SATU
SUASANA di tempat yang agak landai dan dipe-
nuhi dengan pepohonan itu sepi. Hanya suara hewan
malam yang terdengar. Angin timur laut berhembus
dingin, menggeresek dedaunan yang cukup menimbul-
kan suara mendebarkan. Malam terus beranjak dan
Datuk Bunaeng tak bersuara. Matanya meman-
dang tajam pada Dewi Berlian yang baru saja menceri-
takan sesuatu yang cukup mengejutkan sekaligus
membuat kemarahannya semakin naik. Diliriknya
Pangku Jaladara yang terbujur dalam keadaan telen-
tang di atas tanah.
Sesuai dengan apa yang direncanakan, Datuk
Bunaeng bersama Ratu Tongkat Ular dan Resi Hitam
terlebih dulu tiba di Lembah Lingkar. Kakek berjubah
hitam yang sepasang alisnya menyatu ini menggeram
karena tak melihat sosok Dewi Berlian. Tetapi kegera-
mannya itu lenyap tatkala perempuan berpa3mdara
montok yang mengenakan pakaian panjang warna hi-
jau dipenuhi butiran berlian itu muncul dengan me-
nyeret tubuh Pangku Jaladara, yang kemudian diban-
tingnya hingga terbujur di atas tanah.
Kemudian tanpa membuang waktu Dewi Berlian
memberitahukan sesuatu yang mengejutkan kakek be-
rambut dikelabang itu!
"Bagus kalau Raja Naga berani datang ke Lembah
Lingkari" deals kakek berambut dikelabang itu dingin.
"Itu tandanya, siap untuk mencari mampus!"
Dewi Berlian yang sedang menjalankan rencana
busuknya, tersen3rum dalam hati.
"Dengan begini, aku dapat mengadu domba anta-
ra Datuk Bunaeng dengan Raja Naga. Tetapi bila tin-
dakanku ini tidak dibantu oleh Pangku Jaladara mus-
tahil perkembangannya seperti itu." i
Wajah perempuan yang pakaian bawahnya terbe-
lah di kanan kiri hingga batas pinggul ini, sedikit be-
rubah ketika melihat tatapan kakek bongkok berkulit
sangat hitam. Belum lagi bibir keriput si kakek terse-
nyum-senyum sendirian, dan sesekali memberi isyarat
seperti kecupan.
"Keparat! Siapa kakek setan ini? Tatapannya pe-
f nuh birahi dan membuatku menjadi begitu muak!"
Kakek yang bukan lain Resi Hitam itu mendesis
pada Datuk Bunaeng, "Bunaeng! Lama kudengar kabar
tentang seorang perempuan jelita yang berjuluk Dewi
Berlian! Sekian lama pula kubayangkan betapa cantik
wajahnya dan begitu panas tubuhnya! Lama pula ku-
pendam hasratku untuk menggelutinya! Dan tak ku-
sangka tak kuduga, kalau hari ini aku berjumpa den-
gannya! Dan... wah, wah! Luar biasa! Sungguh luar bi-
asa! Kecantikan dan kemolekannya jauh melebihi apa
yang kubayangkan!" !
Datuk Bunaeng menyeringai lebar. Di pihak lain.
Dewi Berlian menggeram keras. Sementara itu, sesuai
rencana yang dijalankan. Pangku Jaladara yang berla-
gak pingsan, menggeram dalam hati.
"Terkutuk! Siapa kakek berkulit hitam yang sem- ,
pat kulihat tadi? Setan laknat! Lancang betul mulut-
nya berbicara seperti itu. Huh! Suatu saat, dia harus
mampus di tanganku!"
Resi Hitam berkata lagi, "Bunaeng! Kau lihat bu-
kit kembarnya yang padat dan memperlihatkan seba-
gian besar kepadatannya itu? Ah, kedua tanganku ini
rasanya sudah tak mampu kutahan lagi untuk mere-
masnya! Tentunya begitu kenyal, lembut dan mengge-
maskan! Dan kau lihat sepasang pahanya yang gempal
aduhai? Gila! Aku bisa mati berdiri bila belum menik-
matinya!"
"Kakek hitam! Jaga mulutmu kalau bicara!!" ben- ,
tak Dewi Berlian tak dapat menguasai lagi amarahnya.
Kehadiran kakek itu memang di luar dugaannya. Sebe-
lumnya, dia hanya menyangka kalau Datuk Bunaeng
dan Ratu Tongkat Ular saja yang berada di Lembah
Lingkar.
Resi Hitam menyeringai lebar.
"Mengapa harus gusar? Aku laki-laki dan memili-
ki kejantanan yang luar biasa! Dan kau perempuan
yang memiliki tubuh montok luar biasa! Bukankah ini
sesuatu yang menguntungkan? Kejantananku dapat
kutumpahkan pada tubuhmu yang montok, yang ten-
tunya juga akan kau nikmati!!"
Srraaattt!!
Belum habis seruan Resi Hitam terdengar, satu
cahaya gemerlapan yang menebarkan hawa panas su-
dah menggebrak ke arahnya!
Kepala Resi Hitam seketika menegak. Sorot ma-
tanya tajam berapi-api. Mendadak disentakkan tangan
kanannya ke atas. Gumpalan awan hitam tiba-tiba
bergerak naik diiringi suara bergemuruh. Men3rusul
awan hitam itu tiba-tiba turun dengan deras dan se-
perti halnya sebuah tangan, menangkap dan memaksa
I masuk cahaya gemerlapan yang dilancarkan Dewi Ber-
lian!
Begitu masuk, terdengar letupan yang keras!
Blaaarrrr!!
Awan hitam itu muncrat berhamburan sementara
cahaya gemerlapan tadi tertungkup jatuh di atas tanah
yang membuat tanah muncrat setinggi setengah tom-
bak.
Di tempatnya, napas Dewi Berlian memburu ke-
ras. Sorot matanya bengis tak berkedip.
Di pihak lain, sepasang mata Resi Hitam melotot.
Bukan jengkel karena mendapatkan serangan menda-
dak dan tatapan seperti itu, melainkan mengarahkan
pandangannya pada bungkahan sepasang bukit mon-
tok milik Dewi Berlian yang naik turun.
"Astaga!" desisnya sambil menelan ludah. "Pasti
nikmat betul kalau aku menyusupkan kepalaku di be-
lahan kedua bukit itu!"
"Terkutuk!!" maki Dewi Berlian berang dan siap
' melancarkan serangannya lagi.
Tetapi suara Datuk Bunaeng menghentikannya,
"Tak perlu gusar untuk urusan yang sepele ini!
Kita adalah kawan, demikian pula dengan Resi Hitam!
Tahan segala kemarahanmu. Dewi Berlian! Karena
orang yang sama-sama kita tunggu akan muncul di si-
ni!"
Dewi Berlian melirik dengan tatapan ganas. Tak
menyukai apa yang dikatakan oleh Datuk Bunaeng. Di
pihak lain. Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati.
"Huh! Mengapa Bunaeng harus menahannya?
Aku ingin melihat dia bertarung dengan Resi Hitam!
Aku berharap kalau kedua-duanya sama-sama terluka!
Bahkan kalau mungkin, mampus sekarang juga! Ja-
di... dendam lamaku pada Resi Hitam yang pernah
memperkosaku empat puluh tahun lalu, tak perlu ku-
tindih seperti sekarang! Ah, aku sendiri sebenarnya
sudah tak mampu menahan gejolak dendamku! Tetapi,
aku melihat sebuah keuntungan yang lebih besar bila
aku tetap menahan amarahku!"
"Bunaeng! Rencana yang ada hanyalah kau dan
aku! Tetapi kehadiran Ratu Tongkat Ular di sini bu-
kanlah suatu masalah, karena pada awalnya dia sudah
bergabung denganmu! Tetapi kakek keparat bermulut
kotor itu, sungguh bukanlah sesuatu yang menye-
nangkan melihatnya hadir!"
Datuk Bunaeng menyeringai.
"Tak perlu gusar! Kita akan saling bantu untuk
mendapatkan sebuah keuntungan yang besar Dewi
Berlian, tak lama lagi kau akan melihat betapa men-
guntungkannya dengan hadirnya dia di sini!!"
Sebelum dewi Berlian menyahut, Resi Hitam su-
dah mendesis sambil menyeringai, "Ya! Kau akan men-
dapatkan keuntungan, yang terbanyak di antara
orang-orang yang hadir di sini! Karena, kau akan me-
rasakan kejantananku yang akan membuatmu menje-
rit serta menggelepar setinggi langit! Seperti yang dira-
sakan oleh nenek berpakaian compang-camping itu
empat puluh tahun lalu!"
Dewi Berlian melirik Ratu Tongkat Ular. Yang di-
lirik tersenyum. Tetapi Dewi Berlian menangkap satu
gejolak amarah yang dipendam pada pancaran mata
Ratu Tongkat Ular.
"Hemmm... tentunya perlakuan kotor yang dila-
kukan oleh Resi Hitam padanya! Jelas kutangkap ka-
lau Ratu Tongkat Ular menjdmpan amarah kendati bi-
birnya tersenyum."
Datuk Bunaeng berkata, "Untuk saat ini, semua
yang hadir di sini kecuali Pangku Jaladara, adalah ka-
wan seperjuangan. Keinginan kita adalah menguasai
rimba persilatan dan membuat para jago tunduk di te-
lapak kaki kita! Rencanamu yang hendak menjadikan
Pangku Jaladara sebagai boneka, membuat seman-
gatku semakin membesar! Walaupun aku tak bisa me-
lupakan dendamku pada mendiang Resi Kala Jinjit, te-
tapi rencanamu itu lebih menyenangkan dari apa pun
juga! Kita akan merebut kembali kalung Laba-laba Pe-
rak sekaligus membunuh Raja Naga! Pangku Jaladara
tetap kita biarkan hidup! Dia akan kita nobatkan men-
jadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Dengan adanya
kalung Laba-laba Perak, maka dirinya akan sah men-
jadi seorang ketua! Itu artinya...."
Kata-kata Datuk Bunaeng tiba-tiba terputus ka-
rena terdengar dengusan Resi Hitam yang keras, dis-
usul dengan kata-katanya, "Huh! Menangkap gerakan
yang ada, aku merasa pasti mengenal salah seorang
dari mereka!!"
Sudah tentu kata-kata yang tak ada ujung pang-
kalnya itu, membuat yang lainnya terkejut. Termasuk
Dewi Berlian, yang sama-sama menatap kakek berkulit
hitam legam itu yang sedang menegakkan kepala.
Di saat lain, masing-masing orang segera tahu
apa yang dimaksud oleh Resi Hitam.
Dewi Berlian membatin, "Jangan-jangan.... Raja
Naga yang datang. Tetapi, mengapa Resi Hitam tadi
bergumam kalau dia mengenal salah seorang dari yang
datang ini? Kalau begitu, berarti yang datang bukan
hanya seorang. Apakah Raja Naga datang bersama se-
seorang yang menurutnya dapat dijadikan sebagai
pen-damping?"
Sementara itu Datuk Bunaeng membatin,
Raja Naga. Dia telah mencoreng wajahku dengan tin-
’ dakan busuknya! Dan sudah tentu tak akan pernah ku '
maafkan apa yang telah terjadi! Dewi Berlian telah
mengusulkan sesuatu yang menurutku sangat baik!
Dan setelah semuanya berjalan lancar, setelah Pangku
Jaladara kujadikan sebagai bonekaku, maka tinggal
membunuh Dewi Berlian! Tetapi tentunya... ha ha ha...
ingin kulihat Resi Hitam memperkosanya terlebih dulu
sebelum mampus...."
Tiba-tiba terdengar lagi kata-kata Resi Hitam,
"Bau sirih yang dikunyahnya sangat kukenal! Dan aku
yakin dia adalah orang yang kukenal! Dan hei... aku ,
juga mengenal orang yang bersamanya! Wah! Ini bisa
ramai! Mengapa bukan Langlang Benua yang muncul
di tempat ini?!"
Kali ini tak ada yang bersuara. Masing-masing
orang menunggu siapa yang akan muncul. Lima keja-
pan mata kemudian, mendadak saja dua sosok tubuh
dengan gerakan yang sangat ringan melompati sebuah
ranggasan semak tanpa membuat semak itu bergerak
sedikit pun!
Lalu tanpa suara yang terdengar, masing-masing
orang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari orang-
orang itu.
Resi Hitam langsung mendengus. "Huh! Apa yang
kuduga memang benari Bau sirih-nya begitu menyen-
gat! Dewi Pengunyah Sirih... bagaimana kabarmu? Dan
perlu apa kau tiba di tempat itu?"
Dua orang yang baru muncul itu bukan lain ada-
lah Dewi Pengunyah Sirih dan Dewa Jubah Biru. Se-
mentara Dewa Jubah Biru tetap mengedipkan matanya
yang memang selalu bergerak-gerak. Dewi Pengunyah
Sirih menghentikan kunyahan sirihnya,
Matanya tak berkedip pada kakek bongkok ber-
kulit hitam yang berseru tadi.
"Resi Hitam... astaga! Tak pernah kusangka dia
akan muncul di sini! Katanya, terakhir kali kabar yang
kudengar, dia sudah pergi entah ke mana setelah ber-
tarung dengan Langlang Benua dan tak seorang pun
yang memenangkan pertarungan itu. Kalau dia mun-
cul di sini, tentunya urusan akan jadi kapiran!"
Habis membatin demikian, dengan mengunyah
sirihnya kembali, nenek berkonde kecil ini berkata,
"Katanya, orang yang telah lama menghilang suatu
saat memang akan bisa muncul kembali! Katanya pu-
la, kemunculan orang yang telah lama menghilang itu
tentunya ada urusan yang mendesak dan penting! Resi
Hitam... kau sendiri mengapa berada di tempat ini?
Ku-pikir kau sudah mampus dimakan usiamu!!"
Di saat Dewi Pengunyah Sirih berkata-kata. Ratu
Tongkat Ular menggenggam tongkatnya erat-erat. Sorot
matanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru.
"Terkutuk! Beberapa hari lalu dia mempecundan-
giku di halaman Perguruan Laba-laba Perak! Bagus
kalau dia berani muncul sekarang, berarti... urusan
memang harus segera diselesaikan!"
Sementara itu, wajah hitam kakek berkulit hitam
semakin menghitam. Kalau sejak tadi ucapannya sela-
lu bernada kotor dan diucapkan penuh ejekan, kali ini
berubah geram.
"Dewi Pengunyah Sirih! Orang bertanya malah
kau balas tanya! Apakah tindakan itu sudah menun-
jukkan kalau kau kini memiliki kemampuan yang lebih
tinggi?!"
"Katanya, kalau orang bertanya dibalas tanya,
bukan sesuatu yang bagus! Tetapi katanya pula, ter-
gantung bagaimana orang itu sendiri!"
Jawaban Dewi Pengunyah Sirih membuat berang
Resi Hitam. Tetapi kakek ini tak melakukan apa-apa,
bahkan berbicara lagi pun tidak. !
Di pihak lain Dewi Berlian menjadi tidak enak
sekarang. Dipandanginya kedua orang yang baru da-
tang itu dengan seksama.
"Rasanya, apa yang kuinginkan saat ini sulit un-
tuk dicapai. Tak kusangka kalau Dewi Pengunyah Si-
rih dan Dewa Jubah Biru akan muncul di sini. Bila Ra-
ja Naga muncul, tentunya keduanya tak akan tinggal
( diam untuk membantunya. Hemmm... ketimbang selu-
n ruh rencanaku akan terbuka, sebaiknya aku menying-
kir saja dari sini untuk menunggu kesempatan mem-
bunuh Raja Naga bila dia memang berhasil meloloskan
diri dari bencana di Lembah Lingkar. Dan rasanya, aku
memang harus mempergunakan tanganku sendiri un-
tuk membunuhnya!"
Sebelum Resi Hitam berkata. Ratu Tongkat Ular
yang sudah tak mampu lagi menahan amarahnya me-
lihat kemunculan Dewa Jubah Biru sudah buka mu-
lut, "Kakek lancang berjubah biru! Kau memiliki nyali
yang tinggi untuk datang ke tempat ini, padahal kau
tahu kalau maut sudah menghadangmu!"
Dewa Jubah Biru tersenyum, tetap mengedip-
ngedipkan matanya.
"Ratu Tongkat Ular... mengapa harus gusar? Kau
sendiri yang bermaksud untuk membunuh Lesmana
yang saat itu sedang bertarung dengan adik sepergu-
ruannya sendiri! Lantas, mengapa kau harus gusar bi-
la aku membantu Lesmana?!"
"Kau tidak tahu urusan, tetapi lancang mencam-
puri urusan orang!"
"Astaga!" Kedipan mata Dewa Jubah Biru sema-
kin menguat. "Jadi... ternyata aku tidak tahu urusan
ya? Busyet betul! Lancang betul! Ya, ya... betul-betul
lancang diriku ini kalau begitu! Kau betul, kau betul!"
Justru gelegak amarah Ratu Tongkat Ular tak bi-
sa ditahan lagi mendengar kata-kata yang penuh eje-
kan itu. Tangan kanannya yang memegang tongkat hi-
tamnya yang pada bagian atasnya terdapat ukiran ke-
pala ular, tiba-tiba amblas pangkalnya! Pertanda ke-
marahan si nenek sudah memuncak.
Dewi Berlian membatin, "Hemmm... aku memang
sebaiknya meninggalkan tempat ini. Ratu Tongkat Ular
akan berhadapan dengan Dewa Jubah Biru. Resi Hi-
tam tentunya untuk saat ini memilih lawan Dewi Pen-
gunyah Sirih, walaupun tadi dia menyayangkan men-
I gapa bukan Langlang Benua yang muncul. Dan.... Da-
tuk Bunaeng tentunya tak akan menyia-nyiakan ke-
sempatan untuk membunuh' Raja Naga bila pemuda
itu hadir di sini! Bagus! Seluruh rencanaku bisa terca-
pai sekarang, aku tak perlu risau!" '
Dewa Jubah Biru berkata, "Ratu Tongkat Ular..!
kau hanyalah seorang perempuan tua yang bodoh! Kau
bisa berada di bawah kaki Bunaeng saja sudah me-
nunjukkan kebodohanmu! Apalagi sekarang bersama-
sama dengan Resi Hitami Apakah kau melupakan
aibmu empat puluh tahun yang lalu?!"
Menegak kepala Ratu Tongkat Ular mendengar
kata-kata Dewa Jubah Biru. Untuk sesaat kemara-
hannya menggelegak kembali pada Resi Hitam yang ju-
stru seolah sudah melupakan kejengkelannya pada
Dewi Pengunyah Sirih dan saat ini sedang menatap le-
kat-lekat pada pa3rudara montok Dewi Berlian, karena
pakaian yang dikenakan perempuan bermahkota itu
begitu rendah hingga memperlihatkan sebagian besar
bungkahan pa3rudaranya! Bahkan Resi Hitam yang ca-
bul ini yakin, hanya sekali tarik saja akan terlihat bu-
lat-bulat seluruh bukit kembar menggiurkan itu!
Ratu Tongkat Ular merandek dingin, "Aku sema-
kin tidak sabar untuk membunuhmu!!"
"Membunuhku? Astaga!" seru Dewa Jubah Biru
cukup keras, matanya semakin berkedip-kedip. "Untuk
saat ini yang seharusnya dilakukan, adalah mencari
siapa orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Pe-
rak dan menimpakan tanggung jawabnya pada pemu-
da berjuluk Raja Naga! Atau...."
Dewa Jubah Biru mengedarkan pandangannya
berkeliling, menatap satu persatu orang yang berada di
sana yang masing-masing menggeram kecuali Dewi
Pengunyah Sirih. Perlahan-lahan matanya diarahkan
pada Datuk Bunaeng men3rusul kata-katanya, "Salah
seorang di antara kalian yang telah melakukan tinda-
kan pengecut seperti itu?!"
***
DUA
KEMARAHAN Datuk Bunaeng kontan meledak.
Tangan kanannya menuding gusar. "Keparat tua! Ke-
hadiranmu di sini hanya mencari petaka belaka! Ratu
Tongkat Ular! Aku sudah bosan dengan kakek keparat
satu ini! Bila kau ingin membunuhnya sekarang, laku-
kan!!"
Memang itulah yang sejak tadi ditunggu oleh Ra-
tu Tongkat Ular. Si nenek sudah tak sabar untuk
membalas kekalahannya di halaman depan Perguruan
Laba-laba Perak. Dengan mengerahkan separo tenaga
dalamnya, Ratu Tongkat Ular sudah menggebrak den-
gan tongkat yang digerakkan dengan cara diputar.
Menghampar gelombang angin memutar yang mem-
perdengarkan suara bergemuruh. :
Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepa-
lanya sambil mendesis pelan, "Ah, sungguh memalu-
kan sebenarnya! Aku yang tua ini harus ikut campur
dalam urusan seperti ini!"
Belum habis ucapannya, saat itu juga diangkat
kedua tangannya.
Wusss!
Blaaam!!
Gemuruh angin yang keluar dari putaran tongkat i
si nenek berpakaian compang-camping yang memper-
libatkan bukit kembarnya yang sudah loyo dan turun '
ke bawah, pecah berantakan terhantam gelombang an-
gin dahsyat yang keluar dari dorongan kedua tangan j t
D ewa Jubah Biru. Tindakan yang dilakukan Dewa Ju-
bah Biru semakin membuat kemarahan Ratu Tongkat
Ular berlipat ganda. Dipercepat serangannya yang ber-
tambah ganas!
Di pihak lain. Resi Hitam mendesis, "Bunaeng!
Aku ikut denganmu hanya untuk menantang Langlang f
Benua yang menurutmu akan muncul! Tetapi sebelum
kulakukan itu, sebaiknya aku melemaskan otot-otot di
tubuhku!!"
Belum habis ucapannya, Resi Hitam sudah
menggebrak ke depan, ke arah Dewi Pengunyah Sirih
yang menegakkan kepalanya. Dilihatnya dua bongkah
awan hitam melesat cepat.
Si nenek tak berkedip, tak beranjak pula. Sosok-
nya tak bergeming. Kaku. Dua bongkah awan hitam itu
semakin mendekat, tetapi tak ada tanda-tanda kalau si
nenek berkonde kecil ini akan melakukan gerakan.
Namun tiba-tiba... cuiiihhh!!
Mulutnya disentakkan dengan cepat. Seketika
berhamburan cairan merah yang berasal dari sirih
yang selalu dikunyahnya terus menerus.
Muncratan cairan merah yang menyebar itu ma-
suk ke dalam awan-awan hitam milik si kakek bong-
kok. Sesaat tak terjadi apa-apa. Namun di lain saat, ti-
ba-tiba saja terjadi letupan yang sangat keras.
Blaaaarrrr!!
Awan-awan hitam yang dilepaskan Resi Hitam
muncrat bertebaran dengan cepat. Resi Hitam tegak di
tempatnya, tetapi sosok Dewi Pengunyah Sirih surut
tiga langkah ke belakang dengan napas memburu.
"Astaga! Kandungan tenaga pada awan-awan hi-
tamnya tadi sungguh luar biasa!" desisnya.
Resi Hitam menggeram.
"Huh! Kau kuberi kesempatan bernapas dalam
lima gebrakan!" bentaknya sengit yang segera mener-
jang kembali.
Pertempuran yang terjadi kemudian sungguh me-
lebihi amukan seratus ekor gajah liar. Tanah berham-
buran di sana-sini akibat serangan-serangan yang
gagal. Pepohonan bergetar hebat dan membuat dedau-
nannya meranggas. Lembah Lingkar bergetar hebat!
Masing-masing orang berusaha untuk mengalah-
kan satu sama lain. Kalau Resi Hitam dalam dua ge-
brakan berikutnya berhasil mendesak Dewi Pengunyah
Sirih, demikian pula halnya dengan Dewa Jubah Biru.
Setiap kali dilancarkan serangannya, setiap kali pula
Ratu Tongkat Ular tak berani membentur atau mema-
paki. Si nenek merasa lebih aman bila menjauh dulu
baru kemudian membalas.
"Terkutuk! Kesaktian kakek satu ini memang luar
biasa! Huh! Seharusnya aku memilih lawan Dewi Pen-
gunyah Sirih!" maki Ratu Tongkat Ular sambil meng-
hindar.
Dewa Jubah Biru berseru sambil melenting ke
atas, "Ratu Tongkat Ular! Sebaiknya kau segera me-
ninggalkan tempat ini! Tak ada perlunya kau bersama-
sama dengan Bunaeng!"
"Tutup mulutmu. Orang Tua! Sebelum kulihat
kau mampus, sejengkal pun aku tak akan mundur!"
hardik Ratu Tongkat Ular geram, men3rusul dia mener-
jang ganas.
Tongkat berkepala ularnya digerakkan dengan
cara diputar. Gelombang angin mengerikan menyusur
tanah ke arah Dewa Jubah Biru. Tanah-tanah itu ber-
muncratan, meletup-letup keras.
Dewa Jubah Biru menarik napas pendek.
"Aku tak ingin melakukan pertarungan seperti
ini. Yang kuinginkan hanyalah membuktikan ketidak
bersalahan Raja Naga...," desisnya pelan.
Mendadak ditepukkan tangannya satu kali. Ter-
dengar suara tepukan sebagaimana lazimnya. Tidak
pelan, tetapi juga tidak keras. Namun kejap itu pula
terlihat gumpalan asap biru yang perlahan-lahan ber-
tebaran, lalu dengan cepatnya bersatu membentuk se-
perti sebuah dinding.
Ratu Tongkat Ular sesaat terkejut. Tetapi dilipat-
gandakan tenaga dalamnya untuk terus menyerang,
bahkan bermaksud menerobos dinding asap berwarna
biru itu.
Blaaamm! Blaaammm!
Gelombang angin mengerikan yang keluar dari
putaran tongkatnya menghantam dinding asap itu. As-
taga! Dinding yang terbentuk dari asap berwarna biru
itu tak bergeming sama sekali. Justru gelombang angin
Ratu Tongkat Ular yang berpentalan ke berbagai pen-
Juru. Menerabas ranggasan semak hingga rata ujung-
nya, menghantam sebuah pohon yang bergetar sehing-
ga langsung menggugurkan dedaunan, Juga membuat
Datuk Bunaeng menggeram keras seraya mendorong
tangannya. Karena pentalan gelombang angin Ratu
Tongkat Ular mengarah padanya!
Blaaaarrrl!
Gelombang angin yang mengarah padanya pecah
berantakan, disusul dengusannya.
"Keparat tual Rupanya kau terlalu tangguh untuk
Ratu Tongkat Ular! Huh! ingin kulihat seberapa hebat
sebenarnya kemampuanmu!!"
Tetapi sebelum Datuk Bunaeng menerjang. Ratu
Tongkat Ular sudah berseru, "Datuk! Bukannya ber-
maksud untuk menolak bantuanmu! Tetapi, apa pun
yang terjadi, aku akan tetap menghadapinya!"
Kakek berambut dikelabang itu menggeram. So-
rot matanya bengis mengiriskan.
"Kau kuberi kesempatan tiga gebrakan lagi! Bila
kau tidak mampu Juga untuk membunuhnya, aku
akan mengambil alih!" bentaknya geram.
Apa yang didengarnya itu menambah kemarahan
Ratu Tongkat Ular. Dia menerjang lagi dengan kegana-
san yang lebih menggila. Bahkan kali ini tongkatnya
digerakkan seperti ular mematuk. Secara tiba-tiba,
Cairan bening melesat dari mulut ukiran kepala
ular yang sedikit membuka.
Dewa Jubah Biru langsung melompat ke samping
kanan.
Craasss!!
Tanah di mana sebelumnya dia berdiri tadi, seke-
tika bolong dan mengeluarkan asap.
"Hemm... dia sudah mengeluarkan senjata raha-
sianya," desis Dewa Jubah Biru dalam hati. "Bukan
masalah besar sebenarnya bagiku untuk mengalah-
kannya. Dan rasanya lebih baik memang memper-
mainkannya saja. Tetapi, bila dalam tiga gebrakan be-
rikutnya aku belum dapat dikalahkannya, berarti Bu-
naeng akan turun tangan. Ah, itu juga bukan masalah
besar. Tetapi itu artinya, aku justru akan lebih lama
terlibat dalam pertarungan. Sebaiknya, biar aku men-
galah saja...."
Memutuskan demikian, tiba-tiba saja Dewa Ju-
bah Biru melesat ke depan bersamaan Ratu Tongkat !
Ular sedang menggerakkan tongkatnya seperti mema-
tuk, yang membuat cairan bening melesat kembali. Si
kakek memang mau tak mau harus menghindarinya.
Tetapi tatkala tiba-tiba Ratu Tongkat Ular melesat den-
gan kaki kanan mencuat, si kakek sengaja tak meng-
hindarnya.
Bukk!!
Dada kurusnya terhantam tendangan kaki kanan
Ratu Tongkat Ular. Apa yang dihasilkannya itu mem-
buat Ratu Tongkat Ular menyeringai lebar. Di liriknya
Datuk Bunaeng yang mengangguk kaku. Dewa Jubah
Biru sendiri sengaja membuat tubuhnya terhu3rung ke
belakang. Padahal dia sama sekali tak merasa sakit!
Karena sebelumnya Dewa Jubah Biru sudah mena-
mengkan dirinya dengan hawa murni yang dimilikinya.
Ratu Tongkat Ular menggebrak kembali.
Datuk Bunaeng menengadah. Melihat rembulan
yang tak lama lagi berada tepat di tengah kepala.
"Sebentar lagi Raja Naga akan tiba di sini, begitu
yang dikatakan Dewi Berlian. Huh! Tak sabar rasanya
untuk membunuh pemuda keparat yang telah memfit-
nahku itu!"
Di pihak lain, perempuan berpakaian hijau yang
dipenuhi butiran berlian itu menarik napas pendek.
Dadanya yang membusung menggiurkan terangkat
sejenak membuat bungkahan bagian atasnya yang ter-
buka lebar terangkat pula.
"Tak lama lagi rembulan tepat berada di atas ke-
pala. Itu artinya. Raja Naga akan segera muncul. Da-
lam keadaan seperti ini, rencanaku bisa gagal. Tetapi
aku belum mendapatkan kesempatan untuk mening-
galkan tempat ini"
Diam-diam diliriknya Pangku Jaladara yang ma-
sih berlagak pingsan.
Di pihak lain. Resi Hitam semakin ganas melan-
carkan serangannya pada Dewi Pengunyah Sirih. Si
nenek berkonde kecil itu sama sekali tak mendapatkan
kesempatan untuk membalas. Bahkan untuk memun-
cratkan cairan sirihnya saja dia mendapat kesulitan.
Yang terlihat sekarang, bagaimana Dewi Pengunyah Si-
rih harus melompat-lompat untuk menghindari ganas-
nya serangan Resi Hitam.
"Satu gebrakan lagi!" bentakan keras itu terden-
gar, bersamaan meluruknya tubuh Resi Hitam. Gelom-
bang angin yang mendahului lurukan tubuhnya, me-
nyeret tanah yang membuat Dewi Pengunyah Sirih
menjadi panik.
Tetapi si nenek masih mencoba untuk menghin-
dar dan membalas, kendati disadarinya betul kalau se-
rangan balasannya tak berarti banyak.
Sementara itu Dewa Jubah Biru yang memu-
tuskan untuk mengalah karena tak ingin memperpan-
jang urusan, begitu mendengar bentakan Resi Hitam
pada Dewi Pengunyah Sirih, lagi-lagi membiarkan tu-
buhnya terhantam tendangan Ratu Tongkat Ular. Dan
lagi-lagi dibuat tubuhnya tergontai-gontai. Namun kali
ini, gontainya dibuat ke arah Dewi Pengunyah Sirih.
Seperti tak sengaja, ditabraknya tubuh si nenek
berkonde kecil itu yang sedang kesulitan menghadapi
sergapan Resi Hitam. Bahkan dengan cara dibuat tak
sengaja, diam-diam tangan kanan Dewa Jubah Biru
menepak tangan kiri si nenek hingga terangkat naik.
Saat itu pula menderu gelombang angin berkeku-
atan tinggi!
Resi Hitam yang sudah siap untuk melancarkan
serangannya tersentak dan mau tak mau mundur.
Blaaarrr!
Gelombang angin itu menghantam ranggasan
semak yang seketika berhamburan ke udara.
Resi Hitam yang telah hinggap di atas tanah den-
gan ringannya menggeram dingin.
"Terkutuk! Rupanya kau hanya berlagak menga-
lah, hah?! Setan laknat! Akan kucacak tubuhmu sam-
pai sekecil-kecilnya!!"
Sementara itu. Dewi Pengunyah Sirih yang telah
berdiri tegak kembali, mementangkan matanya lebar-
lebar. Mulutnya sesaat berhenti mengunyah sirihnya.
"Hemm... aku dalam kesulitan untuk membalas
tadi, tetapi tahu-tahu tangan kiriku terangkat naik
akibat tak sengaja ditepak oleh Dewa Jubah Biru...,"
desisnya dalam hati. "Tak mungkin, tak mungkin itu
tak disengaja. Karena gelombang angin yang meng-
hempas tadi bukan aku yang melakukannya, melain-
kan keluar dari tepakan Dewa Jubah Biru. Berarti...
aku tahu sekarang. Si kakek rupanya mengalah pada
Ratu Tongkat Ular. Yang tentunya dilakukan karena
tak mau Datuk Bunaeng turun tangan yang berarti ,
akan semakin memperpanjang urusan. Aku mengerti
apa yang dimaui oleh si kakek..."
Ratu Tongkat Ular yang telah berdiri di sebelah
kanan Datuk Bunaeng berkata, "Datuk! Kau lihat sen-
diri, aku telah mampu menendangnya dua kali! Dan
aku yakin... tulang dadanya ada yang retak!"
Datuk Bunaeng mengangguk dingin, tetapi ma-
tanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru yang perla-
han-lahan sedang mencoba berdiri tegak. Bahkan se-
perti kehabisan tenaga, dipegangnya pundak Dewi
Pengunyah Sirih sebagai tumpuan.
"Bantu aku...," desisnya.
Sambil membantu. Dewi Pengunyah Sirih mem-
batin, "Hebat! Sandiwaranya sungguh hebat! Katanya,
kalau orang yang bersandiwara itu lebih berada pada
dua tujuan. Pertama, berpura-pura untuk mengalah.
Kedua berpura-pura menutupi ketakutannya. Aku le-
bih cenderung pada dugaan kalau Dewa Jubah Biru
ada pada tujuan pertama."
Di seberang. Ratu Tongkat Ular menyeringai pe-
nuh kepuasan. Resi Hitam sedang bersiap lagi untuk
menyerang. Dewi Berlian melihat kesempatan untuk
meninggalkan tempat itu, diam-diam dia melangkah
mundur mendekati Pangku Jaladara yang berlagak
pingsan. Sementara itu, mata Datuk Bunaeng tak ber-
kedip pada Dewa Jubah Biru.
Sejak tadi, kalau kakek yang selalu mengedip-
ngedipkan matanya itu mau menyerang, tentunya den-
gan mudah dia dapat membunuh Ratu Tongkat Ular.
Tetapi sejak tadi pula kulihat kalau dia tidak melaku-
kan tindakan itu. Dan sekarang, setelah kukatakan i
pada Ratu Tongkat Ular kalau dia hanya kuberi ke-
sempatan tiga gebrakan lagi, tiba-tiba saja Dewa Ju-
bah Biru menjadi terdesak. Hemmm... ada sesuatu
yang janggal?"
Sembari memandang, Datuk Bunaeng terus ber-
pikir.
"Saat tendangan kaki kanan Ratu Tongkat Ular
menghantam dadanya, tubuhnya terhu3rung-hu3mng.
Mengarah pada Dewi Pengunyah Sirih yang sudah ter-
desak hebat. Lalu menabrak Dewi Pengunyah Sirih
yang secara tidak langsung selamat bahkan mampu
melancarkan serangannya. Ini mustahil! Mustahil se-
kali mengingat Dewi Pengunyah Sirih sudah kehilan-
gan kesempatan! Bahkan dia tak akan mampu un-
tuk... keparatttt!!"
Mendadak kepala Datuk Bunaeng menegak keti-
ka pikirannya tiba pada sesuatu yang seketika mem-
buatnya gusar berlipat ganda.
Dengan tangan menuding dan suara sarat kema-
rahan, dia berseru keras, "Dewa Jubah Biru! Kau bisa
mengelabui Ratu Tongkat Ular dengan cara mengalah
seperti itu! Kau bisa mengelabui Resi Hitam dengan
berlagak kalau Dewi Pengunyah Sirih yang menye-
rangnya! Tetapi... kau tak bisa mengelabuiku!!"
Dewa Jubah Biru berbisik, "Dewi... rasanya aku
memang harus melibatkan diri dalam urusan ini ken-
dati aku tak mau melakukannya. Yang kuinginkan
adalah mengetahui siapa yang telah memfitnah Raja
Naga dan membunuh Resi Kala Jinjit."
Kata-kata Dewa Jubah Biru itu menambah keya-
kinan Dewi Pengunyah Sirih apa yang diduganya itu
benar.
Dianggukkan kepalanya sambil menatap tajam-
tajam pada Datuk Bunaeng.
"Katanya, kalau orang yang tak mampu mengha-
dapi orang lain itu sebaiknya mengalah atau berlalu bi-
la ingin selamat. Katanya pula, bila memang ada orang
lain yang merupakan seorang sahabat yang diperkira-
kan mampu menghadapi lawannya, lebih baik melim-
pahkan lawannya pada sahabatnya itu. Terus terang,
aku tak mampu menghadapi Resi Hitam. Kita berganti
lawan."
"Karena kuputuskan untuk meneruskan semua
ini, aku setuju!" bisik Dewa Jubah Biru.
Sementara itu, mendengar teriakan Datuk Bu-
naeng. Ratu Tongkat Ular seketika mengalihkan pan-
f dangannya pada si kakek berambut dikelabang. Me-
nyusul diarahkan pandangannya pada Dewa Jubah Bi-
ru yang kini berdiri tegak tanpa kurang apapun.
Sadar kalau dirinya dikelabui orang, memerah
paras Ratu tongkat Ular. Seluruh tubuhnya bergetar
dengan aliran darah yang bertambah cepat.
Datuk Bunaeng membentak lagi, "Dewa Jubah
Biru! Akulah lawanmu sekarang!!"
Namun sebelum Datuk Bunaeng melancarkan se-
rangan, tiba-tiba saja melesat satu sosok tubuh dari
sebelah kanan. Lesatan tubuh yang kemudian berpu-
tar di udara tiga kali itu, membuat orang-orang yang
berada di sana mengarahkan pandangannya.
Begitu pula tatkala sosok tubuh itu berdiri tegak
di atas tanah. Wajahnya tampan, agak sedikit berke-
ringat. Mengenakan rompi ungu yang terbuka di ba-
gian dada. Berambut dikuncir kuda. Dan... sorot ma-
tanya memancarkan keangkeran yang dalam!
***
TIGA
HUH! Kupikir kau tidak punya nyali? Tetapi ak-
hirnya kau hadir juga di Lembah Lingkar!" bentakan
Datuk Bunaeng seketika terdengar. Kemarahannya
pada Dewa Jubah Biru seketika dialihkan begitu meli-
hat siapa orang yang datang.
Pemuda yang baru saja muncul itu terdiam. Sorot
matanya tajam, menebarkan keangkeran yang mampu
menciutkan hati lawan. Bibirnya merapat, memperli-
hatkan kedinginan wajahnya. Diperhatikannya satu
persatu orang yang berada di sana.
"Hemm.... Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah
Sirih rupanya sudah hadir di sini pula. Ada orang yang
baru kukenal. Kakek bongkok berkulit sangat hitam
itu," katanya dalam hati. Lalu diperhatikan orang yang
tadi membentaknya. Di lain saat dia merandek dingin,
"Tindakan busuk yang dilakukan seseorang kemudian
dilimpahkan kepadaku, tak akan pernah ku maafkan
kecuali orang itu mendahului untuk meminta maaf!!"
Sadar ke mana arah kata-kata pemuda di hada-
pannya, wajah Datuk Bunaeng memerah. Mulutnya
merapat dalam dengan sorot mata bengis.
"Kau datang ke Lembah Lingkar hanya untuk
menjemput kematian yang akan kuturunkan, tetapi
kau masih berani banyak ucap! Raja Naga! Tindakan
yang telah kau lakukan dengan mencuri kalung. Laba-
laba Perak kemudian mengalihkan tanggung jawab ke-
padaku, tak akan pernah ku maafkan! Kecuali... kau
mematahkan lehermu sendiri di hadapanku!"
Murid Dewa Naga terdiam. Matanya tajam tak
berkedip pada Datuk Bunaeng.
"Yang kukatakan tadi, dikatakannya juga. Aku
menuduhnya yang telah melakukan tindakan busuk
terhadapku, tetapi dia justru ganti menuduhku! Apa-
kah ada sesuatu yang salah di sini? Atau... dia hanya
mencoba untuk memutarbalikkan kenyataan? Kurang
ajar! Tak akan kubiarkan dia memfitnahku terus me-
nerus seperti ini?!"
Sementara Raja Naga membatin, kakek yang
alisnya bersatu itu menggeram lagi, "Selain menimpa-
kan tanggung jawab kepadaku, kau juga melakukan
kesalahan besar! Dengan kata lain, kau telah mengga-
galkan seluruh rencanaku untuk menghancurkan Per-
guruan Laba-laba Perak!" Lalu serunya tanpa menga-
lihkan perhatian pada Raja Naga, "Dewi Berlian! Siapa
yang lebih dulu berkenan untuk membunuh pemuda
celaka ini?!"
Di seberang, pemuda yang kedua lengannya se-
batas siku dipenuhi sisik coklat itu mengalihkan seje-
nak pandangannya dari Datuk Bunaeng.
"Dewi Berlian? Aneh! Mengapa Datuk Bunaeng ""
memanggil perempuan mesum itu sementara dia tidak
berada di sini? Jangan-Jangan... kakek berambut dike-
labang ini mendadak menjadi sinting?"
Masih tetap tak mengalihkan pandangannya pa-
da Raja Naga, Datuk Bunaeng berkata lagi, "Kau tak
menjawab. Dewi Berlian! Berarti, akulah yang berhak
untuk membunuhnya!!" '
Habis kata-katanya. Datuk Bunaeng surutkan
kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya sedikit dibung-
kukkan hingga condong ke depan. Kepalanya ditegak-
kan dengan kedua tangan hendak disilangkan.
"Kau akan menyesal pernah mengenal seseorang
yang bernama Datuk Bunaeng, Anak muda!!"
Habis bentakannya. Datuk Bunaeng sudah siap
menerjang ke depan. Namun sebelum dilakukan,
terdengar seruan Ratu Tongkat Ular,
"Datuk Bunaeng! Dewi Berlian tidak ada di tempat!"
Seketika Datuk Bunaeng memalingkan kepalanya.
"Keparat terkutuk! Ke mana perempuan mesum
itu?!" bentaknya keras ketika tak melihat Dewi Berlian.
"Setan laknat! Apa yang dilakukannya?! Ke mana per-
ginya Pangku Jaladara yang pingsan?!"
Bukan hanya Datuk Bunaeng yang terheran-
heran, tetapi juga yang hadir di sana. Sementara itu
Raja Naga membatin, "Hemmm... dia tidak sinting.
Nampaknya Dewi Berlian belum lama ini sudah berada
di sini. Tetapi sekarang sudah pergi lagi. Dan Pangku
Jaladara yang pingsan? Aneh! Ada apa ini? Sebelum-
nya Dewi Berlian mengatakan kalau Datuk Bunaeng
sengaja menjebakku karena Ratu Sejuta Setan yang
ternyata.Tetapi, mengapa dia berada di sini? Dan
mengapa pula Datuk Bunaeng berseru seperti tadi?"
"Setan keparat!!" menggelegar suara Datuk Bu-
naeng. "Apa-apaan ini?!"
Resi Hitam menyahut, "Kau telah dikelabui pe-
rempuan celaka itu, Bunaeng!"
"Tak mungkin dia berani mengkhianatiku!"
"Buktinya dia tidak lagi berada di sini!"
Datuk Bunaeng mengertakkan gigi-giginya hingga
berbuni. Matanya menyorot berapi-api. Mulutnya me-
rapat.
"Setan keparat! Apa maksud Dewi Berlian meng-
hilang seperti ini? Apakah dia memang mengelabuiku?
Tetapi kurasa tidak! Bila dia berani melakukannya, be-
rarti dia berani menghadang kematian! Bisa jadi kalau
sebenarnya dia hendak menyandera Pangku Jaladara
sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hemm...
suatu ide yang bagus! Karena selama Pangku Jaladara
masih berada dalam kekuasaannya, berarti seluruh
rencana akan tetap dapat dilaksanakan. Pemuda itu-
lah yang harus kubunuh sekarang!"
Kejap itu pula tanpa mengucapkan sepatah kata
juga. Datuk Bunaeng sudah menerjang ke arah Raja
Naga. Gelombang angin yang keluar dari lesatan tu-
buhnya, sejenak membuat Raja Naga terhenyak. Tetapi
di lain saat, dia sudah menerjang pula ke depan.
Buk! Buk!!
Benturan keras terjadi dua kali. Datuk Bunaeng
sesaat terkejut seraya mundur. Dipandangi tangan ka
nan kirinya yang cukup ngilu dengan mata membela-
lak.
"Gila! Tenaga dalamnya tak bisa dipandang sete-
lab mata!" geramnya dalam hati.
Di pihak lain, Raja Naga sendiri harus terjajar
akibat benturan yang terjadi tadi. Kedua tangannya
sebatas siku yang dipenuhi sisik coklat sedikit berge-
tar.
"Hebat! Kedua tanganku dibuatnya bergetar," de-
sisnya dalam hati.
Di pihak lain. Dewa Jubah Biru mendesis.
"Aneh! Tak kurasakan adanya satu tenaga yang
keluar dari kedua tangan pemuda berompi ungu itu.
Tetapi Bunaeng dibuat terkejut. Jangan-Jangan... pe-
muda itu memang tak mengeluarkan tenaga. Itu ar-
tinya... kedua tangannya sebatas siku yang dipenuhi
sisik coklat memiliki kekuatan besar!"
Sementara itu Resi Hitam membatin dengan ken-
ing berkerut.
"Di saat menyerang, dapat kurasakan tenaga Bu-
naeng. Tetapi pemuda itu? Edan! Nampaknya dia tidak
mengeluarkan tenaga sama sekali, karena kalau dia
mengeluarkan tenaganya, tentunya dapat kurasakan.
Tetapi... astaga! Berarti, tenaga dalamnya lebih tinggi
dari Bunaeng!"
Sementara itu. Datuk Bunaeng sendiri sudah
menerjang kembali. Jari Jemarinya dibuka lebar-lebar.
Lalu laksana menepuk seekor lalat, digerakkannya ke
arah Raja Naga.
Saat itu pula menggebah gelombang angin berke-
kuatan lipat ganda, mengarah dari dua sisi karena Da-
tuk Bunaeng menggerakkan tangan kanan kirinya
yang membuka pada arah yang berlawanan.
Raja Naga menjerengkan matanya. Dapat dirasa-
kan kekuatan yang keluar dari gelombang angin yang
menerjang ke arahnya. Tiba-tiba saja kaki kanannya
digerakkan di atas tanah.
Brrooll!!
Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom-
bang cepat ke arah Datuk Bunaeng, dia melompat ke
f depan seraya mendorong tangan kanan kirinya. Raja
Naga sudah melancarkan dua serangan sekaligus!
Blaaaam! Blaaammml!
Gelombang angin yang disemburati asap merah
melabrak putus gelombang angin yang dilepaskan Da-
tuk Bunaeng. Letupan yang sangat keras terjadi. Tem-
pat itu sesaat bergetar. Men3rusul tanah di mana Da-
tuk Bunaeng berdiri tadi rengkah dan membuyar ke
udara.
"Terkutuk!" maki Datuk Bunaeng geram.
Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang
tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu. Datuk
Bunaeng segera menerjang kembali. Tubuhnya mum-
bui di udara. Laksana berjalan di atas angin, kedua
kakinya bergerak cepat. Akibatnya, tanah yang ber-
hamburan ke udara. ,
Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang ke-
luar dari gerakan kedua kaki Datuk Bunaeng menerpa
dadanya. Gontaian tubuhnya semakin menjadi-jadi.
Sadar kalau dia tidak bergerak cepat akan menda-
patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini
segera mendorong kedua tangannya ke atas.
Blaaamm! Blaaamm!!
Letupan yang terjadi semakin membuatnya kehi-
langan keseimbangan. Sementara itu. Datuk Bunaeng
yang masih berada di udara memutar tubuh. Dan
mendadak saja dia meluruk dengan kedua kaki siap
menghantam dada Raja Naga.
Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, murid
Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan
kanannya digerakkan ke depan.
Buk!
Kaki kanan Datuk Bunaeng dapat ditahannya, te-
tapi kaki kiri Datuk Bunaeng telak mengenai dadanya!
Buk!
Dan... wussss!!
Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk.
Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Datuk Bu-
naeng yang sedemikian cepat itu akan menghantam
kepalanya.
"Huh! Hanya begini saja kemampuan orang yang
berani memfitnahku!" desis Datuk Bunaeng setelah
hinggap kembali di atas tanah.
Raja Naga tersenyum sambil memegangi dadanya
yang terasa sesak.
"Kuakui kalau kemampuanmu sangat luar biasa,
Datuk! Tetapi sayangnya, aku tak akan mundur sebe-
lum mendengar pernyataan maafmu!"
"Keparat!!" teriakan itu menggelegar keras. "Kau
yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak kemudian
memfitnahku! Sekarang kau menuntutku untuk me-
minta maaf! Gila! Pernyataan gila yang kau berikan
padaku!!"
Belum habis ucapan itu terdengar. Datuk Bu-
naeng sudah menerjang ke depan. Kali ini lebih ganas
dari serangan sebelumnya.
Raja Naga menegakkan kepalanya. Sorot matanya
bertambah angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pa-
da kedua tangannya sebatas siku, semakin kelihatan,
bahkan sedikit menyala. Pertanda kemarahannya su-
dah siap meledak!
Kejap itu pula kaki kanannya disepakkan di atas
tanah. Tanah membuyar, menghalangi pandangan. Te-
tapi langsung bertebaran tatkala gelombang angin
yang keluar dari lesatan tubuh Datuk Bunaeng mena-
braknya. Men3rusul kedua tangan Datuk Bunaeng ber-
gerak cepat, menyambar ke arah leher Boma Paksi.
Yang diserang segera menggerakkan kedua tan-
gannya dengan kedudukan membuka.
Buk! Buk!
Kalau sebelumnya Datuk Bunaeng terjajar ke be-
lakang karena terkejut, kali ini dia tak peduli. Usai
berbenturan, mendadak sontak tubuhnya berputar ke
belakang dengan kaki kanan melesat ke atas.
Boma Paksi cepat tarik kepalanya ke belakang.
Terlambat sedikit saja, dagunya akan patah!
Datuk Bunaeng benar-benar tak mau memberi
kesempatan pada Raja Naga. Serangannya terus berda-
tangan susul men3rusul. Tanah dan ranggasan semak
berhamburan tak menentu. Letupan demi letupan ter-
jadi ganas dan mengerikan. Lembah Lingkar laksana !
dilanda gempa mengerikan.
Dewi Pengunyah Sirih berbisik pada Dewa Jubah
Biru, "Katanya, kalau seseorang menolong orang lain
yang dalam kesulitan, maka keberuntungan akan ber-
pihak padanya. Apakah kau berpikir yang sama?"
Kakek yang kedua matanya selalu berkedip-kedip
itu mengangguk-angguk.
"Kau betul. Tetapi, aku belum melihat kalau pe-
muda bermata angker itu akan segera kalah."
"Katanya, kalau kita sudah melihat kedudukan
seperti itu, maka kekalahan akan segera datang. Apa-
kah kita akan berdiam diri saja?"
Dewa Jubah Biru tak menjawab. Dia terus mem-
perhatikan bagaimana Raja Naga yang mau tak mau
terdesak hebat. Memang sejauh ini, pemuda dari Lem-
bah Naga itu masih dapat menghindar atau memapaki
serangan lawan. Tetapi dua jurus berikutnya, Boma
Paksi mulai terdesak.
"Bunaeng! Menghadapi anak kemarin sore saja
kau harus membutuhkan waktu yang lama?! Apakah
kau memang tidak mampu, atau kau menunggu sam-
pai aku turun tangan?!"
Ejekan yang terdengar keras itu membuat wajah
Datuk Bunaeng memerah.
"Keparat kakek hitam itu! Kalau saja tenaganya
tak kubutuhkan untuk menghadapi kemungkinan
munculnya Langlang Benua, tak akan pernah aku da-
tang menjumpainya!" makinya geram dalam hati.
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Sebenarnya
aku bisa menghadapinya. Tetapi ada yang masih kupi-
kirkan. Dan aku harus menghemat tenaga...."
"Bunaeng! Cepat kau bunuh pemuda keparat itu!
Anuku sudah tak bisa diajak berunding lagi! Aku ha-
rus cari perempuan bahenol itu!"
Ejekan Resi Hitam semakin membuat Datuk Bu-
naeng bertambah ganas.
Dewi Pengunyah Sirih berbisik lagi pada Dewa
Jubah Biru, "Katanya, bila menunggu terlalu lama un-
tuk menolong seseorang yang mengalami kesulitan ju-
stru akan mencelakakan yang akan ditolong. Juga
akan membuat yang menolong akan menyesali tinda-
kannya bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apa-
kah kita masih diam saja?"
"Aku masih memikirkan tentang siapakah orang
yang mencuri kalung Laba-laba Perak yang kemudian
memfitnah Raja Naga. Nampaknya Datuk Bunaeng
bukanlah orang yang melakukannya. Terbukti, dia be-
gitu kesal karena menyangka Raja Naga yang telah
memfitnahnya."
Dewi Pengunyah Sirih manggut-manggut. Mulut-
nya terus mengunyah sirihnya.
"Dewi Berlian sudah tidak ada di tempat," tahu-
tahu dia ngomong begitu. "Kepergiannya pun tak dike-
tahui sama sekali. Bahkan Bunaeng sendiri tidak tahu.
Apakah kau memikirkan sesuatu, Orang Tua?"
Dewa Jubah Biru melirik perempuan tua ber-
konde kecil di sampingnya.
"Menurutmu.... Dewi Berlian pelakunya?"
"Katanya, bila bicara tanpa bukti adalah sebuah
fitnah. Aku tak mau dikatakan memfitnah. Apalagi
memfitnah perempuan mesum seperti Dewi Berlian!
"Fiuh!"
Dewa Jubah Biru kembali mengarahkan pandan-
gannya ke depan, di mana saat ini Raja Naga benar-
benar sudah kehilangan tempo penyerangannya. Sam-
bil menggeleng-gelengkan kepalanya, perlahan-lahan
kakek berjubah biru itu menarik napas panjang.
"Rasanya... memang tak ada jalan lain. Kita ha-
rus membantunya...."
Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa-
lanya.
"Bersiaplah...."
Namun sebelum masing-masing orang melesat ke
depan, mendadak saja satu bayangan berkelebat se-
demikian cepat dari balik ranggasan semak. Rangga-
san semak itu tak bergerak sama sekali. Bahkan sama
sekali tak ada angin yang timbul dari gerakan orang
yang tiba-tiba melesat.
Blaaarrr!
Serangan ganas Datuk Bunaeng luput pada sasa-
rannya. Karena pemuda yang diserangnya telah lenyap
dari pandangan disambar oleh satu bayangan yang
berkelebat sedemikian cepat dan telah lenyap pula dari
pandangan.
"Heeiiiii!" terdengar seruan Resi Hitam keras dan
bergetar. Mulut kakek berkulit hitam legam ini terbuka
dengan mulut menganga lebar. Bahkan tangan kanan-
nya yang menuding seolah menjadi kaku!
Di pihak lain, Dewa Jubah Biru sudah menyam-
bar tangan kanan Dewi Pengunyah Sirih dan memba-
wanya ke arah perginya bayangan yang menyambar
Raja Naga.
"Gilaaa!" terdengar teriakan Resi Hitam keras,
berapi-api. "Jahanam keparat! Aku mengenal gerakan
itu... aku sangat mengenalnya...."
Datuk Bunaeng yang tadi sempat tertegun segera
berseru, "Resi Hitam! Siapakah manusia keparat yang
lancang menghalangi niatku dan berani mampus itu?!"
"Dia... dia...," suara Resi Hitam geram. Nafasnya
mendadak terengah-engah saking geramnya. Kedua
tangannya mengepal kuat. Seiring dihentakkan kaki
kanannya di atas tanah, suara Resi Hitam menggele-
gar, "Dia... dia Langlang Benua!!"
Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu Tongkat Ular
sama-sama menegakkan kepala mendengar kata-kata
Resi Hitam. Masing-masing orang melihat bagaimana
ganasnya wajah Resi Hitam.
"Keparat!" maki Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu
serunya, "Kita tak boleh membuang waktu! Ratu Tong-
kat Ular! Kau cari Dewi Berlian sampai ketemu! Resi
Hitam... kita mengejar Langlang Benua yang membawa
Raja Naga!"
Sementara Ratu Tongkat Ular segera meninggal-
kan tempat itu. Datuk Bunaeng masih berkata, "Ter-
lambat sedikit saja, kedudukan kita akan berbahaya!"
Resi Hitam menoleh. Pandangannya sengit.
"Bunaeng! Dengan ucapanmu kau menganggap
aku tak memiliki arti!"
Datuk Bunaeng terkejut dibentak seperti itu. Se-
belum dia membantah ucapan Resi Hitam, Resi Hitam
sudah berseru, "Kau akan melihatnya nanti! Akan ku-
patah-patahkan tulang di dalam tubuh Langlang Be-
nua!"
Habis bentakannya, Resi Hitam segera melesat,
disusul oleh Datuk Bunaeng yang sekarang merasa
menjadi tidak enak. Tetapi di lain saat, perasaan itu te-
lah hilang bersamaan kegeramannya yang muncul
kembali.
***
EMPAT
JAJARAN pagi telah menghampar kembali untuk
yang kesekian kalinya. Tempat yang dipenuhi pepoho-
nan itu sepi. Tak terdengar suara hewan-hewan yang
berkeliaran menyambut pagi. Bahkan angin pun seo-
lah tak berhembus, tak mampu menepiskan gumpalan
kabut tebal yang menyelimuti tempat itu. Tak jauh dari
tempat yang sepi itu, nampak sebuah gunung menju-
lang tinggi.
Di lereng gunung itulah tiga sosok tubuh sedang
duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua yang
hanya menundukkan kepalanya. Lelaki tua berwajah
keriput itu diperkirakan berusia sekitar delapan puluh
lima tahun. Mengenakan pakaian putih compang-
camping. Rambutnya yang putih panjang tak beratu-
ran. Kumisnya melintang menjulai. Tetapi yang sung-
guh mengejutkan, adalah janggut putih yang dimili-
kinya. Begitu panjang. Di saat si kakek duduk saja
janggut itu sudah melingkar di atas tanah.
Tanpa mengangkat kepalanya, si kakek berkata,
"Aku sama sekali tak menyangsikan cerita kalian, ka-
rena apa yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak
aku juga sudah mendengarnya. Tetapi, rasanya sung-
guh aneh, bila murid Dewa Naga lancang mencuri ka-
lung Laba-laba Perak...."
Lelaki berkepala plontos yang duduk di sebelah
kanan membuka mulut, "Musang Berjanggut. Kami
bukanlah orang yang suka memfitnah orang lain. Kau
sendiri sudah mendengar berita itu. Sekarang, apakah
kau masih juga menyangsikannya?"
"Kala Sringgil... apa yang kukatakan tadi hanya-
lah sebuah pikiran yang tiba di benakku," sahut si ka-
kek berjuluk Musang Berjanggut tetap menundukkan
kepalanya.
Lelaki berkepala plontos yang mengenakan pa-
kaian putih terbuka di bahu kiri, melirik lelaki yang
mengenakan pakaian yang sama dengannya yang du-
duk di sebelah kanannya.
"Bantu aku untuk menjelaskannya...."
Lelaki berkepala plontos pula tetapi berkumis
tebal segera berkata, "Musang Berjanggut... aku dan
Kala Sringgil sudah mencoba untuk menangkap murid
Dewa Naga. Tetapi terus terang, kami memang tak
sanggup untuk melakukannya. Bahkan, Pendekar Kaki
Satu pun tak berhasil menangkapnya...."
Lelaki berpakaian hitam yang terbuka di dada
menganggukkan kepalanya.
"Apa yang dikatakan Jala Sringgil benar."
Musang Berjanggut mengangguk-anggukkan ke-
palanya, tetapi tak mengangkat wajahnya.
"Memang... aku tak bisa membuktikan apa yang
menjadi pikiranku sekarang kecuali berhadapan lang-
sung dengan murid Dewa Naga itu."
"Musang Berjanggut... kami sama sekali tak me-
nyangsikan tindakan busuk murid Dewa Naga. Sebagai
sahabat mendiang Resi Kala Jinjit, kami tetap bermak-
sud untuk menangkapnya," kata lelaki yang kaki ka-
nannya buntung. Tongkat yang dipergunakan sebagai
penyangga tubuhnya tergeletak di samping kanannya.
"Selain itu, kami juga tidak bisa tinggal diam melihat
perlakuannya yang hina itu. Mencuri kalung Laba-laba
Perak sebagai lambang sahnya seseorang menjadi Ke-
tua Perguruan Laba-laba Perak, adalah tindakan yang
mencoba mencoreng arang di wajah perguruan itu
sendiri!"
Kakek berjanggut panjang itu mengangguk-
anggukkan kepalanya. Tetap tak mengangkat wajah-
nya.
Pendekar Kaki Satu berkata lagi, "Setelah gagal
menangkap Raja Naga, tak sengaja aku berjumpa den-
gan Kala Sringgil dan Jala Sringgil. Yang sungguh luar
biasa, kami memiliki niat yang sama untuk datang dan
meminta bantuanmu."
(Untuk mengetahui gagalnya Kala Sringgil dan
Jala Sringgil menangkap Raja Naga, silakan baca :
"Misteri Laba-laba Perak". Dan untuk mengetahui ten-
tang gagalnya Pendekar Kaki Satu menangkap Raja
Naga, serta perjumpaannya dengan Kala Sringgil dan
Jala Sringgil, silakan baca : "Pengadilan Rimba Persila-
tan").
Suasana hening. Masing-masing orang tak ada
yang membuka mulut. Kala Sringgil dan Jala Sringgil
memperhatikan Musang Berjanggut yang tetap me-
nundukkan kepala. Sementara itu. Pendekar Kaki Satu
membatin, "Bila Musang Berjanggut mengatakan kalau
dia menyangsikan tindakan Raja Naga, kemungkinan
itu memang sebuah kenyataan. Tetapi, ah... mungkin
memang ada sesuatu di balik semua ini. Hanya saja..."
Kata batin Pendekar Kaki Satu terputus, karena
kakek berjanggut panjang sudah buka mulut, "Sebe-
lum ada pembuktian, memang sulit untuk memperta-
hankan pendapat."
Kata-kata Musang Berjanggut secara tidak lang-
sung sudah menunjukkan kesediaannya untuk me-
nangkap Raja Naga, walaupun di balik kata-katanya
dia akan melakukannya tetapi dengan maksud untuk
mencari kebenaran.
Ketiga orang di hadapannya segera merang-
kapkan tangan di depan dada masing-masing.
Jala Sringgil berkata, "Terima kasih atas kese-
diaanmu, Musang Berjanggut."
"Sebelum kalian meninggalkan tempat ini, ada
yang hendak kutanyakan. Apakah kalian mendengar
munculnya Langlang Benua?"
Ketiga orang itu berpandangan satu sama lain
sebelum Pendekar Kaki Satu berkata, "Aku belum
mendengar munculnya Langlang Benua. Tetapi, bu-
kankah memang sulit untuk mencari kakek yang ge-
mar bertualang, itu?"
"Seperti halnya dengan kita. Langlang Benua
adalah sahabat dari Resi Kala Jinjit. Kematian Resi Ka-
la Jinjit telah membuat rimba persilatan berkabung.
Aku yakin, kalau Langlang Benua juga telah menden-
garnya."
"Maksudmu... dia memang telah kembali?"
"Aku hanya menduga."
"Bagus kalau dia telah kembali! Itu artinya, akan ,
memudahkan kita untuk menangkap Raja Naga!"
Tetap tanpa mengangkat wajahnya. Musang Ber-
janggut mengangguk.
"Itu pun harus kita buktikan kebenarannya. Se-
karang, segera kalian tinggalkan tempat ini. Menu-
rutku pada lima hari di muka, bencana akan terjadi di
Lembah Lingkar."
"Lembah Lingkar?!" seruan itu terdengar dari tiga
mulut secara bersamaan.
Musang Berjanggut tak menjawab. Bahkan se-
makin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Masing-
masing orang segera tanggap, kalau kakek di hadapan
mereka sudah tak mau diganggu. Bahkan bila mereka
bertanya pun sudah tentu tak akan mendapatkan ja-
waban.
Masing-masing orang segera berdiri. Setelah me-
rangkapkan tangan dan memberikan penghormatan
pada Musang Berjanggut, ketiganya sudah melangkah
meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal ketiganya. Musang Berjanggut men-
desah pendek. Tetapi tidak mengangkat wajahnya.
"Rimba persilatan semakin kacau. Seorang anak
muda yang telah banyak membela kebenaran, harus
mendapatkan musibah yang cukup mengerikan. Ah,
bila urusan ini tidak segera dituntaskan, tentunya pe-
taka akan berkelanjutan...."
Kejap lain. Musang Berjanggut terdiam tetap
dengan kepala tertunduk. Kabut tebal masih menyeli-
muti tempat itu.
Sekitar lima puluh tombak dari kediaman Mu-
sang Berjanggut, ketiga orang yang baru menjum-
painya menghentikan langkah masing-masing di jalan
setapak.
Kala Sringgil langsung berkata, "Pendekar Kaki
Satu... apakah tidak sebaiknya kita berpencar saja?
Maksudku, dengan berpencar akan memudahkan kita
untuk menemukan Raja Naga."
Lelaki berkaki buntung itu mengangguk.
"Aku pun berpikir hal yang sama denganmu. Kala
Sringgil. Dan masih ada yang kupikirkan."
"Tentang sikap Musang Berjanggut yang me-
nyangsikan tindakan Raja Naga?"
"Selain itu, juga dengan apa yang dikatakannya
tentang bencana di Lembah Lingkar."
"Aku juga memikirkan hal yang sama."
Jala Sringgil berkata, "Apakah tidak sebaiknya ki-
ta segera menuju ke Lembah Lingkar?"
"Itu memang suatu yang tepat. Tetapi, masih lima
hari di muka. Berarti kita hanya akan membuang wak-
tu bila sudah tiba di sana," kata Pendekar Kaki Satu.
"Padahal sebelum hari itu tiba, kemungkinan be-
sar kita masih dapat menemukan Raja Naga."
"Kalau begitu, sebaiknya kita memang mencari
pemuda itu dulu," kata Jala Sringgil. "Dan itu artinya,
kita tidak perlu berpencar."
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Kaki Satu.
"Kita sama-sama pernah berhadapan dengan Ra-
ja Naga dan sama-sama mendapatkan kesulitan untuk
mengalahkannya. Bukankah sebaiknya kita bersatu
saja untuk menghadapinya? Maksudku, dengan bersa-
tu-nya kita, kekuatan yang kita miliki semakin ber-
tambah. Itu artinya, kemungkinan besar kita dapat
meringkus anak muda pembuat celaka itu. Jadi, kita
tak perlu lagi harus mendatangi Lembah Lingkar."
Baik Pendekar Kaki Satu maupun Kala Sringgil
sama-sama tak buka mulut. Masing-masing orang
memperhatikan Jala Sringgil. Sesaat kemudian, Pen-
dekar Kaki Satu berkata, "Usul yang kau kemukakan
itu memang baik. Kemungkinan besar untuk mering-
I kus pemuda itu dapat kita lakukan dengan lebih mu-
dah. Tetapi, aku menangkap gelagat lain dari ucapan
Musang Berjanggut."
Pendekar Kaki Satu menghentikan ucapannya.
Lalu memandangi Kala Sringgil dan Jala Sringgil ber-
gantian. Karena kedua orang berkepala plontos itu tak
ada yang menjawab. Segera dilanjutkan lagi kata-
katanya, "Musang Berjanggut mengatakan, bencana
akan terjadi di Lembah Lingkar. Jelas kalau ini berhu-
bungan dengan tindakan Raja Naga. Bila Raja Naga
seorang diri berada di sana, kemungkinan itu sangat
kecil. Tetapi tentunya, akan adanya orang-orang yang
muncul di sana selain Raja Naga dan kita bertiga...."
"Astaga!" Kala Sringgil mendesis.
"Mengapa aku tak memikirkan soal itu?"
"Itu pun baru kupikirkan," kata Pendekar Kaki
Satu jujur.
"Kalau begitu, ya... seperti usulku semula, se-
baiknya kita memang berpisah di sini...."
Pendekar Kaki Satu memandang Jala Sringgil.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapat yang terbaik, bagiku akan selalu
membawa keuntungan...."
"Baiklah," kata Pendekar Kaki Satu sambil men-
gangguk. "Kita akan berjumpa lagi lima hari menda-
tang di Lembah Lingkar."
Setelah melihat kedua lelaki berkepala plontos itu
mengangguk. Pendekar Kaki Satu segera melangkah
meninggalkan mereka.
"Jala Sringgil," kata Kala Sringgil setelah Pende-
kar Kaki Satu lenyap dari pandangan. "Aku jadi memi-
kirkan apa yang disangsikan oleh Musang Berjanggut
mengenai tindakan murid Dewa Naga. Apakah me-
mang benar dia yang telah mencuri kalung Laba-laba
Perak dan membuat keonaran? Kita juga menuduhnya
sebagai pembunuh Resi Kala Jinjit. Ah, keadaan ini
membuat kepalaku menjadi pusing...."
Jala Sringgil mengangguk. Sambil mengusap
lembut kumis melintangnya dia menjawab, "Walaupun
aku juga memiliki keraguan seperti itu, tetapi untuk
saat ini, perhatianku tetap tertuju pada Raja Naga."
"Yang hendak kita lakukan sekarang, menang-
kapnya atau menanyakan kebenaran?"
Jala Sringgil terdiam, karena dia memang tidak
tahu harus menjawab apa.
Didengarnya lagi kata-kata Kala Sringgil, "Sudah-
lah! Kita tetap berusaha untuk menangkap pemuda
dari Lembah Naga itu!"
"Kau benari Karena sejauh ini, aku belum meli-
hat keterlibatan orang lain dalam urusan ini!"
Kejap lain, kedua orang itu sudah melangkah
menempuh arah yang berlawanan dengan Pendekar
Kaki Satu.
***
LIMA
PADA saat bersamaan dengan melangkahnya Ka-
la Sringgil dan Jala Sringgil, dari balik ranggasan se-
mak setinggi dada yang jaraknya cukup jauh dengan
tempat di mana Kala Sringgil dan Jala Sringgil berada,
terdengar kata-kata yang cukup keras,
"Berita kematian Resi Kala Jinjit-lah yang mem-
buatku untuk sementara menghentikan pelanglangbu-
anaanku."
Pemuda berlengan sebatas siku dipenuhi sisik
coklat itu memandang tak berkedip pada kakek yang
barusan bicara di hadapannya.
"Bila tak ku saksikan sendiri, mungkin aku tak
percaya melihat ada orang yang memiliki kulit berwar-
na seperti tanah," desisnya dalam hati. "Bahkan ram-
butnya yang tak beraturan hingga punggung pun ber-
warna seperti tanah. Dia mengaku berjuluk Langlang
Benua."
Kakek berkulit keriput namun karena warna ku-
litnya seperti tanah hingga tak begitu terlihat keriput
di sekujur tubuhnya berkata lagi, "Kematian Resi Kala
Jinjit menimbulkan banyak pertanyaan di benakku,
I hingga aku mencoba untuk mencari kejelasan. Sebe-
lum kudapatkan kejelasan, berita tentang kekacauan
yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak sudah me-
nyengat telingaku. Seorang pemuda yang julukannya
ramai dibicarakan orang akhir-akhir ini, dikatakan se-
bagai pencuri."
Raja Naga menarik napas pendek. Sorot matanya
tetap angker.
"Orang tua... tentunya akulah orang yang kau
maksud. Aku tak bisa membantah bila kau juga me-
nuduhku seperti itu, karena hingga saat ini, aku be-
I lum memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan
kalau diriku tidak bersalah."
"Sama sekali aku tak menuduhmu seperti itu,
aku hanya ingin menanyakan kebenaran."
"Kebenaran itu ada di depan mata, tetapi sekali
lagi, aku sulit untuk membuktikannya."
"Keteguhan dan keyakinan ucapan sudah cukup
bagiku."
"Aku tidak mencuri kalung Laba-laba Perak!"
"Agar menjadi jelas, silakan kau menceritakan
padaku."
Segera Raja Naga menceritakan nasib sial yang
dialaminya (Baca : "Misteri Laba-laba Perak"). Dilihat-
nya kakek yang kulitnya berwarna seperti tanah itu
mengangguk-anggukkan kepala.
"Bagaimana dengan kematian Resi Kala Jinjit?"
"Aku tidak tahu sama sekali. Tetapi sebelum per-
soalan menjadi panjang seperti sekarang, secara tak
sengaja aku mencuri dengar percakapan dua orang,
Tentang tindakan Datuk Bunaeng yang hendak mela-
kukan makar."
"Apakah kau mendengar kalau Datuk Bunaeng
yang telah membunuh Resi Kala Jinjit?"
"Tidak sama sekali."
"Berarti bukan dia yang melakukannya."
"Bukti belum terkumpul, Orang Tua."
"Aku paham maksudmu. Bunaeng memiliki den-
dam setinggi langit pada Resi Kala Jinjit. Bahkan sete-
lah Resi Kala Jinjit tewas tanpa diketahui siapa pem-
bunuhnya, dia tetap berkeinginan untuk menghancur-
kan Perguruan Laba-laba Perak. Dan dia akan dengan
bangga mengumumkan dirinya sebagai pembunuh Re-
si Kala Jinjit, karena dengan cara seperti itu dia akan
mendapatkan kepuasan dari dendam lamanya."
Pemuda tampan berambut dikuncir itu tak men-
jawab. Matanya memperhatikan terus kakek yang telah
menyambarnya di Lembah Lingkar.
"Aku mengenal Bunaeng, bahkan sangat menge-
nalnya. "
"Kalau memang bukan dia sebagai pembunuh
Resi Kala Jinjit dan orang yang memfitnahku, ke-
mungkinan besar ada orang ketiga yang mengadu
domba."
"Pikirkan terus. Anak muda."
Raja Naga terus berkata-kata, "Ketika tiba di
Lembah Lingkar, aku langsung menyuruh Datuk Bu-
naeng agar meminta maaf padaku atas tindakannya,
karena dugaanku dialah orang yang telah memfitnah-
ku. Tetapi justru Datuk Bunaeng yang memaksaku
untuk meminta maaf padanya, karena dia menuduhku
sebagai orang yang memfitnahnya."
"Berarti ada kesalahan di sini, bukan?"
Seperti tak mempedulikan kata-kata Langlang
Benua, Raja Naga melanjutkan kata-katanya, "Sebe-
lum tiba di Lembah Lingkar, aku berjumpa dengan
Dewi Berlian. Dari perempuan bermahkota itulah aku
tahu kalau Datuk Bunaeng berada di Lembah Lingkar.
Dikatakannya pula, kalau Datuk Bunaeng mendendam
padaku. Dikarenakan saudara seperguruannya yang
berjuluk Ratu Sejuta Setan tewas di tanganku."
"Kau harus membuktikan ucapan Dewi Berlian."
"Pemberitahuan Dewi Berlian semakin memper-
kuat dugaanku kalau Datuk Bunaeng adalah orang
yang berada di balik peristiwa rumit ini. Aku sama se-
kali tak memikirkan adanya kemungkinan lain, kecuali
satu pikiran yang timbul setelah mendengar kata-kata
Datuk Bunaeng."
"Katakan."
"Secara tiba-tiba Datuk Bunaeng memanggil Dewi
Berlian! Dengan tujuan siapakah yang akan lebih dulu
menyerangku! Saat itu aku cukup terkejut mendengar-
nya, mengingat sama sekali tak kulihat Dewi Berlian di
sekitar sana."
"Dia ada di sana."
"Ya! Sebelumnya dia berada di sana. Dan yang
mengherankanku, mengapa Dewi Berlian Justru hadir
di Lembah Lingkar? Juga mengapa Datuk Bunaeng
berseru seperti itu?"
"Kau sudah memikirkan kelanjutannya?"
"Aku masih memikirkannya sekarang."
"Pikirkan lagi."
"Keherananku itu semakin menJadi-Jadi. Terus
kupikirkan tentang kata-kata Dewi Berlian padaku dan
seruan Datuk Bunaeng pada Dewi Berlian yang ten-
tunya sebelumnya berada di sana tetapi kemudian ber-
lalu. Mengapa, itulah pertanyaanku yang ada."
"Pikirkan lagi."
"Pikiranku sekarang. Justru mengarah pada se-
suatu yang mengejutkanku sendiri."
"Apakah itu?"
"Dewi Berlianlah dalang dari semua ini."
"Mengapa?"
"Pertama, di saat aku berjumpa dengannya, dia
mengatakan kalau Datuk Bunaeng adalah orang yang
juga mendendam padaku atas kematian Ratu Sejuta
Setan. Dan mengatakan padaku, kalau Datuk Bu-
naeng berada di Lembah Lingkar tepat tengah malam.
Aku percaya saat itu. Tetapi keherananku pun segera
timbul, karena sebelum tengah malam Datuk Bunaeng
yang bersama dengan Ratu Tongkat Ular dan seorang
kakek berkulit hitam legam sudah berada di sana. Ju-
ga hadirnya Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Si-
rih. Bayanganku, jauh sebelum tengah malam. Datuk
Bunaeng sudah berada di sana."
"Katakan yang kedua."
"Yang kedua. Dewi Berlian ternyata juga hadir di
sana walaupun aku tak sempat berjumpa dengannya.
Ini mengherankan, karena katakannya tepat tengah
malam Datuk Bunaeng tiba di Lembah Lingkar. Kalau
kemudian Dewi Berlian hadir di sana sebelum tengah
malam, berarti dia telah tahu kalau Datuk Bunaeng
akan hadir di Lembah Lingkar sebelum tengah malam."
"Yang ketiga!"
"Ketiga, dari seruan Datuk Bunaeng pada Dewi
Berlian. Mengapa Datuk Bunaeng berseru seperti itu?
Apa yang sebenarnya dikatakan Dewi Berlian? Dan
mengapa Dewi Berlian berlalu tanpa sepengetahuan
siapa pun. Terbukti, mereka cukup terkejut karena
menyadari Dewi Berlian tidak berada di sana."
"Apakah masih ada alasan yang keempat?"
"Ya! Yang keempat, siapa sebenarnya yang memi-
liki hubungan dengan Pangku Jaladara yang katanya
berada di sana dalam keadaan pingsan?"
"Alasan atau tepatnya pertanyaanmu ini cukup ,
membingungkanku."
"Datuk Bunaeng mendendam pada Resi Kala Jin-
jit sampai ke akar-akarnya. Bahkan dia bermaksud
untuk menghancurkan siapa pun juga yang mempu-
nyai hubungan dengan Resi Kala Jinjit. Sasarannya
yang pertama adalah menghancurkan Perguruan Laba-
laba Perak. Tetapi mengapa dia tidak membunuh
Pangku Jaladara?"
"Kau pikir itu ada hubungannya dengan Dewi
Berlian?"
"Hanya itu kemungkinannya. Tetapi yang mem-
buatku tak mengerti, bila memang Dewi Berlian berada
di balik semua ini, apa yang diinginkan sebenarnya da-
riku? Kalau memang dia, mengapa dia melakukannya
padaku? Aku belum lama mengenal Dewi Berlian."
"Itulah yang harus kau temukan Jawabannya,"
sahut Langlang Benua. Lalu melanjutkan, "Dan karena
kau memikirkan rangkaian semua alasanmu itu, kau
mengalah pada Datuk Bunaeng hingga kau tidak me- ’
nyerang sepenuh hati?"
Mendengar pertanyaan itu kepala Raja Naga me-
negak. Matanya yang tetap bersorot angker tak berke-
dip memandang kakek di hadapannya. !
"Orang tua,., apakah aku salah bila kukatakan
kau sudah berada di Lembah Lingkar cukup lama?"
Langlang Benua mendengus.
"Aku bertanya, malah dibalik tanya!"
"Tetapi, bukankah apa yang kukatakan itu se-
buah kebenaran?" tanya Raja Naga lagi. Lalu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berkata; "Aku
tahu mengapa kehadiranmu tidak diketahui di sana.
Kau tentunya menyatu dengan tanah, bukan?"
Langlang Benua cuma mendengus.
"Dan aku tahu, kaulah orang yang telah mem-
bentur serangan dari Kala Sringgil dan Jala Sringgil
sebelumnya. Ah, maafkan aku. Karena kala itu aku
sempat gusar, mengingat tindakan yang kau lakukan
dapat mengacaukan keadaan."
"Karena aku ingin tahu sebuah kebenaran."
Raja Naga menganggukkan kepalanya. Diingat-
nya lagi bagaimana satu serangan yang tiba-tiba mun-
cul telah membentur serangan Kala Sringgil maupun
Jala Sringgil (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").
Langlang Benua berkata, "Sekarang... setelah kau
I mendapatkan satu pikiran tentang rangkaian dari per-
soalan rumit ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tetap akan mencari bukti kalau aku tidak
bersalah. Karena orang-orang seperti Kala Sringgil, Ja-
la Sringgil dan Pendekar Kaki Satu, serta mungkin ma-
sih ada orang yang lain yang berhubungan erat dengan
Resi Kala Jinjit, tentunya akan tetap mengejarku kare-
na menganggap aku sebagai pengacau."
"Bagus bila itu kau lakukan!"
"Dari apa yang telah kita bicarakan, ada satu pi-
kiran yang muncul di benakku secara tiba-tiba."
"Mengenai apa?"
"Mengenai siapakah pembunuh Resi Kala Jinjit
sesungguhnya."
"Katakan padaku!"
"Orang tua... bukan maksudku tidak mau men-
gatakannya kepadamu. Tetapi aku khawatir apa yang
kupikirkan ini salah dan akan menjadi sebuah fitnah."
Langlang Benua mendengus, tetapi berkata da-
lam hati, "Ketabahannya dalam menghadapi persoalan,
sungguh mengagumkan. Tanda-tanda kalau dia adalah
seorang pendekar sejati sudah terlihat. Ah, beruntung
kakek tukang kentut itu menjadikannya sebagai mu-
rid."
Kemudian katanya, "Lembah Lingkar telah men-
jadi saksi bisu tuduhan orang-orang kepadamu. Anak
muda. Tentunya, Lembah Lingkar akan tetap menjadi
saksi bisu untukmu mengungkapkan kebenaran."
Raja Naga memperhatikan kakek di hadapannya
dengan seksama.
"Aku belum memahami apa maksudnya," katanya
dalam hati, lalu berkata, "Orang tua... dapatkah kau
lebih memperinci apa yang kau maksudkan?"
"Aku tidak biasa melakukan apa yang seperti kau
katakan. Tetapi menurut bayanganku, kau akan kem-
bali ke Lembah Lingkar bersama yang lainnya."
"Maksudmu.... Lembah Lingkar akan menjadi
tempat pengungkapan bukti-bukti?"
"Kira-kira seperti itu. Dan satu hal yang masih
kupikirkan sebenarnya, adalah muncul tidaknya Mu-
sang Berjanggut."
Kali ini Raja Naga terdiam, memperhatikan kakek
di hadapannya dengan seksama.
"Setelah mendengar apa yang kau katakan, kupi-
kir urusanku sudah selesai dan aku akan melanjutkan
petualanganku. Tetapi rasanya, memang masih harus
ada yang dituntaskan."
"Siapakah orang yang kau maksudkan tadi.
Orang Tua?"
"Musang Berjanggut adalah salah seorang saha-
bat dari Resi Kala Jinjit. Seperti diriku. Kala Sringgil,
Jala Sringgil maupun Pendekar Kaki Satu. Dari orang-
orang yang kusebutkan tadi. Musang Berjanggut me-
miliki ilmu yang lebih tinggi. Dia memiliki sifat yang
angin-anginan. Bila sifat Jeleknya datang, dia akan me-
labrak apa saja yang diinginkannya dan akan dengan
mudah dihancurkannya. Tetapi bila sifat baiknya da-
tang, dia akan berubah menjadi malaikat."
"Yang hendak kau katakan, kau khawatir kalau
Musang Berjanggut menganggapku sebagai pencuri
kalung Laba-laba Perak?"
"Salah satunya seperti itu."
Raja Naga diam-diam mendesah pendek.
"Baru mendengar sedikit saja tentang Musang
Berjanggut, perasaanku sudah tidak enak. Tetapi biar
bagaimanapun Juga, aku harus tetap bergerak untuk
mencari bukti-bukti."
Habis membatin demikian. Raja Naga berkata,
"Orang tua... nampaknya aku masih harus menghada-
pi urusan yang lebih rumit."
"Mudah-mudahan Musang Berjanggut sedang da-
tang sifat baiknya," kata Langlang Benua. "Anak muda,
untuk sementara akan kuhentikan dulu petualangan-
ku untuk melanglang buana. Aku berada di pihakmu."
"Bukannya menampik tawaran memikat yang
kau berikan. Tetapi biarlah, aku akan mengurus se-
mua ini sendiri."
"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" desis Langlang
Benua dalam hati. "Dia tetap menunjukkan jiwa kesa-
tria yang luhur." '
Lalu katanya, "Mungkin dengan kehadiranku.
Musang Berjanggut akan dapat bertindak lebih baik."
Raja Naga tersenyum dan berkata dalam hati,
"Karena aku yakin... kalau kemampuanmu lebih tinggi
dari Musang Berjanggut, Orang Tua." Kemudian ka-
tanya, "Kalau begitu, rasanya lebih baik aku segera
meneruskan langkah untuk mencari kebenaran. Teru-
tama mencoba menemukan Dewi Berlian."
"Lakukan dan berhati-hati."
Raja Naga perlahan-lahan berdiri. Dirangkapkan
kedua tangannya di depan dada.
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku
Orang Tua."
Habis kata-katanya, pemuda dari Lembah Naga
ini segera melangkah meninggalkan Langlang Benua.
Kakek yang seluruh kulit di tubuhnya berwarna
seperti tanah, menarik napas pendek.
"Urusan ini memang sangat rumit. Dan kecerdi-
kan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia dapat mena-
han gejolak perasaannya dan berpikir jernih. Mudah-
mudahan, apa yang dipikirkannya itu akan memba-
wanya pada satu kebenaran...."
Lagi Langlang Benua menarik napas pendek.
Diperhatikan sekelilingnya dengan seksama. "Aku
harus menyebarkan isu tentang bencana yang akan
terjadi di Lembah Lingkar, sehingga orang-orang akan
bermunculan di sana. Mudah-mudahan kebenaran
akan terbuka...."
Setelah itu, Langlang Benua menundukkan kepa-
lanya.
***
ENAM
PAGI telah datang menyegarkan alam kembali.
Suasana di hutan itu sangat menyeramkan. Hembusan
angin timur begitu dingin, menggeresek dedaunan
hingga menimbulkan suara laksana tangisan. Pagi ini
keadaan hening. Kabut masih menggumpal. Bahkan
hewan-hewan malam pun enggan bersuara.
Tetapi dari balik sebuah pohon besar terdengar
suara keras bernada heran dan jengkel, "Dewi! Menga-
pa kau menolakku?! Apa yang terjadi?!"
Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-
ran berlian itu menoleh. Tatapannya tajam dan sengit.
"Keparat! Lama kelamaan aku muak dengan si-
kapnya!" geramnya dalam hati.
Pangku Jaladara yang terkejut akan penolakan
Dewi Berlian, sebenarnya tahu arti tatapan sengit itu.
Tetapi gairahnya sudah membludak hingga dia tidak
mau tahu arti tatapan itu. Kedua tangannya kembali
memeluk tubuh montok Dewi Berlian. Telapak tangan
kanan kirinya menyergap sepasang bukit kembar yang
besar, dan segera meremas-remasnya dengan napas
mendengus-dengus.
Dewi Berlian memaki dalam hati, "Setan alas!
Yang dipikirkannya hanyalah mengumbar nafsu bela-
ka! Padahal saat ini kedudukanku mulai goyah! Terku-
tuk!"
Dengan gusar Dewi Berlian menyentakkan tan-
gan Pangku Jaladara yang masih asyik meremas-
remas bukit kembarnya. Pakaiannya yang hanya me-
nutupi sebagian kecil bukit kembarnya sudah terbuka.
Seraya berseru jengkel. Dewi Berlian menaikkan
lagi pakaiannya, "Setan terkutuk! Apakah kau tidak
bisa menghentikan nafsumu barang sesaat, hah?!"
Pangku Jaladara yang Jatuh terduduk akibat sen-
takan tangan Dewi Berlian melongo.
"Dewi!" serunya kemudian, kaget. "Mengapa jadi
begini? Mengapa kau begitu marah?!"
"Diaaamm!!"
"Bukankah kau sudah berjanji, akan melayaniku
kapan saja bila aku mau?!"
Dewi Berlian justru mengalihkan pandangannya
ke tempat lain. Angin berhembus, menggeraikan pa-
kaian bagian bawahnya yang terbuka di samping ka-
nan kiri hingga batas pinggul.
Angin nakal itu justru memperlihatkan sesuatu
yang semakin membuat Pangku Jaladara kian bernaf-
su. Kembali ditubruknya tubuh montok yang sedang
membelakanginya. Diciuminya tengkuk Dewi Berlian
penuh nafsu. Tangan kanannya meraba bagian atas,
sementara tangan kirinya menjelajah bagian bawah.
Tetapi... trik!
Tubuhnya kembali mundur dengan kedua tangan
tersentak ke atas. Kali ini Pangku Jaladara mulai gu-
sar akan tindakan Dewi Berlian yang menolaknya. Di
pihak lain, perempuan mesum itu pun membalikkan
tubuhnya dengan tatapan sengit.
Tetapi sebelum dia berseru, Pangku Jaladara su-
dah mendahului, "Dewi! Aku telah membantu menun-
taskan segala urusanmu! Baik pada guruku sendiri
maupun pada Raja Naga! Dengan tanganku sendiri
kubunuh guruku demi dendammu! Dengan kecerdi-
kanku pula, kuundang Raja Naga semata untuk men-
cari kesempatan memfitnahnya, sebagai balasan tin-
dakannya yang telah membunuh saudaramu yang ber-
juluk Ratu Sejuta Setan! Kau berjanji akan memenuhi
kapan saja aku menginginkanmu! Tetapi sekarang...
tindakanmu sudah kelewat batas. Dewi!"
Dibentak seperti itu Dewi Berlian menjadi ber-
tambah berang. Wajah jelitanya dan sen3nrman serta
tatapan mesumnya seolah lenyap.
"Huh! Sampai hari ini aku tak pernah melupakan
semua itu. Pangku Jaladara! Kau berhak menikmati
kapan saja tubuhku sesuai dengan yang kujanjikan bi-
la kau mau membantuku! Tetapi... kau tidak melihat !
saat yang tepat!"
"Apanya yang tidak tepat, hah?! Saat ini, gairah-
ku sedang memuncak! Dan tempat ini sangat me-
mungkinkan untukku menyalurkan gairahku!" geram
Pangku Jaladara semakin keras. Parasnya memerah
karena marah.
"Manusia satu ini benar-benar mulai bikin aku
muak! Apa yang dilakukannya hanyalah ketololannya
belaka! Huh! Resi Kala Jinjit yang pernah memperma-
lukanku, telah tewas di tangannya! Niatku untuk
membalas kematian Ratu Sejuta Setan di tangan Raja
Naga pun mulai mendapatkan gambaran yang lebih je-
las," maki Dewi Berlian dalam hati. Masih tetap me-
mandang Pangku Jaladara yang memandangnya, anta-
ra gusar dan penuh nafsu, "Tapi sialnya, urusan ini
nampaknya akan berantakan karena kehadiran Dewa
Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih!"
"Dewi Berlian... kau tak menjawab pertanyaanku,
berarti kau memang sengaja mempermainkanku!" ge-
ram Pangku Jaladara.
Dewi Berlian tetap tak buka mulut. Dadanya
yang padat dan sebagian besar terbuka jelas, turun
naik pertanda dia sedang dilanda kegusaran.
Kalau biasanya Pangku Jaladara tak akan mam-
pu lagi untuk menguasai nafsunya melihat gumpalan
bulat benda lunak yang menggemaskan itu, kali ini
hanya dipandangnya sekilas lalu mengarahkan tata-
pannya pada Dewi Berlian.
"Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ke-
cuali aku, siapa orang yang telah menimbulkan keona-
ran!"
Dewi Berlian merandek.
"Apakah kau sedang mengancamku?!"
Pangku Jaladara melipat kedua tangannya di de-
pan dada. Kepalanya sedikit ditegakkan. Lalu dengan
angkuh, dia berkata, "Bila mulutku bicara, sudah ten-
tu seluruh orang rimba persilatan akan memburumu.
Dewi Berlian! Bukan hanya para sahabat guruku, teta-
pi juga Raja Naga! Bahkan Datuk Bunaeng sendiri!"
Kemarahan Dewi Berlian perlahan-lahan mulai
memuncak. Tetapi perempuan bermahkota itu tak me-
lakukan gerakan apa-apa. Berkata pun tidak.
Merasa mendapat cara untuk menekan Dewi Ber-
lian, Pangku Jaladara berkata lagi, "Sejauh ini, aku
masih tak membuka mulut karena mempertimbangkan
keuntungan yang kudapatkan! Dengan menikmati tu-
buhmu yang montok itu bagiku merupakan sebuah
imbalan yang layak, pertukaran yang saling mengun-
tungkan! Tetapi sekarang, kau nampaknya mulai men-
gubah apa yang ada!"
Sadar kalau Pangku Jaladara akan membuka
mulut maka segala niatnya akan jadi berantakan, Dewi
I Berlian perlahan-lahan meredakan kemarahannya. La-
lu sambil tersenyum dia berkata,
"Mengapa sekarang harus saling menunjukkan
kemarahan? Pangku Jaladara, tak ada maksudku un-
tuk menolak apa yang kau inginkan. Tetapi untuk saat
ini, ada masalah yang menggangguku."
Pangku Jaladara menyeringai lebar. Lelaki yang
telah dikuasai oleh nafsu birahinya ini tak mempeduli-
kan apa pun yang terjadi. Dilupakannya pula kalau
sesungguhnya dia adalah calon Ketua Perguruan Laba-
laba Perak. Namun karena dikuasai nafsu dan dijanji-
kan oleh Dewi Berlian menjadi sebagai pemuas naf-
sunya, Pangku Jaladara lebih memikirkan tentang naf-
sunya ketimbang urusan yang ada.
"Suaramu melembut. Dewi. Apakah kau takut
dengan apa yang barusan kukatakan?"
Dewi Berlian mengembangkan senyumannya
yang paling merangsang. Dia tahu betul bagaimana
membuat Pangku Jaladara terangsang dan tergila-gila
padanya. Seraya menggerakkan payudaranya yang
montok, perempuan ini berkata,
"Aku tak yakin bila kau akan melakukan tinda-
kan seperti itu."
"Kau belum melihat keadaan yang sebenarnya.
Dewi."
"Bukankah kita akan bersatu, saling membagi
kenikmatan?" Dewi Berlian terus melancarkan ra-
yuannya.
"Huh! Tetapi di saat aku membutuhkan, kau me-
nolaknya!"
"Karena... ada masalah yang harus kupikirkan.
Apakah tidak sebaiknya sekarang kita memikirkan
masalah itu bersama-sama?" ucap Dewi Berlian lalu
menyambung dalam hati, "Aku tak ingin banyak mem-
buang tenaga sekarang. Kalaupun ilmu Pangku Jala-
dara lebih rendah dariku, tetapi aku yakin dia akan
memberikan perlawanan yang ketat bila kuserang. Se-
baiknya, kutunggu saat yang tepat untuk membunuh-
nya. Karena rasanya, aku sudah tak memerlukannya
lagi...."
Pangku Jaladara semakin memperlihatkan serin-
gaiannya. Matanya berkilat-kilat penuh gairah.
"Kau berucap demikian, dengan maksud agar
aku menutup mulutku, bukan?"
Dewi Berlian tersenyum. Menggerakkan payuda-
ranya. Ketika sempat dilihatnya tatapan Pangku Jala-
dara menghujam tepat pada 'bola-bola asmara'nya, dia
menyeringai dalam hati.
"Menaklukkanmu sangat mudah. Dengan sedikit
memberi kenikmatan saja kau sudah terlena."
Sambil melangkah mendekat dan tetap menun-
jukkan kelebihannya sebagai seorang perempuan yang
matang. Dewi Berlian berkata, "Rasanya tidak tepat ki-
ta harus bertengkar di pagi yang indah seperti ini. Se-
benarnya, aku juga mengingihkan apa yang kau ingin-
kan. Tetapi...."
"Kau berbicara berbelok-belok!"
Dewi Berlian tersenyum.
"Pangku Jaladara, belum lama ini kita baru saja
melarikan diri dari Lembah Lingkar...."
Wajah Pangku Jaladara berubah menjadi geram.
"Aku ingat ucapan kakek keparat berkulit hitam
"Kau tak perlu gusar padanya," kata Dewi Berlian
menyeringai dalam hati. "Siapa pun orangnya akan ku-
tolak kecuali dirimu. Pangku."
Pangku Jaladara tak menggubris ucapan itu.
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Nampaknya urusan di Lembah Lingkar telah se-
lesai. Tetapi anehnya, mengapa ada kabar baru yang
semalam kita dengar, kalau Raja Naga akan muncul
kembali di sana? Bukankah ini cukup aneh."
"Apanya yang aneh! Mungkin pemuda celaka itu
sudah membulatkan keinginan untuk mampus di
Lembah Lingkar."
"Apakah kau tidak berpikir sebaiknya kita kem-
bali ke Lembah Lingkar?"
"Untuk apa? Urusan telah selesai! Kau tinggal
memetik apa yang telah kau tanam!"
"Dia benar-benar dibutakan oleh nafsunya hingga
tidak tanggap persoalan," desis Dewi Berlian dalam ha-
ti. "Huh! Apakah Raja Naga sendiri yang menyebarkan
berita kalau dia akan kembali ke Lembah Lingkar?
Tentunya dengan maksud agar yang lainnya juga hadir
di sana. Inilah yang menjadi pikiranku selain kehadi-
ran Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih! Ka-
rena ternyata, pemuda itu masih hidup!"
Di hadapannya. Pangku Jaladara mendesis ge-
ram.
"Kau mencoba membuang waktu dengan membi-
carakan persoalan yang tak berarti. Apakah...."
"Tidak! Aku tidak membuang waktu. Karena aku
pun ingin segera melupakan persoalan ini dengan me-
nikmati apa yang akan kau berikan," sahut Dewi Ber-
lian sambil tersenyum. Lalu berkata dalam hati, "Ma-
nusia keparat ini benar-benar memuakkan! Tetapi me-
naklukkannya memang sangat mudah!"
Pandangan Pangku Jaladara kini tetap tertuju
pada sepasang bukit kembar yang benar-benar meng-
giurkan itu. Terutama tatkala dengan gerakan yang tak
kentara namun sangat menggoda iman. Dewi Berlian
menggerakkan payudaranya hingga bergerak lembut
dan berirama.
"Pangku... tanpa bantuanmu, tak akan mungkin f
aku bisa melaksanakan seluruh dendam yang kumili-
ki. Dan apakah aku akan melupakan begitu saja kebe-
ranian yang telah kau perlihatkan? Sudah tentu tidak.
Karena biar bagaimanapun Juga, aku... aku... telah ja
tuh cinta padamu...."
Mendengar kata-kata Dewi Berlian, paras Pangku
Jaladara menjadi cerah.
Dia terbahak-bahak.
"Ha ha ha... itulah yang ku maui! Sejak dulu aku
sangat senang melihat perempuan jatuh cinta dan
mengemis cinta padaku! Mengemislah padaku. Dewi
Berlian! Mengemislah!"
Dewi Berlian yang tengah melancarkan tipuannya
melalui rajman mautnya, tersenyum. Tiba-tiba saja di-
jatuhkan tubuhnya di atas tanah berumput, terlentang
dengan kedua tangan dan kaki membuka lebar-lebar.
Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit
kembar Dewi Berlian semakin penuh. Bahkan seolah
terlempar keluar. Bergerak turun naik seiring dengan
nafasnya yang teratur. Di bagian bawah, pakaiannya
yang terbelah hingga pinggul itu tersingkap. Memperli-
hatkan gumpalan paha lembut, indah dan menggetar-
kan.
Perlahan-lahan Dewi Berlian memejamkan ma-
tanya, seolah pasrah menerima apa yang akan terjadi.
"Aku akan mengarungi dulu kenikmatan bersa-
manya. Setelah itu... crass! Nyawanya akan putus!" ka-
tanya dalam hati.
Di pihak lain, napas Pangku Jaladara semakin
memburu. Gairahnya benar-benar tak bisa ditahan la-
gi. Apalagi melihat keadaan Dewi Berlian sekarang.
Lalu penuh nafsu ditubruknya tubuh montok
yang pasrah itu. Mulutnya segera menciumi sekujur
wajah Dewi Berlian. Lalu hinggap dan melumat bibir
memerah itu sepuas-puasnya. Sementara tangan ka-
nan dan kirinya bekerja meraba, menekan dan mere-
mas apa saja yang ada di tubuh perempuan itu.
Dewi Berlian sendiri segera membalasnya dengan
penuh gairah. Mendapatkan balasan yang memang di-
inginkannya, gairah Pangku Jaladara semakin meng-
gebu-gebu. Dalam waktu singkat saja, dia sudah me-
lucuti seluruh pakaian yang dikenakan perempuan
bahenol itu. Dia sendiri sudah dalam keadaan polos,
f Di pihak lain. Dewi Berlian sesaat membuka ma-
tanya. Diperhatikannya bagaimana sibuknya Pangku
Jaladara sekarang, yang tak mau lagi menghiraukan
sekelilingnya.
"Untuk sejenak kau akan menikmati apa yang
kau inginkan. Manusia keparat!" seringainya dalam
hati
Tatkala Pangku Jaladara memasuki tubuhnya.
Dewi Berlian terus menggerak-gerakkan pinggulnya
dengan gerakan seorang perempuan yang telah ma-
tang. Napas Pangku Jaladara semakin memburu.
Lelaki ini sudah melupakan seluruh persoalan
yang sedang dihadapinya. Tidak dipedulikan sekitar-
nya yang menjadi saksi bisu dari tindakannya.
"Sekarang!" desis Dewi Berlian dalam hati tatkala
melihat Pangku Jaladara sudah tiba pada puncaknya.
Kedua tangannya yang memegangi erat-erat
punggung Pangku Jaladara perlahan-lahan naik ke
atas. Lalu diusap-usapnya leher Pangku Jaladara den-
gan usapan lembut dan penuh rangsangan. Yang di-
usap semakin memuncak gairahnya.
Namun mendadak saja,
"Heeiigkggg!!"
Gerakan Pangku Jaladara kontan terhenti. Tu-
buhnya mengejut dengan kepala tersentak ke atas li-
dahnya mendadak menjulur keluar.
Dewi Berlian yang mendadak saja menghentikan
usapan tangannya pada punggung Pangku Jaladara,
semakin kuat mencengkeram leher lelaki itu. Sesaat
Pangku Jaladara masih berusaha untuk membebaskan |
diri. Tetapi di lain saat terdengar suara cukup keras,
"Kraaakk!!"
Leher lelaki yang dibutakan oleh gairahnya telah
patah. Dengan gerakan jijik Dewi Berlian mendorong
tubuh itu lalu ambruk menjadi mayat di atas tanah.
"Cihhh! Itulah upah dari bantuanmu, Pangku Ja-
ladara!" desis perempuan mesum ini sambil berdiri. La-
lu dipunguti pakaiannya dan dikenakannya kembali.
Dipandanginya lagi mayat Pangku Jaladara yang
dalam keadaan polos. Cukup lama perempuan mesum
ini melakukan tindakan itu sebelum kemudian terlihat
bibirnya tersenyum.
"Bukan main! Kau memang sangat cerdik. Dewi
Berlian! Sangat cerdik!" desisnya pada dirinya sendiri.
Di saat lain, dengan sedikit susah payah. Dewi
Berlian memakaikan pakaian Pangku Jaladara, yang
sebelumnya dalam keadaan polos kini telah berpa-
kaian lengkap kembali.
Lagi Dewi Berlian berdiri tegak dengan tatapan
tetap mengarah pada Pangku Jaladara.
"Hemm... aku memang memiliki kecerdikan dan
kelicikan yang luar biasa. Tak kusangka kalau aku
menemukan cara yang tepat dari kebimbangan yang
sebelumnya melandaku. Akan kukabarkan ke penjuru
jagat ini, kalau Raja Naga telah membunuh.... Pangku
Jaladara... Ini menyenangkan, sangat menyenangkan!"
Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-
ran berlian ini tertawa keras, hingga dedaunan bergu-
guran. Masih tertawa, dia segera meninggalkan mayat
Pangku Jaladara untuk segera menjalankan rencana
yang baru saja dipikirkannya.
***
TUJUH
TAWA Dewi Berlian yang keras itu memancing
perhatian dua sosok tubuh berlainan jenis yang se-
dang berlari tak Jauh dari sana. Sejenak masing-
masing orang menghentikan langkahnya dan berpan-
dangan.
"Kakang Lesmana! Sejak tadi kita memasuki hu-
tan ini, tak seorang pun yang kita jumpai! Dan nam-
paknya, kita akan menjumpai seseorang," terdengar
kata-kata itu dari gadis berkuncir dua yang memiliki
paras manis.
Pemuda yang berdiri di samping kirinya men-
ganggukkan kepala.
"Kau betul! Dari tawa yang diperdengarkannya,
nampaknya orang itu sedang gembira! Ratih, ada
baiknya bila kita segera menemui orang itu!"
Dua saudara seperguruan itu pun segera mencari
sumber tawa yang mereka dengar. Sebelumnya, Ratih
dan Lesmana mempunyai urusan yang membuat mas-
ing-masing orang harus berulangkah bertarung. Ini
disebabkan karena Ratih tidak bisa menerima tinda-
kan Lesmana yang membiarkan guru mereka tewas di
tangan Resi Kala Jinjit. Lesmana sendiri berulangkah
pula menjelaskan semua itu. Dan berkat bantuan Raja
Naga, kedua saudara seperguruan itu telah berdamai
(Baca : "Misteri Laba-laba Perak" dan "Pengadilan Rim-
ba Persilatan").
"Ratih! Lihat!" seru Lesmana tiba-tiba sambil
menghentikan langkahnya. Tangannya menunjuk pada
mayat Pangku Jaladara.
"Kakang... kalau tidak salah, bukankah dia calon
ketua dari Perguruan Laba-laba Perak?"
Pemuda berpakaian berwarna merah dengan ga-
ris hitam yang bersilangan di depan dada, mengang-
guk.
"Ya! Aku juga tahu siapa orang ini."
Ratih berlutut, memeriksa mayat Pangku Jalada-
ra. "Lehernya patah! Siapakah kira-kira orang yang te-
lah membunuhnya?"
Lesmana tak menjawab. Pemuda yang di kening-
nya melingkar kain warna merah ini justru mencubit-
cubit bibir bagian bawah. Otaknya berpikir.
"Sejak kita memasuki hutan ini, kita tidak men-
jumpai seseorang. Dan tiba-tiba ada tawa yang meng-
gema keras. Tawa yang menunjukkan kalau orang itu
sedang senang. Ratih... jangan-jangan, perempuan
yang tertawa itulah yang telah membunuhnya,"
"Kalau begitu, tentunya perempuan itu dan
Pangku Jaladara telah berada di sini dan terlibat satu
pertarungan. Tetapi mengapa kita tidak mendengar
tanda-tanda adanya sebuah pertarungan?"
Pertanyaan Ratih tak segera dijawab oleh Lesma-
na. Setelah beberapa saat terdiam, Lesmana berkata,
"Mungkin Pangku Jaladara dijebak atau diserang seca-
ra tiba-tiba."
"Pangku Jaladara bukannya orang yang memiliki
ilmu sejengkal. Diserang secara tiba-tiba pun masih
memungkinkan baginya untuk mematahkan seran-
gan."
"Aku tidak mempunyai alasan lain."
Ratih perlahan-lahan berdiri.
"Kakang... urusan yang sedang kita hadapi ini be-
lum mendapatkan titik temunya. Kita belum juga me-
nemukan Datuk Bunaeng untuk mendapatkan kejela-
san dari semua ini. Apa yang harus kita lakukan, Ka-
kang?"
Lesmana menatap adik seperguruannya yang
berwajah manis itu.
"Raja Naga berpesan padaku, agar aku membawa
Ratih menjauh dari urusan ini. Tetapi sekarang, kea-
daannya sudah berlainan. Semakin sulit. Apakah tidak
sebaiknya...."
"Aku masih tetap berkeinginan untuk mencari
Datuk Bunaeng. Satu pikiran yang melintas di benak-
ku sekarang, jangan-jangan perempuan yang kemung-
kinan besar telah membunuh Pangku Jaladara, adalah
dalang dari semua urusan ini."
Lesmana sedikit terkejut mendengar kata-kata
Ratih. Dipandanginya gadis yang di punggungnya ter-
dapat sepasang pedang bersilangan itu.
"Kita belum tahu siapa adanya perempuan itu.
Saat ini aku masih yakin kalau Datuk Bunaeng adalah
otak dari semua kekacauan. Tetapi apa yang kau kata-
kan tidak mustahil bisa terjadi."
Sepasang mata Ratih bersinar cerah.
Kakang! Aku punya satu gagasan!"
"Katakan...."
"Mungkin saat ini, yang mengetahui kematian
Pangku Jaladara hanya kita dan tentunya si pembu-
nuh. Bila memang si pembunuh adalah biang dari se-
gala kekacauan, tak mustahil dia akan terus memfit-
nah Raja Naga. Ini berarti, si pembunuh mempunyai
dendam pada Raja Naga."
"Maksudmu, si pembunuh akan mengatakan Ra-
ja Naga yang telah membunuh Pangku Jaladara?"
"Tepat Kakang! Kalau tujuan kita sebelumnya
adalah mencari Datuk Bunaeng, sekarang kita harus
mencari Raja Naga! Ayo, Kakang! Waktu kita sangat
sempit! Dan kita sama-sama mendengar kalau tak la-
ma lagi akan ada bencana di Lembah Lingkar!"
Lesmana mengangguk pelan. Sulit baginya untuk
menolak permintaan Ratih. Mereka memang telah
mendengar seseorang mengabarkan akan terjadi ben-
cana di Lembah Lingkar.
Kemudian katanya, "Ratih... kau masih memba-
wa Bunga Kemuning Biru yang diberikan Guru?"
"Ya!"
"Berikan padaku!"
Di lain saat, Lesmana mulai sibuk dengan Bunga
Kemuning Biru yang diberikan Ratih, sementara gadis
itu hanya memperhatikan saja. Tak lama kemudian,
terlihat Ratih mengangguk-anggukkan kepala, menger-
ti apa yang dilakukan oleh kakak seperguruannya,
Lalu keduanya segera meninggalkan tempat itu.
Menjelang senja. Raja Naga menghentikan lang-
kahnya di jalan setapak. Matanya memandang sosok
tubuh di hadapannya, yang membuatnya menghenti-
kan langkahnya.
"Hemm... dari pakaian putihnya yang compang-
camping, orang yang berdiri itu tentunya seorang ka-
kek. Jelas dari tubuhnya yang keriput. Kumisnya pu-
tih melintang. Dan astaga! Janggutnya, hampir me-
nyentuh tanah!"
Kakek yang menundukkan kepalanya itu mende-
sis tanpa mengangkat kepalanya, "Aku belum pernah
melihat orang yang kucari. Tetapi naluriku mengata-
kan kalau engkaulah orang yang kucari."
Kepala murid Dewa Naga itu menegak. Matanya
yang angker semakin bersorot angker.
"Aku harus waspada. Bisa jadi kakek yang belum
kulihat wajahnya ini termasuk salah seorang seperti
Kala Sringgil dan Jala Sringgil maupun lelaki berkaki
satu itu."
Si kakek kembali bicara, "Kau tak buka mulut,
Aku percaya, kalau saat ini kau sedang meningkatkan
kewaspadaanmu terhadapku. Waspada sudah tentu ti-
dak dilarang."
"Suaranya lembut, tidak mengandung tekanan
kemarahan seperti yang dilakukan beberapa orang
yang menyerangku. Rimba persilatan telah menurun-
kan pengadilannya terhadapku. Secepatnya aku harus
mendapatkan bukti-bukti kalau aku tidak bersalah,"
kata Raja Naga dalam hati. Lalu berkata dengan te-
nang, "Orang tua... aku tidak tahu siapa orang yang
sedang kau cari. Tetapi melihat keyakinanmu tadi, aku
merasa kalau akulah orang yang sedang kau cari."
"Tidak salah."
"Lantas, ada urusan apa sebenarnya?"
Tetap menundukkan kepalanya, si kakek berka-
ta, "Aku muncul hanya untuk membuktikan apa yang
kupercayai. Kala Sringgil, Jala Sringgil dan Pendekar
Kaki Satu, begitu yakin kalau kau bersalah. Raja Naga.
Tetapi aku tidak."
Kali ini kening Boma Paksi berkerut, pertanda dia
sedang berpikir. Cukup lama dipandanginya si kakek
sebelum berkata, "Orang tua... apakah... apakah kau
orang yang berjuluk Musang Berjanggut?" '
Masih menundukkan kepala, si kakek mengangguk.
"Kau tidak salah. Akulah orang yang berjuluk
Musang Berjanggut."
Seketika Raja Naga teringat perkataan Langlang
Benua.
"Hemm... menurut Langlang Benua, orang berju-
luk Musang Berjanggut memiliki sifat angin-anginan
yang sulit ditebak. Dia bisa berubah menjadi kejam,
dan bisa berubah sesuci malaikat. Aku harus mencari
keberuntunganku." I
Habis membatin demikian, pemuda berompi un-
gu ini berkata, "Tadi kau mengatakan, hendak mem-
buktikan apa yang kau percayai. Aku bisa meraba apa
yang sebenarnya menjadi sasaranmu. Orang tua, tan-
pa mengurangi rasa hormatku kepadamu, apakah kau
hendak membuktikan kalau aku telah mencuri Kalung
Laba-laba Perak?"
Musang Berjanggut mengangguk. Janggut pan-
jangnya sesaat menyentuh tanah, lalu menggantung
lagi. Anehnya, tak sehelai janggut pun yang bergetar.
Padahal saat itu angin sedang berhembus cukup
kencang!
"Sulit bagiku untuk menjelaskan apakah aku
bersalah atau tidak! Karena di satu pihak, hal itu su-
dah tidak bisa kupakai untuk memperjelas keadaan!
Orang tua... aku hanya bisa mengatakan kalau aku ti-
dak bersalah."
"Ceritakan pangkal kejadiannya...."
Sebelum menceritakan apa yang dialami sebe-
lumnya, pemuda berompi ungu itu memandangi si ka-
kek dengan seksama (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").
Kembali Musang Berjanggut mengangguk-angguk.
"Betul kau tidak melakukannya?"
"Ya!"
"Kau punya dugaan siapa yang melakukannya?"
Raja Naga terdiam dulu sebelum mengangguk
dan berkata, "Dugaan itu kupunyai. Tetapi, aku kha-
watir kalau akhirnya akan menjadi sebuah fitnah."
"Sebutkan satu nama."
"Dewi Berlian...."
Musang Berjanggut terdiam. Kepalanya tetap
menunduk hingga sukar bagi Raja Naga untuk melihat
rupa orang tua itu.
"Dewi Berlian...," ulangnya kemudian. "Tak perlu
kutanyakan alasan apa hingga kau menyebutkan julu-
kan itu. Anak muda... aku hanya memberimu satu ja-
lan untuk menyelesaikan urusan ini."
"Orang tua... jadi kau mempercayai kalau aku ti-
dak bersalah?" tanya Raja Naga sambil menahan na-
pas.
"Aku tidak berkata demikian. Tetapi naluriku
mengatakan demikian."
"Itu sudah cukup bagiku. Ternyata masih ada ju-
ga yang mempercayaiku."
"Anak muda... jalan yang hendak kuberikan, se-
baiknya kau menuju ke Lembah Lingkar. Tetapi meli-
hat arah yang sedang kau tempuh, saat ini kau ten-
tunya sedang menuju ke sana. Lembah Lingkar akan
menjadi saksi dari kebenaran apa yang selama ini kau
inginkan."
Raja Naga tak menjawab. Dia terus berusaha un-
tuk melihat wajah si kakek. Tetapi tetap tak berhasil.
Si kakek berkata lagi, "Menurut bayanganku, kau
tentunya telah berjumpa dengan orang tua yang gila
berlanglang buana. Tentunya kau sudah mendengar
dari mulutnya siapa aku. Dan aku percaya kau meya-
kini ucapannya."
Raja Naga diam-diam mendesis dalam hati, "Luar
biasa! Sungguh luar biasa! Bagaimana caranya dia
mengetahui kalau aku sudah berjumpa dengan kakek
berjuluk Langlang Benua?"
Belum tuntas kekagetan Raja Naga, Musang Ber-
janggut sudah berkata lagi, "Kau tak perlu tahu ba-
gaimana cara aku tahu tentang pertemuanmu dengan ,
Langlang Benua. Tetapi yang pasti, aku memang hen-
dak menjumpainya."
Raja Naga berkata, "Orang tua, bila kau tidak
berkeberatan, dapatkah aku mengetahui mengapa kau
hendak menjumpai, kakek Langlang Benua?"
Tanpa mengangkat wajahnya. Musang Berjanggut
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anak muda... aku tahu siapa kau sebenarnya.
Kau adalah putra dari mendiang Pendekar Lontar dan
Dewi Lontar. Aku merasa pasti kalau kau memiliki se-
buah benda sakti yang dimiliki oleh mendiang ayahmu.
Apakah aku salah?"
Raja Naga menggeleng.
"Kau tidak salah, Orang Tua. Benda sakti yang
kau maksudkan tentunya adalah Gumpalan Daun
Lontar, bukan?"
"Betul! Benda yang berpuluh tahun lamanya
menjadi rebutan dari orang-orang serakah."
"Dengan kau bicara seperti itu, apakah akan ter-
jadi sesuatu yang cukup mengerikan?" tanya Raja Na-
ga sambil memperhatikan dengan seksama.
"Bukan hanya cukup mengerikan. Tetapi sangat
mengerikan."
Kepala Raja Naga menegak. "Orang tua... da-
patkah kau memberitahukannya kepadaku?"
Musang Berjanggut menggeleng. "Urusanmu be-
lum selesai. Untuk saat ini rasanya belum tepat untuk !
mengatakannya. Tetapi kau boleh mengetahui sedikit
saja."
"Aku menunggu."
"Pernah kau mendengar sebuah benda yang di-
namakan Bunga Kemuning Biru?"
Dengan kening berkerut Raja Naga menggeleng.
Musang Berjanggut berkata lagi, "Menurut bayangan-
ku, benda aneh itu akan menjadi pangkal dari urusan
yang harus kau hadapi. Mungkin Juga, nyawamu akan
putus dalam urusan ini."
Mulut Raja Naga terbuka, tetapi tak ada suara
yang keluar. ,
Musang Berjanggut meneruskan ucapannya,
"Kau harus bisa menuntaskan semua itu bila tak ingin
kekacauan akan timbul. Kau akan menghadapi urusan
dengan orang mati."
"Aku belum dapat memahami apa yang kau mak-
sudkan itu, Orang Tua..."
"Urusanmu belum selesai. Sekarang, teruskan
langkahmu menuju Lembah Lingkar. Bila kau berjum-
pa dengan Langlang Benua, katakan padanya, aku
menunggu di Bukit Tidar."
Habis ucapannya, kakek berpakaian putih com-
pang-camping itu membalikkan tubuhnya. Sambil te-
tap menundukkan kepalanya, dia melangkah mening-
galkan Raja Naga yang terbengong.
Setelah Musang Berjanggut hilang dari pandan-
gan, barulah Raja Naga menarik napas pendek.
"Satu urusan belum rampung, sudah terbayang
lagi urusan yang harus kuhadapi. Ah, keadaan seperti
ini terkadang membuatku bertanya-tanya... sampai
kapan petaka di dunia ini baru berakhir?"
Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di-
penuhi sisik coklat ini kembali terdiam. Matanya yang
bersorot angker memandang tak berkedip ke kejauhan.
Lalu ditarik napas dalam-dalam, kemudian di-
hembuskan perlahan-lahan.
"Sedikit banyaknya aku telah mendapat keberun-
tungan. Paling tidak, apa yang dikatakan Langlang Be-
nua tentang Musang Berjanggut tidak lagi membuatku
tegang. Hemmm... apa yang dikatakan Musang Ber-
janggut tadi memang benar. Urusan yang kuhadapi
sekarang, belum tuntas. Sebaiknya kutuntaskan dulu
urusan ini baru kemudian memikirkan apa yang dika-
takannya. "
Memutuskan demikian, pemuda gagah berambut
dikuncir ini segera melangkah meninggalkan tempat
itu, ke arah yang berlainan dengan yang ditempuh
Musang Berjanggut.
***
DELAPAN
TEPAT matahari tenggelam ditelan malam, Ratu
Tongkat Ular menghentikan langkahnya di jalan seta-
pak. Sekelilingnya sepi menyengat. Masih beruntung
karena di tempatnya hanya beberapa pohon saja yang
tumbuh, hingga rembulan masih dapat menyinari
tempat itu.
Perempuan tua Ini mendadak mengertakkan ra-
hangnya.
"Hah! Sejak melihat kemunculannya di halaman
Perguruan Laba-laba Perak, aku sudah tidak memper-
cayai Dewi Berlian! Entah setan mana yang merasuki
otak Bunaeng hingga dia mempercayai perempuan me-
sum itu!" ■
Si nenek memperhatikan sekelilingnya. Mulut ke-
riputnya berkemak-kemik tanpa ada suara yang keluar
Tak lama kemudian, dia mendesis lagi, lebih ge-
ram, "Aku merasa pasti kalau Dewi Berlian hendak
melakukan satu tindakan busuk dan memanfaatkan
ketololan Bunaeng! Terkutuk! Sungguh terkutuk!!"
Dihujamkan tongkatnya ke tanah yang seketika
amblas hingga setengah. Bersamaan ditarik keluar
hingga tanah berhamburan. Ratu Tongkat Ular meng-
geram lagi, "Seingatku, Ratu Sejuta Setan adalah sau-
dara Dewi Berlian. Dan perempuan kontet berkulit hi-
tam itu kabarnya telah mampus di tangan Raja Naga!
Huh! Bisa jadi kalau Dewi Berlian hendak membalas
kematian saudaranya pada Raja Naga dan meman-
faatkan kesempatan dengan melakukan adu domba!
"Keparat terkutuk!!"
Selagi si nenek memaki-maki sendiri, tanpa se-
pengetahuannya sepasang mata indah namun bersorot
tajam, memperhatikannya dengan dada digolak ama-
rah.
"Setan alas! Perempuan tua itu bisa membuat
urusanku berantakan! Dari ucapannya, jelas kalau dia
mulai meraba apa yang sebenarnya hendak kulaku-
kan! Se-baiknya, kubereskan saja perempuan tua ini!"
Pemilik mata indah itu mengepalkan tangan ka-
nannya dan bersiap mengirimkan pukulan jarak jauh.
Tetapi kontan dihentikannya tatkala melihat satu so-
sok tubuh bergerak ke arah Ratu Tongkat Ular.
"Pendekar Kaki Satu...," desisnya.
Ratu Tongkat Ular juga melihat siapa orang yang
mendekat ke arahnya untuk kemudian menghentikan
langkahnya sejarak sepuluh langkah dari hadapannya.
Seketika Ratu Tongkat Ular mendengus.
"Huh! Mau apa kau menghentikan langkahmu di
sini, hah?!"
Pendekar Kaki Satu memandang tak berkedip.
Lalu berseru tak kalah kerasnya, "Bila kau bertanya
mengapa aku menghentikan langkahku di sini, aku ju-
ga hendak bertanya ada urusan apa kau berada di si-
ni!"
Ratu Tongkat Ular yang sedang geram terhadap
Dewi Berlian, seketika memerah wajahnya.
"Setan! Ditanya balik tanya! Cepat jawab sebelum
kepalamu pecah akibat tongkatku!"
Pendekar Kaki Satu merapatkan mulutnya. Lalu
mendesis dingin, "Saat ini perasaanku sedang tidak
enak! Jadi jangan banyak ulah di hadapanku!"
"Keparat buntung! Kau pikir kau saja yang se-
dang tidak enak, hah?!" bentak Ratu Tongkat Ular ke-
ras. Tiba-tiba saja dia menyeringai, "Perasaanmu se-
dang tidak enak, begitu pula denganku. Bagaimana bi-
la kita membuatnya menjadi enak?!"
"Apa maksudmu?!"
"Kita bertarung sampai salah seorang di antara
kita mampus!!"
Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Sambil
memperhatikan perempuan tua di hadapannya dia
berkata dalam hati, "Aku harus segera tiba di Lembah
Lingkar seperti apa yang dikatakan Musang Berjang-
gut. Bila kuterima apa maunya, berarti akan banyak
membuang waktuku. Sebaiknya, aku mengalah saja."
Memutuskan demikian, lelaki yang kaki kanan-
nya buntung ini berkata, "Ratu Tongkat Ular, kita ten-
tunya sama-sama punya urusan yang harus diselesai-
kan! Bila urusan telah selesai, aku berjanji akan mene-
rima tantanganmu!"
"Secara tidak langsung, kau sudah mengemuka-
kan kekalahanmu!"
Kata-kata itu membuat wajah Pendekar Kaki Sa-
tu memerah. Tetapi ditindih amarahnya.
Di pihak lain, pemilik mata indah yang memper-
hatikan dari balik ranggasan. semak belukar, tiba-tiba
tersenyum tatkala melintas satu pikiran di benaknya.
"Hemmm... kehadiran Pendekar Kaki Satu sung-
guh tepat. Aku tak perlu mempergunakan tanganku
untuk membunuh Ratu Tongkat Ular. Kalaupun gagal
membunuhnya sekarang, paling tidak, aku dapat men-
gubah apa yang sebelumnya dipikirkan."
Habis kata-katanya, pemilik mata indah namun ,
tajam itu mendadak saja melesat dari balik ranggasan
semak. Tangan kanan kirinya kontan digerakkan ke
arah Pendekar Kaki Satu seraya berseru, "Manusia ce-
laka! Kau harus mampus karena telah mengadu dom-
ba orang-orang rimba persilatan!!"
Bukan hanya Pendekar Kaki Satu yang terkejut
karena mendadak diserang. Ratu Tongkat Ular pun
membalikkan tubuhnya. Dilihatnya perempuan mon-
tok berpakaian hijau yang dipenuhi butiran berlian itu
menyerang Pendekar Kaki Satu!
Dua gelombang angin berwarna hijau mengge-
brak mengerikan. Walaupun terkejut, Pendekar Kaki
Satu cukup menggeser kaki kanannya ke samping kiri.
Wuuuss! Wuusss!
Gelombang angin itu melesat beberapa jengkal
dan menghantam ranggasan semak belukar, hingga
hancur betebaran. Men3msul serangannya yang luput,
orang yang sejak tadi bersembunyi di balik ranggasan
semak dan ternyata Dewi Berlian adanya, membalik-
kan tubuhnya dengan cepat.
Jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar, kemudian
diputar ke atas dengan cara disentak.
Kontan meluncur lima sinar hijau yang melesat
dari jari jemarinya, laksana membentuk lingkaran je-
ruji. Yang mengejutkan, karena sinar-sinar itu tiba-
tiba me-lebar dan menebarkan hawa panas luar biasa.
Pendekar Kaki Satu tersentak. Namun di lain
saat, tangan kanannya sudah menggerakkan tongkat
penyanggah tubuhnya ke tanah.
Wrrrusss!!
Bersamaan tanah yang muncrat, tubuh Pendekar
Kaki Satu melompat ke samping kanan. Lima sinar hi-
jau yang melebar menyambar ranggasan semak yang
seketika mengering.
Sementara itu, perempuan mesum berpa3aidara
besar sudah hinggap di atas tanah. Paras jelitanya
menyeramkan dengan sorot mata yang mengandung
kemarahan.
Di pihak lain. Pendekar Kaki Satu juga sudah
berdiri tegak. Diperhatikannya perempuan di hada- |
pannya. Darahnya seketika mendidih karena amarah.
Akan tetapi, sebelum dilontarkan bentakannya. Dewi
Berlian yang telah menyusun sebuah rencana sudah
berseru lebih dulu,
"Manusia buntung celakai Rupanya kaulah orang
yang berada di balik kekacauan rimba persilatan! Kau
telah mencuri kalung Laba-laba Perak, lalu menimpa-
kan pada Raja Naga, sementara Raja Naga menuduh
Datuk Bunaeng yang melakukannya! Sungguh terku-
tuk tindakanmu. Pendekar Kaki Satu!"
Pendekar Kaki Satu mendengus.
"Kau muncul secara tiba-tiba! Dan tiba-tiba pula
mulutmu lancang berbunyi! Dewi Berlian! Bila kedua
tanganmu sudah gatal, aku siap melayanimu!"
"Manusia keparat! Tindakanmu yang telah men-
gacaukan rimba persilatan tak bisa dimaafkan! Sebe-
lum orang-orang rimba persilatan mengadilimu, biar
aku yang menghukummu sekarang!!"
Habis bentakannya Dewi Berlian menerjang ke
depan. Saat menerjang itu pakaiannya yang terbelah
tersingkap, memperlihatkan sesuatu yang menggu-
nung dilapisi kain warna merah muda. Serangan per-
tama yang dilancarkan Dewi Berlian begitu ganas dan
mengerikan. Tetapi pada jurus berikutnya, dia sengaja
mengendorkan serangannya. '
Pendekar Kaki Satu mengerutkan keningnya me-
lihat perubahan serangan yang dilancarkan Dewi Ber-
lian.
"Aneh! Mengapa mendadak dia mengendorkan
serangannya dan seperti mengalah? Bahkan... ah, ka-
lau aku mau nampaknya dia membiarkan seranganku
masuk! Aneh! Apa yang diinginkannya?"
Karena merasa heran. Pendekar Kaki Satu pun
mengendorkan serangannya. Dia masih bertanya-tanya
mengapa Dewi Berlian mengendorkan serangannya.
Tatkala didengarnya seruan Dewi Berlian, baru-
lah lelaki yang kaki kanannya buntung ini mengerti.
"Ratu Tongkat Ular! Apakah kau tidak mau
menghukum manusia keparat yang telah memfitnah
Datuk Bunaeng?!"
Ratu Tongkat Ular yang sejak tadi berpikir, tiba-
tiba mendengus. Kejap lain, dia sudah menerjang ke
arah Pendekar Kaki Satu.
"Bagus! Berarti urusanku yang satu ini telah tun-
tas!" desis Dewi Berlian dalam hati seraya mundur per-
lahan-lahan.
Diperhatikannya bagaimana Ratu Tongkat Ular
yang telah termakan siasat Dewi Berlian, menggempur
habis-habisan Pendekar Kaki Satu.
Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-
ran berlian itu menyeringai.
"Hemmm... siasat yang bagus! Ratu Tongkat Ular
nampaknya telah termakan siasatku! Bagus! Berarti,
aku memang tak perlu harus repot turun tangan! Biar
keduanya saling bunuh!"
Perempuan berotak licik itu sesaat memperhati-
kan pertarungan yang terjadi, sebelum kemudian me-
ninggalkan tempat itu.
Di lain pihak. Ratu Tongkat Ular semakin ganas
menyerang Pendekar Kaki Satu. Pendekar Kaki Satu
tentu tak mau mati konyol. Diladeninya serangan ga-
nas si nenek. Tetapi mengingat dia harus ke Lembah
Lingkar, Pendekar Kaki Satu memutuskan untuk
menghindari pertarungan.
"Keparat! Kau tak akan lepas dari tanganku!"
bentak Ratu Tongkat Ular seraya mengibaskan tong-
katnya.
Blaar!!
Pendekar Kaki Satu dapat menghindari serangan
itu. Saat itu pula diputuskan untuk tidak mendatangi
Lembah Lingkar.
Pendekar Kaki Satu terus menjauh. Di belakang-
nya Ratu Tongkat Ular terus mengejar.
Lembah Lingkar tetap sepi dan mencekam. Apa-
lagi malam ini begitu gelap. Rembulan harus bersusah
payah menerobos gumpalan awan hitam. Tak seekor
hewan malam yang muncul di tempat yang landai itu.
Angin barat laut berhembus dingin, menggeraikan
rambut Datuk Bunaeng yang berdiri kaku.
Di sampingnya, Resi Hitam tak berucap apa-apa.
Sorot mata kakek berkulit hitam legam ini penuh ama-
rah dan dendam.
Keheningan itu dipecahkan oleh suaranya, "Bu-
naeng! Rasanya tak mungkin Raja Naga akan kembali
ke tempat ini! Orang yang telah meniupkan kabar yang
belum lama kita dengar kalau dia akan kembali ke
Lembah Lingkar, rasanya mencoba mengambil keun-
tungan...."
Kakek beralis menyatu itu melirik.
"Atau... dia berharap kita tetap berada di sin!?"
"Bisa jadi!"
"Kalau bukan Raja Naga yang menghembuskan
berita itu, siapa kira-kira orangnya?"
Paras hitam kakek bertubuh bongkok itu sema-
kin menghitam. Kedua tangannya yang kurus mengep-
al kuat-kuat. Men3rusul rahangnya dikertakkan keras-
keras, hingga suaranya begitu nyaring di malam yang
sepi.
"Kuat dugaanku kalau orang celaka itu adalah
Langlang Benua!"
"Bila memang dia orangnya, bukankah itu se-
buah kesempatan untuk membunuhnya?"
"Kesempatan atau tidak, aku akan tetap membu-
nuhnya! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga be-
rani menyelamatkan Raja Naga dan mau tak mau ,
membuatku harus menginjak tempat keparat ini lagi?!"
Kali ini Datuk Bunaeng memutar tubuh, meman-
dangi kakek bongkok berkulit hitam legam yang se-
dang menggeram.
"Aku tak tahu siapa orang yang meniupkan kabar
kalau Raja Naga akan muncul kembali di Lembah
Lingkar. Tapi siapa pun orang itu, sudah sepatutnya
kuacungkan jempol hingga aku tak perlu bersusah
payah untuk menangkap sekaligus membunuh Raja
Naga!" katanya dalam hati, lalu menyambung, "Apa
yang sedang dilakukan Ratu Tongkat Ular sekarang?
Apakah dia telah bertemu dengan Dewi Berlian? Huh!
Aku mulai merasa pasti kalau Dewi Berlian memiliki
maksud tertentu."
Mendadak terdengar suara Resi Hitam, "Aku,
menangkap gerakan mendekat ke arah sini. Tetapi je-
las bukan Langlang Benua...."
Datuk Bunaeng sendiri segera menajamkan pen-
dengarannya. Didengarnya juga gerakan orang yang
berlari ke arah mereka.
"Gerakan yang cukup ramai itu, menandakan ka-
lau orang yang datang berjumlah dua orang. Apakah
Dewa Jubah Putih dengan Dewi Pengunyah Sirih?"
Sementara itu Resi Hitam mendengus,
Huh! Hanya dua orang keroco!"
Datuk Bunaeng sejenak melirik, lalu mengarah-
kan lagi pandangannya pada jalan setapak yang mem-
bujur di hadapannya. Tak lama kemudian muncul dua
sosok tubuh mengenakan pakaian putih yang terbuka
di bahu sebelah kiri. Kedua orang itu segera menghen-
tikan lari mereka begitu melihat Datuk Bunaeng dan
Resi Hitam.
Datuk Bunaeng seketika mendengus,
"Huh! Resi Hitam! Kau bilang kedua ini bangsa
keroco?! Gila! Mereka adalah tikus-tikus got yang kela-
paran!!"
Kedua orang yang berkepala gundul itu tak ada
yang membuka mulut. Kala Sringgil berbisik, "Jala
Sringgil... tak kusangka kalau Datuk Bunaeng dan Re-
si Hitam berada di sini. Rupanya apa yang dikatakan
Musang Berjanggut memang benar. Bencana akan se-
gera terjadi di Lembah Lingkar."
Jala Sringgil tak menjawab. Justru memperhati-
kan kedua orang di hadapannya bergantian. Kemudian
bisiknya, "Aku menangkap sesuatu yang tidak enak."
"Aku pun menangkap gelagat itu."
"Tetapi kita sudah berada di Lembah Lingkar.
Mustahil kita keluar lagi dari tempat ini."
Kata-kata Jala Sringgil menandakan kalau kedu-
anya bertekad untuk tetap berada di sana. Masing-
masing orang tetap berkeyakinan kalau Raja Naga
yang harus mereka bekuk.
Datuk Bunaeng menggeram keras. "Muncul seca-
ra tiba-tiba dan tak diundang. Tak menunjukkan sikap
yang baik pula! Manusia-manusia berkepala gundul.
Tinggalkan tempat ini sekarang juga sebelum aku be-
rubah pikiran!"
Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil tak ang-
kat bicara. Mereka tahu siapa adanya Datuk Bunaeng.
Terlebih lagi kakek berkulit hitam legam itu.
Namun begitu melihat Datuk Bunaeng hendak
membentak lagi, Kala Sringgil segera berkata, "Mung-
kin kita punya tujuan yang sama datang ke Lembah
Lingkar! Tetapi bisa juga dengan tujuan yang berlai-
nan. Namun satu hal yang pasti, kita sama-sama tak
punya silang urusan!"
"Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini se-
karang juga!" geram Datuk Bunaeng. Tangan kanan-
nya mengepal.
Kala Sringgil melirik saudaranya. Yang dilirik tak
mengangguk maupun menggeleng. Bersuara pun ti-
dak.
Mendapati sikap keduanya. Datuk Bunaeng tiba-
tiba mengangkat tangan kanannya. Namun sebelum
satu serangan dilepaskan, mendadak terdengar suara,
"Mengapa selalu saja ada petaka yang diturunkan
oleh manusia kejam?! Apakah tidak sebaiknya berda-
mai untuk menyelesaikan urusan!"
Sementara Datuk Bunaeng segera memutar tu-
buhnya untuk mengetahui siapa adanya orang, kepala
Resi Hitam menegak. Men 3 msul suaranya yang sangat
keras,
"Langlang Benua!!"
"Resi Hitam," suara itu terdengar lagi sementara
sosok orang yang bersuara itu belum kelihatan. "Kau
Juga muncul di tempat ini untuk urusan sepele! Apa-
kah tidak sebaiknya kau segera meninggalkan tempat
ini?!"
"Terkutuk!! Keluar kau! Kita selesaikan urusan
yang belum tuntas!" suara Resi Hitam menggelegar
laksana guntur.
"Mengapa harus gusar?! Kita tak punya masalah
dalam urusan yang dihadapi Bunaeng. Kalaupun hen-
dak menuntaskan urusan yang kita punya, masih ba-
nyak waktu yang tersisa!"
Resi Hitam sudah tak dapat menguasai amarah-
nya lagi. Tahu siapa orang yang bicara itu, dia segera
melompat ke depan. Tangan kanan kirinya digerakkan
sembarangan.
Gelombang angin mengerikan bertebaran, meng-
hantami apa saja. Kala Sringgil dan Jala Sringgil sege-
ra menjauh karena tidak ingin terkena sasaran. Se-
mentara itu. Datuk Bunaeng menggeser tubuhnya ke
samping kiri tatkala satu gelombang angin yang dile-
paskan Resi Hitam secara sembarangan, menggebrak
ke arahnya.
Lembah Lingkar berguncang. Bebatuan bergugu-
ran di sebelah utara. Letupan demi letupan membaha-
na di malam buta. Dalam waktu yang singkat, rangga-
san semak di sana sudah terpapas habis, sementara
tanah berhamburan.
Namun Langlang Benua belum juga menampak-
kan batang hidungnya!
"Keluar kau. Bangsat! Keluar!!" geram Resi Hitam
semakin sengit dan geram.
"Tak lama lagi aku akan muncul di tempat ini!"
"Setan terkutuk!" geram Resi Hitam dengan ama-
rah menggelegak. Kembali dilepaskan serangannya se-
cara sembarangan. Untuk kedua kalinya bahaya men-
gerikan terjadi di Lembah Lingkar.
"Kau benar-benar pemarah sekarang ini. Resi Hi-
tam! Ah, sungguh aku jadi tidak enak! Kau sudah ber-
susah payah mengeluarkan banyak tenaga, tetapi aku
tidak muncul! Hanya saja, sebentar lagi aku akan
muncul!!"
Suara yang berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain itu semakin membuat Resi Hitam mur-
ka. Namun tiba-tiba dihentikan serangannya. Matanya
menatap tajam pada satu tempat. Di lain saat, terlihat
seringaiannya.
"Kau akan mampus sekarang!!"
Belum habis terdengar ucapannya, kembali di-
lancarkan serangannya. Kali ini mengarah pada tanah
di sekitar sana, yang didahului letupan keras, berham-
buran ke udara. ' .
Dan suara yang terdengar itu semakin membuat-
nya murka, "Kau pikir aku menyamar menjadi tanah?
Tidak! Kau salah besar!"
"Setaaannn! Keluar kau!!" geram Resi Hitam den-
gan napas terengah-engah.
"Ya. ya! Nampaknya aku memang harus keluar!!"
terdengar seruan itu.
Bersamaan seruan itu terdengar, satu sosok tu-
buh berompi ungu melompat dengan cara berputar
empat kali sebelum kemudian hinggap di atas tanah.
Baru saja pemuda berompi ungu itu hinggap, satu so-
sok tubuh berkulit seperti warna tanah telah berdiri di
samping kanannya.
***
SEMBILAN
PEMUDA berompi ungu itu terkejut sesaat seraya
melirik. Mengenali siapa adanya orang dia segera ter-
seyum, "Orang tua... rupanya kau telah tiba di sini
pula."
"Sebelum ku lanjutkan pelanglangbuanaanku,
aku masih ingin menyaksikan urusan ini."
"Aku telah berjumpa dengan Musang Berjang-
gut." Mendengar kata-kata Boma Paksi, Langlang Be-
nua segera melirik.
"Apa yang telah terjadi?"
"Saat ini, aku tak punya banyak waktu untuk
bercerita. Tetapi dia menunggumu di Bukit Tidar."
"Musang Berjanggut menungguku di Bukit Tidar?
Tidak biasanya dia melakukan tindakan seperti ini.
Jangan-jangan ada urusan yang harus diselesaikan.
Brengsek! Berarti aku harus kembali menunda keingi-
nanku untuk terus berlanglang buana," kata kakek
berpakaian seperti warna tanah itu dalam hati.
Sementara itu terdengar suara secara bersamaan
dari mulut Kala Sringgil dan Jala Sringgil, "Raja Naga!!"
Pemuda yang kedua lengannya sebatas siku di-
penuhi sisik coklat itu menoleh, lalu tersenyum.
"Kalian rupanya tiba juga di sini. Mudah-
mudahan, kalian mendapatkan kebenaran yang kalian
cari..."
Wajah Kala Sringgil memerah.
"Kebenaran yang kami cari akan kami dapatkan ,
setelah membunuhmu!!"
Raja Naga hanya tersenyum. Tak dipedulikannya
kemarahan yang terpancar dari mata kedua orang ber-
kepala plontos itu. Lalu diarahkan pandangannya pada
Datuk Bunaeng.
"Apakah malam ini Dewi Berlian akan muncul la-
gi di Lembah Lingkar?!"
Sebelum Datuk Bunaeng menjawab, tiba-tiba
terdengar gemuruh angin lintang pukang ke arah Lan-
glang Benua. Resi Hitam sudah tak kuasa untuk tidak
segera menyerang orang yang dibencinya.
Langlang Benua hanya tersen3nrm seraya meng-
gerakkan kepalanya ke kill lalu dihentakkan ke depan.
Wrrrr!!
Gelombang angin berputar setengah lingkaran
menggebrak hebat dan....
Blaaaarrr!!! ,
Letupan keras yang membuat tanah berhambu-
ran ke udara terjadi.
Langlang Benua segera berbisik, "Aku yakin kau
mampu menghadapi urusan ini! Biar aku main kucing-
I kucingan lebih dulu dengan Resi Hitam! Anak muda,
bila kau sempat, sebaiknya kau juga datang ke Bukit
Tidar!"
Tanpa menunggu sahutan Raja Naga, Langlang
Benua sudah berseru pada Resi Hitam, "Lembah Ling-
kar terlalu kecil bagi kita untuk bermain-main! Kita ca-
ri tempat yang lebih luas!"
"Terkutuk! Ke neraka pun akan kulayani!!" maki
Resi Hitam seraya mengejar Langlang Benua yang su-
dah menjauh.
Sementara itu Datuk Bunaeng mendesis, "Tepat
seperti rencanaku. Langlang Benua telah menyingkir
dan akan mampus di tangan Resi Hitam. Sekarang...."
Memutus kata batinnya sendiri, kakek beralis
menyatu itu merandek dingin, "Kau menanyakan Dewi
Berlian! Apakah untuk melihat bukit kembarnya yang
luar biasa, atau ingin menjilati seluruh tubuhnya?!"
"Datuk Bunaeng... kita sama-sama orang yang te-
lah difitnah dan diadu domba oleh Dewi Berlian! Di-
alah yang seharusnya kita cari!"
"Ucapan kosong kau perdengarkan kepadaku!"
Raja Naga tersen3rum. "Baiklah! Sekarang jawab
pertanyaan, apakah kau punya hubungan dengan Ra-
tu Sejuta Setan?!"
"Terkutuk! Siapa yang mengatakan aku punya
hubungan dengan nenek peot itu, hah?!"
"Hemmm... tepat dugaanku. Berarti Dewi Berlian-
lah yang punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan.
Habat! Sungguh hebat akal liciknya!" kata Raja Naga
dalam hati, lalu berseru, "Dewi Berlian yang mengata-
kannya kepadaku! Dikatakannya pula kalau kau hen-
dak membunuhku untuk membalas kematian Ratu Se-
juta Setan!"
"Terkutuk! Kau terlalu mengada-ngada!"
"Itulah yang harus dibuktikan kebenarannya!
Alasan itulah yang membuatku merasa yakin, kalau
Dewi Berlian berada di balik urusan ini! Datuk Bu-
naeng, sebelum beberapa hari lalu aku tiba di Lembah
Lingkar, aku juga bertemu dengannya! Dari mulutnya
aku tahu kalau kau menungguku di sini! Dikatakan-
I nya kalau kau memfitnahku! Dia juga ingin membu-
nuhmu! Tetapi yang pasti, dia ingin membunuhku
dengan mempergunakan tanganmu! Terbukti, kalau
ternyata dia pun datang ke tempat ini beberapa hari la-
lu! Padahal saat itu dikatakannya, kalau dia hendak
menyelamatkan Pangku Jaladara yang ingin kau bu-
nuh!"
Kata-kata pemuda bersorot mata angker itu
membuat kakek berambut dikelabang itu terdiam be-
berapa saat. Jubah hitamnya bergerai sesaat diper-
mainkan angin malam. Mendadak dari hidungnya yang
bengkok terdengar dengusan.
"Apa sebenarnya saat ini kau yang sedang men-
gadu domba antara aku dengan Dewi Berlian, hah?!"
"Aku tak bisa membuktikan kebenaran ucapanku
sebelum dia muncul!"
Di pihak lain Jala Sringgil berbisik, "Kala Sringgil,
apakah ini kebenaran yang dikatakan Musang Ber-
janggut? Terus terang, aku mulai goyah dengan pendi-
rianku yang menuduh pemuda yang matanya bersorot
mengerikan itu sekarang."
Kala Sringgil mengangguk. "Aku Juga demikian. '
Ketenangannya saat berkata-kata tadi sungguh luar
biasa. Menandakan kalau dia tidak sedang berbohong
dan memfitnah."
"Sebaiknya, kita tunggu kebenarannya. Jangan
sampai kita salah bertindak."
Di depan terdengar suara Datuk Bunaeng, "Apa
yang kau katakan memang harus dibuktikan! Selama
ini dendamku hanya pada Resi Kala Jinjit yang mam-
pus entah dibunuh siapa! Tetapi kau telah berani
memfitnahku! Itu artinya, kau telah masuk dalam daf-
tar kematian yang kumiliki!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tetap tenang men-
dengar bentakan Datuk Bunaeng.
"Siapa memfitnah siapa sekarang ini kurang je-
las! Ada baiknya kita memang menunggu kedatangan
Dewi Berlian! Atau... kau sudah menduga kalau dia ti-
dak datang?!"
Sebelum Datuk Bunaeng buka mulut, mendadak
saja satu sosok bayangan hijau melompat dan hinggap
di samping kiri Datuk Bunaeng.
"Aku telah datang, Pemuda celaka! Sungguh se-
suatu yang sangat luar biasa, kalau kau ternyata be-
rani memfitnahku!!"
Melihat kehadiran perempuan berpa3rudara besar
itu. Raja Naga sesaat menahan napas. Sorot matanya
lebih angker dari biasanya. Wajahnya dingin. Mulutnya
terkatup rapat. Sisik-sisik coklat pada kedua tangan-
nya sebatas siku, semakin terang.
"Dewi Berlian kelicikanmu hampir saja membua-
tku terjemurus ke dalam lingkaran sesat. Tetapi
sayangnya, aku berhasil memikirkan sesuatu yang
mengejutkanmu!"
"Aku telah mendengar apa yang kau katakan pa-
da Datuk Bunaeng! Dan tak kusangka kalau kau se-
demikian piciknya! Kau telah memfitnah Datuk Bu-
naeng, lantas sekarang memfitnahku pula! Tapi... ada
hal yang sangat memberatkanmu! Mengapa kau mem-
bunuh Pangku Jaladara?!"
Bentakan terakhir Dewi Berlian membuat kepala
Raja Naga menegak. Sementara Datuk Bunaeng mem-
perhatikan perempuan itu dengan terkejut. Di pihak
lain. Jala Sringgil dan Kala Sringgil berpandangan. Ke-
dua orang berkepala gundul itu tak ada yang buka
mulut.
Dewi Berlian yang kembali menjalankan rencana
barunya membentak keras, "Kau benar-benar keji. Ra-
ja Naga! Kau telah menggagalkan Pangku Jaladara se-
bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Kemudian
memfitnah Datuk Bunaeng, lantas memfitnahku pula!
Dan sekarang kau membunuh Pangku Jaladara!!"
Raja Naga yang sadar siapa perempuan di hada-
pannya ini tak segera menjawab. Dia berusaha tenang
dan menindih sedikit demi sedikit amarah yang bergo-
lak di dadanya.
"Apa-apaan perempuan itu menuduhku telah
membunuh Pangku Jaladara? Siapa yang membunuh-
nya? Herannya, berita itu belum terdengar, lantas dia
sudah menuduhku membunuh Pangku Jaladara. Jan-
gan-jangan... dia sendiri yang melakukannya?"
Selagi Raja Naga membatin demikian. Dewi Ber-
lian berseru lagi, "Kau telah menggagalkan seluruh
rencana yang telah kususun bersama Datuk Bunaeng!
Kau telah menghinaku! Dan itu berarti menghina Da-
tuk Bunaeng pula! Kau memang harus mampus!!"
Belum habis seruannya, perempuan bermahkota
indah itu sudah menerjang Raja Naga dengan ganas.
Dewi Berlian berharap dengan tindakannya itu dapat
memancing amarah Datuk Bunaeng pada Raja Naga.
Raja Naga sendiri mau tak mau harus mengha-
dapi setiap serangan yang dilancarkan Dewi Berlian.
"Bagus! Kau berani melawan itu artinya kau tidak
bertanggung jawab!!" bentak Dewi Berlian keras. Dan
menyerang lagi, lebih ganas.
Namun mendadak saja terdengar bentakan keras,
"Tahan serangan mu. Dewi Berlian!!"
Seketika Dewi Berlian melompat ke belakang, se-
telah berputar tiga kali di udara dia hinggap di atas ta-
nah. Tanpa mengalihkan pandangan sengitnya pada
Raja Naga, dia berkata, "Mengapa kau menahanku,
Datuk? Pemuda celaka itu telah menggagalkan seluruh
rencana kita! Dia telah memfitnahmu, juga memfit-
nahku! Bahkan dia membunuh Pangku Jaladara!"
"Kau melihatnya membunuh Pangku Jaladara?!"
desis Datuk Bunaeng dingin!
"Ya! Kulihat sendiri!"
"Kau selalu bersama Pangku Jaladara, mengapa
kau tidak menyelamatkannya?!"
"Ilmunya sangat tinggi! Aku gagal melakukan-
nya!"
"Mengapa kau meninggalkan tempat ini beberapa
hari lalu?!"
Dewi Berlian kali ini menoleh. Dia terkejut meli-
hat tatapan sengit Datuk Bunaeng. Untuk sesaat pe-
rempuan ini sedikit waswas Juga.
Lalu sambil mendengus dia berkata, "Biar bagai-
manapun juga, rencana kita adalah menjadikan Pang-
ku Jaladara sebagai boneka! Aku tidak mau Dewa Ju-
bah Biru ataupun Dewi Pengunyah Sirih menyela-
matkannya!"
"Kau meninggalkan tempat ini tanpa mengatakan
apa pun padaku! Kau seperti mengambil satu kesem-
patan selagi aku lengah! Mengapa?!"
"Astaga! Mengapa kau berpikir seperti itu? Kita
sudah sepakat untuk menjalankan rencana yang ada!"
Datuk Bunaeng tak segera berkata. Tatapannya
tajam pada Dewi Berlian. Yang ditatap mulai merasa
tidak enak sekarang. Tiba-tiba terdengar desisan din-
gin Datuk Bunaeng,
"Mengapa kau mengatakan pada pemuda itu, ka-
lau aku punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan?"
Kali ini Dewi Berlian melengak. Sebelum bibir in-
dahnya bergerak Datuk Bunaeng sudah melanjutkan
desisannya, "Mengapa pula kau mengatakan kalau aku
hendak membunuhnya karena dia telah membunuh
Ratu Sejuta Setan?! Jawab, Dewi sebelum kemarahan-
ku beralih padamu!"
Dewi Berlian yang sebelumnya merasa pasti ka-
lau rencananya untuk membunuh Raja Naga akan
berhasil, kali ini mulai sedikit tegang. Perlahan-lahan
diputar tubuhnya hingga berhadapan dengan Datuk
Bunaeng yang sedang memandangnya penuh amarah.
Lalu dengan sikap tenang dia berkata, "Datuk!
Aku sama sekali tak mengerti maksudmu! Mengapa
kau tiba-tiba berkata demikian? Siapa yang mengata-
kannya?"
"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku tadi,
hah?! Pemuda itu yang mengatakannya kepadaku!"
"Astaga! Sudah tentu itu adalah fitnahan yang di-
lancarkan pemuda keparat itu! Datuk... aku tak ingin
banyak ucap! Siapa yang kau percaya sekarang, hah?!"
"Selain diriku sendiri, tak seorang pun yang bisa
kupercayai di muka bumi ini!"
Sepasang mata Dewi Berlian men3dpit. Dia mulai
menangkap tanda bahaya.
"Dengan kata lain, kau lebih mempercayainya da-
ri pada kata-kataku?"
"Aku tidak mempercayai siapa pun! Tetapi aku
tahu, kalau kau punya hubungan erat dengan Ratu
Sejuta Setan! Dewi! Tentunya, kau bermaksud untuk
mengadu domba antara aku dengan pemuda itu! Ten-
tunya pula kau bermaksud untuk membalas kematian
Ratu Sejuta Setan yang tewas di tangannya! Dan kau
mencoba memanfaatkan tanganku untuk membunuh
Raja Naga!" suara Datuk Bunaeng mengeras. "Berdus-
talah agar aku bisa membunuhmu sekarang juga!"
Dewi Berlian terdiam. Sorot matanya tajam me-
natap pada Datuk Bunaeng. Suasana hening. Angin
malam berhembus bertambah dingin.
Tiba-tiba terdengar desisan Dewi Berlian "Semu-
anya sudah terbuka, tak ada yang perlu ditutupi lagi!
Yah! Akulah yang merencanakan semua ini bersama
Pangku Jaladara! Pemuda tolol yang bisanya cuma
mengumbar nafsu itu menerima tawaranku untuk
membunuh Resi Kala Jinjit! Dengan memanfaatkan
keinginanmu untuk membunuh Resi Kala Jinjit, se-
muanya ku atur sedemikian rupa! Kuundang Raja Na-
ga pada penobatan Pangku Jaladara sebagai Ketua
Perguruan Laba-laba Perak! Pangku Jaladara sendiri
yang mencuri kalung Laba-laba Perak lalu menimpa-
kan kesalahan pada Raja Naga! Sementara aku sendiri,
memanfaatkan semuanya untuk mengadu domba an-
tara kau dengan Raja Naga!"
Kepala Dewi Berlian tiba-tiba menoleh pada Raja
Naga. Tatapannya sengit.
"Otakmu lumayan cerdik, Anak muda! Kau telah
membunuh saudaraku si Ratu Sejuta Setan, dan kau
harus mampus secara mengerikan! Membunuhmu se-
cara langsung bukanlah sesuatu yang sulit! Tetapi me-
lihatmu disiksa dan diburu oleh para tokoh rimba per-
silatan adalah sesuatu yang menyenangkan!!"
Di tempatnya Raja Naga mendesis dalam hati,
"Kebenaran telah terbuka...."
Sementara itu. Kala Sringgil dan Jala Sringgil
berpandangan. Mereka sama sekali tak mengerti peru-
bahan yang telah terjadi. Namun paling tidak, kini me-
reka tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.
"Jala Sringgil... kupikir kita sudah tidak punya
urusan lagi. Sekarang ini adalah urusan Raja Naga
dengan manusia-manusia itu...."
"Kala Sringgil, Dewi Berlian bersama Pangku Ja-
ladara telah membunuh Resi Kala Jinjit. Mengapa kita
harus tinggal diam?"
"Kita lupakan soal ini. Aku khawatir kita akan sa-
lah bertindak," sahut Kala Sringgil, lalu segera memba-
likkan tubuhnya dan berlalu.
Jala Sringgil memperhatikan ketiga orang itu ter-
lebih dulu. Dianggukkan kepalanya pada Raja Naga
begitu pandangannya berbenturan dengan pandangan
pemuda itu. Setelah Raja Naga mengangguk. Jala
Sringgil segera menyusul saudaranya.
Di pihak lain. Datuk Bunaeng menggeram seting-
gi langit.
"Perempuan keparat! Hampir saja aku masuk da-
lam pusaran kebusukanmu! Dan aku yakin, kaulah
yang telah membunuh Pangku Jaladara!"
Sebelum Dewi Berlian menyahut, tiba-tiba ter-
dengar suara, "Ya! Dialah yang telah membunuh Pang-
ku Jaladara!"
Tiga pasang mata segera menoleh ke kanan. Raja
Naga melihat Lesmana dan Ratih muncul. Di hadapan
mereka, satu sosok tubuh membujur kaku dalam kea-
daan mengambang. Dan di atas tubuh yang telah men-
jadi mayat itu terdapat sebuah bunga kemuning warna
biru.
Begitu bunga itu diambil Lesmana, mayat Pangku
Jaladara ambruk di atas tanah.
Datuk Bunaeng mengertakkan rahangnya keras-
keras menyadari kalau selama ini dia dibodohi Dewi
Berlian.
"Perempuan terkutuk! Kau harus membayar se-
mua ini dengan nyawamu!"
Kejap lain, kakek berjubah hitam itu telah me-
nyerang Dewi Berlian dengan ganas. Yang diserang
pun segera membalas.
Raja Naga menarik napas pendek.
"Ah, keadaan ini memang cukup rumit. Tetapi be-
runtunglah karena masih dapat dikendalikan"
Lalu dihampirinya Lesmana yang menyambutnya
sambil tersenyum, sementara Ratih menarik napas ,
panjang mengetahui siapa pangkal dari urusan sesat
ini.
Raja Naga berkata, "Kalian melihat siapa yang
membunuh Pangku Jaladara?"
Lesmana menggeleng. Lalu menceritakan apa
yang terjadi.
"Begitu Dewi Berlian menyebut-nyebut Pangku
Jaladara, kami yakin kalau dialah yang telah membu-
nuhnya." '
Raja Naga tersenyum.
"Sudahlah, kita tinggalkan tempat ini seka-
rang...," katanya lalu mendahului. Diraba pinggang se-
belah kanannya, di mana kalung Laba-laba Perak be-
rada di sana.
Lesmana segera mengajak Ratih untuk mening-
galkan Lembah Lingkar.
Sementara itu, pertarungan sengit Datuk Bu-
naeng dan Dewi Berlian semakin seru, hingga akhirnya
kedua orang itu saling bunuh....
SELESAI
Segera menyusul:
BUNGA KEMUNING BIRU
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon