Pendekar Mabuk 47 - Rencong Pemburu Tabib(1)

 1
LANGKAH pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan itu terhenti seketika. Kakinya yang dibungkus celana putih lusuh itu segera mengarah ke balik pohon, ia bersembunyi di sana. Wajahnya memang tak terlihat, tapi bumbung tuaknya yang menyilang di punggung itu nongol sebagian membuat cara sembunyinya menjadi sia-sia. Untung saja orang yang sedang diincar belum memperhatikan ke arahnya.


Pemuda berambut panjang lurus sebatas pundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah, murid sinting si Gila Tuak. Siapa lagi murid yang sinting kecuali bocah tanpa pusar yang bernama Suto dan bergelar Pendekar Mabuk itu.

Apa yang membuat Suto Sinting hentikan langkah dan ambil tempat sembunyi? O, rupanya ada seorang gadis sedang menuju ke arahnya. Dari kejauhan saja gadis itu sudah tampak cantik, apalagi dari dekat. Tentu lebih cantik lagi.

"Aku ingin kenal dengannya. Wajahnya mirip dengan calon istriku yang menjadi penguasa di Puri Gerbang Surgawi," pikir Suto Sinting.

Ia bergeser sedikit untuk merapatkan bumbung tuaknya agar tidak nongol dari persembunyian. Dalam hati sang Pendekar Mabuk masih membatin,

"Dia benar-benar mirip Dyah Sariningrum, calon istriku itu. Bibirnya ranum, hidungnya mancung, potongan rambutnya yang disanggul naik itu juga mirip sanggulan rambut kekasihku. Bentuk badannya yang elok, bentuk dadanya yang tampak sekal dan membusung padat itu, pas seperti Dyah-ku. Ya, ampun... kenapa dia mirip sekali dengan Dyah-ku? Tapi aku yakin gadis itu bukan Dyah Sariningrum. Bukan pula saudara kembarnya. Sebab Dyah tidak punya saudara kembar. Dyah Sariningrum hanya punya satu kakak yang bernama Betari Ayu dan sekarang menjadi pertapa di Gunung Kundalini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Telur Mata Setan").

Jadi kurasa ini hanya suatu kebetulan saja. Oh, tapi... tapi... lho, kok begitu dia?"

Pendekar Mabuk menjadi terheran-heran melihat gadis berjubah putih itu menabrak pohon kecil. Lalu mundur sedikit dan melangkah lagi dengan berpegangan pada tongkatnya. Rupanya tongkat yang sepanjang pundak dari kayu biasa itu bukan tongkat pengusir hewan, melainkan tongkat penuntun. Brruss...!

"Aduh, kok jadi begitu dia, ya? Pohon singkong ditabrak saja? Apakah... apakah.... Lho, lho... malah mau terjun ke jurang?! Gawat!"

Zlaaap...! Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah, sehingga gerakan cepatnya membuat ia tampak lenyap begitu saja.

Padahal ia bergerak cepat dan menyambar gadis yang hampir melangkah menuju ke jurang. Wuuutt...!
"Lepaskan aku! Lepaskan! Jangan perkosa aku!"

"Siapa yang mau perkosa kamu!" sentak Suto Sinting setelah meletakkan gadis itu di bawah pohon.
"Mengapa kau peluk aku dan kau bawa lari?"
"Karena kau hampir saja masuk ke jurang!"

"Ooh...?! Jurang...? Mana jurang?! Mana...?!" gadis itu clingak-clinguk sambil gerak-gerakkan tongkatnya ke depan. Plook...! Tongkat itu justru kenai wajah Suto.

"Iih...! Apa-apaan kau ini, muka orang disodok-sodok pakai kayu. Kau pikir mulutku ini liang belut?!"

"Hi, hi, hi... maaf, Tuan. Aku tidak tahu kalau tongkatku kenai mulutmu," gadis itu justru tertawa geli, membuat Suto Sinting jadi bersungut-sungut.

Namun kejap berikutnya Suto Sinting berkerut dahi pandangi gadis itu.

"Ooo... dia buta?!" gumam Suto Sinting dalam hati, lalu hati pun terharu dan merasa menyesal mengecam si gadis.

Untuk memperjelas lagi, Pendekar Mabuk memandangnya dengan membungkuk hingga sejajar. Wajahnya tepat ada di depan wajah si gadis. Mata si gadis melek, indah, dan bening, tapi ketika wajah Suto bergerak ke kiri dan ke kanan, bola mata gadis itu tidak ikut bergerak-gerak. Tangan Suto didekatkan ke mata si gadis, lalu digerak-gerakkan, bola mata itu tidak ikut bergerak. Kemudian Suto pindah tempat ke samping kanannya secara diam-diam. Gadis itu bicara dengan seolah-olah merasa Suto ada di depannya.

"Apa yang kau lakukan di depanku, Tuan? Memandangiku, ya?"
"Aku ada di sampingmu, Nona."

"Ooh...?" gadis itu malu dan segera berpaling ke samping dengan sorot pandangan mata datar. "Kau nakal, Tuan. Kenapa tidak bilang padaku kalau pindah ke samping?"

"Maaf, aku tidak tahu kalau kau... kalau kau buta."

"Apa...?!" gadis itu menyentak dan berdiri. "Enak saja mengatakan aku buta! Aku bukan gadis buta!"
"Oh, dia tersinggung?" pikir Suto Sinting.

Pendekar Mabuk pindah ke belakang gadis itu, tapi sang gadis masih ngomel sambil menuding-nuding bagian depannya.

"Jangan bicara seenaknya begitu! Boleh kita buktikan dengan adu ketangkasan, siapa yang kalah nanti, aku atau kau...!" dia menuding ke depan.

"Aku ada di belakangmu, Nona."

Nona yang menjadi galak itu cepat berbalik, "Aku tahu kau di belakangku. Tadi aku sedang malas berputar, tahu?!" ia membentak lagi. Suto Sinting menahan geli dan sedikit tundukkan kepala.

"Maafkan kata-kataku kalau menyinggung perasaanmu, Nona."
"Aku tidak tersinggung, aku hanya mengingatkan padamu bahwa aku bukan gadis buta!"
"Iya, iya... kau bukan gadis buta."

"Sebenarnya aku tadi juga melihat ada jurang di sana," Ia menuding ke arah timur. "Tapi aku sengaja ingin melongok seberapa dalam jurang itu. Bukan tersesat mau terjun ke jurang itu!" ia menuding ke timur lagi.

"Jurang ada di sebelah barat, Nona. Bukan di sebelah timur. Kau salah tunjuk."

"Memang sengaja," bantah gadis itu masih ngotot juga. "Aku hanya ingin menguji kau, apakah kau masih ingat arah mata angin atau tidak. Ternyata kau masih bisa membedakan mana timur dan mana barat!"

Sebenarnya Suto Sinting ingin tertawa terpingkal- pingkal. Tapi takut menyinggung perasaan si gadis dan membuat gadis buta itu semakin marah lagi. Akibatnya ia hanya bisa menutup mulutnya dan badannya bergerak- gerak karena tertawa tanpa suara.

"Sudah buta, masih saja ngotot, ngaku tidak buta?!" gumam hati Suto. "Barangkali dia merasa malu kalau dikatakan gadis buta. Hmmm... sebaiknya tidak kusinggung-singgung lagi tentang kebutaannya itu."

Kemudian dengan suaranya yang lembut, murid si Gila Tuak itu berkata kepada gadis berjubah putih,

"Boleh kutahu namamu, Nona? Dan dari mana asalmu, ke mana arah tujuanmu?"

"Kalau bertanya jangan borongan, aku bingung menjawabnya, Tuan," jawab si gadis dengan nada suara sudah tidak marah lagi.

"Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja namaku: Suto Sinting."

"Ooh...?! Benarkah kau yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?!" si gadis tampak terperangah girang.

"Betul, aku Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting."

"Ah, bohong! Coba kulihat wajahmu...," gadis itu maju selangkah, tangannya meraba-raba wajah Suto dengan tersenyum-senyum, dadanya juga diraba, lengannya sampai tangan diraba pula. Suto Sinting diam saja dan sangat memakluminya.

"Kalau dia tidak buta, tak mungkin mengenaliku dengan meraba-raba begini," pikir Suto.
"Oh, benar. Benar sekali."
"Aku benar-benar Pendekar Mabuk, bukan?"

"Kau benar-benar tampan. Tapi belum tentu kau Pendekar Mabuk. Kabar yang kudengar dari orang- orang, Pendekar Mabuk ke mana-mana selalu membawa bumbung tuak dari bambu. Tapi mengapa bumbung tuakmu kecil dan lembek begini?"

"Yang kau pegang itu jari telunjukku, Nona," kata Suto agak jengkel jarinya diremas-remas. "Inilah bumbung tuakku. Peganglah!"

Gadis itu bukan hanya memegang melainkan meraba bumbung tuak dari atas ke bawah, merasakan bentuknya. Kemudian senyumnya kian mekar berseri.

"Ooh... ternyata impianku terkabul. Kau benar-benar pendekar kondang itu; Suto Sinting! Oooh... tenangnya hatiku bisa bertemu denganmu, Suto!" gadis itu cekikikan, seakan ingin melonjak kegirangan sambil masih pegangi tangan Suto Sinting.

"Rupanya kau sudah lama ingin bertemu denganku."

"Ya, memang begitu. Aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku selalu mengidam-idamkan untuk bisa jumpa denganmu. Tapi sekian lama hanya berupa khayalan belaka. Baru sekarang menjadi kenyataan yang amat menggembirakan hatiku."

"Bagaimana mungkin kau punya keinginan selama ini sedangkan kau belum pernah melihatku? Mana mungkin seseorang merindukan orang lain jika ia belum pernah bertemu dengan orang itu?" kata Pendekar Mabuk bernada curiga.

"Memang aku belum pernah bertemu denganmu, tapi aku sering mendengar kesaktian tuakmu. Karenanya aku ingin bisa bertemu denganmu, Suto."

"Apa hubungannya dengan kesaktian tuakku ini?"

"Bukankah kau juga disebut Tabib Darah Tuak? Tuakmu bisa sembuhkan segala penyakit dan bisa menangkal racun apa pun. Aku sangat ingin mendapat kesembuhan darimu dengan cara meminum tuakmu, Suto."

"Kesembuhan apa maksudmu?"
"Aku... aku terkena racun yang membuat...."
"Membuat matamu jadi buta?"

"Aku tidak buta!" sentak gadis itu mulai terpancing kemarahannya. "Racun itu tidak membuatku buta, hanya membuat penglihatanku terganggu. Apa yang kupandang menjadi hitam semua. Mungkin racun yang mengenaiku bernama Racun Hitam."

Suto tersenyum-senyum. Ia tak berani mendesak agar si gadis mengakui kebutaannya. Ia justru mendukung pendapat si gadis dengan berkata,

"O, jadi kau terkena Racun Hitam? Pantas penglihatanmu serba hitam."

"Iya. Menyedihkan sekali selama racun itu belum bisa tersingkirkan dari darahku. Sebab itulah aku mencari Pendekar Mabuk dan ingin mendapat kesembuhan. Jika kau bisa sembuhkan aku dari Racun Hitam, aku akan turuti apa permintaanmu. Apa saja yang kau minta, aku akan berikan."

"Kalau aku minta kau terjun ke jurang?"

"Aku akan terjun ke jurang juga, asal kau memberiku contoh bagaimana caranya terjung ke jurang," jawab si gadis dengan sedikit dongkol. Pendekar Mabuk geli dan merasa suka menggoda gadis itu, sehingga ia menanggapi dengan berbagai canda.

"Apakah kau keberatan untuk mengobatiku, Suto?"
"Tidak, asal kau sebutkan siapa namamu."

Gadis itu diam. Tersenyum malu hingga lesung pipitnya terlihat jelas di mata Suto Sinting. Kontan hati Suto Sinting berdebar-debar karena ingat Dyah Sariningrum yang punya lesung pipit jika tersenyum.

"Semakin mirip Dyah-ku jika ia tersenyum. Celaka! Bisa-bisa aku terpikat dan luluh dalam pelukannya kalau begini caranya. Wah, kacau juga jantungku. Detaknya terlalu cepat!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.

Kemudian gadis yang sudah tampak cukup dewasa dengan usia sekitar dua puluh lima tahun itu segera perdengarkan suaranya dalam senyuman malu.

"Namaku tak seberapa bagus. Orang-orang memanggilku: Salju Kelana."

"Salju Kelana...?! Hmmm... cantik sekali namamu. Hampir mirip dengan sahabatku dari Negeri Ringgit Kencana yang bernama Kelana Cinta."

"Oohh...?! Jadi kau kenal dengan adikku?!" gadis itu terperanjat kaget.

Suto Sinting juga ikut kaget. "Jadi... jadi kau kakak dari Kelana Cinta, mata-matanya Ratu Asmaradani itu?!"

"Benar. Aku kakaknya Kelana Cinta. Tapi aku tidak satu perguruan dengannya."

Suto Sinting manggut-manggut, kemudian terbayang jelas wajah ayu berpakaian merah jambu dengan rambut cepak seperti potongan rambut lelaki; Kelana Cinta. Pendekar Mabuk pernah bekerjasama menumbangkan keangkaramurkaan bersama Kelana Cinta, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Seruling Malaikat"). Ia tak menyangka kalau si gadis yang mirip Dyah Sariningrum itu adalah kakak dari Kelana Cinta, sebab kecantikannya hanya punya kemiripan pada hidung dan bibirnya saja.

"Tapi kenapa kau tampak lebih muda dari Kelana Cinta? Mestinya kau yang menjadi adik Kelana Cinta."

"Aku punya ilmu awet muda," kata Salju Kelana. "Usiaku sebenarnya sudah tiga puluh tahun. Tiga tahun lebih tua dari Kelana Cinta."

"Pantas daya pikatmu sangat kuat," sambil Suto tersenyum-senyum. Ia pandangi wajah itu sepuas- puasnya, "Mumpung dia belum bisa melihat," pikirnya.

"Apakah... apakah aku punya daya pikat untukmu, Pendekar Mabuk?" Salju Kelana menampakkan wajah berseri-seri.

"Aku tak sanggup menjawabnya, karena itu rahasia hatiku. Sebaiknya minumlah tuakku ini, supaya Racun Hitam segera sirna dan kau bisa melihat dengan terang kembali."

Pendekar Mabuk segera membantu menenggakkan tuak ke mulut Salju Kelana. Gadis itu meneguknya lebih dari lima tegukan.

"Hei, hei... jangan banyak-banyak nanti aku tak kebagian lagi!" cegah Suto Sinting. Hatinya membatin, "Doyan minum juga gadis ini?!"

Mata sang gadis mengerjap-ngerjap dengan senyum penuh harapan. Beberapa saat setelah itu ia berkata dengan wajah mulai diliputi keraguan.

"Kenapa masih hitam semua? Apakah sekarang malam lagi?"
"Tidak. Sekarang siang hari, Salju Kelana."

Mata indah itu mengerjap-ngerjap kembali, ia mencoba mempertegas pandangan matanya dengan dahi berkerut-kerut.

"Aku belum bisa melihat apa-apa kecuali bentangan warna hitam saja."

Suto Sinting menjadi bimbang dan sedikit cemas.

"Tunggu beberapa waktu lagi. Racun itu masih dihancurkan oleh tuak saktiku."
"Begitukah?" Salju Kelana dalam kebimbangan.

Namun mendadak tubuhnya melenting di udara dengan amat mengejutkan Suto Sinting. Wuuuk...! Ia bersalto satu kali dan tangannya berkelebat ke bawah saat berjungkir balik. Wuuut...! Teeb...!
Salju Kelana turun bagaikan ratu salju mendarat ke bumi karena jubah putihnya yang terbuat dari kain sutera lembut itu melambai-lambai terbawa angin. Pinjung penutup dada montoknya yang berwarna ungu itu mirip seperti batuan permata yang indah dibungkus salju putih.

Jleeg...! Kakinya menapak di tanah, tangan kirinya yang tidak memegangi tongkat itu terangkat ke depan. Tangan yang menggenggam itu bagaikan disodorkan kepada Suto Sinting. Pemuda tampan itu hanya bengong dalam ketidaktahuan.

Genggaman tersebut pelan-pelan terbuka, dan mata Suto terkesiap melihat dua jarum warna hitam ada di telapak tangan Salju Kelana.

"Jarum apa itu? Kau dapatkan dari mana?!"

"Seseorang menyerang kita dengan jarum beracun ini. Entah aku atau kau yang ditujunya. Yang jelas aku sudah berhasil menyambar jarum ini sebelum mengenai tubuh kita."

Suto Sinting tertegun bengong memandangi dua batang jarum hitam di tangan gadis itu. Dalam hati sang pendekar membatin, "Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku sendiri yang bisa menggunakan mata dengan sehat tidak melihat gerakan jarum itu, tapi ia yang masih buta ternyata bisa melihat gerakan jarum dan mampu menangkapnya. Cukup kagum aku pada ilmunya. Berarti dia melihat dengan mata batin. Hmmm... berarti mata batinnya sangat tajam, melebihi mata kepala manusia biasa."

Salju Kelana menelengkan kepala, seperti sedang mendengarkan suatu bunyi yang jauh. Kemudian tanpa memandang Suto ia berkata pelan,

"Ada orang di balik pohon sebelah belakangku itu."

Pendekar Mabuk segera menggunakan jurus 'Lacak Jantung' untuk mendengarkan degup jantung orang di sekitarnya. Ternyata apa yang dikatakan Salju Kelana memang benar, ada degup jantung lain yang detakannya lebih cepat dari jantung milik gadis itu maupun jantungnya sendiri. Detakan jantung lebih keras menandakan pemiliknya sedang menahan getaran.

Tongkat kayu segera dihantamkan si gadis pada sebutir batu tak seberapa besar. Trak...! Wuuut...! Batu melayang cepat dan menghantam pohon jati. Duaarrr...!

Pendekar Mabuk terkejut. Ternyata batu itu dialiri tenaga dalam yang meluncur melalui kayu tersebut. Akibatnya ketika batu itu menghantam batang pohon, terjadilah suatu ledakan yang cukup keras dan membuat batang pohon jati itu somplak separo bagian.

"Edan! Kalau yang terkena batu itu kepala manusia bagaimana?!" pikir Suto Sinting dengan mata tak berkedip. Hal yang membuatnya kagum dan terheran- heran adalah keadaan sang gadis yang kelihatan lemah dan cacat namun ternyata mempunyai ilmu cukup tinggi.

Ledakan tersebut membuat sesosok bayangan berkelebat keluar dari balik pohon itu. Wuuuk...!

Jleeg...! Lalu, bayangan itu menampakkan wujudnya sebagai seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan rambut panjang diikat memakai kain merah dan baju serta celananya berwarna hitam. Orang itu bertubuh tegap, tak seberapa tinggi, tapi mempunyai lengan yang kekar. Bajunya juga tanpa lengan sehingga tampak sepasang tato kepala singa dan kepala naga di kedua lengannya.

"Keparat kau, Salju Kelana! Hampir saja kau hancurkan kepalaku dengan batu itu!" geram orang berwajah angker yang menyandang golok di pinggang kirinya. Ia melangkah mendekati Salju Kelana, tapi dalam jarak enam langkah sudah berhenti.

Salju Kelana maju dua tindak sambil ketuk-ketukkan tongkat kayu di depan langkahnya sebagai alat pencari jalan. Pendekar Mabuk tidak ikut mendekat, karena ia tidak kenal dengan orang bertampang angker itu. Ia justru tetap diam di tempat menyimak pembicaraan mereka, namun matanya tetap awas, menjaga bahaya yang bisa menyerang Salju Kelana sewaktu-waktu.

Dengan memiringkan kepala menyimak suara orang bertato itu, Salju Kelana dapat mengenali orang tersebut, sehingga ia pun segera sunggingkan senyum sinis dan berkata ketus,

"Masih belum jera menemuiku, Calo Mayat?!"

"Sebelum kau mati dan mayatmu berhasil kujual, aku tidak akan jera menemuimu, Salju Kelana!"
Pendekar Mabuk hanya membatin, "Orang wajah angker itu bernama Calo Mayat. Hmmm... lucu juga namanya. Pantas sekali kalau dia menjadi makelar mayat, karena wajahnya tak jauh berbeda dengan kuburan keramat!"

Calo Mayat berkata dengan nada tak bersahabat. "Sekalipun kau sudah punya pengawal ingusan macam pemuda itu, aku tetap bernafsu untuk menjual mayatmu! Karena mayat perempuan cantik semacam kau akan laku mahal dan sangat menguntungkan. Ha, ha, ha, ha...!"

"Barangkali saat ini kau yang akan menjual mayatmu sendiri, Orang Sesat!"

Gertakan itu ditertawakan oleh si Calo Mayat. "Percuma kau menggertakku, Salju Kelana. Nyaliku tak akan berkurang sedikit pun. Aku tetap akan menangkapmu; menjadi mayat saja harganya mahal, apalagi aku bisa menangkapmu hidup-hidup, pasti harganya jauh lebih mahal!"

"Cobalah kau lakukan kalau memang kau sudah cukup ampuh, Calo Mayat!" tantang Salju Kelana tanpa rasa takut sedikit pun.

Calo Mayat panas hati, menggeram dengan penuh hasrat untuk membunuh. Ia pun segera melompat secara tiba-tiba, menerjang Salju Kelana yang masih diam berdiri dengan tenang.

"Heeeeaaat...!"
Wuuut...!"

Slaaap...! Salju Kelana lemparkan dua batang jarum yang tadi ditangkapnya. Setelah lemparkan jarum ke arah lawan, ia bersalto mundur dua kali. Plak, plak...! Ia berdiri tak seberapa jauh dari Pendekar Mabuk.

"Keparat...!" sentak Calo Mayat melihat jarum berkelebat mengarah kepadanya. Ia segera bentangkan telapak tangan kirinya untuk menangkis jarum tersebut. Jrub, jrub...!

Jarum menancap di telapak tangan kiri Calo Mayat. Orang itu tak merasakan sakit sedikit pun. Padahal jarum itu jelas beracun ganas, tapi agaknya Calo Mayat orang yang tidak mempan oleh racun.

Tangan kirinya segera gemetaran, mengepulkan asap tipis, kemudian tangan itu disentakkan ke depan dengan satu teriakan keras. "Heaaah...!" Kaki pun menghentak ke bumi.

Dua jarum di tangan bagaikan terpental membalik arah dan menyerang Salju Kelana. Weet... weet...!

Melihat hal itu Pendekar Mabuk menjadi cemas, khawatir Salju Kelana tidak mengetahui datangnya dua jarum tersebut. Maka dengan gerak cepatnya yang sukar dilihat mata orang biasa itu, Pendekar Mabuk berkelebat menangkis jarum tersebut dengan bumbung tuaknya.

Zlaaap... !

Trang, trang...! Jarum itu bagaikan menghantam besi baja berongga. Bumbung tuak tak mampu ditembus dengan dua jarum, akhirnya jarum itu berbalik arah lagi dengan gerakan lebih cepat. Zraaab...!

Calo Mayat kaget melihat jarumnya kembali menyerangnya dengan cepat sekali. Ia melompat menghindari jarum-jarum itu sambil memaki.

"Bangsat kurap...!"
Jrrabb... !

"Aaaaaa...!" Calo Mayat terpekik keras karena mata kakinya tertusuk salah satu dari kedua jarum tadi. Ia segera jatuh kehilangan keseimbangan. Mata kakinya berasap biru. Ia mengerang panjang menahan sakit.

"Jahanam kau...! Awas, akan kubalas kejahanamanmu ini suatu saat. Uuhh...!"

Wuuut...! Calo Mayat melesat cepat dengan sentakkan kaki yang tidak terkena jarum, ia melarikan diri menabrak apa saja yang ada di depannya. Suto Sinting membiarkan orang wajah angker itu pergi. Sementara itu jarum yang lainnya menancap pada sebatang pohon. Pohon tersebut berasap dan akhirnya menjadi kering, batangnya mengeriput, daunnya berguguran warna coklat kering.

"Dahsyat sekali sebenarnya racun dalam jarum itu," gumam Suto Sinting dengan nada kagum.

Salju Kelana berkata pelan sambil memandang tanpa arah, "Kau kembalikan jarum itu tepat pada sasaran. Calo Mayat memang orang kebal racun. Tapi ia punya kelemahan di mata kaki. Jarum yang menancap di mata kakinya jelas akan membuatnya menderita jika tak segera temukan obat penangkai racun tersebut."

"Dari mana kau tahu kalau jarum itu menancap di mata kaki si Calo Mayat?" tanya Suto dengan heran dan agak curiga.

"Suara menancapnya jarum dan hembusan tubuhnya yang melompat ke atas bisa kubayangkan dalam pandangan mata hatiku," jawab Salju Kelana yang membuat Pendekar Mabuk menggumam kagum lagi.

"Siapa orang itu, Salju Kelana?"

"Makelar mayat. Kerjanya mencari mayat perampuan cantik, dan akan mendapat upah tinggi jika bisa menyerahkan perempuan muda dalam keadaan hidup-hidup."

"Diserahkan kepada siapa nantinya?"

"Gandapura, penguasa Pantai Ajai yang doyan makan daging manusia itu. Apakah kau belum pernah mendengar nama Gandapura?!" Saiju Kelana ganti bertanya, ia tidak tahu bahwa saat itu Pendekar Mabuk terperanjat begitu mendengar nama Gandapura. Sebab ia tahu persis bahwa Gandapura adalah titisan raksasa yang gemar memakan daging manusia, ia banyak mendengar cerita tentang Gandapura, di antaranya dari Ayunda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pertarungan Tanpa Ajal").

"Sudah waktunya aku bertindak sebelum korban semakin banyak," gumam Suto Sinting. Rupanya gumaman itu didengar oleh telinga Salju Kelana yang sangat tajam itu, sehingga gadis cantik itu bertanya kepada Suto,

"Apakah kau ingin menghadapi Gandapura?!"
"Ya. Aku harus mengakhiri kekejiannya!"

"Mana mungkin, sedangkan menangkal racun yang membuat mataku begini saja kau tidak bisa. Apalagi menumbangkannya?"

* * *

PENDEKAR MABUK merasa dilecehkan oleh kata- kata Salju Kelana, namun ia menerimanya dengan lapang dada. Ia sendiri heran, mengapa kebutaan Salju Kelana belum sembuh juga walau sudah meminum tuaknya beberapa kali.

Mungkinkah racun yang membutakan mata Salju Kelana itu tidak bisa ditangkal dengan tuak sakti tersebut? Lalu dengan apa cara memulihkan penglihatan Salju Kelana itu?

Keadaan seperti itu sangat diperhatikan oleh Pendekar Mabuk, membuat hati Suto sangat prihatin dan sedih. Karena saat ia memandang Salju Kelana dalam kebutaan, ia seperti memandang kekasihnya; Dyah Sariningrum dalam kebutaan juga.

Secara tidak sadar Suto Sinting merasa ikut bertanggung jawab memulihkan keadaan Salju Kelana. Padahal jika Salju Kelana tidak mirip dengan Dyah Sariningrum mungkin Suto Sinting tak begitu merasa menderita melihat sang gadis berjalan meraba-raba dengan tongkatnya.

"Sebenarnya kau ingin pergi ke mana, Salju Kelana?" tanya Suto Sinting sambil memandangi gadis itu tiada habis. Kemiripannya yang seperti Dyah Sariningrum digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk melepas rindu walau hanya dengan memandang.

"Aku ingin menghadiri pertemuan Kadipaten Balungan."
Suto Sinting kerutkan dahi. "Maksudmu mau bertemu dengan Adipati Janarsuma?!"

"Benar. Kau mengenal sang Adipati Janarsuma?!""Aku hanya tahu namanya, tapi belum pernah bertatap muka dengan orangnya," jawab Pendekar Mabuk sambil membayangkan peristiwa yang membawa-bawa nama Adipati Janarsuma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").

"Apakah kau tak diundangnya untuk datang juga?"
"Tidak," jawab Suto. "Apakah ada suatu keperluan yang amat penting?"

"Jika tidak penting, tak mungkin sang Adipati memanggil beberapa tokoh sakti dari berbagai pelosok penjuru, terutama yang muda-muda."

"Aneh. Aku tidak diundangnya? Apakah aku tokoh yang tidak disukai karena telah menggagalkan rencananya dalam memperoleh pusaka Kapak Setan Kubur?" pikir Suto Sinting. "Atau mungkin aku tidak dianggap tokoh sakti?"

"Kusarankan sebaiknya kau ikut saja dalam pertemuan itu, siapa tahu kau yang terpilih untuk menggantikan kedudukannya sebagai adipati, penguasa Tanah Kadipaten Balungan."

Makin berkerut dahi Pendekar Mabuk mendengarnya. Terasa janggal kabar itu diterimanya, sehingga ia pun segera berkata kepada Salju Kelana,

"Menggantikan kedudukannya sebagai adipati bukan dengan cara pemilihan seperti memilih kepala kampung. Biasanya kedudukan adipati diwariskan kepada keturunannya. Atau direbut secara paksa."

"Sang Adipati tidak mempunyai keturunan, sehingga ia ingin mewariskannya kepada seseorang yang
dipandang layak."

Pendekar Mabuk tertawa seperti orang menggumam, "Ini akal-akalan saja! Pasti ada sangkut pautnya dengan Kapak Setan Kubur. Mana ada kedudukan seorang adipati diwariskan kepada orang yang tidak punya hubungan kerabat bangsawan?! Jelas ini suatu pancingan saja, Salju Kelana. Kalian akan masuk dalam jebakan yang mungkin sukar keluarnya."

Percakapan mereka terhenti karena kemunculan sesosok bayangan yang tahu-tahu menerjang Salju Kelana. Terjangan itu bagaikan angin berhembus, begitu cepat dan begitu tiba-tiba.

Wuuuuttt... !

Beehg...! Salju Kelana terkena tendangan pada punggungnya. Suara tendangan begitu keras, sehingga mengejutkan hati Pendekar Mabuk. Agaknya Salju Kelana dijejak dengan satu telapak kaki cukup telak, sehingga tubuh perempuan cantik yang mirip Dyah Sariningrum itu tersentak ke depan dan terjungkal.
Wuuut... ! Untung ia mampu kendalikan keseimbangan tubuh, sehingga ia cepat bersalto sebelum mencapai tanah. Tangannya digunakan sebagai tumpuan. Bahkan tubuh itu terayun naik sedikit, sehingga begitu berbalik kedua kakinya langsung menapak di tanah dan cepat berdiri kembali. Jleeg...!

Matanya langsung memandang ke timur, padahal orang yang baru saja menendangnya ada di utara. Sepertinya gadis itu memandang dengan telinganya yang bergiwang ungu kecil itu.

Pendekar Mabuk hanya terbengong melongo, karena ia sangat kenal dengan penyerang yang punya kecepatan serang melebihi melesatnya jarum hitam tadi. Orang itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik, berdada montok dan bentuk pinggulnya menggairahkan. Gadis itu berambut cepak sepeti potongan lelaki,

bibirnya mungil, bulu matanya lentik, mengenakan rompi panjang sampai paha diikat di bagian perutnya memakai kain kuning. Senjatanya pisau panjang sehasta. Salah satu cirinya adalah mengenakan giwang merah kecil.

"Siapa kau, Setan?! Mengapa tahu-tahu menyerangku dengan tendangan yang mestinya mematikan itu?!" hardik Salju Kelana dengan mencari-cari di mana arah lawannya berada.

Gadis berompi merah panjang itu menampakkan wajah marahnya. Matanya memandang tajam kepada Salju Kelana, dan sesekali melirik sengit kepada Pendekar Mabuk. Tentu saja Suto terheran-heran melihat kemunculan gadis itu yang bersikap memusuhinya, ia pun akhirnya menyapa dengan nada ragu.
"Anggani...?!"
Suara pelan itu ditangkap oleh telinga Salju Kelana, sehingga ia pun ikut berkata, "Oh, rupanya kau yang menyerangku, Putri Malu?!"
"Memang aku yang ingin membunuhmu, Salju Kelana!'' ucap Anggani yang berjuluk Putri Malu itu. Ia adalah anak Tabib Getar Hati yang dulu diselamatkan oleh Suto dari tangan Ratu Sukma Semimpi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Bernyawa").

"Anggani, mengapa kau menyerang Salju Kelana?! Kami tidak lakukan apa-apa. Kami hanya berteman!" kata Suto yang menduga Anggani menaruh rasa cemburu kepada Salju Kelana.

"Aku tak peduli kalian berteman atau berkasih- kasihan, yang jelas aku punya urusan sendiri dengan perempuan iblis itu!"

"Jaga bicaramu, Putri Malu!" sentak Salju Kelana.

Kedua perempuan itu sama-sama galaknya, sama- sama beraninya, membuat Pendekar Mabuk kebingungan mengambil langkah. Anggani baik kepadanya, Salju Kelana pun baik dan mirip Dyah Sariningrum. Siapa yang akan dibela jika begitu? Pendekar Mabuk merasa serba salah dalam bersikap.

"Salju Kelana, sudah berapa hari ini aku mencarimu, dan ternyata kutemukan kau di sini!"

"Untuk apa kau mencariku?! Nada bicaramu menandakan kemarahan yang besar. Jelaskan persoalannya supaya kita tidak sailng bunuh secara siasia."

"Tidak ada pembunuh yang sia-sia bagiku, karena aku mencarimu untuk menuntut balas atas kematian ibuku."

"Hahh...?!" Pendekar Mabuk terperangah kaget. Salju Kelana hanya kerutkan dahi dan diam beberapa saat. Perempuan bertongkat itu merasa heran mendengar kabar tersebut, terlihat dari raut mukanya yang langsung berkerut dahi dan membungkam mulutnya.

"Siapa yang membunuh ibumu?" Suto Sinting ingin mengulang jawaban tersebut. Karena dalam hatinya merasa ragu jika Anggani menuduh Salju Kelana sebagai pembunuh ibu Anggani; Tabib Getar Hati.

"Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan tamu terakhir yang datang kepada ibu dan meminta tolong untuk disembuhkan dari kebutaannya! Dialah orangnya yang membunuh ibuku, Suto Sinting! Kalau kau ingin membelanya, belalah dia, aku tak akan takut melawan kalian berdua!"

"Sabar dulu, Anggani...," Suto Sinting mencoba menenangkan gadis yang sudah diburu dendam, karena napasnya sudah tidak teratur lagi, wajahnya mulai semburat merah.

"Aku tidak membunuh ibumu, Bodoh!"

"Jangan mungkir, ibils! Kau orang terakhir yang datang kepada ibuku. Sejurus setelah kau pergi, ibuku sudah tak bernyawa dan tergeletak di atas meja ramuannya."

"Putri Malu!" sentak Salju Kelana. "Kutinggalkan ibumu dalam keadaan masih sehat. Kuucapkan terima kasih walau ia mengaku tidak bisa menangkal racun yang membuat mataku rusak begini! Aku tidak mempunyai dendam atau kebencian apa pun. Aku tidak kecewa jika memang ternyata Ibumu sudah berusaha mengobatiku, namun tidak bisa sembuh."

"Omong kosong! Kau pandai memutarbalikkan cerita untuk menutupi kebusukan hatimu di depan Pendekar tampan itu!" ia menuding Suto dan yang dituding menjadi tak enak hati.

Sebelum Suto Sinting bicara, Salju Kelana sudah lebih dulu menyentak kepada Putri Malu walau arah wajahnya kurang tepat menghadap ke arah lawan.

"Baik kalau kau masih menuduhku begitu! Apa pun yang terjadi, aku tetap tidak merasa bersalah. Tetapi jika kau ingin mengkambinghitamkan aku, majulah dan lampiaskan dendammu kepadaku! Jangan salahkan diriku jika nyawamu terbang dalam dua jurus saja!"

"Persetan dengan jurusmu, kau pikir aku takut dengan gertakan semacam itu! Hiaaat...!"

Putri Malu segera sentakkan kaki dan melesat menerjang Salju Kelana. Gerakan itu disambut dengan tongkat kayunya Salju Kelana yang membabat ke arah depan. Wuuut...! Krraak...!

Lengan Putri Malu terkena pukulan, tapi memang sengaja dikenakan untuk menangkis sabetan tongkat tersebut. Suara tulang patah dengan kayu patah hampir sama. Namun nyatanya Anggani masih mampu menghentakkan kakinya ke depan dan wajah Salju Kelana menjadi sasaran.

Plaaak...! Telapak tangan Salju Kelana menghadang di depan wajah, sehingga telapak kaki Anggani hanya sampai pada telapak tangan itu. Namun agaknya sentakan telapak tangan Salju Kelana diiringi dengan hentakan tenaga dalam cukup besar, sehingga tubuh Putri Malu pun terlempar beberapa langkah jauhnya. Wuuut... !

Brruus...!

Anggani jatuh tersungkur di semak-semak, ia segera bangkit dengan menggeram dan mata memandang kian buas. Suto Sinting melihat gelagat Anggani ingin lepaskan pukulan jarak jauhnya yang berbahaya itu. Maka cepat-cepat Suto melesat di pertengahan jarak kedua perempuan itu sambil berseru keras, "Hentikan! Hentikan semua ini!" Anggani sedikit mengendurkan kedua tangannya yang sudah siap melepaskan pukulan jarak jauh itu. Tapi matanya yang tajam memandang Suto penuh nafsu membunuh. Ia pun berkata dengan suara menggeram,

"Kalau kau tak mau menyingkir, aku akan melepaskan pukulan ini untukmu juga, Sutol"
"Anggani, pandanglah aku! Jangan lakukan kebodohan!"

Anggani seperti gadis kesurupan, tak bisa diajak berunding lagi. Pukulan sinar merah dari telapak tangannya dilepaskan ke arah Pendekar Mabuk. Slap...!

Sinar merah panjang tanpa putus itu menghantam Suto Sinting. Keadaan Suto saat itu serba salah. Jika ditangkis dengan bumbung tuaknya, maka sinar akan membalik kenai pemiliknya dalam keadaan dua kali lipat lebih besar lagi, berarti Anggani akan celaka. Jika dihindari sinar itu akan melesat lurus ke belakang Suto, sedangkan di belakang Suto ada Salju Kelana, tak urung gadis berjubah putih itu akan celaka juga.

Terlalu lama mempertimbangkan, akhirnya Suto Sinting mencoba menghadang sinar merah lurus itu dengan pergunakan jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan sinar biru dari telapak tangan. Tapi gerakan itu terlambat. Sinar biru baru memercik sudah dihantam dengan sinar merah itu. Zraaab...!

Jgaaar... !

Pijar api merah menyebar dalam satu hentakan bersama gelegar ledakan yang cukup keras. Pendekar Mabuk terpental melayang di udara, melewati atas kepala Salju Kelana, lalu jatuh terkapar dalam jarak delapan tombak dari tempatnya.

"Ooh...?!" Anggani kaget bagaikan baru menyadari apa yang dilakukannya.

"Sutooo...!" serunya sambil berlari menghampiri Pendekar Mabuk. Tetapi Salju Kelana bergerak lebih dulu. Wuuut...!

Gerakan cepatnya itu menghadang langkah Anggani yang hampir tiba di tempat Suto terkapar. Keadaan Suto Sinting cukup menyedihkan. Kulit tubuhnya menjadi merah matang, bagian dada hingga leher tampak hangus.

"Jangan menyentuhnya, Putri Malu!" sentak Salju Kelana.

"Ak... aku... aku tidak sengaja melukainya. Aku... oh, semua ini gara-gara kau, Setan!" pekik Anggani dengan gusar sekali, ia merasa menyesal melepaskan pukulan berbahaya itu ke arah Suto Sinting. Pukulan itu mestinya ditujukan untuk Salju Kelana, karena dapat menghancurkan tubuh lawan menjadi serpihan kecil- kecil.

Jika ternyata keadaan Suto Sinting masih utuh walau mengalami luka bakar yang amat berbahaya, itu lantaran tenaga dalam yang melapisi tubuh Pendekar Mabuk cukup besar dan mampu menahan sinar merahnya Anggani. Sekalipun demikian, Anggani merasa sangat menyesal, karena bagaimanapun juga Suto pernah berjasa padanya; membebaskan Tabib Getar Hati dari tawanan Ratu Sukma Semimpi. Tak patut rasanya jika ia harus melukai Suto Sinting separah itu.

"Tinggalkan kami dan jangan kau bertemu denganku lagi kalau ingin umurmu panjang!" kata Salju Kelana dengan nada berat, pertanda ia menahan kemarahannya.

"Aku harus membalas kematian ibuku kepadamu!'
"Bukan aku pembunuhnya!" sentak Salju Kelana tampak mulai tak sabar.

"Kau... kau...," Anggani serba salah dan diguncang oleh kegusaran. Dalam hatinya timbul keraguan atas tuduhannya sendiri. Tapi hatinya pun mencemaskan keadaan Pendekar Mabuk yang tak berdaya lagi itu.

"Tinggalkan kami sekarang juga!" gertak Salju Kelana kembali dengan tangan meremas-remas tongkatnya bertanda semakin tak sabar ingin melepaskan kemarahannya.

Anggani tampak menangis tanpa suara mengisak. Ia melangkah mundur, dan kepala Salju Kelana bergerak- gerak pelan memperhatikan bunyi langkah kaki.

Akhirnya Anggani melarikan diri dengan tangis kian menjadi-jadi. Rasa sesalnya begitu menghantui jiwa sehingga ia berlari sejadi-jadinya tanpa arah dan tujuan.

Salju Kelana dekati Suto Sinting, tangannya meraba- raba wajah, dada, dan seluruh tubuh pendekar tampan itu. Suto Sinting masih sadar dengan keadaannya. Ia menahan rasa sakitnya. Napasnya tersendat-sendat,terasa berat dihela.

"Suto...," ucap Salju Kelana. "Suto Sinting... jawablah aku."
"Uuhg...!" Suto Sinting hanya menjawab dengan keluhan bersuara berat.
"Kau terluka parah. Parah sekali, Suto."
"Tu... tuangkan... minumanku. Tu... tuak!"

"Iyy... iya, ya. Sebentar... di mana bumbung tuakmu tadi?" Salju Kelana meraba-raba sekitar tempat itu, sampai merangkak melangkahi tubuh Suto Sinting. Akhirnya bumbung tuak itu ditemukan dan segera diambilnya. Dengan cara meraba pula Salju Kelana menemukan bagian tutupnya. Tutup itu dibuka, dan ia berusaha menuangkan tuak tersebut. Namun terlebih dulu ia harus meraba mencari mulut Suto Sinting. Padahal waktu itu mulut Suto Sinting sudah ternganga, siap menerima tuak. Ketika jari tangan Salju Kelana menemukan mulut itu, ia terkejut sesaat, karena menyangka menemukan lubang aneh yang kemudian disadari sebagai mulut Pendekar Mabuk.

"Minum... minumlah tuakmu ini," nada suara Salju Kelana tampak menahan keharuan yang tak ingin diperlihatkan.

Krucuk, krucuk, krucuk... !

Tuak tertuang pelan di mulut Suto. Pendekar Mabuk berusaha menelannya dengan susah payah, karena tenggorokannya terasa keras dan perih akibat terbakar pukulan Anggani tadi.

Tuak itu sempat mengguyur permukaan wajah Suto Sinting karena Salju Kelana tak tahu kalau mulut Suto telah mengatup. Jika Suto tidak berusaha mengatakan, "Cukup...!" sambil gelagapan, tuak tetap akan dituangkan.

Merasa telah membasahi wajah Suto dengan tuak, Salju Kelana selesai menuangkan tuak itu segera mengeringkan wajah tersebut dengan jubah putihnya. Sadar ataupun tidak, Salju Kelana sudah menunjukkan sikap kesetiaannya dalam merawat Pendekar Mabuk. Namun pemuda tampan itu belum bisa merenungi sikap tersebut, karena yang terpikir olehnya adalah luka parah yang dideritanya itu.

"Bagaimana keadaanmu, Suto?" sambil Salju Kelana meraba-raba tubuh Suto Sinting, ingin memastikan hasil pengobatan melalui tuak tadi.

"Tuangkan lagi," ucap Suto agak lancar. Dan Salju Kelana melayani dengan sabar, seakan penuh ketulusan.

Setelah minum tuak yang kedua, keadaan Suto Sinting mulai membaik. Hawa panas yang terasa membakar bagian dalam tubuhnya mulai hilang. Sedikit demi sedikit tenaganya terasa pulih hingga ia dapat menggeliat bangun.

Salju Kelana memegangi lengan Suto Sinting dengan pandangan mata datar, bagaikan tidak memperhatikan keadaan pemuda tampan itu. Namun ketegangan di wajahnya yang sudah mengendur itu menampakkan kelegaan hatinya.

"Perlukah kubalas tindakan Putri Malu tadi?!" ucapnya pelan sambil masih pegangi lengan Suto
Sinting, sesekali meraba punggung dan dadanya.

"Tidak. Anggani tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Kau tidak boleh membalas perbuatannya ini."
"Tapi kau hampir saja tak bernyawa karena ulahnya, Suto."

"Memang. Tapi itu karena ia tak mampu kendalikan jiwanya yang menjadi guncang karena kematian sang ibu. Kita semua akan mengalami hal demikian jika ibu kita meninggal, hanya saja mungkin beda cara pengendaliannya."

"Aku masih sanggup mengejarnya jika kau mau!"

"Jangan, Salju Kelana," Pendekar Mabuk pegangi tangan Salju Kelana. Tangan gadis itu ikut menggenggam pula.

"Keadaanku sudah membaik. Untung ada kau, jika tidak aku tak mampu meraih bumbung tuakku, akhirnya aku akan mati di sini. Terima kasih, Salju Kelana. Kuanggap kau telah selamatkan jiwaku."

"Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan."

Sebaris kalimat bijak itu membuat Pendekar Mabuk menyimpan pujian di dalam hati. Salju Kelana dianggap gadis bijaksana yang sedikit bengal namun punya nilai kesetiaan.

Pendekar Mabuk semakin tak percaya dengan tuduhan Anggani. Dalam hati kecilnya berkata,

"Tak mungkin Salju Kelana membunuh Tabib Getar Hati. Ia bukan dari aliran sesat. Apalagi ia kakaknya Kelana Cinta. Jika demikian, lalu siapa yang membunuh Tabib Getar Hati yang mempunyai jiwa sabar dan bijaksana itu? Rasa-rasanya aku harus membantu memecahkan persoalan ini dulu sebelum pergi menemui Gandapura!"

***3

ATAS saran dan bujukan Suto Sinting, Salju Kelana tak jadi menghadiri undangan pertemuan di Kadipaten Balungan. Ia diminta ikut membantu menyelesaikan perkara kematian Tabib Getar Hati. Ternyata Salju Kelana bersedia membantu menyingkapkan tabir misteri pembunuhan sang tabib itu.

"Tapi benar bukan kau pelakunya?!"
"Aku berani sumpah, biar cacat seumur hidup jika aku membunuh Tabib Getar Hati," ujar Salju Kelana.

"Aku datang untuk minta disembuhkan dari pengaruh Racun Hitam ini. Tapi setelah dilakukan penyembuhan, Tabib Getar Hati menyatakan tidak sanggup menangkal racun dalam tubuhku ini. Aku disarankan untuk mencari tabib lain. Salah satu nama yang disebutkan adalah namamu: Tabib Darah Tuak. Setelah itu aku pamit pergi mencari Tabib Darah Tuak."

"Kapan hal itu teijadi?" potong Suto Sinting.

"Lima hari yang lalu," jawab Salju Kelana tak ada kesan berbohong sedikit pun. Pendekar Mabuk manggut- manggut. Ia mengenang saat-saat lima hari yang lalu, di mana kala itu ia sedang menyelesaikan persoalan Kapak Setan Kubur.

"Baiklah," kata Suto Sinting yang sudah segera bugar seperti sediakala. "Sekarang kita cari Anggani, kita bantu ia memecahkan rahasia kematian ibunya. Setidaknya ia butuh orang yang dapat menenangkan jiwanya."

"Aku tak keberatan. Hanya saja aku ingin kejujuranmu tentang hubunganmu dengan Anggani, si Putri Malu itu."

Pendekar Mabuk tersenyum. Salju Kelana diam saja, karena tidak melihat senyuman yang begitu menawan dan menggetarkan hati itu.

"Hubunganku hanya sebatas seorang sahabat saja."
"Sahabat istimewa?" pancing Salju Kelana.
"Apa maksudnya sahabat istimewa?"

Gadis itu tersenyum. Lesung pipitnya mendebarkan hati Pendekar Mabuk. Sang pendekar menikmati keindahan lesung pipit yang mekar di atas bentangan wajah cantik mengagumkan itu.

"Barangkali dia calon kekasihmu?"

"Bukan. Kami tidak punya hubungan sedalam itu."
"Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu."

"Percayailah dirimu dulu, baru kau bisa mempercanyai orang lain," kata Suto Sinting, menirukan wejangan gurunya; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.

Langkah mereka terhenti ketika mendengar suara ledakan di sebelah barat. Pendekar Mabuk segera berkata, "Ada pertarungan di sebelah barat. Aku mau melihat siapa yang bertarung di sana."

"Siapa tahu Anggani. Coba kita periksa sebentar!"

Mereka segera bergegas ke arah barat. Ternyata pertarungan itu terjadi di sebuah lembah berpohon jarang. Seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, mengenakan jubah merah dengan rambut abu-abu dilepas meriap hingga beterbangan terhempas angin, sedang berhadapan dengan lawannya yang tak seimbang.

Pendekar Mabuk terkesiap memandang pertarungan itu dari balik kerimbunan semak. Salju Kelana mendengarkan setiap gerakan yang ditimbulkan dari pertarungan itu, kemudian ia berbisik kepada Suto Sinting.

"Pertarungan ini tidak seimbang."
"Dari mana kau tahu kalau tidak seimbang?"

"Suara napas orang yang satu sangat berat, pertanda ia sudah tua, sedangkan suara napas lawannya masih ringan, menandakan kalau ia masih muda dalam arti jauh lebih muda dibandingkan orang yang bernapas berat itu."

"Benar juga," pikir Suto Sinting. "Rupanya telinga Salju Kelana lebih tajam dari mata pedang. Hebat sekali dia, aku kagum dengan ketajaman inderanya."

Perhatian Pendekar Mabuk tertuju kembali ke arah pertarungan. Ia masih menyimpan keheranan sebab ia kenal betul dengan lawan sang nenek berjubah merah itu. Orang yang sedang terdesak oleh serangan si Jubah merah itu adalah seorang lelaki berkulit hitam, berkepala gundul dan tidak memakai baju. Ia mengenakan celana biru dan ikat pinggang merah.

Orang itu berbadan besar, perutnya gendut, matanya lebar, hidungnya bulat. Berulang kali ia menghindari serangan sang nenek yang menggunakan tongkat hitamnya berujung ukiran kepala monyet. Orang tak pakai baju itu balas menyerang dengan senjatanya berupa yoyo bergerigi. Yoyo itu jika dilemparkan akan mengeluarkan gerigi beracun yang cukup tajam. Tapi jika ditarik balik gerigi itu masuk ke dalam yoyo hingga bisa ditangkap dengan tangan.

Satu-satunya tokoh gundul yang bersenjata yoyo tak lain adalah si Hantu Laut, bekas anak buah Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi pelayannya Tapak Baja. Tapi karena Tapak Baja mampu ditundukkan oleh Pendekar Mabuk dan Hantu Laut pun dibuat tak berkutik, akhirnya Hantu Laut menjadi pengikut Suto Sinting dan tinggal bersama sahabat-sahabat Suto di Pulau Beliung di bawah pimpinan Ratu Pekat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode "Pusaka Tombak Maut").

"Agaknya kau mengenal salah satu dari kedua orang itu, Suto?"
"Dari mana kau tahu?"

"Jantungmu berdetak agak cepat, pasti kau merasa cemas dan tak ingin orang yang kau kenal itu celaka dalam pertarungan itu."

"Benar juga. Rupanya otakmu pun tajam seperti mata pedang."
Salju Kelana hanya sunggingkan senyum. "Siapa orang yang kau kenal itu?"
"Hantu Laut, bekas anak buahnya tokoh tersesat, Siluman Tujuh Nyawa."
"Ooh...?! Jadi kau mengenal Siluman Tujuh Nyawa juga?"

"Dia musuh utamaku. Pengembaraanku ini dalam rangka memburu pelariannya. Tapi sampai sekarang aku belum berhasil menangkapnya. Ia licin bagaikan belut dan licik bagaikan ular."

"Kudengar dia bersembunyi di Jurang Petaka."
"Jurang Petaka...?!"

"Barangkali jika kau ke sana akan temukan si tokoh sesat yang juga kubenci itu."

Percakapan tersebut sebenarnya ingin dilanjutkan, namun Suto Sinting melihat Hantu Laut terkena pukulan tenaga dalam sang nenek melalui tongkatnya. Tubuh besar itu tumbang terjungkal dan tak mampu bangkit lagi. Hantu Laut mengerang kesakitan sambil pegangi dadanya yang membiru legam itu. Sang nenek semakin buas, ia segera menghantamkan kepala tongkatnya untuk memecahkan kepala gundul si Hantu Laut.

"Sekaranglah saatnya kubalas dendamku padamu, murid orang sesat! Heeeaaaah...!"
Pendekar Mabuk cepat sentakkan tangan, dan nyala sinar biru besar melesat dari telapak tangan itu, Jurus 'Tangan Guntur' menghantam tongkat sang nenek dari kejauhan. Wuuus...!

Duaaarrr... !

Sang nenek berjubah merah terpental berjungkir balik di udara. Tongkatnya terlepas dari genggamannya. Ia jatuh setelah membentur pohon. Pendekar Mabuk segera melesat ke pertengahan jarak antara sang nenek dan Hantu Laut.

Zlaaap...! Jleeg...!

"Kutu kucing! Siapa kau, sehingga berani mencampuri urusanku ini, hah?! Kau juga anak buahnya si tengkorak sesat; Durmala Sanca itu, hah?! Kau juga mau cari mampus di sini juga?!"

"Sabar, Nek. Aku bukan anak buahnya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa itu. Justru aku adalah musuh utamanya yang membuat ia kabur dan sembunyi sampai sekarang."

"Lalu apa maumu menghalangi niatku memecahkan kepala si gundul begundalnya Durmala Sanca itu?!"
"Dia sudah menjadi sahabatku, dan dia bukan orang sesat lagi."

"Omong kosong! Sekali sesat tetap sesat! Hidup sesat!" Nenek berjubah merah itu mengangkat tongkatnya ke atas.

Salju Kelana muncul dengan berjalan meraba memakai tongkat kecilnya. Mata sang nenek berjubah merah melirik ke arah Salju Kelana. Ia terperanjat dengan mata terkesiap.

"Apa yang dikatakannya adalah benar, Nyai. Pendekar Mabuk tidak pernah berbohong," ujar Salju Kelana yang agaknya sudah mengenal si jubah merah itu.

"Rupanya kau sekarang telah bersekutu dengan manusia-manusia busuk ini, Salju Kelana!" geram sang nenek. Sementara itu, Pendekar Mabuk punya kesempatan mendekati Hantu Laut dan menolongnya dengan meminumkan tuaknya sambil sesekali matanya memandang penuh waspada ke arah sang nenek.

"Kami bukan persekutuan, Nyai. Kami adalah sahabat, dan kalau kau melukai salah satu dari kami, kami akan merasa terluka semua."

"Perempuan bodoh!" sentak sang Nyai. "Lalu apa maksudmu ikut datang kemari, hah?"

"Meluruskan anggapanmu, membenarkan kata-kata Pendekar Mabuk. Kuharap kau mau melupakan dendammu kepada lawanmu kali ini. Jika kau ingin lampiaskan dendammu, pergilah ke Jurang Petaka dan temui Siluman Tujuh Nyawa di sana. Lawanlah dia sepuas hatimu sampai retak seluruh tulangmu, kami tak akan menghalangimu, justru mungkin akan membantumu!"

"Celotehmu makin membuat kemarahanku memuncak, Salju Kelana. Jika memang kau ada di pihaknya, terimalah jurus 'Kalang Kabut'-ku ini, Heaaaah...!"

Sentakan tangan berjari renggang menyemburkan asap yang menggumpal menjadi kabut putih kehitaman. Kabut itu menyerang Salju Kelana dan ingin membungkusnya. Salju Kelana tahu kabut itu adalah kabut beracun berbahaya. Karenanya ia segera sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting di udara. Pada saat ia menukik mulutnya semburkan napas kuat-kuat. Puiih... !

Napas itu mengandung bintik-bintik salju yang anginnya sempat terasa dingin di kulit tubuh Pendekar
Mabuk. Semburan itu membuat kabut kiriman si jubah merah menjadi menggumpal sebesar bola dan akhirnya meledak setelah membubung tinggi. Blegaaarr...!

Ledakan itu cukup dahsyat. Tanah dan pepohonan berguncang karena gelombang ledakan itu. Namun di antara mereka tak ada yang terpental atau tumbang di tempat. Hanya saja, si jubah merah terhuyung-huyung mundur ke belakang dan berpegangan pada pohon. Matanya yang kecil kian memandang liar kepada Salju Kelana.

"Keong kudis, kau! Heeeaaah...!" si jubah merah lompat ke depan dengan tongkat besarnya siap dihantamkan ke tubuh Salju Kelana.

Gadis cantik berlesung pipit itu diam saja. Ia tetap berdiri menyamping, menghadap ke utara, sedangkan lawannya ada di timur. Namun ketika lawannya menghantamkan tongkat ke arah kepalanya, Salju Kelana langsung rendahkan badan dan sabetkan tongkat kecilnya ke udara. Tongkat kecil itu beradu dengan tongkat besarnya si jubah merah, sehingga terjadilah ledakan yang kedua karena kedua tongkat itu sama-sama dialiri tenaga dalam cukup tinggi.

Trak, jgaaar...!

Ledakan yang memercikkan bunga api itu membuat tubuh si jubah merah yang melambung di udara itu menjadi terpental dan berputar cepat bagaikan gangsing terbang. Sementara itu, Salju Kelana hanya jatuh terduduk dan mampu bangkit kembali secepatnya.

Bhuook... !

Tubuh si jubah merah jatuh terbanting dengan kerasnya ke tanah yang berlumpur. Di sana sang nenek mengerang panjang tampak kesakitan. Tapi ia bisa bangkit sendiri dalam keadaan berlumur tanah lumpur. Dari kejauhan ia berseru kepada Salju Kelana.

"Tunggu saat pembalasanku, Gadis Borok! Aku bukan kalah melawanmu, tapi aku punya urusan yang harus kuselesaikan sendiri!"

Wuuut...! Nenek berjubah merah itu pergi tinggalkan tempat itu dengan kelebatan yang membuatnya cepat menghilang di balik pepohonan. Salju Kelana masih berseru menuding-nuding ke arah datangnya suara si jubah merah tadi.

"Kalau kau datang lagi, aku tidak akan memberi ampun padamu, Nyai Bantat Maki! Kalau kau memang...,"

"Hei, hei... orangnya sudah pergi dari tadi kok masih tuding-tuding terus?!" tegur Suto Sinting sambil mencolek pundak gadis buta itu.

"Aku tahu kalau dia sudah pergi. Aku memaki bekas tempatnya jatuh tadi!" Salju Kelana tak mau disalahkan agar tak terlihat kebutaannya.

"Siapa nenek itu tadi?"
"Nyai Bantat Maki, bibinya Calo Mayat."

"Ia juga tokoh sesat, tukang teluh upahan!" kata Hantu Laut yang sudah mulai segar kembali itu. "Dulu aku dan Tapak Baja pernah menghajarnya sampai mati. Sekarang dia mau balas dendam padaku. Padahal yang banyak menghajarnya adalah mendiang si Tapak Baja!"

"Sekarang dia sudah pergi, takut dengan sahabat cantikku ini, Hantu Laut," Suto membanggakan kecantikan Salju Kelana dengan suara agak keras. Hantu Laut hanya menyeringai dengan mata menatap gadis itu tanpa mau berkedip lagi.

"Kudengar kau sahabat Pendekar Mabuk, Hantu Laut. Berarti kau sahabatku juga."
Hantu Laut menjawab, "Tidak. Aku tidak sehebat Suto. Ilmuku pas-pasan."

Suto Sinting tarik napas agak dongkol dan berseru kepada Hantu Laut,

"Hei, dia bilang sahabat. Kau sahabatku, bukan kau sehebat aku!"

"Ooo... sahabat?! Iya, memang aku sahabatnya Suto, Nona!" kata Hantu Laut dengan nyengir malu atas salah dengarnya tadi. Ia memang tokoh besar dan bertampang menyeramkan, tapi bertelinga budeg. Bicara dengannya harus keras, jika tidak akan timbul salah dengar dan salah pengertian.

"Mengapa kau ada di sini, Hantu Laut?!"
"Aku diutus oleh Ratu Pekat untuk mencarimu, Suto."
"Mencariku? Apakah ada hal yang penting?"
"Oh, tidak. Ratu Pekat tidak bunting. Dia...."
"Penting!" jelas Suto dengan mulut dilebarkan di depan Hantu Laut.

"Ooo... iya, ada sesuatu yang penting. Anak buah Gandapura sudah mulai mendarat di Pulau Beliung."
Pendekar Mabuk terperanjat. "Anak buah Gandapura...?!"

"Tokoh pemakan manusia itu lho!" Hantu Laut mempertegas.
"Iya, aku tahu! Tapi... tapi apakah Gandapura mau datang ke Pulau Beliung?!"

"Pulau Jelaga sudah dikuasai olehnya. Sahabatmu yang bernama Yayi, yang kini menjadi penguasa Pulau Jelaga, sekarang melarikan diri dan bergabung dengan Ratu Pekat. Ia minta perlindungan kepada kami, dan kami putuskan untuk meminta bantuan kepadamu. Karena Gandapura berilmu tinggi. Ratu Pekat merasa tidak mampu menandingi ilmu si pemakan manusia itu."

Salju Kelana segera berkata, "Gandapura mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka', dia tidak bisa mati selama ilmu itu masih ada pada dirinya."

"Bisa!" sahut Suto Sinting. "Dia bisa mati, asal dengan pusaka Kapak Setan Kubur."

"Kudengar kabar dari orang-orang laut, Gandapura sekarang sedang mencari tumbal untuk penolak kesaktian sebuah pusaka yang dapat membunuhnya! Mungkin yang dimaksud pusaka Kapak Ketan Bubur itu tadi."

"Kapak Setan Kubur, Budeg!" sentak Suto Sinting.

"Ooo.... Kapak Setan Kubur?" Hantu Laut manggut- manggut, tidak merasa bersalah. "Kudengar begitu, Gandapura mencari tumbal untuk penangkis pusaka Kapak Setan Kubur itu tadi dengan menggunakan Rencong Iblis. Tetapi rencong itu tidak akan berguna sebagai senjata penolak kesaktian Kapak Setan Kubur jika belum membunuh tujuh belas tabib."

"Tujuh belas tabib?!" gumam Suto Sinting dengan nada heran dan penuh kecurigaan. Salju Kelana segera menimpali,

"Apakah termasuk Tabib Getar Hati?!"

Sebelum Suto Sinting bicara, Hantu Laut sudah berkata lebih dulu, "Yang jelas, karena kau dikenal pula sebagai Tabib Darah Tuak maka kau pun tak luput dari incaran pencari tumbal itu, Suto. Ia akan datang menemuimu dengan membawa senjata Rencong Iblis. Jadi, aku pun disuruh mengingatkan kau untuk hati-hati jika bertemu dengan seseorang yang membawa senjata rencong."

Pendekar Mabuk diam termenung meresapi kata-kata Hantu Laut.

***4

SIAPA orang yang ditugaskan sebagai pencari tumbal untuk senjata Rencong Iblis itu? Menurut Suto, jika tahu siapa orang yang bertugas mencari tumbal tersebut, maka ia dapat mencegah agar kesaktian Gandapura tidak bertambah dengan cara merampas rencong itu atau melumpuhkan si petugas pencari tumbal. Sayang sekali Hantu Laut tidak dibekali keterangan tentang hal itu oleh Ratu Pekat, sehingga ia tidak bisa menjawab pertanyaan Suto Sinting.

Namun bagaimanapun Suto Sinting merasa perlu melakukan pencegahan agar Gandapura tidak menguasai Pulau Beliung. Terbayang wajah sang Ratu Pekat yang dulu diselamatkan oleh Suto Sinting dari serbuan Siluman Tujuh Nyawa, di mana di pulau tersebut kini tinggal para sahabat Suto antara lain, Singo Bodong dan Badai Kelabu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Istana Berdarah" dan "Tumbal Tanpa Kepala").

"Resi Wulung Gading kurasa mengetahui tentang Rencong Iblis. Aku akan pergi temui sang Resi di Lembah Sunyi," kata Suto Sinting. "Tapi sebelumnya kita harus temui Anggani dulu. Kita jelaskan tentang kematian ibunya itu. Aku yakin orang yang membunuh Tabib Getar Hati adalah utusan Gandapura yang membawa Rencong Iblis."

Salju Kelana bergumam pendek, lalu berkata, "Aku setuju. Tapi bagaimana dengan Hantu Laut? Apakah harus ikut kita juga?"

"Hantu Laut harus kembali ke Pulau Beliung, untuk memperkuat penjagaan di sana!"
"Aku ikut kau saja, Suto," sela Hantu Laut.
"Untuk menemui Resi Wulung Gading tidak perlu rombongan, cukup aku dan Salju Kelana saja."
"Tapi aku takut pulang tanpa membawa kau, nanti Ratu Pekat bisa marah padaku."

"Katakan kalau kau sudah bertemu denganku dan sudah menceritakan segalanya. Secepatnya aku datang ke Pulau Beliung jika sudah lumpuhkan utusan pembawa Rencong Iblis itu."

"Bagaimana kalau ternyata di perjalanan aku bertemu dengan utusan itu?"
"Jangan ganggu dia, nanti kau mati di tangannya!"

"Sebaiknya aku tak perlu mengganggu dia saja, ya? Biar aku tak mati di tangannya. Soalnya kalau mati di tangan orang seperti itu tidak terhormat."

"Memang yang kukatakan tadi begitu! Kau jangan ganggu dia biar kau tak mati!" tegas Suto Sinting agak menyentak-nyentak karena jengkel dengan ketulian Hantu Laut.

"Kita berpisah dulu, Hantu Laut."
"Suto, kusarankan kita berpisah saja sekarang."

"Baru saja aku bilang begitu, Budeg!" bentak Suto Sinting makin jengkel. Hantu Laut hanya mengguman dan manggut-manggut tanpa raut muka orang bersalah.

Perjalanan menuju Lembah Sunyi memakan waktu hampir sehari semalam. Pendekar Mabuk sengaja tidak gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu mempercepat perjalanan, karena takut kalau Salju Kelana tertinggal dan tak mengerti arah. Sebab itu mereka terpaksa bermalam di sebuah gua yang biasa untuk singgah para pengembara yang kemalaman.

"Aah... rasa-rasanya aku seperti bermalam dengan Dyah Sariningrum," pikir Suto Sinting sambil pandangi Salju Kelana yang sedang baringkan badan tak jauh dari api unggun. Suto sendiri sebentar-bentar menambahkan ranting agar nyala api unggun tidak padam. Sambil bermainkan ranting yang menyala ujungnya itu, mata Pendekar Mabuk sesekali melirik ke wajah Salju Kelana.

"Gadis ini tidur dengan tidak sama saja. Matanya tak mau terpejam. Orang sangka dia masih melek, sehingga tak akan ada yang berani mengganggunya Padahal ia sudah tertidur dengan nyenyak walau biji matanya tetap terbuka. Oh, benar-benar cantik gadis itu. Baru sekarang hatiku dibuat gemetar oleh gadis lain. Biasanya hanya Dyah Sariningrum yang mampu membuat hatiku bergetar dan jantung berdetak-detak. Sekarang ternyata Salju Kelana mampu membuatku begitu juga. Kalau dia punya wajah tak semirip Dyah-ku, barangkali aku tak akan mengalami hal seperti ini."

Suto Sinting bergeser, duduknya pindah di batu yang tak jauh dari tubuh elok yang terbaring itu. Dalam satu jangkau saja Suto Sinting bisa memegang hidung gadis itu. Tapi ia tak mau lakukan, kecuali hanya memandanginya, seakan menikmati sebentuk kecantikan yang dirindukan, yaitu kecantikan Dyah Sariningrum.

Senyum kebahagiaan pun mekar di bibir sang pendekar, sambil berkecamuk ngobrol sendiri dengan hati kecilnya.

"Mungkin karena rinduku terlalu besar kepada Dyah Sariningrum, sehingga berjumpa dengan Salju Kelana rasa-rasanya amat bahagia dan penuh kegembiraan. Tak bisa kupungkiri lagi, ternyata cintaku teramat besar pada calon istriku yang berkuasa di Pulau Serindu itu. Agaknya selesai masalah ini aku harus pergi ke Pulau Serindu, berjumpa dengan penguasa Puri Gerbang Surgawi yang menggemaskan itu. Akan kucubit pipinya, kugigit bibirnya, ku ah, kuapakan sajalah yang penting melepas rindu pada Dyah-ku. Tapi...," Suto Sinting kian bergeser lagi lebih mendekati Salju Kelana.

Perempuan cantik itu masih tetap diam, kedua tangannya terkulai di samping, bibirnya sedikit merekah, matanya terbuka tanpa berkedip sedikit pun.

Pendekar Mabuk semakin mendekatkan wajah. Hatinya bertambah gemas, karena merasa sedang berada di dekat Dyah Sariningrum. Getaran di hati dan detak jantung pun bertambah cepat.

"Tak tahan aku memandanginya terus," keluhnya dalam hati. Maka tangan Suto pun mengusap pelan- pelan rambut Salju Kelana. Anak rambut yang meriap di kening disingkirkan pelan-pelan dengan jemarinya. Setiap gerak dan sentuhan dialiri rasa kasih sayang yang amat dalam. Ia bayangkan saat itu sedang membelai Dyah Sariningrum.

Lalu timbul tuntutan dalam hati kecilnya untuk tidak sekadar merapikan rambut sang gadis. Maka dengan memberanikan diri dan sangat hati-hati, Suto Sinting mendekatkan wajahnya yang tampan dan bebas jerawat itu. Pelan-pelan sekali kening gadis itu diciumnya. Cupp...!

Ciuman meresap sebentar, kemudian diangkat pelan- pelan. Begitu pelannya hampir tak terlihat gerakan bibir yang sudah menjauhi kening itu.

"Ah sayang kau bukan dia," ucap Suto membatin, "Seandainya kau adalah dia, habislah kau malam ini juga!"

Kemudian pendekar tampan itu tersenyum sendiri, geli memikirkan ulahnya yang salah tingkah karena didera sejuta rindu.

Kegirangan hatinya mendesak tangan Suto untuk bergerak pelan-pelan. Disentuhnya bibir Salju Kelana dengan punggung jarinya. Dirasakan kehangatan yang hadir dari pernapasan yang keluar melalui indung mancung itu. Terasa hangat sekujur tubuh Suto Sinting pada saat napas itu menyapu permukaan tangannya.

Tiba-tiba gelegar petir terdengar mengejutkan. Malam itu mendung datang dan sebentar lagi hujan akan turun. Ledakan petir tadi membuat Salju Kelana tersentak kaget. Suto Sinting buru-buru tiarap dan berlagak tidur dengan dengkuran kecil. Gadis itu kebingungan, kedua tangannya meraba-raba sampai akhirnya menemukan tubuh Suto Sinting di sampingnya.

Napasnya terhempas menandakan hatinya lega, bahwa Suto ada di sampingnya. Tangan itu meraba wajah Suto yang miring ke arahnya. Jarinya merayap di hidung Suto yang bangir.

"O, syukurlah kalau kau sudah tidur," ucap Salju Kelana pelan sekali, namun terdengar di telinga Suto. Murid si Gila Tuak itu tetap diam, berlagak tidur dengan nyenyak.

Tanpa diduga-duga, Salju Kelana membelai rambut Suto Sinting sambil duduk. Rambut panjang Suto dirapikan letaknya hingga mengumpul di atas tengkuk. Mulut pun mengucap kata lirih,

"Semoga kau mimpi indah tentang aku. Walau kau tak berani lakukan apa yang kuinginkan, tapi aku cukup puas melihat kau beristirahat senyenyak ini. Esok kita teruskan perjalanan kita memburu kebenaran, ya Sayang?"

Eh, ternyata gadis itu memberikan ciuman lembut di kening Suto Sinting. Lembuuuut... sekali, sampai-sampai Suto Sinting merasa melayang di udara tanpa menggunakan jurus 'Layang Raga'-nya.

Setelah mencium lembut, sebagai cium curian, gadis itu pun merebah kembali. Kemudian tertidur dengan nyenyak. Matanya tetap terbuka tak berkedip, menatap lurus dengan hampa. Pendekar Mabuk sengaja diam dulu, belum berani bergerak. Maksudnya membiarkan si gadis lelap dulu baru ingin usil lagi. Tapi rupanya terlalu lama diam membuat kelopak mata sulit dibuka kembali. Akhirnya murid sinting si Gila Tuak itu pun benar-benar tertidur dengan nyenyak.

Esoknya, ketika Suto Sinting terbangun, ia menjadi sangat terkejut melihat Salju Kelana sudah tidak ada disampingnya. Bahkan di sekitar dalam gua itu pun tidak ada. Suto Sinting cemaskan diri gadis cantik itu. Ia bergegas keluar dari gua sambil membawa-bawa bumbung tuaknya.

"Kemana dia...?! Sekadar buang air di tempat tersembunyi atau memang sengaja meninggalkan diriku?!" pikir Suto Sinting sambil-matanya memandang ke sana-sini.

Wuuut, wuuuut... !

Suto Sinting melompat dari batu ke batu mencapai tempat yang lebih tinggi. Mata pun menyapu seluruh
alam sekelilingnya.

"Itu dia...!" sentaknya dalam hati.

Pendekar Mabuk benar-benar tersentak kaget, karena saat ia menemukan Salju Kelana, ternyata perempuan cantik itu sedang melakukan pertarungan dengan tiga orang lelaki berwajah tak beres. Mereka bertarung di bawah kaki bukit yang jaraknya cukup jauh dari gua.

"Siapa tiga orang lelaki itu?! Mengapa Salju Kelana terlibat bentrokan dengan mereka? Apakah mereka menggoda Salju Kelana, atau Salju Kelana yang cari gara-gara?! Sebaiknya aku segera ke sana untuk menjaga kalau-kalau gadis yang mirip Dyah-ku itu terdesak bahaya!"

Zlaaapp...! Suto Sinting bergerak sangat cepat, sehingga dalam waktu sangat singkat sudah tiba di balik pohon, tujuh tombak dari tempat pertarungan tersebut. Ia mengintai dari balik pohon itu dengan pandangan mata penuh waspada.

Salju Kelana yang tak bisa bergerak dengan bebas karena kebutaannya itu berusaha mendengarkan tiap gerakan yang ditimbulkan dari lawannya. Tiga lawannya adalah lelaki berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun. Mereka sama-sama bersenjata golok. Rambutnya sama- sama panjang sebatas punggung, tapi yang dua diikat dengan ikat kepala kuning dan putih, yang satu lagi tanpa ikat kepala. Baju mereka sama-sama hitam, demikian pula celana mereka. Hanya saja, keadaan tubuh mereka tidak sama kurusnya. Hanya ada satu orang yang berbadan kurus, yaitu yang tidak memakai ikat kepala.

Sedangkan yang mengenakan ikat kepala berbadan besar, tapi bukan gemuk.

Pada waktu si kurus melepaskan tendangan beruntun ke arah wajah Salju Kelana, gadis itu hanya menghindar dengan gerakan kepala dan pundak yang cukup gesit. Seakan tendangan yang cukup cepat itu dapat dilihat arah gerakannya.

Wuk wuk, wuk, wuk... !

Dan pada satu kesempatan tangan Salju Kelana berkelebat dari bawah ke atas dengan kaki merendah satu. Wuuut...! Plaak...!

Kaki yang menendangnya itu tersentak naik dan keseimbangan orang tersebut menjadi limbung. Maka kaki gadis itu pun menyepak bersamaan gerakan tubuh yang memutar. Ploook... !

Wajah si kurus jadi sasaran telak kaki Salju Kelana. Wajah itu bagaikan terbuang begitu kerasnya hingga tubuhnya pun terpental ke samping dan berguling- guling.

Dua orang berikat kepala menyerang dari arah kanan- kiri secara bersamaan. Salju Kelana masih menggeragap dengan tongkatnya. Namun ketika dua tubuh yang melayang itu hampir mendekati Salju Kelana, gadis itu sentakkan kaki dan melesat naik tegak lurus, lalu kedua kakinya menyentak ke samping kanan-kiri secara bersamaan. Wuuuurrt...! Druuuukk ..!

Dada dua orang itu terkena tendangan sekaligus. Keduanya sama-sama terpental terpisah. Mereka bagaikan daun kering yang dibuang seenaknya, melayang tanpa bisa kendalikan diri dan akhirnya membentur pohon yang semula dipunggungi mereka. Brruk...!

"Aaahhg...!"
"Huuhhgg...!"

Mereka mengerang dengan wajah menyeringai kesakitan. Salah seorang tak bisa bangkit dengan cepat karena tulang punggungnya patah. Ia terpaksa merayap berpegangan pohon agar bisa berdiri. Tapi temannya yang berikat kepala kuning itu mampu berdiri dengan cepat dan serukan kata-kata yang berkesan kasar.

"Monyet betina...! Kuremukkan wajah cantikmu itu kalau kau tetap tidak mau serahkan Rencong Iblis itu kepada kami!"

Yang bertubuh kurus juga ikut berseru, "Kami tak akan main-main lagi, Nona Tolol! Kami akan membantaimu tanpa ampun lagi jika kau tetap tak mau menyerahkan Rencong Iblis itu sekarang jugal"
Pendekar Mabuk terperanjat sekali mendengar seruan dua orang tersebut. Hati sang pendekar pun segera membatin,

"Jika mereka mempertaruhkan nyawa dalam pertarungan ini demi mendapatkan Rencong Iblis, maka berarti orang yang diutus Gandapura untuk mencari tujuh belas nyawa tabib, adalah Salju Kelana sendiri. Benarkah begitu?! Benarkah Salju Kelana yang memiliki Rencong Iblis?!"

Jantung Suto Sinting bagaikan tak mau berhenti dari kecepatan detaknya. Dadanya terasa ingin jebol karena detakan jantung yang amat keras, setelah ia mengambil kesimpulan seperti itu. Rasa-rasanya hati kecil Suto tak mau percaya dengan anggapannya sendiri.

"Kuhitung tiga kali kalau kau tak mau serahkan Rencong Iblis itu, maka kau akan mati tanpa bentuk lagi, Nona!" gertak si kurus tanpa ikat kepala.

"Sudah kukatakan, ancaman apa pun yang akan kalian pakai, aku tetap tidak akan serahkan Rencong Iblis itu. Sebab memang aku tidak memilikinya!" kata Salju Kelana dengan suara bernada dingin. Tongkat kecilnya diketuk-ketukkan di tanah, menunjukkan sikap penuh waspada. Ia siap menyambut serangan lawan kapan saja datangnya.

Si kurus berteriak, "Danuyuda, gunakan jurus 'Jala Geni', heeeaaat...!"

Orang berbadan kurus itu menyentakkan tangannya ke depan, demikian pula temannya yang bernama Danuyuda itu. Lalu dari tengah telapak tangan mereka keluar lima larik sinar yang masing-masing tertuju ke arah Salju Kelana. Zraaab...!

Salju Kelana diam sejenak, bagaikan tak menyadari datangnya lima larik sinar dari kanan dan kiri. Namun tiba-tiba tubuh gadis itu memutar cepat dalam satu sentakan putar. Mungkin lebih dari tujuh putaran dalam sekali sentak. Dan putaran itu memancarkan sinar hijau, menyebar ke sekelilingnya.

Blegaarrr...!

**** Lanjut ke bagian 2