SATU
PENGEMIS Pincang seketika buka ueapan,
"Pemuda berompi ungu! Siapa kau yang berani
Orang yang dibentak Pengemis Pincang tak
menjawab. Sorot kedua matanya begitu angker
mengerikan. Dia melirik Dayang Biru yang sedang
berdiri agak goyah dengan dada naik turun.
"Hemmm... lelaki berpakaian putih penuh
tambalan ini masih juga membuat onar. Dialah
yang memulai mengambil Kain Pusaka Setan
yang kemudian direbut oleh gadis berpakaian
kuning. Aku tak tahu ada urusan apa dia dengan
gadis berpakaian biru ini. Tetapi yang kutahu,
Pengemis Pincang bukanlah orang baik-baik...."
Karena ucapannya tak mendapatkan sahu-
tan, Pengemis Pincang menggeram gusar. Tangan
kanannya menunjuk tepat ke arah wajah si pe-
muda yang bukan lain Boma Paksi alias Raja Na-
ga. Sesaat dia menelan ludahnya begitu melihat
tatapan yang sedemikian angker terpancar dari
mata pemuda tampan berambut gondrong tak be-
raturan!
"Bagus! Kau tak mau menjawab perta-
nyaanku! Berarti kau telah siap untuk mampus!"
Habis ucapannya. Pengemis Pincang siap
melepaskan ilmu 'Menggiring Awan Hitam' yang
telah membuat Dayang Biru kewalahan. Bila saja
Raja Naga tidak muncul mungkin gadis jelita ber-
kuncir kuda itu sudah tewas di tangan Pengemis
Pincang.
Sebelum Pengemis Pincang melancarkan
serangan, Raja Naga sudah berseru, "Pengemis
Pincang! Aku tak pernah campuri urusan orang!
Apalagi urusanmu dengan gadis berpakaian biru
ini! Tetapi... aku ingin masalah dapat dituntaskan
tanpa ada dendam lain!"
Pengemis Pineang yang urung menyerang
justru mengerutkan kening.
"Gila! Baru pertama kali aku berjumpa
dengan pemuda ini, tetapi dia sudah mengenalku,
sementara aku tak tahu siapa dia adanya."
Tetap dengan suara menyentak keras. Pen-
gemis Pincang berseru, "Anak muda! Siapa kau
sebenarnya?!"
Pemuda itu terdiam beberapa saat sebelum
menjawab,
"Namaku Boma Paksi... iulukanku Raja
Naga!"
Ucapan dingin dengan sorot mata angker
itu membuat Pengemis Pincang terdiam. Tapi di
kejap lain dia sudah membentak kembali, "Raja
Naga! Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini sebe-
lum terlambat!"
Raja Naga menggeleng.
"Pengemis Pincang... aku tahu apa yang
sedang kau eari! Seorang gadis berpakaian kun-
ing yang telah merebut Kain Pusaka Setan yang
sudah kau dapatkan dengan eara berlagak bodoh
di hadapan Demit Merah! Apakah gadis ini ada
hubungannya dengan gadis berpakaian kuning?!"
Kembali Pengemis Pineang terdiam. Kedua
matanya memandang tak berkedip.
"Pemuda bersisik eoklat ini ternyata bukan
hanya mengetahui julukanku, tetapi juga menge-
tahui apa yang telah kulakukan. Jangan-jangan...
dia berada di sekitar Taman Kematian tatkala aku
dan Demit Merah mendatangi tempat itu?"
Selagi Pengemis Pineang membatin, Raja
Naga yang memang sebelumnya melihat kejadian
di Taman Kematian sudah berkata lagi, "Kain Pu-
saka Setan adalah sebuah benda yang sangat
mengerikan! Kau berusaha untuk merebutnya
kembali karena kau hendak membuat perhitun-
gan dengan Dewi Bintang yang belum kutahu sia-
pa adanya orang! Dan siapa pun yang memiliki
Kain Pusaka Setan, aku akan merebut dari tan-
gannya untuk kubuang jauh atau ku kubur di sa-
tu tempat!"
Mendengar kata-kata itu, menggigil tubuh
Pengemis Pineang. Kemarahannya yang sempat
surut tadi naik kembali.
"Pemuda ini benar-benar telah mengetahui
semuanya, bahkan reneanaku untuk membunuh
Dewi Bintang pun juga diketahuinya...," katanya
dalam hati. "Huh! Menilik gelagatnya. Jelas kalau
anak muda bersisik eoklat ini akan jadi duri dari
semua reneanaku! Sebaiknya... kuhabisi saja dia
sekarang!"
Memutuskan demikian. Pengemis Pineang
mengerahkan tenaga dalamnya.
"Anak muda! Kau terlalu banyak tahu!"
Kejap kemudian, lelaki pincang ini sudah
melesat ke depan. Tangan kanan kirinya bergerak
cepat. Raja Naga hanya terdiam di tempatnya. Be-
gitu kedua jotosan lawan siap menghajar wajah-
nya, dia segera mengangkat kedua tangannya
dengan cara menyentak.
Buk! Buk!
Dua benturan terjadi susul men3nisul. Raja
Naga tetap berada di tempatnya tanpa bergeser
sedikit pun juga. Tetapi di pihak lain. Pengemis
Pincang justru mundur beberapa langkah. Kedua
tangannya yang berbenturan dengan kedua tan-
gan Raja Naga nampak agak membiru. Rasa nyeri
dirasakannya.
"Gila! Tenaga dalamnya sungguh hebat!"
desisnya.
Raja Naga tersen3mm. Apa yang diduga
Pengemis Pincang salah besar. Karena anak muda
dari Lembah Naga ini belum mengeluarkan tenaga
dalam. Kalau pun Pengemis Pincang merasakan
ngilu pada kedua tangannya akibat benturan tadi,
itu dikarenakan kedua tangan Raja Naga yang
bersisik coklat sebatas siku memiliki satu keam-
puhan luar biasa!
Pengemis Pincang menggereng keras. Kali
ini dia mengerahkan ilmu 'Menggiring Awan Hi-
tam'. Disertai teriakan membahana, dia sudah
menerjang kembali. Tangan kanan kirinya dido-
rong yang serta merta menggebah awan-awan hi-
tam yang mengeluarkan suara bergemuruh.
Dayang Biru yang sejak tadi terdiam dan
agak terkejut melihat mundurnya Pengemis Pin-
cang begitu berbenturan dengan kedua tangan si
pemuda, mendadak berseru, "Awaasss! Awan-
awan hitam itu dapat menghanguskan tubuhmu!"
Dayang Biru sendiri sudah melompat ke
samping kanan. Di pihak lain. Raja Naga menje-
rengkan matanya. Dari gelagatnya tak ada tanda-
tanda dia akan menghindar. Bahkan tak terlihat
dia juga akan lakukan satu papakan.
"Gila! Kau bisa hangus!!" seruan kaget ter-
lontar dari mulut Dayang Biru.
Murid Dewa Naga melirik sekilas. Bersa-
maan lirikannya diarahkan kembali pada awan-
awan hitam yang menggebrak ke arahnya, dia
mendehem kecil.
"Ehmmm!"
Mendadak....
Blaar! Blaaarr! Blaaarrr!
Satu tenaga dahsyat menggebah, menghan-
tam awan-awan hitam itu hingga putus di tengah
jalan, berhamburan mengenai bagian-bagian po-
hon yang seketika hangus.
"Gila!" seruan itu terdengar bersamaan dari
mulut Dayang Biru dan Pengemis Pincang.
Kalau Dayang Biru kemudian berdecak ka-
gum. Pengemis Pincang melongo dengan mulut
membuka lebar.
Raja Naga tetap berdiri tegak di tempatnya.
Sorot matanya semakin angker mengerikan.
"Kau terlalu banyak berbuat kekejian, Pen-
gemis Pincang! Kau telah memperalat seseorang
dengan imbalan berlian yang bukanlah milikmu,
tetapi kau katakan sebagai harta karun! Padahal
yang kau hendaki adalah Kain Pusaka Setan!"
Pengemis Pincang yang masih memandang
tak percaya kalau ada orang yang mampu men-
gandaskan ilmu 'Menggiring Awan Hitam'nya den-
gan satu deheman saja, tak bersuara walau terli-
hat mulutnya berkemak-kemik. Kalaupun tadi dia
sempat dikejutkan akibat benturan dengan kedua
tangan si pemuda, kali ini rasa terkejutnya men-
jadi lebih besar!
Tetapi di saat lain dia sudah membentak,
"Pemuda bersisik! Siapa kau sebenarnya? Manu-
siakah atau setan gentayangan penghuni tempat
ini?!"
Raja Naga tak menyahut. Matanya tetap
memandang angker. Lamat-lamat dia justru men-
garahkan pandangannya pada Dayang Biru yang
juga menatapnya takjub.
"Gadis berpakaian biru... lebih baik kau
segera tinggalkan tempat ini! Tak perlu buka uru-
san dengan orang seperti dia!"
Mendengar kata-kata itu. Dayang Biru seo-
lah diingatkan kalau ada orang lain yang sebe-
lumnya menghendaki nyawanya. Seketika itu dia
memutar tubuh dan memandang Pengemis Pin-
eang tajam-tajam.
Masih memandang lelaki berpakaian putih
penuh tambalan warna-warni itu dia mendesis,
"Manusia satu itu telah menuduh saudaraku
yang merebut Kain Pusaka Setan! Bahkan dia te-
lah menantang guruku! Apakah aku tak boleh tu-
run tangan untuk menutup mulut lancangnya?!"
Raja Naga melirik si gadis tajam. Lalu ka-
tanya, "Mengapa dia menuduh saudaramu yang
telah merebut Kain Pusaka Setan?!"
"Kebetulan sekali saudaraku mengenakan
pakaian berwarna kuning, sama seperti gadis
yang telah merebut benda itu dari tangannya!"
"Hmmm... s! Bayangan Kuning? Aku juga
menduga kalau dia seorang gadis? Aku memang
datang agak terlambat. Baru muncul dan lang-
sung menyelamatkan gadis ini dari serangan Pen-
gemis Pincang, hingga aku belum jelas masalah
apa yang sebenarnya keduanya hadapi sekarang
ini...."
Selagi Raja Naga membatin demikian. Pen-
gemis Pincang sudah membentak, "Raja Naga!
Sekali lagi kukatakan, lebih baik kau pergi dari
sini! Jangan campuri urusanku!"
Raja Naga memandang Pengemis Pincang
dengan sorot matanya yang tetap angker menge-
rikan.
"Urusan Kain Pusaka Setan memang masih
buntu sampai saat ini. Si bayangan kuning yang
belum diketahui siapa adanya, dapat saja menim-
bulkan keonaran dengan mempergunakan Kain
Pusaka Setan. Inilah yang harus kukejar...."
Habis membatin demikian. Raja Naga be-
rucap, "Baik... aku akan menyingkir dari sini. Te-
tapi aku ingin melihat kepergian kau lebih dulu
dari sini!"
"Terkutuk! Kau mencoba menghalangi apa
yang ku mau, nah?!" menggeram Pengemis Pin-
cang sambil melesat ke depan. Tangan kanan ki-
rinya digerakkan lagi dengan tenaga berlipat gan-
da. Awan-awan hitam yang mengeluarkan hawa
dingin sudah menggebrak dahsyat!
Kalau sebelumnya Raja Naga hanya men-
dehem mematahkan serangan ganas itu, kali ini
dia membuang tubuh ke samping, karena kekua-
tan gelombang awan-awan hitam itu lebih dah-
syat dari yang pertama! Bersamaan dia menghin-
dar, tangan kanannya segera dikibaskan!
Blaaamm! Blaaam! Blaaammm!
Awan-awan hitam itu pun lagi-lagi putus di
tengah jalan.
"Jangan membuat kemarahanku semakin
membara!" bentak Raja Naga setelah berdiri te-
gak.
Di tempatnya lagi-lagi Pengemis Pincang
terdiam dengan mulut menganga lebar.
"Celaka! Aku bisa celaka kalau terus mene-
rus mencoba untuk mengalahkannya! Ilmu
'Menggiring Awan Hitam' tetap dengan mudah di-
patahkannya! Huh! Lebih baik aku menyingkir
dulu dari sini untuk kemudian mengikuti ke ma-
na perginya Dayang Biru! Aku merasa pasti kalau
Dayang Kuning-lah orang yang telah menyambar
Kain Pusaka Setan!"
Memutuskan demikian, dengan tatapan
angkuh disertai gusaran kemarahan tinggi, Pen-
gemis Pincang buka suara, "Raja Naga! Untuk
saat ini kuanggap persoalan selesai! Dan kelak...
urusan ini akan kita lanjutkan lagi!"
Kemudian diarahkan pandangannya pada
Dayang Biru. "Gadis keparat! Kau tak akan per-
nah bisa meloloskan diri dari tanganku! Bukan
hanya kau saja yang akan kukejar, tetapi Dayang
Kuning dan gurumu sendiri yang berjuluk Ratu
Dayang-dayang pun akan mampus di tanganku!!"
Habis mengumbar aneamannya. Pengemis
Pineang segera mengempos tubuh di antara pan-
dangan dendam dari Dayang Biru dan helaan na-
pas pendek Raja Naga.
Dayang Biru menatap Raja Naga.
"Sobat... mengapa kau melepaskan manu-
sia keparat seperti dia? Tak seharusnya kau la-
kukan seperti itu!"
Raja Naga melirik.
"Apa yang seharusnya kulakukan?"
"Manusia seperti dia tak layak hidup!"
"Kau menghendaki dia mati?"
"Sangat menghendaki!"
"Kalau begitu... apa bedanya aku dengan
dirinya bila kulakukan hal yang sama dengan
keinginannya untuk membunuhmu?"
Ucapan Raja Naga membuat Dayang Biru
sesaat terdiam sebelum mendengus.
Raja Naga tak menghiraukan dengusan itu,
dia berkata, "Dayang Biru... apakah kau memang
memiliki seorang saudara berpakaian serba kun-
ing?"
"Mengapa kau bertanya demikian?!" desis
Dayang Biru dengan mata men3dpit.
"Aku ingin meluruskan ketimpangan yang
ada! Terus terang, saat ini aku sedang mencari
gadis berpakaian kuning yang telah merebut Kain
Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang!"
Dayang Biru menatap pemuda di hadapan-
nya lekat-lekat.
"Hemm... rupanya dia termasuk salah seo-
rang yang menghendaki Kain Pusaka Setan! Be-
rarti... dia juga termasuk orang yang harus ku-
singkirkan!" desisnya dalam hati. Lalu katanya
dengan mulut agak dirapatkan, "Raja Naga... per-
lu kau ketahui, aku dan saudara seperguruanku
pun sedang berusaha untuk mendapatkan Kain
Pusaka Setan yang terdapat di Taman Kematian!
Perjumpaanku dengan Pengemis Pincang sudah
menjelaskan kalau aku tak perlu lagi datang ke
Taman Kematian! Karena, Kain Pusaka Setan
yang didapatkannya telah direbut seseorang ber-
pakaian kuning!"
"Jadi... apa yang dikatakan Pengemis Pin-
cang itu benar?!"
"Tak sepenuhnya benar! Karena... aku be-
lum pasti apakah memang gadis berpakaian kun-
ing yang telah merebut Kain Pusaka Setan dari
tangan Pengemis Pincang, memang saudara se-
perguruanku si Dayang Kuning atau bukan!"
"Siapakah yang men3airuhmu untuk men-
gambil Kain Pusaka Setan?" tanya Raja Naga.
Dayang Biru tak segera menjawab. Kemu-
dian katanya, "Guruku...."
"Pengemis Pineang menyebutkan julukan
gurumu; Ratu Dayang-dayang! Hemm... apakah
kau mengetahui mengapa gurumu memerintah-
kan kau dan Dayang Kuning untuk mendapatkan
Kain Pusaka Setan?!"
Pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh
Pengemis Pineang sebelumnya itu sudah mem-
buat gusar Dayang Biru. Dan sekarang dia men-
dengar lagi pertanyaan yang sama, yang semakin
membuatnya bertambah gusar.
"Raja Naga... kendati kau telah menolong-
ku, jangan harap aku mau menjawab pertanyaan
itu! Karena aku tak berhak untuk mengetahuinya!
Apalagi kau?!"
"Berarti... kau tak tahu sebab-sebabnya?!"
"Tutup mulutmu! Tadi sudah kukatakan,
jangan meneampuri urusan itu!"
Raja Naga menjerengkan matanya. Lama
dia memandang si gadis yang sedang sengit me-
mandangnya, tetapi kemudian disertai dengusan
kesal segera menunduk.
"Gila! Tatapan itu seperti meremas jan-
tungku!" desis Dayang Biru dalam hati.
"Dayang Biru... bukan maksudku untuk
meneampuri urusanmu! Tetapi, aku sudah
niatkan tekad untuk merebut Kain Pusaka Setan!
Bahkan kalau mampu akan kuhaneurkan!"
"Mengapa kau mau melakukannya?!" Raja
Naga mengarahkan pandangan ke tempat lain.
"Kau belum melihat kehebatan sekaligus
kekejaman Kain Pusaka Setan! Kain hitam usang
itu bukanlah benda sembarangan! Dia dapat
menghaneurkan apa saja dengan satu kibasan
lembuti Dapat kau bayangkan bila dilakukan
dengan satu sentakan kerasi Dan aku sudah
membayangkan, orang yang akan mendapatkan-
nya akan melakukan satu tindakan makar yang
mengerikan!"
"Kata-katanya sungguh masuk akal. Teta-
pi... apakah guruku akan lakukan tindakan se-
perti itu juga?" desis Dayang Biru dalam hati.
Lantas berkata, "Kau terlalu banyak menuduh!
Bagaimana bila orang yang kemudian memiliki
Kain Pusaka Setan bermaksud baik?!"
"Bila orang itu bermaksud baik, dia tak
akan pernah memilikinya! Karena dia tahu kalau
Kain Pusaka Setan akan menimbulkan petaka!
Berarti... dia akan membuangnya jauh-jauh atau
menguburnya dan membawa rahasia itu sampai
mati!"
Lagi-lagi Dayang Biru tak buka suara. Di-
bayangkannya apa yang akan dilakukan gurunya
bila sudah mendapatkan Kain Pusaka Setan.
Sembari menggeleng-gelengkan kepala, ga-
dis berponi indah ini mendesis, "Tak mungkin...
tak mungkin guruku akan melakukan tindakan
seperti yang kau katakan. Selama ini aku men-
genal guruku adalah orang baik-baik...."
"Jadi kau yakin kalau Dayang Kuninglah
yang telah merebut Kain Pusaka Setan dan telah
menyerahkannya pada gurumu?" sambar Raja
Naga tiba-tiba.
Ucapan yang mengejutkan itu membuat
Dayang Biru segera mengangkat kepala.
"Aku tak pernah mengatakan seperti itu!"
"Tetapi dari ueapanmu, kau seperti punya
dugaan seperti itu!"
Dayang Biru tak menjawab.
"Ah, apa yang sebenarnya sedang kulaku-
kan saat ini? Aku telah terpaneing oleh setiap ka-
ta-katanya? Huh! Lebih baik kusudahi saja per-
cakapan in! dan kembali menjumpai Guru untuk
mendapatkan kejelasan!"
Memutuskan demikian Dayang Biru berka-
ta, "Raja Naga... kita hanya membiearakan pepe-
san kosong yang belum jelas! Kuucapkan terima
kasih atas pertolonganmu tadi!"
Baru habis ueapannya, gadis berpakaian
serba biru itu sudah melesat meninggalkan Raja
Naga. Raja Naga tak melakukan tindakan apa-
apa. Dia membiarkan si gadis minggat.
"Urusan Kain Pusaka Setan ini masih
membingungkanku. Terutama apa yang sebelum-
nya terjadi di balik semua ini. Julukan Peramal
Sakti, Ki Dundung Kali, Dewi Bintang, Ratu
Dayang-dayang dan Dayang Kuning masih mem-
buatku pusing. Aku hanya tahu julukan mereka
saja tanpa tahu siapa mereka sebenarnya...."
Untuk sesaat murid Dewa Naga ini terdiam,
sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam.
"Sebaiknya kuikuti saja Dayang Biru. Mu-
dah-mudahan dia akan membawaku pada tempat
yang lebih jelas, terutama siapakah orang yang te-
lah mendapatkan Kain Pusaka Setan...."
Memutuskan demikian, pemuda tampan
bersisik eoklat ini segera mengempos tubuh ke
arah perginya Dayang Biru.
***
DUA
BERSAMAAN kokokan ayam jantan dan si-
nar sang Fajar menerobos dedaunan, satu sosok
tubuh bongkok menyeruak dari balik ranggasan
semak. Sesaat kakek bongkok yang pada tangan
kanannya terdapat sebuah tongkat hitam ini me-
mandangi sekelilingnya dengan pandangan sengit,
sebelum melangkah lagi. Saat melangkah, pa-
kaian hitam panjang yang dikenakannya berkibar
dihembus angin.
Baru sepuluh tindak dia melangkah, seeara
tiba-tiba dihentikan langkahnya. Dan langsung
terdengar makiannya, "Kurang asem! Kata-kata Ki
Dundung Kali maupun Peramal Sakti memang
benari Tak mungkin muridku tewas akibat ilmu
'Menggiring Awan Hitam'! Keparat betul! Betul-
betul keparat! Kalau begitu, siapa yang telah
membunuh muridku itu?!"
Kakek berambut panjang ini terus memaki-
maki. Seekor kelinci lewat, sesaat hewan gemuk
menggemaskan itu menegakkan kepalanya den-
gan sepasang telinga panjangnya yang bergerak-
gerak sebelum kemudian berlari lagi.
Apa yang dilakukan kelinci gemuk itu tak
menarik perhatian kakek yang bukan lain Dadu
Ganggang adanya. Si kakek sudah mengangkat
kepalanya, memandang ke depan.
"Dasar murid tolol! Mengapa dia tak meng-
hajar Pengemis Pincang?! Mengapa dia mau men-
gikuti manusia satu itu? Benar-benar tolol!" ge-
ramnya kemudian.
Tongkatnya tahu-tahu amblas sebatas lu-
tut. Bersamaan dia menarik kembali tongkat itu
yang membuat tanah muncrat ke udara, mulut-
nya berbunyi lagi, "Huh! Biar bagaimanapun juga,
murid Ki Dundung Kali yang katanya sudah tak
dianggapnya sebagai murid karena telah meracu-
ninya, akan kuhajar sampai patah tulang ka-
kinya! Karena dialah yang mengajak muridku per-
tama kali!!"
Seperti diceritakan pada episode "Taman
Kematian" Dadu Ganggang menjumpai muridnya
yang dijulukinya Demit Merah telah tewas. Meli-
hat muridnya tewas dengan tubuh hangus. Dadu
Ganggang menyangka kalau Pengemis Pincanglah
yang telah membunuhnya, mengingat Demit Me-
rah pergi bersama Pengemis Pincang. Terutama
lagi, akan ilmu 'Menggiring Awan Hitam' yang di-
miliki Pengemis Pincang. Tetapi mencari Pengemis
Pincang akan sulit dilakukannya. Makanya dia
mendatangi Ki Dundung Kali yang merupakan
guru dari Pengemis Pincang yang saat itu kebetu-
lan bersama dengan Peramal Sakti. Tetapi dari
penjelasan Ki Dundung Kali maupun Peramal
Sakti, Dadu Ganggang akhirnya men3airutkan
kemarahan.
"Keparat! Aku baru sadar kalau Ilmu
'Menggiring Awan Hitam' tak akan menghan-
guskan jantung! Setan! Kemungkinannya besar
sekali kalau bukan Pengemis Pincang yang mem-
bunuh muridku si Demit Merah! Lantas... siapa-
kah yang telah membunuh muridku yang beru-
bah menjadi tolol karena mau-maunya mengikuti
Pengemis Pincang?!"
Dadu Ganggang kembali menggeram pan-
jang pendek. Dan kehadiran Dadu Ganggang di
tempat itu, sebenarnya sudah menarik perhatian
sepasang mata indah yang berada di atas sebuah
pohon. Begitu mendengar suara orang memaki-
maki, si pemilik mata indah yang sebelumnya se-
dang tidur terbangun. Dicarinya dari mana ma-
kian yang didengarnya itu yang kini sudah dili-
hatnya siapa orangnya.
"Astaga! Kakek itu menyebut Demit Merah
sebagai muridnya?!" desis si pemilik mata indah
berambut dikuncir ini dalam hati. Tubuhnya dis-
usupkan lebih jauh, agar terhalang dedaunan.
Dia juga mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.
"Hemm... berarti, kakek bongkok itu adalah guru
Demit Merah yang sedang mencari pembunuh-
nya?! Dan tadi kudengar dia berulangkali menye-
but julukan Pengemis Pincang! Hemm... bukan-
kah dari orang itulah kurebut Kain Pusaka Setan?
Kalau begitu... kehadiranku di sini tak boleh dike-
tahui si kakek!"
Si pemilik mata indah berpakaian kuning
ini tetap berusaha untuk tak bersuara. Bahkan
bernapas pun sangat pelan dilakukannya. Diden-
garnya lagi apa yang dikatakan kakek bongkok
bertongkat hitam.
"Siapa pun yang telah membunuh murid-
ku, dia akan kueabik-eabik sebelum kurenggut
nyawanya!! Akan kubantai dia hingga menyesal
telah melakukan tindakan busuk terhadap mu-
ridku!"
Dadu Ganggang sesaat terdiam. Lalu sam-
bungnya lebih sengit, "Dasar tolol! Apa yang
membuatnya tertarik mengikuti Pengemis Pin-
cang, yang justru perjalanan itu kemudian men-
gakhiri hidupnya?!"
Terlihat dada kurus Dadu Ganggang naik
turun pertanda dia masih direjam kemarahannya.
Biar bagaimanapun juga. Demit Merah adalah
murid satu-satunya yang hendak diwarisi seluruh
ilmu yang dimilikinya. Dadu Ganggang termasuk
salah seorang tokoh rimba persilatan yang berdiri
di tengah-tengah aliran. Dia dapat berbuat kejam
laksana orang aliran sesat tetapi dapat juga ber-
tindak santun seperti orang aliran lurus.
Mendadak si kakek bongkok ini memutus
makiannya sendiri. Kepalanya secara tiba-tiba di-
palingkan ke kanan.
"Hemm... kutangkap satu gerakan terburu-
buru ke arah sini?! Huh! Siapa orangnya yang
akan muncul di hadapanku?!"
Gerakan si kakek yang melihat ke kanan
itu menarik perhatian gadis bermata indah yang
bersembunyi di atas sebuah pohon. Tanpa sadar
dia ikut-ikutan memandang ke kanan.
"Hemm... tak kulihat siapa pun di sana. Te-
tapi dari tanda-tandanya, si kakek bongkok me-
nangkap satu suara yang membuatnya curiga.
Aku harus lebih berhati-hati. Telinga si kakek ru-
panya begitu peka...."
Di bawah, kakek bertongkat hitam itu terus
mengarahkan pandangannya ke depan. Sepasang
matanya tak berkedip, agak menyipit. Kedua
daun telinganya bergerak-gerak.
"Hemmm... manusia yang datang ini sema-
kin dekat!" desisnya pelan.
Tak lama kemudian, orang yang ditung-
gunya itu pun memperlihatkan sosoknya. Dia
seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh ta-
hunan. Parasnya elok dengan hidung bangir dan
kulit putih mulus. Rambutnya hitam tergerai. Pa-
da keningnya terdapat sebuah ikat kepala ber-
warna perak yang di tengah-tengahnya terdapat
sebuah bintang bersinar berwarna sama. Perem-
puan yang pada bagian lengan kanan kirinya ter-
dapat gelang-gelang warna perak ini mengenakan
pakaian berwarna hijau keputihan.
Sejenak si perempuan berikat kepala ter-
dapat sebuah bintang mengerutkan keningnya
tatkala melihat satu sosok tubuh berdiri di hada-
pannya.
Dadu Ganggang sendiri tak bersuara. Dia
hanya memandang lekat-lekat perempuan di ha-
dapannya. Belum lagi dia angkat bicara, si pe-
rempuan sudah mendahului,
"Tanpa mengurangi rasa hormatku pada-
mu, Orang tua... menilik ciri yang ada padamu...
salahkah bila kukatakan kau adalah Dadu Gang-
gang?!"
Ucapan si perempuan disambut dengusan
oleh Dadu Ganggang. Matanya melotot.
"Kau tak salah berucap demikian! Perem-
puan cantik, siapakah kau adanya?!"
Begitu apa yang diucapkannya dibenarkan
si kakek, perempuan ini langsung merangkapkan
kedua tangannya di depan dada. Lalu berkata
hormat,
"Nama besar Dadu Ganggang telah sampai
di telingaku! Aku yang tak punya kemampuan ini
bernama Gita Malam! Tetapi orang-orang menju-
lukiku Dewi Bintang!"
Dadu Ganggang hanya memandang dan
berkata dalam hati, "Sikapnya sungguh sopan.
Nada suaranya pun enak didengar,"
Sementara itu di balik rimbunnya dedau-
nan, gadis berpakaian kuning mendesis dalam
hati, "Si kakek bernama Dadu Ganggang dan si
perempuan berjuluk Dewi Bintang. Hemmm...
sungguh banyak rupanya orang rimba persilatan
yang belum kukenal. Yang kuketahui saat ini, ka-
lau si kakek sedang mencari orang yang telah
membunuh muridnya, si Demit Merah. Ah... aku
tak mau menghadapi urusan dengannya. Sebaik-
nya tetap ku usahakan kehadiranku di sini tak
diketahui oleh salah seorang dari keduanya."
Dewi Bintang memandang kakek di hada-
pannya yang sedang melotot padanya. Lalu den-
gan suara yang tetap sopan dia berkata, "Di tem-
pat seperti ini tak ada sesuatu yang menarik un-
tuk diperhatikan, bahkan tempat ini begitu sunyi.
Lantas, kalau kau berkenan, ada urusan apakah
bisa-bisanya kau berada di sini. Orang tua?"
"Perempuan!" bentak Dadu Ganggang den-
gan senyuman sinis. "Kau baru saja datang di
tempat ini, tetapi sudah banyak pertanyaan! Apa
mulutmu tak enak bila kau tak segera melontar-
kan pertanyaan?!"
Makian itu hanya disambut senyuman oleh
Dewi Bintang.
"Sudah lama kudengar nama tokoh ini, te-
tapi baru kali ini aku beijumpa dengannya...." ka-
tanya dalam hati.
"Ganti aku yang harus bertanya padamu!"
Dewi Bintang mengangguk. Di hadapannya
Dadu Ganggang tak segera melontarkan perta-
nyaannya. Dipandanginya dulu lekat-lekat pe-
rempuan di hadapannya. Lalu, "Aku sedang men-
eari manusia keparat berjuluk Pengemis Pineang!
Karena dialah orang terakhir yang kuketahui ber-
sama-sama dengan muridku!"
Mendengar julukan itu disebutkan, kepala
Dewi Bintang menegak. Bola matanya yang bagus
tak berkedip. Terbuka agak lebar. Lamat-lamat
terlihat keningnya sedikit dikerutkan. "Pengemis
Pineang?!"
"Kau tentunya tidak tuli! Jadi kau jelas
mendengarnya! Lalu dengan maksud apa kau
mengulangi lagi ueapanku?!" bentak Dadu Gang-
gang keras.
"Orang tua... bukan laneang aku mencam-
puri urusan, tetapi aku ingin tahu, mengapa kau
mencari Pengemis Pincang?"
"Muridku telah mampus dibunuh oleh se-
seorang yang tak kuketahui siapa adanya! Satu-
satunya orang yang dapat kujadikan sebagai tem-
pat bertanya hanyalah Pengemis Pincang, karena
dialah orang terakhir yang bersama dengan mu-
ridku!"
Perempuan berpakaian hijau keputihan
yang membungkus tubuh sintalnya, menggeleng-
geleng setelah terdiam beberapa saat.
"Aku bukan hanya pernah mendengar ju-
lukan Pengemis Pincang, bahkan aku sangat
mengenalnya! Tetapi sayang, sudah lima tahun
terakhir ini aku tak berjumpa dengannya!"
Dadu Ganggang mengertakkan rahangnya.
"Dari ucapanmu jelas kalau kau tak bertemu
dengannya sebelumnya, dan jelas pula kau tidak
tahu di mana dia berada! Sekarang lebih baik
men3dngkir dari hadapanku!"
"Orang tua... sekali lagi bukan lancang
mencampuri urusan, tetapi saat ini aku pun se-
dang mencarinya...."
"Hemm... apa maksudmu dengan menca-
rinya?"
Dewi Bintang tak segera menjawab. Lamat-
lamat dia justru mengarahkan pandangannya ke
kejauhan. Lantas pelan-pelan kembali diarahkan-
nya pada Dadu Ganggang.
"Lima tahun lalu, Pengemis Pincang telah
membuka urusan denganku! Karena... dia telah
memperkosa adikku satu-satunya yang kala itu
baru berusia tujuh belas tahuni Karena menderita
malu berkepanjangan, adikku akhirnya membu-
nuh diri! Dengan penuh amarah dan dendam,
aku berusaha menemukan manusia keparat itu!
Aku memang berhasil menemukannya, tetapi aku
gagal membunuhnya karena manusia itu telah
berhasil meloloskan diri!"
Dewi Bintang menghentikan kata-katanya.
Matanya menerawang mengingat kejadian lima
tahun lalu. Kemudian sambungnya, "Dan saat ini,
aku muncul kembali untuk mencari Pengemis
Pincang! Karena kudengar kabar kalau manusia
itu sedang berusaha untuk mendapatkan sebuah
benda sakti yang tersembun3d di Taman Kema-
tian! Rimba persilatan bukanlah tempat yang te-
pat untuk menyimpan sebuah rahasia, rahasia
apa pun lambat laun akhirnya terdengar juga!
Termasuk kepergian Pengemis Pincang ke Taman
Kematian!"
Dadu Ganggang mendengus.
"Jangan kau ajarkan aku tentang rahasia
yang tak bisa dipendam di rimba persilatan!"
"Maafkan kelancanganku.,.."
"Kau mengatakan kalau kau mencarinya
hendak membunuhnya! Bagus kalau kau punya
maksud demikian!"
"Karena hatiku belum tenang bila belum
mengetahui dia sudah mampus! Dan seperti yang
dianeamkannya di saat dia berhasil meloloskan
diri, dia akan membalas kekalahannya itu! Aku
sudah lama menunggu tetapi dia tak muncul! Ku-
cari pun sulit kutemukan! Setelah kabar kuden-
gar, kuputuskan untuk mulai mencarinya kemba-
li!"
Gadis berpakaian kuning yang bersem-
bun3d dan mencuri dengar percakapan keduanya
membatin, "Astaga! Apa yang diperintahkan Guru
ternyata tak semudah dugaanku! Aku memang te-
lah berhasil merebut Kain Pusaka Setan dari tan-
gan Pengemis Pincang, bahkan telah menyerah-
kan benda itu pada Guru! Yang tak kusangka ka-
lau urusan akan berkembang menjadi panjang! Di
rimba persilatan ini ternyata begitu banyak orang
yang memendam dendam! Siapa tahu. Guru pun
memiliki hal yang sama..."
Dadu Ganggang berkata, "Kau punya uru-
san yang jelas dengan Pengemis Pincang! Begitu
pula denganku! Hanya bedanya kau akan mem-
bunuh manusia satu itu, atau bisa jadi kau yang
akan terbunuh olehnya! Sedangkan aku, menca-
rinya dengan maksud agar semua menjadi jelas,
agar aku dapat mengetahui siapa orang yang te-
lah membunuh muridku! Dewi Bintang... jangan
coba-coba bertindak gegabah! Kau tak kuperke-
nankan untuk membunuh Pengemis Pincang se-
belum ku tanyai!"
"Dendam di dadaku mungkin sama besar-
nya dengan dendam yang disimpan manusia ke-
parat itu! Orang tua... maafkan aku bila tak bisa
kupenuhi apa yang kau katakan...."
"Berarti kau telah melakukan tindakan
laneang!" gusar suara Dadu Ganggang dengan
mata melotot.
Dewi Bintang merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada dan berkata hormat, "Sedi-
kit pun aku tak punya pikiran untuk bertindak
laneang seperti itu! Hanya dikarenakan Pengemis
Pineang telah memperkosa adikku yang kemudian
membunuh diri, aku dengan berat hati mengata-
kan kalau apa yang kau inginkan tak bisa kupe-
nuhi...."
Dadu Ganggang menatap gusar.
"Keparat! Huh! Bila saja aku punya urusan
dengan perempuan ini, tak kusesali bila dia ku-
bunuh sekarang! Tetapi apa yang dikatakannya
memang masuk akal! Lagi pula, belum jelas kalau
memang Pengemis Pineang mengetahui tentang
kematian Demit Merah! Kalau dia sebagai pela-
kunya jelas tak mungkin, mengingat penjelasan
Ki Dundung Kali maupun Peramal Sakti. Berar-
ti..."
Memutus kata batinnya sendiri, kakek
bongkok berpakaian hitam ini bieara, "Ku tarik
kembali ueapanku! Tak ku halangi niatmu untuk
membunuhnya! Tapi kau harus melaksanakan
perintahku! Tanyakan dulu kejelasannya pada
Pengemis Pineang bila kau berjumpa dengannya
tentang muridku! Atau... kau cari tahu siapakah
orang yang telah membunuh muridku!"
"Bila itu perintahmu, aku bisa melaksana-
kannya!"
"Bagus! Menyingkir dari sini!"
Dewi Bintang menganggukkan kepalanya.
Setelah merangkapkan kedua tangannya
diiringi anggukan hormat, Dewi Bintang sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Dadu Ganggang mengantar kepergiannya
dengan tatapannya yang garang
"Huh! Ada-ada saja! Aku sudah setua ini
masih mau melibatkan diri dalam urusan kecil!
Betul-betul keparat si pembunuh itu! Aku tidak
tahu, siapakah yang bodoh sekarang? Si pembu-
nuh, muridku ataukah aku sendiri?!"
Ucapan terakhirnya itu diiringi dengusan.
Lalu tanpa banyak bicara lagi. Dadu Gang-
gang sudah melangkah meninggalkan tempat itu
diiringi makian panjang pendek.
Sepeninggalnya, gadis berpakaian kuning
yang sejak tadi bersembunyi di balik dedaunan,
melompat turun. Lompatannya begitu ringan,
tanpa mengeluarkan suara. Belum apa-apa si ga-
dis berparas cantik ini sudah mendesis,
"Urusan yang kuhadapi ini benar-benar
berkembang panjang. Si kakek bongkok adalah
guru Demit Merah yang telah kubunuh. Sementa-
ra Dewi Bintang sedang mencari Pengemis Pin-
cang yang menurut dugaannya si Pengemis Pin-
cang pun sedang mencarinya. Ah! Yang kutahu
saat ini, tentunya Pengemis Pineang sedang men-
eari orang yang telah merebut Kain Pusaka Setan
dari tangannya!"
Gadis jelita ini menarik napas panjang.
"Aku tak boleh membuang waktu. Aku ha-
rus segera menemukan Dayang Biru yang entah
berada di mana dan seeepatnya kembali lagi men-
jumpai Guru. Aku yakin, Guru punya maksud
tertentu dengan menyuruhku dan Dayang Biru
mendapatkan Kain Pusaka Setan. Sayang aku ti-
dak tahu apa yang ada di balik benaknya.... "
Gadis berkuneir kuda bermata indah ini
memperhatikan dulu sekelilingnya. Dia tak berani
memutuskan untuk mengambil arah yang ditem-
puh Dadu Ganggang. Makanya dia segera memu-
tar tubuh ke kanan, mengambil arah yang ditem-
puh Dewi Bintang.
Namun sebelum dia mengangkat kaki dari
sana, satu suara sudah terdengar tajam, "Sejak
tadi aku sudah melihat ada eeeunguk iseng yang
meneuri dengar pereakapan! Dan tanpa disangka
kalau eeeunguk itu mengaku sebagai pembunuh
murid Dadu Ganggang!!"
Serta merta gadis berpakaian serba kuning
ini mengarahkan pandangannya ke depan. Seo-
rang perempuan yang pada keningnya terdapat
sebuah bintang, sudah melangkah ke arahnya!
***
TIGA
PADA saat yang bersamaan, rupanya
Dayang Biru tahu kalau dia diikuti seseorang.
Sambil berlari dia sesekali melirik.
"Pengemis Pincang!" desisnya. "Rupanya
manusia pincang itu hanya berpura-pura tinggal-
kan tempat sementara tentunya dia punya renca-
na untuk mengikutiku! Hmm... akan ku permain-
kan dia!"
Memutuskan demikian. Dayang Biru sege-
ra mengubah arah yang ditempuhnya. Tindakan
yang dilakukannya itu membuat Pengemis Pin-
cang yang memang bersembun3d kemudian me-
nyusulnya, menjadi sedikit mengerutkan kening-
nya.
"Sejak tadi gadis berpakaian biru itu berlari
ke arah timur, tetapi mengapa sekarang agak di-
belokkan ke utara? Apakah ini memang arah yang
ditempuhnya, atau dia mengetahui kalau aku
mengikutinya?"
Sambil berpikir demikian dan berusaha
agar tidak diketahui orang. Pengemis Pincang te-
rus berlari. Sesekali dia melirik ke belakang. Tak
ada orang yang mengikutinya sama sekali.
Sementara itu, di sebuah tempat Raja Naga
yang memutuskan untuk mengikuti ke mana
Dayang Biru pergi, akhirnya mengurungkan niat
tatkala pandangannya menangkap dua kelebatan
tubuh yang tak jauh dari samping kirinya. Raja
Naga sebelumnya sempat melihat Pengemis Pin-
eang yang keluar dari balik ranggasan semak dan
mengikuti ke mana perginya Dayang Biru.
Sesaat sebelumnya anak muda dari Lem-
bah Naga ini agak geram melihat apa yang dila-
kukan Pengemis Pineang. Tetapi dibiarkan saja
Pengemis Pineang mengikuti ke mana perginya
Dayang Biru. Dan dua kelebatan tubuh yang
membuatnya menghentikan langkahnya tadi, su-
dah menjauh.
"Aku masih belum mendapat kejelasan
apakah Dayang Kuning yang memang telah mere-
but Kain Pusaka Setan. Dari gelagatnya Dayang
Biru sendiri belum jelas akan hal itu. Sebaiknya,
kuikuti saja ke mana perginya dua orang tadi...."
Memutuskan demikian, murid Dewa Naga
ini putar haluan dan men3rusul dua sosok tubuh
yang dilihatnya. Kedua orang yang berlari tanpa
keeepatan tinggi itu berhasil disusul oleh Raja
Naga. Tetapi Raja Naga tetap menjaga jarak.
Begitu dilihatnya kedua orang yang diiku-
tinya menghentikan langkah di jalan setapak. Ra-
ja Naga segera men3aisup ke balik ranggasan se-
mak. Diperhatikan kedua orang itu dengan sek-
sama.
Kakek yang berdiri di sebelah kanan men-
genakan pakaian putih panjang dan tangannya
tak bosan-bosannya mengusap-usap jenggot pu-
tihnya yang menjulai sampai perut. Sementara di
sampingnya berdiri seorang kakek yang usianya
tak jauh berbeda. Mengenakan pakaian merah
penuh tambalan.
Kedua kakek ini tak ada yang bersuara un-
tuk beberapa lama. Lalu terlihat kepala kakek
berpakaian merah penuh tambalan menatap si
kakek yang selalu mengusap-usap jenggot putih-
nya, yang nampak sedang mengerutkan kening
memikirkan sesuatu.
"Sobat, apa yang sedang kau pikirkan?
Apakah kau sedang meramalkan sesuatu?"
Kakek yang selalu mengusap jenggotnya itu
melirik sesaat. Masih mengusap jenggotnya dia
menjawab, "Dundung Kali... entah mengapa ra-
malanku semakin kuat, kalau seorang pemuda
yang memiliki kesaktian tinggi akan mendapatkan
Kain Pusaka Setan! Walaupun dengan susah
payah, pemuda yang punya niatan untuk mengu-
bur Kain Pusaka Setan itu, akan berhasil mela-
kukannya. Tapi...."
"Tapi apa maksudmu. Peramal Sakti?"
Si kakek yang bukan lain Peramal Sakti
adanya masih mengusap-usap jenggotnya.
"Kita tahu, kalau Dadu Ganggang muneul
untuk meneari pembunuh muridnya yang dijulu-
kinya Demit Merah. Dan hampir saja terjadi kesa-
lahpahaman antara kau dengannya. Masih berun-
tung dia mau mempergunakan sedikit otaknya.
Dan ramalanku mengatakan, kalau si pembunuh
adalah orang yang telah menggunakan Kain Pu-
saka Setan."
"Maksudmu... pemuda yang kau ramalkan tadi?"
"Bukan, bukan dia!"
Peramal Sakti tak meneruskan ueapannya.
Ki Dundung Kali membiarkan sahabatnya itu ter-
diam.
Di tempatnya Raja Naga sedikit terkejut.
"Demit Merah telah tewas terbunuh? Asta-
ga! Siapakah orang yang telah melakukannya?
Menurut si kakek yang selalu usap jenggotnya
itu, si pembunuh mempergunakan Kain Pusaka
Setan! Jangan-jangan... si bayangan kuning yang
menurut dugaan sementara adalah Dayang Kun-
ing, murid Ratu Dayang-dayang yang telah mela-
kukannya...."
Peramal Sakti berkata lagi, "Sobat... urusan
Kain Pusaka Setan akan semakin membentang.
Dan ramalanku juga mengatakan, masih ada
orang yang menghendaki Kain Pusaka Setan un-
tuk kepentingan pribadi. Satu hal yang membua-
tku sedikit keeut, karena kutangkap ramalan ka-
lau seseorang akan muneul di hadapan kita un-
tuk membalas dendam...."
"Astaga! Apakah ramalanmu tak meleset?"
"Sejauh ini, ramalanku selalu benar!"
"Lama malang melintang di rimba persila-
tan dan lama berdiam diri di tempat sunyi, ter-
nyata masih ada orang yang menaruh dendam
pada kita. Peramal Sakti... apakah orang itu ada
hubungannya dengan si Durjana Kayangan?"
Peramal Sakti tak menjawab.
Raja Naga membatin, "Hebat! Ramalan ka-
kek yang selalu mengusap jenggotnya itu sung-
guh luar biasa! Dia dapat meramalkan kalau ada
orang yang sedang menearinya! Tentunya orang
yang dimaksud itu adalah Lara Dewi yang saat ini
sedang meneari keduanya bersama Setan Gemo-
long! Yang tak kusangka, kalau Setan Gemolong
punya urusan dengan guruku!"
Tiba-tiba Peramal Sakti mendesis, "Anak
muda... apakah tidak sebaiknya kau menampak-
kan diri? Tak ada rasa amarah pada dadaku ka-
rena kau berani laneang meneuri dengar perea-
kapan ini!"
Mendengar kata-kata Peramal Sakti jauh
dari urusan yang sedang mereka biearakan,
membuat Ki Dundung Kali sedikit terkejut. Se-
mentara Raja Naga lebih terkejut lagi.
"Hemmm... rasanya tak ada orang lain yang
bersembunyi di sekitar sini kecuali diriku. Kakek
berjuluk Peramal Sakti itu telah mengetahui per-
sembunyianku. Sebaiknya... aku memang keluar
saja...."
Memutuskan demikian, pemuda bersisik
coklat pada kedua tangan sebatas sikunya ini se-
gera keluar dari balik ranggasan semak diikuti
oleh tatapan mata Peramal Sakti dan Ki Dundung
Kali.
Berdiri sejarak lima langkah dari hadapan
kedua kakek itu, Boma Paksi langsung merang-
kapkan kedua tangannya dan berkata sopan,
"Bukan maksudku lancang mencuri dengar per-
cakapan kalian! Hanya saja, aku tertarik dan
mengikuti Kalian pergi...."
"Hemmm... sikapnya santun dan suaranya
sopan. Wajahnya tampan dengan rambut gon-
drong menambah ketampanannya. Seorang pe-
muda gagah... oh! Astaga! Mulutnya kembangkan
sen3aiman, tetapi matanya bersorot sedemikian
angker dan mengerikan! Gila! Apakah aku tak sa-
lah lihat?!" desis Peramal Sakti dengan kepala te-
rangkat
Di pihak lain, Ki Dundung Kali pun batin-
kan hal yang sama, "Tatapan itu sedemikian me-
nusuk jantung, menikam hingga orang yang meli-
hatnya tak akan berani berbuat apa-apa. Benar-
benar sosok yang mengerikan. Siapakah pemuda
ini? Kedua tangannya sebatas siku bersisik eok-
lat..."
Sementara itu Raja Naga masih tersenyum.
Peramal Sakti berkata, "Anak muda be-
rompi ungu... siapakah kau yang memiliki tata-
pan seperti itu?"
Masih tersenyum Raja Naga menyahut,
"Peramal Sakti... namaku Boma Paksi. Aku da-
tang dari Lembah Naga. Dan julukanku Raja Na-
ga...."
Sementara Peramal Sakti mengerutkan
kening, Ki Dundung Kali sudah berkata, "Ada hu-
bungan apakah kau dengan Dewa Naga yang se-
tahuku tinggal di tempat penuh misteri yang su-
kar ditemukan dan bernama Lembah Naga?"
Raja Naga mengarahkan pandangannya
pada Ki Dundung Kali. Masih tersen3rum dia me-
nyahut, "Dewa Naga adalah guruku, Ki..."
Ki Dundung Kali mengangguk-anggukkan
kepalanya, ada sedikit kepuasan di bibirnya kare-
na dugaannya telah terbukti.
Peramal Sakti berkata, "Dari sebutan yang
kau berikan kepada kami, nampaknya kau sudah
mengenal kami. Benarkah tentang hal itu?"
"Mengenal dalam arti berjumpa baru kali
ini terjadi. Tetapi bila kukatakan aku pernah
mendengar julukan kalian, rasanya hampir setiap
saat...."
"Raja Naga... apa maksudmu dengan ham-
pir setiap saat?"
Raja Naga memperhatikan dulu keduanya
dengan sen3ruman lebar. Kemudian katanya, "Ku-
dengar tadi, kau meramalkan tentang kehadiran
seseorang yang membawa dendam dan hendak
meneelakakan kalian! Ramalanmu memang sung-
guh luar biasa. Orang tual Apa yang kau ramal-
kan itu dapat ku benarkan!"
"Lebih baik... kaujelaskan seeara rinei...."
"Sebelum aku berjumpa dengan Kalian,
aku telah berjumpa dengan seorang perempuan
bertubuh menggiurkan dan memiliki sifat mesum.
Dia bernama Lara Dewi. Perempuan yang tubuh
sintalnya dibalut dengan kain berwarna keema-
san itu ditemani oleh seorang kakek...."
"Kau mengatakan ciri perempuan itu begitu
rinci! Jangan sampai membuatku yang sudah se-
tua ini naik birahi...," desis Ki Dundung Kali.
Peramal Sakti mendengus.
"Busyet! Otak tuamu masih ngeres juga!"
Ki Dundung Kali cuma mengangkat sepa-
sang alis tipisnya sambil tersenyum.
Peramal Sakti bertanya, "Kau mengetahui
siapa kakek yang bersama Lara Dewi?"
"Aku mengenalnya dengan nama Setan
Gemolong...."
"Setan Gemolong?!" suara Peramal Sakti
agak tersentak. "Gila! Mau apa manusia setengah
gila itu muncul kembali di rimba persilatan?!"
"Yang pasti... dia telah membulatkan tekad
untuk membantu Lara Dewi guna membunuh ka-
lian!"
"Nama Lara Dewi baru kali ini ku dengar
Dundung Kali... apakah kau sudah pernah men-
dengarnya?!"
Ki Dundung Kali menggeleng.
"Aku juga baru kali ini mendengarnya. Te-
tapi dari ciri yang dikatakan Raja Naga, aku su-
dah dapat langsung membayangkan seperti apa
orangnya!"
Lagi Peramal Sakti mendengus.
"Bila manusia satu ini sudah muneul sifat
angin-anginannya, urusan akan jadi berantakan!
Huh! Aku tak pernah habis pikir dengan sifat se-
perti itu! Terkadang begitu serius, bahkan saking
seriusnya dapat kalahkan orang yang selalu se-
rius dalam keadaan apa pun! Tetapi kalau sifat
konyolnya sudah muneul, dia tak lebih dari seo-
rang badut belaka!"
Raja Naga sendiri sedang membatin, "Sifat
Ki Dundung Kali tak jauh berbeda dengan Guru!
Hanya bedanya Guru selalu kentut di sembarang
tempat."
Peramal Sakti berkata lagi, "Raja Naga...
apakah kau mendapat kejelasan tentang siapa
adanya Lara Dewi dan sebab-sebab hendak mem-
bunuh kami?"
"Yang kuketahui hanya sedikit saja. Menu-
rut penuturannya, dia adalah adik kandung dari
seorang tokoh yang telah kalian bunuh empat pu-
luh tahun lalu! Tokoh berjuluk Durjana Kayan-
gan! Dan Lara Dewi kini muneul untuk membalas
kematian kakak kandungnya!" sahut Boma Paksi.
Peramal Sakti mengangguk-anggukkan ke-
palanya.
"Dundung Kali... ternyata urusan yang kita
hadapi, bukan hanya urusan Kain Pusaka Setan!
Tetapi seorang perempuan bertubuh sintal den-
gan dibantu Setan Gemolong pun akan menurun-
kan dendam kepada kita!"
Ki Dundung Kali tak menyahuti ueapan si
kakek yang selalu mengusap jenggot putih pan-
jangnya. Dia berkata pada Raja Naga, "Anak mu-
da gagah bersisik eoklat! Kau nampaknya banyak
mengetahui sesuatu! Apakah kau juga mengeta-
hui tentang Kain Pusaka Setan?"
Raja Naga mengangguk-angguk. Tanpa di-
minta lagi dia sudah mengutarakan apa yang di-
ketahuinya. Ki Dundung Kali berkata pada Pe-
ramal Sakti, "Sobat... lagi-lagi ramalanmu benar.
Seseorang telah merebut Kain Pusaka Setan dari
tangan murid murtadku yang telah menoba me-
racuniku."
Peramal Sakti tak menjawab. Dipandan-
ginya pemuda di hadapannya sebelum berkata,
"Raja Naga... kau melihat sendiri Pengemis Pin-
cang bersama-sama dengan Demit Merah. Tahu-
kah kau kalau Demit Merah telah mati?"
Raja Naga terdiam, lalu menggeleng.
"Baru sekarang kudengar berita itu."
"Jadi... kau tidak tahu apakah Pengemis
Pincang telah membunuhnya atau tidak?"
"Demit Merah telah mendahuluinya setelah
mendapatkan berlian-berlian yang ada di Taman
Kematian."
Peramal Sakti berkata pada Ki Dundung
Kali, "Sobat... sudah jelas kalau bukan murid
murtadmu yang telah membunuh Demit Merah.
Dan pemuda ini dapat dijadikan sebagai saksi di
hadapan Dadu Ganggang bila dia muncul kembali
dengan membawa dugaan kalau murid murtadmu
yang telah membunuh muridnya...."
"Ya! Tetapi aku yakin kalau Dadu Gang-
gang juga sudah punya keyakinan kalau bukan
murid murtadku yang telah membunuh murid-
nya...."
Suasana hening.
Raja Naga membatin, "Hemm... jadi seseo-
rang yang tak diketahui siapa orangnya telah
membunuh Demit Merah. Jangan-jangan... si
pembunuh itu adalah gadis berpakaian kuning
yang telah merebut Kain Pusaka Setan dari tan-
gan Pengemis Pincang? Tentunya gadis itu bukan
hanya menghendaki Kain Pusaka Setan, tetapi ju-
ga berlian-berlian yang dibawa oleh Demit Me-
rah."
DI pihak lain, Peramal Sakti membatin
sambil memandang si pemuda bersorot angker.
"Pemuda ini banyak tahu tentang segala
urusan, tetapi tentunya tak semua dia tahu. Dan
yang sedikit mengherankanku, bagaimana dia bi-
sa lolos dari tangan Setan Gemolong? Seingatku,
Setan Gemolong punya urusan dendam dengan
Dewa Naga! Urusan yang seharusnya sudah di-
kubur dalam-dalam...."
Karena penasaran dengan apa yang dipi-
kirkannya, Peramal Sakti berkata, "Raja Naga...
terlepas dari urusan orang yang telah merebut
Kain Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang
dan orang yang telah membunuh Demit Merah,
pada nyatanya kau masih bisa berjumpa dengan
kami. Apakah tak terjadi sesuatu antara kau den-
gan Lara Dewi? Atau... dengan Setan Gemolong?"
Raja Naga mengangguk. Tatapannya tetap
angker menusuk. Seraya menghela napas pendek
dia berkata, "Setan Gemolong punya dendam pa-
da guruku...."
"Dan kau berhasil meloloskan diri dari tan-
gannya?"
"Walau dengan susah payah akhirnya aku
berhasil meloloskan diri...."
Peramal Sakti mengangguk-angguk sambil
memandang si pemuda dalam-dalam. Suasana
hening.
Ki Dundung Kali yang juga sedang me-
mandangi Raja Naga tiba-tiba mendengar suara di
telinga kanannya, "Dundung Kali... mungkin ra-
malanku telah tiba pada satu kenyataan. Pemuda
inilah yang mungkin kumaksudkan dapat te-
nangkan segala urusan...."
"Hemm... Peramal Sakti telah mengerahkan
ilmu 'Ueapan Tertutup' yang juga kumiliki, karena
aku pernah diajarkan olehnya," kata Ki Dundung
Kali dalam hati. Lalu dibalasnya ueapan Peramal
Sakti, "Bila kau memang yakin akan hal itu, men-
gapa tak kau jelaskan tentang Kain Pusaka Setan
sepenuhnya?"
"Apakah ini perlu?"
"Menurutku, perlu. Karena kita bisa mem-
bebankan tugas kita padanya untuk memburu
Kain Pusaka Setan. Sementara kita bersiap
menghadapi datangnya Lara Dewi dan Setan Ge-
molong. Kau tahu sendiri bukan, kehebatan Setan
Gemolong?"
"Ya! Walaupun kita berdua, tentunya akan
membutuhkan waktu satu hari satu malam un-
tuk mengalahkannya."
"Dan kita belum mengetahui tentang Lara
Dewi. Bisa jadi perempuan bertubuh sintal itu
memiliki ilmu yang sama tingginya dengan Setan
Gemolong."
"Pemuda murid Dewa Naga ini telah lolos
dari tangan Setan Gemolong. Kemungkinannya
dia mampu menghadapinya."
"Aku paham apa yang kau maksudkan. Te-
tapi, biarlah dia yang akan merebut Kain Pusaka
Setan. Terutama, dari apa yang telah kau ramal-
kan...."
"Kalau begitu... aku akan meneeritakan
semuanya...."
Terdengar deheman Peramal Sakti. "Raja
Naga... apakah kau tahu asal usul Kain Pusaka
Setan?"
Raja Naga yang tadi memperhatikan kedu-
anya menggeleng. "Aku hanya tahu sedikit sa-
ja...."
Peramal Sakti menarik napas dalam-dalam,
lalu diceritakannya tentang asal muasal Kain Pu-
saka Setan (Untuk mengetahui tentang hal ini, si-
lakan baca: "Rahasia Taman Kematian").
"Durjana Kayangan orang yang pertama
memilikinya...," kata Peramal Sakti kemudian.
Raja Naga terdiam beberapa saat. Kemu-
dian berkata, "Peramal Sakti dan Ki Dundung
Kali... kenalkah kau dengan seorang tokoh berju-
luk Ratu Dayang-dayang?"
Pertanyaan itu membuat kepala Peramal
Sakti menegak. Suaranya berubah menjadi tajam,
"Anak muda! Mengapa kau tahu-tahu menanya-
kan tentang perempuan itu?"
Raja Naga sesaat mengerutkan kening
mendengar perubahan nada suara Peramal Sakti.
Lamat-lamat dia berkata, "Karena... aku punya
dugaan kalau orang yang telah merebut Kain Pu-
saka Setan setelah Pengemis Pincang menda-
patkannya, adalah salah seorang murid Ratu
Dayang-dayang!"
"Bagaimana kau punya dugaan seperti itu?"
"Sebelum ini aku telah berjumpa dengan
Pengemis Pineang yang sedang mendesak seorang
gadis berpakaian serba biru yang berjuluk
Dayang Biru! Dari setiap ueapan keduanya, aku
menangkap satu gambaran kalau seorang gadis
berjuluk Dayang Kuning yang merupakan murid
Ratu Dayang-dayanglah yang telah merebut Kain
Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pineang...."
Peramal Sakti tak segera berkata. Tangan-
nya yang selalu mengusap-usap jenggotnya lebih
eepat bergerak, pertanda dia sedang gelisah.
Ki Dundung Kali yang berkata, "Anak mu-
da... aku dan sobatku ini jelas mengenal Ratu
Dayang-dayang! Terutama dirinya yang sangat
mengenalnya!"
"Peramal Sakti seperti menyembunyikan
sesuatu. Rasanya tak enak kalau aku memaksa
untuk tahu. Biarlah untuk sementara aku simpan
dulu keingintahuan ku ini," kata Raja Naga dalam
hati. Lalu berkata, "Rasanya... percakapan ini
memang harus disudahi. Aku akan tetap mene-
mukan Ratu Dayang-dayang yang ku perkirakan
telah diserahkannya Kain Pusaka Setan oleh mu-
ridnya.... Bila tak keberatan, dapatkah kalian
mengatakan di manakah Ratu Dayang-dayang
berdiam?"
Ki Dundung Kali melirik dulu Peramal Sak-
ti. Tak ada tanda-tanda kakek yang kali ini lebih
cepat mengusap-usap jenggotnya akan berkata.
Ki Dundung Kali memutuskan untuk me-
nyahuti pertanyaan Raja Naga, "Berjalanlah ke
arah timur! Sampai kau temukan sebuah patung
setinggi dirimu! Tak jauh dari sanalah Ratu
Dayang-dayang tinggal!"
"Biar menghemat waktu, aku akan segera
berangkat ke sana!"
"Tunggu! Anak muda... bersediakah kau
untuk menuntaskan urusan Kain Pusaka Setan?
Sebenarnya itu adalah tugas kami. Tetapi kehadi-
ran Lara Dewi dan Setan Gemolong tak bisa di-
pandang ringan...."
"Tanpa kau minta, Ki, aku akan melaku-
kannya...."
"Terima kasih!"
Habis mendengar ucapan Ki Dundung Kali,
Raja Naga segera berlari ke arah timur. Pemuda
dari Lembah Naga ini masih memikirkan sikap
Peramal Sakti yang mendadak terdiam tatkala dia
mengatakan tentang Ratu Dayang-dayang.
"Suatu saat... aku akan mencoba mencari
tahu ada urusan apa antara Peramal Sakti dan
Ratu Dayang-dayang...."
Sepeninggal Raja Naga, Ki Dundung Kali
melirik Peramal Sakti yang masih terdiam. Tak
ada keinginan di hati Ki Dundung Kali untuk
mengusik sobatnya yang seperti melamun itu.
"Ah, sekian puluh tahun dia eoba melupa-
kan tentang Ratu Dayang-dayang, tak tahunya
kini teringat kembali," desis Ki Dundung Kali da-
lam hati. "Ratu Dayang-dayang adalah adik se-
perguruannya sendiri yang bertindak makar. Yang
dengan kejamnya telah meraeuni guru mereka
untuk mendapatkan rahasia Patung Darah Dewa.
Sampai saat ini aku yakin, kalau Peramal Sakti
masih menyimpan sakit hatinya itu. Dan aku ya-
kin pula, kalau dia mengetahui rahasia apa yang
ada pada Patung Darah Dewa. Patung batu ber-
tampang lelaki bengis yang kini tak jauh dari ke-
diaman Ratu Dayang-dayang...."
Tiba-tiba terdengar desisan Peramal Sakti,
bernada dalam, "Ratu Dayang-dayang... sekian
lama aku berusaha untuk lupakan segala tinda-
kannya terhadap Kiai Gede Arum! Tapi nyatanya,
dia masih tetap tinggal di sekitar Patung Darah
Dewa! Tentunya dia masih penasaran untuk
mengetahui rahasia apa yang ada pada Patung
Darah Dewa! Rasanya... sudah eukup lama ku-
biarkan dia berada dalam kesalahannya. Dan se-
karang dia meneoba mendapatkan Kain Pusaka
Setan. Tak akan bisa ku maafkan perbuatannya
untuk yang kedua kalinya...."
Ki Dundung Kali tak menyahut.
Masing-masing orang terdiam dengan di-
buneah pikiran yang sama dan berbeda.
Hening menggigit keras.
***
EMPAT
GADIS berpakaian kuning bermata indah
itu memandang tak berkedip pada perempuan
berpakaian hijau keputihan. Perasaan si gadis se-
saat menjadi tidak tenang. Tapi di lain saat, dia
sudah mendengus. Mata indahnya bersinar ga-
rang.
Dewi Bintang menghentikan langkahnya
sejarak sepuluh langkah dari hadapan si gadis.
Dipandanginya gadis jelita di hadapannya dengan
seksama.
Lalu terueap kata-katanya, "Mencuri den-
gar pembiearaan orang sungguh tidak baik, terle-
bih lagi dilakukan oleh seseorang yang telah me-
lakukan satu pembunuhan!"
"Dewi Bintangi Kau sebenarnya tak ada
urusan dengan apa yang kulakukan! Kakek ber-
nama Dadu Ganggang yang harusnya muneul lagi
di hadapanku!" bentak si gadis dengan mata
membuka lebar. Lalu sambungnya dalam hati,
"Keparat! Mengapa aku tak berhati-hati? Mengapa
aku tak memikirkan kemungkinan salah seorang
dari mereka tadi akan muncul kembali di sini?!"
"Janji telah kuucapkan, dan harus ku tu-
naikan!"
"Apa pun bentuk janjimu pada Dadu Gang-
gang bukanlah urusanku! Bila kau memang hen-
dak buka urusan, kedua tanganku selalu terbu-
ka!"
"Murid siapa gadis berparas jelita tetapi
berhati kejam ini? Kesombongannya sudah me-
nandakan akan kekejamannya," kata batin Dewi
Bintang. Kemudian katanya, "Aku bukan lancang
mencampuri urusan, tetapi aku hanya menunai-
kan janji!"
"Lakukan bila kau memang menginginkan-
nya!"
"Gadis Jelita... siapakah kau adanya? Dan
mengapa kau membunuh murid Dadu Ganggang
yang berjuluk Demit Merah?"
"Kau boleh mengenal siapa akui Namaku
Dayang Kuning! Dan mengenai mengapa aku
membunuh Demit Merah, karena manusia satu
itu telah mencoba mempermalukanku! Dewi Bin-
tang... sebagai seorang perempuan, apa yang
akan kau lakukan bila seorang lelaki buas hen-
dak mempermalukanmu?!"
Dewi Bintang tak segera menjawab.
"Hemm... benarkah Demit Merah hendak
mempermalukannya hingga gadis jelita ini mela-
kukan satu tindakan?" tanyanya pada dirinya
sendiri dalam hati.
Sambil memandang si gadis lekat-lekat, pe-
rempuan yang di keningnya terdapat sebuah bin-
tang bersinar keperakan ini menjawab, "Sudah
tentu aku akan melakukan hal yang sama!"
"Bila demikian jawabmu, apakah aku salah
telah membunuhnya? Sementara kau sendiri se-
belumnya mengatakan pada Dadu Ganggang, ka-
lau kau sedang mencari Pengemis Pincang yang
telah memperkosa adikmu hingga adikmu mem-
bunuh diri? Lantas... apakah tindakan yang kula-
kukan sebelumnya berbeda dengan apa yang kau
hendaki sekarang?!"
Ueapan Dayang Kuning benar-benar mem-
buat Dewi Bintang terdiam. Perempuan ini mena-
rik napas pendek. Terbayang bagaimana adiknya
yang membunuh diri karena tak kuasa menahan
malu dan kepedihan hati akibat diperkosa Pen-
gemis Pineang.
Kemudian katanya, "Kau benar. Dayang
Kuningi Manusia-manusia seperti itu memang
layak dibunuhi"
"Kau sudah menunaikan janji! Seingatku,
kau hanya berjanji pada Dadu Ganggang untuk
menanyai siapakah orang yang telah membunuh
muridnya? Dan aku telah jawab sejujurnya!"
"Tapi...."
"Apa maksudmu dengan tapi?"
"Benarkah Demit Merah hendak memper-
malukanmu? Jangan-jangan, kau asal bieara! Ka-
rena kau sudah mendengar pereakapanku dengan
Dadu Ganggang! Kau mempergunakan kesempa-
tan karena kau mengetahui kalau saat ini aku se-
dang mencari lelaki berjuluk Pengemis Pincang
yang telah memperkosa adikku!"
"Tak ada saksi yang melihat apa yang hen-
dak dilakukan Demit Merah kepadaku! Jadi, se-
muanya tergantung pada kau sendiri! Bila kau
percaya, sudah seharusnya kau membiarkan aku
pergi sekarang! Tetapi bila kau tak mempercayai
apa yang kukatakan, aku pun tak keberatan un-
tuk menghadapi apa yang akan kau lakukan!"
Dewi Bintang tersenyum.
"Dayang Kuning... jangan berpikir sejauh
itu! Semula aku memang agak geram mendengar
ada orang yang begitu enaknya melakukan pem-
bunuhan tanpa sebab-sebab yang jelas! Tetapi
sekarang, apa yang kau lakukan terhadap Demit
Merah dapat ku benarkan! Dayang Kuning... apa-
kah kau keberatan bila kutanyakan tentang sia-
pakah gurumu?"
Dayang Kuning merapatkan mulut. Dipan-
danginya perempuan berparas cantik yang juga
sedang menatapnya.
"Semula tadi dia memang nampak gusar,
terutama tahu kalau aku mencuri dengar perca-
kapannya dengan Dadu Ganggang. Tetapi keliha-
tannya kegusarannya mulai mencair. Dia juga se-
dang mengalami satu peristiwa yang sebenarnya
tak jauh berbeda denganku. Hanya saja adiknya
telah diperkosa yang kemudian membunuh diri.
Hemmm... tak ada salahnya kalau kuberitahukan
siapa guruku...."
Memutuskan demikian, gadis berpakaian
serba kuning ini menjawab, "Mungkin kau men-
genal guruku, tetapi mungkin juga tidak. Dewi
Bintang... guruku berjuluk Ratu Dayang-
dayang..."
Kepala Dewi Bintang menegak. Matanya
memandang tak berkedip ke depan.
"Aku pernah mendengar tentang julukan
itu. Kalau tidak salah ingat... Ratu Dayang-
dayang punya urusan dengan Peramal Sakti!"
Kalau sebelumnya Dewi Bintang yang me-
negakkan kepala, kali ini Dayang Kuning yang
melakukannya. Gadis jelita itu terdiam dengan ta-
tapan tajam pada Dewi Bintang.
Sebelum akhirnya ia berkata, "Aku sama
sekali tak mengetahui apa yang kau ketahui ten-
tang urusan guruku dengan Peramal Sakti! Dan
aku tak ingin kau telah lakukan satu fitnahan ke-
ji terhadapnya! Jadi kuminta, lebih baik kau sege-
ra katakan sebelum aku menuduh mu lakukan
fitnah!"
"Dari gelagatnya. Dayang Kuning tidak ta-
hu apa yang telah terjadi antara gurunya dengan
Peramal Sakti. Aku pernah mendengar cerita itu
dari guruku yang dulu bersahabat dengan Ratu
Dayang-dayang dan Peramal Sakti. Hemm... bila
tak ku jelaskan, gadis itu menuduhku lakukan
fitnahan terhadap gurunya. Sebaiknya aku me-
mang mengatakannya saja...."
Memutuskan demikian, perempuan cantik
berpakaian hijau keputihan ini berkata, "Setahu-
ku, gurumu dan Peramal Sakti adalah saudara
seperguruan yang berguru pada Kiai Gede Arum!
Setahuku pula kalau sejak dulu mereka bersaha-
bat akrab karena mereka memang saudara seper-
guruan. Bahkan ada yang menyangka kalau ke-
duanya terlibat urusan asmara padahal tidak sa-
ma sekali. Sampai...."
Dewi Bintang putuskan kata-katanya ka-
rena melihat Dayang Kuning begitu serius men-
dengarkannya. Bahkan gadis itu mendengus ka-
rena dia tak teruskan ucapan. Makanya Dewi Bin-
tang segera melanjutkan, "Satu kejadian buruk
telah menimpa Kiai Gede Arum. Seseorang yang
saat itu belum diketahui telah meracuninya. Bah-
kan sampai dia meninggal belum ada yang men-
getahui siapakah pelaku pembunuhan itu, baik
Peramal Sakti maupun gurumu sendiri. Namun
dua tahun kemudian. Peramal Sakti menemukan
bukti-bukti kalau gurumulah yang telah meracuni
Kiai Gede Arum."
"Fitnah!" menggelegar suara Dayang Kun-
ing.
Dewi Bintang tersenyum.
"Apa pun penilaianmu, yang pasti aku
akan teruskan cerita ini! Setelah diketahui kalau
Ratu Dayang-dayang yang lakukan pembunuhan.
Peramal Sakti menyerangnya. Mereka terlibat per-
tarungan dahsyat. Bila saja Peramal Sakti tak
memaafkan perbuatannya, mungkin gurumu te-
lah tewas di tangannya."
"Kau telah memfitnah guruku!" desis
Dayang Kuning dengan kegusaran tinggi.
Dewi Bintang tak pedulikan ucapannya.
Dia justru menangkap sesuatu yang segera di-
rangkaikan di benaknya. Diteruskan lagi kata-
katanya, "Kemudian diketahui... kalau gurumu
menginginkan rahasia Patung Darah Dewa
yang...."
"Patung Darah Dewa?!" suara Dayang Kun-
ing seperti tereekik.
"Ya! Patung Darah Dewa!"
Dayang Kuning kelihatan agak sedikit geli-
sah. Sikapnya sudah tidak segusar maupun sete-
nang tadi.
Dewi Bintang berkata, "Dayang Kuning...
kau sepertinya memang tak mengetahui latar be-
lakang kehidupan gurumu! Tetapi... nampaknya
kau mengetahui sesuatu yang lain.... "
Ueapan tenang itu membuat Dayang Kun-
ing berueap, "Sulit rasanya mempereayai apa
yang kau katakan tentang perbuatan guruku pa-
da Kiai Gede Arum yang ternyata adalah gurunya.
Tetapi mengenai... patung... Patung Darah De-
wa... di tempat tinggalku... ada... ada sebuah pa-
tung. Yang oleh Guru disebut... Patung Darah
Dewa...."
Dewi Bintang hanya tersen3aim.
"Dewi Bintang... rahasia apa yang ada di
Patung Darah Dewa?" tanya Dayang Kuning ke-
mudian.
"Aku tak tahu, demikian pula gurumu."
"Lantas... siapakah orang yang mengeta-
huinya?"
"Seseorang yang punya rahasia teguh itu
adalah Kiai Gede Arum yang kini telah tewas pu-
luhan tahun lalu. Dan tinggal seorang yang men-
getahuinya, yang sampai saat ini tak ada tanda-
tanda dia akan memeeahkan rahasia Patung Da-
rah Dewa...."
"Siapakah orang itu. Dewi?"
"Dia adalah Peramal Sakti...."
Dayang Kuning merasakan kepalanya agak
pusing sekarang. Seluruh dugaan buruk yang ada
di hatinya pada Dewi Bintang, lenyap sudah. Ber-
ganti dengan perasaan tak tenang.
"Dewi Bintang... guruku adalah orang yang
kejam. Aku dan saudara seperguruanku berjuluk
Dayang Biru, dididik pula seeara kejam. Dan ka-
mi diharuskan membela nama baik Guru! Dewi
Bintang... maafkan aku, aku tak percaya dengan
apa yang kau ceritakan!"
"Bagaimana halnya dengan Patung Darah
Dewa?"
"Seperti yang kau dengar tadi, kalau di
tempat tinggal kami ada patung yang kau mak-
sudkan!" sahut Dayang Kuning. Wajahnya kem-
bali berubah tegang. "Aku akan menanyakan ke-
benaran ini pada guruku! Bila semua yang kau
katakan tidak dibenarkan oleh guruku, maka aku
akan mencarimu untuk menghajar kelancangan
mulutmu. Dewi Bintang!"
Dewi Bintang hanya tersen3aim.
"Kendati ucapannya bernada kasar kemba-
li, tetapi aku tetap menangkap nada suara gelisah
di dalamnya. Kemungkinannya dia percaya den-
gan apa yang kukatakan dan coba tutupi keper-
cayaannya itu. Tetapi bisa jadi kalau dia tak me-
rasa yakin, kalau dia akan bisa menanyakan soal
itu pada gurunya. Paling tidak, dia menyadari ka-
lau gurunya tak akan mau menjawab perta-
nyaannya. ..."
Kemudian Dewi Bintang berkata, "Ada satu
masalah yang sebenarnya kutangkap dari sikap-
mu saat ini. Dayang Kuning...."
"Dewi Bintang... jangan meneoba mema-
sukkan lagi fitnahan-fitnahan busukmu kepada-
ku!"
Tetapi Dewi Bintang tak mempedulikan
bentakan itu. Dia berkata, "Saat ini ramai dibiea-
rakan orang tentang Kain Pusaka Setani Ten-
tunya kau...."
"Tutup mulutmu!" putus si gadis geram,
tubuhnya sudah melesat ke depan dengan tangan
kanan kiri digerakkan ke arah Dewi Bintang.
Wuusss!!
Gelombang angin berwarna kuning sudah
menggebrak dengan suara bergemuruh.
Dewi Bintang mendengus seraya menghin-
dar.
Blaaarrr!!
Tanah di mana tadi dia berdiri seketika
rengkah dan membentuk lubang cukup dalam.
"Dayang Kuning! Kau dirasuki satu pikiran
yang membuat kau bingung! Dalam bingung mu
kau mencoba melupakan dengan cara menye-
rangku!" seru Dewi Bintang.
"Kau telah memfitnah guruku!" bentak
Dayang Kuning dan melancarkan serangannya
lagi.
Dewi Bintang men3dlangkan kedua tangan-
nya di depan dada, yang segera didorong ke de-
pan.
Blaaammm! Blaaammm!
Gelombang angin warna kuning yang dile-
paskan Dayang Kuning amblas terhajar sinar ke-
perakan yang meneelat dari kedua tangan Dewi
Bintang. Tempat itu sesaat bergetar. Angin kun-
ing dipadu dengan sinar keperakan bermunera-
tan.
Tetapi Dayang Kuning tak surutkan niat
kendati tadi dia terhu3ning tiga langkah ke bela-
kang. Saat itu pula dia sudah menjejakkan kaki
kanannya yang seketika membuat tubuhnya
mumbul di atas. Lalu diputar tubuhnya tiga Kali
seraya mengibaskan tangan kanan kirinya.
Dewi Bintang mendengus.
"Gadis ini jelas dalam keadaan bingung!
Huh! Urusanku sudah selesai! Karena aku hanya
eari kejelasan tentang kematian Demit Merah!
Dan rasanya... tak perlu kukatakan pada Dadu
Ganggang siapa orang yang telah membunuh mu-
ridnya!"
Tanpa bergeser lagi dari tempatnya, Dewi
Bintang melakukan gebrakan yang sama, yang
memutus serangan Dayang Kuning untuk kedua
kalinya!
Tubuh si gadis yang masih berputar di
udara, terlempar deras ke belakang. Justru Dewi
Bintang yang terkejut.
"Heiii!!!"
Serta merta perempuan yang pada kening-
nya terdapat sebuah bintang berwarna keperakan
ini memburu untuk menangkap sosok Dayang
Kuning.
Tap!
Dia berhasil melakukannya tatkala tubuh
Dayang Kuning hampir menghantam sebuah po-
hon. Dengan satu gerakan cepat, perempuan ber-
pakaian hijau keputihan ini sudah mendarat
kembali di atas tanah.
"Jangan bergerak...," desisnya seraya me-
notok punggung Dayang Kuning.
Tubuh Dayang Kuning melengak sesaat se-
belum kemudian muntah darah. Darah hitam
kental keluar.
"Kau terluka dalam. Bila kau tak melipat-
gandakan tenaga dalammu tadi, mungkin kau tak
akan luka seperti ini...."
Dayang Kuning sudah hendak membentak,
tetapi seperti teringat akan sesuatu dia menjadi
urung.
"Lepaskan totokanmu...."
"Bila lukamu sudah kembali normal, toto-
kan ini akan terlepas dengan sendirinya...."
"Berapa lama?" tanyanya dengan mata se-
tengah dipejamkan.
"Hanya dua puluh kali tarikan napas...."
Dayang Kuning mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Dewi Bintang hanya memperhatikan saja.
Dayang Kuning berkata, "Dewi Bintang...
kuakui kau memiliki kemampuan yang lebih da-
ripada ku. Tetapi bukan berarti aku akan mengu-
rungkan niat untuk menanyakan kebenaran dari
segala ueapanmu itu pada guruku...."
"Kau boleh melakukannya, Dayang Kuning.
Saat ini, masih ada urusan yang harus kuselesai-
kan. Aku akan tetap meneari Pengemis Pineang...
Dayang Kuning terbatuk-batuk. Dewi Bin-
tang perlahan-lahan berdiri. Sambil memandang
si gadis dia berkata, "Saran ku satu untukmu.
Usahakan agar kau tidak berjumpa dengan Dadu
Ganggang. Kalaupun berjumpa dengannya, jan-
gan membiearakan soal kematian Demit Merah.
Kakek itu sedang meneari pembunuh muridnya.
Dan aku sudah dapat membayangkan apa yang
akan terjadi bila kau diketahuinya sebagai pem-
bunuh Demit Merah...."
Habis ueapannya, perempuan eantik yang
pada keningnya terdapat sebuah bintang bersinar
keperakan itu sudah berkelebat meninggalkan
Dayang Kuning.
Dayang Kuning hendak berueap, tetapi
Dewi Bintang sudah tak nampak di depan mata.
"Ah, aku semakin tak mengerti apa yang
sebenarnya sedang kulakukan...," desisnya pelan
setelah terdiam beberapa saat. "Guru menyuruh-
ku untuk membunuh Peramal Sakti bersama-
sama Dayang Biru. Kalau begitu... aku akan men-
eari lebih dulu Dayang Biru. Biar bagaimanapun
juga, aku harus menuntaskan perintah Guru.
Hanya saja...."
Sesuatu bergolak dalam pikiran Dayang
Kuning yang membuatnya menarik dan meng-
hembuskan napas. Lamat-lamat dirasakan da-
danya tak se nyeri tadi. Kemudian dirasakannya
kalau punggungnya sudah tidak se kaku tadi.
Perlahan-lahan murid Ratu Dayang-dayang
ini berdiri. Dipandanginya arah yang ditempuh
Dewi Bintang tadi. Terlihat wajahnya begitu ma-
sygul, dengan masalah yang menindih perasaan-
nya. Untuk beberapa lama gadis bermata indah
ini terdiam, sebelum kemudian meninggalkan
tempat itu.
LIMA
HEl, heii! Kau mau ke mana?! Aku mau la-
gi!" suara itu terdengar dari balik ranggasan se-
mak. Perempuan berbalut kain panjang keemasan
yang sedang menyeruak ranggasan semak itu,
menolehkan kepala. Perlahan-lahan diperli-
hatkannya sen3ruman yang memabukkan.
"Maumu selalu itu melulu, sementara kau
belum menjalankan apa yang kuinginkan?!"
"Lara Dewi... bagaimana aku menjalankan-
nya kalau Peramal Sakti maupun Ki Dundung
Kali belum kita temukan?! Lagi pula, selagi belum
kita temukan mereka, kita masih punya banyak
waktu untuk menikmati apa yang ada! Ayo, kau
kesini lagi. Perempuan montok! Aku masih ingin
sekali lagi!"
Perempuan yang bagian atas tubuhnya
terbuka hingga memperlihatkan kulit mulus ini
terkikik. Buah dadanya yang berukuran besar
bergerak-gerak. Sebagian besar bukit kembar ba-
gian atasnya meneuat ke atas. Karena selain dis-
ebabkan ketatnya kain yang dikenakan, juga uku-
rannya yang tiga kali lipat bukit kembar seorang
gadis belasan tahun.
"Setan Gemolong! Apakah tak ada yang
lainnya di otakmu keeuali menggeluti ku terus?!
Sejak tengah malam tadi hingga hari sudah ber-
ganti pagi, aku sudah melayanimu! Apakah kau
ingin bikin tubuhku patah?"
"Patah juga tidak apa-apa! Asal yang ku-
perlukan jangan rusak!"
Perempuan setengah baya bertubuh sintal
itu terkikik sambil memandang ke depan.
"Sampai saat ini, aku memang belum ber-
jumpa dengan Peramal Sakti dan Ki Dundung
Kali! Huh! Sampai kapan pun akan kueari mere-
ka, orang-orang keparat yang telah membunuh
kakak kandungku, si Durjana Kayangan. Dan ka-
kek tua bangka itu, tentunya akan tetap mudah
ku kuasai. Dia tergila-gila padaku dan ini memu-
dahkan ku untuk... heiiii"
Desisan Lara Dewi diakhiri satu teriakan
keeil, karena pinggang rampingnya yang mencua-
tkan pantat besarnya itu dirangkul sepasang tan-
gan kurus dari belakang. Lalu... clepoot!
Mulut yang menebarkan bau tak sedap
menempel pada bukit kembarnya.
"Hik hik hik... kau memang tak pernah
puas rupanya...."
Setan Gemolong yang sedang sibuk menge-
eupi bagian atas bukit kembar Lara Dewi berseru
meracau, "Sebelum dunia kiamat, aku tak akan
pernah puas mendapatkan mu. Lara Dewi...."
Perempuan bertubuh sintal menggiurkan
itu menggeliat. Dekapan si kakek kurus tanpa
pakaian itu mendadak terlepas.
"Eiiit! Mau mempermainkan aku, ya? iya?!"
Lara Dewi memutar tubuhnya menghadap
Setan Gemolong yang bersikap seperti serigala
melihat mangsa. Apalagi saat angin meniup kain
keemasan yang dikenakan Lara Dewi. Kain yang
ternyata terbelah hingga pangkal paha itu berge-
rak, sesuatu yang berbalut kain merah muda
mengintip. Membuat napas Setan Gemolong se-
makin memburu.
"Kalau saja aku tak membutuhkan tena-
ganya untuk membunuh Peramal Sakti dan Ki
Dundung Kali... mana sudi kubiarkan tubuhku
dijamah sekaligus dinikmatinya...," desis Lara
Dewi dalam hati tetap terkikik. Kemudian berka-
ta, "Setan Gemolong... kapan saja kau mengin-
ginkan tubuhku, aku selalu bersedia melayani-
mu...."
"Kalau begitu, sekarang saja! Aku masih
mau lagi!" sahut si kakek dengan napas membu-
ru.
Lara Dewi mengerling manja.
"Apakah kau tak bisa menunda dulu untuk
sementara?"
"Hanya orang bodoh yang mau menunda
kesempatan untuk menggeluti tubuhmu! Ayo, kau
telentang lagi! Aku akan terjun dan memasuki
mu!"
"Hik hik hik... kau memang tak sabaran. O
ya, tadi aku sempat berpikir mengenai satu hal."
Mendengar ueapan perempuan bertubuh
montok. Setan Gemolong mengerutkan kening-
nya. Napasnya tetap memburu.
"Berpikir? Kapan kau melakukannya?"
"Saat kau sedang asyik memacu dirimu di
atas tubuhku!"
Mendadak kakek tanpa baju itu menden-
gus.
"Brengsek! Jadi kau tidak menikmati apa
yang kita lakukan tadi seperti apa yang ku nik-
mati?!"
"Kau terlalu emosi! Sudah tentu aku me-
nikmatinya!" sahut Lara Dewi sambil memamer-
kan senyumannya yang membuat kegusaran Se-
tan Gemolong segera lenyap.
"Aku senang mendengarnya! Lantas... apa
yang kau pikirkan itu?!"
Lara Dewi mengerling, sedikit menggerak-
kan bukit kembar besarnya.
"Kau tentu ingat pada Ratu Dayang-
dayang, bukan?"
Setan Gemolong mendengus.
"Mengapa kau tiba-tiba menyebut nama
perempuan satu itu?! Bukankah dia adik seper-
guruan Peramal Sakti?"
"Ya! Dia memang adik seperguruan Peram-
al Sakti! Tetapi setahuku... dia juga punya urusan
dengannya!"
"Lantas apa yang kau inginkan?"
"Tentunya Ratu Dayang-dayang hingga hari
ini masih menyimpan bara dendam pada Peramal
Sakti! Kau tahu apa yang kumaksudkan?"
"Kau bermaksud untuk bergabung den-
gannya?"
"Kemungkinan itu belum kupikirkan!"
"Lalu apa yang kau maui sebenarnya?!"
"Hendak kutanyakan padanya kemungki-
nan di manakah Peramal Sakti berada! Kau tahu
bukan, kemarin kita telah tiba di tempat Ki Dun-
dung Kali! Tetapi manusia satu itu tak ada di
tempat. Sementara kediaman Peramal Sakti sen-
diri aku tidak tahu! Jadi siapa tahu bila kita
menghubungi Ratu Dayang-dayang urusan akan
lebih mudah"
"Kau menganggap Ratu Dayang-dayang
mau menjelaskannya?!"
"Mengingat dia menyimpan dendam pada
Peramal Sakti, kupikir tak terlalu sulit! Akan ku
jelaskan kalau kita juga hendak membunuh ma-
nusia itu, termasuk Ki Dundung Kali! Dengan be-
gitu urusan akan lebih mudah!"
Setan Gemolong mengertakkan rahangnya.
Kakek kejam ini terdiam beberapa saat.
Kemudian diangkat kepalanya.
"Lara Dewi! Kau yang punya urusan, aku
tinggal mengikuti asalkan imbalannya tepati Dan
aku sudah mendapatkan imbalan yang benar-
benar luar biasai Apa pun yang kau hendaki, su-
dah tentu aku akan turuti!"
Lara Dewi tersen5mm. Sengaja mengangkat
dada besarnya yang sesak itu, hingga semakin
mumbul.
"Bila sudah kulihat kematian Peramal Sakti
dan Ki Dundung Kali... kau akan mendapatkan
imbalan yang lebih dari apa yang sudah kau da-
patkan sekarang!"
Setan Gemolong bertepuk tangan dan ber-
jingkrakan seperti anak kecil.
"Aku sudah tak sabar untuk mendapat im-
balan itu! Ayo, sekarang juga kita berangkat men-
cari Ratu Dayang-dayang!"
"Aku sudah tahu di mana dia tinggal."
"Heiiii!!" Setan Gemolong menatap sesaat
sebelum melanjutkan ucapannya, "Jadi... kau su-
dah memikirkan semuanya?"
Lara Dewi mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian berkata, "Masih ada satu hal
yang kupikirkan."
"Apa itu?"
"Tentang Raja Naga!"
Mendengar julukan itu disebutkan. Setan
Gemolong mendengus.
"Huh! Kau tak perlu memikirkan murid
Dewa Naga itu! Gurunya pernah buat urusan
denganku! Tak dapat gurunya, muridnya pun tak
mengapa sebagai balasan pertama atas perbua-
tannya dulu!"
Lara Dewi tersenyum. Tanpa berucap lagi,
dia sudah membalikkan tubuhnya dan melang-
kah. Pantat besarnya sengaja digerak-gerakkan
saat melangkah, yang membuat Setan Gemolong
menahan napas dengan jakun bergerak-gerak.
"Gila! Gila! Kau akan ku geluti habis-
habisan, Lara Dewi!" serunya seraya menyusul
• • •
Raja Naga yang meneruskan langkah un-
tuk menyusul Dayang Biru yang sedang dibuntuti
Pengemis Pincang, menghentikan larinya tatkala
didengarnya suara ramai tak jauh dari sana. Sua-
ra letupan disusul dengan teriakan membahana
berulangkali didengarnya. Segera murid Dewa
Naga ini memutuskan untuk mencari asal suara
itu.
Tatkala ditemukannya, dilihatnya Pengemis
Pincang sedang menggempur dahsyat Dayang Bi-
ru yang berjuang mati-matian untuk halangi se-
tiap serangannya.
Pemuda tampan berompi ungu ini mengge-
ram.
"Huh! Mereka sudah terlibat pertarungan
lagi! Bisa jadi kalau Dayang Biru mengetahui ka-
lau dia diikuti oleh Pengemis Pincang!"
Pemuda yang memiliki tatapan angker me-
rejam jantung ini membiarkan saja dulu perta-
rungan itu. Tatkala dilihatnya bagaimana Dayang
Biru sudah tak mampu lagi menahan awan-awan
hitam yang dilepaskan Pengemis Pineang, dipu-
tuskan untuk segera membantunya kembali.
Tetapi satu bayangan kuning telah menda-
huluinya. Diiringi teriakan keras, dua gelombang
angin berwarna kuning sudah menggebrak ke
arah Pengemis Pineang!
Pengemis Pineang yang hendak mele-
paskan ilmu 'Menggiring Awan Hitam' urung me-
lakukannya. Dia eepat menghindar ke belakang.
Blaaammmll
Dua gelombang angin berwarna kuning itu
menghantam tanah di mana tadi sebelumnya dia
berdiri.
"Keparat!!" maki Pengemis Pincang tatkala
melihat orang yang menyerangnya sudah berdiri
di samping Dayang Biru yang berseru kaget seka-
ligus gembira,
"Dayang Kuning!"
Si bayangan kuning yang bukan lain
Dayang Kuning itu memandang tajam pada Pen-
gemis Pincang yang memperhatikannya dengan
kening berkerut.
"Orang yang menyambar Kain Pusaka Se-
tan mengenakan pakaian berwarna kuning! Sejak
berjumpa dengan Dayang Biru, aku mulai merasa
pasti kalau orang itu adalah saudaranya yang
berjuluk Dayang Kuning! Dan sekarang, orang
yang ternyata memiliki paras jelita sama dengan
Dayang Biru itu telah berada di hadapanku!" de-
sis Pengemis Pineang dalam hati.
Sebelum dia berkata, Dayang Kuning su-
dah merandek dingin, "Lelaki pincang keparat!
Tindakanmu yang hendak mencelakakan sauda-
raku tak akan pernah ku maafkan! Camkan baik-
baik! Hidupmu tak lama lagi akan berakhir!!"
Pengemis Pincang mendengus. Lalu mem-
bentak tak kalah garangnya, "Gadis berpakaian
kuning bermata indah! Ada satu pertanyaan yang
masih menari-nari di benakku! Katakan, kalau
kaulah orangnya yang telah merebut Kain Pusaka
Setan!"
"Bicara sembarangan biasanya akan be-
rakhir dengan petaka!"
"Kau yang bicara sembarangan! Ratu
Dayang-dayang memerintahkan kau dan Dayang
Biru untuk mendapatkan Kain Pusaka Setan!
Siapa lagi orangnya yang telah berani menantang
kematian karena telah merebut Kain Pusaka Se-
tan dari tanganku, kalau bukan orang yang su-
dah bosan hidup?!"
Dayang Kuning tak bersuara. Dayang Biru
mempergunakan kesempatan itu untuk memulih-
kan tenaganya. Keberaniannya muncul kembali
begitu melihat kehadiran Dayang Kuning. Bahkan
tekadnya untuk membalas perbuatan Pengemis
Pincang semakin membesar.
Di lain pihak Raja Naga yang di saat
Dayang Kuning menyambar tubuh Dayang Biru
setelah melancarkan serangan bokongan pada
Pengemis Pincang, segera melompat ke atas se-
buah pohon. Dari atas pohon itulah pemuda ber-
tatapan angker ini memandangi semua kejadian.
"Sejak pertama Kali si bayangan kuning
merebut Kain Pusaka Setan dari tangan Pengemis
Pineang, sudah kuduga kalau dia seorang gadis.
Lantas perjumpaan ku sebelumnya dengan
Dayang Biru, memperkuat dugaan itu. Tetapi...
dari sikapnya Dayang Kuning menolak tuduhan
Pengemis Pineang! Hemm... apakah aku memang
salah menduga Dayang Kuning yang telah mere-
but Kain Pusaka Setan? Atau... Dayang Kuning
berpura-pura?"
Terdengar bentakan gadis bermata indah
yang kini bersorot tajam, "Pengemis Pincangi
Mungkin aku dilahirkan sebagai seorang gadis
yang suka menantang kematian! Kini aku pun
menantang kematian itu!"
"Terkutuk! Secara tak langsung kau telah
mengaku kalau kaulah yang telah merebut Kain
Pusaka Setan dari tanganku?!"
Dayang Kuning tersen3rum sinis.
"Bila kau sudah merasa pasti dengan hal
itu, lebih baik menyingkir dan pergi sejauh-
jauhnya dari sini! Aku masih punya sikap baik
hati untuk tidak mencabut nyawamu hari ini!!"
Menggigil tubuh Pengemis Pincang yang
berdiri dengan satu kaki sementara kaki lainnya
menjuntai-juntai itu.
Di pihak lain. Dayang Biru yang sudah se-
lesai mengembalikan keadaannya seperti semula
berbisik, "Hati-hati... ilmunya cukup tinggi. Teru-
tama bila dia menyerang dengan melontarkan
awan-awan hitamnya yang dapat menghanguskan
apa saja."
Dayang Kuning balas berbisik, "Bagaimana
keadaanmu?"
Gadis berponi indah itu menyahut, "Aku
baik-baik saja. Manusia keparat itu tak akan ku-
biarkan lolos. Dayang Kuning... benarkah yang di-
tuduhkannya itu?"
"Ya! Akulah orang yang merebut Kain Pu-
saka Setan yang dikehendaki Guru."
"Oh! Sekarang benda itu ada padamu?"
"Aku telah menyerahkannya pada Guru.
Guru memerintahkan ku untuk mencarimu dan
memerintah kita berdua untuk mencari sekaligus
membunuh kakek beijuluk Peramal Sakti."
"Mengapa?"
"Guru tak mengatakan sebab-sebabnya ke-
padaku. Dayang Biru... bersiaplah! Manusia pin-
cang ini akan jadi duri kelak bila kita tidak tun-
taskan hari ini!"
Mendengar ucapan Dayang Kuning,
Dayang Biru menganggukkan kepalanya. Lalu
menggeser kakinya tiga langkah dari tempat
Dayang Kuning berdiri.
Melihat Dayang Biru sudah mengatur ja-
rak. Pengemis Pincang mendengus.
"Huh! Gadis-gadis bosan hidup! Sebaiknya
kalian memang mampus sekarang!!"
"Tunggu!!" satu suara keras telah terdengar
bersamaan satu sosok tubuh melayang turun dari
atas sebuah pohon. Dan hinggap dengan ringan-
nya di atas tanah.
"Raja Naga...," desis Pengemis Pineang pe-
lan dengan mata mengerjap-ngerjap. Hatinya se-
ketika menjadi geram bereampur keeut. "Lagi-lagi
pemuda bersisik ini...."
Melihat kemuneulan orang, Dayang Kuning
langsung membentak, "Hei, Pemuda! Jangan ber-
diri di tengah-tengah seperti itu kalau masih ingin
hidup?!"
Raja Naga melirik. Dayang Kuning yang
hendak meneruskan ueapannya tersedak, kata-
kata yang siap terlontar itu seperti tertahan di
tenggorokan.
"Astaga!" desisnya dengan jantung yang
mendadak berden3ait lebih cepat dan keras. "Ta-
tapan itu... gila! Begitu mengerikan! Seolah hen-
dak telan seluruh tubuhku!!"
Raja Naga mengarahkan lagi pandangan-
nya pada Pengemis Pincang, "Pengemis Pincang!
Jangan lagi kau ucapkan kalau aku lancang men-
campuri urusan! Kali ini cuma sekali kuperin-
gatkan kepadamu! Tinggalkan tempat ini! Dan
pergilah menjumpai gurumu, Ki Dundung Kali,
untuk meminta maaf sebelum gurumu tiba di ha-
dapanmu!!"
Pengemis Pincang yang jadi ragu-ragu un-
tuk menyerang begitu melihat si pemuda muncul,
terdiam beberapa saat. Matanya mengerjap-
ngerjap panik.
Mendadak dia membentak, "Huh! Apakah
kau akan berpikir seseorang yang telah menjadi
mayat akan muneul di hadapanku?!"
"Kau mengatakan gurumu sendiri telah
menjadi mayat, berarti memang benar kalau kau
telah meraeuninya! Pengemis Pineang, kau akan
merasakan dunia mu berguneang hebat bila kau
melihat kemuneulan gurumu!!"
"Kata-kata pemuda yang kedua tangannya
sebatas siku bersisik eoklat ini penuh keyakinan
sekali! Jangan-jangan... Ki Dundung Kali memang
masih hidup? Celaka! Aku bisa eelaka kalau begi-
tu!" desis Pengemis Pineang dalam hati. Rasa ta-
kutnya mendadak muncul.
Raja Naga berkata lagi, "Tindakan busuk
telah kau lakukan terhadap gurumu sendiri demi
satu benda sakti bernama Kain Pusaka Setan!
Pengemis Pincang! Segera tinggalkan tempat ini!
Atau... kau ingin aku yang menghukum mu?"
"Kesaktian pemuda ini bikin jantungku se-
rasa terbakar. Dia dengan mudah pernah mema-
tahkan ilmu 'Menggiring Awan Hitam'. Dan lagi...
ah, kedudukanku semakin sempit sekarang. Ra-
sanya aku memang harus melupakan semua ini.
Niatku untuk membunuh Dewi Bintang dengan
terpaksa harus ku kubur lagi," kata Pengemis
Pincang dalam hati.
Lalu dengan menindih rasa kecutnya dia
berseru, "Raja Naga! Bukan karena kehadiranmu
di sini atau akan munculnya Ki Dundung Kali
yang membuatku memutuskan untuk tinggalkan
tempat ini! Ingat baik-baik... urusan antara kita
belum selesai! Kelak aku akan muncul lagi di ha-
dapanmu!"
"Apa yang kau katakan barusan akan ku-
tunggu sampai kapan pun juga, itu pun kalau
kau selamat dari amarah gurumu sendiri!"
Semakin tidak tenang perasaan Pengemis
Pincang sekarang.
"Tentunya seseorang telah menyelamatkan
Ki Dundung Kali dari kematian. Huh! Bisa jadi
kalau pemuda itu yang telah melakukannya! Ke-
parat busuk! Bila saja aku tidak tahu betapa
tinggi ilmunya, sudah kulabrak dia!"
Dengan pandangan sengit tetapi segera di-
alihkan ke tempat lain karena tak kuasa mena-
han angkernya tatapan si pemuda berambut gon-
drong, Pengemis Pincang berbalik untuk mening-
galkan tempat itu. Dia memutuskan untuk ber-
sembunyi sekian lama dari kejaran gurunya sen-
diri.
"Kau boleh meninggalkan tempat ini sete-
lah kau menanggalkan nyawamu!!" seruan keras
itu terdengar bersamaan melesatnya bayangan
kuning ke arah Pengemis Pincang.
Namun...
Buk! Buk!
Dua jotosan yang hendak dilancarkan si
bayangan kuning itu tertahan satu papakan yang
cukup keras. Bersamaan tubuh si bayangan kun-
ing terhu3rung ke belakang, sosok Pengemis Pin-
cang sudah tak ada lagi di sana.
***
ENAM
PEMUDA bersisik! Kemunculanmu boleh
menggetarkan hati manusia pincang itu! Tetapi
jangan berharap aku akan kecut menghadapimu!"
seru si bayangan kuning setelah berhasil mengu-
asai keseimbangannya. Kedua tangannya terasa
ngilu bukan main. Segera dialiri tenaga dalamnya
untuk menghilangkan rasa ngilu itu.
Raja Naga yang tadi sudah cepat bergerak
untuk mematahkan serangan Dayang Kuning pa-
da Pengemis Pincang, merandek pelan. Tatapan-
nya tetap angker.
"Kau terlalu ringan tangan rupanya!"
"Manusia pincang itu telah melakukan tin-
dakan busuk terhadap saudara seperguruanku?!
Apakah tak patut bila kubalas memperlakukan-
nya dengan tindakan yang sama?!" bentak
Dayang Kuning sengit.
"Kau tak perlu cabut nyawanya!"
"Itu urusanku! Dan bila kau hendak mem-
buka urusan, aku siap menghadapimu!!"
Raja Naga menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Biarkan dia hidup, karena dia tak akan
berani muncul lagi selagi diyakini gurunya yang
pernah diracuninya akan mencarinya!" sahutnya
dingin. Lalu sambungnya, "Dan kurasa telah cu-
kup kau mencabut satu nyawa saja!"
Ucapan si pemuda bersisik membuat
Dayang Kuning sesaat terdiam. Bola mata indah-
nya membuka lebar. Keningnya sedikit berkernyit.
Saat itu juga dirasakan kalau perasaannya agak
tidak enak.
Tapi di lain saat dia sudah membentak,
"Apa maksudmu dengan aku yang telah cabut sa-
tu nyawa?"
"Dayang Kuning... apakah aku salah bila
kukatakan kalau kau telah membunuh Demit Me-
rah?"
Sampai surut satu tindak Dayang Kuning
karena terkejut. Kepalanya sampai bergoyang-
goyang sebelum tegak dan memandang tajam pa-
da Raja Naga.
Di lain pihak, dengan kening berkerut.
Dayang Biru melirik Dayang Kuning yang me-
mandang Raja Naga.
"Astaga! Bagaimana dia bisa mengetahui
soal itu? Setabuku hanya seorang yang tahu, dan
dia adalah Dewi Bintang. Jangan-jangan... pemu-
da bersisik coklat ini telah berjumpa dengan Dewi
Bintang?" desis Dayang Kuning dalam hati.
Sebelum dia membuka mulut. Raja Naga
sudah angkat bicara, "Tak ada urusanku kau te-
lah membunuh Demit Merah atau tidak! Karena
semua risiko itu kau yang tanggung sendiri! Seka-
rang urusan yang ada, aku meminta agar kau
menyerahkan Kain Pusaka Setan padaku untuk
kuhancurkan!"
Dayang Kuning yang terkejut karena tak
menyangka pemuda bersisik coklat ini tahu apa
yang telah dilakukannya terhadap Demit Merah,
menegakkan kepala. Seperti baru sadar dia lang-
sung membentak,
"Kemunculanmu dan perbuatanmu yang
menghentikan niatku untuk membunuh Penge-
mis Pincang, sudah tak dapat kuterima! Dan se-
karang, kau lancang minta Kain Pusaka Setan
itu!"
"Dayang Kuning... mungkin kau belum ta-
hu kehebatan sekaligus kekejaman dari Kain Pu-
saka Setan! Dan sebelum urusan menjadi pan-
jang, sebaiknya kau menyerahkan benda itu ke-
padaku!" suara Raja Naga terdengar dingin. Den-
gan tatapan kian angker anak muda dari Lembah
Naga ini meneruskan ucapan, "Atau... kau telah
menyerahkan Kain Pusaka Setan pada gurumu, si
Ratu Dayang-dayang?!"
Bukannya Dayang Kuning yang buka sua-
ra, justru Dayang Biru yang sudah membentak,
"Raja Naga! Sebelum ini kau telah menyelamatkan
aku dari serangan yang hendak dilancarkan Pen-
gemis Pincang! Dan dalam waktu yang tak terlalu
lama kita sudah berjumpa lagi! Tetapi sikap dan
tindakanmu kali ini sungguh tak menyenangkan!"
Raja Naga melirik.
"Dayang Biru... aku hanya mencoba meng-
hentikan segala tindakan yang akan menuju pada
kehancuran! Dan aku yakin. Kain Pusaka Setan
akan dipergunakan oleh orang yang tak bertang-
gung jawab untuk kepentingan pribadinya!"
"Dan kau menuduh guru kami akan ber-
tindak seperti itu?!"
Raja Naga tersenyum, sorot matanya tetap
angker.
"Tak ada maksudku menuduh seperti itu!
Tetapi aku yakin, gurumu akan mempergunakan
Kain Pusaka Setan untuk kepentingannya! Sejauh
ini, yang kutangkap gelagat adalah, gurumu
punya urusan dengan Peramal Sakti!"
Tak ada yang buka suara. Dayang Biru
memandang si pemuda dengan perasaan tak me-
nentu. Di pihak lain Dayang Kuning menggeram
dalam hati,
"Semakin lama urusan ini semakin mem-
bingungkan. Tetapi biar bagaimanapun juga, aku
akan tetap menjalankan perintah Guru. Dayang
Biru sudah kutemukan! Berarti, kini tibalah per-
jalanan untuk mencari Peramal Sakti!"
Habis membatin demikian, gadis bermata
indah ini berkata, "Raja Naga! Urusan kami ada-
lah urusan kami! Begitu pula sebaliknya! Jadi sa-
tu sama lain tak berhak untuk mencampuri uru-
san! Dan sekarang tak ada lagi urusan di antara
kita! Memang akulah orangnya yang telah mere-
but Kain Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pin-
cang, yang telah kuserahkan pada Guru!"
Raja Naga merandek dingin.
"Dayang Kuning... kau tetap tak tahu apa
yang akan terjadi! Padahal seharusnya kau sudah
punya dugaan tentang hal itu! Dan maafkan aku
bila aku masih mencampuri urusan ini! Mengin-
gat Kain Pusaka Setan akan...."
"Lama-lama sikapmu membikin ku bosan!!"
Bentakan Dayang Kuning itu diiringi den-
gan dorongan tangan kanan kirinya. Dua gelom-
bang angin berwarna kuning menerjang ke arah
Raja Naga. Dalam jarak sedemikian dekat ten-
tunya akan kesulitan bagi seseorang yang dis-
erang secara mendadak itu. Tetapi....
Raja Naga hanya menggeser sedikit tubuh-
nya. Ganasnya dua gelombang angin itu menderu
hanya satu jengkal dari tubuhnya!
Blaaam! Blaaammm!!
Sebatang pohon di belakangnya jadi sasa-
ran serangan Dayang Kuning. Melihat serangan-
nya dapat dielakkan dengan mudah, membuat
gadis berpakaian serba kuning ini menjadi mur-
ka. Dia segera mencelat ke depan diiringi teriakan
membahana.
Di tempatnya Dayang Biru menarik napas
panjang.
"Aku sudah menyaksikan kehebatan pe-
muda berompi ungu ini tatkala mematahkan se-
rangan Pengemis Pincang. Tetapi biar bagaimana-
pun juga, aku tak menginginkan sesuatu terjadi
pada Dayang Kuning. Aku harus membantunya."
Menyusul gelombang angin warna kuning
yang dilepaskan Dayang Kuning, suara menderu
keras menggebrak dari samping kanan. Dua ge-
lombang angin biru menyilang siap menghantam
Raja Naga!
Murid Dewa Naga ini cepat menghindari
kedua serangan yang dilancarkan beruntun itu.
"Kusesali karena kalian terlalu keras kepa-
la! Padahal kalian sadar apa yang akan dilakukan
oleh guru kalian dengan pergunakan Kain Pusaka
Setani"
"Tutup mulutmu!!" hardik Dayang Kuning
sambil bersalto ke depan.
"Kehebatanmu memang sungguh menga-
gumkan! Tetapi jangan berpikir pieik kalau kami
akan mundur dari hadapanmu!" sambung Dayang
Biru.
Serangan demi serangan berbahaya yang
dilanearkan masing-masing orang itu membuat
Raja Naga sedikit agak kewalahan. Pemuda tam-
pan bersorot mata angker ini memang tak mau
lakukan serangan balasan, mengingat bukan me-
rekalah sasarannya. Sesungguhnya bukan pula
Ratu Dayang-dayang. Melainkan Kain Pusaka Se-
tan yang hendak direbutnya untuk dimusnahkan.
Saat menghindar Boma Paksi berseru,
"Dayang Kuning dan Dayang Biru! Aku tak ingin
urusan ini berlanjut! Sebaiknya kalian katakan
saja padaku di mana Ratu Dayang-dayang ting-
gal!"
"Kau akan mengetahuinya setelah kau ber-
hasil melewati mayat kami!" sahut Dayang Kuning
terus menggempur ke depan. Gadis bermata in-
dah ini sungguh penasaran karena sejak tadi tak
satu pun serangannya yang mengenal sasaran-
nya. Dan yang membuatnya jengkel, dia merasa
seperti dipermainkan oleh si pemuda yang sama
sekali tak membalas.
Lain halnya dengan Dayang Biru yang telah
tahu kesaktian pemuda yang sedang digempurnya
ini. Walaupun demikian, gadis berponi indah ini
terus berusaha menggempur si pemuda. Karena
biar bagaimanapun, sudah jelas tanda-tanda ka-
lau Raja Naga akan menghalangi apa yang akan
mereka lakukan!
Raja Naga sendiri lama kelamaan menjadi
jengkel melihat kekeraskepalaan kedua gadis ini.
"Dari mulut mereka sudah tentu tak akan
mudah kudapatkan keterangan di mana Ratu
Dayang-dayang tinggali Kalau begitu aku memang
harus menearinya sendiri...."
Memutuskan demikian, murid Dewa Naga
segera melesat ke depan seraya menggerakkan
tangan kanan kirinya. Keeepatan yang diperli-
hatkannya sukar diikuti oleh mata. Tahu-tahu
terdengar seruan tertahan susul menyusul.
Dayang Kuning telah terjajar ke belakang, me-
n3aisul Dayang Biru yang ambruk di atas tanah.
"Kita sudahi urusan ini!" desis Raja Naga
setelah berdiri kembali di atas tanah. Lalu tanpa
menunggu jawaban keduanya, dia sudah melesat
meninggalkan tempat itu.
"Pemuda celaka! Kau berlaku seperti tikus
got! Keangkeranmu tak sepadan dengan apa yang
kau lakukan sekarang! Kembali! Hadapi kami!!"
seru Dayang Kuning setelah menguasai keseim-
bangannya sambil memegangi perutnya yang te-
rasa mulas. Dia tidak tahu, kalau Raja Naga mau,
perutnya bisa jebol dihantam oleh kedua tangan-
nya yang memiliki kekuatan dahsyat dan dapat
menahan senjata tajam apa pun!
Dayang Biru yang telah bangkit mendesis,
"Tak perlu kau mengejarnya. Dayang Kuning...."
Dayang Kuning mendengus. Dadanya yang
membusung bergerak eepat, pertanda gelora ama-
rahnya masih terjaga di dada.
Dayang Biru mengatur napas pelan-pelan
sebelum berkata lagi, "Aku pernah melihat kesak-
tian pemuda berompi ungu itu. Dayang Kuningi
Kita akan mengalami kesulitan untuk mengalah-
kannya! Dan tak akan mampu menghadapinya
tanpa bantuan Guru!"
Tanpa melirik pada Dayang Biru, Dayang
Kuning menyahut, "Apakah dengan berkata begi-
tu kau sebenarnya keeil hati. Dayang Biru?"
"Tak ada perasaan itu di dadaku."
"Lantas mengapa kau berkata demikian?"
"Sekali lagi kukatakan, kalau dia memiliki
ilmu yang sangat tinggi."
Mendadak kepala Dayang Kuning bergerak
ke arah Dayang Biru. Tatapan tajamnya menghu-
jam tepat pada bola mata si gadis berponi indah.
"Suaramu bergetar. Dayang Biru...."
"Bergetar? Ah, kau terlalu berperasaan se-
karang...."
"Aku tak bisa dibohongi! Mengapa suaramu
bergetar? Apakah kau memang khawatir akan il-
mu yang dimilikinya, atau kau punya satu pera-
saan lain?"
"Dayang Kuning... mengapa kau jadi gusar
seperti itu kepadaku? Urusan Raja Naga sekarang
ini sudah jelas jadi urusan kita. Karena dia akan
menghentikan siapa pun orang yang memiliki
Kain Pusaka Setan! Kau mengatakan kalau kau
telah menyerahkan benda itu pada Guru! Berar-
ti... pemuda itu akan mencari Guru!"
"Tidak!"
"Apa maksudmu berkata tidak?"
"Guru memerintahkan kita untuk mencari
Peramal Sakti!"
"Dayang Kuning... di saat kau membisik-
kan kata-kata itu dan dihubungkan dengan apa
yang dikatakan Raja Naga, aku justru menangkap
satu bayangan kalau memang ada urusan antara
Guru dengan Peramal Sakti!"
"Ucapan bodoh! Tadi kukatakan kalau
Guru men3mruh kita untuk membunuh Peramal
Sakti! Apakah kau pikir Guru memerintahkan ki-
ta hanya untuk satu basa-basi?!"
Dayang Biru tak menjawab. Diam-diam ga-
dis berponi indah ini menelan ludah.
Tindakan diamnya justru semakin me-
mancing kecurigaan Dayang Kuning yang me-
mandangnya lekat-lekat. Dayang Biru kelihatan
berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari
tatapan Dayang Kuning. Melihat hal itu Dayang
Kuning mendengus.
"Kau menyimpan perasaan lain pada pe-
muda yang kedua tangan sebatas sikunya bersi-
sik coklat, Dayang Biru!!" bentaknya tiba-tiba.
"Dayang Kuning!" suara Dayang Biru ber-
getar. "Apa-apaan kau bicara? Aku baru dua kali
berjumpa dengannya! Dan pemuda itu sudah
memperlihatkan sikap tak enak karena secara tak
langsung dia telah mengancam guru kita! Jadi...
jaga mulutmu itu!"
Dayang Kuning mengertakkan rahangnya.
Tatapannya menusuk tajam. Mulutnya sejenak
merapat sebelum dia berkata dingin, 'Aku tak ta-
hu apa yang menyebabkan mu menjadi pengecut
seperti itu menghadapinya! Padahal selama ini
kau kukenal memiliki hati kejam yang tak terkira!
Sekarang, apakah kau akan turut denganku un-
tuk mencari Peramal Sakti?"
Dayang Biru diam-diam menarik napas
pendek. Lalu menurunkan nada suaranya, "Kita
sama-sama tahu kalau sekarang ini Raja Naga
sedang mencari Guru! Apakah tak lebih baik kita
kembali untuk melihat keadaan Guru, setelah itu
baru kita mencari Peramal Sakti?"
Mendengar usul itu tatapan Dayang Kun-
ing semakin tajam. Tetapi diam-diam gadis ber-
mata indah ini membenarkan juga apa yang dika-
takan Dayang Biru.
"Apa yang dikatakan Dayang Biru dapat ku
benarkan. Tetapi... aku justru menangkap satu
keinginan lain darinya. Ah, biar bagaimanapun
juga aku tak boleh bertindak keras padanya. Me-
nurut Guru, usiaku lebih tua darinya. Jadi aku
harus menjaga dan mengemongnya...."
Tatapan tajam Dayang Kuning perlahan-
lahan mencair. Bola matanya kini bersinar indah.
Laki dia tersenyum.
"Dayang Biru... maafkan ucapanku yang
terlalu keras tadi. Tak ada maksudku untuk
membentakmu dan punya pikiran lain tentang
perasaanmu pada pemuda berompi ungu itu.
Yah... lebih baik kita memang kembali dulu untuk
melihat keadaan Guru. Paling tidak, kita membe-
ritahukannya kalau yang akan dihadapinya bu-
kan hanya Peramal Sakti, melainkan pemuda ber-
juluk Raja Naga itu...."
Mendengar suara lembut yang sudah dike-
nalnya semenjak keeil. Dayang Biru balas terse-
nyum.
"Terima kasih atas pengertianmu. Dayang
Kuning. Apa yang kukatakan ini bukan dikarena-
kan aku takut pada Raja Naga karena pernah
menyaksikan kesaktiannya saat menghadapi Pen-
gemis Pineang. Melainkan, karena aku tak ingin
kita mati konyol menghadapinya walaupun jelas
terlihat kalau pemuda itu tak hendak melakukan
kekerasan kepada kita."
Dayang Kuning tersen3rum.
"Kita berangkat sekarang...."
Kejap kemudian kedua gadis yang sama-
sama berambut dikuncir ekor kuda itu sudah
meninggalkan tempat itu yang segera direjam se-
pi.
***
TUJUH
TEMPAT yang bila pagi dan siang saja su-
dah begitu redup dan sunyi, kini telah didatangi
malam, yang semakin membuat tempat itu gelap
semata. Masih beruntung karena malam ini bulan
bersinar penuh.
Satu sosok tubuh nampak sedang mem-
perhatikan benda di hadapannya. Mata sosok tu-
buh yang ternyata seorang nenek ini tak berkedip
pada benda yang ternyata sebuah patung berpa-
ras lelaki kejam. Cukup lama si nenek berkonde
meneuat ini memperhatikan patung di hadapan-
nya sebelum kemudian dia menghela napas pan-
jang.
"Berpuluh tahun lamanya aku menunggu
rahasia apa yang ada di balik Patung Darah De-
wa.... Bertahun-tahun pula ku eoba untuk men-
getahui rahasia apa yang ada di sana. Tetapi
sampai hari ini, aku masih belum dapat mengeta-
huinya...."
Si nenek berkonde yang mengenakan pa-
kaian dan jubah hitam ini terdiam. Sorot matanya
seperti mengeluarkan eahaya merah tatkala dia
kembali tatap tajam-tajam patung di hadapannya.
"Satu-satunya orang yang dapat kujadikan
petunjuk bagiku guna mengetahui rahasia apa
yang di balik Patung Darah Dewa ini, hanyalah
Peramal Sakti! Menghadapinya aku memang tak
akan mampui Itu pertanda kalau Kiai Gede Arum `
pilih kasih dalam menurunkan ilmunya. Terbukti,
aku berhasil dikalahkan oleh Peramal Sakti...."
Perempuan ini menarik napas dalam-
dalam. Saat dilakukannya tindakan itu, kedua pi-
pinya tertarik ke dalam, karena si nenek yang bu-
kan lain Ratu Dayang-dayang ini tak punya gigi
"Tetapi aku sudah puas sekarang, karena
Kiai Gede Arum telah mampus di tanganku! Huh!
Tinggal Peramal Sakti yang harus kubunuh, yang
tentunya sebelum kubunuh aku harus menden-
gar dari mulutnya, rahasia apa yang ada pada Pa-
tung Darah Dewa...."
Perempuan tua berkonde ini terdiam lagi.
Lama kelamaan kerut merut di wajahnya seperti
bertumpuk. Jubah hitamnya bergerai-gerai di-
hembusi angin malam.
"Huh! Tak lagi kudengar kabar dari Dayang
Kuning! Apakah saat ini dia sudah berjumpa den-
gan Dayang Biru sekaligus membunuh Peramal
Sakti? Atau... keduanya belum berjumpa?" desis-
nya lagi. Mendadak terdengar dengusannya keras,
"Huh! Peramal Sakti akan kubunuh dengan
mempergunakan Kain Pusaka Setan! Tetapi... ten-
tunya aku harus mendengar dulu tentang rahasia
Patung Darah Dewa! Kiai Gede Arum memang ke-
terlaluan! Dia bukan hanya menurunkan ilmunya
lebih banyak pada Peramal Sakti, tetapi hanya
mengatakan rahasia Patung Darah Dewa kepada
kakek keparat itu!"
"Ratu Dayang-dayang! Aku pun ingin
membunuh Peramal Sakti! Makanya aku datang
sekarang!"
Satu suara yang kemudian terdengar itu
seketika membuat Ratu Dayang-dayang mema-
lingkan kepalanya ke belakang. Dua kejapan ma-
ta kemudian, dilihatnya dua sosok tubuh telah
berdiri di belakangnya.
Disusul suara, "Lara Dewi... seharusnya ki-
ta tak segera tiba di tempat ini! Aku masih ingin
menggeluti tubuhmu yang montok itu! Tanganku
sudah gatal buat eolek-eolek pantat besarmu!"
"Hik hik hik... Setan Gemolong! Rasanya
saat inilah kau mempertunjukkan kesaktianmu
kembali! Karena dengan bergabungnya Ratu
Dayang-dayang, maka kekuatan kita untuk mem-
bunuh Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti akan
bertambah!"
Di tempatnya, nenek berjubah hitam mem-
perhatikan dengan seksama kedua orang di de-
pannya.
"Hemmm... yang perempuan berwajah ean-
tik! Pakaiannya hanya berupa kain keemasan
yang membalut mulai dari batas tengah pa3mda-
ranya yang jelas-jelas sengaja dilakukan seperti
itu! Tentunya... huh! Dia sengaja memperlihatkan
bukit kembarnya yang jadi semakin sesak! Lagi
pula... gila! Perempuan ini tak punya malu ru-
panya! Kainnya terbelah hingga pangkal paha!
Siapa perempuan mesum itu? Baru kali ini aku
melihatnya! Tetapi... kakek tanpa baju itu jelas
aku tahu! Setan Gemolong!"
Habis membatin demikian. Ratu Dayang-
dayang bersuara, "Setan Gemolong! Kau hadir di
tempatku tanpa kuundang! Ini sudah menunjuk-
kan kelancanganmu!"
"Brengseki Nenek peot! Jangan main ben-
tak sebelum tahu urusan!!" balas Setan Gemolong
geram.
"Tua bangka keparat! Kau masih saja ber-
sikap sombong, padahal kau tak memiliki ke-
mampuan apa-apa di hadapanku!"
"Gila! Gila! Ratu Dayang-dayang! Bila tak
ingat kalau kekasihku ini punya urusan dengan-
mu, sudah kurobek mulut keparatmu itu!"
Sebelum Ratu Dayang-dayang menyahut,
perempuan berbukit kembar sesak itu sudah
mendahului, "Ratu Dayang-dayang! Kami hadir di
sini bukan untuk meneari urusan tak menye-
nangkan! Tetapi kami datang dengan membawa
kegembiraan yang tentunya telah kau tunggu ju-
ga!"
Sepasang mata tua Ratu Dayang-dayang
men3dpit. Mulutnya merapat hingga pipinya terte-
kuk ke dalam.
Kemudian serunya, "Perempuan bertam-
pang mesum! Aku tak perlu mendengar kabar apa
pun meskipun kabar itu sesuatu yang menggem-
birakan!"
"Kau belum mendengarnya hingga kau bisa
berkata demikian!"
"Jangan bertele-tele!"
Lara Dewi tersen3rum.
"Aku tahu kau punya dendam beruntun
pada Peramal Sakti! Demikian pula adanya den-
ganku! Aku sudah tak sabar pula untuk membu-
nuhnya! Mungkin kau pernah mendengar julukan
seorang tokoh besar; Durjana Kayangan! Dia ada-
lah kakak kandungku yang tewas dibunuh oleh Ki
Dundung Kali dan Peramal Sakti! Sebagai adik
kandungnya, aku kini muncul untuk menuntut
balas! Bukankah ini kabar yang menggembirakan
bagimu?!"
Ratu Dayang-dayang tidak menyahuti kata-
kata Lara Dewi. Dilihatnya tangan kurus Setan
Gemolong dengan nakalnya merogoh bukit kem-
bar sebelah kiri Lara Dewi yang menepiskannya
dengan manja.
Lalu katanya dingin, "Aku tak butuh ka-
wan untuk membunuh Peramal Sakti!"
"Demikian pula denganku!" sahut Lara De-
wi segera. "Tetapi, bukankah ini hal yang meng-
gembirakan? Dengan gabungan kekuatan kita,
maka kita akan lebih cepat menghabisi Peramal
Sakti!"
Lagi-lagi Ratu Dayang-dayang terdiam. Di-
tatapnya Lara Dewi dan Setan Gemolong secara
bergantian.
Setelah beberapa lama terdiam dia baru
berkata, "Baiklah! Aku menyetujui apa yang kau
katakana! Tetapi ada satu hal yang harus kubica-
rakan!"
"Tentang apa?!"
"Kain Pusaka Setan!"
"Aha! Benda sakti milik kakak kandungku
itu? Tidak, aku tak pernah menginginkannya! Se-
tahuku benda itu telah direbut oleh Ki Dundung
Kali dan Peramal Sakti! Tetapi saat ini aku juga
sudah mendengar kabar, kalau Kain Pusaka Se-
tan telah lenyap dari Taman Kematian karena te-
lah diambil oleh seseorang!" sahut Lara Dewi. La-
lu dengan sen3aiman sinis dia melanjutkan, "Dari
ucapanmu... aku menangkap dugaan kalau kau
tahu siapa orang yang telah mengambil Kain Pu-
saka Setan!"
"Bisa jadi benda itu berada di tangannya.
Lara Dewi!" sambung Setan Gemolong sementara
tangan kanannya meremas-remas pantat besar
Lara Dewi.
Ratu Dayang-dayang mendengus.
"Ya! Benda itu berada d! tanganku! Dan ka-
lian tentunya tahu kesaktian dari Kain Pusaka
Setan! Jadi jangan coba-coba untuk merebut
benda itu dari tanganku!"
Lara Dewi tersen3aim.
"Tadi kukatakan kalau aku tak peduli den-
gan Kain Pusaka Setan! Yang kuinginkan adalah
nyawa Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti!"
"Baik! Kita bisa bahu membahu mengha-
dapi keduanya!"
Lara Dewi terkikik senang.
Mendadak saja kikikannya terputus karena
mendengar kelebatan yang mengarah ke tempat
mereka. Ratu Dayang-dayang yang juga menden-
gar terdiam. Sementara itu Setan Gemolong se-
makin gemas meremas-remas pantat besar Lara
Dewi, meskipun dia juga mendengar kelebatan
tubuh ke arah mereka.
Kelebatan tubuh yang mereka dengar kini
sudah menampakkan sosoknya.
Dayang Kuning dan Dayang Biru!
Kedua gadis berkuncir kuda ini memper-
lambat lari mereka. Seraya mendekati Ratu
Dayang-dayang, mata masing-masing orang tak
berkedip pada Lara Dewi dan Setan Gemolong.
Dayang Kuning berbisik, "Siapakah mere-
ka, Guru?"
"Yang perempuan bertampang mesum itu
bernama Lara Dewi! Sementara kakek tanpa pa-
kaian itu berjuluk Setan Gemolong! Mereka da-
tang menawarkan kerja sama untuk membunuh
Peramal Sakti!" sahut Ratu Dayang-dayang tetap
memandangi kedua orang itu bergantian.
"Guru menerima tawaran itu?"
"Ya! Kita tak perlu khawatir terhadap ke-
duanya. Dayang Kuning... bagaimana dengan Pe-
ramal Sakti?"
Dayang Kuning merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada.
"Maafkan aku. Guru... aku dan Dayang Bi-
ru belum menemukan Peramal Sakti."
"Tak jadi masalah! Karena sekarang juga
kita akan berangkat untuk meneari kedua manu-
sia itu!"
"Guru... ada sesuatu yang hendak kubiea-
rakan...."
Sebelum Ratu Dayang-dayang menyahut.
Setan Gemolong sudah membentak, "Mengapa
pakai berbisik-bisik?! Apakah kalian pikir kami
tak mendengarnya?!"
Dayang Kuning seketika memalingkan wa-
jahnya. Tatapannya menusuk tajam pada Setan
Gemolong yang melotot gusar.
Ratu Dayang-dayang berkata, "Dayang
Kuning... kau tak perlu berbisik lagi! Katakan apa
yang hendak kau biearakan!"
Dayang Kuning masih menatap Setan Ge-
molong. Hati gadis bermata indah ini mangkel
mendengar bentakan keras itu. Di pihak lain, ga-
dis berponi indah nampak bersiaga sambil mem-
perhatikan Setan Gemolong dan Lara Dewi.
Dayang Kuning berkata, tidak berbisik lagi,
"Guru! Kami telah berjumpa dengan seorang pe-
muda berompi ungu yang pada kedua tangannya
sebatas siku terdapat sisik berwarna eoklat! Dia
berjuluk...."
"Raja Naga!" kata-kata Lara Dewi sudah
mendahului ueapan Dayang Kuning. Perempuan
mesum ini menyeringai. "Tak perlu gusar, karena
kami juga sudah bertemu dengan pemuda yang
ternyata murid Dewa Naga!"
Dayang Kuning tak mempedulikan kata-
kata itu.
Dia meneruskan ucapannya, "Guru! Pemu-
da bersisik itu memang berjuluk Raja Naga! Dia
muncul hendak merebut Kain Pusaka Setan!"
"Huh! Pemuda itu berani mampus ru-
panya!"
"Aku dan Dayang Biru pernah terlibat per-
tarungan dengannya! Ilmunya sangat tinggi! Bah-
kan kalau pemuda itu mau, dengan mudahnya
kami akan dapat dikalahkan! Guru... dia tahu ka-
lau Kain Pusaka Setan berada di tangan Guru!
Dan aku yakin, tak lama lagi dia akan muncul di
sini untuk merebut benda itu!"
"Huh! Bukan masalah besar!" sahut Ratu
Dayang-dayang sambil menyeringai. Kemudian
katanya pada Lara Dewi, "Kau telah mengetahui
pemuda bersisik coklat itu! Apakah kau pernah
terlibat urusan dengannya?!"
"Urusan itu bukan milikku! Tetapi milik Se-
tan Gemolong! Pemuda yang kedua tangannya
bersisik coklat sebatas siku itu adalah murid De-
wa Naga! Dan Setan Gemolong punya urusan
dengannya! Kuakui kalau pemuda itu memiliki
Ilmu yang tinggi! Tetapi... dia bukanlah seseorang
yang perlu dikhawatirkan! Karena Setan Gemo-
long akan melipat tulangnya hingga dia tak bisa
bergerak!"
"Bagus! Apa rencanamu sekarang?!"
"Kau telah setuju untuk bergabung guna
membunuh Peramal Sakti!! Apakah kau akan
menunggu kemunculan manusia itu di sini, men-
gingat kau punya urusan dengannya?!"
"Sejak semula aku sudah hendak keluar
dari tempat ini untuk mencarinya!"
"Bagus! Mengapa tidak sekarang kita be-
rangkat?!"
Setan Gemolong buka suara, "Lara Dewi!
Berangkat ya berangkat! Tetapi barangku sudah
berdiri! Ini harus dilemaskan dulu! Ayo, kau le-
maskan dulu barang beberapa jam!"
Sementara Lara Dewi mengikik, Dayang
Kuning dan Dayang Biru mendengus secara ber-
samaan.
"Setan Gemolong... kau benar-benar tak
dapat menahan birahi! Tahanlah dulu! Ingat apa
yang kukatakan, bukan? Bila kedua manusia ja-
hanam itu sudah berkalang tanah, maka kau
akan mendapatkan sesuatu yang tak pernah kau
bayangkan sebelumnya!"
"Aku sudah membayangkannya dan tak
sabar menunggu saat-saat yang menggairahkan
itu!"
"Hik hik hik... sekarang ini bukanlah saat-
nya untuk memikirkan soal itu. Ratu Dayang-
dayang... kita bisa berangkat sekarang!"
"Sebentar!" sahut Ratu Dayang-dayang. La-
lu berkata pada kedua muridnya, "Kalian tetap
berada di sini! Berjaga-jaga penuh! Bila ada yang
muncul dan kalian merasa tak sanggup mengha-
dapinya, sebaiknya kalian tak perlu keluar! Pa-
ham?!"
Baik Dayang Kuning maupun Dayang Biru
sama-sama menganggukkan kepala.
Ratu Dayang-dayang berkata pada Lara
Dewi, "Kita sudah mengambil kesepakatan! Dan
tentunya seorang pengkhianat akan menerima
hukuman yang sangat berat! Kita berangkat seka-
rang!"
hup:/i^iunkidbukdudl. bl^s pot. c^cn
Lara Dewi mengikik panjang.
Di sela-sela kikikan Lara Dewi terdengar
satu suara, "Ratu Dayang-dayang! Berpuluh ta-
hun kau kubiarkan hidup bebas dengan segala
beban yang kau tanggung sendiri! Tetapi tinda-
kanmu sekarang ini tak akan bisa ku maafkan!"
Serentak masing-masing orang mengarah-
kan pandangan ke depan. Tiga tarikan napas ke-
mudian, telah berdiri dua sosok tubuh sejarak li-
ma belas langkah dari hadapan masing-masing
orang.
DELAPAN
KEDUA orang yang baru muncul itu bukan
lain Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti adanya.
Masing-masing orang memandang tak berkedip ke
depan.
Ledakan suara Lara Dewi mendadak mem-
bahana, "Manusia-manusia keparat! Kalian punya
nyali juga untuk tiba di tempat ini!" Kemudian di-
angkat kepalanya sambil merentangkan kedua
tangannya ke atas. Sepasang bukit kembarnya
agak naik. "Durjana Kayangan! Kau akan tenang
di alammu sana melihat kematian kedua manu-
sia-manusia keparat yang telah membunuhmu!!"
Kembali diarahkan tatapannya yang bersi-
nar berbahaya.
Setan Gemolong ikut-ikutan buka suara,
"Lara Dewi! Bagus kalau mereka berani muncul di
sini! Berarti urusan akan cepat selesai dan aku
akan segera menikmati apa yang kau janjikan!"
Peramal Sakti yang tetap mengusap-usap
jenggot putih panjangnya buka suara, "Jadi...
kaulah orang yang diceritakan Raja Naga yang
akan menuntut balas atas kematian Durjana
Kayangan?! Lara Dewi! Kau tidak tahu siapa ka-
kak kandungmu itu, yang bila dia hidup hingga
saat ini akan tetap menimbulkan keonaran! Bila
kau mau mempergunakan otakmu, tentunya kau
akan paham kalau Durjana Kayangan lebih baik
mampus ketimbang hidup sampai sekarang!"
"Tutup mulutmu! Ajalmu sudah memben-
tang, Peramal Sakti!"
Bentakan Lara Dewi disambung oleh Ratu
Dayang-dayang, "Peramal Sakti! Kalau dulu kau
dapat mengalahkan aku, kali ini jangan berharap
kau dapat melakukannya!"
Habis bentakannya, nenek berjubah hitam
ini mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Se-
helai kain hitam usang yang segera dibebalkan
pada telapak tangan kanannya.
Melihat itu baik Peramal Sakti maupun Ki
Dundung Kali menahan napas.
"Hemm... rupanya Kain Pusaka Setan be-
rada di tangannya! Berarti... apa yang dikatakan
Raja Naga tentang seorang gadis berpakaian kun-
ing yang merebut benda itu dari tangan Pengemis
Pincang, adalah gadis yang berdiri di sebelah ka-
nannya yang tentunya adalah muridnya! Hemm...
aku harus berhati-hati...," desis Peramal Sakti da-
lam hati.
Di pihak lain, Ki Dundung Kali yang kem-
bali pada sikap seriusnya memandang tak berke-
dip.
"Dengan adanya Kain Pusaka Setan di tan-
gannya, urusan ini akan semakin panjang nam-
paknya. ..."
Mendapati kedua kakek di hadapannya tak
buka mulut. Ratu Dayang-dayang terbahak-
bahak.
Dia berseru pada Lara Dewi, "Lara Dewi!
Siapa yang lebih dulu untuk meneabut nyawa ke-
duanya?!"
"Aku akan ambil kesempatan yang perta-
ma!"
Habis ueapannya, perempuan mesum ber-
kain keemasan yang terbelah hingga pangkal pa-
ha ini sudah menerjang ke depan. Tangan kanan
kirinya serta merta digerakkan, diarahkan pada
dada Peramal Sakti.
Melihat Lara Dewi sudah melanearkan se-
rangan, Setan Gemolong juga menerjang ke arah
Ki Dundung Kali.
Kedua kakek itu sudah tentu tak mau ting-
gal diam. Mereka pun segera mengambil posisi
untuk melayani serangan ganas keduanya. Dan
dalam waktu yang singkat saja, tempat itu sudah
mulai diramaikan oleh suara teriakan diselingi le-
tupan keras. Beberapa ranggasan semak belukar
membuyar. Tanah munerat ke udara. Keadaan
yang sudah benar-benar kaeau balau itu diting-
kahi dengan tumbangnya beberapa buah pohon.
Ratu Dayang-dayang menggeram dalam
hati, "Hemm... biarlah keduanya yang menghabisi
nyawa manusia-manusia itu, terutama nyawa Pe-
ramal Sakti! Bila mereka berhasil, aku tak perlu
buang tenaga banyaki Huh! Tetapi... aku tak ingin
Peramal Sakti tewas sebelum dikatakannya raha-
sia apa yang tersembunyi pada Patung Darah
Dewa."
Lara Dewi yang dibaluri dendam meneoba
mendesak Peramal Sakti dengan serangan-
serangan tingkat tinggi. Perempuan mesum ini
tak mau memberikan kesempatan pada si kakek
berjenggot putih panjang. Baginya, inilah malam
yang tepat untuk membunuh Peramal Sakti sete-
lah melalui penantian panjang.
Di pihak lain. Setan Gemolong juga mela-
kukan hal yang sama. Dari gebrakan-gebrakan
yang diperlihatkannya yang selalu mengarah pada
jantung dan sepasang mata lawan, si kakek hen-
dak mempersingkat waktu untuk menghabisi Ki
Dundung Kali.
Ki Dundung Kali sendiri sudah mempergu-
nakan Ilmu 'Menggiring Awan Hitam' yang lebih
dahsyat dari yang dimiliki Pengemis Pincang.
Dengan ilmu itu dia dapat menunda niatan Setan
Gemolong untuk menghabisinya. Bahkan untuk
beberapa lama dia dapat mendesak Setan Gemo-
long yang menggeram setinggi langit.
"Setan terkutuk!!" makinya sambil meng-
hindar ke samping kanan. Di belakangnya, tiga
orang perempuan sudah menghindar pula karena
awan-awan hitam yang mengeluarkan hawa san-
gat dingin menderu ke arah mereka.
Blaaaammm!!
Ranggasan semak seketika berhamburan
ke udara dan tanah telah membentuk sebuah lu-
bang yang keluarkan asap.
Sementara itu Setan Gemolong nampak se-
dang meluruskan tangan kanan kirinya dengan
eara disentakkan hingga terdengar seperti tulang-
tulang patah. Berkretek-kretek!
"Kau akan merasakan ilmu 'Penghaneur
Tulang'-ku ini, Dundung Kali!"
Ki Dundung Kali tahu akan kehebatan ilmu
'Penghancur Tulang' milik Setan Gemolong.
"Aku harus berhati-hati!" desisnya dalam
hati. Dia mendahului menerjang dengan Ilmu
'Menggiring Awan Hitam'-nya yang mengarah ke
jantung lawan.
Bersamaan terdengar suara dengusan dan
keretekan tulang, Setan Gemolong menerjang pu-
la ke depan. Kedua tangannya dikibaskan yang
bergerak demikian lentur, tetapi memperdengar-
kan suara seperti tulang mau patah.
Awan-awan hitam yang dilepaskan Ki Dun-
dung Kali berhamburan pecah ke udara, tatkala
tenaga tak nampak yang keluar dari kibasan ke-
dua tangan Setan Gemolong melabraknya.
Blaamm! Blaaam! Blaaammm!!
Letupan keras beberapa kali terdengar
yang bikin suasana di tempat itu semakin kacau
balau. Kejap berikutnya. Setan Gemolong sudah
mendesak hebat Ki Dundung Kali yang saat itu
juga kewalahan menghadapinya.
Keadaan Ki Dundung Kali berbalikan den-
gan Peramal Sakti. Kakek yang selalu usap-usap
jenggot putihnya itu berhasil mendesak Lara De-
wi.
"Aku bukanlah orang yang kejam! Tetapi
tindakan ini tak akan bisa kubiarkan!"
"Keparat!! Kau pikir aku akan mundur
menghadapimu?!" balas Lara Dewi dengan wajah
ditekuk dan kegusaran dalam. Dan dia harus be-
rusaha untuk menghindari setiap serangan dah-
syat Peramal Sakti. Bahkan, dia tak punya lagi
kesempatan itu karena serangan Peramal Sakti
telah mengurungnya!
Mendadak... wwwrrrrr!!
Telah menghampar gelombang angin lak-
sana badai yang mengarah pada Peramal Sakti.
"Astaga!!" seruan tertahan itu terdengar,
men3rusul sosok Peramal Sakti menghindar ke
samping kanan dengan eara bergulingan.
Blaaaarrrr!!
Letupan dahsyat terdengar beberapa kali
bersamaan tanah yang munerat dahsyat! Peramal
Sakti yang telah berdiri tegak, tersentak kaget.
Kedua matanya membuka lebar.
Karena mendadak saja hamparan gelom-
bang angin yang tadi gagal menghantamnya dan
membuat tanah di mana sebelumnya dia berdiri
membentuk sebuah lubang besar, telah berbalik
arah, menyentak naik ke udara dan meluncur
kembali ke bawah disertai letupan berulang-ulang
di udara.
"Celakaaaa!!" Lagi-lagi terdengar seruan
tertahan Peramal Sakti bersamaan dia melompat
menghindar lagi
Buummm!!
Begitu gelombang angin yang meluncur ta-
di menghantam tanah, letupan mengerikan terjadi
seiring tanah yang membuyar ke atas. Cukup la-
ma tanah-tanah itu menghalangi pandangan se-
belum kemudian sirap kembali. Dan terlihat ke-
mudian bagaimana sebuah lubang besar yang
mengeluarkan asap telah terbentuk sejarak sepu-
luh langkah dari samping kiri Peramal Sakti yang
memandang dengan dada naik turun.
"Aku ambil bagian sekarang. Lara Dewi!"
Lara Dewi yang diselamatkan tadi menoleh
ke kanan, pada Ratu Dayang-dayang yang sedang
memandang dingin pada Peramal Sakti. Perem-
puan mesum ini tersen3mm.
"Aku juga akan ambil bagian lagi! Kita ha-
jar kakek keparat itu untuk selama-lamanya!"
"Tunggu! Sebelum ku cabut nyawanya, ada
yang hendak kutanyakan padanya!"
Lara Dewi tak gusar mendengar hal itu. Dia
justru mempergunakan kesempatan untuk men-
gatur napas.
Ratu Dayang-dayang menatap tajam pada
kakek yang dibencinya yang saat ini sedang men-
gatur napasnya pula.
"Sekian lama kutunggu kesempatan ini ak-
hirnya kesampaian juga! Tua bangkai Katakan
padaku sekarang juga apa rahasia dari Patung
Darah Dewa dan bagaimana cara memecahkan-
nya?!"
Peramal Sakti tersen3aim mengejek.
"Aku punya ramalan yang cukup mengeri-
kan bagiku sendiri! Karena tak lama lagi Patung
Darah Dewa akan ketahuan menyimpan satu ra-
hasia mengerikan! Tetapi... rahasia itu akan ter-
jadi bukan karena dari mulutku atau paksaanmu,
Ratu Dayang-dayang! Kau telah membunuh guru
kita sendiri demi nafsu serakahmu! Apakah kau
pikir sekarang akan kubocorkan rahasia itu se-
mentara Guru lebih rela mati ketimbang menga-
takannya padamu?!"
Mengkelap wajah Ratu Dayang-dayang
mendengar ejekan Peramal Sakti.
"Kau telah melihat kehebatan Kain Pusaka
Setan yang sekarang menjadi milikku! Dan ten-
tunya kau tahu kalau kehebatan benda sakti ini
tetap sama bila dipergunakan oleh Durjana
Kayangan! Benda sakti yang dengan susah payah
kau rebut untuk kau sembunyikan bersama Ki
Dundung Kali! Tapi pada nyatanya, akulah yang
memilikinya sekarang!"
"Dengan ucapanmu itu, apakah kau akan
membunuhku?" sinis suara Peramal Sakti. Ke-
mudian sambil menggelengkan kepala dia melan-
jutkan, "Aku tak yakin kau akan membunuhku!
Sebelum kau mendapatkan rahasia Patung Darah
Dewa, kau tak akan pemah melakukannya?! Pe-
rempuan eelaka! Apakah salah omonganku?!"
Bergetar tubuh Ratu Dayang-dayang.
"Kakek keparat ini tentunya punya alasan
kuat dengan mengatakan hal itu! Aku memang
tak akan membunuhnya sebelum kuketahui apa
rahasia dari Patung Darah Dewa! Tetapi...."
Memutus kata batinnya sendiri, nenek ber-
jubah hitam ini menegakkan kepala. Matanya
memandang tak berkedip.
"Kau salah besar bila aku ragu membu-
nuhmu!!"
Belum habis bentakannya terdengar, tan-
gan kanannya yang telah dibebati Kain Pusaka
Setan sudah didorong ke depan. Serta merta ge-
lombang angin menggidikkan menerjang ke arah
Peramal Sakti yang menghindar. Kalau sebelum-
nya gelombang angin itu munerat ke udara dan
meluruk kembali disertai letupan-letupan, kali ini
gelombang angin itu bergerak laksana ombak.
Ranggasan semak berhamburan dan tanah mun-
erat ke udara.
Peramal Sakti mengertakkan rahang. Dico-
banya menahan serangan ganas itu dengan men-
dorong kedua tangannya. Tetapi gagal. Dan mau
tak mau dia menghindar cepat-cepat.
Blaaarrr!!
Sebatang pohon hangus dan berderai men-
jadi debu terkena hantaman gelombang angin
laksana ombak itu!
Ratu Dayang-dayang hendak membuktikan
ucapannya. Dia terus melancarkan serangan. La-
ra Dewi sendiri mengambil kesempatan. Dibo-
kongnya Peramal Sakti yang sedang menghindar.
Serangan-serangan berbahaya itu mem-
buat wajah Peramal Sakti pucat pasi.
Di pihak lain, Ki Dundung Kali yang juga
sudah terdesak oleh ilmu 'Penghancur Tulang' mi-
lik Setan Gemolong membatin resah, "Kain Pusa-
ka Setan dapat dipatahkan dengan gabungan ha-
wa dingin dan panas yang kumiliki dan dimiliki
oleh Peramal Sakti! Tetapi, bagaimana caranya
aku membantu kalau aku sendiri sedang dide-
sak?!"
Kedua kakek perkasa itu harus mati-
matian memperjuangkan selembar nyawa mereka.
Sementara itu Dayang Kuning berbisik,
"Dayang Biru... ternyata Patung Darah Dewa me-
nyimpan satu rahasia yang ingin diketahui Guru."
"Ya! Dan orang yang tahu rahasia itu ha-
nyalah Peramal Sakti...."
"Bagaimana pendapatmu?"
"Apa maksudmu?"
"Sekarang kita sudah mendapat kejelasan
mengapa Guru memaksa kita untuk menda-
patkan Kain Pusaka Setan! Biar bagaimanapun
juga kita tetap akan menghormati Guru! Apakah
kita akan turun tangan sekarang?"
Dayang Biru menggelengkan kepalanya.
"Tak perlu! Seumur hidupku, baru kali ini
aku menyaksikan pertarungan yang begitu men-
gerikan! Dayang Kuning... apakah tidak sebaiknya
kita mencari tahu tentang rahasia Patung Darah
Dewa?"
"Kau telah mendengar kalau Peramal Sakti-
lah satu-satunya orang yang mengetahui tentang
rahasia itu. Guru sendiri tidak tahu."
"Kita pikirkan cara yang lain!"
"Apa maksudmu?"
"Kita hancurkan Patung Darah Dewa!"
"Astaga! Dayang Biru! Bila aku menyetujui
usulmu itu, sama saja akan menjerumuskan mu!
Tidak, aku tak menyetujui tindakan itu!"
"Lantas... kita hanya menyaksikan perta-
rungan itu saja?"
"Kurasa ya! Kau lihat... Setan Gemolong
sudah mendesak Ki Dundung Kali yang tentunya
tak lama lagi akan mampus! Demikian pula Guru
yang dengan hebatnya membuat Peramal Sakti
pontang-panting! Justru bantuan yang diberikan
Lara Dewi malah mempersulit ruang geraknya!"
Kedua gadis ini kembali terdiam.
Di depan, Ki Dundung Kali benar-benar
sudah tak mampu lagi menahan ganasnya seran-
gan Setan Gemolong. Keadaan yang lebih parah
dialami oleh Peramal Sakti. Bokongan yang dila-
kukan Lara Dewi berhasil menghantam kaki ka-
nannya yang membuatnya goyah. Tetapi kekera-
san hatinya masih tetap terjaga. Dia terus men-
coba menghindari ganasnya serangan Kain Pusa-
ka Setan yang berada di tangan Ratu Dayang-
dayang!
"Tak ku pedulikan lagi tentang rahasia Pa-
tung Darah Dewa yang kini mulai kusadari kalau
aku telah terbelenggu untuk mengetahui rahasia
yang sebenarnya tak ada sama sekali!"
"Kau salah besari Kau salah sama sekali!"
"Peduli setan! Kematianmu lebih menye-
nangkan ketimbang mengetahui rahasia Patung
Darah Dewa!"
Serangan bertubi-tubi kembali dilanearkan
oleh Ratu Dayang-dayang.
Peramal Sakti sudah tak mampu lagi
menghadapinya. Wajahnya ditekuk menahan le-
lah dan sakit. Namun mendadak saja satu bayan-
gan melompat disertai gelombang angin yang di-
hiasi asap merah.
"Setaannn!!" Ratu Dayang-dayang yang su-
dah siap untuk mengibaskan lagi tangan kanan-
nya guna mencabut nyawa Peramal Sakti melom-
pat terkejut karena gelombang angin yang men-
dadak menggebah itu.
Dan kecepatan orang yang baru muncul itu
sungguh menakjubkan. Dia sudah menyambar
tubuh Peramal Sakti, yang segera memutar tu-
buhnya. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya
dijejakkan di atas tanah.
Terdengar suara keras berderaknya tanah,
yang disusul bergerak cepat ke arah Setan Gemo-
long. Gelombang tanah itu mengejutkan kakek
sesat tanpa pakaian yang serta merta membuang
tubuh ke belakang.
Bersamaan dengan itu, masih memegang
tubuh Peramal Sakti dengan tangan kanannya.
orang ini sudah menyambar tubuh Ki Dundung
Kali yang sempoyongan. Dan dengan gerakan ce-
pat dia melompat ke udara dan hinggap di tempat
yang agak jauh.
Orang-orang yang berada di sana tak ber-
kedip memandang kejadian yang sangat eepat itu,
sebelum dipeeahkan oleh suara Dayang Kuning
keras,
"Raja Naga!!"
***
SEMBILAN
SOSOK tubuh yang menyelamatkan Pe-
ramal Sakti dan Ki Dundung Kali tak buka suara.
Tatapannya bersorot angker pada orang-orang
yang berada di sana. Suasana hening terjaga,
meneekam dan mengiriskan perasaan.
Lamat-lamat pemuda yang memang Raja
Naga adanya angkat bieara, "Lagi-lagi pertarun-
gan yang mengatasnamakan dendam terjadi!
Sungguh memalukan sekaligus memuakkan!
Apakah tak ada tindakan lain yang bisa dilaku-
kan keeuali menanamkan bibit permusuhan dan
selalu menumpahkan darah?!"
Dayang Kuning yang menyahut, "Raja Na-
ga! Kau berani muncul di sini berarti kau sudah
siap mencapai kematian!"
"Kau telah tahu apa tujuanku! Aku datang
untuk mengambil Kain Pusaka Setan! Dayang
Kuning! Mustahil rasanya kalau kau belum meli-
hat kehebatan Kain Pusaka Setan! Apakah seka-
rang kau tetap akan membela gurumu yang ter-
nyata mendapatkan benda sakti itu untuk mem-
bunuh sesama? Bahkan membunuh kakak seper-
guruannya sendiri! Dan hal yang sama telah dila-
kukan pada gurunya sendiri!!"
Mendengar ueapan itu Dayang Kuning ter-
diam. Dadanya naik turun dengan napas agak
memburu. Di pihak lain Dayang Biru membatin,
"Oh! Mengapa pemuda itu berani muneul di sini?
Ah, tentunya dia mengikuti aku dan Dayang Kun-
ing! Tapi... tapi... ah, dia bisa terluka... dia bi-
sa...."
Dayang Biru tak meneruskan kata batin-
nya yang kian gelisah. Dia memandangi pemuda
yang begitu pertama kali bertemu telah merebut
sebagian hatinya. Dia memang berusaha untuk
menutup perasaannya itu pada Dayang Kuning
yang sempat meneurigainya. Pemuda itu memiliki
tatapan kejam, angker dan mengerikan. Tetapi
Dayang Biru tahu kalau pemuda itu memiliki ke-
lembutan hati.
"Jadi... pemuda ini yang berjuluk Raja Na-
ga?!" terdengar suara sinis Ratu Dayang-dayang.
"Huh! Hanya seorang pemuda ingusan belaka!
Dayang Kuning! Kau mengatakan tak mampu
menghadapinya?"
Dayang Kuning tergagap mendengar ben-
takan itu. Dia tak menjawab.
Ratu Dayang-dayang berseru lagi, "Pemuda
berjuluk Raja Naga! Kudengar kabar kalau kau
hendak merebut Kain Pusaka Setan. Apakah se-
karang kau akan mengurungkan niat?!"
Raja Naga menarik napas. Perasaannya
mendadak menjadi tegang. "Keadaan sudah san-
gat terjepit sekali. Bila kuhadapi nenek yang di
tangannya terbebat Kain Pusaka Setan, tentunya
urusan akan jadi runyam. Ki Dundung Kali nam-
paknya tak mampu menghadapi Setan Gemolong.
Sementara karena dikeroyok, Peramal Sakti tak
berkutik. Apakah aku harus menghadapi Ratu
Dayang-dayang sekarang? Ah, biar bagaimanapun
juga aku harus merebut Kain Pusaka Setan dari
tangannya. Bila tidak, urusan akan berabe. Se-
baiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri. Raja Naga
berbisik pada Peramal Sakti dan Ki Dundung Kali,
"Aku memutuskan untuk menghadapi Ratu
Dayang-dayang sebagai lawanku! Bukan bermak-
sud untuk merendahkan masing-masing orang,
tetapi sebaiknya kalian bertukar lawan! Ki Dun-
dung Kali... eobalah kau menghadapi Lara Dewi.
Peramal Sakti... kau menghadapi Setan Gemo-
long...."
Kedua kakek yang tadi mengambil kesem-
patan untuk memulihkan tenaganya, sama-sama
menganggukkan kepala.
"Pikiran itu pun ada di benakku...," kata
Peramal Sakti.
"Kalau begitu... kita bersiap!"
Habis ueapannya. Raja Naga berseru pada
Ratu Dayang-dayang, "Tak ku ubah sedikit niat di
hatiku untuk merebut Kain Pusaka Setan untuk
kumusnahkan!"
"Bagus! Bersiaplah untuk perjalanan ke
akhirat!!" Usai bentakannya, Ratu Dayang-dayang
sudah menerjang ke depan. Tangan kanannya
yang dibebat Kain Pusaka Setan sudah didorong
ke arah Raja Naga.
Raja Naga segera mengambil tindakan. Ka-
ki kanannya dijejakkan di atas tanah melepaskan
ilmu 'Barisan Naga Penghaneur Karang'. Begitu
tanah bergerak bergelombang ke arah Ratu
Dayang-dayang, dia segera membuang tubuh.
Pukulan 'Hamparan Naga Tidur' sudah dilepaskan
disusul dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan'. Menggebraknya tiga serangan dahsyat
yang dilanearkan susul men3rusul itu membuat
Ratu Dayang-dayang tersentak sesaat. Tetapi
dengan mempergunakan Kain Pusaka Setan, keti-
ga serangan beruntun itu dapat dipatahkan.
"Keluarkan seluruh ilmu yang kau punya.
Anak muda!" serunya menerjang.
Raja Naga membatin, "Kekuatannya bukan
terletak pada ilmu yang dimilikinya! Aku yakin
Peramal Sakti dapat menghadapinya bila si nenek
tak mempergunakan Kain Pusaka Satan!"
Raja Naga terus mengulangi ganasnya se-
rangan yang dilakukan. Bahkan tak tanggung la-
gi, dia sudah mengeluarkan ilmu 'Naga Menga-
muk' yang membuat tempat itu laksana didatangi
ratusan gajah liar.
Di pihak lain Ki Dundung Kali sudah
menggebrak, lawannya sekarang adalah Lara De-
wi. Sementara itu Peramal Sakti menghadapi Se-
tan Gemolong.
Bergantinya lawan yang mereka hadapi
ternyata membawa hasil. Dalam delapan jurus
kemudian, Ki Dundung Kali sudah berhasil men-
desak Lara Dewi. Dia terus meneoba mengalah-
kannya dengan tujuan agar eepat membantu Pe-
ramal Sakti yang masih belum berhasil mendesak
Setan Gemolong.
Dayang Kuning yang menyaksikan keheba-
tan pemuda berompi ungu dan bermata angker
itu mendesis, "Kau benar. Dayang Biru. Kita tak
akan mampu menghadapinya...."
Dayang Biru mengangguk-anggukkan ke-
pala. Tak berani menatap Dayang Kuning, khawa-
tir kalau keeemasan pada wajahnya akan terlihat
oleh Dayang Kuning.
Ratu Dayang-dayang semakin murka kare-
na belum juga berhasil mendesak Raja Naga. Ilmu
'Naga Mengamuk' yang dikeluarkan Raja Naga
benar-benar ampuh, mampu menahan beberapa
lama serangan ganas dari Kain Pusaka Setan. Te-
tapi pada jurus berikutnya. Raja Naga mulai ter-
desak hebat.
Kedua tangan si pemuda yang dipenuhi si-
sik coklat sebatas siku semakin menyala. Pertan-
da dia marah sekaligus resah.
"Kau tak akan mampu menghadapiku. Raja
Naga! Namamu akan terkubur hari ini juga!!"
Desss!!
Dada Raja Naga terhantam tendangan kaki
kanan Ratu Dayang-dayang yang mendadak men-
euat, membuatnya tergontai-gontai ke belakang
dan kejap itu pula dia membuang tubuh ke samp-
ing. Karena gelombang angin mengerikan yang
keluar dari Kain Pusaka Setan telah menggebrak
ke arahnya!
Blaaarrr! 1
Pohon di belakangnya terhantam dan ber-
derai menjadi debu begitu angin berhembus.
Di tempatnya Dayang Biru membatin re-
sah, "Celakai Raja Naga bukan hanya akan kalah,
tetapi juga... oh! Apa yang harus kulakukan?"
Dayang Kuning yang mendengar desahan
napas gelisah gadis di sampingnya melirik. Ke-
ningnya berkerut sesaat sebelum kemudian diam-
diam ditariknya napas pendek.
"Ah, desahan dan tatapan gelisah Dayang
Biru kali ini tak bisa berbohong lagi. Dugaanku
ternyata tepat, kalau Dayang Biru menaruh per-
hatian pada pemuda bersisik itu. Ah... tak patut
bila perasaannya itu ku usik...."
Di pihak lain. Lara Dewi benar-benar su-
dah didesak oleh Ki Dundung Kali. Perempuan
mesum ini berteriak keras,
"Setan Gemolong! Bantu aku!!"
Mendengar seruan itu. Setan Gemolong se-
gera melompat untuk membantu, padahal dia su-
dah mendesak Peramal Sakti. Apa yang dilakukan
Setan Gemolong sudah tentu tak disia-siakan
oleh Peramal Sakti. Dia segera menerjang dan....
Bukk! Bukkk!!
"Aaaaakhhh....!!" seruan tertahan terdengar
dari mulut Setan Gemolong. Sosoknya tersungkur
di atas tanah begitu punggungnya telah terhan-
tam.
Setan Gemolong menggeliat menahan sakit
tak terkira.
Peramal Sakti melesat ke depan, "Sesung-
guhnya aku bukanlah orang kejam! Dan aku tak
men3aikai keadaan ini! Di saat usia semakin me-
nipis tetapi kita masih terlibat urusan yang me-
musingkan kepala!"
Lesatan tubuhnya tiba-tiba naik ke atas.
Lalu meluncur dengan kaki kanan siap menghan-
tam patah punggung Setan Gemolong. Dalam
keadaan terdesak dan tipis harapan, Setan Gemo-
long masih tunjukkan kelasnya.
Dia cepat berbalik seraya mengibaskan
tangan kanannya.
Buk! Des!!
Kaki kanan Peramal Sakti menghantam
dada Satan Gemolong yang berteriak setinggi lan-
git dan menggeliat hebat. Dua tarikan napas ke-
mudian, kakek tanpa baju ini sudah diam tak
bergerak dengan dada yang membekaskan kaki
kanan Peramal Sakti.
Di pihak lain. Peramal Sakti terbanting di
atas tanah dengan paha kiri patah dan hangus. Si
kakek menggeliat kesakitan diiringi keluhan lirih.
Melihat nasib sial yang dialami oleh Setan
Gemolong rasa kecut segera menghinggapi pera-
saan Lara Dewi. Apalagi saat ini Ki Dundung Kali
terus mendesaknya dengan hebat.
"Celaka! Aku bukan hanya tak akan bisa
balas kematian kakak kandungku, tetapi aku bisa
mampus di sini!" desisnya dalam hati dengan wa-
jah panik. "Setan Gemolong sudah mampus! Be-
rarti tak ada lagi tempatku berlindung! Sebaik-
nya...."
Mendadak sontak Lara Dewi meneelat ke
depan. Nekat menyongsong serangan Ki Dundung
Kali. Gebrakan nekat Lara Dewi membuat Ki
Dundung Kali sesaat tersentak. Tetapi dengan
mudah dapat menguasai keadaan kembali. Hanya
saja, Lara Dewi sudah keburu melarikan diri!
Kendati penasaran, tetapi Ki Dundung Kali
tak mau mengejar. Dia segera mendekati Peramal
Sakti dan membawanya ke tempat lebih aman.
Segera ditotok urat saraf pada paha kiri Peramal
Sakti. Lalu dialirkan tenaga dalamnya yang mem-
buat kakek itu meringis kesakitan.
Sementara itu keadaan Raja Naga hampir
tak jauh berbeda. Ganasnya serangan Kain Pusa-
ka Setan yang terbebat pada tangan kanan Ratu
Dayang-dayang semakin merepotkan dan mem-
bahayakan jiwanya. Bahkan beberapa kali da-
danya terhantam jotosan tangan kiri dan kaki ka-
nan kiri si nenek berjubah hitam.
Tubuhnya berbalik dan terjerunuk!
Saat itulah Ratu Dayang-dayang menerjang
untuk menghabisinya.
Dayang Biru mendesis pelan.
"Oh!"
Dayang Kuning melirik sekilas lalu melihat
bagaimana gurunya siap menghantam tewas pe-
muda bersisik eoklat yang tengkurap di atas ta-
nah!
Tetapi sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Karena mendadak saja dari punggung si pemuda
meneelat bayangan seekor naga hijau ke arah gu-
runya!
Dan... desss!!
"Aaaakhhh....!!"
Ratu Dayang-dayang terlempar ke belakang
dengan darah munerat dari mulutnya. Dia masih
dapat menguasai keseimbangan hingga tidak ru-
buh. Dari bibirnya merembas darah segar. Ma-
tanya memandang tak pereaya dengan apa yang
dialaminya.
"Gila! Mengapa jadi begini? Dari mana da-
tangnya bayangan seekor naga hijau itu?!" desis-
nya tertahan.
Sementara itu Raja Naga perlahan-lahan
berdiri. Sisik-sisik pada kedua tangan sebatas si-
kunya yang berwarna eoklat semakin menyala.
Matanya bertambah angker mengiriskan.
"Hemm... tentunya tato gambar naga hijau
yang ada di punggungku ini yang telah menyela-
matkanku! Berarti aku harus mempergunakan
kesempatan ini sekaligus merebut Kain Pusaka
Setan! Kehebatan Ratu Dayang-dayang tak akan
banyak arti bila tak mempergunakan Kain Pusaka
Setan!" (Mengenai gambar naga hijau yang ada
pada punggungnya ini, silakan baca : "Tapak De-
wa Naga").
Tetapi sebelum si pemuda menyerang, Ratu
Dayang-dayang sudah mengibaskan Kain Pusaka
Setan. Cepat Boma Paksi membalikkan tubuh.
Bersamaan gelombang angin dahsyat menggebrak
ke arahnya, bayangan naga hijau melesat pula.
Menelan gelombang angin itu tanpa mengelua-
rkan suara.
"Heiiii!!" Ratu Dayang-dayang sampai surut
satu tindak ke belakang dengan kepala menegak.
Raja Naga tak membuang kesempatan. Se-
lagi Ratu Dayang-dayang dibingungkan oleh se-
rangan anehnya, pemuda dari Lembah Naga ini
sudah melesat ke depan. Tangan kanannya dido-
rong ke depan untuk membingungkan Ratu
Dayang-dayang sementara tangan kirinya cepat
bergerak.
Buk!
Praaakk!
Pergelangan tangan kanan Ratu Dayang-
dayang patah terhantam tangan kirinya. Nenek
ini menjerit setinggi langit sambil memegangi tan-
gan kanannya. Dan....
Breettt!!
Kain Pusaka Setan yang membebat pada
tangannya telah disambar oleh Raja Naga yang
kemudian mundur.
"Keparat! Kembalikan benda itu kepadaku!"
suara Ratu Dayang-dayang tersekat di tenggoro-
kan karena menahan sakit.
Raja Naga mendesis dingin, "Benda ini bu-
kanlah milikmu! Dan juga bukan milikku! Benda
ini harus dibuang atau dimusnahkan!"
"Keparat! Akan kubunuh kau!!" serak sua-
ra Ratu Dayang-dayang. Orangnya sudah mener-
jang ke depan, dengan amarah tinggi.
Raja Naga menahan napas melihat ke ke ras
kepalaan Ratu Dayang-dayang.
Anak muda ini mendehem.
Mendadak saja laksana dihantam gelom-
bang angin dahsyat, tubuh Ratu Dayang-dayang
terpental ke belakang meluneur deras tak terken-
dali.
Dayang Kuning dan Dayang Biru yang tadi
tersentak kaget segera memburu ke arahnya.
"Guru!" desis Dayang Kuning sambil mele-
sat. Tetapi tubuh gurunya telah menghantam se-
buah pohon hingga tumbang. Dan terbanting ke-
ras di atas tanah bersamaan tubuh Ratu Dayang-
dayang yang terlempar ke depan. Begitu ambruk,
perempuan itu telah menjadi mayat!
Di pihak lain. Dayang Biru memandang ta-
jam pada Raja Naga. Biarpun dia menaruh hati
pada pemuda bersisik eoklat itu, tetapi dia tak
menerima melihat keadaan gurunya.
Lalu desisnya, "Raja Naga... kelak kami
akan muncul di hadapanmu untuk lakukan pem-
balasan!"
Kemudian bersama dengan Dayang Kuning
yang membawa mayat Ratu Dayang-dayang, ke-
dua gadis itu berlalu penuh kemarahan dan den-
dam.
Di tempatnya Raja Naga menarik napas
panjang.
"Ah, mengapa harus terjadi seperti ini?" de-
sisnya.
"Raja Naga...."
Panggilan di belakangnya itu membuatnya
menoleh. Dilihatnya Ki Dundung Kali sedang
memapah Peramal Sakti yang kaki kirinya patah.
"Ramalan sahabatku ini terbukti, kalau se-
seorang yang ternyata kau adanya akan berhasil
merebut Kain Pusaka Setan...."
Raja Naga tersen3aam.
"Aku hanya sedikit beruntung, Ki...."
Peramal Sakti buka mulut, "Raja Naga...
simpanlah benda sakti itu padamu. Aku percaya
kau akan menjaganya dari tangan orang-orang
jahat...."
"Semula aku memang hendak menyimpan
atau memusnahkannya. Tetapi... sekarang, aku
akan memberikan Kain Pusaka Setan ini pada ka-
lian...."
Raja Naga melangkah mendekati keduanya.
Baru saja diangsurkan tangan kanannya yang
memegang Kain Pusaka Setan, mendadak saja
benda hitam usang itu melayang deras, seperti
tertarik oleh satu tenaga gaib.
Tiga pasang mata melihat Kain Pusaka Se-
tan masuk dan lenyap ke wajah patung lelaki ke-
jam yang tak jauh berada di sana.
"Heiii! Apa yang terjadi?!" desis Raja Naga
terkejut. Lalu dilihatnya Ki Dundung Kali yang
mengerutkan kening. Dilihatnya pula bagaimana
wajah Peramal Sakti menjadi pucat.
"Astaga! Jangan-jangan... jangan-jangan...,"
mendesis Peramal Sakti dengan suara tertahan.
"Orang tua... ada apa? Kau nampaknya
mengetahui sesuatu?" tanya Raja Naga heran.
Peramal Sakti tak menyahut. Wajahnya
yang pucat kini menjadi tegang. Matanya tak ber-
kedip memandang Patung Darah Dewa. Cukup
lama tak ada yang buka suara sampai kemudian
terdengar kata-kata Peramal Sakti, "Ah... ternyata
tak terbukti... ternyata tak benar...."
"Orang tua... katakan padaku, apa yang
kau maksudkan dengan tak terbukti?"
"Patung Darah Dewa menyimpan satu te-
naga gaib yang mengerikan, yang akan terbuka
bila Kain Pusaka Setan masuk ke dalamnya. Perlu
kau ketahui. Kain Pusaka Setan boleh dikatakan
adalah nyawa untuk Patung Darah Dewa. Dan
sedotan tenaga tadi itu berasal dari Patung Darah
Dewa. Tetapi... tak ada yang perlu dicemaskan.
Karena... patung itu tak menunjukkan gejala
aneh...."
Raja Naga tersenyum.
"Kalau begitu... sebaiknya kita tinggalkan
tempat ini."
"Kau hendak ke mana. Anak muda?" tanya
Peramal Sakti.
"Aku ingin melihat dunia luas. Ke mana
kakiku melangkah ke sanalah aku pergi...."
Habis ucapannya Raja Naga sudah me-
ninggalkan tempat itu. Sementara itu Peramal
Sakti dengan dibimbing Ki Dundung Kali mening-
galkan tempat itu setelah memandang Patung Da-
rah Dewa beberapa saat.
Suasana kering, hening dan sepi. Hanya
tinggal mayat Setan Gemolong yang berada di sa-
na.
Tetapi menjelang matahari terbit, menda-
dak terjadi perubahan pada Patung Darah Dewa.
Patung yang tak bergerak itu mendadak memper-
lihatkan sinar hitam dari seluruh bagiannya, te-
rutama dari wajah patung yang berukiran lelaki
kejam itu.
Mendadak... terdengar letupan yang sangat
kuat. Tanah di sekeliling patung itu berdiri mun-
erat ke udara. Mengurung patung itu hingga un-
tuk beberapa lama tak bergerak.
Lamat-lamat tanah itu pun sirap dan ber-
tebaran sinar-sinar hitam dari sekujur tubuh Pa-
tung Darah Dewa, ke segenap penjuru yang me-
nerangi sekaligus menggelapi tempat itu. Menyusul
sul sinar-sinar itu lenyap, terlihat laksana seo-
rang manusia, dari sekujur patung itu keluar da-
rah segar yang mengalir ke tanah.
Didahului oleh letupan keras, dari kepala
Patung Darah Dewa mendadak mencelat sebuah
sinar hitam ke udara, menghantam bagian atas
sebuah pohon yang peeah berhamburan.
Lalu sinar hitam itu melesat menjauh....
SELESAI
Segera menyusul :
PATUNG DARAH DEWA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon