SATU
KALAU ada orang yang mau menggantung diri
di sebuah pohon, tentunya dengan leher yang tercekik
seutas tambang! Tetapi, yang tergantung di pohon itu
justru kaki kanannya yang terikat pada seutas tam-
bang! Dan kalau begini adanya, hanya ada dua jawa-
Jawaban pertama, orang itu tak sengaja masuk
ke perangkap hewan yang dipasang pemburu. Jawa-
ban kedua, ada orang yang telah memperlakukannya
demikian!
Lelaki setengah baya berambut panjang itu
menggoyang-goyangkan tubuhnya untuk menggapai
tambang yang mengikat kakinya. Tetapi begitu tan-
gannya berhasil memegang tambang itu, seketika dile-
paskan kembali. Pinggulnya yang terhantam gelom-
bang angin kecil tetapi sangat menyengat terasa perih.
Dia bergelantungan dengan mata mendelik. Te-
riakannya keras diiringi makiannya, "Gadis keparat!
Bila kau berani mencelakakan ku, tak akan pernah te-
nang hidupmu!!"
Gadis berpakaian putih bersih dengan dua
kuntum mawar merah pada atas dada kanan kirinya
itu, mendongak. Sepasang mata indahnya tak berkedip
memandang lelaki bertelanjang badan yang kaki ka-
nannya terikat menggantung. Terkesan dingin dan
bengis.
"Kau berani mendustai ku, maka itulah akibat-
nya!" serunya penuh ancaman.
Sebagai sahutan, lelaki yang tergantung itu
mendorong kedua tangannya ke bawah.
Wrrsss!!
Serta-merta dua gelombang angin yang kemu-
dian menyatu meluncur ke arah si gadis. Yang dis-
erang hanya mendengus. Lalu dengan ringannya men-
gibaskan tangan kanannya setengah lingkaran di atas
kepala.
Blaaaarrr!!!
Dua gelombang angin yang menjadi satu itu pu-
tus di tengah jalan terhantam satu sinar merah yang
cukup pekat dan memperdengarkan suara letupan cu-
kup keras.
Lelaki yang tergantung di atas pohon mengge-
ram
"Keparat! Mengapa aku bisa dibodohi anak in-
gusan seperti gadis celaka itu!" makinya dalam hati.
"Setan! Aku sama sekali tak mengenal Raja Naga wa-
laupun aku pernah mendengar julukannya! Tetapi ga-
ra-gara Raja Naga, aku jadi begini!"
Dengan tubuh yang terayun-ayun dan kaki ka-
nan yang terikat itu mulai terasa nyeri, lelaki ini mem-
bentak lagi, "Gadis celaka! Orang yang kau tuju adalah
Raja Naga! Tetapi kau telah berani memperlakukan ku
seperti begini!!"
"Siapa pun orangnya yang kutanyakan tentang
Raja Naga menjawab tidak tahu, maka dia harus ku-
bunuh! Apalagi orang yang berani mempermainkan ku!
Kau mengatakan sebelumnya tahu di mana pemuda
itu berada, tapi nyatanya kau tidak tahu sama sekali!
Sebelum kubunuh, satu siksaan pedih agaknya paling
tepat se-bagai ganjaran atas tindakanmu!"
"Setan terkutuk! Lepaskan aku! Kita bertarung
sampai mampus!"
"Dalam keadaan tak tergantung seperti itu kau
sudah tak mampu menghadapiku, apalagi sekarang
ini! Kau hanya menjadi singa ompong!!"
"Terkutuk!!"
Lelaki yang tergantung ini meliukkan tubuhnya
ke atas. Dan....
Tap!
Tangannya berhasil meraih tambang yang men-
gikat kaki kanannya. Dicobanya untuk membuka ika-
tan itu. Tetapi baru saja dilakukan, satu sengatan
mengenai pinggulnya!
"Aaaakhhhh!!"
Tubuhnya meliuk, berayun dan tergantung lagi!
Karena bantingan tubuhnya sendiri, ikatan pada kaki
kanannya semakin menguat!
"Setan!!" makinya dengan paras memerah kare-
na darah telah mengumpul pada wajahnya! Keringat
bercucuran, jatuh ke tanah, tak jauh dari hadapan ga-
dis berpakaian putih yang sedang menyeringai itu.
"Pulung Jelaga! Yang kau lakukan hanyalah
sebuah kesia-siaan!! Kau tak akan mampu melepaskan
diri dari tambang itu, karena aku akan segera membu-
nuhmu!"
Wajah si lelaki yang bernama Pulung Jelaga itu
kian memerah. Amarah dan kegusarannya bersatu pa-
du. Dia mulai diliputi rasa putus asa. Disesalinya
mengapa sebelumnya dia menganggap enteng gadis
yang sedang menyiksanya ini
Sebelumnya Pulung Jelaga tiba-tiba didatangi
oleh seorang gadis yang mengaku berjuluk Ratu Tanah
Terbuang. Ratu Tanah Terbuang menanyakan tentang
Raja Naga. Merasa gadis itu bukanlah sebuah momok
yang menakutkan, Pulung Jelaga menjawab tahu di
mana orang yang dicari Ratu Tanah terbuang. Padahal
saat itu, yang dikehendakinya adalah mencoba menge-
labui si gadis untuk mendapatkan kesenangan! Karena
sepasang bukit kembar membusung yang dibalut pa-
kaian putih itu telah membuatnya bergairah. Sudah
tentu dia tak akan membiarkan gairahnya berlalu tan-
pa pelampiasan.
Dibawanya si gadis melangkah seolah hendak
mencari Raja Naga. Di tengah perjalanan, dia menyer-
gap gadis itu yang sesaat terkejut tetapi kemudian pa-
srah saat direbahkan tubuhnya di atas tanah.
Mendapati hal itu, Pulung Jelaga menjadi kese-
nangan. Dia melupakan bahaya lain yang tidak ter-
tangkap matanya. Ratu Tanah Terbuang membiarkan
dirinya diciumi bahkan diraba oleh Pulung Jelaga, se-
mentara hatinya murka laksana gunung berapi yang
siap memuntahkan isi perutnya!
Di saat Pulung Jelaga sudah membuka pa-
kaiannya sambil tertawa-tawa karena merasa apa yang
diinginkannya akan terlaksana, Ratu Tanah Terbuang
justru memejamkan matanya. Makin kesenangan Pu-
lung Jelaga.
Namun secara tiba-tiba, tubuhnya tersentak
naik, mumbul ke udara untuk kemudian terbanting di
atas tanah!
Apa yang terjadi itu membuat Pulung Jelaga
kebingungan, karena begitu dilihatnya keadaan Ratu
Tanah Terbuang, gadis itu tetap berada dalam posisi
terbaring dengan kedua mata terpejam. Untuk bebera-
pa saat dia memikirkan apa yang barusan menimpa di-
rinya. Melihat keadaan si gadis, rasanya tak mungkin
kalau dia yang telah mendorongnya!
Kebingungannya itu tak berlangsung lama, me-
lihat keadaan si gadis. Tanpa mempedulikan apa yang
barusan terjadi, Pulung Jelaga segera menghampiri
Ratu Tanah Terbuang dengan terburu-buru.
Tetapi mendadak dia tersungkur dan terbanting
untuk kedua kalinya di atas tanah. Belum lagi dia
bangkit, dilihatnya satu bayangan putih telah berkele-
bat dan tahu-tahu telah mengangkangi wajahnya den-
gan pandangan sengit.
Sadarlah Pulung Jelaga siapa yang telah mem-
buatnya tersungkur dua kali. Sebelum dia bangkit, Ra-
tu Tanah Terbuang sudah menginjak dadanya yang te-
rasa seperti mau pecah. Kemudian menempeleng wa-
jahnya keras-keras hingga memerah.
Lalu menyentaknya ke atas, menyeretnya se-
perti sedang membawa satu buntalan baju. Pulung Je-
laga berusaha berontak, tetapi satu totokan yang dila-
kukan Ratu Tanah Terbuang yang sama sekali tidak
dilihatnya, membuat seluruh tulang belulangnya se-
perti dilolosi.
Sepanjang perjalanan Ratu Tanah Terbuang
meneriakkan julukan Raja Naga. Bahkan di satu du-
sun, dia mengamuk karena tak seorang pun yang da-
pat mengatakan di mana Raja Naga berada. Dari se-
buah rumah, Ratu Tanah Terbuang mendapatkan se-
buah tambang yang cukup panjang.
Sambil terus menyeret Pulung Jelaga yang tak
berdaya dan diliputi rasa kecut, Ratu Tanah Terbuang
melangkah meninggalkan dusun itu. Langkahnya baru
dihentikan di sebuah jalan setapak, di hadapan se-
buah pohon besar.
Kemudian dilemparkannya tambang itu ke da-
han sebuah pohon. Lalu diikatnya kaki kanan Pulung
Jelaga yang berteriak-teriak keras tetapi tak dapat me-
lakukan apa-apa kecuali berteriak. Setelah mengikat
kaki Pulung Jelaga, gadis itu segera melepaskan toto-
kannya.
Pulung Jelaga masih merasakan kalau tubuh-
nya sesaat mengejut, sebelum kemudian tubuhnya te-
lah tersentak naik dan kini tergantung di pohon itu
dengan kepala menghadap tanah!
"Ratu Tanah Terbuang!" seru Pulung Jelaga
dengan suara putus asa. "Aku mohon ampun akan
tindakanku ini! Percayalah... aku mengetahui di mana
Raja Naga berada!"
"Seseorang tak akan mungkin mau terperosok
ke lubang yang sama atau ke lubang lainnya sebanyak
dua kali! Tindakanmu justru banyak membuang wak-
tuku! Dan untuk mempersempit waktu, sebaiknya kau
kubunuh sekarang!"
"Jangan... jangan kau lakukan itu!" seru Pu-
lung Jelaga mengiba, tubuhnya terayun-ayun karena
dia bergerak tadi. "Ampuni aku... ampuni aku... aku
bersedia menjadi budakmu bila kau mau mengampu-
niku...."
"Urusanku adalah dengan Raja Naga! Aku tak
membutuhkan bantuan siapa pun juga!" seru Ratu
Tanah Terbuang dingin. "Jangan berharap terlalu jauh
padaku!"
Pulung Jelaga tak berucap. Hanya wajahnya
yang menyiratkan penyesalan, ketakutan sekaligus
kemarahan.
"Kau tak berkomentar, berarti kau siap untuk
pergi ke neraka!!"
Tangan kanan Ratu Tanah Terbuang perlahan-
lahan terangkat dan siap didorong ke atas.
Kedua mata Pulung Jelaga membuka lebar. Ke-
panikan sangat kentara. Dia menggerak-gerakkan ke-
dua tangannya, seraya mendesis panik, "Jangan... jan-
gan lakukan itu... ampuni aku... ampuni aku...."
Ratu Tanah Terbuang menyeringai lebar.
"Kau telah melakukan kesalahan yang tak akan
pernah ku maafkan! Kau telah banyak membuang
waktuku yang sedemikian sempit! Itu artinya kau
memperlambat keinginanku untuk menemukan dan
membunuh Raja Naga!"
"Ratu Tanah Terbuang...," desis Pulung Jelaga
resah, dia sudah kehilangan nyalinya. Rasa putus asa
semakin menyiksa. Penyesalannya bertubi-tubi meng-
hantam dadanya. "Kuakui... apa yang kulakukan ini
memang sebuah kesalahan.... Tetapi, apakah kau tidak
mau memaafkan ku?"
"Tindakanmu sudah keterlaluan!"
"Aku memahami apa yang kulakukan yang ten-
tunya membuatmu murka," sahut Pulung Jelaga pe-
lan. Dia masih mencoba berusaha untuk membujuk
Ratu Tanah Terbuang. "Dan... aku... aku berjanji, tak
akan lancang lagi melakukannya...."
"Sayangnya, kematianmu justru semakin de-
kat!" sahut Ratu Tanah Terbuang geram. Diam-diam
dia menyenangi apa yang dilakukannya ini. Melihat
orang mengiba-ngiba padanya, dia semakin suka me-
neruskan tindakannya.
"Ya, ya... kuakui itu.... Tetapi, aku... aku... tahu
di mana sebenarnya Raja Naga berada...."
"Sebelumnya kau telah berdusta padaku, apa-
kah sekarang aku bisa mempercayaimu?"
"Kita... kita bisa menanyakan pada sahabatku
yang berjuluk Keranda Iblis! Aku yakin... dia tahu di
mana Raja Naga berada...."
Ratu Tanah Terbuang tak bersuara. Mata in-
dahnya yang bengis itu memandang tak berkedip pada
Pulung Jelaga yang masih tergantung.
Melihat gadis berpakaian putih itu terdiam, Pu-
lung Jelaga terus berkata-kata, "Keranda Iblis banyak
mempunyai sahabat dan kambrat! Aku yakin, dia akan
mencari keterangan untukmu tentang Raja Naga!"
"Kau mencoba untuk mendustai ku lagi...."
"Kau tadi mengatakan tak mungkin ada orang
yang mau terperosok pada lubang yang sama atau lu-
bang lainnya untuk kedua kalinya! Aku telah melaku-
kan kesalahan dan mendapatkan akibat dari tinda-
kanku ini! Sudah tentu... aku... aku tak ingin ini terja-
di untuk kedua kalinya.... 1 '
Lagi Ratu Tanah Terbuang tak bersuara. Dia
sedang mempertimbangkan kata-kata Pulung Jelaga.
Pulung Jelaga sendiri tak berkata lagi. Dibiarkan Ratu
Tanah Terbuang memikirkan apa yang dikatakannya.
Sudah tentu Pulung Jelaga berharap kalau Ra-
tu Tanah Terbuang akan termakan ucapannya. Sebe-
narnya bila dia bebas, dia bermaksud untuk meminta
bantuan Keranda Iblis untuk membunuh Ratu Tanah
Terbuang!
Mendadak...
Wuutttt!
Tasss!!
Tali yang mengikat kaki kanannya dan mem-
buatnya tergantung tiba-tiba putus. Pulung Jelaga se-
saat memekik ketika tubuhnya meluncur deras ke atas
tanah. Rasa lemas telah menggelayuti tubuhnya. Tena-
ganya seperti terkuras. Kaki kanannya yang terikat itu
nyeri bukan main.
Namun dia masih mampu bertindak cepat bila
tidak ingin kepalanya menghantam tanah! Didahului
oleh teriakan keras, tubuhnya segera meliuk, dan
mumbul di udara. Setelah memutar tubuh, dia hing-
gap di atas tanah.
Tetapi baru saja dia hinggap, tubuhnya sudah
goyah. Ini dikarenakan kaki kanannya yang nyeri itu
seolah tak memiliki tenaga lagi.
Goyahan tubuhnya tidak bisa dikuasai lagi.
Hingga kemudian dia ambruk di atas tanah!
Ratu Tanah Terbuang mendengus.
"Aku hanya memberimu waktu sepuluh kali ke-
japan mata untuk segera berangkat mengajakku me-
nemui Keranda iblis! Lewat dari sepuluh kejapan mata,
jangan berharap aku akan tetap mau mengikuti uca-
pan keparatmu itu!!"
Ancaman dingin itu menyengat ubun-ubun Pu-
lung Jelaga. Lelaki yang bertelanjang badan itu terbu-
ru-buru bangkit. Keseimbangannya masih belum di-
kuasai sepenuhnya.
"Terima kasih kau memberi ku kesempatan hi-
dup...," ucapnya berusaha mempertahankan keseim-
bangan.
"Kesempatan ini hanya satu kali kau da-
patkan!" sahut Ratu Tanah Terbuang dingin. "Aku tak
punya banyak waktu! Sebelum senja, aku sudah harus
berhadapan dengan Keranda Iblis! Dan jangan coba-
coba mempermainkan ku lagi!"
Pulung Jelaga mengangguk-angguk terburu-buru.
"Huh! Kau akan merasakan akibatnya bila su-
dah berada di hadapan Keranda Iblis, Gadis setan! Kau
akan merasakan pembalasannya!" desisnya dalam ha-
ti.
Ketika dilihatnya tatapan si gadis menusuk, Pu-
lung Jelaga buru-buru melangkah, agak terpincang
karena kaki kanannya masih nyeri.
Ratu Tanah Terbuang memandangi orang yang
sedang melangkah itu, "Huh! Jangan kau kira aku da-
pat kau kelabui lagi! Bila berani berbuat lancang, bu-
kan hanya kau yang akan mampus! Tetapi juga Keran-
da Iblis!!"
Kemudian disusulnya Pulung Jelaga yang me-
langkah agak terpincang-pincang.
***
DUA
SENJA sudah memayungi belantara yang dipe-
nuhi pepohonan tinggi itu, seolah hendak menengge-
lamkan dalam keremangannya. Angin yang berhembus
menggesek dedaunan, laksana sebuah musik yang
mengiringi tarian para mambang.
Tiba-tiba terlihat satu bayangan ungu berkele-
bat cepat keluar dari belantara itu. Berjarak sekitar
dua puluh kaki, sosok tubuh ini menghentikan lang-
kahnya.
Dipandangi sekelilingnya yang dipenuhi rang-
gasan semak. Di kejauhan nampak julangan bukit ter-
jal, dihiasi oleh kabut yang mulai turun.
Sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda ini
menarik napas pendek. Wajahnya tampan dengan
rambut dikuncir ekor kuda yang bergerak dipermain-
kan angin. Dia mengenakan rompi berwarna ungu
yang terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada bi-
dangnya yang penuh otot. Dari kegagahan yang ada
pada diri si pemuda, adalah satu keangkeran yang ter-
sirat dari kedua matanya. Sepasang mata beningnya
bersorot angker, mengerikan dan mampu menciutkan
nyali yang melihatnya. Dan astaga! Kedua tangannya
mulai jari jemari hingga batas siku, dipenuhi sisik cok-
lat yang halus!
Pemuda yang bukan lain Boma Paksi atau yang
lebih dikenal dengan julukan Raja Naga ini meman-
dang bukit yang mulai dihiasi kabut tipis.
"Ratu Tanah Terbuang...," desisnya pelan. "Sia-
pa sesungguhnya gadis yang sedang mencariku itu?
Tindakan ganasnya yang telah menghancurkan Pergu-
ruan Kencana semata untuk memancing kemunculan-
ku, tak bisa dimaafkan. Tetapi, aku belum tahu men-
gapa dia mencariku? Apa yang diinginkannya? Julu-
kannya pun baru kudengar dari mulut Kirana, murid
Pendekar Kencana yang telah tewas di tangan Mari-
nah, yang kemasukan ilmu hitam milik Sangga Lan-
git...."
Murid Dewa Naga merapatkan mulutnya. Tak
bersuara lagi. Otaknya diperas habis-habisan untuk
mengetahui siapakah Ratu Tanah Terbuang.
Kemudian setelah menghela napas panjang,
terdengar desahannya lagi, "Kirana saat ini sedang
menuju ke Sungai Matahari untuk menjumpai kakek
bernama Kidang Gerhana. Ah, gadis itu sudah menun-
jukkan gelagat yang tidak baik. Dia telah memusuhi
ku. Untungnya, dia tidak tahu kalau akulah yang ber-
juluk Raja Naga...."
Kembali pemuda dari Lembah Naga ini tak ber-
suara. Tatapan angkernya masih ditujukan pada bukit
terjal yang cukup jauh dari hadapannya. Tetapi jelas
dia tidak mengarahkan sepenuhnya pandangan pada
bukit itu, karena perhatiannya lebih ditujukan pada
masalah yang akan dihadapinya.
"Tindakan Kirana memang dapat ku benarkan,
kendati aku tak menyesalinya. Dia menganggap akulah
yang bersalah akan hancurnya Perguruan Kencana
dan matinya gurunya. Ah, entah siapa lagi yang akan
menganggap seperti itu? Aku memang harus mencari
Ratu Tanah Terbuang sebelum dia menghancurkan
siapa saja karena tak bisa mengatakan di manakah
aku berada?"
Belum habis ucapannya terdengar, Raja Naga
menoleh ke samping kiri. Mata angkernya tak berke-
dip. Mendadak dari balik ranggasan semak bermuncu-
lan tiga orang lelaki berpakaian serba hijau muda!
Ketiga orang yang berusia sekitar empat puluh
lima tahun ini langsung mengurungnya tanpa berbasa-
basi. Melihat tindakan yang dilakukan ketiga orang itu,
Raja Naga mengerutkan keningnya sejenak sebelum
tersenyum.
Matanya yang angker memandang wajah-wajah
beringas yang mengurungnya satu persatu. Lalu den-
gan ketenangan yang luar biasa, dia berkata, "Orang-
orang yang tak kukenal! Kalian muncul secara menda-
dak dan langsung mengurung ku dengan sikap tak
bersahabat! Apakah memang ada satu urusan yang
harus kita selesaikan?!"
Ketiga orang itu tak ada yang bersuara. Seperti
dikomando, masing-masing orang secara serempak
melangkah dua tindak, semakin mendekati Raja Naga
dengan kedudukan siap menyerang.
Raja Naga masih tersenyum.
"Agar tidak terjadi salah paham dan silang uru-
san, apakah tidak sebaiknya kalian menjelaskan du-
duk perkaranya? Hingga semuanya menjadi jelas!"
Orang yang berdiri di hadapan Raja Naga men-
dengus. Kemudian meluncur ucapan dinginnya,
"Orang muda! Kaukah yang bernama Boma Paksi dan
berjuluk Raja Naga?!"
Raja Naga memandang orang di hadapannya.
Sebelum dia menjawab, orang yang berdiri di sebelah
kirinya sudah berseru, "Wedang Kurdo! Mengapa kau
bertanya seperti itu? Ciri yang melekat padanya sudah
menunjukkan kalau dialah Raja Naga yang pengecut,
yang telah mengorbankan banyak orang lain karena
kepengecutannya!!"
Raja Naga melirik lelaki yang barusan memben-
tak. Dia seorang lelaki berwajah cekung dengan kuping
sebelah kiri buntung! Sebelum murid Dewa Naga ini
berkata, orang di hadapannya sudah membentak,
"Pemuda pengecut! Kau telah mendengar apa
yang dikatakan temanmu! Kami, Tiga Pendekar Lem-
bah Kidul, menuntut pertanggungjawaban mu!!"
Raja Naga tetap bersikap tenang. Sorot matanya
tetap angker menusuk.
"Wedang Kurdo!" serunya memanggil orang di
hadapannya sesuai panggilan yang dilakukan lelaki
berkuping buntung.
"Aku senang berkenalan dengan Tiga Pendekar
Lembah Kidul! Hanya yang menjadi masalah sekarang,
ada urusan apakah sebenarnya? Mengapa kalian tahu-
tahu muncul dan mengatakan aku harus memper-
tanggungjawabkan kepengecutan ku?!"
"Lembah Kidul telah didatangi seorang gadis
berilmu tinggi! Rakyat di Lembah Kidul banyak yang
celaka akibat tindakannya! Huh! Sayang kami tidak
berada di sana saat peristiwa itu terjadi! Dari apa yang
kami dengar, gadis berjuluk Ratu Tanah Terbuang
memaksa orang-orang di Lembah Kidul menunjukkan
di manakah Raja Naga berada!"
Ucapan Wedang Kurdo membuat Raja Naga
menarik napas pendek. Untuk sesaat dia tidak berkata
apa-apa. Hanya sorot matanya yang memandang tak
berkedip pada orang di hadapannya.
"Lagi-lagi Ratu Tanah Terbuang," desisnya. Lalu
berkata tetap dengan ketenangan tinggi, "Wedang Kur-
do! Sebelum ini, aku juga telah mendapat kabar dari
seorang gadis bernama Kirana, tentang munculnya Ra-
tu Tanah Terbuang yang mencariku! Tetapi terus te-
rang, aku tidak tahu apa yang diinginkan Ratu Tanah
Terbuang dariku!"
"Dengan bicara seperti itu, kau bermaksud
mengatakan kalau kau tidak punya urusan dengan-
nya?!" sahut Wedang Kurdo dingin.
"Betul sekali! Aku bukan hanya tidak punya
urusan dengannya, tetapi aku juga tidak mengenal-
nya!"
Orang yang berdiri di sebelah kanannya sudah
berseru, "Seminggu lamanya kita mencari pemuda ke-
parat ini, tetapi mengapa sekarang hanya bercakap-
cakap tak karuan?!"
Wedang Kurdo melirik orang yang bicara tadi.
Dia tak mempedulikannya, justru dia berkata pada Ra-
ja Naga, "Kau boleh mendustai siapa pun juga kalau
kau tidak mengenal dan punya urusan dengan Ratu
Tanah Terbuang! Tetapi bagi kami, kau tetaplah orang
yang harus bertanggung jawab atas tindakan Ratu Ta-
nah Terbuang!"
"Sebelum kalian berada di sini, aku sudah hen-
dak mencari Ratu Tanah Terbuang untuk meminta ke-
jelasan, sekaligus mengetahui ada urusan apa dia
mencariku," sahut pemuda yang kedua tangannya se-
batas siku ini bersisik coklat. "Dan bila kalian meminta
ku untuk bertanggung jawab, aku hanya bisa melaku-
kannya setelah mengetahui semua ini secara jelas!"
Wedang Kurdo tak bersuara. Justru lelaki yang
berdiri di sebelah kanan yang membentak keras. "Pe-
muda bersisik coklat! Tindakan Ratu Tanah Terbuang
tak seharusnya dirasakan oleh orang-orang di Lembah
Kidul! Hanya karena kepengecutanmu saja yang lari
dari urusan yang menyebabkan petaka di Lembah Ki-
dul! Sudah tentu kami menuntut pertanggungjawaban
mu"
"Seperti yang kukatakan tadi, aku akan ber-
tanggung jawab! Menurut Kirana, Ratu Tanah ter-
buang melakukan tindakan makar semata untuk me-
mancingku keluar! Padahal tidak seharusnya dia men-
gorbankan orang lain!"
"Kau sudah berkata demikian, berarti kau me-
nerima ganjaran atas kepengecutanmu!"
Belum habis ucapannya, lelaki berkepala lon-
jong ini sudah menerjang ke depan. Kedua tangan ka-
nan kirinya digerakkan mengarah pada dada dan wa-
jah Raja Naga.
Sejenak anak muda dari Lembah Naga itu men-
jerengkan matanya. Kejap lain dia sudah mengangkat
kedua tangannya tanpa bergeser dari tempatnya!
Buk! Buuk!
Dua jotosan yang dilancarkan lelaki berkepala
lonjong itu terhalang oleh papakan kedua tangan Raja
Naga. Saat itu pula terdengar teriakan tertahan, dis-
usul tubuh mundur ke belakang. Lelaki berkepala lon-
jong ini membelalak sambil memandang kedua tan-
gannya yang membiru!
"Gila! Tenaga dalamnya sungguh luar biasa!"
desisnya dalam hati antara kagum dan gusar.
Di tempatnya Raja Naga menarik napas pendek.
Kekuatan yang dilakukan tadi itu bukanlah akibat
pengaruh tenaga dalamnya. Dia belum mengeluarkan
tenaga dalamnya. Tetapi kekuatan itu berasal dari si-
sik-sisik coklat yang terdapat pada kedua tangannya
sebatas siku. Bahkan bila Boma Paksi mau, dia dapat
membuat kedua tangan orang berkepala lonjong itu
patah!
Melihat sahabatnya mundur dengan wajah be-
rubah, lelaki berkuping sebelah sudah menerjang. Kaki
kanannya mendadak mencuat, disusul dengan puta-
ran tubuh setengah lingkaran sambil melepaskan ten-
dangan kaki kirinya.
Raja Naga menggeser sedikit kakinya ke bela-
kang.
Buk! Buk!
Kembali dia menahan tendangan cepat dari
orang berkuping sebelah itu. Yang begitu ditahan den-
gan kedua tangannya, lawan yang menyerangnya
mundur dengan seruan kesakitan.
Mendapati kedua kawannya dapat dipecundan-
gi dengan mudah, wajah Wedang Kurdo memerah. Se-
sungguhnya lelaki ini masih dapat mempergunakan
akal sehatnya, setelah mendengar pengakuan pemuda
berompi ungu itu yang ternyata tidak mengenal Ratu
Tanah Terbuang. Tetapi biar bagaimanapun juga, demi
melihat kedua kawannya dipecundangi dengan mudah,
kemarahannya terusik.
Dia mundur dua langkah sambil membentak
keras, "Gamang Kurdo dan Bonang Kurdo! Bersatu! Ki-
ta pergunakan ilmu 'Menjerat Tambak Ikan' untuk
menghajarnya!!"
Ucapan yang didengar itu segera disambut oleh
masing-masing orang yang disebutkan namanya. Lela-
ki berkuping sebelah yang bernama Bonang Kurdo su-
dah menggeser kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya
dibungkukkan dengan pandangan tak berkedip pada
Boma Paksi. Sementara itu Gamang Kurdo mengang-
kat kaki kanannya dan menekuk. Dia berdiri dengan
kaki kiri sementara kedua tangannya mengembang di
atas. Di pihak lain, Wedang Kurdo yang berdiri di ten-
gah sudah merangkapkan kedua tangannya di depan
dada.
Melihat pemandangan di depan matanya, Raja
Naga menatap dalam. Sorot matanya yang angker lebih
memperlihatkan keangkerannya.
Tiga Pendekar Lembah Kidul sesaat merasa jeri
melihat pandangan angker itu. Tetapi kemarahan di
hati masing-masing orang telah terusik. Mereka tetap
menuduh Raja Naga-lah yang menyebabkan semua ini.
Di tempatnya Raja Naga menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Aku bukanlah sasaran yang tepat dari apa
yang kalian inginkan! Bila ingin sejalan, sebaiknya kita
sama-sama mencari tahu apa yang sebenarnya diin-
ginkan Ratu Tanah Terbuang!"
Wedang Kurdo berseru menggeledek, "Sebelum
kami membuktikan apakah kau memang benar tidak
mengenal Ratu Tanah Terbuang, sebaiknya hadapi
kami dulu! Sekarang!"
Seruan terakhir dari Wedang Kurdo disusul
dengan lesatan tubuh Bonang Kurdo dan Gamang
Kurdo. Masing-masing orang sudah menerjang dengan
kecepatan luar biasa. Bonang Kurdo melayang di uda-
ra, sementara Gamang Kurdo menyusur tanah! Lesa-
tan keduanya disusul dengan terjangan Wedang Kurdo
yang meluruk ke depan!
Raja Naga menegakkan kepala. Kejap itu pula
dia melompat mundur sambil mendehem.
Gelombang angin yang menerjang dari atas dan
tengah itu, putus tertahan satu tenaga tak nampak
yang keluar dari kekuatan dehamannya.
Blaaarr!!
Menyusul murid Dewa Naga menjejakkan kaki
kanannya di atas tanah.
Serta-merta tanah itu bergelombang cepat
mengarah pada Gamang Kurdo yang sedang mengge-
brak menyusur tanah. Wajah lelaki berkuping sebelah
ini seketika berubah. Dia mencoba menghantam ge-
lombang tanah itu. Begitu pecah terhantam, dia me-
mekik tertahan. Karena satu gelombang angin kecil
yang terlempar, seperti menampar wajahnya!
Kontan tubuhnya terlempar ke belakang, berputar
seperti baling-baling.
Wedang Kurdo berteriak, "Astaga!!"
Segera dia mengempos tubuh untuk menang-
kap Gamang Kurdo yang terus meluncur berputaran.
Tetapi satu bayangan ungu telah mendahului, dan
menepak tubuh Gamang Kurdo. Dan dengan gerakan
yang sukar diikuti oleh mata tangan kanannya yang
tadi menepak Gamang Kurdo, hingga terlempar, sudah
mendorong sebatang pohon.
"Kraaakk!"
Blaaam...!
Pohon itu berderak dan tumbang. Bayangan
ungu tadi berputar di udara dua kali dan hinggap
kembali di atas tanah.
"Raja Naga...," desis Wedang Kurdo begitu men-
getahui siapa adanya orang.
Raja Naga tersenyum, sorot matanya tetap ang-
ker. "Kukatakan sekali lagi, tak ada gunanya kita per-
panjang kesalahpahaman ini. Karena hanya akan me-
libatkan kita pada satu keyakinan tak menentu yang
bisa berubah menjadi satu dendam! Tiga Pendekar
Lembah Kidul... urusan yang harus kita jalankan ada-
lah mencari Ratu Tanah Terbuang! Mungkin secara ti-
dak langsung aku mempunyai urusan dengannya! Te-
tapi sampai saat ini, sebelum kudapatkan kejelasan,
aku masih belum mengerti mengapa dia mencariku,
padahal aku mengenalnya saja tidak!"
Tak ada yang menyahuti kata-kata Raja Naga.
Pemuda yang kedua lengannya sebatas siku bersisik
coklat ini, memandangi mereka satu persatu.
"Mungkin kalian tidak bisa mempercayai kata-
kataku! Aku akan tetap membuktikan apa yang kuka-
takan!"
Habis kata-katanya, Raja Naga sudah melesat
meninggalkan tempat itu.
Wedang Kurdo dan Bonang Kurdo tak ada yang
bersuara. Sementara Gamang Kurdo yang telah berdiri
sedang menenangkan kepanikan yang sempat terjadi.
Dia sama sekali tak menyangka kalau pemuda yang
hendak diserangnya itu yang menyelamatkannya.
Demikian pula dengan Wedang Kurdo yang
bermaksud menyelamatkan Gamang Kurdo tadi.
Bonang Kurdo mendekati Wedang Kurdo.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Wedang Kurdo tak menjawab. Lelaki ini masih
mencoba mencernakan apa yang dikatakan Raja Naga.
Bonang Kurdo sendiri tidak memaksa untuk segera
mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
Justru Gamang Kurdo yang menyahut, "Aku
mulai yakin, apa yang dikatakan pemuda itu memang
benar."
Wedang Kurdo berkata, "Yah... aku juga mulai
mempercayainya."
"Lantas, apa yang akan kita lakukan?" tanya
Bonang Kurdo kemudian.
"Kita kembali ke Lembah Kidul. Tugas kita me-
mang mengamankan daerah itu, daerah di mana kita
dibesarkan dan kita harus tetap kembali ke sana...."
Jawaban Wedang Kurdo disambut baik oleh
Gamang Kurdo dan Bonang Kurdo.
Setelah beberapa saat, ketiga lelaki berpakaian
serba hijau muda itu sudah meninggalkan tempat itu.
Di hati masing-masing orang, terdapat kelegaan ter-
sendiri. Karena mereka hampir saja melakukan satu
tindakan keji yang tidak pada tempatnya.
***
TIGA
HEMM... tak kusangka, kalau nasib Pendekar
Kencana sedemikian tragis," desis lelaki berusia sekitar
tujuh puluh tahun itu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Rambutnya yang serba putih itu berlompa-
tan. Kakek berpakaian putih yang terbuka di bahu kiri
dan memperlihatkan bahu kurusnya ini menarik na-
pas panjang.
Lalu ditatapnya gadis yang duduk bersimpuh di
hadapannya. Gadis itu juga sedang memandangnya.
Dia berusia sekitar tujuh belas tahun mengenakan pa-
kaian ringkas warna biru. Parasnya sangat cantik den-
gan hidung bangir dan sepasang bibir lembut yang
menawan. Rambutnya yang panjang hitam mengkilat,
dikuncir ekor kuda. Di punggungnya bersilangan dua
buah pedang.
Suara gemuruh air sungai di belakang si kakek
terdengar cukup deras. Berkilat-kilat memantulkan si-
nar matahari pagi. Udara di sekitar sana masih terasa
dingin. Bahkan kabut masih menutupi sebagian tem-
pat itu. Tetapi anehnya, dari gemuruh air sungai itu
seperti memancar hawa panas!
"Kirana... ketika kau datang menyampaikan
kabar tentang Ratu Tanah Terbuang, aku telah memi-
kirkan secara seksama. Tetapi yang tak ku mengerti,
mengapa kau menyampaikan padaku kalau Ratu Ta-
nah Terbuang adalah seorang gadis?"
Kirana mengerutkan keningnya. Dipandanginya
kakek bernama Kidang Gerhana di hadapannya. Dia
baru saja menceritakan tentang nasib yang menimpa
gurunya, yang tewas di tangan seorang perempuan
bertelanjang dada bernama Marinah.
Lalu katanya pelan, "Kakek.... Ratu Tanah Ter-
buang memang seorang gadis. Dan aku yakin, usianya
tidak lebih tua dariku...."
Kidang Gerhana mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Aku pernah menangkap kabar tentang seorang
perempuan kontet yang pernah tinggal di Tanah Ter-
buang. Dia berjuluk Ratu Sejuta Setan. Lantas, men-
gapa tahu-tahu muncul seorang gadis yang berjuluk
Ratu Tanah Terbuang?"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu,
Kek. Karena pada kenyataannya, memang seperti itu-
lah yang terjadi."
Kidang Gerhana terdiam beberapa saat sebelum
berkata, "Kirana... Ratu Sejuta Setan adalah seorang
tokoh hitam yang telah lama sepak terjangnya kuden-
gar. Dia termasuk tokoh hitam kelas wahid yang julu-
kannya cukup mengkederkan orang. Aku punya satu
dugaan, kalau Ratu Tanah Terbuang adalah murid-
nya...."
"Kekejaman Ratu Tanah Terbuang sedemikian
tinggi. Bagaimana halnya dengan Ratu Sejuta Setan?"
"Jelas lebih tinggi kekejamannya! Hanya saja,
beberapa bulan lalu pernah kudengar, kalau Ratu Se-
juta Setan pernah dikalahkan oleh Raja Naga. Kalau
memang Ratu Tanah Terbuang adalah muridnya, jelas
sekali kemunculannya itu untuk membalas kekalahan
gurunya...."
Kepala Kirana menegak.
"Kakek... sampai hari ini, aku tetap mengang-
gap kalau Raja Naga yang harus bertanggung jawab
atas peristiwa hancurnya Perguruan Kencana!"
"Ya, mungkin kau bisa melaksanakannya. Te-
tapi bisa juga tidak...."
"Aku tidak mengerti maksud Kakek yang ke-
dua. "
"Anakku... kalau memang Raja Naga mempu-
nyai urusan dengan Ratu Sejuta Setan. Mungkin yang
diketahuinya hanyalah perempuan tua kontet itu. Bu-
kan terhadap muridnya yang berjuluk Ratu Tanah
Terbuang. Kita anggap Ratu Tanah Terbuang adalah
murid Ratu Sejuta Setan walaupun tak menutup ke-
mungkinan, anggapan kita salah...."
"Aku semakin tidak mengerti."
"Anggapan pertama kita tadi, Ratu Tanah Ter-
buang adalah murid dari Ratu Sejuta Setan. Sekarang,
bagaimana dengan anggapan kedua yang menyatakan,
kalau Ratu Tanah Terbuang telah mengalahkan Ratu
Sejuta Setan yang tinggal di Tanah Terbuang? Kemu-
dian mempergunakan nama Tanah Terbuang sebagai
julukannya?"
Penjelasan yang sekaligus pertanyaan itu, tak
bisa dijawab oleh Kirana. Gadis jelita ini masih tetap
memusatkan perhatian pada Raja Naga.
Lalu katanya, "Tapi biar bagaimanapun juga,
Ratu Tanah Terbuang jelas-jelas punya urusan dengan
Raja Naga, terbukti dia berbuat makar demi memanc-
ing munculnya Raja Naga. Kakek... aku tetap berang-
gapan, kalau Raja Naga yang bertanggung jawab atas
semua ini!" (Untuk mengetahui soal ini sebelumnya, si-
lakan baca: "Selubung Tabir Hitam").
Kidang Gerhana hanya mengangguk.
"Anakku... aku tidak akan mencoba menutupi
emosi mu. Bila kau memang ingin melakukan satu
tindakan terhadap Raja Naga, sebaiknya kau kaji dan
perhitungkan lebih matang, agar tidak terjadi kesalah-
pahaman. Mengenai kematian gurumu, aku juga su-
dah mendengar tentang seorang perempuan yang diti-
tisi ilmu hitam yang sangat keji. Dan kalau tak salah
dengar, Raja Naga yang telah mengatasi semua itu...."
"Kakek!" Wajah Kirana sejenak berubah. "Men-
gapa Kakek selalu meninggikan orang pengecut itu?
Sejak tadi Kakek selalu memujinya!"
Kidang Gerhana dapat memahami emosi yang
ada pada diri Kirana. Dia menjawab lembut, "Kirana...
seorang pemuda berompi ungu telah muncul di rimba
persilatan! Bernama Boma Paksi dan berjuluk Raja
Naga! Dalam waktu yang sangat singkat, julukannya
itu sudah membubung tinggi sebagai orang dari golon-
gan lurus yang selalu membela kebenaran! Aku sama
sekali tidak memuji tentang dirinya... tetapi terus te-
rang, aku kagum dengan apa yang dilakukannya...."
Jawaban Kidang Gerhana membuat kening Ki-
rana berkerut. Untuk beberapa lama murid mendiang
Pendekar Kencana terdiam. Lalu tanyanya, lambat-
lambat, "Raja Naga... mengenakan rompi berwarna un-
gu?"
"Setahuku seperti itu. Dan yang paling khas da-
ri ciri yang melekat pada dirinya, mulai dari jari jemari
hingga batas siku kedua tangannya, terdapat sisik-
sisik warna coklat...."
"Astaga! Dan... dan.... Raja Naga memiliki tata-
pan yang sedemikian angker?"
"Aku juga mendengar kabar seperti itu. Tata-
pannya mampu membuat orang ciut nyali!"
"Kakek!!" kepala Kirana benar-benar menegak.
Kendati merasakan kalau Kirana mengetahui
sesuatu, Kidang Gerhana tetap berkata pelan, "Bagai-
mana, Kirana?"
"Kalau begitu... kalau begitu...."
"Ya?"
"Aku... aku... telah berjumpa dengannya!"
"Maksudmu... dengan Raja Naga?"
"Ya!"
"Apa yang kau lakukan kemudian?"
Wajah tegang Kirana berubah menjadi kegeraman.
"Brengsek! Pantas dia menyuruhku untuk
mempertimbangkan keputusanku untuk meminta per-
tanggungjawaban Raja Naga! Tidak tahunya, dialah
Raja Naga!"
"Hemmm... dia telah bertemu dengan Raja Na-
ga. Dan nampaknya Raja Naga merahasiakan tentang
dirinya. Mungkin pemuda itu berpikir, bila dia menga-
takan siapa dirinya yang sebenarnya, Kirana bisa me-
radang," kata Kidang Gerhana dalam hati.
"Kakek... pemuda itu... pemuda itu... kurang
asem! Dia sendiri Raja Naga!" seru Kirana lagi. Lalu di-
ceritakan perjumpaannya dengan pemuda berompi un-
gu beberapa hari lalu, sebelum dia mendatangi Sungai
Matahari untuk menjumpai Kidang Gerhana (Baca:
"Selubung Tabir Hitam").
Kidang Gerhana tersenyum.
"Aku dapat memaklumi tindakannya...."
"Tetapi dia membohongi ku, Kakek!" seru Kira-
na dengan dada yang mendadak naik turun.
"Sekali lagi kukatakan, aku tak berhak mere-
damkan emosi mu, Kirana. Kau sedang dalam proses
menuju kedewasaan. Kau sendiri yang akan menentu-
kan tindakanmu. Tetapi rasanya tidak berlebihan bila
kukatakan, sebaiknya kau memang mempertimbang-
kan lagi apa yang akan kau lakukan. Raja Naga men-
gaku tidak mengenal Ratu Tanah Terbuang. Dan itu
mungkin memang benar. Karena pantang bagi seorang
pendekar lari dari segala masalah, apalagi bila me-
mang masalah itu harus diselesaikan...."
Kirana tidak menjawab. Pikirannya mulai dira-
sakan tidak menentu.
Kidang Gerhana berkata lagi, "Kirana... untuk
mempersingkat waktu, sebaiknya kita mulai saja me-
lakukan pelacakan terhadap Ratu Tanah Terbuang...."
"Kakek... apa yang harus kulakukan sekarang
terhadap Raja Naga?" tanya Kirana sambil memandang
dalam-dalam pada kakek bermata teduh di hadapan-
nya.
"Sungguh, aku tidak tahu apakah tindakan
yang sebelumnya hendak kulakukan terhadap Raja
Naga itu benar atau salah."
Kidang Gerhana tersenyum. Sambil bangkit
perlahan-lahan dia berkata, "Kau tanyakan pada diri-
mu sendiri, Kirana. Kita berangkat sekarang...."
Kemudian kakek berpakaian putih panjang
yang terbuka di bahu kiri itu sudah melangkah men-
dahului. Kirana juga bangkit. Dipandanginya tubuh si
kakek dari belakang dengan otak yang berpikir.
"Ah, mungkin aku memang terlalu jauh menu-
duh dan menduga. Bisa jadi kalau memang apa yang
dikatakan pemuda berompi ungu yang pernah kutemui
sebelumnya dan ternyata Raja Naga adanya memang
benar."
Setelah menarik napas beberapa kali, murid
mendiang Pendekar Kencana ini segera menyusul per-
ginya Kidang Gerhana.
***
Bersamaan matahari yang menurun di balik
bukit, dua sosok tubuh tiba di sebuah tempat yang
sangat sepi. Di sekitar tempat itu dipenuhi pepohonan
dan ranggasan semak.
Keheningan terjaga, hanya suara burung yang
terdengar beterbangan.
Menyusul satu bentakan terdengar, "Pulung Je-
laga! Terakhir kalinya aku bertanya sebelum kubuat
putus nyawamu! Di manakah tempat tinggal Keranda
Iblis?!"
"Ratu Tanah Terbuang... kita telah memasuki
daerah kediaman sahabatku itu...."
Gadis berpakaian putih bersih dengan dua
kuntum mawar merah pada atas dada kanan kirinya
itu, mendengus.
"Tunjukkan padaku! Kau terlalu banyak mem-
buang waktu!!"
Pulung Jelaga buru-buru mengangguk dan me-
langkah agak terseret, karena nyeri pada kaki kanan-
nya belum hilang sepenuhnya. Apalagi tak ada kesem-
patan baginya untuk beristirahat atau memulihkan ra-
sa nyerinya. Baru saja dia berhenti sejenak, satu tam-
paran telah mampir di telinganya.
Sambil melangkah lelaki bertelanjang badan
karena pakaiannya entah berada di mana, berkata da-
lam hati, "Untuk saat ini aku mengaku kalah, Gadis
keparat! Tetapi jangan berharap setelah aku berjumpa
dengan Keranda Iblis kau tetap bisa berlaku semena-
mena! Dan... aku menyimpan satu rahasia yang tidak
diketahuinya. Keranda Iblis selalu menyambut siapa
pun juga baik itu sahabat maupun lawannya dengan
kejadian yang mengejutkan! Huh! Barangkali saja aku
tidak perlu melakukan rencanaku nanti karena gadis
sial ini sudah akan mampus lebih dulu!"
Sementara itu, Ratu Tanah Terbuang sambil
menyusul mendengus dalam hati, "Huh! Sedikit pun
juga aku tak percaya dengan apa yang dikatakannya!
Aku yakin dia mencoba mengambil keuntungan den-
gan sikap percaya ku ini! Bisa jadi diam-diam telah
merencanakan sesuatu bila berjumpa dengan saha-
batnya yang berjuluk Keranda Iblis! Huh! Dia akan ta-
hu akibatnya bila berani mendustai ku!"
Memasuki jalan setapak yang di kanan kiri pe-
nuh pepohonan tinggi dan semak belukar, masing-
masing orang tak ada yang bersuara. Tetapi masing-
masing orang memikirkan rencana yang akan mereka
jalankan.
Mendadak....
Wuuuttt!!
Sebuah benda berwarna hitam mengkilat men-
dadak saja menerjang, menerobos semak belukar
hingga membuyar, lalu menerjang ke arah keduanya
yang sedang melangkah.
Pulung Jelaga yang memang sudah mengetahui
akan hal itu, cepat melompat ke samping kanan. Di
pihak lain, Ratu Tanah Terbuang tercengang. Bahkan
dia hanya berdiri di tempatnya.
"Mampuslah kau, Gadis keparat!!" maki Pulung
Jelaga dalam hati.
Tetapi yang terjadi kemudian sungguh menge-
jutkan. Karena Ratu Tanah Terbuang sudah memi-
ringkan tubuhnya ke kanan. Dan....
Wuuussss!!
Benda sepanjang satu setengah meter itu lewat
di samping kirinya! Namun... astaga!
Benda itu mendadak saja berbalik dan kembali
menerjang ganas ke arah Ratu Tanah Terbuang. Bah-
kan gelombang angin yang menderu mendahuluinya.
"Terkutuk!" maki Ratu Tanah Terbuang gusar.
Segera dipalangkan kedua tangannya di depan dada.
Ditunggunya sampai benda panjang yang dipenuhi be-
si-besi hitam mengkilat setengah lingkaran itu sampai
mendekat.
Kemudian....
Wrrrrr!!
Begitu kedua tangannya didorong, seketika
menggebah gelombang angin besar yang menahan le-
satan benda aneh itu! Menyusul Ratu Tanah Terbuang
menjejakkan kaki kanannya yang membuat tubuhnya
melesat ke atas. Dengan memutar tubuh dua kali di
udara, dijejakkan kaki kanan kirinya dengan gerakan
cepat.
Zeebb...! Zeeeb...!!
Jari-jari besi hitam itu terhantam tendangan-
nya. Lesatan benda aneh itu tertahan dan berdebam di
atas tanah. Tetapi kejap itu pula sudah melesat kem-
bali. Menaik ke atas dan berputar dengan desingan
angin keras.
Ratu Tanah Terbuang menggeram gusar.
"Setan keparaaattt!!" makinya dan saat itu pula
dia melesat ke depan. Bersamaan gelombang angin hi-
tam menggebrak, menahan lesatan benda itu, dia me-
nendang dengan kaki kanannya.
Zeeebbb!!
Benda aneh yang seperti memiliki mata itu ter-
pental balik ke belakang dengan deras. Menabrak se-
buah pohon yang langsung patah sementara lesatan
tak terkendali dari benda itu masih terjadi.
Namun mendadak saja benda yang tak terken-
dali itu berhenti begitu saja. Lalu...
Wuuuttt!!
Benda itu melesat ke depan. Kali ini dengan sa-
tu sosok tubuh yang berdiri di atas benda itu.
Suara keras terdengar, "Kau datang dengan
membawa seorang kawan, Pulung Jelaga! Dan sudah
tentu melihat kehebatannya aku bisa menerima keha-
dirannya!!"
Orang yang bersuara dan berada di atas benda
berbentuk keranda itu terbahak-bahak keras. Setelah
berulang kali berputaran di udara dengan membuat
semak belukar terpapas bagian atasnya, benda berben-
tuk keranda itu mendadak saja menyusur tanah. Ta-
nah berhamburan beberapa saat, sebelum benda itu
berhenti.
Orang di atas keranda berseru lantang, "Aku
menyukai sahabat yang kau bawa ini, Pulung Jelaga!!"
Pulung Jelaga yang tadi berharap dapat mence-
lakakan Ratu Tanah Terbuang akibat penyambutan
yang biasa dilakukan Keranda Iblis, menarik napas
panjang. Buru-buru dia berkata,
"Aku memang datang membawa seorang saha-
bat padamu, Keranda Iblis!"
Lelaki berambut panjang acak-acakan terba-
hak-bahak. Seluruh kulit tubuhnya hitam mengkilat!
Mengenakan pakaian putih kecoklatan yang sudah bu-
ram warnanya. Paras lelaki ini dipenuhi sedikit keri-
put. Sepasang matanya selalu mengeluarkan air!
"Cukup lama aku berdiam di tempat ini dan se-
lalu kedatangan tamu sepertimu atau para perempuan
yang justru mematikan gairah! Tetapi sekarang, kau
membawa satu anugerah yang jelas-jelas tak bisa ku-
tepiskan!"
Di pihak lain, Ratu Tanah Terbuang meman-
dang tak berkedip. Mata indahnya bersorot bengis. Se-
pasang bukit kembarnya yang membusung itu berge-
rak, membuat gambar bunga mawar itu seperti turun
naik.
Setelah beberapa saat memandang, perlahan-
lahan terdengar seruannya, tajam, dalam dan kejam,
"Keranda Iblis! Aku datang bukan untuk bersahabat
denganmu! Tetapi menanyakan satu persoalan! Perlu
kau ketahui, bila kau tak bisa menjawab apa yang ku-
tanyakan, kau akan mampus di tanganku senja ini ju-
ga!!"
***
EMPAT
KERANDA Iblis terbahak-bahak. Suara tawanya
dialiri tenaga dalam yang menggedor tempat itu, yang
membuat beberapa pohon harus merelakan dedau-
nannya berguguran.
"Pulung Jelaga! Kau benar-benar membawa
seekor kucing betina yang liar! Aku menyukainya, san-
gat menyukainya!" serunya di sela-sela tawanya.
Terdengar rahang dikertakkan. Paras jelita Ratu
Tanah Terbuang meradang.
Melihat hal itu, Pulung Jelaga tertawa dalam
hati. "Tak lama lagi aku akan melihat pembalasan yang
mengerikan atas perbuatannya," desisnya dalam hati.
Lalu berkata pada Keranda Iblis,
"Keranda Iblis! Ku perkenalkan kau pada saha-
bat baruku yang berjuluk Ratu Tanah Terbuang!" se-
saat Pulung Jelaga melirik Ratu Tanah Terbuang yang
tajam menatapnya. Dia tidak mempedulikannya. "Ke-
tahuilah... saat ini dia sedang mencari seorang pemuda
berjuluk Raja Naga! Dan aku yakin kau mengetahui di
mana pemuda berada itu!"
Keranda Iblis memutus tawanya. Pandangan-
nya bengis pada Ratu Tanah Terbuang yang balas me-
mandang tak kalah bengisnya. Untuk beberapa lama
Keranda Iblis hanya memandang saja sebelum mem-
bentak, "Gadis jelita! Ada urusan apa kau mencari Ra-
ja Naga?!"
"Kau tak perlu tahu apa urusanku!" sahut Ratu
Tanah Terbuang dengan kedua tangan mengepal. "Bila
kau bisa menjawab di mana Raja Naga berada, berarti
kau masih sempat melihat rembulan nanti malam! Te-
tapi bila kau tidak bisa menjawab, tempat ini akan
menjadi tempat tinggalmu selama-lamanya!"
"Setaaan keparat! Ucapanmu keren betul, Anak
Gadis! Kau tidak melihat ke atas atau memandang ke
bawah! Kau bersikap seolah aku hanyalah anak kema-
rin sore yang patut kau gertak! Dan itu adalah kesala-
han pertama!"
"Aku bukan hanya menggertak, tetapi akan ku-
buktikan apa yang kukatakan!!" sahut Ratu Tanah
Terbuang dingin. Lalu lanjutnya penuh ejekan, "Apa-
kah yang kukatakan barusan itu adalah kesalahan ke-
dua hingga kau akan menghukumku sekarang juga?
Atau... kau harus berpikir selama satu purnama untuk
menghukumku?!"
"Keparaaatt!!" meradang lelaki berkulit hitam
mengkilat itu. Tangan kanannya mengepal kuat. "Kau
telah berlaku lancang di tempatku! Dan kau telah be-
rani menantangku! Itu artinya kau telah memutuskan
untuk mati di sini!"
"Aku mempunyai kemampuan tinggi untuk
menggebuk mu hingga aku berani datang ke sini! Ja-
wab pertanyaanku! Atau kau ingin kukirim ke neraka
sekarang juga?!"
Mendengar ucapan demi ucapan yang keras da-
ri masing-masing orang, Pulung Jelaga tertawa dalam
hati.
"Inilah yang ku mau... dan telah tiba saatnya
untuk melaksanakan rencanaku...."
Dengan sedikit memperdengarkan tawanya, Pu-
lung Jelaga mendekati Keranda Iblis.
"Selama ini, tak seorang berani menghinamu!
Bahkan bila mendengar julukanmu, mereka sudah
terkencing-kencing di celana! Sekarang telah muncul
seorang gadis yang berani lancang melakukan tinda-
kan itu! Keranda Iblis... apakah kau akan mendiamkan
saja dia berlaku demikian?!"
Keranda Iblis melirik tajam.
"Kau yang membawa gadis celaka ini ke tem-
patku, Pulung Jelaga! Dan kau berkata sedemikian ru-
pa! Aku menangkap kau mencoba mengalihkan uru-
sanmu padaku!"
"Sebagai seorang sahabat, aku yakin kau mau
membantuku! Ketahuilah, belum lama ini aku telah
dikalahkannya! Sikap dan tindakannya tak akan per-
nah ku maafkan! Biar bagaimanapun juga, aku men-
ginginkan dia mampus!"
Sementara Ratu Tanah Terbuang menggeram
gusar, Keranda Iblis terbahak-bahak keras.
"Bagus! Sudah cukup lama aku tidak membu-
nuh orang! Tetapi, apakah kau tidak sayang bila gadis
montok seperti itu harus kubunuh sebelum dinikma-
ti?"
"Sebelumnya aku juga punya pikiran yang sa-
ma, tetapi gadis itu dapat mengalahkanku!"
"Karena kau tak memahami bagaimana cara
menjinakkan kucing liar!"
"Bagus!" seruan dingin Ratu Tanah Terbuang
mendahului Pulung Jelaga untuk berkata-kata. Tata-
pannya penuh amarah pada Pulung Jelaga. "Manusia
keparat! Sejak pertama aku sudah yakin kau mencoba
menjebakku! Kalau sebelumnya kau ku gantung hanya
kaki kananmu, sekarang lehermu yang akan jadi sasa-
ran!!"
Habis ucapannya, Ratu Tanah Terbuang men-
dorong tangan kanannya di atas tanah.
Pyaaarrr!!
Tanah yang terhantam gelombang angin puku-
lannya membuyar ke udara, sementara gelombang an-
gin itu tiba-tiba mencuat dan melesat cepat ke arah
Pulung Jelaga dengan suara bergemuruh mengerikan!
Yang diserang membelalak. Tetapi sebelum dia
menghindar atau melancarkan satu papakan, gemuruh
dahsyat mendadak saja terdengar keras!
Keranda yang tergeletak di tanah mendadak sa-
ja membusur cepat!
Blaaarrr!!
Gelombang angin itu pecah berhamburan, teta-
pi benda hitam mengkilat itu terus mengarah pada Ra-
tu Tanah Terbuang.
"Bila kau sudah pernah mengalahkannya, su-
dah barang tentu kemudahanlah yang akan kau da-
patkan!" seruan keras Keranda Iblis terdengar. Orang-
nya sendiri sudah melompat turun dari kerandanya
dan berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan da-
da. "Akulah lawanmu yang sebenarnya, yang akan
menghukum mu sampai kau akan mengingat terus se-
panjang masa!"
Ratu Tanah Terbuang mengertakkan sepasang
rahangnya. Menyusul dia sudah melompat maju den-
gan gerakan bersalto satu kali. Tangannya dikibaskan
hingga melesat gelombang angin mengerikan.
Keranda yang dikendalikan Keranda Iblis mela-
lui tenaga dalamnya, terjajar ke belakang. Melabrak
semak belukar yang pecah berhamburan.
Dan dengan gerakan yang luar biasa cepat, se-
belum benda aneh itu menerjang kembali, Ratu Tanah
Terbuang sudah menggebrak ke arah Keranda Iblis.
Yang diserang hanya mundur satu tindak ke
belakang. Lalu melancarkan jotosannya.
Buk! Buk!
Kedua tangan yang berbenturan itu membuat
masing-masing orang mundur. Pada saat yang bersa-
maan, terdengar suara berkeretekan yang sangat ke-
ras, disusul dengan melesatnya kembali keranda hitam
mengkilat itu ke arah Ratu Tanah Terbuang.
"Keparaattt!!" menggelegar makian Ratu Tanah
Terbuang seraya merunduk.
Wuuunggg!!
Keranda hitam itu melesat di atas punggung-
nya. Walau tak mengenainya, tetapi geseran angin
yang keras membuat punggungnya sedikit terasa nyeri.
Dan mendadak sontak Ratu Tanah Terbuang berdiri
seraya menyentak kedua tangannya ke atas.
Prakk! Praakkk!!
Kedua tangannya yang membuka menghajar
keranda yang bergerak cepat itu. Keranda itu terlontar
ke atas. Ratu Tanah Terbuang kembali mendorong ke-
dua tangannya.
Praasss!
Keranda yang terpental ke atas itu, berbalik
berputaran. Angin yang keluar cukup keras. Saat itu-
lah Ratu Tanah Terbuang melompat dan menghan-
tamkan telapak tangannya pada bagian depan keranda
itu.
Wuuunnggg!!
Kontan benda aneh itu meluncur deras ke arah
si pemiliknya sendiri!
Keranda Iblis mengertakkan rahangnya. Me-
nyusul ditangkupkan kedua tangannya di depan dada
sebelum kemudian diputarnya dengan cepat.
Wrrrr!!
Gelombang angin berputar menahan lesatan
keranda hitam itu. Lalu dengan satu tepakan, keranda
itu telah terhempas lagi di atas tanah.
Dipihak lain, Pulung Jelaga membuka kedua
matanya lebar-lebar.
"Astaga! Kupikir gadis itu tak akan mampu
menghadapi kehebatan Keranda Iblis! Tidak tahunya
dia mampu menghadapinya! Celaka! Kalau begitu aku
harus membantu!"
Sementara Pulung Jelaga membatin demikian,
Keranda Iblis menggeram sengit, "Siapakah kau sebe-
narnya, Gadis celaka!"
"Tak perlu banyak tanya dan omongan! Kau te-
lah membangkitkan kemarahanku dan membuang
waktuku! Itu artinya kau akan mampus juga sebelum
Pulung Jelaga!"
Deg! Jantung Pulung Jelaga berdebar lebih ke-
ras. "Gadis keparat! Aku tahu kau sebenarnya jeri
menghadapi sahabatku ini!" bentaknya sambil menin-
dih rasa takutnya. Dia sengaja berucap demikian agar
mendapatkan keuntungan dari Keranda Iblis. "Jangan
kau kira kau dapat mengalahkannya! Karena hari ini
juga kau akan mampus di tangannya!"
"Tutup mulutmu!" bentak Ratu Tanah Terbuang
sambil menunjuk.
Seketika menggebah awan-awan hitam yang
menebarkan hawa dingin ke arah Pulung Jelaga.
Wajah Pulung Jelaga sesaat berubah. Di saat
lain digerakkan tangan kanan kirinya bersilangan di
depan wajah.
Blaaarrr!!
Menyusul letupan keras terjadi, Keranda Iblis
sudah menerjang ke depan.
Ratu Tanah Terbuang berteriak keras, "Keparaaat!
Kejap itu pula didorong kedua tangannya ke
depan. Serta-merta meluncur sinar-sinar merah me-
lingkar yang bergemuruh. Sesaat kepala Keranda Iblis
menegak. Dia cepat mundur ke belakang. Mundurnya
Keranda Iblis semakin membuat Ratu Tanah Terbuang
bernafsu.
Sinar-sinar merahnya yang berhasil dihindari
oleh Keranda Iblis, mendadak saja berpentalan dan
berbalik ganas! Bahkan sinar-sinar merah lainnya naik
ke atas, lalu muncrat menyebar dan laksana hujan
mengguyur Keranda Iblis yang memekik tertahan.
Dengan kecepatan tinggi dia menghindari se-
rangan itu.
Di pihak lain, Pulung Jelaga menggeram gusar.
"Keparat! Kulihat tadi Keranda Iblis terkejut.
Seharusnya dipergunakannya kerandanya itu! Bukan-
nya menghindar seperti kucing buduk!"
Apa yang terjadi kemudian memang cukup
mengejutkan. Karena berulangkah Keranda Iblis hanya
menghindari serangan-serangan ganas Ratu Tanah
Terbuang. Kalau tadi sinar merah yang dilepaskannya
muncrat ke atas dan turun laksana hujan, kali ini di-
iringi gemuruh angin lintang pukang.
Keranda Iblis yang seperti kehilangan sasaran
serangannya dan sejak tadi terus menghindar, sesaat
menahan napas melihat ganasnya serangan lawan. Di-
cobanya untuk menahan serangan itu seraya mundur
ke belakang!
Jlegaaarrr!
Sinar-sinar hitam itu menghantam tanah yang
membuat tempat itu bergetar beberapa lama. Mun-
cratnya tanah dibarengi dengan tumbangnya beberapa
pepohonan, membuat suasana di tempat itu semakin
tak menentu.
Ratu Tanah Terbuang tak mau membuang wak-
tu, dia kembali mencelat. Pada saat itulah Keranda Ib-
lis berseru keras, "Tahan!!"
Mendadak sontak Ratu Tanah Terbuang men-
gurungkan serangannya, bersalto di udara tiga kali se-
belum kemudian hinggap kembali di atas tanah. Bibir-
nya langsung menyunggingkan seringaian lebar.
"Kini kau sudah mengetahui kehebatanku, Ma-
nusia Keparat! Menyembah dan jilati kakiku, maka
aku tak akan mencabut nyawamu kecuali mematah-
kan kedua kakimu!!"
Ejekan orang tak disahuti oleh Keranda Iblis.
Sepasang matanya masih tajam pada Ratu Tanah Ter-
buang. Nafasnya sedikit memburu. Diliriknya Pulung
Jelaga yang sedang menahan napas tegang.
"Ratu Tanah Terbuang! Di dunia ini, hanya ada
dua orang yang memiliki ilmu 'Tebaran Sinar Merah'!
Yang seorang berjuluk Raja Para Iblis yang entah bera-
da di mana! Dan yang seorang lagi berjuluk Ratu Seju-
ta Setan yang merupakan salah seorang muridnya!
Jawab pertanyaanku... dari mana kau mendapatkan
ilmu 'Tebaran Sinar Merah'?!"
Ratu Tanah Terbuang tak menjawab. Diam-
diam dia berkata dalam hati, "Hemm... pantas dia ti-
dak membalas seranganku. Rupanya dia mengetahui
ilmu yang kuperlihatkan. Huh! Agar nyalinya ciut,
akan kukatakan siapa yang mengajarkan ilmu
'Tebaran Sinar Merah'!"
Memutuskan demikian, gadis jelita yang kejam
ini mendesis dingin, "Kau mengetahui ilmuku! Itu ar-
tinya, kau sadar sedang berhadapan dengan siapa! Ke-
tahui- lah... Ratu Sejuta Setan yang mengajarkan ilmu
itu padaku!"
"Mustahil! Seingatku, perempuan kontet itu tak
mempunyai seorang murid!"
"Huh! Sebelumnya, aku adalah murid Dadung
Bongkok, yang telah kudengar kabar kalau dia telah
tewas di tangan Raja Naga! Dengan bimbingan Ratu
Sejuta Setan yang kemudian mengangkat ku sebagai
murid, aku muncul untuk mencabut nyawa Raja Na-
ga!"
"Pantas kau memiliki ilmu tinggi. Kehebatan
Dadung Bongkok pernah kudengar! Dan satu hal yang
perlu kau ketahui...." Keranda iblis memutus seruan-
nya. Diliriknya Pulung Jelaga yang mendadak semakin
memucat. Kemudian diarahkan pandangannya lagi
pada Ratu Tanah Terbuang, "Ratu Sejuta Setan adalah
kakak seperguruanku!! 1 '
Mendengar kata-kata orang, Ratu Tanah Ter-
buang menegakkan kepala. Pandangannya tak berke-
dip pada Keranda Iblis.
"Jangan berlaku bodoh dengan mengaku-ngaku
sebagai adik seperguruan guruku!"
"Kau percaya atau tidak, itulah kenyataannya!
Sekarang, katakan padaku, apa maksudmu mencari
Raja Naga?"
"Tadi sudah kukatakan, Raja Naga telah mem-
bunuh guruku yang bernama Dadung Bongkok dengan
menyebar fitnah kalau guruku itu adalah orang dari
golongan hitam! Huh! Sampai kapan pun juga aku
akan tetap mencari Raja Naga!"
"Sekarang kau adalah murid kakak seperguru-
anku, dan sudah tentu kau harus memanggilku Pa-
man! Dan sebagai paman, aku akan membantumu un-
tuk menemukan Raja Naga! Itu juga berarti, aku akan
menghukum siapa saja yang berani menghalangi sega-
la niatan mu!"
Sambil mengucapkan kata-kata terakhirnya,
Keranda iblis memutar tubuh ke arah Pulung Jelaga
dan menatapnya dalam-dalam. Yang ditatap semakin
memucat, bahkan keringat sudah deras mengalir.
"Pulung Jelaga! Kau telah melakukan satu ke-
salahan besar! Ratu Tanah Terbuang adalah murid ka-
kak seperguruanku! Dan kau telah mengecohnya! Itu
berarti...."
"Astaga! Keranda Iblis! Kita adalah sahabat!
Mengapa harus jadi seperti ini?" seru Pulung Jelaga
dengan dada berdebar keras.
Keranda Iblis menyeringai penuh ancaman.
"Sekarang telah ku putuskan, untuk menghabi-
si persahabatan kita! Biar bagaimanapun juga, aku ti-
dak terima murid kakak seperguruanku dipermainkan
oleh orang sepertimu!"
Sudah tentu perubahan yang terjadi itu menge-
jutkan Pulung Jelaga. Lelaki bertelanjang dada yang
sedianya berharap agar Keranda Iblis mau memban-
tunya dan sekarang kenyataannya justru berbalik
mengancamnya, mundur perlahan-lahan dengan mata
liar seperti seekor kelinci masuk perangkap serigala.
Dia masih mencoba untuk membujuk Keranda
Iblis.
"Sekian puluh tahun kita bersahabat, dan kini
persahabatan itu akan kau putuskan! Apakah ini satu
tindakan yang baik?! Keranda Iblis... aku sama sekali
tidak tahu siapakah Ratu Tanah Terbuang...."
"Kau seharusnya ingat, kalau kakak sepergu-
ruanku yang berjuluk Ratu Sejuta Setan tinggal di Ta-
nah Terbuang!" bentak Keranda Iblis gusar. "Huh! Ter-
lalu banyak omong dengan manusia sepertimu adalah
satu tindakan percuma! Bersiaplah untuk melakukan
perjalanan ke neraka!!"
Belum habis ucapannya, Keranda Iblis sudah
mencelat ke depan dengan tangan kanan siap mence-
kik leher Pulung Jelaga. Pulung Jelaga sendiri tidak
mau mati begitu saja. Dia menghindar dan membalas
Tetapi satu gebrakan berikutnya, dia sudah
menjerit keras.
"Kraaakk!"
Suara tulang patah terdengar cukup keras,
menyusul tubuhnya meluncur terdorong oleh keranda
yang tiba-tiba melesat dan menghantam punggungnya
tadi.
Braaakkk!
Wajah serta dadanya kontan remuk begitu
menghantam sebuah pohon.
Wuuungg!!
Keranda itu melesat berbalik dan jatuh lagi di
hadapan Keranda Iblis setelah menyusur tanah.
Di lain pihak, Ratu Tanah Terbuang tersenyum
puas. Dia juga tidak menyangka akan berjumpa den-
gan adik seperguruan gurunya. Ini merupakan satu
kesenangan tersendiri.
"Paman...," panggilnya sambil merangkapkan
kedua tangannya di depan dada. Meskipun suaranya
sopan, tetapi tatapannya tetap mengandung kecuri-
gaan.
Keranda Iblis tersenyum.
"Kau boleh memanggilku 'Paman' atau tidak!
Ratu Tanah Terbuang... aku akan membantumu untuk
mencari Raja Naga!"
"Terima kasih, Paman. Sudah tentu aku senang
kau bantu! Dan mengingat waktuku yang telah banyak
terbuang, sebaiknya kita berangkat sekarang!"
Keranda Iblis mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Sebelum berangkat, siapakah namamu sebe-
narnya? Dan julukan apa yang diberikan Dadung
Bongkok sebelum kau berjuluk Ratu Tanah Terbuang
yang tentunya diberikan oleh kakak seperguruanku?"
Ratu Tanah Terbuang tersenyum.
"Namaku.... Diah Harum. Sebelum aku me-
nyandang julukan Ratu Tanah Terbuang, julukanku
adalah.... Dewi Bunga Mawar...."
***
LIMA
RAJA Naga yang baru saja tiba di jalan setapak
itu tersentak kaget. Karena tahu-tahu telah muncul
seorang lelaki berparang besar yang berlari dengan tu-
buh sempoyongan. Di dada lelaki berpakaian hitam
dengan kain putih berselempang, telah dibanjiri darah.
Gerakan tubuhnya semakin lama semakin goyah.
Dan tiba-tiba saja dia ambruk!
Raja Naga terburu-buru mendekati lelaki yang
luka parah itu. Dibalikkan tubuh si lelaki yang kemu-
dian dipangkunya.
"Katakan padaku... apa yang terjadi...."
Lelaki itu membuka kedua matanya. Dari sela-
sela bibirnya merembas darah segar. Parang besar
yang dipegangnya terlepas.
"Orang muda... aku... aku..."
"Tenanglah...."
"Orang muda... seorang perempuan tua kon-
tet... sedang mengamuk hebat...."
"Jangan bicara dulu...."
"Dia... dia... mencari... seorang pemuda... berju-
luk.... Raja Naga...."
Hanya itulah kata-kata terakhir dari lelaki ga-
gah yang kemudian terkulai. Nyawanya telah lepas dari
jasadnya. Raja Naga menggerak-gerakkan tubuh lelaki
itu, sebelum dihentikan tindakannya karena merasa
percuma.
Perlahan-lahan dia berdiri. Sorot matanya yang
angker memandang arah dari mana datangnya lelaki
yang telah tewas itu.
"Perempuan tua kontet... siapakah dia? Menga-
pa dia mencariku?" desisnya dengan perasaan amarah
yang mendadak bergolak. Sisik-sisik coklat yang ter-
dapat mulai dari jari jemari hingga batas siku kedua
lengannya, bersinar lebih terang. "Huh! Sebelum ini
Ratu Tanah Terbuang yang mencariku! Sekarang pe-
rempuan tua kontet yang... heiii!!!"
Memutus kata-katanya sendiri, kepala Raja Na-
ga menegak. Sorot matanya yang mampu membuat
ciut nyali yang melihatnya tak berkedip.
"Apakah... dia... dia orangnya?" desisnya terba-
ta dengan kening berkerut. "Kalau memang dia... be-
rarti... berarti... astaga! Ini gila! Gila!!" serunya seten-
gah berteriak.
Cukup lama pemuda tampan berambut dikun-
cir kuda ini terdiam. Mulutnya merapat. Kedua tan-
gannya mengepal kuat. Tetapi perlahan-lahan dia me-
nunduk seolah kehilangan tenaga.
"Bila memang dia yang berjuluk Ratu Tanah
Terbuang... apakah ini ada urusannya dengan gurunya
yang bernama Dadung Bongkok? Seingatku... dia...
dia... ah, dia begitu gusar tatkala kukatakan... kalau
Dadung Bongkok adalah pembunuh ibuku. Dia begitu
marah hingga pernah menyerangku.... Lantas, lantas...
ya, ya... aku ingat. Kala itu dia jatuh pingsan karena
mau tak mau aku harus menghajarnya bila tidak ingin
mati, karena saat itu aku sedang menghadapi Dadung
Bongkok dan... ah, urusan ini semakin tidak enak. Ka-
rena aku... aku... ah, tak tahukah dia kalau... kalau...
dia telah merebut hatiku?"
Perasaan pemuda berompi ungu ini semakin
gelisah. Digeleng-gelengkan kepalanya hingga rambut
kuncirnya berlompatan.
"Tentunya... perempuan tua kontet itu yang te-
lah menanamkan dendam di dadanya terhadapku...,"
sambungnya lagi sambil menghela napas panjang. "Ah,
aku harus cepat menemukannya. Aku harus menje-
laskan duduk perkaranya...."
Belum lagi Raja Naga memutuskan untuk sege-
ra meninggalkan tempat itu, seorang perempuan beru-
sia sekitar dua puluh tujuh tahun dengan tubuh pe-
nuh darah muncul tergontai-gontai. Pakaian perem-
puan ini acak-acakan dan robek di sana-sini, hingga
memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya. Bahkan pa-
kaian pada bagian bukit kembarnya sebelah kiri, robek
besar. Hingga tatkala angin iseng berhembus, terlihat
gundukan salah satu bukit kembar itu yang dihiasi
bulatan kecil warna coklat pada ujungnya.
Perempuan itu langsung menjerit begitu meli-
hat sosok lelaki yang telah menjadi mayat. Seperti
mendapatkan satu kekuatan, perempuan yang mau
tak mau memperlihatkan bukit kembarnya sebelah kiri
itu, sudah menubruk mayat si lelaki dengan teriakan
keras,
"Kakang SugalaaaH"
Lalu dia menangis tersedu-sedu di atas mayat
lelaki itu. Lama-lama tangisannya berubah menjadi te-
riakan-teriakan keras.
Raja Naga sesaat hanya memperhatikan sebe-
lum berkata, "Tenanglah... suamimu telah mati.
Kau....
Perempuan itu mengangkat wajahnya. Sorot
matanya yang penuh duka kini laksana bara api yang
menyala. Tajam menusuk!
"Pemuda celaka! Mengapa kau membiarkan su-
amiku mati, hah?! Mengapa?!" teriaknya kalap.
Raja Naga terdiam beberapa saat sebelum ber-
kata, "Aku tak bisa lagi menyelamatkan nyawanya. Dia
muncul secara tiba-tiba dan sebelum aku sempat
mengobatinya, dia sudah keburu tewas."
"Keparat! Ini gara-gara perempuan celaka itu!
Dia harus mampus! Dia harus mampus!!"
Laksana banteng luka, perempuan yang pa-
kaiannya telah robek-robek itu tiba-tiba berdiri. Mera-
dang dan berlari kembali ke arah dari mana dia datang
sebelumnya. Tetapi....
Brruukkk!!
Perempuan itu telah terhuyung dan ambruk di
atas tanah. Raja Naga buru-buru mendekatinya. Dipe-
riksanya tubuh si perempuan yang tak bergerak itu.
Sesaat pandangannya terbentur pada bukit kembar
sebelah kiri milik si perempuan. Benda itu cukup
menggiurkan dan mampu menggugah perasaan siapa
saja yang melihatnya.
Tetapi di lain saat, murid Dewa Naga sudah
kembali memeriksa tubuh si perempuan. Dia menarik
napas lega tatkala mengetahui kalau si perempuan
hanya pingsan.
"Tindakan perempuan tua kontet itu tak bisa
dibiarkan terus menerus. Aku memang harus muncul,
karena akulah yang dicarinya. Termasuk oleh Ratu
Tanah Terbuang! Tetapi... sampai saat ini aku belum
berhasil menemukan mereka!"
Untuk beberapa saat lamanya pemuda berompi
ungu ini terdiam memikirkan segala sesuatu yang se-
makin memusingkan kepalanya. Tatkala diingatnya la-
gi apa yang terjadi beberapa bulan lalu, dia menghela
napas masygul.
"Ah... Ratu Tanah Terbuang. Kalau memang
benar dia adanya, sungguh ini masalah yang besar ba-
giku. Dia telah merebut sebagian hatiku begitu perta-
ma kali melihatnya...."
Diperhatikannya lagi perempuan yang pingsan
di hadapannya.
"Pakaiannya telah robek. Aku harus mencari-
kan pakaian untuknya.... Dan mungkin juga dia kela-
paran."
Perlahan-lahan diangkatnya tubuh perempuan
yang pingsan itu, dibawanya ke balik ranggasan se-
mak, agak tersembunyi.
"Di tempat ini kau aman sebelum aku datang
kembali," katanya pelan. Kemudian dia segera keluar
dari semak belukar itu. Diperhatikan sekelilingnya
yang sepi. "Aku akan mencari makanan dan mening-
galkan makanan itu di dekatnya. Aku harus tetap
mencari Ratu Tanah Terbuang."
Tetapi sebelum Boma Paksi menjalankan mak-
sudnya, suara lirih sudah terdengar dari balik semak.
Cepat dia kembali ke sana. Dilihatnya perempuan itu
sedang menggeliat-geliat dengan wajah meringis seperti
menahan sakit. Geliatan tubuhnya membuat pakaian-
nya yang telah robek di sana sini semakin melebar.
Buah dadanya sebelah kiri bergerak-gerak menggiur-
kan.
Raja Naga berlutut, "Tenanglah...."
Suara lembut itu tertangkap telinga si perem-
puan yang rupanya sudah mendekati siuman. Raja
Naga mengalirkan sedikit hawa panas ka tubuh si pe-
rempuan.
Setelah beberapa saat, perempuan itu membu-
ka kedua matanya. Baru dibuka kedua matanya, kejap
itu pula dia berseru, "Mana suamiku?! Di mana dia?!"
"Tenanglah... suamimu sudah tewas...."
Laksana tak memiliki tenaga lagi, tubuh si pe-
rempuan ambruk di atas tanah. Dia tersedu-sedu.
Raja Naga membiarkan si perempuan untuk
melampiaskan emosi kesedihannya. Setelah itu dia
berkata pelan, "Aku tidak mengenalmu sebelumnya,
juga tidak mengenal suamimu. Apakah kau keberatan
untuk menceritakan apa yang terjadi?"
Pertanyaan yang didengarnya seperti menggu-
gah kemarahan dalam dadanya. Perempuan ini perla-
han-lahan bangkit, duduk berselonjor dengan kepala
tegak. Sepasang matanya yang masih dibalut air mata,
tegang tak berkedip. Sorotnya penuh amarah dendam
membara.
"Perempuan tua kontet itu... dia tahu-tahu
muncul begitu saja... dan mengganggu ketenangan hi-
dup kami. Kami... tak mengenal perempuan tua berku-
lit hitam legam itu sebelumnya... dia muncul mena-
nyakan Raja Naga!"
Si perempuan menatap pemuda di hadapannya
tajam-tajam. Tapi di saat lain, dia sudah memalingkan
kepalanya, matanya sedikit mengerjap-ngerjap.
"Anak muda... kenalkah kau dengan Raja Naga?"
"Pertanyaan itu mengandung kemarahan. Bisa
jadi seperti apa yang dirasakan Kirana beberapa hari
lalu. Ah, bila kukatakan akulah Raja Naga, apa yang
akan dilakukannya?"
Untuk beberapa saat Boma Paksi tak menja-
wab. Dia mempertimbangkan dulu sebelum memu-
tuskan untuk menjawab. Perlahan-lahan dianggukkan
kepalanya.
"Ya, aku mengenal Raja Naga...."
"Okh!" kepala si perempuan menegak. "Kata-
kan, katakan padaku, di mana dia berada saat ini?!
Katakan! Dia harus bertanggung jawab atas kepenge-
cutannya! Dia yang punya urusan, kami yang menga-
lami nasib sial!"
Raja Naga tersenyum. Dialihkan pertanyaan-
nya, "Kenalkah kau dengan perempuan tua yang me-
nyerangmu dan suamimu?"
"Sebelum ini aku tak mengenalnya. Tetapi...,"
suara si perempuan menjadi geram. "Dia mengaku ber-
juluk.... Ratu Sejuta Setan!"
"Dugaanku benar. Ratu Sejuta Setan, Dan se-
makin jelas siapa gerangan gadis yang berjuluk Ratu
Tanah Terbuang," katanya dalam hati.
Perempuan di hadapannya bertanya, "Anak
muda... siapakah kau sebenarnya?"
"Hemm... namaku Boma Paksi."
"Namaku Nimas Ardini. Boma Paksi... melihat
cirimu kau jelas orang rimba persilatan. Bersediakah
kau membantuku untuk membalas perbuatan terku-
tuk Ratu Sejuta Setan?"
"Nimas... aku bukan hanya akan membantu-
mu, tetapi aku juga akan menghentikan sepak terjang
Ratu Sejuta Setan. O ya, kenalkah kau dengan gadis
berjuluk Ratu Tanah Terbuang?"
"Siapakah gadis itu?" tanya Nimas Ardini sam-
bil mengerutkan keningnya.
"Kalau aku tak salah menduga, dia adalah mu-
rid dari Ratu Sejuta Setan. Gadis itu juga sedang me-
rajalela dengan menghajar siapa pun juga yang tidak
bisa mengatakan di mana Raja Naga berada."
"Keparat! Tak salah bila aku akan menuntut
Raja Naga atas semua ini!"
Diam-diam pemuda bersorot mata angker ini
menarik napas panjang.
Kemudian katanya, "Nimas.... Raja Naga me-
mang pernah punya urusan dengan perempuan yang
telah membunuh suamimu dan mencelakakanmu. Te-
tapi bukan berarti dia pengecut dalam hal ini. Telah
lama dia mencari jejak perempuan itu. Dari tindakan-
nya itu, jelas dia hendak bertanggung jawab! Tetapi,
apakah memang dia yang harus bertanggung jawab?"
"Dari ucapanmu kau seperti membelanya...."
"Aku hanya mencoba mencari kebenaran."
Nimas Ardini tak bersuara. Dia mendumal tak
karuan. Tiba-tiba kepalanya diangkat, ditatapnya pe-
muda di hadapannya tajam-tajam. Tetapi di saat lain
sudah ditundukkan kepalanya, karena tak sanggup
menatap betapa angkernya tatapan itu.
"Kau seperti bukan sedang menceritakan orang
lain, Boma Paksi..,."
Boma Paksi tersenyum.
"Ya! Karena... aku sudah menceritakan diriku
sendiri...."
"Apa?!" Kepala Nimas Ardini seketika terangkat.
Tangannya menuding gemetar. Tanpa sadar dia meng-
geser tubuhnya ke belakang. "Jadi... jadi... kau...."
"Ya... akulah Raja Naga...."
Nimas Ardini menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia tiba-tiba menjadi pusing
"Ah, aku tak tahu... aku tak mengerti...."
"Kau akan mendapatkan kejelasannya...," sahut
Boma Paksi. Dibiarkan saja Nimas Ardini sedang me-
nindih segala apa yang ada di hatinya.
Tak lama kemudian, perempuan yang payuda-
ranya sebelah kiri terpampang karena pakaiannya di
bagian itu telah robek, mengangkat kepalanya. Me-
mandangnya beberapa saat.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin,
mungkin yang kau katakan itu benar...."
"Aku berkata jujur...."
"Tetapi... ah, sudahlah! Kau telah menyela-
matkan nyawaku! Tetapi bukan berarti aku memper-
cayai apa yang kau katakan tadi! Kau harus membuk-
tikan ucapanmu padaku...."
"Aku akan membuktikannya...," kata Boma
Paksi. Nimas Ardini perlahan-lahan berdiri. Buah da-
danya sebelah kiri yang terbuka lebar akibat pakaian-
nya telah robek, bergerak menggiurkan. Dan nampak-
nya perempuan ini seolah melupakan keadaan dirinya.
Tak nampak tanda-tanda dia akan menutupi buah da-
da indahnya itu.
Raja Naga juga berdiri. Nimas Ardini memen-
danginya. "Kendati aku tak sepenuhnya memper-
cayaimu, tetapi aku yakin kau memiliki tanggung ja-
wab besar."
"Sekali lagi kukatakan, aku akan membukti-
kannya. Mungkin cara yang terbaik sekarang, adalah
berpisah untuk menemukan Ratu Sejuta Setan mau-
pun Ratu Tanah Terbuang."
"Boma Paksi... bersama suamiku, aku tak
sanggup menghadapi keganasan Ratu Sejuta Setan.
Dan aku khawatir, bila aku sendiri yang menghada-
pinya, justru maut yang akan menimpa ku. Apakah
kau keberatan berjalan bersamaku?"
Pertanyaan itu membuat Raja Naga tak bersua-
ra beberapa lamanya.
"Aku sama sekali tak berkeberatan. Tetapi bila
aku melangkah bersamanya, bisa jadi urusan ini akan
semakin rumit. Bukan ku kecilkan dirinya yang ku ya-
kini juga mempunyai sedikit kemampuan. Tetapi...."
"Kau nampaknya keberatan, Boma?" kata-kata
Nimas Ardini memutus kata batin Raja Naga.
Pemuda berompi ungu itu segera mengangkat
wajahnya. Dipandanginya wajah yang penuh duka dan
amarah di hadapannya. Lalu sambil tersenyum dia
berkata,
"Sama sekali aku tak berkeberatan berjalan
bersamamu.... Hanya saja...."
"Bagus!" putus Nimas Ardini sebelum Raja Naga
melanjutkan. "Tak kusangka kalau aku berjumpa den-
gan Raja Naga! Dan aku yakin, kau mampu untuk
mengalahkan perempuan tua kontet itu! Dan dengan
kemampuanmu, urusanku akan mudah terlaksana!"
Raja Naga hanya menarik napas pendek. Dia
tak melanjutkan kata-katanya. Sembari memandangi
perempuan di hadapannya yang sedang memandang
ke kejauhan dia berkata,
"Baiklah... kita akan mencarinya bersama-
sama...."
Nimas Ardini menatap Raja Naga. Binaran ke-
gembiraan terpampang di depan matanya.
"Ya... kita berangkat sekarang!"
Habis ucapannya, dengan wajah tidak sabar,
Nimas Ardini sudah melangkah. Raja Naga menyusul
dengan kepala yang dipenuhi binaran kepusingan.
***
ENAM
DUA sosok tubuh yang melangkah di jalan se-
tapak itu, sama-sama menghentikan langkahnya. Pan-
dangan mereka tak berkedip pada sosok tubuh kontet
berkulit hitam legam yang berdiri dengan kedua tan-
gan terlipat di depan dada.
Kirana melirik Kidang Gerhana yang sedang
menatap pula perempuan kontet di hadapannya. Pe-
rempuan kontet itu memiliki wajah yang dipenuhi ke-
riput. Sekujur tubuhnya dilapisi kulit hitam. Semakin
kelam karena pakaian yang dikenakannya pun ber-
warna hitam, panjang hingga ke mata kaki. Dan terbe-
lah hingga batas dengkul. Memperlihatkan sepasang
kaki hitam yang keriput. Kepalanya bulat dengan ram-
but panjang acak-acakan hingga pinggul. Hidungnya
juga bulat dengan bibir lebar tanpa gigi. Yang mengeri-
kan dari sosoknya adalah sepasang bola matanya,
yang menyala-nyala merah.
Kejap lain terlihat bibir Kidang Gerhana terse-
nyum.
"Ratu Sejuta Setan...," desisnya.
Kirana cepat mengarahkan lagi pandangannya
ke depan. Keningnya berkerut dan dia membatin da-
lam hati, "Ratu Sejuta Setan? Perempuan tua kontet
inikah yang diduga oleh kakek Kidang Gerhana sebagai
guru dari Ratu Tanah Terbuang?"
Perempuan tua kontet itu menggeram begitu
mengenali siapa orang yang mendesiskan julukannya.
"Kidang Gerhana...," ucapnya. "Tak kusangka
kau yang kujumpai di tempat ini! Bagus! Itu artinya
kau ditakdirkan untuk punya urusan denganku!"
"Astaga! Urusan? Urusan apa? Bukankah kita
baru kali ini berjumpa?!"
"Jangan banyak omong! Aku tak punya banyak
waktu! Katakan padaku, di mana Raja Naga berada?!"
Kakek berpakaian putih yang terbuka di bahu
kiri ini tersenyum.
"Ucapanmu begitu gusar! Kau nampaknya se-
dang dipenuhi amarah dan ambisi membunuh! Ratu
Sejuta Setan... sebelum kujawab pertanyaanmu, apa-
kah gerangan yang menyebabkan kau mencari pemuda
berjuluk Raja Naga? Tetapi menurut hematku, pemuda
itu tak perlu kau cari, karena dia akan muncul begitu
saja di hadapanmu!"
Paras kelam Ratu Sejuta Setan semakin meng-
kelam (Untuk mengetahui siapakah Ratu Sejuta Setan,
silakan baca: "Tapak
Dewa Naga" sampai "Misteri Me-
nara Berkabut").
"Orang bertanya dijawab dengan tanya pula,
sungguh sebuah tindakan yang tak menyenangkan!
Dan itu artinya, melakukan tindakan lancang yang tak
bisa dimaafkan!"
"Siapa yang salah hingga kau mengatakan tak
bisa memaafkan? Kita tak punya silang urusan! Tetapi
tahu-tahu kau mengatakan tidak bisa memaafkan! Ra-
tu Sejuta Setan... apakah kau sudah gila berpikir de-
mikian?"
"Keparaatt!!"
"Perempuan tua terkutuk! Kau berjuluk Ratu
Sejuta Setan! Siapakah Ratu Tanah Terbuang yang te-
lah menghancurkan Perguruan Kencana?!"
Bentakan itu membuat Ratu Sejuta Setan men-
garahkan pandangannya ke kanan.
"Gadis celaka yang mau mampus! Kau begitu
garang sekali, padahal kau menyimpan ketakutan di
dadamu! Pertanyaanmu jelas dengan mudah kujawab!
Ratu Tanah Terbuang adalah muridku! Orang yang ku-
tugaskan untuk membunuh Raja Naga!"
"Hemmm... berarti dugaan kakek Kidang Ger-
hana benar. Ratu Tanah Terbuang adalah murid Ratu
Sejuta Setan."
Di pihak lain, Kidang Gerhana membatin, "Ratu
Tanah Terbuang telah melakukan tindakan makar.
Dan dia diperintah oleh perempuan tua kontet ini. Be-
rarti, dialah yang harus bertanggung jawab dari segala
urusan..."
Habis membatin demikian, Kidang Gerhana
berkata, "Ratu Sejuta Setan... tak habis-habisnya kau
melakukan tindakan makar semenjak dulu hingga hari
ini! Kalau dulu kau bertindak atas dirimu sendiri, kali
ini kau bertindak dengan mempergunakan tangan mu-
ridmu! Apakah kau tak pernah menyesali segala tinda-
kan yang kau lakukan?"
"Aku menghadang langkahmu bukan untuk
mendengar ceramah mu, Kidang Gerhana! Aku hanya
ingin mendengar penjelasan di mana Raja Naga bera-
da!"
"Kau terlalu khawatir tidak bisa menemukan
pemuda dari Lembah Naga itu! Padahal seharusnya
kau merasa ketakutan karena pemuda itu bisa-bisa
muncul secara tiba-tiba di hadapanmu!!"
"Terkutuk! Kau terlalu melecehkan ku, Kidang
Gerhana!"
"Apa yang kukatakan ini memang sebuah ke-
nyataan, bukan?!"
"Setaaannn!!"
Diiringi makian kerasnya tubuhnya sudah me-
nerjang ke depan seraya mendorong tangan kanan ki-
rinya. Saat itu pula menggebah sinar-sinar merah me-
lingkar yang dilepaskan perempuan tua kontet itu.
Kidang Gerhana hanya tersenyum. Seraya
mendorong sedikit tubuh Kirana agar menjauh, dihin-
darinya serangan ganas itu.
Namun sinar-sinar merah itu justru berpenta-
lan dan berbalik ke arahnya dengan ganas. Bahkan si-
nar-sinar merah lainnya naik ke atas, lalu muncrat
menyebar dan laksana hujan mengguyur Kidang Ger-
hana.
Tanah di mana sebelumnya Kidang Gerhana
berdiri, langsung meletup keras dan muncrat ke udara.
Mendapati setiap serangannya dapat dihindari
oleh Kidang Gerhana, perempuan kontet berpakaian
hitam itu semakin ganas. Serangan demi serangannya
terus dilancarkan, yang membuat Kidang Gerhana mu-
lai terdesak.
Kalau sejak tadi Kidang Gerhana tidak melaku-
kan serangan balasan, kali ini perlahan-lahan kema-
rahannya mulai naik.
Dia mendengus, "Ratu Sejuta Setan! Tinda-
kanmu ini sungguh keterlaluan! Seharusnya kau kem-
bali ke Tanah Terbuang untuk menanti ajalmu di sana!
Dan seharusnya pula kau memanggil muridmu yang
telah menimbulkan kekacauan itu! Karena sebagai
seorang guru, sudah seharusnya kau mengasihi mu-
ridmu itu yang kini telah dianggap sebagai penjahat
kelas satu!"
"Perlu kau ketahui sedikit tentang muridku itu,
Kidang Gerhana! Sebelumnya dia adalah murid Da-
dung Bongkok yang kemudian kuambil sebagai murid-
ku! Dapat kau bayangkan kehebatannya, bukan? Dua
orang yang memiliki ilmu tinggi telah menurunkan il-
munya masing-masing pada seorang murid!"
"Dan tega-teganya kau memperalat muridmu
untuk kesenanganmu sendiri!" sahut Kidang Gerhana
sambil mundur. Lalu....
Wuuussss!
Begitu tangan kanannya didorong ke depan, se-
gera menghampar sinar bening yang menebarkan hawa
panas luar biasa. Bahkan ranggasan semak belukar
seketika mengering, lalu terhempas jauh terkena ge-
lombang angin yang keluar dari dorongan tangan ka-
nannya!
Ratu Sejuta Setan memekik tertahan. Dia cepat
mundur begitu merasakan tubuhnya seperti tersengat!
"Terkutuk!!"
"Jangan hanya bisa memaki, seharusnya kau
menyesali segala tindakanmu!"
"Kau yang akan menyesali perbuatanmu!!" ben-
tak Ratu Sejuta Setan dengan kemarahan tinggi.
"O ya? Coba kau perlihatkan lagi kepadaku!"
Ucapan Kidang Gerhana semakin membuat ke-
ganasan Ratu Sejuta Setan kian menjadi-jadi. Kalau
tadi sinar merah yang dilepaskannya muncrat ke atas
dan turun laksana hujan, kali ini diiringi gemuruh an-
gin lintang pukang.
Kidang Gerhana sesaat menahan napas. Kejap
lain dia sudah menerjang sambil mendorong tangan
kanan kirinya. Sinar bening yang disertai gelombang
panas mengerikan menghampar dahsyat.
Jlegaaarrr!
Bertemunya dua serangan dahsyat itu menim-
bulkan ledakan yang keras, diiringi muncratnya tanah
ke udara. Saking kerasnya lagi-lagi tempat itu seperti
bergetar. Mengiringi letupan keras itu, bermuncratan-
lah sinar-sinar merah yang berbenturan dengan sinar
bening yang mengandung hawa panas luar biasa.
Di tempatnya, Kirana menahan napas.
"Astaga! Selama ini aku menduga, hanya ilmu
gurulah yang paling tinggi. Tetapi pertarungan ini
sungguh mengerikan!" desisnya dalam hati dengan
pandangan tak berkedip ke depan.
Pertarungan sengit itu semakin mengganas. Ra-
tu Sejuta Setan semakin menggila. Dia benar-benar
jengkel karena setiap kali melancarkan serangan, se-
tiap kali pula dapat dilumpuhkan oleh Kidang Gerha-
na.
Bahkan dia harus terdesak hebat begitu Kidang
Gerhana mencecar dengan ilmu dahsyatnya.
Tetapi rupanya si kakek tak menginginkan ke-
matian Ratu Sejuta Setan. Dia hanya ingin memberi
pelajaran saja pada perempuan tua kontet itu.
Begitu Ratu Sejuta Setan sudah tidak bisa
menghindari lagi serangannya, dihentikan melepaskan
cahaya bening yang mengandung panas tinggi. Tubuh-
nya secara tiba-tiba meliuk, berputar dua kali di udara
dan dari putaran tubuhnya keluar gelombang angin
cukup keras.
Mendadak....
Bukkk!!
Ratu Sejuta Setan merasa mulas pada perutnya
yang tiba-tiba terhantam jotosan Kidang Gerhana. Bila
saja si kakek menginginkan lebih, sudah tentu dengan
mudah dia akan menjatuhkan Ratu Sejuta Setan.
Perempuan tua kontet itu terjengkang.
Kidang Gerhana menghentikan serangannya.
Dia melangkah sambil tersenyum.
"Ratu Sejuta Setan... apakah kau masih pena-
saran terhadapku? Bila masih, silakan kau bangkit
dan kita mulai lagi permainan tadi!"
Mengkelap wajah perempuan tua kontet itu.
Perlahan-lahan dia berdiri, tetapi belum lagi dia tegak,
tubuhnya sudah tergontai-gontai ke belakang.
Kidang Gerhana berkata lagi, "Usiamu sudah
semakin tua. Ada baiknya kau menghentikan segala
tindakanmu ini. Aku tak bermaksud mengajari, tetapi
aku meminta padamu. Panggil kembali muridmu yang
berjuluk Ratu Tanah Terbuang. Perintahkan dia untuk
menghentikan pencariannya pada Raja Naga...."
"Aku belum mengeluarkan semua ilmuku!" ma-
ki Ratu Sejuta Setan geram. Dia berhasil berdiri tegak
setelah menjejakkan kakinya kuat-kuat di atas tanah.
"Dengan berkata demikian, apakah kau ber-
maksud untuk meneruskan permainan ini?!"
"Sebelum kau mampus, tak akan pernah ku-
hentikan keinginanku untuk membunuhmu!"
"Astaga! Jadi kau ingin membunuhku?"
"Keparaattt!!" bergetar kedua tangan Ratu Seju-
ta Setan mendengar ejekan itu.
Kirana berseru, "Kakek! Perempuan tua itu
adalah pangkal dari petaka yang diturunkan Ratu Ta-
nah Terbuang! Sudah seharusnya dia menerima hu-
kuman!"
"Kau dengar kata-kata gadis itu? Dan aku tak
akan segan-segan untuk melakukannya!!"
"Setan terkutuk! Mengapa aku harus mengha-
dang langkahnya tadi? Gila! Gila! Selama ini aku me-
mang belum pernah bertarung dengannya, jadi tidak
mengetahui kekuatannya! Setan! Rasanya, untuk saat
ini aku memang sebaiknya menuruti saja apa yang di-
katakannya! Huh! Akan kutemukan dulu muridku itu!
Aku yakin, dia mampu mengalahkan kakek keparat
ini! Dia adalah murid Dadung Bongkok yang kemudian
kuangkat sebagai muridku!"
Beberapa saat lamanya Ratu Sejuta Setan tak
bersuara. Di pihak lain, Kidang Gerhana masih terse-
nyum.
Sementara Kirana sudah tidak sabar untuk me-
lancarkan serangannya pada perempuan kontet berku-
lit hitam legam itu.
Kepala Ratu Sejuta Setan perlahan-lahan te-
rangkat. Sepasang matanya menyala-nyala.
"Kidang Gerhana... untuk saat ini aku mengaku
kalah! Tetapi percayalah... tak lama lagi kita akan ber-
temu!"
"Apakah kau hendak berlindung di balik pung-
gung muridmu sendiri?" ejek Kidang Gerhana tetap
tersenyum. "Kau mengatakan, kalau sebelumnya Ratu
Tanah Terbuang adalah murid Dadung Bongkok! Den-
gan gabungan ilmumu dan ilmu Dadung Bongkok, kau
merasa pasti kalau muridmu dapat menanggulangi se-
gala urusan? Ah! Seharusnya kau menyadari... dengan
perintah yang kau berikan pada muridmu itu, kau
hanya menjerumuskannya ke lembah nista!"
"Urusanku adalah dengan Raja Naga! Keingi-
nanku untuk membunuh pemuda itu masih sangat
besar dan kuat!"
"Sungguh malang nasib Ratu Tanah Terbuang.
Aku yakin... dia sebenarnya gadis baik-baik! Dia tak
mengetahui kalau Dadung Bongkok adalah manusia
keparat berhati kejam! Juga dirimu sendiri! Ah, sung-
guh malang nasib muridmu itu...."
"Dia adalah muridku! Kau tak ada urusan den-
gannya sama sekali!"
"Perempuan tua bertubuh kontet!" Kirana
membentak dengan dada naik turun. "Bagaimana den-
gan saudara-saudara seperguruanku? Bagaimana den-
gan nasib guruku? Muridmu telah membunuhi para
saudara seperguruanku! Dan nasib guruku...."
"Tutup mulutmu, Gadis celaka!" Dibentak se-
perti itu, Kirana yang sejak tadi menahan amarahnya
tak kuasa lagi menahannya. Mendadak sontak gadis
ini sudah mencelat ke depan!
Ratu Sejuta Setan mendelik. Kedua tangannya
siap terangkat. Tetapi sebelum dilakukannya, dilihat-
nya tubuh Kirana mendadak berhenti.
Kepala gadis itu menoleh pada Kidang Gerhana.
"Kakek! Mengapa kau menahanku untuk meminta per-
tanggungjawabannya?"
Kidang Gerhana menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anakku... aku mau membantu bukan untuk
membunuh atau melihatmu menjadi seorang pembu-
nuh. Aku hanya mencoba meluruskan jalan yang telah
menyimpang."
"Tetapi gara-gara dia semua ini terjadi!"
"Aku mengerti dan sangat mengerti. Tetapi aku
tak mencoba menahan emosi mu. Aku hanya membe-
rikan satu pandangan padamu, agar kau tidak salah
melangkah...."
Kirana menahan napas. Lalu dihembuskannya
kuat-kuat. Perlahan-lahan kemarahan yang menggan-
jal di dadanya lenyap. Disadarinya betul makna dari
kata-kata kakek berpakaian putih terbuka di bahu kiri
itu
Melihat Kirana sudah sedikit tenang, Kidang
Gerhana berkata pada Ratu Sejuta Setan, "Kau masih
memasang kuda-kuda menyerang, padahal kau tadi
sudah mengaku kalah! Sebaiknya segera berlalu dari
sini sebelum aku berubah pikiran."
Ratu Sejuta Setan merandek gusar. Sorot ma-
tanya menyala-nyala pada Kidang Gerhana. Dengan
mata yang kemudian sedikit dipicingkan, dia mendesis,
"Tak lama lagi... kita akan kembali berjumpa!
Dan aku bersumpah untuk membuktikan ucapanku!"
Habis mengancam demikian, Ratu Sejuta Setan
sudah melangkah meninggalkan tempat itu. Rasa mu-
las pada perutnya masih terasa.
Kidang Gerhana memandangi kepergian Ratu
Sejuta Setan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sayang, sayang sekali.... Di usia yang semakin
senja, bukannya bertobat, malah berlaku begitu bo-
doh...."
Kirana melirik.
"Kakek... apakah dengan begini urusan sudah
selesai?"
"Siapa bilang demikian? Sudah tentu urusan
ini belum selesai!" sahut Kidang Gerhana sambil mena-
tap Kirana. "Anakku... urusan ini akan semakin mem-
besar. Dan bahaya akan datang bertubi-tubi. Tetapi,
kita akan menghadapinya...."
Kirana menganggukkan kepalanya, mantap.
"Aku juga tidak sabar untuk menuntut balas
perbuatan Ratu Tanah Terbuang...."
Kidang Gerhana hanya tersenyum.
"Kita ikuti ke mana perginya perempuan kontet
itu...," katanya sambil mendahului.
Kirana masih berdiri di tempatnya sejenak. Di-
pandanginya sekitarnya yang sepi. Lalu dihelanya na-
pas perlahan-lahan. Kemudian segera menyusul lang-
kah Kidang Gerhana.
***
TUJUH
BENTANGAN malam sudah merajai alam kem-
bali. Tempat yang dipenuhi ranggasan semak itu sepi.
Keheningan terjaga, seolah tempat itu tak pernah dida-
tangi oleh manusia. Padahal bila pagi atau senja, tem-
pat itu merupakan jalan tersingkat dari satu desa ke
desa seberang.
Mendadak saja kesepian itu dipecahkan oleh
suara burung malam yang berkaok-kaok menyakitkan
telinga. Lalu beterbangan tetap dengan kaokannya.
Kedua orang yang baru saja tiba di tempat itu
tak mempedulikannya. Mereka tak ada yang buka sua-
ra. Masing-masing orang memandang ke depan, ke ja-
lan yang nampak tumpang tindih. Saat rembulan ber-
hasil membebaskan diri dari gumpalan awan hitam,
terlihat kalau yang berdiri di sebelah kanan adalah
seorang pemuda berompi ungu. Sementara di sebelah-
nya, seorang perempuan yang pakaiannya telah robek
di sana-sini.
"Boma Paksi... sudah cukup jauh kita melang-
kah, tetapi belum berhasil menemukan perempuan ce-
laka yang telah membunuh suamiku itu," kata si pe-
rempuan yang bukan lain Nimas Ardini. Dipandan-
ginya pemuda tampan di sebelahnya dengan mata ber-
kilat-kilat. "Bagaimana menurutmu?"
Murid Dewa Naga memperhatikan perempuan
di sampingnya sejenak sebelum berkata, "Nimas... su-
dah tentu kita akan tetap mencari perempuan tua kon-
tet itu. Bukankah kita sama-sama tak ingin menyaksi-
kan petaka berkepanjangan yang diturunkan olehnya
maupun muridnya yang berjuluk Ratu Tanah Ter-
buang?"
"Ya! Sudah tentu kita tak akan membuang wak-
tu lagi. Tetapi terus terang, kedua kakiku sudah seper-
ti tak memiliki tenaga lagi. Apakah tidak sebaiknya ki-
ta beristirahat dulu sebelum meneruskan perjalanan?"
"Bila kita beristirahat dulu, jelas akan banyak
waktu yang terbuang. Dan kemungkinannya akan sulit
mengatasi tindakan Ratu Sejuta Setan maupun mu-
ridnya yang berjuluk Ratu Tanah Terbuang. Karena,
saat ini saja kita belum menjumpainya. Apalagi...."
"Kau berkata demikian, apakah kau hendak
melarikan din dari kenyataan yang sebenarnya?" suara
Nimas Ardini tiba-tiba tajam, menusuk. Raja Naga
mendesah pendek. Sambil menggelengkan kepalanya,
pemuda yang mulai jari-jemarinya hingga batas siku
kedua lengannya dipenuhi sisik-sisik coklat ini mem-
batin dalam hati, "Perempuan ini masih mencurigaiku.
Berabe! Kalau aku tinggal, kecurigaannya akan sema-
kin membesar dan bisa jadi urusan ini akan beranta-
kan. Tetapi bila ku turuti apa kemauannya, akan ba-
nyak waktu yang terbuang. Sementara dalam waktu
yang singkat saja, baik Ratu Sejuta Setan maupun Ra-
tu Tanah Terbuang tentunya sudah melakukan tinda-
kan-tindakan mengerikan!"
"Kau masih diam saja, Raja Naga!" sengat Ni-
mas Ardini lagi. "Dari sikapmu itu semakin memper-
kuat dugaanku kalau kau memang hendak memutar-
balikkan kenyataan yang sebenarnya!"
Raja Naga menggeram dalam hati.
"Brengsek! Kenapa aku harus jadi terpaku pada
urusan perempuan ini? Tapi...."
Tak dilanjutkannya lagi kata-kata batinnya.
Dengan tersenyum Raja Naga mengangguk.
"Ya... kau bisa beristirahat selama setengah pe-
nanakan nasi, sementara aku akan berkeliling untuk
melihat keadaan."
"Dan setelah itu kau melarikan diri karena
mendapatkan kesempatan!"
Raja Naga mendesah pendek.
"Ya... kita beristirahat dulu...."
Nimas Ardini tersenyum senang. Tanpa sung-
kan langsung direbahkan tubuhnya di atas tanah be-
rumput dalam posisi telentang. Dia tidak berusaha un-
tuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka karena
pakaiannya telah robek.
Raja Naga sendiri mau tak mau duduk bersan-
dar di bawah sebuah pohon. Dia berusaha untuk tidak
melirik Nimas Ardini. Mulailah anak muda dari Lem-
bah Naga ini memikirkan lagi urusan yang akan diha-
dapinya.
Tiba pada Ratu Tanah Terbuang, dia mendesah
pendek. Diingat-ingatnya wajah Diah Harum atau yang
lebih dikenalnya dengan julukan Dewi Bunga Mawar.
"Ah, apakah memang dia orang yang berjuluk
Ratu Tanah Terbuang?" desisnya pelan. "Diah... kalau
memang benar kau orangnya, apakah kau tidak tahu
kalau kau telah merebut sebagian hatiku?" sambung-
nya resah.
Boma Paksi berusaha untuk mengalihkan piki-
rannya itu. Ketika diliriknya Nimas Ardini, dilihatnya
perempuan itu sudah tertidur. Dadanya yang membu-
sung dan sebelah kiri terbuka lebar, naik turun. Me-
mancing perhatian lelaki untuk menatapnya beberapa
lama. Tetapi Raja Naga hanya mendesah pendek dan
mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.
Mendadak, "Jangan... jangan bunuh suamiku!
Jangan! Perempuan celaka! Kau harus mampus!!"
Tersentak Raja Naga berdiri. Diperhatikan seke-
lilingnya dengan tatapannya yang angker. Begitu dis-
adarinya kalau suara itu berasal dari mulut Nimas Ar-
dini, dia mendesah pendek.
"Astaga! Rupanya kejadian yang mengerikan
yang telah menimpanya terbawa dalam tidurnya...."
Dan igauan Nimas Ardini semakin keras ter-
dengar. Tubuhnya mulai terguncang-guncang dengan
teriakan yang membahana. Kedua matanya tetap ter-
pejam.
Boma Paksi cepat menghampirinya. Dia tidak
mau perempuan itu masuk dalam emosi mimpinya.
Makanya dia berusaha membangunkannya. Tetapi di
luar dugaannya, Nimas Ardini justru menarik tubuh-
nya dalam pelukannya.
"Kakang Sugala... kau masih hidup? Masih hi-
dup? Peluk aku, Kakang... peluk aku...."
Sejenak Raja Naga gelagapan. Dia berusaha un-
tuk melepaskan diri. Tetapi rangkulan Nimas Ardini
semakin kuat. Malah dengan satu sentakan, menarik
tubuh Raja Naga hingga kepala si pemuda terbenam
pada payudaranya yang terbuka.
"Busyet! Apa-apaan ini?" desis Raja Naga dalam
hati.
"Kakang!" igauan si perempuan terdengar diser-
tai desahan. Tangannya semakin kuat menekan kepala
Raja Naga pada payudaranya. Benda lembut yang
menggunung itu menekan pula wajah Raja Naga yang
menjadi gelagapan dan sedikit gemetar. Ketika dia be-
rusaha melepaskannya, tangan itu semakin menekan.
Bahkan diiringi dengan geliatan tubuh yang menggoda.
"Kakang... aku rindu padamu.... Rindu sekali...."
"Busyet! Nimas... aku bukan suamimu! Sua-
mimu sudah tewas, Nimas...."
"Ayo, Kakang... lakukan, lakukan untukku....
Sudah sekian lama aku merindukan kejantananmu...."
Kalau sebelumnya Raja Naga gelagapan, kali ini
perasaannya sudah tak karuan.
"Nimas... aku bukan suamimu.... Suamimu su-
dah tewas...," katanya berusaha membangunkan Ni-
mas Ardini.
Tetapi Nimas Ardini yang meracau dalam igau-
annya justru menarik paksa untuk membuka rompi
yang dikenakan Raja Naga.
"Astaga! Dia benar-benar menyangka aku sua-
minya! Dan emosi mimpinya telah membesar.... Cela-
ka! Aku harus berontak...."
Memutuskan demikian, Raja Naga mengerah-
kan sedikit tenaganya untuk melepaskan diri dari de-
kapan Nimas Ardini. Tetapi tak semudah yang diki-
ranya. Karena dekapan Nimas Ardini semakin kuat,
bahkan disertai gerakan tubuhnya hingga payuda-
ranya yang masih menempel ketat pada wajah Raja
Naga bergerak-gerak. Untuk sejenak Raja Naga menge-
rutkan keningnya. "Heii! Mengapa tenaganya menjadi
cukup kuat? Apakah emosi mimpinya sudah sedemi-
kian kuat mengikatnya?"
Setelah mengerahkan lagi sedikit tenaganya,
Raja Naga berhasil membebaskan diri. Dia buru-buru
sedikit menjauh sambil memperhatikan sosok Nimas
Ardini yang masih menggeliat-geliat diiringi desahan
demi desahannya yang mengundang.
Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga hanya me-
lihat bagian-bagian tubuh karena pakaian yang telah
robek di sana-sini, kini dia melihat jelas dua bukit
kembar yang terpampang lebar karena pakaiannya te-
lah terbuka!
"Baru kali ini kuketahui kalau emosi seseorang
dalam mimpi begitu kuat!"
"Kakang Sugala... mengapa... mengapa kau
menolak ku, Kakang? Apakah aku sudah tidak cantik
lagi? Tidak molek lagi? Atau kau sudah tidak cinta la-
gi? Tidak sayang lagi, Kakang?"
Raja Naga mendesah pendek.
"Kasihan. Dia terlalu sedih akibat kematian su-
aminya. Ah.... Dia harus ku bangunkan...."
Memutuskan demikian, Raja Naga segera men-
jentikkan ibu jari dan telunjuknya.
Trikk!
Satu gelombang angin kecil melesat dan...
Tass!
Tepat mengenai dengkul Nimas Ardini yang se-
saat tubuhnya mengejut. Kejap lain dia sudah terjing-
kat terduduk dengan kedua mata mengerjap-ngerjap.
"Di mana, di mana suamiku? Kakang... di mana
kau?"
Raja Naga mendesah pendek. "Nimas... kau
bermimpi...."
"Bermimpi?" desis Nimas Ardini dengan wajah
tegang. Begitu dirasakan tubuhnya agak dingin, segera
kepalanya ditundukkan. "Oh!" desisnya kemudian dan
terburu-buru merapikan pakaiannya kembali. Tetapi
karena pakaiannya sudah robek di sana-sini, tetap sa-
ja tidak semua tubuhnya yang tertutup. Terutama
payudaranya sebelah kiri!
"Nimas... kupikir kau sudah cukup beristira-
hat... Sebaiknya, kita lanjutkan lagi perjalananmu.
Atau bila kau masih ingin melepas lelah, lakukanlah.
Tetapi aku akan segera berangkat kembali...."
Nimas Ardini memandang pemuda tampan di
hadapannya. Sejenak terpancar sinar malu di kedua
matanya, tetapi di saat lain yang terlihat hanyalah ke-
marahan belaka.
"Kau hendak melarikan diri dariku, Raja Naga?"
Kali ini Raja Naga tak peduli, mengingat dia memiliki
waktu yang sangat sempit. Terutama bila menduga ka-
lau dalam waktu yang sedemikian sempit itu, baik Ra-
tu Sejuta Setan maupun Ratu Tanah Terbuang sudah
melakukan tindakan keji.
"Nimas Ardini! Saat ini yang kubutuhkan ha-
nyalah kepercayaanmu! Dan aku telah berusaha untuk
menjaganya! Hanya saja, sekarang aku tak peduli! Kau
hendak menganggapku sebagai lawan aku akan teri-
ma! Karena, aku tetap akan melanjutkan perjalanan
untuk mencari Ratu Sejuta Setan maupun Ratu Tanah
Terbuang!"
Nimas Ardini menatap dalam-dalam pemuda
berompi ungu itu. Dilihatnya sisik-sisik coklat yang
menghiasi kedua tangan si pemuda sebatas siku, sedi-
kit bersinar lebih terang, lebih nampak dari sebelum-
nya
Perlahan-lahan perempuan ini menghela napas
masygul.
"Maafkan aku. Saat ini aku masih dirundung
duka karena kematian suamiku, juga dirundung ama-
rah untuk membalas perbuatan terkutuk Ratu Sejuta
Setan. Raja Naga... bila kau hendak meneruskan lang-
kahmu , lakukanlah...."
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Biarlah aku menunggu kabar darimu di sini,"
sahut Nimas Ardini. Lalu sambungnya dengan suara
penuh emosi, "Bila kau berjumpa dengan Ratu Sejuta
Setan, bunuh perempuan itu!"
Raja Naga tak menjawab. Dipandanginya pe-
rempuan yang kemudian menundukkan kepalanya itu.
"Aku dapat memaklumi keadaannya. Tetapi,
keadaan yang harus kuhadapi pun harus segera kuse-
lesaikan. Aku tidak mau bila ada orang yang mengang-
gapku bersalah dalam urusan ini...," katanya dalam
hati.
Kemudian berkata, "Nimas... baik-baiklah kau
di tempat ini. Atau sebaiknya, kau kembali saja ke
tempat asalmu...."
"Aku akan menunggumu di sini, Raja Naga.
Dan aku berharap, kau datang kembali dengan mem-
bawa berita yang menyenangkan hatiku...."
"Aku berjanji, tak lama lagi aku akan muncul di
hadapanmu...."
"Penuhi permintaanku tadi...."
Raja Naga hanya menganggukkan kepalanya.
Kejap lain dia sudah melangkah meninggalkan tempat
itu. Biar bagaimanapun juga, dia harus menyelesaikan
urusannya secepat mungkin bila tidak ingin namanya
cemar dan semakin banyak orang-orang yang akan
bermunculan menyerangnya karena salah paham.
Tetapi diam-diam Raja Naga merasakan kegeli-
sahannya sendiri. Tanpa disadarinya, terbayang per-
jumpaannya pertama kali dengan Diah Harum, orang
yang diduganya kini berjuluk Ratu Tanah Terbuang.
Orang yang sedang mencarinya dengan menurunkan
tangan telengas pada siapa saja.
"Aku tak boleh mendua hati. Ini urusan be-
sar...," desisnya pelan. "Aku harus menghentikan se-
pak terjang Ratu Tanah Terbuang, siapa pun dia
adanya...."
Setelah beberapa saat melangkah sambil berpi-
kir, Raja Naga bersiap mengempos tubuhnya untuk
berlari.
Namun sebelum dilakukannya, tiba-tiba ter-
dengar teriakan keras, "Bomaaaa!! Tolong akuu! Bo-
maaaa! Di mana kau? Tolong aku!! Aaaakhhh!!"
Serta-merta pemuda berompi ungu ini memba-
likkan tubuhnya. Rambutnya yang dikuncir berlompa-
tan sejenak. Di saat lain, dia sudah melesat ke tempat
semula!
***
DELAPAN
DILIHATNYA seorang perempuan tua kontet
berkulit hitam legam sedang menelikungkan tangan
kanannya pada leher Nimas Ardini yang tercekik dan
sukar bernapas. Nimas Ardini berusaha untuk mem-
bebaskan diri. Tetapi semakin dicobanya, semakin
kuat telikungan tangan kanan perempuan kontet itu.
Raja Naga memandang tak berkedip.
"Ratu Sejuta Setan...," desisnya pelan.
Perempuan tua kontet yang memang Ratu Seju-
ta Setan adanya merandek dingin, penuh ejekan, "Huh!
Sekian bulan tak bertemu, akhirnya kita bertemu lagi,
Pemuda keparat! Hidupku tak akan pernah tenang se-
belum melihat kau mampus!"
Sorot mata angker itu semakin dipenuhi
keangkeran. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada ke-
dua tangannya sebatas siku, nampak sedikit lebih te-
rang.
Dengan suara dingin Raja Naga mendesis, "Ra-
tu Sejuta Setan! Semenjak aku kecil, kau sudah menu-
runkan tangan telengas dan selalu membuat hidupku
penuh kesusahan! Bahkan kau masih mencoba untuk
melakukan tindakan busuk beberapa bulan lalu! Dan
sekarang, kau telah mengumbar seluruh kejahatanmu
hanya untuk memancingku muncul! Apakah memang
ada bandingannya antara kejahatan yang telah kau la-
kukan dengan kejahatan lain?!"
"Menginginkan kematianmu, bukanlah suatu
kejahatan! Sejak dulu aku bersumpah untuk mengha-
bisi keturunan Pendekar Lontar dan Dewi Lontar! Pen-
dekar Lontar telah tewas di tangan Hantu Menara Ber-
kabut dan Dewi Lontar telah mampus di tangan Da-
dung Bongkok! Lantas... kaulah yang telah mencabut
nyawa kedua sahabatku itu! Apakah kau pikir aku
akan berpangku tangan?! Tak menuntut balas semua
perbuatanmu?!"
"Apa yang keduanya lakukan dan apa yang ku-
lakukan terhadap keduanya, adalah sebuah kejadian
sebab akibat! Kau tak pantas membela orang-orang
seperti itu!" suara Raja Naga tetap dingin. Keangkeran
matanya semakin nyata, menusuk dan menikam.
Diam-diam Ratu Sejuta Setan pun sedikit ciut.
Tetapi tak dipedulikannya.
"Keinginanku untuk melihat kau mampus, ada-
lah keinginan lama yang tertunda!"
"Apakah ini ada hubungannya dengan Gumpa-
lan Daun Lontar milik mendiang ayahku?!"
"Peduli setan dengan benda itu! Nyawamu lebih
kuinginkan ketimbang benda itu!"
Raja Naga menahan napas. Dilihatnya bagai-
mana Nimas Ardini seperti telah kehabisan napas. Wa-
jah perempuan itu sudah memucat sementara keringat
membanjiri parasnya.
"Huh! Tak kusangka kalau dia akan muncul
dan menyergap Nimas Ardini! Bila kuserang sekarang,
bisa jadi nyawa Nimas Ardini tak akan tertolong! Ah...
apa yang harus kulakukan sebaiknya?"
Untuk beberapa lama murid Dewa Naga tak
bersuara. Hanya sorot matanya yang menampakkan
kemarahan.
Di tempat lain, Ratu Sejuta Setan tertawa pe-
nuh kemenangan.
"Kau nampak sudah tak bisa mengendalikan
amarahmu lagi, Raja Naga! Mengapa harus sungkan?
Bila kau ingin menyerangku lebih dulu, aku akan me-
nerimanya!"
Raja Naga menggeram dingin. "Perempuan kon-
tet! Yang kau inginkan adalah diriku, nyawaku dan ini
tak ada hubungannya sama sekali dengan perempuan
itu!"
"Perempuan ini tak bisa menjawab pertanyaan-
ku! Telah ku putuskan, siapa saja yang tak bisa men-
jawab pertanyaanku maka dia akan mampus!"
"Dan kau telah melakukan perintah itu kepada
muridmu yang berjuluk Ratu Tanah Terbuang!" Ratu
Sejuta Setan terkikik.
"Ingatanmu rupanya masih kental, Raja Naga!
Kau bisa menduga sedemikian rupa! Ya.... Ratu Tanah
Terbuang adalah muridku! Kalau kau bisa menduga
seperti itu, tentunya kau mengenal siapa gadis itu, bu-
kan?!"
"Dia adalah Diah Harum... murid Dadung
Bongkok!"
"Luar biasa!" seru Ratu Sejuta Setan penuh eje-
kan. "Kupikir kau sudah melupakannya?! Yah.... Ratu
Tanah Terbuang adalah Diah Harum! Murid Dadung
Bongkok yang sebelumnya berjuluk Dewi Bunga Ma-
war! Raja Naga... seorang murid sudah barang tentu
akan membela gurunya!"
"Kau telah memasukkan pikiran-pikiran sesat
mu pada Diah Harum!"
"Peduli setan! Aku hanya menginginkan kema-
tianmu!!"
Habis ucapannya, Ratu Sejuta Setan sudah
mendorong tangan kanannya ke depan. Serta-merta
menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi.
Di tempatnya Raja Naga menjerengkan ma-
tanya. Kejap lain dia mendeham.
Blaaarrr!!
Gelombang angin itu putus di tengah jalan ter-
hantam kekuatan dari dehamannya.
"Bagus! Kau masih bisa mengandalkan ke-
mampuanmu rupanya! Tetapi... mengapa kau tak me-
nyerangku sekaligus?"
"Keparat! Perempuan kontet itu tahu benar si-
tuasi! Sudah tentu aku tak bisa menyerangnya begitu
saja karena aku tak ingin Nimas Ardini mendapat ce-
laka!" dengus Raja Naga dalam hati. Kemudian ka-
tanya, "Tadi kukatakan, kalau urusan ini hanyalah
kau dan aku! Sebaiknya... kau lepaskan perempuan
itu!"
"Melepaskannya?! Hik hik hik... kau rupanya
tidak tahu falsafah seorang pemburu! Dia tak akan
pernah melepaskan buruannya yang telah tertangkap
untuk mendapatkan buruan lain! Bahkan dia akan
mempergunakan buruannya yang telah tertangkap un-
tuk mendapatkan buruan lain!"
"Kedudukanku sangat tidak menguntungkan.
Dengan tertawannya Nimas Ardini, perempuan itu da-
pat melakukan apa saja. Karena dia tahu, aku tak
akan membiarkan dia merenggut nyawa...."
Kata batin pemuda berompi ungu ini terputus.
Saat itu pula kepalanya sudah dipalingkan ke kanan.
Mendadak sontak kepalanya menegak. Menyusul dia
membuang tubuh ke kiri, karena tahu-tahu telah
menderu sebuah benda besar agak panjang yang
memperdengarkan suara bergemuruh.
"Heiiiii!" seru Raja Naga tertahan. Karena baru
saja dia hinggap kembali di atas tanah, benda itu su-
dah menerjangnya lagi.
Kali ini Raja Naga tak menghindar. Ditung-
gunya sampai benda yang berkilat-kilat itu mendekat.
Kejap berikutnya, dia sudah menggerakkan kedua tan-
gannya.
Bukk! Bukkk!!
Benda itu terhantam dan berputar terbalik ke
belakang, ke arah Ratu Sejuta Setan yang sedang
mengerutkan keningnya begitu benda yang tiba-tiba
muncul itu langsung menyerang Raja Naga. Tetapi di
saat lain, perempuan kontet berkulit hitam legam ini
sudah membuang tubuh seraya menyeret Nimas Ardi-
ni!
Blaaammm!!
Benda aneh berkilat-kilat itu sudah menghajar
ranggasan semak yang seketika rengkah. Tetapi di saat
lain, benda itu sudah mencelat kembali. Tidak menga-
rah pada Raja Naga yang telah bersiap, melakukan ke
satu arah. Bersamaan dengan itu, satu sosok tubuh
mencelat dari balik ranggasan semak. Berputar dua
kali di udara sebelum akhirnya....
Tap!
Kedua kakinya hinggap di atas benda itu. Lalu
dengan gerakan yang aneh dan mengagumkan, dia
memutar tubuhnya sementara kedua kakinya laksana
pelekat menempel pada benda berbentuk keranda yang
juga berputar. Dua kejapan mata berikutnya, benda
itu sudah tergeletak di atas tanah dengan sosok tubuh
berkulit hitam berkilat-kilat di atasnya.
Belum lagi keheranan Raja Naga berlalu, satu
sosok tubuh berpakaian putih bersih dengan dua buah
bunga mawar di dada kanan kirinya, telah melesat ce-
pat. Gerakannya sangat luar biasa. Dan orang yang
melesat ini menuju ke arah Ratu Sejuta Setan.
Begitu hinggap di atas tanah tanpa memper-
dengarkan suara sedikit pun, sosok tubuh yang ter-
nyata seorang gadis jelita ini segera merangkapkan ke-
dua tangannya di depan dada. "Guru...."
Ratu Sejuta Setan yang sebelumnya heran me-
lihat benda berbentuk keranda dan kemunculan lelaki
berkulit hitam mengkilat, terkikik keras. Telikungan
tangan kanannya semakin menguat pada Nimas Ardini
yang nampak meringis kesakitan.
"Bagus! Kau muncul juga di hadapanku, Mu-ridku...."
Kemunculan dua orang itu dengan cara yang
mengejutkan, membuat Raja Naga menjadi lebih ber-
siaga. Dilihatnya gadis yang masih merangkapkan ke-
dua tangannya di hadapan Ratu Sejuta Setan. Kendati
hanya melihat bagian belakang dari tubuh si gadis, Ra-
ja Naga yakin kalau gadis itu memang adalah orang
yang dimaksud.
"Semuanya kini menjadi bukti, kalau gadis ber-
juluk Ratu Tanah Terbuang adalah Diah Harum...."
Di pihak lain, gadis jelita itu perlahan-lahan
membalikkan tubuhnya. Tatapan bengisnya langsung
menghujam pada kedua bola mata Boma Paksi. Sesaat
si gadis agak sedikit gelagapan begitu menyadari beta-
pa angkernya tatapan orang yang ditatapnya.
"Raja Naga... kita berjumpa lagi di sini! Dan
urusan yang tertunda, harus segera diselesaikan!!"
Pemuda yang mulai jari jemari hingga batas si-
ku kedua tangannya dipenuhi sisik coklat ini, diam-
diam menarik napas. Sesuatu bergolak di dadanya dan
membuatnya sedikit tidak tenang. Bahkan tatapan
angkernya perlahan-lahan agak meredup.
"Diah... tidak tahukah kau, kalau kau semakin
terjemurus dalam kesalahpahaman yang belum tun-
tas?" desisnya dalam hati. "Ah, tidak tahukah kau, ka-
lau sejak pertama kali berjumpa, kau telah merebut
sebagian perhatianku?"
Tak mendapatkan sahutan dari seruannya, Ra-
tu Tanah Terbuang membentak lagi, "Aku datang un-
tuk mencabut nyawamu, Raja Naga! Kau memang he-
bat dapat mengalahkan guruku si Dadung Bongkok,
yang sebelumnya kau fitnah habis-habisan! Tetapi se-
karang, aku datang untuk membalas sakit hatinya!!"
Raja Naga menenangkan gemuruh di dadanya.
Setelah itu dia berkata, "Diah Harum... memang tak
kusangka kita akan berjumpa lagi. Urusan yang kita
hadapi memang belum terselesaikan, terutama kau te-
tap menuduhku memfitnah Dadung Bongkok. Padahal
pada kenyataannya, Dadung Bongkok bukanlah seseo-
rang yang patut dihargai. Dia...."
"Tutup mulutmu!!" hardik Ratu Tanah Ter-
buang dengan pandangan semakin bengis. "Kau masih
mencoba melunakkan hatiku dengan mengatakan ka-
lau semua itu adalah sebuah kebenaran! Tetapi pada
kenyataannya, aku tahu mana yang benar dan mana
yang salah!"
"Kau telah dibutakan oleh kemarahan mu sen-
diri, Diah! Dan sekarang, kau berguru pada perem-
puan tua kontet itu yang justru semakin menjeru-
muskan mu"
Sebelum Ratu Tanah Terbuang menyahut, satu
bentakan dari samping kanan terdengar, "Siapa pun
orangnya yang berani menghina kakak seperguruanku,
dia akan mampus di tanganku! Mayatnya akan ku ma-
sukkan pada keranda ku ini dan akan kubawa hingga
menyebarkan bau busuk!!"
Perlahan-lahan Raja Naga memalingkan kepa-
lanya. Menatap lelaki berambut panjang acak-acakan
yang sedang menggeram. Seluruh kulit tubuhnya hi-
tam mengkilat! Mengenakan pakaian putih kecoklatan
yang sudah buram warnanya.
"Aku tak mengenal siapa kau adanya!" seru Ra-
ja Naga dingin.
Lelaki yang kedua matanya selalu mengelua-
rkan air kental itu menggeram.
"Kau boleh mengingat ku dengan julukan Ke-
randa Iblis! Dan membawa julukanku ke liang lahat
mu!" serunya. Lalu melirik Ratu Tanah Terbuang. Dan
begitu pandangannya terbentur pada buah dada sebe-
lah kiri Nimas Ardini yang terbuka, lelaki berkulit hi-
tam mengkilat ini menelan ludahnya.
"Keadaan semakin bertambah kacau. Kemun-
culan Ratu Tanah Terbuang dan Keranda Iblis semakin
menyulitkan kedudukanku. Karena biar bagaimana-
pun juga, Ratu Sejuta Setan masih menyandera Nimas
Ardini. Aku bisa saja mati-matian menghadapi seran-
gan masing-masing orang yang kemungkinan dilaku-
kan secara bersamaan. Tetapi bagaimana dengan Ni-
mas Ardini?"
Selagi Raja Naga membatin demikian, Keranda
Iblis berkata, "Ratu Tanah Terbuang! Apakah kau akan
berdiam diri setelah berjumpa dengan orang kau cari?!
Dan sungguh keterlaluan sikapmu itu! Di hadapan gu-
rumu sendiri kau berlaku bodoh dengan banyak mem-
buang waktu!!"
Ratu Tanah Terbuang yang sedang memandang
bengis pada Raja Naga, melirik Keranda Iblis sejenak.
Lalu diarahkan lagi pandangannya pada pemuda be-
rompi ungu.
"Urusan ini memang harus segera diselesaikan!
Raja Naga! Bersiaplah untuk mampus!!"
Habis bentakannya, Ratu Tanah Terbuang su-
dah menerjang ke depan. Dia sudah tidak sabar untuk
menghabisi pemuda di hadapannya. Dia berharap,
dengan matinya pemuda itu di tangannya, arwah gu-
runya akan tenang di alam sana.
Bersamaan Ratu Tanah Terbuang menyerang,
Keranda Iblis melompat turun dari kerandanya. Lalu
dengan satu dorongan tangan kanan, kerandanya me-
luncur deras ke arah Raja Naga!!
Di pihak lain, Ratu Sejuta Setan tersenyum.
"Tak kusangka kalau muridku berjumpa den-
gan adik seperguruanku yang sudah sekian tahun tak
berjumpa denganku. Bagus! Mereka tentunya mampu
untuk membunuh Raja Naga! Tetapi bila tidak, ada se-
suatu yang akan mengejutkan Raja Naga!"
***
SEMBILAN
SERANGAN yang dilancarkan Ratu Tanah Ter-
buang, dihindari Raja Naga dengan cara memiringkan
tubuhnya. Kejap lain dia sudah membuang tubuh ke
samping kanan.
Wuunggg!!
Keranda hitam berkilat-kilat yang menerjang
ganas itu menghajar ranggasan semak, yang saat itu
pula berputar dan kembali menderu ke arahnya!
Sesaat Raja Naga tersentak. Segera dikibaskan
tangan kanannya untuk melepaskan ilmu 'Kibasan
Naga Mengurung Lautan'!
Wrrrr!
Serta-merta menghampar gelombang angin me-
rah yang memperdengarkan suara bergemuruh.
Blaaam! Blaaamm!!
Menghantam telak keranda hitam berkilat yang
seketika terlempar tanpa kendali ke belakang. Pemilik-
nya membelalakkan kedua matanya dan segera me-
lompat ke depan, ke atas keranda yang meluncur de-
ras ke arahnya.
Tap!
Kedua kakinya sudah menjejak lagi bagian atas
keranda itu yang seketika berhenti.
Di pihak lain, Ratu Tanah Terbuang menjadi
geram. Kaki kanannya dijejakkan ke tanah yang mem-
buat tubuhnya mumbul dan seketika meluruk seraya
mendorong tangan kanan kirinya. Seketika menggebah
awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin.
Raja Naga tersentak.
"Heiii!!"
Cepat dikibaskan tangan kirinya.
Jlegaaaarrr!!
Bertemunya gelombang angin merah dan awan-
awan hitam itu menimbulkan letupan yang sangat ke-
ras. Tanah di mana bertemunya dua serangan tadi se-
ketika membuyar ke udara, menghalangi pandangan
untuk beberapa saat.
Mendadak dari gumpalan tanah itu melesat so-
sok Ratu Tanah Terbuang diiringi teriakan membaha-
na. Raja Naga sesaat menegakkan kepalanya. Untuk
beberapa lama dia seperti tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Ketika menyadari serangan yang datang
itu sudah siap mencabut nyawanya, kembali dilakukan
gebrakan yang sama.
Untuk kedua kalinya letupan keras terjadi. Kali
ini terlihat muncratan angin merah dan pecahnya
awan-awan hitam. Tetapi mendadak saja sinar-sinar
merah menerjang serabutan yang mendadak muncrat
ke atas dan turun laksana hujan, diiringi gemuruh an-
gin lintang pukang.
Di pihak lain, Ratu Sejuta Setan tersenyum.
"Bagus! Kalau sebelumnya Ratu Tanah Ter-
buang mempergunakan ilmu yang diajarkan Dadung
Bongkok, kali ini dia menyerang dengan memperguna-
kan ilmu yang kuajarkan!"
Raja Naga menahan napas.
Segera ditepukkan tangan kanannya pada len-
gan kirinya.
Wuuuttt!!
Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar
dan membuat tanah terangkat dalam pusarannya.
Blaaarrr!!
Serangan ganas Ratu Tanah Terbuang dapat
dipatahkan. Menyusul Keranda Iblis sudah melancar-
kan lagi serangan ganasnya. Raja Naga mendelik, tata-
pannya bertambah angker.
Kejap itu pula dijejakkan kaki kanannya di atas
tanah melepaskan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Ka-
rang'.
Blaaaarrr!!
Tempat itu laksana dihantam kiamat kecil.
Ranggasan semak berhamburan. Menyusul....
Bukkk!
Raja Naga sudah masuk dengan jurus
'Hamparan Naga Tidur'. Keranda Iblis yang tadi mun-
dur dengan napas terengah-engah, seketika terjeng-
kang karena perutnya terhantam telak satu jotosan
yang keras!
"Tahan!!" seru murid Dewa Naga begitu melihat
Ratu Tanah Terbuang sudah siap menyerangnya lagi.
Gadis jelita itu menggeram gusar.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!!"
Di pihak lain, Ratu Sejuta Setan mendesis da-
lam hati, "Kehebatan pemuda ini memang sungguh
luar biasa! Dan memang tak bisa dipungkiri lagi, men-
gingat selama ini tak seorang pun yang bisa mengalah-
kan Dewa Naga, guru dari pemuda bersisik coklat ini!
Kalau begitu... aku akan menjalankan rencana ke-
dua...."
"Diah Harum... sekali lagi kukatakan, kalau
kau telah dirasuki pikiran jahat milik perempuan kon-
tet itu! Kau tak pantas melakukan semua ini, Diah...
karena tempatmu bukan di sini!"
"Jangan mengajari ku! Aku adalah murid yang
berbakti pada guruku! Siapa pun guruku akan ku jun-
jung tinggi! Dadung Bongkok adalah guruku yang te-
was di tanganmu! Dan sekarang...."
"Diah Harum! Urusan ini memang sulit ditemu-
kan titik temunya, karena kau masih dipengaruhi
amarah."
"Dan kau akan merasakan kehebatan amarah-
ku!!" Ratu Tanah Terbuang sudah siap melancarkan
serangan, tetapi tertahan oleh suara Ratu Sejuta Se-
tan, "Muridku! Mundurlah! Biar aku yang menghadapi
pemuda celaka itu!"
Meskipun tidak menyukai apa yang dikatakan
gurunya, Ratu Tanah Terbuang menuruti.
Ratu Sejuta Setan menggeram, "Pemuda celaka!
Biarlah aku yang akan menuntaskan semua urusan
ini! Akan kubuktikan kalau apa yang kukatakan pada
muridku selama ini adalah benar! Dan kau adalah bi-
ang dari segala kesalahan!!"
Habis bentakannya, dengan menyeret tubuh
Nimas Ardini, Ratu Sejuta Setan menyerang ganas. Se-
jenak Raja Naga kesulitan untuk menghadapi serangan
Ratu Sejuta Setan. Karena perempuan kontet berkulit
hitam itu mempergunakan sosok Nimas Ardini sebagai
tameng!
Hingga kejap lain, Raja Naga yang menjadi bu-
lan-bulanan serangan ganas Ratu Sejuta Setan. Meli-
hat hal itu, Keranda Iblis yang tadi terjengkang akibat
jotosan Raja Naga, segera berdiri tegak. Dengan berdiri
di atas kerandanya, dia menyerang ganas ke arah Raja
Naga!
"Celaka! Aku tak mengharapkan kejadian se-
perti ini!" desis Raja Naga sambil berpikir keras. "Se-
rangan Keranda Iblis bisa menyulitkan gerakanku. Se-
baiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri, pemuda be-
rompi ungu itu mendadak membuang tubuh ke samp-
ing kanan. Dan langsung melepaskan ilmu 'Barisan
Naga Penghancur Karang'. Tanah seketika berderak
dan bergelombang ke arah Keranda Iblis yang sedang
menyerangnya.
Menyusul dia mencelat ke depan. Tangan ka-
nan kirinya yang dipenuhi sisik coklat sebatas siku,
memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Apa pun
yang diinginkan oleh Raja Naga untuk dihancurkan
maka akan dapat dihancurkan! Kali ini dia mengingin-
kan untuk menghancurkan benda berjari-jari setengah
lingkaran itu!
Keranda Iblis tersentak tatkala tanah bergelom-
bang ke arahnya. Dia cepat melompat setelah mendo-
rong kerandanya dengan kaki kanannya, yang seketika
meluncur deras ke arah Raja Naga. Raja Naga yang se-
dang meluruk segera menepak dan memukul benda
itu.
Praaak! Praaak!
Begitu terhantam, seketika keranda itu berde-
rak dan pecah berhamburan.
Melihat benda kesayangannya dihancurkan
orang, Keranda Iblis menjadi kalap. Dia menerjang ga-
nas ke depan. Tindakan ini justru membahayakan di-
rinya. Raja Naga sendiri tak punya kesempatan untuk
berpikir lebih lanjut. Begitu lawan menyerang, ditang-
kisnya dengan tangan kanan kirinya. Dan....
Bukkk!!
"Aaaakhhhh!!"
Keranda Iblis mencelat ke belakang dengan da-
da remuk. Saat terbanting di atas tanah, nyawanya te-
lah putus!
Ratu Tanah Terbuang tersentak melihat keja-
dian yang sangat cepat itu. Dia hendak menyerang, te-
tapi didahului oleh Ratu Sejuta Setan yang menerjang
sambil menyeret tubuh Nimas Ardini. Bahkan dilem-
parnya tubuh Nimas Ardini ke depan yang dengan ce-
pat ditangkap oleh Raja Naga! Bersamaan dengan itu,
anak muda berompi ungu ini segera membuang tubuh
ke samping kanan!
Serangan Ratu Sejuta Setan hanya mengenai
angin belaka. Raja Naga bersiap sambil memegang
tangan Nimas Ardini yang lemas. Tetapi di luar du-
gaannya, Ratu Sejuta Setan tak meneruskan seran-
gannya.
Ratu Tanah Terbuang juga keheranan melihat
tindakan yang dilakukan gurunya.
"Guru...," desisnya.
Ratu Sejuta Setan melirik tajam, tetapi tak ber-
kata apa-apa.
Raja Naga cepat-cepat mengalirkan tenaga da-
lamnya pada Nimas Ardini sementara kedua matanya
bersiaga ke arah kedua lawannya yang memandang
sengit.
Bersamaan dia selesai mengalirkan tenaga da-
lamnya, terdengar satu suara, "Kirana! Nampaknya ki-
ta terlambat untuk ikut meramaikan urusan ini! Tetapi
yah... paling tidak kita masih punya kesempatan un-
tuk ikut!!"
Masing-masing orang segera mengarahkan
pandangannya ke arah suara itu. Tak lama kemudian,
muncul dua sosok tubuh dari balik ranggasan semak.
Melihat siapa yang muncul, Ratu Sejuta Setan
mendelik.
"Celaka! Rencanaku bisa gagal!"
Salah seorang dari kedua orang yang baru da-
tang itu berseru lagi, "Kita berjumpa lagi, Ratu Sejuta
Setan! Hemm.... Kirana... apakah gadis itu yang berju-
luk Ratu Tanah Terbuang?"
Gadis yang di punggungnya terdapat sepasang
pedang bersilangan memandang tak berkedip pada Ra-
tu Tanah Terbuang yang menatapnya penuh kemara-
han.
Kidang Gerhana berkata lagi, "Waduh, waduh!
Apa yang sebenarnya terjadi?" Pandangannya diarah-
kan pada Nimas Ardini yang kelihatan sedikit tegang
sekarang. "Heran! Mengapa kau tahu-tahu berada di
sini, Nyi Lara Ati?!"
Mendengar orang memanggil lain pada Nimas
Ardini, seketika Raja Naga memandangnya. Baru saja
dilakukannya, Nimas Ardini sudah menyerangnya den-
gan cepat!
Bukhkk!!
Jotosannya telak menghantam pinggang Raja
Naga yang tergontai-gontai ke belakang!
***
SEPULUH
KALAU sebelumnya Nimas Ardini kelihatan le-
mah, kini menjadi garang bukan main. Bahkan dia te-
rus menyerang Raja Naga. Kendati dalam keadaan se-
dikit kesakitan, Raja Naga dapat menghindari serangan
Nimas Ardini yang tiba-tiba menjadi ganas.
"Gila! Mengapa ini? Apa yang terjadi?!" desis
Raja Naga sambil terus membuang tubuh. Dalam satu
kesempatan dia berhasil menjauh, sementara Nimas
Ardini sudah melenting dan hinggap di samping kanan
Ratu Sejuta Setan.
Dia langsung berkata, "Keparat! Mengapa tahu-
tahu kakek celaka itu muncul?!"
"Tak perlu kau pikirkan sekarang! Yang penting
pemuda itu sudah kau hantam!"
"Ya! Tak lama lagi dia akan merasakan ngilu
pada seluruh tulang belulangnya dan satu hari kemu-
dian akan mampus terkena ilmu 'Pengilu Tulang'!" sa-
hut Nimas Ardini dengan suara dingin.
Di pihak lain, Raja Naga memandang tak ber-
kedip pada Nimas Ardini. Sesaat dia masih merasa ke-
heranan, tetapi di saat lain dia dapat memahami apa
yang terjadi.
"Hemm... aku telah melakukan kesalahan ru-
panya. ..."
"Ya! Karena kebodohanmu itulah kau melaku-
kan kesalahan!" sahut Nimas Ardini.
"Raja Naga... sejak semula aku sudah bersedia
membantu Ratu Sejuta Setan untuk membunuhmu!
Dan rencana itu nampaknya mulai menunjukkan ke-
berhasilannya! Aku tidak tahu siapa lelaki yang telah
mampus sebelumnya dan kuakui sebagai suamiku!
Bahkan namanya pun ku sebut asal saja! Dengan
menceritakan kalau Ratu Sejuta Setan yang melaku-
kannya, aku berharap kau mau membantuku! Ternya-
ta semuanya berjalan mulus!"
Sorot mata Raja Naga bertambah angker. Sisik-
sisik coklat pada kedua tangannya sebatas siku lebih
terang, pertanda dia mulai dirundung amarah.
"Dan tentunya, kaulah yang telah membunuh
lelaki itu!"
"Siapa lagi?!" sahut Nimas Ardini sambil menye-
ringai. "Dan sayangnya, aku gagal menjerumuskan mu
ke lembah hina di saat kita beristirahat!"
"Terkutuk! Kau telah mengatur semua rupanya!!"
Nimas Ardini tertawa keras.
Kidang Gerhana berkata, "Aku tidak tahu uru-
san apa yang sebenarnya terjadi! Aku muncul untuk
meminta pada Ratu Sejuta Setan dan Ratu Tanah Ter-
buang untuk berlalu! Dan tak kusangka kau berada di
sini, Nyi Lara Ati! Sayangnya, aku masih ingat tam-
pangmu?! Padahal sudah lama kita tidak bertemu."
Nimas Ardini yang sebenarnya bernama Nyi La-
ra Ati menatap tajam pada Kidang Gerhana. Payuda-
ranya sebelah kiri yang terbuka lebar dibiarkan ter-
pampang.
"Aku tak punya urusan denganmu! Kalau seka-
rang kau hendak buka urusan, aku akan menghajar-
mu sekarang juga!"
Kontan dia segera menyerang ke arah Kidang
Gerhana, ganas dan mengerikan yang dilayani oleh Ki-
dang Gerhana sambil menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
Di pihak lain, Kirana sudah meloloskan kedua
pedangnya. Pandangannya tajam pada Ratu Tanah
Terbuang.
"Kita berjumpa lagi sekarang! Dan tibalah saat-
nya bagiku untuk membayar kekalahan ku dulu!"
Ratu Tanah Terbuang mendengus.
"Kau bukanlah tandinganku!"
Kirana tahu kalau dia memang bukan tandin-
gan Ratu Tanah Terbuang. Tetapi kemarahannya su-
dah tak bisa dibendung lagi. Murid mendiang Pendekar
Kencana ini sudah menerjang ke arah Ratu Tanah Ter-
buang. Kedua pedangnya dikibaskan yang seketika
terdengar suara angin membeset menggidikkan.
Sementara itu, Ratu Sejuta Setan diam-diam
membatin sambil memandang Raja Naga yang mulai
agak limbung.
"Hemm... inilah kesempatan yang kutunggu!"
Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, pe-
rempuan kontet itu menerjang ke arah Raja Naga.
Yang diserang tersentak. Dia berusaha untuk mena-
han serangan itu. Tetapi baru saja tangannya hendak
digerakkan, seketika itu pula dirasakan ngilu pada se-
kujur tubuhnya. Akibatnya....
Desss!!
Jotosan tangan kanan kiri Ratu Sejuta Setan
telah menghantam dadanya yang membuatnya tergon-
tai-gontai ke belakang. Raja Naga berusaha untuk
mempertahankan keseimbangannya. Sepasang ma-
tanya kian bersorot angker, mengerikan. Sisik-sisik
coklat pada kedua tangannya semakin kentara. Tetapi
satu tendangan membuatnya tersungkur telungkup!
Melihat keadaan Raja Naga yang sudah tak
berdaya akibat ilmu 'Pengilu Tulang' milik Nyi Lara Ati,
dengan penuh bernafsu Ratu Sejuta Setan menerjang
dengan kedua kaki yang siap menjejak patah tulang
punggung Raja Naga!
"Tibalah pembalasan yang telah lama ku nan-
ti!!" Tubuhnya saat itu pula mumbul ke udara. Dengan
kedua kaki yang siap menghantam punggung Raja Na-
ga, perempuan kontet itu meluncur deras. Namun se-
suatu yang mengejutkan terjadi!
Karena secara tiba-tiba melesat satu bayangan
berbentuk naga hijau. Lesatannya sedemikian cepat
dan tiba-tiba. Ratu Sejuta Setan sesaat melengak. Se-
belum dia menyadari apa yang terjadi, naga hijau itu
telah melabraknya dengan ganas!
"Aaaakhhhh!!" perempuan kontet itu terlempar
deras ke belakang.
Punggungnya telak menghantam sebuah pohon
yang sesaat bergetar. Tubuhnya terpental lagi ke depan
dan ambruk di atas tanah dengan darah muncrat dari
mulut. Dia menggeliat sejenak sebelum kemudian pu-
tus nyawanya.
Melihat nasib yang menimpa Ratu Sejuta Setan,
Ratu Tanah Terbuang yang sedang mendesak Kirana
berteriak tertahan, "Guruuuu!!"
Kejap itu pula dia melompat ke arah mayat gu-
runya. Kemarahannya seketika membludak tinggi.
Pandangannya tak berkedip pada Raja Naga yang per-
lahan-lahan sedang bangkit.
"Keparat! Dulu kau membunuh guruku si Da-
dung Bongkok! Sekarang kau juga membunuh guruku!
Mampuslah kau. Raja Naga!!"
Bentakan yang keras itu membuat Raja Naga
menoleh. Wajahnya seketika berubah tatkala melihat
betapa dekatnya serangan Ratu Tanah Terbuang. En-
tah mengapa saat itu pemuda berompi ungu ini memu-
tuskan untuk tidak menghindar. Dia berharap bila Ra-
tu Tanah Terbuang dapat menyarangkan serangannya,
maka dendamnya akan terbalas.
Dia hanya berdiri dengan tubuh yang terasa ngilu.
Mendadak...
Wuuuttt!!
Sebuah pedang telah meluncur ke arah tubuh
Ratu Tanah Terbuang. Dalam kedudukan yang sangat
sempit itu, Ratu Tanah Terbuang berhasil menyampok
pedang yang meluncur ke arahnya. Namun pedang lain
tak bisa dihindarinya.
Claaap...!!
"Aaaakhhh!!"
Tubuh Ratu Tanah Terbuang terbanting di atas
tanah dengan pedang yang menancap pada dadanya.
"Diaaaahhh!!" seru Raja Naga tercekat. Dia
memburu. Tetapi ngilu pada tulangnya semakin men-
jadi-jadi. Hingga pemuda itu ambruk. Tetapi dia masih
berusaha untuk mendekati Diah Harum dengan me-
nyeret tubuhnya sendiri. "Diah.... Diah...."
Diah Harum membuka kedua matanya. Siratan
duka tersimpan di sana. Di pihak lain, Kirana yang
melemparkan kedua pedangnya tadi, jatuh terduduk.
Tenaganya telah terkuras.
"Boma Paksi...," desis Diah Harum terputus-putus.
"Diah... mengapa... mengapa kau tak mau...
mendengar... penjelasanku?"
Kalau sebelumnya wajah Ratu Tanah Terbuang
begitu bengis, kali ini terlihat bibirnya menyungging-
kan senyuman. Raja Naga menggenggam tangan ka-
nannya.
"Boma... maafkan aku...."
"Diah...."
"Aku... aku... tahu... apa yang sebenarnya...
terjadi.... Tetapi...."
"Diah... jangan banyak bicara dulu. Biar kau...."
Telunjuk tangan kiri si gadis menempel pada
bibir Boma Paksi.
"Terlambat, Raja Naga... terlambat.... Satu hal
yang perlu kau ketahui... sesungguhnya... aku... aku
ingin mengenalmu lebih... dekat...."
"Aku juga memiliki keinginan itu, Diah...."
"Tetapi... sayangnya, semuanya... sudah terlambat...."
Habis ucapannya, kepala Ratu Tanah Terbuang
terkulai ke samping kiri. Raja Naga hanya memandangi
dengan perasaan gundah yang luar biasa. Dilihatnya
bibir gadis itu tersenyum.
"Diah...," desis Raja Naga pelan, sebelum jatuh
pingsan.
Di pihak lain, Nyi Lara Ati tak kuasa untuk me-
nahan gempuran-gempuran hebat dari Kidang Gerha-
na. Serangan cahaya bening yang menebarkan hawa
panas membuatnya tak bisa bertahan lebih lama. Pe-
rempuan yang telah mencelakakan Raja Naga ini me-
mutuskan untuk meloloskan diri. Dan dia berhasil me-
lakukannya. Kidang Gerhana tidak mengejar. Kakek
ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika menghindar dan melancarkan serangan-
nya, dia sempat melihat apa yang terjadi. Dan dia tak
melakukan tindakan apa-apa kecuali memandangi se-
kelilingnya perlahan-lahan.
"Kakek...," terdengar desisan Kirana.
Kidang Gerhana menoleh dan tersenyum.
"Tak perlu menyesali keadaan.... Aku akan
mencoba untuk menghilangkan pengaruh ilmu 'Pengilu
Tulang' yang diderita Raja Naga...."
Kirana hanya menganggukkan kepalanya. Lalu
diperhatikannya Kidang Gerhana yang mendekati Raja
Naga....
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Hantu Bersayap
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon