1
SEPASANG mata memandang ke arah kaki bukit cadas tanpa nama. Sesuatu
yang dipandang oleh sepasang mata muda itu adalah sebuah pertarungan yang
sedang akan dimulai. Pemuda pemilik mata bening itu berwajah tampan dan
berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Ia membawa buntung tuak di
pundaknya. Pemuda bercelana putih dengan baju tanpa lengan warna coklat itu tak
lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang.
Pertarungan yang akan dimulai itu dilakukan oleh seorang gadis cantik
berambut pendek diponi depan. Bajunya tanpa lengan berwarna hitam bintik-bintik
putih logam. Baju itu berpundak kaku dengan krah tegak, kaku menutup sebagian
lehernya. Ia juga kenakan celana hitam dengan bagian sampingnya berbintik-bintik
putih logam mirip barisan paku payung. Ikat pinggangnya yang berwarna putih
berbintik-bintik hitam itu dipakai selipkan pedang bersarung perunggu ukir.
Gadis itu tampak tenang dengan matanya yang bundar dan hidungnya yang
bangir. Ia kenakan kalung hitam cekak berbatu merah delima sebesar biji sawo,
sama dengan warna giwangnya yang kecil itu.
Menurut Pendekar Mabuk, gadis itu cukup berani dalam berpenampilan.
Sabuknya yang melingkar di luar baju itu membuat bentuk belahan baju agak
lebar, sehingga bagian dadanya tampak sedikit mengintip memperlihatkan
kemulusan kulit yang berwarna kuning langsat. Agaknya di balik baju tebalnya
itu ia tidak mengenakan kutang atau kain penutup dada lainnya, padahal gadis
itu masih berusia sekitar dua puluh tahun, tentu saja keranuman yang terbayang
di balik baju itu menggoda khayalan si murid sinting Gila Tuak itu.
"Agaknya ia cukup berani. Tak kelihatan gentar sedikit pun
menghadapi lawan-lawannya," pikir Pendekar Mabuk dari atas bukit
berbatu-batu itu.
Gadis itu berhadapan dengan tiga orang gundul yang masing-masing
berbadan kekar dan tinggi. Wajah ketiga orang itu tidak ada yang ramah sedikit
pun, semuanya mempunyai wajah angker. Walaupun bentuk tulang rahang maupun
bagian wajah berbeda, tapi kesan keji terlihat jelas pada wajah mereka. Mereka
mengenakan pakaian yang berbeda.
Yang berpakaian serba hitam mempunyai mata kecil tapi pandangannya
bagai memancarkan hawa dingin yang membekukan darah. Ia bersenjata golok lebar
yang tak bisa diselipkan di pinggang karena lebarnya.Sedangkan yang berpakaian
baju merah celana hitam mempunyai bentuk mata sedang-sedang saja, tapi alisnya
tebal dan bibirnya juga tebal. Badannya tampak berotot dan menyeramkan, ia
menyelipkan sebilah parang bergagang kepala burung dengan rumbai-rumbai benang
hitam. Yang satu lagi mengenakan rompi biru dan celana hitam, dadanya membusung
keras bagai dinding batu, mempunyai mata lebar dan kumis lebat. Sebilah golok
bergerigi dipakai sebagai senjata andalannya. Golok itu sudah dicabut dari
sarungnya dan kini tergenggam di tangan kanan, siap untuk ditebaskan ke arah si
gadis cantik itu.
"Siapa tiga orang gundul yang dihadapi gadis itu? Sepertinya baru
sekarang kulihat wajah mereka," ujar Suto membatin. "Sebaiknya
kugunakan ilmu 'Sadap Suara'-ku untuk mendengar percakapan mereka. Setidaknya
aku dapat mengenali nama-nama mereka."
Ilmu 'Sadap Suara' adalah sebuah ilmu yang dapat menyadap pembicaraan
seseorang dari jarak jauh. Pendekar Mabuk memiliki ilmu tersebut, sehingga ia
sering mengetahui berbagai persoalan orang dari suatu tempat yang tersembunyi.
Tetapi kali ini sebelum ilmu 'Sadap Suara' digunakan, ternyata orang
yang bersenjata golok bergerigi sudah lebih dulu lakukan serangan ke arah si
gadis yang sendirian. Gerakan cepat menerjang si gadis membuat golok bergerigi
itu nyaris membabat dada gadis tersebut. Weeesss...! Si gadis cepat bersalto ke
belakang dengan gerakan cepat pula. Wuuuttt...! Jleeg...! Begitu ia tapakkan
kaki ketanah, ia segera lepaskan pukulan tenaga dalam ke arah si rompi biru
dengan cara menyentakkan tangannya ke depan dalam keadaan kedua kaki sedikit
merendah.
Weeet...! Claaap...!
Ada kilatan sinar hijau sekilas keluar dari telapak tangan si gadis.
Sinar hijau itu cukup kecil dan nyaris tak tertangkap oleh mata siapa pun. Tapi
mata tajam si Pendekar Mabuk mengetahui adanya kilatan cahaya hijau dari tangan
si gadis. Pendekar Mabuk juga melihat sinar hijau itu menghantam pinggang si
rompi biru, sehingga orang itu terpental dalam keadaan sedang melayang di
udara.
Wuuuss...! Bruuukk...!
"Bangsaaat...!"
Yang berteriak berang bukan si rompi biru, melainkan temannya yang
berbaju merah dan bercelana hitam. Sebab orang itu ditabrak kuat-kuat oleh
tubuh besar si rompi biru hingga terbawa terpental dan jatuh telentang dalam
keadaan tertindih tubuh si rompi biru. Tubuh temannya yang menindih itu segera
didorong kuat-kuat. Wuuut...! Tubuh si rompi biru terlempar lagi dan jatuh
dalam keadaan leher terlipat.
Brruuuk...!
"Uuahhk...!" terdengar pekiknya bagai keluar dari mulut
dengan susah payah. Sementara si baju merah cepat berdiri kembali dalam satu
sentakan pinggul, wuuut...! Jleeeg...! Lalu ia memandangi si gadis dengan mata
liar dan berkesan ganas.
Sementara itu, yang mengenakan pakaian serba hitam hanya diam terpaku
di tempat dengan mulut melongo dan mata tertuju kepada si rompi biru. Ketika si
baju merah mencabut parangnya dan ingin membalas serangan si gadis, tiba-tiba
tangan orang berpakaian serba hitam itu merentang, menghadang di dada si baju
merah. Akibatnya gerakan si baju merah tertahan dan ia pandangi temannya
sendiri dengan mata beringas.
"Ada apa?!" geramnya menyentak penuh luapan amarah.
''Lihat si Kalapuser itu!" jawab si baju hitam. Kedua orang gundul
itu kini sama-sama pandangi keadaan si Kalapuser yang mengenakan rompi biru
itu. Si baju merah yang sudah menggenggam parang itu terperanjat melihat tubuh
Kalapuser berasap tipis. Tubuh yang besar itu tiba-tiba menjadi susut, makin
lama semakin susut sepertinya tubuhnya menguap tersedot angin. Si baju merah
jadi terpukau dan terpaku di tempat seperti si baju hitam.
Akhirnya mereka melihat dengan mata telanjang perubahan si Kalapuser
yang semula berbadan tegap dan besar itu menjadi kurus kering. Raut wajahnya
tampak tua karena berkulit keriput. Tentu saja keadaan si Kalapuser sudah tak
bernyawa lagi, karena ia tergolek di tanah tanpa gerak sedikit pun kecuali
susutnya tubuh.
Kedua orang gundul melangkah mundur satu tindak setelah menyadari si
Kalapuser menjadi mayat yang tinggal tulang terbungkus kulit, seakan daging dan
jeroannya menguap tersedot udara. Keadaannya sangat mengerikan. Kepala gundul
si Kalapuser pun jadi mengecil, dan seperti tinggal tengkorak dibungkus kulit
keriput.
Dari atas bukit, Pendekar Mabuk yang terkagum-kagum atas kejadian itu
juga mendengar percakapan dua orang gundul tersebut.
"Gadis ini lebih gawat dari kakaknya, Kalatunggir,"kata si
baju hitam.
"Bangsat! Serang dia bersama-sama, Kalabolong!"
Dua orang gundul itu akhirnya maju serempak dengan masing-masing
senjata siap mencelakai nyawa si gadis. Wuuurrrss...!
"Heeeeaat...!"
Teriakan si Kalatunggir yang berbaju merah itu sangat keras dan
memanjang, memekakkan telinga.Agaknya suara teriakan itu mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang dapat mengganggu kesigapan lawannya. Tetapi si gadis berbaju
hitam bintik-bintik putih mirip paku payung itu mampu atasi getaran suara
tersebut, sehingga dalam sekejap tubuhnya telah melenting tinggi dan bersalto
melintasi kepala dua orang gundul yang menyerangnya. Wuuuuk, wuuuk...!
Dua kali gerakan berjungkir balik di udara membuat si gadis tahu-tahu sudah
berada di belakang kedua lawannya beradu punggung dalam jarak tiga langkah. Kedua
lawan itu cepat lakukan serangan kembali dengan berbalik badan dan maju
serentak. Tapi si gadis tiba-tiba melompat dan kedua kakinya menendang cepat ke
belakang bagai seekor kuda menyepak lawan. Wuuuk...! Beeehk, ploook...!
"Ouhhh...!" pekik si Kalatunggir yang tersentak mundur karena
wajahnya terkena tendangan kaki si gadis. Sedangkan si Kalabolong yang berbaju
hitam itu hanya terlempar ke belakang tak sempat keluarkan pekikan. Ulu hati
yang terkena tendangan bukan saja menyesakkan pernapasan namun juga menyumbat
tenggorokan hingga ia tak bisa terpekik sedikit pun. Ia tumbang dalam keadaan
telentang dan mata mendelik. Kalatunggir buru-buru sigap kembali setelah itu si
Kalabolong mencoba bangkit dengan napas terengah-engah.
"Bocah keparat!" geram Kalatunggir, lalu maju kembali lakukan
lompatan menerjang si gadis dengan parangnya. Weeesss...!
Tapi saat itu si gadis sudah berbalik arah dan lepaskan pukulan seperti
tadi. Sekilas sinar hijau yang sukar dipandang mata itu terlepas dari tangan si
gadis dan menghantam perut Kalatunggir saat masih melambung di udara. Claap...!
Deeesss...l
"Aaahk...!" Kalatunggir tiba-tiba berbalik ke arah semula
dengan tubuh melayang dan jatuh terbanting cukup menyedihkan.
"Bangun! Gunakan 'Aji Palang Sukma', Kalatunggir!" kali ini
si Kalabolong lontarkan suara keras menandakan kemarahan yang telah memuncak.
Ia berseru sambil memainkan golok lebarnya di sekeliling tubuhnya. Wung, wung,
wung, wung...! Matanya tertuju tajam kepada si gadis yang tak banyak bicara
itu.
"Bangun, Tolol!" serunya lagi tanpa memperhatikan si
Kalatunggir.
Gerakan golok lebar terhenti sesaat karena Kalabolong segera terkejut
melihat Kalatunggir tak mau berkutik lagi. Tubuh Kalatunggir berasap tipis,
makin lama semakin susut dan akhirnya tak bernyawa dalam keadaan seperti mayat
si Kalapuser, tinggal tulang terbungkus kulit.
"Ggrrrmmm...!" Kalabolong menggeram penuh murka, matanya yang
kecil dilebarkan memandang si gadis bagaikan berapi-api.
"Kau telah bunuh dua saudaraku! Sekarang kau harus menebusnya
dengan nyawamu, Setan! Heeeaaah...!"
Pendekar Mabuk hanya membatin dari atas bukit, "Hmmm... siapa
gadis itu, sehingga mampu kuasai jurus yang cukup dahsyat itu?!"
Golok lebarnya si Kalabolong berkelebat menebas pundak si gadis. Namun
tanpa pekik dan suara apa pun, si gadis mampu hindari tebasan golok itu dengan
bergerak ke samping, lalu berjungkir balik di tanah menggunakan kedua
tangannya. Wuuurs...! Dalam sekejap ia menjadi tegak kembali.
Tapi di luar dugaan, Kalabolong lepaskan pukulan tenaga dalam dari
tangan kirinya. Claaap...! Seberkas sinar merah sebesar mata tombak melesat
cepat dan menghantam perut si gadis. Duuubs...!
"Uuuhk...!" gadis itu tersentak mundur dengan terhuyung-huyung.
Kalabolong memanfaatkan keadaan demikian dengan lakukan sergapan jurus golok
lebarnya yang menebas cepat ke sana-sini.
"Heeeaaat...!"
Si gadis yang merasa terdesak itu segera lepaskan jurus bersinar hijau
sekelebat tadi. Claaap...! Sinar hijau itu tepat kenai dada Kalabolong sewaktu
hendak membabatkan golok lebarnya ke leher si gadis. Deesss...!
"Aaahk...!" ia terpental ke belakang, melayang rendah dan
jatuh berjungkir balik. Golok lebarnya terlepas dari genggaman tangan, dan
Kalabolong tak mau bergerak lagi. Tubuhnya berasap samar-samar, makin lama
semakin susut, akhirnya menjadi mayat seperti kedua saudaranya itu. Kalabolong
pun terpaksa menjadi mayat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit yang keriput.
Tapi pada saat itu si gadis sendiri masih sempoyongan mencari tempat
untuk berpegangan, ia mendekati sebatang pohon berdaun lebat. Setelah
menemukannya, ia mencoba bertahan berdiri dengan berpegangan pada pohon
tersebut. Namun agaknya kedua kakinya tak mampu menyangga tubuhnya lagi. Ia
turun pelan-pelan dan akhirnya duduk terkulai bersandar pada batang pohon
tersebut.
Rupanya serangan bersinar merah dari si Kalabolong tadi telah melukai
bagian dalam tubuh si gadis dan membuat kulitnya sedikit demi sedikit menjadi
biru memar. Wajah cantiknya berubah pucat kebiru-biruan dan bola matanya mulai
tampak semburat merah, ia tampak terkulai lemas tak berdaya lagi. Seandainya
datang musuh lain, maka Suto Sinting yakin gadis itu tak akan mampu melakukan
perlawanan seperti tadi. Tampak dadanya yang sekal itu naik turun sebagai tanda
napasnya terengah-engah dengan berat.
Pendekar Mabuk menenggak tuak dari bumbung bambu yang tadi tergantung
di pundaknya itu. Setelah cukup puas menenggak tuaknya, ia mulai berpikir
tentang gadis berpakaian hitam Itu.
"Ia terluka cukup berbahaya! Aku harus cepat lakukan pertolongan
sebelum akhirnya gadis itu pun kehilangan nyawa seperti ketiga lawannya
itu!"
Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak turun dari atas bukit cadas itu,
tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan yang menuju ke arah si gadis. Pendekar
Mabuk hentikan langkah dan tangguhkan niat untuk sesaat. Batinnya
bertanya-tanya,
"Siapa tokoh yang baru saja datang itu?l"
Mata si pemuda tampan itu pandangi sosok perempuan tua berambut putih
rata terurai lepas. Nenek bertongkat hitam itu kenakan baju hijau tua dengan
jubah lengan panjang. Nenek itu berdiri pandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan di sana. Bola matanya yang tersembunyi di balik rongga cekung
itu segera pandangi si gadis dengan pancaran nafsu amarah.
"Jahanam busuk!" geramnya dengan suara tua yang cukup keras.
Nenek berusia sekitar delapan puluh tahun itu segera dekati si gadis.
Langkahnya yang terbungkuk-bungkuk tergolong cepat, menandakan nafsu
kemarahannya telah membakar darah dan tak bisa ditangguhkan lagi.
"Kau telah membunuh ketiga muridku, Gadis Jahanam! Kau pun harus
mati untuk menebus ketiga muridku ini! Hiaaah...!"
Tongkat dihantamkan dengan gerakan cepat. Tongkat itu ujungnya mulai
memancarkan cahaya merah seperti besi terpanggang api. Weesss...!
Pendekar Mabuk cepat lakukan gerakan secara naluriah. Seberkas sinar
ungu sebesar lidi melesat dari kedua tangan yang merapat dan disodokkan ke
depan.
Claaap...! Weeesss...!
Jurus 'Surya Dewata' yang berwarna ungu itu menghantam ujung tongkat
pada saat tongkat digerakkan menyabet si gadis. Kecepatan sinar ungu itu
sungguh luar biasa, sehingga dalam sekejap tongkat itu terpental bersama
pemiliknya saat terdengar ledakan cukup dahsyat.
Blegaaar...!
Gadis itu terguling-guling karena sentakan gelombang ledak tersebut.
Tapi si nenek berjubah hijau itu terpental hingga delapan langkah jauhnya, ia
jatuh terbanting di tanah tak berumput. Tulang tuanya bagai diremukkan oleh
gelombang ledak tadi. Brruskk...!
Tak ada suara yang terdengar, tapi dari wajahnya tampak jelas si nenek
sedang menahan sakit dan menahan kemarahan yang lebih besar lagi. Si nenek
berusaha bangkit dengan bantuan tongkatnya yang sudah tidak membara merah lagi
itu. Tapi ujung tongkat yang tadi membara merah itu sekarang mengepulkan asap
seperti besi panas tersiram air.
Melihat si nenek mau bangkit, Suto Sinting menjadi khawatir akan
keselamatan jiwa si gadis cantik itu. Maka ia segera berkelebat turun dari atas
bukit dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...!
Dalam waktu sangat singkat Suto Sinting sudah berada di bawah tempat si
gadis tergeletak karena tadi terguling-guling itu. Jurus 'Gerak Siluman'
mempunyai kecepatan gerak melebihi anak panah terlepas dari busurnya, hingga
tak mengherankan lagi jika Pendekar Mabuk dalam sekejap sudah berdiri menjadi pelindung
si gadis yang kulitnya kian membiru itu.
Sang nenek bangkit dan menggeram setelah menarik napas beberapa saat.
Matanya yang cekung memandang tajam kepada Suto Sinting, seakan memancarkan
kekuatan batin untuk menembus jantung sang pendekar tampan itu. Namun sikap dan
penampilan Suto Sinting tetap tenang, bibirnya sunggingkan senyum tipis hingga
tak terlihat kesan bermusuhannya.
Sang nenek segera bergerak, weesss...! Dalam sekejap sudah berada di
depan Suto, jarak empat langkah. Ini menandakan sang nenek juga mempunyai
gerakan cepat hampir sama dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting.
'Bocah ingusan!" geram sang nenek. "Siapa kau hingga berani
menggagalkan niatku membunuh si gadis bejat itu, hah!"
"Siapa aku itu tak perlu, tapi yang perlu kau ketahui, aku sekadar
melindungi orang yang lemah. Gadis itu sudah tak berdaya, masih saja ingin kau
serang. Alangkah kejinya hatimu, Nek?"
"Setan alas, kucing belang, babi bengkak...!" makinya
beruntun. "Sekarang aku ingat ciri-cirimu! Kau pasti si Pendekar Mabuk
itu!"
"Syukurlah kalau kau sudah mengenaliku sebelum aku memperkenalkan
diriku. Nenek!"
"Jangan anggap diriku pikun, Bocah Kurapan! Jurik Wetan biar sudah
tua tapi otaknya masih cerdas dan kekuatannya masih mampu tumbangkan dirimu,
Kambing Borok!"
Pendekar Mabuk lebarkan senyum geli. Katanya dengan tenang, "Aku
tak ingin berselisih denganmu, Nyai Jurik Wetan! Aku hanya mencegah kecerobohanmu."
"Kau tak perlu berlagak satria! Gadis itu telah membunuh tiga
muridku, dan aku harus mencabut nyawanya sebagai tebusannya. Jika kau ingin
memihaknya, maka hadapilah murkaku sekarang juga, Kutang Kusut!
Heeeeah...!"
Weesss...!
Nenek itu bergerak cepat sekali. Tahu-tahu tongkatnya sudah melayang ke
arah kepala Suto Sinting. Dengan sedikit rendahkan kaki, Suto Sinting sentakkan
bumbung tuaknya ke samping kiri menghadang tongkat itu. Maka tongkat pun
menghantam bambu tempat tuak dengan telaknya. Trak...! Duaaarrr...!
Ledakan keras terjadi lagi dan percikan bunga api menghambur dalam
seketika. Tenaga dalam yang tersalur pada tongkat itu telah beradu dengan
tenaga sakti yang ada pada bumbung tuak Suto, hingga terjadilah ledakan keras
tersebut. Ledakan itu membuat si nenek menjadi limbung sesaat. Suto Sinting
juga menggeloyor bagai orang mabuk ingin jatuh, namun tiba-tiba punggung
tangannya menyodok ke rusuk Nyai Jurik Wetan. Dees ..! Sodokan bertenaga dalam
cukup tinggi itu membuat Nyai Jurik Wetan terpental ke belakang dalam jarak
tiga langkah.
Wuuut...! Jleeeg...!
Si nenek masih mampu berdiri lagi walau sedikit limbung. Tapi ia segera
lepaskan sinar merah pecah yang keluar dari telapak tangan kirinya. Sraaap...!
Sinar merah pecah itu bagai ingin menyergap tubuh Suto Sinting. Maka
dengan cepat Suto Sinting lepaskan jurus penangkisnya yang dinamakan jurus
'Tangan Guntur'. Seberkas sinar biru besar keluar dari tangannya dan menabrak
sinar merah pecah itu.
Blegaaarrr...!
Dentuman dahsyat membuat bumi berguncang dan pepohonan bergetar.
Daun-daun berhamburan dan ranting-ranting patah hingga suara alam sekitar
menjadi gaduh.
Tubuh Suto Sinting terlempar dan jatuh terduduk di dekat gadis yang
sudah tak berdaya lagi itu. Sedangkan Nyai Jurik Wetan pun terlempar cukup jauh
dan jatuh dengan tubuh berguling-guling, ia diam untuk beberapa saat karena
rasakan sekujur tubuhnya bagai dicabik-cabik dan tulangnya bagai dipatah-patah.
Suto Sinting pun rasakan hal yang sama, namun ia segera menenggak tuaknya. Air
tuak sakti itu dapat lenyapkan rasa sakit tersebut dalam sekejap.
"Kalau kuteruskan, berbahaya bagi gadis ini! Bisa-bisa ia mati karena
terkena pukulan nyasar dari si nenek. Sebaiknya kubawa lari dulu gadis ini
untuk kuselamatkan jiwanya! Agaknya luka yang diderita semakin parah dan
mengancam nyawanya," Pendekar Mabuk membatin sambil sesekali pandangi si
gadis dan sesekali perhatikan si nenek. Weees, zlaaap...!
Dalam sekejap gadis itu sudah ada di pundak Suto Sinting lalu dibawanya
lari dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' itu. Nyai Jurik Wetan melihat
gerakan cepat yang mirip menghilang itu. Mata tuanya sangat tajam dan sangat terlatih
untuk melihat gerakan angin, sehingga ia tahu lawannya melarikan diri ke arah
barat, ia pun berseru dengan suara tuanya yang segera terbatuk-batuk.
"Sampai di mana pun kukejar kalian dan kubantai bersamaaa...,
uhuk, uhuk, uhuk...!"
Setelah terbatuk-batuk sesaat dan memuntahkan dahak berdarah, Nyai
Jurik Wetan segera lakukan pengejaran ke arah barat. Gerakannya pun seperti
orang menghilang karena kecepatan yang sukar dilihat oleh mata orang biasa.
Weeesss...!
*
* *
2
DINDING tebing berongga itu menyerupai sebuah gua berlangit-langit
tinggi, tapi tidak mempunyai lorong ke mana-mana. Rongga itu memang cukup
lebar, namun jarak dari bagian dalam ke bagian luar hanya delapan langkah.
Tidak berpintu dan tidak bersemak, sehingga dapat dilihat jelas dari luar gua.
Sekalipun gua itu tidak terlalu aman, tapi sudah cukup membantu
Pendekar Mabuk dalam menyembunyikan
gadis cantik yang terluka. Setidaknya sampai gadis itu menjadi sembuh karena
diberi minum tuak saktinya Suto, ternyata nenek yang mengejarnya belum temukan
tempat itu.
"Aneh. Secepat ini tenaga dan kesehatanku pulih kembali?!"
ujar si gadis membatin. "Padahal tadi nyawaku sudah hampir lepas dari
raga, tapi begitu kurasakan tuak itu masuk ke tenggorokanku dan menghangat di
tubuhku, luka pukulan si Kalabolong menjadi sirna. Badanku menjadi segar
sekali, seperti tidak pernah terluka sedikit pun, bahkan seperti habis
mengalami istirahat panjang. Hmmm... aku tahu sekarang, siapa lagi orang yang
memiliki tuak sakti itu kalau bukan si Suto Sinting alias Pendekar Mabuk."
Gadis itu hanya bicara dalam batinnya, tapi mulutnya terkatup rapat.
Bibirnya yang mungil ranum itu tak mau ucapkan kata apa pun, walau ia sudah
memandangi Suto beberapa saat lamanya. Bahkan senyumnya pun tak ditunjukkan
kepada Suto, padahal Suto sejak tadi telah sunggingkan senyum menawan dengan
mata teduh memandanginya pula
"Kau kenal dengan nenek bernama Jurik Wetan?" pancing Suto.
"Kenal," jawabnya singkat. Suto menunggu penjelasan
berikutnya, tapi gadis itu bahkan memandang ke arah luar gua, lalu hendak
melangkah keluar.
Pendekar Mabuk cepat menyambar lengan gadis itu dan hentikan langkah si
gadis.
"Jangan keluar dulu. Jurik Wetan sedang mengejar kita. Mungkin ia
kehilangan arah sesaat, tapi aku yakin sebentar lagi pasti ia akan melintasi daerah
ini."
Gadis itu menurut. Kini ia duduk di atas batu setinggi lutut sambil
hembuskan napas panjang-panjang. Wajah cantiknya yang tanpa senyum itu tetap
memandang ke arah luar gua, padahal Suto Sinting mendekatinya dan berdiri
sekitar dua langkah darinya.
"Benarkah tiga orang gundul tadi adalah murid si Jurik
Wetan?"
"Benar," jawabnya, setelah itu diam tanpa suara lagi.
"Mengapa kau bentrok dengan tiga orang murid si Jurik Wetan itu,
Nona?" tanya Suto tetap dengan ramah.
"Benci," hanya itu jawabnya.
Suto Sinting sunggingkan senyum sambil membatin, Gadis ini rupanya
gadis pendiam dan tak mau banyak bicara. Melihat dari sikapnya, pasti dia gadis
yang keras kepala. Tapi ia cantik dan menarik perhatianku Aku jadi penasaran
untuk mengetahui siapa dirinya."
Kejap berikut terdengar lagi suara Suto Sinting memancing percakapan
dengan gadis yang kulitnya telah menjadi kuning mulus kembali itu.
"Mengapa kau benci dengan mereka?"
"Mereka...," gadis itu diam kembali, seperti ragu untuk
jelaskan perkara sebenarnya. Tapi Suto Sinting segera lakukan desakan agar
gadis itu bicara lebih panjang lagi.
"Teruskan ucapanmu. Mereka kenapa?"
"Berusaha membunuh."
"Membunuh siapa?"
"Keluargaku."
"O, kau masih punya keluarga rupanya."
"Kakek dan kakakku."
"Hanya merekakah keluargamu?"
Gadis itu menatap Suto Sinting, lalu anggukkan kepala. Setelah itu
memandang ke arah luar kembali. Sikapnya seolah-olah acuh tak acuh kepada Suto.
Tapi sang Pendekar Mabuk masih tetap sabar menanggapi kesinisan gadis itu.
Justru semakin tertarik untuk mendekatinya.
"Mengapa tiga murid si Jurik Wetan itu ingin membunuh
keluargamu?"
"Disuruh."
"Siapa yang menyuruh?"
"Hulubalang Iblis."
"Oh...?!" Suto Sinting terperanjat karena segera teringat
sosok tinggi-besar yang bernama Hulubalang Iblis. Ia pernah bertarung dengan
tokoh berwajah ganas itu. Bentrokan itu terjadi karena Suto, membela si Kusir
Hantu dan cucunya yang bernama Pematang Hati, (Baca serial Pendekar Mabuk daiam
episode: "Ratu Cendana Sutera").
"Boleh kutahu namamu, Nona?"
Gadis itu membisu, tapi beberapa saat bibirnya mulai tampak
bergerak-gerak ingin sebutkan namanya. Sayang sekali kala itu mereka dikejutkan
dengan kemunculan Nyai Jurik Wetan yang bagaikan melompat dari atas tebing.
Jleeeg...! Tahu-tahu nenek bungkuk itu berdiri menghadap ke arah gua, memandang
ke arah mereka dengan mata memancarkan dendam membara. Pendekar Mabuk dan gadis
itu tersentak kaget, namun keduanya cepat kuasai diri.
Bahkan secara naluri jari tangan Suto Sinting menyentil melepaskan
jurus 'Jari Guntur'-nya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sama seperti
tendangan kuda jantan itu.
Teees...! Beeed...!
Nyai Jurik Wetan merasa diserang tenaga dalam tanpa sinar. Telapak
tangannya segera menghadang gelombang tenaga itu agar tak kenai ulu hatinya.
Tapi kerasnya sentakan tenaga dalam jurus 'Jari Guntur' membuatnya tersentak ke
belakang dan jatuh berjungkir balik dua kali.
Wes, wes...! Suto Sinting dan gadis itu cepat keluar dari gua, karena
mereka tak mau terdesak serangan lawan dalam keadaan masih berada di dalam gua.
Dalam sekejap saja Nyai Jurik Wetan sudah tegak berdiri dan berhadapan dengan
Suto Sinting. Gadis itu ada di samping kanan Suto dengan kaki sedikit
merenggang dan siap hadapi serangan si Jurik Wetan. Gadis itu tak punya rasa
takut sedikit pun, bahkan sorot pandangan matanya berani menentang tatapan mata
Nyai Jurik Wetan.
"Monyet gancet! Makin lama semakin minta dihancurkan tubuhmu, Anak
Sapi!" seru Nyai Jurik Wetan kepada Suto Sinting. Tetapi pemuda tampan itu
justru berbisik kepada si gadis cantik,
"Menjauhlah, biar kutangani sendiri nenek ini."
Gadis itu tak keluarkan suara apa pun, tapi ia segera melangkah
pelan-pelan menjauhi Suto, sementara pandangan matanya tetap tertuju kepada si
Jurik Wetan.
"Rupanya kau ingin menggantikan nyawa si gadis dungu itu, Anak
Sapi!" lontar Nyai Jurik Wetan sambil mengangkat tongkatnya.
"Aku hanya akan menahan serangan liarmu, Nyai Jurik Wetan! Kau tak
berhak mencabut nyawa gadis itu, karena ketiga muridmu itu ternyata
bersalah."
"Persetan dengan salah atau benar! Aku sudah telanjur ngidam untuk
membunuhmu, Anak Sapi!
Hiiiiah...!"
Tongkat dilemparkan ke arah Suto Sinting. Weeesss...! Tongkat itu
menyala merah seluruhnya bagaikan sinar panjang yang ingin menghujam dada sang
pendekar. Dengan gerakan sempoyongan mirip orang mabuk, Suto Sinting berhasil
melayangkan bumbung tuaknya dalam keadaan tali bambu itu masih digenggamnya.
Wuuuuk...! Dan tongkat yang berubah menjadi sinar merah itu membentur bumbung
tuak Suto dengan keras.
Jegaaarrr...!
Terjadi ledakan yang sangat dahsyat, menyebarkan gelombang getaran
begitu besar. Empat pohon tumbang karena gelombang getaran tadi. Dinding tebing
longsor seakan diguncang gempa. Tanah pun retak di beberapa tempat. Tubuh si
gadis yang diam saja itu terpental dan membentur pohon yang sudah tak berdaun
akibat ledakan tadi.
Bukan hanya gadis itu saja yang terlempar akibat ledakan, tapi Pendekar
Mabuk dan Nyai Jurik Wetan juga sama-sama terlempar sejauh delapan tombak. Tubuh
mereka bagaikan remuk, tulang-tulang mereka seakan patah semua akibat sentakan
kuat dan bantingan keras yang membuat mereka kehilangan keseimbangan badan.
Kepala mereka sama-sama membentur pohon dan pandangan mata jadi
berkunang-kunang.
Pendekar Mabuk cepat tenggak tuaknya, sehingga badannya menjadi segar
kembali dan tenaganya pulih seperti sediakala. Dalam hati sang pendekar hanya
membatin,
"Gila! Keras sekali lemparan tadi. Mataku terasa seperti buta
dalam sekejap melihat sinar ledakan itu. Uuuhg...! Bagaimana keadaan lawanku,
apakah sama seperti keadaanku?!"
Nyai Jurik Wetan ternyata punya cara sendiri untuk atasi rasa sakitnya.
Dengan tarikan napas dan menahannya di dada, maka hawa sakti mengalir ke
seluruh tubuh dan tenaganya cepat pulih kembali.
Beberapa saat kemudian ia telah bangkit dan siap lakukan pertarungan
lagi. Sementara si gadis cantik hanya merasakan pusing sedikit serta
pandangannya agak kabur. Dengan mengibaskan kepala beberapa kali, rasa pusing
itu pun cepat hilang dan ia buru-buru memandang ke arah Suto Sinting yang telah
berdiri tegak itu.
"Oh, syukurlah dia tak mengalami cedera apa-apa," pikirnya
dalam kecemasan yang disembunyikan.
Namun ia sempat terkejut dan menjadi tegang manakala melihat Nyai Jurik
Wetan tiba-tiba melayang bagaikan terbang dalam kecepatan tinggi. Weess...! Tongkat
sang nenek yang telah disambarnya lagi itu masih utuh. Tongkat itu sekarang
sedang diarahkan kepada Suto Sinting. Ujung tongkatnya keluarkan pisau
sepanjang dua jengkal. Craaak...!
Pendekar Mabuk segera pasang kuda-kuda seperti orang mabuk mau jatuh.
Kedua kakinya merapat dan saling berhimpit depan belakang. Tubuhnya melengkung
ke kiri dengan tangan pegangi bumbung tuak yang seakan ingin dituangkan ke
mulut. Tiba-tiba tubuh Suto Sinting bergerak melesat cepat sekali ke arah
lawannya. Zlaaap..!
Bumbung tuaknya menghantam ujung tongkat berpisau dua jengkal itu.
Traaak...!
Blaarrr...!
Terdengar lagi ledakan yang menggelegar mengguncang alam sekelilingnya.
Tapi kali ini Suto Sinting berhasil daratkan kakinya dengan tegak di tempat
pertemuan mereka, sedangkan Nyai Jurik Wetan terlempar keras membentur pohon
kembali. Duuurrr...!
Daun pohon rontok seketika itu juga. Pohon tersebut menjadi tak berdaun
selembar pun. Bahkan salah satu dahannya patah. Untung jatuhnya dahan itu tidak
kenai kepala si Jurik Wetan.
"Edan betul!" gumam hati gadis itu menyimpan kekaguman
terhadap ilmu yang dimiliki Suto Sinting. "Bumbung tuak itu benar-benar
berkekuatan dahsyat! Jurik Wetan bisa dibuat terlempar sedemikian rupa, dan
kalau bukan si Jurik Wetan mungkin sudah mati saat ini juga!"
Memang kenyataannya si Jurik Wetan masih bisa berdiri tegak dengan satu
tarikan napas yang tertahan di dada. Nenek kurus itu bagai tak mengenal jera
sedikit pun. Ia masih ingin lakukan serangan kembali ke arah Pendekar Mabuk
dengan memutar tongkatnya yang keluarkan bunyi dengung memanjang itu.
Wuuuuung..., wuuuuuung.... Wuuungngng...!
Namun gerakan Nyai Jurik Wetan lambat laun menjadi terhenti karena
bunyi aneh yang datang dari arah semak-semak sebelah kirinya.
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...!
Pendekar Mabuk dan gadis itu juga merasa heran mendengar suara aneh
tersebut. Mereka sama-sama memandang ke satu arah tempat datangnya bunyi aneh
itu. Lalu, mereka sama-sama kerutkan dahi melihat kemunculan seorang tokoh
berjubah ungu kusam. Tokoh itu berusia sebaya dengan si Jurik Wetan. Kepalanya
botak tengah, sisa rambutnya yang putih dan tipis terurai sepanjang pundak.
Tubuhnya yang kurus dibungkus kain modei jubah warna ungu kusam.
"Siapa tokoh tua itu? Baru sekarang aku melihat
kemunculannya," pikir Suto Sinting yang merasa asing dengan tokoh tua
berjubah ungu kusam itu.
Suara aneh itu timbul dari benda yang dimainkan oleh si tokoh tua
berjubah ungu kusam itu. Rupanya benda yang dimainkannya berupa dua bola
sebesar jeruk peras yang dihubungkan dengan rantai hitam. Bola dari logam putih
berkilauan itu saling berbenturan dalam gerakan ke atas ke bawah sedangkan
tangan si tokoh tua itu memegangi pertengahan rantai tersebut.
Nyai Jurik Wetan pandangi tokoh tua yang bermain dua bandul dari logam
putih anti karat itu. Sementara orang yang dipandangnya yang cengar-cengir
sambil memainkan dengan seenaknya, tanpa melihat gerakan dua bandul yang saling
bertemu ke atas-ke bawah itu.
"Keparat kau, Bocah
Kolok! Minggirlah dari sini sebelum kau terkena sasaran tongkatku! Hentikan
mainanmu itu, Bocah Kolok!"
"He, he, he...! Jangan marah pada Wiio, Nyai. Wiio cuma main-main
saja. Tidak ganggu Nyai punya kerja. Wiio mau nonton Nyai tarung sama anak muda
itu kok!" kata si Bocah Kolok yang lagak-lagunya persis bocah usia lima
tahunan. Gerak-gerik dalam bicaranya juga seperti anak kecil. Bahkan ia
menyebut dirinya bukan dengan kata 'aku' atau 'saya', melainkan menyebut nama
kecilnya sendiri: Wiio. Penampilan yang kekanak-kanakan itu cukup menggelikan
hati Pendekar Mabuk, sehingga senyum sang pendekar pun mekar karena tak bisa
ditahan lagi.
"Bocah Kolok!" bentak Nyai Jurik Wetan. "Aku tak percaya
kau datang kemari hanya untuk menyaksikan pertarunganku dengan si Pendekar
Mabuk itu! Kau pasti akan berbuat usil terhadapku!"
"Iiih.... Nyai kok curiga buruk sama Wiio?!" sambil ia
bersungut-sungut seperti anak kecil sewot. "Wiio cuma main-main di sini,
kok disangka mau usil? Usil itu seperti apa, Nyai?"
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...!
"Hentikan mainanmu itu, Setan!"
Suara berisik itu berhenti. Lalu terdengar suara Bocah Kolok yang
segera sembunyikan mainannya ke belakang.
"Nyai jahat! Wiio main-main tidak boleh. Kalau Nyai bentak-bentak
dengan suara keras, boleh!"
Gadis cantik yang diam saja di bawah pohon itu sempat terkejut ketika
Suto Sinting berbisik di sampingnya, ia tak tahu kalau pemuda tampan itu sudah
ada di sampingnya.
"Siapa dia? Kau mengenalnya?"
Gadis itu hanya gelengkan kepala sambil memandang ke arah Bocah Kolok
dan Nyai Jurik Wetan lagi. Kedua tokoh tua itu sedang perang mulut. Nyai Jurik
Wetan merasa yakin akan mendapat gangguan dari Bocah Kolok, sementara Bocah
Kolok sendiri bersikeras tak mau pergi dari tempat itu dengan alasan hanya
ingin menyaksikan pertarungan si Jurik Wetan.
"Kalau kau tak mau pergi, kau sendiri yang akan kutumbangkan lebih
dulu, Bocah Kolok!"
"Jangan, Nyai. Wiio tidak nakal kok!" ujarnya dengan gaya
bocah cilik.
"Kau memang keras kepala, sebaiknya.... Uuhk...!"
Nyai Jurik Wetan tiba-tiba tersentak dan pegangi dadanya, ia mundur dua
langkah dengan tubuh semakin membungkuk. Matanya berusaha memandang Bocah Kolok
dan mulutnya berusaha lontarkan kata dengan nada berat.
"Setan kau, Bocah Kolok! Rupanya sudah dari tadi kau telah
menyerangku dengan suara mainanmu itu, Keparat!"
Nyai Jurik Wetan ingin bergerak lakukan serangan, tapi tubuhnya
tiba-tiba menggeloyor ke belakang dengan napas tersentak dan dada didekap lebih
kuat.
"Uuhhk...! Benar-benar jahanam kau!" suaranya kian memberat,
nyaris tak terdengar dari tempat Suto Sinting berdiri.
Bocah Kolok pandangi sang nenek dengan dahi berkerut, seolah-olah ia
merasa heran melihat keadaan si Jurik Wetan. Kedua tangannya masih
dikebelakangkan dan kepalanya miring ke sana-sini penuh keheranan.
"Uuuhoooek...!" Nyai Jurik Wetan tiba-tiba memuntahkan darah
segar. Tubuhnya semakin limbung dan bertumpu pada tongkatnya. Pendekar Mabuk
dan si gadis cantik sama-sama tertegun dalam keheranan.
Hanya saja, dalam hati si Pendekar Mabuk sempat membatin kata, "Jika
benar luka itu diderita karena bunyi tik-tok si Bocah Kolok itu, maka tak salah
dugaanku bahwa si Bocah Kolok pasti berilmu tinggi."
Tiba-tiba terdengar suara Nyai Jurik Wetan yang menggeram dengan mata
mendelik menyeramkan ke arah si Bocah Kolok.
"Awas kau! Awas... tunggu pembalasanku! Pasti kau yang melukaiku!
Aku kenal jurusmu yang pernah kurasakan tiga tahun yang lalu! Awas kau, Bocah
Kolok!"
Weeeesss...! Nyai Jurik Wetan sentakkan kaki dan melesat pergi bagai
menembus semak-semak, ia menghilang dan tak terdengar suaranya sedikit pun.
Bocah Kolok tegakkan badan, lalu mainannya dipermainkan lagi dengan
pelan. Ia pandangi wajah Pendekar Mabuk, lalu tersenyum bagai bocah kecil
sedang nyengir, ia dekati pemuda tampan dan gadis cantik itu dengan kedua
bandul putih itu saling sentuh tak secepat tadi.
Tik, tik, tik, tik, tik, tik...!
"Hik, hik, hik... nenek itu lari ketakutan. Hik, hik,
hik...!" ujarnya setelah berada dalam jarak empat langkah dari Suto
Sinting.
"Terima kasih atas bantuanmu, Pak Tua!"
"Ini bukan Pak Tua," katanya sambil menepuk dada.
"Ini namanya Wiio. Tapi ada yang panggil Wiio dengan julukan Bocah
Kolok. Wiio biarkan saja mereka panggil apa, Wiio tidak mau peduli dengan
panggilan itu.!"
"Terima kasih, Bocah Kolok. Kalau tak ada kau, mungkin
pertarunganku dengan Nyai Jurik Wetan belum selesai sampai sekarang juga. Ia
seorang nenek yang sukar ditumbangkan," kata Suto Sinting.
"Kau yang bernama Pendekar Mabuk, ya?"
"Betul, Bocah Kolok," sambil Suto bersikap menghormat.
"Hik, hik, hik... aku tahu kau yang bernama Suto Sinting,
bukan?" katanya sambil nyengir dan menuding-nuding seperti anak kecil.
Suto Sinting membalas keramahan dengan senyumnya. Tapi si gadis cantik
itu diam saja. Tak ada seulas senyum pun tampak mekar di bibirnya, ia berdiri
dan memandangi Bocah Kolok dengan sikap tenang. Sedikit berkesan judes.
"Bocah Kolok, kalau boleh kutahu dari mana kau mengenal
namaku?"
"Ah, Wiio sering dengar orang bicara tentang dirimu. Wiio hafal
ciri-ciri penampilanmu. Wiio juga tahu kau muridnya Kang Sabawana, yang dikenal
dengan nama Gila Tuak itu."
"Oh, kau kenal dengan guruku, Bocah Kolok?"
"Ya, kenal. Wiio bukan orang kurang pergaulan. Wiio dulu sering
main-main sama Kang Sabawana. Pernah ikut naik ke puncak Gunung Suralaya
bersama Kang Sabawana dan pelayannya; si Gendeng Sekarat itu!"
Pendekar Mabuk seperti mendengarkan celoteh anak kecil yang
menyombongkan pengalamannya. Namun wajah Suto tak pernah berhenti dari
keramahannya, seulas senyum selalu mekar di bibir si pemuda tampan itu. Sang
gadis sebentar-sebentar melirik Suto, sesekali perhatikan si Bocah Kolok.
Akibatnya, si Bocah Kolok menuding gadis itu dan berkata kepada Suto,
"Itu kekasihmu, Suto?"
"Oh, hmmm... eeeh... cobalah tanyakan sendiri padanya," jawab
Suto Sinting dengan kikuk dan sedikit tersipu.
"Yu, kau kekasihnya Pendekar Mabuk, ya Yu?"
Gadis itu gelengkan kepala.
"O, dia bisu?" ujar si Bocah Kolok kepada Suto.
"Hik, hik, hik, hik...!" lalu tertawa menutup mulutnya.
Gadis itu menjadi salah tingkah dan buang pandangan ke arah lain. "Eh
Yu... kau cantik sekali. Pasti hati Pendekar Mabuk berbunga-bunga jika berada
di sampingmu, Yu."
Gadis itu semakin malu dan salah tingkah. Suto Sinting hanya tersenyum
senyum dan sedikit renggangkan jarak dengan gadis itu.
"Jangan membuatnya tersipu malu, Bocah Kolok. Nanti dia marah
kepadaku."
"Gadis cantik kalau sampai marah kepada pemuda setampan dirimu,
pasti dia menyimpan kecemburuan.
Dan kalau dia simpan kecemburuan, berarti dia punya cinta. Eh,
ngomong-ngomong cinta itu seperti apa rasanya, Pendekar Mabuk? Wiio belum
pernah jatuh cinta sampai setua ini. Kasihan, ya?"
Pendekar Mabuk justru tertawa dan tak bisa memberi jawaban. Tapi
tiba-tiba tawa itu harus lenyap setelah tiba-tiba seberkas sinar kuning sebesar
jari telunjuk melesat dan menghantam bawah pundak kiri gadis itu.
Claaap...! Deesss...!
"Aaahk...!" Gadis itu terpekik dan tersentak mundur.
Kejap kemudian ia tumbang dalam keadaan tubuh berasap kuning berbau
seperti asap belerang. Suto Sinting cepat tangkap tubuh gadis itu hingga kepala
si gadis tak sempat terbentur di tanah.
"Racun 'Kembang Mayat'...!" seru si Bocah Kolok dengan nada terkejut
juga.
Weeeess...! Ia tiba-tiba lenyap dengan gerakan melompat, seakan
menembus alam gaib. Sementara itu, Suto Sinting yang menjadi tegang itu segera
merebahkan tubuh gadis itu di rerumputan, ia buru-buru menuangkan tuaknya ke
mulut si gadis. Sebagian tuak tertelan, tapi sebagian lagi tumpah ke sekitar
mulut.
Weess...! Jleeeg...!
Bocah Kolok kembali lagi dengan wajah menegang.
"Percuma. Tidak ada obat bisa sembuhkan racun 'Kembang Mayat', dan
tidak ada yang tahu apa obatnya kecuali pemilik racun 'Kembang Mayat' itu,
Suto!"
"Celaka! Apa yang akan terjadi pada diri gadis ini, Bocah
Kolok?!"
"Tubuhnya akan mengering dan menjadi kaku. Wiio pernah lihat orang
kena racun seperti itu. Tak sampai malam tiba, tubuh gadis ini pasti akan
menjadi kaku dan kering."
"Siapa pemilik racun itu?"
"Tadi Wiio kejar, tapi orang itu sudah pergi. Wiio tidak menemukan
siapa-siapa, Suto!"
"Tapi kau tahu siapa pemiliknya, bukan?!"
"Pemiliknya... hmmm... sebentar, Wiio ingat-ingat dulu nama
pemilik racun itu...." Bocah Kolok kerutkan dahi dan berpikir dengan
sungguh-sungguh. Beberapa saat lamanya baru suara bocahnya terdengar lagi,
"Aduh, Wiio lupa nama pemiliknya. Tapi Wiio tahu siapa orangnya.
Kalau ketemu, Wiio bisa kasih tahu dirimu wajah orangnya!"
"Celaka! Lalu apa yang harus kulakukan untuk selamatkan gadis
ini?!" ujar Suto Sinting setelah perhatikan beberapa saat, ternyata tak
ada tanda-tanda kesembuhan pada diri si gadis, walaupun beberapa tuak sudah
masuk ke dalam kerongkongannya. Gadis itu tetap lemas tak sadarkan diri. Bagian
dada bawah pundak kiri itu membekas hangus sebesar uang kerokan.
"Apakah kau tak bisa sembuhkan gadis ini dari racun 'Kembang
Mayat' itu, Bocah Kolok?"
"Wiio belum pernah coba. Tapi... tapi sebaiknya memang harus Wiio
coba dulu, ya? Siapa tahu bisa?!"
*
* *
3
TUBUH gadis itu dibaringkan di atas tanah yang dilapisi dedaunan, ia
dibawa masuk ke gua semula atas saran Bocah Kolok. Agaknya si Bocah Kolok
menaruh iba kepada gadis itu. Maka ia pun mencoba kerahkan tenaga untuk memberi
pertolongan gadis tersebut. Suto Sinting tak bisa berbuat apa-apa dan merasa
kecewa karena tuak saktinya tak bisa dipakai untuk menawarkan racun 'Kembang
Mayat' itu. Ia hanya bisa pandangi si Bocah Kolok lakukan penyembuhan dengan
menyalurkan hawa murninya ke tubuh si gadis.
Asap mengepul berulang-ulang dari telapak tangan si Bocah Kolok yang
ditempelkan ke bagian yang hangus di tubuh gadis itu. Asap putih itu lama-lama
berubah menjadi kebiru-biruan. Bocah Kolok gemetar dan keluarkan keringat di
sekujur badannya.
Sesaat kemudian ia hembuskan napas sambil melepas telapak tangannya
dari luka. Ia pandangi Suto Sinting sambil berdiri.
"Wiio sudah usahakan tawarkan racun itu, tapi sepertinya tak
banyak menolong. Racun itu masih kerja keras mengeringkan tubuh gadis itu,
Suto. Lihat saja, kulit gadis ini semakin kering dan tampak berbusik-busik.
Ih... Wiio jadi ngeri sendiri membayangkan kekasihmu akan jadi kering seperti
kayu bakar."
Pendekar Mabuk diam saja dengan napas terhempas menandakan sangat
prihatin atas nasib gadis yang belum diketahui namanya itu. Wiio sendiri tampak
tak yakin pengobatannya akan berhasil. Tubuh gadis itu diperhatikan baik-baik,
kemudian berkata lagi kepada Suto Sinting.
"Sepertinya Wiio kenal dengan gadis ini, Suto!"
"Bukankah kau datang untuk membela gadis ini?"
"Bukan," jawab Bocah Kolok sambil gelengkan kepala.
"Wiio kebetulan saja lewat tempat ini."
"Tujuannya mau ke mana?"
"Mau... mau... aduh, mau ke mana, ya?" Wiio bingung sendiri,
ia berpikir beberapa saat, tapi belum menemukan jawaban. Wajah tuanya menjadi
serupa dengan bocah bingung yang tak ingat alamat rumahnya.
Suto Sinting geleng-geleng kepala pelan sambil membatin, "Rupanya
dia sudah pikun. Tapi dia masih bisa mengingat namaku dan ciri-ciriku? Apakah
dia pikun untuk hal lain saja, sedangkan untuk mengingat nama dan ciri-ciriku
tak termasuk kepikunannya?
Hmmm... aneh sekali dia. Dari mana asalnya dan siapa dirinya
sebenarnya, aku sama sekali belum mengetahuinya."
"Aduh," keluh si Bocah Kolok dengan jengkel. "Wiio jadi
benar-benar lupa harus ke mana dan mau apa lewat tempat ini? Hmmm... seingat
Wiio, ada seseorang yang ingin Wiio temui. Tapi siapa orang itu dan mengapa
ingin menemuinya, Wiio benar-benar lupa, Suto."
"Dari mana asalmu, apakah kau juga lupa?"
"Hmmm.... Wiio dari... dari...," kakek tua itu diam sebentar,
merenungkan tempat asalnya. Kejap kemudian ia berkata sambil menatap Suto
Sinting.
"Pokoknya Wiio tinggal di Bukit Talang "
"Di mana arah Bukit Talang?"
"Hmmm... di... di...." Bocah Kolok kerutkan dahinya.
"Di... di mana, ya? Aduh, Wiio jadi benci sama otak Wiio sendiri
ini! Wiio sering lupa. Mungkin karena sering makan pantat ayam jadi mudah lupa
begini."
Suto Sinting tertawa tanpa suara. Tawa itu cepat reda dan berganti
sikap iba memandangi si gadis cantik.
Ternyata nasib si gadis cantik dapat berubah menjadi kering jika tak
tertolong sampai malam tiba.
"Apakah kau tak punya kekuatan lagi untuk menolong gadis itu,
Bocah Kolok?"
Pak tua itu geleng-geleng kepala sambil pandangi si gadis malang.
"Wiio lupa, apakah Wiio punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah
Wiio pakai sembuhkan gadis itu tadi, atau masih ada ilmu simpanan lain yang...
ah, Wiio benar-benar lupa, Pendekar Mabuk."
"Tapi kau tidak lupa dengan ciri dan namaku, bukan?"
"O, itu karena Wiio selalu memikirkan dirimu."
"Memikirkan diriku?" Suto Sinting kernyitkan alis.
"Mengapa kau selalu memikirkan diriku?"
"Karena Wiio ingin sekali dapat jumpa dengan pendekar muda yang
namanya jadi bahan bicaraan pada tokoh di rimba persilatan."
"Untuk apa kau ingin jumpa denganku? Sekadar ingin tahu atau ada
keperluan lain?"
"Nah, itu dia yang Wiio tidak ingat lagi. Sepertinya Wiio punya
keperluan sendiri padamu, Suto. Tapi... tapi keperluan apa itu? Wiio juga lupa.
Mungkin malah Wiio hanya sekadar ingin ketemu pendekar kondang saja, setelah
itu puaslah hati Wiio. Ah, tak tahulah apa maksud Wiio ini sebenarnya."
"Payah...," gumam Suto Sinting.
"Memang Wllo belakangan ini jadi orang payah! Jarang punya uang,
jarang makan, rumahnya jelek, payah sekali pokoknya."
"Maksudku payah itu, kau benar-benar menyedihkan kalau segala
sesuatunya tidak bisa kau ingat!"
"O, begitu?" Wiio manggut-manggut. Ia diam sejenak, kemudian
sebelum Suto mengatakan sesuatu, Bocah Kolok itu berkata dengan penuh semangat
hingga mengejutkan Suto.
"Aaah... Wiio ingat!" serunya seperti anak kecil bersorak.
Tubuhnya ikut melonjak kegirangan.
Tangannya bertepuk satu kali dan wajahnya sangat ceria.
"Apa yang kau ingat?"
"Wiio punya ilmu buat perpanjang umur."
"Perpanjang umur bagaimana?"
"Namanya ilmu 'Rentang Nyawa'," sambil matanya memandang ke
atas sebagai tanda mengingat-ingat nama ilmu 'Rentang Nyawa' itu.
"Maksudmu, umur seseorang bisa berubah menjadi panjang melampaui
batas takdir hidupnya?" tanya Suto semakin ingin tahu.
"Bukan, bukan...." Bocah Kolok gelengkan kepala sambil
gerakkan tangannya. "Maksud Wiio, ilmu itu bisa untuk menunda kematian
tiba. Tapi tak bisa lama. Hanya satu hari saja."
"Apakah berguna untuk gadis itu?" sambil Suto Sinting
menuding si gadis malang.
"Hmmm... sepertinya... sepertinya bisa berguna," jawab Wiio
seperti anak kecil menyombongkan diri.
"Kalau begitu, coba lakukan untuk gadis itu."
"Tapi umur gadis itu tidak bisa panjang sekali. Ilmu
'Rentang Nyawa' hanya bisa menahan roh seseorang agar tak lekas-lekas
tinggalkan jasadnya. Misalnya, gadis ini sebenarnya nanti malam sudah mati,
dengan menerima getaran hawa ilmu 'Rentang Nyawa', maka roh gadis itu nanti
malam belum pergi keluar dari raga. Roh itu diam di raga karena ditahan getaran
gelombang gaib. Esok malam, barulah roh gadis itu akan pergi tinggalkan
raganya."
"Hmmm... jika begitu kita punya waktu lebih panjang lagi untuk
mencari obat penawar racun 'Kembang Mayat' itu, Wiio."
"Wiio pikir-pikir... memang begitu keuntungannya. Tapi...,"
ujarnya sambil melirik seperti anak kecil yang sedang melucu.
"Tapi apa lagi?" Suto tampak tak sabar.
"Tapi percuma saja kita tahan rohnya jika kita tidak tahu
bagaimana cara menangkal racun 'Kembang Mayat' itu. Kalau kita sudah punya obat
penangkal racun, harus diambil di tempat jauh, nah... untuk memperpanjang waktu
bisa saja Wiio pakai ilmu 'Rentang Nyawa' itu. Tapi kalau...."
"Sudahlah jangan banyak bicara dulu, gunakan saja ilmu 'Rentang
Nyawa'mu itu. Nanti kita pikirkan bagaimana cara mengatasi racun dalam tubuh si
gadis malang itu, Wiio."
"Baiklah, baiklah...!" Wiio manggut-manggut sambil mendekati
gadis itu.
Kedua tangan Bocah Kolok mulai berasap setelah bergerak maju dalam
keadaan mengeras. Gerakan itu dilakukan pelan-pelan sambil napasnya keluar dari
mulut berkali-kali. Kemudian tangan yang berasap samar-samar itu mendekati
bagian perut si gadis. Ujung jari-jarinya menyala kuning pijar.
Ketika tangan itu menempel di perut si gadis, maka asap yang keluar
dari tangan tersebut seperti tersedot oleh tubuh si gadis. Kini bagian perut si
gadis mulai tampak keluarkan cahaya kuning pijar samar-samar.
Lebih dari sepuluh helaan napas si Bocah Kolok tempelkan tangan ke
perut gadis itu. Pendekar Mabuk perhatikan betul cara pengobatan tersebut
dengan hati sedikit berdebar-debar.
"Eeeh...!" si gadis mulai mengeluh tipis. Jari-jari tangannya
bergerak pelan lebih dulu, kemudian kakinya mulai bergerak lemah. Dadanya yang
sekal tampak naik turun pertanda ia mulai siuman. Bagian luka hangus
mengepulkan asap tipis, namun warna hitamnya masih belum hilang.
Bocah Kolok segera bangkit dan berkata kepada Suto, "Wiio hanya
bisa menghambat kerja racun, tapi tidak bisa memusnahkannya."
"Mengapa tidak kau lakukan berkali-kali, siapa tahu racun itu bisa
punah oleh kekuatan ilmu 'Rentang Nyawa'-mu itu?"
Bocah Kolok gelengkan kepala. "Wiio takut, ah!"
Lalu ia jauhi gadis yang mulai menggeliat dan membuka matanya.
"Nyawanya masih akan ada sampai besok sore.
Malamnya ia pasti sudah tidak bernyawa lagi," ujar Wiio, dan
keterangan itu hanya membuat Pendekar Mabuk menarik napas panjang-panjang, merasa
sangat sedih membayangkan nasib si gadis malang itu.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk teringat sebuah genangan air menyerupai kolam
yang berwarna hijau bening dalam istana jerami milik Ratu Cumbutari. Kolam itu
sebenarnya sebuah sendang alam yang dirawat dan dijadikan sebuah kolam oleh
Ratu Cumbutari. Kolam itulah yang dinamakan Sendang Ketuban, yang mampu
mengalahkan racun apa pun yang tak bisa dikalahkan oleh obat lain. Sendang
Ketuban terletak di negeri Wilwatikta dan negeri itu berada di Gunung Purwa, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").
Maka membatinlah hati Suto pada saat diam merenung di depan Wiio,
"Haruskah aku lari ke Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang
Ketuban? Sepenting itukah aku menyempatkan diri pergi ke sana hanya demi
selamatkan gadis yang belum kukenal ini?"
Hal itu dibicarakan kepada si Bocah Kolok. Lalu orang tua yang
bertingkah seperti anak kecil itu pun keluarkan pendapatnya,
"Kalau kau bisa pergi dan pulang membawa air Sendang Ketuban tak
lebih dari esok malam. Maka usahamu itu tidak akan sia-sia, Suto. Tapi kalau
kau datang lewat dari esok malam, maka percuma saja kau pergi ke Gunung
Purwa."
"Kurasa, aku bisa mempercepat langkahku dan tiba di sini pada esok
siang."
"Kalau memang bisa begitu, alangkah baiknya kau pergi sekarang
juga ke Sendang Ketuban itu. Wiio akan jaga gadis ini, sambil Wiio ingat-ingat
siapa gadis ini sebenarnya."
"Bagaimana jika kita tanyakan kepadanya siapa dia
sebenarnya?"
"Wiio rasa, gadis itu belum bisa bicara, tenaganya masih lemah
sekali, dan mungkin tenggorokannya masih kering, belum bisa dipakai untuk
bicara."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, kemudian si Bocah Kolok berkata lagi, "Wiio
sarankan kalau mau berangkat ke Gunung Purwa, sebaiknya berangkatlah mulai
sekarang biar waktumu tidak banyak terbuang."
"Baiklah, aku berangkat sekarang dan jaga dia baik-baik!"
"Hati-hatilah, Pendekar Mabuk!" si Bocah Kolok melepas
kepergian Pendekar Mabuk sampai di luar gua.
Lalu, murid sinting si Gila Tuak itu pun melesat ke arah negeri Wilwatikta
dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang mempunyai kecepatan melebihi
badai itu.
Zlaaap...! Zlaaap...! Zlaaap...! Setiap niat baik selalu saja akan
menemui cobaan sebagai perwujudan dari kesungguhan niat itu. Demikian halnya
dengan si Pendekar Mabuk, langkahnya terhenti karena sebuah rintangan
menghalanginya. Rintangan itu adalah kemunculan cahaya biru berlarik-larik yang
menyebar dan mengarah kepadanya. Pendekar Mabuk tak tahu datangnya cahaya biru
itu dari arah samping belakangnya. Zraaab...!
Sinar biru berlarik-larik itu akhirnya menghantam Suto Sinting yang
membuat si Pendekar Mabuk itu terpental ke arah lain. Weess...! Burrkk . !
"Aahk...!" Suto Sinting terpekik, kemudian berusaha bangkit,
tapi segera menyadari bahwa dirinya telah terjerat kekuatan dari sinar biru
yang kini mengurungnya dan makin lama sinar-sinar biru itu bergerak semakin
rapat dengan tubuh Suto Sinting. "Celaka! Tubuhku bagai ada yang
menjeratnya dengan tambang yang sangat kuat. Ouuuh...! Pernapasanku sesak sekali!"
Pendekar Mabuk menggeram sambil berusaha lepaskan diri dari jeratan
gaib tersebut.
"Uuuh...! Sulit sekali menggerakkan tanganku untuk menenggak
tuak?! Kurang ajar betul orang yang menyerangku ini! Hmmm... sepertinya
sinar-sinar biru yang menjeratku ini pernah kulihat saat si Kusir Hantu dan
Pematang Hati mengalami nasib seperti ini! Kalau tak salah sinar-sinar biru ini
kiriman dari si Hulubalang Iblis!" sambil ingatan Suto sempat mengenang
peristiwa beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ratu Cendana Sutera").
Beberapa saat kemudian muncullah seraut wajah tua berbaju biru dan
celana hitam. Tokoh itu berambut pendek dan tipis warna merah seperti rambut
jagung. Di pinggangnya terselip cambuk pusaka yang panjangnya hanya sekitar empat
jengkal. Tokoh kurus berambut merah jagung itu tak lain adalah si Kusir Hantu,
tokoh ternama dari Bukit Seram.
"Kusir Hantu... aku terkena...."
Kusir Hantu segera menyahut, "Jurus 'Jalasuma' itu namanya. Kau
masih ingat jurus tersebut, Suto?! Hmmm... pasti di sekitar sini ada si
Hulubalang Iblis. Akan kucari pentolan setan itu! Pepatah mengatakan: 'Kuda
lari jangan dikejar, nasib orang... tidak sama seperti nasib kuda'. Memang
keparat busuk si Hulubalang Iblis itu!"
"Kusir Hantu, tunggu sebentar...."
Weess...! Kusir Hantu pun mampu lakukan gerakan cepat yang mirip orang
menghilang, sehingga sebelum Suto Sinting selesai bicara ia sudah menghilang
lebih dulu dari hadapan sang Pendekar Mabuk.
Suto Sinting hanya mengeluh dan menggeram jengkel dalam hati sambil
berusaha menahan kekuatan jerat dari sinar-sinar biru tersebut. Sebab menurut
keterangan dari si Kusir Hantu yang pernah didengarnya, bahwa sinar biru yang
datang dari jurus 'Jalasuma'-nya si Hulubalang Iblis itu dapat memotong tubuh
manusia yang dijeratnya jika sampai beberapa saat orang tersebut tak bisa
lepaskan diri dari jeratan itu. Pendekar Mabuk pun menjadi mulai tegang ketika
si Kusir Hantu tidak muncul-muncul sampai beberapa saat lamanya.
*
* *
4
KETIKA si Kusir Hantu dan cucunya terjerat jurus 'Jalasuma', Pendekar
Mabuk yang menolong dengan menghancurkan sinar-sinar biru tersebut. Kini,
keadaan Pendekar Mabuk yang tak berkutik itu ganti ditolong oleh si Kusir Hantu
dengan cara menghancurkan sinar-sinar biru tersebut. Kusir Hantu muncul kembali
setelah beberapa saat kerepotan mencari si pemilik jurus 'Jalasuma' itu.
Seberkas sinar merah kecil dilepaskan oleh si Kusir Hantu dari ujung
telunjuknya. Claaap...! Sinar merah kecil itu menghantam kumpulan sinar-sinar
biru dan menimbulkan ledakan yang cukup keras.
Blaarrr...!
Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang akibat ledakan tersebut. Badannya
terasa bagai dibungkus api. Ia buru-buru menenggak tuaknya, maka rasa
terbungkus api pun segera lenyap. Kini ia berdiri pandangi si Kusir Hantu yang
sedang tersenyum cengar-cengir memperhatikannya.
"Satu sama!" celetuk si Kusir Hantu. "Dulu ketika aku
terjerat 'Jalasuma' kau menolongku dengan meledakkan sinar itu dan aku
terlempar bersama cucuku. Sekarang kau pun kutolong dan ikut-ikutan terlempar
seperti aku dulu. He, he, he...! Pepatah mengatakan: 'Lain lubuk lain
belalang', artinya lain cara menolong lain pula belalangnya, he, he, he,
he...!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kelegaan sambil sama-sama maju saling
menghampiri. Setelah mencapai jarak satu langkah Kusir Hantu menepuk-nepuk
pundak Suto Sinting dengan sikap ramahnya.
"Sudah dua purnama kita tak jumpa, ternyata kau makin hari makin
gagah saja, Nak!"
"Kau pun makin tua makin gagah, Pak Tua."
Keduanya tertawa pelan, lalu wajah mereka saling berkerut setelah
Pendekar Mabuk ajukan tanya, "Apakah orang yang menyerangku dengan jurus
'Jalasuma' tadi berhasil kau tangkap, Pak Tua?"
"Ya, itulah yang membuatku bingung. Aku tak menemukan si
Hulubalang Iblis. Padahal setahuku jurus itu milik si Hulubalang Iblis. Tapi
yang kutemukan adalah aroma wangi seorang perempuan."
"Perempuannya sendiri ada?" Kusir Hantu gelengkan kepala.
Tokoh tua berusia sekitar enam puluh tahun itu segera berkata dengan gayanya
yang senang menggunakan pepatah walau maksudnya tak pernah jelas.
"Perempuan yang beraroma wangi itu tidak kutemukan. Tapi aku mulai
bisa mengenali aroma wangi itu, jika suatu saat kujumpa dengan perempuan
tersebut. Pepatah mengatakan: 'Jika ada sumur di ladang, boleh saya menumpang
mandi....'"
"Maksud pepatah itu bagaimana, Pak Tua?"
"Jika ada umurku panjang, boleh kita mandi bersama. He, he, he...!
Maksudku, bersama dengan perempuan yang beraroma wangi itu. He, he,
he...!"
Dalam hatinya Suto Sinting hanya membatin, "Tokoh tua yang satu
ini memang gemar bercanda. Seakan dirinya merasa selain muda. Menyenangkan
sekali jumpa dengannya, hanya sayang aku menjadi penasaran dan ingin mengetahui
perempuan mana yang berani menyerangku dengan jurus 'Jalasuma' tadi? Apakah ia
ada hubungannya dengan si Hulubalang Iblis?"
Kusir Hantu yang bernama asli Ki Pujasera itu segera ajukan tanya
sambil garuk-garuk pantatnya, "Nak, apakah kau melihat cucuku di lain
tempat?"
"Maksudmu si Pematang Hati?"
"Benar. Aku mencarinya, juga mencari adiknya yang bernama Mahligai
Sukma."
"O, aku tidak jumpa dengan cucumu, Pak Tua,"
jawab Suto Sinting. "Apakah ada sesuatu yang penting sehingga kau
mencari mereka?"
"Sangat penting, dan menurut dugaanku dia sedang mencarimu."
"Mencariku?" Suto Sinting berkerut dahi.
"Mengapa ia mencariku?"
"Mungkin rindu," jawab si Kusir Hantu. "Mungkin juga
karena ia ingin meminta bantuan padamu. Yang jelas, terakhir kali kubertemu
dengan seorang kenalannya yang mengatakan bahwa Pematang Hati pergi mencari
Pendekar Mabuk. Kusangka ia sudah kau bawa ke kediaman gurumu, Nak."
"Untuk apa aku membawa cucumu ke sana?"
"Barangkali kalian mau menikah di depan si Gila Tuak?"
Pendekar Mabuk tertawa pelan tapi agak panjang.
"Nak, Pematang Hati itu gadis yang baik dan masih perawan
ting-ting. Jangan anggap remeh cucuku itu, Nak!"
"Aku tidak memandang remeh cucumu, Pak Tua. Aku hanya menertawakan
dugaanmu. Mengapa sampai sejauh itu kau menduga perasaan hati kami? Belum tentu
cucumu sendiri mempunyai niat seperti yang terbayang dalam otakmu, Pak
Tua."
"Kalau Pematang Hati tidak mempunyai niat seperti dugaanku,
berarti aku baru tahu bahwa cucuku itu gadis yang berotak bebal, bodoh dan
kolot! Pepatah mengatakan: 'Ringan sama dijinjing, berat sama
dipukul....'"
"Dipikul!" Suto membetulkan ucapan tersebut.
"Iya, dipikul. Artinya...."
Belum sempat Kusir Hantu lanjutkan arti peribahasa yang dilontarkannya
itu, tiba-tiba mereka sama-sama dikejutkan oleh kemunculan dua orang berpakaian
serba hitam. Satu orang berambut ikal pendek dan mengenakan ikat kepala hijau,
sedangkan yang satu berambut panjang sepundak agak kurus dan mengenakan ikat
kepala kuning. Kemunculan mereka bagaikan jatuh dari langit, karena mereka
lakukan lompatan melintas bagian atas semak-semak untuk tiba di tempat itu.
Jleg, jleg....!
Kusir Hantu cepat menyapa kedua orang yang segera menampakkan sikap tak
bersahabat itu.
"Darah Gunung dan Lintah Saberang! Selamat jumpa lagi, Adik-adikku
yang ganteng? Apa kabar kalian, Dik?!"
"Ggrrmmmhh...!" Orang yang berikat kepala hijau itu menggeram
menampakkan permusuhannya. Pendekar Mabuk sempatkan diri berbisik kepada si
Kusir Hantu,
"Siapa mereka, Pak Tua?"
"Yang pakai ikat kepala hijau bernama Darah Gunung, dan yang pakai
ikat kepala kuning berbadan kurus serta bermuka lonjong itu adalah si Lintah
Saberang. Mereka anak buah Hulubalang Iblis."
"Kalau begitu, pasti mereka bermaksud tak baik pada kita, Pak
Tua,"
"Gelagatnya memang begitu, tapi... tenang saja kau.
Tenang saja. Biar kuhadapi sendiri kedua orangnya si Hulubalang Iblis
itu!" ujar Kusir Hantu sambil tepuk-tepuk lengan Suto Sinting. Bahkan ia
tambahkan kata lagi dalam bisikan, "Mundurlah sedikit, biar gerakanku tak
terhalang keadaanmu."
Suto Sinting angkat bahu dan lebarkan tangan pertanda pasrah kepada si
Kusir Hantu, lalu ia pun melangkah mundur hingga sampai di bawah pohon. Ia berdiri
dengan bumbung tuak menggantung di pundak, kedua tangan bertolak pinggang
sebelah kiri, dan tangan kanannya dipakai menopang ke batang pohon tersebut.
Matanya memperhatikan kedua orangnya Hulubalang Iblis yang tampak
sangar-sangar itu.
"Apa maksudmu datang menemuiku di sini, Darah Gunung dan Lintah
Saberang?" tanya si Kusir Hantu dengan sikap tenang, bahkan gerak-geriknya
tampak acuh tak acuh, seakan sangat tidak peduli dengan kedua orang di depannya
itu. Sikap seperti itu rupanya membuat si Lintah Saberang menjadi geram dan
menahan kedongkolan dalam hatinya. Tulang rahangnya yang sedikit menonjol itu
tampak sedang menggeletukkan gigi di dalam mulut dengan pancaran matanya terasa
dingin membekukan darah orang yang dipandangnya.
"Kusir Hantu, bersujudlah di depanku sebelum masa hidupmu berakhir
bersama cucu-cucumu!" ujar Darah Gunung dengan suaranya yang lantang. Tapi
si Kusir Hantu hanya terkekeh memandang remeh terhadap ucapan tadi.
"He, he, he, he.... Aku sudah lupa bagaimana cara bersujud. Jika
kau mau, tolong berikan contoh bagaimana cara bersujud itu, Darah Gunung!"
"Bangsat!" sentak Darah Gunung kemudian tangannya berkelebat
melepaskan pukulan jarak jauh dari tempatnya berdiri. Wuuut, weess...!
Buhhk...! Pukulan itu mengenai dada si Kusir Hantu dengan telak. Tubuh
si Kusir Hantu sampai terjengkang ke belakang dan jatuh terkapar, kepalanya
membentur sebatang pohon kering yang telah tumbang beberapa waktu yang lalu.
Duuuhk...!
Suto Sinting sempat menampakkan kecemasannya dengan buru-buru dekati si
Kusir Hantu dan ingin menolongnya. Tapi Pak Tua itu lebih cepat bangkit sebelum
Suto mengulurkan tangannya.
"Pak Tua, bagaimana keadaanmu?"
"Tenang saja! Pepatah mengatakan: 'Sekali merengkuh dayung dua
tiga hari capeknya tidak hilang-hilang'. Kau tetap tenang saja di tempatmu.
Mereka akan kuselesaikan secara jantan."
Pendekar Mabuk akhirnya mundur dan kembali ke tempatnya semula,
membiarkan si Kusir Hantu maju beberapa langkah dekati kedua lawannya. Wajah
tua itu masih tampak cengar-cengir menjengkelkan lawan.
"Pukulan seperti itu kau lepaskan untuk diriku, Darah Gunung.
Bukankah itu pukulan untuk membunuh nyamuk rawa-rawa?!" ujar si Kusir
Hantu dengan nada mengejek. Darah Gunung semakin dongkol, maka ia pun berseru
dengan maju satu langkah lagi.
"Kau ingin yang bisa memecahkan kepalamu? Terimalah ini,
heeaah...!"
Weeess...! Tubuh si Darah Gunung tiba-tiba melayang dalam gerakan
seperti singa menerkam, lalu berubah dalam gerakan salto. Ketika tubuhnya
berbalik itulah kedua kaki si Darah Gunung menendang kepala Kusir Hantu secara
beruntun. Duhk, duhk, duhk...!
Tendangan terakhir terasa lebih kuat, bagaikan ingin memecahkan tulang
tengkorak si Kusir Hantu. Tak heran jika si Kusir Hantu terlempar ke belakang
lagi dan jatuh terpelanting dengan dahi membentur ujung kayu kering.
Krraakkk...!
"Ha, ha, ha, ha...!" Lintah Saberang tertawa kegirangan
melihat Kusir Hantu terpental begitu rupa.
Suto Sinting geregetan melihat Kusir Hantu tidak ada perlawanan sedikit
pun. Tangan si Pendekar Mabuk itu sudah menggenggam kuat, ingin lakukan
serangan mendadak ke arah Darah Gunung. Tetapi niat itu terpaksa dibatalkan.
Pendekar Mabuk justru terkejut dan memandang heran kepada Darah Gunung
yang tiba-tiba terlempar sendiri dari sikap berdirinya. Wuuut...! Bruuuk...!
Brrrurs...! Buhhk, buhk, bruuusss...!
"Aaauh, oouh, aaaah, uaaah...!"
Lintah Saberang terbelalak dan terheran-heran melihat rekannya jungkir
balik, jatuh-bangun dan tersungkur-sungkur sendiri tanpa ada yang menyerang.
"Kenapa dia seperti orang kena penyakit ayan begitu?!" pikir
si Lintah Saberang. "Padahal si Kusir Hantu sedang bergegas bangun, belum
lakukan serangan apa-apa, tapi mengapa Darah Gunung seperti ada yang
menyerangnya tanpa kelihatan wujud penyerangnya?!"
"Ouuuuhhh...!"
Darah Gunung mengerang panjang sambil wajahnya mencium tanah, ia
bangkit pelan-pelan setelah mendengar seruan Lintah Saberang.
"Darah Gunung, kenapa kau?! Siapa yang menyerangmu?!"
Darah Gunung mencoba untuk bangun dengan sempoyongan. Wajahnya yang
memandangi si Kusir Hantu itu tampak memar. Banyak luka yang membiru di sekitar
wajah. Bahkan tiba-tiba ia tersentak dan memuntahkan darah segar dari mulutnya,
ia memegangi dadanya yang terasa sakit bagai habis dihantam pukulan bertenaga
dalam cukup besar.
Kusir Hantu hanya cengar-cengir, bagai tak pernah menerima serangan apa
pun dari lawannya. Bahkan dahinya yang membentur ujung pohon kering itu tidak
mengalami luka sedikit pun.
Tetapi dahi Darah Gunung justru berdarah. Lukanya seperti luka bekas
benturan. Kepala bagian belakang juga tampak berdarah, seperti bekas benturan
benda keras. Melihat keadaan itu, Pendekar Mabuk pun segera manggut-manggut
dengan senyum tipis dan hati membatin,
"Ooo, ya, ya, ya... aku ingat sekarang. Kusir Hantu mempunyai ilmu
'Timbal Rasa' yang membuat lawannya babak belur sendiri jika menyerangnya.
Pantas Kusir Hantu dari tadi diam saja, tidak menangkis, tidak menghindar dan
tidak menyerang. Rupanya ia mengandalkan ilmu 'Timbal Rasa'-nya yang membuat
Darah Gunung menderita sakit di bagian dada, karena ia tadi menghantam dada
Kusir Hantu. Dahinya dan kepalanya yang luka itu pasti terjadi akibat ia tadi
menendang kepala Kusir Hantu hingga Kusir Hantu membentur kayu kering itu. Wah,
bisa-bisa semakin parah serangan Darah Gunung yang kenai tubuh Kusir Hantu,
semakin parah pula luka yang diderita si Darah Gunung sendiri."
Rupanya kedua orang utusan Hulubalang Iblis itu belum dibekali
pengetahuan tentang ilmu 'Timbal Rasa' yang menjadi salah satu kesaktian si
Kusir Hantu, sehingga mereka perlakukan si Kusir Hantu seenaknya saja, tanpa
memikirkan akibat buruk bagi diri mereka sendiri. Bahkan kali ini Lintah
Saberang yang merasa hatinya menjadi makin panas, ganti menyerang Kusir Hantu
dengan mencabut goloknya dan berseru,
"Bangsat tengik kau, Tua Bangka! Kubedah perutmu sekarang
juga!"
"Hei, Tua Bangka itu kakakku. Namaku si Kusir Hantu, jangan salah
sebut, Kawan! He, he, he, he...!"
"Heeeaaaah...!"
Lintah Saberang lebih ganas lagi. Ia lakukan lompatan bersalto dengan
cepat, tahu-tahu tubuhnya yang turun dari atas itu sudah berada di depan si Kusir
Hantu. Goloknya segera berkelebat tepat ketika kakinya menyentuh tanah. Wuuut,
craaass...!
Menghadapi sabetan golok dari atas ke bawah, si Kusir Hantu hanya diam
saja dan cengar-cengir. Tak heran jika golok itu kenai sasaran; merobek dada
hingga perut si Kusir Hantu.
Tetapi tubuh Lintah Saberang sendiri yang terpental mundur dan suaranya
memekik dengan keras.
"Aaaaakh...!"
Ia terhuyung-huyung dalam gerakan mundur dan mata mendelik. Dadanya
sendiri yang robek sampai sebatas bawah pusar. Keadaannya sungguh mengerikan.
Darah menyembur dari luka robekan itu dan isi perutnya pun mulai
berhamburan begitu ia tumbang dalam keadaan telentang.
Darah Gunung mendelik melihat si Lintah Saberang terkapar dalam keadaan
sekarat, ia segera dekati si Lintah Saberang bersama wajah memarnya yang kian
menegang. Tapi sebelum Darah Gunung mendekat, ternyata Lintah Saberang telah
hembuskan napas terakhir dan tubuhnya pun melemas, diam tak berkutik selamanya.
"Bangsat terkutuk kau, Setan Tua!" geram si Darah Gunung
sambil pandangi Kusir Hantu penuh dendam membara.
"Pulanglah dan kusarankan tak perlu menyusul temanmu itu, Darah
Gunung. Biarkan dia jalan-jalan ke neraka sendiri, kau tak perlu merasa
iri!" ujar si Kusir Hantu. "Pepatah mengatakan: 'Sambil menyelam
minum tuak'. Artinya...."
Belum habis Kusir Hantu bicara, Darah Gunung telah lepaskan pukulan
jurus andalannya. Seberkas sinar merah melesat dari telapak tangannya dalam
gerakan seperti kilat menyambar. Clap, clap, clap...! Sinar merah itu
menghantam leher Kusir Hantu.
Zeerrb...!
Blaaarr...!
Ledakan cukup keras terdengar menggema dan menggetarkan beberapa
dedaunan. Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget melihat Kusir Hantu dihantam
sinar itu dan mendengar ledakannya.
Tetapi wajah kaget Pendekar Mabuk berubah bengong melompong dan
geleng-geleng kepala setelah melihat keadaan yang sebenarnya. Bukan kepala si
Kusir Hantu yang pecah, melainkan kepala si Darah Gunung sendiri yang pecah
bagai habis dihantam sinar berkekuatan tenaga dalam cukup dahsyat. Sedangkan si
Kusir Hantu hanya cengar-cengir pandangi tubuh Darah Gunung yang
melayang-layang limbung tanpa kepala, kemudian tumbang ke tanah tak
bergerak-gerak lagi.
Pecahan kepalanya menyebar ke berbagai arah dan sukar dikenali.
"Ada orang tua bicara belum selesai kok sudah diputus. Akibatnya
ya kesamber geledek begitu. He, he, he...!"
Weeesss...! Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul dan tahu-tahu sudah
berada di depan Kusir Hantu. Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut dan
Kusir Hantu hanya cengar-cengir bagai tak terkejut melihat kehadiran tokoh
tersebut.
*
* *
5
TOKOH yang baru datang itu masih tampak muda. Ia seorang gadis berusia
sekitar dua puluh satu tahun, berwajah cantik imut-imut, mengenakan baju hijau muda,
rambut dikonde dua dan berkulit kuning langsat.
Pendekar Mabuk pernah jumpa dengan gadis itu, sedangkan Kusir Hantu
sudah tak merasa asing lagi dengan gadis bermata bundar bening itu. Ia adalah
cucu dari si Tua Bangka yang bernama Cawan Pamujan.
"Cawan Pamujan, rupanya ada sesuatu yang penting sehingga kau menemuiku
di sini, Anak Manis?" sapa Kusir Hantu.
"Betul, Eyang. Aku disuruh menemui Eyang Kusir Hantu," jawab
gadis itu dengan nada manja. Wajah cantiknya kala itu sedang murung, dan
kemurungan tersebut menjadi pusat perhatian Suto Sinting.
"Siapa yang menyuruhmu menemuiku, Cawan Pamujan?"
"Siapa lagi kalau bukan saudaraku sendiri, alias cucumu juga,
Eyang."
"Pematang Hati maksudmu?"
"Betul. Dia... dia sekarang dalam bahaya, Eyang!" sambil
Cawan Pamujan mendekati Kusir Hantu yang merupakan adik dari kakeknya itu.
"Bahaya apa yang kau maksud, Cawan Pamujan?!" tanya Suto
Sinting. Gadis itu semakin menampakkan kegelisahannya, memandang Kusir Hantu
dan Pendekar Mabuk berganti-gantian.
"Pematang Hati tertangkap oleh orang-orang Tebing Hitam. Waktu
itu, aku dan Pematang Hati sedang menuju ke Lembah Tirta untuk temui sahabat si
Pematang Hati. Tetapi di perjalanan kami disergap oleh orang-orang Tebing
Hitam. Aku bisa meloloskan diri, tapi Pematang Hati tertangkap dan dibawa ke
Tebing Hitam, Eyang! Pasti dia disiksa oleh orang-orang Tebing Hitam,
setidaknya diperkosa oleh para begundal Tebing Hitam, Eyang! Oh, berbuatlah
sesuatu untuk Pematang Hati, Eyang Kusir Hantu! Pergilah ke sana dan bebaskan
Pematang Hati!"
Cawan Pamujan mendesak dengan kecemasan dan kemanjaan sikapnya. Tapi
Kusir Hantu hanya diam saja, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Sesekali
ia tampak manggut-manggut dengan pandangan mata menatap tajam kepada Cawan
Pamujan.
'Mengapa si Kusir Hantu tak merasa tegang atau cemas?" pikir
Pendekar Mabuk. "Mengapa ia tetap tenang-tenang saja? Apakah telinganya
sudah budeg, hingga tak mendengar cucunya dalam bahaya?! Aneh juga orang satu
ini!"
Gadis berwajah imut-imut itu semakin merajuk dalam kemanjaannya. Ia
menarik-narik baju birunya Kusir Hantu yang tanpa lengan itu.
"Cepat pergi ke sana, Eyang! Lakukan sesuatu agar Pematang Hati
bebas dari tawanan Tebing Hitam! Lakukan, Eyang! Jangan diam saja begitu!"
Tiba-tiba tangan Kusir Hantu berkelebat menyodok dada Cawan Pamujan
dengan telapak tangannya. Wuuut, beehk...!
"Uuhk...!" Cawan Pamujan terpental enam langkah dari
tempatnya, ia terhempas kuat hingga membentur pohon. Brruuk...! Lalu jatuh
tersentak ke depan dan hampir saja wajahnya beradu dengan tonjolan akar pohon
yang keras itu.
"Pak Tua, mengapa kau lakukan?! Bukankah dia cucu dari kakakmu
sendiri?!" sergah Pendekar Mabuk dengan rasa kurang setuju melihat sikap
kasar Kusir Hantu.
Pak Tua itu hanya cengar-cengir tanpa suara. Matanya memandangi Cawan
Pamujan beberapa saat, kemudian ia melangkah dengan kalem, seakan merasa tidak
berbuat kesalahan apa pun. Pendekar Mabuk buru-buru mendampinginya dengan
maksud mencegah tindakan Kusir Hantu yang dapat menyerang Cawan Pamujan lagi
sewaktu-waktu.
Gadis itu telah berdiri dengan wajah dicekam rasa takut dan kesedihan.
Dari sudut mulutnya keluar darah kental akibat pukulan di dadanya tadi. Darah
kental itu hanya meleleh mendekati dagu dan tak dihapusnya.
"Mengapa Eyang sejahat itu padaku?! Apa salahku, Eyang?!. Aku
hanya mengabarkan bahaya yang dihadapi Pematang Hati...!" sambil si gadis
mundur pelan-pelan karena Kusir Hantu maju terus mendekatinya.
Tiba-tiba kaki Kusir Hantu berkelebat menendang wajah si gadis yang
imut-imut itu. Wuuut, deesss...!
"Aauh...!" pekik Cawan Pamujan sambil tubuhnya terlempar ke
samping dan jatuh berguling-guling. Kusir Hantu melangkah dengan tenang dekati
gadis itu dan ingin melepaskan tendangan lagi.
"Eyang, apa salahku sampai kau tega menghajarku, Eyang?!"
ratap gadis itu sambil menangis.
Tepat ketika gadis itu bangkit, tangan si Kusir Hantu segera menghajar
ke wajah cantik itu. Beeet...! Tapi pukulannya tertahan sebuah telapak tangan
yang langsung mencekal genggaman si Kusir Hantu.
Teeeb...!
Pendekar Mabuk menahan pukulan itu dengan meremas genggaman Kusir
Hantu. Pemuda tampan itu pun berkata setengah menghardik,
"Pak Tua, jangan lakukan lagi!"
"Minggir kau!" Kusir Hantu balas menghardik.
"Tidak, Pak Tua. Kau tak boleh menghajarnya tanpa alasan yang
kuat!"
Tangan yang digenggam Suto itu berputar cepat dan dalam sekejap
pergelangan tangan Suto sudah ganti dicekal oleh Kusir Hantu. Dengan gerakan
cepat pula, kaki Kusir Hantu menyodok perut Suto, lalu menyentakkannya ke atas.
Weess...!
Pendekar Mabuk melambung di udara melintas atas kepala Kusir Hantu.
Tubuh si pendekar gagah itu terlempar ke belakang Kusir Hantu dan jatuh tanpa
bisa lagi menjaga keseimbangan tubuhnya.
Brruuuusk...!
Kusir Hantu cepat-cepat melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke
arah Cawan Pamujan dengan kibasan tangan kiri bagai melakukan tamparan.
Wuuut...! Buuhk...!
"Aaah...!" Cawan Pamujan terpekik lagi dan jatuh terpelanting
ke kiri.
Ketika Kusir Hantu ingin lepaskan pukulan yang diperkirakan dapat
membahayakan jiwa gadis cantik itu, Suto Sinting cepat-cepat melepaskan jurus
'Jari Guntur'-nya dari arah belakang Kusir Hantu. Sebuah sentilan yang
mempunyai kekuatan bagai tendangan seekor kuda jantan telah dilakukan Suto dan
kenai punggung si Kusir Hantu. Teesss...! Bhuuhhk...!
"Heegh...! Kusir Hantu tersentak ke depan, lalu jatuh
terguling-guling di tanah. Ia cepat-cepat bangkit, namun menyeringai kesakitan
sambil memegangi pinggang beiakang.
"Uuhk... kurang ajar kau, Nak!" geram si Kusir Hantu.
"Maaf, Pak Tua. Terpaksa kulakukan karena tindakanmu keterlaluan!
Tak sepantasnya gadis itu mendapat hajaran seberat itu, Pak Tua. Dan lagi, kau
belum jelaskan apa kesalahannya, sampai-sampai Cawan Pamujan sendiri tak tahu
apa sebabnya kau perlakukan dia seperti itu!"
Kusir Hantu tidak hiraukan kata-kata Suto Sinting, ia segera lakukan
lompatan menerjang Cawan Pamujan yang ingin berlari dan berlindung di belakang
Suto Sinting. Gerakan menerjang itu membuat Suto Sinting pun cepat-cepat
lakukan pencegahan, ia melompat lebih cepat lagi untuk gagalkan terjangan si
Kusir Hantu.
Namun di luar dugaan, si Kusir Hantu ternyata telah mencabut senjatanya
berupa cambuk pendek yang sejak tadi terselip di pinggang kanan. Cambuk itu
dilecutkan pada saat ia berada di udara dan arah lecutannya ke tubuh Cawan
Pamujan.
Ctaaarrr...!
Cambuk yang panjangnya empat jengkal itu dapat terulur lebih panjang tiga
kali lipat dari aslinya. Sabetannya yang dilakukan dengan tenaga ringan telah
hasilkan lecutan kecil namun memekakkan telinga.
Akibatnya, Pendekar Mabuk buru-buru pejamkan mata karena menahan rasa
sakit di telinganya, yang membuat kekuatannya berkurang, sehingga ketika
bertabrakan dengan tubuh Kusir Hantu, ia terpental sendiri dan jatuh
berguling-guling. Kusir Hantu mampu mendarat dengan kaki tegak, cambuknya yang
menjadi panjang itu segera dikibaskan kembali ke arah Cawan Pamujan yang
terpelanting jatuh akibat gelombang letupan cambuk yang pertama tadi.
Ctaaarrr...!
Kali ini ujung cambuk itu memercikkan warna merah api. Cahaya merah api
itu menyambar tangan gadis itu.
Serta-merta gadis itu rentangkan telapak tangan dan hentakkan napas.
Dari telapak tangan itu keluar sinar biru muda yang segera menghantam cahaya
merah api tersebut. Claaap....!
Blegaaarrr...!
Dentuman hebat terjadi seketika itu juga. Kusir Hantu terpental,
Pendekar Mabuk terlempar dan si Cawan Pamujan sendiri juga ikut terhempas ke
semak-semak akibat ledakan dahsyat tadi. Sementara itu beberapa pohon menjadi
bergetar, dahan-dahan patah dan daun pun berguguran. Tanah terasa berguncang
serta bebatuan saling bergetar, bahkan ada yang rompal sebagian.
"Gila! Tak kusangka si Cawan Pamujan mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang layak diadu dengan cambuk saktinya si Kusir Hantu," pikir Suto
sambil bergegas untuk bangkit berdiri.
Kata hatinya lagi, "Kalau Cawan Pamujan sudah berani lakukan
begitu, berarti pertarungan mereka tak mungkin bisa dihindari lagi. Pasti Cawan
Pamujan juga akan unjuk gigi di depan adik dari kakeknya itu. Bahaya! Cawan
Pamujan bisa celaka, bahkan jika si Tua Bangka tahu, maka Kusir Hantu akan
bertarung dengan si Tua Bangka! Aku harus lakukan sesuatu demi keselamatan
mereka!"
Pendekar Mabuk baru saja mau lakukan serangan yang akan melumpuhkan si
Kusir Hantu. Maksudnya agar Kusir Hantu hentikan tindakannya. Tetapi niatnya
itu tertahan oleh pandangan matanya yang tertuju pada Cawan Pamujan.
Gadis itu baru saja bangkit dari semak-semak, tiba-tiba tubuhnya
bagaikan keluarkan asap putih keruh. Asap itu yang membuat tubuh Cawan Pamujan
semakin lama semakin sulit ditembus pandangan mata. Hanya saja, hembusan angin
segera menerbangkan asap itu dan membuatnya sirna.
Tetapi sosok yang ada di balik asap tersebut ternyata sudah berganti
wujud. Bukan Cawan Pamujan lagi yang di semak-semak itu, melainkan seraut wajah
cantik lain yang masih asing bagi Pendekar Mabuk.
"Gila! Dia berubah wajah?!" gumam Suto tanpa disadari dan
gumaman itu sampai di telinga Kusir Hantu.
Pak Tua tersebut segera mendekati Suto dengan mata tetap memandang ke
arah sosok baru itu.
"Sudah kuduga, dia bukan Cawan Pamujan," kata Kusir Hantu.
"Karena itulah kudesak ia dengan serangan supaya cepat menampakkan wujud
aslinya."
Seorang gadis yang tadi menjelma sebagai Cawan Pamujan itu ternyata
mempunyai kecantikan yang sama-sama menarik namun berbeda sorot matanya. Gadis
yang berusia sekitar dua puluh empat tahun itu mempunyai sorot mata berkesan
dingin. Alisnya tebal dan bulu matanya lentik. Hidungnya bangir dan bibirnya
mungil.
Gadis itu mengenakan pakaian
jubah merah berbunga-bunga kuning terbuat dari kain satin mengkilap. Sementara
itu pakaian bawahnya berupa kain sutera tipis membayang warna kuning yang
mempunyai dua belahan di kanan kiri sampai ke pangkal paha. Gadis bertubuh
sekal dan berdada montok namun tak terlalu besar itu mempunyai rambut yang
disanggul kecil, sisanya jatuh tergerai seperti ekor kuda. Ia memakai kalung
rantai emas kecil dengan bandul batuan ungu sebesar biji sawo. Di punggungnya
tersandang pedang bergagang hiasan ronce-ronce kuning halus seperti jambul
seekor burung.
"Siapa dia sebenarnya, Pak Tua?" bisik Suto Sinting kepada si
Kusir Hantu.
"Dia yang bernama: Paras Mendayu, murid kepercayaan Nyai Garang Sayu."
"Siapa Nyai Garang Sayu, Pak Tua?"
"Ibu dari Hulubalang Iblis!" jawab Kusir Hantu dengan tegas
tanpa cengar-cengir. Namun kejap berikutnya ia kembali cengar-cengir sambil
maju dekati si Paras Mendayu karena pada saat itu Paras Mendayu sendiri maju empat
langkah dan berhenti setelah dalam jarak sekitar empat tombak dari Kusir Hantu.
"Kau memang jeli, Kusir Hantu! Kusangka kau akan terkecoh dengan
permainanku tadi!" ujar Paras Mendayu bernada tegas, bahkan punya kesan
angkuh.
"Mata tuaku mungkin memang bisa kau kelabuhi dengan ilmu 'Salin
Rupa', tapi penciumanku tak bisa kau kelabuhi, Paras Mendayu! Aroma wangimu
sama seperti aroma wangi yang kucium saat aku mencari siapa orang yang
menyerang Pendekar Mabuk itu dengan jurus 'Jalasuma'. Ternyata kaulah orangnya,
Paras Mendayu!"
"Cukup cerdas juga otak tuamu, Kusir Hantu!" ucap Paras
Mendayu dengan mata melirik ke arah Pendekar Mabuk. Saat itu, Suto Sinting
segera maju dan perdengarkan suaranya yang bernada tegas.
"Mengapa kau menyerangku, Nona?!"
"Karena Guru menyuruhku melumpuhkan kau juga. Sebab Guru tahu kau
akan memihak si Kusir Hantu!"
"Aku akan berada di pihak yang benar! Jika memang Kusir Hantu di
pihak yang salah, tak mungkin aku akan memihaknya!" ujar Suto Sinting
mempertegas sikap.
Kusir Hantu segera ajukan tanya, "Gurumu memang keparat! Sama
dengan anaknya; si Hulubalang Iblis itu! Mereka membuka permusuhan lebih dulu
dan pihakku hanya mempertahankan hak untuk tetap hidup. Pepatah mengatakan:
'Kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata... mustahil!'
Maksudnya...."
"Persetan dengan kumanmu!" sergah Paras Mendayu.
"Kurasa yang perlu kau ketahui adalah nasib cucumu; si Pematang
Hati! Kalau kau tak datang menghadap guruku sebelum malam tiba, maka cucumu itu
akan menjadi bangkai pada esok harinya!"
"Keparat kau! Di mana...."
Weeeeess...! Paras Mendayu lekas sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya
melesat menembus semak dan menerabas ilalang di seberangnya. Kusir Hantu
berseru dengan wajah tegang,
"Hei...! Tunggu...!" ia segera bergegas mengejar Paras
Mendayu. Tapi seruan Pendekar Mabuk membuat gerakannya tertahan kembali.
"Pak Tua... jangan gegabah!"
Kusir Hantu hempaskan napas kemarahannya, ia menoleh ke belakang,
memandangi Pendekar Mabuk yang sedang melangkah mendekatinya. Sambil membuka
bumbung tuaknya karena ingin meminum tuak, Pendekar Mabuk berkata kepada si
Kusir Hantu,
"Jangan buru-buru mengejarnya, karena aku curiga ia punya jebakan
halus yang sulit kita duga sebelumnya."
"Cucuku tertangkap dan sekarang berada di Tebing Hitam! Aku harus
membebaskannya, Nak!"
"Itu langkah yang benar," sahut Suto Sinting. "Tapi yang
perlu kita selidiki adalah kebenaran kabar itu sendiri. Jangan-jangan kau hanya
akan dibuat bulan-bulanan oleh kabar seperti itu."
Kusir Hantu kembali hembuskan napas panjang dan berpikir beberapa saat
sambil memandang ke arah kepergian si Paras Mendayu. Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya tiga teguk, setelah itu ajukan Tanya kepada Kusir Hantu.
"Pak Tua, siapakah orang-orang Tebing Hitam?"
*
* *
6
KUSIR HANTU ingin menjawab pertanyaan Suto, tapi niatnya tertahan oleh
bunyi ledakan yang menggelegar dari arah timur. Suto Sinting paling penasaran
jika mendengar suara ledakan seperti itu. Rasa ingin tahunya tumbuh dengan
membara, sehingga tanpa pamit pada si Kusir Hantu, ia melesat ke arah timur
dengan gerakan cepatnya. Kusir Hantu ikut-ikutan ingin tahu, maka ia pun
menyusul gerakan Suto Sinting.
Cambuknya disentakkan dan cambuk panjang itu menjadi pendek kembali.
Kemudian kedua kakinya naik sebatas dua jengkal. Dalam keadaan kedua telapak
kaki tidak menyentuh tanah, Kusir Hantu melesat menyusul Suto Sinting seperti
naik kereta berkuda. Cambuk itu dilecutkan bagai sedang memacu jalannya kuda.
Tar, tar, tar...! Weeess...! Kesaktian Kusir Hantu sungguh
mencengangkan para tokoh berilmu sedang. Kecepatan geraknya hampir menyamai
Suto Sinting. Dengan mengurangi sedikit gerakan, akhirnya Suto Sinting tersusul
dan sejajar dengan Kusir Hantu.
Mereka berhenti di sebuah lembah berhutan renggang. Karena di sanalah
sumber suara ledakan tadi. Mereka mengintai dari balik pepohonan, mata mereka memandang
pada suatu pertarungan yang telah membuat beberapa pohon sekitarnya tumbang dan
daun-daun berguguran.
Pertarungan itu dilakukan oleh seorang nenek berjubah hijau melawan
seorang wanita yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, berjubah kuning
garis-garis merah. Wanita cantik yang berkesan judes itu bersenjata tongkat
berkepala bunga, rambutnya disanggul sebagian dan sisanya meriap menutup
punggung.
Wanita cantik itu tak lain adalah Nyai Sedap Malam, istri dari Ki
Palang Renggo yang pernah menolong Suto Sinting saat terkena racun berbahaya
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Darah
Satria"). Sedangkan nenek berambut putih dan berjubah hijau itu tak lain
adalah Nyai Jurik Wetan, yang agaknya sudah berhasil mengatasi lukanya dalam
waktu tergolong cukup singkat.
"Jurik Wetan mulai bikin ulah lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kau mengenalnya, Pak Tua?"
Kusir Hantu sunggingkan senyum tipis. "Jurik Wetan bukan saja
orang yang kukenal, tapi lawan yang menjengkelkan. Dia termasuk orang yang
nyawanya alot. Susah matinya! Pepatah mengatakan: 'Menggunting dalam lipatan',
artinya... tukang jahit! Eh, artinya dia sering berlagak sebagai teman, tidak
tahunya justru lawan yang berbahaya."
"Kau juga kenal dengan lawannya itu, Pak Tua?"
"Hmmm... Sedap Malam? Oh, jelas aku kenal dia."
Kusir Hantu manggut-manggut sebentar, lalu teruskan kata sambil tetap
memperhatikan dua perempuan yang bertarung itu.
"Sedap Malam dulu anak buah si Cendana Sutera. Tapi sejak terpikat
dengan seorang lelaki yang menjadi sahabatku juga; si Palang Renggo itu, ia
keluar dari kekuasan Ratu Cendana Sutera dan masuk ke dalam aliran putih.
Pepatah mengatakan:...."
"Cukup, cukup...! Tak perlu pakai pepatah lagi," potong Suto
Sinting, dan wajah Kusir Hantu tampak kecewa. Tapi Suto buru-buru
menyambungnya,
"Karena kelihatannya pertarungan itu semakin seru dan Sedap Malam
terdesak sekali, Pak Tua."
"Hmmm... ya, tentu saja Sedap Malam terdesak, karena ilmunya tak
sebanding dengan si Jurik Wetan.
Ibarat murid melawan Guru, Sedap Malam pasti tumbang kalau tak ada yang
membantunya. Pepatah mengatakan: 'Ketimun menghampiri durian', itu artinya
ketimun nekat!"
Pendekar Mabuk sudah tidak hiraukan lagi kata-kata Kusir Hantu
selanjutnya, sebab ia menjadi cemas saat Nyai Sedap Malam terbanting oleh
pukulan tangan kiri Jurik Wetan yang keluarkan asap tipis itu. Pukulan tersebut
kenai pinggang Nyai Sedap Malam dan dalam sekejap tubuh sekal Nyai Sedap Malam
terlempar lima tombak jauhnya.
Nyai Jurik Wetan agaknya benar-benar ingin bunuh Nyai Sedap Malam,
sehingga ia buru-buru melepaskan jurus mautnya. Seberkas sinar berbentuk
bintang warna merah membara melesat dari punggung tangan kanannya yang
disodokkan ke depan. Claaap...! Sinar merah berbentuk bintang itu melesat ke
arah dada Nyai Sedap Malam.
Melihat keadaan itu, Suto Sinting cepat-cepat lepaskan pukulan 'Guntur
Perkasa'-nya, berupa sinar hijau lurus yang mampu menembus sinar lawan.
Claaap...! Sinar hijau dari tangan Suto Sinting itu mempunyai kecepatan
lebih tinggi dari sinar merahnya Nyai Jurik Wetan. Maka ketika sinar merah
berbentuk bintang itu berada di pertengahan jarak antara si Jurik Wetan dengan
Nyai Sedap Malam, sinar hijau tersebut menghantam telak dan masih tersisa
menembus hingga mengenai sebatang pohon di kejauhan sana. Blaaarrr...!
Ledakan cukup keras terjadi dan menimbulkan hentakan gelombang yang
menyebar ke berbagai arah. Nyai Jurik Wetan terlempar akibat ledakan tersebut,
sedangkan Nyai Sedap Malam terseret angin ledakan sejauh empat tombak ke
belakang.
"Boleh juga jurus mautmu itu, Nak," ujar Kusir Hantu sambil
manggut-manggut. "Kukenali jurus itu sebagai jurus mautnya si Bidadari
Jalang."
"Beliau adalah bibi guruku, Pak Tua."
"Pantas, sebab Gila Tuak dan Bidadari Jalang termasuk satu
perguruan, hanya beda guru. Maksudnya, gurunya Gila Tuak dan gurunya Bidadari
Jalang itu suami-istri. Tapi mempunyai satu sumber kesaktian, yaitu kesaktian
dari...."
Kusir Hantu tidak berani lanjutkan ucapannya. Suto Sinting memandangnya
sebentar, dan Kusir Hantu cengar-cengir serta berkata,
"Kalau kusebutkan guru mereka, kita akan disapu badai dahsyat,
seolah-olah kiamat akan tiba. Langit bisa runtuh dan tanah bisa terbelah."
"Terima kasih atas kesediaanmu untuk tidak menyebutkan eyang
guruku, Pak Tua," ujar Suto Sinting sambil sunggingkan senyum tipis, lalu
cepat-cepat memandang ke arah pertarungan lagi.
Rupanya Nyai Jurik Wetan sudah bangkit kembali dan memandang ke arah
Suto dan Kusir Hantu. Dari tempatnya berdiri nenek agak bungkuk itu berseru lantang,
"Monyet kurap! Datang kemari jika ingin ikut ambil jatah
kematianmu!"
Weeesss...! Kusir Hantu bergerak lebih dulu. Suto Sinting melihat si
Kusir Hantu melesat sambil lecutkan cambuk pendeknya, seakan menunggang kereta
berkuda semberani. Kecepatannya begitu tinggi hingga Nyai Jurik Wetan sempat
terperanjat dan lompat ke kiri untuk menghindari terjangan si Kusir Hantu.
Sementara Nyai Jurik Wetan ditanggapi oleh si Kusir Hantu, Suto Sinting
cepat-cepat bergerak ke arah Nyai Sedap Malam yang terluka dalam dan
mengeluarkan darah dari hidung serta telinganya.
"Nyai, minumlah tuak ini!" sambil Suto sodorkan bumbung
tuaknya. Perempuan berdada montok itu pun segera menenggak tuak, sehingga dalam
waktu singkat kesehatannya pulih kembali.
"Untung kau datang pada saat nyawaku belum terlepas dari raga,
Suto."
"Aku bersama si Kusir Hantu, Nyai."
"Oh, itu lebih kebetulan lagi, karena aku ada keperluan
dengannya!" sambil berkata demikian, pandangan mata Nyai Sedap Malam
terarah kepada Kusir Hantu yang sedang berhadapan dengan si Jurik Wetan. Kedua
tokoh tua itu berada dalam jarak lima langkah.
Pendekar Mabuk bergegas mendekati Kusir Hantu. Tetapi lengannya segera
dicekal oleh Nyai Sedap Malam. Perempuan itu segera berkata dalam suara rendah,
"Biarkan Kusir Hantu yang hadapi mantan kekasihnya itu."
"Oh, jadi... jadi si Jurik Wetan itu bekas kekasih Kusir
Hantu?!" Suto Sinting agak terkejut mendengar pernyataan tersebut. Nyai
Sedap Malam hanya anggukkan kepala dengan mulut terkatup bungkam.
"Dari tempat Suto berdiri, suara percakapan dua tokoh tua itu
terdengar samar-samar. Nyai Jurik Wetan lebih dulu mempertinggi suaranya karena
hatinya semakin dibakar kemarahan.
"Sudah kubilang berkali-kali, kita sudah tidak punya hubungan
apa-apa lagi, Kusir Hantu! Kau sudah menjadi milik Rahayu, dan aku menjadi
milik Bagastirta. Sekalipun istrimu sudah modar dan suamiku sudah wafat, tapi
kita tetap tidak punya hubungan masa lalu.
Aku muak sekali padamu, Pujasera!"
"Siapa yang menginginkan dirimu, Nenek Peot?! Aku muncul di
depanmu karena ingin menegur tindakan iblismu yang dari dulu sampai sekarang
masih belum ada redanya, bahkan sikapmu semakin menyerupai biang setan!"
"Peduli apa kau dengan diriku, hah?!" bentak si Jurik Wetan.
"Bahkan jika sekarang aku bisa membunuhmu maka aku akan mendapat kedudukan
tinggi di Tebing Hitam!"
"Aku pun akan merasa bangga jika bisa melenyapkan ragamu, Jurik
Wetan!"
"Keparat! Kalau begitu kita beradu kesaktian sampai salah satu ada
yang modar!"
"Jika itu kehendakmu, terpaksa aku harus tega mencabut nyawamu,
Sayang. Pepatah mengatakan: 'Besar pasak daripada gajah', artinya jangan sampai
kau besar sesumbar dari kenyataan! Buktikan kesaktianmu yang dari dulu selalu
kau gembar-gemborkan di depanku itu, Manis!"
"Tutup mulutmu, Monyet Bangkotan!
Heeeaaah...!"
Weers...! Nyai Jurik Wetan menerjang Kusir Hantu. Terjangan begitu
cepat sengaja tidak ditangkis dan dihindari oleh Kusir Hantu, sebab ia
mengandalkan ilmu 'Timbal Rasa'-nya. Kusir Hantu pun terpental bagaikan sehelai
daun tua yang terlempar begitu saja.
Tetapi Pendekar Mabuk yang berdiri di samping Nyai Sedap Malam menjadi
cemas sejak melihat Kusir Hantu keluarkan
darah dari hidungnya. Bahkan Pak. Tua itu terbatuk-batuk dan mengeluarkan dahak
darah dari mulutnya. Ketika ia berdiri, ia pun sempoyongan bagai orang mabuk
ingin tumbang.
"Celaka!" gumam Nyai Sedap Malam. "Kusir Hantu gagal
pergunakan ilmu 'Timbal Rasa'-nya!"
"Benarkah begitu, Nyai?!" tanya Suto Sinting semakin cemas.
"Kalau dia tidak gagal, maka dia tidak akan berdarah.
Agaknya si Jurik Wetan sudah menemukan rahasia kelemahan jurus 'Timbal
Rasa'nya si Kusir Hantu."
"Gawat!" gumam Suto Sinting dengan suara mendesah tegang.
Kusir Hantu sendiri membatin, "Celaka kalau begini! Dia bisa
gagalkan ilmu 'Timbal Rasa'-ku. Rupanya selama ini ia memang pelajari jurus
baru yang dapat untuk menembus lapisan gaibku! Aku harus hati-hati
melawannya!"
Nyai Jurik Wetan berseru, "Maju kau, Kecoa Peot! Kulumpuhkan
seluruh kesaktianmu hari ini juga!"
Kusir Hantu selesai menarik napas, pertanda selesai menyalurkan hawa saktinya
untuk menutup luka dalamnya. Tapi wajahnya masih tampak pucat dan gerakannya
sedikit limbung, ia berdiri dengan kaki sedikit merenggang dan cambuk sudah
sejak tadi terselip di pinggangnya. Nyai Jurik Wetan melangkah ke samping dalam
jalur lingkar, seakan ingin mengelilingi Kusir Hantu.
Tiba-tiba Kusir Hantu menjentikkan jarinya seperti memanggil ayam.
Klikkk...! Nyai Jurik Wetan terpelanting, bagai ada yang menyampar kakinya.
Brruuk...! Nenek tua itu jatuh telentang. Namun dalam satu sentakan
pinggul, tubuhnya melayang dan berdiri tegak kembali. Wuuut, jleeg...!
"Rupanya kau membela si Sedap Malam karena kau ingin merebutnya
dari pelukan si Palang Renggo!" ujar Nyai Jurik Wetan.
"Jaga mulut kotormu itu, Perempuan Jalang! Kalau sampai Sedap
Malam mendengarnya dan dia kasmaran padaku, aku tak berani bertanggung jawab.
Sebab kemampuanku sudah tak ada, 'kerisku' sudah karatan!"
"Hik, hik, hik, hik...! Kalau begitu kau pantas dikirim ke neraka
saja, Pujasera! Hiaaah...!"
Tiba-tiba tangan kanan Nyai Jurik Wetan menyentak bagai menebarkan
sesuatu ke arah depan. Dari tangan itu melesat sinar merah berbentuk bintang,
namun kali ini berasap merah pula yang membuat sinar itu seperti berekor
panjang. Claaap, weeess...!
Kusir Hantu cepat-cepat cabut cambuk pendeknya. Cambuk dilecutkan dan
menjadi panjang. Ujung cambuk itu berkelebat menyabet sinar merah tersebut.
Taaar...!
Jegaaarrr...!
Ledakan terjadi dengan dahsyat, membuat alam sekeliling mereka menjadi
seperti kiamat. Bumi berguncang hebat dan pohon-pohon tumbang di sana-sini.
Tanah terbelah di beberapa tempat, bahkan ada yang longsor ke dalam dan
membentuk lubang besar.
Keadaan alam yang mengerikan itu pun membuat Suto Sinting dan Nyai
Sedap Malam sama-sama terlempar. Tanpa sadar mereka saling berpelukan dan berguling-guling
di tanah. Bumbung tuak terlepas dari genggaman Suto Sinting. Jika kaki Nyai
Sedap Malam tidak mengait pada sebatang akar pohon yang mencuat dari dalam
tanah, mungkin mereka akan terguling-guling sampai di tempat jauh.
Begitu keadaan alam menjadi tenang kembali, Suto Sinting segera
bangkit. Pertama-tama yang dicari adalah bumbung tuaknya. Zlaaap...! Ia melesat
menyambar bumbung tuaknya. Teeeb...! Kini hatinya lega karena tangannya telah
menggenggam bumbung sakti tersebut.
Nyai Sedap Malam merasakan sakit pada pinggangnya yang terantuk batu
sebesar kepala bayi. Tulang rusuknya terasa ngilu sekali, ia sempat berdiri
sambil menyeringai memegangi pinggang, namun matanya segera memandang ke arah
Nyai Jurik Wetan dan Kusir Hantu setelah lebih dulu ia melihat Pendekar Mabuk
dalam keadaan sehat.
Gelombang ledakan itu menyebarkan udara panas dalam sekejap. Nyai Jurik
Wetan terlempar oleh hembusan angin panas tersebut, ia terpuruk di bawah pohon
yang tak sempat tumbang. Wajahnya menjadi merah kebiruan, rambutnya yang putih
sempat terbakar sebagian, kain jubahnya pun koyak-koyak nyaris seperti
gelandangan. Agaknya perempuan tua itu mengalami luka dalam yang cukup parah,
sehingga dari sudut matanya tampak beberapa tetes darah yang sedang meleleh ke
pipi.
Kusir Hantu terkapar bersandar pada batang pohon yang tumbang. Tubuhnya
tak bergerak untuk beberapa saat. Cambuknya masih ada dalam genggaman yang
merenggang. Namun napasnya terlihat melemah dan suara erangannya terdengar
samar-samar sekali.
Pendekar Mabuk buru-buru menghampiri Pak Tua tersebut.
Zlaaap...! Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah tiba di samping Kusir
Hantu, kemudian memberinya minum tuak. Berkat tuak sakti si Pendekar Mabuk
itulah, maka Kusir Hantu dapat terhindar dari bahaya luka dalam yang cukup
parah, ia tampak segar kembali setelah beberapa saat bangkit dan duduk di
batang pohon yang tumbang itu. Ia memperhatikan si Jurik Wetan yang sedang
berusaha berdiri dengan susah payah.'
"Ilmunya memang bertambah, tapi lukanya juga bertambah," ujar
Kusir Hantu.
"Apakah kau akan teruskan pertarungan ini, Pak Tua?"
"Ah, capek! Biar saja dia pergi. Nanti kalau ada waktu dilanjutkan
lagi," jawab Kusir Hantu dengan seenaknya saja.
Nyai Jurik Wetan mulai tegak setelah menarik napas beberapa kali dan
mengerahkan tenaga intinya untuk menutup luka. Tapi ia masih tampak menyimpan
kecemasan. Hanya saja ia paksakan diri untuk berseru lontarkan ancaman kepada
mantan kekasihnya.
"Sembuhkah dulu lukamu, Kusir Hantu. Kelak aku datang sebagai el
maut yang siap mencabut nyawamu!"
Weeess...! Nyai Jurik Wetan melesat pergi tinggalkan tempat. Kusir
Hantu hanya geleng-geleng kepala dengan kesan meremehkan si Jurik Wetan. Ia dan
Suto segera menghampiri Nyai Sedap Malam yang kala itu ingin mengejar Nyai
Jurik Wetan namun segera tertahan oleh seruan Kusir Hantu,
"Tahan...!"
Nyai Sedap Malam memandang kehadiran Suto Sinting dan Kusir Hantu, ia
terpaksa membiarkan lawannya larikan diri walau hati masih merasa
pertarungannya belum selesai melawan si Jurik Wetan.
"Sedap Malam, mengapa kau sampai terlibat perkara dengan si Jurik
Wetan?" tanya Kusir Hantu sambil memandang ke arah kepergian si Jurik
Wetan.
"Aku menghalangi orang Tebing Hitam yang mengejar-ngejar cucumu;
si Pematang Hati."
"Pematang Hati...?! Cucuku dikejar-kejar orang Tebing
Hitam?!" Kusir Hantu mulai tampak gusar.
"Tapi aku sempat melukai dua orang itu. Cucumu lari terus,
sementara Jurik Wetan muncul memihak orang Tebing Hitam. Akhirnya, kedua orang
Tebing Hitam itu mengejar cucumu kembali dalam keadaan menderita luka dalam
karena pukulanku, sementara aku berhadapan dengan Jurik Wetan."
"Keparat!" geram Kusir
Hantu menampakkan kemarahannya. "Kurasa cucumu bisa loloskan diri. Aku
yakin dua orang Tebing Hitam itu tak akan mampu menangkap cucumu, sebab luka
mereka akan membuat tenaganya terkuras habis jika dipakai untuk mengejar
Pematang Hati."
"Kalau begitu kabar tentang Pematang Hati tertangkap dan tertawan
di Tebing Hitam itu hanya sebuah tipu muslihat saja, Pak Tua," ujar Suto
Sinting.
Kata-kata itu membuat Kusir Hantu merenung dan manggut-manggut.
Sebentar kemudian ia menatap Nyai Sedap Malam dan berkata, "Terima kasih
atas tindakanmu itu, Sedap Malam. Hanya saja, aku ingin tahu ke mana larinya
cucuku itu? Barangkali aku perlu menyusulnya."
"Kulihat ia lari ke arah utara."
"Aku harus segera ke sana! Aku khawatir Pematang Hati temukan
rintangan lain."
"Silakan saja kalau itu maumu, Kusir Hantu. Aku harus segera
pulang, mengabarkan kematian Resi Bisma, sahabat suamiku itu."
"Sampaikan salamku kepada Palang Renggo. Dan kau, Nak...,"
katanya kepada Suto Sinting. "Apakah kau ingin ikut denganku?"
"Tidak. Aku harus ke Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang
Ketuban. Ada orang yang perlu kutolong secepatnya, Pak Tua. Kapan-kapan kita
bertemu lagi!"
"Kau ingin ke Gunung Purwa? Oh, kalau begitu satu arah denganku.
Mengapa tidak bersama-sama saja?"
"O, iya... benar juga. Aku memang harus menuju ke utara, tapi
barangkali kita nanti bersimpang jalan, Pak Tua."
"Kurasa tak ada masalah. Jika memang aku sudah bertemu dengan
cucuku sebelum kita berpisah, mungkin aku juga akan mengajak cucuku ke Gunung
Purwa. Aku punya sahabat di sana; Ratu Cumbutari. Akan kuperkenalkan cucuku
kepadanya dan...."
"Aku memang mau bertemu dengan Ratu Cumbutari!" potong Suto
dengan semangat. Maka bergegaslah mereka pergi ke arah utara, sementara Nyai
Sedap Malam ke arah selatan.
*
* *
7
MATAHARI mulai turun ke barat. Tetapi sang matahari masih bisa melihat
gerakan kecil yang lincah sedang menyusuri kaki bukit tak bernama. Langkah
lincah itu berlari menyelinap dari pohon ke pohon, menerabas semak ke semak,
seakan ia takut oleh bayangan yang mengejarnya.
Langkah kecil yang lincah itu adalah milik seorang gadis cantik berusia
dua puluh dua tahun, berbaju hijau garis-garis benang emas di depan. Baju tanpa
lengan itu berpundak kaku hingga kelihatan pundak sang gadis tegak dan rata.
Panjang baju itu hanya sampai di atas pusar, sehingga kulit perut dan pusarnya
yang berwarna kuning langsat itu terlihat mulus menggoda iman lelaki.
Dengan celananya yang ketat sebatas betis berwarna hijau bergaris emas
di bagian samping, gadis itu bagaikan senantiasa memamerkan keelokan tubuhnya
yang sekal dan berdada indah. Ia mengenakan kalung tali hitam ketat dengan
bandul perak berukir dengan hiasan tiga batu merah kecil-kecil. Sepasang antingnya
pun berwarna merah delima kecil.
Tangan kanannya mengenakan gelang emas berukir bentuk ular melingkar.
Sebuah pedang terselip di pinggangnya yang bersabuk hitam berhias manik-manik
putih seperti intan. Sarung pedangnya terbuat dari perak ukir, demikian pula
gagang pedangnya.
Gadis yang berpenampilan tengil namun penuh daya tarik itu tak lain
adalah Pematang Hati, cucu Kusir Hantu yang hanya tinggal mempunyai satu
saudara, yaitu seorang kakak bernama Mahligai Sukma. Gadis itu pernah nyaris
mati terkena uap racun milik Bunga Ranjang, namun berhasil diselamatkan Suto
dengan tuak saktinya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu
Cendana Sutera").
Pematang Hati menyangka masih dikejar dua orang Tebing Hitam, karenanya
ia berlari terus sambil sesekali menengok ke belakang, ia tidak tahu bahwa dua
orang Tebing Hitam itu telah berhenti dan tak sanggup lagi mengejarnya karena
luka yang mereka derita dari pukulan Nyai Sedap Malam membuat mereka semakin
lumpuh. Tenaga mereka terkuras habis, sampai akhirnya mereka tak mampu berdiri
dan menunggu ajal entah sampai kapan. Salah seorang nekat mengerahkan tenaga
untuk berguling-guling dan lompat ke jurang, bunuh diri.
Seorang lagi masih bertahan menunggu kemujuran, terkapar di semak-semak
dengan harapan akan datang bantuan dari pihak mana pun.
Rupanya harapan orang tersebut nyaris terkabul. Ada orang lain yang
melintasi tempat itu dan mendengar rintihan kecilnya. Orang yang melintasi
semak-semak itu tak lain adalah Paras Mendayu yang ingin kembali ke Tebing Hitam
setelah memancing Kusir Hantu dengan berita palsunya itu.
Paras Mendayu hentikan langkah dan perhatikan orang yang merintih di
masa sekarat itu. Ia terperanjat melihat orang tersebut adalah kawannya
sendiri. "Subogo...?!" sentak Paras Mendayu dengan kaget.
Orang yang di ambang sekarat itu ternyata bernama Subogo. Ia berusaha
membuka matanya sedikit dan segera mengenali wajah Paras Mendayu dalam
bayang-bayang keremangan pandang. Maka, Subogo segera berusaha untuk bicara
walau hal itu dilakukan dengan sangat susah payah.
"Tool... toool... tolong ak... aku...."
"Subogo, apa yang terjadi sebenarnya?!"
"Pe... Pematang Ha.... Hari, eh.... Hati, laaa... lari kke... ke
utara. Aak... aku terlu... ka..„"
Dalam hati Paras Mendayu berkata, "Pematang Hati lari ke utara?!
Oh, kalau begitu aku harus segera mengejar dan menangkapnya. Sebaiknya gadis
itu kutangkap dan kuserahkan kepada Guru tanpa mengikutsertakan Subogo. Dengan
begitu aku akan mendapat penghargaan tinggi dari Guru, karena berhasil
menangkap gadis itu tanpa bantuan Subogo atau yang lain!"
Saat itu, Subogo masih terus berucap kata tersendat-sendat dan lirih
sekali. "Tolong akk... akku.... Paras Menn.... Mendadak, eh....
Mendaaayu.... Tolonglah... aakku...."
"Maaf, Subogo. Keadaanmu sangat tidak memungkinkan untuk hidup
lagi. Sebaiknya kusempurnakan saja penderitaanmu!"
Claaap...! Seberkas sinar hijau dari telunjuk Paras Mendayu melesat
menghantam dada Subogo.
"Heeekhh...!" Subogo mendelik dan mengejang dengan mulut
ternganga ketika sinar hijau itu menembus dadanya dan dada pun menjadi bolong
hangus. Kejap berikutnya, Subogo menghembuskan napas yang penghabisan. Paras
Mendayu tersenyum lega sesaat, lalu segera melesat ke arah utara dengan
kecepatan tinggi.
Weeess...!
Pematang Hati tak tahu kalau pengejarnya sudah berganti rupa. Karena
itu ia terkejut ketika tahu-tahu langkahnya harus dihentikan sebab terhadang
oleh kemunculan Paras Mendayu yang sudah dikenalnya sebagai orang Tebing Hitam.
Pematang Hati menjadi tegang, sebab ia pun tahu bahwa Paras Mendayu berilmu
lebih tinggi dari para pengejarnya. Gadis itu buru-buru mencabut pedangnya,
berusaha memberikan perlawanan walau hatinya sudah ciut lebih dulu.
Paras Mendayu hanya sunggingkan senyum ketika melihat Pematang Hati
mencabut pedang. Senyum sinis itu dibarengi oleh ucapan bernada ketus dan
sangat tidak bersahabat.
"Untuk apa pedang itu? Menggorok batang lehermu sendiri?! Hmmm...,
sebaiknya buang saja pedangmu itu, Pematang Hati. Menurutlah apa kata
perintahku, dan kau kubawa ke Tebing Hitam tanpa luka sedikit pun. Itu lebih
menguntungkan nyawamu, ketimbang kau pergunakan pedang itu yang akan menggorok
batang lehermu sendiri. Buanglah pedang itu sekarang juga, Pematang Hati!"
"Majulah jika kau ingin melihat kehebatan pedangku ini, Paras
Mendayu! Aku tak sudi kau bawa ke Tebing Hitam. Lebih baik mati di sini
ketimbang harus berhadapan dengan orang-orangmu!"
"Dasar gadis bodoh!" geram Paras Mendayu, lalu ia hentakkan
kakinya ke tanah. Duuuhk...! Weeesss...!
Gelombang tenaga dalam keluar dari kakinya, menghempas ke depan,
menghantam tubuh Pematang Hati dengan kuat. Wuuut...!
Bruuus...! Pematang Hati terlempar dan jatuh ke semak-semak. Gelombang
tenaga dalam itu sangat kuat, hingga membuat pedang di tangan Pematang Hati
terpental jatuh dari pemiliknya.
Napas gadis itu bagaikan tersumbat gumpalan darah sehingga sulit
dihela. Pematang Hati mencoba untuk menarik napas dengan berat dan rasa sakit
menghujam bagian dadanya, ia mencoba pula untuk bangkit dan hadapi lawannya
kembali.
Namun tiba-tiba Paras Mendayu menerjangnya dengan satu lompatan kilat.
Wuuuss...! Dua jari tangan kanannya segera menotok bagian bawah leher Pematang
Hati. Deess...!
Pematang Hati sibuk menangkis pukulan tangan kiri lawan tanpa hiraukan
bahwa tangan kanan lawan akan menotoknya.
Akhirnya Pematang Hati jatuh terkulai bagai tak bertulang dan tak
berotot lagi. Totokan itu membuatnya lumpuh dan lemas tanpa daya sedikit pun.
Paras Mendayu tertawa kegirangan, kemudian menyambar tubuh lunglai itu,
memanggulnya di pundak dan membawanya lari ke Tebing Hitam. Weeesss...!
Beberapa saat setelah Paras Mendayu berhasil membawa lari Pematang
Hati, dua sosok lelaki beda usia tiba di tempat itu; Kusir Hantu dan Suto
Sinting.
Keduanya sama-sama berhenti setelah Kusir Hantu berseru,
"Tunggu! Ada sesuatu yang mencurigakan hatiku, Nak!"
"Apa maksudmu, Pak Tua?"
Kusir Hantu berbalik arah, ia melangkah dengan jalan kaki. Cambuknya
yang sepanjang perjalanan dilecutkan bagai mempercepat lajunya kuda gaib itu
kini dilipat dan diselipkan di pinggang. Pendekar Mabuk terpaksa ikut berbalik
arah dengan berjalan kaki biasa. Mereka berhenti setelah Kusir Hantu melihat
sebilah pedang bergagang perak berukir tergeletak di antara akar pohon.
"Ini pedang milik cucuku!" ujarnya setelah memungut pedang
itu dan mengamatinya.
"Maksudmu, pedang itu milik Pematang Hati?"
"Tak salah lagi. Aku sangat mengenali senjata cucu-cucuku. Pepatah
mengatakan: 'Air beriak tanda tak sehat.'"
"Apa artinya?"
"Entahlah. Itu tak penting. Yang terpenting adalah di mana si
Manis Pematang Hati, cucuku itu?!"
Mereka memandang sekeliling dalam berapa saat, kemudian Pendekar Mabuk
kemukakan gagasannya yang tumbuh dari kecemasan hati.
"Jangan-jangan ia tertangkap orang Tebing Hitam yang mengejarnya
itu?"
"Hmmm...," Kusir Hantu berpikir sejenak. Kemudian segera berkata,
"Rasa-rasanya pengejarnya itu tak akan mampu menangkap cucuku. Sedap Malam
tak pernah meleset dalam ucapannya. Pengejar cucuku itu pasti benar-benar
kehabisan tenaga karena menderita pukulan Sedap Malam. Tapi...."
"Pak Tua, tiba-tiba firasatku mengatakan, cucumu dalam
bahaya!"
"Firasatku pun demikian, Nak. Kita beda keturunan tapi mengapa
satu firasat, ya?! Padahal pepatah mengatakan: 'Rambut boleh sama hitam tapi
bisul belum tentu sama besarnya'. Hmm... sebaiknya ular pedang ini yang
menunjukkan di mana Pematang Hati berada."
Pendekar Mabuk tak jelas maksud Kusir Hantu soal pedang itu. Karenanya
ia berkerut dahi dan ingin ajukan tanya. Namun niatnya itu tertunda karena
suatu hal yang dilakukan oleh si Kusir Hantu.
Pedang itu disangga dengan tangan kiri, kemudian telapak tangan kanan
Kusir Hantu terbuka dan bergetar-getar di atas pedang tersebut. Claaap...! Ada
sinar biru kecil sekali sebesar merica melesat dari telapak tangan yang
bergetar itu. Sinar biru tersebut menembus gagang pedang. Blees...! Gagang
pedang pun menjadi menyala biru pijar. Kemudian tangan yang menyangga
melepaskannya. Pedang tersebut mengambang di udara.
Kusir Hantu segera berkata, "Gaibku, bawalah kami ke tempat cucuku
berada sekarang juga! Jalan!"
Weesss...! Pedang itu pun melesat terbang ke arah tertentu. Kusir Hantu
segera keluarkan cambuknya dan melecutkannya. Taaar...! Kedua kakinya naik, tak
berpijak tanah, lalu tubuhnya melesat dalam keadaan tetap berdiri memegangi
cambuk bagaikan menunggang kereta berkuda gaib.
"Ikuti pedang itu, Nak!" serunya sebelum melesat pergi.
Pendekar Mabuk sempat tertegun sesaat karena terheran-heran melihat kesaktian
si Kusir Hantu. Namun segera sadar dirinya akan tertinggal, maka Pendekar Mabuk
pun cepat-cepat gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya untuk mengikuti perjalanan
pedang tersebut.
Zlaaap...! Pedang Pematang Hati menjadi pemandu arah. Gerakan
terbangnya semakin cepat, sehingga Kusir Hantu dan Pendekar Mabuk pun
mempercepat pelariannya. Mereka melintasi punggung bukit tak bernama, menuruni
lereng dan menyusuri tepian hutan, sesuai arah yang dituju pedang terbang itu.
"Dugaanmu benar," seru Kusir Hantu kepada Suto Sinting yang
sejajar dengannya. "Kita dibawa ke arah Tebing Hitam! Sebentar lagi kita
akan memasuki perbatasan wilayah Tebing Hitam!"
"Kau belum jelaskan siapa orang-orang Tebing Hitam itu, Pak
Tua!"
"Nanti akan kujelaskan!"
"Sekarang saja, Pak Tua!" seru Suto. Mereka memang terpaksa
berseru untuk imbangi deru angin yang mereka tembus dalam kecepatan tinggi itu.
"Baiklah kalau kau tak sabar, Nak. Tebing Hitam adalah wilayah
kekuasaan Nyai Garang Sayu. Dia adalah ibu dari si Hulubalang Iblis. Di samping
itu, Nyai Garang Sayu adalah kakak dari si Jurik Setan, bekas kekasihku yang
murtad dari cintanya. Pepatah mengatakan: 'Asam di gunung garam di dapur,
bertemu dalam pertarungan'. Begitulah cinta kami kala itu. Jurik Wetan terpikat
oleh lawannya sendiri; Bagastirta. Ia melupakan diriku dan minggat bersama
Bagastirta. Aku tak berhasil mencarinya. Ketika kutemukan, mereka sudah kawin
dan beranak satu. Aku terpaksa...."
"Yang kutanyakan tentang Tebing Hitam saja, Pak Tua!" potong
Suto Sinting dengan menahan kedongkolan.
"O, iya! Maaf, kupikir kau butuh penjelasan tentang percintaan
masa mudaku," Kusir Hantu nyengir malu.
"Lalu apa yang dilakukan Hulubalang Iblis dan ibunya di Tebing
Hitam itu?"
"Menghimpun suatu kekuatan untuk kuasai rimba persilatan! Nyai
Garang Sayu menurunkan ilmu kepada para pengikutnya. Mereka disumpah untuk mati
demi Tebing Hitam. Pada umumnya yang diturunkan oleh Nyai Garang Sayu adalah
ilmu-ilmu hitam dan kekuatan-kekuatan gaib yang berbahaya. Dan... oh, ya... kusarankan
padamu, Nak... jika suatu saat kau bertemu dengan Nyai Garang Sayu lebih baik
pulang atau bersembunyi saja."
"Apa sebabnya?" sergah Suto Sinting.
"Sebab...," kata-kata Kusir Hantu terhenti, karena pedang
terbang itu ternyata telah membawa mereka mendekati sesosok bayangan yang
berlari dalam keadaan memanggul seseorang. Kusir Hantu mengenali siapa yang
dipanggul dan siapa yang memanggul.
"Hei, lihat... itu si Paras Mendayu. Dan yang dipanggul, di
pundaknya itu tak lain adalah cucuku; si Manis Pematang Hati!"
"Pandanganmu benar, Pak Tua! Aku akan memotong jalan dan
menghadangnya dari samping kanan!"
Zlaaap...! Suto Sinting mempertinggi tenaganya hingga kecepatan larinya
pun lebih tinggi pula. Ia sengaja menyimpang jalan, memutari lembah untuk
menghadang Paras Mendayu. Mereka tak sadar bahwa saat itu mereka sudah berada
di wilayah Tebing Hitam.
Wuuut, zeeeb...!
Pendekar Mabuk tiba di depan langkah Paras Mendayu. Gadis itu hentikan
langkah dengan wajah tegang begitu melihat pemuda tampan yang pernah
diserangnya dengan jurus 'Jalasuma' telah berdiri di depan langkahnya.
Paras Mendayu berpikir cepat, lalu membelok arah untuk hindari
pertemuan dengan pemuda tampan bermata bening itu. Tetapi ia tak tahu bahwa
Kusir Hantu sedang mendekati dari arah belakangnya. Cambuk si Kusir Hantu
disentakkan dan berubah menjadi panjang, lalu cambuk itu dilecutkan dari
samping.
Wuuut, taaar...! Ujung cambuk menjerat kaki kiri Paras Mendayu.
Seert...!
Brrruk...! Paras Mendayu jatuh tersungkur begitu cambuk ditarik dalam
satu sentakan kuat oleh si Kusir Hantu. Tubuh yang dipanggulnya terlempar ke
depan dan jatuh terkulai tanpa gerakan.
Zlaaap...! Weesss...!
Suto Sinting segera menyambar tubuh Pematang Hati, sementara Kusir
Hantu segera menendang gagang pedang yang menyala biru pijar itu. Dees...!
Pedang meluncur melebihi kecepatan anak panah. Weess...!
Paras Mendayu segera bangkit setelah menyadari ia terkurung bahaya.
Namun baru saja separuh berdiri, tiba-tiba punggungnya dihujam pedang terbang
tanpa ampun lagi.
Jruuub...!
"Aaaakh...!"
Asap mengepul dari luka hujaman pedang. Luka itu menjadi hitam hangus
tanpa darah setetes pun. Bukan keampuhan pedang yang membuatnya begitu,
melainkan karena kekuatan tenaga dalam si Kusir Hantu yang menjadikan pedang
bagai berkekuatan bakar sangat tinggi.
Rupanya Paras Mendayu bukan gadis yang mudah menyerah, ia kerahkan
tenaganya untuk tetap berdiri walau dengan wajah memerah menahan penderitaan.
Namun sebelum ia berbalik ke arah Kusir Hantu, Pak Tua itu lebih dulu
bergerak menyambar pedang tersebut.
Weess...! Sleeb...! Pedang itu dicabut dari punggung Paras Mendayu.
Luka bakar tampak bergerak melebar sedikit demi sedikit. Tubuh Paras Mendayu
bergetar, ia ingin ucapkan kata namun ternyata telah kehilangan kemampuannya
untuk bicara.
"Kau tak akan selamat, Paras Mendayu! Itulah akibatnya jika kau
mengganggu cucuku!" ujar Kusir Hantu dengan pandangan mata yang tajam.
Agaknya dalam benak Paras Mendayu mempunyai pertimbangan tersendiri, ia
masih bisa gunakan otaknya untuk memikirkan langkah yang terbaik. Sebab itulah
ia segera memanfaatkan tenaganya yang penghabisan untuk melarikan diri
meninggalkan mereka. Weess...!
"Benar-benar kuat gadis itu!" gumam Kusir Hantu sambil
gelengkan kepala pandangi pelarian Paras Mendayu.
Rupanya sejak tadi Suto Sinting telah ambil tindakan cepat, ia tahu
bahwa Pematang Hati tertotok jalan darahnya, dan totokan itu pun segera
dilepaskan dengan sebuah sentilan pelan di tengkuk si gadis. Pematang Hati
sadar, lalu terkejut melihat Suto Sinting sudah ada di depan hidungnya.
"Sutooo...?!"
Tangan si gadis ingin merangkul, namun Suto Sinting menangkapnya dan
berkata dalam senyum, "Kau kehilangan kekuatan, Pematang Hati. Minumlah
tuakku untuk pulihkan kekuatanmu!"
Maka ketika Paras Mendayu melarikan diri, Pematang Hati segera berseru
kepada kakeknya,
"Kakek, dia melarikan diri!" sambil bergegas hampiri sang
kakek.
"Biar saja. Dia pasti mengadu kepada Nyai Garang Sayu. Biarkan
saja. Cucuku! Biar Nyai Garang Sayu tahu bahwa kita bukan orang lemah yang
mudah ditundukkan!"
"Bagaimana jika Nyai Garang Sayu mengamuk dan menuntut balas pada
kita?!"
"Mengapa takut, Cucuku?! Pendekar Mabuk ada di pihak kita!"
sambil Kusir Hantu melirik Suto.
Kusir Hantu tambahkan kata, "Bagaimanapun juga. Pendekar Mabuk
pasti akan melindungimu, sebab ia menaruh hati padamu secara diam-diam.
Bukankah begitu, Nak?"
Suto Sinting sempat gelagapan dan tak mengerti harus berkata apa kepada
Kusir Hantu dan cucunya yang tengil itu.
*
* *
8
SEBETULNYA Suto Sinting ingin bergegas ke Gunung Purwa untuk mengambil
air Sendang Ketuban. Tetapi perhatiannya lebih tertarik pada percakapan Kusir
Hantu dan cucunya, hingga langkah Suto menjadi tertahan untuk sementara waktu.
"Aku pergi bukan mencari Pendekar Mabuk, Kek. Aku mencari adikku;
Mahligai Sukma. Sebab kudengar kabar dari seorang teman, Mahligai Sukma sedang
diburu-buru oleh orang-orangnya Hulubalang Iblis. Kudengar Mahligai lari ke
arah timur, dan aku mengejarnya. Tapi tahu-tahu dua orang Tebing Hitam
menghadangku. Mereka juga ingin membunuhku, Kek."
"Rupanya orang Tebing Hitam menghendaki kematian kita," gumam
si Kusir Hantu sambil merenung serius. "Ini berarti kita harus berhadapan
dengan Nyai Garang Sayu. Kita akan berperang melawan kekuatan sebesar itu. Kita
hanya bertiga, dan... oh, ya... lalu kau tak berhasil bertemu dengan
adikmu?"
"Tidak, Kek! Aku khawatir Mahligai Sukma telah lebih dulu
tertangkap dan entah bagaimana nasibnya di tangan Nyai Garang Sayu!" wajah
Pematang Hati tampak membendung duka.
"Apa yang membuat mereka memusuhi keluargamu, Pak Tua?!"
tanya Suto Sinting yang merasa iba hati.
"Aku sendiri tak tahu. Yang jelas, apa pun alasan mereka kami
harus menghadapi kekuatan mereka. Jika kau ingin membantuku, aku sangat berterima
kasih. Tapi jika tidak, aku pun akan berterima kasih karena kau telah membantu
melepaskan Pematang Hati dari ancaman maut tadi."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, berpikir sejenak sambil
memandang matahari yang kian condong ke barat. Kemudian berkata kepada Kusir
Hantu dengan suara tegas. "Aku harus mencari air Sendang Ketuban di negeri
Wilwatikta. Ada seseorang yang perlu kuselamatkan nyawanya dengan air itu.
Bagaimana kalau masalahmu ini kita tangani setelah aku pulang dari
Wilwatikta?"
"Aku tak ingin kehilangan cucuku yang satu itu; Mahligai Sukma!
Jika kau memang punya kepentingan lain, aku dan Pematang Hati akan menyerang
Tebing Hitam hanya berdua saja! Pepatah mengatakan: 'Rawe-rawe rantas
malang-malang pulung', artinya maju terus pantang mundur, kecuali
kepepet!"
Suto tersenyum sumbang karena hatinya menyimpan kegelisahan. Kusir
Hantu bertekad berangkat saat itu juga ke Tebing Hitam untuk bebaskan Mahligai
Sukma, adik Pematang Hati. Saat itu pula Suto Sinting diliputi oleh kebimbangan
yang meresahkan, antara ikut ke Tebing Hitam atau pergi ke Wilwatikta yang ada
di Gunung Purwa.
Namun akhirnya mereka tak jadi bergerak karena melihat kedatangan
seberkas cahaya yang menyerupai bintang jatuh dari langit. Gumpalan cahaya itu
berwarna merah berasap hingga mirip ekor memanjang. Cahaya tersebut jatuh di
depan mereka dalam jarak delapan langkah.
Buuusss...!
Asap tebal mengepul tinggi, lalu lenyap disapu angin sore hari.
Lenyapnya asap itu membuat mata mereka dapat melihat seraut wajah cantik berdiri
dengan mata sayu dan bibir mekar menggoda gairah.
Seorang perempuan berdiri di depan mereka, mengenakan pakaian tipis
tembus pandang warna abu-abu, rambutnya lebat terurai lepas, mengenakan mahkota
kecil berhias batuan permata putih. Cahaya matahari yang datang dari arah
belakangnya membuat bayangan tubuhnya yang elok tampak samar-samar dalam
bungkusan kain abu-abu tipis itu. Dadanya pun terlihat menonjol ke depan dengan
kencang dan padat. Bahkan perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
tampak tidak mengenakan pelapis apa pun kecuali hanya jubah abu-abu dengan dua
kancing di bagian perutnya.
"Siapa dia, Pak Tua?" bisik Suto Sinting.
"Dia yang tadi namanya kusebut-sebut: Nyai Garang Sayu."
"Luar biasa sekali!" gumam Suto Sinting bagai tak sadar, matanya
sukar berkedip. "Itulah sebabnya tadi kusarankan kau pergi saja jika
bertemu dengannya, sebab dia punya kecantikan yang memancarkan daya pikat luar
biasa bagi lelaki muda sepertimu. Dan ia paling gemar menggaet hati pemuda
tampan bertubuh kekar sepertimu."
"Taa... tapi dia adalah Ibu dari Hulubalang Iblis? Betulkah
begitu, Pak Tua?!"
"Benar. Tentunya kau heran melihatnya masih semuda itu.
Ketahuilah, ia berusia lebih tua dariku. Ia sebaya dengan kakakku; si Tua
Bangka itu."
"Tutup matamu, Suto!" ujar Pematang Hati ketika Nyai Garang
Sayu mendekati mereka.
Suto hanya berkata, "Aku lupa cara menutup mata!"
"Hmmm, dasar mata keranjang!" geram Pematang Hati dengan
mencibir ketus.
Terdengar suara Nyai Garang Sayu yang bernada serak-serak menggairahkan
itu. "Kau benar-benar memaksaku turun tangan, Kusir Hantu!" Kusir
Hantu tetap tenang dan sunggingkan senyum yang mirip seringai kuda.
"Kau mengawali permusuhan ini, Garang Sayu! Orang-orangmu memburu
cucu-cucuku, dan itu berarti kau menantangku, Garang Sayu."
"Memang aku ingin membantaimu dan kedua cucumu, karena kalian
telah lakukan penghinaan dengan menolak lamaran putraku; si Hulubalang Iblis! Penolakan
itu adalah penghinaan besar. Lebih besar lagi setelah putraku kau lukai.
Kabarnya si Pendekar Mabuk pun ikut andil dalam penghinaan itu! Maka si
Pendekar Mabuk pun harus ikut lenyap dari permukaan bumi!"
Suto Sinting menyahut, "Aku bersedia menghadapi murkamu,
Nyai!"
"Oh, jadi kau yang berjuluk Pendekar Mabuk?"
"Benar!" jawab Suto Sinting tegas sambil melangkah maju.
"Sayang sekali," gumam Nyai Garang Sayu dengan nada dingin.
"Mengapa harus kau yang menjadi Pendekar Mabuk, padahal gairahku sudah
mulai terbakar begitu melihat ketampanan dan kegagahanmu!"
"Dasar perempuan jalang!" seru Pematang Hati dengan lantang. Nyai
Garang Sayu sunggingkan senyum sinis sedingin es. Tapi senyum itu segera lenyap
karena kemunculan sekelebat bayangan yang segera berdiri di sampingnya.
Bayangan itu ternyata adalah kehadiran seorang lelaki bertubuh tinggi-besar,
berotot kekar, berkepala gundul licin dan berwajah menyeramkan. Dia adalah
putra kesayangan Nyai Garang Sayu yang bernama: Hulubalang Iblis.
"Ibu, biar aku yang menghadapinya! Jangan Ibu turun tangan
sendiri."
Kusir Hantu sempat menyahut, "Benar. Ibumu jangan boleh turun
tangan, nanti tangannya sampai ke tanah menjadi seperti orang hutan!"
"Tutup bacotmu, Kusir Penyu!" bentak Hulubalang Iblis.
"Putraku," ujar Nyai Garang Sayu dengan kalem. "Mundurlah,
biar Ibu selesaikan penghinaan mereka dengan cara Ibu sendiri. Kau akan
menyaksikan seperti apa kematian orang-orang yang menolak lamaranmu, Nak!"
Pendekar Mabuk segera merenggangkan jarak dari Kusir Hantu, karena ia
yakin harus bertindak cepat sebelum perempuan cantik memikat hati itu lepaskan
serangan mautnya. Tetapi tiba-tiba mereka dibuat heran oleh kemunculan suara
aneh dari arah semak-semak di balik pohon.
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...
Pendekar Mabuk segera ingat suara itu dan segera berkata dalam gumam,
"Si Bocah Kolok...?!" Sosok kurus berambut tipis itu muncul dari semak-semak.
Si Bocah Kolok memainkan rantai berbandul dua bola putih.
"Mau apa datang kemari, Keparat Tua!" tegur Nyai Garang Sayu
dengan ketus sekali, menandaskan rasa permusuhannya dengan si Bocah Kolok.
"Wiio dengar apa yang kalian bicarakan! Wiio ingat sekarang, dari
kemarin Wiio mau jumpa Kusir Hantu, tapi selalu nyasar karena lupa arah. Heh,
heh, heh, heh...!"
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...!
Mainan tetap berbunyi karena bergerak naik-turun. Tidak semua orang
bisa begitu, membutuhkan ketepatan gerak dan kecepatan tersendiri. Belum lagi
jika harus disaluri tenaga dalam, tentu membutuhkan perhatian khusus untuk hal
itu. Tapi si Bocah Kolok dapat memainkannya sambil bicara seenaknya.
"Wiio dapat kabar, ada seorang penguasa suatu wilayah yang ingin
bantai sebuah keluarga karena lamaran anaknya ditolak. Aduh, aduh... jahat
sekali penguasa itu, ya?" ujar si Bocah Kolok kepada Kusir Hantu dengan
nada seperti anak kecil.
Hulubalang Iblis menggeram penuh luapan amarah.
"Matikan saja dia, Ibu!"
"Tenang, Putraku! Kalau dia memihak Kusir Hantu, terpaksa Ibu
bereskan nyawanya!"
Bocah Kolok mendengar ucapan itu dan menyahut dengan cengar-cengir,
"Heh, heh, heh, heh.... Kusir Hantu, kau dengar bukan, nyawa Wiio mau
dikemasi oleh Garang Sayu. Dia pikir mudah mencabut nyawa tua Wiio ini, heh,
heh, heh...!"
Nyai Garang Sayu membentak, "Wiio..!"
"Eh, kaget, kaget, kaget...!" Wiio tersentak kaget dan
mengusap dadanya. "Jangan bentak-bentak begitu, Garang Sayu. Wiio
kaget!"
"Persetan dengan lagak bocahmu! Kau telah menantangku secara tak
langsung! Kau kuanggap memihak kepada si Kusir Hantu!"
"Kalau Wiio memihak si Kusir Hantu itu hal yang wajar, sebab Kusir
Hantu sahabat Wiio, Nyai galak!" jawab Bocah Kolok sambil tetap memainkan
tiktok-tiktoknya. "Wiio memang mau bertandang ke tempat Kusir Hantu,
eeh... malah ketemu Pendekar Mabuk yang tarung dengan adikmu: Jurik Wetan! Aku
baru ingat bahwa kaulah orang yang mempunyai racun 'Kembang Mayat'. Tapi aku
pun baru ingat kalau aku mempunyai jurus penolak racun seperti itu yang bernama
jurus 'Napas Kayangan'. Ternyata jurus 'Napas Kayangan' masih ampuh dan mampu
menyelamatkan segenggam nyawa bocah cantik!"
"Banyak cakap kau ini, heaaah...!" Nyai Garang Sayu berwajah
ganas, ia kelebat kan tangannya dan serbuk-serbuk putih pun menyebar ke arah
Bocah Kolok yang berdiri di dekat Kusir Hantu serta Pematang Hati.
Melihat sebaran serbuk putih seperti tepung itu, Kusir Hantu undurkan
diri sambil menarik lengan cucunya dan berseru,
"Awas racun 'Ganda Maut', Wiio!"
"Apa kehebatannya racun itu, Pujasera?!"
Bocah Kolok seperti anak dungu, ia tetap bermain tiktok-tiktok tanpa
hiraukan serbuk yang menyebar ke arahnya. Namun tiba-tiba serbuk-serbuk itu
saling meletup dan memercikkan bunga api yang merimbun, indah dipandang mata
namun berbahaya jika dihirup manusia.
Tar, tratar, tar, tar, trrrrattar...!
"Biadab! Dia lumpuhkan racun itu, Ibu!" seru Hulubalang
Iblis.
Nyai Garang Sayu gerakkan kedua tangannya ke sana-sini, memainkan jurus
maut bertenaga dalam cukup tinggi. Dari gerakan tangannya itu keluar uap salju
yang menyebar ke sekeliling dan dapat membekukan darah lawan.
Bocah Kolok semakin cepat memainkan tiktok-tiktoknya. Uap salju itu
bagai tak bisa bergerak ke mana-mana. Nyai Garang Sayu kerahkan tenaga dengan
dua tangan bagai mendorong ke depan. Bocah Kolok makin percepat mainannya.
Tik, tok, tik, tik, tok, tok, tok, tok...!
"Hiaaaahhh...!" Nyai Garang Sayu menguras tenaga untuk
mendorong uap salju yang mulai membeku di udara tapi tidak dapat bergerak ke
mana-mana. Tubuh perempuan cantik itu bergetar, tanah pun bergetar dan
pohon-pohon juga bergetar. Daun-daun rontok karena getaran tubuh Nyai Garang
Sayu.
Tooook, tooook, tooook, tooook...!
Semakin tinggi suara mainan si Bocah Kolok, semakin beku uap yang
keluar dari pori-pori Nyai Garang Sayu. Si Bocah Kolok sendiri hanya
cengar-cengir bagai anak kecil kegirangan melihat kemampuannya bermain dengan
cepat. Kusir Hantu dan Pematang Hati hanya pandangi keadaan itu dengan tegang,
namun diam-diam Kusir Hantu telah siapkan pukulan mautnya untuk sewaktu-waktu
hadapi bahaya.
Sedangkan Pendekar Mabuk hanya diam pandangi Hulubalang Iblis yang
tampak gusar dan ingin lepaskan pukulan mautnya pula.
"Hhheeeaahhh...!" Nyai Garang Sayu berteriak keras sebagai
tanda telah kerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong uap salju. Tapi uap
salju semakin sukar bergerak dan kian membeku karena bunyi tiktok-tiktok kian
keras dan cepat. Rupanya dari suara itulah si Bocah Kolok salurkan hawa
saktinya untuk menahan kekuatan sakti lawannya.
Uap salju itu akhirnya membeku dan membungkus tubuh Nyai Garang Sayu.
Tubuh perempuan itu tak bisa bergerak sedikit pun. Tapi suara erangannya masih
terdengar samar-samar. Akhirnya si Bocah Kolok melemparkan mainannya itu dengan
gerakan cepat.
Weees...! Pletak...! Buuuummmm...!
Gumpalan es yang membungkus Nyai Garang Sayu meledak dengan dahsyat,
menyebar ke berbadai arah. Bersamaan dengan pecahnya gumpalan es itu, tubuh
Nyai Garang Sayu pun lenyap seketika. Tapi suaranya masih terdengar menggema
panjang lalu menghilang bagai ditelan bumi.
"Aaaa...!"
Menyadari ibunya telah hancur bersama serpihan es itu, Hulubalang Iblis
menjadi sangat murka.
"Bangsaaat...!" ia berteriak sekuat tenaga, sambil melompat
menerjang Bocah Kolok saat Bocah Kolok sedang menangkap mainannya yang memutar
kembali ke tempat semula setelah menghantam gumpalan es tadi.
Zlaaap...! Bruuus...!
Pendekar Mabuk bertindak menerjang Hulubalang Iblis. Keduanya sama-sama
terpental satu arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari Bocah
Kolok.
"Ggrrr...!" Hulubalang Iblis menggeram dengan wajah liarnya.
"Kuhisap habis darahmu, Manusia Bejat!
Heeaahh...!"
Slaaab...! Sinar merah besar keluar dari telapak tangan Hulubalang
Iblis. Sinar merah itu menghantam dada Pendekar Mabuk yang baru saja bangkit
dengan setengah berdiri. Srruub...!
Pendekar Mabuk tersentak kaku, sinar merah itu tiada kunjung padam.
Darah si Pendekar Mabuk tersedot ke telapak tangan Hulubalang Iblis.
"Kakek, Suto tak bisa bergerak! Cepat tolong dia, Kek!"
Pematang Hati ribut sendiri.
Tapi sebelum Kusir Hantu lakukan suatu tindakan, tiba-tiba Pendekar
Mabuk berubah menjadi besar dan besar sekali. Tubuhnya menjadi tinggi dan
besar.
Mereka terperangah melihat Suto Sinting menjadi raksasa. Hulubalang
Iblis juga terbengong melihat sinar merahnya menjadi seperti lidi yang
menggelitik dada raksasa.
Jurus 'Dewatakara' pemberian dari Payung Serambi dipergunakan Suto
dalam keadaan sangat terdesak.
Dengan sekali sambar, tangannya berhasil meremas kepala Hulubalang
Iblis yang gundul itu, lalu melemparkannya tinggi-tinggi. Wuuuusss...!
Hulubalang Iblis melayang di udara.
"Aaaaa...!"
Jeritan kerasnya segera terhenti ketika tubuhnya jatuh ke tanah dan
kaki raksasa Suto itu menginjak dadanya dalam satu hentakan mengerikan.
Buuhk...!
"Heeekkh...!"
Darah menyembur dari mulut Hulubalang Iblis yang ternganga. Seakan
semua darah dalam tubuh orang gundul itu terkuras keluar hingga melumuri kaki
raksasa Suto. Maka sejak saat itu, Hulubalang Iblis tak pernah bernapas lagi.
Ia mati dalam keadaan gepeng.
Napas mereka terhempas lega. Pendekar Mabuk segera mengubah diri dan
menjadi seperti semula. Bertepatan dengan itu, seraut wajah cantik tanpa senyum
muncul dari semak-semak. Gadis yang terkena racun 'Kembang Mayat' itu ternyata
telah disembuhkan oleh si Bocah Kolok dan menjadi sehat tanpa kesan luka
sedikit pun.
Pematang Hati terbelalak girang melihat kemunculan gadis berpakaian
hitam bintik-bintik putih bagai paku payung itu. Suaranya terlontar dengan nada
ceria,
"Mahligai...!"
Suto Sinting terkejut dan memandang Bocah Kolok.
"Apakah dia... dia yang bernama Mahligai Sukma, Wiio?!"
"Iya. Waktu itu, Wiio lupa namanya dan lupa siapa dirinya. Tapi
sejak kau pergi, Wiio jadi ingat bahwa dia adalah cucu sahabatku dan Wiio ingat
dia punya nama Mahligai Sukma. Dia yang menceritakan rencana pembantaian
Hulubalang Iblis terhadap Kusir Hantu dan kedua cucunya itu."
Wiio tertawa sambil bermain tiktok-tiktoknya. "Heh, heh, heh...
maaf, hampir saja Wiio lupa siapa gadis itu."
"Memang sudah lupa. Kalau kau tak pikun, aku tak akan keluyuran
sampai ke sini!" gerutu Suto Sinting sambil perhatikan Mahligai Sukma yang
sedang dipeluk oleh kakaknya; si Pematang Hati dan kakeknya; si Kusir Hantu.
SELESAI
Emoticon