Pendekar Mabuk 46 - Kapak Setan Kubur(1)


 1

LEBIH dari dua puluh orang mengarak seorang kakek berusia sekitartujuh puluh tahun. Kakek berbadan kurus dan mengenakan pakaian abu-abu itu dalam keadaan tubuhnya dililit tali, hingga kedua tangannyatak bisa bergerak. Lehemya dikalungi tambang lalu dituntun seperti menuntun kambing bandot.


"Gantung dia! Gantung saja! Ayo, gantung! Sekali gantung tetap gantung!" seru mereka bersahutan dengan hentak-hentakkan kepalan tangannya ke atas.

Para pengarak itu bukan saja terdiri dari orang dewasa, malah ada yang masih remaja ikut-ikutan mengarak dan berteriak. Tapi yang menuntun kakek berambut putih pendek itu adalah seseorang yang berseragam keprajuritan, membawa pedang di pinggang. Sedangkan beberapa prajurit bertombak mengamankan daerah sekeliling. Dari ciri pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Kadipaten Balungan, adipatinya masih berusia sekitar lima puluh tahun kurang, bernama Adipati Janarsuma.

Wajah tua yang digiring ke bukit tak seberapa tinggi itu tampak bersungut-sungut bagai memendam kedongkolan. Bahkan adayangmengatakan,

"Mau digantung bukannya sedih malah cemberut! Hoi, sedihlah kau! Kau ini mau digantung! Jangan cemberut!"

"Sesukaku! Mau cemberut, mau sedih, mau tersenyum, yang mau digantung aku, bukan kau! Kenapa kau yang ribut sendiri?!" ujar sang kakek sambil tetap melangkah dalam tuntunan tambang yang dipegangi seorang prajurit berpedang itu.

Pendekar Mabuk memperhatikan dari jarak tak seberapa jauh. Iageli sendiri mendengarperdebatantadi. Ia masih tetap kalem dengan pikiran mencoba mencari apa kesalahan si kakek bergigi depan tinggal dua itu. Sampai akhirnya rombongan pengarak itu lewat di depannya. Suto Sinting menyempatkan diri menegur salah seorang dari mereka.

"Maudiapakan itu kakek, Kang?"
"Mau digantung. Masa' mau dicuci?!" jawab orang yang lebih tua usianya dari Pendekar Mabuk.
"Apa kesalahannya sampai orang setua itu mau digantung?"
"Mempeikosa istri Kanjeng Adipati."
"Ah, yang benar saja, Kang?! Masa' orang setua dia masih bisa memperkosa?"
"Kalau tak percaya cobalah sendiri!"
"Maksudmu kau menyuruhku mencoba memperkosa istri Adipati?"
"Goblok! Maksudku, cobalah tanya sendiri pada si Tua Bangka."
"Yang mana yang namanya Tua Bangka itu, Kang?"

"Ya itu, yang mau digantung itu!" sentak orang tersebut agak kesal melayani pertanyaan Pendekar Mabuk.

Ia belum tahu, atau memang tidak tahu bahwa pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dan celana putih sambil menyandang bumbung tuak di punggung itu adalah sang Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting itu. Karenatidak tahu maka ia berani bentak-bentak Suto Sinting. Seandainya ia tahu, mungkin ia akan bicara sopan dan lemah lembut. Sebab nama Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu sudah kesohor sebagai pendekar sakti yang ilmunya gila-gilaan.

Ternyata di atas bukit kecil itu sudah disediakan tiang gantungan, berbentuk tiang gawang dengan tali jerat terjulur di tengahnya. Di bawah tali jerat itu terdapat sebuah bangku bundar untuk tempat berdiri orang yang akan digantung. Bangku bundar itu akan ditendang atau ditarik oleh seorang petugas penggantungan, sehingga orang yang lehernya telah dijerat tali gantungan akan tergantung-gantung seperti kentongan dikelurahan.

Tua Bangka dipaksa naik ke atas bangku bundar itu. Dengan wajah masih bersungut-sungut dan mata memancarkan dendam, ia menuruti gertakan petugas penggantungan.

"Masukkan kepalamu ke lingkaran tali itu!" bentak petugas penggantungan.

"Mana bisa?! Tanganku terikat begini kok disuruh memasukkan kepala ke tali. Mengambil talinya saja susah!" Tua Bangka ganti membentak.

"Kau saja yang mengalungkan tali itu," perintah petugas penggantungan kepada seorang prajurit.
"Pakai apanaiknya? Gantungannyatinggi begitu?!"
"Sini, naik di pundakku!"

Prajurit itu berdiri di pundak orang bertubuh kekar yang bertugas sebagai penggantung nanti. Dengan pelan- pelan orang yang diinjak pundaknya berdiri. Si prajurit terayun-ayun mau jatuh dan segera berpegangan kepala si Tua Bangka.

"Dasar prajurit tak tahu sopan, kepala orang tua dibuat pegangan!" gerutu si Tua Bangka.
"Waaah... tidak bisa, Kang!" seru prajurit itu kepada orang yang di bawahnya.
"Kenapatidak bisa?!"
"Talinya ketinggian! Tidak akan bisa masuk sampai lehernya. Paling bisa hanya sampai batashidung saja."
"Manaada orang digantung sebatas hidung, Tolol!"
"Habis bagaimana kalau memang gantungannya ketinggian? Turun dulu, turun dulu...."

Setelah prajurit itu turun dari pundak orang bertubuh kekar tanpa baju itu, segera terdengar seruan si orang kekartersebut.

"Siapa yang bikin gantungan ini?! Kenapa bisa ketinggian?! Goblok!"

"Tenang saja, jangan marah dulu. Toh talinya masih bisa diturunkan sedikit," ujar kepala prajurit yang berpedang di pinggang. Lalu, ia menyuruh anak buahnya untuk menurunkan tali gantungan.

"Barjo... Bar, turunkan talinya biar bisa masuk ke leher si Tua Bangka!"

Sementara mereka sibuk membetulkan tali gantungan, orang-orang yang tadi mengarak Tua Bangka saling berkasak-kusuk, bahkan ada yang berteriak seenaknya.

"Huuhh.... Terlalu lama! Penontonkecewa!"
"Gantung saja rambutnya, kalau jebol kan mati juga!" seru yang lain.

Pendekar Mabuk masih diam saja memperhatikan kesibukan para prajurit yang baginya cukup menggelikan itu. Ia menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bergeser agak ke depan, karena saat itu tali gantungan sudah dibetulkan dan sudah dimasukkan sampai ke leher si Tua Bangka.

Ketika prajurit memberi sambutan alakadarnya sebelum acara penggantungan dimulai. Ia berseru di depan mereka dengan berdiri di atas sebuah batu yang ada di sampingtiang gantungan.

" Saudara-saudara sekalian, hari ini saudara-saudara akan menjadi saksi keadilan Kanjeng Adipati kita dengan menyaksikan acara penggantungan atas diri si Tua Bangka ini. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa Tua Bangka dijatuhi hukuman gantung karena mencoba memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, yaitu istri Kanjeng Adipati Janarsuma."

"Setuju! Setuju! Gantung saja penjahat tak tahu kesusilaan itu!"

"Sebelum acara penggantungan dimulai, mari kita mengheningkan cipta sebentar untuk mendoakan semoga arwah Tua Bangka diterima di sisi Yang Maha Kuasa. Berdoaaa... mulai!"

"Tunggu, tunggu...!" seru salah seorang. "Tidak usah didoakan. Arwah orang jahat biarkan saja masuk neraka!"

"Benar. Iya, benar tak usah didoakan!" sahut yang lain.

"Baiklah. Kalau begitu, hukuman gantung akan segera dimulai. Tapi sebelumnya, mari kita dengarkesan dan pesan dari orang yang akan kita gantung ini...."

"Aah...tak usah, tak usah...!" seru mereka. "Langsung gantung saja! Biar cepat selesai!"
"Baiklah, Saudara-saudara... kita mulai saja tanpa mendengarkan pesan dan kesan si Tua Bangka ini."

Kemudian petugas penggantungan yang berbadan kekar dan bertubuh tinggi tanpa baju itu segera membungkuk memegangi kaki bangku yang dipijak Tua Bangka, ia bersiap menarik bangku tersebut setelah mendapat aba-aba dari ketuaprajurit.

Ketua prajurit berseru lebih keras lagi. "Hari ini, hukuman gantung terhadap si Tua Bangka dilaksanakan sebagai tindakan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Kanjeng Adipati sekeluarga. Setelah hitungan ketiga, hukuman segera dilaksanakan."

Lalu ia mengambil napas panjang dan berseru, "Satuuu ...... "
Orang-orang diam tak bersuara. Tua Bangka menggerututak jelas sambil mulutnya cemberut.

"Duaaa...!"

"Hentikan...!" tiba-tiba ada seruan yang membuat suasana sepi itu menjadi bergemuruh seperti lebah menggerutu. Semua matatertuju kepada si pemilik suara yang dianggap berani menahan aba-aba sang ketua prajurit.

Pendekar Mabuk segera tampil ke depan mendekati tiang gantungan. Empat prajurit bersenjata tombak segera menghadang di depan Suto Sinting, membentuk pagar pengaman dengan tombak diacungkan ke arah depan.

Sang ketua prajurit memandang heran ke arah Suto, demikian pula sang petugas penggantungan yang sudah siap-siap menarik bangku. Tua Bangka sendiri ikut terperanjat melihat anak muda tampan yang berani menghentikan acara tersebut.

"Apa maksudmu menghentikan hitunganku, Anak Muda?!" tegur ketua prajurit dengan sentakan galaknya.

Murid si Gila Tuak itu tidak langsung menjawab melainkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Sementara itu beberapa mulut terdengar berkasak-kusuk dengan nadategang.

"Apakah dia si Pendekar Mabuk, kok pakai minum tuak segala?"
"Sepertinya memang Pendekar Mabuk, ciri bumbung tuak dan pakaiannya memang seperti itu."

"Wah, gawat kalau memang dia si Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Pasti bakal jadi geger kalau si ketua membentak-bentaknya"

"Ah, masa' Pendekar Mabuk sampai di daerah kita ini? Mungkin dia hanya orang yang mirip Suto Sinting atau yang sengaja meniru penampilan Pendekar Mabuk, biar ditakuti orang."

Di antara para prajurit pun terjadi kasak-kusuk yang sama. Merska ragu dan bahkan tidak percaya bahwa pemuda berbaju coklat itu adalah Pendekar Mabuk. Mereka juga menduga ada se seorang yang meniru penampilan Suto biar dianggap Pendekar Mabuk.

"Aku minta hukuman gantung ini dihentikan untuk sementara!" kata Suto Sinting kepada si ketua. "Jangan sampai kalian menggantung orang tak bersalah. Menggantung orang yang tak bersalah merupakan tindakanyangkejam dan patut ditentang."

"Yang kutanyakan, siapa dirimu! Bukan soal gantungan!" bentak sang ketua prajurit.
Dengan senyum kalem, Suto Sinting, menjawab, "Namaku Suto...!"
Prajurit di depan menyebut, "Pakai sinting apa tidak?!"
"Ya, pakai!" jawab Pendekar Mabuk. "Namaku Suto Sinting!"
"Ah, bukan. Suto Manyun, barangkali!" celetuk seseorang.
"Suto Sinting kok! Sumpah!" kataPendekar Mabuk.

Ketua prajurit mendekati dengan langkah penuh kegeraman.

"Jangan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ya?! Bisa dibacok para pengagumnya kau!" ia menuding-nuding Suto tanpa ada sopannya sedikit pun.

"Aku bukan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk. Aku memang Pendekar Mabuk, Paman."
Ada yang nyeletuk, "Kok dari tadi tidak mabuk- mabuk?!"

Seruan itu tidak dihiraukan. Sang ketua segera berkata kepada Suto,

"Kami tidak percaya kalau kau Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting. Kuingatkan padamu, Anak muda... pergilah yang jauh dari sini dan jangan mengganggu jalannya hukuman gantung ini!"

Pendekar Mabuk malahan cengar-cengir membuat orang semakintidak yakin kalau dia adalah murid si Gila Tuak.

Petugas penggantungan tak sabar menahan kejengkelannya, ia segera melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di depan Suto. Jleeg...!

"Mau pergi atau mau kugantung sekalian kau, hah!" bentaknya dengan matamendelik.

" Sabar dulu, Kang. Sabarlah dulu... aku hanya ingin mengingatkan kau dan yang lainnya agar jangan menggantung orang yang tidak bersalah. Kasihan dia. Sudah kurus, ompong, eeh... digantung lagi! Padahal orang setua dia tidak usah digantung pun akan mati sendiri."

"Dia memang terbukti bersalah, mau memperkosa Gusti Ayu, istri Adipati kami! Mengapa kau masih mau membelanya, hah?!" bentak si petugas penggantungan dengan kasar.

"Orang setua dia mana mungkin mampu memperkosa?! Bayangkan saja, usianya sudah setua itu, badannya sudah sekurus itu, mana mungkin masih punya tenaga kejantanan untuk lakukan perkosaan? Jangankan memperkosa, dikasih secara cuma-cuma saja belum tentu dia mampu mengerjakan!"

Geerr...! Beberapa orang tertawa mendengar kata- kata Pendekar Mabuk. Bahkan Tua Bangka ikut terkekeh-kekeh tanpa suara yang jelas. Tawa mereka membuat petugas penggantungan dan prajurit lainnya menjadi semakin dongkoldan geregetan.

Si ketua prajurit keluarkan perintah kepada petugas penggantungan,

"Singa Pama, hancurkan mulutnya!"

Orang berbadan kekar tanpa baju yang temyata bernama Singa Pama itu segera melayangkan pukulannya lurus ke mulut Suto Sinting.

Wuuuttt...!

Suto Sinting menghindar dengan meliukkan badan seperti orang mabuk yang ingin tumbang. Weesss...! Pukulan itu tidak mengenai sasaran. Suto tetap di tempat. Ketika tegak kembali, kaki Singa Pama menyambutnya dengan tendangan lurus ke depan.

Wuuttt...!

Badan si tampan itu meliuk kembali bagaikan orang mabuk sempoyongan. Weesss...! Tendangan itu meleset kembali. Singa Parna menjadi tambah jengkel. Maka diserangnya Pendekar Mabuk dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi.

Wuuutt, wuutt, wesss...! Wuuk, wukk, wuuss...!

Tak ada satu pun serangan yang bisa kenai tubuh Pendekar Mabuk. Padahal kaki Suto tidak bergeser sedikit pun, hanya badannya yang meliuk-liuk dengan cepat hindari serangan beruntun itu. Singa Parna sendiri menjadi ngos-ngosan dan merasa semakin dongkol karena serangannya yang bertubi-tubi itu tidak ada yang dapat mengenai sasaran.

"Monyet kurap kau!" bentaknya. Lalu ia menyerobot tombak seorang prajurit tak jauh darinya. Weett...! Dalam jarak satu tombak kurang, ia menghujamkan tombak itu ke perut Suto. Kaki kiri Suto bergeser ke samping. Weesss...! Tombak meleset dari sasaran. Singa Pama penasaran dan menghujamkan tombak itu secara bertubi-tubi.

Suuut, suut, suutt, wettt, weett, wuuss... weesss...!

Teb! Tombak berhasil dikempit pakai ketiak Suto Sinting, lalu disentakkan menyamping. Seet...! Kraakkk...!

Tombak pun patah. Mata mereka terbelalak. Suara mereka mengaum kagum. "Woooww...?!"

Senyum Suto Sinting masih mengembang menampakkan ketenangannya Ketua prajurit mundur beberapa tindak, prajurit lainnya ikut mundur dengan wajah tegang. Singa Parna mau tak mau ikut mundur juga karena merasa mau ditinggal teman-temannya. Wajah mereka memandang dalam rona ketakutan. Tapi si ketua prajurit masih coba-coba tunjukkan sisa wibawanya dengan membentaktak sekerastadi.

"Apamaumu sebenarnya, Orang Gila?!"
"Batalkan hukuman gantung ini!"
"Tidak bisa! Tua Bangka bersalah dan Kanjeng Adipati telah jatuhi hukuman gantung kepadanya, kami harus melaksanakan!"

"Baiklah, kalau begitu... bebaskan dia dan gantilah aku yang digantung."
"Hahh...?!" semua orangterperangahkaget.

"Bocah gendeng! Yang bersalah saja membela diri supaya tidak dihukum gantung, dia malah minta digantung. Kalau bukan bocah gendeng tidak ada yang berani senekat itu!" gerutu seseorang di belakang Suto Sinting.

Ketua prajurit berunding dengan Singa Parna dan beberapa anak buah lainnya.

"Terlepas dia benar-benar Pendekar Mabuk atau hanya bocah ingusan yang mabuk, tapi dia sangat berbahaya bagi kita. Bisa-bisa menimbulkan korban di antara kita. Sebaiknya kita turuti saja kemauannya.

Biarlah kita lepaskan si Tua Bangka dan kita ganti dia sebagai orang yang kita gantung!"

"Terserah keputusanmu. Yang pentingjangan sampai kami disalahkan oieh Kanjeng Adipati," kata Singa Pama.

Para penonton menunggu keputusan dengan tegang. Satu dan yang lainnya saling berbisik-bisik membicarakan tuntutan pemuda tampan itu. Ada juga yang berkasak-kusuk membicarakan tentang hilangnya jemuran di belakang rumah. Tapi mereka akhirnya menghadap ke arah tiang gantung lagi setelah ketua prajurit berdiri di batu tinggi, tempat ia berdiri semula.

"Saudara-saudara, mohon perhatian! Mohon perhatian sebentar!"

Suasana hening sejenak.

"Saudara-saudara mendengar sendiri tuntutan bocah sinting itu. Dia bersedia menggantikan hukuman si Tua Bangka. Jadi, daripada ribut-ribut, tak baik didengar tetangga, maka kami setuju untuk menggantikan si Tua Bangka dengan bocah sinting itu!"

Lalu dengan suara keraspenuh wibawa, ketua prajurit keluarkan perintah kepada Singa Parna yang masih berwajah geram itu.

"Singa Parna, lepaskan si Tua Bangka dan ganti bocah itu yang kita gantung!"

"Tidak!" seru Tua Bangka. "Bocah itu tidak tahu menahu masalah ini. Jangan dia yang dijadikan korban. Aku saja yang digantung, biar Adipati kalian puas melihat keputusan lalimnya itu!"

"Goblok!" seru salah seorang penonton. "Mau dibebaskan biar bisa hidup kok malah ngotot! Huuh... dasar Tua Bangka tidak tahu diri!"

"Kenapa jadi kau yang sewot, Kang?!" tegur anak muda di sampingnya.

"Habis aku jengkel sekali dengan si Tua Bangka itu! Gobloknya melebihi ayam makan pedang!" jawabnya sambil bersungut-sungut.

Seruan itu tidak membuat keputusan berubah. Bahkan usul Tua Bangka tak dihiraukan oieh ketua prajurit, ia segera dibebaskan, Suto Sinting yang menggantikan. Sebelumnya Suto sempat temui Tua Bangka untuk menitipkan bumbung tuaknya.

"Tolong bawa bumbung tuak ini! Jaga baik-baik, Tua Bangka."

"Tidak mau!" sentak Tua Bangka. "Lebih baik aku yang digantung daripada disuruh membawa bumbung tuakmu."

"Tua Bangka, aku tahu kau tidak bersalah. Aku melihat kebenaran di pihakmumelalui so rot matamu dan air mukamu itu. Bawalah bumbung tuak ini..., aku punya rencana sendiri," kalimat terakhir itu bernada bisik. Akhirnya orang tua berkulit keriput itumenurut apakata Suto. Ia membawakan bumbung tuaknya dan membiarkan Suto Sinting diikat sekujur tubuhnya, hingga tangannya tidak bisa bergerak lagi. Kemudian ia dibawa naik ke bangku bundar itu.

"Waah... talinya kependekan. Naikkan lagi tali gantungan itu!" seru Singa Parna. Akhirnya mereka membongkar ikatan tali gantungan dan meninggikan sesuai ukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk

"Bikin susah saja bocah sinting itu! Tali sudah pas buat menggantung, gara-gara digantikan dia jadi harus dibongkar lagi. Huuh...! Rasa-rasanya aku kepingin mencolok matanya pakai tombak!" gerutu orang yang membongkar tali.

Kini tali penjerat leher sudah dikalungkan. Suto Sinting tetap tenang tanpa lakukan pemberontakan apa pun, tanpa perasaan sedih sedikit pun. Mereka memandang dengan penuh rasa kagum, namun ada juga yang punya rasa tak suka menganggap Suto bocah bodoh yang menjengkelkan hati.

"Hukuman gantung sebagai wakil si Tua Bangka segera dilaksanakan!" teriak ketua prajurit. "Sattuuu... duaaa... tigaaa...!"

Singa Parna tidak menarik bangku yang diinjak Suto Sinting, melainkan menendangnya sebagai luapan kejengkelanhatinyatadi. Braakk...!

Kaki bangku patah seketika setelah ditendang Singa Pama. Maka tubuh Suto Sinting pun tergantung, lehernyaterjerat tali gantungan. Seettt...!

"Huuu...!" orang-orang menggumam puas.
"Mampuslah kau!" teriak yang jengkel.
"Selamat jalan, Bocah sinting!" seru yang lain.

Tua Bangka tertegun bengong melihat tubuh Suto Sinting tergantung dengan kepalaterkulai mataterpejam, tapi mulutnya tidak menganga. Suto bahkan seperti sedang menyunggingkan senyum tipis. Dan mereka pun menjadi terheran-heran melihat senyum itu kian melebar. Bahkan mereka menjadi tersentak kaget ketika Suto Sinting membukamatanya. Blaakk...!

"Haahh...?!" seru mereka serentak.

Pendekar Mabuk memandangi mereka dengan senyum jelas-jelas mekar di bibirnya. Wajahnya tidak menjadi pucat walau sudah tergantung sepuluh helaan napas lamanya Bahkan ia berkata kepada si Tua Bangka,

"Awas, jangan miring bumbung itu nanti tuaknya tumpah"

Semakin tegang wajah mereka, semakin diliputi perasaan takut hati mereka. Tubuh yang jelas-jelas tergantung dengan kaki tanpa menapak apa pun masih bisa bicara sesantai itu. Tentu saja ketua prajurit pun menjadi sangat ketakutan.

"Celaka! Dia pasti siluman iseng! Cepat kabur! Lariii...!"

Mereka tidak tahu kalau Suto menggunakan jurus 'Layang Raga' yang membuat tubuhnya bisa mengambang di udara. Mereka menganggap Suto Sinting hantu yang gentayangan di siang hari. Maka satu seruan 'lari' membuat mereka bubar serentak, saling tabrak, saling injak, gaduh sekali suasananya. Ada yang menabrak pohon, ada yang jatuh tersungkur lalu dilewati delapan pasang kaki. Bahkan ada yang tertusuk tombak secara tidak sengaja, Lalu menjerit memegangi pahanya yang tertusuk tombak. Ia segera digotong oleh temannya. Salah seorang yang sudah berlari jauh
terpaksa kembali lagi ke dekat tiang gantung.

"Sandalku ketinggalan!" ia memungut sandalnya dan kabur dengan secepat-cepatnya.

Yang tinggal di situ hanya Tua Bangka. Bengong- bengong, memandang ke sana-sini seperti orang pikun. Akhirnya ia memandang Suto Sinting dan terkejut melihat Suto masih hidup.

"Hahh...?!" lalu ia jatuh terkulai di tanah dengan lemas. Rasa kaget yang terlambat justru membuat Pendekar Mabuk tertawa geli.

"Hei, Tua Bangka... lepaskan tali pengikat tanganku ini, jangan duduk santai begitu!" kataSuto Sinting.
Tua Bangka geleng-geleng kepala dengan wajah begonya.
"Minum tuakku sedikit biar kau tidak linglung!" kata Suto.

Dengan gemetar Tua Bangka menenggak tuak Pendekar Mabuk.

"Sedikit saja! Jangan dihabiskan,Tolol!"

Tua Bangka sadar sudah terlalu banyak menenggak tuak. Akhirnya ia hentikan perbuatan itu, napasnya terengah-engah. Hatinya menjadi tenang. Kemudian ia melepaskan tali pengikat tubuh Suto. Tangan Suto pun melemparkan tali penjerat leher, dan ia bergerak turun pelan-pelan tanpa satu lompatan sedikit pun. Tua Bangka memandang tak berkedip gerakan tubuh yang turun secara pelan-pelan itu.

"Ck, ck, ck..." ia geleng-geleng kepala di depan Suto Sinting.

"Jurus apa yang kau pakai itu, Anak Muda? Maukah kau mengajariku?"

***2

KAKEK bergigi depan tinggal dua itu akhirnya mengikuti Suto Sinting. Padahal Suto Sinting sudah berkata kepadanya, "Kalau mau pergi ke suatu tempat, pergilah sana. Tak perlu mengikuti aku, Tua Bangka. Aku mau ke Pulau Jelaga, menolong seorang teman yang dalam kesulitan."

"Sebagai tanda terima kasihku atas tindakanmu menyelamatkan nyawaku, aku ingin ikut kau ke mana pun kau pergi, Suto."

Itulah sebabnya Suto Sinting melangkah bersamaTua Bangka, karena ia tak bisa menolak keinginan kakek berpakaian abu-abu itu. Dalam perjalanannya, Suto Sinting sempat bertanya kepada Tua Bangka tentang tuduhan memperkosa itu.

"Sebenarnya, seperti apa yang kau katakan kepada mereka, aku tidak mungkin bisa memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, sebab aku sudah... sudah tidak segesit dulu."

"Apa maksudmu tidak segesit dulu?"

"Artinya, kemampuanku memberi kemesraan kepada seorang perempuan sudah tidak ada. Sudah mati."

"Ooo...," Suto Sinting tertawa geli setelah memahami maksud kata-kata si Tua Bangka.

"Jangankan disuruh memperkosa, diberi secara cuma- cuma saja aku hanya bisa geleng-geleng kepala," sambung Tua Bangka.

"Lalu apa yang membuat Adipati Janarsuma menjatuhi hukuman gantung padamu?"
"Rasa sirikhati!"
"Sirik hati bagaimana?" desak Suto Sinting.

Tua Bangka sengaja berhenti di bawah pohon rindang, sekalian meluruskan napasnya yang bengkok karena perjalanan melelahkan itu. Mau tak mau Pendekar Mabuk ikut berhenti dan menenggak tuaknya. Tua Bangka terang-terangan meminta tuak itu karena haus, Suto Sinting memberikannya beberapateguk.

"Aku ditangkap oleh prajurit kadipaten yang dipimpin Branjang Kawat pada saat aku merapatkan perahuku ke pantai," ujar Tua Bangka.

"Branjang Kawat itu ketua prajurit yang tadi mempimpin hukuman gantung?"
"Bukan. Branjang Kawat itu prajurit laga andalan sang Adipati."
"O, tunggu dulu... jadi kau punya perahu, Tua Bangka?"

"Ya. Aku menyimpannya di Teluk Karang. Karenanya kusarankan kau menuju ke arah barat daya, karena Teluk Karang ada di sana. Kau bisa gunakan perahuku untuk menyeberang ke Pulau Jelaga."

"Ooo... paham aku kalau begitu. Lalu, atas tuduhan apa kau ditangkap oleh Branjang Kawat?" tanya Suto yang masih penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya Tua Bangka itu.

"Dulu aku pernah mengabdi kepada sang Adipati sebagai juru taman. Tapi baru tiga purnama sudah dipecat, karena aku dianggap malas kerjaku hanya nonton Branjang Kawat melatih ilmu kanuragan kepada para prajurit kadipaten. Setelah beberapa waktu berlalu, tiba-tiba aku dicari mereka kembali dan ditangkap atas tuduhan mencuri sebuah pusaka. Padahal waktu aku pergi dari istana kadipaten, aku tidak mencuri apa-apa kecuali sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan."

"Pusaka apa maksudnya?" Suto Sinting makin tertarik.
"Nama pusaka itu adalah Kapak Setan Kubur."

Suto terkejut mendengar nama pusaka tersebut. "Kapak Setan Kubur pernah kudengar dari mulut Ayunda?" pikirnya, "Kalau tak salah ingat, seseorang yang mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka' hanya bisa dibunuh oleh Kapak Setan Kubur. Dan ilmu 'Mahkota Neraka' dimiliki oleh Gandapura, manusia titisan raksasa yang doyan makan daging manusia dan sekarang kabarnya sedang mengamuk di Pulau Jelaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan Tanpa Ajal"). Tapi, apa benar Kapak Setan Kubur pernah dimiliki oleh Adipati Janarsuma?!"

Tua Bangka menjelaskan,

"Aku tidak tahu apakah sang Adipati benar-benar punya pusaka seperti itu atau tidak, yang jelas aku dipaksa menyerahkan Kapak Setan Kubur. Tentu saja aku kebingungan dan tak bisa menuruti permintaan sang Adipati. Lalu, untuk menutup kabar tentang Kapak Setan Kubur agar tidak diketahui orang banyak, aku difitnah dengan tuduhan memperkosa istrinya. Aku mengelak, tapi tak mampu berbuat banyak karena Adipati kerahkan prajuritnya. Akhirnya aku dijatuhi hukuman gantung atas tuduhan itu. Tuduhan tersebut hanya sebagai alasan supaya aku bisa digantung, rakyat pun akan membenarkan keputusan sang Adipati. Padahal semua itu hanya gara-gara sang Adipati kecewa sekali terhadapku."

Gumam memanjang terdengar dari mulut Pendekar Mabuk yang manggut-manggut. Setelah diam dalam renungannya selama empat helaan napas, murid si Gila Tuak itu kembali ajukan tanya kepada si Tua Bangka.

"Apakah sebelum kau dipecat dari kadipaten, kau pernah tahu bahwa sang Adipati mempunyai pusaka Kapak Setan Kubur?"

Tua Bangka menggeleng. "Aku tidak pernah dengar ia menyebut-nyebutkan nama pusaka itu. Soal punya dan tidak akutidak mengerti, Suto."

"Kau tahu kekuatan sakti dalam pusaka Kapak Setan Kubur itu?"
Wajah tua bermata cekung itu gelengkan kepala. "Setahuku itu hanya isapanjempol."
"Lho, jempol siapayang dihisap?"

"Artinya, hanya kabar bohong. Kapak Setan Kubur tidak ada. Sang Adipati mengarang-ngarang cerita saja. Maksud sebenarnya sudah kuketahui, ia menangkapku karena iatakut rahasia di dalam istana kubongkar kepada pihak lain."

"Rahasia apa itu?"

"Yaah... termasuk jalan rahasia yang langsung menuju pantai, termasuk kamar rahasia yang bisa tembus ke lorong menuju pantai untuk melarikan diri, dan... sebagainya. Adipati tak mau rahasia itu bocor dari mulutku. Lalu dia mengarang nama sebuah pusaka dan memfitnahku demikian."

Pendekar Mabuk kembali termenung, ia sempat menggumam lirih dalam renungannya itu, "Kapak Setan Kubur hanya isapan jempol...? Tapi mengapa Ayunda pernah menyebutkannya? Bahkan katanya pusaka itu dimiliki oleh mendiang Nini Pucanggeni?!"

Tiba-tiba terdengar suara gelegar ledakan yang mengagetkanmerekaberdua. Blegaarrr...!

"Apa itu!" Tua Bangkatersentak dan menjadi tegang.
"Gledek!" jawab Suto Sinting menenangkan diri, tapi hatinya penuh curiga.
"Gledek apa orang batuk?"
"Suaranya dari arah selatan sana. Kita lihat ada apa di balik lembah itu!"

Pendekar Mabuk dan Tua Bangka segera berlari ke arah lembah sebelah selatan mereka. Tua Bangka tertinggal karena gerakannya lamban. Ternyata di balik lembah ada pertarungan seperti yang dibayangkan Pendekar Mabuk. Tetapi siapa yang bertarung, pada mulanya Suto tidak bisa menduga.

Namun ketika ia melihat siapa yang bertarung, matanya menjadi terbelalak, karena ia merasa kenal dengan gadis cantik berbaju hitam dan celananya abu-abu. Gadis itu mempunyai rambut lurus sepundak dengan bagian depannya diponi. Wajah cantiknya berhidung mancung dan bermata bundar.

"Pinang Sari...?!" gumam Suto pada saat Tua Bangka sudah ada di sampingnya.
"Pinang Sari itu kekasihmu?" tanya Tua Bangka dalam bisik.

"Bukan. Kekasihku adalah Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi," jawab Suto, masih sempat membanggakan calon istrinya yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu. Lalu, ia menjelaskan siapa Pinang Sari yang dulu dikenalnya saat bertarung melawan Ayunda.

"Pinang Sari itumuridnyaNiniPucanggeniyang...."
"Pucanggeni?" gumam lirih Tua Bangka.
"Ya. Nini Pucanggeni. Kenapatermenung? Kaukenal dengan mendiang Nini Pucanggeni?"

Tua Bangka gelengkan kepala. "Namanya bagus, pasti orangnya cantik. Tapi... kau sebut dia 'mendiang'? Apakah dia sudah mati?"

"Sudah. Dibunuh oleh Ayunda, muridnya Nyai Gerhani Semi. Murid dan guru ini pun sudah mati dalam peristiwa Pertarungan Tanpa Ajal."

Tua Bangka menggumam dengan wajah datar. Lalu memandang ke arah pertarungan.

"Lalu, lelaki yang bertarung melawan Pinang Sari itu siapa?" tanyanya.
"Aku tidak tahu. Baru sekarang kulihat wajah angker lelaki kerempeng itu."

Orang kerempeng yang menjadi lawan Pinang Sari itu memakai jubah coklat tua yang lusuh dengan celana merah tanpa baju dalam. Tulang iganya kelihatan bertonjolan. Wajahnya tampak angker, karena matanya biar kecil tapi memancarkan kebengisan. Rambutnya kucal, tipis, panjang sebatas punggung. Lelaki itu menyelipkan senjata di pinggangnya berupa pedang lengkung panjangnya satu lengan, tapi ukurannya cukup kecil.

Pedang itu belum dicabutnya, ia masih menggunakan tangan kosong dalam melawan Pinang Sari. Tangannya itu bagaikan besi yang mampu membuat pohon yang terhantam menjadi somplak besar.

Pinang Sari masih tampakkan kelincahannya dengan melenting ke atas dan bersalto hindari serangan orang kurus itu.

Wuukkk...! Pinang Sari mendarat ke belakang orang kurus itu dalam jarak lima langkah. Orang kurus itu segera balikkan badan dan sentakkan satu tangannya ke depan. Wuuttt...!

Slaapp...!

Sinar merah lurus tanpa putus keluar dari tangan telapak tangannya. Sinar sebesar jempol kaki itu menghantam ke dada Pinang Sari. Tapi dengan cepat Pinang Sari mencabut trisula putihnya dan dihadangkan ke arah datangnya sinar merah tersebut.

Taarrr...! Terdengar suara letupan kecil saat sinar merah itu menabrak trisula. Kemudian trisula itu sendiri menyebarkan sinar hijau patah-patah, sepertijarum yang berjumlah puluhan batang. Praatak...!

Bleegarrr...!

Dentuman hebat terjadi cukup menakjubkan. Gelombang ledakan itu menyentak kuat dan membuat tubuh Pinang Sari terlempar ke sembarang arah sejauh delapan langkah. Tubuh orang kerempeng itu terpental naik ke atas dan melayang-layang kehilangan keseimbangan, lalu jatuh berdebam di tempatnya berdiri tadi. Bluukkk...!

"Dahsyat sekali...?! Ck, ck, ck...!" Tua Bangka geleng-gelengkan kepala penuh rasa kagum.
"Kau tunggu di sini, Tua Bangka. Aku akan membantuPinang Sari."

Tua Bangka mencekal lengan Suto Sinting. "Jangan! Orang kurus itu punya kesaktian sangat dahsyat. Nanti kau mati kalau melawan dia."

"Akan kau lihat sendiri siapayangtumbangnanti!"

"Jangan ke sana!" sentak Tua Bangka dengan roman wajah tegang. "Nanti aku berteriak lho kalau kau nekat ke sana."

Suto Sinting tertawa tanpa suara mendengar ancaman seperti anak kecil itu. Matanya kembali menatap ke pertarungan. Ternyata Pinang Sari sudah siap berdiri menghadapi lawannya, walau dari mulutnya tampak ada darah yang mengalir membasahi dagu samping.

Orang kerempeng itu pun sudah berdiri dan maju dengan wajah berang. Sebelum mencapai jarak lima langkah di depan Pinang Sari, ia hentikan langkah dengan napasterengah-engah.

"Pinang Sari, kalau kautetap berkeras kepala, akutak akan mengampunimu lagi. Kupecahkan kepalamu sekarangjuga!"

Pinang Sari menjawab dengan berani, "Akutak akan mundur melawanmu, Papan Rayap!"
Tua Bangka cekikikan, mulutnya buru-buru dibekap oleh Suto Sinting. "Sssttt...!"

Tangan itu disingkirkan oleh Tua Bangka. "Aku geli. Nama kok Papan Rayap. Apatidak ada yang lebih bagus lagi?"

"Itu sebuah julukan saja, Tua Bangka. Mungkin karena tubuhnya kurus dan tipis seperti papan sehingga ia berjuluk Papan Rayap."

"Mungkin juga karena wajahnya mirip rayap jadi julukannya Papan Rayap, begitu ya?"

Pendekar Mabuk tak sempat menyimak ucapan Tua Bangka karena telinganya segera dipasang untuk mendengarkan perdebatan antara Pinang Sari dengan si Papan Rayap.

"Kau benar-benar masih meremehkan aku, Pinang Sari! Sebenarnyaaku ragu untuk menghancurkanmu saat ini. Sebaiknya jangan paksa aku untuk berbuat lebih keji dari yang sudah kulakukan tadi. Serahkan saja pusaka Kapak Setan Kubur itu padaku, dan kau akan selamat sepanjang masa."

Suto Sinting kaget mendengar Kapak Setan Kubur diucapkan oleh si Papan Rayap. Tua Bangka pun tampak berkerut dahi dengan heran, tapi tak bicara apa-apa. Yang terdengar saat itu adalah suara Pinang Sari yang melengking tinggi.

"Koreklah telingamu dengan pedangmu, Papan Rayap. Sejak tadi sudah kukatakan, aku tidak tahu menahu tentang pusaka Kapak Setan Kubur!"

"Mendiang gurumu memiliki kapak itu!"

"Omong kosong!" bantah Pinang Sari. "Guru tidak pernah ceritakan soal pusaka itu. Beliau tak pernah menyinggung-nyinggung sedikit pun tentang pusaka tersebut. Kuharap kau jangan mengada-ada, Papan Rayap!"

"O, kau masih berlagak bodoh rupanya. Baiklah, aku terpaksa memberimupelajaranyang ketiga.

Hiaaatt...!"
Sraang... !

Pedang lengkung ujungnya itu dicabut oleh Papan Rayap sambil lakukan serangan melompat ke depan.

Wuuttt...!

Kemudian ia tebaskan pedang itu ke pundak Pinang Sari. Sayangnya trisula putih masih dalam genggaman Pinang Sari, sehingga mampu untuk menangkis pedang tersebut.

Trang, trang, t rang, blaarr... !

Ledakan terjadi lagi karena kedua senjata itu beradu dengan dialiri tenaga dalam. Sinar biru bening memercik sekejap, lalu sirnatanpatimbulkan asap apa pun.

Papan Rayap semakin cepat membabatkan pedangnya ke arah lawn.

Bed, bed, bed, be d...!

Pinang Sari melompat-lompat hindari serangan pedang, namun pihak Papan Rayap mendesak terus dengan tebasan pedangnya ke berbagai arah. Sesekali Pinang Sari menangkis dengan trisulanya.

Trang, trang, trang, trang... !

Sampai pada satu ketika, pedang itu bergerak dengan gerakan meliuk dari bawah ke atas dan sukar ditangkis Pinang Sari karena ia sudah tertipu gerakan pedang sebelumnya.

Wuuttt...! Brreett...!

"Aaauh...!" Pinang Sari terpekik. Ulu hatinya bagaikan sedang dibedah oleh pedang lengkung itu. Ia segera tersentak mundur dan tergagap-gagap. Darah menyembur dari lukapanjangtersebut.

Brrukk...! Pinang Sari jatuh terjengkang, kini ia terkapar dengan tubuh menggigil. Rupanya pedang si Papan Rayap beracun ganas. Dalam waktu cukup singkat tubuh Pinang Sari mulai dikerumuni rayap yang muncul dari dalam tanah akibat mencium bau racun pedang yang bercampur dengan darah.

Binatang putih kecil-kecil itu semakin banyak jumlahnya dan membuat Pinang Sari menjerit karenajijik.

"Katakan di mana kau simpan kapak itu! Lekas! Kalau tidak kau katakan, akan kubiarkan rayap-rayap itu menggerogoti tubuhnya hingga menjadi tulang belulang!"

Namun sekelebat bayangan segera bergerak menerjangPapan Rayap. Bruuss...!

Papan Rayap terpelanting dan jatuh dengan menyedihkan karena kepalanya bagaikan disambar kaki petir. Hampir saja ujung pedangnya menancap di lam bung kiri.

Seorang pemuda berwajah ganteng tapi masih tampak remaja berdiri dengan badan tegap. Pemuda itu memakai rompi hijau berhias benang emas pada tepiannya. Celananya juga hijau menyala berhias benang emas tepiannya. Sabuknya hitam, menyelipkan sebilah pedang dari sarung perak. Rambutnya panjang digulung tengah, sisanya meriap sampai sepundak, ia berdiri tegak dengan kaki sedikit terentang.

Suto Sinting kerutkan dahi, karena masih merasa asing dengan pemuda yang diperkirakan berusia sekitar sembilan belas tahun itu. Tua Bangka juga merasa asing dengan pemuda itu, sehingga berbisik kepada Suto Sinting.

"Siapa bocah ganteng itu?"
"Aku tak tahu, dan baru sekarang melihatnya. Kurasa dia kekasihnya Pinang Sari."

"Ooo... pantas dia berani menerjang Papan Rayap, mungkin untuk menunjukkan cintanya, sehingga ia lakukan belapati buat si gadis cantik itu, ya?"

Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek dan anggukkan kepala. Karena saat itu Papan Rayap telah bangkit dan menatap pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebihtajam lagi.

"Siapa kau, Monyet sawah?!" gertak Papan Rayap. "Lancang sekali kakimu, berani men en dang kepala orang setua aku. Mau cari modar kau, nah?!"

"Aku yang bernama Darah Prabu!" jawabnya tegas dengan suara mudanya. "Mungkin kau belum mengenalku, Papan Rayap. Karena memang baru sekarang aku diizinkan oleh guruku untuk turun gunung."

"Keparat! Siapa gurumu, Bocah kurap?!"
"Resi Badranaya!"

"Persetan dengan nama itu. Aku tidak kenal! Menyingkirlah dari sini dan jangan ikut campur urusanku lagi kalau kau mau selamat!"

"Kau langkahi dulu bangkaiku baru kau bisa teruskan urusanmu dengan kakakku; Pinang Sari!"

"Ooo... dia adiknya Pinang Sari?!" gumam Suto Sinting yang membuat Tua Bangka juga manggut- manggut.

"Darah Prabu!" sentak Papan Rayap. "Kalau memang itu yang menjadi tekadmu, terimalah jurus 'Pedang Jalang-ku ini!

Heaaah...!"

Papan Rayap melompat dengan cepat bagaikan angin berhembus. Darah Prabu tidak menghindar, melainkan justru menyongsongterjangan Papan Rayap. Wuusss...!

Brruusss...! Praaang...!

Lalu keduanya saling melintas tukar tempat. Wuutt...! Jleegg... !

Ternyata si Darah Prabu sudah menggenggam pedangnya dengan kokoh. Ia mendarat ke tanah dalam keadaan memunggungi Papan Rayap. Ujung pedangnya tampak basah oleh darah. Berarti Papan Rayap terluka oleh pedang itu.

Papan Rayap yang juga memunggungi Darah Prabu diam sesaat dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah.

Kemudian ia balikkan badan secara pelan-pelan, demikian juga Darah Prabu. Lalu, tampaklah luka menganga di bawah pundak Papan Rayap. Luka itu mengucurkan darah segar hingga basahi bagian tubuh bawahnya.

"Bagus sekali gerakan pedang anak muda itu?" pikir Pendekar Mabuk. "Tapi ia tak perhatikan kalau Pinang Sari sudah mulai kelojotan diserang ratusan rayap begitu. Bahaya sekali kalau tak segera kutolong. Aku harus bertindak cepat"

"Hei, Suto... mau ke mana! Jangan ke sana nanti kamu kesabet pedang mereka!" cegah Tua Bangka sambil pegangi kain celana Pendekar Mabuk, membuat langkah Pendekar Mabuk tertahan.

"Aku mau selamatkan Pinang Sari! Lepaskan celanaku!"
"Jangan! Nanti kau celaka!"
"Tidak. Lepaskanlah... lepaskan...!"

Wreekk...!

"Aduh, kau ini.... Lihat, celanaku malah robek begini?"

"Wah, maaf. Maaf sekali, Suto. Aku tak sengaja membuat pantatmu jadi mengintip begitu. Maaf...!" Tua Bangka jadi ketakutan. Untung robeknya celana tak terlalu lebar. Suto Sinting menutupnya dengan menurunkan kain ikat pinggang hingga tak kentara kalau celananya robek. Dengan cepat ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu. Zlaappp...!

Sementara itu, Papan Rayap semakin garang, ia menjadi sangat murka karena tubuhnya sudah dilukai oleh anak muda itu. Dengan satu lompatan cepat lagi ia menyerang Darah Prabu.

"Heeeaaattt...!"

Darah Prabu lakukan sentakan kaki ke tanah, dan tubuhnya melambung tinggi dalam gerakan jungkir balik. Wuuutt...! Pedang lawan yang mengibas ke atas ditangkis dengan pedangnya.

Trang, trang, trang... !

Mereka sibuk lanjutkan pertarungan. Suto Sinting sibuk singkirkan rayap-rayap dari tubuh Pinang Sari yang telah lemas tak berdaya itu. Mulut gadis itu dingangakan dengan satu tangan, kemudian dituangi tuak ke dalamnya. Beberapa tuak tertelan oleh Pinang Sari, hingga gadis ituterbatuk-batuk. Namun tuak itulah yang menyelamatkannya dari luka racun. Tuak itulah yang membuat rayap-rayap merasa mabuk, sehingga pulang ke dalam tanah menurut tempatnya masing- masing.

Trang, trang, trang... !
Duuaarrr... !

Ledakan itu mengagetkan Pendekar Mabuk. Suaranya bagai di depan telinga kanan, ia segera bangkit memandang ke arah pertarungan. Rupanya si kerempeng Papan Rayap lepaskan kekuatan tenaga dalamnya melalui pedang lengkungnya. Pertarungan pedang itu membuat ledakan cukup dahsyat karena keduanya menggunakan tenaga dalam. Tapi agaknya Darah Prabu masih kalah kuat. Iaterpental melambung dan jatuh ke semak-semak. Brruusss...!

Namun keadaan Papan Rayap pun cukup berbahaya. Selain terluka pada bagian bawah pundak, separo wajahnya menjadi biru legam akibat gelombang ledakan tadi. Ia tampak limbung, tenaganya bagai berkurang sangat banyak. Namun ia masih berusaha memandang ke arah Pinang Sari.

Ia sangat terkejut melihat kehadiran Pendekar Mabuk di samping Pinang Sari. Matanya masih berusaha memandang bengis kepada pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu.

"Siapa kau, Setan tengil...?!" gertaknya dengan tubuh agak terbungkuk-bungkuk karena menahan sakit di pundak. "Kaukah yang menyimpan Kapak Setan Kubur itu, hah?! Mengaku saja, ataukutebas sekalian lehermu!"
"Jangan galak-galak, nanti kau mati terpenggal pedangmu sendiri!" kata Suto Sinting dengan kalem.

"Keparat! Aku tak butuh pelajaranmu. Kau yang butuh pelajaranku. Heeaaah...!"

"Wah, nekat orang ini!" gumam Suto Sinting yang segera mengibaskan bumbung tuaknya untuk menyambut datangnyapedang si Papan Rayap.

Weesss... !
Praakk...!
Buuhhg... !

Pedang patah menjadi empat potong karena menghantam bumbung tuak Pendekar Mabuk. Kaki kanan Pendekar Mabuk pun berkelebat menendang tepat di ulu hati Papan Rayap. Orang ituterpental jauh hingga menabrak sebatang pohon tak terlalu besar.

Brruusk... !

"Aaahgg...!" darah segar menyembur dari mulut Papan Rayap. Matanya terbeliak dalam keadaan terbungkuk dan berlutut.

Darah Prabu mulai melangkah lagi dalam keadaan hidung berdarah. Matanya terkesiap melihat Papan Rayap berada kurang lebih delapan tombak darinya, ia juga tadi melihat Papan Rayap menyerang Pendekar Mabuk yang membuat pedang orang kerempeng itu patah dengan ringkihnya Rasa kagum itu segera dipendam dan ia mendekati Papan Rayap. Pedang peraknya masih di tangan. Pedang itu hendak ditebaskan ke arah Papan Rayap.

"Tahan!" seru Suto Sinting.

***3

ORANG kerempeng bertampang angker itu segera larikan diri ketika gerakan pedang Darah Prabu terhenti oleh seruan Pendekar Mabuk. Bahkan ketika pemuda berompi hijau itu hendak mengejarnya, Suto Sinting mencegahnya dengan seruan pula. Akhirnya mereka berkumpul berempat.

Pinang Sari mulai sehat, lukanya bagaikan mengatup dengan sendirinya setelah menenggak tuak saktinya Suto Sinting. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Begitu ia bangkit dan memandang ke arah Darah Prabu, ia langsung menghambur dan memeluk Darah Prabu. Pemuda ganteng berwajah remaja itu diciuminya beberapa kali dalam tawa kebahagiaan.

"Kau sudah diizinkan turun gunung oleh gurumu? Atau melarikan diri dengan kenakalanmu?!"
"Aku memang diizinkan turun gunung oleh Guru, Yu Pinang."

Pinang Sari mencubit pipi adiknya dengan gemas. Kemudian memperkenalkan adiknya kepada Pendekar Mabuk setelah terlebih dulu berkata.

"Syukurlah kau segera muncul, Suto. Racun pada pedang si Papan Rayap itu cukup berbahaya dan nyaris membuatku kehilangan nyawa."

"Dia memang tokoh alot tapi memualkan perut kalau dipandang terlalu lama."
"Yu Pinang, siapa orang ini? Apakah dia kekasihmu, Yu?"
Pinang Sari tersenyum malu. "Dia adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak."

"Ooh...?!" Darah Prabu tercengang kaget. "Murid Eyang Gila Tuak?!" sambil matanya membelalak memandangi Suto Sinting.

Suto tersenyum dan berkata, "Mengapa kau memanggil guruku dengan sebutan 'Eyang'?"

"Guruku sering bercerita tentang kehebatan Eyang Gila Tuak dan Eyang Bidadari Jalang. Aku jadi kagum kepada beliau. Guruku adalah sahabat beliau. Dan aku juga sering mendengar cerita tentang kehebatan murid Eyang Gila Tuak. Ternyata kaulah muridnya, Kang. Sungguh tak kusangka aku bisa bertemu dengan murid Eyang Gila Tuak secepat ini! Padahal aku baru turun gurun delapan hari dan mencari kakakku; Pinang Sari ini. Aku senang sekali bisa jumpa pendekar sakti, Yu Pinang."

Suto Sinting menyahut, "Kau pun cukup sakti, Darah Prabu. Gerakan pedangmu sangat mengagumkan."
"Oh, aku belum ada sekuku hitamnya dibandingkan dirimu, Kang Suto!"

Tua Bangka menimpali, "Anak yang baik. Semakin tinggi ilmunya semakin menunduk. Seperti setangkai padi, semakin berisi semakin tunduk. Kalau ingin punya ilmu lebih dahsyat lagi, bergurulah kepada Pendekar Mabuk ini, Nak!"

"Begitukah menurutmu, Kek?" Darah Prabu tersenyum, segera memandang Suto Sinting dan bertanya, "Apakah kau datang bersama kakekmu ini, Kang?"

"Aku bukan kakeknya Suto!" potong Tua Bangka. "Aku... aku adalah penasihatnyaPendekar Mabuk. Ya, penasihat pribadi!"

Suto Sinting melirik dengan sedikit bersungut-sungut. Tua Bangka tak enak hati, sehingga berkata kepada Darah Prabu,
"Maksudnya, penasihat yang jarang sehat. He, he, he...!"

Tiba-tiba gadis cantik itu berkerut dahi dan berkata pelan, "Tua Bangka, aku sepertinya pernah melihatmu sebelum ini."

"O, ya?! Di mana kau melihatku, Anakmanis?"

"Entah. Aku lupa. Tapi aku merasa pernah melihatmu. Mungkin... mungkin dalam mimpi"

"Memang dari muda aku sering menjadi impian para gadis," kata Tua Bangka dengan nada sombong, membuat Suto Sinting mencibir geli.

"Apakah kau kenal dengan Papan Rayap tadi, Darah Prabu?!" tanya Suto Sinting mengalihkan pembicaraan.

"Tidak. Akutidak kenal dengan si Papan Rayap."
"Tapi kudengar kau tadi menyebutkan namanya"

"Ya, karena saat Yu Pinang berdebat dengan Papan Rayap, aku mendengar namanya disebutkan oleh Yu Pinang. Aku sengaja ingin melihat kehebatan kakakku, karenanya akutak mau muncul dari persembunyianku di balik pohon sanatadi."

"Papan Rayap adalah orang Pantai Ajal," sahut P inang Sari

"Pantai Ajal...?! Bukankah tempat itu adalah wilayah kekuasaan sipemakan daging manusia; Gandapura?!"

"Memang dia salah satu dari kaki-tangan si Gandapura!" kata Pinang Sari. "Sebab itu dia ditugaskan mencari pusaka Kapak Setan Kubur. Karena Gandapura mulai mendengar desas-desus munculnya pusaka Kapak Setan Kubur di rimba persilatan, ia menjadi cemas, sebab Kapak Setan Kubur dapat membuatnya tumbang, walau ia punya kesaktian yang bernama ilmu 'Mahkota Neraka'."

"Ilmu apa itu sebenarnya?" tanya Tua Bangka.

"Ilmu 'Mahkota Neraka' itu sebuah ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati. Orang itu bisa mati kalau ilmu tersebut sudah dititiskan ke orang lain, atau ia terkena pusaka Kapak Setan Kubur. Sebab itulah Gandapura menyuruh anak buahnya melenyapkan Kapak Setan Kubur, supaya tak akan ada orang yang bisa melawannya."

Tua Bangka manggut-manggut, tapi sepertinya tidak terlalu menggapai penjelasan tersebut, karena matanya melirik kanan-kiri dengan cemas. Sepertinya ia merasa takut kalau-kalauPapan Rayap muncul dari belakangnya dan menyerang mereka dengan ganas. Hanya Suto Sinting dan Darah Prabu saja yang memperhatikan penjelasan Pinang Sari, sehingga Suto Sinting segera ajukan tanya kepada gadis berponi indah itu.

"Bukankah dulu kau bilang padaku tidak tahu- menahu tentang Kapak Setan Kubur? Dan kau juga bilang bahwa mendiang gurumu tak pernah menyebut- nyebutkan pusaka itu? Tapi sekarang kau bisa menjelaskannya dengan lancar. Apakah sebenarnya kapak itu ada di tanganmu? Atau masih berada dalam pondok mendiang gurumu?"

"Tidak. Mendiang guruku memang tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Kapak Setan Kubur. Tapi ketika aku bertarung dengan Ayunda dan berhasil melumpuhkannya, sebelum akhirnya ia kubawa ke bukit pertarungan antara Eyang Poci Dewa dengan Ki Buyut Gerang itu, aku sempat tanyakan apa alasan Ayunda membunuh guruku dengan racunnya. Lalu ia jelaskan tentang dua tugas dari gurunya: Nyai Gerhani Semi, yaitu mengacaukan tiga perguruan, termasuk perguruanku sendiri, supaya perguruannya menjadi menonjol. Tugas kedua adalah merampas pusaka Kapak Setan Kubur dari tangan guruku. Padahal Guru tidak tahu menahu tentang Kapak Setan Kubur, sehingga Ayunda jengkel dan membunuh guruku. Dengan kematian guruku maka Ayunda bebas dari tugas mencari Kapak Setan Kubur."

Tua Bangka ikut-ikutan manggut-manggut setelah melihat Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut- manggut pula. Tapi tiba-tiba Darah Prabu berkata dengan sikapnya yang tenang.

"Sepertinya aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang seseorang yang tinggal di... di mana, ya? Ah, aku lupa nama tempatnya Tapi aku masih ingat nama orangnya"

"Siapa nama orangnya?" sergah Suto Sinting dengan rasa ingin tahu menggebu-gebu.
Darah Prabu menjawab, "Namanya adalah Empu Tapak Rengat."

Pinang Sari tampak terperanjat.

"Tidak mungkin, Darah Prabu. Empu Tapak Rengat tidak mungkin memiliki pusaka Kapak Setan Kubur."
"Apa alasanmu bilang begitu?" tanya Suto Sinting.
"Karena aku kenal baik dengan Empu Tapak Rengat yang tinggal di kaki Gunung Bunting."
"Nah, benar! Gunung Bunting nama tempat itu!"
sahut Darah Prabu dengan bersemangat.

"Tapi itu tak mungkin, Darah Prabu. Guruku sahabat dekatnya EmpuTapak Rengat. Kata Guru, sudah selama dua puluh lima tahun Empu Tapak Rengat tidak mau berurusan dengan senjata atau pusaka apa-apa lagi, yaitu sejak istrinya meninggal akibat pusakanya sendiri yang haus darah itu: Keris Serap Getih. Jadi, menurutku Empu Tapak Rengat tidak menyimpan pusaka itu, sebab ia tidak mau punya pusaka dan senjata apa pun. Bahkan hidupnya cenderung menyepi dan tidak ingin mencampuri urusan duniawi lagi."

"Siapa tahu semua pusaka dan senjata diwariskan kepada muridnya?"

"EmpuTapak Rengat tidak mempunyai murid," kata Pinang Sari. "Satu-satunya yang ia miliki adalah seorang anak perempuan yang bernama: Tembang Selayang."

"Mungkin dialah yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur" sela Suto Sinting.

"Ah, kalian terlalu bodoh, dibohongi oleh cerita edan mau saja," kata Tua Bangka sambil bersungut-sungut. Mereka memandang Tua Bangka dengan dahi berkerut dan senyum tipis.

Tua Bangka menambahkan kata, "Dari muda sampai setua ini aku belum pernah mendengar nama pusaka aneh seperti itu. Itu tandanya kabar tentang pusaka Kapak Setan Kubur hanya isapan jempol; entah jempol tangan atau jempol kaki, yang jelas itu bo hong semata!"

"Matanya siapa?" sela Suto Sinting menanggapi dengan santaijuga.
"Mungkin mata kalian itulah yang dibohongi!" gerutu Tua Bangka.

Darah Prabu dan Pinang Sari menjadi heran dan menampakkan wajah keraguannya Akhirnya Darah Prabu berkata,

"Aku perlu tanyakan kepada Guru tentang kebenaran pusaka itu. Ada atau tidak, dan benarkah EmpuTapak Rengat tidak mau memegang senjata pusaka lagi. Aku perlu jawaban dari Guru secepatnya."

"Aku akan mendampingimu," kata Pinang Sari. "Aku juga perlu menceritakan kematian guruku kepada Resi Badranaya, sebab kudengar kabar dari seorangtokoh tua yang telah tiada; Resi Badranaya adalah kakak sepupu mendiang guruku."

Suto menyahut, "Kalau begitu aku akan ke Gunung Bunting untuk temui Empu Tapak Rengat. Akan kutanyakan kebenarantentang pusaka itu juga."

"Baiklah, kita berpisah untuk sementara waktu Suto," kataPinang Sari. "Sepertinyakita akanjumpa lagi dalam peristiwa Kapak Setan Kubur ini. Kita sama-sama mencari keterangan sejelas-jelasnya."

"Kau mau ikut siapa, Tua Bangka?" tanya Suto Sinting. "Ikut Pinang Sari atau ikut aku, atau mau pergi sendiri?"

Setelah berpikir dengan suara gumam tak jelas, Tua Bangka berkata, "Aku lebih baik ikut kau saja, Suto. Karena sepertinya aku butuh bantuanmu lagi."

"Soal apa itu?"
"Mencari cucuku yang hilang beberapa waktu yang lalu."
"Siapa cucumu itu, Tua Bangka?"
"Cawan Pamujan. Dia satu-satunya cucu kesayanganku yang masih hidup."
"Semuanya ada berapa cucu?"

"Ya, cuma satu. itu saja," sambil ia melangkah mendekati semak, memungut sebatang kayu kering yang enak dipakai untuk tongkat berjalan.

Pada saat ia membungkuk, tiba-tiba seberkas kilatan cahaya pantulan matahari berkelebat menuju ke arah punggung si Tua Bangka. Gerakan datangnya kilatan cahaya menyilaukan itu terlihat oleh ekor mata Darah Prabu. Dengan cepat anak remaja itu mengibaskan tangan kanannyake samping.

Wuutt...! Slaapp...!
Tring....!

Ternyata senjata rahasia seseorang yang diarahkan ke punggung Tua Bangka dihantam telak oleh senjata rahasianya Darah Prabu. Kedua benda kecil itu jatuh di samping Tua Bangka.

Keadaan itu membuat wajah Suto Sinting dan Pinang Sari terperanjat seketika. Lalu kedua orang itu sama- sama memandang ke arah datangnya senjata rahasia yang ingin menyerang Tua Bangka itu.

Sekelebat bayangan melesat di balik kerimbunan pohon. Suto Sinting segera mengejarnya. Zlaapp...! Langkahnya begitu cepat hingga mirip orang menghilang.

"Siapa yang mau membunuhku?" gumam Tua Bangka sambil memungut dua senjata rahasia yang saling menempel rekat itu. Yang satu berbentuk seperti bunga matahari, bergerigi runcing mengkilap, yang satu berbentuk seperti mata garpu tiga runcing, terbuat dari logam baja hitam.

"Yang ini senjataku," kata Darah Prabu sambil mengambil sekeping logam mirip mata garpu itu.
"Yang satunya ini milik siapa?"
"Ya, milik orang yang mau membunuhmu!" kata Pinang Sari kepada Tua Bangka.

"Senjata ini mempunyai racun ganas, terlihat ujung runcingnya berwarnakebiru-biruan," kata Darah Prabu.

"Kenapa bisa menempel menjadi satu dengan senjatamu?" tanyaPinang Sari kepada adiknya.

"Senjata rahasiaku ini terbuat dari baja sembrani. Mampu menyedot logam lain atau menempel di logam lain."

Tua Bangka segera mengambil posisi di belakang Pinang Sari dengan rasa takut ketika Suto Sinting menerabas ilalang dan muncul dengan memanggul seseorang di pundaknya .

Brrukkk...! Orang itu diletakkan ke tanah seperti membanting karung. Mata mereka memandang kepada orang yang baru saja ditangkap Pendekar Mabuk.

Suto bertanya kepada Tua Bangka. "Kau kenal dengan orang ini?"

Tua Bangka pandangi sosok lelaki muda berbadan kurus. Usianya sekitar dua puluh limatahun. Rambutnya pendek, mengenakan rompi hitam dan celana hitam.

"Ak... aku... aku tidak kenal dengan anak ini. Mengapa kau tanyakan padaku, Suto? Kau pikir dia cucuku yang bernama Cawan Pamujan?!"

"Bukan begitu, Tua Bangka. Kuhantam dia dengan jurus 'Jari Guntur'-ku, dan ia pingsan seketika karena seranganku mengenai ulu hatinya. Orang ini yang berkelebat lari setelah kau diserang dengan senjata rahasia."

"Mengapa kau bawa kemari?! Nanti dia malah mudah membunuhku, Bodoh!" sentak Tua Bangka dengan kegugupannya karena masih merasa ngeri membayangkan senjata rahasia yang nyaris merenggut nyawanya itu.

"Kupikir kau kenal dengan anak ini, sehingga perlu didesak apa alasannya melemparkan senjata berbahaya ke punggungmu. Ternyata kau tidak mengenalnya. Hmmm...kau kenal dia, Darah Prabu?"

Anak muda belia itu gelengkan kepala. "Aku tidak mengenalnya, Kang. Aku juga tidak punya musuh seperti dia."

"Bagaimana dengan kau, Pinang Sari?"

Gadis itu menggeleng samar-samar. "Aku juga tidak mengenalnya. Tapi bisa kita tanyakan kalau dia sudah siuman nanti."

"Kalaubegitukubikin dia siuman sekarang juga!"

Claapp...! Tiba-tiba sinar merah berkelebat menerobos pertengahan jarak berdiri antara Pinang Sari dan Darah Prabu. Sinar sebesar lidi itu menghantam leher orang berompi hitam.

Jraab...! Taaarr...!

Letupan kecil terdengar bersamaan dengan pecahnya leher orang tersebut. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan mereka. Orang muda berompi hitam itu pun tak akan bangun selamanya karena lehernya hampir putus dihantam sinar merah tadi.

"Kurang ajar!" geram Suto Sinting, ia segeramelesat ke arah datangnya sinar merah tadi. Zlaapp...!
"Pinang... jangan ikut mengejar! Nanti aku sendirian di sini!" Tua Bangka gemetartakut.

Gerakan si pemilik sinar merah itu cukup cepat, atau memang Pendekar Mabuk salah arah dalam mengejarnya. Orang tersebut tak berhasil ditangkap oleh Pendekar Mabuk. Beberapa saat lamanya Suto mencari orang itu ke beberapa arah, namun tetap tidak berhasil ditemukan.

"Agaknya aku sudah telanjur salah arah dalam mengejarnya. Sebaiknya aku segera kembali menemui Tua Bangka. Barangkali kakek ompong itu punya bayangan siapa kira-kira orang yang ingin membunuhnya itu."

Namun alangkah terkejutnya Suto begitu kembali ke tempat semula, ternyata Tua Bangka sudah tidak ada di tempat. Pinang Sari dan Darah Prabu juga tidak ada di tempat. Yang tinggal hanya mayat orang berompi hitam.

"Ke mana mereka perginya?!" pikir Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. "Apakah orang yang kukejar tadi yang membawa pergi mereka? Oh, kalau begitu aku tertipu oleh pancingannya?! Sial! Aku pasti tertipu olehnya, ia sengaja memancingku agar mengejarnya dengan cara membunuh orang berompi hitam itu. Pada saat aku tidak ada ia datang dan melumpuhkan mereka bertiga. Lalu mereka bertiga dibawanya pergi dan...," Suto Sinting diam sebentar. Ada kejanggalan yang ditemukan di tempat itu.

"Tak ada tanda-tanda pertarungan?! Setidaknya Darah Prabu atau Pinang Sari akan melakukan perlawanan jika orang itu menyerang mereka. Paling tidak bunyi ledakan tenaga dalam beradu pasti akan kudengar. Tapi dari tadi aku tidak mendengar suara ledakan apa pun. Dan tempat ini tidak menampakkan bekas terjadi pertarungan. Mungkinkah Tua Bangka, Darah Prabu, dan Pinang Sari dilumpuhkan dalam sekejap lalu mereka dibawa pergi? Dengan apa membawanya? Apakah orang itu tidak sendirian?"

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sesaat. Setelah itu diam berpikir sambil duduk di bawah pohon rindang. Matanya pandangi keadaan sekeliling dengan jeli. Lalu tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan jauh di seberang sana. Suto Sinting tidak maukehilangan jejak lagi .

"Pasti dialah orangnya yang tadi gagal kukejar!"

Zlaaap...! Ia bergerak dengan cepat bagaikan menghilang. Bayangan ungu itu dikejarnya dengan memotong arah gerak bayangan. Suto Sinting bermaksud menghadang orang tersebut.

Kali ini usaha Pendekar Mabuk tidak sia-sia. Ia berhasil mencegat orang berpakaian ungu di kaki bukit. Orang itu pun hentikan langkah begitu melihat pemuda tampan berdiri menghadangnya dengan sikap tenang.

"Oh, ternyata dia seorang gadis?!" gumam Suto dalam hatinya.

Gadis itu mengenakan jubah ungu, tapi pinjung dalamnya berwarna merah tua. Celana ketatnya sebatas pertengahan betis itu juga berwarna merah tua dari kain beludru dihiasi manik-manik warna perak. Gadis yang diperkirakan berusia dua puluh tiga tahun itu bertahi lalat di sudut bibir atasnya Kecantikannya menggetarkan hati. Hidungnya mancung dan matanya sedikit lebar namun tak bundar. Bulu matanya lentik dan alisnyatebal namun berbentuk indah.

Ia berambut panjang dengan potongan rambut disanggul seluruhnya. Beberapa helai rambut berjuntai di kanan-kiri telinganya yang bergiwang ungu sebesar kacang tanah.

Gadis berkulit langsat itu pandangi Suto tiada berkedip. Bibirnya yang tak begitu mungil namun berbentuk indah menggemaskan itu masih tetap terkatup tanpa gerak sedikit pun.

"Mau apa kau berdiri di depanku?!" hardik gadis itu dengan sikap berani.

"Kau yang membunuh orang berompi hitam itu! Aku perlu bicara padamu," kata Pendekar Mabuk bersikap langsung menuduh.

Agaknya gadis yang menyandang pedang di punggungnya itu terdesak dengan tuduhan Pendekar Mabuk. Akhirnya ia berkata dengan wajah kian ketus.

"Memang aku yang membunuhnya, karena urusan pribadi yang tak bisa dicampuri orang lain."
"Boleh tahu urusan pribadimu itu?"
"Untuk apakautahu?"
"Karena kau telah membawa lari ketiga sahabatku itu."

"Jangan bicara seenak mulutmu! Bisa kurobek mulutmu kalau kau menuduhku yang bukan-bukan. Aku hanya membunuh Praguli! Tidak membawa lari tiga sahabatmu itu."

Suto sedikit berkerut dahi, hatinya diliputi kebimbangan dengan pengakuan tersebut. Melihat nada bicaranya, agaknya gadis itu bukan gadis yang takut bertanggungjawabterhadap segala tindakannya Namun Suto Sinting mencoba untuk mempelajari gadis itu melalui beberapa pertanyaan yang diajukan.

"Apa alasanmu membunuh orang yang kau sebut sebagai Praguli itu?!"

"Dia anak buahnya Branjang Kawat! Dia yang membunuh adik seperguruanku," jawabnya bernada tegas dan menampakkan sikap kurang bersahabat.

"Branjang Kawat...?!" Pendekar Mabuk menggumam karena merasa pernah mendengar nama itu dari mulut Tua Bangka.

"Ya, Branjang Kawat, orang Kadipaten balungan yang suka berlagak jagoan itu! Apakah kau sahabatnya juga?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem namun senyuman itu memancarkan daya tarik yang sempat membuat gadis itu berdesir hatinya.

"Mengapa bukan Branjang Kawat yang kau bunuh untuk membalas dendammu itu?"

"Karena kulihat sendiri; Praguli yang menewaskan adik perguruanku sementara aku sedang bertarung dengan Branjang Kawat."

"Apakah kau unggul melawan Branjang Kawat?"

Gadis itu tidak langsung bicara, ia diam beberapa saat dengan mata masih tertuju tajam kepada Suto. Sementara itu pandangan mata Suto Sinting singgah sebentar di dada gadis itu, mengagumi kemontokan dada si gadis dan membayangkan sesuatu yang menggelitik dalam hatinya. Namun bayangan itu segera dibuang jauh-jauh oleh Suto Sinting, karena iatak ingin hatinya tergoda dan hanyut oleh tantangan dada gadis itu.

"Ada kalanya manusia mengalami kelengahan, ada kalanya manusia menemukan masakejayaannya. Sayang waktu aku melawan Branjang Kawat kelengahanku tercuri olehnya, sehingga ia hampir saja merenggut nyawaku kalau aku tak segera larikan diri."

"O, begitu? Jelasnya kau tak bisa unggul melawan Branjang Kawat. Begitu saja singkatnya" Suto Sinting sengaja bicara dengan senyum seakan mengejek kekalahan gadis itu. Yang dilakukan oleh si gadis hanya tarik napas dan segera mengalihkan pembicaraan.

" Jelaskan apamaksudmu menghadang langkahku?!"

"Aku ingin tahu namamu, Nona Cantik," jawab Suto Sinting makin berkesan menggoda. Hati gadis itu agak jengkel dan berusaha ditahannyakuat-kuat.

"Untuk apakaumengetahui namaku?"

"Karena aku mencurigaimu membawa lari ketiga sahabatku."
"Kecurigaanmutidak benar!"

"Itulah sebabnya aku ingin tahu namamu karena aku ingin meminta maaf padamu," bujuk Suto Sinting dengan suaranya yang lembut dan punya daya pesona tersendiri.

"Namaku... Tembang Selayang."

"Ooh...?!" Suto Sintingterperanjat kaget bukan main. Ia segera ingat kata-kata Pinang Sari tentang nama anak perempuan dari Empu Tapak Rengat.

"Bukankah Pinang Sari mengatakan bahwa Empu Tapak Rengat hanya punya satu anak yang bernama Tembang Selayang?" pikir Suto Sinting. "Jadi, apa hubungan gadis ini dengan hilangnya ketiga sahabatku itu?"

***4

ANGIN senja mulai berhembus ketika Pendekar Mabuk melangkah bersama Tembang Selayang. Arah tujuan mereka ke kaki Gunung Bunting. Mereka ingin temui Empu Tapak Rengat karena Pendekar Mabuk berbicara tentang pusaka Kapak Setan Kubur.

"Aku memang pernah dengar nama pusaka itu dari ayahku, tapi aku tidak pernah diserahi pusaka tersebut," kata Tembang Selayang.

"Kata Ayah, Kapak Setan Kubur bukan miliknya. Suatu saat seorang sahabat menitipkan kepadanya, tapi sejak Ayah tidak mau membuat senjata lagi, tidak mau mempunyai senjata dan pusaka apa pun lagi, pusaka itu dikembalikan kepada pemiliknya."

"Siapa pemiliknya itu?"

"Aku tidak jelas, karena Ayah tidak sebutkan nama pemilik Kapak Setan Kubur itu. Karenanya ada baiknya kita temui ayahku saja dan kau bisa tanyakan sendiri padanya Aku akan bicara dengan guruku tentang kebenaran adanya ilmu 'Mahkota Neraka' itu."

Gadis cantik itu bicara sambil sesekali pandangi wajah Suto Sinting, ia menyimpan perasaan kagum dan menyembunyikan getaran hati yang menggelitik keindahan dalam khayalnya. Pendekar Mabuk berlagak tidak tahu hal itu dan tetap memusatkan perhatian ke hal pembicaraan pusaka Kapak Setan Kubur itu.

"Menurutku kau jangan pergi menemui gurumu dulu. Bantulah aku mencari tempat tinggal ayahmu itu, kita dengar sendiri penjelasan dari beliau. Setelah itu, barulah kau dan aku menemui gurumu."

Tembang Selayang diam tak berucap kata apa pun. Pandangan matanya dilayangkan ke arah jauh. Pendekar Mabuk pun kembali ajukantanya,

"Apakah kau keberatan dengan usulku?"

Tembang Selayang sunggingkan senyum tipis sambil gelengkan kepala.

"Tidak. Aku tidak keberatan. Hanya saja aku khawatir."
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku khawatir kalau Ayah menduga aku pulang membawa calon suami"

Kini pemuda tampan murid si Gila Tuak yang ganti tertawa. Tak kerastapi punya dayatarik tersendiri.

"Menurutmu," Suto mengalihkan perhatian. "... pusaka Kapak Setan Kubur itu memang ada atautidak?"
"Memang ada, karena ayahku pernah memegang dan menyimpannya."
"Hmm..., pendapatmu itu sama dengan pendapat Darah Prabu dan Pinang Sari."
"Siapa mereka itu?!" Tembang Selayang menampakkan sikap asing terhadap kedua nama tersebut.
"Mereka adalah murid Nini Pucanggeni dan Resi Badranaya."

"Oh, ya! Nama Nini Pucanggeni pernah kudengar dan nama Resi Badranaya juga pernah kudengar. Kalau tak salah mereka adalah sahabat ayahku."

"Menurut pengakuan mereka memang begitu. Tapi si Tua Bangka tidak percaya kalau pusaka itu memang ada."

"Hmmm... siapa lagi si Tua Bangka itu?!"

"Bekas orang Kadipaten Balungan yang sudah dipecat dan ditangkap kembali dengan tuduhan mau memperkosa Istri Adipati. Padahal kenyataannya tidak demikian, ia dijatuhi hukuman mati karena dituduh mencuri pusakanya sang Adipati yang bernama Kapak Setan Kubur!"

"Oh...?!" Tembang Selayang agak bingung. "Apakah pusaka itu sudah pernah ada di tangan sang Adipati?!"

"Menurut si Tua Bangka, sang Adipati tidak pernah punya pusaka seperti itu. Tua Bangka yakin kalau sang Adipati hanya mengarang-ngarang cerita tentang pusaka, pada dasarnya hanya ingin melenyapkan Tua Bangka, sebab Tua Bangkatahu beberapa rahasia di dalam istana, termasuk jalan rahasia yang bisa tembus sampai ke pantai."

Tembang Selayang tarik napas dalam-dalam. "Agak memusingkan juga perkara pusaka itu. Hanya ayahku yang bisa menjawabnya dengan benar. Sayang waktu itu Ayah tidak bicara tentang ilmu 'Mahkota Neraka', sehingga aku perlu menanyakan kepada Guru akan hal itu. Agaknya Ayah tidak tahu adanya ilmu 'Mahkota Neraka' yang bisa bikin orang tak bisa mati itu."

"Yang kuherankan sekarang adalah, siapa orang yang menculik tiga sahabatku itu?! Apakah orang dari Kadipaten Balungan juga, atau dari pihaknya Gandapura? Sebab kekalahan Papan Rayap bisa membuat orang-orangnya Gandapura menjadi marah besar dan menuntut balas atas kekalahan itu."

Langkah mereka menuju ke Gunung Bunting terhenti oleh pemandangan yang menarik perhatian. Sesosok mayat mereka temukan tergeletak di rerumputan dalam keadaan hangus menjadi arang. Suto Sinting berdebar- debar karena menyangka mayat yang tak jelas bentuk dan rupanya itu adalah salah satu dari ketiga sahabatnya yang hilang.

"Jangan-jangan dia adalah Pinang Sari?!"

"Apakah kau yakin mayat ini adalah mayat seorang perempuan?"

"Hmm... sulit diyakini. Sama sekali tak bisa dikenali jenisnya; pria atau wanita? Tak ada sisa pakaian dan rambut sedikit pun."

"Aku yakin mayat ini adalah mayat lelaki."
" Dari mana kau tahu?"
"Tak ada sisa perhiasan menempel di raga hangus ini."

Suto Sinting manggut-manggut membenarkan dugaan Tembang Selayang. Mayat yang sudah tidak berasap sedikit pun itu benar-benar tak ubahnya dengan seonggok arang menyerupai orang meringkuk. Sangat sukar untuk dikenali ciri-cirinya. Tak ada senjata apa pun yangtertinggal di sekitar mayat hangus itu.

"Kalau mayat ini Pinang Sari, pasti trisulanya tertinggal, atau setidaknya ada bentuk arang yang menyerupai bentuk trisula. Demikian pula jika mayat arang ini adalah Darah Prabu, pasti pedangnya akan tertinggal membekas. Hmmm...."

"Bagaimana kalau sahabatmu yang satu itu? Siapa? O, ya... si Tua Bangka Itu?"

"Tua Bangka...?!" Suto Sinting memegangi dagunya dengan memandangi mayat arang Itu. "Tua Bangka tidak bersenjata apa-apa. Mungkin juga mayat ini adalah mayat si Tua Bangka. Tapi... tapi apa iya Tua Bangka mati terbunuh sekejam ini? Siapa pelakunya? Mengapa Pinang Sari dan Darah Prabu tidak membelanya?!"

"Tunggu...!" tiba-tiba Tembang Selayang teringat sesuatu hingga nada bicaranya menyentak mengagetkan Pendekar Mabuk.

"Aku ingat sesuatu, tentang cerita dari ayahku yang ada hubungannya dengan pusaka Kapak Setan Kubur itu."

"Penjelasan yang bagaimana?"

"Kapak Setan Kubur dapat untuk membakar hangus seorang lawn jika yang digunakan adalah kesaktian sinar biru kapak tersebut. Kata Ayah, sinar biru dari kapak itu akan membuat seorang lawn bagaikan disergap puluhan petir sehingga dalam sekejap saja akan menjadi arang hangus seperti mayat ini."

Suto Sinting agak menegang. "Maksudmu, kau akan mengatakan bahwa mayat ini adalah korban dari Kapak Setan Kubur?"

"Aku tak yakin begitu, tapi aku jadi teringat cerita Ayah tentang kesaktian kapak tersebut. Barangkali saja orang initerkena sinar birunya Kapak Setan Kubur. Jika ia terkena sinar merahnya kapak pusaka itu tidak akan menjadi hangus, melainkan akan menjadi terpotong- potong sebanyak tiga puluh tiga bagian."

"Oh, jadi kapak itu bisa keluarkan dua sinar berbahaya?"

"Tiga sinar," tukas Tembang Selayang. "Satu lagi adalah sinar hijau dari kapak pusaka itu, bisa membuat lawannya mati tercabik-cabik seperti dicakar puluhan beruang ganas."

Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat, dalam keadaan berdiri melipat tangan di dada.

"Hati kecilku mengatakan, bahwa mayat ini bukan Tua Bangka," kata Suto Sinting setelah merenung panjang.

"Sebaiknyakitatinggalkan sajatempat ini. Kita harus cepat sampai ke kaki Gunung Bunting sebelum hari menjadi gelap."

"Kita akan bermalam di perjalanan," kata Tembang Selayang. "Tak cukup waktu untuk tiba di pondok ayahku hanya dalam satu malam. Kita akan melewati Desa Panganbumi dan bermalam di sana. Aku tahu tempat penginapan di desa itu."

Desa Panganbumi adalah sebuah desa yang sudah cukup maju, karena letaknya hanya sehari semalam mencapai Kotaraja. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak yang menjadi pedagang hasil bumi ketimbang yang menjadi petani tulen. Mereka menjual panenan hasil bumi kepada orang Kotaraja. Bahkan belakangan ini lebih sering pedagang dari Kotaraja yang datang sendiri di Desa Panganbumi untuk membeli hasil bumi secara ijon; dibeli dengan harga murah sebelum waktunyapanen.

Selewat petang perjalanan mereka tiba di desa tersebut. Sebenarnya Suto Sinting akan gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mempercepat langkahnya segera tiba di kaki Gunung Bunting sebelum petang tiba. Namun ia khawatir gadis cantik bermata tajam itu tertinggal, atau tak mampu mengimbangi gerak cepatnya, sehingga yang akan dialami Suto bukan tiba di kaki Gunung Bunting melainkan tersesat ke arah lain.

Memasuki desa itu, mereka disambut dengan peristiwa hiruk-pikuknya para penjudi dadu koprok. Mereka membentuk kelompok sendiri-sendiri dengan penerangan obor. Suasananya cukup ramai, bahkan ada suara gamelan berkumandang menghiasi iramamalam.

"Ramai sekali desa ini?" gumam Suto Sinting sambil melangkah di samping Tembang Selayang.
"Biasanya tak seramai ini. Berarti ada yang punya hajat sehingga suasana desa menjadi seramai ini."

"Sepertinya dugaanmu memang benar. Ada yang punya hajat, karena kudengar ada suara gamelan berbunyi. Pasti adatontonan di suatutempat"

"Kita langsung menuju penginapan saja. Di sana juga ada kedai makan. Kau bisa mengisi bumbung tuakmu, Suto," kata Tembang Selayang yang sudah mengetahui siapa Suto Sinting sejak sebelum Suto menoeritakan tentang Kapak Setan Kubur tadi.

Agaknya gadis itu sudah sering singgah di Desa Panganbumi. Ia banyak mengetahui beberapa tempat penting, seperti penginapan, rumah tabib, balai desa dan sebagainya. Bahkan ia juga mempunyai beberapa kenalan di desa tersebut. Ketika mereka masuk ke penginapan yang bagian bawahnya digunakan untuk membuka kedai makan, seorang lelaki muda berwajah polos menyapanya dengan ramah.

"Tembang Selayang, ahai... kenapa baru muncul sekarang? Dari mana saja kau?"
"Ada yang harus kukerjakan di tempat jauh, Wiraga."

Anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun dengan tampang polosnya itu berkata lagi sedikit pelan,

"Adhiyasa mencarimu terus. Hampir setiap bertemu denganku menanyakan dirimu, Tembang Selayang."

Gadis itu hanya sunggingkan senyum kaku. Rupanya ia tak enak hati kata-kata tersebut ikut didengar oleh Suto Sinting, ia segera mengajak Suto untuk duduk di salah satu bangku kosong. Sementara itu, para pengunjung kedai lainnya sibuk dengan percakapan masing-masing.

Wiraga yang berpakaian serba biru dirangkap rompi merah tua itu segera mendekati tempat duduk Tembang Selayang, ia duduk di depan Tembang Selayang, sedangkan Pendekar Mabuk duduk di samping Tembang Selayang.

"Adhiyasa ingin sekali jumpa denganmu, Tembang Selayang. Temuilah dia,tapi...."
"Sampaikan salamku saja kepada Adhiyasa jika kau bertemu dengannya."
"Kurasa kami akan lamatidak saling jumpa."
"Kenapa begitu?"
"Adhiyasa sedang pergi. Sudah dua purnama ini tak menampakkan batanghidungnya!"
"Pergi ke mana?" tanya Tembang Selayang pelan, seakan tak mau didengar Pendekar Mabuk.
"Kabarnya ia sedang memburu pusaka Kapak Setan Kubur."
"Hahh...?!" Tembang Selayang kaget. "Mengapa Adhiyasa memburu pusaka itu?"
"Ia diupah seseorang, ia ingin dapatkan upah tinggi,hasilnyaakan dipakai untukkawin."

"Edan-edanan dia itu!" gerutu Tembang Selayang dengan bersungut-sungut. "Apakah dia tahu di mana pusaka itu berada?"

"Kudengar ia sudah mendapat keterangan dari orang yang menyuruhnya, hanya saja ia tidak mau bilang padaku siapa orang yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Mulanya ia mencarimu karena ingin mengajakmu mencari pusaka itu."

Tembang Selayang tarik napas dalam-dalam. Ia diam dengan wajah cemberut. Entah apa artinya; mungkin kurang setuju dengan langkah Adhiyasa, mungkin juga jengkel karenatak bisa bertemu Adhiyasa.

"Wiraga, pergilah sana dan biarkan aku bicara berdua dengan sahabatku ini."
"O, ya! Aku memang akan pergi. Mau nonton wayang."
" Siapa yang punya hajat?"
"Ki Lurah mengawinkan putrinya; Murda Rukmi."

Setelah itu Wiraga pergi. Ki Punjul, pemilik kedai dan penginapan yang sudah mengenal Tembang Selayang itu, segera datang melayani mereka berdua. Suto Sinting memesan tuak sebumbung penuh, dan tuak dalam poci kecil.

"Ki Punjul, aku butuh kamar untuk bermalam. Apakah masih ada kamar kosong?"

"Masih ada, Tembang. Kau bisa gunakan kamar di lantai atas. Nanti kusuruh pelayanku menyiapkan kamar untukmu. Agaknya kalian ingin berbulan madu, ya? He,he, he, he...!"

"Bulan madu...!" gerutu Tembang Selayang bersungut-sungut. Lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun itu dibiarkan pergi ke dapur sambil menghabiskantawanya.

"Apa yang kuduga benar-benar terjadi; mereka akan sangka aku datang membawa kekasihku," ujar Tembang Selayang tanpa memandang Suto Sinting, namun sang pendekar tahu ucapan itu ditujukan padanya, ia hanya tertawa kecil dan memandangi orang-orang yang berkunjung ke kedai tersebut.

Sesaat kemudian Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan suara yang pelan dan berkesan hati-hati sekali agar tidak menyinggung perasaan gadis itu. "Siapa Adhiyasa itu, Tembang?"

"Sahabatku," jawab Tembang Selayang pelan tanpa ada kemarahan. Sepertinya ia masih memendam kedongkolan.

"Sahabat dekat atau sahabat jauh?" pancing Suto dengan mengulum senyum.
"Jangan cemburu."

"Lho, aku tidak cemburu. Jangan salah sangka. Aku hanya ingin tahu, sebab kudengar ia j uga sedang memburu pusaka itu demi mengejar upah besar dari seseorang. Mungkin kau bisa memberitahukan padaku, siapa orang yang mengupahnya itu?"

"Aku tak tahu. Kami sudah dua purnama tidak saling jumpa. Dia adalah sahabatku, tapi... tapi dia sepertinya punya hati padaku, hanya saja aku tidak mau melayani maksudnyayang ingin mencintaiku."

"Aha...! Seharusnya kau melayaninya semasa kau menyimpan hati pula padanya."

"Cukup!" hardik gadis itu. "Akutak ingin bicara soal itu," Ia semakin cemberut, tapi Pendekar Mabuk semakin cengar-cengir geli.

****
Lanjut ke bagian 2