Pendekar Mabuk 45 - Pertarungan Tanpa Ajal(2)



5
SEBUAH makam di lereng bukit menjadi bukti atas kematian Nini Pucanggeni. Murid si Gila Tuak dibawa ke makam itu oleh Pinang Sari hanya karena ingin membuktikan kebenaran kata-kata Pinang Sari. Makam itu memang makam baru, terlihat dari tanahnya yang masih basah sebagai tanda baru beberapa hari makam itu digali dan dipakai mengubur sesosok mayat. Di makam itu pun tertulis nama Nini Pucanggeni pada sebuah batu hitam setinggi lutut.



"Jika begitu aku telah ditipu oleh Ayunda!" gumam Suto Sinting di samping Pinang Sari.
"Tahukah kau siapa nama julukan Ayunda di kalangan rimba persilatan?"
"Aku tidak tahu," jawab Suto jujur. "Siapa nama julukannya itu?"
"Dewi Tipusani; kerjanya menipu sana-sini."

Pendekar Mabuk tersenyum geli. "Pantas kalau dia berjuluk Dewi Tipusani. Lalu..., kau sendiri tinggal di mana, Pinang Sari?"

"Aku menempati pondok Guru. Karena Guru pernah berpesan padaku agar aku meneruskan aliran perguruan kami dan menjadi ketua perguruan jika beliau wafat nanti. Jadi sekarang aku sedang mempersiapkan diri untuk menjadi ketua perguruan. Tapi lebih dulu aku harus membunuh Ayunda sebagai tebusan atas kematian Guru. Sebelum Ayunda mati aku tak akan menjadi ketua perguruan."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menggumam lirih, ia merasakan sengitnya dendam di hati Pinang Sari yang tentu saja akan mengejar Ayunda ke mana pun perempuan itu pergi.

"Apakah kau tahu siapa yang menyambar tubuh Ayunda tadi?"

"Siapa lagi kalau bukan gurunya sendiri; Nyai Gerhani Semi! Aku sempat melihat kelebatan bayangan si nenek cerewet itu."

"Jadi menurut dugaanmu Ayunda dibawa pulang oleh gurunya?"

"Belum tentu pulang," jawab Pinang Sari sambil memandang jauh. "Sebelum rencana mereka berhasil, mereka tak akan pulang ke padepokannya."

"Apa rencana mereka?!"

"Aku tak tahu dengan pasti. Yang jelas, setiap Ayunda turun gunung bersama gurunya, pasti mereka punya satu tujuan utama. Dan biasanya mereka tak akan kembali ke padepokan sebelum tujuan mereka tercapai!"

"Agaknya aku harus menemui Eyang Poci Dewa dan menanyakan apakah benar Ranggu Pura adalah anak dari Gandapura, si pemakan manusia itu? Sebab aku sangsi dengan cerita Ayunda dan penasaran ingin membuktikan mana yang benar."

"Poci Dewa tinggal di Bukit Serapah. Jika kau ingin menemuinya, pergilah ke arah utara sampai tiba di sebuah sungai, pergilah ke seberang sungai, karena Bukit Serapah ada di seberang sungai itu!"
"Apakah kau tak ingin mengantarku ke sana?"

"Aku harus mencari Ayunda. Belum tenang hidupku kalau belum membalas kematian Guru!" kata Pinang Sari dengan tegas. Suto Sinting angkat bahu pertanda tak bisa memaksa kehendak Pinang Sari. Lalu, mereka pun berpisah dengan tatapan mata Pinang Sari yang mengandung arti rasa berat untuk lakukan perpisahan itu.

Dalam pertengahan jarak, sebelum mencapai sebuah sungai, tiba-tiba Suto Sinting membelokkan arah perjalanannya ke timur, ia lakukan hal itu karena mendengar suara seseorang berbicara secara samar- samar. Suara itu dikenal Suto Sinting sebagai suara Kunta Aji.

Rasa ingin tahu membuat Suto mengendap-endap mendekati semak-semak ilalang, karena semak itu tampak gaduh dan berguncang gemerisik.

Dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, Suto Sinting mendekati tempat gemerisik itu tanpa timbulkan suara. Ilalang dan ranting apa pun yang diinjaknya tidak menimbulkan gerakan, sehingga kehadirannya di semak- semak itu tidak mencurigakan pihak lain.
"Edan...!" pekik Suto, untung hanya dalam hati.

Ia terkejut sekali melihat Cumbu Bayangan sedang dilepasi pakaiannya oleh Kunta Aji. Pemuda itu agaknya sudah dikuasai oleh gairah iblis, sehingga gadis cantik itu diciuminya dengan membabi buta sambil tangannya berusaha melepaskan seluruh pakaian si gadis. Cumbu Bayangan diam saja, bukan berarti dia pasrah dan setuju dengan apa yang ingin dilakukan Kunta Aji, melainkan karena Cumbu Bayangan dalam keadaan tertotok lemas, sehingga ia tidak mampu meronta sedikit pun.

"Kau menggairahkan sekali, Kismi! Oh, kau sungguh cantik sekali, Kismi. Sudah terlalu lama aku mengidam- idamkan saat seperti ini, Sayang. Ooh... Kismi, tak kusangka akhirnya impianku menjadi kenyataan. Daripada kau dijamah oleh murid pongah si Poci Dewa, lebih baik aku yang menggerayangimu lebih dulu. Karena sudah lama aku mengincarmu, aku jatuh hati padamu, namun aku takut dikutuk Guru dan tak berani mengungkapkannya kepadamu. Ooh, Kismi... Kismi Sayang...!"

Suto Sinting segera bertindak sebelum kesucian gadis itu direnggut oleh Kunta Aji. Sentilan lembut dilepaskan oleh Pendekar Mabuk untuk membebaskan totokan Cumbu Bayangan. Tapi sebelumnya ia menggunakan jurus 'Turangga Laga' dengan mengeraskan dua jarinya, ditempelkan di dahi sebentar, kemudian disentakkan ke depan, maka melesatlah sinar ungu menghantam punggung Kunta Aji. Clapp...! Dess...!

Seketika itu tubuh Kunta Aji tersentak kaku dan diam tak bergerak karena jantungnya berhenti sesaat. Biasanya jurus itu dipakai Pendekar Mabuk untuk merampas senjata lawan. Karena jantung itu akan bekerja kembali setelah tujuh helaan napas.

Tapi kali ini Suto Sinting sengaja tidak menyingkirkan tubuh Kunta Aji dari atas badan Cumbu Bayangan. Justru Suto melepas sentilan lembut yang mampu mengeluarkan tenaga dalam untuk menghantam salah satu sisi jalan darah gadis itu. Jurus 'Jari Guntur' yang tak terlalu keras itu menyadarkan Cumbu Bayangan dari totokannya. Debb...!

"Heegh...!" gadis itu tersentak sadar. Lalu segera terpekik kaget melihat keadaannya dan keadaan Kunta Aji.

"Oohh...?! Apa yang kau lakukan, Kunta?! Oh, celaka! Biadab kau...!"

Plakk...! Tamparan keras membuat tubuh yang jantungnya masih terhenti itu terlempar ke samping. Cumbu Bayangan panik dan membetulkan letak pakaiannya dengan terburu-buru. Beberapa saat kemudian Kunta Aji sadar, jantungnya mulai bekerja kembali, ia pun terkejut mendapatkan dirinya telah berpindah tempat dan melihat Cumbu Bayangan telah berdiri di depannya dengan berpakaian rapi. Sedangkan pakaian Kunta Aji sendiri masih berantakan sebagai bukti bahwa ia nyaris melakukan niat busuknya kepada Cumbu Bayangan. Wuuttt...! Duhgg...!

Kismi menendang wajah Kunta Aji dengan kerasnya. Wajah cantik itu dipenuhi dengan murka yang begitu besar, sehingga ia segera mencabut pedangnya dan menebaskan ke leher Kunta Aji. Wesss...!

"Kismi, sadar kau...!" sentak Kunta Aji sambil berguling ke arah samping untuk hindari pedang Kismi. Ia buru-buru bangkit dengan celana kedodoran.

"Manusia bejat! Kau mau perkosa aku rupanya, hah?!"
"Tid... tidak. Aku hanya ingin... ingin sebentar saja!"

"Sebentar, sebentar... apanya yang sebentar?!" bentak Kismi dengan mata mendelik. Kunta Aji sibuk membetulkan pakaiannya, sementara pedangnya tertinggal di tempat Kismi dibaringkan tadi.
Gadis itu menitikkan air mata kemarahannya. "Kubunuh kau...!"
Clap, clap, clap, dap... !

Dari ujung pedang itu keluar sinar merah patah-patah berbentuk seperti anak panah. Sinar tersebut mengarah ke dada Kunta Aji.

Lelaki itu tak bisa menghindar karena kecepatan gerak sinar tersebut, ia terpaksa menghadang sinar itu dengan telapak tangannya yang mengeluarkan bias sinar biru membentuk lapisan penangkis yang membuat sinar patah-patah itu selalu padam jika menyentuh sinar biru tersebut.

"Boleh juga," gumam Suto dalam hati sambil manggut-manggut. Ia masih memperhatikan dari persembunyian selama Cumbu Bayangan belum terdesak.

"Terpaksa kulenyapkan dirimu daripada aku yang mati di tanganmu, Kismi!" seru Kunta Aji. Kemudian tangan kirinya yang tidak mengeluarkan sinar biru penangkis itu berkelebat ke atas kepala dengan telapak tangan membuka dan jari merapat. Seberkas sinar kuning bagaikan lempengan besi panjang melesat dan menghantam ke arah kepala Cumbu Bayangan. Slapp...!

Lebar sinar itu hampir mencapai satu jengkal dan gerakannya cepat, mengejutkan lawan.
Sinar merah patah-patah berhenti, karena Cumbu Bayangan harus menghadapi sinar kuning tersebut. Maka dengan menggunakan gagang pedang yang digenggam tangan kiri, Cumbu Bayangan mengadu kekuatan tenaga dalamnya. Dari lubang gagang pedang itu keluar sinar merah bagaikan semburan api yang amat terang. Sinar merah itulah yang menghantam sinar kuningnya Kunta Aji di pertengahan jarak mereka.

Wuusss...!
Blegarrr...!

Tanah bergetar, beberapa pohon pun tampak terguncang akibat ledakan keras yang menggelegar itu. Kunta Aji terlempar ke belakang dan jatuh telentang dalam keadaan wajahnya menjadi hitam bagai disambar petir. Sedangkan Cumbu Bayangan melambung ke udara bagaikan diterbangkan oleh gelombang ledakan tadi. Namun ia masih sempat menjaga keseimbangan tubuh, sehingga sempat bersalto satu kali dan mendaratkan kakinya dengan tepat di tanah. Jlegg...!

"Kismi...! Kau benar-benar mengajak adu nyawa denganku rupanya!" geram Kunta Aji yang wajahnya menjadi hangus itu.

"Ya, aku lebih baik adu nyawa denganmu daripada kesucianku kau rampas dengan rakus!" bentak Cumbu Bayangan dengan lantang. Lalu ia memainkan pedangnya kembali sebagai tanda siap untuk lakukan serangan.

Kunta Aji merapatkan kedua telapak tangannya di dada. Tubuhnya gemetar sesaat dengan pandangan mata liar mengarah kepada Kismi.

"Hiaaatt...!" Kismi melompat, lalu berjungkir balik dengan menggunakan ujung pedangnya sebagai tumpuan tubuh. Ujung pedang itu menyentuh tanah dan tubuh Kismi melambung lebih tinggi lagi lalu bersalto di udara. Wuusss...!

Saat itu tangan Kunta Aji segera menghentak ke depan secara bersamaan. Wuukkk...! Dan segumpal asap hitam menyembur dari kedua telapak tangan Kunta Aji. Wosss...! Asap hitam diiringi gelombang angin kencang itu membuat tubuh Kismi yang hampir menebaskan pedangnya dari atas ke bawah itu menjadi terpental dan melayang-layang sesaat.

Akhirnya gadis itu jatuh dalam keadaan hilang keseimbangan. Brrukk...!

"Oohhg...!" ia memuntahkan darah hitam yang kental. Wajahnya menjadi biru memar, bahkan seluruh tubuhnya tampak memar sampai pada betisnya yang indah itu. Bola matanya buram, tepian mata menjadi merah menyeramkan. Semakin lama semakin bertambah rona memarnya itu.

"Kau... kau... menggunakan racun 'Hawa Bangkai' yang... yang dilarang oleh Guru itu.... Uhg...!" Kismi memuntahkan darah hitam lagi.

"Ya, aku menggunakan jurus racun 'Hawa Bangkai', karena tak ada jalan lain untuk membunuhmu kecuali dengan racun itu. Bukankah kau sudah sepakat untuk mengadu nyawa denganku, Kismi?!' seru Kunta Aji. Ia segera memungut pedangnya dan mencabut dari sarungnya. Sett... !

"Aku terpaksa tega padamu karena kau tak mau melayaniku! Aku jadi benci padamu. Dan untuk memperingan penderitaanmu, aku akan mempercepat kematianmu, Kismi! Hiaaat...!"

Kunta Aji melompat sambil mengangkat pedangnya untuk memancung kepala Kismi.

Saat seperti itulah yang membuat Pendekar Mabuk muncul dari persembunyiannya, ia tidak lakukan apa-apa kecuali menyambar tubuh Cumbu Bayangan dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Kecepatan bergerak yang melebihi kecepatan anak panah itu membuat Kunta Aji terbengong melompong manakala pedang itu menghantam tempat kosong. Jrubb...! Pedang itu mengenai tanah tempat Kismi berada tadi.

"Haah...?! Hilang...?!" Kunta Aji clingak-clinguk dengan tegang. "Jurus apa yang digunakan sehingga ia bisa hilang lenyap bagaikan siluman?! Apakah... apakah ia mendapat jurus baru dari Ranggu Pura?! Oh, berarti dalam dirinya telah tercampur aliran silat keparat pemberian Poci Dewa?! Aku harus segera mengadukan hal ini kepada Guru biar tak ada ampun lagi bagi gadis dungu itu!"

Kunta Aji bergegas pulang ke padepokannya. Di sana, Buyut Gerang sedang memanggil dua murid lelakinya dan memerintahkan mereka untuk menyerang perguruannya Poci Dewa. Tentu saja kedua murid itu adalah murid pilihan yang diperkirakan mampu memporak- porandakan perguruan lawan.

Namun ketika dilihatnya Kunta Aji datang, perintah itu ditunda. Buyut Gerang menyambut kedatangan Kunta Aji dengan tegang.

"Kunta Aji...?! Mengapa wajahmu hitam begitu?!"

"Guru...!" Kunta Aji memberi hormat sebentar, lalu meneruskan kata-katanya. "Kismi melawan saya dengan jurus 'Pedang Petaka'- nya, Guru!"

"Kurang ajar!" geram Buyut Gerang.
"Dia membangkang tak mau pulang dan ingin pergi ke padepokan si keparat Poci Dewa."
"Mengapa kau tidak memaksanya? Apakah kau kalah melawan Kismi?!"

"Dia dibantu oleh Poci Dewa, Guru! Saya dihajar habis-habisan oleh Poci Dewa. Saya melihat Kismi telah dibebali jurus maut alirannya si Poci Dewa. Ia dapat menghilang hingga sukar saya tangkap!"

"Biadab betul, Poci Dewa! Berani-beraninya mengotori jasad muridku dengan memasukkan aliran silatnya yang murahan itu!"

"Bahkan Poci Dewa menantang pertarungan kepada Guru. Saya disuruh pulang dan memberitahukan bahwa Poci Dewa masih menganggap Guru anak kemarin sore, karena tidak berani menghadapi tantangannya. Saya sakit hati sekali mendengar Guru direndahkan sedemikian rupa."

"Jahanam busuk!"
Brakkk...!

Buyut Gerang menghantamkan tongkat berukir kepala naga itu ke salah satu pilar, dan pilar itu langsung hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Atap sedikit miring karena kehilangan pilar ujung.
Kunta Aji makin membakar lagi. "Poci Dewa dan muridnya; si keparat Ranggu Pura itu, mengatakan bahwa Guru sudah tidak pantas hidup dan lebih baik menjadi bangkai yang digondol anjing ke sana-sini dan ........ "

Plokk... !

Wajah Kunta Aji ditendang keras oleh gurunya sendiri hingga tubuh itu terjungkal ke belakang dan berguling-guling. Wajah yang sudah hangus itu menjadi semakin hangus karena tendangan tadi tak sadar telah mengeluarkan cahaya merah sebagai cahaya tenaga dalam berhawa panas.

Kunta Aji mengerang karena kulit wajahnya melepuh. Bahkan pipinya melonyoh karena hawa panas yang tinggi itu.

Buyut Gerang segera menolongnya dengan perasaan sesal, ia bahkan berkata, "Lain kali hinaan seperti itu jangan kau sampaikan langsung padaku. Pakai bahasa isyarat saja, jadi aku tidak merasa sedang dihina oleh mulutmu!"

"Maa... maaf, Guru."
"Yang salah aku kok yang minta maaf kamu! Diamlah, kuobati dulu lukamu ini!"

"Fuih...!" wajah Kunta Aji ditiup satu kali. Hawa dingin terasa meresap ke dalam kulit. Setelah itu, Buyut Gerang berkata kepada para muridnya.

"Tak perlu ada yang ikut aku. Aku akan memenuhi tantangan si Poci Dewa itu! Kami akan bertarung sampai ada yang mati. Jangan ada yang membantuku, kecuali aku kepepet!"

***6

SEHARUSNYA racun 'Hawa Bangkai' tak boleh digunakan untuk menyerang sesama murid dalam satu asuhan Buyut Gerang. Tapi agaknya Kunta Aji kewalahan menghadapi kemarahan Cumbu Bayangan, sehingga ia terpaksa menggunakan jurus racun 'Hawa Bangkai' itu.

Suto Sinting meletakkan tubuh Cumbu Bayangan yang semakin membiru dan mulai menyebarkan bau busuk itu. Keadaan si gadis amat menyedihkan. Kecantikannya musnah dan sama sekali tidak mempunyai daya tarik lagi. Sekujur tubuhnya mengalami pembusukan yang menyerap kulit dan daging hingga mengeluarkan cairan busuk.

Suto Sinting segera meraih bumbung tuaknya. Tuak saktinya akan memulihkan kekuatan dan kecantikan Cumbu Bayangan seperti sediakala.

Namun sebelum hal itu terlaksana, sekelebat bayangan menendang Suto Sinting dalam satu gerakan melintas cepat. Wuuutt...! Brruuss...!

Pendekar Mabuk terpental dari sisi Cumbu Bayangan, ia terguling-guling karena kerasnya terjangan tersebut. Bumbung tuaknya yang belum sempat dibuka terlempar lepas dari tangannya. Jatuh dalam jarak empat langkah dari tempatnya terkapar.

"Uuhg...! Gajah mana yang menyambarku ini tadi?!" pikir Suto sambil berusaha bangkit. Tulang-tulangnya terasa linu sekali, ia tak bisa gesit lagi. Bahkan untuk mengangkat badannya supaya bisa duduk saja harus mengerahkan tenaga menahan rasa sakit di sekujur tubuh.

"Ooh... kau, Nek?!" ucap Suto Sinting seperti orang baru bangun tidur. Matanya memandang sayu kepada seorang nenek berjubah hitam dengan rambut putih dan memegangi kipas warna gading. Rambutnya dikonde seluruhnya, tapi ada beberapa helai yang meriap tersapu angin. Nenek itu bermata cekung dengan kulit keriput yang membuat bibirnya bagai tertarik ke dalam mulut.

"Satu peringatan dariku untukmu, Anak muda! Jadikan hal ini sebagai pelajaran bagimu, supaya tidak ikut campur lagi dalam urusanku!"

Tentu saja Pendekar Mabuk menjadi bingung sendiri mendengar ucapan sang nenek yang masih bisa berdiri tegak itu. Dengan mulut melongo seperti orang bego, Pendekar Mabuk sempat terkesima memandangi sang nenek yang belum dikenalnya, tapi berkata-kata demikian. Setelah beberapa saat, Suto Sinting segera sadar dan melepaskan diri dari kebengongannya.

"Aku tidak kenal siapa dirimu, Nek. Bagaimana mungkin aku bisa ikut campur urusanmu?"
"Jangan berlagak bodoh!" bentak sang nenek dengan suara masih kuat.

"Memang tidak tahu kok dianggap berlagak bodoh," gerutu Suto Sinting sambil berusaha bangkit, ia sempoyongan sesaat, namun segera menghampiri bumbung tuaknya. Tapi tiba-tiba sang nenek bergerak cepat dan berhasil menendang bumbung tuak itu. Wuuttt... !

Duaarr...!

Sebuah ledakan cukup keras membuat sang nenek terpental mundur tiga langkah. Kakinya terasa sakit dan segera diangkat sambil digoyang-goyangkan. Wajahnya menyeringai kecil pertanda menahan sakit.
Rupanya bumbung tuak itu tak bisa ditendang sembarangan. Pancaran tenaga dalam yang ada di dalam bumbung tuak telah beradu dengan tenaga sang nenek hingga timbulkan ledakan seperti tadi.

Sang nenek bermaksud menjauhkan bumbung tuak dari jangkauan Pendekar Mabuk, namun ia gagal melakukannya, karena tak tahu bahwa bumbung itu sebenarnya jelmaan dari seorang tokoh sakti, eyang dari gurunya Suto Sinting.

"Bambu keparat!" geram sang nenek ketika Suto akhirnya mengambil bambu wadah tuak itu dengan santai dan kalem, ia segera menegukkan dua kali seraya mendengarkan kata-kata sang nenek.

"Aku tak mau peduli siapa kau, Anak muda. Tapi sekali lagi kau ikut campur urusanku, tak segan-segan aku mencabut nyawamu dari ubun-ubun maupun dari dubur, sama saja!"

Suto menarik napas, merasakan kelegaan setelah meneguk tuaknya. Rasa linu dan sakit hilang setelah beberapa saat.

"Siapa kau sebenarnya, Nek? Urusan apa yang kau maksudkan itu?"

Sang nenek melirik Cumbu Bayangan sekejap. Gadis itu masih terkapar tanpa daya, namun belum mati dan tidak dalam keadaan pingsan. Suto segera tanggap setelah melihat mata si nenek melirik Kismi.

"Apakah ada hubungannya dengan Kismi, gadis itu?" tanya Suto Sinting.

Sang nenek memandang dengan mata cekungnya yang tajam.

"Aku adalah gurunya Ayunda!"
"Oh, jadi... jadi kau yang bernama Nyai Gerhani Semi?!"

"Benar! Hanya itu yang patut kau tahu saat ini! Pertimbangkan masak-masak jika kau ingin ikut campur dalam urusanku. Kau akan kehilangan nyawa dalam sekejap!"

Setelah berkata demikian, Nyai Gerhani Semi segera melesat pergi bagaikan menghilang. Gerakannya cukup cepat, namun sayang masih bisa terlihat oleh mata Pendekar Mabuk, sehingga dianggap masih belum bisa mengungguli 'Gerak Siluman' yang dimiliki Pendekar Mabuk.

"Aneh orang itu. Menuduhku ikut campur urusannya. Urusan yang mana? Oh, barangkali ia melihatku berjalan bersama Pinang Sari ke makam Nini Pucanggeni, sehingga ia menyangka aku berkomplot dengan Pinang Sari?! Ah, masa bodoh! Tak perlu kupikirkan si nenek peot itu. Oh, kasihan Cumbu Bayangan. Aku harus segera memberinya minum tuak inii"

Tuak segera diminumkan ke mulut Cumbu Bayangan. Sedikit demi sedikit tertelan juga, sampai akhirnya racun 'Hawa Bangkai' itu mulai tawar, keadaan Kismi berangsur-angsur membaik.

Gadis itu justru heran melihat keadaannya membaik. "Aneh sekali. Aku bisa selamat dari keganasan racun 'Hawa Bangkai' ini? Padahal kata Guru, siapa pun yang terkena racun 'Hawa Bangkai' tak akan bisa tertolong, karena racun itu tidak mempunyai obat penawar, dari dulu sampai sekarang. Tapi nyatanya ada yang bisa menyelamatkan jiwaku?"

Suto Sinting sengaja merebah dengan bersandar pada pohon. Semilir angin di siang itu dinikmati dengan nyaman. Matanya terpejam sambil tangannya memeluk bumbung tuak. Pemuda tampan itu diperhatikan Cumbu Bayangan dari jarak lima langkah.

"Dia lagi...!" gumam Kismi. "Tuaknya benar-benar sakti. Kalau tidak ada dia pasti nyawaku akan melayang sebelum hari menjadi sore. Aku semakin tertarik dengan ilmu-ilmunya."

Kismi melihat pedangnya tergeletak di samping. Rupanya saat Suto menyambar tubuh Kismi, pedang itu masih ada dalam genggaman Kismi walau nyaris jatuh di perjalanan.

Dengan pedang di tangan, tubuh yang telah sehat dan segar itu mendekati Suto Sinting, lalu menodongkan ujung pedang ke leher si Pendekar Mabuk.

"Bangun...!" hardiknya pelan.

Suto Sinting tidak terkejut, karena langkah kaki Kismi tadi didengarnya, ia hanya membuka mata pelan- pelan dan memandang Kismi dengan senyum tipis mekar di bibirnya. Kismi menggerutu dalam hati. Jengkel sendiri kepada hatinya yang berdesir jika melihat senyuman Pendekar Mabuk. Namun ia tetap menodongkan pedang.

"Apa maksudmu mengarahkan pedang ke leherku?!"
"Mau merobek lehermu!" jawabnya dengan membentak.
"Mengapa leherku mau dirobek? Apa tak ada leher lain yang lebih enak dirobek?"
"Karena kau ingkar janji!"
"Janji yang mana?" Suto kerutkan dahi.

"Janji mengajarkan dua jurusmu itu; mengalihkan rasa ke tempat lain, dan menangkis dengan bambu tuakmu itu!"

Suto Sinting terpaksa tertawa tanpa suara, ia masih membiarkan pedang itu diacungkan ke lehernya dalam jarak satu jengkal. Tak ada rasa takut atau cemas sedikit pun, sebab ia yakin gadis itu tak akan berani melukainya.

"Sudah kukatakan, kalau kau mau menangkis pakai bumbung, ya harus punya bumbung tuak! Kalau tidak punya, apakah kau mau menangkis serangan dengan kepalamu?"

Kismi mendesis, membuang hasratnya ingin tertawa karena ucapan Suto yang seenaknya itu. Dari cahaya matanya Suto melihat gadis itu sudah tidak segalak tempo hari. Bahkan kini Suto berani singkirkan mata pedang itu dengan mendorongnya ke samping dan bangkit berdiri dengan tenang sekali. Toh gadis itu tidak menahan pedangnya dan membiarkan pedang tersingkir.

"Soal dua jurus itu soal mudah," kata Suto Sinting. "Tapi tempo hari aku bertemu dengan kekasihmu; Ranggu Pura."

Gadis itu terkesiap dan mulai memandang penuh rasa penasaran. Namun ia tak bilang apa-apa kecuali diam dan menunggu penjelasan berikutnya.

"Kutemukan Ranggu Pura sedang dihajar oleh Ki Buyut Gerang."

"Jahanam...!" geram Cumbu Bayangan, sikap membela sang kekasih mulai tampak jelas. Suto Sinting menertawakan dalam senyuman indah.

"Tapi aku sudah bisa selamatkan Ranggu Pura. Persoalannya sudah jelas, Ranggu Pura dituduh membawa lari dirimu, dan Ki Buyut Gerang tidak bisa menerima begitu saja. Aku mengambil alih persoalan itu dan berjanji akan membawamu pulang ke perguruanmu."

"Aku tidak akan pulang!" sentak Cumbu Bayangan. "Aku sudah berjanji tidak akan kembali ke perguruan selama Guru tidak merestui hubungan kasihku dengan Ranggu Pura."

"Itu bisa diatur belakangan," kata Suto Sinting. "Yang penting kau kembali ke padepokan dulu, supaya Ranggu Pura tidak dikejar-kejar sebagai penculik perawan ayu!" Suto melepaskan tawa mirip orang menggumam. Cumbu Bayangan hanya melirik sebentar, lalu mendengus bersama wajah cemberutnya.

"Aku sudah berjanji akan kabur bersama Ranggu Pura. Kami akan bertemu di Teluk Sangir!"

Suto Sinting manggut-manggut, mencoba memahami perasaan sang gadis, ia mulai dapat merasakan betapa besar cinta sang gadis kepada Ranggu Pura hingga berani mengambii langkah seperti itu. Suto Sinting merasa harus memaklumi perasaan seperti itu, karena ia sendiri sering memendam rindu dan cinta yang tak bisa dibatasi dengan apa pun dan oleh siapa pun, yaitu rindu dan cintanya kepada ratu Negeri Puri Gerbang Surgawi yang bernama Dyah Sariningrum, calon istrinya sesuai garis sejarah yang dimilikinya itu.

"Jadi kalian sudah bertekad begitu?"

"Ya. Kalau mau bantu kami, bantulah pelarian kami!" kata Kismi tanpa kelembutan sedikit pun.
"Akan kucoba membantu kalian. Hanya saja, ada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu."

Gadis itu semula memandang ke arah jauh. Tapi sekarang menatap Suto Sinting dengan gerakan berpaling cukup cepat. Ini menandakan bahwa ia tertarik sekali dengan pertanyaan yang ingin diajukan Suto.

"Benarkah kekasihmu yang bernama Ranggu Pura itu anak dari Gandapura, penguasa Pantai Ajal itu?!"

Mata sang gadis terkesiap. Sedikit menyipit dalam tatapannya. Ada rasa kaget yang disembunyikan dalam hati, yang akhirnya berubah menjadi sebentuk renungan pendek.

"Sebab, kudengar Gandapura sedang mengamuk di Pulau Jelaga karena mencari anaknya yang bernama Ranggu Pura. Anak itu yang akan mendapat warisan seluruh ilmu si Gandapura, yang berarti akan menjadi manusia pemakan daging manusia."

Setelah berdiam beberapa saat, Cumbu Bayangan berkata dengan suara tidak seketus tadi,

"Aku tidak tahu dengan pasti. Tapi Ranggu Pura pernah bilang, bahwa ia ditemukan oleh gurunya dalam usia masih bayi, kabarnya saat itu ia dibuang oleh orangtuanya dan sampai sekarang tak tahu siapa orangtua Ranggu Pura sebenarnya. Gurunya itu; Poci Dewa, sudah dianggap orangtuanya sendiri."

"Apakah itu berarti ibu dari Ranggu Pura merasa malu mempunyai anak dari lelaki yang menjadi titisan raksasa itu? Karena malu mempunyai anak dari Gandapura, maka ia membuangnya dan ditemukan oleh gurunya. Barangkali sang Guru dapat mengetahui dari mana asal bayi itu, mungkin menggunakan teropong indera keenamnya, sehingga bayi tersebut diberinya nama Ranggu Pura, mirip dengan nama ayahnya Gandapura."

"Benarkah begitu?" tanya Kismi mulai kelihatan cemas.

"Kita butuh penjelasan dari sang Guru. Aku akan pergi menemui Eyang Poci Dewa dan menanyakan hal itu."

"Aku tak mau ikut. Nanti aku justru dianggap perempuan murahan, mendatangi lelaki yang sudah dikekang tak boleh berhubungan denganku!" Kismi cemberut lagi.

"Aku tidak bermaksud mengajakmu, tapi ingin memulangkan kau kepada Ki Buyut Gerang. Beliau adalah sahabat guruku juga."

"Tidak. Aku tidak mau!" Kismi melangkah hendak pergi. Suto Sinting mengejarnya.
"Kismi, dengar dulu pendapatku!"

"Aku tidak mau pulang ke perguruan lagi sebelum mereka merestui hubunganku dengan Ranggu Pura!"

"Apakah kau suka mempunyai suami yang nantinya akan menjadi manusia pemakan daging manusia? Bahkan mungkin akan memakan habis tubuhmu sendiri itu?!"

Langkah sang gadis pun terhenti, ia berpaling memandang ke belakang dengan gerakan sangat pelan. Sepertinya ia menemukan sesuatu yang patut dipertimbangkan. Saat itu Pendekar Mabuk semakin mendekatinya.

"Benarkah ia akan menjadi seperti itu, Suto?" ucapnya dengan suara lirih bernada sedih.

"Kita belum bisa memastikan, sebab belum mendapat penjelasan yang sebenarnya. Hmmm... barangkali kau bisa menjawab pertanyaanku yang satu ini. Apakah... Ranggu Pura mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka'?"

Gadis itu berkerut dahi tajam sekali. "Ilmu 'Mahkota Neraka' itu ilmu apa?!" tanyanya penuh nada keheranan, ia merasa asing dengan nama ilmu tersebut.

"Kabarnya ilmu itu adalah ilmu titisan yang dimiliki oleh keturunan Gandapura. Ilmu itu membuatnya tak akan bisa mati, kecuali dibunuh memakai pusaka yang bernama Kapak Setan Kubur. Kau pernah mendengar nama pusaka itu?"

Cumbu Bayangan gelengkan kepala dengan wajah bingung. "Aku tidak tahu soal itu. Soal ilmu itu, soal pusaka itu, aku sama sekali tidak tahu, karena Ranggu Pura tidak pernah membicarakan hal itu, menyinggung- nyinggung dalam pembicaraan kami pun tidak pernah."

Setelah melalui pertimbangan sesaat, akhirnya Cumbu Bayangan mengatakan, "Apakah kau bisa menjamin keselamatanku jika aku ikut datang ke perguruannya Ranggu Pura?"

"Kenapa tidak? Eyang Poci Dewa tak akan berani mengusiknya jika kau bersamaku. Kita minta penjelasan sejelas-jelasnya dari Eyang Poci Dewa!"

"Baik, aku ikut ke sana. Tapi... kapan kau mau ajarkan dua jurusmu itu?"

"Setelah masalahmu selesai. Sebab kalau memang benar Ranggu Pura adalah keturunan Gandapura, berarti dia akan menjadi manusia paling berbahaya karena akan mempunyai kegemaran memakan manusia. Apakah itu berarti kau tetap mau menjadi istrinya?"

"Kurasa... kurasa kalau memang begitu, aku lebih baik mati dimakan oleh Ranggu Pura daripada hidup tanpa dia."

"Amboii... mesra sekali kau ini rupanya," Pendekar Mabuk menertawakan. Cumbu Bayangan buang muka menyembunyikan wajah tersipunya.

Tapi di dalam hati Suto timbul kecamuk kebimbangan setelah mendengar pengakuan dari mulut Cumbu Bayangan yang berbibir mungil itu.

"Apa yang harus kulakukan jika Ranggu Pura adalah benar, anak dari Gandapura? Kalau ia kulenyapkan, alangkah menderita dan sakitnya hati gadis ini. Tapi jika tidak kulenyapkan, alangkah celakanya nasib orang- orang yang akan menjadi santapannya nanti. Jadi sebaiknya aku harus bersikap bagaimana dalam menangani masalah ini?"

***7

GERAKAN Kismi ditahan oleh tangan Pendekar Mabuk yang mencekal pundak gadis itu. Tentu saja hal itu menimbulkan keheranan di hati sang gadis. Namun keheranan itu tidak dilontarkan lewat kata, melainkan melalui pandangan mata dan kerutan dahi. Dengan begitu saja Suto Sinting sudah tahu maksudnya dan segera menjelaskan dalam bisikan.

"Lihat ke sisi kanan kita, kau kenal dengan perempuan yang mengendap-endap itu?!"

"Hmmm... ya, aku kenal dia. Dia yang bernama Ayunda. Dia sering berkunjung ke perguruanku dan menjalin hubungan baik dengan guruku!"

"Benarkah begitu?! Tapi ketika kau menderita racun 'Hawa Bangkai' tadi, gurunya Ayunda menyerangku dan mengancamku agar tidak mencampuri urusannya."

"Urusan apa?"
"Mana kutahu? Dia tidak jelaskan urusan itu."

Cumbu Bayangan masih berkerut dahi dan mencoba memikirkan hal itu. Tapi Suto Sinting lebih dulu berkata dalam bisikan lagi.

"Aku curiga dengan gerakan Ayunda yang mengendap-endap menuruni tanggul sungai itu. Kita lihat apa yang dilakukannya!"

Pendekar Mabuk melenting di udara, tubuhnya melesat naik dan hinggap di atas pohon. Cumbu Bayangan mengikuti gerakan itu dan ternyata cukup mampu, walau ia hampir saja jatuh saat mendaratkan kakinya di sebuah dahan. Untung segera disambar oleh tangan Pendekar Mabuk, sehingga ia terhindar dari kecelakaan kecil itu.

Dari pohon ke pohon, akhirnya mereka tiba di lereng tanggul. Pandangan mata mereka dapat melihat dengan jelas seorang pemuda yang sedang didekati Ayunda secara sembunyi-sembunyi itu. Cumbu Bayangan terkejut sekali melihat pemuda yang tampak sedang kebingungan mencari sesuatu dengan napas terengah- engah.

"Ranggu...!"

"Ssstt...!" Suto Sinting buru-buru membekap mulut gadis itu dengan tangannya, ia pun berbisik di telinga Cumbu Bayangan,

"Kita lihat dulu apa yang akan dilakukan Ayunda terhadap kekasihmu itu."
"Ak... aku melihat Ayunda ingin berbuat jahat kepada Ranggu."

"Sejahat apa, kita ingin tahu. Jangan khawatir, aku akan melindungi kekasihmu dari bahaya besar. Semasa Ranggu masih bisa mengatasi, kita biarkan saja ia mengatasi dulu."

Ranggu Pura memang tampak sedang berang. Wajahnya kelihatan merah dibakar murka. Napasnya memburu menandakan luapan amarahnya yang tak sabar ingin cepat dilampiaskan. Sedangkan Ayunda masih mengendap-endap mendekati Ranggu Pura dari belakang.

Tiba-tiba perempuan murid Nyai Gerhani Semi itu melompat dari persembunyiannya, bersalto satu kali dan tubuhnya meluncur turun dengan kaki lurus mengarah ke tengkuk kepala Ranggu Pura.

"Hiaaatt...!"

Ranggu Pura segera bersalto ke depan untuk menghindari tendangan tersebut. Wuuuttt...! Ia langsung berbalik menghadapi Ayunda begitu kakinya menapak ke tanah.

Saat itu Ayunda sudah berdiri dengan hati kecewa karena kegagalannya menendang tengkuk Ranggu Pura. Tangan Ayunda sudah mengeras dengan jari-jari mekar merapat, kemudian tangan itu disentakkan ke depan dan dari tengah telapak tangan tersebut keluar sinar merah lurus tak terputus. Slaaapp...!

Ranggu Pura cukup sigap, ia segera merendah, berlutut satu kaki, dan melepaskan pukulan serupa tapi sinarnya berwarna kuning lurus tak terputus. Slaaappp...!

Sinar merah melintasi kepala Ranggu Pura. Tapi sinar kuning Ranggu Pura tepat kenai pinggang Ayunda. Zuuubb...!

"Aaahg...!" Ayunda melengkung ke samping sambil menyeringai kesakitan, tangannya menangkap bagian yang terkena sinar kuning Ranggu Pura.

Namun agaknya rasa sakit dari luka dalamnya itu tidak dihiraukan. Ayunda melompat ke samping, kemudian mencabut pedangnya dengan cepat.

Seeet... !

Tubuh itu melompat lagi dalam gerakan bersalto, lalu pedang pun ditebaskan dari atas ke bawah, bermaksud membelah kepala Ranggu Pura.

"Hiaaah...!" sentaknya penuh nafsu membunuh.

Zeebb...! Kedua tangan Ranggu Pura merapat dan menangkap gerakan pedang itu di atas kepala, seperti bunga yang sedang mekar tiba-tiba mengatup karena menangkap mangsa. Pedang itu pun mulai memancarkan cahaya biru ketika Ranggu Pura menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya hingga tubuh gemetaran. Lalu dengan satu kali sentakan tubuh miring ke kiri, pedang itu pun tiba-tiba patah menjadi dua bagian. Kraak...!

Kaki kanan Ranggu Pura segera berkelebat cepat menendang miring ke arah lawan. Buuhg...! Tendangan itu tepat kenal ulu hati Ayunda.

"Heegh...!" Ayunda terpekik tertahan karena tendangan itu penuh kekuatan tenaga dalam. Tubuh Ayunda terlempar dan nyaris jatuh ke dalam sungai.

Untung ada batu sebesar kerbau, sehingga tubuh Ayunda membentur batu itu dan tak jadi terjun ke sungai. Brrukk...!

"Auuww...!" Ayunda mengerang kesakitan. Tapi ia bertahan terus walau wajahnya telah menjadi pucat akibat serangan sinar kuning tadi. Ia memandang pedangnya yang patah, hatinya semakin panas, dan pedang itu pun dilemparkan ke arah Ranggu Pura. Wuuttt... !

Ranggu Pura menghindar dengan gesit, weess... ! Pedang yang tinggal separo batang itu meluncur melewati sisi kiri kepala Ranggu Pura. Di belakang pemuda berpakaian merah itu ada sebongkah batu, dan patahan pedang tersebut menancap ke dalam batu. Jraaabb...! Wuuss...! Asap keluar dari pedang tersebut, dan bekas tancapan pedang menjadi hitam. Seandainya pedang buntung itu mengenai Ranggu Pura, tentu saja tubuh Ranggu Pura akan terluka berat, karena Ayunda melemparkannya dengan kekuatan tenaga inti yang disalurkan sepenuhnya pada potongan pedang tersebut.

Ayunda merasa perlu menahan nafsu membunuhnya untuk kendalikan gerakannya agar tidak selalu meleset sasaran, ia menarik napas panjang-panjang, sementara Ranggu Pura tetap memainkan jurus, memasang kuda- kuda dengan kedua tangan menguncup kaki merendah, mirip sebuah teko aneh. Itulah jurus ajaran gurunya; si Poci Dewa.

"Kurasa kau tak akan mampu menumbangkan diriku, Ranggu Pura! Percuma saja kau bersikeras mencari kekasihmu; Cumbu Bayangan. Dia sudah terbunuh oleh seseorang dan mayatnya tergeletak di pantai."

Wajah Ranggu Pura menegang lagi dengan gusar.

"Sebaiknya lupakan tentang Cumbu Bayangan. Toh ada perempuan lain yang bersedia kau cumbu lebih lama lagi. Sayang kau menyepelekan diriku, sehingga kau tidak melihat ada perempuan lebih hebat dari Kismi yang mampu memberikan kebahagiaan padamu sepanjang masa."

"Persetan dengan kata-katamu, Ayunda! Kau perempuan bermulut busuk! Mengapa kau racuni pikiran guruku dengan bualanmu?! Kaulah biang keladi dari masalah yang menyangkut tentang hubunganku dengan Cumbu Bayangan!"

"Kalau kau keras kepala tak mau melayani gairahku, aku pun keras kepala untuk tetap ingin mencabut nyawamu, Ranggu Pura!"

"Biadab dia!" geram Cumbu Bayangan dalam persembunyiannya. Wajahnya menjadi merah jambu karena dibakar kemarahan. Tapi Pendekar Mabuk menahannya agar tidak terburu-buru keluar dari persembunyian.

"Banyak yang perlu kita ketahui dari mereka! Kita lihat dulu, jangan terburu nafsu, Kismi!" bisik Suto.

"Tapi perempuan itu memang layak untuk dibinasakan! Setiap lelaki maunya dicobai! Tak peduli kekasih teman sendiri juga dipaksa untuk melayani gairahnya!" Cumbu Bayangan bersungut-sungut.

"Sabar. Lihatlah, agaknya Ranggu Pura tidak sendirian."

Cumbu Bayangan segera terkesiap memandang kehadiran seorang gadis berpakaian hitam dengan rambut diponi cantik. Gadis itu begitu datang langsung melayangkan tendangannya ke punggung Ayunda yang membuat Ayunda tersentak ke depan dan tersungkur.

Bruuss...!

"Pinang Sari...?!" gumam Kismi dengan heran. "Rupanya ia juga mencintai Ranggu Pura, sehingga membela Ranggu dalam melawan Ayunda?!"

"Bukan!" sergah Suto dalam suara berbisik. "Pinang Sari punya urusan sendiri dengan Ayunda, bukan karena membela kekasihmu! Pinang Sari ingin membalas dendam atas kematian gurunya yang dibunuh oleh Ayunda."

"Ooh...?! Jadi... jadi Nini Pucanggeni itu sekarang sudah tewas dibunuh Ayunda?!" Kismi tampak terkejut, namun segera tidak begitu menghiraukan karena keadaan menjadi tegang; Ayunda berada di antara Pinang Sari dan Ranggu Pura. Wajah perempuan yang doyan lelaki itu sudah berdarah di bagian cuping hidungnya yang robek akibat tersungkur tadi. Tapi agaknya ia belum mau menyerah, belum ingin melarikan diri.

"Ranggu, serahkan dia padaku! Biar aku yang menghakiminya!" kata Pinang Sari.

"Aku pun berhak menghakiminya dengan caraku sendiri, Pinang Sari. Karena dia telah membuat perguruanku menjadi kacau, jiwa guruku pun menjadi galau! Mulut perempuan itu memang layak untuk dihancurkan."

"Hmm...!" Ayunda tampak sunggingkan senyum sinis. "Kalian berdua maju bersama-sama saja biar tidak saling berebut. Kalau perlu panggil guru-guru kalian, aku tak akan mundur! Justru akan kuhancurkan kalian menjadi debu yang paling lembut di antara para debu!" sumbar Ayunda mendongkolkan hati Kismi di persembunyian. Tapi niatnya untuk tampil selalu dicegah Suto Sinting.

"Ranggu," kata Pinang Sari. "Apa yang akan kau lakukan jika berhadapan dengan pembunuh gurumu?"

"Kuhancurkan orang itu dalam satu jurus!"
"Begitu pun aku!" tegas Pinang Sari.

Ranggu berkerut dahi. "Jadi... Gurumu, Nini Pucanggeni telah dibunuh oleh perempuan itu?!"

"Ya, memang aku yang membunuhnya!" kata Ayunda bernada menantang. "Perintah dari guruku adalah membunuh Pucanggeni karena dendam lama. Maka kugunakan racun perdamaian, sehingga perempuan tua itu kelojotan di tempat sepi, tak ada yang menolongnya!"

"Aku yang menolongnya, dan Guru sempat mengatakan siapa pelakunya sebelum hembuskan napas terakhir!" sahut Pinang Sari.

Ranggu Pura berkata, "Pinang Sari, selesaikan dendammu! Aku akan mundur sesaat, dan jika kau lemah akan kubantu!"

"Kenapa tidak kalian maju bersama saja? Biar urusanku cepat selesai!" kata Ayunda memanaskan hati Pinang Sari.

"Kurobek betul mulut busukmu, Dewi Tipusani! Hiaaat...!"

Wuuttt... ! Pinang Sari melompat menyerang Ayunda dengan mencabut trisulanya. Ayunda segera melompat mundur dan melepaskan pukulan tenaga dalam bersinar merah dari ujung jarinya.

Claaap...!
Tar, tar, trraat... taarr... !

Trisula itu digunakan untuk menangkis sinar merah, lalu memerciklah sinar biru dari ujung trisula bagaikan mengubah warna sinar lawan. Sinar biru melompat- lompat mirip kilatan lidah petir.

Kejap berikut, trisula itu dikibaskan menyamping dari kanan ke kiri. Wuuutt...! Dan melesatlah sinar ungu ke tubuh Ayunda. Zraabb...!

Ayunda menghadang dengan dua tangannya yang memancarkan cahaya merah terang. Weess...!

Blaarr... !

Ledakan dahsyat menyemburkan gelombang kuat berhawa panas. Tubuh Ayunda terpental lima langkah dan jatuh terjungkal, sedangkan tubuh Pinang Sari tersentak mundur tak sampai jatuh. Trisulanya segera diangkat hingga melebihi kepala dengan satu tangan mengarah ke depan. Lalu trisula itu disentakkan ke depan dan dari ujungnya meluncur sinar putih lurus tanpa putus.

Slaap... !

Ayunda terbakar oleh gelombang hawa panas tadi. Kini ia sedang bangkit dan terkejut melihat datangnya sinar putih lurus, ia segera sentakkan kakinya dan melenting di udara dengan seruan bersalto,

"Hiaaattt...!"

Jlegaarr...! Sinar putih itu menghantam batu kali yang cukup besar. Batu tersebut lenyap dalam sekejap, menjadi serbuk halus berwarna hitam. Sedangkan tubuh Ayunda segera melesat berlari meninggalkan tempat karena merasa terdesak oleh serangan lawan.

"Ayunda! Jangan lari kau, Setan!" teriak Pinang Sari. ia segera melesat dengan cepat. Wuuuttt...! Pinang Sari mengejar Ayunda dengan dendam tak tertahankan lagi.

Ranggu Pura segera bergegas ikut mengejar mereka. Tapi tiba-tiba sebuah seruan terdengar dari belakangnya.

"Ranggu...!" Seruan itu berasal dari gadis cantik berjubah kuning yang tak lain adalah Cumbu Bayangan. Gadis itu diizinkan oleh Suto Sinting untuk keluar dari persembunyian dan menemui kekasihnya.

"Kismi...?!" seru Ranggu Pura dengan girang, ia pun segera berlari menyambut kekasihnya. Gadis itu berlari kecil dan akhirnya mereka berpelukan penuh curahan rindu.

Pendekar Mabuk sengaja dibuat terbatuk-batuk untuk memberi tanda agar mereka jangan terlalu lama berpelukan. Pikir Suto saat itu, "Terlalu lama melihat mereka berpelukan kepalaku jadi puyeng! Ingat kekasihku; Dyah Sariningrum."

Ranggu Pura tampak ceria memandang kemunculan kekasihnya, tapi sedikit curiga ketika tahu kekasihnya datang bersama Pendekar Mabuk yang lebih ganteng dari dirinya sendiri. Kismi segera menjelaskan tentang perbuatan Kunta Aji dan penyelamatan yang dilakukan Pendekar Mabuk.

"Terima kasih kau telah selamatkan kekasihku, Suto," ujar Ranggu Pura dengan ceria.

"Terima kasihnya nanti saja. Masih ada persoalan yang belum kita selesaikan," kata Suto Sinting setelah meneguk tuaknya.

"Memang benar. Masih ada persoalan antara perguruanku dengan perguruan Kismi. Karena itulah aku jadi marah kepada Ayunda."

"Mengapa kau sampai marah kepada Ayunda? Apa yang telah diperbuat oleh Ayunda?" tanya Cumbu Bayangan.

"Dia datang menemui guruku. Dia mengadukan kepada guruku, bahwa dia melihat dari persembunyian saat aku dihajar habis oleh gurumu, ia juga menceritakan bahwa gurumu telah membakarku, namun ia datang dan menyelamatkan aku dari kobaran api! Padahal kala itu yang datang menolongku adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk ini. Bukankah begitu, Suto?"

"Benar. Tapi aku tak tahu kalau saat itu Ayunda memperhatikan kita."

"Aku juga tidak tahu. Tapi dia mengarang cerita di depan guruku. Bahkan ia mengatakan bahwa Ki Buyut Gerang menantang pertarungan secara ksatria kepada guruku. Tentu saja guruku menjadi berang dan murka. Aku mencoba meredakan tapi justru dianggap bersekongkol dan memihak perguruannya Kismi!"

"Sekarang apakah gurumu ada di padepokan?" tanya Suto. "Aku ingin bertemu dengan beliau."

"Beliau pergi melabrak ke perguruannya Kismi, karena merasa ditantang dan dihina habis-habisan oleh Ki Buyut Gerang. Padahal waktu itu, Ki Buyut Gerang hanya mengancam pada diriku pribadi, bukan? Tidak membawa-bawa soal guruku! Tentunya kau masih ingat, bahwa Ki Buyut Gerang tidak melontarkan tantangan pertarungan antar pribadi kepada Eyang Poci Dewa."

"Memang tak ada kata-kata yang bersifat menantang gurumu!" kata Suto.

Cumbu Bayangan menimpali, "Kalau begitu, selama ini sebenarnya perguruan kita telah diadu domba oleh Ayunda, termasuk tentang hubungan kita, Ranggu!"

"Kurasa memang begitu. Sebaiknya kita segera susul guruku, supaya jangan sampai terjadi pertarungan antara gurumu dengan guruku! Mereka hanya diadu domba oleh muridnya Nyai Gerhani Semi!" kata Ranggu Pura.

"Aku setuju!" sahut Suto Sinting.

***8

DALAM perjalanan mencegah pertarungan dua tokoh tua itu, Suto Sinting sempat membicarakan tentang apa yang dikatakan Ayunda kepadanya berkaitan dengan hubungan Ranggu Pura dengan Gandapura. Secara jelas- jelas Ranggu Pura membantah pendapat tersebut di depan kekasihnya juga.

"Ayahku seorang petani. Menurut Guru, ayahku meninggal karena peristiwa perampokan, dan ibuku tersiksa, lalu diambil istri oleh seorang lurah. Tapi diam- diam pada suatu malam lurah itu membuangku ke parit- parit sawah. Lalu Guru menemukan aku dan meneropong dengan kekuatan indera keenamnya. Maka tahulah Guru siapa diriku sebenarnya. Jadi aku bukan anak Gandapura. Hanya secara kebetulan saja namaku hampir mirip dengan si pemakan manusia itu!"

"Oh, Ranggu... syukurlah kalau kau bukan anak Gandapura!" kata Cumbu Bayangan dengan mempererat pelukannya dari samping, sedangkan Suto Sinting hanya melirik dengan batuk-batuk kecil, mengusir kedongkolannya melihat kemesraan itu.

"Seenaknya saja mereka bersikap mesra, tak memikirkan tekanan batinku selama ini," gerutu Suto Sinting dalam hatinya.

"Hei, lihat di atas bukit itu!" seru Kismi tiba-tiba.

Mereka sama-sama menatap ke arah yang ditunjuk Kismi. Ternyata dua berkas sinar yang melayang, berwarna merah dan hijau. Kedua sinar itu saling beradu di angkasa dan membentuk satu ledakan dahsyat yang mengguncangkan bumi.

Blegaarr...!

Gelombang getarannya terasa sampai ke tanah yang mereka pijak. Ranggu Pura menjadi cemas dan segera berkata dengan nada cukup tegang,

"Kita segera ke bukit itu! Pasti di sana gurumu sudah bertemu dengan guruku!"

Dugaan Ranggu Pura tidak meleset. Di bukit itulah Buyut Gerang bertemu dengan Poci Dewa. Mereka saling bersitegang dan terjadi perdebatan cukup seru.

"Muridmu itu yang gatal, mengejar-ngejar muridku, seperti perawan kekurangan hiburan!" sentak Poci Dewa.

"Justru muridmu yang bermata jalang dan menjadi lelaki picisan. Seenaknya saja membawa lari gadis yang belum tentu mencintainya! Dasar didikanmu, tetap saja jadinya sejalang masa mudamu dulu, Poci Dewa!"

"Keparat kau, Buyut Gerang! Tak perlu saling menyalahkan murid, sekarang yang penting aku datang untuk memenuhi tantanganmu! Jangan kau anggap perguruanku perguruan kembang-kempis seperti yang kau katakan kepada Ayunda itu, hah?!"

"Mulutmu pun perlu dipagar rapat-rapat agar tak melontarkan sesumbar yang murahan! Sekarang aku datang dan tunjukkan kehebatanmu!"

"Mati kau di tanganku, keparat! Hiiaatt...!"

Poci Dewa keluarkan jurus seperti burung bangau mau terbang. Sedangkan Buyut Gerang juga keluarkan jurus simpanannya yang mirip seekor kucing menggeliat malas.

Keduanya akhirnya saling serang dengan tubuh melayang bagaikan terbang di angkasa. Lalu pertemuan di angkasa membawa mereka ke dendam kesumat, saling melepaskan pukulan dahsyat yang setiap tangkisan menghasilkan suatu ledakan mengguntur.

Blaarr... blegaar... blaang.... Duaar...!

Dalam satu kesempatan, ketika mereka masih mengambang di udara tanpa pedulikan bumi dan alam yang bergetar, Buyut Gerang berhasil hantamkan pukulan telapak tangannya ke dada Poci Dewa. Sedangkan pihak Poci Dewa pun mendapat kesempatan menghantamkan tangannya yang menguncup ke ulu hati Buyut Gerang. Pukulan itu sama-sama timbulkan bunyi menggelegar secara bersamaan.

Blegaarr...!

Kedua tokoh tua tanpa pengikut itu sama-sama terpental dan jatuh berguling-guling. Napas mereka terengah-engah. Wajah mereka dicekam rasa sakit yang tetap dipertahankan kekuatannya.

Buyut Gerang memuntahkan darah merah kental, rambutnya rontok sebagian karena pukulan Poci Dewa. Sedangkan lawannya pun mengalami hal yang serupa, rambut Poci Dewa rontok sebagian, bahkan yang semula berwarna putih sempat menjadi semburat hitam karena hangus terbakar oleh pukulan telapak tangan Buyut Gerang.

Keduanya tak ada yang merasa kalah dan tak ada yang merasa lemah. Mereka sama-sama bangkit kembali dengan nafsu ingin membunuh lebih besar lagi.

"Demi nama baik perguruanku, aku terpaksa mengakhiri masa hidupmu, Buyut Gerang!"

"Aku pun demi membela martabat perguruanku, dengan terpaksa kukirimkan kau ke neraka sekarang juga, Poci Dewa! Heaaatt...!"

Kedua tangan mereka mulai menyala bagaikan bara. Buyut Gerang tangannya menyala merah kebiru-biruan, dan mengepulkan asap tipis, sedangkan Poci Dewa kedua tangannya menyala merah bara, seperti lahar gunung berapi. Tapi keduanya sama-sama memainkan jurus yang sulit dilihat gerakannya karena begitu cepat dan tangkas.

Namun tiba-tiba terdengar suara berseru, "Tahaaan...!"

Suara itu adalah suara Ranggu Pura yang segera berlari mendekati gurunya. Tapi Suto Sinting menahan gerakan Ranggu Pura karena melihat bahwa kedua tokoh tua itu sama sekali tidak menghiraukan seruan siapapun.

"Jangan mendekat, nanti kau sendiri yang jadi sasaran!" sentak Pendekar Mabuk kepada Ranggu Pura.

Dilihatnya kedua tokoh tua sudah mulai bersiap-siap untuk saling menyerang. Pendekar Mabuk segera melesat ke pertengahan jarak pada waktu kedua tokoh yang menjadi sahabat si Gila Tuak itu sama-sama maju dengan sekumpulan tenaga dalam mereka yang tertinggi.

"Hiaaat...!"
"Heeeaaahh...!"

Zlaap...! Suto tiba di pertengahan jarak dengan tepat waktu. Saat kedua tangan mereka akan beradu, Suto masuk di tengah-tengahnya. Bumbung tuaknya dihadangkan melintang, sehingga tangan para tokoh tua itu saling menghantam ujung bumbung tuak tersebut. Buyut Gerang menghantam bagian atas bumbung, dan Poci Dewa menghantam bagian bawah bumbung.

Jlegaaarrr... !

Keduanya sama-sama terpental ke belakang dan berguling-guling. Tapi bumbung tuak itu tetap utuh dan Suto Sinting tetap di tempat menahan bumbung tuak dengan tubuh bergetar. Tapi kaki Pendekar Mabuk terbenam dalam tanah karena kuatnya menahan gelombang ledakan tadi hingga batas mata kaki.

"Keparat kau, murid Gila Tuak!" sentak Poci Dewa kepada Suto Sinting. Napasnya terengah-engah, rambutnya terbakar dan menjadi hitam keriting. Sedangkan Buyut Gerang wajahnya menghitam akibat gelombang ledakan tadi. Rambutnya yang tipis di bagian belakang juga menjadi keriting dan hitam karena menahan panas yang tinggi.

"Hentikan pertarungan ini!" kata Suto Sinting dengan suara lantang. Buyut Gerang berseru dari tempatnya,

"Berani-beraninya kau mencampuri urusan orang tua dengan orang tua, Suto?!"
"Maaf, aku bukan hanya sekadar ikut campur saja.

Aku ingin meluruskan masalah. Pertarungan ini adalah pertarungan yang tidak disertai pemikiran sehat. Kau dihasut oleh seseorang, Ki Buyut. Dan kau juga dihasut oleh seseorang hingga menjadi murka terhadap Ki Buyut, Eyang Poci Dewa!"

"Bicara apa kau sebenarnya, hah?!" sentak Poci Dewa.

"Lihatlah murid-murid kalian itu...!" sambil Suto Sinting menuding Kismi dan Ranggu Pura. Saat itu mereka sengaja merapatkan diri dan berpelukan tanpa tanggung-tanggung .

"Jadah gosong!" teriak Buyut Gerang. "Di sini para guru bertarung kalian malah mesra-mesraan!"
Poci Dewa juga memaki jengkel melihat kemesraan Kismi dengan Ranggu Pura itu,

"Kampret bodong! Dibela sampai bertaruh nyawa malah saling berpelukan! Tak ada rasa prihatinnya sama sekali kau ini, Ranggu!"

Kedua muda-mudi itu segera mendekat, tapi arah mereka menuju Suto Sinting. Langkah mereka beriringan dan saling merangkul, sehingga mata kedua guru itu sama-sama terbelalak sukar berkedip. Lalu, Ranggu Pura memberanikan diri bicara kepada gurunya; Poci Dewa.

"Kita telah dibakar oleh Ayunda, Guru! Apa yang dikatakan Ayunda tentang cerita di bukit karang itu ternyata tidak benar. Karena pada waktu itu, Pendekar Mabuk juga datang dan menyelamatkan aku. Tak ada kata-kata dari Buyut Gerang yang bersifat menantang pertarungan kepada Eyang Guru Poci Dewa!"

"Benar! Tak ada ucapan yang menantang pertarungan dari Ki Buyut Gerang. Aku sendiri saksinya!" sahut Suto Sinting.

"Aku memang tidak pernah menantangmu," kata Buyut Gerang.

"Betulkah?!"

"Berani sumpah disambar seribu perawan, aku tak pernah menantangmu. Tapi mengapa kau menghinaku dan menantangku, Poci Dewa?! Aku sangat tersinggung dengan ucapanmu yang kau lontarkan di depan muridku, Kunta Aji!"

"Kapan aku bertemu Kunta Aji?!" Poci Dewa bingung sendiri. Lalu, Buyut Gerang menjelaskan laporan dari Kunta Aji saat wajahnya menghitam.

"Kunta Aji bohong, Guru!" sahut Kismi. "Wajahnya menghitam karena terkena pukulanku. Dia lalu menggunakan jurus racun 'Hawa Bangkai' dan mengenaiku. Untung aku diselamatkan oleh Pendekar Mabuk"

"Mengapa kalian bertarung sendiri? Apa sebab Kunta Aji sampai menggunakan racun 'Hawa Bangkai' untuk menyerangmu?!"

"Karena dia menotokku, lalu dalam keadaan lemas tak berdaya dia ingin memperkosaku, Guru! Dia kejam dan jahat...!" Kismi akhirnya menangis karena tak tahan menderita sakit hati membayangkan peristiwa itu. Lalu, Ranggu Pura berseru kepada gurunya sendiri; Poci Dewa.

"Guru, izinkan saya bertarung melawan Kunta Aji sekarang juga! Saya ingin beradu kejantanan dengannya demi kehormatan Cumbu Bayangan!"

Kedua tokoh tua itu saling pandang dalam kebimbangan. Pendekar Mabuk segera memberi saran,

"Rasa-rasanya tak perlu terjadi. Cukup para Guru yang saling menyadari bahwa permusuhan diantara dua perguruan yang berasal dari satu sumber ini tidak perlu terjadi lagi. Sebab jika kita saling bermusuhan, maka ada pihak lain yang akan memanfaatkan keadaan kita ini, untuk membuat kedua perguruan semakin hancur lebur. Dan kalau sudah begitu, yang berjaya adalah pihak perguruan lain, yang menderita dan menjadi korban adalah pihak kita sendiri."

"Benar...!" ada orang berseru dari belakang mereka. Ternyata yang berseru itu adalah Pinang Sari.

Semua mata memandang dengan sedikit terbelalak, karena Pinang Sari datang sambil menyeret Ayunda yang sudah babak belur itu. Ayunda dicengkeram rambutnya kemudian diseret sampai ke tempat mereka.

"Pinang Sari, apa maksudmu membawa Ayunda kemari?" tanya Buyut Gerang.
"Mulut perempuan inilah yang merusak perguruan kalian berdua! Termasuk yang membunuh guruku!"
"Benarkah apa yang kau katakan itu dusta semua, Ayunda?!" tanya Poci Dewa.

Pinang Sari memperkuat jambakan di rambut Ayunda sambil membentak, "Jawab! Katakan yang sebenarnya!"

"Auuh...! Iiy... iya, benar! Aku... aku ditugaskan oleh Guru untuk mengacaukan kedua perguruan ini, supaya perguruanku menjadi lebih terpandang lagi jika kedua perguruan ini sudah hancur!"

"Keparat kau, Ayunda...!" Buyut Gerang hendak melepaskan pukulan mautnya, tapi tiba-tiba terdengar suara di kejauhan yang berseru keras.

"Hukumlah pula muridmu ini, Buyut Gerang!"

Mereka terkejut, ternyata Nyai Gerhani Semi datang sambil membawa Kunta Aji yang menjadi tawanannya. Dari kejauhan Nyai Gerhana Semi berseru lagi,

"Muridmu ini juga bersekongkol dengan kami, Ki Buyut Gerang. Ia ikut membantu usahaku menghancurkan kedua perguruan kalian, supaya perguruanku lebih terpandang dan menonjol sebagai perguruan aliran Eyang Wisnu Braja, guru kita bertiga!"

"Omong kosong! Muridku tak akan berkhianat pada perguruannya!" sentak Buyut Gerang sambil menutupi rasa malu dan murkanya!

"Siapa bilang ia tak berani berkhianat jika setiap saat selalu dijamu kemesraan dan kehangatan tubuh muridku; si Ayunda?! Ia menjadi ketagihan gairah Ayunda, sehingga apa pun yang diperintahkan Ayunda pasti dilaksanakan!"

"Keparat kau...! Hiaaah...!"

Buyut Gerang tak kuasa menahan murkanya lagi. Sebuah pukulan maut bercahaya ungu lebar dihantamkan dari jarak jauh ke arah Nyai Gerhani Semi. Wooosss...! Blegaarr... !

Sinar ungu itu sangat cepat sekali sehingga tidak mungkin bisa dihindari oleh siapa pun. Nyai Gerhani Semi tak sempat menangkisnya sehingga sinar ungu itu menghantam mereka berdua; Nyai Gerhani Semi dan Kunta Aji.

Ledakan dahsyat mengguntur kembali dan mengguncangkan bukit tersebut. Mereka sama-sama terperanjat dan tak bisa bicara sepatah kata pun, karena kedua korban itu menjadi lumer bersamaan. Nyai Gerhani Semi dan Kunta Aji jatuh terkulai, tubuh mereka menjadi lembek, makin lama makin mencair dan akhirnya rata dengan tanah. Kejap berikutnya diserap oleh tanah dan mereka pun lenyap tanpa bekas sesobek kain pun.

"Guruuu...!" teriak Ayunda histeris. Lalu ia menatap Buyut Gerang dengan mata liar dan buas.

"Kubalas tindakanmu, Setan tua...! Hiaaah...!" Ayunda meronta dan membuat Pinang Sari terpental, genggaman rambut lepas, bahkan jebol di tangan Pinang Sari. Ayunda berlari dengan kerahkan tenaga untuk menyerang Buyut Gerang.

Tapi dari tangan Poci Dewa melesat sinar ungu pula, namun hanya selarik dan berbentuk lurus tanpa putus.

Slaapp...! Deess...! Blaarr...!

Punggung Ayunda menjadi sasaran sinar ungunya Poci Dewa. Perempuan itu pun pecah dan serpihannya tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Terlalu lembut melebihi tepung beras, sehingga mereka sempat kebingungan mencari mayat atau potongan tubuh Ayunda.

"Kita nyaris menjadi korban kekejaman adik perguruan kita, Buyut Gerang!" kata Poci Dewa.

"Benar, Poci Dewa. Kita orangtua yang lengah, mungkin karena terlalu lelah menyangga usia."
Mereka saling berdekatan, kemudian saling pandang dengan mata sayu.

"Biarkan muridmu menikahi muridku!" kata Buyut Gerang. "Apakah kau masih tak setuju?"

"Kalau kau yang menanggung biayanya aku tak setuju. Tapi kalau aku yang menanggung biaya pesta perkawinan mereka selama tujuh hari tujuh malam, aku setuju!"

"Kalau begitu kebetulan, kau saja yang menanggung biayanya."

"Baik. Tapi jangan lupa kau ikut patungan sedikit- sedikit. Jangan aku semua!" kata Poci Dewa yang segera disambut tawa oleh Pendekar Mabuk dan Pinang Sari.

Sedangkan Ranggu Pura dan Kismi saling berpelukan dengan gembira. Mereka memancarkan cahaya kebahagiaan melalui pandangan mata masing-masing, di mana keduanya akhirnya bersujud di kaki guru mereka masing-masing.

"Kau mau kawin sama siapa?" tanya Pinang Sari kepada Suto Sinting.
"Masih kosong!"
"Aku juga masih kosong," balas Pinang Sari.

"Kalau begitu, mari kita sama-sama cari muatan biar tidak kosong...!" seraya Pendekar Mabuk melangkah sambil tertawa dan Pinang Sari memburunya pelan- pelan. Mereka sama-sama meninggalkan pertarungan tanpa ajal antara Poci Dewa dan Buyut Gerang.

SELESAI

Selanjutnya .... KAPAK SETAN KUBUR