1
MALAM berkabut dalam. Lolongan
serigala di kejauhan, menambah
keangkeran malam. Gumpalan awan hitam
padat di atas, tak bergeming sedikit pun
jugaterhembus angin. Beberapa helai daun
berguguran, beterbangan jauh. Malam kali
ini lain dengan malam-malam sebelumnya.
Keheningan malam pun melanda sebuah
rumah besar yang terletak di sebuah
lembah. Lembah yang tak begitu curam dan
luas. Hanya beberapa buah pohon yang
tumbuh di sana. Tak jauh dari sana
puncak-puncak tebing bebatuan berdiri
angkuh. Seolah hendak menantang siapa
saja yang berniat untuk merobohkannya.
Asap kemenyan tercium dari rumah
itu. Rumah yang biasa tenang dan damai,
kini telah menjadi rumah duka. Dua orang
lelaki bertubuh tegap dan gagah, dengan
sebilah pedang di pinggang, berdiri di
depan rumah itu. Menyambut ramah
beberapa orang yang datang dan kemudian
pergi setelah memberikan ucapan
belasungkawa pada tuan rumah.
Di dalam rumah itu, di sebuah
ruangan yang cukup besar, nampak satu
sosok tubuh terbujur kaku di atas sebuah
dipan. Di bawah dipan itu, tepat di
bagian kepala dan kaki, mengepul uap
kemenyan dari anglo hitam.
Seorang perempuan berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun, nampak khusuk
duduk berlutut di samping kanan jenazah
lelaki berwajah tampan yang mengenakan
pakaian putih bersih, yang pada kening
lelaki itu terdapat untaian daun lontar.
Mata si perempuan berpakaian hitam itu
sembab. Di lehernya menggantung untaian
daun lontar yang dirajut indah. Dia
berulang kali mengusap kedua matanya.
Dan dengan ketabahan tinggi, dia
berusaha untuk menahan tangis.
Tak jauh dari tempatnya, berdiri dua
lelaki setengah baya yang mengenakan
pakaian serba kuning panjang. Jubah
mereka berwarna hijau. Satu sama lain
memiliki raut wajah yang sama. Keduanya
pun datang dengan belasungkawa yang
dalam.
Salah seorang dari kedua orang itu,
yang berdiri di samping kiri, menoleh
pada seorang lelaki bertubuh pendek,
gemukkekar. Lelaki yang diperkirakan
berusia sekitar enam puluh tahun itu
mengenakan pakaian warna biru terbuka dl
bagian dada, hingga tak bisa tutupi perut
gemuknya. Mungkin karena lemak yang
berlebihan di setiap inci tubuhnya,
hingga tak terlihat adanya kerutan atau
keriput di wajahnya. Sebuah tombak
berwarna biru tergenggam di tangan
kanannya yang gempal, lebih tinggi dari
tubuhnya.
Orang yang menoleh tadi berbisik,
"Dewa Tombak... apa yang sebenarnya
terjadi?"
Si gemuk pendek mengangkat
kepalanya, karena orang yang bertanya
lebih tinggi. Mata bulatnya sesaat
memandangi orang itu, lalu kembali
diarahkan pada jenazah lelaki gagah yang
terbujur kaku.
Masih memandang dia menjawab, "Aku
tidak tahu apa yang terjadi. Lima hari
yang lalu... aku datang seperti biasa,
untuk menyambangi Pendekar Lontar. Saat
itu dia dalam keadaan segar bugar. Tak
terlihat tanda-tanda sedang sakit atau
kena penyakit. Tetapi kemarin malam,
ketika aku datang kembali ke tempat ini,
dia sudah tewas...."
"Kau tidak tahu apa yang terjadi?"
Dewa Tombak gelengkan kepalanya.
Lehernya yang seperti menyatu dengan
bahunya seperti tak kelihatan bergerak.
"Bukan hanya aku yang tidak tahu apa
yang menyebabkan kematian Pendekar
Lontar. Tetapi istrinya sendiri, Dewi
Lontar, ketika kutanyakan
sebab-sebabnya, dia mengaku tidak tahu
sama sekali."
"Sebagai seorang sahabat, kau sudah
memeriksa keadaan Pendekar Lontar?"
"Aku sudah melakukannya. Tak ada
tanda-tanda yang mencurigakan. Semuanya
normal. Bagian tubuhnya tak terlihat
terkena satu serangan. Tadi siang, aku
sudah menghubungi Dewa Segala Obat. Biar
bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui
penyebab kematian Pendekar Lontar. Bila
memang Pendekar Lontar meninggal karena
panggilan Sang Pencipta, itu tak perlu
dipermasalahkan lagi. Tetapi kita tahu.
Pendekar Lontar banyak mempunyai musuh
akibat dari segala tindakannya yang
selalu membela kebenaran."
"Katamu tadi, kau sudah menghubungi
Dewa Segala Obat. Apa katanya?"
"Dia berjanji untuk datang. Dan aku
berharap, dia dapat menemukan
sebab-sebab kematian Pendekar
Lontar...," sahut Dewa Tombak. Lalu
mengangkat kepalanya,
"Sema Kuriang... aku tahu
kesibukanmu dengan saudara kembarmu itu.
Tetapi kau tetap bisa datang. Aku
mengucapkan terima kasih...."
Si lelaki berjubah hijau itu
menganggukkan kepala.
"Kendati kami jarang berjumpa
dengan Pendekar Lontar, tetapi kami
sangat menghormatinya. Dalam usianya
yang baru tiga puluh tahun, julukannya
sudah membedah sebagian jagat raya ini
sebagai orang yang berada dalam golongan
lurus. Selain dikenal dengan ilmu yang
dimilikinya. Pendekar Lontar juga pandai
memainkan ilmu pedang. Tak seorang pun
yang menyangsikan kehebatannya
mempergunakan pedang. Sudah tentu, kami.
Dua Serangka! Jubah Hijau, merasa perlu
untuk datang memberikan penghormatan
terakhir
Baik Sema Kuriang maupun Dewa Tombak
tak buka suara. Mereka melihat perempuan
berpakaian ringkas warna hitam
perlahan-lahan bangkit. Sepasang mata
yang biasanya bersinar ceria dan indah,
kini sembab akibat menahan tangis. Si
perempuan yang ternyata istri dari si
lelaki yang telah menjadi mayat,
memandang pada keempat orang itu.
Dia mencoba tersenyum.
"Terima kasih atas kedatangan
kalian...," katanya agak tersendat.
Dewi Lontar..., kata Sema Kuriang.
"Aku sudah bertanya pada Dewa Tombak,
penyebab kematian suamimu, si Pendekar
Lontar. Tetapi dia tidak tahu apa yang
terjadi. Sebagai orang yang menghargai
sekaligus menghormati Pendekar Lontar,
kami merasa perlu untuk mengetahui
penyebab kematiannya....".
Perempuan berambut hitam indah
dikuncir kuda yang dari tubuhnya
menguarkan aroma harum itu, menarik
napas pendek. Hidung bangirnya agak
memerah, demikian pula dengan kulit
putih bersihnya.
Sambil memainkan kalung daun lontar
yang tergerai di dadanya, perlahan-lahan
dia menggeleng.
"Aku sendiri tidak tahu sama
sekali.... Kemarin malam, kami masih
bercanda. Bahkan, kami sama-sama
mencandai putra kami satu-satunya, si
Boma Paksi, sampai putra kami yang
berusia lima tahun itu tertidur."
"Apakah kau tidak melihat gelagat
buruk saat itu?" tanya lelaki berjubah
hijau yang berdiri di samping Sema
Kuriang. Wajahnya mirip dengan Sema
Kuriang. Tetapi ada tahi lalat tepat di
tengah keningnya.
Dewi Lontar kembali menggelengkan
kepalanya. Gerakannya sangat lemah.
Perempuan perkasa itu merasa sebagian
jiwanya telah terampas pergi bersamaan
meninggalnya suaminya. Sebelum subuh
tadi, dia terbangun karena hendak buang
air. Lalu dia pergi ke belakang. Setelah
itu dia kembali ke kamarnya. Dilihatnya
suaminya yang tertidur dengan kedua mata
mengatup.
Rasa cinta kasihnya membuatnya
lebih lama memperhatikan suaminya.
Sampai dia merasakan sesuatu yang aneh
terjadi. Karena dia tak mendengar
desahan napas lembut suaminya seperti
biasa. Rasa herannya itu membuatnya jadi
penasaran. Dijulurkan telunjuknya ke
hadapan hidung suaminya.
Hati Dewi Lontar seketika tercekat
karena dia tak merasakan adanya hembusan
atau tarikan napas. Rasa penasarannya
berubah menjadi panik. Dia segera
tempelkan telinganya pada bagian jantung
suaminya. Sama sekali dia tak mendengar
bunyi detakan lembut jantung suaminya.
Untuk beberapa saat Dewi Lontar
tertegun. Seperti tak mempercayai apa
yang terjadi. Dan perlahan-lahan dia
sadar, kalau suaminya sudah meninggal.
Kala matahari sepenggalah, Dewa
Tombak muncul sesuai janjinya dua hari
lalu. Diceritakannya apa yang telah
terjadi dengan penuh kesedihan.
Dewi Lontar menggelengkan
kepalanya. Perempuan berwajah bulat
telur Ini berusaha untuk kelihatan
tegar.
"Aku tak melihat tanda-tanda
kecemasan suamiku akan sesuatu pada
malam itu. Dia tetap kelihatan tenang dan
selalu ceria seperti biasanya...."
"Dewi Lontar... selama ini suamimu
dikenal sebagai orang yang membela orang
yang Eemah. Berpuluh orang pernah
dikalahkannya karena orang-orang itu
berbuat makar. Menurut penilaianku, tak
mustahil bila ada orang yang mendendam
padanya dan malam itu datang melakukan
serangan
"Serangan gelap seperti apa pun akan
selalu diketahui oleh suamiku...."
Jawaban Dewi Lontar tidak bernada
sombong sama sekali. Dua Serangkai Jubah
Hijau dan Dewa Tombak, sama-sama tahu
kalau Pendekar Lontar memiliki ilmu
'Raga Pasa. Ilmu yang membuatnya dapat
mengetahui serangan gelap apa pun juga.
Bahkan Ilmu sihir yang dilancarkan oleh
seorang ahli sihir yang sangat ahli pun
dapat diketahui.
Dewa Tombak berkata, "Dewi
Lontar... tabahkanlah hatimu. Bila
memang suamimu meninggal karena sudah
batas usianya, relakanlah...."
Dewi Lontar menganggukkan
kepalanya.
"Ya... aku akan merelakannya.
Kematian apa pun yang telah menimpanya,
aku akan rela menerimanya...."
"Tidak!" Dewa Tombak berkata tegas.
Perutnya yang besar sesaat bergerak.
Lalu suaranya berubah lembut ketika
tatapan Dewi Lontar tak berkedip ke
arahnya, "Maksudku... aku tak akan
pernah terima, bila ternyata ada orang
yang telah menjahati suamimu. Bila
memang demikian adanya, dugaanku dia
tewas akibat ilmu hitam...."
Pernyataan Dewa Tombak membuka
sepasang mata perempuan jelita
berpakaian hitam. Untuk sesaat dia
terdiam memikirkan apa yang dikatakan
orang bertubuh gemuk itu. Tetapi di kejap
lain perempuan itu sudah gelengkan
kepala.
"Untuk saat Ini, aku tak ingin
memikirkan keadaan itu. Besok... aku
akan mengadakan upacara penguburan.. . ."
Dewa Tombak tak tersinggung dengan
ucapan si perempuan. Dia dapat
memakluminya.
"Selama aku mengenal Dewi Lontar,
belum sekali pun kulihat dia bersedih
seperti ini. Dia selalu ceria dengan
kegembiraan yang alami. Tak pernah
dibuat-buat. Tetapi di saat lain, dia
bisa berubah menjadi seseorang yang
sangat garang, melebihi garangnya
harimau betina. Dan biasanya, dia selalu
memikirkan baik-baik setiap urusan yang
terjadi. Nampaknya kail ini, kesedihan
sudah melandanya hingga dia seolah tak
pedulikan apa yang kukatakan tadi," kata
Dewa Tombak dalam hati.
Lalu tamu-tamu pun berdatangan
untuk mengucapkan belasungkawa kepada
janda Pendekar Lontar. Mereka
berdatangan dan segera pergi.
Sampai tinggal orang-orang yang
sejak tadi memang berada di sana. Saat
Itulah terdengar suara anak kecil
menangis. Dewi Lontar segera beranjak ke
salah sebuah ruangan yang terdapat di
rumah itu.
Sema Kuriang berbisik pada Dewa
Tombak, "Di mana Dewa Segala Obat?
Mengapa sampai saat ini dia belum juga
hadir?"
Lelaki gemuk itu menggelengkan
kepalanya.
"Aku juga heran. Mengapa dia belum
hadir juga?"
Tak lama kemudian mereka melihat
Dewi Lontar sudah muncul kembali, kali
ini sambil menggendong bocah laki-laki
yang tertidur manja dalam rangkulan-nya.
Bocah itu berambut gondrong. Di
punggungnya terdapat sebuah gambar
seekor naga berwarna hijau.
Dua Serangka! Jubah Hijau sama-sama
memandang tak berkedip pada tato seekor
naga yang terdapat pada punggung si
bocah. Sementara Dewa Tombak tak acuh
saja, karena dia sudah sering melihat
gambar seekor naga disana.
Dewi Lontar sadar apa arti tatapan
kedua lelaki setengah baya berjubah
hijau.
Dia berkata, "Aku tidak tahu
bagaimana asal mulanya gambar naga hijau
ini terdapat pada punggung bayiku. Saat
kulahirkan, gambar naga hijau yang
seperti sebuah tato Ini, sudah terdapat
pada punggungnya...."
Dua Serangka! Jubah Hijau tak
bersuara. Mereka masih memperhatikan
tato naga hijau yang terdapat pada
punggung si bocah.
Sema Kuriang membatin, "Aku seperti
melihat sisik tipis warna coklat yang
terdapat pada kedua tangannya sebatas
siku. Ah, mungkin aku salah melihat.
Rasanya agak janggal kalau bocah Itu
memiliki sisik."
Di pihak lain, saudara kembarnya
juga membatin, "Pada punggungnya,
terdapat tato naga hijau. Pada kedua
tangannya sebatas siku terdapat
sisik-sisik kecoklatan. Aneh Mengapa
kedua tangannya sampai bersisik seperti
itu? Padahal Pendekar Lontar dan
istrinya tak memiliki sisik seperti itu.
Jangan-jangan... sisik-sisik coklat
yang terdapat mulai jari-jemarinya hing¬
ga batas siku, juga dibawanya sejak
lahir."
Selagi keheningan terjadi,
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di
depan. Dewa Tombak segera berkelebat ke
sana. Dia melihat dua orang
bersenjatakan pedang yang menjaga di
depan rumah besar itu, sedang ribut
omongan dengan seorang kakek yang me¬
ngenakan jubah merah. Kepala si kakek
lonjong. Kumis putihnya panjang turun ke
bawah. Rambutnya yang sudah memutih
semua diikat ekor kuda. Bola matanya
tajam dengan sepasang aiisyang seperti
menyatu. Dari apa yang ada pada tubuh si
kakek, yang mengejutkan adalah kedua
punggung tangannya. Karena, di sana ada
sisik-sisik berwarna hijau. Sangat
jelas. Sisik itu pun terdapat pada bagian
wajahnya, tetapi tipis saja. Karena dia
mengenakan pakaian panjang, jadi tak
bisa diketahui apakah sisik-sisik Itu
juga,terdapat pada bagian tubuhnya yang
lain.
Si kakek saat ini sedang
marah-marah. Bahkan tangan kanannya siap
terangkat untuk menampar kedua penjaga
itu.
"Selamat datang ke rumah duka. Dewa
Naga...."
Ucapan Dewa Tombak yang disusul
dengan sosoknya yang mendekat, membuat
si kakek mengurungkan niatnya untuk
menampar kedua penjaga yang bersiaga.
Bahkan tangan kanan masing-masing sudah
menggenggam pedang, siap dihunuskan.
"Brengsek! Apa-apaan kedua cecunguk
ini melarangku masuk, hah?I Hei, Orang
bulat! Katakan pada mereka, jangan
banyak tingkah di hadapanku!"
Dewa Tombak tersenyum. Saat
melangkah tubuhnya mengegal-ngegol. Dia
memberi isyarat pada kedua penjaga yang
menuruti tetapi tatapannya tajam pada si
kakek muka lonjong.
"Hanya kesalahpahaman saja...,"
kata Dewa Tombak dengan senyuman lebar.
"Dan kau tetap selalu bersikap keras
seperti itu rupanya."
Si kakek muka lonjong yang bersisik
halus itu menggeram.
"Brengsek! Apanya yang kesalah
pahaman, hah?I Mereka melarangku masuk!
Memangnya di dalam sana ada pertunjukan
yang mengharuskan aku membayar untuk
melihat?!"
Salah seorang penjaga itu berseru,
"Tuan Dewa Tombak. . . sikap si kakek
sungguh tak menyenangkan. Dia datang
dengan sikap yang angkuh. Bahkan
mulutnya terus berbunyi yang justru
menimbulkan kegaduhan..."
"Eh, busyet maki si kakek dengan
mata tajam. "Mulutku berbunyi?! Keparat
betul kau ya? Jangan-jangan kau memang
mengharapkan kugaplok?!"
Si penjaga sama sekali tak kelihatan
takut, karena mereka memang tidak tahu
siapa kakek bersisik hijau yang datang
ini. Saat ini dia sedang berduka karena
majikan mereka tewas tanpa ketahuan
penyebabnya. Dan dia sangat tersinggung
bila ada orang yang bermaksud
menyembangi majikannya bersikap tak
menyenangkan. Selama delapan tahun,
Markuto dan adiknya yang bernama Gerada
sudah mengabdikan diri pada Pendekar
Lontar. Bahkan dengan senang hati Pen¬
dekar Lontar mengajarkan mereka sedikit
ilmu pedang yang dimilikinya. Rasa
hormat mereka pada Pendekar Lontar
melebihi sayangnya mereka pada nyawa
sendiri.
Sementara si penjaga mendelikkan
matanya gusar, Dewa Tombak justru
tertawa-tawa keras.
Si kakek muka lonjong menggeram.
"Kau teruskan tawamu, kubunuh kau!!"
Dewa Tombak sendiri segera
menghentikan tawanya. Bukan karena takut
akan ancaman si kakek yang berjuluk Dewa
Naga, melainkan karena dia kembali
teringat, kalau saat ini suasana duka
sedang melanda.
Lalu katanya pada Markuto, "Kau
salah sangka, Markuto. Bukan mulutnya
yang berbunyi, tetapi pantatnya!"
Sementara Markuto melongo, si kakek
muka lonjong menggeram.
"Brengsek! Kau membuka aibku ya?!
Memang... pantatku ini terkadang tidak
bisa diajak kompromi! Selalu bunyi tanpa
kuminatiI Eh, selagi kuminati... susah
sekali bunyinya...."
Dewa Tombak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu diajaknya Dewa Naga
masuk ke dalam. Markuto dan Gerada
memperhatikan dengan seksama. Mereka
membuka pendengaran lebih lebar. Dan
mereka tak mendengar suara yang seperti
sebelumnya mereka dengar.
Sementara itu, menyadari kalau dua
pasang mata tertuju pada pantatnya, si
kakek muka lonjong menggeram jengkel.
Mendadak dijentikkan ibu jari dengan
telunj uknya.
Claaap.... I
Gerakan yang sangat ringan dan cepat
itu seperti tak mengandung apa-apa,
tetapi Markuto dan Gerada mendadak saja
jatuh terjengkang.
Dewa Tombak berkata, "Kau terlalu
ringan tangan. Kawan...."
"Keparat kau. Kakek Bulat! Siapa
yang tidak risih kalau pantatnya
dilihati terus? Memangnya aku janda
kembang yang punya pantat bulat yang
memancing perhatian untuk
diremas-remas?!" seru si kakek gusar.
Dewa Tombak mendengus.
"Bila kakek ini mau, kedua orang itu
bukan hanya akan langsung tewas
seketika. Tetapi tubuhnya akan lebur
menjadi debu," katanya dalam hati.
Kemudian melanjutkan, "Tokoh satu ini
memang dikenal memiliki sifat
angin-anginan. Setiap orang yang
mendengar julukannya, pasti akan merasa
copot jantungnya. Siapa yang tak
mengenal julukan Dewa Naga?"
Lalu dengan langkah yang
mengegal-ngegol dia masuk kembali ke
ruangan duka, disusul oleh Dewa Naga yang
mendengus.
Di pihak lain, Markuto dan Gerada
sedang bangkit sambil meringis. Dan
mereka tidak mengerti apa yang telah
menimpa mereka tadi.
★ ★ ★
2
KEKADIRAN Dewa Naga membuat Dua
Serangkai Jubah Hijau segera
merangkapkan kedua tangannya di depan
dada. Yang dihormati justru mendengus
sa j a.
Dia berkata pada Dewi Lontar yang
sedang mengangguk hormat, "Siapa orang
keparat yang membunuh pendekar gagah
itu, Dewi Lontar?"
Dewi Lontar menggelengkan
kepalanya. Lalu dengan suara pelan dia
menyahut,
"Dewa Naga... suamiku tidak mati
dibunuh orang. Tetapi ajal memang sudah
menjemputnya...."
"Huh! Bicaramu terlalu ringan! Kau
terlalu diliputi oleh kesedihan
rupanya!" dengus si kakek berjubah
merah. Dia berjalan mendekati jenazah
Pendekar Lontar. Saat berjalan mendadak
saja sesuatu berbunyi,
Brrut! Bruuut!
Kontan Dewa Naga menghentikan
langkahnya. Dia melirik ke kanan kiri
dengan wajah agak memerah. Keanehan
terpampang. Karena sisik halus warna
hijau pada wajahnya, seperti berubah
menjadi merah. Setelah dilihatnya tak
ada yang ketawa atau meringis, dia
melangkah lagi.
Padaha! saat ini Dewa Tombak sudah
tertawa keras dalam hati. Sementara Dua
Serangkai Jubah Hijau hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kakang Segala Jaka memang tak
pernah menghilangkan kebiasaannya itu, "
desis Sema Kuriang dalam hati.
"Ah... kebiasaan buruk. Tapi mau
bagaimana lagi? Dia tak akan pernah bisa
menghilangkannya...."
Dewa Tombak membatin, "Tak kusangka
kalau Dewa Naga, Majikan Lembah Naga,
akan hadir di sini. Ya, ya... siapa pun
akan menyambangi kematian pendekar besar
seperti Pendekar Lontar."
Saat itu Dewa Naga sudah berdiri di
samping kanan sosok Pendekar Lontar yang
terbujur kaku. Sepasang mata tajam si
kakek yang memperlihatkan Sinar
kewibawaan kendati kalau bicara asal
saja, memperhatikan sekujur tubuh
Pendekar Lontar. Saat lain mulutnya
terlihat berkemak-kemik di saat tangan
kanannya digerakkan di atas tubuh
Pendekar Lontar. Sisik-sisik hijau pada
wajahnya semakin menyala.
Tak ada yang menahan apa yang
dilakukannya. Mereka tahu, kalau Dewa
Naga yang memiliki kesaktian luar biasa
itu, sedang mencari penyebab kematian
Pendekar Lontar.
Kemudian terlihat tangannya
bergetar. Dia buka Suara, "Aku tak
percaya kalau dia tewas tanpa ada
penyebabnya...."
Kata-katanya itu membuat
orang-orang yang berada di sana,
termasuk Dewi Lontar jadi membuka mata
lebih lebar. Mereka melihat tangan kanan
Dewa Naga semakin bergetar, tepat pada
jantung Pendekar Lontar.
"Aku mencurigai ada sesuatu di
jantungnya, yang menyebabkannya
meninggal...."
"Kakang Segala Jaka...," kata Gala
Kuriang salah seorang dari Dua Serangka!
Jubah Hijau, "Apakah kau berpendapat
kematian Pendekar Lontar tidak wajar?"
"Brengsek! Jangan ganggu aku kalau
aku sedang mencari sesuatu, hah?I Kau
ingin wajahmu kuhantamkan ke tembok?!"
maki Dewa Naga keras.
Gala Kuriang tidak tersinggung
dengan ucapan itu. Dia justru menutup
mulutnya.
"Aku yakin. Pendekar Lontar mati
tidak wajar. Tetapi aku tidak tahu apa
penyebabnya. Semua orang tahu, kalau dia
memiliki ilmu 'Raga Pasa'. Boleh
dikatakan, kalau orang yang
membunuhnyaini memiliki limu yang tinggi
dan aneh. Bisa juga kalau dia
mempergunakan sesuatu untuk
membunuhnya."
"Kalau kau sudah tahu, mengapa kau
katakan dia meninggal tidak wajar?"
tanya Dewa Tombak.
Dewa Naga melotot padanya.
"Orang bulat banyak omong! Aku bukan
ahli penyakit dan juga bukan ahli obat!
Yang bisa menerangkan semua ini hanya
Dewa Segala Obat!"
"Aku telah menjumpainya dan
memintanya datang ke sini...."
"Bagus! Tapi, mengapa dia belum juga
datang?!"
"Dewa Segala Obat selalu tepati
janji. Kalaupun dia terlambat datang,
mungkin ada sesuatu yang menghambatnya.
Tetapi aku yakin, dia pasti datang."
Justru yang datang kemudian, dua
orang lelaki berwajah tirus. Kedua
lelaki ini diperkirakan berusia sekitar
enam puluh tahunan. Tampang mereka sadis
dan angker. Yang berambut panjang tetapi
botak di tengah, memiliki mata tajam
mengerikan. Tak berkumis, tetapi
berjenggot yang dikepang. Mengenakan
pakaian hitam dengan rompi biru. Di
pergelangan tangannya yang kurus
terdapat gelang-gelang hitam hingga
batas lengan.
Sementara yang seorang lagi,
mengenakan pakaian panjang dengan jubah
hitam. Lebih tinggi dari yang satunya
lagi. Tatapannya pun tajam, dengan
kelopak mata agak menurun. Kepalanya
plontos, dan terdapat tanda matahari
tepat di ubun-ubunnya.
Masing-masing orang yang berada di
sana memandang tidak enak akan kehadiran
keduanya. Mereka mengenal kedua tokoh
itu. Yang berjenggot dikepang berjuluk
Iblis Penghancur Raga, sementara yang
seorang lagi berjuluk Iblis Telapak
Darah. Kedua orang ini dikenal sebagal
orang sesatyang menguasai daerah timur.
Iblis Penghancur Raga mengedarkan
pandangannya ke orang-orang yang berada
di sana. Begitu tertumbuk pada mata Dewa
Naga, dia kelihatan berusaha untuk tidak
menatapnya lebih lama.
"Keparat! Kupikir kakek sialan itu
tidak hadir di sini I " makinya dalam hati .
Lalu melangkah mendekati jenazah
Pendekar Lontar. Ditatapnya jenazah itu
dengan seksama. Dan tanpa sungkan dia
memperlihatkan senyuman sinisnya. Lalu
melakukan pertghormatan tiga kali. Lalu
mundur.
Iblis Telapak Darah ganti melakukan
penghormatan yang sama. Tetapi sambil
berkata, "Kehebatanmu ternyata tak
seberapa, Pendekar Lontar. Kau yang
selama ini dikenal sebagai orang sok suci
yang selalu lancang mencampuri urusan
orang, akhirnya pun mampus juga...."
Kata-kata sinis Ibiis Telapak Darah
membuat muka Dewi Lontar memerah. Tetapi
perempuan Jelita yang sedang menggendong
Boma Paksi yang masih tertidur, segera
tindih amarahnya. Dia tahu, kalau tiga
bulan yang lalu, Ibiis Penghancur Raga
dan iblis Telapak Darah pernah
dikalahkan suaminya di Lembah Air Mata.
Dan dapat dipastikan kalau keduanya
datang untuk mencari gara-gara.
Tetapi Sema Kuriang tak menyukai
kata-kata iblis Telapak Darah.
"Ada seekor kucing yang hendak
berubah menjadi harimau, tetapi sampai
kapan pun tak akan pernah bisa terjadi
walaupun sudah diupayakan seperti apa
pun. Keberaniannya tak akan ada meskipun
dia telah berubah menjadi harimau.
Karena masih ada harimau sesungguhnya
yang siap menerkamnya...."
Sindiran halus Sema Kuriang membuat
iblis Telapak Darah seketika menoleh.
Lelaki berjubah hitam ini sudah hendak
buka mulut menyemprot, tetapi tangannya
dijentik oleh ibiis Penghancur Raga.
Mengerti maksud dari Iblis
Penghancur Raga kalau di sana ada Dewa
Naga yang sedang melotot pada mereka,
iblis Telapak Darah menelan bulat-bulat
kejengkelannya.
Iblis Penghancur Raga berkata pada
Dewi Lontar, "Dewi Lontar... kuhaturkan
ucapan belasungkawa yang
sedalam-dalamnya atas kematian suamimu.
Terus terang, kami hadir dengan membawa
persahabatan dalam. Tak ada dendam
sedikit pun di hati kami kendati pernah
dikalahkannya di Lembah Air Mata...."
Kendati tak mempercayai kata-kata
Iblis Penghancur Raga, Dewi Lontar
mengangguk.
"Terima kasih kuucapkan atas
kesediaanmu menyambangi jenazah
suamiku
Iblis Telapak Darah berkata,
"Suamimu adalah seorang tokoh besar yang
pernah hidup di zaman in! . Sayang,
usianya sangat pendek. Padahal, masih
banyak yang bisa dilakukannya...."
"Siapa pun tak akan bisa menentang
ajal...," kata Dewi Lontar sopan.
Iblis Telapak Darah menganggukkan
kepalanya.
"Ya, siapa pun tak akan bisa
menentang ajal. Maafkan kami... kami tak
bisa tinggal lebih lama di sini. Sekali
lagi, kami turut berduka cita
sedalam-dalamnya...."
Setelah itu, keduanya melangkah
keluar dengan kepala terangkat, angkuh.
Iblis Telapak Darah melirik Sema Kuriang
penuh amarah yang dibalas oleh Sema
Kuriang tak kalah garangnya.
Sepeninggal keduanya. Dewa Tombak
berkata, "Sejak tadi kita memikirkan
penyebab kematian Pendekar Lontar. Tak
seorang pun yang memungkiri kalau
sesungguhnya ini sudah panggilan Tuhan.
Tetapi, kita wajib berusaha untuk
mengetahui segala penyebabnya. Untuk
itu... aku bermaksud untuk menjemput
Dewa Segala Obat. Mungkin dia
mendapatkan satu halangan hingga
terlambat hadir di sini. Padahal, dia su¬
dah berjanji padaku...."
Dewi Lontar sebenarnya ingin
melarang, karena dia tak mau kematian
suaminya menjadi urusan yang panjang.
Baginya, suaminya memang sudah diberikan
umur yang cukup oleh Sang Pencipta. Dan
bila Dia menghendakinya untuk pulang,
bukan hanya suaminya yang tak dapat
menolak, siapa pun orangnya tak akan
mungkin bisa menghindari keadaan itu.
Gala Kuriang berkata, "Dewa
Tombak... kau adalah sahabat terdekat
dari Pendekar Lontar. Akan lebih baik
bila kau tetap berada di sini menemani
Dewi Lontar. Sebaiknya, biar kami saja
yang menjemput Dewa Segala Obat...."
Bukannya Dewa Tombak yang menyahut.
Dewa Naga yang berkata, "Brengsek! Apa
kau pikir kehadiranku di sini tidak akan
jadi lebih baik? Benar-benar ingin..."
Bruuutt!
Kata-kata Dewa Naga terputus karena
pantatnya sudah berbunyi lagi. Sekali
lagi sisik hijau pada wajahnya berubah
menjadi merah. Tetapi dia justru
mengangkat dagunya tinggi-tinggi seraya
berkata,
"Daripada kutahan jadi uban, kan
lebih baik kulepas saja?"
Baik Dewa Tombak maupun Dua
Serangkai Jubah Hijau tak menghiraukan
selorohannya. Tetapi Dewi Lontar
tersenyum. Perempuan perkasa yang sedang
berduka itu, merasa agak terhibur dengan
ulah si kakek muka lonjong yang penuh
sisik hijau.
Lalu penuh duka, ditatapnya jenazah
suaminya. Ada keinginan kuat yang
mendorongnya untuk memeluk jenazah Itu.
Tetapi ditahan sebisanya.
"Suamiku... mungkin hanya Sang
Penguasa Jagat dan kau sendiri yang
mengetahui penyebab kematianmu. Tetapi
mungkin pula kau tak mengetahuinya.
Semula... aku tak mempedulikan keadaan
itu, karena kau tentunya tahu bila ada
satu serangan gelap yang datang. Hanya
saja... kata-kata Dewa Naga tadi,
mengubah keyakinanku. Aku mencurigai
kematianmu, suamiku...," katanya dalam
hati .
Dewa Tombak berkata pada Gala
Kuriang, "Bila kalian berkenan
melakukannya, silahkan."
Dua Serangkai Jubah Hijau sama-sama
menganggukkan kepala.
Dewa Naga berkata setelah
mendengus, "Gala Kuriang! Bila kau sudah
berjumpa dengan Dewa Segala Obat dan
masih memiliki waktu, kuminta kau
mendatangi Menara Berkabut"
Kata-kata bernada perintah dari
Dewa Naga itu bukan hanya mengejutkan
Gala Kuriang saja, tetapi orang-orang
yang berada di sana. Siapa pun tahu.
Menara Berkabut adalah sebuah tempat
yang penuh dengan misteri. Bahkan tempat
itu seolah telah melegenda karena
kemisteriusan dan keangkerannya.
Kalaupun Dewa Naga memerintahkan Dua
Serangkai Jubah Hijau untuk mendatangi
Menara Berkabut, tentunya ada sesuatu
yang dimaksud.
Tetapi dengan konyolnya si kakek
muka lonjong penuh sisik hijau itu justru
nyengir, "Eh... tidak usah saja, deh!
Tidak usah I Cepat kalian pergi dari sini !
Kalau bisa, selekasnya membawa orang tua
pikun berjuluk Dewa Segala Obat itu!"
Lalu sambungnya sambil menggeleng
gelengkan kepala seperti ditujukan pada
dirinya sendiri, "Heran! Sudah
sedemikian tua.. . kenapa dia masih hidup
juga, ya?"
Kendati demikian, masing-masing
orang merasa pasti kalau Dewa Naga
mengetahui sesuatu. Tetapi seperti yang
mereka ketahui. Dewa Naga adalah seorang
tokoh yang selain memiliki kesaktian
tinggi juga memiliki sifat
angin-anginan. Dan bila ada orang yang
berani mendesaknya, bisa jadi mulutnya
sudah mencong tanpa orang itu tahu apa
penyebabnya!
Mendadak dia membentak, "Hei,
Kenapa kalian masih berada di sini? ! Tadi
kalian yang mau untuk pergi menemui Dewa
Segala Obat! Sekarang masih diam di sini
kayak kambing ompong! Ayo, sana pergi!
Kalau tidak... kujitak kepala kalian!"
Sesungguhnya, sikap Dewa Naga
tidaklah tepat. Karena saat ini suasana
sedang berkabung tengah melanda rumah
besar itu. Tetapi dia masih bersikap
semau jidatnya saja. Karena memang
begitulah sifatnya. Hanya saja,
janganlah sekali-sekali memancing
amarahnya!
Dua Serangkai Jubah Hijau segera
mengangguk dan melangkah keluar.
"Brengsek!" dengus Dewa Naga. Lalu
diarahkan pandangannya pada Dewi Lontar
yang masih menggendong putranya yang
tetap tertidur. Mulut Dewa Naga hendak
membuka, tetapi mendadak saja dia
melongo. Seperti melihat sesuatu yang
baru, kakek muka lonjong ini terdiam
dengan muiut ternganga.
"Ada apa. Orang Tua?" tanya Dewi
Lontar pelan.
"Busyet! Astaganaga! Benar-benar
astaga! Dewi Lontar... bocah siapakah
yang sedang kau gendong itu?"
"Dia adalah putraku. Orang Tua."
"Siapa namanya?"
"Boma Paksi."
"Nama yang bagus. Berapa usianya?"
"Jalan lima tahun...."
"Gila! Sudah hampir lima tahun? Dan
selama ini aku tidak tahu kalau kau dan
Pendekar Lontar sudah mempunyai anak
sebesar itu? Benar-benar busyet! Ke mana
aku selama ini?"
"Kau memang tidak ke mana-mana...
tetapi asyik menggoda janda dusun
sebelah," sahut Dewa Tombak.
Dewa Naga mendengus. Matanya
mendadak tajam memerah.
"Kakek buntal! Kau terlalu banyak
omong! Ingin perutmu kukempeskan?!"
Dewa Tombak hanya mengangkat
bahunya saja, tak acuh.
Dewa Naga kembali memandang Boma
Paksi yang masih tertidur.
"Astaganaga!" desisnya dalam hati.
"Bertahun-tahun aku mencari seorang
bocah yang pada punggungnya terdapat
gambar seekor naga hijau. Bertahun-tahun
pula aku dibingungkan oleh mimpiku
mengenai bocah itu. Dan tidak tahunya,
bocah itu terlahir dari rahim Dewi Lontar
yang merupakan perpaduan dengan Pendekar
Lontar. Nasib baik, walaupun hari buruk.
Tak perlu lagi aku melangkah jauh,
melanglang buana melewati sebagian jagat
untuk mencari bocah itu. Kini sudah
terpampang di depan mata...."
Dewi Lontar tahu ke mana tatapan
Dewa Naga ditujukan. Tetapi perempuan
jelita ini tak menghiraukannya.
Dilihatnya si kakek muka lonjong hendak
membuka suara dengan kedua mata masih tak
berkedip.
Namun urung dilakukannya, karena
pada saat itu Sema Kuriang melangkah
masuk. Dewa Naga sudah mau membentaknya,
tetapi didahului oleh Sema Kuriang yang
berkata tenang, "Ada orang yang hendak
tunjuk ilmu di sini Markuto dan Gerada
tewas dengan leher putus"
★ ★ ★
3
DISAAT Sema Kuriang mengatakan
keadaan Markuto dan Gerada, saat ini Gala
Kuriang sedang menyipitkan matanya ke
depan. Dalam keremangan malam dia
melihat satu sosok tubuh kontet sedang
melangkah ke arahnya.
Dari menyipitkan matanya, mendadak
saja sepasang mata lelaki setengah baya
yang pada keningnya terdapat cebuah tahi
lalat, membesar. Saat itu pula dia merasa
tegang.
"Hantu Sejuta Setan!" desisnya
pelan dan dia berusaha untuk menenangkan
perasaannya.
Orang kontet yang ternyata seorang
perempuan itu makin lama makin mendekat.
Langkahnya santai saja, seperti tidak
tergesa ataupun memburu waktu. Tak lama
kemudian, dia telah tiba di hadapan Gala
Kuriang.
Sosok perempuan Ini lebih pendek
dari Dewa Tombak. Wajahnya dipenuhi
keriput dan berkulit hitam. Semakin
kelam karena pakaian yang dikenakannya
pun berwarna hitam, panjang hingga ke
mata kaki. Dan terbetah hingga batas
dengkul. Memperlihatkan sepasang kaki
hitam yang keriput. Kepalanya bulat
dengan rambut panjang acak-acakan hingga
pinggul. Hidungnya juga bulat dengan
bibir lebar tanpa gigi. Yang mengerikan
dari sosoknya adalah sepasang boia ma¬
tanya, yang menyala-nyala merah.
"Kudengar kabar.... Pendekar Lontar
sudah mampus!" kata Ratu Sejuta Setan
dengan suara cempreng. Kepalanya agak
ditengadahkan saat menatap tajam pada
Gala Kuriang.
Yang ditatap kembali menindih
gentarnya. Siapa pun sudah mengenal
sepak terjang ganas dari perempuan
kontet ini. Lalu dengan sikap tenang,
Gaia Kuriang menganggukkan kepalanya.
"Kabar yang kau dengar tidak salah.
Dan sungguh menakjubkan, kalau dari
tempat ini kabar itu menyebar ke tempatmu
yang sangat jauh."
Perempuan kontet itu mendengus.
"Minggir! Aku ingin lihat lelaki
yang selalu banyak tingkah itu!"
Sikap kurang ajar dan memandang
enteng yang diperlihatkan Ratu Sejuta
Setan, membuat Gala Kuriang menjadi
geram. Saat itu pula kegentarannya
lenyap.
"Siapa pun yang datang dengan maksud
baik dan bertujuan semata-mata
menyembangi Pendekar Lontar, pintu akan
selalu terbuka. Tetapi muncul dengan
memperlihatkan tingkah tengik dan tangan
telengas, apakah masih dapat dibukakan
pintu lebar-lebar untuk kehadirannya?I"
"Keparat, Apa yang kau maksudkan
dengan tangan telengas itu. Gala
Kuriang?I"
Gala Kuriang menunjuk mayat Markuto
dan Gerada yang telah terpisah dari
kepala masing-masing.
"Apakah kau mau memungkiri keadaan
dengan melihat kedua mayat ini?"
Ratu Sejuta Setan lagi-lagi
mendengus. Dia kembali berkata-kata, dan
karena tak memiliki gigi, pipinya jadi
semakin kempot,
"Aku cuma ingin tahu kehebatan dua
orang penjaga Ini! Menjadi penjaga
Pendekar Lontar tentunya memiliki ilmu
yang lumayan! Tapi dari jarak dua puluh
tombak, keduanya tak mampu menghalangi
lesatan angin yang kulepaskan!"
Makin mengkeiap Gala Kuriang
melihat tingkah Ratu Sejuta Setan, yang
selain memancing amarahnya juga enak
saja mengakui perbuatannya.
"Selama ini, aku tak pernah
memandang rendah pada perempuan kontet
berjuluk Ratu Sejuta Setan! Tetapi malam
ini, kedatanganmu sungguh menaikkan
amarah! Akulah yang menjadi penjaga
pintu rumah duka ini!"
Sepasang boia mata perempuan kontet
yang selalu menyala, mendadak bersinar
terang. Merah pekat.
"Bagus kalau kau memutuskan untuk
menjadi penjaga! Aku ingin lihat apakah
kau mampu menghalangi langkahku, atau
kau hanya menjadi orang ketiga yang malam
ini kubunuh!"
Habis ucapannya, mendadak saja Ratu
Sejuta Setan melingkarkan telunjuknya
pada ibu jarinya. Dengan tiga jari
lainnya yang terentang, dia mendorongnya
ke arah Gala Kuriang.
Gala Kuriang bukanlah anak kemarin
sore. Dengan saudara kembarnya dia sudah
cukup lama malang melintang di rimba
persilatan. Dengan mudahnya dia dapat
menghindari Sesatan sinar merah yang
berbentuk lingkaran. Namun yang
mengejutkannya, karena mendadak sontak
sinar merah berbentuk lingkaran itu
seperti sebuah bumerang berbalik arah!
Kali ini diiringi suara dengungan
keras.
"HeiiiitI"
Gaia Kuriang terkejut dan cepat
mengibaskan tangan kanannya. Serangkum
angin besar memutuskan gerakan sinar
merah berbentuk lingkaran Itu. Kalau
biasanya gelombang angin berbenturan
dengan tena-ga lain, akan menimbulkan
letupan, ini justru tidak.
Gala Kuriang memang mampu
memutuskan sinar merah berbentuk
lingkaran milik Ratu Sejuta Setan.
Tetapi yang terjadi kemudian, sinar
merah itu justru membesar dan merangkum
gelombang angin yang dilepaskan Gala
Kuriang. Menyusul. . . .
WrrrrrII
DesssII
Gelombang angin itu menghantam dada
pemiliknya sendiri yang terjengkang di
atas tanah dengan keluhan tertahan.
Ratu Sejuta Setan menggeram.
"Kau belum pantas menjadi seorang
penjaga! Bila kau tahu malu, seharusnya
kau sudah menjadi petani di
gunung-gunung!"
Lalu dengan enaknya Ratu Sejuta
Setan masuk ke rumah duka. Dia langsung
mengedarkan pandangannya pada
orang-orang yang berada di sana. Begitu
matanya berbenturan dengan tatapan Dewa
Naga, perempuan kontet ini segera
berkata,
"Rupanya Lembah Naga juga sudah
kebagian berita hingga penghuninya perlu
untuk datang! Padahal, seorang Pendekar
Lontar tak patut didatangi oleh tokoh
kenamaan!"
Lalu dengan santainya, perempuan
kontet berpakaian hitam in! melangkah
mendekat jenazah Pendekar Lontar. Dia
tak memandang sebelah mata pada Dewi
Lontar, Dewa Tombak, maupun Sema
Kuriang.
Ratu Sejuta Setan tak melakukan
gerakan apa-apa, hanya sedikit
berjingkat untuk melihat jenazah
Pendekar Lontar. Masih memandangi
jenazah dia berkata, "Tak kulihat Pusaka
Pendekar Lontar ada di sisinya! Orangnya
kini sudah mampus I Pusaka itu tentunya
tak berguna lagi untuknya I Aku datang
untuk mengambil pusaka itu!"
Tingkah menjengkelkan Ratu Sejuta
Setan membuat Dewi Lontar menggeram.
Perempuan yang masih menggendong Boma
Paksi yang masih tertidur, segera
berkata,
"Siapa pun yang datang dengan
baik-baik untuk menyambangi suamiku,
kuterima dengan tangan terbuka. Bila dia
datang untuk memancing persoalan,
silakan angkat kaki dari sini. Dan tunggu
beberapa hari lagi bila tak puas dengan
tindakan yang kulakukan!"
Ratu Sejuta Setan menyahut tanpa
menoleh, "Tanpa suamimu lagi di sisimu,
kau tak akan bisa berbuat banyak. Dewi
Lontar. Selama ini, orang hanya meman¬
dang suamimu yang memiliki iimu tinggi!
Sekarang, bila kau banyak tingkah, aku
tak akan segan untuk menampar mulutmu
sampai berdarah!"
Menggigil tubuh Dewi Lontar
mendengar kata-kata yang menyakitkan
itu. Dia sudah hendak bergerak, tetapi
begitu melihat Dewa Tombak menggelengkan
kepala, terpaksa dia surutkan niat. Hati
perempuan yang masih dilanda duka karena
kematian suaminya, kini berbalur
kemarahan tinggi terhadap Ratu Sejuta
Setan.
Masih tanpa berbalik, perempuan
kontet itu berkata lagi, "Kurasakan
gerakanmu itu. Dewi Lontar! Tapi mengapa
kau menahannya? Apakah kau sudah sadar
kalau Kau tidak memiliki kemampuan
apa-apa tanpa suamimu? Bagus kalau kau
sudah menyadari hal itu! Itu artinya, kau
sadar siapa dirimu sebenarnya! Sekarang,
berikan padaku Pusaka Pendekar Lontar!"
Di akhir kata-katanya. Ratu Sejuta
Setan membalilkkan tubuh. Bola matanya
menghujam dalam pada bola mata bening
Dewi Lontar. Dewi Lontar sesaat
mengkelap mendengar ucapan si perempuan
tua kontet. Tetapi dia tak buka suara.
Hanya mengerahkan tenaga dalam, karena
merasakan adanya gelombang tenaga yang
mencoba menerjang kedua matanya.
Tiba-tiba terdengar dengusan Dewa
Naga, keras. Disusul makiannya,
"Perempuan kontet! Kau datang dengan
sikap memuakkan! Ayo, tinggalkan tempat
Ini sebelum kau kutendang sampai
menggelinding! "
Tanpa mengalihkan pandangannya dari
Dewi Lontar, Ratu Sejuta Setan menyahut
dingin, "Silang sengketa tak pernah
kulakukan dengan orang Lembah Naga!
Tetapi kalau malam ini hendak buka
urusan, aku sudah siap menghadapi!"
"Eh! Brengsek kau ya?! Kau pikir kau
ini siapa, hah? Sudah kontet, banyak
lagak lagi! Kau mau tubuhmu kubuat lebih
kontet, hingga kau akan dijadikan sebuah
bola oleh anak-anak di sebuah dusun? Atau
kau...."
Bruuut!
Pantat Dewa Naga berbunyi. Kali ini
si kakek tak mempedulikan bunyi 'merdu'
itu. Dia berkata lagi, "Eh, tadi aku
ngomong sampai mana ya? Makan nasi uduk,
ya? Wah, bukan! 0 ya, kau ini masih mau
hidup atau tidak?! Masih mau... waduh!
Betul tidak sih memang itu yang mau
kukatakan? Brengsek betul!"
Kali Ini Ratu Sejuta Setan segera
memalingkan kepalanya. Dia mendongak dan
memandang tajam pada Dewa Naga. Yang
ditatap justru membelalakkan kedua
matanya.
"Busyet! Kau mencoba mengerahkan
tenaga dalam melalui matamu? Huh ! Apa kau
pikir kau sudah mampu melakukan hal itu,
hah?!" gerutunya Jengkel.
Lalu seiring bunyi dari pantatnya
lagi, mendadak saja sosok Ratu Sejuta
Setan terhuyung dua tindak ke belakang.
Saat itu pula darah merembas dari
sela-sela bibir kempotnya. Kejadian yang
tak disangka itu membuat gusar si
perempuan kontet. Mulutnya terlihat
berkemak-kemik tetapi tak ada suara yang
keluar.
"Wah! Kau hendak perlihatkan ilmu
sihirmu ya? Tak guna! Tak guna!" seru
Dewa Naga dengan bibir mencibir.
Lalu....
Bruuutt
Enak saja dia buang angin.
Sementara itu, Dewa Tombak
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak
menyukai tindakan yang dilakukan Ratu
Sejuta Setan. Datang-datang bersikap
kurang ajar dan menginginkan Pusaka
Pendekar Lontar. Dewa Tombak tahu, kalau
Pendekar Lontar memiliki sebuah benda
yang berbentuk gumpalan daun lontar.
Menurut cerita Pendekar Lontar di kala
masih hidup, gumpalan daun lontar yang
sejak bertahun-tahun ada padanya tetapi
masih tetap berwarna hijau segar, bila
direndam ke dalam air, maka akan
menyembuhkan penyakit apa pun juga. Dan
bila dilemparkan ke arah lawan, setinggi
apa pun ilmu lawan, maka tubuhnya akan
remuk terkena hantaman gumpalan daun
lontar yang sebesar kepalan tangan.
Yang menjengkelkannya, suasana duka
masih meliputi rumah itu, terutama hati
Dewi Lontar.
Sebelum Ratu Sejuta Setan bersuara,
kakek bertubuh buntal ini sudah berkata,
"Perempuan kontet... di tempat ini,
bukanlah tempat yang tepat untuk adu
ilmu. Bila kau penasaran... aku bisa
mewakili Dewa Naga...."
"Busyet! Orang buntal! Kau jangan
sok jago ya? Kau pikir aku tak mampu
menghadapinya?!" bentak Dewa Naga.
Dewa Tombak hanya mendengus, lalu
melangkah keluar sambil membawa
tombaknya. Langkahnya egal-egol.
Kata-kata Dewa Tombak sudah
menggelegakkan darah Ratu Sejuta Setan.
Dia berkata dulu pada Dewa Naga,
Tingkahmu malam ini, akan kuingat terus"
Lalu serunya pada Dewi Lontar, "Bila
dua puluh hari mendatang kau juga tidak
menyerahkan pusaka itu, jangan salahkan
aku bila kau akan segera menyusul
suamimu!"
Kemudian dia melangkah menyusul
Dewa Tombak keluar. Sema Kuriang sendiri
segera menyusul karena merasa heran,
mengapa saudara kembarnya belum muncul
juga.
Dewi Lontar yang dilanda gusar
menarik napas dalam-dalam. Hati
perempuan ini sangat masyguL. Hari Ini
dia sedang berduka dalam karena kematian
suaminya, tetapi tamu yang menyembangi
suaminya justru bersikap menjengkelkan.
Kendati demikian, Dewi Lontar dapat
memaklumi kejadian itu. Karena dia tahu,
begitu banyaknya orang-orang yang
mendendam pada suaminya, bahkan mungkin,
saat ini ada seseorang atau sekelompok
orang yang sedang berpesta merayakan
kematian suaminya.
Bruuutt!
Pantat Dewa Naga berbunyi lagi. Dia
mendengus jengkel pada dirinya sendiri.
Lalu berkata, "Kau tak perlu
menghiraukan perempuan kontet itu! Biar
Dewa Tombak menghajarnya! Tapi kalaupun
Dewa Tombak kalah, biar saja! Toh itu
sudah maunya sendiri!"
Dewi Lontar hanya tersenyum tipis.
Lalu memandangi jenazah suaminya. Saat
itu, putranya yang sejak tadi tertidur,
terbangun. Sejenak bocah ini menggeliat.
Lalu dia tersenyum pada Dewa Naga yang
menganggukkan kepala. Lalu dengan wajah
segar, seperti tidak terlihat kalau
sebelumnya dia lelap tertidur, bocah Itu
turun dari pelukan ibunya.
Begitu meiihat ayahnya terbujur di
atas dipan, dia segera melangkah
diiringi tatapan sedih dari Dewi Lon¬
tar. Sejenak bocah yang pada punggungnya
terdapat tato naga hijau memandangi
ayahnya.
Dia menoleh pada ibunya.
"Ibu...mengapa sejak pagi Ayah
tidak bangun-bangun juga? Mengapa
tidurnya lama sekali?"
Dewi Lontar sesaat merasa sesak pada
dadanya. Napasnya dirasakan putus.
Tetapi sebagai perempuan perkasa dia
masih dapat kendaiikan diri, kendati dia
ingin berteriak sekeras-kerasnya,
menumpahkan segala kepedihan di hatinya.
Lalu perlahan dia menjawab,
"Boma. .. . Ayahmu bukannya tertidur. .. . "
"Kalau tidak tertidur, mengapa Ayah
tidak bangun juga?" tanya si bocah dengan
kening berkerut.
Dewi Lontar lagi-lagi menahan
gemuruh di hatinya. Dipandanginya wajah
tampan putranya. Ketampanan yang
diwarisi dari suaminya.
Sambli memaksakan sebuah senyum.
Dewi Lontar menjelaskan apa yang telah
terjadi pada ayah Boma Paksi. Dia dengan
lembut menjelaskan begitu
sejelas-jelasnya.
Bocah itu ternyata cerdik. Dia dapat
memahami apa yang dikatakan ibunya. Tak
ada tangisan apa-apa kecuali sepasang
bola mata yang berkaca-kaca.
"Ketegaran bocah ini iuar biasa. Dia
paham apa yang dikatakan ibunya, kalau
dia tak akan pernah lagi melihat ayahnya
mulai besok. Tetapi dia dapat bersikap
tenang. Ah, rupanya... pencarianku
selama bertahun-tahun memang harus
kusudahi. Bocah itullah yang kucari
selama ini, bocah yang hadir dalam
mimpi-mimpiku. Tetapi... apakah Dewi
Lontar mau menyerahkannya kepadaku?"
Dewa Naga yang membatin tadi,
menggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin ini bukan saat yang tepat.
Tetapi, aku harus memintanya. Aku merasa
yakin, kalau jantung Pendekar Lontarlah
yang menyebabkan kematiannya. Bukan
karena penyakit, tetapi satu serangan
yang dilakukan seseorang. Hanya saja,
aku belum bisa memastikan, bagaimana
Pendekar Lontar yang memiliki ilmu 'Raga
Pasa' tidak mengetahui atau tidak dapat
menghindar kalau dirinya diserang.
Hemm... hanya Dewa Segala Obat yang
mengetahui penyebabnya secara pasti ..."
Sementara Itu, diluar telah
terdengar suara teriakan disusul letupan
berkali-kali. Saking kerasnya letupan
itu, orang-orang yang berada di dalam
rumah duka, agak bergetar karena lantai
yang mereka pijak pun bergetar.
Dewa Naga menggeram.
"Brengsek betul Ratu Sejuta Setan
itu! "
"Ibu.. . , " panggil Boma Paksi dengan
kening berkerut. "Apakah saat ini sedang
terjadi gempa seperti lima bulan yang
lalu?"
Dewi Lontar menggelengkan
kepalanya.
"Tidak, Anakku. Tidak terjadi gempa
apa-apa. Kau tak perlu menghiraukannya.
Sekarang, menyembahlah pada jenazah
ayahmu untuk terakhir kalinya...."
Boma Paksi masih mencoba merasakan
letupan keras yang kembali terjadi, yang
menyebabkan lantai yang dipijaknya
bergetar. Lalu suara....
GlegaaarrrI
Mungkin tembok yang mengelilingi
rumah itu sudah jebol. Entah akibat
serangan siapa.
Lalu dengan sikap tak mempedulikan
kejadian itu, bocah gagah yang pada kedua
tangannya sebatas siku dipenuhi
sisik-sisik halus warna coklat, segera
berlutut dengan merangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Dia berdoa
khusuk, khusus untuk arwah ayahnya.
Kakek muka lonjong memperhatikannya
tak berkedip. Samar-samar terlihat
senyuman bibirnya. Sikapnya itu tak
luput dari perhatian Dewi Lontar.
★ ★ ★
4
DILUAR rumah duka itu, Dewa Tombak
sedang berusaha melayani
serangan-serangan ganas yang
dilancarkan Ratu Sejuta Setan. Berulang
kali sinar-sinar merah melingkar yang
dilepaskan perempuan tua kontet itu
berhasil dihindarinya. Namun
sinar-sinar merah itu justru berpentalan
dan berbalik arah ke arahnya dengan
ganas. Bahkan sinar-sinar merah lainnya
naik ke atas, lalu muncrat menyebar dan
laksana hujan mengguyur Dewa Tombak.
Tanah di mana sebelumnya Dewa Tombak
berdiri, langsung meletup keras dan
muncrat ke udara.
Mendapati setiap serangannya dapat
dihindari oleh Dewa Tombak, perempuan
kontet berpakaian hitam itu semakin
ganas. Serangan demi serangannya terus
diiancarkan, yang membuat Dewa Tombak
mulai terdesak.
Kakek bertubuh gemuk ini pun muiai
dibuncah kemarahan. Tetapi meskipun
kemarahannya sudah tiba di ubun-ubunnya,
Dewa Tombak tetap tertawa-tawa.
"Selama ini kudengar. Ratu Sejuta
Setan memiliki ilmu yang sangat tinggi,
hingga berani melanglang buana dengan
ilmunya itu! Tetapi malam ini, aku
melihat sesuatu yang sangat lain dari
yang pernah kudengar I I"
"Terkutuk! Kau hanya bisa
melompat-lompat seperti bola ditendang
ke sana kemari!"
"Dan bola itu dapat menghindari
permainan anak kecil yang kau
perlihatkan!"
Ucapan Dewa Tombak semakin membuat
keganasan Ratu Sejuta Setan kian
menjadi-jadi. Kalau tadi sinar merah
yang dilepaskannya muncrat ke atas dan
turun laksana hujan, kali ini diiringi
gemuruh angin lintang pukang.
Dewa Tombak yang sejak tadi terus
menghindar, sesaat menahan napas melihat
ganasnya serangan lawan. Tombak birunya
mendadak saja diputar yang kecepatan
putarannya melebihi sebuah
baling-baling. Diiringi gemuruh angin
yang menderu-deru, bermuncratanlah
sinar-sinar biru yang mengandung hawa
panas.
Jlegaaarrr!
Bertemunya dua gelombang angin
dahsyat itu menimbulkan letupan yang
keras, diiringi muncratnya tanah
keudara. Saking kerasnya lagi-lagi
tempat itu seperti bergetar. Dinding
tembok yang mengelilingi rumah duka,
bagian depannya kontan roboh. Mengiringi
letupan keras itu, bermuncratanlah
sinar-sinar merah yang berbenturan
dengan sinar-sinar biru. Malam pekat
laksana dihiasi kembang api.
Berulang-ulang.
Begitu muncratan sinar-sinar itu
jatuh ketanah, terdengar
letupan-letupan kecil. Namun akibatnya,
tanah bermuncratan secara bersamaan!
Di tempatnya. Gala Kuriang yang
masih menahan sakit, memandang tak
berkedip pada Ratu Sejuta Setan. Saudara
kembarnya yang kini tahu mengapa Gala
Kuriang tidak segera masuk tadi,
menyipitkan mata.
Gelegak amarah sudah terpampang di
depan matanya.
"Gala Kuriang. . . nenek kontet itu
sudah menunjukkan sikap yang tidak baik.
Dia bukan hanya buka ucapan yang
menyakitkan hati, terutama hati Dewi
Lontar. Tetapi sekarang, dia justru
menimbulkan keonaran di sini...."
Gala Kuriang menganggukkan
kepalanya.
"Sikap Iblis Penghancur Raga dan
Iblis Telapak Darah pun tak mengenakkan
hati, tetapi mereka tak sampai
menimbulkan keributan. Lain halnya
dengan perempuan tua kontet satu ini."
Sema Kuriang melirik saudara
kembarnya.
"Apakah kau tak ingin menuntut balas
atas perlakuannya terhadapmu?"
Sesungguhnya Gala Kuriang sudah tak
bisa menahan diri untuk membalas
perbuatan Ratu Sejuta Setan tadi. Tetapi
agaknya, lelaki setengah baya yang pada
keningnya terdapat tahi lalat hitam,
masih dapat mengendalikan amarahnya.
"Sebelum kedatangannya tadi, kita
sudah menyetujui, untuk menjemput Dewa
Segala Obat. Orang tua yang mengerti
bermacam penyakit dan pemunahnya itu,
harus tiba di sini sebelum matahari
sepenggalah besok pagi. Karena, upacara
penguburan akan dilakukan besok. Bila
ternyata dia tidak bisa datang ke sini,
berarti kita tak punya rasa curiga lagi
akan penyebab kematian Pendekar
Lontar
"Dewa Naga sempat mengucapkan kata
Menara Berkabut. Aku yakin, sesungguhnya
kakek muka lonjong bersisik hijau itu
sudah mencurigai sesuatu."
"Tetapi kau tentunya tahu akan sifat
Kakang Segala Jaka. Orang itu memiliki
sifat angin-anginan. Sudah tentu kita
tak akan pernah mendengar apa yang
diketahuinya... Kalaupun kita berhasil
mendengar dari mulutnya, mungkin karena
sifat baiknya lagi muncul...."
Sema Kuriang tak membuka mulut, dia
melihat Ratu Sejuta Setan kembali
melancarkan serangannya pada Dewa Tombak
yang membalas dengan tombak birunya itu.
Lalu katanya pada saudara
kembarnya, "Ya... sebaiknya kita segera
menjemput Dewa Segala Obat...."
Kejap berikutnya. Dua Serangkai
Jubah Hijau sudah melesat meninggalkan
tempat itu. Gala Kuriang berlari dengan
masih menahan rasa sakit.
★ ★ ★
Pertarungan sengit yang terjadi di
depan rumah duka itu semakin mengganas.
Ratu Sejuta Setan semakin menggila. Dia
benar-benar jengkel karena setiap kali
melancarkan serangan, setiap kali pula
dapat dilumpuhkan oleh Dewa Tombak.
Bahkan, satu tendangan yang
dilancarkan oleh Dewa Tombak, tepat
mengenai perutnya, hingga perempuan tua
kontet itu terjengkang.
Pakaian hitam yang dikenakannya
tersingkap!
Dewa Tombak yang sudah hendak
melancarkan serangan, justru
menghentikan gerakannya. Saat lain dia
berpaling sambil menutup mata dengan
tangan kirinya.
"Astaga! Kau tidak pakai apa-apa di
balik pakaianmu itu?! Astaganaga! Rumput
keringmu hitam betul! Kupikir... kau
tidak punya kue cucur seperti kebanyakan
perempuan! Sudah peot kali, ya?! Duh!
Baunya begitu busuk! Tidak pernah kau
cuci apa tidak pernah disentuh pacul
laki-laki?!"
Bukan kata-kata itu yang membuat
Ratu Sejuta Setan semakin mengkelap.
Tetapi tendangan yang bersarang telak
pada perutnya yang seketika dirasakan
seperti diaduk-aduk tangan kasar.
Sebenarnya dia cukup heran sekaligus
terkejut, karena dia sama sekali tak
melihat Dewa Tombak lepaskan tendangan.
"Hei, hei! Kau masih pamerkan kue
cucurmu tidak? Cepat tutupi! Nanti
keburu banyak lalat!"
"Terkutuk!" maki Ratu Sejuta Setan
geram. Paras hitamnya nampak semakin
menghitam. "Kakek gemuk keparat! Untuk
saat ini, kuputuskan untuk menghentikan
pertarungan! Tetapi tak akan pernah
kulupakan kejadian ini!"
Masih berpaling dan menutupi kedua
matanya dengan telapak tangan kirinya.
Dewa Tombak berseru,
"Tidak melupakan ya tidak
melupakan! Tapi kau sudah menutupi
belum? Baunya sungguh tak sedap nih!"
"Setan buntal! Selama dua puluh hari
di muka, kau masih kuberi kesempatan
hidup! Katakan pada Dewi Lontar, bila dia
tak menjumpaiku di Tanah Terbuang, dia
tak akan pernah menikmati cahaya
matahari pada hari kedua puluh satu!
Demikian pula denganmu!"
"Iya, iya! Tapi... kau sudah
menutupi kue cucur hangus itu apa
belum?!" seru Dewa Tombak keras.
Ratu Sejuta Setan merutuk
sehabis-habisnya mendengar kata-kata
Dewa Tombak. Tetapi perempuan kontet ini
tak melakukan serangan. Sedikit
banyaknya, dia dapat menduga kalau dia
akan sulit menghadapi Dewa Tombak.
"Sambil menunggu dua puluh hari di
muka, sebaik nya aku ke Menara Berkabut.
Aku yakin, dialah yang telah membunuh
Pendekar Lontar...."
Habis membatin demikian, dengan
membawa sejuta kemarahannya, perempuan
tua kontet berkulit hitam legam itu sudah
melesat menjauh.
Dewa Tombak yang mendengar
lesatannya berseru, "Heiii ! Bau busuknya
masih tertinggal, nih?! Kau harus
mensucikan kembali tempat ini dari bau
kue cucurmu I I"
Ratu Sejuta Setan tak menghiraukan
seruan ejekan itu. Dia mendesis
berulang-ulang, "Kau akan menerima
balasannya... kau akan menerima
balasannya...."
Di tempatnya. Dewa Tombak hanya
menggeleng-gelengkan kepala sambil
tertawa.
"Dua puluh hari di muka. . . perempuan
kontet itu tentu akan menjalankan
janjinya.... Hemm. rasanya, aku tak
perlu menyampaikan urusan ini pada Dewi
Lontar. Biarlah aku yang akan datang ke
Tanah Terbuang pada hari kedua puluh."
Habis membatin demikian, kakek
bertubuh bulat berpakaian biru ini
memperhatikan mayat Markuto dan Gerada
yang tanpa kepala. Ada kepedihan di
hatinya. Lalu sambil menarik napas
pendek, dia muiai menggali makam untuk
keduanya dengan tombak birunya.
Di dalam rumah duka, Boma Paksi
masih berlutut dihadapan jenazah
ayahnya. Dewa Naga masih memperhatikan
tak berkedip. Matanya yang bersinar
merah berwibawa dalam, seperti
mengandung kekuatan yang tak bisa
dihindari.
Lalu tanpa menoleh pada Dewi Lontar,
kakek muka lonjong penuh sisik hijau ini
berkata, "Dewi Lontar... nampaknya Sang
Pencipta telah melakukan satu pilihan
utuh yang sangat sempurna. Pilihan yang
telah dijatuhkan pada keluargamu...."
"Apa maksudmu dengan pilihan itu.
Dewa Naga?"
"Bertahun-tahun lamanya aku
bermimpi. Mimpi aneh yang membuatku
semakin tak mengerti. Tetapi
bertahun-tahun pula kupaksakan diri
untuk mencari titik temu dari mimpiku
itu. Dan baru sekarang ini, kuhentikan
semua pencarianku...."
"Aku sama sekali tak mengerti apa
yang kau maksudkan, Dewa Naga?"
"Dewi Lontar. . . aku tak tahu, apakah
kau tahu makna dari tato naga hijau yang
terdapat pada punggung putramu atau
tidak. Tetapi, bocah dengan gambar tato
seekor naga hijau pada punggungnya, yang
dibawa sejak lahir itulah yang selalu
datang dalam mimpi-mimpiku...."
Kening Dewi Lontar berkerut. Dia
melirik Boma Paksi yang masih berlutut di
samping jenazah suaminya.
"Aku belum mengerti...."
"Memang sulit bila kujelaskan,"
kata Dewa Naga. Ketika dia hendak
menyambung, dia urung. Karena...
bruuutt!
"Busyet! Nih pantat tidak bisa
diaj ak diam?!"
Dewi Lontar hanya memperhatikan.
"Kesaktian yang dimilikinya tiada
banding. Sulit mencari tandingan tokoh
satu ini. Tetapi sifat angin-anginannya
masih saja terlihat," katanya dalam
hati .
"Menjelaskannya saat ini pun, bukan
saat yang tepat. Tetapi telah kubulatkan
tekad, bila aku berjumpa dengan bocah
yang hadir dalam setiap mimpiku... aku
akan mengangkatnya menjadi seorang
murid."
Mendengar kata-kata Dewa Naga,
kepala Dewi Lontar terangkat. Sepasang
mata perempuan perkasa itu membulat dan
mengerjap-ngerjap. Dia tahu arah ucapan
si kakek berjubah merah.
"Dewa Naga. . . aku dan suamiku pernah
berangan-angan, bila putra kami sudah
berusia enam tahun, maka dia mulai kami
gembleng untuk mewarisi segala ilmu yang
kami miliki. Kendati suamiku sudah
tiada. aku tetap akan mewujudkan
angan-angan kami itu. Jadi... aku pikir,
biarlah putraku, si Boma Paksi tetap
bersamaku...."
"Aku tak pernah memaksa. Bila kau
tak menyetujuinya... aku akan menurut
saja ...."
"Terima kasih atas pengertianmu...."
"Satu hal yang harus kukatakan
sebelum kutinggalkan tempat ini...
adalah tentang penyebab kematian
suamimu. Mungkin Dewa Segala Obat yang
dapat menjelaskan lebih rinci. Tetapi
telah kutangkap sesuatu yang tak
mengenakan, sesuatu yang menyesakkan
dada...."
Terbuka kedua mata Dewi Lontar.
"Dewa Naga... apakah yang kau
maksudkan, kalau suamiku tewas dibunuh
seseorang?"
"Ya! Pada balik jantungnya,
terdapat sebuah titik hitam yang telah
menghanguskan sebagian jantungnya.
Jantung bagian atas masih utuh dan tetap
normal, tetapi bagian bawahnya telah
menghitam. Aliran darah tak bisa
mengalir secara sempurna. Dan aku yakin,
suamimu tewas tanpa mengetahui apa
penyebabnya. Itulah yang agak kusesali
sebenarnya, selain kematian yang
merenggut nyawa suamimu...."
"Kau tahu apa penyebabnya?" Dada
perempuan perkasa itu bergetar.
"Hanya Dewa Segala Obat yang bisa
menerangkannya...," sahut si kakek muka
lonjong. Lalu sambungnya, "Kendati
begitu... aku tahu siapa yang telah
melakukannya...."
"Okh! Kau tak mau mengatakan
penyebab kematiannya, sekarang, apakah
kau juga tidak mau mengatakan siapa yang
telah melakukannya?"
"Aku menginginkan putramu menjadi
muridku. Karena, niat telah kucanangkan.
Bila aku mendustai apa yang selama ini
kucari... berarti aku tak pernah
menghargai diriku sendiri... Satu hal
yang perlu kuceritakan padamu. Sisik
yang ada pada tubuhku ini bermula setelah
aku menguasai ilmu-ilmu naga. Sisik ini
bertumbuhan dan semakin lama semakin
jelas. Tetapi sisik-sisik coklat pada
kedua tangan putramu sebatas siku telah
dibawanya dari lahir. Dewi Lontar... aku
telah berniat untuk menggembleng
putramu. Karena... dialah satu-satunya
orang yang tepat untuk kujadikan sebagai
penerus ilmu yang kumiliki."
Kata-kata Dewa Naga membuat Dewi
Lontar terdiam. Perempuan perkasa ini
diliputi kebimbangan dalam. Di satu
segi, dia ingin sekali mengetahui
penyebab kematian suaminya dan siapa
orang yang telah melakukannya. Tetapi di
segi lain, dia tak mau berpisah dengan
putranya. Apalagi sekarang, dia hanya
memiliki Boma Paksi seorang.
Lalu dengan membesarkan hati dia
berkata, "Maafkan aku... aku terpaksa
memilih untuk tidak mengetahui siapakah
orang yang telah membunuh suamiku."
"Itu lebih baik!" suara Dewa Naga
terdengar agak serak.
"Dan aku berharap. Dewa Segala Obat
mau mengatakannya."
"Mudah-mudahan...."
"Sayangnya, aku merasa tak bisa
menghargaimu lagi. . . . "
"Itu hakmu. Dewi Lontar, aku
terpaksa pamit sekarang. Aku tak bisa
menghadiri pemakaman suamimu besok.
Tiba-tiba saja aku merasa sedih, karena
kau menolak permintaanku...."
"Maafkan aku. Orang Tua..."
Dewa Naga tak menjawab. Dibalikkan
tubuhnya dan hendak melangkah.
"Kakek" panggilan si kecil itu
urungkan niatnya melangkah.
Dewa Naga tak berpaling.
"Ada apa?"
"Hendak ke manakah kau?" tanya si
kecil Boma Paksi.
"Aku akan kembali ke Lembah Naga."
"Besok ayahku akan dimakamkan, kau
tak ingin hadir dalam upacara
pemakamannya?"
"Aku tak biasa melakukan hal itu."
"Mengapa?"
"Karena aku memang tak biasa
melakukannya sahut Dewa Naga, lalu
melangkah keluar.
Dewi Lontar merangkul putranya yang
mencoba memanggil si kakek muka lonjong.
"Biarkan dia, Boma."
"Ibu... aku menyukai kakek itu. Dia
lucu. Pantatnya selalu berbunyi terus.
Mukanya memang galak tetapi dia baik
hati. Aku dapat merasakannya, Ibu. Pada
wajah dan tubuhnya ada sisik hijau!"
"Ibu pun menyukainya," sahut Dewi
Lontar sambil mengangguk. "Tetapi
seperti yang dikatakannya tadi, dia
mungkin memang tak biasa menghadiri
upacara pemakaman...."
"Padahal, aku mau ikut dengannya.
Ibu...."
Dewi Lontar tercekat mendengar
kata-kata putranya. Sesaat
dipandanginya wajah tampan Boma Paksi.
Lalu hati-hati diliriknya tato naga
hijau yang terdapat pada punggung
putranya, yang telah ada sejak dia
dilahirkannya.
"Mungkin... kelak kau akan ikut
dengannya, Boma.... Tetapi untuk saat
ini... sebaiknya kau menemani Ibu saja."
Boma Paksi tersenyum.
"Ibu... sampai kapan pun aku akan
menemani Ibu. Aku akan menjaga Ibu. Ayo
kita berdoa untuk Ayah...."
Sementara kedua ibu dan anak itu
berlutut di samping jenazah orang yang
mereka cintai. Dewa Naga sedang
mendengus tatkala berpapasan dengan Dewa
Tombak yang sedang melangkah masuk.
Pertanyaan Dewa Tombak tak disahutinya
sama sekali. Tetapi pantatnya berbunyi.
Bruuuttt
Dewa Tombak menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lalu masuk ke dalam. Dia
melihat Dewi Lontar sedang berdoa khusuk
bersama bocah gagah berusia lima tahun
itu.
Ditunggunya beberapa saat sampai
Dewi Lontar menyadari lagi kehadirannya.
Perempuan jelita yang berkalungkan
rangkaian daun lontar itu meliriknya
sejenak, lalu kembali menatap putranya
yang masih khusuk berdoa.
Dewa Tombak berbisik, "Mengapa
orang tua bersisik itu kelihatan gusar?"
Dewi Lontar sejenak menatap kakek
gemuk di sampingnya. Lalu diceritakan
apa yang kira-kira membuat Dewa Naga
kecewa.
Dewa Tombak hanya mengangguk-angguk
mendengar penjelasan istri mendiang
Pendekar Lontar.
"Yah... siapa pun pasti akan merasa
kecewa bila keinginannya ditolak.
Terutama, setelah memastikan kalau dia
akan mengangkat seseorang menjadi murid,
yang dapat diharapkan sebagai pewaris
dari seluruh ilmu yang dimilikinya."
★ ★ ★
5
MALAM terus beranjak, keheningan
tetap terjaga. Dua pertiga perjalanan
malam telah terlampaui. Dua bayangan
kuning terus berkelebat. Saat berkelebat
cepat, masing-masing orang yang di
punggung terdapat jubah warna hijau itu
tak ada yang buka suara. Mereka bukan
lain adalah Dua Serangkai Jubah Hijau.
Kendati mereka masih memikirkan tingkah
Ratu Sejuta Setan, tetapi mereka merasa
yakin kalau Dewa Tombak dapat
mengatasinya. Lagi pula, di sana masih
ada Dewa Naga yang meskipun memiliki
sifat angin-anginan namun tak seorang
pun yang menyangkal kesaktian yang
dimilikinya.
Dua Serangkai Jubah Hijau sengaja
mempergunakan ilmu lari mereka hingga
yang nampak hanyalah bayangan belaka.
Mereka berharap, sebelum malam punah,
mereka sudah tiba di kediaman Dewa Segala
Obat.
Tetapi, dua sosok tubuh yang berdiri
sejarak dua puluh langkah dari saat
mereka berlari, membuat keduanya saling
pandang. Semakin dekat, mereka mengenali
siapa dua lelaki yang berdiri menghadang
itu. Dan mau tak mau keduanya harus
menghentikan lari.
Baru saja mereka menghentikan lari
dan berdiri sejarak sepuluh langkah dari
keduanya, lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun yang kepalanya botak
ditengah tetapi rambut lainnya panjang
tergerai ke belakang, sudah keluarkan
dengusan.
"Beberapa saat lalu, bukanlah saat
yang tepat untuk unjuk gigi! Tetapi di
sini, tanpa sosok Dewa Naga maupun Dewa
Tombak, kegatalan tanganku harus segera
dihentikan I"
Dua Serangkai Jubah Hijau
berpandangan. Sema Kuriang berkata
dingin, "Iblis Penghancur Raga! Kalau
kau merasa beberapa saat lalu, tepatnya
di rumah mendiang Pendekar Lontar, kau
memutuskan untuk tidak cari keributan,
kami juga memutuskan, saat ini pun bukan
saat yang tepat untuk melakukannya!"
Lelaki yang jenggotnya dikepang itu
menggeram. Tangan kurusnya yang terdapat
gelang-gelang hitam menuding ke arah
Sema Kuriang.
"Malam sebentar lagi berlalu! Aku
ingin menikmati kematian kalian sebelum
pagi datang!"
Kata-kata lelaki berompi biru yang
memang Ib;is Penghancur Raga membuat
dada Sema Kuriang dilanda amarah.
Tatapannya menyipit dan siratkan
keangkeran. Tetapi mengingat dia dan
saudara kembarnya harus segera menemui
Dewa Segala Obat, Sema Kuriang berusaha
agar tidak terjadi pertikaian sekarang.
"Tak pernah terpikirkan saat ini aku
atau saudara kembarku akan tewas! Tetapi
bila memang ajal telah diturunkan oleh
Sang Kuasa, tentunya tak akan bisa
ditolak! Hanya saja... tangan maut yang
kau turunkan, bisa-bisa, kembali pada
dirimu sendiri!"
Lelaki berjubah hitam berkepala
plontos, dan terdapat tanda matahari
tepat di ubun-ubunnya, angkat bicara,
"Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus
berlama-lama lagi! Siapa orang yang kau
pilih untuk kau bunuh saat ini?!"
"Aku memilih orang yang banyak omong
itu! "
Habis ucapannya, lelaki berjenggot
dikepang itu sudah menggebrak ke arah
Sema Kuriang. Dari gelombang angin yang
mendahului lesatan tubuhnya, jelas kalau
dia sudah mengerahkan setengah dari
tenaga dalam yang dimilikinya.
Sema Kuriang menjerengkan matanya.
Mulutnya merapat dingin. Saat itu pula
dikibaskan kedua tangannya ke atas.
Segera menggebrak satu pusaran angin
yang menyeret dan membuat tanah
membubung.
Iblis Penghancur Raga hanya
mendengus. Tak surutkan kecepatannya.
Begitu dekat, segera ditepukkan kedua
tangannya.
Blaaaarr!
Letupan keras terdengar dan
menyusul munculnya gelombang angin yang
masuk dalam pusaran gelombang angin Sema
Kuriang.
Blaaam! Blaaam! Blaaam!!
Tiga kali letupan terdengar keras
disertai muncratan tanah ke udara.
Tatkala sirap, terlihat masing-masing
orang sudah mundur beberapa langkah.
Kalau Iblis Penghancur Raga berdiri
dengan kepala terangkat angkuh, Sema
Kuriang agak sempoyongan. Tangan
kanannya memegang dadanya yang terasa
sesak.
"Gila! Dia telah mengeluarkan ilmu
'Penghancur Raga'nya. Uh! Bila aku belum
tamengkan diri dengan hawa murni, entah
apa jadinya!"
"Ilmu yang kau miliki tak seberapa!
Tetapi kau sudah berani unjuk gigi di
hadapanku".
Dengan memperlihatkan ketenangan,
Sema Kuriang menyahut, "Kau baru melihat
sebagian kecil dari ilmu yang kumiliki!"
"Bagus! Perlihatkan semuanya
kepadaku!"
Bersamaan Iblis Penghancur Raga
menggebrak kembali, lelaki berkepala
plontos pun menerjang Gala Kuriang.
Kedua telapak tangannya diangkat
tinggi-tinggi saat menerjang dan
mendadak diturunkan dengan cara
menyentak.
Angin dibaluri asap merah melesat ke
arah Gala Kuriang. Dengan cara yang
dilakukan oleh Sema Kuriang tadi. Gala
Kuriang berhasil memutuskan serangan
lawan. Iblis Telapak Darah mundur dengan
cara bersalto. Begitu kedua kakinya
menginjak tanah kembali, tiba-tiba saja
terlihat kedua telapak tangannya
memancarkan sinar warna merah. Lalu
terlihat tetesan darah dari sana. Angker
dan menyebarkan bau busuk.
Gala Kuriang tahu, kalau lawan tak
mau bertindak ayal. Maka dia segera putar
kedua tangannya ke atas. Lalu
meletakkannya pada dada. Samar-samar
terlihat sinar kuning menyelubungi
dirinya.
"Huh! Ilmu picisan itu kau
perlihatkan kepadaku!" bentak Iblis
Telapak Darah.
Kejap kemudian dia sudah menerjang
ke depan. Kedua telapak tangannya yang
meneteskan darah, didorong ke atas.
Sinar merah bergelombang muncrat.
Mengeluarkan suara berdenging
menggiriskan.
Tindakan yang dilakukan oleh Iblis
Telapak Darah sesaat membuat kening Gala
Kuriang berkerut. Dia masih tetap
berdiri di tempatnya. Kejap berikutnya,
lelaki berjubah hijau ini berteriak
tertahan dan segera melompat dari
tempatnya.
Karena muncratan sinar merah yang
masih meneteskan darah mendadak meluncur
ke arahnya, berkelok-kelok dengan suara
berdenging-denging.
JgaaarrrII
Tanah di mana tadi Gala Kuriang
berdiri, langsung retak lebar. Tempat
sepi itu bergetar laksana hendak am bias
ke bumi. Yang lebih mengejutkan lagi.
karena sinar merah yang meneteskan darah
Itu mendadak muncrat kembali ke udara.
"Gila!" seru Gala Kuriang keras.
Menyusul diputar tubuhnya membentuk
pusaran cepat. Sinar kuning yang
membaluti dirinya berpentalan menerjang
sinar-sinar merah yang meneteskan darah.
Letupan beruntun terjadi berkali-kali.
Di pihak lain, Iblis Penghancur Raga
terus mendesak Sema Kuriang yang kini tak
berani berbenturan. Karena tadi
dilihatnya, bagaimana sebatang pohon
langsung menjadi debu tatkala telapak
tangan kanan Iblis Penghancur Raga
menyentuhnya.
Pertarungan sengit yang tak dapat
dihindari, membuat tempat itu
benar-benar dilanda kiamat. Dalam waktu
singkat saja, tanah sudah banyak yang
retak dan rengkah. Pepohonan sudah
hangus menjadi debu hingga tempat itu
kini berubah menjadi tanah lapang yang
porak poranda.
Saat ini Gala Kuriang sudah
kewalahan. Kaki kanannya terhantam
telapak tangan kiri Iblis Telapak Darah.
Sakitnya tak tertahankan. Rasanya
tulangnya patah dan menembus ke
belakang. Tetapi Gala Kuriang masih coba
bertahan. Karena dia sadar, lengah
sedikit saja berarti kematian.
"Sungguh menyenangkan karena kau
akan mampus hari ini ! " seru Iblis Telapak
Darah sambil tertawa-tawa. "Kami hadir
untuk membunuh Pendekar Lontar
sebenarnya! Tetapi pendekar keparat itu
sudah mampus I Dan kau telah membuat darah
kami mendidih! Kau akan terbakar oleh
didihan darah kami ini!"
Gala Kuriang tak menyahuti ejekan
Iblis Telapak Darah. Dengan susah payah
dia terus berusaha menghindari ganasnya
serangan lawan. Namun dengan kaki kanan
yang semakin sakit, terutama bila dia
gerakkan, keadaannya menjadi lintang
pukang dan tak menentu.
Sema Kuriang bukannya tidak
mengetahui apa yang dialami oleh saudara
kembarnya. Tetapi untuk menolong,
rasanya agak sulit karena dia sendiri
sudah masuk dalam lingkaran serangan
Iblis Penghancur Raga.
Dia hanya bisa melompat menghindari
maut yang diturunkan Iblis Penghancur
Raga. Bahkan, dia sudah terdesak tatkala
lelaki tua berjenggot dikepang itu masuk
dengan kibasan tangan kanan dan kiri.
"Tak lagi kubayangkan betapa
nikmatnya melihat kau mampus, karena ini
adalah kenyataan sekarang!"
Namun mendadak saja, sosok Iblis
Penghancur Raga yang sudah siap
menurunkan tangan mautnya, terlempar ke
belakang laksana sehelai daun dihantam
angin. Sosok lelaki itu kehilangan
keseimbangan. Dia ambruk dengan keluhan
tertahan.
"Setan keparat! Siapa yang berani
campur tangan dalam urusanku?!"
bentaknya keras. Tetapi tak seorang pun
yang muncul di sana kecuali orang-orang
yang telah berada sebelumnya.
Sema Kuriang sendiri mundur dengan
kepala memandang ke kanan kiri. Dia juga
tak melihat siapa pun kecuali saudara
kembarnya yang terdesak ganasnya
serangan Iblis Telapak Darah.
Dan kejadian aneh yang dialaminya
tadi terulang pada saudara kembarnya.
Karena iblis Telapak Darah tahu-tahu
terbanting di atas tanah, hampir
berjajar dengan Ibiis Penghancur Raga
yang sudah bangkrt.
"Keparat! Siapa pelaku jahanam yang
mau mampus ini?!" serunya sambil menahan
sakit pada perutnya.
"Hati-hati... orang ini tentunya
bukan orang sembarangan. Dia dapat
menjatuhkan kita dengan mudah, tetapi
sosoknya belum nampak...," kata Iblis
Penghancur Raga.
"Peduli setan Hatiku belum puas bila
belum melihat dua cecunguk Itu mampus ! "
seru Iblis Telapak Darah keras. Lalu
tanpa menghiraukan apa yang terjadi
dengannya barusan, dia menerjang ke arah
Gala Kuriang!
Namun lagi-lagi sosoknya terpental
ke belakang.
"Aaaakhhh!!" Bersamaan teriakan
kesakitan itu, darah menghambur dari
mulutnya. Lalu...
brrrugg
Sosoknya terbanting keras di atas
tanah.
"Jangan gegabah!" desis Iblis
Penghancur Raga sambil memperhatikan
sekelilingnya. "Kita belum tahu siapa
orang lancang ini. Tapi gelagatnya, dia
memiliki ilmu yang tak bisa dipandang
sebelah mata."
Kebuasan Iblis Telapak Darah
berangsur turun. Dia juga merasa jeri
sekarang.
"Apa yang harus kita lakukan?
Padahal kedua cecunguk itu sudah di
ambang kematian?"
"Untuk saat ini, kita terpaksa tunda
keinginan. Sebelum kita mengetahui orang
lancang itu masih akan mencampuri urusan
kita atau tidak, kita tak bisa
bertindak
Iblis Telapak Darah menggeram.
Pandangannya dingin terarah pada Dua
Serangkai Jubah Hijau yang juga tak
mengerti, siapakah orang yang telah
menolong mereka.
Tiba-tiba Iblis Telapak Darah
mendesis, "Untuk saat ini, kalian masih
dapat hidup lebih lama. Tetapi jangan
berharap, kelak kalian masih dapat
hidup!"
Kejap kemudian, lelaki berjubah
hitam itu sudah berkelebat meninggalkan
tempat itu, disusul oleh Iblis
Penghancur Raga.
Sepeninggal keduanya. Dua Serangkai
Jubah Hijau saling mendekat.
"Siapa kira-kira orang yang telah
menyelamatkan kita?"
"Gala Kuriang... bukan hanya kau
yang tidak tahu, aku pun tidak tahu.
Tetapi kalau orang itu dapat menghalangi
serangan ganas kedua durjana tadi tanpa
diketahui berada di mana, sudah jelas dia
bukan orang sembarangan. Kau lihat
sekeliling, sudah tak ada lagi tempat
bersembunyi."
Gala Kuriang mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Ya! Kita memang tak perlu menunggu
sampai orang yang telah menolong kita
muncul. Mudah-mudahan orang itu
mengerti, kalau kita sebenarnya sangat
berterima kasih. Di samping itu, kita
memiliki waktu yang sangat terbatas.
Kita harus segera menemui Dewa Segala
Obat. Yah... sekaligus meminta
bantuannya akan luka yang kita
alami.
"Bagaimana dengan kaki kananmu?"
"Walau sakitnya tak terkira, aku
masih sanggup untuk berlari cepat...."
Tiga tarikan napas berikutnya. Dua
Serangkai Jubah Hijau sudah meninggalkan
tempat itu. Mereka tak mau mengambil arah
yang ditempuh oleh Iblis Penghancur Raga
dan Iblis Telapak Darah. Jadi, walaupun
agak memutar, mereka merasa lebih aman
ketimbang berjumpa lagi dengan Iblis
Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah.
Lima betas kejapan mata kemudian,
entah darimana datangnya, satu sosok
tubuh tahu-tahu telah berdiri di tempat
itu. Kakek berjubah merah yang rambut
putihnya diikat ekor kuda ini menggerutu
panjang pendek.
Lalu terdengar bunyi keras dari
pantatnya.
Bruuut!
"Huh! Untung dugaanku tepat!
Makanya kuputuskan untuk meninggalkan
rumah duka itu! Karena aku merasakan,
kalau Dua Serangkai Jubah Hijau akan
mendapat halangan dari Iblis Penghancur
Raga dan Iblis Telapak Darah!"
Si kakek yang ternyata Dewa Naga dan
membuat Iblis Penghancur Raga serta
Iblis Telapak Darah keheranan akibat
serangan yang dilakukannya, kembali
menggerutu panjang pendek. Kumis putih
panjangnya yang menjulai hingga ke bahu
itu bergerak-gerak.
"Sebenarnya tak ada gunanya
memanggil Dewa Segala Obat untuk
mengetahui penyebab kematian Pendekar
Lontar. Aku tahu siapa yang
melakukannya. Hantu Menara Berkabut.
Huh! Seharusnya kukatakan saja pada Dewi
Lontar siapa yang telah membunuh
suaminya. Tetapi kalau ditanya,
bagaimana caranya, pusing juga aku
menjawabnya. Betul juga tindakan kakek
buntal itu. Hanya Dewa Segala Obat yang
mengetahui bagaimana caranya Pendekar
Lontar terbunuh. Sementara aku hanya
tahu kalau dia mati dibunuh oleh Hantu
Menara Berkabut! Brengsek betul!"
Si kakek kembali uring-uringan
sendiri, lalu berseru keras dengan wajah
jengkel, "Keparat! Seharusnya kudatangi
saja Menara Berkabut sekarang. Akan
kugebuk penguasanya sampai dia minta
ampun. Tapi...," si kakek terdiam
sejenak, lalu melanjutkan, "Aku tak
berhak sama sekali untuk itu. Yang berhak
melakukannya adalah Dewi Lontar. Atau...
ya, ya... si Boma Paksi. Kalau begitu...
aku akan tetap mengambilnya untuk
kujadikan murid. Dalam mimpiku, kelak
bocah yang pada punggungnya terdapat
seekor naga hijau dan kedua tangan
sebatas siku terdapat sisik coklat, akan
menjadi seorang pendekar besar. Bocah
itu sungguh luar biasa. Dia terlahir
dengan sisik coklat dan tato naga hijau.
Yah! Aku harus mendapatkan anugerah itu
dengan menurunkan semua ilmu yang
kupunyai! Aku harus mendapatkannya!"
Habis berkata demikian. Dewa Naga
terdiam. Lamat-lamat terlihat bibir
keriputnya mengembang.
"Ya... aku harus mendapatkannya.
Kalau Dewi Lontar tetap tak berkenan, aku
akan menculiknya."
Kejap kemudian, kakek muka lonjong
yang penuh sisik hijau ini sudah
meninggalkan tempat Itu. Suara 'merdu'
dari pantatnya tersisa di sana.
★ ★ ★
6
MATAHARI kini sudah menampakkan
bias-biasnya di ufuk timur. Menyinari
lembah itu dan menerobosi dedaunan.
Kakek pendek berambut jarang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya di
samping jenazah Pendekar Lontar.
Mulutnya terkatup. Dia merasakan sesuatu
yang tak diharapkannya. Tangan kurusnya
masih memegang kening Pendekar Lontar.
"Dewa Tombak... kau benar. Pendekar
Lontar meninggal tidak wajar...,"
katanya kemudian.
Kakek buntal berpakaian biru itu
segera ajukan tanya, "Dewa Segala Obat,
kira-kira... apa yang menyebabkannya
tewas?"
Kakek pendek yang mengenakan
pakaian compang-camping warna putih dan
di pinggangnya tercantel sebuah pundi,
mengangkat kepalanya.
"Dari getaran kuat yang kurasakan,
jantung bagian bawahnya telah hangus.
Itulah yang menyebabkannya tewas."
"Dewa Naga mengatakan hal yang
sama," sahut Dewi Lontar sambil
memperhatikan Dewa Segala Obat. Di
sisinya, Boma Paksi pun memandang tak
berkedip.
Si kakek yang ternyata Dewa Segala
Obat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah perginya Dewa Naga, tak berapa
lama kemudian. Dewa Segala Obat muncul.
Dia meminta maaf karena tak bisa segera
datang, mengingat dia masih harus
mengobati seorang pasien.
Dewa Tombak dan Dewi Lontar sudah
tentu menyambutnya gembira. Dari Dewa
Tombak, Dewa Segala Obat tahu kalau Dewa
Naga tadi berada di sini. Dia sangat
menyayangkan karena tak bisa menjumpai
orang yang sangat dihormatinya itu. Dia
Juga tahu, kalau saat ini Dua Serangkai
Jubah Hijau sedang menyusulinya.
Kakek berambut jarang ini
memasukkan tangan kanannya ke dalam
pundi yang tercantel di pinggangnya.
Ketika diangkat, teriihat ujung-ujung
jarinya menjumput butiran pasir berwarna
keemasan. Lalu dltaburkannya butiran
pasir yang luruh dengan memperlihatkan
kilauan indah tepat pada jantung
Pendekar Lontar.
Yang berada di sana hanya
memperhatikan. Mereka sama-sama melihat
kalau butiran pasir keemasan yang kini
menempel tepat pada bagian jantung
Pendekar Lontar berubah warnanya,
menjadi kehitaman.
Dewa Segala Obat menganggukkan
kepalanya sekali, lalu meniup butiran
pasir itu. Pasir-pasir itu berhamburan.
Kemudian dibalikkan tubuhnya, memandang
Dewi Lontar yang nampak tidak sabar untuk
mendengar apa yang dikatakannya.
"Setahuku, suamimu memiliki ilmu
'Raga Pasa' yang membuatnya dapat
mengetahui setiap serangan yang datang.
Baik kasar maupun halus. Tetapi... dia
tentunya tak menduga sama sekali, kalau
seekor lebah yang kemudian menyengat
bagian jantungnya, akan mengakhiri
hidupnya
"Seekor lebah?" ulang Dewi Lontar
tak percaya.
"Ya! Seekor lebah! Lebah yang
sengatannya telah dibaluri racun yang
sangat mengerikan itulah yang telah
merenggut nyawanya...," kata Dewa Segala
Obat.
"Apakah...."
"Seperti kebiasaan seekor lebah,
bila dia sudah menyengat, tentunya dia
akan mati."
Dewi Lontar yang tadi hendak
melontarkan pertanyaannva tetapi sudah
dipotong, tak menjawab. Dia buru-buru
masuk ke kamarnya. Boma Paksi hanya
memperhatikan. Matanya yang tajam
memandang Dewa Segala Obat dan Dewa
Tombak bergantian.
Tak lama kemudian. Dewi Lontar
muncul kembali dengan membawa seekor
lebah hitam yang sudah mati.
"Dewa Segala Obat... apa yang kau
katakan itu benar," katanya pilu. "Tadi
kau katakan, ada orang yang telah
melumuri sengat lebah itu dengan racun.
Tahukah kau siapa orang itu?"
Dewa Segala Obat mengangguk.
"Aku tahu...."
"Katakan!" suara perempuan jelita
yang pada lehernya menggantung untaian
daun lontar, tersirat kemarahan. Lebah
yang sudah mati itu dilemparnya.
PlasssI
Menembus tembok dan jatuh entah di
mana. Tembok itu kini bolong sebesar jari
telunjuk. Boma Paksi menyaksikan dengan
terkagum.
Kakek berambut jarang Itu
menggelengkan kepalanya.
"Untuk saat ini. sebaiknya kau tidak
perlu tahu dulu. Nanti siang, seperti
yang kau katakan, kau hendak memakamkan
jenazah suamimu...."
"Aku ingin tahu siapa manusia
keparat yang telah membunuh suamiku
dengan mempergunakan lebah jahanam ini ! "
seru Dewi Lontar bersikeras.
"Kau sedang dibaluri kemarahan.
Sebaiknya, kau tunda dulu
keingintahuanmu itu sampai upacara
penguburan jenazah suamimu selesai."
"Tidak! Dewa Segala Obat, selama ini
kita bersahabat dan tak pernah punya
silang sengketa! Dan sekarang, kau
justru menyakitkan hatiku dengan tak mau
mengatakan siapakah orang yang telah
membunuh suamiku dengan lebah terkutuk
itu! "
Dewa Segala Obat kelihatan serba
salah. Dewa Tombak hanya terdiam.
Kendati dia juga penasaran, tetapi dia
masih bisa menerima alasan Dewa Segala
Obat.
Bocah tampan yang pada punggungnya
terdapat tato naga hijau, memegang
lengan ibunya.
"Ibu. . . apa yang dikatakan Kakek itu
benar. Sebaiknya, Ibu tak mengetahuinya
sekarang. Karena Ibu akan menjadi marah
dan dendam. Bukankah Ibu sendiri yang
mengajarkan, kalau dendam itu tidak
baik?"
Kata-kata putranya yang tak
disangka sama sekali, meluluhkan
kekerasan hati Dewi Lontar. Lalu sambil
menarik napas panjang, kendati masih
penasaran, dia berkata pada Dewa Segala
Obat, "Maafkan aku...."
Waktu pun terus merambat. Beberapa
orang rimba persilatan pun hadir di sana.
Sampai kemudian, siang pun menjelang.
Persiapan penguburan jenazah Pendekar
Lontar pun dilakukan.
Tak banyak orang yang datang
menghadiri pemakaman itu. Dewi Lontar
menahan sedihnya tatkala jasad suaminya
mulai dimasukkan ke dalam tanah.
Dewa Tombak melirik Boma Paksi.
Bocah itu kelihatan tegar meskipun
sepasang matanya berkaca-kaca. Sebutir
air mata jatuh pada pipinya.
Tak lama kemudian pemakaman pun
selesai. Orang-orang yang hadir mohon
diri. Termasuk Dewa Tombak, yang
berjanji akan datang dua hari di muka.
Dewi Lontar berkata pada Dewa Segala
Obat yang sudah pamitan, "Apakah kau
tetap tidak mau mengatakan siapakah
orang keparat yang telah membunuh
suamiku?"
Dewa Segala Obat menggeleng.
"Besok, aku akan kembali ke sini.
Saat Ini, tenangkanlah pikiranmu. Karena
kau akan diliputi kemarahan...."
Dewi Lontar hanya memandang dingin.
Boma Paksi memegang lengan ibunya.
"Ibu... kata-kata kakek berambut
jarang itu benar. Lagi pula, bukankah dia
berjanji akan datang besok yang tentunya
akan mengatakan siapa yang telah mem¬
bunuh Ayah. Bukan begitu, Kek?"
Dewa Segala Obat menganggukkan
kepalanya. Sebenarnya, begitu melihat
sisik coklat sebatas siku yang terdapat
pada kedua tangan si bocah, dia agak
terkejut tadi. Tetapi dia tak
menghiraukannya.
"Ya... besok aku akan datang
lagi...."
Lalu kakek berpakaian putih
compang-camping Ini segera melangkah
meninggalkan tempat itu. Tinggal Dewi
Lontar yang masih sedih sekaligus
diliputi penasaran tinggi.
Boma Paksi membujuk ibunya agar
tidak bersedih dan penasaran. Siang dan
menjelang senja, dia terus menghibur
ibunya sampai senyuman terpampang di
bibir ibunya.
Dengan penuh kasih sayang, Dewi
Lontar merangkul putranya. Seketika
tiba-tiba terdengar suara tawa yang luar
biasa keras. Atap rumah itu mendadak
berderak dan terbongkar. Angin menjadi
lintang pukang.
"Ibu!" seru Boma Paksi terkejut.
Dewi Lontar tak menjawab. Kepalanya
menoleh ke arah luar. Sepasang matanya
membuka.
"Celaka! Tentunya dia yang
datang...," desisnya dalam hati. Lalu
terburu-buru dia berkata, "Boma... kau
masuk ke kamarmu! Kunci rapat-rapat!"
"Ibu! Ada apa?"
"Jangan banyak tanya! Lakukan
perintah Ibu!"
Kemudian dia sudah berkelebat ke
kamarnya. Dan keluar lagi dengan membawa
sebuah gumpalan daun lontar berwarna
hijau menyala. Begitu segarnya laksana
baru saja disiram. Sementara di
punggungnya, sudah tersampir sebuah
pedang.
"Boma! Bila malam sudah datang Ibu
belum menjumpaimu, cepat kau pergi
sejauh-jauhnya! Bawa gumpalan daun
lontar ini dan jangan sampai jatuh ke
tangan orang sesat".
Sambil memegang gumpalan daun
lontar segar Itu, Boma Paksi bertanya
heran, "Ibu... ada apa? Mengapa Ibu
begitu panik? Apakah.... Ibu khawatir
dengan orang yang tertawa itu?"
"Jangan banyak tanya! Cepat kau
masuk ke kamarmu! Ingat pesan Ibu
baik-baik! Ayo, Boma! Cepat kau...."
"Kabar telah sampai ke telingaku,
kalau Pendekar Lontar sudah mampus ! Kini
tinggal kau sendiri Dewi Lontar! Apakah
kau akan tetap keras kepala seperti
suamimu yang tak mau menyerahkan Pusaka
Pendekar Lontar?!" suara mengguntur itu
memutus kata-kata Dewi Lontar.
Boma Paksi kini tahu apa yang
menyebabkan ibunya menjadi panik. Dia
berkata gagah, "Ibu! Aku tahu siapa orang
itu! Bukankah dia kakek bongkok yang tiga
bulan lalu datang untuk merebut gumpalan
daun lontar hijau milik Ayah ini?"
Dewi Lontar mengangguk cepat.
Sebelum dia berkata, si bocah yang pada
punggungnya terdapat tato naga hijau
sudah bertanya kembali, "Memangnya...
apakah kegunaan dari gumpalan daun
lontar sebesar kepalan Ayah Ini, ibu?
Kulihat... tak ada yang menarik?"
Dewi Lontar menarik napas panjang.
"Anakku... saat ini. Ibu tak memiliki
waktu untuk menjelaskannya kepadamu.
Tapi, percayalah. Ibu akan
menj elaskannya."
"Kalau memang kakek jahat itu
menginginkan gumpalan daun lontar ini.
Ibu katakan saja di mana memetiknya?
Nanti suruh dia datang ke tempat itu. Kan
dia bisa memetiknya sendiri?"
Suara di luar terdengar lagi. Dewi
Lontar berkata terburu-buru, "Ya! Cepat
kau ke kamarmu! Ingat, bila Ibu belum
menjumpaimu menjelang malam... kau
tinggalkan tempat ini!"
"Tidak!" seru Boma Paksi tanpa
disangka. "Ayah telah tiada! Aku adalah
satu-satunya lelaki di sini! Aku akan
melindungi Ibu! Ayo, Bu! Kita hadapi
kakek bongkok itu!"
Dewi Lontar terharu mendengar
kata-kata putranya. Dirangkulnya Boma
Paksi erat-erat.
"Ya! Kau seorang lelaki yang kelak
akan tumbuh menjadi gagah! Dan sebagai
seorang gagah, harus menuruti perintah
ibunya...."
"Tapi. . . aku tak mau Ibu
menghadapinya seorang diri! Aku akan
membantumu, Bu!"
Jlegaaar....!!
Dinding rumah itu jebol dan pecah
berpentalan. Dewi Lontar segera melompat
sambil menggendong putrsnys itu hingga
menabrak dinding lainnya.
"Boma! Kau lelaki gagah! Lelaki
gagah akan menuruti perintah ibunya!".
"Tidak!!, Aku harus membela ibu!"
"Ya...ya. Kau akan membela ibu!
Tetapi... kau tunggu dulu di kamarmu!
Bila Ibu butuh bantuanmu, ibu akan
memanggilmu".
Sepasang mata Boma Paksi
berbinar-binar gembira.
"Janji ya. Bu? Janji?"
"Ya! Cepat kau masuk ke kamar!"
Boma Paksi masuk ke kamarnya dengan
membawa gumpalan daun lontar yang
diserahkan ibunya tadi. Dewi Lontar
menarik napas dulu. Lalu segera
berkelebat ke depan.
Satu sosok bongkok dengan rambut
putih panjang turun ke bawah telah
berdiri di sana. Kulit si kakek sangat
tipis. Sepasang matanya dalam dan tajam.
Kumis dan jenggotnya seperti terpintal
bersatu. Mengenakan pakaian hitam penuh
tambalan. Di tangannya, terdapat sebuah
bambu berwarna hitam yang ujungnya
runcing.
Mendadak si kakek mendengus, "Aku
tak punya banyak waktu! Kedatanganku ke
sini, sama dengan kedatanganku tiga
bulan yang lalu! Cepat kau serahkan
gumpalan daun lontar milik suamimu itu!
Tentunya dia tak memerlukannya lagi
karena sudah mampus!"
Dewi Lontar berdiri gagah. Matanya
memandang tajam pada si pendatang yang
telah menghancurkan dinding rumahnya.
"Bukan hanya Ratu Sejuta Setan yang
menghendaki gumpalan daun lontar sakti
milik suamiku. Kakek bernama Dadung
Bongkok ini pun menghendaki hal yang
sama. Tidak! Sampai kapan pun tak akan
pernah kuserahkan gumpalan daun lontar
yang hingga saat ini aku tak pernah tahu
bagaimana suamiku mendapatkannya. Benda
itu benda sakti. Dan tentunya, baik Ratu
Sejuta Setan maupun Dadung Bongkok,
menginginkannya untuk kepentingan
pribadi."
Habis membatin demikian, dengan
gagah Dewi Lontar berkata, "Dadung
Bongkok! Kendati suamiku sudah
meninggal, apakah kau berpikir aku tak
mampu menghadapimu?"
Dadung Bongkok menggeram.
"Jangan banyak omong! Serahkan
benda sakti itu kepadaku!"
"Tiga bulan lalu, kau telah dibuat
terbirit-birit oleh suamiku! Hari ini,
akulah yang akan membuatmu ingat kembali
kejadian tiga bulan lalu!"
"Setan betina! Kau akan menyesali
tindakanmu ini!"
Habis ucapannya, Dadung Bongkok
sudah melompat maju dengan gerakan
bersalto satu kali. Bambunya yang
berujung runcing dikibaskan dengan cepat
ke arah leher Dewi Lontar. Yang diserang
hanya mundur satu tindak ke belakang.
Lalu dengan gerakan yang cepat,
digerakkan pedangnya.
Traaakk!
Benturan yang mengandung tenaga
dalam itu membuat masing-masing orang
mundur. Dan tiba-tiba saja sosok Dewi
Lontar terjajar ke belakang.
Perutnya sudah terkena satu
tendangan keras yang dilepaskan dengan
cepat oleh Dadung Bongkok. Belum lagi dia
dapat menguasai keseimbangannya, Dadung
Bongkok sudah merangsek maju dengan
gerakan tombaknya yang serabutan
membingungkan.
Tersentak Dewi Lontar tatkala
merasakan gelombang angin kacau menderu
ke arahnya. Cepat perempuan ini membuang
tubuh ke samping.
Blooorr!
Dinding rumahnya jebol terkena
hantaman bambu Dadung Bongkok. Rupanya,
kakek bongkok ini memang tak mau
bertindak ayal. Kalau tiga bulan lalu dia
merasa jeri setelah menyadari kesaktian
Pendekar Lontar, kali ini dia merasa di
atas angin. Karena diyakininya dapat
mengalahkan Dewi Lontar.
Tetapi Dewi Lontar bukanlah
perempuan sembarangan. Pedangnya pun
mulai diayunkan dengan kecepatan luar
biasa. Disinari matahari senja, ujung
pedangnya berkilat kilat dengan
mengeluarkan suara mendesing-desing.
"Keparat! Rupanya, dia tak kalah
hebatnya dengan suaminya I I Tetapi
kelihatannya dia tak membawa gumpalan
daun lontar itu! Ini kesempatan untuk
membunuhnya!" maki Dadung Bongkok, lalu
menyerbu kembali. Kali ini tangan
kirinya ikut digerakkan yang seketika
menggebah awan-awan hitam!
Dewi Lontar pun memperlihatkan
kelasnya. Menunjukkan kalau dia adalah
istri dari mendiang Pendekar Lontar.
Dengan pekikan keras, perempuan jelita
berpakaian hitam ini melompat ke atas
seraya menggerakkan pedangnya ke bawah
membabi-buta. Sinar-sinar terang
bermuncratan dan menghantami awan-awan
hitam yang dilepaskan Dadung Bongkok.
Letupan terdengar berkali-kali. Dadung
Bongkok terpekik keras, tubuhnya
terbanting di atas tanah.
Dewi Lontar menggeram dingin.
"Tiga bulan lalu kau datang membuat
onar! Tetapi suamiku masih mengampuni
nyawamu! Dan sekarang kau datang lagi
dengan keinginan yang sama! Tak akan
pernah kuampuni nyawamu sekarang!!"
Dadung Bongkok muntah darah. Darah
hitam menyembur keluar. Perlahan-lahan
dia berdiri sambil memegangi dadanya
dengan tangan kirinya. Kepaianya agak
didongakkan. Tatapannya yang selalu
memancarkan kekejian, kini lenyap.
Berganti dengan kepanikan.
Lalu terbata-bata dia
berkata,"Ampuni aku. Dewi... ampuni
aku...."
"Suamiku pernah mengampunimu tetapi
kau masih berani datang lagi! Apakah
sekarang aku perlu mengampunimu lagi?!"
hardik Dewi Lontar dengan tatapan tajam.
Kesedihan yang melanda akibat kematian
suaminya, kini berubah menjadi kegeraman
dalam. Dan perempuan ini seolah
mendapatkan tempat pelampiasan untuk
menumpahkan seluruh kesedihan dan
amarahnya.
Dadung Bongkok bangkit dengan kedua
kaki goyah. Dia terbatuk-batuk yang
memuncratkan darah.
"Ampuni aku, Dewi... ampuni
aku...," serunya penuh iba. "Aku
bersumpah... tak akan pernah lagi
kuganggu ketenteramanmu. Tak lagi
kuinginkan apa yang selama ini
kuinginkan...."
Kendati diiiputi amarah tinggi,
tetapi Dewi Lontar adalah seorang
perempuan yang lemah lembut. Sikap kakek
bongkok itu membuatnya merasa kasihan.
Lalu serunya, "Baik! Sekali ini kau
kuampuni! Tetapi bila kau berani iagi
muncul, kau akan mampus, Dadung
Bongkok!"
Dadung Bongkok mengangguk
berkali-kali sambil berucap terima
kasih.
Dewi Lontar menyampirkan lagi
pedangnya pada punggungnya. Dia berkata.
"Sepuluh tarikan napas kau masih
berada di sini, kau akan mampus!"
Lalu dia berbalik melangkah ke
rumahnya.
Dewi Lontar tidak tahu, kalau
sesungguhnya Dadung Bongkok sedang
merencanakan satu kekejian. Dia memang
merasa tak sanggup menghadapi kesaktian
Dewi Lontar. Jalan satu-satunya, dia
memang harus mengiba mohon ampun.
Begitu Dewi Lontar berbalik,
seringaian melebar di bibirnya. Kejap
berikutnya, dia sudah menerjang dengan
bambu yang digerakkan serabutan.
Dewi Lontar tersentak tatkala
merasakan gelombang angin menderu ke
arahnya.
"Terkutuk!" makinya sambil berbalik
dan mencabut pedangnya.
Plaas!
Plukkk!
Bambu keras milik Dadung Bongkok
putus tertebas pedangnya. Dewi Lontar
berhasil patahkan serangan si kakek.
Tetapi, satu gelombang angin yang keluar
dari dorongan tangan kiri Dadung
Bongkok, tak bisa dihindarinya,
Dessss!!
"Aaakhhhh!!" Dewi Lontar berteriak
sekeras-kerasnya. Tubuhnya terseret ke
belakang. Belum lagi dia dapat menguasai
keseimbangannya, Dadung Bongkok sudah
datang melancarkan serangan.
Perempuan perkasa itu masih bisa
menghindari dengan jalan menjatuhkan
diri. Bahkan pedangnya langsung
diangkat. Dadung Bongkok menggeram. Lalu
memutar tubuh dua kali seraya pukulkan
bambunya.
Praaakk!
Bambunya itu tertahan pedang Dewi
Lontar. Karena dalam keadaan terguling,
bambu itu tidak putus tertebas. Dadung
Bongkok menyusulkan serangannya lagi.
Tetapi....
Craassl!
"Aaaakhhh! "
Gerakan yang dilakukan Dewi Lontar
sungguh di luar dugaannya. Tahu-tahu
tangan kirinya telah kutung tertebas
pedang. Dadung Bongkok terhuyung. Darah
keluar dari lengan kirinya yang sudah
buntung.
"Perempuan celaka!!" serunya keras
seraya melemparkan bambu kerasnya.
Dewi Lontar yang masih berada di
atas tanah memekik. Dia berguling dan
berhasil menghindari bambu itu. Tetapi
diluar dugaannya, bambu itu justru
berbalik. Dan....
Bleesss!!
Masuk tepat pada jantungnya! Saat
itu, malam pun datang.
★ ★ ★
7
DiKAMARNYA, Boma Paksi sudah tak
sabar untuk segera keluar. Bocah yang
pada kedua tangannya sebatas siku
terdapat sisik coklat dan pada
punggungnya terdapat gambar seekor naga
hijau yang dibawanya dari lahir, memang
mematuhi kata-kata ibunya, tidak akan
keluar sebelum malam datang.
Dan saat ini malam telah datang.
Tetapi ibunya belum juga muncul
menj umpainya.
"Mengapa Ibu belum muncul juga?"
desisnya dalam hati dengan perasaan tak
sabar. "Apakah saat ini Ibu berhasil
dikalahkan kakek bongkok itu? Ah, tidak!
ibu pasti bisa mengalahkannya! Seperti
yang dilakukan Ayah!"
Kembali si bocah mondar-mandir
dengan perasaan tak tenang. Gumpalan
daun lontar yang diberikan ibunya masih
dipegangnya erat-erat. Kembali
dihentikan langkahnya karena dia tak
mendengar langkah-langkah mendekati
kamarnya.
"Aku harus melihat keluar! Aku harus
membantu Ibu!" serunya memutuskan. Lalu
dengan langkah tegap dan wajah tegang,
bocah yang pada punggungnya terdapat
tato seekor naga hijau itu segera keluar.
Langkahnya terburu-buru dengan rasa
tidak sabar yang dalam. Di luar,
dilihatnya keadaan di sana sudah porak
poranda. Saat ini rembulan bersinar
cuktip terang. Begitu melihat Dadung
Bongkok, dia langsung berseru, "Kakek
brengsek! Lagi-lagi kau yang datang!
Dan... hei! Tangan kirimu telah buntung
rupanya! Lebih baik kau cepat pergi dari
sini sebelum Ibu membuat tangan kananmu
yang satunya lagi buntung!"
Dadung Bongkok yang masih terhuyung
karena menahan sakit, mengangkat
kepalanya. Tatapannya tajam menusuk. Dan
mendadak saja kepalanya menegak. Matanya
terbeliak, tak berkedip.
"Gumpalan daun lontar itu... daun
lontar itu ada padanya?" desisnya sambil
menyeringai. Lalu ditotoknya urat darah
pada bahu kirinya. Dia menjerit pelan.
Lamat-lamat terlihat darah yang tadi
banyak keluar perlahan-lahan menipis dan
akhirnya tak keluar sama sekali.
Rasa sakit dan amarah yang mendekam
di dadanya tak lagi dihiraukan begitu
melihat benda yang dicarinya berada di
tangan bocah tanpa pakaian itu.
Malah mendadak dia terbahak-bahak
keras.
Boma Paksi yang berdiri dengan kedua
kaki dibuka, berseru, "Kakek bongkok!
Kau sudah gila ya? Cepat kau pergi dari
sini sebelum Ibu. . . . Ibu? Hei . . . di mana
Ibu?I"
"Hahaha...," menggema keras tawa
Dadung Bongkok. "Kau mencari ibumu?
Lihat di sana! Siapa yang tergeletak
Itu? ! "
Segera Boma Paksi mengarahkan
pandangannya pada tempat yang ditunjuk
Dadung Bongkok. Seketika bocah itu
berteriak keras dan memburu ibunya.
Karena terburu-buru dia terjatuh. Lalu
dengan kekerasan hatinya, dia bangkit
dan merangkul ibunya yang telah menjadi
mayat.
"Ibuuuuu"
"Ibumu sudah mampus. Bocah!
Sekarang, serahkan benda itu kepadaku? ! "
Boma Paksi masih menangis sambil
merangkul ibunya.
"Ibu... ibu. . desisnya mengibakan.
Dadung Bongkok menggeram.
"Kali ini, tak ada lagi yang akan
menghalangi keinginanku! Mendapatkan
gumpalan daun lontar sakti yang selama
ini kuimpikan, tak akan mendapatkan
ganjalan apa-apa! Huh! Bocah itu pun
harus knmampuskan! Biar hilang sudah
keturunan dari Pendekar lontar!" serunya
puas dalam hati.
Lalu dengan langkah agak terhuyung,
Dadung Bongkok menghampiri Boma Paksi
yang masih menangis. Sejenak dikerutkan
keningnya begitu melihat gambar seekor
naga hijau pada punggung bocah itu.
"Aneh! Mengapa ada gambar seekor
naga hijau pada punggungnya? Siapa yang
telah mentato punggungnya itu?" desisnya
sejenak. Lamat-lamat keheranannya itu
lenyap, berganti dengan niatnya semula.
"Kau akan menyusui ibumu. Bocah!"
Tangannya siap dihantamkan pada
punggung si bocah.
Boma Paksi mendengar seruan itu. Dia
hendak berbaiik. Tetapi sebelum dia
berbalik, mendadak saja Dadung Bongkok
terpentai ke belakang.
"Astaga! Ada apa ini?!" serunya
gelagapan sambil berusaha mengendalikan
keseimbangannya.
Sementara itu, Boma Paksi sudah
berbalik dan berdiri dengan tatapan
tajam. Kemarahan sungguh kentara sekali
pada wajahnya yang memerah.
Di tempatnya, Dadung Bongkok yang
telah berdiri terdiam.
"Sempat tadi kulihat, kalau gambar
seekor naga pada punggung bocah itu
seperti keluarkan sinar. Lalu ada tenaga
yang menahan seranganku. Astaga! Apakah
gambar seekor naga hijau itu memang
memiliki arti?!"
Sementara itu kemarahan Boma Paksi
semakin menjadi-jadi. Bocah itu
perlahan-lahan berdiri. Dan astaga!
Sorot matanya sangat angker, mengerikan!
"Ibu... aku akan membalas perbuatan
kakek jelek itu!"
Saat dia berbalik, Dadung Bongkok
melihat gambar naga hijau pada punggung
si bocah semakin bersinar hijau.
Keheranannya semakin menjadi-jadi.
"Aku yakin, kalau gambar seekor naga
hijau itu bukannya tanpa isi! Sekarang
sinarnya semakin terang! Hemm...
jangan-jangan, ini mengisyaratkan satu
bahaya! Peduli setan! Bahaya apa pun akan
kuterjang untuk mendapatkan gumpalan
daun lontar itu!"
Lalu diiringi teriakan keras,
Dadung Bongkok menerjang Boma Paksi yang
masih membelakanginya. Kalau tadi Dadung
Bongkok merasakan ada tenaga yang
menghantamnya, kali ini dia melihat
sinar hijau melesat ke arahnya. Yang
membuatnya melengak dan untuk beberapa
saat terdiam tegang, karena sinar hijau
itu mendadak berubah menjadi bayangan
seekor naga!
"Heiiii!!"
Cepat dia menghindar.
Bggaaaarr!
Sinar hijau yang membentuk seekor
naga itu menghantam dinding rumah yang
seketika jebol dengan suara keras.
Dadung Bongkok terbelalak. Dia tak
percaya melihat apa yang terjadi.
"Astaga! Ternyata tak semudah
dugaanku! Tentunya Pendekar Lontar dan
istrinya telah membekali putranya dengan
ilmu aneh itu! Terkutuk! ! Selama ini aku
tak pernah mendengar kalau Pendekar
Lontar maupun istrinya memiliki ilmu
lain kecuali ilmu pedang yang sangat
tinggi. Dan sekarang... aku melihat
kalau keduanya mempunyai ilmu yang
disembunyikan. yang diturunkan pada
putra mereka! Jahaman terkutuk! Terku-
tuk!" makinya dalam hati.
Tetapi di kejap lain, terlihat
bibirnya tersenyum. "Hemm, untunglah aku
dilahirkan dengan otak cerdik! Aku
yakin, bila yang kuserang bagian depan,
gambar seekor naga hijau itu tak akan
banyak artinya."
Memutuskan demikian, Dadung Bongkok
menunggu sampai si bocah berbalik sambil
mengatur napasnya yang mulai
putus-putus. Sementara itu,
perlahan-lahan Boma Paksi pun akhirnya
berbalik. Kemarahan begitu membias
dalam. Tatapannya yang tadi menggoda
rasa Iba, kini nyalang mengerikan,
seperti mengandung satu kekuatan yang
mampu melemahkan keberanian lawan.
Tangan kirinya mengepal kuat sementara
tangan kanannya memegang erat-erat
gumpalan daun lontar yang diberikan
ibunya.
Dadung Bongkok pun merasakan
keangkeran pada sorot mata si bocah. Dia
juga melihat sisik coklat halus pada
kedua tangan si bocah meremang, dan
bersinar terang.
Tetapi dia tak mempedulikannya.
"Kakek kurang ajar! Kau telah
membunuh ibuku! Kau telah membunuh
ibuku!" seru Boma Paksi dengan tatapan
memerah tajam.
Dadung Bongkok tak bersuara.
Matanya memperhatikan dalam-dalam
dengan mulut merapat.
"Bocah ini akan menjadi duri!
Sebelum ada yang datang ke sini, aku
harus melaksanakan niat!!"
Memutuskan demikian, si kakek
dengan bengis berseru, "Serahkan benda
yang kau pegang itu padaku, ketimbang kau
akan kesakitan kugebuk!"
"Tidak! Bukan aku yang akan kau
gebuk! Tetapi kau yang akan kugebuk!"
seru Boma Paksi keras. Lalu dengan
kegagahan yang sangat kentara dan
keberanian luar biasa, si bocah
menerjang ke depan. Tangan kanannya yang
memegang gumpalan daun lontar, tak
sengaja bergerak.
Dadung Bongkok menunggu. Dia
sengaja tak segera melaksanakan niatnya,
karena khawatir sinar hijau yang
membentuk seekor naga hijau keluar lagi.
Tetapi bukan itu yang kemudian
mengejutkannya. Karena mendadak saja
dari gumpalan daun lontar yang tak
sengaja digerakkan si bocah,
mengeluarkan gelombang angin yang
diliputi asap tipis berwarna hijau.
"Heeiiii!!"
Jlgaaarrr!!
Gelombang angin itu menghantam
dinding rumah yang seketika ambrol
berhamburan.
Kendati demikian, biar bagaimanapun
juga, Dadung Bongkok adalah seorang
tokoh sesat yang telah banyak makan asam
garam. Tindakan yang dilakukan si bocah
jeias-jelas hanya nalurinya belaka.
Makanya dia berhasil menghindarinya.
Bahkan dapat mengetahui, bila dia
menyerang bagian depan tubuh si bocah,
sinar hijau yang kemudian membentuk
bayangan seekor naga itu tidak keluar.
Tetapi bila diserang punggungnya, maka
dialah yang akan celaka.
"Saatnya dia harus mampus!"
Lalu dengan enteng saja, Dadung
Bongkok menghindari gelombang angin yang
dihiasi asap hijau tipis yang keluar dari
gumpaian daun lontar. Menyusul dengan
kejamnya, dihantamnya perut si bocah
yang terbanting di atas tanah. Rasa sakit
yang tak terkira dirasakan Boma Paksi.
Kalau tadi air matanya keluar karena
kematian ibunya, sekarang air matanya
keluar karena menahan sakit.
Tetapi kegagahan Pendekar Lontar
mengalir dalam darahnya. Seolah tak
merasakan sakitnya, bocah itu menyerang
lagi. Bahkan diiringi teriakan keras.
Dan untuk kedua kalinya dia
terbanting di atas tanah, karena jotosan
tangan kanan Dadung Bongkok telah
mendarat di perutnya. Darah segar
muncrat dari mulutnya. Wajahnya meringis
kesakitan. Si bocah menggeliat sebentar.
Dia sempat buka suara sebelum jatuh
pingsan.
"Ibu...."
Dadung Bongkok terbahak-bahak
keras.
"Telah tiba saatnya kudapatkan
pusaka itu! Rahasia pusaka itu akan
kukupas I Itu artinya. . . tak lama lagi aku
akan menjadi tokoh rimba persilatan
tiada tanding!"
Lalu menggema tawanya yang sangat
keras. Setelah puas melampiaskan
kegembiraannya, Dadung Bongkok berjalan
menghampiri Boma Paksi. Diambilnya
gumpalan daun lontar yang diingininya
itu, yang tadi menggelinding terlepas
dari genggaman tangan Boma Paksi.
Diamat-amatinya gumpalan daun
lontar sebesar kepalan tangannya itu
dengan kegembiraan tiada banding.
Senyuman tak putus di bibirnya.
"Pusaka ini telah banyak membunuh
orang-orang segolongan denganku! Sepak
terjang Pendekar Lontar tak akan pernah
dimaafkan oleh orang-orang segolongan
denganku! Dan sekarang... pusaka ini
akan menghisap darah dagingnya sendiri ! "
Kembali diamat-amatinya gumpalan
daun lontar itu. Pancaran mata berbinar
yang mengandung kebuasan itu jelas
terlihat. Lamat-lamat tetapi pasti,
dengan seringaian lebar, Dadung Bongkok
mengangkat gumpalan daun lontar itu.
"Tamat sudah riwayat Pendekar
Lontar beserta keturunannya!"
Tanpa memiliki rasa kasihan sedikit
pun juga, digerakkan tangannya dan siap
dihantamkan pada kepala si bocah.
Namun....
Dessss!!
Dadung Bongkok mendadak saja
terjengkang ke belakang dengan perut
yang seperti melesak ke dalam. Gumpalan
daun lontar yang dipegangnya terlepas
Kakek yang dibutakan oleh keinginannya
ini tak menghiraukan rasa sakit atau
siapa orang yang telah menyerangnya. Dia
justru melompat untuk mendapatkan kem¬
bali pusaka yang telah terlempar itu.
Tetapi...
Buukkk!
Kembali dia terbanting di atas
tanah. Untuk sejenak Dadung Bongkok
tergeletak menahan sakit. Di saat lain,
gelagapan dia berusaha untuk bangkit.
Saat itulah dilihatnya satu sosok tubuh
berjubah merah telah berdiri di sana
dengan memegang pusaka diingininya!
"Dewa Naga...," desis Dadung
Bongkok dengan suara tertahan. Matanya
melotot panik.
Kakek berjubah merah yang telah
memegang pusaka Pendekar Lontar itu
menggeram. Tatapannya dingin. Tak ada
tanda-tanda dia akan memperlihatkan
sikap konyol dan angin-anginan seperti
biasanya. Yang terlihat hanyalah
kemarahan yang terpancar dari sepasang
matanya yang memancarkan sinar merah,
terang. Sisik-sisik hijau yang terdapat
pada wajahnya memerah.
"Tindakanmu sudah kelewat batas,
Dadung Bongkok!"
Paras kejam Dadung Bongkok menciut.
Dia tahu kesaktian yang dimiliki Dewa
Naga. Dan disesalinya mengapa kakek muka
lonjong penuh sisik hijau itu keburu
datang sebelum ditinggalkannya tempat
ini. Tetapi, ambisinya yang sudah hampir
terpenuhi digagalkan, membuat Dadung
Bongkok melupakan kedutannya. Tak lagi
dipedulikan siapa orang bersisik hijau
yang berdiri di hadapannya.
Dia bangkit dengan terhuyung.
"Dewa Naga, Aku tak peduli seberapa
tinggi kesaktianmu! Tetapi, siapa pun
yang lancang mencampuri urusanku, dia
akan menyesal seumur hidup! Serahkan
benda sakti itu padaku, maka urusan
selesai I"
Dewa Naga melotot.
"Sinting! Kau ini sudah sinting
rupanya? Muiut baumu itu masih bisa juga
melontarkan sesumbar ! Hei, kakek bongkok
jelek! Apakah kau pikir aku tega
membunuhmu yang sudah tak berdaya itu?!"
Seharusnya Dadung Bongkok menyadari
keadaan dirinya. Menghadapi Dewa Naga
dalam keadaan segar bugar saja, dia tidak
akan menang. Apa lagi sekarang? Tetapi
kemarahan dan keserakahah telah
membutakah pikirannya.
"Peduli setan! Serahkan pusaka itu!
Atau... kau sebenarnya sudah memutuskan
untuk mampus malam ini?!"
Bukannya mulut Dewa Naga yang
berbunyi, justru pantatnya.
Bruuut!
Kalau biasanya dia selalu
memaki-maki karena pantatnya tak bisa
diajak berunding, kali Ini dia tak
peduli. Sinar matanya terus memancarkan
maut.
"Ucapanmu benar-benar bikin panas
hatiku! Seharusnya aku menghukummu
sekarang I Tetapi
"Keparat I!"
Dadung Bongkok mendorong tangan
kanannya.
Wrrrrll
Menggebah gelombang angin yang
menyeret tanah. Dewa Naga menggeram.
Lalu mendehem. Suara dehemannya kecil
saja, tetapi ....
Blaaaammm
Gelombang angin itu putus di tengah
jalan seperti menghantam sebuah tembok.
Bahkan Dadung Bongkok sendiri terbanting
lagi di atas tanah.
"Kakek terkutuk!" makinya dengan
darah yang mengalir dari hidung.
"Kau benar-benar tak tahu diuntung!
Padahal aku sudah beri peruntunganmu
untuk hidup lebih lama lagi! Tapi kalau
kau keras kepala, aku tak akan pikir dua
kali untuk membunuhmu! Hanya saja,
lagi-lagi, aku tak berhak membunuhmu!"
seru Dewa Naga sambil melotot. Lalu
diangkatnya tubuh Boma Paksi yang
pingsan. Ditelitinya sejenak sebelum dia
angkat pandangan dan berseru.
"Ingat apa yang kukatakan tadi! Dua
belas tahun mendatang, bocah ini akan
datang untuk mencabut nyawamu. Jadi,
persiapkan dirimu mulai sekarang sebelum
dua belas tahun menjelang!"
Habis ucapannya. Dewa Naga segera
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Dadung Bongkok merutuk panjang
pendek dengan kegusaran luar biasa.
Dihantaminya apa saja dengan kibasan
tangan kanannya. Letupan berkali-kali
terdengar sebelum akhirnya dia
terengah-engah sendiri.
"Keparat! Keparat kau. Dewa Naga...
kau akan menyesali tindakanmu ini...."
Lalu dengan langkah sempoyongan
Dadung Bongkok melangkah meninggalkan
tempat itu.
"Aku akan menunggu dua belas tahun
mendatang
*****
8
PERPUTARAN waktu sungguh sangat
sukar diikuti. Kita tak tahu sang waktu
akan melangkah ke mana. Tetapi yang
pasti, sang waktu tak mau membuang diri
untuk kembali ke masa lalu. Dia terus
bergerak dan bergerak sampai tiba Sang
Penguasa Jagat memerintahkannya untuk
berhenti. Dan tak seorang pun yang
mengetahui, kapan Sang Penguasa Jagat
memerintahkan sang waktu untuk berhenti
bekerja.
Dua belas tahun sejak peristiwa
kematian Pendekar Lontar pun sudah
terlampaui. Rentang waktu yang lama itu,
ternyata tak begitu terasa. Tahu-tahu
sudah membentang jauh melewati
batas-batas yang tak bisa ditentukan.
Pagi masih buta. Butiran embun
bergayutan manja di dedaunan. Udara
sangat dingin menusuk tulang. Semakin
dingin karena semalam hujan turun sangat
lebat. Di mana-mana terdapat tanah becek
dan genangan air. Tak seekor hewan pun
yang keluar untuk mencari makan. Mungkin
mereka sudah mempersiapkan makanan lebih
atau juga merasa enggan bergabung dengan
udara dingin. Mendadak....
Jlegaaaarrrl!
Sebuah letupan keras menggema di
pagi buta. Disusul gemuruh angin dahsyat
yang berputar dan menerjang. Lima batang
pohon berpentalan jauh dengan suara
bergemuruh.
Beberapa kejap kemudian hening
menggenang. Pagi senyap kembali.
"Guru! Bagaimana menurutmu?!"
terdengar suara itu memecah keheningan.
Bruuuttt!
Suara pantat berbunyi terdengar
keras, disusul dengusan.
"Brengsek! Apanya yang menurutku,
hah? ! Anak kecil pun bisa melakukan apa
yang barusan kau lakukan". bentakan
keras itu terdengar.
"Astaga! Guru! Yang benar saja? Lima
batang pohon itu sudah tumbang kuhantam
dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan' yang Guru ajarkan! Kalau
ternyata Guru anggap belum sempurna, ya
karena ilmu Guru itu tidak bagus!"
"Brengsek! Brengsek! Kau mau
menganggap gurumu ini tidak becus
mengajarkanmu?! Sembarangan kalau
ngomong! Kau ingin kugampar ya?!"
Pemuda yang mengenakan rompi
berwarna ungu yang sedikit terbuka
hingga memperlihatkan dada bidangnya,
yang tadi melepaskan pukulan menghantam
lima batang pohon yang berpentalan
pecah, tertawa. Tak ada tanda-tanda dia
kecut diancam seperti itu.
Sikapnya enak saja berucap demikian
dengan kakek berjubah merah yang duduk di
atas sebuah batu. Membuat si kakek
bermuka lonjong yang penuh sisik hijau
itu menggerutu panjang pendek. Dan
berkali-kali dari pantatnya keluar
suara, 'Bruttt!'
"Sembarangan kau ya?! Ilmu 'Kibasan
Naga Mengurung Lautan' sukar dicari
tandingannya di jagat ini?! Itu termasuk
ilmu dahsyat yang kuturunkan kepadamu!
Yang dapat kau pergunakan sebagai satu
senjata tangguh bila kau terdesak! Tapi
bukan cuma bisa menumbangkan lima batang
pohon itu!"
"Tapikan bagian atasnya hangus?!"
seru si pemuda yang rambutnya dikuncir
itu tak mau kalah. Dia berdiri berjarak
delapan langkah dari si kakek muka
lonjong. Berdiri tegak dengan kegagahan
yang kentara. Matanya berkilat-kilat
jenaka, kendati sorotnya angker.
Parasnya tampan dan tubuhnya gagah. Yang
agak mengherankan adalah kedua
tangannya, yang mulai dari
jari-jemarinya hingga batas siku,
bersisik coklat! Padahal bagian tubuhnya
yang lain tidak.
"Bukan itu yang kuinginkan! Tapi
semuanya langsung hangus begitu kau
bantam!!" maki si kakek bersisik hijau
keras. "Percuma aku mengajarimu kalau
cuma itu saja yang bisa kau lakukan!
Kebanyakan makan kau ya?! Atau... kau
kebanyakan ngintip perawan mandi di desa
seberang ya?!"
Si pemuda nyengir.
Tindakannya itu membuat si kakek
bersisik hijau yang bukan lain Dewa Naga
mendengus.
"Kenapa kau nyengir begitu, hah?!
Kau pikir parasmu tampan apa?!"
"Dibandingkan wajah Guru sih...
rasanya masih ada deh perawan montok yang
akan melirikku lebih dulu! Lalu menutup
mata begitu memandang Guru," sahut si
pemuda kalem.
"Busyet, Kau ini.
Kata-kata Dewa Naga terputus
tatkala didengarnya suara letupan lima
kali berturut-turut. Sejenak si kakek
rhengerutkan keningnya. Telinganya
dibuka lebar-lebar.
Kejap berikutnya, dia mendengus
keras.
"Brengsek! Kau mempermainkan
orangtua ya? Kau mempermainkan gurumu
ya? Murid kebluk! Bagaimana bisa kau buat
lima batang pohon itu lebur
belakangan?!"
Si pemuda tertawa.
"Nah! Guru akhirnya mengakui bukan,
kalau Guru tidak sia-sia menurunkan ilmu
kepadaku?"
"Kurang asem! Selain memiliki
ketegaran dan jiwa ksatria tinggi,
pemuda ini juga memiliki sifat
asal-asalan! Dia sengaja
mempermainkanku rupanya! Lima batang
pohon yang dihantamnya dengan ilmu
'Kibasan Naga Mengurung Lautan' tadi
hanya untuk menggodaku saja! Tapi...
bagaimana caranya dia bisa menyimpan
tenaga dari ilmu 'Kibasan Naga Mengurung
Lautah' pada lima batang pohon yang
kemudian lebur belakangan? Busyet! Dia
memang hebat dan cerdik!"
Lalu dipandanginya si pemuda yang
sedang nyengir.
"Sekujur tubuhku dipenuhi
sisik-sisik hijau. Pemuda itu memiliki
sisik yang sama tetapi berwarna coklat
dan hanya terdapat mulai dari
jari-jemarinya hingga batas siku kedua
tangannya. Ah, kalau sisik-sisik hijau
pada tubuhku karena pengaruh ilmu yang
kumiliki, tetapi dia telah membawanya
sejak lahir."
Melihat tatapan gurunya, si pemuda
berkata, "Kenapa Guru melihatku seperti
itu? Apakah baru kali ini Guru melihat
ketampananku?"
Dewa Naga menggerutu.
"Banyak omong!"
"Apa iya?"
BruutttI
Pantat si kakek berbunyi.
"Guru! Kau ini tidak punya malu ya?
Buang angin sembarangan! Untung baunya
tidak busuk! Coba kalau...."
"Hei, hei ! Cuma buang angin itu yang
tak bisa kuajarkan padamu! Jangan kau
pikir buang anginku itu seperti buang
angin orang kebanyakan! Hemm... suatu
saat akan kuperlihatkan kepadamu!
Sekarang... aku ingin melihat
kebisaanmu! Ayo, serang aku!"
"Wah! Kok pakai main
serang-serangan nih? Kalau aku sudah
tamat mewarisi seluruh ilmu Guru, ya su¬
dah ! "
"Banyak omong! Ayo, serang aku!!"
seru Dewa Naga dengan mata melotot.
"Menyerangmu? Wah! Mana bisa
kulakukan? Guru sudah tua, gerakan Guru
tentunya sudah lamban!" sahut si pemuda
sambil tertawa. Dia memang hendak
menggoda gurunya.
Sebagai sahutan, Dewa Naga
menjentikkan ibu jari dengan
telunj uknya.
Trikk!
Bunyi pelan terdengar. Tetapi...
secara tak disangka, menggebah gelombang
angin yang diliputi asap hijau ke arah si
pemuda yang bukan lain Boma Paksi adanya.
Putra almarhum Pendekar Lontar dan
almarhumah Dewi Lontar mendengus pendek.
Tanpa bergeser dari tempatnya, dia
mendorong tangan kanannya
Wrrpr!!
Serangkum angin merah menggebrak
keras.
Dan....
Blaaaam!!
Letupan keras terjadi. Tanah di mana
benturan itu terjadi, muncrat ke udara.
Dan bila saat ini matahari sudah
menampakkan diri, maka akan terlihat
muncratan angin merah ke mana-mana.
Masih dengan pandangan terhalang
oleh muncratan tanah, satu gelombang
angin lainnya menderu cepat ke arah si
pemuda. Merasakan adanya dorongan kuat,
si pemuda menepukkan tangan kanannya
pada lengan kirinya.
Wuuutttl!
Angin berputar tiba-tiba menderu,
melingkar dan membubungkan tanah dalam
pusarannya.
Si kakek yang sudah meluncur
menyerang, mengentakkan rahangnya.
Diurungkan niatnya untuk menyerang. Kaki
kanannya dijejakkan ke tanah. Bersamaan
tubuhnya melenting ke atas, tanah
menghambur ke arah si pemuda. Tetapi
langsung tertelan dalam pusaran angin
yang dilakukan si pemuda.
"Wah! Guru kenapa?! Kenapa harus
melompat ke atas seperti monyet?!"
"Brengsek!"
Bruuutt!
Si kakek memutar tubuhnya kembali.
Lalu digerakkan jotosan tangan kanannya
tepat pada kepala Boma Paksi. Yang
diserang langsung merunduk. Dan
tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat
dari belakang.
Plaaak!!
Si kakek terpental ke belakang dan
hinggap diatas tanah dengan kedua kaki
tegak. Sementara itu, Boma Paksi tetap
berada di tempatnya. Tetapi kedua
kakinya kini melesak hingga lutut di
tanah yang becek.
Belum lagt diangkat kedua kakinya,
mendadak saja dilihatnya tanah bergerak
cepat ke arahnya.
"Waduh! Kenapa Guru mempergunakan
ilmu "Barisan Naga Penghancur karang'? I "
seru Boma Paksi keras.
Dalam gerakan yang sangat cepat,
pemuda tampan ini menghantamkan telapak
tangannya pada tanah yang bergelombang
ke arahnya.
BlaaaammmI
Tanah yang bergerak cepat itu
terhenti seperti ada tenaga yang
menahannya. Dan muncrat ke udara. Tubuh
Boma Paksi terpental. Kedua kakinya yang
ambias sebatas lutut terlepas dan tanah
terbongkar.
Baru saja kedua kakinya hinggap lagi
di atas tanah, tanah sudah bergerak
kembali. Boma Paksi langsung melompat
menghindari barisan tanah yang bergerak
itu. Mendadak...
Desss I I I
Perutnya terhantam satu pukulan
keras yang membuatnya terhuyung. Paras
tampan si pemuda meringis. Perutnya
dirasakan sakit. Rambutnya yang dikuncir
kuda terlempar sejenak ke depan.
"Bodoh! Anak kecil saja mampu
menghindari seranganku" seru Dewa Naga
pada murid kesayangannya ini.
"Astaga, Anak kecil mampu
menghindari pukulan 'Hamparan Naga
Tidur' tadi? Ada-adanya saja guruku ini!
Dia selalu bicara semau jidatnya saja!
Dan pantatnya itu selalu saja berbunyi!
Hmm... akan kuhadapi dia dengan pukulan
yang sama."
Saat lain yang terjadi benar-benar
tak bisa diikuti oleh mata lagi. Hanya
yang terdengar beberapa kali letupan
keras terjadi di sela makian Dewa Naga,
"Murid brengsek! Kau mau menghajar
'kantong menyan'ku ya?!"
Lalu suara Boma Paksi, "Pecah juga
nggak apa-apa. Guru! Toh sudah nggak bisa
digunakan lagi?! Guru ini kok aneh-aneh
saja ya? Buat apa barang yang tidak bisa
dipergunakan lagi masih Guru tangisi
juga?!"
"Bicara sembarangan"
Blaaarr!
Jlgaaarrl!
Dewa Naga semakin gencar menyerang
muridnya, yang dihadapi muridnya dengan
gerakan-gerakan yang tak kalah
gencarnya. Perlahan-lahan matahari pun
mulai naik dan tanpa terasa, matahari
sudah sepenggalah. Embun-embun sudah
mengering. Angin tak lagi menusuk
dingin.
Dan... astaga! Sinar matahari yang
telah menerangi tempat di mana guru dan
murid itu sedang berlatih, namun
serangan demi serangan sangat berbahaya,
membuat jelas tempat itu sekarang.
Benar-benar membuat kepala
menggeleng-geleng. Tempat itu ternyata
sebuah lembah yang ditumbuhi pepohonan.
Anehnya, seluruh pohon yang tumbuh di
sana seperti bersisik. Baik batang,
dahan, ranting maupun daun!
"Gila betul! Guru benar-benar
menganggapku sebagai lawan!" seru Boma
Paksi dalam hati tatkala tanah yang
menghambur ke udara sirap kembali. Rompi
berwarna ungu yang dikenakannya sudah
kotor. Tangan kanan kirinya terasa ngilu
karena berulang kali berbenturan dengan
gurunya.
Tetapi gurunya terus mendesak.
Bahkan langsung mengambil sebatang
ranting dan memutar-mutar ranting itu
hingga si pemuda gelagapan. Dia terus
melompat karena tak diberi kesempatan
membalas.
Plaaakk!
Dia langsung terjajar ke belakang
dengan tangan kanan ngilu begitu kena
gebuk ranting si kakek.
"Guru! Jangan terus menyerangku!
Aku kan tidak bersenjata!" serunya
sambil meluruk ke depan,
Dewa Naga menarik badannya ke
belakang seraya mendorong tangan
kirinya.
Plaak! Plaaakk!
"Huhh! Kau ketakutan ya?!"
"Eh, siapa bilang aku takut?!" seru
Boma Paksi melotot.
Bruuuttt!
"Ya ampun! Kau ini tidak tahu malu
betul, ya? Buang angin sembarangan!"
"Bodo, ah!" sahut Dewa Naga cuek.
Tanpa mengurangi kecepatannya, dia terus
menyerang muridnya itu. Pembicaraan yang
enak saja memang kerap kali terjadi.
Masing-masing orang dapat berbicara
seperti itu. Ini dikarenakan keakraban
di antara mereka. Tetapi Boma Paksi
sendiri masih dapat mengingat posisinya
sebagai seorang murid.
Kibasan demi kibasan ranting yang
dilakukan Dewa Naga memang menyulitkan
Boma Paksi. Tiba-tiba saja pemuda yang
kedua tangannya sebatas siku bersisik
coklat itu menerjang ke depan. Suara
gerengan terdengar keras.
"Bagus! Dia telah mempergunakan
jurus 'Naga Mengamuk'! Aku memang ingin
melihat kemajuannya!" desis Dewa Naga
sambil tersenyum.
Apa yang terjadi kemudian sungguh
mengejutkan. Pepohonan di sana
bertumbangan terhantam tangan kanan kiri
Boma Paksi. Paras si pemuda yang sejak
tadj terlihat konyol, kini meregang
tegang. Tatapan matanya dingin dan
bertambah dingin. Bahkan sisik-sisik
coklat pada kedua tangannya semakin
terang menyala, berkiiat-kilat.
Dewa Naga terus melayani dengan
kibasan rantingnya. Sampai kemudian
ranting itu patah.
"Hebat I Dia dapat mematahkan
rantingku ini!" serunya.
Lalu dengan mempergunakan jurus
'Naga Mengamuk', Dewa Naga melayani
serangan murid tunggalnya. Apa yang
terlihat sungguh mengerikan. Lembah Naga
seperti dilanda kiamat. Letupan demi
letupan terdengar keras dan angker.
Pepohonan tumbang disertai muncratan
tanah di sana-sini. Tempat itu bergetar
hebat.
Dari tindakan yang keduanya
lakukan, terlihat kalau masing-masing
orang telah membahayakan dirinya
sendiri. Masuk dalam pertarungan jarak
dekat dengan kecepatan luar biasa,
memang sama-sama sukar dihindari.
Benturan pun terjadi.
Masing-masing orang mundur lima
tindak ke belakang.
Boma Paksi cepat menangkupkan kedua
tangannya di depan dada. Karena dia
merasa ada hawa panas yang
melingkupinya. Di lain pihak. Dewa Naga
hanya mendengus dan....
Bruuttt!
Hawa panas yang melingkupinya pun
lenyap.
"Luar biasa! Sungguh luar biasa!"
desisnya.
Boma Paksi yang telah selesai
mengalirkan tenaga dalamnya hingga hawa
panas yang melingkupinya lenyap, juga
memandang gurunya. Sisik-sisik coklat
yang menyala tadi, kini lenyap dan
memperlihatkan sisik halus seperti
sebelumnya.
"Guru! Kenapa sih Guru menyerangku
betulan seperti itu?!"
Kakek muka lonjong mengangkat
kepalanya. Dipandanginya pemuda di
hadapannya.
"Sosoknya gagah dan tegap. Wajahnya
tampan. Sifatnya kendati agak konyol
tetapi masih bisa mempergunakan otaknya.
Sorot matanya itu... terkadang
menyiratkan kedinginan dan keangkeran
yang membuat orang berpikir untuk tidak
menatapnya lebih lama. Ah, aku melihat
sosok Pendekar Lontar padanya. Rasanya,
hari inilah saat yang tepat untuk
mengatakan semuanya...."
Berpikir demikian, Dewa Naga
mengangguk-angguk.
"Pertanyaanmu barusan, memang
datang pada waktu yang tepat! Tapi
sebelumnya, aku akan bertanya padamu.
Boma... apakah kau lupa pada peristiwa
dua belas tahun yang lalu?"
★ ★ ★
9
SEJENAK pemuda bersisik coklat itu
terdiam. Dewa Naga melihat pancaran
merah angker dari matanya.
"Aku tahu, dia sedang menahan
gejolak batin di hatinya. Tetapi aku
harus membuka lagi mata dan ingatannya
akan peristiwa dua belas tahun lalu... . "
Lalu dilihatnya muridnya
mengangguk. Suaranya angker tetapi masih
dapat dikendalikan.
"Ya, Guru! Sudah tentu aku tidak
melupakannya! Aku ingat sekali! Saat
itu... Ayah yang berjuluk Pendekar
Lontar telah tewas tanpa diketahui
penyebabnya! Lalu... ada Dua Serangka!
Jubah Hijau! Kakek Dewa Tombak dan Kakek
Dewa Segala Obat! Aku juga ingat, kalau
Ibu tewas dibunuh oleh Dadung Bongkok!"
"Ingatanmu kuat sekali...."
"Ayahku tewas tanpa diketahui
penyebabnya. Ibuku tewas dibunuh Dadung
Bongkok. Ah, lengkaplah apa yang pernah
kupunyai kini menghilang...."
Melihat pemuda di hadapannya
terdiam. Dewa Naga mendengus.
"Kau mau mendengarkan penjelasanku
lagi atau kau cuma mau bengong seperti
kambing ompong, hah?!"
Boma Paksi mengangkat kepalanya.
Dewa Naga berkata, "Dua belas tahun yang
lalu, aku telah mengucapkan sebuah janji
pada Dadung Bongkok! Saat itu, aku memang
hadir di sana, tetapi aku terlambat
karena ibumu sudah dibunuh olehnya! Aku
hanya bisa menyelamatkanmu yang juga
hendak dibunuh Dadung Bongkok!"
"Mengapa Guru tak membunuhnya?"
"Aku tak berhak melakukannya!"
"Mengapa?!" suara si anak muda
terdengar menuntut.
"Bila itu kulakukan, aku hanya akan
menimbulkan keonaran! Jadi, apa bedanya
aku dengan Dadung Bongkok sendiri?
Silang urusan tak pernah terjadi antara
aku dengan orang itu! Lagi pula, aku tak
berhak melakukannya!"
Boma Paksi terdiam. Kemarahannya
mendadak muncul. Tetapi dua kejapan mata
berikut, dia sudah menindih
kemarahannya.
"Dua belas tahun lalu, aku sudah
berkata pada Dadung Bongkok, kalau dia
akan mendapatkan balasannya! Tetapi
kemudian aku menyadari, kalau aku telah
salah berucap!"
"Di mana Dadung Bongkok berada.
Guru?"
"Dia tinggal di Sungai Darah! Tetapi
aku tidak tahu apakah dia masih tinggal
di sana atau tidak! Muridku, sebaiknya
kau melupakan apa yang telah ter j adi . Tak
ada gunanya kau menyimpan dendam atau
membalasnya! Karena dengan begitu urusan
akan semakin panjang. Sebelum kau
berangkat.. . . "
"Tunggu, Guru! Berangkat? Apa
maksud Guru dengan berangkat?" potong
Boma Paksi.
"Berangkat ya berangkat!" bentak
Dewa Naga tiba-tiba. "Kok kau ini bodoh
betul, ya? Berangkat itu sama dengan
meninggalkan tempat ini!"
"Jadi... maksud Guru... aku harus
meninggalkan tempat ini sekarang?!"
"Ya! Kapan lagi?!"
Boma Paksi hendak membantah ucapan
gurunya, tetapi gurunya telah
melanjutkan, "Sebelum kau meninggalkan
tempat ini, ada satu hal yang hendak
kuceritakan padamu."
Boma Paksi tak menjawab.
"Hei! Kau ini mendadak jadi tuli,
ya? ! "
"Apa yang hendak Guru ceritakan?"
"Tentang kematian ayahmu...."
"Kematian Ayah?" ulang Boma Paksi
sambil memandang tajam pada gurunya.
"Ya! Kematian ayahmu?!"
"Guru! Aku hanya ingat, kalau tak
seorang pun yang mengetahui penyebab
kematian Ayah! Bahkan, Ibu pun tidak!"
"Kau betul! Tetapi aku mengetahuinya!"
"Oh! " Paksi
Sejenak Boma Paksi terdiam.
Perasaan pemuda ini kembali bergelora.
Hatinya terbawa iagi pada peristiwa dua
belas tahun yang lalu.
Lamat-lamat dia berkata, "Ceritakanlah, Guru...."
BruuuttI
"Busyet! Pantat ini kok tidak bisa
dia j ak tenang ya? I " maki Dewa Naga. "Masa
bodoh, ah! Mau diajak tenang atau tidak
bukan urusanku!"
Lalu sambil memandangi muridnya
yang masih memandangnya, kakek berjubah
merah itu berkata, "Aku telah memeriksa
tubuh ayahmu. Pada jantungnya, aku
menemukan kejanggalan Dan satu-satunya
racun yang dapat menyebabkan kematian
seperti itu, adalah racun milik Hantu
Menara Berkabut!"
"Hantu Menara Berkabut? Siapakah
dia. Guru?"
"Sampai saat ini. Hantu Menara
Berkabut tak pernah lagi kedengaran
beritanya! Tetapi dulu, aku pernah
sekali bertarung dengannya! Dan aku
berada pada pihak yang menang! Bahkan
sempat kudengar, kalau ayahmu pernah
bertarung pula dengannya! Kendati
sama-sama terluka, tetapi tidak ada yang
tewas! Rupanya, Hantu Menara Berkabut
masih mendendam pada ayahmu yang
kemudian membunuhnya!"
"Guru! Aku ingat, kalau Ayah
mempunyai ilmu 'Raga Rasa" yang
membuatnya akan mengetahui setiap
serangan yang datang! Lantas,
bagaimanakah cara Hantu Menara Berkabut
membunuhnya?"
"Aku tidak bisa menjawab soal itu.
Hanya Dewa Segala Obat yang dapat
menjawabnya. Jadi... kau harus
mencarinya juga dan menanyakan soal
itu. "
"Apakah Ibu mengetahui siapakah
yang telah membunuh Ayah?" tanya Boma
Paksi penuh keingintahuan.
"Aku tidak tahu pasti soal itu!"
"Guru telah mengetahui kalau Hantu
Menara Berkabut yang telah membunuh
Ayah! Tetapi Guru mengatakan tidak tahu
pasti Ibu tahu atau tidak soal itu!
Berarti Guru tak mengatakannya! Mengapa
Guru?! Mengapa tak mengatakannya pada
Ibu?!"
"Saat itu... ibumu dalam keadaan
berduka. Berduka yang sangat dalam. Aku
yakin, bila kukatakan soal itu, tentunya
dia akan menjadi murka. Dalam keadaan
berduka seseorang akan mudah menjadi
berduka dan terluka. Itulah sebabnya,
aku tak mengatakannya. Di samping itu,
aku juga tidak tahu bagaimana caranya
Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu.
Mungkin, saat itu Dewa Segala Obat sudah
datang. Bisa jadi dialah yang
mengatakannya kepada ibumu. Hanya saja,
aku merasa sangsi apakah dia akan
mengatakannya? Karena aku merasa agak
yakin, kalau Dewa Segala Obat pun
mempunyai pertimbangan yang sama
denganku.. . . Tapi sekali lagi, aku masih
meragukan hal itu."
Mendengar penjelasan gurunya, Boma
Paksi mengangguk-angguk mengerti.
Dadanya digolak rasa amarah lagi. Sisik
coklat pada kedua tangannya berubah
terang.
Dewa Naga melihat sinar mata
muridnya berkilat-kilat.
"Kurasakan ada getaran gaib dari
kedua matanya. Ah, matanya itu seperti
mengandung magnet yang menggetarkan ! Dan
gambar seekor naga hijau pada
punggungnya, tentunya memiliki kekuatan
yang sama! Aku tak tahu sama sekali soal
kekuatan itu! Rasanya, biarlah dia yang
menemukan jawabannya kelak!"
Kemudian kakek ini berkata, "Satu
hal lagi yang perlu kukatakan Boma...
pada punggungmu terdapat sebuah tato
naga hijau!"
"Tato naga hijau?"
"Ya! Sebuah gambar seekor naga hijau
yang kau bawa sejak kau dilahirkan oleh
ibumu! Terus terang, aku pernah bermimpi
tentang seorang bocah yang memiliki
gambar seekor naga hijau seperti yang ada
pada punggungmu! Jangan kau tanyakan
apakah naga hijau itu mengandung sesuatu
yang berarti atau tidak! Karena aku tidak
tahu! Jadi kuminta... kau sendiri yang
akan menemukannya kelak! Dan kau harus
berhasil menemukan jawabannya!"
"Ah, selama dua belas tahun ini, aku
tak pernah diliputi rasa marah dan heran
seperti sekarang. Guru telah banyak buka
semua rahasia yang dipendamnya selama
dua belas tahun. Dan dari sikap Guru, aku
merasa pasti, kalau Guru menghendakiku
untuk tinggalkan tempat ini sekarang.
Tentunya bukan dengan maksud mengusir,
tetapi menyuruhku untuk menimba
pengalaman di dunia luar...."
Habis membatin demikian, pemuda
gagah ini merangkapkan kedua tangannya
di depan dada. Dipandanginya sesaat
kakek berjubah merah yang berdiri di
hadapannya. Lamat-lamat ditundukkan
kepalanya tanpa berucap apa pun.
Dewa Naga membatin, "Dia sungguh
mengerti apa yang kumaksudkan. Sikapnya
itu. . . ah. .. benar-benar sungguh luar
biasa. Santun dan sangat santun sekali.
Aku yakin, kelak pemuda ini akan
menggegerkan rimba persilatan. Tapi...
tentang tato naga hijau pada pung¬
gungnya, aku masih belum dapat
memecahkan, rahasia apa yang ada di
sana...."
Kakek muka lonjong penuh sisik itu
perlahan-lahan mendengar kata-kata si
anak muda yang masih menundukkan kepala,
"Guru. . . aku mohon diri
"Bagus kalau kau mengerti apa yang
kumaksudkan! Satu pesanku... di dunia
luar sana, tak sama dengan dunia yang
kita hadapi sekarang ini I Kau akan banyak
menemukan beragam sifat manusia! Kau
akan berhadapan dengan manusia yang
luarnya baik tetapi hatinya busuk! Dan
kau juga akan berhadapan dengan manusia
yang luarnya buruk tetapi hatinya emas !
Juga kau akan berhadapan dengan
manusia-manusia yang bukan hanya
memiliki sifat aneh, tetapi juga
mengerikan! Pesanku, dapatlah kau
menjaga dirimu sendiri. ..." Boma Paksi
mengangguk.
"Akan kuingat pesan, Guru! Guru...
di manakah Hantu Menara Berkabut
berada?"
"Selama dua belas tahun aku terus
berada di sini bersamamu. Ingatanku agak
lupa. Kau harus menemukannya. . . . Dan.. .
tunggu sebentar!"
Boma Paksi melihat gurunya
menjentikkan tangan kanannya ke atas.
Dari atap bangunan kecil yang tak jauh
dari sana, mendadak saja melayang sebuah
benda. Masih melayang di udara. Dewa Naga
menjentikkan lagi tangannya
Benda yang melayang itu terpental
lagi, kali ini mengarah pada Boma Paksi
yang dengan sigap menangkapnya.
"Oh! Gumpalan daun lontar!"
serunya. Lalu tanyanya kemudian, "Untuk
apakah benda ini. Guru? Dan mengapa aku
seperti begitu akrab dengan benda ini?"
"Benda itulah yang diinginkan oleh
Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok.
Benda itulah yang menyebabkan ibumu
dibunuh olehnya?!"
"Aneh! Mengapa hanya gumpalan daun
lontar ini saja orang-orang seperti Ratu
Sejuta Setan dan Dadung Bongkok
menginginkannya?!"
"Kau akan tahu jawabannya kelak!
Sekarang... berangkatlah!!"
Boma Paksi memasukkan gumpalan daun
lontar itu ke balik pakaiannya. Dan
mendadak saja dia lerkejut.
"Heiii!!"
Kalau biasanya sebuah benda bulat
bila dimasukkan ke balik pakaian akan
menonjol, tetapi gumpalan daun lontar
yang tetap segar dan bersinar terang itu,
justru mendadak saja mengempis. Begitu
mengempis, Boma Paksi merasakan ada hawa
sejuk yang mengaliri sekujur tubuhnya.
"Guru!"
"Jangan banyak tanya lagi! Sana
pergi! Dan j angan terpancing oleh hal-hal
yang dapat mencelakakanmu sendiri...."
"Semua pesan Guru akan kuingat!"
"Jangan meremehkan siapa pun juga!
Dan katau bisa, hindarilah pertempuran
dengan siapa pun juga. Di samping itu,
jangan suka menyimpan dendam! 'Raja
Naga' berangkatlah kau sekarang!"
Boma Paksi terdiam dengan keningnya
berkerut. Matanya menatap dalam gurunya.
"Guru memanggilku Raja Naga?"
desisnya dalam hati.
"Hei, Mengapa kau masih berada di
sini, hah?! Ayo! Kau pergi sana! Otakku
jadi mumet bila melihatmu masih berada di
sini!"
Setelah merangkapkan kedua
tangannya dan mengucapkan terima kasih,
Boma Paksi pun muiai berlari
meninggalkan tempat itu. Ilmu peringan
tubuh dipergunakannya hingga dalam
beberapa kejap saja dia sudah berada jauh
dari Lembah Naga. Dilihatnya lembah itu
sekali lagi. Warna hijau menyelimutinya,
seperti menyemarakkan tempat. Tetapi di
balik semua itu, tersimpan keangkeran
dalam yang tak bisa dipecahkan. Juga
mengenai pepohonan yang semuanya
bersisik halus.
"Guru... aku mohon restumu...."
Kejap kemudian, pemuda gagah
berompi ungu dengan kedua tangan sebatas
siku dipenuhi sisik coklat, sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu
dengan berjuta rintangan yang harus
dihadapinya.
Kelak, rimba persilatan akan
dikejutkan dengan munculnya seorang
tokoh muda berjuluk 'Raja Naga'
SELESAI
RAJA NAGA
Ikuti kelanjutan serial ini:
Ikuti kelanjutan serial ini:
'KUTUKAN MANUSIA SEKARAT'
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Emoticon