1
MURID sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk itu masih tetap
dalam incaran Ratu Cendana Sutera, si Penguasa Selat Bantai, ia bukan saja
menjadi dambaan Nyai Ratu Cendana Sutera saja, melainkan seluruh anak buah sang
Ratu yang terdiri dari perempuan-perempuan cantik itu juga mendambakan hadirnya
sang Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting.
Esok malam, bulan kesuburan telah datang. Mau tidak mau orang-orang
Selat Bantai yang selama ini tak akan bisa mempunyai keturunan berusaha keras
untuk mendapatkan darah ksatria muda sebagai penanam benih keturunan bagi
mereka.
Sebab tanpa datangnya bulan kesuburan, Ratu Cendana Sutera dan para
pengikutnya tidak akan bisa mempunyai keturunan. Mereka menjadi wanita-wanita
mandul yang tidak akan mampu hasilkan keturunan sebagai penerus sejarah hidup
orang-orang Selat Bantai.
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, adalah orang terpilih yang akan
dijadikan pria penanam benih bagi mereka. Kesempatan yang datangnya seratus
tahun sekali itu tak ingin mereka sia-siakan, sehingga orang-orang unggulan
dari Selat Bantai dikerahkan untuk mencari Pendekar Mabuk.
Tetapi di pihak lain, seorang wanita cantik menjadi penghalang bagi
mereka. Awan Setangkai memburu Suto Sinting untuk dibunuh dengan maksud agar
Ratu Cendana Sutera gagal mempunyai keturunan dari sang pendekar tampan dan
gagah perkasa itu.
Namun niat membunuh Suto Sinting itu telah membuat Awan Setangkai
terpaksa harus berpikir seratus kali, karena si pendekar tampan itu ternyata
bukan orang yang mudah dibunuh.
Pendekar Mabuk telah membuat hati Awan Setangkai sering berdebar indah
karena daya pesona yang begitu kuat, serta sulit untuk dilupakan. Niat membunuh
berubah menjadi niat untuk melindungi kelestarian hidup sang Pendekar Mabuk.
Itulah sebabnya Awan Setangkai akhirnya bertarung melawan temannya
sendiri, Penyamun Senja, demi mempertahankan keperkasaan Pendekar Mabuk agar tidak
menjadi sapi perahan di Selat Bantai. Awan Setangkai telah bertekad untuk
menentang keputusan ratunya dan tak peduli apakah ia dianggap sebagai pengkhianat
dari Selat Bantai atau pemberontak tunggal yang memburu kepentingan pribadi.
Sayangnya setelah Penyamun Senja mampu ditumbangkan, Awan Setangkai dan
Pendekar Mabuk harus hadapi masalah baru dengan lenyapnya Elang Samudera yang
merupakan sahabat muda Pendekar Mabuk itu. Elang Samudera lenyap ketika
Pendekar Mabuk dan Awan Setangkai bertarung menghadapi....
hal 7 dan 8 hilang.
......dengan tuak saktinya.
"Minumlah tuakku sedikit saja, Nek. Sedikit saja sudah dapat
sembuhkan luka dalammu. Ayo, minumlah....
Mari kubantu, Nek...."
Sang nenek gelengkan kepala dengan berusaha berkata pelan sekali,
"Aku tak boleh minum tuak. Nanti mabuk!"
"Tuak ini tak akan memabukkan, Nek. Tuak ini hanya sebagai obat.
Kalau kau tidak minum terlalu banyak tak akan memabukkan."
Nenek itu menggeleng lagi, lalu bersuara dengan
susah payah, "Kalau bisa jangan tuak. Kopi saja atau teh
hangat."
"Nek, kami bukan pedagang kedai minuman. Jangan minta
macam-macam," tukas Awan Setangkai agak dongkol mendengar permintaan sang
nenek.
Suto Sinting menahan geli dalam hati, lalu berkata kepada sang nenek,
"Nanti kalau kau sudah sembuh, kau bisa pergi mencari kedai dan memesan
minuman kopi atau teh hangat, Nek. Sekarang minumlah tuak ini dulu buat
memulihkan kesehatanmu."
Bujukan itu akhirnya membuat sang nenek berkata lirih, "Baiklah.
Tapi jangan bilang siapa-siapa.., kalau aku pernah minum tuak. Nanti... nanti
orang sangka aku nenek banyak tingkah. Tua-tua masih doyan minum tuak. Seperti
anak muda saja. Aku malu... malu sekali Kalau...."
"Sudahlah minum saja, jangan banyak bicara dulu. Nyawamu sudah di
ujung rambut!" sergah Awan Setangkai menjadi kian jengkel mendengar ucapan
sang nenek, ia menggerutu lagi saat sang nenek akhirnya mau meminum tuak
saktinya Suto.
"Nyawa sudah cekak, napas sudah ngap-ngap-an, masih saja mau
ngomong yang bukan-bukan!"
Mulut sang nenek ternganga, tuak dituangkan oleh Suto Sinting dengah
hati-hati agar tak tumpah ke mana-mana. Tapi tangan sang nenek segera meraih
bumbung tuak dan menghirup dengan rakus.
Srrruuuppp...!
"Hei...!" sentak Suto Sinting sambil menarik bumbung tuaknya.
"Yaah... habis!" gerutunya sambil melongok bumbung tuak. Kalau saja
Suto Sinting tidak segera menarik bumbung tuaknya, maka sebuah cincin pusaka
yang selama ini berada di dalam bumbung tuak itu akan ikut tertelan oleh sang
nenek. Cincin itu adalah Cincin Manik Intan, yang merupakan pusaka sekaligus senjata
maut yang jarang digunakan oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Darah Asmara Gila").
Pendekar Mabuk menjadi terbengong melompong, ia segera menatap Awan
Setangkai yang menarik napas menahan kekesalan hatinya. Gadis cantik berusia
sekitar dua puluh lima tahun yang mempunyai hidung bangir, mata indah nakal dan
dada agak montok itu tahu bahwa tuak telah terminum habis oleh sang nenek. Ia
pun tahu kekuatan tuak itu, sehingga jika bumbung sakti itu kosong tuak, maka
itu adalah hal yang berbahaya bagi Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau habiskan semua tuakku, Nek?" Suto Sinting
setengah menuntut dengan nada kecewa.
Sang nenek menjadi tampak sehat dan segar. Napasnya lancar, tenaganya
pun pulih, ia bisa berdiri sendiri dan bicara dengan ringan. Ia bagaikan tak
pernah mengalami luka sekarat, bahkan lupa bagaimana saat tadi ia hampir mati.
"Tuakmu segar sekali, Nak. Tubuhku jadi seperti perawan
lagi."
"Perawan, perawan...!" Suto Sinting bersungut-sungut
palingkan wajah ke arah Awan Setangkai, ia melangkah mendekati Awan Setangkai
dan berkata pelan,
"Kita harus temukan sebuah kedai dan mengisi bumbung tuak ini dulu."
"Kubilang tadi apa? Jangan sembarangan memberikan tuak kepada
orang jika tuakmu tinggal sedikit! Tapi kau ngotot dan berlagak
dermawan!".
Awan Setangkai juga bersungut-sungut kesal.
"Hik, hik, hik..„" nenek itu terkekeh serak. "Kalau tak
ikhlas jangan memberi, itu bisa bikin penyakit dalam batinmu sendiri,
Nak."
Pendekar Mabuk segera hembuskan napas panjang-panjang untuk membuang
kekesalan hatinya.
"Baiklah, Nek. Sekarang kau sudah sehat. Kami harus lanjutkan
perjalanan lagi. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau tadi sampai
terkapar dan sekarat seperti itu?"
Sang nenek menjawab, "Ini ulah seseorang yang tiba-tiba
menyerangku dari belakang. Ilmunya sangat tinggi dan cukup berbahaya bagi
tokoh-tokoh dunia persilatan lainnya."
"Siapa orang yang menyerangmu itu, Nek?"
"Lantang Suri."
Awan Setangkai terperanjat, wajahnya menegang matanya melebar, ia
memandang Suto Sinting dengan mulut sedikit melongo. Suto segera paham bahwa
Awan Setangkai pasti mengenal nama Lantang Suri itu.
"Siapa orang yang bernama Lantang Suri itu?" tanya Suto
kepada Awan Setangkai.
Tapi sang nenek yang menjawab, "Dia orang Selat Bantai! Ilmunya
memang tinggi dan sukar dikalahkan. Aku sendiri tak mampu mengalahkannya,
apalagi kalian berdua. Maka dari itu, kusarankan jika kalian berurusan dengan
Lantang Suri, lebih baik cepat-cepat pergi darinya. Dia sangat berbahaya dan
tak kenal ampun.
Lihat saja, aku sudah setua ini masih tega dihantamnya dengan jurus
kelas menengah. Kalau tak kuat-kuat, aku sudah mati sejak tadi."
Pendekar Mabuk menarik lengan Awan Setangkai hingga mereka sedikit
menjauhi sang nenek.
"Benarkah orang bernama Lantang Suri itu dari Selat Bantai
juga?" bisik Suto Sinting agak menegang.
"Benar. Lantang Suri adalah sahabat karib Penyamun Senja. Biasanya
jika Penyamun Senja tugas keluar dari istana selalu berpasangan dengan Lantang
Suri. Kurasa kali ini pun Penyamun Senja berpasangan dengan Lantang
Suri...."
"Kalau begitu Lantang Suri yang menculik Elang Samudera?"
sergah Pendekar Mabuk.
"Kurasa... kurasa memang begitu, Suto!"
Keduanya bergegas kembali dekati nenek kurus yang sedang membersihkan
pakaiannya dari debu. Sang nenek menghentak-hentakkan kakinya yang kotor agar
debu-debu rontok dari kain compang-campingnya. Jubahnya pun dilepas dan dikelebatkan agar bersih
kembali.
"Nek, apakah kau melihat Lantang Suri bersama seorang pemuda
berbaju ungu?" tanya Suto Sinting.
"Tidak. Lantang Suri sendirian. Entah kalau pemuda itu
disembunyikan di balik angkinnya, mana kutahu?" jawab sang nenek.
Tetapi Awan Setangkai segera menarik tubuh Suto Sinting ke belakang, ia
berbisik pelan sekali saat sang nenek mengenakan jubah compang-campingnya kembali.
"Mundurlah dulu, aku perlu menghajar nenek siluman ini!"
"Hei, apa maksudmu menghajarnya?!"
"Kurasa dia bukan seorang nenek yang sebenarnya."
"Apa alasanmu beranggapan begitu?"
"Lihat, kaki kirinya mengenakan gelang dari tali hitam dan bandul
batu giok sebesar biji sawo!"
Pendekar Mabuk melirik kaki kiri si nenek. Memang benar, kaki kurus itu
mengenakan gelang tali hitam ketat dan bandul batuan hijau giok sebesar biji
sawo. Suto ingin tanyakan arti gelang hitam tersebut, tapi tahu-tahu Awan
Setangkai telah bergerak lebih dulu melepaskan pukulan ke arah sang nenek.
Sebuah pukulan tangan kanan yang berjari lurus dan rapat disodokkan ke depan.
Ujung tangan itu keluarkan sinar hijau bening melebar dan menerpa tubuh sang nenek.
Weeeess...!
"Hei, apa-apaan kau, aku...," sang nenek tak sempat bicara
lagi. Tubuhnya terpental terbang cukup tinggi dan membentur sebatang pohon.
Wuuut...! Brrusss...!
Bluuub...! Buuuuss...!
Tubuh itu mengeluarkan letupan kecil yang segera menghamburkan asap
tebal begitu membentur pohon. Asap tebal itu pun segera buyar dan dari sisa
gumpalan asap tersebut melesatlah sesosok tubuh ramping berpakaian rompi
panjang warna Jingga. Wuuut...!
Jleeg...!
Sesosok tubuh ramping telah menjelma dari perubahan wujud sang nenek
kurus tadi. Sosok ramping berpinggul lebar dengan dada montok dibungkus kutang
tipis warna kuning sutera itu berdiri dengan sigap, kakinya yang bercelana ketat
warna jingga sebatas betis sedikit merenggang.
Tangannya memegangi gagang pedang yang terselip di pinggang kirinya.
Wajah cantik itu milik seorang wanita yang diperkirakan berusia sekitar dua
puluh tujuh tahun. Rambutnya sebatas punggung, sebagian disanggul kecil di
tengah kepala, sebagian lagi lepas terurai. Wajah cantik itu mempunyai bentuk
mata sedikit lebar tapi indah dan agak sayu.
Hidungnya mancung, bibirnya sedikit lebar dan agak tebal namun sangat
menantang gairah bercumbu. Pendekar Mabuk terbengong melihat perubahan wujud
sang nenek yang tadi ditolongnya itu. Ia terpaku di tempat dengan mata
terbelalak nyaris lupa berkedip.
Tetapi Awan Setangkai tampak tak punya rasa kaget dan heran melihat
penampilan wanita cantik bertubuh sekal itu.
"Ssia... siapa dia, Awan Setangkai?" bisik Suto Sinting agak
gugup.
"Dia yang bernama Lantang Suri!" jawab Awan Setangkai dengan
nada ketus karena berang terhadap wanita jelmaan si nenek kurus tadi.
"Kau tak bisa mengelabuiku, Lantang Suri! Kau lupa menghilangkan
gelang di kaki kirimu yang menjadi ciri penampilanmu itu!"
"Kau memang teliti, Awan Setangkai!"
Lantang Suri sunggingkan senyum sinis, ia melangkah menyamping dengan
mata tetap memancarkan kewaspadaan tinggi. Sorot pandangan mata itu lebih
sering tertuju pada Suto Sinting, seakan senyumannya itu pun ditujukan untuk
Suto Sinting. Hal itu membuat Pendekar Mabuk menjadi berdebar-debar bagai
terbius oleh senyuman yang mengandung pesona bercinta.
"Rupanya kaulah yang menculik Elang Samudera saat aku menghadapi Penyamun
Senja!" ujar Awan Setangkai sambil melangkah menyamping seakan mencari kesempatan
untuk melepaskan pukulannya.
"Memang aku ditugaskan mencari Pendekar Mabuk bersama Penyamun
Senja. Saat kau melawan Penyamun Senja, aku ada di belakangmu bersama si Mega
Sendu."
"Sekarang di mana sahabatku itu; si Elang Samudera!" Suto
Sinting menyahut kata-kata dengan tak sabar.
Lantang Suri sunggingkan senyum bersifat meremehkan pertanyaan itu.
"Aku tak tahu nama pemuda itu. Yang kutahu dia cukup tampan dan
berperawakan seorang ksatria. Mega Sendu kusuruh membawa pemuda itu ke istana
Selat Bantai, sementara tugasku menghambat langkah kalian yang pasti ingin
menuju ke sana."
"Kau memang keparat, Lantang Suri! Hiiih...!"
Awan Setangkai lepaskan pukulan ke arah samping. Seberkas sinar
bagaikan tombak meluncur cepat dari telapak tangan Awan Setangkai. Sinar
berbentuk tombak warna merah itu menghantam pohon, dan memantul balik menjadi
tiga larik. Pantulan tiga sinar merah berbentuk tombak itu mengarah pada
Lantang Suri.
Slaaap...!
Buusss...! Lantang Suri terbungkus asap putih tebal berbentuk gumpalan
tinggi. Tiga sinar merah menghantam asap putih itu.
Zrrubb...! Blaaabb...!
Ledakan yang terjadi bagaikan teredam sehingga tak timbulkan suara
keras dan tak terjadi getaran apa pun. Asap itu lenyap sekejap kemudian. Sosok
Lantang Suri pun tak ada di sana. Awan Setangkai mencari di sekelilingnya. Tapi
mata si Pendekar Mabuk yang dapat temukan Lantang Suri di atas sebuah pohon.
"Dia di atas sana!" sergah Suto Sinting. Awan Setangkai
pandangi Lantang Suri sambil melangkah ke samping Suto Sinting.
"Dia cukup berbahaya!" bisik Awan Setangkai. "Sebaiknya
kita serang bersama saja. Aku akan memancing perhatiannya ke arah lain, kau menyerangnya
dari belakang!"
Dari atas pohon terdengar suara si Lantang Suri cukup keras dan jelas, "Pemuda
itu akan kami bebaskan jika Pendekar Mabuk mau serahkan diri kepada Nyai Ratu!
Jika tidak, maka pemuda itu akan kami siksa sampai mati!"
"Persetan dengan ancamanmu, Lantang Suri! Tak seorang pun
kuizinkan membawa pergi Pendekar Mabuk!" seru Awan Setangkai. "Jika
kau bersikeras membawanya ke Istana Selat Bantai, maka kau harus melangkahi
mayatku dulu, Lantang Suri!"
"Itu soal mudah," jawab Lantang Suri sambil masih bertengger
seenaknya di atas dahan sebuah pohon besar berdaun jarang. "Kuharap
pikirkan dulu tekadmu itu, Awan Setangkai. Karena kau harus mengakui bahwa ilmumu
tak sebanding jika harus melawan ilmuku!"
"Kurobek mulut busukmu, itu, hiiaah...!"
Awan Setangkai lepaskan pukulan berasap tipis. Pukulan itu dilakukan
dengan sentakkan kedua tangan ke depan dalam keadaan telapak tangan tengadah.
Wuuut...! Dari telapak tangan itu melesat butiran-butiran berkerilap
seperti biji besi yang jumlahnya cukup banyak.
Zrrraaaasss...!
Lantang Suri bagaikan ingin dihujani dengan butiran-butiran biji besi
itu. Namun dengan tangkas ia telah lenyap lebih dulu dari pohon tersebut
bagaikan menghilang. Gerakan lompatnya sangat cepat dan hanya Suto Sinting yang
mampu melihat gerakan lompat dari pohon ke pohon yang akhirnya turun ke tanah
belakang mereka.
Jleeg...!
Lantang Suri daratkan kakinya ke tanah pada saat butiran biji besi itu
menghantam pohon, dan pohon tersebut menjadi rapuh seketika. Keropos bagaikan puluhan
tahun mati dimakan rayap.
Zaarrkk...!
Pohon itu pun rontok sebagian dan menjadi kayu tanpa guna. Pendekar
Mabuk cepat-cepat bergerak dengan melakukan terjangan cepat ke arah Lantang
Suri. Ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak cepat melebihi
kecepatan anak panah.
Zlaaap...!
Tetapi gerakan cepat bermaksud menerjang Lantang Suri itu terpaksa
gagal dalam sekejap, Lantang Suri lepaskan pukulan penahan tubuh lawan dengan
cara menyentakkan tangan kanannya dalam keadaan tangan terbuka.
Dari telapak tangan keluar lima larik sinar biru sebesar lidi.
Masing-masing sinar mempunyai asap tipis yang mampu melesat cepat dan
menghantam tubuh Suto Sinting. Claaarss...!
Pendekar Mabuk menangkis tiga sinar yang menuju ke arahnya dengan
bumbung tuaknya. Tetapi agaknya gerakan itu meleset, sehingga tiga sinar biru
itu berhasil menghantam bagian dada dan perutnya. Zllabb...!
Sedangkan dua sinar lainnya mengenai pinggang Awan Setangkai secara tak
sengaja. Zlaab...!
"Uuhg...!" terdengar Suto Sinting terpental balik oleh
pukulan tiga sinar tersebut, suaranya terpekik berat dan ia pun jatuh
terjungkal ke belakang dalam jarak tiga langkah. Brruus...!
Awan Setangkai sendiri tak menyangka kalau akan mendapat serangan dua
sinar biru tersebut, ia terlempar ke belakang bagai dilemparkan dengan tenaga
cukup kuat. Ia pun jatuh terbanting dengan suara pekik tertahan di tenggorokan.
"Aakkh...!"
Suuuuttt...!
Tiba-tiba kedua tubuh yang terkena sinar biru itu mengecil dengan
sendiri. Awan Setangkai dan Pendekar Mabuk berubah menjadi mengerut dan
akhirnya mereka berdua menjadi kerdil, bahkan lebih kecil dari seorang bocah
berusia satu tahun.
Dalam keadaan sekujur tubuhnya sakit, Pendekar Mabuk segera terkejut
setelah menyadari dirinya menjadi kecil, tingginya tak lebih dari sejengkal, demikian
pula halnya dengan Awan Setangkai. Tetapi bumbung tuak yang dibawa-bawa Suto
Sinting itu tidak ikut berubah menjadi kecil. Bumbung tuak itu terpental dan
jatuh di semak-semak ketika Suto Sinting terbuang ke belakang tadi.
"Hi, hi, hi... Kalian sekarang seperti liliput. Kalian tak akan
punya kemampuan apa-apa lagi!" ujar Lantang Suri sambil tertawa mengikik
kegirangan, ia tak pedulikan bumbung tuak tersebut, ia lebih memperhatikan
keadaan Suto Sinting dan Awan Setangkai yang segera diraupnya dalam satu
genggaman tangan.
"Lepaskan aku! Lepaskan, Setan...!" teriak Awan Setangkai
dengan berang, ia berusaha melawan dengan menggerak-gerakkan tangannya namun
tak mampu membuat Lantang Suri celaka sedikit pun. Bahkan ketika Suto Sinting
berusaha melepaskan jurus pukulan yang berbahaya, ternyata tenaga dalamnya
bagaikan dikebiri, ia tak mampu melepaskan serangan apa pun kepada Lantang
Suri. Tubuh mereka sangat lemas dan kesaktian mereka pun seakan lenyap tanpa
bekas.
"Hi, hi, hi...! Kalian berdua akan kuserahkan kepada Nyai Ratu.
Kau akan dikeringkan untuk gantungan kunci, Awan! Tapi Pendekar Mabuk akan
dipulihkan kembali jika ia bersedia memberikan bibit keturunan bagi kami semua!
Hi, hi, hi,..! Aku berhasil! Aku berhasil!" Lantang Suri melonjak
kegirangan.
*
* *
2
BARU saja Lantang Suri mau melangkah membawa Suto Sinting dan Awan
Setangkai ke Istana Selat Bantai, tiba-tiba sekelebat bayangan menerjangnya
dari belakang. Bayangan itu bergerak dengan cepat bagaikan angin berhembus dari
pusaran badai. Braaass...!
"Uhhg...!" Lantang Suri terpental empat langkah jauhnya, ia
jatuh tersungkur di sana. Namun satu tangannya sempat menyentuh tanah dan
telunjuknya menghentak, sehingga tubuhnya melenting ke atas tak jadi mencium
tanah. Wuuut...! Ia bersalto satu kali di udara, kemudian mendaratkan kakinya
dengan tegak di tanah berumput. Jeeb...!
Tetapi dua makhluk kecil yang berada di tangan kanannya tadi terpental
akibat sentakan kuat. Awan Setangkai terpental jauh dan jatuh di semak belukar,
sedangkan Pendekar Mabuk terpental tak seberapa jauh.
Pemuda tampan yang berubah menjadi manusia kecil itu segera disambarnya
ketika telunjuk kiri Lantang Suri menyentuh tanah. Akibatnya Pendekar Mabuk
berada dalam genggaman tangan Lantang Suri lagi, tapi Awan Setangkai tak
diketahui nasibnya. Lantang Suri tak sempat mencari Awan Setangkai karena ia
harus segera berhadapan dengan penyerangnya.
Orang yang menerjangnya dari belakang ternyata seorang perempuan yang
diperkirakan berusia sebaya dengannya. Lantang Suri mengernyitkan dahi sedikit,
kemudian sunggingkan senyum setelah mengenal siapa perempuan tersebut.
Perempuan cantik itu mengenakan jubah kuning bergaris-garis merah,
pinjung penutup dadanya warna merah, demikian pula celananya. Perempuan montok
itu mempunyai tahi lalat di dagu sebelah kiri. Rambutnya sama panjang dengan Lantang
Suri, dan sama-sama disanggul sebagian sisanya meriap sepunggung. Namun perempuan
itu mempunyai rambut sedikit berombak dibandingkan rambut Lantang Suri.
Ia menggenggam tongkat dengan bagian kepala tongkat berbentuk kuncup
bunga teratai. Suto Sinting yang masih berada dalam genggaman tangan Lantang
Suri dapat melihat kehadiran tokoh cantik itu yang tak lain adalah Nyai Sedap
Malam, istri dari Ki Palang Renggo.
Ketika Suto Sinting terkena racun 'Bayi Panggang', ia sempat dibawa ke
pondok Ki Palang Renggo oleh Elang Samudera, dan diminumi tuak oleh Nyai Sedap
Malam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Darah
Satria").
"Rupanya kau orangnya yang cari penyakit, Sedap Malam!" ujar
Lantang Suri dengan senyum sinis dan bersikap meremehkan Nyai Sedap Malam.
"Aku bertemu dengan sahabat suamiku; si Galak Gantung, dan
mendapat keterangan tentang rencana orang-orang Selat Bantai! Aku mencemaskan
keadaan Pendekar Mabuk, sehingga aku perlu bicara dengan Cendana Sutera. Tetapi
ternyata tindakanku belum terlambat. Pendekar Mabuk masih sampai di sini walau
sudah berhasil kau lumpuhkan dengan 'Aji Surut Raga'- mu itu, Lantang Suri. Dan
kudengar percakapan kalian tadi, kau telah menculik Elang Samudera yang
sekarang dibawa oleh Mega Sendu ke istana!"
"Hmmm... telingamu rupanya masih suka usil, Sedap Malam,"
ujar Lantang Suri masih tetap tenang. Suto Sinting yang ada dalam genggamannya
masih sesekali dipandangi dengan senyum kemenangan. Suto Sinting tak bisa
bergerak karena tubuhnya digenggam kuat hingga bernapas pun terasa sulit.
"Lepaskan dia, Lantang Suri! Jika tidak kau akan hidup di alam
baka saat ini juga!" ancam Nyai Sedap Malam.
Lantang Suri sunggingkan senyum mengejek semakin lebar. "Kau sudah
bukan orang Selat Bantai lagi, Sedap Malam. Kau tak punya hak mencampuri urusan
Selat Bantai! Sejak kau terusir dari
Istana Selat Bantai, demi mengikuti suamimu yang tua keropos itu, kau sudah dianggap musuh oleh pihak Nyai Ratu. Jadi,
jangan coba-coba mencampuri urusan kami jika kau masih ingin merawat suamimu
yang sebentar lagi jompo itu!"
"Tutup mulutmu, Lantang Suri!" bentak Nyai Sedap Malam dengan
berang. Rupanya ia tersinggung suaminya diejek sedemikian rupa. Berangnya Nyai Sedap
Malam justru ditertawakan oleh Lantang Suri.
"Kau tahu siapa aku, Lantang Suri?!"
"Ya, aku tahu kau bekas pengawal andalan Nyai Ratu. Ilmumu cukup
tinggi, sama halnya dengan Awan Setangkai. Tetapi kau pun perlu tahu, Sedap
Malam... bahwa aku bukan Lantang Suri yang dulu menjadi sahabatmu. Aku adalah
Lantang Suri yang sudah menguasai beberapa jurus baru dari Kitab Lumbung Hitam.
Kau tak akan bisa mengungguli ilmuku, Sedap Malam. Sia-sia saja nyawamu jika
berusaha merebut Pendekar Mabuk dari tanganku ini!" sambil tangan yang
menggenggam Suto Sinting diacungkan ke atas.
Tampak kepala Suto Sinting sedang berusaha untuk menghirup udara
sebanyak-banyak dengan gerakan-gerakan tak berarti.
Nyai Sedap Malam menggeram dengan kedua tangan mulai menggenggam
kuat-kuat. Matanya memancarkan murka yang sebentar lagi akan dilepaskan. Namun
ia masih mencoba untuk menahan murkanya dan berusaha hindari pertarungan dengan
bekas sahabat karibnya semasa ia menjadi pengawal andalan Nyai Ratu Cendana
Sutera.
Diam-diam Suto Sinting mencatat dalam ingatannya percakapan itu, karena
baru sekarang ia mengetahui bahwa Nyai Sedap Malam ternyata bekas orang Selat
Bantai.
"Lantang Suri, kuharap kali ini kau turuti keinginanku agar di
antara kita tidak ada perselisihan. Untuk perkara lain, aku tak akan ikut
campur lagi dan mungkin suatu saat aku masih bisa membantumu secara diam-diam. Hanya
kali ini saja aku mempunyai permintaan yang ingin kau turuti; lepaskan Pendekar
Mabuk dan bebaskan Elang Samudera."
"Hi, hi, hi... rupanya kau masih naksir pemuda-pemuda tampan
seperti mereka. Sedap Malam. Rupanya kau masih suka digelitik oleh kehangatan
pemuda segagah mereka. Apakah suamimu sudah tidak bias menggelitikmu lagi? Dulu
kau bilang Palang Renggo biarpun tua tapi ampuh 'pusaka'-nya dan sehangat lahar
gunung berapi? Mengapa sekarang kau mengincar dua pemuda tampan dan perkasa
ini? Kalau begitu, 'pusaka' suamimu itu sudah tidak ampuh lagi dan sudah
sedingin salju? Hi, hi, hi, hi...!"
Nyai Sedap Malam makin menggeram. "Kau memang tak bisa diajak
damai, Lantang Suri! Demi harga diri suamiku, aku terpaksa melebur ragamu. Perempuan
Iblis! Hiaaah...!"
Weesss...!
Tongkat berkepala kuncup bunga teratai itu dilemparkan dalam gerakan
cepat yang sukar dilihat. Tongkat itu melesat cepat sekali dan setelah di pertengahan
jarak berubah menjadi seekor ular panas. Ular itu menyemburkan hawa panas
beracun dari mulutnya. Wooosss...!
Tetapi Lintang Suri lebih dulu bergerak cepat bagaikan menghilang.
Wees...! Ia berpindah tempat di belakang Nyai Sedap Malam. Semburan hawa panas
itu kenai pohon, dan pohon tersebut segera mengering, kulit pohon terkelupas
dengan daunnya yang menghitam dan akhirnya rontok.
Pohon tersebut dalam beberapa kejap kemudian berubah menjadi tonggak
arang yang rapuh. Lantang Suri lepaskan pukulan dari dua jari yang ditebaskan
ke depan. Dua jari itu melepaskan sinar merah berbentuk pedang yang berkelebat
membabat punggung Nyai Sedap Malam.
Slaaap...!
Nyai Sedap Malam melihat kerilapan cahaya merah
dan hembusan udara panas yang terasa menyentuh
tengkuk kepalanya. Dengan cepat kakinya menyentak
dan tubuh pun melayang di udara dalam gerakan salto.
Tangannya berkelebat bagai menarik sesuatu. Ternyata tongkatnya yang
berubah wujud menjadi seekor ular itu ditarik kembali dengan kekuatan tenaga
dalamnya.
Wuuut...! Plek! Ular itu berubah menjadi tongkat kembali dan dalam sekejap
sudah berada di tangannya. Ketika ia bergerak turun mendaratkan kakinya ke tanah,
tongkat itu sudah berdiri tegak bersama sepasang kakinya yang berbetis indah
itu. Sedangkan sinar yang menyerupai pedang segera dihancurkan dengan sentakan
tangan kiri yang mengeluarkan selarik sinar dari pergelangan tangannya. Claaap!
Blaaarr...!
Kedua perempuan yang dulunya bersahabat akrab itu saling berdiri tegak
dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka beradu pandang, namun wajah Nyai Sedap Malam
tampak dihiasi kemarahan yang terpendam, sedangkan wajah Lantang Suri tampak
tenang dengan seulas senyum sinis berkesan menyepelekan lawan.
"Rupanya kau tambah ilmu sejak menjadi istri si peot keropos
Palang Renggo itu, Sedap Malam. Hmmm...! Sayang tak sebanding dengan ilmuku!"
"Jangan banyak bicara, Lantang Suri! Sekali lagi kuingatkan,
lepaskan Pendekar Mabuk dan bebaskan Elang Samudera! Mereka murid-murid dari
sahabat suamiku!"
"Elang Samudera sudah berada di istana. Kurasa si tampan yang
sempat kutotok dengan setangkai ranting kering itu sekarang sedang dibebaskan
totokannya oleh Mega Sendu, mungkin juga sedang dijadikan barang mainan oleh
para penghuni Istana Selat Bantai.
Dan aku yakin, Elang Samudera akan betah di dalam istana karena banyak
wanita cantik yang menciuminya. Aku pun agaknya akan ketinggalan, tapi aku
masih punya yang satu ini; Pendekar Mabuk! Akan kupakai lebih dulu sebelum
kuserahkan kepada Nyai Ratu.
Dengan begitu, kelak aku akan mempunyai keturunan pertama dari Pendekar
Mabuk dan anakku akan tumbuh menjadi satria tangkas, perkasa, dan sakti!"
"Pergilah ke neraka bersama mimpimu itu, Keparat!
Hiaaah...!"
Nyai Sedap Malam menghentakkan tongkatnya ke tanah. Dari tanah
tersembur puluhan sinar bagai benang-benang beterbangan. Cralap...! Weerss...!
Puluhan sinar merah itu menerjang Lantang Suri bagai ingin
menjaringnya. Tetapi agaknya si cantik berompi Jingga itu memang tidak mudah
ditumbangkan.
Walaupun serangan itu datang secara tiba-tiba, namun ia tetap saja bisa
hindari dengan satu sentakan napas yang membuatnya melenting ke atas dan
hinggap di dahan sebuah pohon. Wuuut...! Jleeg...!
Dari atas pohon itu ia tertawa mengikik panjang melihat sinar-sinar
merah telah menerjang sebatang pohon besar yang membuat pohon itu menyala merah
dalam sekejap, kemudian lenyap dan tinggal asap belaka.
"Hiaaah...!" Nyai Sedap Malam merasa dipermainkan, ia segera
sentakkan kaki ayunkan badan, sehingga tubuhnya segera melayang terbang ke atas
menghampiri lawannya. Weess...! Sambil melayang tongkatnya diputar-putar di
atas kepala dengan gerakan cepat.
Wuung, wwung, wuuung...!
Putaran tongkat itu keluarkan cahaya merah membara yang menyebar lebar
membuat daun-daun yang terkena cahaya merah itu menjadi lenyap seketika.
Ranting dan dahan yang terkena sinar merah membara itu pun hilang bagai tak
pernah tumbuh.
Sementara sosok tubuh yang didekati
itu justru melayang bagaikan belalang terbang sambil menyentakkan tangan
kirinya dan melepaskan serbuk berasap warna putih perak.
Weeerrsss...!
Tar, tar, tar, tar, blaaarr...!
Letusan kecil terdengar bagai rentetan petasan pada saat serbuk-serbuk
mengkilat itu kenai bias sinar merah.
Dan letusan itu menjadi sebuah ledakan cukup dahsyat ketika
serbuk-serbuk mengkilat itu dihantam ujung tongkat yang berputar cepat itu.
Ledakan tersebut membuat Nyai Sedap Malam terpelanting karena gelombang
hentakannya cukup besar dan kuat. Tubuh Nyai Sedap Malam akhirnya membentur sebatang dahan pohon dan jatuh
melayang ke tanah dalam ketinggian lebih dari tujuh tombak.
Krraak...! Wuuuutt...!
Dahan itu patah namun tak sampai jatuh karena
tersangkut ranting-ranting pohon. Dan tubuh Nyai Sedap Malam yang
melayang ke bawah itu segera dapat kuasai diri dengan berjungkir balik beberapa
kali, lalu tiba di tanah dalam keadaan kedua kaki sedikit merenggang dan badan
sedikit merendah. Jleeg...!
Lantang Suri sudah berpindah tempat ke dahan pohon lainnya. Begitu
melihat Nyai Sedap Malam menapakkan kaki di tanah, ia segera lepaskan jurus
mautnya yang memancarkan selarik sinar kuning emas dari jari tengah tangan kiri
yang diluruskan. Claaap...!
Sinar kuning emas itu mengejutkan Nyai Sedap Malam. Dengan cepat kepala
tongkat disentakkan ke arah sinar itu. Dari kepala tongkat keluar selarik sinar
biru terang yang segera menghantam sinar kuning emas dalam jarak satu tombak di
depan dada Nyai Sedap Malam. Blegaaar...!
Ledakan lebih dahsyat timbulkan gelombang lebih kuat lagi. Nyai Sedap
Malam terlempar jauh dalam keadaan menyemburkan darah segar dari mulutnya. Kulit
sang Nyai pun menjadi merah matang bagaikan terpanggang api. Ia jatuh terpuruk
dengan tongkat masih lengket dalam genggamannya.
Brruk...!
"Aaahhk...!" ia mengerang kesakitan dengan suara berat.
"Terpaksa kuhabisi juga nyawamu agar kelak tidak menyulitkan aku
lagi, Sedap Malam! Hiaaah...!"
Cahaya ungu lebar bagaikan piring bergerigi keluar dari telapak tangan
kiri yang menyentak dalam bentuk jari mencakar. Cahaya ungu bagai piringan
bergerigi berputar itu menerjang tubuh Nyai Sedap Malam yang sudah tak mampu
melakukan gerakan apa-apa lagi.
Tetapi ketika sampai di pertengahan jarak, cahaya ungu itu tiba-tiba
dihantam oleh sinar putih patah-patah yang melesat dari balik semak belukar.
Clap, clap, clap...!
Blegaaarr...!
Bumi berguncang bagai dilanda gempa karena ledakan dahsyat itu.
Beberapa saat kemudian, sesosok tubuh kurus berjubah biru muda muncul dari
semak belukar itu. Weees...! Tokoh berambut abu-abu itu sudah berusia sekitar
enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit dan lincah, ia tak lain adalah
Ki Palang Renggo, suami dari Nyai Sedap Malam.
"Celaka! Kenapa istriku bisa seperti kepiting rebus begitu?!
Gawat! Aku harus segera selamatkan jiwanya kalau tak ingin menjadi duda untuk
yang kedua puluh empat kali!"
Weess...! Ki Palang Renggo segera berkelebat menyambar istrinya. Dalam
sekejap Nyai Sedap Malam sudah ada di pundak Ki Palang Renggo. Kemudian tanpa
memberi serangan balasan, Ki Palang Renggo berkelebat cepat bagaikan
menghilang, ia membawa lari istrinya dan tak peduli suara tawa Lantang Suri
yang melengking tinggi itu.
"Cari tempat yang baik untuk menguburkan istrimu itu, Palang
Renggo!!" teriak Lantang Suri di sela tawanya yang mirip kuntilanak
bercumbu.
Ki Palang Renggo tetap tidak pedulikan ejekan itu. Ia hanya menggeram, "Tunggu
pembalasanku nanti!"
*
* *
3
KARENA genggaman tangan terlalu kuat, Suto Sinting akhirnya pingsan
dalam genggaman Lantang Suri. Perempuan bermata sayu itu cekikikan melihat Suto
Sinting pingsan di atas telapak tangannya.
"Kasihan sekali kau, Pemuda Gagah. Aku tak sengaja menggenggammu
terlalu kuat. Habis tadi aku kerahkan tenaga untuk menahan hentakan daya ledak,
tak sadar aku menggenggam kuat-kuat. Oh, Sayangku... jangan mati dulu sebelum
bulan kesuburan datang!"
Lantang Suri membelai-belai tubuh Suto Sinting seperti membelai anak
kucing. Tubuh kecil itu diciumnya, ditempelkan di pipi, seakan ia sangat sayang
dengan boneka mainannya.
"Sebaiknya kita segera mencari tempat aman saja, ya Sayang?! Kita
datang menghadap Nyai Ratu setelah malam bulan kesuburan lewat. Hanya semalam
saja aku butuhkan dirimu untuk menaburkan benih di dalam kandunganku. Setelah
itu kau kuserahkan kepada Nyai Ratu dan terserah apa yang ingin kau lakukan.
Yangpenting aku sudah mendapatkan benih pertama darimu. Pendekar Tampan! Hi,
hi, hi...!"
Lantang Suri tampak berseri-seri. Ia mengatur rencana untuk kepentingan
sendiri, ia akan serahkan Suto Sinting sehari setelah malam bulan kesuburan datang.
Suto Sinting akan dimanfaatkan untuk kebutuhan gairahnya sendiri sebelum harus
diserahkan kepada Nyai Ratu Cendana Sutera. Karena itu, ia harus mencari tempat
aman yang sebenarnya sudah ada dalam benaknya.
"Kita akan ke Pantai Karang Hantu. Aku pernah melihat ada gua
cukup aman di sana. Kita bisa memadu kasih dan kemesraan di sana, Pendekar
tampan, calon ayah keturunanku! Tapi agar tak diketahui siapa pun, sebaiknya
kau kusimpan dulu di balik kutangku! Nanti setelah sampai gua itu kau akan
kusadarkan dan kukembalikan seperti semula! Hi, hi, hi... akulah yang berhasil
memiliki keturunan pertama dari Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu.
Hi, hi, hi, hi, hi...!"
Suto Sinting dimasukkan ke dalam kutang penutup dadanya. Di sela kedua
bukit yang membusung sekal dan montok itulah Lantang Suri sembunyikan Pendekar Mabuk
dalam keadaan pingsan. Tempat yang lega dan besar membuat Pendekar Mabuk memungkinkan
sekali untuk tertutupi.
"Lalu di mana si Awan Setangkai tadi?!" pikir Lantang Suri.
"Ah, persetan dengan perempuan itu! Pasti sudah mati atau sekarat karena
terbanting sekeras itu. Kalau toh dia masih hidup, biarlah hidup, sebentar lagi
juga akan mati dimakan binatang buas. Dia tak akan bisa berbuat apa-apa dalam
keadaan sekecil itu!"
Sambil menuju Pantai Karang Hantu, batin Lantang Suri selalu berkecamuk
dalam kegirangan, ia bahkan tak sabar ingin segera sampai ke sana dan
menyadarkan Pendekar Mabuk. Rasa bangga dan girangnya telah membuat
kewaspadaannya lengah, sehingga ketika datang sebuah serangan berupa pukulan
panas tanpa sinar itu ia tidak bisa mengelak lagi.
Wuuut...! Beehk...!
"Uuhk...!" pekiknya tertahan sambil tubuhnya melengkung ke
depan dan melayang nyaris membentur pohon. Namun ia masih bisa menahan napas
dan berpegangan pada pohon itu sehingga tak jadi jatuh tersungkur. Hawa
murninya segera disalurkan ke seluruh tubuh agar pukulan berat tadi tidak
membuatnya cedera.
Dengan menahan luapan amarah, Lantang Suri memandang liar kepada orang
yang telah menyerangnya secara tiba-tiba itu. Terdengar suaranya menggeram ketika
matanya yang sayu itu menemukan sosok si penyerang.
"Kau...!" hanya itu yang keluar dari mulutnya, lalu ia
menarik napas dalam-dalam dan mulai mengeraskan urat-urat tangannya sambil
melangkah dekati si penyerang yang berdiri tegak bagai menantang kedatangannya.
Seorang perempuan bermata bening, dengan bulu mata yang lentik, hidung
bangir dan bibir menawan itu menatap Lantang Suri tak berkedip tanpa seulas
senyum pun. Perempuan itu berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Mengenakan
pinjung penutup dada warna merah bersulam benang emas. Celana sebatas betis
juga dari bahan beludru merah bersulam benang emas. Pedangnya yang di pinggang
tampak bergagang emas berukir.
Rambutnya disanggul, sehingga lehernya yang berkulit kuning langsat itu
tampak mulus dan indah karena mengenakan kalung emas berbandul batuan mutiara.
Seandainya Suto Sinting dalam keadaan sadar dan melihat perempuan itu,
pasti ia terkejut dan berseri-seri kegirangan, karena ia sudah cukup lama tak
jumpa dengan prajurit andalan Ratu Dewi Giok dari Tanjung Samudera. Perempuan
itu tak lain adalah Bulan Sekuntum yang pernah ditolong oleh Suto Sinting karena
luka pertarungannya dengan si Anak Petir, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Keranda Hitam").
Tak heran jika Lantang Suri sudah mengenal Bulan Sekuntum, karena letak
negeri Tanjung Samudera sering dilalui oleh orang-orang Selat Bantai jika ingin
mengadakan perjalanan melalui pantai. Bulan Sekuntum pun mengenal betul siapa
Lantang Suri itu, sehingga ia tampak hati-hati sekali dalam berhadapan
dengannya.
"Apa maksudmu menyerangku, Bulan Sekuntum?! Apakah kau ingin
meneruskan perselisihan lama tentang Pusaka Selendang Iblis itu?!"
"Aku tidak punya hubungan dengan pusaka itu!" jawab Bulan
Sekuntum dengan nada ketus sekali. "Selendang Iblis sudah hancur di tangan
seorang tokoh yang tidak ada hubungannya denganku. Sengaja aku menghambat
langkahmu karena aku melihat pertarunganmu dengan seorang berjubah kuning yang segera
diselamatkan oleh suaminya yang tua tadi. Kudengar apa yang kalian berdebatkan
sebelum pertarungan itu terjadi!"
"O, jadi kau ingin membela si Sedap Malam?"
"Aku tak kenal dengannya. Yang kukenal adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting! Aku tahu pemuda tampan itu ada di balik kutangmu! Kau telah membuatnya
menjadi sekecil boneka sulaman, dan aku pun tahu apa maksudmu membawa pergi
Pendekar Mabuk! Bulan kesuburan memang akan datang. Tentunya orang-orang Selat
Bantai berusaha mencari calon penabur keturunan."
"Itu bukan urusanmu, Bulan Sekuntum! Kau bukan orang Selat Bantai,
untuk apa mau ikut campur urusan kami?!"
"Karena aku punya urusan dengan pemuda yang akan kalian gunakan
sebagai pria pembenih itu! Ratu Dewi Giok sedang sakit. Aku butuh seorang
tabib. Tak ada tabib lain yang mampu sembuhkan penyakit ratuku itu. Tapi aku
yakin, Tabib Darah Tuak yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk itu mampu
mengobatinya. Sebab itu, kuminta lepaskan Pendekar Mabuk dan akan kubawa ke
Tanjung Samudera secepatnya!"
"O, jadi kau mencari-cari Pendekar Mabuk? Sayang sekali, aku tidak
tahu di mana Pendekar Mabuk!"
"Omong kosongmu keterlaluan, Lantang Suri! Bukankah sudah
kukatakan aku mendengar percakapanmu dengan Sedap Malam dan kudengar pula ucapanmu
saat sebelum Pendekar Mabuk kau simpan di sela-sela dadamu itu?!"
"Hi, hi, hi, hi....' Rupanya kau tak mudah ditipu, Bulan Sekuntum.
Baiklah, pendekar tampan itu memang ada di dadaku."
"Lepaskan dia!" hardik Bulan Sekuntum.
"Nanti akan kulepaskan setelah dia membagi benih keturunan kepada
orang-orang Selat Bantai!"
"Rupanya aku harus memaksamu dengan cara kasar!
Hiiah...!"
Tangan Bulan Sekuntum berkelebat bagai lemparkan pisau. Tetapi yang
keluar dari tangan itu adalah sinar merah berbentuk seperti mata tombak.
Claap...! Sinar merah itu melesat cepat ke ulu hati Lantang Suri.
Dengan satu lompatan cepat ke arah samping, sinar- merah itu lolos dari
sasaran dan menghantam sebongkah batu di belakang sana. Duaarr...!
Lantang Suri tak hiraukan kehancuran batu yang menjadi serbuk lembut
akibat dihantam sinar merah itu.
Ia segera membalas dengan menyabetkan dua jarinya yang mengeras. Dari
ujung dua jari itu melesat sinar merah berbentuk pedang yang menebas leher
Bulan Sekuntum. Slaap...! Sinar itu juga dihindari oleh Bulan Sekuntum dengan
bersalto mundur. Wuuk...! Jleeg...!
Dengan satu kaki berlutut, Bulan Sekuntum segera lepaskan jurus 'Racun
Baja', berupa sinar biru lurus dari jari tengah. Weess...! Sinar biru itu jika kenai
lawan maka lawan akan mengalami luka bakar dan dalam setengah hari nyawanya tak
akan tertolong lagi. Tetapi agaknya Lantang Suri sangat hati-hati menghadapi serangan
lawannya, ia tak mau menangkis sinar tersebut, melainkan hanya menghindari
dengan gerakan cepat yang mirip menghilang itu. Wuut...!
Jegaar...! Sinar biru itu menghantam pohon dan menimbulkan ledakan yang
menggetarkan beberapa pohon lainnya. Sedangkan Lantang Suri tahu-tahu sudah
berada di belakang Bulan Sekuntum dan menendangkan kaki kanannya dengan cepat.
Wuuut...! Buuhk...!
"Ouh...!" Bulan Sekuntum terpental ke depan dan hampir saja
jatuh tersungkur. Untung ia segera kuasai diri, sehingga ia hanya jatuh
berlutut dengan satu kaki.
"Kurang ajar! Ia gunakan tendangan beracun. Uuh...! Panas sekali
sekujur tubuhku. Darahku pasti sudah bercampur dengan racun yang berbahaya.
Oouh...! Aku tak bisa bergerak lagi?!"
Bulan Sekuntum berusaha menggerakkan kakinya untuk bangkit, namun
persendiannya bagai terkunci. Bahkan ia tak bisa menggerakkan kepalanya untuk menengok
ke arah lawan.
"Celaka! Persendianku bagai terkunci dan... dan... oh, gawat kalau
begini! Detak jantungku semakin pelan. Napasku sesak sekali," keluh Bulan
Sekuntum sambil berusaha untuk lakukan gerakan pada jari tangannya.
Namun gerakan sekecil itu pun tak bisa dilakukan. Seluruh sendi
tulangnya telah terkunci oleh racun tendangan Lantang Suri.
"Hi, hi, hi...! Jangan coba-coba melawanku kalau tak punya ilmu
cukup tinggi, Bulan Sekuntum! Kau tahu sendiri, betapa mudahnya aku menghabisi
nyawamu sekarang juga! Dengan sekali gebrak lagi, kau sudah akan terbang menuju
neraka dan berjumpa dengan leluhurmu di sana! Hi, hi, hi, hi...!"
"Oh, habislah riwayatku! Habis sudah masa hidupku jika begini.
Sial! Mengapa semudah ini aku ditundukkan olehnya?!" keluh hati Bulan
Sekuntum. Lalu, ia mendengar Lantang Suri bersuara nyaring,
"Selamat jalan, Bulan Sekuntum! Saatnya berangkat ke neraka telah
tiba! Hiaah ..!"
"Tahan...!" seru seseorang pada saat Lantang Suri ingin lepaskan
pukulan yang mematikan. Gerakan tangan itu pun terhenti seketika karena seruan
tersebut . Lantang Suri berpaling memandang ke arah orang yang berseru sambil
berucap dalam batinnya, "Siapa orang yang berani menahanku itu?!"
Pandangan mata Lantang Suri tertuju pada seorang lelaki tua berusia
sekitar delapan puluh tahun. Tokoh tua itu kenakan pakaian seperti biksu dari
kain warna abu-abu. Rambutnya tipis, berwarna uban, bahkan berkesan botak, ia
berbadan agak gemuk dan berjenggot putih.
Kehadirannya didampingi seorang lelaki berusia empat puluh tahun
berpakaian hijau tua, kurus, pendek, tanpa kumis, dan jenggot. Lelaki itu
adalah pelayan si tokoh tua. Dan mereka tak lain adalah Resi Pakar Pantun serta
pelayannya yang bernama Kadal Ginting. Mereka sahabat Pendekar Mabuk yang sudah
dianggap seperti kakek Suto. sendiri.
"Monyet pikun mengikat buaya dengan benang, buaya diikat dibuat
alas meja. Jangan mudah cabut nyawa orang, lebih baik biasakan cabut uban
saja."
Lantang Suri sunggingkan senyum tipis, karena ia segera mengenali tokoh yang gemar berpantun
itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun, ia sering mendengar cerita tentang Resi
Pakar Pantun dan ia dapat mengukur seberapa tinggi ilmu sang Resi itu.
"Apa maksudmu pamer pantun murahan begitu, Pak Tua?! Apakah kau
ingin ikut mati bersama si Bulan Sekuntum ini?!"
Dengan kalem sang Resi menjawab, "Pantunku memang murahan, tapi
pandanglah wajahku yang tampan dan rupawan."
Kadal Ginting ikut-ikutan menyahut, "Eh, Nona.... Jangan sepelekan
tuanku ini. Eyang Resi Pakar Pantun ini ibarat batu permata. Makin tua makin mahal harganya. Pepatah
mengatakan, tua-tua kejemur, semakin tua semakin subur. Kalau tidak subur ya mandul!"
"Kau ngomong apa, Kadal?!" hardik sang Resi sedikit dongkol. Kemudian
sang Resi berkata kepada Lantang Suri, "Nona, aku tahu kau pasti orang
Selat Bantai...."
"Dari mana kau tahu?!" potong Lantang Suri sebelum kata-kata
sang Resi habis.
"Jurus tendanganmu yang tadi sempat kulihat itu adalah jurus
'Tendangan Kobra Binal' dan hanya Ratu Cendana Sutera yang memiliki jurus
'Tendangan Kobra Binal' itu. Maka aku langsung yakin bahwa kau adalah orangnya
Ratu Cendana Sutera."
"Otak tuamu masih encer juga, Resi Pikun!"
Pada saat itu, Suto Sinting siuman dari pingsannya, ia mulai menggeliat
dan berusaha untuk bernapas dengan leluasa. Tangannya bergerak-gerak dan tak
sengaja menyentuh-nyentuh ujung dada yang sekal itu.
"Di mana aku berada? Mengapa gelap-gelap hangat begini? Oh, apa
yang kupegang ini?" pikir Pendekar Mabuk yang belum menyadari berada di
dalam sebuah kutang berbau wangi.
Resi Pakar Pantun mencoba melunakkan niat Lantang Suri yang ingin
menghabisi nyawa Bulan Sekuntum.
Tokoh tua itu berhasil membuat Lantang Suri menyimak kata-katanya yang
bercampur pantun itu. Tetapi diam-diam Lantang Suri mulai gelisah karena
sesuatu yang menggelitik dadanya.
"Hmmm... si Pendekar Mabuk sudah siuman dengan sendirinya. Wah,
kalau dia muncul dari belahan dadaku bisa ketahuan kalau aku
menyimpannya."
Lantang Suri segera bersidekap, melipat tangan di dada. Berlagak tenang
tapi sebenarnya menahan gerakan tubuh Pendekar Mabuk agar tak nongol dari
kutangnya.
Makin lama Suto semakin ingat akan nasibnya yang menjadi kecil. Ia juga
segera menyadari bahwa dirinya berada di dalam sebuah kutang, karena telinganya
terasa berdengung budek akibat mendengar degub jantung yang mirip irama bedug
itu.
"Sial! Rupanya aku disimpan di dalam kutang oleh si Lantang Suri.
Pantas empuk-empuk hangat begini, dan...ah, coba aku merosot ke bawah, siapa
tahu bisa lolos dari bawah," pikir Suto.
Gerakan merosot Suto Sinting itu semakin menggelitik Lantang Suri.
Terlebih setelah Suto Sinting merasa seperti ingin jatuh, ia terpaksa
berpegangan sesuatu dengan kedua tangannya, ia tak sadar yang dipakai pegangan
itu adalah ujung dada kiri Lantang Suri.
Ternyata 'Aji Surut Raga' makin lama semakin membuat tubuh seseorang
lebih menyusut lagi. Karenanya, gerakan Pendekar Mabuk di dalam pinjung dada
Lantang Suri menjadi kian lincah. Kulit dada yang berkeringat membuat Suto
Sinting selalu terpeleset dalam berpegangan.
Akibatnya geseran tangan yang terpeleset terus di ujung dada montok itu
membuat Lantang Suri berdesir-desir digelitik gairah. Sesekali ia pun mendesis
lirih sambil dengarkan celoteh Resi Pakar Pantun.
"Ssss... ahh, kurang ajar banget ini anak!" gerutunya dalam
hati, namun sang hati tetap suka menikmati gerakan tangan Suto Sinting itu.
Resi Pakar Pantun berkata, "Kalau kau benar-benar bermaksud
membunuh Bulan Sekuntum, maka Selat Bantai akan ditimpa mala petaka dari negeri
Ringgit Kencana. Sebab Bulan Sekuntum adalah orangnya Ratu Dewi Giok, dan Ratu
Dewi Giok adalah adik dari Ratu Asmaradani, penguasa negeri di dasar lautan
yang bernama Ringgit Kencana. Tentu saja pihak Ratu Dewi Giok akan menyerang
Selat Bantai. Jika mendengar Ratu Dewi Giok menyerang Selat Bantai, maka sang
Ratu Asmaradani tidak akan tinggal diam. Kalian pun akan diserang oleh pihak
negeri Ringgit Kencana. Apalagi Bulan Sekuntum adalah keponakan dari Pendeta
Agung Dewi Rembulan yang menjadi sesepuh di negeri Ringgit Kencana. Tak mungkin
pihak Ringgit Kencana akan diam saja mendengar Bulan Sekuntum dibunuh oleh orang
Selat Bantai...."
"Aahh... sial! Apa-apaan kerja si tampan di dalam kutangku ini?
Aduh, celaka kalau begini. Aku semakin dibuat bergairah terus oleh tingkahnya,
iiih... kok menggigit segala?!" ucap batin Lantang Suri.
Lalu ia merapatkan kedua tangannya karena merasa ada gigitan lembut di
tempat yang paling rawan bagi gairah seorang wanita.
Gencetan tangan Lantang Suri membuat Suto Sinting semakin berusaha
untuk meronta. Akibatnya, gerakan meronta itu tambah membakar darah kemesraan
Lantang Suri.
"Aduh, aku benar-benar tak bisa bertahan untuk diam saja!
Sebaiknya kutinggalkan saja tempat ini dan persetan dengan nyawa si Bulan
Sekuntum!"
Tetapi Kadal Ginting berkerut dahi melihat mata sayu Lantang Suri
menjadi terbeliak sesekali, dan lidahnya sering menggigit bibir sendiri. Hati
Kadal Ginting bergetar melihat perubahan wajah yang sendu menantang kasmaran
itu. Ia pun menelan ludah sendiri beberapa kali.
Resi Pakar Pantun pun mempunyai tanggapan yang sama, bahkan sang Resi
sempat bertanya dalam hatinya, "Tampaknya dia semakin bergairah dalam memandangku.
Wah, celaka. Kalau dia benar-benar bergairah, repot juga! Aku tak akan sanggup
melayani asmaranya, karena memang sudah tak mampu lagi bermesra-mesraan seperti
dulu. Lho... lho... semakin mendesah? Apakah... apakah dia mau menciumku? Wah, gawat!
Kalau begitu Kadal Ginting kusuruh pergi dulu supaya aku tak malu kalau
sampai...."
Belum sempat kata-kata batin Resi Pakar Pantun habis, tiba-tiba Lantang
Suri sudah melesat tinggalkan tempat dengan sangat cepat. Weeess...!
"Hei, mau ke mana kau...?! Hei, aku sanggup lho...!" seru
sang Resi, lalu segera menutup mulut dengan kaget.
"Ya, ampun...! Apa maksud kata-kataku tadi? Mengapa aku berkata
begitu?!"
"Saya juga sanggup, Eyang," timpal Kadal Ginting.
"Sanggup apa?!" sentak sang Resi.
"Hmmm .. anu... sanggup... ya, sanggup apa sajalah," jawab
Kadal Ginting sambil meringis dan salah tingkah karena tersipu-sipu.
"Bicaramu sejak tadi selalu ngaco! Bantu angkat si Bulan Sekuntum
itu. Ia harus dibebaskan dari 'Tendangan Kobra Binal' yang mengunci persendian tulangnya
dan membekukan darahnya. Kalau tak segera dibebaskan, jantungnya akan berhenti
sama sekali dan itu berarti dia akan mati!"
"Baik, Eyang. Tapi... tapi bagaimana dengan perempuan cantik yang
tampaknya menantang bercinta tadi, Eyang!"
"Husy! Lupakan tentang dia!
Aku pun berusaha untuk tidak berpikir ke arah situ! Ayo, bantu aku memindahkan
Bulan Sekuntum ke tempat teduh itu!"
Kadal Ginting mengangkat tubuh Bulan Sekuntum yang berlutut satu kaki.
Namun ketika ia hendak memegang tubuh itu, tiba-tiba matanya memandang
gerakan aneh yang sangat menarik perhatian. Sebuah benda bergerak di
rerumputan dengan pelan-pelan mendekatinya.
"Ular! Ular nagaa...!" teriak Kadal Ginting sambil melonjak
kaget, tak sadar menghambur ke dalam gendongan Resi Pakar Pantun. Plook...!
Sang Resi pun bergerak secara naluriah, tangannya segera menyambar tubuh Kadal
Ginting yang kurus, hingga ia bagaikan sedang menggendong cucu kesayangannya.
"Apa-apaan kau ini!" sentak sang Resi sambil menyentakkan
tubuh Kadal Ginting. Tubuh itu jatuh terbanting dan masih berteriak ketakutan.
"Ular naga, Eyang...! Ular nagaa...!" sambil menuding ke arah
benda yang bergerak.
Sang Resi memandang ke arah benda itu dan terlonjak kaget secara tak
sadar langsung latah.
"Eh, Kadal... eh, Ginting... eh, Naga...!"
Mereka berdua segera menjauhi benda yang bergerak itu. Makin lama
pandangan mata mereka semakin jelas. Bayangan seekor naga yang
menakut-nakutinya lenyap dari benak. Kini mereka tahu bahwa yang bergerak pelan
itu bukan seekor ular naga, melainkan sebatang bambu berwarna coklat dan
mempunyai tali penggantung. Bambu itu tak lain adalah bumbung tuak Suto
Sinting.
"Bambu...! Itu bambu, Kadal Ginting!"
"O, iya! Kusangka seekor naga?!"
"Gundulmu itu yang seperti naga!" geram Resi Pakar Pantun.
"Hei, kalau tak salah itu bambu bumbung tuaknya Suto Sinting!"
"Kelihatannya memang begitu, Eyang! Lalu di mana si Pendekar
Mabuk? Mengapa bumbung tuaknya bias jalan sendiri?!"
Wajah tuan dan pelayan itu masih sama-sama tegang dan serba bingung.
*
* *
4
BUMBUNG tuak itu ternyata tidak berjalan sendiri. Ada makhluk kecil
yang mendorong-dorongnya dan membuat bumbung tuak bergerak di rerumputan. Kehadiran
makhluk kecil itu mengejutkan sekali bagi Resi Pakar Pantun dan pelayannya.
Sang Resi sempat berkata,
"Tikus apa orang itu?!"
"Tikus yang mirip orang, Eyang!"
"Ah, yang benar? Orang apa tikus itu?"
"Orang yang mirip tikus, Eyang!" jawab Kadal Ginting lagi.
"Orang mirip tikus atau tikus mirip orang?"
"Eyang mirip tikus, eeh... anu...." Kadal Ginting gugup dan
salah ucap membuat Resi Pakar Pantun menggeplak kepala si pelayan. Plook...!
"Lain kali kalau bicara yang benar!" hardiknya sok wibawa.
Makhluk kecil itu adalah perempuan cantik yang mengenakan kutang dan
celana sebetis warna hijau muda tanpa jubah. Tapi bagian pinggulnya dilapisi
kain warna merah dan bersabuk hitam. Rambutnya pendek diponi depan, ia juga
menyandang pedang kecil yang terselip di pinggangnya. Makhluk aneh itu
sebenarnya adalah
Awan Setangkai yang masih selamat sejak terlempar dari genggaman
Lantang Suri. Ia jatuh di semak tanpa luka sedikit pun, karena tempat jatuhnya
tepat di daun-daun lebat. Tak jauh darinya tergeletak bambu yang dikenalnya
sebagai bumbung tuak milik Pendekar Mabuk.
"Aku harus mencari bantuan kepada siapa pun. Dan bumbung tuak ini
adalah senjata sakti milik Suto yang juga harus kuselamatkan. Jangan sampai ada
pihak yang mencurinya," pikir Awan Setangkai kala itu. Karenanya ia
berusaha membawa bumbung tuak itu walau dengan susah payah.
Saat bertemu dengan Resi Pakar Pantun, Awan Setangkai tidak tahu siapa
tokoh tua berambut tipis itu. Seandainya kala itu sang Resi melontarkan
pantunnya, maka Awan Setangkai akan cepat mengenali bahwa tokoh tua berpakaian
abu-abu itu adalah Resi Pakar Pantun. Karenanya ketika ia didekati Resi Pakar
Pantun dan Kadal Ginting, ia menjerit ketakutan dan berusaha untuk melarikan
diri.
"Tidak... aku tidak mau...! Aku tidak mau ditangkap!"
Dengan sekali langkah saja, sang Resi sudah dapat mencegat pelarian
Awan Setangkai, karena satu langkah sang Resi adalah sepuluh langkah Awan
Setangkai.
"Aku bukan bermaksud menangkapmu! Aku ingin bicara denganmu, Nona
Kecil!" ujar sang Resi membujuk dengan hati-hati.
Awan Setangkai kehilangan seluruh ilmunya, sehingga ia menjadi seorang
gadis kecil yang penakut.
Tapi setelah melalui bujukan sang Resi berulang kali, akhirnya Awan
Setangkai mulai berani didekati.
"Aku Resi Pakar Pantun dari golongan putih. Kau tak perlu takut
padaku. Aku orang baik-baik, tidak pernah jahat, tidak pernah nakal...."
"Waktu masih mudanya memang sering nakal, terutama terhadap
wanita. Tapi sekarang...."
Plook...! Tangan sang Resi menabok mulut Kadal Ginting yang dianggap
lancang itu. Kadal Ginting langsung tundukkan kepala dengan rasa takut.
"Aku pernah mendengar namamu, Resi!" ujar Awan Setangkai
dengan nada kecilnya.
"Bagus kalau begitu. Sekarang aku ingin bertanya padamu, mengapa
kau mendorong-dorong bamboo bumbung tuak milik Pendekar Mabuk itu? Apakah kau kenal
dengan Suto Sinting yang berjuluk Pendekar Mabuk?"
"Aku kenal!"
"Siapa yang nakal?" tanya sang Resi salah dengar.
"Kenal...!" ulang Awan Setangkai.
"Oh, kau kenal?"
"Angkatlah aku agar bisa bicara lebih jelas lagi, Resi!"
"Biar saya yang mengangkatnya, Eyang...!" sahut Kadal Ginting
langsung saja mengambil tubuh kecil itu bagaikan menyomot pisang goreng.
"Aaauh...!" Awan Setangkai memekik ketakutan. Sang Resi
menepak pundak pelayannya sambil membentak,
"Jangan seenaknya begitu! Kau anggap dia singkong rebus? Main
comot saja!"
Awan Setangkai diletakkan di telapak tangan Resi Pakar Pantun. Sang
Resi memperhatikan sambil tersenyum-senyum, lalu terlontarlah pantunnya yang menjadi
ciri penampilannya.
"Monyet pikun tanpa celana, lihat cicak disangka buaya. Biar kecil
orangnya,
tapi manis
wajahnya."
Awan Setangkai sunggingkan senyum walau tak begitu ramah. Lalu ia
berkata sambil tolak pinggang di atas telapak tangan sang Resi, "Sekarang
aku percaya betul bahwa kau memang Resi Pakar Pantun," sambil kepalanya
manggut-manggut masih berlagak tegar.
"Siapa namamu dan mengapa kau menjadi seperti ini?"
"Namaku adalah Awan Setangkai. Aku orang Selat Bantai yang ingin
menggagalkan rencana Ratu Cendana Sutera dalam memburu Suto Sinting untuk
dijadikan pembenih di malam bulan kesuburan nanti...."
Awan Setangkai menceritakan seluruh asal mula dirinya bisa menjadi
kecil seperti itu. Ia pun menjelaskan maksudnya yang dulu pernah ingin membunuh
Suto Sinting karena tak ingin ratunya mendapat keturunan dari darah seorang
pendekar sesakti Suto Sinting.
Sampai akhirnya ia menjadi bersahabat dengan Pendekar Mabuk dan
mengalami nasib yang sama, ia masih tetap bersikeras ingin menggagalkan rencana
Ratu Cendana Sutera, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu
Darah Satria"),
"Aku tak rela kalau Pendekar Mabuk dijadikan kuda jantan penabur
benih keturunan bagi perempuan-perempuan Selat Bantai!"
Resi Pakar Pantun menganggukkan kepala. "Hmmm... pantas Lantang
Suri tadi mendesis-desis seperti disengat gairah cinta. Kurasa ia sembunyikan
Pendekar Mabuk di balik kutangnya. Sebab tak kulihat tempat lain yang bisa
dipakainya untuk sembunyikan Suto Sinting selain di bagian dadanya."
"Kita harus menolong Pendekar Mabuk, Eyang Resi!"
"Iya. Menolong ya menolong, tapi bagaimana caranya? Apakah kita
tahu ke mana larinya si perempuan bermata jalang tadi?"
"Pasti menuju Istana Selat Bantai," sahut Awan Setangkai.
"Ya, saya rasa memang ke sana arahnya, Eyang," timpal Kadal
Ginting. "Kita segera ke sana saja, Eyang!"
"Nanti dulu...!" sergah Resi Pakar Pantun. "Mudah saja
datang ke Istana Selat Bantai, tapi membebaskan Suto Sinting bukan hal mudah.
Kau belum tahu kekuatan orang-orang Selat Bantai."
"Apa mereka sakti-sakti, Eyang?"
"Bukan hanya sakti. Penjaga pintu gerbangnya saja bisa bikin kau
terkencing-kencing jika sudah keluarkan jurus-jurus mautnya!"
Awan Setangkai memperhatikan Bulan Sekuntum yang masih mematung di
tempat. "Siapa gadis itu, Resi? Apakah ia si Bulan Sekuntum dari negeri
Tanjung Samudera?"
"Betul. Dia terkena 'Tendangan Kobra Binal' saat bertarung melawan
Lantang Suri!"
"Seandainya Bulan Sekuntum bisa kita selamatkan dari kematian
bekunya, kurasa kita bisa minta bantuan pihaknya untuk membebaskan Pendekar
Mabuk dan Elang Samudera."
Resi Pakar Pantun agak terkejut mendengar Elang Samudera telah lebih
dulu dibawa ke Istana Selat Bantai. Sang Resi tahu siapa Elang Samudera, karena
ia mengenal guru si Elang Samudera.
"Pendeta Darah Api bisa mengamuk kalau mendengar muridnya akan
dijadikan pembenih orang-orang Selat Bantal. Dan... setahuku, dia mempunyai
kakak yang bernama Dewi Cintani, seorang perwira Pulau Sangon sekaligus orang
andalan Ratu Remaslega."
"Ada baiknya jika mereka dihubungi dan diberitahukan keadaan
ini," kata si kecil Awan Setangkai. "Kita bisa menghimpun kekuatan
untuk menyerang Selat Bantai."
"Kurasa itu gagasan yang bagus. Kita harus selamatkan kesucian
darah pendekar si Suto Sinting, sebab dia adalah calon suami penguasa Puri
Gerbang Surgawi; Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati."
"Kalau begitu, alangkah lebih baik jika kita menghubungi pihak
Puri Gerbang Surgawi agar Ratu Cendana Sutera dihancurkan sampai ke
akar-akarnya!" ujar Awan Setangkai, seolah-olah ia benar-benar menghendaki
kehancuran Selat Bantai tanpa menyadari bahwa ia adalah keturunan dari leluhur
Selat Bantai.
Langkah pertama adalah memulihkan keadaan Bulan Sekuntum. Resi Pakar
Pantun mendapat keterangan dari Awan Setangkai tentang cara melepaskan kunci
'Tendangan Kobra Binal' itu. Walau sedikit mengalami kesulitan karena
tenaga tua sang Resi yang sudah pas-pasan itu, akhirnya Bulan Sekuntum terlepas
dari pengaruh jurus 'Tendangan Kobra Binal' tersebut.
Mereka pun berembuk kembali mengatur siasat untuk lakukan pembebasan
bagi Suto Sinting dan Elang Samudera.
Mereka tak tahu bahwa Lantang Suri tidak membawa Suto Sinting ke Istana
Selat Bantai. Arah pelarian Lantang Suri sengaja membelok arah, menjauhi Selat Bantai
dan sasarannya adalah Pantai Karang Hantu. Di sana ada sebuah lorong yang
menyerupai gua dan dianggap aman serta mempunyai peluang bercinta lebih leluasa
lagi. Padahal sebelum itu, Suto Sinting pernah membawa Awan Setangkai ke gua
tersebut ketika Awan Setangkai menderita luka racun dari pisaunya si Penyamun
Senja.
Namun gerakan Suto Sinting yang ingin meronta dari dalam penutup dada
melalui jalan bawah, membuat Lantang Suri semakin diburu gairah bercumbu.
Gerakan tangan Suto Sinting yang takut jatuh dan terpaksa berpegangan pada
ujung dada itu telah membakar hasrat bercinta semakin lama semakin membara,
hingga akhirnya Lantang Suri tak sanggup lagi menahan dorongan gairahnya.
Ia hentikan langkah sebelum mencapai gua yang dituju, ia keluarkan Suto
Sinting yang kecil itu dari dalam kutangnya. Napasnya terengah-engah bukan karena
pelariannya, namun karena menahan gejolak gairah yang berkobar-kobar.
"Kau memang nakal!" ujarnya sambil tersenyum jalang sambil
memandangi Suto Sinting di atas telapak tangannya. Telapak tangan itu
didekatkan dengan dada, sehingga sewaktu-waktu tangan kecil si Pendekar Mabuk
dapat meraih ujung-ujung dada yang sengaja telah dibeberkan bagai dagangan
sedang dilelang.
"Kau harus melayaniku, Suto. Kau telah membuat darah asmaraku
terbakar dan jiwaku menuntut puncak kemesraan ini!"
"Kau tak bisa menuntutku seenakmu begitu. Bukan salahku jika aku
berada di dalam pembungkus dadamu dan menyentuh-nyentuh kepekaanmu. Aku hanya berusaha
agar jangan sampai jatuh pada saat kau bawa lari. Aku tak punya pegangan lagi
kecuali... kecuali... ya, kecuali yang satu itu!" Suto Sinting agak kikuk
mengatakannya.
"Tapi aku suka. Aku sangat suka dengan tindakanmu itu. Kenapa kau
tak mengulangnya lagi? Kuizinkan kau mengulanginya sekarang juga, Pendekar
Mabuk. Hi, hi, hi...."
Ia menempelkan tubuh kecil Suto Sinting ke dadanya. Suto justru
gelagapan tak bisa bernapas karena hidungnya tersumbat gumpalan daging sebesar
itu.
"Puih, puih...!" Suto Sinting berusaha merenggangkan
kepalanya dari gumpalan itu sambil terengah-engah. "Aku bisa mati terkubur
daging jika begini caramu!"
Lantang Suri tertawa geli. Matanya semakin sayu, senyumnya semakin
jalang. Suto Sinting segera paham apa yang diinginkan oleh Lantang Suri,
sehingga akhirnya ia merasa mempunyai kesempatan emas yang tak boleh
disia-siakan.
"Lantang Suri, benarkah kau ingin menikmati kemesraan di tempat
seperti ini?"
"Aku tak peduli seperti apa tempatnya, yang penting aku bisa
mendapatkan kemesraan yang dituntut oleh batinku saat ini. Berikanlah kemesraan
itu padaku, Suto! Berikanlah walau malam
belum tiba."
"Mana mungkin aku bisa lakukan jika tubuhku sekecil ini! Kalau
tubuhku menjadi seperti semula, kau akan mendapatkan yang terindah dari yang
paling indah."
"Betulkah begitu? Kau berjanji tak akan mengingkarinya, Pendekar
Mabuk?" pandangan mata Lantang Suri kian meredup sayu. Bibirnya sedikit merekah
bagai mawar menantang kumbang.
"Aku telah kau lumpuhkan dengan jurus mautmu. Mana mungkin aku
bisa mengingkari janji padamu?"
Agaknya untuk mengabulkan permohonan Suto Sinting perlu pertimbangan
beberapa saat. Lantang Suri diam dalam renungannya, sementara Suto Sinting sempat
memainkan tangannya dengan nakal di permukaan dada perempuan itu. Kenakalan
tersebut kian membangkitkan semangat bercumbu si Lantang Suri yang semakin
diliputi kebimbangan.
"Ayolah, Lantang Suri... kembalikan
diriku pada bentuk aslinya. Kau akan mendapatkan yang lebih indah dari semua
yang kau rasakan saat ini," bujuk Suto Sinting.
Akhirnya Lantang Suri menarik napas dan
berkata, "Baiklah! Akan kukembalikan wujudmu seperti semula; menjadi
pemuda gagah dan perkasa. Tapi jika kau tak
mau melayaniku, murkaku akan menimpamu dan kau akan kehilangan nyawa
saat itu juga!"
"Terserah apa tindakanmu jika aku
ingkar janji," kata Suto Sinting. Tapi dalam hatinya ia berkata,
"Kalau aku kembali seperti wujud semula, maka kekuatanku pun akan pulih
kembali. Kalau dia murka sekali karena aku tak mau melayaninya, aku dapat
gunakan jurus-jurus mautku untuk mengalahkannya. Setidaknya 'Napas Tuak Setan'-ku
dapat membuatnya terbang entah ke mana dan aku tak akan peduli lagi! Dalam
keadaan kecil dan kehilangan kekuatan seperti ini, aku tak bisa menolong Elang
Samudera, bahkan menolong diriku sendiri tak mampu. Hmmm... moga-moga Lantang
Suri benar-benar mau memulihkan keadaanku."
Pendekar Mabuk segera diletakkan di atas
bongkahan batu setinggi betis. "Berdiri di sini dan jangan bergerak
sedikit pun. Kau akan kusiram dengan cahaya putih yang dapat mengembalikan
dirimu ke bentuk aslinya!"
"Saat ini aku patuh padamu,
Sayang!" sambil tangan kecil itu melambai dan mencubit dagu besar yang ada
di depan matanya itu. Walau cubitan itu tak terasa menyengat hati, namun cukup
mendebarkan hati Lantang Suri, sehingga ia semakin yakin akan mendapatkan
puncak gairahnya bersama Suto Sinting.
Lantang Suri mundur dua tindak. Bagi
Suto Sinting dua tindak sudah cukup jauh darinya. Suto berdiri dengan kaki
sedikit merenggang dan membiarkan Lantang Suri mulai menggerakkan kedua
tangannya untuk melepaskan sinar putih perak yang dapat memulihkan keadaan Suto
kembali.
Namun tiba-tiba sekelebat bayangan dating
menyambar Suto Sinting dalam gerakan sangat cepat.
Wuuus...!
Teeb...! Tubuh kecil Suto Sinting sudah
berada dalam genggaman seseorang. Lantang Suri terperanjat sekali, darahnya
bagai mengalir ke ubun-ubun dengan deras, ia pun menggeram makin lama makin
keras dan akhirnya berubah menjadi pekikan liar.
"Hhhmmmm.... Bangsat kau! Lepaskan
dia...!!"
Weees...! Lantang Suri berkelebat
menerjang bayangan yang menyambar tubuh kecil Suto Sinting. Tapi bayangan itu
semakin percepat gerakannya.
Blaasss...! Lantang Suri pun mengejarnya
dengan
kerahkan tenaga sepenuhnya. Wuuees...!
Bayangan hitam berlari sangat cepat
bagaikan angin. Lantang Suri nyaris tak mampu mengejarnya. Namun akhirnya ia
gunakan sebuah jurus yang dapat membuat dirinya berlari lebih cepat dari badai.
"Terpaksa kugunakan jurus 'Serat
Cahaya' untuk mengejarnya!"
Tubuh Lantang Suri meluncur deras di
udara, lalu tubuh itu berputar cepat melebihi baling-baling. Class...!
Ia melesat bagaikan sinar berpindah
tempat.
*
* *
5
SOSOK bayangan hitam hentikan langkah,
karena Lantang Suri sudah menghadang di depannya. Orang yang menyambar Suto
Sinting ternyata seorang perempuan berambut acak-acakan. Cantik, tapi berkesan
liar dan ganas, ia mengenakan pakaian ketat seperti terbuat dari bahan karet
lentur berwarna hitam, sehingga bentuk lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas.
Perempuan itu berusia sekitar tiga puluh tahun, namun masih kelihatan muda dan
bentuk dadanya cukup indah.
Montok namun tidak sebesar Lantang Suri.
Ia menyandang pedang di punggung dengan gagang pedang warna hitam.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat ketika
mengetahui siapa orang yang menyambarnya itu. Ia menyapa pelan dalam genggaman
perempuan tersebut,
"Kau.... Angin Betina?!"
Angin Betina adalah murid mendiang Nyai Pancungsari
yang dulu bergabung dalam kelompok golongan hitam. Sejak Angin Betina terpikat
oleh ketampanan Suto Sinting, ia menjadi tokoh muda golongan putih. Sekalipun
ia tahu cintanya tak terbalas, namun ia tetap tak rela jika Suto Sinting
dicelakai oleh pihak mana pun. Ia selalu tampil di depan sang kekasih sebagai
'perisai' bagi Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pedang Kayu Petir").
Angin Betina memandang tajam kepada
Lantang Suri yang saling belum mengenal. Masing-masing memancarkan permusuhan
yang sengit, dan sama-sama tak punya rasa gentar sedikit pun. Lantang Suri
tampak bernafsu sekali untuk membunuh Angin Betina karena kemesraannya merasa
terganggu, sedangkan Angin Betina pun berhasrat sekali membunuh Lantang Suri, karena
menyangka Suto telah dibuat kecil oleh Lantang Suri ketika Lantang Suri hendak
memperbesar keadaanSuto.
Angin Betina menyangka, saat itulah Suto
Sinting terkena sebuah jurus dari Lantang Suri yang membuat Suto menjadi kecil,
padahal justru saat itulah Lantang Suri ingin mengembalikan keadaan Suto
Sinting.
"Angin Betina," bisik Suto
Sinting, "Lepaskan aku dan biarkan dia mengembalikan keadaanku seperti semula!"
Angin Betina tidak hiraukan bisikan itu.
Sorot pandangan matanya tertuju tajam ke arah Lantang Suri dengan benak mencari
kesempatan untuk melepaskan jurus maut yang akan mematikan Lantang Suri.
"Hei, Perempuan Busuk!"
Lantang Suri mengawali teguran kasarnya. "Serahkan dia padaku atau kukirim
kau ke neraka sekarang juga, hah?!"
Angin Betina tenang tapi tetap kelihatan
ganas. "Kau bertanggung jawab atas nasib kekasihku ini! Kau harus
menebusnya dengan nyawamu hingga tujuh turunan!"
"Keparat! Berani betul kau
menggertakku demikian? Kau pikir siapa aku ini, hah?! Kalau kau belum mengenalku,
baiklah... terimalah salam perkenalanku ini! Hiah...!"
Lantang Suri tebaskan kedua jarinya yang
memancarkan sinar merah berbentuk pedang itu. Sinar merah tersebut berkelebat
cepat dengan tujuan memotong pundak kanan Angin Betina. Claas...!
Tapi tangan kanan Angin Betina segera
mekar bagai menyangga sesuatu dari bawah. Telapak tangan itu keluarkan sinar
putih perak melebar, sehingga sinar putih perak itulah yang ditebas oleh sinar
merah berbentuk pedang. Slaap...!
Blaaar...!
Ledakan cukup keras timbul bersama
semburan bunga api ke mana-mana. Angin Betina tersentak mundur dua langkah,
Lantang Suri limbung sedikit dan bergeser ke samping satu langkah. Keduanya
masih sama-sama tegak dan memancarkan keberanian yang tiada surutnya.
Suto
Sinting yang ada dalam genggaman tangan kiri Angin Betina merasa cemas dan
jengkel sekali. Suara gerutuannya yang kecil tak didengar sama sekali oleh
Angin Betina.
"Uuh...! Gara-gara disambar
seenaknya begini, akhirnya aku tak jadi dipulihkan kembali oleh Lantang Suri!
Dasar perempuan pencemburu, galak, picik, tolol, dan... aauh...!"
Ia memekik ketakutan karena tiba-tiba
tubuh Angin Betina melayang di udara dan bergerak menerjang Lantang Suri.
Pedang di punggung telah dicabutnya siap membelah kepala Lantang Suri. Tetapi
Lantang Suri tak mau kalah cepat; ia mencabut pedangnya di pinggang dan melesat
tinggi di udara dalam gerakan menyambut kedatangan lawan.
Bet, bet, bet, trang...! Tring, trang,
trang...!
Mereka beradu kecepatan bermain pedang
di udara. Masing-masing tak ada yang terluka. Namun ketika kaki mereka sudah
sama-sama mendarat ke tanah, Lantang Suri sedikit terperanjat melihat pedangnya
yang putih telah berubah menjadi hitam dan berasap.
"Gila! Pedang pusakaku bisa jadi
terbakar begini? Dan... oh, pedangnya masih utuh?! Benar-benar perempuan iblis
dia itu. Biasanya setiap senjata yang beradu dengan pedangku akan patah atau
hancur, tapi sekarang justru pedangku yang berubah menjadi hitam karena
terbakar. Hmmm... memang kurasakan saluran tenaga dalamnya cukup tinggi pada
saat beradu pedang. Tanganku hampir saja tak bisa menggenggam pedang karena
seperti kesemutan," celoteh batin Lantang Suri.
Angin Betina hanya diam bagai menunggu
serangan lawannya. Hatinya tak berkata apa pun kecuali hanya satu kalimat,
"Dia harus mati!"
Sekalipun pedangnya telah terbakar
hangus, namun Lantang Suri masih menggunakannya karena ia salurkan kekuatan
tenaga dalamnya pada benda yang mirip besi bekas itu. Dengan sebuah lompatan
cepat bagaikan kilat, Lantang Suri menebaskan pedangnya ke arah Angin Betina.
Tetapi pada waktu itu Angin Betina
segera menggunakan jurus pedang andalannya yang bernama jurus 'Pedang Bintang',
pemberian dari tokoh tua jago pedang: Ki Argapura. Wut, wut...! Wess...! Trang,
tring, bet, bet, bet...! Tebasan kilat lima arah telah dilakukan oleh Angin
Betina.
Hasilnya cukup mengejutkan Lantang Suri.
Selain pedangnya yang telah hangus menjadi patah, ternyata salah satu tebasan
pedang lawan telah membuat kutangnya terbelah menjadi dua bagian tepat di
pertengahan dada.
Tentu saja penutup dada itu menjadi
terbuka dua arah dan dua bukit yang ditutupinya itu tampak nongol jelas-jelas
bagai ingin ikut nonton pertarungan tersebut.
"Biadab! Bangsat kurap kau!!"
geram Lantang Suri sambil mendelik lebar-lebar setelah merasa dipermalukan.
Angin Betina diam kembali dengan pedang terangkat ke samping kiri melintang di
depan dadanya, ia dalam keadaan tanpa luka apa pun. Hal itu yang membuat
Lantang Suri semakin berang dan murkanya kian besar.
Rompi jingga segera dirapatkan sebagai
pengganti penutup dadanya. Kemudian pedang yang telah bunting itu dibuang
sembarangan, dan ia mulai melepaskan murkanya. Melihat lawannya tak berpedang,
Angin Betina pun segera memasukkan pedangnya ke sarung pedang. Sreep...! Ia
bersiap menghadapi lawan dengan tangan kosong. Slaap, slaap, slaap, wut, wut,
slap...!
Lantang Suri bergerak sangat cepat
bagaikan menghilang, ia sengaja berpindah-pindah tempat untuk membingungkan
pandangan mata Angin Betina. Dalam sekejap muncui di samping kiri Angin Betina,
kejap berikutnya sudah di depan, kejap berikutnya lagi sudah di belakang, di
samping, di belakang... dan begitu seterusnya.
Wuuus...! Angin Betina melesat ke atas
dan bersalto mundur satu kali, lalu hinggap di atas sebuah pohon berpijak
ranting kecil. Hal itu ia lakukan untuk hindari kekacauan dalam mengincar
sasaran, dan ia tak mau terjebak oleh serangan lawan yang dapat datang secara
tiba-tiba dari arah mana saja.
Lantang Suri semakin geram, melihat
lawannya telah berpindah tempat. Langsung saja ia sentakkan tangan kanannya dan
dari telapak tangan itu keluar lima larik sinar biru yang pernah mengenai tubuh
Suto dan Awan Setangkai. Claaaps...!
Lima sinar biru yang dinamakan 'Aji
Surut Raga' mengarah ke tubuh Angin Betina. Kecepatan sinarnya yang luar biasa
hampir saja membuat Angin Betina menjadi kecil seperti Suto Sinting. Tapi agaknya perempuan berambut
acak-acakan berkesan liar itu masih mampu menggunakan kegesitan jurusnya yang
bagaikan angin itu. Ia melesat ke arah depan dan bersalto beberapa kali dari
atas pohon yang satu ke pohon yang lain.
Wuut, wuut, wuut, wuut, wuut...!
"Turun kau, Jahanaaam...!!"
teriak Lantang Suri dengan marahnya, ia menghujani Angin Betina dengan lima
sinar biru dan sinar merah patah-patah dari telapak tangan kirinya.
Angin Betina tak punya kesempatan untuk
menangkis atau mengadu kekuatan tenaga dalamnya, ia hanya bisa lakukan gerakan
menghindar dengan melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
Claas, clap, clap, claas... clap, clap,
claaass...!
Wers, wers, wers, wers...!
Suto Sinting yang ada dalam genggaman
tangan kiri Angin Betina semakin tak bisa berbuat apa-apa. Ia bagai dibawa
terbang ke sana-sini dengan hati berdebar ngeri.
Kedua mata pemuda kecil itu terpejam
kuat-kuat karena tak tahan hembusan angin pada saat dibawa terbang dari pohon
ke pohon mengelilingi Lantang Suri yang masih ada di bawah.
Wees...! Prrak...!
"Aauuw...!!" pekik Lantang
Suri mengejutkan Angin Betina sendiri. Gerakan melayang dari pohon ke pohon
dihentikan. Angin Betina bertengger di atas ranting berdaun hijau muda. Ia
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup matang, sehingga bisa berdiri di
atas ranting kecil tanpa jatuh. Matanya memandang ke bawah karena rasa ingin
tahu, mengapa Lantang Suri memekik keras-keras.
Oh, ternyata di bawah sana telah muncul
tokoh lain yang langsung menyerang Lantang Suri dengan kekuatan pandangan mata
yang dinamakan jurus 'Kendali Netra' itu.
Tokoh yang baru saja datang itu telah
membuat tubuh Lantang Suri terlempar dan kepalanya membentur pohon cukup keras.
Hanya dengan menggunakan pandangan mata saja, Lantang Suri yang jatuh berlumur
darah itu terangkat kembali dan terlempar ke arah lain. Weess...!
Lalu kepalanya membentur pohon kembali.
Prrak..!
"Aahhk...!"
Belum sampai tubuhnya menyentuh tanah,
Lantang Suri sudah terlempar lagi dengan kuat hingga membentur seonggok batu
yang menggugus bagaikan
bukit kecil. Brruus...!
Lantang Suri tak bisa kendalikan
keseimbangannya lagi. Wajah dan bagian depannya hancur karena membentur batu
yang besarnya menyamai seekor gajah itu.
Brruk...!
Lantang Suri jatuh terkulai dengan
mengerang kesakitan. Lawan yang menggunakan kekuatan mata untuk melemparkan
Lantang Suri mendongak ke atas memandang Angin Betina, lalu ia berseru dari tempatnya,
"Bawa pergi dia, lekas!"
Angin Betina mematuhi perintah si
perempuan bermata dingin, berhidung mancung, berambut sepunggung yang saat itu
sedang diriap tanpa tali pengikat. Perempuan tersebut berpakaian biru terang,
dari bahan lentur seperti dari karet yang membentuk tubuh karena ketatnya, ia
perempuan cantik yang bertubuh sekal dan berdada montok seperti Angin Betina.
Walau usianya tampak sedikit lebih tua
dari Angin Betina, namun ia mempunyai kecantikan yang tidak kalah dengan Angin
Betina. Perempuan itu tak lain adalah Merpati Liar, kakak Angin Betina yang
juga menaruh hati kepada Suto Sinting, namun tak mau berterus terang karena ia
tahu adiknya pun menaruh hati kepada Pendekar Mabuk.
Merpati Liar bertemu dengan Suto Sinting
dalam peristiwa perebutan pusaka Panji-panji Mayat karena ia memang ditugaskan
oleh mendiang gurunya; Nyai Parisupit untuk menjaga pusaka tersebut agar jangan jatuh ke tangan golongan hitam, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Buronan").
Melihat kemunculan kakaknya yang
sebenarnya sudah beberapa waktu dicari-cari, Angin Betina terpaksa menyerahkan
Lantang Suri kepada sang kakak, ia bergegas pergi menyelamatkan Suto Sinting
tanpa mengetahui perkara sebenarnya. Sedangkan Merpati Liar segera merampungkan
urusannya dengan Lantang Suri, karena ia bertemu dengan Resi Pakar Pantun dan mendengar
kabar tentang Pendekar Mabuk yang sedang menjadi buronan Ratu Cendana Sutera.
Merpati Liar tak mau bergabung dengan
Resi Pakar Pantun serta yang lainnya, ia bergegas mengikuti nalurinya sendiri,
ia terpaksa menunda perjalanannya menuju Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung
Gading dan menanyakan keamanan pusaka Panji-panji Mayat.
Penundaan itu ia lakukan demi
menyelamatkan Suto Sinting agar jangan menjadi penabur keturunan bagi orang-orang
Selat Bantal.
Satu hal yang sudah diduga oleh
nalurinya, ia berhasil temukan Lantang Suri dan melihat Suto Sinting sudah berada
dalam genggaman Angin Betina. Maka tanpa ampun lagi, Lantang Suri yang telah
membuat Pendekar Mabuk menjadi manusia kecil itu dihabisi dengan jurus
'Kendali Netra'-nya. Lantang Suri tak
diberi kesempatan sedikit pun, sampai akhirnya ia pun kehilangan nyawa karena
terbanting ke sana-sini secara menyedihkan.
Sedangkan kala itu Suto Sinting
mengalami suatu peristiwa aneh yang baru kali itu dialami. Dalam keadaan masih
berada di pucuk pohon, Angin Betina menyentakkan tangan kanannya ke atas dengan
jari mengeras tegak. Dari dua jari itu keluar sinar putih yang melesat ke
langit, lalu menggumpal sebentar dan pecah menyebar menjadi berwarna-warni.
Sinar warna-warni itu bagaikan menyiram
tubuh Angin Betina secara keseluruhan. Zyuuurr...! Pandangan mata Suto Sinting
yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Angin Betina menjadi silau dan
tak bias melihat apa-apa. Lalu sinar warna-warni yang menyilaukan itu pun pecah
terasa menimbulkan hentakan tanpa suara. Blaab...!
Byaaar...! Keadaan yang menyilaukan itu
pecah dan segera berubah menjadi terang benderang tanpa sesuatu yang
menyilaukan lagi. Tetapi Suto Sinting menjadi terheran-heran melihat keadaan
sekelilingnya. Ternyata ia sudah tidak berada dalam genggaman Angin Betina.
Tubuhnya pun sudah dalam keadaan seperti
semula; tinggi, tegap, gagah, dan tampak kekar. Angin Betina ada di sampingnya,
berdiri dengan tenang memandanginya dalam iringan senyum tipis yang mengagumkan,
sekaligus mengherankan batin Pendekar Mabuk.
"Hei, aku sudah berubah menjadi
besar seperti sediakala?!" ujar Suto Sinting sambil meraba tubuhnya dan
mengamatinya. Wajahnya mulai tampak berseri-seri, dan Angin Betina melebarkan
senyumnya sebagai tanda ikut gembira.
"Ternyata kau pun mampu mengubahku
ke bentuk aslinya!" ujar Suto Sinting dengan rasa bangga terhadap Angin
Betina. Namun perempuan itu gelengkan kepala dan berkata dengan nada tegas.
"Aku tidak membuatmu berubah
menjadi seperti aslinya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi,
"Tapi... tapi badanku sudah besar dan tinggi tubuhku melebihimu. Bukankah tadi
aku bertubuh kecil dan tak punya badan sekekar ini?! Dan, oh...? Bumbung tuakku
ada di punggung?
Seingatku bumbung tuak itu tadi
terlempar saat aku bertarung melawan Lantang Suri, yang akhirnya membuat tubuhku
jadi kecil, sama seperti nasib si Awan Setangkai'!"
Dengan kalem tapi penuh ketegasan, Angin
Betina berkata,
"Kau berada di masa lalu, sebelum
bertemu dengan perempuan yang mengaku bernama Lantang Suri itu."
Semakin tajam dahi Suto Sinting
berkerut. Semakin heran ia mendengar penjelasan Angin Betina.
"Aku... aku berada di masa
lalu?"
"Kau telah kubawa lari ke masa
lalu, tak jauh dari peristiwa yang akan kau alami nanti, yaitu bertemu dengan bertarung dengan Lantang Suri."
Pendekar Mabuk masih sedikit bingung
memahami penjelasan itu. Namun ia segera menyadari bahwa mereka berdua berada
di atas sebuah bukit tepi pantai.
Dari bukit itu Suto dapat memandang ke
lautan lepas yang berpantai pasir putih. Pantai itu mempunyai gugusan-gugusan
batu karang yang berbentuk aneh, menyeramkan, seperti bentuk-bentuk hantu.
Lalu, suatu ingatan menyelinap dalam otak Suto Sinting.
"Hei, bukankah yang ada di bawah
sana adalah Pantai Karang Hantu?"
"Menurut ciri-ciri karangnya yang
seperti bentuk aneka hantu, kurasa memang pantai itu bernama Pantai Karang
Hantu."
"O, ya... sepertinya aku memang
pernah berada di daerah ini dan...." Suto Sinting tak jadi teruskan
bicaranya, ia terperanjat melihat di pantai kejauhan sana terjadi pertarungan
antara seorang nenek renta yang sedang dihajar oleh seorang perempuan muda
berkutang hijau muda, sama dengan warna celananya yang sebatas betis dengan
bagian pinggulnya dilapisi kain merah.
Wanita tanpa jubah itu tampak cantik,
dan kecantikan itu sangat dikenai oleh Suto Sinting.
"Sepertinya itu... itu adalah si
Awan Setangkai?!"
"Mungkin saja memang kau kenal
dengan gadis itu.Hanya kau yang tahu peristiwa saat kau ada di sini."
"Oh, apa yang kau lakukan padaku
sebenarnya, Angin Betina? Mengapa aku jadi merasa hidup kembali di masa yang
pernah kulalui? Aku tahu perempuan yang bertarung itu adalah Awan Setangkai,
dan nenek yang dihajarnya itu... itu adalah jelmaan dari dirinya sendiri.
Aku... aku pernah terjebak saat menolong
nenek itu, dan aku... aku pernah terluka oleh kukunya yang beracun berbahaya,
lalu datang Elang Samudera yang segera membawaku ke pondok Ki Palang Renggo dan
Nyai Sedap Malam. Oh, ya... aku ingat, peristiwa ini pernah kualami, Angin
Betina!"
Perempuan berambut acak-acakan itu hanya
sunggingkan senyum tipis dan memandanginya dengan tak berkedip.
"Kau bisa mengawali perjalananmu
dengan menghindari kegagalanmu sampai kau bisa menjadi kecil seperti liliput
itu. Karena aku telah membawamu ke masa sebelum kau menjadi manusia kecil
dengan menggunakan jurus 'Langkah Gaib'-ku."
"Apa itu jurus 'Langkah Gaib' yang
kau maksud?"
"Kemampuan menembus waktu melalui
lorong zaman. Beginilah hasil yang kuperoleh selama mempelajari Kitab Lorong
Zaman. Aku menjadi 'manusia tembus waktu' yang tidak mudah dipercaya oleh
setiap orang karena memang tidak bisa dijangkau oleh akal sehat. Karenanya,
jurus ini kunamakan 'Langkah Gaib', bisa ke masa lalu dan bisa ke masa depan!"
"Manusia tembus waktu...?!"
gumam Suto Sinting sambil termenung, lalu ia ingat bahwa dulu ia pernah
membantu Angin Betina mendapatkan sebuah kitab pusaka yang sangat
diidam-idamkan Angin Betina, dan ternyata Angin Betina benar-benar mempelajari
isi kitab itu hingga bisa membawanya ke masa sebelum bertemu dengan Lantang
Suri, bahkan sebelum berkenalan dengan Awan Setangkai, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kitab Lorong Zaman").
"Apa maksudmu membawaku kemari,
Angin Betina?"
"Jika kau ingin mengulang sejarah,
kau bisa lakukan dengan lebih dulu telah mengetahui kelemahan-kelemahan lawanmu
atau, kelemahan dirimu sendiri. Kau dapat mengetahui bahwa kau akan bertarung
dengan Lantang Suri, dan Lantang Suri akan menggunakan jurus yang dapat
membuatmu menjadi kecil. Kau bisa hindari jurus itu sebelum mencelakaimu. Kau
mempunyai kesempatan memperbaiki kesalahanmu, tapi kesempatan ini hanya bisa
dilakukan satu kali saja. Tak bisa diulang dua-tiga kali. Jika dalam kesempatan
satu kali ini kau gagal, maka kau tetap akan temui kegagalan yang sama. Jadi
manfaatkan sebaik mungkin kesempatan dalam hidupmu yang sekarang ini."
Suto Sinting masih terbengong karena
diliputi perasaan heran dan kagum silih berganti. Setelah diam beberapa saat,
suaranya terdengar pelan bagai orang menggumam,
seakan bicara pada diri sendiri.
"Benarkah aku bisa belajar menjadi
benar dari kesalahan yang sudah kulakukan?"
"Setiap manusia akan menjadi benar
jika mau memanfaatkan kesalahannya sebagai pelajaran termahal."
Pendekar Mabuk akhirnya manggut-manggut.
"Tapi... kurasa perjalanan mengulang sejarah terlalu lama, sebab Eiang
Samudera sebenarnya sudah ditawan oleh Ratu Cendana Sutera. Nanti malam adalah
malam bulan kesuburan. Jika aku tak datang membebaskan Elang Samudera, maka ia
akan menjadi penggantiku."
"Pengganti dalam hal apa?"
"Menabur benih keturunan bagi sang
Ratu dan orang-orang Selat Bantai!"
"Keparat! Jadi, orang-orang Selat
Bantai memburumu untuk dijadikan pria penabur benih keturunan?!"
Kemudian Suto Sinting menceritakan apa
yang didengarnya dari ucapan Awan Setangkai. Angin Betina tampak gusar karena
menahan kemarahan mendengar Suto Sinting akan dijadikan pria pembenih di Istana
Selat Bantai. Rasa cemburunya bercampur kebencian terhadap Ratu Cendana Sutera
dan orang-orang Selat Bantai.
"Kalau begitu, memang sejarah
perjalananmu menjadi manusia kecil tak perlu diulang," katanya. "Toh
jika kau salah perhitungan lagi, peristiwa akan terjadi sama seperti yang
pernah kau alami. Sebaiknya kita kembali ke masa kau menjadi manusia kerdil.
Aku ingin menantang pertarungan dengan Ratu Cendana Sutera!"
"Tunggu dulu, Angin Betina. Masalah
ini adalah masalah pribadiku yang harus kuselesaikan secara pribadi."
"Tidak seorang pun boleh hidup jika
ingin memperlakukan dirimu dengan semena-mena. Aku akan menjadi El Maut
pencabut nyawa bagi siapa pun yang memperlakukan dirimu seenaknya sendiri,
seperti orang-orang Selat Bantai itu!"
"Tap... tapi... tapi ini persoalan
pribadiku. Persoalan seorang lelaki yang...." Suto Sinting belum selesai
bicara, Angin Betina telah lepaskan sinar putih ke langit. Lalu tubuh mereka disiram
aneka warna yang menyilaukan.
Bluub...!
Mereka kembali lagi ke masa pertarungan
Merpati Liar dengan Lantang Suri.
*
* *
6
TEMPAT pertarungan itu telah sepi. Suto
Sinting yang berubah kembali dalam keadaan kecil dalam genggaman Angin Betina,
kala itu sempat melihat mayat Lantang Suri tergeletak di bawah gugusan batu
hitam berlumut samar-samar.
"Pasti ini perbuatan kakakmu; si
Merpati Liar!" kata Suto dengan suara kecilnya.
Angin Betina hanya menarik napas
panjang, lalu memandang sekeliling mencari jejak kepergian kakaknya. Suto
Sinting mendengar Angin Betina menggumam pelan,
"Ke mana perginya orang itu?
Padahal sejak beberapa waktu yang lalu aku mencari-carinya karena ada pembicaraan
penting yang harus kulakukan dengannya. Baru jumpa sebentar sudah lenyap
lagi!"
Mereka tak tahu bahwa setelah lawannya
tak bernyawa lagi, Merpati Liar bergegas pergi mencari Angin Betina yang
membawa Suto kecil. Tetapi sebelum ia bergerak jauh, rombongan Resi Pakar
Pantun tiba di tempat itu. Sang Resi bersama Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai
yang tetap dalam keadaan kecil segera mengajak Merpati Liar untuk bergabung
mengatur siasat penyerangan ke Selat Bantai.
"Kita harus segera membebaskan Suto
Sinting dari cengkeraman Ratu Cendana Sutera," ujar Resi Pakar Pantun
dengan penuh semangat.
"Suto tidak di tangan Ratu Cendana
Sutera!" sanggah Merpati Liar. "Dia bersama adikku; Angin Betina.
Tapi entah ke mana mereka sekarang. Aku baru saja ingin mencari mereka!"
"Kalau begitu kita sisir tempat ini
untuk mencari mereka," ujar Resi Pakar Pantun. "Aku yakin, mereka
belum jauh dari sini."
"Bagaimana kau bisa yakin
begitu?" tanya Merpati Liar.
"Firasatku mengatakan demikian!
Firasatku paling tajam di antara firasat para tokoh tua sebayaku!"
Merpati Liar melengos, menampakkan rasa
tidak yakin terhadap apa yang dikatakan sebagai firasat Resi Pakar Pantun.
"Mungkin mereka bergerak ke pantai.
Kita coba mencari mereka di pantai!" usul Bulan Sekuntum yang telah
berhasil disembuhkan dari pengaruh 'Tendangan Kobra Binal' itu. Merpati Liar
cenderung setuju dengan usul Bulan Sekuntum, maka mereka pun bergegas mencari
Suto dan Angin Betina ke daerah pantai secara menyebar.
Angin Betina dan Suto Sinting terlambat
beberapa saat saja. Seandainya Angin Betina atau Suto Sinting mengetahui arah
langkah mereka lalu mengejarnya, maka mereka akan menemukan rombongan Resi
Pakar Pantun. Tapi karena Angin Betina dan Suto Sinting tidak mengetahui hal
itu, maka mereka tidak buru-buru meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana dengan mayat Lantang
Suri itu, Angin Betina? Apakah tak perlu dimakamkan?"
"Sudi amat!" jawab Angin Betina
dengan ketus.
"Kalau kau mau, kau saja yang
memakamkan bangkai itu!"
"Kalau aku tidak dalam keadaan
kecil begini, bisa saja aku menggali liang untuk menguburnya. Ah... sayang
keadaanku kecil begini. Sayang juga bumbung tuakku tak ada di sampingku,"
Pendekar Mabuk merenung sedih, ia duduk di pundak kiri Angin Betina sehingga
suaranya yang kecil mudah didengar oleh Angin Betina.
"Bumbung tuakmu ada di mana?"
"Entahlah. Terpental dan tak tahu
ada di mana sekarang ini. Seandainya ada juga... juga sia-sia."
"Mengapa sia-sia?"
"Bumbung itu telah kosong. Tak ada
tuak setetes pun.
Tuaknya telah ditenggak habis oleh
Lantang Suri yang mengubah diri menjadi seorang nenek berlagak terluka."
"Perempuan itu memang licik.
Sebelum ia menyerangmu ia sudah mengetahui kekuatanmu pada tuak. Maka ia
habiskan dulu tuakmu agar kau tak bisa memanfaatkan kesaktian tuak
tersebut."
"Seandainya bumbung itu ada yang
mengisi tuak, kurasa dengan meminum tuak dari bumbung saktiku itu keadaanku
bisa pulih menjadi seperti sediakala, demikian pula keadaan Awan
Setangkai."
"Kau masih ingat tempat
pertarunganmu yang pertama dengan Lantang Suri?"
"Hmmm... ya, masih ingat walau
secara samar- samar."
"Kalau begitu kita cari bumbung
tuakmu di sekitar tempat itu!"
Zaaaab...! Sekelebat bayangan melintas
cepat, Suto Sinting sempat terperanjat melihat bayangan itu bagaikan cahaya
bintang jatuh, berwarna biru tua bagaikan menyala. Bayangan itu menghilang di
balik kerimbunan semak.
"Aku melihat sesuatu bergerak di
sana," ujar Angin Betina dengan nada berbisik.
"Aku juga melihat bayangan
biru."
"Ada seseorang yang mengintai kita
rupanya."
"Apakah dia orang jahat?"
"Entah. Tapi akan kupancing keluar
dari persembunyiannya."
Angin Betina segera lepaskan pukulan
jarak jauh tanpa sinar. Wuuuk...! Seperti gumpalan angin melesat dari tangan
Angin Betina ke arah tempat hilangnya bayangan biru itu. Bruuuss...! Zraaak...!
Semak belukar meluncur seketika dilanda
gumpalan angin besar. Bahkan dua batang pohon sempat patah dan tumbang karena
hempasan tenaga dalam tersebut. Tetapi bayangan biru yang melintas cepat tadi
tidak tampak lagi, keadaan tetap sunyi.
"Tak perlu hiraukan dia. Sebaiknya
kita segera cari bumbung tuakku dulu!" ujar Suto Sinting yang merasa
tubuhnya lemah dan tulangnya linu-linu karena tak menenggak tuak cukup lama.
Angin Betina berkata, "Bagaimana
kalau kau kusimpan di dalam dadaku?"
"Ah, jangan begitu. Nanti
keadaannya jadi lain. Sama seperti saat aku dimasukkan ke dalam kutang si
Lantang Suri."
"Tak ada tempat aman untuk
menyembunyikan dirimu kecuali di dalam belahan dadaku, Suto. Aku harus lakukan
gerakan cepat jika si bayangan biru tadi terlihat di sekitar kita. Apalagi jika
ia menyerang kita, aku harus lakukan gerakan lebih cepat lagi dan kau akan
terpelanting jatuh jika duduk di pundakku "
Setelah diam beberapa saat, akhirnya
Suto Sinting berkata, "Baiklah, aku menuruti saranmu. Tapi jika hatimu
berdebar-debar dan darahmu berdesir-desir, jangan salahkan diriku, ya?"
"Asal kau tak nakal di dalam situ,
aku tak akan dibakar gairah! Kalau kau nakal, kau kubuang ke semak-semak biar
dimakan ular!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil. Ia segera
dimasukkan
ke dalam belahan dada montok Angin
Betina, ia sempat berseru, "Sesak! Aku sukar bernapas!"
"Tahanlah untuk beberapa waktu.
Rundukkan kepaiamu, jangan nongol begini!"
Suto Sinting bagai menyelam di sela
belahan dua daging yang empuk tapi hangat. Sebentar kemudian kepalanya nongol
lagi dan berkata, "Keringatmu asin, ya?!"
"Kurang ajar! Jangan dicicipi.
Tolol!" sentak Angin Betina sambil menahan tawa geli. Tangannya segera menekan
kepala Suto dan Suto Sinting tenggelam lagi dalam gumpalan yang berkeringat.
Zaaab...! Bayangan biru itu melintas
lagi dari arah kiri ke kanan, lalu lenyap tak terlihat jejaknya sedikit pun.
Angin Betina berlagak tidak tahu-menahu hal itu. Ia sengaja memancing
kesempatan dengan berlagak lengah agar diserang dari belakang.
Tapi ternyata serangan justru datang
dari depan. Dua bayangan berkelebat menerjang secara tiba-tiba Wurss...!
Buhk, buhk...!
Angin Betina sentakkan kedua tangannya
secara bersamaan. Pukulan tenaga dalam tinggi melesat dari kedua tangannya dan
langsung kenai dua bayangan yang menerjangnya.
Kedua orang itu terlempar ke belakang
dan jatuh terbanting dengan keras. Namun agaknya dua penyerang itu seperti
tidak mempunyai rasa sakit sedikit pun.
Dengan cepat mereka bangkit serempak dan
lepaskan pukulan jarak jauh bersama-sama. Wuuurrt...! Gelombang hawa panas
meluncur ke arah Angin Betina. Dengan cepat Angin Betina sentakkan kaki ke tanah
dan tubuhnya melambung ke atas. Wuuut...! Gelombang hawa panas itu berhasil
dihindari. Dalam keadaan masih melambung di udara, Angin Betina lepaskan
serangan bersinar putih perak lurus sebesar lidi.
Clap, claap...! Kedua sinar putih perak
itu keluar dari jari tengah tangan kanan-kiri. Gerakan sinar putih perak yang
cepat menghantam kedua lawannya yang ternyata adalah dua gadis berwajah cantik
dengan rambut pendek dan ikat kepala kain kuning serta merah. Kedua gadis itu
bukan orang lamban dalam bergerak. Mereka cukup lincah, sehingga serangan dua
sinar peraknya Angin Betina berhasil dihindari dengan lakukah lompatan cepat ke
samping.
Duaar, duaar...! Sinar perak itu
menghantam tanah dan tanah pun berhamburan ke udara. Dua lubang menganga besar
tercipta seketika itu pula dalam keadaan tanah masih mengepulkan asap dan
sebagian berwarna hitam hangus. Andai saja yang terkena dua sinar perak itu
adalah dua gadis cantik itu, tentunya mereka akan hancur dalam keadaan hangus
seperti tanah tersebut.
Angin Betina daratkan kakinya ke tanah
dengan kedua tangan siap lepaskan pukulan yang lebih dahsyat lagi. Tetapi dua
gadis cantik yang rata-rata berusia sekitar dua puluh dua tahun itu sama-sama
hentikan serangannya. Angin Betina pun tak mau lepaskan pukulannya, ia perlu
bicara untuk sesaat karena tak ingin terjadi kesalahpahaman.
"Siapa kalian dan mengapa
menyerangku secara tiba-tiba?!"
Yang berikat kepala kuning dengan
mengenakan rompi coklat muda itu menjawab, "Kau telah membunuh orang
kami!" sambil tangannya menuding ke arah mayat Lantang Suri yang masih
berada tak jauh dari mereka.
"O, jadi kau orang Selat
Bantai?"
"Benar!" jawab yang mengenakan
rompi merah dengan ikat kepala merah juga. "Kau harus menebus nyawa teman
kami itu!"
"Bukan aku yang membunuhnya!"
kata Angin Betina.
"Tapi jika kalian mau menuntut si
pembunuhnya, memang lebih baik menuntutku saja!"
Tanpa diduga-duga dari arah belakang
Angin Betina merasakan seperti diseruduk banteng jantan yang sedang mengamuk.
Punggungnya terkena pukulan jarak jauh bersinar biru. Weet...! Deebb...!
"Uuhg...!" Angin Betina
terpekik, tubuhnya terlempar ke depan dan Suto Sinting yang ada di dalam
belahan dadanya itu ikut terpental keluar.
"Aaaow...! Tolooong...!"
teriak Suto kecil ketakutan, karena dalam keadaan kecil begitu ia tidak
bernyali dan tidak mempunyai tenaga untuk melakukan perlawanan apa pun.
Tubuh kecil yang melayang itu segera
disambar oleh gadis yang mengenakan rompi coklat. Wuut, teeb...!
Dalam sekejap Suto Sinting sudah berada
dalam genggaman gadis berompi coklat. Angin Betina yang jatuh tersungkur itu
segera menggeliat bangkit dengan sekujur tubuh bagai disayat-sayat senjata
tajam. Perih dan panas semua. Kulit tubuhnya kuning menjadi merah
bintik-bintik, ia berusaha menyalurkan hawa dinginnya sambil merayap dekati
akar pohon yang bisa dipakai untuk merambat bangun.
"Hei, si kecil ini mempunyai ciri
seperti Pendekar Mabuk!" seru gadis berompi coklat.
"Lepaskan...! Lepaskan aku!"
Suto Sinting meronta-ronta. Tapi si gadis berompi coklat menggenggamnya lebih
kuat lagi hingga Suto Sinting sukar bernapas.
"Jangan-jangan dia memang Pendekar
Mabuk," ujar gadis berompi merah. "Mungkin Lantang Suri telah
berhasil melumpuhkan Pendekar Mabuk dengan 'Aji Surut Raga', dan perempuan liar
itu telah merebutnya dengan cara membunuh Lantang Suri!"
"Dewi Sulam, lemparkan boneka itu
padaku!" seru orang yang berjubah abu-abu. Orang itulah yang tadi melepaskan
sinar biru kenai punggung Angin Betina.
Perempuan berjubah abu-abu itu tampak
berusia lebih tua dari kedua gadis tersebut, sekitar dua puluh tujuh tahun.
Dilihat dari gerakannya saat menangkap Suto Sinting yang dilemparkan oleh si
Dewi Sulam, ia termasuk perempuan yang gesit dan tangkas. Wuuut...!
Suto Sinting dilemparkan dan langsung
disambar oleh tangan kiri perempuan berjubah abu-abu. Teeb...!
"Aaauh...! Sakiiit...!" seru
Suto Sinting sambil meringis karena pinggangnya seperti diremas oleh si penangkapnya.
"Lepaskan dia! Jangan ganggu dia
kalau kalian ingin selamat!" gertak Angin Betina sambil menahan rasa sakit
di sekujur tubuhnya. Gertakan itu ditertawakan oleh perempuan berjubah abu-abu
karena ia tahu tentang Angin Betina telah menjadi lemah akibat hantaman sinar
birunya tadi.
"Dewi Sulam dan kau Rumaksi,
hancurkan perempuan liar itu, aku akan membawa si boneka kecil ini ke istana.
Kurasa memang si kecil inilah yang berjuluk Pendekar Mabuk; Suto Sinting, yang
ditunggu-tunggu oleh Nyai Ratu!"
Rumaksi yang memakai rompi dan ikat
kepala merah itu berseru, "Pergilah menghadap Nyai Ratu. Kami akan
membereskan perempuan busuk ini, Kanda Galih Pinang!"
Angin Betina kerahkan tenaga begitu
melihat Galih Pinang bergegas pergi membawa Suto Sinting.
"Berhentiii...! Lepaskan
diaaa...!"
Wuuuut...! Angin Betina masih mampu
berkelebat menggunakan jurus 'Jejak Kilat' yang kecepatannya hampir memadai
dengan jurus 'Gerak Siluman' milik Suto Sinting itu. Tetapi gerakannya segera
dipatahkan oleh terjangan Rumaksi yang juga mampu berkelebat cepat menerjang
Angin Betina.
Bruuus...!
"Aaahk...!" Angin Betina
terpental, tapi Rumaksi juga terpental. Bedanya, Angin Betina memekik kesakitan
sedangkan Rumaksi bagaikan karet, begitu jatuh langsung bangkit lagi tanpa
rasakan sakit sedikit pun.
"Aaa...!" tiba-tiba terdengar
suara pekikan keras dari Galih Pinang.
Rumaksi dan Dewi Sulam sama-sama
terkejut memandang ke arah Galih Pinang.
Tubuh Galih Pinang terlempar melayang ke
udara dalam keadaan telah berdarah. Tubuh itu jatuh terkapar tak jauh dari
tempat jatuhnya Angin Betina.
Brrruk...!
"Aaahk...!"
Angin Betina melihat jelas, dada Galih
Pinang bagaikan digores dengan pedang tajam. Luka goresannya cukup dalam dan
panjang dari pundak kiri ke pinggang kenan. Tetapi tangan Galih Pinang sudah
tidak menggenggam Suto Sinting lagi.
"Uuuhk...!" Galih Pinang
berusaha untuk bangkit walau harus menyeringai kuat-kuat. Melihat keadaan itu,
Angin Betina kerahkan sisa tenaganya untuk mencabut pedang, kemudian pedang itu
ditebaskan ke depan.
Beet...! Craas ..!
Galih Pinang tak berkutik lagi, langsung
terkapar dalam keadaan lehernya hampir putus. Kejadian itu membuat Rumaksi dan
Dewi Sulam sama-sama terpekik kaget, lalu keduanya sama-sama berteriak penuh
murka.
"Perempuan bejat kau.. !!"
"Manusia busuuk...!
Hiaaah...!"
Dewi Sulam lepaskan pukulan jarak jauh
berupa cahaya biru bagaikan bola bekel yang melesat ke arah Angin Betina.
Slaaap...!
Tapi pada waktu bersamaan, Rumaksi mencabut
pedang di punggungnya dan melompat ingin membelah kepala Angin Betina. Lompatan
tubuh Rumaksi itu tiba-tiba tersentak ke samping bagaikan ada tenaga yang mendorongnya.
Akibatnya tubuh itu yang terhantam sinar birunya Dewi Sulam.
Blaarr...!
Rumakssiiii...!"
Dewi Sulam berteriak sekuat tenaga
melihat pukulannya kenai teman sendiri. Tubuh Rumaksi pecah menjadi serpihan
daging yang menempel di beberapa batang pohon. Sepotong jarinya jatuh tepat di
depan kaki Angin Betina. Sungguh mengerikan dan menjijikkan sekali korban sinar
birunya Dewi Sulam itu.
Dalam keadaan bingung mencari jasad
temannya yang tak bisa dibawa pulang, Dewi Sulam menangis penuh penyesalan, ia
bingung, tak tahu harus berbuat apa. Kemarahannya hanya bisa menyesakkan dada
serta melahirkan tangis yang sulit diredakan.
Akhirnya gadis berompi coklat dengan
ikat kepala kuning itu tinggalkan tempat itu dengan satu kali sentakkan kaki ke
tanah. Duug..! Wuuus...! Asap mengepul tebal dan tubuh terbungkus asap itu pun segera
lenyap.
Angin Betina memandangi sisa kepulan
asap dan ia yakin betul bahwa Dewi Sulam sudah tidak ada di tempat itu. Ia pun
yakin bahwa Dewi Sulam pulang ke Istana Selat Bantai untuk menghadap ratunya
dan melaporkan keadaan yang terjadi di tempat itu. Namun, Angin Betina yang masih
memegangi pedangnya walau sudah mampu
bangkit dengan sempoyongan itu masih mencari-cari di mana si kecil Suto
Sinting.
"Sutooo...!" teriaknya dengan
suara agak parau.
"Sutooo...! Di mana kauuu...!"
Tak ada jawaban tak ada suara apa pun
kecuali hembusan angin dan gemerisiknya dedaunan. Angin Betina segera membatin
dalam hatinya,
"Aku yakin ada pihak yang ikut
campur masalah ini! Hmmm... siapa dia? Si Bayangan biru tadikah? Sebab orang-orang
Selat Bantai yang menyerangku itu tidak ada yang memakai pakaian biru. Pasti si
bayangan biru yang mengintaiku tadi telah menyerang Galih Pinang dan merebut
Suto Sinting. Aku yakin, Suto ada di tangan orang itu! Haram jadah, di mana dia
bersembunyi?! Siapa dia sebenarnya?!"
Zaaaab...! Tiba-tiba mata Angin Betina
menangkap gerakan berkelebat sangat cepat. Bayangan biru melintas di sela
pepohonan sebelah timur. Angin Betina tak mau tinggal diam, ia buru-buru
mengejarnya dengan menggunakan sisa tenaga yang ada. Walau gerakannya tak
secepat biasanya, namun ia masih mampu mengikuti arah kepergian bayangan biru
yang tak bisa dilihat dengan jelas karena kecepatan geraknya.
Blaaass, blaaass, blaaass...!
Angin Betina memeras tenaga yang
terakhir kalinya agar bisa menggunakan jurus 'Jejak Kilat'-nya. Wees, wees...!
Bayangan biru itu dikejarnya tanpa putus asa.
"Luar biasa sekali gerakannya.
Begitu cepat dan mampu menerjang pepohonan! Hmmm... siapa dia sebenarnya? Aku
jadi sangat penasaran!" gumam Angin Betina dalam hatinya.
*
* *
7
LANGIT senja mulai tampakkan cahaya
merah tembaga di ufuk barat. Pengejaran Angin Betina masih dilanjutkan. Bagi
Angin Betina, tak ada kata menyerah demi selamatkan jiwa pemuda yang
dicintainya.
Sayang sekali untuk sesaat ia terpaksa
kehilangan arah. Bayangan biru itu lenyap dari pandangan matanya dan tak jelas
bergerak ke arah mana. Angin Betina terpaksa hentikan langkahnya. Ia
menyeringai menahan sakit karena luka di bagian dalamnya.
"Sebaiknya kupulihkan dulu tenagaku
dengan mengobati luka memakai hawa inti saktiku!" pikirnya sambil
memandang ke arah sekeliling.
Sementara Angin Betina memulihkan
keadaannya dengan mengobati luka memakai hawa inti saktinya, si bayangan biru
pun berhenti di suatu tempat yang sebenarnya tak jauh dari pemberhentian Angin
Betina.
Hanya saja si bayangan biru itu berhenti
di balik bukit cadas yang tak seberapa tinggi, sehingga Angin Betina tidak bisa
temukan orang tersebut.
Pendekar Mabuk yang sejak tadi pejamkan
mata karena dibawa lari begitu cepat oleh si bayangan biru, kini mulai berani
membuka matanya setelah diletakkan di atas sebuah batu datar yang ada di bawah
pohon rindang.
"Buka matamu, Suto...,"
perintah sebuah suara yang dikenal sebagai suara perempuan.
Pendekar Mabuk akhirnya terperanjat
setelah membuka matanya dan memandang sesosok tubuh sekal dengan wajah cantik
sekali berdiri di depannya.
Perempuan muda yang kecantikannya
menggetarkan hati itu mengenakan jubah biru tanpa lengan. Pinjung penutup dada
montoknya berwarna kuning, sesuai dengan warna celananya yang sebatas betis.
Tapi celana itu dilapisi kain warna merah yang terikat oleh sabuk hitam
bermanik-manik putih intan. Sabuk itu juga digunakan untuk menyelipkan pedang
runcing yang pernah dipakai menodong Suto Sinting saat Suto tertidur di bawah
sebuah pohon.
Dilihat dari kecantikannya, gadis itu
berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Entah usia sebenarnya lebih banyak dari
itu atau memang asli sekitar dua puluh tiga tahun, Suto belum pernah
menanyakannya. Yang jelas gadis berjubah biru itu mempunyai rambut sepundak lewat,
warna hitam dan tampak lembut, ia mengenakan ikat kepala dari kain merah yang
simpulnya membentuk bunga mawar.
Sepasang giwang putih berlian disematkan
pada kedua telinganya. Gadis itu juga mengenakan kalung emas berbatu merah
delima sebesar kacang tanah.
Gadis itu tak lain adalah Payung
Serambi, salah satu dari tiga utusan terpercaya dari Istana Laut Kidul yang
dikuasai oleh Nyai Ratu Kandita. Dalam suatu peristiwa bangkitnya 'Malaikat
Palsu', mereka pernah saling bertemu, bahkan pernah saling bertarung dan
akhirnya saling mengadu kekuatan jurus pemikat.
Ternyata sampai sekarang keduanya masih
dikuasai oleh jurus pemikat masing-masing. Manakala mata mereka saling beradu
pandang, maka pengaruh jurus pemikat yang pernah mereka lepaskan itu
berpengaruh menguasai jiwa dan batin mereka kembali, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Misteri Malaikat Palsu").
"Masih ingat padaku, Suto?"
bisik Payung Serambi dengan nada lembut. Sungging senyum di bibirnya cukup
tipis, namun menambah daya pikat yang menggetarkan hati Pendekar Mabuk.
"Payung Serambi, tak kusangka kau
muncul dalam saat keadaanku menjadi seperti ini. Oh, aku menjadi malu padamu,
Payung Serambi," Suto Sinting tundukkan kepala, sembunyikan wajah malunya.
"Aku datang justru karena kutahu
keadaanmu menjadi seperti ini,
Suto."
"Dari mana kau tahu keadaanku
menjadi begini?"
"Nyai Ratu yang memberitahukan
bahwa sekelompok kaum wanita sedang mengejar-ngejarmu untuk dijadikan penabur
benih keturunan bagi mereka. Aku merasa sakit hati, karena aku cemburu, lalu
aku diizinkan untuk menemuimu!"
"Setelah menemuiku?" pancing
Suto Sinting dengan senyum melebihi bocah kecil, nyaris tak terlihat di mata
Payung Serambi.
"Suto...," wajah Payung
Serambi didekatkan. "Aku kangen padamu, Suto...," bisik gadis cantik
itu, bibirnya tepat berada di depan wajah Suto. Namun Suto tak bisa mengecup
bibir itu karena terlalu besar. Bahkan bisa-bisa kepala Suto masuk ke dalam
mulut perempuan cantik itu jika mereka harus mengadu bibir seperti dulu lagi.
Suto Sinting hanya bisa membiarkan
tangan Payung Serambi mengusap-usap kepalanya. Walau merasa seperti dibelai
tangan raksasa, namun Suto menghayatinya dengan bayangan mesra yang pernah mereka
lakukan tempo dulu. Terasa hati Suto Sinting dibelai lembut oleh jemari lentik
Payung Serambi.
"Kau tak rindu padaku, Suto?"
"Sangat rindu, tapi apa dayaku, aku
dibuat menjadi sekecil ini oleh orang Selat Bantai yang bernama Lantang
Suri," ujar Suto dengan nada menghiba hati sang gadis cantik itu. Bahkan
Pendekar Mabuk menambahkan kata bagai anak kecil menaruh harap kepada orang
dewasa,
"Kalau saja aku bisa kembali dalam
wujud seperti semula, barangkali saat ini kau sudah kupeluk, Payung Serambi.
Aku ingin melepaskan rinduku dalam pelukanmu, bahkan mungkin aku tak ingin melepaskannya
hingga fajar tiba esok hari."
Payung Serambi menarik wajah, memamerkan
senyumannya yang kalem tapi memancarkan daya pikat cukup tinggi. Prajurit
unggulan dari Istana Laut Kidul itu segera berkata,
"Percuma aku datang kemari jika
tidak bias melepaskan kesulitanmu. Justru aku datang selain untuk rindu, juga
untuk mengembalikan wujudmu agar tak selamanya menjadi sekecil ini."
"Lepaskanlah aku dari siksaan
seperti ini, Payung Serambi. Kekuatanku hilang, kesaktianku lenyap, bahkan aku
bagai seekor liliput yang tak mempunyai kemampuan apa-apa."
"Tutuplah matamu," bisik
Payung Serambi. Namun Suto Sinting masih kurang jelas maksud si Payung Serambi,
ia menutup matanya dengan kedua tangan. Payung Serambi tertawa geli tanpa
suara.
"Tak usah memakai tangan, pejamkan
saja matamu."
"Pejamkan...?!" gumam Suto
Sinting dengan dahi berkerut. Namun ia segera lakukan perintah itu. Kedua
matanya dipejamkan. Blab...!
Baru saja memejam, Payung Serambi sudah
berkata, "Tak usah lama-lama nanti kau ketiduran. Bukalah matamu,
Suto."
Suto Sinting pun membuka matanya dengan
ragu- ragu. Pikirnya, "Baru saja memejam sudah disuruh membuka mata? Apa
dia permainkan diriku?".
Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting
setelah mengetahui tangannya telah menjadi besar, kakinya juga besar, bahkan ia
merasa seperti berdiri di atas sebutir kerikil. Payung Serambi yang dalam
keadaan berdiri itu seperti berada di bawahnya. Suto Sinting memandangi Payung
Serambi dengan kepala menunduk.
"Ya, ampuuun...?! Aku menjadi
seperti raksasa?!" Payung Serambi sunggingkan senyum geli.
"Bukankah kau ingin menjadi
besar?"
"Iya, tapi tidak menjadi raksasa
begini! Kalau aku sebesar ini, kau tak akan bisa bernapas jika aku memelukmu,
Ratih Kumala!" ujar Suto Sinting menyebut nama asli Payung Serambi.
"Kebesaran ya?"
"Hi, hi, hi.... Bukan kebesaran
lagi, tapi kelewat besar!"
"Hi, hi, hi... maaf. Kalau begitu,
pejamkan lagi matamu!"
Suto baru mau memejam, Payung Serambi
sudah berkata, "Cukup!"
"Belum memejam!"
"O, belum? Hi, hi, hi.... Ya,
sudah! Sekarang pejamkan matamu lagi."
Pendekar Mabuk pejamkan mata. Tak sampai
satu helaan napas sudah disuruh membuka mata kembali.
Byaak...! Suto Sinting terperangah
girang. Tubuhnya te lah kembali seperti sediakala; tidak kecil, tidak juga
besar seperti raksasa.
"Aneh! Hanya memejamkan mata tak
sampai satu helaan napas sudah bisa berubah menjadi seperti semula?! Ilmu apa
yang dimiliki si Payung Serambi ini? Sakti sekali ilmu itu. Aku jadi ingin
memilikinya," ujar Suto dalam hatinya.
Payung Serambi tersenyum ceria pandangi Suto
Sinting yang tampak gembira sekali melihat keadaannya telah pulih seperti
sediakala, ia gerakkan tubuh meliuk ke sana-sini, ternyata masih selincah dulu.
Bahkan ketika tangannya menyodok ke depan seperti orang mabuk mau jatuh,
sodokan itu masih mengandung kekuatan tenaga dalam tanpa sinar. Tenaga yang
terlepas dari sodokan tangan itu menghantam dada Payung Serambi. Untung gadis
itu sigap, pukulan tersebut segera ditangkis dengan menahan sodokan memakai dua
ujung jari tangannya. Teeb...!
"Aauh...!" Suto Sinting
buru-buru menarik tangannya yang terasa ngilu sekujur lengan akibat totokan dua
jari Payung Serambi.
Mereka tertawa, lalu saling
menghamburkan kerinduan dalam sebuah pelukan erat. Payung Serambi bagaikan tak
sabar, ia mendesakkan bibirnya ke mulut Suto Sinting. Lalu, pemuda tampan itu
menangkap bibir pulen tersebut dengan sebuah kecupan hangat dan lembut. Payung
Serambi menggigit gemas bibir si Pendekar Mabuk.
"Uuh...!" Suto Sinting
meringis, Payung Serambi lepaskan sambil tertawa. Pendekar Mabuk menyentil hidung
bangir Payung Serambi.
"Sakitkah bibirmu?"
"Sakit!" jawab Suto Sinting
berlagak sewot.
"Kalau begitu, diamlah... biar
kuobati agar rasa sakitmu lenyap."
Kemudian Payung Serambi memagut bibir
Suto Sinting kembali. Lidah mereka saling bersilat tanpa jurus, dan sukma
mereka bagai terbuai terbang ke awang-awang.
Pada saat itulah pencarian Angin Betina
sampai di tempat tersebut. Mata perempuan berambut acak-acakan menjadi
terbelalak tegang karena terkejut melihat Suto Sinting dan Payung Serambi
sedang berciuman mengadu mulut.
"Ooh...?!!"
Pekikan tak sengaja itu mengejutkan
Pendekar Mabuk dan Payung Serambi. Mereka segera lepaskan pelukan dan pandangi
Angin Betina.
"Oh, kau...?!" gumam Payung
Serambi yang pernah bertemu dengan Angin Betina dalam peristiwa 'Malaikat
Malam' itu.
Suto Sinting salah tingkah dipandangi
Angin Betina dengan sorot pandangan mata yang amat tajam, ia dapat rasakan apa
yang terjadi di dalam dada Angin Betina. Jelas pemandangan yang dilihat Angin
Betina tadi sangat menyakitkan hati gadis itu. Tapi Suto Sinting tidak sengaja
menyakiti hati Angin Betina dan tak tahu kalau bakal dipergoki oleh Angin
Betina.
"Terima kasih atas bantuanmu, kau
telah banyak melindungi Suto Sinting," kata Payung Serambi kepada Angin
Betina. Tetapi yang diajak bicara masih diam, tak bergerak sedikit pun,
kepalanya sedikit tertunduk, tapi matanya memandang lurus ke depan dengan
sangattajam. Payung Serambi segera mendekatinya dengan kalem.
"Kau cemburu rupanya?"
Suto Sinting menjadi cemas melihat Angin
Betina diam saja. Lebih cemas lagi setelah ia tahu Payung Serambi semakin
mendekati Angin Betina yang mirip gunung mau meledak itu. Pendekar Mabuk
bergegas hampiri Payung Serambi dan menahan agar Payung Serambi tidak lebih
dekat lagi kepada Angin Betina.
Tetapi sebelum Suto Sinting berhasil
meraih lengan Payung Serambi, tiba-tiba Angin Betina sudah lebih dulu berkata
sambil mencabut pedangnya. Sreeet...! Pedang diacungkan tepat di depan dagu
Payung Serambi.
"Suatu saat kita akan bertemu dan
mengadu nyawa dengan pedang masing-masing!"
"Apa maksudmu bicara begitu padaku,
Angin Betina?"
"Catat
dalam otakmu, mulai hari ini kau adalah musuh utamaku!"
Blaaasss...! Angin Betina pergi begitu
saja dengan kecepatan tinggi. Pendekar Mabuk ingin mengejarnya, karena ia tahu
Angin Betina terluka hatinya. Tetapi tangannya segera disambar oleh Payung
Serambi hingga gerakannya tertahan. "Biarkan dia pergi!"
"Aku tak ingin kau dan dia saling
bermusuhan!"
"Kalau hatinya sudah tidak panas
lagi tentu dia juga akan melupakanku!"
"Tak mungkin. Aku tahu sifat Angin
Betina, ia tetap akan menganggapmu sebagai musuh utama, karena hatinya terluka
melihat kita berpelukan tadi."
"Mengapa hatinya terluka? Apakah
kau suaminya?"
"Memang bukan, tapi... tapi dia
sangat mencintaiku dan... dan...."
"Lupakan dulu soal Angin Betina!
Aku dapat menguasai murkanya. Ada hal yang lebih penting dari kecemburuan Angin
Betina."
Pendekar Mabuk hembuskan napas, seakan membuang
rasa kesal dan bingungnya. Payung Serambi mengambil sesuatu dari balik pinjung
penutup dadanya. Sesuatu itu ternyata adalah selembar daun sirih yang sudah
digulung menjadi kecil. Daun sirih itu diserahkan kepada Suto Sinting.
"Makanlah daun sirih ini, telan
sampai habis. Jangan ada yang tersisa sedikit pun."
Tentu saja Pendekar Mabuk heran dan
kerutkan dahinya walau tetap menerima daun sirih tersebut. "Apa maksudmu
menyuruhku memakan daun sirih ini, Ratih Kumala?"
Dengan sikap bagaikan acuh tak acuh,
Payung Serambi menjawab,
"Aku tahu hatimu ingin sekali
memiliki ilmu seperti tadi; bisa mengubah diri menjadi besar seperti raksasa.
Aku sudah persiapkan daun sirih itu. Di
dalam daun sirih itu kutanamkan seluruh kekuatan dan ilmuku, tentunya yang
unggulan saja. Ilmu-ilmuku yang kecil tidak kutanamkan di daun sirih itu,
karena kau sudah memiliki ilmu kecil-kecil yang bersifat ringan. Jika kau makan
daun sirih itu sampai habis, maka seluruh kekuatan ilmuku yang unggulan akan
menjadi milikmu juga. Kau bisa berubah menjadi besar seperti raksasa, atau
menjadi kecil seperti liliput, dengan hanya kedipkan mata dan sentakkan batinmu
sesuai keinginanmu!"
Gemetar tangan Suto Sinting memegangi
daun sirih itu setelah mendengar penjelasan tersebut. Tapi dalam hatinya masih
ada sedikit kebimbangan, karena ia sama sekali tak menduga kalau akan
mendapatkan daun sirih berkhasiat tinggi itu. Ia pandangi d aun tersebut, sementara
Payung Serambi palingkan pandang menatapnya dengan pancaran sinar berkharisma.
"Kuncinya ada di napas dan daya
cipta! Tahan napasmu dan timbulkan daya cipta dalam batinmu, maka apa yang kau
ingin ciptakan akan terwujud dalam kenyataan!"
"Bbbe... betulkah begitu?"
Suto Sinting semakin berdebar-debar.
"Itu yang dinamakan ilmu
'Dewatakara' yang dimiliki oleh prajurit-prajurit unggulan dari Istana Laut
Kidul!"
Suto Sinting masih diam, seperti tidak
percaya menerima daun sirih sehebat itu.
"Makanlah...."
Sirih itu akhirnya dimasukkan ke mulut
lalu dikunyahnya. Krrak...!
"Uuh
..!" Suto Sinting menyeringai, giginya terasa sakit. "Seperti
menggigit batu kristal!" ujarnya sambil pegangi rahangnya yang terasa
sakit akibat menggigit benda keras. Padahal yang dimakan adalah sehelai daun
dalam lipatan kecil, tapi kekerasannya bagai ingin merontokkan gigi geraham.
"Makanlah terus, karena yang keras
itu adalah sekumpulan kekuatan tenaga dalam gaib yang kupadatkan di dalam daun
sirih itu. Makanlah, jangan berhenti...!"
Krak, kruk, krak, kriuuk, kraak, kruik,
kriuk, kriuk...!
"Aku makan daun apa makan pecahan
genteng?!" gerutu Suto dalam hatinya. Namun ia tetap paksakan mengunyah
daun ajaib itu sampai akhirnya menjadi lembut dan ditelannya habis.
"Ooh...!" ia tersentak kaget
bahkan nyaris terlonjak. Lengannya dipegangi dengan wajah menjadi tegang.
"Panas sekali! Tubuhku panas
sekali! Uuuhh...!"
"Tahan, itu yang dinamakan 'rasukan
inti gaib' yang menyatu dalam darah, daging, dan tulangmu. Jiwa dan rohmu telah
menyatu dalam gaib di Laut Kidul."
Beberapa saat kemudian, tubuh Suto
Sinting merasa dingin kembali. Tapi keringatnya mengucur deras bagai berada di
tepi kawah gunung berapi. Rambutnya sampai basah seperti habis kehujanan.
Pakaiannya pun basah kuyup seakan bisa diperas bagai habis dicuci.
"Pandangan mataku menjadi terang
sekali. Bening! Oh, semua tanaman, daun, batu, apa saja tampak indah dalam
pandangan mataku, Ratih!"
"Darah siluman telah melebur dalam
ragamu. Sekarang berangkatlah ke istana Selat Bantai! Seorang sahabatmu menunggu
di sana, mengharap bantuanmu untuk membebaskan dirinya sebelum malam purnama nanti
tiba!"
"Elang Samudera!" geram Suto
Sinting teringat sahabatnya yang diculik oleh Mega Sendu dan Lantang Suri.
"Selamatkan Elang Samudera agar tak
menjadi pria perahan orang-orang istana Selat Bantai!"
"Apakah kau tak ikut ke sana?"
"Aku akan turut serta, tapi tidak
akan turun tangan!"
"Mengapa?"
"Karena kau harus buktikan sendiri
kehebatan ilmu 'Dewatakara' yang baru saja menyatu dalam jiwa ragamu itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, paham
betul dengan maksud Payung Serambi. Rupanya gadis itu ingin agar Suto Sinting
mempunyai keyakinan akan kedahsyatan ilmu 'Dewatakara', sehingga Suto dibiarkan
menghadapi orang-orang Selat Bantai yang terkenal berilmu tinggi itu.
Ketika itu, senja semakin menua.
Pendekar Mabuk bergegas menuju Selat Bantai dengan diantar oleh Payung Serambi.
Gadis itu mengetahui tempat Istana Selat Bantai, sebab ketika datang mencari
Suto Sinting, sasaran utamanya adalah Istana Selat Bantai. Tapi ia tak
menemukan Suto di sana, sehingga terpaksa mencarinya ke mana-mana, sampai
akhirnya bertemu dalam keadaan bersama Angin Betina tadi.
Namun ketika mereka memasuki perbatasan
wilayah Selat Bantai, tiba-tiba mereka berpapasan dengan rombongan perempuan
cantik yang berjumlah Sembilan orang. Mereka adalah perempuan-perempuan muda, setinggi-tingginya
berusia tiga puluh tahun. Wajah mereka cantik-cantik, tubuh mereka meliuk
indah, menggairahkan setiap pria. Dada mereka montok- montok dengan pakaian
yang seronok, seakan memancing kenakalan mata lelaki.
Semblian perempuan cantik itu berkelebat
cepat dan membentuk barisan mengurung Pendekar Mabuk dan Payung Serambi. Tetapi
pada waktu itu, Payung Serambi cepat sentakkan tangannya bagai membuang sesuatu
ke tanah. Bluub...! Buuuss...! Asap mengepul tebal membungkus dirinya. Kejap
berikutnya, asap itu lenyap terhembus angin senja dan sosok Payung Serambi pun hilang
bagai ditelan bumi.
Rupanya gadis itu benar-benar tak mau
ikut campur urusan Suto Sinting dengan orang-orang Selat Bantai, ia ingin Suto
Sinting mampu mengatasi sembilan orang Selat Bantai itu dengan menggunakan
kekuatan ilmu 'Dewatakara', tanpa mengandalkan bumbung tuaknya.
"Selamat datang di wilayah Selat
Bantai, Pendekar Mabuk!'! sapa salah seorang yang mengenakan jubah hijau tua
dengan bersenjata pedang di punggung.
"Siapa kau, mengapa bisa
mengenaliku?!"
"Aku adalah Mega Sendu, yang
menyaksikan pertarunganmu dengan Penyamun Senja."
"O, jadi kau yang menculik
sahabatku, Elang Samudera?"
"Benar! Dan sekarang aku ditugaskan
oleh Nyai Ratu untuk menjemput kedatanganmu."
"Dari mana Ratu tahu kalau aku akan
datang?"
Mega Sendu yang berwajah bulat telur itu
sunggingkan senyum tipis. Pandangan matanya memancarkan daya penggoda cukup
kuat. Tapi Pendekar Mabuk mencoba mengatasinya dengan tidak terlalu sering
menatap pandangan matanya.
"Ke mana pun kau bersembunyi, Nyai
Ratu akan mengetahuinya, karena beliau mempunyai ilmu "Kelana Iblis' dapat
menunjukkan di mana orang yang sedang menjadi buah pikirannya. Kau sangat
dirindukan oleh Nyai Ratu, sehingga Nyai Ratu mengetahui bahwa kau sedang
menuju ke wilayah kami."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, karena
ia pernah mendengar tentang ilmu 'Kelana
Iblis' yang memang dimiliki oleh Nyai Ratu Cendana Sutera itu. Menurutnya hal
itu tak perlu dipersoalkan lagi. Maka ia pun berkata dengan tegas,
"Aku ingin Elang Samudera
dibebaskan sekarang juga!"
"Tentu. Kami akan membebaskan Elang
Samudera sesuai permintaanmu. Tapi kau harus tinggal bersama kami mulai malam
ini dan seterusnya."
"Bagaimana jika aku menentang
keinginan kalian itu?"
"Kami tak akan bebaskan Elang
Samudera!" jawab Mega Sendu yang memang berwajah sendu-sendu mesraitu.
"Kalau begitu aku harus merebutnya
dari tangan kalian!"
"Kau tak akan mampu melakukannya.
Pendekar Mabuk. Apalagi kulihat kau datang tanpa membawa bumbung tuakmu! Sangat
mudah bagi kami untuk menumbangkan dirimu."
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis.
"Rasa-rasanya aku terpaksa lakukan kekerasan karena kalian tak mau diajak
berunding baik-baik."
"Kami sudah siap bertindak kasar
maupun halus."
"Jangan menyesal jika kau sendiri
akan terluka oleh tindakanku, Mega Sendu!"
"Tak akan ada sesal di hati
kami!"
Kemudian Mega Sendu memandang empat
orang anak buahnya yang ada di sisi kanan, ia anggukkan kepala sedikit sebagai
isyarat, lalu keempat orang itu maju secara serempak menyerang Suto Sinting.
Wuuurrss...!
Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Jari
Guntur' dengan melakukan sentilan empat kali ke arah keempat lawannya. Tes,
tes, tes, tes...! Sentilan jari bertenaga dalam tinggi itu kenai perut keempat
lawannya, sebab kedatangan tenaga sentilan itu sangat tidak diketahui oleh
lawan. Akibatnya keempat lawannya terjungkal ke belakang dan saling berjatuhan.
Brrruss ! Bruuuk...!
Empat orang di sebelah kirinya segera
maju setelah mendapat isyarat dari Mega Sendu. Mereka menyerang dengan jurus
bersinar merah. Empat sinar merah lurus datang serempak menerjang Pendekar
Mabuk. Zrraap...!
Wuuut...! Pendekar Mabuk tahu-tahu
melambung tinggi hingga tiga dari empat sinar merah itu justru kenai teman
mereka sendiri.
Duar, duar, duaaar...! Tubuh ketiga
teman mereka menjadi hangus dan tumbang tak bernyawa lagi. Satu sinar merah
menghantam pohon, dan nasib pohon itu sama dengan nasib ketiga orang yang baru
saja bangkit dari jatuhnya sudah harus menjadi hangus dan tak bernyawa lagi.
Suto Sinting yang melambung tinggi itu
lepaskan serangan balasannya. Jurus 'Surya Dewata' digunakan; sinar ungu
melesat dari kedua tangan yang disentakkan ke depan. Claaap...! Sinar ungu itu
sangat cepat dan sukar dihindari. Akibatnya, pinggang salah seorang yang tadi
lepaskan sinar merah itu terkena jurus maut Suto Sinting.
Jraas...! Sinar ungu itu menembus tubuh
orang tersebut, lalu menghantam orang di belakangnya, dan menembus lagi ke dada
orang di belakangnya dan begitu seterusnya, sehingga dalam sekali sentak empat
orang pemilik sinar merah tadi terkapar tanpa nyawa lagi karena ditembus sinar
ungu. Bahkan sinar ungu itu masih sempat menembus sebatang pohon yang ada di belakang
orang terakhir.
"Edan!" geram Mega Sendu
melihat orang-orangnya tumbang dalam beberapa kejap saja. Tinggal ia dan salah
seorang yang tadi terkena sentilan jurus 'Jari Guntur'-nya Suto Sinting itu.
"Panilam, lekas pulang dan beri
tahu keadaan ini kepada Nyai Ratu! Aku akan hadapi dia dengan terpaksa
melukainya!" seru Mega Sendu.
Orang itu lekas larikan diri. Mega Sendu
segera serang Suto Sinting dengan andalkan kesaktiannya yang mampu berubah
menjadi raksasa. Bluub...!
Suto Sinting segera
ingat ilmu yang baru saja iberikan oleh Payung Serambi. Napasnya ditahan sejenak,
daya cipta batinnya diperkuat. Dan, bluubb...!
Pendekar Mabuk pun menjadi raksasa
bertubuh besar, sama seperti Mega Sendu.
Dua raksasa itu saling beradu pukulan
bertenaga dalam. Wuuut...! Blegaaar...!
Bumi berguncang bagai dilanda gempa.
Gelombang ledaknya menghasilkan getaran kuat yang menyebar ke mana-mana
menumbangkan lebih dari lima pohon besar, belum termasuk pohon-pohon kecil
lainnya. Dan beberapa bongkah batu berukuran besar pun menjadi retak atau
hancur sebagian akibat getaran gelombang ledak tadi.
Rupanya pada waktu itu bertepatan dengan
terjadinya peristiwa gaduh di istana, Elang Samudera berhasil loloskan diri
dengan melompati benteng istana, ia menjadi bahan kejar-kejaran bagi
orang-orangnya Nyai Ratu.
Sampai di tempat pertarungan Suto
Sinting, ia dihadang oleh orang yang
ditugaskan oleh Mega Sendu melaporkan keadaan di situ kepada Nyai Ratu.
Elang Samudera yang tampak sudah terluka
di beberapa tempat masih mencoba menghadapi lawannya dan menghindari kejaran
tiga orang istana.
Pendekar Mabuk menyadari peristiwa yang menegangkan
Elang Samudera itu setelah akhirnya ia berhasil menghantam dada Mega Sendu
dengan jurus pukulan 'Guntur Perkasa'. Sinar hijaunya menembus sinar merah
lawan dan mengenai dada Mega Sendu. Sementara
sinar merah lawan pecah di pertengahan jarak,
sinar hijau itu melesat terus ke dada Mega Sendu.
Blaaar...!
Akibatnya, raksasa Mega Sendu tumbang
dalam keadaan memar membiru dan cepat membusuk. Wujudnya berubah menjadi normal
kembali, lalu hembuskan napas terakhir dengan mulut ternganga.
Saat itulah Suto Sinting melihat Elang
Samudera terluka parah oleh serangan anak buah Mega Sendu. Dalam keadaan masih
berbentuk raksasa tinggi-besar, Pendekar Mabuk segera melompat dan menendang orang
yang nyaris membunuh Elang Samudera. Beet...!
"Aaaa...!" Gadis itu memekik
keras sambil tubuhnya melayang jauh dan jatuh di semak-semak seberang sana.
Tiga pengejar yang datang dari istana
tampak melepaskan pukulan bersinar hijau ke arah Elang Samudera. Pukulan sinar
hijau itu dihantam dengan pukulan sinar biru besar dari telapak tangan raksasa
Suto Sinting.
Blegaaarrr...!
Jurus 'Tangan Guntur' membuat tiga
pengejar Elang Samudera terlempar dalam keadaan berasap. Elang Samudera
sempoyongan, napasnya terengah-engah. Akhirnya ia jatuh berlutut dengan
bertopang pedang. Pendekar Mabuk segera menyambar, Wwwuuut...!
"Aaaaa...!" Eiang Samudera
berteriak keras karena ketakutan merasa disambar raksasa mengerikan.
"Diamlah! Aku Suto
Sinting...!"
Bluub...! Suto Sinting segera kembalikan
keadaan dirinya. Suuutt...! Tubuhnya menjadi seperti sediakala, kemudian ia
berlari memanggul Elang Samudera dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya.
Zlaaap... zlaaap ..!
Dalam beberapa kejap saja ia sudah
berada jauh dari wilayah Selat Bantai. Ia berhasil selamatkan Elang Samudera,
tapi ia masih tetap menjadi bahan buruan Nyai Ratu Cendana Sutera dan
orang-orang Selat Bantai lainnya. Sebelum masa Bulan kesuburan yang lamanya
tujuh hari itu habis, Suto Sinting tetap menjadi bahan buruan mereka.
Mampukah Suto pada akhirnya mengalah
kekuatan Nyai Ratu Cendana Sutera?
"Itu urusan nanti," pikirnya.
"Yang penting aku harus selamatkan Elang Samudera dulu. Agaknya ia terluka
cukup parah!"
Ia berlari menuju pondok Ki Palang
Renggo dan Nyai Sedap Malam.
SELESAI
Segera menyusul:
RATU CENDANA SUTERA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon