
kau dan temanmu itu telah buka urusan! Sudah
jelas aku tak bisa menghindarinya begitu saja!"
"Betul sekali! Apalagi ternyata kau adalah
pemuda berjuluk Raja Naga yang harus kulumat
habis!!"
Belum habis gema suaranya, si nenek ber-
pakaian hitam eompang-eamping itu sudah mele-
sat ke arah Raja Naga. Kaki kanan kirinya berge-
rak seeepat angin, yang terlihat hanyalah kepulan
debu dan tanah. Serangkum angin telah mendahu-
lui lesatan tubuhnya.
Raja Naga melirik. Kejap lain dijejakkan ka-
ki kanannya di atas tanah. Segera tanah berderak,
bergelombang dan menghambur ke arah Nyi Ba-
wung.
Nyi Bawung cuma mendengus. Tanpa men-
gurangi kecepatan lesatan tubuhnya, tangan ki-
rinya dipukulkan ke bawah.
Blaaaarrr!!
Tanah berderak yang mengarah ke arahnya
itu terhenti di tengah jalan dan meletup di udara.
Raja Naga terkesiap, apalagi ketika tangan
kanan kiri Nyi Bawung siap menjotos wajahnya.
Serentak dipalangkan kedua tangannya di depan
kepala, menyusul digerakkan.
Buk! Buk!
Tangan kanan kiri Raja Naga yang dipenuhi
sisik coklat sebatas lengan itu memiliki kekuatan
yang mematikan. Kalau si pemuda menghenda-
kinya dia dapat memukul hancur sebuah pohon
menjadi serpihan. Dan kali ini, mengingat urusan
yang harus segera diselesaikannya. Raja Naga
memutuskan untuk memberi pelajaran Nyi Ba-
wung.
Nyi Bawung memang terpental ke belakang
disertai suara mengaduh. Tetapi tubuhnya yang
masih berada di udara tiba-tiba saja berputar
Des! Des!
Kaki kanan kirinya menyambar telak dada
Raja Naga yang terhuyung ke belakang. Belum lagi
Raja Naga dapat menguasai keseimbangannya, Nyi
Bawung telah meluneur dengan kedua kaki yang
bergerak-gerak di udara.
Dalam keadaan terhuyung seperti Itu, Raja
Naga sulit untuk menghindar. Tetapi dia masih
dapat memiringkan tubuhnya, bahkan melanear-
kan pukulan.
Plak!
Pukulannya tersampok kaki kanan Nyi Ba-
wung yang begitu jatuh segera memukulkan tan-
gan kanannya di tanah. Seketika tubuhnya me-
lenting ke udara dan hinggap di atas tanah sambil
terkikik-kikik. Cairan merah yang berasal dari si-
rih yang dikunyahnya bermuneratan.
Sejarak sepuluh langkah. Raja Naga berdiri
sambil memegangi dadanya.
"Tak bisa kubiarkan ini berlarut-larut. Ter-
paksa aku harus bertindak lebih kasar...," desis-
nya dalam hati. Mendadak saja Raja Naga menoleh
ke arah belukar di samping kanannya dengan wa-
jah tegang.
Nyi Bawung mengerti apa yang membuat
Raja Naga menjadi tegang.
"Hik hik hik... tak perlu gusar seperti itu,"
desisnya yang sama sekali tidak terlihat merasa
kesakitan pada tangan kanan kirinya. "Sudah ten-
tu gadismu lagi asyik melayani si Kontet! Sungguh
hebat kalau si Kontet itu mampu memberikan ke-
nikmatan yang sama pada gadismu! Padahal... hik
hik hik... paling gede barangnya euma sekelingk-
ing!"
Memerah paras Raja Naga karena amarah.
Memang, setelah terlempar ke balik semak dan di-
buru oleh Beliung Kutuk, baik Pratiwi maupun Be-
liung Kutuk belum terlihat batang hidungnya. Raja
Naga menjadi gusar.
"Nyi Bawung! Kaulah yang akan mengganti-
kan Beliung Kutuk untuk menerima kemarahan-
ku!!"
Belum habis kata-katanya terdengar. Nyi
Bawung sudah menerjang ke depan. Gelombang
angin bergemuruh dahsyat menerjang ke arah Ra-
ja Naga. Yang diserang hanya menjerengkan mata.
Keangkeran terpanear dalam dari sana.
Tanpa bergeser dari tempatnya, anak muda
dari Lembah Naga ini sudah mendorong kedua
tangannya ke depan. Menderu pula gelombang an-
gin yang mematahkan gelombang angin dari Nyi
Bawung. Nyi Bawung masih dapat meliukkan tu-
buhnya untuk menghindari serangan susulan
yang dilancarkan Raja Naga. Raja Naga sendiri me-
lompat memburu.
Tap! Tap!!
Telapak tangan masing-masing orang ber-
temu. Menempel kuat hingga menimbulkan asap
hitam. Nyi Bawung terkikik seraya melipatganda-
kan tenaga dalamnya. Di pihak lain. Raja Naga te-
tap terlihat tenang.
Tetapi dua kejap kemudian, wajahnya me-
negang. Karena dirasakan hawa panas masuk ke
dalam tubuhnya.
"Celaka! Hawa panas ini bukan hanya
membuat tubuhku seperti terbakar, tetapi juga
menyedot tenaga dalamku!" desisnya. Keringat
mulai bereueuran. Gigi-giginya mulai terdengar
bergemelutuk. Tubuhnya bergetar.
"Sungguh mengherankan, bagaimana kau
bisa membunuh yang lainnya, hah?!" ejek Nyi Ba-
wung.
Tubuh Raja Naga terus bergetar.
"Celaka! Hawa panas ini semakin kuat! Aku
harus berbuat sesuatu!!" desisnya dengan wajah
makin berkeringat. Secara tiba-tiba anak muda be-
rompi ungu itu mendeham kecil, seraya mendo-
rong kedua telapak tangannya.
Wussss!!
Nyi Bawung tersentak kaget ketika merasa-
kan wajahnya seperti ditampar satu tenaga tak
nampak. Belum disadari apa yang terjadi, tubuh-
nya sudah terpental ke belakang dan terbanting
kuat di atas tanah setelah menabrak pohon yang
langsung tumbang.
Raja Naga sendiri terpelanting di atas tanah.
Sesaat anak muda ini terlentang dengan napas
megap-megap. Dia memang belum bertindak pe-
nuh, karena tak ingin memancing silang sengketa
lebih panjang. Namun akibat dari niatnya itu, ju-
stru dapat mencelakakan dirinya.
"Pratiwi!" sentaknya tiba-tiba seraya berdiri.
Segera dia melompat ke balik semak.
Wussss!!
Satu tenaga tak nampak yang keluar dari
tangan kanan Nyi Bawung memutuskan niatnya.
Bersamaan sebuah pohon terhantam tenaga itu
yang tumbang seketika. Raja Naga bergulingan ke
belakang.
Tiba-tiba... euiihhh!
Craaaattt!!
Cairan merah yang berasal dari kunyahan
sirih Nyi Bawung menyerbu ke arahnya, Raja Naga
memutar tangan kanannya seraya bergulingan lagi.
Sebagian cairan merah itu tertahan, dan le-
nyap ditelan pusaran angin yang dilepaskan Raja
Naga. Sebagian lagi menghanguskan semak belu-
kar di belakang anak muda itu.
"Kau tak akan bisa meloloskan diri. Pemuda
celaka!!"
Nyi Bawung menerjang. Kali ini apa yang
diperlihatkannya sungguh aneh, karena tubuhnya
melompat-lompat ke depan. Dan lompatannya se-
makin lama semakin tinggi, bahkan dua kali mele-
bihi tingginya Raja Naga. Dan setiap kali dia me-
lompat, laksana sebuah palang tegak lurus dengan
langit, menggebah satu tenaga tak nampak.
Raja Naga kali ini memutuskan untuk tidak
bertindak ayal lagi. Terpaksa hal itu dilakukan,
mengingat nyawanya bisa putus sekarang juga bila
dia masih bertindak setengah-setengah. Di samp-
ing itu, dia juga merasa heran sekaligus cemas
mengapa Pratiwi belum muncul. Termasuk Beliung
Kutuk. Bahkan tak ada tanda-tanda pertarungan
di balik semak.
Selagi Nyi Bawung melompat tinggi dan Raja
Naga harus membuang tubuh karena tenaga tak
nampak menderu ke arahnya, segera saja dijejak-
kan kaki kanannya di atas pohon yang telah tum-
bang.
Wuuuttt!!
Tubuhnya meluneur ke atas laksana anak
panah! Nyi Bawung menggerakkan kaki kanannya,
meneoba menginjak kepala Raja Naga. Namun pe-
muda itu sudah menahan dengan tangan kanan-
nya. Masih di udara tubuhnya berputar dan....
Des! Des!
Jotosannya yang mengandung tenaga dalam
tinggi mampir di dada Nyi Bawung yang meluncur
ke belakang dengan deras.
Braaakk!
Tubuhnya menabrak sebuah pohon bagian
atas, lalu terpelanting di atas tanah dalam kedu-
dukan tengkurap. Terlihat si nenek masih berusa-
ha untuk bangkit.
Kalau saja Raja Naga menginginkan kema-
tian nenek berpakaian compang-camping itu, den-
gan mudah dilakukannya sekarang juga. Namun
pemuda dari Lembah Naga ini tak menginginkan
hal itu sama sekali. Dia segera melompat ke balik
ranggasan semak untuk melihat keadaan Pratiwi.
"Pratiwi! Di mana kau?!" serunya ketika
hanya menemukan pakaian dan jubah Pratiwi
yang tergeletak di balik semak. Dipungutnya ben-
da-benda itu dengan perasaan yang semakin tak
menentu. Kecemasannya kian menjadi-jadi. Sem-
bari berseru-seru memanggil Pratiwi diselusurinya
jalan setapak yang terdapat di balik semak belukar.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Mata
angkernya menatap tak berkedip pada satu sosok
tubuh yang tergeletak dengan dada bolong di atas
tanah berumput!
"Gila! Apa yang terjadi? Siapa yang melaku-
kannya?" serunya sambil memeriksa tubuh yang
telah menjadi mayat itu. Untuk beberapa saat pe-
muda berompi ungu ini hanya memandangi saja.
"Apakah Pratiwi yang melakukan ini?" desisnya la-
gi. "Tidak! Tidak mungkin! Dia dalam keadaan tak
berpakaian, terbukti pakaian dan jubah putihnya
kutemukan di sana. Tetapi... kalau bukan dia, sia-
pa yang telah membunuh Beliung Kutuk?"
Untuk sesaat Raja Naga terdiam, otaknya
berpikir keras.
"Dalam keadaan terpaksa, seseorang dapat
bertindak di luar kesadarannya. Bisa jadi memang
Pratiwi yang melakukan hal ini walaupun tanpa
pakaian. Kalau begitu... di mana dia sekarang?
Apakah dia juga terluka atau... dia telah tewas di
satu tempat?"
"Keparat bersisik! Berani-beraninya kau
membunuh sahabatku, hah?!" bentakan itu meng-
gema di belakang Raja Naga disusul satu gelom-
bang angin yang menyeret ranggasan semak belu-
kar di belakangnya.
Raja Naga membalik seraya mendeham. Ge-
lombang angin itu putus di tengah jalan didahului
satu letupan keras yang membongkar tanah.
Buk! Buk!
Tangan kanannya bergerak eepat, menahan
jotosan Nyi Bawung yang berteriak setinggi langit.
"Aku tak membunuh si Kontet ini!" seru Ra-
ja Naga seraya mundur
Nyi Bawung yang sudah murka karena ber-
hasil dipercundangi dan lebih murka lagi melihat
si Kontet terkapar dengan dada bolong, menerjang
membabi buta. Serangannya justru lebih ganas
dari sebelumnya. Ranggasan semak terpapas rata
ujungnya, tanah terbongkar dan letupan keras be-
berapa kali terdengar.
Raja Naga hanya menghindar saja. Dipu-
tuskan untuk segera menjauh dari tempat itu. Da-
lam satu kesempatan, pemuda gagah bersorot ma-
ta angker ini sudah berkelebat.
Tinggallah Nyi Bawung yang memaki-maki
panjang pendek. Pepohonan yang tumbuh di sana
menjadi sasaran kemarahannya. Berhamburan
laksana serpihan.
Tiba-tiba dia jatuh terduduk di samping
mayat Beliung Kutuk. Dipandanginya si Kontet
yang tak akan pernah bergerak lagi dengan kema-
rahan dan dendam membara.
Menyusul dia meraung-raung sangat keras.
Hampir setengah peminuman teh Nyi Bawung te-
rus meraung-raung sampai suaranya menjadi se-
rak.
Tetapi tak ada tanda-tanda dia letih. Yang
terlihat justru kemarahan yang membabi buta. Di-
pandanginya tubuh si Kontet yang dadanya bo-
long.
"Beliung Kutuk! Masih ada sesuatu yang tak
kuceritakan padamu mengapa aku memburu Ma-
laikat Biru!" desisnya pada angin, karena Beliung
Kutuk sudah tak mungkin bisa mendengar atau
berucap. "Hal itu memang kusembunyikan dari-
mu, karena aku tak ingin kau khianati! Biarpun
kau sebagai sahabat baikku, tetapi untuk yang sa-
tu itu aku harus berhati-hati!"
Dipandanginya wajah si Kontet yang kaku.
"Aku telah mendengar sesuatu yang tak
pernah orang lain tahu kecuali Malaikat Biru dan
mendiang Durga Marakayangan. Pusara Keramat!
Ya, di Pusara Keramat terdapat sesuatu yang luar
biasa, sesuatu yang membuatku penasaran untuk
mengetahui sekaligus memilikinya! Tetapi, pengha-
lang masih ada di sana, yakni Malaikat Biru! Itu-
lah sebabnya mengapa dia harus mampus lebih
dulu. Beliung Kutuk?!"
Nyi Bawung tiba-tiba menggeram.
"Manusia satu itu hanya bisa mampus den-
gan Bunga Kemuning Biru! Kita harus menda-
patkan benda itu agar dapat meNyingkirkannya
hingga kita bebas menemukan sesuatu yang ter-
sembunyi di Pusara Keramat! Tetapi sayang,
sayang sekali... kau telah mampus, Kontet!"
Si nenek tiba-tiba mengikik, kesedihan dan
kemarahannya seolah berubah menjadi uap.
"Aku yang akan mendapatkannya sesuai
dengan keinginanku, Kontet! Aku akan tetap men-
cari benda itu!!"
Diiringi kikikannya, ditendangnya tubuh
Beliung Kutuk yang terlempar dan jatuh entah di
mana. Lalu sambil terkikik keras, nenek berpa-
kaian compang-camping itu berlalu dari sana.
***
TIGA
GARANGNYA sinar matahari mulai berang-
sur meredup. Angin yang ditaburi debu-debu pa-
nas pun kini tak lagi sepanas sebelumnya. Di ke-
jauhan nampak bayangan beberapa ekor burung
yang terbang menyongsong tenggelamnya mataha-
ri. Beberapa helai dedaunan kering gugur, me-
layang dibawa angin dan jatuh entah di mana.
Lelaki tua berpakaian hitam yang di dada
kanan kirinya terdapat sulaman keris bereluk de-
lapan itu bangkit dari duduknya. Parasnya yang
dipenuhi keriput begitu geram, pertanda dia se-
dang dilanda amarah. Apalagi ketika diliriknya
tangan kirinya yang telah buntung, kemarahan
semakin nampak di wajahnya.
"Setan alas! Mengapa aku harus terpaneing
ueapan perempuan mesum itu?!" makinya sambil
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah.
Rambut panjangnya yang diikat dengan kain war-
na putih berlompatan sesaat. Diangkat kepalanya,
ditatapnya kejauhan tanpa diketahuinya apa yang
menarik untuk ditatapnya. Tetapi sorot matanya
memancarkan sinar bahaya. "Datuk Meong Mo-
neng!" geramnya sengit. "Kakek muka kucing itu
harus kubunuh!"
Untuk beberapa saat lelaki tua yang bukan
lain Setan Keris Kembar ini terdiam dengan sepa-
sang rahang mengatup keras. Dadanya turun naik
dibuncah kemarahan.
"Terkutuk!" makinya lagi. "Sejak semula aku
berniat untuk membunuh Malaikat Biru, tetapi se-
telah bertemu, semua harapanku putus! Aku tak
akan mampu menghadapinya sebelum Bunga Ke-
muning Biru kudapatkan dari tangan Datuk
Meong Moneng, manusia eelaka yang telah mem-
buntungi tangan kiriku!!"
Setan Keris Kembar terdiam lagi. Ingatan-
nya kembali pada Kembang Darah, gadis berku-
tang merah yang berhasil mengatakan kalau Bun-
ga Kemuning Biru berada di tangan Datuk Meong
Moneng. Setan Keris Kembar sama sekali tidak ta-
hu kalau dia telah masuk perangkap yang dimain-
kan Kembang Darah. Akibatnya, tangan kirinya
harus buntung akibat sambaran eakar Datuk
Meong Moneng! Yang menyakitkan hatinya, ter-
nyata dia ditolong oleh Malaikat Biru yang justru
hendak dibunuhnya! (Untuk lebih jelasnya, teman-
teman pembaea bisa membaeanya dalam episode :
"Jejak Malaikat Biru").
Tiba-tiba Setan Keris Kembar memalingkan
kepalanya ke kanan. Dibuka indera pendengaran-
nya tajam-tajam.
"Kakang! Sebaiknya kita beristirahat saja
dulu...," terdengar suara seorang gadis.
"Ratih... waktu kita sangat sempit. Kita ha-
rus menemukan Raja Naga untuk membebaskan
totokan pada dirimu."
"Kakang... jangan terlalu memaksakan diri.
Aku tahu kau lelah."
"Tidak! Aku tidak lelah!" sahut si pemuda,
tetapi suaranya terdengar tersendat bersama he-
laan napasnya yang berat.
"Kakang... beristirahatlah. Waktu kita masih
banyak."
"Totokan pada tubuhmu bila tidak segera
ditemukan dan dibebaskan dapat mengakibatkan
kelumpuhan pada dirimu, Ratih."
"Aku tahu. Tapi aku tak ingin kau terlalu
banyak membuang tenaga."
Si pemuda menghentikan langkahnya. Di-
tundukkan kepalanya pada gadis yang berada da-
lam bopongannya.
"Baiklah. Kita beristirahat dulu," katanya
sambil melangkah lagi untuk mencari tempat yang
nyaman.
Setan Keris Kembar segera mengempes tu-
buh ke atas sebuah pohon. Tak lama kemudian di-
lihatnya seorang pemuda tampan bertelanjang da-
da sedang membopong seorang gadis yang nampak
tak berdaya.
Tak jauh dari tempat di mana Setan Keris,
Kembar tadi duduk, si pemuda berhenti dan me-
nurunkan tubuh si gadis di atas tanah dalam ke-
dudukan terlentang.
Setan Keris Kembar segera menyembunyi-
kan tubuhnya di balik dedaunan.
"Kakang Lesmana... sudah berhari-hari kita
mencari Raja Naga, tetapi belum kita temukan ju-
ga. Begitu pula dengan Malaikat Biru. Ah, aku se-
makin tidak enak padamu, Kakang...."
'"Hus!" si pemuda yang bukan lain Lesmana
meletakkan telunjuknya pada bibir merah keka-
sihnya. "Tidak perlu kau berkata begitu, Ratih. Bi-
ar bagaimanapun juga aku harus tetap menjagamu....
Ratih menarik napas pendek. Ditatapnya
wajah tampan kekasihnya itu yang bertelanjang
dada, karena pakaiannya dikenakan olehnya. Di-
alihkan pandangannya ke tempat lain, diperhati-
kannya pepohonan.
Tiba-tiba dirasakan sentuhan lembut pada
bibirnya. Sejenak Ratih melengak, tetapi di saat
lain dibalasnya ciuman Lesmana. Ingin sekali Ra-
tih dapat merangkul tubuh kekasihnya. Tetapi hal
itu tak bisa dilakukan karena dirinya masih dalam
keadaan tertotok. Hanya kepalanya yang dapat di-
gerakkan.
Lesmana terus mencium bibir kekasihnya
dengan penuh kasih sayang. Saat ini yang dapat
dilakukannya memang hanya menjaga Ratih. Se-
sungguhnya ada keinginan di hati Lesmana untuk
menemukan perempuan berjuluk Kembang Darah
yang telah mengambil Bunga Kemuning Biru dari
tangan Ratih.
Tiba-tiba didengarnya Ratih berbisik, "Ada
orang di atas, Kakang. Jangan... jangan bergerak.
Teruslah menciumku. Lalu bawa aku ke tempat
yang aman. Aku tak ingin ada keributan di saat
keadaanku seperti ini..."
"Di mana orang itu, Ratih?" tanya Lesmana
sambil terus berlagak menciumi kekasihnya. Ha-
tinya tiba-tiba saja menjadi sedikit tidak enak.
"Di pohon sebelah kananmu...."
"Kau mengenalinya?"
"Tidak... oh, aku... mengenalinya...."
"Siapa?"
"Kalau tak salah... kakek itulah yang berta-
rung dengan Datuk Meong Moneng di Tanah Ke-
matian,..."
Lesmana terdiam sejenak sebelum berkata,
"Aku ingat sekarang siapa orang itu. Kalau tidak
salah, dia berjuluk Setan Keris Kembar yang mun-
eul bersama seorang perempuan berpakaian me-
rah yang berjuluk Dewi Perenggut Sukma...."
"Aku baru tahu kalau kau mengenal mereka."
"Ketika kau menghilang dan kubaca tulisan
di atas tanah, kusangka perempuan itu adalah
Kembang Darah. Ratih, kita harus berhati-hati.
Dewi Perenggut Sukma dan Setan Keris Kembar
juga menginginkan Bunga Kemuning Biru.
Hemmm... sebaiknya, kubawa kau ke tempat
aman...."
Perlahan-lahan Lesmana mengangkat kepa-
lanya. Sambil mengeraskan suaranya dia membo-
pong tubuh Ratih, "Udara semakin dingin! Kau bi-
sa menghangatiku. Sayangi"
"Ih! Kau membuatku malu, Kakang!"
"Kau malu atau mau?" sahut Lesmana
sambil tertawa.
"Mengapa masih bertanya? Ayolah... cari
tempat yang sedikit tersembuNyi biar kita bebas
melakukan apa yang kita inginkan."
Sambil bersiaga dan sengaja tertawa keras,
Lesmana membopong tubuh Ratih menjauh dari
sana. Lalu dengan cepat dia menyelinap ke balik
semak.
"Aku akan mengalihkan perhatian kakek
itu...," bisik Lesmana setelah merebahkan tubuh
Ratih di atas tanah.
"Kakang...."
Lesmana menatap kekasihnya.
"Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Kau
aman di sini," jawabnya dan setelah melihat Ratih
mengangguk, anak muda berikat kepala merah itu
sudah bergerak eepat.
Sementara itu Setan Keris Kembar telah tu-
run dari atas pohon.
"Hemm... Kalau tak salah ingat, pemuda itu
adalah pemuda yang menyangka Dewi Perenggut
Sukma adalah Kembang Darah," desisnya. Tiba-
tiba dia memaki, "Terkutuk! Di mana perempuan
eabul itu?!"
Dari memaki terlihat paras keriput Setan
Keris Kembar menjadi eerah. Matanya berkilat-
kilat lieik.
"Mengapa harus memikirkan perempuan
itu?" desisnya, ada nada puas dalam suaranya.
"Mengapa tidak kucari kenikmatan saja pada gadis
yang sepertinya tertotok itu?"
Sambil tertawa Setan Keris Kembar segera
berlari ke arah yang dituju Lesmana dan Ratih ta-
di. Lesmana yang sudah berada di balik semak
mendesis, "Aku harus mengalihkan perhatiannya
dari Ratih."
Ditunggunya sampai kakek berlengan kiri
buntung itu mendekat. Dia akan langsung menye-
rangnya dan membawanya menjauh dari sana. Te-
tapi sebelum dilakukannya tiba-tiba saja terdengar
suara, "Setan Keris Kembar! Mengapa kau berlari
ke sana? Apakah kau tidak rindu padaku?!"
Setan Keris Kembar menghentikan larinya
dan berbalik. Dilihatnya satu sosok tubuh berku-
tang merah berdiri sambil menyeringai. Kontan Se-
tan Keris Kembar terbahak-bahak. Ingatannya pa-
da Ratih dan Lesmana lenyap.
"Bagus kau muneul di hadapanku selagi
aku membutuhkanmu, Kembang Darah!"
Orang yang berseru tadi tertawa renyah.
Merentangkan kedua tangannya hingga sepasang
bukit mulusnya yang montok itu bergerak sesaat,
seperti sudah tak tahan untuk membebaskan diri
dari kungkungan kutang merah.
Setan Keris Kembar mendekat sambil ter-
bahak-bahak. Diraihnya pinggang ramping Kem-
bang Darah. Dikeeupinya bibir dan leher perem-
puan itu yang terkikik-kikik dan melingkarkan ke-
dua tangannya pada leher Setan Keris Kembar.
"Kenapa tangan kirimu?" desahnya sambil
menggeliat karena bibir Setan Keris Kembar terus
menyerbu lehernya.
Tanpa mempedulikan pertanyaan Kembang
Darah, Setan Keris Kembar membanting tubuh pe-
rempuan itu di atas tanah. Tangan kanannya me-
narik kutang yang dikenakan Kembang Darah.
Plup!
Sepasang bukit indah montok itu meneuat
keluar yang langsung menjadi sasaran mulut Se-
tan Keris Kembar. Kembang Darah hanya terkikik,
makin terkikik ketika kain hitamnya dibuka oleh
Setan Keris Kembar.
Lesmana yang masih berada di balik rang-
gasan semak, tak mau melihat adegan itu lebih
lanjut. Segera dia kembali ke tempat Ratih.
"Kau berhasil menghindarinya, Kakang?"
"Tidak," jawab Lesmana sambil membopong
tubuh Ratih. "Kita menjauh dari sini."
"Dia... dia masih ada di sini?"
"Ya!" sahut Lesmana kaku. Dia terus berlari.
Ratih merasakan perubahan suara Lesmana.
"Mengapa, Kakang?"
"Perempuan terkutuk berjuluk Kembang
Darah, saat ini bersama Setan Keris Kembari"
Ratih mendesah pendek. Dia mengerti men-
gapa kekasihnya menjadi gusar dan tegang seperti
itu. Karena tentunya dendam pada Kembang Da-
rah belum dapat dibalas saat ini.
Sementara itu Setan Keris Kembar sedang
mendesis kuat hingga urat pada lehernya me-
nyembul keluar. Lalu dia terlungkup di atas tubuh
Kembang Darah yang perlahan-lahan menurunkan
kedua kakinya yang tadi melingkar dan menekan
pinggul Setan Keris Kembar.
Kakek berlengan buntung itu berguling
dengan mata terpejam. Tubuhnya dibaluri kerin-
gat. Napasnya masih memburu. Ketika dibuka ma-
tanya, dilihatnya Kembang Darah sudah menge-
nakan lagi pakaiannya yang berbentuk kutang
berwarna merah.
"Mengapa kau berpakaian?" tanyanya den-
gan suara serak.
"Apakah kau masih menginginkannya?"
Kembang Darah menyeringai.
Setan Keris Kembang mendengus, menya-
dari nada ejekan dalam suara Kembang Darah. La-
lu dikenakan lagi pakaiannya.
"Kau belum menjawab mengapa tangan ki-
rimu buntung," kata Kembang Darah.
"Datuk Meong Moneng yang melakukan-
nya!!" sahut Setan Keris Kembar geram.
Kembang Darah tersenyum.
"Hemmm... sejak semula sudah kuduga ka-
lau dia tak akan mampu mengalahkan Datuk
Meong Moneng. Tetapi paling tidak, aku tahu ka-
lau dia sudah datang ke Tanah Kematian. Berarti
bila Datuk Meong Moneng muncul di hadapanku,
aku tetap bisa menjebak kakek dungu ini," ka-
tanya dalam hati.
Sambil menepuk dada Setan Keris Kembar.
Kembang Darah berbisik, "Maafkan aku... karena
akulah tangan kirimu menjadi buntung..."
"Aku tetap tak bisa mempercayai perem-
puan ini," desis Setan Keris Kembar dalam hati
sambil melirik Kembang Darah yang sedang terse-
n3rum. "Tetapi untuk saat ini, biar aku bersikap
mempercayainya. Terutama... karena aku akan te-
tap menikmati tubuh montoknya... hahaha...."
"Kembang Darah," katanya kemudian. "Aku
tak akan pernah membiarkan Datuk Meong Mo-
neng tertawa akan kemenangannya! Aku akan te-
tap mencarinya...."
"Oh! Apakah kau melakukannya untukku?"
Kembang Darah membuat suaranya senang.
"Ya! Tetapi... mengapa kau menolak mem-
bantuku? Mengapa kau justru berusaha menja-
lankan perintah kakek muka kucing itu untuk
membunuh Raja Naga?"
Perempuan montok berkutang merah itu
menangkap nada tajam dalam suara Setan Keris
Kembar. Dia buru-buru tersen3aim.
"Karena aku tak ingin mendapat celaka...."
"Kau membiarkan aku celaka seperti ini!!"
"Tidak, aku tidak bermaksud begitu," jawab
Kembang Darah dan melanjutkan dalam hati,
"Bahkan aku ingin kau mampus di tangannya
hingga dapat kujalankan seluruh rencana yang
kususun dengan mudah."
Mata Setan Keris Kembar menajam.
"Kalau begitu... kita cari sekarang juga ka-
kek muka kucing itu!"
"Ya! Sudah tentu itu akan kulakukan. Ka-
rena... aku sendiri sudah berhasil melukai Raja
Naga."
"Masa bodoh dengan keberhasilanmu itu!
Aku tetap tak menyukai keadaan seperti ini!"
"Keparat!" dengus Kembang Darah dalam
hati. "Ucapan demi ucapannya membuat kedua
gendang telingaku menjadi panas! Huh! Apakah
dia akan kuhabisi sekarang juga?! Tidak! Dia ma-
sih berguna!"
"Mengapa kau diam?" sambar Setan Keris
Kembar.
Kembang Darah tersenyum.
"Aku sedang berpikir, apakah kita memang
mampu menghadapi Datuk Meong Moneng?"
"Peduli setan! Mampu atau tidak, aku akan
tetap membalas kekalahanku ini!" geram Setan Ke-
ris Kembar. Lalu lanjutnya dalam hati, "Aku ingin
lihat apakah kau memang sedang menjalankan sa-
tu reneana busuk atau tidak?!"
Perempuan berkutang merah itu tersen3rum.
"Kita memang tak boleh membuang waktui Ayo, ki-
ta buru kakek muka kueing itu!"
Setan Keris Kembar segera mengikuti lang-
kah Kembang Darah. Saat itulah dia teringat pada
Lesmana dan Ratih. Tetapi di saat lain, sudah di-
lupakan ingatannya itu.
***
EMPAT
MALAM pun akhirnya jatuh mendekap
alam. Gugusan bintang menampakkan diri dan
memperlihatkan eahayanya yang bila dilihat dari
bumi berkerlap-kerlip. Di bawah naungan rembu-
lan itu dua sosok tubuh bergelut dalam keadaan
polos di atas tanah berumput. Masing-masing
orang saling dekap dengan kuat diiringi napas
memburu.
Dinginnya udara malam, semakin membuat
masing-masing orang berusaha untuk segera tiba
pada puncak tindakan mereka. Keringat sudah
membanjiri tubuh keduanya yang menjadi satu.
Napas semakin memburu.
Tiba-tiba lelaki yang berada di atas tubuh
polos itu menggerakkan kedua tangannya yang di-
penuhi bulu-bulu halus, berguling dan mengang-
kat tubuh molek si perempuan muda ke atas un-
tuk menduduki tubuhnya. Kembali kegiatan itu
mereka lakukan ditingkahi dengusan napas yang
kian memburu.
Perempuan muda yang berada di atas se-
makin menggila menggerakkan pinggulnya. Wa-
jahnya tegang dan memerah. Kedua tangannya se-
perti hendak merobek-robek tubuh si lelaki. Sam-
pai satu ketika gerakan liar si gadis bertambah ee-
pat dan semakin eepat. Men3rusul tubuhnya seper-
ti tersentak mengejut. Dan dia jatuh dalam deka-
pan si lelaki yang menarik tubuhnya.
Lalu terdengar desahan napas diiringi suara,
"Aaaakhh...."
Gerakan liar yang keduanya lakukan tadi
perlahan-lahan melambat. Keringat masih menga-
lir. Si gadis turun dari tubuh di bawahnya, terlen-
tang di atas tanah. Membiarkan tubuh polosnya
bermandikan sinar rembulan.
"Hebat, sungguh hebat...," desis si lelaki
yang wajahnya mirip seekor kucing. Kumis jarang-
nya melintang kaku. Dimiringkan tubuhnya. Dija-
mahnya pa3aidara sebelah kanan si gadis. Dire-
masnya dengan gairah yang masih tersisa.
Si gadis berhidung bangir itu melirik.
"Aku senang dapat memuaskanmu. Guru...."
Lelaki tinggi besar bermuka kucing itu tertawa.
"Aku tak merasa sia-sia memiliki seorang
murid sepertimu.... "
Si gadis tersenyum. Dibiarkannya tangan
penuh bulu halus itu meremas-remas payuda-
ranya.
"Kecerdikan yang kau miliki juga sangat
luar biasa. Kau dapat mengelabui pemuda dari
Lembah Naga itu."
"Aku tak sengaja melakukannya," sahut si
gadis sambil sesekali memejamkan matanya. Sen-
sasi yang tadi dirasakannya terbit kembali akibat
remasan tangan penuh nafsu pada pa3rudaranya
itu.
"Aku tak sabar untuk mendengarnya. Kau
ingat, betapa murkanya aku ketika melihatmu
bersikap kasar saat bersama pemuda itu berjumpa
denganku...."
Si gadis membuka matanya.
"Hal itu terpaksa kulakukan. Guru. Kalau
tidak, pemuda bersisik coklat itu pasti curiga pa-
daku."
"Aku memahaminya, bukan? Bahkan... ha-
haha... tak kusangka kalau aku bisa berlakon se-
perti pentas panggung...."
"Kalau kau tidak bersikap seperti itu, sudah
tentu seluruh rencanaku berantakan."
"Apa yang kau rencanakan?"
"Aku ingin memperalat pemuda itu untuk
dapat menemukan Malaikat Biru. Bukankah Guru
ingin membunuh orang yang mengeluarkan ca-
haya biru dari tubuhnya itu?"
"Tak pernah kupendam keinginan itu!" sa-
hut kakek muka kucing geram.
Kedua orang itu terus bercakap-cakap da-
lam keadaan polos.
"Ketika kucuri dengar percakapan pemuda
berompi ungu itu dengan seorang pemuda berna-
ma Lesmana, aku sedikit terkejut karena menge-
tahui kalau Bunga Kemuning Biru telah diambil
oleh Kembang Darah. Kupikir Kembang Darah
berkhianat padamu, Guru. Tetapi setelah kuden-
gar kalau Kembang Darah menuju ke Tanah Ke-
matian, keterkejutan ku itu sedikit hilang. Saat itu
aku berpikir, kalau Kembang Darah melakukan-
nya atas perintahmu."
Si gadis melihat wajah lelaki tua muka kue-
ing itu berubah. Sejenak dia ragu untuk melan-
jutkan. Tetapi karena orang di sampingnya tak
buka mulut, dilanjutkan ucapannya.
"Tak kusangka kalau pemuda berjuluk Raja
Naga itu kemudian mengetahui kalau aku mencuri
dengar percakapannya. Saat itu pula kubuat per-
mainan yang muncul secara tiba-tiba. Dan selagi
kuperintahkan anak buahku, dia muncul di tem-
patku. Semakin kuperpanjang permainanku, bah-
kan kusesatkan dia menuju ke Tanah Kematian.
Guru... satu hal yang membuatku merasa berada
di atas angin dalam permainan ini, karena Raja
Naga menganggap kehadiranku sebagai sesuatu
yang luar biasa."
"Mengapa?"
"Karena aku mengingatkannya kembali pa-
da kekasihnya yang bernama Diah Harum. Aku
pernah mendengar dia mengucapkan nama itu se-
cara tak sengaja. Tetapi sudah tentu aku berlaku
bodoh. Sampai kita berjumpa dan terpaksa aku
mengingkari siapa dirimu. Guru."
"Aku mengerti mengapa kau melakukannya."
"Dan di sebuah sungai, aku mencoba men-
jerat Raja Naga untuk menggumuli tubuhku. Den-
gan cara seperti itu, aku akan membuatnya ber-
tanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi ternya-
ta dia memiliki mental yang kuat. Hingga aku gag-
al menjeratnya. Dan tak kusangka dua orang aneh
bernama Nyi Bawung dan Beliung Kutuk muncul,
padahal aku masih mencoba untuk menjerat Raja
Naga. Terus terang, kemarahanku sudah tak bisa
kubendung lagi. Tetapi karena di sana ada Raja
Naga, aku harus bersikap sopan, berusaha menja-
dikan diriku sebagai Diah Harum. Makanya aku
tak beranjak dari dalam sungai mengingat tubuh-
ku yang masih telanjang."
"Sampai kemudian kau berhasil melompat
keluar dari sungai itu?" sen3aim Datuk Meong Mo-
neng.
"Itu pun atas bantuan Raja Naga. Dan keti-
ka hendak kukenakan pakaianku. Beliung Kutuk
muncul. Hampir saja kulabrak dia bila saja kau ti-
dak muncul di sana. Guru."
"Aku tak pernah tenang memikirkan kau
bersama pemuda itu."
Si gadis merangkul tubuh gurunya.
"Tak mungkin aku berlaku bodoh. Kalau-
pun aku mencoba menjeratnya agar dia bertang-
gung jawab padaku. Dengan cara seperti itu, dia
dapat dengan mudah kukendalikan."
Si kakek muka kucing mendengus.
"Telah lama kudengar nama Beliung Kutuk
dan Nyi Bawung. Tetapi baru kemarin itu aku me-
lihat mereka. Huh! Bila saja kau tidak menahan-
ku, mungkin Nyi Bawung pun akan menyusul si
Kontet ke neraka!"
"Aku ingin Raja Naga mencariku, karena tak
menemukanku di sana. Pakaian dan jubahku pun
sengaja tak kuambil."
"Ya, ya! Bagus! Kau memang cerdik sekali!"
"Apa rencana Guru sekarang? Mengapa
Guru mengatakan Kembang Darah telah
mengkhianati Guru?"
Wajah kakek muka kucing itu berubah ge-
ram.
"Perempuan keparat itu telah menipuku!
Bunga kemuning biru yang diserahkannya padaku
adalah bunga yang palsu, sementara yang asli ten-
tunya berada padanya!"
"Keparat!" si gadis ikut-ikutan menjadi ge-
ram. "Guru! Kita harus segera menemukannya!"
"Ya!" sahut si kakek sambil bangkit. Dike-
nakan lagi pakaian dan jubah hitamnya. "Kita
memang harus menemukannya!"
Si gadis sendiri segera mengenakan pakaian
berwarna putih kusam yang disambarnya dari je-
muran seorang petani. Lalu dikenakannya celana
pangsi hitam yang juga milik seorang petani.
"Guru... aku punya sedikit rencana."
"Kau memang cerdik! Katakan...."
"Kita berpisah untuk sementara. Maksudku,
bila aku berjumpa dengan Raja Naga, sudah tentu
pemuda itu tak akan curiga. Juga kesempatan un-
tuk menemukan Kembang Darah semakin terbu-
ka, karena kita bisa menyisir jalan yang berbeda
dalam waktu bersamaan."
"Tidak! Sebaiknya kau bersama anak muda
itu menuju ke Pusara Keramat. Ilmu yang dimiliki
Raja Naga tak bisa dipandang sebelah mata. Aku
berharap dia dapat membuka jalan menuju ke Pu-
sara Keramat."
"Kalau begitu, sembari menuju ke Pusara
Keramat, aku akan mencari Kembang Darah," kata
si gadis. "Kebetulan anak muda itu sedang kebin-
gungan akan hilangnya dua sahabatnya yang ber-
nama Lesmana dan Ratih."
"Hmm.... Ratih telah menghilang dari Tanah
Kematian di saat aku menjamu Setan Keris Kem-
bar yang kuberikan kenang-kenangan pada tangan
kirinya! Ya... kau dapat berlagak membantu anak
muda itu untuk menemukan kedua sahabatnya."
"Baiklah, Guru... kita berpisah di sini."
"Kau kutunggu tanpa luka sedikit pun."
Si gadis tersenyum.
"Aku telah menyerahkan seluruh jiwa raga-
ku padamu. Sudah tentu aku tak ingin melihatmu
kecewa bila menemukan luka atau bekas luka pa-
da bagian-bagian tubuhku. Terutama... pada ba-
gian yang dapat menyenangkanmu...."
Kakek muka kucing itu tertawa.
"Tak salah, aku. Datuk Meong Moneng
mengambilmu sebagai murid."
"Dan kau tak salah Guru, mengambilku,
Pratiwi, sebagai muridmu...."
Datuk Moeng Moneng tertawa. Dilihatnya
Pratiwi berlalu dengan mempergunakan ilmu pe-
ringan tubuhnya.
"Aku masih menginginkanmu, Pratiwi!" se-
runya.
Pratiwi cuma mengangkat tangan kanannya
dan tubuhnya pun menghilang di balik semak be-
lukar.
"Murid yang hebat! Tetapi aku tak membu-
tuhkan apa-apa darinya kecuali tubuhnya yang
panasi" tawanya keras. Lalu dipandanginya sekeli-
lingnya. Diyakininya kalau Pratiwi tidak akan
muncul lagi ke tempat itu. "Tak seorang pun yang
tabu, termasuk Pratiwi dan Kembang Darah, apa
yang sebenarnya kuinginkan dari kematian Malai-
kat Biru. Hemmm... kakek bercahaya biru itu me-
mang hanya dapat dibunuh dengan memper-
gunakan Bunga Kemuning Biru. Dan bila dia su-
dah mampus, berarti tak akan ada lagi yang men-
jaga Pusara Keramat. Aku beruntung, sebelum
mampus, Durga Marakayangan menceritakan ten-
tang Pusara Keramat, di mana di dalamnya ter-
simpan sesuatu yang sangat berharga! Ya! itulah
yang kuinginkan sebenarnya!"
Datuk Meong Moneng terdiam dengan na-
pas memburu. Rasa tidak sabar membias pada
wajah kucingnya.
"Raja Naga akan membuka jalan menuju ke
Pusara Keramat!" serunya kemudian sambil berla-
lu dari tempat itu.
***
Malam terus bergerak dengan segala miste-
rinya. Sinar rembulan mulai tak kuasa untuk me-
nembus gumpalan awan hitam yang menghalan-
ginya. Nampak sekali kalau hujan tak lama lagi
akan segera turun.
Tak jauh dari dua buah pohon yang tum-
buh aneh karena kedua akarnya seperti melintir
sementara bagian atasnya bertemu dan bersilan-
gan, terdapat sebuah tempat yang sangat pekat.
Tidak hanya pada malam hari, pada saat matahari
garang bersinar pun tempat itu tetap pekat.
Tiba-tiba terlihat eahaya biru dari tempat
pekat itu yang semakin lama bertambah terang.
Disusul satu sosok tubuh bongkok muncul di
tempat pekat yang seketika menjadi terang oleh
warna biru yang ternyata berasal dari sekujur tu-
buh si kakek.
Kakek yang mengenakan pakaian serba biru
dan di bahunya terdapat empat buah gelang ber-
warna biru ini, memandang kejauhan. Sorot ma-
tanya teduh, wajahnya penuh wibawa. Rambut pu-
tihnya bertambah acak-acakan dipermainkan an-
gin malam.
Si kakek yang tubuhnya memancarkan ca-
haya biru ini menghela napas panjang-panjang.
"Firasatku mengatakan, dua hari lagi tem-
pat ini akan menjadi ajang keributan. Ah... men-
gapa masih ada orang yang ingin menimbulkan pe-
taka?"
Si kakek menghela napas masygul. Tangan-
nya memainkan janggut putihnya.
"Seumur hidupku, aku selalu membela yang
lemah dan menegakkan kebenaran. Tetapi seka-
rang, semua yang pernah kulakukan dulu justru
berbuah kepahitan. Karena begitu banyaknya
orang yang mendendam padaku dan menimbulkan
silang sengketa karena memperebutkan Bunga
Kemuning Biru...."
Si kakek yang bukan lain Malaikat Biru
adanya memandang sekitarnya. Dia tersen3aim
melihat seekor kelinei meliriknya, lalu buru-buru
menjauh.
"Walau begitu, aku tak merasa yakin kalau
orang-orang itu berniat membunuhku. Tidak...
mereka pasti sedang memburu sesuatu yang ter-
sembunyi di Pusara Keramat...."
Si kakek mulai melangkah ke arah timur.
Dihitung langkahnya. Pada langkah kedua puluh
dari tempatnya berdiri tadi, si kakek menghentikan
langkahnya.
"Pusara Keramat, selama aku berdiam di si-
ni, baru tiga kali aku mendatangi tempat itu. Tem-
pat yang merupakan pangkal pertikaianku dengan
Durga Marakayangan. Dan kami sama-sama ber-
janji, siapa pun yang menang atau kalah, tak akan
pernah memberitahukan tentang Pusara Keramat.
Tetapi entah mengapa berita itu sudah tersebar?
Apakah karena aku tinggal di sekitar Pusara Ke-
ramat, yang mana kumaksudkan dapat menjaga
makam itu dari sentuhan dan niatan busuk orang
yang datang?"
Si kakek melangkah lagi, melewati pepoho-
nan dan ranggasan semak yang tinggi. Melihat
keadaan di sekitar sana, jelas sekali kalau tempat
itu jarang sekali didatangi orang. Termasuk Malai-
kat Biru sendiri yang tinggal tak jauh dari sana!
"Rasa-rasanya... aku tak bisa memperta-
hankan lagi Pusara Keramat dari keinginan busuk
orang-orang serakah. Hingga saat ini aku tidak ta-
hu apa yang tersembunyi di dalamnya kecuali de-
sas-desus yang mengatakan di tempat itu tersim-
pan sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu itu
pun aku tak tahu sama sekali." Diusap-usap jang-
gut putihnya. Tempat yang gelap itu diterangi oleh
cahaya biru yang memancar dari sekujur tubuh-
nya. "Apakah kucoba saja untuk mengetahui apa
yang tersimpan berpuluh tahun di Pusara Kera-
mat?"
Malaikat Biru sejenak terdiam, memikirkan
keputusannya sendiri. Lalu dihentikan langkahnya
di sebuah tempat yang dipenuhi semak belukar.
Dipandanginya semak belukar itu sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apakah benar tindakan yang hendak kula-
kukan ini?" desisnya masih meragu. Pelan-pelan
diangkat kepalanya. Ditatapnya langit yang sema-
kin kelam. Tumpukan awan hitam tak bergeming,
menghalangi sinar rembulan.
Setelah menarik napas dalam-dalam. Ma-
laikat Biru kembali memandangi semak belukar di
hadapannya. Tangannya diangkat hingga dada,
sangat perlahan. Semak-semak di hadapannya
mendadak berhamburan ke belakang dan dalam
waktu yang sangat singkat, di hadapannya kini tak
ada lagi semak belukar.
Yang terlihat hanyalah sebuah gundukan tanah!
Malaikat Biru terdiam kembali. Mata teduh-
nya kali ini memancarkan sinar pedih.
"Tidak, aku tak boleh membongkar makam
itu. Hanya seorang saja yang boleh, seseorang
yang merupakan keturunan dari seorang pendekar
sakti, seseorang yang memiliki tenaga sakti tiada
banding. Karena.,.."
Malaikat Biru memutus kata-katanya sendiri
seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tak tahu siapakah orang itu. Siapakah
dia," katanya bagai keluhan. Tubuhnya tiba-tiba
bergetar, "Yang kukhawatirkan... kalau waktuku
telah sampai, hingga aku tak bisa lagi menjaga Pu-
sara Keramat. Ah, urusan Bunga Kemuning Biru,
satu-satunya benda yang dapat mengalahkan ku
sudah banyak menimbulkan petaka dan kegempa-
ran. Bagaimana bila aku sudah mati? Tentunya
akan semakin menggila orang-orang rakus yang
menginginkan benda yang tersimpan di Pusara Ke-
ramat ini...."
Kali ini cukup lama kakek bijak yang se-
dang gundah terdiam. Mata teduhnya terus me-
mandangi makam di hadapannya. Makam itu tak
ubahnya makam kebanyakan, tak ada yang isti-
mewa sama sekali. Tak ada bunga-bunga yang
tumbuh di atasnya.
Tiba-tiba dia mendesis,
"Mengapa aku tak mencobanya dulu? Ya,
aku harus mencobanya! Mungkin... pemuda itu bi-
sa kuandalkan sebagai orang yang menggantikan
tugasku menjaga Pusara Keramat...."
Bersamaan habis kata-katanya, tiba-tiba
saja hujan turun, curahan air menghambur dari
udara. Kilat menyambar yang sesekali menerangi
tempat itu. Petir berpesta pora, laksana petasan
raksasa. Kejap itu pula tempat itu laksana hendak
dihantam kiamat kecil.
Malaikat Biru tetap berdiri di tempatnya.
Tubuhnya tidak basah sama sekali. Karena, ca-
haya biru yang memancar dari tubuhnya mengha-
langi tumpahan air hujan.
Dia masih terpaku di sana.
***
LIMA
HUJAN masih turun walaupun pagi sudah
datang. Sinar matahari kali ini sia-sia menerangi
persada. Angin lintang pukang bergemuruh diting-
kahi sambaran kilat dan ganasnya salakan petir.
Tanah becek terjadi di mana-mana, air mengge-
nang. Beberapa buah pohon tumbang, terpental
dan ambruk di tanah becek.
Dengan membawa pakaian dan jubah putih
milik Pratiwi, Raja Naga terus berlari, menghindari
hujan juga berusaha untuk menemukan Pratiwi
dengan segera.
Karena tempat di mana dia berlari sedang
diamuk badai. Raja Naga sukar untuk menentu-
kan arah yang dituju. Tetapi dia terus berlari. Se-
kujur tubuhnya telah basah.
Yang diinginkannya saat ini adalah mencari
tempat berteduh. Tetapi sepanjang jalan dia berlari
hanya terdapat pohon-pohon besar saja yang tak
mungkin dijadikannya sebagai tempat berteduh,
mengingat dapat disambar kilat atau petir. Dan
anak muda itu sendiri tidak tahu, sudah seberapa
jauh dia berlari.
Tiba-tiba matanya yang tajam dan bersorot
angker, menangkap satu bayangan gubuk tatkala
kilat menyambar. Segera anak muda dari Lembah
Naga ini berlari ke sana. Langsung menyelinap ke
dalam gubuk yang gelap gulita.
"Bila cuaca seperti ini terus, maka akan se-
makin banyak waktuku yang terbuang sia-sia," de-
sisnya sambil mengerahkan hawa panas dalam tu-
buhnya. Hanya beberapa kejap saja, seluruh tu-
buhnya termasuk pakaian yang dikenakan telah
mengering.
Kembali pemuda berompi ungu ini mende-
sis, "Hingga saat ini aku belum menemukan di
mana Lesmana dan Ratih berada. Dan sekarang,
Pratiwi yang tidak ketahuan batang hidungnya.
Kalau memang dia yang telah membunuh Beliung
Kutuk, mengapa dia harus meninggalkan tempat
itu?"
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku ini berpikir keras untuk me-
mecahkan masalah yang dihadapinya. Sedikit ba-
nyaknya dia mulai menangkap apa yang sesung-
guhnya sedang dihadapi.
Tiba-tiba saja kepalanya ditolehkan ke ka-
nan. Walaupun saat itu yang terdengar hanyalah
gemuruh hujan dan angin, namun pendengaran-
nya yang tajam menangkap satu gerakan di luar
menuju ke gubuk di mana dia berada.
"Hemmm... ada seseorang yang melangkah
dengan berat menuju ke sini. Nampaknya orang
itu sedang membawa sesuatu hingga langkahnya
menjadi berat. Apakah aku harus menghindar
atau..."
Kata batin Boma Paksi terputus, karena
orang yang didengar langkahnya telah masuk ke
dalam gubuk itu. Orang itu menurunkan sesuatu
di punggungnya pada dipan reyot yang ada di gu-
buk itu.
Mendadak orang itu berpaling ke belakang
disertai bentakan, "Rupanya ada manusia busuk
di sini!!"
Wuuutttt!!
Dalam keadaan gelap. Raja Naga menang-
kap satu gerakan ke arahnya. Cepat digerakkan
tangan kanannya.
Buk!
Terdengar jeritan dari orang yang melanear-
kan jotosan tadi. Sementara itu, sesuatu yang tadi
diletakkannya di dipan reyot bersuara, "Kakang!
Ada apa?!"
"Tenang! Diam-diamlah kau di situ! Ada pe-
nyeUnap yang ingin mencari mampus!!"
"Heiii!!" Raja Naga berseru tertahan, karena
merasa mengenali suara kedua orang itu. Tetapi
urung berseru lagi karena satu desiran angin men-
garah padanya. Kali ini dia tidak menangkis,
hanya menghindar saja.
Tetapi orang yang menyerang itu tak mau
tahu. Penuh kemarahan dipercepat serangannya.
Bahkan dapat membuat rubuh gubuk itu.
"Tahan!!" seru Raja Naga sambil memiring-
kan tubuhnya. Dan....
Des!
Jotosannya mampir pada tulang iga si pe-
nyerangnya yang sedikit terhu3rung. Karena Raja
Naga tak mempergunakan tenaga penuh, orang itu
segera dapat berdiri tegak kembali.
"Lesmana!!" serunya kemudian.
Orang yang menyerangnya tadi terdiam
dengan mata memicing. Dicobanya untuk melihat
siapa orang yang berseru. Tetapi hanya kegelapan
yang nampak.
"Siapa kau?!" serunya curiga.
"Astaga! Apakah kau tidak mengenaliku?"
Bukannya orang yang menyerang yang ber-
seru, tetapi orang yang berada di dipan yang ber-
suara, "Boma! Kaukah itu Boma?!"
Raja Naga cepat mendekat.
"Benar, Ratih! Aku Boma!"
"Astaga!" seru orang yang menyerang tadi.
"Gila! Aku tidak tahu kalau itu kau adanya. Raja
Naga!" Raja Naga tertawa pelan.
"Bila Ratih tak buka suara, aku pun tak
akan mengenali kalian. Hei, bagaimana kabarmu?"
Orang yang menyerang tadi yang bukan lain
Lesmana menarik nafas pendek. Kegembiraan ter-
hias di wajahnya. Apa yang dilakukan oleh Lesma-
na tadi hanyalah sebuah gerakan yang telah terla-
tih. Dalam keadaan seperti Ini, Lesmana memang
menjadi orang yang serba curiga. Apalagi amarah
masih bergolak di dadanya.
Tanpa dapat menutupi kegembiraannya,
Lesmana menceritakan apa yang dialaminya ber-
sama Ratih.
"Jadi dia berhasil tiba di Tanah Kematian
dan menyelamatkan Ratih," kata Raja Naga dalam
hati. Kemudian berkata, "Aku mungkin juga akan
mendapatkan kesukaran seperti yang kau hadapi
untuk menemukan di mana letak totokan Kem-
bang Darah di tubuh Ratih. Tetapi, biarlah kueo-
ba...."
Lesmana menyingkir ketika dirasakan Raja
Naga mendekati Ratih yang masih terbaring di di-
pan. Dipicingkan matanya untuk menatap sosok
gadis yang dalam keadaan tertotok itu.
Ratih bisa melihat sorot keangkeran di mata
yang menatapnya.
"Terima kasih. Gusti.... akhirnya kau sudahi
juga penderitaanku ini...," katanya dalam hati.
"Maaf," desis Raja Naga sambil meraba len-
gan Ratih. Ditekannya lengan itu pelan-pelan. Ra-
tih merasa ada hawa panas mengalir dalam tu-
buhnya.
Dalam gelap seperti ini, memang sulit buat
Raja Naga untuk dapat menemukan totokan di tu-
buh Ratih dengan segera. Makanya dia berulang
kali memeriksa.
"Di bagian atas tubuhmu tak ada tanda-
tanda totokan itu berada, Ratih."
"Aku tidak bisa berbalik."
"Tidak usah. Kau tahan sedikit, mungkin
sekarang akan terasa lebih panas dari sebelum-
nya."
Ratih mengangguk-angguk. Tetapi segera
berueap karena sadar Raja Naga tidak akan meli-
hat anggukannya.
"Ya...."
Pemuda pewaris Ilmu Dewa Naga itu mena-
rik napas pendek. Lalu ditempelkan telunjuknya
pada punggung tangan Ratih yang segera merasa-
kan adanya hawa panas yang merambat. Seperti
apa yang telah diberitahukan Raja Naga, Ratih me-
rasa hawa panas itu semakin lama bertambah me-
nyengat.
Dia mengeluh.
"Boma... apakah Ratih tidak apa-apa?"
tanya Lesmana eemas yang mendengar keluhan
itu.
"Tidak apa-apa. Aku masih berusaha me-
nemukan di mana letak totokan itu...," sahut Raja
Naga.
Sementara itu dalam waktu singkat sekujur
tubuh Ratih telah dibanjiri keringat. Berulang kali
mulutnya keluarkan keluhan menahan hawa pa-
nas yang tak terkira. Bila saat ini ada eahaya sedi-
kit saja, maka akan terlihat kalau wajah gadis ber-
kuncir dua itu seperti kepiting rebus.
"Gagal...," desis Raja Naga sambil mengang-
kat telunjuknya dari punggung tangan Ratih.
Ratih menarik napas lega.
"Boma... kau tentunya tahu bukan, apa
akibatnya bila seseorang tertotok dan tak bisa di-
buka dalam waktu beberapa hari?" seru Lesmana
cemas.
Di luar hujan terus mengguyur bumi. Petir
seperti hendak meluluhlantakkan bumi.
Raja Naga menyahut, "Aku tahu. Tetapi...."
Memutus kata-katanya sendiri dia berkata pada
Ratih, "Kita beristirahat dulu sejenak. Karena...
aku akan mempergunakan ilmu 'Rabaan Naga' un-
tuk menemukan totokan itu."
"Mengapa tidak segera kau lakukan saja?"
desis Ratih. "Aku sudah bosan dalam keadaan se-
perti ini!"
"Dalam keadaan tertotok kau tak mungkin
dapat mempergunakan tenaga dalammu, bahkan
kau tak akan mampu untuk memulihkan kea-
daanmu," sahut Raja Naga pelan.
"Aku tak mengerti maksudmu..."
Lesmana yang menjawab, "Dalam keadaan
tertotok seperti ini kau hanya dapat mengandalkan
tenaga yang tersisa belaka tetapi tak bisa berbuat
apa-apa. Mungkin Ilmu 'Rabaan Naga' yang dimili-
ki Raja Naga akan dapat membuatmu eelaka. Ka-
rena kau, tak bisa menahannya mengingat tenaga
dalammu seperti lenyap."
Ratih mendesis, "Begitukah maksudnya.
Raja Naga?"
"Ya! Begitulah maksudnya. Aku tak ingin
membuatmu celaka. Kendati kau tak bisa memu-
lihkan tenagamu saat ini, tetapi paling tidak biar-
kanlah hingga napasmu teratur dan degup jan-
tungmu seirama seperti semula. Kau paham, Ra-
tih?"
"Ya, ya...," sahut Ratih sedikit kecewa.
Raja Naga berkata pada Lesmana, "Kau tadi
bilang, kau berjumpa dengan Setan Keris Kembar
dan Kembang Darah. Apakah kau mengetahui se-
suatu dari pertemuan mereka?"
Lesmana hampir saja menceritakan perbua-
tan mesum kedua orang itu, tetapi masih ditahan-
nya mengingat di sana ada Ratih. Lalu dikatakan-
nya, "Tak banyak yang kuketahui kalau keduanya
ternyata bersekutu. Ketika aku tiba di Tanah Ke-
matian, aku juga melihat Setan Keris Kembar ber-
tarung dengan seorang kakek berjuluk Datuk
Meong Moneng yang berhasil memutus tangan kiri
Setan Keris Kembar dan hampir saja memperma-
lukan Ratih!"
Raja Naga mendengar suara Lesmana me-
ninggi, tetapi dibiarkan saja pemuda bertelanjang
dada itu meneruskan ucapannya, "Saat aku
menghindari Setan Keris Kembar dan Kembang
Darah, aku memikirkan sesuatu."
"Beri tahu padaku," sahut Raja Naga.
"Kembang Darah menulis, kalau dia mem-
bawa Ratih ke Tanah Kematian. Dan di tempat
berbau busuk itu, ternyata tinggal seorang kakek
berjuluk Datuk Meong Moneng. Keherananku itu
kusampaikan pada Ratih yang memberitahuku ka-
lau Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng
bersekutu. Bahkan Kembang Darah telah men-
gambil Bunga Kemuning Biru yang diserahkannya
pada Datuk Meong Moneng. Dan...."
"Tunggu," potong Raja Naga. "Bunga Ke-
muning Biru berada di tangan Datuk Meong Mo-
neng?"
"Itu yang kuketahui."
"Mengherankan."
"Apa maksudmu dengan mengherankan?"
"Sebelum ini aku pernah bertarung dengan
Kembang Darah yang telah membunuh Dewi Pe-
renggut Sukma. Dan perempuan itu memperguna-
kan Bunga Kemuning Biru."
"Astaga! Jadi maksudmu.... Kembang Darah
telah menipu Datuk Meong Moneng dengan mem-
berikan bunga kemuning biru yang palsu?"
"Bisa jadi! Karena aku menyaksikannya
sendiri! Atau... dia memang belum menyerahkan
bunga itu pada Datuk Meong Moneng?"
"Tak mungkin! Menurut Ratih, Kembang
Darah langsung menyerahkan Bunga Kemuning
Biru pada Datuk Meong Moneng."
"Hemmm... berarti yang diberikan Kembang
Darah itu memang bunga yang palsu. Pantas, pan-
tas dia berkata begitu.... "
"Berkata apa?"
Raja Naga menjawab, "Tidak, tidak apa-apa.
Teruskan eeritamu, Lesmana...."
"Sekarang kita sama-sama mengetahui, ka-
lau Setan Keris Kembar dan Kembang Darah ber-
sekutu. Demikian pula Kembang Darah dengan
Datuk Meong Moneng. Tetapi, mengapa Setan Ke-
ris Kembar dan Datuk Meong Moneng bertikai?"
Tak ada yang menjawab pertanyaan Lesma-
na yang lebih banyak ditujukan pada dirinya sen-
diri. Keheningan itu terjaga beberapa saat sampai
Raja Naga berkata, "Aku bisa menduganya. Kem-
bang Darahlah orang yang memainkan semua ini.
Tentunya dia memiliki maksud tertentu dengan
menguasai Bunga Kemuning Biru dan menyerah-
kan bunga yang palsu pada Datuk Meong Moneng.
Dia juga tahu kalau Setan Keris Kembar meng-
hendaki Bunga Kemuning Biru dan dikatakannya
kalau bunga yang diinginkan Setan Keris Kembar
berada di tangan Datuk Meong Moneng."
"Lieik!" geram Lesmana, rahangnya menger-
tak.
"Ya! Orang itulah yang membuat keadaan
ini menjadi kaeau! Tetapi... mengapa Datuk Meong
Moneng... Ah, tidak, tidak...." Raja Naga berkata
pada Ratih, "Apakah kau sudah tenang sekarang?"
"Ya...."
"Baiklah... kita coba lagi untuk menemukan
totokan yang kau alami itu...."
Sementara Raja Naga mengangkat tangan
kanannya setelah memusatkan pikirannya seje-
nak, Lesmana membatin; "Nampaknya ada sesua-
tu yang diketahui Raja Naga tetapi enggan menga-
takannya padaku dan Ratih. Mengapa, mengapa
dia bersikap seperti itu? Apakah sebenarnya dia
belum menemukan kejelasan dari apa yang dipi-
kirkannya?"
Di lain kejap Lesmana tak lagi memikirkan
hal itu. Samar-samar dilihatnya tangan kanan Ra-
ja Naga yang terangkat itu seperti bergetar.
"Nampaknya dia telah mengeluarkan ilmu
'Rabaan Naga'. Mudah-mudahan kali ini tak me-
nemukan kesulitan seperti sebelumnya...."
Di pihak lain Ratih tiba-tiba saja merasa tu-
buhnya seperti disergap hawa yang luar biasa din-
gin. Menyusul hawa panas yang silih berganti. Be-
rulang kali dia berteriak kesakitan. Lesmana sen-
diri segera mendekap kepala gadis itu, memberinya
ketegaran hati dalam dekapannya. Sesaat tadi dia
sempat terkejut ketika merasakan betapa dingin
pipi gadis itu. Men3aisul terasa panas yang amat
menyengat. Kedua telapak tangannya pun telah
basah oleh keringat yang membasahi sekujur tu-
buh Ratih.
Selang beberapa lama terdengar suara Raja
Naga, "Hebat, hebat sekali Kembang Darah!"
"Kau menemukan totokan itu?" tanya Lesmana.
"Ya! Totokan itu seperti totokan biasa sebe-
narnya tetapi mengandung racun yang sangat ber-
bahaya. Racun itulah yang membuat kita tak mu-
dah menemukan di mana totokan itu berada."
"Gila!! Boma! Apakah kau sudah...."
"Jangan panik! Racun itu telah kupunahkan."
Lesmana menghela napas lega. "Syukurlah...."
Ratih merasakan urat darah di atas pa3ai-
dara kanannya disentuh oleh telunjuk Raja Naga.
Lalu ditekan yang membuat tubuhnya mengejut
disusui teriakan, "Aaaaakhhhh!!"
"Boma! Kenapa dengan Ratih?" teriak Les-
mana kaget.
"Tak usah cemas. Dia telah berhari-hari da-
lam keadaan tertotok. Tentunya terasa sakit bila
totokan itu dibuka."
"Tetapi tubuhku masih belum dapat dige-
rakkan" desis Ratih.
"Kerahkan hawa murnimu pelan-pelan, lalu
kerahkan tenaga dalammu."
Gadis jelita itu menuruti kata-kata Raja Na-
ga. Selang beberapa tarikan napas berlalu, dia mu-
lai dapat menggerakkan kedua tangannya. Men3m-
sul kakinya. "Oh! Terima kasih, Boma!" desisnya
sambil duduk.
"Bersemadilah dulu. Pulihkan tenagamu...."
Ratih melakukan perintah itu. Raja Naga
berkata pada Lesmana, "Aku tak bisa lama di sini.
Aku harus meneari Pusara Keramat. Lesmana, kau
jaga Ratih. Bila dia telah pulih, sebaiknya kau da-
tangi Bukit Tidar. Setelah urusanku selesai, aku
akan mencari kalian di sana. Bahkan kalau mung-
kin, mengembalikan Bunga Kemuning Biru pada
kalian...."
"Raja Naga... aku masih memiliki dendam
pada Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng!"
Raja Naga tersenyum.
"Lupakan dendammu. Tugasmu adalah
menjaga Ratih. Ikutilah saranku, karena apa yang
kita hadapi ini merupakan lawan-lawan tangguh
yang berotak licik...."
"Tapi...."
Raja Naga sudah memotong, "Pakaianmu te-
lah dikenakan oleh Ratih. Ini ada baju dan jubah
putih. Berikan pada Ratih dan kau bisa memakai
pakaianmu kembali."
Habis kata-katanya, anak muda bersisik
pada lengan kanan kiri sebatas siku itu, sudah
melangkah keluar. Dipandanginya cuaca yang ma-
sih mengganas. Kejap berikutnya dia sudah berlari
meninggalkan tempat itu.
Lesmana menarik napas panjang.
"Terima kasih, Boma.... Terima kasih...," de-
sisnya pelan, lalu ditutupnya pintu gubuk itu dan
ditungguinya Ratih yang masih bersemadi.
Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, satu
sosok tubuh yang membiarkan tubuhnya basah
diterpa hujan, keluar dari balik semak belukar di
samping kanan gubuk itu. Sosok ini menyeringai
lebar. Satu pikiran hinggap di benaknya.
Masih menyeringai, orang ini mengendap-
endap mendekati gubuk di mana Lesmana dan Ra-
tih berada.
***
ENAM
HUJAN sudah lama berhenti. Senja baru sa-
ja datang. Udara terasa segar laksana pagi hari.
Datuk Meong Moneng menghentikan langkahnya
ketika menangkap gerakan di belakangnya.
"Terkutuk! Rupanya ada yang mengikutiku!"
makinya dalam hati seraya berbalik.
Dilihatnya satu sosok tubuh berpunuk telah
berdiri di hadapannya. Mulut sosok berpunuk itu
mengunyah sirih dengan enaknya, eairan merah
dari sirih itu berlelehan keluar.
"Meong Moneng! Apa kabarmu?!" Kakek
muka kueing beijubah hitam itu menggeram.
"Nyi Bawung! Mengapa kau berada di sini,
hah?! Dan... ke mana perginya si Kontet yang sela-
lu bersamamu itu?!" serunya dengan wajah dite-
kuk. Lalu menyambung dalam hati, "Edan! Bagai-
mana aku tidak tahu kalau diikuti olehnya? Dari
sikapnya jelas-jelas kalau dia sudah lama mengi-
kutiku!"
Sosok berpunuk yang ternyata Nyi Bawung
terkikik.
"Tidak perlu berbasa-basi! Aku tahu Bunga
Kemuning Biru berada di tanganmu! Tapi... aku
tak menginginkan lagi benda itu, asalkan kau ber-
sekutu denganku untuk membunuh Raja Naga!"
Datuk Meong Moneng yang tadi sempat me-
negakkan kepala dengan wajah geram, kali ini ju-
stru mengerutkan keningnya. Mata merahnya tak
berkedip memandang si nenek berpakaian com-
pang-eamping yang memperlihatkan sepasang pe-
paya busuk mengga3ait turun.
"Gila! Siapa lagi yang buka permainan ini,
hingga nenek peot ini mengatakan Bunga Kemun-
ing Biru ada padaku?" desisnya dalam hati. "Kepa-
rat! Siapa lagi yang bikin urusan jadi berantakan
ini kalau bukan Kembang Darah! Terkutuk!!"
"Kau tidak menjawab, berarti kuanggap kau
setuju untuk membantuku membunuh Raja Na-
ga!" seru Nyi Bawung sambil maju dua langkah.
"Mengapa kau hendak membunuh pemuda
usil yang banyak eampuri urusan orang?!"
"Dia telah membunuh si Kontet!" suara Nyi
Bawung mengeras. "Kau dengar. Meong Moneng?
Dia telah membunuh Beliung Kutuk!"
Datuk Meong Moneng tak menjawab.
"Dia mengajakku bergabung untuk mem-
bunuh Raja Naga? Hemm... kesempatan bagus!
Bagus sekali!"
Habis membatin begitu, tiba-tiba saja, ka-
kek muka kucing itu tertawa keras. Menyusul ka-
ta-katanya, "Bila kau memang ingin bersekutu
denganku, tak akan pernah kutolak! Aku juga in-
gin membunuh pemuda dari Lembah Naga itu ka-
rena dia dapat mendadak muncul untuk menga-
caukan semua rencanaku! Nyi Bawung... Ada satu
hal yang harus kuberitahukan padamu!"
"Katakan!"
"Bunga Kemuning Biru tak berada padaku!"
Bukannya heran atau gusar, Nyi Bawung justru
terkikik.
"Kau pandai berdusta rupanya! Pandai se-
kali! Tetapi bagiku itu biasa, biasa dilakukan orang
busuk sepertimu!"
"Apa yang kukatakan ini sebuah kebena-
ran!" sambung Datuk Meong Moneng sambil me-
nindih amarahnya diejek seperti itu.
"Oya?!"
"Kembang Darah telah memuslihatiku! Dis-
erahkannya bunga kemuning biru palsu padaku
sementara yang asli ada padanya!"
"O ya?"
"Keparat! Dia masih mengejekku juga?!" ge-
ram Datuk Meong Moneng. Lalu berseru lagi, "Kau
dapat membuktikannya nanti, karena saat ini aku
sedang mencari perempuan cabul itu!"
"Busyet! Seingatku dia adalah tempat pe-
lampiasan nafsumu? Ah, laki-laki memang seperti
itu! Puas menghisap sari seorang perempuan, lalu
pindah ke perempuan lain! Bahkan memfitnah pe-
rempuan itu! Dasar!"
"Kau dapat membuktikannya!"
"Peduli setan apa yang kau katakan! Kau
bantu aku membunuh Raja Naga, aku akan mem-
bantumu untuk menangkap Kembang Darah!"
"Itu pun lebih baik! Kita berangkat seka-
rang! Aku sudah tak sabar untuk membunuh pe-
muda dari Lembah Naga itu!"
"Setelah semua urusan selesai, kita bahu
membahu untuk membunuh Malaikat Biru agar
dapat menuju ke Pusara Keramat!"
Kepala Datuk Meong Moneng seperti ter-
lempar ke belakang mendengar kata-kata yang tak
disangkanya. Kedua matanya melebar.
Nyi Bawung terkikik.
"Busyet! Kau hendak melihat sepasang
payudaraku yang montok ini agar lebih jelas, atau
kau memang heran aku mengetahui tentang Pusa-
ra Keramat?!"
"Perempuan tua ini benar-benar terkutuk!
Dia dapat mengejutkanku! Dan nampaknya... dia
juga tahu tentang sesuatu yang tersimpan di Pusa-
ra Keramat," kata Datuk Meong Moneng dalam ha-
ti.
Lalu tertawa untuk menutupi kekagetannya tadi.
"Tak pernah kuketahui kalau kau terlalu
banyak tahu. Nyi Bawung!"
"Hik hik hik... karena aku bukanlah orang
yang suka meNyimpan segala rahasia! Meong Mo-
neng! Apakah sekarang kau tetap akan menyim-
pan rahasia?!"
"Tak ada lagi rahasia yang bisa kusimpan di
hadapanmu!"
"Bagus! Bagus sekali!" Nyi Bawung mem-
buang cairan merah dari mulutnya. "Ciuuhhh!!"
Cairan merah itu menghanguskan semak
belukar.
"Dia mau pamer rupanya," dengus Datuk
Meong Moneng dalam hati. "Aku mesti bersabar."
"Katakan padaku, apa yang tersimpan di
Pusara Keramat!"
Kali ini Datuk Meong Moneng tertawa keras.
Tanah berhamburan dan dedaunan beterbangan.
Ranting-ranting pohon pun patah, menimbulkan
suara berderak karena bertabrakan satu sama
lain. Tindakan itu dilakukan untuk membalas apa
yang dilakukan Nyi Bawung.
"Nyi Bawung... ternyata aku salah mengira!
Kau tidak terlalu banyak tahu!"
"Hik hik hik... itulah sebabnya aku mau
meneari tahu!"
"Sayang sekali! Aku pun tidak tahu apa
yang tersimpan di Pusara Keramat!"
"Suaramu tidak bergetar, tidak mengan-
dung tekanan. Bebas mengambang! Ya, kau tidak
berbohong!"
"Apakah kita tetap bersekutu?"
"Urusan itu tetap dijalankan! Dan urusan
Pusara Keramat, adalah urusan sendiri-sendiri!"
sahut Nyi Bawung sambil mendahului melangkah
sambil terkikik-kikik.
Datuk Meong Moneng menggeram dalam
hati. "Kau akan melihat siapa yang berhasil men-
dapatkan sesuatu di Pusara Keramat!"
"Astaga!" seru Raja Naga sambil menghenti-
kan larinya di jalan setapak. Saat ini malam telah
menyelimuti alam kembali. Sepasang mata anak
muda bersisik eoklat itu memandang tak berkedip
ke depan "Tidak salahi Yang kulihat tadi memang
eahaya berwarna biru, melesat dengan cepat ke
arah utara! Gila! Pertanda apa ini?!"
Selagi anak muda berambut dikuncir kuda
itu memikirkan apa yang dilihatnya, cahaya biru
itu terlihat lagi di kejauhan.
"Aneh! Cahaya biru itu seperti berwujud sa-
tu sosok tubuh! Gila! Apakah aku sudah gila?!"
Tetapi yang dilihatnya itu memang cahaya
biru yang terus bergerak menjauh. Penasaran
menggumpal di dada Raja Naga. Segera saja dipu-
tuskan untuk mengikuti cahaya biru yang sangat
terang karena malam yang cukup gelap.
Semakin diikuti, cahaya biru Itu semakin
cepat bergerak. Raja Naga jadi jengkel sendiri akan
tindakan yang dilakukannya. Dikerahkan ilmu pe-
ringan tubuhnya untuk mengejar cahaya biru itu.
Namun cahaya biru terus semakin menjauh.
Tanpa sepengetahuan Raja Naga semak be-
lukar yang tadi dilewatinya merebak sedikit. Sepa-
sang mata memperhatikan tak berkedip.
"Raja Naga...," desis orang yang mengintip itu.
Mendengar ucapan orang itu, perempuan
bertubuh montok yang terlentang di atas tanah
dengan napas masih terengah-engah serentak
bangkit.
"Setan Keris Kembar! Apa kau bilang?!"
Setan Keris Kembar menyahut tanpa meno-
leh, "Raja Naga! Dia berlari ke arah utara!"
"Keparat! Pemuda itu harus mampus!"
"Jangan gegabah!" tahan Setan Keris Kem-
bar. "Aku melihat cahaya kebiruan di kejauhan
dan nampaknya Raja Naga sedang mengikuti ea-
haya biru itu!"
Kembang Darah yang masih dalam keadaan
polos, memungut kutang merahnya yang segera
dipakai untuk menutupi buah dadanya yang mon-
tok. Lalu dibebatkan kain hitam ke tubuh bagian
bawah.
"Peduli setan apa yang kau katakan! Pemu-
da itu pernah hampir meneelakakanku! Dia harus
menerima balasan!"
Setan Keris Kembar yang telah berpakaian
dan begitu mendengar suara orang berlari tadi se-
gera mengintip, tak menjawab. Selang beberapa
saat terdengar ucapannya, "Cahaya biru... cahaya
biru... Astaga! Bukankah... bukankah...."
"Apa yang mau kau katakan?" sahut Kem-
bang Darah kesal.
"Kembang Darah! Nampaknya kita semakin
dekat pada tujuan!"
"Jangan berbelit-belit!"
"Malaikat Biru memiliki ciri seperti itu! Dan
aku yakin, cahaya biru itu keluar dari sosok Ma-
laikat Biru!"
"Maksudmu.... Raja Naga mengejar Malaikat
Biru?"
Setan Keris Kembar mengangguk cepat.
"Tetapi menurutmu. Pusara Keramat masih
jauh dari sini! Bagaimana..."
"Itu urusan nanti!" sahut Setan Keris Kem-
bar. "Nampaknya Malaikat Biru hendak menun-
jukkan sesuatu pada Raja Naga!"
"Mengapa?"
"Jangan tanya aku! Tetapi ini adalah sesua-
tu yang penting dan kita tak boleh luput untuk
mengetahuinya!" sahut Setan Keris Kembar sambil
melompati ranggasan semak. Kejap lain dia sudah
berlari.
Kembang Darah tak beranjak. Wajahnya te-
gang dengan tatapan penuh sinar amarah. Tiba-
tiba ditepukkan kedua tangannya, yang tak men-
geluarkan suara sedikit pun. Tahu-tahu jatuh se-
suatu dari udara yang segera ditangkapnya. Dita-
tapnya. Bunga Kemuning Biru yang disimpannya
di udara dengan bantuan tenaga dalamnya.
Kejap lain dia sudah men3aisul Setan Keris
Kembar.
Berjarak dua puluh langkah, pemuda dari
Lembah Naga itu terus berusaha men3aisul cahaya
biru yang terus bergerak. Rasa jengkel mulai
membias perasaannya. Tetapi karena penasaran
yang kuat, ditindih rasa jengkelnya itu.
"Aku tidak tahu apakah tindakanku ini bo-
doh atau tidak? Tetapi aku penasaran ingin men-
getahui siapakah orang yang mengeluarkan ca-
haya biru itu?" serunya sambil terus mengejar.
Jauh di belakangnya Kembang Darah yang
telah berhasil men3rusul Setan Keris Kembar me-
nahan langkah kakek berjubah hitam itu.
"Aku menuruti apa yang kau katakan! Biar
dendamku untuk sementara kukubur! Tetapi, ke-
hadiran kita jangan sampai diketahui olehnya!"
Setan Keris Kembar mengangguk. Matanya
menghujam pada sepasang bukit putih montok
yang tak pernah puas dieiumi dan dihisapnya.
Kembang Darah hanya mendengus. Se-
sungguhnya dia tak dapat lagi menahan kemara-
hannya pada Raja Naga. Diingatnya bagaimana
Raja Naga mempercundanginya, bahkan hampir
membuatnya tewas! Tetapi untuk saat ini, Kem-
bang Darah rela menindih amarah dan dendam-
nya.
Di depan Raja Naga tahu-tahu menjejakkan
kaki kanannya di atas tanah.
Wuuuttt!!
Tubuhnya melenting ke udara, berputar be-
berapa kali sambil mengerahkan ilmu peringan tu-
buhnya. Jaraknya dengan eahaya biru itu semakin
dekat. Tetapi begitu kedua kakinya hinggap kem-
bali di atas tanah, eahaya biru itu telah menjauh
kembali.
"Heiiii! Berhenti!! Siapa kau sebenarnya?!"
serunya penasaran bercampur jengkel.
"Kalau memang cahaya biru berbentuk satu
sosok tubuh itu memang Malaikat Biru, apa yang
hendak dilakukannya?" tanya Kembang Darah pa-
da Setan Keris Kembar.
"Aku tidak tahu! Tetapi kuharap, kita men-
dapatkan jejak yang tepat! Hanya sayang. Bunga
Kemuning Biru tidak kita miliki!" sahut Setan Ke-
ris Kembar sambil menjaga jarak.
"Mengapa kau memikirkan Bunga Kemun-
ing Biru?"
"Benda itulah yang dapat membunuh Ma-
laikat Biru!"
"Kalau begitu... mengapa pula kita harus
memburu Pusara Keramat?!"
Setan Keris Kembar melirik. Sambil men-
dengus dia berkata, "Ternyata kau euma bisa me-
muasi setiap laki-laki dengan tubuh montokmu!"
"Apa maksudmu berkata begitu?!' Paras
Kembang Darah memerah.
"Kau tidak tahu, kalau sebenarnya Pusara
Keramatlah yang diburu oleh banyak orang!"
Mata Kembang Darah melebar. Dia tidak
bertanya lagi, tetapi mengikuti langkah Setan Keris
Kembar.
***
TUJUH
RAJA Naga yang masih mengejar sosok ber-
eahaya biru itu, mendadak mengerutkan kening-
nya. "Aneh! Sejak tadi eahaya biru itu bergerak lu-
rus, tetapi sekarang dia berbelok ke kanan! Gila!
Apakah memang itu arah yang ingin ditempuhnya?
Atau ada sesuatu yang menyebabkanhya berbe-
lok?" Sambil terus mencoba mengejar cahaya biru
itu. Raja Naga berkata lagi dalam hati, "Tetapi yang
paling pokok, siapa orang yang mengeluarkan ca-
haya biru itu?! Tetap kuikuti saja ke mana per-
ginya orang bercahaya biru itu!"
Di belakang Setan Keris Kembar mendesis,
"Kembang Darah! Mungkin kita akan tiba di Pusa-
ra Keramat tanpa bersusah payah harus melewati
dua pohon bersilangan! Mungkin ini jalan potong
yang paling mudahi"
"Mudah-mudahan!" sahut Kembang Darati
yang masih memikirkan kata-kata Setan Keris
Kembar tadi. Dia menyambung dalam hati, "Pusa-
ra Keramat? Di dalam pusara itu ada sesuatu yang
tersembunyi? Hemm... pantas, pantas Datuk
Meong Moneng menghendaki Bunga Kemuning Bi-
ru untuk membunuh Malaikat Biru! Karena.... Ma-
laikat Biru merupakan penghalang baginya untuk
mendapatkan sesuatu yang tersimpan di Pusara
Keramat! Dan mengapa dia men3airuhku untuk
membunuh Raja Naga, tentunya karena dia tahu
kalau anak muda itu akan melibatkan diri! Bagus!
Bisa kubayangkan kalau akulah yang akan men-
guasai semua ini!"
Didengarnya kata-kata Setan Keris Kembar,
"Hemmm... baru ku tahu kalau jalan menuju ke
Pusara Keramat melewati tempat ini. Kau lihat.
Malaikat Biru terus mengarahkan Raja Naga agar
mengikutinya."
Kembang Darah tidak menyahut. Walaupun
dia memikirkan benda apa kira-kira yang tersim-
pan di Pusara Keramat, tetapi dia juga merasa he-
ran ketika melihat cahaya biru itu berbelok.
"Sejak tadi Malaikat Biru terus melangkah
lurus ke depan. Mengapa tahu-tahu dia berbelok?
Bahkan belokan ini penuh belukar, tidak merupa-
kan jalan setapak. Hemm... ini terlalu aneh! Apa-
kah orang itu hendak menyesatkan jalan?" Dilirik-
nya Setan Keris Kembar yang sama sekali tidak
merasa aneh akan hal itu. "Sebaiknya, kulihat saja
apa yang terjadi."
Di depan, cahaya biru itu semakin lama
semakin menjauh. Raja Naga yang sejak tadi su-
dah keluarkan ilmu peringan tubuhnya namun be-
lum dapat memperpendek jarak, masih berusaha
mengejarnya. Tetapi tiga kejapan mata kemudian,
cahaya biru itu lenyap secara tiba-tiba.
"Heiii!!" seru pemuda berompi ini tertegun.
Napasnya agak memburu dengan dada turun naik.
Di belakang baik Setan Keris Kembar mau-
pun Kembang Darah sama-sama segera menyeli-
nap ke balik sebuah semak.
Perempuan berkutang merah itu berbisik,
"Aku menangkap gelagat tidak baik."
"Apanya yang tidak baik, bah?!"
"Malaikat Biru tiba-tiba berbelok dan seka-
rang menghilang!"
"Jangan banyak omong! Tak lama lagi kita
tiba di Pusara Keramat!"
Perempuan berkutang merah itu mengge-
ram pelan.
"Dengar baik-baik! Sejak tadi Malaikat Biru
tak pernah berbelok, berjalan terus lurus ke de-
pan! Tahu-tahu dia berbelok dan sekarang lenyap!
Apakah kau tidak merasa aneh?"
Kali ini Setan Keris Kembar mengerutkan
keningnya. Tapi di saat lain dia mendengus,
"Kau terlalu mengada-ngada!"
"Apa maksudmu dengan mengada-ngada?"
suara Kembang Darah mulai meninggi. Tak suka
pendapatnya dilecehkan seperti itu.
"Malaikat Biru menghilang tiba-tiba, itu ar-
tinya dia tidak perlu lagi menunjukkan Jalan me-
nuju ke Pusara Keramat pada Raja Naga. Berarti...
pusara itu ada di sekitar sini."
"Dungu!" geram Kembang Darah geram. "Itu
berarti.... Malaikat Biru mengetahui kalau kita
mengikutinya!"
Setan Keris Kembar menoleh dengan mata
sedikit melebar. Dilihatnya panearan ejekan dari
mata Kembang Darah. Dia mendengus sebelum
menyibakkan semak belukar itu sedikit. Dilihatnya
pemuda berompi ungu itu masih berdiri di tem-
patnya.
Kembang Darah berkata lagi, "Kau terlalu
dibuai kegembiraan akan menemukan Pusara Ke-
ramat. Apakah kau pikir Malaikat Biru begitu bo-
doh?"
"Jangan membuatku gusar!"
"Kau yang membuatku gusar! Tak kau per-
gunakan otakmu untuk memikirkan apa yang se-
benarnya hendak dilakukan Malaikat Biru!"
Kakek yang lengan kirinya telah buntung
itu menggeram, tetapi dibenarkannya juga kata-
kata Kembang Darah.
"Ueapanmu itu bisa jadi benar, tetapi kita
harus membuktikannya!"
"Bagaimana eara kau untuk.... "
Kata-kata Kembang Darah terputus, karena
satu suara penuh wibawa telah mendahului,
"Hemm... pantas, pantas sekali eahaya biru itu
menghilang! Rupanya ada dua eeeunguk yang juga
mengikuti!"
Seperti maling kesiangan, keduanya sejenak
gelagapan. Tapi di lain saat sama-sama berdiri te-
gak. Setan Keris Kembar sudah melompat dengan
kaki kanan meneuat begitu mengetahui siapa
orang yang barusan keluarkan suara.
Raja Naga menarik mundur wajahnya, lalu
melepaskan pukulan.
Des!
Bila saja Setan Keris Kembar tak segera
membuang tubuh, dapat dipastikan dia akan ter-
hu3nmg ke belakang. Karena Raja Naga telah
mempergunakan setengah dari kekuatan tangan-
nya yang dipenuhi sisik coklat.
Sementara itu. Kembang Darah yang sebe-
narnya tak mampu lagi memendam niatnya untuk
membalas dendam, juga sudah meluneur sambil
menjentikkan tangannya
Trikkk!
Sraaatt!
Beberapa gelombang angin laksana jarum
melesat ke arah Raja Naga yang telah berdiri tegak.
Anak muda itu menjerengkan matanya seraya
mendeham.
Gelombang angin itu putus di tengah jalan
terhantam tenaga tak nampak dari kekuatan de-
haman Raja Naga. Dan saat itulah Setan Keris
Kembar telah masuk menyerang disusul Kembang
Darah.
"Mungkin inilah sebabnya mengapa orang
yang mengeluarkan cahaya biru itu tiba-tiba ber-
belok dan menghilang," desis Raja Naga dalam hati
sambil menghindar. "Kembang Darah dan Setan
Keris Kembar! Aku harus bertindak eepat sebelum
Kembang Darah mempergunakan lagi Bunga Ke-
muning Biru."
Kejap lain dijejakkan kaki kanannya untuk
melepaskan jurus 'Barisan Naga Penghaneur Ka-
rang'. Disusul kibasan tangan kanan kirinya le-
paskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'.
Sementara Setan Keris Kembar dapat
menghindar, perempuan berkutang merah meme-
kik tertahan tatkala merasakan betapa derasnya
angin yang keluar dari gerakan tangan kanan kiri
Raja Naga. Sambil mundur tiga langkah, perem-
puan ini mengatupkan kedua tangannya di depan
dada, lalu diputar dan dipentangkan lebar-lebar.
Wrrrrrll
Blaaammm! 1
Letupan keras terjadi, tempat itu sesaat se-
perti bergetar. Raja Naga terseret beberapa tindak
ke belakang. Begitu kedua kakinya tegak kembali
di atas tanah. Raja Naga sudah meneelat ke depan
dengan gerakan memutar di udara. Dan tiba-tiba
meluruk dengan kedua kaki siap menghantam da-
da Kembang Darah yang membelalak.
Des! Des!
Dada montok perempuan itu telak terhan-
tam hingga tubuhnya terjajar ke belakang. Murid
Dewa Naga itu memang tak mau bertindak ayal,
mengingat Kembang Darah masih memiliki Bunga
Kemuning Biru. Segera diburunya perempuan itu.
Tetapi satu sinar hitam bergelombang dela-
pan kali telah menyongsongnya.
Raja Naga mengertakkan rahangnya sambil
membuang tubuh ke samping kanan.
Blaaarrr!!
Sinar hitam bergelombang delapan yang ke-
luar dari keris kakek berlengan kutung. Itu meng-
hantam sebuah pohon hingga hangus bagian ten-
gahnya!
Di pihak lain Kembang Darah telah berdiri
kembali. Dipandanginya pemuda berompi ungu itu
yang berdiri sejarak dua belas langkah dari tem-
patnya.
"Astaga! Tatapan matanya benar-benar
membuat jantung orang bisa putus!" desisnya da-
lam hati. "Waktu itu aku dapat menandinginya
dengan mempergunakan Bunga Kemuning Biru.
Tetapi sekarang, sulit kukeluarkan benda itu men-
gingat kehadiran Setan Keris Kembar di sini. Se-
baiknya... kubiarkan saja dulu kakek buntung itu
menghadapinya! Bila dia sudah mampus, itulah
saatnya kupergunakan Bunga Kemuning Biru!"
"Pemuda celaka! Menyingkir dari sini sebe-
lum kau mampus!" bentak Setan Keris Kembar
bengis. Napasnya memburu. Amarahnya memblu-
dak, mengingat tadi dipecundangi dengan mudah.
Raja Naga tak menjawab. Diliriknya Kem-
bang Darah.
"Hemmm... ternyata yang kuduga benar.
Kembang Darah berusaha memanfaatkan keheba-
tan Setan Keris Kembar. Terbukti dia tak mau
mengeluarkan Bunga Kemuning Biru. Ini satu ke-
sempatan...."
Habis membatin demikian, pemuda bersisik
coklat itu sudah menerjang ke arah Kembang Da-
rah. Tetapi sinar hitam bergelombang delapan itu
menghalanginya.
Tanpa menghentikan gerakannya. Raja Na-
ga mendorong tangan kanannya.
Wuuusss!!
Jlegaaaarr!!
Bertemunya gelombang angin yang disem-
burati asap merah dengan sinar hitam bergelom-
bang delapan dari sepasang keris kakek berpa-
kaian hitam itu mengakibatkan ledakan yang he-
bat. Seketika tanah berhamburan ke udara seting-
gi dua tombak.
Tiba-tiba terdengar teriakan membelah lan-
git. Satu bayangan hitam telah melesat dari ham-
buran tanah itu didahului sinar hitam bergelom-
bang delapan.
Raja Naga yang surut dua langkah mengge-
ram! Sorot matanya yang angker berkilat-kilat
memandang datangnya sinar hitam bergelombang
delapan.
Tanpa bergeser dari tempatnya, ditepuk
tangan kanannya.
Wuutttll
Blaaaaammm 11
Masing-masing orang mundur akibat kuat-
nya benturan itu. Tetapi Raja Naga sudah melesat
ke depan disertai dorongan tangan kanan kirinya.
Gelombang angin yang disemburati asap merah
menggebrak.
Setan Keris Kembar memekik kaget. Cepat-
cepat dia membuang tubuh ke samping kiri.
Blaaam! Blaaamm!
Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar
ke udara dan tatkala luruh kembali ke bumi, di
tanah itu telah membentuk dua buah lubang yang
mengeluarkan asap!
Raja Naga eepat meluruk ke depan disertai
gerengan yang keras. Tangan kanan kirinya menjo-
tos, disusul dengan satu tendangan yang mengan-
dung tenaga dalam tinggi.
Kendati masih dapat menghindari serangan
itu, tetapi Setan Keris Kembar merasa wajahnya
seperti ditampar, yang segera memerah karena pe-
dih. Napasnya memburu keneang. Kepiasan nam-
pak di wajah penuh keriputnya.
Raja Naga sendiri memang tak mau bertin-
dak ayal. Dia kembali memburu,
Des! Des!
Terlontar tubuh Setan Keris Kembar ke be-
lakang dan berhenti setelah menabrak sebuah po-
hon!
Tubuhnya terbanting lagi ke depan. Untuk
beberapa saat kakek berlengan buntung ini seperti
tak mampu untuk bangkit. Ketika dia perlahan-
lahan bangkit berdiri, terlihat eairan merah telah
merembas di sudut-sudut bibirnya.
Justru kegeramannya bukan ditujukan pa-
da Raja Naga yang telah berdiri tegak tanpa melan-
jutkan serangan, melainkan pada Kembang Darah,
"Perempuan eabul! Mengapa kau diam saja, bah?!
Kau ingin melihat aku mampus?!"
Kembang Darah mendelik.
Terkutuk! Bentakannya membuatku tak sa-
bar untuk menghancurkan kepalanya! Tetapi ti-
dak, dia masih kubutuhkan! Sebaiknya....
Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba
Kembang Darah menyibakkan kain hitam yang di-
kenakannya! Paha gempalnya terlihat jelas.
Setan Keris Kembar yang melihat bagian da-
lam Kembang Darah yang tertutup kain merah
jambu menggeram sengit.
"Terkutuk! Rupanya dia hendak mengalah-
kan Raja Naga dengan mempergunakan kemulu-
san tubuhnya! Dasar perempuan tidak tahu...
heiii!!"
Setan Keris Kembar membeliak, mulutnya
masih membuka. Dilihatnya Kembang Darah telah
memegang sebuah bunga kemuning berwarna bi-
ru.
"Astaga! Apa-apaan ini? Ola... dia... keparat
hina! Dia mengelabuiku!!"geramnya dalam hati.
Tanpa melihat Kembang Darah tahu apa
yang dipikiran Setan Keris Kembar. Dia berucap
dingin, "Panjang untuk menjelaskan bagaimana
Bunga Kemuning Biru ada padaku! Sekarang...
kau lihat saja, bagaimana pemuda celaka itu akan
mampus kubunuh!!"
Kejap itu pula disertai pekikan keras, pe-
rempuan berpa 3 aidara montok itu melesat ke de-
pan. Bunga Kemuning Biru digerakkan dengan ca-
ra disentak.
Wrrrrrr!!
Gelombang sinar biru yang mengeluarkan
hawa panas luar biasa menggebrak ganas. Pepo-
honan yang terserempet hawa panas itu seketika
mengering dan berguguran.
Raja Naga segera membuang tubuh ke
samping kanan. Sempat dilihatnya bagaimana
ranggasan semak di belakangnya seketika hangus
terkena hawa panas, dan tanah terbongkar ke
udara setelah terjadi letupan.
"Berbahaya!" desis pemuda bersisik ini. Per-
lahan-lahan mata angkernya semakin berkilat-
kilat mengerikan. Sisik-sisik eoklat yang terdapat
di tangan kanan kirinya sebatas siku, semakin je-
las kentara. "Aku harus bertindak cepat!"
Sadar kalau dia tidak bertindak cepat maka
keadaan akan menjadi gawat, dikeluarkannya ilmu
'Naga Mengamuk'. Disertai gerengan keras, anak
muda itu menerjang.
Kembang Darah yang juga pernah mengha-
dapi jurus itu pun tak mau bertindak ayal walau-
pun dia tak mau gegabah. Yang terjadi kemudian
sungguh sesuatu yang mengerikan.
Pepohonan tercabut dan terlempar akibat
dorongan desiran angin yang keluar dari tangan
kanan kiri Raja Naga. Paras tampan anak muda
itu meregang tegang. Tatapan matanya angker dan
bertambah angker. Sisik-sisik eoklat pada kedua
tangannya semakin terang menyala, berkilat-kilat.
Kemarahan telah mendera dirinya.
Setan Keris Kembar yang geram merasa di-
muslihati Kembang Darah, buru-buru men 3 dngkir
karena merasakan hawa panas yang luar biasa.
"Terkutuk! Aku paham sekarang! Aku pa-
ham!" desisnya berulang-ulang sambil memperha-
tikan pertarungan ganas itu. "Dia sengaja menje-
bakku dengan tubuh mulusnya, agar aku jadi
pengikutnya dan mau membunuh Datuk Meong
Moneng yang dikatakan memiliki Bunga Kemuning
Biru! Setan alas! Perempuan itulah yang menjadi
penyebab buntungnya tangan kiriku ini! Tetapi...
di mana Bunga Kemuning Biru disembuNyikannya
selama ini?!"
Pertarungan ganas dan mengerikan itu te-
rus berlangsung. Beberapa kali benturan dahsyat
terjadi. Tempat itu laksana diamuk kiamat. Tanah
berhamburan setinggi dua tombak, beterbangan
menghalangi pandangan. Letupan demi letupan
terdengar keras dan angker.
Hingga suatu ketika, gelombang sinar biru
yang panas luar biasa menderu menyeret tanah
dan bergemuruh dahsyat ke arah Raja Naga yang
segera mendorong kedua tangannya.
Gelombang angin raksasa disaputi asap me-
rah pun menggebrak. Menghantam dahsyat ge-
lombang sinar biru yang mengandung hawa panas
luar biasa. Akibatnya....
Blaaaammm!!!
Ledakan luar biasa meletup dahsyat. Tanah
munerat setinggi empat tombak disertai meng-
hamburnya sinar biru dan asap semburat merah.
Ranggasan semak menghangus. Pepohonan layu
setelah menggugurkan seluruh dedaunannya. Dari
muneratan tanah yang menghalangi pandangan,
terlempar dua sosok tubuh ke belakang.
Raja Naga berusaha menguasai keseimban-
gannya dan segera merangkapkan kedua tangan-
nya di depan dada. Hawa panas tinggi melingkupi
sekujur tubuhnya. Di lain pihak. Kembang Darah
masih terhuyung-huyung dengan bibir mengalir-
kan darah segar. Dijejakkan kaki kanannya hingga
huynngan tubuhnya berhenti. Napasnya terputus-
putus dengan sekujur tubuh terasa ngilu.
Segera dikerahkan hawa murninya untuk
menahan rasa sakit yang menghantam dadanya.
Tatapannya penuh bara dendam pada Raja Naga.
"Terkutuk! Bunga Kemuning Biru telah ter-
lihat oleh Setan Keris Kembari Dan pemuda ini la-
gi-lagi mampu mempercundangiku! Setan alas!
Rupanya hanya segini saja kesaktian Bunga Ke-
muning Biru yang digembar-gemborkan mampu
membunuh Malaikat Biru!" geramnya sengit. Teta-
pi diputuskan untuk tidak segera menyerang pe-
muda itu lagi, karena nafasnya terasa sesak.
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Aku
merasa pasti, ada sesuatu pada Bunga Kemuning
Biru yang mungkin hanya diketahui oleh men-
diang Durga Marakayangan atau Malaikat Biru."
Tak ada yang buka mulut. Setan Keris
Kembar, menggeram dalam hati, "Hebat! Bunga
kemuning itu memang hebat! Tapi sungguh kepa-
rat perempuan cabul itu yang berhasil menjebakku
dalam pusaran permainannya!"
Keheningan yang terjaga itu tiba-tiba dipe-
cahkan oleh satu suara menggidikkan bulu roma,
"Meoooongg! Perempuan terkutuk! Rupanya kau
berada di sini!!"
Men3aisul suara tadi, dua sosok tubuh me-
lompat dari sebelah kanan dan hinggap di atas ta-
nah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
***
DELAPAN
BUKAN hanya Kembang Darah yang terke-
jut melihat siapa orang yang muncul. Setan Keris
Kembar sendiri segera diamuk amarah begitu
mengenali salah seorang dari mereka. Di pihak
lain, Raja Naga mundur dua langkah. Dengan so-
rot matanya yang angker, diperhatikannya kedua
orang itu.
Kakek berjubah hitam berwajah kucing itu
menggeram pada Kembang Darah, "Perempuan
terkutuk!! Tak pernah kusangka kalau kau me-
mancing di air keruh! Berani memuslihatiku ada-
lah suatu tindakan yang luar biasa!"
Wajah Kembang Darah memucat. "Celaka!
Mengapa dia harus muncul di saat aku terluka da-
lam seperti ini? Menjalankan rencanaku pun seka-
rang ini tak ada gunanya. Setan Keris Kembar bisa
membongkar rahasia!"
Datuk Meong Moneng menyeringai. "Paras-
mu menunjukkan ketakutan! Sayang, aku tak
pernah mengampuni orang sepertimu!!"
Belum habis bentakannya kakek muka kuc-
ing itu sudah menerjang ke depan. Tangan kanan
kirinya membentuk cakar yang segera digerakkan.
Desiran angin kuat mendahului gerakannya.
Kembang Darah yang belum berhasil me-
mulihkan tenaganya tersentak. Buru-buru dia
menghindar ke belakang seraya menggerakkan
Bunga Kemuning Biru.
Wrrrrrrr!!
Gelombang sinar biru menderu ganas.
Kepala Datuk Meong Moneng menegak
tatkala dirasakan hawa panas mengarah padanya.
Dikatupkan mulutnya, lalu dihamburkan udara di
dalamnya dengan eara menyentak!
Bruuusssll
Hanya sedikit hawa panas itu yang putus di
tengah jalan. Sementara Datuk Meong Moneng ha-
rus melompat ke samping kiri.
"Gila!" bentaknya ketika telah berdiri tegak.
Kembang Darah menyeringai dan berseru
mengejek, "Huh! Kau boleh membanggakan selu-
ruh ilmumu padaku waktu itu. Meong Moneng! Te-
tapi sekarang... jangan berharap kau dapat mem-
perlihatkannya lagi!!"
Habis ejekannya. Kembang Darah sudah
melesat seraya menggerakkan Bunga Kemuning
Biru!
Sementara itu nenek berpakaian compang-
camping berpunuk pada punggungnya, memicing-
kan matanya pada Raja Naga. Sinar bahaya berki-
lat-kilat di matanya yang celong.
"Aku telah bersumpah untuk mencabut
nyawamu! Beliung Kutuk! Kau lihatlah apa yang
akan kulakukan padanya!!"
Kejap itu pula dia menerjang ke depan.
Wussss!!
Raja Naga yang masih dalam keadaan ter-
luka dalam akibat benturan yang dialaminya tadi
memutuskan untuk menghindari serangan itu.
Selagi dia bergulingan mendadak...
Cuiihhh!
Craaaattt!!
Cairan merah yang berasal dari kunyahan
sirih Nyi Bawung menyerbu ke arahnya. Masih da-
lam keadaan berguling pemuda berompi ungu ini
memutar tangan kanannya.
Melihat serangannya dapat diputuskan, Nyi
Bawung menerjang dengan eara melompat-lompat
yang lompatannya semakin lama semakin tinggi,
bahkan dua kali melebihi tingginya Raja Naga. Dan
setiap kali dia melompat, laksana sebuah palang
tegak lurus dengan langit, menggebah satu tenaga
tak nampak.
"Lagi-lagi dipergunakan ilmu anehnya itu!"
desis Raja Naga dalam hati. Sempat dilihatnya ba-
gaimana Kembang Darah dan Datuk Meong Mo-
neng bertarung dengan sengit. Juga dilihatnya Se-
tan Keris Kembar telah berdiri dengan memegang
sebilah keris bereluk delapan.
Raja Naga menggereng keras seraya menje-
jakkan kakinya di atas tanah. Bersamaan tanah
yang berhamburan, tubuhnya melenting ke depan.
Nyi Bawung yang saat ini sedang melompat
terkikik. Kaki kanannya dijejakkan, siap meng-
haneurkan kepala Raja Naga yang segera mena-
hannya. Namun anak muda itu harus mengu-
rungkan niatnya menyerang, karena cairan merah
yang keluar dari mulut Nyi Bawung harus dihinda-
rinya.
"Kau tak bisa mengelabuiku dengan cara
bodohmu ini. Raja Naga!" ejeknya terus melompat-
lompat.
"Nyi Bawung! Aku juga punya urusan den-
gan anak muda itu!" seruan itu terdengar bersa-
maan sinar hitam bergelombang delapan kali me-
nerjang ke arah Raja Naga.
"Hik hik hik... kau sudah terluka parah, Se-
tan Keris Kembari Tapi bila kau memang ingin ee-
pat mampus, bolehlah kau bersama-sama dengan-
ku bergembira dengannya!"
Setan Keris Kembar tak mempedulikan eje-
kan itu. Diserangnya Raja Naga dengan ganas. Be-
gitu melihat kehadiran Datuk Meong Moneng di
sana, sesungguhnya hatinya marah luar biasa. In-
gin segera diserangnya kakek muka kucing itu.
Tetapi dia juga gusar karena telah dikelabui
oleh Kembang Darah. Makanya dibiarkan saja ke-
dua orang itu saling menyerang. Karena dengan
cara seperti itu. Setan Keris Kembar bukan hanya
dapat melampiaskan amarahnya hanya pada satu
orang. Tetapi keduanya sekaligus yang saling me-
nyerang satu sama lain!
Menghadapi dua serangan ganas yang da-
tang silih berganti, membuat Raja Naga banyak
kehilangan keseimbangan. Bila saja saat ini dia ti-
dak terluka dalam akibat benturan dengan Kem-
bang Darah, mungkin dia masih dapat mengim-
banginya.
Dua kali tendangan kaki kiri Nyi Bawung te-
lak ke dadanya yang membuatnya terhu3aing. Da-
rah keluar dari sela-sela bibirnya. Tetapi masih di-
usahakan untuk tidak ambruk. Raja Naga sadar,
sedikit saja dia lengah, maka akan berakibat fatal.
Hanya saja, saat ini tenaganya telah banyak terku-
ras! Ilmu ‘Naga Mengamuk’ yang harus memper-
gunakan tenaga kuat pun tak banyak dapat digu-
nakannya, Bahkan... dess!!
Des!!
Jotosan keras Nyi Bawung disusul dengan
tendangan kaki kanan Setan Keris Kembar mem-
buat sosok pemuda dari Lembah Naga itu terlem-
par dan terbanting!
"Inilah saat-saat yang kutunggu!" seru Nyi
Bawung, sambil melompat tinggi-tinggi dia melu-
nak deras laksana batu besar jatuh dari langit. Ke-
dua kakinya lurus siap menghantam kepala Raja
Naga yang masih tergeletak!
Saat itu pagi telah datang.
Sebelum ajal menjemput Raja Naga, tiba-
tiba saja selarik sinar biru melesat.
Wuuuttt!!
"Keparat!!" maki Nyi Bawung sambil berpu-
tar dua kali di udara. Serentak kepalanya dipa-
lingkan ke kanan. Disangkanya Kembang Darah
yang melakukan tindakan itu. Tetapi saat ini Kem-
bang Darah masih terus berkutat menghadapi se-
rangan ganas Datuk Meong Moneng!
Di pihak lain Raja Naga sendiri telah bang-
kit terhuyung-huyung.
"Bukan, bukan Kembang Darah yang mela-
kukannya!" desisnya dan merasakan hawa dingin
melingkupi tubuhnya. "Sinar biru yang barusan
itu mengandung hawa dingin, sementara sinar bi-
ru yang berasal dari Bunga Kemuning Biru men-
gandung hawa panas."
Apa yang dipikirkannya singgah pula di be-
nak Nyi Bawung. Ditahannya Setan Keris Kembar
yang siap menyerang Raja Naga kembali.
"Jangan banyak omong!" bentaknya begitu
Setan Keris Kembar hendak membuka mulut. "Se-
seorang telah datang ke sini, seseorang yang jelas-
jelas bukan berpihak pada kita!"
Mendengar kata-kata itu Setan Keris Kem-
bar terdiam. Baru disadarinya kalau hawa dingin
menyergap tubuhnya.
"Malaikat Biru!!" serunya tiba-tiba dengan
kepala tegak.
Seruannya itu sudah tentu mengejutkan
orang-orang yang berada di sana. Termasuk Datuk
Meong Moneng yang melompat ke belakang dan
menghentikan serangannya. Kembang Darah sen-
diri berbuat yang sama.
Setan Keris Kembar berseru keras seraya
memutar tubuhnya, "Malaikat Biru! Jangan men-
jadi seorang pecundang bila takut mampus! Keluar
kau!! Atau... aaakhhhh!!"
Tubuh Setan Keris Kembar mendadak ter-
pelanting di atas tanah. Bersamaan dengan itu, sa-
tu cahaya biru nampak melayang di udara. Berpu-
tar beberapa kali lalu hinggap di atas tanah den-
gan ringannya.
Lima pasang mata tertuju pada kakek ber-
pakaian biru yang sedang tersen3aim. Matanya te-
duh. Wajahnya bijak. Dengan gerakan lembut di-
usap-usap janggut putihnya.
"Semua telah berkumpul di sini. Inilah saat
yang tepat untuk memberitahukan sesuatu yang
telah lama terpendam...."
Datuk Meong Moneng menggeram sengit,
"Kau mencoba mencari selamat dengan bicara se-
perti itu!"
"Aku ingin semua yang ada di sini selamat,"
sahut kakek bongkok yang dari tubuhnya meman-
car cahaya biru. Lalu dipalingkan kepalanya pada
Raja Naga, "Anak muda... telah kuputuskan kalau
kaulah yang kutugaskan untuk menjaga keutuhan
Pusara Keramat dari orang-orang serakah ini! Te-
tapi sayang, dua manusia serakah yang berada di
sini telah membuntuti kita! Pulihkanlah tenagamu
dulu...."
Raja Naga merangkapkan kedua tangannya
di depan dada.
"Malaikat Biru... akhirnya aku berjumpa ju-
ga dengan orang yang julukannya sering disebut
banyak orang ini. Ternyata dia cahaya yang kulihat
dan mengetahui kalau Setan Keris Kembar serta
Kembang Darah mengikuti...."
Malaikat Biru maju dua langkah ke muka.
"Tak ada yang perlu disembunyikan karena
semua telah terbuka," katanya lembut. "Pusara
Keramat... ya. Pusara Keramatlah yang hendak ka-
lian tuju. Desas-desus yang berpuluh tahun ter-
dengar kemudian terhempas dalam bumi lalu
mencuat lagi ke gendang telinga, telah menyebab-
kan kalian menjadi orang serakah, menjadi orang
terkutuk yang mengorbankan banyak nyawa orang
untuk mendapatkan apa yang tersimpan di Pusara
Keramat. Padahal... tak seorang pun yang tahu
apa yang tersimpan di pusara itu."
"Tak usah banyak bicara! Menyingkir dari
sini dan biarkan kami untuk mengetahui apa yang
tersimpan di Pusara Keramat!" bentak Datuk
Meong Moneng.
"Aku tak pernah mengerti, mengapa pusara
itu dianggap keramat hingga dinamakan Pusara
Keramat," sabut Malaikat Biru tak mempedulikan
bentakan Datuk Meong Moneng. "Dan semua ini
harus diakhiri hingga tak ada lagi petaka yang da-
tang demi memuaskan hawa nafsu!"
"Semua ini memang harus diakhiri!" terden-
gar bentakan Kembang Darah. "Kakek bercahaya
biru! Kau lihat benda apa yang kupegang ini?!"
Malaikat Biru tersenyum.
"Sejak tadi aku tahu benda apa yang kau
pegang itu. Tetapi sayang, benda itu bukanlah mi-
likmu!"
"Setan tua! Mampuslah kau!!"
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pe-
rempuan berkutang merah itu menggerakkan tan-
gan kanannya. Serentak sinar biru yang mengan-
dung hawa panas luar biasa menggebrak ke arah
Malaikat Biru.
Astaga! Malaikat Biru tidak bergeser dari
tempatnya! Dia tetap tersen3aim, tetap berdiri di
tempatnya!
Raja Naga berseru seraya mendorong kedua
tangannya, "Menyingkir, Orang tuaaaa!!"
Gelombang angin raksasa yang keluar dari
ilmu 'Naga Mengamuk' luput menghantam sinar
biru berhawa panas yang terus menghantam Ma-
laikat Biru yang tetap tak bergeming di tempatnya.
Blaaaammmm!!
Letupan dahsyat terdengar. Sinar biru itu
bermuneratan seiring dengan tanah yang berham-
buran. Raja Naga sendiri meNyingkir karena mera-
sa hawa panas yang menyergapnya.
Untuk beberapa lama tanah masih menye-
limuti tubuh Malaikat Biru.
Kembang Darah mendesis pada Datuk
Meong Moneng, "Datuk! Kita lupakan dulu perti-
kaian di antara kita! Kau lihat, aku telah menying-
kirkan penghalang untuk menuju ke Pusara Ke-
ramat!"
"Perempuan setan! Jangan meneoba men-
gambil keuntungan! Aku akan tetap membunuh-
mu!"
Kembang Darah menggeram. "Sejak tadi
kau tak mampu menghadapiku! Apakah kau me-
rasa akan...,"
"Tak ada yang perlu diributkan. Yang harus
diselesaikan adalah agar kita bisa saling menyikapi
satu sama lain...."
Lima pasang mata yang berada di sana me-
noleh pada orang yang tadi berbieara. Kepala mas-
ing-masing orang seketika menegak dengan mata
melebar.
Malaikat Biru tersen3aim dengan sorot ma-
tanya yang teduh.
"Kita sudahi urusan ini dan kita biarkan
Pusara Keramat tetap berada di tempatnya, tanpa
dijamah oleh tangan-tangan kotor kalian."
Habis ucapannya. Malaikat Biru melangkah
meninggalkan tempat itu. Tetapi satu gelombang
sinar biru berhawa panas sudah mengarah pa-
danya. Disusul muneratan cairan merah. Dalam
waktu yang bersamaan, sinar hitam bergelombang
delapan menyerbu pula, berbarengan dengan de-
ruan angin dahsyat!
Raja Naga membeliak melihat serangan be-
runtun yang mengarah pada Malaikat Biru. Dia
mendeham, disusul dengan dorongan kedua tan-
gannya.
Cairan merah dan sinar hitam bergelom-
bang delapan kali putus terhantam angin raksasa
bersemburat asap merah. Kedua orang pemilik se-
rangan itu menggeram dan segera menerjang Raja
Naga.
Di pihak lain, sinar biru berhawa panas dan
gelombang angin dahsyat menghantam Malaikat
Biru. Lagi-lagi tanah menghambur ke udara, me-
nyelubungi sosoknya yang bercahaya biru.
Kembang Darah tak mau mengulangi kega-
galannya tadi. Dia segera mencelat ke depan se-
raya mendorong tangannya yang memegang Bunga
Kemuning Biru.
Blaaaarrrrll
Hamburan tanah itu terhantam hingga se-
makin tinggi ke udara. Tempat itu bergetar bebe-
rapa saat.
"Kali ini mustahil kau masih hidup. Malai-
kat Biru!" desisnya puas sambil melirik Datuk
Meong Moneng yang menunggu dengan tegang.
Namun satu suara mengejutkan keduanya.
"Kalian terlalu memaksaku untuk bertindak.... "
Keduanya sama-sama menoleh ke samping.
Malaikat Biru telah berdiri di sana sambil terse-
n3aam! Dari sela-sela bibirnya terlihat mengalir da-
rah kental.
"Gila! Bagaimana dia bisa menghindar?!" se-
ru Kembang Darah.
"Kau terlalu dungu mempergunakan Bunga
Kemuning Biru! Kau hanya menghantam hambu-
ran tanah kosong belaka!"
"Setan! Kau lihat apa yang kulakukan ini,
Meong Moneng!!"
Amarah yang sudah berada di ubun-ubun
itu membuat Kembang Darah menjadi semakin
buas dan liar. Dia benar-benar tak mengerti ba-
gaimana mungkin Bunga Kemuning Biru yang di-
katakan mampu membunuh Malaikat Biru tetapi
ternyata tak memiliki kemampuan seperti yang di-
harapkan.
Malaikat Biru mendesah pendek sambil
mengusap janggut putihnya. Dia memang tak ber-
geser dari tempatnya, tetapi tangan kanannya di-
angkat dan diputar sedikit.
"Maafkan aku...."
Wuussss!!
Sinar biru berhawa dingin menggempur ke
depan, membentur sinar biru berhawa panas. Si-
nar-sinar itu bermuneratan di udara. Tanah seke-
tika bergetar. Pepohonan kembali tumbang. Hawa
panas dan dingin saling tindih. Tempat itu laksana
dilanda prahara!
Datuk Meong Moneng melihat sosok Kem-
bang Darah terlempar ke belakang sementara Ma-
laikat Biru tetap berdiri di tempatnya. Segera di-
empos tubuhnya untuk menyongsong tubuh Kem-
bang Darah. Tetapi bukan bermaksud untuk me-
nangkapnya, melainkan untuk merebut Bunga
Kemuning Biru yang dipegang oleh perempuan
berkutang merah itu.
Dalam keadaan kehilangan keseimbangan,
Kembang Darah masih dapat berpikir jernih. Dia
tahu apa yang dihendaki oleh Datuk Meong Mo-
neng. Dicoba untuk mempergunakan Bunga Ke-
muning Biru guna menghalangi niat Datuk Meong
Moneng. Tetapi dadanya yang terasa sesak mem-
buat tenaganya seolah lenyap. Jalan satu-satunya
hanya melempar Bunga Kemuning Biru ke udara!
Datuk Meong Moneng menggeram sengit se-
raya melompat.
Nyi Bawung yang sedang mendesak Raja
Naga menghentikan serangannya. Cepat pula di-
putar tubuhnya dan melesat ke udara.
"Keparat!!" maki Datuk Meong Moneng gu-
sar. Kakinya dijejakkan ke bawah.
Nyi Bawung terkikik.
"Persekutuan kita berakhir! Aku juga men-
ginginkan bunga itu. Meong Moneng!"
Buk! Buk!
Tangannya menangkis jejakkan kaki Datuk
Meong Moneng. Masih berada di udara tiba-tiba
lompatannya bertambah tinggi. Menggebah tenaga
tegak lurus ke arah Datuk Meong Moneng yang
terkejut. Dia berhasil menghindar dengan jalan
menekuk tubuhnya, bahkan....
Crasss!!
Kuku-kuku jarinya menyobek pakaian di
lengan kanan Nyi Bawung hingga semakin eom-
pang camping.
Masing-masing orang hinggap kembali di
atas tanah.
Setan Keris Kembar yang melihat Bunga
Kemuning Biru sudah meluneur ke bawah tanpa
ada lagi yang siap mengambilnya, segera meneelat.
Raja Naga tersentak. Segera dijejakkan kaki
kanannya di atas tanah dan melesat lebih eepat
dari Setan Keris Kembar yang masih berusaha
menghalangi dengan kerisnya. Raja Naga berhasil
menghindar, bahkan menendang kakek berlengan
buntung itu hingga ambruk di atas tanah.
Lalu... tap!
Bunga Kemuning Biru telah berada di tan-
gannya dan dia segera hinggap di samping kanan
Malaikat Biru.
"Pertunjukan telah selesai! Sebaiknya me-
nyingkir!"
"Kau salah besar. Raja Naga! Pertunjukan
belum selesai! Bahkan akulah yang akan meme-
gang peranan!"
Raja Naga memalingkan kepalanya ke kiri.
Dilihatnya dua sosok tubuh dalam keadaan terikat
terbanting di atas tanah. Lalu dilihat satu sosok
tubuh berhidung bangir tertawa dengan kaki men-
ginjak kepala salah seorang yang terikat itu!
***
SEMBILAN
TAWA Datuk Meong Moneng tiba-tiba
menggema. Apa yang telah dilakukan Nyi Bawung
seketika dilupakan.
"Bagus, Pratiwi! Kau muncul pada saat yang
tepat!!"
Gadis berhidung bangir itu tersen3mm. "Wa-
lau agak meleset, tetapi rencanaku berhasil.
Guru!"
Raja Naga menggeram.
"Rupanya ini jawaban dari kejanggalan yang
kurasakan di saat kita bertemu dengan Datuk
Meong Moneng, Pratiwi!"
Gadis berhidung bangir yang menginjak ke-
pala pemuda berpakaian merah itu menyeringai.
"Oya? Raja Naga! Apakah kau ingin melihat
kepala pemuda ini remuk kuinjak?! Cepat serah-
kan Bunga Kemuning Biru itu!"
"Kala kita berjumpa dengan Datuk Meong
Moneng, kakek itu seperti hendak memanggil na-
mamu, Pratiwi! Bahkan dia merasa heran melihat
kau beringas seperti itu padanya! Tetapi kau begi-
tu pandai memainkan perananmu kalau kau se-
sungguhnya punya hubungan dengan Datuk
Meong Moneng! Ya, itulah yang kurasakan sebagai
kejanggalan!"
"Kau memang cerdik! Tetapi sayang, ternya-
ta aku lebih cerdik!" seringai Pratiwi. "Cepat lem-
par Bunga Kemuning Biru bila tak ingin melihat
kedua sahabatmu ini mampus kubunuh!!"
Raja Naga melihat Lesmana meringis kesa-
kitan. Kegeraman anak muda ini semakin menjadi-
jadi. Sisik coklat pada lengan kanan kirinya seba-
tas siku semakin kentara.
"Aku tak punya banyak waktu! Cepat!!"
Dengan bengis Pratiwi mengeraskan injakannya.
Lesmana berteriak tertahan. Pratiwi menyepak wa-
jahnya hingga darah keluar dari hidung pemuda
itu.
"Keparat!" maki Raja Naga dengan tangan
mengepal. Sorot matanya bertambah angker.
Pratiwi tertawa sambil menyepak wajah
Lesmana berkali-kali hingga pemuda itu babak be-
lur. Ratih yang melihat hal itu berseru tertahan,
"Boma! Berikan Bunga Kemuning Biru padanya!
Berikaaaann!!"
Penuh kegeraman Raja Naga akhirnya me-
lempar Bunga Kemuning Biru.
"Tangkap, Guru!" seru Pratiwi.
Datuk Meong Moneng segera menyambar
Bunga Kemuning Biru dan kembali hinggap di atas
tanah, kali ini di sisi Pratiwi.
Dia tertawa lebar.
"Menyenangkan! Semuanya berakhir me-
nyenangkan!!"
Di tempatnya Malaikat Biru berbisik, "Ta-
han emosimu. Anak muda. Mereka kini menguasai
semuanya...." Raja Naga hanya mengangguk.
Datuk Meong Moneng berseru keras, "Bun-
ga Kemuning Biru telah kudapatkan! Kumiliki juga
dua nyawa yang tak berguna di sini! Rahasia Pusa-
ra Keramat harus segera dipecahkan! Tetapi, seo-
rang manusia harus mampus sekarang sebagai uji
eoba!!"
Tiba-tiba digerakkan tangan kanannya yang
memegang Bunga Kemuning Biru sementara tata-
pannya tetap tajam pada Raja Naga. Raja Naga
sendiri bersiap.
Tetapi yang mengejutkan, Datuk Meong
Moneng justru berbalik ke samping kanan seraya
menggerakkan Bunga Kemuning Biru.
"Mampuslah kau, Kembang Darah!"
Kembang Darah yang tak mampu lagi ber-
gerak karena luka dalam dan kehabisan tenaga,
membeliak lebar seolah bola matanya hendak me-
lompat keluar. Dia masih berusaha untuk meng-
hindari sinar biru yang mengandung hawa panas.
Tetapi....
" Aaaakkbhhhh!!!"
Blaaaaammm! 1
Tubuhnya telah terhantam sinar biru itu
sehingga terdorong sepuluh langkah ke belakang.
Dan dia tewas seketika dengan tubuh bolongi
Datuk Meong Moneng terbahak-bahak keras
beberapa saat sebelum diputuskan tiba-tiba. Ma-
tanya tajam pada Nyi Bawung.
"Apakah sekarang kau masih berpikir untuk
memutuskan persekutuan denganku?!"
Nyi Bawung terkikik. Dadanya berdebar.
Masih terkikik dia berkata, "Hik hik hik... kau se-
perti tidak tahu siapa aku. Menjilat kakimu pun
aku mau!"
"Bagus! Setan Keris Kembar! Bagaimana
dengan kau?!"
Setan Keris Kembar terdiam beberapa saat
sebelum mengangguk-angguk dengan wajah ge-
ram.
"Bagus!" seru Datuk Meong Moneng sambil,
terbahak. "Bunuh pemuda itu dan Malaikat Birui!"
"Guru!" seru Pratiwi tiba-tiba. Gadis berhi-
dung bangir itu menatap Raja Naga tanpa kedip.
"Mengapa harus bersusah payah? Bukankah Guru
ingin membunuh Malaikat Biru? Suruh pemuda
itu membunuhnya! Bila dia menolak... kedua ce-
cunguk ini akan mampus kuinjak-injak!"
Makin keras tawa Datuk Meong Moneng.
"Raja Naga! Kau sudah mendengar omongan
muridku! Cepat lakukan!!" serunya seraya me-
langkah mendekati Ratih. "Kalau tidak...."
Breeekkk!
Pakaian bagian punggung yang dikenakan
Ratih robek. Gadis itu menjerit.
"Aku akan mempermalukan gadis ini di ha-
dapanmu!!"
Bergetar tubuh pemuda dari Lembah Naga
itu. Tetapi dia tidak dapat melakukan apa-apa. Di-
dengarnya Malaikat Biru berkata, "Ini sudah kele-
wat batas...."
Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap, yang nam-
pak hanyalah gumpalan cahaya biru belaka yang
segera melesat tanpa bisa diikuti oleh mata ke
arah Datuk Meong Moneng. Kakek muka kucing
itu terkesiap. Dia hendak menggunakan Bunga
Kemuning Biru. Tetapi gumpalan cahaya itu telah
menabraknya hingga tubuhnya terpental ke bela-
kang.
Bunga Kemuning Biru yang dipegangnya
terlepas. Raja Naga yang tak menyangka akan hal
itu, segera melesat ke depan. Tap! Bunga Kemun-
ing Biru kini berpindah tangani
Pratiwi tersentak melihat kenyataan yang
terjadi. Terburu-buru diinjaknya kepala Lesmana
lebih kuat. Tetapi satu gelombang angin telah
membuatnya terpental. Raja Naga melesat eepat
dan menyergap.
"Kau tak pantas untuk hidup lebih lama se-
benarnya!!" geramnya dingin dan... tuk!
Tuk!
Tubuh gadis berwajah mirip Diah Harum itu
menggelosoh tanpa daya. Mulutnya memaki-maki
keras. Juga memaki Datuk Meong Moneng yang
sedang pontang-panting menghadapi serbuan
gumpalan cahaya biru!
"Dungu! Kakek bodoh! Mengapa kau lengah
seperti itu, bah?!"
Raja Naga mendesis. Ditatapnya Pratiwi pe-
nuh kebencian.
"Seorang perempuan seharusnya dapat
mempergunakan hati dan nuraninya untuk bersi-
kap lebih sopan. Tetapi kau, justru memutar ke-
nyataan yang ada."
"Setan bersisik! Buka totokanmu! Ayo, ha-
dapi aku!!" geram Pratiwi sengit.
Raja Naga tak mempedulikannya. Dibu-
kanya ikatan pada Ratih yang segera bangkit
memburu Lesmana yang babak belur.
"Kakang,..."
Lesmana tersenyum lemah, menerima pelu-
kan Ratih setelah dibuka ikatannya oleh Raja Na-
ga. Tiba-tiba saja Ratih berteriak keras seraya me-
nyerbu ke arah Pratiwi. Dua jotosan yang mengan-
dung tenaga dalam tinggi menghantam dada Pra-
tiwi yang terlempar beberapa langkah.
Raja Naga melengak. Dilihatnya sosok Pra-
tiwi yang kini tergeletak menjadi mayat
"Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa?"
desisnya masygul.
Sementara itu, penuh kepuasan, Ratih
kembali pada Lesmana. "Kau tidak apa-apa, Ka-
kang?"
Lesmana tersenyum.
Sementara itu Raja Naga melihat sosok Se-
tan Keris Kembar dan Nyi Bawung sudah tak be-
rada di sana. Rupanya kedua orang itu merasa le-
bih baik menyelamatkan diri melihat keadaan te-
lah dikuasai oleh Raja Naga dan Malaikat Biru
Di pihak lain. Datuk Meong Moneng terus
berusaha untuk menghindari gempuran cahaya bi-
ru yang berhawa dingin. Sulit baginya untuk me-
lancarkan serangan balasan, karena sosok Malai-
kat Biru tak terlihat sama sekali kecuali gumpalan
cahaya biru belaka.
"Bagaimana bisa kau dan Lesmana berada
di bawah kekuasaan Pratiwi?" tanya Raja Naga
sambil melirik Pratiwi yang telah menjadi mayat.
Ditindih perasaan gelisah yang mendadak singgah
di hatinya. Biar bagaimanapun juga, Pratiwi men-
gingatkannya pada mendiang Diah Harum, gadis
yang pertama kali dicintainya dan hingga sekarang
masih dicintainya.
Ratih segera menceritakan apa yang terjadi.
Sepeninggal Raja Naga setelah membebaskan toto-
kannya, tiba-tiba muncul seseorang yang langsung
menyergap. Dalam keadaan gelap seperti itu, Les-
mana tak bisa berbuat banyak. Dalam waktu sing-
kat saja dia sudah dibuat tidak berkutik. Sementa-
ra itu Ratih sendiri belum pulih benar keadaannya
setelah berhari-hari dalam totokan, hingga dia pun
dengan mudah dikalahkan oleh orang yang ternya-
ta Pratiwi.
"Bersyukurlah...," kata Raja Naga pelan. La-
lu disodorkannya Bunga Kemuning Biru pada Ra-
tih. "Benda ini milik kalian. Sesuai dengan janjiku,
kuserahkan lagi benda ini walaupun bukan di Bu-
kit Tidar...."
Ratih memandang pemuda gagah itu seje-
nak sebelum mengalihkan pandangannya pada
Lesmana.
"Kakang... apakah kita membutuhkan Bun-
ga Kemuning Biru?"
Lesmana tersenyuum, lalu menggeleng.
"Tidak, kita sama sekali tidak membutuh-
kan benda itu. Raja Naga... biarlah benda itu kau
simpan saja...."
"Aku tak berhak melakukannya...."
"Kalau begitu... mungkin ada yang lebih
berhak...," kata Lesmana sambil melirik ke samp-
ing kanan.
Raja Naga mengikuti arah lirikan Lesmana.
Dilihatnya sosok Malaikat Biru yang sedang me-
mandangi mayat Datuk Meong Moneng dengan
penuh kesedihan.
"Aku tak menghendaki hal ini terjadi... sama
sekali tak pernah kuhendaki...."
Lalu dia melangkah mendekati Raja Naga.
"Anak muda... sebelum ini kuputuskan untuk me-
limpahkan tanggung jawab tentang Pusara Kera-
mat di pundakmu. Tetapi kupikir, biarlah aku
yang menjaganya sampai ajal menjemputku...."
Raja Naga mengangguk. Dapat dirasakan
kepedihan pada suara orang tua itu. Lalu disodor-
kannya Bunga Kemuning Biru pada orang tua itu.
"Orang tua... mungkin di tanganmu benda
ini akan lebih aman...."
Malaikat Biru memandangi bunga itu seje-
nak sebelum mengambilnya seraya berkata, "Aku
sebenarnya tak berhak atas benda sakti ini. Dulu
pun aku mengembalikannya pada Durga Mara-
kayangan. Tetapi... mungkin ini memang yang ter-
baik seiring dengan niatku untuk tetap berusaha
tidak mengetahui apa yang ada di Pusara Keramat.
Anak muda gagah... apakah kau setuju dengan
ueapanku itu?" Raja Naga mengangguk.
"Ya, itu lebih baik. Orang tua, aku hendak
menanyakan sesuatu. Selama ini Bunga Kemuning
Biru dianggap dapat membunuhmu, tetapi menga-
pa kau tidak terkena pengaruh apa-apa dari bunga
itu?"
Malaikat Biru mengangkat kepalanya, me-
mandang naungan langit yang eerah.
"Biarlah itu menjadi rahasiaku...."
Habis kata-katanya, kakek bereahaya biru
itu segera meninggalkan tempat yang telah porak
poranda. Raja Naga memandangi kepergiannya
sampai lenyap di balik pohon dengan tatapan ka-
gum.
Lalu digalinya lubang untuk menguburkan
mayat Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng.
Setelah itu didekatinya Lesmana dan Ratih.
"Kita berpisah di sini...."
"Kau hendak ke mana?" tanya Lesmana.
"Aku tidak tahu hendak ke mana. Tetapi
perjalananku masih panjang.... Sampai berjumpa
lagi!"
Kejap lain Raja Naga sudah berlari mening-
galkan tempat itu, meninggalkan Ratih dan Les-
mana yang masih berada di sana hingga senja mu-
lai turun....
SELESAI
Segera menyusul:
ISTANA GERBANG MERAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon