SATU
PEMUDA berompi ungu itu berdiri mematung.
Sepasang matanya yang selalu menyiratkan keangke-
ran, memandang tak berkedip pada gadis yang sedang
tersenyum di hadapannya. Sementara si gadis yang di-
"Mengapa harus bersikap aneh seperti itu, Raja
Naga?" ucapnya sambil maju dua langkah. Lalu sam-
bungnya sambil mengedipkan sebelah matanya,
"Atau... kau masih gusar akan sikap anak buahku
itu?"
Raja Naga yang sempat terkejut melihat siapa ga-
dis di hadapannya, menghela napas pendek. Mata
angkernya sesaat mengerjap sebelum berkata, "Sebe-
lumnya, kau kukenal sebagai gadis yang sedang terbu-
ru-buru karena mendendam pada perempuan berjuluk
Kembang Darah! Tetapi sekarang, kau laksana seorang
ratu yang menguasai para prajurit!"
Gadis berpakaian putih bersih itu tersenyum.
Tangannya mengulap, memberi tanda pada lima lelaki
berpakaian dan bertopeng hitam yang masih berlutut
untuk meninggalkan tempat.
Setelah kelima orang itu dengan patuhnya berla-
lu, dia berkata pada Raja Naga, "Apa yang kukatakan
sebelum kita berjumpa kembali memang benar adanya.
Raja Naga... aku memang mendendam pada Kembang
Darah yang telah membunuh...."
"Apa yang membuatmu berada di sini?" potong
Raja Naga. Sekali lagi matanya mengerjap, ada keresa-
han yang berusaha ditindihnya. "Dan mengapa kau
menguasai kelima orang bertopeng itu?"
Pratiwi yang sebelumnya tidak memakai jubah
putih tertawa kecil.
"Kau salah, Raja Naga. Aku tak merasa mengua-
sai kelima orang itu. Mereka adalah para begundal dari
Bukit Waru. Kebetulan aku dapat mengalahkan mere-
ka kala mereka menuduhku sebagai orang Kembang
Darah."
Raja Naga menyipitkan matanya. Lalu bersede-
kap. Nampaklah kedua tangannya mulai dari jari jema-
ri hingga sebatas siku dipenuhi sisik coklat.
"Berarti mereka juga mendendam pada Kembang
Darah. Dan secara tidak langsung, mereka mengikuti-
mu karena kebetulan pula mendendam pada Kembang
Darah?"
"Tepat! Apakah itu artinya aku menguasai mereka?"
Raja Naga tak mempedulikan ucapan Pratiwi.
"Mengapa kau kembali ke tempatmu ini, padahal
sebelumnya kau sudah hendak langsung menuju ke
Tanah Kematian di mana Kembang Darah berada?"
tanya murid Dewa Naga. Nada suaranya dibuat biasa
saja hingga tak terkesan kalau dia sedang menyelidik.
Tetapi gadis yang kini mengenakan jubah putih
itu tahu kalau pemuda tampan berambut dikuncir ku-
da di hadapannya sedang menyelidik.
"Kau terlalu curiga rupanya, Raja Naga," katanya
sambil tersenyum. "Tetapi apa yang kau lakukan me-
mang tidak salah, mengingat tindakan kurang ajar ke-
lima anak buahku itu. Tetapi seperti yang mereka ka-
takan, mereka tidak tahu siapa kau adanya. Raja Na-
ga, biar kau tidak lagi memandang curiga akan kuje-
laskan sedikit."
Pratiwi melangkah mondar-mandir sambil mene-
ruskan kata-katanya, "Setelah mencuri dengar perca-
kapanmu dengan temanmu yang bernama Lesmana,
kuputuskan untuk kembali ke sini untuk memberita-
hukan kelima temanku kalau aku sudah menemukan
di mana Kembang Darah berada. Dan malam nanti,
kami telah memutuskan untuk menuju ke Tanah Ke-
matian. Tetapi ya... dunia ini ternyata memang kecil,
karena kau sudah berada di sini."
"Berarti kau mengetahui kedatanganku?"
"Siapa bilang aku mengetahui kedatanganmu?"
Pratiwi tersenyum lagi, membuat Raja Naga harus me-
nahan napas.
Untuk sesaat pemuda berambut dikuncir kuda
itu teringat pada Diah Harum alias Dewi Kembang
Mawar. Tapi di saat lain, sudah ditindihnya ingatan
itu.
"Pratiwi... siapa pun kau adanya dan apa yang
kau inginkan dari Kembang Darah itu adalah urusan-
mu. Dan aku...."
"Bukankah kau juga menginginkan nyawa Kem-
bang Darah?" potong Pratiwi, lagi-lagi tersenyum.
Raja Naga terdiam dan entah mengapa wajahnya
memerah.
"Ah, mengapa aku harus berjumpa lagi dengan
gadis yang hanya mengingatkanku pada Diah Harum?
Perasaanku jadi teraduk-aduk dan ada keinginan un-
tuk memeluknya...."
Di seberang, gadis berhidung bangir itu menge-
rutkan keningnya sambil menatap Raja Naga.
"Raja Naga... adakah ucapanku yang salah?"
"Oh! Tidak, tidak!" sahut Boma Paksi sedikit ki-
kuk. Matanya yang biasanya selalu memancarkan
keangkeran, kali ini mengerjap-ngerjap beberapa kali.
"Brengsek! Mengapa aku jadi gugup begini?" sam-
bungnya dalam hati.
"Tetapi kau...."
"Pratiwi...," potong Raja Naga sedikit terburu-
buru. Bahkan dia hampir-hampir tak berani menatap
Pratiwi. "Kau salah bila mengatakan aku menginginkan
nyawa Kembang Darah! Tidak, tidak sama sekali! Aku
hanya berusaha untuk menolong kedua sahabatku
yang bernama Lesmana dan Ratih!"
Pratiwi terdiam, tatapan beningnya menghujam
tepat ke bola mata Raja Naga. Yang ditatap menjadi
makin gelisah.
"Bila terus menerus aku berada di sini, rasanya
akan semakin parah. Ingatanku pada Diah Harum
akan semakin menjadi-jadi. Sebaiknya aku pergi saja,"
katanya dalam hati.
Dengan menenangkan perasaannya, pemuda dari
Lembah Naga itu berkata, "Bila kau masih hendak me-
nunggu malam untuk menuju ke Tanah Kematian, la-
kukanlah. Sementara aku akan berangkat sekarang."
Tanpa menunggu sahutan Pratiwi, pemuda itu
sudah berbalik meninggalkan tempat itu. Di tempat-
nya, sejenak Pratiwi mengerutkan keningnya melihat
tingkah gugup Raja Naga. Tetapi di saat lain, dia terse-
nyum sendirian.
Setelah meninggalkan Pratiwi, Raja Naga terus
berkelebat ke arah utara. Sepanjang larinya dia menge-
luh dalam hati, memikirkan mengapa dia harus ber-
jumpa dengan gadis yang berwajah mirip dengan Diah
Harum yang diam-diam dicintainya?
Bila saja Diah Harum alias Dewi Kembang Mawar
belum tewas, mungkin hatinya tak akan segelisah ini.
Karena akan dicarinya gadis yang dicintainya itu ke
mana pun juga. Tetapi Diah Harum, gadis itu, telah
tewas!
"Mengapa aku harus memikirkan Diah? Sebaik-
nya kuteruskan ke Tanah Kematian. Kukhawatirkan
nasib Lesmana yang sudah menuju ke sana. Dan lebih
kucemaskan Ratih yang hingga saat ini belum diketa-
hui keadaannya."
Sambil membawa lara hatinya yang berusaha un-
tuk dipendam, pemuda dari Lembah Naga itu terus
berlari.
* * *
Tempat yang sunyi itu tiba-tiba menjadi riuh se-
saat, karena beberapa ekor burung kematian melewati
tempat itu dengan suara memekakkan telinga. Saat ini
senja telah datang dan tempat yang bernama Tanah
Kematian itu seperti telah diselimuti malam. Bau bu-
suk menguar di seantero Tanah Kematian.
Di dalam salah satu dinding bukit yang terdapat
di sana, seorang gadis berpakaian kuning tergeletak
tanpa daya. Paras manis gadis itu kuyu. Tubuhnya
sama sekali tak bisa digerakkan kecuali lehernya saja.
Sepasang pedang tergeletak di sisi kanannya.
Gadis yang bukan lain Ratih adanya, menarik
napas pendek dan menghembuskannya perlahan-
lahan berusaha menghilangkan kegelisahan sekaligus
ketakutannya.
"Aku tak boleh gentar... aku harus tabah," ka-
tanya dalam hati. Sekujur tubuhnya tetap tak berge-
rak. "Bunga Kemuning Biru... aku baru tahu apa yang
dihendaki oleh Kembang Darah. Bunga Kemuning Bi-
ru... ah, apakah ini ada urusannya dengan mendiang
Guru?"
Untuk beberapa saat gadis murid mendiang Se-
tan Bayangan ini terdiam. Dia berusaha menghibur di-
ri guna mengatasi keadaan yang dialaminya sekarang.
Lalu diingatnya kejadian beberapa minggu lalu
yang dialaminya, di mana dia menyalahkan Lesmana
karena membiarkan guru mereka tewas. Dan sekarang
disesalinya sikapnya itu, setelah mengetahui Setan
Bayangan adalah orang golongan sesat!
"Walaupun sudah tewas, Guru masih tetap mem-
bawa bencana kepadaku dan Kakang Lesmana. Men-
gapa dia tak pernah menceritakan tentang Bunga Ke-
muning Biru? Dan sekarang...."
Kata batin gadis berkuncir dua itu terputus ka-
rena dirasakannya satu desiran angin menderu ke
arahnya. Kejap itu pula dipalingkan kepalanya ke ka-
nan.
"Celaka! Dia muncul lagi!" desisnya dengan wajah
pias.
Orang yang baru muncul itu menyeringai. Wa-
jahnya yang mirip kucing semakin bertambah menge-
rikan.
"Kembang Darah belum kembali dari tugas yang
kuberikan untuk membunuh Raja Naga, berarti masih
ada waktu yang bisa kita lewatkan untuk menda-
patkan kenikmatan. Bukankah kau sudah menunggu
kedatanganku, Anak manis?"
Ratih melotot. Kengeriannya tiba-tiba lenyap
mendengar kata-kata kotor itu.
"Manusia iblis! Lepaskan totokan setan betina itu
dari tubuhku! Kita bertarung sampai mampus!"
Lelaki tua berpakaian hitam dengan jubah hitam
yang sangat pekat itu terbahak-bahak. Dua buah ant-
ing yang mencantel di telinganya bergoyang-goyang
saat dia tertawa.
"Anak manis... berani betul kau bicara seperti itu
pada Datuk Meong Moneng? Menghadapi Kembang
Darah saja kau tak becus, apalagi menghadapi aku?!"
"Setan! ingin kubuktikan ucapanmu!" bentak Ra-
tih dengan mulut mencibir.
Tawa Datuk Meong Moneng tiba-tiba terputus.
Sepasang matanya menghujam mengerikan. Dan dia
semakin murka karena Ratih berani membalas tata-
pannya.
"Anak manis.. kau sudah tak kubutuhkan Lagi!
Bunga Kemuning Biru telah kudapatkan! Tetapi... ha-
haha... sudah tentu kau akan kubunuh bila tidak ku-
butuhkan Lagi! Kau tahu apa artinya? Artinya... aku
masih membutuhkanmu!"
"Setan! Iblis! Berani kau menyentuh tubuhku,
aku bersumpah akan memotong tubuhmu sekecil-
kecilnya!!"
Lelaki berambut jarang itu tertawa semakin ke-
ras, hingga menggema di gua itu. Kumis jarang yang
melintang laksana kumis kucing bergerak beberapa
saat.
Masih tertawa Datuk Meong Moneng berlutut.
Ratih menggeram, lalu....
Cuh!
Ludahnya menempel di wajah kucing Datuk
Meong Moneng. Yang diludahi bukannya gusar, justru
mengusap wajahnya dan menjilat telapak tangannya
itu.
"Cih!" bentak Ratih jijik.
"Mengapa, Manis? Mengapa kau jadi bersikap ti-
dak bersahabat begitu? Apakah kau...."
"Bila Raja Naga berada di sini, kau tak akan per-
nah diampuni olehnya!"
Menegak kepala Datuk Meong Moneng. Tatapan-
nya tajam pada Ratih. Seolah baru menyadari bahaya
yang mengancamnya, gadis berwajah manis itu bergi-
dik.
"Keparat! Kau akan melihat nasib Raja Naga bila
berada di hadapanku! Kau tahu, Raja Naga bukanlah
tandinganku! Tetapi.... Malaikat Biru!!"
Sesungguhnya Ratih tidak mengenal siapa Malai-
kat Biru adanya, tetapi satu gagasan telah melintas di
benaknya.
Dia mencibir. "Menghadapi Malaikat Biru kau
hanya akan membuang nyawa percuma meskipun kau
mempergunakan Bunga Kemuning Biru yang katanya
mampu membunuh Malaikat Biru! Manusia kucing!
Apakah kau tidak pernah mengkaji siapa dirimu sebe-
narnya?!"
"Terkutuk!" terdengar suara rahang dikertakkan.
Kedua tangan Datuk Meong Moneng yang dipenuhi bu-
lu-bulu halus mengepat kuat.
Ratih semakin berani untuk berucap, "Hei! Kalau
kau memang ingin membuktikan kemampuanmu da-
pat mengalahkan Malaikat Biru, akan kutunjukkan di
mana dia berada!"
Datuk Meong Moneng memandang tajam.
"Katakan!!"
"O ya? Jadi aku harus mengatakannya?"
"Setaaann!!" Tangan kanan Datuk Meong Moneng
sudah terangkat, siap untuk menempeleng wajah Ra-
tih.
"Tunggu!" seru Ratih dengan dada berdebar. Ke-
takutannya kembali muncul. Tetapi dia harus bersikap
tegar, karena dilihatnya Datuk Meong Moneng mulai
termakan ucapan omong kosongnya. Lalu dengan me-
nenangkan dirinya dia berkata, "Datuk! Membunuhku
bukanlah sesuatu yang sulit bila kau kehendaki. Teta-
pi ingat, bila kau membunuhku, kau tak akan men-
jumpai di mana Malaikat Biru berada!"
"Aku akan mencari manusia keparat itu tanpa
bantuanmu!"
"O ya?" seru Ratih dengan dada makin berdebar.
Tangan kanan yang terangkat itu melayang.
Plak!!
Pipi Ratih langsung memerah. Darah mengalir
dari mulut dan hidungnya. Perihnya tak terkira, bah-
kan terasa hingga seluruh tubuhnya yang sakit.
Datuk Meong Moneng menggeram. "Kau benar,
Anak Manis! Untuk apa kau kubunuh sekarang?!"
"Betul! Betul itu!" seru Ratih sambil menahan ra-
sa sakitnya.
"Ya! Memang betul! Karena... kau akan kunikmati
dulu sebelum kau mampus!"
"Oh!!" wajah Ratih seketika menjadi kaku. "Cela-
ka! Aku memang tak akan mungkin menghindarinya!
Tuhan... apakah nasibku akan sesial seperti seka-
rang?"
"Mengapa kau menjadi tegang, Anak manis?" se-
ringai Datuk Meong Moneng. Tangan kanannya telah
menempel di payudara Ratih sebelah kanan.
"Setan! Lepaskan! Lepaskan!"
Datuk Meong Moneng terbahak-bahak. Tanpa
menghiraukan seruan Ratih, dengan kasar tangan ka-
nannya meremas-remas payudara gadis itu. Bahkan
payudara yang sebelahnya lagi pun telah dihinggapi
oleh tangan jahatnya.
"Terkutuk! Aku bersumpah! Aku bersumpah
akan... oh!!"
Breeekk!!
Pakaian di bagian dadanya telah robek. Terlihat
pakaian putih tipis yang menampakkan sepasang bu-
kit indahnya yang mengkal. Dengan kasar Datuk
Meong Moneng meremas-remasnya Lagi.
"Terkutuk! Lepaskan! Lepaskan!!"
"Meremas bukit sehalus dan seindah ini memang
sangat menyenangkan bila tak terlapisi apa-apa!" se-
ringai lelaki bermuka kucing itu sambil merobek lagi
pakaian dalam Ratih. Hingga yang nampak sekarang
sepasang payudaranya yang putih dan halus.
Sementara Ratih terus berteriak-teriak minta di-
lepaskan, Datuk Meong Moneng terus meremas-remas
bukit-bukit halus yang menggiurkan itu. Ratih menje-
rit sekuat tenaga dengan ketakutan yang teramat san-
gat tatkala tangan kanan Datuk Meong Moneng mera-
ba perutnya untuk hinggap di tempat yang dituju.
"Manusia setan! Kubunuh kau! Kubunuh!!"
"Sudah kukatakan, aku tak memerlukanmu un-
tuk mendapatkan Malaikat Biru! Malah kau yang akan
kudapatkan!!"
Penuh seringaian, diremas-remasnya paha gadis
berkuncir dua itu yang berusaha meronta. Tetapi ka-
rena tubuhnya dalam keadaan tertotok, apa yang dila-
kukannya adalah sebuah kesia-siaan belaka. Ratih
hanya bisa memaki-maki keras yang sudah tentu tak
dihiraukan oleh Datuk Meong Moneng.
Bahkan sambil tertawa keras, tangan kanannya
merayap naik ke atas. Bertepatan dengan niat Datuk
Meong Moneng yang hendak hinggap di pangkal paha
si gadis, terdengar bentakan yang sangat keras di de-
pan,
"Manusia keparat berjuluk Datuk Meong Moneng!
Cepat keluar untuk kucabut nyawamu!!"
"Keparaaatt!" maki Datuk Meong Moneng sambil
memicingkan matanya ke arah mulut gua. Tubuhnya
bergetar menahan amarah karena ada orang yang be-
rani mengganggu keasyikannya. "Siapa manusia yang
cari mampus itu?!"
Kejap lain, lelaki berjubah hitam itu sudah mele-
sat ke depan diiringi teriakan mengguntur, "Terkutuk
hina! Kau telah membuat kedua telingaku pekak!!"
Sementara itu, Ratih menangis tersedu-sedu,
tangis gembira karena masih terlepas dari kejadian
yang memalukan. Dan dia tetap menyadari kalau ba-
haya itu masih mengancamnya.
***
DUA
BEGITU Datuk Meong Moneng menginjakkan ka-
kinya di atas tanah. Terdengar bentakan keras diiringi
tawa, "Rupanya kau memiliki nyali juga untuk keluar,
Datuk! Bagus! Inilah akhir kehidupanmu!"
Datuk Meong Moneng memicingkan matanya,
memandang lelaki yang berdiri sejarak dua belas lang-
kah dari hadapannya. Sekilas saja, kakek bermuka
kucing itu tahu kalau orang di hadapannya sedang be-
rusaha mengendalikan jalan napasnya, karena bau
busuk yang menguar dari Tanah Kematian,
Kejap lain terlihat kegeraman pada wajah ku-
cingnya.
"Huh! Rupanya Setan Keris Kembar yang berani
muncul di sini! Bila ingin mampus, mengapa baru se-
karang muncul?!"
Orang yang bukan lain Setan Keris Kembar
adanya menggeram. Memandang tak berkedip ke de-
pan.
"Kesaktian kakek busuk ini sudah kudengar, wa-
laupun aku belum pernah menyaksikan atau merasa-
kannya sendiri! Tetapi, Bunga Kemuning Biru berada
di tangannya! Dan aku sudah mendapatkan kehanga-
tan tubuh Kembang Darah yang ingin lepas dari tan-
gannya! Peduli setan! Bunga Kemuning Biru harus ku-
dapatkan sekaligus dapat kunikmati panas dan liarnya
tubuh Kembang Darah!"
Kakek berpakaian hitam dengan sulaman dua
buah keris bereluk delapan di kanan kirinya menger-
takkan rahang.
"Ajalmu telah dekat, Datuk! Dan aku tak pernah
berpikir dua kali untuk mengirimmu ke neraka!" se-
runya keras. Dengan seringaian di bibir dia melan-
jutkan dengan nada merendahkan, "Tetapi bila kau
menyerahkan Bunga Kemuning Biru padaku, maka
kau akan dapat menikmati cahaya matahari esok!"
Mendengar kata-kata orang, kepala Datuk Meong
Moneng menegak. Tatapannya yang memerah menghu-
jam tajam dan lama-lama menjereng. Bulu-bulu hi-
dungnya yang keluar bergetar.
"Terkutuk!!"
Wussss!!
Gelombang angin menggebrak secara tiba-tiba
tatkala tangan kanannya disentakkan ke atas. Sua-
ranya menggelegar dahsyat.
Setan Keris Kembar terperangah sesaat. Tanpa
sadar matanya mengikuti gelombang angin yang naik
ke atas itu. Dan di lain saat dia sudah menjerit terta-
han, karena gelombang angin yang mencuat ke atas itu
tiba-tiba menyebar dan menimbulkan letupan berkali-
kali. Belum lagi tuntas keanehan yang terjadi, sebaran
gelombang angin tadi turun laksana hujan!
"Setan!!" geram Setan Keris Kembar seraya men-
gatupkan kedua tangannya di depan dada. Kejap itu
pula diputar ke dalam dan disentakkan ke atas.
Blaaam! Blaaam! Blaaamm!!
Bertemunya hujan angin dari atas dengan luncu-
ran gelombang angin yang dilepaskan Setan Keris
Kembar menimbulkan letupan keras. Tempat itu se-
saat bergetar.
Menyusul letupan itu Setan Keris Kembar meme-
kik, karena desingan angin deras siap menyambar da-
danya.
Cepat diputar tangan kanannya ke samping dan
digerakkan dengan cara menyampok.
Plak! Plak!
Setan Keris Kembar terseret ke belakang. Dipan-
danginya tangan kanannya yang membiru.
Di seberang, Datuk Meong Moneng berdiri den-
gan seringaian lebar. Wajah kucingnya semakin ben-
gis. Mulutnya perlahan-lahan membuka dan terdengar
suara,
"Meeoong... meong...."
"Manusia satu ini memang memiliki ilmu tinggi!
Tapi aku tidak peduli! Bunga Kemuning Biru harus
kudapatkan!" batin kakek berambut dikuncir dengan
pita putih.
Terdengar suara pakaian disibakkan dan tatkala
ditarik keluar, di tangan Setan Keris Kembar telah ter-
pegang sepasang keris berlekuk delapan yang meman-
carkan sinar hitam!
"Mainkan senjata busukmu itu! Perlihatkan sega-
la kemampuanmu! Kau telah berani menantangku, be-
rarti berani menerima kematian!!" geram Datuk Meong
Moneng seraya melompat seperti menerkam. Jari-jari
tangannya membuka membentuk cakar! Dari jarak se-
kitar delapan langkah, Datuk Meong Moneng telah
menggerakkan kedua tangannya yang seketika me-
mancar cahaya bening yang menyilaukan.
Setan Keris Kembar tak mau membuang tempo.
Cepat pula dijejakkan kaki kanannya di atas tanah
dan....
Wuuttt!!
Tubuhnya mencelat cepat, menyongsong gerakan
Datuk Meong Moneng. Sepasang keris bereluk delapan
miliknya digerakkan dengan cepat.
Sinar-sinar hitam bergelombang delapan kali
menderu dengan suara menggebubu. Dan....
Jlegaaaarr!!
Bertemunya cahaya bening yang memancar dari
jari jemari Datuk Meong Moneng dengan sinar hitam
bergelombang delapan dari sepasang keris kakek ber-
kuncir mengakibatkan ledakan yang luar biasa hebat-
nya. Seketika tanah berhamburan ke udara setinggi
dua tombak.
Mendadak dari gumpalan tanah yang mengha-
langi pandangan, mencelat tubuh Setan Keris Kembar
yang tak mampu menguasai keseimbangannya. Belum
lagi tanah itu luruh kembali ke bumi, sosok Datuk
Meong Moneng sudah melesat dengan jari jemari men-
gembang, memburu Setan Keris Kembar.
Mendapati lawan siap mencabut nyawanya, wa-
jah Setan Keris Kembar pias seketika. Kedua matanya
melebar dan berkilat-kilat ketakutan. Namun dia bu-
kanlah anak kemarin sore. Masih belum mampu men-
guasai keseimbangannya, kakek berpakaian hitam itu
menggerakkan kedua kerisnya.
"Setan!!" maki Datuk Meong Moneng sambil
menggenjot tubuhnya hingga melayang ke depan.
Justru Setan Keris Kembar yang memekik terta-
han. Karena dirasakannya sambaran cakar Datuk
Meong Moneng di atas kepalanya. Dia masih mampu
hindari sambaran cakar lawan yang membuat telin-
ganya terasa pedas karena desingan angin yang keluar
dari sambaran cakar itu. Tetapi tendangan telak yang
menghantam dadanya tak mampu dihindari lagi.
Kontan tubuhnya berguling-guling di atas tanah
yang menyebarkan bau busuk.
Datuk Meong Moneng memang orang kejam. Se-
tiap lawan harus dibunuhnya, apalagi orang yang se-
cara terang-terangan berani menantangnya.
Diiringi suara keras, dia memburu Setan Keris
Kembar yang memekik panik. Setan Keris Kembar be-
rusaha berguling menghindari sambaran cakar kedua
tangan lawan. Hanya sebentar dia dapat melakukan-
nya, karena....
Craasss!!
" Aaaaaaakhhh!!!"
Jeritan membelah malam yang baru datang
menggema di Tanah Kematian, disusul ambruknya Se-
tan Keris Kembar. Tangan kanannya memegang bahu
kirinya yang telah buntung. Darah menghambur ke-
luar. Tetesannya berpadu dengan tanah busuk di saat
Setan Keris Kembar bergulingan, sementara tangan ki-
rinya yang buntung tergeletak. Sepasang kerisnya yang
berlekuk delapan entah jatuh di mana.
Datuk Meong Moneng telah berdiri kembali di
atas tanah. Wajah kucingnya bergerak bengis. Jari je-
mari tangan kanannya yang membentuk cakar dan te-
lah membuntungi tangan kiri Setan Keris Kembar diji-
lat-jilatnya sambil mendesis, "Meooonngg...."
Setan Keris Kembar masih berguling-guling me-
nahan rasa sakit pada tangan kirinya. Beberapa saat
laksana manusia sekarat, gulungan tubuh kakek itu
terhenti. Tetapi tubuhnya tetap mengejut-ngejut.
"Manusia yang berani menantang Datuk Meong
Moneng, berarti mencari mati! Tetapi malam ini kau
memiiiki peruntungan nasib yang baik, karena aku be-
lum mau mencabut nyawamu!!"
Setan Keris Kembar tak menjawab. Wajahnya
mengerut menahan sakit.
"Untuk saat ini kubiarkan saja dia hidup. Masih
ada pertanyaanku tentang sebab-sebab dia datang ke
sini. Juga mengapa dia tahu tentang Bunga Kemuning
Biru. Mencari sebab-sebabnya dapat kureka-reka. Bisa
jadi di saat Kembang Darah mendapatkan Bunga Ke-
muning Biru dia mengintip. Atau...." Datuk Meong Mo-
neng menghentikan kata batinnya. Masih memandangi
Setan Keris Kembar yang sudah tak berdaya, dilan-
jutkan jalan pikirannya, "Apakah Kembang Darah
berkhianat? Gila! Tak mungkin dia berkhianat! Ter-
bukti dia telah menyerahkan Bunga Kemuning Biru
padaku! Tetapi bagaimana manusia keparat ini tahu
kalau Bunga Kemuning Biru berada padaku?"
Untuk beberapa saat kakek muka kucing ini ter-
diam. Karena berpikir seperti itulah dia tidak membu-
nuh Setan Keris Kembar sekarang.
Tiba-tiba dihentakkan kaki kanannya da atas ta-
nah. Sesaat tanah menghambur setinggi paha. Dua
buah keris bereluk delapan milik Setan Keris Kembar
mencelat dan....
Clap! Clap!
Menancap tepat pada tanah di sebelah kanan Se-
tan Keris Kembar. Lalu penuh seringaian, Datuk
Meong Moneng melangkah masuk kembali ke gua di
mana dia tadi keluar.
Sambil melangkah dipikirkannya tentang Ratih
yang sudah tak berdaya. Dibayangkannya kembali se-
pasang buah dada kenyal gadis tujuh belas tahun yang
tadi diremas-remasnya. Terbayang pula kenyamanan
yang akan dia dapatkan bila tangannya sudah meraba
pangkal paha si gadis.
"Akan kuhabisi dia sampai aku lemas sendiri."
tawanya penuh gairah.
Namun begitu dia berada di tempat di mana di-
tinggalkannya Ratih, laksana dibetot setan lelaki ber-
jubah hitam itu berdiri tegak dengan kedua mata me-
lebar.
Ratih sudah tidak ada di tempatnya!
"Terkutuk hina! Siapa manusia yang berani lan-
cang berulah seperti ini?!" geramnya laksana guntur.
Tiba pada satu pikiran, Datuk Meong Moneng ce-
pat melesat keluar.
"Setan Keris Kembar tentunya hanya sebagai
pengalih saja, dan ada orang lain yang masuk menye-
lamatkan gadis sialan itu!" geramnya sengit.
Dan biji mata Datuk Meong Moneng benar-benar
sudah hampir melompat ketika tak melihat sosok Se-
tan Keris Kembar di sana! Tetapi dia masih melihat
tetesan darah!
"Keparaaattt!!" geramnya memecah keheningan
malam.
***
Sebenarnya siapa yang telah menyelamatkan Ra-
tih? Di saat Datuk Meong Moneng melayani Setan Ke-
ris Kembar, dari kejauhan seorang pemuda berpakaian
merah dengan garis hitam bersilangan di depan dada
tiba di ujung Tanah Kematian. Untuk beberapa lama
pemuda yang di keningnya melilit sebuah kain berwar-
na merah memicingkan matanya memperhatikan per-
tarungan sengit yang terjadi.
Setelah itu pemuda yang bukan lain Lesmana
adanya, memutuskan untuk meninggalkan pertarun-
gan yang dilihatnya. Tetapi dia teringat lagi akan jawa-
ban orang yang ditanyanya tentang letak Tanah Kema-
tian.
Diputuskan untuk memutar jalan agar kedua
orang yang bertarung itu tidak menyadari kehadiran-
nya. Sambil melangkah berhati-hati, Lesmana melihat
mulut sebuah gua pada dinding bukit yang berada di
sana.
"Tanah Kematian.... Tak salah, inilah memang
Tanah Kematian. Bau busuk yang menyengat ini cu-
kup sebagai tanda kalau tempat ini adalah tempat
yang disebut Tanah Kematian. Tetapi, siapa kedua ka-
kek yang bertarung itu? Di mana permpuan berjuluk
Kembang Darah?" pikirnya sambil tetap berhati-hati
agar kehadirannya tidak diketahui oleh kedua orang
itu.
"Di bawah bukit itu ada sebuah gua. Aku sudah
di sini. Paling tidak, aku harus mengecek apakah Ratih
memang berada di sini atau tidak. Raja Naga mengata-
kan, kalau perempuan berjuluk Kembang Darah tak
akan... ah, sudahlah! Sebaiknya kumasuki saja gua
itu!"
Dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya,
kakak seperguruan Ratih ini segera berkelebat menuju
ke gua yang dilihatnya. Dikerahkan tenaga dalamnya
begitu memasuki mulut gua. Diperhatikan sejenak ke-
dua kakek yang sedang bertarung. Setelah diyakini ke-
duanya tak ada yang melihat, hati-hati Lesmana mulai
melangkah.
Saat itulah didengarnya isakan yang cukup keras
karena menggema.
"Ratih!" desisnya dan secepat itu pula dia melesat
masuk ke dalam gua.
Begitu dilihatnya gadis yang dicintainya dalam
keadaan tak berdaya, Lesmana segera mendekatinya.
Sejenak hatinya menjadi murka tatkala melihat
keadaan Ratih. Tapi di lain saat, segera dibuka pa-
kaiannya lalu dikenakannya pada Ratih.
Saat memakaikan pakaiannya pada Ratih, tahu-
lah Lesmana kalau gadis yang dicintainya dalam kea-
daan tertotok. Diusahakan untuk mencari totokan itu,
tetapi tak ditemukannya.
Ratih yang begitu melihat kemunculan Lesmana
menjadi sangat gembira, berkata, "Kakang... cepat, ce-
pat kita tinggalkan tempat ini!"
"Ratih...," suara Lesmana bergetar karena amarah.
"Kakang... cepat! Cepat, Kakang!"
Walaupun amarahnya sudah tak dapat ditahan
Lagi, tetapi Lesmana masih berpikir jernih. Ucapan-
ucapan Ratih membuatnya merasa harus bergerak ce-
pat.
Buru-buru diambilnya sepasang pedang milik Ra-
tih yang tergeletak di samping tubuh gadis itu, dis-
elipkannya di balik pinggangnya.
Dengan membopong gadis berkuncir dua dan
bertelanjang dada, Lesmana segera keluar dari gua itu.
Dipandanginya sejenak kedua kakek yang masih ber-
tarung. Saat itu dilihatnya kakek yang bersenjata keris
telah buntung tangan kirinya.
"Kakang! Cepat!!"
Lesmana segera berlari dengan mengerahkan il-
mu peringan tubuhnya. Tepat tengah malam, pemuda
yang masih bertelanjang dada itu menghentikan la-
rinya di sebuah hutan yang ditumbuhi pepohonan
tinggi.
"Kakang...," desis Ratih dengan air mata mengge-
nang. Ingin rasanya memeluk pemuda yang dicin-
tainya, tetapi dia tak mampu menggerakkan tubuhnya
kecuali kepalanya saja.
"Jangan banyak bicara dulu. Aku akan membe-
baskanmu dari totokan celaka ini, Ratih...."
Gadis itu mengangguk-angguk. Keyakinannya
membawa kenyataan, kalau Lesmana akan menca-
rinya. Dibiarkan saja pemuda yang dikaguminya itu
meraba tubuhnya, toh bermaksud untuk mencari di
mana letak totokan yang dilakukan oleh Kembang Da-
rah.
Hampir setengah peminuman teh Lesmana beru-
saha menemukan di mana totokan yang mengaki-
batkan kekasihnya menjadi kaku seperti itu. Tetapi
masih diusahakan untuk menemukannya walaupun
tubuhnya sudah dialiri keringat.
"Sudahlah, Kakang...," kata Ratih akhirnya kare-
na kasihan melihat Lesmana.
Lesmana tak mempedulikan. Dia masih berusaha
untuk menemukan totokan pada tubuh adiknya.
"Kakang...."
"Ratih, aku harus menemukan totokan itu! Nanti
kau bisa bersemadi memulihkan tenagamu!"
"Bukan aku tidak percaya padamu, Kakang Les-
mana... tetapi, rasanya kau akan kesulitan menemu-
kannya. Itu artinya... kau hanya akan membuang te-
naga...."
Lesmana menggeleng walaupun apa yang dikata-
kan oleh Ratih benar. Karena untuk menemukan di
bagian mana sebuah totokan dilakukan, memerlukan
tenaga dalam yang tidak sedikit!
Dan akhirnya Lesmana menarik napas pendek.
"Maafkan aku...."
Ratih tersenyum.
"Kakang... kau muncul saja aku sudah bahagia.
Walaupun keadaanku seperti ini, aku tetap bahagia
Kakang...."
Lagi-lagi Lesmana menarik napas. Diingatnya ba-
gaimana dia seperti anak ayam kehilangan induk
tatkala tak menemukan Ratih di tempat semula. Be-
lum lagi dia salah menyerang, Dewi Perenggut Sukma
disangkanya sebagai penculik Ratih. Masih beruntung
dia diselamatkan oleh Raja Naga dari tangan telengas
Dewi Perenggut Sukma (Teman-teman pembaca bisa
mengetahui kisah itu dalam episode: "Bunga Kemuning
Biru").
"Siapakah yang telah melakukannya, Ratih?"
tanya Lesmana kemudian. Pandangan lembutnya me-
nerpa bola mata bening milik Ratih. Yang dipandang
tersenyum lembut
"Maafkan aku, karena telah merepotkanmu, Ka-
kang...," sahut Ratih pelan.
"Mengapa harus kau yang minta maaf. Ingat, bila
saja saat itu aku..."
"Sudahlah, Kakang. O ya, yang melakukan se-
mua ini adalah perempuan berjuluk Kembang Darah,"
kata Ratih. Lalu diceritakan semua yang dialaminya.
Lesmana mengangguk-angguk. "Berarti dugaan
Raja Naga benar."
"Kau sudah bertemu dengan pemuda dari Lem-
bah Naga itu kembali, Kakang?" Lesmana mengang-
guk.
"Ya. Tetapi, dia justru melarangku untuk menca-
rimu di Tanah Kematian. Terus terang, aku tak me-
nyukai larangannya itu."
Ratih tersenyum.
"Sudahlah. Toh kita sudah bersama lagi walau-
pun aku masih dalam keadaan tertotok. Tetapi yang
perlu kita ingat, Kakang... barangkali saja kita bisa
meminta pertolongan Raja Naga lagi untuk menemu-
kan sekaligus melepaskan totokan yang kuderita ini...."
"Aku pun berpikir demikian. Tetapi aku masih
kesal akibat larangannya. Di samping itu, aku juga
malu karena telah bersikap kasar padanya."
"Kakang... selama kita mengenal Boma Paksi, kita
sudah tahu siapa dia adanya. Tak mungkin dia akan
gusar bila berjumpa denganmu."
Lesmana terdiam beberapa saat. Lalu sambil ter-
senyum dia berkata, "Ya... barangkali dia bisa mele-
paskan totokan yang kau derita ini. Tetapi, bagaimana
dengan Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng
yang telah memiliki Bunga Kemuning Biru?"
"Untuk saat ini kita tak perlu memikirkannya du-
lu, Kakang. Dan yang kuketahui tentang Datuk Meong
Moneng, dia hendak membunuh Malaikat Biru,"
"Aku sudah mendengar dari Raja Naga tentang
hal itu. Ratih... yang manakah dari kedua kakek yang
bertarung itu yang berjuluk Datuk Meong Moneng?"
"Kau sempat melihat wajah salah seorang yang
mirip seperti kucing?"
"Ya."
"Dialah Datuk Meong Moneng."
"Lantas siapakah kakek yang lengan kirinya bun-
tung akibat serangan Datuk Meong Moneng?"
"Aku tidak tahu siapa adanya kakek itu."
Lesmana terdiam sejenak sebelum tersenyum
dan berkata, "Ayo, Ratih! Kita cari pemuda itu!"
Setelah Ratih mengangguk, Lesmana segera
membopong gadis yang kini memakai pakaiannya se-
mentara dia sendiri bertelanjang dada. Sepanjang dia
berlari, hati pemuda itu masih diliputi kegeraman pada
Datuk Meong Moneng.
Sementara itu dalam bopongan Lesmana Ratih
berkata dalam hati, "Ah, kapan lagi aku bisa bermanja
seperti ini? Sayangnya, aku dalam keadaan tertotok
hingga tak bisa kunikmati seluruhnya dengan sem-
purna...."
***
TIGA
PAGI menghampar kembali ketika Raja Naga tiba
di sebuah jalan setapak. Tak jauh dari tempatnya ber-
diri, terdapat sebuah simpangan yang di sisi kanan ki-
rinya ditumbuhi rerumputan liar. Belum lagi dipu-
tuskan untuk menempuh arah yang mana, tiba-tiba
pendengarannya yang tajam menangkap suara keleba-
tan. Disusul dengan kelebatan lain yang tak kalah ce-
patnya.
Dengan sekali empos saja, anak muda dari Lem-
bah Naga itu sudah berada di atas sebuah pohon. Dari
atas sanalah dilihatnya seorang perempuan berpa-
kaian seperti kutang berwarna merah berlari dengan
cepat. Gerakannya sungguh menakjubkan. Karena
sama sekali tak terlihat adanya rerumputan yang ber-
goyang akibat desiran angin yang keluar dari keleba-
tannya.
Belum lagi dikenalnya siapa perempuan itu, dili-
hatnya lagi seorang perempuan setengah baya berpa-
kaian warna merah panjang dengan punggung terbuka
memburu si perempuan yang pertama.
"Dewi Perenggut Sukma...," desis Raja Naga sete-
lah mengenali siapa adanya perempuan yang berlari
belakangan. "Dari tandanya, jelas kalau perempuan itu
sedang mengejar perempuan berkutang merah...
Hemm, aku jadi penasaran ingin mengetahui, apa yang
terjadi. Terutama siapa perempuan berkutang merah
itu...."
Guna menuntaskan rasa penasarannya, pemuda
yang kedua lengannya sebatas siku bersisik coklat
menunggu sampai kedua perempuan itu menjauh. La-
lu dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya dis-
usulnya masing-masing orang.
Dari kejauhan Boma Paksi jelas melihat kalau pe-
rempuan berkutang merah menghentikan larinya di
sebuah tempat yang agak terbuka. Kalau tadi sikapnya
laksana seorang pengecut, kali ini dia berdiri tegak
dengan kedua kaki sedikit dibuka, sehingga kain hitam
yang dikenakannya agak meregang.
"Bagus akhirnya kau sadar kalau kau lari pun
tak ada gunanya!" seru Dewi Perenggut Sukma begitu
hinggap di atas tanah. Tatapan tajamnya menghujam
pada perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang
berdiri sejarah lima belas langkah.
Perempuan itu menyeringai.
"Aku bukannya menghindar! Tetapi mencari tem-
pat yang lebih lapang agar kau dapat mampus dengan
nyaman!"
"Terkutuk!" geram Dewi Perenggut Sukma. Saat
itu pula dia melesat ke depan. Kaki kanan kirinya ber-
gerak laksana setan menyeret tanah hingga beterban-
gan.
Perempuan berkutang merah menyipitkan ma-
tanya, sedikit tertegun melihat kecepatan lawan.
"Gerakannya lebih cepat dari sebelumnya!" desis-
nya dalam hati. Menyusul jari jemarinya dijentikkan.
Trikkk!
Sraaatt!
Beberapa gelombang angin laksana jarum mele-
sat ke depan. Dewi Perenggut Sukma mengertakkan
rahangnya melihat serangan lawan. Dengan hanya
menggeser tubuhnya sedikit, serangan perempuan
berkutang merah melesat dari sasarannya.
Plaass! Plasss!!
Dua buah pohon yang berada di belakang Dewi
Perenggut Sukma bolong dan mengepulkan asap ter-
kena sambaran gelombang angin laksana jarum yang
dilepaskan perempuan berkutang merah.
Di pihak lain Dewi Perenggut Sukma terus mele-
sat.
Perempuan berkutang merah memekik tertahan
tatkala merasakan betapa derasnya angin yang keluar
dari gerakan kedua kaki lawan. Sambil mundur tiga
langkah, perempuan ini mengatupkan kedua tangan-
nya di depan dada, lalu diputar dan dipentangkan le-
bar-lebar.
Wrrrrr!!
Blaaammm!!
Letupan keras terjadi tempat itu sesaat seperti
bergetar. Dewi Perenggut Sukma terpelanting ke bela-
kang dan hinggap di atas tanah tanpa kehilangan ke-
seimbangan sedikit pun. Dan kejap itu juga dia mence-
lat lagi ke depan yang secara tiba-tiba meluruk dengan
kedua kaki siap menghantam dada perempuan berku-
tang merah.
Des!
Dada montok perempuan itu telak terhantam
hingga tubuhnya terjajar ke belakang. Masih belum
mampu menguasai keseimbangannya, Dewi Perenggut
Sukma sudah menerkam ke depan.
"Katakan padaku, di mana kau sembunyikan
Bunga Kemuning Biru, Kembang Darah?!"
Raja Naga yang sudah berada di atas pohon dan
menyaksikan pertarungan itu tersentak.
"Kembang Darah? Astaga! Jadi perempuan itu
adalah Kembang Darah? Hemm... bagaimana mereka
bisa bentrok? Atau... ya, ya... aku tahu jawabannya.
Tentunya Dewi Perenggut Sukma tahu semua itu keti-
ka dia diserang Lesmana yang menduganya Kembang
Darah dan menuduhnya sebagai penculik Ratih. Dewi
Perenggut Sukma tak menemukan Bunga Kemuning
Biru pada Lesmana dan sekarang dia merasa pasti ka-
lau Bunga Kemuning Biru berada di tangan Ratih yang
tentunya telah diambil oleh Kembang Darah"
Apa yang dipikirkan pemuda pewaris ilmu Dewa
Naga ini memang benar. Setelah menghasut Setan Ke-
ris Kembar dengan membiarkan kehangatan tubuhnya
dinikmati oleh kakek itu, Kembang Darah meneruskan
langkahnya untuk menjalankan perintah Datuk Meong
Moneng untuk membunuh Raja Naga. Hal itu dilaku-
kan oleh Kembang Darah, mengingat dia telah menipu
Datuk Meong Moneng kalau bunga kemuning biru
yang diberikannya pada Datuk Meong Moneng adalah
yang palsu!
"Apakah dengan menghantam dadaku ini kau
sudah merasa yakin dapat mengalahkanku?!" ejek
Kembang Darah keras, padahal dia sedang menahan
sakit. Sesungguhnya disesalinya perjumpaan tak sen-
gaja dengan Dewi Perenggut Sukma.
Selama ini antara Kembang Darah dan Dewi Pe-
renggut Sukma memang tidak ada silang sengketa,
hingga ketika berjumpa dengan perempuan berpung-
gung terbuka itu Kembang Darah sama sekali tak me-
nyangka kalau Dewi Perenggut Sukma mengetahui apa
yang dilakukannya. Karena perempuan itu menghen-
daki Bunga Kemuning Biru, mau tak mau Kembang
Darah menghadapinya!
"Bagus!" dengus Dewi Perenggut Sukma sambil
hinggap di atas tanah. "Akan kuhancurkan seluruh
tubuhmu!!"
Dengan gerakan lambat, ditarik kaki kanannya
ke belakang sementara kaki kirinya ditekuk ke depan.
Tubuhnya sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan
kedua tangannya di depan dada, mulutnya berkemak-
kemik.
Kejap itu pula sekujur tubuh Dewi Perenggut
Sukma berubah memerah yang semakin lama bertam-
bah merah. Paras jelitanya menjadi mengerikan. Bah-
kan kedua bola matanya pun memerah, menyiratkan
keganasan luar biasa.
"Nampaknya dia telah mengeluarkan ilmu Pe-
renggut Sukma," desis Kembang Darah sambil bersia-
ga. "Kendati kukeluarkan ilmu 'Lemparan Kembang
Darah' rasanya sulit untuk menandingi ilmu
'Perenggut Sukma'. Apa yang harus... astaga! Begitu
bodohnya aku ini! Bunga Kemuning Biru berada di
tanganku! Sebaiknya kucoba kehebatannya!!"
Baru habis kata batinnya, Kembang Darah meli-
hat lawan sudah mendorong tangan kanan kirinya.
Serta merta menggebrak gelombang angin berwarna
semerah darah dengan kecepatan tinggi dan menim-
bulkan suara laksana puluhan gajah mengamuk.
"Astaga!! Ganas sekali!!" seru Kembang Darah
sambil mundur. Bukan main terkejutnya perempuan
berpayudara montok itu tatkala gelombang angin me-
rah yang menyerbunya telah berubah menjadi gumpa-
lan asap.
Di saat lain, tubuhnya mengejut-ngejut keras.
Menyusul laksana sehelai daun yang tersedot pusaran
angin, tubuhnya meluncur deras ke depan, ke arah
Dewi Perenggut Sukma yang sedang menunggunya
dengan kedua telapak tangan membuka.
"Heeiiii!!"
"Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!!"
Raja Naga yang melihat keadaan Kembang Darah
sudah di ambang maut, bersiap untuk melesat, memo-
tong tarikan tenaga dari ilmu 'Perenggut Sukma' milik
perempuan berpakaian terbuka di punggung. Namun
sebelum dia melompat, sesuatu yang mengejutkan ter-
jadi. Karena....
Claasss!!
Serangkum sinar berwarna biru tiba-tiba melesat
dari dalam kain hitam yang dikenakan Kembang Da-
rah! Menambah terangnya suasana pagi!
***
Dewi Perenggut Sukma yang sudah bersiap un-
tuk menyedot seluruh tenaga dan darah Kembang Da-
rah, tersentak. Hawa panas telah menyergapnya yang
membuatnya menjerit tertahan. Namun yang mem-
buatnya terkejut bukan karena hawa panas yang me-
nyengat yang membuat kulitnya seperti melepuh, teta-
pi kekuatan dari ilmu Perenggut Sukma yang sedang
dikerahkannya seperti lenyap tertelan tenaga gaib.
Bahkan...
Brakkkk!!
Laksana terhantam sebuah godam besar tubuh-
nya terlempar ke belakang, menabrak sebuah pohon
yang sebagian besar dedaunannya saat itu pula bergu-
guran.
Di pihak lain Kembang Darah telah berdiri tegak
tanpa kurang suatu apa. Rasa sakit pada seluruh tu-
buhnya seketika lenyap. Bahkan tenaganya seperti
berlipat ganda.
Tepat di pangkal pahanya, memancar sinar biru
yang sangat terang!
Bukan hanya Dewi Perenggut Sukma yang terke-
jut melihatnya, Raja Naga sendiri tersentak sebelum
menemukan satu pikiran.
"Bisa jadi kalau sinar biru itu berasal dari Bunga
Kemuning Biru yang dimilikinya...."
Di pihak lain Dewi Perenggut Sukma membelalak,
tak berkedip memandang pada pangkal paha Kembang
Darah.
Kembang Darah tertawa keras.
"Mengapa kau menjadi seperti seorang lelaki yang
sedang diamuk birahi, hah?! Matamu lekat pada pang-
kal pahaku?! Apakah kau ingin membandingkan mi-
likmu dengan milikku? Apakah kau pikir berbeda ben-
tuk, atau berbeda dalam memberikan kenikmatan?!"
"Gila! Mengapa tahu-tahu kemaluannya seperti
mengandung tenaga sakti dan memancarkan sinar bi-
ru seperti itu?" desis Dewi Perenggut Sukma belum hi-
lang rasa kagetnya. "Apakah dia memiliki ilmu yang
berpusat pada kemaluannya?"
Namun dugaannya itu lenyap tatkala tanpa ma-
lu-malu Kembang Darah menyibakkan kain yang dike-
nakannya hingga memperlihatkan sehelai kain kecil
yang menutupi pangkal pahanya. Tanpa sungkan pula
dibuka kain kecil itu, dimasukkan tangan kanannya.
Dewi Perenggut Sukma mendengus melihat kela-
kuan Kembang Darah. Akan tetapi dengusannya
menghilang ketika melihat apa yang diambil Kembang
Darah dari balik celana dalamnya.
"Bunga Kemuning Biru!!" serunya tertahan.
Kembang Darah tertawa.
"Ya! Ini benda yang kau inginkan! Mengapa kau
lantas menjadi bengong seperti kambing dungu, hah?!
Ayo, kau rebut benda ini dari tanganku!!"
"Setan alas!" geram Dewi Perenggut Sukma dalam
hati. "Kesaktian Bunga Kemuning Biru sudah lama
kudengar! Dan benda itulah satu-satunya yang dapat
kupakai untuk membunuh Malaikat Biru yang hingga
saat ini belum kuketahui di mana dia berada! Menuju
Pusara Keramat di mana dikatakan dia tinggal pun
sangat sulit bila belum mendapatkan Bunga Kemuning
Biru!"
"Dewi Perenggut Sukma! Apakah kau sudah tidak
memiiiki keberanian Lagi untuk menghadapiku?!"
"Terkutuk! Kurobek mulutmu!!"
Dengan mengerahkan lagi ilmu Perenggut Suk-
ma, perempuan berpakaian merah terbuka di pung-
gung itu menyerang kembali. Namun serangan itu
langsung kandas seketika tatkala sinar biru yang san-
gat terang dan mengandung hawa panas luar biasa
menerjang.
Sebagian pakaian Dewi Perenggut Sukma seketi-
ka hangus. Karena rasa panas menyiksanya, dibu-
kanya sisa pakaiannya hingga kini dia bertelanjang
dada!
"Gila! Buah dadamu ternyata lebih montok dari
yang kumiliki! Kau membuatku iri, Dewi keparat!"
Di tempatnya Dewi Perenggut Sukma sedang ber-
diri dengan dada naik turun. Bukit kembarnya yang
menggunung ikutan bergerak, lembut dan agak sedikit
memerah di bagian pucuknya karena panas yang ke-
luar dari Bunga Kemuning Biru.
Dia tersentak ketika melihat kiri kanannya.
Ranggasan semak telah lebur menjadi debu!
"Celaka! Bisa habis aku di sini bila aku tetap
menghadapinya!" desisnya dengan wajah pias. Tak di-
hiraukan sepasang bukit kembarnya yang menggan-
tung agak memerah. Matanya yang kini sesekali men-
gerjap menahan jeri mengarah pada Bunga Kemuning
Biru yang dipegang Kembang Darah.
Kembang Darah sendiri yang merasa sudah di
atas angin pentangkan senyum merendahkan.
"Perempuan satu ini sebaiknya memang kubu-
nuh saja. Dialah satu-satunya orang yang tahu kalau
Bunga Kemuning Biru berada di tanganku. Bukan per-
soalan bila banyak para tokoh yang hendak merebut
benda sakti ini dari tanganku. Tapi itu sama saja
membiarkan diriku diincar terus menerus," katanya
dalam hati. Dia teringat pada Setan Keris Kembar. "Bi-
sa jadi kakek yang kubiarkan menikmati kehangatan
tubuhku telah tiba di Tanah Kematian. Bisa pula dia
sudah mampus."
Sementara itu Raja Naga sendiri tak berkedip
memandang bunga yang memancarkan sinar biru te-
rang.
"Bunga itulah yang kini menjadi rebutan para
orang golongan hitam yang mendendam pada Malaikat
Biru. Ah, sampai hari ini aku belum pernah melihat
sosok Malaikat Biru. Tapi... sebaiknya kulihat saja apa
yang akan terjadi sekarang."
Kembang Darah saat ini sedang melangkah, se-
mentara Dewi Perenggut Sukma sedikit bergetar. Tan-
pa sadar dia surut tiga langkah.
"Menjijikkan!!" tiba-tiba menggelegar bentakan
Kembang Darah menyusul digerakkan tangan kanan-
nya yang menggenggam Bunga Kemuning Biru.
Claasss!!
Serangkum sinar biru yang mengandung hawa
panas luar biasa menderu ganas. Dewi Perenggut
Sukma memekik tertahan seraya bergulingan ke samp-
ing kiri. Dia masih mencoba untuk melepaskan ilmu
'Perenggut Sukma'nya.
Blaaamm!
Jlegaaarrr!!
Ranggasan semak di belakangnya rengkah ter-
hantam sinar biru itu, yang tatkala luruh telah menja-
di debu. Menyusul terdengar ledakan yang menggetar-
kan tempat itu tatkala gelombang angin disemburati
asap merah terhantam sinar biru yang panas.
" Aaaakhhhhh!!"
Dewi Perenggut Sukma terlempar ke belakang dan....
Braaak...!
Punggung mulusnya menghantam sebuah pohon
yang sedikit bergoyang. Lalu terbanting ke depan. Sa-
dar bahaya mengancamnya, perempuan yang bertelan-
jang dada hingga sepasang bukit montoknya bergoyang
laksana bandul jam cepat-cepat berdiri. Keseimban-
gannya agak goyah.
"Membosankan!!" geram Kembang Darah. Lalu
menggerakkan tangan kanannya membabi buta.
Betapa ganasnya serangan yang keluar dari Bun-
ga Kemuning Biru. Sinar-sinar biru yang mengandung
hawa panas sangat tinggi, telah menghanguskan pe-
pohonan di sekitar sana. Lima buah pohon telah luruh
menjadi debu. Tanah berhamburan ke sana kemari.
Nyali Dewi Perenggut Sukma putus sudah. Hanya
nalurinya saja yang masih membuatnya mampu
menghindari serangan-serangan berbahaya itu. Selu-
ruh tubuhnya kini sudah seperti berada di atas pang-
gangan. Pakaian bawahnya telah hangus di bagian pa-
ha hingga pangkal paha, hingga memperlihatkan cela-
na dalamnya yang berwarna putih. Samar-samar terli-
hat sesuatu yang hitam membayang.
Dan dia hanya bisa terus menghindar tanpa bisa
membalas.
Namun mendadak saja satu dehaman keras ter-
dengar, menyusul satu tenaga tak nampak mengge-
brak, memotong sinar biru yang mengarah pada Dewi
Perenggut Sukma.
Tenaga tak nampak itu hanya sesaat berhasil
menahan gebrakan sinar biru panas, untuk kemudian
terus melesat ke arah Dewi Perenggut Sukma.
"Celaka!!" seru perempuan yang kini sudah kehi-
langan keberaniannya.
Sebelum sinar biru mengandung kekuatan panas
luar biasa menghantam tubuhnya yang tak mampu la-
gi menghindar, satu bayangan ungu telah bergerak
laksana setan.
Tap!
Langsung menyambar tubuhnya.
Dewi Perenggut Sukma merasa tubuhnya seperti
berputar dua kali di udara sebelum akhirnya dirasa-
kan dia menginjak tanah kembali.
Seketika diliriknya bayangan ungu yang telah
menyelamatkannya. Wajahnya sejenak berubah tatkala
mengetahui siapa orang yang menolongnya.
Di pihak lain, Kembang Darah menggeram keras,
"Pemuda berompi ungu! Siapa kau adanya?!"
***
EMPAT
SI BAYANGAN ungu yang bukan lain Raja Naga
adanya tersenyum. Kembang Darah yang geram meli-
hat ada orang yang menyelamatkan Dewi Perenggut
Sukma urung keluarkan bentakan tatkala melihat so-
rot mata angker dari si pemuda.
"Gila! Selama ini hanya Datuk Meong Moneng
yang kuanggap memiiiki tatapan mampu melumpuh-
kan keberanian lawan! Tetapi pemuda itu... keparat!
Siapa pemuda bersisik coklat itu?!"
Di pihak lain, Dewi Perenggut Sukma yang telah
selamat dari petaka yang akan diturunkan Kembang
Darah, berkata pada penolongnya, "Raja Naga! Walau-
pun kita pernah bersilang pendapat sebelumnya, tetapi
tetap kuucapkan terima kasih padamu!"
Pemuda bersisik coklat pada kedua tangannya
sebatas siku tak menjawab, melirik pun tidak. Mata
angkernya masih memandang Kembang Darah yang
kini memicingkan matanya hingga keningnya berkerut.
"Raja Naga.... Huh! Jadi pemuda ini yang berju-
luk Raja Naga?! Bagus! Walaupun aku tak menyukai
perintah Datuk Meong Moneng untuk membunuh Raja
Naga, tetapi saat ini tetap akan kujalankan perintah
itu! Sekaligus saja dia kujadikan uji coba kesaktian
Bunga Kemuning Biru sebelum kupikirkan rencana
apa yang akan kulakukan dengan benda sakti ini!"
Memutuskan demikian, Kembang Darah men-
gangkat sedikit dagunya. Dengan sorot mata penuh
tantangan dia mendesis, "Tak kusangka... kalau orang
yang selama ini kucari untuk kubunuh yang berani
lancang menghalangi tindakanku!! Bagus kau muncul
di sini, hingga aku tak sulit mencarimu!"
"Aneh! Mengapa tahu-tahu dia bicara sedang
mencari dan hendak membunuhku? Bertemu saja ba-
ru kali ini!" desis Raja Naga dalam hati.
"Raja Naga! Kau pernah mendengar petatah-
petitih, sekali kayuh dua atau tiga pulau terlampaui?!
Nah! Sekali hantam, nyawamu dan nyawa Dewi Pe-
renggut Sukma akan kuputuskan!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tersenyum.
"Kembang Darah! Aku sama sekali tak mengerti
apa yang kau maksudkan! Tetapi yang pasti, kau telah
berlaku buruk! Pertama kau telah menculik sahabatku
yang bernama Ratih, lantas merebut Bunga Kemuning
Biru untuk memuaskan nafsu busukmu! Kini dengan
benda sakti itu kau telah menyebarkan petaka! Kata-
kan padaku, di mana sahabatku yang bernama Ratih
kau sekap?!"
Kembang Darah tertawa keras.
"Hemm... rupanya kau sedang mencari gadis
yang bernama Ratih?! Sayang, sayang sekali kau ter-
lambat! Karena... gadis itu telah mampus kubunuh!"
Kepala pemuda dari Lembah Naga itu menegak.
Sorot matanya makin angker mengerikan.
"Apa pun yang kau katakan tentang nasib gadis
itu, aku akan tetap mencarinya! Sekarang, apakah ti-
dak sebaiknya kau serahkan benda itu kepadaku un-
tuk kukembalikan pada pemiliknya yang sah?!"
Menggema lagi tawa mengejek Kembang Darah.
"Bukan main! Apakah gertakan sambal seperti itu
yang selalu kau perlihatkan untuk mengkederkan hati
setiap lawanmu?!"
Sementara Raja Naga tetap tersenyum, Dewi Pe-
renggut Sukma menggeram dalam hati. Dia tak mau
bertindak gegabah walaupun di sisinya ada Raja Naga
yang diketahuinya akan menolongnya bila mendapat
celaka. Biar bagaimanapun juga, kebenciannya pada
Raja Naga masih ada. Juga dia merasa perlu berpikir
sepuluh kali menyerang Kembang Darah yang kini
mempergunakan Bunga Kemuning Biru sebagai senja-
ta.
Tiba-tiba tawa Kembang Darah terputus. Menyu-
sul bentakannya, "Ingin kulihat seperti apa keheba-
tanmu, Raja Naga?!!"
Claassss!!
Serangkum sinar biru yang mengandung kekua-
tan panas luar biasa menggebrak ke arah Raja Naga.
Murid Dewa Naga menjerengkan matanya. Seraya
mendorong tubuh Dewi Perenggut Sukma ke samping
kanan, dia melompat ke belakang dan menjejakkan
kaki kanannya di atas tanah.
Serta-merta tanah yang dipijaknya berderak, lalu
bergelombang dengan kekuatan tinggi.
Blaaarrr!!
Tenaga yang terpancar dari jurus ‘Barisan Naga
Penghancur Karang’ tertelan oleh sinar biru panas
yang terus menderu.
"Astaga!!"
Saat itu pula pemuda berompi ungu ini mem-
buang tubuh ke samping kanan.
Blaaamm!!
Pohon yang tumbuh di belakangnya lebur dan
hangus sementara tanah terbongkar ke udara.
"Aku harus merebut Bunga Kemuning Biru dari
tangannya!" desis Raja Naga sambil memutar tubuh.
Dicobanya untuk menahan gempuran Kembang
Darah selanjutnya dengan jurus 'Kibasan Naga Mengu-
rung Lautan'. Tetapi tindakan yang dilakukannya sia-
sia belaka. Bahkan....
Bukkk!!
Dadanya terhantam telak tendangan memutar
Kembang Darah. Walaupun terseret ke belakang hing-
ga tanah berhamburan, tetapi pemuda pewaris ilmu
Dewa Naga itu masih mampu menguasai keseimban-
gannya.
Di pihak lain Kembang Darah sudah menyergap
dengan mengibaskan tangan kanannya. Kali ini Raja
Naga memutuskan untuk menghindar. Sadar akan ke-
hebatan Bunga Kemuning Biru di tangan Kembang Da-
rah, jalan satu-satunya hanyalah menguras tenaga pe-
rempuan itu.
Tetapi dengan Bunga Kemuning Biru di tangan-
nya, perempuan berkutang merah itu justru menda-
patkan tenaga lebih yang luar biasa, hingga dia sama
sekali tak kehilangan tenaganya kendati banyak dike-
luarkan. Hal itu terjadi karena kesaktian Bunga Ke-
muning Biru!
"Perempuan ini nampaknya memang benar-benar
ingin membunuhku kendati aku tidak tahu penyebab-
nya! Tanpa Bunga Kemuning Biru kekejamannya tak
terkira, apalagi ditambah dengan kesaktian bunga itu
yang membuatnya merasa di atas angin!" desis Raja
Naga dalam hati seraya terus menghindar.
Tempat itu sudah semakin porak poranda. Telah
banyak terbentuk lubang yang besar dan dalam akibat
hantaman sinar biru ganas yang keluar dari Bunga
Kemuning Biru.
"Menguras tenaganya hanyalah sebuah tindakan
sia-sia! Berarti,..."
Memutuskan kata batinnya sendiri, Raja Naga
menggeram dingin. Samar-samar sorot mata angker
Raja Naga semakin berkilat-kilat mengerikan. Sisik-
sisik coklat yang terdapat di tangan kanan kirinya se-
batas siku, semakin jelas kentara. Rupanya anak mu-
da ini sudah berada di ambang kemarahannya.
"Kau terlalu memaksa, Kembang Darah!" desis-
nya dingin. Tiba-tiba terdengar gerengannya yang san-
gat keras. Dedaunan seketika berguguran. Tanah di
sekitar dia berdiri beterbangan.
Dewi Perenggut Sukma yang memperhatikan ter-
sentak.
"Astaga! Dia jadi lebih mengerikan dan penuh wi-
bawa! Keparatth! Pantas dia dapat mengalahkanku
waktu itu, karena dia masih memiliki ilmu simpanan!"
Di pihak lain Kembang Darah yang berdiri tegak
menyipitkan matanya. Sejenak ada kengerian terpam-
pang di wajahnya. Tetapi di saat lain dia cuma men-
dengus.
Raja Naga yang telah mengeluarkan ilmu 'Naga
Mengamuk' menerjang ke depan. Yang diinginkan bu-
kanlah nyawa Kembang Darah, melainkan merebut
Bunga Kemuning Biru yang merupakan pusat segala
petaka yang telah dan akan terjadi.
Kembang Darah sendiri tak mau bertindak ayal.
Dengan mengandalkan kesaktian Bunga Kemuning Bi-
ru, perempuan berkutang merah itu sudah melesat ke
depan.
Sementara Dewi Perenggut Sukma yang masih
bertelanjang dada, buru-buru mundur menyadari ka-
lau akan terjadi sesuatu yang sangat mengerikan.
Apa yang terjadi kemudian memang sungguh
sangat mengerikan. Pepohonan di sana bertumbangan
terhantam desiran angin yang keluar dari tangan ka-
nan kiri Raja Naga. Paras tampannya meregang tegang.
Tatapan matanya angker dan bertambah angker. Sisik-
sisik coklat pada kedua tangannya semakin terang
menyala, berkilat-kilat.
Beberapa kali benturan dahsyat terjadi. Tempat
itu laksana diamuk kiamat. Tanah terbongkar, beter-
bangan menghalangi pandangan. Letupan demi letu-
pan terdengar keras dan angker. Masing-masing orang
telah masuk dalam pertarungan jarak dekat dengan
kecepatan luar biasa.
I Hingga suatu ketika, gelombang sinar biru yang
panas luar biasa menderu berputar ke arah Raja Naga
yang segera mendorong kedua tangannya.
Gelombang angin raksasa disaputi asap merah
pun menderu. Akibatnya....
Jleegaaarrr!!!
Laksana puluhan guntur yang menghantam bu-
mi, ledakan luar biasa meletup dahsyat. Tanah mun-
crat setinggi empat tombak. Pepohonan menghangus.
Dari muncratan tanah yang menghalangi pan-
dangan, terlempar dua sosok tubuh ke belakang.
Raja Naga cepat merangkapkan kedua tangannya
di depan dada. Karena dirasakan hawa panas tinggi
melingkupi sekujur tubuhnya. Di lain pihak, Kembang
Darah masih terhuyung-huyung dengan bibir menga-
lirkan darah segar.
Napasnya terputus-putus dengan sekujur tubuh
terasa ngilu. Tak disadarinya kalau kain hitam yang
dikenakannya telah terlepas hingga memperlihatkan
bagian pangkal pahanya yang tertutup sehelai kain
merah jambu. Buru-buru dikerahkan hawa murninya
untuk menghilangkan rasa sakit yang tak terkira.
Saat itulah Dewi Perenggut Sukma melesat cepat
diiringi teriakan keras untuk menyambar Bunga Ke-
muning Biru yang masih dipegang Kembang Darah.
Dalam pikirannya dia akan dengan mudah dapat
menyambar Bunga Kemuning Biru di saat Kembang
Darah masih belum pulih benar. Namun tindakannya
itu justru membawanya pada satu kenyataan pahit
yang sangat fatal.
Karena masih mencoba memulihkan keadaannya,
Kembang Darah sudah menggerakkan tangan kanan-
nya yang sedikit gemetar. Sinar biru yang mengandung
hawa panas melesat ganas ke arah Dewi Perenggut
Sukma.
Perempuan yang masih bertelanjang dada itu
memekik tertahan tatkala merasakan hawa panas siap
menelannya bulat-bulat. Dicobanya untuk membuang
tubuh ke samping kanan, tetapi sinar biru itu sudah
bertambah dekat.
Buk!!
Tahu-tahu dirasakan pinggangnya terhantam sa-
tu tendangan, yang membuat nyawanya selamat. Ma-
sih sempat diliriknya siapa orang yang melakukan tin-
dakan itu. Raja Naga!
Namun yang terjadi kemudian, tak mampu di-
hindarinya lagi. Kembang Darah sudah menyerang Ra-
ja Naga kembali sementara tangan kanannya mengibas
ke arah Dewi Perenggut Sukma!
Membelalak bola mata Dewi Perenggut Sukma
mendapat gelombang sinar biru menderu ke arahnya.
Kengeriannya menjadi-jadi. Sukmanya seakan putus
setengah. Dan....
"Aaaaakhhhhh!!"
Dadanya telak terhantam sinar biru panas yang
keluar dari Bunga Kemuning Biru!
Seketika dadanya jebol dan tubuhnya ambruk
laksana sebatang pohon tanpa nyawa Lagi. Buah da-
danya yang montok menggairahkan kini tak ada Lagi,
bahkan jantungnya lenyap karena dada itu bolong dan
mengeluarkan asap!
Raja Naga yang masih menghindari serangan
Kembang Darah berteriak keras melihat kenyataan pa-
hit yang dialami Dewi Perenggut Sukma. Kendati pe-
rempuan itu hampir pernah membunuhnya, tetapi Ra-
ja Naga tak menginginkan kematiannya. Bahkan tak
diinginkannya ada kematian di sini kecuali menda-
patkan Bunga Kemuning Biru!
Dia marah. Dia mengamuk ganas.
Kembang Darah tak mau kalah. Amukannya pun
lebih mengerikan. Benturan demi benturan terjadi La-
gi. Dan untuk kedua kalinya masing-masing orang ter-
seret ke belakang. Namun kali ini Kembang Darah tak
mau membuang tenaga lebih banyak. Begitu terseret
ke belakang, cepat dijejakkan kaki kirinya hingga sere-
tan tubuhnya tertahan.
Kejap berikutnya, dia sudah melesat meninggal-
kan tempat itu sambil memegangi dadanya dengan
tangan kiri.
Raja Naga menggeram keras. Dia berusaha men-
gejar. Tetapi napasnya terasa sesak, hingga mau tak
mau dihentikan pengejarannya.
Anak muda bersisik coklat pada tangan kanan
kirinya sebatas siku ini jatuh terduduk sambil meme-
gangi dadanya. Dia terbatuk beberapa kali sebelum
terlihat sepasang pipinya mengembung. Satu tekanan
kuat mendesak dari dalam perutnya dan....
"Huaaakkk!!"
Anak muda itu muntah darah.
"Aku tak boleh buang waktu. Dia harus kuke-
jar...," desisnya sambil menahan nyeri pada dadanya.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, agak
terhuyung-huyung anak muda berompi ungu ini berla-
ri ke arah perginya Kembang Darah.
Tempat yang telah porak poranda itu kembali di-
rejam sepi. Hanya sosok Dewi Perenggut Sukma yang
berada di sana. Tetapi dia tidak tahu dan tak akan
pernah tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.
***
LIMA
PADA saat yang bersamaan, kakek yang lengan
kirinya buntung dan masih meneteskan darah itu am-
bruk di balik sebuah ranggasan semak. Wajahnya pu-
cat dengan tubuh lunglai. Gigi-giginya saling beradu
untuk menahan rasa sakit yang tak terkira.
"Keparattt!!" makinya dengan suara bergetar. Di-
kerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menotok urat da-
rah pada bahunya, agar darah tak terus menerus
mengalir.
I Dengan susah payah, lelaki tua berpakaian hitam
dengan sulaman sepasang keris pada dada kanan ki-
rinya, berhasil menotok urat darah pada bahunya sen-
diri. Tubuhnya mengejut dan dia berteriak keras me-
nahan sakit.
Darah yang terus menetes sepanjang dia berlari
dengan terhuyung-huyung perlahan-lahan mulai ber-
henti tetesannya. Tetapi lelaki tua yang bukan lain Se-
tan Keris Kembar adanya seakan tak memiliki tenaga
lagi.
Darah itu terlalu banyak keluar!
"Terkutuk! Aku harus menjauh dari tempat ini!"
serunya dengan susah payah. Dikuatkan hatinya un-
tuk bangkit, tetapi seketika itu pula dia jatuh kembali.
Perih pada bahunya itu sangat terasa.
"Kepaaraaatt! Bila aku masih hidup, demi langit
dan bumi aku bersumpah, akan kubalas perbuatan
terkutuk Datuk Meong Moneng!!" desisnya dengan gigi
merapat. Keningnya mengernyit kuat menahan sakit.
"Beruntung, nasibku masih beruntung... karena aku
masih mampu meninggalkan Tanah Kematian selagi...
kakek muka kucing itu masuk kembali ke tempat ting-
galnya. Kalau tidak... ah, Tanah Kematian jelas-jelas
akan jadi kuburanku terakhir.... Gila! Mengapa... men-
gapa harus kuikuti kata-kata Kembang Darah? Tapi,
tapi... aku menginginkan Bunga.... Kemuning.... Bi-
ru...."
Memang, setelah tangan kirinya buntung tersam-
bar cakaran Datuk Meong Moneng, Setan Keris Kem-
bar merasa ajalnya sudah di ambang pintu. Walaupun
menahan sakit yang sangat luar biasa, Setan Keris
Kembar berusaha untuk tenang kendati nyalinya telah
putus.
Ketakutannya sedikit lenyap ketika mendengar
keputusan Datuk Meong Moneng untuk tidak membu-
nuhnya. Tatkala Datuk Meong Moneng masuk kembali
ke tempat tinggalnya, Setan Keris Kembar segera men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya. Dia harus segera me-
ninggalkan Tanah Kematian.
Rasa sakit yang tak tertahankan lagi, tak dihi-
raukan. Setelah menyelipkan kembali sepasang keris
kembarnya ke balik pinggangnya, kakek berambut di-
kuncir dengan pita putih itu melangkah terseret-seret.
Sekali dua kali dia ambruk. Tetapi terus dipaksakan
untuk meninggalkan tempat itu.
"Aku harus pergi dari sini.... Kembang Darahlah
harapanku satu-satunya yang dapat mengobati pende-
ritaanku ini...," desisnya seraya berusaha untuk berdi-
ri lagi. Tetapi lagi-lagi dia ambruk. Napasnya memburu
dengan wajah semakin pucat karena kekurangan da-
rah. "Celaka... aku...."
Hanya itu kata-kata yang diucapkan oleh Setan
Keris Kembar, karena di saat lain dia sudah jatuh
pingsan. Dan dia belum siuman juga dari pingsannya
walaupun hari sudah menjelang senja. Beberapa helai
daun jatuh menerpa wajah dan tubuhnya. Debu-debu
menempel pada bagian atas tangan kirinya yang telah
buntung.
Mendadak desiran angin yang mengarah ke barat
daya, tiba-tiba berputar, dan bergerak lagi ke tempat
asalnya. Sungguh aneh perubahan itu. Karena tak ada
tanda-tanda alam akan mengamuk. Tidak terlihat
adanya sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Wuussss!!
Menderu satu desiran angin kuat yang mener-
bangkan ranggasan semak belukar, menyusul cahaya
biru menerangi tempat itu. Anehnya, cahaya biru itu
bergerak seperti orang yang sedang melangkah. Dan...
astaga! Cahaya biru itu memang berasal dari satu so-
sok tubuh yang sedang melangkah, sosok tubuh yang
agak bungkuk dan dari sekujur tubuhnya memancar-
kan cahaya biru!
Orang yang tubuhnya memancarkan cahaya biru
ini menghentikan langkahnya di hadapan Setan Keris
Kembar yang masih pingsan. Wajah orang ini dipenuhi
keriput, penuh wibawa. Sorot matanya bening dan te-
duh. Bila ada orang yang memandangnya, maka orang
itu akan merasa dikasihi.
Orang tua ini mengenakan pakaian berwarna
serba biru. Rambutnya putih panjang acak-acakan
hingga punggung. Di bahunya terdapat empat buah ge-
lang berwarna biru pula. Dan begitu si kakek yang tu-
buhnya memancarkan cahaya biru ini berhenti di de-
pan sosok Setan Keris Kembar, angin kembali mende-
sir ke barat daya.
"Ah... kekejaman seorang manusia telah melukai
seorang manusia pula," desisnya sambil mengusap
janggutnya yang putih. "Mengapa selalu saja ada ma-
nusia yang suka menurunkan tangan telengas pada
sesama?"
Si kakek masih memandangi sosok pingsan Setan
Keris Kembar sampai kemudian terlihat keningnya
berkerut.
"Astaga! Aku mengenali ilmu apa yang dipakai
seseorang untuk melukai orang ini? 'Cakar Kucing
Gunung'. Hemm... kalau tak salah ingat, bukankah
Durga Marakayangan memiiiki jurus yang sama?"
Si kakek terdiam, berpikir.
"Durga Marakayangan telah tewas. Begitu pula
dengan muridnya si Setan Bayangan. Tetapi seingatku
pula, Durga Marakayangan tak pernah menurunkan
ilmu 'Cakar Kucing Gunung' pada Setan Bayangan?
Atau... dia sebenarnya memiiiki seorang murid lagi?"
Kembali si kakek terdiam. Mata teduhnya terus
memperhatikan bagian atas tangan kiri Setan Keris
I Kembar yang telah buntung. Setelah beberapa saat,
kepala si kakek menggeleng-geleng.
"Apakah ini bukan perbuatan Datuk Meong Mo-
neng yang telah lama merantau ke Pulau Andalas?
Hanya itulah satu-satunya jawaban yang tepat. Kalau
begitu, Datuk Meong Moneng telah kembali ke Jawa
Dwipa."
Si kakek mengangkat jari telunjuknya dan men-
garahkannya pada luka Setan Keris Kembar. Terlihat
dia menahan napas sejenak. Seiring dengan dihem-
buskan napasnya kembali, terlihat cahaya biru keluar
dari ujung jari telunjuknya, melingkupi luka Setan Ke-
ris Kembar.
Gerakan cahaya biru yang memanjang itu seperti
ular, meliuk-liuk laksana mengusapi luka Setan Keris
Kembar. Ketika si kakek menurunkan tangannya kem-
bali, cahaya biru yang memancar tadi lenyap. Dan ter-
lihat luka Setan Keris Kembar mengering.
"Telah kudengar keributan di rimba persilatan
tentang Bunga Kemuning Biru. Rupanya benda sakti
itu kini jadi rebutan setelah Durga Marakayangan me-
nyerahkan pada Setan Bayangan yang kemudian dis-
erahkan Setan Bayangan pada kedua muridnya yang
bernama Lesmana dan Ratih. Hemmm... bisa jadi Da-
tuk Meong Moneng memang telah muncul di Jawa
Dwipa. Bisa jadi pula dia menghendaki Bunga Kemun-
ing Biru untuk...."
Si kakek yang memancarkan cahaya biru dari se-
kujur tubuhnya ini menarik napas pendek. Lalu meng-
geleng-gelengkan kepalanya. Matanya tetap teduh
tatkala diangkat kepalanya untuk menatap kejauhan,
di mana hamparan padi menguning bergerak gemulai
dipermainkan angin.
"Berarti... kembalinya Datuk Meong Moneng dari
Pulau Andalas... untuk membalas kematian kakak se-
perguruannya. Ah, tentunya dia termasuk salah seo-
rang yang hendak merebut Bunga Kemuning Biru.
Durga Marakayangan tentunya yang telah menyebar-
kan berita tentang kelemahanku. Tapi tak seorang pun
yang tahu, di bagian mana dari tubuhku yang meru-
pakan titik lemah...."
Angin senja berhembus, menggeraikan rambut
putih si kakek. Bersamaan hembusan angin, si kakek
menghela napas masygul. Yang timbul justru kesedi-
han membayangkan apa yang telah dipikirkannya.
Kemudian mata teduhnya diarahkan kembali pada so-
sok Setan Keris Kembar. Setelah terdiam beberapa
saat, lambat-lambat digerakkan tangan kanannya ke
atas.
Astaga! Tubuh Setan Keris Kembar yang masih
pingsan, tiba-tiba terangkat. Tanpa menyentuh tubuh
Setan Keris Kembar, si kakek sudah melangkah se-
mentara tubuh pingsan Setan Keris Kembar bergerak
di belakangnya.
***
Setengah penanakan nasi dari berlalunya si ka-
kek yang tubuhnya memancarkan cahaya biru, satu
sosok tubuh bertelanjang dada datang dari arah utara
dengan memanggul sosok tubuh lainnya di bahunya.
"Ratih... kita beristirahat dulu di sini...," kata
yang memanggil.
"Kakang Lesmana... sejak tadi kuminta sebaiknya
kau beristirahat dulu. Jangan terlalu memforsir tena-
ga."
Lesmana mengangguk dan berhati-hati meletak-
kan tubuh kekasihnya yang masih dalam keadaan ter-
totok. Pemuda gagah yang pakaiannya dipakai oleh Ra-
tih, tersenyum.
"Maafkan aku... karena belum menemukan Raja
Naga...."
"Kakang Lesmana...," sahut Ratih yang hanya bi-
sa menggerakkan kepalanya saja. "Dunia ini sangat
luas. Sulit bagi kita menemukan orang yang hendak
kita temukan."
"Kita harus tetap menemukan Raja Naga. Dialah
satu-satunya yang dapat kuharapkan untuk mencari
sekaligus membebaskanmu dari totokan Kembang Da-
rah
"Kakang...," panggil Ratih dengan tatapan beningnya.
Lesmana memandangnya.
"Aku... aku kasihan padamu, Kakang. Karena
aku kau jadi kerepotan seperti ini...."
"Astaga, Ratih! Mengapa kau bicara seperti itu?"
senyum Lesmana sambil duduk di samping gadis itu
yang terbaring di atas tanah berumput.
"Bila saja aku tidak tertotok, mungkin kau tidak
akan kelelahan seperti itu."
"Aku tidak lelah, Ratih. Aku hanya penasaran ka-
rena belum menemukan Raja Naga. Juga... tak dapat
Lagi kutahan amarahku pada Kembang Darah dan Da-
tuk Meong Moneng."
"Kakang... kesaktian Kembang Darah dan Datuk
Meong Moneng berada jauh di atas kita."
"Aku tak peduli!!" seru Lesmana dengan suara ge-
ram.
Ratih tersenyum. Alangkah senang hatinya men-
dengar kata-kata pemuda yang dicintainya, yang rela
mengorbankan segenap jiwa raganya demi kekasih ter-
cinta. Ratih sendiri merasa dirinya akan bersikap yang
sama bila keadaan ini berbalik.
"Kakang... aku... aku...."
Lesmana menoleh karena Ratih tak menuntaskan
kalimatnya. Kening pemuda gagah itu berkerut ketika
melihat paras kekasihnya yang sebenarnya adik seper-
guruannya memerah.
"Kenapa, Ratih?"
Ratih justru memalingkan kepalanya. Di bibirnya
senyum simpul terpampang.
"Hei, hei! Mengapa kau tersenyum seperti itu?"
"Aku... ah, tidak, tidak..."
"Ayo, katakan saja! Mengapa?" tanya Lesmana
yang sebenarnya ingin menghibur Ratih. Pemuda ini
kagum akan ketabahan kekasihnya yang tetap tegar
kendati keadaannya tak ubahnya seperti orang dalam
tahanan belaka.
"Ih! Kakang ini... mengapa memaksa!"
"Aku tahu!" seru Lesmana tiba-tiba.
Ratih seketika menoleh. Wajahnya memerah.
Dengan suara agak malu dia berkata, "Kakang tahu?"
"Ya!"
"Kalau Kakang tahu... mengapa tidak Kakang la-
kukan?"
"Jadi sekarang?"
Wajah gadis itu makin merona.
"Yyya...!" sahutnya bergetar.
Lesmana berdiri.
Ratih bengong.
"Lho, lho.... Kakang mau ke mana?"
"Lho? Katanya sekarang? Ya, aku pergi saja un-
tuk mencari makanan."
"Mencari makanan?"
Kali ini kening Lesmana berkerut.
"Bukannya kau sudah kelaparan?"
"Ih! Kakang ini! Katanya tahu? Aku tidak lapar!!"
seru Ratih merengut.
"Lho? Kamu tidak lapar?"
"Sejak tadi aku juga tidak lapar!" gadis itu masih
merengut.
Lesmana menggaruk-garuk kepalanya tidak men-
gerti.
"Jadi... jadi... apa yang...."
"Nggak tahu!"
"Lho kok marah? Apakah...." Lesmana memutus
kata-katanya. Matanya tak berkedip pada Ratih. Untuk
beberapa lama dipandanginya gadis itu yang masih
merengut tetapi dengan wajah merona.
Tiba-tiba Lesmana tertawa.
"Bodohnya aku ini! Jadi itu, ya?"
"Itu apa?! Lapar lagi?!"
Lesmana masih tertawa. Tiba-tiba saja didekap-
nya kekasihnya penuh kasih sayang. Diusap sepasang
pipi lembut yang merona itu.
"Maksudmu... ini kan?"
"Tahu!" seru Ratih merengut tetapi mata kanan
kirinya terpejam.
Lesmana tertawa pelan. Di saat lain, dengan lem-
but dikecupnya bibir merah kekasihnya yang menggigil
dalam pelukannya.
"Kakang...," desis Ratih pelan.
Lesmana tak menghiraukan desisannya. Dikecu-
pinya bibir mungil itu dengan kelembutan yang terja-
ga. Dia memang tak punya keinginan untuk menodai
ketulusan cinta mereka. Kalaupun hal ini dilakukan-
nya karena hendak dicurahkan kasih sayangnya, teru-
tama karena saat ini Ratih membutuhkan kasih
sayangnya.
Setelah beberapa saat, Lesmana mengangkat ke-
palanya. Dipandanginya wajah jelita kekasihnya yang
masih merona.
"Ih! Kenapa sih kau pandangi aku seperti itu?
Memangnya belum pernah melihatku, ya?"
"Aku rindu padamu. Ratih."
"Kok baru ngomong sekarang?"
"Aku cinta padamu, Ratih...."
Kali ini si gadis tersenyum. Perlahan-lahan dipe-
jamkan sepasang matanya. Jiwanya melambung ke
angkasa dan menari-nari di sana.
Lesmana mengecup bibirnya sekilas.
"Sampai kapan pun juga, kau akan kujaga dari
segala marabahaya dan malapetaka, Ratih...."
"Kakang...," sahut Ratih sambil membuka ma-
tanya. "Entah kebahagiaan macam apa lagi yang bisa
mengalahkan kebahagiaanku sekarang ini...."
"Kau akan mendapatkan kebahagiaan yang jauh
dari sekarang ini, Ratih.... Kau percaya padaku?"
Ratih mengangguk angguk.
Lesmana tersenyum.
"Aku sudah tidak lelah lagi. Kita teruskan menca-
ri Raja Naga?"
Lagi Ratih mengangguk.
* * *
ENAM
KAKEK berjubah hitam dengan rambut jarang itu
menghentikan langkahnya di pinggiran sebuah sungai.
Saat kedua kakinya menginjak tanah di sana, tanah
I itu terangkat naik setinggi dengkul. Sorot tajam mata
si kakek tak berkedip memandang pada aliran sungai
yang deras.
"Setan!!" makinya tiba-tiba. "Gadis keparat itu te-
lah lenyap entah dibawa siapa! Begitu pula dengan Se-
tan Keris Kembar! Terkutuk! Aku berhasil dibodohi!
Tentunya orang yang menyelamatkan gadis keparat itu
ada hubungannya dengan Setan Keris Kembar!"
Kakek yang bukan lain Datuk Meong Moneng
menggertakkan rahangnya menahan gejolak kegera-
man di dadanya. Pikirannya masih berpusat pada le-
nyapnya Ratih dan perginya Setan Keris Kembar yang
tangan kirinya telah buntung akibat cakarannya. Ma-
sih diduganya kalau orang yang melarikan Ratih ber-
hubungan erat dengan Setan Keris Kembar yang mun-
cul untuk memancing perhatiannya.
Di sisi lain, Datuk Meong Moneng juga keheranan
dari mana Setan Keris Kembar tahu kalau dia telah
memiliki Bunga Kemuning Biru.
"Keparat!! Apakah memang Kembang Darah yang
telah membocorkan rahasia ini?!" rahang kakek muka
kucing ini mengeras. Kumis jarangnya yang kaku lak-
sana kumis kucing bergetar. "Setan betina! Aku tahu
sebenarnya kalau perempuan celaka itu hendak lari
dari tanganku! Tentunya dia yang telah membocorkan
semua ini!!"
Dengan gusarnya Datuk Meong Moneng mengge-
rakkan tangan kanannya.
Blaaaarrr!!
Aliran sungai yang deras itu tertahan, menyusul
muncrat ke udara setelah terdengar letupan keras.
"Terkutuk! Akan kucabik-cabik tubuh...," makian
Datuk Meong Moneng terputus. Dia terdiam beberapa
saat sebelum melanjutkan ucapannya, "Kalau memang
Kembang Darah yang berkhianat, mengapa diserah-
kannya pula Bunga Kemuning Biru padaku?! Apakah
dia... astaga! Bunga Kemuning Biru!"
Laksana disengat kalajengking berbisa hebat, Da-
tuk Meong Moneng mengambil bunga kemuning biru
dari balik bajunya. Kejap lain terdengar makiannya ke-
ras seraya membanting bunga kemuning berwarna bi-
ru yang telah layu di atas tanah!
"Keparat!! Aku telah tertipu mentah-mentah!
Kembang Darah telah mengkhianatiku! Dia memberi-
kan bunga kemuning biru palsu padaku! Terkutuk!
Terkutuk! Akan kusetubuhi dia sampai setengah
mampus sebelum kubunuh!!"
Kegeraman kakek berjubah hitam ini bertambah
menjadi-jadi. Suaranya berubah mengeong seperti see-
kor kucing. Tiba-tiba dia melompat. Jari jemarinya
mengembang lalu....
Crrook! Crrookkk!!
Menancap dalam pada sebatang pohon. Diiringi
teriakan mengeongnya, pohon itu tercabut.
Kraaakkk!!
Lalu dilemparnya penuh amarah ke dalam sungai.
Byuuurrr...!!
Air sungai itu muncrat setinggi satu tombak.
"Akan kubunuh kau! Akan kubunuh!!" serunya
seraya melesat meninggalkan tempat itu.
Setelah lima kejapan mata berlalunya Datuk
Meong Moneng, dua sosok tubuh muncul dari balik
ranggasan semak yang berada di belakang Datuk
Meong Moneng
Kedua orang yang muncul ini bersosok aneh.
Yang berdiri di sebelah kanan adalah seorang nenek
yang mengenakan pakaian compang-camping hingga
memperlihatkan pepaya busuk yang menggantung di
dadanya. Rambut putihnya digelung ke atas, diberi tu-
suk konde yang terbuat dari tulang. Tubuhnya agak
bongkok, bukan karena usianya yang telah lanjut, te-
tapi dia memang bongkok. Terlihat dari punggungnya
yang berpunuk. Mulutnya yang tak bergigi asyik men-
gunyah sirih.
Sementara orang yang berdiri di sebelahnya ber-
tubuh kontet. Kepalanya bulat. Rambutnya hanya be-
rada pada bagian tengah kepalanya. Pakaiannya ber-
warna hijau sangat kusam. Di tangannya ada sebuah
tongkat yang di ujungnya melingkar kawat berwarna
hitam.
"Hik hik hik...," si nenek mengikik.
"Kontet! Tak sengaja kita menemukan jejak yang
paling bagus!"
Si Kontet ikutan-ikutan terkikik. Tangan kanan
kirinya sating mengusap.
"Nyi Bawung! Kau memang hebat! Dengan ilmu
'Penyesat Suara', kehadiran kita tak diketahui oleh Da-
tuk Meong Moneng! Ngomong-ngomong, apa yang kau
katakan tentang kakek itu benar, ya?! Mukanya...
wuih! Kayak kucing barong!"
Si nenek yang dipanggil Nyi Bawung terkikik lagi.
"Biasanya kau cepat punya akal! Nah! Ayo, ke-
rahkan isi otak busukmu itu agar kita bisa segera me-
nemukan rencana yang bagus!"
Si Kontet mendongak. Bibir dowernya tersenyum.
Lidahnya menjilat-jilat.
"Kau tahu bukan, kalau aku belum ngempeng
otakku tidak bisa bekerja!"
"Brengsek!" walaupun si nenek memaki, tetapi
dia terkikik. Lalu dengan enaknya dikeluarkan salah
satu pepaya busuknya dengan cara meloloskannya ka-
rena pakaiannya yang compang-camping.
Si Kontet kontan melompat memeluk si nenek.
Bibir dowernya mencari-cari ujung pepaya busuk si
nenek. Lalu mengemotnya seperti bayi pada tetek
ibunya.
"Hei, hei! Kau bukan bayi lagi! Caramu menyedot
itu bikin aku terangsang!" seru si nenek sambil terki-
kik. "Apa kau juga terangsang, Beliung Kutuk!"
Si Kontet yang bernama asli Beliung Kutuk mele-
paskan mulut dowernya.
"Mana mungkin aku bisa terangsang dengan da-
da kayak begini!"
"Hik hik hik... kau pun tak akan bisa terangsang!
Barangmu pasti sebesar kelingking! Mana bisa dipa-
kai!
"Kau belum tau perubahannya kalau aku sudah
terangsang!" seru Beliung Kutuk sambil terus menge-
mot.
"Hik hik hik... paling-paling besarnya tetap seke-
lingking! Cuma bedanya ya keras saja!"
Si Kontet tak mempedulikan kata-kata Nyi Ba-
wung. Dia terus mengemot-ngemot seperti bayi. Sete-
lah beberapa lama kemudian, dia melompat turun.
Sambil mengusap mulutnya dia berkata, "Lama-
lama barangmu itu bau!"
"Masa bodoh! Kau telah membuatku terangsang!
Ayo, kau puaskan aku! Atau kau cari jejaka tampan
seperti biasanya!"
"Nyi Bawung! Kemarin kau sudah kucarikan jeja-
ka tampan! Sekarang giliran kau mencari perawan tint-
ing untukku!"
"Peduli omonganmu! Kau telah membuatku te-
rangsang! Ayo, sana! Cari jejaka tampan!"
"Nggak mau!"
"Eh, eh! Berani melawan ya? Hik hik hik... kute-
kan kepalamu bisa melesak ke perut!"
Beliung Kutuk tertawa.
"Kau mau dengar rencanaku atau kau ingin aku
tidak bisa berpikir lagi?!"
"Maunya kau tidak bisa berpikir lagi!"
"Huh! Sebenarnya kalau ada dada perawan, ma-
na mau aku menghisap pepaya busuk milikmu itu!"
Kaki Nyi Bawung menyepak.
Wuutttt!!
Sepakannya hanya mengenai angin dan membuat
tanah di mana Beliung Kutuk tadi berdiri memburai ke
udara. Sementara Beliung Kutuk sendiri sudah berada
di atas pohon.
"Hei, Kontet! Turun! Kau ingin pohon ini kuhan-
curkan?!"
Sambil tertawa-tawa geli, lelaki tua kontet itu me-
lompat turun. Tak ada suara yang terdengar ketika ke-
dua kakinya menginjak tanah. Tetapi baru saja kedua
kakinya menginjak tanah kembali tiba-tiba....
Brukkkk!
Tubuhnya terjengkang bersamaan terdengar ki-
kikan Nyi Bawung.
"Mana bisa kecepatanmu mengalahkan kecepa-
tanku!"
Beliung Kutuk bangun sambil mengusap-ngusap
pantatnya.
"Brengsek! Nanti kalau kau menyuruhku berpikir
lagi, akan kugigit pepaya busukmu itu sampai kau
menjerit!"
"Menjerit keenakan tentunya, kan? Hik hik hik...
ayo cepat katakan apa yang kau pikirkan!"
"Kita tidak perlu mengikuti Datuk Meong Moneng!"
"Kenapa?"
"Dasar nenek berotak udang! Sudah tahu Bunga
Kemuning Biru tidak berada di tangan Datuk Meong
Moneng! Apa kau tidak lihat bunga kemuning biru
yang telah hancur di bawah kakimu itu? Itu bunga
yang palsu!"
"Lantas apa yang akan kita lakukan?"
"Kita cari Kembang Darah!"
"Mengapa?"
"Ya ampun! Otakmu benar-benar cuma berisi
sampah, ya?! Sudah tentu dia yang telah menipu Da-
tuk Meong Moneng seperti yang tadi dikatakannya! La-
gi pula... he he he... setahuku, Kembang Darah punya
tubuh yang montok. Sudah tentu pantatnya besar dan
mumbul. Payudaranya pasti mengasyikkan buat dihi-
sap. Wah! Rasanya aku bisa tahan menghisap payuda-
ranya selama tujuh hari tujuh malam!"
"Brengsek! Jadi itu alasanmu memutuskan un-
tuk mencari Kembang Darah?"
"Lagi-lagi otak udang! Tapi... he he he... sudah
menyelam sekalian minum airlah!"
"Bila Kembang Darah sudah ditemukan, apa yang
akan kita lakukan?"
Beliung Kutuk mengangkat kepalanya, dengan
mata melebar pada Nyi Bawung.
"Astaga! Mengapa kita? Apakah kau juga bernaf-
su dengan perempuan?! Gila! Baru kutahu kalau kau
punya kelainan!"
Kaki Nyi Bawung menyepak. Beliung Kutuk ber-
hasil menghindar. Tetapi....
Buk!
Sepakan kaki si nenek yang sangat cepat telah
mampir di pantatnya hingga dia hampir terjerunuk.
"Brengsek!" makinya sambil mengusap-ngusap
pantatnya.
"Setelah kau nikmati Kembang Darah," kata Nyi
Bawung sambil terkikik, "Sudah tentu kau akan mem-
bunuhnya, bukan?"
"Siapa bilang? Aku akan menjadikannya budak
nafsuku!"
"Kontet! Sekali lagi main-main kupisahkan kepa-
lamu sekarang juga!" seru Nyi Bawung sambil terkikik.
"Sudah tentu akan kubunuh dia!" sungut Beliung
Kutuk.
"Lantas kita mencari Malaikat Biru?"
"Memangnya kau hendak mencari siapa?"
Mendadak Nyi Bawung mendekap si Kontet kuat-
kuat, menekannya hingga muka Beliung Kutuk me-
nempel keras pada sepasang pepaya busuknya.
"Kau memang pintar! Pintar sekali! Kalau saja
anumu tidak kecil, aku mau bermain-main dengan-
mu!"
"Hemmphh... lepaskan! Hemmppph... bau! Bau!"
Nyi Bawung melepaskan dekapannya. Tubuh Be-
liung Kutuk melorot ambruk di atas tanah. Sambil ber-
sungut-sungut si Kontet bangkit.
"Sudah, sudah! Ayo kita cari Kembang Darah!
Aku sudah tidak sabar ingin mengemot dadanya!!"
Nyi Bawung terkikik dan mendahului melangkah.
Beliung Kutuk bersungut-sungut sambil menyu-
sul.
"Brengsek! Apa dia tidak tahu kalau hidung man-
cungku ini sakit?! Huh! Bau dadanya busuk banget!
Sayangnya cuma ada dia di sini yang bisa kuhisap
agar otakku jadi terang!!"
Terus bersungut-sungut Beliung Kutuk menjajari
langkah Nyi Bawung yang terkikik-kikik.
Kedua orang aneh ini terus melangkah, tak ber-
henti sekali pun. Ketika matahari sudah menampak-
kan bias-biasnya di ufuk timur barulah masing-masing
orang menghentikan langkahnya. Itu pun karena me-
reka tertarik pada satu sosok tubuh yang tergeletak
dengan dada jebol!
Sementara Nyi Bawung mengerutkan kening me-
lihat mayat perempuan itu, Beliung Kutuk memaki-
maki, "Brengsek! Kenapa dadanya harus jebol begitu
sih? Kalau tidak kan masih bisa kuhisap?!"
"Aku kenal perempuan itu...."
Beliung Kutuk menoleh, mengangkat kepalanya
pada Nyi Bawung yang barusan berkata.
"Siapa?"
"Dewi Perenggut Sukma."
"O... jadi ini perempuan berjuluk Dewi Perenggut
Sukma? Kabarnya dadanya luar biasa montoknya! Si-
al! Aku tak sempat menyaksikannya!"
"Perempuan ini bukan orang yang bisa dipandang
sebelah mata! Tetapi kalau dia tewas mengerikan se-
perti ini, dapat dipastikan kalau yang membunuhnya
memiliki ilmu yang tinggi! Bisa jadi dia.... Kontet! Apa
yang kau lakukan?!"
Beliung Kutuk urung menurunkan pakaian ba-
gian bawah Dewi Perenggut Sukma yang telah menjadi
mayat.
"Aku cuma ingin lihat isinya!"
"Menjauh!"
"Huh! Sebel! Habisnya kalau melihat punyamu
sudah tidak bagus lagi! Sudah peot, rumputnya kering,
bau lagi! Nyi Bawung... aku mau lihat sebentar saja!"
"Kuburkan mayat itu!"
"Aku mau lihat? Sayangkan kalau aku menyia-
nyiakan kesempatan...," rengek Beliung Kutuk semen-
tara tangannya mengusap-ngusap pangkal paha mayat
Dewi Perenggut Sukma. Dia mengaduh ketika tangan-
nya yang hendak menurunkan pakaian bawah perem-
puan yang telah menjadi mayat itu, seperti tersengat.
Sambil meniup-niup tangan kanannya yang sakit aki-
bat sambaran angin yang keluar dari jentikan telunjuk
Nyi Bawung, lelaki tua kontet itu menggerutu, "Kau ini
kenapa sih? Bilang saja kau iri! Karena punyamu ka-
lah bagus! Biar sudah menjadi mayat punya perem-
puan ini tentunya lebih...."
"Kubur!!"
Beliung Kutuk menggerutu. Tetapi tidak berani
membantah perintah Nyi Bawung yang berucap tan-
das. Dengan menggunakan sebatang ranting kecil di-
galinya sebuah lubang. Wajahnya menyiratkan keeng-
ganan ketika kaki kanannya menyepak mayat Dewi Pe-
renggut Sukma hingga berguling ke dalam lubang yang
baru digalinya dan kemudian ditimbunnya dengan ta-
nah.
"Apa lagi?" serunya jengkel.
Nyi Bawung tiba-tiba terkikik.
"Biasanya kau yang punya gagasan menarik! Ayo,
berpikir lagi! Katakan padaku, siapa kira-kira orang
yang telah membunuhnya!"
"Aku tidak mau menghisap pepaya busukmu!!"
seru Beliung Kutuk merajuk.
Nyi Bawung terkikik. Tiba-tiba tangannya me-
nyambar kepala Beliung Kutuk, lalu menekannya pada
dadanya.
"Ayo, berpikir! Berpikir!"
"Aku tidak mau!"
"Berpikir!!" seru Nyi Bawung sambil menekan.
"Tidak mau!!"
"Ya sudah kalau tidak mau!"
Bruuukkk!
Beliung Kutuk jatuh di atas tanah. Sambil ber-
sungut-sungut dia bangkit, "Orang tidak mau dipak-
sa!"
"Bagaimana kalau kucarikan seorang perawan
berdada besar?" seru Nyi Bawung.
"Haya!" seru Beliung Kutuk sambil melompat.
"Kalau itu aku mau! Mau!"
"Ayo berpikir dulu!"
Segera saja Beliung Kutuk melompat dan mulut-
nya menghisap pepaya busuk Nyi Bawung. Setelah itu
dia turun sambil terkekeh-kekeh.
"Aku tidak tahu...."
"Brengsek! Ayo tinggalkan tempat ini!!" sungut
Nyi Bawung sambil mendahului.
Di belakangnya Beliung Kutuk terkekeh pelan.
"Tahu rasa nenek jelek itu! Kutipu dia! Padahal
aku tahu! Biar saja tak kuberitahukan padanya, tadi
dia melarangku melihat anunya Dewi Perenggut Nya-
wa! Huh! Dia melarang karena iri tentunya! Anunya
kalah montok!"
Sambil terkekeh puas karena merasa berhasil
menipu Nyi Bawung, Beliung Kutuk menyusul Nyi Ba-
wung dengan langkahnya yang mengegal-ngegol.
* * *
TUJUH
RAJA Naga menarik napas dalam-dalam dan me-
nahannya beberapa lama. Setelah itu dihembuskannya
perlahan-lahan. Matanya yang tadi dipejamkan dibu-
ka, dipandanginya sekelilingnya yang telah diterangi
matahari.
Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja selesai
bersemadi. Dia tak mampu meneruskan langkahnya
untuk mengejar Kembang Darah karena rasa sakit
akibat serangan Bunga Kemuning Biru. Dengan berat
hati diputuskan untuk menghentikan langkahnya dan
bersemadi guna memulihkan tenaganya.
Sekarang ini Boma Paksi merasa tenaganya telah
pulih. Tubuhnya telah segar kembali. Saat dia men-
dongak, dilihatnya rencengan manggis hutan yang
menggantung. Dengan sebuah kerikil disambitnya da-
han manggis itu.
Tas! Tap!
Rencengan manggis itu ditangkapnya tanpa se-
buah pun yang terlepas dari rencengannya. Dinikma-
tinya beberapa buah sebagai pengganjal perut.
"Urusan yang kuhadapi ini semakin lama ber-
tambah berat. Aku belum tahu siapa sesungguhnya
lawan-lawanku kecuali Kembang Darah dan Dewi Pe-
renggut Sukma. Dewi Perenggut Sukma telah tewas
dan tinggal Kembang Darah. Ah, rasanya tak mungkin
hanya Kembang Darah yang menghendaki Bunga Ke-
muning Biru. Pasti, pasti masih ada yang lain. Orang-
orang yang mendendam pada Malaikat Biru...."
Anak muda bersorot mata mengerikan ini mena-
rik napas pendek.
"Malaikat Biru... siapa sebenarnya orang itu? Ka-
lau memang dia seorang tokoh kenamaan walaupun
telah lama tak terdengar kabarnya, mustahil dia tak
mendengar tentang keramaian di rimba persilatan....
Ah, apakah...."
Raja Naga memutus jalan pikirannya. Seketika
kepalanya ditolehkan ke samping kanan tatkala diden-
garnya suara kelebatan agak jauh dari tempatnya.
Kejap itu pula diangkat tangannya. Dengan
mempergunakan ilmu 'Rabaan Naga' anak muda ini
mencoba mengetahui dari mana asal suara kelebatan
itu.
"Hemmm... seseorang yang memiliki ilmu perin -
gan tubuh tinggi yang berkelebat dan kini semakin
menjauh. Dari kelebatannya jelas orang itu terburu-
buru. Kudengar pula napas yang memburu pertanda
kalau dia sedang gusar. Sebaiknya kususul saja!"
Kejap itu pula Raja Naga melesat. Dikerahkan il-
mu peringan tubuhnya untuk menyusul orang yang
diyakininya berlari ke arah timur. Cukup lama juga
Raja Naga baru berhasil melihat sosok orang yang ber-
kelebat.
"Orang itu mengenakan pakaian dan berjubah hi-
tam. Kepalanya ditumbuhi rambut jarang. Hemm...
ada sepasang anting besar mencantel di telinga kanan
kirinya. Aku tidak tahu siapa orang itu dan mau apa,
tetapi firasatku mengatakan... ah, sebaiknya kuikuti
saja orang itu."
I Orang berjubah hitam yang berjarak sekitar dua
puluh lima langkah dari Raja Naga, terus berlari cepat
dengan gerakan luar biasa. Tiba di sebuah tempat
yang agak terbuka, orang ini menghentikan larinya.
"Setan terkutuk!!" terdengar geramannya sengit.
Matanya yang memerah memandang sekelilingnya pe-
nuh amarah. "Kembang Darah.... Kembang Darah...
akan kucabik-cabik tubuhnya sebelum kubunuh!!"
Raja Naga yang bersembunyi di balik sebuah po-
hon besar membatin, "Kembang Darah? Rupanya
orang yang belum kuketahui seperti apa rupanya ini,
mendendam pada Kembang Darah. Apakah ini ada
hubungannya dengan Bunga Kemuning Biru pula?"
Orang tinggi besar berjubah hitam itu terus me-
maki-maki panjang pendek. Tiba-tiba tangan kanan-
nya diangkat dan didorong ke depan.
Wuuuussss!!
Menghampar satu gelombang angin yang me-
numbangkan tiga buah pohon sekaligus!
"Astaga!" desis Raja Naga dalam hati. Bukan ka-
rena melihat tumbangnya tiga buah pohon itu, melain-
kan ketika melihat tangan kanan lelaki itu saat te-
rangkat tadi. "Pada tangannya terdapat bulu-bulu ha-
lus yang sangat tebal seperti bulu-bulu yang dimiliki
kucing! Siapa orang yang mendendam pada Kembang
Darah ini?"
Tiba-tiba Raja Naga memalingkan kepalanya ke
kanan, demikian pula dengan orang yang sedang gusar
itu. Suasana hening karena orang tinggi besar itu tidak
mengeluarkan makian lagi.
Lima kejapan mata kemudian, satu bayangan pu-
tih melesat dengan cara berputar di udara dua kali se-
belum kemudian hinggap di atas tanah.
"Pratiwi!" seru Raja Naga dalam hati.
Bayangan putih yang baru muncul itu langsung
membentak orang berjubah hitam, "Datuk Meong Mo-
neng! Katakan padaku di mana Kembang Darah bera-
da, sebelum nyawamu kuputuskan hari ini juga!!"
Orang tinggi besar yang bukan lain Datuk Meong
Moneng nampak tertegun, sebelum mulutnya membu-
ka, "Heiii! Apa-apaan kau...."
"Tutup mulutmu, Kakek muka kucing! Aku tak
punya banyak waktu! Di mana Kembang Darah! Atau
kau merasa lebih baik pergi ke neraka sekarang juga?!"
"Setan! Mengapa kau...."
Gadis berjubah putih itu tiba-tiba mengangkat
tangan kanannya seraya berseru, "Bunuh dia!!"
Baru habis seruannya, lima bayangan hitam te-
lah melompat dari balik ranggasan semak dengan tan-
gan kanan kiri mengarah pada Datuk Meong Moneng.
"Terkutuk!!" maki Datuk Meong Moneng seraya
mundur dua langkah. Kejap itu pula digerakkan kedua
tangannya.
Wuuuuttt!! Wuuuuttt!!
Kelima lelaki berpakaian dan bertopeng hitam
berlompatan ke belakang, namun langsung menyerang
kembali.
"Setaaan!"
Datuk Meong Moneng menepuk kedua tangan-
nya. Segera menghampar gelombang angin berkekua-
tan tinggi. Dua orang bertopeng yang menyerangnya
I tak mampu menghindar. Mereka tewas setelah terseret
gelombang angin besar itu.
Tiga orang lainnya tidak gentar. Mereka justru
semakin bernafsu untuk membunuh Datuk Meong
Moneng. Namun apa yang mereka lakukan hanyalah
sebuah kesia-siaan, karena dalam waktu singkat keti-
ganya sudah menyusul kedua teman mereka ke akhi-
rat!
Mendapati kenyataan itu, Pratiwi menggeram
tinggi.
"Kakek keparat! Kau harus membayar nyawa ke-
lima sahabatku!!"
Gadis jelita berhidung bangir itu sudah melayang
ke arah Datuk Meong Moneng. Tangan kanan kirinya
dijadikan satu. Masih melayang di udara, diputarnya
kedua tangannya yang menjadi satu itu. Terdengar su-
ara berdenging menggiriskan disusul dengan satu do-
rongan yang sangat kuat.
Datuk Meong Moneng tak berkedip memandang
serangan si gadis. Bahkan dia tak bergeser dari tempat
berdirinya. Mulutnya seperti hendak berucap, tetapi
karena serangan lawan sudah sedemikian dekat di-
urungkan niatnya untuk berucap. "Keparaatt!!"
Segera digeser tubuhnya ke samping kanan. Te-
naga kuat yang keluar diiringi dengingan menggiriskan
itu luput dari sasarannya, menghantam pohon di ma-
na Raja Naga berada di belakangnya. Sudah tentu se-
belum tenaga itu menghantam pohon, Raja Naga su-
dah menghindar lebih dulu.
Blaaaarrrr!!
Pohon itu bergetar hebat dengan menggugurkan
dedaunannya, menyusul suara berderak terdengar. La-
lu... menggemuruhlah suara tumbangnya pohon itu.
Menghindarnya Raja Naga tak luput dari mata
Datuk Meong Moneng dan Pratiwi. Secara serempak
masing-masing orang menghentikan serangannya.
"Raja Naga!" Pratiwi berseru.
Raja Naga hinggap di sisi kanan gadis itu.
"Dunia memang kecil! Kita bertemu lagi!"
"Hemm... mengapa kau bersembunyi?"
Raja Naga melirik. Bukannya sahuti pertanyaan
si gadis yang membuat perasaannya kembali teraduk-
aduk, dipandanginya Datuk Meong Moneng yang se-
dang menatapnya seraya berkata, "Baru sekarang aku
berjumpa dengan orang berjuluk Datuk Meong Mo-
neng! Dan sungguh sebuah tindakan yang tidak sopan
bila aku langsung bertanya! Datuk... pertanyaanku
sama seperti yang dilontarkan Pratiwi! Di manakah
Kembang Darah yang telah memiliki Bunga Kemuning
Biru?"
Pertanyaan itu membuat Datuk Meong Moneng
menjadi murka, karena teringat kembali bagaimana
dia dikelabui oleh Kembang Darah.
Dengan kaki dipentangkan dia menyahut, "Pe-
muda dari Lembah Naga yang julukannya begitu keso-
hor, aku bukanlah orang yang tepat dijadikan sebagai
tempat bertanya! Tetapi... aku adalah orang yang tepat
bila kau menginginkan kematian!"
Memerah kedua telinga Boma Paksi mendengar
kata-kata orang. Tetapi tak dipedulikannya kata-kata
itu. Yang terpenting baginya adalah mengetahui di
mana Kembang Darah berada. Bila Pratiwi tidak mun-
cul di sini, mungkin Raja Naga tidak akan tahu siapa
kakek tinggi besar bermuka kucing di hadapannya.
"Kita tidak punya silang urusan! Masing-masing
orang memiiiki jalan kehidupan sendiri-sendiri! Tadi
kudengar ucapanmu, kalau kau sedang mencari Kem-
bang Darah untuk...."
"Tutup mulutmu!!"
Belum habis bentakan itu, Datuk Meong Moneng
sudah menerkam ke depan dengan jari jemari mene-
kuk membentuk cakar ke arah Raja Naga. Yang dis-
erang menjerengkan sepasang matanya. Tanpa berges-
er dari tempatnya, diangkat tangan kanan kirinya den-
gan cepat.
Buk! Buk!
Begitu benturan terjadi, masing-masing orang su-
rut ke belakang. Raja Naga membatin kaget, "Hebat!
Dia sama sekali tak merasa sakit akibat benturan den-
gan tanganku!"
Sementara itu Datuk Meong Moneng membatin
dengan wajah geram, "Luar biasa! Tak kulihat tanda-
tanda kalau dia kesakitan! Hemm... seperti yang per-
nah kudengar, kalau kedua tangannya sebatas siku
yang dipenuhi sisik itu, memiliki kekuatan yang luar
biasa! Tetapi yang membuatku heran, mengapa gadis
itu menjadi seperti... hmmm, aku mengerti! Aku men-
gerti apa maunya!"
Pratiwi membentak, "Kakek muka kucing! Jawab
pertanyaan kami sebelum kau mampus kami bunuh!"
Datuk Meong Moneng mendelik gusar.
"Gadis terkutuk! Apa pun yang akan kalian laku-
kan terhadapku hanya akan memancing kematian ka-
lian belaka! Tetapi untuk saat ini, aku sedang enggan
mencabut nyawa orang!"
"Sombong!"
"Setaaannn!!"
Wuuutttt!!
Gelombang angin berputar menderu ke arah Pra-
tiwi. Yang diserang membelalak dan siap mendorong
tangan kanan kirinya. Tetapi satu dehaman telah me-
mutuskan deruan angin yang keluar akibat dorongan
tangan kanan Datuk Meong Moneng.
Akibatnya tanah di mana putusnya deruan angin
itu terbongkar ke udara dan menghalangi pandangan
beberapa saat.
Pratiwi melirik pemuda berompi ungu yang tadi
memutuskan serangan Datuk Meong Moneng.
"Hebat! Hebat sekali! Apa yang dikatakan Guru
tentang dirinya tak kuragukan lagi!" katanya dalam
hati.
"Datuk Meong Moneng, aku tak ingin melibatkan
sengketa denganmu, tetapi aku membutuhkan petun-
juk di mana Kembang Darah berada! Karena... saha-
batku yang bernama Ratih telah diculik olehnya dan
hingga saat ini belum kuketahui keadaannya!"
Datuk Meong Moneng terdiam sejenak sebelum
berkata, "Apakah kau tahu di mana sahabatmu dibawa
olehnya?"
"Tanah Kematian!"
"Huh! Tanah Kematian! Bila kau mencari Kem-
bang Darah ke tempat itu, kau hanya membuang wak-
tu dan tenaga saja!"
"Mengapa?!"
"Belum lama ini aku telah tiba di sana! Tanah
Kematian kosong melompong!"
"Maksudmu... kau tak menemukan siapa pun ju-
ga di sana?"
"Ya! Tak seorang pun berada di sana...."
"Astaga! Kalau memang Ratih tidak dibawa ke
sana, dibawa ke mana gadis itu oleh Kembang Darah?
Tentunya Kembang Darah mencoba menyesatkan
Lesmana atau siapa pun juga yang berhubungan den-
gan Ratih dengan menuliskan tempat di mana dia
membawa Ratih. Kalau begitu.... Lesmana tentunya
tak menemukan siapa pun bila memang dia telah tiba
di Tanah Kematian."
Habis membatin demikian, Raja Naga berkata,
"Hemm... berarti aku memang tidak perlu ke Tanah
Kematian! Kembang Darah tetap akan kucari! Apalagi
kini dia telah menguasai Bunga Kemuning Biru!"
"Saat ini aku pun sedang memburu Kembang Da-
rah karena aku tahu dia memiiiki Bunga Kemuning Bi-
ru!"
"Hemmm... nada ucapanmu merendah! Apakah
kau hendak mengatakan kalau kau memburu Kem-
bang Darah untuk mengembalikan Bunga Kemuning
Biru pada pemiliknya yang sah?" Pratiwi berseru den-
gan bibir mencibir.
Datuk Meong Moneng tajam menatapnya sebe-
lum mengangguk
"Apa yang kau katakan itu memang benar! Ya,
memang seperti itulah maksudku! Karena aku tahu
siapa Kembang Darah! Tanpa Bunga Kemuning Biru
dia sudah sedemikian kejamnya, apalagi dengan bunga
sakti itu di tangannya?!"
"Apakah kau bermaksud mengalihkan perhatian
kami siapa kau sebenarnya?!" ejekan Pratiwi terdengar
lagi.
"Orang boleh memandangku sebagai orang yang
kejam! Tetapi sudah dua tahun belakangan ini aku te-
lah insyaf! Untuk menebus segala dosa yang pernah
kuperbuat, aku bermaksud untuk memberantas setiap
kejahatan di rimba persilatan!" seru Datuk Meong Mo-
neng dengan suara meyakinkan.
Tak ada yang menyahuti ucapannya. Bibir Pratiwi
masih membentuk ejekan pertanda kalau dia sama se-
kali tak mempercayai kata-kata Datuk Meong Moneng.
Di pihak lain, Raja Naga berpikir, "Aneh! Menga-
pa aku seperti menangkap sesuatu yang tidak pada
tempatnya?"
"Rimba persilatan bukanlah tempat yang baik
untuk menyembunyikan sesuatu!" kata Datuk Meong
Moneng lagi. "Aku yakin, kalian tentunya telah men-
dengar tentang Bunga Kemuning Biru yang berhubun-
gan erat dengan Durga Marakayangan dan Malaikat
I Biru! Durga Marakayangan telah tewas sementara Ma-
laikat Biru tidak diketahui berada di mana! Walaupun
demikian, banyak orang yang menginginkan kema-
tiannya! Dengan mempergunakan Bunga Kemuning
Biru, maka kemungkinan besar orang yang menden-
dam pada Malaikat Biru dapat melaksanakan keingi-
nannya dengan segera! Dan Kembang Darah termasuk
salah seorang yang hendak membalas dendam pada
Malaikat Biru!"
"Dari ucapanmu kau nampaknya hendak menga-
jak kami bergabung," kata Raja Naga sambil memikir-
kan kejanggalan yang dirasakannya.
"Seumur hidupku aku tak pernah melakukan hal
seperti itu! Tetapi tak ada salahnya sekarang kulaku-
kan agar urusan ini cepat selesai!"
"Apa yang hendak kau ajukan?"
"Aku terus memburu Kembang Darah untuk
mendapatkan Bunga Kemuning Biru, kalian mencari
Malaikat Biru!"
"Kau sendiri mengatakan tidak tahu di mana Ma-
laikat Biru berada, bagaimana dengan kami?!" seru
Pratiwi.
"Aku tahu di mana Malaikat Biru berada!"
Pratiwi melirik Raja Naga yang tak berkedip me-
mandang kakek bermuka kucing itu sebelum berseru,
"Katakan!"
"Dia berdiam di Pusara Keramat! Tempat itu san-
gat terpencil dan merupakan tempat yang tepat dijadi-
kan sebagai persembunyian! Kalian bisa segera ke sa-
na untuk mengabarkan pada Malaikat Biru, kalau ba-
nyak orang yang menginginkan nyawanya!"
"Aku menyangsikan kalau Malaikat Biru belum
mengetahui keadaan ini," kata Raja Naga.
"Aku pun menyangsikan pula! Tetapi, itu adalah
tindakan terbaik! Karena sekali waktu dalam hidup-
nya, orang bisa menjadi lengah!"
"Lantas bagaimana dengan kau sendiri?"
"Setelah kudapatkan Bunga Kemuning Biru dari
tangan Kembang Darah, aku akan segera menyusul ke
Pusara Keramat!"
Raja Naga tak menyahut. Dia berpikir lagi.
Pratiwi yang berkata, "Ucapan terkadang memang
enak didengar, tetapi pada akhirnya merupakan satu
tohokan kuat dari belakang! Bisa jadi setelah kau da-
patkan Bunga Kemuning Biru, kau akan mempergu-
nakannya untuk kepentinganmu sendiri!"
"Kau bisa melihatnya nanti, Anak gadis! Rasanya
sudah cukup perjumpaan kita saat ini, karena sema-
kin lama berada di sini, semakin sulit menemukan
Kembang Darah!"
Habis ucapannya, Datuk Meong Moneng sudah
berkelebat ke depan dengan gerakan yang sangat ce-
pat. Sambil berlari dia membatin, "Sempurna! Sem-
purna sudah! Raja Naga akan menjadi pembuka jalan
menuju ke Pusara Keramat" Menyusul dia tertawa,
"Hahaha... memang sungguh pintar, pintar sekali! Tak
sia-sia aku mengangkatnya menjadi muridku! Pasti dia
dapat menguasai semuanya...."
Sepeninggal Datuk Meong Moneng, Pratiwi berka-
ta, "Raja Naga... apakah kita akan menjalankan apa
yang dikatakan Datuk Meong Moneng?"
Raja Naga tak segera menjawab. Setelah beberapa
saat terdiam dia berkata, "Sesungguhnya, aku masih
mencari dua orang sahabatku. Lesmana dan Ratih. Pe-
rasaanku belum tenang bila belum mengetahui kea-
daan mereka."
"Kalau begitu, kita tak perlu mengikuti apa yang
dikatakan Datuk Meong Moneng! Lebih baik kita cari
Lesmana dan Ratih!"
Raja Naga menggeleng.
"Menurut Datuk Meong Moneng, dia telah men-
datangi Tanah Kematian! Dan tak menemukan siapa
pun juga di sana! Bisa jadi Ratih yang diculik oleh
Kembang Darah memang tidak berada di sana! Atau
bisa jadi pula kalau dia sudah... ah! Terlalu mengeri-
kan membayangkan hal itu...."
Pratiwi tak menyahut. Tiba-tiba dipegangnya len-
gan kanan pemuda berompi ungu itu dengan lembut.
I Yang dipegang sedikit tertegun sebelum memandang
gadis di sampingnya.
"Boma... sebaiknya kita memang tak perlu men-
gikuti kata-kata Datuk Meong Moneng. Bisa jadi kalau
dia hanya menjebak saja. Aku tahu kalau dia terma-
suk manusia golongan sesat yang sangat kejam. Peru-
bahan sikapnya yang tiba-tiba itu patut dipertanya-
kan."
Boma Paksi masih tertegun. Tatapannya meng-
hujam dalam pada bola mata Pratiwi. Pratiwi sendiri
sedikit heran melihat tatapan itu.
"Boma...."
"Diah...."
Kali ini kening Pratiwi berkerut.
"Hei! Boma! Mengapa kau sebut namaku Diah?!"
Seperti orang terbangun dari tidur dengan cara
dikagetkan, Boma Paksi tersentak.
"Oh! Tidak, tidak! Ya, ya... kita... kita segera me-
nuju ke Pusara Keramat!"
"Boma... ada apa ini?"
Pemuda dari Lembah Naga itu menarik napas
pendek. Kegelisahannya begitu kentara. Kerinduan pa-
da gadis yang dicintainya menggelora di dada. Tetapi
diusahakan untuk ditindihnya kuat-kuat.
"Pratiwi... sebaiknya kita melacak jejak Malaikat
Biru..."
"Bagaimana dengan Lesmana dan Ratih?"
"Mudah-mudahan kita bisa bertemu dengan me-
reka dijalan. Itu pun... kalau mereka masih hidup...."
Pratiwi hanya mengiyakan saja. Lalu diikutinya
langkah pemuda yang pada tangan kanan kirinya se-
batas siku terdapat sisik coklat.
Sementara itu, debaran dada Raja Naga semakin
mengencang saja.
***
DELAPAN
KEGELAPANLAH yang dirasakan pertama kali
oleh Setan Keris Kembar tatkala membuka kedua ma-
tanya. Segera dipejamkan matanya sesaat untuk ke-
mudian dibuka kembali. Tetapi tetap saja yang ter-
tangkap hanya kepekatan semata.
Begitu teringat akan tangan kirinya, segera saja
tangan kanannya mendekap bahu kiri bagian atas. Un-
tuk sejenak Setan Keris Kembar tertegun, karena dia
sama sekali tak merasa sakit. Tubuhnya pun dirasa-
kan pulih.
Perlahan-lahan Setan Keris Kembar berdiri. Se-
pasang matanya dipicingkan untuk tembusi kepeka-
tan. Tetapi tetap dia tak mampu melakukannya.
"Di mana aku?" desisnya sambil meraba-raba.
Dikerahkan seluruh indera yang dimilikinya. Namun
tempat itu tetap pekat. "Astaga! Apakah aku tersesat
dan tanpa sadar masuk ke tempat yang gelap ini?"
Pelan-pelan Setan Keris Kembar mencoba me-
langkah. Namun dalam kegelapan semata, sulit ba-
ginya untuk menentukan arah langkahnya.
"Aneh! Mengapa aku sama sekali tak ingat kalau
aku telah masuk ke tempat menyeramkan seperti ini?
Di mana pula tempat ini? Apakah...."
Belum tuntas ucapannya, dari jarak sepuluh
langkah tiba-tiba terlihat cahaya biru yang semakin
lama bertambah terang. Tanpa sadar Setan Keris Kem-
bar mengangkat tangan kanannya di depan mata ka-
rena cahaya biru itu sangat menyilaukan mata.
"Siapa kau?!" serunya begitu samar-samar meli-
hat satu sosok tubuh.
"Tempat ini mungkin tidak layak untukmu," satu
suara tenang terdengar. "Tetapi hanya ke tempat inilah
aku bisa membawa dan mengobati luka-lukamu...."
"Suaranya seperti pernah kukenal. Entah di ma-
na. Dia bilang dia yang membawa dan mengobati luka-
lukaku? Astaga! Pantas saja keadaanku sudah pulih
seperti sediakala dan luka pada bahuku yang kutung
ini tak lagi kurasakan," ucap Setan Keris Kembar da-
lam hati. Lalu berkata, "Orang dalam gelap! Siapa pun
kau adanya aku berterima kasih padamu! Tetapi, apa-
kah tidak sebaiknya kita bicara di tempat yang te-
rang?!"
"Di sekitar tempat ini hanya ada kegelapan sema-
ta! Tetapi bila memang kau menghendaki demikian,
sebaiknya kita memang berada di luar! Kebetulan pagi
baru saja datang...."
Setan Keris Kembar melihat cahaya biru itu ber-
balik dan bergerak. Sejenak kakek yang tangan kirinya
telah buntung ini terpaku sebelum menyusul.
Berada di luar dari tempat yang sangat gelap itu,
Setan Keris Kembar harus memejamkan matanya seje-
nak. Udara dingin menyergapnya. Ada kenyamanan
karena dia berada di tempat yang terang. Dihirupnya
udara segar itu dalam-dalam.
Ketika hendak digerakkan tangannya ke atas, di-
lihatnya tangan kirinya yang buntung. Seketika lenyap
sikap senangnya. Parasnya perlahan-lahan menekuk
I geram, hingga keriput yang menghiasinya seperti se-
makin menumpuk.
"Terkutuk!!" geramnya sengit.
"Kau kini sudah sembuh, nyawamu masih mele-
kat pada jasadmu! Makian yang kau lontarkan hanya
akan menimbulkan dendam belaka," suara itu terden-
gar.
Seolah baru menyadari ada orang lain di dekat-
nya, Setan Keris Kembar seketika menoleh ke samping
kanan. Dilihatnya satu sosok tubuh yang berdiri mem-
belakanginya. Dan dari sekujur tubuh orang itu terli-
hat cahaya biru yang terang.
"Gila! Seumur hidupku, baru sekarang kulihat
orang yang dari tubuhnya memancarkan cahaya," de-
sisnya kagum dalam hati. Lalu dengan suara tak sege-
ram sebelumnya, dia ajukan tanya, "Orang bercahaya
biru, siapa kau sebenarnya?"
Bukannya jawab pertanyaan orang, orang berpa-
kaian serba biru dan tubuhnya memancarkan cahaya
yang sama berkata, "Semalaman kau mengigau, me-
nyebut nama Datuk Meong Moneng yang telah mem-
buntungi tangan kirimu. Kau juga menyebutkan satu
nama yang hendak kau bunuh."
Setan Keris Kembar melengak.
"Aku mengigau?"
"Sangat jelas sekali!"
"Apa yang kukatakan dalam igauanku? Siapa
orang yang hendak kubunuh?"
"Apakah saat ini kau tidak ingin membunuh sia-
pa-siapa?"
Setan Keris Kembar mendengus. Seketika inga-
tannya kembali pada kakek muka kucing di Tanah
Kematian.
"Aku ingin membunuh Datuk Meong Moneng ka-
rena telah membuatku celaka seperti ini!"
"Apakah kau melupakan rencana awalmu?"
"Tidak! Aku masih tetap akan melaksanakan ren-
cana awalku untuk membunuh Malaikat Biru!"
"Itulah yang kau igaukan! Setan Keris Kembar,
apakah kau sudah mengenal orang berjuluk Malaikat
Biru?"
"Tidak! Aku hanya tahu, satu-satunya orang yang
menghuni Pusara Keramat adalah Malaikat Biru!"
"Mengapa kau hendak membunuhnya?"
"Dia telah membunuh ayahku!"
"Siapakah ayahmu?"
"Ayahku penguasa daerah selatan! Dia berjuluk
Iblis Seribu Nista!"
"Aku sangat mengenal ayahmu. Ayahmu bukan
orang baik-baik. Kerjanya hanya mencelakakan ba-
nyak orang dan memperkosa siapa saja. Kupikir apa
yang dilakukan oleh Malaikat Biru benar adanya."
"Kau tidak tahu apa yang kualami tanpa seorang
ayah, hah?!" suara Setan Keris Kembar terdengar ta-
jam. Ingatan masa lalunya membayang dan membuat
kegeramannya muncul kembali. "Hinaan terus berda-
tangan padaku karena ibuku sudah membunuh diri
dua tahun sebelumnya! Kau tahu... kalau semua ini
gara-gara Malaikat Biru? Keinginan untuk membu-
nuhnyalah yang membuatku mempelajari banyak il-
mu!"
"Apakah kau sudah merasa sanggup untuk
membunuh Malaikat Biru?"
"Bila Bunga Kemuning Biru berada di tanganku,
aku sanggup untuk membunuhnya. Tetapi tanpa bun-
ga sakti itu pun, aku tak peduli apakah aku akan
sanggup atau tidak melakukannya! Karena, aku harus
tetap melakukannya!"
"Apakah kau tidak bisa memaafkannya?"
Kali ini Setan Keris Kembar tak buka suara. Ma-
tanya memicing, memandang tak berkedip pada orang
berpakaian serba biru yang berdiri membelakanginya.
"Orang bercahaya biru! Siapa kau sebenarnya?
Mengapa kau terus bertanya soal itu?"
Orang yang tubuhnya memancarkan cahaya biru
tak segera menjawab. Suasana hening sejenak. Udara
dingin tetap terjaga. Kabut tebal masih menyelimuti
beberapa tempat.
Perlahan-lahan terdengar orang bercahaya biru
angkat bicara seraya membalikkan tubuhnya, "Kare-
na... akulah orang yang hendak kau bunuh!"
* * *
Sampai surut dua tindak Setan Keris Kembar
mendengarnya. Kepalanya tegak kaku dengan mata
berbinar tajam. Semakin lama ketajaman pancaran
matanya berubah berbahaya. Kejap lain terdengar ben-
takannya keras,
"Terkutuk! Jadi kau yang berjuluk Malaikat Biru?
Setan laknat! Kau harus mampus!!"
Belum habis seruannya, Setan Keris Kembar su-
dah menderu kencang ke depan. Tangan kanannya
membentuk jotosan. Angin yang keluar dari jotosannya
mampu membuat pohon bergetar.
Tetapi kakek bercahaya biru itu sama sekali tak
bergeser dari tempatnya. Bahkan dia tersenyum lem-
but, seolah mandah diapakan saja.
Buk! Buk!!
Dua kali jotosan tangan kanan Setan Keris Biru
mampir pada dada kurusnya. Jotosan itu mampu me-
numbangkan sebatang pohon besar. Tetapi Malaikat
Biru tetap tegak di tempatnya.
"Puaskanlah keinginanmu...."
Kegeraman Setan Keris Kembar semakin menja-
di-jadi. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
menghantam Malaikat Biru. Lagi-lagi yang dihantam
tak bergeming. Tetap tegak dengan senyuman.
"Terkutuk! Mengapa kau diam saja, hah?! Ayo,
hadapi aku! Atau kau bertingkah karena aku belum
mendapatkan Bunga Kemuning Biru?!" geram Setan
Keris Kembar gusar.
Ketika hendak menyerang lagi, Malaikat Biru
mengibaskan tangan kanannya laksana menepuk an-
gin.
Wuusss!
Gussrraakk!!
Setan Keris kembar terlempar di atas ranggasan
semak yang segera tertindih. Dan ini semakin menam-
bah kemarahannya. Dicabut kerisnya dan dihu-
nuskan.
Tetapi untuk kedua kalinya Setan Keris Kembar
terbanting di atas ranggasan semak.
"Mungkin apa yang telah kulakukan terhadapmu,
bukanlah sesuatu yang dapat membuatmu menyadari,
kalau aku tak pernah menghendaki kejadian seperti
ini. Kalaupun dulu aku membunuh ayahmu, karena
terpaksa. Dia terlalu keras kepala padahal sudah ku-
berikan jalan keluar yang seharusnya diterimanya. Se-
tan Keris Kembar, kau telah berjumpa denganku. Dan
kau tahu kalau aku hanya bisa mati bila lawan mem-
pergunakan Bunga Kemuning Biru. Apa pun yang kau
hendaki, silakan kau lakukan...."
Memburu napas Setan Keris Kembar. Dadanya
turun naik dengan cepat. Parasnya memerah gusar
dengan sorot mata berbahaya.
"Keparat!" gusarnya dalam hati. "Hilangnya tan-
gan kiriku seperti melenyapkan sebagian ilmu yang
kumiliki! Aku belum terbiasa mempertahankan ke-
seimbangan dengan tangan hanya sebelah! Setan ter-
kutuk! Atau karena ilmu Malaikat Biru memang sede-
mikian tinggi?"
Untuk beberapa saat lamanya masing-masing
orang terdiam. Malaikat Biru sendiri tetap tersenyum
walaupun sorot matanya menyiratkan kesedihan.
"Ah, baru kusadari apa yang dulu kulakukan
ternyata tak berarti. Satu kejahatan hancur, masih
akan bermunculan kejahatan lain...." desahnya dalam
hati.
Di pihak lain Setan Keris Kembar membatin, "Ma-
laikat Biru telah menyelamatkan nyawaku. Kendati
demikian, tak akan pernah kuurungkan niatku untuk
membalas kematian ayahku di tangannya puluhan ta-
hun lalu! Terlalu lama aku menunggu saat-saat untuk
membunuhnya! Tetapi hasilnya... setan! Sia-sia apa
yang kupelajari selama ini! Dengan tangan buntung
seperti ini, sulit bagiku untuk ikut memperebutkan
Bunga Kemuning Biru!"
Kejap lain dia berseru, "Malaikat Biru! Jangan
harap aku mengucapkan terima kasih atas pertolon-
ganmu! Untuk saat ini, aku memang tak mampu me-
laksanakan niatku! Tetapi ingat baik-baik ucapanku!
Kelak... aku akan muncul kembali untuk menun-
taskan dendam di dadaku ini!"
Malaikat Biru menyahut, "Jangan pernah mem-
biarkan hawa nafsu melingkupi diri kita, karena akan
menjerat kita pada jurang kenistaan!"
"Justru nafsuku untuk membunuhmu akan ku-
biarkan subur dan tumbuh di dadaku!"
Habis ucapannya dengan membawa gelora ama-
rah di dada, Setan Keris Kembar berlalu meninggalkan
tempat itu. Di dekat dua buah pohon yang akarnya
berliuk-liuk sementara bagian atasnya bersilangan sa-
tu sama lain, dihentikan larinya. Dibalikkan tubuhnya
untuk memandang lagi ke tempat semula. Malaikat Bi-
ru sudah tak berada di sana.
* * *
SEMBILAN
KAKANG... nampaknya kita tak akan bisa mene-
mukan Raja Naga. Adakah orang lain yang bisa meno-
longku selain Raja Naga?" suara lembut yang agak pa-
rau itu terdengar dari balik ranggasan sebuah semak.
Saat ini matahari sudah sepenggalah. Sinarnya yang
semakin lama semakin garang, tak begitu terasa kare-
na pepohonan di sekitar sana tinggi dan berdaun rim-
bun. Di atas tanah terlihat bentuk gelap-terang.
"Ratih... aku juga berpikir demikian. Tetapi, sia-
pakah orang yang bisa kita mintai tolong?" Lesmana
berkata dengan penuh penyesalan. Disesalinya karena
dia tak mampu menemukan sekaligus membebaskan
kekasihnya dari totokan Kembang Darah.
Mendengar suara penuh penyesalan itu Ratih
menjadi tidak enak.
"Bukan maksudku untuk menyepelekanmu, Ka-
kang. Aku sudah berterima kasih karena kau tetap se-
tia menjagaku. Hanya yang kukhawatirkan, tubuhku
tak akan bisa digerakkan selama-lamanya walaupun
aku sudah terbebas dari totokan. Kita sama-sama ta-
hu, bila sebuah totokan tak akan terlepas dalam waktu
yang cukup lama, maka akan menghambat aliran da-
rah. Secara tidak langsung orang yang terkena totokan
itu akan lumpuh. Maaf Kakang Lesmana... bukan
maksudku untuk mengajarimu...."
Lesmana tersenyum. Pemuda yang masih berte-
lanjang dada karena pakaiannya harus dipakaikan pa-
da Ratih yang pakaiannya sendiri sudah robek dan en-
tah di mana, memandang gadis berkuncir dua yang
wajahnya sedikit memucat.
"Mencari Raja Naga memang sangat sulit. Menu-
rut perkiraanku, dia juga sudah tiba di Tanah Kema-
tian. Karena tak menemukan kau atau aku di sana,
dia tentunya sudah menjauh dari sana."
"Kakang!" suara Ratih tiba-tiba mengeras.
"Hei, ada apa? Mengapa kau menjadi tegang se-
perti itu?"
Ratih menatap pemuda tampan itu lekat-lekat.
"Kakang... jangan-jangan.... Raja Naga telah te-
was dibunuh Datuk Meong Moneng? Dapat kubayang-
kan amarah yang berkobar di dada Datuk Meong Mo-
neng ketika tak menjumpaiku lagi di dalam gua itu.
Dan.... Raja Naga yang tiba kemudian di sana, menjadi
sasaran kemarahannya...."
Lesmana tak menyahut. "Apa yang dikatakan Ra-
tih sungguh masuk akal," katanya dalam hati. "Teta-
pi... aku mengenal pemuda yang usianya satu tahun
lebih muda dariku. Dia memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Apakah dia memang dapat dikalahkan oleh Da-
tuk Meong Moneng?"
Tak ada yang buka mulut. Masing-masing orang
dibuncah pikiran yang sama.
Lesmana memecahkan keheningan, "Kita tak per-
lu bersikap seperti itu, Ratih, karena kita sama-sama
tahu kalau Raja Naga memiliki ilmu yang tinggi. Sudah
tentu dia dapat meloloskan diri dari cengkeraman Da-
tuk Meong Moneng bila memang ternyata dia tak
mampu menghadapinya. Itu pun, bila memang Raja
Naga bertemu dengan Datuk Meong Moneng di Tanah
Kematian...."
"Aku hanya mengungkap satu pikiran saja, Ka-
kang. Sebenarnya aku pun tak mau memikirkan hal
itu."
"Ratih... kita sudah cukup beristirahat dan sudah
mengisi perut. Sebaiknya, kita teruskan saja mencari
Raja Naga...."
"Kakang Lesmana... bila kita gagal menemukan
Raja Naga, mudah-mudahan secara tak sengaja kita
berjumpa dengan Malaikat Biru. Dari berita yang ku-
dengar, Malaikat Biru adalah tokoh mulia yang du-
lunya banyak memerangi kejahatan. Banyak para to-
koh sesat yang menghendaki kematiannya hingga
Bunga Kemuning Biru harus diperebutkan...."
"Kita sama-sama belum mengenal Malaikat Biru.
Kalaupun kita berjumpa dengannya di jalan, kita tak
akan tahu dialah sesungguhnya orang yang berjuluk
Malaikat Biru."
Ratih tak bersuara. Parasnya bertambah sendu
dan pucat. Lesmana menarik napas pendek. Digeng-
gamnya tangan kanan gadis itu, diremasnya lembut.
"Kita tak boleh berputus asa. Kita harus tetap
mencari Raja Naga maupun.... Malaikat Biru."
"Aku kasihan padamu, Kakang."
"Hei, hei! Mengapa kau berkata begitu? Ini sudah
kewajibanku untuk melindungimu. Ayo, kita berangkat
sekarang!"
Hal itu memang lebih baik. Karena menurut
Lesmana, bila mereka masih berada di sini dan terus
menerus membicarakan masalah itu akan membuat
kekasihnya semakin putus harapan. Walaupun se-
sungguhnya Lesmana tahu kalau Ratih adalah seorang
gadis yang tegar.
Pada saat yang bersamaan, di sebuah tempat
yang jauh dari tempat Lesmana dan Ratih, Raja Naga
bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon. Tak
jauh dari tempatnya terdengar suara gemuruh air sun-
gai. Saat ini dia sedang menunggu Pratiwi mandi. Dan
menunggu seperti ini di saat masih banyak yang harus
dikerjakan justru membuat Raja Naga menjadi jemu.
"Bila saja aku sudah menemukan jawaban atas
suatu kejanggalan yang kupikirkan, sudah tentu akan
kutinggalkan gadis berjubah putih itu di sini. Tapi...."
Pemuda berompi ungu ini memutus kata-katanya
sendiri. Terlihat sorot matanya yang angker bersinar
redup memandang pada bunga-bunga mawar yang
tumbuh di sana.
"Aku seperti menemukan kembali rasa kehilan-
ganku dulu. Ah, mengapa ada seseorang yang mirip
dengan orang lain? Pratiwi mirip sekali dengan Diah
Harum, gadis yang pernah kucintai dan sekarang su-
dah tewas...."
Untuk sejenak anak muda pewaris ilmu Dewa
Naga mematung di tempatnya. Samar-samar terlihat
kembali bagaimana perjumpaannya dengan Diah Ha-
rum alias Dewi Bunga Mawar (Baca : "Kutukan Manu-
sia Sekarat"). Diingatnya pula bagaimana Diah Harum
tewas (Baca : "Ratu Sejuta Setan").
"Apakah kehadiran Pratiwi memang ditakdirkan
untuk menggantikan kedudukan Diah Harum, yang
mungkin sampai akhir hayatnya tidak tahu kalau aku
mencintainya? Tidak! Aku tak mau melibatkan pikiran
normalku dengan emosi. Mungkin saja kehadirannya
hanyalah sesaat belaka karena...."
"Bomaaaa!!"
Jeritan itu memutus kata batin Raja Naga. Seren-
tak dia melesat ke arah sungai. Dilihatnya Pratiwi be-
rada di dalam air tanpa bergerak. Wajahnya pucat
dengan mata bergidik.
"Ada apa?!" seru Raja Naga.
"Itu... itu... lintah di tanganku...."
Cepat Raja Naga masuk ke dalam air. Dia tertawa
melihat seekor lintah hinggap di bahu kanan Pratiwi.
"Astaga! Kau bisa menguasai lima orang berto-
peng yang telah tewas dibunuh Datuk Meong Moneng.
Kau berani pula menantang Datuk Meong Moneng. Te-
tapi dengan lintah ini?"
"Buang! Buang! Aku jijik!"
Dengan sekali sentil saja, lintah yang menempel
pada bahu kanan Pratiwi mencelat jauh entah ke ma-
na.
"Menggelikan. Dengan lintah saja...."
"Sudah, sudah! Kau membuatku malu!" seru Pra-
tiwi dengan wajah merengut. Dia berdiri tegak seka-
rang.
Raja Naga yang tertawa mendadak saja memu-
tuskan tawanya. Pandangannya lekat pada Pratiwi.
"Kenapa lagi memandangku seperti itu? Hendak
mengejekku, ya?!"
Raja Naga justru gelagapan. Tanpa disadari pa-
rasnya memerah. Melihat paras pemuda di hadapan-
nya memerah, Pratiwi sejenak tertegun sebelum berte-
riak kaget seraya merendahkan tubuhnya di dalam air.
Saat dia berdiri tadi, tubuh polosnya bagian atas
terpampang jelas di mata Raja Naga. Segar dan sedikit
basah.
Itulah yang membuat Raja Naga tertegun dengan
wajah memerah. Sementara itu Pratiwi seperti tak ber-
kutik di dalam air. Baru disadarinya kalau tubuhnya
dalam keadaan polos: Berada sedekat itu dengan Raja
Naga, kemungkinan besar seluruh bagian tubuh po-
losnya membayang.
"Maafkan aku...," desis Raja Naga. Suaranya ber-
getar, seperti tersekat di tenggorokan.
Pratiwi tidak menyahut. Dia justru membalikkan
tubuhnya. Tangan kanan kirinya menutup wajahnya
karena malu. Samar-samar terlihat kedua bahunya
berguncang.
Raja Naga menjadi tidak enak, pelan-pelan dipe-
gangnya kedua bahu gadis itu dari belakang.
"Kau... kau boleh menghukumku, Pratiwi...."
"Hu hu hu... aku memang tidak tahu malu... aku
memang tidak tahu malu...."
"Sudahlah, tak perlu kau menyalahkan dirimu.
Apa yang kau lakukan adalah karena luapan rasa
gembira kau terbebas dari lintah tadi...."
"Tapi... tapi...."
"Tapi apa?" ucap Raja Naga lembut. Tanpa dis-
adarinya tangan kanan kirinya yang masih memegang
kedua bahu Pratiwi sedikit bergetar. Walaupun saat ini
udara masih dingin, tetapi kehangatan menjalari ke-
dua tangannya.
Pratiwi mengisak pelan.
"Kau... kau... sudah melihat tubuhku...."
Raja Naga mendesah pendek.
"Ya... karena itu, bila kau hendak menghukum-
ku... lakukanlah..."
"Tidak, tidak... aku yang salah. Kau jangan mera-
sa bersalah...."
"Tetapi karena tindakanku ini kau menjadi malu...."
"Ya, ya... kau yang salah. Oh! Tidak, tidak...
aku... aku yang salah...."
"Sudahlah. Lebih baik kita mentas saja, untuk
melanjutkan perjalanan menuju ke Pusara Keramat."
Tanpa menunggu jawaban Pratiwi, pemuda yang
pada tangan kanan kirinya sebatas siku dipenuhi sisik
coklat itu segera membalikkan tubuh dan melangkah.
"Boma...," panggilan itu membuat Raja Naga
menghentikan langkah dan berbalik.
Dilihatnya Pratiwi telah tegak di dalam air meng-
hadap ke arahnya. Sungai itu tidak begitu dalam.
Hanya sebatas pinggang saja. Dalam keadaan meng-
hadap ke arahnya, Raja Naga bisa melihat betapa se-
garnya sepasang bukit putih kenyal yang halus milik
Pratiwi. Samar-samar dilihatnya pula bayangan hitam
yang bergerak-gerak lembut akibat gerakan air di ba-
gian bawah tubuh Pratiwi.
Perasaan Raja Naga menjadi tidak menentu. Satu
gejolak di dadanya tiba-tiba berdentum. Napasnya se-
dikit memburu dengan gelora aneh yang terus muncul.
Di hadapannya Pratiwi tegak memandangnya. Bo-
la mata gadis itu lembut menghujam padanya. Mem-
buat dirinya semakin gelisah. Ada keinginan untuk se-
gera melompat keluar dari sungai, tetapi satu doron-
gan lain memaksanya untuk memaku kedua kakinya
di sana.
"Boma...," desis Pratiwi pelan.
"Ya?" suara Boma Paksi bergetar.
Tubuhnya bertambah gemetar ketika perlahan-
lahan Pratiwi mendekatinya. Lalu mengangkat kedua
tangannya dari dalam air. Sepasang bukit kembarnya
Sejenak berayun lembut saat digerakkan kedua tan-
gannya.
Boma Paksi gelagapan ketika kedua tangan Pra-
tiwi melingkari lehernya, lalu lembut menariknya un-
tuk menunduk. Dirasakan sesuatu yang kenyal me-
nyentuh bibirnya, lembut dan menimbulkan pesona
yang dalam.
Getaran tubuh Raja Naga semakin kentara. Gelo-
ra mudanya berderak-derak, tanpa disadarinya dia
pun mulai membalas ciuman Pratiwi. Dirasakannya
betul tangan Pratiwi membimbing tangan kanannya
untuk hinggap pada salah satu bukit kembarnya.
"Peluk aku, Boma...."
Sementara tangan kirinya merangkul dan tangan
kanannya meremas-remas payudara indah Pratiwi,
Boma Paksi terus menciumi bibir gadis itu yang terus
mendesah-desah.
"Terus, Boma... terus.... Aku ingin berada dalam
keadaan seperti ini...."
Saat itu yang muncul di pikiran Raja Naga bu-
kanlah Pratiwi, melainkan Diah Harum yang hidup
kembali. Didekapnya dengan penuh kasih sayang. Di-
tumpahkan seluruh kerinduannya yang terpendam
lama. Pratiwi terus mendesah-desah dalam dekapan-
nya. Tangan mungil gadis itu meraba dadanya yang
bidang.
Ketika hendak menyusup lebih dalam, Raja Naga
menangkap tangannya.
"Mengapa?" desis gadis itu heran.
"Kita belum boleh melakukannya," kata Raja Na-
ga yang sadar kembali kalau gadis dalam dekapannya
bukanlah Diah Harum. Dilepaskan kecupannya. Tetapi
dia tak segera meninggalkan gadis yang kini wajahnya
memerah itu, karena tak ingin gadis itu menjadi ter-
singgung. "Pratiwi... sebaiknya kita sudahi saja du-
lu...."
"Mengapa, Boma? Mengapa? Apakah kau men-
ganggapku sebagai gadis murahan?"
Raja Naga tersenyum, lalu menggeleng lembut.
"Tidak, sama sekali aku tidak beranggapan seperti itu.
Malah karena menganggapmu sebagai gadis terhormat
dan kita sama-sama mempunyai kehormatan yang ha-
rus kita jaga, sebaiknya kita hentikan semuanya...."
"Kau... kau... membuatku bertambah malu...."
Boma Paksi merangkul gadis yang masih dalam
keadaan polos itu, mendekapnya erat-erat.
"Aku tak pernah berniat seperti itu, Pratiwi. Su-
dahlah... tak perlu kau pikirkan lagi. Sebaiknya kau
berpakaian dan kita berangkat menuju ke Pusara Ke-
ramat...."
Pratiwi belum mau melepaskan dekapan Raja
Naga. Gadis itu masih malu. Perasaannya menjadi
gundah karena khawatir dianggap murahan.
Raja Naga sendiri saat ini sesungguhnya sedang
berusaha keras untuk menahan gelora di dadanya
yang masih belum turun. Pesona yang baru saja dira-
sakan itu memang sangat sukar untuk ditepiskan. Te-
tapi dia tak mau melangkah dan menuruti gelora di
dadanya lebih jauh.
Di saat keduanya saling dekap dengan perasaan
masing-masing yang tak menentu, tiba-tiba terdengar
suara cekikikan dan kekehan yang sangat keras. Sak-
ing kerasnya beberapa helai daun berguguran jatuh.
Serentak sepasang muda-mudi itu melepaskan
dekapan mereka. Masing-masing orang segera me-
mandang ke depan. Di sana telah berdiri dua sosok
tubuh yang masih cekikikan dan terkekeh. Yang seo-
rang adalah nenek berpunuk dan seorang lagi adalah
lelaki tua yang bertubuh kontet!
SELESAI
Ikuti kelanjutan serial ini:
PUSAKA KERAMAT
Scan/B-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon