SATU
UNDANGAN itu diterima oleh Boma Paksi dari
seorang lelaki yang menunggang kuda hitam gagah.
Dan sebelum pemuda berompi ungu itu menanyakan
lebih lanjut, si penunggang kuda yang nampak terbu-
ru-buru sudah memacu kudanya, yang sebelumnya
mengatakan undangan itu akan dilaksanakan tepat
pada purnama bulan ini. Tinggal si pemuda yang me-
mandang kepergian si penunggang kuda yang kemu-
dian lenyap di tikungan Jalan. Masih meninggalkan de-
bu yang mengepul akibat derap langkah kaki-kaki ku-
Perlahan-lahan ditatapnya undangan, yang tertu-
lis di atas sebuah kain warna putih. Dibukanya gulun-
gan kain putih itu. Lalu dibacanya apa yang tertulis di
sana.
PERGURUAN LABA-LABA PERARAKAN MENG-
ADAKAN PENOBATAN PANGKU JALADARA UNTUK
MENJADI KETUA, MENGGANTIKAN RESI KALA JINJIT
YANG TELAH TEWAS AKIBAT DIBUNUH SESEORANG
YANG BELUM DIKETAHUI HINGGA SAAT INI HARAP
BERKENAN HADIR.
Pemuda yang di kedua tangannya mulai Jari Je-
mari hingga batas siku dipenuhi sisik coklat ini menge-
rutkan keningnya.
"Perguruan Laba-laba Perak? Hemm... baru kali
ini kudengar perguruan itu. Rupanya Resi Kala Jinjit,
selaku ketua perguruan yang lama, telah tewas dibu-
nuh seseorang yang belum diketahui hingga saat ini.
Dan Pangku Jaladara akan dinobatkan menjadi Ketua
Perguruan Laba-laba Perak...."
Pemuda tampan berambut dikuncir ini menarik
napas pendek. Perlahan-lahan digulungnya kembali
undangan yang telah diterimanya itu. Lalu diselipkan
pada balik pakaiannya.
Tetapi dia tidak segera meneruskan langkahnya.
Pikirannya masih dipusatkan pada undangan itu.
"Mengapa aku diundang oleh Perguruan Laba-
laba Perak?" desisnya dalam hati. Pemuda bersorot
mata angker yang lebih dikenal dengan julukan Raja
Naga ini terdiam beberapa saat. Lalu, "Sulit bagiku un-
tuk menduga-duga mengapa aku diundang. Tetapi ku-
pikir itu bukanlah masalah. Hemmm... purnama bulan
ini hanya tinggal beberapa hari lagi. Sebaiknya untuk
menghemat waktu, aku segera menuju ke Perguruan
Laba-laba Perak..."
Memutuskan demikian. Raja Naga segera me-
ninggalkan jalan setapak di mana sebelumnya dihenti-
kan langkahnya tatkala melihat seseorang memacu
kuda hitam ke arahnya.
Tepat senja mema5rungi persada. Raja Naga
menghentikan langkahnya di hadapan sebuah sungai
yang mengalirkan air jernih. Tidak bergemuruh terlalu
keras. Beberapa helai daun dari pohon yang dahannya
menjorok ke sungai, jatuh dan terbawa bersama aliran
air sungai.
Diperhatikan sekelilingnya yang sepi. Raja Naga
memutuskan untuk mandi dulu, membersihkan kerin-
gat yang menempel. Tetapi mendadak saja kepalanya
ditegakkan. Pendengarannya yang tajam menangkap
suara orang bercakap-cakap tak jauh dari sana.
Semula Raja Naga tidak tertarik dengan percaka-
pan itu, bahkan dia memutuskan untuk mengurung-
kan niatnya mandi dan melakukan lagi perjalanannya.
Tetapi ketika salah seorang berkata,
"Datuk Bunaeng telah mengatur semua rencana
ini. Sejak dulu dia memusuhi Resi Kala Jinjit. Dan se-
telah Resi Kala Jinjit tewas tanpa diketahui siapa pem-
bunuhnya, Datuk Bunaeng tetap menginginkan ke-
hancuran perguruan Laba-laba Perak."
Aliran darah Raja Naga berubah menjadi cepat.
Saat itu pula dia segera melompat ke atas sebuah po-
hon. Dicarinya dari mana asal orang-orang yang ber-
cakap-cakap itu. Samar-samar dilihatnya dua sosok
tubuh yang berada di balik ranggasan semak setinggi
kepala, hingga sulit bagi murid Dewa Naga ini untuk
melihat lebih jelas siapa kedua orang itu. Apalagi mas-
ing-masing orang membelakanginya.
"Kapan pembantaian akan dilakukan?" tanya
yang seorang.
"Pada purnama bulan ini. Pangku Jaladara akan
naik ke tampuk pimpinan, menggantikan Resi Kala
Jinjit yang telah tewas. Menurut Datuk Bunaeng,
pembantaian akan dilakukan pada malam purnama
bulan ini. Tetapi dua hari lalu kutangkap desas-desus
kalau hal itu akan digagalkan."
"Gila! Mengapa? Padahal semua sudah diatur!
Bahkan Datuk Bunaeng telah menyusupkan beberapa
orang suruhannya ke dalam Perguruan Laba-laba Pe-
rak!"
"Kalau kau tanyakan mengapa, aku tidak bisa
menjawab. Mungkin dia mempunyai pikiran lain"
Masing-masing orang tak ada yang bersuara. Dari
balik rimbunnya dedaunan. Raja Naga mengerutkan
keningnya.
"Hemmm... kematian Resi Kala Jinjit sebagai ke-
tua dari Perguruan Laba-laba Perak masih merupakan
misteri berkepanjangan, karena hingga saat ini belum
diketahui siapa pembunuhnya. Dari kata-kata masing-
masing orang, jelas bukan Datuk Bunaeng yang mela-
kukannya, walaupun orang yang bernama Datuk Bu-
naeng itu menginginkan kehancuran Perguruan Laba-
laba Perak."
Raja Naga mendengar lagi percakapan itu, "Gala
Jenjang... bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau
akan meneruskan membantu Datuk Bunaeng?"
"Sesungguhnya aku enggan melakukan ini lagi,
tetapi aku berhutang nyawa pada Datuk Bunaeng,
tatkala dia menyelamatkanku dari tangan maut yang
diturunkan oleh Resi Kala Jinjit. Kulo Marutung, ba-
gaimana dengan kau sendiri?"
"Aku juga mengalami hal yang sama seperti yang
kau alami. Datuk Bunaeng telah menyelamatkanku
dari tangan maut Resi Kala Jinjit tatkala aku membuat
kerusuhan di daerah utara. Keputusanku hingga saat
ini, aku akan tetap membantunya untuk menghancur-
kan Perguruan Laba-laba Perak. Sayangnya, Resi Kala
Jinjit telah mampus tanpa diketahui siapa pembunuh-
nya!"
Orang bernama Gala Jenjang menggeram dingin.
"Tetapi perguruan yang dipimpin dan di besar-
kannya telah menjulang setinggi langit, dan hingga ha-
ri ini masih berdiri angkuh! Tak akan pernah kubiar-
kan perguruan itu terus berdiri karena akan selalu
mengingatkan ku pada Resi Kala Jinjit!"
Kulo Marutung menyahut, "Ya! Aku pun mempu-
nyai pikiran yang sama denganmu!"
"Bagus! Kalau begitu, kita segera menemui Datuk
Bunaeng untuk menyampaikan apa hasil pemantauan
kita selama ini...."
Tak lama kemudian terlihat bayangan hitam dan
biru yang berkelebat begitu cepat.
Raja Naga segera melompat turun.
"Ada sekelompok orang rupanya yang hendak
memanfaatkan kesempatan untuk menghancurkan
Perguruan Laba-laba Perak setelah Resi Kala Jinjit
meninggal," desisnya dengan otak berpikir. Sepasang
ma-tanya yang bersorot angker memandang tak berke-
dip ke depan. Tangan kanannya yang sebatas siku di-
penuhi sisik-sisik coklat mengusap dagunya yang ke-
limis. "Telah kuketahui adanya rencana busuk dari
beberapa orang yang menginginkan kehancuran Pergu-
ruan Laba-laba Perak. Hem... sebenarnya ini bukanlah
urusanku. Tetapi, aku telah diundang oleh Perguruan
Laba-laba Perak. Aku harus memberitahukan urusan
makar ini pada Pangku Jaladara selaku calon Ketua
Perguruan Laba-laba Perak...."
Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah Naga
ini terdiam. Otaknya terus berpikir.
"Hemm... bila kuikuti ke mana perginya kedua
orang tadi, mungkin hanya akan membuang waktu sa-
ja, karena tentunya mereka telah berada di tempat
yang cukup jauh. Sebaiknya, kuteruskan saja lang-
kahku menuju Perguruan Laba-laba Perak...."
Memutuskan demikian, pemuda gagah berompi
ungu ini sudah melesat meninggalkan tempat itu, ke
arah yang berlawanan dengan kedua orang yang hanya
dilihat pakaiannya saja dari belakang.
Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan seta-
pak yang dipenuhi ranggasan semak dan pepohonan,
seorang gadis berkuncir dua yang memiliki paras ma-
nis, sedang menerjang pada lelaki muda yang menge-
nakan pakaian berwarna merah dengan garis hitam
yang bersilangan di depan dada. Serangan si gadis
berpakaian ringkas warna kuning ini sedemikian ga-
nas. Sepasang pedangnya berkilat-kilat diterpa cahaya
senja. Setiap kali digerakkan pedang-pedangnya, ter-
dengar suara angin membeset udara.
Di pihak lain, nampak pemuda berambut gon-
drong dengan kain berwarna merah yang melingkari
keningnya, berusaha untuk menghindari ganasnya se-
rangan si gadis. Dari sikapnya, dia hanya menghindar
saja tanpa melakukan serangan balasan.
"Ratih! Tahan! Tahan dulu seranganmu!!" se-
runya sambil melompat ke belakang.
Tetapi gadis manis yang dipanggil Ratih itu, tak
menghiraukan seruannya. Justru semakin ganas me-
lancarkan serangannya. Kali ini angin yang keluar dari
kedua pedangnya bergelombang mengerikan, bahkan
cahaya bening pun terpancar menyilaukan.
Pemuda yang terus menghindar itu mendesah
pendek.
"Ah, hampir tujuh bulan gadis ini terus menerus
memusuhi ku dan hingga saat ini tak ada tanda-tanda
dia mau mendengarkan penjelasanku...," katanya da-
lam hati
"Lesmana! Jangan hanya menjadi kambing dun-
gu! Apakah kau sudah lupa dengan kepandaianmu
sendiri?!" bentak Ratih sambil meluruk dengan kedua
pedang siap ditancapkan pada dada Lesmana.
Lesmana memiringkan tubuhnya, lalu...
Sabetan pedang sebelah kanan Ratih, dihinda-
rinya dengan cara melompat ke belakang
Tanah muncrat terkena gelombang angin yang
keluar dari sabetan pedang si gadis. Lalu dengan cara
berputar dua kali di udara, Lesmana sudah berada di
belakang si gadis.
Tetapi gadis berambut dikuncir dua itu segera
membalik dengan tubuh seperti orang sedang kayang!
Sepasang pedangnya ditusukkan!
Wuuttt!!
Lesmana mundur. Dalam kedudukan si gadis se-
perti itu, sebenarnya Lesmana dapat mengirimkan satu
tendangan dengan cara melompat. Tetapi tindakan itu
tidak dilakukannya.
"Ratih! Dengarkan dulu penjelasanku!"
"Huh! Penjelasan yang akan kau perdengarkan
tentunya hanya alasan usang seperti, tujuh bulan lalu
kau sampaikan!" maki si gadis. Nafasnya mulai sedikit
terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Se-
pasang dadanya yang membusung naik turun. Dengan
ganasnya dia terus melancarkan serangannya.
Lesmana menarik napas.
"Ah, apakah aku memang sebaiknya melawan sa-
ja? Tetapi bila aku melawan, tentunya dia akan sema-
kin memusuhi ku. Dan tetap beranggapan kalau aku
membela Resi Kala Jinjit"
Kemudian diputuskan untuk terus menghindar
dengan harapan dapat menguras tenaga Ratih. Tetapi
tatkala dilihatnya sepasang pedang si gadis berkelebat
dengan memperlihatkan cahaya bening yang makin
kentara, Lesmana tersentak.
"Kau telah mempergunakan Jurus Pedang Bayan-
gan! Apakah kau memang harus melakukannya?!"
"Karena sikap pengecut mu. Guru mati di tangan
Resi Kala Jinjit! Dan kepengecutannya itu adalah kesa-
lahan besar yang tak bisa dimaafkan! Kau harus mem-
bayar semua tindakanmu itu, Lesmana!!"
Lalu dengan gencarnya Ratih melancarkan se-
rangan dengan mempergunakan Jurus 'Pedang Bayan-
gan'. Setiap kali disabetkan, ditusukkan atau dibacok-
kan pedangnya, setiap kali pula menggebah gelombang
angin dingin. Disusul dengan cahaya bening yang
membuat wajah Lesmana pias.
Tetapi pemuda itu tetap bersikeras untuk tidak
melawan. Akibatnya tangan kirinya tergores ujung pe-
dang itu. Darah segar mengalir yang seketika ditekap
dengan tangan kanannya. Tetapi yang dirasakan ke-
mudian, kalau tubuhnya mulai menggigil yang sema-
kin lama semakin hebat. Keringat sebesar kacang ijo
seketika keluar lebih banyak.
Melihat keadaan pemuda di hadapannya, Ratih
menyeringai sambil mengatur napas. Dia sudah meng-
hentikan serangannya.
"Kau terlalu bodoh karena menganggapku en-
teng, Lesmana! Padahal kau tahu. Jurus 'Pedang
Bayangan' sangat berbahaya! Tangan kirimu telah ter-
gores, berarti kau akan mendapatkan satu siksaan
yang menyakitkan!!"
Lesmana merapatkan mulutnya, gigi-giginya di-
adu untuk menahan gigilan tubuhnya. Dengan wajah
sedikit pucat dia berseru tersendat, "Ratih... kejadian
yang dialami Guru, memang sudah seharusnya terja-
di...."
"Keparat! Dengan begitu kau membela Resi Kala
Jinjit, hah?!" bentak Ratih menggelegar. Dia sudah be-
rubah menjadi seekor harimau betina liar.
"Tak ada yang ku bela dalam hal ini! Kita sama-
sama murid dari Setan Bayangan! Tetapi kita sama-
sama tidak tahu siapa sebenarnya guru kita itu! Yang
kemudian kuketahui kalau dia adalah orang dari go-
longan sesat yang banyak membuat keonaran. Malam
itu... aku dan Guru sedang menuju ke timur. Beru-
langkah kutanyakan pada Guru, apa yang akan dila-
kukannya di sana, tetapi berulangkah Guru memben-
tak ku hingga akhirnya aku diam saja mengiku-
tinya...."
Lesmana meringis. Gigilan tubuhnya semakin
menjadi-jadi. Ratih mendengarkan dengan tatapan tak
berkedip.
"Kemudian... kemudian kuketahui kalau... kalau
Guru membunuh seorang lelaki setengah baya yang
berjuluk Pendekar Sedih. Guru memang mengalami
luka parah dan dia menyuruhku untuk membawanya
pergi setelah Pendekar Sedih tewas. Aku tidak tahu
siapa Pendekar Sedih sebenarnya dan mengapa Guru
membunuhnya. Tetapi di tengah jalan... seorang kakek
yang di lehernya melingkar kalung Laba-laba Perak
muncul dan meminta pertanggungjawaban Guru atas
tewasnya Pendekar Sedih! Kala itulah aku tahu, kalau
Guru diperintah oleh seseorang yang bernama Datuk
Bunaeng! Kala itu pula ku tahu siapa Guru sebenar-
nya!"
"Biar bagaimanapun juga dia adalah gurumu,
guru kita, Lesmana! Tak seharusnya kau membiarkan
Resi Kala Jinjit membunuhnya!"
Lesmana tak mempedulikan bentakan gadis ber-
kuncir dua di hadapannya. Dia terus berkata dengan
mata yang mulai berkunang-kunang dan tubuhnya
yang semakin terasa lemas, "Sudah tentu aku membe-
la Guru, di saat Resi Kala Jinjit menyerangnya. Tetapi
dengan mudah aku dapat dikalahkannya!"
"Dan kau membiarkan manusia itu lolos setelah
membunuh Guru!"
Lagi-lagi Lesmana tak menghiraukan bentakan
Ratih, yang ternyata adalah adik seperguruannya. Dia
berkata lagi, "Dari ucapan-ucapan Resi Kala Jinjit, ku-
ketahui, kalau orang yang berjuluk Datuk Bunaeng
pernah dikalahkannya karena terlalu banyak membuat
makar dan pembunuhan. Dan rupanya. Guru adalah
termasuk salah seorang yang patuh pada Datuk Bu-
naeng!"
"Lantas kau membiarkannya tewas di tangan Resi
Kala Jinjit! Dan aku akan menuntut balas perbuatan-
nya ini..."
"Resi Kala Jinjit telah tewas tanpa diketahui sia-
pa pembunuhnya.
"Bagus! Berarti memang hanya kaulah yang ha-
rus mati di tanganku untuk menebus segala kepenge-
cutanmu!"
Lesmana mulai tak dapat menguasai keseimban-
gan
"Aku hanya ingin kau berpikir jernih dan men-
jauh dari persoalan rimba persilatan..."
"Jangan mengajari ku, Lesmana! Aku telah men-
dengar kabar, kalau Perguruan Laba-laba Perak akan
mengadakan penobatan calon ketua baru sebagai
pengganti Resi Kala Jinjit yang sudah mampus! Rasa
hormatku pada Guru demikian besar siapa pun Guru
adanya! Dan aku tak akan pernah tenang sebelum me-
lihat kehancuran Perguruan Laba-laba Perak!"
"Ratih... apa maksudmu?"
"Kau sudah tahu apa maksudku! Jelas aku akan
membuat perhitungan dengan orang-orang Perguruan
Laba-laba Perak! Bahkan kalau bisa, aku akan berse-
kutu dengan Datuk Bunaeng, sahabat Guru itu!"
Lesmana menggapai-gapai dan semakin ter-
huyung.
"Ratih... kau hanya akan menimbulkan keonaran
belaka, kau hanya akan memancing permusuhan...."
"Ini kulakukan demi rasa baktiku pada Guru...."
"Aku masih dan akan tetap berbakti pada Guru.
Tapi...."
"Walaupun Guru orang golongan hitam, tetapi dia
tidak pernah menurunkan tabiat-tabiat buruknya pada
kita! Apakah kau tidak merasakan seperti itu?"
"Karena itulah aku masih menghormatinya...,"
"Terkutuk!" maki Ratih keras. Kedua tangannya
yang memegang pedang, bergetar. Matanya tajam me-
nusuk. Lalu bentaknya, "Kau berkata masih meng-
hormatinya, tetapi kau membiarkannya tewas di tan-
gan Resi Kala Jinjit! Huh! Kau seharusnya kubunuh
lebih cepat! Tetapi bila itu kulakukan, kau malah me-
rasa lebih enak! Sebaiknya kau harus merasakan sik-
saan terlebih dulu akibat jurus ‘Pedang Bayangan’!"
Lesmana terhuyung dan ambruk di atas tanah
dengan tubuh menggigil lebih hebat. Dia masih beru-
saha untuk berbicara, "Jangan... jangan kau lakukan
tindakan itu, Ratih... jangan kau bersekutu dengan
Datuk Bunaeng... "
"Dendam ku harus lunas!"
"Kau... kau akan masuk pada jurang yang... akan
menjerumuskan mu ke dalam tempat yang sesat!"
"Peduli setan dengan ucapanmu! Sebaiknya,
nikmati saja perjalananmu menuju ke akhirat! Sebe-
lum matahari sepenggalah besok pagi, kau sudah
mampus, Lesmana!!" bentak Ratih sambil memasuk-
kan sepasang pedang ke warangkanya yang bersilan-
gan di punggungnya.
Di lain saat dia sudah berkelebat meninggalkan
tempat itu. Di pihak lain, Lesmana masih berusaha
menahan hawa dingin yang masuk ke tubuhnya. Teta-
pi dua kejapan mata berikutnya, dia telah jatuh ping-
san.
***
DUA
SEBELUM matahari menampakkan bias-bias pa-
gi, Boma Paksi menghentikan langkahnya di jalan se-
tapak. Mata angkernya berkeliling, memperhatikan se-
kelilingnya dengan seksama. Untuk beberapa lama
pemuda dari Lembah Naga ini terdiam.
"Pagi sebentar lagi tiba. Sejak kemarin sore belum
sekali pun aku beristirahat di luar dugaanku ternyata
Perguruan Laba-laba Perak begitu jauh...."
Masih berdiri di tempatnya, Boma Paksi berpikir.
"Siapa Datuk Bunaeng sebenarnya? Menurut
percakapan yang kudengar, dia telah menyusupkan
orang-orangnya ke dalam tubuh Perguruan Laba-laba
Perak. Ini sangat berbahaya, terutama bila tak seorang
yang mengetahui adanya penyusup di tubuh mereka.
Ah, malam purnama ini nampaknya akan menjadi
banjir darah...."
Mendadak saja Raja Naga memalingkan kepa-
lanya ke samping kanan. Menyusul kepalanya mene-
gak dengan kedua mata membelalak. Karena secara ti-
ba-tiba telah melangkah seorang nenek bongkok den-
gan konde kecil di atas kepalanya. Paras yang dipenuhi
keriput itu sungguh tak menyenangkan untuk dilihat.
Mulutnya yang tanpa gigi mengunyah-ngunyah sirih
dan sesekali cairan merah dibuangnya dengan sikap
enak saja. Tangan kanan kirinya berada di belakang
pinggul dan dia mengenakan kain kebaya yang sudah
sangat usang!
"Busyet, busyet! Katanya, tempat ini sepi! Cuma
kuntilanak dan tuyul saja yang menghuni! Tapi kok
ada manusia juga ya? Katanya, di sini mengerikan! Ta-
pi kok malah enak ya?! Jangan-jangan, pemuda ini
memang setan gentayangan?!"
Suara nyaring si nenek menyadarkan keterkesi-
maan Raja Naga. Buru-buru pemuda itu tersen3mm.
Belum lagi dia berkata, si nenek sudah berseru lagi,
"Eh, busyet! Katanya setan gentayangan tidak bi-
sa tersenyum! Tapi yang ini kok tersen3aam?! Hei anak
muda! Kau ini setan atau orang?! Katanya, kalau setan
memiliki sorot mata yang angker! Kau juga memiliki
mata angker seperti setan! Dan cukup membikin da-
daku berdebar lebih keras!"
Bentakan itu disambut dengan sen3ruman lagi
oleh Raja Naga.
"Kalau kau pernah melihat setan gentayangan,
kuntilanak atau tuyul, tentunya kau dapat membeda-
kannya dengan orang bukan?!"
"Busyet lagi! Katanya, setan gentayangan tidak
bisa ngomong? Tapi kok ini bisa ngomong?! Jangan-
jangan kau memang bukan setan gentayangan, ya?!
Tapi katanya, ada juga setan gentayangan yang bisa
ngomong!"
Raja Naga mendengus pelan, sambil memandan-
gi, si nenek yang selalu berkata dimulai dengan ‘ka-
tanya’.
"Nek! Biar kau raba-raba tubuhku, tetap saja aku
ini orang!"
"Busyet, busyet betul-betul, betul-betul busyet!
Katanya, cuma orang yang memang suka meraba-raba
atau diraba-raba! Sini, sini... bagian mana yang harus
ku raba-raba dari tubuhmu?"
Raja Naga melongo.
"Edan! Nenek ini jangan-jangan rada-rada sint-
ing! Ngomongnya enak betul! Kok bagian mana yang
harus diraba-raba?"
Selagi Boma Paksi menggerutu dalam hati, si ne-
nek bongkok berkata lagi, "Jangan-jangan... kau yang
ingin meraba-raba ku ya? Hihihi... katanya, kalau di-
raba-raba itu enak, geli, selangit, nikmat, cihui, amboi!
Katanya juga, kalau diraba-raba itu bisa naik birahi!
Hihihi... aku jadi ingin merasakannya..."
"Waduh! ini nenek benar-benar sinting kalau be-
gitu," kata Boma Paksi dalam hati, Lalu berseru, "Nek!
Tidak usah pakai meraba-raba atau diraba-raba! Yang
pasti aku ini orang, bukan setan gentayangan!" Lalu
buru-buru dialihkan kata-katanya, "Sebenarnya... apa
yang sedang kau lakukan di tempat ini, Nek?"
"Katanya, kalau orang yang bertanya selalu harus
dijawab! Anak muda... aku cuma iseng saja lewat tem-
pat ini. Katanya, tidak ada orang di sini! Sepi! Tapi ter-
nyata ada kau di sini! Kebetulan! Kebetulan!"
"Apanya yang kebetulan, Nek?" tanya Raja Naga
sambil memandangi sosok si nenek.
Si nenek bongkok tidak segera menjawab. Mulut-
nya terus mengunyah sirihnya yang sesekali berlompa-
tan cairan merah encer dari mulutnya.
Kemudian dia berkata, "Katanya, kalau lagi ke-
bingungan atau tidak tahu jalan yang harus di tem-
puh, sebaiknya bertanya pada orang yang kebetulan
berjumpa! Anak muda., saat ini, aku sedang menuju
ke Perguruan Laba-laba Perak.... Dan aku tidak tahu
arah yang harus kutempuh! Apakah kau mengetahui
di mana Perguruan Laba-laba Perak berada?!"
Kening Raja Naga berkerut mendengar kata-kata
si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tidak bersua-
ra.
Si nenek yang berseru lagi, "Katanya, kalau orang
yang diajak bicara tidak bisa menjawab, ada dua ke-
mungkinan! Kalau tidak gagu ya bu dek! Tapi katanya,
kalau tadi sudah berbicara dan mendengar itu, berarti
tidak gagu atau budek! Terus kenapa?!"
Nenek yang selalu berucap semau jidatnya itu
terkikik keras, membuat Boma Paksi terjaga dari ke-
terkejutannya. Dipandanginya si nenek yang diam-
diam sedang membatin, "Tatapannya itu, mengerikan
sekali. Penuh sorot keangkeran yang mampu menci-
utkan lawan. Katanya, hanya seorang yang memiliki
sorot mata demikian kalau sedang marah. Katanya ju-
ga, orang itu suka kentut dan berasal dari Lembah Na-
ga. Tapi yang ini tidak sedang marah. Cuma tatapan-
nya itu ya angker betul!"
"Nek... saat ini aku juga sedang menuju ke Per-
guruan Laba-laba Perak...," kata Raja Naga kemudian.
"Menuju ke Perguruan Laba-laba Perak? Eh, bu-
syet! Katanya! di perguruan itu akan diadakan upacara
penobatan Pangku Jaladara yang menggantikan kedu-
dukan Resi Kala Jinjit yang sudah mampus! Apa be-
nar?"
"Kalau si nenek bertanya demikian, nampaknya
dia tidak menerima undangan seperti yang kuterima,"
kata Boma Paksi dalam hati. Lalu, "Yang kau katakan
itu benar, Nek. Aku juga menangkap kabar seperti itu.
Dan walaupun sedikit heran, seseorang yang mengaku
dari Perguruan Laba-laba Perak tiba-tiba muncul dan
memberikan sebuah undangan padaku. Apakah kau
mendapatkannya juga?"
"Undangan? Tidak! Aku tidak mendapat apa-apa!
Diundang atau tidak, aku tetap akan datang ke sana!
Katanya, Resi Kala Jinjit mampus tanpa diketahui sia-
pakah pembunuhnya! Apakah kau juga tahu tentang
soal itu?"
Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Hemm... aku belum mengetahui apa maksud si
nenek datang ke Perguruan Laba-laba Perak. Menilik
gelagatnya, walaupun setiap kali berucap semau jidat-
nya saja, dia bukanlah orang golongan hitam. Tapi di
rimba persilatan ini, keadaan bisa berbalik demikian
cepat."
Habis membatin demikian, pemuda berompi un-
gu ini berkata, "Kabar juga telah kudengar, kalau Resi
Kala Jinjit, Ketua Perguruan Laba-laba Perak sebe-
lumnya, telah tewas dibunuh oleh seseorang yang ti-
dak diketahui siapa adanya. Dan satu hal lain yang ju-
ga kudengar, kalau saat ini seseorang atau boleh dika-
takan beberapa orang sedang berkumpul untuk mela-
kukan tindakan makar pada Perguruan Laba-laba Pe-
rak!"
"Tindakan makar?! Katanya, kalau orang berbica-
ra sesuatu yang belum diketahui oleh orang yang
mendengarnya, sebaiknya si pendengar memang men-
dengarkan saja! Anak muda, lanjutkan lagi kata-
katamu!"
Raja Naga memandangi dulu si nenek yang tetap
as5dk mengunyah sirihnya. Lalu perlahan-lahan dia
berkata, "Sebelum ku lanjutkan kata-kataku, apakah
kau mengenal seseorang yang bernama Datuk Bu-
naeng?"
Kepala si nenek mendadak saja menegak. Mulut-
nya yang selalu asyik mengunyah sirih tiba-tiba ter-
henti. Untuk beberapa saat dia hanya memandangi
pemuda di hadapannya.
"Dari gelagatnya, si nenek nampaknya mengenal
orang bernama Datuk Bunaeng," kata Raja Naga dalam
hati dan tidak mencoba untuk membuat si nenek un-
tuk segera menjawab pertanyaannya.
Suasana hening. Matahari mulai menampakkan
bias-biasnya. Sebagian embun telah mengering. Angin
masih tetap berhembus dingin. Di kejauhan, gumpalan
kabut masih menggumpal.
Perlahan-lahan mulut si nenek bergerak lagi
mengunyah-ngunyah sirihnya. Sambil mengunyah dia
mengajukan tanya, "Katanya, kalau ada orang yang
menanyakan sesuatu, ada dua kemungkinan! Pertama,
dia memang tidak tahu sama sekali. Kedua, mencoba
untuk meyakinkan apa yang telah diketahuinya! Anak
muda... kau berada pada posisi yang mana?"
"Nek... aku bertanya, karena aku tidak tahu siapa
Datuk Bunaeng sebenarnya! Dan pertanyaanku ini,
sehubungan dengan apa yang kukatakan tadi, kalau
ada sekelompok orang yang akan berbuat makar."
"Dan kau maksudkan. Datuk Bunaeng yang be-
rada di balik semua ini?"
"Belum dapat kupastikan soal itu! Tetapi apa
yang kudengar memang demikian," kata Raja Naga lalu
men-ceritakan apa yang telah didengarnya kemarin.
Kepala si nenek mengangguk-angguk. Mulutnya masih
tetap asyik mengunyah-ngunyah sirihnya.
"Kalau tak salah ingat, katanya, beberapa tahun
lalu Resi Kala Jinjit pernah mengalahkan Datuk Bu-
naeng! Karena Resi Kala Jinjit memiliki kelembutan
tinggi, dia hampir tak pernah membunuh lawan-
lawannya walaupun lawan-lawannya itu berusaha
dengan akal yang paling licik untuk mencelakakannya!
Katanya pula. Datuk Bunaeng mendendam pada Resi
Kala Jinjit! Dan saat ini aku beranggapan kalau Datuk
Bunaeng-lah yang telah membunuh Resi Kala Jinjit!"
Raja Naga menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kudengar tidak mengarah ke sana! Wa-
laupun aku belum jelas dengan masalah yang ada, aku
dapat menarik kesimpulan kalau kematian Resi Kala
Jinjit memang tidak diketahui siapa pun! Apakah kau
mengetahuinya, Nek?"
"Bicara sembarangan!" tiba-tiba si nenek me-
nyembur hingga cairan merah dari mulutnya menye-
bar. "Jelas aku tidak tahu siapa yang telah membu-
nuhnya! Caranya dia mampus pun aku tidak tahu! Te-
tapi dengan kematiannya, aku menyikapi hal itu seba-
gai suatu musibah yang mengejutkan! Biar bagaima-
napun juga, aku bersahabat baik dengan Resi Kala
Jinjit! Tapi sayangnya, aku belum pernah sekali pun
juga ke Perguruan Laba-laba Perak! Kembali ke masa-
lah semula, apakah kau tahu arah yang harus kutem-
puh untuk menuju ke Perguruan Laba-laba Perak?"
Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di-
penuhi sisik-sisik kecoklatan menggelengkan kepala.
"Aku tidak begitu pasti ke mana arah yang harus
ditempuh untuk menuju ke Perguruan Laba-laba Pe-
rak! Tetapi, tujuanku ke arah timur...."
"Kalau begitu, aku akan berangkat ke sana! Oya,
apakah kau bersedia melangkah bersamaku?"
Raja Naga tak menjawab. Justru pertanyaan yang
keluar dari mulutnya, "Kalau boleh aku tahu, ada tu-
juan apa kau ke sana, Nek?"
Si nenek terkikik.
"Aku tahu kau bertanya demikian, karena aku ti-
dak mendapat undangan!"
Murid Dewa Naga buru-buru menggelengkan ke-
palanya.
"Aku tidak berpikir demikian! Karena terus te-
rang, sebelumnya aku tidak tahu mengapa aku diun-
dang dan untuk apa aku ke sana?!"
"Pangku Jaladara tentunya menghendaki pengu-
kuhan dirinya sebagai Ketua Perguruan Laba-laba Pe-
rak yang baru! Dan dia menginginkan kehadiran para
tokoh rimba persilatan untuk mengukuhkan dirinya!
Dan aku yakin, kau bukanlah orang sembarangan.
Anak muda, mengingat kau diundang!"
Raja Naga mendesah dalam hati.
"Aku hanyalah orang kebanyakan belaka, dan tak
memiliki apa-apa."
"Katanya, kalau orang yang merendah itu ada
dua tujuan. Pertama, dia memang merasa tidak enak
mengatakan yang sebenarnya hingga menutupi siapa
dirinya! Kedua, dia melakukan tindakan seperti itu
semata untuk mendapatkan pujian, agar lawan bica-
ranya terkagum-kagum atas kerendahan hatinya! Ka-
lau kau punya pikiran yang kedua, berarti kau tak se-
perti yang kuduga dan itu artinya, aku tak segan-
segan untuk menampar mulutmu sekarang!"
Boma Paksi terkejut juga mendengar ucapan rin-
gan si nenek. Lalu sambil tersenyum dia berkata, "Tadi
kukatakan, aku tidak tahu mengapa aku diundang!
Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana! Ka-
laupun aku ingin datang sekarang, karena aku telah
mengetahui sekelompok orang yang berada di bawah
pimpinan Datuk Bunaeng akan melakukan tindakan
makar di sana!"
"Baguslah kau berkata jujur seperti itu, padahal
tanganku sudah gatal sebenarnya!"
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nek!"
Si nenek terkikik dulu. Lalu mengarahkan pan-
dangannya ke kejauhan.
Sambil mengunyah sirihnya dia berkata, "Ka-
tanya, setiap kali ada pengangkatan ketua baru di Per-
guruan Laba-laba Perak, maka orang itu akan berhak
mengalungi kalung Laba-laba Perak yang merupakan
lambang dari perguruan itu! Tanpa kalung itu, maka
orang yang dikukuhkan sebagai ketua baru, sama se-
kali tak sah! Dan aku yakin, dengan tewasnya Resi Ka-
la Jinjit, kalung Laba-laba Perak telah dilepaskan dari
lehernya, yang akan dikalungkan pada Pangku Jalada-
ra selaku calon penggantinya!"
"Kedatanganmu ke sana, dengan tujuan kalung
itu?" tanya Raja Naga.
Perlahan-lahan si nenek menganggukkan kepa-
lanya seraya berpaling.
"Tidak salah!"
"Kalau kau hanya bertujuan pada kalung itu, se-
benarnya apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mengambil kalung itu!"
Menegak kepala Raja Naga mendengar jawaban si
nenek. Tatapan angkernya tak berkedip pada orang di
hadapannya yang sedang mengunyah sirih sambil
nyengir.
"Astaga! Sungguh di luar dugaanku!" desis pe-
muda dari Lembah Naga ini dalam hati. "Baru kuketa-
hui tentang kalung Laba-laba Perak yang menjadi buk-
ti dan sahnya seseorang menjadi Ketua Perguruan La-
ba-laba Perak! Tetapi si nenek datang ke perguruan itu
justru hendak mengambil kalung itu! Astaga! Apa yang
sebenarnya diinginkan nenek ini? Dan mengapa dia
hendak melakukan tindakan itu?"
Selagi Raja Naga membatin demikian, si nenek
berseru "Aku yakin kau merasa heran dengan apa
yang ku katakan! Dan aku yakin kau mulai merasa
marah padaku! Tetapi aku tidak peduli! Aku akan me-
rebut kalung Laba-laba Perak!"
"Dengan kata lain, kau tidak menyetujui Pangku
Jaladara menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak?"
suara Raja Naga dingin, sedingin tatapannya.
"Aku tidak berkata begitu!"
"Lantas.,, apa yang kau inginkan sebenarnya,
Nek?!”
"Tak lama lagi... kau akan tahu jawabannya....
Raja Naga!" belum habis seruannya, sosok si nenek
sudah berkelebat.
"Heii!” Raja Naga berpaling ke kanan. Sempat di-
rasakan desiran angin yang cukup kuat saat si nenek
berkelebat. Begitu kepalanya dipalingkan, sosok si ne-
nek itu telah lenyap dari pandangannya. "Astaga! ilmu
peringan tubuh yang diperlihatkannya sungguh luar
biasa!"
Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah Naga
ini terdiam. Sorot matanya yang angker memandang ke
arah si nenek berkelebat tadi.
"Rupanya dia mengetahui siapa aku, tetapi aku
belum tahu siapa dirinya. Ah, keadaan ini benar-benar
membuat aku menjadi semakin penasaran."
Beberapa saat lamanya, pemuda berompi ungu
ini terdiam memikirkan apa yang sekarang menjadi pi-
kirannya.
"Hemmm... jawaban demi jawaban masih belum
terangkai. Jalan satu-satunya, aku memang harus tiba
di Perguruan Laba-laba Perak...."
Memutuskan demikian, pemuda bersisik coklat
pada kedua tangannya sebatas siku ini, sudah berlari
meninggalkan tempat itu. Rambutnya yang dikuncir
ekor kuda berlompatan saat dia berlari.
***
TIGA
MALAM purnama pun tiba. Langit cerah bukan
alang kepalang dan mampu membuat orang untuk me-
lupakan sejenak urusannya guna menikmati panora-
ma indahnya langit. Bulan bulat bundar, membentuk
bayang-bayang bidadari yang sedang mandi dalam
dongeng pengantar tidur.
Tetapi di lapangan yang cukup besar itu, tak seo-
rang pun yang memperhatikan keindahan lukisan
alam yang terbentang pada langit cerah. Mereka ber-
kumpul di lapangan itu dengan mulut yang laksana
dengungan lebah, tak jauh dari sebuah panggung be-
sar yang dipenuhi rumbai dan umbul-umbul. Pada ba-
gian atas panggung itu, terdapat ukiran seekor Laba-
laba berwarna perak. Dan walaupun berkumpul di
tempat yang sama, tetapi mereka membentuk kelom-
pok-kelompok.
Raja Naga berdiri agak di sebelah kiri. Di sisinya,
nampak seorang lelaki berusia lanjut yang asyik men-
gedip-ngedipkan matanya. Rupanya si kakek yang
mengenakan pakaian dan jubah biru panjang ini
mempunyai kebiasaan mengedip-ngedipkan matanya
itu. Sepasang matanya memancarkan keteduhan. Hi-
dungnya agak mancung dengan rambut putih tak be-
raturan. Terbayang sisa-sisa ketampanannya di masa
muda.
Berdiri di sebelah kanan si kakek, seorang pemu-
da yang diperkirakan berusia dua tahun lebih tua dari
Raja Naga. Pemuda itu berwajah tampan dengan tubuh
tegap dan gagah. Mengenakan pakaian berwarna me-
rah dengan garis hitam yang bersilangan di depan da-
da. Di kening pemuda berambut gondrong ini, terdapat
ikatan berwarna merah.
Dan nampaknya pemuda ini sedang celingukan
ke sana kemari, seperti mencari sesuatu atau seseo-
rang. Kelihatannya dia belum puas bila belum mene-
mukan apa yang dicarinya, terbukti dia masih terus
celingukan.
Sampai pandangannya terbentur pada sepasang
mata angker yang sedang menatapnya. Sejenak si pe-
muda terkejut begitu melihat tatapan angker itu. Teta-
pi tatkala si pemilik mata angker tersenjrum dan men-
ganggukkan kepala, dia juga tersenyum.
"Astaga! Pemuda berompi ungu itu nampak ra-
mah, tetapi tatapannya...."
Terdengar suara si kakek yang sedang mengedip-
ngedipkan matanya, "Keparat betul! Sudah hampir se-
penanakan nasi aku berdiri di sini, tetapi belum juga
di-mulai upacaranya! Huh! Kalau aku tidak ingin tahu
siapa yang menggantikan kedudukan Resi Kala Jinjit,
buat apa aku datang ke tempat ini?"
Pemuda yang mengenakan pakaian berwarna me-
rah dengan garis hitam yang bersilangan di depan da-
da melirik. Lalu berkata, "Bila kau tidak datang ke
tempat
ini, mungkin kau tidak akan menemukan dan menye-
lamatkanku, Orang Tua!"
"Huh! Urusan menyelamatkanmu atau tidak, se-
benarnya bukan urusanku Lesmana! Karena aku kebe-
tulan lewat saja makanya kau kutolong!" seru si kakek
sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Raja Naga yang mendengar percakapan itu mem-
batin, "Nampaknya sebelum ini, pemuda yang bernama
Lesmana itu sedang mengalami nasib sial dan ditolong
oleh si kakek ini. Hemmm... sejak tadi belum kulihat
nenek yang berniat hendak mengambil kalung Laba-
laba Perak itu berada di antara orang-orang ini...."
Tiba-tiba dengungan yang terdengar di sana-sini
itu pecah tatkala seorang perempuan yang mengena-
kan pakaian panjang berwarna hijau muncul. Di selu-
ruh pakaian yang dikenakan si perempuan itu terdapat
butiran berlian yang berkilauan. Paras perempuan ini
bukan main jelitanya. Di atas rambutnya yang indah,
terdapat sebuah mahkota bersusun tiga. Di telinganya
dua buah anting bertakhtakan berlian empat butir ter-
pampang jelas. Di samping kehadirannya yang tiba-
tiba dan pesona wajahnya yang menggetarkan, juga
bagian pucuk sepasang bukit kembarnya membuat
orang-orang di sana, terutama yang laki-laki berdecak-
decak.
Karena pakaian yang dikenakan si perempuan itu
begitu rendah, hingga bongkahan mulus terpampang
jelas. Langkahnya anggun, ringan dan teratur. Saat dia
melangkah, terlihat jelas sepasang paha gempal meng-
giurkan yang membuat para lelaki di sana menelan lu-
dah.
"Huh!" si kakek yang berdiri bersebelahan dengan
Raja Naga mendengus. "Mau apa perempuan itu mun-
cul di sini?"
Pemuda yang berdiri di samping kanan si kakek
bertanya, "Siapakah dia. Orang Tua?"
"Dia dijuluki orang-orang rimba persilatan den-
gan julukan angker: Dewi Berlian. Memiliki kekejaman
tiada banding di muka jagat ini."
"Lantas, mengapa kau harus kesal melihat ke-
munculannya?"
"Seperti kebiasaannya, bila dia hadir, pasti akan
timbul keonaran!"
Lesmana memandangi perempuan berpakaian hi-
jau yang rendah di bagian dada dan terbelah di bagian
paha. Pemuda yang secara tak sengaja ditemukan oleh
orang tua di sampingnya ini, menahan napas melihat
keindahan bukit kembar Dewi Berlian. Lalu dipaling-
kan kepalanya ke tempat yang lain, kembali melihat-
lihat orang yang dicarinya.
"Ah, jangan-jangan.... Ratih memang menjumpai
Datuk Bunaeng untuk menjadi sekutunya. Sangat dis-
ayangkan, mengapa Ratih terus terbawa amarahnya
padahal Guru bukanlah orang baik-baik? Bila saja ka-
kek yang berjuluk Dewa Jubah Biru ini tidak muncul,
tentunya aku sudah tewas akibat jurus 'Pedang
Bayangan'.
Sementara itu, perempuan berparas jelita yang
berdiri di tengah-tengah tiba-tiba berseru, suaranya
sangat merdu dan membuat orang terpesona, "Di mana
calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang baru?!
Mengapa sampai saat ini belum juga muncul?! Padah-
al, orang-orang sudah banyak berkumpul!"
Tak ada sahutan apa-apa atas seruannya. Justru
sebagian orang terpana melihat pesona indah yang su-
kar ditepiskan yang terpancar dari tubuh Dewi Berlian.
Perempuan ini menggerakkan kepalanya. Rambutnya
yang hitam tergerai itu menguarkan aroma wangi yang
cukup memabukkan.
"Bila memang tidak berani muncul, mengapa ha-
rus mengadakan upacara penobatan ini segala?! Huh!
Sebaiknya... dihancurkan saja panggung itu!!"
Habis ucapannya, dengan gemulai Dewi Berlian
mengangkat tangannya dan siap mendorongnya.
Raja Naga tersentak sedikit melihat apa yang
akan dilakukan oleh Dewi Berlian. Tetapi sebelum De-
wi Berlian melakukan tindakannya, mendadak saja
terdengar beberapa seruan,
"Datuk Bunaeng!"
Seketika orang-orang yang berada di sana terma-
suk Raja Naga mengarahkan pandangan ke belakang.
Seorang kakek yang mengenakan pakaian dan jubah
hitam melangkah angkuh. Sorot matanya kejam. Hi-
dungnya bengkok dengan sepasang alis hitam yang
menyatu. Rambutnya sudah memutih dan dikelabang.
Di sisi kanan kakek itu melangkah seorang perempuan
tua yang mengenakan pakaian compang-camping ber-
warna hitam. Tangan kurus si nenek menggenggam
sebuah tongkat berkepala ular. Bila saja si nenek ma-
sih muda atau memiliki tubuh yang indah seperti diri
Dewi Berlian, sudah tentu pemandangan yang terlihat
akibat pakaiannya yang compang-camping, akan
membuat para lelaki di sana mendengus-dengus. Teta-
pi tak seorang pun yang mengeluarkan kata. Karena
mereka tahu, nenek berjuluk Ratu Tongkat Ular itu
memiliki ilmu yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Di samping kiri Datuk Bunaeng, melangkah seorang
gadis berparas manis yang mengenakan pakaian ber-
warna kuning. Sepasang pedang bersilangan di pung-
gungnya.
"Ratih...," desis Lesmana pelan.
Raja Naga melirik. Dewa Jubah Biru mendengus.
"Huh! Kau meneriakkan sebuah nama! Berarti,
gadis itukah yang kau katakan sebagai adik sepergu-
ruanmu yang mencoba mencelakakanmu?"
Tanpa mengalihkan pandangannya pada Ratih,
Lesmana menganggukkan kepalanya.
Dewa Jubah Biru berkata, "Dia telah bersekutu
dengan Datuk Bunaeng! Dan aku merasa pasti, kalau
sesuatu akan terjadi tempat ini!"
Lesmana tak menjawab.
Raja Naga mendesis dalam hati, "Hemmm... ka-
kek itulah yang bernama Datuk Bunaeng. Kemuncu-
lannya membuat banyak orang terkesiap. Dan suara-
suara bagai dengungan tadi tak lagi kudengar begitu
ramai... "
Di pihak lain, Lesmana masih terdiam. Kegunda-
han mendadak saja dirasakan. Dilihatnya Ratih yang
tiba-tiba menatapnya. Dilihatnya pula bagaimana wa-
jah adik seperguruannya itu tiba-tiba berubah, tegang
dan kaget. Tetapi kemudian dia melangkah mengikuti
langkah Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular.
Ketiga orang itu berhenti di hadapan Dewi Ber-
lian yang tersen5rum. "Tak kusangka kita berjumpa di
sini. Datuk Bunaeng! Bagaimana kabarmu?"
Kakek berwajah angkuh itu mengangkat kepa-
lanya.
"Jangan mencoba untuk bersikap bersahabat
denganku kalau masih sayang nyawa!"
Dewi Berlian tidak gusar dibentak seperti itu. Dia
malah terkikik pelan, membuat Datuk Bunaeng men-
dengus.
Ratu Tongkat Ular berkata, "Lebih baik menying-
kir dari tempat ini!"
Dewi Berlian tersenyum.
"Kupikir kau sudah mampus dibunuh Resi Kala
Jinjit, Ratu Tongkat Ular! Tapi nyatanya... kau masih
hidup sampai sekarang! Tentunya... kau punya ilmu
hebat! Atau... kau memiliki 'nyawa rangkap?"
Mendengar ejekan itu, seketika wajah si nenek
berpakaian compang-camping yang memperlihatkan
sepasang bukit kembarnya yang sudah peot dan turun
ini berubah. Hampir saja digerakkan tongkat berkepala
ularnya, bila saja dia tidak ingat akan tugas yang telah
dibebankan oleh Datuk Bunaeng.
Dewi Berlian menyeringai.
"Suatu waktu, aku ingin melihat kenyataan, apa-
kah kau memang memiliki nyawa rangkap, atau hanya
kebetulan saja kau selamat dari kematian!"
Tanpa menghiraukan kemarahan Ratu Tongkat
Ular, Dewi Berlian men5dngkir dari tempatnya. Aroma
wangi yang menguar dari rambutnya menyebar.
Dewa Jubah Biru menggeram.
"Huh! Mengherankan! Mengapa Pangku Jaladara
mengundang orang-orang seperti mereka?!"
Raja Naga yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja apa yang diucapkan oleh Dewa Jubah Biru dan
Lesmana, kali ini buka mulut, "Orang tua... kau nam-
paknya tidak menyukai orang-orang seperti mereka.
Apakah kau memang mengetahui siapakah kedua-
nya?"
Tanpa menoleh Datuk Jubah Biru menjawab,
"Yang lelaki berkepala panjul itu bernama Datuk Bu-
naeng! Yang perempuan tua berpakaian tidak tahu
malu itu berjuluk Ratu Tongkat Ular! Kalau si gadis...
tentunya kau sudah mendengar sendiri tadi! Dia ber-
nama Ratih! Adik seperguruan dari Lesmana!" Masih
tanpa menoleh Datuk Jubah Bitu menyambung, "Anak
muda... tentunya kau telah mendengar setiap percaka-
panku dengan Lesmana. Katakan, siapa kau, adanya?
Aku menangkap satu gelagat tak menguntungkan atas
upacara ini...."
Raja Naga tak segera menjawab. Diliriknya si ka-
kek yang belum juga memalingkan kepalanya. Lalu,
"Namaku Boma Paksi...."
"Hemm... Boma Paksi! Sebaiknya kau segera
tinggalkan tempat ini, karena bencana akan segera da-
tang"
"Bencana seperti apakah yang kau maksudkan.
Orang Tua?"
"Setelah kematian Resi Kala Jinjit, kutangkap
kabar kalau orang-orang yang pernah dikalahkannya
telah bermunculan! Dan dua orang yang pernah dika-
lahkannya itu adalah Datuk Bunaeng serta Ratu Tong-
kat Ular! Tentunya mereka telah bersekutu untuk
menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak kendati
Resi Kala Jinjit sudah mampus!"
"Apakah masih ada orang-orang yang berkumpul
di tempat ini yang pernah dikalahkan oleh Resi Kala
Jinjit?"
"Aku sudah tua! Otakku tak bisa banyak mere-
kam seperti dulu!" sahut Dewa Jubah Biru tetap tanpa
menoleh. Kemudian lanjutnya, "Gadis bernama Ratih
itu adalah adik seperguruan Lesmana! Mereka sama-
sama berguru pada Setan Bayangan dan sama-sama
tidak tahu belangnya Setan Bayangan! Resi Kali Jinjit
telah membunuhnya! Lesmana merelakannya, tetapi
adik seperguruannya Justru hendak membalas den-
dam! Bahkan dia tega mencelakakan Lesmana! Huh!
Resi Kala Jinjit... kau mampus pun masih membawa
petaka saja!"
Pemuda bersisik coklat sebatas siku itu tak men-
jawab. Sepasang matanya yang angker memperhatikan
Datuk Bunaeng dengan seksama. Lalu dilihatnya se-
pasang mata gadis berpakaian kuning menatap tajam
pada Lesmana. Yang ditatap tak melakukan tindakan
apa-apa kecuali hanya mendesah pendek.
Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh teria-
kan Datuk Bunaeng,
"Pangku Jaladara! Apakah seperti ini tindakanmu
selaku tuan rumah terhadap para tamu?! Atau... kau
hanya ingin melihat kami berkumpul saja?!"
Belum habis teriakan itu terdengar, satu sosok
tubuh telah melompat ke atas panggung. Sikapnya ga-
gah dengan sepasang mata yang dibuka angkuh. Ke-
dua kakinya dibuka agak lebar. Dia bernama Geragah
Soka.
Kemudian dia berseru keras, "Atas nama calon
Ketua Pangku Jaladara, kami mengucapkan terima ka-
sih yang sebesar-besarnya atas kedatangan para tokoh
rimba persilatan! Sebentar lagi, upacara penobatan
Pangku Jaladara selaku Ketua Perguruan Laba-laba
Perak akan segera dimulai!"
Lalu bermunculan delapan pemuda gagah yang
mengenakan pakaian berwarna Jingga. Geragah Soka
mundur. Sementara kedelapan pemuda itu merang-
kapkan tangan masing-masing di depan dada dan
membungkuk penuh hormat.
Orang yang berbicara tadi berseru,
"Sambil menunggu saat-saat yang agung, kami
persilakan para hadirin untuk menikmati sedikit ilmu
milik Perguruan Laba-laba Perak!"
Lalu kedelapan pemuda itu saling berhadapan
dua-dua, membentuk empat baris. Kejap lain mereka
sudah melancarkan serangan demi serangan.
Datuk Bunaeng menggeram, "Ilmu Perguruan La-
ba-laba Perak tak seberapa, tapi masih juga hendak
dipamerkan! Apakah dengan cara seperti ini sudah
menunjukkan keburukan Perguruan Laba-laba Pe-
rak?!"
Orang yang berbicara tadi menggeram dingin. Te-
tapi buru-buru dia tersenyum, "Apa yang kami pertun-
jukkan ini, bukan dengan maksud membanggakan di-
ri! Bila Datuk Bunaeng tak berkenan dengan acara
pembukaan ini, silakan tinggalkan tempat ini dan
kembali lagi di saat upacara dimulai!"
Berubah wajah kakek berambut dikelabang ini.
Kalau sejak pertama dia sudah punya niat untuk
menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak, niatnya
semakin menjadi-jadi. Di antara orang-orang yang ber-
kumpul itu, terdapat tiga orang sekutunya. Sementara
di dalam bangunan besar itu, telah disusupkan sekitar
empat orang suruhannya.
Tetapi Datuk Bunaeng merasa sekarang bukan-
lah saat yang tepat. Aksinya akan dimulai bila upacara
penobatan Pangku Jaladara selaku Ketua Perguruan
Laba-laba Perak yang baru akan dilaksanakan!
Dia hanya menyeringai lebar.
**
EMPAT
HUH! Tak kusangka kalau murid Perguruan La-
ba-laba Perak berani berucap lantang seperti itu terha-
dap Datuk Bunaeng! Rasanya, firasat ku akan menjadi
kenyataan kalau banjir darah akan dimulai!" desis De-
wa Jubah Biru tetap dengan mengedip-ngedipkan ma-
tanya.
"Orang tua... bila memang firasat mu mengata-
kan demikian, apakah kita tidak sebaiknya mengambil
tindakan?" tanya Raja Naga setelah memperhatikan
sekelilingnya. Dia tetap tak menemukan si nenek yang
selalu mengunyah sirih yang hendak mencuri kalung
Laba-laba Perak yang merupakan tanda sahnya seseo-
rang menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak.
"Tindakan apa yang harus kulakukan? Siapa
yang akan berbuat makar pun aku tidak tahu, kecuali
melihat tanda-tanda yang diperlihatkan oleh Datuk
Bunaeng!" Raja Naga tak menjawab. Dia justru berkata
dalam hati, "Keadaan memang mulai terasa mence-
maskan. Kulihat ada beberapa kelompok orang yang
mulai meninggalkan tempat ini. Mungkin mereka me-
rasa sia-sia datang tetapi acara belum juga dilaksana-
kan. Bisa jadi pula kalau mereka menangkap gelagat
yang tidak menguntungkan dan enggan untuk turut
campur. Dan rasanya... tak mungkin kalau Pangku Ja-
ladara yang belum kuketahui siapa orangnya, menun-
da acara penobatannya sedemikian lama. Apakah telah
terjadi sesuatu di dalam perguruan itu? Atau jangan-
jangan... si nenek yang selalu mengunyah sirih dan se-
tiap kali berkata selalu memakai 'katanya', telah mela-
kukan aksinya?"
Dewa Jubah Biru berkata, "Mengapa kau diam
saja, hah?! Apakah kau mendadak bisu, atau kau se-
dang memikirkan sesuatu?"
Raja Naga memandang si kakek yang tetap tak
menoleh padanya. "Hemmm... kakek ini nampaknya
adalah orang dari golongan lurus. Sebaiknya, kuceri-
takan saja pertemuanku dengan si nenek yang selalu
mengunyah sirih."
Memutuskan demikian. Raja Naga segera mence-
ritakan perjumpaannya dengan si nenek. Usai dia ber-
cerita, kepala Dewa Jubah Biru berpaling. Dipandan-
ginya pemuda itu dengan seksama. Bukannya dia
membuka mulut, justru keningnya yang berkerut. "Gi-
la! Tatapannya itu... begitu angker sekali! Murid siapa-
kah dia? Hemm... rasanya aku salah bila tadi dia ku-
minta untuk meninggalkan tempat ini."
Kemudian Dewa Jubah Biru berkata, "Katamu
tadi, si nenek yang mengunyah sirih, bertubuh bong-
kok, ada konde kecil di kepalanya dan mengenakan
kebaya butut?"
Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Hemm... Dewi Pengunyah Sirih!" desis Dewa Ju-
bah Biru kemudian. "Apa-apaan dia mengatakan kalau
dia hendak mencuri kalung Laba-laba Perak!”
"Tahukah kau siapakah sesungguhnya Dewi Pen-
gunyah Sirih itu. Orang Tua?" tanya Raja Naga.
"Jangan tanyakan aku soal itu! Aku sendiri ma-
sih gelap tentang dirinya, kecuali sepak terjangnya
yang sama sekali tidak terduga. Hemm... aku masih
dibingungkan dengan maksudnya untuk mencari ka-
lung Laba-laba Perak! Anak muda... apakah kau tidak
salah mendengar?"
"Aku jelas mendengar kata-katanya!"
"Brengsek! Jangan-jangan...," Dewa Jubah Biru
memutus kata-katanya sendiri. Sambil memandangi
Raja Naga dia berkata, "Apa yang akan kau lakukan
sekarang?"
"Hemmm... dia sudah bertanya seperti itu dan
tentunya dia juga mulai curiga mengapa-acara ini be-
lum juga dilaksanakan," kata murid Dewa Naga dalam
hati. Lalu, "Orang tua... aku menduga, kalau Dewi
Pengunyah Sirih telah mengambil kalung Laba-laba
Perak, sehingga acara penobatan Ketua Perguruan La-
ba-laba Perak belum juga dilaksanakan."
"Aku juga menduga demikian!"
"Kalau begitu... aku akan mencoba untuk menye-
linap dan melihat keadaan di dalam Perguruan Laba-
laba Perak."
"Bagus! Aku menyukai anak muda yang pembe-
rani! Berhati-hatilah!"
Bersamaan pertunjukan di atas pentas selesai
dan digantikan dengan seorang murid Perguruan Laba-
laba Perak yang mempertunjukkan ilmu perguruan itu.
Raja Naga segera menyelinap di antara orang-
orang yang hadir. Dia mengambil jalan ke kanan, lalu
berkelebat ke belakang.
Perguruan Laba-laba Perak dikeliling tembok
yang cukup tinggi. Sebelum dia melompati tembok itu,
terdengar suara cukup keras, "Perketat penjagaan!
Tentunya pencuri itu masih berada di sekitar sini! Dan
ingat, jangan sampai orang luar tahu, kalau kalung
Laba-laba Perak telah dicuri orang!"
"Bagaimana dengan Ketua?"
"Walaupun agak bingung, resah dan marah. Ke-
tua Pangku Jaladara masih bisa mengendalikan diri.
Cepat kalian menyebar! Dan usahakan menyelinap di
antara orang-orang yang berada di luar! Cari tahu sia-
pa si pencuri keparat itu! Barangkali saja dia menyeli-
nap di antara orang-orang itu!"
Di tempatnya, Raja Naga terpaku mendengar su-
ara-suara itu. Tanpa sadar dadanya berdebar cukup
keras.
"Dugaanku tepat, kalau kalung Laba-laba Perak
telah dicuri orang! Hemm... kemungkinannya besar se-
kali kalau Dewi Pengunyah Sirih yang telah mencuri
kalung itu! Aku harus bertindak!"
Memutuskan demikian. Raja Naga segera melom-
pat ke atas tembok tanpa menimbulkan suara. Dipan-
danginya sekelilingnya terlebih dulu. Setelah tak dili-
hatnya siapa pun di sana, dengan mempergunakan il-
mu peringan tubuhnya, pemuda dari Lembah Naga ini
melompat ke atap bangunan besar itu, tetap tak me-
nimbulkan suara sama sekali.
Dari atas, dilihatnya beberapa murid Perguruan
Laba-laba Perak hilir mudik. Gerakan mereka cepat
dan tak ada yang bersuara.
"Hemmm..! mereka telah terlatih untuk menan-
gani masalah seperti ini," desis Raja Naga.
Kemudian dilihatnya kalau beberapa orang
menggotong beberapa mayat dan membawanya ke be-
lakang bangunan itu.
"Astaga! Rupanya si pencuri telah melakukan
tindakan keji! Huh! Seharusnya, kuhentikan saja kein-
ginan Dewi Pengunyah Sirih sebelum dia melakukan
tindakan seperti ini!"
Di luar bangunan itu, hadirin sudah mulai ribut
karena acara belum juga dimulai. Lagi-lagi beberapa
kelompok meninggalkan tempat itu dengan kekece-
waan dan hati mangkel.
Datuk Bunaeng berseru, "Pangku Jaladara! Tin-
dakanmu ini hanya akan memancing kerusuhan saja!
Cepat kau mulai acara ini! Atau... aku akan mengambil
tindakan atas ulah mu!"
Perempuan berpakaian hijau dipenuhi berlian
yang begitu rendah pada bagian bukit kembarnya, ter-
kikik merdu.
"Datuk Bunaeng... mengapa kau jadi tak begitu
sabaran sekali? Apakah kau memang berniat untuk
melakukan tindakan makar lantas kau mengambil ke-
sempatan dengan berlagak mulai jengkel karena me-
nunggu terlalu lama?!"
Sepasang mata Datuk Bunaeng menghujam tepat
pada bola mata Indah milik Dewi Berlian! Tajam, lak-
sana sembilu bermata dua. Tetapi Dewi Berlian hanya
menyeringai saja. Bahkan dengan sengaja menggerak-
kan bukit kembarnya yang besar menggiurkan itu.
Ratu Tongkat Ular berbisik geram, "Datuk, bila
kau hendaki, aku akan menghancurkan kepala perem-
puan itu sekarang juga...."
Datuk Bunaeng menggelengkan kepala.
"Kesempatan itu akan, datang tak lama lagi..."
Di pihak lain, gadis yang di punggungnya bersi-
langan sepasang pedang, tak berkedip pada Lesmana
yang juga sedang menatapnya.
"Keparat! Bagaimana mungkin dia masih hidup?
Jurus 'Pedang Bayangan' telah mengenainya! Ini sulit
untuk...." Ratih memutus kata batinnya sendiri. Di-
perhatikannya kakek berjubah biru yang selalu men-
gedip-ngedipkan matanya yang berdiri di sebelah Les-
mana. Lalu lanjutnya dalam hati, "Bisa jadi kalau ka-
kek itulah yang telah menyelamatkannya. Dan kalau
memang benar, sudah barang tentu kakek itu bukan
orang sembarangan...."
Kembali pada Raja Naga, pemuda dari Lembah
Naga itu sedang menarik napas pendek. Matanya yang
bersorot angker, tak berkedip memperhatikan murid-
murid Perguruan Laba-laba Perak sedang mengumpul-
kan mayat-mayat murid yang lain.
Didengarnya suara-suara di bawahnya, "Ten-
tunya... si pencuri dan pelaku pembunuhan ini adalah
orang yang sama yang telah membunuh Ketua Resi
Kala Jinjit! Kita harus bersiaga penuh!"
"Bagaimana dengan para tamu?" tanya yang
lainnya. "Sebagian sudah meninggalkan tempat ini."
"Biarkan mereka tetap menunggu," terdengar su-
ara berwibawa itu. Raja Naga melihat satu sosok tubuh
yang mengenakan pakaian panjang berwarna kepera-
kan melangkah mendekati. Orang-orang itu yang sege-
ra merangkapkan tangan di depan dada. Sosok tubuh
ini berwajah cukup tampan dengan tubuh yang tegap.
Usianya diperkirakan sekitar tiga puluh dua tahun. La-
lu dilanjutkan lagi kata-katanya, "Karena... bila mere-
ka tahu apa yang sedang kita alami ini, tak mustahil
kejadian ini akan mencoreng wajah kita dengan arang
yang sangat hitam!"
"Ketua... kami sudah memeriksa pelosok pergu-
ruan! Tetapi kami tak menemukan jejak-jejak yang be-
rarti"
Lelaki yang ternyata adalah Pangku Jaladara
menganggukkan kepala.
"Ya! Memang sungguh mengherankan! Kita tak
mengetahui adanya pencuri yang masuk ke tempat ini!
Bahkan Kalung Laba-laba Perak berada di kamarku!
Dan tak ada tanda-tanda pengrusakan yang telah dila-
kukan oleh si pencuri!"
"Ketua... bukan lancang aku bicara.... Apakah
Ketua menduga adanya orang dalam yang telah mela-
kukan pencurian ini?"
"Aku tak sampai mengarah pada dugaan itu. Te-
tapi biar bagaimanapun juga, keadaan ini sungguh
menyulitkan. Kita tak boleh membiarkan kabar ini ter-
sebar keluar. Aku akan muncul ke depan untuk...."
Kata-kata Pangku Jaladara terputus tatkala em-
pat-orang murid Perguruan Laba-laba Perak muncul
dengan membawa empat orang yang telah menjadi
mayat. Mereka membanting mayat-mayat itu di atas
tanah!
"Lapor! Kami menemukan kejanggalan yang san-
gat berarti, Ketua!" kata salah seorang dengan napas
terengah. "Mereka adalah bukan murid-murid Pergu-
ruan Laba-laba Perak!"
"Hemm... siapakah mereka?"
"Sebelum mampus kami bunuh, salah seorang
mengaku adalah suruhan dari Datuk Bunaeng!"
Berubah paras Pangku Jaladara mendengar lapo-
ran muridnya.
"Suruhan Datuk Bunaeng! Astaga! Jangan-
Jangan... dialah yang telah mencuri kalung itu!"
"Tetapi sebelum kejadian itu. Datuk Bunaeng su-
dah datang di sini. Ketua!"
"Empat orang ini adalah suruhannya! Dan sudah
tentu dia Juga menyuruh yang lainnya! Kita keluar se-
karang! Selagi para tokoh hadir di sini, aku akan men-
gadili Datuk Bunaeng! Hemm... tentunya dia akan me-
nuntut balas atas kekalahannya dulu dari mendiang
Resi Kala Jinjit!"
Kemudian diiringi Sepuluh orang murid Pergu-
ruan Laba-laba Perak, Pangku Jaladara segera beran-
jak keluar.
Di atas bangunan besar itu. Raja Naga yang
mendengar Semuanya mendesis, "Celaka! Keadaan
memang sudah berubah menjadi gawat! Datuk Bu-
naeng memang berniat untuk melakukan tindakan
makar! Tetapi... apa memang dia yang telah melaku-
kan pencurian sementara jelas-jelas kudengar kalau
Dewi Pengunyah Sirih hendak melakukan tindakan
itu? Hemm... aku tak boleh tinggal diam. Sebaiknya...."
Memutuskan demikian, Raja Naga memperhati-
kan sekelilingnya. Setelah dirasakan aman, dia segera
melompat turun dan menyelinap masuk ke bangunan
besar itu. Dengan mempergunakan ilmu peringan tu-
buhnya, pemuda tampan berambut dikuncir kuda ini
segera meneliti keadaan di dalam...
Dinding-dinding bangunan itu dipenuhi dengan
ukiran seekor laba-laba berwarna perak. Boma Paksi
terus menyelinap memperhatikan sekelilingnya. Dia ti-
ba di sebuah kamar yang indah dan bagus yang diya-
kininya adalah kamar Pangku Jaladara. Diperhatikan-
nya sekeliling ruangan itu.
Seperti yang dikatakan oleh Pangku Jaladara, di
kamar itu tak ada tanda-tanda pengrusakan yang telah
dilakukan seseorang untuk mengambil kalung Laba-
laba Perak. Di saat Raja Naga sedang meneliti ruangan
itu, di halaman depan. Pangku Jaladara kembali lagi
ke dalam. Dia hendak mengambil senjatanya yang be-
rupa tombak berukiran seekor laba-laba pada bagian
hulunya. Kesepuluh muridnya menunggu dengan hati
tak sabar.
Raja Naga mendengar suara langkah di luar. Bu-
ru-buru dia menyelinap keluar dan bersembunyi di be-
lakang sebuah lemari berukiran laba-laba.
"Hemmm.... Pangku Jaladara. Bagus! Rupanya
dia belum melaksanakan niatnya...."
Ditunggunya Pangku Jaladara yang kemudian
keluar lagi dengan membawa sebuah tombak yang di
hulunya terdapat ukiran Laba-laba Perak. Setelah itu.
Raja Naga memutuskan untuk menyelinap keluar. Ka-
lau Pangku Jaladara terus melangkah ke depan. Raja
Naga kembali ke tempat dari mana dia datang.
Di belakang bangunan itu, sepi merentak. Langit
cerah laksana bangunan yang gelap dan mengerikan.
Raja Naga memperhatikan sekelilingnya.
Namun sebelum dia meninggalkan tempat itu, ti-
ba-tiba saja sebuah benda jatuh dari atas. Menangkap
adanya desiran angin. Raja Naga seketika mendongak
dan refleks menangkap benda yang jatuh ke arahnya.
Tap!
Segera dilihatnya benda apa yang telah ditang-
kapnya.
Astaga! Sebuah kalung Laba-laba Perak!
Untuk beberapa saat lamanya, anak muda dari
Lembah Naga ini menatap benda itu dengan rasa tidak
percaya. Bahkan didongakkan kepalanya untuk meli-
hat dari mana benda ini jatuh. Kejap lain, dia sudah
melompat ke atas, tetapi tak dilihatnya siapa pun di
sana kecuali dirinya.
"Aneh! Siapa orangnya yang telah melemparkan
kalung Laba-laba Perak ini?!" desisnya sambil mem-
perhatikan lagi kalung itu. Tertimpa cahaya purnama,
kalung itu sedemikian indah, berkilau-kilau.
"Hemmm... mengapa si pencuri justru, melem-
parkannya kepadaku? Apa maksudnya?"
Sambil menatap kalung itu. Raja Naga melompat
turun. Cukup lama dia terdiam memikirkan kemung-
kinan yang terjadi, sampai kemudian kepalanya mene-
gak. Sorot matanya kian angker karena kedua ma-
tanya membuka lebar.
"Astaga. Jangan-jangan.., si pencuri hendak me-
limpahkan tanggung jawabnya kepadaku! Terkutuk!
Aku harus...”
"Lihat! Di tangannya tergenggam kalung Laba-
laba Perak! Jelas dia pencurinya!" seruan keras itu
mendadak saja terdengar,
"Bunuh pemuda itu!" Serta-merta Raja Naga me-
noleh. Dilihatnya enam orang murid Perguruan Laba-
laba Perak telah mengurungnya!
***
LIMA
PADA saat yang bersamaan, Pangku Jaladara di-
iringi sepuluh orang muridnya telah keluar dari ban-
gunan besar itu. Mereka tidak menaiki panggung. Tin-
dakan itu justru mengejutkan orang-orang yang masih
tersisa di sana. Dan orang-orang itu hanya tinggal.
Dewi Berlian, Datuk Bunaeng, Ratu Tongkat Ular, Ra-
tih. Dewa Jubah Biru dan Lesmana! Kemarahan nam-
pak membiasi wajah Pangku Jaladara. Darahnya ber-
golak menahan kebencian yang sangat dalam. Sambil
melangkah diarahkan pandangannya lekat-lekat pada
Datuk Bunaeng.
Dewa Jubah Biru berkata tetap dengan matanya
yang berkedip-kedip, "Nampaknya... sesuatu akan ter-
jadi...."
Sejarak delapan langkah dari hadapan Datuk
Bunaeng, Pangku Jaladara berhenti. Sepuluh murid-
nya berdiri di belakangnya dengan siaga penuh.
Cukup lama lelaki berpakaian, keperakan ini tak
buka mulut. Hanya sorot mata kemarahannya yang
menusuk.
Perlahan-lahan terdengar desisannya, "Aku men-
gundang siapa pun juga datang ke sini, untuk menja-
lin persahabatan dan membuang segala permusuhan
dan dendam! Tetapi bila orang yang kuundang datang
dengan maksud tidak baik, sudah tentu tak akan per-
nah ku maafkan!"
Merasa kata-kata itu ditujukan kepadanya, Da-
tuk Bunaeng segera angkat bicara, "Pangku Jaladara!
Kau belum menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak!
Tetapi kelancanganmu bicara sungguh tak enak diden-
gar!"
"Berdusta hanyalah sebuah kebodohan yang ha-
rus dipertanggungjawabkan! Datuk Bunaeng... kau te-
lah menyusupkan empat orang ke dalam tubuh pergu-
ruanku dan melakukan tindakan makar! Tentunya...
kau juga yang telah memerintahkan mereka atau en-
tah siapa untuk mengambil kalung Laba-laba Perak
dengan maksud mengacaukan upacara ini!"
Kening Datuk Bunaeng beberapa lama berkerut.
Dia memang mrnyusupkan empat orang suruhannya
yang jelas-jelas sudah diketahui oleh Pangku Jaladara.
Dia juga akan melakukan tindakan makar. Tetapi
mencuri kalung Laba-laba Perak tak pernah terpikir-
kan olehnya.
Makanya dia menjadi bertambah murka. Keben-
ciannya pada mendiang Resi Kala Jinjit dan hendak di-
tuntaskan dengan cara menghancurkan Perguruan
Laba-laba Perak semakin menjadi-jadi.
Tangan kurusnya menuding. Suaranya bergetar
sarat dengan kemarahan, "Kau telah menuduh yang
bukan-bukan! Dan tindakan seperti ini tak akan per-
nah ku maafkan!"
"Terkutuk! Mengkaji kejadian lalu, kau pernah
dikalahkan oleh guru kami. Resi Kala Jinjit! Dan ten-
tunya kau akan melakukan tindakan makar kendati
Resi Kala Jinjit telah tewas!"
"Bagus kalau kau sudah mengerti, hingga kini ku
persilakan untuk segera menyelamatkan nyawa berlalu
dari tempat ini!"
Mengkelap wajah Pangku Jaladara.
"Orang tua keparat! Kau hidup hanya menoreh-
kan arang hitam di rimba persilatan ini! Sebaiknya...
kau mampus!!"
Belum habis seruannya, gemuruh angin sudah
menerjang ke arah Datuk Bunaeng. Disusul dengan
kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya!
Datuk Bunaeng menggeram. Dia sudah hendak
menggerakkan tangan kanannya, tetapi satu bayangan
hitam telah berkelebat dari sampingnya.
"Urusan seperti ini biar aku yang menangani!"
suara itu terdengar keras.
Blaaarrr!!
Gemuruh angin yang keluar dari tombak yang di-
gerakkan oleh Pangku Jaladara, tertahan akibat ge-
lombang angin yang keluar dari a3runan tongkat si ne-
nek berpakaian compang-camping. Menyusul suara
beradunya tongkat dan tombak.
Kejap itu pula masing-masing orang surutkan
langkah. Pangku Jaladara tak berkedip pada Ratu
Tongkat Ular.
"Aku sama sekali tak punya urusan denganmu!
Kakek berambut dikelabang itu telah mencuri kalung
Laba-laba Perak! Dialah yang harus dihukum!"
"Mungkin kau tak mengenalku hingga hanya
memandang sebelah mata saja! Tetapi aku punya den-
dam tinggi pada mendiang Resi Kala Jinjit! Dia pernah
mengalahkanku! Sayangnya, dia telah mampus! Tetapi
dendam ku tak akan pernah surut! Siapa pun orang-
nya yang masih berhubungan dengan Resi Kala Jinjit
dia akan mampus di tanganku!!"
Habis ucapannya. Ratu Tongkat Ular memutar
senjatanya yang serta-merta menimbulkan gemuruh
angin lintang pukang. Di tempatnya. Pangku Jaladara
tak mengedipkan mata. Diperhatikannya serangan
yang sebentar lagi akan datang. Begitu tubuh si nenek
melompat menerjang, dia pun segera melakukan tin-
dakan yang sama.
Pangku Jaladara adalah murid utama dari Resi
Kala Jinjit. Kemampuannya hampir setingkat dengan
Resi Kala Jinjit. Pada empat jurus pertama, dia nam-
pak memang agak kewalahan karena Ratu Tongkat
Ular tak sekali pun memberinya kesempatan untuk
membalas. Tetapi dengan tombak yang dihunuskan
dan mengeluarkan cahaya bening, membuat Ratu
Tongkat Ular mundur beberapa langkah.
"Keparat!!" makinya gusar.
Pangku Jaladara tak meneruskan serangannya.
Tombaknya ditancapkan di atas tanah, hingga hulunya
yang terdapat ukiran Laba-laba Perak mencuat ke
atas!
"Ratu Tongkat Ular... urusanku sekarang ini
hanya dengan Datuk Bunaeng yang telah mencuri ka-
lung Laba-laba Perak! Sebaiknya menyingkir!"
Bukan alang kepalang kegusaran Ratu Tongkat
Ular mendengar kata-kata yang meremehkannya. Te-
tapi sebelum dia melancarkan serangan, lima orang
murid Perguruan Laba-laba Perak sudah menerjang ke
depan. Mereka bergerak menyusur di atas tanah den-
gan tangan dan kaki berfungsi untuk melangkah.
Langkah masing-masing orang cepat dan mereka me-
nyergap Ratu Tongkat Ular.
Pangku Jaladara memicingkan matanya pada Da-
tuk Bunaeng.
"Niatku untuk membina persahabatan ternyata
gagal akibat ulah mu sendiri! Kembalikan kalung Laba-
laba Perak, maka kau akan kuampuni!"
"Terkutuk!!" makian itu justru terdengar dari mu-
lut gadis berpakaian kuning. Sosoknya sudah maju sa-
tu langkah. Di liriknya sesaat Ratu Tongkat Ular yang
sedang membalas mendesak lawan-lawannya. Bahkan
tiga orang dari lawannya sudah mampus dengan kepa-
la pecah. Tetapi segera dibantu oleh lima orang murid
Perguruan Laba-laba Perak lainnya. Terdengar lagi
bentakan si gadis yang bukan lain Ratih adanya,
"Pangku Jaladara! Resi Kala Jinjit juga telah membu-
nuh guruku! Malam ini aku datang, untuk menghan-
curkan siapa saja yang berhubungan dengan Resi Kala
Jinjit!!"
Sejenak Pangku Jaladara memperhatikan gadis
yang sedang marah itu. Lalu dengan sikap tenang dia
berkata, "Urusan itu bisa kita selesaikan nanti! Saat
ini aku...."
"Sombong! Mampuslah kau!!"
Sambil menerjang Ratih sudah meloloskan sepa-
sang pedangnya. Tak tanggung lagi, gadis manis yang
murka dan mendendam akibat kematian gurunya ini
sudah mengeluarkan jurus andalannya, ‘Pedang
Bayangan'.
Di pihak lain, Lesmana mendesah pendek. "Ratih
benar-benar telah terbawa oleh hawa nafsunya sendiri.
Ah, aku harus melakukan tindakan...."
Didengarnya suara Dewa Jubah Biru, "Adik se-
perguruanmu itu bukanlah tandingan Pangku Jalada-
ra! Bila Pangku Jaladara menginginkan kematiannya,
maka akan dengan mudah dilakukannya! Dan untuk
saat ini, nampaknya Pangku Jaladara akan kesulitan
untuk mengendalikan amarahnya. Dia telah mengeta-
hui niat busuk dari Datuk Bunaeng yang dituduhnya
telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Firasat ku be-
nar, juga firasat pemuda yang kedua tangannya-
sebatas siku dipenuhi sisik coklat! Lesmana... bila kau
masih ingin melihat adik seperguruanmu itu hidup,
kau harus menyelamatkannya...."
Mendengar kata-kata si kakek yang selalu men-
gedip-ngedipkan matanya, Lesmana segera melesat ke
depan seraya berseru, "Ratih! Tahan segala amarah
mu!!"
Melihat Lesmana melesat ke arahnya, Ratih men-
jadi semakin murka. Kebenciannya pada kakak seper-
guruannya yang dianggapnya sebagai seorang penge-
cut dan pengkhianat ini semakin membesar! Serta
merta dia menyerang Lesmana.
Kalau sebelumnya Lesmana membiarkan dirinya
diserang karena tak ingin menambah kemarahan adik
seperguruannya, kali ini dia membalas. Bahkan dia in-
gin membuat gadis itu pingsan agar tidak lagi terbawa
emosinya
Pangku Jaladara sejenak memperhatikan pemu-
da yang kini mengambil alih tindakannya. Lalu dita-
tapnya Datuk Bunaeng dengan geraman sengit, "Se-
rahkan kembali kalung Laba-laba Perak itu kepadaku!
Kau sama sekali tak berhak atas benda keramat itu!"
"Setan terkutuk! Kuhancurkan tubuhmu!!"
Menyentak ucapannya. Datuk Bunaeng sudah
mendorong tangan kanannya.
Wrrrr!!
Seketika gelombang angin hitam bergemuruh
menerjang ke arah Pangku Jaladara yang menjereng-
kan sepasang matanya. Secepat kilat Pangku Jaladara
mencabut tombaknya dan memutarnya.
Blaaam! Blaaammm!!
Gelombang angin hitam itu putus di tengah jalan
saat menabrak putaran tombak Pangku Jaladara.
Dewa Jubah Biru mendesah pendek, "Kendati
Pangku Jaladara telah mewarisi ilmu Resi Kala Jinjit,
tetapi dia tak memiliki pengalaman banyak. Aku yakin,
dalam sepuluh jurus berikutnya dia akan kewalahan"
Sementara itu, perempuan berpa3mdara besar
yang sebagian terbuka, diam-diam menyeringai.
"Sempurna! Sangat sempurna apa yang telah ter-
susun ini! Seperti yang telah diharapkan. Dewa Jubah
Biru telah hadir di sini! Dan tentunya dia tak akan
tinggal diam. Berarti, urusan ini memang sangat sem-
purna! Orang-orang Datuk Bunaeng yang menjrusup
ke Perguruan Laba-laba Perak telah diketahui, hingga
semua ini diatur dengan baik! Bagus! Sungguh me-
nyenangkan! Kutunggu saja apa yang akan dilakukan
oleh Dewa Jubah Biru."
Sementara itu. Dewa Jubah Biru membatin,
"Keadaan ini sangat rumit! Kutangkap gelagat-gelagat
yang tak menguntungkan! Beruntungnya, karena
hanya tinggal kami di sini! Bila saja orang-orang rimba
persilatan lainnya masih berkumpul di sini, rimba per-
silatan akan menjadi geger oleh banjir darah! Dan...
hei! Mengapa pemuda berompi ungu yang memiliki ta-
tapan angker itu belum muncul juga?!"
Beralih pada Raja Naga, saat ini pemuda yang
kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu, se-
dang menghadapi ganasnya serangan demi serangan
yang dilancarkan enam orang murid Perguruan Laba-
laba Perak. Ia masih tak mengerti mengapa kalung La-
ba-laba Perak yang dikatakan hilang dicuri orang itu
tiba-tiba berada di tangannya.
"Jangan bertindak gegabah!" serunya tanpa me-
lakukan serangan balasan. "Aku bukanlah pencuri se-
perti yang kalian tuduhkan!"
"Gila! Barang bukti itu berada di tanganmu, dan
sekarang kau mengatakan tidak mencurinya!" bentak
orang yang sebelumnya pertama kali berbicara di atas
panggung. Lelaki ini sedemikian geramnya dan dialah
yang melancarkan serangan dengan ganas. "Kau mun-
cul dengan maksud untuk melakukan tindakan bu-
suk!"
Raja Naga berkelit. Sambil berkelit itu seharus-
nya dia dapat segera melancarkan serangannya atau
melumpuhkan orang itu. Tetapi hal itu tidak dilaku-
kannya.
Lelaki yang menyerang dari bagian kanan dan di-
kenali Boma Paksi adalah lelaki yang pertama kali ber-
jumpa dengannya dan menyerahkan sebuah undan-
gan, berteriak penuh amarah, "Aku tahu siapa kau se-
benarnya, Pemuda celaka! Kau adalah Raja Naga! Dan
tak kami sangka kalau Raja Naga yang selama ini di-
kenal sebagai orang golongan lurus, datang untuk
mengacaukan upacara penobatan Kakang Pangku Ja-
ladara!"
"Brengsek! Siapa orangnya yang telah melempar
kalung ini padaku?! Huh! Jangan-jangan Dewi Pengu-
nyah Sirih! Kurang ajar betul! Dia telah lempar batu
sembun5d tangan! Akan ku jitak kepalanya kalau suatu
ketika bertemu lagi dengannya!!"
Karena tak ingin kesalahpahaman ini terjadi te-
rus menerus, akhirnya Raja Naga bermaksud melum-
puhkan para penyerangnya. Dalam waktu yang singkat
saja, kelima penyerangnya sudah dibuat jatuh ping-
san. Tetapi yang pertama kali memberikan undangan
padanya, berhasil meloloskan diri keluar Sambil berte-
riak keras, "Kakang Pangku Jaladara! Pencurinya su-
dah ketahuan!!"
Pangku Jaladara yang saat ini telah didesak oleh
Datuk Bunaeng, melompat ke belakang dengan cara
bersalto dua kali di udara. Dia hinggap tepat di hada-
pan murid Perguruan Laba-laba Perak itu.
"Duto! Ada apa?!"
Pemuda bernama Duto itu menunjuk-nunjuk ke
arah Perguruan Laba-laba Perak.
"Pencuri kalung itu... adalah Raja Naga! Kalung
itu ada padanya!"
"Apa?! Raja Naga?! Keparat! Tentunya, dia pula
yang telah membunuh Guru!" maki Pangku Jaladara
sambil melesat ke dalam disusul Duto, Datuk Bunaeng
yang tadi sudah hampir membunuh Pangku Jaladara
menggeram dingin.
"Huh! Tibalah saatnya untuk menghancurkan
perguruan itu!"
Dewi Berlian yang sejak tadi hanya memperhati-
kan, bertepuk tangan pelan. Sambil berkata, "Rupanya
kau hadir untuk membalas kekalahanmu dari men-
diang Resi Kala Jinjit! Ah, memang sangat disayang-
kan!"
Datuk Bunaeng sudah hendak berkelebat mema-
lingkan kepalanya. Tatapan kakek berambut dikela-
bang ini garang pada Dewi Berlian yang sedang terse-
n5mm.
"Terkutuk! Perempuan cabul! Sejak pertama kali
tadi aku sudah tak bisa menahan marah! Sekarang...
bersiaplah untuk mampus!!"
"Hemm... tunggu! Jangan terlalu dibawa amarah
mu. Datuk!" sahut Dewi Berlian sambil menggerakkan
bukit kembarnya yang besar, hingga bagian atasnya
yang sebagian besar terlihat itu bergerak indah. Hanya
dengan sekali menarik pakaian hijaunya yang penuh
berlian itu, sudah barang tentu benda bulat besar yang
putih dan menggiurkan akan terpampang jelas. Masih
tersen3mm Dewi Berlian menyambung kata-katanya,
"Datuk Bunaeng, apakah kau tidak mendengar ucapan
salah seorang murid Perguruan Laba-laba Perak itu?
Pencuri kalung Laba-laba Perak ternyata bukan kau
adanya, seperti yang dituduhkan oleh Pangku Jalada-
ra! Melainkan seorang pemuda berjuluk Raja Naga!
Apakah kau tidak berpikir kalau semua ini akibat ulah
Raja Naga?!"
"Hemmm... sejak dulu perempuan ini kukenal
sebagai orang yang memiliki sifat licik tiada banding.
Dia sangat pandai mempergunakan tubuhnya yang in-
dah itu untuk menaklukkan orang. Dan seingatku pu-
la, dia juga pernah dikalahkan oleh Resi Kala Jinjit,"
kata Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu berkata menyen-
tak, "Perempuan keparat! Kau mengatakan aku hadir
di sini untuk membalas dendam, memang betul! Teta-
pi, apakah kehadiranmu di sini juga hanya untuk
mengikuti penobatan bodoh Pangku Jaladara sebagai
Ketua Perguruan Laba-laba Perak?!"
"Aku bukanlah orang pendendam...."
Datuk Bunaeng sama sekali tak mempercayai ka-
ta-kata itu.
"Atau... kau sedang menunggu kesempatan un-
tuk melampiaskan dendammu?"
"Kukatakan tadi, aku bukanlah orang yang pen-
dendam! Tetapi yang mengherankanku, mengapa kau
masih berniat untuk menghancurkan Perguruan Laba-
laba Perak sementara orang yang telah membuatmu
men-dendam telah mampus tanpa diketahui siapa
pembunuhnya?! Ah, ini tindakan yang sangat lucu.
Datuk Bunaeng! Kau seharusnya..."
"Tutup mulutmu!”
"Astaga!" Dewi Berlian membuka mulutnya hing-
ga membentuk lorong. Bagian dalam mulutnya yang
berwarna merah jambu terpampang. Lidahnya yang
berwarna sama terlihat jelas. Lalu dengan gerakan
yang sangat merangsang, dijilat bibirnya sendiri.
Untuk sesaat Datuk Bunaeng tertegun melihat
apa yang dilakukan perempuan berpayudara besar itu.
Tetapi di lain saat, dia sudah menggeram dingin, "Se-
baiknya... jangan turut campur urusan ini bila masih
sayang nyawa!"
"Yang ku pikirkan hanya satu! Jelas-jelas sudah
terbukti kalau Raja Naga yang telah mencuri kalung
Laba-laba Perak, lambang dari perguruan ini! Dan he-
rannya, kau masih diteror oleh dendammu sendiri!
Menghancurkan sisa-sisa orang Perguruan Laba-laba
Perak sudah tentu dengan mudah kau lakukan! Tetapi,
apakah kau ingin orang-orang rimba persilatan mem-
burumu karena dianggap telah mencuri kalung Laba-
laba Perak? Ah, sangat disayangkan sekali bila kau
melakukan tindakan bodoh itu! Padahal, Raja Naga
yang seharusnya kau buru!"
Datuk Bunaeng tak menjawab. Diliriknya Ratu
Tongkat Ular yang telah menuntaskan lawan-lawannya
sejak tadi. Dilihatnya pula bagaimana murid mendiang
Setan Bayangan sedang didesak pemuda berwajah cu-
kup tampan. Kendati demikian. Datuk Bunaeng jelas
menangkap kalau si pemuda menyerang Ratih tidak
sepenuh hati.
Kembali diarahkan tatapannya pada Dewi Ber-
lian.
"Kata-kata perempuan celaka ini memang benar!
Raja Naga yang telah mencuri kalung itu, dan menim-
pakan urusan ini padaku! Terkutuk! Dialah yang ha-
rus kukejar!"
Tanpa membuka mulut. Datuk Bunaeng melesat
ke dalam. Dewi Berlian menyeringai, lalu segera me-
n5rusul.
Di pihak lain. Dewa Jubah Biru mengerutkan ke-
ningnya. Matanya yang selalu berkedip-kedip, semakin
cepat berkedip.
"Raja Naga telah mencuri kalung Laba-laba Pe-
rak? Astaga! Ada apa ini? Mengapa dia melakukannya?
Dan mengapa dia mengatakan kalau Dewi Pengunyah
Sirih yang hendak melakukan tindakan itu? Selama ini
kudengar kalau Raja Naga berada dalam golongan
orang lurus, tetapi tindakannya itu?! Astaga naga!
Mengapa ini terjadi? Mengapa?!"
Kakek berjubah biru ini mengarahkan pandan-
gannya pada Lesmana yang terus mendesak Ratih.
"Hemmm... Lesmana tetap berhati lembut! Dia ti-
dak melakukan serangan ganas pada adik sepergu-
ruannya! Ah, ketabahan macam apa yang dimilikinya?
Dan... hei. hei! nenek berpakaian compang-camping itu
mau membantu si gadis rupanya! Wah! Ini akan mem-
bahayakan jiwa Lesmana! tentunya dia akan kewala-
han sekarang karena gadis berpakaian kuning itu se-
perti menemukan angin kembali! Aku harus bertindak!
Aku harus menemukan Raja Naga lebih dulu!"
Memutuskan demikian, dengan gerakan laksana
bayangan. Dewa Jubah Biru sudah melesat ke depan.
Tangan kanannya digerakkan yang serta merta melesat
satu tenaga yang tak nampak. Kalau bukan Ratu
Tongkat Ular, sudah barang tentu orang tak akan
mengetahui kalau sedang diserang.
Segera si nenek yang siap menggetok kepala
Lesmana dengan tongkatnya, memutar tongkat itu.
Wrrrr!!
Angin keras menderu dan....
Blarrrr...!!
Niatnya terputus karena serangan Dewa Jubah
Biru, yang terus melesat. Tangan kirinya menotok
pinggang Ratih yang seketika menjadi lemas seolah tak
memiliki tenaga. Lalu dengan gerakan yang cepat, dis-
ambarnya tubuh gadis itu bersamaan dia menyambar
tubuh Lesmana.
Di saat lain, si kakek sudah bersalto di udara dan
tahu-tahu sudah berada pada jarak sekitar lima belas
langkah dari hadapan Ratu Tongkat Ular yang sejenak
kebingungan untuk melancarkan serangan.
Begitu dilihatnya Dewa Jubah Biru melesat ke
arah bangunan besar, si nenek segera mengejarnya di-
iringi teriakan, "Kubunuh kau, kakek keparat!!"
***
ENAM
DI DALAM bangunan besar itu. Datuk Bunaeng
menemukan Pangku Jaladara telah pingsan sementara
Duto telah tewas dengan kepala remuk. Begitu me-
nangkap gerakan di belakangnya, si kakek berambut
dikelabang telah melihat Dewi Berlian.
"Keparat!" terdengar makian Dewi Berlian keras.
"Datuk Bunaeng! Kau lihat sekarang?! Siapa orangnya
yang membikin keduanya celaka seperti ini kalau bu-
kan Raja Naga?!"
Datuk Bunaeng tak menjawab. Diperhatikan se-
kelilingnya yang sepi. Mayat-mayat bergeletakan di sa-
na-sini. Dan perlahan-lahan kemarahannya bangkit.
"Terkutuk! Akan kubunuh Raja Naga yang telah
mencorengkan arang di wajahku!"
Dewi Berlian membungkuk memeriksa tubuh
Pangku Jaladara.
"Keadaannya sangat kritis! Bila tidak disela-
matkan, dia bisa mampus!"
"Untuk apa kau melakukannya, hah?!" bentak
Datuk Bunaeng.
Dewi Berlian mengangkat kepalanya menoleh. Ta-
tapannya mengandung kegeraman dan kecurigaan.
"Datuk Bunaeng... tanpa kau melakukan tinda-
kan, tentunya dendammu telah terbalas! Perguruan
Laba-laba Perak telah hancur! Tapi satu hal yang ha-
rus kau ingat... namamu telah dicoreng oleh Raja Na-
ga!"
"Aku tak sepenuhnya mempercayai kata-kata pe-
rempuan ini. Rasanya tak mungkin kalau dia tidak
mendendam pada mendiang Resi Kala Jinjit, dan tak
bermaksud untuk menghancurkan Perguruan Laba-
laba Perak! Tetapi apa yang dikatakannya memang be-
nar! Tanpa aku yang melakukannya, perguruan ini te-
lah terkubur dalam-dalam! Tetapi... Raja Naga masih
berkeliaran! Dia telah merusak segalanya! Berarti...."
Memutus kata batinnya sendiri. Datuk Bunaeng
menggeram sengit.
"Kau berada di pihak mana?!"
Dewi Berlian perlahan-lahan berdiri sambil terse-
n3mm.
"Aku tidak tahu berada di pihak mana. Tetapi,
sudah tentu aku akan berada pada pihak yang akan
menguntungkan diriku sendiri..."
"Kelicikannya benar-benar terjaga, tetapi tetap
tak kentara," desis Datuk Bunaeng dalam hati. Berdiri
dalam jarak sedekat itu, dia dapat mencium aroma me-
rangsang yang keluar dari tubuh Dewi Berlian. Belum
lagi matanya tertumbuk pada bungkahan sepasang
bukit indah, gempal dan menjanjikan itu.
Dewi Berlian tahu ke mana arah pandangan Da-
tuk Bunaeng. Tetapi dia berlagak tidak mengeta-
huinya. Bahkan dengan gerakan seperti tak sengaja
dia menarik napas dalam-dalam hingga bungkahan
pa5rudaranya semakin menyembul keluar. Bahkan Da-
tuk Bunaeng dapat melihat dua bundaran kecil ber-
warna kecoklatan yang sempat mengintip.
"Tetapi yang pertama akan kulakukan, adalah
menyelamatkan Pangku Jaladara..."
"Dengan maksud apa kau melakukannya?"
"Dialah satu-satunya orang yang masih tersisa
dari orang-orang perguruan Laba-Laba Perak! mungkin
suatu saat akan berguna!"
"Jelaskan!"
"Bodoh!" seru Dewi Berlian sambil tertawa. "Men-
gapa otakmu jadi sedemikian dungu, hah?! Sudah ten-
tu bila kita berhasil mendapatkan kembali kalung La-
ba-laba Perak dan membunuh Raja Naga, maka den-
gan mudah kita akan mengendalikan semuanya?"
Kening Datuk Bunaeng berkerut.
"Maksudmu.... Pangku Jaladara akan dijadikan
sebuah boneka...,"
"Tepat! Dan itu bisa dilakukan dengan cara..."
"Bergabung?"
"Ternyata kau tidak sedungu apa yang kuduga!"
sahut Dewi Berlian sambil tertawa. Tak dipedulikannya
dengusan Datuk Bunaeng, diteruskan kata-katanya.
"Ya! dengan cara bergabung, kita bukan hanya dapat
menjadikan Pangku Jaladara sebagai boneka yang
akan menjalankan apa yang kita inginkan! Tetapi kita
juga dapat menguasai rimba persilatan ini!"
Datuk Bunaeng tak bersuara, dipikirkannya ka-
ta-kata dewi berlian. Setelah itu diangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya! Kau benar! Pangku Jaladara dapat kita jadi-
kan boneka! Dengan kalung itu, maka dia akan tetap
sah menjadi ketua perguruan laba-laba perak yang
akan kita bangun kembali kelak tentunya dengan ke-
kuasaan kita!"
"Kau benar! Kita membagi tugas! aku akan men-
jaga Pangku Jaladara dan kau mengejar Raja Naga! Se-
telah itu aku akan menjrusulmu!"
Datuk Bunaeng menggeram sudah tentu dia ti-
dak setuju dengan usul itu. tetapi sebelum dikatakan-
nya ketidaksetujuannya, tiba-tiba....
Blaaarr!!
Atap bangunan itu Jebol berantakan!
Men3rusul terdengar bentakan. "Kakek celaka!
Mau ke mana kau, hah?”
Serentak Dewi Berlian dan Datuk Bunaeng mele-
sat ke depan. Dilihatnya Ratu Tongkat Ular memaki
panjang pendek.
"Terkutuk! Terkutuk!”
"Apa yang terjadi?" tanya Dewi Berlian.
Begitu mendengar suara orang yang dibencinya,
serta-merta Ratu Tongkat Ular berpaling. Matanya
berkilat-kilat penuh amarah tetapi ketika dilihatnya
kepala Datuk Bunaeng menggeleng. Diurungkan ama-
rahnya.
"Dewa Jubah Biru mengacaukan keinginanku
untuk membunuh pemuda yang menyerang Ratih!
Bahkan telah membawa Ratih!"
"Sejak kapan dia berada di atap itu?!"
"Belum lama!"
"Tetapi... dia sudah cukup mendengar apa yang
kita bicarakan. Datuk...."
Datuk Bunaeng menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, dia Juga harus kita bunuh!" sa-
hutnya. Lalu berkata, "Ratu Tongkat Ular... aku telah
memutuskan untuk bergabung dengan Dewi Berlian..."
Ratu Tongkat Ular terlihat hendak membantah,
tetapi Datuk Bunaeng telah meneruskan kata-katanya,
"Jadi tak perlu di antara kita saling curiga...,"
Dewi Berlian tersen3rum melihat tatapan gusar
Ratu Tongkat Ular. Tetapi perempuan berpa3mdara be-
sar ini tak peduli. Dia berkata, "Seperti yang kita telah
sepakati... kita melakukan tugas masing-masing. Satu
hal yang perlu kalian ketahui, untuk membunuh Raja
Naga itu sebenarnya kalian dapat mempergunakan te-
naga orang lain."
"Apa maksudmu?" tanya Datuk Bunaeng dengan
tatapan tajam.
"Semalam tak kulihat hadirnya Langlang Benua,
sahabat karib Resi Kala Jinjit! Manusia satu itu me-
mang telah lama dikenal sebagai petualang yang tidak
pernah berdiam di satu tempat! Tetapi herannya, apa
pun yang dilakukan oleh Resi Kala Jinjit pasti diden-
garnya! Mungkin dunia ini begitu sempit hingga kabar
mudah terdengar!"
"Jelaskan maksudmu!"
"Aku merasa pasti. Langlang Benua telah men-
dengar kabar kematian Resi Kala Jinjit! Dan sudah ba-
rang tentu dia seharusnya hadir di sini, mengingat
akan diadakannya upacara penobatan Pangku Jalada-
ra sebagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang ba-
ru! Tetapi tak kulihat Langlang Benua di sini semalam!
Namun satu hal yang ku yakini, dia akan menyelidiki
kematian sahabatnya itu! Berarti...."
Dewi Berlian tersen3rum memutus kata-katanya.
Kemudian melanjutkan, "Tiga hari di muka, kita akan
bertemu di Lembah Lingkar!"
Habis ucapannya. Dewi Berlian melesat kembali
ke dalam perguruan Laba-laba Perak yang sudah han-
cur di sana-sini. Lalu terlihat sosoknya yang berkelebat
membawa Pangku Jaladara yang pingsan.
Ratu Tongkat Ular segera berkata, "Datuk... aku
sama sekali tak mempercayai perempuan cabul itu.
Mengapa kau bisa mempercayainya, hah?!"
Datuk Bunaeng menyeringai.
"Sama sekali aku tak mempercayainya."
Ratu Tongkat Ular mengerutkan keningnya yang
membuat keriput di wajahnya seperti berlipat ganda.
"Kau tidak mempercayainya?" Datuk Bunaeng men-
ganggukkan kepalanya. "Lantas... apa yang sebenar-
nya kau inginkan?"
Bukannya menjawab pertanyaan si nenek, Datuk
Bunaeng justru berkata, "Kita harus melacak perginya
Raja Naga yang telah melukai Pangku Jaladara! Dan
apa yang dikatakan Dewi Berlian tadi itu memang be-
nar! Kita harus beritakan tindakan Raja Naga yang te-
lah mencorengkan arang di wajahku! Agar seluruh
orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Per-
guruan Laba-laba Perak memburunya! Tetapi... aku
justru mengharapkan Langlang Benua yang akan
muncul!"
Tanpa menunggu sahutan dari Ratu Tongkat
Ular, Datuk Bunaeng sudah berlari. Ratu Tongkat Ular
masih terpaku di tempatnya. Berpikir keras untuk
mengetahui apa yang sesungguhnya diinginkan Datuk
Bunaeng.
Tetapi dia tak dapat menemukan jawabannya.
Sambil menggeram gusar pada dirinya sendiri, si ne-
nek berpakaian compang-camping ini sudah men3ru-
sul.
Pagi telah datang.
Pagi dengan cepatnya pun berubah menjadi
siang. Matahari saat ini garang menyebarkan panas-
nya ke Seantero jagat. Panas yang terasa itu pun diba-
wa oleh angin yang berhembus, dan menerpa sedikit
wajah Raja Naga. Pemuda berompi ungu yang memiliki
sorot mata angker ini duduk di bawah sebuah pohon.
Di tangan kanannya terdapat kalung Laba-laba Perak
yang sangat indah.
Perlahan-lahan ditarik napasnya dalam-dalam.
"Aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya
telah terjadi. Pertama undangan dari Perguruan Laba-
laba Perak. Lalu Dewi Pengunyah Sirih yang jelas-jelas
mengatakan hendak mencuri kalung Laba-laba Perak.
Kemudian... ah, tiba-tiba saja keadaan begitu menye-
sakkan dada. Tahu-tahu kalung ini jatuh di tanganku,
hingga aku dituduh sebagai si pencuri. Huh! Apa se-
benarnya maksud Dewi Pengunyah Sirih melakukan
tindakan seperti ini? Menjatuhkan tanggung jawabnya
kepadaku?"
Murid Dewa Naga ini terus berpikir keras.
"Tentunya orang-orang telah menganggapku se-
bagai pencuri! Aku harus memulihkan nama baikku!
Yang pertama harus kulakukan sekarang adalah...
mencari Dewi Pengunyah Sirih! Karena aku yakin, di-
alah yang telah mencuri kalung ini dan mengalihkan
perhatian orang-orang padaku dengan cara licik seper-
ti ini!"
Perlahan-lahan pemuda yang dari jari hingga ba-
tas siku kedua lengannya dipenuhi sisik coklat ini,
berdiri. Sepasang matanya yang bersorot mengerikan
diedarkan ke sekelilingnya.
Mendadak saja kepalanya menegak! Karena tahu-
tahu di hadapannya telah muncul seorang nenek
bongkok yang mengunyah sirih!
Seketika kemarahan Raja Naga timbul. Dengan
sorot mata yang lebih angker dia berseru, "Dewi Pen-
gunyah Sirih! Sungguh berani kau muncul di hada-
panku setelah melakukan tindakan lancang seperti
semalam! Apakah kedatanganmu sekarang ini hendak
menertawakan ku?!"
Dibentak seperti itu, si nenek yang terus mengu-
nyah sirihnya hanya tertawa.
"Astaga! Katanya, kalau ada orang yang tiba-tiba
membentak seperti itu, ada dua maksud! Pertama,
memang gusar! Kedua, melakukannya karena rindu
pada seorang sahabat! Tapi... ya, aku sama sekali tak
mengerti apa yang kau katakan. Raja Naga!"
"Tak mengerti?" kegusaran Raja Naga menjadi-
jadi. Tetapi dia masih dapat menahannya.
Dewi Pengunyah Sirih tetap bersikap tenang.
"Katanya, kalau orang tidak mengerti apa yang
dimaksud orang lain, boleh bertanya atau. Berharap
orang lain itu akan menjelaskan. Katanya, setelah dije-
laskan urusan akan lebih dapat dimengerti. Nah, apa
yang kau maksud sebenarnya dengan...," kata-kata si
nenek terputus tatkala dilihatnya benda yang berada
di tangan pemuda berompi ungu itu.
Melihat apa yang dilihat oleh si nenek. Raja Naga
seketika mengangkat tangannya menunjukkan kalung
Laba-laba Perak.
"Mengapa kau hentikan kata-katamu, hah?! Apa-
kah kau sekarang sudah mengerti?"
Dewi Pengunyah Sirih tak segera berkata. Ma-
tanya terus memperhatikan kalung yang berada di
tangan Raja Naga. Mulutnya berhenti mengunyah.
Tetapi di saat lain, dia sudah mengunyah kembali
dan berkata, "Bagaimana kau bisa mendapatkan ben-
da itu?"
"Apa?" desis Raja Naga sedikit terkejut.
"Kau telah mengambil kalung Laba-laba Perak
rupanya...."
Kali ini kemarahan Raja Naga benar-benar surut.
Yang dirasakan hanyalah kebingungan.
"Kau... tidak mengambil kalung ini sebelumnya?"
"Tidak."
"Jadi... jadi. Bukan kau yang melemparkan ka-
lung ini padaku?" sambung Raja Naga makin heran.
"Astaga! Katanya, kalau orang lain semakin
membuat orang bertambah bingung itu tindakan yang
tidak baik. Mengapa kau tidak segera menjelaskan-
nya?!"
Raja Naga terdiam. Perlahan-lahan mulai dirasa-
kannya kalau ada sesuatu yang belum diketahuinya.
Tanpa diminta dua kali, segera diceritakan apa yang
telah dialaminya semalam di Perguruan Laba-laba Pe-
rak.
"Busyet! Jadi... kau sudah datang ke sana?!"
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku kehilangan jejak! Katanya, aku harus menu-
ju ke timur! Tapi aku tak menemukan apa yang kuca-
ri!"
"Jadi... kau belum datang ke sana?!"
Dewi Pengunyah Sirih mengangguk.
"Tidak salah. Karena aku tak berhasil menemu-
kan Perguruan Laba-laba Perak."
Jawaban yang diberikan oleh si nenek berkebaya
itu membuat Raja Naga terdiam. Dadanya semakin di-
buncah kejanggalan demi kejanggalan. Matanya yang
angker memandang tak berkedip pada Dewi Pengu-
nyah Sirih.
"Sorot matamu sangat mengerikan dan mampu
melumpuhkan lawan sebelum bertarung. Tapi ka-
tanya, di balik sorot mata yang demikian itu juga ter-
simpan kelembutan! Hanya saja, yang kulihat seka-
rang, adalah rasa tidak percaya dengan apa yang ku-
katakan. Raja Naga, apakah yang kukatakan itu sa-
lah?"
Raja Naga mendesah pendek.
"Maafkan sikapku tadi...."
"Katanya, sekali waktu orang pasti akan berbuat
salah, karena tak ada orang yang sempurna! Katanya
lagi, mengakui kesalahan itu adalah sebuah tindakan
yang patut dipuji!"
Raja Naga hanya mendengarkan saja, kata-kata
Dewi Pengunyah Sirih. Dan dia terkejut ketika men-
dengar kata-kata si nenek selanjutnya, "Sebelum aku
tiba di sini dan menjumpaimu, sebenarnya telah ku-
dengar kabar kalau katanya, kau telah mencoba mem-
bunuh calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak!"
"Membunuh? Gila! Aku tak melakukannya!"
"Pangku Jaladara telah kau buat pingsan!"
"Astaga!" seru Raja Naga melengak.
"Dewi... aku hanya membuat lima orang murid
perguruan Laba-laba Perak pingsan karena mengurung
ku dan berniat membunuhku setelah melihat kalung
ini ada padaku! Tetapi... aku tidak melakukan apa-apa
pada Jaladara! Dia memang kemudian muncul dengan
salah seorang murid yang berhasil keluar! Karena aku
tak ingin memperpanjang urusan di saat kesalah pa-
haman semakin meninggi, makanya kup utuskan un-
tuk berlalu!"
"Jadi kau tidak melukai Pangku Jaladara?"
"Sama sekali tidak!"
"Kabar telah kudengar demikian!"
Raja Naga merasakan kepalanya mendadak pus-
ing.
"Aku tak bisa membiarkan urusan ini berlarut-
larut!"
"Ya! Kau harus menyelamatkan dirimu karena
kau telah dituduh sebagai pencuri kalung Laba-laba
Perak! Yang artinya, kau telah menggagalkan upacara
keramat semalam!"
Habis kata-katanya, Dewi Pengunyah Sirih segera
meninggalkan tempat itu. Tinggal Raja Naga yang ma-
sih terdiam memikirkan kejadian demi kejadian yang
memusingkan kepalanya. Di saat lain, dia sudah me-
mutuskan untuk segera berusaha mencari bukti-bukti
kalau bukan dialah yang telah melakukan pencurian
itu!
***
TUJUH
MALAM telah menyelimuti alam kembali dengan
segala misteri yang dikandungnya. Malam telah mem-
buat segenap alam tertidur dalam setiap mimpinya.
Dan malam akan selalu diisi oleh keheningan yang da-
lam. Tetapi masih banyak orang yang terjaga pada ma-
lam-malam seperti ini.
Seperti suara-suara yang terdengar dari sebuah
gubuk yang terdapat di sebuah hutan yang dipenuhi
pepohonan tinggi, yang menandakan gubuk jelek itu
berpenghuni dan penghuninya belum terlelap. Dari ke-
jauhan, telah terlihat lampu sentir yang menerangi gu-
buk itu, yang berada di balik sebuah pohon besar dan
di antara ranggasan semak.
"Kau hebat. Dewi... semua rencanamu sungguh
hebat sekali...," terdengar suara itu disertai dengan
napas memburu. "Tapi yang lebih hebat lagi... adalah
tubuhmu yang tak pernah membuatku puas...."
Satu kikikan terdengar, disusul suara yang se-
perti tersekat di tenggorokan, "Pangku Jaladara... kau
memang hebat memuji... aih... tanganmu nakal ya."
"Aku tidak memuji."
"Sehebat apa pun rencanaku, tak akan mungkin
dapat terlaksana bila tanpa bantuanmu...."
Di dalam gubuk itu terlihat dua sosok tubuh
yang duduk di atas sebuah balai-balai usang, dalam
keadaan tubuh bagian atas masing-masing terbuka.
Wajah si lelaki yang ternyata adalah Pangku Jaladara
adanya sudah memerah. Matanya nanar melihat sepa-
sang bukit kembar yang telah terbuka lebar di hada-
pannya itu. Penuh kegemasan, dipegangnya bukit
kembar besar yang menggiurkan itu. Diremas-
remasnya penuh perasaan. Dan sesekali telunjuknya
mempermainkan bulatan kecil yang terdapat di pucuk
bukit kembar itu.
Si pemilik bukit kembar memeramkan matanya
sejenak, menikmati remasan tangan Pangku Jaladara
yang sejenak membuat kelenjar di seluruh tubuhnya
meregang. Dan ini semakin membuat Pangku Jaladara
menjadi-jadi gairahnya.
Lalu sambil membuka matanya perempuan itu
berkata, "Rencana ini berhasil kita laksanakan. Dan
tak seorang pun yang mengetahui kalau kitalah yang
telah mengatur semua ini...."
Remasan tangan Pangku Jaladara semakin men-
jadi-jadi. Sesekali-sekali dengan sikap tak sabar dike-
cupnya bibir merona merah itu. Dilumatnya hingga dia
kehabisan napas sendiri. Lalu dilepaskan untuk
menghirup udara segar.
"Hih! Mengapa kau tidak sabaran begitu? Tadi
kau sudah menikmati tubuhku ini...."
"Aku masih ingin mengulanginya lagi dan akan
tetap mengulanginya!"
"Tahan dulu beberapa saat keinginanmu itu! Tu-
buhku terasa seperti patah setelah kau terjang laksana
ombak tadi!"
"Karena tubuhmu seperti sebuah sampan yang
sangat indah, yang dapat membuatku tera3run-ayun,
terombang-ambing lalu terhempas pada pantai penuh
pesona!"
"Kau pandai sekali memuji, Pangku Jaladara...."
"Sesuai dengan apa yang kau janjikan, aku akan
menuruti apa yang kau inginkan bila kau memberikan
tubuhmu ini padaku sampai aku mampus....*
"Bahkan aku ingin kau mampus di atas tubuhku
karena kelelahan!"
Pangku Jaladara terbahak-bahak. Wajahnya se-
makin memerah karena tak kuasa menahan nafsu.
"Aku tak akan mampus lebih dulu sebelum aku
benar-benar puas menikmati tubuhmu ini...."
Si perempuan jelita itu tersen3mm.
"Rencana telah kita jalankan, dan kita tinggal
menunggu hasil. Aku yakin, saat ini Raja Naga sedang
kalang kabut untuk menyelamatkan diri dari kejaran
orang-orang! Terutama kejaran Datuk Bunaeng, Ratu
Tongkat Ular dan tentunya.... Langlang Benua...."
"Mengapa kau menginginkan semua ini terjadi?"
Perempuan itu memeramkan matanya karena
sambil berkata tadi. Pangku Jaladara sudah men3rusup
ke dadanya. Dinikmatinya hisapan lembut Pangku Ja-
ladara pada bukit kembarnya itu. Mendadak tubuhnya
menggenjang karena hisapan Pangku Jaladara sema-
kin cepat.
"Nanti... nanti dulu...," desisnya sambil mendo-
rong tubuh Pangku Jaladara.
Wajah memerah Pangku Jaladara karena sudah
dipenuhi nafsu semakin menjadi-jadi.
"Apa lagi yang akan kita bicarakan? Bukankah
kita tinggal menunggu hasil dari permainan ini?"
"Sabar sedikit. Aku sudah mulai merasakan ke-
menangan ini akan kita capai."
"Karena kau memiliki rencana yang tepat."
"Dan kau memiliki keberanian untuk menda-
patkan semua ini...."
"Karena aku lebih suka menikmati tubuhmu ke-
timbang menghormati guruku sendiri!"
"Ya! Dan tak seorang pun yang tahu, kalau kau-
lah yang telah membunuhnya...."
"Dengan sebutir berlian yang kau berikan untuk
ku masukkan ke dalam air minum Resi Kala Jinjit,
semuanya sudah menjadi beres," sahut Pangku Jala-
dara menyeringai. Wajahnya kini membiaskan kelici-
kan.
Perempuan di hadapannya tersen3rum. Tetap
membiarkan kedua tangan Pangku Jaladara meremas-
remas sepasang bukit kembarnya. Bahkan membiar-
kan tangan kanan Pangku Jaladara menyelinap ke ba-
gian bawah dari pakaian yang dikenakannya.
"Dendam ku pada Resi Kala Jinjit yang pernah
mengalahkan aku sampai hari ini tak akan pernah pa-
dam! Tetapi sekarang, semuanya sudah sirna! Tinggal
membalas dendam saudaraku yang tewas di tangan
Raja Naga!"
"Ratu Sejuta Setan?"
"Ya! Ratu Sejuta Setan adalah saudaraku! Kenda-
ti kami bukan saudara kandung, tetapi kami telah me-
nambatkan hati satu sama lain! Sayangnya, aku ter-
lambat mengetahui keadaannya! Setelah dia mampus
baru aku tahu kalau si pembunuh adalah Raja Naga!"
sahut si perempuan dingin. Wajah jelitanya berubah
menjadi kejam.
(Untuk mengetahui kematian Ratu Sejuta Setan,
silakan baca episode : "Ratu Tanah Terbuang").
Si perempuan melanjutkan ucapannya, "Masih
beruntung aku mengetahui siapa pembunuhnya. Lalu
ku susun semua ini. Dan yang pertama kali kulaku-
kan, aku harus menemukan orang yang dapat mem-
bantuku."
"Kau beruntung bertemu denganku," kata Pang-
ku Jaladara yang kemudian mengingat kembali saat
pertama kali berjumpa dengan perempuan bertubuh
montok di hadapannya ini. Kala itu dia secara tak sen-
gaja melihat perempuan ini sedang mandi di sungai.
Pangku Jaladara sebenarnya adalah orang yang tak
dapat menahan gairah. Kalaupun dia sering keluar da-
ri Perguruan Laba-Laba Perak semata untuk mencari
perempuan yang dapat dijadikan sebuah pelampiasan
gairahnya. Dan dia cukup heran ketika perempuan
yang dilihatnya sedang mandi dalam keadaan polos
itu, justru membiarkannya menikmati keindahan itu,
padahal perempuan itu mengetahui kalau sedang diin-
tip.
Bahkan tanpa ragu perempuan itu keluar dari
dalam sungai dalam keadaan polos, hingga Pangku Ja-
ladara dapat melihat lekuk tubuh dan benda-benda
yang seharusnya disembun5dkan si perempuan. Dan di
luar dugaannya, perempuan itu justru berbaring tanpa
mengenakan pakaiannya.
Pangku Jaladara merasa pasti kalau perempuan
itu memang menginginkannya. Dan semuanya begitu
cepat terjadi. Perempuan itu bahkan bersedia memua-
skan gairah Pangku Jaladara yang membuatnya men-
jadi lebih sering menjumpai perempuan itu untuk me-
lampiaskan gairahnya.
Hingga suatu hari, perempuan itu mengatakan
apa yang sebenarnya diinginkannya. Semula Pangku
Jaladara memang terkejut mendengar kalau perem-
puan itu menginginkan kematian gurunya. Tetapi naf-
su gairah dan ketagihannya itu tak bisa dibendung.
Disetujuinya rencana si perempuan yang terus berlan-
jut.
Secara diam-diam, Pangku Jaladara akhirnya
berhasil membunuh Resi Kala Jinjit. Karena dia murid
terpandai dan tertua, maka dengan mudah dia menda-
patkan tugas untuk menggantikan kedudukan gu-
runya. Seperti yang diatur oleh si perempuan. Pangku
Jaladara diharuskan mengundang Raja Naga dan Da-
tuk Bunaeng. Sebenarnya Pangku Jaladara merasa ke-
beratan mengingat Datuk Bunaeng adalah musuh
mendiang Resi Kala Jinjit.
Tetapi gairah telah membutakannya. Perempuan
itu mengancam tak akan lagi membiarkan Pangku Ja-
ladara menggeluti tubuhnya. Pikiran picik pun hinggap
di benak Pangku Jaladara hingga semuanya pun men-
jadi seperti sekarang ini.
Tangan kirinya masih meremas sepasang bukit
montok si perempuan secara bergantian, sementara
tangan kanannya men3msup jauh ke balik pakaian si
perempuan bagian bawah.
"Kau tak perlu merisaukannya. Bukankah seka-
rang ini sudah hampir menjadi kenyataan? Seperti
yang kau katakan, aku memang harus mencuri kalung
Laba-laba Perak yang tentu saja tak kulakukan dengan
cara mencuri. Lalu melimpahkan tuduhan itu pada
Datuk Bunaeng. Tetapi rencana lain, bila Raja Naga
muncul, aku harus melimpahkan tuduhan itu pa-
danya. Makanya, di saat aku hendak keluar aku kem-
bali lagi karena kulihat Raja Naga bersembunyi di
atap. Kulemparkan kalung itu padanya dan aku keluar
menemui Datuk Bunaeng. Rencana semakin berjalan
lancar, karena kemudian murid-murid Perguruan La-
ba-laba Perak mengetahui kehadiran Raja Naga. Lalu
kau bertindak sesuai rencana. Kau masukkan kema-
rahan mu ke dalam benak Datuk Bunaeng dengan
mengatakan kalau Raja Naga telah mencoreng arang di
wajahnya. Kemudian aku masuk kembali yang saat itu
bersama Duto. Masih sempat kulihat Raja Naga berke-
lebat. Terpaksa Duto kubunuh dan aku pura-pura
pingsan sesuai rencana. Bukankah ini sebuah rencana
yang bagus?"
Perempuan di hadapannya mengangguk-
anggukkan kepala.
"Bukan hanya bagus, tetapi sempurna!"
"Dan kau tak akan banyak membuang tenaga un-
tuk membalas kematian Ratu Sejuta Setan pada Raja
Naga! Karena Datuk Bunaeng yang dalam hal ini ber-
sama Ratu Tongkat Ular akan melakukannya untuk-
mu...."
Paras tegang si perempuan tadi berubah kembali.
Dia menyeringai lebar.
"Ya! Kita tinggal menunggu hasil sebenarnya! Te-
tapi, satu hal yang akan kita lakukan sekarang ini,
adalah mencoba menemukan Langlang Benua...."
"Untuk apa?"
"Karena... Langlang Benua adalah sahabat Resi
Kala Jinjit. Dengan demikian, kedudukan kita akan
bertambah kuat."
"Kau mengatakan kalau Datuk Bunaeng serta
Ratu Tongkat Ular sedang mencarinya juga. Jadi... kita
tak perlu mencari Langlang Benua?"
Perempuan jelita yang di kepalanya terdapat se-
buah mahkota itu tersenyum. Dia tahu ke mana arah
ucapan Pangku Jaladara. Sambil tersenyum dan sese-
kali menjilati bibirnya dengan lidahnya sendiri, yang
membuat Pangku Jaladara semakin tak menentu, dia
berkata,
"Kau seperti ketakutan tak memiliki waktu untuk
memadu kasih denganku...."
"Karena aku tak ingin melewatkan waktu sekejap
pun juga untuk menggeluti mu...."
"Tak perlu mengkhawatirkan keadaan itu," kata
si perempuan sambil membelai pipi Pangku Jaladara
yang napasnya sudah mendengus-dengus. "Setiap
saat, sesuai janji ku, kau akan dapat menggeluti tu-
buhku kapan saja kau mau."
"Aku mau sekarang."
"Kau memang tak sabaran. Dan seperti rencana
kita, kau harus berlagak sebagai tawananku nanti di
hadapan Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular. Dua
hari lagi, aku akan menjumpai mereka di Lembah
Lingkar...."
"Dan selagi keduanya lengah, akan kita bunuh
mereka!" sahut Pangku Jaladara sengau, karena naf-
sunya sudah semakin berada di ubuh-ubun.
"Tentunya tindakan itu tak akan kita lakukan,
sebelum mengetahui Raja Naga telah mampus di tan-
gan mereka!"
"Kalau begitu, mengapa kau memberikan mereka
waktu tiga hari? Bukankah itu terlalu cepat?"
"Bila terlalu lama, aku khawatir mereka akan
mencurigai kita. Kau paham maksudku?"
Pangku Jaladara tak menjawab. Sepasang ma-
tanya di hujamkan pada bukit kembar yang menggiur-
kan itu. Mendadak di susupkan kepalanya pada bela-
han bukit kembar itu. Mulutnya meracau, "Aku mau
sekarang!"
Tangan kanannya yang men3rusup ke bagian ba-
wah pakaian si perempuan, disentakkan hingga pa-
kaian itu terlepas. Dan terlihat tubuh yang polos seka-
rang.
"Kau memang tak sabaran...," desis si perempuan
sambil perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di balai-
balai itu. Kedua tangannya menekan kepala Pangku
Jaladara agar lebih men3msup pada belahan bukit
kembarnya.
Aroma merangsang tertangkap penciuman Pang-
ku Jaladara, hingga membuatnya semakin menggila.
Mulutnya menangkap secara bergantian bulatan coklat
yang terdapat pada pucuk bukit-bukit indah itu.
"Kau benar-benar membuatku tak pernah puas.
Dan kau pintar membuatku puas. Bawa aku lagi ke
surga yang paling tinggi.... Dewi Berlian,..."
***
DELAPAN
KITA harus menjauh. Gala Jenjang!" seruan itu
terdengar di sebuah jalan setapak, di saat matahari
kembali memancarkan cahayanya. Begitu melewati
ranggasan semak belukar, terlihat dua sosok tubuh
mengenakan pakaian hitam dan biru berlari sekencang
mungkin. Yang mengenakan pakaian hitam berseru
kembali, "Jangan loyo! Peduli setan dengan keletihan.
Bila kau ingin mampus di tangan Datuk Bunaeng, si-
lakan kau terus memperlambat larimu!"
"Dadaku mau pecah" seru Gala Jenjang. "Kulo
Marutung, kupikir kita sudah menjauh dari Perguruan
Laba-laba Perak. Dan tak mungkin Datuk Bunaeng
dapat menemukan kita di sini!"
Kulo Marutung hanya melirik. Dia sebenarnya ju-
ga sudah kelelahan. Kedua kakinya terasa penat bu-
kan main. Bahkan untuk dibawa berlari pun seper-
tinya tak mampu lagi. Tetapi rasa takut menghan-
tuinya.
"Apakah kau lupa, apa yang dikatakan Datuk
Bunaeng?!" serunya kemudian.
"Sudah tentu aku ingat," sahut kawannya dengan
napas terputus-putus. "Dia akan membunuh para
pengikutnya kalau gagal menghancurkan Perguruan
Laba-laba Perak!"
"Dan dia telah gagal melakukannya, karena se-
seorang telah mencuri kalung Laba-laba Perak. Bah-
kan kita sama-sama sempat melihat kalau Pangku Ja-
ladara menuduhnya melakukan tindakan itu! Aku se-
belumnya sudah gembira karena dengan tuduhan itu,
akan lebih memudahkan Datuk Bunaeng menjalankan
maksud! Tetapi ternyata, semuanya berbalik.... Pergu-
ruan Laba-laba Perak telah dihancurkan oleh seseo-
rang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak!"
Kata-kata Kulo Marutung membuat Gala Jenjang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu pertanda, ke-
matian akan tiba. Tetapi karena kedua kakinya tak bi-
sa lagi dibawa berlari dia akhirnya jatuh tersungkur.
Sejenak Kulo Marutung memperhatikan teman-
nya itu. Dada lelaki berwajah tirus ini turun naik ka-
rena napas yang memburu. Sejenak pula dia memu-
tuskan untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan
Gala Jenjang di sini. Tetapi di saat lain, dia sudah
memutuskan pula untuk beristirahat dulu.
"Kita hanya punya waktu yang singkat!" desisnya.
Gala Jenjang mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
diatur napasnya yang memburu.
"Kau tahu siapa yang telah mencuri kalung Laba-
laba Perak?"
"Aku tidak tahu sama sekali! Karena yang ku ta-
hu, kalung itu berada di kamar Pangku Jaladara!"
"Terkutuk orang yang telah melakukannya! Dan
lebih terkutuk lagi karena empat orang kawan kita
yang berada di sana ketahuan sebelum kita melakukan
tindakan!"
"Satu kebodohan yang kita lakukan adalah, kita
melarikan diri dari urusan ini!”
"Itu tidak bodoh! Karena biar bagaimanapun ju-
ga, bila kita berada di sana, kita pasti akan mampus!"
"Dan sekarang, kita tetap akan mampus! Bahkan
sudah kubayangkan, kalau kematian yang kita alami
ini Jauh lebih mengerikan...."
Masing-masing orang tak ada yang bersuara. Se-
lain sibuk mengatur napas dan memulihkan tenaga,
keduanya Juga merasa ciut nyalinya. Karena sudah
membayangkan kalau Datuk Bunaeng akan muncul,
mengingat seperti yang pertama kali dikatakan oleh
kakek berambut dikelabang itu. Bila urusan ini gagal,
maka semuanya akan mampus sebagai penutup mu-
lut!
Kulo Marutung mendesis pelan, "Tak kusangka
kalau urusan Jadi berantakan seperti ini. Padahal se-
belumnya, sudah kubayangkan, bagaimana kita akan
hidup enak bila membantu Datuk Bunaeng."
"Pikiran yang sama pun ada di benakku. Tetapi
sayangnya, urusan ini Jauh berbeda dengan apa yang
kita harapkan."
Kembali masing-masing orang tak ada yang buka
suara. Dan mereka tidak tahu, kalau dua pasang mata
memperhatikan keduanya dari balik ranggasan semak.
Pemilik mata yang berada di sebelah kiri mengge-
ram pelan
"Huh! Pantas kucari tak kutemukan, rupanya
mereka berani lancang melarikan diri dari tanganku!"
"Datuk... biar aku yang membereskan mereka"
"Aku ingin kau melakukannya dengan cepat. Ratu!
Perempuan tua berpakaian compang-camping itu
menganggukkan kepalanya. Lalu melompat dari balik
ranggasan semak. Kehadirannya yang tiba-tiba mem-
buat Kulo Marutung dan Gala Jenjang tersentak. Se-
cepat itu pula masing-masing orang berdiri dengan ta-
tapan tak berkedip pada Ratu Tongkat Ular.
Mereka memang belum mengenal siapa adanya
Ratu Tongkat Ular. Kendati demikian, hati mereka pun
tetap merasa tidak tenang.
Kulo Marutung sudah membentak, "Nenek tua
bertongkat kepala ular! Ada urusan apa kau tiba-tiba
muncul secara tiba-tiba di hadapan kami?! Apakah
kau tidak tahu siapa kami, hah?!"
Si nenek hanya menyeringai sambil melangkah
setapak demi setapak.
Kulo Marutung melirik Gala Jenjang yang juga
sudah bersiaga. Keduanya bukanlah orang yang memi-
liki ilmu cetek. Mereka mempunyai kepandaian yang
cukup menakjubkan.
Kulo Marutung membentak lagi, "Tindakanmu
cukup mengejutkan kami! Sebaiknya pergi dari sini
sebelum kami memutuskan untuk membunuhmu!"
Mengkelap paras Ratu Tongkat Ular. Tatapannya
berubah menjadi bengis. Perubahan itu menyadarkan
Kulo Marutung dan Gala Jenjang kalau bahaya sudah
tiba di hadapan keduanya.
"Aku tak mempercayai nenek ini," bisik Kulo Ma-
rutung.
"Aku juga demikian!"
"Kita serang saja dia sekarang!"
Belum habis bisikannya terdengar, Kulo Maru-
tung sudah menerjang ke depan dengan jotosan tan-
gan kanan kiri yang diarahkan pada dada Ratu Tong-
kat Ular. Deru angin yang cukup kencang mendahului
jotosannya. Di pihak lain, Gala Jenjang sendiri sudah
melesat cepat dengan tendangan melingkar yang di-
arahkan ke kepala Ratu Tongkat Ular!
Yang diserang menjerengkan matanya. Lalu sam-
bil mendengus kecil, digerakkan tongkatnya sangat ce-
pat.
Wuuutt! Wutttti!
Ayunan pertama diarahkan pada Kulo Marutung
yang seketika membuang tubuh ke samping kanan.
Sementara a3runan kedua dengan cara menyodok ke
arah perut Gala Jenjang yang memekik kaget sambil
mundur.
Dan...
Wuuutttti!
Ayunan ketiga yang dilancarkan dari atas ke ba-
wah itu sudah melesat ke arah kepala Kulo Marutung.
Yang diserang berteriak kaget dan tak sempat meng-
hindar. Akibatnya...
Praaakkk!
Kepalanya seketika remuk terhantam ayunan
tongkat yang keras itu. Bersamaan dengan remuk dan
minggatnya nyawa Kulo Marutung, satu sabetan deras
menerpa dada Gala Jenjang.
Praaakkl!
Kembali terdengar suara keras itu. Nasib Gala
Jenjang lebih mengenaskan dari apa yang dialami oleh
Kulo Marutung. Karena begitu sabetan tongkat si ne-
nek mengenai dadanya, tubuhnya terlempar deras
hingga menabrak pohon yang membuatnya terbanting
kembali di atas tanah! Dadanya sudah terasa sakit bu-
kan alang kepalang, ditimpa lagi keadaan punggung-
nya! Hingga penderitaan Gala Jenjang menjadi berlipat
ganda. Sialnya, dia tidak langsung mampus seperti
yang dialami oleh Kulo Marutung!
Kedua matanya mengerjap-ngerjap menahan rasa
sakit tak terkira dan ketakutan yang menyengat-
nyengat tatkala melihat si nenek melangkah mendeka-
tinya.
Belum lagi dia buka mulut, dengan kejamnya Ra-
tu Tongkat Ular menghantam kepalanya hingga pecah!
"Huh! Hanya begitu saja kemampuan kalian!"
dengusnya. Lalu dipalingkan kepalanya tatkala me-
nangkap gerakan di belakangnya.
"Kita lanjutkan perjalanan ini!"
"Ke mana, Datuk? Mencari Langlang Benua san-
gat sulit kita lakukan, karena seperti kita sama-sama
ketahui, kalau orang itu gila bertualang!"
Datuk Bunaeng melirik. Ratu Tongkat Ular segera
memalingkan kepalanya karena tahu arti lirikan itu.
"Maafkan aku...," desisnya
"Sekarang juga kita berangkat menuju ke Gua Hi-
tam!"
Mendengar tempat itu disebutkan, seketika kepa-
la Ratu Tongkat Ular menegak. Ditatapnya Datuk Bu-
naeng dengan tatapan seksama.
"Gua Hitam?" desisnya terbata sambil menelan
ludah
"Ya! Kita menuju ke sana!"
"Bukankah... bukankah... di sana tempat tinggal
Resi Hitam?"
"Kau betul! Manusia satu itu memiliki kesesatan
tiada banding! Di balik sikapnya yang laksana seorang
resi, dia memiliki kekejaman tiada banding!"
"Untuk apa kau datang ke sana?"
"Ini salah satu dari rencanaku yang belum kau
ketahui"
"Jadi... kau belum mengatakan seluruh renca-
namu kepadaku?!" suara Ratu Tongkat Ular mulai ter-
dengar tidak suka. Kira-kira empat puluh tahun yang
lalu, Resi Hitam pernah memperkosanya. Ratu Tongkat
Ular tak pernah melupakan tindakan Resi Hitam. Te-
tapi karena dia merasa tak mampu menghadapi Resi
Hitam, urusan itu di kuburnya dalam-dalam tetapi tak
pernah dilupakannya!
Datuk Bunaeng tajam menatapnya.
"Kau masih ingin ikut denganku atau tidak?!"
bentaknya keras. "Pagi ini Juga kau harus memu-
tuskan ikut atau tidak! Bila kau masih tetap ikut, ma-
ka kau masih akan bisa melihat matahari besok! Teta-
pi bila kau mengundurkan diri, akulah yang akan
mengirimmu ke neraka sekarang juga!"
Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati!
"Keparat! Tak pernah kusangka kalau dia berhu-
bungan dengan Resi Hitam! Resi keparat yang mem-
perdayaiku ketika aku diundangnya berkunjung ke
Gua Hitam, yang ternyata berniat memperkosaku! Ter-
kutuk! Tindakan keparat itu tak akan pernah kulupa-
kan sampai kapan pun juga!"
"Kau belum menjawab apa-apa. Ratu Tongkat
Ular!" suara dingin Datuk Bunaeng menyelinap di te-
linganya, menyadarkan Ratu Tongkat Ular kalau ba-
haya yang lebih mengerikan akan segera datang.
Buru-buru dianggukkan kepalanya. Sambil me-
nyeringai lebar dia berkata, "Datuk... sebelum ini telah
ku putuskan untuk bergabung denganmu. Dan sudah
barang tentu aku akan tetap mengikuti apa yang kau
hendaki"
"Bagus! Itu artinya kau tahu gelagat!"
"Bagaimana dengan Dewi Berlian yang akan kita
jumpai di Lembah Lingkar?"
"Sampai hari ini aku tak percaya sedikit pun juga
dengannya! Dia akan kita bereskan kelak! Kita berang-
kat sekarang!" sahut Datuk Bunaeng dan berkelebat
mendahului.
Ratu Tongkat Ular segera menjmsul. Sambil ber-
lari nenek berpakaian compang-camping ini membatin,
"Resi Hitam,., tak kusangka kalau aku akan ber-
jumpa lagi dengannya. Ah, apakah aku mampu mena-
han amarahku bila sudah berhadapan dengannya?
Apakah akan langsung ku terjang untuk membalas
perlakuan-nya dulu? Berpuluh tahun kusembunyikan
apa yang telah ku alami, berpuluh tahun pula ku pu-
tuskan untuk tidak membalas perbuatannya karena
aku tak akan sanggup melakukannya. Ah, mengapa
aku tidak melakukannya lagi? Barangkali, dengan ku
tindih dendam ku padanya, aku dapat memetik se-
buah keuntungan yang buahnya kelak akan ku nikma-
ti...."
Memutuskan demikian. Ratu Tongkat Ular tidak
lagi merasa setegang sebelumnya.
***
SEMBILAN
UNTUK kesekian kalinya Raja Naga menghenti-
kan langkahnya. Anak muda dari Lembah Naga ini
menarik napas panjang setelah memperhatikan sekeli-
lingnya dengan sepi.
"Tindakan Dewi Pengunyah Sirih masih menim-
bulkan teka-teki berkepanjangan untukku. Aku sama
sekali tidak tahu apa maksudnya untuk mencuri ka-
lung Laba-laba Perak. Dan setelah melihat benda itu di
tanganku, dia tidak melakukan tindakan apa-apa. Ah,
menurutnya, saat ini aku sedang diburu sebagai seo-
rang pencuri! Gila! Ini urusan gila!"
Beberapa saat lamanya pemuda yang di kedua
tangannya sebatas siku terdapat sisik-sisik coklat ini
terdiam. Dia berusaha untuk mengendalikan amarah
dan ketegangannya. Disingkirkan kebingungan yang
membiasi dirinya.
Tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan di samping kanannya. Sadar
kalau sesuatu akan terjadi, Raja Naga memutuskan
untuk segera meninggalkan tempat itu. Tetapi terlam-
bat, dua lelaki berpakaian putih yang terbuka dibahu
kiri, dengan kepala gundul telah muncul di hadapan-
nya!
Untuk beberapa saat pemuda berompi ungu ini
memperhatikan keduanya tanpa kedip. Sorot matanya
yang men3dratkan keangkeran, tajam dan dalam.
Kedua orang bertubuh besar dengan kepala pe-
lontos itu sejenak menangkap keangkeran dari mata
pemuda di hadapannya. Tetapi di saat lain, kemarahan
sudah terpampang pada wajah masing-masing orang
"Cirinya sama seperti yang kita dengar! Sorot ma-
tanya juga membuktikan siapa dia sebenarnya! Belum
lagi dengan sisik-sisik coklat pada tangannya! Kala
Sringgil! Jelas dialah orang yang sedang kita cari,
orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak!!" se-
ru lelaki berkepala plontos yang berwajah klimis.
Yang dipanggil Kala Sringgil menganggukkan ke-
pala. Kedua tangannya dilipat di depan dada.
"Tindakannya telah mencoreng arang di rimba
persilatan! Selama ini dia dikenal sebagai orang golon-
gan lurus yang membela kebenaran! Sejak dia berhasil
mengalahkan Hantu Menara Berkabut disusul dengan
kejadian-kejadian yang menggemparkan, julukannya
telah menjulang ke langit tujuh! Tetapi sayang, kesera-
kahan masih membiasinya!"
(Untuk mengetahui siapa Hantu Menara Berka-
but, silakan baca episode: "Tapak Dewa Naga" sampai
"Misteri Menara Berkabut")
Di tempatnya, Raja Naga diam-diam menahan
napas. Dari ucapan masing-masing orang, dia tahu ka-
lau keduanya adalah orang-orang yang sedang mem-
burunya.
"Aku harus tenang, bahkan sedapat mungkin
menjelaskan apa yang terjadi...," katanya dalam hati.
Sebelum kedua orang itu berbicara lagi, murid
Dewa Naga telah berucap sambil merangkapkan tan-
gannya di depan dada, "Aku belum mengetahui siapa
adanya kalian berdua. Tetapi dari sikap kalian, sudah
tentu aku yakin, kalian bukanlah orang sembarangan!"
"Kala Sringgil! Rupanya dia mencoba untuk men-
gelabui kita dengan tindakannya itu!"
"Jala Sringgil! Aku semakin muak dengan sikap-
nya! Kita memang terlambat mendengar kematian Resi
Kala Jinjit! Tetapi kita juga tahu kalau pembunuhnya
sama sekali tidak diketahui! Namun sekarang ada se-
seorang yang telah mencorengkan wajahnya sendiri
dengan tindakan terkutuknya! Sebagai sahabat dari
Resi Kala Jinjit, sudah barang tentu kita tidak tinggal
diam"
Raja Naga merasakan dadanya berdebar keras.
Kesalahpahaman rupanya sudah terjadi dan nampak-
nya sangat sulit untuk dijelaskan kejadian yang sebe-
narnya.
Buru-buru dia berkata lagi, "Kalian telah menye-
butkan nama satu sama lain! Dan mungkin kalian
memang telah mengenalku! Hanya yang ingin ku je-
laskan"
"Dari sikapmu kau sudah tahu apa maksud kami
sebenarnya!" putus Jala Sringgil keras. "Berarti... kau
siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu?"
"Atau... kau mencoba membela diri dengan men-
gatakan sesuatu, bah?!" ucapan dingin Kala Sringgil
terdengar ketus.
Raja Naga mendesah pendek. Wajahnya sedikit
gelisah, tetapi sorot matanya tetap angker.
"Dari sikap kalian, aku tahu apa yang kalian in-
ginkan sebenarnya! Ya... aku mungkin tak bisa meno-
lak! Tetapi, aku ingin menjelaskan keadaan yang sebe-
narnya"
"Julukan Raja Naga secara tiba-tiba dan menge-
jutkan telah merebak dengan sepak terjangnya yang
menghentikan perbuatan-perbuatan makar dari orang-
orang keparat! Tetapi sekarang, tindakan itu justru
membuka mata seluruh rimba persilatan kalau di balik
semua itu kau memiliki maksud busuk!"
Raja Naga tak mempedulikan ucapan yang me-
nusuk itu. Dia berkata lagi, "Aku tak peduli kalian
mau mendengarkan atau tidak apa yang kukatakan!
Tetapi aku akan mengatakannya!"
Lalu diceritakan pengalaman yang berakibat tak
menyenangkan itu. Usai bercerita, diperhatikan wajah
dua orang lelaki bertubuh besar yang berkepala gun-
dul. Satu sama lain berpandangan seolah meminta
persetujuan untuk mempercayai atau tidak apa yang
dikatakan pemuda berompi ungu di hadapannya.
Kala Sringgil berkata, "Apa yang kau ceritakan
adalah sesuatu yang tak masuk akal! Barang bukti te-
lah ada padamu dan tentunya sekarang juga ada pa-
damu. Kau bisa saja mengatakan, kalau seseorang
yang entah siapa telah melemparkan benda pusaka itu
padamu! Padahal sebenarnya, memang kaulah yang
telah mencurinya!"
"Kala Sringgil... apa yang kukatakan adalah se-
buah kenyataan! Hingga saat ini aku masih mencoba
menemukan bukti-bukti agar aku terbebas dari segala
tuduhan!"
"Huh! Kau hendak mencari bukti dari segala tin-
dakan yang menurutmu tidak kau lakukan?! Gila! Se-
mua orang sudah tahu kau terbukti bersalah!"
Sebelum Raja Naga menyahut, Jala Sringgil su-
dah berkata, "Untuk apa lagi membuang waktu per-
cuma untuk membicarakan pepesan kosong seperti
ini!"
Habis kata-katanya, lelaki berkepala plontos ber-
wajah kelimis ini sudah melesat ke arah Raja Naga.
Dari lesatan tubuhnya menderu angin dingin yang me-
nandakan kekuatannya. Mendapati Jala Sringgil sudah
melancarkan serangan. Kala Sringgil pun berbuat yang
sama.
Raja Naga mendesah pendek.
“Sulit bagiku untuk menghindari pertarungan
ini!" desisnya resah dan segera melompat ke samping
kiri untuk menghindari sergapan Jala Sringgil lalu
memutar tubuh ke belakang menghindari jotosan Kala
Sringgil.
"Hebat!" seru Jala Sringgil dan tiba-tiba menyi-
langkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya
nampak berkomat-kamit tetapi tak ada suara yang ke-
luar.
Kala Sringgil pun melakukan tindakan yang sa-
ma.
Raja Naga mendesis dalam hati, "Nampaknya...
masing-masing orang hendak mengeluarkan ilmu me-
reka yang tentunya tak bisa dipandang sebelah mata!
Ah, aku merasa pasti, kalau sesungguhnya mereka
bukanlah orang kejam atau orang golongan sesat! Te-
tapi mau bagaimana lagi? Aku memang sulit mele-
paskan diri dari tuduhan sebagai pencuri!"
Dilihatnya kalau kedua tangan masing-masing
orang yang men5dlang di depan dada mulai bergetar
dan semakin lama getarannya semakin tak menentu,
lebih cepat dan tiba-tiba asap putih keluar!
"Astaga! Ilmu apa yang keduanya perlihatkan?
Rasanya... aku harus melawan kalau tidak ingin mam-
pus!" desis Raja Naga dan diam-diam dikeluarkannya
Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. Dilihatnya ke-
dua tangan kedua orang berkepala plontos itu seperti
tak beraturan. Mendadak sontak masing-masing orang
melesat ke depan, gerakan yang mereka lakukan se-
perti tak mereka niatkan. Dan seperti terbawa oleh ge-
rakan kedua tangan mereka sendiri!
Mendahului gebrakan keduanya, asap putih
membubung menderu ke arah Raja Naga. Anak muda
dari Lembah Naga ini menjerengkan matanya, lalu
mendeham keras.
"Heeemm!!"
Satu tenaga yang tak nampak memutus gumpa-
lan asap putih yang bergumpal ke arahnya. Namun di
saat lain. Raja Naga harus menghindari sergapan ke-
dua tangan Kala Sringgil.
Kendati berhasil dihindarinya, dapat dirasakan
kalau lengannya bagian atas terasa ngilu.
"Gila! Kekuatan apa yang mereka miliki? Tak ada
sambaran apa pun yang kurasakan, tetapi lenganku
terasa ngilu!"
Dan sergapan Jala Sringgil yang sedemikian ce-
pat, membuat Raja Naga tersentak. Tanah membuyar
ke udara tatkala Jala Sringgil menyergap. Tak mau
mati konyol, segera dikibaskan tangan kanannya un-
tuk melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lau-
tan'!
Wrrrr!
Serta-merta menghampar gelombang angin me-
rah yang memperdengarkan suara bergemuruh. Meli-
hat hal itu, Jala Sringgil bukannya mundur malah te-
rus meluruk. Kedua tangannya yang bergerak sendiri
itu tiba-tiba menepuk.
Brrrrr!!!
Gelombang angin yang menyeret tanah yang ke-
mudian membubung tinggi bergemuruh ke arah Raja
Naga.
Blaaam! Blaaamm!!
Bertemunya dua tenaga hebat itu membuat tem-
pat itu seperti berguncang. Dua buah pohon besar
tumbang. Ranggasan semak terangkat naik dipadu
dengan tanah.
Sementara itu, Raja Naga mundur tiga tindak ke
belakang dengan tangan kanan kiri terasa ngilu. Di pi-
hak lain. Jala Sringgil sendiri sudah mundur. Getaran
kedua tangannya semakin menguat.
Sementara itu. Kala Sringgil sudah menjejakkan
kaki kanannya, yang serta-merta membuat tubuhnya
mumbul dan seketika meluruk. Tangan kanan kirinya
yang bergerak sendiri mendorong. Seketika menggebah
gumpalan asap-asap putih yang menebarkan hawa
dingin.
Raja Naga tersentak kaget. "Astaga!!".
Segera dikibaskan tangan kirinya.
Jlegaaaarrr!!
Bertemunya gelombang angin merah dan asap-
asap putih itu menimbulkan letupan yang sangat ke-
ras untuk kedua kalinya. Tanah di mana bertemunya
dua serangan tadi seketika membuyar ke udara seting-
gi dua tombak, berkepul-kepul yang membuat pan-
dangan terhalang dan indera pernapasan menjadi se-
dikit terganggu.
Secara tiba-tiba dari gumpalan tanah itu melesat
sosok Jala Sringgil diiringi teriakan membahana. Raja
Naga sesaat menegakkan kepalanya. Untuk beberapa
lama dia seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan-
nya. Menyusul serangan Jala Sringgil, Kala Sringgil
sudah melompat ke udara dan meluruk dengan posisi
seperti orang terjun bebas. Kedua tangannya siap
menghajar pecah kepala Raja Naga.
Ketika menyadari serangan yang datang itu su-
dah siap mencabut nyawanya, Raja Naga segera men-
dorong kedua tangannya ke atas, sementara bersa-
maan dengan itu, kaki kanannya dijejakkan untuk me-
lepas-kan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang’.
Bersamaan menderunya gelombang angin yang
dipadu asap merah, tanah yang dipijaknya bergerak.
Dan menderu membentuk rangkaian gelombang ke
arah Jala Sringgil.
Jala Sringgil menggeram. Serta-merta diurung-
kan serangannya. Dan tiba-tiba tangan kanan kirinya
yang bergerak sendiri itu ditepukkan pada tanah.
Blaaar!
Tanah muncrat disusul letupan lainnya.
Blaaam...
Di pihak lain. Kala Sringgil mendadak saja me-
mutar tubuhnya laksana sebuah mata bor! Disong-
songnya serangan Raja Naga sembari mengibaskan
tangan kanan kirinya.
Blaam! Blaaamml!
Letupan demi letupan beruntun terjadi. Tempat
itu benar-benar laksana dilanda gempa.
Raja Naga surutkan langkahnya ke belakang. Na-
fasnya mulai memburu. Dadanya bergerak turun naik
dengan cepat. Keringat mulai menghiasi kedua ke-
ningnya.
"Aku tak bisa bertindak setengah-setengah...,"
desisnya seraya melompat ke samping kanan untuk
menghindari asap-asap putih yang menderu serabu-
tan. Bahkan secara tiba-tiba membubung ke udara
yang kemudian laksana hujan meluncur diiringi gemu-
ruh angin lintang pukang.
Raja Naga menahan napas. Saat itu juga tangan
kanannya ditepukkan pada lengan kirinya.
Wuuuttt!!
Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar dan
membuat tanah terangkat dalam pusarannya.
Blaaarrr!!
Serangan ganas yang datang itu dapat dipatah-
kan. Tetapi itu bukanlah akhir dari serangan. Karena
serangan lainnya yang sangat berbahaya datang ber-
tubi-tubi.
"Aku harus bertindak!" desisnya memutuskan.
Secara tiba-tiba dijejakkan kaki kanannya di atas ta-
nah melepaskan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Ka-
rang'.
Gelombang tanah yang menderu itu mengacau-
kan niat Jala Sringgil. Cepat-cepat lelaki berwajah ke-
limis ini melompat ke samping kanan, untuk kemudian
melesat kembali ke depan. Tetapi Raja Naga sudah ber-
tindak.
Bukkk!
Dengan mempergunakan jurus 'Hamparan Naga
Tidur' pemuda berkuncir kuda ini sudah berhasil men-
jotos perut Jala Sringgil yang mengaduh sambil mun-
dur. Kala Sringgil sendiri mengurungkan niatnya me-
nyerang melihat keadaan Jala Sringgil. Ditangkapnya
tubuh sahabatnya itu.
"Tahan!" desisnya seraya mengalirkan tenaga da-
lamnya.
Di tempatnya, Raja Naga menahan napas. Bila
saja dia mau, dia bukan hanya dapat membuat perut
Jala Sringgil mulas, tetapi Jebol hingga menjadi mayat
saat itu Juga! Tetapi biar bagaimanapun Juga. Raja Na-
ga yang kedua tangan sebatas sikunya bersisik coklat
yang mengandung kekuatan dahsyat ini, masih memi-
kirkan setiap tindakannya. Bila hal itu dilakukan, ma-
ka kesalahpahaman semakin menjadi
Dipandanginya kedua lelaki berkepala plontos itu
yang sama-sama memandang geram padanya. Teruta-
ma sorot mata Jala Sringgil yang telah pulih rasa sa-
kitnya. Di pihak lain. Kala Sringgil menggeram dingin.
"Sejak kudengar Julukanmu, aku yakin kalau kau
bukanlah pemuda sembarangan! Dan sekarang sudah
terbukti! Kau bukan hanya dapat mengatasi ilmu
'Bayangan Arwah' yang kami lakukan tadi, tetapi Juga
berhasil masuk dengan satu pukulan hebat! Tetapi
Jangan berharap, kau dapat selamat pada serangan be-
rikutnya!"
“Tunggu! Aku tak bermaksud untuk bertindak le-
bih Jauh! Apa yang kulakukan tadi, karena aku me-
mang harus menyelamatkan diri! Di samping itu, aku
Juga tidak bermaksud menahan apa yang kalian ingin-
kan karena kalian tetap menginginkan nyawaku wa-
laupun ini adalah kesalahpahaman besar! Dan sejak
tadi kukatakan, kalau kita berada dalam kesalahpa-
haman yang dalam, yang dapat membuat perpecahan
di antara kita terjadi!"
"Kau masih mencoba membela dirimu dengan
mengatakan kau bukanlah pencuri keparat itu! Huh!
Bahkan mulai tergambar sesuatu di benakku!"
Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya tetap
angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua
tangannya sebatas siku, tiba-tiba lebih terlihat jelas.
Pertanda kalau dirinya mulai dilanda sedikit kemara-
han.
Karena tak mendapati sahutan, Kala Sringgil me-
neruskan ucapan, "Hingga saat ini belum diketahui
siapa pembunuh Resi Kala Jinjit! Tetapi sekarang, se-
muanya mulai jelas!"
Dada Raja Naga sedikit berdebar. "Apa yang kau
maksudkan dengan mulai jelas?!"
"Huh! Masih berlagak dungu rupanya! Sudah
tentu kaulah yang telah membunuhnya!"
"Astaga!" kepala Raja Naga menegak. "Tuduhan
itu bisa semakin mengacaukan keadaan! Memang sulit
bagiku untuk menemukan bukti-bukti kalau aku bu-
kanlah pencuri kalung pusaka lambang Perguruan La-
ba-laba Perak! Dan sekarang, sudah datang tuduhan
lainnya yang mengatakan akulah yang telah membu-
nuh Resi Kala Jinjit! Berarti...."
"Kita tak perlu membuang waktu! Bunuh seka-
rang juga pemuda keparat itu!"
Kala Sringgil sudah melesat dengan tubuh yang
berputar laksana mata bor! Gerakannya cepat. Angin
mendahului mengerikan. Bahkan tanah terseret naik.
Namun tiba-tiba saja, tubuh Kala Sringgil terlempar
kembali ke belakang! Bila saja lelaki ini tak mampu
menguasai keseimbangannya, tak mustahil dia ter-
banting di atas tanah!
Bukan hanya Kala Sringgil yang keheranan. Jala
Sringgil yang sudah pulih dari rasa sakitnya pun ter-
cenung.
"Astaga! Sama sekali tak kulihat kalau pemuda
itu melancarkan serangan! Tetapi Kala Sringgil tahu-
tahu sudah terlempar ke belakang! Huh! Rupanya pe-
muda itu masih memiliki ilmu yang lebih hebat!"
Tetapi apa yang diduga oleh Jala Sringgil ternyata
jauh dari kenyataan. Karena saat ini, Raja Naga sendiri
sedang keheranan melihat apa yang dialami oleh Kala
Sringgil.
Matanya yang bersorot angker memperhatikan
sekelilingnya dengan seksama.
"Astaga! Siapa gerangan yang telah menahan se-
rangan Kala Sringgil barusan? Aku tak melihat siapa
pun di sini! Keadaan ini justru akan semakin memper-
dalam kesalahpahaman!" desisnya dalam hati.
Jala Sringgil yang menyangka kalau Raja Naga
yang menghantam Kala Sringgil dengan ilmu aneh,
siap melompat menyerang. Tetapi tangan kanan Kala
Sringgil telah menahannya.
"Jangan gegabah! Bukan dia yang telah melaku-
kan serangan tadi! Ada seseorang di sini!"
Jala Sringgil menatap heran sahabatnya yang
menganggukkan kepalanya.
"Aku merasa pasti akan hal itu..."
SELESAI
Ikuti lanjutan episode ini dalam
PENGADILAN RIMBA PERSILATAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon