Pendekar Mabuk 47 - Rencong Pemburu Tabib(2)


 Sepuluh larik sinar merah lurus yang menyerang dari kanan kirinya itu menghantam sinar hijau dari tubuh Salju Kelana. Akibatnya timbullah suatu daya ledak yang berkekuatan tinggi. Gelombang ledakannya bukan hanya melemparkan kedua lelaki itu sejauh tujuh tombak, melainkan juga menumbangkan empat pohon di sekelilingnya. Bahkan gugusan batu sebesar anak sapi itu pun pecah menjadi beberapa bongkahan kecil. Tanah bergetar dan daun pun berguguran di sana-sini.


Salju Kelana sendiri hanya jatuh bertahan dengan satu lutut dan berpegangan pada tongkatnyn Namun perempuan berjubah putih itu tidak mengalami luka separah kedua lawannya tadi. Salju Kelana hanya tundukkan kepala sebentar, menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya, setelah itu mampu berdiri lagi dengan kepala bergerak-gerak bagai mencari tahu keadaan lawannya dengan menggunakan indera pendengaran.

"Heeeaaat...!"

Tiba-tiba orang yang tadi patah tulang punggungnya memaksakan diri menyerang Salju Kelana dengan satu lompatan bergolok. Golok itu menebas ke samping bagaikan ingin memancung leher Salju Kelana.

Wuuut...! Trrakk...! Pruuusss...!

Tongkat kecil digunakan menangkis golok putih mengkilat dari baja asli itu. Namun, tangkisan itu tidak membuat tongkat kayu kecil itu menjadi patah, melainkan justru golok itu menjadi hancur berkeping- keping bagaikan habis disambar geledek. Tentu saja pemiliknya terbengong-bengong. Dan saat itulah Salju Kelana sodokkan tongkat kecilnya tepat di ulu hati orang tersebut. Deesss...!

"Uuuhhg...?!" orang itu terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya melengkung, mata terbeliak, lalu segera tumbang dengan keadaan menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih.

Tentu saja sodokan tongkat kecil itu bertenaga dalam tinggi yang bukan saja menyumbat pernapasan orang tersebut, melainkan juga menutup seluruh aliran darah dalam tubuhnya.

Sedangkan dua temannya yang tadi terlempar jauh itu kini berusaha bangkit dengan masing- masing mengeluarkan darah dari mulut, hidung, dan telinganya. Menyadari keadaan seperti itu, mereka berdua segera larikan diri tanpa menghiraukan temannya yang terkapar menyedihkan itu.

Sedangkan Salju Kelana segera melangkah hendak tinggalkan orang yang masih menggelepar-gelepar itu. Namun baru tiga langkah ia menggeloyor jatuh dengan lemas. Brruk...! Lalu mencoba bangkit dan melangkah dengan bantuan tongkat kecilnya itu. Kejap berikut ia tampak menggeloyor jatuh kepalanya nyaris membentur pecahan batu.

"Salju...!" teriak Pendekar Mabuk dengan kecemasan kian meninggi. Ia segera keluar dari persembunyiannya, lalu hampiri Salju Kelana. Pada saat Suto tiba di depan Salju Kelana, perempuan itu jatuh lagi dengan terkulai, namun kali ini tubuhnya ditangkap oleh kedua tangan Suto Sinting.
Dalam keadaan seperti itu, Salju Kelana sempat ucapkan kata lirih,

"Aku... terkena racun 'Jala Geni' mereka, Ooh...!"

"Salju! Salju Kelana...! Bertahanlah! Hooi, Salju...!" Suto Sinting mengguncang-guncang tubuh gadis itu
yang kian terkulai lemas dalam pelukannya .

***5

ORANG yang menggelepar-gelepar dibiarkan saja oleh Suto, tidak sempat terpikirkan olehnya. Pusat perhatiannya kepada Salju Kelana yang makin tampak memucat dan tubuhnya kian dingin. Pendekar Mabuk sangat cemas, khawatir nyawa si gadis hilang saat itu juga.

Maka, demi menjaga datangnya bahaya mendadak lagi, Suto Sinting segera membawa Salju Kelana ke dalam gua yang digunakan untuk bermalam, sampai di dalam gua keadaan Salju Kelana benar-benar mencemaskan. Matanya telah terbeliak menjadi putih dan kian terpejam sayu.

"Celaka! Kalau tak cepat-cepat teratasi racun itu akan membunuhnya tanpa ampun lagi!" gumam Suto dengan sedikit panik. Baru sekarang ia menjadi panik dalam menghadapi seseorang yang terluka. Batu sekarang tangannya menjadi gemetar gugup ketika membuka tutup bumbung tuak untuk lakukan pengobatan.

Suto Sinting mencoba menuangkan tuak ke mulut Salju Kelana. Tetapi mulut itu tak bisa terbuka lebar. Tuak akan mengguyur wajah Salju Kelana jika dituangkan dari bumbungnya.

Maka Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Tertelan sedikit dan sisanya masih ada di mulut cukup banyak. Lalu mulutnya ditempelkan ke mulut Salju Kelana. Tuak itu dimasukkan pelan-pelan dengan bibir mengecup bibir Salju Kelana. Hanya dengan cara begitu tuak bisa masuk ke dalam mulut si gadis dan langsung mengalir ke tenggorokan.

Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai kulit wajah pucat si gadis menjadi mulai tampak segar kembali. Tubuhnya terasa mulai menghangat. Degup jantung gadis itu diperiksa dengan cara menempelkan telinga ke dada sang gadis. Ternyata sudah mulai bekerja seperti biasanya. Hanya jantung Suto yang masih berdetak- detak cepat, terutama setelah telinganya menempel di dada sang gadis dan dada itu terasa memberikan kehangatan tersendiri bagi Suto Sinting. Dada sekal dan montok itu akhirnya ditinggalkan oleh telinga Suto, karena ia takut ketagihan ingin menempelkan telinga di dada itu terus.

"Dia mulai bernapas dengan lancar," pikirnya sambil pandangi si gadis. "Matanya mulai bergerak-gerak ingin membuka. Oh, syukurlah. Dia tertolong oleh tuakku. Tapi... tapi agaknya perlu sekali lagi kuminumkan tuak sakti ini biar mempercepat penyembuhannya."

Suto Sinting lakukan kembali hal seperti tadi, meminumkan tuak dari mulutnya ke mulut Salju Kelana. Mau tak mau ia mengecup bibir gadis itu lagi dan menyalurkan tuak pelan-pelan.

Bibir gadis itu bergerak-gerak kecil. Bahkan ketika tuak di mulut Suto suuah habis, bibir itu bagaikan menghisap bibir Suto Sinting, seperti bayi yang sedang menyusu tanpa mengetahui bahwa air susunya habis. Hisapan bibir lunak itu membuat Suto Sinting jadi enggan menarik mulutnya dari mulut Salju Kelana. Semakin lama semakin lincah gerakan sang bibir, semakin menimbulkan rasa nikmat di sekujur tubuh Suto Sinting, karena debar-debar di dalam nadinya bagaikan memompa darah untuk beredar keseluruh tubuh dengan derasnya.

Akhirnya lumatan bibir sang gadis mengendur, dan Suto Sinting menarik diri pelan-pelan. Gerakan melepaskan bibir yang sangat pelan itu terasa menimbulkan rasa syur dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki.

"Oohh...," gadis itu mendesahkan napas pelan. Tangannya ingin meraih kepala Suto Sinting agar jangan pergi dari bibirnya. Tetapi Pendekar Mabuk sedikit memaksakan diri untuk tetap melepaskan kecupan tersebut. Sang gadis pun membuka mata pelan-pelan. Pandangan matanya masih tampak datar tanpa kesan memandang. Namun dari mulutnya terdengar ucapan lirih yang membuat Suto Sinting tersenyum malu.

"Nikmat sekali cara pengobatanmu, Suto...."

"Ak... aku... aku terpaksa lakukan dengan cara seperti itu, karena tak bisa menuang tuak ke mulutmu. Maafkan aku, Salju Kelana."

"Tak perlu minta maaf," katanya lirih. "Aku justru
ingin terluka lagi kalau begini rasanya."

Suto Sinting tertawa tanpa suara dan itu pun dengan wajah dipalingkan ke arah lain. Hati sang pendekar tampan itu akhirnya membatin serangkaian kata,

"Kalau dituruti bisa ternoda gadis ini. Bahaya sekali keadaan jiwaku saat ini. Aku harus mengekangnya, harus menyadari bahwa gadis ini bukan Dyah Sariningrum. Gawat! Sapuan lidahnya hampir saja membuatku lupa daratan. Hmmm... sayang sekali. Sungguh sayang sekali dia bukan Dyah Sariningrum, dan aku tak berani lakukan perbuatan yang lebih dalam dari yang tadi, karena calon istriku di Pulau Serindu sana dapat mengetahui perbuatanku dengan teropong hatinya. Aku tak mau mengecewakan dia, tak ingin melukai hatinya dengan membiarkan gairahku tercurahkan pada Salju Kelana."

Gadis itu masih berbaring, seulas senyum tipis mengembang, menampakkan kesan bahagianya dalam hati. Namun matanya masih menatap lurus dengan hampa, sekalipun ia berpaling ke arah Suto, tapi pandangan mata itu tak bisa terarah ke wajah Suto Sinting secara tepat.

"Kau telah selamatkan jiwaku, Suto. Alangkah besar hutang budiku kepadamu."

"Kau pun sebelumnya telah selamatkan nyawaku juga. Kurasa kita sama-sama saling menyelamatkan nyawa sehingga tak ada anggapan hutang budi lagi, Salju."

"Mengapa kau selamatkan diriku dari racun 'Jala Geni' yang mestinya membuat jantungku pecah di dalam?"

"Karena aku tak ingin kehilangan kau, Salju Kelana."
"Betulkah kau tak ingin kehilangan diriku?"

Suto Sinting sedikit kikuk menjelaskannya. Ia merasa salah ucap, karena jawabannya tadi bisa diartikan lebih dalam lagi oleh sang gadis. Sebab itulah ia segera mencoba mengatakan maksud lain dari kata-katanya tadi.

"Sebagai seorang sahabat, aku tak ingin kehilangan sahabat yang baik seperti kau. Aku akan merasa sangat kehilangan jika nyawamu sampai melayang karena racun 'Jala Geni' tadi. Barangkali aku akan mencari tiga orang itu dan menumbuk halus raga mereka sebagai ungkapan kekecewaanku jika sampai kau tak tertolong, Salju Kelana."

"Oh, Suto...," gadis itu tersenyum penuh perasaan bahagia. "Mana tanganmu, Suto... berikan tanganmu...," sambil tangan si gadis mencari-cari tangan Suto. Lalu, Suto Sinting memberikan tangannya dan si gadis menggenggam tangan itu kuat-kuatpenuh resapan jiwa yang terbuai mesra. Bahkan ia menempelkan tangan Suto ke pipinya. Dipeluk dan diciumnya tangan itu bagai suatu ungkapan rasa yang amat bermakna sepanjang sejarah Salju Kelana.

"Baru kali ini aku mengenal pria yang mampu menyentuh lubuk hatiku paling dalam," ucap Salju Kelana sambil masih menempelkan tangan Suto di pipinya. Senyumnya kian mekar, hingga lesung pipitnya
membuat detak jantung Suto semakin bertambah keras.

Agar tak terlalu hanyut dalam kemesraan yang ada, Pendekar Mabuk segera alihkan pikirannya ke masalah tiga orang yang memaksa Salju Kelana agar menyerahkan Rencong Iblis tadi.

"Siapa mereka bertiga tadi, Salju Kelana?"

"Mereka murid-muridnya Tabib Lumbung Jagat," jawab Salju Kelana setelah bangkit dan duduk di depan Suto Sinting. Ia mencari-cari tongkat kecilnya, dan Suto mengambilkannya.

Salju Kelana berkata lagi,

"Tabib Lumbung Jagat tewas karena racun. Seseorang mengetahui pertemuan Tabib Lumbung Jagat dengan perempuan berjubah putih dan berwajah cantik. Maka para muridnya menyangka akulah perempuan itu. Mereka juga mendengar kabar tentang Rencong Iblis yang sedang mencari tumbal tujuh belas tabib. Aku sudah mencoba menjelaskan bahwa aku tidak mempunyai Rencong Iblis, tapi mereka tetap tidak percaya dan menuntutku agar menyerahkan rencong itu untuk membalas dendam kepada Gandapura, terutama kepada diriku sendiri yang dianggap membunuh guru mereka."

Pendekar Mabuk bungkam seribu bahasa. Ia tak mengerti harus menanggapi dengan ucapan apa, karena dalam hatinya masih diliputi kebimbangan.

"Benarkah rencong itu tidak ada pada Salju Kelana? Benarkah bukan Salju Kelana yang menjadi utusan pencari tumbal?"

Begitu pikir si murid sinting Gila Tuak itu. Tetapi di mulutnya ia hanya menggumamkan kata lirih sebagai tanda pertimbangan dalam otaknya.

"Perempuan cantik berjubah putih?!"
"Bukan hanya aku perempuan berjubah putih."
"Memang," ucap Suto pelan. "Tapi mengapa mereka tampak yakin sekali bahwa perempuan cantik berjubah putih itu adalah kau?"

"Karena mereka tidak mempunyai pilihan lain. Setahu mereka perempuan berjubah putih itu adalah diriku. Padahal si Kenari Sutera juga berjubah putih."

"Siapa itu Kenari Sutera?" Suto Sinting tertarik ingin mengetahuinya.
"Kenari Sutera adalah murid Begawan Titah Dewa yang tinggal di Bukit Pamanukan."
"Dari aliran hitam atau...."

"Setahuku Begawan Titah Dewa adalah tokoh beraliran putih. Entah kalau muridnya menjadi sesat, mana kutahu?"

Hati Suto Sinting sempat berkata,

"Jika benar Salju Kelana pemegang Rencong Iblis, tentunya aku sudah dibunuhnya, karena dia tahu aku pun dijuluki oleh orang-orang sebagai Tabib Darah Tuak. Dan lagi aku tidak melihat ia menyimpan rencong itu pada tubuhnya. Mungkinkah rencong itu disembunyikan di suatu tempat, yang tiba saatnya nanti akan diambilnya dan ditikamkan ke tubuhku?! Ah, aku kok masih curiga saja, walau sebenarnya aku tak ingin mencurigai dia. Kuingat saat bertemu dengannya, ia mengenalku sebagal Tabib Darah Tuak dan ingin minta diobati. Hal itu membuatku bimbang juga terhadapnya. Ingin sekali kubuang kebimbangan itu, tapi mengapa sulit sekali melakukannya?"

Saat mereka melangkah meninggalkan gua untuk menuju ke Lembah Sunyi, gadis berjubah pulih itu berkata lagi kepada Suto Sinting. Kali ini ia melangkah dengan berpegangan lengan Suto, seakan sepasang sejoli yang sedang menikmati langkah kemesraan.

"Setahuku murid Nyai Sibak Bumi yang bernama Kenanga Puri, juga mengenakan jubah putih. Bisa saja dia yang menjadi pemegang Rencong Iblis Itu. Dan banyak lagi tokoh wanita yang memakai jubah putih. Jadi kau jangan terpengaruh oleh pandangan murid Tabib Lumbung Jagat yang tahunya hanya aku perempuan berjubah putih."

"Tidak. Aku tidak terpengaruh oleh pandangan mereka," Suto mencoba mengelak.
"Wajahmu tampak menaruh kecurigaan padaku, Suto. Aku merasa tak enak berjalan denganmu."

"Maafkan aku. Memang tadi aku sempat terpengaruh oleh anggapan mereka, tapi sekarang sudah tidak punya kecurigaan lagi padamu. Aku percaya, perempuan berjubah putih itu bukan kau."

"Dari mana kau mempercayainya?"

"Karena... karena... karena gadis secantik kau tak mungkin mau membantu tokoh sesat seperti Gandapura. Hatimu pasti cantik seperti wajahmu."

"Jangan menyanjungku, nanti aku semakin hanyut dalam harapanku sendiri."
"Harapan apa?" desak Suto.

"Harapan ingin selalu berada di sisimu. Bukankah harapan itu akan membuatmu muak padaku, Suto?"

Suto tertawa tanpa suara. "Kau terlalu berprasangka buruk. Sebaiknya kita percepat langkah saja supaya lekas sampai di Lembah Sunyi."

Baru saja Suto Sinting menyarankan begitu, tiba-tiba mereka disergap oleh lima orang bersenjata. Mereka rata-rata berusia tiga puluh tahun lebih. Gerakan mereka termasuk cepat juga, karena dalam sekejap Suto dan Salju Kelana telah terkepung rapat dari berbagai penjuru. Wajah mereka menampakkan kemurkaan dan hasrat membunuh yang sangat tinggi.

Suto Sinting sempat terkejut, demikian juga halnya dengan Salju Kelana. Tapi mereka sama-sama cepat kuasai diri hingga bisa kelihatan tenang. Hanya saja, Pendekar Mabuk sempatkan diri bertanya kepada Salju Kelana,

"Apakah kau bisa mengenali lima orang bersenjata parang ini?!"

"Lima orang bersenjata parang? Oh, setahuku hanya orang-orang Perguruan Parang Suci yang bersenjata parang."

"Hmmm...! Kira-kira apa mau mereka?"

Salju Kelana belum menjawab, tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berkumis tipis segera membentak dengan suara keras,

"Kurung mereka, jangan beri kesempatan untuk lolos, terutama si jubah putih itu!"

Suto Sinting segera perdengarkan suaranya dengan kalem, "Siapa kalian ini? Mengapa kailan mengurung kami dengan cara seperti ini?!"

"Anak muda, kalau kau mau selamat dan panjang umur, serahkan perempuan berjubah putih itu kepada kami untuk kami bantai beramai-ramai!"

Suto Sinting tersenyum mendengar gertakan orang berkumis tipis itu. Dengan tetap tenang ia bicara kepada si kumis tipis.

"Apa salahnya hingga kalian ingin membantainya?!"

"Dia telah membunuh guru kami dua hari yang lalu! Tak ada cara lain menebus kesalahannya kecuali dengan membantainya!"

"Hmmm... siapa guru kalian itu?"

Seorang yang berambut pendek berseru dari samping kiri Suto Sinting,

"Tanyakan sendiri kepada perempuan biadab itu. Dia pasti mengenal nama Tabib Parang Windul"
"Oh, jadi Tabib Parang Windu terbunuh juga?!" gumam Salju Kelana dengan nada terperanjat.

"Jangan berpura-pura tidak tahu kau, Iblis! Menurut saksi mata kaulah yang membunuh Guru dengan menggunakan sebuah rencong. Kau taburkan racun dalam tubuh guru kami hingga jiwanya tak tertolong lagi."

"Benar-benar biadab kau, Betina!" seru si baju merah. "Heaaat...!"

Orang berbaju merah langsung menyerang Salju Kelana dengan satu lompatan cepat. Parangnya ditebaskan ke arah kepala Salju Kelana. Tetapi gadis itu segera bergerak separo lingkaran, sehingga sebelum parang itu sampai ke tubuhnya, tongkat kecilnya telah berkelebat merobek perut orang tersebut. Tongkat kecil itu bagaikan sebilah pedang yang ketajamannya mampu membedah perut orang dalam waktu sangat singkat.

Satu korban jatuh di tangan Salju Kelana karena sangat terpaksa, demi menyelamatkan nyawanya sendiri.

Melihat temannya terkapar dengan perut robek dan akhirnya menghembuskan napas terakhir, yang lain menjadi kian murka. Kemudian mereka menyerang Salju Kelana secara bersamaan. Tetapi Pendekar Mabuk cepat lakukan tindakan penyelamatan. Tubuh gadis itu disambarnya sambil ia melesat ke udara. Wuuut...!

Hinggap di dahan sebuah pohon. Jleeg...! Salju Kelana masih ada dalam pelukannya.

"Diam di sini, akan kutangani mereka. Hati-hati, ini dahan pohon. Jangan melangkah ke mana-mana."

Salah seorang dari empat yang tersisa itu melesat naik dengan gunakan ilmu peringan tubuhnya. Tepat pada waktu itu Suto Sinting meluncur turun dari atas pohon. Mereka bertemu di udara dan parang pun ditebaskan ke arah Suto Sinting.

Dengan cepat Suto Sinting meraih bumbung tuak dari punggung dan digunakan untuk menangkis tebasan parang tersebut. Traaang...! Suaranya seperti parang menebas baja, karena bumbung itu bukan terbuat dari bambu sembarang bambu.

Begitu parang tertangkis, kaki Suto Sinting segera menendang ke arah dada orang itu. Yang terjadi adalah di luar dugaan para murid mendiang Tabib Parang Windu, orang yang ditendang Suto Sinting itu terpental begitu jauhnya hingga suara jatuhnya tak terdengar oleh mereka.

Tiga orang murid Perguruan Parang Suci itu merasa temannya yang jatuh di kejauhan tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup, karena mereka membayangkan dada orang itu sedikitnya jebol akibat tendangan dahsyat Pendekar Mabuk. Tapi ketiga orang tersebut belum mau menyerah. Mereka justru semakin garang dan menyerang Suto secara bersamaan. Wuuuurrss...! Mereka menerjang Suto dari tiga penjuru pada saat Suto mendaratkan kakinya ke tanah.

Pendekar Mabuk menggeloyor bagaikan orang mabuk yang mau jatuh, tapi ternyata bumbung tuaknya menyodok lawan dengan cepat dalam satu gerakan terpatah-patah. Gerakan itu sukar dilihat mata biasa karena cepatnya, sehingga bumbung tuak itu berhasil membuat tiga orang terpental dalam satu gebrakan.

Wuuuurrss...! Buurk...!

Rupanya orang yang tadi terlempar jauh akibat tendangan Suto itu masih hidup. Ia bangkit dan melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bersinar hijau bening. Sinar itu semula sangat kecil, tapi semakin melayang jauh semakin besar bentuknya, hingga sampai di depan Suto sinar itu menjadi sebesar buah kelapa.

Tanpa tanggung-tanggung lagi, Suto Sinting menghantamkan bumbung tuaknya dalam satu lompatan ke arah sinar hijau itu.

Buuung... !

Sinar itu memantul balik ke arah pemiliknya dalam keadaan lebih besar lagi dan gerakannya lebih cepat lagi.

Woooosss... !

Tentu saja pemilik sinar hijau itu menjadi sangat terkejut melihat kenyataan itu. Ia segera berlari dan memanjat pohon dengan sangat cepat. Akibatnya sinar hijau besar itu menghantam dua batang pohon yang berjajar rapat.

Blaaang...!

Ledakan mengguncang bumi begitu dahsyatnya, hingga menumbangkan beberapa pohon, termasuk pohon yang dipanjat si pemilik sinar hijau itu. Akibatnya orang tersebut jatuh tergencet pohon yang besarnya tiga rangkulan manusia dewasa.

"Ahhhhgg...!" orang itu mengerang berat, sesaat kemudian suaranya hilang bersama nyawanya. Ia tak mampu menyingkirkan pohon itu.

Tiga orang yang terpental karena sodokan bambu itu berusaha bangkit dengan menahan sakit. Dua di antaranya sempat memuntahkan darah segar. Suto Sinting segera menghardik mereka,

"Jangan teruskan pertarungan ini, kalian akan mati sia-sia. Sebab aku dan perempuan yang di atas pohon itu juga sedang mencari pemegang Rencong Iblis! Kalian salah anggapan. Dan kesalahan seperti itu hanya akan membuang-buang nyawa kalian, seperti dua teman kalian itu. Sia-sia sekali kematiannya!"

"Perempuan yang membunuh guru kami adalah perempuan cantik berjubah putih!"

"Apakah kalian tak berpikir bahwa di dunia ini banyak perempuan cantik, dan dari sekian banyak itu banyak pula yang berpakaian jubah putih?! Mengapa kalian langsung menuduh Salju Kelana yang melakukannya? Apa alasan kalian selain karena cantik dan berjubah putih?!"

"Selain berwajah cantik dan mengenakan jubah putih, perempuan itu mempunyai mata yang cacat! Begitulah menurut keterangan saksi mata kami."

"Mata yang cacat?!" Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, dahinya berkerut dengan sendirinya.

Tapi ia berkata kepada tiga orang itu, "Dengarlah kalian, kalau memang Salju Kelana terbukti bersalah, aku yang akan mengadili dan menghukumnya!"

"Siapa kau, sehingga berani bertindak sebagai sang pengadilan?!"

"Aku adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Akulah murid si Gila Tuak dan tugasku menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan!"

"Ooh...?!" mereka bertiga saling terperangah. Ternyata sejak tadi mereka belum sadar bahwa yang dihadapi adalah seorang pendekar yang namanya sedang kondang dan menjadi bahan sanjungan beberapa tokoh silat aliran putih.

Mendengar nama Pendekar Mabuk, mereka bertiga menjadi ciut nyali, dan merasa sangat menyesal telah berani melakukan pertarungan dengan sang pendekar sinting itu. Akhirnya, mereka bertiga pun segera membawa kedua mayat temannya dengan hati sedih. Sementara yang berkumis tipis itu berkata kepada Suto Sinting dengan nada penuh penyesalan.

"Maafkan kami, tak ada maksud kami untuk menantang, Pendekar Mabuk. Sekuat apa pun tenaga kami melawanmu tetap akan tumbang. Sebaiknya kuserahkan perempuan itu kepadamu, jika benar dan terbukti bahwa dialah pembunuh guru kami, tolong bertindaklah dengan adil dan bijaksana!"

"Terima kasih atas kepercayaan kalian. Aku tidak akan menyimpang dari perintah guruku sendiri!" kata Suto dengan tegas.

Setelah mereka pergi, batin Suto kembali bertanya- tanya, "Benarkah pemegang Rencong Iblis itu bermata cacat? Cantik, berjubah putih, bermata cacat dan... ooh, semua ciri itu ada pada Salju Kelana? Semakin sulit bagiku untuk menghilangkan kecurigaanku kepadanya. Tapi hati kecilku tetap tak mau menuduhnya sebagai si pembunuh para tabib! Oh, aku jadi bingung sekali kalau begini."

Ketika Suto Sinting hendak mengambil Salju Kelana dari atas pohon, ternyata gadis itu sudah tidak ada di tempat. Tentu saja Suto terkejut setengah mati dan kebingungan mencari si cantik berjubah putih itu.

"Celaka! Ke mana gadis itu? Apakah dia melarikan diri?! Dalam keadaan mata buta begitu ia mampu melarikan diri melintasi dahan-dahan pohon?! Ah, rasa- rasanya tidak masuk akal sekali?!" sambil mata Suto memandang ke sana-sini dalam kebingungannya.

***6

BENAR atau salah, Salju Kelana tak boleh lepas dari tangan Pendekar Mabuk. Sebelum perkara itu terselesaikan secara tuntas, Pendekat Mabuk tidak ingin melepaskan Salju Kelana.

"Seandainya memang dia benar-benar si pemegang Rencong Iblis itu, maka aku pun harus bertindak tegas terhadapnya. Sekalipun wajahnya mirip Dyah Sariningrum, tapi jika tindakannya bertolak belakang dengan Dyah-ku, aku tak bisa membiarkannya begitu saja. Setidaknya kuserahkan kepada Guru untuk mendapat perlakuan yang setimpal dengan kejahatannya!"

Sambil memikirkan hal itu, Suto Sinting masih mencoba mencari Salju Kelana yang pergi tanpa tinggalkan jejak. Ia mencari dari pohon ke pohon sehingga dapat melayangkan pandangan matanya lebih luas lagi.

Ketika ia bermaksud turun dari atas pepohonan, tiba- tiba ia mendengar suara dentuman menggema yang datang dari arah utara. Pendekar Mabuk terperanjat dan menjadi tegang dengan mata menatap ke utara.

"Jangan-jangan itu suara pertarungan Salju Kelana dengan seseorang?" pikirnya. Maka tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto Sinting segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk melesat dengan cepat menuju ke arah utara. Zlaaap...!

Sebuah dataran berumput lebat menjadi ajang pertarungan. Dan dugaan Suto Sinting tadi ternyata memang benar. Salju Kelana sedang bertarung melawan seorang nenek berjubah merah dengan tongkatnya yang putih. Tampak tak jauh dari mereka, berdiri sesosok tubuh sekal berambut cepak yang tak lain adalah Anggani, si Putri Malu.

"Hmmm... kalau tak salah nenek tua berjubah merah itu adalah Nyai Sumbar Keramat, gurunya Anggani.

Rupanya si Putri Malu itu mengadu kesedihannya kepada sang Guru dan Nyai Sumbar Keramat pun merasa berhak membela sakit hati muridnya. Gawat! Salju Kelana apa bisa unggul melawan Nyai Sumbar Keramat? Karena dulu, tokoh tua yang ilmunya tinggi, sahabat dari guruku sendiri, juga hampir celaka dalam pertarungannya melawan Nyai Sumbar Keramat."

Suto Sinting ingat seraut wajah tua berambut putih panjang yang diikat ke belakang. Orang yang diingatnya itu tak lain adalah Galak Gantung, yang dulu pernah bertarung dengan Nyai Sumbar Keramat karena sang Nyai mendukung rencana muridnya yang ingin menyerahkan Suto kepada Ratu Sukma Semimpi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Bernyawa").

Pada dasarnya, Suto Sinting tidak ingin Salju Kelana dihakimi oleh orang lain. Karenanya ia tak bisa tinggal diam saja ketika melihat Salju Kelana dihajar habis oleh Nyai Sumbar Keramat. Tongkat sang Nyai yang dihantamkan bertubi-tubi ke arah Salju Kelana membuat si gadis berjubah putih terdesak mundur.

Tangkisannya semakin lama semakin lemah karena setiap sabetan tongkat Nyai Sumbar Keramat selalu disertai dengan percikan bunga api yang menandakan tongkat itu dialiri tenaga dalam cukup berbahaya.

"Hancurkan dia, Nyai! Hancurkan dia selagi tak ada Pendekar Mabuk!" seru Anggani dengan suara dendam yang membuatnya hampir serak.

Pendekar Mabuk cemaskan jiwa Salju Kelana, sebab gadis itu terdesak sampai di dekat rawa. Padahal Suto Sinting tahu rawa itu adalah genangan lumpur hidup yang mampu menyedot manusia yang jatuh ke dalamnya. Jika sampai Salju Kelana jatuh ke lumpur hidup, habislah riwayatnya. Pasti ia akan semakin ditenggelamkan oleh Nyai Sumbar Keramat dengan caranya sendiri.

Tak ada pilihan lain bagi Suto Sinting selain menghambur dalam pertarungan itu demi menyelamatkan Salju Kelana. Dengan gerakan yang amat cepat melebihi anak panah, Suto Sinting berhasil melesat dan dalam sekejap tiba di samping Salju Kelana.

Zlapp...! Jleeg...!

"Hentikan, Nyai!" sentak Suto Sinting dengan suara menggelegar. Sentakan suara itu membuat jantung Sang Guru terhentak pula dan gerakannya pun terhenti. Suto Sinting segera meraih tangan Salju Kelana dan
menariknya.

"Diam di belakangku!" perintah Suto Sinting dengan mata tetap memandang ke arah Nyai Sumbat Keramat.

"O, rupanya apa kata muridku memang benar. Pendekar Mabuk sudah menjadi pendekar sesat karena membela kejahatan!" ucap sang Nyai dengan senyum sinis.

Anggani segera berlari mendekati gurunya. Wajah gadis itu masih tampak ketus saat memandang Pendekar Mabuk.

"Sudah kubilang jangan ikut campur masalah ini kalau kau tak tahu persis, Suto. Kenapa kau masih membela si keparat itu!" sentak Anggani sambil menuding Salju Kelana yang ada di belakang Suto dalam jarak tiga langkah.

"Aku bisa rasakan dendam dan murkamu, Anggani. Tapi kau tidak boleh bertindak gegabah. Jika memang Salju Kelana bersalah sebagai pembunuh ibumu, kau harus bisa membuktikannya."

"Buktinya adalah jenazah ibuku yang sekarang sudah dimakamkan itu! Jenazah Ibu dalam keadaan biru legam karena racun ganas yang sulit ditangkal lagi! Itulah racun dari si keparat itu, tahu?!"

Salju Kelana yang dituding-tuding oleh Anggani diam saja. Ia menenangkan napasnya akibat tenaganya terkuras saat melayani serangan Nyai Sumbar Keramat. Sang Nyai pun segera berkata kepada Suto Sinting.

"Matamu telah terbalik, Suto! Seharusnya kau memihak yang benar, tapi nyatanya kau memihak orang yang salah. Lebih baik copot gelar kependekaranmu ketimbang kau kotori dengan sikapmu saat ini!"

Anggani menimpali, "Apakah karena Salju Kelana lebih cantik dariku, maka kau membelanya mati-matian, hah?"

"Anggani...," kata Suto Sinting dengan tenang. "Apakah kau belum mendengar bahwa bukan hanya ibumu yang terbunuh, melainkan beberapa tabib lainnya juga terbunuh oleh satu orang. Orang itu menggunakan Rencong Iblis. Rencong itu mencari tumbal tujuh belas tabib. Jika sudah mendapat tumbal nyawa tujuh belas tabib, maka ia akan menjadi senjata bagi Gandapura untuk menangkap kekuatan Kapak Setan Kubur yang dapat meleburkan Ilmu Mahkota Neraka'-nya."

"Hmmm...! Aku lebih tahu dari kau, Suto!" Anggani mencibir benci.

"Barangkali kau benar. Kau lebih banyak tahu dari diriku. Tapi ketahuilah, banyak orang mengetahui juga bahwa ciri-ciri pemegang Rencong Iblis yang menjadi utusan Gandapura adalah perempuan cantik berjubah putih dan cacat matanya. Tapi apakah kau tidak berpikir bahwa ciri-ciri seperti itu tidak hanya dimiliki oleh Salju Kelana?!"

"Persetan dengan kata-katamu!" sentak Nyai Sumbar Keramat. "Anggani, menyingkirlah! Biar kuhadapi sendiri pendekar sesat ini!"

Anggani mundur pelan-pelan sambil memandangi Suto Sinting, seakan pasrah dengan tindakan gurunya. Ia berlari menjauh bagai tak mau melihat pertarungan itu.

Sementara sang gadis berjubah putih pun bergegas ke bawah pohon, sepertinya memberikan tempat bagi Suto untuk melayani murka sang Nyai.

"Pendekar Mabuk!" seru Nyai Sumbar Keramat, "... Kau boleh saja berdalih apa pun, tapi aku tetap tak ingin melihat seorang pendekar yang sesat langkahnya sepertimu! Lebih baik kau kumusnahkan dan aku akan berurusan dengan gurumu sendiri; Bidadari Jalang atau si Gila Tuak."

"Nyai, sebenarnya aku tidak ingin melakukan pertarungan denganmu. Tapi jika ternyata kau mendesakku, aku terpaksa melayanimu sebagaimana apa yang kau harapkan dariku!"

"Manis tutur katamu, lembut suaramu, tapi busuk hatimu! Aku harus melenyapkan kebusukan itu sampai ke akar-akarnya. Heeaahh...!"

Nyai Sumbar Keramat menyentakkan tongkatnya dalam keadaan kaki tetap di tempat. Kaki itu merendah dan tongkat itu disodokkan ke depan. Seberkas sinar lurus tanpa putus warna kuning menghantam dada Suto Sinting. Tapi dengan cepat Suto Sinting kelebatkan bumbung tuaknya ke depan dada.

Weet...! Daaab...! Duaaar...! Ledakan keras menggema akibat sinar kuning itu menghantam bumbung tuak. Sinar itu jelas sinar berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Jika tidak ia akan membalik arah dan berubah menjadi lebih besar. Ternyata sinar itu tidak membalik arah dan meledak begitu menghantam bumbung tuak.
Bumbung tuak itu tidak terluka sedikit pun. Membekas hangus pun tidak. Tentunya bumbung tuak itu mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih tinggi dari sinar kuning tersebut.

Tubuh Nyai Sumbar Keramat tersentak, namun ia bertahan hingga hanya bergeser ke belakang dua langkah. Pendekar Mabuk sendiri juga tersentak ke belakang satu langkah, dalam sekejap sudah mampu berdiri tegak lagi. Keduanya saling beradu pandangan mata. Suto Sinting lebih tenang dan sorot matanya tidak seganas Nyai Sumbar Keramat.

Di luar dugaan, dari kedua mata Nyai Sumbar Keramat keluar dua baris sinar merah sebesar lidi, lurus tanpa putus. Suto Sinting sempat terperanjat, lalu cepat- cepat menyilangkan bumbung tuaknya ke arah depan mata, sebab kedua sinar merah itu ingin menembus mata Suto.

Dengan menyilangnya bumbung tuak yang digenggam dengan kedua tangan itu, maka kedua sinar merah pun kembali menghantam bumbung tuak secara bersamaan.

Jgaaarrr... !

Sinar biru lebar melesat dari bumbung tuak itu. Sinar biru lebar itu merupakan percikan dari perpaduan tenaga sakti dalam bumbung dengan dua sinar merah.

Sinar biru lebar melesat ke depan dan di luar dugaan menghantam tubuh Nyai Sumbar Keramat. Zrruuub...!
"Aaaahg...!" Nyai Sumbar Keramat terpental terbang sambil memekik. Tubuhnya berasap dan jatuh di semak- semak.

"Guruuu...!" teriak Anggani dengan tegang sekali. Ia berlari menghampiri gurunya yang terperosok di semak- semak. Bahkan sebagian semak-semak itu terbakar begitu tersentuh tubuh Nyai Sumbar Keramat.

"Guru, kau terluka parah! Kau... kau.... Oh, Sutooo...! Biadab kau! Kubunuh kau, Sutooo...!" teriak Anggani. Tapi ketika mau bergerak, kakinya disambar oleh Nyai Sumbar Keramat. Teeb...!

"Guru...?! Akan kubalaskan lukamu itu!"

"Jaa... jangan... buang-buang waktu. Baa... bawa... bawalah aku kepada.... Galak Gantung. Hanya dia yang bisa obati luka seperti ini...!"

"Oh, ba... baik, Guru! Baik!"

Anggani mengetahui bahwa gurunya dalam keadaan sangat parah. Ia tak sempat lakukan apa pun pada diri Suto maupun Salju Kelana. Ia cepat mengangkat gurunya dan berlari menuju Bukit Wangi untuk temui Galak Gantung, bekas kekasih Nyai Sumbar Keramat semasa mudanya.

Sementara itu, ledakan dahsyat tadi ternyata telah membuat tubuh Suto Sinting terpental dan jatuh ke rawa berlumpur hidup. Tubuhnya juga berasap pada saat melayang. Bumbungnya terlepas dari genggaman tangan. Dan tubuh Suto Sinting masuk ke dalam lumpur hidup dalam keadaan luka bakar bagian dalamnya. Ia sangat lemas dan tak berdaya. Tubuh itu terendam lumpur setinggi dada.

Salju Kelana terkejut ketika mendengar suara:

Juubbbss...! Hati gadis itu segera berkata,

"Siapa yang masuk ke rawa berlumpur?! Oh, agaknya Suto Sinting?!"
Lalu ia segera bergerak dengan bantuan tongkatnya sambil berseru, "Sutooo...! Sutooo...!"

Pendekar Mabuk ingin berseru tapi dadanya terasa sakit sekali. Ia pun berusaha untuk bergerak. Namun segera sadar bahwa gerakannya hanya akan membuat badannya semakin tersedot ke dalam lumpur. Kini lumpur itu sudah sebatas pundak. Suto Sinting sempat angkat tangannya sambil berusaha berseru namun suaranya sangat pelan,

"Salju... ambil bumbung tuak...!"
"Suto, kau di dalam lumpur?!"

"Iiy... Iyaa...!" jawab Suto pelan sekali. Salju Kelana mendekati tepian lumpur dengan bantuan tongkatnya untuk meraba tanah di depannya. Langkahnya menjadi hati-hati.

Suto Sinting yang masih mengangkat satu tangannya itu menjadi lebih cemas melihat Salju Kelana melangkah maju mendekati tepian rawa.

"Jangan maju... berhenti!" ucap Suto dengan suara berat seperti orang tua. "Sebelah kirimu tanah lunak. Jangan injak itu. Jangan...!"

Tapi Salju Kelana nekat menginjak tanah lunak itu. Sekali injak tanah pun amblas ke dalam. Blusss...!

Tetapi agaknya ada kayu batu di dalam tanah itu hingga kaki Salju Kelana tak terendam ke dalam lumpur. Suto Sinting sudah pejamkan mata karena ngeri melihat Salju Kelana yang diduga akan terjerembab juga.

Ternyata ketika ia membuka mata, Salju Kelana mendekatinya dengan berjalan di atas lumpur hidup itu. Ia menapakkan kakinya di atas lumpur hidup tanpa terbenam sedikit pun. Tongkatnya digerak-gerakkan mencari sentuhan tubuh Suto.

Pendekar Mabuk memandang kagum terhadap kemampuan Salju Kelana yang ternyata mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi juga itu. Tapi Suto tak mampu berpikir lebih banyak lagi, karena rasa sakit di dada membuatnya bergerak dan gerakan itu membuat tubuhnya lebih amblas ke dalam lumpur hingga mencapai sebatas leher. Tangannya masih terangkat ke atas, namun sama sekali tidak mempunyai pegangan.

"Salju...," suara itu membuat Salju Kelana yang hampir melangkah ke arah yang salah menjadi berbalik. Ia seperti berjalan di tanah datar biasa yang keras dan berbatu.

"Salju... aku di sini," ucap Suto Sinting semakin lirih. Kalau saja telinga Salju Kelana tidak mempunyai kepekaan tinggi. Ia tidak akan mendengar ucapan Suto itu.

Akhirnya ia menemukan kepala Suto yang diketuk ketuk dengan ujung tongkatnya. "Ini batu atau kepalamu, Suto?"

"Kep... kepalaku," jawab Suto Sinting dengan semakin lirih, karena lumpur makin menghisap tubuhnya hingga mencapa batas dagu.

"Pegang tongkatku!" perintah Salju Kelana. Tangan Suto yang terangkat ke atas akhirnya menyambar tongkat Salju Kelana. Taab...!

"Gunakan ilmu peringan tubuhmu, aku akan menarikmu pelan-pelan," kata Salju Kelana.

Seandainya Suto tidak gunakan ilmu peringan tubuh, barangkali gerakan Salju Kelana yang menarik tubuh Suto dapat membuat tubuh perempuan itu terbenam sendiri ke dalam lumpur. Tapi karena Suto pun menahan napas dan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka tarikan tongkat Salju Kelana terasa ringan dan tubuh Suto mampu bergerak. Kini Salju Kelana melangkah dengan tenang sambil menarik Suto Sinting yang berpegangan pada tongkatnya. Ia seperti seseorang yang sedang menuntun seekor kambing.

"Bertahanlan sampai kita mencari daratan, Suto "

"Sekarang sudah sampai di darat. Aku jangan diseret terus!" geram Suto bernada jengkel sambil menahan sakit.

"O, maaf. Aku tidak tahu kalau sudah sampai di darat. Kau sendiri mengapa masih memegangi tongkatku terus sehingga terseret-seret?!"

Suto menggerutu tak jelas. Badannya terbungkus lumpur hitam berbau rumput. Namun ia tidak peduli dan segera menggulingkan tubuh beberapa kali dengan susah payah, lalu mencapai bumbung tuaknya. Ia menenggak tuak dengan gemetar. Air tuak bukan saja mengucur dari mulutnya, namun juga membasahi wajahnya. Ia tetap tidak peduli, yang penting beberapa teguk tuak berhasil diminumnya dan rasa sakit di dada mulai berkurang.

Suto duduk di tanah bersandarkan pohon. Napasnya masih terengah-engah, walau rasa sakitnya semakin ringan. Ia tertegun membayangkan hampir mati terhisap lumpur hidup kalau tak ditolong oleh Salju Kelana. Gadis itu mencoba meraba tubuh Suto, tapi pemuda tampan itu menyentak,

"Jangan pegang aku!"
"Suto...?! Kau marah padaku?" ucap Salju Kelana pelan, bagaikan penuh kesabaran.

Suto Sinting sedikit menyesal mengeluarkan suara keras. Ia segera berkata dengan lunak, "Maksudku, badanku penuh lumpur. Kalau kau memegangku nanti tanganmu kotor."

"Apakah wajahmu juga penuh lumpur?"

Suto menjawab bagai orang menggerutu pelan, "Tidak...."

Kemudian tangan perempuan cantik itu meraba wajah Suto. Ia tersenyum memamerkan lesung pipitnya. Suto berdebar-debar. Kejengkelan di hatinya sirna begitu memandang lesung pipit di wajah cantik yang mirip sekali dengan Dyah Sariningrum itu.

"Ternyata wajahmu masih tampan walau ada sedikit lumpur di pelipismu," ujar Salju Kelana. "Tapi mengapa mulutmu monyong? Kau cemberut, Suto?"

"Aku kesal padamu!" kata Suto memaksakan diri untuk ketus, supaya Salju Kelana mengetahui bahwa hati Suto semula dongkol kepadanya.

"Kau pergi tanpa bilang-bilang padaku. Sudah dua kali kau begitu. Pertama kau menghilang dari gua saat aku masih tertidur dan akhirnya bentrok dengan murid- murid Tabib Lumbung Jagat...."

"Aku bermaksud buang air, dan ketika mau masuk ke gua diserang oleh mereka. Aku membawa mereka lari menjauhi gua supaya kau tidak menjadi sasaran mereka, karena aku tahu saat itu kau masih tidur. Aku tak ingin tidurmu diganggu oleh teriakan atau kegaduhan mereka," potong Salju Kelana.

"Dan tadi kenapa kau tahu-tahu pergi, sementara aku sedang hadapi murid-murid Perguruan Parang Suci?! Bukankah sudah kubilang, jangan ke mana-mana. Diam saja di atas pohon supaya aku mudah melindungimu!"

"Aku disambar seseorang dan dibawa lari. Aku tak tahu siapa yang menyambarku dari belakang. Ketika aku meronta, aku jatuh di tanah ini dan ternyata gurunya Putri Malu yang menyambarku dari atas pohon."
"Mengapa kau tidak berteriak minta tolong, supaya aku tahu kalau kau dalam bahaya."

"Aku tak mau mengganggu kesibukanmu bersama murid-murid Perguruan Parang Suci itu. Pikirku, aku ingin mengatasi sendiri tanpa merepotkan dirimu lagi."

"Uuh...!" Suto Sinting mendengus kesal, wajahnya cemberut. Wajah itu diraba lagi oleh Salju Kelana.

"Kau cemberut, Suto?! Ooh... maafkanlah aku. Jangan marah, aku tidak sengaja meninggalkan kau!" sambil tangannya masih meraba wajah Suto.

"Puih, puih...!" Suto Sinting meludah dan menjauhkan wajah.
"Kenapa, Suto?"
"Tanganmu kena lumpur masuk ke mulutku!"

"Oo... maaf, aku tak sengaja memasukkan lumpur! Maaf, Suto...," Salju Kelana akhirnya tertawa geli, Suto hanya menahan tawa dengan senyum dikulum. Ia meludah-ludah lagi karena masih ada sisa lumpur di bibirnya. Ia sempat menggerutu yang membuat Salju Kelana kian tertawa geli.

"Mulut orang diobok-obok seenaknya... dimasuki lumpur segala! Puih...! Memangnya aku belut, makannya lumpur?!"

Tak seberapa jauh dari tempat itu ada sungai berair terjun tak seberapa tinggi. Untuk menghilangkan lumpur di badan, Pendekar Mabuk terpaksa mandi di bawah pancuran tersebut, sambil mencuci pakaiannya.

Bumbung tuak dititipkan kepada Salju Kelana yang duduk di atas sebuah batu tak jauh dari Suto Sinting.

Walaupun wajah gadis itu menghadap ke arah Suto, namun Suto Sinting tak segan-segan lagi melepas seluruh pakaiannya dan mandi dengan bebasnya.

"Untung dia buta, jadi tak melihat keadaanku saat ini," pikir Suto Sinting.
"Biar pakaianmu aku yang mencucinya, Suto!"

"Jangan. Kau jangan bekerja apa-apa. Duduk di situ saja. Sebentar lagi aku selesai."
"Kau sepertinya sangat sayang kepadaku," ujar Salju Kelana sambil wajahnya seperti memandang Suto tapi arah pandangan matanya datar tak tertuju ke satu titik.

"Apakah kau memang mempunyai rasa kasih dan sayang pada diriku, Suto?!"

"Aku tidak tahu!" jawab Suto kaku. Ia memeras pakaiannya, lalu membentangkan di bebatuan yang terkena terik matahari. Sambil menunggu pakaian kering, Suto mengulangi mandinya agar tubuh semakin bersih.

"Kalau kau sayang padaku, katakanlah terus terang, supaya hatiku bisa menikmati kebahagiaan secara nyata."
"Aku sayang padamu, sebagaimana sayangnya seorang sahabat."
"Hanya itu?"
"Ya, hanya itu!" jawab Suto memaksakan diri sesingkat mungkin.

Tapi dalam hatinya ia bertanya sendiri,

"Benarkah aku sayang kepadanya? Bukankah dia orang yang sedang kucurigai sebagai pembawa Rencong Iblis, pembunuh para tabib itu? Apakah ia juga akan membunuhku? Tegakah ia membunuhku? Jika ia memang pembunuh para tabib dan merencanakan ingin membunuhku juga, mengapa ia menyelamatkan nyawaku dari lumpur maut tadi?"

Pendekar Mabuk diliputi kebimbangan yang meresahkan, sambil tetap membiarkan tubuhnya berdiri tegak diguyur air pancuran dengan segarnya. Sementara itu, Salju Kelana seakan ingin mendekat, ingin memandanginya lekat-lekat, namun gadis itu tak berani lakukan untuk melompat turun ke sungai. Barangkali takut terpeleset, atau ia merasa lebih suka duduk sambil membayangkan Suto mandi.

Yang jelas gadis itu segera berkata, "Sepertinya kau masih menuduhku sebagai pembunuh para tabib itu, Suto. Setega itukah kau mencurigaiku?!"

"Dari mana kau tahu kalau aku masih mencurigaimu?"
"Detak jantungmu sedikit lebih cepat dari biasanya. Benar, bukan?"
Suto tak berani menjawab. Ia bahkan semakin resah.

***7

SEORANG lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun melepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa sinar biru yang melingkar-lingkar. Pukulan itu terlepas dari telapak tangan kirinya dan menerjang dua orang penunggang kuda yang bersebelahan. Srraaab... ! Blaarrr... !

Dua penunggang kuda itu terjungkal dari atas punggung kuda secara bersamaan. Kedua tubuh menjadi merah matang dan kejap kemudian merenggangkan nyawa. Kemudian orang tua itu berlari lagi ke tempat persembunyian. Karena dua penunggang kuda lainnya datang dari arah timur dan melepaskan tombak ke arahnya. Wuuusss...!

Orang tua berpakaian abu-abu dengan rambut putih pendek itu segera menyelinap di balik pepohonan. Seet...! Tombak berhias benang merah di bawah mata tombaknya itu menancap pada pohon tersebut dengan kuat. Jluub...!

Terlambat sedikit orang bertubuh kurus dan agak pendek itu akan menjadi sasaran tombak tersebut. Untung ia cepat bersembunyi di balik pohon itu, sehingga nyawanya masih melekat pada raganya.

"Dia di balik pohon itu. Hantam dengan jurus 'Rentang Kumala' kita! Heeeaaah...!"
"Hiaaah...!"

Dua sinar merah yang menyerupai cahaya kilat itu menyambar pohon tersebut. Blegaar...! Blaaang...!

Dentumannya begitu menggema bagaikan ingin memecahkan langit.

Pohon itu hancur berkeping-keping. Rata dengan tanah. Tapi kakek berpakaian abu-abu yang gigi depannya tinggal dua itu lenyap tak berbekas. Kedua penunggang kuda mencari mayat kakek itu, tapi tak sesobek pakaian pun ditemukan oleh mereka.

"Dia hilang...!"
"Tak mungkin. Pasti pindah di tempat lain."
Tiba-tiba ada suara yang terdengar di atas sebuah pohon seberang mereka.
"Ya, aku memang pindah di sini!"
"Itu dia...!"

Slaaap...! Salah seorang penunggang kuda lepaskan pukulan jarak jauh lagi dalam bentuk dan jenis yang sama dengan yang tadi. Tapi kali ini kilatan cahaya merah itu dihadapi oleh sang kakek dengan sentakan tangan kirinya yang memancarkan bias sinar hijau. Sinar hijau lebar itu bagaikan terbang cepat ke arah para penunggang kuda. Wuuuttt... !

Di pertengahan jarak sinar hijau itu menabrak sinar merah. Dan dentuman hebat pun terdengar kembali membahana ke mana-mana.

Jlegaaar...!

Kedua belah pihak tidak ada yang tumbang. Kecuali kuda mereka meringkik ketakutan sambil melonjak, menaikkan kaki depannya. Sang penunggang kuda akhirnya turun. Keduanya segera maju ke pertengahan jarak dan salah seorang berseru,

"Turun kau, Pembunuh!"
Zlaaap...!

Orang berpakaian abu-abu itu justru menghilang, membuat kedua penunggang kuda menjadi kebingungan. Tapi kejap berikutnya ia sudah berada di lereng bukit cadas belakang mereka.

"Aku di sini, Nak.... He, he, he, he...!"
"Kejar dia! Kejar terus...!"

Pak tua itu lari mendaki bukit, kedua penunggang kuda mengejarnya dengan tanpa membawa kudanya. Namun tiba-tiba sebelum kedua orang itu mencapai puncak bukit yang tak seberapa tinggi, tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang mereka dari samping. Breeess... !

"Aaauh...!" Keduanya terjungkal ke belakang dan terguling-guling menuruni lereng bukit. Pak Tua itu kaget dan hentikan langkah. Lalu ia memandang ke arah lain, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri di sana dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Bocah bandel...! Kau dari mana saja? Kenapa tak segera menemuiku, Suto?!" ujar orang tua itu yang tak lain adalah si Tua Bangka atau Sanupati. Dia adalah pemilik pusaka Kapak Setan Kubur, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").

"Aku sedang dalam perjalanan menemuimu, tahu- tahu menghadapi masalah berat, Tua Bangka."
"Hmmm... lalu apakah sudah kau selesaikan masalah itu?!"

Kilatan cahaya merah datang lagi dari kedua orang itu. Claap...! Tua Bangka menangkisnya dengan mengadu sinar hijaunya kembali. Blegaaar...! Tapi ia berlagak acuh tak acuh dan bicara dengan Pendekar Mabuk,

"Aku yakin kau bisa selesaikan setiap masalah yang kau temui, Suto. Sebab aku tahu siapa kau dan seberapa tingginya kecerdasanmu! Jelas kecerdasanku ada di bawahmu."

Claaap... !
Blegaaar...!

Lagi-lagi kedua orang itu menyerang, dan Tua Bangka menangkisnya secara acuh tak acuh, wajahnya tetap memandang Suto Sinting dengan senyum ceria.

"Ada masalah apa dengan kedua orang itu, Tua Bangka?"

"O, biasa. Adipatinya kubunuh, eeeh... mereka ngamuk! Aku dikejar-kejarnya. Yaaah... terpaksa mereka kutumbangkan daripada nyawaku diambilnya."

"Adipati mana yang kau bunuh?!"

"Janarsuma!" jawab Ki Sanupati alias si Tua Bangka dengan santainya. "Kemarin malam dia kubunuh dengan Kapak Setan Kubur, karena dia mengadakan pertemuan dan mempertaruhkan takhtanya untuk diberikan kepada siapa pun yang bisa mendapatkan Kapak Setan Kubur. Kupikir, itu namanya dia mengumpan nyawa orang lain untuk mendapatkan keinginannya. Akhirnya kuselesaikan sendiri sang Adipati itu, sehingga mereka bubar dan tak ada yang mengejar pusaka Kapak Setan Kubur-ku itu. Anak buahnya marah, kutinggal kabur!"

"Oo... pantas," Suto Sinting manggut-manggut.

Claaap...! Blegaar...!

Dua orang itu gagal lagi menyerang dari jarak jauh. Akhirnya mereka bosan dan salah seorang berkata,

"Sudah, tinggalkan saja dia! Kalau yang lain bertanya, bilang saja ia pergi entah ke mana. Larinya sangat cepat!"

Suto Sinting tersenyum mendengar ucapan lirih orang itu. Tapi ia segera memperhatikan Tua Bangka dan berkata,

"Sebenarnya apa yang membuat Adipati Janarsuma bernafsu sekali ingin mendapatkan pusaka Kapak Setan Kubur itu?"

"Dia ingin balas dendam kepada Gandapura, karena anak angkatnya yang tunggal itu diculik oleh orangnya Gandapura dan dimakannya. Kepalanya dipulangkan ke istana kadipaten. Jadi ia bernafsu sekali ingin dapatkan senjata yang dapat untuk melawan titisan raksasa itu, tanpa ia bercermin diri bahwa banyak kepala orang yang dipenggalnya pada saat ia melebarkan wilayah merebut kekuasaan para tumenggung. Kupikir anak angkatnya yang disantap Gandapura merupakan upah perbuatan kejinya selama ini. Jadi pusaka Kapak Setan Kubur tak perlu kupinjamkan kepadanya."

"Oo... begitu masalah sebenarnya?" Pendekar Mabuk manggut-manggut kembali.
"Kau sendiri punya masalah apa, Suto?"
"Tengoklah ke belakangmu, Ki Sanupati!"

Tua Bangka menengok ke belakang, ia terkejut melihat seraut wajah cantik berjubah putih yang berjalan dengan tongkat kecilnya.

"Salju Kelana...?!" Tua Bangka menyapa dengan nada heran.
"Kalau tak salah dengar, kau si Tua Bangka, Sanupati?!"
"Benar! Ada apa dengan matamu, Salju Kelana?!"

"Tidak apa-apa. Hanya sedikit gelap saja. Mungkin karena habis bangun tidur," jawab Salju Kelana, tetap tak mau mengaku dirinya buta.

"Kau buta...?!"

"Tidak. Aku tidak buta. Jangan salah sangka, Ki Sanupati!" sergah Salju Kelana. Ia mendekat dengan hati-hati dan Suto Sinting segera membantunya menuruni bukit itu. Mereka bicara di kaki bukit cadas.

"Dalam perjalananku ke Tibet, aku sempat bertarung dengan Tabib Arak Merah," tutur Salju Kelana yang membuat Suto Sinting terkejut, karena ia pernah mendengar nama Tabib Arak Merah yang menjadi guru Palupi itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu Terbang").

"Pertarunganku itu membuat Tabib Arak Merah melukaiku dengan pukulan beracun dan membuatku buta. Beberapa tabib kudatangi, tapi tak ada yang mnmpu sembuhkan kebutaanku kala itu."

"Bukankah pemuda yang bersamamu itu juga seorang tabib? Tabib Darah Tuak!" kata Tua Bangka.

Suto Sinting menyahut, "Aku sudah mencoba memberikan tuakku, tapi ia masih tidak bisa melihat."

"Bukan tidak bisa melihat!" sentak Salju Kelana. "Aku masih dipengaruhi pandangan gelap! Bukan tidak melihat!"

"Iiyy... iya, maksudku begitu," sambil Suto tersenyum-senyum memandang Tua Bangka, melirik Salju Kelana. Tua Bangka mengerti maksud senyuman Suto, sehingga ia tidak mendesaknya dengan pertanyaan yang sama.

"Nasibku agaknya sedang ditimpa kemalangan, Tua Bangka," kata Salju Kelana. "Sudah dalam keadaan begini, masih dicurigai sebagai pembunuh para tabib di sini."

"Pembunuh para tabib?!" Tua Bangka kerutkan dahi. Agaknya ia belum mendengar peristiwa yang sedang heboh di rimba persilatan mengenai pembunuhan para tabib sebagai tumbal Rencong Iblis. Maka Pendekar Mabuk pun segera menceritakan keseluruhannya, sampai pada rencananya untuk berkunjung ke Lembah Sunyi,

menemui Resi Wulung Gading.

"Tunggu dulu," kata Tua Bangka. "Rencong Iblis memang ada, dan ia bisa menangkis kesaktian Kapak Setan Kubur jika racunnya sudah membunuh tujuh belas tabib. Itu memang benar. Tapi... seingatku Rencong Iblis bukan milik Gandapura! Rencong Iblis adalah milik Dewi Kapas Ayu, murid mendiang Pendeta Mata Lima yang telah murtad sebelum pendeta itu wafat."

Suto Sinting berkerut dahi, karena ia merasa kenal dengan Pendeta Mata Lima kakak dari Pendeta Jantung Dewa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kitab Lorong Zaman"). Namun untuk sementara Suto lebih cenderung menyimak keterangan Tua Bangka itu.

"Dan setahuku, Dewi Kapas Ayu adalah perempuan cantik yang gemar mengenakan jubah putih. Matanya memang cacat karena bekas terkena pedang lawan yang tak bisa hilang walau dengan ramuan apa pun."

Suto Sinting menarik napas, mulai merasakan kegelapan dalam hatinya. Ia bahkan bertanya karena ingin tahu secara tuntas.

"Lalu, mengapa ia menggunakan Rencong Iblis itu untuk mencari tumbal? Apakah ia ada di pihak Gandapura?!"

"Dewi Kapas Ayu itu sudah telanjur mengikuti aliran sesat, yang jalan pikirannya sedang sangat bertolak belakang dengan kita. Barangkali saja dia mendapatkan imbalan yang setimpal dengan menyerahkan Rencong Iblis yang sudah dicarikan tumbalnya itu. Sebab setahuku, Dewi Kapas Ayu adalah wanita yang gila lelaki dan, aaah... tak pantas diceritakan kerusakan susilanya itu. Mungkin dia mendapatkan beberapa lelaki pengikut Gandapura yang mampu memberikan kepuasan kepadanya, sehingga ia bersikap mengabdi kepada Gandapura dan rela menyerahkan Rencong Iblis itu. Sedangkan Rencong Iblis sebenarnya milik Pendeta Jantung Dewa yang mestinya dimusnahkan, tapi oleh Dewi Kapas Ayu justru disembunyikan di suatu tempat."

"Bagaimana kau bisa tahu semua itu, Ki Sanupati?" tanya Suto bersikap menyelidik.

"Pendeta Jantung Dewa dan Pendeta Mata Lima adalah sahabat karibku, satu perguruan beda tingkatan. Jangan tanya tinggi mana tingkatan mereka dengan tingkatanku, aku tak mau menjawabnya!" sergah Tua Bangka yang agaknya merahasiakan soal tingkatannya itu.

"Jadi, secara tidak langsung sebenarnya Dewi Kapas Ayu adalah lawanku juga, karena rencongnya itu yang akan menandingi Kapak Setan Kubur-ku!" kata Tua Bangka lagi.

"Kalau begitu, kita cari Dewi Kapas Ayu itu sebelum para tabib binasa oleh keganasan racun pada rencongnya!" kata Suto Sinting penuh semangat. Ia bahkan memeluk Salju Kelana dari samping sebagai ungkapan rasa lega, bahwa pemilik rencong ternyata bukan gadis yang mirip Dyah Sariningrum itu.

"Tunggu sebentar," kata Tua Bangka dengan dahi berkerut seperti teringat sesuatu. "Ketika aku dikejar- kejar oleh orang kadipaten, aku sempat melihat ia bergerak ke arah timur. Tapi tak kupedulikan, dan aku tidak tahu kalau dia sedang mencari tujuh belas tabib."

"Kalau begitu kita cegat di pondoknya Tabib Awan Putih," ujar Salju Kelana. "Bukankah pantai tempat kediaman Tabib Awan Putih ada di sebelah timur?!"

Suto Sinting setuju dengan usul Salju Kelana. Mereka bertiga bergegas ke timur, menuju kediaman Tabib Awan Putih yang menjadi sahabat Suto, sahabat gurunya Suto juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Mustika Serat Iblis").

Namun belum sampai mereka tiba di kediaman Tabib Awan Putih, saat mereka menginjakkan kaki di pantai, tiba-tiba sekelebat bayangan putih melintas dan menerjang Pendekar Mabuk dari arah samping kanan.

Wuuut...! Bruus...!

Pendekar Mabuk terjungkal ke samping dan berguling-guling. Telinganya berdarah karena sebuah tendangan keras yang datang secara tiba-tiba. Tak jauh dari tempatnya jatuh berdiri sesosok tubuh pemilik wajah cantik berjubah putih perak dengan pinjung hijau muda. Perempuan itu berambut panjang disanggul sebagian sisanya meriap. Ia menggenggam sebilah senjata kecil yang bernama rencong. Gagangnya hitam, sarungnya dari gading. Tak salah lagi dugaan mereka, senjata itulah yang dinamakan Rencong Iblis. Dan perempuan berjubah putih perak dengan mata codet bekas sabetan pedang itu tak lain adalah Dewi Kapas Ayu.

"Kipas Ayu...?!" geram Tua Bangka memandang gadis bermata kecil sebelah karena codetnya itu.

"Kita jumpa lagi Tua Bangka," ujar perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Suaranya agak serak pertanda sering berteriak-teriak.

"Mengapa kau menyerang kami, Kapas Ayu?"

"Yang kubutuhkan adalah Pendekar Mabuk ini. Tabib Darah Tuak sangat berharga bagi rencanaku!"

"Rencana busuk!" sentak Salju Kelana. Ia menjadi marah ketika mendengar Suto Sinting diserang, bahkan kini ia maju di depan Tua Bangka dengan tongkat kecilnya, perlahan-lahan mendekati Suto yang sudah mulai berdiri lagi.

"Siapa perempuan dungu itu, Tua Bangka?!"

"Aku yang bernama Salju Kelana! Kau harus berhadapan denganku lebih dulu sebelum berhadapan dengan Tabib Darah Tuak!" tantang Salju Kelana dengan berani. "Kami hanya bisa memaafkan seranganmu jika Rencong Iblis itu kau serahkan kepada kami!"

"Oh, kau menghendaki Rencong Iblis ini? Silakan. Ambillah...!" Dewi Kapas Ayu mengulurkan tangannya yang menggenggam sarung rencong, seakan menyodorkan rencong itu agar segera diambil oleh Salju Kelana.

Salju Kelana merasa mampu menyambar rencong itu. Walau tak tersambar sarungnya tapi rencongnya berhasil diserobotnya. Namun ketika ia mau bergerak, tiba-tiba sebuah seruan terdengar dari arah balik gugusan batu karang.

"Jangan sentuh rencong itu!"

Semua mata menatap ke arah orang berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambutnya tipis agak gundul, matanya kecil, jenggot serta kumis putihnya panjang. Orang itu memandang Dewi Kapas Ayu dengan pandangan mata tajam berkesan dingin sekali.

"Tabib Awan Putih...?!" ucap Suto Sinting yang amat kenal dengan orang berusia sekitar delapan puluh tahun itu. Tua Bangka yang juga merasa kenal segera berkata,

"Kebetulan sekali kau datang di tempat ini, Awan Putih. Kami baru saja mau ke tempat kediamanmu!"

"Aku sudah mendengar kabar tentang pembunuhan para tabib. Aku merasa diriku juga terancam oleh Rencong Iblis. Kusarankan, jangan ada yang memegang rencong itu, karena racun ganas itu terletak pada gagang rencong tersebut. Tabib Getar Hati dan yang lainnya ternyata mati karena memeriksa rencong itu dengan memegang bagian gagangnya. Sahabatku, Tabib Kawah Hijau baru saja meninggal, dan sebelumnya menceritakan kedatangan si perempuan iblis itu yang berlagak ingin menanyakan kesaktian rencong itu.

Sedikit saja kulit tubuh kita menyentuh gagang rencong, maka racunnya akan menyebar membusukkan darah kita!"

"Tutup mulutmu, Jahanam!" betak Dewi Kapas Ayu. Matanya mendelik garang kepada Tabib Awan Putih.

Tapi sang kakek berpakaian serba putih itu tidak pedulikan seruan tersebut. Ia berkata kepada yang lain,

"Banyak orang menduga pelakunya adalah Salju Kelana. Tapi aku yakin, Salju Kelana tidak akan lakukan tindakan senista itu!"

"Terima kasih atas kepercayaanmu, Tabib Awan Putih," ujar Salju Kelana yang juga pernah berobat kepada Tabib Awan Putih.

"Baik, sekarang semua sudah tahu siapa aku!" seru Dewi Kipas Ayu. "Sekarang giliranku bertindak terang- terangan merenggut nyawa kedua tabib yang ada di sini! Hiaaaat...!"

Wuuus... !

Gerakannya seperti kapas terbang. Begitu cepat ia menyerang Tabib Awan Putih, sehingga sang tabib terkejut lalu sentakkan kakinya ke tanah, tubuh pun melenting ke atas dan ia hinggap di atas sebuah pohon tepi pantai. Ia berdiri di pucuk daun tanpa membuat daun itu bergerak sedikit pun.

"Kupaksa turun kau, Keparat!" teriak Dewi Kapas Ayu, kemudian ia lepaskan sinar biru menyebar lebar ke arah Tabib Awan Putih.

Sraaaab...!

Tabib Awan Putih mengadu ilmunya dengan mengeluarkan sinar putih perak dari ujung jarinya. Sinar itu kecil, dan tidak sebanding dengan sinar biru tersebut. Namun ketika bertabrakan menimbulkan ledakan yang menggelegar dahsyat dan membuat alam berguncang. Jgaaar... !

Mereka tersentak oleh gelombang ledakan dan saling berjatuhan kecuali Pendekar Mabuk. Tabib Awan Putih sendiri jatuh dari ketinggian tersebut, namun mampu kuasai diri hingga kakinya menapak di tanah dengan tegak. Jleeg...!

Dewi Kapas Ayu jatuh terguling-guling sampai di depan kaki Pendekar Mabuk. Sadar keadaannya dekat dengan Tabib Darah Tuak, ia segera sentakkan rencong itu agar gagangnya mengenai kaki Pendekar

Mabuk.
Wuuut... !

Pendekar Mabuk angkat satu kaki, dan lompat ke atas bersalto tinggi, dan dari sana ia lepaskan pukulan mautnya yang amat mematikan: jurus 'Tangan Guntur'.
Claaap...!

Sentakan tangan keluarkan sinar biru besar dari telapak tangan. Sinar itu tak sempat dihindari Dewi Kapas Ayu dan menghantam telak bagian bawah pusar lawannya. Jraaab...! Bluum...!

"Aaahg...!"

Asap mengepul seketika, tubuh Dewi Kapas Ayu menjadi arang keropos setelah dua helaan napas. Perempuan itu tak bergeming lagi karena sudah tanpa nyawa. Pendekar Mabuk dan yang lainnya hanya memandangi dengan hati lega, karena rencong tersebut ternyata ikut menjadi hangus dan keropos Juga. Dengan begitu, Gandapura tidak akan memiliki pusaka yang mampu menangkis serangan Kapak Setan Kubur jika pada saat pertarungan nanti tiba.

"Akan kukumpulkan para tabib dan kukabarkan peristiwa ini, agar mereka tidak salah duga terhadap Salju Kelana!" kata Tabib Awan Putih sebelum mereka berpisah.

"Terima kasih atas bantuanmu, Tabib Awan Putih," ujar Salju Kelana penuh hormat.

"Tapi, benarkah kebutaanmu belum sembuh, Salju Kelana? Sebab kulihat lapisan bening yang menjadi penghalang pandanganmu itu sepertinya sudah tidak ada lagi."

Pendekar Mabuk terperanjat. Wajahnya sempat merah menahan malu. Salju Kelana tersenyum menunduk dan berkata,

"Sejak aku minum tuak sakti si Tabib Darah Tuak ini, sebenarnya aku memang sudah bisa melihat dengan jelas seperti sediakala, Tabib Awan Putih."

"O, kalau begitu benarlah dugaanku."
Tapi Suto Sinting semakin kaget dan berkata, "Jadi... jadi kau sudah bisa melihat?"

"Ya, sudah bisa. Hanya saja, aku masih ingin melatih kepekaan indera keenamku dengan menganggap segalanya tidak kulihat dengan mata melainkan dengan hati dan rasa."

Suto Sinting segera menarik lengan gadis itu menjauhi kedua orang tua tersebut dan berbisik tegang,

"Jadi, waktu kau kucium dalam keadaan tidur, kau melihatnya?"
"Bukan hanya melihat, namun juga menikmatinya."
"Waktu aku mandi...? Waktu aku mandi kau juga melihatnya?"
"Sangat jelas, Suto."

"Mati aku!" Suto Sinting menepak keningnya sendiri, lalu buang muka tak berani memandang Salju Kelana.

Gadis itu cekikikan dan Suto semakin kelabakan.

SELESAI
SEGERA TERBIT
MANUSIA PEMUSNAH RAGA