Pendekar Mabuk 48 - Manusia Pemusnah Raga(2)



"Siapa?! Demit Lanang?!"
"Babi hutan yang tadi!" jawab Suto Sinting.
Kedua perempuan cantik itu menjadi kesal kepada
Suto, lalu pemuda itu dihampiri bersama dari kanan kiri 
dengan tolak pinggang. 


"Apa maksudmu mengganggu pertarungan kami,
hah?!" bentak  Salju  Kelana. Pendekar Mabuk hanya
cengar-cengir dengan kepala menengok ke kanan dan ke
kiri.
"Aku hanya tidak ingin kalian berselisih," jawab Suto
di sela cengirannya. Sekalipun hanya sebuah  cengiran
namun dianggap oleh hati perempuan sebagai senyum
yang menawan. Itulah kehebatan Suto.
"Sebenarnya dari tadi memang tidak ada apa-apa.
Babi hutan pun tidak ada. Aku hanya ingin mengalihkan
perhatian kalian agar jangan tertuju kepada
perselisihan," sambung Suto menjelaskan, "Kalau  kalian
berselisih, aku sedih dan tak bisa mengambil sikap."
"Sebagai  laki-laki kau harus bisa mengambil sikap
dan ketegasan!" kata Kinanti. "Kau mau ikut ke Lembah
Birawa seperti janjimu semula, atau mau  ikut Salju
Kelana?! Tentukan sekarang juga!" Kinanti  bernada
menuntut ketegasan.
Salju Kelana mencoba pengaruhi jalan pikiran  Suto
dengan kata, "Kalau kau ke Lembah Birawa, aku pergi
sekarang juga dan mungkin kita tidak akan  bertemu
lagi."


Suto berkata kepada Salju Kelana, "Sebenarnya apa
yang  membuatmu melarangku bertemu dengan  Ratu
Jiwandani?"
"Ratu itu cantik dan masih perawan!" 
"Kau pikir aku akan terpikat padanya?!" 
Kinanti yang menjawab, "Kuharap demikian!"
 "Kurobek mulutmu, Kinanti!" bentak Salju Kelana.
"Akan kuputuskan sendiri!" Suto berkata agak
menyentak, sehingga kedua gadis itu saling bungkam
dan memandang Suto Sinting.
"Aku akan menghadap Ratu Jiwandani, karena 
agaknya ia dalam kesulitan. Aku mau datang ke Lembah
Birawa asal bersama Salju Kelana. Jika Salju  Kelana
tidak diizinkan ikut, aku tak jadi menemui Ratu
Jiwandani."
Kedua makhluk cantik itu sama-sama terbungkam
lagi untuk beberapa saat. Kinanti mondar-mandir untuk
menentukan keputusannya. Salju Kelana  sendiri juga
mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya seraya
melangkah ke sana-sini bagai orang gelisah.
Kinanti akhirnya berkata, "Baiklah. Salju Kelana
boleh ikut tapi tidak boleh mencampuri pembicaraanmu
dengan sang Ratu!" 
"Aku hanya akan mengawasinya!" kata Salju Kelana
bernada ketus.
"Tampaknya kau takut kehilangan Pendekar Mabuk,
Salju Kelana?"
"Memang!" jawab Salju Kelana dengan tegas, tanpa
basa-basi sedikitpun.


Kinanti hanya mencibir sinis. Saat mereka melangkah
menuju Lembah Birawa, Kinanti sempat ceritakan
masalah sebenarnya kepada Salju Kelana. Cerita itu
meluncur dari mulut Kinanti setelah  Salju  Kelana
menceritakan pengalaman mesranya dengan Suto
Sinting ketika di dalam gua dan ketika duduk di depan
Suto Sinting yang mandi dalam keadaan polos  karena
menyangka Salju Kelana buta, padahal tidak. Kinanti
sempat terkikik geli mendengar  cerita itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode  "Rencong Pemburu
Tabib"). Sedangkan Pendekar  Mabuk sengaja sedikit
menjauh  supaya tidak terlalu merasa malu
membayangkan kebodohannya didepan Salju Kelana
yang kala itu berpura-pura masih buta.
Bahkan Suto berusaha mengalihkan percakapan
kedua wanita itu dengan sedikit berseru, "Tak bisakah
kalian  lebih  cepat lagi?! Aku tak ingin kemalaman di
perjalanan!"
"Sstt... dia malu!" bisik Salju Kelana sambil
tersenyum geli.
Perjalanan  mereka tak menemui hambatan lagi,
sehingga  mereka tiba di Lembah Birawa pada saat
petang hampir tiba. Lembah berudara sejuk itu membuat
kesegaran tersendiri bagi Suto Sinting, hingga wajahnya
tampak ceria dan berseri-seri. Ia baru kali itu datang ke
Lembah Birawa yang subur dan penuh dengan tanaman
bunga bagai kehidupan surgawi.
Seperti kata Salju Kelana yang sudah mengenal Ratu
Jiwandani, ternyata ratu itu memang cantik bagai boneka


yang sangat elok dipandang mata. Selain  cantik, ia
mempunyai tubuh yang sekal, meliuk indah penuh daya
pikat bagi setiap pria yang memandanginya. Tak heran
jika Demit Lanang sampai tega  singkirkan adiknya
sendiri demi dapatkan Ratu Jiwandani. Karena menurut
Suto,
"Siapa pun yang menjadi suami Ratu Jiwandani  tak
akan sempat menghitung hari. Bahkan mungkin tak akan
tahu siang atau malam, karena ia betah mengurung diri
di dalam kamar bersama sang Ratu  sampai rambut
beruban pun tetap akan betah."
Ratu Jiwandani bukan ratu yang seronok, pakaiannya
cukup rapi dan sopan dengan rangkapan  jubah merah
jambu berbintik-bintik emas. Rambutnya  sedikit terurai
alsanya tersanggul dililit dengan  mahkota dari butiran
permata yang sangat indah. Ia  tampil sebagai sosok
perempuan yang anggun dan punya kharisma tersendiri.
Namun manakala ia berhadapan dengan Pendekar
Mabuk, matanya yang indah itu tak mampu berkedip
walau sekejap. Mata itu memandang penuh sorot pesona
yang mungkin hanya Salju Kelana yang mengetahuinya.
"Luar biasa sekali pria ini, daya tariknya begitu kuat
hingga hatiku berdebar-debar  sejak tadi," kata Ratu
Jiwandani dalam hati. "Ternyata kabar yang selama ini
kudengar tentang sang Pendekar Mabuk yang tampan itu
tidak meleset sedikit pun. Sayang aku menjadi seorang
ratu, seandainya aku bukan seorang ratu aku berani
mengejar pria ini demi mendapatkan keindahan yang ada
padanya. Siapa orangnya yang tak merasa bahagia hidup


menjadi istrinya, sudah sakti, tampan lagi. Ck, ck, ck...
benar-benar layak menjadi idaman setiap wanita."
"Ratu...," sapa Kinanti. "Mengapa hanya diam saja!
Bicaralah tentang kesulitan kita, Ratu."
Menyadari ketermenungannya Ratu Jiwandani segara
tersipu-sipu. Salju Kelana tampak mencibir sambil
buang muka. Suto Sinting tetap sunggingkan  senyum
keramahan yang diterima sebagai senyum pemikat oleh
sang Ratu. Karenanya hati sang Ratu menjadi gelisah
dan  ia terpakaa menenangkan kegelisahannya mati-
matian.
Sang Ratu segera menceritakan kesulitannya yang
berkaitan dengan perjanjian bersama pihak Perguruan
Darah Surga. Tapi yang menjadi titik berat  saat  itu
adalah keberadaan Demit Lanang yang telah menguasai
Jurus 'Bintara Jingga' itu.
"Sudah  dapat kupastikan seandainya aku menolak
pinangannya, ia akan menggugat melalui perjanjian yang
tertulis itu. Jika aku menyangkal perjanjian itu, ia akan
murka dan menggunakan jurus 'Bintara Jingga' untuk
melenyapkan diriku. Mungkin bukan
( Halaman 62 dan 63 nya tidak ada...)
tanya yang tak berkedip itu menikmati ketampanan
Suto hingga ia biarkan hatinya bergetar-getar dijamah
oleh keindahan yang sukar digambarkan.
"Tak ada jalan lain kecuali memerangi Demit Lanang
secara terang-terangan, Ratu."
"Dan kau sanggup melawannya? Jika kau sanggup
akan kuberikan hadiah padamu yang boleh kau pilih


sendiri, hadiah apa yang kau inginkan dariku."
"Itu soal nanti," kata Suto. "Tapi keluarkan
perintahmu untuk mengutusku dan Salju Kelana sebagai
utusan yang punya wewenang mengusir dan menerima
tamu siapa pun yang ingin menghadapmu, Ratu."
"Salju Kelana ikut juga?" sela Kinanti bernada kurang
setuju.
"Salju Kelana akan menghadapi murid Perguruan
Darah Surga yang lain, aku akan menghadapi Demit
Lanang!"
"Apakah Salju Kelana mampu menghadapi mereka?
Ilmu mereka tinggi dan tak mudah ditumbangkan."
Salju Kelana akhirnya bicara juga, "Sebaiknya kita
buktikan dulu apakah aku mampu menumbangkan kau
atau tidak, Kinanti!"
Tantangan itu dilontarkan di depan sang Ratu
membuat Kinanti naik pitam, ia bangkit dengan
keberaniannya dan berseru sambil bergerak maju,
"Kita tentukan kau atau aku yang kehilangan nyawa!
Tak perlu di luar, di sini saja cukup!"
Suto Sinting menahan gerakan Kinanti dengan
memegangi pundaknya dan menghalangi langkahnya.
Suasana menjadi agak panas karena tantangan tersebut.
"Kinanti...!" sergah Ratu Jiwandani. "Kendalikan
dirimu, Kinanti! Hormati mereka, karena mereka adalah
tamu di tempat kita. Lebih dari itu, mereka bermaksud
menolong kita."
"Tapi saya tidak setuju jika Salju Kelana ikut campur
dalam masalah ini. Suto Sinting sudah cukup mampu


mengatasi orang-orang Perguruan Darah Surga tanpa
bantuan siapa pun."
"Aku setuju dengan keputusan Suto Sinting!" ucap
sang Ratu dengan nada tegas yang membuat Kinanti
terbungkam dan menatap ratunya dengan sorot
pandangan kecewa.
*
* *
6
SEORANG prajurit bernama Pinasih datang
menghadap sang Ratu dalam keadaan wajah memar dan
lengan tergores luka yang masih berdarah. Kedatangan
Pinasih membuat sang Ratu menjadi tersentak bangun
dari tempat duduknya. Yang lain pun memandang
Pinasih dengan tegang, terutama Kinanti.
"Pinasih, apa yang terjadi?!" sambil Kinanti
menyambar tubuh Pinasih yang nyaris rubuh karena
luka-lukanya.
Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut. Salju
Kelana mendekati Suto dan berbisik, "Ada sesuatu yang
tak beres."
Suto hanya menggumam lirih. Lalu mereka
menyimak penjelasan dari Pinasih yang menjadi salah
satu petugas penjaga perbatasan.
"Sisa orang-orang Pulau Teluh datang, Gusti Ratu!"
Pinasih bicara dengan terengah-engah. "Mereka
dipimpin oleh Lodang Balak, adik dari Penguasa Pulau
Teluh yang telah berhasil dibunuh oleh Demit Lanang
Itu."


"Lodang Balak...?!' Salju Kelana menggumam
dengan nada heran. "Seingatku Lodang Balak adalah
Penguasa Pulau Gaib. Ilmu gaibnya lebih tinggi  dari
Penguasa Pulau Teluh."
Suto Sinting berkata kepada sang Ratu, "Benarkah
Lodang Balak adik dari Penguasa Pulau Teluh?"
"Memang. Tapi kusangka ia tidak akan ikut campur
urusan kakaknya, karena antara dia dan kakaknya ada
perang dingin."
"Berapa kekuatan mereka, Pinasih?" tanya Kinanti.
"Sekitar tiga puluh orang," jawab Pinasih yang
membuat sang Ratu kian tegang. Kinanti pun cepat
lemparkan pandangan kepada sang Ratu seakan
menunggu perintah.
Sebelum sang Ratu bicara, Suto Sinting segera
memberikan tuak  kepada Pinasih. Tuak diminum oleh
Pinasih dan beberapa saat kemudian luka-luka Pinasih
menjadi sembuh. Luka koyaknya merapat, darah yang
keluar dan membasahi lengannya itu bagai menguap
sirna tanpa bekas lagi. Sang Ratu memperhatikan
kesaktian tuak tersebut dengan hati penuh kekaguman.
"Kinanti," katanya kepada Kinanti. "Siapkan prajurit
tamtama yudha seluruhnya. Prajurit berkuda dan para
pemanah juga perlu dikerahkan."
Salju Kelana beranikan diri berkata, "Apakah tak
sebaiknya menghemat tenaga saja, Ratu Jiwandani?"
"Apa maksudmu menghemat tenaga, Salju Kelana?"
"Izinkan aku dan Suto mewakili pihakmu ke
perbatasan."


Suto Sinting segera berkata, "Gagasan itu cukup baik.
Barangkali dari sinilah awal kerja kami, Ratu."
Ratu Jiwandani diam sebentar, sesaat kemudian
berkata kepada Kinanti, "Pilih beberapa prajurit untuk
mendampingi Suto dan Salju Kelana!  Berangkat ke
perbatasan!"
Agaknya memang tak ada pilihan lain bagi sang Ratu
yang  ingin membuktikan kebanggaan hatinya kepada
sang Pendekar Mabuk. Maka berangkatlah mereka ke
perbatasan menyongsong kedatangan Lodang Balak
yang ingin menuntut balas atas kematian kakaknya;
Penguasa Pulau Teluh. Sementara itu, Pinasih
diperintahkan untuk menjaga Ratu, dan Kinanti
pemimpin pasukan pilihan yang akan didampingi Suto
Sinting dan Salju Kelana.
Mereka menunggang kuda, tapi Suto Sinting dan
Salju Kelana tidak. Cukup dengan menggunakan kedua
kakinya mereka mengikuti pasukan berkuda yang
berjumlah sepuluh orang terhitung dengan Kinanti.
Derap kaki kuda lain terdengar di kejauhan. Debu
mengepul ke udara membuat langit bagaikan keruh.
Melihat kepulan debu di kejauhan, para pasukan berkuda
makin mempercepat gerakan. Namun ternyata Suto
Sinting dan Salju Kelana sudah tiba di depan lebih dulu
daripada mereka yang berkuda.
"Edan!  Mereka sudah sampai lebih dulu dan
menghentikan gerakan lawan?!" gumam Kinanti antara
dongkol dan bangga.
Kinanti hentikan pasukan berkuda dalam jarak sekitar


dua puluh tombak dari tempat Suto dan Salju Kelana
berdiri. Sementara itu orang-orangnya Lodang Balak
membentuk barisan berjajar dengan kuda-kuda mereka
yang tampak kekar-kekar itu. Mereka dalam jarak sekitar
lima tombak dari Suto dan Salju Kelana.
Orang yang masih duduk di atas punggung kuda
hitam dan berambut panjang diikat dengan ikat kepala
warna ungu itu memandangi Suto dan Salju Kelana.
Pada saat itu, Salju Kelana berbisik kepada Pendekar
Mabuk.
"Yang memakai ikat kepala ungu itulah Lodang
Balak! Hati-hati menatap matanya, kekuatan sihirnya
cukup tinggi."
"Aku akan memandang batas telinganya saja,"  bisik
Suto pelan.
Lodang Balak mengenakan jubah merah dengan
celana merah, badannya yang kekar tapi tidak gemuk itu
sengaja tidak mengenakan baju sehingga gambar tato
naga di dadanya terlihat jelas manakala jubahnya
menyingkap tertiup angin, ia menyandang  sebilah
pedang besar yang disematkan di punggungnya.
Matanya yang besar memancarkan sinar dendam yang
membuatnya tampak buas dan ganas.
"Kalau tak salah pandang," kata Lodang Balak yang
bersuara serak itu. Kata-katanya itu ditujukan kepada
Salju Kelana,"... kau adalah penguasa Pulau  Serindu
yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum!"
Salju Kelana berkerut dahi dan memandang Suto
sesaat, kemudian berseru dengan suara lantang.


"Aku Salju Kelana! Siapa itu Dyah Sariningrum?
Penjual jamu mana dia itu? Aku tak kenal dengannya!"
Suto Sinting agak tersinggung mendengar Dyah
Sariningrum dikatakan penjual jamu. Ia memang belum
pernah ceritakan kepada Salju Kelana bahwa Dyah
Sariningrum adalah calon istrinya yang menjadi
penguasa Pulau Serindu dan mempunyai wajah mirip
dengan Salju Kelana. Suto Sinting akhirnya memaklumi
ucapan itu, karena Salju Kelana tidak tahu hubungan
Suto dengan Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti
Mahkota Sejati itu.
"Siapa pun dirimu, Perempuan ganjen... aku tetap
tidak akan pandang bulu! Jika kau menghalangi
langkahku untuk membalas dendam kepada Ratu
Jiwandani, kau pun akan kehilangan kepala, Perempuan
ganjen! Jadi kusarankan kau tak perlu berlagak menjadi
jagoan di depanku. Lodang Balak tak pernah segan
memenggal kepala perempuan secantik apa pun!"
"Turun dari kudamu dan buktikan sesumbarmu itu!"
sentak Salju Kelana dengan berani.
"Ha, ha, ha, ha...! Jangan melawanku kau, Gadis
ingusan! Sebaiknya kau melawan muridku saja."
Lodang Balak yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu menengok ke kiri, seorang berpakaian abu-abu
berkepala gundul dipandanginya. Lalu ia berseru kepada
orang yang berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh
kekar tanpa kenakan baju itu.
"Balada, turun dan mainkan kepunyaanmu di depan
perempuan itu!"


Orang gundul yang bernama Balada itu segera
melompat dari punggung kudanya. Wuuttt...!
Lompatannya cukup tinggi, hingga ia bisa bersalto dua
kali di udara dan mendarat dengan tegak di samping
Salju Kelana. Saat itu Suto Sinting berbisik,
"Biar kutangani saja, Salju Kelana."
"Jangan. Ini bagianku. Mundurlah sedikit!" Salju
Kelana tak kelihatan gentar sedikit pun. Matanya
memandang tajam kepada calon lawannya yang tampak
sangar itu.
Balada yang bercelana hitam dengan ikat pinggang
kain merah itu mulai melangkah ke samping dengan
mata melirik ganas. Salju Kelana bersikap tenang,
sedikit mengangkat dagu hingga tampak angkuh dan
penuh keyakinan.
Balada menyentakkan kedua tangannya ke depan
dengan kaki merendah dan salah satu kakinya ditarik
mundur. Tubuhnya yang merendah itu membuat
tangannya berada di atas kepala dalam bentuk cakar
tanpa kuku.
Wuukkk...!
Angin berhembus dengan kencang. Rupanya Balada
keluarkan tenaga dalam berbentuk gumpalan angin besar
yang membuat Salju Kelana terpelanting ke belakang
hampir jatuh. Perempuan itu segera rendahkan badan,
dan merentangkan tangannya, satu ke depan dengan jari
telunjuk berdiri lurus, satu lagi ada di belakang
kepalanya.
Ia menahan hembusan angin kencang itu dengan


mengerahkan tenaga dalam ke bagian kaki, sehingga
ketika Balada melompat dengan berjungkir balik di
tanah beberapa kali, Salju Kelana segera memutar
tubuhnya dan menyampar lawan dengan kaki kanannya
yang berkelebat bagai baling-baling. Weesss...!
Plakkk...!
Wajah sangar itu bagaikan ditampar dengan kaki
perempuan berjubah putih. Tamparan kaki yang
bertenaga dalam membuat tubuh kekar itu terpental ke
samping dan jatuh tersungkur. Namun ia cepat bangkit
dan menggeram dengan buas. Wajahnya menjadi hitam
sebelah akibat tendangan kaki Salju Kelana tadi.
"Gawat juga si Salju Kelana itu?" pikir Kinanti dari
atas punggung kudanya. "Sekali tendang wajah orang
dibuat hangus begitu?!"
Salju Kelana berdiri tegak dengan kedua kaki
merapat. Tangannya segera direntangkan kembali
dengan kaki rapatnya merendah kokoh. Tetapi tiba-tiba
Balada menghentakkan tangan kanannya yang berjari
rapat, bagai  menusukkan sesuatu ke arah tanah yang
dipijak Salju Kelana. Tiba-tiba tanah itu pun amblas ke
dalam. Bless...!
Tanah yang amblas itu membentuk lingkaran selebar
sumur. Tubuh Salju Kelana bagaikan terhisap dengan
kuat masuk ke dalam tanah sampai hilang dari
pandangan mata. Suto Sinting terkejut dan mulai
bergerak. Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tiba-
tiba dari dalam tanah yang berlubang besar itu
melesatlah tubuh Salju Kelana dengan memutar cepat


seperti gangsing. Wuusss...!
Lodang Balak dan Balada terperangah melihat
perempuan berjubah putih itu mampu melesat ke udara.
Padahal biasanya lawan yang telah dikubur hidup-hidup
dengan cara seperti itu tak akan bisa lolos dari liang
tersebut.  Sampai di udara,  tubuh Salju Kelana bersalto
dua kali dan segera mendaratkan kakinya dengan kokoh
ke tanah samping Balada.
"Keparat kau!" geram Balada sambil berpaling dan
siap melepaskan jurus barunya. Tapi agaknya
gerakannya terlambat. Salju Kelana lebih dulu lepaskan
pukulan berbentuk bola sinar putih menyilaukan.
Slaappp...! Sinar putih itu pun menerjang tubuh Balada
yang terlambat menghindar ke samping.
Wueerrss...!
Tubuh Balada berasap tebal bergumpal-gumpal.
Ketika gumpalan asap itu menipis dan lenyap, mata
mereka sama-sama terbelalak lebar, termasuk Suto
Sinting dan Lodang Balak. Mereka terkejut melihat
Balada berubah menjadi patung es yang bening dan
mencair sedikit demi sedikit.
"Tak kusangka Salju Kelana mempunyai jurus
sedahsyat itu?!" pikir Kinanti dengan hati bergetar.
"Untung tadi aku tidak jadi bertarung melawannya.
Kalau sampai aku tadi bertarung melawannya, bisa-bisa
aku berubah menjadi es batu seperti orang itu."
Melihat murid andalannya menjadi patung es batu,
Lodang Balak segera lepaskan sinar biru dari ujung jari
telunjuknya. Claapp...! Sinar biru yang panjang lurus


tanpa putus itu mengenai patung es batu itu. Maksudnya
memberikan hawa panas untuk mencairkan es batu yang
membungkus tubuh Balada, ia tidak tahu bahwa pada
saat itu Balada sudah tidak ada, berubah menjadi es dan
tak bisa dikembalikan seperti wujud aslinya. Maka sinar
biru itu justru memecahkan patung es batu tersebut
dengan mengeluarkan dentum ledakan yang cukup keras.
Jgaarr...!
Patung es itu pecah berantakan menjadi serpihan
yang menyembur ke mana-mana, bahkan butiran es itu
sampai ada yang jatuh di pangkuan Kinanti.
Lodang Balak semakin kaget melihat kenyataan itu.
Akhirnya ia melompat turun dari atas kudanya dan
berseru dengan suara serak.
"Bangsat!  Kau telah bunuh murid andalanku,
Perempuan lacur! Kuhancurkan pula ragamu sekarang
juga, heeeaaahhh...!"
Tangan kanannya menyentak ke depan. Tak ada sinar
yang keluar, tapi tiba-tiba tubuh Salju Kelana sudah
dibungkus oleh klatan-kilatan cahaya biru yang
mengelilinginya. Semakin lama semakin rapat hingga
tubuh Salju Kelana nyaris terjerat kilatan-kilatan sinar
biru yang saling memercikkan api dan letupan kecil itu.
Claappp...! Sinar ungu keluar dari tangan Suto
Sinting yang saling merapat dan disentakkan ke depan.
Sinar ungu itu menghantam kilatan-kilatan cahaya biru
yang hampir menjerat dan menghancurkan tubuh Salju
Kelana.
Blaarr...!


Salju Kelana terlempar melambung ke udara dan
jatuh dalam keadaan tak bisa menjaga keseimbangan.
Buuuhgg...!
"Auuh ..!" gadis itu mengerang kesakitan. Suto
Sinting  tak terlalu menyesal karena hal itu lebih baik
terjadi daripada tubuh Salju Kelana hancur oleh 'jala
petir'-nya Lodang Balak.
Orang berikat kepala ungu itu segera menatap Suto
Sinting dengan beringas, ia pun menggeram penuh
dendam.
"Jahanam! Sekarang kau ikut campur dan itu berarti
kau akan berhadapan denganku!" bentak Lodang Balak.
"Memang aku melawanmu!" kata Suto Sinting
dengan tenang, ia segera meneguk tuaknya sebentar
tanpa pedulikan sesumbar yang dilontarkan Lodang
Balak.
"Bocah keong!  Kau pikir mudah  menumbangkan
Lodang Balak, hah?! Apakah kau belum dengar kabar
bahwa Lodang Balak baru saja membunuh senopati dari
Kerajaan Bogasa, dan membantai semua  anggota
Perguruan Ciung Dewa?!"
"Aku tak butuh sesumbarmu. Aku butuh bukti
keampuhanmu! Tapi kita bertarung dengan jantanl"
"Apa maksudmu? Kau pikir aku takut dengan
tantangan yang membawa-bawa kejantanan itu?!"
Senyum Suto Sinting mekar dengan kalem, ia
melangkah pelan sampai di pertengahan jarak. Bambu
tuaknya menggantung di pundak.
"Kita bertarung secara  ksatria. Kulihat kau


mempunyai pedang, gunakanlah senjatamu itu. Aku pun
akan meminjam pedang temanku. Siapa yang terluka
lebih dulu berarti dia yang kalah. Jika aku yang terluka,
maka kubuka jalan, kusingkirkan para pengawal istana
yang berkuda itu, dan kau kuizinkan menemui Ratu
Jiwandani. Tapi jika kau yang terluka lebih dulu, kau
harus mengakui kekalahanmu, dan membawa anak
buahmu pulang ke tempat asal! Apakah kau takut
dengan tantangan seperti itu?" pancing Suto Sinting.
"Lodang Balak tak pernah punya  rasa takut kepada
siapa pun. Tantanganmu kulayani!"
Sreett...!  Pedang di punggung segera dicabut. Suto
Sinting berseru kepada Kinanti,
"Pinjam pedangmu, Kinanti!"
Kinanti melompat dari punggung kuda. Weesss...!
Gerakannya cukup cepat, tahu-tahu sudah ada di
samping Suto Sinting, ia menyerahkan pedangnya. Suto
Sinting mencabut pedang itu, gagang pedang masih di
tangan Kinanti.
"Hati-hati... dia jago pedang," bisik Kinanti.
"Baik. Menjauhlah secepatnya, dan bantu Salju
Kelana yang terluka itu."
Bumbung tuak disilangkan ke punggung. Pendekar
Mabuk mulai menebas-nebaskan pedang sebagai  cara
membiasakan gerakan dengan pedang tersebut. Lalu ia
mengambil jarak enam langkah dari depan Lodang
Balak.
"Apakah kau sudah siap tumbang, Bocah keong?!"
"Aku belum siap tumbang sebelum bisa melukai


dadamu!" kata Suto Sinting tak mau kalah gertak.
"Biadab kau!  Belum pernah merasakan Pedang
Halimun-ku ini kau, hah?!"
Lodang Balak bersiap-siap dengan memainkan jurus
pedang pembuka. Suto Sinting masih ingat pelajaran
pedang dari Ki Argapura, di mana jurus 'Pedang Cakar
Maut', 'Pedang Ekor Petir', dan 'Pedang Batu' adalah
jurus-jurus pedang yang sukar ditangkis dan dihindari
lawan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ladang Pertarungan").
Lodang Balak sudah tak sabar lagi.  Ia  segera
melompat maju dalam gerakan bersalto  satu kali, lalu
tiba di depan Suto Sinting dan menebaskan pedangnya
meliuk-liuk berserabutan membingungkan. Suto Sinting
hanya mundur selangkah. Ketika pedang lawan
membabat lehernya, Suto hanya menangkisnya dengan
menggenggam pedang memakai kedua tangannya.
Trang...! Trang...! Weesss...! Trang...!
Suto Sinting hanya bersikap menahan serangan
lawan. Walaupun Lodang Balak mampu memainkan
pedang dengan kecepatan tinggi, tapi mata Suto Sinting
tak pernah berkedip, sehingga mengetahui arah gerakan
pedang lawan, ia pun bermain dengan kecepatan tinggi,
sehingga selain pedang lawan berhasil ditangkisnya
terus, juga gerakan mereka tak bisa dilihat oleh orang-
orang di sekitar mereka.
Trrang, trang, trang, ziing...! Trang...!
Buuhg...!
Tiba-tiba Pendekar Mabuk tampak terpental ke


belakang karena sebuah tendangan yang mengenai
lambungnya. Suto kehilangan keseimbangan, akibatnya
ia terguling-guling karena tendangan itu mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup besar.
Jaraknya yang menjadi tujuh langkah dari Lodang
Balak itu membuat Lodang Balak maju menyerang
dengan liarnya. Pada saat itu, Suto Sinting baru saja
bangkit dan pandangan matanya masih terasa buram, ia
tak bisa melihat gerakan lawan yang menebaskan
pedangnya kembali.
Akhirnya ia memejamkan mata rapat-rapat dan
menggerakkan pedangnya menuruti desing angin yang
datang menghampirinya. Desing angin itulah gerakan
pedang lawan, sehingga Suto Sinting mampu
menangkisnya dengan tepat.
Trang, trang, trang, trang... wesss...! Deesss...!
Kali ini pukulan telapak tangan kiri Lodang Balak
menghantam dada Suto Sinting dengan telak. Pendekar
Mabuk tersentak mundur tiga langkah namun hanya
sempoyongan, tak sempat jatuh seperti tadi.
"Modar kau sekarang, Bangsat! Heeaaat..!"
Lodang Balak kian garang. Pedangnya ditusukkan di
depan, dan mata Suto yang masih terpejam itu berhasil
merasakan angin padat menghampirinya. Dengan cepat
ia melompat bersalto ke udara. Wuuss...! Lalu dalam
keadaan berjungkir balik di udara pedangnya berkelebat
membabat lawan. Wuuuttt...! Craasss...!
"Aahg...!" terdengar pekik tertahan si Lodang Balak.
Punggungnya robek digores ujung pedang.


Suto Sinting berdiri tegak, kini ia membuka mata
memandang lawannya yang menyeringai dengan berang.
Sekalipun dada Suto tampak membiru bekas pukulan
tadi, namun ia masih kelihatan gagah, mampu berdiri
dengan tegar.
"Kau sudah terluka, Lodang Balak! Kau harus
mundur sesuai peraturan yang kita sepakati tadi."
"Setan bangsat...! Tak ada kata mundur selama aku
masih mampu berdiri! Heaaatt...!"
Suto Sinting memegang pedang dengan kedua
tangan. 'Gerak Siluman' dipergunakan. Zlaapp...!
Gerakan yang luar biasa cepatnya itu bukan saja tak bisa
dilihat orang sekelilingnya, namun juga tak bisa dilihat
oleh lawan. Tahu-tahu Suto Sinting sudah pindah tempat
ke belakang Lodang Balak. Zebb...!  Ia masih
memunggungi Lodang Balak dengan pedang tetap
tergenggam dua tangan. Tapi mata pedangnya semakin
berlumur darah.
Lodang Balak diam tak bergerak dengan sedikit
membungkuk, ia bagaikan tak berani memutar tubuh
untuk berhadapan dengan Suto Sinting. Keadaan diam
itu sempat berlangsung selama dua helaan napas,
membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu
menjadi tegang.
Pendekar Mabuk akhirnya menoleh ke belakang.
Pada saat itu lawannya mulai limbung, dan akhirnya
tumbang dalam keadaan terkapar. Semua anak buah
Lodang Balak terperanjat kaget. Mata mereka terbuka
lebar-lebar dengan wajah kian tegang.


Lodang Balak tak berkutik lagi. Nyawanya melayang
pada saat ia jatuh ke tanah dalam keadaan terkapar,
kedua tangan membentang sehingga semua orang dapat
melihat bahwa perut Lodang Balak robek lebar, isi
perutnya sempat tersumbul dan sangat mengerikan.
Melihat Lodang Balak tak bernyawa lagi, orang-
orangnya segera melarikan diri ke berbagai arah. Mereka
ketakutan ketika mendengar Pendekar Mabuk berseru,
"Siapa lagi yang ingin menyusul Lodang Balak ke
neraka?!"
Mereka yang merasa ngeri menghadapi pemuda
tampan itu tak tanggung-tanggung memacu kudanya,
bahkan ada yang terjungkal jatuh bersama kudanya dan
diinjak-injak kuda lainnya. Sementara itu, pihak prajurit
Kinanti tersenyum-senyum, bahkan sebagian ada yang
bertepuk tangan dan berseru,
"Hidup Pendekar Mabuk...! Ha, ha, ha, ha...!"
Kinanti segera menghampiri Suto Sinting bersama
Salju Kelana. Tapi Kinanti tak berani memegang tubuh
Suto karena Salju Kelana langsung memeluknya dengan
hati girang.
"Aku sudah cemas saat kau terkena pukulannya dua
kali," kata Kinanti mengalihkan rasa jengkelnya karena
melihat Suto dipeluk Salju Kelana.
Setelah pelukan itu dilepaskan, Suto pun serahkan
pedang kepada Kinanti.
"Terima kasih atas pinjaman pedangmu. Sayang
sekali beratnya kurang seimbang. Masih berat sebelah
kiri!" kata Suto Sinting menunjukkan kejeliannya dalam


menimbang pedang walau dengan cara memainkannya.
Salju Kelana berkata, "Kupikir kau tak semahir itu
dalam memainkan jurus pedang. Aku sempat kaget saat
kau menantangnya bertarung dengan pedang."
"Sengaja kutantang begitu supaya ia tidak punya
kesempatan untuk melepaskan jurus-jurus ilmu gaibnya
yang kata Kinanti cukup berbahaya itu," kata Suto.
Salju Kelana tersenyum, mencubit pipi pendekar
tampan yang sudah dikelilingi oleh para prajuritnya
Kinanti itu.
"Akalmu ada-ada saja untuk memancing kelemahan
lawan," kata Salju Kelana setelah mencubit.
"Boleh saja kau memujiku, tapi minum dulu tuakku.
Kau tadi terluka!" kata Suto sambil serahkan bumbung
tuak kepada Salju Kelana. Perempuan yang mirip Dyah
Sariningrum itu menenggak tuak beberapa teguk.
Setelah itu mereka bergegas kembali ke istana.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan
seekor kuda yang dipacu cepat. Penunggang kuda itu tak
lain  adalah  Pinasih. Gadis itu datang dengan wajah
tegang dan langsung  menemui Kinanti dengan masih
tetap berada di atas kuda.
"Ratu Jiwandani dibawa lari oleh Demit Lanangi"
"Hahhh...?!" semuanya terpekik kaget dengan wajah
menjadi tegang.
"Demit Lanang datang dan tak bisa ditahan oleh
prajurit gerbang, ia masuk dan bicara sebentar dengan
Gusti Ratu, lalu  ia menotok Gusti Ratu dan
membawanya pergi!"


"Kau sendiri bagaimana?! Apa tugasmu di istana?!"
bentak Kinanti.
"Aku dilumpuhkan lebih dulu, tak bisa bergerak apa-
apa, namun aku melihat perbuatan itu, dan aku berteriak-
teriak namun semua prajurit rupanya sudah dibungkam
dengan ilmu getaran batin si Demit Lanang!"
"Ke mana arah kepergiannya?!" tanya Salju Kelana.
"Ke selatan...!"
"Suto, cepat kita bergerak ke sana! Pasti sang Ratu
dibawanya ke benteng Perguruan Darah Surga!"
Kinanti berseru kepada Pinasih, "Tetaplah di istana,
siapkan prajurit tamtama untuk menyerang Perguruan
Darah Surga! Kami berangkat lebih dulu!"
*
* *
7
BARU menginap semalam di Lembah Birawa,
esoknya Suto sudah dihadapkan dengan dua masalah
besar; penyerbuan Lodang Balak dan menghadapi
hilangnya sang Ratu sendiri, ini sebuah tantangan bagi
Pendekar Mabuk untuk menunjukkan kepiawaiannya
dalam  mengatasi berbagai kesulitan. Karenanya
semangat Suto Sinting dalam mengejar Demit Lanang
cukup tinggi. Apalagi ia didampingi Salju Kelana, serasa
didampingi Dyah Sariningrum yang amat dirindukan itu.
Tak heran lagi  jika Suto cukup menggebu-gebu untuk
segera sampai di Perguruan Darah Surga.
Perguruan itu terletak di dekat pantai, sebuah bukit
yang cukup luas, sebagian lerengnya dibangun benteng


kayu sebagai tempat menempa murid-murid perguruan
tersebut.
Tetapi ketika mereka sampai di benteng perguruan
tersebut, ternyata keadaannya sangat sepi. Tak satu pun
murid Perguruan Darah Surga yang terlihat  mondar-
mandir di depan pintu gerbang. Kinanti mengajak
mereka untuk mengintai dari kejauhan, dan Kinanti pula
yang berbisik kepada Salju  Kelana  serta Suto Sinting
sambil menyatakan keheranan hatinya.
"Biasanya tidak sesepi ini. Paling tidak empat-lima
orang berjaga-jaga di depan gerbang, ini satu pun tak
ada? Ke mana mereka sebenarnya?"
"Mungkin mengadakan pertemuan penting di dalam
benteng," kata Salju Kelana.
"Sekalipun ada pertemuan penting mestinya di
menara ada penjaganya. Tapi keempat menara itu
tampak kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana."
"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum  kita
sampai sini," kata Suto Sinting. "Agaknya  kita  perlu
selidiki lebih dekat lagi."
Mereka pun bergerak mendekati benteng kayu yang
tampak kokoh itu. Tak lupa Pendekar Mabuk
mengingatkan agar Kinanti dan Salju  Kelana  tetap
menjaga kewaspadaannya.
Di  balik  jajaran pohon-pohon kelapa, mereka
bersembunyi memperhatikan keadaan benteng kayu itu.
Suto Sinting berkata kepada kedua wanita tersebut,
"Tunggu beberapa saat, siapa tahu ada yang lewat di
depan gerbang atau naik ke menara mengintai suasana di


sekitar sini."
Namun sampai beberapa saat lamanya mereka di
tempat persembunyian dengan perhatian terpusat ke
benteng kayu, ternyata tak ada seorang pun yang lewat
atau terlihat di sekitar benteng tersebut. Kinanti
mendekati Suto Sinting dan berkata penuh kecurigaan,
"Biasanya papan nama perguruan tergantung diatas
pintu gerbang. Tapi kali ini papan nama itu tidak ada."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi memikirkan
keterangan tersebut.  Salju  Kelana berkata setelah
beberapa saat diam.
"Aku penasaran ingin menyusup masuk ke sana."
"Jangan gegabah! Siapa tahu keadaan seperti ini
adalah jebakan bagi kita," kata Suto Sinting. "Mungkin
mereka tahu kalau  pihak Ratu Jiwandani akan datang
menyerang guna merebut sang Ratu. Mereka buat
suasana seperti ini untuk menjebak. Kita perlu hati-hati
sekali  dalam  melangkah. Pertimbangkan masak-masak
setiap gerakan!"
Setelah sekian lama mereka tidak menemukan tanda-
tanda kehidupan di benteng itu, Kinanti mengusulkan
untuk bergerak lebih dulu menyelidiki keadaan di dalam
benteng. Suto Sinting setuju asal  ia dan Salju  Kelana
sudah berada di balik gugusan batu, lebih dekat dengan
sisi samping benteng.
Pendekar Mabuk sudah tiga kali menenggak tuaknya
sebagai persiapan menyimpan tenaga. Matanya tak
berkedip memandangi Kinanti yang mendekat ke arah
pintu gerbang benteng, ia siap lepaskan  pukulan  jarak


jauhnya jika terjadi sesuatu pada diri Kinanti. Namun
sejauh ini agaknya Kinanti aman-aman saja, sehingga
gadis itu memberi isyarat kepada Suto dan Salju Kelana
agar ikut mendekat menyusulnya.
"Tak ada sepotong orang pun," kata Kinanti pelan.
"Pintu gerbang ini juga dalam  keadaan tidak dikunci.
Mudah didorong dengan kaki."
"Tunggu, jangan sentuh dulu pintu gerbang ini!" kata
Suto Sinting yang berfirasat tak enak dalam hatinya, ia
segera memeriksa sekeiiling pintu gerbang,
memperhatikan tiap pasangan kayu-kayunya, ia
mendongak ke atas, dan memandangi rangkaian kayu
yang menjadi dinding bagian atas. Rangkaian kayu itu
meruncing ke bawah dan mempunyai tali pengait yang
dihubungkan dengan bagian belakang pintu gerbang.
"Mundurlah  dulu... mundur...!" kata Suto Sinting
dengan tenang. Mereka mundur empat langkah.
Kemudian Suto Sinting menyentilkan jarinya,
menggunakan jurus 'Jari Guntur' yang mampu
menghadirkan kekuatan menendang melebihi tendangan
tenaga seekor kuda jantan. Tebb...!
Drakkk...! Pintu gerbang terbuka dalam satu sentakan
kuat akibat sentilan 'Jari Guntur'. Dan pada saat pintu
terdorong ke dalam membuka, tiba-tiba pasangan kayu
runcing yang berjajar itu meluncur turun dengan
cepatnya. Zrabbb...! Jrrubb...!
Kayu-kayu itu menancap di tanah secara serempak.
Seandainya ada orang yang membuka pintu gerbang,
maka orang tersebut sudah tentu akan mati tertusuk


kayu-kayu runcing itu.
"Sebuah jebakan?!" gumam Kinanti dengan mata
membelalak lebar.
"Itulah  sebabnya tadi kuperingatkan agar jangan
menyentuh pintu gerbang. Aku curiga ada sesuatu yang
tak beres di depan pintu tersebut."
Kinanti menghela napas dan menghempaskan-nya
panjang-panjang. "Untung kau waspada sekali, kalau
tidak nyawaku sudah melayang saat ini."
"Bersiaplah jika ada yang keluar  dari  dalam  sana.
Mereka pasti melepaskan serangan beruntun!" kata Suto
Sinting yang membuat kedua wanita itu bersiaga
menghadapi serangan sewaktu-waktu.
Ternyata serangan yang ditunggu tidak kunjung tiba.
Keadaan masih tampak sepi-sepi saja. Hembusan angin
menerbangkan dedaunan kering terhempas masuk ke
dalam  benteng. Setelah merasa tak ada yang datang,
Suto memberi isyarat agar mendekati pelan-pelan.
Kayu-kayu runcing yang menancap di tanah itu
disingkirkan oleh Suto dan Kinanti. Jalan masuk terbuka
lebar, keadaan  di  dalam  terlihat  jelas, bangunan-
bangunannya kosong dan pendopo pun tampak sepi.
Kinanti melangkah  maju  lebih  dulu. Tapi tiba-tiba
tangan Suto Sinting segera menyambarnya dengan
memeluk pinggang Kinanti dan membawanya melompat
ke belakang.
"Mundur...!" sentak suara Suto yang membuat Salju
Kelana ikut-ikutan menyentak ke belakang.
Ternyata Kinanti telah menginjak pasangan batu yang


ditanam dalam tanah. Pasangan itu membuat munculnya
jebakan berupa papan-papan berbesi runcing yang
menghantam ke arah pintu gerbang dari bagian dalam.
Wuusss...! Prakkk...!
Sebagian papan ada yang menancap di pintu
sebelahnya, sebagian lagi mengenai tempat kosong.
Kinanti berdebar-debar memandang keadaan tersebut.
Terbayang kengerian yang nyaris membuatnya mati
terpaku besi-besi  runcing pada papan-papan tersebut.
Kalau saja Suto Sinting tidak segera menyambarnya, ia
akan mati dihujam puluhan besi runcing yang
menyerupai paku-paku di papan itu.
Salju  Kelana  berkata, "Agaknya tempat ini sengaja
dipenuhi jebakan maut. Kita harus lebih  hati-hati  lagi,
Suto."
"Ya. Dan melihat suasana di dalam tampak sepi-sepi
saja, aku curiga, jangan-jangan mereka sudah pergi!"
"Maksudmu, pergi meninggalkan tempat ini
selamanya?"
"Bisa selamanya, bisa pula hanya untuk sementara."
Salju  Kelana manggut-manggut dengan gumam
kecilnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memeriksa
bagian dalam benteng. Ternyata keadaannya benar-benar
kosong tanpa manusia satu pun. Tapi tempat itu penuh
dengan jebakan beraneka ragam. Salju Kelana  hampir
saja mati dihantam sekeranjang tombak yang
membentuk seperti bola besar dan menghempas dari sisi
kanan ke sisi kiri. Untung ia segera disambar oleh Suto
Sinting dan berguling-guling  di  lantai hingga selamat


dari ancaman maut itu.
Seluruh ruangan diperiksa, seluruh ruangan pula
mempunyai jebakan yang mematikan. Siapa pun yang
masuk ke benteng itu tanpa meningkatkan kewaspadaan
dan hati-hati, ia akan mati secara mengerikan. Namun
berkat kewaspadaan tinggi sang Pendekar Mabuk,
mereka bertiga tetap selamat, bahkan selamat  pula  dari
semburan asap beracun yang sangat berbahaya itu.
"Berapa banyak jebakan yang terpasang di sini
sebenarnya?" gumam Salju  Kelana  sambil  memandang
sekelilingnya dengan penuh keheranan.
"Yang kupikirkan adalah, mengapa tempat ini
ditinggalkan oleh orang-orang Perguruan Darah Surga?"
ujar Pendekar Mabuk.
"Mungkin karena Demit Lanang membawa lari sang
Ratu," kata Kinanti.
"Apakah hanya karena itu mereka harus
meninggalkan tempat ini? Mengapa tidak bertahan saja?
Bukankah katamu mereka orang-orang yang sulit
ditumbangkan?!'
Salju Kelana menyahut, "Kurasa ada sebab lain yang
membuat mereka pergi dari tempat ini. Sebab lain itulah
yang tidak mudah kita mengerti."
Setelah  memeriksa setiap jengkal tanah di dalam
benteng itu, akhirnya Suto Sinting memutuskan untuk
meninggalkan tempat tersebut.
"Kita tidak akan memperoleh  apa-apa jika masih
tetap di sini!" katanya sambil  bergegas keluar dari
benteng kayu.


Sesampainya di iuar Kinanti berkata dengan wajah
cemas, "Lantas bagaimana nasib Ratu Jiwandani?
Kemana kita harus mencarinya, Suto?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Kinanti. Tapi
barangkali kau ingat bahwa Demit Lanang mempunyai
tempat  lain  yang cocok untuk menyembunyikan sang
Ratu?"
"Aku tidak pernah tahu tentang dia. Sang Ratu yang
tahu banyak tentang Demit Lanang, karena Maha Guru
Teja Biru pernah menceritakan tentang pribadi Demit
Lanang kepada sang Ratu."
"Kurasa ada baiknya kalau  kita menyusuri pantai,
mencari jejak mereka," kata Salju Kelana. "Setidaknya
kita periksa keadaan tanah di sekeliling tempat ini, siapa
tahu kita bisa temukan jejak kepergian mereka."
"Itu gagasan yang baik!" kata Suto Sinting. "Kita
awali dari hutan di belakang dan samping bangunan ini."
Mereka baru saja bergerak, tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda menuju ke tempat itu. Pada mulanya
Kinanti menyangka derap kaki kuda itu adalah
kedatangan orang-orangnya yang siap memberi bantuan
tenaga. Tetapi setelah derap kaki kuda itu terdengar tak
begitu banyak, mungkin hanya dua-tiga kuda yang
berlari  cepat, mereka menjadi curiga dan menyangkal
pendapat Kinanti.
"Kurasa bukan orang-orang Lembah Birawa," kata
Salju Kelana. "Jumlah kaki kuda itu tidak banyak. Dan
agaknya mereka dalam keadaan terburu-buru. Mungkin
karena hati mereka dibakar kemarahan yang meluap-


luap."
"Dari mana kau tahu kalau  mereka dibakar
kemarahan?"
"Kudengar jantung mereka berdetak cukup cepat,"
jawab  Salju  Kelana  yang memang pendengarannya
sudah terlatih untuk menyimak suara apa pun, hingga
sangat peka terhadap suara detak jantung seseorang.
"Ada tiga orang yang menuju kemari," kata Suto
Sinting.
"Kau yakin hanya tiga orang?!" tanya Kinanti.
"Yakin sekali, karena yang kudengar hanya tiga detak
jantung!"
Kinanti heran mendengar Suto dan Salju  Kelana
bicara tentang detak jantung, ia tidak tahu bahwa
Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus 'Lacak Jantung'
yang mampu mendengarkan detak jantung orang selain
dirinya dan teman-temannya. Bahkan denyut nadi pun
bisa didengar oleh  Suto Sinting jika jurus 'Lacak
Jantung' itu sedang dipergunakan.
Dugaan Suto memang benar. Tiga orang penunggang
kuda datang ke benteng kayu itu. Mereka berwajah
dingin, semuanya memancarkan murka yang
tersembunyi di balik  sikap dinginnya. Tiga orang itu
rata-rata berusia lima puluh  tahun lebih. Tubuhnya
kurus-kurus, matanya cekung-cekung, rambutnya ada
yang panjang sepunggung, ada yang sebatas tengkuk,
ada yang hanya sepundak lewat sedikit. Mereka sama-
sama memakai ikat kepala dari kain merah.
Pakaian mereka rata-rata berwarna gelap. Satu orang


memakai jubah berlengan panjang warna abu-abu, satu
lagi mengenakan jubah tak berlengan warna hitam, dan
yang satu lagi  mengenakan jubah belahan  samping
warna hijau tua. Jubah belahan samping itu seperti kain
yang dilubangi untuk masuk kepala, tanpa ada bentuk
dan potongan model apa pun.
"Celaka! Rupanya mereka yang membuat Demit
Lanang buru-buru pindah dari tempat ini?!" bisik
Kinanti kepada Pendekar Mabuk. Bisikan itu juga
didengar oleh Salju Kelana.
"Siapa mereka itu, Kinanti?"
"Mereka musuh utama Maha Guru Teja Biru yang
dikenal dengan nama: Tiga Malaikat Batu."
"Aku baru mendengar julukan itu," bisik Salju
Kelana.
"Mereka adalah; Denawa, Sogar, dan Brada. Mereka
orang-orang Teluk Sangar, ilmunya tinggi-tinggi, kebal
senjata dan tak mampu ditembus sinar apa pun.
Barangkali Demit Lanang sudah mengetahui rencana
kedatangan mereka, sehingga segera memindahkan pusat
Perguruan ke tempat lain."
"Bukankah Demit Lanang mempunyai jurus 'Bintara
Jingga' yang cukup dahsyat itu?"
"Jurus tersebut tak akan bisa mengenai Tiga Maiaikat
Batu. Demit Lanang pasti tahu hal itu dan karenanya ia
memilih kabur dari tempat ini."
Tiga Malaikat Batu turun dari kudanya. Pendekar
Mabuk memandang dengan tenang, tapi hatinya berkata
penuh keheranan.


"Gila! Mereka tidak punya bayangan, padahal
matahari bersinar cukup terang, mengapa mereka sampai
tidak punya bayangan? Hmmm... kurasa mereka bukan
manusia biasa, mungkin masyarakat negeri siluman?!"
"Mana si keparat Demit Lanang itu?!" hardik Sogar
yang memakai jubah hitam.
"Kami sendiri mencarinya, tapi kami temukan tempat
ini kosong," jawab Suto Sinting dengan kalem.
"Jangan berlagak menjadi orang asing di perguruan
sendiri! Aku tahu kalian adalah murid Perguruan Darah
Surga!"
"Kau keliru," Suto sunggingkan senyum tipis. "Kami
dari pihak lain yang ingin menyerang Demit Lanang."
Brada yang matanya lebih kecil dan lebih dingin itu
berkata datar. "Apakah ini sebuah siasat banci Demit
Lanang?!"
"Bukan, ini keadaan yang mengecewakan. Kita sama-
sama kecewa karena menemukan tempat ini kosong.
Kalau kalian tak percaya, silakan masuk dan memeriksa
keadaan di dalam. Tapi hati-hati, banyak jebakan yang
dapat mematikan orang. Kami hampir saja mati karena
jebakan-jebakan maut yang dipasangnya."
Denawa yang memakai jubah abu-abu itu berkata,
"Mereka perlu dipaksa, Brada!"
Brada mengacungkan tangannya ke arah Suto
Sinting. Dari ujung jarinya yang lemas itu melesat sinar
putih menghantam dada Suto Sinting. Clapp...! Suto
Sinting kaget dan segera berkelit ke samping sambil
menghadang sinar itu dengan bumbung tuaknya.


Trabb...! Wuuttt...!
Sinar putih itu berbalik  arah menjadi lebih  besar.
Namun arahnya segera membelok naik ketika hampir
kenai tubuh Brada. Slapp...! Sinar itu pun melesat  ke
langit dan lenyap tanpa suara.
Suto Sinting terkesiap melihat  sinar itu membelok
arah, seakan membentur dinding kaca yang
melambungkan arah gerakan sinar. Sedangkan Tiga
Malaikat Batu itu terkesiap melihat  bumbung tuak itu
mampu membalikkan gerakan sinar menjadi lebih besar
dan lebih cepat lagi.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?!"
"Aku yang bernama Suto Sinting."
"Hmmm... muridnya si Gila Tuak itu?" sahut Sogar.
"Benar! Aku murid si Gila Tuak," jawab Suto Sinting
dengan tegas.
Ketiga orang berwajah dingin itu manggut-manggut.
Mereka saling pandang sebentar, lalu Denawa berkata
kepada Sogar,
"Setahuku murid Gila Tuak adalah bocah tanpa
pusar! Bisa saja anak itu mengaku-aku murid si Gila
Tuak."
Suto Sinting mendengar dan tersenyum geli. Ia
berkata dalam senyumnya,
"Apakah perlu kutunjukkan perutku bahwa aku tidak
punya pusar?!"
Salju Kelana buang muka menyembunyikan senyum,
demikian pula Kinanti yang menatap Salju  Kelana
dengan senyum dikulum.


"Tak perlu kau tunjukkan perutmu, Anak muda," kata
Sogar, "Cukup kau tunjukan sekali  lagi  jurus warisan
Gila Tuak, sebab kami mengenai jurus-jurusnya."
"Apakah kau tak akan menyesal  jika sampai
kugunakan jurus yang menjadi ciri aliran silat  Gila
Tuak?!"
"Aku yang akan melayanimu, Nak," kata Denawa
sambil melangkah maju, jaraknya menjadi lima langkah
dari Suto Sinting. Sikap berdirinya menampakkan
keangkuhan seorang berilmu tinggi.
"Seranglah aku dengan jurus warisan Gila Tuak."
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto Sinting segera
gunakan jurus 'Gerak Siluman', menerjang Denawa
dengan kecepatan yang tak bisa dilihat mata siapa pun.
Zlaappp...! Brruss...!
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di belakang
mereka  dalam  jarak cukup  jauh. Denawa sendiri
terpental  dalam jarak sepuluh  langkah dari tempatnya.
Hidung orang itu keluarkan darah yang membuat Sogar
dan Brada terperangah kaget.
Zlaappp...! Suto Sinting tahu-tahu sudah ada di
tempat semula, bersebelahan dengan Salju Kelana. Tiga
Malaikat Batu kembali  terperangah memandangi
kehadiran Suto Sinting yang ternyata telah
menggenggam dua kain merah. Dua kain merah itu
adalah  ikat  kepala  Denawa dan Sogar yang sempat
disambar dengan kecepatan tinggi sekali.
Suto Sinting tersenyum menunjukkan dua kain merah
di kanan kirinya. Denawa segera datang dengan


menghapus darah dari hidungnya memakai lengan jubah,
ia berkata kepada kedua temannya namun matanya
tertuju pada Suto Sinting.
"Dia memang murid Gila Tuak."
"Ya, dia gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang tidak
kita miliki," kata Brada. "Pantas dia bisa mengembalikan
sinar putihku tadi."
Sogar berkata kepada Suto, "Kembalikan ikat kepala
kami. Aku tak pernah bermusuhan dengan gurumu,
Suto!"
Dengan sikap baik, Suto Sinting mengembalikan ikat
kepala mereka. Permusuhan pun mereda, bahkan Brada
bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Urusan apa kau ada di sini bersama dua kekasihmu
itu?"
Salju  Kelana  dan Kinanti tersenyum masam. Suto
Sinting justru tertawa tanpa suara. Tapi ia segera
menjelaskan perkara sebenarnya, dituturkan dengan
sejelas-jelasnya, sehingga ketiga orang yang berjuluk
Tiga Malaikat Batu itu menggumam lirih.
"Kami pun ada persoalan dengan Demit Lanang.
Delapan murid kami dilenyapkan dengan sinar 'Bintara
Jingga'-nya itu. Terlepas dia tahu itu murid kami atau
tidak, tapi kami akan menuntut balas atas kematian
delapan murid kami."
"Kita sama-sama kehilangan buronan," kata Suto
Sinting. "Tapi aku yakin dalam  waktu tak lama  dapat
menemukan di mana Demit Lanang bersembunyi."
"Kita berlomba," kata Brada. "Siapa yang


menemukan Demit Lanang lebih dulu, dia yang berhak
membunuhnya!"
"Asal  Ratu Jiwandani jangan sampai cedera oleh
serangan  kalian. Jika sang Ratu cedera, aku akan
menuntut kalian!" Suto menggertak secara halus.
"Aku paham!" ucap Denawa pendek, ia segera naik
ke punggung kuda, diikuti oleh  Sogar dan Brada.
Kemudian mereka pergi tanpa pamit lagi. Kinanti dan
Salju  Kelana memandang dengan hati menyimpan rasa
kagum kepada Suto Sinting. Tapi Kinanti tak kuasa
memendam kekagumannya, sehingga la iontarkan lewat
kata.
"Demit Lanang saja lari terbirit-birit karena tak
sanggup melawan Tiga Maiaikat Batu, namun kau justru
membuat mereka secara tak langsung menaruh hormat
padamu, Suto! Kau benar-benar luar biasa!"
"Siapa  dulu  pendampingnya," kata Salju  Kelana
membanggakan diri. Kinanti mencibir namun tak berani
seketus kemarin.
"Sekarang yang kita pikirkan bukan siapa
pendampingku, tapi di mana Ratu Jiwandani dibawa
oleh  Demit Lanang. Ke mana kita harus mencari si
Demit Lanang itu?!"
Salju Kelana dan Kinanti sama-sama diam termenung
memikirkan langkah berikutnya.
*
*  *




8
PENCARIAN itu memakan waktu sehari semalam,
mereka sampai bermalam  di hutan. Selama perjalanan
Salju  Kelana  tak pernah mau jauh dari Suto Sinting,
sehingga Kinanti sering merasa iri. Namun rasa iri itu
tidak berani diungkapkan secara terang-terangan, karena
dalam hatinya ia mulai takut melawan Salju Kelana
setelah  melihat kehebatan Salju Kelana saat melawan
Balada.
Di ujung pagi, perjalanan mencari Demit Lanang
dilanjutkan. Namun mereka  terperanjat kaget saat
menuruni sebuah lembah. Mereka temukan dua pakaian
yang tergeletak di rerumputan. Mereka tahu, pakaian itu
tidak sengaja digeletakkan di situ oleh pemiliknya, sebab
di samping pakaian mereka juga terdapat sebilah golok
dan cambuk. Kinanti amat mengenali senjata dan
pakaian tersebut.
"Ini pakaian Setan Bejat dan Hantu Sesat!" Pendekar
Mabuk jadi ingat saat perkenalan dengan Kinanti yang
kala itu terdesak serangan Hantu Sesat dan si Setan
Bejat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis
mengenang perkenalan itu, lalu ia berkata kepada
Kinanti.
"Agaknya musuhmu sudah terlibat bentrokan dengan
Demit Lanang."
Salju Kelana berkerut dahi, "Dari mana kau tahu?"
"Pakaian ini seperti ditinggalkan oleh raganya begitu
saja. Pasti mereka terkena jurus 'Bintara Jingga'. Aku tak
sangsi lagi, mereka dilenyapkan oleh si Demit Lanang!"


"Pendapatku pun begitu," kata Kinanti. "Apakah ini
berarti kita sudah mendekati tempat persembunyian
Demit Lanang?"
"Belum  tentu," kata Salju  Kelana. "Tapi setidaknya
kita tidak salah  arah. Mungkin di balik  gunung  itulah
mereka bersembunyi."
Suto Sinting memandang ke arah gunung yang
menjulang tinggi di depannya. Letaknya cukup jauh,
namun untuk mencapai kaki gunung tidak sampai
memakan waktu setengah hari jika menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
"Haruskah aku mendului mereka ke sana? Hmmm...
mungkin  Salju  Kelana  bisa menyusul  tak berapa lama,
tapi Kinanti akan tertinggal jauh," pikir Suto Sinting.
Langkah berikutnya menjadi terhenti lagi karena
suara gaduh di semak-semak sebelah  selatan mereka.
Salju  Kelana yang menahan langkah  mereka, karena
dialah yang mempunyai pendengaran paling tajam.
"Ada sesuatu yang gemerisik di sebelah selatan kita,"
bisik Salju Kelana.
"Periksalah, siapa tahu salah  satu dari murid
Perguruan Darah Surga." Suto bicara kepada Kinanti.
Maka gadis itu segera berkelebat  ke  selatan. Pendekar
Mabuk menunggu di tempat bersama Salju  Kelana.
Namun perhatian mereka tidak lepas dari Kinanti karena
khawatir gadis itu mendapat serangan berbahaya dari
arah lain.
"Dia cemburu sekali kalau aku bermanja denganmu,"
kata Salju Kelana tanpa memandang Suto Sinting.


"Aku tidak merasakan kecemburuannya," Suto
berlagak tidak tahu.
"Aku merasakan betul. Sepertinya dia ingin kau
menjadi suami Ratu Jiwandani."
"Menurutmu bagaimana?" pancing Suto Sinting.
"Terserah kau. Kau lelaki, bebas memilih," jawab
Salju Kelana bernada sedikit sinis. Suto Sinting tertawa
seperti orang menggumam.
"Aku tidak akan memilih Ratu Jiwandani untuk
menjadi istriku."
"Kenapa?" pancing Salju  Kelana  lagi. "Apakah dia
kurang cantik bagimu?"
"Cukup cantik. Tapi sayang aku sudah punya calon
istri sendiri."
Salju  Kelana  berkerut dahi. "Siapa perempuan yang
kau maksud itu?"
"Dyah Sariningrum, Ratu di Negeri Puri Gerbang
Surgawi yang bergelar Gusti Mahkota Sejati."
"Dyah Sari.... Ohh...?!" Salju Kelana terkejut. "Jadi...
ketika Lodang Balak menyangkaku Dyah Sariningrum
itu yang dimaksud adalah... adalah...."
"Calon Istriku," sahut Suto, kemudian menceritakan
secara singkat tentang Dyah Sariningrum  yang
merupakan perempuan yang sudah ditakdirkan menjadi
istrinya oleh garis perjalanan hidup mereka. Salju
Kelana tundukkan kepala dan merasa sedih.
"Tapi selama kau belum mendapatkan seorang suami,
aku tetap akan mendampingimu. Karena wajahmu persis
sekali dengan Dyah Sariningrum. Kita memang bisa


bersama-sama, tapi tidak bisa bersatu dalam kemesraan
abadi."
Salju Kelana menarik napas  berusaha menenangkan
gemuruh yang ada di hatinya, ia tidak bicara apa pun,
sampai Kinanti akhirnya datang sambil  menenteng
seorang  lelaki  agak pendek berpakaian biru, badannya
agak gemuk dan rambutnya pendek mengenakan ikat
kepala biru juga.
"Aku tak tahu murid siapa dia, tapi kutemukan dalam
keadaan mengintip kalian berdua," kata Kinanti sambil
melemparkan tubuh itu bagai melemparkan sarung
basah. Brruk...!
Suto memandang dengan dahi berkerut heran. "Bagus
Sepasar...?!" gumamnya lirih.
"Siapa orang ini? Kau kenal dengannya?" tanya Salju
Kelana.
"Ya, aku pernah kenal dengannya. Dia bernama
Bagus Sepasar, tapi nama aslinya Wirusida. Kami
berkenalan saat aku menemukan seseorang yang
tergantung kakinya karena terkena jerat yang dipasang
pemburu."
"Ak... aku dari tadi mau mendekatimu, tapi aku takut,
Suto."
"Apa yang kau lakukan di sini, Paman Bagus
Sepasar?!"
"Aku melarikan diri, Suto," jawab Wirusida dengan
wajah menyedihkan. "Aku tak berani tinggal di desaku
yang dulu kuceritakan telah kosong itu."
"Kenapa kau tak berani menempati desa itu?"


"Karena desa itu sekarang sudah dikuasai oleh Demit
Lanang."
"Ooh...?!"  Salju  Kelana  dan Kinanti terpekik kaget
dan menjadi tegang.
"Benarkah Demit Lanang ada di desamu?"
"Benar, Suto. Berani sumpah ketiban janda, aku
melihat sendiri Demit Lanang bersama orang-orangnya
menempati desa itu. Dan di sana kulihat dia membawa
seorang wanita cantik, mungkin calon istrinya."
"Dia  adalah  ratuku!" sahut Kinanti dengan penuh
semangat.
"Kalau  begitu keteranganmu tak salah lagi, Paman
Wirusida. Terima kasih atas keterangan ini, karena kami
sedang  sibuk mencari Demit Lanang yang ternyata
pindah ke desamu!"
"Apakah kau ingin datang ke sana, Suto?"
"Benar, Paman! Kami akan merebut Ratu Jiwandani."
"Kalau  begitu,  ikutlah aku. Kita jangan lewat
persawahan, nanti kedatangan kalian diketahui para
penjaga di sana. Kita melewati punggung bukit saja. Di
sana keamanannya lemah. Kau bisa langsung menuju ke
bekas rumah lurah kami!"
"Apakah Demit Lanang menempati rumah itu?" tanya
Salju Kelana.
"Benar, karena rumah itu besar dan bagus.
Perempuan cantik itu juga ada di situ bersamanya!"
"Kita bergerak sekarang juga sebelum sang Ratu
menjadi korban kebiadabannya!" kata Suto Sinting, lalu
kedua wanita cantik yang bersamanya itu pun bergegas


mengikuti langkah Bagus Sepasar. Mereka tak bisa
berlari cepat, karena Bagus Sepasar akan tertinggal dan
mereka bisa salah arah. Mau tak mau mereka mengikuti
kecepatan lari Bagus Sepasar yang dirasakan oleh Suto
Sinting seperti larinya seekor bekicot.
Matahari mulai tampak memerah di sisi barat,
pertanda sore mulai tiba dan senja sebentar lagi akan
datang. Sisa cahaya masih menguntungkan bagi mereka
karena mereka sudah tiba di punggung bukit. Atap-atap
rumah mulai kelihatan menghitam di sana-sini.
Bagus Sepasar berhenti, yang lain pun ikut berhenti.
Mereka berlindung di balik pohon besar berdaun rimbun.
Bagus Sepasar berkata kepada Suto Sinting.
"Aku tak berani ikut mendekat ke desa itu, karena
takut ditangkap oleh mereka. Kalian saja yang ke sana!"
"Baiklah. Kau diam dan bersembunyi di sini saja.
Tapi tunjukkan yang mana atap bekas rumah kepala
desamu itu?!"
"Itu... yang atapnya panjang dan mempunyai empat
pohon kelapa di belakang rumah! Kelihatan dari sini,
bukan?"
Mereka memandang ke arah yang ditunjuk oleh
Bagus Sepaaar. Atap rumah tersebut tampak jelas dari
tempat mereka. Maka, Pendekar Mabuk pun segera
berkata kepada Salju Kelana,
"Aku akan menerobos masuk ke sana, kau di sini
saja."
"Tidak, aku harus ikut denganmu. Aku tak ingin kau
celaka!" kata Salju Kelana menampakkan kesetiaannya.


"Aku juga harus mendampingimu, karena yang akan
kau selamatkan adalah ratuku," kata Kinanti yang punya
rasa pengabdian tinggi kepada ratunya.
Suto Sinting tak dapat menolak kemauan mereka.
Akhirnya ia berkata,
"Kalian boleh ikut, tapi hindari pertemuan dengan
Demit Lanang. Biar aku yang hadapi Demit Lanang. Jika
ada kesempatan menerobos masuk, cepat cari tahu di
mana Ratu Jiwandani, lalu bawa lari kemari dan tunggu
aku menyelesaikan urusan dengan Demit Lanang."
Kedua wanita cantik yang tidak punya rasa takut
maupun gentar itu segera anggukkan kepala. Kemudian
mereka bergegas menuruni bukit itu dengan menyelinap
ke balik pepohonan.
Ternyata rumah yang dituju mereka dijaga ketat oleh
beberapa orang yang berkeliling dengan senjata masing-
masing. Suto Sinting menyuruh kedua perempuan itu
merendahkan badan agar tak terlihat oleh penjaga.
"Lakukan penyerangan yang melumpuhkan lawan
tapi tidak timbulkan suara gaduh," bisik Suto Sinting.
"Akan kugunakan jurus 'Darah Beku' untuk membuat
mereka tak bergerak selama satu malam," bisik Salju
Kelana.
"Kalau begitu aku akan menggunakan jurus 'Surya
Pembius' yang membuat mereka akan tertidur cukup
lama," timpal Kinanti seakan ingin tunjukkan kebolehan
melumpuhkan lawan tanpa suara.
Mereka makin bergerak mendekati rumah tersebut.
Arah gerakan mereka berpencar. Suto berada di sisi


kanan, menuju ke jalan samping rumah.
Dua penjaga sedang bicara dengan kelengahan yang
menguntungkan Salju Kelana. Perempuan berjubah putih
itu segera lepaskan jurus 'Darah Beku' berupa sinar
bintik-bintik putih seperti serbuk beling yang melesat
dari ujung jari telunjuk dan jari tengah yang merapat.
Class...! Srrubb...!
Kedua penjaga itu tetap berdiri dengan keadaan saat
bicara. Tapi mereka sudah tidak bisa bergerak lagi.
Bahkan berkedip pun tak bisa. Darahnya membeku dan
lama-lama kulit tubuhnya mengeluarkan busa salju.
Seorang penjaga lain menghampiri orang yang telah
dibungkus salju samar-samar itu. Ia menyangka kedua
temannya masih bisa diajak bicara.
"Hei, kalian ini jaga kok malah ngobrol? Kalau ada
bahaya bagaimana?! Lho...?! Lho...?.!"
Saat orang itu bingung melihat keadaan kedua
temannya,  Salju  Kelana cepat lepaskan jurus 'Darah
Beku' kembali. Class...! Maka orang itu pun bernasib
sama dengan kedua temannya.
Sementara itu, Kinanti bergerak makin mendekati
pintu  belakang  rumah. Di sana ada dua penjaga yang
matanya bergerak penuh waspada. Kinanti segera
muncul  terang-terangan. Namun sebelum kedua orang
itu berseru dan bergerak, tiba-tiba dari punggung
tangannya keluar sinar kuning bercampur asap. Wuss...!
Sinar itu menyebar dan menerpa wajah kedua penjaga.
Mereka memaksakan diri untuk bergerak dengan
gelagapan, namun kejap berikut mereka jatuh terpuruk di


tempat dan tak berkutik lagi bagaikan orang tertidur
dengan nyenyak. Mereka menjadi korban jurus 'Surya
Pembius' yang hanya dimiliki oleh orang-orangnya Ratu
Jiwandani. Jurus itu hanya bisa digunakan secara
sembunyi-sembunyi. Karena jika ditangkis dengan
tenaga  dalam  lain akan menimbulkan ledakan cukup
keras.
Beberapa orang dilumpuhkan oleh Salju Kelana dan
Kinanti. Pendekar Mabuk belum lepaskan jurusnya satu
pun, ia hanya menyelinap menyusuri sisi rumah. Namun
tiba-tiba seseorang yang ada di rumah seberang
melihatnya dan berseru keras,
"Hoi...! Mau apa kau?!"
Orang tersebut hendak lepaskan pukulan jarak jauh,
tapi oleh Suto dilumpuhkan dengan jurus 'Jari Guntur'-
nya, berupa sentilan tangan yang mengandung kekuatan
tenaga dalam seperti tendangan kuda. Tess...! Dubb...!
Brraakkk...!
Orang itu terjengkang ke belakang  dan menabrak
pintu. Suara gaduh menjadi pusat perhatian yang lain.
Akibatnya kemunculan Pendekar Mabuk  di situ segera
diketahui oleh mereka.
"Ada orang menyusup! Ada orang masuk ke wilayah
kita!" teriak salah seorang dari mereka.
Pendekar Mabuk segera dikepung oleh beberapa
orang bersenjata. Namun pemuda tampan itu tetap
tenang. Setiap wajah dipandanginya. Saat itulah ia telah
pergunakan jurus 'Alih Raga', seperti yang digunakan
saat melawan Setan Bejat dan Hantu Sesat. Maka ketika


beberapa orang maju menyerang Suto dengan golok dan
senjata tajam lainnya, Suto hanya diam saja. Tapi teman-
teman mereka menjerit kesakitan, dan saling berjatuhan.
Bahkan beberapa orang tampak melepaskan napas
terakhir untuk kemudian tidak bernyawa lagi. Semakin
banyak Suto diserang dengan senjata tajam, semakin
banyak  pula  orang-orangnya Demit Lanang berjatuhan
tanpa nyawa.
"Hentikan! Dia menggunakan jurus gaib!" seru salah
seorang. "Panggil Maha Guru kita!"
"Aaaa...!"  salah seorang memekik karena ada yang
menyerang Suto dengan tombak dari belakang. Tombak
itu menancap di tubuh Suto, namun segera jatuh ke tanah
dan orang di depannya yang memekik sambil rubuh, lalu
tak bernyawa lagi.
Suara gaduh itu membuat Demit Lanang melompat
keluar dari dalam  rumah dengan menendang pintu.
Brrakk...! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Suto
Sinting.
"Siapa kau, Anak ingusan?!" ucapnya dengan nada
datar dan wajah dingin. Pandangan matanya pun
sedingin es.
"Aku utusan dari Lembah Birawa!" kata Suto tegas
sekali. "Tujuanku adalah mengambil Ratu Jiwandani!"
"Hmmm... kau harus melangkahi mayatku jika ingin
mengambil caion istriku itu!"
"Kusanggupi syarat itu!" kata Suto Sinting dengan
tetap tenang.
Wuuttt...!  Demit Lanang menerjang Suto dengan


gerakannya yang seperti orang menghilang itu. Suto
Sinting pun menghindar dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
Zlapp...!
Di  dalam  rumah terjadi suara ledakan. Kemudian
Kinanti keluar dengan memanggul Ratu Jiwandani yang
agaknya dalam keadaan tertotok.
"Sutooo...!" teriaknya.
"Cepat lari...!" balas Suto.
"Kejar dia!" perintah Demit Lanang dengan wajah
mulai gusar.
Salju  Kelana  muncul  menghadang para pengejar,
sementara itu Kinanti membawa lari Ratu ke bukit.
"Jahanam kau, Bocah! Rupanya kau belum tahu jurus
'Bintara Jingga'-ku ini, hah?!"
Merasa dirinya terancam bahaya sinar Jingga yang
tak bisa dihindari, Suto Sinting segera lepas-kan jurus
'Napas Tuak Setan' dari mulutnya. Amarahnya
dibangkitkan, dan mulut pun menganga lebar.
"Heaaah...!"
Tepat pada waktu itu Demit Lanang lepaskan sinar
Jingga dari tangannya dan sinar itu membalik arah
mengenai dirinya sendiri karena hembusan badai yang
datang secara tiba-tiba. Begitu kuatnya badai 'Napas
Tuak Setan' sehingga mampu membalikkan sinar Jingga
kepada pemiliknya. Akibatnya, tubuh Demit Lanang
sendiri lenyap tinggal pakaiannya.
Namun angin badai tetap mengamuk merusak alam
dan lingkungannya. Rumah-rumah hancur, pohon-pohon


tumbang, beberapa anak buah Demit Lanang terhempas
dan terbanting tak bisa terselamatkan lagi. Pakaian
Demit Lanang ikut melayang entah ke mana. Desa
menjadi rusak, langit menjadi hitam bergulung-guiung
mendung tebal. Kilatan cahaya petir menyambar-
nyambar bagai mau klamat.
Tetapi orang yang ada di belakang Suto tetap selamat,
karena badai hanya menghempas ke arah depan Suto.
Mereka yang ada di belakang Suto selain sisa anak buah
Demit Lanang, juga Salju Kelana dan Kinanti yang
menghentikan larinya sambil memanggul Ratu
Jiwandani.
Jurus maut 'Bintara Jingga' itu akhirnya dikalahkan
oleh jurus 'Napas Tuak Setan' yang jarang digunakan
Pendekar Mabuk jika ia tidak dalam  keadaan sangat
terpaksa. Merasa rumah-rumah di desa itu sudah tidak
dihuni  oleh  pemiliknya  lagi, maka Suto Sinting pun
berani  lepaskan 'Napas Tuak Setan', yang berarti
menggulung habis para pengikut Demit Lanang.
Dengan begitu, berakhirlah riwayat kejayaan  Demit
Lanang bersama jurus 'Bintara Jingga'-nya, sedangkan
sisa anak buah yang masih hidup melarikan diri
ketakutan, dan Ratu Jiwandani pun selamat dari
cengkeraman Demit Lanang.
"Tak akan kulupakan peristiwa ini sepanjang
hidupku," kata Ratu Jiwandani kepada Suto Sinting.
"Seharusnya perjanjian di atas lontar itu kutulis dan
kusepati bersamamu, bukan bersama Maha Guru Teja
Biru."


"Lupakan soal perjanjian itu, karena aku sendiri
punya perjanjian dengan Ratu Puri Gerbang Surgawi;
Dyah Sariningrum," kata Suto mengakhiri
perjumpaannya dengan Ratu Jiwandani. Ia segera pergi
meninggalkan Lembah Birawa bersama Salju Kelana,
perempuan cantik yang mirip dengan Dyah Sariningrum.


SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera menyusul!!!
BAYI PEMBAWA PETAKA

Pendekar Mabuk


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing