1
WAJAH tua berpakaian serba hijau itu
terbaring
dengan lemas. Warna wajah yang pucat menandakan
bahwa tokoh tua berambut putih sepundak itu
sedang menderita sakit. Jubah kuningnya
sengaja
dilepas dan digantungkan pada sebatang pilar
batu
dalam gua tersebut. Tokoh tua yang biasanya
mengenakan ikat kepala hitam dengan kumis dan
jenggot putih rata dan membawa tongkat hitam
sedada itu tak lain adalah Ki Sabawana, yang
dikenal
dengan nama si Gila Tuak.
"Gila Tuak sakit?! Ah, yang benar saja
kau
bicara?! Masa' tokoh tertinggi di dunia
persilatan itu
bisa sakit?!"
"Buktinya saudara seperguruannya yang
dikenal
dengan nama Bidadari Jalang itu sedang
kebingungan mencari murid si Gila Tuak."
"Murid si Gila Tuak itu kan yang dikenal
dengan
nama Suto Sinting alias si Pendekar
Mabuk?!"
"Iya. Memang benar. Tapi sampai sekarang
si
Pendekar Mabuk belum tahu kalau gurunya
sedang
sakit parah."
"Apa penyebab sakitnya si Gila Tuak
itu."
"Mana kutahu?! Aku bukan
tabib!"
"Maksudku, siapa tahu kau mendengar
kabar
tentang penyebab sakitnya si Gila Tuak."
"Menurut ucapan Bidadari Jalang yang
kudengar
secara sembunyi-sembunyi, Gila Tuak sakit
karena
kebanyakan umur."
"Husy! Mana ada orang sakit kok
kebanyakan
umur?!"
"Lho, iya... bayangkan saja, usianya
sekarang
sudah mencapai dua ratus lima belas tahun,
tapi
masih awet hidup dan sering mengadakan
pertemuan
dengan para tokoh silat aliran putih membahas
ini-itu
yang seharusnya tidak dipikirkan olehnya.
Mungkin
akibat boros pikiran, maka kesehatannya yang
sudah
tua itu makin merapuh dan jatuh sakitlah
dia...."
Tak heran jika sakitnya Gila Tuak menjadi
bahan
pembicaraan para tokoh di rimba persilatan.
Sebab
guru utama sang Pendekar Mabuk itu adalah
tokoh
tertinggi di rimba persilatan yang dulu
pernah
melalang buana dan mencapai masa kejayaannya
sebagai tokoh sakti tak terkalahkan. Namanya
tercantum dalam deretan teratas para tokoh
sakti
aliran putih. Setelah itu baru menyusul nama
saudara
seperguruannya yang bernama Nawang
Tresni.
Dulu perempuan cantik bermata jalang yang
punya ilmu awet muda itu dikenal sebagai
tokoh
aliran hitam dengan nama Bidadari Jalang.
Namun
sejak ia ikut mengangkat Suto Sinting sebagai
muridnya, ia berubah sikap dan kini masuk
dalam
aliran putih, sejalan dengan saudara
seperguruannya;
si Gila Tuak itu.
Tidak semua orang tahu secara pasti, apa
penyebab sakitnya si Gila Tuak itu. Yang
jelas, sudah
dua purnama Gila Tuak tak dapat bangun dari
pembaringannya. Bahkan ia tak dapat bicara
selancar
biasanya. Sesekali ia memang bicara kepada
Bidadari
Jalang, tetapi dengan suara cadel dan lemah
sekali.
Bahkan pandangan matanya menjadi rabun, tak
bisa
memandang dengan jelas.
"Ssi... siafa entu...?" Gila Tuak
mencoba bicara
saat pandangan matanya yang buram menangkap
bayang-bayang sosok manusia mendekatinya.
"Siia... siafa entu...?" ulangnya
lagi, karena tak
mendapat jawaban.
"Aku...!"
"Siafa...?"
"Bidadari Jalang!"
"Oooh... anu ya?"
Bidadari Jalang menjadi iba, hampir
menitikkan
air mata melihat Gila Tuak yang dulu dianggap
musuh
dan sekarang sudah dianggap kakak kandung
sendiri
menderita sakit separah itu. Tetapi agaknya
perempuan berjubah ungu muda yang masih punya
tubuh semok dan dada montok menggiurkan tiap
lelaki itu tak mau mudah menitikkan air mata.
Sekalipun hatinya teriris pilu melihat
keadaan Gila
Tuak, ternyata Bidadari Jalang masih bisa
mengendalikan gejolak dukanya dengan satu
tarikan
napas panjang sehingga tetap tenang.
"Uto ana...? Uto ana, Awang?"
Maksudnya, "Suto mana? Suto maha,
Nawang?!"
Bidadari Jalang paham maksud bahasa cadel si
Gila Tuak itu. la segera menjawab dengan
mengusap
kepala si Gila Tuak untuk menyingkirkan
rambut putih
dari keningnya.
"Aku belum bisa bertemu dengan Suto,
Sabawana."
"Ooh, ooh... dasal mulit songong...!"
Ki Sabawana
menggerutu di sela engahan napasnya yang
memberat. "Kalo dia atang, pukul saza
kepalanya,
biar bocol!"
"Sabarlah, Sabawana.... Murid kita
memang tak
tahu kalau keadaanmu begini. Tapi sudah
kusebar
kabar
kepada para sahabat kita tentang sakitmu, dan
Resi Pakar Pantun serta beberapa sahabat kita
lainnya sedang mencari di mana Suto Sinting
berada.
Mereka akan memberi kabar dan menyuruh Suto
pulang ke Jurang Lindu ini secepatnya."
"Uuh, uuh, uuuh... usahakan cemat-cemat
Uto
datang..."
"Siapa yang menjadi camat?"
"Cemat...! Oblok amu! Cemat itu altinya
cefat!"
"Ooo, usahakan agar Suto cepat
datang?!"
"Iya, gitu. Oblok...!" maki si Gila
Tuak. Wibawanya
sudah hilang, kharismanya pun lenyap. Penyakit itu
seakan melenyapkan jati diri si Gila Tuak
yang
biasanya tampil gagah, wibawa dan berkharisma
sekali itu.
Bidadari Jalang memaklumi keadaan tersebut,
sehingga ia tak merasa tersinggung dikatakan
'goblok'
dan tak mengecam sikap seperti anak kecil yang
ada
pada Ki Sabawana. Bidadari Jalang cukup sabar
melayani si Gila Tuak, karena tak ada orang
lain yang
bisa melayani dan merawat si Gila Tuak
kecuali
dirinya.
Betapapun dulu Bidadari Jalang merasa
bersaing
dengan Gila Tuak, namun sekarang ia merasa
sedih
jika harus kehilangan Gila Tuak. Memang,
mereka
sebenarnya mempunyai guru masing-masing. Gila
Tuak mempunyai guru yang bernama Eyang
Purbapati, dan Bidadari Jalang mempunyai guru
Nini
Galih. Tetapi antara Eyang Purbapati dan
Eyang Nini
Galih menjalin hubungan cinta hingga mereka
hidup
sebagai suami istri.
Sedangkan Eyang Purbapati dan Eyang Nini
Galih
itu mempunyai satu guru yang bernama Eyang
Wijayasura, tokoh sakti yang menjelma menjadi
pohon bambu dan bambu itu sekarang menjadi
bumbung tuaknya Suto Sinting. Ada pun Eyang
Wijayasura adalah cucu dari tokoh kuno yang
kesohor
sangat sakti dan dikenal dengan nama Eyang
Agung
Cipta Mangkurat, dan sekarang menjelma
menjadi
sebuah pedang pusaka bernama Pedang Kayu Petir,
(Baca silsilah guru Suto Sinting dalam serial
Pendekar
Mabuk, episode: "Pedang Guntur
Biru" dan "Pedang
Kayu Petir").
Eyang Agung Cipta Mangkurat menurunkan
seluruh ilmunya kepada sang cucu, Wijayasura.
Sedangkan Wijayasura menurunkan seluruh
ilmunya
kepada kedua muridnya, yaitu Purbapati dan
Nini
Galih. Suami-istri ini sebenarnya mempunyai
tiga
anak: Durgawati, Begawan Sangga Mega dan Raja
Nujum. Tetapi ternyata dari ketiga anak itu
tak ada
yang kuat menerima seluruh ilmu Purbapati dan
Nini
Galih, sebab ilmu itu sudah berkembang menjadi
lebih dahsyat lagi. Akhirnya, Purbapati punya
murid Ki
Sabawana alias Gila Tuak, yang kuat menerima
seluruh ilmu warisan Purbapati. Sedangkan
Nini Galih
mempunyai murid Nawang Tresni alias Bidadari
Jalang, yang ternyata kuat juga menerima
seluruh
ilmu Nini Galih itu.
Kini seluruh ilmu yang ada pada
Gila Tuak dan
Bidadari Jalang diturunkan kepada pemuda
tanpa
pusar yang punya wajah ganteng dan menawan
hati
setiap
wanita, yaitu Suto Sinting alias Pendekar
Mabuk. Ternyata Suto Sinting mampu menerima
dua
warisan ilmu yang sudah dikembangkan sebegitu
dahsyatnya. Kekuatan Suto menerima seluruh
ilmu
itu dikarenakan ia terlahir tanpa pusar.
Manusia tanpa pusar ditakdirkan mempunyai
kekuatan yang luar biasa dibanding manusia
yang
punya
pusar. Kesempatan menurunkan seluruh
ilmunya itu sangat sulit didapatkan oleh Gila
Tuak
maupun Bidadari Jalang. Hanya bocah tanpa
pusar
yang sanggup menerima kedahsyatan ilmu mereka.
Lalu, mereka pun berebut bocah tanpa pusar
ketika
mereka menemukan Suto Sinting ketika
diketahui
bahwa perut Suto ternyata datar tanpa lubang
pusar
sedikit pun. Akhirnya mereka sepakat untuk
sama-
sama menurunkan ilmu mereka kepada Suto, dan
saat itulah Bidadari Jalang masuk dalam
aliran putih,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalami episode:
"Bocah
Tanpa Pusar").
Suto Sinting menganggap Gila Tuak bukan saja
sebagai guru, dan Bidadari Jalang bukan saja
sebagai
Bibi Guru, tetapi kedua tokoh sakti itu sudah
dianggap sebagai ayah dan ibunya sendiri.
Sebab
sejak berusia sekitar tujuh tahun, Suto
Sinting sudah
tidak mempunyai ayah-ibu dan keluarga lain.
Seluruh
keluarganya dibantai habis oleh si Kombang
Hitam,
tokoh sesat yang menjadi Ketua Begal Cinta.
Di
tangan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Suto
dirawat
dan diasuh, lalu dibesarkan menjadi seorang
pemuda
yang mempunyai kesaktian gila-gilaan. Karena
ilmunya yang gila-gilaan itulah, maka nama
asli Suto
Wijaya, diganti dengan nama Suto Sinting.
Yang
sinting bukan orangnya, tapi ilmunya.
Kabar sakitnya Gila Tuak diterima Suto
Sinting
dari seorang tokoh tua aliran putih yang
dikenal
dengan nama Ki Sanupati, atau lebih dikenal
dengan
julukan si Tua Bangka.
Waktu itu, Tua Bangka sedang berkunjung ke
rumah adiknya yang bernama si Kusir Hantu.
Pondok
kediaman Kusir Hantu ada di Lembah Seram.
Kala
itu, Suto Sinting sedang berada di
semak-semak
bersama gadis yang telah diselamatkan dari
kutukan
Nyai Ronggeng Iblis itu.
Andai saja saat itu Suto gagal merebut Bunga
Kecubung Dadar, tentunya gadis cantik yang
bernama
Tenda Biru itu tetap menjadi gadis tanpa
raga. la
hanya akan mempunyai suara tanpa dapat
dinikmati
kecantikannya. Karenanya, gadis cantik berambut
pendek depan dan belakangnya panjang
sepinggang
sangat berterima kasih kepada Pendekar Mabuk.
"Seandainya aku tak bertemu denganmu,
barangkali sampai sekarang aku masih seperti
hantu
yang bergentayangan," ujar Tenda Biru
yang
mengenakan jubah tanpa lengan warna biru itu.
"Seandainya kau hantu, kau adalah hantu
yang
paling cantik di antara para hantu dan setan
gentayangan," puji Pendekar Mabuk
membuat si
gadis berdada montok itu mencibir.
"Hmm...! Rupanya kau bukan saja berilmu
tinggi
namun juga pandai merayu wanita, Bocah
Sinting."
"Aku tidak merayu, Tenda Biru. Dengan
setulus
hati kukatakan, kau memang cantik. Matamu
membelalak indah, bibirmu ranum menggemaskan,
hidungmu mancung, dadamu juga
mancung...."
"Ih, kau ini!" Tenda Biru tersipu,
ia menyenggol
lengan Suto dengan pundaknya. Pendekar Mabuk
tertawa lirih, lalu merangkul si gadis dari
samping kiri.
Saat itu mereka masih duduk di bawah pohon
bersemak rapat, menikmati cahaya rembulan
yang
menyinari ke bumi bagai menaburkan suasana
romantis.
"Dingin sekali malam ini," ucap
Tenda Biru pelan.
"Kau dingin juga?"
"Ya. Tapi sekarang agak
hangat."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena tubuhku rapat dengan
tubuhmu," sambil
Suto mempererat pelukannya.
"Ya, memang agak hangat. Sayang
kehangatan ini
tak bisa kumiliki selamanya. Aku punya
firasat, bahwa
keindahan seperti saat ini akan pergi dariku,
cepat
atau lambat."
"Mengapa kau tak menikah saja, Tenda
Biru. Kau
akan memiliki kehangatan dan keindahan
seperti ini
jika kau menikah."
"Belum ada lelaki yang mampu meluluhkan
kekerasan hatiku, menyinari di bumi bagai
menaburkan suasana romantis kecuali kau,
Bocah
Sinting. Pendekar mana pun tak pernah ada
yang
mampu membuatku sebahagia ini. Seandainya
ada,
mungkin sudah sejak dulu aku menjadi seorang
istri."
"Kau harus berusaha melunakkan hatimu
sendiri
agar tidak menjadi kendala dalam perjalanan
cintamu
mendatang."
"Tidak bisa, Bocah Sinting. Pria yang
kuidam-
idamkan adalah pria sepertimu. Sedangkan di
dunia
ini, pria yang sepertimu tidak ada kecuali
kau
seorang, Bocah Sinting," ucap Tenda Biru
lirih, sambil
matanya memandangi wajah tampan Suto hingga
hembusan napasnya dari hidung terasa
menghangat
di sekujur wajah pemuda itu.
Akhirnya pemuda itu pun memandang Tenda Biru
dengan lembut. Tutur katanya pun bernada
bisik,
seakan terlontar dari getaran hatinya yang
berbunga-
bunga.
"Kau akan menjadi seorang istri yang
membuat
suami betah tinggal di rumah, Tenda
Biru."
"Kenapa begitu?"
"Kau tidak membosankan. Kecantikanmu
selalu
segar dan membangkitkan gairah hidup."
"Yang mana yang hidup?" pancing
Tenda Biru
dalam candanya. la tersenyum nakal.
"Apakah
sekarang pun ada sesuatu yang hidup dalam dirimu,
Bocah Sinting?"
"Entahlah, aku tak memeriksanya."
"Bagaimana jika aku yang
memeriksanya?" sambil
tangan gadis itu mulai merayap nakal.
Pendekar
Mabuk sengaja membiarkan, sampai akhirnya
gadis
itu menemukan apa yang dicari dalam debar-debar
hatinya.
"Oh, benar apa katamu, Bocah Sinting.
Hangat
sekali."
"Apanya yang hangat?"
"Genggaman tanganmu di pundakku."
"Ada yang lebih hangat lagi, apakah kau
mau?"
"Berikanlah, Bocah Sinting. Berikan yang
lebih
hangat lagi," suara Tenda Biru mulai
mendesah
dengan tangan meremas sesuatu yang
mendebarkan
hati itu.
Suto pun memberikan yang lebih hangat. la
mendekatkan bibirnya ke bibir Tenda Biru,
kemudian
bibir itu dikecup pelan-pelan. Bibir itu
dipagut dengan
gerakan sangat pelan, dan ditarik lepas
dengan
gerakan lebih pelan lagi. Hati Tenda Biru berdesir.
Rohnya bagai melayang sampai ke ubun-ubun dan
kembali lagi dalam kelegaan yang dalam.
Mereka saling tatap kembali. Suto tersenyum
lembut, tapi mata Tenda Biru mulai sayu.
Bibirnya
yang ranum masih merekah, dan akhirnya ia
berkata
dalam bisikan.
"Lagi, Bocah Sinting.... Aku suka
kecupan
bibirmu...."
Maka pendekar tampan itu pun memagut bibir
ranum itu dengan pagutan sangat pelan. Kali
ini
pagutan itu dilakukan berulang-ulang,
sehingga
gairah Tenda Biru semakin terbakar. Akibatnya
bibir si
gadis melawan, memberikan reaksi balasan.
Maka
habislah bibir Suto Sinting dilumatnya.
Tangan kiri
Tenda Biru pun semakin meremas, tangan
kanannya
menelusup di balik baju Suto, merayapi dada
hingga
menelusup ke punggung, mencipta kehangatan
yang
semakin menggelora.
Kecupan Suto sempat lepas dari bibir Tenda
Biru,
namun kini kecupan itu merayap hingga ke
leher si
gadis. Pagutan-pagutan hangat menyerang
seluruh
leher Tenda Biru, sehingga kenikmatan yang
hadir
membuat Tenda Biru mengerang bersama desah
napas yang memburu.
"Oouh, Bocah Sinting... teruskan ke
bawah.
Teruskan ke bawah, Bocah Sinting.
Uuuh...."
Kecupan itu pun merayap sampai ke bawah
leher.
Tenda Biru menarik penutup dadanya hingga
dada itu
menjadi bebas tanpa hambatan. Kecupan Suto
akhirnya memasuki jalur bebas hambatan,
membuat
Tenda Biru memekik ditikam kenikmatan sambil
kedua tangannya yang sudah berpindah ke
punggung
Suto meremas kuat bagai menahan sebentuk
keindahan yang ingin meledak.
"Oohh... nikmat sekali, Bocah Sinting!
Aoow...!
Tanganmu nakal, Bocah Sinting... tapi... ooh,
tapi
teruskan kenakalan tanganmu itu. Ooh...
ambillah ini,
ambil... oh, yaah... yaah...."
Tenda Biru semakin melebar, memberi
kesempatan untuk tangan Suto agar semakin
nakal
dan semakin leluasa dalam kelincahannya.
Tenda
Biru kini berlutut supaya tangan Suto mudah
mencapai sasaran keindahannya. Pinggul pun
mulai
meliuk-liuk mengikuti irama kemesraan yang
ada di
antara jemari Suto. Sementara itu, mulut Suto
masih
berkeliaran di jalur bebas hambatan itu,
memagut-
magut dengan kehangatan yang membuat jiwa
Tenda
Biru bagai terbang ke langit-langit ketujuh.
Kemesraan itu tiba-tiba harus berhenti dan
mereka sembunyikan diri sesaat. Karena
mendadak
mereka mendengar suara Panji Klobot yang
memanggil dari kejauhan.
"Tenda Biru..! Sutoo...! Di mana
kalian?! Hoii...
Tenda Biru, Suto Sinting...! Menjawablah
kalian
sekalipun kalian sibuk! Di mana kalian,
sahabatku?!"
"Sial! Panji Klobot menuju kemari!"
bisik Tenda
Biru dengan nada dongkol sambil merapikan
pakaiannya.
"Cepat bersikaplah wajar-wajar
saja!"
"Iya, tapi tanganmu lepaskan
dulu!"
"Ooh... maaf, aku sampai lupa
melepaskannya..."
"Hi, hi. hi. hi...!" Tenda Biru
tertawa geli melihat
kegugupan Suto sampai lupa menarik tangannya.
Ketika Panji Klobot menemukan mereka berdua
keadaan mereka sudah lain. Mereka sama-sama
duduk bersila, berhadapan, pejamkan mata,
persis
orang sedang semadi. Panji Klobot tak berani
berseru
lagi ketika melihat mereka begitu.
"Ooh... kalian sedang lakukan semadi?
Aduh,
maaf... aku tak mengerti." Panji Klobot
mundur dua
langkah dengan rasa takut kena marah.
Pendekar Mabuk berlagak hembuskan napas, lalu
membuka mata, demikian pula dengan Tenda
Biru.
Mereka sama-sama memandang Panji Klobot.
"Ada apa, Panji?" tanya Suto sambil
berdiri. Panji
Klobot agak gugup karena takut kena marah.
"Maaf, aku tak tahu kalau kalian sedang
lakukan
semadi. Sumpah mampus tujuh kali, aku tak
sengaja
mengganggu semadi kalian."
"Tak apa. Semadi kami sudah
selesai."
"Hmmm.... Pestanya akan dimulai, tapi
mereka
menunggu kalian!"
"Baik, kami akan ke sana!" Mereka
pun bergegas
ke pondok untuk merayakan pesta kemenangan.
Dalam pesta kemenangan yang dimeriahkan
dengan puluhan jagung bakar itu, hadir pula
si Kapas
Mayat dan cucunya; Kelambu Petang.
Kehadiran si Tua Bangka membuat Suto Sinting
terkejut dan menjadi tegang setelah mendengar
kabar sakitnya sang Guru. Tanpa menunggu
pesta
kemenangan itu berakhir, Pendekar Mabuk
segera
mohon pamit kepada para tokoh tua dan para
gadis
cucu-cucu mereka itu.
"Sebaiknya kau berangkat besok pagi
saja, Suto.
Malam ini beristirahatlah dulu di sini,"
ujar Pematang
Hati, cucu dari si Kusir Hantu.
"Aku tidak bisa pejamkan mata jika
mendengar
Guru sedang sakit," kata Suto Sinting.
"Bagiku tak ada
waktu yang tak bisa ditangguhkan jika
kudengar Guru
sedang sakit, sekarang juga aku harus
berangkat ke
Jurang Lindu."
Tenda Biru segera menimpali, "Kalau
begitu kita
berangkat berdua sekarang juga, Suto. Aku
sudah
siap!"
"Tidak, Tenda Biru! Aku tak ingin
merepotkan
dirimu. Tetaplah tinggal di sini bersama
Kusir Hantu,
Pematang Hati, Mahligai Sukma serta Panji
Klobot."
"Tapi aku sudah berjanji ingin mengabdi
padamu
karena kau sudah berhasil pulihkan keadaanku,
Suto." Tenda Biru agak ngotot.
"Kau punya janji dengan mengajarkan
sejurus dua
jurus ilmu kepada Panji Klobot. Penuhi dulu
janjimu
kepada Panji Klobot, setelah itu jadilah
abdiku sesuai
keinginanmu!"
Tenda Biru tak bisa memaksa diri. Walau ia
merasa masih berhutang budi kepada Suto atas
keberhasilan Suto membebaskan dirinya dari
kutukan
Nyai Ronggeng Iblis itu, tetapi Tenda Biru
kali ini
terpaksa harus menangguhkan balas jasanya
untuk
sementara waktu.
la harus bisa menganggap dirinya tak pernah
dibebaskan dari kutukan ilmu hitamnya Nyai
Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam
episode: "Gadis Tanpa Raga").
Zlaap...! Dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan
cahaya itu, Pendekar Mabuk akhirnya
tinggalkan
Lembah Seram dan segera menuju ke Jurang
Lindu,
tempat kediaman Gila Tuak dalam mengasingkan
diri
dari kancah dunia persilatan itu. Gelap malam
ditembusnya, hutan lebat diterjangnya,
gerakan yang
begitu cepat seakan mampu menembus gunung
batu
dan menyeberangi jurang selebar dan sedalam
apa
pun. Gerakan cepat itu menunjukkan bahwa Suto
Sinting sangat mencemaskan keselamatan jiwa
sang
Guru yang sedang sakit.
Tiba di Jurang Lindu, ternyata hari sudah
menjadi
pagi, matahari sudah menggeliat bangkit dari
peraduannya. Tetapi dalam diri Suto tak ada
rasa
kantuk dan lelah sedikit pun. Pusat perhatian
dan
kecemasannya tertuju pada sakitnya sang Guru,
sehingga Suto Sinting langsung saja menerabas
curahan air terjun yang masih membawa uap
dingin
bagai gunung es yang mencair.
Zrraab...! Curahan air terjun itu ditembus
dengan
cepat, dan di balik curahan air terjun
berngarai cukup
tinggi itulah terdapat gua yang digunakan
sebagai
tempat kediaman si Gila Tuak dalam
pengasingannya.
"Ke mana saja kau?!"
"Bibi Guru...," Suto segera memberi
hormat
kepada
Bidadari Jalang. Setelah itu ia melepas
bumbung tuaknya yang ada di punggung.
"Susah payah aku mencarimu, tapi tak
pernah
kudengar kabarmu."
"Bibi Guru, aku baru saja menolong
melepaskan
kutukan yang menimpa diri seorang gadis,
murid
sahabat Guru sendiri..."
"Kau tolong orang lain tapi kau biarkan
kakek
gurumu terkapar tanpa daya begitu. Apakah itu
murid
yang baik dan berbudi luhur?!"
"Maaf, Bibi Guru...." Suto Sinting
agak takut
dimarahi Bidadari Jalang, bahkan memandang
wajah
Bidadari Jalang pun tak berani. la menunduk,
bermainkan tali bumbung tuaknya.
"Kakek Guru dalam keadaan koma."
"Apa artinya koma, Bibi Guru?"
"Nyawanya cekak!" jawab Bidadari
Jalang tanpa
senyum, tegas dan berkharisma tinggi.
"Beliau
menderita sakit sudah lama. Kau selalu
ditanyakan,
dan aku selalu gagal mencarimu."
Pendekar Mabuk segera mengangkat wajah,
memandang ke arah pembaringan. Di sana tampak
si
Gila Tuak dalam keadaan berbaring berselimut
tebal
dari kulit binatang. Wajahnya tampak cekung
dan
pucat pasi.
"Kakek...?!" Suto Sinting bergegas
hampiri
pembaringan itu. la segera berlutut dan
mencium kaki
si Gila Tuak.
"Kakek Guru, ampunilah aku. Aku tidak
tahu
kalau kau sakit, Kakek Guru. Kalau aku tahu,
tak
mungkin aku mengutamakan keselamatan si Tenda
Biru daripada keselamatanmu, Kakek!"
Sebutan 'Kakek' memang sudah sejak kecil
dilakukan oleh Suto terhadap Gila Tuak.
Karena
ketika
itu, Suto belum tahu bahwa orang
yang
menyelamatkan dirinya dan memungutnya itu
akan
menjadi guru dalam seluruh hidupnya.
Karenanya,
sampai sekarang Suto sering memanggil Gila
Tuak
dengan sebutan 'Kakek Guru' atau kadang
'Guru'
saja, atau juga kadang 'Kakek' saja. Sedangkan
kepada Bidadari Jalang yang dulu dianggap
sebagai
bibinya sampai sekarang dipanggilnya 'Bibi
Guru'.
Tiba-tiba lengan Suto digenggam seseorang.
Ternyata Bidadari Jalang yang menggenggam dan
menariknya agar berdiri jauhi pembaringan.
"Jangan ganggu dulu kakek gurumu itu.
Sudah
beberapa malam beberapa hari tak bisa tidur.
Sekarang biarkan beliau tidur dulu."
"Baik, Bibi Guru. Tapi bolehkah aku tahu
apa
penyebab sakitnya Kakek Guru ini?"
"Aku tak tahu. Yang jelas sudah kucoba
untuk
sembuhkan dia, tapi tak berhasil. Bahkan Tabib
Awan
Putih sudah kupanggil, lalu mencoba sembuhkan
dia,
tapi juga tak berhasil. Resi Wulung Gading
baru
kemarin datang dan mencoba salurkan hawa
saktinya, namun tak membuat kakek gurumu
sehat
kembali."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
pandangi wajah sang Guru yang sangat
menyedihkan
itu. Hati Suto Sinting seakan ingin meratap
dalam
tangis melihat Gila Tuak sepucat dan sekurus
itu.
Hatinya bagai diiris-iris memakai pedang
pemenggal
kepala, jantungnya nyeri bagai dicongkel-congkel
memakai ujung clurit. Dalam wajah dukanya,
Suto
pun akhirnya bicara dengan batinnya sendiri.
"Jika para tokoh sakti dan tabib berilmu
tinggi tak
mampu sembuhkan sakitnya Kakek Guru, apalagi
aku? Pasti sakitnya Kakek Guru ini bukan
sembarang
penyakit, sehingga tidak sembarang obat bisa
dipakai
untuk mengusir penyakitnya. Jangankan
mengusir
penyakit, menggertak penyakit pun belum tentu
bisa
dilakukan oleh sembarang obat. Tuakku sendiri
rasa-
rasanya tak akan bisa menolongnya."
Agaknya Bidadari Jalang dapat membaca jalan
pikiran Suto Sinting. Maka ia segera bicara
kepada
muridnya yang gagah perkasa itu dengan suara
berbisik pelan.
"Tak ada salahnya jika kau coba
sembuhkan
penyakit Kakek Guru dengan tuak saktimu
itu."
"Ah, Bibi Guru... mana mungkin tuakku
bisa
sembuhkan beliau?! Bukankah Resi Wulung
Gading
yang sakti itu pun tak mampu sembuhkan
beliau?"
"Coba saja, siapa tahu bisa."
"Aah...," Suto mendesah dengan hati
ciut.
Waktu itu, Gila Tuak segera terbatuk-batuk.
Ia
terbangun dari tidurnya. Batuk-batuknya itu
berkepanjangan sehingga dibantu bangun oleh
sang
murid.
"Uhuk, uhuk, uhuk.... hoeek...!"
Gila Tuak muntah.
Bidadari Jalang dan Suto Sinting tidak ikut
muntah,
namun justru terbelalak kaget melihat darah
kental
keluar
dari mulut si Gila Tuak. Darah itu berwarna
merah kehitam-hitaman.
"Celaka! Dia sudah memuntahkan darah
penjemput ajal!" ucap Bidadari Jalang
pelan sekali di
samping Suto Sinting. Pemuda berbaju coklat
tanpa
lengan dan celana putih kusam itu menjadi
semakin
tegang dan diliputi kecemasan sangat kuat.
"Kakek Guru, aku datang,
Kek...."
"Hmmm... masa bodoh," ujar Gila
Tuak tanpa
wibawa lagi. "Aku mau bobo
saza...." Lalu ia berbaring
kembali, seakan acuh tak acuh kepada
muridnya. Hal
itu membuat hati Pendekar Mabuk menjadi sedih
dan
wajahnya pun tampak sayu sekali.
"Jangan sakit hati, memang begitulah
sikap
kakekmu belakangan ini. Seperti anak
kecil," bujuk
Bidadari Jalang. "Berikan tuakmu
padanya. Minumkan
tuak ke mulutnya.'"
"Sia-sia saja, Bi...," gumam Suto
Sinting, walau
akhirnya ia mencoba meminumkan tuak ke mulut
sang Guru yang melongo itu.
Tetapi ketika tuak tertelan oleh sang Guru,
ternyata tuak itu justru membuat sang Guru
terbatuk-
batuk lagi,
"Uhuk, uhuk, uhuuuueeek...!"
Pyoook...!
Darah kental menghitam semakin banyak
dimuntahkan oleh si Gila Tuak. Napas tokoh
tua itu
semakin terengah-engah. Pendekar Mabuk dan
Bidadari Jalang bertambah tegang.
"Apa-apaan kau ini, hah?! Olang tua alit
malah di
suluh inum uak! Anti aku abuk, Olol!"
Gila Tuak mengomel dengan napas ngos-ngosan.
la menyeringai sambil pegangi dadanya sebagai
tanda bahwa dadanya terasa sakit sekali.
Pendekar
Mabuk tak bisa berkata apa pun kecuali meminta
maaf atas tindakannya tadi.
"Maafkan aku, Kakek Guru...."
Lalu ia berbisik kepada Bidadari Jalang. "Apa
kubilang tadi, Bi? Sia-sia saja pengobatan
menggunakan tuakku ini, bukan?!"
Bidadari Jalang hanya tarik napas
pertanda
sangat prihatin melihat kenyataan itu. Lalu,
ia berkata
dengan suara datar dan pelan.
"Setidaknya, sebagai murid kau sudah
mencoba
menolong sembuhkan Guru."
"Oh, Bibi Guru... lihat, Kakek Guru
telah tertidur
lagi?! Cepat sekali ia tertidur dengan
nyenyak,
sepertinya tak pedulikan kehadiranku di sini.
Atau...
mungkin Kakek Guru sudah tidak membutuhkan
kehadiranku lagi?"
"Jangan beranggapan seperti itu.
Besarlah
permaklumanmu untuk orang yang sakit dan
kembali
menjadi seperti anak kecil begitu, Suto."
Tiba-tiba seberkas bayangan melesat masuk
dari
pintu gua yang tertutup curahan air terjun
itu.
Slaaab...! Jleeg...! Sosok bayangan itu kini
menampakkan diri. Ternyata ia seorang lelaki
tua
berbadan kurus, mengenakan jubah kuning dan
celana biru. la mempunyai rambut putih
panjang
sepundak tanpa ikat kepala, seperti potongan
rambut
Suto Sinting.
"Uhuk, uhuk, ahak, ahak,
ohoooek...!" tokoh yang
baru datang itu langsung batuk dengan
berbagai
irama begitu menampakkan diri. Dari irama batuknya,
Suto Sinting dan Bidadari Jalang segera
mengenali
bahwa tamu yang berusia sekitar sembilan
puluh
tahun itu tak lain adalah tokoh aliran putih
yang
bernama Brajamusti alias Batuk Maragam.
"Selamat datang ke Jurang Lindu,
Brajamusti!"
sapa Bidadari Jalang dengan tegas dan
berwibawa.
"Kudengar si Gila Tuak sakit, uhuk,
uhuk, uhuk,
eheeek... cuih!"
Batuk Maragam terengah-engah bagaikan
kecapekan menyentakkan suara batuknya tadi.
la
melirik ke arah pembaringan, memandangi si
Gila
Tuak yang tetap tertidur bagai tak merasa
terganggu
oleh suara batuk tadi.
"Aku sendiri baru saja datang dan gagal
mengobatinya, Eyang Brajamusti," kata
Suto Sinting
yang memang sudah kenal dengan si Batuk
Maragam
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode:
"Peri Sendang Keramat").
"Eyang...? Sejak kapan kau panggil aku
Eyang.
Biasanya kalau panggil cuma Batuk Maragam,
Batuk
Maragam... eh, sekarang pakai Eyang
segala," gerutu
Batuk Maragam membuat Suto Sinting hanya bisa
tundukkan kepala, tak berani tersenyum atau
menimpali dengan kata-kata.
"Aku cuma mau coba obati sakitnya si
Gila Tuak!"
"Kuharap kau berhasil!" ujar
Bidadari Jalang.
Weeess...! Muncul lagi tokoh lain yang
datangnya
bagaikan angin, tahu-tahu muncul dalam bentuk
letupan asap, dan ketika asap sirna, tampak
sosok
tubuhnya yang gemuk, berpakaian kain kuning
pula
dengan corak pakaian seorang biksu. Tamu
gemuk itu
berkepala gundul, mengenakan kalung tasbih
putih
sebesar kelereng sepanjang perut. Tamu itu
mempunyai jenggot panjang, kumis dan brewok
warna putih uban merata.
"Selamat datang, Badranaya!" sapa
Bidadari
Jalang mewakili tuan rumah di situ.
"Selamat datang, Eyang Resi
Badranaya!" Suto
pun menyambutnya penuh hormat.
Tokoh itu ternyata adalah Resi Badranaya,
yang
mengasingkan diri di puncak Gunung Wakas,
gurunya
seorang pemuda sebaya Suto bernama Darah
Prabu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Gadis
Buronan").
"Tabib Awan Putih singgah ke tempatku
dan
mengabarkan sakitnya si Gila Tuak. Jika tak
ada yang
mampu sembuhkan, maka aku akan mencoba
menyembuhkannya dengan tasbih pusakaku
ini!"
seraya Resi Badranaya melepaskan kalung
tasbihnya
itu.
"Nanti dulu...!" cegah Batuk
Maragam. "Aku
datang lebih dulu, jadi kau boleh coba
sembuhkan
Gila Tuak jika aku gagal sembuhkan dia! Uhuk,
uhuk,
ohooeek...!"
"Hmm...! Kau sendiri tak bisa sembuhkan
penyakit bengekmu itu, mana mungkin bisa
sembuhkan sakitnya si Gila Tuak?"
"Jangan menghinaku, Badranaya. Nanti
kutampar
mulutmu!"
"Cobalah kalau kau mampu!"
"Hei, hei... kalian ke sini mau numpang
bertarung
apa mau coba sembuhkan saudaraku?!"
sergah
Bidadari Jalang melerai ketegangan di antara
kedua
tamunya itu.
Tiba-tiba terdengar suara Gila Tuak dalam
keadaan tetap tidur.
"Jangan berisik, ada orang sakit!"
Semua memandang kaget ke arah Gila Tuak.
"Dia bisa bicara lancar dan
jelas?!" bisik Bidadari
Jalang dengan wajah tegang. Mereka pun
mendekat,
tapi saling berkerut dahi setelah tahu bahwa
si Gila
Tuak ternyata sedang tertidur nyenyak. Lalu,
siapa
yang bicara tadi? Pikir mereka
-masing-masing.
"Apakah kau mendengar suaraku, Kakang
Gila
Tuak?" Resi Badranaya coba menyapa, tapi
tak ada
jawaban.
Beberapa saat kemudian, ketika semua orang
memandang mulut Gila Tuak yang terkatup
rapat,
mereka mendengar suara Gila Tuak bicara
tanpa
gerakan mulutnya. Suara itu bagai suara Gila
Tuak
dalam keadaan sehat, seperti biasa.
"Muridku, cepat pergi dan carilah 'Tuak
Dewata'
sebagai penyembuh sakitku. Hanya 'Tuak
Dewata'
yang bisa menyambung nyawaku nantinya. Tapi
jika
kau gagal dapatkan 'Tuak Dewata', maka aku
pun
akan kembali ke pangkuan Hyang Maha
Suci!"
Bidadari Jalang dan yang lainnya saling
pandang
penuh keheranan. Batin mereka saling berkata,
"Aneh
Gila Tuak bicara tanpa gerakan bibirnya dan tanpa
buka mulut sedikit pun?! Ilmu apa yang
dimilikinya!
Suaranya bisa terdengar nyata melalui gendang
telinga, bukan melalui batin."
Tiba-tiba sebuah suara segera terdengar di
belakang mereka. Rupanya ada seorang tamu
baru
yang datang tanpa permisi maupun tanpa
memberi
perlambang. Tamu itu juga seorang tokoh tua
berpakaian serba putih. Rambutnya putih
panjang
acak-acakan. Kulit dan wajahnya berwarna
pucat.
Kukunya panjang berwarna putih juga. Usia
tamu itu
sebaya dengan Resi Badranaya dan Batuk
Maragam,
yaitu sekitar sembilan puluh tahun.
Suto dan yang lainnya mengenali tamu yang
munculnya tak diketahui itu sebagai tokoh tua
yang
berjuluk Setan Merakyat, (Baca serial
Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tabib Darah
Tuak"). Tokoh
inilah yang memberikan ilmunya kepada Suto
Sinting
bernama ilmu atau jurus 'Pranasukma' yang
membuat
Suto Sinting dapat memindahkan benda atau
melemparkan musuh, atau pula menghancurkan
sesuatu dengan kekuatan batin, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Setan
Rawa
Bangkai").
Setan Merakyat tiba-tiba saja berkata,
"Roh
sejatinya si Sabawana telah bicara kepada
kita. Jadi
jangan heran jika mulut dan bibir Sabawana
tidak
bergerak namun kalian mendengar suara
aslinya,
karena yang bicara adalah roh sejati si
Sabawana
sendiri!"
"Bapa Guru Murdawira...?!" Suto
segera
menyambut dengan sebentuk hormat sederhana
namun cukup menyenangkan hati si Setan
Merakyat.
"Kebiasaanmu nyelonong masih saja kau
pelihara, Murdawira!" gerutu Batuk
Maragam, setelah
itu terbatuk-batuk sesaat.
"Sebenarnya aku tadi ingin memberi salam
kepada kalian. Tapi berhubung tiba-tiba
kudengar
suara roh sejatinya si Sabawana, jadi aku
diam dulu
sampai roh sejati itu selesai bicara."
Bidadari Jalang yang merasa tak asing lagi
dengan wajah si Setan Merakyat karena memang
sudah mengenal sejak dulu, kini segera dekati
sang
tamu yang baru datang itu.
"Kau dengar dia menyebutkan nama 'Tuak
Dewata' tadi?"
"Ya, aku dengar!" jawab Setan
Merakyat. "Tapi
jangan tanyakan di mana 'Tuak Dewata' itu berada,
aku sungguh tak tahu, Nawang Tresni. Berani
dipeluk
seribu janda bahenol, aku tetap tidak
tahu-menahu
tentang 'Tuak Dewata' itu."
"Aku sendiri tak tahu," ujar
Bidadari Jalang. "Tapi
barangkali Badranaya atau Brajamusti
mengetahui
tentang 'Tuak Dewata' itu."
Resi Badranaya menyahut, "Aku juga tidak
tahu.
Kalau aku tahu, sudah kubimbing Suto pergi ke
tempat di mana 'Tuak Dewata' itu
berada."
Batuk Maragam segera menimpali. "Aku,
sendiri
baru sekarang mendengar kata 'Tuak Dewata'.
Oh,
aku jadi malas mau mencoba-coba sembuhkan si
Gila
Tuak, karena sepertinya tak ada obat lain
yang bisa
sembuhkan sakitnya kecuali 'Tuak Dewata'
itu."
"Dan, murid angkatku itulah yang
diwajibkan
mencarinya," timpal Setan Merakyat
sambil berjalan
tertatih-tatih mendekati Suto Sinting.
"Tapi... tapi ke mana aku harus mencari
'Tuak
Dewata' itu, Bibi Guru?"
Bidadari Jalang tarik napas dalam-dalam,
kemudian mendekati pembaringan dan bertanya
kepada Gila Tuak yang masih tertidur.
"Dapatkah kau sebutkan nama tempat untuk
dapatkan Tuak Dewata' itu, Sabawana?!"
Ternyata pertanyaan itu tak mendapat jawaban
apa pun. Bahkan bunyi dengkurnya Gila Tuak
pun tak
ada. Bidadari Jalang menghempaskan napas lagi
sambil kembali dekati Suto Sinting.
"Aku sendiri baru sekarang mendengar dia
sebutkan nama 'Tuak Dewata' itu."
Setan Merakyat menimpali, "Kurasa ini
sebuah
tantangan bagi seorang murid sepertimu, Suto.
Kalau
kau bisa menolong orang lain dengan kesulitan
apa
pun, sekarang kau ditantang, mampukah kau
menolong gurumu dengan kesulitan seperti
ini?!"
"Kurasa ini bukan sekadar
tantangan," sahut Resi
Badranaya, "Tapi merupakan bencana bagi
Pendekar
Mabuk yang akan kehilangan guru utamanya jika
tak
dapat mencari 'Tuak Dewata' itu."
"Tenang saja," ujar si Batuk
Maragam. "Aku akan
membantumu berpikir memecahkan teka-teki ini,
Suto Sin... uhuk, uhuk, ehek, ehek, uhuuu,
hoaaaiak...!"
"Sssttt...! Berisik!" sentak Resi
Badranaya kepada
Batuk Maragam.
Yang dibentak bersungut-sungut, "Namanya
orang
batuk, ya berisik. Kalau yang tidak berisik
orang mati!"
Pendekar Mabuk, Bidadari Jalang, dan yang
lainnya akhirnya sama-sama termenung
memikirkan
tentang 'Tuak Dewata' itu. Pendekar Mabuk
mulai
merasa dihadapkan oleh tantangan yang seakan
melecehkan dirinya. Baru saja dia dibuat
pusing
mencari Bunga Kecubung Dadar untuk menolong
si
Gadis Tanpa Raga itu, sekarang dia harus
mencari
sesuatu yang tak diketahui tempatnya. Bahkan
tanggung jawabnya di dalam perkara ini lebih
besar
daripada mencari Bunga Kecubung Dadar.
"Benar kata Bapa Guru Murdawira, ini
sebuah
tantangan bagiku. Kalau biasanya aku berhasil
mencarikan sesuatu yang amat keramat untuk
menolong jiwa seseorang, sekarang aku
ditantang
untuk mencari sesuatu yang amat keramat untuk
selamatkan jiwa guruku sendiri. Aku
yakin, 'Tuak
Dewata' itu sesuatu yang amat keramat,
sampai-
sampai beberapa tokoh sakti di sini tidak
mengetahuinya," kata Suto membatin.
Lalu ia berkata kepada bibi gurunya,
"Bibi Guru,
apa pun yang terjadi, di mana pun letaknya,
aku tetap
akan mencari 'Tuak Dewata' itu! Akan kuhadapi
tantangan ini, untuk buktikan kepada mereka
bahwa
aku bukan saja bisa selamatkan jiwa orang
lain, tapi
juga bisa selamatkan jiwa guruku
sendiri!"
"Aku bangga dengan tekadmu!"
"Kapan-kapan kalau Bibi Guru sakit, aku
juga
akan berusaha selamatkan jiwa Bibi
Guru."
"Kau
menyumpahiku, Bocah nakal?!" Bidadari
Jalang segera menjewer telinga Suto Sinting.
Suto ketakutan. "Ampun, Bibi...
maksudku...
maksudku... aku pun punya rasa bakti dan
hormat
kepadamu, Bibi Guru!"
Tokoh tua yang lain hanya tersenyum-senyum
sambil palingkan wajah, seakan tak mau
melihat
pendekar sakti dimarahi gurunya.
"Berangkat dan cari sekarang juga 'Tuak
Dewata'
itu," perintah Bidadari Jalang dengan
tegas. "Jika kau
berhasil dapatkan 'Tuak Dewata', maka
pantaslah jika
kau mendapat gelar 'Murid Maha Sujud' dan jurus
'Candra Geni'-ku patut kuturunkan
padamu!"
"Mohon pamit sekarang juga, Bibi
Guru!" kata
Suto dengan tegas dan berapi-api. "Mohon
doa restu,
Bapa Guru Murdawira, Eyang Brajamusti, Eyang
Resi
Badranaya dan... aku pun mohon doa restu juga
kepadamu, Bibi Guru nan cantik jelita
pelumpuh hati
semua pria serta...."
"Cukup!" hardik Bidadari Jalang
dengan mata
melebar, membuat Suto Sinting sadar dengan
ucapannya yang telah berlebihan dan melantur
itu.
"Kau akan kehilangan kepala jika punya
kebiasaan melantur seperti itu!"
"Ampun, Bibi Guru...!"
*
* *
2
BARU saja keluar dari gua di balik curahan
air
terjun itu, tiba-tiba Pendekar Mabuk terpental
oleh
sebuah pukulan tenaga dalam jarak jauh yang
cukup
berbahaya. Gerakan Suto Sinting yang sedang
melayang menuju ke daratan itu bagaikan
dihempas
angin badai yang padat, punggungnya terasa
disodok
dengan sebatang pohon besar. Buuuhk...!
Sodokan
itu seperti ingin mematahkan tulang punggung
dan
menyumbat jalan pernapasan.
"Heegh...!" Suto Sinting tak bisa
berteriak ataupun
memekik kesakitan. Suaranya tertahan di
tenggorokan bersama napas yang sukar
dihembuskan. Tubuhnya, sendiri melayang cepat
dan
membentur pohon kering yang sudah tak berdaun
lagi
itu. Brruukk, kraakk...! Pohon itu hampir
patah total.
Bagian yang ditabrak tubuh Suto Sinting
menjadi
retak separo bagian. Ini menandakan betapa
kuatnya
tenaga dalam yang menghempaskan tubuh Suto
Sinting hingga pohon pun nyaris tumbang
seketika.
Pendekar Mabuk yang menyandang bumbung
tuaknya di punggung terpaksa jatuh tengkurap
dengan wajah mencium tanah dan tubuh
menggeliat
pelan sekali.
"Dadaku... ooh, dadaku bagaikan mau
jebol,
padahal yang terkena serangan adalah
punggungku!
Ouh, gila...! Tenaganya siapa ini yang
membuatku
sukar bernapas begini?! Jurus apa ini yang
membuat
jantungku bagai mau pecah rasanya!
Uuuhk...!"
Pendekar Mabuk mencoba untuk bangkit dengan
hati
menggerutu penuh kemarahan yang terpendam.
Dalam keadaan setengah merangkak, pandangan
matanya berhasil menangkap sesosok tubuh
kurus
berjubah hitam. Tepian kain jubah hitam itu
dilapisi
kain kuning emas yang sama dengan warna kain
celananya.
"Ouh...! Siapa orang itu? Aku baru
melihatnya kali
ini?!" pikir Suto Sinting sambil tetap
mencoba untuk
bangkit.
"Heh, heh, heh, heh...! Kusangka kau si
Gila Tuak,
tidak tahunya hanya bocah ingusan! Wah, tekor
kalau
begini caranya. Jurus 'Serap Getih'-ku
sia-sia kenai
tubuh bocah ingusan begini! Kalau tahu kau
masih
ingusan, lebih baik kutendang saja tadi biar
terjungkal
ke sungai itu, Nak!"
Orang tua itu tidak menyerang Suto Sinting
lagi. la
hanya memandangi sambil geleng-geleng kepala
dengan cengar-cengir bersikap meremehkan
Suto.
Sementara itu, Suto Sinting berusaha meraih
bumbung tuaknya, lalu menenggaknya beberapa
teguk dalam keadaan satu kaki berlutut. Orang
berkumis dan berjenggot abu-abu itu membiarkan
Suto Sinting menenggak tuak, sepertinya dia
tak tahu
kehebatan tuak dari bumbung bambu itu yang
mampu sembuhkan luka dan hilangkan rasa sakit
dalam waktu sangat singkat.
Setelah menenggak tuaknya, badan Suto menjadi
enteng dan terasa segar. Rasa sakit di dada
dan
punggung berangsur-angsur hilang, ia berdiri
memandangi lelaki tua berusia sekitar delapan
puluh
tahun. Lelaki itu berambut sepundak warna
abu-abu,
tapi kepala bagian depannya botak licin.
Tubuhnya
yang kurus itu di sangga dengan tongkat hitam
berkepala kobra kembar. Dilihat dari
tampangnya
yang menyeringai, ia tampil sebagai tokoh
yang tidak
mementingkan wibawa dan suka meremehkan orang
lain.
"Mengapa kau menyerangku. Pak Tua?!
Siapa kau
sebenarnya?" tegur Pendekar Mabuk dengan
mata
menatap penuh waspada.
"Kusangka kau si Gila Tuak, sebab kau
membawa
bumbung tuak. Kalau saja kau si Gila Tuak,
maka
saat ini juga nyawamu akan kucabut! Untung
saja kau
bukan si Gila Tuak."
Hati pemuda tampan berdada kekar dan bidang
itu menjadi panas mendengar ucapan tokoh
beralis
tipis itu. Namun rasa panasnya hati masih
bisa
disembunyikan, sehingga Suto Sinting
kelihatan tetap
tenang menghadapi orang setua itu.
"Yang kutanyakan tadi, siapa dirimu, Pak
Tua?!
"Kau pasti orang baru di rimba
persilatan,
sehingga tidak mengenali ciri-ciriku
ini!" ujar si jubah
hitam. "Ketahuilah, Nak... aku inilah
yang bernama
Pendeta Amor alias Anti Modar. Aku berasal
dari Selat
Darah, sengaja datang kemari karena mendengar
si
sombong Gila Tuak dalam keadaan sakit
parah."
"Apa maksudmu datang kemari?"
"O, jelas mau membunuh si Gila Tuak. He,
he,
he...! Mumpung dia sakit, aku harus segera
membunuhnya. Bukan saja karena aku menyimpan
dendam kepada si Gila Tuak, karena dia telah
menewaskan kakakku pada masa empat puluh lima
tahun yang lalu, tapi juga karena menggunakan
aji
mumpung! He, he, he, he...." Orang itu
tertawa sambil
garuk-garuk kepala. Sikapnya sangat memuakkan
bagi Suto Sinting, namun untuk sementara ini
Suto
hanya bisa menahan rasa muak dan membiarkan
Pendeta Amor berceloteh lagi.
"Aji mumpung itu maksudku, mumpung Gila
Tuak
sakit parah, berarti kekuatan saktinya
berkurang.
Kalau aku berhasil membunuhnya, maka namaku
akan berada di urutan teratas dalam daftar
nama-
nama tokoh sakti di rimba persilatan. Berarti
aku
menggantikan kedudukan si Gila Tuak. Itu yang
dinamakan siasat jitu dari orang berotak
cerdas
sepertiku ini, Anak muda. Heh, heh, heh,
hiiieeh...!"
tawanya semakin memerahkan telinga Suto
Sinting.
"Pendeta Amor, ketahuilah, biarpun Gila
Tuak
dalam keadaan sakit, kau tetap tak mungkin
bisa
membunuhnya. Jangankan membunuhnya,
menjamahnya pun tak mungkin bisa!"
"Lho, kenapa begitu?"
"Karena muridnya tak akan izinkan siapa
pun
mendekati Gila Tuak dengan maksud jahat
seperti
maksudmu!"
"O, jadi Gila Tuak itu punya murid toh?
Lha, kok
aku baru tahu sekarang, ya? Heh, heh.
heh...!" ia
garuk-garuk kepala lagi. "Kalau begitu
selama ini aku
sudah terlalu lama mengasingkan diri
mempertinggi
ilmu dan cukup lama juga mempelajari jurus
sakti
dari kitab pusaka peninggalan moyangku. Wah,
wah,
wah.... Kurang ajar juga si Gila Tuak, sudah
berani
punya murid
segala. Hmmm... ngomong-ngomong,
siapa muridnya si Gila Tuak itu, Nak? Kalau
perlu
kuhabisi juga nyawa si murid itu!"
"Kalau kau ingin tahu siapa muridnya si
Gila Tuak,
akulah muridnya si Gila Tuak!" sambil
Suto menepuk
dada dengan geram sendiri.
Pendeta Amor terkejut. "Lho, jadi kau sendiri
yang
diangkat sebagai murid si Gila Tuak?! Ah,
mana
mungkin...?!" Pendeta Amor mencibir.
"Murid Gila
Tuak tidak akan setangguh itu. Kau tadi telah
menerima jurus 'Serap Getih'-ku. Jika kau
muridnya si
Gila Tuak, pasti tubuhmu akan segera menjadi
hangus dan darahmu kering, lalu kau modar!
Tapi
karena kau sekarang masih hidup dan
bahkan
tampak segar, maka aku tak yakin bahwa kau
adalah
murid si Gila Tuak!"
"Terserah pendapatmu, Pendeta Amor! Tapi
kusarankan padamu, sebaiknya pulanglah ke
Selat
Darah dan batalkan niatmu untuk menggantikan
kedudukan si Gila Tuak sebagai tokoh
tertinggi di
rimba
persilatan ini! Usahamu akan sia-sia, bahkan
bisa jadi akan membuat nyawamu melayang di
tangan murid si Gila Tuak ini!"
Buukk...! Suto Sinting menepuk dadanya lagi.
Tetapi tepukan dada dan saran itu justru
ditertawakan oleh Pendeta Amor. Tawanya
jelas-jelas
tawa yang meremehkan kesaktian Suto Sinting.
"Heh, heh, heh, hiieh...! Bocah kemarin
sore kok
mau coba-coba menggertakku. Apakah kau pikir
aku
langsung mengkerut dan merasa takut...?
Ooo... sama
sekali tidak, Anak muda! Sama sekali tidak!
Itu mimpi
namanya."
Pendeta Amor maju dua tindak, kini jaraknya
dengan Pendekar Mabuk hanya lima langkah.
Pandangan mata si Pendeta Amor tampak
menyepelekan sekali orang yang dihadapinya,
seakan
sangat melecehkan usia muda yang dimiliki
Pendekar
Mabuk itu. Bahkan dengan jumawanya ia berkata
kepada Suto.
"Gila Tuak sebetulnya tidak punya nyali.
Ilmunya
tidak seberapa tinggi. Tapi ia punya
keberuntungan
besar dalam hidupnya. Keberuntungan itulah
yang
membuat Giia Tuak kelihatannya sakti, selalu
unggul
dalam pertarungan, dan selalu terhindar
bahaya yang
datang.
Padahal jika keberuntungannya itu sudah
tidak ada, maka ilmu yang dimiliki Gila Tuak
itu belum
ada sekuku hitamnya dengan ilmu yang
kumiliki,
Nak!"
"Hentikan celotehmu, Pendeta Amor!"
sergah
Pendekar Mabuk dengan suara makin tegas,
menandakan
hatinya semakin panas mendengar
ocehan tokoh tua bermata kecil itu.
"Anak muda, kau seorang pemuda yang
tampan,
gagah, tubuhmu kekar, gerakanmu tadi
kulihat
sepintas cukup lincah. Kutawarkan jika kau
mau
menjadi muridku, aku tak keberatan menerimamu
dan menurunkan semua ilmuku padamu. Aku
senang
punya murid segagah dan sekekar dirimu, Anak
muda!"
Karena dongkolnya mendengar celoteh si
Pendeta Amor akhirnya Pendekar Mabuk sengaja
berkata dengan nada sombong, walau hati
kecilnya
menentang kesombongan itu.
"Jika kau bermaksud menjadi guruku,
mampukah
kau mengalahkan diriku, Pak Tua?!"
"Wweeeh..., heh, heh, heh, heh!
Kecil-kecil kok
nantang orang tua kau ini!"
"Untuk memberi pelajaran mulut tuamu
yang
angkuh itu, rasa-rasanya aku perlu bersikap sedikit
kurang ajar padamu, Pendeta Amor!"
"Jadi...," Pendeta Amor
manggut-manggut sambil
berjalan ke samping, lalu kembali lagi ke
tempat
semula,
"... jadi kau ingin menguji kemampuan
ilmuku?! Kau ingin tahu seberapa tingginya
ilmuku
dan kehebatan jurus-jurusku?!"
"Dengan sangat terpaksa, kutantang
kehebatan
mu, Pendeta Amor! Jika kau bisa tumbangkan
diriku
kau boleh menjamah guruku yang sedang sakit
itu!"
"Weeh..., celaka ini anak! Mau cari
mampus apa
cari penyakit kau ini, Nak?!"
Pendeta Amor hentikan langkah menghadap ke
arah Suto, sementara Suto Sinting sendiri
sudah siap
hadapi serangan lawan walau hanya dengan
berdiri
tegak, dada membusung, kaki merenggang
sedikit
dan bumbung tuak tergenggam di tangan
kanannya.
"Kita main-main saja dulu," kata
Pendeta Amor.
"Bagaimana kalau kau menerima jurus
'Tongkat
Gempa' ku ini, Nak?!"
Tiba-tiba tongkat yang bagian atasnya berhias
dua
kepala ular kobra itu disentakkan ke bumi.
Duuhk...!
Sentakan tongkat itu cukup pelan. Tetapi
akibatnya
sungguh mengejutkan Pendekar Mabuk.
Duuurr...! Tanah bergetar, lalu dari tempat
tongkat
disentakkan ke bumi itu membentuk celah
lebar.
Tanah, itu retak ke samping kanan kiri, dan
garis
retaknya
melewati pertengahan kaki Suto Sinting.
Makin lama gerakan tanah itu semakin melebar
sehingga Suto Sinting pun semakin merentangkan
kakinya.
Zrraakkk...!
Tanah yang retak menjadi dua bagian, kiri dan
kanan. Jaraknya menjadi semakin lebar. Tetapi
kaki
Suto Sinting tetap menapak pada kedua bagian tanah
yang retak itu. Makin lama kerenggangan kaki
Suto
pun makin lebar, sampai akhirnya ketika
gerakan
tanah retak itu berhenti, keadaan Suto Sinting
menjadi rendah, karena kedua kakinya
merentang
lebar hingga pantatnya sejajar dengan
permukaan
tanah kanan-kirinya.
Tubuh pemuda itu justru bergerak lamban
menyamping. Kini tangan kirinya mengeras
dengan
telunjuk tegak. Tangan itu tiba-tiba
menyentak ke
bawah. Suuttt...!
Jurus "Dewatakara' pemberian Payung
Serambi
segera digunakan Pendekar Mabuk. Jurus itu
mempunyai kunci pada napas. Dengan menahan
napas, timbulkan daya cipta, maka apa yang
diciptakan dalam batin akan menjadi
kenyataan. Dan
pada saat itu, batin Suto menciptakan satu
kekuatan
dahsyat mengalir pada kedua kakinya. Kekuatan
dahsyat itu menarik tanah yang retak,
sehingga pelan-
pelan tanah yang telah terpisah itu bergerak
menyatu
lagi, sampai akhirnya menjadi rapat kembali,
dan
kerenggangan kaki Suto Sinting menjadi
seperti
semula.
Duurrr...!
Getaran tanah yang merapat kembali dapat
dirasakan sampai ke dalam gua tempat kediaman
Gila Tuak. Getaran itu memancing perhatikan
para
tokoh tingkat tinggi yang masih bicara dengan
Bidadari Jalang di dalam gua. Akibatnya, rasa
ingin
tahu mereka mendorong mereka untuk melesat
keluar dari gua tersebut.
Sementara itu, Pendeta Amor menjadi
terbengong
dengan mata lebar dan mulut melompong, la tak
menyangka sama sekali kalau anak muda itu
ternyata
mampu imbangi kekuatan jurus 'Tongkat
Gempa'-nya.
Tanah yang semula retak, kini rapat kembali
dan
tidak ada tanda-tanda bekas keretakan sedikit
pun.
"Edan kau, Nak!" geram Pendeta Amor
masih
dengan mata terbelalak kagum. Tapi hati sang
pendeta masih merasa penasaran dan ingin
membuat anak muda itu menjadi tunduk serta
mengakui kehebatan ilmunya.
"Jangan bangga dulu, Nak!" ujarnya
setelah
melihat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
tipis,
sebagai senyum kemenangan.
"Kau boleh bangga jika dapat kalahkan
jurus
'Kobra Gancet'-ku ini!"
Wuuutt...! Tongkat hitam itu dilemparkan ke
arah
Suto. Mendadak tongkat itu berubah menjadi
seekor
ular kobra berkepala dua. Ular tersebut
tampak ganas
dan liar. Gerakannya begitu cepat saat ingin
mematuk
kepala Suto Sinting.
Wuuttt...! Suto Sinting tiba-tiba sudah
berada
diatas pohon hanya dengan satu sentakan napas
perut cukup pelan.
"Dia menggunakan ilmu sihirnya!"
pikir Suto saat
itu. Namun sebelum ia bertindak lebih jauh,
dengan
terpaksa ia harus gunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya
untuk pindah ke tempat lain, sebab ular kobra
berkepala dua itu ternyata mengejarnya
bagaikan
terbang dengan ganas ke atas pohon.
Zlaappp...!
Ular kobra berkepala dua itu menabrak dahan
yang tadi dipakai berpijak kaki Pendekar
Mabuk.
Crrook...!
Pohon itu langsung kering karena dipatuk
kedua
kepala ular kobra gancet itu. Sedangkan Suto
Sinting
sudah ada di tempat lain, di atas sebuah batu
tepi
sungai.
Pendeta Amor sempat clingak-clinguk mencari
Suto Sinting. Begitu matanya memandang ke
arah
Suto Sinting, ular kobra berkepala dua itu
segera
melesat terbang dengan cepat memburu Suto
Sinting.
Weeeesss...!
Kali ini Pendekar Mabuk tidak menghindar,
karena ia
punya kesempatan untuk menyerang.
Bumbung tuaknya segera dikibaskan dari bawah
ke
atas pada saat dua kepala ular kobra itu
mendekatinya. Weees...! Prrook...!
Pendeta Amor tidak tahu kalau bumbung tuak
itu
mempunyai kesaktian tersendiri. Hanya sekali
kibas,
dua kepala ular kobra gancet itu hancur
tak
berbentuk lagi. Tinggal bagian badannya yang
bercucuran darah menjijikkan.
"Celaka!" geram Pendeta Amor dengan
mata kian
membelalak bagai mau copot dari rongganya.
Mata
itu mengikuti jatuhnya badan ular yang
terbanting ke
tanah. Ploook...!
Zluub...! Tiba-tiba badan ular itu berubah
menjadi
tongkat kembali dengan hiasan dua kepala ular
kobra. Tapi kali ini tongkat itu naik sendiri
dan
mengambang diam di udara.
Posisi tongkat yang menghadap ke arah Suto
Sinting, membuat hati Suto mulai menangkap adanya
firasat buruk yang akan ditimbulkan dari
tongkat itu.
Ternyata tongkat tersebut tiba-tiba menyala
memancarkan sinar merah bara. Dari kepala
tongkat
itu melesat jarum-jarum merah bara menuju ke
dada
Pendekar Mabuk. Srrraap...!
Pendekar Mabuk sudah tak begitu kaget lagi
menghadapi puluhan jarum yang menyala merah
bagaikan percikan bunga api itu. Namun di
sisi lain,
Datuk Maragam yang berdiri menyaksikan
pertarungn
itu bersama Bidadari Jalang, Resi Badranaya
dan
Setan Merakyat, segera mengangkat tangannya
untuk
menghantam tongkat milik Pendeta Amor itu.
"Keparat si Pendeta Selat Darah itu! Dia
pergunakan jurus berbahaya untuk melawan
bocah
semuda Suto! Kuhancurkan tongkat itu biar
hancur
pula kedua biji matanya!" geram Batuk
Maragaram.
Tetapi tiba-tiba tangannya yang terangkat
ditahan
oleh Bidadari Jalang.
"Biarkan muridku menghadapinya!"
"Tapi itu berbahaya bagi Suto! Uhuk,
uhuk, ehek,
ihiik...!"
"Muridku pasti bisa mengatasi bahaya
itu!" ujar
Bidadari Jalang penuh percaya diri terhadap
kemampuan Suto Sinting.
Resi Bradanaya menggerutu sambil melirik
Batuk
Maragam, "Sudah tua 'mbok ya' yang
tenang, jangan
banyak tingkah!"
Batuk Maragam akhirnya tak jadi ikut campur,
karena ia melihat Suto
Sinting melepaskan jurus
'Pukulan Guntur Perkasa' pemberian Bidadari
Jalang.
Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau dari
tangan kiri
Suto dan sinar itu menerjang jarum-jarum
merah bara
hingga akibatnya terjadilah ledakan yang
cukup
dahsyat dan mengguncangkan alam sekitarnya.
Claaap....! Blegeeerrr...!
Tongkat merah itu terpental, diikuti oleh
pandangan mata Pendeta Amor. Gerakan tongkat
itu
terhenti seketika sebelum jatuh menyentuh tanah.
Lalu tongkat itu berdiri tegak, makin lama
semakin
tinggi, akhirnya mengepulkan asap tebal yang
menyelubungi tongkat tersebut. Buuusss...!
Tiba-tiba wujud tongkat itu sirna dan
berganti
sesosok tubuh besar bermulut lebar dengan
mata
sebesar tatakan gelas. Tongkat itu berubah
menjadi
raksasa yang menyeramkan, dengan taring
panjang
dan runcing serta kuku-kuku tangannya seperti
mata
pisau yang sangat tajam.
"Ggrrr...!" raksasa berambut gimbal
itu
menggeram menggetarkan dedaunan di
sekelilingnya. Tingginya hampir tiga kali
lipat tinggi
tubuh Suto Sinting. Badannya gemuk dan
berkulit
tebal bagai kulit buaya.
"Heh, heh, heh, heh...! Lawanlah dia dan
tumbangkan dia kalau memang kau murid si Gila
Tuak keparat itu!" seru Pendeta Amor
yang membuat
Bidadari Jalang dan lainnya mengerti bahwa
Suto
sedang melawan orang yang memusuhi Gila Tuak.
Tapi Bidadari Jalang dan yang lainnya tetap
diam
sebagai penonton yang berdiri agak jauh di
belakang
Pendeta Amor.
Suto Sinting sengaja dibiarkan menghadapi
raksasa berwajah mirip segumpal batu cadas
itu.
Para tokoh tingkat tinggi merasa kagum
melihat
ketenangan Suto dalam menghadapi raksasa
jelmaan
tongkat tadi.
Rupanya Suto Sinting tahu, bahwa ia
harus berhadapan dengan kekuatan sihir si
Pendeta
Amor dari Selat Darah.
Maka, untuk yang kedua kalinya Pendekar Mabuk
gunakan ilmu 'Dewatakara' dengan menahan
napas
dan mencipta dalam batinnya. Bumbung tuaknya
dilemparkan ke depan. Wuuss...! Bumbung itu
jatuh
dalam keadaan berdiri. Plek...!
Kekuatan batin dari ilmu 'Dewatakara' membuat
bumbung tuak itu tiba-tiba berubah menjadi
tinggi
bagaikan tiang bendera. Tingginya melebihi
tinggi
raksasa jelmaan tongkat si Pendeta Amor.
Tiba-tiba raksasa itu menerkam bambu tinggi
tersebut dengan suaranya yang menggeram
menyeramkan.
"Ggrrraaaow...!"
Bambu tinggi tiba-tiba berasap tebal. Raksasa
jelmaan tongkat bergelut dengan asap tebal
itu
hingga tubuhnya terbungkus asap dan tak dapat
dilihat. Tetapi suaranya terdengar mengerang-
ngerang dan meraung-raung dengan menimbulkan
getaran pada ranting dan daun di sekitarnya.
Pendeta Amor kebingungan tak bisa melihat
raksasa ciptaannya. Tetapi tahu-tahu
terdengar
kraaakk...!
Dan sesuatu keluar dari gumpalan asap tinggi
itu
Wuuutt...! Brrruk...!
"Hahh...?!" Pendeta Amor
terpekik dan terlonjak
mundur dengan mata mendelik. Benda yang jatuh
dari keluar dari gumpalan asap itu tak lain
adalah
kepala raksasa berwajah mirip batu cadas
tadi.
"Celaka! Asap apa itu, sehingga bisa
mematahkan
kepala si Brojong Boros?.'" ujarnya
dengan suara
menggumam penuh keheranan.
Wuuut...! Bluukkk...!
Sesuatu terlempar lagi dari gumpalan asap
tebal
itu. Ternyata tangan raksasa yang berkuku
seperti
mata pisau itu.
Wuuutt...! Bluukk...!
Wees...! Brruukk...! Plook...! Bluuk...!
Bluuummm!
Raksasa itu terpotong-potong menjadi beberapa
bagian. Semua bagian tubuh yang mengucurkan
darah hitam itu jatuh di depan Pendeta Amor,
membuat tokoh dari Selat Darah itu
terbengong-
bengong tanpa bisa bergerak dan berucap
sepatah
kata pun.
Wuuusss...! Angin kencang datang. Asap tebal
yang tinggi itu pun lenyap. Kini tampaklah
sosok
tubuh yang tadi terbungkus asap tebal itu.
"Edaaan...!!" Pendeta Amor terpekik
keras,
matanya melotot bagai mau copot. Karena sosok
yang terbungkus asap dan mematah-matahkan
raksasanya itu adalah wujud manusia tinggi-besar
yang menyerupai Pendeta Amor sendiri.
Rupanya cipta batin Suto Sinting tadi telah
membentuk tiruan wajah dan potongan tubuh
Pendeta Amor dalam bentuk raksasa yang
tingginya
melebihi raksasa jelmaan tongkat tadi. Kini
raksasa
yang seperti saudara kembarnya Pendeta Amor
memandang dengan mata lebar ke arah Pendeta
Amor sendiri. Kakinya diangkat dan menginjak
kepala
Pendeta Amor.
"Hahh...?! Haaaah...?!" Pendeta
Amor ketakutan.
Ujung jarinya segera keluarkan sinar biru
lurus
yang menghantam telapak kaki raksasa tersebut.
Claaap...!
Blegaarrr...!
Raksasa yang menyerupai dirinya meledak
bersama munculnya gumpalan asap tebal lagi. Asap
itu hilang dan raksasa itu berubah menjadi
bumbung
tuak seperti semula. Pendekar Mabuk segera
menyambut bumbung tuak itu. Wuuutt...! Lalu
berdiri
sambil tersenyum pandangi Pendeta Amor.
Sementara potongan anggota tubuh raksasa
ciptaan
Pendeta Amor berubah menjadi potongan tongkat
kayu tanpa arti lagi.
"Keparat kau, Nak!" geram Pendeta
Amor.,
"Rupanya kau benar-benar tak takut mati
demi
membela guru mu, si Gila Tuak
itu?!"
"Sekali lagi kuingatkan padamu, Pendeta
Amor...
urungkan niatmu ingin membunuh guruku dan
menggantikan kedudukannya sebagai tokoh
tertinggi
di rimba persilatan! Jika kau tak mau segera
pulang
ke Selat Darah, kali ini aku tak mau
main-main
denganmu, kau akan kehilangan nyawa dalam
satu
gebrakan! Karena aku tak punya waktu lebih
banyak
lagi. Aku harus segera mencari 'Tuak Dewata'
untuk
mengobati sakit guruku!"
"Bocah goblok!" sentak Pendeta
Amor. "Yang
namanya 'Tuak Dewata' itu tidak ada! Kau
hanya bisa
dapatkan 'Tuak Dewata' kalau kau bisa menembus
alam kayangan dan bertemu dengan para dewa
asli!
Tapi untuk mengirimmu ke kayangan, lebih dulu
aku
harus mengirimkan nyawamu ke
neraka!"
Pendeta Amor segera memainkan jurusnya
dengan merentangkan kedua tangan dan
mengangkat kaki kirinya hingga lutut kiri
hampir
menyentuh perut. Pendekar Mabuk masih diam
dengan sikap siaga. Bumbung tuaknya digenggam
dengan
tangan kanan yang sewaktu-waktu
dapat
dipergunakan sebagai senjata menghadapi
lawannya.
Sedangkan
kedua telapak tangan Pendeta Amor
sudah mulai memancarkan warna biru pijar.
Tetapi tiba-tiba Setan Merakyat bergerak
bagai
menghilang dari tempatnya. Tahu-tahu dia
sudah
berada di samping Pendeta Amor dalam jarak
dua
langkah. Setan Merakyat segera perdengarkan
suaranya pada saat Pendeta Amor serukan pekik
pertarungannya.
"Hiaaahh...!"
"Kau ini mau apa, Pendeta edan?! Mau
melawan
anak muda itu?! Ooh... seperti si cebol ingin
menghancurkan rembulan saja kau
ini!"
Gerakan dan suara Pendeta Amorterhenti
seketika. Wajahnya berpaling memandang ke
arah
Setan Merakyat, matanya terbuka bagaikan
terkejut
melihat kemunculan tokoh serba putih itu.
"Kkau... kau ada di sini, Setan
Merakyat?!"
"Kami menengok sahabat yang
sakit!"
"Kami...?! Maksudmu, kami siapa
saja?!"
Wuuut...! Buuus...! Jleeeg...!
Pendeta
Amor semakin terkejut begitu
melihat
beberapa wajah muncul di depannya; Batuk
Maragam, Resi Badranaya dan Bidadari Jalang.
Kontan kaki yang terangkat tadi diturunkan,
tangan
yang terentang pun diturunkan. Nyala
pijar biru di
kedua
telapak tangan itu menjadi padam
seketika.
Pendeta Amor merasa telah dikurung oleh
tokoh-
tokoh tua yang usianya lebih tinggi darinya.
"Kau tak akan mampu mengalahkan muridku,
Pendeta Anti Modar!" ujar Bidadari
Jalang dengan
nada tegas dan berwibawa.
"Maksudmu... maksudmu anak ingusan itu
murid
mu? Lho, dia tadi mengaku muridnya Gila
Tuak!"
"Sama saja! Yang mengalir dalam dirinya
adalah
iImuku dan ilmunya Gila Tuak! Jika kau dari
dulu tak
pernah berhasil mengalahkan diriku dan Gila
Tuak,
apalagi sekarang kau ingin mengalahkan Suto,
murid
kami itu, hmmm...! Kuanggap kau sedang
bermimpi di
siang bolong, Pendeta Amor!"
"Kau punya niat menggantikan kedudukan
Gila
Tuak?! Oh, kalau begitu kau patut dihajar,
Pendeta
sesat!"
Ploook...!
Sebuah tamparan dari tangan Batuk Maragam
melayang ke wajah Pendeta Amor. Tamparan itu
memercikkan cahaya merah api saat kenai pipi
si
Pendeta Amor. Kontan tokoh dari Selat Darah
itu
jatuh terpelanting dan wajahnya menjadi hitam
separo bagian.
"Kaa... kalian... kalian mengeroyokku!
Kalian tidak
adil! Tidak ada yang berani melawanku secara
ksatria!" ucap Pendeta Amor dengan suara
tertahan
karena memendam rasa sakit di bagian
wajahnya.
Resi Badranaya berkata, "Jadi kau ingin
bertarung
secara ksatria?! Hmmm... demi seorang sahabat
yang
sedang sakit dan ingin kau bunuh, baiklah...
aku akan
turun sebagai ksatria tandinganmu! Bangun dan
hadapilah aku secara jantan, Amoroso Kumbaya!"
Mendengar nama aslinya disebutkan Resi
Badranaya, Pendeta Amor segera berdiri dan
memicingkah mata sebagai tanda
bermusuhan
dengan Resi Badranaya. Giginya menggeletuk,
kedua
tangannya menggenggam kuat-kuat. Lalu,
suaranya
terdengar bernada geram.
"Tunggu saatnya tiba,
Badranaya!"
Wuuutt...! Blaaass...!
Tubuh kurus berjubah hitam itu melesat ke
atas,
hinggap di dahan pohon, kemudian melesat
pergi
dengan cepatnya. Hembusan angin gerakan
kepergiannya itu membuat beberapa daun
berguguran bagai diterjang angin kencang.
Pendekar Mabuk ingin mengejarnya, tapi
Bidadari
Jalang segera berseru melarangnya.
"Biarkan pergi...!!"
Pendekar Mabuk tak berani melanggar seruan
bibi gurunya itu. Sementara itu, Setan
Merakyat
hanya pandangi kepergian Pendeta Amor dengan
tawa pelan bagai orang menggumam, lalu
suaranya
pun terdengar entah bicara kepada siapa.
"Dia pikir kita-kita orang ini sudah
pada mati apa?
Kok mau menggantikan kedudukan si Gila Tuak?!
Dasar pendeta kebanyakan ubi!"
"Kau tadi terlalu berlebihan,
Brajamusti!" tegur
Resi Badranaya. "Seharusnya kau tak
perlu
pergunakan 'Tamparan Geledek'-mu. Cukup
dengan
gertakan kita saja dia akan lagi
terbirit-birit!"
"Aku jengkel sekali melihat lagaknya
yang selalu
merasa paling sakti dan... uhuk, uhuk,
uhiiik, ihik,
ahak, uhuk, ehek... huuaaak...!"
"Sudah, sudah... jangan bicara,"
ujar Setan
Merakyat, "Nanti tenggorokanmu mengkerut
jadi
sebesar lidi!" _
Ketiga tokoh sakti akhirnya memusatkan
perhatian kepada Pendekar Mabuk, karena
mereka
mendengar Bidadari Jalang berkata kepada
muridnya,
"Ilmu apa yang kau pakai tadi,
hah?!"
"Hmmm... anu, Bibi Guru... ilmu itu
bernama ilmu
'Dewatakara' dan..."
"Siapa yang memberimu ilmu itu?!"
"Hmmm... orang sana, Bibi."
"Orang sana mana?! Siapa namanya?!"
hardik
Bidadari Jalang.
"Hmmm... ehh... ilmu itu pemberian dari
Payung
Serambi...."
"O, gawat!" gumam Batuk Maragam,
wajahnya
pun tampak mulai menegang, demikian pula
wajah
kedua tokoh sakti di kanan-kirinya itu.
Sedangkan
Bidadari Jalang juga tampak terperanjat
ketika Suto
Sinting sebutkan nama Payung Serambi.
"Maksudmu, Payung Serambi yang bernama
asli
Ratih Kumala itu?!" tanya Bidadari
Jalang.
"Betul, Bibi Guru...!"
"Celaka!" gumam Resi Badranaya.
Kalau kakek
gurumu tahu, ia pasti akan marah padamu.
"Ratih
Kumala adalah prajurit unggulan dari Istana
Laut
Kidul. Dia orangnya Ratu Kandita, sang
Penguasa
Laut Kidul, Suto!"
"Betul sekali Eyang Resi!" jawab
Suto dengan
wajah girang karena merasa tak perlu
menjelaskan
siapa Payung Serambi itu.
Tapi pendekar muda itu menjadi berkerut dahi
dan
mulai terheran-heran begitu melihat wajah-
wajah para tokoh yang dihormati itu tampak
murung
dan menyimpan kecemasan. Bidadari Jalang
menjauhkan diri, bahkan berdiri membelakangi
mereka dengan kedua tangan bersidekap di
dada.
"Ada apa sebenarnya, Bapa Guru
Murdawira?!"
"Semuanya sudah telanjur."
"Apa yang telanjur, tolong jelaskan,
Bapa Guru!"
pinta Suto dengan rasa penasaran sekali.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Suto?
Mengapa
kau mau saja menerima ilmu itu?"
"Saya disuruh memakan daun sirih
pemberian
Payung Serambi, Bapa Guru. Daun sirih itu
saya
makan sampai habis, lalu Payung Serambi jelaskan
bahwa ilmu 'Dewatakara' sudah menyatu dalam
diri
saya."
Resi Badranaya menyahut, "Itu berarti
kau sudah
berdarah siluman!"
"Ber... berdarah siluman?!"
Batuk Maragam menimpali, "Ilmu itu hanya
dimiliki oleh prajurit unggulan Nyai Ratu Kandita.
Jika
orang sudah menguasai ilmu itu, maka dia
sudah
berdarah siluman, Dan dia hanya bisa kawin
dengan
rakyat Istana Laut Kidul."
"Ooh... bbee... benarkah begitu, Bapa
Guru?!"
Pendekar Mabuk menjadi tegang, segera lari
mendekati Bidadari Jalang.
"Benarkah aku hanya bisa kawin dengan
rakyat
Istana Laut Kidul, Bibi Guru?!"
"Kau lancang!" geram Bidadari
Jalang. Dari sorot
matanya tampak sedang menahan amarahnya yang
besar. Suto Sinting menjadi sangat tegang dan
ketakutan. Dalam ingatannya sempat terbayang
saat
ia mendapatkan ilmu 'Dewatakara' itu dari
Payung
Serambi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Geger di Selat Bantai").
"Lupakan dulu soal itu! Kita urus
belakangan saja!
Cari 'Tuak Dewata' agar kakek gurumu bisa
lekas
sembuh dan bisa diajak bicara tentang
kelancanganmu itu!"
"Baik, Bibi Guru...," jawab Suto
dengan lemah, lalu
ia pun pergi tinggalkan mereka yang berwajah
cemas.
Sementara batin Suto pun bertanya pada diri
sendiri.
"Benarkah untuk dapatkan 'Tuak Dewata'
harus
bisa menembus alam kayangan, seperti kata
Pendeta
Amor tadi?! Mengapa hanya dia yang tahu,
sedangkan Bibi Guru dan Bapa Guru Murdawira
tidak
bicara tentang kayangan?!"
*
* *
3
SETIAP orang yang dikenal, setiap tokoh yang
dijumpai selalu ditanya tentang 'Tuak
Dewata'. Tetapi
sebagian besar dari mereka menjawab,
"Tuak
Dewata' tidak ada, dan baru kali ini kudengar
ada
obat yang bernama 'Tuak Dewata'."
Sedangkan
sebagian lagi menjawab, "Aku tidak tahu.
Mungkin
memang ada, tapi aku tidak tahu tempatnya.
Atau
mungkin memang tidak akan pernah ada 'Tuak
Dewata', aku juga tidak tahu secara
persis."
Pendekar Mabuk sempat termenung di puncak
bukit berpohon jarang. Di atas sebuah batu ia
duduk
merenung sambil sesekali meneguk tuaknya yang
baru diisi dari kedai di sebuah desa yang
dilaluinya.
"Jika 'Tuak Dewata' tidak ada dan tidak
akan
pernah ada, lantas apa maksudnya roh sejati
Guru
mengutusku mencari 'Tuak Dewata' itu?" pikir Suto
Sinting dalam renungannya.
"Ke mana lagi aku harus mencari? Ke mana
lagi
aku harus bertanya? Rasa-rasanya dari semua
orang
yang telah kutanya, tak satu pun yang
menyinggung-
nyinggung tentang kayangan. Kalau begitu,
Pendeta
Amor itu hanya asal cuap saja?! Hmmm...
mengapa
sempat menjadi bahan renunganku juga, ya? Oh,
tololnya aku ini!"
Tiba-tiba renungan Pendekar Mabuk dibuyarkan
oleh suara jerit di kejauhan.
"Tolooong...!"
Hati sang Pendekar Mabuk tergugah, tubuhnya
tersentak bangkit.
"Suara anak kecil minta tolong?!"
"Toloooong...!"
"Oh, kedengarannya ada di kaki bukit ini
sebelah
barat sana! Sebaiknya kuperiksa siapa yang
berteriak
minta tolong itu!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat menuruni
bukit. Dalam waktu sangat singkat ia sudah
tiba di
atas sebuah pohon tak jauh dari datangnya
suara
minta
tolong itu. Suara itu ternyata datang dari
seorang
bocah berusia sekitar sepuluh tahun.
Bocah lelaki itu berambut tipis kucai,
rnengenakan celana hitam dan rompi merah.
Badannya kurus dan hidungnya pesek dengan
kulit
hitam walau bukan berarti hitam keling. Suto
sangat
mengenali bocah itu, karena ia pernah
diperdaya oleh
bocah tersebut dan dipanggil sebagai Pangeran
Ranggawita yang membuat Suto nyaris gila betulan.
Bocah itu tak lain adalah Congor, yang
menjadi
penasihat Ratu Dewi Kasmaran karena
kecerdasan
otaknya dan kepandaiannya bicara melebihi
orang
dewasa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode:
"Siasat Dewi Kasmaran").
Tak heran jika Pendekar Mabuk sangat terkejut
melihat Congor dalam keadaan terbenam separo
tubuhnya. Tanah yang menelan tubuhnya sampai
sebatas dada
itu tetap dalam keadaan padat dan
tidak berlumpur. Tubuh Congor seakan tertanam di
tanah kering berumput tipis itu. Kedua
tangannya tak
bisa digunakan karena ikut tertanam sampai
batas
atas siku. Congor hanya bisa berteriak dan
berpaling
ke kanan-kiri dengan wajah tegang.
"Kenapa anak itu?! Mengapa bisa terbenam
di
tanah sekeras itu?!" pikir Pendekar
Mabuk. "Hmmm...
pasti ada sesuatu yang telah terjadi dan
menimpa
nasib si Congor!"
Baru saja Suto Sinting ingin melesat
menghampiri
Congor, tiba-tiba seluruh gerakan uratnya
dihentikan,
karena ia melihat sekelebat bayangan hitam
menghampiri Congor. la ingin tahu siapa orang
yang
menghampiri Congor itu.
"Oh, celaka...?!" Pendekar Mabuk
tersentak kaget
dalam hatinya.
Orang yang menghampiri Congor itu mengenakan
kerudung kain hitam dari kepala hingga kaki,
yang
tampak hanya bagian wajahnya saja. Wajah itu
adalah wajah putih bagai mengenakan bedak,
pucat,
dan berkesan sangat dingin. Bibirnya biru
bagai
mayat baru bangkit dari kuburnya. Namun
sebenarnya wajah itu masih tampak muda dan
tampan, karena ia mempunyai hidung kecil yang
bangir dan mata bening berbulu lentik untuk
ukuran
seorang lelaki. Tetapi bola mata itu tampak
datar, tak
berperasaan, tajam bagaikan salju-salju
runcing.
Di tangan orang berkerudung hitam itu
tergenggam sebuah senjata berupa tongkat
dengan
ujung semacam mata pedang berbentuk paruh
burung. Logam itu sangat tajam dan berkilat.
Tongkat
berujung logam paruh burung besar itu
dinamakan
senjata pusaka El Maut. Dan siapa lagi tokoh
yang
bersenjatakan tongkat El Maut kalau bukan
Siluman
Tujuh Nyawa alias di Durmala Sanca.
Melihat kehadiran Siluman Tujuh Nyawa, hati
Suto Sinting bergetar dan jantung pun
berdetak-
detak. Darahnya mulai bergolak bukan karena
takut,
namun karena dibakar oleh api murka yang
makin
lama semakin membesar.
Pengembaraan Pendekar Mabuk selama ini
adalah dalam rangka memburu musuh utamanya
itu;
Siluman Tujuh Nyawa. la harus memenggal tokoh
paling sesat, yang ditakuti oleh para tokoh
aliran
hitam.
Siluman Tujuh Nyawa dicap sebagai manusia
paling terkutuk di dunia, karena memang ia
dikutuk
oleh leluhurnya untuk menjadi manusia sesat
dan
dibenci orang banyak, sebab ia pernah mencoba
memperkosa neneknya sendiri walau akhirnya
digagalkan oleh sang kakek. Dan neneknya itu
tak
lain adalah guru dari Bidadari Jalang yang
bernama
Eyang Nini Galih. la adalah anak dari
Durmagati, yang
membunuh kakak kembarnya sendiri, juga
membunuh orangtuanya sendiri. Selama tiga
ratus
tahun ia dikutuk menjadi manusia paling sesat
dan
bejat. Padahal sekarang usianya baru dua
ratus lima
belas tahun, sama dengan usia si Gila Tuak.
Kutukan
itu membuat tak satu pun ilmu dari kakek atau
neneknya diturunkan kepadanya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang
Guntur Bi-
ru").
Manusia terkutuk itu pernah melamar penguasa
Puri Gerbang Surgawi yang dikenal dengan nama
Dyah Sariningrum dan bergelar Gusti Mahkota
Sejati.
Hampir saja ratu cantik yang menjadi calon
istrinya
Pendekar Mabuk itu celaka oleh ulah si anak
durhaka
itu. Beruntung Suto Sinting segera datang
membebaskan Dyah Sariningrum, namun tak
berhasil
tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar
Mabuk
bersumpah akan memberikan mas kawin kepada
Dyah Sariningrum berupa potongan kepala
Siluman
Tujuh Nyawa, sehingga selama ini Suto selalu
mengejar-ngejar tokoh terkutuk itu, (Baca
serial
Pendekar Mabuk dalam dalam episode:
"Prahara
Pulau Mayat").
Kini si manusia terkutuk itu bikin ulah yang
lebih
memuakkan lagi di depan Suto Sinting. la
mendekati
Congor dengan wajahnya yang kaku tanpa
senyum,
pandangan matanya yang dingin tanpa kesan
bersahabat atau bermusuhan. Namun dilihat
dari
caranya mengangkat dagu Congor dengan
menggunakan ujung tongkat El Maut-nya,
Pendekar
Mabuk dapat simpulkan bahwa Siluman Tujuh
Nyawa
bersikap keji terhadap bocah sekecil Congor.
"Kau telah membohongiku, Bocah
babi!" ucapnya
dengan kasar kepada Congor. "Ratumu
tidak ada di
Lembah Kesumban! Kau telah sembunyikan dia
serapi mungkin, lalu menjebakku agar
terperangkap
di sarang harimau yang ada di hutan Lembah
Kesumban! Kalau kau tidak kubenamkan di tanah
ini,
kau sudah kabur dan sulit kuhukum pancung
atas
keberanianmu menipuku, Bocah babi!"
"Lepaskan aku dulu dari tanah ini, baru
kuberitahukan di mana Gusti Ratu Dewi Kasmaran
berada!" seru Congor dengan suara
lantang, seakan
tak punya rasa takut terhadap ancaman si
Durmala
Sanca itu.
"Kau tidak akan kulepas selama-lamanya
dari
tanah ini. Kau akan menjadi bangkai tanpa
kepala
ditempat ini. Dan kepala mu akan kubawa ke
Pulau
Selintang sebagai bukti bahwa aku tak mau
dipermainkan lagi oleh orang Pulau Selintang.
Siapa
yang tak mau tunjukkan di mana Ratu Dewi
Kasmaran berada, maka nasibnya akan seperti
dirimu; kehilangan kepala!"
Ujung senjata El Maut sudah merayap ke leher
Congor. Sekali sentak, pasti kepala bocah
cerdas itu
akan terpotong lepas dari badannya.
Pendekar Mabuk tak berani bertindak gegabah.
Jika ia muncul, maka Congor akan dijadikan
sandera
oleh Siluman Tujuh Nyawa dan nyawa bocah itu
semakin terancam. Karenanya, dalam waktu
singkat
otak Suto telah berputar dan menemukan cara
terbaik untuk selamatkan nyawa Congor.
Ilmu 'Dewatakara' dipergunakan lagi oleh
Pendekar Mabuk. Cipta batinnya kali ini
ditujukan ke
arah gugusan batu yang ada di belakang
Siluman
Tujuh Nyawa. Jarak gugusan batu itu sekitar
sepuluh
tombak dari tempat Congor ditanam oleh si
tokoh
terkutuk itu. Dengan memejamkan mata
menyatukan
batin dan pikiran tiba-tiba gugusan batu
meninggi itu
telah berubah dalam sekejap menjadi sesosok
wanita
cantik dan berdada montok. Blaab...!
Batu itu telah berubah menjadi Ratu Dewi
Kasmaran yang bertubuh sekal, berhidung
mancung
dan bermata membelalak indah. Ratu Dewi
Kasmaran mengenakan jubah merah muda bintik-
bintik emas dari bahan kain sutera tipis.
Pinjung
penutup dadanya dan kain bawahnya berwarna
hijau
tipis. Rambutnya diriap sebagian, sisanya
digulung ke
atas dan mengenakan mahkota kecil.
"Lepaskan anak itu!" terdengar
suara Ratu Dewi
Kasmaran yang membuat Siluman Tujuh Nyawa
segera palingkan wajah.
"O, kau muncul dengan sendirinya.
Syukurlah, itu
berarti kau telah selamatkan nyawa bocah
ini!" ujar
Siluman Tujuh Nyawa tanpa senyum sedikit pun,
namun juga tidak tampak cemberut atau
berkerut
dahi. Wajah pucat berbibir biru itu tampak
datar-datar
saja, dingin dan memancarkan kekejian yang
amat
dalam.
"Dekatlah padaku dan jangan lakukan
tindakan
yang bodoh demi keselamatan nyawa bocahmu
ini,
Dewi Kasmaran!"
Dengan langkah tenang, Ratu Dewi Kasmaran
melangkah mendekati Durmala Sanca.
"Tinggalkan saya, Gusti Ratu! Jangan
hiraukan
nyawa saya, Gusti!" seru Congor seakan
tak rela jika
gusti ratunya jatuh ke tangan Siluman Tujuh
Nyawa.
Tetapi Suto Sinting sengaja membuat
seolah-olah
Ratu Dewi Kasmaran membodohkan ucapan Congor
tadi. Sang Ratu terdengar berkata kepada
Congor
sambil tetap melangkah pelan dekati Siluman
Tujuh
Nyawa.
"Gunakan otakmu yang cerdas itu, Congor!
Pandanglah siapa orang yang kita hadapi. Aku
baru
sadar kalau orang yang kita hadapi adalah
tokoh sakti
yang sukar dicari tandingannya. Menyerah
kepadanya
bukan sesuatu yang merugikan, Congor. Sebab
aku
tahu, bahwa kita yang lemah ini memang sudah
selayaknya mengabdi kepadanya,
Congor!"
"Bagus. Pikiranmu sekarang telah terbuka,
rupanya!" sambil Siluman Tujuh Nyawa
melepaskan
ancaman tongkat El Maut-nya dari leher
Congor. Kini
ia justru melangkah menyambut kedatangan Ratu
Dewi Kasmaran yang menyunggingkan senyum
manis
dan manja, dengan sorot pandangan mata
berkesan
nakal.
"Sudah begitu lama aku tidak menikmati
keindahan cinta seorang wanita, karena
dikejar-kejar
oleh murid sintingnya Gila Tuak itu. Sekarang
gairahku datang dan membakar hasrat
kejantananku
begitu aku melihatmu mendarat dari kapalmu di
Pantai Utara kemarin."
"Mengapa kau tidak segera menemuiku pada
saat itu, selagi dekat dengan kapalku, selagi
ada
kamar untuk kencan kita berdua."
"Aku masih belum mengetahui siapa
dirimu, Dewi
Kasmaran. Setelah kusadap percakapanmu dengan
beberapa anak buahmu, aku baru tahu bahwa kau
adalah Ratu yang kesepian dan mengharapkan
belaian kasih sayang serta cumbuan hangat
seorang
lelaki. Seketika itu pula aku merasa mampu
memenuhi harapanmu, Dewi Kasmaran!"
Mereka semakin dekat. Siluman Tujuh Nyawa
hanya sunggingkan senyum sangat tipis dan
pandangan matanya masih datar berkesan
dingin.
Tetapi Ratu Dewi Kasmaran menyambut pandangan
mata itu dengan nyala api berpijar-pijar di
permukaan
kedua bola matanya yang indah itu. Bahkan
ketika
mereka sama-sama hentikan langkah dan saling
berdekatan, Ratu Dewi Kasmaran membiarkan
rambutnya dibelai oleh Siluman Tujuh Nyawa,
pipinya
diusap dengan jemari tangan yang berkuku
runcing,
dan usapan itu merayap hingga belahan dada
sang
Ratu.
"Benarkah kau mampu memberikan kepuasan
bagi diriku yang kesepian ini, Siluman Tujuh
Nyawa?"
"Akan kubuktikan sekarang juga."
"O, jangan! Maksudku, jangan di sini.
Aku tak
ingin kemesraan kita dilihat bocah kecil itu.
Bawalah
aku pergi ke tempat yang aman dan hangat,
Siluman
Tujuh Nyawa," ucap sang Ratu Dewi
Kasmaran
dengan suara bernada manja dan penuh
tantangan
bercumbu.
"Di balik bukit kecil itu ada gua! Kita
ke sana
saja!"
"Ooh... bawalah aku pergi dengan cepat,
aku
sudah tak tahan memendam hasratku yang
membara
ini!" Ratu Dewi Kasmaran menjatuhkan
kepala di
dada Siluman Tujuh Nyawa.
"Gusti Ratu...! Gusti Ratu,
sadarlah...!" seru
Congor dalam keadaan masih terbenam separo
bagian.
Tetapi Ratu Dewi Kasmaran tetap melangkah
dalam pelukan Siluman Tujuh Nyawa.
Mereka
meninggalkan Congor dan tak hiraukan sedikit
pun
seruan bocah itu.
"Gusti...," tiba-tiba seruan Congor
terhenti, karena
ia melihat kehadiran Pendekar Mabuk yang
mendekatinya.
"Suto...?!"
"Ssstt...!" Pendekar Mabuk beri
isyarat dengan
telunjuknya agar Congor diam saja. Pendekar
muda
dan tampan itu tersenyum geli memandangi
langkah
Siluman Tujuh Nyawa yang tampak mesra
berdampingan dengan Ratu Dewi Kasmaran.
"Tolong bebaskan aku dari penjara bumi
ini!" bisik
Congor.
"Tenang saja. Tak perlu kau meminta
tolong aku
memang datang untuk selamatkan nyawamu."
"Aku dan kakakku mendampingi Ratu Dewi
Kasmaran. Dia memaksa kami untuk
mencarimu."
"Ada apa dia mencariku?"
"Gusti Ratu sangat rindu padamu dan
ingin
jumpai denganmu walau hanya sebatas pandangan
mata saja."
"Sial! Itu penyakit yang berbahaya,
Congor!"
"Berbahaya memang berbahaya, tapi
bagaimana
dengan nasibku ini? Mengapa kau hanya
pandangi
kepergian mereka?"
"O, ya... hampir saja aku lupa kalau kau
tertanam
kuat-kuat."
"Si manusia terkutuk itulah yang
menanamku
dengan jurus aneh, membuatku bagai terpenjara
oleh
sang bumi!"
"Bersiaplah...! Jangan banyak buka mulut
biar
tanah tak masuk ke tenggorokanmu!" ujar
Suto
Sinting, kemudian kakinya menghentak ke tanah
satu
kali. Duhkk...!
Bless...!
"Lho, bagaimana ini?! Kok aku semakin
tertanam
ke dalam?!" ujar Congor dengan tegang,
karena
sekarang tubuhnya lebih tenggelam ke bumi
hampir
mendekati lehernya.
"Ooh, maaf... aku salah pakai jurus.
Yang kupakai
baru saja tadi adalah jurus 'Telan
Bumi". Sekarang
akan kugunakan jurus imbangannya, jurus
'Jebol
Bumi', Hiaaah. .!"
Duuhkkk...!
Bruss...!
Tubuh bocah cilik itu terlempar naik bagaikan
terbang. Tanah yang menjepitnya ikut
tersembur ke
atas dan berhamburan ke mana-mana.
Congor segera berjungkir balik ke udara
beberapa
kali. Jika tidak begitu, tubuhnya yang kecil
akan
terlempar dan terbanting tanpa keseimbangan badan.
Wuk, wuk, wuk...!
Jlegg...!
Congor mendaratkan kakinya ke tanah dengan
sigap dalam jarak empat langkah di samping
kiri Suto
Sinting.
Pada waktu itu, langkah Siluman Tujuh Nyawa
dengan Ratu Dewi Kasmaran melewati tempat
berdirinya gugusan batu yang dicipta dalam
batin
Suto sebagai Ratu Dewi Kasmaran. Tetapi
sebelum
segalanya berubah, semburan tanah saat tubuh
Congor terlempar ke atas tadi menimbulkan suara
yang mencurigakan bagi Siluman Tujuh Nyawa.
Maka
sang tokoh sesat itu segera berpaling ke
belakang.
"Biadab...!" geramnya tiba-tiba
sambil berbalik
tubuh secara total. Matanya memandang dingin
ke
arah Pendekar Mabuk dan Congor yang tampak
telah
bebas dari 'penjara bumi'-nya itu.
"Kau sudah bosan hidup, rupanya!" ucapnya
agak
lirih kepada Suto. Suara itu hampir saja tak
terdengar
karena jaraknya cukup jauh untuk suara
bernada
serendah itu.
"Dewi Kasmaran, sebaiknya kau...,"
kata Siluman
Tujuh Nyawa itu terhenti karena mendadak
hatinya
tersentak kaget melihat Ratu Dewi Kasmaran
yang
ada di sampingnya telah berubah menjadi
gugusan
batu hitam menjulang setinggi manusia dewasa.
Siluman Tujuh Nyawa tersentak kaget, namun
raut wajahnya tetap dingin dan tanpa
perubahan air
muka sama sekali. Sebagai tanda kemarahannya,
batu itu segera disodok dengan sikunya.
Dess...!
Brrooll...!
Sodokan siku pelan telah membuat gugusan batu
hitam itu hancur menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar genggaman bayi. Rupanya Siluman Tujuh
Nyawa tahu bahwa Ratu Dewi Kasmaran yang tadi
mendekatinya adalah jelmaan dari batu
tersebut. Dan
ia pun tahu ulah siapa lagi yang seperti itu
jika bukan
ulah Pendekar Mabuk yang dibencinya itu.
"Kau mau adu sihir denganku, Suto? Boleh
saja!"
ucapnya dengan suara datar bagai tanpa irama.
Pendekar Mabuk berbisik kepada Congor.
"Pergilah, cepat! Bawa Ratu Dewi
Kasmaran
pulang. Nanti kalau urusanku sudah selesai
aku
sendiri yang akan bertandang ke Pulau
Selintang!"
"Baik! Tapi... bagaimana urusanmu dengan
tokoh
sesat yang berilmu tinggi itu? Aku harus
membantumu, Suto!"
"Pergilah dan jangan banyak bicara
lagi!" Suto
Sinting setengah menggertak dengan suara
ditekan
dan bibir berusaha tak tampak bicara.
Congor segera pergi. Tak berani membantah
perintah sang pendekar yang dikagumi itu.
Tetapi
setibanya di balik pohon agak jauh dari
tempat itu,
Congor berbalik arah. Kini ia bersembunyi di
balik
pohon itu, karena hatinya penasaran ingin
melihat
pertarungan Pendekar Mabuk dengan Siluman
Tujuh
Nyawa.
Tokoh yang sebenarnya berambut panjang tapi
tak pernah kelihatan karena ditutup kain
kerudung
hitam itu, kini menghentakkan tongkatnya ke
tanah
dengan pelan. Duhkk...! Tiba-tiba dari tanah
yang
terkena sentakan tongkat itu keluar nyala api
yang
bergerak memanjang bagaikan lari ke arah
Pendekar
Mabuk.
Wuurrsss...!
Gerakan api itu sangat cepat, dan tahu-tahu
telah
mengurung Suto Sinting dalam sebuah lingkaran
berkobar-kobar. Lingkaran api yang keluar
dari tanah
itu makin lama semakin bergerak menyempit,
seakan
ingin menjerat tubuh Suto Sinting.
Dengan cepat bumbung tuak diraihnya, lalu
ditenggak sebagian. Tuak itu segera
disemburkan
lewat mulut dengan gerakan tubuh memutar
cepat
bagaikan gangsing.
Bruusss...!
Blaabbb...!
Lingkaran api padam seketika. Sisa asapnya
mengepul dan hilang di udara. Tanah yang
bekas
dipakai untuk menyemburkan api tadi tampak
menghitam hangus. Tanah itu makin lama
semakin
bergerak turun bagai potongan papan bundar.
Wuuttt...! Suto Sinting segera lakukan
lompatan
ke atas sebelum tanah yang berbentuk
lingkaran itu
meleak lebih ke dalam lagi. Dalam sekejap
saja
Pendekar Mabuk sudah berada di atas pohon.
Dari
sana ia bergerak menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'
ke arah lain. Zlaappp...!
Tahu-tahu sudah berada di samping kanan
Siluman Tujuh Nyawa dalam jarak sekitar tujuh
langkah.
Tokoh berkerudung kain hitam itu cepat-cepat
ikuti dengan pandangan matanya yang tetap
dingin
dan datar.
"Sudah waktunya kau mati, Bocah ingusan!"
Claappp...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa
melompat ke arah Suto. Baru saja kakinya
terangkat
dari
tanah, tubuhnya telah lenyap dan berubah
menjadi seberkas sinar biru berekor panjang.
Clapp...!
Zrrraabbb...!
Sinar biru itu pecah menjadi delapan larik
yang
semuanya menyerang Suto Sinting secara
serempak
dari delapan penjuru.
Pendekar Mabuk nyaris terjebak dan tak bisa
hindarkan diri. Tetapi ia segera memutar
bumbung
tuaknya di atas kepala dalam keadaan tubuhnya
oleng sana-sini bagaikan orang sedang mabuk.
Dengan menggenggam tali bumbung dan
memutarkannya, maka angin besar pun hadir di
sekeliling
Suto Sinting. Angin itu mengandung busa-
busa salju, dan akhirnya membuat delapan
sinar dari
delapan penuruA itu pecah dengan timbulkan
suara
ledakan yang cukup keras.
Blegaarrr...!
Jurus itu sebenarnya sudah dimiliki Suto
sejak
dulu, tapi jarang digunakan karena baru
sekarang ia
merasa membutuhkan jurus yang dinamakan
'Kipas
Malaikat' itu.
Pecahnya delapan sinar itu menimbulkan
kepulan
asap putih kehitam-hitaman dalam satu
gugusan.
Asap itu segera sirna dan sosok Siluman Tujuh
Nyawa
tampak kembali.
Begitu tokoh sesat itu muncul, sebuah
lompatan
segera dilakukan ke arah Suto Sinting dengan
tongkat
berujung pedang lengkung itu menyambar kepala
Suto Sinting. Wuuttt...!
Suto Sinting berlutut dan segera berguling ke
tanah hindari tebasan tongkat El Maut. la
berguling
maju ke depan, sehingga begitu tubuhnya tegak
dalam posisi berlutut satu kaki, bumbung
tuaknya
segera menyambar kaki Siluman Tujuh Nyawa
yang
berkelebat ke atas kepalanya.
Wees...! Prraaakk...!
"Oouhk...!" pekik Siluman Tujuh
Nyawa, lalu
tubuhnya limbung dan jatuh tersungkur.
Brruukkk...!
"Sekarang saat kematianmu tiba, Manusia
terkutuk!" geram Suto Sinting sambil
mengangkat
bumbung tuaknya yang ingin dihantam ke
punggung
lawan.
Tetapi tiba-tiba tangan kiri Siluman Tujuh
Nyawa
menepuk tanah satu kali. Pluukkk...!
Lapp...! Tiba-tiba tubuh berkerudung kain
hitam
itu lenyap bagai ditelan bumi. Tak ada bekas
sedikit
pun yang tertinggal di tempat jatuhnya
Siluman Tujuh
Nyawa itu.
"Jahanam! Kau pasti lari ke alam gaib,
Keparat!
Keluarlah kau, dan hadapi aku secara
jantan!" seru
Suto Sinting dengan hati dongkol. Tetapi
seruan itu
bagai tidak mendapat tanggapan apa pun dari
lawannya. Hati Suto menjadi semakin marah.
"Kukejar kau ke sana. Pengecut!"
Tangan kanan
Suto segera mengusap keningnya. Di kening itu
ada
tanda merah kecil sebesar biji jagung, pemberian
dari
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya. Dengan
mengusap tanda merah kecil di kening, maka
Suto
Sinting dapat menerabas masuk ke alam gaib
dan
segera memburu musuh bebuyutannya. Blaass...!
Congor terperanjat bengong dengan mata
mendelik. "Edan! Lenyap begitu saja?!
Benar-benar
sakti si tampan itu! Aku harus segera menemui
Gusti
Ratu di tempat persembunyiannya dan
menceritakan
hal ini kepada kakakku; Manis Madu, yang
menjaga
Gusti Ratul"
Congor pun segera berkelebat pergi dengan
gerakan cepat. Sementara itu, Pendekar Mabuk
berkeliaran di alam gaib memburu lawannya
yang
selalu melarikan diri jika dalam keadaan
terdesak.
*
* *
4
CUKUP lama Pendekar Mabuk berkeliaran di
alam
gaib. Tekadnya sudah bulat, bahwa saat itu ia
harus
berhasil temukan Siluman Tujuh Nyawa dan
menyelesaikan urusan lamanya yang
tertunda-tunda.
Tetapi ternyata hingga beberapa waktu lamanya
Suto
menjelajahi alam gaib, Siluman Tujuh Nyawa
tak
kelihatan batang hidungnya. Yang ditemukannya
hanya sosok makhluk-makhluk aneh penghuni
alam
gaib.
"Pada umumnya wajah mereka buruk-buruk!
Kasihan, mana ada gadis cantik di tempat
seperti
ini?" ujar Suto membatin dalam hatinya.
"Oh, mengapa aku jadi bernafsu sekali
untuk
dapatkan Siluman Tujuh Nyawa?! Bukankah hal
yang
lebih penting kukerjakan adalah mencari 'Tuak
Dewata' dan membawanya pulang untuk segera
sembuhkan sakitnya Kakek Guru?! Oh, hampir
saja
aku melantur lagi. Aku harus mencari 'Tuak
Dewata'
itu dulu. Tak akan kulakukan pekerjaan lain
sebelum
'Tuak Dewata' kudapatkan!"
Pendekar Mabuk segera tarik napas, kemudian
menenggak tuaknya tiga teguk. Tuak itu
mempengaruhi keberanian Suto, sehingga tidak
merasa takut dan jijik melihat
makhluk-makhluk alam
gaib yang punya bentuk dan ukuran
berbeda-beda.
la justru menertawakan sesosok makhluk yang
menghampirinya. "Heh, heh, heh... wajah
makhluk ini
kok mirip dengan bakul nasi? Eh, tapi siapa
tahu dia
bisa diajak bicara dan bisa menunjukkan di
mana
adanya 'Tuak Dewata' itu? Hmmm... sebaiknya
kucoba untuk bertanya kepadanya."
Makhluk yang mirip bakul nasi itu semakin
mendekat. Mulutnya yang lebar mirip dompet
penjual
jamu gendong segera terbuka. Lidahnya
terjulur
memanjang dengan wajah didekatkan pada Suto.
Plokk...!
Suto Sinting menabok wajah makhluk itu. Mata
bundar makhluk itu berkedip-kedip seperti
kelilipan.
"Kurang ajar! Ditakut-takuti malah
nabok!"
gerutunya dengan suara seperti kaset kendor.
"Hei, kau tahu di mana bisa kudapatkan
'Tuak
Dewata'?" sapa Suto Sinting dengan
bertolak
pinggang, menampakkan keberaniannya yang
membuat makhluk itu sendiri menjadi ciut
nyali.
"Kau tanya apa tadi?"
"Tuak Dewata!"'
"Tuak Dewata' itu jenis makanan apa
minuman?"
"Uuh...! Belum-belum sudah tanya begitu,
berarti
kau tidak tahu di mana adanya 'Tuak Dewata'.
Dasar
makhluk tolol!"
"Apakah kau mencari Tuak Dewata'?"
"Budek, tuli, congekan!" gerutu
Suto Sinting
bersungut-sungut.
"Sebaiknya kau carilah Tuak Dewata',
siapa tahu
itu nama pusaka yang ampuh. Kau manusia apa
jenis
hantu?!"
"Mau apa tanya-tanya begitu?!"
"Kalau kau hantu, atau sejenis jin
seperti aku, kau
akan kubantu. Tapi kalau kau manusia, aku tak
mau
membantu."
"Mengapa kau tak mau membantu manusia?!"
"Manusia sering menipuku. Berlagak
siapkan
makanan untukku, darah segar. Begitu kuminum,
tidak tahunya air sepuhan merah! Rasa manis
tak
kudapat, rasa pahit telanjur ketelan. Ngepet
juga
manusia itu!" mulut lebar itu
berkecamuk-kecamuk
dalam bicaranya seperti mengunyah permen
karet.
Suara yang meliuk-liuk bernada besar membuat
Suto
Sinting ingin tertawa, namun ditahannya
kuat-kuat.
"Carikan aku 'Tuak Dewata' untuk obati
guruku!"
"Ooo... jadi 'Tuak Dewata' sejenis obat?
Obat
cacing apa obat nyamuk?!"
Plakk...! Suto Sinting menampar wajah lebar
mirip
bakpao raksasa itu.
"Kau pikir guruku sejenis cacing atau
nyamuk?!"
Makhluk aneh berwarna putih lendir itu
bersungut-sungut sambil pegangi pipinya yang
kena
tampar.
"Manusia kok galak! Seharusnya jin lebih
galak
dari manusia!"
"Omong kosong! Jin mana yang mau
menggangguku, akan kulawan dia!"
"Tanyakan saja pada mereka satu persatu,
siapa
yang mau mengganggumu. Kurasa tak ada yang
berani, karena kau galak sekali. Mirip ibuku
kalau
sedang hamil, selalu galak sekali!"
"Sudah, jangan banyak omong! Buang-buang
waktu saja.
Kau tahu tentang 'Tuak Dewata' atau
tidak sebenarnya?"
"Tidak tahu!" sentak makhluk itu.
"Tanyakan pada
yang lain saja. Aku tak mau bicara lagi
denganmu.
Belum genap sehari wajahku sudah bonyok,
ketampanan ku bisa hilang!"
"Begitu saja tampan, yang jelek seperti apa?!"
gerutu Suto Sinting sambil melangkah
tinggalkan
tempat itu.
"Hei, Manusia... jangan pergi ke
sana. Itu
perbatasan alam gaib yang tak boleh dimasuki
manusia. Nanti kau dihajar oleh penjaga
perbatasan
alam gaib!"
Seruan itu tak dihiraukan Suto Sinting,
karena di
dalam benak Suto tiba-tiba terbetik gagasan
untuk
menemui calon mertuanya yang menjadi penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam
gaib.
Jalanan di depan sana tampak menyala hijau.
Suto Sinting jadi ingat tentang lumpur
menyala hijau
seperti fosfor yang ada di lorong gua menuju
istana
Ratu Kartika Wangi. Oleh sebab itu, gagasan
untuk
menghadap Ratu Kartika Wangi terbit di benak
Suto
dan hatinya berharap agar sang calon mertua
nantinya dapat menjelaskan apa dan bagaimana
sebenarnya 'Tuak Dewata' itu.
Alam di sekeliling tempat itu tampak redup.
Tidak
terang dan tidak gelap. Seperti mendung di
siang hari.
Tetapi langit yang tampak dari tempat itu
dalam
keadaan putih bersih tanpa mega mendung
sedikit
pun. Hanya saja, matahari tak kelihatan
muncul di
langit sebelah mana pun. Rembulan juga tak
ada.
Entah cahaya terang yang redup itu datang
dari
mana, yang jelas hawa udara di tempat itu
juga tidak
panas dan tidak dingin.
Pendekar Mabuk bulatkan tekad mendekati jalur
yang menyala
hijau pijar-pijar itu. Untuk mencapai
jalur hijau di seberang sana, ia harus
melewati
padang pasir tanpa tanaman sedikit pun. Pasir
yang
menghampar bukan berwarna putih, melainkan
berwarna merah kecoklatan. Bentuknya halus
seperti
tepung, namun mempunyai kepadatan tersendiri
bagai tanah lapangan berdebu merah kecoklatan.
"Inikah yang dimaksud perbatasan alam
gaib
itu?!" pikir Suto Sinting sambil
melangkah dengan
menenteng bumbung tuaknya di pundak kanan.
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena seberkas
cahaya merah mirip bintang berekor terbang
mendekatinya. Wuuttt...! Suto Sinting segera
meraih
tali bumbung tuaknya. Cahaya merah yang
mendekatinya segera dihantam dengan bumbung
tuak tersebut. Wuuutt...!
Blangng...!
Hantaman itu timbulkan ledakan yang
menggema. Seakan langit putih itu mulai
menjadi
merah saga akibat percikan cahaya merah dari
ledakan tadi. Gema ledakan masih terdengar
sampai
tiga helaan napas, sepertinya gema itu sukar
hilang
dari gendang telinga Pendekar Mabuk.
Terjadinya ledakan itu membuat sinar merah
seperti bintang jatuh lenyap. Lenyapnya sinar
merah
mengepulkan asap tipis warna putih. Asap itu
pun
lenyap
sedikit demi sedikit, dan sesosok tubuh tinggi
besar keluar dari gumpalan asap yang memudar
itu.
"Gila! Makhluk apa lagi ini?!"
pikir Suto Sinting
dengan mundur selangkah dan wajahnya
mendongak
pandangi wajah makhluk menyeramkan itu.
Kedua kaki makhluk itu besarnya seukuran
pilar
istana, panjang dan berbulu mirip tanaman
rambat.
Perutnya membusung besar dan hanya mengenakan
cawat dari kain tebal, entah bahan apa yang
digunakan. Makhluk itu tingginya tiga kali
tinggi Suto
Sinting dan mempunyai dada berkulit
retak-retak.
Sekujur tubuhnya yang berwarna abu-abu itu
berdebu putih sampai di bagian kepala.
Makhluk itu
seperti mengenakan bedak yang menyebarkan bau
apek, tak sedap dihirup hidung. la berkepala
gundul
polos, daun telinganya lebar melambai-lambai,
mempunyai mata dan mulut besar, hidungnya pun
mirip guci tuak yang sering dijual di
kedai-kedai.
"Grrrmmm...!" la menggeram dengan
mata
besarnya melotot lebar sekali. "Mau apa
kau datang
kemari, Manusia?!"
"Siapa kau dan mengapa berani menghadang
langkahku?!" Suto Sinting justru balik
bertanya. la tak
tampak takut sedikit pun.
"Aku Jin Koplo, penjaga perbatasan alam
gaib ini,
Tolol!"
"Lalu, mengapa kau menghadang
langkahku?"
"Tidak setiap makhluk boleh memasuki
perbatasan ini, sebelum mendapat izin dariku!
Jadi
aku harus menghentikan langkahmu, dan kalau
kau
nekat terpaksa kuinjak kepalamu di sini
sampai
pecah. Pyaaah..! Huah, hah, hah, hah,
hah...l"
Suara besar itu serukan tawa yang menggema ke
mana-mana. Tawanya itu hadirkan gelombang
getaran yang membuat tubuh Suto Sinting
seperti
sedang diguncang gempa.
"Aku ingin ke Jalur Hijau itu!"
kata Suto Sinting
setelah guncangan itu berhenti dengan
sendirinya.
"Kau tak boleh mencapai Jalur Hijau
itu!"
"Kenapa tak boleh?!"
"Itu jalur terhormat dan tidak sembarang
makhluk
boleh mencapai Jalur Hijau itu."
"Kau belum tahu siapa aku, Jin Koplo!"
"Tentu saja, sebab kalau aku sudah tahu
siapa
kau, akan kutanyakan mana oleh-oleh
bawaanmu?!
Huah, hah, hah, hah, hah...!"
Wuurss...!
Suto melemparkan segenggam pasir ke mulut Jin
Koplo. Jin itu tersentak kaget dan menyembur-
nyemburkan pasir yang masuk ke mulutnya.
"Brusstt...! Bruusst...! Kurang ajar!
Bruusst...!"
Semburan itu hadirkan angin kencang yang
membuat Suto Sinting jadi terlempar ke
sana-sini dan
berguling-guling bagai dihempaskan oleh badai
berkekuatan tinggi.
"Sial! Aku kena getahnya juga!"
gerutu Suto
sambit bangkit dan buru-buru menenggak tuak
untuk
memulihkan tenaganya yang habis
terbanting-banting
tadi.
"Hoi, Manusia rongsok...!
Berani-beraninya kau
berbuat lancang di hadapanku, hah..,?!"
Bentakan suara 'hah' itu membuat dada Suto
bagai terasa dihantam dengan kayu balok
besar. Suto
Sinting terpaksa mundur dua langkah dan
menahan
napasnya.
"Di sini aku jin terhormat, ditakuti
oleh makhluk
alam gaib lainnya! Tapi mengapa kau seenaknya
mendulangku pakai pasir?! Kau pikir makananku
pasir?! Aku bukan undur-undur, tahu?!"
"Apakah kau cukup sakti sehingga merasa
patut
dihormati?!"
"Jin Koplo adalah jin paling sakti di
jajaran para
makhluk alam gaib ini! Kalau tidak percaya,
silakan
adu kesaktian denganku!"
"Tunjukkan kesaktianmu dengan mengubah
dirimu menjadi seukuran denganku! Kalau kau
bisa,
aku baru mau mengakuimu sebagai jin sakti dan
menaruh hormat padamu!"
"Berubah menjadi seukuran denganmu?!
Huah,
hah, hah, ha, huaaah...!" tawanya
membuat Suto
Sinting terpaksa menutup kedua telinganya
kuat-kuat.
Jika tidak, ia khawatir gendang telinganya
akan
pecah.
"Berubah seperti dirimu adalah hal yang
paling
mudah bagiku!"
"Coba tunjukkan, jangan hanya besar mulut
di
depanku, Jin Koplo!"
"Baik! Akan kutunjukkan kalau aku punya
kesaktian bisa mengubah diri menjadi
sebesar
dirimu!"
Kemudian Jin Koplo pejamkan mata sambil
menggeram dengan kedua tangan bersidekap di
dada.
"Grrrhmmm...!"
Suuuttt...! Tanpa sinar tanpa asap, Jin Koplo
tiba-
tiba telah berubah menjadi kecil, menyusut
dengan
cepat menjadi seukuran dengan Pendekar
Mabuk.
"Lihat, aku sudah menjadi seukuran
denganmu,
bukan?!" suaranya pun menjadi cempreng,
seperti
suara anak-anak.
Pendekar Mabuk tak banyak bicara, langsung
melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya. Dengan
jari
menyentil beberapa kali, tubuh Jin Koplo
terlempar ke
sana-sini tanpa bisa memberi balasan apa-apa.
Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga
dalam
yang kekuatannya seperti tendangan kuda
jantan.
Tes, tes, tes, tes, tes, tes...!
"Aaaauww...!" Jin Koplo menjerit
panjang sambil
berjungkir balik ke sana-sini, mirip seekor
kecoa yang
disentil kian kemari. Jika kedua kakinya di
atas dalam
keadaan jatuh telentang, ia seperti sukar
membalikkan tubuhnya. Kesempatan itu
digunakan
Suto untuk menghajarnya terus dengan jurus
'Jari
Guntur'-nya.
"Kalau kau merasa sakti dan patut
kuhormati,
lawanlah jurusku ini!" seru Suto Sinting
sambil tetap
melancarkan sentilan bertubi-tubi. Jin Koplo
tak diberi
kesempatan untuk membalas atau menyerang.
Bahkan kesempatan untuk beristirahat dari
jungkir
baliknya juga tak ada.
"Waaooww...! Hentikan! Hentikaaan...!
Ampuuun...!" teriaknya dengan suara
cempreng.
Dalam posisi jatuh tengkurap, tiba-tiba Jin
Koplo
langsung bersikap sujud kepada Suto Sinting,
wajahnya mencium tanah dan kedua tangannya
terangkat-angkat dengan gerakan membungkuk-
bungkuk.
"Ampuuun...! Ampun...! Aku pusing sekali,
Manusia! Kepalaku seperti hilang, dadaku
seperti
bolong, oooh... ampuuun... tulang-tulangku
sudah kau
buat patah empat bagian. Mohon jangan kau
patahkan lagi. Aku tak mau menjadi jin
presto, alias
jin bertulang lunak seperti ikan bandeng yang
dimakan manusia sejenismu itu. Wuodoow...
ampunilah aku, Manusia...!"
Jin Koplo tak tahu kalau Suto Sinting sudah
pindah ke belakangnya agak jauh sambil
jaga-jaga
diri. la masih bersujud-sujud memohon ampun
di
tempat bekas Suto berdiri tadi.
"Aku di sini, Jin Koplo!"
Jin itu mendongakkan wajah, dan terbengong
melihat tempat di depannya kosong. la menoleh
ke
belakang, melihat Suto berdiri dengan jari
mau
disentilkan. Jin itu segera merangkak
terburu-buru
dengan ketakutan.
"Ampun,
ampuuun...! Jangan sentil lagi aku!
Tubuhku sudah sakit semua! Mohon kita
berdamai
saja. Damai saja, Manusia...!" pintanya
sambil
memegangi 'jimat kejantanannya' yang tadi
sengaja
disentil Suto dari jarak jauh sebanyak tiga
kali. Rasa
sakit pada tempat itulah yang membuat Jin
Koplo
akhirnya tobat dan tak berani bersikap kasar
kepada
Pendekar Mabuk.
"Bangunlah jika kau mau bersahabat
denganku!
Tapi ingat, jika kau berubah besar di
depanku, aku
akan menyentil 'jimatmu' dengan tenaga dalamku
yang lebih besar juga!"
"Tii... tidak, tidak...!" tangannya
digoyang-
goyangkan. "Aku tidak akan berubah besar
lagi di
depanmu. Aku akan berubah besar di belakangmu
saja."
"Juga tidak boleh! Nanti kau membokongku
dari
belakang!"
"O, ya, tidak, tidak...! Aku tidak akan
berubah
besar sebelum kau pergi dari hadapanku!
Kita... kita
damai saja, ya?"
Pendekar Mabuk menarik napas sambil
tersenyum bangga. Jin Koplo melangkah dengan
kaki
merenggang dan mendekap 'jimat kejantanannya'
yang terasa bengkak bagai bisul mau pecah.
"Dapatkah kau mengobati penyakit turun
berokku
ini?" ujarnya sambil menyeringai
menyedihkan.
"Minumlah tuakku ini. Buka
mulutmu!"
Jin Koplo menurut saja membuka mulutnya.
Pendekar Mabuk mengucurkan tuaknya ke mulut
itu.
Beberapa saat setelah Jin Koplo menelan tuak,
rasa
sakit di sekujur tubuhnya pun lenyap.
"Hebat sekali minumanmu itu. Oh, ya...
siapa
namamu, Kawan?!"
'"Suto Sinting alias Pendekar
Mabuk!"'jawab Suto
dengan senyum ramah karena Jin Koplo lebih
dulu
memanggil 'kawan', sehingga Suto merasa perlu
mengimbangi sikap persahabatan itu.
"Sebenarnya apa yang kau cari di sini,
Kawanku
Suto?"
"Aku mencari obat untuk sembuhkan sakitnya
guruku. Obat itu bernama 'Tuak Dewata'.
Apakah kau
tahu di mana ada 'Tuak Dewata' itu, Jin
Koplo?!"
Jin Koplo tertegun bengong. Apa maksudnya,
Suto
sempat bingung mengartikannya. Tahu atau
tidak
tahu, tak jelas tergambar di wajah Jin Koplo.
Jin Koplo hanya berkata, "Orang-orang di
Jalur
Hijau mungkin tahu tentang 'Tuak Dewata' yang
kau
cari. Rasa-rasanya sangat tepat jika kau
pergi ke
wilayah Jalur Hijau itu. Kawan."
"Jadi kau sendiri tidak tahu tentang
'Tuak Dewata'
itu?" Suto penasaran dan ingin ketegasan
dari Jin
Koplo.
"Aku hanya pernah mendengar nama 'Tuak
Dewata' disebutkan oleh salah seorang
penghuni
Jalur Hijau itu. Hanya satu kali kudengar dan
itu pun
sudah sekitar seribu tahun yang
lalu."
"Seribu tahun yang lalu?" Suto
membelalak heran.
"Dan aku tidak tahu apa artinya 'Tuak
Dewata' itu.
Mungkin nama seseorang, mungkin nama pusaka,
mungkin nama makanan, mungkin juga nama
penyakit. Aku sungguh-sungguh tak tahu-menahu
tentang arti
'Tuak Dewata' itu, Kawan. Tetapi aku
yakin, satu dari sekian banyak penghuni
wilayah Jalur
Hijau pasti ada yang mengetahui tentang
arti 'Tuak
Dewata' tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam pendek dengan
hati agak lega. Setidaknya ia punya harapan
akan
mendapat keterangan tentang 'Tuak Dewata' itu
dari
salah satu penghuni wilayah Jalur Hijau
tersebut. la
berharap keterangan yang akan diperolehnya
nanti
tidak akan membuatnya menjadi lebih pusing
dan
lebih menjengkelkan.
"Tetapi hati-hatilah memasuki Jalur
Hijau itu,
Kawan Suto," ujar Jin Koplo lagi.
"Sebab, jalur itu
adalah wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh
sembarang orang. Tidak setiap makhluk dapat
selamat memasuki Jalur Hijau."
"Mengapa begitu?"
"Karena wilayah itu adalah wilayahnya
seorang
ratu maha sakti yang kabarnya sekarang sudah
mempunyai seorang panglima perang bergelar
Manggala Yudha Kinasih."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Kudengar sang Manggala Yudha Kinasih itu
mempunyai ilmu sangat tinggi dan sukar
ditumbangkan," tambah Jin Koplo.
"Siapa pun yang
memasuki wilayah Jalur Hijau harus berhati
bersih
dan jiwa yang suci. Jika tidak kau akan
terperosok
dalam jebakan maut yang mereka pasang di
sepanjang jalur menuju istana Puri Gerbang
Surgawi."
"Terima kasih atas nasihatmu,
Kawan," ujar Suto
ikut-ikutan memanggil 'kawan' kepada Jin
Koplo.
"Aku tak berani mengantarmu sampai di
sana,
sebab aku takut berhadapan dengan panglima
perangnya Puri Gerbang Surgawi itu.
Kubayangkan,
aku tak akan sanggup melawan si panglima yang
bergelar Manggala Yudha Kinasih itu."
Suto Sinting semakin tertawa geli. "Kau
telah
berhadapan dengannya, Jin Koplo."
"Maksudmu berhadapan dengan Manggala
Yudha
Kinasih itu?!"
"Benar. Karena akulah orang yang mendapat
gelar kehormatan dari sang Ratu negeri Puri
Gerbang
Surgawi itu. Akulah yang bergelar Manggala
Yudha
Kinasih, panglima terdepan dalam jajaran
prajurit Puri
Gerbang Surgawi itu!"
Jin Koplo diam terbengong pandangi Suto
Sinting,
ia menjadi seperti jin linglung yang tidak tahu
harus
berbuat apa setelah mendengar pengakuan
tersebut.
la memang tidak tahu, bahwa Suto memang telah
diangkat menjadi panglimanya Ratu Kartika
Wangi
dan mendapat gelar kehormatan sebagai
Manggala
Yudha Kinasih, terutama sejak ia diakui
sebagai calon
suami Dyah Sariningrum, putri kedua dari Ratu
Kartika Wangi yang berkuasa di negeri Puri
Gerbang
Surgawi di alam nyata, (Baca serial Pendekar
Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah").
Tetapi raut wajah buruk Jin Koplo yang tampak
dalam keraguan membingungkan itu membuat Suto
Sinting menjadi penasaran, lalu ikut-ikutan
bingung
juga. Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan dahi
berkerut,
"Mengapa kau tampak menjadi bingung
begitu,
Jin Koplo?"
"Karena... karena setahuku yang bergelar
Manggala Yudha Kinasih dan menjadi panglima
perang
sang Ratu bukan orang yang bernama Suto
Sinting, seperti pengakuanmu tadi."
"Lalu, bernama siapa orang yang menjadi
panglima sahg Ratu itu?"
"Kabar yang kudengar, orang itu bernama
Durmala Sanca."
"Apa...?!" Pendekar Mabuk terpekik
kaget. Seperti
ada petir menyambar alisnya ketika mendengar
nama
Durmala Sanca sebagai nama asli orang yang
mendapat gelar Manggala Yudha Kinasih dari
Ratu
Kartika Wangi.
Jantung Suto mulai berdetak-detak bagai ada
yang menendang dari dalam dada. Durmala Sanca
alias Siluman Tujuh Nyawa dikabarkan sebagai
panglima perang negeri Puri Gerbang Surgawi
di alam
gaib. Apakah itu berarti Suto sudah tidak
dipakai lagi
oleh sang Ratu Kartika Wangi? Apakah
kedudukan
Suto sekarang sudah digantikan oleh Durmala
Sanca? Apakah Suto Sinting juga tidak diakui
pula
sebagai calon menantu Gusti Ratu Kartika
Wangi?
"Jika benar begitu, apakah berarti
Dyah
Sariningrum akhirnya akan menjadi istri
Siluman
Tujuh Nyawa?!" tanya Suto kepada hatinya
sendiri
yang berdebar-debar dibakar oleh kecemburuan
dan
kekecewaan.
*
* *
5
JALANAN yang memancarkan cahaya hijau pijar
itu ternyata mengandung lumut halus, dan
lumut itu
mengeluarkan cahaya hijau semacam cahaya
fosfor.
Jalanan yang mengandung lumut itu menuju ke
arah
suatu tempat menyerupai lorong di antara dua
tebing.
Dengan mengikuti jalanan bercahaya hijau,
Pendekar
Mabuk akhirnya tiba di sebuah lorong gua yang
dindingnya menyala hijau karena ditumbuhi
oleh
lumut-lumut aneh itu.
Lumat-lumut pada dinding lorong itu tampak
belum pernah ada yang menjamah dan tumbuh
secara alami. Suto tak mau menyentuhnya sebab
ia
tahu lumut itu mengandung racun. Dulu ketika
ia
memasuki lorong gua tersebut bersama Dewa
Racun,
ia hampir saja menyentuhnya namun segera
dicegah
oleh Dewa Racun, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah").
Lorong tersebut bukan saja mempunyai
keindahan pada lumut bercahayanya, melainkan
juga
langit-langit
lorong mempunyai keindahan tersendiri.
Lekuk-lekuk bebatuan di langit lorong mirip
lukisan
alam. Ada yang bergelembung bagaikan bisul
besar
mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung
raksasa,
ada yang pipih dari berbuku-buku, ada pula
yang
menonjol bagaikan bunga sedang menguncup.
Di sela-sela tanaman lumut yang menyala itu
terdapat bebatuan warna-warni. Ada yang
menggerombol berbentuk bulat-bulat warna
kuning
terang, ada yang dalam bentuk satu bongkahan
berwarna merah bening, bahkan ada yang
berbintik-
bintik kecil mirip butiran biji salak
berwarna coklat tua
bening, dapat memantulkan sinar hijau dari
tanaman
lumut di sekitarnya.
Pemandangan di dalam lorong itu memang
sangat indah dan menakjubkan. Namun semua
keindahan itu ternyata mengandung falsafah
hidup
yang sangat dalam. Karena keindahan yang ada
di
lorong itu adalah keindahan yang mengandung
racun
berbahaya dan tak boleh disentuh sedikit pun.
Hal itu
mengajarkan kepada manusia tentang banyaknya
keindahan yang menyenangkan hati namun cukup
berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia itu
sendiri.
Di balik keindahan dan kemegahan terdapat
maut
yang selalu mengancam kelengahan kita.
Perjalanan sang Pendekar Mabuk tiba di sebuah
ruangan yang lebarnya sepuluh tombak,
mempunyai
pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan
memancarkan kebeningan yang indah.
Pilar-pilar itu
seperti sesuatu yang kental menetes dari
langit-langit
lorong dan mengeras. Letak serta bentuknya
tidak
beraturan. Ada yahg berongga, ada yang
seperti dua
tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu,
ada yang
seperti mata tombak raksasa, dan semua itu
sepertinya mengandung seni keindahan yang
mahal
dan sukar didapatkan di permukaan bumi, atau
di
alam nyata.
Pilar-pilar indah dilewati. Tapi lumut-lumut
yang
memancarkan cahaya hijau masih ada,
hanya saja
letaknya tidak lagi di dinding kanan-kiri
lorong,
melainkan di langit-langit lorong tersebut.
Lumut-
lumut berdaun panjang itu menggantung
bagaikan
lampu-lampu hias yang memancarkan cahaya
hijau
indah, menerangi lorong tersebut.
Kini keindahan yang ada ditambah lagi dengan
keindahan pada lantai lorong. Lantai itu
bukan lagi
terdiri dari tanah atau batuan biasa, melainkan
dari
kaca jernih dan bening sekali. Karena
beningnya,
lumut-lumut di atas pun terpantul jelas,
hingga lantai
gua itu bagaikan memancarkan cahaya hijau
bening
yang sangat terang. Sedangkan pada dinding
lorong
masih terdapat bebatuan yang punya warna
cerah
dan berkilap.
"Kuingat...," kata Suto dalam
hatinya,"... lantai
bening ini mempunyai arti kehidupan yang
cukup
dalam. Lantai jernih ini merupakan peringatan
bagiku
untuk memperhitungkan setiap langkah yang
akan
kulalui. Jika langkahku disertai niat dan
hati yang
bersih, bening dan berpikiran jernih, maka
setiap
langkahku akan membawa kemenangan tersendiri
dalam hidup."
Pendekar Mabuk sengaja berhenti sejenak untuk
merenungi keindahan di sekelilingnya. la
memandang
lumut-lumut bercahaya hijau yang ada di
langit-langit
lorong. Lalu, hatinya pun berkata sambil
mengenang
masa-masa berada di tempat itu bersama Dewa
Racun.
"Lumut-lumut itu adalah penerang bagi
langkahku. Dalam falsafah, aku tak boleh
selalu
merasa rendah dan minder menghadapi kehidupan
ini. Sekalipun diriku nilainya hanya seperti
lumut, tapi
jika bisa menjadi penerang bagi sesama,
hendaknya
terangku tetap menjadi penuntun kaki mereka
agar
tidak terperosok ke dalam jurang lubang yang
menyesatkan. Sekecil apa pun pengetahuan dan
ilmu
manusia, hendaknya dapat berguna bagi
kehidupan
mereka yang membutuhkannya."
Langkah Suto pun dilanjutkan kembali menapak
di lantai bening. Anehnya, tak satu pun
tampak ada
bekas telapak kaki di lantai jernih tersebut.
Lantai itu
tetap tampak jernih, bening dan bersih.
Tetapi anehnya lagi, bayangan Suto yang
memantul pada lantai jernih itu bukan seperti
bayangan dalam sebuah cermin. Bayangan itu
berwarna hitam, seperti bayangan sebuah benda
jika
terkena sinar matahari. Bayangan itu juga
tidak
berada dalam satu garis lurus dengan telapak
kaki
Suto, melainkan sedikit tertinggal di
belakang Suto,
sepertinya Suto mendapat sorotan sinar dari
arah
depannya.
"Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari
keburukan. Kuingat, bayangan di lantai ini
pun
merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa
ke
mana pun aku pergi selalu diikuti oleh
sifat-sifat
buruk yang selalu berusaha menyatu dengan
diriku.
Tergantung sikap diriku, apakah mau memakai
keburukan itu atau meninggalkannya. Tetapi
pada
awalnya, kebaikan pasti datang paling depan,
setelah
itu baru diikuti oleh keburukan, seperti
rencana-
rencana licik, nafsu serakah, dan sebagainya.
Lantai
yang menyerupai cermin itu merupakan
peringatan
bagi manusia, agar selalu ingat dan waspada
bahwa
setiap langkah manusia selalu
dibayang-bayangi oleh
keburukan. Jangan sampai aku menjadi lengah
dan
dikuasai oleh bayangan hitam diriku
sendiri...."
Pendekar Mabuk juga teringat kata-kata gadis
penyambut kedatangannya pada waktu ia berada
di
tempat itu bersama Dewa Racun. Gadis yang
menyambutnya adalah Sang Wengi, dan
gadis itu
berkata kepada Suto serta Dewa Racun.
"Bagi orang yang tidak memiliki hati
bersih, gua ini
tidak mempunyai keindahan sama sekali. Mereka
tidak akan menemukan istana Puri Gerbang
Surgawi."
Karenanya, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
membersihkan hati dan pikirannya terlebih
dulu. la
hanya mempunyai satu niat, yaitu mencari obat
untuk
sembuhkan sakit sang Guru. Adapun kabar
tentang
Durmala Sanca sebagai panglima dan bergelar
Manggala Yudha Kinasih, dibuang dulu dari
alam
pikiran Suto Sinting. Tak ada iri, tak ada
benci, tak
ada kecemburuan. Akibatnya, mata Suto masih
bisa
menikmati keindahan yang ada di sepanjang
lorong
yang menuju ke sebuah ruangan besar dan
ruangan
itu disebutnya: balairung istana.
Ruangan itu sangat indah dan megah. Pilar-
pilarnya terbuat dari susunan batu mirah
delima,
safir, zamrut, dan sebagainya. Lantainya
bagaikan
bentangan kaca lebar, sangat luas dan bening.
Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan
batu
putih kemilau bagai lempengan batu
intan.
Seperti dulu juga, kedatangan Pendekar Mabuk
disambut oleh wajah-wajah cantik yang menawan
hati. Dua dari beberapa wajah cantik sudah
dikenali
oleh Suto. Dua wajah cantik yang dikenali
Suto itu
adalah Sang Wengi dan Sang Ramu.
Senyum mereka ramah sekali, menciptakan
debaran indah dalam hati yang tak bisa
dilukiskan
dengan kata. Sambutan itu agaknya sudah
dipersiapkan sejak sebelum Suto Sinting
memasuki
Jalur Hijau. Sepertinya mereka sudah tahu
lebih dulu
bahwa akan ada tamu penting yang patut
dihormati
dan disambut dengan keramahan tersendiri.
Para wanita cantik yang masih berusia muda
itu
menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut.
Mereka memberi hormat dengan ucapan Sang
Wengi
mewakili sambutan mereka.
"Selamat datang, Gusti Manggala Yudha
Kinasih...."
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu
semua!"
Itulah ucapan Suto Sinting sebagai salam
balasan
kepada mereka. Sebelum Suto mengucapkan kata-
kata itu, mereka tetap akan tundukkan kepala
dan
berlutut dengan satu kaki.
"Gusti Ratu Kartika Wangi sedang bersiap
untuk
menemui Gusti Manggala. Sudilah kiranya Gusti
Manggala menunggu sejenak."
"Aku akan bersabar menunggu sampai kapan
pun," ucap Pendekar Mabuk dengan tegas
dan
berwibawa.
Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Suto
Sinting naik ke lantai bundar di depan
singgasana.
Tinggi lantai bundar itu kurang dari setengah
jengkal,
tetapi merupakan tempat khusus untuk
menghadap
Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal
itu tanpa
tempat duduk, lebarnya seukuran perisai lima
jengkal. Ketika Suto Sinting naik ke atas
lantai itu,
muncullah perempuan-perempuan cantik yang
punya
tinggi-badan sejajar semua.
Perempuan-perempuan yang tinggi badannya
sejajar itu mengenakan pakaian serba kuning
gading.
Mereka muncul dari satu pintu yang ada di
lantai
atas, yang mengelilingi bentuk istana bundar
itu.
Istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai
bawah,
tempat Suto dan perempuan-perempuan penyambut
yang mengenakan pakaian serba putih, lantai
dua
diisi oleh perempuan-perempuan berpakaian
kuning
gading yang berjajar berkeliling dengan rapi.
Sedangkan lantai atasnya lagi, muncul
serombongan
perempuan berambut cepak berikat kepala
seperti
mahkota emas kecil dan menyandang pedang
merah
di punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh
lima
orang. Mereka mengenakan celana ketat sebatas
betis warna merah, mengenakan penutup dada
warna merah juga yang dilapisi rompi
panjang
sebatas perut warna merah pula. Mereka adalah
prajurit-prajurit istana pilihan. Mereka juga
berjajar
rapi mengelilingi lantai istana bagian atas
yang
berbentuk bundar itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaung menggema
seperti genta bertalu.
Wuungngng...!
Gema itu panjang, tetapi tidak membuat
berisik di
telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul
seorang
berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang
berwarna ungu muda. Rambut perempuan itu
disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung
susun
tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan
intan. Giwang perempuan itu tak seberapa
besar tapi
tampak jelas terbuat dari berlian. Perempuan
itu
cantik dan masih tampak muda, wajahnya oval,
bibirnya ranum, hidungnya mancung, sepertinya
masih berusia sekitar dua puluh delapan
tahun.
Tetapi sebenarnya ia sudah berusia lebih dari
delapan puluh tahun.
Semua orang dari lantai bawah sampai lantas
atas
menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut.
Pendekar Mabuk pun ikut bersikap begitu
sebagai
tanda hormatnya kepada perempuan berjubah
ungu
yang tak lain adalah Gusti Ratu Kartika
Wangi, yang
segera duduk di singgasana berhias batuan
intan
berlian setelah membalas hormat mereka dengan
ucapan khas.
"Damai dan sejahtera buat kalian
semua!"
Pendekar Mabuk duduk bersila dengan
bumbung
tuak diletakkan di samping kanannya, la
tampak
bersikap sangat hormat dan menampakkan
kegagahannya sebagai seorang pendekar berilmu
tinggi dan punya kharisma tersendiri.
Ratu Kartika Wangi pandangi Suto Sinting
dengan
dahi berkerut. Sepertinya ada sesuatu yang
diperhatikan oleh sang Ratu dengan rasa
janggal.
Pendekar Mabuk diam saja, tak berani ucapkan
kata
sebelum mendapat teguran dari sang Ratu.
Tiba-tiba ibu dari Dyah Sariningrum itu
berkata
kepada Sang Ramu.
"Aku ingin bicara empat mata dengan
calon
menantuku ini! Siapkan tempat!"
Dengan memberi hormat lebih dulu, Sang Ramu
pun perdengarkan suaranya yang renyah penuh
keramahan itu.
"Taman paseban sudah kami siapkan, Gusti
Ratu!"
"Kalau begitu aku akan ke sana bersama
Suto
Sinting. Tak perlu pengawalan jarak
dekat."
"Baik, Gusti Ratu."
"Suto...," sapa sang Ratu.
"Daulat, Gusti Ratu."
"Panggil saja aku 'ibu' tak perlu
bersikap seperti
mereka."
"Baik, Ibu," jawab Suto dengan
sopan sekali.
"Kita bicara di taman saja!"
"Saya akan menyertainya, Ibu."
Tiba-tiba pandangan Suto Sinting menjadi
gelap!
seketika. Blabb...! Suto sempat terkejut dan
menggeragap. Tetapi sebelum ia ajukan tanya
kepada
sang Ratu, pandangan matanya sudah menjadi
terang kembali. Namun ia tetap terkejut,
karena tahu-
tahu ia berada di sebuah taman yang sangat
indah
tanpa ada siapa pun kecuali dirinya dan sang
calon
mertua.
"Ajaib sekali!" gumam Suto dalam
hati. "Dalam
sekejap saja balairung istana sudah berubah
menjadi
taman seindah ini. Seharusnya aku tak perlu
menggeragap karena kusadari orang yang
berhadapan denganku adalah orang yang berilmu
sangat tinggi, mampu membuat sesuatu yang
mustahil menjadi nyata."
Bunga-bunga indah bermekaran di taman itu.
Tanaman dan bunga yang ada tampak asing bagi
Suto Sinting. Semuanya serba aneh tapi
berkesan
sekali di hati sang pendekar tampan itu.
Mereka ternyata berada di dekat kolam berair
bening warna biru muda. Air kolam itu tampak
menyegarkan sekali. Bahkan ketika mata Suto
memandang permukaan air kolam, tiba-tiba
pikirannya menjadi segar, hatinya pun segar,
dan
tubuhnya terasa segar pula.
Kolam itu mempunyai air mancur kecil yang
memancar ke sana-sini dengan kemekaran
seperti
bunga. Rupanya air mancur itu menyebarkan
aroma
harum yang lembut dan menyejukkan kalbu.
Anehnya,
setiap air yang memancar tak pernah turun
lagi ke
bawah dan lenyap bagai diserap angin.
Pendekar Mabuk duduk bersila di lantai taman
yang bening seperti kaca itu. Tiba-tiba saja
ia sudah
duduk di situ seperti saat ia duduk di depan
singgasana tadi. Sedangkan Ratu Kartika Wangi
berdiri tak jauh darinya, bahkan
berjalan mengitari
sebuah tanaman hias yang mempunyai daun
seperti
beludru, dan bunganya mirip mawar merah
berbintik-
bintik kuning emas. Indah sekali. Sang Ratu
memetiknya setangkai. Tess...! Tiba-tiba tangkai
yang
telah terpetik itu bergerak-gerak dan segera
tumbuh
bunga yang baru. Bunga itu menguncup,
kemudian
segera mekar dan menyebarkan aroma wangi
seperti
wanginya mawar bercampur melati.
"Manggala...," ujar sang Ratu
menyebut Suto
dengan kata 'Manggala', membuat hati Suto
sempat
merasa masih diakui sebagai Manggala Yudha
Kinasih di negeri alam gaib itu.
"Kurasakan keresahan begitu kuat di
dalam
hatimu saat sebelum kau tiba di tempat ini.
Katakan
kepadaku, apa yang membuatmu sangat resah dan
berperasaan campur aduk tak karuan itu,
Anakku."
"Ibu, pertama saya resah karena rindu
kepada
Dyah Sariningrum dan sudah lama tak mendengar
kabarnya."
"Dyah Sariningrum baik-baik saja. la
juga rindu
padamu."
"Oh...." Suto tersenyum bangga.
Hatinya berdebar
indah. Lalu ia berkata lagi,
"Selain itu, Ibu, Kakek Guru si Gila
Tuak sedang
sakit."
"Ya, aku tahu!" potong sang Ratu
sambil masih
pandangi bunga-bunga di sekelilingnya.
Sambungnya lagi, "Tapi yang ingin
kuketahui lebih
dulu adalah kegundahan hatimu paling dekat.
Kegundahan itu baru saja kau buang sebelum
kau
memasuki jalan bercahaya hijau itu."
Pendekar Mabuk menarik napas pelan,
senyumnya mekar dengan tipis, namun tak
berani
memandang ke arah sang Ratu. Setelah senyum
itu
hilang, barulah ia mendonggakkan wajah dan
menatap sang Ratu dengan lembut.
"Ibu, saya dengar dari Jin Koplo bahwa
Manggala
Yudha Kinasih atau panglima terdepan negeri
ini
sudah diganti. Bukan Suto Sinting lagi,
melainkan
Durmala Sanca yang menjadi Manggala Yudha
Kinasih di sini. Benarkah begitu, Ibu?"
"Jika benar, bagaimana?" ujar Ratu
Kartika Wangi
sambil dekati Suto Sinting.
"Jika benar, berarti saya bukan lagi
menjadi calon
menantu Ibu. Saya akan kehilangan Dyah
Sariningrum, dan itu berarti saya akan
kehilangan
hidup saya selama-lamanya."
Ratu Kartika Wangi tersenyum tipis lagi.
"Berdirilah...!"
Karena perintah itulah maka Suto Sinting baru
berani berdiri di hadapan calon mertuanya.
Sang Ratu
memperhatikan Suto Sinting dengan dahi
sedikit
berkerut. Dagu Suto diangkat sedikit dan
wajahnya
dipandangi, terutama pada bagian matanya.
Setelah
itu, sang
Ratu perdengarkan suaranya yang masih
bernada wibawa.
"Kau memang telah kehilangan hidupmu."
Suto Sinting diam dengan batin
bertanya-tanya,
"Apa maksud ucapannya itu?"
Sedangkan Ratu
Kartika Wangi segera melepaskan dagu Suto dan
melangkah mendekati tanaman bunga yang lain
sambil lanjutkan ucapannya tadi.
"Kau sudah tak bisa menikah dengan
putriku;
Dyah Sariningrum, karena kau sudah berdarah
siluman."
Hati sang pendekar tampan tersentak kaget dan
mulai berdebar-debar. la segera teringat
kata-kata
bibi gurunya tentang darah siluman yang
mengalir
dalam dirinya gara-gara menerima ilmu
'Dewatakara'
dari Ratih Kumala alias si Payung Serambi
itu.
Pendekar Mabuk menjadi cemas, wajah tampannya
tampak pucat sekilas.
"Kau telah menjadi bagian dari rakyat
Laut Kidul.
Kau hanya bisa mengawini perempuan dari sana,
dan
tidak bisa mengawini perempuan dari tempat
lain.
Apabila kau nekat mengawini perempuan dari
pihak
lain, maka dalam waktu tujuh hari istrimu
pasti akan
tewas. Jika kau menikah lagi dengan perempuan
dari
tempat lain, istrimu akan tewas juga dalam
waktu
tujuh hari dan begitu seterusnya."
Ratu Kartika Wangi menempelkan setangkai
bunga yang tadi dipetiknya. Tangkai bunga itu
ditempelkan pada dahan kecil tanaman lainnya.
Ternyata tangkai bunga itu dapat menempel dan
menjadi satu bagaikan tumbuh dari tanaman
lain itu.
Sang Ratu berkata lagi, "Aku tak ingin
kehilangan
anakku, karenanya aku tak ingin mengawinkan
Dyah
Sariningrum denganmu."
"Ibu... saya sangat mencintai Dyah
Sariningrum,
Bu."
Ratu Kartika Wangi memandang tegas. "Kau
bisa
menikah dengan anakku jika tidak berdarah
siluman
lagi."
"Ba... bagaimana caranya membersihkan
darah
siluman ini, Ibu?" Suto Sinting mulai
tampak
menggeragap.
"Ilmu dari Laut Selatan harus kau
singkirkan dari
hidupmu. Kau tak boleh memiliki ilmu
Dewatakara'
itu, Suto!"
"Ssa... saya bersedia. Saya tidak
keberatan
kehilangan ilmu 'Dewatakara', Ibu. Tetapi
bagaimana
cara menghilangkannya? Saya benar-benar tidak
tahu."
"Gurumu pasti tahu, dan tanyakan kepada
gurumu; si Gila Tuak."
"liyy... iya, tapi... tapi Kakek Guru
sekarang sedang
sakit dan membutuhkan 'Tuak Dewata' sebagai
obatnya. Sedangkan...."
"Aku tak tahu apa itu 'Tuak
Dewata'," sahut sang
Ratu sambil mendekati Suto Sinting. Kini ia
berdiri
dalam jarak dua langkah di depan Pendekar
Mabuk.
"Jangan tanyakan padaku tentang 'Tuak
Dewata'
yang kau cari itu, Suto. Aku benar-benar
tidak
mengetahui tentang 'Tuak Dewata'
itu."
Pendekar Mabuk diam beberapa saat. Napasnya
terhempas lepas, tubuhnya menjadi lemas dan
wajahnya pun tampak sayu. la merasa harapan
untuk
mengetahui tentang 'Tuak Dewata' menjadi
semakin
gelap. Jika Ratu Kartika Wangi saja tidak
mengetahuinya, apa lagi orang lain?"
Sang Ratu perdengarkan suaranya lagi.
"Kusesalkan tindakanmu yang mau menerima
ilmu dari Istana Laut Kidul itu. Padahal kau
bisa
mendapatkan ilmu yang sama dahsyat dan
saktinya
dengan ilmu 'Dewatakara' dariku. Mengapa kau
justru
memilih ilmu yang datang dari istana Laut
Kidul itu?"
"Saa... saya benar-benar tidak tahu,
Ibu. Mohon
ampun dan mohon dibersihkan dari ilmu itu,
Ibu."
"Aku tidak berhak membersihkan ilmu
dalam
dirimu. Yang berwenang adalah kedua gurumu
itu;
Gila Tuak atau Bidadari Jalang."
"Tapi... tapi Bibi Guru Bidadari Jalang
tidak bisa
membuang ilmu itu, Ibu."
"Jika begitu, hanya Gila Tuak yang mampu
lakukan."
"Kakek Guru Gila Tuak sedang
sakit."
"Sembuhkan dulu dia!"
"Itulah sebabnya saya kemari mohon
bantuan Ibu
untuk dapatkan 'Tuak Dewata' sebagai obat
bagi
Kakek Guru Gila Tuak, Ibu."
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu tentang
'Tuak
Dewata' itu. Mungkin juga tak akan kau
dapatkan
'Tuak Dewata' walau kau mencari di alam nyata
dan
alam gaib. Sebab... mungkin 'Tuak Dewata'
itu
memang tidak pernah ada dari dulu hingga
sekarang."
"Lalu... kepada siapa lagi saya minta
bantuan
untuk sembuhkan Kakek Guru, Ibu?!"
Ratu Kartika Wangi diam sesaat. Ia pandangi
tanaman bunga lainnya yang ada di belakang
Suto,
membuat Suto Sinting terpaksa berbalik arah.
Dua helai daun dari tanaman bunga itu tampak
kering. Ratu Kartika Wangi segera
menyentuhkan
telunjuknya ke permukaan daun yang kering.
Telunjuk
itu menyala hijau bening, dan tiba-tiba daun
kering itu
berubah menjadi segar kembali, bahkan seperti
baru
saja tumbuh dari pupusnya.
"Apakah kau masih berkeras kepala untuk
dapatkan 'Tuak Dewata' jika kukatakan 'Tuak
Dewata'
itu tidak pernah ada?!" tanya Ratu
Kartika Wangi
tanpa memandang Suto Sinting.
"Saya harus mencarinya walau sampai ke
ujung
dunia, Ibu. Sebab... sebab saya harus bisa
selamatkan jiwa Kakek Guru yang terancam maut
dari suatu penyakit."
"Kalau begitu, cobalah pergi ke Gerbang
Siluman
dan temui Eyang Putri Batari."
"Mmak... maksud Ibu, Betari Ayu?
Kakaknya Dyah
Sariningrum itu?"
"Bukan. Eyang Putri Batari adalah ibuku;
neneknya Dyah Sariningrum dan Betari
Ayu."
"Ooo...," Pendekar Mabuk
manggut-manggut.
"Temui beliau dan tanyakan kepada beliau
apakah 'Tuak Dewata' itu ada atau tidak. Jika
ada
letaknya di mana, jika tidak lantas apa
artinya 'Tuak
Dewata' yang harus kau dapatkan itu."
"Baik, saya akan ikuti nasihat Ibu.
Hanya saja,
tolong jangan pisahkan saya dengan Dyah
Sariningrum, Ibu. Saya sangat
mencintainya!"
Permohonan yang diucapkan dengan
kesungguhan hati itu membuat Ratu Kartika
Wangi
sunggingkan senyum kecil. Senyum itu hanya
sekilas,
kemudian lenyap tanpa bekas.
"Akan kupertahankan putriku agar tidak
jatuh ke
tangan pemuda lain...."
"Juga jangan sampai jatuh ke tangan
Siluman
Tujuh Nyawa, Ibu!"
"Kau takut?!"
"Saya takut kehilangan Dyah, Ibu."
"Hmmm...," senyum sang Ratu sedikit
lebar.
"Sebenarnya apa yang kau dengar dan
membuat
hatimu gundah itu hanya sebuah siasat licik
si
Durmala Sanca."
"Maksudnya bagaimana, Ibu?" sergah
Suto
Sinting dengan semangat.
"Belakangan ini, Durmala Sanca sering
mengaku
sebagai Manggala Yudha Kinasih dan mengaku
sebagai panglimaku. Pengakuan itu sengaja
disebarkan ke mana-mana sambil ia melakukan
tindakan kejam kepada beberapa pihak agar
pihak
yang merasa dirugikan oleh Manggala Yudha
Kinasih
palsu itu menuntut pihak kita."
Pendekar Mabuk mulai tampak terbakar oleh
keterangan tersebut. Matanya kelihatan nanar,
napasnya mulai tak teratur.
Sambil melangkah dekati tepian kolam, sang
Ratu
menyambung kata-katanya.
"Durmala Sanca memang manusia terkutuk
tiga
ratus tahun lamanya. Aku tahu ia sangat
mengincar
Dyah Sariningrum, tetapi keberadaanmu membuat
niatnya selalu gagal dan ia tak berani dekati
calon
istrimu itu. la pernah datang menemuiku
dan
melamar Dyah Sariningrum, tetapi ditolak
mentah-
mentah."
Napas ditarik dan disimpan di dada. Dada
kekar
itu tampak mengeras, wajah tampan pun
kelihatan
menjadi kaku dan matanya memancarkan
kemarahan. Tetapi diam-diam kobaran api
amarah itu
dipertahankan Suto Sinting agar jangan
berkobar
berlebihan di depan Ratu yang penuh kharisma
itu.
"Durmala Sanca semakin membenci kita.
Terlebih
setelah ia gagal mendapatkan kebahagiaan
batin dari
Ratu Dewi Kasmaran yang diakibatkan oleh
tindakanmu...."
Pendekar Mabuk sempat berkata dalam hati,
"Kurasa Ibu Kartika Wangi juga
mengetahui
pertarunganku dengan Siluman Tujuh Nyawa yang
kulakukan di depan Congor itu. Rupanya
seluruh
gerak-gerikku selalu dia pantau oleh mata
batin Ibu
Kartika Wangi, sehingga ia tahu
segala-galanya,
termasuk tahu tentang ilmu 'Dewatakara' yang
telah
meresap dalam ragaku ini!"
Sang Ratu segera berkata, "Jangan bicara
sendiri
jika aku sedang menerangkan perkara besar ini!"
"Maaf, Ibu...," ucap Suto dengan
rasa malu karena
kecamuk batinnya dapat didengar oleh sang
Ratu,
sebagai tanda betapa tingginya ilmu yang
dimiliki
sang Ratu dan betapa tajamnya indera keenam
maupun indera ketujuh Ratu Kartika Wangi itu.
Perempuan cantik itu berkata lagi,
"Sekarang
kurasakan si Durmala Sanca ingin menyusun
kekuatan untuk menyerang kita; menyerangku,
menyerang Dyah Sariningrum, juga menyerangmu!
Sekarang kurasakan usaha Durmala Sanca
membujuk Raja Barong telah berhasil."
"Siapa Raja Barong itu, Ibu?"
"Raja Para Jin," jawab Ratu Kartika
Wangi.
"Kurasakan gerakan Raja Barong sedang
menuju ke
Gerbang Siluman."
"Mau apa dia ke sana, Ibu?"
"Membebaskan para siluman yang dipenjara
oleh
ibuku: Eyang Putri Batari itu. Jika ia
berhasil bebaskan
para siluman, maka mereka akan menyerang
pihak
kita di bawah pimpinan Siluman Tujuh
Nyawa."
Lagi-lagi Suto Sinting tarik napas menahan
luapan
amarahnya.
"Kuperintahkan padamu, lumpuhkan si Raja
Barong sebelum menghancurkan Gerbang Siluman!
Jangan beri kesempatan kepada si Durmala
Sanca
untuk mendapatkan kekuatan baru dari
mereka!"
"Baik, Ibu! Saya akan kerjakan perintah
Ibu
sekarang juga!"
"Tunggu...!" Ratu Kartika Wangi
segera pejamkan
mata, wajahnya sedikit menunduk. Tak berapa
lama,
muncul seorang gadis berpakaian ketat warna
merah
dengan pedang di punggung. Gadis itu berambut
cepak dan tadi saat pertemuan di balairung
istana ia
berada di antara para prajurit berseragam
merah di
lantai tiga.
Gadis cantik berhidung kecil dan mancung itu
segera memberi hormat kepada Ratu Kartika
Wangi
dan Pendekar Mabuk.
"Hamba dipanggil, Gusti?" ujarnya.
Suto Sinting sempat bingung sebentar.
"Tak ada
orang memanggilnya, mengapa ia tahu-tahu
menghadap? Oh, mungkin dengan cara memejamkan
mata seperti tadi itulah gadis itu dipanggil
oleh Ibu
Kartika Wangi. Para prajurit di sini sudah
terbiasa
menerima panggilan atau bicara melalui batin,
sehingga mereka tampaknya tenang dan diam tapi
sebenarnya saling berbicara satu dengan yang
lain."
"Suto, kau kuberi seorang pemandu untuk
menuju
Gerbang Siluman," kata sang Ratu sambil
menepuk
pundak gadis yang telah berdiri itu. Suto
Sinting
memandangi gadis bertubuh sekal dan berdada
kencang dengan pikiran bersih, tanpa khayalan
kotor
sedikit.
"Sang Tiara," kata Ratu Kartika
Wangi kepada
gadis itu. "Tugasmu memandu perjalanan
Manggala
Yudha
Kinasih ke Gerbang Siluman untuk
menggagalkan serangan Raja Barong."
"Saya siap, Gusti!"
"Berangkatlah kalian sekarang juga
sebelum Raja
Barong melewati perbatasan Gerbang
Siluman!"
"Mohon doa restu, Ibu!" sambil
Pendekar Mabuk
membungkuk memberi hormat kepada sang Ratu.
Kemudian ia melangkah dengan didampingi Sang
Tiara yang tampak lincah dan penuh keberanian
itu.
*
*
*
6
SAMPAI di luar batas wilayah Jalur Hijau,
gadis
cantik berbulu mata lentik itu menghentikan
langkahnya. Hal itu membuat Pendekar Mabuk
ikut-
ikutan hentikan langkah dengan mata memandang
penuh keheranan.
"Ada apa berhenti, Sang
Tiara?"
"Gerbang
Siluman terlalu jauh jika ditempuh
dengan jalan kaki, Gusti Manggala."
"Panggil namaku saja jika kita berada di
luar
istana. Kau tahu namaku, bukan?"
"Suto Sinting...?!"
"Benar. Rupanya daya ingatmu cukup
tinggi,
Tiara."
"Saya selalu mengingat nama panglima
saya!"
"Dalam keadaan berdua begini, kita
adalah
sahabat. Jangan terlalu kaku dalam bersikap.
Paham?!"
Sang Tiara anggukkan kepala.
"Jelaskan maksud kata-katamu tadi,
Tiara."
"Kita akan terlambat jika berjalan kaki
ke
Gerbang Siluman."
"Lantas maumu bagaimana?"
"Buka tanganmu, Suto," perintah
Sang Tiara yang
cepat menjadi akrab dan lugas dalam bergaul.
Sang Tiara menengadahkan kedua tangannya
didepan perut. la memberi contoh kepada Suto
dan
Suto pun segera mengikutinya.
Kedua tangan Suto dibuka dalam keadaan
telapak tangan ke atas. Kemudian kedua tangan
Sang Tiara menelungkup pelan-pelan hingga
menyatu
rapat dengan telapak tangan Suto Sinting.
"Pejamkan mata," perintah Sang
Tiara pelan. Suto
pun memejamkan mata.
"Buka mata," perintahnya lagi,
belum ada satu
helaan napas mereka memejamkan mata.
Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk
begitu membuka mata, ternyata sudah berada di
tempat yang jauh dari batas Jalur Hijau.
Mereka ada
di sebuah lembah tak berpohon. Sebuah bukit
menjulang rendah dalam keadaan tanpa tanaman
kecuali lumut. Bukit itu dipenuhi oleh
bebatuan yang
tinggi-tinggi sehingga mirip pohon tanpa
daun.
Tempat yang aneh itu membuat Suto Sinting
tercengang dan terbengong-bengong. Bentuk
batu-
batu yang menghiasi bukit dan lembah itu
beraneka
ragam, sehingga merupakan suatu pemandangan
indah yang berbeda dari bukit-bukit di alam
nyata.
"Kita berada di mana ini, Tiara?"
"Di balik bukit itulah letak Gerbang
Siluman! Kita
harus segera menghadang Raja Barong yang
sebentar lagi akan melintasi bukit itu."
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting.
"Dengan
kekuatan apa kau membawaku kemari?"
"Ilmu 'Pusar Badai' mempercepat langkah
kita
sampai di tujuan."
"Luar biasa! Hanya dengan pejamkan mata
dan
tumpangkan tangan sudah bisa sampai ke tempat
tujuan. Apakah semua prajurit pilihan yang
berseragam merah sepertimu ini mempunyai ilmu
'Pusar Badai'?"
"Semua prajurit memilikinya, baik yang
pilihan
maupun penyambut tamu seperti Sang Ramu atau
Sang Wengi," jawab Sang Tiara dengan
suara jelas.
"Kurasa kita tak punya banyak waktu
untuk bicarakan
ilmu itu. Kurasakan getaran langkah si Raja
Barong
sudah kian mendekati tempat kita. Kita harus
segera
ke puncak bukit!"'
Pendekar Mabuk mengikuti saran Sang Tiara
sambil membatin, "Tinggi juga ilmunya.
Aku tak bisa
rasakan getaran langkah siapa pun, tapi ia
mampu
rasakan getaran itu. Tapi, apakah benar Raja
Barong
sudah mendekati bukit ini? Jangan-jangan dia
hanya
ngawur saja karena dia tahu aku tak mengerti
apa-
apa tentang alam dan kehidupan di
sini?!"
Ketika mereka berada di puncak bukit,
tiba-tiba
Suto Sinting merasakan ada angin berhembus
dari
sisi kanannya. Wweee...! Mata pun berkedip
karena
takut terkena debu yang beterbangan.
Namun ketika Suto membuka mata kembali,
ternyata ia sudah dalam keadaan terkapar
memandang langit dengan sekujur tubuh merasa
sakit
semua. Tulang-tulangnya terasa remuk dan
sukar digerakkan. Sementara itu, Sang Tiara juga
terbujur di sampingnya dan menggeliat bangkit
dengan suara mengerang.
"Ooh... kenapa aku ini? Mengapa
tiba-tiba aku
berbaring di tanah?"
Sang Tiara menyahut dengan menyeringai
menahan sakit.
"Raja Barong telah menerjang kita."
"Telah menerjang kita?!" Suto
Sinting terbelalak
heran. "Aneh sekali. Padahal aku hanya
merasa
dihembus angin dari samping."
"itulah gerakan Raja Barong. Kecepatannya
melebihi kecepatan apa pun, sehingga saat
menerjang kita yang terasa hanya hembusan
anginnya."
"Luar biasa!" gumam Suto Sinting
sambil bangkit.
la buru-buru menenggak tuaknya untuk
hilangkan
rasa sakit dan pulihkan kekuatannya kembali.
Sang
Tiara disuruh meminum tuak, tapi gadis itu
menolak.
la punya cara sendiri untuk hilangkan rasa
sakit, yaitu
dengan menempelkan satu telapak tangannya ke
dada. Dalam sekejap rasa sakitnya pun lenyap.
"Lalu apa yang harus kita lakukan jika
begini?
Kemana arah kepergian si Raja Barong?!"
"Tumpangkan tangan kita kembali. Kita
kejar ke
kaki bukit seberang tebing sana!" ujar
Sang Tiara.
Suto Sinting membuka kedua tangannya, lalu
tangan Sang Tiara ditumpangkan. Mata mereka
terpejam. Tak sampai satu helaan napas sudah
dibuka kembali. Dan ternyata mereka sudah
berada
di seberang tebing, jauh dari bukit
berbatu-batu tadi.
Tebing itu adalah tebing tandus, juga tanpa
tanaman apa pun. Tetapi banyak batu yang
bertonjolan bagai pilar-pilar alami. Tebing
yang
mempunyai jurang dalam tak terukur
kedalamannya
itu mempunyai dinding seperti serat-serat
karang
yang cukup menakjubkan.
"Jangan lengah!" tegur Sang Tiara
saat Suto
memandangi dinding tebing. Pendekar Mabuk
segera
bersiap diri mempertinggi kewaspadaan dan
mempertajam rasa.
Semilir angin mulai datang menghembus mereka.
Sang Tiara cepat berlindung di balik bebatuan
besar.
"Dia datang! Rasakan hembusan angin yang
makin besar ini." seru Sang Tiara.
Pendekar Mabuk sengaja tidak bersembunyi
seperti Sang Tiara. la sengaja merasakan
semilir
angin yang menghembus ke arahnya dan makin
lama
terasa semakin jelas hembusannya.
Pada saat itu juga Suto Sinting menghantamkan
bumbung tuaknya ke arah depan dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Wuuusss...!
Tubuh Suto berputar sangat cepat. Dan
gerakan
bumbung tuak itu terasa menyentuh sesuatu
yang
keras. Bahkan suara benturan bambu dengan
sesuatu yang keras itu terdengar jelas di
telinga Suto
maupun Sang Tiara.
Prraakkk...! "
Aaaaooorrgg...!"
Pendekar Mabuk kaget mendengar suara
mengerang yang mirip binatang menyeramkan
itu. la
masih mencari-cari sesosok wujud yang
mengeluarkan suara mengerang di depannya.
Sang Tiara muncul dari balik bebatuan, lalu
jari
telunjuknya menuding ke depan. Claap...!
Seberkas
sinar merah melesat dari ujung jari telunjuk
itu.
Besss...! Sinar merah itu bagaikan mengenai
sesuatu dan mengepulkan asap. Asap segera
lenyap
terbawa angin alami. Suto Sinting terperanjat
melihat
sesosok tubuh gemuk meringkuk di depannya
dalam
jarak tujuh langkah. Sosok yang terlihat itu
mirip
gugusan
batu, hanya saja warnanya abu-abu dan
berlumut hijau samar-samar.
"Dia terkena pukulan bumbung
tuakmu!" ujar
Sang Tiara. "Hati-hati, Suto! Dia pasti
akan bangkit
membalasmu! Sekarang ia masih meringkuk
merasakan sakitnya."
"Pergilah berlindung, akan kubereskan
sendiri
dia!" bisik Suto Sinting sambil matanya
memandang
ke arah benda abu-abu yang meringkuk itu.
"Awas, dia bangkit!" bisik Sang
Tiara.
Pendekar Mabuk melompat ke atas dan hinggap
di atas batu yang tingginya melebihi tinggi
tubuhnya.
Wuuutt...! Jleeg...! Bumbung tuaknya segera
diangkat
ke samping. Pada waktu itu, makhluk berkepala
besar dengan leher pendek dan mempunyai enam
mata mengelilingi kepalanya itu bangkit
berdiri.
Mulutnya yang lebar keluarkan suara mengerang
dengan menampakkan gigi besar dan taringnya
yang
tajam-tajam.
Raja Barong merupakan makhluk yang cukup
menyeramkan. Tingginya sejajar dengan Suto
pada
saat Suto naik di atas batu itu. Badannya
bersisik
warna abu-abu, keras seperti dari lempengan
baja.
Sepasang tanduk ada di bagian depan dan
belakang
kepala. Raja para jin itu tidak mengenakan
pakaian
kecuali cawat dari lempengan seperti perunggu
warna
coklat kemerahan.
"Grrraaaoow...!" ia mengerang
sambil
mengangkati kedua tangannya yang mempunyai
kuku
runcing bagaikan mata pedang.
Tangan kiri Raja Barong menyambar tubuh
Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat.
Wuuutt...! Creeb...!
"Aaakh...!" Suto Sinting memekik
keras karena
tiga kuku tajam lawannya menancap di
pinggangnya,
la diraih dalam genggaman tangan lebar si
Raja
Barong. Mata sang Pendekar Mabuk mendelik
dengan mulut ternganga karena tak bisa
bernapas.
"Kau
ingin menggagalkan rencanaku, hah...?!"
geram Raja Barong dengan suara besar dan
menggema.
Tubuh Suto yang ada dalam genggamannya itu
di-
dekatkan ke mulut lebar Raja Barong. Darah
mengalir
terus ke pinggang Pendekar Mabuk. Semakin
meronta semakin dalam kuku itu menembus tubuh
Suto, seakan merusak anggota tubuh bagian
dalam.
Tetapi pada saat itu bumbung tuak masih
tergenggam di tangan Suto. Ketika Raja Barong
melebarkan mulut untuk menelan tubuh Pendekar
Mabuk, dengan kekuatan penghabisan Suto
Sinting
mengangkat bumbungnya dan menghantam ke salah
satu mata makhluk besar itu.
Wuuut, croook...!
"Huaaahhrrr...!"
Teriakan Raja Barong mengguncangkan dinding
tebing. Sebagian batuan runtuh, bahkan ada
yang
pecah karena teriakan itu. Telinga Pendekar
Mabuk
sendiri jadi berdarah dan rasa sakit kian
membuat
Suto mengejangkan tubuhnya. Karena pada saat
itu
genggaman tangan Raja Barong semakin kuat,
seakan ingin meremukkan seluruh tulang tubuh
Pendekar Mabuk.
Tanpa diketahui keduanya, Sang Tiara mencabut
pedangnya, dan menghujamkan ke atas telapak
kaki
Raja Barong yang bersisik keras itu.
Suuutt...!
Jrruuub...!
"Huuuaaahhhrrg...!!"
Teriakan itu mengguncangkan bebatuan dan
dinding tebing lagi. Telinga Suto semakin
rusak, darah
menyembur dari kedua lubang telinga. Tetapi
pada
saat Sang Tiara menancapkan pedangnya dengan
kedua tangan ke kaki Raja Barong, genggaman
tangan Raja Barong sedikit mengendur.
Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk
kerahkan tenaga yang tersisa dan menyodokkan
bumbung tuaknya ke wajah lebar itu. Wuuut...!
Proookkk...!
"Huaaah...!" teriak Raja Barong
sambil
melemparkan Suto ke depan. Tubuh berlumur
darah
itu melayang dan jatuh terhimpit celah dua
batu
besar. Sreeeb...!
"Aaaouh...!" Suto Sinting sendiri
memekik keras,
tapi suaranya tertutup oleh raungan suara
Raja
Barong yang menggema ke mana-mana.
Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah digunakan
Suto
Sinting untuk menyodok wajah raja para jin
itu.
Akibatnya, wajah itu pun memar membiru,
sisiknya
mulai rontok satu persatu. Sementara itu,
ulah Raja
Barong yang sekarat membuat batu-batu
beterbangan, sebagian jatuh ke jurang,
sebagian
pecah dan terlempar ke mana-mana.
"Huaaaa...!"
Akhirnya Raja Barong tergelincir jatuh ke
jurang
tanpa dasar dengan meninggalkan suara jeritan
yang
memanjang dan menggetarkan alam sekitarnya.
Siapa pun yang terkena jurus 'Mabuk Lebur
Gunung'
akan mati membusuk tak akan tertolong lagi.
Demikian pula halnya nasib Raja Barong yang
lenyap
ditelan jurang tanpa dasar itu.
Sang Tiara segera menolong Pendekar Mabuk
yang terjepit dua batu. Dengan satu sodokan
pangkal
telapak tangan, salah satu batu itu hancur,
lalu tubuh
Suto dibawa turun dan dibaringkan di tanah
berdebu
merah.
"Tuangkan tuak ke... ke
mulutku...," pinta Suto
dengan suara berat dan napas
tercengap-cengap.
Sang Tiara menuangkan tuak ke mulut, tuak pun
terminum oleh Pendekar Mabuk. Dengan begitu,
maka seluruh luka yang diderita Pendekar
Mabuk
terobati oleh kesaktian tuak tersebut.
"Terima kasih. Kalau kau tidak
menolongku, aku
hampir mati ditelan raja jin itu!" ujar
Suto Sinting
setelah merasa kekuatannya pulih kembali.
"Kita harus segera menghadap Eyang Putri
Batari."
"Mengapa tampaknya kau
terburu-buru?"
"Tidakkah kau mendengar suara gemuruh
itu?"
"Ya. Kudengar suara gemuruh dari
gema
reruntuhan tebing, bukan?"
"Bukan. Itu suara gemuruh para siluman
dan para
jin yang mendengar suara kematian Raja
Barong. Kita
harus beri kepastian kepada mereka, bahwa
Raja
Barong telah mati di tanganmu, biar mereka
tunduk
kepadamu!"
"Baiklah. Aku menurut saja dengan
saranmu,
karena aku di sini cuma sebagai tamu."
Sang Tiara tersenyum. Mereka segera bergegas
ke Gerbang Siluman yang terdengar riuh serta
gaduh
itu.
"Benarkah mereka akan tunduk padaku jika
mereka tahu akulah yang membunuh Raja
Barong?!
Oh, persetan dengan mereka. Mau tunduk atau
tidak,
yang jelas aku harus dapatkan keterangan dari
Eyang
Putri Batari tentang 'Tuak Dewata' itu.
Mudah-
mudahan Eyang Putri Batari jangan memberi
jawaban
'tidak tahu' terhadap Tuak Dewata' yang
kucari itu!"
pikir Suto Sinting sebelum menengadahkan
kedua
tangannya. Telapak tangan itu segera
ditumpangi
telapak tangan Sang Tiara. Mereka memejam
mata
dan laaabb...!
Mereka lenyap seketika dan akan muncul di
Gerbang Siluman
SELESAI
Segera terbit!!!
GERBANG SILUMAN
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon