1
JURANG Lindu adalah sebuah tempat yang mempunyai tebing cukup tinggi.
Di bawah tebing itu ada sungai dangkal berbatu-batu. Tebing itu juga mempunyai
curahan air terjun yang cukup deras hingga suara gemuruhnya dapat terdengar
dari jarak radius lima kilometer.
Di balik curahan air terjun yang bening itu, ternyata ada sebuah gua
cukup besar yang menjadi tempat tinggal seorang tokoh tua kelas tinggi dan
namanya cukup kondang di rimba persilatan. Tokoh itu tak lain adalah Ki
Sabawana alias si Gila Tuak. Gila Tuak mempunyai murid yang masih muda, tampan,
gagah, berani, dan agak sinting. Bukan otaknya yang sinting, melainkan ilmunya
itulah yang sinting.
Karena dalam usia belum mencapai dua puluh delapan tahun, ia sudah
mampu tumbangkan tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi. Anak muda berbaju coklat tak
berlengan dengan celana putih kusam dan rambut panjang sepundak tanpa ikat
kepala itu tak lain adalah Suto Sinting, yang kemudian dikenal dengan nama
Pendekar Mabuk.
Pemuda itu ke mana-mana selalu membawa bumbung bambu berisi tuak.
Tuaknya itu bukan tuak sembarangan. Mampu untuk sembuhkan penyakit dan melenyapkan
luka dalam waktu singkat. Tuak itu dikatakan sebagai tuak sakti, tapi
sebenarnya bukan tuaknya yang sakti, melainkan bumbung bambunya. Sebab bumbung
bambunya itu adalah jelmaan dari tokoh kawakan yang berilmu tinggi, yang tanpa
pusar seperti Suto sendiri, dan tokoh kawakan itu adalah Eyang Wijayasura.
"Kau boleh minum tuak sepuas-puasmu, kapan saja dan di mana saja,
tetapi ingat... jangan sampai mabuk! Sekali lagi, jangan sampai mabuk!" Itu
wanti-wanti si Gila Tuak kepada sang murid tunggalnya.
"Kau boleh mabuk, tapi hanya dalam memainkan jurusmu saja. Dalam
kenyataannya kau harus tetap sadar dan waspada."
"Minum tuak banyak-banyak kok tidak boleh mabuk. Guru? Mana bisa
begitu?"
"Bisa saja! Minum tuak atau arak supaya tidak mabuk ada caranya
sendiri."
"Caranya bagaimana, Guru?"
"Caranya, salurkan air tuak ke dalam sel-sel darah merahmu pada
saat tuak sudah masuk ke tenggorokan. Jangan dinikmati dengan hatimu, tapi
nikmatilah dengan darahmu. Jika kau menikmati tuak dengan darahmu, maka seluruh
tubuhmu akan ikut menikmati. Sebab seluruh tubuhmu mempunyai darah."
"Ada yang tidak mempunyai darah, Guru."
"Bagian apa yang tidak mempunyai darah dalam tubuh kita?"
"Rambut! He, he, he, he...! Rambut kita kalau dipotong tidak
berdarah, Guru. Jenggot Guru kalau dipotong juga tidak berdarah kan?"
"Tapi kalau kepalamu diketok pakai kayu kok berdarah?! Kalau tak
percaya, mari kucoba...."
"Eh, eh... jangan, Guru! Jangan...! Ampun, Guru!"
"Murid kalau dikasih tahu kok pasti banyak ngototnya!" gerutu
Gila Tuak sambil bersungut-sungut.
Itu percakapan beberapa tahun yang lalu, ketika Suto Sinting baru
tumbuh sebagai remaja dan ilmunya belum seberapa tinggi. Sekarang, acara
ngotot-ngotot sudah jarang dilakukan oleh Suto. Walau kadang-kadang memang ia
masih suka ngotot, tapi tidak sebandel dulu.
Sekarang jika Gila Tuak memberi wejangan ini-itu, Suto Sinting hanya
mengangguk dan menerima wejangan itu dengan penuh kesungguhan. Apalagi sejak
sang Guru hampir mati karena penyakit aneh itu, Suto Sinting mulai jarang
membandel di depan gurunya. Beberapa waktu yang lalu, Gila Tuak sakit parah.
Hampir saja nyawanya cabut dari
raganya. Penyakit itu disebabkan karena hukuman atas kelalaian si Gila Tuak. Seperti
apa kata Eyang Putri Batari, neneknya Dyah Sariningrum yang menjadi kekasih
pujaan hati Suto itu, bahwa Gila Tuak punya ilmu yang lupa belum diturunkan
atau dibuang dalam batas usia sampai sekarang. Karena, ilmu itu membuat Gila
Tuak sakit dan hampir koit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gerbang Siluman").
"Aku sendiri memang lupa kalau aku punya ilmu yang bernama 'Sukma
Lingga'. Sebab ilmu itu jarang kugunakan. Sudah puluhan tahun aku tidak pernah memakai
ilmu tersebut, tapi juga lupa belum membuangnya," kata Gila Tuak sambil
duduk berslia berhadapan dengan muridnya di atas sebongkah batu besar yang
datar tak seberapa jauh dari curahan air terjun.
"Ilmu 'Sukma Lingga' itu ilmu apa, Guru?"
"Ilmu itu sejenis ilmu siluman, yaitu merupakan kesatuan dari
kekuatan batin dan pikiran yang bekerjasama dengan napas serta roh sejati
kita."
"Perlu latihan berapa lama, Guru?"
"Satu purnama sudah cukup, terutama bagi orang yang sudah memiliki
ilmu dasar pernapasan dan pemusatan kekuatan batin."
"Apa yang kita dapatkan dari ilmu 'Sukma Lingga' itu, Guru?"
tanya Suto yang selalu ingin tahu jika bicara soal ilmu.
"'Sukma Lingga' dapat mengubah diri kita menjadi raksasa, ular
naga, burung hantu, atau apa saja yang bersifat aneh dan tidak masuk akal.
Sebab ilmu 'Sukma Lingga' tercipta oleh Eyang Buyut Guru-mu itu dari suatu
kekuatan inti khayal yang diubah menjadi inti nyata. Aku jarang memakainya,
karena aku tak suka berkhayal."
"Apakah ilmu itu sama dengan ilmu 'Dewatakara' pemberian si Payung
Serambi yang sekarang masih kumiliki ini, Guru?"
"Ya, sama persis, bahkan bisa lebih tinggi 'Sukmalingga' jika kau
pandai mengolahnya dalam tiap denyut nadi dan tiap helaan napasmu. Tergantung seberapa
tingginya daya khayalmu sebelum menggunakan ilmu 'Sukma Lingga' itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berdebar-debar karena merasa
kagum dengan kehebatan ilmu itu dan merasa bangga jika ia bisa memiliki ilmu
tersebut.
"Sekarang ilmu itu akan kuturunkan padamu."
"Benar, Guru. Sayang sekali kalau harus dibuang, kan?"
"Sebenarnya akan kubuang. Tapi mengingat kau telah selamatkan
nyawaku saat aku dalam keadaan sekarat gara-gara hukuman ilmu itu, maka sebagai
hadiahnya, 'Sukma Lingga' akan kuturunkan padamu. Tapi ingat, kalau ilmu itu
sudah berada dalam dirimu selama dua ratus tahun, kau harus membuangnya atau
mewariskan kepada muridmu kelak. Sebab jika tidak kau buang atau kau wariskan
kepada seseorang, maka ilmu itu akan mengeringkan darahmu dan membusukkan
jantung, paru-paru, limpa, hati, usus, babat, dan sebagainya. Kau akan
menderita seperti penyakitku tempo hari itu."
"Saya akan selalu mengingat pesan Kakek Guru ini!" jawab Suto
dengan tegas.
Sang Guru yang usianya sudah mencapai dua ratus lima belas tahun itu
segera berkata lagi dengan penuh wibawa.
"Ilmu 'Sukma Lingga' dapat meleburkan ilmu 'Dewatakara' yang kini
berada dalam dirimu itu. Jika ilmu 'Dewatakara' telah lebur, maka darahmu bukan
lagi darah siluman. Kau akan kembali sebagai pemuda berdarah manusia biasa,
namun mempunyai kekuatan gaib setinggi para siluman, yaitu dengan cara mengendalikan
ilmu 'Sukma Lingga' tersebut. Paham?"
"Paham sekali, Guru! Kapan saya mulai latihan? Sekarang?"
"Nanti dulu...!" sang Guru bersungut-sungut. "Aku perlu
berunding dulu dengan Bibi Guru-mu; Bidadari Jalang. Sebab, dulu aku pernah
janji padanya, kalau dia mau masuk aliran putih, aku akan menurunkan ilmu itu
padanya."
Bidadari Jalang adalah tokoh cantik yang berilmu tinggi, satu tingkat
di bawah Gila Tuak. Mereka dulu boleh dikatakan satu perguruan, hanya saja beda
guru. Jika Gila Tuak gurunya Eyang Purbapati, maka Bidadari Jalang gurunya
Eyang Nini Galih. Sedangkan Purbapati dan Nini Galih itu suami-istri, mempunyai
satu guru dan satu aliran, guru mereka adalah Eyang Wijayasura.
Tetapi ketika Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih
sudah wafat, Bidadari Jalang menyimpang dari ajaran agung sang Guru. Kehebatan
ilmunya membuat Bidadari Jalang lupa daratan dan jadilah ia seorang tokoh sesat
yang sukar ditumbangkan. Kejahatan Bidadari Jalang berkisar pada masalah gairah
dan cinta. Tak peduli lelaki itu sudah punya istri, kalau Bidadari Jalang
bergairah kepada lelaki itu, maka ia akan berusaha dengan cara kasar untuk
mendapat kemesraan tersebut. Kalau perlu, istri lelaki itu dibunuh.
Dan kalau lelaki itu tidak mau melayani gairahnya, menolak ajakan
bercumbu, maka hal itu sama saja si lelaki menghendaki umur pendek. Bidadari
Jalang tak segan-segan membunuh lelaki yang menolak ajakan bercumbunya.
Akibat ulahnya yang tergolong sesaat itu, maka Bidadari Jalang banyak
musuhnya. Terutama musuh perempuan, sebab yang banyak dikecewakan olehnya adalah
kaum perempuan yang merasa suami atau kekasihnya direbut oleh Bidadari Jalang.
Tetapi setelah Bidadari Jalang menemukan bocah tanpa pusar berusia sekitar
tujuh tahun, ia menjadi tertarik untuk turunkan ilmunya, ia berebut dengan
kakak perguruannya sendiri; Gila Tuak. Akhirnya mereka sepakat untuk sama-sama
menurunkan ilmu mereka kepada bocah tanpa pusar itu.
Dan bocah tersebut tumbuh menjadi dewasa, hingga sekarang menjadi
seorang pendekar perkasa berjuluk Pendekar Mabuk. Sejak itulah Bidadari Jalang
bertobat, insaf, sadar, tak mau menjadi perempuan sesat lagi. Kini ia menjadi
tokoh aliran putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai, ia ingin menebus
segala dosanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Hyang Widi Wasa, banyak
bersujud kepada Yang Maha Kuasa.
Tetapi hutang lama Bidadari Jalang masih banyak dan belum terlunasi.
Tak heran jika banyak pula para penagih hutang yang mencarinya dan bikin
perhitungan dengannya. Salah satu penagih hutang yang berhasil temukan tempat
pengasingan Bidadari Jalang adalah Nyai Watu Wadon, yang merasa dirugikan
seumur hidupnya karena ulah Bidadari Jalang tempo dulu.
"Sebelum nyawaku sirna dari raga, aku tetap mengejarmu, Bidadari
Jalang! Tak peduli apakah sekarang kau sudah jadi orang baik atau orang buruk
atau juga jadi orang hutan, tapi hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Tak
pernah ada hutang nyawa dibayar dengan beras!" ujar Nyai Watu Wadon ketika
berhasil temukan Bidadari Jalang di Lembah Badai.
Perempuan yang kehilangan suaminya karena dibawa lari oleh Bidadari
Jalang, dan beberapa hari kemudian ditemukan sang suami sudah tak bernyawa di
tepi hutan itu, sekarang usianya sudah delapan puluh tahun. Tetapi berkat
kesaktian ilmu yang dimilikinya, Nyai Watu Wadon masih tampak tegar, kulitnya
masih kencang untuk ukuran seorang nenek seperti dia. Rambutnya memang sudah
putih rata dan digulung asal-asalan. Tetapi ia belum bungkuk dan jalannya tidak
tertatih-tatih, ia bahkan masih tampak lincah dan gerakannya cukup gesit.
Nyai Watu Wadon mengenakan jubah abu-abu dengan pakaian penutup bagian
pentingnya berwarna kuning kunyit. Dengan senjata tongkat hitam yang ujungnya
diberi senjata mirip bulan sabit itu, Nyai Watu Wadon berdiri tegak menantang
pertarungan dengan Bidadari Jalang.
"Barangkali ada baiknya kalau suamimu mati di tanganku, Watu
Wadon!" ujar Bidadari Jalang. "Karena suamimu sendiri adalah Ketua
Perampok Laut Wetan! Kalau sekarang ia masih hidup, ia tetap akan merugikan
pihak lain yang tak berdosa padanya."
"Bicaramu seperti seorang biksu saja. Perempuan Liar! Jangan
bicara tentang dosa, karena kau juga manusia yang tak pernah kenal dosa!
Sekarang hadapi saja hukuman dariku sebagai penebus kematian suamiku!"
"Aku tidak mau membunuh lagi, Watu Wadon."
"O, kalau begitu kau lebih suka dibunuh?! Aha, itu sangat bagus.
Kita pasangan yang cocok; kau suka dibunuh dan aku suka membunuh!"
"Tapi kalau kau memaksaku harus mempertahankan nyawa, dengan
terpaksa kulayani tantanganmu, Watu Wadon!"
"Eh, plin-plan juga kau rupanya. Mulutmu harus dirobek dulu dengan
tongkat 'Tanduk Keong' ini.
Hiaaaat...!!"
Weeesss...!
Nyai Watu Wadon berkelebat menerjang Bidadari Jalang. Gerakannya
ternyata sangat cepat dan membuat Bidadari Jalang terlambat menghindarinya.
Tongkat 'Tanduk Keong' hampir saja merobek wajah Bidadari Jalang jika perempuan
yang masih cantik dan berdada montok itu tidak melompat ke kiri. Namun toh lompatannya
itu tak luput dari kibasan ujung tongkat yang bawah, sehingga kening Bidadari
Jalang terhantam kibasan tongkat tersebut.
Plaaak...!
Brrruk...! Bidadari Jalang jatuh terbanting. Rupanya tongkat itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sama besarnya dengan serudukan seekor
banteng.
Kepala Bidadari Jalang terasa mau pecah. Keningnya membekas merah
kebiru-biruan. Pandangan matanya menjadi buram dan makin lama makin gelap. Bidadari
Jalang mencoba bangkit dengan tenaga yang masih ada. Tapi baru separo berdiri,
tahu-tahu tengkuknya ditendang oleh Nyai Watu Wadon yang menggunakan tendangan
belakang seperti kuda betina menyepak lawannya. Duuuhk...!
"Uuhk...!" Bruuuk...!
Bidadari Jalang tersungkur ke depan, darahnya keluar dari mulut.
Menyembur deras sebelum jatuh tadi. Tendangan itu pun dialiri kekuatan tenaga
dalam cukup tinggi, hingga membuat seluruh tubuh Bidadari Jalang menjadi panas
bagai dipanggang api.
Agaknya Nyai Watu Wadon sekarang jauh lebih tangkas dari waktu mudanya,
ia telah memperdalam ilmunya yang sengaja dipersiapkan untuk melawan Bidadari
Jalang. Pada dasarnya, Bidadari Jalang sebenarnya tak ingin melawan, apalagi
membunuh Nyai Watu Wadon, ia tak mau lakukan hal itu. Ia hanya ingin
menghindari keributan tersebut dengan sedikit memberi pertahanan agar tak
sampai terbunuh.
Tetapi rupanya Nyai Watu Wadon memang tidak ingin memberi kesempatan
kepada Bidadari Jalang untuk bernapas lebih lama lagi. Cita-citanya adalah
membunuh Bidadari Jalang dalam dua-tiga jurus saja. Jadi dia tidak boros jurus.
Karena itulah, begitu melihat Bidadari Jalang terpuruk dalam keadaan
luka dalam cukup parah. Nyai Watu Wadon segera mengangkat tongkatnya 'Tanduk Keong'
itu. Dengan satu lompatan, tongkat itu dihujamkan ke bawah untuk memenggal
leher Bidadari Jalang.
"Habis riwayatmu sekarang, Jahanam! Hiaaaah...!"
Wuuuut...!
Brruuus...!
Nyai Watu Wadon justru terpental agak jauh dan tubuhnya menabrak
sebatang pohon besar. Tubuh yang terhempas kuat pada batang pohon itu akhirnya
jatuh tersungkur dan membuat tulang-tulangnya terasa mau patah semua. Pandangan
mata Nyai Watu Wadon pun menjadi berkunang-kunang, hingga ia perlu
mengerjap-ngerjapkan mata sambil berusaha bangkit dengan bantuan tongkatnya.
"Maling kecut, kunyuk botak...!" umpat sang Nyai.
"Siapa yang menerjangku tadi?!" sambil ia clingak-clinguk.
Lalu sebuah suara menjawab dari belakangnya.
"Aku yang menerjangmu, Nona!"
"Baah...! Bocah keparat kau, berani menerjang orang tua! Apa
matamu buta, aku sudah jadi nenek. Jangan panggil aku Nona lagi. Itu penghinaan
namanya!"
Pemuda yang menerjangnya itu tersenyum kalem. Pemuda itu adalah Suto
Sinting yang sudah siap dengan bumbung tuaknya di tangan kanan.
"Siapa kau, sehingga berani menggagalkan rencanaku membunuh
Bidadari Jalang?!"
"Aku muridnya! Namaku Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"
"Bohong!" bentak Nyai Watu Wadon. "Kau tak pantas jadi
muridnya, karena kau tampan dan gagah perkasa begitu. Kau pasti gundiknya si
Jalang ini!"
"Aku muridnya!" tegas Suto. "Kalau kau mau membunuh Bibi
Guru, kau harus membunuhku lebih dulu, Mbah!"
"Jangan panggil aku Mbah! Kuno itu!" sentak Nyai Watu Wadon.
"Panggil aku Dik... eh, jangan... itu terlalu muda. Panggil aku Mbak...
oh, jangan itu. Tapi... tapi persetan kau mau panggil aku apa, yang jelas kau
telah ikut campur dalam urusan ini dan kau harus mati di tanganku.
Ciaaaatt...!"
"Ssssttt...!!"
Nyai Watu Wadon hentikan langkahnya yang ingin menyerang Suto dengan
ujung tongkat sudah siap disodokkan ke leher pemuda itu. Suto menempelkan telunjuknya
di mulut yang berdesis tadi, sepertinya ingin membisikkan sesuatu yang amat
rahasia. Nyai Watu
Wadon kendurkan ketegangan dan melangkah biasa sambil menyodorkan
telinganya.
"Ada apa?" tanyanya dalam nada bisik. Suto pun bicara dengan
suara rendah seperti orang berbisik.
"Orang sudah tua tak baik melawan anak muda. Nanti kualat!
Durhaka!"
"Setan kampret!" sentak Nyai Watu Wadon. Lalu ia hantamkan
tangannya ke dagu Suto. Wuuut...!
Plak...! Tangan Suto berkelebat menangkis dengan badan miring ke kiri,
lalu mengayun ke belakang seperti orang mabuk mau jatuh. Nyai Watu Wadon
berputar dan kakinya menyepak ke belakang. Wuuut...!
Ploook...!
"Aduuuh...!" Suto Sinting terkena tendangan pada bagian
pipinya, ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak segera berpegangan pada
sebatang pohon.
"Bocah kupret mau coba-coba melawanku dengan tipu muslihat,
hmmm...! Cekak umurmu, Nak!" seru Nyai Watu Wadon. "Kalau tak percaya
bahwa umurmu akan cekak, inilah buktinya! Heeeeah...!"
Nyai Watu Wadon melompat dan mengibaskan tongkat 'Tanduk Keong' dengan
cepat. Wuuut...! Tongkat itu tiba-tiba menghantam sesuatu. Trring...!
Seperti menghantam logam besi, tapi sebenarnya yang dihantam adalah
bambu bumbung tuak. Bambu itu tidak lecet atau remuk, justru tongkat sang Nyai
yang hamper saja terlepas dari genggamannya.
Suto segera berkelebat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
punya kecepatan seperti cahaya pindah tempat itu. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah
berada di samping Bidadari Jalang.
"Bibi Guru, minumlah tuak ini. Lekas...! Aku akan hadapi
dia!"
"Jangan. Dia bukan lawanmu."
"Masa bodoh, yang jelas dia mau bunuh Bibi Guru, berarti dia harus
berhadapan denganku dulu!"
Pendekar Mabuk tinggalkan bumbung tuaknya agar diminum Bidadari Jalang,
ia terpaksa harus lakukan satu lompatan cepat, karena Nyai Watu Wadon sudah menyerang
kembali dengan tongkatnya.
Kali ini logam putih tajam yang mirip tanduk atau bulan sabit itu memancarkan
sinar merah bara. Ketika disodokkan ke depan, dua berkas sinar merah
berkelok-kelok meluncur ke arah Bidadari Jalang.
Claaap...!
Pendekar Mabuk melompat dan berguling di tanah. Wuuut...! Kini ia
berlutut satu kaki dan sentakkan kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan
itu melesat dua larik sinar ungu sebesar lidi. Kedua sinar dari jurus 'Surya
Dewata' itu bertabrakan dengan sinarnya Nyai Wato Wadon.
Cralaaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan itu mengguncangkan tanah sekitar mereka. Pohon-pohon pun bergetar,
daunnya berguguran. Gelombang ledakan itu menyentak kuat, membuat Nyai Watu
Wadon terjungkal ke belakang dan Suto Sinting terlempar ke samping. Brruus...!
Gusraaak...!
"Maling tak sunat kau, Cah Pitak! Rupanya kau punya kekuatan untuk
hadapi jurus 'Sepasang Paruh Kuda'-ku tadi. Kalau begitu, coba tahan jurus
'Bencana Gaib'-ku ini! Hiaaah...!"
Nyai Watu Wadon yang ganas itu segera lepaskan tongkatnya. Tongkat
berdiri tegak di tanah tanpa ditancapkan. Lalu kedua pergelangan tangannya
saling rapat. Dan kedua tangan itu menyodok ke depan dalam keadaan telapak
tangan terbuka. Wuuut...! Dari sodokan tangan itu melesat sinar besar warna
merah berasap.
Wuuus...!
Pendekar Mabuk cepat-cepat pergunakan jurus 'Tangan Guntur'-nya. Kedua
tangan menyentak ke depan lagi dan keluarlah sinar biru besar dari telapak
tangannya itu. Claaap...!
Sinar itu pun akhirnya menghantam sinar merahnya Nyai Watu Wadon di
pertengahan jarak. Jegaaaarrr...!! Brruuk...! Gusraak...! Sruuuk...!
Bruuuss...!
Pohon-pohon tumbang karena ledakan kali ini sungguh dahsyat. Tubuh Suto
dan Bidadari Jalang terlempar sepuluh langkah dari tempat semula. Tubuh Nyai
Watu Wadon terpental pula dan membentur pohon. Pohon itu sendiri tumbang dan
menindih tubuh Nyai Watu Wadon. Beberapa pohon lainnya pecah, batu-batu hancur,
tanah terbelah menjadi beberapa bagian.
Cahaya ungu yang berkerilap bersama bunyi ledakan dahsyat tadi masih
menyala dan membubung tinggi menyebar lebar, menutup cahaya matahari. Langit bagaikan
diselaputi kain ungu yang membuat cahaya matahari sukar menembus ke bumi.
Cahaya ungu yang bercampur kabut tipis itu makin lama semakin tinggi,
lalu tampaklah matahari bersinar ungu dan menjadi temaram. "Uuuhk...!
Hiiiaaahk...!"
Nyai Watu Wadon menghantam pohon yang menimpanya itu dengan kedua
tangan. Praak...! Blaaarr...! Pohon itu hancur, ia segera dapat meloloskan
diri.
Namun ketika ia berdiri menyambar tongkatnya, tiba-tiba ia memuntahkan
darah dari mulut.
"Hoeek...!"
Zrrrook...!
Darah yang dimuntahkan berwarna hitam dan cukup banyak. Nyai Watu Wadon
mengerang dan mulai terbatuk-batuk.
"Keparat kau, Jahanam Busuk! Kau lukai aku separah ini dan...
uuuhk...!" Nyai Watu Wadon pegangi dadanya dengan menyeringai menahan
sakit. Wajahnya menjadi pucat pasi.
"Celaka aku ini! Kalau tetap melawan bocah sontoloyo itu bisa
mampus di sini!" gerutunya dalam hati.
Maka ia pun segera lakukan sentakan kaki yang membuatnya melambung ke
atas dan hinggap pada sisa batang pohon yang patah di pertengahannya.
Jleeeg...!
"Bocah congor sapi!" serunya dengan suara tertahan. "Tunggu
pembalasanku! Aku akan datang dengan murid-muridku pada saatnya nanti!"
Blaaasss...! Nyai Watu Wadon pergi dengan berkelebat cepat. Pendekar
Mabuk yang mengucurkan darah dari hidung dan telinganya bergegas mengejar. Tapi
Bidadari Jalang segera berseru,
"Tunggu, Suto...!" Langkah pengejaran terhenti, Pendekar
Mabuk berpaling memandang Bibi Guru-nya.
"Jangan kejar dia!" larang Bidadari Jalang.
"Kenapa, Bi?!"
"Dia Ketua Janda Liar!"
"Apa kehebatannya?!"
*
* *
2
WAJAH Bidadari Jalang yang cantik dan awet muda itu kini tampak murung
diliputi kecemasan. Walaupun luka dalamnya telah sembuh dan badannya cepat menjadi
segar kembali karena minum tuaknya Suto, tapi kegelisahan itu masih belum bisa
sirna dari raut wajah cantiknya.
Pendekar Mabuk tak habis pikir melihat Bibi Gurunya menyimpan
kecemasan. Mulanya ia ajukan tanya, tapi sang Bibi Guru tak mau menjawab yang sebenarnya.
Kecurigaan Suto membuat hatinya kian penasaran hingga mendesak terus dengan
pertanyaan yang sama.
"Sebenarnya ada apa, Bi?! Mengapa Bibi Guru berpura-pura tenang
padahal hati menyimpan kecemasan?!"
Bidadari Jalang agaknya masih belum mau menjawab secara apa adanya.
Bahkan ia sengaja alihkan pembicaraan agar sang murid lupa dengan kegelisahannya.
"Apakah kedatanganmu ke Lembah Badai ini diutus oleh Kakek
Guru-mu?"
"Benar, Bibi. Aku diutus Kakek Guru untuk memanggilmu datang ke
Jurang Lindu. Ada masalah yang ingin dibicarakan Kakek Guru kepada Bibi
Guru."
"Masalah apa?"
"Tentang ilmu 'Sukma Lingga' yang bikin sakit Kakek Guru tempo
hari itu, Bi!"
"Oooo...," Bidadari Jalang manggut-manggut.
Sekarang ia baru ingat bahwa Gila Tuak memang punya ilmu 'Sukma Lingga'
yang akan merusak jiwa raganya jika dalam dua ratus tahun tak dibuang atau
dialihkan ke orang lain. Suto Sinting juga menceritakan tentang janji Gila Tuak
kepada Bidadari Jalang, sesuai dengan cerita sang Kakek Guru itu.
"Memang, dulu Gila Tuak membujukku agar masuk ke aliran putih.
Bahkan dia menjanjikan akan memberikan ilmu 'Sukma Lingga' kepadaku jika aku
mau masuk aliran putih dan meninggalkan jalan sesatku. Tetapi pada waktu itu
aku menolak."
"Apakah Bibi Guru tidak mempunyai ilmu itu?"
"Tidak, ilmu 'Sukma Lingga' adalah ilmu wasiat dari Eyang
Purbapati. Aku mendapat warisan ilmu wasiat sendiri dari Eyang Nini Galih, yaitu
ilmu 'Candra Geni'. Dan ilmu itu akan kuturunkan padamu sesuai janjiku, karena
kau telah berhasil sembuhkan Kakek Guru-mu dengan 'Tuak Dewata' itu."
Pendekar Mabuk tarik napas lega bercampur gembira, karena ia juga akan
mendapat ilmu tambahan dari Bibi Guru-nya. Karena sebelum itu, Bidadari Jalang
memang pernah berjanji akan menurunkan ilmu 'Candra Geni' jika Suto berhasil
selamatkan nyawa Gila Tuak dari penyakit aneh itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
"Tetapi agaknya kau harus selesaikan dulu urusanmu dengan Kakek
Guru-mu. Nanti setelah ilmu 'Sukma Lingga' kau kuasai, aku baru akan menurunkan
ilmu 'Candra Geni' itu."
"Apakah Bibi Guru tidak keberatan jika ilmu 'Sukma Lingga'
diwariskan padaku?" Bidadari Jalang menggeleng. "Aku bertobat dan
masuk ke aliran putih bukan karena ingin memiliki ilmu 'Sukma Lingga'. Jadi
bagiku tidak ada masalah ilmu itu mau diwariskan padamu atau mau dibuang oleh
si Gila Tuak. Jika memang akhirnya kau yang akan menerima ilmu wasiat itu, pada
dasarnya aku setuju saja. Tapi yang terpenting bagiku sekarang ini...,"
Bidadari Jalang hentikan kata.
Wajah cantik itu tampak resah lagi dan jelas sekali keresahan itu
sengaja ingin disembunyikan namun gagal. Suto Sinting melihat keresahan itu
mengganggu ketenangan Bibi Guru-nya, sehingga ia berusaha membujuk sang Bibi
Guru mau jelaskan rahasia keresahannya itu.
"Kesulitan Bibi Guru sama saja dengan kesulitanku. Kalau Bibi Guru
tidak mau membagi masalah denganku, berarti aku sudah bukan lagi murid dari
Bibi Guru! Aku akan pamit pergi dan tak akan kembali lagi ke sini!"
"Pergilah sana dan tak perlu ke sini lagi!"
"Yaaah... tadi kan cuma gertakan saja, Bi!" Suto Sinting
merajuk seperti anak kecil, ia memang sering manja jika sedang berhadapan
dengan Bibi Guru-nya.
"Jangan suruh aku benar-benar pergi, Bi. Nanti aku sedih kalau
kehilangan Bibi Guru."
"Ah, rayuanmu tak bisa menyentuh hatiku!" sambil Bidadari
Jalang melengos.
"Kalau Bibi bukan guruku juga, pasti Bibi akan kurayu dengan
asmara dan Bibi Guru akan kelabakan mencari kemesraanku. He, he, he,
he...."
"Kalau kau bukan muridku, aku juga tidak akan turunkan jurus
'Rayuan iblis' yang dapat melumpuhkan hati perempuan mana pun itu!"
"Jadi, sekarang aku masih muridmu, bukan?" sambil Suto
sengaja berpindah tempat agar berhadapan dengan Bidadari Jalang.
Perempuan cantik berjubah ungu muda dan pinjung penutup dada serta
celana beludrunya yang berwarna merah itu sengaja berbalik arah agar
memunggungi murid tampannya.
"Tinggalkan aku dan biarkan aku berpikir sendiri, Suto." Sang
murid cengar-cengir. "Bibi terlalu cantik kalau cemberut begitu."
"Tinggalkan aku sekarang juga, Suto!" sentaknya tanpa
berpaling kepada Suto yang ada di belakangnya.
Suto memegangi jubah sang Bibi Guru. "Bibi jangan membentak
begitu, nanti hatiku deg-degan. Sebab kalau Bibi sedang marah, wajah Bibi Guru
jauh lebih cantik daripada rembulan dan...."
"Suto...!!" bentak sang Bibi Guru semakin keras. Suto Sinting
terlonjak kaget dan segera undurkan diri. Ia menundukkan kepala ketika Bibi
Guru-nya memandang dengan mata memancarkan kemarahan. Namun sesekali mata Suto
melirik wajah sang Bibi Guru dengan senyum geli disembunyikan.
"Persoalan ini adalah persoalanku, dan kau tak boleh tahu!"
"Tapi, Bibi..., sebagai muridmu juga, aku harus bisa membantumu
dalam melepaskah diri dari segala kesulitan."
"Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuan siapa pun. Yang penting,
sekarang pergi dari sini dan kembalilah ke Jurang Lindu. Katakan kepada Kakek
Guru-mu bahwa aku setuju jika ilmu 'Sukma Lingga' itu diwariskan padamu. Sudah,
pergi sana!"
"Kenapa Bibi Guru menjadi begitu berang kepadaku?" Suto
berlagak manja dan bersungut-sungut. "Dari dulu cuma Bibi Guru yang sering
mengomelku!"
"Karena kau murid yang bandel, nakal, dan...."
"Dan tampan, bukan?" goda Suto sambil nyengir, pamer senyum
ketampanan di depan Bibi Guru-nya. Plaaak...!
Suto ditampar dan Suto Sinting kaget, lalu berkata dengan wajah memelas.
"Terima kasih...!" Bidadari Jalang bergegas pergi tinggalkan
Suto Sinting. Tapi sang murid bandel tetap memburunya, serta tiba-tiba
menghadang langkah sang Bibi Guru.
Jleeg...!
"Pergi kau dari hadapanku!" gertak Bidadari Jalang.
"Aku tak ingin pergi sebelum Bibi Guru ceritakan apa sebabnya Bibi
Guru gelisah dan resah sekali."
"Kau mau melawan Bibi Guru-mu ini?!"
"Boleh saja kalau memang Bibi Guru ingin adu ilmu denganku!"
jawab Suto sambil berlagak cuek, garuk-garuk kepala dan memandangi daun-daun
pohon.
"Kau benar-benar murid yang minta dibasmi!" geram Bidadari
Jalang.
"Memangnya aku tikus sawah, kok mau dibasmi segala?!" Suto
bersungut-sungut, Bidadari Jalang melengos sembunyikan senyum. Kemudian
perempuan itu bergegas pergi dengan satu lompatan cepat.
Wuuut,..! Tapi Suto Sinting menyusulnya dengan jurus 'Gerak Siluman'
yang lebih cepat dari gerakan Bibi Guru-nya.
Zlaaap...!
Bidadari Jalang hentikan langkah karena Suto sudah menghadang di
depannya. Ia berani lakukan canda seperti itu, karena ia yakin Bibi Guruhnya
tidak benar-benar marah. Hanya merasa jengkel oleh ulahnya. Dan semakin sang
Bibi Guru kelihatan jengkel, semakin berani Suto mempermainkan sang Bibi Guru.
Kebetulan saat-saat bahagia dalam canda seperti itu sudah lama tidak terjalin
di antara mereka berdua, karena Suto Sinting sibuk mengejar musuh utamanya;
Siluman Tujuh Nyawa. Kepala tokoh terkutuk bernama Siluman Tujuh Nyawa itulah
yang akan menjadi maskawinnya nanti dalam melamar seorang ratu cantik dari
negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Ratu itu bergelar Gusti Mahkota
Sejati dengan nama asli yang cantik: Dyah Sariningrum.
"Kau benar-benar membuatku marah, Suto!" geram Bidadari
Jalang. "Kuhitung sampai tiga kali kalau kau masih berdiri menghadangku,
akan kuhajar kau sampai gempor, Suto!"
"Kuadukan kepada Kakek Guru, kau akan kena marah, Bibi!"
"Adukan sana! Aku tidak takut berhadapan dengan si Gila
Tuak!" sentak Bidadari Jalang dengan wajah cantik cemberut.
"Jangan, ah! Kalau kuadukan nanti Bibi Guru dimarahi oleh Kakek
Guru. Kasihan, Bibi... sudah tak punya sanak keluarga masa' harus dimarahi
terus?!"
"Minggir kau, Suto! Satuuu...!"
"Duaaaa...!" Suto ikut-ikutan menghitung.
"Diam kau! Biar aku yang menghitung!"
"Aku cuma tunjukkan bahwa aku ingin membantu
setiap pekerjaan dan kesulitanmu. Sebagai contoh, aku ikut membantu
menghitung ancamanmu itu, Bibi Guru."
"Duaaa...!"
Pendekar Mabuk sengaja cengar-cengir di depan Bibi Guru-nya. Wajah
cantik itu makin tampak kesal, bahkan sempat menggeram dengan napas tertarik.
Tiba-tiba mereka mendengar suara dentuman dari arah timur. Wajah mereka
tampak terperanjat seketika. Dentuman itu terdengar tak begitu jauh dari
mereka. Pendekar Mabuk mulai penasaran sebab ia yakin di sebelah timur pasti
ada pertarungan. Wajah cengar-cengirnya sirna seketika. Bidadari Jalang sendiri
juga kehilangan kejengkelannya.
Zlaaap...! Suto Sinting pergi ke arah timur tanpa pamit apa-apa pada
Bibi Guru-nya, sebab ia yakin sang Bibi Guru pasti akan mengikutinya. Keyakinan
Pendekar Mabuk memang terbukti. Bidadari Jalang segera melesat mengikuti
muridnya menuju ke timur. Saat itu bumi terasa bergetar kembali dengan suara
dentuman yang menggelegar seperti tadi.
Blegaarr...!
Dari ketinggian tanah cadas yang menyerupai bukit kecil itu, Suto dapat
melihat dua sosok wanita saling berhadapan dan saling memainkan jurus lamban.
Permainan jurus itulah yang diperhatikan Suto Sinting setiap ia
mengintai pertarungan.
"Hmmm... jurus yang aneh. Lamban tapi mempunyai kekuatan tenaga
dalam cukup besar!" gumam Suto Sinting. "Rupanya Nyai Watu Wadon tak
sempat melarikan diri jauh-jauh. Ia masih terluka, tapi mengapa berani lakukan
pertarungan dengan perempuan berjubah bunga-bunga merah hitam itu?!"
Pertarungan itu memang dilakukan oleh Nyai Watu Wadon dan seorang
perempuan berjubah kuning dengan pola bunga-bunga merah hitam. Agaknya
perempuan berjubah bunga-bunga itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, karena
serangan tongkat 'Tanduk Keong' Nyai Watu Wadon tak dapat melukai kulitnya yang
halus, mulus, dan berwarna kuning langsat itu. Perempuan yang tampaknya berusia sekitar tiga puluh
tahun kurang sedikit itu sengaja membiarkan dirinya diserang dengan senjata
ujung tongkat itu berkali-kali. Bet, bet, bet...!
Tak satu pun bagian tubuh yang tergores atau lecet karena tebasan
tongkat Nyai Watu Wadon. Bahkan ketika Nyai Watu Wadon hujamkan tongkatnya ke
dada perempuan cantik berpayudara montok itu, ternyata logam tajam di ujung
tongkat itu justru patah dan tak berguna lagi.
Wuuut...! Traak...!
"Celeng sunat!" sentak Nyai Watu Wadon melihat senjatanya
patah. Perempuan berambut panjang diriap lepas dengan bagian tengahnya dikonde
kecil itu masih tetap bergerak seperti orang menari malas-malasan, ia bagaikan
tidak peduli dengan makian dan keberangan Nyai Watu Wadon.
Bahkan ketika Nyai Watu Wadon mengangkat tongkatnya dan tongkat itu
menyala merah seperti besi membara, perempuan berjubah bunga-bunga itu tetap bergerak
lamban bagai menari-nari.
"Modar kau sekarang, Gayung Jamban! Heaaah...!"
Wuuuut, praaak...!
Tongkat itu dihantamkan di kepala si cantik. Tapi ternyata kepala itu
tetap awet dan utuh, retak sedikit pun tidak. Justru tongkat sang Nyai yang
menjadi patah dan cahaya merah baranya lenyap seketika. Tempat patahnya itu
mengepulkan asap bagaikan bara habis tersiram air.
"Gila! Rupanya perempuan cantik itu tahan bacokan?!" gumam
Suto Sinting lirih.
"Dia kuasai ilmu 'Kulit Baja'...!"
Pendekar Mabuk sempat terperanjat sekejap, karena tahu-tahu ada suara
yang menimpali gumaman lirihnya tadi. Ternyata suara itu milik Bibi Guru-nya
yang menyusul di balik pohon persembunyian itu.
"Bibi kenal dengan perempuan berjubah bunga-bunga itu?!"
"Ya. Dia dikenal dengan nama: Selimut Senja."
"Orang mana dia, Bi?"
"Ssst...! Lihat saja pertarungan itu. Agaknya si Watu Wadon mulai
terdesak!"
Pendekar Mabuk tak jadi ajukan tanya lagi, karena perhatiannya terpusat
pada pertarungan yang cukup seru. Selimut Senja tampak berhasil menguras tenaga
Nyai Watu Wadon dengan pancingan jurusnya.
Nyai Watu Wadon menyerang terus karena Selimut Senja kelihatan sering
lengah. Padahal kelengahan Selimut Senja justru suatu bahaya bagi Nyai Watu Wadon.
Setiap pukulan tangan atau tendangan kaki tanpa cahaya yang kenai tubuh Selimut
Senja ternyata dapat menyerap tenaga orang yang memukulnya. Terbukti, setiap
Nyai Watu Wadon berhasil menghantam punggung alau dada lawannya, ia selalu
terengah-engah dan menggelosor sendiri bagai kekurangan tenaga.
Sedangkan Selimut Senja hanya oleng ke kiri atau ke kanan, sesekali
tampak terhuyung ke belakang, namun tegak kembali dan bergerak gemulai lagi
bagai menari tanpa tenaga.
Tapi ketika Nyai Watu Wadon melepaskan pukulan bersinar merah yang
dipakai menyerang Suto tadi, Selimut Senja melambung ke atas dan bersalto
dengan cepatnya. Sambil lakukan gerakan bersalto, seberkas sinar putih kecil
lurus terlepas dari tangannya dan kenai leher kiri Nyai Watu Wadon. Claap...!
Caaaasszz...!
"Aaahk...!" Nyai Watu Wadon mengejang dengan tubuh melengkung
ke belakang. Sinar putih yang kenai lehernya itu membuat leher itu menjadi
hitam seketika dan berasap. Kejap berikutnya, Selimut Senja mendaratkan kakinya
ke tanah. Jleeg...! Tanah di sekitarnya tampak bergetar, daun-daun berguguran karena
getaran tersebut. Nyai Watu Wadon jatuh berlutut sambil masih mengerang dengan
mata mendelik menyeramkan. Kedua tangannya memegangi leher yang hitam dan
berasap itu.
"Kepp... kepaarraat... kauuu...."
"Sekarang akulah yang menjadi Ketua Janda Liar!" ujar Selimut
Senja dengan rentangkan kaki kanan ke belakang jauh-jauh, dan kaki kirinya
merendah hingga lututnya tampak menonjol maju, satu tangan terangkat di atas
kepala dengan jari lentik bagai ingin mencari, tapi tangan yang satunya lagi
menggenggam kuat di depan dada.
"Celaka! Mengapa aku diam saja?!" gumam Bidadari Jalang tepat
ketika Nyai Watu Wadon akhirnya roboh ke belakang dan kepalanya menggelinding
satu langkah darinya.
"Terlambat! Sudah terlambat!" ucap Bidadari Jalang dalam
geram membisik. Ucapan itu memancing keheranan Suto, sehingga murid tampan yang
nakal itu pun akhirnya ajukan tanya dengan dahi berkerut.
"Ada apa sebenarnya, Bi?! Wajah Bibi Guru kelihatan semakin resah
dan seperti ketakutan?!"
Weees...! Pendekar Mabuk kaget, karena saat ia berpaling memandangi
Selimut Senja, ternyata perempuan cantik berdada montok itu sudah melesat lebih
dulu, lenyap dari pandangan Suto. Ia pergi ke arah barat dan Suto ragu-ragu
untuk mengejarnya, ia lebih tertarik dengan kecemasan yang tampak makin mencekam
jiwa Bibi Guru-nya itu.
"Seharusnya kita tidak membiarkan Nyai Watu Wadon terbunuh!"
ujar Bidadari Jalang sambil memandang ke arah kepergian Selimut Senja.
"Bukankah Nyai Watu Wadon adalah musuh Bibi Guru? Dia tadi ingin
membunuh Bibi Guru. Mengapa sekarang Bibi Guru tampak menyesal melihat Nyai Watu
Wadon dibunuh Selimut Senja?!"
"Pandanglah langit!" hanya itu jawaban Bidadari Jalang,
kemudian berkelebat pergi tinggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk tak mengerti maksud Bidadari Jalang. Ia memandang langit
sebentar. Langit masih dilapisi kabut ungu. Sinar matahari hanya membayang
tipis membuat alam menjadi temaram berkesan redup.
"Bibi, tunggu...!"
Zlaaap...! Suto Sinting menyusul Bibi Guru-nya dengan menggunakan kecepatan 'Gerak Siluman'.
Dalam waktu singkat ia sudah berhasil menghadang langkah Bibi Guru-nya lagi.
"Bibi Guru, apa maksudmu menyuruhku memandang langit?!"
"Bodoh!" sentak Bidadari Jalang dengan jengkel karena
langkahnya terhadang lagi itu.
"Kalau aku bukan murid bodoh aku tidak akan bertanya kepada Bibi
Guru. Kalau aku pintar, Bibi Guru yang akan menjadi muridku!"
"Bocah lancang!" geram Bidadari Jalang sambil mengangkat
tangan untuk menampar wajah Suto. Tetapi sang murid segera menampar pipinya
sendiri dengan tangan kirinya. Plaak...!
"Sudah, Bibi. Tak perlu repot-repot menamparku, aku sudah menampar
wajahku sendiri untuk meringankan beban Bibi Guru, biar irit tenaga! Tapi
jelaskan apa maksud Bibi Guru menyuruhku memandang ke langit?!"
"Apakah kau tidak melihat matahari diselimuti cahaya ungu
berkabut?!"
"Ya, memang, itu karena jurusnya Nyai Watu Wadon yang hampir
merenggut nyawaku tadi. Ternyata cahaya ungu berkabut itu belum sirna
juga."
"Watu Wadon menggunakan jurus 'Bencana Gaib'....!"
"O, ya... kudengar tadi dia menyebutkan nama jurus itu,"
sahut Suto Sinting.
"Seharusnya sinar merahnya tadi jangan kau tangkis dengan jurus
'Tangan Guntur' yang memancarkan sinar biru. Mestinya kau tangkis dengan jurus
lain atau kau hindari. Sinar merah itu hanya akan membuat benda yang dikenainya
menjadi lenyap, namun bayangannya masih membekas di tanah, tergantung dari mana
arah matahari datangnya."
"Jadi jika aku tadi terkena jurus 'Bencana Gaib', maka tubuhku
akan lenyap tapi bayanganku masih ada, begitu?"
"Ya. Dan bayanganmu masih bisa berjalan ke sana-sini atau berbuat
apa saja, tapi tak bisa disentuh atau menyentuh orang lain."
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Lantas, apa
salahnya jika kutangkis dengan jurus 'Tangan Guntur' tadi? Toh membuatku
selamat dan benda apa pun tidak menjadi lenyap."
"Benar! Tapi jurus 'Bencana Gaib', jika bertemu sinar biru, dia
akan berubah ungu dan membentuk cahaya abadi berkabut. Cahaya ungu yang abadi
dan menutup sinar matahari dinamakan 'Selaput iblis'. Sinar matahari tetap
memancar, tapi timbulkan hawa lain yang mempengaruhi kehidupan di bumi.
Matahari tak akan bergerak ke barat atau ke timur, karena ia terpaku 'oleh 'Selaput
iblis' itu."
Bidadari Jalang mengusap wajahnya dan selalu berusaha bicara tanpa
memandang Suto Sinting. Bahkan ia tampak sekali tak mau diperhatikan oleh
murid-nya, sehingga sebentar-sebentar Suto terpaksa bergeser mencari tempat
yang bisa beradu muka dengan Bibi Guru-nya.
"Apakah selamanya matahari tidak akan bergerak ke barat atau ke
timur, Bibi?!"
"Ya. Selamanya matahari akan diam di sana, sebelum 'Selaput Iblis'
itu hancur. Dan...," Bidadari Jalang tampak ragu, namun desah napasnya
menandakan kecemasannya kian bertambah. Pendekar Mabuk menjadi tambah penasaran
lagi.
"Lanjutkan penjelasanmu, Bibi Guru! Tolong, jangan bikin hatiku penasaran
dan ingin menggodamu terus, Bibi!"
"Kuperintahkan padamu, cari kekuatan yang bisa hancurkan 'Selaput
Iblis' itu!"
"Mengapa harus dihancurkan? Apa yang terjadi jika
'Selaput iblis' itu tidak dihancurkan, Bibi Guru?!" Suto mendesak
lebih detil lagi.
"Ketahuilah, Anak Brengsek...! Cahaya matahari yang menembus
'Selaput Iblis' akan memudarkan semua kekuatan ilmu pengawet ayu. Siapa pun
orangnya yang menggunakan ilmu atau mantra awet ayu dan awet muda, dalam waktu
dekat kekuatan itu akan sirna termakan bias cahaya matahari yang menembus
lapisan ungu itu. Aku dan yang lainnya, akan menjadi tua, wajahku akan buruk,
keriput, rambutku akan berubah, kecantikanku akan hancur dan... oooh...!"
Bidadari Jalang berbalik wajah, dan menghantamkan tangannya pada sebatang
pohon yang dipakai untuk sembunyikan wajah dari pandangan sang murid.
Duuur...! Pohon itu bergetar keras, ranting dan daunnya berguguran
akibat pukulan tangan Bidadari Jalang tadi. Suto Sinting tak peduli tentang
daun gugur itu. Ia segera dekati Bibi Guru-nya dengan mengitari pohon tersebut.
Kini ia berada di depan Bibi Guru-nya yang tertunduk.
"Bibi Guru...," sapanya pelan, bernada serius. Sang Bibi Guru
angkat wajah dan pandangi Suto Sinting.
"Bibi masih kelihatan cantik, menarik, dan... dan sangat mengagumkan,"
ujar Suto Sinting bagai merayu seorang kekasih.
"Sebentar lagi aku akan berubah menjadi buruk dan menjijikkan!
Semua perempuan yang menggunakan ilmu atau mantra awet muda, akan menjadi tua
dan menyeramkan setelah setiap bayangan benda berubah menjadi ungu muda."
Pendekar Mabuk segera memandang bayangannya sendiri. Ada bayangan
samar-samar di tanah akibat bias sinar matahari yang redup itu. Bayangan
tersebut masih berwarna hitam seperti biasanya. Tapi warna-warna ungu mulai
tampak tipis pada tepian bayangan itu.
Bayangan pohon dan batu pun demikian. Pendekar Mabuk menjadi tegang dan
bertanya dalam hati, "Benarkah jika setiap bayangan sudah berubah menjadi
ungu, maka seluruh ilmu pengawet kecantikan akan pudar dan membuat wajah-wajah
mereka menjadi menyeramkan?! Oh, kalau begitu, aku harus segera menghancurkan
'Selaput Iblis' itu agar Bibi Guru tak menjadi buruk rupa! Tapi dengan apa aku menghancurkannya?!"
Pendekar Mabuk menanyakan hal itu, tapi Bidadari Jalang mengaku tidak
tahu persis tentang kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu.
"Kekuatan itu ada pada Nyai Watu Wadon! Hanya dia yang bisa
menghancurkan 'Selaput iblis'," kata Bidadari Jalang.
"Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa hancurkan 'Selaput Iblis'
itu, Bibi Guru, sebab Nyai Watu Wadon sudah mati dan kepalanya tadi dibawa lari
oleh Selimut Senja!"
"Itulah masalah yang harus kau hadapi. Bagaimanapun juga, kau ikut
andil dalam membentuk 'Selaput Iblis' yang kini menutupi matahari itu. Jika kau
tidak gunakan jurus 'Tangan Guntur' yang bercahaya biru, tak mungkin cahaya
merahnya si Watu Wadon akan berubah menjadi cahaya ungu!"
"Ja... jadi aku termasuk bersalah dalam hal ini. Bibi Guru?"
"Aku... aku tak bisa bicara lagi. Lihat, bayangan kita sudah mulai
berwarna ungu pada tepiannya."
Pendekar Mabuk memandang dengan mata tak berkedip dan mulut terbengong
melompong.
*
* *
3
BIDADARI Jalang sempat berdebat dengan Gila Tuak setelah Pendekar Mabuk dilaporkan pergi
mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput iblis' itu. Agaknya si Gila Tuak
tidak setuju jika Suto Sinting dikatakan sebagai orang yang ikut andil dalam menciptakan
'Selaput iblis' di langit.
"Warna merah apa pun, kalau bercampur dengan warna biru, jelas
akan hasilkan warna ungu," kata Gila Tuak. "Jurus apa pun yang memancarkan
sinar biru, jika bertemu dengan sinar merahnya si Watu Wadon, tentu saja akan
membiaskan warna ungu. Tetapi bukan berarti Suto Sengaja menciptakan 'Selaput
Iblis' di langit untuk memudarkan kecantikanmu, Nawang Tresni!"
"Aku tidak menuduhnya begitu, Sabawana! Aku hanya mengatakan bahwa
ia ikut bertanggung jawab atas terciptanya kabut sinar ungu yang menutupi
matahari itu! Jadi dia harus ikut berusaha mencari kekuatan yang dapat
menghancurkan 'Selaput iblis' itu!"
"Seandainya Suto tidak mencari kekuatan tersebut, dia tidak
bersalah! Justru si Watu Wadon yang bersalah, karena ia menggunakan jurus maut
yang dapat membahayakan kaum wanita di seluruh bumi ini! Dan justru Suto
bertindak benar, karena melindungimu sebagai perilaku yang baik bagi seorang
murid!"
Bidadari Jalang tak mau berdebat lagi. Pikirnya, perdebatan itu hanya
akan membuat mereka berdua saling bersitegang yang salah-salah bisa
mengakibatkan permusuhan dalam sekejap. Bidadari Jalang sudah merasa sungkan
jika harus bertarung dengan saudara seperguruannya lagi. Ia mempunyai rasa
hormat kepada Gila Tuak, sebagai tokoh tertinggi di deretan nama para tokoh
dunia persilatan.
Akhirnya Bidadari Jalang memohon dengan suaranya yang datar dan dingin.
"Lalu, bagaimana nasibku sekarang? Tak dapatkah kau menghancurkan
kabut sinar ungu di langit itu?!"
Gila Tuak menarik napas. Kumisnya terbang beberapa lembar karena napas
yang segera dihembuskan itu cukup kuat.
"'Selaput Iblis' dulu memang pernah tercipta, ketika Nyai Rumpun
Sari, gurunya si Watu Wadon melepaskan jurus 'Bencana Gaib' kepada Tunggul
Ketawang, dan Tunggul Ketawang mengadunya dengan sinar jurus bersinar biru.
Tetapi pada waktu itu, Raja Maut masih hidup. Dia yang mempunyai jurus
penghancur 'Selaput iblis', sehingga bencana buruk muka tidak sempat melanda
para wanita. Sebab kala itu Tunggul Ketawang dibela oleh si Raja Maut."
"Ya. Aku ingat juga peristiwa itu. Tapi sekarang Raja Maut sudah
tiada. Apakah kita harus memaksa mayatnya agar menghancurkan 'Selaput Iblis'
itu?!"
"Jelas mayat Raja Maut tak mungkin mau biar diancam pakai seribu
pedang pun!" kata Gila Tuak dengan nada datar. "Sebaiknya kita
bicarakan kepada para sahabat kita. Mungkin si Tua Bangka atau Batuk Maragam
mengetahui cara melumpuhkan 'Selaput iblis' itu."
Kebetulan sekali pada waktu itu Pendekar Mabuk bertemu dengan Batuk
Maragam dalam perjalanannya mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput
Iblis' itu. Ia menemukan Batuk Maragam dalam sebuah arak-arakan manusia yang
menuju ke sebuah lembah.
Iring-iringan itu kebanyakan terdiri dari kaum wanita. Hanya beberapa
orang lelaki saja yang tampak ikut dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya
adalah lelaki tua berusia sembilan puluh tahun dengan rambut abu-abu
potongannya mirip rambut Suto Sinting. Pak Tua yang mengenakan jubah kuning dan
celana biru itu selalu terbatuk-batuk dan suara batuknya bisa beraneka ragam.
Sebab itulah ia dijuluki Batuk Maragam di kalangan para tokoh persilatan. Nama
aslinya: Brajamusti. Tapi ia enggan menggunakan nama itu karena kurang populer
dan lebih kondang serta terasa lebih angker baginya dengan nama Batuk Maragam.
Sebongkah tanah cadas sebesar kepalan tangan orang dewasa melesat ke
arah tengkuk Batuk Maragam.
Wees...! Gumpalan tanah cadas yang keras itu tiba-tiba berhenti sendiri
dalam jarak satu jengkal sebelum kenai tengkuk Batuk Maragam. Seet...! Gumpalan
tanah itu diam di udara bagai ada kekuatan yang menyangganya.
Pada saat itulah Batuk Maragam segera berpaling ke belakang, lalu
gumpalan tanah cadas itu jatuh dengan sendirinya. Pluk...! Batuk Maragam
geleng-geleng kepala sambil memandang Suto Sinting yang cengar-cengir di
depannya.
"Tak mungkin kau bisa menyerangku dari belakang, Suto. Sebab aku
telah kuasai aji 'Lembu Sekilan'. Belajarlah kepada si Gila Tuak bagaimana cara
mengalahkan aji 'Lembu Sekilan' itu, Bocah Konyol!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil lebih mendekat lagi. "Maaf,
aku hanya ingin mengganggu ketenanganmu, Ki Brajamusti!"
Batuk Maragam segera tersenyum kecil, kemudian menepuk-nepuk punggung
Suto Sinting.
"Kau pasti akan tampil lebih baik dari peserta lainnya."
"Maksudnya tampil apa, Ki?"
"Bukankah kau ingin mengikuti sayembara itu?"
"Sayembara apa?!" Pendekar Mabuk semakin heran, matanya
memandang kepada iring-iringan yang menuju lembah.
"Jadi kau kemari bukan untuk mengikuti sayembara tanding
laga?"
"Aku tidak sengaja lewat sini, Ki Brajamusti. Aku tidak tahu kalau
ada sayembara tanding laga. Siapa yang mengadakan sayembara itu?"
"Partai Janda Liar mengadakan sayembara tanding laga melawan
Selimut Senja. Siapa bisa tumbangkan Selimut Senja, dia akan diangkat oleh
anggota Partai Janda Liar sebagai ketuanya. Tetapi jika dua puluh peserta yang
tampil tak bisa tumbangkan Selimut Senja, maka mereka akan menetapkan Selimut
Senja sebagai Ketua Partai Janda Liar."
"Dan kau ingin mengikuti sayembara itu, Ki Brajamusti?!"
"Mana mungkin aku mau jadi Ketua Partai Janda Liar, bisa-bisa aku
nanti, uhuk, uhuk, uhuk, ehek, huueeek...! Cuih!" Batuk Maragam ambil
napas dan lanjutkan bicaranya,
"Bisa-bisa aku nanti mati lemas jika harus berada di antara para
janda itu. Heh, heh, heh, heh, uhuk, uhuk, eheeek, huueeek...! Cuih...!"
"Lalu, apa maksudmu datang ke sini, Ki Brajamusti?"
"Hanya ingin tahu apakah muridku si Camar Sembilu ikut-ikutan
dalam sayembara itu atau tidak. Kalau sampai ikut-ikutan, aku tidak setuju dan
akan kupecat, tidak kuakui sebagai muridku lagi."
"Ooh, begitu...?" Pendekar Mabuk manggut-manggut. Terbayang
pula seraut wajah cantik yang sederhana milik Camar Sembilu yang dulunya bekas
murid Peri Sendang Keramat, wajah cantik berhidung bangir itu sudah lama tidak
dijumpai Suto, hingga menimbulkan rasa kangen di hatinya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Pendekar Mabuk terpaksa ikuti langkah Batuk Maragam ke arena
pertarungan yang tak jauh dari bangunan bekas sebuah candi. Bangunan itu
dipakai sebagai pesanggrahan Partai Janda Liar.
"Kurasa," kata Batuk Maragam,"... tidak akan ada orang
yang bisa menggulingkan Selimut Senja, karena dia menguasai ilmu 'Kulit Baja'.
Tubuhnya yang mulus itu tak akan bisa dilukai oleh benda apa pun. Tapi kalau
di... uhuk, uhuk, dan di... uhuk, ehek, ehek, huueek. Cuih! Kurasa bisa!"
"Kau ini ngomong apa sebenarnya, Ki Batuk Maragam?!" sambil
Suto Sinting tertawa pelan.
"Yah, beginilah kalau orang sudah tua tapi masih keluyuran ke
mana-mana; ngomong sedikit batuk, tertawa sedikit batuk, nguap sedikit saja
batuk!" sambil Batuk Maragam mendongak ke atas. Tiba-tiba ia terperanjat
dan kerutkan dahi.
"Lho... jadi sejak tadi matahari dilapisi... oh, bukankah itu lapisan
bencana yang dinamakan 'Selaput Iblis'?!" Batuk Maragam menuding bayangan
matahari di balik kabut sinar ungu.
"Apakah Paman baru tahu?!"
"Kusangka tadi cuaca mendung."
"Justru itulah kesulitanku, Paman."
"Kau ini memanggilku Paman, tadi Ki, tempo hari Eyang, mana yang
kau suka sebenarnya?! Uhuk, uhuk, huuuaakr... cuih!"
"Aku hanya menirukan panggilan keponakanku; Dewi Angora, yang
memanggilmu Paman. Sedangkan untuk menghormatimu sebenarnya aku pantas memanggilmu
Eyang. Tapi sebagai tanda keakrabanku, rasanya aku pantas pula memanggilmu Ki
Brajamusti."
"Ya, sudah...! Tak usah dibahas hal itu. Menghabiskan waktu. Yang
penting aku ingin tahu, mengapa tadi kau bilang 'itulah kesulitanku', maksudnya
bagaimana?"
"Bibi Guru; Bidadari Jalang, mengutusku mencari kekuatan yang
dapat untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman. Sebab katanya 'Selaput Iblis'
itu dapat melunturkan seluruh ilmu pengawet muda yang digunakan beberapa
perempuan, termasuk Bibi Guru Bidadari Jalang sendiri."
"Iya. Memang benar! Tapi yang kuherankan mengapa 'Selaput Iblis'
itu sampai terjadi dan menutupi matahari? Kalau begini caranya, jemuranku tak
akan kering-kering karena tak mendapat panas matahari. Dan hal ini akan
berlangsung lama. Tak akan ada siang tak ada malam. Kerupuk yang kujemur di
loteng juga akan bantat, tak akan bisa mekar jika digoreng."
"Ceritanya begini, Paman...," kemudian Suto Sinting
menceritakan pertarungannya dengan Nyai Watu Wadon, sampai akhirnya ia melihat
Nyai Watu Wadon dibunuh oleh Selimut Senja dan penggalan kepalanya dibawa lari
sebagai bukti bahwa Selimut Senja berhasil membunuh Ketua Partai Janda Liar
itu.
"Oo... pantas para anggota Partai Janda Liar menguji Selimut Senja
dalam suatu sayembara tanding laga ini?!"
Batuk Maragam manggut-manggut.
"Apakah Paman tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan
'Selaput Iblis' itu?" tanya Suto Sinting.
Batuk Maragam diam sebentar. Matanya memandang ke arah panggung rendah
yang lebar dan dipakai sebagai arena pertarungan. Kala itu, Selimut Senja
sedang menghadapi seorang perempuan kurus yang berambut jambul. Tapi perhatian
Batuk Maragam jelas tidak ke arah pertarungan, melainkan kepada pertanyaan Suto
Sinting tadi.
Kejap berikut suara Batuk Maragam terdengar lagi. "Kalau kau
bermaksud menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, berarti kau harus menemui seorang
sahabatku yang bernama Begawan Parang Giri. Beliau tinggal di Bukit Canting
bersama cucu-cucunya."
"Kau yakin bahwa dia punya kekuatan untuk menghancurkan 'Selaput
Iblis' itu, Paman?"
"Uhuk, uhuk, ehek, ihik, ihiiiik, ahhh...!" Ki Brajamusti
terbatuk sesaat, kemudian menjawab kesangsian Suto Sinting tadi.
"Begawan Parang Giri itu kakak sepupunya mendiang Raja Maut. Dulu
Raja Maut dapat menghancurkan 'Selaput Iblis' karena mendapat petunjuk dari
Begawan Parang Giri."
"Dengan apa mendiang Raja Maut menghancurkan 'Selaput Iblis' itu,
Paman?"
"Aku hanya mendengar ceritanya saja. Aku tak melihat sendiri,
karena pada waktu itu aku masih memperdalam ilmu di Pegunungan Sojiyama.
Tapi... sebaiknya temui saja Begawan Parang Giri dan mintalah bantuan
kepadanya, setidaknya mintalah petunjuk bagaimana caranya menghancurkan
'Selaput Iblis itu."
"Kalau begitu, agaknya aku harus ke Bukit Canting sekarang juga,
Paman."
"Maaf, aku tak bisa mendampingimu. Aku masih harus mencari muridku
di antara para wanita itu!"
"Aku akan berangkat ke sana sendiri. Hanya saja, kira-kira ke arah
mana aku harus melangkah agar sampai di Bukit Canting, Paman?"
"Ke selatan. Jika kau menemukan kuil kembar, maka di situlah
Begawan Parang Giri berada. Karena...," ucap Batuk Maragam terhenti.
"Oh, itu dia murid-ku, si Camar Sembilu?!"
Seorang gadis cantik berjubah hijau dengan pinjung penutup dada warna
coklat berbulu halus sedang mendekati Batuk Maragam dan Suto Sinting. Gadis bersanggul
kecil dengan sisa rambut meriap itu telah sunggingkan senyum lebih dulu begitu
matanya menatap ke arah Suto Sinting. Suto menyambutnya dengan lambaian tangan
kecil dan senyum yang menawan hati setiap wanita.
"Tak kusangka kau ada di sini, Suto."
"Kebetulan saja kulihat Paman Batuk Maragam menyaksikan
pertarungan tanding laga itu, jadi kusempatkan menyapa beliau," ujar Suto
Sinting penuh keramahan.
"Aku mencarimu, Camar Sembilu! Apakah kau ikut dalam sayembara
itu?"
"Tidak, Guru! Saya hanya ingin tahu siapa akhirnya yang menjadi Ketua
Partai Janda Liar setelah kematian Nyai Watu Wadon."
"Syukurlah jika kau tidak ikut. Sebab kalau kau ikut sayembara
tanding laga dan kau menang, aku tidak setuju kau menjadi Ketua Partai Janda
Liar. Apalagi kalau kau kalah dan mati, aku sangat tidak setuju kau mati
mendahuluiku. Itu namanya murid yang ngelunjak! Gurunya belum mati kok muridnya
sudah mati lebih dulu. Uhuk, uhuk, uhuk, uhuuuiiik, ahh...!"
Sambil tertawa kecil, Camar Sembilu berkata, "Guru tak perlu
khawatir. Aku tak punya minat menjadi Ketua Partai Janda Liar, sebab aku belum
pernah kawin, mana mungkin bisa menyandang gelar sebagai janda? Bukankah
begitu, Suto?"
"Bukan. Eh... iya!"
Setelah Batuk Maragam bertemu dengan Camar Sembilu, maka Suto Sinting
pun segera pamit untuk pergi ke Bukit Canting menemui Begawan Parang Giri.
Sementara itu, matahari masih tetap tidak bergerak dan kabut sinar ungu
itu semakin membuat bayangan benda mulai berwarna ungu. Tapi warna hitamnya
masih lebih besar khususnya pada bagian tengah bayangan.
Tiba-tiba langkah Suto Sinting berhenti sejenak karena mendengar suara
denting pedang beradu. Suara itu berasal dari hutan seberang kirinya, dan
diyakini sebagai suara pertarungan berpedang. Pendekar Mabuk tak bisa cuek
dengan suara pertarungan. Hasrat ingin mengintip Jurus-jurus yang digunakan
dalam pertarungan sangat besar, sehingga ia sempatkan berkelebat ke arah hutan
seberang. Zlaaap...!
Wuuut, wuuut...!
Pendekar Mabuk melompat ke atas dalam gerakan bersalto naik. Dalam
sekejap ia sudah berada di sebuah dahan besar dari sebatang pohon berdaun kecil
namun rimbun. Dari pohon itu ia dapat melihat pertarungan yang terjadi dalam
jarak sekitar sepuluh langkah dari pohon itu.
"Ooh...?! Kalau tak salah perempuan berjubah ungu muda itu adalah
si Pelangi Sutera alias Sumbaruni?!" gumam Suto Sinting dengan hati
berdebar-debar. Tapi dahinya berkerut sebagai tanda keraguan atas apa yang
telah dilihatnya.
"Benarkah dia Sumbaruni?!"
Sumbaruni adalah salah satu dari sekian wanita cantik yang ngebet
sekali cintanya kepada Suto Sinting. Hanya saja, Suto Sinting selalu menjaga
jarak sehingga Sumbaruni tidak terlalu kecewa atas penolakan Suto.
Perempuan cantik dan bertubuh sexy sekali itu seperti berusia dua puluh
lima tahun. Padahal usianya sudah cukup banyak, ia mantan istri jin Kazmat yang
mendapat warisan ilmu dari seorang pertapa sakti. Karenanya, sampai sekarang ia
masih kelihatan cantik dan dadanya montok menawan setiap pria, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
Tapi dalam keremangan cahaya matahari yang redup, wajah Sumbaruni
tampak sedikit berbeda dari biasanya. Dan hal itulah yang membuat Suto Sinting
berkerut dahi, merasa heran serta ragu-ragu dengan penglihatannya.
"Mengapa wajahnya tampak berbeda dari biasanya? Apakah karena aku
sudah lama tidak melihatnya? Hmmm... wajah itu sedikit berkeriput dan hidungnya
tak begitu mancung. Tepian bibirnya juga kelihatan agak berkerut, rambutnya...
oh, rambutnya itu ada ubannya walau tak rata. Bukankah Sumbaruni mempunyai
rambut yang hitam mengkilat dan lembut?!"
Sementara itu, perhatian Suto berpindah kepada lawan Sumbaruni yang
tampaknya juga cukup mahir dalam bermain pedang. Perempuan yang satu itu hanya
mengenakan kutang hijau muda, pinggulnya dibungkus kain warna merah. Rambutnya
pendek diponi depan, ia gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun, bermata
bundar nakal, berhidung bangir dan mempunyai bibir yang sensual. Selain montok
juga berpinggul sexy.
Pendekar Mabuk mengenal gadis itu sebagai Awan Setangkai, mantan
prajurit ulung dari Selat Bantai. Tetapi sekarang ia menjadi penguasa Selat
Bantai setelah Ratu Cendana Sutera dikalahkan oleh Suto Sinting, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu Darah Satria").
Awan Setangkai mempunyai ilmu cukup tinggi, ia mempunyai ilmu yang
dapat mengubah-ubah wajah menjadi orang lain. Tetapi Sumbaruni juga berilmu tinggi,
ia dapat mengukur seberapa tingginya ilmu seseorang dengan menggunakan ilmu
'Gerat Sukma'-nya. Ia juga bekas panglima negeri Ringgit Kencana yang mempunyai
ratu cantik bernama Ratu Asmaradani.
Pertarungan dengan pedang itu membuat keduanya sama-sama kerahkan
tenaga dan keluarkan jurus-jurus pedang mautnya. Percikan bunga api selalu
menyebar ke mana-mana setiap pedang mereka saling beradu.
Tapi dalam kesempatan tertentu, Awan Setangkai berhasil lukai punggung
Sumbaruni dengan gerakan memutari tubuh lawannya begitu cepatnya. Breet...!
Punggung Sumbaruni berdarah dari samping kiri ke kanan. Tetapi kala
itu, Sumbaruni hanya diam dan membiarkan dipandangi oleh Awan Setangkai.
Senyum Awan Setangkai tersunggingkan sebagai senyum kemenangan. Tetapi
Sumbaruni juga sunggingkan senyum sinis punya makna tersendiri.
"Sebentar lagi kau akan mati kering termakan oleh racun pedangku,
Sumbaruni! Dengan begitu, maka urusan lama kita tentang dendamku kepadamu telah
selesai. Dulu kau melukaiku sampai aku hampir mati, sekarang aku pun melukaimu
dengan luka yang sangat berbahaya."
Awan Setangkai masih sunggingkan senyum sinis, ia berkata lagi dengan
nada bangga. "Tapi agaknya kau perlu mengetahuinya, Sumbaruni... sekarang aku
bukan anak buahnya Ratu Cendana Sutera lagi. Aku bukan dari golongan hitam,
melainkan sudah mengikuti jejak Pendekar Mabuk, membawa orang-orang Selat
Bantai masuk dalam aliran putih. Sayang sekali kau terluka oleh pedangku, dan
itu berarti...."
Ocehan Awan Setangkai berhenti seketika, ia merasakan hawa panas
membakar perutnya. Hawa panas itu semula justru terasa seperti hawa dingin.
Makin lama semakin panas dan merayap ke seluruh permukaan perutnya. Maka,
kecurigaan hati Awan Setangkai membuatnya terpaksa melirik ke arah perut.
"Setan...!" geramnya dengan gigi menggeletuk.
Ternyata perutnya juga tergores pedang Sumbaruni. Dan pedang itu pun
beracun, karena luka yang melintang dari kiri ke kanan itu berwarna hitam dan
darah yang keluar pun berwarna merah kehitam-hitaman.
"Apakah hanya kau sendiri yang mampu melukai dengan pedang
beracun?!" ujar Sumbaruni sambil menahan rasa sakit hingga keringat
dinginnya keluar semua.
"Biadab kau, Sumbaruni!"
"Kau lebih biadab karena kuanggap menyerangku dari belakang!"
"Kalau begitu, tentukan saja siapa yang harus minggat ke neraka di
antara kita berdua! Hiaaat...!"
Awan Setangkai sentakkan pedangnya ke depan, maka melesatlah sinar
merah lurus dari ujung pedang itu. Claaap...!
Rupanya Sumbaruni juga sudah siap hadapi serangan lawan, ia pun segera
tebaskan pedangnya dari kiri bawah ke kanan atas, Wuuut...! Claaap...! Angin
tebasan pedang itu keluarkan cahaya hijau panjang yang berkelebat hampiri Awan
Setangkai.
Pendekar Mabuk segera lakukan sesuatu dengan melemparkan bumbung
tuaknya ke pertengahan jarak di antara kedua perempuan itu. Wuuut...!
Weeees...!
Bumbung tuak melesat sangat cepat dan tiba di pertengahan jarak
dihantam oleh dua sinar tadi. Jlegaaaarrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi mengguncang bumi, membuat kedua perempuan itu
sama-sama terpental ke belakang. Beberapa pohon di dekat, mereka menjadi retak,
nyaris terbelah menjadi dua dari atas ke bawah.
Tapi Suto merasa lebih beruntung keadaan begitu daripada kedua sinar
itu saling beradu, maka gelombang ledakan yang akan ditimbulkan oleh kedua
sinar yang bertabrakan itu akan membuat keadaan lebih parah lagi.
Bisa-bisa dada kedua perempuan itu sama-sama pecah, sebab tiba-tiba
saja firasat Suto mengatakan bahwa kedua perempuan itu sama-sama keluarkan
jurus unggulan yang sukar dilawan. Oleh sebab itulah, Suto melemparkan bumbung
tuaknya sebagai penangkis kedua sinar itu. Toh bumbung tuak itu tetap utuh dan
tak mengalami luka goresan sedikit pun, karena bumbung itu memang terbuat dari
bambu sakti jelmaan Eyang Wijayasura.
Zlaaap...! Suto Sinting segera tiba di pertengahan jarak dan memungut
bumbung tuaknya yang jatuh di tanah dalam keadaan berdiri bagai tonggak kekar.
Kedua perempuan yang sama-sama memuntahkan darah dari mulutnya itu segera
bangkit, lalu mereka terkejut memandang kehadiran pemuda tampan yang sudah sama-sama
mereka kenal.
"Pendekar Mabuk...?!"
"Sutooo...?!"
Sumbaruni dan Awan Setangkai sama-sama dekati Pendekar Mabuk dalam
keadaan sempoyongan. Pemuda berambut sepundak tanpa ikat kepala yang memiliki wajah
tampan dan hidung bangir itu hanya sunggingkan senyum bernada canda.
"Maaf, aku mengganggu pertarungan kalian, karena bumbung tuakku
tiba-tiba lari sendiri dan tak sempat kukejar."
"Kau berada di pihak mana, hah?!" gertak Sumbaruni.
Awan Setangkai juga menggertak, "Kau akan membela dia,
Suto?!"
"Sabar, sabar...," Suto Sinting semakin melebarkan senyum dan
tampak tenang sekali. "Sebaiknya kalian sama-sama meminum tuakku dulu biar
luka kalian tak mengakibatkan kematian!"
"Biar aku saja yang meminum tuakmu! Dia tak perlu!" sentak
Awan Setangkai.
"Harus adil," kata Suto. "Kau sahabatku, dan Sumbaruni
juga sahabatku!"
"Sahabat istimewa!" sahut Sumbaruni.
"Istimewa apa? Cuih...!" Awan Setangkai meludah, Sumbaruni
juga meludah.
"Cuih...!"
Suto ikut-ikutan meludah. "Cuih...!" Tapi kemudian ia berkata
dengan geli.
"Kok kita malah main ludah-ludahan, ya?!"
Kedua perempuan itu akhirnya sama-sama tertolong oleh tuak Suto. Luka
mereka lenyap setelah meneguk tuak dari bumbung sakti tersebut. Tubuh mereka
pun menjadi lebih segar dari sebelumnya. Tetapi Awan Setangkai tampak tak suka
melihat Suto bersikap ramah kepada Sumbaruni.
"Sekiranya kau ingin lampiaskan rindumu kepada perempuan keparat
itu, pergilah dari sini dan jangan bermesraan di depanku, Suto!"
"Siapa yang rindu...?" Suto Sinting bersungut-sungut. "Aku
hanya ingin bicara kepada Sumbaruni tentang...."
"Tidak, Suto!" potong Sumbaruni setelah melirik bayangan
dirinya di tanah telah menjadi semakin ungu Sumbaruni cepat palingkan wajah tak
berani memandang Suto Sinting.
Tetapi Pendekar Mabuk yang merasa penasaran itu segera berusaha berdiri
di depan Sumbaruni, hanya saja perempuan itu selalu menghindari pertemuan wajah
dengan Suto.
"Pergilah kalian! Kau tak perlu temui aku lagi, Suto!"
"Sumbaruni, mengapa kau begitu?! Hei... pandanglah aku,
Sumbaruni!"
"Tidak! Tidak...!" Sumbaruni menjauh dengan rasa takut. Kedua
tangannya berusaha menutupi wajah.
"Apa yang terjadi, Sumbaruni?! Aku akan membantumu!"
"Aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Selamat tinggal,
Suto!" Blaas...!
"Sumbaruni...!" Suto ingin mengejar, namun Sumbaruni sudah
jauh dan menghilang di balik kerimbunan hutan.
Awan Setangkai tertawa kecil bernada sinis, membuat Suto Sinting yang
terbengong segera sadar dan segera menarik napas dalam-dalam.
"Tentu saja dia tak berani kau pandang, karena wajahnya semakin
tampak tua dan buruk!" ucap Awan Setangkai. "Matahari yang menembus
kabut sinar ungu itu akan membuat wajah tuanya yang asli menjadi kelihatan.
Ilmu awet ayunya akan sirna dan ia akan malu jika kau pandang!"
"Rupanya kau tahu tentang 'Selaput Iblis' itu, Awan
Setangkai."
"Tentu saja, sebab dulu mendiang Ratu Cendana Sutera sangat takut
dengan warna ungu di langit. Kalau saja Ratu Cendana Sutera sekarang masih
hidup, ia juga akan bersembunyi di bawah kolong ranjang, karena takut ketahuan
wajah tuanya yang asli!"
Awan Setangkai mencibir angkuh dibuat-buat.
"Hmmm...! Mendingan wajahku, biar tak seberapa cantik, tapi asli!
Tanpa mantra kecantikan, tanpa ilmu pengawet ayu!" sambil ia melenggok dan
melengos seakan jual mahal.
"Kau tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput
iblis' itu?"
"Mengapa kau bertanya begitu? Apakah ketampananmu juga akan luntur
jika terkena sinar matahari yang menembus kabut sinar ungu itu?!"
Pendekar Mabuk mulai sunggingkan senyum.
"Ketampananku asli, bukan kekuatan mantra atau minum obat awet
ganteng!"
"Kalau begitu kita sama-sama punya wajah rupawan yang asli,
Suto," sambil mata Awan Setangkai memandang nakal, senyumnya mulai tampak
bermaksud jahil. Pendekar Mabuk menatapnya tak berkedip ketika lidah Awan
Setangkai menyapu bibirnya sendiri pelan-pelan.
"Apakah aku kalah cantik dengan Sumbaruni?"
Suto hanya bisa menggeleng dengan tetap terbengong. Awan Setangkai
mendekat dengan langkah lenggak-lenggok penuh irama penggoda gairah. Ketika
tiba di depan Suto dalam jarak kurang dari satu langkah, Awan Setangkai berucap
kata dengan suara bisik.
"Sengaja aku keluar dari Istana Selat Bantai untuk mencarimu,
Suto."
"Untuk apa kau mencariku?"
"Aku sakit," jawabnya lirih sekali.
"Sakit kok keluyuran?"
"Sakit rindu," jawabnya lagi dengan suara mendesah dan
tangannya mulai berani merayap di dada Suto. Jari-jarinya berlagak
mempermainkan tepian baju Suto, sesekali menyentuh kulit dada kekar itu.
"Aku rindu dan ingin sekali jumpa denganmu. Sudah beberapa malam
aku tak bisa tidur, Suto."
"Karena memikirkan diriku?"
"Karena banyak nyamuk di kamarku."
"Mengapa tak memakai selimut?"
"Selimutku pergi dan sudah lama tak kembali padaku. Kini selimutku
ada di depan mataku, namun masih tak mau menyelimuti diriku."
Awan Setangkai mendekatkan wajah, makin lama semakin dekat, dan
bibirnya muali menyentuh bibir Suto Sinting. Bibir itu mengecup bibir Suto
Sinting dengan pelan-pelan. Sesekali di sela lumatan bibir itu Awan Setangkai
menggigit pelan bibir Suto. Tetapi Suto Sinting diam saja bagaikan patung.
Namun ketika Awan setangkai meraihnya dalam pelukan, dan lumatan
bibirnya mulai mengganas, Suto Sinting tak dapat diam lagi. Ia membalas kecupan
yang hangat dan membakar gairah cintanya. Bahkan ketika Awan Setangkai
mengerang dengan kepala mendongak seakan memberi kesempatan pada mulut Suto
untuk menyapu habis lehernya, tangan pemuda itu dituntun untuk menelususp ke
tempat yang lebih hangat lagi.
Ternyata tangan Suto cukup tanggap dengan kemauan Awan Setangkai.
Tangan itu segera meraba, mengusap, merayap, dan akhirnya meremas sesuatu yang
padat namun kenyal di permukaan dada Awan Setangkai.
"Ooh, Suto... aku ingin sekali mendapatkan yang lebih dari ini.
Ingin sekali, Sutooo...!"
Maka tangan Suto pun ditarik ke bawah. Tangan itu menurut saja. Suto
tak bisa bicara karena mulutnya disumbat oleh gumpalan dada yang membusung
padat itu. Tapi tangan Suto pun mulai bekerja menjamah pusat keindahan Awan
Setangkai.
"Oouh...!"
Awan Setangkai memekik, lalau mengerang, "Sutoo... aku suka itu,
Suto! Teruskan, Sayang.... teruskan...!"
Awan Setangkai bersandar di pohon, kedua kakinya berjauhan, kedua
tangannya meremas-remas rambut Suto Sinting sambil memberi tekanan, seakan
kepala Suto tak boleh jauh dari dadanya. Bahkan sesekali ia berhasil menggigit
kecil telinga Suto, lalu menyapu telinga itu bagaikan seekor induk kucing
memandikan anaknya. Sapuan hangat itu semakin membakar gairah Suto Sinting
membuat Suto tak ingin melarang tangan Awan Setangkai menjamah dan meremas sesuatu
yang telah terpegang oleh perempuan itu.
"Oh, Suto... berikan itu lebih dari ini, maka akan kuberikan pula
rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu!" bisik Awan Setangkai, membuat
Suto terperanjat dan segera menarik diri, menatap Awan Setangkai yang telah
bermata sayu itu.
"Benarkah kau akan memberikan rahasia kekuatan penghancur 'Selaput
Iblis' itu?!"
"Ooh, tentu saja, Sayang.... Apa pun yang kau inginkan akan
kukabulkan, asal kau mau memberiku secawan anggur kenikmatan."
"Kau tidak mendustaiku nantinya?!"
"Tidak mungkin, Sayang... sebab... sebab aku tahu di mana
'Jemparing Malaikat' itu berada."
"Ap... apa itu 'Jemparing Malaikat'?!"
"Panah pusaka milik Begawan Parang Giri. Oh, lekaslah beri aku
secawan kenikmatan, jangan bicara soal itu dulu, Suto!"
"Tidak bisa, Awan Setangkai! Aku harus bias menghancurkan 'Selaput
Iblis' itu lebih dulu sebelum menghancurkan Selaput kesucianmu!"
"Suto, aku sudah tidak berselaput lagi. Tapi aku punya kesucian
hati kepadamu, Suto! Sumpah mati, aku punya kesucian hati padamu, Sayang....
Oh, lekaslah peluk aku dan berikan apa yang kudambakan sejak kita berpisah
dulu, Suto...," bujuk Awan Setangkai dalam rengekan manjanya. Napasnya
sudah terengah-engah dan tangannya meremas serta merayap ke mana-mana.
"Awan Setangkai," bisik Suto. "Bagaimana kalau hal itu
kita bicarakan di kamar tidurmu saja?!"
"Ooh.... itu pasti lebih indah, Suto! Kalau begitu, sekarang juga
kau harus segera kubawa ke Istana Selat Bantai, Sayang...! Aku punya ranjang
hangat untuk kita berdua. Ayo, lekaslah, Suto!" Awan Setangkai
menarik-narik Suto, tampak tak sabar lagi. Sementara itu, Suto Sinting sempat
berpikir dalam benaknya,
"Haruskah kulayani gairahnya untuk dapatkan rahasia itu? Oh,
celaka! Gairahku sendiri telah menggebu-gebu dan menuntut kemesraan yang lebih
dalam lagi. Oh, sebaiknya apa yang harus kulakukan kalau sudah begini?"
*
* *
4
TIBA-TIBA sekelebat bayangan menyambar mereka dari arah depan. Bayangan
itu berupa senar putih yang menyilaukan yang muncul dari balik semak yang akan
dilalui mereka.
Claap, blaaab...!
Untuk sesaat Suto dan Awan Setangkai tak bias bernapas. Mereka
sama-sama tumbang dan pingsan. Sinar putih yang tiba-tiba menyerang mereka itu ternyata
datang dari tangan seorang perempuan berambut jabrik, acak-acakan. Perempuan itu
mengenakan pakaian serba hitam, ketat dengan tubuh, bagaikan terbuat dari karet
atau bahan lainnya yang elastis. Perempuan yang usianya sekitar tiga puluh
tahun itu sebenarnya berwajah cantik, walau berkesan liar dan galak. Sayang
sekali rambutnya yang jabrik itu tidak pernah disisir rapi, sehingga
kecantikannya sangat tersembunyi.
Perempuan berdada sekal dan berbibir sensual itu tak lain adalah Angin
Betina, yang berstatus masih gadis walau belum tentu masih perawan, dan sangat
mencintai Suto Sinting. Ia banyak membantu Suto dalam berbagai masalah, dan
sering menjadi penyelamat jiwa Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pedang Kayu Petir").
Agaknya Angin Betina cemburu mengintip Suto Sinting bermesraan dengan
Awan Setangkai, sehingga sebelum mereka berdua bergerak ke Istana Selat Bantai,
Angin Betina lebih dulu melumpuhkan mereka. Padahal sebenarnya Angin Betina
masih sakit hati kepada Suto yang seolah-olah memusuhinya ketika Angin Betina berhadapan
dengan Payung Serambi, utusan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Geger Selat Bantai").
"Seharusnya aku berkerjasama denganmu mencari kekuatan pemunah
Selaput Iblis itu, agar kecantikan kakakku; si Merpati Liar, tetap terjaga dan
tidak menjadi luntu karena Selaput Iblis itu. Tapi sayang, aku masih sakit hati
dengan sikapmu kala itu, Suto. Terpaksa aku menggagalkan rencanamu bercumbu
dengan gadis rakus itu!" kata Angin Betina bagai bicara sendiri, karena
pada waktu itu Suto Sinting masih dalam keadaan pingsan.
Angin Betina segera membawa pergi Suto Sinting jauh-jauh. Ia hanya tak
ingin Suto dan Awan Setangkai terlibat percumbuan asmara yang akan menyenangkan
hati Awan Setangkai. Ia membawa Suto ke dalam sebuah gua, lalu meninggalkannya
disana.
"Maaf, aku terpaksa memisahkan kau dengan perempuan rakus itu agar
perempuan itu sama denganku; yaitu sama-sama tak mendapatkan kemesraan darimu! Kau
harus kutinggalkan di gua ini, sementara aku akan menuju Bukit Canting untuk
temui Begawan Parang Giri, sesuai petunjuk kakakku; Merpati Liar. Nanti kau
akan buta oleh seranganku tadi. Tapi jika kau minum tuakmu, maka kebutaan itu
akan cepat sirna dan penglihatanmu pulih seperti sediakala. Selamat tinggal,
Suto!"
Wees...! Angin Betina bergerak cepat nyaris tak bisa diikuti oleh
pandangan mata siapa saja. Gadis yang memiliki kitab 'Lorong Zaman' itu
ternyata juga menuju ke Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri. Rupanya
ia diutus oleh kakaknya; si Merpati Liar, yang juga menggunakan aji awet ayu
hingga tetap kelihatan muda dan cantik.
Seperti apa kata Angin Betina, ketika Suto sadar ia segera menggeragap
karena matanya menjadi buta. Ia sempat tegang sesaat, lalu tangannya yang
meraba-raba segera temukan bumbung tuak di sampingnya. Tuak pun diteguknya
beberapa kali, dan ternyata tak sampai sepuluh helaan napas, kedua mata
Pendekar Mabuk sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya saja ia sempat
termenung dan membatin dalam hatinya.
"Samar-samar tadi sepertinya kudengar suara si Angin Betina.
Hmmm... benarkah yang membawaku kemari Angin Betina? Benarkah dia sedang menuju
ke Bukit Canting? Ah, mungkin itu hanya bayanganku saja di alam pingsan!
Tapi... tapi di mana si Awan Setangkai tadi?! Oh, aku kehilangan jejak orang
yang bisa jelaskan tentang rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Aduh,
celaka! Ke mana aku harus mencari Awan Setangkai, ya?"
Suto keluar dari gua dan garuk-garuk kepala menandakan sedang bingung
menentukan arah langkahnya. Instingnya mulai digunakan. Melalui instingnya ia
tentukan langkah penuh keyakinan bahwa ia harus menuju ke timur jika ingin
bertemu Awan Setangkai.
"Kau harus pergi ke arah timur jika ingin bertemu Awan
Setangkai," kata hatinya. Namun sebenarnya yang berkata demikian bukan
hati Suto, melainkan Suto Sejati alias Guru Sejati yang pernah ditemuinya di
alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gerbang
Siluman").
Sementara itu, Awan Setangkai segera sadar dari pingsannya. Tapi ia
terpekik kaget setelah mengetahui matanya menjadi buta.
"Suto...?! Sutooo...?!" panggilnya dengan kedua tangan
meraba-raba. Ia memeriksa pedangnya, ternyata masih di punggung, ia memeriksa
kanan-kirinya, ternyata yang ditemukan hanya pohon dan gundukan batu.
"Suto, ke mana kau...?!' serunya dengan harapan mendapat jawaban
dari Pendekar Mabuk. Tetapi ternyata harapannya sia-sia. Tak ada jawaban apa
pun dari Suto Sinting, dan ia tak tahu di mana Suto berada saat itu.
"Gawat! Mataku menjadi buta begini?! Sinar apa tadi yang
menerpaku?! Oh, di mana Suto berada? Mengapa ia tak menjawab seruanku?"
batin Awan Setangkai berkecamuk sendiri sambil mencoba melangkah dengan
meraba-raba.
Namun langkahnya segera terhenti ketika tangannya menyentuh sesosok
tubuh kekar.
"Oh, Suto... kenapa kau tak menjawab seruanku! Kukira kau jauh
dariku, Pendekar Mabuk!" ujarnya sambil tersenyum lega. Tangannya masih
meraba-raba tubuh kekar itu, dan ia yakin tubuh itu adalah milik Suto, sebab
Suto memang berbadan kekar serta dadanya keras berotot, sama dengan lengannya.
Bahkan ketika ia menyentuh wajah, meraba bibir dan hidung bangir, ia semakin
yakin bahwa pemuda yang di depannya adalah Suto Sinting.
Padahal pemuda itu bukan Suto Sinting. Pemuda kekar berperawakan tinggi
tegap itu adalah Taring Naga, yaitu kakak dari Naga Langit. Taring Naga memang mengejar-ngejar
Suto Sinting karena Suto telah melenyapkan seluruh ilmu Naga Langit. Taring
Naga bermaksud menuntut balas, ia belum tahu kalau adiknya sudah mati di tangan
Nyai Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis
Tanpa Raga").
Melihat gadis cantik berdada montok terkapar, Taring Naga mulai
berpikiran kotor. Sayang waktu itu Awan Setangkai segera siuman dan
memanggil-manggil Suto.
Namun Taring Naga masih ingin mencoba keberuntungannya dengan mendekati
gadis itu, lalu ia disangka sebagai Suto Sinting oleh sang gadis.
"Dia menyangkaku Suto Sinting dan berani merabaku segala. Ah,
sebaiknya kumanfaatkan kebutaan-nya itu untuk berlagak sebagai si Pendekar
Mabuk keparat itu!" kata Taring Naga dalam hatinya.
"Suto, apakah keadaanmu baik-baik saja?"
"Iya...," jawab Taring Naga sambil memberanikan diri mencium
pipi Awan Setangkai.
"Ah, kau sudah mulai nakal lagi," ucap Awan Setangkai sambil
tertawa kecil. "Apakah kau juga buta karena sinar putih tadi?"
"Iya...," jawab Taring Naga lagi dalam suara mendedah supaya
suara aslinya tidak diketahui.
"Oh, Suto... rupanya kau sudah tak sabar lagi, ya?" bisik
Awan Setangkai sambil membiarkan wajah pemuda itu mendusal di dadanya, ia
justru tertawa cekikikan disiram kebahagiaan.
Taring Naga menjadi semakin bergairah ketika Awan Setangkai berbisik
kembali, "Dapatkah kau mencari semak-semak yang aman, Suto?"
"Ooh, yaah... kurasa di sini pun sudah cukup aman," suara
Taring Naga mendesah diburu gairah. Awan Setangkai memaklumi, karena ia
menyangka Suto Sinting sudah diburu oleh kebutuhan batinnya. Bahkan gerakan
tangan pemuda yang merayapinya itu lebih liar dari Suto Sinting. Tapi Awan
Setangkai menyangka bahwa keganasan gairah Suto Sinting yang asli telah keluar.
Awan Setangkai justru menyukainya, ia semakin dibuat mabuk gairah oleh sapuan
bibir Taring Naga yang sampai ke tempat-tempat tersembunyi itu.
Tawa yang cekikikan membuat Taring Naga kian tak sabar, akhirnya ia
hanya melepaskan baju dan pedang ditaruh di samping kanan. Awan Setangkai
sendiri yang sudah terengah-engah tampak tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Bahkan perempuan itu telah berbaring di bawah pohon berumput tebal.
"Suto, cepatlah...," desah Awan Setangkai sambil menarik
tangan Taring Naga. Lalu ketika Taring Naga memberikan apa yang diinginkan Awan
Setangkai, gadis itu memekik dengan suara tertahan.
"Oouh.... Sutooo...!!" sambil tangannya meremas pundak tak
berbaju itu.
Awan Setangkai menjadi ganas walau dalam keadaan buta. Ia tak sempat
memikirkan beberapa kejanggalan karena otaknya sudah dipenuhi harapan indah dan
hanyut oleh kenikmatan bercumbu yang tak tertahankan lagi itu. Bahkan gadis itu
menjerit kecil lepas kontrol ketika mencapai puncak keindahannya. Tak lama kemudian
jeritan itu terulang kembali, kali ini disertai dengan remasan tangan di
punggung pasangannya, karena sang pasangan menyemburkan sejuta keindahan yang
tertinggi.
"Ooooh... nikmat sekali, Suto. Tapi kenapa hanya sebentar saja.
Ooh, aku ingin mengulangi lagi, Suto! Aku masih ingin mengarungi samudera cinta
bersamamu di sini. Ooh... ayolah, Sutooo...!" rengek Awan Setangkai, tapi
Taring Naga sudah tidak mempunyai kemampuan, ia hanya terengah-engah sambil
terbaring di samping Awan Setangkai.
Gadis itu akhirnya tertawa sambil tangannya meraba, sesuatu yang sudah
tak berdaya lagi.
"Hik, hik, hik, hik...! Rupanya kau terlalu mengumbar gairah
hingga tak bisa mengendalikan lagi, ya? Oh, tak apalah! Nanti di tempatku kau
mau mengulanginya lagi, bukan?"
"Ya, Sayang...," jawab Taring Naga masih dengan suara desah.
"Aku sudah cukup lega dan bahagia menerimanya. Tapi nanti kalau
kau sudah meminum jamu seduhanku, ooh... kau akan menjadi seperti kuda jantan
yang sanggup berperang menembus ratusan musuh di depanmu. Hik, hik, hik,
hik...!"
Tiba-tiba dari arah semak-semak seberang muncul seorang pemuda yang
berlari sambil mencari sesuatu. Pemuda itu segera terkejut ketika memergoki
Taring Naga sedang dibelai oleh seorang gadis dalam keadaan tanpa baju.
"Ooh...?!" pekik pemuda itu dengan mata terbelalak. Taring
Naga juga kaget dan menggeragap menyambar baju dan pedangnya.
"Suto, apakah menurutmu ada orang lain di sekitar kita?!"
Awan Setangkai mulai curiga ketika Taring Naga menarik diri dan segera
membetulkan pakaiannya.
"Sialan! Bocah itu lagi!" gerutunya dalam hati.
Orang yang membuat Taring Naga menjadi tegang itu adalah Panji Klobot,
seorang pemuda usia dua puluh tahun yang menjadi pelayan sang adipati dan
kemudian menjadi sahabat Suto Sinting. Dua kali Taring Naga selalu dibuat mules
perutnya oleh tendangan Panji Klobot yang dinamakan jurus 'Tendangan Cuci
Perut' itu. Taring Naga menyangka Panji Klobot berilmu tinggi, padahal Panji
Klobot hanya mempunyai satu jurus konyol pemberian pamannya itu.
"Celaka! Kalau dia menyerangku, padahal di sini jauh dari sungai,
waah... bisa habis semua daun kupakai untuk membersihkan diri! Lebih baik kabur
saja sebelum bocah sakti itu membuat perutku mules lagi!"
Wuuut...! Taring Naga lari tanpa pamit kepada Awan Setangkai. Panji
Klobot sendiri segera lari berlainan arah, karena ia takut bertemu Taring Naga
tanpa Suto Sinting.
Padahal Panji Klobot hanya kebetulan lewat di tempat itu. Ia sedang
mencari Tenda Biru, gadis yang belakangan ini mengajarkan ilmu kanuragan
padanya, walau belum membuat Panji Klobot bisa menangkis serangan lawan. Tetapi
hubungannya dengan Tenda Biru semakin akrab, sudah seperti kakak sendiri,
sehingga Panji Klobot merasa kehilangan ketika Tenda Biru menyaksikan sayembara
tanding laga di Pesanggrahan Janda Liar, (Tentang Panji Klobot dan Tenda Biru, silakan
baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Sutooo...?! Ke mana kau?!" Awan Setangkai tak berani
bersuara terlalu keras, ia curiga ada orang yang mengintai perbuatannya tadi.
Tapi setelah dirasakan suasana menjadi sepi, ia pun mulai bangkit dan membenahi
pakaiannya.
"Suto...?! Suto, kau di mana?!" panggilnya sambil mulai
melangkah meraba-raba. Panji Klobot sudah jauh, meneruskan usahanya mencari
gadis berjuluk Tenda Biru itu. Sedangkan Taring Naga juga sudah berlari sejauh
mungkin, karena tak ingin isi perutnya terkuras lagi oleh tendangan Panji
Klobot. Akibatnya, Awan Setangkai menjadi kebingungan sendiri.
"Tadi sepertinya ada orang datang, tapi kenapa sekarang orang itu
pergi? Kudengar suara larinya ke arah depanku. Dan Suto Sinting sendiri...? Oh,
mengapa dia harus lari juga? Apakah dia mengejar orang yang muncul dari
semak-semak sana? Ah, sepertinya Suto Sinting lari lebih dulu. Kalau begitu,
orang yang tadi muncul itu mengejar Suto Sinting? Atau... aduh, bagaimana ini
sebenarnya? Mengapa pandangan mataku tetap buta begini?"
Awan Setangkai sengaja diam bersandar di bawah pohon sambil berkecamuk
dalam hatinya, ia memikirkan langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
Beberapa kejap kemudian, Suto Sinting menemukan tempat itu.
"Awan Setangkai...!" serunya dari kejauhan. Gadis itu
tergugah dari lamunan dan menjadi ceria. Walau matanya masih buta, tapi hatinya
sudah lega karena ia mendengar suara langkah Suto Sinting yang tadi menyapanya
di kejauhan.
"Awan, kau... kau masih buta?!"
"Masih! Tapi... tapi aku bahagia sekali karena kau telah kembali
lagi."
"Minumlah tuakku ini, biar matamu bisa melihat lagi."
Ternyata setelah Awan Setangkai meminum tuak beberapa teguk, kegelapan
di matanya menjadi buram, lalu ia dapat melihat bayangan pohon dan benda lain
secara samar-samar. Beberapa kejap berikutnya kebutaan itu telah hilang, kini
kedua mata Awan Setangkai itu dapat dipakai untuk melihat lagi dengan jelas.
"Ooh, sayang sekali tadi kita sama-sama buta, ya?" ujarnya
kepada Suto sambil memeluk dan menjatuhkan kepala di dada Suto Sinting. Pendekar
Mabuk tak jelas yang dimaksud ucapan Awan Setangkai, ia hanya berkata dalam
gumam lirih.
"Iya, sayang kita tadi sama-sama buta. Kalau tidak... pasti kita
bisa mengetahui dengan jelas siapa orang yang menyerang kita tadi."
"Mungkin itu orang iseng yang tidak suka melihat kemesraan kita,
Suto. Biarkan saja dia, tapi waspadalah mulai sekarang. Sekali ia muncul lagi,
kuhabisi dia saat itu juga!"
"Kau jadi mengajakku ke Istana Selat Bantai?"
"O, ya... tentu jadi! Aku ingin mengulang kemesraan yang
tadi."
Suto Sinting tersenyum, karena ia menduga maksud Awan Setangkai adalah
kemesraan saat mereka saling beradu ciuman tadi. Sedangkan maksud Awan
Setangkai adalah kencan yang lebih dalam di balik semak-semak itu.
"Agaknya kau harus minum jamu agar mampu berpacu lebih lama lagi."
"Ah, kau pikir aku seorang penunggang kuda yang payah?!"
"Buktinya kau tadi cepat menyelesaikan tugas, padahal aku masih
ingin melanjutkannya ke puncak yang lebih tinggi," ujar Awan Setangkai
tanpa malu-malu lagi, karena merasa sudah menyatu dalam satu pribadi, ia hanya
tertawa cekikikan sambil tetap melangkah dan merangkul pinggang Suto dari
samping.
Suto Sinting masih belum paham maksud kata-kata Awan Setangkai
sebenarnya.
"Tak kusangka kalau kau ternyata juga ganas dan sangat
panas!" ujar Awan Setangkai lagi. Suto menyangka permainan tangan dan
ciumannya tadi dianggap ganas.
"Ah, baru segitu masa' sudah kau anggap ganas?"
"Eh, tadi... menurutmu siapa tadi yang mengintip kita, Suto?"
"Yang... yang mana?"
"Tadi, saat kau sedang terkulai ngos-ngosan di sampingku dan aku
sedang membelaimu. Bukankah tadi ada orang yang mengintip pergumulan
kita?"
"Pergumulan?! Maksudmu, pergumulan yang bagaimana?"
"Ah, jangan berlagak pikun kau," sambil Awan Setangkai
mencubit hidung Suto dan tertawa riang, ia sengaja hentikan langkah untuk
menatap Suto Sinting.
"Terus terang saja, biar hanya sebentar, tapi aku sudah lega. Aku
sudah puas menerima kemesraanmu. Maaf kalau sampai aku tadi menggigit pundakmu
dan mencakar punggungmu, aku sering lupa daratan kalau sedang begitu!"
"Mencakar...?! Rasa-rasanya punggungku tidak ada yang
mencakarnya?!" kata Suto Sinting dengan heran.
"Kau pasti tak ingat, karena kita tadi sama-sama terbang tinggi.
Tapi... ternyata indah juga bercumbu dalam keadaan sama-sama buta, ya?" "Hahh...?!"
Pendekar Mabuk mulai memahami maksud kata-kata Awan Setangkai.
"Kapan kita bercumbu dalam keadaan buta?"
"Aaah... kau suka berlagak pikun, nanti pikun betul lho!"
goda Awan Setangkai. Suto pun membatin, "Wah, agaknya tadi ada orang yang
memanfaatkan kebutaan Awan Setangkai dan memberinya kepuasan. Buktinya gadis
ini tidak segalak tadi? Celaka! Kalau begitu, ini namanya tidak makan nangka
tapi kena getahnya!"
"Awan Setangkai, jujur saja kukatakan padamu, saat aku siuman dari
pingsanku, kudapatkan mataku telah buta. Lalu, aku minum tuak ini, dan
kebutaanku hilang.
Tapi kutemukan diriku sudah berada di dalam gua. Lalu aku keluar dan
mencarimu kemari!"
Awan Setangkai justru tertawa berkepanjangan. "Kau pandai
mengarang cerita yang menggoda hatiku, Suto. Ooh... aku senang sekali punya pendamping
sepertimu. Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi. Sebaiknya kita segera ke Istana
Selat Bantai. Aku akan bicara tentang pusaka 'Jemparing Malaikat' milik Begawan
Parang Giri itu. Kuanggap, kau sudah memberiku secawan anggur kenikmatan, aku
telah lega. Tidak penasaran seperti tadi. Terserah kau mau berlagak bodoh atau
berlagak pikun, yang jelas aku sudah mendapatkannya darimu. Kini aku akan
memenuhi janjiku untuk bicara tentang rahasia 'Selaput Iblis' yang ada di
langit itu!"
"Wah, kacau kalau begini...!" gumam Suto dalam hati.
"Dia tetap merasa bergumul denganku! Tapi... ah, masa bodoh soal itu! Yang
penting aku harus bisa cepat-cepat hancurkan 'Selaput Iblis' agar Bibi Guru
Bidadari Jalang tidak mengalami perubahan pada wajahnya."
Namun tiba-tiba muncul ketegangan kecil dari pikiran Suto. "Bagaimana
kalau sampai Awan Setangkai nanti hamil? Pasti dia akan menyangka akulah yang menghamilinya,
dan dia akan menuntut tanggung jawabku, lalu kami harus kawin, oooh... kiamat!
Aku tak mau menikah dengan siapa pun kecuali Dyah Sariningrum, calon istriku
itu!"
Pikiran Suto pun menjadi bercabang lagi antara 'Selaput Iblis' dan
bekas 'Selaput Dara'-nya Awan Setangkai itu. Suto menjadi jengkel sendiri dan menggerutu
dalam hati.
"Persoalan selaput bikin kacau pikiranku! Sial! Kenapa aku
dihadapkan persoalan seperti ini?!" Tanpa sadar Pendekar Mabuk
bersungut-sungut sendiri, sehingga Awan Setangkai menertawakan, karena
dianggapnya Suto tetap bersandiwara untuk menggoda hatinya. Gadis itu justru semakin
tertarik kepada Suto Sinting. Malahan ia bertekad untuk membantu kesulitan Suto
dengan harapan akan mendapatkan kemesraan yang lebih indah dari kemesraan yang
dinikmati dalam kebutaan tadi.
*
* *
5
ENTAH sudah berapa hari sebenarnya Suto dibuat sibuk oleh kasus
'Selaput Iblis' itu. Mungkin sudah dua hari, mungkin juga baru sehari semalam.
Semuanya tak jelas, karena matahari tak mau bergerak. Seakan sang matahari
lakukan mogok terbenam dan mogok terbit.
Bayangan manusia sudah berubah menjadi ungu. Orang-orang Selat Bantai,
sisa anak buah Ratu Cendana Sutera banyak yang menjadi korban ketuaan, karena ternyata
mereka banyak yang menggunakan aji pengawet ayu mengikuti mantan sang Ratu
Selat Bantai itu. Mereka yang wajahnya menjadi keriput, peot, kempot, dan
beruban, kebanyakan mulai mengenakan cadar penutup wajah. Akibat banyaknya
perempuan di Selat Bantai yang mengenakan cadar, maka suasana Selat Bantai
seperti suasana di Mesir.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat ketika baru saja tiba di Istana Selat
Bantai, karena melihat banyaknya perempuan bercadar, ia sempat berkata pelan
kepada Awan Setangkai yang disambut oleh mereka dengan penghormatan, karena
Awan Setangkai sebenarnya sekarang seorang ratu di Selat Bantai. Hanya saja
karena Awan Setangkai masih berjiwa muda, maka ia masih gemar keluyuran
sendiri, bahkan keluar dari istana tanpa diketahui para pengawalnya.
"Apakah prajuritmu sekarang banyak yang bergigi tonggos, sehingga
menutup wajah dengan kain cadar?"
"Kurasa persoalannya bukan terletak pada gigi mereka, tapi pada
perubahan kecantikan mereka yang menjadi keriput dan menua," jawab Awan
Setangkai.
"Kau masih kenal gadis berbaju tak berlengan warna biru itu?"
"Hmmm... maksudmu yang memakai ikat kepala rantai emas berbandul
merah itu?"
"Benar. Apakah kau masih ingat dia?"
Suto memandang perempuan yang berbadan sekal dengan rambut sepunggung
dikepang dan bersenjata pisau kembar serta membawa busur yang melintang di
punggung. Ingatan Suto melayang sejenak pada peristiwa penyergapan terhadap
dirinya beberapa waktu yang lalu.
"Kalau tak salah, dia adalah si Bunga Ranjang!" sambil benak
Suto membayangkan pertarungannya dengan Bunga Ranjang, mantan pengawalnya Ratu Cendana
Sutera itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Cendana
Sutera").
"Benar. Akan kupanggil dia biar kau jelas semuanya."
Bunga Ranjang yang kini tunduk di bawah perintah Awan Setangkai segera
berlari menghadap Awan Setangkai begitu dipanggil dengan suitan. Perempuan itu
mengenakan kerudung hitam di kepalanya dengan wajah tertutup kain tersebut.
Bagian wajah yang kelihatan hanya bagian sepasang matanya yang mulai tampak buram
itu.
"Bunga Ranjang, bukalah kain cadarmu itu. Kau tidak menghormati
tamu agung kita ini jika tetap mengenakan kain cadar."
"Tapi...."
"Bukalah kain cadarmu!" Awan Setangkai mempertegas dengan
nada wibawanya sebagai Ratu atau Ketua orang-orang Selat Bantai. Mau tidak mau
Bunga Ranjang membuka kain cadarnya, lalu cepat-cepat menundukkan kepala,
karena ia kenal siapa tamu agung yang dimaksud itu. Ia malu kepada Pendekar
Mabuk yang dulu pernah dipameri kecantikannya bersama Mawar Rimba.
"Selamat berjumpa lagi denganku, Bunga Ranjang. Bagaimana
keadaanmu sekarang? Betah punya ratu ganjen macam si Awan Setangkai ini?"
Pluk...! Awan Setangkai menepuk lengan Suto sambil tertawa malu,
sedangkan Bunga Ranjang hanya tersenyum-senyum sambil kian menundukkan kepala. Rupanya
ia tak ingin Pendekar Mabuk melihat wajahnya lebih jelas lagi. Tapi keadaan itu sudah cukup membuat Suto
Sinting menjadi prihatin dan merasa iba terhadap Bunga Ranjang, sehingga ia
perlu membuat suasana menjadi ceria dengan kelakarnya tadi.
Siapa orangnya yang tak merasa terharu jika melihat mata yang dulu sayu
indah berbulu lentik, sekarang menjadi mata yang keruh tanpa bulu selengkap
dulu. Kulit yang dulu kencang dan bersih, sekarang berkeriput bagai kain tak
disetrika. Bibir yang dulu mungil sensual menggemaskan, sekarang berkerut
tepiannya dan tenggelam ke dalam karena keompongan gigi depannya.
Hidung yang dulu mancung, sekarang melebar ke samping bagai sisa
permadani digelar di wajah. Awan Setangkai segera menyuruh Bunga Ranjang pergi
mempersiapkan tempat untuk menjamu sang tamu agung itu. Lalu, dengan hati sedih
pula Awan Setangkai berkata kepada Suto Sinting.
"Dia korban kabut sinar ungu itu! Dulu ia tampak cantik,
bukan?"
"Memang cantik dan menggairahkan. Matanya yang sayu jika memandang
seakan sebuah ajakan untuk berkencan di balik semak-semak."
"Dia seperti itu karena menggunakan mantra kecantikan pemberian
mendiang Ratu Cendana Sutera. Sekarang mantra itu tidak berguna lagi, dan
akibatnya seperti kau lihat sendiri tadi."
"Kasihan sekali," gumam Suto Sinting sambil membayangkan
wajah Bidadari Jalang yang usianya hanya terpaut setahun dua tahun dari si Gila
Tuak. Semangat Suto untuk menghancurkan kabut sinar ungu itu semakin membara,
sehingga ia segera mengarahkan pembicaraannya tentang pusaka milik Begawan
Parang Giri itu.
"Seperti kukatakan padamu sebelum kau memberikan kehangatan yang
indah itu padaku," Awan Setangkai mengawali dengan senyum dan kerlingan
mata nakalnya.
"Pusaka itu adalah sebuah panah emas yang dapat memudarkan segala
macam kekuatan gaib atau ilmu siluman. Ratu Cendana Sutera dan orang-orang
Selat Bantai ini, termasuk diriku, paling takut kalau melihat lawan membawa
panah emas, walau sebenarnya belum tentu panah emas itu pusaka 'Jemparing
Malaikat'-nya sang Begawan."
"Apakah dulu ketika gurunya Nyai Watu Wadon melapisi matahari
dengan 'Selaput Iblis' juga dihancurkan oleh panah emas itu?"
"Menurut cerita mendiang Ratu Cendana Sutera memang begitu, tetapi
yang memanahkannya bukan Begawan Parang Giri, melainkan seorang tokoh angkatan
lama bernama Raja Maut."
"Oh, aku kenal dengan Raja Maut yang kini sudah almarhum
itu."
"Hanya orang berilmu tinggi yang bisa menarik busur untuk melepaskan
panah 'Jemparing Malaikat' itu. Sang Begawan sendiri sudah tidak mempunyai
kekuatan untuk menarik tali busur dan melepaskan panah itu, karena ia sudah
sangat tua dan ilmunya sudah dibuang semua. Kini sang Begawan hanya ingin
menyepi, menyucikan diri, mendekatkan hidupnya dengan Yang Maha Kuasa sambil
menunggu saat kematiannya tiba."
"Dan panah itu masih ada padanya?"
Awan Setangkai menggelengkan kepala. Langkah mereka berhenti di taman
indah yang dulu sering dipakai kencan oleh mendiang Ratu Cendana Sutera dengan lawan
jenisnya. Di taman itu ada bangku dari batu marmer hitam mengkilat. Awan
Setangkai mengajak Suto duduk di batu itu sambil memandangi kolam berikan
warna-warni dan bunga-bunga aneka ragam.
"Panah itu semula ada padaku. Tapi sekarang hilang dicuri oleh
salah seorang anggota Partai Janda Liar."
"Oh, ya...?!" Suto terperanjat. Matanya memandang Awan
Setangkai dengan dahi berkerut tajam.
"Ketika aku datang menemui Begawan Parang Giri di Bukit Canting,
aku mengeluh pada beliau karena menurut silsilah, beliau masih ada hubungan
darah dengan leluhurku. Aku mengeluh tentang hak kekuasaanku di Selat Bantai
ini yang direbut oleh Ratu Cendana Sutera. Pusaka itu kupersiapkan untuk
saat-saat penggulingan kekuasaan nanti, terutama jika aku sudah punya pendukung
cukup banyak. Tetapi sebelum makar itu kulakukan, ternyata sudah ada peristiwa
'Bulan Kesuburan' yang melibatkan dirimu dan akhirnya sang Ratu mati di
tanganmu."
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, Awan Setangkai terpaksa hentikan
ceritanya sesaat, karena ia ingin ceritanya didengar Suto dengan serius.
Setelah Pendekar Mabuk selesai menenggak tuaknya, Awan Setangkai lanjutkan pula
ceritanya.
"Beberapa waktu yang lalu, orang Partai Janda Liar datang kemari,
ia meminta panah itu dengan paksa. Aku mencoba mempertahankannya dengan
perlawanan sengit. Tetapi dia punya keberuntungan dapat melihat sisi
kelemahanku. Aku dibuatnya tak berdaya dan nyaris mati. Satu langkah lagi, jika
aku tidak serahkan panah itu, nyawaku akan melayang dan sekarang tak bias menjumpaimu,
tak bisa merasakan kenikmatan cumbuanmu."
"Jadi panah itu kau serahkan padanya?" sahut Suto Sinting
yang tak mau bicara tentang cumbuan, karena merasa kesal hati; tidak mencumbu
dikatakan mencumbu dengan mesra.
"Ya, panah itu kuserahkan padanya. Lalu, aku segera pergi ke Bukit
Canting dan melaporkan hal itu kepada Begawan Parang Giri."
"Apa tindakan sang Begawan?!"
"Dia menyuruhku membiarkan panah itu ada di tangan orang tersebut,
karena orang itu adalah cucunya sendiri yang memang berhak memiliki panah
pusaka itu."
"Ooo... jadi cucunya Begawan Parang Giri ada yang menjadi anggota
Partai Janda Liar?"
"Benar. Dia seorang perempuan yang patah hati karena dua kali
menikah dua kali pula dikhianati oleh suaminya. Lalu ia menggabungkan diri
dengan Partai Janda Liar agar mendapat bantuan dari Nyai Watu Wadon dalam
melepaskan dendamnya kepada kedua mantan suami itu. Ternyata usahanya berhasil,
kedua mantan suami dibunuhnya dengan bantuan kekuatan Nyai Watu Wadon."
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Siapa nama
perempuan yang menjadi cucunya Begawan Parang Giri itu?"
"Perempuan itu dikenal dengan nama Selimut Senja."
"Ooh...?!" Suto Sinting kaget. "Bukankah Selimut Senja
yang membunuh Nyai Watu Wadon? Saat itu aku melihatnya sendiri!"
"Memang benar. Rupanya Selimut Senja ingin merebut kekuasaan di
dalam Partai Janda Liar. Mungkin ia punya maksud menyusun kekuatan bersama para
pengikut Partai Janda Liar yang terdiri dari janda-janda sakit hati itu untuk
memerangi kaum pria yang pernah menyakiti hati mereka."
"Padahal kulihat Selimut Senja punya ilmu cukup tinggi. Bahkan
kudengar ia menguasai ilmu "Kulit Baja' yang anti bacok anti tonjok
itu."
"Menurut berita dari mata-mata yang kususupkan ke sana, ilmu
'Kulit Baja' itu dikuasai olehnya baru-baru ini saja. Sebelumnya ia tidak
mempunyai ilmu 'Kulit Baja' dan ilmunya masih di bawah Nyai Watu Wadon. Jika ia
sudah mempunyai ilmu 'Kulit Baja' tentunya ia tidak perlu bergabung dengan Nyai
Watu Wadon untuk membunuh kedua mantan suaminya yang berilmu tinggi itu."
"Hmmm, ya... benar juga," Suto manggut-manggut lagi.
"Lalu, apa hubungannya perebutan kekuasaan si Partai Janda Liar itu dengan
panah pusaka 'Jemparing Malaikat' itu?!"
"Aku tak tahu secara pasti. Tapi menurut dugaan ku, panah itu juga
dipersiapkan untuk melawan Nyai Watu Wadon, sebab Nyai Watu Wadon mempunyai
jurus 'Bencana Gaib' yang berbahaya."
Setelah merenung sesaat, Suto Sinting pun berkata seperti bicara pada
diri sendiri. "Kalau begitu, saat aku bertarung dengan Nyai Watu Wadon,
ada sepasang mata yang melihatnya dari persembunyian. Mungkin kepergian Nyai
Watu Wadon diikuti oleh sepasang mata yang tak lain milik Selimut Senja itu.
Dan ketika ia mengetahui keadaan Nyai Watu Wadon terluka cukup berbahaya, ia
menyerangnya sebelum luka itu tersembuhkan. Karena kulihat Selimut Senja tidak
menggunakan panah emas itu dalam pertarungannya melawan Nyai Watu Wadon."
"Barangkali saja memang begitu. Tapi yang jelas sekarang Selimut
Senja di pihak yang menang. Sebab dengan membiarkan matahari dilapisi kabut
sinar ungu, maka ia dapat membuat lawan-lawan perempuannya yang punya ilmu
pengawet ayu itu mengalami penderitaan. Selimut Senja sendiri mempunyai kecantikan
yang asli dan tidak menggunakan mantra atau ilmu pengawal ayu, seperti
keayuanku ini," sambil Awan Setangkai tersenyum angkuh menggoda Suto
Sinting.
Tangan Suto berkelebat mencubit pipi Awan Setangkai dengan gemas. Yang
dicubit diam saja, bahkan menarik tangan itu lalu memeluknya. Gadis itu memang
tampak lebih ceria ketimbang semasa menjadi anak buahnya Ratu Cendana Sutera. Kebebasannya
menjadi penguasa Selat Bantai agaknya telah membuat Awan Setangkai tak
sungkan-sungkan bertindak apa saja. Buktinya ia langsung menciumi Suto Sinting
begitu pemuda tampan itu jatuh dalam pelukannya. Ciumannya menggelora bagaikan
ingin menyapu bersih wajah itu. Bahkan kali ini bibir Suto Sinting dilumatnya
habis-habisan, seakan bibir itu ingin ditelannya bulat-bulat, hingga Suto
Sinting sempat gelagapan sebentar.
"Gusti Ratu...," sapa seorang prajurit muda yang punya
kecantikan asli pula itu. Sapaan tersebut membuat Awan Setangkai menggeragap
kaget dan buru-buru melepaskan ciumannya, memisahkan diri dan Suto Sinting, ia
sempat salah tingkah sebentar, sementara Suto Sinting menertawakan dengan
senyum dipalingkan ke arah lain.
"Kau benar-benar tak tahu sopan, Kundarini! Mengapa kau berani
mengganggu kemesraanku dengan Pendekar Mabuk, hah?!" Awan Setangkai
memarahi prajurit yang menghadap dengan napas terengah-engah dan wajah tegang
itu.
"Maaf, Gusti Ratu... saya hanya ingin memberitahukan bahwa kita
telah kedatangan seorang tamu yang membuat keributan di depan bangsal pertemuan,
ia telah berhasil mendobrak gerbang dan ingin masuk ke bangsal keratuan."
"Keparat! Siapa orang itu?"
Prajurit muda itu menjawab, "Saya tidak tahu, Gusti Ratu. Tetapi
beberapa rekan prajurit atasan saya mengatakan bahwa perempuan itu bernama
Sedap Malam, mantan orang kita juga."
"Nyai Sedap Malam...?!" gumam Suto Sinting dengan wajah
sedikit tegang, karena ia kenal betul dengan perempuan yang menjadi istrinya Ki
Palang Renggo, sahabat gurunya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pemburu Darah Satria").
"Akan kuhadapi sendiri dia! Tahan para prajurit agar jangan
lakukan penyerangan. Nanti banyak korban yang sia-sia. Biar kuhadapi sendiri si
Sedap Malam yang masih ingin ikut campur urusan Selat Bantai itu!" kata
Awan Setangkai dengan berang.
"Biar aku yang bicara dengannya," kata Suto setelah Kundarini
pergi melaksanakan perintah sang Ratu nyentrik itu.
"Tidak. Kurasa ia datang karena ada urusan lama denganku, sebab ia
memang bekas orangnya Ratu Cendana Sutera yang diusir karena berhubungan cinta
dengan Ki Palang Renggo!"
"Aku pernah mendengar hal itu, tapi aku kenal dengannya
dan...."
"Kau tetap di sini. Tunggu aku beberapa saat. Akan kulumpuhkan dia
dalam dua-tiga jurus saja!"
Awan Setangkai bergegas pergi tinggalkan taman itu. Namun Suto Sinting
tak mungkin tinggal diam begitu saja, sebab hubungannya dengan Nyai Sedap Malam
dan Ki Palang Renggo cukup baik. Bahkan Nyai Sedap Malam pernah selamatkan nyawanya
ketika ia terkena racun 'Bayu Panggang'-nya si Awan Setangkai, ketika Awan
Setangkai berusaha membunuh Suto agar tidak menjadi penabur keturunan bagi Ratu
Cendana Sutera.
Nyai Sedap Malam mengenakan jubah kuning garis-garis merah, ia
menggenggam senjata sebuah tongkat berkepala bunga. Tongkat itu yang digunakan
untuk menghantam punggung seorang pengawal dalam gerakan bersalto di udara
dengan cepat. Buuhk...!
"Aaahk...!"
Suuur...! Pengawal itu menyemburkan darah dari mulutnya, menandakan
pukulan tongkat tersebut dialiri dengan tenaga dalam cukup besar.
Melihat pengawal itu tersungkur dan tak berkutik lagi, walau masih
menggeliat pelan dengan menyeringai kesakitan, temannya merasa semakin
penasaran dan segera menyerang Nyai Sedap Malam dengan pukulan bercahaya
kuning. Claaap...! Sang Nyai rupanya cukup tangkas dalam menghadapi serangan
lawan, ia berkelebat dalam gerakan memutar balik ke belakang, kemudian sinar
kuning lurus yang semula mengarah kepadanya itu dihantam dengan kepala tongkat
yang segera membara biru terang. Wuuut...!
Blegaaarr...!
Ledakan cukup seru terjadi dan sempat menggetarkan tanah sekitar
mereka. Nyai Sedap Malam berhasil lompat ke atas atap ruang pertemuan itu.
Wuuut...!
Jleeg..! Tongkatnya segera dimainkan berputar cepat di atas kepala.
Gerakan tongkat yang memutar cepat itu menimbulkan angin panas yang
mengeringkan dedaunan. Tetapi tiba-tiba sebuah suara berseru dengan lantang
dari bawah.
"Hentikan tingkahmu. Sedap Malam!"
Nyai Sedap Malam memandang orang yang berseru dengan lantang itu.
Ternyata si Awan Setangkai yang bertolak pinggang bagai menantang pertarungan
di bawah. Nyai Sedap Malam benar-benar hentikan permainan tongkatnya.
"Turun kau kalau memang mau cari mati di sini!" seru Awan
Setangkai menunjukkan sikap tegasnya sebagai pengganti penguasa Selat Bantai.
Wuuut...! Jleeg...!
Nyai Sedap Malam turun dari atap dalam satu lompatan lurus hingga
jubahnya berkelebat bagai sayap seekor burung merak betina.
Pada saat itu pula Suto Sinting tiba di tempat itu, agak jauh di
belakang Awan Setangkai. Pandangan mata Suto sedikit mengecil karena ia
menemukan kejanggalan di wajah Nyai Sedap Malam.
"Oh, kasihan sekali Nyai Sedap Malam... rupanya ia telah menjadi
korban 'Selaput Iblis' itu, sehingga sekarang wajahnya tampak tua,
berkerut-kerut dan kecantikannya hilang sama sekali. Rambutnya pun telah
beruban dan bola matanya menjadi keruh, tak sebening waktu itu," kata Suto
dalam batinnya.
Awan Setangkai berseru dengan wajah berang, "Apa maksudmu bikin
keonaran di sini, Sedap Malam?!"
"Orang-orangmu menghinaku, menganggapku orang jahat dan tak
diizinkan bertemu denganmu. Maka kutunjukkan pada mereka bahwa aku bukan orang murahan
yang pantas disepelekan oleh mereka!" kata Nyai Sedap Malam dengan suara
sedikit serak karena ketuaannya.
"Tentu saja mereka tak izinkan kau menggangguku, karena aku sedang
kedatangan seorang tamu agung. Kami sedang asyik bermesraan, lalu kau datang
mau mengganggu kemesraanku. Hmmm...! Perempuan tak tahu diri itu namanya!"
"Persetan dengan kemesraanmu, tapi aku membutuhkan dirimu untuk
meminta panah emas milik Begawan Parang Giri yang ada padamu sebelum kau melakukan
makar terhadap Ratu Cendana Sutera! Bukankah waktu itu aku yang menyarankan
agar kau meminta bantuan Begawan Parang Giri dan meminjam pusakanya untuk
melawan sang Ratu kala itu?! Tapi mana balas budimu padaku? Bahkan ketika aku
diusir dari Selat Bantai, kau tidak ada pembelaan terhadap diriku!"
"Karena aku tak mau campuri urusan pribadimu, Tolol!"
"Sekarang aku datang untuk meminjam pusaka 'Jemparing Malaikat'
itu! Tentunya kau tahu keadaanku yang sekarang dan mengerti apa yang harus
dilakukan untuk menghentikan bencana ini, Awan Setangkai!"
"Pusaka itu sudah tidak ada di tanganku!" ujar Awan Setangkai
dengan tegas.
"Jangan mengecewakan diriku, Awan Setangkai! Aku tidak bermaksud
bermusuhan dengan pihakmu. Aku hanya ingin meminjam panah itu untuk hancurkan
kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu!"
"Sudah kubilang, panah itu tidak ada padaku!" seru Awan
Setangkai dengan lebih galak lagi.
"Hmmm...," Nyai Sedap Malam mencibir sinis, wajahnya semakin
tampak tua dan buruk. "Kau khawatir pusaka itu tak kukembalikan? Oh, aku
bukan perempuan yang keji seperti dugaanmu. Bahkan aku punya pilihan lain; kau
sendiri yang melepaskan panah itu ke langit, atau aku meminjamnya dan
melepaskannya ke langit?!"
"Persetan dengan pilihanmu! Aku benar-benar tidak memegang panah
itu lagi!"
"Kalau begitu kau ingin agar aku melumpuhkanmu lebih dulu, Awan
Setangkai!"
"Kulayani apa maumu, Sedap Malam! Kau sangka aku takut padamu,
hah?!"
"Baik, bersiaplah menghadapi jurus mautku, Awan Setangkai!"
Nyai Sedap Malam segera bergerak ke kiri dan memutar tongkatnya
pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju ke arah Awan Setangkai dengan tajam dan
penuh nafsu bermusuhan. Awan Setangkai sendiri segera mengambil posisi untuk
lepaskan pukulannya ke arah Nyai Sedap Malam.
"Tahan...!" tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang Awan
Setangkai. Suara itu adalah suara Pendekar Mabuk yang segera hadir di samping
Awan Setangkai.
"Ooh...?!" Nyai Sedap Malam terkejut melihat Suto ada di sisi
Awan Setangkai. "Rupanya kau sudah berpihak kepadanya, Suto!"
"Nyai, dengarkan dulu penjelasanku!" ujar Suto Sinting dengan
sabar. "Kebetulan aku berkunjung ke Selat Bantai karena persoalan yang
sama dengan persoalanmu. Aku diutus oleh guruku; Bidadari Jalang, untuk mencari
kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Dan kebetulan Awan Setangkai
mengetahui senjata pusaka yang pernah dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis'
beberapa tahun yang silam."
"Kalau begitu, paksa si Awan Setangkai agar keluarkan panah
'Jemparing Malaikat', dan hantamlah kabut sinar ungu itu, Suto!"
"Tunggu dulu, Nyai.... Kita sama-sama menghadapi persoalan yang
sama. Artinya, kita sama-sama kehilangan panah pusaka itu."
"Bicara yang benar kau, Pendekar Mabuk!" ucap Nyai Sedap
Malam dengan tegas sambil menuding Suto memakai tongkatnya.
"Minggirlah, akan kuhajar dia biar percaya bahwa panah itu tidak
ada padaku!" sambil Awan Setangkai mendorong tubuh Suto agar menyingkir,
tapi Suto bertahan dan mencoba meredakan kemarahan Awan Setangkai dengan
bujukan penuh kesabaran.
"Ini perkara yang sia-sia jika harus menggunakan pertarungan! ini
hanya kesalahpahaman saja, dan kesalahpahaman ini membutuhkan penjelasan
sejelas mungkin!"
Awan Setangkai mendengus, namun ia tidak melarang Suto untuk maju
mendekati Nyai Sedap Malam.
"Nyai... baru saja tadi kubicarakan dengan Awan Setangkai bahwa
kami sepakat untuk menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Tetapi panah pusaka itu
sekarang berada di tangan Selimut Senja, ketua Partai Janda Liar yang
baru."
Nyai Sedap Malam terperanjat dan memandang Suto lebih tajam lagi. Ia
sama sekali tak pedulikan kecantikannya yang luntur itu, karena yang ada dalam
benaknya hanya panah pusaka untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu.
"Nyai, aku tidak mendustaimu. Aku tahu kau sangat menderita, sama
seperti Bibi Guru-ku; si Bidadari Jalang. Karenanya, redakanlah amarahmu, Nyai.
Singkirkan anggapan burukmu terhadap Awan Setangkai. Percayalah, aku tidak akan
tinggal diam dalam perkara ini!"
"Dapatkah mulut seorang lelaki yang sedang dimabuk kemesuman
kupercayai?!"
Suto tersenyum geli. "Nyai, aku tidak sedang mabuk. Walau ke
mana-mana aku menenteng bumbung tuak, tapi aku toh tidak pernah mabuk. Begitu
pula dengan sekarang, walau aku menenteng Awan Setangkai, tapi aku tidak pernah
merasa mabuk oleh kecupan bibirnya yang... hangat sekali, Nyai. Uuh, tadi aku
hampir saja tak bisa bernapas karena ia...."
"Cukup!" sentak Nyai Sedap Malam, membuat suara Suto yang
berbisik itu lenyap seketika.
"Kalau begitu, aku harus merebut panah itu dari tangan si Selimut
Senja?" geram Nyai Sedap Malam.
"Kau akan tumbang dan mati sia-sia jika melawannya!" ujar
Awan Setangkai. "Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Selimut Senja
sudah menguasai ilmu 'Kulit Baja' dari kitab pusaka kakeknya yang dicuri nya
itu?!"
Suto Sinting segera berkata, "Nyai, serahkan persoalan ini padaku.
Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin. Jangan korbankan nyawamu untuk mendapatkan
panah tersebut. Jalan yang terbaik bagimu masih ada. Tunggulah saatnya, tak
lama lagi kabut sinar ungu itu akan hancur dan kecantikanmu akan kembali
seperti sediakala!"
"Apa sangsinya jika kau gagal? Kepalamu kupenggal?"
"Jangan berat-berat sangsinya, Nyai! Biar gagal aku kan masih
butuh kepala juga," kata Suto Sinting dengan bersungut-sungut. Lalu, Awan
Setangkai menimpali dengan ketus.
"Sebelum kau memenggal kepala Suto, lebih dulu kepalamu kupancung,
Sedap Malam!"
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang lebih cepat memenggal
kepala!" sentak Nyai Sedap Malam. Suto segera menengahi.
"Hei.. hei... ini bukan soal kepala, ini soal 'Selaput Iblis'.
Jangan melantur ke mana-mana!"
Akhirnya Nyai Sedap Malam pasrah kepada usaha Suto Sinting, ia sempat
diyakinkan oleh Awan Setangkai, bahwa Suto pasti berhasil dapatkan panah itu.
Maka, Pendekar Mabuk pun segera pergi untuk temui Ketua Partai Janda
Liar yang baru itu.
*
* *
6
PENDEKAR Mabuk bertekad untuk tidak pergunakan kekerasan dulu terhadap
Selimut Senja. Sekalipun ia merasa mampu tumbangkan Selimut Senja, tapi jika perempuan
itu mati, maka belum tentu ada yang mengetahui di mana panah pusaka itu
disembunyikan oleh Selimut Senja.
"Aku harus menggunakan cara halus, agar Selimut Senja menyerahkan
panah itu secara suka rela. Hmmm... agaknya aku harus gunakan jurus 'Senyuman
Iblis' untuk membuat hati perempuan itu terpikat padaku. Jika ia sudah kubuai
dengan kemesraan, maka dengan mudah panah
pusaka itu akan kuperoleh," pikir Suto dalam perjalanan ke Pesanggrahan
Janda Liar itu.
Perjalanan itu sempat terhenti oleh kemunculan Panji Klobot dari arah
lereng perbukitan. Suara Panji Klobot itulah yang menghentikan langkah kaki
Suto Sinting, sehingga pemuda polos, lugu, dan tanpa ilmu apa pun kecuali jurus
'Tendangan Cuci Perut' itu segera mendekati Suto dengan wajah tegangnya.
Pendekar Mabuk menjadi heran melihat Panji Klobot ada di situ.
"Aku mencari-cari Tenda Biru, Suto! Dia pergi begitu saja tanpa
pamit padaku ketika mendengar kabar bahwa di suatu tempat ada sayembara tanding
laga dan hadiahnya adalah menjadi Ketua Partai Janda Liar. Kabar itu datang
dari Kelambu Petang. Tapi Kelambu Petang tidak ikut pergi!" tutur Panji
Klobot yang mengenakan baju tanpa lengan warna biru, sama dengan warna
celananya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu juga menceritakan telah
memergoki Taring Naga yang sedang bercumbu dengan seorang gadis dengan
ciri-ciri si gadis disebutkan pula. Dan Suto Sinting terperanjat karena
mengetahui bahwa gadis yang diceritakan Panji Klobot itu adalah Awan Setangkai.
"Aku sempat terpaku seperti patung melihat adegan itu. Dan
sepertinya gadis itu adalah gadis buta. Tapi...tapi aku sendiri tak tahu kenapa
Taring Naga melarikan diri begitu melihatku. Mungkin aku disangkanya seekor
beruang yang sedang mencari madu, ya?"
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis, kemudian berkata dalam hatinya.
"Oooh... kalau begitu hal itu terjadi saat Awan Setangkai
mengalami kebutaan! Kurang ajar betul si Taring Naga itu, memanfaatkan kebutaan
seorang gadis untuk menikmati kehangatannya!"
Panji Klobot berkata, "Aku takut kehilangan Tenda Biru, Suto.
Sebab gadis itu sudah seperti kakakku sendiri dan dia sedang mengajarku
beberapa jurus, tapi belum sempat kukuasai sudah menghilang begini!"
Suto Sinting menggumam lirih sambil merenungi kata-kata Panji Klobot.
Pemuda yang masih tampak ingusan itu berkata lagi.
"Pada saat ia belum pergi, kulihat wajahnya ada perubahan. Aku
takut dia kena penyakit menular, Suto."
"Perubahan bagaimana?" Suto semakin tertarik.
"Kulitnya agak keriput, dan hidungnya tidak semancung biasanya.
Saat kukatakan hal itu, ia buru-buru pergi sampai sekarang. Apakah dia
tersinggung, ya?"
Suto Sinting diam saja, tapi hatinya membatin, "Oh, kalau begitu
Tenda Biru pun menggunakan aji pengawet kecantikan dan sekarang mengalami
perubahan karena matahari tertutup kabut sinar ungu itu. Aji pengawet ayu itu
mungkin diperoleh saat ia menjadi muridnya Nyai Garang Sayu."
Kemudian Suto berkata kepada Panji Klobot, "Kalau begitu, kita
cari di Pesanggrahan Partai Janda Liar saja!"
"Kalau kutahu tempatnya, sudah pasti aku ke sana!"
"Aku tahu tempatnya. Mau ikut aku atau mau pergi sendiri?"
"O, tentu saja aku lebih baik mengikutimu!"
Tiba-tiba terpetik sebuah gagasan dalam benak Suto untuk memanfaatkan
Panji Klobot. Gagasan itu tidak dibicarakan lebih dulu, karena akan mengacaukan
rencana jika Panji Klobot sampai mendengarnya.
Ketika mereka tiba di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Liar,
Pendekar Mabuk berkata kepada Panji Klobot.
"Maukah kau menungguku di sini, di balik bebatuan itu?!"
"Kenapa aku harus menunggu di sini? Bukankah pesanggrahan itu
sudah kelihatan dari sini dan aku masih kuat berjalan mengikutimu sampai ke
sana!"
"Bukan soal kuat atau tidak kuat jalan, Panji. Aku ingin memeriksa
dulu keadaan di dalam sana, apakah Tenda Biru ada atau tidak. Jika ada ia akan
segera kubawa keluar. Jika tidak ada, mungkin dia belum datang. Dan kau
berjaga-jaga di sini. Jika kau lihat Tenda Biru datang, cegatlah dia lalu
bujuklah agar segera pulang."
"Oo, begitu?! Baiklah, aku menurut saja apa katamu, Suto!"
Jurus 'Senyuman Iblis' mulai dikenakan oleh Pendekar Mabuk. Senyuman
itu dapat menundukkan perempuan mana pun, meski perempuan itu berhati karang
dan sukar terpikat oleh seorang pria. Dengan memasang 'Senyuman Iblis' penjerat
hati, para penjaga pesanggrahan Partai Janda Liar yang terdiri dari para wanita
frustrasi itu dibuat terbengong-bengong oleh kehadiran Suto Sinting.
"Aku ingin bertemu dengan Ketua Partai Janda Liar yang baru,"
kata Suto kepada salah seorang penjaga gerbang.
"Oh, hmmm... bisa saja. Tapi... tapi beliau sedang mengadakan
pesta penobatannya sebagai ketua yang baru."
"Tak bisakah aku bertemu sebentar dengannya?"
Penjaga yang satunya buru-buru menjawab, "Oh, tentu saja bisa!
Ketua kita yang baru ini baik hati dan tak mudah marah kok. Mari kuantar
menemui beliau. mmm... boleh kutahu siapa namamu?"
"Namaku... Panji Klobot," jawab Suto sengaja menyamar sebagai
Panji Klobot.
"Oh, itu nama yang bagus sekali, sesuai dengan orangnya. Bukankah
begitu, Arumwani?!"
"Iya. Bagus sekali. Lebih bagus lagi kalau nama itu menjadi
penghuni tetap di pesanggrahan kita, ya?"
Kedua penjaga itu cekikikan, dua penjaga lainnya juga ikut cekikikan,
namun tidak ikut mendekati Suto. Mereka tetap menjaga kewaspadaan dari
tempatnya berdiri.
Selimut Senja merasa heran mendengar kedatangan tamu seorang pemuda
tampan, gagah perkasa, dan sangat menawan. Pesta segera dihentikan sesaat.
Selimut Senja menyuruh pengawalnya membawa tamu itu menghadap.
Suto Sinting pun muncul di tengah pesta yang dihadiri oleh kaum wanita.
Mereka menggumam kagum secara serempak begitu Suto Sinting muncul dengan langkah
gagah dan senyum memancarkan daya pikat tinggi.
"Ooh, gila...! Ini namanya rezeki nomplok!" ujar salah
seorang dari mereka. Selimut Senja menatap Suto dengan dahi berkerut. Tetapi
ketika Suto semakin dekat dan senyumannya semakin melebar, Selimut Senja tak
bisa diam saja. Senyumannya pun mulai mekar karena hatinya berdebar-debar bagai
dihinggapi ribuan bunga indah.
"Kalau tak salah penglihatanku, kau adalah pemuda gagah yang
pernah kuintai sedang bertarung dengan mendiang Nyai Watu Wadon itu," ujar
Selimut Senja dengan wajah berseri-seri.
"Aku tak tahu kapan kau mengintainya, tapi kuakui aku memang
bertarung dengan Nyai Watu Wadon dan berhasil melukainya," kata Suto
dengan suara lembut namun penuh kejantanan. Pandangan matanya yang teduh
membuat Selimut Senja semakin berdebar-debar, demikian pula para anggota Partai
Janda Liar yang saling berkasak-kusuk dan cekikikan membicarakan khayalannya
masing-masing bersama Suto Sinting.
"Sayang sekali kala itu aku tak mendengar Nyai Watu Wadon
menyebutkan namamu."
"Namaku sederhana sekali. Ibuku memberikan nama Panji Klobot
untukku."
"Nama yang bagus sekali itu. Tidak sesederhana anggapanmu.
Panji!"
Beberapa perempuan di sekitar situ saling menyebut nama Panji Klobot.
"Oo, namanya Panji Klobot."
"Apa? Panci Borot?"
"Panji Klobot, Congek!"
"Hik, hik, hik, hik...!"
Selimut Senja merasa tak enak menjadi bahan perhatian anak buahnya,
karena biasanya ia bersikap tegas dan galak terhadap lelaki, tapi kali ini ia
bersikap manis-manis terhadap pemuda itu. Untuk menjaga agar tetap tampak
wibawa, Selimut Senja segera membawa Suto Sinting ke kamar pribadinya. Pendekar
Mabuk sangat tidak keberatan karena ia sudah mengerti maksud hati Selimut Senja
membawanya ke kamar pribadi itu.
"Apa maksudmu datang kemari menemuiku, Panji Klobot!"
"Ibuku mendengar Ketua Partai Janda Liar telah diganti. Nyai Watu
Wadon telah disingkirkan. Aku diutus untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Ketua
Partai Janda Liar yang baru. Karena ibuku merasa senang mendengar Nyai Watu
Wadon telah terbunuh, dan kabarnya kau yang membunuhnya."
"Memang benar. Tapi aku belum mengenal siapa ibumu, Panji
Klobot."
"Ibu juga merasa belum mengenalmu, Ketua. Tapi ibu mengakui
kehebatanmu dan pengakuannya itu diungkapkan dalam bentuk ucapan selamat yang
harus kusampaikan padamu."
Selimut Senja merasa bangga, hatinya kian berbunga-bunga. Apalagi Suto
Sinting bicaranya sambil sunggingkan senyum menawan, Selimut Senja merasa sedang
dibuai oleh sejuta keindahan yang amat membahagiakan hati.
"Apakah ibumu adalah perempuan berjubah ungu yang ketika itu
terluka oleh pukulan Nyai Watu Wadon?"
"Benar! Itulah ibuku, tapi...." Suto Sinting diam seketika,
wajahnya diubah menjadi murung bagai sedang menahan duka. Selimut Senja merasa
kehilangan keindahan di wajah Suto. Ia segera mendekat dan mengangkat wajah
Suto dengan menyangga dagu memakai ujung jarinya.
"Kenapa kau tampak sedih, Panji. Jangan sedih, biarkan aku bahagia
menikmati ketampananmu yang menawan ini."
"Aku ingat ibuku yang menderita," ucap Suto Sinting lirih.
"Ibuku saat ini sedang menderita karena ulahku sendiri."
"Oh, apa yang diderita oleh ibumu itu? Katakanlah, Panji...
katakanlah...."
Suto berlagak ragu-ragu untuk mengatakan. Selimut Senja segera
membawanya duduk di tepian ranjang dengan hati-hati.
"Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantumu agar kau tampak
ceria dan menawan seperti tadi, Panji," bujuk Selimut Senja.
Pendekar Mabuk memandang sayu kepada Selimut Senja yang sedang
menatapnya. Tatapan mata itu tampak begitu lembut dan teduh, walau mengharukan hati
Selimut Senja.
"Kau mau membantuku, Ketua?"
"Akan kubantu apa pun kesulitanmu, tapi... tapi maukah kau tinggal
di sini bersamaku, Panji?"
"Tinggal di sini?" Suto berlagak girang seperti anak kemarin
sore. "Oh, aku suka sekali kalau boleh tinggal di sini."
Senyum perempuan itu pun mekar kembali, karena ia senang melihat Suto
Sinting berwajah ceria dengan senyuman yang menggetarkan hati itu.
"Kau sudah punya kekasih?"
Suto Sinting menggeleng. Mirip pemuda yang polos. Jawaban itu membuat
Selimut Senja kian berdebar-debar, seakan apa yang diharapkan dapat menjadi kenyataan.
"Ibu selalu melarangku mendekati wanita, dan aku tak boleh jatuh
cinta pada seorang wanita, karena ibu takut kalau aku lupa pada ibu karena
mencintai wanita itu."
"Oh, kasihan sekali kau," sambil Selimut Senja mengusap-usap
rambut Suto.
"Padahal aku sudah ingin sekali mempunyai istri. Aku ingin dipeluk
oleh wanita, ingin dicium dan dicumbu oleh wanita," Suto berlagak
bersungut-sungut.
"Kau benar-benar pemuda yang malang jika begitu. Tetapi... jika
kau mau tinggal di sini, kau dapat merasakan pelukan dan ciumanku," bisik
Selimut Senja.
"Benarkah itu?"
"Ya, benar. Sekarang pun kau boleh mencobanya, Panji,"
Selimut Senja semakin membisik, jantungnya berdetak-detak ketika Suto Sinting
memandang dengan berseri-seri. Ia mendekatkan wajahnya dan mata terpejam
sedikit.
"Ciumlah aku... ayo, ciumlah... jangan takut...," bujuk
Selimut Senja. Maka, Suto Sinting pun mencium pipi perempuan itu pelan-pelan.
"Jangan di pipi saja, kecuplah bibirku. Hmmm...!"
Selimut Senja menyodorkan bibirnya. Pendekar Mabuk berlagak gemetar,
namun segera menempelkan bibirnya ke bibir Selimut Senja. Bukan Suto yang
melumat bibir, melainkan Selimut Senja yang melumat bibir Suto karena tak tahan
digoda gairah yang telah meletup-letup sejak tadi. Lama-lama Suto Sinting
memberi balasan, ganti melumat bibir Selimut Senja yang membuat gairah
perempuan itu semakin terbakar.
"Oh, nikmat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan itu.
Ooh... kecuplah lagi, Panji. Kecuplah seluruh tubuhku. Mana yang kau suka,
ambillah, Sayang...!" sambil ia berbaring dengan menarik tangan Suto.
Maka, Suto Sinting pun segera menciumi wajah Selimut Senja dengan
sentuhan lembut. Sesekali ciuman itu mengganas, namun sesekali lembut kembali.
Hal itu membuat gairah Selimut Senja bagai dipermainkan lebih indah lagi.
Bahkan kali ini ia membentangkan jubahnya, melebarkan dadanya yang telah tak
berlapis kain lagi itu.
Kepala Suto sedikit didorong agar menyentuh dadanya. Maka, Suto Sinting
pun menyapu habis dada itu dengan kecupan dan pagutan hangatnya.
"Oouh.... Panji, nikmat sekali! Sungguh nikmat sekail kecupanmu.
Ooh... jangan berhenti, Sayang. Lebih ganas lagi, Panji. Lebih ganas
lagi...!"
Pada saat Selimut Senja memekik-mekik karena ditikam sejuta kenikmatan,
Suto Sinting menghentikan aksinya secara mendadak, ia menarik diri dan duduk dengan
wajah murung lagi.
"Panji, kenapa berhenti? Lakukanlah lagi, Panji...," rengek
Selimut Senja.
Suto menggeleng murung. "Aku ingat penderitaan Ibu. Wajah ibuku
menjadi buruk karena matahari tertutup kabut sinar ungu."
"Ooh... ibumu menggunakan ilmu pengawet ayu, ya?"
"Iya. Tapi gara-gara aku melawan Nyai Watu Wadon, matahari jadi
tertutup kabut sinar ungu dan wajah ibuku menjadi tua. Aku harus menolong
ibuku, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Padahal Ibu sudah bilang padaku,
jika aku bisa menghancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu, maka
aku akan diizinkan untuk menikah dengan seorang wanita pilihanku. Ibu tak
keberatan aku jatuh cinta pada seorang wanita jika aku bisa menolong
membebaskan Ibu dari bencana yang melanda kecantikannya itu."
"Lupakan dulu soal itu. Nanti aku akan membantumu jika kau
benar-benar mau hidup bersamaku. Cumbulah aku lagi, Panji...."
"Tidak. Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan dalam bercumbu
sebelum bisa membantu meringankan penderitaan Ibu. Aku kehilangan gairah dan
selera jika ingat Ibu."
Selimut Senja tarik napas dalam-dalam, kejap kemudian ia berkata sambil
menciumi pipi Suto dan tangannya meremas sesuatu yang sudah berhasil digenggamnya.
Suto diam saja menerima remasan itu.
"Dengar kataku, Panji... layanilah aku dulu, nanti kuhancurkan
'Selaput Iblis' itu dengan pusaka milik kakekku. Jika kabut sinar ungu itu
hilang, maka kecantikan Ibumu akan kembali seperti sediakala."
"Kau... kau bohong."
"Tidak. Aku tidak bohong. Aku benar-benar mempunyai pusaka panah
'Jemparing Malaikat' milik kakek-ku. Akan kuambil sebentar biar kau
percaya...."
Selimut Senja mendekati dinding yang terbuat dari susunan batu candi
itu. Salah satu susunan batu yang letaknya sedikit miring ditekannya. Soeerrrk...!
Ternyata batu yang letaknya miring merupakan kunci bagi sebuah almari rahasia.
Begitu batu itu ditekan, maka dinding di dekat pintu bergeser. Dinding yang
bergeser itulah almari rahasia tempat menaruh kitab dan beberapa barang yang
dirahasiakan, termasuk sebatang anak panah terbuat dari emas murni.
"Lihat, ini adalah panah emas yang dinamakan 'Jemparing Malaikat'
milik kakekku; Begawan Parang Giri. Panah ini sebenarnya kusiapkan untuk
melawan musuh besarku; Raja Tobe, dari Pantai Gangga. Tetapi...."
"Oh, tidak... aku tidak mau! Aku takut dengan panah. Aku
takuuut...!" Suto Sinting berpura-pura seperti orang gila yang ketakutan
melihat anak panah.
"Hei, dengar dulu, Panji...."
"Tidak. Aku tidak mau! Aku takut melihat anak panah itu.
Tidaaak...!" Suto Sinting sengaja lari keluar kamar.
"Panji, tunggu...!" Selimut Senja segera mengejar karena ia
sudah telanjur berkhayal mendapat cumbuan dari pemuda itu dan ia tak mau gairahnya
tertunda.
Suto Sinting berlari meninggalkan pesanggrahan itu. Selimut Senja
mengejarnya terus. Anak buahnya dilarang ikut mengejar, karena masalah itu
dianggapnya masalah pribadi yang tak boleh dicampuri siapa pun.
Dalam sekejap Suto sudah sampai di tempat Panji Klobot bersembunyi, ia
segera menggunakan ilmu 'Seberang Raga'. Ilmu itu ditujukan kepada Panji Klobot
dengan cara memandang sebentar, lalu pejamkan mata, dan ketika mata terbuka
lagi Panji Klobot sudah salin rupa menjadi sosok Suto Sinting, lengkap dengan bumbung
tuak dan pakaiannya.
"Ada apa, Suto?!" Panji Klobot belum menyadari keadaannya
yang sudah berubah menjadi Pendekar Mabuk. Bahkan ia tidak merasa kalau di
punggungnya terdapat bumbung tuak yang melintang, ia hanya menjadi tegang dan
berdebar-debar memandangi Suto Sinting yang berlari tinggalkan pesanggrahan
itu.
"Panji Klobot, jika nanti ada perempuan memburumu, berlarilah ke
arah selatan sana, lalu berhentilah di balik bukit cadas tempat kita bertemu
tadi. Mengerti?"
"Lho, kenapa aku diburu oleh seorang perempuan?"
"Dia jatuh cinta padamu dan ingin mendapat cumbuan darimu.
Hindarilah, nanti kalau kau turuti kau bisa ketagihan. Kau harus lari dan lari
terus, jika terpaksa tertangkap, jangan bertindak kasar, tapi bujuklah agar dia
membatalkan niatnya yang ingin bercumbu denganmu."
"Cantik apa buruk wajahnya, Suto?"
"Jangan pikirkan hal itu. Larilah sekarang juga, dia sudah tampak
menuju kemari!"
"Bba... baik... baik!" Panji Klobot gugup, namun ssgera
berlari. Sementara itu, Suto Sinting berkelebat ke balik pohon rindang dan
bersembunyi di sana.
"Panji...! Panji Klobot, tunggu aku...!" seru Selimut Senja
membuat Panji Klobot percaya dengan kata-kata Suto. Ia semakin berlari cepat,
sedangkan Selimut Senja makin penasaran dan memburu Panji Klobot yang dalam
penglihatannya berwujud Suto Sinting.
"Oh, sial! Panahnya tidak dibawa," gerutu Suto dalam hati
ketika melihat Selimut Senja melintas di depannya.
"Kalau begitu aku harus menyusup masuk ke kamarnya tadi dan
menekan batu yang agak miring, lalu mengambil anak panah itu!"
Zlaaap...! Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya.
Zlaaap... zlaaap... zlaaap...!
Para penjaga gerbang pesanggrahan hanya diam saja karena merasa tak
melihat bayangan berkelebat. Tapi mereka menjadi heran melihat pintu gerbang
terbuka sendiri dan tertutup dengan cepat. Mereka yang ada di dalam
pesanggrahan juga tak sempat melihat gerakan Suto Sinting. Ketika Suto masuk ke
dalam kamar pribadi Selimut Senja, tak seorang pun mengetahuinya karena
gerakannya yang menyamai kecepatan cahaya itu.
Batu bersusunan miring ditekan, almari rahasia terbuka. Panah emas ada
di sana. Suto segera menyambarnya. Wuut...! Kemudian ia bergerak tinggalkan
tempat itu dengan kecepatan yang sama.
Zlaaap, zlaap, zlaap, zlaaaapp...!
"Panji Klobot...! Panjii...! Oh, jangan lari, Sayang. Aku tidak
akan melukaimu...!" seru Selimut Senja yang penasaran ingin lampiaskan
gairahnya saat Itu juga.
Suara itu menjadi patokan bagi Suto Sinting, ia segera berkelebat melalui
pohon demi pohon. Dalam sekejap ia sudah sampai di balik bukit. Di sana tampak
Suto Sinting palsu bersembunyi. Pendekar Mabuk segera gunakan ilmu mengubah
wujud yang membuat Panji Klobot menjadi wujud aslinya. Blaab...! Dan Panji Klobot
masih belum merasa bahwa dirinya sudah berubah menjadi Panji Klobot sebenarnya,
ia justru merasa tidak terjadi perubahan apa-apa sejak tadi.
Zlaaap...!
"Ooh, kau sudah di sini, Suto?!"
"Iya. Lekas ikut aku tinggalkan perempuan yang mengejarmu
itu."
"Tunggu dulu, dia... dia tampaknya cantik dan..."
"Aaah..." Mau macam-macam kau, hah?!"
Dees...! Suto Sinting menotok Panji Klobot. Bocah itu terkulai lemas,
lalu dipanggul oleh Suto dan dibawa lari menuju ke Istana Selat Bantai.
Zlaap, zlaaaap, zlaaap...!
Ia tak peduli Selimut Senja kebingungan mencari 'Panji Klobot'-nya,
yang penting anak panah emas sudah diperolehnya, ia segera menemui Awan
Setangkai dan Nyai Sedap Malam. Panji Klobot dibebaskan dari totokannya, dan
menjadi tambah bingung berada di Istana Selat Bantai.
"Bunga Ranjang, pinjam busur panahmu!" kata Suto. Dengan
gunakan busur panah milik Bunga Ranjang, Suto Sinting mulai meletakkan panah
emas itu di tali busur. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tali
busur bisa ditarik dan anak panah pun dilepaskan ke arah matahari.
Slaaab...! Wuuut...!
Panah emas berkilauan di langit, akhirnya menghantam kabut sinar ungu
itu. Sluub...!
Jlegaaaarrrrrr...!
Ledakan itu mengguncang seluruh bumi. Tapi kabut sinar ungu sirna
seketika. Matahari bersinar terang kembali. Sedangkan panah emas itu melesat ke
arah semula dan ditangkap oleh tangan Suto Sinting dengan gerakan cepat.
Teeb...! Bayangan manusia pun menjadi hitam kembali.
Wajah-wajah yang dilanda bencana ketuaan itu berangsur-angsur cantik
kembali. Beberapa perempuan Selat Bantai melepaskan cadarnya dan, bersorak kegirangan.
Di tempat lain, Bidadari Jalang juga berubah cantik kembali, demikian
pula Sumbaruni, Tenda Biru, Merpati Liar, dan beberapa orang lainnya.
"Kau benar-benar hebat, Suto!" puji Awan Setangkai.
"Tapi panah emas ini tetap akan kukembalikan kepada Begawan Parang
Giri!" kata Suto Sinting, dan Awan Setangkai tak berani membantah,
demikian pula Nyai Sedap Malam.
Tapi Panji Klobot segera berkata, "Suto, aku akan kembali ke
tempat tadi. Perempuan cantik itu pasti merindukan diriku, Suto. Dia
memanggil-manggil namaku terus. Pasti dia tergila-gila padaku!"
Mereka segera menertawakan Panji Klobot, setelah Suto Sinting
menceritakan bagaimana menyiasati Selimut Senja sehingga ia berhasil mencuri
panah emas itu.
SELESAI
Segera menyusul!!!
RATU MAKSIAT
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
Terima kasih untuk Sobat Culan ode yang telah melengkapi halaman yang
hilang dari kitab ini.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon