1
UNTUK sesaat Raja Naga merasakan
kepalanya agak bergoyang ke belakang.
Kedua kakinya pun surut. Tapi di saat
lain sepasang matanya yang bersinar
angker memandang tajam pada gadis jelita
berpakaian putih yang menatapnya tak
"Boma... ada apa?" tanya si gadis
pelan dan tanpa sadar dia merasa ngeri
dengan tatapan tajam itu.
"Diah Harum. . . ulangi lagi apa yang
kau katakan tadi," kata Raja Naga,
suaranya dingin.
"Apa... apa yang harus ku ulangi?"
tanya si gadis yang pada bagian atas
kedua dadanya yang membusung itu terdapat
dua kuntum bunga mawar.
"Siapa gurumu?"
"Dia... bernama Dadung Bongkok...."
"Keparat!!"
"Boma! Ada apa ini? Mengapa kau
kelihatan gusar?!" seru Diah Harum alias
Dewi Bunga Mawar terkejut.
Raja Naga menatapnya dalam.
"Diah... apakah kau tidak tahu siapa
gurumu itu?"
"Yang kutahu Guru adalah seorang
kakek baik-baik, seorang tokoh yang
berada di jalan kebenaran."
"Kau tahu siapa perempuan yang telah
dibunuh oleh gurumu dua belas tahun yang
lalu?!"
"Dia... dia seorang perempuan biadab,
istri seorang pendekar keparat berjuluk
Pendekar Lontar...."
"Dan kau tahu siapa orang yang berada
di hadapanmu ini?!"
"Boma! Ada apa ini? Mengapa kau
menjadi begitu kasar?!" seru Diah Harum
makin tak mengerti.
Bentakan bernada menuntut dan serak
itu menyadarkan Raja Naga dari amarah
yang mengamuk di dadanya. Untuk beberapa
saat pemuda berompi ungu ini menarik
napas sambil menghentakkan kepalanya ke
atas. Sepasang matanya yang bersinar
angker menatap angkasa luas. Berulang
kali dia menarik napas.
Dewi Bunga Mawar yang tak mengerti
akan sikap Boma Paksi memandang pemuda
gagah yang berambut dikuncir, yang masih
memandang angkasa.
"Rasanya ada sesuatu yang salah yang
membuatnya menjadi gusar seperti itu. Ada
apa ini? Yang manakah ucapanku yang
salah?" desisnya dalam hati bertanya-
tanya .
Didengarnya lagi kata-kata pemuda
yang masih menengadah itu, "Diah Harum...
maafkan sikapku tadi
"Boma... aku tak mengerti mengapa kau
menjadi gusar seperti itu! Katakan
padaku, apakah ada ucapanku yang salah?!"
"Gadis ini sama sekali tak mengerti
apa yang telah terjadi. Tentunya Dadung
Bongkok telah memutar kenyataan dan
membikin si gadis menjadi mendendam pada
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Aku bisa
meraba sekarang apa yang diinginkannya
menuju ke Lembah Naga. Tentunya Dadung
Bongkok memerintahkannya untuk mengetahui
keberadaan Guru dan diriku. Karena
menurut cerita Guru, dia telah mengancam
Dadung Bongkok atas perbuatannya yang
menyebabkan Ibuku tewas," kata Boma Paksi
dalam hati.
"Boma! Katakan padaku, katakan! Ada
apa? Jangan kau berdiam seperti itu?!"
suara Dewi Bunga Mawar mengiba. Gadis
yang baru saja ditolong dari kenistaan
yang akan dilakukan oleh Renggana itu
merasa tidak enak bila membuat si pemuda
menjadi gusar terhadapnya.
Raja Naga perlahan-lahan menurunkan
kepalanya. Walaupun tatapannya tidak
seangker tadi, tetapi tetap berkesan
angker. Sesaat dipandanginya wajah jelita
yang telah menggedor dadanya.
"Diah Harum... kau tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Gurumu telah
menanamkan bibit permusuhan di dalam
hatimu terhadap keturunan mendiang Pen-
dekar Lontar dan Dewi Lontar...."
"Aku tak mengerti apa yang kau
katakan, Boma."
Murid Dewa Naga menarik napas
panjang. Sejenak dibawa pandangannya ke
kejauhan sebelum kembali menatap wajah
jelita yang masih menunggu jawabannya
dengan tidak sabar.
"Pendekar Lontar dan Dewi Lontar
adalah sepasang suami istri yang berada
di jalan kebenaran. Dan sesuatu yang
mengejutkan terjadi karena pada malam dua
belas tahun lalu, Pendekar Lontar
ditemukan telah tewas tanpa ada yang
mengetahui siapakah pelakunya. Menyusul
kematian istrinya di tangan gurumu. Saat
itu Dewi Lontar memang telah menyerahkan
pusaka Pendekar Lontar yang berupa
gumpalan daun lontar kepada putranya,
yang kemudian muncul untuk membantu
ibunya. Alangkah pedih hati si bocah
tatkala mengetahui ibunya telah mening-
gal. Lalu dengan keberanian penuh
dicobanya untuk menuntut balas kematian
ibunya pada orang yang telah membunuhnya.
Tetapi jelas dia bukanlah tandingan si
pembunuh. Sampai kemudian muncul Dewa
Naga yang menyelamatkan si bocah. Si
pembunuh sebenarnya sudah berulang kali
mencoba merampas pusaka Pendekar Lontar
tetapi selalu gagal. Dan malam itu dia
juga gagal mendapatkannya karena ngeri
terhadap Dewa Naga...."
"Boma... kau menceritakannya begitu
jelas seolah kau menyaksikan semua
itu...," suara Diah Harum terdengar
sinis.
Boma Paksi menganggukkan kepalanya
pasti.
"Ya! Karena aku memang menyaksi-
kannya ! "
"Oh!" Bola mata si gadis menghujam
tepat pada bola matanya. Lalu katanya
terbata dibaluri ketegangan, "Boma...
siapakah kau sebenarnya?"
"Aku adalah putra mendiang Pendekar
Lontar dan Dewi Lontar. Bocah yang hendak
dibunuh oleh gurumu yang bernama Dadung
Bongkok dan telah diselamatkan oleh Dewa
Naga...."
"Astaga!" surut kedua kaki Dewi Bunga
Mawar dengan pandangan tegang. Lalu
serunya tertahan, "Jadi... jadi... kau
juga murid... Dewa Naga?!"
"Ya! Aku adalah murid Dewa Naga!"
Saat itu pula Dewi Bunga Mawar merasa
kepalanya pusing. Otaknya kontan dipenuhi
berbagai pikiran yang simpang siur.
Berkali-kali gadis ini menggeleng-
gelengkan kepalanya dengan cara disentak.
"Tak mungkin... tak mungkin Guru
membohongiku...."
"Itulah kenyataannya. Gurumu
menghendaki pusaka Pendekar Lontar untuk
kepentingan pribadinya. Tetapi berulang
kali dia gagal mendapatkannya. Bahkan di
saat dia sudah berhasil, masih gagal pula
karena kemunculan Dewa Naga. Diah... aku
tahu apa yang diinginkan oleh gurumu
dengan menyuruhmu untuk mendatangi Lembah
Naga. Gurumu hendak memantau keadaan
putra dari Pendekar Lontar karena dia
tentunya teringat pada peristiwa dua
belas tahun yang lalu. Dan perlu kau
ketahui... aku pun akan menuntut balas
atas perbuatan gurumu terhadap ibuku!"
Diah Harum masih terdiam dengan
kepala laksana dibebani oleh berjuta batu
besar. Gadis Ini tak bisa mempercayai apa
yang dikatakan Boma Paksi barusan.
"Tak mungkin... tak mungkin Guru
membohongiku. . . , " desisnya berulang
ulang.
Boma Paksi tak menjawab. Pemuda dari
Lembah Naga ini hanya memandang saja.
Tiba-tiba dilihatnya Diah Harum
mengangkat kepala. Pandangannya angkuh
dan tajam. Mulutnya merapat sebelum
membuka.
"Boma! Belum lama ini aku kagum
terhadapmu! Tetapi sekarang kekaguman itu
lenyap! Kau tak lebih dari seorang tukang
fitnah belaka?"
Raja Naga tak menyahuti ucapan Dewi
Bunga Mawar. Dia hanya memandang saja.
Karena sikap Boma Paksi itulah yang
membuat Dewi Bunga Mawar yang sedang
dipusingkan dengan apa yang didengarnya.
meradang kembali.
"Aku tahu kau memiliki ilmu yang
sangat tinggi! Tetapi aku tak peduli!
Siapa pun yang memfitnah guruku, dia akan
mendapatkan balasan yang sangat
menyakitkan!"
"Diah... seharusnya aku yang marah
karena ternyata kau adalah murid musuh
besarku! Tetapi tindakan itu adalah
sebuah kesalahan bila kutumpahkan kepada
mu! Kau hanyalah seorang murid yang tidak
ada sangkut pautnya dengan apa yang telah
dilakukan gurumu dua belas tahun yang
lalu!"
"Jangan banyak omong! Kau telah
memfitnah, Boma!"
"Yang kukatakan adalah sebuah
kebenaran! Dadung Bongkok telah menjejali
pikiranmu dengan sebuah penjelasan palsu!
Dia telah memutarbalikkan kenyataan!"
"Selama ini aku sangat menghormati
guruku, karena kebaikannya yang telah
merawatku selama enam belas tahun! Dia
adalah pengganti kedua orangtuaku yang
tak pernah kukenal!"
"Kau tahu bagaimana kau bisa menjadi
muridnya?!"
"Apa pedulimu dengan pertanyaanmu
itu, hah?!"
"Karena kau akan dapat menyusuri
kebenaran!"
"Peduli setan!" bentak Dewi Bunga
Mawar berang.
"Kau telah memfitnah guruku! Setinggi
apa pun ilmu yang kau miliki aku tak
peduli! Mulutmu harus kutampar karena
kelancanganmu itu!!"
Habis ucapannya dengan teriakan yang
keras Dewi Bunga Mawar menerjang ke
depan. Tangan kanan kirinya segera di
dorong dengan keras yang segera
menghampar gelombang angin berkekuatan
tinggi.
Raja Naga memandang tak berkedip.
Keangkeran matanya menggigit kembali.
"Gadis ini telah ditanamkan kebencian
oleh gurunya pada keturunan Pendekar
Lontar dan Dewa Naga! Hemm. . . apa yang
dilakukannya semata karena dia tak suka
mendengar gurunya dikatakan sebagai se-
orang pecundang."
Masih tanpa bergeser dari tempatnya
Raja Naga mengangkat kedua tangannya.
Buk! Buk!
Benturan keras itu terjadi. Tetapi
jangankan berpindah. Raja Naga bergeming
saja tidak. Di pihak lain justru gadis
jelita itu yang terpental ke belakang.
Raja Naga memandang dingin. Kekuatan
kedua tangannya yang sebatas siku
dipenuhi sisik coklat memang luar biasa.
Kalau dia mau, tadi dia bisa mematahkan
kedua tangan Diah Harum!
"Diah... kau terlalu dibutakan oleh
perasaanmu sendiri! Padahal bila kau mau
memikirkannya lebih dulu, kau akan sadar
siapa gurumu!"
"Guruku adalah orang baik-baik! Dan
sekarang kau melontarkan fitnah yang
menyakitkan! Boma... di balik perlakuan
baikmu terhadapku, kau sebenarnya
mempunyai maksud busuk! Aku yakin
pertemuan kita yang kedua ini bukannya
tidak disengaja, bahkan kau sengaja! Kau
telah membuntutiku dengan harapan agar
aku membawamu pada guruku!"
"Diah Harum! Tanpa dirimu pun aku
akan mencari pembunuh ibuku! Tetapi kau
salah besar kalau mengatakan aku
membuntutimu! Tidak sama sekali!"
"Apakah aku harus mempercayai lagi
ucapan seorang pembohong?!" seru Dewi
Bunga Mawar dengan kemarahan bergolak.
Dada padatnya bergerak turun naik.
Kali ini Raja Naga tak menjawab.
"Bila diladeni, gadis Ini akan
menjadi semakin berang. Ternyata dia
seorang yang keras kepala dan memiliki
kepatuhan tinggi pada gurunya. Hemm...
Dadung Bongkok yang memang harus bertang-
gung jawab, dia telah mengisi perasaan si
gadis dengan kebencian terhadap orang-
orang yang dimusuhinya," katanya dalam
hati .
"Kau tidak menjawab, berarti kau
memang menerima kukatakan sebagai seorang
pembohong! Dan itu artinya kau memang
pembohong!!"
"Aku tak menjawab karena tak ingin
menambah silang urusan ini semakin
panjang! Urusanku adalah dengan gurumu!"
"Setiap urusan Guru menjadi urusanku!
Kita selesaikan saat ini juga!!"
Habis bentakannya, si gadis memasuk-
kan tangan kanannya ke balik pakaiannya.
Ketika tangannya dikeluarkan, telah
terdapat sebuah benda sepanjang sebuah
pensil. Benda itu berwarna hitam
berkilat.
Raja Naga hanya memperhatikan. Dan
mendadak ditegakkan kepalanya karena
begitu digerakkan oleh Dewi Bunga Mawar,
benda hitam sebesar pensil itu telah
menjadi sepanjang dua lengan orang
dewasa.
"Urusan ini tak perlu berlarut-larut
lagi! Harus diselesaikan sekarang juga!"
Belum habis seruannya, Dewi Bunga
Mawar sudah menggebrak ke arah Raja Naga.
Senjata anehnya yang kini telah berubah
menjadi sepanjang dua lengan orang
dewasa, dikibaskan dengan cepat ke arah
leher Raja Naga. Yang diserang hanya
mundur satu tindak ke belakang.
Wuusss!!
Angin yang keluar dari kibasan
senjata aneh Dewi Bunga Mawar mendadak
menyebar. Kalau sebelumnya Raja Naga
hanya mundur satu tindak ke belakang,
kali ini dia justru melompat ke samping!
Angin yang mendadak menyebar itu
menghantam ranggasan semak yang seketika
berhamburan ke udara!
"Kau berilmu tinggi! Tapi kau hanya
bisa melompat seperti seekor katak!"
"Diah... aku tak ingin berurusan
denganmu! Urusanku adalah dengan gurumu!
Tak ada sangkut pautnya denganmu!"
"Kau telah menyebarkan fitnah yang
akan menyebar luas! Sebelum aib yang kau
timpakan pada guruku semakin mengembang
jauh, sebaiknya kau kubungkam terlebih
dulu!"
Dewi Bunga Mawar semakin ganas
mencecar Raja Naga. Gadis jelita yang
tersinggung karena gurunya dianggap
sebagai seorang pembohong terus menyerang
bagian-bagian berbahaya dari tubuh Raja
Naga.
Sesungguhnya menghadapi Dewi Bunga
Mawar, Raja Naga tak mengalami kesulitan
sama sekali. Tetapi dia hanya menghindar
saja setiap kali Dewi Bunga Mawar
melancarkan serangannya. Dan hal ini
semakin membuat gusar Dewi Bunga Mawar.
Serangannya kian ganas dan
serampangan. Karena serampangan itu
justru membuat Raja Naga agak
kelimpungan.
Bukkk!
Perutnya terhantam tendangan keras
yang dilepaskan Dewi Bunga Mawar.
Mendapati serangannya berhasil mengenai
sasarannya, gadis jelita itu terus
merangsek masuk.
"Diah! Tak ada gunanya kau melakukan
tindakan ini! Kau telah dibutakan oleh
kata-kata gurumu yang jahat itu!"
Diah Harum tak menjawab, terus
menyerang ganas. Di lain pihak Raja Naga
yang sejak tadi hanya menghindar dan tak
membalas, berpikir, "Kalau terus menerus
diserang seperti ini aku bisa kena juga
karena serangannya semakin kalap dan
serampangan. Tetapi kalau kulayani justru
akan memancing amarahnya. Berarti...."
Memutus jalan pikirannya sendiri
murid Dewa Naga segera melompat mundur
sambil menggerakkan tangan kanannya.
Dewi Bunga Mawar yang terus mendesak
memekik keras tatkala merasakan tubuhnya
seperti disampok dari kiri. Cepat gadis
ini memutar tubuh dua kali di udara
sebelum hinggap di atas tanah.
"Diah Harum! Sampai kapan pun aku tak
ingin menjadi lawanmu! Aku hanya ingin
kita berkawan! Dan kupikir... lebih baik
kita sudahi saja urusan ini!"
"Boma Paksi! Jangan kabur kau!
Sebelum kau menjalankan niat untuk
membunuh guruku, hadapi aku lebih dulu!"
Pemuda berambut dikuncir itu geleng-
gelengkan kepalanya. Kalau biasanya
tatapannya sedemikian angker, kali ini
terlihat sinar murung di sana. Lalu
katanya sambil menggelengkan kepala,
"Saat ini mungkin kau tak akan bisa
menerima segala yang kukatakan tentang
gurumu! Tetapi percayalah, suatu hari kau
akan melihat kebenarannya!"
Diah Harum tak menyahuti seruan si
pemuda. Dia telah menarik tangan kirinya
sebatas dada, lalu didorong kuat-kuat.
Saat itu pula menghampar awan-awan hitam
yang menebarkan hawa dingin!
Raja Naga menjerengkan matanya dengan
dada sedikit berdebar. Dia menyesali
mengapa keadaan berkembang buruk. Awan-
awan hitam yang menebarkan hawa dingin
itu semakin mendekat ke arahnya. Raja
Naga segera menjentikkan telunjuk dan ibu
jarinya.
Triikk!
Wrrrrr!!
Wuussss!!
Pyaaar. . . ! !
Awan-awan hitam itu pecah berantakan
ke sana kemari, yang untuk sesaat
menghalangi pandangan. Pecahannya
menghantam ranggasan semak yang seketika
membeku!
Dewi Bunga Mawar menunggu tak sabar
sampai awan-awan hitam yang menghalangi
pandangannya itu lenyap. Baru saja awan-
awan hitam itu lenyap, gadis ini sudah
melesat ke depan seraya mengibaskan
senjatanya.
"Aku tak akan menyesal bila membunuhmu
hari ini juga, Boma!
Heaaaaattt..
Wussss!
Blaairrr!
Tanah langsung merengkah dan
membubung tinggi begitu senjata si gadis
menyusurnya! Tubuh si gadis sendiri masuk
dalam kepulan tanah itu. Saat lain dia
sudah melompat keluar dan berdiri tegak.
Sepasang mata indahnya melotot gusar.
"Brengsek! Di mana kau, hah?!"
serunya keras. Karena Boma Paksi sudah
tak berada di tempatnya.
Dewi Bunga Mawar masih berteriak-
teriak penuh kegusaran. Dadanya yang
membusung bulat dan akan memancing
perhatian kaum adam, bergerak turun naik.
Saat lain dia sudah mendengus. Lalu
menekan hulu senjatanya yang kembali
menjadi sebesar telunjuk.
Setelah masukkan kembali ke balik
pakaiannya, gadis jelita berpakaian putih
bersih itu sudah berkelebat meninggalkan
tempat itu.
***
2
DEWI Bunga Mawar terus berlari dengan
dada masih dibuncah kemarahan. Kebencian-
nya pada Boma Paksi semakin menjadi-jadi.
"Walaupun dia pernah menolongku, aku tak
peduli! Siapa pun orangnya yang menghina
Guru, akan kuhajar sampai babak belur!"
makinya sambil terus berlari. Wajah
jelitanya dipenuhi rona merah karena
amarah.
Di sebuah persimpangan, murid Dadung
Bongkok ini menghentikan langkahnya. Di
hapus keringatnya dengan telapak tangan-
nya sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
"Keparat! Ke mana perginya pemuda
bersisik coklat itu?!" desisnya geram
karena dia sudah kehilangan jejak pemuda
yang dikejarnya. Dewi Bunga Mawar
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah
yang seketika muncrat sebatas dengkul.
Dada padatnya yang selalu menarik
mata lelaki untuk terus memandang,
bergerak naik turun. Gadis berpakaian
putih ini kepalkan kedua tangannya kuat-
kuat .
"Aku akan tetap mencari Lembah Naga!
Perintah Guru harus kujalankan!" desisnya
kemudian dengan mulut agak dirapatkan.
Baru saja habis ucapannya, Dewi Bunga
Mawar menoleh ke samping kiri karena dia
menangkap suara bernada kesakitan. Saat
itu pula dilihatnya seorang lelaki tua
berjubah hitam melangkah sempoyongan
sambil memegangi dadanya.
Sejenak Diah Harum memperhatikan si
kakek yang di kepala plontosnya terdapat
tanda matahari itu, sebelum kemudian dia
melengak dan buru-buru bergerak. Karena
sosok si kakek sudah sempoyongan dan akan
ambruk.
"Bertahan, Kek!" desisnya sambil
merebahkan tubuh si kakek berjubah hitam
di atas rumput.
Kakek yang bukan lain Iblis Telapak
Darah adanya ini mengeluh. Wajahnya pucat
pasi. Keringat membanjiri sekujur tubuh-
nya .
Dewi Bunga Mawar cepat bertindak.
Dibukanya pakaian yang dikenakan si
kakek. Dilihatnya tanda merah di sana.
"Terkutuk! Siapa yang membuatmu
celaka begini, Orang Tua?!" serunya
dengan amarah yang mendadak naik.
Iblis Telapak Darah menahan sakit.
"Dia... dia... akhhh!"
"Jangan banyak bicara dulu! Kau
tenanglah... kosongkan tenaga dalammu..,"
desis Dewi Bunga Mawar kemudian. Lalu
segera ditempelkan telapak tangan ka-
nannya di atas dada Iblis Telapak Darah
dan dialirkan tenaga dalamnya.
Dalam waktu yang singkat sekujur
tubuh si gadis sudah dibanjiri keringat.
Sesungguhnya Dewi Bunga Mawar memiliki
kelembutan dan hati yang baik. Dia memang
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,
terutama tentang gurunya sendiri.
"Gila!" desisnya dengan wajah agak
pucat. "Telapak tanganku terasa panas!
Tentunya orang yang mencelakakan kakek
ini memiliki ilmu yang tinggi!"
Lalu ditempelkan pula telapak tangan
kirinya. Dengan kedua telapak tangan yang
menempel di dada si kakek, kembali
dialirkan tenaga dalamnya. Ditahannya
hawa panas yang keluar dari tubuh si
kakek kuat-kuat. Keringat makin banyak
membanjiri tubuhnya.
Mendadak dia melihat si kakek mengembung.
"Muntahkan, Kek!"
"Huaaakkk!!"
Darah hitam menyembur dari mulut
Iblis Telapak Darah, sebagian mengenai
kedua tangan Dewi Bunga Mawar. Bersamaan
muntahan darah itu Iblis Telapak Darah
jatuh pingsan.
Dewi Bunga Mawar mengangkat kembali
kedua telapak tangannya. Dipandanginya
wajah si kakek yang pingsan.
"Aku tidak tahu siapa kakek ini.
Tahu-tahu dia muncul dengan membawa luka
parah. Ah, bila saja aku tak segera
menolongnya, mungkin dia tak akan bisa
hidup lebih lama...."
Lalu diperhatikan sekelilingnya yang
sepi. Kemudian dia beranjak untuk mencuci
tangannya. Di sekitar sungai di mana dia
mencuci tangan banyak tumbuh pohon
manggis hutan yang berbuah lebat. Dengan
mudah saja Diah Harum mendapatkannya dan
kembali ke tempat Iblis Telapak Darah.
Iblis Telapak Darah masih pingsan.
"Ah, banyak waktuku yang terbuang
sekarang padahal aku harus segera
menemukan Lembah Naga! Juga menemukan
kembali di mana Boma Paksi berada! Aku
tak mau pemuda itu menyebarkan fitnahnya
ke segenap penjuru! Tapi...."
Kembali dipandanginya wajah plontos
yang pingsan ini.
"Bagaimana dengan Kakek ini? Tak
mungkin aku meninggalkannya sendirian?"
desisnya pelan. Setelah beberapa saat
terdiam, Dewi Bunga Mawar akhirnya
memutuskan untuk menunggu sampai si kakek
siuman.
Hampir sepenanakan nasi dia berlutut
di samping Iblis Telapak Darah yang
pingsan sebelum kemudian didengarnya
suara batuk-batuk si kakek.
Cepat Diah Harum mengalirkan lagi
tenaga dalamnya, kali ini melalui kedua
ibu jari kaki si kakek. Wajah pucat si
kakek perlahan-lahan mulai menghilang,
demikian pula dengan keringatnya.
Iblis Telapak Darah membuka kedua
matanya. Sesaat langsung dipejamkannya
kembali.
"Anak gadis... terima kasih atas
bantuanmu...," desisnya pelan.
Karena memburu waktu, Diah Harum
langsung mengajukan tanya, "Orang tua...
apa yang telah terjadi denganmu?"
Iblis Telapak Darah tak buka suara.
Dia berbaring sesaat. Di saat lain
perlahan-lahan dia bangkit, duduk ber-
selonjor. Dadanya tidak lagi dirasakan
nyeri. Napasnya sudah mulai teratur.
Lalu dipandanginya gadis di hadapan-
nya ini.
"Siapa gadis ini sebenarnya? Dari
caranya bertindak, aku yakin dia memiliki
sifat baik hati yang tinggi. Jarang
sekali ada orang yang mau menolong
sesama. Peduli setan walau dia telah
menolongku! Dan terlalu bodoh bila
kulewatkan kesempatan ini untuk menikmati
kegairahan barang sejenak!"
Iblis Telapak Darah yang punya
pikiran kotor itu, masih memandang Diah
Harum. Yang dipandang justru mengerutkan
keningnya.
"Kenapa dia memandangiku seperti
itu?" desisnya dalam hati.
"Kecantikannya sungguh luar biasa.
Kulitnya putih mulus. Tentu tubuhnya
penuh gairah yang menjanjikan," kata
Iblis Telapak Darah dalam hati. "Aku
harus mencari kesempatan untuk menikmati
apa yang dimilikinya...."
Kemudian katanya, "Anak gadis...
mungkin kau tak akan percaya dengan apa
yang terjadi padaku...."
"Kau belum mengatakannya. Siapakah
yang telah melakukan tindakan ini?"
Iblis Telapak Darah terdiam.
Kegeraman perlahan-lahan muncul pada
wajahnya.
"Sahabatku telah mampus dibunuh
pemuda keparat itu! Setan alas! Akan
kucari dia! Akan kubalas semua perlakuan
ini ! "
Kata-kata yang tak tahu juntrungannya
itu membuat Diah Harum mengerutkan
keningnya.
"Orang tua... aku tak mengerti apa
yang kau katakan. Sebaiknya kau jelaskan
agar aku tidak banyak bertanya tanya...."
Kembali Iblis Telapak Darah memandang
gadis jelita di hadapannya. Sifat kotor-
nya yang muncul itu semakin bergolak.
"Sungguh bodoh bila aku tidak bisa
menikmati keindahan tubuhnya!" desisnya
dalam hati. Lalu katanya, "Sebenarnya aku
mempunyai seorang sahabat yang berjuluk
Iblis Penghancur Raga. Kami adalah dua
tokoh dari timur yang selalu membela
kebenaran! Dulu kami memang adalah pelaku
keonaran tiada banding, tetapi kami sudah
insyaf."
"Bagus bila kau sudah tak melakukan
lagi apa yang kau lakukan dulu!"
"Beberapa hari lalu kami sedang
melakukan perjalanan. Di tengah jalan
kami berjumpa dengan musuh bebuyutan kami
yang banyak buat keonaran! Mereka
berjuluk Dua Serangkai Jubah Hijau!
Karena tahu kedua orang itu selalu
menimbulkan petaka, kami mencoba untuk
menghentikan sepak terjang mereka! Tetapi
begitu hampir berhasil, mendadak seorang
pemuda muncul! Dia membela Dua Serangkai
Jubah Hijau! Bahkan... sahabatku tewas di
tangannya!!"
"Orang tua... siapa pemuda keparat
itu?"
Iblis Telapak Darah yang memutar-
balikkan kenyataan itu memandang si gadis
dalam-dalam. Kemudian katanya, "Dia
seorang pemuda yang kedua tangannya
bersisik coklat...." Dilihatnya kepala si
gadis menegak. Kendati merasa agak heran,
Iblis Telapak Darah melanjutkan, "Dia
bernama... Boma Paksi atau berjuluk Raja
Naga!"
Dilihatnya wajah si gadis berubah
memerah. Ketegangan terbayang jelas,
terutama dari sorot matanya yang menyi-
ratkan amarah tinggi. Menyusul....
"Keparat! Lagi-lagi pemuda itu! Akan
kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!"
Sudah tentu Iblis Telapak Darah
terkejut mendengar ucapan Diah Harum.
"Dari kata-katanya aku yakin kalau gadis
ini pernah berjumpa dengan Raja Naga yang
kesaktiannya seperti setan itu! Dan
tentunya telah terjadi sesuatu yang
membuatnya murka."
Ditunggunya beberapa saat sampai
gadis jelita di hadapannya itu kelihatan
tenang. Lalu katanya, "Anak gadis... apa
yang telah terjadi? Apakah kau mengenal
pemuda itu?"
Kepala Diah Harum mengangguk kaku.
"Aku bukan hanya telah mengenalnya,
tetapi juga akan membunuhnya!"
"Mengapa?"
"Pemuda itu telah memfitnah guruku!"
"Memfitnah? Siapakah gurumu itu?"
Diah Harum menatap tajam-tajam kakek
yang di ubun-ubunnya terdapat gambar
matahari. Lambat-lambat dia berkata,
"Guruku bernama Dadung Bongkok!"
Kontan kepala Iblis Telapak Darah
menegak.
"Astaga! Beruntung aku belum
melakukan apa-apa terhadapnya! Dadung
Bongkok! Gila! Bila kujalankan maksudku
untuk mempermalukannya, bisa hancur tubuh
ku dihajar oleh Dadung Bongkok!"
Kendati merasa aneh dengan sikap
kakek berjubah hitam itu, Diah Harum tak
mempedulikannya. Gadis ini masih
pada Boma Paksi. Bahkan sekarang dia tahu
kalau Boma Paksi telah mencelakakan kakek
di hadapannya. (Bagi teman-teman yang
ingin mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi terhadap Iblis Telapak Darah dan
Iblis Penghancur Raga, silakan baca
"Kutukan Manusia Sekarat").
"Boma Paksi telah memfitnah guruku!
Dia mengatakan kalau guruku adalah orang
jahat! Dan pemuda yang ternyata putra
mendiang Dewi Lontar itu akan menuntut
balas atas kematian ibunya yang tewas di
tangan guruku!"
"Aku pernah mendengar kematian Dewi
Lontar, tetapi aku tidak tahu siapa yang
melakukannya. Dan sekarang aku tahu kalau
Dadung Bongkok yang melakukan pembunuhan
itu," kata Iblis Telapak Darah dalam
hati .
Kemudian katanya, "Anak gadis...
siapakah namamu?"
"Namaku Diah Harum. Guruku memberiku
julukan Dewi Bunga Mawar...."
"Dewi Bunga Mawar... ketahuilah, aku
dan gurumu adalah bersahabat. Dan tak
kusangka kalau pemuda berompi ungu itu
adalah putra mendiang Dewi Lontar dan
Pendekar Lontar. Lantas apa yang
dilakukannya lagi?"
"Dia muncul kembali setelah dua belas
tahun menghilang untuk membalas dendam
pada guruku! Padahal bila dia mau
mempergunakan otaknya, tentunya dia akan
maklum apa yang dilakukan Guru terhadap
ibunya dua belas tahun yang lalu! Menurut
Guru, Pendekar Lontar dan Dewi Lontar
adalah manusia-manusia keji yang telah
banyak menimbulkan keonaran hingga Guru
merasa terpanggil untuk menghentikan
sepak terjang kedua orang itu. Tetapi
Boma Paksi justru memutar balikkan
kenyataan!!"
"Hebat! Dadung Bongkok berhasil
memperdayai muridnya sendiri dengan
memutar kenyataan yang ada! Bagusnya aku
juga telah membohonginya! Dan nampaknya
gadis ini begitu menjunjung tinggi
gurunya hingga tidak rela orang memfitnah
gurunya!"
Habis membatin demikian, Iblis
Telapak Darah yang langsung surut niat
busuknya tadi berkata, "Dewi Bunga
Mawar... apa yang dikatakan gurumu itu
memang benar. Begitu pula dengan apa yang
kau pikirkan. Tak seharusnya pemuda itu
melakukan fitnahan terhadap gurumu. Dan
juga tak seharusnya pemuda berompi ungu
itu menolong Dua Serangkai Jubah Hijau,
orang-orang golongan sesat yang banyak
membuat keonaran. Kau tentunya akan
bermaksud untuk menghajar pemuda itu,
bukan?"
Dewi Bunga Mawar memalingkan
kepalanya. Memandang tajam pada Iblis
Telapak Darah.
"Orang tua... aku bukan hanya akan
menghajarnya! Tetapi aku juga akan
membunuhnya! Perlakuannya sudah kelewat
batas mengingat kau terluka parah dan
sahabatmu juga telah tewas dibunuhnya!"
"Sebagai seorang sahabat gurumu dan
seorang yang tak menyukai keonaran, sudah
tentu aku berada di pihakmu! Aku pun akan
membalas kematian sahabatku itu!"
Dewi Bunga Mawar tersenyum.
"Aku senang karena berjumpa dengan
sahabat-sahabat Guru...."
"Aku pun senang berjumpa dengan murid
sahabatku itu," sahut Iblis Telapak Darah
sambil tersenyum. Lalu sambungnya dalam
hati, "Tak kusangka perkembangannya jadi
seperti ini. Begitu mudah. Aku yakin,
bila gadis ini tidak dalam keadaan amarah
dan tidak dipengaruhi oleh gurunya yang
dihormatinya, tentunya akan sulit
mempengaruhinya. Aku yakin Dadung Bongkok
pun mengalami kesulitan untuk
mempengaruhinya...."
"Orang tua... apakah kau sudah lebih
baik sekarang?"
Iblis Telapak Darah mengangguk.
"Kalau begitu, kita berangkat
sekarang. Karena... aku juga hendak
menuju ke Lembah Naga!"
Iblis Telapak Darah yang sedang
berdiri mendadak terhuyung mendengar
kata-kata Dewi Bunga Mawar, dengan kedua
mata terbeliak.
"Orang tua! Kau masih lemah!" seru
Dewi Bunga Mawar sambil menyambar tubuh
Iblis Telapak Darah.
Iblis Telapak Darah menggeleng-
gelengkan kepala dan diam-diam menelan
ludahnya.
"Tidak, aku tidak apa-apa!"
"Kau yakin, Orang Tua?"
Iblis Telapak Darah buru-buru
mengangguk.
"Ya! Kita berangkat sekarang! Tetapi
menurutku, yang terpenting sekarang
adalah menemukan dulu pemuda bersisik
coklat itu! . Karena aku khawatir dia su-
dah menyebarkan fitnahnya!"
Kata-kata Iblis Telapak Darah di
setujui oleh Dewi Bunga Mawar.
"Ya! Kita lakukan itu sekarang!"
Lalu keduanya pun segera meninggalkan
tempat itu. Sambil berjalan, Iblis
Telapak Darah membatin, "Menemukan Lembah
Naga? Astaga! Sudah tentu aku tak mau ke
sana! Aku hanya memanfaatkan kesempatan
agar dia membantuku membunuh Boma Paksi!
Sebagai murid Dadung Bongkok, tentunya
ilmunya tak perlu disangsikan lagi!"
★ ★ ★
3
MENJELANG senja Boma Paksi tiba di
sebuah hutan kecil yang dipenuhi pepo-
honan tinggi. Matahari masih mampu
menerobosi pucuk-pucuk pepohonannya.
Pemuda dari Lembah Naga ini memperhatikan
sekelilingnya yang sepi sebelum kemudian
menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali
apa yang telah terjadi. Menyesali
kenyataan kalau Dewi Bunga Mawar ternyata
adalah murid dari musuh besarnya.
"Dia begitu cantik, lembut dan
bersahaja. Sungguh sangat disayangkan
bila dia menjadi seorang murid manusia
sesat seperti Dadung Bongkok."
Sesaat murid Dewa Naga terdiam
sebelum menghela napas panjang.
"Ah, mengapa aku harus bertikai
dengan gadis yang telah mengguncangkan
perasaanku?" keluhnya pelan. Lalu di
arahkan pandangannya pada seekor kelinci
yang keluar dari sarang dan langsung
berlari ke antara ranggasan belukar.
"Memaksanya untuk mengatakan di manakah
Dadung Bongkok berada merupakan sebuah
tindakan yang tepat seharusnya, karena
aku bisa mempersingkat waktu untuk
menemukan orang yang telah membunuh
ibuku. Tetapi... ah, aku tak mengerti,
aku tak mengerti
Pemuda tampan bermata angker ini
kembali menggeleng-gelengkan kepalanya
penuh keresahan. Untuk beberapa saat dia
terdiam. Lalu ditariknya napas dalam-
dalam.
"Aku tak boleh mendua hati. Dadung
Bongkok adalah salah seorang musuh
besarku. Demikian pula halnya dengan
Hantu Menara Berkabut. Kedua manusia itu
harus menerima ganjaran atas perbuatan
mereka dua belas tahun yang lalu pada
kedua orangtuaku. Mereka harus mendapat-
kannya! Sayangnya... aku tak tahu di mana
mereka berada?"
Kalau sebelumnya murid Dewa Naga
dipusingkan dengan apa yang terjadi
antara dirinya dan Dewi Bunga Mawar, kali
ini dia segera memusatkan perhatiannya
pada dua musuh besarnya. Sepasang matanya
yang dapat menciutkan nyali orang bila
melihatnya kembali bersinar angker.
"Sebaiknya... kuteruskan langkah
untuk menemukan di mana Menara Berkabut
berada. Nenek Konde Satu pernah berkata
padaku, kalau aku harus terus melangkah
ke arah timur. Tetapi sampai sejauh ini
aku belum menemukan tanda-tanda di mana
Menara Berkabut berada. Jangan-jangan...
aku telah melewatinya dan tidak tahu
kalau di sanalah Menara Berkabut berada?
Mengingat, tempat itu selalu diliputi
kabut tebal yang sukar ditembus oleh
pandangan? Ah... apa pun yang...."
"Brengsek! Brengsek betul! Bandung
Sulang telah mampus! Aku yakin manusia
penghuni Menara Berkabut itu yang telah
melakukannya! Keparat brengsek! Manusia
itu benar-benar sudah melaksanakan
aksinya!"
Ucapan keras yang memutus kata-kata
Raja Naga itu terdengar dari balik
ranggasan semak. Menyusul semak setinggi
dada itu merebak dan menyeruak satu sosok
tubuh buntal memegang tombak warna biru.
Orang yang baru muncul ini masih
menggerutu panjang pendek.
"Keparat betul manusia satu itu! Dia
bukan hanya telah membunuh Pendekar
Lontar, tetapi juga Bandung Sulang!
Sialan! Jangan-jangan Pendekar Harum pun
telah mampus dibuatnya! Sayang, waktuku
masih dua hari lagi untuk menjumpai Dewa
Segala Obat, jadi aku belum tahu apakah
Pendekar Harum memang sudah tewas atau
belum! Keparat betul!"
Munculnya kakek gemuk berpakaian biru
itu membuat kening Raja Naga berkerut.
Karena si kakek masih saja mendumal tak
karuan seperti tak tahu adanya orang di
sana. Yang membuat Raja Naga merasa
heran, karena dia sama sekali tak
menangkap adanya gerakan orang. Tahu-tahu
telah terdengar suara keras dan munculnya
kakek gemuk itu!
Bahkan tiba-tiba si kakek yang
seperti tak memiliki leher karena
banyaknya lemak, mengangkat kepalanya.
Matanya memandang pada Raja Naga yang
balas tak berkedip.
"Hei, anak muda! Kau tahu... manusia
keparat itu telah membunuh sahabatku
Bandung Sulang! Bisa jadi dia juga telah
membunuh Pendekar Harum! Terkutuk! Akan
kurajam tubuhnya dengan tombakku ini!"
Sementara itu kendati agak kaget
karena tiba-tiba diajak bicara oleh orang
yang baru muncul, Raja Naga mengerutkan
keningnya. Matanya yang bersinar angker
memandang tak berkedip pada si kakek yang
tingginya hanya sebahunya saja.
"Aneh! Baru kali ini aku berjumpa
dengannya. Tetapi mengapa aku seperti
sudah sangat mengenalnya?" desisnya dalam
hati .
Di pihak lain, si kakek bertubuh
buntal sudah berseru lagi, "Kau tahu,
melihat kuburannya yang masih baru, jelas
Bandung Sulang belum lama tewas! Brengsek
tidak?! Manusia keparat itu rupanya
memberi selang waktu selama dua belas
tahun untuk membalas segala kekalahannya
dulu! Hei, Anak muda! Kau tahu apa yang
akan kulakukan terhadap manusia sialan
itu?! Aku bukan hanya akan merajamnya
dengan tombakku ini, tetapi juga
mencabik-cabik tubuhnya sampai menjadi
ratusan kerat! Brengsek betul!"
Raja Naga tak menyahuti kata-kata
orang. Dia masih mencoba mengingat-ingat
siapakah si kakek yang rasa-rasanya
pernah dilihatnya. Dibiarkan saja si
kakek gemuk itu berbicara keras. Tetapi
karena tak menemukan jawaban akan
keheranannya itu, berhati-hati Raja Naga
buka suara,
"Kakek bertubuh buntal! Ada apa kau
tiba-tiba muncul dan mengomel-ngomel
sendiri?"
"Bagaimana aku tidak ngomel kalau
sahabatku telah dibunuhnya?!" sahut si
kakek dengan kepala terangkat. "Ini
namanya keterlaluan! Manusia itu benar-
benar sedang menjalankan aksi balas
dendamnya!"
"Kau tadi mengatakan kalau sahabatmu
itu bernama Bandung Sulang?" tanya Boma
Paksi hati-hati.
"Betul! Kau mengenalnya?!"
Raja Naga mengangguk dan menggeleng.
"Busyet! Apa-apaan kau mengangguk dan
menggeleng seperti itu, hah?! Kalau kau
mengenalnya ya kenal, tetapi kalau kau
tidak mengenalnya ya tidak!"
"Aku mengenalnya karena aku
menemukannya dalam keadaan sekarat dan
menguburkannya! Aku tidak mengenalnya
karena baru kali itu aku berjumpa
dengannya! Kalaupun aku tahu siapa
namanya karena aku berjumpa dengan
perempuan tua berjuluk Nenek Konde Satu!"
(Untuk mengetahui soal ini, silakan baca:
"Kutukan Manusia Sekarat").
"Busyet! Rupanya nenek itu muncul
juga? Brengsek! Pasti dia mau cari gara-
gara lagi? Dulu dia yang menolak cinta
Bandung Sulang, sekarang malah dia yang
mengejar-ngejarnya!" kakek bertubuh gemuk
itu memaki-maki tak karuan.
"Kakek gemuk ini sepertinya bukan
hanya mengenal kakek bernama Bandung
Sulang tetapi dia juga mengenal Nenek
Konde Satu. Ah, mengapa aku begitu merasa
akrab dengannya? Siapa sebenarnya kakek
ini?" tanya batin Raja Naga dalam hati
sambil memandang si kakek yang mulutnya
masih berbentuk kerucut.
Tiba-tiba si kakek gemuk memalingkan
kepalanya lagi dan berseru, "Kau tahu
siapa yang telah membunuhnya?! Kau...
hei!!" seperti baru menyadari keadaan
pemuda di hadapannya, kakek gemuk ber-
senjata tombak biru itu melotot. Mulutnya
menganga sejenak sebelum bicara, "Kulit
kedua tanganmu sebatas siku bersisik
coklat, Anak Muda!"
Raja Naga hanya mengangguk.
Lama si kakek gemuk memandanginya
seperti itu sampai kemudian dia buka
mulut, "Di dunia ini... hanya seorang
yang memiliki kulit penuh sisik, tetapi
berwarna hijau! Dia adalah kakek brengsek
tukang kentut yang berjuluk Dewa Naga!
Anak muda... kedua tanganmu sebatas siku
bersisik coklat. Aku tidak tahu apakah
kamu ada hubungannya dengan Dewa Naga
atau tidak! Biar aku tidak banyak tanya,
sebaiknya kau jelaskan!"
Karena merasa sudah pernah mengenal
si kakek gemuk tetapi tidak ingat lagi di
mana, Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Dia adalah guruku...."
"Astaga! Gurumu?! Busyet! Sejak kapan
dia mengangkat seorang murid, hah?! Sejak
kapan?!"
"Sejak dua belas tahun yang lalu!"
Kakek gemuk itu menggeleng gelengkan
kepalanya sambil memandang Raja Naga.
"Kau memiliki tatapan yang menge-
rikan, Anak muda. Tatapanmu seperti
hendak menerkam orang yang kau lihat!
Tetapi aku yakin kau memiliki hati yang
lembut dan kebaikan tiada tanding! Tadi
kau katakan kalau Dewa Naga adalah
gurumu... sekarang, bagaimana kabarnya?!"
"Sepeninggalku dari Lembah Naga, dia
baik-baik saja...."
"Bagus! Apakah dia masih suka kentut
sembarangan?!"
Raja Naga hanya tersenyum. Lalu
katanya, "Kakek bertubuh gemuk! Baru kali
ini kita pernah bertemu, tetapi mengapa
aku seperti telah mengenalmu?"
"Brengsek! Apakah kau saja yang
merasa seperti itu? Aku juga seperti
mengenalmu!" balas si kakek gemuk ketus.
"Astaga! Jadi dia juga merasa pernah
mengenalku?" desis Boma Paksi dalam hati.
Tiba-tiba kepala si kakek menegak.
Karena seperti tak memiliki leher, jadi
tegaknya kepala si kakek kelihatan lucu.
"Anak muda... kau mengatakan kalau
kau adalah murid Dewa Naga! Apakah sisik
coklat pada kedua tanganmu, berasal dari
ilmu yang diturunkan oleh Dewa Naga?"
"Menurut Guru, aku sudah memilikinya
semenjak lahir."
"Tadi katamu pula kalau kau berguru
padanya sudah dua belas tahun?"
"Begitulah adanya!"
"Berapa usiamu sekarang?"
"Tujuh belas tahun!"
"Astaganaga!" Kakek gemuk itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu
katanya dengan suara sedikit tegang,
"Apakah... apakah kau bernama... Boma
Paksi?"
Bersamaan dengan si kakek mengajukan
pertanyaan seperti itu, Raja Naga pun
berseru, "Kek! Kau tentunya Dewa Tombak,
bukan? Ya, ya! Dewa Tombak!"
"E, busyet! Ditanya apa menjawab apa!
Tapi apa yang kau katakan tadi memang
benar! Orang-orang rimba persilatan
menjulukiku Dewa Tombak!"
Raja Naga tersenyum. Tatapannya tetap
berkesan angker.
"Kau juga tidak salah, Kek. Namaku
Boma Paksi. Pantas aku seperti pernah
mengenalmu. Kalau tak salah ingat, kau
hadir di saat ayahku meninggal, bukan?"
"Brengsek betul!" maki Dewa Tombak
tiba-tiba. "Dicari ke sana kemari selama
dua belas tahun, rupanya kakek tukang
kentut itu yang membawamu kabur, ya?!"
Raja Naga cuma tersenyum. Ingatannya
kembali pada peristiwa dua belas tahun
yang lalu, di mana ayahnya ditemukan
tewas tanpa diketahui penyebabnya. Dan
kakek gemuk berpakaian biru ini pun
datang ke sana (Untuk mengetahui lebih
jelas silakan baca serial Raja Naga dalam
episode : "Tapak Dewa Naga").
Di pihak lain si kakek gemuk yang
ternyata Dewa Tombak masih mendumal tak
karuan. Setelah berpisah dengan Dewa
Segala Obat, Dewa Tombak segera menuju ke
Bukit Gulungan untuk menjumpai Bandung
Sulang. Karena saat itu Dewa Tombak punya
satu pikiran, kalau Hantu Menara Berkabut
yang menurut Dewa Segala Obat adalah
orang yang telah membunuh Pendekar
Lontar, saat ini sedang menjalankan aksi
balas dendamnya. Sementara itu Dewa
Segala Obat sendiri segera berangkat
untuk melihat keadaan Pendekar Harum
(Baca : "Kutukan Manusia Sekarat").
"Boma Paksi...," panggil Dewa Tombak.
"Tentunya Dewa Naga telah menceritakan
apa yang terjadi pada mendiang ayahmu,
bukan?"
"Ya! "
"Jadi aku tak perlu menceritakannya
lagi. Hantu Menara Berkabutlah yang telah
membunuhnya."
"Tetapi Guru tak pernah mengatakan
bagaimana Hantu Menara Berkabut membunuh
ayahku! Beliau memintaku untuk mencari
Dewa Segala Obat!"
"Kau tak perlu mencarinya karena saat
ini kakek tukang obat itu sedang menemui
Pendekar Harum! Boma... kau telah tumbuh
menjadi pemuda gagah! Sisik-sisik coklat
di kedua tanganmu dulu sangat halus
hingga tak begitu kentara, tetapi
sekarang cukup nyata! Anak muda...
menurut Dewa Segala Obat, Hantu Menara
Berkabut membunuh ayahmu dengan
mempergunakan seekor lebah yang telah
dilumuri berbagai jenis bisa ular!"
"Lebah?"
"Ya! Lebah itulah yang telah
membunuhnya! Tetapi sayangnya, kendati
ibumu mengetahui bagaimana ayahmu
dibunuh, tetapi dia tidak tahu kalau
Hantu Menara Berkabut yang telah
melakukannya! Sekarang, ada persoalan
yang masih membingungkanku! Siapakah
orang yang telah membunuh ibumu?"
Kepala Boma Paksi terangkat. Sorot
angker mata nya semakin memancar dingin.
Dewa Tombak yang melihatnya tanpa sadar
agak bergidik.
"Astaga! Tatapan itu benar-benar
mengerikan!" desisnya dalam hati.
Lamat-lamat dilihatnya si pemuda
mengarahkan pandangannya ke kejauhan.
"Dewa Tombak... orang yang membunuh
ibuku bernama Dadung Bongkok!"
"Busyet! Dia lagi rupanya! Aku juga
sudah menduga seperti itu sebenarnya,
tetapi aku masih meragu!"
"Dewa Tombak... aku telah berjumpa
denganmu, berarti aku tak perlu lagi
mencari Dewa Segala Obat untuk mengetahui
sebab-sebab kematian ayahku! Sekarang aku
hendak bertanya padamu! Tahukah kau di
mana Menara Berkabut berada?!"
Kepala Dewa Tombak menggeleng.
"Menara Berkabut adalah sebuah tempat
yang sangat sukar dilihat oleh mata
karena terhalangi oleh gumpalan kabut
tebal! Sekencang apa pun angin berhembus
kabut-kabut tebal itu tak akan bergeser
sedikit juga!"
"Kalau begitu... kau tahu di mana aku
bisa menemukan Dadung Bongkok?"
"Manusia satu itu selalu berpindah-
pindah tempat! Dia tak pernah menetap di
satu tempat lebih dari satu tahun! Kabar
yang kudengar terakhir dia berdiam di
Puncak Angin! Tetapi bisa jadi kalau dia
sudah tidak berada di sana sekarang!"
Paras Raja Naga terlihat agak kecewa.
Sepasang matanya mengerjap-ngerjap.
"Boma... kau telah tumbuh menjadi
seorang yang gagah dan aku yakin kau
telah mewarisi ilmu Dewa Naga! Kau tak
sendiri di dalam niatmu untuk menemukan
Dadung Bongkok!"
Raja Naga tak menyahuti ucapan si
kakek gemuk. Otaknya dipenuhi berbagai
pikiran. Lalu katanya seraya memandang
Dewa Tombak, "Terima kasih atas kesediaan
mu membantuku! Tetapi biarlah aku yang
tangani urusan ini!"
"Sok tahu! Kau belum tahu kehebatan
Hantu Menara Berkabut dan Dadung
Bongkok?! Mungkin kau bisa menghadapi
mereka bila satu lawan satu! Tapi
bagaimana bila keduanya bergabung dan
siap menghabisimu?! Bicara seenaknya
saj a!"
Raja Naga tak menghiraukan kata-kata
si kakek gemuk.
Dia berkata, "Kedua orangtuaku
dibunuh secara kejam oleh Hantu Menara
Berkabut dan Dadung Bongkok! Biarpun
keduanya bergabung, aku tak peduli! Aku
akan menghadapinya dengan segenap
kemampuanku!"
"Kau tentunya telah mewarisi seluruh
ilmu si kakek tukang kentut itu! Bisa
jadi kau memang akan mampu menghadapi
keduanya! Tetapi perlu kau ingat, ilmu
yang telah kita miliki belum tentu
menjadi jaminan untuk menghadapi
seseorang! Karena terkadang kelicikan
lebih mengerikan akibatnya daripada ilmu
kesaktian!"
Raja Naga membenarkan apa yang
dikatakan Dewa Tombak.
"Aku akan berhati-hati"
"Bagus! Aku hanya mengetahui sedikit
tentang Menara Berkabut! Menurut kabar
tempat itu berada di sebelah timur!
Teruslah kau melangkah ke sana untuk
menemukan tempat penuh misteri itu! Dan
ingat, berhati-hatilah!"
Raja Naga merangkapkan kedua
tangannya.
"Bukannya aku tak punya banyak waktu
atau tak mau bercakap-cakap lebih lama,
tetapi aku ingin menyelesaikan urusanku
secepat mungkin!"
"Ya, sudah! Sana pergi!"
Raja Naga mengangguk. Saat lain dia
sudah berlari meninggalkan tempat itu.
Diiringi pandangan mata Dewa Tombak,
murid Dewa Naga terus berlari ke arah
timur.
"Kegagahannya tentunya diwarisi dari
ayahnya! Dan di balik kegagahannya itu
juga terdapat kelembutan yang tentunya
diwarisi dari ibunya! Tak kusangka, bocah
yang selama dua belas tahun membuatku
bertanya-tanya tentang nasibnya, rupanya
sudah diambil murid oleh Dewa Naga!
Hemm... kakek tukang kentut itu berhasil
juga menjalankan apa kemauannya! Karena
aku ingat kalau dia pernah meminta bocah
yang pada punggungnya terdapat gambar
seekor naga hijau untuk dijadikan
muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolaknya
karena dia tentunya masih sedih atas
kematian suaminya. Ah, waktu memang cepat
berjalan. Bocah itu sudah tumbuh menjadi
pemuda gagah dengan sisik-sisik coklat
pada kedua tangannya sebatas siku yang
semakin kentara? Heii! Apakah gambar
seekor naga hijau pada punggungnya yang
dibawanya dari lahir itu masih ada?"
Dewa Tombak memutus kata-katanya
dengan pertanyaannya sendiri. Untuk
beberapa saat kakek gemuk ini menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Sisik coklat pada kedua tangannya
masih ada, tentunya gambar seekor naga
pada punggungnya juga masih ada. Ah, apa
makna gambar seekor naga itu sebenarnya?"
Lagi si kakek gemuk terdiam sebelum
memandang lagi ke tempat berlalunya Raja
Naga.
"Mungkin hanya dia yang akan tahu
kelak! Sebaiknya... aku menemui Dewa
Segala Obat di Gunung Menjangan! Mudah-
mudahan Pendekar Harum tak mengalami
nasib sial seperti yang dialami oleh Pen-
dekar Lontar dan Bandung Sulang!"
Saat lain kakek gemuk berpakaian biru
yang nampak sesak karena lemak pada
tubuhnya sangat banyak, sudah meninggal-
kan tempat itu, menempuh arah yang
berlainan dengan yang ditempuh Raja Naga.
Kendati tubuhnya sangat gemuk, tetapi
gerakannya sangat lincah sekali.
Sepuluh tarikan napas berikutnya,
satu sosok tubuh melompat turun dari atas
sebuah pohon yang tak jauh dari tempat
Raja Naga dan Dewa Tombak berdiri tadi.
Sosok tubuh kontet berkulit hitam legam
itu hinggap di atas tanah tanpa
menimbulkan suara.
Untuk beberapa saat perempuan tua
bertubuh kontet ini terdiam, matanya
nyalang menatap ke arah perginya Dewa
Tombak.
"Apa yang menjadi kecemasanku selama
ini memang terbukti! Putra mendiang
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar masih
hidup! Bahkan dia telah menjadi murid
Dewa Naga! Terkutuk!" maki si perempuan
tua berpakaian hitam dan berkulit hitam
legam.
Kembali perempuan tua kontet yang
bukan lain Ratu Sejuta Setan ini
menggeram, "Aku lebih dulu berada di sini
sebelum pemuda bersisik coklat itu
datang! Dan aku lebih cepat melompat ke
balik pohon itu! Sebenarnya aku hendak
menanyakan sesuatu pada pemuda itu,
tetapi keburu muncul Dewa Tombak!
Keparat! Kakek gemuk itu pernah
mengalahkanku dua belas tahun yang lalu!
Dan beruntung aku bersembunyi hingga
mengetahui apa yang terjadi! Terutama
siapakah pemuda bersisik coklat itu! Dia
adalah Boma Paksi! Murid Dewa Naga! Ini
berita besar untuk Dadung Bongkok dan
Hantu Menara Berkabut! Hemm... biar
kuikuti ke mana perginya pemuda bersisik
itu! "
Kejap berikutnya, Ratu Sejuta Setan
sudah berkelebat ke arah perginya Raja
Naga.
★ ★ ★
4
PAGI kembali menghampar dengan
keindahan alam tiada banding. Bila pagi
hari datang diiringi dengan sinar indah
matahari, akan jarang orang yang akan
melewatkan kesempatan untuk menikmati
keindahan itu. Sama seperti halnya dengan
kakek berambut jarang yang mengenakan
pakaian compang-camping. Si kakek yang
pada pinggang kurusnya tercantel sebuah
pundi, sedang asyik memandang keindahan
pagi.
Tak jauh darinya, Gunung Menjangan
menjulang tinggi. Bila dilihat dari
kejauhan puncak gunung itu berbentuk
seperti kepala menjangan.
Kakek berambut jarang ini menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Terkadang aku suka tak habis
mengerti, mengapa manusia selalu dipenuhi
ambisi dan dendam berkepanjangan? Padahal
alam yang begitu indah dapat dijadikan
sebagai tempat menghirup kehidupan baru
ketimbang dipenuhi ambisi kotor dan
dendam
Kakek berpakaian compang-camping ini
kembali memandangi Gunung Menjangan.
Hijau seperti meronai tempat itu. Kabut-
kabut tipis yang perlahan-lahan akan
menghilang seiring dengan pagi beranjak
siang, masih nampak menyelimuti puncak
Gunung Menjangan.
"Huh!! Aku terlalu cepat satu hari
berada di sini. Jadi terpaksa nanti aku
akan bermalam di sini. Apa yang dialami
Dewa Tombak sekarang? Apakah dia
menemukan pemandangan mengerikan terhadap
Bandung Sulang? Seperti pemandangan
mengerikan yang kulihat pada Pendekar
Harum?"
Kakek yang bukan lain Dewa Segala
Obat ini terdiam. Terbayang bagaimana
ketika dia tiba di tempat kediaman
Pendekar Harum. Sejak muncul di sana Dewa
Segala Obat sudah merasa heran, karena
melihat pepohonan tumbang dan tanah yang
merengkah. Rasa herannya itu berubah
menjadi ketegangan tatkala dia tiba pada
satu pikiran.
Penuh kehati-hatian Dewa Segala Obat
melangkah untuk mencari Pendekar Harum.
Dan seperti yang telah diduganya, dia
menemukan Pendekar Harum dalam keadaan
tewas dengan seluruh tubuh penuh luka.
Perasaan gundah merasuki hati Dewa Segala
Obat sesaat begitu melihat keadaan
Pendekar Harum.
Lalu dengan keahliannya dia memeriksa
tubuh Pendekar Harum. Pertama keningnya
berkerut. Lalu diedarkan pandangannya,
mencari sesuatu yang diduga keras sebagai
penyebab kematian Pendekar Harum.
Tatkala melihat tiga ekor lebah yang
telah mati berada di sana, kakek berambut
jarang ini menarik napas dalam-dalam.
"Hantu Menara Berkabut...," desisnya.
Kemudian dikuburkannya mayat Pendekar
Harum dan dia segera melakukan perjalanan
ke Gunung Menjangan sesuai janjinya
dengan Dewa Tombak. Dan sekarang Dewa
Segala Obat telah berada di Gunung
Menjangan, lebih awal dari waktu yang
ditentukan.
"Pendekar Lontar dan Pendekar Harum
telah tewas di tangan Hantu Menara
Berkabut. Kemungkinannya, Bandung Sulang
pun akan mengalami nasib yang sama.
Tetapi mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan
pula Dewa Tombak muncul dengan membawa
berita baik."
Dewa Segala Obat menggeleng gelengkan
kepalanya, agak resah.
"Sampai hari ini aku masih
dibingungkan dengan hilangnya putra
Pendekar Lontar. Dewi Lontar telah tewas
tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan
kalau putranya dibunuh oleh orang yang
belum diketahui itu, kemungkinan mayatnya
berada di sisi atau tak jauh dari Dewi
Lontar. Kendati begitu, tak mengurungkan
pikiranku kalau si pembunuh membunuhnya
di sebuah tempat yang sukar dicapai.
Ah... urusan ini makin berkembang
panjang! Aku merasa pasti, bukan Hantu
Menara Berkabut yang telah lakukan
pembunuhan terhadap Dewi Lontar! Karena
tak kutemukan lebah-lebah beracun di
sekeliling sana!"
Kembali Dewa Segala Obat menggeleng-
gelengkan kepalanya. Mendadak dipalingkan
kepalanya ke kanan.
"Hemmm... kutangkap satu gerakan
tetapi sosok yang bergerak itu belum
nampak. Apakah si gemuk yang sudah datang
ke sini?" desisnya dengan kening
dikernyitkan. Beberapa saat kemudian dia
menyambung, "Aku tak perlu bersembunyi.
Biar kulihat siapa yang muncul."
Kakek berambut jarang ini segera
memutar tubuhnya menghadap ke kanan.
Sepasang matanya yang agak menyipit
memandang tak berkedip pada jalan setapak
yang dilihatnya.
Dua kejapan mata berikut nampak satu
sosok tubuh berpakaian kain batik telah
muncul di sana. Masih berada dalam jarak
dua puluh langkah, perempuan setengah
baya itu melompat, berputar dan berdiri
tegak tanpa mengeluarkan suara sejarak
sepuluh langkah dari hadapan Dewa Segala
Obat.
Dewa Segala Obat langsung mendengus
begitu mengenali siapa yang datang.
"Siapa yang ditunggu, siapa yang
datang!" gerutunya.
Perempuan setengah baya berkonde
mencuat itu juga mendengus.
"Aku memang tak merasa sedang
ditunggu seseorang! Kalau aku tiba di
sini, karena memang sebuah kebetulan!"
"Kebetulan ya kebetulan! Lebih baik
kau segera pergi saja dari sini?!"
"Keparat peot! Bicaramu masih sinis
seperti dulu?!" bentak si pendatang.
Dewa Segala Obat mendengus.
"Ya, ya! Kalau kau tersinggung, aku
minta maaf! Sekarang, mau apa kau berada
di sini, Nenek Konde Satu?!"
Nenek Konde Satu menggeram.
"Aku sedang lakukan satu perjalanan!
Kalau berada di sini karena kebetulan!"
"Kalau begitu, teruskan saja
perj alananmu!"
"Sejak dulu Dewa Segala Obat selalu
sinis padaku, semenjak diketahui kalau
aku mengkhianati cinta kasih Bandung
Sulang. Dia adalah sahabat Bandung
Sulang! Dan aku merasa menjadi orang yang
paling malang karena selalu disinisi oleh
para sahabat Bandung Sulang! Okh! Apakah
mereka tidak tahu kalau aku telah
menyesali tindakanku selama ini?! Bahkan
aku tak sempat meminta maaf pada Bandung
Sulang karena orang itu sudah mati!"
"Hei! Kenapa kau terdiam? Sudah pergi
sana! Atau... kau sedang melakukan
perjalanan untuk mencari Bandung Sulang?!
Kau ingin menyakiti hatinya lagi dengan
pengkhianatan cintamu itu?!" makin sinis
suara Dewa Segala Obat.
Sepasang mata Nenek Konde Satu
membuka. Melotot gusar.
"Jaga mulutmu kalau bicara!"
"Bandung Sulang adalah sahabatku! Aku
kecewa bila dia dikhianati cinta
kasihnya! Kau tahu, betapa tulus dia
mencintaimu! Tetapi nyatanya kau justru
melakukan satu pengkhianatan yang
membuatnya menyembunyikan diri di Bukit
Gulungan!"
"Aku datang untuk meminta maaf
padanya!"
"Mengapa baru sekarang kau
melakukannya, hah?! Setelah sekian lama
berlalu?!"
"Karena aku tidak tahu dia berdiam di
Bukit Gulungan!" sahut Nenek Konde Satu
keras, tetapi serak.
"Sejak dulu kau pandai memutar
omongan! Kau bahkan terlalu pandai
menyakiti hatinya!"
"Dewa Segala Obat! Apakah kau tak
bisa menahan mulutmu dulu barang sejenak
sebelum kutampar?!"
"Kau hendak menamparku?" sinis suara
Dewa Segala Obat. "Sebaiknya kau
menjumpai dulu Bandung Sulang, minta maaf
padanya, baru kau menamparku!"
Nenek Konde Satu terdiam. Sepasang
matanya mengerjap-ngerjap. Lalu katanya
parau, "Aku telah menjumpainya!"
"Bagus, kalau kau sudah menjumpainya!
Seperti kataku tadi, ayo, tampar aku!!"
"Tapi... niatku tak pernah
kesampaian...."
Dewa Segala Obat mengangkat kepala-
nya. Kesinisannya menghilang. Dipandangi-
nya lekat-lekat perempuan berkonde di
hadapannya. Dadanya bergemuruh.
Lalu didengarnya kata-kata Nenek
Konde Satu, "Ketika aku datang... dia
telah tewas...."
Kepala Dewa Segala Obat menegak. Lalu
katanya dalam hati, "Berarti... Hantu
Menara Berkabut telah menuntaskan seluruh
dendamnya."
Nenek Konde Satu mengangkat
kepalanya. "Dewa Segala Obat... apakah
kau masih memandang sinis kepadaku? Aku
telah lama melakukan perjalanan untuk
menjumpainya, untuk meminta maaf padanya,
tetapi setelah aku menemukannya dia telah
tewas! Apakah kau masih menganggapku
sebagai seorang pengkhianat?"
Dewa Segala Obat tak menjawab. Dia
justru memalingkan kepalanya.
"Bila besok Dewa Tombak datang,
berarti aku telah tahu jawabannya...."
katanya dalam hati.
"Selama ini aku memang telah
mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang!
Aku telah dibutakan oleh cinta kotor
manusia keparat yang ternyata justru
memperalatku! Baru kuketahui kalau
manusia itu pernah dikalahkan oleh
Bandung Sulang! Dia sengaja mengencaniku
dengan tujuan menyakiti hatinya! Dan aku
terlalu bodoh! Terlalu dibutakan oleh
cinta palsu hingga aku tega mengkhianati
cinta Bandung Sulang!"
Dewa Segala Obat berkata tanpa
memalingkan kepala, "Kau telah melakukan
kesalahan dalam hidupmu dengan pengkhia-
natan cinta yang telah kau lakukan! Kau
telah membuat Bandung Sulang merana
berkepanjangan! Padahal kau tahu akan
sifat Bandung Sulang! Dia termasuk salah
seorang yang tak banyak bicara! Sudah
berulang kali kukatakan tak perlu
menyembunyikan diri! Kukatakan dia harus
tabah menghadapi semua ini! Karena masih
banyak perempuan lain yang lebih baik
dari kau, Nenek Konde Satu! Tapi dasar
dia yang memiliki sifat perasa, tak
dihiraukannya saran saranku!"
"Kuakui kesalahan sekaligus kebodohan
ku! Manusia keparat itu memperalatku! Dia
mendendam pada Bandung Sulang! Dan hendak
membunuhnya dengan jalan menyiksa
perasaannya!"
"Hingga saat ini tak seorang pun,
termasuk Bandung Sulang, yang mengetahui
pada siapa kau arahkan wajah! Apakah kau
tidak mau mengatakannya saat ini?"
Nenek Konde Satu terdiam. Matanya
yang tadi mengerjap-ngerjap menahan
gejolak di dada, perlahan-lahan membuka
lebar. Mulutnya menggembung menyusul
kata-katanya, "Manusia keparat itu akan
kubunuh! Aku sedang melakukan perjalanan
untuk membunuhnya! Dia adalah... Hantu
Menara Berkabut!!"
Seketika kepala Dewa Segala Obat
berpaling. Mulutnya menganga lebar.
"Astaganaga! Kau melakukan
pengkhianatan pada musuh Bandung
Sulang?!"
"Aku tidak tahu kalau dia pernah
dikalahkan oleh Bandung Sulang!"
"Terkutuk!" maki Dewa Segala Obat
keras. "Kau telah menyiksa perasaannya
sementara Hantu Menara Berkabut tertawa
keras! Mentertawakan ketololanmu dan
kesedihan Bandung Sulang! Astaganaga!
Nenek Konde Satu! Apa yang telah
membutakan matamu hingga kau tidak tahu
kalau Hantu Menara Berkabut adalah musuh
Bandung Sulang?"
Nenek Konde Satu menekan kesedihan-
nya. Diangkat kepalanya sedikit dan
berkata, "Aku memang bodoh tidak tahu
semua itu...."
"Bodoh atau tidak, kenyataannya kau
telah melakukan kesalahan fatal! Dan kau
tahu siapa yang telah membunuh Bandung
Sulang?"
Nenek Konde Satu terdiam. Lalu
katanya, "Sebelum aku menjumpai mayat
Bandung Sulang, di sana ada seorang
pemuda berompi ungu. Aku menduga dialah
yang telah membunuh Bandung Sulang hingga
kulakukan gebrakan padanya. Tetapi di
luar dugaan, pemuda itu dapat mematahkan
seranganku dengan mudah. Lalu dia
berkata, kalau dia menemukan Bandung
Sulang dalam keadaan sekarat. Pemuda yang
kedua tangannya bersisik coklat sebatas
siku itulah satu-satunya orang yang
terakhir melihat Bandung Sulang masih
hidup."
"Pemuda bersisik coklat?" kening Dewa
Segala Obat berkerut. "Siapakah pemuda
itu?"
"Dia menyebut namanya, tetapi tidak
mengatakan julukannya...."
"Siapakah namanya?"
"Boma Paksi!"
"Boma Paksi?" Kerutan di kening Dewa
Segala Obat semakin banyak. Kakek itu
menggerak-gerakkan telunjuknya. "Boma
Paksi... Boma Paksi... rasanya aku pernah
mendengar nama itu. Tapi di mana ya? Di
ma... astaga! Boma Paksi!"
Nenek Konde Satu ganti mengerutkan
keningnya melihat kepala si kakek
menegak. Dia tak berkata apa-apa, hanya
memandang penuh tanya.
"Boma Paksi!" seru si kakek lagi.
"Ya, ya! Tidak salah! Tidak salah lagi!
Pasti dia! Pasti! Dulu di kedua tangannya
sebatas siku juga terdapat sisik-sisik
coklat! Dan ciri itu pun masih melekat
sampai sekarang! Namanya juga sama! Ah,
tak salah lagi! Pasti dia!"
"Siapa orang yang kau maksudkan?"
tanya Nenek Konde Satu.
Dewa Segala Obat menengadah sedikit,
tatapannya tajam.
"Kalau memang dia masih hidup, pemuda
itu adalah putra Pendekar Lontar!"
"Putra Pendekar Lontar?"
"Ya! Dia. . . tapi. . . kau tadi
mengatakan kalau seranganmu dipatahkannya
dengan mudah?"
"Begitulah adanya!"
"Dia mengatakan siapa gurunya?" Nenek
Konde Satu menggelengkan kepalanya.
"Tidak!"
Dewa Segala Obat mengangguk anggukkan
kepalanya kembali.
"Pasti... pasti dia telah berguru
pada seseorang," desisnya dalam hati.
Lalu dipandanginya lagi Nenek Konde Satu,
"Kau mengatakan kalau pemuda itu
menjelaskan keadaan Bandung Sulang! Kau
juga meragukan kalau dia yang telah
membunuhnya! Lantas, siapakah yang kau
duga sebagai pelaku pembunuhan itu?"
Nenek Konde Satu menahan napas
sejenak. Pancaran matanya menjadi berang.
Lalu katanya dengan suara ditekan, "Hantu
Menara Berkabut!"
"Hantu Menara Berkabut?!"
Nenek Konde Satu mengangguk.
"Brengsek! Manusia itu memang telah
menjalankan aksi balas dendamnya pada
tiga tokoh kenamaan rimba persilatan!
Pembantaian yang dilakukannya tak akan
bisa dimaafkan!"
"Dan aku datang untuk menuntut balas!
Untuk melampiaskan perbuatannya padaku
dulu!"
"Tak guna! Tak guna!"
"Dewa Segala Obat! Aku tahu kesaktian
Hantu Menara Berkabut! Tetapi aku tak
peduli! Aku tak akan pernah tenang bila
mendengar atau melihatnya masih hidup!
Aku telah bulatkan tekad untuk berjibaku
menghadapinya!"
Kata-kata bernada tandas dari Nenek
Konde Satu membuat Dewa Segala Obat
memandang si perempuan lekat-lekat. Yang
dipandang agak risih kendati dia tak lagi
melihat tatapan sinis di bola mata tua
itu.
"Bagus kalau kau punya pendirian
seperti itu!"
"Terima kasih akhirnya kau mau
mengerti...," sahut Nenek Konde Satu.
"Dan kuharap sahabat Bandung Sulang
lainnya mau mengerti keadaanku! Dewa
Segala Obat! Aku telah bertekad untuk
membunuh Hantu Menara Berkabut! Rasanya
lebih baik kita berpisah sekarang!"
Dewa Segala Obat memandang dalam-
dalam perempuan berkebaya itu. Lalu
katanya seraya mengangguk, "Aku masih
harus menunggu Dewa Tombak di sini.
Berhati-hatilah..."
Mengembang senyuman di bibir keriput
itu. Lalu dengan membawa ketenangannya.
Nenek Konde Satu segera meninggalkan
tempat itu. Dia merasa sebagian bebannya
telah menghilang, karena akhirnya ada
juga orang yang mau menerima penjelasan-
nya. Selama ini Nenek Konde Satu selalu
dicemaskan oleh keadaan itu, terutama
sikap Bandung Sulang bila ditemuinya. Dan
penyesalannya kini semakin dalam karena
dia tak sempat meminta maaf pada Bandung
Sulang.
Sepeninggalnya, Dewa Segala Obat
menghembuskan napas panjang.
"Tak kusangka kalau cinta telah
membutakan mata seseorang, telah memba-
likkan hati seseorang yang semula bersih
menjadi kotor. Yang tak kusangka sama
sekali, kalau Nenek Konde Satu melakukan
pengkhianatan bersama Hantu Menara
Berkabut! Ah! Cinta memang sukar sekali
ditebak! Sekali orang terjerat cinta,
akan sulit untuk melepaskan diri!"
Untuk beberapa saat kakek yang di
pinggang kurusnya mencantel sebuah pundi
itu terdiam. Lalu diangkat kepalanya.
Diperhatikan sekelilingnya. Sinar
matahari mulai terasa menyengat. Kabut-
kabut tipis telah lenyap dari puncak
Gunung Menjangan.
"Aku telah berjanji pada Dewa Tombak
untuk bertemu dengannya di sini.
Berarti... aku harus menunggunya," kata-
nya kemudian setelah menghela napas.
"Sebaiknya... aku cari makanan dulu
sebagai pengganjal perut..."
Di lain saat kakek berambut jarang
ini sudah melangkah mencari apa saja yang
bisa dimakan.
★ ★ ★
5
NENEK Konde Satu terus berlari
seiring matahari yang semakin menurun.
Dari gerakannya dia sama sekali tak
bermaksud untuk menghentikan larinya
sekali pun, terus menuju ke arah timur.
Perjumpaannya dengan Dewa Segala Obat
yang secara tidak langsung akhirnya
memaklumi apa yang selama ini pernah
dilakukannya terhadap Bandung Sulang,
menambah semangatnya untuk membalas
semuanya pada Hantu Merana Berkabut!
Kegagalannya untuk meminta maaf pada
Bandung Sulang atas semua kesalahan yang
pernah dilakukannya, semakin menambah
gejolak amarah di dadanya. Dia merasa
begitu bodoh karena tak sadar kalau se-
dang diperalat oleh Hantu Menara
Berkabut. Namun di balik semua itu, dia
menyalahi dirinya sendiri karena begitu
mudah terpengaruh hingga ditinggalkannya
Bandung Sulang yang tulus mencintainya.
Nenek Konde Satu bertekad untuk
menghapus semua kesalahan yang telah
dilakukannya. Dan jalan satu-satunya
adalah melihat Hantu Menara Berkabut
mampus di tangannya!
Sebelum matahari hilang di balik
sebuah bukit, dihentikan langkahnya di
sebuah jalan setapak. Sepasang matanya
memandang tak berkedip ke depan. "Hmmm...
ada gumpalan kabut tebal di ujung sana!
Kabut itu menjulang tinggi, menutupi
bagian bawah hingga ke atas! Aneh! Nampak
seperti ada sesuatu yang ditutupi kabut
itu! "
Untuk beberapa saat Nenek Konde Satu
tak beranjak dari tempatnya. Matanya
terus memandang pada gumpalan kabut hitam
tebal itu. Hatinya dipenuhi banyak tanya.
Setelah beberapa saat terdiam diputuskan
untuk kembali berlari.
Tepat matahari sudah lenyap di balik
bukit, Nenek Konde Satu kembali menghen-
tikan larinya. Dipandanginya keadaan di
hadapannya. Dari jarak yang lebih dekat
dari semula, Nenek Konde Satu dapat
melihat lebih jelas lagi gumpalan kabut
hitam tebal yang nampak menyelimuti
sesuatu yang menjulang tinggi. Dari
gumpalan kabut tebal itu, dibawa
pandangannya agak ke bawah. Seluas mata
memandang, yang nampak adalah ranggasan
semak dan lumpur-lumpur hitam. Dari sorot
matanya yang tak berkedip, perlahan-lahan
terlihat keningnya berkerut.
"Astaga!" desisnya cukup keras hingga
kepalanya menegak. Lalu diambilnya
sebatang dahan pohon yang kebetulan ada
di sisi kanannya. Dilemparnya dahan pohon
itu ke ranggasan semak belukar.
Wlessss!
Dilihatnya tiga ekor ular langsung
keluar begitu dahan tadi mengenai salah
satu ranggasan semak yang banyak terdapat
di sana, bergerak cepat dan menyelinap ke
semak lain.
Tak puas sampai di sana, kembali
Nenek Konde Satu mengambil dahan pohon
yang ada di sisinya lagi. Kali ini
dilemparkannya ke arah lumpur yang tak
jauh darinya.
Pluss !
Sejenak dahan itu mengambang, sebelum
kemudian perlahan-lahan lenyap tertelan
lumpur.
"Gila! Gila!" seru si nenek berkebaya
ini kemudian. "Bukankah... bukankah...
apa yang kulihat ini adalah ciri dari
Menara Berkabut?!"
Tiba pada pikirannya sendiri Nenek
Konde Satu terdiam. Tanpa sadar dadanya
bergerak turun naik. Dia menjadi agak
tegang sekarang.
"Menara Berkabut! Berarti... aku
telah tiba di tempat manusia keparat
itu!" desisnya dengan kedua tangan
mengepal. Mendadak dia berteriak keras,
"Manusia dajal! Keluar kau! ! Aku datang
untuk mencabut nyawamu!!"
Suaranya menggema di malam yang terus
beranjak. Burung-burung malam bersuara
yang tak enak didengar. Membuat bulu roma
berdiri dan seperti mengisyaratkan
kematian pada orang yang mendengarnya.
Nenek Konde Satu bersuara lagi yang
kali ini dikirimkan melalui tenaga
dalamnya. Suaranya menggema, menyusul
letupan dua kali terdengar. Tetapi tak
satu sosok tubuh pun yang muncul di sana.
Si nenek terdiam dengan mata
menyipit.
"Jangan-jangan... aku salah menduga,
kalau apa yang kulihat ini hanya
kebetulan sama seperti ciri Menara
Berkabut?" desisnya agak meragu sekarang.
Mendadak dia meradang, "Terkutuk! Mengapa
dulu aku begitu bodoh?! Terlalu bodoh
bahkan! Seharusnya aku menanyakan bagai-
mana caranya menuju ke Menara Berkabut
pada manusia keparat itu?! Kurang ajar!"
Untuk beberapa lama Nenek Konde Satu
merapatkan mulut. Dada tipisnya naik
turun. Gelora amarahnya pada Hantu Menara
Berkabut semakin membesar.
"Tetapi...." desisnya dengan panda-
ngan tegang. "Sebelum aku mendapatkan
jawaban yang pasti, aku tak akan berhenti
sebelum mengetahuinya! Hanya saja...
bagaimana caranya aku untuk tiba di
tempat itu? Ranggasan semak belukar itu
dihuni oleh ular-ular yang tentunya
banyak jumlahnya. Kalau aku bisa
menanggulangi ular-ular itu, lumpur-
lumpur hidup akan menelanku bulat-
bulat
Nenek Konde Satu terdiam lagi.
Otaknya diperas memikirkan cara untuk
tiba di balik kabut hitam itu. Malam
terus beranjak. Udara dingin mulai terasa
menyengat. Burung-burung malam yang
beterbangan dan memperdengarkan suara tak
enaknya terus melayang-layang.
"Rasanya... dalam keadaan gelap
seperti ini, aku tak akan mungkin bisa
menemukan jalan teraman menuju ke balik
kabut tebal itu. Sebaiknya... kutunggu
saja sampai besok pagi. Dengan bantuan
sinar matahari, kuharap aku dapat
menentukan jalan yang aman untuk tiba di
sana...."
Kembali kepalanya dipalingkan ke
belakang. Kegelapan semata yang dilihat-
nya karena saat ini sinar rembulan tak
mampu menembus gumpalan awan-awan hitam
yang menghalanginya.
"Brengsek!" maki si nenek sambil
memutar kepala lagi ke depan.
Saat itulah dia melengak kaget,
bahkan tanpa sadar telah surut satu
tindak ke belakang. Lalu dengan kegusaran
tinggi dibuka matanya lebar-lebar meman-
dang ke depan.
Kejap berikutnya, terdengar bentakan-
nya keras, "Manusia keparat! Ternyata kau
punya nyali juga akhirnya berani muncul
di hadapanku ! ! "
Orang yang tahu-tahu telah berdiri di
hadapannya menyeringai lebar. Lalu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu
berkata, "Ayuni Laksmi... mengapa kau
harus gusar melihatku? Bukankah seharus-
nya kau merasa gembira?"
★ ★ ★
Sepasang rahang Nenek Konde Satu
menggembung. Lalu terdengar kertakannya
keras-keras. Kepalanya diangkat penuh
keangkuhan dan kemarahan.
"Bagus kau berani muncul! Sekarang
sudah tiba saatnya untuk membalas semua
perlakuan busukmu kepadaku!!"
Kakek berjubah jingga itu hanya
tersenyum, yang semakin membuat muak
Nenek Konde Satu.
"Lama kita tak berjumpa... dan baru
kali ini kita bertemu lagi. Lantas...
mengapa kau menjadi marah-marah seperti
itu? Bukankah seharusnya kau senang
berjumpa denganku? Keberadaanmu di sini
sudah menunjukkan kalau kau merindukanku,
bukan?"
"Keparat! Aku datang untuk menuntut
balas atas semua perbuatanmu dulu!"
bentak Nenek Konde Satu. Lalu diam-diam
membatin, "Aneh... bagaimana caranya
tahu-tahu dia bisa berada di hadapanku?
Aku sama sekali tak mendengar
kehadirannya?"
Hantu Menara Berkabut menyeringai.
Masih menyeringai dia berkata, "Ayuni
Laksmi... kau masih tetap saja jelita
seperti dulu. Ayolah... datanglah ke
dekapanku, kita bersenang-senang seperti
yang dulu kita lakukan setiap hari...."
"Tutup mulutmu! Hantu Menara
Berkabut, kau tentunya tahu maksud
kedatanganku ke sini!" bentak Nenek Konde
Satu gusar. Tatapannya tajam meradang.
"Sudah tentu kau akan melepaskan
kerinduanmu kepadaku, bukan?"
Mendengar kata-kata itu semakin
mengkelap wajah Nenek Konde Satu yang
bernama asli Ayuni Laksmi. Dada tipisnya
bergerak-gerak pertanda kemarahan sudah
menjulang tinggi.
Tangan kanannya terangkat menuding,
"Kau telah memperalatku untuk menyakiti
Bandung Sulang! Manusia keparat! Tak
pernah kuketahui sebelumnya kalau kau
adalah musuh besar Bandung Sulang
sebelumnya! Hingga..."
"Mengapa baru kau persoalkan
sekarang? Apakah kau marah karena
kutinggalkan begitu saja?"
"Kau meninggalkanku karena merasa
semua yang kau lakukan sudah cukup!
Bandung Sulang sudah mengundurkan diri
dan menyembunyikan diri dalam siksaan
batin yang tinggi!"
"Itu bukan urusanku! itu adalah
urusannya!"
"Tetapi semua gara-gara kau! Kau
sengaja memperalatku, membujuk dan
merayuku untuk meninggalkan Bandung
Sulang, karena kau ingin melihat Bandung
Sulang menderita batin!"
Sepasang mata Hantu Menara Berkabut
mendadak menajam.
"Itu dikarenakan kebodohanmu sendiri!
Pada dasarnya kau memang memiliki sifat
pengkhianat! Kau sendiri yang terlena dan
jatuh ke pelukanku! Apakah selama ini aku
pernah memaksamu?!"
Nenek Konde Satu terdiam. Dadanya
makin digemuruhi amarah tinggi.
"Keparat!!"
"Dan sungguh mengherankan, kalau kau
yang selama bertahun-tahun juga
mendapatkan kenikmatan yang sama, karena
kita selalu saling members, kini muncul
dengan amarah membludak! Apakah ini bukan
tindakan yang lebih memperlihatkan
kebodohanmu, Ayuni Laksmi?!"
"Setaaannn"
Nenek Konde Satu sudah tak dapat
menahan amarahnya lagi, Tangan kanannya
didorong ke depan.
Wussss!!
Serta merta menghampar gelombang
angin berkekuatan tinggi ke arah Hantu
Menara Berkabut yang menyipitkan matanya.
Lalu dengan sekali kibasan tangan,
gelombang angin itu dapat diputuskan di
tengah jalan.
Blaaaamm!!
"Terkutuk! Aku tak akan pernah tenang
sebelum melihat kau mampus, Manusia
keparat!!"
Dengan kemarahan menjadi-jadi Nenek
Konde Satu melesat ke depan. Kaki
kanannya melepaskan tendangan dahsyat.
Ditempatnya Hantu Menara Berkabut
menggeram, "Jahanam! Perempuan satu ini
seharusnya sudah dari dulu kubunuh!
Tetapi bila dulu kulakukan sudah tentu
aku tak akan merasakan kepuasan seperti
sekarang! Hemm... biar dia bermain-main
dulu melampiaskan kemarahannya!"
Bersamaan kata-kata terakhirnya,
Hantu Menara Berkabut cepat mengangkat
tangan kanannya, menghadang tendangan
dahsyat itu.
Bukkk!!
Sosok Nenek Konde Satu kontan
terpental balik dan terjajar tiga
langkah. Namun kejap itu pula dengan
wajah yang semakin mengkelap, dia sudah
menghentakkan kakinya di atas tanah.
Bersamaan tanah yang menghambur cukup
tinggi, sosoknya sudah melompat kembali
dan membuat gerakan berputar dua kali di
udara. Kejap lain tiba-tiba dia sudah
meluruk dengan kaki kanan kiri melepaskan
tendangan dahsyat sekaligus! Dua
gelombang angin sudah mendahului tenda-
ngannya, pertanda tendangan kaki kanan
kirinya itu sarat dengan tenaga dalam
tinggi!
Hantu Menara Berkabut kertakkan
rahangnya, karena sadar kalau Nenek Konde
Satu tak bertindak ayal. Dia cepat
melesat ke udara. Kaki kanan kirinya
disentakkan berkali-kali.
Blaam! Blaaamm! Blaaammm!!
Tempat itu beberapa saat dibuncah
dengan terdengarnya benturan keras
beberapa kali. Bersamaan letupan yang
terakhir terdengar, Nenek Konde Satu
berseru tertahan. Sosoknya terpental di
udara lalu melayang dan jatuh terduduk
dengan mata terpejam terbuka. Sementara
itu kedua kakinya bergetar keras.
Di pihak lain Hantu Menara Berkabut
sudah berdiri tegak di atas tanah.
Kendati nampak tak kurang suatu apa,
kedua kakinya jelas kelihatan sedikit
bergetar.
Nenek Konde Satu cepat mengatur napas
dan mengerahkan tenaga dalamnya. Lalu
dengan pandangan sengit melirik pada
Hantu Menara Berkabut yang sedang
menyeringai.
"Jahanam itu memang bukan tandingan
ku! Tetapi aku tak peduli! Malam ini,
mati pun aku rela, agar berhasil
melampiaskan kemarahanku dan dendam Ban-
dung Sulang!"
Habis memaki demikian, Nenek Konde
Satu tiba-tiba sudah melompat ke depan.
Kedua kakinya kembali digerakkan.
Wuutt! Wuuttt!!
Dari sepasang kakinya melesat dua
gelombang dahsyat yang keluarkan deruan
keras.
Hantu Menara Berkabut kembali
mengertakkan rahangnya.
"Dia terlalu keras kepala! Dan bisa
menjadi duri bila tidak kuselesaikan
sekarang! Kutukan Bandung Sulang masih
menjadi pikiranku!"
Bersamaan dia membatin demikian, kali
ini didorong tangan kanan kirinya.
Kembali benturan dahsyat beberapa
saat terjadi. Tempat itu seperti
diguncang kiamat kecil. Bahkan lumpur-
lumpur yang agak jauh dari sana
bermuncratan ke udara.
Sosok Nenek Konde Satu terbanting
deras di atas tanah, bergulingan dan
akhirnya berhenti setelah menabrak sebuah
pohon yang kemudian bergetar. Dari
mulutnya tampak rembesan darah.
Walaupun sudah terluka dalam, Nenek
Konde Satu masih berusaha berdiri.
Kekeras kepalaannya yang didasari karena
penyesalan dan dendamnya telah membuatnya
menjadi seliar dan seganas harimau
betina.
"Aku tak akan pernah tenang sebelum
melihat kau mampus!"
Di pihak lain Hantu Menara Berkabut
sudah dirundung kemarahan tinggi. Apa
yang diperlihatkan Nenek Konde Satu
membuatnya meradang.
"Perempuan keparat! Kau tak tahu
diuntung rupanya!" bentaknya gusar. Lalu
berseru semata untuk menyiksa batin Nenek
Konde Satu, "Seharusnya kau tak perlu
gusar karena secara tak langsung aku
telah menolong Bandung Sulang! Bila dia
akhirnya berhasil memperistrimu berarti
dia telah memasukkan sebelah kakinya ke
dalam neraka! Hidup bersama perempuan
berjiwa pengkhianat, hanya orang bodoh
yang mau melakukannya!"
Meledak kemarahan Nenek Konde Satu.
Mulutnya meracau hingga percikan-percikan
ludah yang bercampur darah keluar.
"Mampuslah kau, Manusia jahanam!!"
Dengan keganasan yang sama Nenek Konde
Satu melesat ke depan. Masih berada di
udara, dia langsung menyentakkan kedua
tangan dan kakinya secara bersamaan.
Hingga gelombang angin dahsyat menderu-
deru ke arah Hantu Menara Berkabut.
"Pukulan 'Inti Langit'!" serunya
tertahan. Segera kakek berjubah jingga
ini mundur dua tindak. Lalu ditarik napas
kuat-kuat. Bersamaan dihembuskan napasnya
dengan cara disentak, kedua tangannya
didorong pula.
Terdengar deruan keras memburu ke
arah Nenek Konde Satu.
Benturan yang sangat dahsyat yang
membuat tanah muncrat dan membubung
tinggi terjadi. Dari gumpalan tanah yang
menghalangi pandangan itu, mencelat sosok
Nenek Konde Satu dan untuk kedua kalinya
terbanting di atas tanah! Dadanya terasa
mau pecah. Kedua tangan dan kakinya
seperti tak kuasa untuk digerakkan!
Di pihak lain, Hantu Menara Berkabut
terseret ke belakang. Masih terseret ke
belakang digerakkan tangan kanan kirinya
ke atas. Lalu....
"Heeeh!!"
Diarahkan kedua telapak tangannya itu
ke atas tanah tepat di depan kedua
kakinya. Bersamaan tanah yang muncrat,
tubuhnya yang terseret tiba-tiba
berhenti.
"Keparat sial!!" makinya dengan wajah
memerah padam.
Nenek Konde Satu mengangkat wajahnya.
Tatapannya angkuh dan tajam. Lalu dia
menyeringai.
"Kau harus mampus di tanganku!
Harus!"
"Setan perempuan! Kau yang akan
kukirim ke neraka sekarang juga!"
Belum habis bentakan itu terdengar.
Hantu Menara Berkabut sudah melompat
sembari mendorong tangan kanan kirinya.
Nenek Konde Satu menggeram. Dia masih
berusaha untuk menahan kedua pukulan itu.
Tetapi karena tenaganya telah terkuras,
apa yang dilakukannya hanyalah sebuah
kesia-siaan belaka.
Des! Des!!
Nenek Konde Satu terlempar ke
belakang dan melolong panjang laksana
hendak merobek langit. Namun laksana
dibetot setan, lolongannya itu putus
seketika. Tubuhnya masih tetap terlempar
ke belakang sebelum akhirnya terhempas
jatuh di atas tanah. Tubuhnya mengejang-
ngejang beberapa saat dan di saat lain
diam tak bergerak. Nyawa nenek yang
pernah diperalat oleh Hantu Menara
Berkabut ini telah putus!
Hantu Menara Berkabut menggeram
pendek.
"Itulah akibatnya berani menantangku!
Kau seharusnya menyadari siapa dan
mengapa aku mendekatimu dulu! Dasar
bodoh! Dasar pengkhianat! Kau justru
melibatkan diri dalam asmara palsu yang
kuberikan!!"
Kemudian Hantu Menara Berkabut
merangkapkan kedua tangannya di depan
dada. Dalam keadaan berdiri diatur napas
dan dikerahkannya tenaga dalamnya.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan.
Bersamaan terdengar suara burung malam
yang serak, Hantu Menara Berkabut telah
menurunkan kedua tangannya.
"Satu lagi orang yang berani
menantangku telah mampus! Huh! Kini
tinggal menunggu kabar dari Dadung
Bongkok dan Ratu Sejuta Setan tentang
putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar!"
desisnya sambil memandang mayat Nenek
Konde Satu.
Mendadak dia melangkah mendekati
mayat itu. Lalu disertai dengusan tinggi,
disepaknya.
Wusss!!
Mayat Nenek Konde Satu melayang deras
dan jatuh di atas lumpur. Untuk beberapa
saat mayat itu mengambang namun lama
kelamaan lenyap tertelan lumpur hidup
itu.
Hantu Menara Berkabut terdiam dengan
mata menyipit.
"Kutukan Bandung Sulang tak bisa
kupandang remeh! Sebelum aku mengetahui
secara pasti apakah putra Pendekar Lontar
masih hidup atau sudah mampus, aku tetap
tak akan tinggal diam! Tak akan
kujalankan rencanaku sebelum berhasil
mengetahui keadaannya!"
Dibawanya pandangannya ke sekeliling.
ke tempat yang sangat dikenalinya.
"Sebaiknya... aku menunggu di Menara
Berkabut
Lalu dengan setengah berlari Hantu
Menara Berkabut menuju ke arah kanannya.
Di sebuah balik ranggasan semak, dia
berhenti melangkah. Dipandanginya ke
sekeliling dengan seksama. Kemudian di
sibakkannya semak belukar itu. Ditemukan-
nya sebuah pengait terbuat dari baja.
Diangkatnya baja itu yang seketika ter-
pampang sebuah lubang yang cukup besar.
Setelah memperhatikan sekelilingnya dia
segera masuk ke sana.
Melalui jalan itulah Hantu Menara
Berkabut tahu-tahu muncul di hadapan
Nenek Konde Satu!
★ ★ ★
6
RAJA Naga yang tiba di sebuah jalan
setapak menghentikan langkahnya tatkala
melihat dua sosok tubuh yang sedang
berlari. Dalam sekali lihat saja dia
sudah mengenali keduanya.
"Dewi Bunga Mawar! Dan kakek berjubah
hitam itu.... Astaga! Bukankah dia Iblis
Telapak Darah?!" desisnya kemudian.
"Hemm... rupanya mereka bersahabat!"
Pikiran yang singgah di benak murid
Dewa Naga ini membuatnya mengerutkan
kening. Otaknya berpikir keras untuk
mendapatkan jawaban dari apa yang
dipikirkannya barusan.
"Kalau begitu... apakah aku salah
menduga tentang Dewi Bunga Mawar? Semula
aku berpikir kalau gadis itu hanya
terkena pengaruh gurunya belaka, hingga
dia bersikap seperti yang kulihat
beberapa hari lalu. Tindakannya yang
mendadak menjadi berang tatkala kukatakan
kalau dia terkena pengaruh gurunya, bisa
jadi hanyalah kebohongan belaka."
Boma Paksi tak meneruskan ucapannya.
Keningnya berkerut, terus memikirkan apa
yang ada di otaknya.
"Yang kutahu sekarang kalau Dewi
Bunga Mawar sedang mencari Lembah Naga.
Di sanalah guruku tinggal. Dan satu hal
lagi, bisa jadi kalau dia juga diperin-
tahkan untuk melacak keberadaanku. Guru
telah melontarkan ancaman pada Dadung
Bongkok dua belas tahun silam kalau
akulah yang akan membalas segala
perbuatannya. Dan sekarang... gadis itu
bersama-sama dengan Iblis Telapak Darah!"
Tatapan angker dari pemilik mata yang
kedua lengannya sebatas siku bersisik
coklat ini menyalang dalam. Seperti
hendak menelan siapa saja yang dilihat-
nya .
Kejap kemudian digeleng-gelengkan
kepalanya.
"Tidak! Aku tak boleh mengambil
kesimpulan seperti itu! Bisa jadi kalau
Dewi Bunga Mawar memang sebenarnya tak
tahu urusan! Iblis Telapak Darah tentunya
sama keji dan liciknya seperti Dadung
Bongkok! Tentunya dia telah menceritakan
apa yang dialaminya, dan akan membuat
Dewi Bunga Mawar semakin murka
terhadapku! Ah, urusan ini justru menjadi
runyam..."
Sesaat Raja Naga terdiam dengan
tatapan tak berkedip ke depan, sebelum
meneruskan kata-katanya pada dirinya
sendiri, "Aku tak boleh mengambil
kesimpulan sebelum kuketahui apa yang
terjadi. Sebaiknya... kususul saja
keduanya. Barangkali mereka membawaku ke
tempat yang kutuju. Dan sungguh kebetulan
keduanya berlari ke arah timur...."
Memutuskan demikian, pemuda dari
Lembah Naga ini sudah mengempos tubuhnya
untuk menyusul kedua orang yang
dilihatnya.
Sementara itu jauh di depan, sambil
berlari gadis berpakaian putih bersih itu
berseru, "Mengapa kau mengajakku ke
Menara Berkabut, Iblis Telapak Darah?"
"Dewi... keadaan sudah semakin kacau
balau! Kita sama-sama tahu kalau putra
Pendekar Lontar masih hidup! Aku yakin
gurumu tentunya juga ingin mengetahui
tentangnya!"
"Tapi aku harus ke Lembah Naga! Guru
bisa murka bila aku tak segera
menjalankan perintahnya!"
Iblis Telapak Darah yang di tengah
perjalanan mengusulkan untuk ke Menara
Berkabut segera menjawab, "Kau tak perlu
khawatir! Percayalah, gurumu tak akan
marah!"
"Tetapi mengapa kita harus ke Menara
Berkabut?!"
"Hantu Menara Berkabut adalah
junjunganku! Sebenarnya aku dan Iblis
Penghancur Raga hendak menuju ke sana!
Tetapi karena kemunculan Dua Serangkai
Jubah Hijau dan pemuda berompi ungu itu,
banyak waktuku yang terbuang!"
Diah Harum tak menjawab, dia terus
berlari, seperti menyongsong matahari
yang semakin meninggi. Lalu serunya,
"Iblis Telapak Darah! Kau adalah
sahabat guruku, tetapi aku merasa tak
pasti kalau kau lebih mengenal guruku
daripada aku sendiri!"
"Gadis ini masih ketakutan kalau
gurunya marah karena dia tidak menuju ke
Lembah Naga! Hemm... aku harus berusaha
meyakinkannya. Karena biar bagaimanapun
juga, aku berharap Dadung Bongkok akan
membantuku untuk membunuh Raja Naga. Di
samping itu, Hantu Menara Berkabut akan
kujadikan sebagai tumpuan yang terakhir
mengingat kesaktian pemuda bersisik
coklat itu begitu tinggi!" kata Iblis
Telapak Darah dalam hati. Sadar kalau
Dewi Bunga Mawar sedang menunggu
jawabannya dia segera berkata, "Dewi
Bunga Mawar! Mungkin aku tak lebih
mengenal Dadung Bongkok ketimbang kau
sendiri! Tetapi percayalah dia tidak akan
gusar dengan apa yang kau lakukan! Bahkan
dia akan gembira setelah mendengar
ceritamu nanti!"
"Lantas... mengapa kita harus ke
Menara Berkabut?"
"Karena aku yakin gurumu berada di
sana! Paling tidak, dia baru dari sana!"
"Hei! Bagaimana kau bisa mengambil
kesimpulan seperti itu?"
Iblis Telapak Darah sesat terdiam
sebelum kemudian berkata, "Percayalah!
Aku mengandalkan naluriku!!"
Kali ini Dewi Bunga Mawar tak
menjawab. Hati si gadis masih kebat-kebit
mengingat dia tak segera menjalankan
perintah gurunya. Bahkan sebelum
ditemukannya Lembah Naga, dia justru mau
mengikuti usulan dari lelaki berjubah
hitam ini untuk menuju ke Menara
Berkabut.
"Ah... bagaimana dia bisa
berkesimpulan Guru baru saja dari Menara
Berkabut atau berada di sana? Apakah
sebenarnya Iblis Telapak Darah diperintah
oleh Guru untuk mencariku? Dan membawaku
ke Menara Berkabut?"
Hati Dewi Bunga Mawar semakin
diliputi banyak pertanyaan. Tetapi segera
ditindihnya berbagai pertanyaan itu. Lalu
terus disej ajarkan larinya di samping
kiri Iblis Telapak Darah.
Di pihak lain, Iblis Telapak Darah
diam-diam menarik napas lega karena tak
lagi banyak mendengar berondongan per-
tanyaan dari murid Dadung Bongkok.
Keduanya terus berlari ke arah timur.
Setengah penanakan nasi kemudian,
masing-masing orang menghentikan lari
mereka di sebuah tempat yang agak lapang
dan dipenuhi ranggasan semak belukar.
Bukan karena tempat itu yang membuat
keduanya hentikan langkah, tetapi sosok
perempuan tua kontet berkulit hitam legam
yang telah berdiri sejarak dua belas
langkah di hadapan mereka itulah yang
menyebabkannya.
"Ratu Sejuta Setan...," desis Iblis
Telapak Darah dalam hati. Wajahnya tiba-
tiba dihiasi butiran keringat.
Di pihak lain Dewi Bunga Mawar
memicingkan matanya dalam-dalam.
"Rasa-rasanya... Guru pernah
bercerita kalau dia memiliki seorang
sahabat persis seperti ciri yang ada pada
perempuan kontet itu...."
Perempuan tua itu sendiri, menger-
takkan rahangnya. Matanya memandang tak
berkedip pada masing-masing orang. Lalu
ditujukan pada Iblis Telapak Darah yang
diam-diam menahan napas.
"Orang busuk berjubah hitam! Tak
kusangka kalau kita akan berjumpa lagi di
sini! Kendati kita tak punya silang
urusan, tetapi melihat gadis itu berada
di sampingmu, aku yakin kalau kau punya
maksud busuk padanya!"
Ditembak seperti itu iblis Telapak
Darah sejenak gelagapan sebelum dia
menindih rasa tegangnya. Buru-buru dia
tersenyum.
"Ratu Sejuta Setan... apakah kau
tidak tahu ke mana arah yang kutuju saat
ini, hingga kau berani melontarkan ucapan
lancang seperti itu?"
Sementara Ratu Sejuta Setan
mendengus, Dewi Bunga Mawar membatin,
"Ratu Sejuta Setan... ya, ya... aku ingat
kalau perempuan tua kontet inilah yang
memang pernah diceritakan Guru sebagai
salah seorang sahabatnya."
"Menuju ke arah timur berarti sedang
menuju ke Menara Berkabut! Orang licik
seperti kau tentunya punya maksud
tertentu untuk tiba di sana!" sahut Ratu
Sejuta Setan.
"Kata-kata perempuan tua keparat ini
dapat menggagalkan seluruh rencanaku.
Dewi Bunga Mawar bukanlah gadis bodoh.
Kalau begitu aku harus berusaha untuk
memutar balikkan omongan...."
Lalu berhati-hati Iblis Telapak Darah
berkata, "Ratu Sejuta Setan... apakah kau
tidak tahu siapa gadis yang berdiri di
sebelah ku ini?! Dia adalah murid sahabat
ku yang tentunya juga sahabat mu...."
"Jangan berbelit-belit!"
Iblis Telapak Darah tersenyum.
"Dia adalah murid Dadung Bongkok!"
sahutnya tenang. Begitu dilihatnya sesaat
kedua mata Ratu Sejuta Setan membuka,
segera disambungnya dengan ucapan lebih
tenang, "Apakah kau berpikir aku akan
melakukan tindakan lancang seperti yang
kau tuduhkan?"
Untuk sesaat Ratu Sejuta Setan tak
bersuara. Dipandanginya Dewi Bunga Mawar
yang tersenyum karena merasa senang
berjumpa dengan salah seorang sahabat
gurunya yang lain.
"Kalau memang apa yang dikatakan
orang berjubah itu benar, berarti gadis
itulah yang dimaksud oleh Dadung Bongkok
saat mendatangi Menara Berkabut. Aku tak
tahu bagaimana Iblis Telapak Darah bisa
bersama-sama dengannya. Tentunya orang
itu punya pikiran licik yang memang
selalu ada di kepalanya. Tapi...."
Memutus jalan pikirannya sendiri,
Ratu Sejuta Setan berseru, "Bagus kalau
kau memang murid Dadung Bongkok!
Lantas.. . apa yang kau lakukan bersama
dengan manusia keparat Ini?!"
Dewi Bunga Mawar sesaat melirik Iblis
Telapak Darah yang sedang menindih
kegeramannya, lalu katanya pada Ratu
Sejuta Setan, "Sebelumnya Guru memerintah
ku untuk mendatangi Lembah Naga! Kendati
aku tahu apa yang diperintahkan Guru,
tetapi aku tak mengerti...."
"Jangan berbelit-belit!"
Dewi Bunga Mawar sesaat merapatkan
mulutnya mendengar bentakan orang. Gadis
yang panasan ini tak segera buka mulut.
Dipandanginya perempuan tua kontet itu
dengan seksama.
Lalu sambil menindih gusarnya dia
berkata, "Aku bersamanya karena hendak
menjumpai guruku!"
"Iblis Telapak Darah... kudengar kau
juga hadir di rumah duka dua belas tahun
yang lalu?"
"Aku hadir di sana bersama sahabatku
Iblis Penghancur Raga...."
"Sejak tadi aku ingin menanyakan di
manakah sahabatmu itu berada!"
Iblis Telapak Darah mendadak
menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat-
kuat .
"Sahabatku telah mampus dibunuh oleh
putra Pendekar Lontar!"
Mendengar jawaban itu Ratu Sejuta
Setan hanya memperdengarkan dengusan.
"Dan kau sekarang justru membawa
pemuda bersisik coklat itu ke tempat yang
ditujunya?! Keparat betul! Kau bukannya
dapat mempengaruhi Hantu Menara Berkabut
seperti yang kau niatkan! Tetapi kau akan
dihancurkan oleh Hantu Menara Berkabut!"
Mendengar kata-kata itu, Iblis
Telapak Darah segera memperhatikan
sekelilingnya dengan paras tegang. Di
pihak lain Dewi Bunga Mawar hanya
memandangi perempuan tua kontet di
hadapannya.
"Mengapa tahu-tahu dia berkata
begitu?" desisnya dalam hati. "Ucapannya
selalu tajam menyelekit, tetapi Iblis
Telapak Darah tidak berani memperlihatkan
ketersinggungannya! "
Ratu Sejuta Setan berseru gusar,
"Lelaki berjubah! Kau terlalu tolol
melakukan tindakan seperti ini hingga kau
tidak tahu kalau ada seseorang yang
mengikutimu!"
Kalau sebelumnya Iblis Telapak Darah
memandangi sekitarnya dengan tegang, kali
ini dia nampak bersiaga.
Justru Dewi Bunga Mawar yang
mengerutkan keningnya lagi.
"Ada orang yang mengikuti?" desisnya
pelan. Sebelum disambungnya lagi kata-
katanya, terdengar suara dengungan keras
dari sisi kanannya!
Wussss!!
Gelombang angin dahsyat sudah
menggebrak ke arah salah satu ranggasan
semak belukar yang tak jauh dari
tempatnya!
Seiring letupan terdengar dan
muncratnya ranggasan semak itu ke udara,
satu sosok tubuh telah melenting lebih
dulu dan hinggap di atas tanah dengan ke-
dua kaki tegak! Tatapan sosok tubuh ini
angker, nyalang dan tajam. Terutama pada
Iblis Telapak Darah dan Ratu Sejuta
Setan!
"Boma!!" terdengar seruan Dewi Bunga
Mawar tertahan.
Sosok tubuh yang melenting dari balik
ranggasan semak itu dan bukan lain Boma
Paksi alias Raja Naga adanya,
memperlihatkan senyuman angker. Matanya
ditujukan pada Ratu Sejuta Setan.
"Perempuan tua kontet! Kau tadi
berkata hendak membunuh putra Pendekar
Lontar! Sekarang aku telah berada di
sini! Apakah kau akan tetap melaksanakan
tujuanmu?!"
Sebagai tanggapan suara dingin itu
Ratu Sejuta Setan terkikik.
"Sudah tentu aku akan membasmi semua
keturunan Pendekar Lontar dan Dewi
Lontar! Tak terkecuali kau adanya! Perlu
kau ketahui, aku juga hadir pada kematian
ayahmu dua belas tahun yang lalu! Aku
datang untuk meminta pusaka milik ayahmu!
Sekarang katakan padaku, di mana pusaka
itu berada?!"
"Tentunya yang dimaksud dengan pusaka
itu adalah gumpalan daun lontar yang kini
ada di balik pakaianku. Aku belum tahu
apa kegunaan benda pusaka ini. Dadung
Bongkok juga menginginkan benda yang sama
sampai dia membunuh ibuku."
Usai membatin Raja Naga berseru,
"Kendati kau pernah melakukan tindakan
makar terhadap kedua orangtuaku, kau
bukanlah orang yang kutuju!"
"Dengan kata lain kau ngeri
menghadapiku?!"
Tatapan itu semakin angker bersinar.
"Perempuan tua kontet! Lebih baik
menyingkir sebelum kau menyesali keadaan!
Aku hanya mencari Dadung Bongkok yang
telah membunuh ibuku! Dan mencari Hantu
Menara Berkabut yang telah membunuh
ayahku!"
"Kedua orangtuamu telah tewas, dan
sekarang kau unjuk gigi di hadapanku!
Katakan, di mana pusaka gumpalan daun
lontar itu berada?!"
"Kendati aku tahu di mana benda yang
kau inginkan itu berada, tetapi tak akan
pernah kuucapkan sesuatu pun mengenai
benda itu!"
"Setan jahanam! Berarti kau ingin
mampus ?!"
"Sekali lagi kukatakan, aku hanya
punya urusan dengan Dadung Bongkok dan
Hantu Menara Berkabut!" suara itu semakin
dingin. "Tetapi aku bisa berkompromi
denganmu! Katakan di mana kedua manusia
dajal itu, maka akan kukatakan padamu di
mana gumpalan daun lontar milik mendiang
ayahku yang kau inginkan?!"
Mendengar kata-kata pemuda bermata
angker itu, ketamakan Ratu Sejuta Setan
muncul.
"Aku tak punya urusan dengan Dadung
Bongkok dan Hantu Menara Berkabut!
Kalaupun punya, karena kami memiliki
kepentingan yang sama! Tetapi
kepentinganku jauh di atas segala-
galanya! Dadung Bongkok sudah menutup
diri dari keinginannya untuk mendapatkan
pusaka Pendekar Lontar! Berarti... ini
kesempatanku! Keduanya akan mampus di
tangan pemuda itu pun aku tak peduli!
Hanya saja... pemuda ini terlalu berani
menantang mereka! Dia tidak tahu kalau
dia sudah memasukkan kedua kakinya ke
dalam liang lahat!"
Pikiran tamak itu semakin menari-nari
di benak Ratu Sejuta Setan. Tetapi
sebelum dia buka mulut, sudah terdengar
bentakan keras, "Boma Paksi! Sejak tadi
kau bicara semaumu saja! Membunuh guruku.
dan membunuh guruku! Apakah kau pikir
akan semudah itu kau lakukan?!"
Raja Naga melirik gadis yang
membentak tadi. Diam-diam pemuda dari
Lembah Naga ini merasa tidak enak
mendengar kata-katanya. Ditatapnya gadis
yang telah mengguncangkan perasaannya
itu.
Kemudian katanya, "Diah Harum... kau
tak tahu apa yang telah terjadi...."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi?!"
melotot Diah Harum dengan kegeraman yang
kentara. "Apakah kau anggap aku ini gadis
bodoh?!"
Sembari menggelengkan kepalanya Raja
Naga berkata, "Diah Harum... gurumu
adalah manusia sesat yang telah membunuh
ibuku. Termasuk kedua orang yang berada
di dekatmu itu. Dan perlu kau ketahui,
momok dari semua urusan ini adalah Hantu
Menara Berkabut yang telah membunuh
ayahku!"
Wajah Diah Harum memerah dalam.
Dikertakkan rahangnya sambil melotot
gusar.
"Boma! Kau sudah keterlaluan! Kalau
beberapa hari lalu kau dapat meloloskan
diri, kali ini kau akan mampus di
tanganku!"
Baru saja habis bentakannya, gadis
jelita yang di atas dadanya terdapat dua
buah bunga mawar di kanan kiri sudah
menerjang ke depan!
★ ★ ★
7
"DIAH! Kau terlalu dibutakan oleh
kemarahan! Bila belum kau ketahui
kebenarannya, kau memang tak akan tahu
apa yang akan terjadi!" seru Raja Naga
dengan pandangan disipitkan.
Diah Harum tak mempedulikan ucapan
itu. Dia justru lipat gandakan tenaga
dalamnya. Angin deras mendahului kedua
jotosannya.
Rupanya Raja Naga tak ingin bertindak
lebih lama lagi. Dia tidak marah dengan
sikap yang diperlihatkan Dewi Bunga Mawar
karena dia tahu kalau gadis itu berada
dalam kesalah pahaman. Tetapi membiarkan
gadis ini dirundung amarahnya, justru
akan merepotkan.
Cepat Raja Naga menggeser tubuhnya
sedikit, gelombang angin yang mendahului
jotosan tangan kiri kanan Dewi Bunga
Mawar melesat. Bersamaan dengan ranggasan
semak meletup, kedua tangannya diarahkan
pada wajah dan dada Boma Paksi.
Boma Paksi membuka matanya lebar-
lebar. Sesaat Dewi Bunga Mawar merasakan
kengerian dari tatapan itu, tetapi dia
tak peduli.
Buk! Buk!
Dua kali benturan itu terjadi. Raja
Naga bergerak cepat. Mulutnya bersuara,
"Maaf... Diah...."
Desss!!
Jotosannya bersarang di dada si gadis
yang seketika terhuyung. Karena memang
tak ingin mencelakakan Dewi Bunga Mawar,
Boma Paksi cepat menyambar tubuh yang
begitu dipegangnya telah jatuh pingsan.
Lalu berhati-hati dibaringkannya
tubuh si gadis di atas rumput.
"Mungkin kau tak perlu mengetahui
keadaan ini untuk sementara waktu...,"
desisnya.
Di seberang Iblis Telapak Darah
menegakkan kepalanya dengan mata membuka
lebar.
"Gila! Gerakan pemuda itu sungguh
cepat! Dan... dan... murid Dadung
Bongkok? Gila! Begitu mudah dipatahkan
serangannya sekaligus dibuat pingsan!"
Sementara itu Ratu Sejuta Setan
menggeram.
"Kau hanya berani dengan orang yang
baru lepas dari susuan Ibu, Pemuda
keparat! Serahkan gumpalan daun lontar
itu Atau... kau sengaja berdiam diri
lebih lama semata untuk menunggu Dewa
Tombak?!"
Perlahan-lahan Raja Naga bangkit.
Kedua matanya bersinar lebih angker.
Sisik-sisik coklat yang terdapat pada
kedua tangannya sebatas siku, tiba-tiba
lebih terang terlihat.
"Dia menyinggung soal Dewa Tombak!
Hemm. . . bisa jadi di saat aku berjumpa
dengan Dewa Tombak dia berada di sekitar
sana! Keparat! Pantas dia mengetahui aku
bersembunyi tadi! Tentunya dia membuntuti
ku dan mendahuluiku untuk menjumpai Dewi
Bunga Mawar dan Iblis Telapak Darah!"
Setelah mengertakkan rahangnya dan
tatapan kian angker, murid Dewa Naga
mendesis dingin. "Tadi sudah kukatakan
usulku! Beri tahu padaku di mana Dadung
Bongkok berada, dan jalan yang harus
kutempuh menuju Menara Berkabut! Maka kau
akan mendapatkan apa yang kau inginkan!"
"Hemm... ini memang kesempatan yang
tak boleh ditinggalkan," desis Ratu
Sejuta Setan dalam hati. Lalu dengan
seringaian lebar dia terkikik-kikik.
"Ucapan memang mudah! Tetapi apakah aku
akan mendapat kebenaran?!"
"Aku hanya melontarkan usulan sekali
saja! Kau menolak, urusan selesai!"
"Setaaann! Kau bisa mencari Dadung
Bongkok..."
"Perempuan tua jahanam! Kau mencoba
mendapatkan kesempatan dengan menjadi
seorang pengkhianat! Terkutuk! Selesai
pemuda itu kubereskan, nyawamu yang akan
kukirim ke neraka!!"
Habis bentakan yang tiba-tiba itu
terdengar, mendadak terlihat satu sosok
tubuh berputar di udara tiga kali. Lalu
dengan lincah dan ringannya sosok tubuh
itu telah berdiri dengan kedua kaki
tegak.
"Dadung Bongkok!" desis Ratu Sejuta
Setan dengan mata membuka. "Keparat! Tak
seharusnya dia muncul lebih dulu!"
Kemudian serunya keras, "Keparat
bongkok! Kemunculanmu telah menggagalkan
rencanaku!"
Orang yang baru datang itu memang
Dadung Bongkok. Serta merta sepasang
matanya yang dalam dan tajam memandang
tak berkedip pada Ratu Sejuta Setan yang
mementangkan matanya pula.
"Terkutuk!! Ratu Sejuta Setan! Jangan
bikin hari ini juga kuputuskan untuk
mencabut nyawamu!"
"Jangan banyak bicara! Pemuda yang
kau cari sudah berada di hadapanmu! Kau
menunggu selama dua belas tahun
kehadirannya! Hadapi pemuda itu! Bila kau
menang, maka kau akan menghadapiku untuk
menerima kematian!!"
Kumis dan jenggot Dadung Bongkok yang
seperti terpintal bersatu bergerak
tatkala dia mendengus. Lalu pandangannya
mengarah pada sosok pingsan yang
dikenalinya.
"Keparat! Siapa yang berani bikin
pingsan muridku, hah?!"
Ratu Sejuta Setan menunjuk Raja Naga.
"Kalau kau mau tahu, dialah yang telah
melakukannya!"
"Terkutuk! Terkutuk!!"
Di pihak lain, Raja Naga memperha-
tikan sosok bongkok berpakaian hitam
penuh tambalan itu. Dan pancaran matanya
kian menajam tatkala orang yang ditatap-
nya membalikkan tubuh, juga menatapnya.
"Ibu... manusia keparat itu telah
muncul di hadapanku. Kini tiba saatnya
untuk membalas perbuatannya dua belas
tahun lalu...," desisnya dingin.
Seraya maju dua tindak ke muka,
pemuda berambut dikuncir hijau ini
berseru, "Dua belas tahun bukanlah waktu
yang singkat dalam perjalanan hidup ma-
nusia! Tetapi sepertinya begitu singkat
karena sudah berada di hadapan kita! Dua
belas tahun menunggu saat-saat yang
tepat! Dadung Bongkok! Siang ini juga kau
akan kukirim ke neraka!!"
Dadung Bongkok menggeram.
"Ucapan hanyalah sebuah ungkapan yang
terkadang dipergunakan untuk menutupi
diri dari kenyataan! Pemuda bersisik!
Niatmu untuk membalas kematian ibumu
hanyalah sebuah kesia-siaan!!"
Nyalang mata angker itu.
"Bila belum melihat bukti, mengapa
harus bicara besar?! Bersiaplah untuk
mampussss!!"
Habis ucapannya, Raja Naga sudah
menggebrak ke depan. Tahu kalau lawannya
bukan orang sembarangan, segera
digerakkan tangan kanan kirinya melepas-
kan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'.
Serta merta menghampar gelombang angin
merah yang bergemuruh menggidikkan.
"Dadung Bongkok mengertakkan rahang-
nya kuat-kuat. Setelah menjejakkan kaki
kanannya tubuhnya meluruk ke depan seraya
mendorong tangan kanan kirinya pula.
Seketika menggebah awan-awan hitam yang
menebarkan hawa dingin.
Jlegaaaarrr!!
Bertemunya gelombang angin merah dan
awan-awan hitam itu mengakibatkan letupan
yang sangat keras. Tanah di mana bertemu-
nya dua serangan itu kontan membuyar ke
udara. menghalangi pandangan untuk
beberapa saat.
Mendadak dari gumpalan tanah itu
melesat sosok Raja Naga diiringi teriakan
membahana. Dadung Bongkok yang tadi
surutkan langkah, mengangkat kepala dan
melakukan gebrakan yang sama.
Untuk kedua kalinya letupan keras
terjadi. Kali ini terlihat muncratan
angin merah dan pecahnya awan-awan hitam.
Dan kalau tadi Raja Naga langsung
melancarkan serangan, kali ini pihak
lawan yang mendahuluinya.
Merasakan adanya gelombang angin yang
menderu serabutan, si pemuda menepukkan
tangan kanannya pada lengan kirinya.
Wuuuttt!!
Angin berputar tiba-tiba menderu,
melingkar dan membubungkan tanah dalam
pusarannya.
Melihat hal itu, Dadung Bongkok
mengurungkan niatnya menyerang. Dibuang
tubuhnya ke samping kanan. Bersamaan
dengan itu Raja Naga sudah menjejakkan
kaki kanannya ke tanah. Bersamaan tubuh-
nya melenting ke atas, tanah menghambur
ke arah Dadung Bongkok yang terkesiap dan
segera membuang tubuh.
Blaaaarrr!!
Tempat itu laksana dihantam kiamat
kecil. Ranggasan semak berhamburan. Iblis
Telapak Darah berdiri terengah-engah.
Bila saja tadi dia tidak segera meng-
hindar, maka tubuhnya akan hancur terkena
serangan si pemuda yang berhasil di
hindari Dadung Bongkok.
"Keadaan ini jelas-jelas tak mengun-
tungkan. Pemuda itu ternyata lebih hebat
dari apa yang pernah diperlihatkannya
kepadaku. Hemm... lebih baik... aku
menyingkir saja dari sini. Kulihat tanda-
tanda kalau Ratu Sejuta Setan pun sudah
tidak sabar untuk melancarkan serangan.."
Memutuskan demikian, Iblis Telapak
Darah perlahan-lahan mundur. Ditunggunya
kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.
Sementara itu Dadung Bongkok yang
berhasil menghindar sedang menarik napas
dalam-dalam. Dadanya turun naik. Wajahnya
sedikit memucat
"Gila! Ilmunya sungguh di luar
dugaan! Tentunya Dewa Naga sudah
menurunkan semua kepandaiannya pada
pemuda itu!" desisnya dalam hati.
"Dadung Bongkok! Kau sudah terlalu
tua untuk menghadapi lawan yang lebih
muda dan gagah! Bila kau mau memohon
bantuan, lakukan! Aku akan segera
membantumu!" seru Ratu Sejuta Setan tiba-
tiba .
Dadung Bongkok menggeram dingin.
"Perempuan tua kontet itu sudah tak
bisa dimaafkan lagi segala tindakannya!
Ucapannya barusan benar-benar bikin
dadaku mau pecah! Huh!" makinya dalam
hati. Tetapi di pihak lain satu pikiran
sudah singgah di benaknya, "Begitu bodoh
kalau aku tidak mau dibantunya! Dia hanya
menuntut tindakan memohon! Bagus! Itu
akan kulakukan! Kalau perempuan kontet
itu mampus, tak ada lagi yang akan
menghalangi niatku untuk mendapatkan
pusaka Pendekar Lontar!"
Memutuskan demikian, Dadung Bongkok
berkata dengan suara ditekan, "Ratu
Sejuta Setan! Aku mohon bantuanmu!"
"Keparat! Kau bukan memohon, tetapi
membentak!"
"Setan alas! Kubunuh juga dia!" maki
Dadung Bongkok geram. Tetapi ditindih
amarahnya demi rencana yang sudah ada di
benaknya. Lalu katanya dengan suara
dibuat mengiba, "Aku memohon bantuanmu
untuk menghadapinya. ..."
Meledak tawa Ratu Sejuta Setan.
"Bagus! Kita akan maju bersama-sama untuk
membunuhnya!"
Di depan Raja Naga mendesis angker,
"Ratu Sejuta Setan! Kau memang musuh
kedua orangtuaku! Tetapi kau tidak
lakukan pembunuhan seperti yang dilakukan
Dadung Bongkok! Sebaiknya kau menyingkir
dari sini sebelum ketiban sial!"
Wajah hitam Ratu Sejuta Setan semakin
menghitam karena mengkelap.
"Keparat! Tak akan pernah kusesali
apa yang terjadi! Keturunan Pendekar
Lontar harus mampus!"
Kejap itu pula Ratu Sejuta Setan
sudah melancarkan serangan ganasnya.
Dadung Bongkok segera menyusul.
Raja Naga mengertakkan rahangnya
keras-keras. Tatapannya bertambah angker,
sisik coklat pada kedua tangannya sebatas
siku, semakin menyala. Tiba-tiba dihen-
takkan kaki kanan kirinya di atas tanah.
Kontan tanah itu bergerak, bergelombang
cepat diiringi suara mengerikan ke arah
Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok.
Yang diserang sama-sama memekik
tertahan dan sama-sama membuang tubuh ke
kanan kiri. Sambil membuang tubuh, Dadung
Bongkok menghentakkan tangan kanannya.
Wusss!
Awan-awan hitam yang menebarkan hawa
dingin menderu ganas ke arah Raja Naga.
Awan-awan itu langsung putus dihalau
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'!
Namun sinar-sinar merah ganas yang
dilepaskan Ratu Sejuta Setan membuat Raja
Naga harus surutkan langkah. Tetapi di
kejap itu pula, dia sudah langsung
menerjang ke depan.
Ratu Sejuta Setan palangkan kedua
tangannya di atas kepala, kejap kemudian
disentakkan dengan cara membuka.
Buk! Buk!
Benturan keras itu membuat Raja Naga
terlempar tiga langkah ke belakang. Di
pihak lain Ratu Sejuta Setan terseret dua
tombak. Kalau Ratu Sejuta Setan sudah
kembali berdiri tegak, justru Raja Naga
terpelanting ke samping kiri.
Karena tendangan kaki kanan Dadung
Bongkok telah menghantam pinggangnya!
"Pergilah menyusul kedua orangtuamu
ke akhirat!!" seru Dadung Bongkok
menyerbu ganas.
Melihat hal itu, Ratu Sejuta Setan
tak mau ketinggalan. Dia sudah menerjang
diiringi teriakan membahana. Dua serangan
secara bersamaan yang datang dari kanan
kiri itu membuat Raja Naga sejenak
terkesiap.
Cepat diempos tubuhnya ke belakang
dan bersalto dua kali.
Buummm!!
Tanah di mana tadi sosoknya berdiri
kontan muncrat dan membentuk kubangan
lebar tatkala dua serangan ganas itu
menghantam tempat kosong! Tempat itu
sesaat bergetar. Ranggasan semak merang-
gas rengkah!
Sementara itu begitu hinggap kembali
di atas tanah, kembali Raja Naga
menghentakkan kaki kanannya di atas
tanah.
Brrolll!!
Letupan keras terdengar. Tanah
bergerak cepat ke arah Ratu Sejuta Setan
dan Dadung Bongkok. Masing-masing orang
segera melompat, langsung mengarahkan
serangan masing-masing pada Raja Naga.
Sementara itu Iblis Telapak Darah
hanya terperangah melihat pertarungan
yang sangat ganas. Beberapa saat dia
hanya terdiam menyaksikan, sebelum
kemudian teringat kembali dengan apa yang
ingin dilakukannya.
"Hemmm... selagi mereka sibuk
bertarung, sebaiknya aku segera mening-
galkan tempat ini
Sejenak diperhatikannya dulu bagai-
mana Dadung Bongkok dan Ratu Sejuta Setan
sedang melancarkan serangan beruntun pada
Raja Naga, sebelum kemudian ditinggal-
kannya tempat itu.
Di pihak lain Raja Naga berusaha
untuk menghadang setiap serangan yang
datang.
"Gabungan kekuatan keduanya ini
sangat luar biasa! Jalan satu-satunya
mungkin aku harus menggunakan ilmu 'Naga
Mengamuk'! Tetapi... tidak! Ilmu itu akan
kupergunakan untuk menghadapi Hantu
Menara Berkabut!"
"Pemuda bersisik! Apa yang kau
dapatkan selama berguru pada Dewa Naga
itu, hah?!" ejek Dadung Bongkok menyerang
ganas. Suasana di tempat itu sudah tak
karuan. "Kau hanya bisa kentut seperti
dirinya belaka!"
Raja Naga menggeram dingin. Wajahnya
semakin bertambah angker dan mengerikan.
Sisik-sisik coklat pada kedua tangannya
sebatas siku kian menyala. Yang nampak
sekarang hanyalah wujud dari ganasnya
seekor naga!
Mendadak dia meluruk seraya mengibas-
kan tangan kanan kirinya. Dadung Bongkok
membentur!
Des !
Sosoknya terseret ke belakang
sementara Raja Naga sendiri goyah. Saat
itulah Ratu Sejuta Setan yang begitu Raja
Naga menyerang melompat ke depan dan kini
berada di belakang si pemuda, sudah
menderu dengan tenaga dalam lipat ganda!
"Mampuslah kau!!!"
★ ★ ★
8
NAMUN yang terjadi kemudian sungguh
mengejutkan! Karena sosok Ratu Sejuta
Setan justru yang terpental ke belakang,
seperti menabrak sebuah tembok yang
sangat tebal!
"Astaga!!" pekikan kagetnya terdengar
dan cepat dikuasai keseimbangannya. Dia
memang berhasil berdiri tegak kembali,
tetapi tangan kanan dan kirinya terasa
ngilu luar biasa.
Raja Naga yang tadi sudah bersiap
untuk menghadang serangan Ratu Sejuta
Setan tetapi perempuan tua kontet itu
sudah terlempar, mengerutkan keningnya.
"Aneh! Apa yang terjadi?! Siapa yang
telah membantuku?!" desisnya tak
mengerti. Namun lain halnya dengan Dadung
Bongkok. Kakek bongkok berpakaian hitam
compang-camping ini justru menjadi
tegang.
"Dulu... dua belas tahun yang lalu...
aku pun tak mudah membokongnya dari
belakang! Satu tenaga dahsyat telah
keluar dari tato naga hijau pada
punggungnya! Rupanya ilmu aneh yang
dimilikinya itu masih ada!"
Kemudian dia berseru, "Ratu Sejuta
Setan! Jangan coba-coba kau menyerang
punggungnya!"
"Kenapa?!"
"Dia memiliki tato seekor naga hijau
pada punggungnya! Dan tadi kau terpental
karena terhalang oleh tenaga tak nampak
yang keluar dari tato itu!"
"Gila! Apakah kau sudah gila, Dadung
Bongkok?!"
"Jangan mendebat! Aku pernah
mengalami hal itu dua belas tahun yang
lalu!" maki Dadung Bongkok keras (Untuk
mengetahui pengalaman Dadung Bongkok itu
silakan baca : "Tapak Dewa Naga").
Sementara itu, Raja Naga yang tak
mengerti apa yang tadi terjadi, diam-diam
membatin, "Tato seekor naga hijau? Aku
tahu kalau aku memiliki gambar tato itu
semenjak aku lahir. Menurut Guru, ada
sesuatu di balik gambar itu. Rasanya
sekarang aku mulai memahaminya. Tetapi
mengapa baru sekarang tenaga tak nampak
itu bisa keluar padahal sejak tadi
keduanya selalu mencoba membokongku?"
Pertanyaan pada dirinya sendiri itu
mendapat jawaban dari mulut Dadung
Bongkok, "Gambar naga hijau pada
punggungnya akan menimbulkan satu tenaga
gaib yang dahsyat!"
"Ciiih! Kau begitu ketakutan sekali?!
Aku tak merasakan kedahsyatannya tadi!"
cibir Ratu Sejuta Setan.
"Bodoh! Semakin dia marah, tenaga
yang keluar itu akan semakin dahsyat!!"
Ratu Sejuta Setan tak bersuara tetapi
mulutnya berkemak-kemik mengumbar kejeng-
kelan. Di pihak lain Raja Naga diam-diam
berkata dalam hati,
"Semakin aku marah, semakin dahsyat
tenaga yang keluar? Astaga! Sepertinya
ini sangat membahayakan! Kalau begitu,
aku tak boleh terpengaruh oleh amarahku
sendiri?"
Sementara itu Ratu Sejuta Setan
nampak masih belum puas dengan apa yang
dikatakan Dadung Bongkok. Dia membentak,
"Kakek bongkok keparat! Aku akan
membuktikan kalau apa yang kau katakan
itu tidak benar! Lihat!!"
Habis ucapannya, Ratu Sejuta Setan
menerjang ke depan. Kali ini Raja Naga
langsung membalikkan tubuh. Hingga apa
yang diinginkan Ratu Sejuta Setan jelas
gagal. Raja Naga sendiri sudah
menghentakkan kedua tangannya.
Blaar! Blaaarr!!
Ratu Setan terpuruk ke belakang.
"Perempuan kontet! Sejak tadi
kukatakan, jangan ikut campur urusanku!
Aku hanya menginginkan nyawa kakek
bongkok itu!"
Menyusul Boma Paksi melancarkan
serangannya pada Dadung Bongkok!
Mendapati serangan ganas itu Dadung
Bongkok tak mau tinggal diam. Tetapi
karena Ratu Sejuta Setan masih terdiam
menahan sakit, dia jadi kewalahan. Murid
Dewa Naga itu semakin mengganas.
"Perempuan kontet! Bantu aku!!" seru
Dadung Bongkok keras.
Ratu Sejuta Setan mengertakkan
rahangnya.
"Kau hadapi dia sendiri! Karena
kaulah orang yang diburunya!"
"Perempuan hina!!"
"Huh! Begitu bodoh kalau kukorbankan
diriku untuk kepentinganmu sendiri! Aku
sudah tak peduli lagi dengan gumpalan
daun lontar milik Pendekar Lontar!
Tetapi... aku akan membalas semua
perlakuannya hari ini!!"
"Setaaann!!" maki Dadung Bongkok
keras. Dia berusaha melancarkan
serangannya pada Ratu Sejuta Setan,
tetapi urung karena serangan Raja Naga
sudah menggebrak kembali.
Ratu Sejuta Setan menggeram dingin.
"Keparat! Dia bermaksud membunuhku!
Jahanam! Masa bodoh sekarang! Semua ini
adalah urusannya! Dia mampus pun aku tak
peduli! Lebih baik aku berlalu untuk
kelak kembali lagi ke hadapan pemuda
itu!" desisnya dalam hati.
Lalu pandangannya terbentur pada
sosok Dewi Bunga Mawar yang masih jatuh
pingsan.
"Hemm... gadis ini belum tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Bahkan dia tidak
tahu kalau gurunya telah muncul di sini!
Bodoh! Mengapa aku jadi bodoh! Lebih baik
gadis ini kubawa! Dia akan kudidik untuk
membalas kekalahanku hari ini pada Raja
Naga! Bagus, bagus sekali! Aku ternyata
memiliki otak yang cerdik!"
Lalu dia melangkah mendekati Dewi
Bunga Mawar yang masih pingsan. Dengan
sekali menyentakkan kaki dan menggerakkan
tangannya, Ratu Sejuta Setan sudah
memanggul Dewi Bunga Mawar.
Kemudian serunya pada Dadung Bongkok,
"Kakek bongkok yang sudah menjelang
mampus! Muridmu kubawa serta! Kau
hadapilah kematianmu seorang diri!"
"Keparat kau! Kubu.. ."
Bentakan Dadung Bongkok terputus
karena dia harus menghindari serangan
Raja Naga.
Sementara itu berkumandang tawa Ratu
Sejuta Setan di saat dia berlalu sambil
membawa sosok Dewi Bunga Mawar!
Perginya Ratu Sejuta Setan membawa
murid kesayangannya, membuat Dadung
Bongkok hilang percaya dirinya. Meskipun
dia masih dapat menghindari setiap
serangan Raja Naga, namun karena terus
didesak sekali waktu dadanya telak
terhantam jotosan Raja Naga!
Bukkk!
Tubuhnya kontan terlempar ke belakang
dan muntah darah. Dadung Bongkok
tersentak karena mendadak saja kaki Raja
Naga telah menginjak dadanya!
"Kau telah membunuh ibuku! Kau hidup
pun justru akan banyak menimbulkan
petaka! Hari ini kau lebih baik mampus!!"
Pucat pasi wajah Dadung Bongkok.
"Jangan... jangan bunuh aku... aku...
aku mohon maaf... aku mohon ampun...."
"Kau telah membunuh ibuku!"
Suara dingin itu makin membuat Dadung
Bongkok mengkeret. Dia terus bersuara
mengibakan. Sesungguhnya Raja Naga memang
memiliki sifat yang lembut, hingga
setelah beberapa lama terdiam, akhirnya
dia berkata,
"Kuampuni nyawamu... bila kau mau
menunjukkan jalan menuju ke Menara
Berkabut!"
"Oh! Gila! Kau... kau... akan mampus
sebelum tiba di sana... Kalaupun kau
berhasil tiba di Menara Berkabut,
kematian sudah menunggu."
"Aku tak peduli apa pun yang
menungguku! Tetapi aku percaya kalau kau
tahu jalan yang menuju tempat itu!" desis
Raja Naga dingin. Kakinya ditekan lebih
kuat hingga Dadung Bongkok mengerang.
Kedua matanya membeliak, mulutnya terbuka
menahan sakit.
"Ya! Ya! Aku akan menunjukkannya!"
serunya parau.
"Bagus!" Raja Naga mengangkat kakinya
dari dada Dadung Bongkok. Lalu
disentakkannya tubuh kakek itu ke atas.
"Cepat tunjukkan padaku sekarang!!"
Penuh amarah, kemuakan, dendam
sekaligus rasa takut, Dadung Bongkok
berjalan terseret-seret. Dia langsung
memutuskan untuk mengatakan jalan rahasia
menuju ke Menara Berkabut. Pikirnya,
sudah tentu pemuda itu akan mampus di
tangan Hantu Menara Berkabut!
"Jangan coba-coba mengelabuiku!"
"Aku. . . aku. ..." Dadung Bongkok tak
meneruskan ucapannya. Dia memang telah
kafah. Tetapi dia merasa belum kalah
sepenuhnya. Masih ada harapan satu-
satunya melihat pemuda ini mampus. Hantu
Menara Berkabut yang akan melakukan
untuknya!
Dengan seluruh rencana yang telah
tersusun, kakek bongkok itu menunjukkan
jalan rahasia di mana dia biasa
melaluinya bila mendatangi Menara
Berkabut.
"Buka!" bentak Raja Naga sambil
menatap Dadung Bongkok yang sedang
berlutut di hadapan tanah di balik
ranggasan semak.
Dengan kemarahan yang ditindih,
Dadung Bongkok menarik sebuah besi kecil
yang menempel pada dinding tanah.
Boma Paksi melongok.
"Hemm... ada undakan menuju ke bawah.
Mudah-mudahan dia tidak berdusta...,"
desisnya dalam hati.
"Kau telah kutunjukkan jalan menuju
ke Menara Berkabut yang lebih aman!
Sesuai janjimu... kau akan melepaskanku,
bukan?" desis Dadung Bongkok sambil
mengerj ap-ngerj ap.
Raja Naga mementangkan mata
angkernya.
"Aku bukanlah orang yang pandai
berdusta! Hari ini kuampuni nyawamu!
Tetapi bila kelak kudengar lagi sepak
terjangmu, jangan harapkan kau dapat
hidup lebih lama!"
"Ya, ya... aku... aku berjanji...."
"Pergi dari sini!!"
Dadung Bongkok mengangguk anggukkan
kepalanya seraya mundur. Lalu berlari
sekencang mungkin.
Raja Naga memandang sesaat sosok
Dadung Bongkok sebelum menghilang ditelan
pepohonan. Dia kini berlutut pada lubang
yang menganga.
"Undakan tanah ini tak terlalu banyak
dan nampaknya tempat di bawahnya pun
tidak lebar. Bisa jadi aku harus
membungkuk," desisnya sambil melongok ke
dalam lubang itu. Ditarik napasnya pelan-
pelan, lalu ditengadahkan kepalanya pada
matahari yang sekarang sudah disaputi
senja. "Ayah... kini tiba saatnya untuk
menuntut balas pada orang yang telah
membunuhmu. Ibu... maafkan aku yang telah
melepaskan Dadung Bongkok... tetapi aku
berjanji, bila kudengar dia melakukan
tindakan makar lagi, maka tak akan pernah
kuampuni nyawanya."
Kemudian pemuda berompi ungu itu
menahan napas sejenak. Sambil dihembuskan
dia mulai memasukkan kaki kanannya ke
lubang yang sebelumnya tertutup tanah dan
berada di balik ranggasan belukar.
Namun sebelum dilakukannya, awan-awan
hitam dingin menderu ganas dari samping
kanan! Sejenak murid Dewa Naga menegakkan
kepalanya.
"Keparat!" desisnya.
Sambil menundukkan kepala, tangan
kanannya ditepukkan pada tanah. Serta
merta tanah itu bergerak cepat,
bergelombang dan bergemuruh.
Menyusul terdengar jeritan keras,
"Aaaakhhhh!!"
Sosok bongkok berpakaian hitam
terpental ke udara dan terbanting deras
di atas tanah! Terlihat sejenak
menggeliat-geliat penuh erangan kesakitan
sebelum di saat lain meregang tegang dan
terdiam tak bergerak!
Raja Naga menggeram.
"Aku sudah mengampuni nyawanya...
tetapi dia masih mencoba membokongku!"
desisnya.
Lalu dia pun masuk ke dalam lubang
itu. Ditutupnya sebelum menyusuri jalan
sempit di dalam tanah.
Di atas tanah, Dadung Bongkok telah
tergolek menjadi mayat! Rupanya kakek
bongkok itu masih tidak puas dengan apa
yang dialaminya. Dia sengaja berlari
kencang tadi untuk cepat lenyap dari
pandangan si pemuda, tetapi dia justru
memutar dan mencari kesempatan untuk
melancarkan serangan.
Tetapi sayang, serangan balik dari
Raja Naga lebih cepat datang dan mengirim
nyawanya ke neraka! Padahal, anak muda
dari Lembah Naga itu sudah mengampuni
kesalahannya!
★ ★ ★
9
PERJALANAN menuju ke Menara Berkabut
yang ditempuh Raja Naga melalui lorong
rahasia itu pun berakhir. Anak muda dari
Lembah Naga itu kini berada di undakan
pertama menuju ke bagian atas menara.
Dinding menara yang terbuat dari batu
hitam itu tak ada celah jendela ataupun
lubang angin. Suasana cukup gelap. Raja
Naga yakin kalau dia bisa melihat keluar,
yang dipandang hanyalah kegelapan semata.
Anak muda bersisik coklat ini tak
segera melangkahkan kaki menuju ke atas.
Dia mempertimbangkan keadaan terlebih
dulu.
"Aku belum tahu di bagian mana dari
tempat ini Hantu Menara Berkabut berada.
Bisa jadi dia berada di puncak menara
ini, karena di sini hanya terdapat
undakan tangga belaka. Kalau begitu...."
Memutus kata-katanya sendiri, Raja
Naga berhati-hati menaiki undakan tangga
menuju ke atas.
Keheningan mencekam. Kegundahan
mendadak terjadi. Raja Naga terus
melangkah dengan membuka mata dan telinga
lebih lebar. Dinding-dinding hitam Menara
Berkabut seperti memiliki mata, memandang
sinis dan curiga padanya.
Baru saja dia menaiki setengah
perjalanan menuju ke atas, mendadak tawa
menggema berkumandang, bertalu-talu dan
menyakitkan gendang telinga.
"Selamat datang di Menara Berkabut!
Menara penyimpan misteri berkepanjangan
akan menjemput nyawamu ke akhirat!"
Bergemanya suara itu sesaat membuat
Raja Naga terdiam. Napasnya sedikit
ditahan. Dia menunggu beberapa saat.
Setelah tak didengarnya lagi suara dia
mulai melangkah lagi, lebih berhati-hati.
"Aku yakin... orang yang bersuara itu
adalah Hantu Menara Berkabut! Berarti...
dia telah mengetahui kehadiranku!"
Tiba-tiba saja murid Dewa Naga
menoleh ke samping kiri, karena mendadak
terdengar suara berderak cukup keras,
menggema ke bawah dan ke atas menara.
Menyusul meluncurnya sepuluh buah tombak
hitam!
"Heiiit!"
Cepat anak muda ini menggerakkan
tangan kanannya. Jurus 'Kibasan Naga
Mengurung Lautan' menggebrak. Terdengar
suara patah-patahan beberapa kali. Namun
sepuluh buah tombak lainnya menyusul
menggebrak, kali ini dari atas dan siap
menghujam di kepala Raja Naga!
Anak muda ini cepat memalangkan kedua
tangannya yang segera didorong ke atas.
Suara patah-patahan benda terdengar lagi.
Sebuah patahan tombak itu mengenai
bahunya yang terasa sedikit ngilu.
"Keparat! Aku bukan hanya harus
berhati-hati, tetapi harus berlari untuk
tiba di atas!"
Memutuskan demikian, Boma Paksi
segera mengempos tubuhnya menuju ke atas.
Namun dia segera melompat turun kembali.
Karena sebuah Jala besar mendadak turun!
"Gila!!" serunya keras dan....
Croook! Croook!
Kedua tangannya menghujam pada
dinding menara di mana saat ini tubuhnya
menempel seperti laba-laba. Jala besar
itu jatuh ke bawah dan menimbulkan suara
cukup keras.
Belum lagi Raja Naga membebaskan
dirinya dari kedudukannya sekarang,
dinding di mana kedua tangannya menghujam
tiba-tiba saja bergerak. Dan...
Brroolll!!
Kontan tubuhnya terdorong ke
belakang, menghantam dinding menara
sebelahnya lagi. Wajah anak muda ini
terlihat tegang, karena pecahnya dinding
itu melontarkan bebatuan ke arahnya!
Serta merta diliukkan tubuhnya dan
melompat ke atas.
Bersamaan suara keras berkali-kali
menghantam dinding, Raja Naga terus
melesat ke atas, mempergunakan ilmu
peringan tubuhnya.
"Hebat! Sungguh hebat! Beberapa
jebakan di Menara Berkabut berhasil kau
atasi! Dan kupikir sudah selesai
pemanasan itu! Teruslah kau naik, Anak
muda! Karena maut sudah menunggumu di
sini!!"
Boma Paksi terus berlari ke atas
hingga akhirnya dia memasuki sebuah
tempat yang cukup lapang di bagian atas
Menara Berkabut!
Begitu dia berada di sana, dilihatnya
satu sosok tubuh telah berdiri angkuh
dengan kedua tangan melipat di depan
dada. Raja Naga melangkah pelan, mencari
kedudukan yang lebih aman.
Dipandanginya sosok tubuh itu dengan
tatapan angker.
"Hantu Menara Berkabut!" serunya
menggema. "Aku datang untuk menuntut
balas perbuatanmu terhadap ayahku dua
belas tahun lalu!!"
Orang berjubah jingga itu tertawa
keras.
"Kau hanya mengantarkan nyawamu
percuma, Anak muda!"
"Kita lihat apa yang akan terjadi!"
seru Raja Naga keras. Pemuda dari Lembah
Naga ini sudah tak bisa lagi menahan
gejolak amarahnya. Dia langsung mendorong
tangan kanan kirinya yang serta merta
menghampar angin merah berkekuatan ganas.
Orang berjubah jingga itu
menjerengkan sepasang matanya, menyingkir
sedikit dan tiba-tiba meluruk ke depan!
Entah apa yang dilakukannya mendadak
saja Raja Naga merasa perutnya terkena
jotosan kuat. Tubuhnya terhuyung ke
belakang dan menghantam dinding menara!
"Huh! Ternyata kau tak jauh berbeda
dengan kedua orang tuamu yang tak
mempunyai kemampuan apa-apa! Sudah
kukatakan tadi, kau datang hanya
mengantar nyawa! Sekarang juga akan
kucabut nyawamu! !"
Berada di tempat yang tak terlalu
luas itu dan keadaan yang cukup gelap,
membuat pertarungan yang kemudian terjadi
seperti berat sebelah. Karena Hantu
Menara Berkabut sangat hafal dengan
setiap sudut yang ada di Menara Berkabut.
Sementara Raja Naga harus mengandalkan
nalurinya.
Berulang kali terdengar letupan demi
letupan yang sangat keras. Raja Naga
menjejakkan kaki kanannya untuk melancar-
kan jurus 'Barisan Naga Penghancur
Karang'. Namun justru dia yang langsung
melompat ke samping. Karena begitu
dilepaskan jurus 'Barisan Naga Penghancur
Karang' lantai bagian atas Menara Ber-
kabut ambrol!
Sementara itu, sepasang mata Hantu
Menara Berkabut menyipit.
"Apa yang diperlihatkannya barusan
tentunya sebuah ilmu yang luar biasa!
Tetapi tak bisa digunakan karena begitu
dikeluarkannya ilmu itu, lantai langsung
ambrol! Ini kesempatanku untuk
membereskan keturunan Pendekar Lontar!"
Lalu dengan ganasnya Hantu Menara
Berkabut menerjang. Dinding Menara Berka-
but jebol ketika terhantam jotosannya.
Seketika angin besar dan dingin masuk,
membuat wajah masing-masing orang seperti
disentak tamparan keras. Dan keduanya
segera mengalirkan tenaga dalam masing-
masing. Kendati angin besar masuk
menyerbu, tetapi gumpalan kabut hitam
yang kini kelihatan tetap tak bergerak!
Keduanya sama-sama tahu, terlempar
melalui dinding yang jebol itu berarti
menyongsong maut!
Hal itulah yang kemudian dilakukan
oleh Hantu Menara Berkabut. Dia mencoba
mendesak Raja Naga agar terlempar ke
dinding yang jebol.
Sadar kalau dirinya bisa terjatuh,
Raja Naga mencoba mencari tempat yang
lebih aman. Dia terus melancarkan
serangan hebatnya. Bahkan dia sudah
mempergunakan ilmu 'Naga Mengamuk' yang
membuat tempat itu seperti bergetar
dihantam badai.
Dalam waktu singkat saja tiga dinding
bagian atas Menara Berkabut sudah jebol.
Angin besar semakin banyak yang masuk dan
membuat masing-masing orang harus lebih
berhati-hati.
"Keparat! Bila berada di tanah
terbuka, sudah tentu aku akan kewalahan
menghadapi putra mendiang Pendekar Lontar
ini! Ilmu-ilmunya begitu hebat dan me-
ngerikan! Tetapi dipergunakan pada tempat
yang tak lapang ini ilmu itu seperti tak
ada gunanya! Malah membahayakan dirinya
sendiri! Aku harus mempergunakan lebah-
lebahku sekarang!"
Seraya menghindari serangan beruntun
dan cepat dari Raja Naga, Hantu Menara
Berkabut segera melepaskan lebah-lebah
beracunnya. Suara mendengung itu sejenak
membuat Raja Naga mundur. Dibuka matanya
lebih lebar untuk melihat dari mana asal
suara itu.
"Lebah!" desisnya setelah mengenali
benda-benda yang berdengung keras.
Tatkala teringat kematian ayahnya yang
diakibatkan lebah-lebah beracun itu, anak
muda ini segera membuang tubuh. Lalu
mendorong tangan kanannya.
Wuuss!
Tiga ekor lebah kontan berjatuhan dan
mati .
Tetapi lebah-lebah berikutnya yang
dilepaskan Hantu Menara Berkabut
membuatnya agak sedikit kewalahan. Lebah-
lebah itu menyerangnya dari berbagai
penj uru.
"Kau tak akan pernah bisa bertahan
lebih lama untuk menikmati kehidupan ini,
Pemuda keparat!!" seru Hantu Menara
Berkabut sambil tertawa keras.
Raja Naga merandek gusar. Sepasang
matanya yang bersinar angker, lebih
mengerikan. Bila saja tempat itu agak
sedikit terang, dapat terlihat sisik-
sisik coklat pada kedua tangannya sebatas
siku semakin bersinar! Pertanda kemarahan
sudah melanda diri pemuda itu!
Tiba-tiba terdengar seruan tertahannya !
"Aaakhhh!!"
Hantu Menara Berkabut berkata sinis,
"Seekor lebahku sudah menyengat tubuhmu!
Bersiaplah untuk mampus!!"
Dilihatnya bagaimana sosok pemuda
berompi ungu itu terhuyung ke belakang,
ke arah dinding yang jebol. Melihat hal
itu Hantu Menara Berkabut segera
menerjang ke depan.
Wusss!!
Raja Naga segera menghindar ke
samping, tubuhnya agak terhuyung. Melihat
hal itu semakin keras tawa Hantu Menara
Berkabut. Dia yakin kalau putra mendiang
Pendekar Lontar itu sudah terkena racun
dari lebah miliknya.
"Hmmmm! Akan kugiring dia ke arah
dinding yang jebol biar dia jatuh dari
ketinggian ini!!"
Dengan ganas Hantu Menara Berkabut
terus melancarkan serangannya. Dilihatnya
huyungan tubuh Raja Naga semakin menjadi-
jadi .
"Kau tak akan bisa melepaskan diri
dari kematian. Hari ini keturunan
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar akan
berakhir!"
Huyungan tubuh Raja Naga semakin
nampak, bahkan terdengar berulang kali
keluhannya menahan rasa sakit. Namun di
balik rasa sakit itu, Raja Naga menggeram
dalam hati.
"Hemm... dia tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi pada diriku sekarang
ini! Lebah itu memang menyengatku, tetapi
tidak kurasakan sakit seperti yang selama
ini kudengar! Bahkan kurasakan tenagaku
semakin kuat! Aku tidak tahu mengapa ini
terjadi? Tapi... aku yakin, gambar naga
hijau pada punggungku inilah yang mungkin
menanggulangi racun berbahaya dari lebah
miliknya! Hanya saja... mengapa begitu
lebah ini menyengat, perutku seperti
meregang dan ada hawa panas yang naik?"
Tetap bersikap terhuyung dan seperti
tak mampu menghalangi setiap serangan
lawan, dia tetap menghindar.
"Manusia satu itu kelihatan
mengarahkan diriku ke dinding yang jebol!
Tentunya dia ingin melihatku jatuh
terhempas ke bawah! Bagus! Akan kupancing
dia! "
Memutuskan demikian, Boma Paksi
menghindari setiap serangan ganas itu dan
sengaja mengarahkan dirinya pada dinding
yang jebol. Bahkan dia nekat mencondong-
kan tubuhnya pada dinding jebol itu!
Kedua tangannya berpegangan di bagian
atas dan kedua kakinya mengganjal di
bagian bawah. Angin besar menampar-nampar
punggungnya! Walau terasa agak nyeri
tetapi dia tidak peduli.
Di pihak lain, Hantu Menara Berkabut
terbahak-bahak keras melihat keadaan si
pemuda.
"Nyawamu tinggal selangkah lagi akan
lepas dari jasad! Berarti... lenyap sudah
keturunan Pendekar Lontar!"
Dengan membuat wajahnya seperti
menahan sakit dan suara diparaukan, Raja
Naga mendesis, "Kau hanya bisa banyak
omong! Ayo serang aku! Apakah kau
ternyata hanya seorang pengecut?!"
Ejekan itu membuat gusar Hantu Menara
Berkabut. Segera kerahkan tenaga
dalamnya. Kejap berikutnya dia sudah
menerjang ke depan.
Raja Naga menyipitkan sepasang
matanya. Begitu jotosan tangan kanan kiri
lawan bergerak ke arahnya, anak muda ini
cepat membuang tubuh ke samping. Dan....
Tap!
Tangan kanannya sudah menangkap
tangan kiri Hantu Menara Berkabut. Kejap
itu pula dengan kekuatan berlipat ganda
dibetotnya tubuh Hantu Menara Berkabut ke
arah dinding yang jebol.
"Heiiii!!" Hantu Menara Berkabut
berteriak keras. Wajahnya seketika
menjadi pias. Dia berusaha menahan
gerakan tubuhnya yang disentakkan Raja
Naga. Tetapi satu tendangan memutar yang
dilakukan Raja Naga membuat dia
kehilangan keseimbangan.
Maka tanpa ampun lagi tubuhnya
terlempar keluar dari Menara Berkabut.
"Aaaaaakhhhhhh!!"
Lolongan laksana seekor serigala
menyayat dahsyat, terdengar keras dan
semakin lama menjadi pelan untuk kemudian
lenyap tak terdengar lagi!
Di atas Menara Berkabut, Raja Naga
menarik napas panjang. Untuk beberapa
saat murid Dewa Naga ini tak bersuara.
Kemudian digeleng gelengkan kepala-
nya .
"Musuh-musuh utamaku sudah tewas
sekarang.... Berarti tugasku untuk
membalas kematian kedua orangtuaku telah
selesai.... Ah, apakah masih ada
persoalan lain yang akan kuhadapi?"
Kembali pemuda berambut dikuncir ini
terdiam.
"Guru tak menghendaki aku kembali ke
Lembah Naga walaupun tugasku sudah
selesai. Berarti... yah, aku akan memulai
saja petualanganku ini. Ke mana kedua
kakiku melangkah, aku akan mengikutinya."
Kemudian perlahan-lahan Boma Paksi
menuruni undakan tangga Menara Berkabut.
Kembali melewati lorong rahasia dan
kembali tiba di tempat dari mana dia
datang tadi.
Dipandanginya sekelilingnya. Malam
telah datang. Hembusan angin cukup
dingin. Di atas sana rembulan bersinar
terang.
"Seharusnya aku bisa menahan
kepergian Ratu Sejuta Setan yang membawa
Dewi Bunga Mawar. Gadis itu belum
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Dia tidak tahu kalau berulang kali dia
telah diperalat. Pertama oleh gurunya
sendiri si Dadung Bongkok. Kemudian
tentunya oleh Iblis Telapak Darah yang
entah berada di mana sekarang. Dan aku
yakin... Ratu Sejuta Setan akan terus
mengisi perasaan si gadis dengan segala
kebenciannya kepadaku hingga gadis itu
tetap tak mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi?"
Raja Naga menarik napas panjang.
Kembali diedarkan pandangannya.
"Aku berharap dapat berjumpa kembali
dengan Dewi Bunga Mawar. Biar
bagaimanapun dialah gadis jelita yang
pertama kujumpai dan sempat menggetarkan
hatiku..."
Lalu ditengadahkan kepalanya, menatap
rembulan yang bersinar indah. Kejap
kemudian pemuda yang kedua tangannya
sebatas siku bersisik coklat ini sudah
melangkah memulai petualangannya.
Dan dia tidak tahu, kalau sengatan
lebah beracun milik Hantu Menara Berkabut
bukan ditanggulangi oleh tato gambar naga
hijau pada punggungnya, melainkan oleh
gumpalan daun lontar yang berada di balik
perutnya. Itulah sebabnya, mengapa tadi
dia sempat merasakan hawa panas.
SELESAI
Emoticon