Pendekar Mabuk 46 - Kapak Setan Kubur(2)



 Setelah saling meneguk minuman dan menelan makanan, Pendekar Mabuk mulai membuka percakapan lagi dengan suara pelan bagaikan berbisik. Untuk itu duduknya lebih merapat lagi. "Murid siapa Adhiyasa itu?"


"Limatingkat di bawahku."
"O, jadi kalian saudara seperguruan?"

"Ya. Tapi ketika aku meninggalkan perguruan, dia baru masuk, sehingga aku semula tidak tahu kalau ia juga murid dari Nyai Guru Guntur Ayu."

Pendekar Mabuk terkesiap pandangi Tembang Selayang.

"Kalau begitu kau kenal dengan Dinada?!"

"O, ya. Aku kenal dengannya. Dinada atau Milasi adalah seangkatan denganku. Kami sama-sama keluar dari perguruan terutama setelah perguruan dipegang oleh Merak Cabul. Kami tidak sepaham dengan tujuan si Merak Cabul."

Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut- manggut, terbayang wajah gadis cantik peniup seruling yang bernama Dinada. Ia jadi rindu ingin bertemu gadis itu. Terbayang pula kelincahan Dinada kala gadis itu mempermainkan Suto dengan serulingnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "GelangNaga Dewa").

"Apakah dia kekasihmu?"
"Bukan. Kenapa nada pertanyaanmu penuh curiga?"
"Pemuda tampan sepertimu biasanya di mana-mana punya banyak 'demenan' alias gundik."

"Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa agak keras karena geli sekali mendengar kata-kata itu. Ia buru-buru menutup mulut setelah sadar bahwa saat itu ia berada di kedai, ia juga menjadi malu ketika orang-orang memperhatikan ke arahnya.

Akibat tawa yang terlepas itu, seorang lelaki gemuk berkumis lebat dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala biru itu mendekati Suto Sinting. Lelaki bergelang bahar hitam itu menepuk pundak Tembang Selayang sambil berkata nakal.

"Tembang Selayang... rupanya kau sekarang punya pemuas dahaga semuda itu, hmm...?! Pantas aku tak pernah melihatmu. Wajahmu pucat sekali. Apakah dikurung terus oleh anak muda itu?"

Teebb...! Tembang Selayang mencekal tangan orang tersebut tanpa memandangnya. Wajahnya dingin dan ketus.

"Jangan macam-macam padaku, Guci Kopong!"

Krraakk...! Terdengar seperti suaratulang patah. Guci Kopong meringis dengan mata terpejam. Mulutnya ternganga karena menahan rasa sakit.

"Ada yang ingin kau katakan lagi padaku?!" pertanyaan itu bernada datar dan dingin, tanpa diikuti pandangan matake arah orang yang ditanya Guci Kopong tak bisa menjawab karena genggaman tangan Tembang Selayang bagaikan kian meremukkan pergelangan tangannya. Pendekar Mabuk hanya memandanginya tanpa berbuat apa-apa. Senyumnya mekar di bibir, seakan menertawakan orang gemuk yang berlagak jagoan itu.

"Hei, lepaskan dia, Tembang!" seru orang berbadan agak kurus dari Guci Kopong. Orang berbaju kuning dan berkumis melengkung ke bawah itu segera melompat dari tempat duduknya ingin menyerang Tembang Selayang .

Suto Sinting segera sentilkan jarinya. Deess...! Tenaga dalam berkekuatan tendangan kuda jantan dilepaskan melalui sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Orang berbaju kuning langsung terbang kembali arah danjatuh di atas meja. Brakkk...!

"Uuhg...!" ia mendelik dan memegangi ulu hatinya bagaikan sukar bernapas.

Tembang Selayang bangkit dan menghentakkan sikunya ke belakang sambil lepaskan genggaman tangannya. Buuhg...!

"Heegh...!" Guci Kopong terpelanting ke belakang dan menabrak seorang pembeli lainnya yang sedang memunggunginya. Brakkk... !

Tembang Selayang berbalik arah menghadapi lawannya, sedangkan Suto Sinting masih tetap duduk dengan santai. Satu kakinya ditumpangkan di bangku dalam keadaan setengah bersila, ia tersenyum-senyum memandangi kedua orang yang bermaksud cari gara-gara itu.

Guci Kopong tersiram kuah santan pada wajahnya, sedangkan orang berbaju kuning itu terkena sambal di bagian rambutnya.

Mereka sama-sama berdiri dengan wajah masih menyeringai menahan rasa sakit. Tembang Selayang tahu, bahwa Suto Sinting tadi ikut membantunya menyerang orang berbaju kuning, sehingga ia berkata kepada orang itu dengan mata galaknya.

"Bawa kakakmu pergi dari sini dan jangan boleh menggangguku lagi, Pawang Kera!"

"Kau mematahkan tangan kakakku, Tembang Selayang! Aku harus membalas dengan mematahkan batang lehermu, Keparat! Hiaaah...!"

Baru saja si Pawang Kera menggerakkan tangannya membuka jurus keranya, tiba-tiba Suto Sinting sentilkan kembali 'Jari Guntur'-nya secara diam-diam. Deess...!

"Uhaaghh...!" Pawang Kera terbungkuk dan muntah di tempat membuat orang-orang menggerutu benci. Yang makan segera meninggalkan makanannya karena jijik.

Kedua orang kakak-beradik itu akhirnya meninggalkan kedai setelah diperingatkan oleh orang- orang sekelilingnya.

" Sudah, pergi saja kalian! Bikin kacau di sini saja! Kami mau makan, bukan mau melihat orang berlagak jago!"

Di pintu menuju keluar, Guci Kopong berseru tinggalkan ancaman sambil menyangga tangan kanan yang remuk tulangnya itu.

"Tunggu kalian di sini! Kami akan datang bersama ketua kami!"

"Panggil ketua perguruanmu!" tantang Tembang Selayang. "Kami tak takut. Kami menunggu di sini sampai esokpagi!"

"Awas kau, Tembang! Kau akan mati hangus dan menjadi arang atau terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian!" geram Guci Kopong, setelah itu ia ditarik oleh Pawang Kera agar segera pergi tinggalkan kedai.

Suasana tenang kembali. Tembang Selayang menyatakan bersedia mengganti kerugian atas kerusakan yangterjadi di situ. Tapi pemilik kedai berkata,

"Tak perlu. Kau sudah mengusir mereka, aku sudah cukup berterima kasih. Sebab mereka kalau terlalu lama di sini, daganganku bisa habis tanpa ada uangnya. Mereka tak pernah mau bayar apa saja yang mereka makan di sini."

"Kita lanjutkan percakapan kita di kamar saja." ajak Tembang Selayang. Suto Sinting tidak menolak, karena ia memang ingin melonjorkan badan agak santai sebentar. Pelayan yang mengurus persewaan kamar segera mengantarkan Tembang Selayang dan Suto Sinting ke kamar lantai atas. Penginapan itu mempunyai dua lantai dengan sepuluh kamar sewaan. Pada umumnya yang menyewa kamar di situ membawa perempuan malam atau gundik mereka, sehingga Suto agak kikuk dan tak enak hati karena ia tahu orang-orang itu menyangka Tembang Selayang adalah gundiknya.

Tapi gadis itu lebih bersikap masa bodoh, sehingga Suto Sinting pun akhirnya ikut-ikutan bersikap demikian untuk menenangkan jiwanya.

"Siapa mereka berdua tadi, Tembang Selayang?!"

"Pawang Kera dan Guci Kopong. Mereka orang- orang Perguruan Monyet Sakti, ketuanya bernama: Dewa Beruk."

"Baru sekarang kudengar nama-nama mereka. Hmm... Dewa Beruk?" Suto menggumamkan nama itu seakan punya maknatersendiri.

"Tak perlu kau risaukan mereka. Aku masih sanggup hadapi sepuluh orang Monyet Sakti! Ketua mereka sendiri ilmunyamasih sejajar denganku."

"Bukan itu yang kupikirkan, tapi ancaman mereka."

Tembang Selayang sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan kekhawatiran Suto Sinting, ia segera merebahkan badan di atas dipan sebelum Suto menggunakan dipan itu.

"Jangan pikirkan ancaman itu. Biasanya mereka hanya besar mulut, jarang terbukti. Orang-orang Perguruan Monyet Sakti hanya banyak berkoar, di mana- mana meninggalkan sesumbar dan ancaman, tapi ilmu mereka sebenarnya sangat kecil."

Suto Sinting tersenyum dekati Tembang Selayang, ia berdiri di samping dipan menatap gadis yang berbaring dengan pedang didekap di dadanya.

"Sial. Hatiku deg-degan memandang ia berbaring begini?!" gerutu Suto dalam hati, tapi di mulutnya ia berkata lain.

"Aku tak takut pada ancaman mereka. Tapi aku menemukan kejanggalan yang perlukita pikirkan."

"Kejanggalan apa?"

"Guci Kopong tadi bilang, akan datang memanggil ketuanya dan seakan ketuanya sanggup membuat kita mati hangus menjadi arang atauterpotongtiga puluh tiga bagian."

"Itu sesumbarnya saja."

"Mungkin memang benar. Tapi dari mana ia bisa sesumbar begitu kalau bukan karena ia pernah melihat bukti? Dan siapa orang yang bisa bertindak begitu jika bukan orang yang memiliki Kapak Setan Kubur?!"

Tembang Selayang diam sebentarmerenungkan, tiba- tiba ia tersentak bangkit dan menatap tegang kepada Suto Sinting.

"Benar juga! Berarti pusaka Kapak Setan Kubur ada di tangan Dewa Beruk?!"

Suto Sinting hanya angkat bahu dengan senyum tipisnya.

***5

PERGURUAN Monyet Sakti terletak di lereng Gunung Bunting sebelah barat. Jika ingin ke sana harus melewati kaki Gunung Bunting, yang berarti harus melewati pondok tempat tinggal Empu Tapak Rengat. Sebelum membuktikan apakah pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk, Suto Sinting sangat setuju untuk tetap singgah dan temui ayah Tembang Selayang seperti rencana semula.

Perjalanan ke kaki Gunung Bunting memakan waktu kurang dari seperempat hari. Suto Sinting menggerutu dan berkata,

"Kalau tahu tidak sejauh ini, mendingan tadi malam kita lanjutkan perjalanan, tak perlu bermalam di penginapan Ki Punjul."

"Naluriku menghendaki begitu, dan ternyata kita akan memperoleh tanda-tanda siapa pemegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Coba kalau kita tidak bermalam di desa itu, kita tidak bertemu Guci Kopong dan Pawang Kera, sehingga tidak mempunyai bayangan siapa pemegang pusakatersebut?"

"Benar juga," jawab Suto akhirnya menyerah dalam perdebatan itu. "Tapi ada satu hal yang membuatku merasa janggal tentang dirimu."

"Tentang hubunganku dengan Adhiyasa?! Oh, kau masih tak percaya kalau akutidak mencintai Adhiyasa?"

"Bukan soal itu, Manis," kata Suto dengan tersenyum geli. Lalu ia tampak bersungguh-sungguh dalam ucapannya.

"Kau mengatakan bahwa gurumu adalah Nyai Guntur Ayu, kau satu perguruan dengan Dinada."

"Benar. Apakah kau tak percaya?"

"Bukan soal tak percaya. Tapi kau bilang akan bertanyapada gurumu tentang ilmu 'Mahkota Neraka'."

"Memang, karena guruku banyak tahu tentang ilmu- ilmukelastinggi itu."
"Tapibukankah Nyai Guntur Ayu sudah meninggal?"
"Ya, memang sudah meninggal."

"Lalu, bagaimana kau mau bertanya kepada orang yang sudah meninggal? Aku merasa janggal membayangkannya"

Tembang Selayang sunggingkan senyum tipis berkesan meremehkan pertanyaan itu. Tetapi ia segera bicara dengan sungguh-sungguh tanpa ada kesan membohongi Pendekar Mabuk.

"Hanya aku murid dari Nyai Guru Guntur Ayu yang bisa bicara dengan makam Guru, karena akulah satu- satunya murid yang berhasil pelajari ilmu 'Rohwicara'. Murid lainnya tidak berhasil pelajari ilmu itu. Bahkan anak Nyai Guru sendiri; Aswarani, tidak bisa kuasai ilmu 'Rohwicara' itu."

"Aswarani...?! Maksudmu si Anak Petir itu?!"
"Ya. Dia adalah putritunggal Nyai Guru Guntur Ayu. Kau pernah kenal dia?"

"Pernah," jawab Suto Sinting, tak lanjutkan penjelasannya. Suto tak ingin ceritakan bahwa Anak Petir yang menjadi perempuan sesat itu telah mati di tangannya dalam satu pertempuran, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "GelangNaga Dewa").

Percakapan mereka terhenti karena mata mereka memandang kepulan asap di balik kerimbunan hutan. Kepulan asap itu membubung tinggi berwarna hitam. Tembang Selayang menjadi tegang dan berkata dengan suara gemetar,

"Ada kebakaran di sana. Padahal di sana adalah pondok kediaman ayahku?! Adakah sesuatu yang terjadi terhadap ayahku?!"

"Cepat kitake sana!" seru Suto Sinting, kemudian ia melesat lebih dulu. Separo kecepatan dari jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan, sehingga kecepatannya bisa sejajar dengan kecepatan gerak Tembang Selayang. Tapi ternyata gadis itu bergerak lebih cepat lagi, sehingga Suto perlu menambah kecepatan geraknya supaya tetap sejajar.

Mereka terperangah ketika tiba di suatu ketinggian lereng dan memandang ke bawah. Sebuah rumah gubuk terbakar dengan kobaran api membubung tinggi.

"Ayaaaah...!" teriak Tembang Selayang memandang tiga orang yang sedang menghajar lelaki tua berbadan kurus dengan kain selempang sebagai ganti pakaiannya yang berwarna putih lusuh itu. Orang tua berambut abu- abu dengan usia sekitar enam puluh tahun itu tak lain adalah EmpuTapak Rengat.

Kemudian terdengar suara gadis itu mengalunkan tembang yang lembut mendayu-dayu dengan suaranya yangjernih dan berkesanteduh.

"Awan putih ditelan mendung Matahari diam membisu seribu kata Dewa-dewa palingkan muka tak mau bicara Awanputih hancur di ujung gerhana Adakah damai di atas sana yang mampu mengusir petaka Bidadari sucimenitikkan kebeningan dari celah duka Karena tiada tangan yang menggapai menolongnya.... "

Suara lembut Itu bagaikan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Matahari yang memancarkan sinarnya dengan terang menjadi redup. Kobaran api pun kian menyusut. Pertarungan di bawah sana menjadi terhenti, mereka saling bungkam dan membisu, diam tertunduk seakan meresapi syair tembang yang mengalun lembut menggores hati.

Tak berbeda halnya dengan Pendekar Mabuk yang juga menunduk. Hatinya menjadi sedih, terbayang masa anak-anaknya yang menyedihkan. Terbayang wajah ayahnya yang tersiksa oleh kekejaman orang-orangnya Kombang Hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah TanpaPusar").

"Celaka! Aku hampir menangis dicekam masa lalu yang amat menyedihkan. Mengapa aku jadi membayangkan peristiwa itu? Oh, syair tembang dan suara merdunya ternyata mempunyai kekuatan yang melumpuhkan hati orang yang mendengarnya. Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku harus mengimbangi dengan menjaga pernapasanku agar teratur dan memusatkan perhatianku pada musuh bebuyutan: Siluman Tujuh Nyawa...," pikir Suto Sinting.

Ternyata tiga orang yang menyerang Empu Tapak Rengat itu juga mengalami hal yang sama dengan Pendekar Mabuk. Teringat masa-masa yang amat menyedihkan, kenangan masa anak-anak atau pun peristiwa duka apa saja kembali bermunculan dalam ingatan mereka. Suara dan syair tembang itu ternyata mampu menggugah ingatan duka masa lalu bagi siapa pun yang mendengarnya.

Tiga orang berambut pendek dengan usia rata-rata empat puluh tahun itu akhirnya terisak-isak.

Mereka menangis dan tak mampu menahan air matanya. Ada yang langsung terduduk di tanah dan tersengguk- sengguk, ada yang sambil berdiri, ada pula yang hanya sekadar jongkok dan meraung-raung ingat kematian ibunya.

"Huaaa.... Huaaa.... Ibuuu... kenapa kau tinggalkan aku sendirian, Ibuuu...!" orang berbaju merah itu meraung-raung bagaikan baru saja Ibunya meninggal di depan mata.

Nyala api yang semula berkobar semakin lama semakin surut dan akhirnya padam. Angin berhembus agak kencang, dan matahari tertutup mega hitam hingga suasana mendung tercipta saat itu juga.

Alunan suara Tembang Selayang ternyata mampu mempengaruhi alam, sehingga dedaunan pun menjadi layu dan udara membawa embun dingin yang terasa membasah di kulit t ubuh manusia.

Empu Tapak Rengat juga tertunduk dalam sikap duduknya yang bersila. Agaknya ia pun dicekam duka karenaterkenang kematian istrinya yang menjadi tumbal sebuah pusaka miliknya itu. Namun agaknya Empu Tapak Rengat mengetahui kehadiran duka itu tidak sewajarnya, sehingga ia mencoba melawannya dengan lakukan semadi seadanya.

"Hentikanlah tembangmu, mereka telah berhenti menyerang ayahmu!" bisik Suto Sinting yang menjadi tegar karena menenggak tuak agak banyak.

Wuusss...! Tembang Selayang melompat menuruni lereng dengan lincah, kakinya menapak dari atas batu yang satu ke batu lainnya dalam jarak lebar. Pendekar Mabuk hanya gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlapp...! Tahu-tahu sudah ada di depan tiga orang berambut pendek yang sedang menangis itu. Kejap berikutnya barulah Tembang Selayang tiba di tempat tersebut, ia langsung menghajar ketiga orang itu dengan gerakan cepatnya

Plak, plok, duhg, prakkk, bruss...!

Tiga orang yang sedang menangis menjadi semakin mengerang karena kesakitan. Dukanya hilang tapi rasa sakitnya datang mengejutkan sekali. Mereka segera bangkit satu persatu dengan murkanya. Mata mereka saling memandang Tembang Selayang yang berdiri tegar, seakan tak mudah ditumbangkan.

"Keparat perempuan itu! Habisi dia!" teriak yang berpakaian hitam. Maka kedua orang yang berpakaian merah dan abu-abu itu segera menerjang Tembang Selayang.

"Heeaaahh...!" Blarrr...!

Rupanya gadis itu tak mau membuang waktu menunda dendam. Kedua telapak tangannya disentakkan ke depan secara bersamaan, dan melesatlah sinar biru menghantam tubuh mereka masing-masing.

Brrruuss... ! Gusrakk... !

Kedua orang itu terkapar dengan kulit tubuh mengelupas merah. Mata mereka terbelalak tak bisa berkedip dengan mulut ternganga bagaikan mencari udara untuk ditelannya. Kejap berikutnya tubuh-tubuh yang mengejang itu akhirnya terkulai lemas dan napas mereka pun lenyap saat itu juga.

"Bangsat kau!" teriak orang yang berpakaian hitam. "Kau harus menebus nyawa dua rekanku dengan nyawamu dan nyawa si tua peot itu!" ia menuding Empu Tapak Rengat.

Orang berpakaian hitam itu mencabut goloknya dan memutar-mutarkan dengan cepat. Kilatan cahaya putih perak sesekali tampak melesat dari putaran golok di atas kepala tersebut. Kilatan cahaya putih perak itu menyambar tubuh Tembang Selayang. Namun gadis itu menghindarinya dengan melompat ke sana kemari dengan licah, sampai akhirnya berada di belakang orang berbaju hitam. Sebuah tendangan samping diarahkan ke punggung orang berbaju hitam. Wuuttt...! Duhhgg...!

"Heeegh...!" orang itu terpekik keras dan tersentak sampai terjungkal ke tanah. Suto Sinting tersenyum kagum, karena ia tahu tendangan itu punya kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Terbukti lawn yang terkena tendangan Tembang Selayang itu langsung mengerang dengan mata mendelik dan wajahnya menjadi biru legam. Memang an eh, yang ditendang punggungnya yang biru legam wajahnya. Itulah pemusatan tenaga dalam yang disalurkan melalui telapak kaki Tembang Selayang.

Tendangan itu cukup berat, sang lawn tak bisa menahannya, sampai akhirnya semburkan darah dari mulutnya. Brruusss...! Sekitar empat helaan napas, orang itu pun tak berkutik lagi. Diam tanpa napas tanpa nyawa.

"Ayah...!" seru Tembang Selayang, ia bergegas hampiri EmpuTapak Rengat yang masih duduk bersila di tanah dengan kepala tertunduk.

"Ayah, aku datang...! Aku yang datang, Ayah...!" gadis itu berlutut di hadapan ayahnya
Suto Sinting memperhatikan penuh curiga kepada Empu Tapak Rengat yang membiarkan kedatangan anaknya Beberapa saat kemudian, Suto Sinting segera berseru kepada Tembang Selayang.

"Diaterlukaberat bagian dalamnya!"

Tembang Selayang terperanjat, ia segera mengangkat wajah sang Ayah. Ternyata wajah itu bukan saja pucat pasi melainkan biru bagaikan mayat yang hampir membusuk.

"Ayaaaah...!" seru Tembang Selayang sambil mendekap tubuh sang Ayah. Pendekar Mabuk bergegas memeriksanya sesaat, tanpa pedulikan tangis Tembang Selayang.

"Baringkan di tempat teduh!" kata Suto. "Kurasakan denyut nadinya masih ada."

Pukulan tenaga dalam yang mengandung racun telah kenai bagian dada Empu Tapak Rengat. Terlambat sedikit saja, nyawa sang Empu akan melayang. Untung Suto Sinting bergerak cepat dan berhasil meminumkan tuak ke mulut Empu Tapak Rengat dengan dibantu Tembang Selayang. Beberapa saat kemudian, Empu Tapak Rengat tersedak dan terbatuk-batuk. Itulah tanda kesadarannya pulih kembali, tapi kekuatannya belum seberapa pulih.

"Biarkan ia berbaring dulu, biar tenaganyaterkumpul kembali," ujar Suto Sinting.

Tembang Selayang masih menangis dalam kecemasan. Suto Sinting menghiburnya Karena jaraknya cukup dekat, maka Tembang Selayang pun jatuhkan kepala ke dada Pendekar Mabuk, kemudian ia dipeluk dan diusap-usap rambutnya oleh sang pendekar tampan itu.

"Tenangkan hatimu. Ayahmu selamat. Sebentar lagi akan bisa kita ajak bicara. Tenanglah, Tembang Selayang "

Pondok sang Empu terbakar habis. Sisanya berupa bangunan hitam yang tak bisa digunakan lagi. Tembang Selayang menatap dengan hati duka. Iba terhadap nasib sang Ayah yang hidup menyendiri tanpa istri dan anak, karena Tembang Selayang jarang pulang menjenguk orangtuanya.

"Kalau saja kedua kakakku masih hidup, tentu Ayah tidak akan sendirian dalam menjalani masa tuanya. Sayang kedua kakakku meninggal dalam usia masih bocah, sehingga Ayah hidup sendiri dan aku tak bisa menungguinya."

"Mulai sekarang menetaplah bersama ayahmu, agar beliau ada yang merawatnyadi masa tua ini."

"Ya, baru saja hatiku mengatakan begitu. Aku ingin menetap dengan Ayah. Tapi agaknya aku harus mendengar dulu keterangan dari Ayah tentang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Aku penasaran sekali, dan tak ingin pusaka itu jatuh di tangan Dewa Beruk."

Empu Tapak Rengat ternyata mempunyai garis tangan seperti tanah yang retak. Barangkali karena garis tangan yang lebar dan sangat jelas dilihat itulah maka ia berjuluk Empu Tapak Rengat. Orang berjenggot pendek abu-abu tanpa kumis itu sudah dalam keadaan sehat berkat tuak saktinyaPendekar Mabuk. Mereka berbicara di bawah pohon rindang yang mempunyai batu setinggi lutut orang dewasa. Sang Empu duduk di sana, sementara Tembang Selayang bersila di rerumputan. Pendekar Mabuk berdiri dua langkah ke samping kanan T embang Selayang.

"Rupanya dunia persilatan sekarang sedang dilanda geger pusaka Kapak Setan Kubur," kata kakek yang kepalanyamengenakan sorbanputih itu."

"Memang benar, Ayah. Justru aku dan Pendekar Mabuk datang kemari untuk menemui Ayah dan menanyakan tentang kebenaran pusaka tersebut," kata Tembang Selayang. "Tapi terlebih dulu aku ingin mengetahui, siapa tiga orang yang menyerang Ayah dan membakar pondok itu?"

"Mereka orang-orang bayaran. Mereka disuruh mencari pusaka Kapak Setan Kubur dengan upah yang tinggi. Entah siapa yang memberitahukan kepada mereka, yang jelas mereka tahu bahwa aku pernah menyimpan pusaka itu. Lalu mereka mendesakku dengan kasar, dan aku mencobanya melawan karena merasa tidak bersalah."

"Siapa yangmengupah mereka bertiga itu, Ayah?"
"Adipati Janarsuma."

Jawaban itu mengejutkan Tembang Selayang dan Pendekar Mabuk. Mereka berdua saling pandang dengan dahi berkerut.

"Aku sendiri tidak tahu persis, yang mana yang bernama Adipati Janarsuma itu," kata Empu Tapak Rengat. "Yang jelas orang itu sangat membutuhkan pusaka tersebut. Kalau tidak, ia tidak akan mengirimkan orang bayaran untuk mencari pusaka Kapak Setan Kubur."

"Apakah pusaka itu memang ada, Ki?" tanya Pendekar Mabuk.

"Memang ada, dan aku pernah menyimpannya!" jawab Empu Tapak Rengat dengan tegas dan jelas. "Pusaka itu berupa kapak dengan tiga mata, kanan-kiri dan ujung depan. Panjangnya hanya sekitar dua jengkal, mata kapaknya pun tak seberapa lebar, terbuat dari logam emas. Tangkainyaterbuat dari perak ukir. Ujung bawah tangkainya itu berlubang."

" Seperti pipa, begitu?"

"Benar. Dan jika lubang itu ditiup dengan kekuatan tenaga dalam, maka mata kapak itu akan terbang sendiri- sendiri memburu mangsanya, lalu hinggap kembali ke tempat semula jika sudah kenai lawan "

Pendekar Mabuk manggut-manggut dan tampak senang sekali mendengar keterangan tersebut. Tembang Selayang diam memandangi ayahnya dengan rasa kagum terhadap kapak pusaka itu.

"Karena ukurannya tak seberapa besar, dan tangkainya dari logam kosong, maka kapak pusaka itu sangat ringan dan mudah dibawa ke mana-mana. Tetapi jika ditebaskan dari atas ke bawah, maka dalam jarak sejauh dua puluh tombak pun masih bisa keluarkan sinar merah menyerang lawan. Orang yang terkena sinar merah itu akan terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian."

"Hebat sekali?!" gumam Suto Sinting semakin yakin lagi dengan keterangan Tembang Selayang saat di perjalanan kemarin.

"Jika kapak ditebaskan dari kiri ke kanan, akan keluarkan sinar biru yang dapat membuat lawan mati hangus menjadi arang dalam sekejap. Jika ditebaskan dari kanan ke kiri, akan keluarkan sinar hijau yang membuat lawan mati dalam keadaan tercabik-cabik mengerikan. Jika lawan hanya tergores oleh salah satu mata kapak, maka lukanya tidak akan sembuh dengan obat apa pun dan tubuhnya akan cepat membusuk karena racun pada mata kapak itu."

"Sebenarnya siapa pemilik pusaka itu, Ayah?" tanya sang gadis bertahi lalat di bibir atas yang membuat ia kelihatan semakin cantik dan manis.

"Pemilik aslinya adalah Ratu Rias Pundi, beliau penguasa Pulau Singkang, yang sekarang menjadi seorang pertapa di Gunung Parang. Pusaka itu adalah warisan Eyang sang Ratu. Tetapi karena sekarang Ratu Rias Pundi sudah menjadi pertapa, maka pusaka itu dipercayakan kepada adiknya. Adiknya itu adalah sahabatku, bernama Sanupati, tinggal di...."

Tiba-tiba sekelebat sinar putih hampir menyatu dengan sinar matahari berkelebat menghantam pinggang Suto Sinting. Dess...!

"Uhhg...?!" Suto tersentak dengan mata mendelik, kemudian jatuh terkulaitak sadarkan diri.

Brrukk...!

"Suto...?!" pekik Tembang Selayang dengan wajah tegang.

Tembang Selayang baru mau bergerak, tiba-tiba sinar putih melesat lagi, nyaris tak terlihat bentuknya karena menyatu dengan cahaya matahari. Slapp...! Dess...!

"Aaahg...!" Tembang Selayang mengejang karena terhantam sinar yang mirip cermin terkenapantulan sinar matahari itu. Akibat punggungnya terkena sinar putih, Tembang Selayang terkulai tak sadarkan diri.

Tentu saja Suto Sinting tidak dapat lakukan apa-apa, karena ia dilumpuhkan lebih dulu oleh sipenyerang gelap itu. Untuk beberapa saat lamanyaPendekar Mabuk bagaikan cucian basah yang tanpa tulang sedikit pun.

Ia menjadi siuman ketika hari menjelang senja. Hembusan angin senja yang merontokkan dedaunan membuatnya tergugah dari masa pingsannya, ia segera bangkit dengan badan terasa lemas sekali.

"Empu...! EmpuTapak Rengat...?!"

Wajah tegang Suto Sinting lebih mirip orang yang baru saja bangun tidur, ia bingung mencari EmpuTapak Rengat telah menghilang dari tempat duduknya di atas batu setinggi lutut itu. Tetapi tak jauh darinya masih tampak utuh Tembang Selayang terkulai belum sadarkan diri.

Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya. Glek, glek, glek, glek...! Badannya terasa segar kembali. Kekuatan dan tenaga bagaikan pulih secara berangsur- angsur.

Kemudian ia segera menyadarkan Tembang Selayang dengan tuaknya juga. Gadis itu segera menegang ketika mengetahui bahwa sang Ayah sudah tidak ada di tempat, ia bergegas mencari ke berbagai tempat sekitarnya, tapi sang Ayah tetap tidak ada. Pendekar Mabuk pun gagal mencari sang Empu walau sempat mengacak-acak reruntuhan pondok yang hangus itu.

"Ayahku pasti diculik oleh si penyerang kita tadi!" geram Tembang Selayang.

"Kurasa memang begitu. Kita dilumpuhkan, tapi ayahmu dibawanya lari entah dengan cara bagaimana."

"Kurang ajar! Kuhabisi nyawa orang itu kalau sampai beradu muka denganku!" geram sang gadis semakin kuat. Kedua tangannya mengepal kencang, giginya menggeletuk penuh dendam.

Setelah sama-sama diam sesaat, tiba-tiba Suto Sinting punya gagasan baru dan segera berkata kepada Tembang Selayang.

"Kau mau ikut aku ke Kadipaten Balungan?"
Tembang Selayang kerutkan dahi. "Maksudmu, Adipati Janarsuma yang menculik ayahku?"

"Utusannya yang melakukan penculikan itu!" tegas Suto. "Tentunya sang Adipati yakin betul bahwa pusaka itu ada di tangan ayahmu dan disembunyikan di suatu tempat, sehingga karena ayahmu tidak bisa dibujuk dengan cara apa pun, maka ia menculiknya. Tentunya sang Adipati dapat bertindak semaunya sendiri terhadap ayahmu selama ayahmu ada dalam tawanannya. Yang penting ia harus membuat ayahmu mengaku di mana pusaka itu disembunyikan!"

"Keparat! Kalau begitu ayahku akan disiksa oleh sang Adipati?!"

"Besar kemungkinan begitulah kira-kiranya. Kalau kita tak bergerak cepat, ayahmu bisa jadi korban salah sasaran. Sang Adipati pasti belum tahu bahwa Kapak Setan Kubur sudah di tangan Dewa Beruk."

Tembang Selayang menenangkan diri, mengatur pernapasannya yang dibakar api kemarahan. Setelah diam beberapa saat, suaranya pun diperdengarkan kembali.

"Apakah kau yakin pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk yang ilmunyatak seberapa tinggi itu?"
"Firasatkumengatakan demikian"

"Kalau begitu aku akan ke Perguruan Monyet Sakti untuk mengambil Kapak Setan Kubur dan kuserahkan kepada Adipati Janarsuma sebagai tebusan mengambil ayahku!"

"Hmmm... kalau begitu aku ikut kau dulu ke sana. Kita hadapi bersama si Dewa Beruk kalau benar ia menggunakan kapak pusaka itu untuk melawan kita."

Pendekar Mabuk berpikiran begitu karena ia khawatir akan keselamatan Tembang Selayang; si cantik berdada sekal itu. Dalam bayangan Suto, jika memang kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, maka Dewa Beruk akan menggunakannya untuk melawan siapa saja yang ingin merampas kapak pusaka tersebut. Dan keyakinan Suto mengatakan, bahwa Tembang Selayang akan celaka jika berhadapan dengan lawan yang bersenjata kapak pusaka itu.

Tanpa banyak berunding lagi mereka segera berkelebat menuju lereng gunung tersebut yang menghadap ke arah barat.

"Cari jalan terdekat agar sebelum petang tiba kita sudah sampai di perguruan itu!" kata Suto Sinting kepada Tembang Selayang.

Namun mendadak langkah mereka terhenti karena Suto terpekik melihat ke arah lembah sebelah kanannya. "Tunggu...! Siapa itu yang terkapar di sana!"

Tembang Selayang kerutkan dahi menatap ke arah lembah.

***6

ORANG yang terkapar itu kenakan pakaian abu-abu, rambutnya putih, badannya kurus dan gigi depannya tinggal dua. Pendekar Mabuk segera terperanjat pandangi tubuh yangterkapar itu.

"Tua Bangka...?!" serunya sambil lebih mendekat lagi, Tembang Selayang mengikuti dari belakang.

Tua Bangka terengah-engah bagaikan baru sadar dari pingsannya. Mulutnya ingin ucapkan sesuatu tapi tak mampu. Badannya lemas, mengangkat salah satu tangan pun bagaikan tak mampu lagi. Wajah tua itu menghiba hati Suto dan Tembang Selayang.

"Beri dia minuman tuakmu biar tenaganya pulih!" ujar Tembang Selayang, sepertinya mengingatkan Pendekar Mabuk yang tertegun mematung pandangi si Tua Bangka itu.

Setelah terbatuk-batuk karena terlalu banyak menenggak tuak, Tua Bangka mulai kelihatan sehat. Matanya dikerjap-kerjapkan seakan membuang kerabunan pandangannya.

"Tua Bangka, apa yang terjadi pada dirimu?"

Tua Bangka pandangi Suto Sinting dengan mata sedikit menyipit dan mulut melongo bagaikan linglung.

"Aku Suto...! Suto Sinting! Masih ingat?" seraya Suto Sinting menepuk-nepuk dadanya.

"Ooh... oh, kau...? Kau Pendekar Mabuk? Oooh... syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi, Suto! Jangan jauh-jauh lagi dariku, Suto. Akutakut...! Takut sekali," wajah Tua Bangka berubah tegang.

"Takut kepada siapa?! Katakan yang sebenarnya, Tua Bangka!" desak Pendekar Mabuk masih jongkok di depan Tua Bangka yang duduk di tanah.

"Orang itu... orang yang tadi itu...."
"Yang mana? Apakah tadi ada orang lewat sini?"

Tua Bangka mengangguk seperti anak kecil. "Tadi dia memergokiku dan membantingku di sini, lalu... lalu habis dibanting ditinggal pergi begitu saja, tidak ditolong, tidak diapa-apakan. Ooh... orang itu jahat
sekali, Suto!"

"Bagaimana ciri-ciri orangnya?!" tanya Tembang Selayang.
"Orangnya... kurus, tua, rambutnya abu-abu memakai... memakai kain sorban putih. Pakaiannya... hanya kain putih dililitkan lalu diselempangkan ke pundak kiri."

"Berjenggot pendek warna abu-abu pula?" tanya gadis itu ikut penasaran.
"Iya, iya... betul. Berjenggot pendek dan tidak punya kumis."

"Tak mungkin!" tiba-tiba Tembang Selayang menyentak dan menarik diri. Ia memalingkan wajah dengan ronakebingungan.

"Mengapa kau bilang tak mungkin? Apakah kau tahu ciri-ciri orang tersebut?"
"Tentu sajatahu. Itu ciri-ciri ayahku."

Suto Sinting tertegun sesaat membayangkan Empu Tapak Rengat, kemudian angguk-anggukkan kepala sambil menggumam lirih.

"Hmmm... ya, ya... itu memang ciri-ciri ayahmu."

"Tapi tak mungkin Ayah lakukan tindakan sekasar itu kepada orang setua ini?!" sangkal Tembang Selayang. Suto Sinting jadi bingung sendiri, sebab menurutnya Empu Tapak Rengat memang tak mungkin bersikap kasarterhadap orang seusia Tua Bangka itu.

"Pinang Sari dan Darah Prabu bagaimana?!" tanya Pendekar Mabuk kepada Tua Bangka.

"Mereka... mereka... entahlah. Sejak aku dihantam dari belakang oleh seseorang, aku tak ingat apa-apa lagi. Aku sadar sudah berada di dalam sebuah gubuk. Kemudian mataku ditutup dengan kain hitam, mulutku disumbat, dan aku segera ditotok. Setelah ditotok dibawa pergi entah ke mana," tutur Tua Bangka seperti anak kecil mengadu kepada kakaknya.

"Apakah yang menotok dan yang membawamu pergi orang berciri-ciri seperti tadi?"

"Iiy... Iya! Orang berjenggot pendek abu-abu itu! Kurasa dia pula yang memukulku saat kau mengejar orang yang membunuh pemuda berompi hitam itu, Suto."

"Aku tak percaya," gumam Tembang Selayang dengan pelan menandakan ia sendiri merasa ragu terhadap rasa tidak percayanya itu.

"Apa maksud orang yang membawamu kemari itu?" tanya Suto Sinting.

"Dia sangka aku orang Kadipaten Balungan. Dia menduga aku abdinya sang Adipati Janarsuma. Dia ingin membunuhku. Tapi setelah kujelaskan bahwa aku sendiri hampir mati digantung oleh sang Adipati, ia tak jadi membunuhku. Tapi ia membantingku dengan jengkel di sini sampai aku tak bisa bernapas beberapa saat, lalu aku pingsan. Orang itu sendiri pergi, entah ke manaperginya akutak tahu, sebab aku pingsan."

Suto Sinting semakin bingung. Pertama-tama dilihatnya Empu Tapak Rengat bertarung melawan tiga orang bayaran yang diutus oleh Adipati Janarsuma. Kemudian sang Empu akhirnya hilang setelah Suto dan

Tembang Selayang terkena pukulan dari tempat tersembunyi. Ketika Suto siuman, sang Empu sudah lenyap. Padahalmenurut Suto yang menghantamnya dari tempat persembunyian bukan sang Empu sendiri. Lalu, sekarang ditemukan Tua Bangka mengaku mau diserahkan kepada sang Adipati, dan akhirnya dibanting dengan jengkel setelah Tua Bangka mengaku sebagai buronan sang Adipati Janarsuma.

"Lalu, apamaksud EmpuTapak Rengat sebenarnya?" pikir Pendekar Mabuk dalam renungannya. "Ada di pihak mana sebenarnya EmpuTapak Rengat itu?"

Tembang Selayang tak enak hati melihat Suto termenung, ia yakin yang direnungkan adalah ayahnya, ia yakin Suto Sinting bercuriga buruk kepada ayahnya. Sedangkan ia sendiri juga punya pertanyaan yang membingungkan tentang ayahnya itu. Akhirnya Tembang Selayang berkata kepada Suto Sinting.

"Sebaiknya kau urus dulu orang tua ini. Biarkan aku datang sendiri ke Perguruan Monyet Sakti untuk merebut Kapak Setan Kubur itu."

"Jangan gegabah dulu. Persoalannya agak meleset dari perkiraan kita. Ternyata ayahmu tidak diculik oleh sang Adipati."

Tembang Selayang diam, seakan mengakui bahwa ayahnya memang tidak diculik oleh orang utusan sang Adipati. Tapi ia tidak mempunyai keputusan apa pun karena dicekam oleh kebimbangan bertindak.

Pendekar Mabuk berkata lagi, sementara Tua Bangka hanya menjadi pendengar yang sesekali memandang jauh karenatakut diserang seseorang lagi.

"Kau dengar sendiri kata-kata ayahmu, bahwa pusaka itu sebenarnya milik Ratu Rias Pundi. Kemudian sang Ratu menjadi pertapa, dan pusaka itu di-serahkan kepada adik sang Ratu yang bernama Sanupati. Sang Ratu adalah penguasa Pulau Singkang. Jadi, sekarang langkah kita adalah pergi ke Pulau Singkang mencari Sanupati, si pemilik pusaka tersebut."

"Tapi tadi kau yakin kalau pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, ketua Perguruan Monyet Sakti?! Kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Bukan berubah," tegas Suto Sinting. "Kita perlu tanyakan di mana letak kelemahan pusaka itu. Jika kita sudah mengetahui kelemahan pusaka itu, kita dapat melawan Dewa Beruk yang bersenjata kapak pusaka itu!"

"Terlalu membuang waktu!" sahut Tembang Selayang. "Ingat, pihak Kadipaten Balungan juga menghendaki pusaka itu. Jangan sampai kita didului oleh mereka. Jika kita harus ke Pulau Singkang dulu, begitu kembali ke lereng gunung ini, bisa-bisa pusaka sudah berpindah tangan."

Pendekar Mabuk tarik napas mempertimbangkan langkahnya Tua Bangka masih terbengong melongo memamerkan dua gigi depannya tanpa bisa memberi pendapat dan pandangan apa-apa. Barangkali ia malu karena pusaka itu ternyata memang ada.

Tak ada pilihan yang lebih baik saat itu kecuali menyetujui rencana Tembang Selayang. Perhitungan gadis itu dinggap lebih benar oleh Pendekar Mabuk. Kecuali Dewa Beruk sukar ditumbangkan dengan pusaka itu, maka rencana kedua akan dipakai, yaitu pergi ke Pulau Singkang dan menemui orang yang bernama Sanupati untuk menanyakan kelemahan pusaka Kapak Setan Kubur.

"Kalian mau ke mana?" tanya Tua Bangka.

"Ke Perguruan Monyet Sakti. Kami akan temui Dewa Beruk untuk mengambil Kapak Setan Kubur," jawab Suto. "Kau ikut kami, Tua Bangka."

"Tidak," Tua Bangka mundur. "Aku tidak mau ikut kalian. Nanti aku celaka diserang lawan kalian."

"Atau kau mau tinggal di sini dulu? Siapa tahu orang yang membantingmu itu muncul lagi?"

"Oh, tidak! Aku tidak mau dibanting lagi. Kalau begitu... baiklah, aku ikut kalian. Tapi kalian harus lindungi keselamatanku!" kata Tua Bangka seperti anak kecil minta jaminan.

Mereka bergegas menuju lereng sebelah barat. Namun lagi-lagi langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok mayat yang tergeletak di jalanan dalam keadaan menyedihkan. Sosok mayat itu terkapar tanpa nyawa dalam keadaan tercabik-cabik, sekujur tubuhnya bagaikan dirajang-rajang dengan puluhan mata pisau yang tajam. Tak ada bagian tubuh yang tampak utuh. Sampai pada daun telinga pun tercabik-cabik berlumuran darah.

"Ooh...?!" Tua Bangka bergidik merinding sambil jauhi mayat itu. "Pasti di sini ada binatang buas yang telah berhasilmenumbangkan orang Ini."

"Bukan binatang buas," gumam Tembang Selayang.

Suto membenarkan pendapat Tembang Selayang. "Ya, memang bukan binatang buas. Tapi seseorang yang bersenjata Kapak Setan Kubur. Pasti ia gunakan sinar hijaunya kapak tersebut, sehingga tubuh mayat itu tercabik-cabik mengerikan begini."

Tembang Selayang memperhatikan mayat itu beberapa saat, karena khawatir kalau-kalau mayat itu adalah mayat ayahnya sendiri. Tapi setelah dilihat dari jenis pakaiannya yang bukan putih tapi coklat muda, maka Tembang Selayang pun hembuskan napas lega, karena yakin bahwa mayat itu bukan ayahnya.

Mereka lanjutkan perjalanan dengan kesimpulan semakin kuat, bahwa mereka sudah semakin dekat dengan pusaka Kapak Setan Kubur.

"Waspada dan hati-hati, kita sudah semakin dekat dengan pusaka itu," kata Suto Sinting mengingatkan Tembang Selayang, tapi yang menjadi ketakutan Tua Bangka. Orang bergigi depan tinggal dua itu lebih merapat kepada Suto, melangkah sambil memegangi tali bumbung tuak Suto karena merasa takut mendapat serangan dadakan.

"Kalau kau gelayuti begini langkahku tak bisa bebas, Tua Bangka. Tenang sajalah, aku tak akan biarkan pusaka itu menyantap tubuh tuamu!"

Tua Bangka bersungut-sungut dengan gerutuan tidak jelas, ia melepaskan pegangannya dan memberanikan diri untuk berjalan agak jauh dari Pendekar Mabuk. Hal itu membuat Pendekar Mabuk sempat tersenyum geli memperhatikan lagak Tua Bangka yang tak mau dibilang pengecut itu.

Senja kian menipis ketika mereka tiba di lereng sebelah barat Gunung Bunting. Langkah mereka diperlamban dengan mata mulai menegang karena mereka mulai mencium bau asap bakaran. Mata mereka menatap penuh waspada. Angin senja bertiup menggeraikan rambut mereka.

"Ooh... Suto, lihat itu!" seru Tua Bangka sambil merapatkan diri pada Suto Sinting. Apa yang dituding Tua Bangka menjadi pusat perhatian mereka.

Tiga sosok mayat terkapar dalam keadaan mengerikan, yang satu tercabik-cabik, satunya lagi terbakar hangus menjadi arang, dan yang satunya lagi terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Diperkirakan potongan itu berjumlah tiga puluh tiga bagian.

"Semakin jelas, seseorang telah menggunakanpusaka Kapak Setan Kubur dalam waktu belum terlalu lama dari kedatangan kita ini, Tembang Selayang."

"Ya, aku pun berpendapat demikian. Tapi siapa mereka ini?"
Tua Bangka tiba-tiba berkata, "Tombak mereka ada di bawah batu itu."

"Oh benar. Mereka bersenjata tombak dan... dilihat dari jenis hiasan benang bawah mata tombak itu, sepertinya mereka para prajurit sebuah negeri," gumam T embang Selayang.

"Benar. Aku ingat tombak ini merupakan ciri tombak prajurit Kadipaten Balungan!" ujar Tembang Selayang dengan wajah tegang. "Aku masih hafal ciri-ciri tombak mereka.

Suto Sinting dan Tembang Selayang saling beradu pandang.

"Kadipaten Balungan...?! Mungkinkah orang kadipaten sudah mendului kita merebut Kapak Setan Kubur, Suto?"

"Tak menutup kemungkinan, hal itu bisa sajaterjadi. Mungkin mereka mendapat kabar dari seseorang bahwa kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk. Hanya saja, apakah mereka berhasil merebut kapak pusaka itu atau masih tetap bertahan di tangan Dewa Beruk?!"

Langkah mereka semakin cepat menuju pusat perguruan. Sepanjang jalan ditemukan mayat bergelimpangan. Ada yang mati dengan ciri-ciri kedahsyatan Kapak Setan Kubur, ada pula yang mati karena tebasan senjata tajam lainnya. Mayat-mayat itu bukan hanya menandakan sebagai ciri prajurit Kadipaten Balungan, namun terdapat pula mayat orang Perguruan Monyet Sakti.

"Tak dapat dipungkiri lagi, Suto... belum lama ini pasti terjadi pertarungan antara orang kadipaten dengan orangnya Dewa Beruk," ujar Tembang Selayang.

"Ya, benar. Kita lihat saja bagaimana keadaan di pusat perguruan itu!"

Ternyata keadaan di pusat Perguruan Monyet Sakti semakin menyedihkan. Perguruan hancur, porak- poranda, terbakar di sana-sini. Nyaris tak ada bangunan yang tersisa. Mayat pun semakin banyak bergelimpangan, jumlahnya lebih dari tiga puluh mayat. Bahkan ada beberapa ekor kuda yang mati menjadi hangus atauterpotong menjadi tiga puluh tiga bagian.

Tua Bangka memandang dengan wajah sangat tegang. Langkahnya tak jauh dari Pendekar Mabuk. Matanya mendelik memandangi sekelilingnya.

"Gila! Di mana si Cawan Pamujan kalau begini?" gumamnya mencari sang cucu.
"Mengapa kaumencari cucumu di sini, Tua Bangka?"

"Aku takut kalau cucuku mengalami nasib seperti ini!" ujar Tua Bangka dengan wajah menyeringai antara sedih dan ketakutan.

Mereka melangkah semakin ke dalam bekas benteng perguruan. Ternyata hampir seluruh murid perguruan binasa. Beberapa prajurit kadipaten pun tampak mati mengenaskan.

Tembang Selayang berseru, "Dewa Beruk...! Keluarlah, aku yang datang; Tembang Selayang! Keluarlah Dewa Beruuuk...!"

Tak ada jawaban apa pun yang mereka peroleh. Suara tak ada, gerakan pun tak ada. Yang ada hanya sisa asap kebakaran yang merambah bagai mempercepat datangnya sang petang.

"Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi," kata Suto Sinting kepadaTembang Selayang."
"Mengerikan sekali!" gumam Tua Bangka dengan wajah tetap tegang.

Mereka memeriksa seluruh tempat, dan ternyata memang tak ada satu pun korban pertarungan yang bisa diselamatkan.

"Aku tak temukan mayat Dewa Beruk," kata Tembang Selayang. "Berarti dia melarikan diri atau lakukan pengejaran bagi prajurit kadipaten yang selamat!"

"Jika dia memegang Kapak Setan Kubur, tak mungkin ia mundur dan melarikan diri. Pasti maju menyerang atau mengejar," kata Suto Sinting dengan penuh keyakinan.

Mereka bergegas menuju ke Kadipaten Balungan. Tetapi langkah mereka terhambat malam, Tua Bangka tak berani lakukan perjalanan malam. Mau tak mau mereka bermalam kembali ke Desa Panganbumi. Sasaran mereka adalah penginapan Ki Punjul, tempat Suto dan Tembang Selayang bertemu dengan Guci Kopong serta Pawang Kera. Dalam hati mereka merasa heran karena mereka tidak menemukan mayat Guci Kopong dan Pawang Kera. Dugaan yang ada pada mereka adalah pengejaran yang dilakukan oleh Dewa Beruk terhadap orang-orang kadipaten diikuti pula oleh beberapa murid perguruan, di antaranya Guci Kopong dan Pawang Kera.

"Atau barangkali mereka mati hangus menjadi arang yang sukar kita kenali ciri-cirinya itu?"

"Mungkin saja begitu," jawab Suto Sinting saat mereka mengadakan percakapan di penginapan tersebut.

Desa itu menjadi desa yang sepi dan sunyi. Tidak seramai malam yang lalu. Tentu saja hal itu menimbulkan pertanyaan di batin Suto Sinting, sehingga ia pun ajukan pertanyaan kepada Ki Punjul, si pemilik kedai dan penginapan itu.

"Mengapa sepi sekali, Ki? Malam kemarin begitu ramai. Banyak pembeli yang berkunjung ke kedai ini."

"Yah, maklum saja habis terjadi peristiwa mengerikan sebelum sore tiba tadi," jawab Ki Punjul dengan waswas.

"Peristiwa apa yangterjadi itu, Ki Punjul?"
"Dewa Beruk mengamuk karena perguruannya dibumihanguskan oleh orang kadipaten."

Jawaban Ki Punjul membuat mata Tembang Selayang menatapnya tak berkedip. Tua Bangka ikut-ikutan memandang Ki Punjul dengan hasrat mendengarkan cerita seru. Ki Punjul menjelaskan kembali apa yang dilihat dengan matakepalanya sendiri.

"Ada dua prajurit yang lari kemari, masuk ke dalam kedai ini. Tapi mereka segera dilempar keluar oleh Guci Kopong, lalu di sana mereka disambut oleh Dewa Beruk yang bersenjata kapak dari emas. Kedua prajurit itu akhirnya hangus dan menjadi arang tak berbentuk lagi. Mengerikan sekali untuk dikenang. Senjatanya sangat ganas, kurasa orang kadipaten akan dibantai habis oleh Dewa Beruk yang murka itu."

Semakin jelas sekarang, bahwa pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk. Cerita tersebut membuat Suto dan Tembang Selayang tertegun beberapa saat. Tua Bangka ikut-ikutan termenung, bagaikan sedang membayangkan kengerian dari pertarungantersebut.

"Sekarang ke manaperginya Dewa Beruk, Ki?" tanya T embang Selayang.

"Mereka menuju ke kadipaten Balungan. Tentunya yang menjadi sasaran mereka adalah sang Adipati Janarsuma, karena beliaulah yang memerintahkan menyerang Perguruan Monyet Sakti untuk dapatkan kapak emas itu."

"Berapa orang yang mengikuti Dewa Beruk, Ki?" tanya Suto Sinting.

"Hanya dua orang; si Guci Kopong dan Pawang Kera, serta seorang gadis yang agaknya menjadi tawanan Dewa Beruk."

"Seorang gadis?!" Tembang Selayang bergumam heran sambil menatap Ki Punjul. Suto Sinting dan Tua Bangka pun memandang Ki Punjul dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ya, seorang gadis berpakaian kuning kunyit, berwajah cantik dan masih muda."
"Dari mana kautahu kalau gadis itu menjadi tawanan Dewa Beruk?"
"Kedua tangannya selalu dalam ikatan, dan Pawang Kera yang menjaganya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Tua Bangka tampak gelisah, iaditepuk oleh Suto dan berkata,

"Jangan takut, ia tidak akan bisa memperlakukan dirimu seperti gadis itu karena kau bersamaku dan bersamaTembang Selayang."

Tua Bangka ambil napas dalam-dalam, lalu terbatuk- batuk sesaat. Suara tuanya terdengar kembali bernada mirip orang menggerutu.

"Kalau kalian lakukan pertarungan mana sempat menjagaku?! Aku bisa dihantam oleh anak buahnya yang satu lagi."

Pendekar Mabuk menertawakan kecemasan Tua Bangka. Beberapa saat kemudian Tua Bangka berkata lagi,

"Aku tak perlu ikut ke kadipaten. Aku tinggal di penginapan sini saja. Orang kadipaten akan mengeroyokku karena peristiwa tempo hari itu."

"Kalau kau di sini, aku tak bisa menjagamu," kata Suto Sinting. "Tapi kalau kau memang merasa aman di sini, yakin bahwa Dewa Beruk atau yang lainnya tak akan muncul di sini, ya silakan saja kalau kau mau tinggal di penginapan ini. Tapi jikaterjadi sesuatu yang mencelakan dirimu, jangan salahkan diriku dan T embang Selayang"

Tua Bangka garuk-garuk kepala. Semalaman ia tak tidur karenamemikirkan hal itu. Paginya ketika Suto dan Tembang Selayang berangkat ke kadipaten, Tua Bangka memutuskan untuk ikut mereka. Karena ia ingat janjinya kepada Suto Sinting yang telah menyelamatkan nyawanya dari tiang gantungan, bahwa ia akan ikut Pendekar Mabuk ke mana pun anak muda itu pergi.

Rupanya perbatasan wilayah Kadipaten Balungan telah terjadi pertarungan seru antara orangorang kadipaten dengan Dewa Beruk. Jumlah yang melibatkan diri dalam pertarungan itu sekitar sepuluh prajurit dari kelas teri sampai kelas kakap. Branjang Kawat pun ada di antara mereka. Orang pilihan sang Adipati itu tidak lakukan pertarungan secepatnya, namun mencoba mempelajari kelemahan Dewa Beruk yang bersenjatakan Kapak Setan Kubur itu.

Guci Kopong dan Pawang Kera ikut ambil bagian juga sebagal pihak pembela Dewa Beruk. Melihat tingkah laku Dewa Beruk, Branjang Kawat yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar dengan celana serta rompinya yang berwarna biru tua itu, segera melesat dari tempat berdirinya dan tahu-tahu menebaskan pedangnya ke punggung Guci Kopong.

Wuutt...! Craass...!

"Aaaahhg...!" Guci Kopong memekik dalam keadaan punggung terbelah.

Dewa Beruk segera berpaling menatap kematian anak buahnya yang berbadan gemuk itu. Orang berjubah hitam yang sebentar-sebentar garuk-garuk badan itu segera bersalto ke belakang dan kakinya mendarat di tanah depan Branjang Kawat.

"Bangsat kau! Tebus kematian anak buahku ini dengan nyawamu! Hiaaat...!" Dewa Beruk sentakkan kaki dan melenting di udara pada saat Branjang Kawat menebaskan pedangnya.

Pedang lewat di bawah kaki Dewa Beruk, lalu kapak emas bermata tiga yang digenggamnya sejak tadi itu dikibaskan dari kiri ke kanan.

Wuuuttt...!

Claapp...! Sinar biru keluar dari mata kapak berbentuk gerakan tak beraturan dan sukar diketahui ke mana arah gerakan sinar itu, kemudian sinar biru tersebut menyam bar tubuh Branjang Kawat.

Jrraaab...!
Bleegaarrr...!

Tak ada suara yang timbul dari Branjang Kawat. Tubuh itu langsung berasap dan rubuh tak berkutik. Keadaannya sudah hitam menjadi arang berasap dengan senjata pedangnya ikut-ikutan menjadi cairan kental yang meleleh lumer dan akhirnya membeku tak berbentuk lagi.

Sementara itu, Singa Parna yang ikut dalam pertempuran itu berhasil membokong Pawang Kera dengan tombaknya. Tombak bermata tiga itu dihujamkan ke punggung Pawang Kera, ketika orang itu sedang menangkis serangan lawan dari depan. Jruubb...!

"Aaahgg...!" Pawang Kera memekik keras sekali dengan tubuh melengkung ke depan, kemudian rubuh tak bernyawa. Dewa Beruk semakin buas, murkanya dilepaskan tiada batas.

Pada waktu itu, rombongan Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Namun mereka tidak segera bertindak karena perlu mempelajari keadaan setempat.

Tiba-tiba Tua Bangka berseru dengan mata melebar dan wajah menegang,

"Cucuku...! Cawan...! Cawan Pamujan! Oooh... itu dia cucuku! Cawan Pamujaaan...!"

Seorang gadis yang kedua tangannya diikat ke belakang berseru memanggil Tua Bangka. "Kakeeek...!"

Gadis berpakaian hijau muda dengan rambut di konde dua itu segera berlari menerobos hiruk-pikuknya pertarungan. Gadis cantik berwajah imut-imut itu membuat pandangan mata Pendekar Mabuk terpana beberapa saat. Tua Bangka segera berlari tertatih-tatih menyambut kedatangan cucunya. Suto Sinting dan Tembang Selayang menjadi cemas.

"Tua Bangka, jangan mendekati pertarungan! Tua Bangka, kembaliii...!" teriak Pendekar Mabuk. Namun si Tua Bangka tidak pedulikan seruan itu. Ia tetap berlari menyongsong cucunya; si Cawan Pamujan.

Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak cepat dan menyambar gadis itu. Pada saat sang gadis disambar Suto, kilatan cahaya merah mengarah kepada mereka. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan, zlaaap...! Ia bergerak lebih cepat dari cahaya merah yang datang dari kapak emas tersebut.

Gerakan Suto Sinting yang kedua itu disertai raihan tangan kirinya sehingga menyambar tubuh kurus si Tua Bangka.

Gelegar ledakan berbunyi saling bersahutan. Tenaga dalam orang-orang kadipaten diadu dengan kekuatan dahsyat yang keluar dari Kapak Setan Kubur itu.

Pendekar Mabuk berhasil selamatkan Cawan Pamujan dan Tua Bangka dari hujan sinar yang dikeluarkan dari kapak maut tersebut. Murka sang Dewa Beruk membuat ia melepaskan sinar itu ke sembarang arah, sehingga korban pun berjatuhan.

"Cawan...! Ooh, cucuku... untung kau selamat, Nak.

Untung kau masih hidup!" Tua Bangka memeluk cucunya, si Cawan Pamujan. Sementara itu, Tembang Selayang buru-buru melepaskan tali pengikat yang menjerat kedua tangan gadis berwajah mungil manis itu, sehingga sang gadis berkulit kuning langsat itu pun bisa memeluk kakeknya dalam tangis.

"Kakek... aku takut, Kek...!"

"Kau nakal, akibatnya begini! Kau tidak bisa kendalikan nafsumu, dan hampir saja nyawamu melayang!" sang kakek ngomel dengan hati girang, sebentar-sebentar memeluk cucunya.

"Sebaiknya menyingkir di bawah pohon sana supaya kau dan cucumu aman, Tua Bangka!" saran Tembang Selayang, karena ia bersiap akan menghadapi Dewa Beruk bersama P endekar Mabuk.

"Dia membawa kapak itu, Kek. Dia merampasnya, dan membunuh orang banyak dengan kapak itu!" celoteh Cawan Pamujan dengan cerewet dan bernada manja.

Tiba-tiba hening tercipta bagai membungkam alam. Rupanya sekian banyak orang kadipaten telah berhasil ditumbangkan oleh Dewa Beruk. Keadaan itu membuat Suto Sinting, Tembang Selayang, Tua Bangka, dan Cawan Pamujan menjadi terbungkam sambil memandangi Dewa Beruk yang masih garuk-garuk ketiaknya.

Orang berjubah hitam yang punya wajah angker itu segera menatap ke arah rombongan Suto Sinting. Pada saat itu Suto sempat berbisik pelan kepada Tembang Selayang,

" Jagai aku. Biar aku yang maju sebagai umpan kapak itu. Akan kuhadapi dengan bumbung tuakku!"

"Baik. Majulah,kujagai dari sini!"

Dewa Beruk garuk-garuk perut dengan tangan kirinya sambil berseru dengan ganasnya

"Kalian juga kehendaki kapak ini? Majulah kalau kalian ingin kupotong-potong, atau kubakar hangus seperti orang-orang kadipaten itu!"

Pendekar Mabuk cepat-cepat menenggak tuak, tapi tidak semuanya ditelan. Sisanya dibendung dalam mulut untuk disemburkan. Dan pada waktu itu Dewa Beruk tak sabar ingin menuntaskan murkanya Maka kapak emas itu segera dikibaskan dari atas ke bawah. Wuuutt...!

Claapp...! Wut, wut, wut, wut, wut...! Gerakan sinar merah yang keluar dari kapak itu zigzag ke sana-sini sukar diikuti oleh pandangan mata. Sinar merah adalah sinar yang akan memotong tubuh Pendekar Mabuk menjadi tiga puluh tiga bagian. Namun karena di mulut Pendekar Mabuk sudah tersimpan tuak yang sebenarnya ingin digunakan untuk menyembur kapak itu dengan jurus 'Sembur Siluman', supaya kapak menjadi lenyap dari genggaman Dewa Beruk, terpaksa kali ini yang digunakan Suto Sinting adalah jurus ' Sembur Wiwaha', yang mampu memercikkan api dari semburan tuaknya dan membakar kemana-mana.

Brruusss...!

Pendekar Mabuk lakukan semburan tuak ketika sinar merah itu mendekat ke arahnya. Percikan api keluar dari mulut Pendekar Mabuk dan menyergap sinar merahnya Kapak Setan Kubur.

Zraabbb..! Blegaarr...!

Pendekar Mabuk terpental dengan tubuh melambung tinggi. Ledakan itu cukup ganas dan dahsyat sekali, mengguncangkan tanah, merubuhkan dua pohon, mendatangkan angin membadai dalam sekejap. Tembang Selayang pun terpental jatuh karena gelombang ledak yang menyentak kuat itu. Dewa Beruk terlemparke belakang dan berguling-guling. Tua Bangka rubuh sambil melindungi cucunya hingga tubuhnya tertindih sang cucu. Ia terbatuk-batuk dan mengerang kesakitan. Namun sang cucu segera membantunya untuk bangkit, sedangkan Pendekar Mabuk pun baru saja berdiri kembali dari keadaan yang membantingnyatadi.

Zlaappp...! Suto Sinting maju lebih dekat. Kini jaraknya hanya tiga langkah dari samping Dewa Beruk yang sedang berusaha bangkit lagi itu. Kaki Suto Sinting segera menendang leher Dewa Beruk dengan kuatnya. Wuuuttt...! Deess...!

"Uuhg...!" Dewa Beruk terlempar dan jatuh tak berapajauh dari Tua Bangka.

Ia segera meniup gagang kapak pusaka itu. Puih...! Dan tiga mata kapak pun terbang berputar-putar menerjang Suto Sinting. Seketika itu pula, Tua Bangka melompat maju dan kakinya menendang tangan Dewa Beruk yang masih pegangi gagang kapak, menunggu kembalinya tiga mata kapak. Deesss...! Wuuuttt...!

Gagang kapak terpental terbang dalam ketinggian melebihi pucuk pohon. Dewa Beruk terperangah bengong. Sementara itu, Tua Bangka cepat sentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya pun melesat ke atas cukup tinggi, ia bersalto satu kali di udara dan tangannya segera menyambar gagang kapak tersebut. Wuuuttt...! Teeb...!

Suto Sinting kebingungan hindari tiga mata kapak yang menyerangnya, ia terpaksa gunakan bumbung tuaknya untuk menangkis. Wuuusss...!

Dar, dar, dar...! Tiap mata kapak yang menghantam bumbung tuak selalu timbulkan ledakan dan nyala api merah yang memercik. Ketiga mata kapak itu tetap terbang memutar dan kembali ke tempat semula. Pada saat itu Tua Bangka acungkan gagang kapak ke atas, lalu tiga mata kapak itu hinggap ke ujung gagangnya dan menjadi rekat seperti sedia kala Tembang Selayang, Suto Sinting, dan Dewa Beruk sama-sama terperanjat melihat Kapak Setan Kubur kini ada di tangan Tua Bangka. Sesuatu yang membuat Tembang Selayang sulit kedipkan mata adalah gerakan salto Tua Bangka yang melesat tinggi itu adalah gerakan yang tak pernah dibayangkan Tembang Selayang. Ternyata Tua Bangka mampumelakukannya.

"Keparat kau, orang peot!" geram Dewa Beruk sambil garuk-garuk lengannya, ia belum sempat bergerak, tahu-tahu Tua Bangka lakukan gerakan yang sukar dilihat mata manusia biasa. Wuuutt...!

Kakinya menendang Dewa Beruk dengan berputar cepat. Tendangan bertubi-tubi yang amat cepat itu mengenai kepala Dewa Beruk secara beruntun, lebih dari sepuluh kali tendangan.

Plak, plak, plak, plok, plok...!

Dan tendangan terakhir adalah gerakan memutar yang sangat cepat. Praaak...! Tua Bangka diam dalam keadaan pasang kuda-kuda dan kapak terangkat ke atas. Dewa Beruk terlempar dengan wajah berlumur darah, ia jatuh tepat di samping Suto Sinting.

Agaknya Dewa Beruk masih penasaran. Dengan menggerang buas ia bangkit dan karena yang terdekat adalah Suto Sinting, maka ia lepaskan pukulan tenaga dalam andalannya ke arah Sut o Sinting.

Pendekar Mabuk melihat geiagat yang akan membahayakan nyawanya Belum sempat tangan Dewa Beruk bergerak, Suto telah memutar tubuhnya dengan cepat dan nyaris tak terlihat sedikit pun. Bumbung tuaknya dilayangkan dan menghantam punggung Dewa Beruk.

Wuuutt...! Grraakkk...!

Ada suara tulang remuk bersamaan terlemparnya tubuh Dewa Beruk ke arah Tua Bangka. Mulut orang itu semburkan darah ke mana-mana. Tua Bangka menyambutnya dengan kibasan kapak emas yang membelah dari dada ke perut. Breett...!

"Uuuhhg...!" Dewa Beruk akhirnya terkulai, jatuh berlutut dalam keadaan dadanya terbelah hingga perut, kemudian ia jatuh tersungkur ke depan dan selanjutnya tidak bernapas lagi.

Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya karena wajahnya memar membiru akibat geiombang ledakan yang membuat tubuhnya terbanting tadi. Pada saat itu, Tua Bangka bermaksud memenggal kepala Dewa Beruk. Tapi tiba-tiba sebuah seruan terdengar di sela kesunyian alam.

"Cukup, Tua Bangka!"

Semua mata memandang ke arah orang yang berseru itu. Ternyata Empu Tapak Rengat muncul bersama Pinang Sari, dan Darah Prabu. Mereka sangat terkejut, terutama Suto dan Tembang Selayang. Gadis itu segera berseru dan berlari memanggil ayahnya. "Ayaaah...!"

EmpuTapak Rengat mengusap-usap punggung anak gadisnya. "Ayah tak apa-apa! Tenanglah"
Suto Sinting segera bertanya, "Dari mana saja kau, Ki EmpuTapak Rengat?!"

"Tanyakan pada Tua Bangka itu. Dia yang menculikku dan memenjarakan diriku di dalam gua. Ternyata di situ juga ada Pinang Sari dan adiknya; Darah Prabu."

"Benar!" seru Pinang Sari dengan wajah kesal. "Aku dan Darah Prabu ditotok oleh Tua Bangka dan disembunyikan dalam gua. Pintu gua ditutup dengan batu berlapis tenaga dalam yang selalu membuatku terpental jika mendekatinya, Suto. Untung ada Empu Tapak Rengat ini, sehingga batu itu bisa dijinakkan dan kami bisa keluar dari gua!"

Suto Sinting pandangi Tua Bangka dengan dahi berkerut dan matamemancarkan ketajaman. Tua Bangka hanya nyengir dan garuk-garuk kepala. Empu Tapak Rengat segera mendekat dan berkata,

"Lain kali aku tidak suka dengan permainan seperti ini, Sanupati!"

"Maafkan aku, semua demi menyelamatkan pusaka ini. Sekarang kalau kalian mau menghukumku, silakan! Aku memang bersalah terhadap kalian."

"Ayah... berarti orang yang bernama Sanupati itu adalah si Tua Bangka ini?!"

"Benar, Anakku. Dialah adik dari Ratu Rias Pundi yang masa mudanya senang ugal-ugalan. Setelah bertemu denganku menjadi pria pen diam. Dan Nyai Pucanggeni, adalah bekas kekasihnyasemasamuda."

"Ooo..., pantas aku seperti pernah melihatnya. Rupanya dulu aku pernah ikut Guru menemui seseorang di sebuah bukit untuk lakukan percakapan rahasia, dan orang itu adalah dia, Ki Empu!" Pinang Sari cepat menyahut.

Suto Sinting agak dongkol karena selama ini merasa terke(joh oleh penampilan Tua Bangka yang berlagak polos, lugu, dan bodoh itu. Ternyata orang yang mau digantung itu adalah orang berilmutinggi.

"Apa maksudmu bersandiwara seperti itu, Tua Bangka?!" tanya Suto agak menggertak. Tua Bangka nyengir dan garuk-garuk kepala, seperti orang malu karena merasa bersalah.

" Semua terpaksa kulakukan untuk sembunyikan siapa diriku. Dengan begitu orang tidak akan mengejar- ngejarku untuk dapatkan Kapak Setan Kubur ini. Orang akan mengejar orang lain, dan aku hanya membayang- bayangi saja. Aku hanya akan bergerak jika Kapak Setan Kubur dan cucuku sudah ada di depan mat aku. Saat itulah orang akan tahu bahwa akulah pemiliknya."

"Kakek," kata Cawan Pamujan. "Maafkan kesalahanku. Semua ini gara-gara kelancanganku mencuri pusaka itu untuk membunuh Gandapura!"

Suto Sinting terkejut. "Kau ingin membunuh titisan raksasa itu?!"

"Ya, aku ingin membalas dendam padanya, karena kekasihku dimakan olehnya!" jawab Cawan Pamujan dengan ketus, seakan tak mau disalahkan oleh orang lain kecuali oleh kakeknya sendiri.

"Mengapa bisa jatuh ke tangan Dewa Beruk?" tanya T embang Selayang.

"Dia menyergapku dari belakang. Aku dilumpuhkan, lalu kapak diambil olehnya, dan aku dijadikan tawanan, mau dipakai pemuas gairahnya. Tapi belum sampai terjadi. Sumpah, aku masih suci kok!"

Cawan Pemujan memandang Suto, "Sumpah, aku masih suci!"

"Masa bodoh!" jawab Suto dengan jengkel dan menyingkir dua langkah dari depan gadis itu. Sikap tersebut membuat Empu Tapak Rengat tersenyum geli, demikian pula Tua Bangka alias Ki Sanupati itu.

Namun dalam hati Suto Sinting sempat membatin dalam renungannya,

"Pantas sang Adipati menangkap Tua Bangka dan memaksa Tua Bangka serahkan kapak itu karena ia tahu bahwa Tua Bangka memilikinya. Pantas Tua Bangka menyebarkan kabar palsu bahwa Kapak Setan Kubur itu hanya isapan jempoi belaka, maksudnya supaya tak banyak yang memburu pusaka tersebut. Tapi, yang membuatku masih merasa heran adalah sikap sang Adipati Janarsuma. Mengapa ia sangat berkeinginan untuk memiiiki Kapak Setan Kubur, sampai mengorbankan sekian banyak prajuritnya? Apa yang ingin dilakukan oleh sang Adipati jika Kapak Setan Kubur ada di tangannya?"

Tua Bangka mendekati Pinang Sari dan Darah Prabu.

"Maafkan aku, aku terpaksa menyembunyikan kalian dulu supaya kalian tak menyebar kabar bahwa akulah pemilik pusaka ini. Sebab jika kalian bertanya kepada Badranaya, ia akan sebutkan nama Sanupati alias Tua Bangka. Jadi, sebelum kalian temui sahabatku; si Badranaya atau gurumu, Darah Prabu, aku terpaksa mencegah dengan cara sembunyikan diri kalian. Kalau kalian merasa perlu menghukumku, hukumlah sekarang juga. Aku tak akan mendendam pada kalian."

Pinang Sari menjawab ketus, "Hukumanku hanya suatu permintaan; jaga cucumu, jangan sampai terlalu dekat dengan Pendekar Mabuk. Karena ia pandai menjerat hatiwanita!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil melengos.

Tua Bangka, Empu Tapak Rengat, dan Darah Prabu juga tertawa. Sedangkan Tembang Selayang hanya tersenyum-senyum dan Cawan Pamujan cemberut malu, sembunyi di belakang kakeknya.

SELESAI

Segera menyusul!!! RENCONG PEMBURU TABIB