Pendekar Mabuk 45 - Pertarungan Tanpa Ajal(1)


1
SEBUAH pukulan membuat si gadis melayang tinggi dan tersangkut di dahan pohon. Jika bukan pula bertenaga dalam tinggi tak mungkin bisa membuat gadis itu nyangsang di pohon. Dan jika bukan si gadis punya lapisan tenaga dalam tebal, tentunya sudah hancur berkeping-keping, setidaknya jebol punggungnya.


Seandainya ada yang melihat pertarungan tersebut, pasti akan mengatakan pertarungan itu adalah pertarungan tak seimbang. Yang dipukul gadis cantik berusia sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya masih imut-imut, penuh pancaran pesona muda belia. Sedangkan yang memukulnya tadi seorang lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun lebih.

Tokoh tua yang tubuh kurusnya dililit kain putih menyilang di pundak model biksu itu dikenal dengan nama Poci Dewa, karena dialah satu-satunya tokoh di dunia persilatan yang aliran silatnya menggunakan gerak-gerak seperti poci teh. Di padepokannya ia mempunyai aneka macam poci, bahkan ada yang berasal dari tanah Tiongkok.

Poci Dewa selalu berpakaian putih yang hanya dililitkan sebagai penutup tubuh tanpa bentuk baju, tanpa ada potongan apa pun. Rambutnya putih, dikuncir agak tinggi, kalau diriap lepas panjangnya sebatas punggung. Usianya yang cukup banyak membuat kulit wajahnya sedikit berkeriput. Alisnya beruban rata, demikian juga kumis dan jenggotnya. Matanya agak cekung karena tulang pipinya bertonjolan. Namun pancaran pandangan matanya mengandung kewibawaan dan kharisma yang cukup tinggi.

Anehnya gadis muda belia itu tidak merasa sungkan berhadapan dengan si Poci Dewa. Gadis itu memakai pakaian model jubah tapi tanpa lengan, warnanya kuning, sesuai dengan celananya. Jubah itu rapat bagian depan, tapi belahan dadanya agak lebar, sehingga sesuatu yang tertutup kain lain tampak sedikit tersumbul dari balik jubah kuningnya itu. Wajahnya tentu saja cantik, bibirnya mungil, hidungnya mungil, giginya pun mungil-mungil.

Gadis berambut panjang tapi digulung rapi itu menyandang pedang di pinggangnya. Bentuk pedangnya cukup indah karena ada lapisan emas sebagai penghiasnya. Pedang itu kadang ditenteng, kadang diselipkan dalam ikat pinggang warna merah, ia dikenal dengan nama: Kismi. Ada pula yang menjulukinya Cumbu Bayangan, karena wajahnya memang mengundang minat lawan jenisnya untuk mencumbu dalam bayangan.

Belum jelas apa pokok persoalannya sehingga gadis muda itu terlibat pertarungan dengan tokoh setua Poci Dewa. Yang jelas Cumbu Bayangan tampak tak mau menyerah begitu saja. Walau ia tersangkut di atas pohon, namun dengan satu kali sentakkan tangan kanannya dahan yang menyangkutnya itu patah dan ia pun meluncur turun dengan lincahnya.

Jlegg...! Ia berdiri tanpa gentar sedikit pun. Matanya yang bundar indah itu kini menatap tajam pada Poci Dewa dalam sikap menantang. Poci Dewa menggeram dongkol. Lalu melangkah mendekatinya.

"Belum jera juga kau, Gadis Bangor?!" gertak Poci Dewa dengan tatapan mata lebih tajam lagi.

"Sebaiknya kau saja yang mundur dan pergi meninggalkan diriku, Poci Dewa! Hiihh...!"
Cumbu Bayangan lepaskan pukulan bersinar putih dari ujung telapak tangannya. Sinar putih itu bagaikan dilemparkan ke arah Poci Dewa. Wuttt...!

Sinar berbentuk bola kecil yang menyala menyilaukan itu ditendang Poci Dewa. Wusss...! Anehnya sinar itu menurut saja seperti bola. Ia melesat ke arah lain dan menghantam pohon beringin liar yang besarnya tiga pelukan orang dewasa.

Blarrr...!

Suara ledakan membuat bumi bergetar. Pohon beringin liar yang besar itu pecah menjadi tiga bagian memanjang. Masing-masing pecahannya melengkung ke arah yang berlawanan, sehingga pohon itu menyerupai bunga yang sedang mekar.

"Gila! Ternyata sinar putihnya si gadis itu berbahaya juga? Tak kusangka akan sedahsyat itu?" pikir seseorang yang sedang memperhatikan pertarungan tersebut dari tempat yang tersembunyi.

"Kuingatkan sekali lagi padamu, Kismi! Jika kau masih membandel aku tega menghancurkan tubuhmu!"

"Aku tidak takut padamu!" sentak Cumbu Bayangan dengan sikap beraninya, dua tangannya bertolak pinggang kepalanya agak maju saat berkata begitu, ia mencibir dengan lirikan mata sengitnya.

"Dasar anak kurang ajar! Hiiih...!"

Poci Dewa mengacungkan tangannya dan tangan itu dihantamkan ke telapak tangannya sendiri. Pluk...! Tapi yang terasa sakit justru si gadis di seberangnya.

"Aaauh...!" Cumbu Bayangan menekap ulu hatinya, ia merasa ulu hatinya seperti disodok dengan kayu dolken. Tubuh sang gadis pun melengkung ke belakang sambil wajahnya menyeringai menahan sakit.

"Hiih...!" Poci Dewa menghantam telapak tangannya sendiri dengan tangan yang menguncup seperti mulut poci.

"Aauh...!" Cumbu Bayangan memekik dengan badan tegak dan melengkung ke depan, karena punggungnya merasa seperti disodok kayu dolken.

"Kau memang patut diberi pelajaran. Hiih...!"

Plok...! Poci Dewa menabok pipinya sendiri dengan pelan. Tapi yang kesakitan Cumbu Bayangan.

"Aauh...!" Ia seperti ditabok tangan setan yang jarinya sebesar pisang. Bahkan tubuhnya sempat melintir terpelanting jatuh dengan wajah panas sekali.

"Hiaah...!"

Prokk...! Poci Dewa menabok wajahnya sendiri dengan kedua tangan dari kanan-kiri. Tapi yang kelojotan tetap si gadis mungil itu.

"Aaauh...!" pekiknya memanjang sambil bergelimpangan di tanah, memegangi wajahnya yang terasa ditabok dua tangan dari besi. Wajah cantik itu menjadi merah memar.

"Wah, gadis itu bakal remuk nganggur kalau begitu caranya?" pikir si pengintai. Kemudian ia melesat keluar dari persembunyiannya. Zlappp...! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Poci Dewa.

Mata si Poci Dewa terkesiap memandang kemunculan seorang pemuda yang tidak diketahui dari mana datangnya. Pemuda itu berambut panjang lurus tak mengenakan ikat kepala. Bajunya warna coklat tanpa lengan, celana putih lusuh dan menyandang bumbung tuak di punggungnya. Melihat ciri-ciri seperti itu, Poci Dewa langsung sadar akan siapa yang ada di depannya saat itu.

"Kau...?!"
"Aku bukan kau. Aku Suto Sinting, Eyang."

"Iya, maksudku mau bilang; kau Pendekar Mabuk, mau apa menghadapku tanpa memberi kabar sebelumnya?"

"Bagaimana aku mau memberi kabar kepadamu, Eyang. Aku belum tahu siapa dirimu!"

"Aku yang berjuluk Poci Dewa! Aku tahu siapa kau, sebab aku kenal dengan gurumu; Bidadari Jalang dan si Gila Tuak itu."

"O, jadi Eyang Poci sahabat guruku?"

"Benar. Apakah gurumu tak pernah menceritakan tentang diriku atau setidaknya menyebut-nyebut namaku?"

"Tidak pernah."

"Oh, Gila Tuak pasti lupa mencatat namaku dalam otaknya!" gerutu si Poci Dewa.
Suto Sinting segera menolong gadis itu yang tampaknya mengalami luka bagian dalamnya akibat ulu hati dan punggungnya disodok dari jarak jauh oleh si Poci Dewa.

"Minumlah tuakku ini," katanya pada gadis itu.
"Aku bukan pemabuk!"
"Minum tuak bukan untuk mabuk! Kalau mau mabuk makanlah gadung!"

Dengan menahan rasa dongkol, Cumbu Bayangan meneguk tuak sakti tersebut, ia tidak tahu kalau tuak itu adalah tuak sakti. Tapi karena ia memang merasakan kerongkongannya kering dan butuh air, maka desakan pemuda tampan itu diterimanya. Sedangkan di sisi lain, Poci Dewa sengaja berkata dengan suara datar namun terdengar jelas.

"Gadis seperti dia tak perlu kau tolong, Pendekar Mabuk."
"Jangan terlalu keji kepada lawan yang tak seimbang, Eyang."

"Aku bukan keji terhadapnya, tapi demi menyelamatkan perguruanku, gadis itu layak diperlakukan demikian."

"Apakah kesalahan gadis itu cukup besar?"

"Sangat besar bagiku. Karena itu kusarankan agar kau jangan ikut campur dalam urusan ini, Suto."

"Tapi dia tidak sebanding jika harus bertarung melawanmu, Eyang Poci Dewa!"
"Lalu apa maumu sebenarnya?!"

"Jika Eyang masih tetap ingin menyerangnya, saya akan ada di pihaknya, Eyang!" kata Suto Sinting dengan tegas.

Poci Dewa menjadi gusar, tapi ia dicekam keraguan yang meresahkan hati. Bayangan wajah si Gila Tuak dan Bidadari Jalang bermunculan dalam ingatannya. Bayangan itulah yang membuat Poci Dewa menjadi ragu-ragu untuk melakukan serangan kepada pemuda tampan tersebut.
Sementara itu, si gadis cantik berbibir mungil itu hanya diam memandangi pemuda tampan tersebut, ia merasakan keheranan yang cukup tinggi, karena rasa sakitnya di beberapa bagian tubuh ternyata menjadi lenyap setelah meneguk tuak dari si pemuda tampan, ia belum tahu siapa pemuda tampan yang berpakaian sederhana itu.

"Mau apa dia bersikap memihakku?" pikir Cumbu Bayangan. "Apakah dia berharap agar mendapat perhatian dan pujian dariku? Hmmm...! Itu harapan yang sia-sia. Dia akan kecewa jika berharap begitu. Dia pikir aku gadis yang mudah memuji setiap lelaki? Gombal! Aku tak akan ikut campur dulu. Biarlah dia bertarung melawan Poci Dewa. Biar ia rasakan akibatnya. Dia belum tahu siapa Poci Dewa itu? Dia pikir Poci Dewa orang tua biasa-biasa saja sehingga ia berlagak jadi jagoan di depannya. Biar si Poci Dewa menghajarnya dulu. Setelah itu baru kuteruskan urusanku dengan si Poci Dewa!"

"Kau tak akan menyesal jika harus melawanku, Nak?"

"Guruku mengajarkan agar aku memihak orang yang lemah. Jadi tak ada salahnya jika aku melindungi gadis itu, Eyang."

"Baiklah jika itu sudah tekadmu. Rupanya kau pun perlu mendapat pelajaran dariku, Suto!"
"Aku siap menerima pelajaranmu, Eyang Poci Dewa!" jawab Suto Sinting dengan tegas dan bersikap jantan.

Poci Dewa segera menguncupkan kedua tangannya. Pendekar Mabuk tetap diam berdiri dengan tegak, dada sedikit dibusungkan, tapi matanya melirik ke arah pohon besar yang tampak kokoh dan keras itu. Di wajahnya tak terlihat kesan bermusuhan, ia tetap kalem dan tenang. Ketika Poci Dewa menghantam dadanya sendiri dengan kedua tangan yang menguncup seperti mulut poci itu,

Pendekar Mabuk yang tetap tenang dan memperhatikan setiap gerakannya dengan senyum tipis.

Dugg, dugg, dugg, dugg... !

Durrrr...! Pohon besar itu bergetar bagai ada yang menghantam dengan tenaga dalam beberapa kali. Daun pohon itu pun berguguran.

Poci Dewa memandang pohon itu dengan rasa kaget yang disembunyikan. Cumbu Bayangan jelas-jelas menampakkan wajah herannya melihat pohon itu bergetar dan daunnya berguguran. Sedangkan Suto Sinting hanya melebarkan senyum dan tetap tenang.

Poci Dewa penasaran. Kini ia menghantamkan tangan kanannya yang menguncup ke telapak tangan kirinya. Hantaman itu tampak disertai tenaga dalam yang lebih kuat lagi. Dubb...!

Durrrr...! Werrrsss...!

Pohon besar itu semakin bergetar kuat. Seperti dilanda gempa di bagian akarnya. Sisa daunnya rontok semua, sehingga pohon itu menjadi gundul plontos tanpa selembar daun pun. Dan hal itu membuat Poci Dewa semakin terheran-heran. Caranya memandang yang tak berkedip menandakan bahwa ia sedang mengagumi apa yang sebenarnya disadari saat itu.
Sejenak kemudian ia berpaling menatap Suto Sinting dengan sorot pandangan mata semakin tajam. Itu menandakan ia menyimpan kejengkelan yang menyesakkan dadanya.

"Rupanya kau ingin unjuk gigi di depanku! Jika memang itu maumu, coba terima jurusku yang ini!

Huup...!"

Poci Dewa sentakkan kedua tangannya lurus ke depan dengan posisi telapak tangan miring. Suttt...! Dan dari tengah dahi si orang tua itu melesat sinar putih lurus bagaikan sebatang kawat baja yang menghantam ke arah dada Suto Sinting. Clappp...!

Kemudian sinar itu membalik dengan lebih cepat dan lebih besar lagi. Wesss...!

"Konyol!!" sentak si Poci Dewa sambil melompat bersalto ke arah samping. Sinar putihnya yang membalik akhirnya menghantam sebongkah batu besar jauh di belakang tempat berdirinya semula. Blegarrr...!

Batu besar itu pecah dan menghamburkan kerikil- kerikil ke udara jumlahnya hampir ribuan kerikil. Ketika salah satu kerikil sempat melesat jatuh di kaki Cumbu Bayangan, gadis itu terbelalak melihat batuan kerikil itu menjadi debu putih yang menggumpal. Sekali injak lenyap.

"Gila betul pemuda itu! Dia bisa membalikkan jurus berbahaya itu dan menambah kekuatannya. Padahal jika jurus itu tidak memantul balik, hanya akan membuat batu itu hancur menjadi serpihan kecil, tapi tidak menjadi abu seperti ini?" pikir Cumbu Bayangan.

Poci Dewa menarik napas menahan murkanya. Matanya kian tajam memandangi Pendekar Mabuk. Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, Poci Dewa bagaikan siluman yang lenyap dari tempat tersebut, ia menghilang dengan cara menyentakkan kakinya satu kali dan tubuhnya melesat dengan cepat. Sukar dilihat mata orang biasa. Tapi sang Pendekar Mabuk melihat jelas gerakan Poci Dewa yang pergi bagaikan seberkas bayangan putih yang melesat begitu saja.

Setelah tokoh tua itu pergi, Pendekar Mabuk hembuskan napas kelegaan, ia segera menenggak tuaknya dengan santai tanpa peduli diperhatikan oleh si gadis dalam keadaan wajah terheran-heran.

Setelah tuak ditenggaknya beberapa kali, barulah Suto Sinting ganti memandang gadis itu dengan bibir sunggingkan senyum menawan. Senyum itu adalah senyum kejantanan seorang pendekar yang sempat membuat hati Cumbu Bayangan berdebar-debar kecil.

"Dia sudah pergi. Kau aman, Nona."

"Siapa kau sebenarnya, sehingga bisa membalikkan serangan Poci Dewa sebegitu rupa?" tanya Cumbu Bayangan dengan sikap curiga. Bibir mungilnya tak mau sunggingkan senyum. Tapi mata bundarnya itu memancarkan kekaguman yang tak bisa ditutup-tutupi lagi.

"Apakah kau tak mendengar kakek tua tadi memanggilku Suto Sinting. Apakah kau tak tahu kalau akulah yang bergelar Pendekar Mabuk?"

Cumbu Bayangan hanya diam, membuang pandangan ke arah lain. Tetapi ia berkata dengan nada sedikit angkuh.

"Banyak sekali nama pendekar yang kukenal dan pernah kudengar. Namun aku tak pernah mengingatnya."

"Aku tak heran jika kau tak kenal namaku. Yang jelas aku sudah selamatkan dirimu dari jurus-jurus maut Poci Dewa tadi. Sekarang aku akan tinggalkan dirimu, Nona. Tapi sebelumnya aku ingin kenal namamu dulu untuk kukenang dalam perjalananku nanti."

"Namaku... Kismi. Tapi banyak yang memanggilku Cumbu Bayangan. Kurasa kau sudah sering mendengar nama Cumbu Bayangan." Gadis itu masih tetap bersikap memunggungi Suto.

Dengan senyum geli tertahan Suto Sinting berkata, "Banyak sekali nama gadis cantik yang pernah kukenal dan kudengar, tapi namamu tak ada dalam urutan nama gadis cantik yang kudengar, Nona. Baru sekarang akan kucantumkan dalam daftar nama-nama gadis cantik."

Cumbu Bayangan cepat palingkan wajah memandang Suto Sinting, ia agak tersinggung dengan kata-kata itu. Tapi ia segera sadar bahwa kata-kata itu ditujukan untuk membalas kata-katanya tadi.

"Baiklah. Aku pergi sekarang supaya kau tidak terganggu." Kemudian Suto Sinting bergegas pergi dengan langkah santai.

Wuuut...! Cumbu Bayangan bergerak melenting di udara dan bersalto dua kali. Tahu-tahu dia sudah mendarat di depan langkah Suto Sinting.

"Tunggu sebentar!" katanya dengan wajah tanpa senyum.
"Ada apa lagi, Kismi?"

"Ajarkan padaku jurus penangkis serangan seperti tadi. Ajarkan pula padaku jurus yang membuat kau tak merasakan sakit apa pun saat Poci Dewa melepaskan pukulan 'Kuncup Mawar' beberapa kali tadi. Kalau kau tak mau ajarkan padaku, kita bertarung sampai mati saja!"

Suto Sinting tertawa tanpa suara. Pandangan matanya dilemparkan ke arah lain. Cumbu Bayangan makin cemberut karena merasa diremehkan. Lalu ia mencabut pedangnya untuk menggertak Suto Sinting. Seeet...!

"Kau akan kupenggal kalau tak mau ajarkan dua jurus itu!"

"Jangan cabut pedangmu. Aku takut," kata Suto sambil senyum kecil dan tetap tenang.
"Penuhi permintaanku atau aku tetap akan memenggal kepalamu!" gertak gadis itu lagi.
"Aku tidak bisa apa-apa, Kismi."

"Omong kosong! Kulihat kau dengan seenaknya menghadapi jurus 'Kuncup Mawar' nya Poci Dewa. Sedangkan aku amat menderita menerima jurus itu. Kau hanya diam saja, dan pohon itu menjadi bergetar sampai daunnya rontok semua."

"Aku tak tahu apa-apa soal pohon itu!" kata Suto Sinting, padahal ia menggunakan jurus 'Alih Raga', yaitu memindahkan serangan lawan ke arah lain.

"Aku tidak percaya kalau kau tak mengerti apa-apa tentang pohon itu! Lalu apakah kau juga akan mengatakan tak mengerti apa-apa tentang sinar putih yang kau tangkis dengan bumbung tuakmu itu? Kau bilang tak mengerti apa-apa?!" sambil ujung pedang diarahkan ke leher Suto Sinting, mata si gadis memandang tajam penuh kedongkolan.

"Ajarkan jurus itu sekarang juga! Cepat!"

"Bagaimana bisa, kau tidak mempunyai bumbung tuak?" kata Suto Sinting masih dengan tenang.
"Apakah harus memakai bumbung tuak?!"

"Tentu. Karena air tuak mempunyai kekuatan menolak tenaga dalam. Jadi jika kau ingin bisa begitu, kau harus punya bumbung tuak seperti yang kumiliki ini."

Suto Sinting berkata begitu sambil menunjukkan bumbung tuaknya yang dipegang dengan dua tangan. Dan pada saat itulah seberkas sinar merah melesat dari balik sebuah pohon di belakang Cumbu Bayangan. Sinar itu tidak ditujukan untuk Cumbu Bayangan, namun ada seseorang yang dengan sengaja ingin menghantam Suto Sinting menggunakan sinar merahnya itu. Weeess...!

Tentu saja Pendekar Mabuk mudah menangkisnya karena saat itu sedang memegang bumbung tuak. Dengan badan sedikit miring seperti orang mabuk yang mau menggeloyor jatuh, bumbung tuak itu digunakan untuk menangkis sinar merah tersebut. Deeb...! Wwuusss...!

Sinar merah itu membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar. Akibatnya sebuah pohon menjadi sasaran sinar merah besar itu. Blegeerr...!

Pohon itu hancur lebur menjadi serpihan-serpihan kecil. Sampai akarnya pun tak tersisa utuh sebagaimana mestinya.

Cumbu Bayangan kaget dan segera palingkan wajah ke arah belakang. Ternyata dari balik pohon yang sekarang sudah hancur itu ada sesosok bayangan hijau yang melesat keluar menghindari datangnya sinar merah tadi. Sosok bayangan hijau kini tampak jelas karena segera mendekati Cumbu Bayangan.

"Kunta Aji...?!' sapa Cumbu Bayangan.

"Pancung saja lehernya kalau dia kurang ajar padamu, Kismi! Jangan takut, aku akan membantumu!"

Pendekar Mabuk berkerut dahi memandang seorang pemuda berpakaian hijau dengan tubuh tegap dan wajah lumayan ganteng itu. Sikap si pemuda yang baru datang langsung menunjukkan permusuhannya. Bahkan berkesan angkuh, menyebalkan.

***2

DERU ombak pantai memecah tebing karang. Sang tebing diam saja tak mau memberi perlawanan. Dan di atas tebing itu terdapat tempat datar berbatu-batu. Salah satu sisinya ada yang cukup lega.

Di tempat yang lega itulah seorang pemuda terbanting dari ketinggian. Tubuhnya yang melayang tak bisa kendalikan keseimbangan karena ia terkena pukulan berbahaya pada bagian pinggang kanannya. Pemuda itu jatuh tak berdaya dengan suara pekik tertahan dan wajah menyeringai kesakitan.

Seseorang telah menerbangkannya dengan sebuah tendangan yang tak bisa dihindari karena cepatnya. Orang yang menendangnya tadi menggunakan tenaga dalam yang tinggi disalurkan melalui telapak kakinya. Tak heran jika pakaian merah si pemuda berubah menjadi hitam pada bagian yang terkena tendangan tadi. Pakaian itu menjadi hangus walau tak sampai bolong.

"Kalau kau masih tak mau mengaku, akan kuhabisi nyawamu sekarang juga, Ranggu Pura!" hardik Pak Tua berpakaian jubah abu-abu. Pak Tua itulah yang tadi menendangnya dalam satu pertarungan tanpa senjata.

Pemuda yang ternyata bernama Ranggu Pura mencoba untuk bangkit dengan seringai wajah menahan sakit menyedihkan.

Hanya sampai batas duduk di tempat sambil memegangi pinggangnya, Ranggu Pura mencoba bicara kepada Pak Tua itu.

"Aku tidak bersalah! Kau perlakukan aku semena- mena begini! Akan kubalas perlakuanmu, Buyut Gerang!"

"Balaslah kalau memang kau ingin mampus! Apa sulitnya bagiku untuk melemparkanmu ke jurang itu, biar mampus dirajang batu-batu karang!" bentak Pak Tua yang ternyata bernama Buyut Gerang. Wajahnya menampakkan kemarahan yang dalam.

Wajah tua itu sebenarnya berusia sekitar delapan puluh tahun lebih sedikit. Rambutnya panjang bagian belakang, warnanya putih. Bagian depannya botak polos tanpa selembar uban pun. Alisnya juga putih, tapi ia tidak berjenggot dan tidak berkumis. Tubuhnya tidak terlalu kurus. Sedang-sedang saja. Tapi kelihatan masih kekar dan gesit. Tongkat kayu hitam selalu digenggamnya.

Tongkat itu berujung bulat, berbentuk ukiran kepala naga yang sedang membuka mulutnya.

Ranggu Pura berusaha berdiri. Baru separo bagian sudah rubuh kembali. Akhirnya dalam keadaan duduk ia melepaskan pukulan bercahaya biru yang keluar dari ujung tangan yang dikuncupkan. Tangan itu menyentak bagaikan seekor burung mematuk dari samping, lalu keluarlah sinar biru lurus sebesar kelingking. Slapp...! Arahnya ke perut Buyung Gerang.

Tapi Buyut Gerang menghadangkan tongkat berkepala naga itu sehingga sinar biru tersebut masuk ke mulut naga yang menganga. Zrrubb...! Padam seketika, tak ada ledakan apa pun. Tapi tongkat itu segera dikibaskan ke depan dan dari mulut naga keluar api bercahaya biru yang menyembur ke arah Ranggu Pura. Wosss...!

"Kukembalikan kirimanmu ini!" sentaknya saat itu.

"Aaaa...!" Ranggu Pura menjerit kelojotan karena disembur api biru. Sekujur tubuhnya terbakar bagai dibungkus api nyala biru. Namun anehnya api itu tanpa asap sedikit pun.

Kejadian tersebut diperhatikan oleh sepasang mata yang bersembunyi dari balik bebatuan. Sepasang mata itu tak lain adalah milik Pendekar Mabuk yang punya kegemaran menonton suatu pertarungan. Tapi jika salah satu lawan sudah kalah namun masih diserang, Suto Sinting pasti muncul untuk mencegah agar jangan sampai terjadi pembunuhan di antara kedua belah pihak.
Maka ketika ia melihat Ranggu Pura terbakar, dan Buyut Gerang siap menyerang dengan napas yang sudah ditarik dalam-dalam, Suto Sinting segera berkelebat masuk ke pertengahan jarak mereka. Zlaapp...!

"Hentikan...! Jangan serang dia lagi!"

Seruan itu tidak dihiraukan oleh Buyut Gerang. Pak Tua itu hanya kaget sebentar, kemudian kakinya menyentak pelan di tanah dan tubuhnya segera melayang di udara bagaikan seekor singa terbang. Tubuh itu melintasi atas kepala Suto Sinting, dan dari sana ia menghembuskan napas kuat-kuat. Puiih... !

Wuuuss...! Angin kencang terlepas dari mulutnya. Hembusannya begitu besar dan membadai. Tubuh yang dihembus angin kencang itu adalah tubuh Ranggu Pura. Dan anak muda yang terbakar itu terhempas dalam keadaan api birunya padam seketika. Blabb...!

Suto Sinting ingin lakukan sesuatu, namun gerakannya tertahan karena ia melihat keadaan Ranggu Pura sudah tak terbungkus api. Bahkan kulitnya tidak mengalami luka bakar sedikit pun. Pendekar Mabuk segera menyadari bahwa Buyut Gerang tadi melakukan penyelamatan dengan semburan napas dari mulutnya. Namun keadaan Ranggu Pura masih tak bisa berdiri karena luka tendangan tadi.

Kini si jubah abu-abu memandang Suto dengan wajah garang karena masih memendam kemarahan kepada Ranggu Pura.

"Apa maksudmu mencampuri urusanku, Pendekar Mabuk?!"
"Kakek tahu namaku, rupanya?"

"Bumbung tuakmu menjadi ciri dari nama dan gelarmu sebagai Pendekar Mabuk. Bagiku tak sulit mengenali siapa dirimu; murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang cukup kondang itu."

Suto Sinting menenangkan hati Buyut Gerang dengan memberikan senyuman ramah. Namun mata si jubah abu-abu sedikit menyipit setelah memandang titik merah di dahi Suto yang hanya bisa dilihat orang-orang berilmu tinggi itu. Titik merah tersebut merupakan penghormatan yang diberikan kepada Suto oleh calon mertuanya; Ratu Kartika Wangi, sebagai tanda bahwa Suto menjadi orang terhormat di Negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib, yaitu sebagai Manggala Yudha Kinasih, yang berarti sebagai panglima perang negeri itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

Melihat tanda tersebut, sikap Buyut Gerang menjadi lunak dan sedikit sungkan terhadap Suto Sinting. Karena ia tahu, siapa pun yang menjadi Manggala Yudha di negeri alam gaib itu, berarti ilmunya sangat tinggi, serta mampu mengerahkan pasukan alam gaib yang sukar ditandingi itu. Jika Buyut Gerang berselisih dengan seorang Manggala Yudha dari negeri itu, maka keselamatannya tidak akan terjamin.

Suto Sinting menjadi kikuk karena ia tahu Pak Tua itu menatap bagian tengah keningnya, ia berusaha menenangkan diri dan tetap bicara dengan lemah lembut.

"Kau tahu tentang aku, tapi aku tidak tahu siapa dirimu, Pak Tua. Maukah kau memperkenalkan diri
padaku?"

"Aku yang disebut orang dengan nama Buyut Gerang," jawabnya tanpa banyak pertimbangan lagi.

"O, pantas kau mengenal guruku, sebab aku pernah dengar Guru menyebutkan namamu saat berbicara dengan Ki Argapura beberapa waktu yang silam."

"Argapura adalah kakak sepupu!"

"Ooo... begitu?" Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menampakkan sikap bersahabat, bukan bermusuhan. Tapi kemudian ia berkata dengan hati-hati dan sengaja dibuat sesopan mungkin untuk menarik perhatian Buyut Gerang.

"Lawanmu itu sangat muda dan sekarang tidak berdaya, Ki Buyut Gerang. Jika kau teruskan menyerangnya, dia akan mati. Tak usah diteruskan pun dia akan mati, karena kulihat dia terluka bagian dalamnya akibat tendanganmu tadi, Ki Buyut!"

"Apakah dia adikmu?"
"Bukan, Ki."
"Atau dia kakakmu?"
"Juga bukan."

"Kalau begitu kenapa kau pedulikan dia? Mau mati atau hidup itu adalah tanggung jawab dia sebagai manusia. Jika perbuatannya sesat, tingkah lakunya kotor, tentu saja ia cepat mati. Kau tak perlu sesali kematiannya."

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum penenang jiwa. Katanya lagi dengan sopan,

"Tapi kalau dihubung-hubungkan kita semua adalah saudara satu sang Pencipta. Jadi pantaslah kalau kita punya sikap peduli kepada mereka yang lemah dan butuh pertolongan. Guruku mengajarkan aku demikian, Ki. Tidakkah kau mengajarkan demikian kepada murid- muridmu?"

Buyut Gerang menarik napas, tanda menyimpan kedongkolan. Tapi ia segera melunak karena ingat titik merah di dahi Suto. Hanya dalam hatinya ia berkata, "Baru sekarang aku dinasihati anak semuda dia. Kalau tak ingat gurunya dan titik merah itu, sudah kugeprak dia!"

Tapi di mulutnya Buyut Gerang bicara lain.

"Lalu, apa maksudmu mencampuri urusan ini, Pendekar Mabuk?"
"Dia terluka," sahut Suto sambil menuding Ranggu Pura. "Kulihat lukanya sangat parah. Aku ingin menyembuhkannya. Kasihan dia, Ki."
"Untuk apa kasihan kepada seorang pencuri sesat."

"Aku bukan pencuri!" sahut Ranggu Pura berteriak sambil menahan rasa sakit hingga suaranya memberat.

"Kau memang pencuri! Pencuri muridku!" bentak Buyut Gerang.

"Izinkan aku menolongnya dulu, baru kubantu memecahkan persoalannya, Ki Buyut," kata Pendekar Mabuk setelah meneguk tuak beberapa kali.

"Masalahnya tak akan bisa selesai kalau muridku yang dicuri dan dibawa lari olehnya tidak dikembalikan! Bagaimanapun juga aku tetap menghendaki muridku kembali."

"Muridmu perempuan atau lelaki, Ki?"

"Kalau muridku lelaki sudah dihajar habis oleh si setan belang itu!" ia menuding Ranggu Pura yang meringis-ringis menahan sakit.

Suto Sinting tersenyum, ia ingin bicara tak jadi, karena Buyut Gerang sudah lebih dulu membentak Ranggu Pura.

"Kutunggu sampai nanti sore! Kalau kau tidak mengembalikannya padaku, kuhancurkan hidupmu!"

"Aku tidak membawa lari muridmu, Tua Bangka!" sentak Ranggu Pura dengan jengkel, ia memaksakan bersuara keras walaupun hal itu sangat menyakitkan lukanya.

"Apakah aku harus membuntungi kakimu dulu supaya kau mengaku, hah!" bentak Buyut Gerang dengan mata memancarkan kemarahan, ia bergerak mendekati Ranggu Pura, dan Suto Sinting buru-buru berseru mencegahnya.

"Serahkan saja padaku, Ki! Jangan teruskan perselisihan ini hingga memakan korban nyawa!"

"Kalau tidak memakan korban nyawa, apakah aku harus memakan dia bulat-bulat?!" ketus Buyut Gerang.

"Percayalah, aku akan mengusahakan muridmu kembali," bujuk Suto Sinting dengan tetap tenang.
"Terserah apa maumu! Yang jelas aku menunggu sampai batas matahari tenggelam. Kalau muridku belum dikembalikan, kucari dia dan kuhancurkan perguruannya!"

Setelah berkata begitu, Buyut Gerang melesat pergi bagaikan angin berhembus. Weesss...!

Suto hanya geleng-geleng kepala dan bicara pelan pada diri sendiri, "Galak juga orangtua itu! Ilmunya cukup tinggi, tapi menahan amarah masih belum bisa."

Setelah mendekati Ranggu Pura, Suto Sinting menyuruh anak muda itu meminum tuaknya. Rupanya Ranggu Pura pernah mendengar kesaktian Pendekar Mabuk, sehingga ia tidak ragu-ragu saat disuruh meminum tuak tersebut, ia yakin luka dalamnya akan sembuh dan rasa sakitnya pun hilang.
Tiga teguk tuak ditelannya. Sementara itu, Suto Sinting bertanya kepada Ranggu Pura sambil masih jongkok di depannya,

"Siapa nama murid Ki Buyut Gerang itu?"
"Kismi, atau sering disebut Cumbu Bayangan?"

"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut sambil berdiri, ia memandang ke arah laut yang mengalunkan ombak bergulung-gulung dan menghantam dinding karang yang bagian atasnya dipijaknya itu.

"Cumbu Bayangan itu murid Ki Buyut Gerang?!" gumamnya lirih sambil membayangkan seraut wajah gadis cantik yang mungil itu.

"Apakah kau mengenal Kismi?" tanya Ranggu Pura.
"Bukan hanya mengenalnya. Aku habis jumpa dengannya."
"Di mana dia sekarang?"
"Kutinggalkan bersama pemuda angkuh itu!"

"Pemuda angkuh...?!" Ranggu Pura tampak heran dan mulai curiga. Maka Suto Sinting pun menceritakan apa yang dialaminya sebelum ia meninggalkan Cumbu Bayangan.

Pemuda angkuh itu adalah Kunta Aji, yang telah membakar-bakar hati Cumbu Bayangan.

"Habisi saja kalau dia macam-macam! Atau perlu kutangani sendiri?!" kata Kunta Aji kepada Cumbu Bayangan.

"Ini persoalanku, jangan ikut campur dulu, Kunta!"
"Persoalanmu sama saja dengan persoalanku! Apa bedanya, Kismi?"

Suto Sinting waktu itu masih tetap menampakkan ketenangannya walaupun diancam dengan ujung pedang Kismi. Bahkan senyumnya membuat Kunta Aji semakin geregetan dan bernafsu untuk menyerangnya.

"Babat saja! Jangan ragu-ragu!"
"Diam kau!" bentak gadis cantik mungil itu.
"Kau terlalu lama menghadapi lelaki macam dia. Begini caranya bertindak...!"

Wuuttt...! Kunta Aji langsung menyerang dengan sebuah pukulan tangan kosong ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tentu saja pukulan cepat itu dihindari Suto dengan meliukkan badan seperti orang mabuk. Tapi kakinya tahu-tahu menyepak ke belakang dan terlalu sukar untuk ditangkis oleh Kunta Aji.

Plookk... !

Rahang kanan Kunta Aji terkena tendangan Pendekar Mabuk. Orang itu langsung terjungkal ke belakang karena merasa seperti ditendang kuda binal. Rahangnya terasa sakit sekali, bagaikan mau pecah rasanya.

"Puih...!" Kunta Aji meludah setelah bangkit berdiri. "Rupanya kau memang memaksaku untuk mencabik- cabikmu, Bangsat!" bentak Kunta Aji sambil sesekali mulutnya menganga dan digoyang-goyangkan. Sepertinya ia merasa khawatir kalau-kalau rahangnya copot.

"Hentikan tindakanmu, Kunta Aji!" sergah Cumbu Bayangan.
"Minggir kau, Kismi. Aku kalah satu jurus dan ingin kutebus sekarang juga!"
"Sudah. Hentikan kataku!" bentak Kismi dengan mata melotot.

Suto Sinting malah enak-enak menenggak tuak. Kunta Aji semakin gusar dibuatnya. Lalu, secara tiba- tiba tubuh pemuda berpakaian hijau itu melesat ke atas dan bersalto melintasi kepala Kismi. Tiba di tempat Suto yang menenggak tuak langsung menendang ke arah tengkuk Pendekar Mabuk.

Wuuutt...!

Sambil masih menengadah menenggak tuak, tangan kiri Suto menyentilkan jarinya. Teeb...! Sentilan itu mempunyai tenaga dalam cukup besar yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'. Sentilan itu tepat kenai mata kaki Kunta Aji setelah tendangannya melesat karena Suto melangkah maju satu tindak.

Mata kaki itu bagaikan dihantam memakai sebatang besi dengan keras. Trook...!

"Aaauuh...!" Kunta Aji memekik sekuat tenaga dan jatuh sambil memegangi kaki kanannya, ia menggeliat tak karuan dan meraung-raung karena tak kuat menahan rasa sakit di mata kaki.

Bahkan ketika tangan yang menutup mata kaki itu dibuka, dapat dilihat warna biru legam membekas di mata kaki yang membengkak menjadi dua kali lebih besar dari ukuran aslinya.

"Bangsaaat...! Raja bangsat kau. Benar-benar paling bangsaaat...!" teriak Kunta Aji yang justru membuat Suto menjadi geli sendiri.

"Kau apakan dia?!" gertak Kismi kepada Pendekar Mabuk.
"Dia kulawan!" jawab Suto seenaknya.
"Sembuhkan dia!"
"Aku tidak bisa."
"Pasti bisa!"

"Pasti tidak!" jawab Suto semakin tegas. Tapi Cumbu Bayangan tak berani meneruskan desakannya, karena pada waktu itu Suto Sinting segera berkata,

"Dia yang menyerangku lebih dulu, dan aku hanya memberi peringatan padanya agar lain kali tidak bertindak seenaknya begitu."

Cumbu Bayangan segera menemui Kunta Aji dan berkata, "Kau lancang! Itulah akibat kelancanganmu!"

"Aku membelamu, Bodoh!" sentak Kunta Aji kepada Kismi.

"Apakah kau tahu persoalannya?! Kau tidak tahu persoalannya yang pasti, tapi kau sudah menyerangnya."

"Persoalannya karena kau diganggu dia, bukan?!"

"Bukan!" sentak Cumbu Bayangan. "Aku ingin pelajari dua jurusnya yang kuanggap hebat itu. Aku sedang paksa dia untuk mengajarkannya padaku. Tapi kau datang-datang sudah bersikap memusuhinya begitu. Itu sama saja kau membuat kesan buruk hingga ia enggan mengajarkan jurus itu padaku!"

"Jurus apa? Jurus kucing beranak?" seru Kunta Aji sambil meringis kesakitan.

Kismi segera menemui Suto Sinting, tapi ia terperangah karena pemuda tampan itu sudah menghilang, ia mencarinya dengan pandangan mata, namun tak terlihat sekelebat pun bayangannya.

"Begitulah aku meninggalkan dia," kata Suto Sinting mengakhiri kisahnya kepada Ranggu Pura.
Agaknya rasa sakit Ranggu Pura telah lenyap dan luka di bagian lambungnya telah sembuh karena meminum tuak sakti tadi. Ranggu Pura mampu berdiri dengan tegak, badannya terasa lebih segar dari sebelumnya.

"Jadi dia bersama Kunta Aji? Hmmm... kukira bersama pria lain."
"Siapa Kunta Aji itu? Apakah kekasihnya?"
"Dia kakak seperguruannya."
"O, jadi Kunta Aji juga murid Ki Buyut Gerang?"

"Benar. Kismi kurang akur dengan Kunta Aji. Sesekali mereka sering cekcok, tapi kadang-kadang kelihatan akur juga."

Suto Sinting menggumam dan manggut-manggut. Setelah itu ia bertanya kepada Ranggu Pura.

"Lantas, mengapa Ki Buyut Gerang menyangka kau yang membawa lari Cumbu Bayangan, muridnya itu?"

"Karena hubunganku dengan Kismi tidak direstui."

Pendekar Mabuk sedikit kerutkan dahinya. "Kau dan Kismi ada hubungan cinta?"

"Benar. Kami saling jatuh cinta. Tapi guru kami tidak saling setuju. Bahkan guruku sangat marah kalau melihat aku berduaan bersama Kismi."

"Siapa gurumu itu?"
"Eyang Poci Dewa."
"Ooh...?! Beliau itu gurumu?!" Suto terperangah kaget.
"Apakah kau kenal dengan guruku?" tanya Ranggu Pura.

"Hmmm... ya, kenal. Maksudku, baru saja kenalnya. Sebab ternyata gurumu itu sahabat guruku juga. Dan rupanya Ki Buyut Gerang juga sahabat guruku pula."

"Aku tidak heran jika Buyut Gerang mengenal gurumu, sebab Buyut Gerang dan guruku Eyang Poci Dewa, semula memang saudara seperguruan."

"Ooo... begitu?!" Suto Sinting manggut-manggut lagi.
"Tapi mengapa mereka saling tidak setuju jika kau menjadi kekasih Kismi?"

"Menurut ceritanya, setelah mendiang Begawan Lampah Lawon meninggal dunia, perguruan mereka pecah menjadi dua aliran. Masing-masing aliran merasa paling benar dan baik, sehingga akhirnya saling bermusuhan walau tak terang-terangan. Karena hal itulah maka aku dan Kismi sebagai murid dari perguruan yang beda aliran itu tidak direstui untuk saling mencintai. Tapi kami sudah telanjur sama-sama lekat, sulit untuk berpisah. Kami sering mencuri-curi pertemuan, dan bila tertangkap oleh salah satu dari guru kami, pasti menjadi perkara."

Suto Sinting tertawa kecil, lalu ia geleng-geleng kepala merasa heran terhadap sikap kedua guru mereka itu.

"Kalau begitu kita harus mencari Cumbu Bayangan dan menyerahkannya kepada Ki Buyut Gerang supaya kau tidak dicurigai membawa lari muridnya!"

"Percuma," kata Ranggu Pura dengan pelan.
"Kenapa kau bilang percuma?"

***3

KETAMPANAN Ranggu Pura cukup lumayan. Wajar jika Cumbu Bayangan jatuh cinta kepada Ranggu Pura. Menurut pendapat Suto, mereka sebenarnya pasangan yang serasi. Cumbu Bayangan juga cantik, pantas jika berdampingan dengan pria setampan Ranggu Pura.

Tetapi agaknya masalahnya bukan saja terletak pada perbedaan aliran dalam perguruan mereka. Kesimpulan itu diperoleh Pendekar Mabuk setelah ia jumpa dengan seorang wanita cantik bertubuh elok, berdada montok dan senyum serta lirikan matanya mengundang gairah setiap lelaki. Usianya sudah mencapai sekitar tiga puluh tahun. Walau kecantikannya tidak kalah dengan gadis seusia tujuh belas tahun, tapi caranya memandang dan tersenyum menimbulkan keyakinan dalam hati Pendekar Mabuk, bahwa ia sudah bukan gadis suci lagi.

Pertemuan Suto dengan wanita berpinjung biru muda dengan jubah tak berkancing tak berlengan warna merah jambu adalah ketika Pendekar Mabuk memasuki perkampungan nelayan untuk menyewa sebuah perahu. Seorang nelayan bertudung dengan pakaian hitam ditemui Suto Sinting. Nelayan itu baru saja pulang dari mencari ikan di pagi hari. Perahunya penuh ikan dan jala. Namun sebagian ikan sudah diturunkan oleh sanak keluarganya.

"Paman, bisakah perahumu disewa untuk beberapa hari?"

"Kisanak mau ke mana?" tanya nelayan itu dengan ramah sebab Suto pun bertanya dengan sikap hormat dan sopan, sehingga nelayan itu pun menjadi sungkan untuk bicara seenaknya.

"Aku mau menuju ke Pulau Jelaga untuk menemui seorang sahabat. Aku butuh waktu satu hari satu malam di pulau itu. Kabarnya perjalanan ke Pulau Jelaga dapat ditempuh dengan waktu sehari semalam juga. Jadi aku ingin menyewa perahumu sekitar tiga hari tiga malam."

"Pulau Jelaga...?!" nelayan itu menggumam dalam renungannya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya begitu mendengar nama Pulau Jelaga. Hal itu membuat Suto Sinting berkerut dahi, dan sempat menyangka nelayan itu keberatan untuk disewa perahunya.

"Jika memang perahumu tak bisa disewakan, tak apalah. Aku akan mencari perahu lain, Paman."
Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu berkata dengan senyum kikuk.

"Maaf, bukan itu yang membuatku ragu, Kisanak. Perahu ini bisa saja kau sewa sampai empat hari empat malam, karena kebetulan aku ingin beristirahat dulu selama empat hari empat malam. Pihak saudaraku ada yang mempunyai hajat, sehingga aku perlu waktu kosong untuk membantu mereka. Tapi...," nelayan itu berhenti bicara dan termenung dalam kecemasan.

"Apa yang membuatmu ragu, Paman?"

"Kudengar kabar bahwa penduduk Pulau Jelaga banyak yang mengungsi kemari karena mereka ingin mencari hidup lebih lama lagi. Mereka datang dalam keadaan ketakutan. Mengapa kau justru ingin datang ke sana, Anak Muda?"

"Seorang sahabatku memanggilku untuk datang ke sana, Paman."

"Kusarankan, batalkan niatmu datang ke Pulau Jelaga, Kisanak. Sebab orang-orang yang mengungsi kemari menceritakan kengerian yang terjadi di sana."

"Kengerian apa itu, Paman?" tanya Suto dengan dahi berkerut.

"Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Penguasa Pantai Ajal yang bernama Gandapura itu sekarang ada di Pulau Jelaga?!"

"Gandapura...?!" Suto Sinting menggumam lirih, kemudian teringat keterangan Putri Malu tentang Gandapura, manusia titisan raksasa yang gemar memakan daging manusia itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Bernyawa").

"Maksud Paman, Gandapura si pemakan manusia itu?" tanya Suto minta dipertegas lagi.

"Benar, Anak muda! Gandapura sekarang sedang berusaha menguasai Pulau Jelaga, karena ia ingin mengambil alih pulau itu untuk pusat kekuasaannya. Kira-kira begitu cerita yang kuterima dari para pengungsi itu."

Pendekar Mabuk jadi termenung memikirkan hal itu. Ia biarkan nelayan itu menurunkan barang-barang dari atas perahunya. Diamnya Suto bukan berarti ia menuruti saran si nelayan itu, melainkan memikirkan langkah yang terbaik untuk mengatasi tokoh pemakan daging manusia yang bernama Gandapura itu. Hati sang Pendekar Mabuk menemukan kesangsian yang membuatnya resah.

"Apa benar Gandapura ingin mengambil alih pulau itu? Jangan-jangan bukan karena kedatangan Gandapura, melainkan karena masalah lain yang membuat orang- orang Pulau Jelaga mengungsi kemari? Ah, aku jadi penasaran. Ingin menanyakan sendiri kepada penduduk Pulau Jelaga yang mengungsi kemari itu."

Kemudian ia mendekati nelayan tadi dan bertanya, "Paman tahukah kau salah satu dari orang Pulau Jelaga yang datang mengungsi kemari itu?"

Nelayan tersebut sedang berkerut dahi karena berpikir, tapi tiba-tiba di belakang Suto ada suara yang menjawab pertanyaan itu. "Aku salah satu dari mereka!"

Nelayan itu sedikit kaget, tapi Suto Sinting lebih kaget lagi. Karena begitu ia berpaling ke belakang ternyata suara itu datangnya dari seorang perempuan cantik berjubah merah jambu dengan pinjung penutup dada warna biru. Rambutnya disanggul sebagian sisanya meriap turun. Sebuah pedang terselip di pinggangnya yang berpinggul meliuk indah penuh selera.

"Kebetulan orang yang kau cari sudah ada di sini, Kisanak. Silakan bicara sendiri dengannya, aku harus membereskan ikan-ikanku," kata si nelayan. Kemudian Suto Sinting mengucapkan terima kasih kepada si nelayan, setelah itu baru bicara dengan perempuan tersebut.

"Benarkah kau mengungsi dari Pulau Jelaga?'

"Aku memang bukan penduduk asli Pulau Jelaga, tapi aku baru datang dari sana sehari yang lalu. Kalau kau ingin keterangan tentang Pulau Jelaga, aku dapat memberikan penjelasan."

"Aku sangat membutuhkannya."

"Kita bicara di tempat teduh sebelah sana saja," sambil perempuan itu menunjuk tempat teduh di tepi hutan pantai agak jauh dari perkampungan neiayan.

"Mengapa tidak bicara di sini saja?"

"Jika penduduk perkampungan ini tahu hal yang sebenarnya, mereka akan ketakutan menerima para pengungsi. Akhirnya mereka justru akan memerangi para pengungsi dari Pulau Jelaga."

Pendekar Mabuk memahami maksud perempuan berjubah merah jambu itu, kemudian ia setuju untuk bicara di tempat teduh, di bawah sebuah pohon rindang berdaun lebat itu. Namun Suto sedikit kikuk karena sejak tadi dipandangi terus oleh perempuan itu dengan sorot pandangan mata yang berkesan nakal. Dalam perjalanan itulah mereka saling mengenal nama, sehingga Suto tahu perempuan cantik itu bernama Ayunda.

"Gandapura memang sedang mengamuk di sana, ia seperti orang kegirangan, bisa memakan manusia dengan bebas dan semaunya, karena Pulau Jelaga tidak mempunyai tokoh sakti yang bisa mengusir tindakan Gandapura," tutur Ayunda dengan berapi-api. "Aku sendiri merasa tak mampu menghadapi Gandapura karena ia cukup sakti. Karena aku merasa tak mampu maka aku pun pulang dan tak mau berurusan dengan Gandapura."

"Tapi kau sudah mencoba bertarung melawannya?"
"Lebih dari melawannya!" jawab Ayunda. "Aku hampir saja mati di tangan Gandapura."
"Tapi tak kulihat tanda-tanda bekas luka pada tubuhmu."

"Karena aku mampu mengobati luka apa pun dalam sekejap," ujarnya dengan nada penuh bangga diri. "Guruku memberikan ilmu pengobatan yang cukup dilakukan dengan tarikan napas dan bacaan mantra gaib."

"Siapa gurumu itu?"
"Nyai Gerhani Semi! Apakah kau pernah mendengarnya?"

Suto Sinting berpikir sejenak, kemudian gelengkan kepala. "Aku belum pernah mendengar nama itu."

"Karena Nyai Guru sekarang tinggal di pengasingan dan menjauhkan diri dari dunia persilatan."
Suto Sinting manggut-manggut sebentar, kemudian menenggak tuaknya sebagai pembasah kerongkongan. Ayunda memandangi terus penuh dengan debar-debar hati dan kecamuk batin. Suto bersikap tidak peduli, karena ia tak mau menjadi kikuk seperti tadi.

"Apakah benar Gandapura ingin menguasai pulau itu dan menjadikan pulau itu sebagai pusat kekuasaannya?"

"Pokok persoalannya bukan karena Gandapura ingin menguasai pulau," jawab Ayunda. "Masalah utama bagi Gandapura adalah mencari anaknya."

"Anaknya? Oh, dia punya anak?"

"Dia punya satu anak lelaki yang sudah waktunya mendapat warisan seluruh ilmunya. Anak itu bernama Ranggu Pura."

"Hahh...?! Ranggu Pura?!" Pendekar Mabuk terperanjat kaget. Murid si Gila Tuak itu memandangi Ayunda dengan pandangan mata setengah tidak percaya. Ayunda menambah penjelasannya lagi.

"Dulu anak itu dibuang bersama ibunya karena anak itu berupa manusia biasa, berbadan kurus, tidak seperti ayahnya. Tapi belakangan ini rupanya Gandapura sadar bahwa anak itu bagaimanapun juga adalah anaknya. Satu-satunya anak lelakinya adalah Ranggu Pura. Karenanya, ia mencari anak itu untuk menurunkan seluruh ilmunya. Jika Ranggu Pura sudah mendapat warisan ilmu dari Gandapura, maka ia pun akan menjadi manusia pemakan daging manusia."

Pendekar Mabuk tertegun membayangkan wajah Ranggu Pura yang tampan dan punya sikap berjiwa ksatria. Dalam bicaranya pun penuh nada kejantanan dan mampu bersikap lemah lembut. Dalam hati Pendekar Mabuk pun berkata,

"Jika Ranggu Pura mendapat warisan ilmunya Gandapura, maka sudah pasti dia akan menjadi manusia terkutuk dan membahayakan bagi keselamatan orang banyak, ia harus dimusnahkan jika sampai kembali kepada ayah kandungnya, sebab itu berarti dia sudah menerima warisan ilmu sang Ayah."

Ayunda memecah kesunyian dengan suaranya yang sedikit serak itu, "Sepertinya kau mengenal nama Ranggu Pura?"

"Benar. Aku baru bertemu dengan pemuda itu dua hari yang lalu."

Ayunda tersenyum, entah apa arti senyuman itu. Yang jelas ia segera berkata, "Sebenarnya dua hari yang lalu kau sudah bertemu dengan calon pewaris ilmunya Gandapura. Jika Gandapura mati, maka anak itulah yang nantinya akan menjadi pemakan daging manusia, dan menguasai Pulau Ajal serta mungkin Pulau Jelaga juga."

"Berbahaya sekali?!" gumam Suto bagai bicara pada diri sendiri.
"Memang sangat berbahaya kalau tidak segera dibantai dari sekarang."

"Kalau begitu aku harus mencari Ranggu Pura dari sekarang. Akan kucegah supaya dia jangan kembali kepada ayahnya."

"Tak akan berhasil, sebab selama ini Ranggu Pura mencari-cari siapa ayah kandung yang sebenarnya. Tak ada jalan lain kecuali dengan membinasakan calon iblis pemakan daging manusia itu."

"Akan kubicarakan dulu dengan gurunya!"

"Gurunya; Poci Dewa, jelas tidak mau percaya dengan keteranganmu nanti. Dan satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk... Ranggu Pura itu sebenarnya orang yang tidak bisa mati, sebab ia mempunyai darah titisan dari buyutnya yang mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka', sebuah ilmu yang membuat orang tak bisa mati jika ilmu itu belum dititiskan ke orang lain."

"Mahkota Neraka?! Rasa-rasanya aku baru sekarang mendengar ada ilmu semacam itu. Apa mungkin seseorang tak bisa mati, sedangkan kita hidup dari suatu kematian dan kita mati dari suatu kehidupan?"

"Kalau manusia biasa, tentunya tidak akan mengalami hidup abadi. Tapi karena Ranggu Pura bukan manusia biasa, maka dia bisa saja mempunyai kehidupan abadi. Dan satu-satunya cara untuk membunuhnya adalah dengan menggunakan senjata pusaka yang bernama Kapak Setan Kubur. Itulah senjata yang ditakuti oleh pemilik ilmu 'Mahkota Neraka' seperti halnya Ranggu Pura."
Setelah merenung lagi beberapa saat, Pendekar Mabuk pun bertanya, "Lalu, di mana aku bisa mendapatkan pusaka Kapak Setan Kubur itu? Apakah kau tahu siapa pemiliknya dan di mana letaknya?"

"Tentu saja aku tahu hal itu, karena pemiliknya adalah sahabat karib guruku. Dia bernama Nini Pucanggeni."

"Hmmm...!" murid si Gila Tuak itu manggut-manggut sebentar, kemudian perdengarkan suaranya lagi,

"Maukah kau mengantarku menemui Nini Pucanggeni?"

Perempuan cantik itu tersenyum aneh. Matanya melirik nakal namun membuat hati Suto Sinting menjadi gelisah.

"Mengapa diam saja?" tanya Suto Sinting. "Apakah kau tak bersedia mengantarku menemui Nini Pucanggeni?"

"Bersedia, asal ada syaratnya."
"Syarat apa maksudmu?"
"Upah untukku," jawab Ayunda dengan kian tersenyum nakal.
"Upah apa yang kau inginkan?"
"Hmmm... hmmm... sebaiknya nanti saja kukatakan setelah tiba di pondoknya Nini Pucanggeni."
"Baiklah. Kalau begitu kita berangkat sekarang saja ke sana!"

"Aku tak keberatan," kata Ayunda semakin menampakkan kegirangannya yang tak bisa terpendam rapat-rapat itu.

Pendekar Mabuk mengikuti langkah Ayunda yang ternyata mampu bergerak lincah dan cepat, menandakan bahwa ilmunya tidak tanggung-tanggung. Tapi Suto Sinting yakin, jika ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu berlari sangat cepat melebihi kecepatan anak panah itu, Ayunda akan tertinggal jauh di belakangnya. Namun agaknya Suto Sinting tak mau lakukan hal itu, karena ia tak ingin pamer kebolehannya di depan perempuan berpinggul sekal itu. Selain itu juga karena Suto takut tersesat salah arah jika mendului Ayunda.

"Ssstt...! Tunggu dulu, Ayunda!" cegah Suto sambil hentikan langkah, mencekal lengan Ayunda.

"Ada apa, Suto?" bisik Ayunda sambil merapatkan badan lebih dekat lagi dengan tubuh Suto. Karena keadaan seperti itu sangat menyenangkan bagi Ayunda, hatinya bisa berdebar-debar penuh keindahan.

"Lihat ke lembah sana... sepertinya ada suatu pertarungan, dan nampaknya mereka orang-orang yang kukenal."

Setelah menyipitkan mata untuk memandang jauh, Ayunda pun berkata di samping telinga Suto Sinting.

"Benar. Mereka adalah murid Buyut Gerang!"
"Kau mengenal Ki Buyut Gerang?"

"Sangat kenal," jawab Ayunda singkat. "Tak perlu hiraukan mereka. Kita teruskan perjalanan kita, Suto."

"Nanti dulu!" lengan Ayunda ditariknya, dan perempuan itu berdesir indah lagi. Nada bicaranya semakin memanja.

"Mengapa kau hiraukan, Suto? Nanti kita kemalaman di perjalanan lho."
"Aku kenal gadis berjubah kuning itu."
"Terus kalau kenal mau apa?" nadanya sedikit ketus.
"Aku harus menolongnya. Kita ke lembah itu, Ayunda!"

"Tidak mau!" Ayunda cemberut. "Kalau kau mau ke sana, pergilah ke sana. Aku menunggu di sini saja."

"Mengapa kau tidak mau ke sana?!"
"Karena tujuanku pergi menemui Nini Pucanggeni, bukan mencampuri urusan orang lain!"

Suto agak tak enak hati, sehingga timbul kebimbangan yang menggelisahkan.

***4

PERTARUNGAN itu sebenarnya merupakan pertarungan yang tak bisa dicampuri orang lain, karena yang bertarung adalah murid-murid satu perguruan. Cumbu Bayangan menolak paksaan Kunta Aji untuk pulang ke perguruan. Akibat penolakan itu, Kunta Aji menjadi jengkel dan mencoba dengan cara kasar. Tapi Cumbu Bayangan ternyata berani melayani serangan kakak perguruannya itu.

"Kalau kau sampai celaka di tanganku, jangan salahkan aku, Kismi! Aku hanya mengemban perintah Guru saja!"

"Tak usah berbasa-basi, Kunta Aji. Sejak kemarin aku sudah katakan bahwa aku tidak ingin pulang ke padepokan. Biarlah aku dianggap murid murtad yang keluar dari perguruan, karena aku mempunyai kepentingan pribadi!" kata Cumbu Bayangan.

"Jangan sepicik itu, Kismi. Kau terlalu buta karena tertutup cinta kepada Ranggu Pura! Kau tak bisa melihat keburukan pria itu!"

"Siapa pun tak bisa menghalang-halangi cintaku kepada Ranggu Pura!" tegas Kismi.

"Sadar dan renungkanlah, Kismi. Apa hebatnya mempunyai suami yang punya aliran selemah itu? Murid-muridnya Poci Dewa mana ada yang terpandang di mata dunia persilatan?! Mereka dianggap tidak ada oleh rimba persilatan. Jika hubunganmu dengan Ranggu Pura kau teruskan hingga kau menikah dengannya, maka nama perguruan kita akan hancur karena dianggap perguruan yang miskin ilmu seperti perguruannya Ranggu Pura!"

"Apa pun alasannya aku tetap akan pergi bersama Ranggu Pura! Sekarang mau apa kau, hah?!" sentak Cumbu Bayangan bersikap menantang.

"Tugasku adalah membawamu pulang ke perguruan! Jika kau bersikeras begitu, maka aku pun akan bersikeras juga membawamu pulang! Hiaaah...!"

Kunta Aji menghantamkan pukulannya ke arah ulu hati Cumbu Bayangan. Maksudnya ingin membuat adik perguruannya itu pingsan agar mudah dibawa pulang. Tapi Cumbu Bayangan cukup gesit, ia mampu menepis tangan Kunta Aji dengan kakinya, lalu kaki itu pula yang maju ke depan menendang wajah Kunta Aji. Plokk...!

"Auuh...!" Kunta Aji terpekik kesakitan, ia terhuyung-huyung mundur tiga langkah. Wajahnya tampak semakin geram memandang Kismi.

"Pergilah sana dan jangan ikuti aku lagi, Kunta!" hardik Cumbu Bayangan.

"Aku tak akan berhenti mengikutimu sebelum nyawaku lepas dari raga, karena aku mengemban tugas dari Guru!"

"Kulepaskan betul nyawamu jika begitu! Hiaaah...!" Cumbu Bayangan melompat menerjang Kunta Aji. Tapi yang diserang ternyata sudah siap, sehingga tendangan melayang dari Cumbu Bayangan itu mampu ditangkis dengan kelebatan tangan Kunta Aji. Kemudian dengan sedikit lakukan lompatan ke atas, Kunta Aji menotok bagian bawah ketiak si gadis. Dess...!

Brukk...! Gadis itu jatuh terduduk dan tak bisa bergerak lagi kecuali terkulai lemas dalam keadaan bersandar pada pohon di sampingnya. Matanya tak bisa berkedip, bahkan dipakai untuk melirik pun sulit. Cumbu Bayangan bagaikan kehilangan seluruh tulang dan ototnya.

Pada saat itulah Pendekar Mabuk hadir dengan tak diketahui gerakannya. Kunta Aji terkejut karena Suto Sinting seakan muncul secara tiba-tiba di depannya, menghadang langkah menutupi tubuh Cumbu Bayangan.

"Kau lagi!" geram Kunta Aji dengan mata mendelik.

"Ya, aku lagi yang datang. Aneh, bukan?" sambil Suto Sinting sunggingkan senyum yang dibenci oleh Kunta Aji.

"Mau apa kau kemari?!"

"Mencegah seranganmu agar tidak membahayakan jiwa adik perguruanmu ini!"

Kunta Aji sedikit terperanjat karena Suto mengetahui bahwa Kismi adalah adik seperguruannya. Bahkan Suto Sinting pun berkata,

"Aku juga sudah bertemu dengan guru kalian. Dan guru kalian menyerahkan masalah Kismi kepadaku. Jadi aku bertanggung jawab jika terjadi sesuatu kepada Kismi. Aku harus mengantarkan Kismi pulang ke perguruan."

"Kau tak perlu menginjakkan kaki ke perguruanku!" potong Kunta Aji. "Aku cukup mampu membawa pulang adik perguruanku. Pergilah sana sebelum hilang kesabaranku!"

Tiba-tiba terdengar suara ledakan di kejauhan. Blarrr...! Suto Sinting segera memandang ke arah bunyi ledakan menggelegar itu. Ternyata datangnya dari tempat Ayunda menunggu.

Dari tempat Suto berdiri sempat terlihat Ayunda sedang lakukan pertarungan dengan seseorang. Suto Sinting kaget dan menjadi bingung sendiri. Sedangkan Kunta Aji juga memandang ke arah pertarungan itu, kemudian tanpa sadar mulutnya menggumam,

"Ayunda...?!"

Kunta Aji menegang sesaat, kemudian ia berkata kepada Suto Sinting. "Apakah kau datang bersama Ayunda?"

"Ya, kami mau menemui seseorang yang mempunyai pusaka Kapak Setan Kubur itu!"

"Hmm...!" Kunta Aji mencibir. "Bicaramu terlalu tinggi. Kau pikir mudah mendapatkan 'Kapak Setan Kubur' itu?!"

"Hmmm...!" sekali lagi pemuda berpakaian hijau itu mencibir sinis. "Kalau begitu, mengapa kau diam saja? Pergilah membantu Ayunda daripada ikut campur urusan perguruanku!"

Pikir punya pikir, pendapat itu betul juga. Suto Sinting pun segera membatalkan niatnya untuk membawa Cumbu Bayangan ke Buyut Gerang. Pikirnya, di situ sudah ada Kunta Aji yang akan membawa Cumbu Bayangan ke perguruannya. Maka, Suto Sinting pun segera berkelebat pergi ke arah pertarungannya Ayunda dengan seseorang yang belum jelas siapa orangnya.

Kepergian Suto melegakan hati Kunta Aji. Ia segera mengangkat Kismi, memanggulnya di pundak, lalu membawanya pergi. Sedangkan Suto Sinting segera tiba di pertarungan itu.

Rupanya Ayunda bertarung melawan seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu memakai baju hitam dan celana abu-abu. Rambutnya lurus sebatas tengkuk lewat sedikit, bagian depan diponi. Kecantikan gadis itu membuat hidung mancungnya tampak jelas dan bibirnya tampak menggemaskan. Suto Sinting terpesona sesaat memandang kecantikan yang alami dan berkesan lugu itu.

"Kau tak akan unggul melawanku, Pinang Sari!" gertak Ayunda sambil kembali lepaskan pukulan jarak jauhnya tanpa sinar. Pinang Sari melompat ke atas dalam satu sentakan kaki dan dari sana ia melepaskan pukulan bersinar hijau dari ujung jari tangannya. Ciapp...!

Sinar hijau itu hampir saja mengenai pundak Ayunda jika ia tidak segera menghindar dengan meliukkan tubuhnya ke samping. Akibat meleset dari tubuh Ayunda, sinar hijau itu melesat lurus ke arah Suto Sinting yang saat itu sedang berdiri agak jauh di belakang Ayunda.

Dengan cepat Pendekar Mabuk sambar bumbung tuaknya yang melintang di punggung, kemudian menahan sinar hijau itu memakai bumbung tuaknya. Trubb...! Wuusss...!

Sinar hijau kembali ke arah semula pada waktu Ayunda bersalto ke samping. Pinang Sari kaget melihat sinar hijaunya membalik arah dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Ia segera berguling ke tanah satu kali. Wuukkk...! Langsung berdiri dengan satu lutut. Tepat Ayunda menapakkan kakinya ke tanah di depannya. Langsung saja kedua tangan Pinang Sari menghantam perut Ayunda dengan dua tangan.

Dess, dess... !

"Ohg...!" Ayunda tersentak ke depan, kepalanya terbungkuk, tubuhnya mengejang di tempat. Pinang Sari berguling ke samping. Wuusss...! Dan saat itu Ayunda memuntahkan darah segar dari mulutnya, ia tersedak beberapa kali sambil sempoyongan, berdirinya mulai menggeloyor limbung. Darah masih dimuntahkan dari mulutnya.

Hal itu membuat Suto Sinting menjadi cemas sekali, ia bermaksud menolong Ayunda. Tapi gerakan Suto Sinting dianggap mau menyerang Pinang Sari, sehingga gadis itu segera melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bersinar hijau seperti tadi. Sedangkan sinar hijaunya yang tadi sudah lebih dulu menggelegar karena menghantam sebatang pohon hingga terbelah menjadi beberapa bagian.

Clapp...! Kedatangan sinar hijau menahan langkah Suto Sinting. Dengan cepat Suto pun menyambar bumbung tuaknya lagi dan ditangkisnya sinar hijau itu memakai bumbung tuaknya. Trrubb...! Wuusss...!

Sinar berbalik arah seperti tadi. Pinang Sari masih terperanjat juga, dan segera melompat menghindari datangnya sinar itu.

Blegarrr...!

Rupanya sambil melompat ia menghantamkan pukulan baru yang memancarkan sinar merah. Sinar merah itu menghantam sinar hijaunya sendiri hingga terjadilah ledakan dahsyat yang menggelegar membahana.

Gelombang ledakan itu sangat kuat, mengakibatkan Pinang Sari sendiri terpental sejauh delapan langkah dari tempatnya, ia membentur pohon dengan keras dan jatuh dalam satu hentakan kuat.
Sedangkan tubuh limbung Ayunda juga terpental akibat terkena gelombang ledakan yang menghentak. Tubuhnya yang lemas itu terbuang ke udara dan melayang-layang di sebelah sana, akhirnya jatuh tak sadarkan diri dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri semula.

Suto Sinting pun ikut terjengkang jatuh dalam keadaan terduduk di rerumputan. Bleduk... !

"Auuh...!" ia memekik karena tulang ekornya menghantam gundukan batu sebesar genggamannya. Rasa sakitnya membuat wajah Suto Sinting menyeringai sambil mengusap-usap tulang ekor bagian ujung pantatnya. Istilah ayam, bagian tunggirnya.

"Sialan! Hanya jatuh begini saja sakitnya bukan main?! Jangan-jangan tunggirku pecah?!" pikirnya sambil meringis kesakitan, ia buru-buru meminum tuaknya untuk menghilangkan rasa sakit tersebut.
Sekelebat bayangan melintas, lalu menyambar tubuh Ayunda. Suto Sinting kaget dan hentikan minumnya. Namun gerakannya terlambat karena bayangan itu telah menghilang bersama hilangnya tubuh Ayunda yang pingsan.

"Ke mana dia? Siapa yang menyambarnya?!" kata Suto sendirian dengan nada penuh keheranan, ia mencoba bangkit dan mencari di tempat jatuhnya Ayunda, tapi tak ada jejak yang dapat dipakai untuk pelacakan.

"Celaka! Kalau begini aku kehilangan arah untuk menemui Nini Pucanggeni?! Kalau aku harus mengejarnya, ke mana tadi perginya si penyambar Ayunda itu?! Sepertinya ke arah selatan, tapi di selatan tampaknya tak ada gerakan yang mencurigakan. Sebaiknya kulacak ke selatan saja!"

Baru saja Suto bersiap-siap untuk menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk mengejar si penyambar Ayunda, tiba-tiba niatnya tertahan karena suara erangan seorang gadis di seberang sana. Suto Sinting akhirnya ingat dengan gadis berponi yang punya bibir menggemaskan itu.
Pinang Sari terkapar dengan wajah pucat pasi dan bibirnya membiru. Bagian lehernya tampak berwarna legam akibat gelombang ledakan yang mengeluarkan daya sentak cukup tinggi tadi.

"Wah, parah ini anak...," gumam murid si Gila Tuak. "Gara-gara ledakan tadi, bagian dada hingga leher tampak terbakar dan sebentar lagi akan hangus. Hmmm... kasihan juga gadis ini!"

Suto Sinting segera memberikan tuaknya. Tuak itu dituangkan sendiri oleh Suto ke mulut Pinang Sari. Mulut itu dipencet dengan tangan yang satunya hingga ternganga. Maka tuak pun masuk ke mulut dengan pelan-pelan.

"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Pinang Sari tersedak. Namun sebagian tuak sudah ada yang tertelan.
Beberapa saat kemudian, Pinang Sari mulai sadar dengan keadaan dirinya yang terkapar di rerumputan, ia segera bangkit pelan-pelan, sedangkan Suto Sinting duduk di atas sebuah batu tak jauh dari si gadis berkulit sawo matang.

"Mengapa kau menyerangku sehingga akhirnya kau sendiri yang terluka," kata Suto Sinting setelah gadis itu mencoba bangkit berdiri dan ternyata mampu berdiri tegak. Kekuatannya berangsur-angsur pulih seperti sediakala.

Mata bundar bening itu memandang Suto dengan cemberut. Mungkin ia masih menyangka bahwa Suto ada di pihak Ayunda.

"Kalau kau tak menyerangku, kau tak akan menderita luka seperti itu," ujar Suto Sinting lagi memancing perkataan Pinang Sari.

"Kau lebih dulu mau menyerangku saat Ayunda mau tumbang!"

"Oh, kau salah duga. Aku ingin menangkap tubuh Ayunda yang mau tumbang itu. Bukan mau menyerangmu!"

"Omong kosong! Kau kekasih perempuan itu, bukan?!"

Pendekar Mabuk tersenyum geli. "Kau salah duga lagi. Aku bukan apa-apanya. Dia sahabat baruku."
"Hmm... ! Pemuda tampan sepertimu susah dipercaya! Kebanyakan pandai membual!" katanya ketus sambil melengos.

"Aku tidak membual. Aku bertemu dengan Ayunda di pantai. Lalu dia ingin mengantarku menemui seseorang yang bernama Nini Pucanggeni, karena kami...."

Kata-kata Suto terhenti ketika melihat gadis itu kaget dan berpaling cepat memandangnya. Wajahnya kian tampak menegang karena suatu kemarahan.

"Jangan sebut nama guruku sembarangan!" hardik Pinang Sari. Kini yang menjadi terperanjat adalah si Pendekar Mabuk sendiri.

"Gurumu...?! Apakah... apakah Nini Pucanggeni itu gurumu yang sebenarnya?!"

"Beliau memang guruku! Dan justru aku mencari Ayunda dan bertemu di sini karena ia punya hutang kepada guruku!"

"Hutang uang, maksudmu?"
"Hutang nyawa!" jawabnya tegas. "Ayunda telah membunuh guruku secara licik!"
"Lho...?!' Suto Sinting melompong dengan mata terbelalak lebar.

"Kalau dia tidak membunuh guruku dengan pukulan beracun yang dilepaskan dari persembunyiannya, aku tidak akan menyerang Ayunda seperti tadi."

"Ka... kapan? Kapan hal itu terjadi?!"
"Empat hari yang lalu!"

"Edan!" sentak Suto kaget dan berdiri seketika. "Kalau begitu dia tadi menipuku?!"
Kemudian murid si Gila Tuak itu menceritakan pertemuannya dengan Ayunda dan pembicaraan tentang Gandapura, Ranggu Pura dan pusaka Kapak Setan Kubur yang ingin dipinjamnya dari Nini Pucanggeni. Mendengar cerita itu, kemarahan Pinang Sari kepada Suto menjadi melemah. Wajahnya sudah tidak setegang dan sesinis tadi.

"Kalau begitu dia memang menipumu. Guru tak pernah punya pusaka Kapak Setan Kubur, dan aku baru mendengar nama pusaka itu sekarang. Kurasa dia bohong juga tentang adanya pusaka seperti itu. Atau mungkin memang ada tapi yang jelas mendiang guruku
tidak pernah menyimpan pusaka seperti itu!"

Pendekar Mabuk jadi termenung sendiri sambil membatin kata,

"Mengapa ia menipuku begitu? Siapa yang menipuku? Ayunda atau gadis ini?!"

****