SATU
HANYA orang tolol yang mau menyembu-
nyikan diri di dalam keranjang butut itu!" gumam
perempuan berusia sekitar enam puluh tahun be-
gitu sebuah keranjang eukup besar muneul den-
gan cara melompat-lompat. Diperhatikannya ke-
langkah dari tempatnya, Tanah bolong merata
berjarak tiga langkah, sesuai dengan lompatan .
keranjang itu. Di lain saat, si nenek berpakaian
hijau ini berseru, "Buntet Kalamangsang! Se-
umur hidupmu kau selalu berada di dalam keran-
jang tanpa berani menampakkan wajah! Apakah
kau ingin sampai mampus berada di sana?!
Atau... kau enggan meninggalkan keranjang bu-
suk itu karena tak mau orang lain melihat wajah
burukmu?!"
Keranjang yang terbuat dari sulaman kayu
lapis berpetak-petak sedikit bergerak. Menyusul
suara bernada serak, "Monyet tua bernama Sekar
Sengkuni! Kau mengundangku ke sini, apa hanya
untuk mendengar ucapan busukmu itu?!"
Si perempuan menggeram. Parasnya yang
mulai dihinggapi keriput menekuk hingga keriput
itu terlihat semakin banyak. Bias-bias kecanti-
kannya masih tersisa. Rambutnya yang mulai
memutih, bergerai dipermainkan angin, bertam-
bah acak-acakan. Mata celongnya memperhatikan
keranjang itu penuh kebencian. Dia berusaha un-
tuk melihat bagaimana caranya Buntet Kala-
mangsang bisa mendekam berpuluh tahun la-
manya di sana.
Saat ini setengah perjalanan malam telah
melampaui batasnya. Tempat itu dipenuhi rang-
gasan semak dan pepohonan. Bukan jalan seta-
pak, melainkan sebuah tempat yang cukup la-
pang. Di atas sana, tak ada gerombolan awan hi-
tam sehingga rembulan dengan leluasa meman-
carkan sinar teduhnya.
"Manusia satu ini memang aneh, tetapi
memiliki ilmu tinggi walaupun seimbang dengan-
ku!" geramnya dalam hati. "Aku tak pernah men-
gerti bagaimana dia bisa mendekam di sana terus
menerus! Mungkin kalau mau makan sama
buang air saja dia keluar! Tapi... huh! Bisa jadi
dia juga buang air di tempat itu! Sungguh menji-
jikkan!"
"Kau tak buka suara! Dua tarikan napas
kau tak mengatakan sebab-sebab mengundangku
ke tempat celaka ini, kau akan mendapatkan se-
suatu yang tak menyenangkan karena telah ba-
nyak membuang waktuku!"
"Kampret!" maki si nenek dalam hati. Lalu
memaki, "Apakah kau sudah merasa hebat dapat
mengalahkanku?!"
"Mematahkan tulang di tubuhmu bukanlah
hal yang sulit! Waktumu tinggal satu tarikan na-
pas lagi!"
Kembali si nenek menggeram. Sorot ma-
tanya tajam pada keranjang yang bergerak-gerak
itu. Sambil menindih kegeramannya dia berseru,
"Kau pernah mendengar sebuah tempat
bernama Istana Gerbang Merah?!"
"Keeuali orang tuli, tentunya tak akan per- p
nah mendengar Istana Gerbang Merahi" sahut
orang di dalam keranjang yang tak kelihatan so-
soknya.
"Bagusi Kuberikan kau emas permata yang
banyak jumlahnya bila kau mau membantuku
menghaneurkan Istana Gerbang Merah!" seru Se-
kar Sengkuni lagi. Dia tetap berusaha untuk me-
lihat sosok orang di dalam keranjang. Berpuluh
tahun dia hanya bisa bereakap-eakap dengan ke-
ranjang itu saja tanpa mengetahui wujud orang
yang mendekam di dalamnya.
"Huh! Tawaran yang eukup menggiurkan!
Sekar Sengkuni, apakah kau memang ingin
menghaneurkan Istana Gerbang Merah, atau
menghaneurkan Resi Tala Kangkang!"
"Jangan banyak mulut!" !
"Bila saja kau masih muda, tubuhmu ma-
sih montok seperti aku pertama kali mengenalmu
dulu, aku akan meminta tubuhmu sebagai imba-
lan!"
Walaupun kedua gendang telinganya me-
merah mendengar ueapan orang dalam keran-
jang, Sekar Sengkuni terkikik, mirip kuntilanak di
siang bolong.
"Sampai hari ini aku belum pernah melihat
tampangmu! Apakah memang tampan seperti seo-
rang pangeran atau tak lebih dari kodok belaka!
Bila kau bertampang seorang pangeran, melaya-
nimu siang malam bukanlah suatu masalah! Te-
tapi bila kau tak lebih dari kodok buduk, lebih
baik kau kubur keinginanmu itu dalam-dalam...."
Wuuuttt!!
I Keranjang itu tiba-tiba melesat ke arah si
nenek yang masih terkikik. Gemuruh angin ter-
dengar dan mendahului lesatan keranjang itu.
Si nenek memutus kikikannya seraya do-
rong kedua tangannya ke depan.
Plak! Plak!!
Keranjang itu terpental kembali ke bela-
kang setelah membentur kedua telapak tangan si
nenek berpakaian hijau. Berputar di udara dua
kali dan jatuh kembali di atas tanah dengan sua-
ra cukup keras. Di seberang Sekar Sengkuni ha-
rus surut tiga langkah.
"Keparat busuk!" geramnya sengit.
"Kau tetap memiliki ilmu yang lumayan!
Hanya sayang, kau tak berani datang ke Istana
Gerbang Merah sendiri!"
"Buntet busuk! Tanpa bantuanmu aku
sanggup menghancurkan Istana Gerbang Merah,
menghancurkan Resi Tala Kangkang yang ber-
diam di sana! Tetapi...."
"Kau tak sanggup untuk membunuh lelaki
yang telah menyakiti hatimu itu, tetapi masih kau
cintai!"
"Setan!!" bentak Sekar Sengkuni seraya
mendorong tangan kanan kirinya.
Menggebrak dua gelombang angin yang
menyeret tanah dan ranggasan semak ke arah
orang dalam keranjang. Belum mengenai sasa-
rannya, keranjang itu telah melambung ke atas,
Bahkan berpentalan di udara tanpa menyentuh
bumi.
Sekar Sengkuni sudah mencelat memburu
diiringi teriakan tertahan, "Jangan kau ingatkan
aku lagi pada masa laluku! Manusia itu harus
mampus kubunuh!!"
"Kau tak mampu melakukannya karena
kau masih mencintainya, Sekar Sengkuni!" seru
orang dalam keranjang yang terus melambung-
lambung. "Itulah sebabnya kau mengajakku, agar
aku yang membunuh Resi Tala Kangkang!"
Mendadak saja keranjang itu meluncur de-
ras, bertepatan dengan Sekar Sengkuni yang me-
lompat sambil mendorong kedua tangannya.
Buk! Buk!
Keranjang itu terpental lebih ke atas se-
mentara Sekar Sengkuni melompat ke bawah. Ke-
dua kakinya agak goyah ketika hinggap di atas
tanah. Karena benturan yang cukup keras itu, si
nenek tak mampu mengendalikan keseimbangan-
nya. Dia ambruk di atas tanah.
Berjarak dua belas langkah dari tempat-
nya, keranjang itu jatuh di atas tanah. Terdengar
suara orang muntah di dalamnya.
"Orang mengenal kita sebagai sahabat, te-
tapi kita kerap selalu bertentangan!" desis Sekar
Sengkuni yang masih berlutut di atas tanah. Dita-
rik napasnya sedikit, ditahannya di dalam perut
seiring dikerahkan tenaga dalamnya.
Sementara si nenek berpakaian hijau yang
pada hidungnya terdapat sebuah anting ini peria-
han-lahan berdiri, orang dalam keranjang berse-
ru, "Kau betul! Kita memang selalu bertentangan!
Tetapi... hahaha... itulah salah satu keanehan ca-
ra bersahabat yang kita lakukan!"
Sekar Sengkuni tertawa pula. "Bagaimana
dengan usulku tadi? Kita sama-sama menghan-
curkan istana Gerbang Merahi"
"Kau rupanya masih mendendam pada Resi
Tala Kangkang! Hampir tiga puluh lima tahun su-
dah berlalu, tetapi dendammu tetap utuh pa-
danya!"
Paras Sekar Sengkuni mengelam. Ingatan-
nya tiba pada peristiwa tiga puluh lima tahun la-
lu, di mana dulu dia bersahabat erat dengan Tala
Kangkang yang belum mendapat julukan sebagai
seorang resi. Persahabatan yang terbina itu ter-
nyata membuahkan benih-benih cinta di hati Se-
kar Sengkuni. Sayang, dia harus memendam cin-
tanya dalam-dalam bahkan berbuah kepedihan.
Karena Tala Kangkang telah mencintai seorang
gadis dari seberang yang bernama Woro Lolo.
Ke mana pun mereka pergi, Woro Lolo sela-
lu berada di samping Tala Kangkang. Sekar Seng-
kuni harus menahan pedih dan kecewanya bila
mengintip Tala Kangkang dan Woro Lolo berme-
sraan. Sekali waktu dia berusaha untuk mening-
galkan Tala Kangkang, sekaligus mengubur cin-
tanya dalam-dalam. Namun hal itu tak kuasa di-
lakukannya, sehingga dibiarkan dirinya ter-
pendam dalam lubang kepedihan.
Kepedihan itu akhirnya menumbuhkan be-
nih cemburu pada Woro Lolo, benih dendam tak
terkira. Hingga pada suatu hari, di saat Tala
Kangkang sedang mencari makanan di sebuah
hutan, Sekar Sengkuni tak mampu menahan diri
lagi. Diputuskan untuk membunuh Woro Lolo
yang dianggapnya sebagai penghalang dari cinta-
nya. Dan telah diaturnya sebuah rencana. Bila
Woro Lolo tewas, akan dikatakannya kalau sepe-
ninggal Tala Kangkang dia dan Woro Lolo dis-
erang oleh gerombolan.
Woro Lolo sendiri bukanlah gadis yang tak
berilmu, walaupun dia harus menderita kekala-
han dari Sekar Sengkuni. Saat Sekar Sengkuni
hendak menurunkan tangan kematiannya. Tala
Kangkang muncul yang segera menghalanginya.
Perasaan kacau-balau berpadu di hati Se-
kar Sengkuni. Malu, gelisah, dendam, amarah
berpilin geram. Terutama ketika mendengar ben-
takan marah dari Tala Kangkang. Diserangnya
Tala Kangkang penuh kebencian tinggi seraya me-
lontarkan isi hatinya.
Tala Kangkang yang marah melihat gadis
yang dicintainya dilukai Sekar Sengkuni seolah
telah berubah menjadi seseorang yang mengang-
gap Sekar Sengkuni sebagai musuh. Pertarungan
keduanya terjadi, sementara Woro Lolo berteriak-
teriak agar pertarungan dihentikan.
Tetapi keduanya telah dibuncah amarah,
terutama Sekar Sengkuni yang malu luar biasa.
Pertarungan itu dimenangkan oleh Tala Kangkang
dan berhasil melukai Sekar Sengkuni yang kemu-
dian berlalu dengan sejuta kelaraan di hatinya,
"Buntet Kalamangsang! Sebelum kudengar
Tala Kangkang mampus, dendamku tak akan
pernah sirna! Berpuluh tahun kulacak jejaknya,
hingga kudengar tentang Istana Gerbang Merah di
mana Tala Kangkang telah membangun dan men-
duduki tempat itu!" seru si nenek dengan kedua
tangan mengepal. Sepasang rahangnya mengeras.
Kedua pipinya yang telah peot menggembung.
"Aku harus membunuhnya!!"
Orang dalam keranjang berseru, "Kita juga
sama-sama mendengar kalau kemudian Woro Lo-
lo yang bernama asli Mayang Kinanti telah kem-
bali ke asalnya di Pulau Andalas! Berarti, dia tak
pernah menikah dengan Tala Kangkang!"
"Peduli setan dengan semua itu!"
"Seharusnya yang kau bunuh adalah Woro Lolo!"
"Berulang kali aku berusaha untuk mem-
bunuhnya, tetapi berulang kali pula selalu diga-
galkan oleh Tala Kangkang! Orang dalam keran-
jang, tak perlu kita berbieara lebar akan semua
ini! Sebaiknya kita segera menuju ke Istana Ger-
bang Merah!"
"Tunggu! Aku ingin melihat upah yang kau
janjikan?!"
Sekar Sengkuni tertawa keras, tawa yang
sekaligus mengandung amarah pada Resi Tala
Kangkang.
"Sudah tentu aku tak akan bertindak bo-
doh, Buntet! Upahmu akan kuberikan bila kau te-
lah membunuh Tala Kangkang! Tetapi untuk
membuktikan kebenaran ueapanku...."
Memutus kata-katanya. Sekar Sengkuni
menghembuskan napas keras ke semak belukar
di sebelah kanannya. Hembusan napas yang dila-
kukan secara menyentak itu berubah menjadi
gemuruh angin dan....
Blaaarrr!!
Semak belukar itu tercabut paksa dan
memburai. Terlihat tumpukan emas batangan
yang berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan.
Keranjang itu tiba-tiba melesat ke sana.
"Kau tak akan bisa mengambilnya karena
emas-emas yang kujarah dari seorang juragan
kaya di sebuah desa, telah kulumuri racun! Bila
kau ingin mampus, kau dapat mengambilnya se-
karang!"
"Terkutuk!" seru orang dalam keranjang se-
raya melayang kembali ke tempat semula.
Sekar Sengkuni tertawa keras.
"Sebelum menuju ke Istana Gerbang Me-
rah, masih ada seorang lagi yang hendak kubu-
nuh!"
Orang dalam keranjang menyahut geram,
"Siapa?!"
"Raja Naga!"
Sesaat tak terdengar suara dari keranjang
itu. Setelah beberapa saat, Buntet Kalamangsang
berseru, "Ya! Bagus! Itu gagasan yang sangat ba-
gus! Pemuda dari Lembah Naga itu memiliki pen-
dengaran dan penciuman yang tajam! Dia seperti
tahu tindakan yang akan dilakukan oleh orang-
orang golongan kita!"
Sekar Sengkuni tersen 3 rum licik,
"Aku ingin membunuhnya bukan karena
dia kuanggap sebagai penghalang! Tetapi...."
"Mengapa kau memutus kata-katamu.
hah?!"
Sekar Sengkuni tak segera angkat bicara.
Setelah terdiam barulah dia berkata, "Apakah kau
tidak pernah mendengar kalau pemuda itu memi-
liki Gumpalan Daun Lontar yang sangat dahsyat?
Pemuda yang julukannya melesat naik setelah
berhasil membunuh Hantu Menara Berkabut itu,
akan kujadikan budakku bila Gumpalan Daun
Lontar telah kudapatkan!"
"Bagus!"
Sekar Sengkuni tak bersuara. Dia terse-
nyum dan berkata dalam hati, "Kau memang
dungu! Sangat dungu! Begitu mudah kukendali-
kan hanya dengan emas batangan yang sebenar-
nya hanyalah bayangan yang kupergunakan den-
gan ilmu 'Muslihat Mata Bayangan'. Sudah tentu
emas hasil jarahanku di sebuah desa tak akan
pernah kuberikan padamu...."
Keranjang di hadapannya bergetar sedikit,
menyusul terdengar suara, "Raja Naga adalah
pemuda keparat yang selalu mengacaukan sepak
terjang orang-orang seperti kita! Ya! Tanpa kau
inginkan pun aku telah berniat untuk membunuh
pemuda keparat itu! Karena biar bagaimanapun
juga... aku punya hubungan dengan Hantu Mena-
ra Berkabut!"
"Astaga naga!" seru Sekar Sengkuni sambil
tertawa. "Kau punya hubungan dengan Hantu
Menara Berkabut? Keranjang busuk itu telah
mengubahmu menjadi orang dungu! Apakah den-
gan bicara seperti itu kau menganggap orang-
orang akan jeri padamu?!"
"Setan terkutuk!" geram orang dalam ke-
ranjang. "Pemuda bersisik eoklat itu memang ha-
rus diperhitungkan pula! Karena seperti biasanya,
dia seperti mencium keonaran yang akan terjadi!"
Sekar Sengkuni berseru geram, "Kita tidak
sedang membuat keonaran! Membunuh Resi Tala
Kangkang sekaligus menghancurkan Istana Ger-
bang Merah, adalah sebuah kebajikan! Karena...
dia tentunya akan mencari korban perempuan-
perempuan lain!"
"Seperti dirimu?"
"Setan!!" maki si nenek geram. Parasnya
mengkelap. Tetapi kali ini dia tidak lontarkan se-
rangan. "Setelah Woro Lolo kembali ke Pulau An-
dalas, tentunya lelaki celaka itu akan mencari
korban baru!"
Orang dalam keranjang tertawa.
"Apakah karena itu kau hendak membu-
nuhnya atau itu cuma sebuah...."
"Tutup mulutmu! Apakah kau tak pernah
berpikir...."
"Aku tak mau memikirkan soal Resi Tala
Kangkang!" kali ini orang dalam keranjang yang
memutus seruan si nenek.
Sekar Sengkuni tertawa keras. Kepuasan
membayang di wajah keriputnya.
"Kau akan melihat apa yang akan kulaku-
kan terhadapnya!!"
Orang dalam keranjang itu membatin, "Pe-
rempuan keparat ini memang berotak licik! Dia
masih terbawa dendam karena ditolak oleh Resi
Tata Kangkang! Aku yakin, setelah berhasil mem-
bunuh Resi Tala Kangkang, dia tak akan segan-
segan menyeberang ke Pulau Andalas untuk
mencari Woro Lolo!" . '*
Sekar Sengkuni berkata seraya menghem-
buskan napasnya keras-keras, "Kita berangkat
sekarang!"
Belum habis terdengar ucapannya, si ne-
nek beranting di hidungnya sudah melesat ke
arah barat.
Orang dalam keranjang menggeram dalam
hati, "Kau boleh menghinaku sekarang! Tapi ke-
lak... kau akan mendapatkan balasan dari perbu-
atanmu itu!"
Keranjang itu bergerak cepat, tetapi terhen-
ti lagi. Bergerak sedikit ke arah semak di mana
emas batangan yang dilihatnya berada di sana.
Menyusul makiannya terdengar keras, "Se-
tan alas! Bila saja emas-emas batangan itu tidak !
dilumuri racun, sudah tentu kuambil sekarang
dan berlalu dari sini tanpa menjalankan apa yang
diinginkannya! Terkutuk!"
Sambil memaki-maki tak karuan, Buntet
Kalamangsang yang tidak ketahuan seperti apa
wujudnya sudah bergerak. Yang terlihat hanyalah
sebuah keranjang yang berlompat-lompat.
Lima kejapan mata dari perginya Buntet
Kalamangsang menyusul Sekar Sengkuni, emas-
emas batangan yang dilihatnya tadi tiba-tiba
menguap. Bersama angin yang berhembus, emas-
emas batangan itu lenyap sama sekali.
***
DUA
HAMPARAN pagi telah menaungi alam. Bu-
tiran embun belum sepenuhnya mengering kare-
na matahari masih menampakkan bias-biasnya
saja. Udara masih berhembus dingin, masih
membuat orang lebih suka mendekam di balik se-
limutnya atau lebih erat mendekap pasangan ti-
durnya.
Tetapi di desa itu keramaian telah terjadi.
Orang-orang berkumpul di depan sebuah rumah
besar yang berhalaman luas. Dari dalam rumah
itu terdengar isakan seorang perempuan yang
berlutut di hadapan satu sosok tubuh yang ditu-
tupi sehelai kain putih.
Orang-orang yang berkumpul di depan ru-
mah itu tidak bisa masuk karena dihadang dua
lelaki gagah dengan senjata tombak ramai berse-
ru-seru. Mereka nampaknya tidak puas untuk
melihat keadaan di dalam rumah.
"Maafkan Kami...," kata salah seorang yang
menjaga di depan pintu halaman. "Bukan kami
hendak melarang kalian masuk, tetapi di dalam
telah sesak dengan orang."
"Kami ingin melihat keadaan Juragan!" se-
ru salah seorang dari yang berkerumun.
"Ya! Kami ingin tahu siapa yang telah
membunuhnya?!"
Penjaga yang tadi berkata melirik teman-
nya, seperti meminta pendapat. Setelah melihat
temannya mengangguk dia berkata, "Semalam,
seseorang berpakaian hijau telah menyelinap ma-
suk ke rumah ini. Membunuh beberapa orang
penjaga. Juga membunuh Juragan Purna Setyo.
Juragan Putri selamat karena semalam dia tidur
di kamar Nimas Ken Fitria."
Kata-kata si penjaga mengobarkan amarah
di dada para penduduk yang berkerumun. Mereka
tak pernah menerima keadaan itu karena selama
ini Juragan Purna Setyo selalu memperhatikan
keadaan mereka. Saat itu pula orang yang tadi
buka mulut memerintahkan beberapa orang un-
tuk segera melaeak si pembunuh.
Di antara salah seorang yang berkerumun
ini, nampak satu sosok tubuh ramping berparas
jelita. Sejak tadi gadis berusia sekitar tujuh belas
tahun ini hanya terdiam, tetapi menguping apa
yang telah terjadi.
"Seseorang berpakaian hijau? Siapa dia?'
tanyanya dalam hati. Lalu menyeruak ke depan.
Di hadapan kedua penjaga itu si Jelita berambut
indah ini bertanya, "Apakah ada yang mengenali
si pembunuh?"
"Menurut Toha yang masih bisa disela-
matkan, pembunuh itu seorang perempuan tua
yang di hidungnya terdapat sebuah anting," sahut
si penjaga setelah memandangi gadis berpakaian
merah muda itu beberapa saat.
"Ketika terjadi kejadian itu, kalian berada
di mana?"
Pertanyaan si gadis membuat wajah kedua
penjaga itu memerah. Dengan kata lain, si gadis
seperti menyelidik keberadaan mereka. Penjaga
yang berdiri di sebelah kanan menyahut, "Kami
sedang berkeliling di luar sekitar rumah ini. Dan
ketika kami kembali, keadaan sudah kaeau-
balau. Juragan Purna Setyo telah tewas."
"Ke mana si pembunuh itu pergi?" tanya si
gadis seperti tidak puas.
Lagi kedua penjaga itu tak segera menja-
wab. Dalam keadaan seperti ini, mereka agak
jengkel karena didesak oleh pertanyaan-
pertanyaan si gadis.
Tindakan gadis berpakaian merah muda
itu tak luput dari sepasang mata yang berdiri di
antara kerumunan itu di sebelah kanan. Dan...
Astaga! Sepasang mata itu bersorot angker, men-
gerikan dan mampu membuat orang putus nyali.
Si pemilik mata angker yang mengenakan rompi
berwarna ungu ini membatin, "Dari pertanyaan
yang diajukan gadis itu, nampaknya dia meneuri-
gai sesuatu. Atau mungkin... dia mengenal si
pembunuh?"
Saat ini salah seorang penjaga sedang
menjawab pertanyaan si gadis, "Tak ada yang me-
lihat ke arah mana si pembunuh pergi. Setelah
menjarah emas batangan simpanan Juragan Pur-
na Setyo, dia lenyap begitu saja."
Si gadis tampaknya tidak puas dengan ja-
waban itu. Tetapi dia urung melontarkan perta-
nyaannya lagi, karena orang-orang yang berke-
rumun sudah mendesak masuk. Buru-buru si
gadis menyingkir termasuk kedua penjaga itu,
yang mau tak mau membiarkan para penduduk
yang ingin melihat keadaan Juragan Purna Setyo.
Gadis berpakaian merah muda itu segera
menyingkir, lalu berlari dengan gerakan yang
mengagumkan.
Pemuda bermata angker yang sejak tadi
memperhatikannya, segera menyusul ke mana
perginya si gadis. Dijaga jaraknya agar tidak sam-
pai memaneing perhatian si gadis.
Di sebuah tempat yang dipenuhi pepoho-
nan dan agak jauh dari desa itu, si gadis beram-
but indah menghentikan larinya. Tak ada napas
terengah yang terdengar. Dada busungnya tetap
bergerak, seirama napasnya yang tenang.
"Perempuan tua berpakaian hijau.... Me-
makai anting pada hidungnya.... Hemm... apakah
memang dia yang melakukannya?" desisnya pelan
seraya memperhatikan sekelilingnya.
Saat ini matahari mulai menampakkan ca-
hayanya, menerangi tempat itu. Untuk beberapa
lama si gadis terdiam seraya menarik-narik hi-
dung mancungnya.
"Guru memerintahkanku untuk melacak
jejak perempuan tua yang berciri seperti si pem-
bunuh. Guru tak pernah mengatakan padaku
mengapa dia menyuruhku melakukan tindakan
ini. Setelah aku mengetahui di mana dia berada,
Guru menyuruhku untuk kembali ke Istana Ger-
bang Merah. Ah... apakah...."
Seraya memutus desisannya, si gadis me-
malingkan kepalanya ke samping kanan. Menyu-
sul bentakannya yang menggema, "Rupanya ada
manusia iseng yang mencuri dengar seperti mal-
ing kesiangan!!"
Gelombang angin menggebrak setelah tan-
gan kanannya dikibaskan! .
Blaaarrr!
Sebuah pohon yang ditujunya terhantam
hingga bergetar. Dedaunannya kontan bergugu-
ran. Di lain saat pohon itu berderak dan patah di
bagian tengah. Jatuh berdebam menindih semak
belukar di belakangnya.
Secepat kilat si gadis memburu ke sana.
Tetapi tak ditemukannya siapa pun juga. Justru
satu suara terdengar di belakangnya,
"Ketelengasan yang kau lakukan dapat
mencelakakan orang lain! Apakah tak ada tinda-
kan yang lebih baik seperti yang kau lakukan ba-
rusan?!"
Seketika si gadis memutar tubuhnya. Dili-
hatnya satu sosok tubuh gagah berompi ungu
yang memperlihatkan dada bidang dipenuhi otot
telah berdiri berjarak dua belas langkah dari tem-
patnya. Kemarahan segera naik ke ubun-ubun si
gadis. Dia hampir saja melontarkan bentakan ke-
ras, tetapi urung dilakukannya.
"Astaga!" desisnya dengan mata melebar.
"Tatapannya... gila! Tatapannya sangat mengeri-
kan!" Tanpa disadarinya dadanya sedikit berde-
bar. "Dan tadi... aku sama sekali tak melihat ge-
rakannya menghindari seranganku. Hemm... ten-
' tunya pemuda ini bukan orang sembarangan. Aku
harus bersiap bila dia bermaksud buruk!"
Pemuda berkuncir kuda itu masih terse-
nyum. Lalu menggaruk kepalanya yang sedikit
gatal. Saat menggaruk itu terlihat sisik-sisik cok-
lat sebatas siku memenuhi tangan kanannya. Si-
sik yang sama pun terdapat di tangan kirinya.
"Tak ada maksudku untuk bersikap seperti
maling kesiangan!" katanya lembut. "Hanya rasa
penasaranlah yang membuatku bertindak seperti
ini!"
Gadis berpakaian merah muda itu tak bu-
ka suara. Masih dipandanginya wajah tampan di
hadapannya.
"Tatapannya benar-benar mengerikan. Dan
kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik cok-
lat. Hemm... siapa pemuda yang bersikap sopan
tetapi telah berlaku seperti maling kesiangan ini?"
gumamnya dalam hati.
Seraya mengangkat dagunya sedikit hingga
memperlihatkan leher jenjang yang indah, si gadis
berseru, "Aku tak suka mencari silang sengketa!
Sebelum keadaan ini berubah menuju ke sana,
sebaiknya tinggalkan tempat ini!"
Pemuda gagah itu masih tersenyum.
"Kukatakan tadi, karena rasa penasaran
itulah yang membuatku mengikutimu...."
"Mengikutiku? Brengsek! Tentunya dia te-
lah mengikutiku dari rumah mendiang Juragan
Purna Setyo! Hebat, mengapa aku baru tahu ke-
hadirannya di sini!" kata si gadis dalam hati. Ma-
sih mengangkat dagunya dan kali ini kedua tan-
gannya mengepal dia berseru,
"Aku bukanlah orang yang tepat untuk di-
jadikan sebagai tempat penumpahan rasa pena-
saran! Tetapi aku bukan pula orang yang suka
membiarkan orang lain penasaran! Apa yang me-
nyebabkanmu penasaran seperti itu?!"
"Pertanyaan-pertanyaan yang kau lontar-
kan pada kedua penjaga Juragan Purna Setyo!"
sahut si pemuda. "Dari pertanyaan-pertanyaan.
yang kau lontarkan, kau nampaknya mengetahui
sesuatu! Bahkan aku menduga, kau mengenal
siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!"
Si gadis tak menjawab. Matanya meman-
dang tak berkedip pada si pemuda, yang kemu-
dian dikerjap-kerjapkannya karena tak mampu
menatap lebih lama.
"Biar kau tidak penasaran kujawab kata-
katamu! Ya, dari ciri-eiri yang dikatakan kedua
penjaga itu, aku seperti mengenali siapa pembu-
nuh Juragan Purna Setyo!"
"Apakah kau keberatan untuk mengata-
kannya padaku?"
"Kau terlalu lancang, terlalu banyak ingin
tahu urusan orang!" '
"Karena masih ada rasa penasaran di hati-
ku!"
"Brengsek! Dia begitu tenang sekali," geram
si gadis dalam hati. Kemudian berkata, "Aku
mengatakan, seperti mengenali pembunuh itu, te-
tapi belum pasti benar apa yang kukatakan! Dia
seorang nenek yang bernama Sekar Sengkuni!"
"Bila kau menduga seperti itu, berarti kau
mengenal siapa Sekar Sengkuni!"
Si gadis menggeleng. Rambut indahnya
bergerak manja.
"Tidak! Jangankan mengenalnya, melihat-
nya pun tidak pernah!" sahutnya.
"Kalau begitu... kau tentunya sedeng men-
cari perempuan tua Itu, bukan?"
"Kau terlalu laneang bertanya!"
"Penasaranlah yang...."
"Kurang ajar!!" si gadis tiba-tiba mendorong
tangan kanan kirinya secara bersamaan, lalu me-
nyentak ke atas. Dua gelombang angin yang ke-
luar dari dorongan kedua tangannya menderu ke-
ras, lalu bertemu, berpilin menjadi satu dan tiba-
tiba menyentak ke atas!
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku itu hanya menjerengkan ma-
tanya. Lalu melirik ke atas. Dilihatnya gelombang
angin deras yang berpilin menjadi satu tiba-tiba
meluruk turun dengan suara berdenging-denging.
"Hebat!" desisnya dalam hati. Mendadak
dia mendehem cukup keras.
Blaaaammm!!
Luruhan angin deras itu tiba-tiba putus di
tengah jalan seperti tertabrak satu tenaga yang
tak nampak. Lalu menyebar dan membuat rang-
gasan semak hangus!
Sampai surut satu langkah si gadis melihat
apa yang dilakukan si pemuda.
"Gila! Hebat sekali! Sungguh hebat!" desis-
nya tanpa dapat menutupi kekagumannya. Tetapi
di lain saat dia sudah menggeram dengan wajah
mengkelap, "Pemuda bersisik! Jangan-jangan...
kau adalah orang Sekar Sengkuni!"
Si pemuda menggeleng.
"Tidak! Seperti dirimu, aku juga tidak per-
nah mengenal siapa Sekar Sengkuni! Tetapi sung-
guh, aku penasaran ingin mengenalnya! Dia ha-
rus mendapat hukuman atas perbuatan yang di-
lakukannya! Karena aku menduga, dia tak akan
sekali itu saja membunuh dan menjarah harta
orang!"
"Sombong!"
Si pemuda hanya tersen3rum. Yang dikata-
kannya tadi hanyalah ingin mengetahui akan si-
kap si gadis tentang perempuan tua bernama Se-
kar Sengkuni.
"Dari sikapnya, gadis ini nampaknya begitu
muak pada orang bernama Sekar Sengkuni. Aku
tidak tahu apa yang menyebabkannya demikian.
Tetapi tak mustahil dia akan mencari perempuan
tua itu, entah untuk apa," kata si pemuda dalam
hati.
Lalu berkata, "Namaku Boma Paksi...."
"Siapa sudi mengetahui namamu, hah?!"
seru si gadis.
"Berarti kau keberatan untuk menye-
butkan namamu, bukan?"
"Aku bukan hanya keberatan untuk mela-
kukannya, tetapi juga berjanji tak akan berjumpa
lagi denganmu!"
"Bagiku bukanlah sebuah masalah besar,
Sebelum kita berpisah, masih ada yang ingin ku-
tanyakan padamu!" kata Boma Paksi alias Raja
Naga sambil tersenyum.
Si gadis sudah menyambar, "Karena rasa
penasaranmu lagi?!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tertawa
mendengar kata-kata si gadis.
"Mungkin, mungkin karena rasa penasa-
ranku! Mengapa kau meneari si pembunuh itu?"
"Itu urusanku!"
"Betul, betul sekali! Itu memang urusan-
mu!"
"Tak ada lagi yang perlu ditanyakan!" seru
si gadis sambil berbalik dan melangkah bergegas.
Raja Naga tersenyum.
"O ya! Bagaimana bila aku berjumpa den-
gan pembunuh itu, lalu kukatakan kalau kau
menearinya?"
"Katakan padanya, kalau aku. Galuh Tantri
datang menearinya!!" seru si gadis yang tiba-tiba
berhenti melangkah. Kepalanya menegak. "Kepa-
rat! Dia menjebakku hingga kusebutkan nama-
ku!" geramnya.
Kejap itu pula dia berbalik dan siap mema-
ki. Tetapi pemuda bersorot mata angker itu sudah
tidak ada di tempatnya.
"Brengsek! Brengsek!!" geramnya sambil
menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah hingga
mengepul ke udara dan membentuk sebuah lu-
bang.
Kejengkelan masih membias di wajahnya
sampai kemudian dia tersen3mm sendiri.
"Ih! Ternyata pemuda itu cukup pintar! Dia
dapat mengorek keterangan tanpa kusadari!
Brengsek! Tetapi... wajahnya tampan sekali, wa-
laupun matanya bersorot angker. Biarpun berso-
rot angker, dia bukanlah orang golongan sesat.
Dan ilmunya sangat tinggi. Dia dapat mematah-
kan seranganku hanya dengan... ampun! Kenapa
aku jadi memikirkan dia?!"
Walaupun jengkel dengan apa yang dipi-
kirkannya, tetapi wajah dara jelita bernama Ga-
luh Tantri ini memerah.
"Brengsek! Aku tidak mau lagi bertemu
dengan pemuda bersisik coklat pada lengan ka-
nan kirinya!" desisnya lagi. Setelah terdiam bebe-
rapa saat, gadis ini segera meninggalkan tempat
itu, berlawanan arah dengan yang ditempuh Raja
Naga.
Tetapi herannya, wajah tampan dan sikap
konyol pemuda berompi ungu itu masih mem-
bayang di benaknya.
***
TIGA
PEREMPUAN setengah baya berpakaian
putih itu menghentikan langkahnya di sebuah da-
taran rendah. Tak jauh dari tempatnya berdiri se-
buah bukit karang. Di kejauhan sana, bayangan
beberapa ekor burung melayang bermandikan
matahari senja.
Perempuan ini menikmati keindahan itu
beberapa saat. Sisa-sisa keeantikannya masih
terbayang. Sepasang alisnya tebal dengan bulu
mata lentik dan sepasang mata bersorot teduh,
Sepasang payudaranya masih membusung ken-
cang. Sebuah tahi lalat kecil pada dagu kirinya
menambah bias-bias sisa kecantikannya.
"Tala Kangkang... di mana kau?" desisnya .
seraya menundukkan kepala. Kali ini terlihat wa-
jahnya dipenuhi kerinduan dalam. "Siang malam
tak pernah kulupakan dirimu. Siang malam sela-
lu kurindui dirimu. Ah, apakah kau masih memi-
liki perasaan yang sama seperti diriku?"
Pelan-pelan perempuan ini mengangkat
kepalanya. Mata indahnya dibaluri kerinduan
yang sangat.
"Berpuluh tahun aku kembali ke tanah ke-
lahiranku untuk melupakan segala yang pernah
terjadi. Tetapi aku tak pernah bisa melupakan-
nya...."
Perempuan yang ternyata Woro Lolo atau
yang bernama asli Mayang Kinanti ini menarik
napas pendek. Keputusan yang pernah diambil-
nya tiga puluh lima tahun lalu ternyata merupa-
kan keputusan yang menyiksa seluruh hidupnya.
Diputuskan untuk meninggalkan Tala
Kangkang, orang yang sangat dicintainya karena
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang. Kala itu Woro Lolo merasa sangat bersalah,
karena dengan mencintai dan mendapatkan cinta
Tala Kangkang, berarti dia telah mengorbankan
perasaan Sekar Sengkuni, terutama semenjak dia
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang.
Saat itu Woro Lolo merasa kalau dia telah
memusnahkan hubungan baik antara Sekar
Sengkuni dan Tala Kangkang, hingga diambilnya
sebuah keputusan yang menyesakkan dadanya.
Tala Kangkang berusaha menahannya, berusaha
menjelaskan keadaan. Selama ini Sekar Sengkuni
hanya dianggap sebagai sahabatnya belaka, tak
ada benih einta yang bersemayam dan tumbuh
menjadi besar.
Tetapi sebagai sesama wanita, Woro Lolo
dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Se-
kar Sengkuni. Bahkan dimakluminya ketika bebe-
rapa kali Sekar Sengkuni berusaha membunuh-
nya. Hal itulah yang membuatnya bersikeras un-
tuk kembali ke Pulau Andalas, menghentikan jiwa
petualang yang dimilikinya.
Dipikirnya setelah tiba di tanah kelahiran-
nya, dia dapat mengubur seluruh masa lalunya.
Tetapi ternyata tak semudah yang diperkirakan-
nya. Benih eintanya semakin tumbuh. Kerin-
duannya semakin mendesak. Dieoba melupakan-
nya dengan jalan memperdalam ilmunya dan
meneiptakan jurus-jurus baru. Tetapi kerinduan-
nya semakin bergelora.
Setelah bertahan tiga puluh tahun lebih
lamanya, Woro Lolo akhirnya memutuskan untuk
kembali ke tanah Jawa, untuk meneari Tala
Kangkang. Dia tidak tahu, apakah Tala Kangkang
memang akhirnya menikah dengan Sekar Seng-
kuni, atau justru dengan orang lain.
Perempuan berpakaian putih bersih ini
mendesah pendek, mengingat kalau dirinya be-
lum menikah hingga saat ini.
Senja terus menurun. Woro Lolo memu-
tuskan untuk meneruskan langkahnya seraya
mencari keterangan di manakah Tala Kangkang
tinggal.
Pagi harinya dia mampir di sebuah kedai
untuk mengisi perut. Tak jauh darinya tiga orang
lelaki sedang bercakap-cakap sambil memegang
beberapa helai baju.
"Orang-orang Istana Gerbang Merah me-
mang baik! Kalau tiga hari lalu dia memberi kita
makanan, kali ini pakaian!" sahut yang bertubuh
gemuk sambil mengunyah nasi kebuli di hada-
pannya. Porsinya lebih banyak dari dua orang te-
mannya. Baju baru yang dipegangnya diletakkan
di sisi kanannya.
"Betul! Tetapi hingga saat ini, kita belum
pernah melihat siapa orang yang memimpin Ista-
na Gerbang Merah kecuali mendengar namanya
saja!" sahut yang bertubuh kerempeng. Mulutnya
penuh dengan nasi dan sedikit berhamburan ke
arah si Gemuk.
Si Gemuk melotot yang disambut dengan
tawa oleh si Kerempeng.
Yang bertubuh sedang berkata, "Aku ingin
suatu hari kita mendatangi istana Gerbang Me-
rah. Aku ingin mengucapkan terima kasih lang-
sung pada Resi Tala Kangkang...."
Woro Lolo yang sebenarnya tak begitu ber-
nafsu untuk menikmati sarapan paginya, mene-
gakkan kepala ketika mendengar nama itu dis-
ebutkan.
"Resi Tala Kangkang? Apakah... dia orang
yang kurindukan?" tanyanya dalam hati. Tanpa
sadar dadanya berdebar dan ditajamkan telin-
ganya untuk mendengar percakapan itu lebih lan-
jut.
"Aku juga begitu," kata si Kerempeng.
Woro Lolo makin tak berselera untuk
menghabisi hidangannya. Setelah membayar dia
melangkah mendekati ketiga orang itu. Sudah
tentu kedatangannya mengejutkan mereka. Tetapi
pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang
ramah. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilon-
tarkan perempuan setengah baya itu mereka ja-
wab penuh kegembiraan.
Merasa keterangan yang didapatkannya
sudah cukup, Wore Lolo segera meninggalkan
orang-orang itu yang menatap kepergiannya den-
gan terkagum-kagum.
"Hebat! Ku taksir perempuan itu berusia
lebih dari setengah abad," kata si Gemuk. "Tapi
wajahnya... amboi! Masih cantik!"
"Hei, hei! Kalian perhatikan tidak dadanya
tadi?" kata yang bertubuh sedang.
Si Gemuk yang duduk di sampingnya lang-
sung mendorong kening temannya.
"Kebluk! Matamu selalu ke benda keramat
itu saja!" ejeknya. "Apa kau tidak puas dengan
dada besar istrimu yang bertubuh lebih gemuk
dariku?!"
Temannya mendengus.
"Seharusnya dia jadi istrimu! Dan istrimu
jadi istriku!"
Si Gemuk tertawa.
"Kalau aku dapat istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku itu sudah tidak aneh! Ma-
kanya kucari istri yang bertubuh langsing! Kalau
kau mendapatkan istri yang gemuk itu, ya sudah
rezekimu!"
Si Kerempeng tertawa geli dan berkata,
"Betul! Kau kan bisa menghisap bukit kembarnya
yang gede betul!"
Temannya mendengus lagi.
"Brengsek kalian, ah! Sudah, sudah! Ayo
makan! Kita harus segera pulang!"
"Hei! Kau tidak mau ke sawah lagi?!" tanya
si Kerempeng.
"Gara-gara dada perempuan itu, aku jadi
ingin membajak sawah istriku saja!"
Ketiganya tertawa bersamaan.
Sambil terus berlari ke arah barat, Woro
Lolo membatin, "Istana Gerbang Merah... Resi Ta-
la Kangkang... apakah memang dia, orang yang
kurindukan siang dan malam?"
Semakin dipikirkan, semakin bertambah
kerinduannya. Rasa tak sabarnya untuk menge-
tahui siapakah Resi Tala Kangkang yang dimak-
sud oleh tiga lelaki di kedai itu, membuatnya un-
tuk terus berlari. Sekejap pun tak ada niatan un-
tuk menghentikan larinya.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
dari ketiga orang tadi, dia harus menuju ke barat.
Di balik sebuah bukit kapur, di sanalah Istana
Gerbang Merah berada.
Tepat matahari berada di atas kepala, pe-
rempuan berpakaian serba putih ini menghenti-
kan larinya di sebuah jalan setapak. Bukan kare-
na merasa lelah, bukan pula karena memutuskan
untuk beristirahat. Tetapi, berjarak lima betas
langkah di hadapannya telah berdiri seorang ka-
kek bertubuh bongkok yang mengenakan pakaian
merah aeak-acakan.
Dari earanya berdiri yang tepat di tengah
jalan, dapat dipastikan kalau si kakek memang
sedang menantinya. Woro Lolo sendiri merasakan
hal itu. Kendati agak sedikit jengkel mengingat
dia harus tiba di Istana Gerbang Merah guna
memuaskan perasaan ingin tahunya, Woro Lolo
tersenyum seraya melangkah.
"Orang tua! Dari tempatmu berdiri nam-
paknya kau sedang menanti seseorang! Apakah
memang demikian adanya?" serunya setelah
memperpendek jarak.
Kakek berjenggot menjuntai itu mengang-
kat kepalanya. Mata eelongnya yang berkilat-kilat
merah memandang tak berkedip pada Woro Lolo.
Woro Lolo melihat kalau kedua mata itu sesaat
membelalak.
"Astaga naga!" desis si kakek sambil me-
nyeringai lebar. "Sejak dua hari lalu kutinggalkan
Lembah Serigala, baru sekarang kulihat ada pe-
rempuan sedemikian jelita!"
Memerah kedua telinga Woro Lolo. Tetapi
perempuan ini tetap tersen 3 rum.
"Saat ini aku sedang terburu-buru, hingga
sudilah kiranya kau memberi jalan padaku...," ka-
tanya.
"Jalan di samping kanan kiriku cukup le-
bar, kau dapat melewatinya. Atau... kau memang
ingin melangkah pada tempat di mana aku berdiri .
sekarang?" '
Woro Lolo paham arti ueapan itu, yang se-
cara tidak langsung mengejeknya
"Baiklah... aku mengambil jalan sebelah ki-
rimu...," katanya sambil melangkah. Kendati bi-
birnya tersen3rum, diam-diam perempuan dari Pu-
lau Andalas ini bersiaga ketika melewati jalan di
sebelah kiri si kakek bongkok.
Mendadak... tap!
Bahu kanannya dijamah dan dipegang erat
oleh si kakek!
Woro Lolo menindih kemarahannya. Ham-
pir saja dikibaskan tangan itu. Tetapi karena tak
mau membuka urusan, digerakkan bahunya se-
dikit. Jamahan tangan si kakek terlepas. !
Kontan kakek bongkok itu terbahak-bahak
keras. Debu di sekelilingnya berhamburan.
"Aku menyukai perempuan yang galak!
Dan itu artinya... kau tidak bisa kemana-mana,
sebelum bermain-main denganku!"
Habis ueapannya, tiba-tiba saja si kakek
melesat ke depan. Gerakannya sangat sukar di-
ikuti oleh mata. Hanya karena desiran angin yang
mengarah padanya saja Woro Lolo segera berkelit.
Dan menggerakkan tangannya untuk menahan
tangan kanan si kakek yang mengarah pada se-
pasang bukit kembarnya
Plak! Plak!
Woro Lolo surut dua tindak dengan mata
mulai dibiasi amarah, sementara di pihak lain si
kakek berpakaian merah eompang eamping mem-
buang tubuh ke belakang dan hinggap di atas ta-
nah dengan ringannya
Tawa kerasnya masih terdengar
"Menyenangkan, sangat menyenangkan!
Sebelum kita teruskan main-main ini, aku hen-
dak bertanya padamu!"
Woro Lolo yang mulai dihinggapi rasa ma-
rah karena mendapati sikap kurang ajar si kakek
mendesis dingin, "Aku sendiri baru tiba di tanah
Jawa, dan belum mengetahui apa-apa! Tidak te-
pat kiranya bila kau hendak menjadikanku seba-
gai tempat bertanya!"
"Tidak tepat sebagai tempat bertanya, bu-
kan urusan penting! Karena yang pasti, kau ada-
lah tempat yang tepat sebagai pemuas nafsuku!!"
Hampir saja Woro Lolo melesat untuk me-
nampar mulut kurang ajar itu. Tetapi masih di-
tindih amarahnya
"Aku tak punya banyak waktu! Mungkin
kelak, akan kulayani keinginanmu untuk ber-
main-main!" serunya sambil berlari kembali.
Tetapi gemuruh angin yang keluarkan sua-
ra berdenging-denging itu membuatnya menghen-
tikan larinya seraya membuang tubuh ke samping
kiri.
Blaaaammm!!
Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar
ke udara. Begitu tanah itu luruh, terlihat sebuah
lubang yang mengeluarkan asap berbau busuk,
"Kau terlalu memaksa!" geram Woro Lolo
dengan mata menyipit.
Si kakek hanya terbahak-bahak saja.
"Aku ingin kita bermain-main sekarang!
Kau akan berterima kasih bila sudah merasakan
betapa hebatnya aku dalam bereinta!" serunya
semakin membuat kegeraman Woro Lolo memun-
cak. "Dan biasanya... setelah puas bercinta, aku
suka membunuh lawan mainku! Jadi... jawab
pertanyaanku sekarang!"
"Keparat! Belum apa-apa aku sudah ber-
temu dengan manusia seperti ini!" geram Woro
Lolo dalam hati. "Sebaiknya biar kudengar dulu
apa pertanyaannya, barangkali saja ternyata me-
mang penting untukku."
Di seberang si kakek sudah angkat bicara,
"Tahukah kau di mana Istana Gerbang Merah be-
rada?!"
Kepala Woro Lolo sedikit terangkat. Ma-
tanya memicing. Lalu menyahut, "Baru kudengar
nama Istana Gerbang Merah!"
"Sayang, sayang sekali...," si kakek meng-
geleng-geleng.
"Mengapa kau menanyakan tentang Istana
Gerbang Merah?!"
"Percuma kukatakan padamu karena kau
sendiri tidak tahu! Sebaiknya, kita langsung ber-
main cinta saja! Ayo, buka pakaianmu!!"
"Terkutuk!!" mengkelap wajah Woro Lolo.
Kedua tangannya mengepal kuat pertanda dia se-
dang berusaha menahan kemarahannya. ;
Si kakek kali ini terkekeh.
"Ya, ya! Seperti juga kebiasaanku yang lain,
aku selalu membuat orang tidak penasaran!" ka-
tanya tiba-tiba. "Aku ingin menghancurkan Istana
Gerbang Merah!"
"Mengapa?" seru Woro Lolo.
"Huh! Manusia keparat yang memiliki Ista-
na Gerbang Merah telah menorehkan sebuah luka
pada diri seorang perempuan tiga puluh lima ta-
hun yang lalu! Dan karena manusia itu pula pe-
rempuan yang kucintai akhirnya lenyap tanpa
bekas!"
"Urusanmu adalah sesuatu yang berat!
Kau hendak melampiaskan dendammu dengan
cara yang salah! Apakah...."
"Tutup mulutmu!" hardik si kakek bong-
kok. "Kau tidak tahu betapa sakit hatiku ketika
mendengar kata-kata perempuan yang kucintai!
Kalau aku tidak pantas dicintainya, karena aku
tidak seperti lelaki yang dicintanya! Dan kau ta-
hu... apa yang dikatakannya agar dia bisa men-
cintaiku? Aku harus membunuh lelaki keparat '
itu!"
"Kau semakin banyak membuang waktu-
ku!"
Si kakek menggeram sengit. "Aku telah
bersumpah demi langit dan bumi! Tala Kangkang
harus mampus kubunuh! Biar Sekar Sengkuni
utuh menjadi milikku!!"
Sampai mundur tiga tindak Woro Lolo
mendengar ucapan si kakek. Kepalanya menegak
dengan mulut membuka yang memperlihatkan lo-
rong indah di dalamnya |
"Astaga!" ucapnya dalam hati dengan dada
berdebar. "Jadi... Istana Gerbang Merah... Resi
Tala Kangkang... memang dia... memang dia
orang yang kueintai! Kakek eelaka ini telah men-
jelaskan semuanya, Sekar Sengkuni...."
Di seberang si kakek menggeram seraya
menyipitkan matanya, "Perempuan eantik! Kau
seperti terkejut! Aku yakin kau mengetahui sesu-
atu?!"
Woro Lolo tak menjawab.
"Aku mengerti sekarang... sangat menger-
ti... Berarti, niat kakek ini harus kuhalangi..."
Habis membatin begitu perempuan bertahi
lalat di dagu ini berkata, "Sejak anak manusia di-
ciptakan, urusan einta tak pernah berkesudahan!
Urusan cinta berbaur dendam! Kakek bongkok!
Aku tak ingin melibatkan diri dalam urusanmu!
Tetapi niat busukmu untuk membunuh seseorang
bernama Tata Kangkang jelas-jelas harus dice-
gah!"
Kakek bongkok itu mengerutkan kening-
nya. Sorot matanya penuh keeurigaan. Beberapa
saat kemudian, terdengar desisannya, dingin, "Pe-
rempuan eantik! Kau menyembun3dkan sesuatu
dariku, sesuatu yang tidak kuketahui dan kau ke-
tahui! Katakan sebelum ku ubah niatku untuk ti-
dak langsung membunuhmu!"
"Berbicaralah selagi kau, masih bisa berbi-
cara seenak perutmu. Kakek eelaka!!" seru Woro
Lolo dengan kaki sedikit dibuka.
"Perempuan keparat! Meneoba memusliha-
tiku adalah sebuah kebodohan! Keterkejutanmu
kala ku sebutkan nama Tala Kangkang maupun
Sekar Sengkuni membuktikan kalau kau menge-
tahui sesuatu! Atau... jangan-jangan... kaulah
Woro Lolo alias Mayang Kinanti, perempuan cela-
ka yang telah menghancurkan hidup perempuan
yang kucintai?!"
"Tebaklah sesuka hatimu! Kelak kita ber-
temu lagi!"
"Jangan harap kau bisa lari dari tangan-
ku!!" seru si kakek bongkok sambil mendorong
tangan kanannya, disusul dengan dorongan tan-
gan kiri!
***
EMPAT
WORO LOLO yang sudah melangkah harus
membuang tubuh ke samping tatkala gelombang
angin beruntun menggebrak ke arahnya. Baru sa-
ja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dia telah
melenting ke depan seraya mendorong kedua tan-
gannya.
"Kau terlalu memaksa!!"
Wussss! ,
Wusss!
Blaaam! Blaaamm!
Gelombang angin yang terlontar dari kedua
tangannya putus di tengah jalan terhantam satu
tenaga deras. Tubuh Woro Lolo terhu3aing ke be-
lakang, keseimbangannya hilang sesaat.
"Astaga! Tenaga dalamnya luar biasa! Aku
bisa celaka!" serunya dalam hati,
Di seberang kakek bongkok itu sudah
menderu kembali. Jari jemarinya membentuk ca-
kar. Dan dia menggereng keras laksana serigala
murka. .
Woro Lolo berhasil menghindari sambaran
cakaran yang mengarah pada bagian-bagian tu-
buhnya. Bahkan dia berhasil memukul dada si
kakek hingga terjajar ke belakang.
Kejadian itu membuat si kakek menggereng
setinggi langit. Parasnya berubah mengerikan.
Gerengan laksana seekor serigala terdengar keras
disusul dengan satu lompatan seperti menerkam.
Kedua tangannya membuka, dengan jari jemari
melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua
tangannya.
Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-
rasnya. Woro Lolo yang baru saja mengembalikan
keseimbangannya, surut tiga tindak karena mera-
sakan satu dorongan tenaga menerpa dadanya. Di
lain kejap, perempuan setengah baya jelita ini me-
lompat ke samping kiri.
Karena segumpal cahaya merah melesat
dan tiba-tiba meletup pecah. Muncratannya me-
luncur ke arah Woro Lolo dengan suara mendeng-
ing-denging.
Woro Lolo mengertakkan rahangnya seraya i
palangkan kedua tangannya di depan dada. Terli-
hat cahaya putih merebak di hadapannya, lalu...
Wuuussss!!
Cahaya putih yang mengandung hawa din-
gin itu melesat ke depan, membentur keras mun-
cratan sinar merah yang berdenging-denging. Le-
tupan beberapa kali terdengar seiring berhambu-
rannya sinar merah dan cahaya putih hingga
tempat itu terang sesaat. Beberapa buah pohon
besar yang tumbuh di sana bergetar karena kuat- .
nya letupan itu, men3rusul bertumbangan hingga
menambah gemuruh di sekitar sana.
Tanah yang menghambur ke udara belum
luruh, gumpalan sinar merah telah mencelat
kembali. Kali ini dua buah dan seperti yang per-
tama tadi, meletup pecah, lalu bermuncratan
dengan suara berdenging-denging.
Woro Lolo mengulangi tindakannya yang
pertama. Kembali letupan dahsyat terjadi. Di an-
tara letupan itu terdengar seruan tertahan Woro
Lolo, "Aaaakhhhh!!"
Tubuhnya terdorong ke belakang. Tangan
kirinya melepuh karena salah satu muncratan si-
nar merah itu menerpa tangannya. Cepat ditekap
bagian yang melepuh itu dengan tangan kanan-
nya. Dialirkan hawa dingin, walau perih tak terki-
ra, tetap dipaksakannya. Asap menggebrus dan
ketika diangkat tangan kanannya, luka itu tidak
terlalu sakit meskipun meninggalkan bekas.
Diangkat kepalanya penuh amarah, dita-
tapnya kakek bongkok berpakaian merah com-
pang-camping yang berdiri di tempatnya sambil
menyeringai.
"Aneh! Mengapa dia tidak melanjutkan se-
rangannya?" Woro Lolo bertanya dalam hati den-
gan sikap waspada. "Ada sesuatu yang aneh....
Bibirnya menyeringai, penuh ejekan. Apakah
dia.... Heiiill"
Wajah Woro Lolo menegang. Tubuhnya
bergetar.
"Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya yang
mendadak limbung. Bersikeras perempuan berta-
hi lalat di dagu ini untuk menjaga keseimbangan-
nya. Tetapi hawa panas telah mendera sekujur
tubuhnya, masuk dalam aliran darahnya. Dia
berteriak keras, "Kakek keparat! Apa yang kau la-
kukan?!"
Kakek bongkok itu terkekeh penuh ejekan.
"Mengapa kau bertanya padaku? Memang-
nya apa yang telah kulakukan?" ejeknya.
"Hemm... perempuan manis... apakah kau tidak
merasa kepanasan? Ayo, buka saja pakaianmu...
biarkan angin dingin menerpanya..."
"Gila! Mengapa jadi begini?" seru Woro Lolo
dalam hati. Ketegangannya semakin kentara. Ha-
wa panas terus genear menyelimuti dirinya.
"Hehehe... ayo, buka pakaianmu bila kau
tidak ingin kepanasan...."
"Terkutuk!!" maki Woro Lolo dan menerjang
ke depan. Tetapi tiba-tiba saja dia ambruk berlu-
tut. Getaran tubuhnya semakin kuat. Hawa panas
dalam tubuhnya tak terkira lagi. "Celaka! Ten-
tunya ini berasal dari tanganku yang terkena
muneratan sinar merah yang dilontarkannya. Ke-
parat! Rupanya serangan itu mengandung...
aaakh...."
"Mengapa kau tak segera buka pakaian-
mu?" seru si Kakek bongkok sambil terkekeh.
mu 'Serigala Murka' mengandung satu keajaiban
yang kini kau rasakan!!" '
Sekujur tubuh Woro Lolo semakin bergetar.
Keringat sebesar biji jagung sudah bermuneulan
membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya meme-
rah. Sesuatu yang ganjil merasuk ke tubuhnya.
"Celaka! Serangan yang dilontarkannya
mengandung hawa birahi!" geramnya seraya
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan ge-
jolak yang merambah di dadanya. Tiba-tiba kedua
tangannya terangkat ke atas, bergetar kuat dan
dia berusaha menahan sepenuh hati. Tetapi ke-
dua tangannya telah hinggap pada pakaiannya.
"Ayo, buka! Buka! Aku, Demit Serigala, su-
dah tidak sabar untuk melihat apa yang ada di
hadapanku! Ayo, buka! Kita nikmati keindahan
ini dulu sebelum kau mampus ku cabik-cabik!"
Terlihat bagaimana Woro Lolo berusaha
untuk menahan gelora dalam dadanya, menahan
sesuatu yang tak diinginkannya. Tetapi dia justru
menggeliat-geliat disertai desahan erotis. Peria-
han-lahan dia bangkit dengan gerakan-gerakan
yang merangsang. Hawa birahi yang masuk ke
tubuhnya telah sepenuhnya menguasai dirinya.
Si kakek yang ternyata berjuluk Demit Se-
rigala terkekeh-kekeh dengan mata nanar.
Dalam keadaan diamuk gelora birahi tak
wajar, Woro Lolo memegang kedua payudaranya
sendiri, meremas-remasnya dalam desahan gairah
tinggi. Bahkan tanpa sadar dia mulai membuka
pakaiannya. Selapis pakaian putih yang menera-
wang terpampang di depan mata Demit Serigala,
"Luar biasa! Sudah kuduga kau memiliki
bukit kembar yang indah!" serunya sambil mene-
lan ludah berkali-kali. "Ayo, buka pakaian da-
lammu itu! Buka pula pakaian bagian bawah!"
Perempuan setengah baya itu masih me-
remas-remas sepasang bukit montoknya yang
membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis.
Pinggulnya bergerak-gerak penuh gairah. Mulut-
nya mendesis-desis dengan wajah merona. Tu-
buhnya tiba-tiba jatuh di atas tanah terus meng-
geliat-geliat penuh gairah.
Demit Serigala tak bisa lagi menahan gejo-
lak nafsu di dadanya. Dengan menyeringai lebar
dan menelan ludah berkali-kali dia mendekati
Woro Lolo yang kini kedua tangannya menggapai- ”
gapai
"Hehehe... kau memang berilmu tinggi, te-
tapi tak akan mampu menandingiku..."
Lalu dengan penuh nafsu ditubruknya tu-
buh Woro Lolo yang sedang diamuk birahi tidak
wajar. Perempuan itu menggeliat-geliat seraya
mendesis-desis ketika tangan kanan kiri Demit
Serigala merambah payudaranya, meremas-
remasnya. Bahkan tak disadarinya tangan kanan
Demit Serigala menyelinap ke balik pakaian ba-
gian bawahnya.
Penuh nafsu dieiuminya leher jenjang yang
putih itu. Bibir yang meranum basah dan sepa-
sang matanya yang terpejam membuka diamuk
gelora.
"Kuhabisi kau sampai tandas!" seru Demit
Serigala seraya membuka pakaiannya. Dia harus
menahan diri sekaligus menahan kedua tangan
Woro Lolo yang memaksanya untuk memeluk tu-
buhnya. "Sabar... sabar...."
Penuh nafsu kembali dicumbunya Woro
Lolo. Tangan kanannya pun siap membuka pa-
I kaian tipis yang masih dikenakan Woro Lolo, se-
mentara tangan kirinya siap menarik lepas pa-
kaian bagian bawah perempuan
Tetapi satu suara dingin telah terdengar,
"Orang tua terkutuk! Sungguh memalukan apa
yang telah kau lakukan?!"
Serentak kakek berjenggot menjuntai itu
menoleh ke belakang. Satu sosok tubuh berompi
ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Menatap tajam dengan sorot mata
angker mengerikan.
"Terkutuk!!" geram Demit Serigala sambil
menyentak lepas tangan Woro Lolo yang masih
menggeliat diamuk birahi. Dibiarkan desisan-
desisan mengundang dan gapaian tangan Woro
Lolo. Penuh kemarahan dipandanginya pemuda
berompi ungu yang tadi membentaknya. Sesaat
Demit Serigala tersentak tatkala melihat tatapan
mengerikan yang terpanear dari sepasang mata si
pemuda. Tetapi di lain saat dia sudah memben-
tak, "Pemuda berkuneir! Menyingkir dari sini se-
belum kulumat haneur tubuhmu!"
Pemuda tampan bersisik itu tak bergeming
di tempatnya. Matanya memancarkan kebencian
dalam.
"Keparat!" geram Demit Serigala. Saat itu-
lah dilihatnya lengan kanan kiri si pemuda seba-
tas siku dipenuhi sisik coklat. "Pemuda bersisik!
Aku tak pernah memerintahkan orang lebih dari
dua kali!" .
Belum habis bentakannya, kakek yang te-
lah bertelanjang dada hingga memperlihatkan tu-
lang belulang di tubuhnya sudah melesat ke de-
pan. Tangan kanan kirinya membentuk cakar.
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-
ja Naga adanya menjerengkan sepasang matanya.
Lalu mendehem keras.
Wuuuttt!!
Satu tenaga tak nampak menderu keras ke
arah Demit Serigala. Sesaat kakek bongkok itu
tersentak. Tetapi diiringi gerengan semakin keras,
diterobosnya tenaga tak nampak itu.
Plaass!!
Raja Naga terkejut. ,
"Gila!"
Segera digerakkan tangan kanan kirinya.
Plak! Plak!!
Benturan yang terjadi itu membuat mas-
ing-masing surut tiga tindak ke belakang.
"Gila! Tangannya keras sekali!" geram De-
mit Serigala separuh terkejut. "Siapa pemuda ke-
parat ini?"
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Luar
biasa! Dia mampu menerobos tenaga yang keluar
dari dehemanku. Bahkan dia juga biasa saja ter-
kena benturan tadi. Padahal aku sudah mengelu-
arkan setengah dari kekuatan tangan kanan kiri-
ku yang bersisik ini."
Sementara itu Demit Serigala sudah mele-
sat kembali ke depan. Gerengan serigala murka
menggebah keras. Tangan kanan kirinya yang
membentuk cakar dikibaskan, gelombang angin
mendahului serangannya.
Raja Naga tak berkedip memandang ke de-
pan. Sorot matanya bertambah angker. Tiba-tiba
saja dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Saat
itu pula tanah berderak, menyusul laksana ge-
lombang di lautan menderu ke arah Demit Seriga-
la dengan suara berderak berulang-ulang.
"Gila!!" maki Demit Serigala seraya mem-
buang tubuh ke samping.
Blaaar! Blaaar! Blaaarrr!!
Letupan yang memuncratkan tanah ke
udara. Itu terdengar tiga kali berturut-turut. Be-
lum lagi luruh muncratan tanah itu. Demit Seri-
gala sudah menerobos. Membuka kedua tangan-
nya lalu menepukkannya hingga terdengar suara
yang sangat keras.
Raja Naga tersentak tatkala merasakan da-
danya seperti terhantam sesuatu yang keras. Ke-
palanya sendiri menegak dengan mata melebar
tatkala melihat dua buah gumpalan sinar merah
menderu ke arahnya. Belum lagi dia bertindak,
gumpalan-gumpalan sinar merah itu meletup, la-
lu bermuncratan ke arahnya dengan suara ber-
denging-denging.
Raja Naga segera menepukkan tangan ki-
rinya dengan tangan kanannya. Men3aisul satu
tenaga yang melesat, didorong kedua tangannya
untuk lepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan'. Gelombang angin yang disemburati asap
merah menggebrak ke depan.
Blaaam! Blaaammm!!
Seketika tempat itu bergetar dahsyat, rang-
gasan semak tereabut, pepohonan bertumbangan
dan tanah berhamburan ke udara. Beberapa
muneratan sinar merah yang tak terhalangi
menghanguskan semak belukar.
Raja Naga yang segera melompat ke samp-
ing kanan begitu benturan terjadi, terhu3rung
dengan kaki kiri sedikit terangkat. Diusahakan
untuk mengembalikan keseimbangannya.
Berjarak delapan langkah. Demit Serigala
telah tegak di tempatnya. Sorot matanya tajam
berapi-api. Sementara itu, tubuh Woro Lolo me-
lonjak-lonjak akibat tempat yang bergetar. Masih
terpengaruh ilmu aneh dari Demit Serigala, pe-
rempuan itu terus menggeliat-geliat hebat seraya
meremas-remas pa3aidaranya sendiri.
"Pemuda celaka! Siapa kau adanya?!" ge-
ram Demit Serigala keras.
Raja Naga menggeram.
"Manusia busuk seperti kau tak pantas un-
tuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" serunya
yang dalam sekali lihat saja tadi, tabu kalau pe-
rempuan setengah baya itu berada dalam penga-
ruh yang tidak wajar.
"Setan bersisik! Kau telah mengundang
kemarahan di dalam dadaku!!"
Demit Serigala menerjang lebih mengeri-
kan. Raja Naga sendiri sudah melesat ke depan.
Berulang kali tangan dan kaki mereka berbentu-
ran. Berulang kali tanah bergetar dan letupan
terdengar dahsyat.
Hingga kemudian masing-masing orang
mundur beberapa langkah, lalu menderu dengan
kedua telapak tangan mendorong.
"Heaaaa!!"
"Mampuslah kau, Pemuda celaka!!"
Gelombang angin yang menderu berham-
buran. Lalu....
Tap! Tap!
Telapak tangan masing-masing orang ber-
temu satu sama lain. Satu sama lain berusaha
untuk saling menjatuhkan. Demit Serigala meng-
gereng keras, seraya menekan. Raja Naga terseret
dua tindak, lalu menambah tenaga dalamnya.
Bertemunya telapak tangan masing-masing
orang mengakibatkan tanah di sekitarnya ber-
hamburan ke udara. Sementara itu lambat-
lambat terlihat asap hitam keluar dari telapak
tangan yang bertemu. Getaran tubuh keduanya
semakin menguat.
Tiba-tiba Demit Serigala menarik mundur
tubuhnya seraya melepaskan telapak tangannya.
Mau tak mau Raja Naga terjerunuk ke depan. Ma-
sih beruntung dia mampu menghindari sambaran
eakar tangan kanan Demit Serigala. Bahkan....
Des!!
Sambil meliukkan tubuhnya pemuda dari
Lembah Naga itu berhasil menyarangkan jotosan-
nya hingga si kakek terhu3rung ke belakang, yang
segera menerjang kembali disertai gerengan kuat!
"Gila! Ilmu kakek ini sungguh mengerikan!
Aku harus... astaga! Perempuan itu telah mero-
bek-robek pakaian dalamnya!"
Dengan wajah tegang Raja Naga menghin-
dari serangan ganas Demit Serigala. Dalam satu
kesempatan, kaki kanannya menjejak tanah, me-
lepaskan jurus 'Barisan Naga Penghaneur Ka-
rang'. Tanah bergelombang menggebrak disertai
letupan-letupan mengerikan.
Demit Serigala menggeram seraya mem-
buang tubuh ke samping. Masih sempat dilihat-
nya bayangan ungu melesat ke samping kiri, me-
nyambar pakaian putih yang tergeletak dan me-
nyambar tubuh perempuan yang masih mengge-
liat-geliat karena pengaruh ilmu aneh miliknya.
Blaaammmmll
Serangan yang dilanearkan Demit Serigala
untuk menghalangi berlalunya Raja Naga meng-
hantam sebuah pohon yang seketika haneur be-
terbangan.
"Terkutuk!!" geramnya sengit dengan napas
terengah-engah. "Akan kuingat wujudmu, Pemu-
da bersisik! Akan kuingat!!"
Dengan gusar dijejakkan kaki kanannya di
atas tanah. Pakaian merah eompang-eampingnya
yang tergeletak di atas tanah meneelat ke arahnya
dan... tap, tap! Dengan gerakan eepat tangan ka-
nan kirinya digerakkan, lalu berputar dua kali.
Tatkala tegak kembali, pakaian itu sudah me-
nempel di tubuhnya.
"Huh! Bila tak ingat aku harus membunuh
Resi Tala Kangkang, sudah kukejar pemuda cela-
ka itu!!" geramnya sengit. Di kejap lain dia sudah
berlari ke arah barat.
***
LIMA
NENEK keparat! Sebenarnya kau tahu atau
tidak di mana Istana Gerbang Merah berada?!"
makian itu terdengar dari balik sebuah pohon,
bersamaan terlihat sebuah keranjang melompa-
tinya. Menyusul keranjang kemudian hinggap di
tanah sedikit bergerak-gerak, satu sosok tubuh
berpakaian hijau yang hinggap tak jauh dari ke-
ranjang itu. .
"Manusia busuk! Jangan banyak mulut!
Kau tinggal mengikuti apa yang kuhendaki!" maki
si perempuan keras. Mata eelongnya dingin mena-
tap keranjang di hadapannya.
Dari keranjang itu terdengar dengusan.
"Demi tumpukan emas kuikuti apa yang
kau hendaki! Tetapi, untuk berputar-putar tak
karuan tanpa langsung pada sasaran sungguh
bukan yang kuharapkan!"
"Setan! Jangan banyak mulut kataku!" ma-
ki si perempuan yang bukan lain Sekar Sengkuni.
"Aku hanya tahu kalau istana Gerbang Merah be-
rada di barat!"
Orang di dalam keranjang yang belum per-
nah dilihat wujudnya oleh Sekar Sengkuni men-
dengus.
"Benar-benar bodoh! Apakah kau...."
Kata-katanya terputus karena mendadak
saja muneul sepuluh orang lelaki bersenjata pa-
rang. Mereka memandang tak berkedip pada Se-
kar Sengkuni yang mengerutkan kening.
Mereka berbicara berbisik, "Sejak dua hari
lalu kita memburu pembunuh Juragan Purna
Setyo, baru sekarang kita melihat ciri-ciri si pem-
bunuh."
"Ya! Mungkin memang dia yang telah
membunuh Juragan Purna Setyo!"
"Kalau begitu... tangkap saja!"
"Tunggu! Kita tak bisa menangkapnya begi-
tu saja, karena bisa jadi kita salah orang!"
Sepuluh lelaki bersenjata parang yang ter-
nyata adalah para penduduk yang sedang menca-
ri pembunuh Juragan Purna Setyo, memandang
Sekar Sengkuni dengan seksama. Mereka sama
sekali tak mengetahui kalau keranjang yang ter-
buat dari anyaman bambu lapis itu berisi seseo-
rang yang mempunyai ilmu tinggi.
Salah seorang yang bertubuh gagah berse-
ru, "Perempuan berpakaian hijau! Bukan kami
lancang untuk bersikap, bukan kami tak punya
adab kesopanan! Tetapi, kami tak punya banyak
waktu! Apakah dua hari lalu kau singgah di se-
buah desa yang bernama desa Karang Permata?!"
Sekar Sengkuni yang telah mendengar apa
yang mereka percakapkan tadi, menyeringai le-
bar.
"Ya! Aku pernah singgah di Karang Permata!"
Orang-orang berpandangan.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya
orang yang berseru tadi berhati-hati.
Sekar Sengkuni tak menjawab. Mata ce-
longnya memandang orang-orang itu bergantian.
Seraya melangkah dia berkata, "Aku datang un-
tuk menjarah harta seorang kaya yang bernama
Purna Setyo! Dan aku telah membunuhnya!"
Menegak kepala masing-masing orang
mendengar pengakuan itu. Serentak lima orang
menerjang ke depan dengan parang terhunus. Te-
tapi serangan itu hanya sia-sia belaka. Bahkan
sambil terkikik Sekar Sengkuni mengirim mereka
ke akhirat!
"Membosankan!" dengusnya. Lalu me-
layang ke depan. Gerakannya begitu ringan. Dua
orang tewas dengan kepala peeah karena terhan-
tam tendangannya.
Tindakannya yang telengas itu tak menyu-
rutkan keberanian tiga orang lainnya yang masih
hidup. Bahkan dengan gigih mereka berusaha
membacokkan parang-parang di tangan.
Satu orang terbanting dan jatuh di samp-
ing keranjang yang tak bergerak. Dia tersentak
melihat keranjang di sampingnya bergerak-gerak.
Belum disadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....
Prak!
Keranjang itu telah menghantam wajahnya
hingga remuk dan tewas seketika. Sudah tentu
kejadian itu mengejutkan dua orang lainnya yang
masih tersisa. Yang seorang nekat menyerbu Se-
kar Sengkuni. Tendangan yang mematahkan tu-
langnya memutus nyawanya. Sementara yang
seorang lagi sudah bergulingan dengan parang
dikibaskan.
"Bikin tanganku kotor saja!!" geram Sekar
Sengkuni sambil menghindar. Dan....
Prak!
"Aaaaakkhhhh!!"
Orang itu terbanting dengan tulang paha
patah. Sekar Sengkuni melambung ke atas, melu-
ruk dengan kedua kaki mengarah pada dada
orang itu!
Tetapi... wuuuttt!!!
Satu bayangan merah muda telah me-
nyambar tubuh si lelaki dengan gerakan yang
sangat cepat.
Brrollll!
Bersamaan tanah yang ambrol karena in-
jakan kedua kaki Sekar Sengkuni, perempuan
berpakaian hijau itu sudah keluarkan bentakan,
"Siapa orang yang ingin mampus?!"
Wuuutttt!!
Satu gelombang angin memburu si bayan-
gan merah muda yang berteriak kaget seraya
memutar tubuh.
Blaaarrr!!
Sebuah pohon patah di tengah dan jatuh
bergemuruh. Di pihak lain si bayangan merah
muda yang semula berniat untuk segera berlalu
setelah menyambar tubuh si lelaki, mau tak mau
mengurungkan niatnya. Ringan dia hinggap di
atas tanah. Dengan ringan pula diturunkan tu-
buh lelaki yang telah disambarnya.
"Bertahan...," desisnya pelan. Lalu diangkat
kepalanya. Wajah cantiknya berhadapan dengan
Sekar Sengkuni yang mendengus gusar.
"Seorang gadis bau kencur yang ingin
mampus rupanya!"
Gadis berambut indah itu tak buka mulut.
Matanya tajam menatap Sekar Sengkuni,
"Pakaiannya berwarna hijau. Wajahnya
masih jelita dengan mata yang eelong ke dalam.
Ciri-eirinya mirip seperti yang dikatakan Guru.
Apakah memang orang ini yang harus kuketahui
keberadaannya?" desisnya dalam hati.
Di pihak lain, Sekar Sengkuni sudah tak
bisa menahan diri untuk menghabisi si gadis.
Tangan kanannya terangkat dan siap melanear-
kan satu pukulan jarak jauh.
Tetapi keranjang yang sejak tadi diam di
tanah bergerak melayang ke arahnya disertai sua-
ra, "Aku menginginkannya!"
Sementara si gadis membelalakkan ma-
tanya pada keranjang itu. Sekar Sengkuni meng-
geram.
"Buntet Kalamangsang! Sampai hari ini
aku belum pernah melihat wujudmu! Dan tidak
tahunya kau memiliki birahi yang kuat pula!"
"Siapa bisa tahan melihat gadis a3ru bertu-
buh montok seperti dia, hah?!"
"Di mana kau akan menggelutinya? Di da-
lam keranjang busukmu itu?!"
"Itu urusanku!"
"Cepat kau lakukan! Setelah itu... bunuh
dia! Juga bunuh lelaki keparat dari desa Karang
Permata itu!"
Gadis jelita berpakaian merah muda yang
bukan lain Galuh Tantri adanya mengerutkan
kening mendengar kata-kata terakhir Sekar Seng-
kuni.
"Lelaki yang patah kakinya ini berasal dari
Karang Permata? Bisa jadi kalau mereka yang te-
lah menjadi mayat itu juga berasal dari tempat
yang sama. Astaga! Jangan-jangan... perempuan
ini adalah orang yang membunuh Juragan Purna
Setyo? Bisa jadi pula kalau memang dia perem-
puan yang kueari, perempuan bernama Sekar
Sengkuni...."
Selagi si gadis membatin, keranjang yang
berada di samping Sekar Sengkuni sudah me-
layang ke arahnya. Desiran angin deras mengarah
padanya.
"Astaga!!" seru si gadis sambil palangkan
kedua tangannya di depan dada. Lalu dihentak-
kan kuat-kuat disusul dengan gerakan melesat ke
depan.
Desiran angin yang keluar dari keranjang
itu putus di tengah jalan. Dan....
Buk! Buk!
Si gadis meliukkan tubuhnya seraya lan-
carkan jotosannya pada keranjang itu. Keranjang
itu melayang ke belakang. Kali ini disertai keke-
han penghuninya lalu keranjang itu melayang la-
gi, lebih cepat!
"Siapa orang yang berada dalam keranjang
itu?!" seru si gadis sambil membuang tubuh,
Tetapi lesatan keranjang itu membuatnya
kalang kabut. Nampak kalau dia hendak melan-
carkan satu serangan yang kemudian diurung-
kannya.
"Guru berpesan kalau aku tak boleh men-
geluarkan ilmu yang kumiliki bila berhadapan
dengan perempuan berpakaian hijau bermata ce-
long. Walaupun tak mengerti mengapa Guru me-
nyuruhku bersikap demikian, tetapi... ah, aku ha-
rus tetap mematuhinya."
Karena memegang pesan gurunya itulah
Galuh Tantri hanya berusaha menghindar dan
sesekali melanearkan serangan balasan dengan
jotosan dan tendangannya.
Dari keranjang itu terdengar suara terke-
keh. "Ternyata dia tidak memiliki kemampuan
apa-apa!" Lain halnya dengan Sekar Sengkuni.
Perempuan setengah baya ini justru mengerutkan
keningnya. "Mustahil kalau gadis ini tidak memi-
liki kemampuan berarti! Caranya menyambar tu-
buh lelaki itu sangat luar biasa! Karena berarti
dalam mengalahkan keeepatan seranganku tadi!
Mustahil... mustahil dia tidak bisa berbuat apa-
apa! Atau bisa jadi... dia menyembunyikan il-
munya!"
Berpikir demikian Sekar Sengkuni berseru,
"Walaupun dia tidak memiliki kemampuan apa-
apa, kau belum juga berhasil mengalahkannya!"
"Kau akan melihatnya. Sekar Sengkuni!!"
Bersamaan lesatan yang semakin keras
disertai gemuruh angin yang kuat. Galuh Tantri
berseru kaget.
"Sekar Sengkuni?" serunya dalam hati se-
raya menghindar dengan mempergunakan ilmu
peringan tubuhnya. "Jadi benar dia orangnya
yang bernama Sekar Sengkuni! Dan jelas dia juga
yang telah membunuh Juragan Purna Setyo dan
orang-orang ini! Ah, apa yang harus kulakukan
sekarang? Guru menyuruhku mengetahui apa
yang hendak dilakukan Sekar Sengkuni, setelah
itu aku harus kembali ke tempat asa!!"
Sementara itu Buntet Kalamangsang
menggeram sengit karena dia belum juga mampu
melumpuhkan si gadis. Tiba-tiba saja keranjang
itu melayang ke belakang dan hinggap di atas ta-
nah.
Di lain kejap terdengar suara angin mende-
ru-deru seiring dengan berputarnya keranjang
itu. Tanah berhamburan melingkar, terbang di
sekitarnya hingga menutupi keranjang itu dari
pandangan.
Sekar Sengkuni membatin, "Kau tak akan
bisa menyembunyikan ilmumu lagi. Gadis! Huh!
Aku ingin tahu murid siapakah kau sebenar-
nya...."
Di seberang Galuh Tantri memicingkan ma-
tanya. Dadanya berdebar keras. Ketegangannya
merambat.
"Tentunya orang dalam keranjang itu se-
dang melancarkan salah satu ilmunya yang he-
bat," desahnya gelisah dalam hati. "Oh! Bagaima-
na caraku menghadapinya? Aku tak boleh menge-
luarkan ilmuku? Segera meninggalkan tempat ini
pun tak mudah! Ah, kalau saja tadi perempuan
itu tak menghalangiku, mungkin aku sudah ber-
lalu bersama lelaki yang patah kaki itu...."
Keranjang itu telah melesat cepat. Asap hi-
tam mengiringi lesatannya.
Sepasang mata Galuh Tantri melebar. Dia
masih dapat menghindari ganasnya serangan ke-
ranjang itu. Tetapi dua gebrakan berikutnya, ga-
dis itu tak ubahnya seperti seekor tikus yang ma-
suk perangkap seekor kucing.
"Aku harus menyelamatkan diri!" serunya
dalam hati.
Seraya membuang tubuhnya ke samping
kiri, Galuh Tantri menyilangkan kedua tangannya
di depan dada. Bersamaan bertemunya pergelan-
gan tangan kanannya dengan pergelangan tangan
kirinya, terlihat eahaya putih berkilau berulang-
ulang, semakin lama semakin membesar. Tiba-
tiba....
Wwrrrrr!
Dipadu dengan gemuruh angin yang tinggi,
cahaya putih yang membesar itu tiba-tiba menee-
lat. Suara yang memekakkan telinga terdengar
berulang kali.
"Heeiiiiill" seruan itu terdengar dari mulut
Sekar Sengkuni yang tegak dengan mata melebar.
Dilihatnya bagaimana keranjang yang me-
lesat eepat itu, tiba-tiba saja berbelok. Asap hitam
yang mengiringinya lenyap tertelan eahaya putih
yang keluar dari silangan kedua tangan Galuh ;
Tantri. Yang lebih mengejutkan, eahaya putih itu
seperti memiliki mata. Berbalik dan menyergap
laksana sebuah kain lebar.
Plupp!
Keranjang yang masih melayang itu ter-
tangkup eahaya putih. Seperti hendak menelan
bulat-bulat, eahaya putih itu menggulung Buntet
Kalamangsang yang masih berada dalam keran-
jang.
Sementara Galuh Tantri makin memu-
satkan perhatiannya untuk mengendalikan se-
rangannya, terdengar teriakan keras orang yang
tak diketahui seperti apa rupanya itu. Cahaya pu-
tih yang menyelimuti keranjang itu bergerak-
gerak, pertanda kalau keranjang itu berusaha
membebaskan diri.
"Terkutuk!!" makian itu memecah suara
yang memekakkan telinga yang berasal dari ca-
haya putih. Tiba-tiba gerakan-gerakan cahaya pu-
tih itu semakin menguat.
Galuh Tantri bergetar. Kedua tangannya
yang menyilang di depan dada terasa panas.
Tiba-tiba... plaasss!!
Keranjang itu mental lebih tinggi ke udara
laksana sebuah bola yang memantul dari bumi.
Kejap lain keranjang itu menderu ke arah Galuh
Tantri. Kalau sebelumnya asap hitam hanya men-
giringi gerakannya saja, kali ini asap hitam telah
menderu mendahului.
Blaaarrrr!!
Asap hitam itu putus di tengah jalan kare-
na terhalang oleh cahaya putih yang tiba-tiba
menghadang. Seketika bermuncratan asap-asap
hitam ke udara dan cahaya putih ke berbagai
penjuru.
Masih menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Galuh Tantri menggeser tubuhnya
sedikit ke kanan. Kemudian memutar kedua tan-
gannya di atas kepala dan disentak diiringi teria-
kan.
Heaaaattt!!
Blaaamm!
Keranjang itu terpental lebih jauh terkena
dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di
udara sebelum terbanting di atas tanah dan ber-
gelundung. Setelah menabrak sebuah pohon yang
menggugurkan dedaunan, keranjang itu baru
berhenti.
Terdengar suara orang muntah darah be-
berapa kali.
"Setan alas!" memaki Sekar Sengkuni den-
gan tubuh bergetar hebat. Kemarahannya bukan
karena melihat Buntet Kalamangsang berhasil di-
pecundangi si gadis. Tetapi satu hal yang sangat
akrab dengannya. "Gadis celakai Kau telah kelua-
rkan ilmu 'Tenaga Pusat Bumi' dan 'Tenaga Pusat
Tanah'! Kedua ilmu itu hanya dimiliki oleh manu-
sia keparat bernama Resi Tala Kangkang!!"
Seketika Galuh Tantri tersentak. Wajahnya
menjadi tegang.
"Celaka! Aku telah melanggar perintah
Guru!" serunya menyadari sesuatu.
Di seberang. Sekar Sengkuni sudah men-
deru dengan jotosan tangan kanan kiri. ;
"Rupanya lelaki celaka itu telah mengambil
seorang murid! Bagus! Kaulah yang akan mam-
pus lebih dulu sebelum dirinya!!"
Serangan itu semakin bertambah dekat.
Galuh Tantri masih tertegun di tempatnya.
Masih menyesali kalau dia telah membuka siapa
dirinya!
Gerakan Sekar Sengkuni semakin mende-
kat. Perempuan berpakaian hijau itu tak dapat
lagi menahan amarahnya setelah mengenali ilmu
yang dikeluarkan oleh si gadis.
Galuh Tantri sendiri seperti orang bodoh.
Dia tak berbuat apa-apa. Dapat dipastikan kalau
nyawanya akan putus saat itu juga.
Akan tetapi di saat yang kritis tiba-tiba saja
satu bayangan merah telah meneelat dari samp-
ing kanan. Lengannya mengibas. Terlihat eahaya
merah dan putih menggebrak ke arah Sekar
Sengkuni.
Perempuan setengah baya yang dilanda
murka itu menjerit tertahan. Cepat ditarik pulang
kedua tangannya, lalu dipalangkan dan didorong.
Blaaamm! Blaaammm!!
Cahaya merah putih yang mengandung
hawa panas tinggi itu putus di tengah jalan. Ken-
dati berhasil memutus serangan itu, tetapi Sekar
Sengkuni terbanting di atas tanah. !
Dilihatnya bagaimana bayangan merah itu
menyambar tubuh Galuh Tantri yang masih terte-
gun dan menyambar tubuh lelaki yang telah pa-
tah kakinya.
Sekar Sengkuni men3mmpah keras seraya ;
mendorong kedua tangannya. Tetapi serangannya
itu putus di tengah jalan, terhantam eahaya me-
rah dan putih!
Di lain kejap, bayangan merah itu telah le-
nyap dari pandangan.
"Keparat busuki Kau...," seru Sekar Seng-
kuni setelah mengenali siapa orang yang menye-
rangnya dan berlalu itu. Pelan-pelan dia berdiri.
Dada membusungnya turun naik dengan napas
terengah-engah. Dari sela-sela bibirnya merembas
darah segar.
Dari dalam keranjang terdengar suara,
"Kau mengenali orang itu, Sekar Sengkuni?!"
Sekar Sengkuni terdiam dengan napas
memburu.
"Aku tidak melihat wajahnya! Tetapi... ilmu
'Kabut Bayangan Menembus Gelap' sangat kuke-
nali!" sahutnya penuh amarah tinggi.
"Siapa orang yang memiliki ilmu itu?"
Sekar Sengkuni tak segera buka mulut.
Sepasang mata celongnya seperti melompat ke-
luar karena gemuruh amarah di dadanya. Lam-
bat-lambat dia mendesis dingin,
"Manusia itu adalah orang yang hendak ki-
ta bunuh! Resi Tala Kangkang!!"
***
ENAM
PAGI telah menghampar dengan segenap
keindahannya. Bukit kapur yang menjulang tinggi
itu berkilat-kilat diterpa sinar matahari. Keseju-
kan udara masih terasa. Tak jauh dari bukit ka-
pur itu berdiri kokoh sebuah bangunan berben-
tuk sebuah istana. Tembok tinggi mengeliling is-
tana itu. Di muka pintu gerbang yang tinggi itu
berdiri dua orang lelaki gagah bertelanjang badan.
Dan gerbang itu berwarna merah!
Di bagian tengah Istana Gerbang Merah
yang megah. Galuh Tantri sedang duduk bersim-
puh. Di sebuah kursi indah, seorang kakek ber-
pakaian merah sedang duduk dan sesekali terse-
nyum. Kakek berwajah teduh ini mengusap ku-
misnya yang sudah memutih. Keriput pun mulai
menghiasi wajahnya. Rambutnya yang mulai me-
mutih pula diikat ekor kuda.
"Galuh...," panggilnya lembut. "Tak usah
berkeeil hati. Tindakan yang kau lakukan sangat
benar. Kau memang harus mempergunakan ilmu-
ilmu yang telah kau pelajari untuk mengatasi se-
rangan orang dalam keranjang."
Gadis berpakaian merah muda itu tak
menjawab, bahkan mengangkat kepalanya tidak
berani. Disesalinya mengapa dia tidak menjaga
pesan kakek berpakaian merah di hadapannya
ini.
"Muridku, Galuh... kau tak bersalah. Kau
melakukan satu tindakan yang tepat...." Galuh
Tantri tetap tak bersuara.
"Ingatkah kau akan petuahku? Bila kita
bersalah, tidak seharusnya kita berdiam diri. Tin-
dakan yang harus kita lakukan adalah mengakui
kesalahan itu. Tetapi yang telah kau lakukan bu-
kanlah kesalahan. Kau menyelamatkan dirimu
sendiri...," sen3aim si kakek yang ternyata adalah ,
Resi Tala Kangkang.
Mendengar kata-kata lembut gurunya, per-
lahan-lahan gadis berambut indah itu berani
mengangkat kepalanya, tetapi tidak berani mena-
tap wajah gurunya
"Aku mohon maaf. Guru...."
"Hei, hei!" sen3rum Resi Tala Kangkang.
"Tak ada yang salah dalam hal ini, sehingga tak
perlu ada yang meminta maaf...."
"Seeara tidak langsung aku telah mem-
bongkar siapa diriku sendiri."
"Kau melakukan tindakan yang tepat. Bila
kau tidak melakukan tindakan seperti itu, justru
aku menyalahkanmu...."
"Aku telah melanggar pesan Guru...."
I "Tidak. Kau telah menjalankan perintahku
dengan baik. Kau telah menemukan Sekar Seng-
kuni...."
"Aku tak sengaja menemukannya, Guru...."
"Itu artinya kau tetap telah menemukan-
nya. Galuh."
"Aku... ah, aku telah bertindak bodoh.
Guru. Kesalahanku... aku justru merasa bersalah
hingga seperti melupakan kalau bahaya siap me-
renggut nyawaku."
"Galuh...," senyum Resi Tala Kangkang.
"Keberanianmu membuatku kagum. Kau berani
menjalankan perintahku. Dan sudah tentu aku
tak bisa melepasmu begitu saja, karena aku tahu
ugas yang kuberikan padamu sungguh berat.
Tanpa kau ketahui aku selalu mengikutimu. Ga-
luh...."
Kepala Galuh Tantri menegak.
"Guru...."
"Ya! Sekarang... kukatakan mengapa aku
menyuruhmu untuk mencari perempuan berna-
ma Sekar Sengkuni...."
Resi Tala Kangkang segera menceritakan
masa lalunya, termasuk meneeritakan Sekar
Sengkuni dan Woro Lolo.
"Aku merasa pasti kalau Sekar Sengkuni,
tetap akan meneariku, tetapi untuk membalas
sakit hatinya...." .
"Tak seharusnya perempuan itu sakit hati,
Guru!" seru Galuh Tantri yang kini mengetahui
siapa sebenarnya Sekar Sengkuni.
"Kau betul. Tetapi, tidak semua orang bisa
menerima kenyataan dan kejujuran. Termasuk
Sekar Sengkuni."
"Lantas... apa yang hendak Guru lakukan?"
tanya Galuh Tantri. Dia sudah tidak segelisah dan
merasa bersalah seperti tadi. ”
"Dari arah yang dituju oleh Sekar Sengkuni
dan orang dalam keranjang yang bernama Buntet
Kalamangsang, aku yakin dalam waktu dua hari
mereka akan tiba di Istana Gerbang Merah." Resi
Tala Kangkang menghela napas pendek. Ingatan-
nya sesaat kembali pada masa lalunya. Sambil
memandang muridnya dia berkata lagi, "Dapat
kubayangkan apa yang akan terjadi bila Sekar
Sengkuni dan Buntet Kalamangsang tiba. Untuk
itulah... siang nanti Istana Gerbang Merah harus
sudah kosong keeuali diriku...."
Galuh Tantri mengerutkan kening. Ma-
tanya memandang tak berkedip.
"Aku tak mengerti, apa yang Guru mak-
sudkan?"
"Mulai hari ini... seluruh penghuni Istana
Gerbang Merah harus menyingkir. Termasuk kau,
Muridku...."
"Mengapa... mengapa Guru melakukan hal
itu?" Resi Tala Kangkang tak menjawab. Dia ter-
senyuam.
"Kau pasti mengerti...."
Kemudian dia turun dart kursinya dan me-
langkah dengan kedua tangan berada di atas
pinggul. Galuh Tantri tak berani bersuara, hanya
berani memandang gurunya saja dari belakang.
Tepat tengah hari di atas kepala, Istana
Gerbang Merah telah sepi. Resi Tala Kangkang
memberikan upah yang cukup banyak bagi orang-
orang yang telah mengabdi padanya,
Dia kembali ke tempat semula dan melihat
Galuh Tantri masih berada di sana.
"Tempat ini hampir kosong. Galuh. Silakan
tinggalkan tempat ini...."
"Guru!" protes Galuh Tantri. "Bukan mak-
sudku untuk membantah perintah Guru! Tetapi...
aku tak bisa meninggalkan Guru seorang diri di
sini!"
Resi Tala Kangkang tersenyum. Sambil me-
langkah mondar-mandir dia berkata, "Kau me-
mang telah bertarung dengan Buntet Kalamang-
sang dan Sekar Sengkuni. Kau dapat mengalah-
kan Buntet Kalamangsang, tetapi itu teijadi kare-
na orang dalam keranjang yang tak pernah dike-
tahui seperti apa wujudnya, memandang sebelah
mata padamu. Itu artinya, dia dapat mengalah-
kanmu. Demikian pula dengan Sekar Sengkuni.
Muridku... bila kau masih berada di sini, itu sama
artinya kalau aku membiarkan kau masuk dalam
bahaya..."
"Aku tidak peduli!" sahut gadis itu keras kepala.
"Galuh... sejak kutemukan kau enam belas
tahun yang lalu di bawah sebuah pohon, seluruh
cinta kasih dan perhatianku kucurahkan bulat-
bulat untukmu. Tak ada yang tersisa. Kalau seka-
rang aku men3mruhmu meninggalkan Istana Ger-
bang Merah, bukan karena aku tidak sayang pa-
damu. Melainkan karena aku terlalu sayang pa-
damu. Galuh. Kau mengerti maksudku?"
Galuh Tantri tak buka suara. Matanya se-
dikit berkilat-kilat.
Resi Tala Kangkang berhenti melangkah.
Mengusap lembut rambut si gadis yang masih
duduk bersimpuh.
"Berpuluh tahun kubangun istana ini
hingga namanya dikenal dengan sebutan Istana-
Gerbang Merah. Berpuluh tahun aku mendiami
tempat ini. Dan berpuluh tahun aku berusaha
mengubur masa laluku. Mengubur kenangan ber-
sama Woro Lolo atau Mayang Kinanti yang hingga
saat ini masih kucintai. Mengubur kenangan ber-
sama Sekar Sengkuni yang berbalik memusuhi-
ku. Dan nampaknya... tak lama lagi semua ini
akan lenyap."
"Maksud Guru.... Istana Gerbang Merah
akan hancur?"
"Bukan hanya akan hancur. Tetapi mung-
kin.... di sinilah aku akan terkubur...."
"Guru!" suara Galuh Tantri tersekat. Resi
Tala Kangkang tersenyum. "Bila kau mengerti
maksudku, tinggalkan tempat ini. Galuh...,"
Hanya itu yang dikatakan kakek bijak ber-
pakaian panjang warna merah, karena di lain saat
dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu. ' ^
Galuh Tantri urung berueap. Kepalanya pe-
lan-pelan tertunduk. Batinnya gelisah. Kepedihan
sangat dirasakannya. Dia tidak tahu apa yang ha-
rus dilakukannya, tetapi dia sangat mematuhi pe-
rintah gurunya dan dia harus mematuhi perintah
gurunya sekarang ini.
Pelan-pelan dengan kegelisahan yang kian
merambat, gadis itu berdiri. Ditundukkan kepa-
lanya, dirangkapkan kedua tangannya di depan
dada. "Maafkan aku. Guru...."
Lalu dia berkelebat, melewati lorong istana
yang biasanya ramai kini hening. Tiba di halaman
istana Gerbang Merah yang luas, keheningan me-
nerpanya kembali.
Bahkan Galuh Tantri seolah tak merasa-
kan desiran angin.
Dua kejapan mata kemudian, dia sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * *
Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan
setapak yang sepi. Raja Naga memandangi pe-
rempuan setengah baya bertahi lalat di dagu se-
belah kiri itu. Dia telah mendengar semua keja-
dian yang menimpa si perempuan, termasuk sia-
pakah kakek bongkok berpakaian merah aeak-
acakan.
"Terkadang cinta tak terbalas merupakan
bibit permusuhan yang berbuah menjadi dendam
tiada banding. Kakek bongkok berjuluk Demit Se
rigala itu mencintai seorang perempuan bernama
Sekar Sengkuni. Tetapi Sekar Sengkuni tidak
mencintainya, karena dia mencintai Resi Tala
Kangkang. Sementara Resi Tala Kangkang tidak
mencintai Sekar Sengkuni karena dia mencintai
perempuan di hadapanku ini. Astaga! Begitu ru-
mitnya perjalanan cinta di antara orang-orang
itu,..."
Habis membatin demikian, pemuda bersi-
sik coklat pada lengan kanan kirinya berkata,
"Woro Lolo... bila Demit Serigala hendak menuju
ke Istana Gerbang Merah untuk membunuh Resi
Tala Kangkang, adakah kemungkinan perempuan
bernama Sekar Sengkuni akan melakukan hal
yang sama?"
Perempuan jelita berbulu mata lentik itu
tak segera menjawab. Ditatapnya pemuda berma-
ta angker di hadapannya. Lalu katanya,
"Aku tidak bisa memastikan. Seperti yang
kukatakan, aku baru beberapa hari di tanah Ja-
wa. Kedatanganku ke sini memang untuk mencari
Tala Kangkang yang kemudian kudengar kabar
seseorang bernama Resi Tala Kangkang tinggal di
Istana Gerbang Merah. Perjumpaanku dengan
Demit Serigala membuatku bertambah yakin ka-
lau penghuni Istana Gerbang Merah memang le-
laki yang sedang kucari...."
Raja Naga tak buka mulut. Dipandanginya
kejauhan. Ditatapnya matahari yang semakin be-
ranjak naik dari sela-sela dedaunan. Masih me-
mandang kejauhan dia berkata, "Demit Serigala
sedang memburu Resi Tala Kangkang demi men-
dapatkan cinta Sekar Sengkuni. Karena selama r ^
Resi Tala Kangkang masih hidup, maka dia tak
akan pernah mendapatkan einta Sekar Sengkuni.
Dan tidak mustahil kalau ternyata Sekar Sengku-
ni sendiri juga sedang menuju ke Istana Gerbang
Merah...."
Woro Lolo diam-diam menarik napas pendek.
"Semenjak kutinggalkan Pulau Andalas,
yang hanya kubayangkan adalah perjumpaan
dengan Tala Kangkang. Bukan untuk menda-
patkan urusan segala macam seperti tindakan
Demit Serigala. Apa yang dikatakan pemuda ber-
juluk Raja Naga ini memang benar. Tak mustahil
kalau Sekar Sengkuni mempunyai niat yang sa-
ma."
Raja Naga berkata, "Woro Lolo... sebenar-
nya Saat ini aku sedang meneari pembunuh Ju-
ragan Purna Setyo dari desa Karang Permata. Te-
tapi, aku juga penasaran ingin mengenal Resi Ta-
la Kangkang dan Sekar Sengkuni. Apakah kau
tahu di mana Istana Gerbang Merah berada?"
Woro Lolo menjawab, "Secara pasti tidak.
Dari petunjuk yang kudapatkan, kita harus me-
nuju ke arah barat. Di belakang sebuah bukit ka-
pur, Istana Gerbang Merah berada."
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku akan tetap menuju ke Istana Gerbang
Merah. Kejelasan sudah kudapatkan kalau Resi
Tala Kangkang yang mendiami Istana Gerbang
Merah adalah orang yang kucari," suara Woro Lo-
lo tak mampu menyembunyikan rasa rindunya
yang dalam. "Di samping itu, aku juga harus
memberitahukannya kalau bahaya sedang men-
gancamnya...."
Raja Naga tak menjawab. Dipandanginya si
perempuan yang sedang memandang kejauhan.
Dilihatnya kilatan rindu pada sepasang mata jer-
nihnya, kerinduan dalam yang meletup-letup
meminta pelampiasan.
Dibiarkan saja Woro Lolo yang terbuai oleh
kerinduannya. Untuk beberapa saat hening terja-
ga. Pagi semakin beranjak menuju siang. Burung-
burung yang sejak tadi ramai beterbangan dan
ernyanyi, mulai berkurang.
Raja Naga mengusik lamunan Woro Lolo,
"Kita akan segera menuju ke Istana Gerbang Me-
rah. Hanya saja, aku akan tetap melaeak si pem-
bunuh Juragan Purna Setyo."
Woro Lolo melirik.
"Anak muda... aku masih ingin berada di
tempat ini. Apakah kau tidak memahami getar pe-
rasaan gelisah, bingung, dan juga rindu yang ber-
gelora di dadaku?"
Murid Dewa Naga itu euma tersenyum.
"Aku sangat memahaminya. Karena... aku
juga pernah mengalami saat-saat seperti itu...."
Woro Lolo hendak bertanya lebih lanjut, te-
tapi anak muda berompi ungu itu sudah berlari
meninggalkannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Raja
Naga...," desis Woro Lolo sepeninggal Raja Naga.
Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi
bila pemuda bersisik eoklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku itu tidak muncul. Kehorma-
tan dan harga dirinya akan tercabik-cabik! Hanya
matilah jalan satu-satunya untuk melepas aib itu!
Bahkan tanpa disadarinya, saat Raja Naga
mencoba menyadarkannya dari pengaruh ilmu
aneh milik Demit Serigala, Woro Lolo berulang
I kali merangkul pemuda itu dengan geliatan-
geliatan tubuh penuh rangsangan. Mulutnya be-
f rulang-ulang mendesiskan sesuatu yang mampu
membuat gairah seorang lelaki bergelora.
Raja Naga sendiri sempat beberapa kali
terpana melihat sesuatu yang jarang dilihatnya.
Tetapi dikuatkan hatinya untuk tidak terpenga-
ruh pada yang dilihatnya. Bahkan akan disesa-
linya bila dia tak dapat menyembuhkan Woro Lolo
dari pengaruh ilmu busuk Demit Serigala.
Dengan mempergunakan Gumpalan Daun
Lontar warisan dari mendiang ayahnya. Raja Naga
berhasil memunahkan pengaruh jahat ilmu Demit
Serigala pada Woro Lolo. Sementara itu, Woro Lo-
lo sendiri tidak tahu bagaimana caranya pemuda
berkuncir kuda bermata angker itu mengoba-
tinya.
Dalam keadaan yang tidak wajar, Woro Lo-
lo hanya merasakan kalau dia diminumkan sesu-
atu oleh Raja Naga.
Perempuan berpakaian putih ini menarik
napas pendek. Sorot matanya sarat kerinduan
tinggi. Kegundahan tiba-tiba dirasakannya ketika
die berpikir, "Apakah Tala Kangkang masih men-
gingatku?"
Untuk beberapa lamanya perempuan jelita
dari Pulau Andalas ini masih berdiri di tempat-
nya. Matanya sesekali menatap ke kejauhan. Di-
buang segenap kegelisahan yang ada di dadanya.
Lima belas tarikan napas kemudian, Woro Lolo
alias Mayang Kinanti segera meninggalkan tempat
itu.
* * *
TUJUH
KETIKA senja tiba, pemuda dari Lembah
Naga itu menghentikan larinya di sebuah jalan
yang lengang. Diperhatikan sekelilingnya yang di-
penuhi pepohonan.
Tiba-tiba matanya yang tajam menangkap
satu bayangan merah muda datang dari arah ba-
rat. Dari gerakan yang dilakukan oleh bayangan
itu yang semakin lama kelihatan siapa adanya,
nampaknya dia tak terlalu memperhatikan sekeli-
lingnya. Bahkan tak dilihatnya Raja Naga padahal
orang itu melintas hanya berjarak dua belas lang-
kah di hadapan Raja Naga.
Tetapi pemuda dari Lembah Naga ini meli-
hat siapa adanya orang itu.
"Galuh Tantri...," desisnya dalam hati. "Dia
datang dari arah barat. Dan cukup aneh kalau
gadis yang biasanya sigap dan tangkas itu berlalu
begitu saja tanpa melihat kehadiranku di sini.
Hemm... apakah telah terjadi sesuatu?"
Habis berpikir demikian, Boma Paksi su-
dah bergerak cepat menyusul gadis jelita berpa-
kaian merah muda.
Dalam waktu singkat saja dia sudah dapat
memperpendek jaraknya dengan Galuh Tantri.
"Dugaanku benar, nampaknya telah terjadi
sesuatu. Sepertinya dia berlari hanya mengikuti
kedua langkahnya saja, tanpa tahu harus berlari
ke mana...."
Lalu... hup!
Dengan satu lompatan keeil Raja Naga te-
lah menjajari langkah gadis yang memang Galuh
Tantri adanya. Gadis berambut indah itu sejenak
terkejut begitu melihat seseorang di samping ka-
nannya. Tapi di saat lain dia sudah mendengus.
"Kau?!" serunya sambil berhenti berlari.
Raja Naga nyengir. "Ya, aku!"
"Mengapa kau berada di sini, hah?!"
"Astaga! Justru aku yang hendak bertanya
demikian padamu!"
"Kau tak perlu banyak tahu!"
Pemuda berompi ungu itu cuma mengang-
kat kedua bahunya. Hanya sekali lihat saja Boma
Paksi tahu kalau gadis jelita ini dalam keadaan
gundah. Wajah jelitanya sedikit tegang. Sorot ma-
tanya beriak-riak, laksana getaran air di sebuah
danau bening.
Raja Naga buru-buru tersen3rum ketika me-
lihat sepasang bibir mungil indah itu hendak ke-
luarkan bentakan, "Kebetulan aku berjumpa den-
ganmu di sini...."
Gadis itu memandang curiga. Apa yang di-
alaminya belum lama ini membuatnya menjadi
sedikit lebih pemarah.
"Apa maksudmu dengan kebetulan ber-
jumpa denganku di sini?" suaranya menyelidik.
Raja Naga tersenyum.
"Aku sedang menuju ke arah barat, semen-
tara kau datang dari arah barat. Bukankah ini
menunjukkan satu kebetulan?"
"Jangan banyak mulut!" bentak Galuh Tan-
tri gusar. Saat ini dia ingin menyendiri, mem-
buang segala gundah yang ada di hatinya. Apa
yang dikatakan gurunya. Resi Tala Kangkang tak
pernah bisa membuatnya tenang. Dan dia telah
meninggalkan Istana Gerbang Merah, berarti me-
ninggalkan gurunya untuk menghadapi tindakan
busuk dari Sekar Sengkuni dan Buntet Kala-
mangsang yang diperkirakan tak lama lagi akan
tiba di sana.
"Hemmm... aku bertambah yakin kalau be-
lum lama ini dia tengah mengalami hal-hal yang
membuatnya sedih, gelisah, dan tak tahu harus
berbuat apa," kata pemuda berompi ungu dalam
hati sambil melirik si gadis. Lalu pelan-pelan dia
berucap, "Aku hendak menuju ke Istana Gerbang
Merah. Apakah kau mengetahui di mana tempat
itu?"
Kepala Galuh Tantri menegak. Keningnya
dikerutkan dengan mata tak berkedip pada pe-
muda di hadapannya yang juga sedang menatap-
nya. Lambat-lambat sorot matanya yang tadi pe-
nuh kesedihan berubah berkilat-kilat.
Raja Naga menangkapnya sebagai kilatan
berbahaya!
"Mengapa kau hendak menuju ke Istana
Gerbang Merah?" Galuh Tantri berseru dingin.
Tangan kanan kirinya mengepal keras. Tatapan-
nya tak berkedip. Kejadian yang dialaminya be-
lum lama ini justru membuatnya mudah curiga.
Saat ini dia tahu kalau Sekar Sengkuni dan Bun-
tet Kalamangsang akan datang ke Istana Gerbang
Merah untuk membunuh gurunya. Dan sekarang,
pemuda yang dikenalnya bernama Boma Paksi ini
menanyakan hal yang sama. "Bisa jadi kalau pe-
muda ini bermaksud buruk," kata batin Galuh
Tantri.
Menangkap suara yang menjadi dingin dan
gusar serta tatapan mengandung sorot berba-
haya. Raja Naga hanya tersenyum saja. Justru
perubahan cepat yang terjadi pada gadis di hada-
pannya ini semakin memancing rasa penasaran-
nya, sekaligus membuktikan dugaannya kalau
gadis ini sedang mengalami satu persoalan yang
sukar dicari pemecahannya.
Boma Paksi menjawab, "Aku hanya ingin
tahu, apakah Resi Tala Kangkang memang tinggal
di Istana Gerbang Merah...."
"Mengapa kau ingin tahu soal itu, hah?!
Ada urusan apa kau dengan Resi Tala Kang-
kang?!"
"Suaranya semakin keras. Tubuhnya mulai
bergetar. Matanya semakin berbahaya. Hmmm...
aku menangkap gelagat yang tidak enak. Tetapi,
mengapa dia nampak begitu gusar ketika kuta-
nyakan tentang Istana Gerbang Merah dan Resi
Tala Kangkang? Apakah dia punya hubungan
dengan penghuni istana Gerbang Merah itu?"
"Pemuda bersisik!" menggelegar suara Ga-
luh Tantri sementara kaki kanannya digeser sedi-
kit ke samping. "Apakah kau tiba-tiba tuli?!"
Raja Naga lagi-lagi hanya tersenyum.
"Galuh... mengapa kau menjadi pemberang
seperti ini? Bila kau memang membutuhkan seo-
rang teman untuk berbieara, aku bersedia mela-
kukannya..."
"Kau belum jawab pertanyaanku, bah?!"
Raja Naga tak segera buka mulut. Tiba-tiba
dirasakan satu tenaga seperti telah menameng-
kan diri Galuh Tantri.
"Astaga! Dia telah mengalirkan tenaga da-
lamnya, pertanda benar-benar dalam kedudukan
siap menyerang! Hemmm... aku harus segera
menjelaskan masalah ini biar tak jadi salah du-
ga..." kata pemuda berompi ungu ini dalam hati
dan segera berkata, "Galuh... aku sama sekali ti-
dak tahu di mana Istana Gerbang Merah berada
dan siapa Resi Tala Kangkang. Semua itu kuden-
gar dari seorang perempuan setengah baya ber-
nama Woro Lolo yang berasal dari Pulau Andalas.
Secara tak sengaja aku telah menyelamatkan Wo-
ro Lolo dari bahaya yang akan dilakukan manusia
busuk berjuluk Demit Serigala, yang ternyata
adalah orang yang mencintai seorang perempuan
bernama Sekar Sengkuni."
Raja Naga melihat kening Galuh Tantri
berkerut. Dilanjutkan lagi kata-katanya, "Karena
cintanya ditolak Sekar Sengkuni, Demit Serigala
memutuskan untuk membunuh Resi Tala Kang-
kang yang hingga saat ini masih dicintai Sekar
Sengkuni. Menurut Woro Lolo pula, dia sedikit
mendapat petunjuk di mana Resi Tala Kangkang
berada. Di Istana Gerbang Merah. O ya... aku ti-
dak tahu, apakah Sekar Sengkuni yang mencintai .
Resi Tala Kangkang ini, sama dengan Sekar
Sengkuni yang telah kau duga sebagai pembunuh
Juragan Purna Setyo..."
Galuh Tantri tak buka mulut. Sorot ma-
tanya masih berkilat penuh bahaya.
Raja Naga berkata lagi, "Sebelum aku dan
Woro Lolo berpisah, kami sama-sama memikirkan
satu kemungkinan tentang Sekar Sengkuni. "
Hingga saat ini sebenarnya aku belum dapat
mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi,
kendati telah kudengar dari mulut Woro Lolo, pe-
rempuan dari Pulau Andalas yang dicintai dan
sangat mencintai Resi Tala Kangkang."
"Kemungkinan apa yang kau pikirkan ten-
tang Sekar Sengkuni?" walau sikapnya tidak sete-
gang tadi, tetapi suara Galuh Tantri tetap dingin.
"Aku dan Woro Lolo sama-sama menduga
kalau Sekar Sengkuni akan datang ke Istana Ger-
bang Merah untuk menuntaskan sakit hatinya
pada Resi Tala Kangkang."
"Apakah kebenaran ucapanmu itu dapat
dipercaya?"
"Ucapan yang mana?"
"Tentang perempuan setengah baya ber-
nama Woro Lolo dan manusia busuk berjuluk
Demit Serigala?"
Mendengar pertanyaan itu pemuda dari
Lembah Naga justru membungkam. Matanya me-
nyelidik pada Galuh Tantri. Setelah beberapa
saat, lambat-lambat terdengar ueapannya, "Men-
gapa kau hanya menanyakan tentang Woro Lolo
dan Demit Serigala? Mengapa kau tak menanya-
kan tentang Sekar Sengkuni?"
Galuh Tantri menarik napas pendek. Selu-
ruh ketegangannya menurun. Raja Naga tak lagi
merasakan adanya getaran tenaga dalam yang
menamengi seluruh tubuh si gadis.
Sebelum gadis itu menjawab, Raja Naga
sudah mendahului. "Galuh... kau sebenarnya
mengetahui di mana istana Gerbang Merah dan
penghuninya yang bernama Resi Tala Kangkang
berada. Bahkan aku menduga kalau kau punya
hubungan erat dengannya. Pertanyaanmu yang
seolah melupakan Sekar Sengkuni, semakin
memperkuat dugaanku. Kalau kau juga mengenal
siapa Sekar Sengkuni. Dan aku merasa yakin, ka-
lau Sekar Sengkuni yang sedang kita bicarakan
ini, adalah Sekar Sengkuni yang kau duga seba-
gai pembunuh Juragan Purna Setyo. Galuh... be-
narkah apa yang kukatakan ini?"
Gadis jelita berambut indah itu tak menja-
wab. Justru pelan-pelan ditundukkan kepalanya.
Raja Naga mendengar gadis berpakaian merah
muda itu berulangkali menarik dan menghem-
buskan napas. Seolah membuang sebagian beban
yang menyarati dadanya.
Dibiarkan saja gadis itu bersikap demikian.
Lambat-lambat kepala gadis itu terangkat. Ma-
tanya memandang biasan senja di kejauhan, me-
natap bayangan beberapa ekor burung yang ter-
bang bermandikan sinar matahari senja.
Tanpa menoleh pada Raja Naga, Galuh
Tantri berkata, "Semua yang kau duga itu benar,
Boma.... Benar sekali. Bahkan aku tahu, kalau
Sekar Sengkuni siap membunuh Resi Tala Kang-
kang bersama seorang temannya yang entah se-
perti apa rupanya yang bernama Buntet Kala-
j mangsang...."
Raja Naga ingin bertanya tentang orang
yang disebutkan terakhir oleh si gadis, tetapi per-
tanyaan lain yang lebih penting segera diutara-
kan, "Galuh... siapakah Resi Tala Kangkang sebe-
narnya?"
Galuh Tantri memutar kepalanya, menatap
pemuda di hadapannya.
"Dia... dia... adalah guruku...."
Raja Naga cuma mendesah pendek.
"Ah, kini aku bisa meraba semuanya. Resi
Tala Kangkang men3mruh muridnya untuk me-
nyelidiki keberadaan Sekar Sengkuni karena dia
yakin kalau perempuan itu akan menuntut balas.
Kalaupun sebelumnya Galuh Tantri tak pernah
mengenal Sekar Sengkuni, adalah sebuah kejuju-
ran. Bila dia sekarang mengetahui kalau Sekar
Sengkuni bersama dengan temannya yang ber-
nama Buntet Kalamangsang sedang menuju ke Is-
tana Gerbang Merah, itu artinya dia pernah ber-
jumpa dengan kedua orang itu...."
Setelah terdiam beberapa saat Raja Naga
melontarkan jalan pikirannya yang segera diiya-
kan oleh Galuh Tantri. Gadis itu menceritakan
kalau dia telah bertarung dengan Sekar Sengkuni
dan Buntet Kalamangsang, bahkan secara tak
sengaja membuat Sekar Sengkuni mengetahui
siapa dirinya dari jurus-jurus yang diperguna-
kannya untuk menghadapi Buntet Kalamangsang.
"Aku tak mengerti dengan jalan pikiran
Guru," katanya kemudian sambil memandang
pemuda berkuneir di hadapannya. "Setelah Guru
menyelamatkanku dan kembali ke Istana Gerbang
Merah, dia justru men3ruruhku untuk meninggal-
kan Istana Gerbang Merah. Seluruh penghuni
yang berlainan tempat pun telah meninggalkan is-
tana atas perintah Guru, termasuk lelaki dari de-
sa Karang Permata yang patah kakinya..."
Boma Paksi menarik napas pendek. Tanpa
sadar ingatannya kembali ke Lembah Naga, di
mana selama dua belas tahun dia digembleng
oleh seorang tokoh sakti berjuluk Dewa Naga,
yang dengan enaknya menyuruhnya meninggal-
kan Lembah Naga setelah dianggap telah mengu-
asai seluruh ilmu yang diberikan Dewa Naga (ba-
ca : "Tapak Dewa Naga").
Tiba-tiba ia mendengus ketika ingat akan
sifat gurunya yang angin-angin. Bahkan selalu
buang angin betulan semau jidat saja, di mana
saja dan di hadapan siapa saja!
Dengusan itu membuat Galuh Tantri men-
gerutkan keningnya.
"Mengapa, Boma? Apakah kau anggap aku
tak pantas untuk menolak perintah Guru itu?"
Raja Naga buru-buru tersenyum.
"Kau pantas melakukannya. Tetapi sebagai
seorang murid yang menjunjung tinggi perintah
gurunya, kau harus mematuhi perintah itu," sa-
hutnya sambil menepiskan sehelai daun kering
yang jatuh di bahu kanannya.
"Aku tak bisa melakukan hal itu sebenar-
nya! Dengan kata lain, aku membiarkan Guru
menghadapi masalahnya seorang diri!"
"Resi Tala Kangkang tentunya telah memi-
kirkan semua ini sebaik-baiknya, Galuh. Gurumu
tak mungkin tidak memikirkan ke depan, memi-
kirkan apa yang akan dialaminya...."
"Aku memahami apa yang kau maksudkan,
Boma. Akan tetapi, tetap saja itu artinya aku
membiarkan Guru menghadapi maut. Dua orang
tokoh sesat tak lama lagi akan muncul di hada-
pan Guru, juga seorang tokoh yang berjuluk De-
mit Serigala. Bisakah kau bayangkan Boma, pera-
saan apa yang bergetar di dadaku membayangkan
Guru harus menghadapi tiga orang sesat itu seka-
ligus?"
Boma Paksi tak menjawab. Dimaklumi apa
yang dirasakan Galuh Tantri. Memang sangat su-
kar menentukan pilihan terbaik di saat seperti ini.
Akan tetapi, biar bagaimanapun juga, mematuhi
perintah seorang Guru adalah sebuah tindakan
bijak, keputusan tepat yang harus diambil.
Galuh Tantri berkata lagi, suaranya agak
tersendat, "Guru mengatakan, mungkin Istana
Gerbang Merah akan menjadi kuburannya. Bo-
ma... bayangkan, bayangkan apa yang kurasa-
kan? Aku seolah hanya menikmati apa yang me-
nyenangkan saja, tetapi langsung kabur sipat
kuping bila ada masalah yang tidak menyenang-
kan! Aku tidak menginginkan seperti itu! Aku in-
gin membantu Guru!"
Raja Naga menarik napas pendek. Dipan-
danginya Galuh Tantri yang terdiam dengan na-
pas sedikit memburu. Sedikit banyaknya dibenar-
kan apa yang diinginkan Galuh Tantri. Di pihak
lain, dia juga tidak bisa menyalahkan sikap Resi
Tala Kangkang yang tak mau muridnya menerima
akibat dari masa lalunya.
Pelan-pelan pemuda tampan dari Lembah
Naga ini maju dua tindak. Dipegangnya kedua
bahu si gadis yang berlahan-lahan mengangkat
kepalanya untuk membalas menatapnya.
"Mungkin, apa yang akan kusulkan ini se-
suatu yang lebih baik..." katanya lembut,
"Apa.... Apa yang hendak kau usulkan,
Boma? "
"Kau telah meninggalkan Istana Gerbang
Merah, itu artinya kau tetap mematuhi perintah
gurumu. Dan sekarang, aku yang mengajakmu ke
Istana Gerbang Merah."
Kedua mata Galuh Tantri melebar cerah.
"Maksudmu... ah, ya, ya... dengan begitu,
aku tidak melanggar perintah Guru, karena aku
telah meninggalkan Istana Gerbang Merah sebe-
lumnya. Bukankah begitu maksudmu, Boma?"
"Kau gadis yang cerdik"
"Oh! Terima kasih, Boma! Terima kasih!"
seru Galuh Tantri. Dan karena gembiranya men-
dapatkan cara yang sama sekali tidak melanggar
perintah gurunya, si gadis merangkul pemuda di
hadapannya yang sejenak tergagap tetapi kemu-
dian mendiamkan saja.
Rangkulan itu begitu erat, hingga akhirnya
Raja Naga sedikit terbawa arus masa lalunya.
"Andaikata.. Diah Harum yang saat ini me-
rangkul ku... terasa akan lebih menyenangkan..."
desisnya dalam hati. Diah Harum atau yang ber-
juluk Dewi Bunga Mawar, adalah gadis pertama
yang dicintai Boma Paksi. Sayangnya, gadis itu
akhirnya telah tewas. (Untuk mengetahui siapa
Diah Harum, silakan baca : "Kutukan Manusia
Sekarat" dan "Misteri Menara Berkabut". Dan un-
tuk mengetahui tewasnya Diah Harum, silakan
teman-teman pembaca membaca episode: "Ratu
Tanah Terbuang")
Sementara itu Galuh Tantri tiba-tiba mele-
paskan rangkaiannya. Dipandanginya sejenak
pemuda tampan yang sedang tersen3rum. Rasa
malu membiasi wajah Galuh Tantri yang seketika
bersemu merah.
"Boma...," desisnya menahan malu. "Aku...
aku..."
"Bila tak ada yang hendak dibicarakan lagi,
kita berangkat sekarang ke Istana Gerbang Me-
rah..." kata Boma Paksi yang tidak ingin si gadis
bertambah malu.
Galuh Tantri buru-buru mengangguk. Di-
biarkan pemuda berompi ungu itu mendahu-
luinya. Sejenak dipandanginya pemuda gagah itu
dari belakang. Biasan malunya tiba-tiba lenyap,
berganti dengan dada yang bergemuruh.
"Ah... mengapa aku melakukan hal itu? "
desisnya. "Apakah karena aku merasa gembira
atas usulnya... atau karena..."
Galuh Tantri tak mau meneruskan desi-
sannya. Kejap berikutnya buru-buru dia menyu-
sul pemuda berkuncir kuda itu.
* * *
DELAPAN
PAGl masih buta, butiran embun masih
mengga3rut di pepohonan, udara masih sangat
dingin tatkala bentakan membahana itu terden-
gar, "Tala Kangkang! Jangan menjadi tikus busuk
yang hanya mendekam di istanamu yang bagus
ini! Keluar kaul!"
Di ruang tengah Istana Gerbang Merah,
kakek berpakaian merah mengangkat kepalanya
sejenak. ;
"Dia telah datang...," desisnya pelan seraya
mengusap kumis putihnya.
Di luar seruan yang mengalahkan petir di
siang bolong menggema lagi, "Keluar kaul Atau...
kuhancurkan Istana ini sekarang juga!"
Menyusul bentakan itu terdengar suara le-
tupan keras,
Brooollll!!
Batu-batu dinding bagian depan Istana
Gerbang Merah berpentalan terhantam dorongan
tangan kanan orang yang berseru.
"Sekar Sengkuni! Gerbang istana ini terbu-
ka! Hanya ada dua arti dari terbukanya gerbang
itu!
Sekar Sengkuni melirik tajam pada keran-
jang yang berada tak jauh darinya.
"Apa maksudmu?!" bentaknya sengit.
Dari dalam keranjang terdengar dengusan
keras,
"Pertama, Resi Tala Kangkang memang
mengetahui kita datang dan membiarkan gerbang
ini terbuka untuk kita masuki Kedua, dia telah
menyiapkan sebuah jebakan!"
"Aku telah lama mengenal Tala Kangkang!
Dia tak akan mungkin melakukan tindakan pen-
gecut!"
"Melarikan diri setelah menyelamatkan mu-
ridnya dan lelaki yang patah kakinya, apakah bu-
kan tindakan pengecut?" maki orang dalam ke-
ranjang.
"Buntet Kalamangsang! Kau belum menge-
nai dia!"
"Astaga!" keranjang itu bergoyang-goyang
sesaat. "Sekar Sengkuni, kau ingin membunuh-
nya, atau mengajakku untuk mengenalnya lebih
dekat?!"
Ucapan orang yang tidak diketahui seperti
apa rupanya itu membuat Sekar Sengkuni men-
gertakkan rahangnya.
"Terkutuk!" geramnya seraya melangkah
memasuki pintu gerbang berwarna merah yang
terbuka. Di belakangnya, keranjang itu melom-
pat-lompat mengikutinya.
Berjarak lima belas langkah dari pintu ma-
suk ke dalam istana Gerbang Merah, Sekar Seng-
kuni menghentikan langkahnya bersamaan satu
sosok berpakaian merah muncul dari dalam,
Untuk beberapa saat perempuan setengah
baya berpakaian hijau ini terdiam tak berkedip.
Napasnya memburu. Getaran di dadanya memacu
amarahnya, tetapi juga memacu kerinduan yang
telah lama dipendam.
Resi Tala Kangkang mengembangkan senyum.
"Selamat datang di kediamanku ini, Sekar
Sengkuni...," sapanya ramah.
Sekar Sengkuni masih terdiam. Seolah
meyakinkan diri kalau lelaki itu memang lelaki
yang pernah dan masih dicintainya.
Justru Buntet Kalamangsang yang menjadi
geram.
"Perempuan celaka! Manusia yang telah
menyakitimu telah berdiri di hadapanmu! Menga-
pa kau bersikap seperti kambing dungu, hah?!"
Bentakan itu menyadarkan Sekar Sengkuni
dari tujuannya semula. Saat itu juga kemarahan-
nya muncul lagi. Kebenciannya menggebu-gebu
kendati dia harus susah payah menindih kerin-
duan yang datang di hatinya.
"Hampir tiga puluh tahun lewat tak jumpa,
ternyata kau masih tetap gagah. Tala Kangkang!"
Sementara dari dalam keranjang terdengar
dengusan. Resi Tala Kangkang tersen3rum. Seraya
melangkah dia berkata, "Kau pun tak berbeda
jauh dari tiga puluh tahun yang lalu. Sekar Seng-
kuni!"
Sekar Sengkuni terdiam. Dadanya berdebar.
"Gila! Mengapa aku jadi gagap begini? Uca-
pannya tadi... ah, dia seperti tetap mengin-
gatku...."
Selagi Sekar Sengkuni membatin begitu,
Buntet Kalamangsang menggeram, "Perempuan
celaka! Mengapa harus membuang waktu lagi? Ki-
ta bunuh manusia satu itu!"
Kembali amarah Sekar Sengkuni beranjak naik.
"Berhenti di sana!" bentaknya. Setelah Resi
Tala Kangkang berhenti dia membentak lagi, "Aku
datang untuk mencabut nyawamu. Tala Kang-
kang!"
"Meskipun aku telah menduga demikian,
tetapi aku merasa heran mengapa kau begitu
bernafsu menginginkan nyawaku!"
"Tiga puluh tahun lewat kau telah menya-
kiti hatiku! Dan rasa sakit hatiku itu telah ber-
buah dendam, baru akan padam setelah meli-
hatmu mampus!"
"Terkutuk!" desis Buntet Kalamangsang.
"Mengapa dia masih banyak bicara? Kalau begitu...."
Memutus kata batinnya sendiri dan sebe-
lum Resi Tala Kangkang menjawab, Buntet Kala-
mangsang telah melesat cepat. Gemuruh angin
mendahului lesatan keranjang anyaman kayu la-
pis itu, di belakangnya mengikuti asap hitam
yang pekat.
Sekar Sengkuni terkesiap melihat tindakan
yang dilakukan Buntet Kalamangsang. Di sebe-
rang, Resi Tala Kangkang hanya memperhatikan
saja lesatan keranjang yang mengarah pada da-
danya.
Di saat lain, dia sudah menghindar dengan
gerakan yang sukar diikuti mata.
Brrooolll!!!
Keranjang itu menghantam dinding di
samping kanan pintu utama yang berpentalan ke
dalam. Begitu menghantam dinding, keranjang itu
sudah melesat, memburu ke arah Resi Tala Kang-
kang.
Kali ini kakek berpakaian merah tak
menghindar seperti tadi. Kaki kanannya dis-
urutkan ke belakang, lalu dengan tangan ditekuk
disongsongnya keranjang itu.
Plak!
Keranjang itu terpental dan membalik lagi.
Di pihak lain Resi Tala Kangkang mundur dua
tindak seraya menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Kejap lain diputar kedua tangannya
di atas kepala lalu dihentakkan.
Blaaamm!
Keranjang itu terpental lebih jauh terkena
dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di
udara. Terdengar suara membentak keras, me-
nyusul keranjang itu hinggap di atas tanah yang
segera berhamburan.
"Perempuan celaka! Kau ingin melihatku
mampus, hah?!" geramnya sengit.
Seperti disadarkan. Sekar Sengkuni meng-
geram sengit. Dia sudah menggebrak cepat dis-
usul Buntet Kalamangsang.
Resi Tala Kangkang menarik napas panjang.
"Rasanya hal ini memang tak bisa dielak-
kan lagi. Aku harus menyelamatkan diri."
Seraya menghindari dua serangan yang da-
tang susul men3aisul, Resi tala Kangkang mengi- .
baskan tangan kanan kirinya. Dari tangan ka-
nannya meneelat eahaya merah sementara dari
tangan kirinya meneelat eahaya putih.
Dengan ilmu 'Kabut Bayangan Menembus
Gelap' Resi Tala Kangkang berhasil memukul
mundur kedua lawannya. Tetapi di saat lain, Se-
kar Sengkuni sudah melesat disertai teriakan,
"Ilmu 'Kabut Bayangan Menembus Gelap'
hanya akan menjadi sebuah nama belaka!!"
Masih melesat tiba-tiba saja tubuhnya ber-
balik dengan kepala di bawah. Kedua kakinya te-
rentang eepat dan memutar laksana baling-baling
kapal berkeeepatan tinggi.
Segera berhamburan gelombang angin
yang perdengarkan suara bergemuruh. Tanah di
sekitar Istana Gerbang Merah berhamburan. Pe-
pohonan yang tumbuh di sana tumbang dan ter-
pental menabrak dinding yang seketika roboh.
Jendela-jendela Istana Gerbang Merah hancur be-
rantakan.
Resi Tala Kangkang tereekat begitu melihat
eahaya merah dan putih yang keluar dari tangan
kanan kirinya terhantam dan berbalik menderu
ke arahnya.
"Astaga!!" serunya terkejut seraya bergulingan.
Blaaam! Blaaammm!
Cahaya merah dan putih itu menabrak
dinding istana hingga jebol dan bergetar. Belum
lagi si kakek berdiri, keranjang diiringi asap hitam
sudah melesat ke arahnya. Resi Tala Kangkang
masih berhasil memukul keranjang itu hingga
terpental, tetapi dia harus eepat menghindari
hamburan angin dahsyat yang keluar dari puta-
ran kaki Sekar Sengkuni seperti kepalanya tak
menyentuh tanah.
"Luar biasa! Rupanya selama bertahun-
tahun ini Sekar Sengkuni telah menciptakan ju-
rus yang luar biasa untuk menandingi ilmu
'Kabut Bayangan Menembus Gelap'," desisnya
dengan napas memburu.
Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh-
nya. Paras si kakek menjadi tegang. Sekar Seng-
kuni yang dilanda kemarahan tinggi terus mence-
car, sementara Buntet Kalamangsang hanya ter-
diam di dalam keranjangnya. Dia muntah darah
akibat dorongan kedua tangan Resi Tala Kang-
kang.
Tetapi apa yang dilihatnya kemudian mem-
buatnya geram. Karena Sekar Sengkuni seperti
sengaja menurunkan keeepatan menyerangnya.
Terlihat dari gelombang angin yang tidak sedah-
syat sebelumnya.
"Terkutuk! Rupanya dia memang masih
meneintai Tala Kangkang! Terbukti dia menurun-
kan daya serangannya! Ini tak boleh terjadi! Tak
boleh terjadi!!" dengus Buntet Kalamangsang lalu
berseru keras, "Sekar Sengkuni! Bila kau memang
berniat untuk membunuhnya, putuskan segala
apa yang kau rasakan! Hilangkan masa lalumu
kalau kau pernah meneintainya! Dia adalah mu-
suh besarmu yang telah menyakiti hatimu!!"
Sekar Sengkuni yang masih dalam kedu-
dukan kepala di bawah menggeram sengit.
"Keparat! Apa yang telah kulakukan?" de-
sisnya gusar pada dirinya sendiri. "Manusia cela-
ka itu harus mampus! Harus mampus!!"
"Perempuan bodoh!'" maki Buntet Kala-
mangsang lebih keras. "Tindakanmu itu justru
akan meneelakakanmu sendiri!"
"Diaaamm!!" bentak Sekar Sengkuni geram.
Kejap lain serangannya sudah sedahsyat
sebelumnya. Resi Tala Kangkang masih terus ber-
lompatan menghindari serbuan gelombang angin
raksasa yang mengerikan.
Bagian kiri Istana Gerbang Merah sudah
porak poranda. Di bagian tengah terdengar suara
atap ambruk.
"Celaka! Aku harus bertahan!" serunya.
Tetapi tiba-tiba... dess!!
Resi Tala Kangkang terpental ke depan
tatkala satu jotosan menghantam punggungnya.
Dia sempoyongan tanpa dapat mengendalikan ke-
seimbangannya.
Sekar Sengkuni yang semakin gila dengan
serangannya tiba-tiba saja menghentikan seran-
gannya, sehingga Resi Tala Kangkang urung ter-
kena sambaran gelombang angin memutar yang
keluar dari kedua kakinya. Bersamaan dia tegak
kembali di atas tanah, mulutnya membentak,
"Kakek keparat! Mengapa kau ikut campur uru-
sanku, hah?!"
Berjarak dua puluh langkah dari tempat-
nya, Demit Serigala menyeringai. Dialah yang tadi
membokong punggung Resi Tala Kangkang.
"Kekasihku... aku tahu, kau tak akan per-
nah membalas einta kasihku sebelum Tala Kang-
kang mampus kubunuh...."
"Keparat!" geram Sekar Sengkuni penuh
kebeneian. Matanya berapi-api menatap kakek
berpakaian eompang-eamping warna merah. "Bi-
arpun kau membunuh Tala Kangkang, kau tetap
tak akan pernah mendapatkan cinta kasihku!"
Seringaian di bibir Demit Serigala seketika
lenyap.
Matanya berkilat-kilat penuh bahaya.
"Perempuan celaka! Berpuluh tahun aku
berusaha mendapatkan ketulusan cintamu, tetapi
hingga sekarang belum juga kudapatkan! Bahkan
kau berani menghina keputusanku untuk mem-
bunuh Tala Kangkang"
"Bila kau berani melakukannya... kau akan
berhadapan denganku!"
Sebelum Demit Serigala yang tiba-tiba
muncul berseru, dari keranjang terdengar ma-
kian, "Perempuan bodoh! Apa yang dilakukan ka-
kek itu adalah sesuatu yang benar! Kau bisa
mempergunakan tangannya untuk membunuh le-
laki yang kau benci!"
"Aku tak pernah berpikir demikian! Aku
tak pernah berharap kalau dia yang membunuh
Tala Kangkang!" seru Sekar Sengkuni tanpa meli-
hat pada Buntet Kalamangsang.
Sementara itu. Resi Tala Kangkang sedang
berusaha bangkit. Punggungnya terasa nyeri. Tu-
buhnya bergetar karena ngilu. ' ^
Demit Serigala berseru jengkel, "Kuda-
patkan atau tidak cintamu, lelaki yang kuanggap
sebagai penghalang itu akan tetap kubunuh!"
Belum habis ucapannya Demit Serigala su-
dah melompat disertai gerengan laksana seekor
serigala murka. Kedua tangannya membuka den-
gan jari jemari melebar. Masih melayang di udara
ditepuk kedua tangannya.
Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-
rasnya. Resi Tala Kangkang yang baru saja men-
gembalikan ke seimbangannya, terbanting lagi ka-
rena merasakan satu dorongan tenaga menerpa
dadanya. Belum lagi dia mampu untuk menghin-
dar, segumpal cahaya merah melesat dan tiba-
tiba meletup pecah. Muncratannya meluncur ke
arah Resi Tala Kangkang dengan suara mendeng-
ing-denging.
Tetapi sebelum serangan ganas Demit Seri-
gala mengenai sasarannya, tiba-tiba saja gelom-
bang angin berputar berhamburan menghantam
muncratan cahaya merah itu.
Pias! Pias! Pias!!
Muncratan cahaya merah itu berpentalan
ke sana kemari dan menghantam tanah hingga
berlubang mengeluarkan asap.
Seketika bentakan Demit Serigala memba-
hana, "Perempuan celaka! Apa yang kau lakukan,
hah?!"
Sekar Sengkuni yang tadi menghalangi se-
rangan Demit Serigala pada Resi Tala Kangkang
menggeram sengit setelah kembali berdiri tegak,
"Jangan campuri urusanku! Lebih baik tinggalkan
tempat ini sebelum kueabut nyawamu!"
"Perempuan setani Kau benar-benar telah
menghinaku!!"
Sebelum Demit Serigala lanearkan seran-
gannya pada Sekar Sengkuni, keranjang yang tadi
bergerak-gerak melesat dan hinggap di tengah-
tengah antara Demit Serigala dan Sekar Sengkuni.
"Tahan! Kita sama-sama kawan! Kedatan-
gan kita ke sini dengan tujuan yang sama, sama-
sama ingin mencabut nyawa Tala Kangkang! Hen-
tikan pertikaian ini! Karena kita bukanlah lawan!"
Kendati masih tidak puas dengan apa yang
dilakukan Sekar Sengkuni, Demit Serigala berse-
ru, "Kau dengar ueapan orang dalam keranjang
itu! Bila kau tidak puas, setelah kita bunuh Tala
Kangkang, kita bisa teruskan urusan kita sendi-
ri!"
Sekar Sengkuni tak menjawab. Parasnya
diliputi oleh rasa bingungnya sendiri. Di satu pi-
hak, keinginan untuk membunuh Resi Tala
Kangkang begitu mendesak. Tetapi di pihak lain, c
begitu melihat lelaki yang sangat dieintainya ini,
kelembutannya sebagai seorang perempuan tiba-
tiba muncul.
Buntet Kalamangsang membentak, "Cepat
kau ambil keputusan sebelum akhirnya berubah
menjadi tak karuan!"
Sekar Sengkuni masih tak buka mulut. Di-
perbatikannya bagaimana Tala Kangkang sedang
berusaha berdiri dengan kedua kaki goyah. Dari
mulutnya telah merembas darah segar.
"Perempuan keparat!" maki Demit Serigala.
"Kau mau membalas cintaku atau tidak, aku su-
dah tidak peduli! Tetapi lelaki itu harus mampus
saat ini juga!"
"Kau harus mengambil keputusan, Sekar
Sengkuni!" seru orang dalam keranjang: "Aku tak
mengerti akan sikapmu yang berubah menjadi
lembek seperti itu! Orang yang hendak kau bu-
nuh sudah tak berdaya, melakukannya pun bu-
kan sebuah kesukaran lagi! Cepat ambil keputu-
san, sebelum aku berubah pikiran untuk berada
sebagai pihak lawan denganmu!!"
Sekar Sengkuni memandangi orang-orang
yang berada di sana bergantian. Sorot matanya
memancarkan dendam dan kelembutan yang ter-
sisa. Gelora dadanya menyesakkan napasnya.
Ditariknya napas pelan-pelan sementara
kedua tangannya mengepal. Di lain kejap, terden-
gar desisannya dingin, "Bunuh lelaki keparat
itu!!"
Habis ucapannya. Demit Serigala sudah
menerjang dengan jari-jari membuka membentuk
cakar. Seperti serangan yang pertama tadi dila-
kukan, kembali segumpal cahaya merah melesat,
meletup dan bermuncratan ke arah Resi Tala
Kangkang yang hanya bisa memandang dengan
mata tegar!
Namun mendadak saja terdengar suara
deheman yang sangat keras, menyusul dua ge-
lombang angin yang disemburati asap merah
menggebah. Menghantam serangan Demit
Serigala.
Blaaamm! Blaaammm!!
Bersamaan letupan itu terjadi, satu bayan-
gan putih melesat dari sebelah kiri dan menyam-
bar tubuh Tala Kangkang.
"Woro Lolo!" seru Sekar Sengkuni terkejut
begitu mengenali siapa orang yang menyambar
Resi Tala Kangkang.
* * *
SEMBILAN
BAYANGAN putih yang memang Woro Lolo
memandang dingin pada Sekar Sengkuni. "Kau
tak pernah puas mencelakakan Tala Kangkang,
Sekar Sengkuni!" desisnya sementara Tala Kang-
kang sendiri terkejut melihat kehadiran Woro Lo-
lo.
"Mayang Kinanti...," desisnya memanggil
nama asli Woro Lolo.
Di pihak lain. Demit Serigala menggeram
setinggi langit pada pemuda berompi ungu yang
tadi memutus serangannya.
"Lagi-lagi kau. Pemuda celakai!" geramnya
berang seraya menerjang.
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-
ja Naga segera menjejakkan kaki kanannya. Seke-
tika tanah berderak, bergelombang dahsyat ke
arah Demit Serigala.
Sementara itu. Sekar Sengkuni menjadi
bertambah berang melihat kehadiran Woro Lolo.
Dia sama sekali tak menyangka kalau perempuan
itu akan muncul di sini. Kemarahannya kian me-
muncak. Segera diterjangnya Woro Lolo yang se-
gera melompat pula.
Di pihak lain, gadis berpakaian merah mu-
da sudah mendekati Resi Tala Kangkang.
"Guru...."
"Astaga! Kau datang kembali, Galuh...," de-
sis Resi Tala Kangkang.
Galuh Tantri mengangguk. Dia memang
muncul bersama Raja Naga. Dan bersamaan Raja
Naga hendak memutuskan serangan Demit Seri-
gala pada gurunya, satu sosok tubuh berpakaian
putih tiba-tiba pula muncul menyelamatkan gu-
runya. Galuh Tantri sendiri baru sekarang men-
genal perempuan bernama Woro Lolo.
Dan gadis ini terpaksa harus menghindar
dulu dari gurunya, karena keranjang anyaman
kayu lapis sudah menderu. Rupanya Buntet Ka-
lamangsang tak mau membuang kesempatan.
Tetapi dia harus ditahan oleh Galuh Tantri.
Tiga pertarungan yang seketika terjadi itu
membuat tempat itu bertambah porak poranda.
Bagian dalam Istana Gerbang Merah menjadi sa-
saran serangan yang luput dari sasaran.
Resi Tala kangkang yang masih dalam kea-
daan terluka dalam dengan punggung yang san-
gat nyeri, terpaksa beringsut mundur. Hati lelaki
ini dipenuhi luka, dipenuhi kepedihan dalam
mengingat kalau semua yang terjadi sekarang ini
berasal dari dirinya.
Disesalinya mengapa dia harus jatuh cinta
pada Woro Lolo. Disesalinya mengapa dia tidak
mengetahui kalau Sekar Sengkuni mencintainya.
Tetapi begitu didapat jawaban kalau pangkal dari
keributan ini berasal dari Sekar Sengkuni, pera-
saan Reel Tala Kangkang sedikit tenang kendati
hatinya pedih.
Raja Naga mencoba mencecar Demit Seri-
gala yang mengamuk. Dia memang agak kesulitan
untuk menerobos serangan demi serangan dari
Demit Serigala. Bahkan jurus 'Kibasan Naga Men-
gurung Lautan' dan 'Barisan Naga Penghancur
Karang' tak berguna sama sekali. Pemuda bersisik
coklat ini mencoba melepaskan jurus 'Hamparan
Naga Tidur' sebuah jurus yang menyerang secara
tiba-tiba. Tetapi jurus itu pun tak banyak berarti.
Hingga kemudian diputuskan untuk men-
geluarkan ilmu'Naga Mengamuk'.
Di pihak lain, Woro Lolo tak sanggup
menghadapi gempuran-gempuran Sekar Sengkuni
yang semakin berang. Putaran angin dahsyat
yang berhamburan itu membuatnya tak berani
untuk lebih mendekat.
Sementara itu sesungguhnya Galuh Tantri
bukan hanya mampu mengimbangi Buntet Kala-
mangsang yang telah terluka, bahkan dia dapat
menjatuhkan keranjang itu dengan segera. Tetapi
karena terhantam pusaran angin yang keluar dari
putaran kedua kaki Sekar Sengkuni, gadis berpa-
kaian merah muda itu kini terdesak hebat.
Dadanya terasa nyeri, napasnya sesak. Ali-
ran darahnya bertambah kacau dengan keringat
yang membanjir.
Raja Naga melihat keadaan yang tak men-
guntungkan itu. Tiba-tiba saja dia merangsek ma-
suk ke dalam pusaran serangan Demit Serigala.
Selagi kakek bongkok berpakaian compang-
camping itu harus menghindar, dia segera menee-
lat ke arah Galuh Tantri.
Tap!
Disambarnya Galuh Tantri. Dengan memu-
tar tubuh, tiba-tiba kakinya meneuat, menendang
keranjang yang sedang menderu kencang.
Buk !
Keranjang itu terpental.
Raja Naga bertindak lebih cepat. Masih
membopong Galuh Tantri dia memburu keranjang
yang terpental itu. Dengan kekuatan yang terda-
pat pada lengannya yang bersisik, dihantamnya
keranjang itu dua kali.
Jeritan keras terdengar.
Keranjang itu bergulung di atas tanah
dan... plar! Plaarrr!
Anyamannya berpentalan lepas berhambu-
ran ke sana kemari. Sesuatu masih berguling de-
ras. Setelah menabrak dinding istana, barulah se-
suatu itu berhenti. Sesuatu yang ternyata seorang
manusia bertubuh ringkihi Tanpa mengenakan
pakaian, berada dalam keadaan polos. Wajah
Buntet Kalamangsang ternyata mengerikan. Di-
penuhi dengan bopeng. Mata kirinya picak. Ram-
butnya hanya sejumput belaka. Tangan kanannya
dipenuhi luka yang memerah. Dan dia tidak me-
miliki kaki! Dan sekarang, manusia aneh berwu-
jud mengerikan itu telah tewas!
Melihat kematian Buntet Kalamangsang
perhatian Sekar Sengkuni menjadi peeah. Diting-
galkannya Woro Lolo yang sebenarnya sudah tak
berdaya. Diserbunya Raja Naga yang segera me-
lempar tubuh Galuh Tantri yang segera ditangkap
oleh Woro Lolo.
Bersamaan Sekar Sengkuni menyerangnya,
Demit Serigala juga melompat disertai gerengan
keras. Menghadapi dua tokoh sesat berilmu ting-
gi, Raja Naga terdesak hebat. Berulang kali wa-
jahnya terterpa putaran gelombang angin yang
keluar dari kedua kaki Sekar Sengkuni.
Perih tak terkira, tetapi masih ditahan se-
kuat tenaga.
"Aku tak boleh menyerah!" desisnya men-
guatkan hati. "Bila aku menyerah, bukan hanya
nyawaku yang putus, tetapi nyawa Resi Tala
Kangkang, Galuh Tantri, dan Woro Lolo juga akan
meninggalkan jasadi"
Dengan bara tekad yang kuat. Raja Naga
terus bertahan. Dia sengaja agak menjauh dari
yang lainnya agar tidak terkena sasaran seran-
gan.
Sementara itu baik Sekar Sengkuni mau-
pun Demit Serigala, sama-sama bertambah buas.
Terutama setelah anak muda itu terkena tendan-
gan Demit Serigala pada perutnya yang mem-
buatnya tersungkur.
Bersamaan dengan itu Demit Serigala me-
lompat dan berbalik. Cakar-eakarnya siap men-
cabik-cabik punggung Raja Naga!
Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan,
sesuatu yang luar biasa terjadi! Karena mendadak
saja sebuah cahaya hijau melesat dari punggung
Raja Naga.
Plaasss! .
Dan menghantam Demit Serigala yang me-
lolong keras, "Aaaakhhhh!!"
Tubuh kakek itu tergulung di atas tanah.
Di pihak lain, Sekar Sengkuni yang siap
menyerang dari depan urung melakukan seran-
gannya. Matanya membeliak lebar melihat cahaya
hijau yang kini meliuk-liuk di atas punggung Raja
Naga.
Bukan hanya Sekar Sengkuni yang terke-
siap kaget, yang lainnya pun tersentak, termasuk
Demit Serigala yang telah berhasil berdiri.
"Astaga!" seru Sekar Sengkuni tanpa sadar.
"Cahaya hijau itu... berbentuk seekor naga!!"
Saat ini Raja Naga telah berdiri tegak. Ca-
haya hijau yang berbentuk seekor naga masih
meliuk-liuk di atas punggungnya. Paras pemuda
itu tiba-tiba berwibawa. Sorot matanya bertambah ;
angker, bertambah mengerikan. Sisik-sisik coklat
yang memenuhi kedua lengannya sebatas siku,
semakin nyata.
"Aku bukanlah orang yang kejam... silakan
tinggalkan tempat ini bila ingin selamat...," desis-
nya dingin.
Cahaya hijau yang menjelma menjadi see-
kor naga itu masih meliuk-liuk. Di punggung Raja
Naga terdapat sebuah tato seekor naga berwarna
hijau, tato yang dibawanya sejak dia dilahirkan.
Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ba-
gaimana tato naga hijau itu dapat menjelma men-
jadi seekor naga berbentuk eahaya
Bahkan Dewa Naga, guru Raja Naga pun
tak bisa menjelaskan tentang naga yang keluar
dari tato itu. Sebelum Raja Naga meninggalkan
Lembah Naga, Dewa Naga pernah berpesan agar
pemuda itu memeeahkan rahasia tato naga hijau
pada punggungnya (Bila teman-teman pembaca
penasaran ingin mengetahui tentang tato naga di
punggung Boma Paksi, silakan baca episode
"Tapak Dewa Naga").
Baik Sekar Sengkuni maupun Demit Seri-
gala yang telah berdiri di samping kanannya, tak
ada yang buka suara. Mereka masih memandangi
naga hijau berbentuk cahaya itu.
"Yang kudengar selama ini kalau Raja Naga
memiliki kesaktian tinggi dan memiliki sebuah
benda sakti bernama Gumpalan Daun Lontar. Te-
tapi tak pernah kuduga kalau dia memiliki ilmu
yang aneh itu...," desis Sekar Sengkuni dalam ha-
ti.
Demit Serigala berbisik, "Kendati dia telah
mengeluarkan ilmu pamungkasnya... aku tak
akan mundur. Bagaimana dengan kau?"
Sekar Sengkuni melirik.
"Keinginanku untuk membunuh Tala
Kangkang. Dan pemuda itu telah menghalan-
ginya. Kita bunuh dia sama-sama!"
Habis desisannya, kembali Sekar Sengkuni
menerjang dengan kedua kaki berputar di atas.
Disusul oleh Demit Serigala.
Raja Naga menjerengkan sepasang ma-
tanya seraya membatin, "Manusia-manusia ini
terlalu keras kepala. Dan rasanya...."
Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba
saja naga hijau yang masih meliuk-liuk di atas
punggungnya menerjang keras. Sekar Sengkuni
yang masih berputar dengan kedua kaki di atas
itu terpelanting disertai jeritan tertahan. Di pihak
lain. Demit Serigala menjerit keras karena terkena
cakaran dari naga hijau itu.
Menyusul gelombang jeritannya memecah
alam. Karena tubuhnya telah berada dalam gigi-
tan naga hijau itu yang menggoyang-goyangkan
kepalanya. Berulang kali terdengar suara berde-
rak keras sebelum kepala naga hijau itu bergerak
ke samping kanan.
Tubuh Demit Serigala meluncur deras dan
ambruk di atas tanah menjadi mayat!
Sekar Sengkuni telah bangkit. Tanpa keli-
hatan jeri sama sekali dia menyerang lagi. Keja-
dian yang dialami oleh Demit Serigala juga diala-
minya. Tubuhnya pun terbanting di atas tanah
tanpa nyawa.
Setelah kedua orang itu telah putus nyawa,
tiba-tiba saja naga hijau terbuat dari cahaya itu
lenyap begitu saja.
Raja Naga membatin, "Aku belum berhasil
memecahkan rahasia Tato Naga Hijau pada pung-
gungku. Dan aku sama sekali tak menggerakkan
naga hijau ini untuk menyerang. Ah, terlalu men-
gerikan akibatnya, karena naga hijau ini seperti
memiliki mata dan kemampuan yang sangat luar
biasa...."
Lalu ditarik napasnya pelan-pelan. Setelah
tenaganya pulih didekatinya orang-orang yang
masih terluka di sana. Diperiksanya tubuh mere-
ka satu persatu. Dengan air yang diambil di su-
mur belakang dan direndam Gumpalan Daun
Lontar yang dikeluarkan dari balik rompinya, Ra-
ja Naga mengobati ketiga orang yang terluka itu.
Lalu dimasukkannya kembali Gumpalan
Daun Lontar sebesar dua kepalannya ke balik
rompinya yang seketika seperti bersatu dengan
perutnya.
Resi Tala Kangkang berkata, "Aku sempat
bertanya tadi pada muridku tentang siapakah
kau. Anak Muda. Tak tahunya... kaulah pemuda
yang julukannya akhir-akhir ini begitu santer...."
Raja Naga tersen3rum. Sorot matanya tetap
angker.
"Aku tak ubahnya seperti orang kebanya-
kan. Orang Tua...."
"Pemuda seperti kaulah yang dibutuhkan
oleh rimba persilatan...."
"Banyak pemuda yang melakukan tindakan
seperti yang kulakukan...," kata murid Dewa Naga
sambil tersen3rum.
"Kau betul... tetapi jarang yang mau mem-
pergunakan ilmunya untuk membela orang lain.
Di samping juga, jarang yang mempunyai kesem-
patan seperti apa yang kau raih...."
Raja Naga tersenyum.
"Orang tua... terlalu lama kau didera oleh
bayangan kerinduanmu sendiri terhadap Woro
Lolo. Demikian pula dengannya. Dan sekarang
tak ada alasan lagi yang bisa membuat kalian
memutuskan untuk berpisah...."
Resi Tala Kangkang melirik Woro Lolo yang
menunduk dengan wajah bersemu merah.
"Seperti gadis belasan tahun," kata Raja
Naga dalam hati. "Tapi... itulah cinta...."
Kemudian dia berkata, "Perjalananku ma-
sih panjang. Sebaiknya aku berangkat seka-
rang...."
Tanpa menunggu jawaban dari ketiga
orang itu, pemuda berompi ungu ini sudah me-
langkah.
"Boma...," panggilan itu menghentikan
langkahnya.
Galuh Tantri mendekat. Menatap dalam-
dalam wajah tampan di hadapannya. Terlihat ga-
dis itu seperti didera perasaan tak menentu di ha-
tinya.
Boma Paksi bertanya lembut, "Ada apa. Ga-
luh?"
Gadis itu malah tertunduk. Rona merah j
mewarnai kedua belah pipinya. ,
"Aku... aku... ah... apakah kita akan ber-
jumpa lagi, Boma?" '
Boma Paksi memegang dagu si gadis dan
mengangkatnya perlahan-lahan.
"Bila Gusti Allah mengizinkan, kita pasti
bertemu lagi...." katanya, lalu... cup!
Dikecupnya pipi kanan Galuh Tantri yang
tercekat. Mulutnya urung berucap, karena pemu-
da itu sudah lenyap di hadapannya.
"Boma...," desisnya pada angin,
Resi Tala Kangkang memanggil, "Galuh...
aku tahu apa yang kau rasakan...."
Gadis itu tetap terpaku di tempatnya.
Dibantu Woro Lolo, Resi Tala Kangkang
mendekati Galuh Tantri.
"Lupakan pemuda itu untuk sementara.
Seperti yang dikatakannya tadi, bila Yang Maha
Kuasa mengizinkan, pasti kalian akan bertemu
lagi...."
Galuh Tantri mendesah pendek.
"Guru benar...."
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Istana
Gerbang Merah kini hanya tinggal kenangan...."
Perlahan-lahan seiring hari yang beranjak
siang, ketiganya melangkah meninggalkan Istana
Gerbang Merah. Baru tiga langkah berada di luar
pintu gerbang, tiba-tiba terdengar suara membe-
dah alam,
"Untuk saat ini aku gagal membunuhmu.
Tala Kangkang! Tetapi kelak, aku akan mene-
ruskan niatku ini!" ;
Ketiganya terkejut. Galuh Tantri dan Woro
Lolo bersiap karena mengenali suara yang telah
lenyap itu.
Resi Tala Kangkang mendesis pelan, "Ter-
nyata dia belum mati...."
"Guru! Mayatnya masih berada di sana!"
seru Galuh Tantri. |
"Tidak! Kita tidak akan menemukannya lagi.
Rupanya Sekar Sengkuni telah mengeluarkan
ilmu 'Muslihat Mata Bayangan' untuk mengelabui
Raja Naga. Dan... aku sangat mempereayai uea-
pannya kalau dia akan datang lagi...."
Resi Tala Kangkang melangkah ditemani
Woro Lolo. Galuh Tantri masih penasaran akan
kata-kata gurunya. Dia berbalik ke halaman Ista-
na Gerbang Merah.
Dan tak menemukan mayat Sekar Sengkuni di sana....
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
I I Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon