Lanjutan TERJEBAK DI GELOMBANG MAUT
SATU
BLAAAARRR!!
"Puspa?! Ada apa denganmu?!" seru Raja
Naga seraya membuang tubuh ke samping kanan
tatkala gadis berpakaian kuning itu kembali men-
Puspa Dewi tak menyahuti seruan itu, Dice-
carnya anak muda berompi ungu itu terus mene-
rus. Paras jelitanya menekuk, menampakkan kege-
raman luar biasa.
Raja Naga kembali menghindari serangan
ganas yang tak main-main itu. Setiap kali gelom-
bang angin menderu, setiap kali pula ranggasan
semak tercabut. Letupan keras berkali-kali terden-
gar keras.
"Aneh! Mengapa tahu-tahu dia menyerang-
ku begini?" seru Raja Naga dalam hati seraya
menghindar.
"Pemuda pengecut! Mengapa kau cuma bisa
menghindar, hah?!" gadis bertahi lalat pada pelipis
sebelah kiri itu berseru seraya menerjang ganas.
Masih belum mengerti mengapa Puspa Dewi
yang telah diselamatkannya dari niat buruk Setan
Gundul Hutan Larangan menyerangnya, Raja Naga
terus menghindar. Tetapi lama kelamaan dia men-
jadi jengkel. Karena biar bagaimanapun, pemuda
bersisik coklat pada lengan kanan kirinya ini ma-
sih mencurigai Puspa Dewi sebagai orang yang te-
lah mencuri bunga-bunga keramat.
Tiba-tiba saja seraya melenting di udara dua
kali, Raja Naga mendeham.
Blaaammm!!
Tenaga tak nampak dari dehamannya,
menghantam gelombang angin yang dilepaskan
Puspa Dewi. Gadis itu sesaat mundur dengan ke-
dua tangan bergetar. Kakinya terpancang di atas
tanah, ketika matanya yang indah menatap penuh
bara!
"Apa yang telah kau lakukan, Puspa?!" seru
Raja Naga ketika sudah hinggap kembali di atas
tanah. Matanya yang selalu menyorotkan sinar
angker, memandang pada Puspa Dewi.
Yang dipandang sesaat mencoba membalas
sebelum kemudian mengerjap-ngerjap.
Sesaat suasana hening. Beberapa helai
daun berguguran. Pagi masih cukup muda. Tiba-
tiba gadis berkuncir kuda dengan pita warna kun-
ing itu menggeram sengit,
"Pengecut! Aku paling tidak suka dengan
pemuda pengecut!"
"Aku masih mencurigai gadis ini sebagai
orang yang bertanggung jawab atas pencurian
bunga-bunga keramat," desis Raja Naga dalam
tanpa sahuti bentakan Puspa Dewi. "Setelah dia
menghilang, baru kutemukan lagi dan sedang ber-
tempur dengan Setan Gundul Hutan Larangan.
Lantas... astaga! Aku tahu dia memang sengaja
menyerangku, karena tentunya dia tahu aku men-
curigainya?!"
Mata angkernya melihat gadis jelita yang
baru saja selesai bersemadi memulihkan tena-
ganya, telah meloloskan pedangnya yang berhulu
kepala elang.
Raja Naga segera berseru, "Hati-hati dengan
pedangmu itu!"
"Pedang inilah yang akan mengajarkanmu
untuk tidak bertindak pengecut!"
"Lagi-lagi pengecut? Mengapa dia menu-
duhku seperti itu? Ada apa ini? Apakah...."
Kata batin Raja Naga terputus, karena gadis
itu sudah melayang disertai gerakan pedang yang
cepat dan mematikan. Angin keras mendahului
menggebrak setiap kali pedangnya dikibaskan.
Raja Naga terpaksa menghindar dengan
otak berpikir untuk menemukan jawaban mengapa
tiba-tiba gadis ini menjadi beringas. Karena tak
menemukan jawabannya dan dia juga harus me-
nyelamatkan diri dari pedang tajam Puspa Dewi,
serentak anak muda dari Lembah Naga ini melesat
ke depan.
Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan su-
kar di ikuti pandangan. Puspa Dewi nampak me-
lengak karena tahu-tahu pemuda berompi ungu
itu telah dekat dengannya. Sebelum sempat ditarik
pedangnya, tahu-tahu tangan kanannya telah di-
tangkap oleh Raja Naga. Puspa Dewi merasa tan-
gannya dipuntir dan... tap! Pedangnya tahu-tahu
sudah berpindah tangan. "Kau?!" serunya dengan
suara tersendat.
Raja Naga tersenyum.
"Lebih baik jelaskan sebelum menjadi kesa-
lah pahaman...."
Gadis manis itu memandang dengan mata
mengerjap-ngerjap. Bara api yang berkobar di ke-
dua matanya pelan-pelan luluh. Raja Naga tersen-
tak ketika dilihatnya gadis itu jatuh berlutut dan
terisak!
"Hei! Ada apa ini?" serunya dalam hati.
Puspa Dewi terisak dengan kedua tangan
menutupi wajahnya. Sesaat Raja Naga hanya
memperhatikan dengan perasaan heran sebelum
melangkah mendekat.
"Jangan mendekat!"
"Mengapa, Puspa? Aku tak mengerti men-
gapa kau menyerangku?" tanya Raja Naga lembut.
Bukannya menjawab pertanyaan orang, ga-
dis berpakaian ringkas warna kuning yang telah
robek di bagian punggung itu makin mengisak.
Dan ini membuat Raja Naga bertambah tidak
mengerti.
Diputuskan untuk mendiamkan. Tetapi si-
kapnya itu justru membuat si gadis semakin men-
gisak. Dari sela-sela isakannya dia membentak li-
rih
"Kau jahat! Kau jahat!"
Raja Naga tak menjawab.
"Kau sengaja meninggalkan aku lama-lama
di sana! Kau sengaja melakukannya!"
Kali ini kening pemuda gagah bermata ang-
ker itu berkerut.
Puspa Dewi berseru lagi, tetap mengisak,
"Kau sengaja membiarkan kedua setan gundul itu
muncul dan hendak mempermalukanku! Kau ja-
hat, Boma! Kau jahat!!'
"Astaga! Jadi...."
Kata batin Raja Naga terputus karena gadis
itu sudah berseru-seru lagi, "Huh! Bila saja aku
tak mencium uap beracun yang dihembuskan oleh
kedua setan gundul itu, keduanya bisa langsung
kubunuh! Dan tadi... kau sengaja melepaskannya!
Kau tidak membunuhnya padahal kehormatanku
hampir mereka renggut!!"
Sadarlah Raja Naga apa yang telah terjadi.
Selama ini dia beranggapan, kalau Puspa Dewi
sengaja meninggalkannya ketika dia mencari pen-
gisi perut. Raja Naga masih mencurigainya sebagai
orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat,
di mana saat ini beberapa tokoh rimba persilatan
memburunya karena menyangka dialah yang telah
melakukan serangkaian pencurian.
Tetapi kata-kata gadis itu barusan? Astaga!
Apakah itu artinya dia selama ini salah menduga?
Sambil menahan napas, anak muda bersi-
sik coklat pada lengan kanan-kiri sebatas siku itu
berlutut. Dipandanginya Puspa Dewi yang masih
menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak
tangannya.
"Puspa... aku mulai mengerti apa maksud-
mu. Tetapi kau salah mendugaku sepertiku itu...."
"Salah? Huhuhu... kau sengaja melakukan-
nya! Kau sengaja!!"
"Tidak! Aku sedikit kesulitan untuk mene-
mukan ayam atau kelinci yang bisa kita pang-
gang!"
"Dusta!"
"Itulah kenyataannya, Puspa," sahut Raja
Naga. Pelan-pelan dijamahnya bahu gadis yang
masih mengisak itu. "Kalau begini keadaannya,
aku memang salah menilai tentang dirinya," lan-
jutnya dalam hati. "Berarti... bukan dia yang telah
melakukan serangkaian pencurian bunga-bunga
keramat...."
Puspa Dewi masih mengisak. Lambat-
lambat diangkat kepalanya dan ditatapnya Raja
Naga yang berjarak sedemikian dekat.
"Kau... kau tidak sengaja melakukannya?"
Raja Naga tersenyum seraya menggeleng. "Aku ma-
lah kebingungan karena kau menghilang begitu
saja...."
Puspa Dewi mengusap matanya yang basah
dengan punggung tangan kanannya.
"Kupikir... kupikir... kau sengaja melaku-
kannya..."
"Aku yakin usianya tak jauh berbeda den-
ganku. Tetapi pengalamannya masih sangat sedikit
sekali. Dan sepertinya, dia dapat mempercayai se-
seorang dengan mudah," kata Raja Naga dalam ha-
ti. Lalu sambil tersenyum dia berkata, "Ceritakan-
lah bagaimana kedua orang yang mengaku berju-
luk Setan Gundul Hutan Larangan itu muncul."
Puspa Dewi mengusap-ngusap dulu kedua
matanya. Parasnya yang jelita itu merona meme-
rah. Sungguh, Raja Naga melihat pesona yang su-
kar ditepiskan pada wajah jelita itu.
Lalu didengarnya cerita Puspa Dewi. Ketika
Raja Naga memutuskan untuk mencari makanan,
gadis itu duduk di bawah sebatang pohon. Semilir
angin membuatnya mulai mengantuk. Tatkala dia
hampir terlena udara sejuk yang dihirupnya mulai
sedikit beraroma wangi. Perubahan itu membuat-
nya tersentak, karena saat itu dirasakan tubuhnya
terangkat dan melayang.
Dalam keadaan sedikit pusing, Puspa Dewi
mendengar suara tawa dan percakapan seiring
dengan tubuhnya yang terus melayang bergerak.
Dicoba untuk menyadarkan dirinya sendiri, dicoba
agar dia tidak terlena oleh aroma wangi yang di-
ciumnya tadi. Saat itulah dia sadar kalau tubuh-
nya melayang karena dibopong oleh seseorang!
Tetapi Puspa Dewi merasa dirinya seperti
kehilangan tenaga. Bahkan dia seperti tidak tahu
ketika tubuhnya direbahkan di atas tanah. Namun
ketika didengarnya napas mendengus-dengus di
sekitar wajahnya, Puspa Dewi sadar kalau bahaya
sedang mengancamnya.
Seketika dia bangkit dan menahan aliran
napasnya. Dicobanya untuk membuang pengaruh
wangi yang diciumnya. Dengan masih agak sem-
poyongan dicobanya untuk mempertahankan di-
rinya dari niat busuk dua lelaki berpakaian pende-
ta. Di saat mempertahankan diri itu pakaian ba-
gian belakangnya dijambret salah seorang hingga
robek.
Raja Naga menarik napas pendek. "Berarti
aku salah menduga padanya. Kupikir dia sengaja
meninggalkanku karena tahu kalau aku mencuri-
gainya. Tetapi dia justru berpikir kalau aku senga-
ja meninggalkannya. Ah, berarti aku telah salah je-
jak...."
Habis membatin begitu dia berkata, "Sudah-
lah, Puspa... yang pasti kau selamat sekarang...."
Puspa Dewi hanya mengangguk-angguk.
Raja Naga memasukkan pedang yang dipegangnya
ke warangka yang ada di punggung Puspa Dewi.
Kemudian dia berkata, "Apakah kau akan
tetap melanjutkan perjalananmu ke Daerah Tak
Bertuan?"
"Guruku memerintahku seperti itu. Dan
aku tak bisa kembali ke Tanah Kayangan sebelum
berjumpa dengan Dewa Segala Dewa"
"Masihkah kau merahasiakan siapa gurumu
itu?" Ditanya seperti itu, Puspa Dewi tak segera
menjawab. Ditatapnya pemuda bermata angker itu
penuh seksama. Dan entah mengapa, tatapan
angker milik si pemuda berkuncir yang dapat
menciutkan nyali orang, justru dilihatnya begitu
bersinar, indah dan menawan. Bahkan Puspa De-
wi seolah merasa dia telah berenang-renang di se-
buah telaga biru yang jernih.
"Guruku berjuluk Ratu Tanah Kayangan...."
Raja Naga tersenyum.
"Kau telah mengatakan siapa gurumu. Dan
tentunya kau tak berkeberatan bukan, untuk
mengatakan mengapa gurumu menyuruhmu men-
jumpai Dewa Segala Dewa?"
Puspa Dewi tak menjawab. Dibawa pandan-
gannya ke kejauhan. Ditatapnya cahaya matahari
yang menerobos pepohonan.
"Rasanya, tak mengapa bila kukatakan apa
yang menyebabkan Guru menyuruhku menjumpai
Dewa Segala Dewa. Boma Paksi ternyata orang
baik-baik...."
Setelah terdiam beberapa saat, meluncurlah
kata-kata dari bibir indah memerah itu.
"Boma... beberapa minggu lalu, guruku ke-
datangan seseorang yang berjuluk Ratu Dinding
Kematian, yang ternyata adalah kakak sepergu-
ruan dari guruku. Ratu Dinding Kematian meng-
hendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma yang dimiliki
guruku, padahal dia telah memiliki Kitab Ajian Se-
laksa Jiwa. Guruku menolaknya hingga pertarun-
gan terjadi. Karena mereka sama-sama murid dari
seorang tokoh, maka tak ada yang kalah dan me-
nang. Tetapi...."
Raja Naga mendiamkan saja gadis manis itu
menghentikan ucapannya. Setelah beberapa saat
hening, Puspa Dewi melanjutkan, "Ratu Dinding
Kematian tetap menginginkan Kitab Ajian Selaksa
Sukma. Dia mengancam akan muncul lagi setelah
berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat."
'Apa hubungannya dengan bunga-bunga
keramat?"
"Aku sendiri tidak tahu sebenarnya. Hanya
yang pasti, bila Ratu Dinding Kematian yang seha-
rusnya kupanggil dengan sebutan Bibi Guru itu
berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat, ma-
ka dia akan memiliki ilmu yang sangat luar biasa
dan tentunya dengan mudah membunuh guruku."
"Lantas... apa hubungannya dengan Dewa
Segala Dewa?"
"Menurut cerita Guru, bunga-bunga kera-
mat itu dimiliki oleh Tiga Penguasa Bumi, yakni
Dewa Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi
Lembah Air Mata. Dewa Segala Dewa adalah pe-
mimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Guru menyu-
ruhku untuk menjumpainya, untuk mengabarkan
kalau Ratu Dinding Kematian hendak mengambil
bunga-bunga keramat itu...."
Raja Naga mendesah pendek.
"Kini mulai jelas duduk masalahnya. Berarti
bayangan kuning yang kulihat sebelum aku dis-
erang Purwa dan Sibarani adalah Ratu Dinding
Kematian. Perempuan itulah yang bertanggung ja-
wab atas semua kejadian ini, sementara aku yang
menjadi tertuduh. Dan Dewi Lembah Air Mata,
tentunya Si nenek berpakaian hijau dengan kain
kebaya lusuh yang telah menyerangku. Ah, sece-
patnya aku harus tuntaskan urusan ini...."
Sambil menatap gadis di hadapannya, Raja
Naga berkata, "Puspa Dewi... selama ini, akulah
yang dituduh sebagai pencuri bunga-bunga kera-
mat."
"Oh! Mengapa demikian?"
"Karena secara tak sengaja aku mendengar
suara ledakan keras ketika dua buah bunga kera-
mat dicuri oleh orang yang ternyata Ratu Dinding
Kematian. Bertepatan dengan perginya perempuan
itu, Purwa dan Sibarani datang dan menuduhku
telah mencuri kedua bunga itu."
"Siapakah mereka?"
"Secara jelas aku tidak tahu. Tetapi yang
pasti, keduanya telah menyebarkan berita kalau
akulah si pencuri bunga-bunga keramat. Puspa...
aku tak bisa menemanimu menuju ke Daerah Tak
Bertuan."
"Mengapa?" tanya gadis itu.
Raja Naga sedikit melengak, karena me-
nangkap nada penyesalan dari suara si gadis. Te-
tapi di lain saat dia sudah berkata, "Aku harus
memulihkan nama baikku. Belum lama ini aku te-
lah bertarung dengan Dewi Lembah Air Mata yang
ternyata salah seorang dari Tiga Penguasa Bumi.
Dan tak mustahil kalau yang lainnya juga akan
memburuku...."
Puspa Dewi tak menyahut.
Raja Naga pelan-pelan berdiri.
"Puspa... kita berpisah di sini. Mudah-
mudahan kau...."
"Aku ingin bersamamu, Boma...," putus
Puspa Dewi sambil mendongak.
Raja Naga menundukkan kepalanya. Biasan
kelembutan pada sepasang bola mata indah itu se-
saat mengaduk-ngaduk perasaannya. Dia seperti
terbuai oleh pesona yang benar-benar indah.
"Kita mempunyai urusan yang berbeda. Kau
tetaplah pergi ke Daerah Tak Bertuan. Saat ini
bunga-bunga keramat telah berhasil dicuri oleh
Ratu Dinding Kematian. Bila kau berjumpa dengan
Dewa Segala Dewa, kau bisa menjelaskan kalau
aku bukanlah seperti orang yang diduganya, Pus-
pa... kurasa ini hal yang terbaik sehingga...."
Kata-kata Raja Naga terputus, karena tahu-
tahu gadis bertahi lalat di pelipis sebelah kiri itu
telah berdiri dan memeluknya. Sesaat murid Dewa
Naga ini melengak dan tak tahu harus berbuat
apa. Dirasakannya betapa eratnya dekapan Puspa
Dewi pada tubuhnya, seolah tak ingin dilepaskan.
"Puspa...," suara Raja Naga gemetar.
"Boma... seumur hidupku... baru sekali ini
aku keluar dari Tanah Kayangan. Dan... dan...
aku....
Raja Naga menghela napas pendek.
"Kau kenapa, Puspa?"
"Aku... aku... tidak, tidak!" Gadis itu mele-
paskan rangkulannya. Wajahnya merona merah.
Matanya mengerjap berkali kali. "Tidak, Boma!
Aku tidak apa-apa! Ya, ya... sebaiknya aku te-
ruskan langkah ke Daerah Tak Bertuan!"
Sebelum pemuda itu menyahut, Puspa Dewi
sudah berlari meninggalkannya.
"Hei! Ada apa ini?" seru Raja Naga sambil
memandangi tubuh Puspa Dewi, yang kemudian
lenyap di persimpangan jalan. Untuk beberapa la-
manya anak muda bersisik coklat ini terdiam sebe-
lum kemudian memutuskan untuk mencari Ratu
Dinding Kematian.
* * *
DUA
LELAKI tegap dengan cambang di pipi ka-
nan kirinya itu urung membuka mulut. Laksana
terpantek tenaga gaib, langkahnya tiba-tiba ber-
henti. Matanya membelalak melihat sekelilingnya
yang telah porak poranda. Di lain saat dia berseru
keras, "Sibarani!!"
Tiga ekor kelinci yang tadi dibawanya di-
lempar begitu saja. Penuh kepanikan didekatinya
satu sosok tubuh yang tergolek di atas tanah!
"Sibarani! Apa yang terjadi?! Apa yang terja-
di?!" serunya panik. Tiba-tiba dia tersentak. "Ni-
mas Herning" desisnya.
Kepalanya segera ditolehkan ke kanan kiri.
Begitu dilihatnya satu sosok tubuh tergeletak di
atas tanah dengan pakaian robek, segera dia berla-
ri mendekatinya. "Nimas! Ada apa ini?! Ada apa?!"
Nimas Herning yang sesungguhnya adalah Ratu
Dinding Kematian, membuka kedua matanya. Di-
pandanginya lelaki berpakaian biru yang terbuka
di dada itu
"Purwa...," desisnya pelan.
"Nimas! Apa yang terjadi? Apa...," seruan
Purwa terputus ketika dia teringat sesuatu. Segera
diarahkan pandangannya ke depan. Dilihatnya ja-
jaran bunga matahari telah porakporanda. Da-
danya seketika berdebar keras.
Lebih berdebar ketika mendengar suara Ni-
mas Herning yang dibuat memelas, "Raja Naga....
Raja Naga telah datang... dan... dan... mengambil
Bunga Matahari Jingga...."
"Terkutuk!!" geram Purwa sengit. Saat itulah
dilihatnya pakaian di bagian dada perempuan ber-
pakaian kuning keemasan itu telah robek. Sepa-
sang payudara indah yang montok membayang di
balik pakaian dalamnya yang tipis. "Ke mana... ke
mana dia lari?" serunya lagi berusaha mengalih-
kan matanya dari pandangan yang menggugah ke-
lelakiannya itu.
Nimas Herning mengeluh seraya memegangi
kepalanya. Pelan-pelan Purwa mengangkatnya un-
tuk duduk berselonjor. Saat perempuan berambut
digelung ke atas dengan pita kuning itu duduk,
sepasang payudaranya bergerak lembut, bergetar
di balik pakaiannya yang tipis.
Lagi-lagi Purwa berusaha menindih pera-
saannya. Matanya dialihkan ke tempat lain. Tetapi
mengarah tepat pada pakaian bagian bawah Nimas
Herning yang telah, robek dan memperlihatkan
paha mulus yang menggiurkan.
Sementara lelaki tegak bercambang itu se-
dang gelisah memikirkan lenyapnya Bunga Mata-
hari Jingga dan resah karena pemandangan pada
tubuh Nimas Herning, perempuan itu justru terta-
wa dalam hati.
"Sangat mudah, sangat mudah memainkan
semua ini...."
Dan di lain pihak, Sibarani menggeram da-
lam hati. Dia masih berjuang untuk memulihkan
suaranya yang lenyap akibat totokan yang dilaku-
kan Nimas Herning.
Purwa berkata, "Ceritakan, Nimas... cerita-
kan bagaimana kejadiannya...."
Nimas Herning yang bukan lain Ratu Dind-
ing Kematian ini memainkan peranannya lagi. Se-
belumnya diceritakan kalau dirinya sedang mem-
buru Raja Naga yang telah memperkosa dan mem-
bunuh adik seperguruannya. Kali ini dikarangnya
cerita lain. Setelah Purwa pergi mencari kelinci-
kelinci untuk dipanggang, Raja Naga tiba-tiba
muncul. Dia dan Sibarani berusaha untuk meng-
halangi niat pemuda itu untuk mencuri Bunga Ma-
tahari Jingga. Tetapi mereka kalah dan Raja Naga
berhasil mendapatkan Bunga Matahari Jingga.
Purwa menggeram gusar mendengarnya.
"Terkutuk!!"
"Maafkan aku, Purwa... aku...."
Kata-kata Nimas Herning terputus karena
Sibarani telah melesat dengan jotosan tangan ka-
nan kiri penuh tenaga dalam.
Justru Purwa yang terkejut. Segera dia me-
nahan jotosan itu seraya berseru, "Sibarani! Apa
yang kau lakukan?!"
Plak! Plak!
Sibarani yang telah kehabisan tenaga akibat
serangan Nimas Herning sebelumnya mundur
dengan tangan kesemutan. Mulutnya bergerak-
gerak tetapi tak ada suara yang keluar.
Purwa mengerutkan kening melihatnya.
"Kenapa dengan suaramu, Sibarani?"
Sibarani berteriak-teriak, tetapi tetap tak
ada suara yang keluar. Dia hanya bisa menjerit-
jerit dalam hati, "Kakang! Perempuan itu berdusta!
Dia yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga!
Dia yang telah mencelakakanku jadi begini! Dan
dia sengaja merobek-robek pakaiannya sendiri!"
Nimas Herning berkata dengan suara penuh
penyesalan, "Purwa... biarlah Sibarani menghu-
kumku...."
Sudah tentu Purwa terkejut mendengar ka-
ta-katanya.
"Aku tak mengerti...."
"Karena... akulah yang harus dihukum...."
"Aku makin tak mengerti...."
"Ketika kami sudah terdesak kalah, Raja
Naga memaksa kami untuk mengatakan yang ma-
na Bunga Matahari Jingga di antara sekian banyak
bunga matahari. Sibarani tak mau menjawab. Dan
Raja Naga menjadi murka. Dibuatnya Sibarani
hingga tak bisa bersuara untuk selama-lamanya."
"Lantas... mengapa kau mengatakan kalau
kau yang harus dihukum?"
"Raja Naga menyiksanya, Purwa, Aku tak
sanggup melihatnya, sementara untuk menolong-
nya aku pun tak mampu. Terpaksa... terpaksa aku
mengatakan di mana Bunga Matahari Jingga itu
berada...."
Purwa menghela napas pendek. Dipandan-
ginya Nimas Herning, lalu diarahkan pandangan-
nya pada Sibarani yang masih memandang penuh
amarah pada perempuan itu.
"Sibarani... tak sepatutnya kau menyalah-
kan Nimas Herning. Bila dia tak melakukan hal
itu, sudah tentu kau akan dibunuh oleh Raja Na-
ga...."
"Tidak, Kakang! Dia berdusta! Dia yang me-
lakukan semua ini!!" seru Sibarani keras, tetapi
hanya bisa dalam hati.
Purwa berkata lagi, "Keadaan ini memang
sudah sukar dibendung lagi. Sebaiknya kita men-
cari Raja Naga...."
"Kakang! Perempuan itulah yang telah men-
curi Bunga Matahari Jingga! Dan bunga-bunga ke-
ramat yang lain! Bukan Raja Naga yang melaku-
kannya!" jerit Sibarani dalam hati. Perempuan
berpakaian merah melapisi pakaian dalam warna
hijau bersuara untuk berseru, tetapi suaranya te-
tap lenyap.
Keadaan ini membuatnya menjadi gusar.
Amarah tak tertahankan berubah menjadi kene-
langsaan. Tiba-tiba saja Sibarani berbalik dan me-
ninggalkan tempat itu.
"Sibarani!!"
Sibarani terus berlari. Tak dihiraukannya
panggilan Purwa, kakak seperguruannya yang di-
am-diam dicintainya. Untuk saat ini memang tak
banyak yang bisa dilakukan. Padahal dia tahu ka-
lau Nimas Herning berdusta. Jalan satu-satunya
memang harus meninggalkan mereka.
Menyerang Nimas Herning pun akan mem-
buat Purwa menjadi keheranan. Nimas Herning
sendiri tentunya akan tetap meneruskan musli-
hatnya, hingga Purwa pasti akan membelanya. Be-
rarti, dia harus mencari jalan pemecahan sendiri,
demikian Sibarani memutuskan.
Purwa masih mematung. Disesalinya tinda-
kan Sibarani yang meninggalkan mereka.
Nimas Herning tersenyum dalam hati meli-
hat keadaan yang sudah berada di tangannya. Di-
am-diam diturunkan pakaiannya yang telah robek
itu, hingga sepasang bukit kembarnya yang mon-
tok kini terpampang jelas. Pakaian dalam tipis
yang dikenakannya tak ada artinya sama sekali.
Lalu dengan suara memelas dia berkata, "Purwa...
aku merasa bersalah dalam hati ini...."
Purwa berbalik. Matanya langsung mem-
bentur pada payudara lembut yang terbuka lebar
itu. Sesaat lelaki ini menjadi gelisah sendiri. Ratu
Dinding Kematian sangat tahu perubahan wajah
Purwa. Tiba-tiba saja dia mengeluh. "Aduh!!"
"Oh! Kau kenapa, Nimas? Kenapa?!" se-
runya terburu-buru. Dilihatnya Nimas Herning
menekan-nekan pahanya yang telah terbuka. "Ka-
kiku... kakiku nyeri sekali...."
Sedikit gugup Purwa berlutut. Dia kelihatan
ragu untuk menjamah kaki yang mulus itu.
"Purwa...." Ratu Dinding Kematian mem-
buat suaranya semakin kesakitan. "Tolong... tolong
aku..,."
Setengah ragu lelaki tegap itu menjamah
kaki yang mulus. Ratu Dinding Kematian merasa
tangan lelaki itu gemetar.
"Tekan, Purwa... tekan...."
Purwa menelan ludahnya berulang-ulang.
Wajahnya memerah. Dia mulai menekan nekan
kaki mulus itu.
"Agak lebih kuat, Purwa...."
Semakin gemetar tangan Purwa melaku-
kannya. Terutama tatkala kedua tangannya memi-
jat paha Ratu Dinding Kematian. Perempuan itu
menyeringai dalam hati dan sengaja menggeliat
seperti kesakitan. Tangan Purwa yang tadinya be-
rada di pahanya, mau tak mau bergeser hingga ke
pangkal pahanya.
SeeerrrrH
Lelaki itu merasakan ada sesuatu yang me-
lesat naik tatkala tangannya menyentuh dan me-
nekan benda lembut pada pangkal paha Ratu
Dinding Kematian. Sebelum dia mengangkat tan-
gannya dari sana, Ratu Dinding Kematian telah
merangkulnya.
"Jangan... jangan angkat tanganmu, Pur-
wa.... Tekan, tekan dengan lembut...."
Kalau tadi Purwa setengah meragu dengan
dada bergemuruh karena jengah, kali ini gemuruh
dadanya mengencang karena mulai terpengaruh
gairah. Jakunnya mulai turun naik dengan napas
terdengar memburu.
Ratu Dinding Kematian tertawa dalam hati.
"Hemmm.... Bunga Matahari Jingga telah
kudapatkan. Kini lengkap sudah bunga-bunga ke-
ramat berjumlah tujuh buah. Tinggal merendam
dan meminumnya. Sebelum melakukannya dan
membunuh Ratu Tanah Kayangan, lebih baik ber-
senang-senang dulu dengan lelaki yang nampak-
nya belum pernah merasakan enaknya tubuh pe-
rempuan...."
Sementara Purwa terus menekan-nekan
daging lembut pada pangkal pahanya, Ratu Dind-
ing Kematian makin kuat merangkulnya. Tubuh-
nya menggeliat-geliat merasakan geli akibat teka-
nan lembut pada pangkal pahanya.
Napasnya sendiri mulai terengah-engah. Bi-
birnya mulai menciumi leher Purwa yang seketika
meremang. Sebelum lelaki itu melepaskan diri, bi-
birnya telah dipagut Ratu Dinding Kematian dan
dikulum dengan gigitan yang menggairahkan.
"Nimas...," suara Purwa tertelan oleh na-
pasnya sendiri.
"Purwa... peluk aku... peluk...."
Pelan-pelan lelaki yang kini mulai diamuk
gairah itu merangkul Ratu Dinding Kematian. Dia
sendiri mulai membalas ciuman-ciuman si perem-
puan. Dan ketika Ratu Dinding Kematian memba-
wa tangan kanannya pada sepasang payudaranya,
ciuman-ciuman Purwa semakin mengganas. Tan-
gannya meremas-remas payudara lembut yang pe-
lan-pelan menjadi kenyal dan mengencang itu
dengan penuh nafsu.
Ratu Dinding Kematian menggeliat. Mem-
buka pakaiannya sendiri hingga tubuh bagian
atasnya kini dalam keadaan polos. Ditariknya ke-
pala Purwa untuk menghujami payudaranya den-
gan ciuman-ciuman,
"Lebih keras, Purwa! Lebih keras!" Purwa
yang telah diamuk birahi tidak sadar kalau dia te-
lah melangkah masuk ke neraka. Lelaki itu se-
makin menggila. Bahkan dia menjadi tidak sabar
sendiri. Direnggutnya pakaian bagian bawah yang
dikenakan Ratu Dinding Kematian. Lalu tangan-
nya bermain-main di pangkal paha perempuan itu
yang menggeliat-geliat disertai desahan penuh
rangsangan.
Tiga kejapan mata kemudian, di bawah si-
nar matahari pagi dan udara yang masih dingin,
keduanya, sudah berpacu penuh nafsu. Keringat
seketika membanjiri tubuh masing-masing orang.
"Lebih cepat, Purwa! Lebih cepat!" Purwa makin
menggila memacu dirinya. Aliran darahnya ber-
tambah cepat, jantung lebih kencang berdetak...
"Tekan, Purwa! Tekaaannn!!" seru Ratu
Dinding Kematian dengan napas mendengus-
dengus. Kedua tangannya menekan pinggul Purwa
kuat-kuat.
Terdengar jeritan lirih dari mulut Ratu
Dinding Kematian. Sesaat dia terkulai dan mem-
biarkan lelaki itu terus berpacu di atas tubuhnya.
Lima tarikan napas berikutnya, gerakan Purwa
makin menggila, makin liar. Dia seperti memburu
butiran mutiara di pasir putih.
Napasnya terengah kencang dan....
Jeritan panjang itu terdengar seiring tu-
buhnya terlempar di angkasa luas.
Ratu Dinding Kematian tersenyum penuh
kepuasan. Dibiarkannya tubuh tegap lelaki itu
masih bertengger di atas tubuh polosnya.
"Akan kupermainkan dia..,," desisnya dan
tiba-tiba saja dia mengisak.
Sudah tentu Purwa yang merasa baru saja
melakukan perjalanan yang sangat berat dan telah
tiba di puncak tersentak. Lebih kaget lagi ketika
melihat tubuhnya dan tubuh perempuan itu dalam
keadaan polos.
"HeiiiiH" serunya kaget dan buru-buru
bangkit dari atas tubuh Nimas Herning. Sesaat le-
laki ini seperti orang dungu yang tak menyadari
apa yang telah dilakukannya.
"Astaga!" desisnya kemudian. "Apa yang te-
lah kulakukan? Apa yang kulakukan?" lanjutnya
panik.
Ratu Dinding Kematian berkata di sela-sela
isakan kepura-puraannya, "Kau... kau baru saja
meniduriku, Purwa...."
"Astaga!" lelaki itu menepuk keningnya sen-
diri. Dan disambar pakaiannya yang segera dike-
nakan dengan cepat. Lalu ditatapnya tubuh Ratu
Dinding Kematian yang masih polos. "Nimas...
aku... aku...."
"Aku senang kau melakukannya, Purwa..."
Purwa justru menjadi gelisah. Dia menyesali
mengapa ini sampai terjadi. Ditariknya napas be-
rulang-ulang. Setelah dikuatkan dirinya, dia ber-
kata, "Aku akan bertanggung jawab, Nimas...."
Ratu Dinding Kematian menghentikan isa-
kannya. "Be benarkah?"
Purwa mengangguk setengah meragu.
"Ya!"
"Oh! Terima kasih, Purwa! Terima kasih!"
serunya seraya merangkul tubuh lelaki itu.
Purwa tak berkata apa-apa. Dipejamkan
matanya, menyesali apa yang telah dilakukannya.
Pelan dia berucap, "Kenakan lagi pakaianmu, Ni-
mas.... Tak ada gunanya lagi kita berada di sini.
Kita harus memburu Raja Naga...."
Ratu Dinding Kematian segera mengenakan
pakaiannya lagi. Lalu dikecupnya bibir Purwa yang
masih menyesali apa yang baru saja dilakukannya.
"Kita berangkat sekarang?"
Purwa cuma mengangguk lesu. Lalu me-
langkah diiringi oleh Ratu Dinding Kematian yang
tertawa dalam hati. Setelah delapan langkah, Ratu
Dinding Kematian menjentikkan ibu jari dengan
telunjuknya.
Tujuh buah bunga beraneka jenis dan war-
na, bergerak beriringan di udara!
* * *
TIGA
TEPAT matahari siap masuk ke peraduan-
nya, nenek berkebaya lusuh mengenakan pakaian
hijau itu menghentikan langkahnya di sebuah hu-
tan kecil. Matanya yang tajam memperhatikan se-
kelilingnya sejenak. Dia mendengus ketika seekor
burung gagak tiba-tiba melintas dan keluarkan
suara yang tak sedap didengar.
"Kurang ajar!" makinya kemudian. Tangan
kurusnya mengepal. Kondenya yang berwarna hi-
jau bergerak mengikuti gerakan kepalanya yang
mengantar lenyapnya burung gagak itu di antara
pepohonan. "Raja Naga telah berhasil mematahkan
ilmu ‘Air Mata Purnama’! Ini membuktikan kalau
dia memang tak bisa dipandang sebelah mata."
Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air
Mata ini kembali memaki-maki sendirian. Bibirnya
yang keriput membentuk kerucut yang dapat me-
mancing tawa. Tetapi bila melihat kegeramannya,
tak seorang pun yang akan berani tertawa di ha-
dapannya sekarang ini.
"Pencuri keparat itu memang tangguh! Tak
heran bila Purwa dan Sibarani gagal menangkap-
nya ketika memergokinya mencuri Bunga Kecu-
bung Putih dan Bunga Anggrek Biru! Setan terku-
tuk!!"
Dewi Lembah Air Mata yang sebelumnya
merasa yakin dapat menangkap Raja Naga, sema-
kin meradang amarahnya. Mata tajamnya meman-
dang ke kejauhan. (Untuk mengetahui hal itu, si-
lakan baca : "Terjebak di Gelombang Maut"),
"Semakin kuat keyakinanku kalau Raja Na-
ga yang telah melakukan serangkaian pencurian
itu! Hanya saja, aku masih memikirkan satu hal.
Mengapa Dewa Segala Dewa menyuruh Dewa Seri-
bu Mata mendatangi Dinding Kematian? Ada uru-
san apa dengan murid Dewa Pengasih yang berju-
luk Ratu Dinding Kematian itu?"
Dewi Lembah Air Mata mencoba mengingat-
ingat siapa Ratu Dinding Kematian.
"Selama ini tak pernah terdengar perem-
puan itu buka urusan dengan siapa pun juga.
Demikian pula dengan adik seperguruannya yang
berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Huh! Mengada-
ngada saja Dewa Segala Dewa! Padahal sudah jelas
kalau... heiiii!!"
Si nenek yang rambutnya sebagian besar
memutih tetapi herannya rambutnya yang dikonde
berwarna hijau memutus kata-katanya sendiri.
Mata celongnya menangkap satu bayangan merah
tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Busyet! Sibarani!" serunya kemudian.
"Mengapa dia seorang diri?"
Tak mau menunggu terlalu lama, Dewi
Lembah Air Mata segera mengejar. Ilmu peringan
tubuhnya lebih tinggi dari si bayangan merah yang
berkelebat hingga dalam waktu singkat saja dia
dapat mengejarnya.
Seperti yang diduganya, perempuan itu
memang Sibarani.
"Sibarani! Berhenti!"
Sibarani yang mengenali suara itu segera
menghentikan larinya. Dia berbalik dan segera me-
rangkapkan kedua tangannya di depan dada begi-
tu melihat Dewi Lembah Air Mata.
"Astaga! Apa-apaan kau berada di sini,
hah?! Mana Purwa? Mengapa kau tidak bersa-
manya menjaga Bunga Matahari Jingga seperti
yang diperintahkan gurumu?!"
Karena kehilangan suaranya, Sibarani
hanya terdiam. Sorot matanya sedih saat meman-
dang si nenek. Sikap diamnya itu justru membuat
Dewi Lembah Air Mata menjadi geram.
"Hei! Kau tidak mendadak menjadi bisu,
kan?!" bentaknya keras. "Katakan padaku, menga-
pa kau meninggalkan perintah gurumu?!"
Lagi-lagi Sibarani tak bersuara. Matanya
semakin sedih memandang Dewi Lembah Air Mata.
Kali ini yang dipandang mengerutkan ke-
ningnya.
"Aneh juga sikap perempuan ini. Kenapa
dia? Apa suaranya tiba-tiba hilang?"
Belum lagi si nenek berkonde hijau ini buka
mulut, Sibarani sudah menunjuk mulutnya sendiri
seraya bersuara, "Ah, ah, ah, ah...."
Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata.
"Astaga! Kelihatannya dia benar-benar tidak
bisa bersuara?!" serunya dalam hati. Dengan pan-
dangan heran dia berkata, "Sibarani... aku belum
dapat menebak secara pasti apakah kau tiba-tiba
menjadi gagu atau tidak. Tetapi, kau bisa mengge-
leng bila menjawab tidak dan mengangguk bila
menjawab iya."
Sibarani mengangguk-angguk dengan tata-
pan cerah.
"Bagus! Apakah kau kehilangan suaramu?"
Sibarani mengangguk.
"Astaga! Siapakah yang melakukannya?"
Sudah tentu Sibarani hanya diam saja
mendengar pertanyaan itu. Dewi Lembah Air Mata
menyadari kesalahannya.
"Apakah telah terjadi sesuatu?"
Sibarani mengangguk.
"Bunga Matahari Jingga telah lenyap?"
Mengangguk lagi.
"Raja Naga yang melakukannya?"
Kali ini menggeleng.
"Hei! Bukan Raja Naga yang melakukan-
nya?"
Sibarani mengangguk.
"Lantas, siapa yang... bodoh! Kau sendiri
saat berjumpa denganku ini. Apakah kau mening-
galkan Purwa?"
Sibarani mengangguk lagi.
"Dia... dia baik-baik saja?"
Mengangguk lagi.
"Mengapa kau mening... busyet! Susah be-
tul berbicara kalau begini! Kau menjawab bukan
Raja Naga yang melakukannya, berarti ada orang
lain yang juga menghendaki Bunga Matahari Jing-
ga. Kau juga bilang Purwa tidak apa-apa tetapi kau
meninggalkannya. Lantas, bagaimana aku bisa ta-
hu apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Sibarani terdiam, sorot matanya sedih lagi.
Dewi Lembah Air Mata menghela napas
pendek.
"Sekarang kau hendak ke mana? Kembali
ke Daerah Tak Bertuan?"
Sibarani menggeleng.
"Kau hendak mengejar pencuri itu?"
Lagi Sibarani menggeleng.
"Gila!" seru Dewi Lembah Air Mata menjadi
jengkel sendiri. "Lantas apa yang hendak kau la-
kukan?!"
"Aku akan berusaha mencari akal untuk
menjelaskan kalau bukan Raja Naga yang melaku-
kannya, Dewi Lembah Air Mata! Tetapi Nimas
Herning yang telah memuslihati semua ini! Bah-
kan Kakang Purwa kini telah berpihak padanya
karena tidak tahu apa yang terjadi!" jerit Sibarani
dalam hati. Dia berusaha untuk mengeluarkan su-
aranya, tetapi tak ada suara yang keluar.
Dewi Lembah Air Mata mendengus pendek.
"Berlutut!" perintahnya.
Sibarani melakukan perintah itu. Dilihatnya
nenek berkebaya lusuh itu mendekatinya. Leher-
nya dipegang dan digerak-gerakkan.
"Aku tak melihat adanya satu totokan di se-
kitar sini," katanya kemudian. "Buka mulutmu.
Hemm... tak ada kulihat luka di dalam jalan sua-
ramu. Kerongkonganmu bagus. Tenggorokanmu
tak kurang suatu apa. Orang yang telah mencuri
Bunga Matahari Jingga yang melakukannya?"
Sibarani mengangguk.
"Hebat! Tentunya dia berilmu tinggi! Meng-
hilangkan jalan suara orang tanpa dapat ditemu-
kan tanda-tanda yang berarti, hanya dapat dilaku-
kan oleh orang yang memiliki ilmu bayangan. Ke-
parat busuk! Bila saja kau bisa bicara, mungkin
akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan
orang keparat itu!"
Sibarani beraha-uhu.
Si nenek mendengus.
"Aku tak bisa memahaminya! Tapi dengar-
kan, kau bilang bukan Raja Naga yang telah men-
curi Bunga Matahari Jingga. Apakah bukan dia
pula yang mencuri bunga-bunga keramat yang
lain?"
Kali ini Sibarani tak menggeleng maupun
mengangguk.
"Berarti kau tidak tahu. Biar kusimpulkan
sendiri, berarti memang ada dua orang yang men-
ginginkan bunga-bunga keramat itu. Pertama Raja
Naga, dan kedua orang yang telah mencelakakan -
mu. Bisa jadi kalau sebenarnya Raja Naga dan
orang itu saling membahu untuk mendapatkan
bunga-bunga keramat."
Dewi Lembah Air Mata mendengus beru-
lang-ulang.
"Setan alas!" makinya dalam hati. "Keadaan
ini semakin membuatku bertambah bingung!"
Kemudian katanya, "Aku sulit menangkap
apa yang kau inginkan sekarang. Tetapi sebaiknya,
kau berjalan bersamaku. Kukhawatirkan kalau
orang yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga
menjumpaimu dan akhirnya...."
Kata-kata Dewi Lembah Air Mata terputus
begitu melihat Sibarani menggeleng. "Lantas kau
mau ke mana?"
Sibarani tak menggeleng atau mengangguk.
"Gila! Lama-lama aku bisa gila! Ya, sudah! Kau
pergi sana! Berhati-hatilah!"
Walaupun perasaannya sedih bukan kepa-
lang karena tak bisa menjelaskan apa yang hendak
dilakukannya dan membuat si nenek menjadi ur-
ing-uringan sendiri, Sibarani segera merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Memang
sulit untuk menjelaskan semua ini bila tak bisa
bersuara. Tetapi perempuan ini cukup memiliki
ketabahan untuk menjalankan apa yang diingin-
kannya.
Tetapi sebelum Sibarani berlalu, Dewi Lem-
bah Air Mata sudah berkata, "Aku belum menda-
patkan kejelasan! Lebih baik kita melangkah ber-
sama-sama!" Lalu dia memaki-maki dalam hati,
“Semuanya bikin kepalaku bertambah pusing! Be-
lum tuntas satu pikiran, telah muncul lagi pikiran
lain! Ah, Sibarani mengisyaratkan kalau Purwa ti-
dak apa-apa. Tetapi yang mengherankanku, men-
gapa dia meninggalkannya? Apakah Purwa sendiri
memburu orang yang telah mencuri Bunga Mata-
hari Jingga? Tetapi tadi Sibarani mengisyaratkan
dia sendiri tidak sedang memburu orang itu. Lan-
tas, apa yang sebenarnya terjadi?"
Untuk beberapa saat si nenek makin uring-
uringan sebelum mendahului melangkah. Sibarani
mengikutinya. Memang itulah keputusan yang ter-
baik.
Menjelang tengah malam. Purwa berbisik li-
rih, "Nimas... kau hendak ke mana?"
Ratu Dinding Kematian tersenyum.
"Aku hendak mencari makanan dulu," ka-
tanya sambil mengenakan lagi pakaiannya. Untuk
kedua kalinya dia berhasil membujuk Purwa
menggeluti tubuhnya. Bagi Ratu Dinding Kema-
tian, pelampiasan itu cukup mengasyikkan sebe-
lum dia akhirnya membunuh Purwa. Tetapi dia tak
ingin membunuh Purwa lebih dulu, mengingat ke-
pergian Sibarani.
Karena bila Sibarani muncul dan berhasil
menjelaskan semuanya -entah dengan cara bagai-
mana- maka kehadiran Purwa dapat dijadikannya
sebagai tameng. Purwa yang tidak tahu masalah
yang sebenarnya tentunya akan membelanya.
"Kau tenang-tenang saja dulu di sini," lanjut
Ratu Dinding Kematian lagi. Dikecupnya bibir lela-
ki yang nampak lemas karena baru saja memacu
birahi bersamanya. "Sebagai seorang kekasih, ten-
tunya aku akan selalu berusaha membahagiakan
mu...."
Purwa tersenyum.
"Jangan lama-lama," katanya yang kini te-
lah lenyap segala jengah dan ragu terhadap pe-
rempuan yang masih dikenalnya sebagai Nimas
Herning.
"Kenapa?" seringai Ratu Dinding Kematian.
Sebelum Purwa menyahut, dia sudah lebih dulu
berkata, "Kau masih ingin lagi, bukan? Jangan
khawatir... aku akan memberikannya padamu,
bahkan kau akan merasakan yang lebih hebat la-
gi...."
Purwa hanya tersenyum.
Di lain kejap, Ratu Dinding Kematian sudah
berkelebat meninggalkannya, menerobos kegela-
pan dengan gerakan cekatan. Ranggasan semak
dilompatinya tanpa menimbulkan getaran pada
semak itu. Setiap kali dia melompat, empat lang-
kah terlampaui tanpa kesulitan.
"Kulihat tadi ada dua buah cahaya jingga
terlontar ke udara. Tentunya kedua pendeta gun-
dul itu yang melakukannya. Bagus! Mudah-
mudahan dia telah mengetahui sesuatu tentang
Ratu Tanah Kayangan. Karena rasanya tak mung-
kin kalau Ratu Tanah Kayangan akan tetap me-
nungguku di kediamannya...."
Perempuan berpakaian kuning keemasan
yang telah robek di bagian dada dan membiarkan
sepasang bukit kembarnya membayang di balik
pakaian dalamnya yang tipis terus berlari ke arah
timur. Setelah beberapa kejapan mata, dilihatnya
lagi dua cahaya jingga terlontar di udara.
"Agak serong ke kanan!" serunya pada di-
rinya sendiri dan berlari ke sana.
Tak lama kemudian dilihatnya dua sosok
tubuh berpakaian jingga yang diterangi sinar rem-
bulan. Salah seorang dari mereka siap menghen-
takkan kedua tangannya ke udara.
"Aku telah datang!" seru Ratu Dinding Ke-
matian seraya melenting dan hinggap sejarak lima
langkah dari dua lelaki berkepala gundul.
Kedua lelaki itu yang bukan lain Setan
Gundul Hutan Larangan menoleh. Masing-masing
orang tersenyum.
"Syukurlah kau melihat isyarat kami, Ratu...."
"Aku tak punya banyak waktu! Apakah ka-
lian sudah mengetahui apa yang dilakukan Ratu
Tanah Kayangan?!" bentak Ratu Dinding Kematian
ketus. Tajam diperhatikan kedua lelaki berpakaian
ala seorang pendeta itu.
Lelaki gundul yang memegang tongkat beru-
jung bundar itu mengangguk. Codetan pada ke-
ningnya kentara.
"Dia telah keluar dari Tanah Kayangan!"
"Bagus! Ke mana dia pergi?"
"Sialnya kami kehilangan jejak!" sahut si
codet lagi yang bernama Cokro Kliwing. Kali ini
sambil melirik temannya yang juga berkepala gun-
dul dan mengenakan baju seperti pendeta berwar-
na jingga.
Lirikan itu membuat Ratu Dinding Kema-
tian curiga.
"Apa yang kalian lakukan?!"
Si gundul bertasbih besar pada dadanya
yang tadi dilirik Cokro Kliwing menyahut, "Kau
tentunya sangat tahu apa kesukaan kami, bu-
kan?!"
Kali ini Ratu Dinding Kematian mendengus.
"Kalian boleh menikmati tubuhku setelah aku ber-
hasil membunuh Ratu Tanah Kayangan!"
"Dan karena terlalu lama menunggu, kami
terpaksa mencari perempuan lain sebagai tempat
pelampiasan kami!" sahut Jodro Kliwing.
"Aku tak peduli kalian melakukannya pada
siapa pun juga! Teruskan melacak keberadaan Ra-
tu Tanah Kayangan!"
"Ratu...," kata Cokro Kliwing. "Apakah kau
sudah mendapatkan seluruh bunga-bunga kera-
mat itu?!"
Ratu Dinding Kematian tak menjawab.
"Setan-setan gundul ini memang berotak
cerdik! Sebenarnya sangat mudah bagiku untuk
membunuh keduanya! Tetapi selagi aku mencari
bunga-bunga keramat itu, keberadaan mereka un-
tuk melacak di mana Ratu Tanah Kayangan yang
kuyakini pasti akan meninggalkan Tanah Kayan-
gan sangat kuperlukan. Janji kuberi imbalan tu-
buhku sudah membuat mereka seperti orang dun-
gu."
Habis membatin demikian, dia berkata dus-
ta, "Aku belum berhasil mendapatkan bunga te-
rakhir."
"Tidak masalah bagi kami karena kami akan
tetap menunggu tubuhmu yang montok itu sampai
kapan pun juga," sahut Cokro Kliwing sambil me-
nyeringai.
"Setan gundul!" geram Ratu Dinding Kema-
tian dalam hati. "Membunuhnya saat ini pun tak
kusesali! Tapi tenaga mereka masih bisa kupergu-
nakan!"
Selagi Ratu Dinding Kematian tak buka mu-
lut, Jodro Kliwing berkata, "Kau tidak bertanya
siapa perempuan terakhir yang hampir saja kami
gauli?"
"Hampir?" kening Ratu Dinding Kematian
berkerut.
"Ya! Hampir!" suara Jodro Kliwing menjadi
geram.
"Siapa perempuan itu?!"
"Dia adalah murid Ratu Tanah Kayangan!"
Ratu Dinding Kematian membeliak sebentar
sebelum membentak keras, "Bodoh! Kalian gagal
mempermalukannya?!"
"Kami hampir berhasil melakukannya!" sa-
hut Jodro Kliwing gusar. "Dan kami mengetahui
siapa gadis itu ketika dia meracau antara sadar
dan tidak ketika terkena 'Uap Pelemah Tenaga'
yang kami sebar padanya."
"Mengapa kalian gagal melakukannya?"
Kali ini Cokro Kliwing yang menyahut, sua-
ranya tak kalah geram, "Seorang pemuda berompi
ungu tiba-tiba muncul dan mengacaukan semua-
nya! Dia begitu tangguh hingga kami tak bisa
menghadapinya!"
"Siapa pemuda itu?"
"Saat itu kami tidak tahu! Tetapi si gadis
memanggilnya Boma Paksi!"
"Kau bilang saat itu tidak tahu. Berarti se-
karang kau sudah tahu siapa dia?!"
"Setelah kami dikalahkan olehnya, sambil
berlari menjauh kami terus memikirkan siapa pe-
muda itu hingga tiba pada satu kesimpulan."
"Siapa?!"
"Pemuda itu memiliki ilmu tinggi. Mengena-
kan rompi berwarna ungu. Berkuncir ekor kuda.
Pada kedua tangannya sebatas siku terdapat sisik-
sisik coklat. Dan yang mengerikan adalah sorot
matanya."
Jodro Kliwing menyambung, "Dari ciri-ciri
itu, ingatan kami tiba pada seseorang yang ramai
dibicarakan orang! Seseorang yang telah lama in-
gin kami jumpai untuk kami bunuh! Karena terla-
lu banyak mengganggu tindakan orang-orang se-
perti kami dan juga... kau!!"
"Siapa dia?!"
"Raja Naga!" suara Jodro Kliwing penuh
amarah.
Kepala Ratu Dinding Kematian menegak.
"Raja Naga?!" ulangnya dalam hati. Dan di-
dengarnya kata-kata Jodro Kliwing lagi,
"Kami tak sanggup menghadapinya dan
kami tak terima dipermalukan olehnya! Itulah se-
babnya kau kami beri isyarat untuk datang ke si-
ni!"
"Jangan berbelit-belit!"
"Kau meminta kami untuk melacak apa
yang dilakukan Ratu Tanah Kayangan dan kami
telah melakukannya! Imbalan yang kau janjikan
terlalu lama kami terima! Walaupun aku dan sau-
daraku ini sudah tidak sabar untuk menikmati tu-
buhmu berdua sekaligus, tetapi sekarang sudah
kami putuskan untuk tidak akan melakukannya!"
"Apa maksudmu dengan semua itu?!"
Jodro Kliwing sekarang menyeringai.
"Aku dan saudaraku sudah sepakat, untuk
meminta imbalan yang lain darimu!" serunya dan
tak segera melanjutkan ucapannya. Di kejap lain,
dengan suara berayun dilanjutkan kata-katanya.
"Yakni... kau harus membunuh Raja Naga!!"
Memicing mata Ratu Dinding Kematian.
"Dari balik ucapanmu, nampaknya ada se-
suatu yang kau tutupi, Jodro Kliwing?!"
Jodro Kliwing terbahak-bahak, hingga
menggema di tempat sunyi itu.
"Kau memang pandai, Ratu! Pandai sekali!
Ya! Sudah tentu aku dan saudaraku yakin kalau
kau akan melaksanakan permintaan kami itu! Ka-
rena bila kau menolak, maka dari mulutku dan
mulut saudaraku akan tersebar kabar, siapa orang
yang telah melakukan serangkaian pencurian
bunga-bunga keramat!"
Mengkelap wajah Ratu Dinding Kematian.
Kedua tangannya seketika mengepal dengan mata
tajam berbahaya.
"Keparat! Kedua manusia gundul ini justru
balik menekanku! Setan alas!!" geramnya dalam
hati.
"Murka yang nampaknya kau tahan itu aku
yakin tetap akan kau tahan, Ratu!" seru Cokro
Kliwing. "Karena... semua apa yang kau rahasia-
kan ada di tangan kami!"
Lalu tanpa menunggu sahutan dari Ratu
Dinding Kematian, dia sudah berlalu dari sana.
Jodro Kliwing masih sempat membuka mu-
lut sebelum menyusul, "Aku dan saudaraku sudah
sepakat memberimu waktu hanya lima hari mulai
sekarang! Setelah lewat hari itu belum terdengar
kabar Raja Naga mampus, maka kau akan celaka,
Ratu!!"
Membludak amarah Ratu Dinding Kema-
tian. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain
melampiaskan amarahnya pada sebatang pohon
yang seketika hancur ditendangnya.
"Kalian boleh tertawa sekarang," desisnya
geram laksana seekor serigala murka. "Tetapi ke-
lak, kalian akan tahu kalau apa yang telah kalian
lakukan sekarang ini adalah sebuah kebodo-
han...."
Di lain kejap, perempuan yang tepat pada
keningnya terdapat sebuah tahi lalat, sudah berke-
lebat meninggalkan tempat itu dengan sejuta ke-
marahan.
Ketika dia kembali menjumpai Purwa, lang-
sung ditubruknya lelaki itu yang menjadi gelaga-
pan seraya menciuminya. Purwa sempat melihat
kalau perempuan yang masih dianggapnya berna-
ma Nimas Herning itu tak membawa apa-apa.
Tetapi di lain saat dia sudah tak mempedu-
likannya. Karena dengan kasar penuh nafsu pe-
rempuan itu telah membuka pakaiannya kembali.
Dan mendorong tubuhnya menelentang, sementa-
ra dia sendiri duduk di atas tubuhnya. Gerakan
liar yang dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian
yang melampiaskan kekesalannya dengan cara
memuaskan gairahnya, membuat Purwa menjerit-
jerit penuh kenikmatan.
* * *
EMPAT
SETELAH berpisah dari Puspa Dewi, Raja
Naga terus berkelebat. Dia tak bisa menentukan
tujuannya secara pasti, namun tekad telah dibu-
latkan untuk segera menemukan Ratu Binding
Kematian. Karena dari cerita Puspa Dewi. Raja Na-
ga kini mulai bisa meraba siapa orang yang ber-
tanggung jawab atas semua ini.
Tiba-tiba saja anak muda bersisik coklat ini
menghentikan langkahnya. Kepalanya seketika di-
palingkan ke kanan dengan kening berkerut.
"Kutangkap satu gerakan yang begitu berat,
seolah pemilik gerakan itu bertubuh luar biasa
gemuknya," desisnya sambil memicingkan ma-
tanya.
Kejap lain justru dia sendiri yang tersentak.
Karena tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Men-
gapa kau berhenti melangkah, hah?! Ayo, song-
song aku!"
Tanpa sadar Boma menoleh ke sekeliling-
nya. Sadar kalau hanya dia seorang yang berada di
jalan setapak itu, segera diarahkan lagi pandan-
gannya pada tempat semula. Orang yang melang-
kah berat itu belum kelihatan sosoknya, tetapi dia
sudah keluarkan suara lagi.
"Dasar nasib tak beruntung! Ke Dinding
Kematian tak menjumpai orang! Ke tempat Purwa
dan Sibarani, cuma menemukan tempat yang telah
porak poranda! Sial! Memang sial!"
"Hebat! Orang ini tentunya memiliki ilmu
yang tinggi. Gerakannya dapat kudengar, tetapi dia
lebih tahu kalau aku tak bergerak!" desis Raja Na-
ga dalam hati. Sesaat pemuda ini terdiam, memi-
kirkan apa yang harus dilakukan. "Karena tak ada
orang lain di sekitar sini, sudah tentu yang tadi
dimaksudkannya adalah aku. Percuma bila aku
bersembunyi atau berlalu untuk menghindarinya.
Karena bisa jadi, kalau orang yang akan muncul
ini juga menyangka akulah si pencuri bunga-
bunga keramat."
Langkah yang cukup berat itu semakin ke-
ras menerpa telinga Raja Naga. Pelan-pelan paras
anak muda bermata angker ini sedikit berubah.
Karena getaran yang dirasakan akibat langkah
orang yang belum diketahui siapa adanya, seperti
melesak masuk dan mempermainkan jantung!
"Astaga! Apakah orang itu melangkah den-
gan pergunakan tenaga dalam? Atau dia berniat
mencobaku?" desisnya dalam hati. Segera dialir-
kan tenaga dalamnya untuk menahan getaran
yang seperti melempar-lempar jantungnya.
Kendati langkah berat itu semakin keras
terdengar, tetapi sosoknya belum kelihatan juga.
Justru Raja Naga yang menjadi penasaran. Dia
bermaksud untuk menyongsong orang yang belum
diketahui siapa. Tetapi suara keras itu menahan-
nya,
"Bodoh? Apa kau tidak bisa melihat tubuh-
ku yang segede ini, hah? Tetap di tempatmu! Kalau
kau nekat pergi sebelum menjawab beberapa per-
tanyaanku, akan kugampar mulutmu sampai ber-
darah!!"
Tersentak Raja Naga mendengar bentakan
orang. Terpaksa dia urungkan niat untuk melang-
kah. Dengan penuh penasaran ditunggunya orang
yang membentak-bentak itu muncul.
Dan yang mengejutkannya, justru getaran
tapak orang yang belum diketahui siapa adanya
itu tak terdengar lagi. Raja Naga mengerutkan ken-
ing keheranan.
"Aneh! Apakah orang itu mendadak lenyap?
Atau dia membelokkan langkahnya?"
Belum lagi dapat ditemukan jawaban atas
pertanyaannya sendiri, tiba-tiba saja dilihatnya
semak belukar di hadapannya menguak. Menyusul
satu sosok tubuh besar muncul dari sana.
Raja Naga melengak kaget.
"Ampun! Orang atau gajah?!" desisnya da-
lam hati.
Orang yang tubuhnya luar biasa gemuk itu
menghentikan langkahnya sejarak tujuh langkah
dari Raja Naga. Pakaian hitam yang dikenakannya
tak dapat ditutup, karena tak mampu menahan
kelebihan lemak di tubuhnya.
Leher kakek gemuk yang seolah menyatu
dengan badannya bergerak-gerak sedikit sebelum
mulutnya berbunyi, "Busyet! Kau melihatku seper-
ti melihat setan berkelebat! Hei, anak muda! Jan-
gan berlaku bodoh di hadapanku!"
Raja Naga buru-buru tersenyum.
"Aku..."
"Kau hendak bilang tubuhku kurus, ya?!"
Hampir saja Raja Naga tak mampu mena-
han tawanya. Begitu melihat mata si kakek gemuk
yang bukan lain Dewa Seribu Mata ini melotot, bu-
ru-buru dia berkata, "Orang tua gemuk! Dari ke-
jauhan sudah kudengar langkahmu yang luar bi-
asa beratnya, tetapi sekarang kau melangkah se-
perti tak memiliki bobot seperti yang kau punyai!
Orang tua... namaku Boma Paksi...."
"Aku tak butuh namamu! Aku cuma mau
tanya, kau kenal Raja Naga?!"
Kali ini pemuda bermata angker itu menge-
rutkan keningnya.
"Dia mencariku rupanya. Apakah ini ada
hubungannya dengan bunga-bunga keramat?" ta-
nyanya dalam hati.
"Sejak tadi kau buka mulut, itu artinya kau
tidak bisu maupun tuli! Sekarang kau jadi orang
dungu seperti itu! Atau kau memang benar-benar
ingin kubuat tuli?!"
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kiri sebatas siku itu tersenyum.
"Kebetulan aku tidak bisu dan tidak tuli.
Aku juga tak menginginkan diriku jadi bisu atau
tuli."
"Bagus! Kau sudah dengar apa yang kuta-
nyakan tadi!"
Pemuda berompi ungu itu mengangguk-
angguk.
"Ya... aku mengenal pemuda berjuluk Raja
Naga."
"Bagus! Katakan padaku, di mana dia bera-
da?!"
Merasa harus mengetahui dulu sebab-sebab
kakek gemuk di hadapannya mencarinya, Raja Na-
ga menggelengkan kepala.
"Sayang, aku tidak tahu di mana dia bera-
da," sahutnya. Karena tak mau membiarkan di-
rinya dicecar pertanyaan lain, Raja Naga buru-
buru menyambung, "Mengapa kau mencarinya,
orang tua?"
Dewa Seribu Mata mendengus. Dipandan-
ginya pemuda di hadapannya dengan seksama.
"Sorot matanya mengerikan sekali. Tadi aku
sempat dibuat terkejut juga. Ya, ya... tak ada sa-
lahnya bila kukatakan mengapa aku mencari Raja
Naga. Barangkali pemuda ini dapat membantu-
ku...."
Memutuskan demikian, kakek berkepala
bulat ini berkata, "Dari cara kau berpakaian ten-
tunya kau adalah orang rimba persilatan, Anak
muda! Dan seperti diketahui, rimba persilatan bu-
kanlah tempat yang dapat menyembunyikan se-
buah rahasia! Sebelum kujelaskan maksudku,
apakah kau pernah mendengar tentang serang-
kaian pencurian bunga-bunga keramat?"
Raja Naga menahan napas.
"Aku mulai bisa menebak sekarang. Ten-
tunya kakek gemuk ini adalah salah seorang dari
Tiga Penguasa Bumi. Bisa jadi dia orang yang ber-
juluk Dewa Segala Dewa, atau Dewa Seribu Mata.
Karena aku telah berjumpa dengan Dewi Lembah
Air Mata yang merupakan salah seorang dari Tiga
Penguasa Bumi. Seperti yang dikatakan oleh Pus-
pa Dewi."
"Kau jadi tuli lagi rupanya!" bentak Dewa
Seribu Mata karena anak muda di hadapannya tak
buka mulut.
Raja Naga buru-buru mengangguk.
"Aku pernah mendengar serangkaian pen-
curian bunga-bunga keramat."
"Kau juga mendengar siapa pelaku pencu-
rian itu?!"
"Maksudmu.... Raja Naga?"
"Ya! Pemuda keparat itulah yang telah men-
curi bunga-bunga keramat! Sungguh tak pantas
bila ternyata dia murid seorang tokoh kenamaan
rimba persilatan!"
"Bila kukatakan akulah Raja Naga, bisa jadi
dia akan menggempurku habis-habisan seperti
yang dilakukan oleh Dewi Lembah Air Mata. Se-
baiknya kututupi saja siapa diriku agar urusan ti-
dak jadi kapiran."
Usai membatin, Raja Naga berkata, "Orang
tua gemuk... aku tak mendengar kabar tentang
Raja Naga yang telah melakukan serangkaian pen-
curian itu. Tetapi... kalau aku boleh buka mulut,
aku justru mendengar kabar, bukan Raja Naga
yang telah melakukannya."
Kening kepala bulat itu berkerut. "Apa yang
kau bicarakan itu?!"
"Mungkin ini kesempatanku untuk membu-
ka tabir gelap yang menyelimutiku selama ini," ka-
ta Raja Naga dalam hati. Setelah menghela napas,
barulah dia berkata, "Orang tua gemuk... seperti
yang kau katakan, rimba persilatan bukanlah
tempat yang pantas untuk menyembunyikan se-
buah rahasia. Aku justru mendengar kabar, orang
yang telah mencuri bunga-bunga keramat adalah
Ratu Dinding Kematian...."
Kerutan di kening kakek gemuk itu makin
bertambah.
"Ratu Dinding Kematian?"
"Begitulah yang kudengar."
"Dari siapa kau mendengarnya?"
Raja Naga tersenyum.
"Rimba persilatan bukanlah tempat yang
tepat dijadikan sebagai tempat rahasia!"
"Huh! Kau pandai bicara rupanya! Anak
muda... aku tak bisa membenarkan atau menya-
lahkan apa yang kau katakan tadi. Tetapi itu pun
harus dipikirkan."
"Sekarang aku yang tidak mengerti...."
Dewa Seribu Mata pandangi dulu pemuda
di hadapannya sebelum teruskan bicara, "Anak
muda... aku adalah salah seorang dari Tiga Pengu-
asa Bumi. Kau boleh memanggilku Dewa Seribu
Mata. Saat ini rimba persilatan digemparkan den-
gan serangkaian pencurian yang dilakukan oleh
Raja Naga. Tuduhan itu begitu nyata, karena Pur-
wa dan Sibarani telah mempergokinya. Sekarang
kau mengatakan Ratu Dinding Kematian yang te-
lah melakukannya."
"Itulah yang kudengar."
"Ucapanmu dapat kujadikan pegangan se-
benarnya. Karena, sebelum ini Dewa Segala Dewa
menyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian.
Sialnya, perempuan itu tidak ada di sana. Kemu-
dian kuarahkan langkahku pada tempat di mana
Bunga Matahari Jingga, salah sebuah bunga dari
bunga-bunga keramat yang masih belum dicuri,
tetapi aku tak menemukan siapa pun di sana.
Bahkan Bunga Matahari Jingga telah dicuri oleh
Raja Naga."
"Kau mengatakan tak menemukan siapa
pun di sana dan mendapati Bunga Matahari Jing-
ga sudah lenyap. Itu artinya kau terlambat datang
dan tak melihat siapa orang yang telah mencuri
Bunga Matahari Jingga. Sekarang, bagaimana kau
bisa menuduh Raja Naga yang telah melakukan-
nya?"
Dewa Seribu Mata tak menjawab. Dia me-
mang telah mendatangi Dinding Kematian dan tak
menemukan penghuninya di sana. Dia juga telah
mendatangi tempat Bunga Matahari Jingga. Bukan
hanya bunga itu yang telah lenyap, tetapi Purwa
dan Sibarani sendiri tak ada di sana.
Karena menganggap pemuda ini dapat dija-
dikan sebagai pembawa berita, Dewa Seribu Mata
berkata lagi, "Apa yang dikatakan Purwa dan Siba-
rani kujadikan patokan."
Pemuda dari Lembah Naga itu ganti tak
menjawab. Dipandanginya kakek gemuk itu den-
gan mata yang selalu bersorot angker.
"Dari ucapan si kakek gemuk ini, dapat ku-
pastikan kalau Ratu Dinding Kematian yang telah
mencuri bunga terakhir dari bunga-bunga kera-
mat. Urusan ini semakin kacau sebenarnya. Satu-
satunya harapan hanyalah Puspa Dewi. Tetapi dia
sedang menuju ke Daerah Tak Bertuan."
Raja Naga memecah keheningan, "Orang
tua gemuk... bila kau tak keberatan, aku bersedia
mencari Ratu Dinding Kematian untuk menda-
patkan kejelasan semua ini, sementara kau men-
cari Raja Naga."
"Bagus! Tak kusangka kau mau berkorban
seperti itu!" sahut Dewa Seribu Mata. "Atau... kau
memang punya urusan dengan Ratu Dinding Ke-
matian?!"
"Dugaanmu itu tak bisa kubantah, Orang
tua," kata Raja Naga sambil tersenyum.
"Ada urusan apa kau dengannya?"
"Beribu maaf kuucapkan padamu, karena
aku tak bisa mengatakan apa urusanku dengan-
nya, Orang tua gemuk," sahutnya lalu menyam-
bung dalam hati, "Sesungguhnya aku sendiri be-
lum tahu urusan apa yang harus kutuntaskan
dengan Ratu Dinding Kematian. Mengenalnya pun
tidak. Tetapi kata-kata Puspa Dewi dapat kujadi-
kan pegangan."
Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, aku terima saranmu. Seka-
rang menyingkir dari sini, karena lama kelamaan
aku jengah juga ditatap oleh matamu yang menge-
rikan itu!"
Raja Naga segera merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Dengan sikap hormat dia
berkata,
"Aku berjanji, akan membantu Tiga Pengua-
sa Bumi untuk menuntaskan urusan ini!"
"Tidak usah basa-basi! Pergi sana!"
Raja Naga sendiri tak mau membuang wak-
tu. Dia bersyukur dapat menghindari urusan den-
gan kakek gemuk itu. Karena dia beranggapan, bi-
la Dewa Seribu Mata mengetahui siapa dirinya, tak
mustahil tindakan yang telah dilakukan Dewi
Lembah Air Mata padanya akan terulang. Dan dia
memang akan menuntaskan urusan yang telah
melekat pada dirinya, tanpa perlu berjanji pada
kakek kelebihan lemak itu.
Tetapi apa yang diduga Raja Naga sebenar-
nya sangat berlainan sekali. Karena sepeninggal-
nya, kakek gemuk kelebihan lemak itu mengge-
leng-gelengkan kepalanya yang bergerak berat. Bi-
birnya menyeringai sementara berulang kali dia
menarik dan menghela napas.
"Hemmm... kendati anak muda itu menutu-
pi siapa dirinya, aku tahu siapa anak muda itu.
Dia adalah Raja Naga sendiri. Ciri-ciri yang ada
padanya menunjukkan dia memang Raja Naga, te-
rutama sorot matanya yang angker dan sisik-sisik
coklat yang menghiasi kedua tangannya sebatas
siku. Tetapi apa yang dikatakannya itu dapat ku-
jadikan pegangan. Ratu Dinding Kematian... ya,
kemungkinan itu kini tak bisa kupungkiri mengin-
gat Dewa Segala Dewa memintaku untuk menjum-
pai perempuan itu. Kalau begitu... berarti Bunga
Matahari Jingga yang telah lenyap memang telah
dicuri oleh Ratu Dinding Kematian...."
Dewa Seribu Mata menghela napas pendek.
"Aku terpaksa menahan diri untuk turun-
kan tangan pada pemuda itu. Aku ingin melihat
kebenaran sekarang. Hanya saja... bagaimana
dengan nasib kedua murid Dewa Segala Dewa? Ra-
ja Naga tak terkejut dan berusaha bertanya ketika
kusebutkan nama Purwa dan Sibarani. Itu tan-
danya dia memang telah mengenal keduanya...."
Kembali kakek gemuk ini terdiam. Sepasang
matanya tiba-tiba saja membentuk berbagai
bayangan dan bergerak-gerak ke atas ke bawah!
"Untuk menjaga kemungkinan membesar-
nya salah paham yang terjadi, aku harus berjaga-
jaga. Sebaiknya... kuikuti saja pemuda bersisik
coklat itu...."
Habis ucapannya, kakek bertubuh gemuk
ini sudah berkelebat! Astaga! Dia berkelebat dan
gerakannya lebih cepat dari angin!
* * *
LIMA
SAMBIL terus berlari Raja Naga membatin,
"Pencuri sesungguhnya dari lenyapnya bunga-
bunga keramat telah mendapatkan bunga terakhir
dari bunga-bunga keramat. Ini pertanda bahaya.
Pertama bahaya untuk Ratu Tanah Kayangan yang
belum kuketahui seperti apa rupanya. Kedua, ten-
tunya Ratu Dinding Kematian bermaksud untuk
menjadikan dirinya orang nomor satu di rimba
persilatan."
Dengan gerakan lincah pemuda yang dipe-
nuhi berjuta pikiran ini terus berlari sambil berpi-
kir, "Menurut Puspa Dewi... gurunya telah me-
ninggalkan Tanah Kayangan untuk mencari Ratu
Dinding Kematian. Kalau begitu, selain berusaha
menemukan Ratu Dinding Kematian, aku juga ha-
rus mencari Ratu Tanah Kayangan. Karena Ratu
Tanah Kayangan dapat kujadikan sebagai saksi
lain dari tuduhan yang melekat pada diriku...."
Anak muda ini terus berkelebat tanpa ber-
henti sekali pun. Hingga tiba di hadapan sebuah
sungai, dihentikan langkahnya. Diperhatikan seke-
lilingnya yang sepi. Aliran sungai bergemuruh dan
sesekali memercik begitu menabrak bebatuan yang
ada di dalamnya.
Tiba-tiba saja matanya yang tajam meman-
dang tak berkedip pada bagian kanan dari sungai
itu. Satu sosok tubuh membayang muncul dari da-
lam dan...
Byuuurrr!!
Rambut-rambut indah yang membasah le-
bih dulu muncul sebelum seraut wajah jelita ber-
hidung bangir dengan tahi lalat tepat pada kening-
nya menyusul. Kepala perempuan itu menggeleng-
geleng, meniriskan air yang melekat pada rambut
dan wajahnya.
Raja Naga sendiri buru-buru memalingkan
kepalanya tatkala melihat sepasang bukit kembar
montok yang tak tertutup apa-apa. Sementara di
lain pihak, perempuan itu menjerit tertahan,
"HeiiiiH"
Dan buru-buru menyelam lagi hingga kepa-
lanya saja yang nampak.
"Pemuda tak tahu malu! Siapa kau yang
kerjanya mengintip perempuan mandi?!"
Sesaat wajah Raja Naga memerah. Tanpa
membalikkan tubuhnya anak muda ini menyahut,
"Aku tak sengaja berada di sini dan sebelumnya ti-
dak tahu kalau kau sedang mandi."
"Dusta! Kau memang ingin melihat tubuh-
ku!"
"Percaya atau tidak, itulah kenyataannya!"
Si perempuan tak meneruskan ucapan. Ma-
tanya memandang tak berkedip sosok pemuda
yang sedang membelakanginya. Di lain kejap dike-
rutkan keningnya.
"Rasanya... aku mengenal pemuda berciri
seperti ini. Mengenakan rompi ungu, berkuncir
kuda, dan di kedua tangannya terdapat sisik-sisik
berwarna coklat sebatas siku. Tetapi... apakah ma-
tanya bersorot angker?"
Merasa tak mendengar suara di belakang-
nya Raja Naga berseru, "Bila tak ada urusan lagi,
aku akan meninggalkan tempat ini!"
"Tunggu!" seru si perempuan. Kembali dia
membatin. "Aku harus melihat matanya. Kalau
memang matanya bersorot angker, berarti dia ada-
lah Raja Naga. Luar biasa! Semuanya di luar du-
gaanku! Hemmm... selagi Purwa mencari maka-
nan, sebaiknya kuurus pemuda ini!"
Lalu dia berseru lagi, "Tetap di tempatmu!
Jangan berbalik karena aku hendak berpakaian!"
Raja Naga tak menjawab. Didengarnya sua-
ra orang melompat dari dalam air yang sesaat
membuatnya terkejut.
"Dari gerakannya... perempuan itu nam-
paknya bukan perempuan sembarangan. Huh!
Mengapa aku harus bertemu dengannya padahal
waktuku sangat sempit."
Hanya beberapa kejap mata saja pemuda
bermata angker itu berdiam di tempatnya sebelum
didengarnya suara, "Sekarang... berbaliklah kau!"
Pelan-pelan pemuda itu berbalik. Dilihatnya
sosok perempuan tadi telah berdiri sejarak sepu-
luh langkah. Kali ini telah berpakaian lengkap.
Bibir merahnya tersenyum. Rambutnya
yang tadi tergerai, kini telah digelung ke atas dan
diberi pita berwarna kuning. Dia mengenakan pa-
kaian kuning yang dipenuhi dengan sulaman be-
nang keemasan.
Dari ciri yang melekat pada perempuan itu
dapat diketahui siapa dia adanya; Ratu Dinding
Kematian. Setelah menerima isyarat dan menjum-
pai Setan Gundul Hutan Larangan, Ratu Dinding
Kematian kembali lagi menjumpai Purwa. Saat ini
Purwa tidak berada di sisinya karena disuruhnya
untuk mencari makanan. Karena badannya sudah
terasa lengket. Ratu Dinding Kematian memu-
tuskan untuk mandi. Dan sebelum Purwa muncul,
dia akan menggabungkan bunga-bunga keramat
yang telah didapatkannya. Akan direndamnya di
dalam air untuk segera diminum.
Tetapi dengan kemunculan pemuda ini, ter-
paksa diurungkan niatnya. Dan yang tak disang-
kanya, pemuda ini adalah Raja Naga.
Ratu Dinding Kematian semakin bertambah
yakin setelah melihat sepasang mata yang bersorot
angker.
"Benar-benar sebuah kesempatan yang tak
bisa kulewatkan! Akan kucecar dia sekarang!"
Di lain saat Ratu Dinding Kematian sudah
membuat suaranya ngotot, "Pemuda celaka! Sela-
ma ini selalu kujaga kerahasiaan tubuhku dari
pandangan lelaki mana pun juga! Dan sekarang,
kau telah mencuri lihat tubuhku!!"
Raja Naga mendengus.
"Nasibku benar-benar lagi tidak beres. Satu
urusan belum tuntas, sudah ada urusan lain!" ka-
tanya dalam hati. Lalu berkata, "Biar urusan cepat
selesai, apa yang harus kulakukan untukmu?"
"Kau harus menikahiku!"
Sampai surut satu tindak anak muda itu
mendengarnya.
"Menikahimu?" serunya tertahan.
"Ya! Kalau tidak... kau harus membunuh di-
ri di hadapanku!"
"Kapiran! Makin tak menentu urusan ini!"
gerutu Raja Naga dalam hati. Lalu berkata, "Saat
ini aku sedang punya urusan! Sebaiknya...."
"Nimas! Ada apa?!" seruan itu memutus ka-
ta-kata Raja Naga. Bersamaan dengan itu satu so-
sok tubuh gagah penuh cambang pada pipi kanan
kiri muncul. Begitu melihat Raja Naga, lelaki ber-
pakaian biru terbuka di bagian dada ini sudah
membentak gusar, "Pemuda keparat! Akhirnya kau
muncul juga di hadapanku!!"
Kedua tangannya segera didorong penuh
amarah. Serta-merta menggebrak gelombang angin
yang mengeluarkan suara berdenging-denging
dengan kecepatan tinggi!
* * *
Raja Naga yang sedikit terkejut begitu men-
genali siapa adanya orang yang menyerangnya se-
gera membuang tubuh ke samping kanan. Bersa-
maan letupan keras yang menghancurkan semak
belukar di belakangnya, dilihatnya lelaki bercam-
bang itu sudah berlutut!
"Astaga! Dia tentunya akan keluarkan ilmu
'Bentang Gunung Banting Tanah!" desis Raja Naga
dalam hati.
Dilihatnya bagaimana tubuh Purwa yang
berlutut mendadak bergetar hebat. Kedua tangan-
nya yang dirangkapkan di depan dada bergerak-
gerak pula, menyusul dari kepalanya keluar asap
putih yang sangat pekat.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian mem-
batin, "Urusan akan semakin mudah. Ingin kulihat
lebih dulu, apakah Purwa mampu menghadapi
pemuda itu. Kalau tidak, biar kubunuh pemuda
itu sekarang agar urusan tuntas! Setelah itu, baru
kucari Ratu Tanah Kayangan dan kedua setan
gundul yang telah berani lancang memerasku!"
Mendadak suara yang sangat memekakkan
telinga menggebah. Raja Naga yang pernah meng-
hadapi ilmu 'Bentang Gunung Banting Tanah' se-
gera keluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan' disusul dengan 'Barisan Naga Penghancur
Karang'.
Seperti telah diduganya, kedua ilmu yang
dilepaskannya itu tak banyak membawa arti. Di-
dahului ledakan yang membuat tempat itu berge-
tar hebat, Raja Naga membuang tubuh ke samping
kanan dengan cara melenting di udara.
"Aku bisa memutuskan serangan itu sebe-
narnya dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur'. Tetapi
bila kulakukan, maka akan semakin kacau kea-
daannya!"
Terpaksa pemuda bersisik coklat itu terus
menerus menghindar dengan pergunakan ilmu pe-
ringan tubuhnya.
Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men-
dengus.
"Purwa tak akan mampu mengalahkannya.
Kalau begitu... biar aku turun tangan!"
Memutuskan demikian, perempuan itu ber-
seru keras, "Pemuda celaka! Kau telah mencuri
Bunga Matahari Jingga dan berani-beraninya
mengintip aku mandi! Kau harus mampus!!"
Mendengar bentakan itu, Raja Naga yang
sedang melenting di udara tersentak.
"Astaga! Mengapa tahu-tahu perempuan itu
mengatakan aku telah mencuri Bunga Matahari
Jingga? Sebelum kemunculan Purwa, dia sama se-
kali tak menyinggungnya! Ada apa ini?!"
Sudah tentu Ratu Dinding Kematian yang
dikenal Purwa sebagai Nimas Herning itu melaku-
kan tindakan demikian. Karena dia telah mendus-
tai Purwa tentang lenyapnya Bunga Matahari Jing-
ga yang dicuri oleh Raja Naga dan mencelakakan
dirinya serta Sibarani.
Melihat perempuan berpakaian kuning
keemasan itu menyerang Raja Naga pula, Purwa
berseru, "Nimas! Kau bisa celaka!"
"Purwa! Pemuda itu telah memperkosa dan
membunuh adik seperguruanku!" seru Ratu Dind-
ing Kematian mengulangi lagi muslihat yang per-
nah didustainya pada Purwa. "Aku ingin melihat-
nya mampus!!"
Raja Naga sendiri menggeram dengan otak
berpikir keras.
"Ada sesuatu yang aneh di sini, Sekarang
perempuan itu mengatakan aku telah membunuh
dan memperkosa adiknya. Ada apa ini? Mengapa...
astaga! Apakah dia...."
Kata batin Raja Naga terputus karena se-
rangan Purwa tiba-tiba begitu dekat dengannya.
Melihat hal itu, Raja Naga memutuskan untuk ber-
tindak cepat. Dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur'
dia dapat memukul jatuh Purwa yang terbanting di
atas tanah. Bila saja Raja Naga menghendaki, lela-
ki itu bisa langsung tewas!
Sambil menahan nyeri pada dadanya, Pur-
wa berseru begitu melihat perempuan berambut
digelung ke atas itu melesat maju.
"Nimas! Kau tak akan sanggup menghada-
pinya!!"
Tetapi di lain saat, lelaki itu melengak kaget
tatkala melihat serangan yang dilakukan si perem-
puan yang secara tiba-tiba mengangkat kedua tan-
gannya ke udara.
Raja Naga sendiri tersentak melihat peru-
bahan serangan yang dilakukan perempuan itu.
Dilihatnya cahaya berwarna-warni bertaburan di
sekitar kedua tangan yang terangkat itu. Dan di
lain saat dengan cepatnya cahaya warna-warni itu
menggumpal menjadi satu dan masuk serta lenyap
pada kedua tangan si perempuan yang kini terlihat
seperti mengeluarkan cahaya!
"Aku mulai dapat menebak siapa perem-
puan ini. Kata-kata anehnya tadi nampaknya un-
tuk menutupi siapa dirinya dari Purwa. Dan pa-
kaian kuning yang dikenakannya, mengingatkan
aku pada bayangan kuning yang pertama kali ku-
lihat sebelum Purwa dan Sibarani muncul."
Di kejap lain Raja Naga tersentak tatkala
mendengar tepukan keras yang dilakukan perem-
puan bertahi lalat pada tengah keningnya, yang
disusul dengan menggebraknya gelombang angin
dahsyat yang diiringi oleh cahaya berwarna-warni!
Sadar kalau bahaya mengancam dirinya,
Raja Naga memutuskan untuk mengeluarkan ilmu
'Naga Mengamuk'. Seketika tempat itu laksana di-
amuk seekor naga liar yang ganas.
BuuummmH
Ledakan luar biasa kerasnya menggebah
seiring dengan bergetarnya tempat itu. Tanah yang
menghambur ke udara menghalangi pandangan.
Tiba-tiba terdengar jeritan tertahan menyusul
mencelatnya satu sosok tubuh berpakaian kuning
ke belakang!
Di pihak lain Raja Naga hanya surut dua
tindak dengan tangan gemetar. Napasnya membu-
ru dengan wajah merona merah. Sorot matanya te-
tap angker.
"NimasH" seru Purwa begitu melihat si pe-
rempuan terbanting di atas tanah. Dengan mena-
han sakit pada dadanya, Purwa buru-buru men-
dekati perempuan itu. "Nimas... sudah kukatakan,
kau tak akan sanggup menghadapinya. Dia pernah
mencelakakanmu dan Sibarani...."
Ratu Dinding Kematian mengeluh kesaki-
tan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar.
"Aku harus membunuhnya...."
"Aku pun ingin membunuhnya. Tetapi kita
tak kuasa menghadapinya...."
"Peduli setan!" Ratu Dinding Kematian men-
gibaskan tangan Purwa yang menjadi terkejut.
"Nimas!"
Tanpa menghiraukan seruan itu, Ratu
Dinding Kematian segera berdiri. Tatapannya be-
rapi-api pada Raja Naga yang sedang merangkai-
kan pikiran di otaknya.
"Ajian Selaksa Jiwa' tak mampu menghada-
pinya. Berarti, aku memang kesulitan untuk
membunuhnya. Huh! Bila saja telah kukuasai
Ajian Selaksa Sukma’ yang akan ku gabungkan
dengan Ajian Selaksa Jiwa' tak mustahil aku da-
pat membunuhnya! Atau... huh! Aku harus memi-
num air rendaman dari bunga-bunga keramat!"
Di tempatnya Raja Naga angkat bicara, "Pe-
rempuan berpakaian kuning! Ilmu yang kau miliki
tak bisa dipandang sebelah mata, dan itu mem-
buktikan kalau kau adalah perempuan yang tang-
guh! Dari semua ini dan semua yang kau katakan
tentang diriku, aku menangkap satu gelagat yang
tidak enak!"
"Pemerkosa hina! Kau hendak putar kenya-
taan rupanya?!" bentak Ratu Dinding Kematian
sambil mengatur napas dan bersiap untuk melan-
carkan serangan kembali.
Raja Naga tak mempedulikan bentakannya.
"Matamu menyembunyikan sesuatu yang
kau khawatirkan akan terbuka! Perempuan berpa-
kaian kuning! Jangan berlaku bodoh di hadapan-
ku! Kaulah yang berjuluk Ratu Dinding Kematian
dan telah melakukan serangkaian pencurian ter-
hadap bunga-bunga keramat!"
Sudah tentu Ratu Dinding Kematian terke-
jut mendengar seruan itu. Terutama ketika dili-
hatnya kepala Purwa menegak dengan mata tak
berkedip padanya.
Tetapi di lain kejap dia sudah tertawa men-
gejek.
"Dua hari lalu kau telah mencelakakan aku
dan membuat Sibarani tak dapat bersuara sebe-
lum kau curi Bunga Matahari Jingga! Sekarang
kau menuduhku yang bukan-bukan! Perlu kau ke-
tahui namaku Nimas Herning!"
"Nimas Herning atau bukan... kau tetaplah
Ratu Dinding Kematian!!"
"Pemuda celaka! Kurobek mulutmu yang
berani berdusta!!"
Kembali Ratu Dinding Kematian melesat
dengan ‘Ajian Selaksa Jiwa’. Tetapi lagi-lagi ajian
itu tak ada gunanya. Untuk kedua kalinya dia ter-
banting deras di atas tanah.
Purwa yang segera mendekatinya mengge-
ram sengit pada Raja Naga.
"Pemuda terkutuk! Kau bukan hanya seo-
rang pencuri keparat, tetapi kau juga tukang fit-
nah!"
Raja Naga tetap berdiri di tempatnya.
"Dari kilatan mata Purwa kulihat kalau le-
laki itu telah terpengaruh oleh perempuan yang
kuduga sebagai Ratu Dinding Kematian ini. Berabe
memang, tetapi aku harus tetap mencecar agar pe-
rempuan itu mau mengaku siapa dirinya!"
Tanpa mempedulikan bentakan Purwa, pe-
muda bersisik coklat itu membentak lagi, "Kau ha-
rus kubawa ke hadapan Tiga Penguasa Bumi un-
tuk membuka seluruh borok pada perbuatanmu!"
Ratu Dinding Kematian menggeram dalam hati.
"Keadaan ini membahayakan penyamaran-
ku. Padahal aku belum berhasil meminum air ren-
daman bunga-bunga keramat. Aku harus melaku-
kan sesuatu. Dan jalan satu-satunya adalah mem-
buat Purwa tetap mempercayaiku dan tidak mem-
percayai ucapannya. Berarti.... "
Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba
saja Ratu Dinding Kematian menangis. Sudah ten-
tu Purwa yang tidak tahu siapa perempuan itu se-
benarnya menjadi murka. Dengan mengerahkan
sisa-sisa tenaganya dia berdiri dan menuding pada
Raja Naga.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!!"
Dengan mempergunakan ilmu 'Bentang
Gunung Banting Tanah' Purwa berusaha untuk
mencecar anak muda berompi ungu itu. Tetapi su-
dah tentu tak ada gunanya. Masih normal tenaga
saja dia tak dapat mengalahkan Raja Naga, apalagi
sekarang sudah kehabisan tenaga.
Untuk kedua kalinya Purwa terbanting di
atas tanah. Setelah mengeluh kesakitan sejenak,
lelaki itu jatuh pingsan.
Raja Naga mendesis dalam hati, "Sayang,
dia pingsan. Padahal aku sedang berusaha mem-
buka kedok perempuan celaka ini...."
Sementara itu melihat pingsannya Purwa,
Ratu Dinding Kematian menjadi pias. Tangisan
yang tadi sengaja dibuatnya untuk memancing
perhatian Purwa, seketika lenyap. Matanya men-
gerjap-ngerjap saat menatap pemuda di hadapan-
nya yang sedang menatap angker.
"Celaka! Rencanaku bisa gagal sekarang!
Bisa gagal! Ternyata kemunculannya tidak mem-
bawa nasib yang baik buatku!" serunya panik da-
lam hati.
Raja Naga berseru seraya melangkah, "Jan-
gan coba-coba berdusta padaku! Kaulah Ratu
Dinding Kematian! Kau harus kuserahkan pada
Tiga Penguasa Bumi!"
"Keparat! Kau tidak mengenal Ratu Dinding
Kematian, tetapi kau berani-beraninya menuduh-
ku sebagai perempuan itu!" seru Ratu Dinding
Kematian yang masih berusaha bertahan mem-
bantah kata-kata Raja Naga.
Murid Dewa Naga mendengus. Sisik-sisik
coklat yang memenuhi kedua lengannya sebatas
siku itu semakin terang menyala, pertanda kema-
rahan sudah melambung naik ke ubun ubunnya
"Baik! Bila kau memang bukan Ratu Dind-
ing Kematian, berarti kau tak akan menolak ku-
bawa pada Tiga Penguasa Bumi! Aku yakin, mere-
ka, atau salah seorang dari mereka mengenalimu!
Atau... kau kubawa ke hadapan Ratu Tanah
Kayangan yang sudah pasti mengenalmu!"
Mendengar nama terakhir yang disebutkan
Raja Naga, kepala Ratu Dinding Kematian mene-
gak. Matanya membeliak lebar. Gerakan itu sudah
cukup bagi Raja Naga kalau apa yang dituduh-
kannya benar.
Di lain saat dia sudah melesat dengan tan-
gan kanan kiri membuka siap menangkap perem-
puan berpakaian kuning keemasan itu yang terbe-
lalak panik karena merasa tak mampu untuk
menghindar lagi.
Tetapi sebelum Raja Naga berhasil menja-
lankan niatnya, satu gelombang angin yang me-
nyeret tanah telah memotong gerakannya dari
samping kanan.
Bummmmm!!
Bersamaan hancurnya ranggasan semak
terhantam gelombang angin yang memotong gera-
kan Raja Naga, terdengar seruan keras, "Pemuda
celaka! Kalau sebelumnya kau berhasil meloloskan
diri, kali ini kau tak akan bisa berkutik di hada-
panku!"
Serta-merta pemuda dari Lembah Naga itu
menoleh ke samping kanan. Dilihatnya dua sosok
tubuh telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya dan sejarak lima belas langkah dari
tempat Ratu Dinding Kematian dan Purwa yang
pingsan.
Sosok tubuh yang tadi melancarkan seran-
gan, memandang tak berkedip. Dia seorang nenek
berpakaian hijau dengan kebaya lusuh. Rambut-
nya yang sebagian besar sudah memutih dihiasi
oleh sebuah konde berwarna hijau. Di samping
kanannya, seorang perempuan jelita berpakaian
merah dengan pakaian dalam warna hijau mena-
tapnya pula tanpa kedip.
Tetapi di lain saat, perempuan berambut
indah itu sudah menatap Purwa yang pingsan. Ma-
tanya membuka cemas. Namun begitu melihat so-
sok perempuan berpakaian kuning yang juga se-
dang menatapnya, kemarahannya seketika meng-
gelegak.
Di tempatnya, Raja Naga sendiri membatin
sambil memandangi kedua orang yang baru da-
tang itu, "Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani...."
* * *
ENAM
SEBELUM kita mengikuti apa yang akan
terjadi dengan Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu
apa yang akan dilakukan oleh Setan Gundul Hu-
tan Larangan. Setelah berhasil mengancam Ratu
Dinding Kematian, kedua lelaki berpakaian ala
seorang pendeta itu terus berlalu. Mereka tak lagi
menghiraukan janji dari Ratu Dinding Kematian.
Karena yang terpenting bagi mereka, adalah meli-
hat Raja Naga yang mampus!
Di sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan
dua lelaki gundul yang di leher masing-masing
menggantung sebuah tasbih sama-sama menghen-
tikan langkah. Untuk beberapa saat tak ada yang
buka suara kecuali memperhatikan sekelilingnya
dengan seksama.
Di lain saat, Cokro Kliwing berseru, "Kita te-
lah berhasil membuat Ratu Dinding Kematian mati
kutu! Aku yakin kalau perempuan itu belum ber-
hasil mendapatkan secara utuh bunga-bunga ke-
ramat yang diinginkannya!"
Jodro Kliwing mendengus.
"Kemungkinan itu bisa terjadi mengingat
dia tak banyak berkutik ketika kita ancam untuk
menyebarkan niat busuk yang sedang dilakukan-
nya! Cokro... kita gagal mempermalukan murid
Ratu Tanah Kayangan karena kehadiran Raja Na-
ga! Dan untuk membalas Raja Naga, kita berhasil
memeras Ratu Dinding Kematian! Sekarang... apa-
kah kau tak memikirkan satu kesempatan emas
yang ada di hadapan kita?!"
Lelaki gundul bercodet di keningnya tak se-
gera buka mulut. Dipandanginya lelaki di hada-
pannya yang juga berkepala gundul.
"Apa maksudmu tentang satu kesempatan
emas?"
Jodro Kliwing menyeringai. Ternyata tubuh-
nya lebih besar dari Cokro Kliwing.
"Ratu Dinding Kematian sedang berusaha
untuk mendapatkan bunga-bunga keramat, di
mana kesaktian yang akan didapatkannya dari
bunga-bunga itu akan dipergunakannya untuk
membunuh Ratu Tanah Kayangan. Mungkin tak
banyak yang mengetahui siapa pencuri bunga-
bunga keramat sebenarnya. Ini kesempatan kita
untuk menggunting dalam lipatan!"
Cokro Kliwing terdiam sejenak sebelum ta-
wanya meledak.
"Gila! Ternyata kau berotak cerdik juga! Ya,
ya! Mengapa kita tidak bertindak sejak semula?"
"Rencana yang datang terlambat ini justru
membawa keberuntungan! Ingat, kita telah menge-
tahui kalau Ratu Dinding Kematian telah berhasil
mendapatkan enam buah bunga-bunga keramat!
Bisa jadi pula kalau sekarang dia telah menda-
patkan Bunga Matahari Jingga! Itu artinya, kita
tahu kalau seluruh atau beberapa bunga-bunga
keramat telah berhasil didapatkannya!"
Makin lebar seringaian di bibir Cokro Kliwing
disusul dengan tawanya yang menggema di se-
kitar sana.
"Bila rencana kita ubah seperti itu, berarti
niat kita untuk meminta bantuan Setan Ngang-
kang kita urungkan?"
"Betul! Urusan dendam kita pada Raja Na-
ga, dapat kita bebankan pada Ratu Dinding Kema-
tian!"
"Bagaimana dengan Ratu Tanah Kayan-
gan?"
"Perempuan mesum itu menjanjikan tu-
buhnya untuk kita nikmati bila kita mengetahui
keberadaan Ratu Tanah Kayangan. Dan kita sudah
mengabarkan padanya, kalau Ratu Tanah Kayan-
gan telah meninggalkan tempat tinggalnya. Berarti,
kita tak perlu mencari perempuan itu!"
Cokro Kliwing mengangguk-angguk.
"Padahal, aku menginginkan tubuhnya."
"Siapa yang tak ingin menikmati tubuh sin-
tal milik Ratu Dinding Kematian? Sejak dulu kita
selalu menggeluti tubuh perempuan yang sama.
Dan sekarang...," Jodro Kliwing menghentikan ka-
ta-katanya. Bibir tebalnya menyeringai lebar, "Bila
kita berhasil merebut bunga-bunga keramat dari
tangan Ratu Dinding Kematian, maka itu artinya,
kita juga akan dapat menikmati tubuh perempuan
itu!"
Cokro Kliwing tertawa keras.
"Benar-benar sebuah rencana yang matang!"
"Ya, bahkan terlalu matang hingga menjadi
busuk!" suara yang keras itu memutus tawa Cokro
Kliwing.
Serentak dua lelaki berkepala gundul itu
menoleh ke samping kanan. Di hadapannya telah
berdiri satu sosok tubuh berwajah jelita dengan
pandangan dingin.
* * *
Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan
tak berkedip memandang ke depan. Di lain kejap
masing-masing orang saling lirik. Cokro Kliwing
sudah buka bicara dengan seringaian lebar,
"Ratu Tanah Kayangan! Tak kusangka kau
muncul di hadapan kami?!"
Perempuan berpakaian biru keemasan den-
gan perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan
tangannya, tak buka mulut. Mata indahnya dingin
pada masing-masing orang.
"Setan-setan gundul berkedok pendeta! Ka-
lian membicarakan Ratu Dinding Kematian, itu ar-
tinya kalian tahu di mana dia berada!"
Jodro Kliwing tertawa. Dia berusaha untuk
melihat wajah di balik cadar sutera keemasan.
"Perempuan beranting mutu manikam! Ka-
mi juga baru saja membicarakan tentang dirimu!
Dan kau telah datang di hadapan kami! Ini sangat
menyenangkan sekali, mengingat kami pun men-
ginginkan tubuhmu!"
Di balik cadar sutera yang dikenakannya
Ratu Tanah Kayangan menggeram.
"Manusia-manusia terkutuk! Sejak tadi ku-
curi dengar ucapan mereka tentang Ratu Dinding
Kematian dan niatnya pada perempuan itu. Berar-
ti, Ratu Dinding Kematian memang telah menda-
patkan bunga-bunga keramat."
Habis membatin demikian perempuan be-
rambut hitam disanggul ke atas dan diberi sebuah
jepitan terbuat dari emas, berseru, "Aku tak punya
banyak waktu untuk terlibat urusan dengan ka-
lian! Manusia-manusia busuk seperti kalian sebe-
narnya tak pantas untuk hidup lebih lama di mu-
ka bumi! Tetapi, aku masih berbaik hati membiar-
kan kalian hidup! Katakan, di mana Ratu Dinding
Kematian berada?!"
Kedua lelaki berpakaian ala pendeta ber-
warna jingga itu saling pandang dengan seringaian
lebar. Di lain kejap mereka tertawa keras, seolah
mendengar lelucon yang sangat lucu.
"Mengapa kau begitu tergesa-gesa?" ucap
Cokro Kliwing seraya melangkah ke samping ka-
nan. Bersamaan dengan itu, Jodro Kliwing juga
melangkah, tetapi ke samping kiri Ratu Tanah
Kayangan. Dengan melakukan tindakan itu, mere-
ka nampaknya berniat untuk mengurung perem-
puan jelita itu. Cokro Kliwing berseru lagi penuh
ejekan, "Kami adalah dua lelaki gagah yang mudah
kelaparan bila melihat perempuan cantik seperti
kau, Ratu! Dan sudah tentu, kami tak akan mele-
paskan kesempatan yang telah ada!"
Ratu Tanah Kayangan mendengus. Dari ba-
lik cadarnya, matanya melirik ke kanan kiri.
"Mulut mereka berbunyi busuk! Rasanya
aku harus memberi pelajaran pada masing-masing
orang!" geram Ratu Tanah Kayangan dalam hati.
Lalu berkata dingin, "Kalian tetap tak buka mulut
mengatakan di mana Ratu Dinding Kematian be-
rada! Dan kalian justru lakukan tindakan memua-
kkan! Baik! Kalian rupanya ingin merasakan keke-
rasan!"
Lelaki gundul bersenjata tongkat berujung
bundar tertawa keras.
"Jodro! Kau dengar itu? Rupanya dia suka
melakukan hubungan badan dengan kekerasan!"
"Mengapa kita tidak melayani saja?" sahut
Jodro Kliwing tertawa pula. "Sebelum menjalankan
seluruh rencana, ada baiknya kita nikmati tubuh
indah perempuan ini bersama-sama! Sayang, ka-
lau dia keburu dibunuh oleh Ratu Dinding Kema-
tian sebelum kita menikmatinya!"
Ratu Tanah Kayangan hampir-hampir tak
mampu menahan amarahnya mendengar ucapan-
ucapan kotor itu. Tetapi dia masih tindih amarah-
nya.
Setan Gundul Hutan Larangan yang sengaja
menahan keinginan mereka untuk melaksanakan
rencana yang telah mereka susun barusan, kem-
bali tertawa keras.
Dan tiba-tiba saja Jodro Kliwing melesat ke
depan. Tangan kanan kirinya bergerak ke arah se-
pasang bukit kembar Ratu Tanah Kayangan yang
mencuat ke depan.
Bersamaan dengan itu, Cokro Kliwing pun
melakukan tindakan yang sama. Tongkatnya di-
ayunkan ke arah kaki Ratu Tanah Kayangan, se-
mentara tangan kirinya siap meremas pantat pe-
rempuan jelita itu. Terdengar suara rahang diker-
takkan.
"Manusia-manusia keparat!!"
Ratu Tanah Kayangan menggeser tubuhnya
ke samping kanan. Kedua tangan Jodro Kliwing le-
pas dari sasarannya. Bersamaan dengan itu, Ratu
Tanah Kayangan melompat untuk menghindari
sambaran tongkat Cokro Kliwing yang sekaligus
mengelak dari remasan tangan kiri Cokro Kliwing.
"Kau mau ke mana, Perempuan?!" seru Co-
kro Kliwing seraya mengangkat tongkatnya ke
atas.
"Setan!!"
Plak!
Ratu Tanah Kayangan sudah menendang
tongkat itu, lalu memutar tubuh di udara dan me-
lenting untuk hinggap di atas tanah kembali, agak
jauh dari masing-masing orang berkepala gundul.
Tetapi kedua orang itu tak mau bertindak
ayal. Mereka terus memburu. Bukan bermaksud
untuk membunuh Ratu Tanah Kayangan, melain-
kan untuk menangkapnya hidup-hidup! Di benak
masing-masing orang sudah terbayang, bagaimana
mengasyikkannya bergerak-gerak di atas tubuh
indah Ratu Tanah Kayangan dalam keadaan polos.
Di lain saat, masing-masing orang sudah
menderu kembali. Cokro Kliwing bergerak dengan
tongkat menyusur tanah yang segera berhambu-
ran, sementara Jodro Kliwing melesat untuk me-
nyerang bagian atas tubuh Ratu Tanah Kayangan.
Perempuan bercadar sutera keemasan itu
mendengus.
"Keterlaluan! Terpaksa aku akan memberi
mereka pelajaran!!"
Di lain kejap, kedua tangannya sudah dis-
ilangkan di depan dada. Tanpa bergeser dari tem-
patnya, ditunggunya kedua serangan lawan sam-
pai mendekat.
Melihat perempuan jelita itu seperti mem-
biarkan serangan mereka, kedua lelaki berkepala
plontos melipatgandakan tenaga dalamnya.
Ratu Tanah Kayangan tetap berdiri tegak
dengan kedua tangan bersilangan. Namun di lain
saat, kedua tangannya itu sudah didorong ke de-
pan!
WuuussssH
Dua buah gelombang angin bersilangan
menggebrak hebat!
Kedua lawannya sesaat tersentak. Sementa-
ra Jodro Kliwing membuang tubuh ke samping
kanan, Cokro Kliwing justru mengangkat tongkat-
nya ke atas.
WuuutttttH
Angin menderu menghantam dua gelom-
bang angin bersilangan.
Blaaammm!
Letupan cukup keras terdengar, disusul sa-
tu jeritan tertahan.
"Aaaakhhhh!!"
Cokro Kliwing tergontai-gontai ke belakang
sembari pegangi dadanya yang terhantam tendan-
gan memutar Ratu Tanah Kayangan.
Di seberang perempuan bercadar itu men-
desis dingin, "Urusanku bukan dengan kalian, me-
lainkan dengan Ratu Dinding Kematian! Manusia-
manusia dajal seperti kalian, seharusnya diberi pe-
lajaran berarti!"
Cokro Kliwing yang merasa nyeri pada da-
danya menggeram sengit. Jodro Kliwing sudah
menerjang ke depan disertai teriakan membahana.
Ratu Tanah Kayangan memutuskan untuk
melayani serangan mereka.
Letupan demi letupan yang terdengar sema-
kin ramai. Ranggasan semak yang terpapas rata,
tanah yang berhamburan ke udara, pepohonan
yang tumbang dan teriakan-teriakan keras, men-
gudara. Membuat tempat itu bertambah porak po-
randa.
Sementara itu lelaki gundul bersenjata
tongkat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan ka-
nan kirinya erat menggenggam tongkatnya yang
siap mengetok pecah kepala Ratu Tanah Kayan-
gan. Di pihak lain, Jodro Kliwing sudah meluruk
laksana banteng ketaton mengamuk dengan kepa-
la plontos yang siap menghajar perut dan pung-
gung Ratu Tanah Kayangan!
Ratu Tanah Kayangan menggeram seraya
mendorong kedua tangannya.
Bummm! BummmmU
Dua letupan keras terdengar. Namun ber-
samaan dengan itu, tiba-tiba saja Ratu Tanah
Kayangan tersedak. Seketika dia mundur terburu-
buru seraya menahan napas. Uap hitam yang tiba-
tiba bertaburan di depan wajahnya tadi lenyap
tanpa bekas.
Di seberang Jodro Kliwing tertawa keras.
"Ratu Tanah Kayangan! Kau memang hebat!
Bahkan kami tahu kau belum keluarkan ‘Ajian Se-
laksa Sukma’ yang hanya bisa ditandingi oleh
Ajian Selaksa Jiwa' milik Ratu Dinding Kematian!
Tetapi sekarang, apakah kau bisa bertahan meng-
hadapi 'Uap Pelemah Tenaga'?!"
"Terkutuk!" geram Ratu Tanah Kayangan.
"Uap itu rupanya memiliki keampuhan memati-
kan!"
Cokro Kliwing yang siap menyerang mengu-
rungkan niatnya. Dia tadi sempat melihat kalau
Jodro Kliwing mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'
yang seketika terhirup indera penciuman Ratu Ta-
nah Kayangan.
"Tak perlu bersusah payah sekarang! Dalam
sepuluh kejapan mata, tenagamu akan melemah,
Ratu!"
"Setan keparat! Kubunuh kalian!!" seru Ra-
tu Tanah Kayangan seraya menerjang. Tetapi saat
itu pula pekikannya terdengar karena secara ber-
samaan, baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing
sama-sama mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'!
Semakin banyak uap mematikan itu ter-
cium oleh Ratu Tanah Kayangan.
"Keparat!" makinya gusar. "Tubuhku mulai
terasa lemah, tenaga dalamku seperti tersedot ke
bawah dan sukar untuk kugunakan. Okh! Kepala-
ku... kepalaku mulai terasa pusing."
Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan
tertawa-tawa di tempatnya. Hajaran yang mereka
alami tadi seolah tak dirasakan sekarang. Makin
terbayang bagaimana mereka akan menikmati tu-
buh indah perempuan itu yang terbungkus pa-
kaian berwarna biru keemasan.
"Cokro! Sebelum dia mengeluarkan 'Ajian
Selaksa Sukma' kita sergap sekarang!" bisik Jodro
Kliwing.
Setelah melihat Cokro Kliwing mengangguk,
dia sudah menerjang disusul oleh Cokro Kliwing.
Serangan yang datang dari dua arah itu membuat
Ratu Tanah Kayangan menggeram keras.
"Aku tak boleh tertangkap!" desisnya men-
guatkan hati seraya mengerahkan hawa murninya.
Di lain saat dia sudah menghindar, namun
begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, so-
soknya agak goyah. Saat itulah Cokro Kliwing dan
Jodro Kliwing menyergapnya!
Tap! Tap!
Jodro Kliwing berhasil menyergap ping-
gangnya, sementara Cokro Kliwing memegang ke-
dua tangannya.
"Bawa dia ke balik semak!"
Jodro Kliwing segera memanggul tubuh
yang mulai melemah itu diikuti Cokro Kliwing yang
tertawa-tawa seraya memegangi kedua tangan Ra-
tu Tanah Kayangan.
Namun sebelum keduanya berhasil tiba di
balik semak belukar, tiba-tiba saja terdengar jeri-
tan susul menyusul.
Cokro Kilwing sudah melepaskan gengga-
mannya, begitu pula dengan Jodro Kliwing yang
telah melempar tubuh montok yang dipanggulnya!
"Gila! Tubuhnya mendadak menjadi sangat
panas!" seru Jodro Kliwing tertahan.
Sementara Cokro Kliwing sedang meman-
dangi Ratu Tanah Kayangan yang sudah berdiri
tegak kembali. Tubuh perempuan itu tiba-tiba saja
bercahaya sangat terang. Hawa panas seketika
menggebah di sekitar tempat itu. Beberapa rang-
gasan semak mendadak layu. Cahaya terang yang
terpancar itu tiba-tiba saja bergumpal di kepalanya
dan pelan-pelan naik di atas kepala. Lalu berteba-
ran menjadi beberapa warna terang!
"Astaga! Dia berhasil mengeluarkan ‘Ajian
Selaksa Sukma’," desis Cokro Kliwing kaget. Apa-
lagi mengingat 'Uap Pelemah Tenaga' yang mereka
lepaskan tadi kadarnya lebih tinggi ketimbang
yang pernah mereka lakukan pada Puspa Dewi.
Jodro Kliwing sendiri membeliak.
"Celaka! Keadaan sudah berbalik sekarang!
Rupanya 'Ajian Selaksa Sukma' mampu menahan
kehebatan 'Uap Pelemah Tenaga'!"
Di seberang, paras di balik cadar sutera
keemasan itu menegang. Sorot mata si perempuan
tajam tak berkedip.
"Beruntung aku masih mampu mengelua-
rkan 'Ajian Selaksa Sukma'. Hemm... bila saja tadi
salah seorang atau keduanya menotokku, dapat
kubayangkan petaka apa yang kualami...."
Habis membatin demikian, penuh kegusa-
ran Ratu Tanah Kayangan menggeram sengit, "Ta-
di kalian kuberi ampunan tetapi malah membang-
kang! Sekarang... kematianlah yang akan kalian
terima!!"
Sebelum Ratu Tanah Kayangan menyerang,
baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing memu-
tuskan untuk lebih dulu menyerang. Mereka tahu
kehebatan ajian yang dikeluarkan Ratu Tanah
Kayangan. Maka tindakan yang mereka lakukan
sebenarnya untung-untungan saja. Atau lebih te-
pat bila dikatakan mencoba menahan sejenak se-
belum melarikan diri.
Ratu Tanah Kayangan mendengus gusar
sebelum ditepukkan kedua tangannya yang seke-
tika suara ledakan dahsyat terjadi. Menyusul ge-
lombang angin dahsyat yang diiringi oleh cahaya
terang menggebrak ganas!
Kedua lelaki gundul itu segera mengurung-
kan serangannya seraya bergulingan ke samping
kanan dan kiri. Tetapi cahaya terang yang telah
menghantam tanah hingga berhamburan setinggi
dua tombak, mendadak saja terpecah dua, ber-
gumpal dan menderu ganas pada masing-masing
orang!
Jeritan bertanda ngeri yang dalam terdengar
dari dua tempat, Cokro Kliwing berhasil menyela-
matkan diri dengan cara memukulkan tongkatnya
di atas tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas.
Tetapi sial bagi Jodro Kliwing. Dia tak sempat me-
lakukan tindakan apa-apa. Hingga mau tak mau
tubuhnya terhantam cahaya itu dan terseret di
atas tanah!
"Jodroooooo!" pekikan memecah langit ter-
dengar dari mulut Cokro Kliwing begitu melihat ge-
liatan-geliatan kesakitan Jodro Kliwing! Cahaya te-
rang itu masih menggumpali tubuhnya yang terus
menggeliat.
Geliatan-geliatan itu akhirnya terhenti.
Tatkala cahaya terang itu melesat kembali ke tan-
gan Ratu Tanah Kayangan, terlihat tubuh Jodro
Kliwing telah hangus.
"Perempuan setan! Kubunuh kau?!!" Cokro
Kliwing menderu ganas. Dia tak lagi menghiraukan
rasa takutnya. Yang diinginkan sekarang adalah
membalas kematian kambratnya.
Dalam keadaan seperti itu, sudah tentu Ra-
tu Tanah Kayangan akan dengan mudah menca-
but nyawanya. Tetapi perempuan bercadar itu ju-
stru tidak melakukannya. Dia hanya bergeser ke
samping kanan. Secara tiba-tiba kaki kanannya
mencuat!
DesH
Telak menghajar dagu Cokro Kliwing yang
terlempar ke atas dan terbanting di atas tanah! Dia
pingsan seketika dengan darah keluar dari mulut.
Ratu Tanah Kayangan menarik napas pendek.
"Manusia-manusia tak tahu diuntung," de-
sisnya sambil memandang Cokro Kliwing yang
pingsan. Kemudian ditatapnya kejauhan sebelum
mendesis, "Terpaksa aku harus melacak lagi kebe-
radaan Ratu Dinding Kematian...."
Tiga kejapan mata berikut, perempuan ber-
cadar sutera ini sudah meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan mayat Jodro Kliwing dan tubuh Co-
kro Kliwing yang pingsan.
* * *
TUJUH
BEGITU melihat sosok pemuda berompi un-
gu di hadapannya, nenek berkonde hijau mengge-
ram dingin.
"Dosa-dosamu sudah tak terampuni, Raja
Naga!" bentaknya dengan tangan bergetar menud-
ing. Sepasang mata celongnya seolah terlempar ke-
luar. "Kau telah mencoreng nama baik gurumu
dan membuat rimba persilatan menjadi kacau! Se-
karang, kau telah menghantam Purwa dan perem-
puan itu!"
Di pihak lain Raja Naga yang tak menyang-
ka akan munculnya Dewi Lembah Air Mata dan
Sibarani membatin, "Celaka! Kehadiran Dewi Lem-
bah Air Mata bisa mengacaukan keadaan. Dan bi-
sa jadi perempuan berpakaian kuning keemasan
itu akan tetap memutarbalikkan keadaan."
"Pemuda terkutuk! Lebih baik kau kubunuh
sekarang!!"
Belum habis terdengar bentakan itu, tahu-
tahu sudah menderu gelombang angin yang me-
nyeret tanah ke arah Raja Naga yang mau tak mau
melakukan tindakan untuk menahan.
Blaaam! Blaaammm!!
Suara letupan dua kali berturut-turut ter-
dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi ta-
nah yang menghalangi pandangan itu luruh kem-
bali, Dewi Lembah Air Mata sudah menerobos ke
depan dengan tangan kanan kiri digerakkan.
Raja Naga menghindar ke samping kanan.
Sebelum dia tegak berdiri, dengan ekor mata ang-
kernya dilihatnya tubuh si nenek tiba-tiba mence-
lat ke udara untuk kemudian meluruk ke bawah
diiringi suara dengingan yang memekakkan telin-
ga.
Raja Naga segera mendeham. Dehaman
yang mengandung tenaga tak nampak itu sesaat
mampu menahan lurukan tubuh Dewi Lembah Air
Mata. Di lain kejap, dia melompat mundur. Begitu
kedua kakinya menginjak tanah, dilihatnya Dewi
Lembah Air Mata telah merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada dengan kepala agak ditun-
dukkan.
Melihat tindakan yang dilakukan si nenek,
kedua mata Raja Naga melebar. Sorot angkernya
terlihat tegang.
"Gawat! Dia hendak mengeluarkan ilmu
isakan anehnya itu!" serunya dalam hati.
Di pihak lain, Sibarani yang telah kehilan-
gan suaranya menggeram sengit pada Ratu Dind-
ing Kematian setelah memeriksa tubuh Purwa
yang pingsan. Kedua mata perempuan berpakaian
merah dengan pakaian dalam warna hijau ini me-
lotot dengan tangan menuding. Mulutnya berge-
rak-gerak seperti melontarkan makian, tetapi tak
ada suara yang keluar.
Ratu Dinding Kematian menggeram.
"Celaka! Mengapa bukan Dewi Lembah Air
Mata saja yang muncul? Kehadiran Sibarani dapat
mengacaukan semua rencanaku! Dan itu artinya.,,
setan! Lebih baik aku mengalah agar Raja Naga
mulai goyah dengan dugaannya! Tetapi, apakah
aku perlu melakukannya?"
Ratu Dinding Kematian menimbang bebera-
pa saat sebelum berkata, "Sibarani... mengapa?
Ada apa? Tatapanmu menampakkan kalau kau
menganggap aku seorang musuh?!"
Sibarani menuding dengan mulut berke-
mak-kemik tanpa ada suara yang terdengar.
Ratu Dinding Kematian mempergunakan
kesempatan itu, "Sibarani... apakah kau lupa den-
gan wajah Raja Naga? Pemuda celaka yang telah
mencuri bunga-bunga keramat?!"
Mulut Sibarani terus bergerak-gerak, tetapi
tetap tak ada suara yang keluar. Tangannya yang
menuding gusar bergetar sementara matanya me-
nyorot tajam.
Sementara itu, Ratu Dinding Kematian mu-
lai mendengar isakan Dewi Lembah Air Mata. Un-
tuk sesaat perempuan bertahi lalat tepat di kening
ini terkejut.
"Gila! Apa yang terjadi? Kenapa nenek ber-
konde hijau itu menangis? Apakah... heiii! Raja
Naga terhuyung ke belakang! Astaga! Aku tahu,
aku tahu. Isakan si nenek rupanya mengandung
tenaga yang mengerikan! Kalau begitu...."
Memutus kata batinnya sendiri, Ratu Dind-
ing Kematian berkata lagi seraya berdiri, "Sibarani!
Lawan kita saat ini adalah Raja Naga! Dialah yang
harus kita bunuh! Lantas mengapa kau melotot
seperti itu padaku?!"
Tak kuasa menahan amarahnya, Sibarani
sudah menerjang ke depan seraya dorong tangan
kanan kirinya mengeluarkan ilmu 'Bentang Gu-
nung Banting Tanah'. Sudah tentu Ratu Dinding
Kematian tak mau tinggal diam. Dengan 'Ajian Se-
laksa Jiwa' dilabraknya Sibarani yang lima kejapan
mata kemudian terdesak.
"Aku tidak boleh membunuhnya di hadapan
Dewi Lembah Air Mata, karena nenek berkonde hi-
jau itu bisa curiga! Huh! Sebaiknya dia kubikin
pingsan!"
Tetapi membuat Sibarani pingsan ternyata
tak semudah dugaannya. Karena Sibarani ternyata
tahu apa yang diinginkan Ratu Dinding Kematian.
Hal itu mulai dirasakannya tatkala tak lagi mera-
sakan dahsyatnya gempuran Ratu Dinding Kema-
tian. Dan Sibarani justru mempergunakan kesem-
patan itu untuk mencoba mencecar.
Di pihak lain, Raja Naga yang tergontai-
gontai akibat ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata,
mau tak mau mengeluarkan Gumpalan Daun Lon-
tar miliknya yang begitu ditarik keluar dari perut-
nya, telah membentuk gumpalan sebesar dua ke-
palan orang dewasa. Memang cukup aneh, karena
selama ini perut Raja Naga tidak menonjol akibat
gumpalan daun lontar yang tetap segar dan berca-
haya hijau itu. Ini dikarenakan kesaktian Gumpa-
lan Daun Lontar itu sendiri, yang begitu dimasuk-
kan ke balik pakaiannya, mendadak menjadi se-
perti lempengan dan menempel pada perutnya!
Dengan memecah Gumpalan Daun Lontar
yang tetap segar menjadi dua untuk dijadikan se-
bagai penutup telinga, anak muda bermata angker
itu menggebrak ke depan.
Dewi Lembah Air Mata mendengus gusar.
"Aku harus merebut Gumpalan Daun Lontar itu!"
Raja Naga sendiri tahu apa yang diinginkan
si nenek karena tangan kanan kiri si nenek selalu
mengarah ke kedua telinganya.
"Tak perlu kuladeni nenek berkonde hijau
ini! Lebih baik kubantu Sibarani! Tidak seperti
Purwa yang begitu akrab dengan perempuan ber-
pakaian kuning keemasan itu, Sibarani nampak-
nya sangat murka. Dan dia seperti melupakan di-
riku yang disangkanya pelaku serangkaian pencu-
rian bunga-bunga keramat."
Memutuskan demikian, pemuda berkuncir
kuda ini menggerakkan kedua tangannya.
Buk! Buk!
Sambaran tangan kanan kiri Dewi Lembah
Air Mata pada kedua telinganya tertahan. Begitu
kedua tangannya berhasil memapaki sambaran
Dewi Lembah Air Mata. Raja Naga tiba-tiba me-
nyergap. Ilmu 'Hamparan Naga Tidur' telah dile-
paskan.
DessssH
Telak menghantam dada datar Dewi Lem-
bah Air Mata. Sementara si nenek tergontai-gontai
ke belakang dengan amarah setinggi langit, Raja
Naga melesat ke depan. Tepat ketika tangan kanan
Ratu Dinding Kematian siap menghantam leher
Sibarani.
Plaaak!
Tepakan tangan kanan Raja Naga mengha-
langi niat perempuan mesum Itu yang tersentak
dan melompat ke belakang. Sementara Raja Naga
menyambar Sibarani untuk kemudian hinggap di
atas tanah.
"Aku tidak tahu mengapa kau tidak bisa bi-
cara sekarang, aku juga tidak tahu mengapa kau
menyerang perempuan itu! Tetapi aku yakin, kau
mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu!"
Habis kata-katanya Raja Naga melesat ke
depan.
"Sekarang kau tak bisa lagi menutupi siapa
dirimu, Perempuan celaka!!"
Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' su-
dah dilepaskan oleh Raja Naga yang ditahan Ratu
Dinding Kematian dengan 'Ajian Selaksa Jiwa'. Ge-
lombang angin deras disemburati asap merah pu-
tus di tengah jalan! Tetapi kali ini Raja Naga ber-
tindak cepat. Begitu surut ke belakang, dijejakkan
kaki kanannya yang serta-merta membuat tanah
berderak dan bergelombang hebat ke arah Ratu
Dinding Kematian.
"Terkutuk!" perempuan itu memaki keras
seraya membuang tubuh ke samping kiri.
Saat itulah Raja Naga menyergap cepat.
Tetapi...
Buk! Buk!
Sepasang kaki kurus yang bergerak bertubi-
tubi menahan niatnya dan membuatnya harus
mundur ke belakang.
Dewi Lembah Air Mata yang tadi mengha-
langi niatnya menggeram sengit, "Kau tak bisa me-
larikan diri, Pemuda keparat!"
"Dewi Lembah Air Mata!" seru Raja Naga ke-
ras. "Kau salah tempat dan salah orang! Aku bu-
kanlah orang yang telah mencuri bunga-bunga ke-
ramat! Tetapi perempuan celaka berpakaian kun-
ing itu!"
Si nenek berkonde hijau melirik Ratu Dind-
ing Kematian yang wajahnya tegang. Di saat lain,
si nenek yang masih menahan nyeri pada dadanya
akibat serangan Raja Naga mendengus,
"Aku tak mengenal siapa perempuan itu! Te-
tapi dia nampaknya dekat dengan Purwa, karena
membela Purwa yang telah kau buat pingsan! Uru-
sanku adalah...."
"Apakah kau tak melihat Sibarani menye-
rangnya?" putus Raja Naga mulai gusar. Dia tidak
mau kehilangan kesempatan untuk membuktikan
kalau dirinya tidak bersalah. "Bila kau mau pergu-
nakan sedikit otakmu, kau seharusnya memikir-
kan mengapa Sibarani menyerangnya!"
"Karena Sibarani menyangka perempuan itu
adalah sahabatmu!"
"Gila! Mengapa otakmu menjadi dungu se-
perti itu?" seru Raja Naga bertambah gusar. "Kalau
perempuan itu sahabatku, untuk apa kusela-
matkan Sibarani! Dewi Lembah Air Mata! Buka
matamu lebar-lebar sekarang, Orang tua! Perem-
puan itu berniat untuk membunuh Sibarani!"
Kali ini Dewi Lembah Air Mata tak segera
angkat bicara. Ditatapnya perempuan berpakaian
kuning keemasan yang wajahnya makin mene-
gang.
"Aku tak tahu apa yang terjadi saat ini. Te-
tapi... apa yang dikatakan Raja Naga kelihatannya
benar. Perempuan itu memang seperti hendak
membunuh Sibarani. Tetapi... mengapa? Menga-
pa? Apakah dia... astaga! Aku ingat apa yang di-
isyaratkan Sibarani ketika kutanyakan apakah Ra-
ja Naga telah mencuri Bunga Matahari Jingga? Te-
tapi dia menggeleng. Lantas... hemm... saat itu aku
menduga, kalau Raja Naga dibantu oleh seseorang
untuk mendapatkan bunga-bunga keramat. Bisa
jadi orang itu...."
"Dewi Lembah Air Mata! Mengapa kau terla-
lu lama berpikir? Kau ingin pencuri itu lari?!"
Seruan murid Dewa Naga membuat jalan
pikiran si nenek terputus. Sekarang matanya yang
celong menacing, keningnya berkerut.
"Raja Naga ingin menggunting dalam lipa-
tan! Dia bekerja sama dengan perempuan itu un-
tuk mencuri bunga-bunga keramat, lalu menuduh
dia seorang yang melakukannya! Licik!"
Berpikir demikian, Dewi Lembah Air Mata
menggeram seraya menatap tak berkedip, "Aku tak
mudah kau muslihati! Kau telah dibantu oleh pe-
rempuan itu untuk mencuri bunga-bunga kera-
mat! Karena tak sanggup menghadapiku, kau me-
nuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga itu
seorang diri! Terkutuk! Kau ternyata lebih licik dari
yang kuduga!"
Kejap itu pula Dewi Lembah Air Mata siap
menerjang. Tetapi Sibarani telah menangkap tan-
gan kanannya.
"HeiiiiH Apa yang kau lakukan?!"
Sibarani menatap tajam si nenek seraya
menggeleng keras-keras.
"Aku tak paham apa maksudmu!!"
Sibarani menuding Raja Naga lalu meng-
goyang-goyangkan kepalanya. Kemudian menun-
juk Ratu Dinding Kematian dan kali ini mengang-
guk-anggukkan kepalanya.
Dewi Lembah Air Mata memperhatikan tak
berkedip.
Raja Naga menahan napas.
Ratu Dinding Kematian membatin resah,
"Rasanya penyamaranku sudah terbongkar seka-
rang. Aku harus mencari kesempatan untuk melo-
loskan diri...."
Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata mengge-
rakkan kepalanya ke arah Ratu Dinding Kematian.
"Perempuan! Siapa kau?!"
Ratu Dinding Kematian menahan debaran
dadanya yang mengeras, antara tegang dan mur-
ka. Pelan-pelan dia berkata, "Namaku Nimas Hern-
ing! Aku adalah kekasih Purwa yang sedang men-
cari pemuda bersisik coklat itu!"
Belum lagi Dewi Lembah Air Mata teruskan
ucapan, Sibarani sudah melesat dengan penuh ke-
geraman ke arah Ratu Dinding Kematian.
Kendati rahasia dirinya akan terbongkar se-
karang, tetapi perempuan itu tak mau mati konyol.
Segera dibalas serangan Sibarani dengan gerakan
yang sukar diikuti mata.
Des! Des!
Tahu-tahu Sibarani sudah terlontar ke be-
lakang tanpa mampu menguasai keseimbangan-
nya. Raja Naga mencoba menyambarnya, tetapi
Sibarani sudah keburu terbanting di atas tanah,
yang pingsan seketika!
Melihat hal itu Dewi Lembah Air Mata
membentak gusar, "Perempuan berpakaian kuning
keemasan! Sekarang aku tak yakin kau adalah ke-
kasih Purwa! Sibarani adalah adik seperguruannya
yang tak seharusnya kau serang! Aku akan men-
gulitimu bila kau tidak mau mengatakan siapa di-
rimu sebenarnya!"
Rasa amarah di dada Ratu Dinding Kema-
tian sudah tidak bisa ditahan lagi. Tetapi perem-
puan yang tepat pada keningnya terdapat sebuah
tahi lalat itu, berusaha untuk tahan amarahnya.
"Dewi! Tadi kukatakan namaku Nimas
Herning! Aku tak berniat mencelakakan Sibarani!
Aku hanya membela diri!"
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku!"
"Tak ada yang kusembunyikan! Aku dan
Purwa sama-sama sedang mencari Raja Naga yang
telah memperkosa dan membunuh adikku!" seru
Ratu Dinding Kematian. Dia sengaja menandaskan
kata-katanya terakhir untuk mengubah pikiran
Dewi Lembah Air Mata.
Tetapi rupanya si nenek sudah tidak ter-
pengaruh sekarang. Dia justru mempertimbang-
kan sikap Sibarani sebelum pingsan tadi. Dilirik-
nya Raja Naga sesaat sebelum berkata lagi, "Kau
menyembunyikan sesuatu!!"
Belum habis bentakannya, tiba-tiba saja si
nenek sudah membuang tubuh, ke samping ka-
nan. Karena gelombang angin bertaburan cahaya
warna-warni sudah menyerangnya! Rupanya Ratu
Dinding Kematian telah mengambil kesempatan
lebih dulu
"HeiiiiiH" si nenek memekik tertahan.
Raja Naga bergerak cepat menyambar tu-
buhnya karena serangan susulan dari perempuan
berpita kuning itu sudah menderu lagi ke arah si
nenek!
Blaaammm!!
Tanah terangkat naik ditaburi cahaya war-
na-warni yang bertebaran! Cukup lama tanah itu
menghalangi pandangan sebelum kemudian luruh
kembali di atas tanah.
Saat itulah Raja Naga yang telah menurun-
kan tubuh Dewi Lembah Air Mata menggeram sen-
git. Karena sosok Ratu Dinding Kematian sudah
tidak ada di sana, bersama dengan tubuh pingsan
Purwa!
* * *
DELAPAN
ANAK muda bersisik! Aku tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi! Selama ini kaulah yang
kuanggap sebagai pencuri bunga-bunga keramat!
Jelaskan secara rinci sebelum kuputuskan untuk
tetap pada tuduhan itu!" suara Dewi Lembah Air
Mata membuat Raja Naga memalingkan kepa-
lanya.
Anak muda dari Lembah Naga ini tak segera
menjawab. Mata angkernya berkilat-kilat menan-
dakan kegusarannya. Sisik-sisik coklat pada len-
gan kanan kirinya sebatas siku lebih terang dari
sebelumnya.
"Orang tua... kesalahpahaman yang selama
ini terjadi memang harus diluruskan. Aku bukan-
lah pencuri bunga-bunga keramat!" sahutnya lalu
diceritakannya bagaimana Purwa dan Sibarani
menuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga ke-
ramat (Baca : "Terjebak di Gelombang Maut").
"Aku tak bisa mempercayai ucapanmu begi-
tu saja!"
"Kau bisa menanyakannya pada Puspa Dewi!"
"Siapa orang itu?"
"Dia murid Ratu Tanah Kayangan! Dan ten-
tunya Ratu Tanah Kayangan tahu kebenaran dari
semua ini!"
"Kalau bukan kau yang mencurinya, siapa
pencuri itu?" seru si nenek berkonde hijau setelah
terdiam beberapa saat.
"Dia adalah Ratu Dinding Kematian!"
Dewi Lembah Air Mata terdiam.
"Aku ingat, kalau Dewa Segala Dewa me-
nyuruh Dewa Seribu Mata untuk menjumpai Ratu
Dinding Kematian. Jangan-jangan orang tua itu
memang mencurigai Ratu Dinding Kematian. Ta-
pi... aku tak bisa percaya begitu saja pada kata-
kata pemuda ini."
Habis membatin begitu, si nenek berkata,
"Ratu Dinding Kematian yang telah mencurinya
katamu! Sulit dipercaya mengingat dia salah seo-
rang murid Dewa Pengasih!"
"Mungkin pula sulit dipercaya kalau Ratu
Tanah Kayangan yang juga murid Dewa Pengasih
sedang memburu saudara seperguruannya sendiri!
Yang berniat untuk mendapatkan Kitab Ajian Se-
laksa Sukma yang bila digabungkan dengan Kitab
Ajian Selaksa Jiwa akan menjadi sebuah ilmu yang
mengerikan! Karena memiliki ilmu yang seimbang
dengan Ratu Tanah Kayangan, Ratu Dinding Ke-
matian memutuskan untuk mencuri bunga-bunga
keramat!"
Si nenek mendengus.
"Lantas, di mana aku harus mencari Ratu
Dinding Kematian?!"
Raja Naga tak menjawab. Mata angkernya
tak berkedip ke arah si nenek yang seketika mera-
sa jantungnya berdebar lebih kencang. Di lain saat
dia berucap pelan, "Perempuan yang hendak
membunuh Sibarani tetapi sebelumnya kau bela
itulah Ratu Dinding Kematian!"
Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata
mendengarnya. Untuk sesaat dia terdiam. Lalu di-
arahkan pandangannya pada Sibarani yang masih
pingsan. Saat diangkat kepalanya lagi untuk me-
mandang Raja Naga, pemuda berompi ungu itu
sudah tidak ada di tempatnya!
Untuk beberapa lama Dewi Lembah Air Ma-
la terdiam di tempatnya. Otak tuanya dipenuhi
bermacam pikiran yang membuat perasaannya ja-
di tidak tenang.
"Aku telah salah sangka...," desisnya pelan.
Angin semilir membelai wajah keriputnya. "Aku
harus meluruskan kebenaran ini...."
Kemudian dihampirinya Sibarani dan dipe-
riksanya tubuh perempuan itu sebelum dilakukan
pengobatan.
Raja Naga tak mau menghentikan larinya
barang sekejap pun. Kendati lelah tak terkira
mendera kedua kakinya, anak muda bersisik cok-
lat itu terus berlari. Pikirannya hanya berpusat
pada Ratu Dinding Kematian.
Cukup lama dia mencari bukti-bukti kalau
dirinya tidak bersalah dan sudah tentu dia tak
akan mau melepaskannya karena bukti itu sudah
di ambang mata.
Tetapi sampai matahari kembali muncul da-
ri peraduannya, anak muda itu tetap tak mene-
mukan jejak Ratu Dinding Kematian yang melari-
kan diri dengan membawa Purwa yang pingsan. Di
samping merasa sia-sia untuk melakukan pengeja-
ran, dan juga karena lelahnya sudah tak tertahan-
kan lagi, anak muda itu terpaksa menghentikan
larinya
Dipandanginya sekelilingnya yang sepi. Be-
berapa buah pohon tegak berdiri dengan dedau-
nannya yang rimbun.
"Ratu Dinding Kematian... semakin jelas se-
karang. Dialah pencuri bunga-bunga keramat," de-
sisnya setelah mengatur napas. Sorot matanya
yang angker tak berkedip ke beberapa tempat. "Su-
lit bagiku menemukan di mana dia berada seka-
rang."
Kembali pemuda ini terdiam sebelum berka-
ta, "Tindakan yang dilakukan Sibarani terhadap
perempuan itu menunjukkan telah terjadi satu pe-
ristiwa yang membuat Sibarani begitu murka. Bisa
jadi kalau suaranya yang lenyap akibat perbuatan
Ratu Dinding Kematian yang mengaku bernama
Nimas Herning. Tetapi sayangnya, Purwa berada
dalam genggaman perempuan itu."
Teringat pada lelaki bercambang itu, Raja
Naga mengerutkan keningnya.
"Kebalikan dari sikap Sibarani terhadap Ra-
tu Dinding Kematian, Purwa begitu dekat sekali.
Hemm... ada apa di balik keadaan ini? Apakah...."
Raja Naga urung meneruskan jalan pikiran-
nya. Digeleng-gelengkan kepalanya.
"Ketimbang pikiranku semakin tak menen-
tu, sebaiknya kuteruskan langkah mencari perem-
puan berpakaian kuning keemasan itu!"
Tetapi satu suara membuat pemuda itu
mengurungkan niatnya. "Mengapa harus tergesa-
gesa, Anak muda?!"
Raja Naga segera palingkan kepalanya ke
kanan. Untuk beberapa saat dia terdiam dengan
mata waspada, lurus pada perempuan berpakaian
biru keemasan yang sedang melangkah mendeka-
tinya.
"Perempuan ini memakai cadar sutera kee-
masan. Rambutnya disanggul indah. Di telinganya
terdapat anting-anting mutu manikam. Siapakah
perempuan ini? Mengapa dia menahan langkah-
ku?!"
Sementara Raja Naga membatin demikian,
si perempuan menghentikan langkahnya sejarak
sepuluh tindak dari Raja Naga. Sesaat dipandan-
ginya pemuda di hadapannya dengan seksama.
"Dari keseluruhan yang nampak di tubuh-
nya, matanyalah yang sangat mengerikan. Sorot-
nya tajam, angker dan menusuk hingga jantung.
Siapakah dia yang... astaga! Aku tahu siapa anak
muda ini!"
Habis membatin demikian, perempuan ber-
cadar sutera itu berkata, 'Anak muda! Kau nam-
pak terburu-buru, hingga rasanya tidak enak aku
mengganggumu! Tetapi, ada kebutuhan mendesak
hingga membuatku mau tak mau menahan lang-
kahmu!"
Ucapan si perempuan berpakaian biru kee-
masan yang lembut dan sopan membuat Raja Na-
ga terdiam.
Dipandanginya sesaat perempuan itu sebe-
lum berkata, "Setiap manusia selalu saja merasa-
kan memiliki kebutuhan-kebutuhan yang mende-
sak! Perempuan bercadar, aku menyediakan wak-
tu beberapa kejapan mata untukmu."
"Terima kasih!" sahut si perempuan. "Ku-
dengar sejak tadi kau menyebut-nyebut julukan
Ratu Dinding Kematian! Pertanyaanku, apakah
kau berjumpa dengan perempuan berpakaian kun-
ing keemasan itu?"
Raja Naga tak menjawab. Matanya tak ber-
kedip ke depan. Diam-diam dia membatin, "Ada
urusan apa lagi ini? Perempuan ini menanyakan
tentang Ratu Dinding Kematian. Pertanyaannya
diucapkan datar saja, hingga sulit kutangkap
maksudnya di balik pertanyaan itu. Tetapi...."
Memutus kata batinnya sendiri, anak muda
bersisik coklat pada lengan kanan kirinya sebatas
siku ini segera berkata, "Perempuan bercadar! Ya,
belum lama ini aku berjumpa dengan orang yang
kau maksud!"
Di luar dugaan Raja Naga, perubahan pada
wajah di balik cadar sutera itu begitu jelas. Kali ini
suara si perempuan terdengar agak sengit, "Kata-
kan di mana perempuan itu berada?!"
"Aku belum mengenal siapa kau adanya dan
aku tak tahu ada urusan apa kau dengan Ratu
Dinding Kematian! Tetapi sebaiknya, kau jelaskan
terlebih dulu!"
Dari balik cadar yang dikenakannya, sepa-
sang mata bening yang indah itu membulat tajam.
Untuk beberapa saat hening menghampar seiring
dengan matahari yang terus berangkat naik ke ti-
tik atasnya.
"Anak muda... urusanku dengan Ratu Dind-
ing Kematian sangat erat hubungannya dengan-
mu!"
Raja Naga memicingkan matanya.
"Apa lagi maksud perempuan ini? Sikapnya
sukar kutebak. Dia tetap kelihatan tenang," ka-
tanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku semakin ber-
tambah tidak mengerti."
"Mungkin kau berlagak tidak mengerti ka-
rena kau belum mengenal siapa aku! Tetapi aku
merasa pasti kalau sedikit banyaknya kau sudah
mendengar siapa aku adanya!"
Raja Naga tersenyum.
"Dari ucapanmu kau nampaknya begitu ya-
kin kalau kau sudah mengenal aku."
"Siapa yang tidak mengenal pemuda berciri-
kan seperti yang ada pada dirimu, Raja Naga?!"
Seruan si perempuan sesaat membuat ke-
pala murid Dewa Naga itu menegak.
"Dia mengenalku rupanya. Tetapi aku be-
lum mengenal siapa dia adanya," katanya dalam
hati. Masih tersenyum dia berkata, "Biar tidak ter-
jadi kesalahpahaman, sebaiknya kau perkenalkan
siapa dirimu, Perempuan bercadar!"
Perempuan bercadar sutera keemasan itu
tak segera buka mulut. Raja Naga melihat senyu-
man lebar bertengger di balik cadar sutera.
Menyusul didengarnya kata-kata, "Selama
ini kau berada dalam lingkaran dan gelombang
maut dari tuduhan-tuduhan tentang dirimu. Dan
sudah tentu kau berusaha untuk mencari kejela-
san dan bukti-bukti kalau kau tidak bersalah!
Anak muda berjuluk Raja Naga... kau boleh men-
genalku dengan julukan Ratu Tanah Kayangan!"
* * *
SEMBILAN
TEMPAT yang dipenuhi bebukitan itu nam-
pak suram, padahal saat ini matahari sudah me-
nebarkan sinarnya ke segenap penjuru tempat itu.
Suasana sunyi senyap, seolah tempat yang dind-
ing-dinding bukit di sekitarnya landai dan curam
tak berpenghuni. Tempat yang juga dipenuhi pe-
pohonan itu seperti mengisyaratkan satu kematian
berkepanj angan.
Di antara dua buah bukit dengan dinding-
dinding yang terjal, terdapat sebuah bangunan
yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil.
Kendati demikian bangunan itu terbuat dari kayu-
kayu jati yang sangat kokoh. Di sekitar bangunan
itu terdapat batu-batu cukup besar dan... astaga!
Nampaknya tak ada jalan untuk menuju ke ban-
gunan itu kecuali melompati batu-batu yang
menghadangnya.
Tindakan seperti itulah yang dilakukan oleh
satu bayangan kuning yang bergerak cepat. Lang-
kahnya nampak lincah walaupun parasnya seperti
menahan satu penderitaan. Di punggungnya tergo-
lek satu sosok tubuh berpakaian biru yang dalam
keadaan pingsan.
Begitu kedua kakinya hinggap di atas se-
buah batu besar, si bayangan kuning yang bukan
lain Ratu Dinding Kematian sudah menggenjot tu-
buhnya dan...
Tap!
Kini kedua kakinya sudah menginjak bagian
depan dari bangunan itu. Tanpa menghentikan
langkahnya, tangannya digerakkan ke atas dua
kali.
Pintu kayu jati yang berat itu berderit dan
terbuka. Tetap tanpa berhenti sekali pun Ratu
Dinding Kematian masuk ke dalam bangunan itu.
Aroma wangi menyergap hidungnya.
Purwa yang berada dalam bopongannya
menggeliat setelah hidungnya menangkap aroma
wangi.
"Kau tak boleh tahu dulu apa yang akan ku-
lakukan!" desis Ratu Dinding Kematian seraya me-
rebahkan tubuh lelaki itu di atas sebuah tempat
tidur berkasur empuk. Lalu...
Tuk! Tuk!
Tangannya menotok, tubuh Purwa mengejut
sejenak. Lelaki yang hampir saja tersadar dari
pingsannya ini, kini terkulai lagi.
Di lain saat, Ratu Dinding Kematian meng-
hampiri sebuah lemari berukir yang terdapat di
sudut kamarnya. Dibukanya lemari itu dan diam-
bilnya sebuah pakaian berwarna kuning keema-
san, sama seperti yang dipakainya.
Lalu dihampirinya sebuah cermin besar. Di-
perhatikan wajahnya yang terlihat kacau balau.
Parasnya tiba-tiba saja mengeras. Didahului den-
gusan, dibuka pakaiannya yang telah robek akibat
perbuatannya sendiri (Baca : "Terjebak di Gelom-
bang Maut").
Seketika kulit mulus miliknya terpampang.
Demikian pula dengan sepasang buah dada besar
yang menggiurkan. Ujung-ujungnya yang berwar-
na kemerahan nampak agak menegang. Untuk se-
saat Ratu Dinding Kematian melupakan kekesa-
lannya pada Raja Naga. Dikaguminya tubuhnya
sendiri,
Tiba-tiba saja terdengar desisannya cukup
meremangkan bulu roma. Lalu dirabanya kedua
payudara montok itu dan diremas-remasnya. Sete-
lah puas meremas-remas payudaranya sendiri, Ra-
tu Dinding Kematian membuka pakaian bagian
bawahnya hingga yang tinggal hanya sehelai kain
berwarna merah jambu yang masih melekat di
pangkal pahanya.
Dikaguminya lagi tubuhnya yang indah itu,
yang mampu membuat setiap laki-laki terpesona
dan rela mengorbankan nyawa untuk dapat meni-
durinya.
Mendadak perempuan ini mengeluh. Dipe-
ganginya dadanya yang kini terasa sesak.
"Pemuda keparat!" geramnya dengan wajah
murka. "Kau tak akan kulepaskan lagi! Kaulah
yang menjadi tumbal bunga-bunga keramat ini!
Orang pertama yang akan kubunuh sebelum ku-
bunuh Ratu Tanah Kayangan!"
Sesaat perempuan yang tanpa pakaian ini
mengingat lagi peristiwa kemarin. Dia memang tak
mampu menghadapi Raja Naga, apalagi saat itu
Dewi Lembah Air Mata pun sudah berpihak pada
Raja Naga. Makanya diputuskan untuk mening-
galkan mereka dan satu-satunya tempat yang bisa
didatanginya dengan aman hanyalah tempat ting-
galnya di Dinding Kematian.
Lalu diliriknya Purwa yang masih pingsan.
"Lelaki itu masih berguna untukku...," de-
sisnya.
Kembali dipandangi tubuhnya di cermin be-
sar. Pelan-pelan diturunkannya sisa kain yang me-
lekat pada pangkal pahanya, hingga kini dia dalam
keadaan polos.
"Luar biasa! Pantas... pantas setiap laki-laki
tergila-gila oleh tubuhku!!"
Dalam keadaan polos, Ratu Dinding Kema-
tian masuk ke kamar mandi yang ada di kamar-
nya. Dibersihkan tubuhnya sebersih-bersihnya.
Lalu dikenakan pakaian yang tadi diambilnya dari
lemari besar itu.
"Aku tak boleh membuang waktu. Pagi ini
juga harus kurendam bunga-bunga keramat untuk
mendapatkan kesaktian darinya. Setelah itu...," si
perempuan terdiam sejenak sebelum terlihat se-
ringaian di bibirnya, "Bodoh! Mengapa tidak kuhu-
bungi Bancak Bengek?! Kakek kurus kerempeng
itu sudah tentu akan bersedia membantuku! Huh!
Dengan modal tubuhku ini, tak ada yang perlu ku-
risaukan untuk meminta bantuan pada orang se-
perti Bancak Bengek maupun Setan Gundul Hutan
Larangan!"
Teringat pada dua lelaki kepala gundul ber-
pakaian ala pendeta yang pernah mengancamnya,
Ratu Dinding Kematian menggeram sengit.
"Kedua manusia gundul itu harus mampus
pula di tanganku! Bukan untuk menutup mulut
mereka, karena rahasiaku sudah terbongkar! Te-
tapi... agar mereka tahu kalau aku tak bisa disem-
barangkan begitu saja!"
Kejap kemudian, dengan gerakan-gerakan
yang sangat cepat Ratu Dinding Kematian me-
nyiapkan sebuah baki yang telah berisi air. Lalu
duduk bersemadi di hadapan baki yang cukup be-
sar itu. Mulutnya berkemak-kemik sementara tan-
gannya mengulap-ngulap di atas air itu.
Setelah beberapa saat dihela napas pan-
jang-panjang.
"Kini tibalah saatnya untuk menjalankan
seluruh keinginan yang telah kudapatkan...."
Habis berucap demikian, kali ini Ratu Dind-
ing Kematian merangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Kejap itu pula nampak cahaya warna-
warni bertebaran di atas kepalanya yang ketika
kedua tangannya diangkat serta ditepukkan pada
cahaya warna-warni itu, cahaya itu lenyap.
Menyusul, "Datanglah kemari!!"
Tujuh gelombang angin tiba-tiba saja men-
deru-deru, menabrak dinding bangunan itu yang
menimbulkan suara cukup keras. Ratu Dinding
Kematian menggerakkan tangannya ke depan dan
memancangkan matanya tajam-tajam!
Saat itu pula tujuh gelombang angin yang
menabrak dinding tadi berhenti dan sebagai gan-
tinya terlihat tujuh buah bunga berlainan jenis
dan beraneka warna di hadapannya!
Seketika pecah tawa Ratu Dinding Kema-
tian. Matanya memandang ketujuh bunga berlai-
nan jenis yang mengambang di udara. Amarahnya
pada Raja Naga, dendamnya pada Ratu Tanah
Kayangan dan murkanya pada Setan Gundul Hu-
tan Larangan seperti lenyap seketika.
"Bunga-bunga keramat!" desisnya penuh
kepuasan. "Tiga Penguasa Bumi ternyata orang-
orang bodoh! Tak pernah memikirkan kemungki-
nan bunga-bunga keramat diambil orang! Berun-
tung aku yang pernah mendengar cerita Dewa
Pengasih tentang bunga-bunga keramat."
Perempuan ini menghentikan desisannya.
"Dengan 'Ajian Selaksa Jiwa' aku dapat me-
nutupi keberadaan bunga-bunga keramat yang te-
lah kucuri tanpa seorang pun dapat melihatnya.
Dan sekarang... tibalah saatnya untuk memulai
seluruh yang kuinginkan!!"
Habis desisannya, tangan kanan kiri Ratu
Dinding Kematian mengulap ke arah bunga-bunga
keramat. Lalu pelan-pelan mengarahkan tangan-
nya pada air di dalam baki.
Ketujuh bunga yang terdiri dari Bunga Me-
lati Hijau, Bunga Mawar Ungu, Bunga Anyelir
Kuning, Bunga Kamboja Merah. Bunga Kecubung
Putih, Bunga Anggrek Biru dan Bunga Matahari
Jingga masuk ke dalam baki berisi air itu. Air ben-
ing di dalam baki berubah menjadi warna hijau
tatkala Bunga Melati Hijau masuk ke dalamnya.
Terus berubah menjadi ungu, kuning, merah, pu-
tih, biru dan jingga.
Ketujuh warna itu beraduk-aduk menjadi
satu, sementara bunga-bunga itu mengambang.
Pelan-pelan air di dalam baki itu bergerak memu-
uJh
tar, semakin lama bertambah cepat hingga terden-
gar desingan-desingan yang kuat.
Seringaian di bibir Ratu Dinding Kematian
semakin melebar. Dia tak sabar untuk menunggu
putaran air itu berhenti. Ditunggunya dengan sek-
sama tanpa mengalihkan perhatiannya dari air
yang telah berubah warna laksana warna pelangi.
Cukup lama air itu berputar hingga kemu-
dian berhenti. Kalau sebelumnya bunga-bunga itu
mengambang, kali ini tenggelam.
"Inilah saatnya...."
Pelan-pelan Ratu Dinding Kematian mengu-
lurkan tangannya untuk memegang baki itu. Teta-
pi kejap itu pula tangannya ditarik ke belakang
dengan mata membelalak.
"Astaga! Aku seperti memegang besi yang
sangat panas!" serunya tertahan. Dipandanginya
baki berisi air di hadapannya. "Dapat kupastikan
kalau panas itu berasal dari bunga-bunga keramat
ini."
Segera ditariknya napas kuat-kuat, lalu di-
tahannya di bawah perut. Hawa murni di dalam
tubuhnya dialirkan hingga kini dia merasa tubuh-
nya melayang. Dan... gila! Bukan hanya dirasa tu-
buhnya melayang, tetapi tubuhnya memang men-
gambang dua jengkal dari lantai.
Lalu pelan-pelan dijamahnya baki itu. Wa-
lau masih terasa panas, tidak seperti sebelumnya.
Kemudian diangkatnya dengan mulut berkemak-
kemik. Sesaat diperhatikannya air yang berwarna-
warni itu sebelum kemudian didekatkan bibir baki
itu pada mulutnya.
Kejap berikutnya...
Gluk... gluk... gluk....
Air yang mengisi penuh baki itu kini telah
habis seluruhnya. Saat meminum tadi, Ratu Bind-
ing Kematian berjaga-jaga agar jangan setetes air
pun yang tumpah ke bumi.
Tak ada perubahan apa-apa pada dirinya.
Ditunggunya beberapa saat. Tetapi perubahan itu
tetap tidak dirasakannya.
"Astaga! Apakah ada yang salah? Mengapa
aku tidak merasa apa-apa?" serunya sedikit mera-
sa aneh dan terkejut. "Apakah aku... heiii!!!"
Tiba-tiba saja tubuh Ratu Dinding Kematian
yang masih mengambang dua jengkal dari tanah,
melesat ke atas! Dan menabrak atap hingga jebol!
Ratu Dinding Kematian menjerit tertahan.
Tanpa sadar dadanya berdebar keras. Seluruh ke-
gembiraannya karena merasa telah berhasil memi-
num air rendaman dari bunga-bunga keramat sir-
na seketika.
Tubuhnya terus meluncur ke atas. Namun
seperti ditahan satu tenaga, celatan tubuhnya ti-
ba-tiba terhenti. Berbalik dan menukik deras ke
bawah! Kecepatannya melebihi sebuah batu bin-
tang yang jatuh dari langit.
Perempuan mesum berpakaian kuning
keemasan itu memekik keras, memecah pagi dan
memantul di antara dinding-dinding bukit. Karena,
dia tak mampu menahan luncuran tubuhnya yang
sangat cepat itu, sementara kepalanya berada di
bawah
SELESAI
Ikuti kelanjutan serial ini:
DEWA PENGASIH
Scan/B-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon