1
LEMBAH
tandus tanpa tanaman sebatang pun itu
diselimuti
oleh kabut yang membayang. Kabut tipis
bergerak
berarak-arak dengan lamban. Wilayah yang
dilapisi
kabut itu cukup luas dan tinggi.
Sepasang
bukit kembar tampak membayang jauh di
belakang
wilayah berkabut itu. Dengan lain perkataan,
lembah
tandus itu adalah lembah yang sepi, kosong,
tanpa
makhluk yang menghuninya. Bahkan Pendekar
Mabuk
cenderung mengatakan lembah itu sebagai
padang
kabut berhawa sejuk.
Tapi
anehnya Sang Tiara mengatakan, "Kita sudah
sampai
di depan Gerbang Siluman. Berjalanlah lebih
dulu
karena kau yang punya kepentingan temui Eyang
Putri
Batari!"
Pemuda
tampan berperawakan tinggi, gagah, dan
kekar
itu memandangi gadis berpakaian serba merah
yang
bernama Sang Tiara itu. Tentu saja pandangan
mata
si murid sinting Gila Tuak terhadap gadis itu bukan
pandangan
nakal atau berbau mesum, melainkan bernada
penuh
keheranan terhadap ucapan si gadis tersebut.
Pendekar
Mabuk yang akrab pula dipanggil dengan
nama
Suto Sinting itu mengakui bahwa ia memang
punya
keperluan dengan Eyang Putri Batari sehubungan
dengan
obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan
penyakit
sang Guru; si Gila Tuak. Obat itu adalah 'Tuak
Dewata',
sesuai dengan perkataan roh sejati si Gila Tuak
yang
bicara tentang 'Tuak Dewata' sebagai penyembuh
sakitnya
nanti.
Pendekar
Mabuk juga membenarkan Sang Tiara
tentang
keperluan menemui Eyang Putri Batari adalah
keperluan
pribadinya atas saran Ratu Kartika Wangi,
calon
mertuanya itu. Menurut sang Ratu, kemungkinan
besar
Eyang Putri Betari yang sebagai ibunya sang Ratu
itu
mengetahui tentang 'Tuak Dewata', sehingga ada
baiknya
jika Suto Sinting mencoba menanyakan hal itu
kepada
Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman.
Untuk
menunjukkan kesungguhannya, Pendekar
Mabuk
yang sebagai panglima atau Manggala Yudha
Kinasihnya
Ratu Kartika Wangi itu diperintahkan untuk
melawan
raja jin yang bernama Raja Barong. Raja
Barong
ingin membebaskan para siluman yang ditawan
di
Gerbang Siluman atas bujukan Durmala Sanca alias
Siluman
Tujuh Nyawa, musuh utama sang Pendekar
Mabuk.
Dan ternyata dalam usahanya menggagalkan
penyerangan
Raja Barong, Pendekar Mabuk bukan
hanya
berhasil menundukkan saja, namun juga berhasil
membunuh
si raja para jin itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk
dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
Sang
Tiara yang ditunjuk oleh Ratu Kartika Wangi
untuk
menjadi pemandu Suto dalam perjalanan ke
Gerbang
Siluman, ternyata telah keluarkan ucapan yang
janggal
di hati Suto. Dari semua perkataan Sang Tiara
tadi,
hanya satu hal yang membuat Suto Sinting merasa
janggal
serta heran.
"Kita
sudah tiba di depan Gerbang Siluman?!"
Pendekar
Mabuk mempertegas ucapan itu dengan nada
tak
percaya.
"Di
depan kita itulah Gerbang Siluman," ujar Sang
Tiara
sambil memandang daerah yang dinamakan oleh
Suto
sebagai padang kabut.
"Candamu
lucu juga, Tiara. Padang kabut kau
katakan
Gerbang Siluman. He, he, he...! Aku merasa
seperti
orang buta mendadak jika kau bilang begitu."
"Rupanya
kau belum diberi tahu oleh Gusti Kartika
Wangi."
"Diberi
tahu tentang apa?!"
"Cara
memandang Gerbang Siluman."
Suto
membetulkan letak bumbung tuak yang
digantungkan
di pundak kanannya.
"Caranya
bagaimana, maksudmu?"
"Tarik
napas dalam-dalam, tahan di dada, pejamkan
mata
sebentar, lalu buka mata bersama hembusan napas
memanjang,"
Sang Tiara menjelaskan, dan Pendekar
Mabuk
semakin memandang aneh, karena merasa baru
kali
itu mendengar aturan tersebut.
Tetapi
rasa penasaran Suto membuatnya ingin
mencoba
apa yang diajarkan Sang Tiara itu. Ia menarik
napas
panjang, ditahan di rongga dada, matanya
dipejamkan
sebentar, kemudian mata dibuka lagi
bersama
napas dihembuskan lewat mulut.
"Huuuufh...!"
Deg!
Suto Sinting kaget. Matanya kian melebar.
Pandangannya
tertuju ke arah depan, tempat yang
dikatakan
sebagai ladang kabut itu ternyata berubah
dalam
sekejap. Kabut memang masih ada, tapi kabut itu
kini
membungkus bangunan bertembok tinggi bagaikan
benteng
batu yang kekar dan besar. Tapi anehnya lagi,
bangunan
itu tidak mempunyai pintu. Temboknya rata
bagai
tak berlubang seujung jarum pun. Hanya saja,
tepat
di depan Suto Sinting dan Sang Tiara itu terdapat
sebuah
gapura dari batu hitam bersusun-susun
sedemikian
rupa membentuk tiang gawang, seperti
gapura-gapura
model Jepang.
Letak
gapura batu itu dengan dinding tinggi-hitam
sekitar
dua puluh tombak. Jadi masih jauh dari dinding
tersebut.
Seolah-olah gapura batu hitam itu hanya
sebagai
tanda bahwa seseorang yang berada di depan
gapura
tersebut sama saja sudah berada di wilayah
Gerbang
Siluman.
"Aneh...,"
Suto Sinting menggumam dengan mata
memandang
bangunan di depannya, dahi berkerut dan
mulut
masih sedikit ternganga. Sementara itu, Sang
Tiara
masih belum mau melangkah mendahului Suto. Ia
hanya
berdiri di samping Suto, menyelipkan kedua
jempol
tangannya ke dalam sabuk dan sikap berdirinya
tampak
tegar, penuh keberanian, namun juga berkesan
cuek
dengan kebingungan Suto Sinting.
"Benarkah
bangunan batu hitam itu adalah Gerbang
Siluman?"
tanya Suto Sinting masih kurang yakin
dengan
penglihatannya sendiri. Maklum, kali ini ia
berada
di alam gaib, bukan di alam nyata, jadi cukup
banyak
keanehan-keanehan yang sering membuatnya
tercengang
atau bingung sendiri.
Sang
Tiara menanggapi kesangsian Suto tadi dengan
dagu
sedikit diangkat, sehingga kecantikannya tampak
mengandung
kadar keangkuhan, walau hanya sekilas dua
kilas.
"Kau
pikir yang di depan kita itu kandang kebo?"
Suto
tersenyum geli-geli malu.
"Masuklah,
aku tak berani mendahuluimu masuk ke
Gerbang
Siluman," tambah Sang Tiara yang berambut
cepak
dan kepalanya dililit logam emas berukuran kecil.
"Apakah...
apakah kita berada di bagian belakang
Gerbang
Siluman?" tanya Suto sambil melayangkan
pandangannya
ke tembok batu besar itu.
"Tidak.
Kita berada di depan Gerbang Siluman. Kita
tinggal
masuk saja."
"Mana
pintunya? Aku tidak melihat ada pintu pada
tembok
batu yang mirip benteng raksasa itu."
"Namanya
saja Gerbang Siluman, tentu saja pintunya
juga
pintu siluman yang tak mudah dilihat oleh
sembarang
mata," ujar Sang Tiara sambil membetulkan
letak
pedangnya di punggung.
"Jadi,
bagaimana caranya masuk ke Gerbang Siluman
dan
menemui Eyang Putri Batari?!"
"Usaplah
wajahmu tiga kali dengan tangan kiri, maka
kau
akan melihat pintu masuk ke bangunan tersebut!"
Walau
hati merasa heran, tapi Pendekar Mabuk
mencoba
saran Sang Tiara, ia mengusap wajahnya tiga
kali
memakai tangan kiri. Dan begitu selesai mengusap
wajah
tiga kali, matanya segera menemukan pintu masuk
ke
bangunan besar itu.
"Oh,
benar apa katamu, Tiara," gumam Suto Sinting.
Pintu
tersebut berbentuk lengkung bagian atasnya.
Daun
pintunya terbuat dari lempengan batu besar yang
tidak
sembarang orang mampu menggeser atau
membuka
pintu tersebut. Di depan pintu ada jembatan
kayu,
karena bangunan itu bagai berada di tengah danau
tak
berair, namun berkabut tebal.
Langkah
Pendekar Mabuk tampak tegap. Tetapi
langkah
itu segera terhenti karena Sang Tiara mencekal
lengan
pemuda tampan berambut panjang lurus
sepundak
itu.
"Ada
apa lagi?" tanya Suto sambil memandang Sang
Tiara.
"Lewatlah
tengah gapura ini!"
"Apa
bedanya jika kita melangkah melalui samping
gapura,
toh tidak ada pagar dan batasan lainnya?"
"Kau
tidak akan sampai ke pintu gerbang itu jika
tidak
melalui jalan tengah gapura ini, Suto! Siapa pun
yang
tidak melalui jalan gapura akan tersesat dan tak
akan
dapat temukan jalan keluarnya. Kau akan hilang
lenyap
tak berbekas!"
Pendekar
Mabuk menggumam dan manggut-
manggut.
"Gadis ini benar-benar menjadi pemandu yang
baik,"
pikirnya, "Ia bukan saja menunjukkan jalan yang
benar,
tapi juga menjelaskan akibat-akibatnya. Tak salah
Ibu
Ratu membekaliku pemandu secantik Tiara ini."
Tanpa
panduan dari Sang Tiara, mungkin Suto akan
sampai
di tempat lain dan menemukan masalah yang
lebih
banyak lagi. Sang Tiara bukan saja sebagai
pemandu,
namun juga termasuk sebagai kunci masuk ke
Gerbang
Siluman. Karena dua penjaga Gerbang Siluman
yang
terdiri dari dua pemuda tampan berpakaian serba
putih
dan masing-masing memegang tombak berujung
trisula
itu, tak jadi banyak tanya kepada Suto begitu
melihat
Sang Tiara ada bersama Pendekar Mabuk. Sebab
wajah
dan nama Sang Tiara sudah bukan asing lagi bagi
para
penjaga Gerbang Siluman. Bahkan tegur sapa
mereka
menampakkan sikap persahabatan yang tinggi
antara
orang-orang Gerbang Siluman dengan pihak Puri
Gerbang
Surgawi.
Namun
biar bagaimanapun juga, Sang Tiara dan
Pendekar
Mabuk tetap harus mengisi buku tamu, dan
masing-masing
mendapat lempengan logam merah
tembaga
berbentuk segi tiga. Logam merah tembaga
yang
ketiga sisinya berukuran setengah kelingking itu
disematkan
di dada kiri sebagai lencana pengganti kartu
nama.
"Lencana
ini dapat dipakai untuk bicara dengan
Eyang
Putri Batari," ujar Sang Tiara kepada Suto
Sinting.
"O,
ya? Caranya bagaimana?"
"Tempelkan
tangan kanan kita menutup segi tiga ini,
lalu
bicaralah apa saja kepada Eyang Putri maka kau
akan
mendengar jawabannya."
Hati
pemuda tampan berbaju tanpa lengan warna
coklat
serta celana putih lusuh itu mulai digelitik rasa
penasaran.
Maka ia pun mencoba apa kata Sang Tiara
itu.
Ia menempelkan telapak tangan kanannya sambil
memandang
ke arah kedua penjaga yang tetap
memberikan
senyum keramahan.
"Hallo,
di sini Suto Sinting, di situ siapa? Ganti."
Tiba-tiba
telinga Suto bagaikan menangkap suara
orang
yang bicara dalam jarak satu langkah dari
sampingnya.
"Manggala
Yudha utusan putriku, cepat temui aku
dan
jangan bercanda dulu."
"Tiara...
aku mendengar suara merdu seorang
perempuan,"
ucap Suto dalam bisikan.
"Itulah
suara Eyang Putri!" Sang Tiara balas berbisik
dengan
nada sedikit tegang. "Kau jangan ngomong
sembarangan
lho!"
Suto
pun menjadi takut, ia segera berkata sambil tetap
memegang
lencana merah tembaga itu.
"Maaf,
Eyang... saya tidak tahu kalau tanda tamu ini
benar-benar
bisa dipakai bicara kepada Eyang Putri."
"Masuklah
dan segera temui aku, Manggala perkasa!"
"Eh,
Tiara... sekarang julukanku di sini diganti.
Bukan
Manggala Yudha tapi Manggala Perkasa."
"Perkasa
itu kata sanjungan, Tolol!" Sang Tiara
mengulum
senyum geli.
Di
dalam tembok hitam yang tinggi dan panjang itu,
ternyata
terdapat sebuah istana kecil dengan bangunan-
bangunan
beratap candi. Keadaan di dalam Gerbang
Siluman
sangat berbeda dengan di luar. Di situ tanah
tampak
subur dan tanaman jenis rumput serta pepohonan
tumbuh
menghijau tertata rapi. Rumput menghampar
bagaikan
bentangan permadani yang amat luas.
Ternyata
di situ pun ada petugas khusus penyambut
tamu.
Dua petugas itu terdiri dari dua gadis berambut
panjang
dan hanya mengenakan pinjung penutup dada
serta
kain pembungkus pinggul yang meliuk indah.
Para
petugas itu membawa gulungan kain seperti
angkin
warna merah. Gulungan kain itu dibentangkan,
ternyata
gulungan itu bergerak sendiri dari tempat Suto
berdiri
sampai ke ruang pertemuan di dalam istana kecil
itu.
Pendekar Mabuk dipersilakan melangkah mengikuti
jalur
merah itu, sementara Sang Tiara mengikutinya dari
belakang.
Pendekar
Mabuk sangat terkejut ketika mengetahui
bahwa
ternyata Eyang Putri Batari bukan sosok
perempuan
tua bungkuk dan berkulit keriput serta
berpipi
kempot. Eyang Putri Batari mempunyai wajah
cantik,
muda, seperti berusia dua puluh lima tahun.
Bahkan
sangat tak pantas jika dikatakan sebagai ibu dari
Ratu
Kartika Wangi. Karena kecantikan Ratu Kartika
Wangi
itu sendiri seperti berusia dua puluh delapan
tahun,
padahal usia sebenarnya lebih dari delapan puluh
dua
tahun.
Pendekar
Mabuk nyaris tak mau percaya bahwa
perempuan
muda dan cantik itu adalah nenek dari Dyah
Sariningrum,
calon istrinya kelak. Jika Suto Sinting
sudah
menikah dengan Dyah Sariningrum, penguasa
Puri
Gerbang Surgawi di alam nyata yang berkedudukan
di
Pulau Serindu itu, maka berarti perempuan cantik
yang
kini ada di depannya itu adalah neneknya pula.
Janggal
dan lucu sekali kedengarannya jika Suto
memanggilnya
nenek atau eyang.
Tetapi
agaknya Eyang Putri Batari dapat membaca
pikiran
Suto Sinting, sehingga dengan sunggingkan
senyum
manis yang anggun, perempuan berambut putih
rata
bagaikan bulu kelinci itu berkata dengan mata
indahnya
yang bundar memandang tak berkedip ke
wajah
Suto Sinting.
"Seharusnya
kau merasa beruntung bertemu
denganku
dalam keadaan seperti ini, Suto. Kalau kau
bertemu
denganku dalam keadaan sesuai dengan usiaku
yang
melebihi usia Gila Tuak, maka kau akan lari
terbirit-birit
dan merasa jijik melihat tulangku
terbungkus
kulit yang keriput."
"Maaf,
Eyang Putri...," Suto jadi malu sendiri dan
untuk
sesaat tak berani memandang Eyang Putri Batari.
Perempuan
yang menurut Suto wajahnya lebih mirip
Betari
Ayu, kakak Dyah Sariningrum yang kini
mengasingkan
diri di Gunung Kundalini itu, mempunyai
bentuk
dada yang sangat bagus. Tidak terlalu montok,
namun
penuh daya pikat tersendiri. Padat dan berisi.
Kulitnya
yang putih mulus itu dibungkus dengan jubah
sutera
warna hijau muda bertabur butiran intan. Rambut
putihnya
dibiarkan lepas tergerai sepanjang punggung,
tapi
bagian atasnya bersanggul kecil dengan sanggul
dililiti
logam emas berbatuan mirah delima.
Perempuan
itu mempunyai mata bundar berbulu
lentik
yang jika beradu pandang menghadirkan hawa
sejuk
di hati, membuat jiwa yang resah menjadi tenteram
dan
membuat hati selalu merasa damai. Anehnya,
sekalipun
seluruh kecantikan dan keelokan tubuhnya
sempat
membayang di benak Suto, tetapi sedikit pun tak
ada
debar-debar kemesraan yang tumbuh di hati
Pendekar
Mabuk. Pemuda yang biasanya sering
berkhayal
ngeres itu kali ini hanya merasa sangat kagum
terhadap
kecantikan dan keelokan tubuh Eyang Putri
Batari,
tak ada hasrat untuk menciumnya. Bahkan
khayalan
untuk menggenggam tangan perempuan itu
sama
sekali tidak ada di benak Suto.
Tetapi
agaknya sang nenek cantik itu merasa kagum
dengan
ketampanan Suto yang berpenampilan
sederhana,
ia sempat berkata di depan dua pengawalnya
dan
di depan Sang Tiara juga.
"Pemuda
segagah dirimu sangat serasi bila
perjodohan
dengan cucuku; Dyah Sariningrum. Tak
kusangka
aku akan mendapatkan seorang cucu menantu
yang
begitu tampan, kekar, dan perkasa. Ilmunya gila-
gilaan,
tak ada duanya di permukaan bumi maupun di
alam
gaib ini."
Pendekar
Mabuk hanya tertunduk dengan tersipu
malu.
"Ketangkasanmu
dalam bertarung melawan Raja
Barong,
kulihat dari sini dengan jelas melalui mata
batinku.
Kukenali gerakan jurus-jurusmu sebagai
gerakan
jurus-jurus milik seseorang yang sangat dekat
dengan
hatiku."
Sebenarnya
Suto ingin ajukan tanya tentang siapa
orang
yang sangat dekat dengan hati Eyang Putri Batari
itu.
Tetapi ia tak punya keberanian memotong
pembicaraan
perempuan cantik yang anggun dan tampak
sangat
berkharisma itu. Maka, Suto pun hanya
bungkamkan
mulut dalam keadaan tetap duduk bersila di
depan
Eyang Putri Batari.
"Hanya
saja, sangat disayangkan sekarang darahmu
telah
tercemar oleh darah siluman tulen."
Kata-kata
ini membuat Pendekar Mabuk menjadi
deg-degan
dan segera teringat tentang ilmu 'Dewatakara'
pemberian
Payung Serambi, sang prajurit unggulan dari
Istana
Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam
episode : "Geger Selat Bantai"). Suto tidak tahu
bahwa
masuknya ilmu 'Dewatakara' dalam dirinya
membuat
ia menjadi berdarah siluman dan hanya bisa
kawin
dengan rakyat Laut Kidul.
Eyang
Putri Batari berkata lagi, "Tetapi aku maklum,
keterbatasan
manusia kadang tak bisa disalahkan begitu
saja.
Barangkali memang sudah menjadi takdir bahwa
kau
menjadi pemuda berdarah siluman."
"Maaf,
Eyang Putri....," kini Suto berani menyela kata
karena
Eyang Putri Batari diam beberapa saat lamanya.
"Apakah
selamanya saya akan menjadi manusia
berdarah
siluman?"
Dengan
senyum wibawa yang memancarkan
kecantikan
lebih tinggi lagi itu, Eyang Putri Batari
geleng-gelengkan
kepala sangat pelan.
"Semua
ini adalah perjalanan hidupmu, Suto Sinting.
Perjalanan
hidup yang sudah digariskan harus begitu tak
bisa
dihindari oleh siapa pun. Seseorang yang berusaha
menghindari
garis hidupnya maka ia akan menemukan
penderitaan,
sakit, dan kecewa. Tetapi orang pandai akan
mengikuti
alur kehidupannya sesuai dengan garis,
sehingga
tidak terasakan sakit, kecewa, dan duka."
"Jadi...
saya masih punya harapan untuk tetap
berjodohan
dengan Dyah Sariningrum, Eyang?!"
"Lihat
saja nanti. Tergantung bagaimana keadaan
gurumu;
si Gila Tuak itu."
Pendekar
Mabuk termenung sebentar. Hatinya
membatin,
"Sepertinya Kakek Guru punya peranan
penting
dalam memulihkan keadaanku yang berdarah
siluman
ini. Tetapi bagaimana mungkin Kakek Guru itu
bisa
menyempurnakan kembali darahku, jika beliau sakit
dan
aku tak berhasil dapatkan 'Tuak Dewata' itu?
Bukankah
jika 'Tuak Dewata' tak berhasil kudapatkan,
berarti
Guru kehilangan nyawanya?"
"O,
kau bicara tentang 'Tuak Dewata' rupanya?" tegur
Eyang
Putri Batari yang membaca pikiran Suto dan
mendengar
kata batin sang pendekar tampan itu.
"Benar,
Eyang Putri.... Ibu Kartika Wangi mengutus
saya
untuk menemui Eyang Putri dan menanyakan
tentang
Tuak Dewata' itu."
"Putri
ragilku memang selalu melimpahkan kesulitan
kepadaku,"
kata Eyang Putri Batari sambil mengenang
wajah
putri ragilnya: Sang Ratu Kartika Wangi.
"Apa
yang kau cari itu sebenarnya tidak ada, Suto."
Deeeg.
.! Jantung Suto bagai disentakkan dari dalam.
Harapan
untuk dapatkan 'Tuak Dewata' agaknya semakin
jauh.
Walau ia sudah memburu ke alam gaib dan
bertanya
pada tokoh sakti kelas tinggi di alam tersebut.
Pendekar
Mabuk menjadi resah. Tapi begitu
memandang
sorot mata Eyang Putri Batari,
keresahannya
lenyap seketika dan kedamaian muncul
bersama
ketenangannya.
"Lebih
tepatnya, aku tidak tahu tentang 'Tuak
Dewata'
itu," sambung Eyang Putri Batari. "Penyakit
yang
diderita gurumu adalah penyakit hukuman.
Gurumu
mempunyai satu ilmu yang belum diturunkan
kepada
muridnya. Padahal dalam batas usianya yang
sekarang,
seharusnya ilmu itu sudah diturunkan atau
dibuang.
Gurumu lupa menurunkannya padamu,
sehingga
ia termakan hukuman dari kelalaiannya itu."
"O,
begitu ya. Eyang?!" Suto Sinting jadi tampak
serius,
karena baru sekarang ia mengetahui bahwa
gurunya
masih punya satu ilmu yang belum diturunkan
padanya.
"Bagaimana
kalau Guru menurunkan ilmu itu
sekarang
juga pada saya, apakah bisa menyembuhkan
sakitnya.
Eyang Putri?"
Calon
nenek mertua itu menggelengkan kepala.
"Tak
mungkin Gila Tuak dapat turunkan ilmu itu
kepadamu
sekarang, sebab ia dalam keadaan sakit parah.
Satu-satunya
cara harus sembuhkan dulu si Gila Tuak
dan
ingatkan padanya bahwa ia punya satu ilmu yang
harus
diturunkan atau dibuang."
"Tapi
menurut roh sejati Kakek Guru, kesembuhan
itu
akan datang jika saya sudah dapatkan 'Tuak Dewata'.
Sedangkan
Ibu Ratu dan Eyang Putri mengatakan 'Tuak
Dewata'
itu tidak ada. Lalu, saya harus berbuat apa jika
begini,
Eyang Putri?!"
"Ada
cara yang mungkin bisa kau tempuh untuk
mengetahui
rahasia 'Tuak Dewata' itu. Kusarankan agar
kau
bertapa dan meminta petunjuk Hyang Maha Dewa
tentang
tuak tersebut."
Pendekar
Mabuk manggut-manggut renungi kata-kata
Eyang
Putri Batari.
"Sucikan
dirimu, bersihkan batinmu, lakukanlah
semadi
yang dinamakan 'Tapa Layang' selama empat
puluh
hari," tambah Eyang Putri Batari dengan
menampakkan
sikap ingin membantu kesulitan Suto
Sinting.
"Tapa
Layang itu bagaimana, Eyang?"
"Jika
duduk atau berdiri jangan menyentuh tanah, jika
menggantung
jangan berpegangan pada benda apa pun,"
jawab
Eyang Putri Batari. "Syukur kurang dari empat
puluh
hari kau sudah mendapat wangsit dari Hyang
Maha
Dewa tentang 'Tuak Dewata' itu. Seandainya
tidak,
aku yakin pada hari keempat puluh dari bertapamu
itu
kau akan mendapatkan petunjuk dari Hyang Maha
Dewa
tentang kesulitanmu itu. Apakah kau sanggup,
calon
mantu cucuku?"
"Sanggup
sekali, Eyang Putri."
"Tapi
ingat, kau bertapa di alam gaib, maka
godaanmu
akan sangat besar dibanding bertapa di alam
nyata.
Para siluman yang masih berkeliaran dan tidak
terperangkap
dalam tawananku, pasti akan datang
mengganggumu.
Untuk itu, akan kuutus Sang Tiara
mendampingi
tapamu di Gua Pedupan, tak jauh dari
tempat
ini."
Kemudian
Eyang Putri Batari bicara kepada Sang
Tiara.
"Tiara,
sanggupkah kau mendampingi Manggala
Yudha-mu
dalam lakukan Tapa Layang nanti?"
"Dengan
senang hati, saya tak akan tinggalkan Gusti
Manggala
Yudha, Eyang Putri," jawab Sang Tiara
dengan
tegas sambil memberi hormat.
"Aku
percaya padamu. Kartika tak pernah salah
memilih
prajurit unggulan sepertimu. Aku senang sekali
mendengar
kesanggupanmu. Tiara. Bantulah calon
suami
cucuku ini, maka akan kusiapkan penghargaan
khusus
untukmu."
"Terima
kasih, Eyang Putri!" sambil Sang Tiara
tundukkan
kepala penuh hormat.
"Berangkatlah
kalian ke Gua Pedupan sekarang juga.
Karena
kurasakan sakitnya si Gila Tuak semakan parah.
Lewat
dari empat puluh hari lagi nyawanya tak akan
dapat
tertolong."
Pendekar
Mabuk tersentak kaget dan menjadi tegang.
*
*
*
2
ALAM
gaib itu sepertinya tak pernah ada siang dan
tak
pernah ada malam. Suasananya seperti menjelang
sore
pada saat langit mendung. Agaknya suasana seperti
itu
akan abadi sepanjang masa.
Pendekar
Mabuk tak tahu apakah ia berangkat ke Gua
Pedupan
menjelang sore hari atau tengah malam. Dalam
perjalanannya
yang didampingi Sang Tiara itu, Suto
tidak
mempersoalkan tentang siang atau malam. Hal itu
hanya
terlontar dalam gumam lirihnya saja. Tetapi yang
menjadi
persoalan yang perlu dibicarakan oleh Suto
adalah
tentang keadaannya yang telah tercemar oleh
darah
siluman itu.
"Mengapa
Eyang Putri dan Ibu Ratu, termasuk dirimu
juga
agaknya, selalu mempersoalkan tentang diriku yang
telah
berdarah siluman?! Bukankah kalian juga termasuk
siluman?!"
"O,
jangan salah! Kami bukan siluman. Kami
manusia
sepertimu, tapi punya keabadian dan kesaktian
melebihi
manusia sepertimu."
"Melebihi...?!"
kata-kata itu sengaja ditekankan oleh
Suto
membuat Sang Tiara segera sadar dan tak enak hati.
"Maksudku,
punya banyak kelebihan dibanding
manusia
yang hidup di alam nyata. Di sini kami tinggal
bersama
keabadian, termasuk keabadian usia, keabadian
raga,
keabadian kecantikan, keabadian batin dan
sebagainya.
Orang-orang yang mati moksa atau lenyap
tanpa
bekas, sebenarnya punya kehidupan sendiri di
alam
kami ini, Suto. Mungkin suatu saat kau akan
bertemu
dengan mereka yang moksa dari alam nyata."
"O,
jadi kalian sebenarnya bukan roh yang
bergentayangan?"
"Bukan,"
tegas Sang Tiara. "Roh yang
bergentayangan
atau dzat orang yang telah mati, dia
menjelma
dan hidup kembali di alam kelanggengan.
Hampir
sama dengan alam keabadian ini. Bedanya, alam
kelanggengan
dihuni oleh para roh yang menunggu saat
penghakiman
di hari akhir tiba. Alam kelanggengan itu
ada
di sebelah sana," sambil Sang Tiara menunjuk ke
arah
kirinya.
"Di
sana mereka bercampur baur dengan jin, siluman,
hantu
atau hal-hal lain yang bersifat gelap. Karena itu
alam
kelanggengan mereka sering kita beri sebutan alam
kegelapan."
"Apakah
dengan begitu maka alam kita sekarang ini
adalah
alam surga?"
"Bukan
juga alam surga. Kehidupan surgawi masih
ada
di atas kita, seakan tingggal satu jangkauan lagi.
Sebab
itulah, maka negeriku dinamakan Puri Gerbang
Surgawi.
Artinya, sebentar lagi memasuki gerbang
surgawi
jika kami benar-benar telah mencapai
kesempurnaan
dalam hidup. Tetapi untuk mencapai
kesempurnaan
itu ternyata bukan hal yang mudah. Tidak
semua
orang mampu mencapainya ke sana."
Pendekar
Mabuk manggut-manggut dan merasa
tertarik
sekali dengan penjelasan tersebut. Sayang
percakapan
mereka harus dihentikan, pengupasan
tentang
kedua alam itu harus ditangguhkan, karena
mereka
sudah mencapai sebuah lembah bertebing tinggi.
Di
sana tampak sebuah mulut gua yang menganga lebar
dengan
bebatuan menyerupai bambu-bambu berdiri
sebagai
pagar mulut gua tersebut.
"Tunggu
sebentar," cegah Sang Tiara sambil
mencekal
lengan Pendekar Mabuk.
"Ada
apa, Tiara? Kau selalu mengejutkan hatiku."
"Kita
salah alamat," ujar Sang Tiara dengan suara
berbisik.
"Yang di depan kita pasti bukan Gua Pedupan
asli.
Tempat itu pasti jebakan maut yang akan
mencelakakan
diri kita, Suto."
"Dari
mana kau tahu?"
"Biasanya
sebelum mencapai lembah ini, kita akan
berhadapan
dengan Kalabolong."
Pendekar
Mabuk kerutkan dahinya. "Siapa itu
Kalabolong?"
"Penjaga
Lembah Pedupan. Hanya orang yang
mampu
kalahkan Kalabolong boleh bertapa di Gua
Pedupan.
Sebab Gua Pedupan bukan gua sembarangan,
melainkan
gua yang sering digunakan untuk bertapa para
tokoh
tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa tokoh
yang
mau bertapa itu berilmu tinggi, maka Kalabolong
selalu
hadir untuk merintanginya. Tak jarang orang yang
mau
bertapa terpaksa lari pulang karena tak sanggup
hadapi
kekuatan Kalabolong."
"Hmmm...,"
Pendekar Mabuk manggut-manggut.
Sementara
gadis cantik berbibir ranum itu memandang
sekeliling
dengan jeli, Suto sempatkan diri untuk
meneguk
tuaknya dari bumbung bambu yang ke mana-
mana
selalu dibawanya itu.
"Gila!"
suara Sang Tiara terdengar menggumam. "Di
sebelah
kanan kita juga ada gua yang serupa dengan gua
depan
kita!"
Suto
memandang arah kanan. "Hmmm... benar juga.
Susunan
batu dan bentuk mulut gua itu sama persis
dengan...."
"Di
belakang kita juga ada gua serupa."
Pendekar
Mabuk berpaling ke belakang. "Benar-
benar
gila ini!" gumamnya setelah mengetahui di
belakangnya
juga ada gua yang serupa dengan gua di
depannya.
"Hmmm...
lihat, di sebelah kiri kita juga ada gua yang
sama!"
Dua
orang itu dibuat bingung oleh persamaan dari
keempat
gua tersebut. Bahkan bukan saja bentuk dan
susunan
bebatuannya yang sama, melainkan suasana
sekelilingnya
juga sama, sehingga mereka merasa
berhadapan
dengan cermin empat sisi.
"Pasti
ini ulah si Kalabolong yang ingin
menjerumuskan
kita!" geram Sang Tiara dengan mata
melirik
tajam penuh waspada.
"Bagaimana
cara membedakan gua yang asli dan
yang
jebakan?" tanya Suto Sinting yang agaknya
menjadi
bingung sendiri itu.
Setelah
diam sesaat, Sang Tiara perdengarkan suara.
"Seingatku,
Gua Pedupan yang asli berlapis udara
baja."
"Maksudnya
udara baja?"
"Tidak
mudah dihancurkan karena udaranya
mengandung
kekuatan baja gaib."
"Kalau
begitu, akan kucoba menghantamnya dengan
pukulan
jarak jauh bertenaga tinggi!" kata Suto, lalu
tangannya
segera menyentak ke depan dan seberkas
sinar
biru melesat dari tangan itu. Claaap...!
Jegaaarrr...!
Jurus
'Tangan Guntur' menghantam gua yang ada di
depan
mereka. Gua itu langsung hancur dengan bunyi
gemuruh
yang menggetarkan tempat mereka berdiri.
Sang
Tiara tak mau kalah, ia pun lepaskan jurus aneh
dari
telunjuknya. Hanya dengan satu jari menuding dan
menyodok
ke depan maka sinar merah lurus melesat dari
ujung
jari dan menghantam gua sebelah kiri mereka.
Claaap...!
"Jegaaarrr...!
Gua
sebelah kiri hancur. Pada saat itu, Suto Sinting
lepaskan
kembali jurus 'Tangan Guntur'-nya. Claaap...!
Sinar
biru menghantam gua sebelah kanan.
Jegaaarrr...!
Kini
tiga dari empat gua kembar sudah dihancurkan
oleh
mereka. Tinggal gua yang ada di belakang mereka
dalam
jarak sekitar tiga puluh tombak.
"Berarti
gua di belakang kita itu yang asli. Tiara!"
ujar
Suto Sinting.
"Aku
masih sangsi juga."
Claaap...!
Tiba-tiba sinar merah dari telunjuk Sang
Tiara
melesat lagi dan menghantam dinding mulut gua
tersebut.
Jegaaarrr...!
Ternyata
gua belakang mereka itu juga hancur.
Pendekar
Mabuk menjadi terbengong dan clingak-
clinguk
kebingungan.
"Kau
bilang Gua Pedupan yang asli mempunyai
udara
berlapis baja. Tapi kenapa sekarang gua itu juga
hancur?"
"Berarti
gua itu juga gua palsu ciptaan Kalabolong."
"Lalu
mana gua yang asli?!"
Tiba-tiba
ada suara yang menjawab dari belakang
mereka,
"Gua
yang asli ada di tanganku! Huah, hah, hah,
hah...!"
Mereka
berpaling cepat dan segera temukan sesosok
tubuh
berkepala empat.
"Itu
dia Kalabolong!" bisik Sang Tiara kepada Suto.
Suto
memandang dengan mata sedikit mengecil, tapi
ia
tampak tenang dan tali bumbung tuaknya mulai melilit
pada
genggamannya.
Kalabolong
memang mempunyai empat kepala yang
menghadap
ke empat arah; depan, belakang, dan
samping
kanan-kiri. Tapi ia mempunyai satu badan,
bagian
depan dan belakang. Perut itu mempunyai pusar
yang
bolong, berlubang sebesar kelereng dan tembus
sampai
belakang. Seseorang bisa saja mengintip dari
lubang
tersebut jika iseng dan diizinkan oleh si
Kalabolong.
Makhluk
aneh tanpa rambut selembar pun itu
mempunyai
empat tangan dan empat kaki; sepasang
menghadap
ke depan, sepasang lagi menghadap ke
belakang.
Tubuh
kelingnya yang besar walau tak sebesar Raja
Barong,
hanya mengenakan cawat dari bahan semacam
kulit
binatang berwarna merah kecoklatan. Kulitnya itu
tampak
berminyak dan menyebarkan bau langu tak
sedap.
Dari
keempat kepala, masing-masing mempunyai
sepasang
mata yang lebar tanpa bulu mata maupun alis.
Hidungnya
bundar tapi pipi mirip telur ceplok. Mulutnya
berbibir
tebal, warna bibirnya putih bintik-bintik hitam.
Mulut
itu lebar, namun tak cukup untuk memakan
manusia.
Masing-masing kepala mempunyai gigi
bertaring
tak panjang namun kelihatan runcing dan
menyeramkan.
Warnanya kuning kehijauan.
"Tak
pernah gosok gigi anak ini," gumam Suto dalam
hatinya.
"Yang kubingungkan, bagaimana jongkoknya
jika
kakinya ada empat begitu? Orangbisa dibuat
bingung
melihat dia berjalan; maju atau mundur.
Hmmm...
kurasa inilah yang dinamakan maju kena
mundur
kena. Agaknya aku harus hati-hati melawan dia.
Sebaiknya
yang kuserang pusat kelemahannya saja."
Sang
Tiara serukan kata kepada makhluk aneh itu.
"Kalabolong,
kali ini kau akan celaka jika halangi
niat
kami. Keluarkan Gua Pedupan dari genggamanmu,
karena
Manggala Yudha-ku akan bertapa di gua itu!"
"Huah,
hah, hah, hah, hah, haaaaaah... capek!"
Kalabolong
melangkah mengitari Pendekar Mabuk
sambil
tubuhnya sendiri berputar pelan supaya semua
mata
pada kepalanya bisa memandang jelas ke arah
Pendekar
Mabuk.
"Aku
tak percaya kalau bocah ingusan ini adalah
Manggala
Yudha-mu, Tiara! Terlalu ingusan dia. Buang
ingus
saja belum bisa sudah mau berlagak bertapa
segala!"
"Kalabolong,
kuingatkan sekali lagi, jangan halangi
niat
Manggala Yudha-ku kalau kau tak ingin celaka!"
Salah
satu tangan yang menggenggam diacungkan ke
atas.
Kalabolong berseru dengan suaranya yang serak
itu.
"Kalau
bocah ingusan ini bisa tumbangkan diriku,
akan
kuserahkan Gua Pedupan kepadanya!"
Dalam
hati Suto hanya menggumam, "Gila! Gua bisa
berada
dalam genggamannya. Sakti juga makhluk
berkepala
empat ini?!"
Saat
itu, Sang Tiara segera berbisik kepada Suto.
"Gua
itu ada dalam genggamannya. Paksa dia agar
keluarkan
gua tersebut. Tapi hati-hati, ludahnya
mengandung
racun yang amat ganas. Hindari ludahnya
dan
kuku-kuku di tangannya itu."
"Bagaimana
kalau kutinggal lari saja?"
"Ah,
masa' seorang Manggala Yudha tak berani
hadapi
makhluk macam dia?!" kecam Sang Tiara. Suto
hanya
sunggingkan senyum kecil.
"Maksudku,
akan kuajak adu kecepatan berlari. Jika
dia
kalah harus serahkan gua itu dan jika aku kalah aku
tak
jadi pakai gua itu."
"Cobalah
bicara padanya!"
"Kalabolong!"
suara Suto terdengar lantang dan
tegas.
"Apa
maumu. Bocah umbelan?!"
"Daripada
kita adu jotos, bagaimana jika lebih baik
kita
adu kecepatan berlari. Siapa menang berhak
menggunakan
gua itu untuk keperluannya apa saja, yang
kalah
harus rela meninggalkan gua tersebut."
"Huah,
hah, hah, hah, hah...! Kau pikir aku anak kecil
yang
masih suka adu lari?"
"Kau
mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya
dua.
Masa' kau kalah cepat dariku?!" pancing Suto.
"Kalau
memang kau tak mampu lari dengan empat kaki,
potonglah
keempatnya dan larilah pakai keempat
tanganmu.
Kalau keempat tanganmu masih kalah juga
adu
lari denganku, potonglah keempat tanganmu itu...."
"Lalu
aku lari pakai apa?!"
"Larilah
pakai lidahmu," jawab Pendekar Mabuk
bernada
seenaknya, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Merasa
mempunyai empat kaki, Kalabolong malu
jika
dikatakan kalah adu cepat dengan Pendekar Mabuk.
Maka
ia pun menyanggupi perlombaan adu lari itu.
"Baik.
Kuturuti tantanganmu. Tapi dengan satu
syarat,
kau harus kuludahi dulu! Cuuuih...!"
Tiba-tiba
Kalabolong meludah menggunakan mulut
bagian
depannya. Ludah itu berwarna biru kental dan
melayang
cepat ke wajah Suto.
Zlaaap...!
Suto Sinting bagaikan lenyap seketika dan
ludah
itu tidak mengenai sasaran. Padahal Suto tadi
bergerak
cepat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang
kecepatannya menyamai kecepatan cahaya,
melebihi
kecepatan anak panah lepas dari busurnya.
Ludah
itu jatuh ke tanah dan tanah tersebut segera
mengepulkan
asap, lalu menjadi hangus dalam sekejap.
Untung
pada waktu itu Sang Tiara sudah menjauh lebih
dulu,
karena ia khawatir terkena ludah salah sasaran.
Pendekar
Mabuk kini berdiri di belakang Kalabolong,
tapi
tetap saja berhadapan dengan kepala bermulut lebar
yang
segera meludah seperti tadi. Cuiiih...!
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk menghindar kembali.
Ludah
kenai sebongkah batu dan batu itu mengepulkan
asap.
Bagian yang terkena ludah biru bukan menjadi
hangus
saja, melainkan juga segera menjadi serbuk
hitam.
"Rupanya
kau tak bisa diajak damai, Kalabolong!
Aku
terpaksa merampas gua ini dengan kasar, Sobat!
Hiaaah...!"
Pendekar
Mabuk sentakkan kaki dan tubuhnya
melesat
di udara, ia bersalto maju satu kali melintasi
keempat
kepala Kalabolong. Kemudian bumbung
tuaknya
disodokkan ke bawah mengarah kepada
pertengahan
keempat kepala dempet itu.
Wuuut...!
Plaaak...!
Sodokan bumbung tuak ditahan dengan
kedua
telapak tangan Kalabolong dalam keadaan
keempat
kakinya merendah. Sementara kedua tangan
menahan
bumbung tuak, tangan yang satunya lagi, yang
tidak
menggenggam, segera berkelebat ke atas. Wuuut,
breeet...!
"Aaaauh...!"
Suto Sinting memekik kesakitan karena
terkena
cakaran kuku setajam pisau itu. Betis pemuda
tampan
itu menjadi koyak dan berdarah. Dalam waktu
singkat,
luka koyak itu melebar sampai ke lutut.
"Cepat
minum tuakmu!" seru Sang Tiara dengan
cemas
ketika melihat betis Suto Sinting koyak.
"Aaauh...!
Aku tak bisa gerakkan uratku lagi.
Uuuh...!"
Pendekar Mabuk merintih sambil pandangi
lukanya
yang bergerak bagaikan kerupuk mekar di
penggorengan.
Luka beracun itu membuat kedua tangan
Suto
terasa sulit dipakai untuk mengangkat bumbung
tuak.
Padahal waktu itu, Kalabolong sedang
mendekatinya
dengan terburu-buru.
"Kubuat
modar saja kau, hah?! Hiaaaaah...!"
Kalabolong
lakukan lompatan seperti terbang.
Weeess...!
Tiga dari keempat tangannya siap lakukan
cakaran
ke tubuh Suto.
Melihat
bahaya datang dalam keadaan dirinya
terdesak
begitu, Pendekar Mabuk akhirnya gunakan
kekuatan
jurus 'Pranasukma' pemberian dari si Setan
Merakyat,
sahabat Gila Tuak.
Dengan
kekuatan pandangan mata, kepala Pendekar
Mabuk
sedikit mengibas ke samping, seeet...!
Weesss...!
Tubuh besar Kalabolong terlempar ke
samping
dan membentur batu sebesar kerbau bunting.
Bruuuk,
kraaak...!
"Aaaaooww...!"
keempat kepala itu berteriak
bersamaan.
Kalabolong terpuruk di bawah batu besar
yang
kini retak akibat benturan dengan tubuh
Kalabolong.
Kini
jurus 'Pranasukma' telah digunakan Suto satu
kali
lagi. Berarti kekutan jurus itu hanya bisa dipakai
untuk
tujuh puluh tujuh kali lagi. Sebab sisa kekuatan
jurus
itu semula tinggal tujuh puluh delapan kali lagi,
(Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu
Darah
Satria").
Kalabolong
mengerang kesakitan. Kesempatan itu
digunakan
Sang Tiara untuk bantu Suto meminum
tuaknya.
Beberapa teguk tuak telah berhasil percepat
sembuhkan
lukanya. Suto menjadi segar kembali.
Kalabolong
bangkit dengan menggeram. Tiga
tangannya
mulai bergerak-gerak membentuk cakar,
seperti
tangan-tangan binatang gurita. Tetapi Pendekar
Mabuk
sudah siap hadapi serangan lawan kembali.
Makhluk
berpusar bolong itu segera melesat bagai
daun
terbang terhembus badai. Weesss...! Keempat kaki
dan
keempat tangannya berserabutan sukar ditangkis,
sehingga
Suto memilih lompat ke samping dalam
gerakan
cepat ketimbang menghadapi terjangan lawan.
Zlaaaap...!
Sambil
lakukan lompatan, Suto lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya
berupa sentilan bertubi-tubi ke arah
Kalabolong.
Tes, tes, tes, tes...!
Buuukh,
buuukh, buukh, buukh...!
Sentilan
yang bertenaga dalam yang mirip tendangan
kuda
jantan mengamuk itu kenai tubuh Kalabolong
berkali-kali.
Tubuh besar itu terlempar berguling-guling
sambil
lepaskan suara kesakitan yang memanjang.
Tubuh
berkulit keling itu akhirnya menghantam
sebongkah
batu sebesar gajah. Bruuuk...! Batu itu
bergetar,
bagian ujung tepiannya rompal. Kalabolong
jatuh
terpuruk sambil serukan suara mengerang yang
memekakkan
gendang telinga.
"Aaaaahhhrr...!"
Sang
Tiara menutup kedua telinganya, ia tetap
menjadi
penonton yang baik dengan sesekali ikut
melompat
ke sana-sini untuk hindari serangan nyasar.
Tetapi
begitu Kalabolong keluarkan suara serak yang
mirip
tombak mengorek-ngorek lubang telinga, Sang
Tiara
segera sembunyikan diri di balik gundukan batu
sambil
mendekap kedua telinganya kuat-kuat.
Suto
Sinting sempat tersentak ke belakang dan
membentur
batu besar. Suara erangan Kalabolong
ternyata
mempunyai tenaga dalam yang memancar ke
mana-mana.
karena suara erangan itu keluar dari
keempat
mulut Kalabolong.
"Aaaaahhhrrr...!"
Kalabolong
masih lepaskan erangan berbahaya
sambil
bangkit berdiri dengan keempat kakinya. Getaran
gelombang
suara yang bertenaga dalam itu telah
membuat
beberapa bongkahan batu menjadi pecah
ataupun
retak. Tanah di sekitar tempat itu bergetar,
sehingga
tempat itu bagaikan ingin dilanda gempa yang
akan
menenggelamkan mereka ke dasar bumi.
Pendekar
Mabuk ikut menutup telinganya dengan
kedua
tangan, di mana salah satu tangan masih
menggenggam
tali bumbung tuak. Suara itu menusuk-
nusuk
gendang telinga, hingga Suto akhirnya berlutut
sambil
gemetar menahan rasa sakit di bagian kepala,
terutama
pada telinganya.
Melihat
Suto Sinting lemah dan kesakitan,
Kalabolong
segera lepaskan pukulan jarak jauhnya
berupa
sinar-sinar merah dari ketiga tangannya.
Claaap...!
Sinar-sinar
merah itu bergerak serabutan ke sana-sini,
sukar
untuk diketahui secara pasti ke mana arahnya.
Gerakan
sinar yang zigzag tak beraturan itu membuat
Suto
Sinting merasa sedang diincar kelengangannya.
Maka
dengan cepat dan mengerahkan tenaga di sela rasa
sakit,
ia lakukan lompatan ke sana-sini dalam gerakan
cepat.
Zlaap,
zlaap, zlaap, weeees...!
Bruuuuss...!
Pendekar
Mabuk menabrak batu besar, ia jatuh
bersama
pecahnya batu tersebut. Pecahan batu
menimbun
tubuhnya tepat ketika tiga ujung sinar merah
melesat
menghantam tempatnya berkelebat tadi.
Seandainya
ia tidak menabrak batu dan jatuh tertimbun
pecahan
batu tersebut, maka tubuhnya akan menjadi
sasaran
telak bagi ketiga sinar merah liar tersebut.
Karena
sinar itu tak menemukan sasarannya, akhirnya
mereka
menghantam tiga gugusan batu tinggi yang
membuat
ketiga batu tersebut menjadi hitam bagaikan
arang
keropos yang masih tegak di tempatnya.
"Jahanaaaamm...!"
Kalabolong
berteriak murka karena tiga sinarnya tak
mengenai
Suto Sinting. Namun ia segera lakukan
lompatan
menyerang dengan lebih ganas lagi begitu
menyadari
Suto Sinting sedang tertimbun pecahan batu.
Ia
lakukan lompatan tinggi yang akan jatuh di atas
timbunan
batu tersebut.
Namun
mata Pendekar Mabuk masih sempat
mengintai
dari balik bongkahan batu yang menimbuni
wajahnya,
ia melihat tubuh Kalabolong melambung
tinggi
di atasnya.
"Celaka!
Habislah riwayatku kalau tubuh itu jatuh
menindihku
dalam keadaan seperti ini!" pikir Suto
Sinting.
Maka
dengan mengerahkan tenaganya dan
menyentakkan
kaki berkekuatan 'Gerak Siluman', batu-
batu
itu terbang serentak bersama melesatnya tubuh sang
pendekar.
Braaakkk...! Wuuurss...!
Batu-batu
itu terbang ke atas secara bersamaan dan
menerjang
tubuh besar Kalabolong yang masih
melambung
turun di udara. Prrookk...!
Tubuh
itu tak jadi bergerak turun karena diserang
batu-batu
itu dengan kuat, akhirnya melambung lagi naik
dan
bergulir ke arah lain. Sementara itu Suto Sinting
melesat
ke samping, lalu dengan bambu tuaknya yang
disentakkan
ke bumi, tubuhnya melambung lebih tinggi
lagi,
bersalto satu kali dan hinggap di atas gugusan batu
setinggi
rumah. Wuuut...! Jleeeg...!
"Ooh...?!"
Sang Tiara terkejut melihat Suto Sinting
berlumuran
darah pada bagian kepalanya. Tetapi
pendekar
gagah perkasa itu segera menenggak tuaknya
untuk
lenyapkan luka dan rasa sakit yang diderita.
Sementara
itu, Kalabolong jatuh terhempas dengan tetap
hujani
batu-batu sebesar genggaman orang dewasa itu.
Blaaam...!
Brrooook...!
"Aaaaahhhrrr...!"
Suaranya
semakin keras di bawah tumpukan batu-
batu
tersebut. Dalam sekejap saja ia sentakkan keempat
kaki
dan tangannya, dan batu-batu itu buyar beterbangan
ke
sana-sini, tubuh besar itu pun bangkit kembali bagai
tak
mau menyerah. Zrraaak...! Weerrs...!
Jleeg...!
Kalabolong berdiri dengan tegak dengan
setiap
wajah pancarkan seringai keganasan yang
menyeramkan.
Tapi
kebangkitan Kalabolong itu segera disambut
dengan
jurus 'Bangau Mabuk'-nya Suto, yaitu sodokan
bumbung
tuak yang membuat bumbung tuak itu terbang
dengan
cepat dan tubuh Suto yang memegangi talinya
ikut
terbawa terbang pula. Wuut, weeesss...!
"Keparat
kaaauuu...!" geram Kalabolong, namun
suaranya
terhenti seketika karena pusarnya yang bolong
tersodok
bumbung tuak.
"Huaaaakkrr...!"
Empat
mulut dari empat kepala gencet itu memekik
keras
bersamaan. Tubuh Kalabolong terlempar cukup
jauh,
dan jatuh berdebam di seberang sana. Bluumm...!
Hempasan
tubuh ke tanah tak berumput itu membuat
gugusan
batu besar di sampingnya bergetar, kemudian
batu
itu patah di pertengahannya. Krraakss...!
Brruuukk...!
"Uuuahhk...!"
Kalabolong memekik lagi. Tubuhnya
tergencet
bongkahan batu besar sebesar kuda nil.
"Hiaaahh...!"
Suto Sinting segera menendang batu
besar
yang berdiri menjulang di samping Kalabolong.
Daaakh,
brruuuk...!
"Aaaakkhhrr...!"
Kalabolong semakin berteriak
dengan
suara berat, karena kini tubuhnya dijatuhi batu
besar
lagi, hingga menumpuk bagaikan bukit.
"Heeeaaah...!"
Zlaaaap...!
Brrruuuk...!
Batu
sebesar kerbau ditendang oleh Suto dengan
kekuatan
tenaga dalamnya. Batu itu melayang dan jatuh
menimpa
bagian keempat kaki Kalabolong. Praaak...!
"Huaaahhrr...!"
"Gila!
Suto kalau sudah mengamuk, tak kira-kira
menghajar
lawannya," ujar Sang Tiara dalam hatinya.
"Kalabolong
dibuat tak berkutik seperti itu. Yang
kelihatan
hanya keempat kepalanya, itu pun kepala yang
belakang
mencium tanah dan tak bisa bergerak lagi."
Namun
agaknya Kalabolong masih tidak mau
menyerah
sampai di situ saja. Ia berusaha mendorong
batu-batuan
besar yang menimbuni tubuhnya.
"Hiiiaaahhrr...!"
Saat
itu Pendekar Mabuk melesat dan hinggap di atas
sebongkah
batu setinggi kepalanya, ia sempatkan diri
meneguk
tuaknya kembali untuk hilangkan rasa sakit
dan
beberapa luka akibat amukannya tadi.
Batu-batu
penimbun tubuh Kalabolong mulai
bergetar
pertanda sebentar lagi akan pecah karena
sentakan
tenaga orang yang ditimbuninya itu. Hanya
saja,
Pendekar Mabuk dan Sang Tiara sama-sama
terperanjat
melihat seberkas sinar merah seperti bintang
jatuh
melayang di udara. Sinar merah itu melesat dan
jatuh
di atas batu-batu penimbun tubuh Kalabolong.
Slaaap...!
Duuubs...!
Buuull...!
Asap
mengepul tebal dari sinar merah tersebut. Asap
itu
segera sirna dan sesosok tubuh tinggi-besar berkulit
putih
bagai mengenakan bedak itu tahu-tahu telah duduk
di
atas batu penimbun tubuh Kalabolong.
Makhluk
berperut besar itu tingginya tiga kali tinggi
tubuh
Pendekar Mabuk. Kulitnya retak-retak, berbulu
mirip
tanaman rambat. Kakinya sebesar pilar, kedua
tangannya
juga sebesar tiang penyangga atap pendopo.
Makhluk
berkepala gundul tapi mempunyai daun
telinga
lebar, mulut besar, dan sepasang lubang hidung
mirip
gorong-gorong itu sangat dikenali oleh Pendekar
Mabuk,
sehingga pemuda tampan itu pun segera berseru
kepada
makhluk pendatang baru itu.
"Jin
Koplo...?!"
"Hai,
Kawan...! Kau dapat kesulitan rupanya?! Huah,
hah,
hah, hah...!"
"Koplooo...!"
geram salah satu mulut Kalabolong.
"Minggir
kau! Jangan menambah beban di atasku!
Minggiirr...!"
"Huah,
hah, hah, hah...! Kau tak akan bisa keluar dari
himpitan
bebatuan ini, Kalabolong! Huaaah...!"
Jin
Koplo berdiri seketika, kedua tangannya
menyentak
ke bawah, memancarkan sinar merah bara.
Sinar
itu merayap dan membungkus batu-batu penimbun
tubuh
Kalabolong, hingga batu-batu tersebut seakan
menyatu
dengan tanah dan sukar diangkat lagi.
"Keparat
kaauuu...!" geram Kalabolong kepada Jin
Koplo.
"Dasar jin bodoh! Mengapa kau semakin
membuatku
tak bisa bergerak?!"
"Karena
kau mengganggu kawanku, Kalabolong!
Pendekar
muda itu adalah kawanku, dan kuingatkan
padamu
bahwa kau tak akan bisa mengalahkannya,
karena
ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kau miliki,
Kalabolong.
Kepalamu bisa pecah menjadi enam belas
bagian
jika masih tetap melawan kawanku itu!"
Sang
Tiara segera dekati Pendekar Mabuk dan
berbisik,
"Apa benar dia kawanmu?"
"Jin
Koplo itu? Oh, ya... benar. Kami bersahabat
setelah
Jin Koplo kukalahkan saat ia menghadangku di
perbatasan
menuju Jalur Hijau," jawab Suto Sinting
sambil
membayangkan saat pertarungan dengan Jin
Koplo,
si Penjaga Perbatasan Alam Gaib itu, (Baca serial
Pendekar
Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak
Dewata").
"Kawan
Suto...!" seru Jin Koplo dengan suaranya
yang
besar, ia berdiri di atas bebatuan penimbun tubuh
Kalabolong.
"Apa yang kau inginkan darinya, Kawan
Suto?!"
"Aku
mau bertapa di Gua Pedupan, tapi gua itu tak
ada!"
"Berada
dalam genggaman salah satu tangannya,"
seru
Sang Tiara menimpali ucapan Suto.
"Jangan
takut. Kawan Suto.... Gua itu pasti akan
diberikan
padamu!"
Kemudian
Jin Koplo berkata kepada Kalabolong.
"Hei,
Gusi Kerbau...! Serahkan gua itu atau
kuperberat
tekanan batu ini biar menguburkan tubuhmu
selama-lamanya?!"
"Persetan
dengan ancamanmu. Koplo! Kalau kau
memang
merasa sakti, mari kita adu kekuatan ilmu
secara
jantan!"
"Ogah...!"
Jin Koplo melengos. "Aku tak mau
bertarung
denganmu, karena kau selalu main ludah kalau
sedang
bertarung, seperti anak kecil! Kalau kau tetap tak
mau
serahkan gua itu kepada sahabatku Suto Sinting,
baiklah...
akan kuhamili istrimu: si Kiprat Kiprit itu!"
"Jangaaaan...!"
sergah Kalabolong dengan ketiga
wajahnya
tampak tegang dan ketakutan sekali.
"Kiprat
Kiprit sudah bilang padaku bahwa kau tidak
bisa
bertugas lagi sebagai seorang suami, disamping itu
kau
memang tidak bisa memberinya keturunan. Kiprat
Kiprit
memohon padaku agar aku mau menghamilinya
demi
mendapatkan keturunan di masa depannya...."
Suto
berbisik geli, "Ternyata bangsa jin juga
memikirkan
masa depan segala, ya?"
Sang
Tiara hanya tersenyum, seakan sembunyikan
kecantikannya
yang bertambah di dalam senyuman itu.
Pendekar
Mabuk segera memperhatikan Jin Koplo lagi
yang
sedang mengancam Kalabolong. Agaknya ancaman
itu
membuat Kalabolong sedih dan menjadi lemah.
Akhirnya
ia menyerah dan mengaku kalah.
"Bocah
muda, kalau Jin Koplo saja bisa kau
kalahkan,
maka aku terpaksa menyerah kalah.
Bebaskanlah
aku dari himpitan ini. Bocah Muda!"
"Koplo...
bebaskan dia!"
"Dengan
senang hati, Kawan! Huah, hah, hah,
hah...!"
Jlegaaar...!
Jin
Koplo menendang bebatuan itu, dan bebatuan pun
pecah
menjadi serbuk halus seperti butiran pasir pantai.
Kalabolong
akhirnya bebas dan menepati janjinya.
Tangan
yang sejak tadi menggenggam itu kini bagai
melemparkan
sesuatu ke arah depan mereka. Weeess...!
Claaap...!
Sinar putih perak menyilaukan memancar
dalam
sekejap. Kemudian sinar itu lenyap dan Gua
Pedupan
muncul di depan mereka dalam jarak sekitar
lima
belas tombak.
Buuussss...!
"Satu
hal kuminta padamu, Bocah Muda!" kata
Kalabolong.
"Tidak.
Aku tidak setuju," sahut Jin Koplo. "Sejak
kapan
kau jadi jin pengemis yang kerjanya minta-
minta?!"
"Aku
meminta syarat, bukan meminta makanan!"
bentak
Kalabolong.
"Ooo...
kalau syarat, boleh-boleh saja," gumam Jin
Koplo
sambil manggut-manggut.
"Syarat
apa yang kau minta dariku?!"
"Jika
kau berada di dalam gua harap jagalah
kebersihan
dan patuhi peraturan yang sudah tertera pada
dinding
gua itu!"
"Baik.
Kusanggupi!" kata Suto Sinting dengan tegas.
"Kau
mau bertapa sendirian atau berdua dengan Sang
Tiara?!"
tanya Kalabolong.
"Berdua!"
jawab Suto pendek.
"Jangan-jangan
kalian hanya mau mojok berdua,
bukan
bertapa?!" ujar Jin Koplo.
"Jaga
mulutmu! Kau sangka perempuan macam apa
aku
ini!" gertak Sang Tiara. Jin Koplo takut dan berbisik
kepada
Kalabolong.
"Galak
juga babon satu ini, ya?!"
"Tutup
mulutmu!" bentak Kalabolong. "Babon itu
nama
bibiku! Jangan dibawa-bawa!"
Jin
Koplo dan Suto tertawa, Sang Tiara sembunyikan
rasa
gelinya dengan bergegas melangkah lebih dulu
menuju
Gua Pedupan. Suto Sinting pun akhirnya
mengikuti
langkah Sang Tiara setelah mendapat ucapan,
'Selamat
bertapa, semoga berhasil cita-cita,' dari kedua
jin
yang sebenarnya saling bersahabat itu.
*
*
*
3
TERNYATA
Gua Pedupan merupakan sebuah
ruangan
besar berlangit-langit kristal. Batuan kristal
bening
itu menggantung tak beraturan bentuknya namun
membuat
keindahan yang menakjubkan bagi siapa pun
yang
baru saja masuk ke gua tersebut.
Lantai
gua bergelembung-gelembung tak rata, namun
seperti
terbuat dari batuan marmer warna putih kusam.
Demikian
pula dinding gua tersebut, bentuknya memang
bertonjolan
tak rata, tapi batuannya tampak seperti
batuan
jenis marmer kusam.
"Mengapa
Eyang Putri menyuruhku bertapa di sini,
Tiara?"
"Karena
Gua Pedupan adalah tempat persinggahan
para
Dewa-Dewi jika ingin berkunjung ke alam gaib
ini."
"Ooo...,
kalau begitu Eyang Putri Batari menyuruhku
menghadang
lewatnya para Dewa-Dewi, begitu?"
"Mungkin
begitu," jawab Sang Tiara sambil
mendekati
salah satu dinding gua. Suto Sinting pun
segera
ikut dekati dinding tersebut, karena di sana
terdapat
lempengan batu yang diberdirikan bersandar
dinding.
Lempengan
batu pualam itu memuat tata tertib yang
dikatakan
Kalabolong tadi. Di situ tertera dengan jelas
beberapa
peraturan yang harus ditaati oleh para pertapa
yang
ingin gunakan gua tersebut.
Bertapalah
dengan baik dan benar.
Tidak
dibenarkan membawa makanan di dalam gua.
Sesama
pertapa dilarang saling meludahi.
Yang
tidak berkepentingan dilarang ikut bertapa.
Barang
hilang, rusak, tanggung jawab pertapa
sendiri.
Selama
bertapa dilarang mengeluarkan anggota
badan.
Selesai
bertapa harap mengisi kotak sumbangan
seikhlasnya.
Sang
Tiara mendengus kesal, lalu kakinya menjejak
lempengan
batu itu dengan tendangan menyamping. Bet,
praak...!
Lempengan batu itu patah menjadi tiga bagian.
"Mengapa
kau hancurkan tata tertib itu?"
"Itu
bukan tata tertib, hanya keusilan tangan si
Kalabolong
saja! Jangan hiraukan tulisan tadi.
Sebaiknya
lekaslah ambil tempat untuk lakukan semadi.
Aku
akan ada di belakangmu!"
Gua
Pedupan juga mempunyai keunikan lain. Gua itu
menyebarkan
aroma wangi dupa walau tak ada tempat
pembakaran
dupa atau setanggi. Gua itu benar-benar
bersih,
sehingga tak mungkin seseorang membakar dupa
atau
setanggi di tempat tersebut. Tetapi bebatuan kristal
yang
menggantung di langit-langit itu bagaikan
menyebarkan
wewangian dupa yang harum dan lembut,
menimbulkan
suasana mistik cukup kuat.
Sementara
sang Pendekar Mabuk lakukan Tapa
Layang,
yaitu duduk bersila tanpa menyentuh lantai
karena
gunakan ilmu peringan tubuh, di Gerbang
Siluman
kedatangan tamu yang menghadap Eyang Putri
Batari.
Tamu
yang datang ke Gerbang Siluman adalah
seorang
gadis cantik berjubah tanpa lengan warna biru
tua.
Ia mengenakan kutang dan celana ketat warna
kuning
dilapisi kain merah. Gadis cantik berusia sekitar
dua
puluh tiga itu menyandang pedang di punggungnya.
Rambutnya
yang panjang sepundak lewat mengenakan
ikat
kepala warna merah lebar bersimpul membentuk
bunga
mawar.
Dengan
giwang putih berlian kecil dan kalung emas
berbatu
merah sebesar kacang, gadis itu tampak sangat
menawan.
Tubuhnya sekal, tak terlalu montok, namun
punya
bentuk dada yang indah. Hidungnya bangir, bulu
matanya
lentik, bibirnya ranum mungil menggemaskan.
Gadis
cantik bergaya tengil itu tak lain adalah Payung
Serambi
yang punya nama asli Ratih Kumala. Ia adalah
salah
satu dari tiga duta pilihan, termasuk prajurit
unggulan
dari Istana Laut Kidul di bawah pemerintahan
Nyai
Kandita. Payung Serambi bisa sampai ke Gerbang
Siluman,
karena ia memang berdarah siluman, (Baca
serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri
Malaikat
Palsu").
Menghadapi
tamu yang berlagak tengil itu, Eyang
Putri
Batari memberi sambutan dengan kalem dan penuh
wibawa.
Payung Serambi diterima secara baik, karena
Eyang
Putri Batari tidak punya maksud bermusuhan
dengan
pihak Istana Laut Kidul. Teguran dan bicaranya
bernada
ramah walau Payung Serambi membalas dengan
sedikit
ketus dan agak angkuh.
"Bagaimana
kabar Ratumu: Nyai Kandita?"
"Baik-baik
saja," jawab Payung Serambi tak mau
tampak
lemah di depan penguasa lain.
"Syukurlah
jika Kandita baik-baik saja. Lalu, ada
perlu
apa dia mengutusmu kemari, Ratih Kumala?"
"Kami
mendengar Suto Sinting mencari 'Tuak
Dewata'."
"Memang
benar. Dia mencari 'Tuak Dewata' untuk
sembuhkan
penyakit gurunya; si Gila Tuak itu."
"Sehubungan
dengan itulah Nyai Gusti Kandita
mengutusku
kemari, karena kami tahu Suto mencari
'Tuak
Dewata' sampai ke Gerbang Siluman ini."
"Selanjutnya...?"
pancing Eyang Putri Batari.
"Aku
diutus membawa Suto Sinting pulang ke Istana
Laut
Kidul dan menghadap Nyai Gusti Kandita."
"Mengapa
Kandita ingin campuri urusan Pendekar
Mabuk
itu?"
"Hanya
sekadar ingin membantu mencarikan 'Tuak
Dewata'
dan menyembuhkan si Gila Tuak."
"Hanya
itulah tujuannya?" tanya Eyang Putri Batari
bernada
menyindir, karena penguasa Gerbang Siluman
itu
yakin di balik niat itu tersembunyi maksud lain bagi
pihak
Istana Laut Kidul.
"Apakah
kau keberatan jika Suto Sinting kubawa ke
Istana
Laut Kidul?" Payung Serambi justru ganti
bertanya.
"Jika
aku keberatan apa yang akan dilakukan oleh
pihakmu?"
Payung
Serambi tersenyum sinis.
"Jangan
salahkan diriku jika aku sampai
menggunakan
kekerasan untuk membawa Suto Sinting
ke
Istana Laut Kidul."
"Kau
mulai membuka pintu pertempuran dengan
pihakku
jika begitu caranya, Payung Serambi."
"Salahkah
jika hal itu kulakukan demi tugasku
membawa
pulang Pendekar Mabuk?"
Eyang
Putri Batari tersenyum manis. Namun
pandangan
matanya mulai memancarkan permusuhan
yang
samar-samar.
"Tahukah
kau bahwa Suto Sinting sudah digariskan
oleh
nasib hidupnya harus berjodohan dengan cucuku;
Dyah
Sariningrum?!"
"Pembicaraan
ini mulai melantur, Putri Batari!" kata
Ratih
Kumala yang tampaknya tak mau terlalu banyak
bicara.
"Sebaiknya sekarang biarkan aku pulang bersama
Pendekar
Mabuk. Kumohon kau tidak menghalangi
niatku
membawa Suto ke Istana Laut Kidul!"
"Suto
tidak ada di sini!" tegas Eyang Putri Batari.
"Dia
sedang mencari 'Tuak Dewata' di tempat lain."
"Omong
kosong, Batari! Pasti kau tahu di mana Suto
berada."
Senyum
tipis Eyang Putri Batari mekar kembali di
wajah
cantiknya.
"Nada
bicaramu mulai mengarah ke permusuhan,
Ratih
Kumala."
"Tergantung
bagaimana sikapmu terhadapku. Jika
kau
tetap sembunyikan Suto Sinting, maka berarti kau
membuka
permusuhan denganku, Putri Batari."
"Oh,
sepertinya aku enggan bermusuhan dengan anak
kemarin
sore, Ratih Kumala. Sebaiknya kita tak perlu
saling
berselisih hanya karena seorang lelaki muda
bernama
Suto Sinting itu."
"Jika
begitu, keluarkan Suto dari tempat
persembunyianmu,
Putri Batari!"
"Kalau
kau menyangka aku sembunyikan Suto,
cobalah
ambil sendiri dengan kekuatan ilmu yang ada
pada
dirimu! Kurasa kau bisa meneropong dengan
kekuatan
batinmu apakah Suto kusembunyikan atau
tidak."
"Kau
licik!" geram Payung Serambi. "Sebelum aku
melewati
gapura depan, kau telah melumpuhkan ilmu
'Tembus
Batin'-ku lebih dulu, sehingga aku tak bisa
menggunakannya!"
"Aku
hanya menjaga kewaspadaan saja. Tak ingin
orang
lain mengetahui isi hatiku. Jika kau bermaksud
baik
datang kemari, maka kau harus melepaskan ilmu
'Tembus
Batin-mu itu."
"Sekarang
kuminta kembali ilmu 'Tembus Batin'-ku
itu!"
tegas Payung Serambi.
"Tinggalkan
dulu tempat ini dan kau akan
memperoleh
ilmu itu di perjalanan nanti."
"Serahkan
dulu Pendekar Mabuk, baru akan
kutinggalkan
tempat ini!"
"Tak
ada yang bisa kuserahkan padamu, Ratih
Kumala!
Jangan memaksaku untuk bersikap kasar
kepadamu."
"Sudah
kepersiapkan diriku untuk menerima
perlakuan
kasar darimu, Batari! Karena aku pun sudah
mempersiapkan
kekasaran tersendiri untukmu!"
"Bicaramu
terlalu besar bagiku. Sebaiknya kurangilah
agar
kau tak menjadi gagu di depanku!"
Payung
Serambi sunggingkan senyum sinis. "Kau
pikil
ak... ak... uuh, ahh... uah, uah...!"
Payung
Serambi menjadi tegang setelah tahu ternyata
suaranya
pun dikacaukan oleh kekuatan batin Eyang
Putri
Batari. Ia telah menjadi gagu sejak Eyang Putri
Batari
mengatakan 'gagu' di depannya tadi.
"Uuh,
eeha... eha... uuah, uuh..,!" Payung Serambi
mulai
tampak berang, tangannya menuding-nuding
Eyang
Putri Batari. Gerakan tangannya itu menandakan
kemarahan
yang dalam, bahkan kini bergerak-gerak
sebagai
isyarat menantang pertarungan kepada Eyang
Putri
Batari di luar gerbang.
Senyum
penguasa Gerbang Siluman itu semakin lebar
dan
tetap berpenampilan kalem.
"Jangan
menantangku. Kumohon jangan
menantangku.
Sebaiknya tinggalkan tempat ini dan
diantara
kita jangan ada saling mengganggu."
"Uuaah,
ah, ah, uuuuh... ueeh. Aaah, uh, ua, ua...!"
"Ah,
kau ini memang gadis yang suka penasaran,"
ujar
Eyang Putri Batari sambil geleng-geleng kepala
tanda
menyimpan kekesalan hati.
"Baiklah.
Sekarang kita sudah ada di luar Gerbang
Siluman,
apakah kau tetap ingin menantang pertarungan
denganku?"
Payung
Serambi sedikit terperanjat setelah menyadari
bahwa
diri mereka sudah tidak berada di dalam istana
kecil
tadi. Tahu-tahu saja mereka sudah berada di tanah
tandus
datar di depan gapura yang menjadi jalan utama
masuk
ke Gerbang Siluman. Tapi rasa heran dan terkejut
itu
disembunyikan Payung Serambi rapat-rapat. Kini
yang
dipikirkan adalah menghadapi Eyang Putri Batari
dan
memaksa perempuan itu tunjukkan di mana Suto
berada.
Sreet...!
Payung Serambi segera cabut pedangnya
tanpa
tanggung-tanggung lagi. Pedang itu menyala
merah
bagai terpanggang api.
Eyang
Putri Batari masih tetap tenang, kedua tangan
bersedekap
di dada dan pandangi Payung Serambi
bersama
senyum tipisnya. Payung Serambi sudah
membuka
kuda-kuda dan mulai bersuara. Tapi agaknya
kali
ini suaranya sudah normal kembali, hingga ia dapat
mengungkapkan
maksud hatinya.
"Kau
sudah keterlaluan, Batari! Jangan sangka aku
mundur
dari hadapanmu, walau kau telah gunakan
kesaktianmu
yang bisa mencuri serta mengembalikan
suaraku
itu. Bersiaplah untuk hadapi seranganku,
Batari!"
Wuuus...!
Brrukkk...!
Payung
Serambi merasa disambar kegelapan sekejap.
Hanya
sekejap saja, dan ia telah dapatkan dirinya
terkapar
di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya terasa
perih.
Sementara itu, dilihatnya Eyang Putri Batari sudah
pindah
tempat, namun tetap berdiri dengan kalem dan
kedua
tangannya bersedekap di dada.
"Kurang
ajar! Diam-diam kau telah menerjangku tadi,
hah?!"
gertak Payung Serambi sambil bangkit kembali
dan
melupakan rasa perih di sekujur tubuhnya.
"Kuingatkan
lagi padamu, jangan menantangku
bertarung,
Ratih Kumala. Sayangilah jiwa dan ragamu."
"Persetan!
Kubalas seranganmu tadi, Batari!"
Pedang
menyala merah bara itu segera dikibaskan ke
samping
kanan-kiri sambil memainkan jurus berkaki
rendah.
Blaaab...!
Alam menjadi gelap seketika. Untung
hanya
sekejap, setelah itu menjadi terang lagi, walau tak
berarti
seterang siang tadi.
Tetapi
lagi-lagi Payung Serambi dibuat heran oleh
keadaannya
yang sudah terkapar di tanah dalam keadaan
sekujur
tubuhnya memar biru-biru bagai habis dicubiti
puluhan
kali.
"Edan!
Tak kulihat dia bergerak, tahu-tahu aku sudah
tumbang
kembali!" gumam hati Payung Serambi dengan
napas
tertahan untuk menahan rasa sakitnya.
Tiba-tiba
ada suara yang berkata, "Tinggalkan dia,
Eyang
Putri! Biar saya yang hadapi!"
"Oh,
kau sudah sampai di sini, Sang Duli?!" ujar
Eyang
Putri Batari tak menampakkan rasa kagetnya
begitu
melihat kemunculan Sang Duli, anak buah Ratu
Kartika
Wangi itu.
"Gusti
Ratu Kartika Wangi mengutus saya untuk
memulangkan
gadis itu ke Laut Kidul, agar tak membuat
onar
di Gerbang Siluman!"
"Kalau
begitu, hadapilah dia dan jangan ragu-ragu
untuk
bertindak!" ujar Eyang Putri Batari, lalu tiba-tiba
saja
tempat itu menjadi kosong. Sang Duli ingin
mengatakan
sesuatu tak jadi, sebab Eyang Putri Batari
telah
tiada tanpa tinggalkan angin dan suara. Kini yang
ada
hanyalah Payung Serambi yang sedang menarik
napas
murni untuk obati luka dalamnya akibat terjangan
Eyang
Putri Batari yang mirip datangnya kegelapan tadi.
Sang
Duli adalah prajurit unggulan dari Puri Gerbang
Surgawi,
pengawal tangguh Ratu Kartika Wangi.
Pakaiannya
serupa dengan Sang Tiara; serba merah,
rambut
cepak, pedang di punggung. Sang Duli memang
satu
kelompok dengan Sang Tiara yang selalu tampil
sendirian
dalam menghadapi musuh dari mana pun.
Perbedaan
Sang Duli dengan Sang Tiara hanya pada
wajahnya.
Wajah Sang Duli sedikit lonjong dan tampak
lebih
matang dalam hidupnya dibanding Sang Tiara. Di
sudut
dagu kirinya terdapat tahi lalat kecil seperti sebutir
pasir,
sedangkan Sang Tiara tanpa tahi lalat di wajahnya.
Sang
Duli memandang dingin kepada Payung
Serambi,
sedangkan yang dipandang pun membalas
dengan
sorot tatapan mata lebih dingin lagi. Pedang
membara
merah masih di tangan Payung Serambi,
sementara
Sang Duli masih belum mau mencabut
pedangnya
dari punggung.
"Perlukah
kita mengadu pedang hanya untuk
memperebutkan
orang yang tidak ada?" ujar Sang Duli
dengan
tenang.
"Cabut
pedangmu, akan kucoba setinggi apa kau
memiliki
ilmu pedang!" tantang Payung Serambi.
"Baik
kalau itu maumu!"
Sreeet...!
Sang Duli mencabut pedangnya. Pedang itu
memancarkan
cahaya hijau bening bagai lumut-lumut di
dalam
gua menuju istana Puri Gerbang Surgawi itu.
Bahkan
ujung gagang pedangnya yang berbentuk bunga
sedang
mekar itu juga memancarkan cahaya hijau bagai
mengandung
fosfor.
"Hiaaah...!"
Payung Serambi melemparkan
pedangnya.
Wuuuut...!
Sang
Duli juga melemparkan pedangnya. Weees...!
Lalu,
kedua pedang itu bertarung sendiri di udara tanpa
dipegangi
oleh para pemiliknya.
Trang,
trang, trang, duaaar...!
Wut,
wut...! Kedua pedang terpental setelah terjadi
ledakan
kecil yang ditimbulkan dari kekuatan adu tenaga
dalam
dari kedua pedang tersebut.
Wut,
taab...! Wuuus, taaab...!
Payung
Serambi melompat dan menyambar pedang.
Dalam
sekejap pedang sudah berada di genggamannya.
Demikian
pula Sang Duli: segera melompat menyambar
pedang.
Pedang itu kini sudah berada di genggamannya.
"Ooh...?!"
Kedua
wanita cantik itu sama-sama terkejut, karena
ternyata
mereka salah menyambar pedang. Pedang si
Payung
Serambi di tangan Sang Duli, sedangkan pedang
Sang
Duli di tangan Payung Serambi. Keduanya pun
sama-sama
menggeram gemas.
Wuuut,
wuuus...!
Keduanya
sama-sama melemparkan pedang. Pedang
itu
dilemparkan ke arah lawan, bergerak lurus bagaikan
tombak.
Dan di pertengahan jarak, kedua ujung pedang
itu
saling berbenturan dan timbulkan daya ledak cukup
besar.
Blaaarrr...!
Cahaya
merah kehijauannya membias terang, melebar
menutupi
pandangan mata mereka. Namun kejap
berikutnya,
mereka sama-sama melihat pedang masing-
masing
telah tak memancarkan sinar lagi dan kembali
kepada
pemiliknya.
Teb,
teeeb...! Mereka sama-sama cekatan dalam
menangkap
pedang masing-masing dengan satu
lompatan
ke atas. Weees...!
"Aaaouh...!"
tiba-tiba Payung Serambi terpekik dan
segera
melepaskan pedangnya. Ternyata telapak tangan
Payung
Serambi menjadi melepuh dan kemerah-merahan
bagai
habis menggenggam besi membara. Sedangkan
Sang
Duli tampak tenang-tenang saja setelah menangkap
pedangnya
dan memasukkan ke dalam sarung pedang di
punggung.
Tetapi
dalam hati Sang Duli segera menggerutu,
"Sial!
Darahku terasa mau membeku setelah menyambar
pedang
sendiri. Rupanya Payung Serambi telah salurkan
hawa
saljunya saat melemparkan pedangku kemari!"
Payung
Serambi pun membatin hal serupa, tapi ia
tambahkan
dalam ucapan batinnya,
"Ini
hanya buang-buang waktu saja. Lawanku masih
kuanggap
kelas rendah. Sebaiknya aku segera
melaporkan
hal ini kepada Gusti Ratu Kandita agar
Gerbang
Siluman diserang habis jika Putri Batari masih
tetap
sembunyikan Suto Sinting!"
Gagang
pedang sudah dingin kembali. Payung
Serambi
mengambilnya dari tanah. Kemudian ia berkata
kepada
Sang Duli.
"Tunggu
saatnya tiba! Gerbang Siluman akan
kuhancurkan
bersama segenap kekuatan dari Istana Laut
Kidul!"
Setelah
berkata begitu. Payung Serambi pun pergi
bagai
menghilang dari pandangan Sang Duli. Laaaab...!
*
*
*
4
PEMUDA
berambut lurus tanpa ikat kepala itu masih
duduk
bersila tanpa menyentuh tanah. Sudah beberapa
hari
ini Suto Sinting duduk melayang setinggi dua
jengkal.
Sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena Suto
mempunyai
ilmu 'Layang Raga', tetapi yang diperlukan
hanya
duduk tanpa menyentuh bumi, tak perlu tinggi-
tinggi.
"Untuk
apa tinggi-tinggi, nanti malah kesamber
petir!"
ujarnya dalam hati saat ingin mengawali
semadinya.
"Jangan
menengok ke belakang selama bertapa,"
Sang
Tiara mengingatkan. Gadis itu ikut lakukan duduk
bersila
tak menyentuh bumi. Rupanya ia juga
mempunyai
ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan.
Tugasnya
duduk mengambang di belakang Suto
Sinting
adalah membantu kekuatan batin sang pendekar
tampan
itu agar segera sampai pada tujuan, bertemu
dengan
Hyang Maha Dewa untuk meminta petunjuk
tentang
'Tuak Dewata' itu. Tentu saja selama bertapa,
mereka
tak saling bertegur sapa. Bahkan mereka juga
tidak
bicara dalam batin, hingga suasana sepi dan hening
selalu
menyertai mereka berdua.
Dalam
selimut keheningan selama beberapa hari,
tiba-tiba
Pendekar Mabuk mendengar seseorang bicara
di
depannya dengan suara lirih.
"Bukalah
matamu, hentikan semadimu, Suto."
"Suara
perempuan?!" batin Suto tergugah. "Suara
siapa
itu, ya?"
Suara
tersebut terdengar lagi, "Bukalah matamu dan
pandanglah
siapa yang datang padamu kali ini. Aku
ingin
bicara tentang 'Tuak Dewata', Suto."
Mendengar
'Tuak Dewata' disebut-sebut, Pendekar
Mabuk
segera membuka matanya dan nyaris terpekik
kaget,
karena yang ada di depannya ternyata adalah
seorang
perempuan awet muda yang kecantikannya
seperti
gadis berusia dua puluh lima tahun. Perempuan
itu
berpakaian ketat ungu muda dengan jubah ungu tua.
Rambutnya
disanggul sebagian sisanya diriap sampai
pundak.
Perempuan
itu bukan saja cantik, tapi juga bertubuh
sekal,
padat berisi, dan dadanya tampak montok serta
kencang.
Matanya indah, namun memancarkan
kegalakan
dalam bercumbu,
"Sumbaruni...?!"
ucap Suto Sinting dalam nada
berbisik
heran.
"Ya,
aku memang Sumbaruni, orang yang selama ini
mencintaimu
tapi tak pernah kau balas."
Pendekar
Mabuk merasa hatinya digores oleh
keharuan,
ia ingat, bahwa Sumbaruni alias Pelangi
Sutera
selama ini memang sangat mencintainya. Janda
bekas
istri Jin Kazmat itu sering menunjukkan
pembelaannya
dalam membantu Suto menghadapi maut.
Rasa
cintanya membuat Sumbaruni rela mengorbankan
nyawanya
demi keselamatan Suto Sinting. Sekalipun ia
tahu
Suto sudah punya calon istri Dyah Sariningrum,
tapi
Sumbaruni tetap nekat mencintai Pendekar Mabuk,
dan
bila perlu siap bertarung melawan Dyah
Sariningrum,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode
: "Ratu Tanpa Tapak").
Sekalipun
sekarang Suto merasa berhadapan dengan
Sumbaruni
yang berilmu tinggi itu, tapi ia tetap duduk
bersila
di udara dalam posisi kedua tangannya berada di
pangkuan.
Suto memandang haru melihat Sumbaruni
tampak
memendam duka akibat cintanya yang tak
pernah
terbahas itu.
"Mengapa
kau datang ke tempat ini, Sumbaruni?"
"Aku
rindu padamu, Suto," ucap Sumbaruni lirih
sekali
dengan mata jalangnya menjadi sayu.
"Kudengar
kau mencari 'Tuak Dewata' untuk obati
gurumu;
si Gila Tuak itu."
"Memang
benar, Sumbaruni. Apakah kau tahu di
mana
'Tuak Dewata' itu bisa kudapatkan?!"
"Ya,
aku memang tahu. Tapi... tapi aku tak mau
memberitahukan
padamu begitu saja."
"Mengapa
begitu, Sumbaruni?"
"Karena...
karena kau membiarkan hatiku merana
selama
ini. Kau membiarkan aku menderita batin,
sementara
kau tahu betapa aku sangat mencintaimu,
Suto."
"Maafkan
aku, Sumbaruni," ucapan Suto semakin
pelan.
Ia tetap duduk bersila di udara.
"Kau
pun tahu bahwa aku seorang janda yang tak
mau
menerima kehangatan dari pria mana pun kecuali
dari
dirimu, Suto. Aku selama ini kesepian dan kau pergi
tak
pernah mau menengokku."
"Aku
akan bersamamu jika 'Tuak Dewata' sudah
kudapatkan
dan Guru sudah bisa sembuh seperti
sediakala.
Untuk itu, katakanlah di mana aku bisa
dapatkan
'Tuak Dewata' itu, Sumbaruni?"
Perempuan
yang masih tampak muda itu gelengkan
kepala.
Pandangan matanya semakin sayu, bahkan kini
ia
mendekati Suto dan berhenti dalam jarak dua langkah
di
depan Suto. "Aku mau mengatakannya setelah kau
mau
mengisi kesepian hatiku dengan kehangatan
asmaramu,
Suto."
"Sumbaruni,
ini bukan pada tempatnya...."
"Aku
tak peduli lagi, karena selama ini aku sudah
menunggu
dan aku lelah menunggu sambil menderita
batin,
Suto. Sekarang aku tak bisa menahan gairahku
lagi.
Karenanya kucari kau dan aku inginkan
cumbuanmu,
Suto."
"Oh,
Sumbaruri... kuharap kau bisa memahami
kesulitanku
saat ini."
"Tidak,
Suto!" ucap Sumbaruni sambil melepas jubah
ungu
tuanya. Jubah itu dilepas dengan pelan-pelan
dengan
pandangan mata lembut sayu memancing gairah
Pendekar
Mabuk.
"Aku
tak bisa mengerti lagi tentang dirimu, karena
dirimu
tak pernah mau mengerti kebutuhan batinku,
Suto.
Ooh... hentikan dulu semadimu itu dan
bercumbulah
denganku walau sekejap saja, Suto."
Sumbaruni
kian mendekat. Kini ia berada dalam satu
jangkauan
tangan Suto. Wajahnya tampak dibungkus
oleh
hasrat bercumbu yang meletup-letup dalam hati.
Bibirnya
sesekali dijilat sendiri, namun kini digigit
sendiri
sambil tangannya melepas pengait penutup
dadanya.
Begitu penutup dada terlepas, tampak jelas di
depan
mata Suto dua gumpalan daging yang berkulit
mulus
dan membengkak kenyal bagai menantang untuk
dipagut.
"Lihatlah,
selama ini dadaku menunggu sentuhan
bibirmu,
Suto. Ooh... tak ada buruknya jika kau hentikan
semadimu
sebentar dan sentuhlah ujung-ujung dadaku
ini.
Sebentar saja, Suto...," pinta Sumbaruni sambil
tangannya
merayapi tubuhnya sendiri, pinggulnya
meliuk-liuk
dan pandangan matanya kian sayu.
Jantung
Suto dibuat berdebar-debar karena mulai
terbakar
gairah begitu melihat dada yang terlepas bebas
tanpa
penghalang itu. Bahkan kini Sumbaruni juga
melepaskan
celana ketatnya pelan-pelan dengan suara
mendesah-desah
penuh ajakan bercumbu.
"Suto,
dekaplah aku sebentar saja agar aku dapat
hidup
tenang kembali, Suto...! Oouh... ambillah ini!
Ambillah,
Sayangku...."
Pendekar
Mabuk hanya bisa menelan ludah sendiri
dan
tetap duduk bersila tanpa menyentuh tanah ketika
Sumbaruni
mulai berani menyodorkan dadanya
mendekati
mulut Suto Sinting. Tantangan itu makin
lama
semakin membuat keringat dingin Suto mencucur
di
sekujur tubuhnya.
Apalagi
sekarang Sumbaruni meliuk-liuk dengan
gemulainya
sambil matanya terbeliak dan tangannya
meraba
bagian terpeka bagi seorang wanita, Suto Sinting
menjadi
semakin sesak napas dan sulit dilontarkan kata
apa
pun. Napasnya pun mulai terdengar memburu, walau
ia
masih bertahan untuk duduk bersila tanpa menyentuh
bumi.
"Suto,
ayolah... peluklah aku. Aku sudah siap
menerima
amukan asmaramu, Sayang. Cumbulah aku
sekarang
juga, Suto...," sambil Sumbaruni duduk
bersandar
pada dinding, ia meliuk-liuk dengan gerakan
pinggul
yang membuat lelaki mana pun akan panas
dingin
jika melihatnya.
Gua
itu dipenuhi oleh suara desah dan erangan
Sumbaruni
yang menyerupai tangis pengharapan. Hati
Pendekar
Mabuk bukan saja tergugah untuk memberikan
cumbuan
ala kadarnya, namun juga merasa kasihan
melihat
Sumbaruni menggelepar-gelepar seperti cacing
kepanasan
itu.
Namun
tiba-tiba ia mendengar suara berbisik lembut
di
telinga kirinya,
"Pejamkan
mata. Dia hanya iblis penggoda!"
Suara
itu dikenali Suto sebagai suara Sang Tiara.
Tetapi
bagi Suto, memejamkan mata dalam keadaan
seperti
itu adalah hal yang paling sulit dilakukan. Sebab
Sumbaruni
kini semakin menjadi-jadi. Ia bagaikan
bercumbu
dengan tangannya sendiri. Suaranya
memanggil-manggil
Suto Sinting penuh daya tarik yang
semakin
membakar gairah Suto.
"Kedipkan
matamu sekarang juga, Suto! Kedipkan
matamu!"
bujuk suara Sang Tiara yang rupanya telah
mengirimkan
bisikannya melalui kekuatan batin.
"Sutooo...
lekaslah datang kemari, Sayang...," rengek
Sumbaruni
bagai tak tahu malu lagi.
Pada
saat itu, Suto segera memejamkan mata sekejap,
ia
bagaikan berkedip satu kali, dan ketika mata itu
terbuka
kembali, ternyata Sumbaruni tak ada. Jubah dan
pakaian
gadis itu yang tadi berserakan di depan Suto
juga
telah hilang tanpa bekas. Suasana gua menjadi
hening,
tak ada suara Sumbaruni yang merengek-rengek
minta
dicumbu.
"Ternyata
tadi benar-benar hanya godaan." pikir Suto
Sinting,
kemudian ia memejamkan mata kembali sambil
menenangkan
jantungnya yang tadi sudah nyaris pecah
karena
dibakar tuntutan gairah.
Hari
berikutnya, keheningan bertapa sang Pendekar
Mabuk
diganggu lagi oleh kedatangan suara yang
menyuruh
Suto menghentikan bertapanya.
"Hentikan
bertapamu dan katakan apa yang kau
inginkan
sebenarnya Suto."
Mata
sang pendekar muda segera dibuka. Byaaak...!
Ia
terkejut melihat seorang pemuda berusia sekitar
sembilan
belas tahun berdiri di depan pintu gua. Pemuda
yang
mengenakan pakaian rompi dan celana hijau muda
itu
telah berada di dalam gua dan sedang berdiri
memperhatikan
Suto dengan sikap meremehkan apa
yang
dilakukan Suto saat itu.
Pemuda
tersebut mempunyai rambut panjang
digulung
di tengah kepalanya sisanya meriap sepundak,
ia
berkulit kuning dan berwajah tampan. Dengan pedang
sarung
perak di pinggangnya, pemuda itu tampak gagah
dan
perkasa.
"Darah
Prabu...?!" ucap Suto pelan sekali.
"Syukur
kau masih mengingatku, Suto," kata Darah
Prabu
sambil dekati Suto.
"Kusarankan
hentikan saja usahamu mencari 'Tuak
Dewata'
itu."
"Mengapa
kau memberiku saran begitu, Darah
Prabu?"
"Karena
'Tuak Dewata' sudah diminum habis oleh
guruku:
Resi Badranaya!"
Deeeg...!
Jantung Suto seperti ditendang keras saat
mendengar
ucapan tersebut.
"Ternyata
kau masih bodoh dan tidak secerdas diriku,
Suto.
Guruku juga sakit, sama seperti Eyang Gila Tuak.
Tetapi
aku segera bisa dapatkan 'Tuak Dewata' dari
seorang
pendeta di pegunungan Tibet. Tuak itu segera
diminum
habis oleh guruku, lalu dalam waktu sangat
singkat,
guruku menjadi sehat dan sekarang justru
sedang
mempersiapkan liang kubur untuk Gila Tuak.
Sebab
gurumu saat ini dalam keadaan tinggal menunggu
lepasnya
nyawa saja."
Pendekar
Mabuk gemetar walau masih tetap bersila
tanpa
menyentuh bumi. Darahnya mulai seperti dibakar,
panas
sekali dan menggetarkan seluruh urat dan
persendiannya.
Hatinya diserang oleh rasa malu, kecewa,
sedih,
dan cemas. Pandangan matanya mulai
memancarkan
kebencian kepada Darah Prabu.
"Dengar,
aku datang bukan sebagai penggoda, tapi
benar-benar
sosok yang nyata. Kau bisa menyentuhku!"
ujar
Darah Prabu sambil sodorkan tangannya.
"Peganglah
tanganku."
Tapi
Pendekar Mabuk hanya diam saja dan tak mau
menyentuh
tangan itu. Darah Prabu tersenyum sinis dan
berkata
dengan wajah didekatkan, sekitar dua jengkal
dari
depan Suto.
"Pulanglah!
Gurumu ingin bertemu denganmu yang
terakhir
kalinya. Aku disuruh menyusulmu!"
Gigi
Suto menggeletuk. Ingin rasanya segera
menghantam
wajah Darah Prabu tanpa peduli mereka
sebenarnya
bersahabat. Tetapi tiba-tiba Sang Tiara
kirimkan
suara bisikannya lagi melalui kekuatan
batinnya.
"Pejamkan
mata, dan jangan lagi layani godaan itu!"
Pendekar
Mabuk memejamkan mata sebentar. Hanya
satu
helaan napas, ia segera membuka mata kembali.
Ternyata
Darah Prabu sudah tak ada. Tempat itu tetap
sepi,
seperti tak pernah dimasuki orang lain kecuali
mereka
berdua.
"Berarti
yang hadir tadi benar-benar godaan. Bukan
sosok
Darah Prabu yang sebenarnya. Ooh... hampir saja
murkaku
terlepas dan 'Napas Tuak Setan'-ku keluar
memporak-porandakan
tempat ini!" pikir Suto Sinting.
Lalu,
ia memejamkan matanya kembali.
Namun
baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba ia
mendengar
suara langkah kaki masuk ke gua itu dan
seseorang
berseru memanggilnya dengan nada gugup.
"Suto,
Sutooo... oh, tolong aku, Suto...!"
Mata
pemuda itu terbuka kembali. Hatinya tersentak
melihat
seorang perempuan muda yang cantik dan
menjadi
buah khayalannya selama ini. Perempuan itu
mengenakan
jubah kuning sutera dengan pakaian dalam
biru
lembut. Rambutnya yang disanggul itu bermahkota
indah.
Mengenakan kalung 'sangsangan susun' sebagai
tanda
masih gadis suci.
Perempuan
cantik itu tak lain adalah orang yang
bergelar
Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli Dyah
Sariningrum.
"Dyah...?!"
Suto bersuara sedikit menyentak.
"Suto,
hentikan dulu semadimu. Aku dikejar-kejar
oleh
seseorang dan...," belum selesai Dyah Sariningrum
bicara,
tiba-tiba muncul si pengejar yang berkerudung
hitam
dari atas kepala sampai kaki.
Lelaki
berkerudung hitam memegang tombak pusaka
yang
dinamakan pusaka El Maut. Wajah dingin di balik
kerudung
hitam itu sangat dikenali oleh Suto sebagai
wajah
manusia sesat yang menjadi musuh utamanya,
yaitu
Siluman Tujuh Nyawa alias Durmala Sanca.
Gemetar
seluruh tubuh Suto Sinting ketika melihat
Siluman
Tujuh Nyawa masuk ke gua tersebut dan segera
mendekati
Dyah Sariningrum. Suto Sinting masih diam
bersila
tanpa menyentuh bumi dengan hati mulai
diguncang
kebimbangan untuk hentikan bertapanya atau
melanjutkannya.
Sementara itu, Dyah Sariningrum
berusaha
menghindari kejaran Siluman Tujuh Nyawa,
namun
ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak
segera
disambar oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Sutooo...
Sutooo...! Oh, tolong aku, Sutooo...!"
Dyah
Sariningrum meronta keras, tapi Siluman Tujuh
Nyawa
berhasil mendekapnya. Wajah perempuan itu
segera
diciuminya dengan kasar dan liar. Kain kerudung
hitam
terlepas dari kepala, sehingga rambut Siluman
Tujuh
Nyawa yang panjang itu meriap ke sana-sini
diamuk
tangan Dyah Sariningrum.
Perempuan
itu terdesak di dinding dan tangan
Siluman
Tujuh Nyawa dengan kasar menarik kain
penutup
dada. Breeet...! Tees...!
"Aaauw...!"
jerit Dyah Sariningrum sambil meronta,
namun
agaknya tenaganya tak mampu mengungguli
kekuatan
Siluman Tujuh Nyawa, sehingga wajah
Durmala
Sanca itu segera berhasil mendusal di dada
Dyah
Sariningrum. Dua gumpalan lembut yang tampak
sekal
dan kencang itu menjadi santapan lezat bagi
Durmala
Sanca.
Dada
Suto Sinting terasa mau jebol melihat
kekasihnya
diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Napasnya
mulai terasa menggetarkan seluruh dinding
gua,
karena napas kemarahan Suto adalah 'Napas Tuak
Setan'
yang dapat hadirkan bencana besar bagi alam
yang
ada di depannya, ia sudah pejamkan mata dua kali,
namun
pemandangan itu masih terlihat jelas di depan
matanya.
"Pejamkan
sekali lagi, itu hanya godaan!" bisik suara
Sang
Tiara. Namun hati Suto ragu dengan bisikan
tersebut.
*
*
*
5
SANG
TIARA benar-benar sangat membantu
kelangsungan
semadi Pendekar Mabuk. Tanpa bisikan
batin
Sang Tiara, Suto sudah mengalami kegagalan
berulang
kali karena tak tahan menghadapi godaan.
Untung
ia mengikuti saran Sang Tiara untuk
mengedipkan
mata yang ketiga kalinya, sehingga
pemandangan
yang mendidihkan darah dan menjebolkan
dada
itu sirna tanpa bekas. Ternyata pemandangan Dyah
Sariningrum
diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa itu
hanya
godaan iblis belaka. Bayangan semu yang sangat
menyiksa
jiwa, telah lenyap tanpa bekas apa pun, kecuali
bekas
luka memar di hati Suto membayangkan
seandainya
Dyah Sariningrum benar-benar diperkosa
oleh
Siluman Tujuh Nyawa.
Tujuh
hari lamanya Suto menghadapi gangguan yang
beraneka
ragam. Selama ia mengikuti bisikan Sang
Tiara,
maka ia tetap selamat dalam semadinya itu.
Sampai
akhirnya, sebuah suara datang dan bicara
kepadanya
dengan jelas dan lantang.
"Edan!
Sekarang gangguannya datang dalam bentuk
suara
tanpa rupa!" Suto membatin dalam
kebungkamannya,
"Suto,
tetaplah di tempatmu dan dengarkan saja
suaraku
ini," ujar suara tersebut yang masih dianggap
sebagai
godaan bagi Suto.
"Setelah
aku selesai bicara nanti, cepatlah pergi ke
Gerbang
Siluman. Atasi keributan di sana dan jangan
biarkan
Gerbang Siluman dihancurkan oleh orang-orang
Istana
Laut Kidul."
Mendengar
ucapan itu, Suto Sinting mulai sangsi
dengan
anggapannya tadi. Bahkan hatinya pun berkata,
"Sepertinya
kali ini aku tidak sedang berhadapan dengan
godaan
seperti hari-hari kemarin. Suara itu agaknya
bicara
padaku dengan sungguh-sungguh."
Suara
Sang Tiara pun terdengar berbisik melalui
batinnya,
"Ini
memang suara asli, bukan godaan! Bicaralah
padanya
dan haturkan sembah serta hormat kepada
pemilik
suara itu, Suto."
Hati
Suto pun tergugah untuk segera mengakui
bahwa
ia sedang bicara dengan tokoh tingkat tinggi yang
tak
mau menampakkan wajahnya. Suto juga merasakan
hadirnya
suasana hormat yang berkharisma pada saat itu.
Angin
yang selama ini tak dirasakan berhembus, kali
ini
terasa menerpa tubuh Suto, hingga helai-helai
rambutnya
tersingkap ke belakang. Angin sejuk itu
mengawali
datangnya suara tanpa rupa yang segera
disambut
oleh Suto dengan kepala menunduk dan tubuh
yang
mengambang turun ke bumi. Kini ia duduk bersila
dengan
menyentuh bumi.
"Kumohon
penjelasan sejujurnya, siapa yang sedang
bicara
denganku ini?!" ujar Suto Sinting dengan nada
tegas
dan bersungguh-sungguh.
"Aku
adalah yang selama ini berada dalam bumbung
tuakmu,
Suto!"
Pendekar
Mabuk kerutkan dahinya kuat-kuat, karena
ia
tak paham maksud kata-kata itu. Walaupun ia
akhirnya
mempunyai kesimpulan tentang suara tersebut,
tapi
ia sangsi dengan kesimpulannya sendiri. Tak heran
jika
Suto pun mendesak suara tersebut untuk mengaku
dengan
jelas siapa dirinya.
"Jika
kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, aku tak
mau
mendengarkan kata-katamu!"
"Kurasa
kau telah menyimpulkan dalam hatimu siapa
diriku
sebenarnya," ujar suara itu bernada tegas dan
berwibawa.
"Jangan kau bantah sendiri kesimpulan
batinmu
itu, Suto. Memang akulah yang bicara padamu
saat
ini. Aku adalah yang selalu menyertaimu ke mana
pun
kau pergi, karena aku selalu kau bawa-bawa dalam
keadaan
senang maupun susah."
"Apakah...
apakah kau adalah jelmaan dari bumbung
tuakku?"
"Benar!
Kau tak perlu sangsikan diriku."
"Ooh...?
Jadi... jadi kau adalah Eyang Buyut Guru...."
"Jangan
kau sebut namaku jika kau tak ingin Gua
Pedupan
ini hancur karena badai!"
"Ampun.
Eyang Buyut Guru...!" Suto Sinting
langsung
bersujud menyembah hingga wajahnya
mencium
tanah. Sang Tiara pun ikut-ikutan bersujud
memberi
hormat tinggi-tinggi.
Suto
segera mengetahui bahwa suara itu adalah milik
seorang
tokoh lama yang menjadi gurunya Eyang
Purbapati
dan Nini Galih. Sedangkan Nini Galih dan
Purbapati
adalah guru dari Gila Tuak dan Bidadari
Jalang.
Suto
tahu, siapa yang menjelma menjadi bumbung
tuaknya.
Suto juga tahu, siapa yang namanya tak boleh
disebut,
sebab jika disebutkan akan datang badai petir
mengerikan.
Tokoh sakti itu tak lain adalah Wijayasura
yang
dalam silsilahnya sebagai Eyang Buyut Guru dari
Suto
Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode
: "Pedang Guntur Biru").
"Suto,
kusarankan padamu, hentikanlah semadimu
ini,
Nak. Kau sudah menjadi seorang pemuda yang sarat
dengan
kesaktian, ilmu yang kau miliki sudah termasuk
ilmu
gila-gilaan, sampai-sampai kau dijuluki Suto
Sinting.
Kurasa sudah tak perlu harus lakukan semadi.
Apakah
kau masih merasa kekurangan ilmu?"
"Tidak,
Eyang Buyut Guru!"
"Ya,
kurasa kau memang tidak kekurangan ilmu.
Apalagi
kau sudah memiliki 'Dewatakara' yang sangat
ampuh
dan sakti itu! Kau sudah menjadi orang yang
hebat,
Cucu buyutku! Hebat sekali. Sampai-sampai
karena
terlalu hebat, kau tak bisa membedakan mana
ilmu
yang termasuk aliran silatmu dan mana yang
bukan.
Buktinya, kau merasa bangga dan gembira
menerima
ilmu 'Dewatakara' dari pengikutnya Ratu Laut
Kidul
itu!"
Pendekar
Mabuk diam sesaat, ia merasa disindir dan
menjadi
semakin tak enak hati menerima sindiran itu.
Rasa
sesal semakin membengkak dalam jiwa Pendekar
Mabuk,
ia mengakui telah lakukan kecerobohan pada
saat
bertemu dengan Payung Serambi dan menerima
titisan
ilmu 'Dewatakara' itu.
"Maaf,
Eyang Buyut Guru. Saya mengakui telah
lakukan
kesalahan yang tidak patut dilakukan, oleh
seorang
murid aliran si Gila Tuak," ujar Suto akhirnya
mengakui
kebodohannya. "Tetapi semua itu sangat di
luar
dugaan saya, Eyang. Saya tidak tahu kalau ilmu itu
tidak
boleh saya miliki karena berbeda aliran. Terus
terang,
saya terlalu silau dengan kecantikan Payung
Serambi,
sehingga apa pun yang dilakukan dan
dimilikinya
membuat hati saya terkagum-kagum,
kemudian
timbul rasa ingin menjadi seperti dirinya."
"Itulah
sifat manusia yang harus dikendalikan dengan
pikiran
bersih. Cucu buyutku. Setiap manusia
mempunyai
keinginan. Tetapi keinginan itu bukan
merupakan
jaminan dari kebenaran langkahnya. Kau
harus
bisa membedakan, mana keinginan yang dapat
membuat
langkahmu menjadi benar. Nak!"
"Sekali
lagi, saya mohon ampun. Eyang! Saya
berjanji
tidak akan sembarangan menerima ilmu dari
orang
lain, tanpa seizin Kakek Guru; si Gila Tuak atau
Bibi
Guru; Bidadari Jalang."
Hening
sejurus, Pendekar Mabuk mempertajam
pendengarannya,
termasuk pendengaran batinnya. Tapi
agaknya
suara Eyang Wijayasura masih menunggu
ucapan
berikut dari sang cucu buyut. Maka Suto Sinting
pun
perdengarkan kembali suaranya dengan penuh
hormat
dan kesopanan yang tinggi.
"Apakah
kesalahan saya ini tidak bisa diampuni lagi,
Eyang
Buyut Guru?"
"Tentu
saja bisa," jawab suara sakti itu. "Karena
sebetulnya
letak kesalahan ini bukan hanya padamu.
Gila
Tuak juga ikut bersalah. Mengapa sampai tak
mengetahui
bahwa muridnya tersusupi ilmu aliran lain?"
"Saya
mohon. Eyang Buyut Guru jangan
menyalahkan
Kakek Gila Tuak. Beliau sama sekali tidak
tahu
menahu tentang Ilmu 'Dewatakara' yang telah saya
miliki
ini. Saya sendiri belum pernah menceritakan
kepada
Kakek Gila Tuak, Eyang!"
"Sekalipun
begitu, mestinya Sabawana mengetahui
keberadaan
ilmu asing di dalam diri muridnya! Untuk
apa
namanya ada di deretan teratas dari daftar orang-
orang
sakti itu jika persoalan begini saja tidak
mengetahuinya?"
Pendekar
Mabuk merasa tak patut melibatkan si Gila
Tuak.
Ia ingin menanggung kesalahan itu tanpa
melibatkan
siapa pun. Karenanya, ia segera ajukan
alasan
demi membela si Gila Tuak.
"Eyang
Buyut Guru. saya rasa Kakek Guru Gila Tuak
adalah
manusia. Selama beliau menjadi manusia,
tentunya
tidak akan bebas dari kesalahan sekecil apa
pun.
Apalagi dalam usianya yang telah cukup banyak
ini.
Jadi, wajar jika Kakek Guru lakukan kesalahan
karena
khilaf dan sebagainya. Tetapi pada dasarnya,
sayalah
yang bersalah dan siap menerima hukuman,
Eyang."
Lalu
terdengar suara orang menggerutu, "Kau ini
selalu
saja membela si Gila Tuak. Ya, sudah!
Kumaafkan
kalian, tapi segera buang ilmu itu."
"Baik,
Eyang!"
"Hentikan
bertapamu itu. Kau melakukan sesuatu
yang
sia-sia. Lebih baik kau segera pergi ke Gerbang
Siluman
dan mengatasi keributan di sana. Istana Laut
Kidul
menyerang istriku karena mereka ingin
membawamu
pulang ke Istana Laut Kidul!"
"Saya
tidak akan pergi ke mana-mana sebelum
mendapatkan
'Tuak Dewata', Eyang Buyut Guru! Kakek
Gila
Tuak sedang sakit dan butuh obat 'Tuak Dewata'."
"Tuak
yang kau cari itu tidak ada!"
"Harus
ada, Eyang!"
"Tidak
ada! Biar sampai seratus turunan kau
mencarinya,
tidak akan berhasil kau temukan. 'Tuak
Dewata'
tidak ada yang punya."
"Lalu
bagaimana harus mengobati sakitnya Kakek
Guru;
si Gila Tuak itu, jika 'Tuak Dewata' tidak saya
temukan,
Eyang Buyut Guru?!"
"Biarkan
si Gila Tuak menjalani garis hidupnya
sendiri.
Kau tak bisa mencegah kematian seseorang yang
sudah
menjadi garis kehidupan terakhirnya itu!"
"Tidak!
Firasat saya mengatakan, Kakek Guru Gila
Tuak
belum tiba pada akhir kehidupannya. Kakek Guru
masih
bisa tertolong dengan kesaktian 'Tuak Dewata'
itu!"
"Jangan
membangkang di depanku, Suto! Pergi dan
tinggalkan
tempat ini. Kembalilah pada si Gila Tuak dan
terimalah
kenyataan yang ada. Sebelumnya, redakan
dulu
geger di depan Gerbang Siluman itu, karena hanya
kaulah
yang bisa membendung amukan dari Istana Laut
Kidul."
Dalam
keadaan duduk bersimpuh tegak, Suto Sinting
tetap
tundukkan kepala dan bicara dengan suara tegar.
"Firasat
saya tetap mengatakan bahwa 'Tuak Dewata'
itu
memang ada. Jika Eyang Buyut Guru tidak mau
sebutkan
di mana 'Tuak Dewata' itu berada, saya tidak
akan
ikut campur dalam keributan di Gerbang Siluman
itu!"
Suasana
menjadi hening beberapa saat. Suara Eyang
Wijayasura
tidak terdengar sampai beberapa helaan
napas.
Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar karena
cemas.
Namun setelah Pendekar Mabuk menarik napas
panjang,
suara Eyang Wijayasura terdengar kembali,
cukup
melegakan hati sang cucu buyut.
"Rupanya
kau benar-benar ingin berbakti kepada
gurumu
itu, Suto."
"Tidak
ada kebahagiaan lain bagi saya tanpa
kesembuhan
Kakek Guru, Eyang Buyut!" tegas Suto.
"Kau
memang murid yang patut dibanggakan. Aku
tadi
hanya menguji kesungguhanmu dalam
mengupayakan
kesembuhan si Gila Tuak. Ternyata
kemauanmu
begitu keras dan benar-benar murni tanpa
maksud-maksud
tertentu!"
"Saya
merasa satu napas dengan Kakek Guru Gila
Tuak,
Eyang Buyut!"
"Ya,
ya, ya.... Aku tahu maksudmu," ujar suara Eyang
Wijayasura.
Dapat dibayangkan saat itu sang Eyang
sedang
manggut-manggut dan tersenyum bangga sambil
pandangi
Suto Sinting.
"Baiklah,
akan kutunjukkan padamu di mana kau bisa
dapatkan
'Tuak Dewata' itu. Tapi berjanjilah bahwa kau
akan
mengusir mereka yang ingin menghancurkan
Gerbang
Siluman itu!"
"Saya
berjanji, Eyang!"
"Bagus."
Suara itu kini bergerak menjadi tepat di
samping
telinga Suto Sinting.
"Sebenarnya,
'Tuak Dewata' itu adalah sebuah kata
kiasan,
Tuak adalah pengganti kata air, Dewata mewakili
kata
hidup, karena hidup kita adalah milik Hyang Maha
Dewa.
Jadi 'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Kau
bisa
mencari air kehidupan itu jika kau menemui Guru
Sejati."
"Di
mana saya bisa menemui Guru Sejati itu,
Eyang?!"
"Di
dalam sepanjang kehidupanmu sendiri. Cepat
atau
lambat, kau akan dapat bertemu dengan Guru Sejati.
Mintalah
padanya, karena dialah pemilik air kehidupan
itu."
Suto
Sinting diam berpikir, ia mencoba memahami
kata-kata
tersebut. Tapi hanya sebagian kecil saja yang
diketahuinya.
"Eyang
Buyut Guru, sekali lagi saya mohon diberi
pandangan
ke mana langkah yang harus saya tempuh
untuk
bertemu dengan seseorang yang berjuluk Guru
Sejati
itu?"
Ternyata
pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban
dari
suara Eyang Wijayasura. Bahkan ketika Suto
mengulangi
pertanyaan itu sampai tiga kali, jawaban
yang
diharapkan hadir ternyata tetap tidak ada.
"Eyang
Buyut Guru...?!" Suto sengaja berseru. Tapi
yang
didengar adalah suara si pemandu cantik; Sang
Tiara.
"Beliau
telah pergi, Suto."
"Oh,
tidak! Dia harus menjawab pertanyaanku!" ucap
Suto
dengan nada penuh kecewa, ia semakin tampak
resah,
sehingga Sang Tiara mencoba untuk
menenangkannya.
"Minumlah
tuakmu agar kau tenang kembali, Suto,"
sambil
Sang Tiara mengambil bumbung tuak dan
menyodorkannya.
Pendekar
Mabuk terperanjat melihat bumbung tuak
itu
ternyata sudah menampakkan diri lagi. Berarti suara
Eyang
Wijayasura benar-benar telah tiada dan berubah
menjadi
wujud bambu tempat tuak.
Setelah
menenggak tuaknya dan sebagai tanda
berakhirnya
masa semadi, Pendekar Mabuk hempaskan
napas
sambil berdiri. Sang Tiara yang juga telah berdiri
segera
perdengarkan suaranya.
"Agaknya
kita harus segera ke Gerbang Siluman."
"Tapi
aku harus mencari tahu di mana tokoh yang
menamakan
dirinya Guru Sejati itu berada?!"
"Kurasa
bisa ditanyakan kepada istri Eyang Buyut
Gurumu
itu, Suto."
Maka
ingatan Suto pun kembali ke percakapan gaib
tadi.
Ia ingat bahwa suara Eyang Wijayasura tadi
menyebut-nyebut
tentang 'istriku'. Suto harus membantu
istrinya
Eyang Wijayasura.
"Siapa
yang dimaksud sebagai istri Eyang Buyut
Guru
tadi?!"
"Siapa
lagi kalau bukan Eyang Putri Batari?!"
"Hahh...?!"
Suto Sinting terkejut. "Ja... jadi... jadi
Eyang
Putri Batari itu istrinya Eyang Buyut Guru?!"
"Kudengar
Gusti Kartika Wangi pernah menceritakan
silsilah
itu di depan kedua putrinya; Dyah Sariningrum
dan
Betari Ayu."
"Gila!"
gumam Suto Sinting menegang, bulu
kuduknya
menjadi merinding. "Tak kusangka aku juga
berjumpa
dengan Istri Eyang Buyut Guru. Tak kusangka
masih
semuda itu istri Eyang Buyut Guru?!"
"Alam
keabadian yang membuat kami tetap awet
muda,
usia kami tak pernah bertambah, wajah kami tak
pernah
berubah. Seperti kau ketahui sendiri, di sini tak
ada
siang tak ada malam. Tak ada terang tak ada gelap.
Semuanya
serba abadi. Demikian pula halnya dengan
kecantikan
dan usia kami."
Pendekar
Mabuk manggut-manggut dengan
pandangan
mata terbengong-bengong, ia tak pernah
mendengar
cerita tentang istri Eyang Wijayasura dari si
Gila
Tuak. Karenanya, peristiwa yang dialami saat itu
dianggapnya
sebagai peristiwa yang sangat penting dan
tak
akan bisa dilupakan sepanjang hidupnya.
"Suto,
bertindaklah sekarang sebelum segalanya
terlambat,"
ujar Sang Tiara mengingatkan Suto pada
janjinya
tadi. Pendekar Mabuk segera sadar dari
lamunannya,
kemudian bergegas keluar dari Gua
Pedupan.
*
*
*
6
DENGAN
menggunakan ilmu 'Pusar Badai' milik
Sang
Tiara, mereka berdua tiba-tiba sudah berada di
tengah
pertempuran yang cukup seru. Pertempuran itu
terjadi
di depan gapura batu yang menjadi jalan utama
menuju
Gerbang Siluman.
Denting
suara pedang beradu terjadi di sekeliling
Suto
Sinting dan Sang Tiara. Suara pekik kematian pun
menggema
silih berganti. Ledakan demi ledakan
membuat
tanah tempat mereka berpijak tiada hentinya
dari
guncangan.
"Mengapa
bisa jadi begini, Tiara?!"
"Entahlah!
Yang jelas aku tak mungkin tinggal diam
melihat
rekan-rekanku bertempur begini!"
Sreet...!
Sang Tiara pun segera mencabut pedangnya,
lalu
menghambur ke dalam pertarungan yang sedang
terjadi
di depan matanya.
Pendekar
Mabuk menjadi kebingungan sendiri.
Pertempuran
itu terjadi antara prajurit berseragam merah
seperti
Sang Tiara dengan orang-orang berseragam hijau
muda.
Baik yang berseragam hijau maupun yang
berseragam
merah terdiri dari perempuan semua. Tak
saju
pun ada lelaki di antara mereka, kecuali Suto
Sinting
sendiri.
Melihat
seragam merah seperti yang dikenakan Sang
Tiara,
Suto segera tahu bahwa mereka adalah prajurit
dari
Puri Gerbang Surgawi, pasukan tempurnya Ratu
Kartika
Wangi. Sedangkan mereka yang berseragam
hijau
adalah prajurit dari Istana Laut Kidul, terlihat dari
jurus-jurus
yang mereka gunakan banyak kemiripan
dengan
jurus-jurusnya Payung Serambi.
"Celaka
kalau begini. Bagaimana aku harus
mengambil
sikap? Aku seorang Manggala Yudha dari
Puri
Gerbang Surgawi, seharusnya aku segera turun
tangan
membereskan tentara perangnya Istana Laut
Kidul.
Tetapi di sisi lain, aku punya ikatan moral dengan
pihak
Istana Laut Kidul, terutama terhadap Payung
Serambi
yang telah banyak menolongku,
menyelamatkan
nyawaku dan memberiku ilmu
'Dewataraka'
itu."
Pendekar
Mabuk melesat jauhi pertempuran untuk
sementara.
Di atas gundukan batu yang membukit,
Pendekar
Mabuk merenung sambil pandangi
pertempuran
yang membuat debu-debu beterbangan.
Mayat
bergelimpangan di sana-sini, sementara sang
Manggala
Yudha masih belum bisa mengambil
kepastian
harus memihak mana dirinya saat itu.
Tiba-tiba
seberkas sinar merah melesat melintasi
kepala
mereka yang sedang bertempur. Sinar merah
besar
itu terbang dengan cepat menuju ke satu arah. Tapi
dari
arah yang dituju sinar itu muncul pula seberkas
sinar
biru besar yang juga melambung melintasi kepala
prajurit
yang sedang bertempur itu. Kedua sinar itu
saling
bertabrakan di udara, dan terjadilah ledakan yang
sungguh
dahsyat pada saat itu juga.
Blegaaaarrrrr....!
Gwwwuuurrr...!
Ledakan
itu menyebarkan sinar ungu, membuat langit
menjadi
bercahaya ungu dalam sekejap. Cahaya ungu itu
mempunyai
gelombang hentakan yang sungguh dahsyat.
Para
prajurit yang bertarung terpisah menjadi dua bagian
dengan
sendirinya. Yang berseragam merah terpental ke
sisi
kiri, yang berseragam hijau terpental di sisi kanan.
Selain
alam sekitar menjadi guncang hebat, batu-batu
beterbangan
atau pecah menjadi bongkahan-bongkahan
kecil,
langit pun mulai turunkan kabut ungu samar-samar
yang
menyelimuti alam sekiling Gerbang Siluman.
Pendekar
Mabuk terpental jatuh dari berdirinya, tapi tak
sampai
turun dari atas bongkahan batu. Walau demikian,
batu
yang dipijaknya sempat mengalami keretakan di
beberapa
tempat, namun masih bisa berdiri kokoh.
"Luar
biasa! Kekuatan tenaga dalam siapa tadi yang
saling
beradu di udara itu?!" ucap Suto Sinting dengan
suara
lirih, menyerupai sebuah gumam keheranan.
Rupanya
ledakan dahsyat yang memisahkan kedua
pihak
yang sedang bertarung itu telah membentuk jalur
khusus
di antara prajuritnya Ratu Kartika Wangi dan
prajuritnya
Ratu Nyai Kandita alias Ratu Nyai Roro
Kidul.
Jalur
itu menjadi lega, dan sekarang dipakai untuk
melesatnya
sesosok bayangan berwarna biru-kuning.
Bayangan
biru-kuning itu datang dari arah munculnya
sinar
merah tadi. Sedangkan dari arah munculnya sinar
biru
tampak sekelebat bayangan melesat pula berwarna
kuning
emas. Kedua bayangan itu saling menerjang
dalam
keadaan melayang di udara. Lalu seberkas cahaya
hijau
kemerah-merahan pecah membias dalam sekejap
bersama
ledakan menggelegar kembali.
Jegaaaarr...!
Kedua
bayangan saling terpental mundur, tapi
agaknya
keduanya sama-sama sigap sehingga dapat
menapakkan
kaki ke tanah dengan tegak. Jleeg, jleeg...!
"Oh,
si Payung Serambi...?!" tanpa sadar Suto Sinting
menyebutkan
nama dari bayangan yang tadi tampak
berkelebat
warna biru-kuning itu. Lalu, pandangan mata
Suto
beralih kepada lawan Payung Serambi yang tadi
tampak
sebagai bayangan berwarna kuning emas itu.
"Ooh...
Cendana Wilis?!" nada suara ini terdengar
lebih
ditekankan lagi, menandakan Suto Sinting merasa
lebih
heran dan terkejut melihat kemunculan Cendana
Wilis,
orang kepercayaan pertama Dyah Sariningrum.
Cendana
Wilis adalah pengawal pribadi Dyah
Sariningrum
yang berpakaian ketat warna kuning emas
dengan
rompi putih melapisi bagian dada dan punggung.
Rambutnya
diponi depan, matanya bulat indah, dadanya
cukup
montok. Cendana Wilis gadis berusia dua puluh
empat
tahun yang cantik dan mempunyai bentuk tubuh
sama
eloknya dengan Payung Serambi. Suto Sinting
kenal
betul dengan gadis yang mempunyai pusaka
'Pedang
Cendana' itu, sebab selain Suto pernah
meminjam
pedang tersebut untuk kalahkan seorang
lawan,
juga sering bertemu dengan si pengawal pribadi
kekasihnya
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode
: "Prahara Pulau Mayat").
"Apa
yang membuat Dyah mengirimkan pengawal
pribadinya
dalam pertarungan ini?!" pikir Suto sambil
matanya
memperhatikan ke arah pertemuan kedua
perempuan
cantik dan sama-sama mempunyai
keberanian
tinggi itu.
Pendekar
Mabuk segera gunakan jurus 'Sadap Suara'
yang
dapat mendengarkan pembicaraan dari jarak jauh.
Tak
heran jika ia dapat mendengar perdebatan antara
Payung
Serambi dengan Cendana Wilis yang sama-sama
ketus
itu.
"Panggil
ratumu dan suruh ia berhadapan denganku!"
ujar
Payung Serambi alias Ratih Kumala.
Cendana
Wilis tak mau kalah ketus. "Ratuku; Gusti
Mahkota
Sejati, tak mau kotori tangannya dengan
melawan
cecunguk macam kau! Cukup aku saja yang
harus
membuang bangkaimu ke wajah penguasa Laut
Kidul
itu!"
"Biadab
kau!" geram Payung Serambi. "Kulumat
habis
seluruh tubuhmu hingga tak tersisa setetes darah
pun!
Hiaaah...!"
Payung
Serambi segera sentakkan kedua tangan yang
saling
merapat itu. Tangan tersebut disentakkan ke
samping,
dan dalam sentakan itu melesatlah sinar besar
warna
merah api menerjang Cendana Wilis.
Weeees...!
Blegaaar...!
Ledakan
terjadi dengan dahsyat lagi karena Cendana
Wilis
sentakkan kedua tangannya ke depan dengan
kedua
kaki merendah. Sentakan kedua tangan Cendana
Wilis
itu keluarkan cahaya biru bintik-bintik yang segera
menghantam
cahaya merahnya Payung Serambi.
Akibatnya,
kedua gadis itu saling terpental dan jatuh
terbanting
ke tanah.
"Dahsyat
sekali! Ck, ck, ck...!" Suto menggumam
kagum
melihat adu tenaga dalam itu.
Sementara
itu, para prajurit dari kedua belah pihak
tidak
ada yang berani ikut campur dalam pertarungan
tersebut.
Mereka justru bertindak sebagai penonton yang
selalu
siap siaga hadapi bahaya sewaktu-waktu.
Rupanya
adu tenaga dalam itu membuat Cendana
Wilis
mengalami luka dalam. Dari mulutnya keluar
darah
kental walau tak seberapa banyak. Tetapi di pihak
Payung
Serambi juga keluarkan darah dari hidungnya
yang
tidak begitu banyak pula. Sekalipun demikian,
keduanya
masih sama-sama belum mau menyerah,
sehingga
dalam waktu singkat mereka sudah berhadapan
kembali
dan siap lakukan serangan berikutnya.
Sreeet...!
Payung Serambi mencabut pedangnya yang
menyala
merah membara. Cendana Wilis pun mencabut
senjata
dengan garang. Sreeet...!
Pedang
cendana itu tidak memancarkan cahaya merah
seperti
milik Payung Serambi, tapi memercikkan bunga
api
di bagian sekeliling tepiannya.
"Hiaaah...!"
pekik Payung Serambi yang segera
terbang
menyerang lawannya.
Cendana
Wiiis tidak banyak suara, namun
menyambut
serangan Payung Serambi dengan lakukan
lompatan
cepat menyerupai kilatan cahaya yang ingin
membelah
pinggang Payung Serambi.
Wuuut,
weesss...!
Traaang,
blaaar...!
Bet,
bet, bet, traaaang...! Blaaar, blaar...! Pertarungan
kedua
pedang itu selalu membiaskan cahaya merah
kekuning-kuningan
bersama bunyi ledakan yang
memekakkan
gendang telinga.
Kedua
perempuan itu segera daratkan kakinya dalam
posisi
bertukar tempat. Payung Serambi jatuh berlutut
dengan
kedua tangan menggenggam gagang pedang,
memunggungi
Cendana Wilis. Sementara itu, Cendana
Wilis
masih tetap berdiri dengan kedua kaki sedikit
ditekuk
dan memunggungi Payung Serambi.
Ketika
Cendana Wilis berbalik arah, ternyata
mulutnya
semakin keluarkan darah lebih banyak lagi.
Tetapi
Payung Serambi mengalami luka pada pundak
kirinya.
Luka sabetan pedang Cendana Wilis
membuatnya
gemetar dan berlumuran darah.
Sekalipun
terluka, Payung Serambi masih sanggup
hadapi
Cendana Wilis. Bahkan ia sempat berseru dengan
matanya
yang menjadi nanar dan liar.
"Kau
tak mungkin bisa kalahkan diriku, Cendana
Wilis!
Ilmumu masih belum ada sekuku hitam dibanding
dengan
ilmuku! Tekadku mati untuk mendapatkan
Pendekar
Mabuk telah mendarah daging dalam diriku.
Aku
merasa bangga jika bisa mati karena
memperebutkan
pemuda itu! Kebanggaan apa yang kau
miliki
jika sampai mati di tanganku? Menang atau kalah,
kau
tidak akan mendapatkan Suto Sinting, dan dia akan
menjadi
milik ratumu yang pengecut itu!"
Kata-kata
'pengecut' yang ditujukan kepada Dyah
Sariningrum
membuat hati Suto Sinting tak bisa
menerima
begitu saja. Pendekar Mabuk menggeram,
namun
tetap tak tega melepaskan kemarahannya kepada
Payung
Serambi karena teringat jasa-jasa gadis itu.
Rupanya
hinaan yang dilontarkan Payung Serambi
berhasil
memancing kemunculan seorang wanita cantik
berjubah
kuning sutera dengan pakaian dalamnya biru
muda.
Wanita itu mengenakan mahkota pada sanggulnya
dan
memakai kalung susun tiga sebagai tanda bahwa
keperawanannya
masih tetap suci. Wanita cantik
berpenampilan
kalem itu tak lain adalah Dyah
Sariningrum.
"Hahh...?!
Dia muncul...?!" Suto Sinting terbelalak
tegang.
"Dari mana dia muncul? Tak kulihat
kemunculannya,
tahu-tahu sudah ada di depan Cendana
Wilis?!"
Jantung
Suto Sinting berdetak-detak melihat calon
istrinya
tampil di pertempuran. Darah mulai mengalir
deras,
dan napasnya pun mulai memberat karena
memendam
murka. Jika Payung Serambi sampai
melukai
Dyah Sariningrum, maka Suto tak akan dapat
tertahan
lagi.
Sebelum
Suto lakukan sesuatu, Dyah Sariningrum
sudah
lebih dulu perdengarkan suaranya yang lembut
dan
merdu, namun punya nada-nada ketegasan yang
berwibawa.
"Cendana
Wilis, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri
dia."
"Bagus!
Akhirnya kau muncul juga dari
persembunyianmu,
Mahkota Sejati!" ujar Payung
Serambi
ketika Cendana Wilis undurkan sambil
sembuhkan
luka dengan hawa murninya.
"Apa
yang kau kehendaki sebenarnya, sehingga kau
menyerang
Gerbang Siluman dan mengusik ketenangan
nenekku,
Ratih Kumala?!"
"Jangan
berlagak bodoh! Kau sudah tahu kalau aku
mencintai
Suto Sinting, bukan?! Dia sekarang dalam
kesulitan
mencari 'Tuak Dewata', dan aku akan
membawanya
ke Istana Laut Kidul, karena Gusti Ratu
Nyai
Kandita mempunyai 'Tuak Dewata'. Tetapi tuak itu
harus
diserahkan langsung kepada orang yang
mencarinya,
tak boleh melalui tanganku. Dan agaknya
nenekmu;
si Putri Batari itu, tetap bersikeras
sembunyikan
Suto Sinting serta tak rela jika aku
membawa
pemuda itu ke Istana Laut Kidul! Kuanggap
tindakan
nenekmu itu sengaja ingin menyusahkan Suto
dan
membuat gurunya Suto tewas karena penyakitnya!"
"Kau
tak berhak ikut campur dalam kehidupan Suto
Sinting,"
ujar Dyah Sariningrum dengan tetap kalem.
"Pihakku
yang punya urusan dengan pemuda itu,
sehingga
kami merasa layak jika tak rela Suto kau bawa
ke
Istana Laut Kidul!"
"Aku
merasa berhak ikut campur, karena darah Suto
sudah
sejenis dengan darahku! Sejak kutanamkan ilmu
'Dewatakara',
Suto telah menjadi pendekar berdarah
siluman.
Jangan bermimpi lagi menjadi istrinya.
Mahkota
Sejati! Dia tak akan bisa menikah denganmu,
atau
dengan siapa saja, kecuali dengan perempuan yang
juga
berdarah siluman, seperti diriku!"
"Aku
tidak keberatan jika memang harus terjadi
begitu.
Semua kuserahkan kepada Hyang Maha Dewa,
pengatur
kehidupan manusia. Tetapi aku jelas akan
bertindak
jika kau mengusik ketenangan nenekku: Eyang
Putri
Batari di Gerbang Siluman ini!"
"Selama
dia belum serahkan Suto kepadaku, akan
kuhancurkan
Gerbang Siluman ini! Kanjeng Ratu Kidul
telah
izinkan padaku untuk hancurkan Gerbang Siluman
jika
tak mendapatkan Suto Sinting!"
Dyah
Sariningrum diam sebentar, kemudian
terdengar
suaranya berkata dengan tegas.
"Baiklah
kalau memang begitu keinginanmu. Demi
mempertahankan
Pendekar Mabuk dan demi membela
ketenangan
eyang putriku, kulayani apa pun
kemauanmu,
Ratih Kumala!"
"Bersiaplah
untuk mati jika begitu, Sariningrum!"
Weeesss...!
Tiba-tiba
sekali Payung Serambi memutar tubuhnya
bersama
pedang diputar di atas kepala menyerupai
payung,
lalu tubuh itu melesat tak terlihat lagi.
Sedangkan
Dyah Sariningrum sendiri tahu-tahu lenyap
dari
penglihatan siapa pun.
Kedua
perempuan itu lenyap dalam satu helaan
napas.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan menggelegar
menggetarkan
alam sekitar mereka.
Blaaarrr...!
Dyah
Sariningrum tahu-tahu sudah berada di samping
Cendana
Wilis. Mata para prajurit dari kedua belah
pihak
sama-sama terperanjat, karena mereka tiba-tiba
melihat
Payung Serambi terkapar dalam keadaan
separuh
tubuhnya menjadi hitam hangus. Rupanya
mereka
bertempur dengan kecepatan tinggi hingga
gerakan
mereka tak dapat dilihat lagi. Dan dalam
pertarungan
maha kilat itu, Dyah Sariningrum berhasil
melukai
Payung Serambi dengan tapak tangannya dan
membuat
Payung Serambi hangus separuh tubuhnya.
Namun
dalam keadaan bagian kirinya hangus dari
kepala
sampai kaki, Payung Serambi masih belum mau
menyerah.
Luka pedang Cendana Wilis semakin
merambah
menjadi lebar. Luka itu pun tidak dihiraukan
oleh
Payung Serambi, ia segera bangkit dengan suara
menggeram
dan pandangan mata penuh kebencian.
"Sudah
waktunya menentukan siapa yang hidup dan
siapa
yang mati!" geram Payung Serambi. "Bagi yang
hidup
ia berhak mendapatkan Suto Sinting dengan
menunjukkan
cinta kasih dan kesetiaannya melalui 'Tuak
Dewata'
itu!"
"Tuak
Dewata' tidak ada!" ucap Dyah Sariningrum
dengan
tegas.
"Kau
perempuan bodoh, sehingga kau beranggapan
seperti
itu! Yang dinamakan 'Tuak Dewata' hanya ada di
tangan
Gusti Ratuku; Nyai Kandita!"
Pendekar
Mabuk sempat bergumam dalam hati,
"Benarkah
'Tuak Dewata' ada di tangan Nyai Kandita?!
Bukankah
suara Eyang Buyut Guru mengatakan bahwa
'Tuak
Dewata' ada di tangan Guru Sejati? Hmmm... tapi
siapa
Guru Sejati sebenarnya? Apakah Dyah
Sariningrum
itulah si Guru Sejati, karena dia bergelar
Gusti
Mahkota Sejati?!"
Kecamuk
batin Suto tiba-tiba terhenti karena ia
melihat
tubuh Payung Serambi mulai memancarkan
cahaya
merah samar-samar. Cahaya merah itu dibarengi
oleh
kepulan asap tipis yang menyelimuti seluruh
tubuhnya
dari kaki sampai kepala.
Bluuubb...!
Asap
itu meletup cepat dan menjadi tebal
membungkus
tubuh Payung Serambi. Ketika asap tebal
itu
sirna, tampaklah sesosok tubuh tinggi, besar dan
bersisik
tebal seperti baja. Warna kulit dan sisiknya
seperti
warna tembaga.
"Celaka!
Dia menggunakan ilmu 'Dewatakara' untuk
menyerang
Dyah Sariningrum?!" Suto Sinting menjadi
tegang
sekali begitu melihat Payung Serambi berubah
menjadi
makhluk bertanduk dengan wajah mirip wajah
naga.
Baik wajah maupun tubuhnya sangat
menyeramkan,
membuat para prajurit dari kedua belah
pihak
saling berdesak mundur.
Tetapi
Dyah Sariningrum dan Cendana Wilis masih
tetap
berdiri di tempatnya. Mereka pandangi perubahan
wujud
Payung Serambi yang menjadi makhluk berekor
panjang.
Ekor itu berduri menyerupai mata pisau. Tinggi
makhluk
itu sekitar empat kali lipat tinggi Suto Sinting.
Dengan
kedua tangan berkuku tajam bak mata
pedang,
makhluk itu mulai melangkah dekati Dyah
Sariningrum,
kedua tangannya diangkat ke atas seakan
siap
menerkam tubuh halus mulus di depannya.
"Menjauhlah,
ini bukan bagianmu juga, Cendana
Wilis,"
bisik Dyah Sariningrum. Sang pengawal pribadi
itu
menurut, ia segera mundur menjauh. Tinggal Dyah
Sariningrum
yang berhadapan langsung dengan makhluk
menyeramkan
itu.
"Grrraaoww...!"
Makhluk
itu keluarkan suara menyeramkan juga,
seakan
setiap jantung pendengarnya diguncang dan
diremas
oleh suara tersebut. Tapi Dyah Sariningrum
masih
tampak tenang, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Zlaaap...!
Suto
Sinting tak bisa tinggal diam hadapi kekasihnya
dalam
ancaman bahaya menyeramkan itu. Ia segera
gunakan
jurus 'Gerak Siluman' dan tahu-tahu sudah
berada
di samping Dyah Sariningrum.
"Biar
kuhadapi dia!" kata Suto Sinting sambil
menatap
Dyah Sariningrum yang tidak terkejut sedikit
pun
melihat kemunculan Suto Sinting itu. Rupanya sejak
tadi
ia sudah mengetahui Suto ada di kejauhan jarak,
memandangi
pertempuran tersebut. Namun Dyah
Sariningrum
berlagak tidak tahu-menahu tentang Suto,
sehingga
kemunculan pemuda itu tidak membuatnya
heran
dan kaget.
"Akhirnya
kau mau turun membelaku juga, Suto,"
ujar
Dyah Sariningrum dengan pelan. "Kusangka kau
akan
memihak Payung Serambi."
"Aku
mencintaimu, Dyah," bisik Suto Sinting, lalu
sempatkan
diri mencium pipi Dyah Sariningrum dengan
lembut.
"Grrrraaooww...!"
Makhluk
mengerikan itu semakin berang melihat
Suto
Sinting mencium pipi Dyah Sariningrum. Ekornya
berkelebat
menghantam tubuh Suto. Weess...! Tetapi
Suto
Sinting segera memeluk Dyah Sariningrum dan
melesat
dengan gerakan yang tak dapat dilihat mata
telanjang
itu.
Zlaaap...!
Pendekar
Mabuk membawa pindah calon istrinya ke
tempat
yang lebih aman. Sementara itu, kibasan ekor
makhluk
berkaki lebar telah kenai tiga prajurit dari
Istana
Laut Kidul. Brruusss...!
"Aaaa...!"
mereka menjerit keras-keras dalam
keadaan
tubuh koyak dan mengucurkan darah segar. Dua
dari
ketiga prajurit yang menjadi salah sasaran itu tewas
seketika,
yang satu masih sempat kelojotan dalam
keadaan
sekarat.
Zlaaaap...!
Suto
Sinting kembali hadapi makhluk ganas itu
setelah
menempatkan Dyah Sariningrum di tempat yang
aman.
Kini ia berdiri menantang makhluk itu dengan
bumbung
tuak di tangan kanan.
"Hentikan
tindakanmu, Ratih Kumala!" seru Suto
Sinting
kepada makhluk ganas itu.
"Grraaaooww...!
Ggrrraaooww...!" sambil makhluk
itu
geleng-gelengkan kepala. Matanya yang merah
sebesar
jeruk peras itu memandang ke arah Dyah
Sariningrum.
Agaknya makhluk jelmaan Payung
Serambi
masih mengancam nyawa Dyah Sariningrum.
Tetapi
sebelum makhluk itu bergerak ke arah putri
bungsunya
Ratu Kartika Wangi itu, Pendekar Mabuk
segera
serukan kata sebagai pengalih perhatian Payung
Serambi.
"Ratih
Kumala..., jika kau tetap ingin mencelakai
Dyah
Sariningrum, aku akan tega melawanmu sekarang
juga!"
"Ggrraaaooww...!"
Makhluk itu angguk-anggukkan
kepala.
Rupanya gertakan Suto disambut dengan berani.
Payung
Serambi tidak keberatan jika harus menghadapi
Suto
Sinting.
Maka
dalam kejap berikutnya, tubuh Suto Sinting pun
kepulkan
asap tebal. Buuuss...! Asap itu membubung
tinggi
dan tubuh Suto tidak kelihatan lagi.
Namun
ketika asap itu mulai lenyap, ternyata yang
muncul
dari gumpalan asap tersebut adalah sesosok
makhluk
berkepala dua yang wajahnya mirip wajah leak,
berambut
kuning memanjang ke samping. Tubuh
makhluk
jelmaan Suto Sinting itu berlendir dan berduri-
duri.
Makhluk itu juga berekor panjang dan mempunyai
dua
ekor yang setiap ujung ekornya mempunyai duri
runcing
bagaikan mata tombak. Tinggi makhluk jelmaan
Suto
itu melebihi tinggi makhluk jelmaan Payung
Serambi.
Rupanya
Suto Sinting ingin menaklukkan makhluk
jelmaan
Payung Serambi dengan menggunakan ilmu
'Dewatakara'
pemberian Payung Serambi sendiri. Ilmu
itu
membuat tubuh Suto berubah menjadi makhluk
menyeramkan
yang mempunyai sepasang taring tajam
dan
panjang.
"Hoookkrr...!
Hoookkrr...!"
Makhluk
jelmaan Suto Sinting itu maju, demikian
pula
makhluk jelmaan Payung Serambi. Di pertengahan
jarak
mereka saling bertemu dan saling bergulat dengan
serunya.
Suara-suara erangan mereka menggelegar dan
berkumandang
ke mana-mana. Hentakan-hentakan kaki
mereka
membuat alam sekitarnya menjadi bergetar
beberapa
kali. Suara pertarungan itu memancing orang-
orang
Gerbang Siluman muncul untuk menyaksikannya.
Tetapi
Eyang Putri Batari tidak tampak di antara mereka.
Kedua
makhluk itu berusaha saling gigit dan saling
menggulingkan.
Suaranya gaduh sekali. Tampaknya
keduanya
sama-sama kuat. Sekalipun makhluk jelmaan
Suto
Sinting berkepala dua, tetapi ternyata tidak mudah
menggigit
makhluk jelmaan Payung Serambi.
Tiba-tiba
seberkas sinar hijau melayang dengan
ekornya
yang panjang. Weess...! Sinar hijau itu
menghantam
kedua makhluk itu.
Zeebs...!
Blaaarrr...!
Ledakan
dahsyat terjadi begitu kuat dan
mengguncangkan
Gerbang Siluman. Beberapa prajurit
saling
jatuh bertindihan karena guncangan yang hebat
itu.
Ledakan
sinar hijau tadi ternyata membuat kedua
makhluk
itu lenyap dan berubah menjadi sosok Pendekar
Mabuk
dan Payung Serambi.
Dari
arah datangnya sinar hijau tadi terdengar suara
gemuruh
seperti datangnya banjir besar. Suara gemuruh
itu
makin lama semakin jelas dan bayang-bayang
kehadiran
sebuah kereta berkuda enam tampak samar-
samar.
Rupanya suara gemuruh itu adalah suara derap
kaki
kuda yang menarik sebuah kereta berlapiskan emas
permata.
Di
atas kereta itu, tampak seorang perempuan berdiri
dengan
rambut terurai meriap-riap yang dihiasi mahkota
pada
bagian depannya. Perempuan cantik yang
menunggang
kereta berkuda enam berbulu hitam itu
mengenakan
jubah lengan panjang warna hijau muda
seperti
daun baru bersemi. Jubah hijau itu dibuka bagian
depannya
dan tampaklah pakaian dalam penutup dada
warna
hitam berhias benang emas yang membungkus
separuh
gumpalan dada montok menyegarkan itu.
Melihat
sosok penampilan perempuan berkuda enam
itu,
Pendekar Mabuk segera kerutkan dahi dan bersiap
siaga
untuk hadapi serangan, karena ia belum mengenal
perempuan
cantik berambut panjang itu. Melihat
langkah
kudanya yang ternyata tidak menapak tanah dan
setiap
derapnya mengepulkan asap putih membungkus
sebagian
roda kereta, Pendekar Mabuk dapat
memastikan
bahwa perempuan itu mempunyai ilmu
lebih
tinggi dari Payung Serambi. Sinar hijau tadi bisa
dipastikan
datang dari perempuan berjubah hijau muda
tersebut.
Dan rupanya di belakang kereta itu tampak
beberapa
kuda berbulu coklat mengiringinya dengan
para
penunggangnya berseragam warna Jingga.
Pendekar
Mabuk sempat menyangka munculnya pihak
ketiga
dalam perkara di Gerbang Siluman itu.
Tetapi
secara tiba-tiba, Dyah Sariningrum muncul di
samping
Suto Sinting tanpa suara dan langkah yang
diketahui
oleh siapa pun. Suto sempat terkejut ketika
Dyah
Sariningrum berbisik pelan padanya.
"Nyai
Kandita datang! Bersiaplah untuk hadapi dia."
"Oh...?!
Jadi yang berada di atas kereta berkuda enam
itu
adalah Nyai Kandita, si Ratu Laut Kidul itu?!"
"Benar!
Agaknya dia merasa perlu turun tangan
dalam
upaya membawamu ke Istana Laut Kidul! Hati-
hati
dengan bujukannya. Tuak yang kau cari tidak ada di
tangannya!"
Pendekar
Mabuk diam sambil tetap memandangi
kedatangan
Ratu Laut Kidul itu yang tampak semakin
dekat,
semakin pelan pula langkah kudanya. Sebenarnya
Suto
ingin berbisik kepada Dyah Sariningrum, tetapi
niatnya
urung dikarenakan munculnya suara gemuruh
lagi
dari arah yang berlawanan.
Mereka
memandang ke arah datangnya suara
gemuruh
dan seruan ringkikan kuda secara bersahutan.
Rupanya
dari arah itu muncul seorang perempuan
menunggang
kereta terbuka seperti yang dikendarai Nyai
Kandita
itu. Kereta tersebut juga dilapisi emas murni dan
batuan
permata. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda
putih
berjambul lebat. Dan perempuan yang ada di
atasnya
mengenakan jubah ungu dengan rambut
disanggul
sebagian sisanya meriap lepas. Di sanggulnya
itu
terdapat mahkota yang memancarkan cahaya kemilau
batuan
intan berlian.
"Ibu
Ratu datang...?!" sentak Suto Sinting dengan
mata
terbelalak tegang.
Dyah
Sariningrum berkata setelah menghempaskan
napas
panjangnya.
"Pasti
Ibu tahu kalau Nyai Kandita akan ikut campur
urusan
ini, sehingga beliau sempatkan diri datang ke sini
untuk
hadapi Nyai Kandita!"
Kini
kedua kereta berhenti, dan para penunggangnya
masih
belum turun dari atas kereta yang tanpa atap itu.
Kuda-kuda
mereka saling melonjak dengan ringkik
bersahutan.
Seakan kuda-kuda mereka juga saling
melontarkan
tantangan permusuhan.
Sementara
itu, sorot pandangan mata Nyai Ratu Laut
Kidul
tertuju tajam ke arah Ratu Kartika Wangi. Sang
Ratu
Kartika Wangi menampakkan sikap tenang dan
berwibawa,
namun penuh keberanian.
Kedua
tokoh ratu berilmu tinggi itu saling pandang
dalam
kebisuan beberapa saat. Tak satu pun dari mereka
yang
ada di sekitar tempat itu bersuara sekecil apa pun.
Suasana
menjadi hening, senyap, dan kuda-kuda pun
ikut
terbungkam tanpa ringkik maupun dengan napas
hewaninya.
*
*
*
7
KEDUA
ratu itu masih berdiri di atas keretanya. Nyai
Kandita
lontarkan kata lebih dulu kepada Ratu Kartika
Wangi,
sementara yang lain tetap membisu bagai tak
terbungkam
ilmu yang membisukan mereka.
"Apa
maksudmu menghalangi pihakku membantu
Suto
Sinting, Kartika Wangi?!"
"Karena
kami tahu kau licik dan tak punya 'Tuak
Dewata',"
jawab Ratu Kartika Wangi dengan tegas.
"Kalau
aku licik, berarti kau bodoh, Kartika! Karena
kau
tak pernah mengerti apa sebenarnya 'Tuak Dewata'
dan
siapa pemiliknya!"
"Kau
pun sebenarnya tak tahu siapa pemilik tuak itu.
Jika
kau memang memilikinya, tunjukkan pada kami
sekarang
juga!"
Nyai
Ratu Kandita diam, tapi sorot matanya masih
tertuju
ke wajah Ratu Kartika Wangi.
"Aku
bukan orang yang gemar pujian. Untuk apa
tunjukkan
tuak itu di depan kalian? Pendekar Mabuk
yang
membutuhkannya, jadi selayaknya tuak itu
kutunjukkan
di depan Pendekar Mabuk! Sekarang juga
aku
akan membawa Pendekar Mabuk ke Istana Laut
Kidul!"
"Aku
melarangnya!"
"Apa
hakmu melarang pemuda itu kubawa pergi?!"
"Dia
calon menantuku!"
"Itu
hanya impian semata. Suto Sinting sudah
berdarah
siluman dan tak bisa kawin dengan putrimu
itu!"
"Aku
akan berusaha melenyapkan ilmu 'Dewatakara'
dari
tubuhnya, dan akan mencuci bersih darahnya agar
tidak
tercemar oleh darah siluman dari-mu!"
"Apakah
kau mampu melakukannya?!"
"Gila
Tuak lebih mampu dari diriku dalam hal ini!"
"Hmmm...!"
Ratu Laut Kidul mencibir sinis. "Gila
Tuak
sebentar lagi akan mati jika tak segera ditolong
dengan
'Tuak Dewata'. Dengan begitu, tak ada lagi orang
yang
bisa membersihkan darah Suto Sinting dari
kekuatan
gaib silumanku!"
"Kita
buktikan saja nanti!" ujar sang Ratu Kartika
Wangi
dengan tetap tenang.
Kemudian,
Nyai Ratu Kandita berkata kepada
Pendekar
Mabuk.
"Suto
Sinting, maukah kau mendapatkan 'Tuak
Dewata'
itu untuk sembuhkan sakit gurumu?!"
"Tentu
saja aku mau, Nyai!" jawab Suto dengan suara
tegas
dan berwibawa.
"Jika
kau ingin dapatkan tuak itu, ikutlah kami ke
Istana
Laut Kidul.
"Aku
tak akan mengikutimu sebelum kau tunjukkan
wujud
'Tuak Dewata' itu!" kata Suto sebagai bukti
keragu-raguannya
terhadap pengakuan Nyai Ratu Laut
Kidul
itu.
"Aku
tak bisa tunjukkan padamu sekarang. Tapi akan
kutunjukkan
padamu jika kau sudah berada di istanaku!"
"Aku
tak mau tertipu, Nyai!"
Perempuan
berjubah hijau itu menggeram lirih
pertanda
menahan kejengkelan atas ucapan Suto Sinting.
Namun
sikapnya masih tetap dibuat tenang, dan sorot
pandangan
matanya tertuju tajam kepada Suto Sinting.
Beberapa
kejap kemudian, Nyai Ratu Laut Kidul
berkata
lagi kepada Suto.
"Baiklah,
agaknya kau tidak percaya pada maksud
baikku!
Jangan menyesal jika gurumu tewas karena
terlambat
meminum 'Tuak Dewata' itu! Satu kali kau
menyangsikan
kebaikanku, selamanya aku tak akan
berikan
'Tuak Dewata' itu padamu!"
Pendekar
Mabuk menjadi gundah, pertimbangan
otaknya
menjadi semakin kacau. Di satu sisi ia sangat
membutuhkan
'Tuak Dewata', di sisi lain ia sadar akan
mengecewakan
Dyah Sariningrum jika ia ikut ke Istana
Laut
Kidul.
"Pendekar
Mabuk, kuberi kesempatan terakhir
padamu,
mau ikut aku untuk mengambil 'Tuak Dewata'
atau
tetap setia pada calon istrimu yang berarti harus
mengorbankan
nyawa gurumu. Sedangkan kau sendiri
kelak
juga akan mengorbankan istrimu itu, karena
darahmu
tak bisa bercampur dengan darahnya calon
istrimu
itu!"
Pendekar
Mabuk masih diam dalam kebimbangan.
Tapi
tiba-tiba Dyah Sariningrum berbisik menggunakan
bisikan
batin yang hanya didengar oleh Suto Sinting
seorang.
"Jangan
tinggalkan aku, Suto. Apa pun yang terjadi
aku
siap mati demi kasih kita berdua...."
Bisikan
itu menggugah semangat Pendekar Mabuk
untuk
segera lontarkan jawaban kepada Ratu Laut Kidul.
"Aku
tidak mau ikut denganmu. Nyai Ratu! Aku tahu
kau
akan mengawinkan diriku dengan Payung Serambi!"
"Karena
dia sangat mencintaimu. Suto!" sahut Nyai
Ratu
Kandita.
"Tapi
aku tidak bisa menerima cintanya, Nyai! Aku
akan
tetap menikah dengan Dyah Sariningrum, apa pun
yang
terjadi dari sekarang sampai kelak di kemudian
hari!"
Ucapan
tegas itu menyentakkan hati Payung Serambi
yang
sudah berada tak jauh dari keretanya Nyai Ratu
Kandita.
Pancaran mata Payung Serambi berubah
menjadi
tajam dan penuh permusuhan terhadap Suto
Sinting.
Bahkan kini ia berseru dengan suara lantangnya.
"Manusia
keji kau! Kembalikan ilmu 'Dewatakara'-ku
itu!"
"Ambillah!"
jawab Suto Sinting tegas sekali. "Aku
tak
merasa rugi kehilangan ilmu 'Dewatakara'-mu ini,
Ratih
Kumala. Tapi aku akan merasa rugi besar jika
kehilangan
Dyah Sariningrum!"
"Keparat!
Hiaaaah...!" Payung Serambi segera
ulurkan
tangannya dengan telapak tangan mengembang,
ia
berusaha menarik kekuatan gaib dari ilmu
'Dewatakara'
hingga tubuhnya mulai bergetar. Tetapi
tiba-tiba
sang Nyai berseru kepadanya.
"Hentikan
Ratih!"
"Dia
akan melawan kita dengan ilmu 'Dewatakara'
jika
tak diambil, Nyai Gusti!"
"Biarkan
ilmu itu ada padanya. Tak akan ada yang
bisa
mencabutnya. Dia akan tetap berdarah siluman dan
hanya
akan bisa menikah denganmu! Suatu saat dia akan
datang
merangkak-rangkak menciumi kakimu dan
meminta
kesediaanmu menikah dengannya. Sekarang,
kita
pulang! Semuanya pulaaaang...!"
Seruan
Nyai Ratu Kandita itu tak pernah diabaikan
oleh
para pengikutnya. Maka kereta berkuda enam itu
segera
tinggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki
kudanya
yang tidak menyentuh tanah. Para prajurit dan
Payung
Serambi pun segera pergi tinggalkan tempat itu.
Pendekar
Mabuk tertegun bengong setelah mengetahui
bahwa
dirinya sengaja diikat dengan darah siluman agar
mau
dikawinkan dengan Payung Serambi.
Ratu
Kartika Wangi segera berseru kepada para
prajuritnya.
"Kembali
ke istana!"
"Ibu...
bagaimana dengan Suto?!" seru Dyah
Sariningrum
sambil hampiri ibunya di atas kereta yang
sudah
berbalik arah itu. Wajah sang putri bungsu itu
tampak
cemas, membuat sang ibu tarik napas panjang-
panjang.
Tiba-tiba
seraut wajah cantik berambut putih panjang
itu
muncul tanpa suara dan tanpa angin. Eyang Putri
Batari
tahu-tahu sudah berada di samping Suto Sinting
dan
berseru kepada Ratu Kartika Wangi serta Dyah
Sariningrum.
"Pulanglah
kalian dan biarkan Suto bersamaku
sejenak!"
"Tapi,
Eyang... saya tidak ingin kehilangan dia!"
rengek
sang cucu, membuat dada Suto terasa
membengkak
seketika karena dihujani rasa bangga dan
bahagia
mendengar pernyataan Dyah Sariningrum itu.
"Cucuku,
percayalah padaku, kau tak akan kehilangan
pemuda
nakal ini! Nenek akan turun tangan sendiri ikut
membantu
sembuhkan si Gila Tuak. Karena hanya Gila
Tuak
yang bisa lenyapkan ilmu 'Dewatakara' dan
membersihkan
darah Suto dari darah siluman!"
Ratu
Kartika Wangi berkata kepada putri bungsunya.
"Serahkan
perkara ini kepada nenekmu, Ningrum.
Karena
bagaimanapun juga, kakekmu adalah Eyang
Buyut
Guru bagi Suto Sinting. Tentunya kakekmu tidak
akan
tinggal diam dalam hal ini, Ningrum!"
Dyah
Sariningrum akhirnya pasrah kepada janji para
sesepuhnya.
Namun ia tetap dekati Suto Sinting dan
berkata
penuh kelembutan.
"Jangan
menyerah! Cari terus 'Tuak Dewata' itu dan
sembuhkan
gurumu. Aku menunggumu di Pulau
Serindu,
Suto!"
"Aku
akan selalu hadir dalam mimpimu. Sayang."
Sang
nenek cantik menggoda dengan menembangkan
sebuah
kidung masa kecilnya.
"Selamat
jalan, duhai kekasih...."
"Ah,
Eyang...!" Dyah Sariningrum tersipu malu,
lesung
pipitnya tampak menggoda hati Suto. Namun
pemuda
itu hanya tundukkan kepala dan ikut tersipu-
sipu
juga.
Tetapi
ketika Suto Sinting mengangkat wajah
kembali,
ia menjadi terkejut bukan kepalang, karena ia
tidak
menemukan siapa-siapa di depannya. Dyah
Sariningrum
tidak ada, para prajurit berseragam merah,
termasuk
Sang Tiara, juga tidak ada. Bahkan Ratu
Kartika
Wangi pun lenyap begitu saja tanpa terdengar
derap
kaki kudanya. Sedangkan Eyang Putri Batari yang
tadi
ada di sampingnya, kini hilang entah ke mana.
Tempat
itu menjadi sunyi, bagaikan tanpa kehidupan
sama
sekali. Yang ada hanya gapura batu hitam yang
masih
berdiri kokoh sebagai jalan masuk menuju
Gerbang
Siluman.
"Aneh.
Tanah di sekitar sini juga tak ada bekas tapak
kaki
satu pun. Padahal tadi sewaktu kupakai bertarung
melawan
makhluk besar jelmaan Payung Serambi,
tanahnya
sampai gompal dan acak-acakan. Kenapa
sekarang
menjadi bersih, rapi, dan lengang sekali?!"
Pandangan
mata Suto Sinting menyapu alam
sekitarnya.
Tembok yang besar menjadi benteng istana
Gerbang
Siluman masih tampak jelas tanpa harus
mengusap
wajahnya. Tetapi di sana pun tidak ada satu
orang
pun yang tampak berdiri sebagai penjaga gerbang.
Sementara
itu, alam tetap teduh, tanpa siang dan tanpa
malam.
"Aku
akan masuk ke Gerbang Siluman dan
menanyakan
hal ini kepada Eyang Putri Batari! Siapa
tahu
Eyang Putri juga bisa tunjukkan padaku ke mana
aku
harus pergi menemui orang yang bergelar Guru
Sejati
itu," pikirnya, kemudian ia bergegas melangkah
melalui
jalan di tengah gapura batu hitam itu.
Belum
sampai dekati pintu gerbang, langkah Suto
Sinting
terhenti karena kemunculan wajah Eyang Putri
Batari.
Wajah itu muncul dalam bayang-bayang di udara
dan
hanya separuh bagian. Namun suaranya yang masih
merdu
itu terdengar jelas di telinga sang Pendekar
Mabuk.
"Ada
apa lagi, Bocah Ganteng?!"
"Oh,
hmmm...," Suto agak gugup sedikit karena kaget
melihat
bayangan itu muncul di depannya.
"Ada
yang ingin saya tanyakan, Eyang Putri. Kemana
orang-orang
yang tadi ada di sekitar saya itu?!"
"Mereka
pulang ke tempatnya masing-masing. Dan
memang
begitulah cara mereka pergi, tidak perlu harus
berjalan
kaki."
"Ooo...,"
Suto menggumam lirih.
"Sepertinya
ada yang mengganjal di hatimu, Bocah
Tampan?!"
pancing Eyang Putri Batari yang agaknya
sudah
mengetahui maksud hati Suto.
"Benar,
Eyang," Suto tersenyum malu namun tetap
penuh
hormat. "Saya ingin menanyakan sesuatu yang
saya
peroleh dari hasil semadi saya di Gua Pedupan,
Eyang.
Hmmm... anu, saya disuruh mencari orang yang
berjuluk
Guru Sejati jika ingin dapatkan 'Tuak Dewata'.
Tetapi
saya tidak tahu, di mana saya bisa temukan si
Guru
Sejati itu, Eyang Putri."
"Di
sini," jawab Eyang Putri Batari pendek saja, tapi
sempat
bikin Suto kebingungan dan terheran-heran.
"Maksudnya...
di sini bagaimana, Eyang? Maaf, saya
kurang
paham."
"Sebab
itulah, jangan terlalu banyak berpikir tentang
perempuan,
nanti otakmu menjadi tumpul. Pendekar
gagah!"
goda Eyang Putri Batari yang membuat Suto
makin
tersipu.
Sambungnya
lagi, "Jika kau mau mencari Guru
Sejati,
temuilah dirimu sendiri, Suto. Di dalam dirimu
itulah
letak persinggahan sang Guru Sejati. Karena
setiap
manusia mempunyai Guru Sejati sendiri-sendiri
yang
wajahnya serupa dengan wajahmu."
Pendekar
Mabuk melongo menerima penjelasan itu.
Dahinya
berkerut, matanya tak berkedip pandangi
bayangan
sang Eyang Putri yang tampak ramah dan
ceria.
"Tiap
manusia begitu lahir mempunyai empat saudara
pribadi
yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Empat
saudara pribadi itu mempunyai sifat sendiri-
sendiri,
dan sifat itu adalah sifatmu juga. Lalu satu lagi
yang
tak bisa ditinggalkan oleh manusia adalah Guru
Sejati,
yaitu kehakikian dari jati dirimu sendiri."
"Apa
hubungannya dengan 'Tuak Dewata' itu,
Eyang?"
"'Tuak
Dewata' adalah air kehidupan. Jati dirimu
sendiri
yang mempunyai air kehidupan tersebut, Suto.
Tuakmu
tidak bisa menjadi penyembuh luka dan sakit
apa
pun jika jati dirimu tidak ikut serta
menyembuhkannya!"
"Apakah...
apakah yang dimaksud jati diri itu hampir
sama
dengan keyakinan atau kepercayaan, Eyang?!"
"Benar!
Seseorang yang kurang percaya diri, tidak
yakin
dengan kemampuannya, maka ia akan gagal
melakukan
apa pun! Sebaliknya, orang itu akan berhasil
dalam
melakukan pekerjaan sesulit apa pun, jika ia yakin
dan
percaya bahwa dirinya mampu!"
Suto
Sinting termenung beberapa kejap. Lalu ia
memandang
bayangan Eyang Putri Batari lagi.
"Jadi,
pada waktu Kakek Guru Gila Tuak kuberi
minum
tuak dan ternyata sakitnya tidak sembuh, itu
lantaran
pada waktu itu saya ragu-ragu alias kurang
percaya
diri. Eyang?!"
"Tepat
sekali! Sebenarnya kau tak perlu mencari
'Tuak
Dewata' ke mana-mana. Tuak itu ada pada dirimu,
yaitu
sebentuk keyakinan atau kepercayaan dari sang jati
diri
alias sang Guru Sejati. Karena itu, aku berpesan
padamu,
Bocah Ganteng... minumkan tuakmu kepada si
Gila
Tuak dengan rasa percaya diri bahwa tuak itu akan
menyembuhkannya,
maka ia pun benar-benar akan
sembuh!
Tapi jika kau ragu-ragu alias tak yakin akan
dapat
menyembuhkan si Gila Tuak, jangan kau
minumkan
tuak itu, karena itu akan sia-sia belaka!"
Pendekar
Mabuk semakin tertegun mendengar
penjelasan
tersebut, bahwa ternyata 'Tuak Dewata' sejak
dulu
sudah ada pada dirinya. Yang hilang dari dirinya
saat
menyembuhkan si Gila Tuak adalah keyakinan dan
kepercayaan
dari sang Guru Sejati.
"Pulanglah,
sembuhkan Kakek Gurumu itu dengan
tuakmu.
Tuak itulah yang disebut 'Tuak Dewata'!"
Slaaap...!
Bayangan Eyang Putri Batari hilang begitu
saja,
membuat Suto Sinting tercengang dan masih
terpaku
di tempat hingga beberapa saat.
"Rupanya
saat aku meminumkan tuak kepada Kakek
Guru,
hatiku diliputi rasa kurang percaya diri. Maklum
saja,
karena beberapa tokoh sakti tidak berhasil
mengobati
Guru, maka aku merasa diriku lebih tidak
berhasil
lagi. Sebenarnya aku tak boleh merasa seperti
itu,
dan harus tetap percaya pada kemampuanku sendiri,"
pikir
Suto Sinting dalam mencerna kata-kata Eyang Putri
Batari
tadi.
Ia
pun segera pulang ke alam nyata, dan
meminumkan
tuak itu kepada sang Guru. Rasa percaya
diri
yang tumbuh membara dalam hati dan sanubari Suto
ternyata
benar-benar mampu sembuhkan penyakit si Gila
Tuak.
Tokoh tertinggi di rimba persilatan alam nyata itu
pun
akhirnya berkata kepada murid tunggalnya.
"Aku
sendiri tak sadar kalau aku bicara tentang 'Tuak
Dewata'
itu. Tetapi semua ini mempunyai arti yang besar
bagi
kehidupan kita bersama, Suto. Perjalananmu ke
Gerbang
Siluman ternyata adalah perjalanan mencari jati
dirimu
yang sempat hilang sebentar itu."
"Benar,
Kakek Guru! Aku pun tak menyangka akan
mendapat
pelajaran tentang saudara pribadiku dan Guru
Sejatiku."
"Catat
dalam ingatanmu semua hikmah dari peristiwa
ini.
Dan yang perlu kita lakukan lagi adalah
menyirnakan
ilmu 'Dewatakara' agar darahmu bukan
darah
siluman lagi. Kau sudah siap, Muridku?!"
"Aku
sudah siap, Guru!" jawab Pendekar Mabuk
dengan
tegas dan penuh rasa percaya diri.
SELESAI
Segera
terbit!!!
BENCANA
SELAPUT IBLIS
Pembuat
E-book:
Scan
buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert
& Edit: Paulustjing
Ebook
oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon