SATU
JLEGAAAARRRR!!
Ledakan dahsyat yang membedah malam
itu mengejutkan seorang pemuda yang baru saja
memejamkan matanya. Kontan pemuda ini berdiri
dengan mata memperhatikan sekelilingnya. Saat
itu rembulan sedang terang bersinar, tak ada
gumpalan awan hitam yang menghalanginya. Di
sekitar tempat itu pun tak banyak tumbuh pepo-
honan tinggi hingga sinar rembulan dapat menyo-
Pemuda itu mengenakan rompi berwarna
ungu. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor
kuda, bergerak-gerak saat kepalanya dipalingkan
ke kanan kiri. Parasnya tampan dengan... astaga!
Sorot mata pemuda itu... gila, benar-benar gila!
Sorot mata si pemuda sangat mengerikan! Angker
berkilat-kilat dan mampu menciutkan nyali siapa
saja yang melihatnya.
Pemuda ini membatin, "Ledakan itu sung-
guh luar biasa kerasnya! Aku yakin, ledakan itu
berasal dari satu tempat yang agak jauh dari sini.
Tetapi... ledakannya membuat tempat ini berge-
tar...."
Pelan-pelan pemuda berusia tujuh belas
tahun ini mengangkat tangan kanannya. Saat itu-
lah terlihat tangan kanannya sebatas siku dipe-
nuhi sisik berwarna coklat. Sisik yang sama pun
terdapat pada tangan kirinya.
Dari ciri yang melekat pada diri si pemuda,
dapat ditebak siapa dia adanya. Pemuda itu bu-
kan lain Boma Paksi atau yang lebih dikenal den-
gan julukan Raja Naga.
Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja
memutuskan untuk beristirahat, melewati malam.
Dia memang tak punya tujuan tertentu. Yang di-
lakukannya hanyalah memuaskan jiwa petualan-
gan yang ada di dadanya. Tetapi ledakan dahsyat
yang menggetarkan tempatnya, mengejutkannya.
"Hemmm... dari ilmu 'Rabaan Naga' dapat
kupastikan kalau ledakan itu berasal dari barat
laut," katanya sambil menurunkan lagi tangan
kanannya. Pemuda bersisik coklat ini terdiam be-
berapa saat sebelum berkelebat ke arah barat
laut.
Sambil berlari, pemuda ini menajamkan
penglihatan dan pendengarannya. Tak ada sesua-
tu yang berubah kecuali malam yang terus berge-
rak. Ledakan itu pun tidak terdengar lagi. Raja
Naga masih mempergunakan ilmu ‘Rabaan Naga’
untuk menentukan sumber ledakan itu lebih te-
pat.
Mendadak.... JlegaaarrrH
"Gila!" serunya tertahan sambil menghenti-
kan larinya. "Ada apa ini? Apakah saat ini bumi
sedang mengamuk? Tanah ini lagi-lagi bergetar!"
Raja Naga terus memikirkan kemungkinan
asal ledakan itu. Diteruskan langkahnya. Setelah
melewati hampir sepenanakan nasi, dari kejau-
han dilihatnya tanah berhamburan di udara.
Asap putih menyelimuti tempat itu.
Raja Naga memicingkan matanya untuk
melihat lebih jelas. Tetapi asap putih yang menye-
limuti udara ditambah hamburan tanah yang be-
lum luruh, membuatnya tak dapat melihat secara
jelas. Diputuskan untuk segera mendekati tempat
itu. Dan entah mengapa dia menjadi sedikit te-
gang.
"Asap putih itu masih mengepul di udara,
tanah juga belum luruh," katanya berjarak dua
belas langkah dari kepulan asap dan tanah.
"Aneh! Tak ada tanda-tanda seseorang berada di
sini! Lantas... apa yang menyebabkan ledakan itu
terjadi? Apakah... hei! Di sana tanah dan asap
putih telah mereda. Berarti... kedua ledakan tadi
memang berasal dari sini...."
Berhati-hati pemuda pewaris ilmu Dewa
Naga ini melangkah. Dari sela-sela asap putih
yang masih menghalangi pandangan, dilihatnya
sebuah lubang di bawah asap itu. Sebuah lubang
yang kecil!
"Astaga! Apakah lubang sebesar lingkaran
jari telunjuk dan jempol itu yang menyebabkan
ledakan tadi?" desisnya sambil bergerak ke tem-
pat yang satunya lagi. Di tempat yang mulai lebih
jelas terlihat karena tanah sudah luruh kembali
dan asap putih telah meregang lepas, Raja Naga
juga melihat lubang yang sama. "Aneh! Di tempat
ini masing-masing ada dua buah lubang! Berar-
ti... sukar bagiku untuk mempercayai ini sebe-
narnya, kalau lubang itulah yang menyebabkan
ledakan tadi."
Raja Naga berlutut. Diperiksanya lubang
itu. Ada sedikit hawa panas yang menerpa tan-
gannya saat dimasukkan tangannya ke dalam lu-
bang.
"Ledakan tadi benar-benar dahsyat! Tetapi
hanya lubang sebesar ini yang terbentuk! Ra-
sanya tidak masuk di akal! Karena... heiii!!"
Pemuda berompi ungu ini memutus kata-
katanya, karena saat itu dari ekor matanya dili-
hatnya satu sosok tubuh bergerak sangat cepat.
Melompati ranggasan semak tanpa mengeluarkan
suara.
Segera Raja Naga bergerak untuk menyu-
sul bayangan tadi yang semakin menjauh. Yang
sempat dilihat, hanyalah warna kuning yang be-
rasal dari pakaian yang dikenakan orang yang
berkelebat tadi.
Belum lagi Boma Paksi menemukan kejela-
san dari kejadian aneh yang dialaminya ini, tiba-
tiba terdengar seruan di belakangnya, "Pemuda
celaka! Rupanya kau-lah pencuri celaka yang telah
mencuri bunga-bunga keramat!"
Serta-merta Raja Naga membalikkan tu-
buh. Dilihatnya dua sosok tubuh telah berdiri
berjarak sepuluh langkah dari tempatnya. Mata
masing-masing orang tegang, bersinar penuh ba-
haya!
"Ada apa lagi ini?" desis Raja Naga yang be-
lum menemukan kejelasan dari apa yang diala-
minya. "Tadi yang laki-laki mengatakan aku men-
curi bunga?. Astaga Bunga? Sekuntum bunga?!"
Orang yang berdiri di sebelah kanan men-
gertakkan rahangnya. Dia seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun. Bertubuh tegap dengan
cambang di pipi kanan kirinya, hingga menam-
pakkan kejantanannya. Dia mengenakan pakaian
berwarna biru yang terbuka di dada, hingga
memperlihatkan dadanya yang bidang.
Lelaki itu telah membentak, "Pemuda kepa-
rat! Serahkan Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru!"
Raja Naga yang masih belum memahami
keadaan hanya mengerutkan kening. Dia tak bu-
ka suara. Matanya memandangi si lelaki.
Lelaki itu sudah siap untuk keluarkan ben-
takan lagi, tetapi nampak dia sedikit terkejut se-
karang.
"Gila! Tatapan pencuri keparat ini sungguh
mengerikan! Jantungku seperti diremas-remas!"
desisnya dalam hati. "Dapat kupastikan kalau
pemuda bermata angker ini bukan orang semba-
rangan! Terbukti dia dapat mencabut Bunga Ke-
cubung Putih dan Bunga Anggrek Biru, yang be-
rarti berhasil menyingkirkan mantra yang dilaku-
kan Guru!"
Perempuan berparas jelita yang berdiri di
sebelahnya sudah membentak, "Kakang Purwa!
Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar Ungu telah
lenyap beberapa hari lalu! Demikian pula dengan
Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kamboja Me-
rah! Dan sekarang, Bunga Kecubung Putih dan
Bunga Anggrek Biru juga telah lenyap! Berhari-
hari kita melacak pencuri terkutuk! Dan sekarang
dia sudah tertangkap basah! Kita tangkap seka-
rang juga, Kakang!!"
Habis bentakannya, perempuan berpa-
kaian merah dengan baju dalam berwarna hijau
ini sudah melesat ke depan. Kedua tangannya di-
rangkapkan menjadi satu, lurus ke depan. Masih
melesat tiba-tiba saja kedua tangannya itu dite-
kuk, lalu diputar ke atas dan ke bawah.
Mendadak... wrrrrr!!
Gelombang angin dahsyat yang diiringi
dengan asap merah dan hijau yang menyilaukan
mata, menggebrak ke arah Raja Naga.
Sudah tentu Raja Naga tidak mau mati ko-
nyol. Tetapi dibiarkan saja gelombang serangan
itu mendekatinya. Berjarak tiga langkah, tiba-tiba
dia mendeham.
Blaaammmm!!
Gelombang angin deras itu putus di tengah
jalan, terhantam tenaga tak nampak yang keluar
dari dehemannya. Tetapi asap merah dan hijau
terus meluruk ke arahnya.
"Hebat!" desis anak muda ini sambil meng-
geser tubuhnya ke kanan. Bersamaan dengan itu
ditepuknya lengan kanannya.
Wuuuttt!
Blaamm! Blaaammm!
Asap merah dan hijau yang menerangi
tempat itu, putus di tengah jalan, muncrat ke
udara dan laksana air mancur berhamburan ke
sana kemari. Sebagian ranggasan semak menger-
ing terkena siraman asap yang muncrat itu, seba-
gian tanah meletup di sana-sini.
"Tahan!" seru Raja Naga tatkala melihat si
perempuan sudah siap menyerang kembali. Juga
dilihatnya lelaki bercambang itu siap membantu
si perempuan.
Kedua orang itu menghentikan gerakan
mereka. Raja Naga tak mau menyia-nyiakan ke-
sempatan. Segera dia angkat bicara, "Kita sama-
sama belum saling kenal! Tetapi kalian telah me-
nyerangku begitu saja tanpa memberikan satu
penjelasan! Yang lebih mengherankan lagi, kalian
menuduhku melakukan satu tindakan yang sama
sekali tak ku mengerti!"
"Di mana-mana... tak ada pencuri yang
mau mengaku sebagai pencuri!" seru si perem-
puan yang masih penasaran. Sesungguhnya dia
kaget karena serangannya tadi dapat dipatahkan
dengan mudah. "Tempat yang layak bagi seorang
pencuri hanyalah di neraka!!"
Kembali si perempuan menggebrak, men-
gulangi serangannya seperti yang pertama. Raja
Naga pun bertindak cepat mengatasi serangan
itu. Tetapi sekarang, si lelaki yang dipanggil Pur-
wa tadi sudah menerjang pula. Serangannya lebih
mengerikan dari si perempuan. Setiap kali diki-
baskan tangannya, gelombang angin yang menge-
luarkan suara berdenging-denging menggebrak
dengan kecepatan tinggi.
Raja Naga menahan napas seraya meng-
hindari serangan itu
"Ada sesuatu yang aneh di sini..." desisnya
memaklumi apa yang dilakukan kedua lawannya.
Kendati demikian dia juga gusar karena tak diberi
kesempatan untuk menjelaskan keadaan yang
sebenarnya.
"Sibarani! Kurung dia dengan ilmu
'Bentang Gunung Banting Tanah'!" seru Purwa
sambil terus melancarkan serangan.
Mendengar seruan itu Raja Naga kembali
menahan napas. Matanya dijerengkan seraya
menghindar. Dia memang belum membalas. Tin-
dakan itu dilakukan agar kedua orang ini menger-
ti kalau mereka salah paham terhadapnya.
Dilihatnya bagaimana perempuan jelita
bernama Sibarani itu tiba-tiba duduk berlutut.
Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada.
Kepalanya sedikit diangkat dengan mata berkilat-
kilat penuh amarah.
Seraya menghindari sergapan ganas Purwa,
Boma Paksi melihat tubuh Sibarani bergetar he-
bat. Dia terkejut ketika melihat dari kepala si pe-
rempuan mengeluarkan asap putih yang sangat
pekat.
"Astaga! Ini tidak main-main lagi! Kedua-
nya tetap menyangkaku sebagai seorang pencuri!
Tetapi mencuri bunga? Gila! Bunga apa? Mengapa
bunga-bunga itu membuat keduanya menjadi be-
ringas liar seperti ini?!"
Tiba-tiba dilihatnya lelaki berpakaian biru
yang terbuka di dada itu mundur beberapa tin-
dak. Sesaat Raja Naga tidak mengerti mengapa le-
laki itu seperti sengaja menghentikan serangan-
nya. Tetapi di lain saat, murid Raja Naga ini ter-
sentak kaget dengan mata membuka lebar.
Karena mundurnya lelaki itu, bermaksud
memberi kesempatan pada Sibarani untuk me-
lancarkan serangannya!!
Gemuruh liar laksana curahan air hujan
yang sangat deras, menggebrak ke arah Raja Na-
ga! Anak muda ini tersentak. Dia buru-buru
mundur dua tindak seraya mendorong kedua tan-
gannya.
WrrrrrH
Gelombang angin disemburati asap merah
menggebrak dari dorongan kedua tangannya.
Blaaaammmm!!
Bertemunya dua serangan itu membuat
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan
semak di sekitar tercabut dan berpentalan. Dua
buah potion bergetar dan tubuh bergemuruh. Ta-
nah di mana bertemunya dua serangan itu ber-
hamburan di udara setinggi dua tombak!
Yang mengejutkan Raja Naga, jurus ‘Kiba-
san Naga Mengurung Lautan’ yang dilepaskannya
tadi seperti tertelan ilmu aneh Sibarani yang ma-
sih berlutut dengan kedua tangan merangkap di
depan dada. Bahkan serangan Sibarani terus
menggebrak ke arahnya dengan kecepatan tinggi!
"Astaga! Ini memang tidak main-main! Aku
bisa celaka!!" serunya seraya bergulingan ke
samping dan langsung berdiri tegak. Saat itu pula
dilipatgandakan tenaga dalamnya untuk melan-
carkan jurus yang sama. Ditambah dengan jeja-
kan kaki kanan di atas tanah untuk melepaskan
jurus 'Barisan Naga Penghancur Karang' yang se-
ketika tanah berderak, bergelombang dan meng-
gebah hebat.
Blaaammm! Blaaaammmm!!
Kali ini serangan Sibarani putus. Tetapi itu
bukan berarti bahaya yang dihadapi Raja Naga
berakhir. Karena Purwa sudah menggebrak den-
gan jurus yang sama!
Pontang-panting Raja Naga dibuatnya.
"Pemuda keparat! Kembalikan bunga-
bunga yang telah kau curi sebelum nyawamu le-
pas dari badan!"
Raja Naga tak sempat menjawab karena se-
rangan itu benar-benar mengerikan. Dia hanya
bisa menghindar sekarang dengan kecepatan
tinggi.
"Bila begini terus, nyawaku memang bisa
putus tanpa kuketahui masalah yang sebenar-
nya!!" serunya dalam hati.
Dan tiba-tiba saja anak muda ini membuat
gerakan memutar dengan kepala meliuk dan ke-
dua kaki berzig-zag. Purwa yang berlutut dengan
kedua tangan merangkap di depan dada, mengge-
ram melihat tindakan si pemuda. Dipercepat se-
rangannya!
Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga beru-
saha menghindar, tiba-tiba saja dia melesat ke
depan dengan berzigzag. Melihat hal itu Purwa
semakin bernafsu. Dalam bayangannya pemuda
itu telah menyongsong maut!
Akan tetapi, sesuatu yang tak terduga ter-
jadi. Karena mendadak saja Purwa terbanting di
atas tanah disertai seruan tertahan "Aaaakhhhh!!"
Melihat hal itu, Sibarani bertambah murka.
"Pencuri hina laknat! Kau semakin me-
nambah beban dosamu saja!!"
Raja Naga menghindari sambaran asap me-
rah dan hijau itu, lalu meluruk ke depan dengan
cara yang sama.
Dan... des!!
Sibarani terjengkang pula di atas tanah.
Mulutnya menyembur darah segar!
Raja Naga sendiri melompat di udara bebe-
rapa kali sebelum hinggap di atas tanah. Rupanya
dia sudah mengeluarkan ilmu 'Hamparan Naga
Tidur' yang sulit diikuti oleh mata. Bahkan lawan
tak mampu melihatnya.
Mata si pemuda yang angker memandang
kedua orang itu yang sedang berusaha untuk
berdiri.
"Aku hanya mengenal kalian bernama
Purwa dan Sibarani! Tetapi aku tidak tahu men-
gapa kalian menuduhku telah mencuri bunga-
bunga yang kalian sebutkan! Apakah tidak se-
baiknya kalian jelaskan bunga-bunga apa yang
kalian maksud?!"
Sambil menahan sakit di dadanya, Purwa
menggeram.
"Terkutuk! Kau bukan hanya telah mencuri
bunga-bunga keramat itu, tetapi kau juga men-
dustai telah melakukannya!!"
Kendati gusar karena pertanyaannya tak
dijawab, Boma Paksi masih dapat menindih kegu-
sarannya.
"Biar urusan tidak berlarut-larut, sebaik-
nya kalian jelaskan semuanya!"
"Setan alas! Apa yang harus dijelaskan lagi,
hah?! Sebutkan siapa kau adanya sebelum orang-
orang rimba persilatan memburumu!!"
Raja Naga menahan napas. Rasa penasa-
rannya membuatnya menjadi sangat gusar. Tetapi
lagi-lagi ditindih kegusarannya. Lalu dengan sua-
ra dingin dia berkata, "Namaku Boma Paksi...
orang-orang menjulukiku Raja Naga..."
Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama
berpandangan dengan mata membeliak. Di kejap
lain sama-sama mendengus.
Sibarani berseru, "Julukan Raja Naga telah
terdengar ke segenap penjuru sebagai seorang
pendekar yang membela kebenaran! Tetapi seka-
rang... ternyata tak ubahnya seorang pesakitan
belaka! Dan berani-beraninya mencuri bunga-
bunga keramat yang tentunya bila sudah berjum-
lah tujuh akan dipakai sebagai penambah kekua-
tan!!"
Raja Naga mengerutkan keningnya.
"Aku semakin tak mengerti apa yang mere-
ka maksudkan. Tetapi untuk meminta penjelasan
rasanya... astaga! Aku ingat sekarang! Ya, ya...
aku mulai bisa memahaminya..."
Habis membatin demikian dia berkata,
"Aku mulai mengerti apa yang kalian maksudkan
sekarang. Apakah kedua lubang sebesar lingka-
ran jari telunjuk dan jempol itu tempat bunga
yang kalian maksudkan?!"
"Terkutuk! Seorang pendekar mulia ternya-
I ta tak Lebih dari setan hina!" bentak Purwa den-
gan wajah geram. Kemarahannya semakin menja-
di, terutama mengingat kalau dia tidak mampu
menghadapi pemuda di hadapannya yang ternya-
ta Raja Naga.
Raja Naga tak mempedulikan bentakan itu.
Dia berkata lagi, "Tadi Sibarani menyebutkan be-
berapa bunga yang telah dicuri dan berjumlah
enam buah! Lantas dikatakan masih ada sebuah
lagi sehingga berjumlah tujuh! Apakah...."
"Jangan banyak tanya!!" Sibarani telah
mendorong tangan kanannya.
Gelombang angin deras itu dihindari den-
gan mudah oleh Raja Naga. Tindakan yang dila-
kukan Sibarani tadi mencelakakannya sendiri.
Karena terluka dalam, dia memaksakan diri un-
tuk menyerang. Akibatnya perempuan itu ter-
sungkur ke depan dengan mulut mengeluarkan
darah.
Raja Naga tercekat dan bermaksud meno-
long. Tetapi bentakan Purwa menghentikan gera-
kannya.
"Jangan berlagak suci di hadapan kami!
Kau telah melakukan tindakan yang tak pernah
bisa dimaafkan!!" geramnya dan perlahan-lahan
mengangkat tubuh Sibarani. Sambil memanggul
tubuh si perempuan, dengan suara bergetar ka-
rena marah, Purwa berseru, "Ingat Raja Naga...
semua ini belum berakhir! Dan tak akan kubiar-
kan kau mencuri Bunga Matahari Jingga!!"
Dipandanginya pemuda berompi ungu itu
dengan tatapan berapi-api. Kejap kemudian, den-
gan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Purwa
meninggalkan tempat itu dengan membopong Si-
barani.
Tinggal Raja Naga yang urung untuk me-
nahan. Karena bila itu dilakukan, maka kesalah-
pahaman ini akan semakin terjadi. Kendati demi-
kian, perasaannya mulai tidak enak.
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku ini menggeleng-gelengkan
kepalanya seraya menghela napas panjang.
"Belum kuketahui secara pasti penyebab
ledakan dahsyat tadi, telah datang tuduhan yang
membuatku tidak enak. Keduanya benar-benar
menginginkan nyawaku, terbukti serangan-
serangan yang mereka lakukan tadi sangat ber-
bahaya. Ya... hanya seorang yang bisa menje-
laskan semua ini. Orang berpakaian kuning yang
sempat kulihat sebelumnya. Ah, bisa jadi kalau
orang berpakaian kuning itu yang telah mencuri
Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek Bi-
ru....
Anak muda dari Lembah Naga ini terdiam.
Otaknya diperas untuk memikirkan apa yang ter-
jadi dan apa yang akan dilakukannya.
"Jalan satu-satunya aku memang harus
menemukan orang berpakaian kuning yang tidak
kuketahui siapa dia adanya. Bahkan aku tidak
tahu apakah dia seorang perempuan atau lelaki.
Tetapi... nampaknya urusan ini tidak bisa ku di-
amkan saja. Mengingat bunga-bunga yang telah
dicuri dan dianggap keramat itu dapat menjadi
sebuah tenaga dahsyat bila telah terkumpul men-
jadi tujuh. Dan itu... tinggal Bunga Matahari
Jingga...."
Setelah terdiam beberapa saat, Raja Naga
segera meninggalkan tempat yang telah porak po-
randa itu, menuju ke arah orang berpakaian kun-
ing yang sempat dilihat sebelumnya.
* * *
DUA
DUA hari kemudian setelah peristiwa itu.
Di ruangan tengah sebuah bangunan yang
cukup besar, yang terletak di depan sebuah gu-
nung yang menjulang tinggi, nampak beberapa
orang telah berkumpul di sana. Di hadapan me-
reka duduk seorang lelaki tua berpakaian serba
biru. Paras si kakek yang dipenuhi keriput ini ke-
lihatan galau. Berulang kali dia menarik dan
menghela napas seraya mengelus jenggotnya yang
putih.
Mata teduhnya menatap satu per satu
orang-orang yang berada di sana. Di sana juga
duduk Purwa dan Sibarani yang sudah sembuh
dari luka dalamnya.
Saat ini matahari baru muncul di balik bu-
kit. Sebagian sinarnya menerobos masuk melalui
jendela yang terbuka pada bangunan itu.
"Aku mengundang kalian ke sini, karena
ada peristiwa penting yang harus ku kabarkan,"
kata si kakek dengan suara lembutnya. "Dua pu-
luh tahun yang lalu, kau Dewa Seribu Mata telah
menanam Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar
Ungu! Dan kau Dewi Lembah Air Mata, telah me-
nanam Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kambo-
ja Merah! Sementara aku menanam Bunga Kecu-
bung Putih, Bunga Anggrek Biru, dan Bunga Ma-
tahari Jingga! Ketujuh bunga keramat yang kita
tanam di tempat terpisah itu, telah kuberi mantra
yang rasanya tak mungkin dapat dilewati orang,
apalagi untuk mencabut bunga-bunga keramat
yang kita dapatkan di Bukit Genangan Setan! Te-
tapi sekarang, kejadian demi kejadian telah terja-
di! Bunga-bunga itu telah dicuri oleh se-seorang
yang sudah barang tentu memiliki ilmu tinggi
hingga dapat mengambilnya! Ketika orang itu se-
dang mencuri Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru, kedua muridku ini memergo-
kinya...."
"Dewa Segala Dewa," panggil lelaki bertu-
buh gemuk yang duduk di sebelah kanannya. Le-
laki berusia sekitar enam puluh tahun ini jelas-
jelas kelebihan lemak di beberapa bagian tubuh-
nya. Dia mengenakan pakaian hitam yang tak bi-
sa menutupi lemak di tubuhnya. Orang inilah
yang berjuluk Dewa Seribu Mata. "Siapakah pen-
curi laknat yang berilmu tinggi itu?"
Kakek bermata teduh yang berjuluk Dewa
Segala Dewa menarik napas pendek.
"Sesungguhnya, sangat sulit kupercaya.
Sangat sulit sekali. Tetapi kenyataan telah berbi-
cara. Kedua muridku ini telah memergoki si pen-
curi yang bukan lain... Raja Naga...."
Kepala Dewa Seribu Mata menegak.
"Raja Naga?!" serunya kaget.
Dewa Segala Dewa mengangguk lemah.
"Ya... Raja Naga-lah si pencuri itu...."
Perempuan tua berpakaian hijau dengan
kain kebaya lusuh berkata kaget, suaranya cem-
preng, "Apakah kedua muridmu itu tidak salah
melihat?!"
Dewa Segala Dewa menggeleng.
"Mereka bukan hanya melihat, tetapi juga
bertarung dengan pemuda murid Dewa Naga itu,
Dewi Lembah Air Mata...."
"Terkutuk!" geram si perempuan berkonde
warna hijau ini. "Tak kusangka... sama sekali tak
kusangka... Dewa Segala Dewa... memburu Raja
Naga, itu sama artinya memancing keluar Dewa
Naga...."
"Aku pun memikirkan hal itu. Tetapi, kita
tak bisa berdiam diri. Raja Naga harus ditangkap.
Dan tentunya... saat ini dia sedang memburu
Bunga Matahari Jingga yang kutanam di sebuah
lembah yang sangat jauh dari sini...."
Dewa Seribu Mata berkata, "Apa yang dika-
takan Dewi Lembah Air Mata sangat benar, Dewa
Segala Dewa. Raja Naga murid tunggal Dewa Na-
ga. Memburunya dapat memancing kemarahan
Dewa Naga. Kita sama-sama tahu, tokoh sakti itu
memiliki sifat angin-anginan. Kalau lagi datang si-
fat baiknya, mungkin dia tidak akan mengambil
pusing kita memburu muridnya. Tetapi bila dia
membantah, kita bisa diremuknya!"
Tak ada yang buka suara. Masing-masing
orang mengenal Dewa Naga, majikan Lembah Na-
ga yang memiliki ilmu setinggi dewa. Ketegangan
meliputi wajah masing-masing orang.
Purwa berkata, "Guru... maaf bila aku lan-
cang bicara. Tindakan yang dilakukan Raja Naga
tak bisa dimaafkan. Aku pikir. Dewa Naga dapat
mengerti bila kita memburu muridnya...."
Dewa Segala Dewa tersenyum.
"Kau belum pernah mengenal Dewa Naga,
Purwa. Tak ada yang bisa menebak kakek bersisik
hijau yang memiliki ilmu mengerikan. Aku tak in-
gin memancing pertikaian dengannya...."
"Tetapi Guru, tindakan Raja Naga dapat
mengacaukan rimba persilatan. Bukankah Guru
sendiri mengatakan, bila Bunga Matahari Jingga
yang masih tersisa itu berhasil dicurinya, dia
akan memiliki ilmu tiada banding? Dari tinda-
kannya jelas-jelas Raja Naga mementingkan di-
rinya sendiri...."
"Dewa Segala Dewa... yang dikatakan mu-
ridmu itu memang benar. Dewa Naga tentunya
dapat mengerti tindakan yang akan kita laku-
kan...."
"Kau benar, Dewi Lembah Air Mata. Tetapi..."
"Apa yang kau khawatirkan?"
Dewa Segala Dewa tak buka suara. Di-
usapnya jenggot putihnya dengan wajah bertam-
bah galau. Kemudian pelan-pelan dia berucap,
"Bagaimana bila ternyata bukan Raja Naga yang
melakukan pencurian itu?"
"Hei! Apa maksudmu berkata demikian?"
seru Dewi Lembah Air Mata heran.
"Terkadang manusia yang telah berada di
jalan lurus, dapat berbelok arah dan mengubah
segalanya menjadi buruk. Hal itu tak luput dari
apa yang ada di diri Raja Naga. Tetapi... bagaima-
na bila ternyata memang bukan dia yang melaku-
kannya? Maksudku, dia kebetulan berada di sana
dan masih berada di sana saat kedua muridku ti-
ba?"
Masing-masing orang bungkam. Tak ada
yang membantah kata-kata Dewa Segala Dewa
Kendati mulut mereka ingin berbunyi.
Sibarani memecah kesunyian, "Guru...
maaf aku juga lancang bicara. Pada kenyataanlah
kita harus berpijak. Raja Naga jelas-jelas telah
mencuri bunga-bunga keramat itu dan kami tidak
menyangsikannya lagi...."
Dewa Segala Dewa menghela napas pen-
dek.
"Ya... memang kita harus berpijak pada
kenyataan yang ada. Mungkin memang Raja Naga
yang telah mencuri bunga-bunga keramat itu...."
"Guru... keadaan itu bukan lagi sesuatu
yang mungkin. Tetapi sebuah kenyataan...."
Dewa Segala Dewa mengangguk.
"Ya... kau benar, Sibarani."
"Kau harus mengambil keputusan seka-
rang juga," kata kakek bertubuh gemuk luar bi-
asa.
"Ya, aku memang harus mengambil keputusan."
"Segeralah kau putuskan," kata Dewi Lem-
bah Air Mata. "Tak kupedulikan lagi apakah kita
memang harus berhadapan dengan Dewa Naga
atau tidak. Tindakan Raja Naga harus dihentikan
sebelum dia menemukan Bunga Matahari Jing-
ga...."
"Untuk menemukan Bunga Matahari Jing-
ga, bukanlah sesuatu yang mudah. Karena bunga
keramat itu ditanam di antara tanaman bunga
matahari. Tetapi seperti kita ketahui, Raja Naga
memiliki ilmu tinggi hingga kemungkinan untuk
mendapatkan bunga itu bukanlah sesuatu yang
mustahil. Ya, aku harus mengambil keputusan.
Kita kesampingkan dulu masalah Dewa Naga
akan muncul dan ikut campur dalam urusan ini.
Kalaupun dia tidak mau mengerti, terpaksa kita
harus menghadapinya."
"Katakan keputusanmu," kata Dewa Seribu Mata.
Dewa Segala Dewa tak segera berbicara. Di-
tarik napasnya dalam-dalam. Dipandanginya
orang-orang yang berada di sana satu per satu.
Setelah itu barulah dia berkata, "Yah... kita harus
memburu Raja Naga sekarang juga. Kau Purwa
dan Sibarani, pergilah ke arah barat laut. Jangan
kalian berhenti sebelum menemukan sebuah
lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Di lem-
bah itu banyak tumbuh Bunga Matahari Jingga.
Kalian harus menjaga bunga-bunga itu...."
"Guru... kami tidak mengetahui yang ma-
nakah Bunga yang dimaksudkan...," ujar Purwa.
"Dari dinding bukit sebelah kanan yang
menghadap ke utara, kalian bergerak ke depan.
Pada hitungan langkah kedua puluh tiga, kalian
berhenti. Tepat pada langkah kedua puluh empat,
Bunga Matahari Jingga berada. Ingat, kalian jan-
gan mencabutnya. Jangan sama sekali...."
"Mengapa, Guru?"
"Kalian hanya menjaganya saja," kata Dewa
Segala Dewa seperti menyembunyikan sesuatu.
Purwa tidak banyak bertanya lagi. Setelah
mengaturkan sembah, bersama Sibarani dia sege-
ra melaksanakan perintah itu.
Dewa Segala Dewa berkata, "Dewa Seribu
Mata... bila kau berkenan... kau kutugaskan un-
tuk mendatangi Dinding Kematian di perbukitan
Mamerah!"
"Hei! Mengapa kau menyuruhku ke tempat
itu? Apakah kau menyuruhku menjumpai Ratu
Dinding Kematian?" seru Dewa Seribu Mata den-
gan kening berkerut.
"Aku tidak menyuruhmu menjumpainya.
Tetapi aku menyuruhmu mengamat-ngamatinya
saja...."
"Aku tidak memahami maksudmu...."
"Aku menduga ini berkaitan dengan Ratu
Dinding Kematian...."
"Kau terlalu mengada-ngada!" dengus Dewa
Seribu Mata. Dia ingin meneruskan bantahannya,
tetapi diurungkan. Lalu dengan gerakan yang
sangat ringan, berlainan sekali dengan bobot tu-
buhnya, kakek itu bangkit dan meninggalkan
tempat itu dengan pinggul bergerak-gerak.
"Dewa Segala Dewa...," berkata Dewi Lem-
bah Air Mata. "Selama ini dan sampai hari ini aku
dan kakek buntal itu tetap menganggap kau se-
bagai pemimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Aku
juga tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba men-
gaitkan urusan ini dengan Ratu Dinding Kema-
tian?"
"Aku hanya punya satu dugaan."
"Baiklah. Seperti sifatmu, kau memang tak
bisa terbuka sebelum mendapatkan kejelasan.
Lantas... apa tugasku?"
Kakek bermata teduh itu menatap si pe-
rempuan berkonde hijau.
"Cari Raja Naga dan bawa dia mengha-
dapku. Sementara aku sendiri, akan bersiap-siap
bila Dewa Naga muncul..."
Dewi Lembah Air Mata mengangguk den-
gan wajah puas. Sambil berdiri dia berkata, "Aku
sudah tidak sabar untuk mencekik leher pemuda
celaka itu!"
Lalu dia berbalik dan melangkah, mening-
galkan Dewa Segala Dewa yang terdiam di tem-
patnya. Dinding-dinding bangunan menatapnya
hampa, sehampa perasaan dalam dirinya.
Ketika senja menurun, pemuda dari Lem-
bah Naga menghentikan langkahnya di hadapan
sebuah sungai yang mengalir deras. Mata angker-
nya memandangi arus sungai itu. Beberapa helai
daun kering yang dahannya menjuntai di atas
sungai, gugur dan terbawa arus yang entah akan
berakhir di mana.
"Dua hari aku melacak siapa orang berpa-
kaian kuning itu, tetapi hingga hari ini belum ku-
dapatkan jejak yang berarti," desisnya sambil me-
narik napas. "Persoalan yang datang ini begitu
menghimpit perasaanku. Dapat kubayangkan se-
karang kalau aku menjadi seorang tertuduh...."
Anak muda dari Lembah Naga ini menen-
dang sebuah kerikil yang ada di hadapannya.
Wuuuttt!
Kerikil itu mencelat, melewati sungai yang
cukup lebar dan bergulingan di seberang entah
berhenti di mana.
"Purwa dan Sibarani telah menganggapku
sebagai pencuri. Bila berita ini menyebar, sudah
tentu aku laksana telur di ujung tanduk. Ah, se-
belum masalah ini berlarut-larut... aku harus se-
gera menyelesaikannya...."
Lalu diperhatikan sekelilingnya. Tak jauh
dari tempatnya berdiri nampak sebuah jalan se-
tapak. Raja Naga memutuskan untuk mengambil
jalan itu.
Baru dua langkah dia bergerak, tiba-tiba
pendengarannya yang tajam menangkap satu ge-
rakan di belakangnya. Bersamaan dia balikkan
tubuh, satu sosok tubuh telah berdiri di hada-
pannya. Tersenyum manis dengan sepasang bola
mata indah.
"Maaf... kalau aku mengagetkanmu," kata
orang yang baru muncul dan ternyata seorang
gadis.
Raja Naga memandang tak berkedip pada
gadis itu. Wajahnya manis dengan tahi lalat pada
sisi kiri pelipisnya. Rambutnya indah dikuncir
ekor kuda dan diberi pita berwarna kuning. Di
punggung si gadis terdapat sebuah pedang berwa-
I rangka indah dan pada ujung tangkai pedang ter-
dapat ukiran sebuah kepala burung elang.
Bukan karena keadaan itu yang membuat
Raja Naga tak berucap beberapa saat. Tetapi, ka-
rena dara itu mengenakan pakaian berwarna
kuning!
Di pihak lain senyuman di bibir si dara le-
nyap. Keningnya berkerut karena tak menda-
patkan sahutan apa-apa dari pemuda di hada-
pannya. Sesaat matanya membeliak ketika ber-
benturan dengan mata angker si pemuda.
"Brengsek!" geramnya dalam hati. "Aku
menyapanya baik-baik, dia justru memandangku
seperti aku ini tidak berpakaian!"
Raja Naga masih terpaku di tempatnya, te-
tap tak berkedip memandangi gadis di hadapan-
nya.
Si gadis berkata, "Heiii! Apakah kau tidak
bisa bersuara?"
Mendengar ucapan si gadis, Raja Naga ter-
gagap sejenak sebelum tersenyum.
"Oh! Sudah tentu aku bisa bersuara...."
"Bagus!" kata si gadis yang kembali terse-
nyum. Rupanya dia memiliki sifat ceria. "Kupikir
aku bertemu dengan orang bisu!"
Raja Naga mencoba tersenyum
"Setelah peristiwa tidak mengenakan itu
terjadi, baru sekarang aku berjumpa dengan
orang berpakaian kuning. Apakah gadis ini orang
yang sedang kucari? Tetapi sudah tentu aku tak
bisa menduga seperti itu sebelum mendapat ke-
pastian," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku
juga beruntung bertemu dengan seorang gadis
manis yang tidak bisu...."
Gadis itu tertawa renyah, memperlihatkan
lorong indah pada mulutnya. Sepasang dadanya
yang membusung sedikit bergerak.
"Ya, ya... kita sama-sama beruntung! Dan
kupikir, aku akan lebih beruntung bila kau dapat
menjawab pertanyaanku...."
"Aku tidak tahu apakah aku memang bisa
menjawab pertanyaanmu atau tidak. Tetapi se-
baiknya segera kau perdengarkan sebelum aku
tiba-tiba menjadi tuli dan bisu?"
Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu
tertawa kecil.
"Kau ternyata pandai melucu juga," ka-
tanya dan menyambung dalam hati, "Wajahmu
tampan kendati memiliki mata yang angker."
Masih tersenyum dilanjutkan kata-
katanya, "Sudah hampir tujuh hari ini aku men-
cari sebuah tempat yang bernama Daerah Tak
Bertuan."
Mendengar kata-kata itu, kepala Raja Naga
sedikit menegak.
"Daerah Tak Bertuan? Baru kali ini kuden-
gar nama tempat itu. Apakah... astaga! Aku ingat
sekarang! Sibarani dan Purwa mengatakan, masih
ada sebuah bunga keramat lagi yang bernama
Bunga Matahari Jingga. Jangan-jangan, gadis ini
mencari Daerah Tak Bertuan karena di sanalah
Bunga Matahari Jingga berada," kata Raja Naga
dalam hati.
"Hei! Kenapa kau tidak menjawab? Kau
sudah mendadak tuli dan bisu, ya?" tegur si gadis
sambil tertawa.
Raja Naga tersenyum tipis.
"Mengapa kau mencari tempat itu?"
"O ya? Karena... aku sedang mencari seseo-
rang yang berjuluk Dewa Segala Dewa. Apakah
kau mengenal orang itu?"
Raja Naga mengerutkan kening. "Dugaanku
salah. Tetapi dia bisa saja mengelabuiku," ka-
tanya dalam hati.
Dan berkata, "Aku baru mendengar julu-
kan itu."
"Ah, sayang sekali."
"Kejadian yang kualami sebelumnya masih
membingungkanku. Pertemuanku dengan gadis
ini juga membingungkanku. Gadis ini mencari
Daerah Tak Bertuan untuk bertemu dengan orang
berjuluk Dewa Segala Dewa. Ah, apakah sebenar-
nya dia memang orang yang sedang kucari? Teta-
pi, nampaknya dia tidak membawa sesuatu atau
menyembunyikan sesuatu kalau memang dialah
orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat
itu. Tetapi, bukankah dia bisa menyembunyikan-
nya di satu tempat?" tanya Raja Naga pada di-
rinya sendiri dalam hati.
Sambil memandang si gadis anak muda
dari Lembah Naga Itu berkata, "Tempat bernama
Daerah Tak Bertuan dan Dewa Segala Dewa baru
kali ini kudengar. Bila kau tak keberatan, sudilah
kiranya kau menceritakan padaku mengapa kau
mencari Dewa Segala Dewa."
"Maaf, aku tak bisa menceritakannya. Te-
tapi kau boleh mengetahui, kalau guruku yang
memerintahkanku melakukan semua ini...."
"Kau juga keberatan mengatakan siapa gu-
rumu?"
"Kalau mengatakan siapa namaku, aku ti-
dak keberatan sama sekali. Namaku Puspa Dewi.
Dan tentunya...," si gadis menyeringai lucu, "Kau
juga punya nama, bukan?"
Terpaksa Raja Naga menelan keinginta-
huannya itu. Sambil mengangguk dia berkata,
"Namaku Boma Paksi...."
"Nama yang bagus! Baiklah Boma... bukan
maksudku untuk menjauhimu. Tetapi aku belum
menyelesaikan tugasku ini. Bukankah lebih baik
kita berpisah di sini?"
Raja Naga yang masih berusaha mencari
kejelasan tentang siapa gadis ini adanya segera
berkata, "Aku sama sekali tak berkeberatan kau
meninggalkan aku di sini. Dan aku juga sama se-
kali tak berkeberatan bila kau berkenan kutemani
untuk mencari Dewa Segala Dewa."
Raja Naga terpaksa melakukan tindakan
itu. Karena itulah satu-satunya cara agar dia bisa
mengetahui siapa gadis ini. Dengan berada di de-
katnya, berarti dapat diketahuinya apa yang akan
dilakukannya.
Di luar dugaannya, si gadis segera men-
ganggukkan kepala.
"Sangat menyenangkan! Selama tujuh hari
aku melangkah sendiri dan rasanya sangat lebih
baik bila ada teman berbicara...."
Raja Naga mengangguk.
"Terima kasih atas kesediaanmu. Melang-
kah bersama gadis cantik juga merupakan kese-
nangan tersendiri..."
Puspa Dewi cuma tertawa dan segera me-
langkah yang diikuti oleh Raja Naga.
* * *
TIGA
HAMPARAN malam kembali merambat.
Udara dingin menyengat hingga ke tulang sum-
sum bagian dalam. Namun satu sosok tubuh ber-
pakaian kuning itu tak menghiraukan segalanya.
Dia tetap berdiri di hadapan sebuah bukit, di ma-
na perbukitan yang lain berada di sekitarnya
mengelilingi lembah sunyi di mana dia berdiri se-
karang. Saat ini gumpalan awan hitam berayun-
ayun di mata langit, tak bergerak sama sekali
hingga sinar rembulan tak mampu menembu-
sinya.
Bayangan Kuning itu mendengus, "Tak ku-
sangka kalau di tempat ini juga ditumbuhi ba-
nyak bunga matahari. Keparat! Sulit bagiku un-
tuk menemukan bunga yang kucari..."
Untuk beberapa lama Bayangan Kuning ini
terdiam di tempatnya. Matanya memicing mem-
perhatikan hamparan bunga-bunga matahari di
hadapannya.
"Huh! Apakah sebenarnya aku salah tem-
pat?" desisnya setengah meragu. "Tetapi tidak!
Lembah yang dikelilingi perbukitan ini adalah
tanda di mana bunga yang kuinginkan berada!
Hanya saja... bunga-bunga matahari banyak
tumbuh di sini! Keparat busuk! Ketimbang buang
waktu, biar kusingkirkan saja seluruh bunga ma-
tahari ini!" desisnya dan lambat-lambat tangan
kanannya terangkat. Seketika membersit cahaya
hitam menggumpal pada tangannya yang men-
gepal. Tetapi di saat lain sudah diturunkannya
tangannya itu. "Setan alas! Bila kuhancurkan
bunga-bunga itu tak mustahil bunga yang kuke-
hendaki pun akan terbawa. Dan ini semakin sulit
bagiku untuk menemukan bunga yang kucari!"
Si Bayangan Kuning menggeram beberapa
kali pertanda dia sangat gusar. Tak pernah terpi-
kirkan olehnya kalau dia akan menghadapi ha-
langan seperti ini.
"Enam bunga keramat lainnya telah kuda-
patkan dan dapat kupetik dengan mudah. Tetapi
Bunga Matahari Jingga... keparat busuk! Benar-
benar di luar dugaanku!!"
Si Bayangan Kuning memaki-maki sendiri,
jengkel pada kenyataan yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba saja dihentikan makiannya tatkala pen-
dengarannya menangkap dua kelebatan dari se-
belah kanan.
Dengan gerakan ringan, si Bayangan Kun-
ing melompat ke balik sebuah batu besar yang
berada di sana. Dari balik batu itu, dilihatnya dua
orang yang berlari semakin mendekat.
"Kakang Purwa! Kita telah tiba di tempat di
mana Bunga Matahari Jingga berada!" berseru sa-
lah seorang setelah menghentikan larinya.
"Ya! Seperti yang dikatakan Guru... di tem-
pat ini banyak ditumbuhi bunga matahari," sahu-
tan itu terdengar. "Sibarani... apa yang akan kita
lakukan sekarang?"
"Guru menyuruh kita untuk menjaga Bun-
ga Matahari Jingga dari tangan si pencuri yang
kita ketahui Raja Naga! Sebaiknya, apa pun yang
terjadi kita memang harus tetap berada di sini!"
Di balik batu besar si Bayangan Kuning
mengerutkan keningnya
"Raja Naga yang telah mencuri? Astaga!
Mencuri bunga-bunga keramat? Hahaha... ini ba-
ru berita yang menyenangkan! Aku bisa menebak
siapa kedua orang itu sekarang. Dewa Seribu Ma-
ta dan Dewi Lembah Air Mata tak pernah terden-
gar memiliki murid. Hanya Dewa Segala Dewa
yang terdengar memiliki murid. Dan tiga orang
berjuluk Tiga Penguasa Bumi itulah yang telah
memiliki bunga-bunga keramat dan menanamnya
di tempat-tempat tertentu agar tak mudah dite-
mukan orang. Aku tahu siapa kedua orang ini,
mereka tentunya adalah murid-murid Dewa Sega-
la Dewa...."
Terdengar lagi suara yang perempuan, "Ka-
kang Purwa! Apakah menurutmu Raja Naga akan
muncul di sini?"
Purwa mendengus geram. Dipandanginya
Sibarani yang juga berwajah geram.
"Aku sangat berharap pencuri busuk itu
akan muncul di sini! Aku telah bulatkan tekad
untuk mengadu jiwa dengannya!"
Di balik batu besar itu, si Bayangan Kun-
ing membatin senang, "Kerjaku memang bagus,
hingga tak seorang pun yang mengetahui kalau
akulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat
ini! Aha, aku tahu! Aku tahu! Tentunya pemuda
berompi ungu yang sempat kulihat mendatangi
tempat setelah Bunga Kecubung Putih dan Bunga
Anggrek Biru kucabut, yang dimaksud dengan
Raja Naga! Ini sesuatu yang sama sekali tak ku-
sangka dan rasanya... aku dapat memuslihati ke-
dua orang itu. Tapi... biarlah mereka tenggelam
dalam amarah pada Raja Naga...."
Si Bayangan Kuning terus mendekam di
balik batu besar itu dengan tajamkan pendenga-
rannya.
Purwa berkata lagi, "Dari dinding bukit se-
belah kanan yang menghadap ke utara ini, kita
harus melangkah ke depan dan pada hitungan
langkah kedua puluh tiga kita harus berhenti, ka-
rena pada langkah kedua puluh empat itulah
Bunga Matahari Jingga berada...."
"Lantas, apakah kita hanya mengamat-
ngamati saja dari sini, atau kita langsung menuju
ke Bunga Matahari Jingga?"
"Sibarani... bila kita berada di dekat Bunga
Matahari Jingga, sudah pasti Raja Naga tak akan
mau bertindak gegabah bila dia telah muncul di
sini. Sebaiknya kita bersembunyi saja untuk
mengamat-ngamati kedatangannya. Kita akan
mempergokinya lagi dan sekarang... akan ku kor-
bankan nyawaku untuk menangkap pemuda ce-
laka itu!"
Sibarani memandang kakak seperguruan-
nya yang berwajah tampan. Dalam keremangan
malam, Purwa merasa kalau Sibarani sedang me-
natapnya. Tanpa sadar dia balas menatap. Mas-
ing-masing orang menajamkan penglihatan untuk
melihat satu sama lain.
Sibarani berkata tersendat, "Kakang Pur-
wa... apa yang kita alami beberapa hari lalu itu
sebenarnya sangat memalukan. Pencuri busuk itu
telah kita pergoki tetapi kita tak mampu menang-
kapnya...."
"Kau benar, Sibarani. Beruntung Guru
memaklumi apa yang terjadi. Tetapi yang meng-
herankanku, mengapa Guru kelihatan masih ti-
dak mempercayai kalau Raja Naga yang telah me-
lakukan pencurian itu?"
Perempuan berpakaian merah dengan baju
dalam berwarna hijau di sampingnya tak segera
angkat bicara. Sesungguhnya Sibarani juga me-
mikirkan akan hal itu.
Keheningan merambat pelan. Malam terus
menuju titik puncaknya. Sinar rembulan masih
tetap tak mampu menerobos gumpalan awan hi-
tam yang menggelayut di hadapannya.
Lambat-lambat Sibarani buka mulut,
"Mungkin... Guru masih terpengaruh oleh nama
besar Dewa Naga...."
"Apa yang dipikirkan Guru memang kita ti-
dak tahu sama sekali. Tetapi menurutku, Dewa
Naga tentunya memaklumi apa yang akan dilaku-
kan orang-orang rimba persilatan terhadap mu-
ridnya yang telah mencoreng arang di rimba per-
silatan ini? Seperti yang Guru katakan, kita me-
mang tak mengenal siapa dan bagaimana sifat
Raja Naga, akan tetapi itu bukan berarti Raja Na-
ga akan selalu membela muridnya bila berada di
jalan yang salah...."
Sibarani dapat memaklumi kegusaran hati
Purwa. Sedikit banyaknya dia juga gusar akan ke-
jadian ini. Kemudian katanya, "Sudahlah, Ka-
kang, kita tak perlu lagi memikirkan soal itu.
Yang pasti sekarang, kita akan tetap menunggu
Raja Naga datang ke tempat ini...."
Sibarani melangkah ke muka beberapa tin-
dak. Lalu... hup!
Dia melompat dan hinggap dalam kedudu-
kan bersila di sebuah batu besar. Berada di tem-
pat yang lebih tinggi, angin lebih keras mener-
panya.
Purwa sendiri masih mencoba menemukan
apa yang dipikirkan gurunya. Setelah mencoba
dan tak mampu menemukan, akhirnya lelaki ber-
pakaian biru terbuka di dada itu melompat ke be-
lakang dan... hup! Hinggap di atas batu di sebelah
batu yang diduduki Sibarani.
Tanpa sepengetahuan keduanya si Bayan-
gan Kuning yang masih mendekam di balik batu
besar itu, membatin dengan kening berkerut, "Se-
cara tidak sengaja aku mendapat keterangan yang
lebih baik. Keterangan yang benar-benar mengun-
tungkan. Raja Naga kini sebagai tersangka pelaku
pencurian dan pernah bentrok dengan murid-
murid Dewa Segala Dewa. Dari mulut masing-
masing orang, nampaknya mereka telah melapor-
kan semua ini pada Dewa Segala Dewa. Ini sangat
menguntungkan! Dan yang lebih membuatku be-
runtung, karena kini kuketahui yang mana bunga
yang kuinginkan dari sejumlah bunga matahari
yang berserakan itu...."
Si Bayangan Kuning mengikik puas dalam
hati. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan
Bunga Matahari Jingga, bunga terakhir dari tujuh
bunga keramat yang dicurinya. Tetapi saat ini
murid-murid Dewa Segala Dewa menjaganya. Si
Bayangan Kuning memaklumi kalau kedua murid
Dewa Segala Dewa tak bisa dipandang sebelah
mata kendati dia yakin dapat mengalahkan mere-
ka.
Tetapi itu artinya akan banyak tenaga dan
waktu yang terbuang.
Tiba-tiba senyuman cerah terpampang di
bibirnya. Dalam keremangan malam, matanya
berkilat-kilat karena satu rencana yang menda-
dak muncul di kepalanya.
"Sangat bodoh bila aku tidak melakukan-
nya, karena tak ada alasan yang menyebabkan
aku harus tidak melakukannya," desisnya. "Mere-
ka tidak tahu kalau akulah si pencuri itu....?"
Berpikir demikian, dengan gerakan yang
tak menimbulkan suara si Bayangan Kuning ber-
kelebat ke belakang, lalu memutar dengan cepat.
Dalam waktu singkat dia sudah berada di jalan
setapak menuju ke lembah itu. Dengan cara se-
perti ini si Bayangan Kuning berharap kedua
orang itu tidak tahu kalau sebelumnya dia berada
di sana dan mencuri dengar percakapan mereka.
Sengaja ditampilkan sosoknya agar kedua
orang yang menjaga di sana melihat kehadiran-
nya. Dan seperti yang diharapkan, kedua orang
itu memang melihatnya dan melompat turun dari
batu besar yang diduduki masing-masing.
Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama
memicingkan mata. Karena saat ini malam sangat
pekat, mereka tak bisa melihat secara jelas paras
orang yang telah berhenti berjarak delapan lang-
kah dari hadapan mereka. Yang dapat mereka
pastikan, kalau orang itu bukanlah Raja Naga.
Karena pakaian kuning yang dikenakan orang itu
cukup kentara.
Si Bayangan Kuning tak buka suara. Di-
perhatikannya kedua orang itu dengan seksama.
Keheningan itu dipecahkan olehnya sendiri, "Maaf
kalau kemunculanku di hadapan kalian cukup
mengejutkan...."
Purwa membatin, "Suaranya menunjukkan
dia seorang perempuan. Sayang aku tak bisa me-
lihat wajahnya."
Sibarani sudah angkat bicara, "Orang da-
lam gelap... kemunculanmu di sini cukup menge-
jutkan sebenarnya. Tetapi kami memakluminya.
Apakah ada sesuatu yang penting?"
Si Bayangan Kuning mengangguk dan bu-
ru-buru berkata, "Ya... menurutku ini sangat
penting dan kuharap, kalian dapat membantuku
untuk memecahkan persoalan yang kuhadapi...."
"Kami belum mengetahui apa persoalan
yang sedang kau hadapi. Tetapi, bila kami dapat
membantu, sudah tentu kami akan melakukan-
nya...."
Si Bayangan Kuning menarik napas dan
menghembuskannya. Sengaja keras-keras agar
kedua orang di hadapannya mendengar. Paling ti-
dak, dia telah membuat helaan napasnya bernada
gelisah.
"Saat ini aku sedang mencari Raja Naga...."
Kata-kata yang tak disangka itu membuat
Purwa dan Sibarani terdiam dengan mata makin
memicing. Kening mereka berkerut. Purwa yang
sesungguhnya tidak begitu senang karena ke-
munculan orang ini di saat dia sedang menjalan-
kan perintah yang menurutnya cukup menegang-
kan, angkat bicara, "Mengapa kau mencari pemu-
da itu?"
Sambutan seperti itulah yang dikehendaki
si Bayangan Kuning. Dengan suara sesekali di-
buat geram dan masygul dia berkata, "Raja Naga
telah membunuh adik seperguruanku!"
"Keparat!" amarah di dada Purwa seketika
menggelora. Kebenciannya pada Raja Naga sema-
kin menjadi-jadi mendengar kata-kata orang.
"Orang dalam gelap, kami dapat merasakan ke-
marahanmu, karena kami juga sedang murka pa-
da pemuda celaka itu!"
Sibarani masih lebih dapat menguasai di-
rinya. "Bila kau tak keberatan, dapatkah kau
menceritakan mengapa pemuda yang juga kami
cari itu membunuh adik seperguruanmu?"
Si Bayangan Kuning yang telah menyusun
rencana busuknya, sudah tentu dengan segera
dapat menciptakan cerita bohongnya. Dengan su-
ara dibuat geram dia berkata, "Sepuluh hari yang
lalu, secara tak sengaja adikku berjumpa dengan
Raja Naga. Pemuda yang julukannya amat keso-
hor itu sudah tentu dikenal oleh adik seperguru-
anku kendati tidak pernah melihat sosoknya. Da-
lam perjumpaan itu, Raja Naga merayu adikku.
Sayangnya... adikku yang belum banyak makan
asam garam di rimba persilatan ini, terlena oleh
rayuannya. Dan... akh... aku tak bisa mencerita-
kan kelanjutannya kecuali satu, kalau adikku
kemudian dibunuhnya."
"Terkutuk!!" geram Purwa seraya menger-
takkan rahangnya.
Si Bayangan Kuning semakin menggila
dengan rencana busuknya. "Dan aku tak pernah
membiarkan pemuda hidung belang itu banyak
menelan korbannya. Di balik tindakannya yang
selalu membela kebenaran, dia tak lebih dari ma-
nusia busuk!"
Purwa menggeram.
"Perlu kau ketahui, kami juga sedang men-
cari pemuda keparat itu!"
"Keberatankah kau menceritakannya pa-
daku?"
Kebencian yang ada di dada Purwa menye-
babkan pemuda itu menceritakan segala-galanya.
Sibarani sendiri sebenarnya tak menyetujui tin-
dakan kakak seperguruannya, karena secara ti-
dak langsung, dia telah mengungkapkan apa yang
sedang mereka lakukan saat ini.
"Aku pernah mendengar tentang bunga-
bunga keramat itu," kata si Bayangan Kuning.
"Huh! Raja Naga ternyata bukan hanya telah me-
malingkan kepala orang-orang darinya, tetapi ju-
ga telah menorehkan peristiwa buruk rimba persi-
latan! Kawan... kita punya keinginan yang sama
untuk membunuh Raja Naga. Bagaimana bila kita
saling bantu?"
"Sudan tentu usulmu itu kami sambut
dengan gembira!" sahut Purwa.
Sibarani buka mulut, "Kawan berpakaian
kuning! Sejak tadi kita banyak bicara, tetapi kau
belum memperkenalkan diri...."
Si Bayangan Kuning tak segera menjawab.
Dia berkata dalam hati, "Hemm... kejelasan sudah
kudapatkan. Tinggal mencari kesempatan untuk
mendapatkan Bunga Matahari Jingga. Tetapi un-
tuk saat ini biarlah kutahan keinginan itu. Biar
kurasuki kebencian masing-masing orang pada
Raja Naga,..."
Kemudian katanya, "Kalian boleh menge-
nalku sebagai Nimas Herning!" Lalu sambungnya
dalam hati, "Nama yang bagus. Ya, Nimas Herning
nama yang bagus dan mudah-mudahan mereka
tidak curiga kalau itu hanyalah nama palsu."
"Nimas Herning...." Purwa berkata lagi.
"Saat ini kami sedang menunggu kedatangan Raja
Naga! Kami yakin kalau dia akan datang ke sini
untuk mendapatkan Bunga Matahari Jingga,
bunga keramat ketujuh! Seperti yang telah kita
sepakati sebaiknya kau tetap berada di sini!"
Purwa memutuskan demikian mengingat
dia dan Sibarani pernah dipecundangi oleh Raja
Naga. Dengan kehadiran Nimas Herning yang ten-
tunya memiliki ilmu tak bisa dipandang sebelah
mata, itu berarti menambah kekuatan mereka.
Lain yang dipikirkan Purwa, lain pula yang
dipikirkan Sibarani. Perempuan berpakaian me-
rah dengan baju dalam warna hijau itu sesung-
guhnya menyesali apa yang dilakukan kakak se-
perguruannya. Karena tugas yang mereka emban
sekarang ini adalah tugas sangat rahasia. Tak
seorang pun boleh mengetahuinya kecuali Dewa
Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi Lem-
bah Air Mata. Tetapi apa hendak dikata, Purwa
telah membeberkan semuanya.
Di pihak lain, Si Bayangan Kuning yang
sebenarnya bukan bernama asli Nimas Herning,
semakin mendapat kesempatan dengan kata-kata
Purwa. Dia akan menunggu kesempatan untuk
mendapatkan Bunga Matahari Jingga yang dica-
rinya.
Menyerang keduanya saat ini, itu berarti
hanya akan membuang banyak tenaga. Terutama
setelah mengetahui kalau Raja Naga dapat dijadi-
kan kambing hitam. Ketimbang membuang tena-
ga, lebih baik merasuki hati keduanya dengan ke-
bencian pada Raja Naga. Juga, akan ditunggunya
kesempatan baik.
Si Bayangan Kuning memutuskan, paling
lambat besok senja dia sudah harus menda-
patkan Bunga Matahari Jingga.
Lalu katanya, "Terima kasih atas kesediaan
dan penjelasan kalian hingga aku tak perlu ber-
susah payah melacak di mana Raja Naga berada!"
Purwa melenting ke belakang dan hinggap
di atas batu yang tadi didudukinya.
"Kita tunggu kedatangan pemuda itu...."
Si Bayangan Kuning sudah melompat ke
batu besar di dekatnya. Sibarani sendiri, walau-
pun menyesali apa yang dikatakan Purwa, mau
tak mau hanya menuruti saja. Perasaannya saat
ini mengatakan, sesuatu yang tidak enak akan
terjadi.
* * *
EMPAT
PADA saat yang bersamaan, Raja Naga
menghentikan larinya di sebuah tempat yang se-
pi. Di sekelilingnya ditumbuhi oleh ranggasan be-
lukar dan pepohonan tinggi. Matanya yang angker
tak berkedip pada sebatang pohon, di mana tadi
Puspa Dewi berada sebelum ditinggalkannya
mencari makanan.
Dengan kening berkerut Raja Naga mende-
kati pohon itu.
"Hemmm... ke mana dia pergi?" desisnya.
Tiga ekor kelinci yang diburunya jatuh di atas ta-
nah. Mats angkernya memandang sekeliling. "Ru-
panya dia telah meninggalkanku. Bodoh! Bodoh
sekali aku ini!!"
Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah
Naga ini terdiam, menyesali apa yang telah terja-
di.
"Bisa jadi kalau Puspa Dewi mengetahui
kalau sesungguhnya aku mencurigainya. Dengan
kepergiannya ini, semakin menguatkan dugaan-
ku, kalau dialah si Bayangan Kuning yang kulihat
melarikan diri dan dialah si pencuri bunga-bunga
keramat sesungguhnya. Brengsek! Aku tertipu
mentah-mentah!"
Anak muda ini memaki-maki tak karuan,
menyesali kelalaiannya sendiri. Diingatnya ba-
gaimana sebelumnya Puspa Dewi nampak begitu
kelelahan hingga memutuskan untuk beristirahat
dulu sebelum melanjutkan langkah menuju ke
Daerah Tak Bertuan.
Karena tak mau memancing kecurigaan si
gadis berpakaian kuning, Raja Naga menyetujui
usulnya. Bahkan disetujuinya untuk mencari
makanan.
"Brengsek! Aku telah ditipunya! Huh! Pasti
saat ini dia sedang mencari Bunga Matahari Jing-
ga! Sayang, aku tidak tahu di mana bunga kera-
mat yang belum dicuri itu,..."
Kekesalan Raja Naga kian menjadi-jadi. Te-
tapi kemudian ditindih kekesalannya itu mengin-
gat kalau itu memang kelalaiannya sendiri.
"Dia pasti belum jauh, karena aku belum
terlalu lama meninggalkannya. Tetapi, ke mana
arah yang harus kutempuh?"
Raja Naga menimbang-nimbang sesaat se-
belum diangkat tangan kanannya yang dipenuhi
sisik sebatas siku. Dipergunakannya ilmu
'Rabaan Naga' yang dapat melacak jejak apa pun
yang diinginkannya. Namun dia terkejut ketika
tak mendapatkan jejak apa-apa!
"Astaga! Apa yang telah terjadi?" desisnya
kaget seraya menurunkan tangan kanannya lagi.
"Ilmu 'Rabaan Naga' seperti tak berguna. Celaka!
Dia memang tahu kalau aku mencurigainya, dan
ini semakin menambah keyakinanku kalau dialah
si pencuri bunga-bunga keramat. Gadis itu ten-
tunya telah mempergunakan ilmunya, entah ilmu
apa, hanya yang pasti dapat menangkap ilmu
'Rabaan Naga' yang kupergunakan...."
Raja Naga benar-benar di ambang kemara-
hannya mengingat semua itu.
"Huh! Saat ini namaku sudah coreng mo-
reng karena tuduhan itu. Aku harus segera mem-
bersihkan namaku sebelum..."
"Ternyata ada manusia di sini! Bagus! Aku
bisa bertanya sesuatu padamu!" suara cempreng
itu memutus kata-kata Raja Naga. Belum lagi ha-
bis terdengar suara cempreng itu, satu sosok tu-
buh telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari
tempatnya.
Raja Naga memicingkan matanya untuk
melihat siapa yang datang.
"Hemmm... seorang perempuan tua berke-
baya lusuh dengan baju berwarna hijau. Ram-
butnya hitam, tetapi... kondenya berwarna hijau!"
katanya dalam hati.
Perempuan tua yang baru muncul itu me-
micingkan matanya sebelum berkata, "Anak mu-
da! Kau berada di tempat sesunyi ini, apakah se-
dang menunggu seseorang atau kau memang
hendak menjadikan tempat ini sebagai tempat pe-
lepas lelah?"
Raja Naga tak segera menjawab. Kembali
diperhatikannya sosok si perempuan yang ternya-
ta Dewi Lembah Air Mata adanya.
Setelah itu barulah dia berkata, "Aku sebe-
narnya bersama seseorang. Tetapi sayang, orang
itu sudah pergi.... "
"Satu pergi satu datang! Ya, aku yang da-
tang ke hadapanmu sekarang! Anak muda... aku
tidak mengenal siapa kau adanya! Dan kau ten-
tunya... hei!! Gila! Mengapa matamu bersorot
angker mengerikan seperti itu?! Apakah kau tidak
suka dengan kehadiranku di sini?!"
Raja Naga mendengus pelan.
"Tak perlu kau hiraukan tentang mataku ini..."
"Ya! Memang tak perlu kuhiraukan!" sahut
Dewi Lembah Air Mata sambil mengingat-ngingat
sesuatu.
Raja Naga yang merasa harus segera men-
cari Puspa Dewi segera berkata, "Nek... aku tak
punya banyak waktu. Aku harus segera menemu-
kan temanku itu."
"Mendengar nada bicaramu yang agak geli-
sah, aku dapat menebak siapa temanmu itu! Kau
masih muda, dan tentunya temanmu adalah seo-
rang gadis belia! Atau boleh dikatakan, tentunya
dia adalah kekasihmu!"
Raja Naga tidak menyahut.
Dewi Lembah Air Mata berkata lagi, "Kau
tentunya orang rimba persilatan dari pakaian
yang kau kenakan! Dan tentunya tak asing bagi
seorang rimba persilatan pernah mendengar satu
julukan yang menggemparkan rimba persilatan!"
"Aku tak paham maksud kata-katamu...."
"Apakah kau pernah mendengar julukan
Raja Naga?" seru Dewi Lembah Air Mata.
Raja Naga sesaat meragu sebelum berkata,
"Ya... kenapa dengan dia?"
"Aku juga pernah mendengar julukan yang
menggemparkan rimba persilatan karena sepak
terjangnya yang menggegerkan! Tetapi sayangnya,
aku belum pernah berjumpa dengan pemuda ber-
juluk Raja Naga hingga aku kesulitan untuk me-
nemukannya!"
Perasaan Raja Naga mulai dibaluri sesuatu
yang tidak enak. Dia menjadi gelisah sendiri.
"Harap jangan bicara berbelit-belit! Sebaik-
nya kaujelaskan saja apa maumu...."
"Orang yang hidup di rimba persilatan sela-
lu mau bertindak cepat, tak mengherankan me-
mang. Anak muda... saat ini aku sedang mencari
Raja Naga!"
Raja Naga menjerengkan matanya. "Kenapa
kau mencari Raja Naga?"
"Pemuda yang bersembunyi di balik tinda-
kannya yang menggegerkan, ternyata seorang
pencundang yang pengecut! Dia telah menanam-
kan bibit permusuhan di rimba persilatan ini dan
mencoreng namanya yang sudah melambung!"
"Aku memang mendengar julukan orang
yang kau maksud, tetapi aku makin tidak men-
gerti tentang apa yang kau katakan," kata Raja
Naga. Kendati mulutnya berbunyi demikian, na-
mun hatinya menduga sesuatu yang tidak enak.
Dewi Lembah Air Mata menyahut, "Raja
Naga telah mencuri bunga-bunga keramat! Kau
masih sedemikian muda, tentunya kau belum
mendengar tentang bunga-bunga keramat! Aku
tak punya waktu untuk menjelaskan tentang
bunga-bunga itu! Dan yang kuminta sekarang,
apakah kau tahu di mana Raja Naga berada?"
Murid Dewa Naga itu diam-diam menarik
napas masygul.
"Firasat tidak enakku ini membawa kenya-
taan. Tentunya berita buruk itu telah menyebar.
Aku terpaksa harus berbohong sekarang agar
urusan tidak semakin kapiran," katanya dalam
hati. Lalu dengan menindih gemuruh di dadanya,
pemuda berompi ungu itu berkata, "Nek... kalau
kau tanyakan aku pernah mendengar julukan itu
atau tidak, kujawab pernah. Tetapi aku tidak ta-
hu di mana orang yang kau maksudkan bera-
da...."
"Sayang sekali, sayang sekali. Padahal aku
berharap kau dapat memberikan kejelasan pada-
ku."
"Apa yang hendak kau lakukan bila kau
berjumpa dengannya?" tanya Raja Naga berhati-
hati.
"Kecuali menangkap dan membawanya ke
hadapan Dewa Segala Dewa, tak ada keinginan
yang lain di hatiku! Dia, harus mempertanggung-
jawabkan tindakan busuknya! Bahkan kalau da-
pat, dia harus dihadapkan pada gurunya sendiri
hingga tak terjadi kesalahpahaman!"
Raja Naga menahan napas sejenak. "Dewa
Segala Dewa?" katanya dalam hati. "Bukankah
orang itu yang hendak dijumpai Puspa Dewi?"
Kemudian dia berkata, "Nek... apakah De-
wa Segala Dewa orang yang berdiam di Daerah
Tak Bertuan?"
"Ya! Dialah majikan Daerah Tak Bertuan!
Dan tak mengherankan kalau kau mengeta-
huinya!"
"Kau tadi mengatakan bunga-bunga kera-
mat, apa yang kau maksudkan dengan bunga-
bunga keramat itu?" tanya Raja Naga setelah ter-
diam beberapa jenak.
"Huh! Tadi sudah kukatakan, aku tak
punya banyak waktu untuk menjelaskannya! Te-
tapi kau boleh tahu sedikit saja! Bunga-bunga ke-
ramat berjumlah tujuh buah! Bila dijadikan satu
dan direndam di dalam air, maka air yang dimi-
num oleh seseorang akan menjadikan orang itu
kebal terhadap senjata apa pun. Dan memiliki
kekuatan seorang raksasa!"
"Astaga! Sungguh menakjubkan! Dan
sungguh mengerikan bila orang yang meminum
air itu melakukannya untuk tindakan kejaha-
tan...." desis anak muda dari Lembah Naga itu da-
lam hati. "Aku harus menemukan Puspa Dewi.
Gadis itu tentunya si pencuri yang se-
sungguhnya. Tetapi... mengapa dia mencari Dewa
Segala Dewa dan Daerah Tak Bertuan? Apakah
Bunga Matahari Jingga sesungguhnya berada di
Daerah Tak Bertuan?"
Raja Naga tak mencoba untuk menemukan
pertanyaannya sendiri. Kemudian berhati-hati
anak muda itu berkata, "Nek... sebaiknya kita
berpisah di sini. Karena aku harus menemukan
temanku itu...."
"Baik! Bila kau berjumpa dengan Raja Na-
ga, katakan padanya, Dewi Lembah Air Mata da-
tang untuk menangkapnya!"
Raja Naga hanya mengangguk. Di kejap
lain dia sudah melangkah untuk meninggalkan
tempat itu. Perasaan tidak enaknya semakin,
menjadi-jadi.
"Ah, beruntung dia mempercayai ucapan-
ku. Kalau tidak, urusan bisa jadi panjang! Aku
akan banyak kehilangan waktu untuk mengejar
Puspa Dewi, sementara menjelaskan keadaan
yang sebenarnya pun percuma saja. Tentunya dia
telah berjumpa dengan Purwa dan Sibarani yang
menceritakan kesalahpahaman yang telah terjadi.
Ah, apakah Purwa dan Sibarani menganggap ka-
lau ini hanya kesalahpahaman saja?"
Sambil terus melangkah, anak muda be-
rompi ungu ini terus membatin. Tetapi apa yang
dipikirkannya hanya sesaat membawa sedikit ke-
tenangan. Karena tiba-tiba saja satu suara cem-
preng yang sangat nyaring membentak keras,
"Pemuda celaka! Kau mencoba mengelabui Dewi
Lembah Air Mata rupanya! Untung aku ingat, ka-
lau Raja Naga memiliki sorot mata angker!"
Bersamaan bentakan itu terdengar, meng-
gebrak satu gelombang angin yang menyeret ta-
nah ke arah si pemuda!
***
"HeeiiiiH" teriak Raja Naga tertahan dan ke-
jap itu pula dia membuang tubuh ke samping ka-
nan. Blaaarrrr!!
Ranggasan belukar di hadapannya terpa-
pas rata ujungnya. Dan tak jauh dari sana, suara
letupan disusul dengan gemuruh tumbangnya se-
buah pohon terdengar keras.
"Menurut cerita orang, Raja Naga memiliki
sorot mata angker! Dan mengenakan pakaian be-
rompi ungu! Dasar aku yang bodoh tidak tahu ge-
lagat! Pemuda keparat, kau hampir berhasil me-
muslihatiku, padahal kaulah Raja Naga sebenar-
nya!!"
Dewi Lembah Air Mata melesat diiringi te-
riakan mengguntur. Kemarahannya tiba-tiba
mencuat dan harus dituntaskan.
Raja Naga sendiri merasa tak akan ada gu-
nanya untuk menjelaskan kejadian yang sebenar-
nya. Cepat didorong kedua tangannya ke depan.
WuuttttH
Blaaam! Blaaammm!!
Suara letupan dua kali berturut-turut ter-
dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi
tanah itu luruh kembali, satu bayangan hijau te-
lah melesat, menerobos ke depan dengan tangan
kanan kiri digerakkan.
Tap! Tap!
Raja Naga mundur dua tindak. Lalu....
Buk! Buk!
Dihadangnya jotosan si nenek dengan tan-
gan kanan kirinya. Kedua tangannya sebatas siku
yang dipenuhi sisik coklat, memiliki kekuatan ter-
sendiri yang mampu mematahkan sebuah godam.
Tetapi benturan yang terjadi itu tak membawa
akibat apa-apa pada Dewi Lembah Air Mata.
Bahkan tiba-tiba saja si nenek berkonde
hijau ini mencelat ke atas. Lalu meluruk ke ba-
wah diiringi suara dengingan yang memekakkan
telinga.
Cepat, Raja Naga palangkan kedua tan-
gannya di depan dada. Didahului satu dehaman
keras, disentak kedua tangannya ke atas.
Dehaman yang mengandung tenaga tak
nampak itu tak mampu menahan lurukan tubuh
Dewi Lembah Air Mata. Tetapi ketika gelombang
angin disemburati asap merah yang keluar dari
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' mengge-
brak, membuat si nenek mengubah gerakannya.
Dia melenting ke samping dan hinggap di
atas tanah dengan ringannya.
Suara geramnya terdengar, "Tak menghe-
rankan kalau julukan Raja Naga telah membedah
langit, karena memang memiliki ilmu yang tak bi-
sa dipandang sebelah mata! Malam ini aku masih
memberimu kesempatan hidup, bila kau mau
menyerahkan bunga-bunga keramat yang telah
kau curi!"
Di tempatnya Raja Naga menjadi agak geli-
sah.
"Apa yang harus kujelaskan kalau tuduhan
itu telah melekat padaku? Tentunya bukan hanya
dia yang sedang mencariku, tetapi orang berjuluk
Dewa Segala Dewa juga sedang mencariku. Bisa
pula masih ada orang-orang yang lain...."
"Tak banyak waktu yang kau punyai, Pe-
muda keparat!!" bentak Dewi Lembah Air Mata ge-
ram.
Raja Naga menghela napas pendek.
"Kau tak mengerti apa yang telah terjadi
dan tak seorang pun yang bisa mengerti...."
"Ya! Siapa pun orangnya tak akan mau
mengerti apa pun yang dikatakan pencuri busuk!
Serahkan bunga-bunga keramat itu padaku!!"
Raja Naga tak menjawab. Bergeming pun
tidak. Matanya yang angker semakin bertambah
angker. Dilihatnya bagaimana perlahan-lahan
Dewi Lembah Air Mata rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Kalau sejak tadi dia me-
mandang ke depan, kali ini kepalanya agak di-
tundukkan hingga tubuhnya membungkuk sedi-
kit. Jelas kalau si nenek telah siap melancarkan
satu serangan.
Kendati Raja Naga dapat memahami apa
yang akan dilakukan Dewi Lembah Air Mata, te-
tapi dia tercekat tatkala tiba-tiba mendengar pe-
rempuan tua itu terisak.
"Astaga! Apa yang terjadi? Mengapa dia te-
risak?"
Untuk beberapa saat pemuda berkuncir
kuda ini merasa heran dengan apa yang diden-
garnya. Namun di kejap lain, dia tersentak. Kare-
na isakan yang pelan itu telah menggedor kedua
telinganya hingga berdenging-denging!
* * *
LIMA
CELAKA! Apa yang terjadi? Ada apa ini?"
serunya seraya alirkan tenaga dalamnya pada in-
dera pendengarannya. Tetapi isakan pelan yang
menerobos dahsyat ke kedua telinganya, semakin
keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja,
tubuh Raja Naga bergetar hebat.
Menyusul suara letupan berulang kali ter-
dengar. Tanah berhamburan ke udara yang sege-
ra membuat tempat itu laksana diselimuti kabut
tebal.
"Aku harus berbuat sesuatu bila tidak in-
gin celaka!" seru anak muda itu sambil tutup ke-
dua telinganya dengan tangan kanan kirinya. Kini
disadari kalau isakan yang dilakukan si nenek
ternyata merupakan satu serangan mengerikan.
Tiba-tiba dia berteriak setinggi langit se-
raya mendehem berkali-kali.
Letupan demi letupan keras terdengar. Te-
naga tak nampak yang keluar dari dehemannya
berbenturan dengan tenaga aneh yang keluar dari
isakan Dewi Lembah Air Mata. Tetapi isakan yang
berdenging-denging keras itu semakin kuat me-
nerpa kedua telinganya
Telinga adalah salah satu alat keseimban-
gan tubuh selain dagu dan kedua bahu. Akibat
dari terobosan suara isakan yang berdenging-
denging itu, Raja Naga terhuyung ke belakang.
Sakit tak terkira membuat aliran darahnya ber-
tambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti
dihantam gada besar berulang-ulang. Napasnya
mulai terasa sesak.
"Celaka... aku bisa celaka!" serunya beru-
lang-ulang sambil terus mengerahkan tenaga da-
lamnya.
Dari sela-sela bibirnya telah mengalir da-
rah segar. Keseimbangannya semakin terganggu,
sementara di seberang, Dewi Lembah Air Mata te-
tap bersikap seperti sebelumnya. Isakannya tetap
terdengar hanya pelan saja.
Mendadak anak muda dari Lembah Naga
itu melepaskan tangan kanan kirinya dari kedua
telinganya. Lalu diputar ke atas dan didorong ke
depan dengan wajah tegang.
WuussssH
Gelombang angin disemburati asap merah
menggebrak deras dan.... Blaaammm!
Laksana terhantam tenaga tak nampak, se-
rangan yang dilakukan Raja Naga guna memu-
tuskan ilmu aneh si nenek putus di tengah jalan.
Raja Naga tidak putus nyali. Dia harus mele-
paskan diri dari isakan mengerikan itu.
Dengan mencoba mengembalikan keseim-
bangannya, dijejakkan kaki kanannya. Disusul
dengan kaki kirinya. Tanah di hadapannya seke-
tika berderak, terangkat naik dan menyusur den-
gan suara bergemuruh ke arah Dewi Lembah Air
Mata yang masih menunduk.
Masih tetap terisak, Dewi Lembah Air Mata
tiba-tiba menepukkan kedua tangannya di tanah.
Akibatnya....
JlegaaarrrrU
Letupan yang membuat tempat itu seperti
bergetar terjadi. Tanah semakin berhamburan ke
udara. Namun kali ini Raja Naga merasakan te-
kanan menyakitkan pada kedua telinganya sedikit
berkurang. Ini terjadi karena Dewi Lembah Air
Mata terpaksa menurunkan tangannya yang di-
rangkapkan di depan dada tadi.
Kesempatan itu dipergunakan Raja Naga
untuk melesat ke depan. Jalan satu-satunya un-
tuk menghentikan serangan aneh itu dengan ja-
lan menghentikan sumbernya. Tetapi....
" Aaaakkhhhh!!"
Anak muda itu menjerit keras bersamaan
tubuhnya terpelanting ke belakang, karena Dewi
Lembah Air Mata telah merangkapkan kembali
kedua tangannya di depan dada disertai isakan-
nya yang tetap pelan namun terus terdengar.
Disusul dengan tubuhnya yang berguling-
guling berulang-ulang.
"Kau terlalu keras kepala, Pemuda terku-
tuk! Tak mau menyerahkan kembali bunga-bunga
keramat yang telah kau curi, itu artinya akan
menambah penderitaan yang kau alami!" seru
Dewi Lembah Air Mata tetap terisak dan sejauh
ini tak ada air mata yang mengalir.
Raja Naga merasa punggungnya remuk se-
telah menghantam sebuah pohon. Sempoyongan
pemuda tampan ini mencoba berdiri. Tulang-
tulang pada kakinya seperti telah terlolosi.
"Aku yakin, dalam dua gebrakan berikut-
nya... aku tak akan mampu menghadapi serangan
aneh si nenek...," desisnya dengan wajah tegang.
Darah yang merembes melalui sela-sela bibirnya
makin banyak. Diusap dengan punggung tangan-
nya yang terasa nyeri saat dilakukan.
Tenaga dalamnya masih dikerahkan untuk
menghindari terobosan isakan berdenging-
denging yang dahsyat itu.
"Aku harus mencoba lagi...," desisnya da-
lam hati. Masih sedikit sempoyongan, anak muda
bersisik coklat ini memasukkan tangannya ke ba-
lik rompi yang dikenakannya. Tersentuh olehnya
sebuah benda yang seperti menempel pada kulit
perutnya tetapi tidak menimbulkan tonjolan. Se-
gera diambil keluar benda yang memancarkan si-
nar hijau. Anehnya, benda yang tadi seperti lem-
pengan, begitu dipegangnya berubah bentuk.
Menjadi sebuah gumpalan berwarna hijau!
Itulah benda sakti warisan dari mendiang
ayahnya, Gumpalan Daun Lontar.
Di seberang Dewi Lembah Air Mata sempat
melihat benda di tangan Raja Naga.
"Kabar telah sampai di telingaku, kalau
mendiang Pendekar Lontar memiliki sebuah ben-
da berwujud gumpalan daun lontar. Rupanya
benda itu diwarisi oleh Raja Naga. Huh! Ingin ku-
lihat kebenaran cerita... apakah memang benda
itu sesuatu yang pantas diperebutkan!"
Memutuskan demikian, Dewi Lembah Air
Mata bertambah terisak. Ilmu anehnya ini me-
mang sukar dibendung. Isakan yang pelan itu te-
tapi akan melesat tajam mendenging-denging
dahsyat pada telinga orang-orang yang ditujunya.
Raja Naga sendiri terbanting lagi. Gumpa-
lan Daun Lontar itu masih erat dipegangnya. Lalu
tiba-tiba saja Gumpalan Daun Lontar itu dipecah
menjadi dua dengan gerakan yang sangat ringan.
Di kejap lain, kedua telinganya sudah ditutupi
Gumpalan Daun Lontar yang terbagi dua.
Begitu Gumpalan Daun Lontar yang terbagi
dua menutupi kedua telinganya, Raja Naga tak
lagi mendengar suara dahsyat berdenging-denging
yang hampir memutus nyawanya. Dan anak mu-
da ini melakukan satu siasat yang baik. Kendati
tak lagi dirasakan kedahsyatan suara yang mene-
robos telinganya, tetapi dia sengaja membuat tu-
buhnya terbanting dan terhuyung. Hal ini dilaku-
kan untuk mengelabui Dewi Lembah Air Mata.
Karena Raja Naga berpikir tak akan mung-
kin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pa-
da Dewi Lembah Air Mata. Bila dihadapinya si
nenek, itu artinya semakin menambah keyakinan
si nenek kalau dia memang bersalah.
Di seberang Dewi Lembah Air Mata men-
dengus penuh kebencian.
"Gumpalan Daun Lontar bukan sesuatu
yang hebat!" dengusnya. "Terbukti ilmu 'Air Mata
Purnama' ini tetap membuatnya seperti orang bo-
doh! Akan kusiksa dia lebih dulu sampai aku
puas, sebelum kuserahkan pada Dewa Segala
Dewa!"
Dewi Lembah Air Mata semakin kuat men-
gerahkan ilmu anehnya itu. Berkali-kali dia men-
dengus puas melihat pemuda berompi ungu yang
kedua telinganya tertutup Gumpalan Daun Lontar
terhuyung, terbanting dan muntah darah.
Yang tak disadarinya, kalau jarak dirinya
dengan anak muda itu semakin lama cukup jauh.
Kalau sebelumnya Raja Naga hanya terbanting
sekitar jarak delapan langkah, sekarang anak
muda itu makin terhuyung dan menjauh.
Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata tersentak
seraya berseru, "Kurang ajar! Kau...."
Seruannya itu terputus karena Raja Naga
sudah melompat ke balik ranggasan semak dan
berlari. Dia berseru keras, "Dewi Lembah Air Ma-
ta! Kelak kau akan tahu kebenaran dari apa yang
terjadi!"
Dewi Lembah Air Mata menggeram sengit
seraya menghentikan ilmu 'Air Mata Purnama'.
Parasnya mengeras dengan rahang berkali-kali
dikertakkan.
"Terkutuk! Terkutuk! Mengapa aku baru
menyadari itu?" geramnya sengit. "Ilmu 'Air Mata
Purnama' menyerang telinga dan jantung. Kedua
indera itu bila terendam hebat, maka akan men-
gakibatkan pendarahan. Dan tadi... terkutuk! Se-
jak dia menutup kedua telinganya dengan Gum-
palan Daun Lontar itu, tak lagi kulihat kalau dia
muntah darah atau mengeluarkan darah dari se-
la-sela mulutnya..."
Kemarahan Dewi Lembah Air Mata sema-
kin tinggi mengingat kalau dia berhasil dimusliha-
ti oleh pemuda dari Lembah Naga itu. Di lain saat
terdengar geramannya setinggi langit. Disusul so-
soknya melesat ke arah perginya Raja Naga.
"Tak akan pernah kulepaskan kau, Pemuda
celaka!!"
***
Menjelang pagi, Raja Naga menghentikan
langkahnya di jalan setapak. Diperhatikannya se-
keliling tempat itu, barangkali saja perempuan
tua berkonde warna hijau itu menyusulnya. Sete-
lah ditunggu beberapa saat tak juga ada tanda-
tanda kemunculannya, Raja Naga menarik napas
pendek. Gumpalan Daun Lontar yang tadi dibagi
dua sudah disatukan kembali ketika berlari tadi.
Dia baru saja merendam Gumpalan Daun Lontar
itu di dalam air yang kemudian air itu diminum-
nya. Luka dalam yang dideritanya akibat hanta-
man ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata berangsur-
angsur lenyap hingga kini Raja Naga merasa telah
pulih kembali. Gumpalan Daun Lontar itu sendiri
telah dimasukkan ke balik rompinya yang seketi-
ka menyatu kembali dengan kulit perutnya.
"Urusan ini semakin melebar sementara
aku semakin kehilangan jejak Puspa Dewi. Huh!
Dasar aku yang lalai! Tak seharusnya aku menu-
ruti keinginannya untuk beristirahat!" geramnya
sengit. "Tak ada sama sekali jejak yang berarti,
yang dapat membawaku kepadanya!"
Raja Naga terus berpikir keras. Kehadiran
Dewi Lembah Air Mata sesungguhnya memang ti-
dak disengaja. Dan itu terjadi karena permintaan
Puspa Dewi yang beristirahat di sana. Bila saja
tak dipenuhinya permintaan itu, mungkin saat ini
Puspa Dewi tak akan terlepas dari perhatiannya,
juga tak perlu melibat urusan dengan Dewi Lem-
bah Air Mata.
"Tak ada yang perlu disesali," desahnya
kemudian seraya menghela napas pendek. Mata
angkernya memandang ke depan. "Yang perlu ku-
atasi saat ini, secepatnya meluruskan tuduhan
yang kualami. Juga menemukan Puspa Dewi...."
Memutuskan demikian, pemuda yang len-
gan kanan kirinya sebatas siku bersisik coklat ini
kembali meneruskan langkahnya. Sambil me-
langkah setengah berlari, mata angkernya me-
mandang ke sana-kemari penuh perhatian.
Perasaannya masih dibuncah kejengkelan
yang terus ditindihnya sampai dia tak lagi mera-
sakan kejengkelan itu, kecuali bertekad untuk
menemukan Puspa Dewi yang dipikirnya pelaku
dari semua pencurian bunga-bunga keramat. Ka-
lau dia sudah berhasil menangkap si pencuri
yang sesungguhnya, maka dengan mudah dapat
dibersihkan namanya dari segala tuduhan yang
menyerang.
Setelah melewati sebuah hutan dan tiba
pada jalan berdebu, Raja Naga terpaksa menyem-
bunyikan diri, ketika melihat sejumlah orang yang
melangkah gagah. Empat orang lainnya sedang
menggotong sebuah tandu bagus.
Rombongan itu lewat di hadapannya tanpa
ada yang keluarkan kata-kata. Hanya derap lang-
kah mereka saja yang terdengar teratur. Raja Na-
ga tak sempat melihat apa atau siapa yang berada
di dalam tandu indah berwarna biru yang dipe-
nuhi untaian benang dan bunga keemasan, kare-
na tandu itu rapat dan tak tembus pandang.
Setelah rombongan itu berlalu, barulah Ra-
ja Naga keluar dari persembunyiannya. Dipan-
danginya orang-orang itu yang semakin menjauh.
"Siapa lagi mereka?" desisnya sambil mem-
perhatikan sekelilingnya sejenak. "Baru kali ini
aku berjumpa dengan rombongan itu.... Ah, aku
menangkap sesuatu yang tidak enak dari kehadi-
ran orang-orang yang membopong tandu itu. Sia-
pa pula orang yang berada di dalam tandu itu?
Ah, apakah memang orang atau sesuatu yang be-
rada di sana?"
Raja Naga tak mau meneruskan lagi jalan
pikirannya, karena dia harus menemukan Puspa
Dewi. Anak muda ini tetap berkeyakinan kalau
Puspa Dewi adalah orang yang bertanggung jawab
atas urusan ini.
Dan tanpa sepengetahuannya, orang yang
berada di dalam tandu yang kini melewati hutan
yang tadi dilewati Raja Naga, membatin, "Kulihat
ada tarikan dan helaan napas ketika kulewati ja-
lan berdebu tadi. Jelas kalau ada seseorang yang
mengintai. Kalau memang dia orang yang kucari,
tak mungkin dia bersembunyi atau menghindar.
Karena orang itu juga sedang mencariku. Berarti
bukan dia...."
Orang di dalam tandu ini ternyata seorang
perempuan berpakaian biru keemasan dengan
perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan
tangannya. Anting-anting indah menghiasi kedua
daun telinganya, bertakhta mutu manikam. Ram-
butnya hitam berkilat, disanggul ke atas dengan
diberi sebuah jepitan terbuat dari emas. Parasnya
hanya samar-samar terlihat, karena cadar dari
sutera warna keemasan itu menghalangi di depan
wajahnya. Walaupun demikian, parasnya telah
memperlihatkan kejelitaannya. Hidungnya man-
cung dengan bibir memerah ranum menggiurkan.
Sepasang matanya indah, berkilat-kilat menan-
dakan kalau dia seorang perempuan yang cerdik.
Perempuan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun itu tiba-tiba berseru di pertengahan hutan
yang sedang mereka lewati, "BerhentiiiiH!"
Orang-orang berpakaian putih yang mem-
bopong tandu maupun yang mengiringi, seketika
berhenti. Empat orang yang membopong tandu
tak perlu menurunkan tandu itu di atas tanah,
karena....
WuuutttH
Tandu itu tiba-tiba saja melesat dengan
ringan. Menabrak beberapa ranting pohon sebe-
lum kemudian bertengger di antara cabang se-
buah pohon.
Sentakan tandu itu sama sekali tak meng-
goyahkan keseimbangan pada penggotongnya. Ka-
laupun kemudian mereka duduk berlutut, karena
memang itulah kebiasaan yang mereka lakukan
bila orang dalam tandu memerintahkan berhenti
dan telah mencari sebuah tempat.
Suara merdu terdengar dari balik tandu
berwarna biru keemasan itu, "Hampir sebulan
lamanya kita meninggalkan Tanah Kayangan, te-
tapi hingga saat ini belum menemukan orang
yang kucari! Dan mulai hari ini... aku membe-
baskan kalian untuk pergi!!"
Salah seorang berkata sambil merang-
kapkan kedua tangannya, "Ketua! Sudah lima ta-
hun kami mengabdi, dan rasanya tak mungkin
kami akan meninggalkan Ketua!"
"Urusan yang kuhadapi ini bukan urusan
ringan! Kalaupun aku mengajak kalian dalam
bentuk rombongan, karena aku tak mau mening-
galkan kalian di Tanah Kayangan! Karena tak
mustahil perempuan itu akan muncul dan meng-
hancurkan kalian selagi aku mencarinya!"
"Ketua... kami tak peduli dengan apa yang
akan terjadi pada kami! Tetapi...."
"Tahan ucapanmu, Menggala!" seruan pe-
rempuan dalam tandu yang tetap bernada merdu
itu terdengar lagi. "Dengarkan ucapanku seka-
rang... aku sama sekali tak menyangsikan kese-
tiaan kalian kepadaku! Sejak lima tahun lalu ka-
lian mengabdi setulus hati padaku, hingga ra-
sanya aku tak pernah menganggap kalian sebagai
abdi-abdiku! Karena selama ini aku telah men-
ganggap kalian sebagai teman-temanku dan ku-
harap kalian juga menganggapku seperti itu, bu-
kan sebagai seorang Ketua yang harus kalian
hormati!"
Si perempuan menghentikan ucapannya.
Lalu melanjutkan, "Dan pada malam purnama
bulan lalu, perempuan berjuluk Ratu Dinding
Kematian telah datang dengan membawa suasana
tak mengenakkan. Untung saat itu aku berada di
tempat hingga kehadirannya tak banyak menelan
korban!"
"Dan seperti yang kalian ketahui" si perem-
puan melanjutkan, "Ratu Dinding Kematian ada-
lah kakak seperguruanku yang telah lama mem-
benciku! Aku sendiri tak pernah mengerti menga-
pa dia membenciku kecuali, kalau dia sebenarnya
juga menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma
yang diberikan guruku padaku. Padahal, dia telah
mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Jiwa yang juga
tak kalah dahsyatnya. Kitab Ajian Selaksa Sukma
telah kusembunyikan di satu tempat setelah ku-
pelajari isinya. Rupanya, Ratu Dinding Kematian
tak pernah membiarkan keinginannya itu tertu-
tup hingga dia terus menerus berusaha untuk
mendapatkannya kembali. Dan pada purnama la-
lu, dia datang kembali, tetapi berhasil kugagal-
kan. Namun aku masih ingat apa yang dikata-
kannya kemudian...."
"Kami pun ingat, Ketua... karena kami
memang berada di sana...," sahut Menggala.
"Ya! Ratu Dinding Kematian mengatakan,
kalau dia akan mencariku dan menjumpaiku lagi
dua bulan mendatang dari kedatangannya waktu
itu! Dikatakannya juga, kalau dia telah menemu-
kan jejak bunga-bunga keramat milik Tiga Pengu-
asa Bumi yang akan dicabut dan dimilikinya!
Dengan kesaktian yang akan didapatkan itulah
dia akan membunuhku!"
"Ketua! Kami tak akan membiarkan hal itu
terjadi!" seru Menggala yang disahuti oleh yang
lainnya.
Perempuan dalam tandu itu tersenyum.
"Ya... aku dapat mengerti semua itu karena
kalian memang orang-orang yang penuh bakti.
Tetapi, aku juga telah membayangkan kesaktian
macam apa yang akan didapatkan oleh Ratu
Dinding Kematian bila dia telah menyatukan
bunga-bunga keramat itu. Mungkin, aku sendiri
tak akan dapat mengalahkannya. Jadi kuminta
kalian dapat memaklumi keadaan ini, hingga ber-
sedia meninggalkanku sekarang juga...."
Kesepuluh lelaki berpakaian putih itu tak
ada yang menyahut. Bahkan mengangkat kepala
saja tidak.
Di dalam tandu si perempuan menarik na-
pas masygul. Dia berkata sendiri, "Dengan 'Ajian
Selaksa Jiwa', tak mustahil Ratna Wangi atau
yang berjuluk Ratu Dinding Kematian dapat men-
gambil dengan mudah bunga-bunga keramat itu.
Tentunya dia telah mengetahui mantra yang dila-
kukan oleh Dewa Segala Dewa. Tetapi, semua
mantra apa pun akan punah oleh 'Ajian Selaksa
Jiwa' maupun 'Ajian Selaksa Sukma'. Karena pa-
da dasarnya, Dewa Segala Dewa adalah paman
guruku dan paman guru Ratna Wangi. Ah, apa-
kah Ratna Wangi memang sudah mendapatkan
bunga-bunga keramat itu? Aku jadi ingat pada
Puspa Dewi, gadis yang kudidik menjadi muridku
dan sekarang kuperintahkan untuk menjumpai
Dewa Segala Dewa di Daerah Tak Bertuan. Mu-
dah-mudahan Puspa Dewi membawa berita yang
cukup menggembirakan kalau sesungguhnya
bunga-bunga keramat itu masih berada di bawah
pengawasan Tiga Penguasa Bumi."
Setelah hening beberapa saat, si perem-
puan berkata, "Aku tak ingin mengorbankan ka-
lian! Jadi lebih baik kita berpisah untuk sementa-
ra waktu! Bila aku masih memiliki umur panjang,
kita dapat bertemu lagi di Tanah Kayangan!"
Habis seruan itu terdengar, tiba-tiba saja
tandu yang berada di atas pohon itu meledak ke-
ras dan berhamburan segala yang telah beranta-
kan.
Orang-orang di bawah segera berdiri den-
gan mata membuka lebar. Mereka hanya sempat
melihat, bayangan biru keemasan melesat dari sa-
tu pohon ke pohon lain dan kemudian lenyap dari
pandangan.
Tak ada yang buka suara. Masing-masing
orang dilanda kebingungan dan tanggung jawab.
Lalu Menggala memutuskan untuk segera me-
ninggalkan tempat itu. Tidak menuju ke Tanah
Kayangan.
* * *
ENAM
MENUNGGU semalaman hingga matahari
sudah melewati batas kepala, sungguh suatu pe-
kerjaan yang tidak menyenangkan. Terutama ka-
rena orang yang diharapkan datang tak kunjung
tiba. Perasaan itu melanda Purwa dan Sibarani
yang terus menerus duduk di atas batu besar.
Di pihak lain, si Bayangan Kuning hanya
terdiam kendati otaknya terus merencanakan saat
yang tepat. Tak lama lagi senja akan datang. Se-
malam diputuskan untuk mendapatkan Bunga
Matahari Jingga paling lambat pada senja hari ini.
Diliriknya Purwa yang sedang menggeram.
Dilihatnya Sibarani yang kendati parasnya mem-
biaskan kebosanan tetapi sangat dipaksakan. Si
Bayangan Kuning sendiri tak memungkiri kalau
perutnya sudah berteriak-teriak minta diisi. Dia
juga merasa pasti kalau Purwa dan Sibarani juga
sudah kelaparan. Karena sejak semalam, tak seo-
rang pun yang turun dari batu yang masing-
masing duduki. Tak terkecuali untuk buang air.
Si Bayangan Kuning berkata, "Mengapa Ra-
ja Naga belum muncul juga?"
Purwa melirik. Lelaki bercambang tebal itu
tak menjawab. Kembali menatap ke depan. Ken-
dati bersikap acuh, Sibarani melihat ada sedikit
cahaya di mata Purwa.
Dia berkata, "Kami juga sedang menunggu
kedatangannya, jadi tak bisa menjawab perta-
nyaanmu."
Si Bayangan Kuning tersenyum. Di saat
matahari menyalang garang ini, terlihat jelas so-
soknya. Dia seorang perempuan jelita berusia se-
kitar tiga puluh tujuh tahun. Hidungnya bangir
dengan bibir menawan. Tepat pada bagian tengah
keningnya, nampak sebuah tahi lalat. Rambutnya
digelung ke atas dan diberi pita warna kuning.
Pakaian kuning yang dikenakannya ternyata di-
penuhi dengan sulaman benang keemasan.
"Menunggu adalah pekerjaan yang membo-
sankan," kata si Bayangan Kuning mencoba men-
cari kesempatan. "Tetapi biar bagaimanapun juga,
aku tak akan mundur sebelum membunuh pe-
muda yang telah mempermalukan dan membu-
nuh adik seperguruanku."
"Nimas Herning... mengapa kau jadi begitu
banyak omong?" tanya Sibarani dengan mata me-
nyelidik. Lalu menyambung dalam hati. "Ku-
sayangkan kalau Kakang Purwa mengatakan apa
yang sedang kami lakukan. Ah, rasanya ada se-
suatu yang disembunyikan oleh Nimas Herning.
Tetapi aku tidak tahu apa yang disembunyikan-
nya....!"
Si Bayangan Kuning yang mengaku ber-
nama Nimas Herning tersenyum.
"Apakah kau memungkiri kalau kau juga
sudah jadi tidak sabaran, Sibarani?"
Dibalik ucap seperti itu membuat Sibarani
mendengus. Tetapi dibenarkan juga apa yang di-
katakan Nimas Herning.
Purwa buka suara seraya melompat turun.
"Aku akan mencari makanan!"
Itulah yang ditunggu oleh si Bayangan
Kuning. Dia berharap salah seorang dari kedua-
nya memutuskan untuk mencari makanan. Den-
gan cara seperti itu dapat dijalankan rencananya
dengan segera. Karena dia yakin, untuk menca-
but Bunga Matahari Jingga adalah sebuah peker-
jaan yang mempertaruhkan nyawa. Bila sekarang
dia hanya menghadapi salah seorang dari kedua-
nya, tentunya tak akan banyak membuang tena-
ga.
Buru-buru dia berkata, "Aku menyukai ke-
linci panggang...."
Purwa tersenyum.
"Aku juga menyukai kelinci panggang."
Nimas Herning tertawa, sementara Sibarani
diam-diam mendengus. Entah mengapa dia men-
jadi gusar mendengar tawa dan sikap mesra Ni-
mas Herning. Terutama melihat Purwa terse-
nyum. Sungguh, sekali pun Sibarani belum per-
nah mendapatkan senyuman seperti itu.
Purwa sendiri sudah melesat meninggalkan
tempat itu. Sepeninggalnya, Sibarani berkata din-
gin, "Nimas Herning... siapa kau sebenarnya?"
Si Bayangan Kuning mengalihkan pandan-
gannya pada Sibarani. Bibirnya tersenyum.
"Astaga! Sungguh aneh pertanyaanmu, Si-
barani...."
"Setiap pertanyaan yang kulontarkan, tak
ada yang aneh!" sahut Sibarani dingin. Perasaan
tak sukanya pada Nimas Herning semakin menja-
di-jadi. "Kau tahu aku dan Kakang Purwa sedang
menjalankan tugas yang tak bisa dipandang en-
teng. Lebih baik kau menyingkir dari sini...."
"Sibarani, Sibarani... mengapa kau berkata
begitu? Semalam kau tak banyak ucap tatkala
kuputuskan untuk bergabung dengan kalian, Te-
tapi sekarang... ah" Nimas Herning tersenyum
yang membuat Sibarani bertambah jengkel. "Aku
tahu apa yang menyebabkanmu bersikap demi-
kian...."
"Kau tahu atau tidak, aku tidak peduli!"
"Sibarani... kalaupun Purwa tiba-tiba me-
nyukaiku, bukankah itu haknya?" kata Nimas
Herning sambil tersenyum.
Wajah Sibarani kontan memerah. Perem-
puan berpakaian dalam warna hijau itu menga-
lihkan perhatiannya ke tempat lain.
"Brengsek! Dia dapat menebak perasaan-
ku!" geramnya dalam hati. "Tetapi... ah, mengapa
perasaanku jadi begin!?"
Si Bayangan Kuning sendiri tak mau pedu-
li. Dia memang sengaja menyakiti hati Sibarani
setelah mengetahui perasaan perempuan itu pada
Purwa.
"Dan rasanya aku juga tak bersalah bila
aku menyukai Purwa, bukan?"
"Tutup mulutmu itu!"
"Astaga! Mengapa kau menjadi gusar? Apa
yang kukatakan ini memang sebuah kenyataan!
Semalam aku belum melihat wajah kalian dengan
jelas! Dan begitu melihat wajah Purwa yang tam-
pan rasanya aku jatuh cinta padanya...."
Ingin Sibarani membungkam mulut usil
perempuan berpakaian kuning itu. Disesalinya
mengapa semalam dibiarkan saja Nimas Herning
bergabung.
Perempuan berpakaian kuning keemasan
itu tersenyum dalam hati. "Ini kesempatan yang
tak boleh ku sia-siakan! Akan kucecar hatinya
hingga dia menjadi marah. Dan rasanya dia tak
punya alasan untuk menyerangku. Berarti... ya,
aku harus menyingkirkannya dari sini. Bila dalam
dua puluh kejapan mata dia tak menyingkir, be-
rarti dia harus kubunuh dan Bunga Matahari
Jingga harus kudapatkan sebelum Purwa kemba-
li."
Kemudian dicecarnya Sibarani dengan
ucapan demi ucapan yang membuat telinga pe-
rempuan itu memerah. Tangan kanan kiri Siba-
rani sudah mengepal kuat. Ditahan amarahnya
yang sudah mendidih.
"Ya... kupikir memang tak ada salahnya bi-
la aku mencintai Purwa dan Purwa mencintaiku.
Sibarani... apakah kau merestui percintaan ka-
mi?"
Sibarani tak menjawab. Melirik pun tidak.
Dikuatkan perasaannya agar tidak meledak ama-
rah. Dia memang tak punya alasan untuk mem-
bungkam mulut perempuan itu. Apa yang dikata-
kannya memang benar. Sungguh tak ada sesuatu
yang salah bila ternyata Purwa dan Nimas Hern-
ing akhirnya saling mencinta. Tetapi cara bicara
perempuan itulah yang membuat Sibarani ham-
pir-hampir tak mampu untuk menahan diri.
"Nimas Herning...," desisnya dengan tata-
pan tajam. "Sebaiknya kau membuat api untuk
memanggang daging kelinci...."
"Kupikir juga begitu. Seorang lelaki ten-
tunya akan semakin menyayangi seorang perem-
puan bila perempuan itu dapat bersikap lembut,
anggun, dan penuh perhatian...."
"Bagus! Buatlah api itu!"
Nimas Herning menyeringai.
Sibarani mengangguk-angguk dalam hati,
"Bagus! Aku tak punya alasan untuk membung-
kam mulut keparatnya. Tetapi aku bisa mem-
buatnya menjadi budakku! Menyuruhnya mem-
buat api termasuk pekerjaan pertama untuknya!"
Namun yang diduga Sibarani jauh dari ke-
nyataan. Karena tiba-tiba saja Nimas Herning
berkata, "Sibarani... bukanlah lebih baik bila yang
membuat api adalah Purwa? Membuat api adalah
tugas seorang laki-laki. Menguliti kelinci atau
ayam hutan juga tugas laki-laki. Tugas kita seba-
gai seorang perempuan... hanya memanggang lalu
memakannya...."
Mendidih darah Sibarani sekarang. Perem-
puan berpakaian merah itu tak bisa lagi menahan
diri. Kontan dia berdiri dengan tangan menuding.
"Siapa kau sebenarnya, Nimas Herning?!"
serunya berapi-api. Perubahan yang terjadi pada
Nimas Herning membuatnya bertambah heran.
Semalam perempuan itu bersikap begitu sopan
dan sekarang begitu pandai menyakiti hatinya.
Nimas Herning juga berdiri. Dipandanginya
Sibarani sambil berkata dalam hati, "Senja telah
datang. Saat ini juga aku harus mendapatkan
Bunga Matahari Jingga."
Sambil menyeringai dia berkata, "Aku ada-
lah... perempuan jelita yang mencintai dan dicin-
tai Purwa. Sungguh menyedihkan memang, bila
kita mencintai orang lain tetapi tak mendapatkan
balasan darinya...!"
"Tutup mulutmu!!"
Wuuuduuttt!!
Gelombang angin menggebrak ke arah pe-
rempuan berpakaian kuning itu yang masih ter-
tawa hanya mengibaskan tangan kanannya di
atas.
Blaaarrr!!
Serangan itu putus di tengah jalan. Siba-
rani memicingkan matanya.
"Ah, mengapa aku jadi tak bisa menahan
diri? Tidak, tidak! Aku akan makin bikin kesala-
han bila kuserang dia! Yang dikatakannya itu
memang benar! Kalau Kang Purwa mencintainya,
aku memang tak bisa..."
"Mengapa kau hentikan seranganmu, Siba-
rani?" seruan Nimas Herning memutus kata batin
Sibarani. "Ayo, tak usah tanggung-tanggung! Tun-
jukkan kemampuanmu untuk menghadapiku! Ini
sungguh kebetulan! Selagi Purwa tak ada di sini,
kita bisa mengadu kepandaian! Karena, yang
pandailah yang akan dipilih oleh Purwa!!"
Sibarani yang sudah memutuskan untuk
menahan sabar hanya menggeram.
"Tak perlu diperpanjang urusan!"
"Mendadak saja kau jadi penakut, hah?!"
ejek si Bayangan Kuning sambil tertawa keras.
Dia sengaja memancing amarah Sibarani "Atau
kau kini mulai sadar kalau Purwa memang men-
cintaiku? Di samping itu juga, kau merasa tak
akan mampu menghadapiku?"
"Keparat! Akan kuberi pelajaran perem-
puan keparat ini!!" geram Sibarani dalam hati.
Karena kemarahan yang membara di da-
danya, Sibarani tak mau bertindak tanggung. Ti-
ba-tiba saja dia melompat dari batu besar yang
didudukinya. Begitu hinggap di tanah, dia lang-
sung duduk berlutut.
Sambil menatap tajam pada perempuan
berpakaian kuning keemasan yang sedang me-
nyeringai di hadapannya, pelan-pelan Sibarani
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Ke-
palanya sedikit diangkat. Sepasang matanya ber-
kilat-kilat penuh kebencian.
Di seberang, perempuan bermaksud busuk
itu membatin, "Nampaknya Sibarani tak mampu
lagi menahan kemarahannya. Bagus! Akan kuha-
bisi dia, dan kucabut Bunga Matahari Jingga lalu
meninggalkan tempat ini. Tapi...," perempuan ini
memutus kata batinnya. "Mengapa aku begitu
bodoh? Akan kubuat satu permainan yang mena-
rik! Dan satu-satunya cara, adalah membuat Si-
barani tak bisa lagi bersuara!"
Pelan-pelan perempuan berambut digelung
ke atas ini melihat tubuh Sibarani bergetar. Ke-
ningnya berkerut tatkala melihat dari kepala Si-
barani keluar asap putih yang sangat pekat.
Di saat lain, sambil merapatkan mulutnya,
perempuan berpakaian kuning keemasan ini
menggeser kaki kanannya ke belakang.
"Aku belum tahu seberapa dahsyat seran-
gan yang akan dilakukan Sibarani, Tetapi jelas-
jelas dia ingin mencelakakanku...."
Sibarani yang tak mampu lagi menahan
ejekan-ejekan Nimas Herning menggeram dingin.
Di dasar hatinya, dia merasa ada sesuatu yang di-
tutupi perempuan di hadapannya.
Akan diberinya perempuan itu pelajaran
agar bisa menahan mulut! Diiringi teriakan keras,
Sibarani mendorong kedua tangannya tanpa ber-
geser dari tempatnya. Laksana curahan air hujan
yang sangat deras, tiba-tiba saja menggebrak ge-
lombang angin dahsyat!
Perempuan berpakaian keemasan itu men-
dengus sebelum mendorong kedua tangannya pu-
la.
WrrrrrH
Gelombang angin disemburati asap kuning
menggebubu melesat dari dorongan kedua tan-
gannya.
Jlegaaarrr!!
Bertemunya dua serangan itu membuat
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan
semak di sekitar sana tercabut dan berpentalan.
Beberapa buah tangkai bunga matahari berwarna
jingga beterbangan. Tanah di mana bertemunya
dua serangan itu berhamburan di udara setinggi
satu tombak.
Terlihat bagaimana sosok Nimas Herning
terlempar ke belakang. Masih untung dia dapat
berbalik dan menepakkan tangannya pada batu
besar yang siap menyambut tubuhnya. Di saat
lain, dia melenting ke atas dan hinggap di atas
batu yang tadi didudukinya.
"Sibarani! Kau terlalu menantang!"
Sibarani menyeringai.
"Sekarang sudah terbukti, siapa yang takut
dan siapa yang berani menghadapi maut?!"
"Sombong! Kau akan celaka!!"
Tiba-tiba saja si perempuan mengangkat
kedua tangannya ke udara. Menyusul terlihat ca-
haya berwarna-warni bertebaran di sekitar kedua
tangannya yang terangkat. Di saat lain tebaran
cahaya warna-warni itu menggumpal menjadi sa-
tu dan masuk serta lenyap pada kedua tangan si
perempuan yang kini terlihat seperti mengelua-
rkan cahaya.
Sibarani hanya mendengus.
"Biar dia tahu siapa aku?!"
Saat itu pula dilancarkan serangannya lagi
pada si perempuan, yang mengertakkan rahang
dan menepukkan kedua tangannya. Suara tepu-
kan yang sangat keras itu menggema, menyusul
gelombang angin dahsyat yang diiringi oleh ca-
haya berwarna-warni menggebrak.
Blaaammm!!
Kembali letupan keras itu terdengar. Na-
mun kali ini diiringi teriakan tertahan yang be-
rasal dari mulut Sibarani. Karena serangan yang
dilancarkannya seperti tertelan serangan menge-
rikan dari Nimas Herning. Bahkan serangan itu
terus menggebrak ke arahnya dengan kecepatan
tinggi!
Seketika kepala Sibarani menegak. Dia sa-
dar kalau bahaya mengancamnya. Serentak dia
berguling ke samping kanan.
Blaaammm! Blaaammmm!!!
Tanah di mana dia tadi duduk berlutut,
seketika rengkah terhantam serangan itu. Belum
lagi dapat dikuasai keseimbangannya, tiba-tiba
saja dirasakan lehernya seperti disambar sesuatu.
Seketika dirasakan dingin yang cukup
menggigit, sebelum tubuhnya terbanting di atas
tanah dan bergulingan. Bunga-bunga matahari
berwarna Jingga hancur tertindih gulingan tu-
buhnya.
"Itulah akibatnya bila berani menantang-
ku...," desis si perempuan berpakaian kuning.
"Sekarang saatnya untuk menjalankan rencana
berikut...."
Sementara Sibarani masih bergulingan
sambil memegangi lehernya yang terasa dingin, si
perempuan sudah berlari ke bukit sebelah kanan.
Lalu menghadap ke utara. Ditahan napasnya se-
jenak sebelum melangkah. Pada langkah kedua
puluh tiga, dia berhenti. Di hadapannya terlihat
sebuah bunga matahari berwarna jingga yang tak
jauh berbeda dengan bunga-bunga yang lain.
"Ini hitungan kedua puluh empat, seperti
yang kudengar sebelumnya di kala Sibarani dan
Purwa bercakap-cakap. Berarti, memang bunga
inilah yang kucari. Bagus! Setelah urusan selesai,
tinggal memburu Ratu Tanah Kayangan untuk
kubunuh!!"
Pelan-pelan Nimas Herning yang sesung-
guhnya adalah Ratu, Dinding Kematian, meman-
dangi Bunga Matahari Jingga di hadapannya.
Kemudian ditahan napasnya sejenak. Sepasang
bola matanya tiba-tiba berkilat-kilat dan wajah-
nya dipenuhi dengan cahaya kemerahan.
Lalu terlihat bayangan-bayangan orang
yang bergerak-gerak, disekelilingnya yang kemu-
dian menyatu ke kedua tangannya. Itulah 'Ajian
Selaksa Jiwa' yang dimilikinya, yang mampu
mengalahkan mantra Dewa Segala Dewa.
Gerakan yang dilakukannya kemudian su-
kar diikuti oleh pandangan. Karena secara tiba-
tiba Ratu Dinding Kematian menyambar Bunga
Matahari Jingga
Tap!
Begitu dicabut, dia langsung melompat ke
belakang
Jlegaaaarrrr!!!
Suara ledakan yang sangat dahsyat mem-
bahana di tempat itu. Tanah diiringi asap putih
berhamburan ke udara dibukit-bukit di sekitar
sana bergetar. Bebatuan di bagian timur berham-
buran menimbulkan suara bergemuruh.
Sibarani yang telah mampu mengatasi rasa
nyeri dan hawa dingin pada lehernya segera ber-
diri tegak. Matanya membeliak melihat apa yang
dilakukan Nimas Herning. Lebih terkejut lagi
tatkala melihat Bunga Matahari Jingga berada di
tangan perempuan itu.
Sibarani segera membentak. Namun...
mendadak saja dia mundur beberapa tindak ke
belakang dengan wajah panik.
"Astaga! Suaraku... suaraku...!" serunya
dalam hati. Kepanikan jelas membayangi wajah-
nya. Dia mencoba berteriak lagi. Tetapi suaranya
tetap lenyap. Lenyap sama sekali.
Ratu Dinding Kematian yang kemudian
melihatnya tertawa keras.
"Sibarani... semua rencanaku telah berja-
lan dengan baik. Kini... kau tinggal mengikuti saja
apa yang akan terjadi...."
Lalu... breekkk!!
Dengan sengaja perempuan itu merobek
pakaiannya di bagian dada. Juga merobek sedikit
pakaian bawahnya hingga memperlihatkan paha
yang gempal. Setelah itu dilemparnya Bunga Ma-
tahari Jingga yang lenyap entah ke mana. Hanya
dia yang tahu.
Sementara Sibarani masih berusaha men-
geluarkan suaranya yang tiba-tiba lenyap
* * *
TUJUH
BERSAMAAN ayam jantan berkumandang
di kejauhan, tarikan napas kencang itu terdengar
keras disertai dengusan dan engahan. Menyusul
suara keresek di bali semak terdengar, pertanda
seseorang bergulingan di atas rumput.
Perempuan berusia sekitar tiga puluh ta-
hun yang masih dalam keadaan polos itu meme-
jamkan matanya. Sepasang payudaranya yang
besar bergerak turun naik, sedikit memerah se-
merah wajahnya saat ini. Diresapinya sesaat ke-
nikmatan yang baru saja diraihnya sebelum ter-
buru-buru meraih pakaiannya. Pemuda yang juga
dalam keadaan polos yang tergolek di samping-
nya, melirik.
"Mau ke mana Nyai? Pagi masih buta..."
katanya dengan napas setengah memburu.
Si perempuan tersenyum. Membiarkan
payudaranya yang berputing merah itu di remas-
remas si pemuda.
"Aku harus pulang..."
"Pulang? " si pemuda menyahut segan. Se-
kujur tubuhnya lemas karena baru saja menum-
pahkan kejantanannya. Dibalikkan tubuhnya,
memandang pada si perempuan yang sedang ber-
pakaian. "Mengapa terburu-buru? Tidak ada
orang di sini..."
"Hei, hei! Sebentar lagi tempat ini dilalui
banyak orang," kata si perempuan sambil terse-
nyum.
"Masih lama...," si pemuda merangkulnya.
Walaupun setengah menolak, tetapi si pe-
rempuan bertubuh sintal itu membiarkan saja.
Dia jatuh dalam pelukan si pemuda yang segera
menciuminya sambil tertawa-tawa.
"Sudah, Dat Mala... sudah...."
"Aku masih ingin lagi...."
"Besok kita bisa mengulanginya lagi...," sa-
hut si perempuan berusaha menolak. Tetapi di-
biarkan bibir si pemuda mencari-cari bibirnya.
Dibiarkan pula tangan si pemuda masuk ke balik
pakaiannya.
Pemuda bernama Dat Mala itu sangat tahu,
bagian mana dari tubuh Nyai Ganda Arum yang
mengandung rangsangan tinggi. Sambil menciumi
bibir memerah itu, tangannya terus meremas-
remas payudara sebelah kanan Nyai Ganda Arum.
"Mala, besok kita, Dat ehmmpphmmmphmm...."
"Aku mau sekarang...."
"Sudah, sudah, Dat Mala. Ayo, kita harus
segera pulang. Kalau orang-orang desa melihat ki-
ta berdua di sini, aku bisa kacau...."
Dat Mala kontan menghentikan kegiatan-
nya. Matanya mendelik tanda tak senang men-
dengar ucapan Nyai Ganda Arum. .
"Kau takut pada suamimu?"
"Hei, hei! Mengapa kau jadi tegang begitu?
Bukannya aku takut. Tetapi...."
"Katakan saja kalau kau masih mencin-
tainya!" Dat Mala bangkit, menyambar pakaian-
nya.
Melihat sikap si anak muda bertubuh tegap
itu, membuat Nyai Ganda Arum menjadi tidak
enak. Sesungguhnya memang dia yang mulai le-
bih dulu mendekati Dat Mala. Bermula ketika di-
ketahuinya Dat Mala sering mengintipnya mandi
di sungai. Perasaan marah saat itu menggebah
hatinya. Biar bagaimanapun juga, Nyai Ganda
Arum tak sudi tubuhnya dalam keadaan polos di-
lihat orang lain kecuali suaminya
Tetapi sesampai di rumah, dia justru mem-
bayangkan Dat Mala. Untuk ukuran orang de-
sanya, Dat Mala memiliki paras lumayan dan tu-
buh yang tegap. Nyai Ganda Arum sering melihat
tubuh si pemuda bila sedang membajak sawah
Namun ditekan semua itu mengingat dia
adalah istri dari seseorang. Tetapi ketika dilihat-
nya Dat Mala kembali mengintipnya saat mandi,
perasaan aneh menyelinap di hatinya. Seperti
anak tujuh belasan yang senang tubuhnya dika-
gumi seorang pemuda, Nyai Ganda Arum mem-
biarkan tubuhnya dilahap mata Dat Mala. Bah-
kan sering kali dia sengaja bersabun sambil ber-
diri, hingga sepasang buah dadanya yang besar
dan montok itu mengarah pada Dat Mala
Rupanya membiarkan tubuhnya dilihat
oleh Dat Mala memberikan kesenangan tersendiri
bagi Nyai Ganda Arum. Kini dia tidak hanya
membiarkan bagian atas tubuhnya yang dilihat
oleh Dat Mala. Tetapi seluruh tubuhnya!
Ketika diketahuinya suaminya ada main
dengan janda di desa seberang, Nyai Ganda Arum
menjadi muak. Dia hendak membalas perbuatan
suaminya. Dan pikirannya tiba pada Dat Mala.
Sejuta rencana pun terpasang di benaknya
untuk menjerat anak muda itu. Dengan bermo-
dalkan kecantikan dan kesintalan tubuhnya, Nyai
Ganda Arum dapat menggiring Dat Mala untuk
melakukan apa yang di diinginkannya. Kendati
demikian, dia tak mau perbuatannya diketahui
oleh orang lain, apalagi suaminya.
Nyai Ganda Arum membelai pipi anak mu-
da itu.
"Hei, hei... jangan merajuk seperti itu."
"Kau pernah bilang padaku, kalau kau
mencintaiku, Nyai..."
"Itu betul."
"Tapi nyatanya kau masih mencintai sua-
mimu"
"Habis aku harus berbuat apa lagi? Aku
masih hidup dengan suamiku. Kalau tidak, ba-
gaimana aku dan kedua anakku makan?"
Dat Mala berdiri. Parasnya kaku.
"Kita kembali saja!"
Kali ini Nyai Ganda Arum yang jadi tidak
enak. Biar bagaimanapun juga, Dat Mala memiliki
kelebihan dibandingkan suaminya. Pemuda itu
dapat memuaskannya, bahkan selalu menuruti
bila ini-itu dimintanya.
Buru-buru ditariknya tangan Dat Mala.
"Tidak usah marah seperti itu."
Dat Mala diam. Masih diam juga ketika
Nyai Ganda Arum mencoba membangkitkan gai-
rah anak muda itu. Tetapi tak lama kemudian,
pemuda itu sudah menubruknya. Membukai lagi
I pakaiannya. Nyai Ganda Arum sendiri hanya ter-
kikik. Dibiarkan tangan si pemuda memegang,
meremas dan memilin buah dadanya yang segar
dan cukup besar itu. Dia menggelinjang ketika
Dat Mala menciumi sepasang bukit kembarnya.
Gerakan itu semakin membangkitkan gai-
rah Dat Mala. Anak muda itu terus menyusupkan
ciumannya. Memilin payudara itu sementara tan-
gan kanannya menjelajah bagian bawah tubuh
Nyai Ganda Arum.
Kedua orang yang sedang dipacu birahi itu
sama sekali tidak mengetahui, kalau satu sosok
tubuh telah berada di sana. Dan memandangi ke-
duanya dengan sorot mata bengis.
"Ayo, Sayang... ayo! Cepat! Lebih cepat!!
Jangan lembek kayak suamiku!" suara Nyai Gan-
da Arum meracau. Kehangatan itu telah memba-
kar tubuhnya.
Orang yang telah berada tak jauh dari me-
reka, memperhatikan dengan sorot mata bengis.
Di tangannya terpegang sebuah parang besar.
"Manusia-manusia keparat!!" geramnya
mengguntur.
Laksana disengat kalajengking, kedua
orang itu seketika menoleh. Dat Mala kontan me-
lompat dari tubuh Nyai Ganda Arum. Dengan pa-
nik disambar pakaiannya. Namun....
CrasssH
Parang besar itu telah menyambar pung-
gungnya. Seiring jeritan Nyai Ganda Arum, tubuh
Dat Mala ambruk bersimbah darah.
"Kau..." seru Nyai Ganda Arum tertahan.
Suaminya yang tiba-tiba muncul itu meng-
geram sengit.
"Perempuan terkutuk! Kau tak pantas un-
tuk hidup!!" bentaknya seraya mengayunkan pa-
rang besarnya.
Nyai Ganda Arum memekik setinggi langit.
Hatinya menjerit-jerit, mengapa suaminya harus
muncul? Mengapa?
Dan parang besar itu hanya tinggal bebe-
rapa jengkal saja sebelum tiba-tiba...
Tak!
Sesuatu telah menyambarnya, sesuatu
yang nampak begitu keras. Karena bukan hanya
parang itu yang melenceng dari sasarannya, teta-
pi juga terlepas dari genggaman tangan si lelaki
bertubuh tegap! Dan begitu jatuh terlihatlah ka-
lau sesuatu yang menahan parang Kalamonto
hanyalah sehelai daun!
Seraya menahan tangannya yang seketika
kesemutan, lelaki bernama Kalamonto itu meno-
leh ke samping kanan diiringi bentakannya yang
keras
"Siapa kau yang lancang campuri urusan
rumah tangga orang?!"
***
Seorang lelaki tua bertubuh luar biasa ge-
muknya, telah muncul di sana dengan langkah
yang terasa sangat berat. Lehernya yang seperti
menyatu dengan badannya menggeleng-geleng.
"Huh! Memang keterlaluan kalau melihat
seorang istri berbuat serong seperti itu," katanya
sambil memandang Nyai Ganda Arum yang be-
ringsut dengan wajah sangat pucat. Gairahnya
yang tadi berkobar seketika padam. Yang ada ha-
nyalah ketakutan yang luar biasa.
Kalamonto menggeram sengit.
"Orang tua bertubuh tambun! Jangan suka
ikut campur urusan orang! Aku berhak melaku-
kan apa saja pada perempuan jahanam ini!"
Kakek berpakaian hitam yang tak mampu
menutupi besar tubuhnya mendengus.
"Aku tak suka mencampuri urusan orang!
Tapi lebih baik berdamai! Ingat, kau telah menca-
but satu nyawa!"
"Pemuda seperti itu lebih baik mampus,
karena hidup hanya untuk mengganggu rumah
tangga orang!"
"Aku tak mau mengganggu urusan orang!
Ayo, pergi, pergi dari sini!!"
Diusir seperti itu amarah Kalamonto yang
sudah sampai ke ubun-ubun segera membludak
keluar. Tiba-tiba saja dia menerjang dengan teria-
kan keras. Kalamonto memang tak memiliki ilmu
apa-apa kecuali keberanian. Tetapi jotosan tan-
gannya mampu merobohkan sebatang pohon pi-
sang.
Si kakek gemuk cuma mendengus. Mem-
biarkan Kalamonto memukuli tubuhnya.
"Lumayan kau menggaruki tubuhku...."
Semakin berang Kalamonto mendengar ka-
ta-kata itu. Dikerahkan seluruh tenaganya, diper-
cepat jotosan demi jotosannya. Tetapi sampai dia
lelah, si kakek gemuk tetap berdiri di tempatnya.
"Sudah, sana pergi!" usir si kakek ketika
Kalamonto ambruk dengan napas terengah-
engah. Lalu dipalingkan kepalanya pada Nyai
Ganda Arum. "Kau telah melakukan satu kesala-
han yang membuat harga diri seorang laki-laki
menjadi runtuh! Ingat, bila kau melakukannya la-
gi, kubiarkan suamimu berbuat apa saja pada-
mu...."
"Aku ingin membunuhnya sekarang!" seru
Kalamonto keras.
"Membunuhnya bukan urusanku? Tetapi
membunuhnya di depanku adalah urusanku...."
Kalamonto tak berani membantah begitu
melihat mata si kakek yang tiba-tiba seperti men-
jadi sangat banyak. Ketakutan mulai merambati
hatinya. Tiba-tiba dia beringsut dan berlari pon-
tang-panting.
"Pakai lagi pakaianmu!" dengus si kakek
gemuk pada Nyai Ganda Arum.
Terburu-buru penuh gemetar Nyai Ganda
Arum mengenakan pakaiannya kembali.
"Terima kasih... terima kasih atas pertolon-
ganmu, Orang tua...."
Si kakek gemuk cuma mendengus. Tak
menatap pada Nyai Ganda Arum yang menatap-
nya dengan takut-takut.
"Huh! Perempuan sepertimu memang tak
perlu dikasihani, tak perlu diampuni! Kau tak
pernah menghargai perhatian seseorang yang se-
benarnya kau kasihi dan mengasihimu!"
Nyai Ganda Arum ingin meneriakkan sesu-
atu yang dilakukan suaminya. Tetapi suara keras
penuh tekanan itu tak berani membuatnya mela-
kukan demikian.
"Perempuan! Kau tahu bukan, kalau kau
tak mungkin kembali kepada suamimu lagi! Bila
kau masih mengharapkan belas kasihan suami-
mu, itu adalah sebuah kebodohan! Suamimu te-
lah mempergoki perbuatan busuk yang kau laku-
kan! Sekarang pergi jauh-jauh dari hadapanku!"
Kepanikan kini menghiasi wajah Nyai Gan-
da Arum. Apa yang dikatakan kakek gemuk itu
memang benar. Tak mungkin dia kembali pada
suaminya yang sudah tentu akan membunuhnya.
Tetapi untuk pergi dari sana, dia tidak tahu harus
ke mana. Dat Mala sudah menjadi may at. Kini
dia seorang diri.
Sesungguhnya tempat dia bergantung
hanya pada suaminya saja. Tak tahu harus ber-
buat apa, Nyai Ganda Arum menangis.
Kakek gemuk itu justru menjadi geram.
"Jangan suka mempergunakan senjatamu
untuk membuat orang merasa mengasihimu! Ka-
rena tak pantas orang seperti kau yang melaku-
kannya! Sana pergi, kau juga membuatku muak!"
Bentakan itu menghentikan tangis Nyai
Ganda Arum. Walaupun sorot matanya mengata-
kan dia telah memutuskan untuk pergi sejauh-
jauhnya, tetapi di hatinya timbul kebencian pada
siapa pun juga. Terutama pada laki-laki.
Tanpa berkata apa-apa, perempuan bertu-
buh sintal itu segera meninggalkan tempat itu
dengan langkah tersaruk-saruk. Keletihannya
akibat bercinta dengan Dat Mala, semakin ditam-
bah lagi dengan keletihan yang timbul akibat ke-
takutan.
Nyai Ganda Arum terus berlari dengan ke-
bencian yang semakin menjadi-jadi. Saat berlari,
dia bersumpah, bersumpah untuk membunuh se-
tiap laki-laki!
Sepeninggal Nyai Ganda Arum, kakek ge-
muk itu mendengus. Tanpa berkata apa-apa, diin-
jaknya tanah di hadapannya.
BrroollH
Berjarak satu tombak dari tempatnya ber-
diri, tanah ambrol dan membentuk sebuah lu-
bang. Sekali lagi dijejakkan kaki kanannya. Mayat
Dat Mala tiba-tiba terangkat naik dan terlempar
ke dalam lubang itu. Anehnya, tanah-tanah di se-
kitar sana bergerak untuk menutupi lubang itu.
"Keterlaluan! Amat keterlaluan!" maki si
kakek kelebihan lemak ini. "Belum juga dapat
kupikirkan ke mana perginya Ratu Dinding Kema-
tian... sudah ada persoalan keparat seperti itu!
Memalukan! Apakah tak ada kerjaan lain selain
berzina dan berzina?!"
Sambil menggerutu, si kakek gemuk meng-
gerakkan lehernya, memandang ke sekitarnya.
"Huh! Aku benar-benar tak habis mengerti,
apa maunya Dewa Segala Dewa menyuruhku ke
Dinding Kematian! Untuk apa dia menyuruhku
menjumpai Ratu Dinding Kematian yang ternyata
tak ada di tempat!" makinya lagi dengan napas se-
tengah memburu.
Kakek yang ternyata Dewa Seribu Mata ini
menggeram panjang pendek. Wajahnya menun-
jukkan betapa dia sedang memikirkan sesuatu
yang benar-benar membuatnya heran.
"Kenyataan sudah di depan mata, kalau
Raja Naga yang telah mencuri bunga-bunga ke-
ramat! Purwa dan Sibarani telah memergokinya!
Apa yang menyebabkan Dewa Segala Dewa me-
nyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian?
Apakah dia mencurigai perempuan aneh itu?"
Udara dingin terus berhembus. Kendati
pakaian yang dikenakannya tak mampu menutu-
pi tubuhnya, si kakek gemuk sama sekali tak me-
rasakan hawa dingin itu.
"Ketimbang bikin pusing kepala, sebaiknya
aku menuju ke tempat Bunga Matahari Jingga
berada...."
Memutuskan demikian, si kakek gemuk ini
mulai melangkah. Anehnya, sambil melangkah
dia berkata seolah pada dirinya sendiri, "Sejak ta-
di aku tahu kau berada di sini, Perempuan! Men-
gapa kau tidak juga mau muncul? Atau ingin ku-
tampar dulu pantatmu baru muncul?!"
* * *
DELAPAN
PEREMPUAN yang berada di balik semak
melengak mendengar kata-kata si kakek gemuk.
Sejak tadi dia memang berada di sana, tepat keti-
ka Kalamonto mengayunkan parangnya pada Dat
Mala. Sebenarnya perempuan ini tadi hendak
menghalangi sabetan parang Kalamonto pada
Nyai Ganda Arum. Tetapi sesuatu telah mengha-
dang parang itu.
Diperhatikannya siapa orang yang baru
muncul, yang menghalangi parang besar itu den-
gan lemparan sehelai daun. Diingat-ingatnya sia-
pa kakek gemuk itu. Walaupun sudah diingatnya,
tetapi perempuan ini memutuskan untuk tidak
keluar. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar
kehadirannya di sana tidak diketahui si kakek
gembrot. Dan yang mengejutkannya, si kakek
gemuk itu mengetahui keberadaannya di sana!
Mau tak mau akhirnya perempuan ini ke-
luar bertepatan dengan Dewa Seribu Mata meng-
hentikan langkahnya.
Dewa Seribu Mata memicingkan matanya
melihat pada perempuan berpakaian biru keema-
san dengan perhiasan pada kedua lengan dan
pergelangan tangannya. Wajah perempuan ini
terhalang oleh cadar terbuat dari sutera berwarna
keemasan.
"Hemm... rasa-rasanya, aku pernah men-
dengar seorang perempuan bercadar sutera seper-
ti ini," kata Dewa Seribu Mata. Sepasang matanya
tiba-tiba bergerak-gerak di atas dan bawah wa-
jahnya, laksana beberapa buah bayangan. Di lain
saat dia mendengus, "Sungguh kebetulan! Ratu
Tanah Kayangan, di mana saudara seperguruan-
mu yang berjuluk Ratu Dinding Kematian itu be-
rada?!"
Dibentak seperti itu, perempuan berambut
indah dengan anting-anting menghiasi kedua te-
linganya ini mengerutkan kening. Matanya tak
berkedip pada kakek
"Astaga! Apa-apaan ini? Mengapa tahu-
tahu dia menyerocos tentang Ratu Dinding Kema-
tian?" tanyanya dalam hati tanpa mengalihkan
sedikit pun pandangannya dari wajah kelebihan
lemak di hadapannya.
Setelah beberapa saat barulah dia angkat
bicara, "Kalau tak salah ingat, tentunya engkau-
lah tokoh yang berjuluk Dewa Seribu Mata...."
Bukannya sahuti kata-kata si perempuan
baik-baik, kakek gembrot itu malah membentak,
"Jawab pertanyaanku tadi, jangan bikin kesaba-
ranku habis!"
Rata Tanah Kayangan segera tersenyum.
"Kau salah menduga kalau menganggap
aku tahu di mana Ratu Dinding Kematian. Karena
saat ini, aku juga sedang mencarinya," sahutnya.
"Sedang mencarinya atau tidak, tentunya
kau tahu apa yang dilakukannya akhir-akhir ini?!
Jelaskan padaku!"
Ratu Tanah Kayangan tak buka mulut. Bi-
ar bagaimanapun juga, dia tak suka dibentak-
bentak seperti itu. Tetapi karena nampaknya ka-
kek gemuk ini memang punya urusan penting
dengan Ratu Dinding Kematian dia segera berka-
ta,
"Aku sama sekali tak mengetahui apa yang
dilakukannya akhir-akhir ini. Yang pasti, aku se-
dang mencarinya."
"Astaga! Sejak tadi kau berkata sedang
mencarinya! Aku tak peduli! Kau tak bisa menun-
jukkan di mana Ratu Dinding Kematian, mengapa
kau tetap berada di sini?"
Perempuan yang rambutnya disanggul ke
atas dengan diberi sebuah jepitan terbuat dari
emas membatin seraya pandangi si kakek gemuk,
"Dari suaranya dia begitu tak sabaran sekali. Aku
memang pernah mendengar kabar, kalau kakek
gemuk ini memiliki sifat tak sabaran. Kalaupun
dia menanyakan Ratu Dinding Kematian, nam-
paknya dia baru saja dari Dinding Kematian dan
tak menjumpai perempuan itu di sana. Ah, sudah
jelas dia tak menjumpainya...."
"Kau belum juga jawab pertanyaanku!"
Ratu Tanah Kayangan tetap tak buka mu-
lut. Dia teringat akan sesuatu.
"Jangan-jangan... dia mencari Ratu Dind-
ing Kematian sehubungan dengan bunga-bunga
keramat? Dewa Seribu Mata adalah salah seorang
dari Tiga Penguasa Bumi yang memiliki bunga-
bunga keramat. Kalau memang demikian adanya,
berarti Ratu Dinding Kematian telah menjalankan
rencananya untuk mendapatkan bunga-bunga
keramat yang kelak akan dipergunakan untuk
membunuhku."
Belum habis Ratu Tanah Kayangan mem-
batin, tiba-tiba saja dirasakan tanah yang dipi-
jaknya bergerak. Menyusul satu sentakan kuat
menerobos dari bawah.
Walaupun terkejut dengan kejadian yang
mendadak itu, tetapi perempuan bercadar ini te-
tap tenang. Bahkan tubuhnya tetap terangkat
naik tanpa kurang suatu apa tatkala tanah yang
I mencelat ke atas itu menggebrak. Bersamaan
dengan tanah yang sirap kembali ke bumi, pe-
rempuan itu telah berdiri lagi, bergeser dua tin-
dak dari tempat semula.
Melihat hal itu Dewa Seribu Mata mendengus.
"Mau pamer ilmu di hadapanku rupanya?"
"Tunggu!" seru Ratu Tanah Kayangan. Biar
bagaimana pun juga, dia tak ingin memancing
kemarahan kakek gemuk ini. Disadarinya pula
kalau dia tak akan bisa menang menghadapi De-
wa Seribu Mata. Berarti, dia harus berusaha jan-
gan sampai Dewa Seribu Mata menjadi gusar. Be-
gitu melihat si kakek gemuk mendengus, buru-
buru dia berkata,
"Apakah tidak sebaiknya kau menjelaskan
dulu sebab-sebab kau mencari Ratu Dinding Ke-
matian?"
"Kau adalah saudara seperguruannya, sa-
ma-sama murid Dewa Pengasih! Dan tentunya ka-
lian terus berhubungan! Jadi tak ada gunanya
kau bertanya kecuali menjelaskan apa yang dila-
kukan Ratu Dinding Kematian akhir-akhir ini!"
kata Dewa Seribu Mata. Sesungguhnya dia me-
mang masih tidak tahu mengapa Dewa Segala
Dewa menyuruhnya menjumpai Ratu Dinding
Kematian. Kendati demikian, Dewa Seribu Mata
mulai menangkap satu isyarat mengapa Dewa Se-
gala Dewa menyuruhnya seperti itu.
"Kau salah besar, Orang tua gemuk! Sela-
ma ini orang memang memandang aku dan Ratu
Dinding Kematian adalah dua orang murid Dewa
Pengasih yang berdamai. Padahal tidak sama se-
kali."
"Jangan dusta!"
"Kami selalu menjunjung tinggi kejujuran
dan selalu menghormati nama besar Dewa Penga-
sih! Bila pertikaian yang belum lama ini terjadi di
antara kami sampai terdengar dunia luar, secara
tidak langsung kami telah mencoreng arang di
wajah Dewa Pengasih!"
"Kau pandai bicara rupanya!"
"Kenyataan seperti ini memang tak ada
yang mengetahui kecuali aku dan Ratu Dinding
Kematian! Hingga bila kau menanyakan apa yang
dilakukan olehnya akhir-akhir aku jelas tidak ta-
hu kecuali dia hendak membunuhku!"
Memicing mata orang tua gemuk itu. Le-
hernya yang menyatu dengan badannya bergerak-
gerak sejenak.
"Mengapa dia hendak membunuhmu?" Ra-
tu Tanah Kayangan tersenyum. Seraya merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada dia men-
jawab, "Biarpun kau hendak membunuhku saat
ini juga, aku tak bisa mengatakannya padamu.
Karena kau tentunya tahu Orang tua, kalau seo-
rang anak manusia berhak untuk menyimpan se-
gala rahasia yang menurutnya patut disimpan...."
Dewa Seribu Mata mendengus jengkel.
"Kau pandai bicara! Apakah tindakan yang
kau lakukan itu semata untuk menutupi keadaan
yang sebenarnya?"
"Apa maksudmu untuk menutupi keadaan
yang sebenarnya, Orang tua?"
"Kau mencoba mengalihkan perhatianku
dari Ratu Dinding Kematian...."
Kendati hatinya mulai geram, perempuan
berpakaian biru keemasan ini hanya tersenyum.
"Sebelum melihat kenyataan yang ada, je-
las kau tak akan bisa menerima setiap jawaban-
ku...."
Dewa Seribu Mata mendengus. "Aku juga
tidak tahu mengapa aku jadi memaksa seperti ini.
Jelas-jelas Ratu Dinding Kematian tak ada hu-
bungannya dengan pencurian bunga-bunga ke-
ramat. Dewa Segala Dewa nampaknya mencurigai
keterlibatan Ratu Dinding Kematian. Aha! Aku
tahu! Dewa Pengasih satu-satunya orang yang di-
ketahui yang dapat mematahkan mantra Dewa
Segala Dewa. Tak mustahil memang bila Ratu
Dinding Kematian memiliki ilmu itu sehingga De-
wa Segala Dewa mencurigainya? Tetapi... Dewa
Pengasih memiliki dua orang murid. Mengapa
Dewa Segala Dewa tidak menyuruhku untuk
menjumpai perempuan di hadapanku ini?"
Suasana hening. Beberapa helai daun ber-
guguran, sebagian melayang dihembus angin pagi
dan jatuh entah ke mana. Pagi sudah merambat
pelan. Bias-bias sang fajar kini telah berubah
menjadi cahaya yang nanti akan datang segumpal
sinar terang menjadi penerang persada.
Tiba-tiba Ratu Tanah Kayangan berkata,
"Orang tua gemuk, bila kau tetap membungkam
mengapa kau mencari Ratu Dinding Kematian,
sebaiknya kita berpisah di sini! Tanpa menguran-
gi rasa hormatku padamu, aku suka berjumpa
denganmu, tetapi urusan yang ada di depanku
harus segera kuselesaikan!"
Dewa Seribu Mata hanya mendengus. Ratu
Tanah Kayangan menganggap dengusan itu seba-
gai satu tanda. Setelah menganggukkan kepa-
lanya sekali, perempuan jelita ini sudah berlari ke
arah timur. Hatinya dipenuhi tanya yang tak ber-
kesudahan. Juga dipenuhi kegelisahan ketika
menyadari kalau Ratu Dinding Kematian telah
menguasai bunga-bunga keramat. Hanya itulah
satu-satunya jawaban yang bisa dipergunakan
sebagai pegangan atas sikap Dewa Seribu Mata.
Dewa Seribu Mata sendiri tetap terdiam di
tempatnya. Sesaat terlihat matanya seperti mem-
bayang di bagian atas dan bawah wajahnya.
"Semuanya bikin otakku pusing! Pusing!
Padahal jelas-jelas Raja Naga yang bikin semua
urusan yang berantakan seperti ini! Huh! Seperti
niatku semula, sebaiknya aku pergi untuk meli-
hat Purwa dan Sibarani yang menjaga Bunga Ma-
tahari Jingga. Karena bunga itulah satu-satunya
yang belum didapatkan oleh Raja Naga!"
Setelah mendengus berulang-ulang, kakek
gembrot ini melangkah. Langkahnya terlihat san-
gat berat, tapi dua kejapan mata berikutnya, so-
soknya telah lenyap dari pandangan.
* * *
SEMBILAN
PADA saat yang bersamaan, Raja Naga
bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon.
Hampir dua penanakan nasi dia memutuskan un-
tuk beristirahat. Sisa daging panggang dan bekas
kayu-kayu bakar masih nampak. Aroma sisa dag-
ing panggang itu masih menguar, sedikit menerpa
hidungnya.
Anak muda bersisik coklat ini memandangi
sekelilingnya. Perasaannya kian tak menentu.
Keinginan yang ada di hatinya adalah menun-
taskan persoalan yang teramat mengganggunya.
Raja Naga masih beranggapan, kalau Puspa Dewi-
lah yang melakukan semua ini.
"Aku bertambah yakin, kalau akan sema-
kin banyak orang-orang seperti Dewi Lembah Air
Mata yang memburuku. Kemungkinan besar
Purwa dan Sibarani telah mengatakannya pada
semua orang. Ah, bunga-bunga keramat. Aku
sendiri tidak tahu apa yang di maksudkan dengan
bunga-bunga keramat."
Raja Naga melangkah. Di hadapannya ada
sebuah pohon manggis hutan yang sedang ber-
buah lebat. Diambilnya sebatang kerikil yang se-
gera dilemparnya ke atas.
Tas!
Serenceng manggis hutan meluncur ketika
tangkainya patah terhantam kerikil itu. Cekatan
sekali Raja Naga menyambarnya. Sambil menik-
mati manggis hutan itu, dia kembali memikirkan
kejadian yang dialaminya.
"Kalau kuputuskan untuk mencari Puspa
Dewi nampaknya juga tidak membawa keberun-
tungan. Mencari Purwa dan Sibarani untuk men-
jelaskan duduk masalah yang sebenarnya, bu-
kanlah sebuah tindakan yang bijak. Namaku su-
dah coreng moreng di benak mereka, termasuk
orang-orang yang tentunya berhubungan erat
dengan bunga-bunga keramat. Berarti...."
Sambil mengupas lagi sebuah manggis hu-
tan dan menikmati rasanya yang sedikit asam,
Raja Naga meneruskan ucapannya, "Ya... berarti
satu-satunya cara yang tepat, adalah mendatangi
Bunga Matahari Jingga. Mungkin aku bisa me-
nunggu kedatangan si pencuri yang sebenarnya
dan menangkap basah tindakannya. Cuma kesu-
litannya, aku tidak tahu di mana Bunga Matahari
Jingga itu berada..."
Lima buah manggis hutan telah masuk ke
perutnya. Sebagian sisanya diletakkan di tempat
yang langsung terlihat.
"Mudah-mudahan ada yang lewat dan me-
makannya hingga buah-buahan ini tidak sia-sia."
Kembali diperhatikan sekelilingnya yang
sepi. Angin yang berhembus cukup mendirire-
mangkan bulu roma, karena suaranya laksana
bisikan setan. Beberapa helai daun jatuh. Sejak
tadi burung-burung ramai beterbangan. Cahaya
matahari telah menerobos sela-sela dedaunan.
"Puspa Dewi! Aku harus bulatkan tekad
untuk mencarinya!!"
Segera anak muda berompi ungu ini berlari
untuk keluar dari hutan itu. Perasaannya benar-
benar tidak tenang. Hatinya juga geram. Karena
orang lain yang berbuat, dia yang harus memikul
beban tanggung jawab.
Tepat matahari sepenggalah, pemuda dari
Lembah Naga ini menghentikan langkahnya di ja-
lan setapak, tak jauh dari hutan yang baru dilin-
tasinya. Saat itu pula pendengarannya yang tajam
mendengar suara orang berteriak-teriak keras,
penuh amarah.
Segera Raja Naga berkelebat untuk mencari
sumber keributan itu. Setelah ditemukannya, di-
lihatnya Puspa Dewi sedang menghindari serga-
pan-sergapan ganas dua lelaki berkepala gundul.
Kedua lawannya itu berusia sekitar empat puluh
tahun. Mengenakan jubah berwarna jingga laksa-
na seorang pendeta. Di leher mereka melingkar
butiran tasbih yang cukup besar. Yang sebelah
kanan menyerang Puspa Dewi dengan tangan ko-
song, sementara yang sebelah kiri menyergap
dengan tongkat yang bagian ujungnya bundar
Raja Naga sendiri hanya memperhatikan
saja dari balik pohon. Dia senang kalau akhirnya
dapat menemukan Puspa Dewi lagi. Tetapi yang
membuatnya heran, mengapa kedua lelaki seperti
pendeta itu nampak berusaha untuk membunuh
Puspa Dewi yang menghindar dan melawan den-
gan mempergunakan pedangnya.
Dan anak muda berompi ungu itu tersen-
tak tatkala melihat pakaian bagian belakang yang
dikenakan Puspa Dewi. Pakaian itu telah robek
hingga memperlihatkan kulit punggungnya yang
mulus!
"Apa yang sebenarnya terjadi?" desisnya te-
tap berada di balik pohon itu. "Sebaiknya kubiar-
kan saja dulu...."
Pertarungan sengit itu terus berlangsung
alot. Dua lelaki berkepala plontos terus mendesak
Puspa Dewi yang memainkan pedangnya dengan
kelincahan luar biasa. Sesekali gadis jelita itu
membuat gebrakan yang mengejutkan. Tetapi di
lain saat dia mundur dengan tubuh tergontai-
gontai. Rambut indahnya yang dikuncir ekor ku-
da dan diberi pita berwarna kuning, melompat-
lompat seiring wajahnya yang mendadak pucat.
Raja Naga yang melihat akan hal itu ter-
sentak.
"Astaga! Ada yang tidak beres pada Puspa
Dewi! Dari gerakan yang diperlihatkan, seharus-
nya dia sudah dapat mengalahkan kedua pendeta
itu! Tetapi, nampaknya dia mengalami gangguan
pernapasan hingga kesulitan untuk mengatur na-
pas guna keluarkan tenaga dalam. Tapi... biar
kuperhatikan sekali lagi...."
Letupan demi letupan yang terdengar se-
makin ramai. Ranggasan semak yang terpapas ra-
ta, tanah yang berhamburan ke udara, pepoho-
nan yang tumbang dan teriakan-teriakan keras,
mengudara. Membuat tempat itu bertambah po-
rak poranda.
Di tempatnya Raja Naga mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Darah yang keluar dari bibir Puspa Dewi
memang menunjukkan kalau dia mengalami
gangguan pernapasan. Tenaga dalamnya jadi ter-
tahan dan itu menyebabkan pendarahan di da-
lam. Gadis itu tak boleh terluka, aku masih harus
mengorek keterangan tentang bunga-bunga ke-
ramat...."
Di seberang, lelaki gundul bersenjata tong-
kat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan kanan
kirinya erat menggenggam tongkatnya yang siap
mengetok pecah kepala Puspa Dewi. Di pihak
lain, temannya meluruk laksana banteng ketaton
mengamuk dengan kepala plontos yang siap
menghajar perut Puspa Dewi!
Puspa Dewi sendiri nampak kepayahan.
Napasnya terasa sangat sesak. Dia hanya mem-
buang tubuh ke samping kanan. Dua letupan ke-
ras terdengar. Namun pada serangan berikutnya,
gadis manis bertahi lalat pada pelipis sebelah ki-
rinya memekik tertahan. Pedang berhulu kepala
elangnya terlepas ketika tersambar tongkat si
pendeta gundul.
Sementara lawannya yang seorang lagi, me-
luruk kembali dengan kepala siap menghantam
perutnya!
Tiba-tiba saja terdengar suara orang men-
deham keras, disusul dengan menggebraknya ge-
lombang angin deras yang disemburati asap me-
reka!
Tongkat si pendeta gundul yang siap
menghancurkan kepala Puspa Dewi tiba-tiba saja
tertahan satu tenaga yang tak nampak. Bersa-
maan orang itu tersentak ke belakang, lelaki yang
satunya lagi merandek gusar seraya buang tubuh
ke samping kanan tatkala merasakan adanya de-
ru gelombang angin deras ke arahnya.
Blaaammmm!!
Gelombang angin itu menghantam sebuah
pohon yang seketika bergetar dan menggugurkan
dedaunannya. Dua kejapan mata berikut, pohon
itu tumbang perdengarkan suara bergemuruh.
Tiga pasang mata segera mengarahkan
pandangan ke depan. Puspa Dewi yang lebih dulu
berseru, "Boma Paksi"
Boma Paksi tersenyum dan berkata, "Me-
nyingkir...."
Dua lelaki berkepala plontos itu sudah ten-
tu gusar bukan main. Mereka segera berdiri tegak
dengan mata membelalak lebar. Sorot kebencian
nampak jelas di mata masing-masing orang.
"Pemuda berompi ungu! Bila kau ingin
mampus, kau dapat tunggu giliran!!" bentak yang
memegang tongkat. Wajahnya menekuk. Saat itu-
lah terlihat codetan pada keningnya.
Raja Naga tak menjawab. Bibirnya merapat
dingin. Sorot matanya yang angker menghujam
masing-masing orang.
"Aku tak pernah suka memperpanjang
urusan! Gadis itu adalah sahabatku dan aku ber-
hak untuk membantunya! Kuminta dengan san-
gat pada kalian, agar segera tinggalkan tempat
ini!"
"Terkutuk! Anak kemarin sore berani ber-
tingkah di hadapan Setan Gundul Hutan Laran-
gan!!"
Raja Naga tersenyum.
"Setan Gundul? Astaga! Mengapa begun-
dal-begundal busuk macam kalian memakai baju
pendeta?"
"Bunuh kedua manusia celaka itu, Boma!!"
seru Puspa Dewi sambil mengatur napasnya. Ke-
dua tangannya bergetar saat dirangkapkan di de-
pan dada. "Terkutuk!" makinya dalam hati. "Un-
tung aku masih bisa mengendalikan uap busuk
ini. Kalau tidak...."
Si gadis tak lagi meneruskan kata batin-
nya. Dia segera bersemadi memulihkan keadaan-
nya.
Di pihak lain, lelaki gundul bersenjata
tongkat yang bernama Cokro Kliwing sudah me-
nerjang dengan ayunan tongkatnya berujung bu-
lat.
WuuutttH
Desiran angin keras menggebrak. Raja Na-
ga cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil
merunduk. Di lain saat dia harus mundur karena
lelaki bernama Jodro Kliwing pun sudah melan-
carkan jotosan.
"Hebat! Keduanya sama sekali tak menga-
lami surut tenaga! Sementara Puspa Dewi sudah
begitu kelelahan! Tapi itu jelas karena Puspa Dewi
kesulitan bernapas. Dan aku tak yakin kalau ga-
dis itu mempunyai penyakit kesulitan bernapas.
Berarti... kedua orang ini yang telah meracuninya.
Meracuninya? Astaga! Kepalaku jadi pusing...."
Dua serangan ganas itu dibalas oleh Raja
Naga dengan dehemannya yang mengandung te-
naga dalam tinggi, juga tangkisan tangan kanan
kirinya yang sebatas siku dipenuhi sisik berwarna
coklat. Tangan yang dipenuhi sisik-sisik coklat itu
memiliki kekuatan tiada tara.
Jodro Kliwing memekik kaget ketika tan-
gannya membentur tangan Raja Naga. Seketika
dia mundur dengan tangan kanan kiri yang mem-
biru. Melihat hal itu, Cokro Kliwing menjadi gu-
sar. Tetapi dia tak mampu meneruskan seran-
gannya ketika tanah tiba-tiba berderak dan berge-
lombang ke arahnya begitu Raja Naga men-
jejakkan kaki kanannya di atas tanah!
Menyusul suara menggetarkan jantung itu
terdengar keras, "Kalian sebaiknya menyingkir
dari sini sebelum menyesal!"
Baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing
sama-sama mengangkat kepala, memandang ke
depan. Saat itu pula jantung mereka laksana di-
remas-remas tangan kasar.
"Gila! Tatapannya itu... Jodro kau melihat-
nya?!"
"Ya! Kita bertemu dengan manusia iblis!"
sahut Jodro Kliwing yang tangannya masih mem-
biru. "Cokro! Untuk saat ini biar kita mengalah,
juga gagal untuk menikmati tubuh gadis yang
ternyata berisi itu! Kita menyingkir untuk kelak
muncul kembali!!"
Lelaki gundul dengan codet pada kening-
nya itu mengangguk-angguk kendati dia tidak
puas dengan yang dikatakan Jodro Kliwing. Mas-
ing-masing orang tak ada yang buka suara saat
berlalu, tetapi sorot mata mereka yang mengan-
dung kebencian mengisyaratkan kalau kelak me-
reka akan muncul kembali
Sepeninggal kedua lelaki berkepala plontos
itu, Raja Naga menghampiri Puspa Dewi yang se-
dang bersemadi. Diperhatikannya raut wajah ma-
nis di hadapannya itu. Sejenak hati Raja Naga
meragu. Apakah memang gadis manis ini yang
melakukan serangkaian pencurian terhadap bun-
ga-bunga keramat.
Ditindih pertanyaannya itu. Dia harus
mengorek keterangan yang jelas. Juga akan dita-
nyakannya mengapa dia bisa bertarung dengan
Setan Gundul Hutan Larangan.
Setelah beberapa saat menunggu, Raja Na-
ga melihat Puspa Dewi menghentikan semadinya.
Napasnya mulai teratur dan wajahnya kembali
dihiasi kesegaran dan rona merah.
Raja Naga menyapa, "Apa kabarmu, Puspa
Dewi?"
Tiba-tiba saja sepasang mata gadis bertahi
lalat di pelipis sebelah kiri itu membuka lebar.
Mulutnya merapat dingin. Pelan-pelan kilatan
berbahaya jelas di matanya. Kedua tangannya
mengepal kuat
Raja Naga melengak kaget, karena tahu-
tahu gadis itu sudah menyerangnya!
SELESAI
Ikuti kelanjutan serial ini :
RATU DINDING KEMATIAN
Emoticon