1
AWAN hitam menaungi wilayah Perguruan Merpati
Wingit. Dari sebuah lembah tampak terlihat jelas
reruntuhan bangunan joglo yang merupakan bangunan
terdepan setelah halaman laga Perguruan Merpati
Wingit. Dari sanalah sepasang mata menatap dengan
sedikit menyipit, tersimpan dendam dalam hati yang
luka mengharu melihat porak-porandanya perguruan
tersebut.
Sepasang mata menyipit dendam milik perempuan
berpakaian merah dadu itu masih memandangi makam-
makam di samping pagar wilayah perguruan. Berjajar
makam yang tanahnya masih tampak baru ditimbunkan
itu, seakan barisan pisau tajam yang menggores hati
perempuan berselendang putih di pinggangnya.
Perempuan itu tak lain adalah Selendang Kubur,
murid Perguruan Merpati Wingit yang sudah lama tak
kembali ke perguruannya, karena tergoda cinta murid
sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk,
Suto Sinting.
Kabar tentang porak-porandanya perguruan tersebut
didengar telinga Selendang Kubur dari sudut sebuah
kedai, di mana tiga orang bercerita tentang amukan
Perawan Sesat yang konon berhasil melukai gurunya,
Nyai Betari Ayu. Celoteh di sudut kedai itu juga
mengisahkan cerita tentang kematian Dewi Murka yang
disaksikan sendiri oleh mata seorang lelaki besar tanpa isi yang dikenal
dengan nama Singo Bodong, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan
Sesat").
Selendang Kubur tak sampai hati untuk tinggal diam
melihat keadaan di perguruannya. Niatnya untuk
memburu cinta pada Suto Sinting tertangguhkan. Apa
pun amarah sang Guru nantinya, ia siap menerima
hukumannya, ia juga tak bisa menahan duka mendengar
gurunya; Nyai Betari Ayu, terluka oleh pukulan lawan.
Dengan dendam membesi di hati, Selendang Kubur
melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perguruan
yang telah hancur itu. Suasana pelataran laga tampak
sepi. Selendang Kubur menarik napas untuk menahan
luapan api kemarahan yang telah membakar dada. Maka,
segera ia melesat ke serambi samping, dan di sana ia
temui sang Guru sedang duduk merenung dengan wajah
tetap berwibawa walau tampak guratan dukanya.
Melihat siapa yang muncul di depannya, Nyai Betari
Ayu terkesiap sekejap, ia segera menarik napas meredam kemarahan, ia
mengangkat wajah, memandang tajam
muridnya yang lama tak kunjung tiba. Sang murid
menundukkan wajah, sebagai ungkapan rasa bersalah
dan pasrah menerima hukuman sang Guru.
Betari Ayu segera perdengarkan suaranya dengan
lembut tapi penuh kharisma bagi murid yang baru datang itu.
"Kaukah yang berdiri di depanku, Selendang
Kubur?!"
Sedikit tunduk kepala Selendang Kubur saat
menjawab, "Benar, Nyai Guru. Saya datang."
"O, syukurlah. Ternyata kau masih ingat jalan pulang ke perguruanmu
ini."
"Maafkan saya, Nyai Guru. Saya memang bersalah."
"O, tidak! Kau tidak bersalah!" tukas Nyai Guru Betari Ayu. "Perguruan ini
hampir hancur bukan karena ulahmu, melainkan ulah muridnya si Nyai
Lembah
Asmara. Perawan Sesat namanya."
"Saya merasa bersalah, karena saat itu saya tidak ada di sini, Guru."
"Bukan hanya kamu, tapi Dewi Murka juga tidak ada di sini."
"Dewi Murka juga sudah tewas di tangan Perawan
Sesat, Guru!"
Tersentak hati Betari Ayu. Terbungkam mulutnya
tanpa bisa mengucap sepatah kata pun mendengar Dewi
Murka tewas di tangan Perawan Sesat. Semakin
tertimbun dendam hati Betari Ayu rasanya. Tetapi ia
berusaha untuk menahan diri agar tidak hanyut dalam
kobaran dendam yang membara itu.
Dewi Murka dan Selendang Kubur adalah orang kuat
di Perguruan Merpati Wingit. Kepada salah satu dari
kedua orang itulah Betari Ayu ingin menyerahkan
tampuk pimpinannya. Menurut pandangan hatinya,
hanya dua orang itulah yang bisa dan pantas menjadi
penggantinya, sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit.
Tetapi sebelum niatnya terlaksana, satu dari kedua orang pilihannya itu
telah tewas. Kini tinggal Selendang Kubur yang menjadi satu-satunya calon
pengganti dirinya,
sebelum ia pergi mengasingkan diri menjadi seorang
pertapa.
Tetapi, mampukah Selendang Kubur
mempertahankan perguruannya jika sekarang hatinya
telah ditaburi dendam terhadap orang-orang Bukit
Garinda yang dikuasai oleh Nyai Lembah Asmara?
Bukankah beberapa orang kuat di perguruan itu telah
tewas juga di tangan perempuan iblis utusan Nyai
Lembah Asmara? Dewi Murka, Murbawati, dan orang-
orang kuat lainnya telah tiada. Padahal mereka adalah benteng bagi
Perguruan Merpati Wingit.
Belum lagi jika Betari Ayu memikirkan Pendekar
Mabuk yang berhasil dibujuk Perawan Sesat untuk
dibawa ke Bukit Garinda, makin perih hati Nyai Betari Ayu sebenarnya.
Karena di dalam hati Nyai Guru itu,
tertanam cinta yang rapi tersembunyi. Baik sang Guru
maupun sang murid tidak saling mengetahui bahwa
mereka sebenarnya sama-sama mencintai Suto dan
sama-sama merasa kehilangan pemuda itu.
Melihat termenungnya sang Guru, Selendang Kubur
segera ucapkan kata penuh hati-hati,
"Nyai Guru, siapa wanita yang berjuluk Perawan
Sesat itu sebenarnya, dan di mana ia tinggal, Guru?"
"Apa maksudmu bertanya begitu, Selendang Kubur?"
"Saya harus pergi menemuinya, membuat
perhitungan dengannya, Guru. Saya harus menebus
nyawa saudara-saudara saya yang menjadi korban
keganasan Perawan Sesat itu."
"Haruskah kita menebus dendam berdarah ini,
Selendang Kubur?"
Pertanyaan ini sungguh sulit dijawab oleh Selendang
Kubur.
Pandang matanya sesaat menyirat ke wajah gurunya,
lalu tundukkan kepala lagi seraya berkata,
"Tidak ada darah yang tidak membekas, Guru. Dan
untuk menghilangkan darah itu hanya dengan
pembalasan setimpal, Nyai Guru."
Diam sekejap sang Guru sebelum memperdengarkan
suara lembutnya,
"Akan selesaikah masalah yang dirampungkan
dengan dendam dan pembalasan? Akan berhentikah
pertikaian yang dibayar dengan kesumat dendam,
Selendang Kubur?"
Lirih suara Selendang Kubur menjawab, "Tidak,
Guru."
"Ya. Tidak akan terselesaikan. Pasti akan berbuntut panjang. Dan itu akan
menuntut kita untuk lebih
bermusuhan lagi."
"Tapi harga diri perguruan tetap harus ditegakkan, Guru. Nama baik dan
wibawa Nyai Guru sendiri juga
harus terjaga oleh sikap kita. Jika tak ada pembalasan datang dari kita,
maka hancur sudah citra perguruan dan terinjak-injak sudah wibawa serta
kehormatan Nyai
Guru, yang menjadi ketua perguruan ini."
"Memang benar apa katamu. Itu pula yang sedang
kupertimbangkan sejak tadi. Dan aku belum mempunyai
keputusan, Selendang Kubur. Aku masih mencari sisi
baik dari bencana ini."
"Guru terlalu sabar," terdengar Selendang Kubur ucapkan kata dalam
kebimbangan dan rasa takut. Tapi
Nyai Guru Betari Ayu hanya tersenyum tipis dan pahit.
Nyai Guru alihkan pandangan sambil ia langkahkan kaki
menuju ke taman. Selendang Kubur mengikutinya
dengan mulut tak terucap dalam waktu beberapa kejap.
Setelah Nyai Guru berhenti di sisi tanaman mawar
berbunga ungu, Selendang Kubur beranikan diri ajukan
pertanyaan.
"Sebenarnya apa permasalahan yang membuat wanita gila berjuluk Perawan
Sesat itu mengobrak-abrik tempat kita, Guru?"
Sebelum lontarkan jawaban, Nyai Guru tarik napas
terpendam di dada. Ia tekan gemuruh yang hampir tak
terkendali di sela bayangan seorang pemuda tampan
bergelar Pendekar Mabuk itu. Kejap berikutnya Betari
Ayu lepaskan kata,
"Titik masalahnya adalah Suto."
Terperanjat Selendang Kubur mendengar nama
pemuda yang diincar hatinya disebut oleh sang Guru.
Ketika sorot pandang Selendang Kubur membentur
tatapan wibawa sang Guru, terdengarlah kata dari sang Guru yang menjelaskan
maksud jawabannya tadi,
"Suto kutemukan terluka parah di sebuah bukit. Aku segera membawanya kemari
dan kurawat hingga
sembuh. Begitu Suto pergi, datang Perawan Sesat
menuduhku menyembunyikan Suto. Lalu, mengamuklah
dia di sini, mencabut nyawa saudara-saudara
seperguruanmu dengan seenaknya saja. Beruntung
nyawaku masih terlindung oleh kemunculan Suto yang
segera menyerang Perawan Sesat itu."
"Lalu, ke mana Suto sekarang, Guru?"
"Terbujuk oleh omongan Perawan Sesat. Suto pergi
ke Bukit Garinda menemui gurunya Perawan Sesat yang
bergelar Nyai Lembah Asmara itu."
"Untuk apa Suto ke sana?"
"Nyai Lembah Asmara adalah perempuan sakti, keji, tapi mandul, ia hanya
bisa memperoleh keturunan dari
benih lelaki tanpa pusar. Pendekar Mabuk itulah lelaki tanpa pusar. Nyai
Lembah Asmara akan menjadikan
Suto sebagai lelaki pembenih, yang akan menurunkan
bibitnya kepada Nyai Lembah Asmara."
"Itu berarti Suto akan kawin dengan Nyai Lembah
Asmara?!"
Selendang Kubur ucapkan kata dengan tegang. Sang
Guru masih memberi jawaban dengan kalem.
"Setidaknya, Suto akan dikuasai oleh Nyai Lembah
Asmara dan dipaksa agar mau melayani hasratnya.
Padahal aku tahu persis, Nyai Lembah Asmara
mempunyai racun yang tak dapat dilawan dengan ilmu
apa pun. Racun itu bernama Racun Darah Asmara.
Racun itu dipancarkan lewat sorot pandangan matanya.
Siapa pun lelaki yang terkena sorot mata beracun, bisa luluh hatinya dan
terbuai jiwanya, serta terbakar
birahinya. Itulah kehebatan Racun Darah Asmara. Aku
yakin, Pendekar Mabuk tak bisa menghindari racun itu.
ia akan tunduk dengan cinta dan rayuan Nyai Lembah
Asmara."
Terasa panas sekujur dada Selendang Kubur, karena
saat itu darah terasa mendidih. Terbayang kelicikan Nyai Lembah Asmara yang
akan mempengaruhi Suto dengan
memakai racun berbahaya itu. Maka tergugah pula
dendam yang paling dalam, yaitu ingin menggempur
orang-orang Bukit Garinda, yang menjadi wilayah
kekuasaan Nyai Lembah Asmara.
"Jika begitu, Guru," Selendang Kubur angkat bicara,
"Saya akan gagalkan kunjungan Suto ke Bukit Garinda.
Saya akan cegah Nyai Lembah Asmara itu menggunakan
racun tersebut!"
"Jangan gegabah, Selendang Kubur. Nyai Lembah
Asmara bukan orang berilmu rendah. Tinggi ilmumu
hanya mencapai separo dari ilmunya. Kau tak mungkin
sanggup mengunggulinya. Aku sendiri merasa kalah
tinggi dengan ilmunya."
"Saya tidak peduli, Guru! Yang jelas, sekarang juga saya mohon pamit untuk
pergi ke Bukit Garinda!"
Selendang Kubur berkobar-kobar semangatnya. Mata
jelinya menjadi nanar penuh kilasan lidah api amarah
yang berkobar-kobar di dalam hatinya. Napasnya pun
kelihatan lebih memburu.
"Tahanlah amukan hatimu, Selendang Kubur. Jangan mati konyol tanpa
perhitungan sedikit pun!"
"Suto harus segera diselamatkan, Guru! Saya sudah bisa bayangkan kalau Suto
menanamkan benih pada
rahim Nyai Lembah Asmara, dan benih itu menjadi
keturunan sang Nyai Lembah Asmara, sudah pasti
keturunan itu akan menjadi manusia tanpa tanding,
Guru."
"Memang. Itulah sebabnya Lembah Asmara tidak
bisa punya keturunan, sebab satu kali dia punya
keturunan maka anaknya akan menjadi manusia tanpa
tanding. Padahal Nyai Lembah Asmara mempunyai
aliran hitam. Tidak menutup kemungkinan kalau
anaknya nantinya akan menjadi orang sesat yang tidak
bisa dikalahkan oleh pendekar mana pun!"
"Karena itu saya harus segera gagalkan rencana
tersebut, Guru!" sergah Selendang Kubur.
"Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Biarkan aku duduk di sini
merenungkan putusan yang lebih
baik."
Dalam hati Betari Ayu merasa khawatir terhadap jiwa
Selendang Kubur. Tinggal satu murid yang menjadi
benteng perguruannya. Jika Selendang Kubur tewas di
tangan Nyai Lembah Asmara, habis sudah benteng
Perguruan Merpati Wingit. Tetapi sang Guru juga
melihat nyala dendam dan bela pati dari sang murid. Jika ia patahkan dengan
larangan berangkat ke Bukit
Garinda, pupus sudah semangat sang murid, susut sudah jiwa bela patinya,
patah pula semangatnya.
"Haruskah kuturunkan ilmu yang ada dalam Kitab
Wedar Kesuma itu untuknya?" pikir Betari Ayu dalam renungan panjangnya.
Tapi, renungan itu terputus oleh kehadiran murid lainnya yang memberanikan
diri
menghadap dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa kau menghadapku dengan wajah pucat,
Prahasti?"
"Guru, pedang pusaka Jalaganda dicuri oleh
Selendang Kubur dan dibawanya lari, Guru!"
Tersentak jantung Betari Ayu mendengarnya, ia
gumamkan kata,
"Jalaganda dicuri? Selendang Kubur lari? Jelas, arahnya pasti ke Bukit
Garinda. Anak itu tak bisa
dikekang amarahnya. Berbahaya sekali. Tidakkah ia
sadari bahwa pedang Jalaganda adalah pusaka yang
hanya dipakai untuk pertarungan terakhir bagi orang
yang sudah bosan hidup? Memang orang yang
menggunakan Jalaganda bisa memperoleh kemenangan
walau melawan seribu lawan, tapi selesai itu orang yang menggunakannya akan
mati. Jalaganda akan pulang
sendiri ke tempatnya tanpa pembawanya!"
Cemas hati Betari Ayu bagai meruncingkan luka.
Jalaganda bukan pedang sembarang pedang. Jalaganda
merupakan pedang warisan eyang guru dari Betari Ayu
yang merupakan pedang kemenangan dan kekalahan.
Hanya tokoh-tokoh tua zaman dulu yang menggunakan
pedang Jalaganda untuk bertarung, karena usai itu ia sudah siap mati tanpa
meninggalkan dendam lagi.
Sedangkan Betari Ayu tidak ingin satu-satunya murid
andal yang tersisa itu mati bersama kemenangan
pertarungannya. Nyai Betari Ayu masih membutuhkan
Selendang Kubur untuk tetap menghidupkan
perguruannya itu.
"Aku harus segera menyusul Selendang Kubur. Aku
tidak izinkan dia menggunakan pedang Jalaganda, agar
ia tak ikut punah seperti yang lainnya. Dialah yang akan kujadikan penerus
ilmu-ilmu Merpati Wingit dan
mengembangkannya ke seluruh penjuru dunia," pikir Betari Ayu sambil
berkemas mengenakan jubah
kuningnya yang terbuat dari kain sutera lembut dan tipis.
Ikat kepala dari tali merah berbintik-bintik kuning
keemasan, dengan kedua ujung terdapat logam runcing
berbentuk mata tombak kecil, yang bisa pula digunakan sebagai pengikat
rambutnya yang panjang digelung rapi di atas kepala, ia menarik napas
beberapa kali. Terasa enteng badannya. Terasa sembuh betul
luka-lukanya
akibat minum tuak pemberian Pendekar Mabuk, sebelum
pemuda itu pergi bersama Perawan Sesat.
Kalau bukan karena pusaka Jalaganda, Nyai Guru
Betari Ayu tidak akan keluar dari padepokannya.
Jalaganda memang berbahaya. Selendang Kubur sendiri
sebenarnya mengetahui akibat penggunaan pedang
pusaka Jalaganda. Tetapi agaknya ia sudah siapkan diri untuk mati demi
harga diri perguruannya.
Gerakannya begitu cepat ketika ia menuju ke arah
Bukit Garinda. Pedang Jalaganda disarungkan di
punggung, melintang dengan gagahnya. Dalam hati
Selendang Kubur terucap kata,
"Akan kutunjukkan pada Suto, bahwa aku rela mati demi menyelamatkan dirinya
dari Racun Darah Asmara.
Akan kubuktikan pula kepada Nyai Guru, bahwa aku
rela hancur demi nama baik dan kehormatan martabat
perguruan. Tetapi... apakah Suto mau tahu dan mau
percaya bahwa semua ini kulakukan demi cintaku
padanya? Sudah layakkah aku berkorban untuk dia?"
Tiba-tiba tanah lereng yang ada di depan Selendang
Kubur itu longsor. Batu-batu besar yang ada di lereng itu menggelinding
berjatuhan ke arahnya. Selendang Kubur
cepat jejakkan kaki dan melenting di udara, hindari
bebatuan besar yang bisa bikin tubuhnya gepeng mirip tape.
"Tak mungkin batu itu runtuh menggelinding
sendiri," pikir Selendang Kubur setelah keadaan menjadi tenang. "Tak
mungkin tanah itu longsor sendiri tanpa ada getaran bumi sedikit pun. Pasti
ada orang yang
sengaja mencelakai diriku."
Mata jeli itu menjadi makin tajam, melirik ke sana-
sini dengan liar. Sementara tubuh Selendang Kubur
bersembunyi di celah batu yang ada di seberang lereng yang tadi longsor
tanahnya. Tetapi untuk beberapa kejap hanya angin yang berhembus di
sekelilingnya. Tak ada
gerakan yang mencurigakan, atau kelebatan yang
menarik perhatian.
Kejap berikutnya barulah Selendang Kubur
menangkap sosok bayangan lelaki berbaju merah dan
bercelana hitam. Serta-merta Selendang Kubur lancarkan pukulan jarak jauh
dari tempat persembunyiannya.
Lelaki pendek sedikit gemuk itu tersentak kaget
merasakan hawa panas sedang mengalir menuju ke
arahnya dari arah belakang. Cepat-cepat ia balikkan
tubuh dan menghadang pukulan hawa panas itu dengan
satu sentakan tangan kosong ke arah depan.
Rupanya ia sengaja adukan pukulan tenaga dalamnya
dengan hawa panas yang mau membokongnya itu.
Kedua pukulan tersebut beradu dan memancarkan
kerlapan cahaya pijar yang begitu menyilaukan mata.
Pecahnya cahaya itu tidak menimbulkan bunyi,
melainkan mengguncangkan pepohonan yang ada di
sekelilingnya.
"Siapa orang yang berani membokongku itu?!" pikir lelaki bergelang akar
bahar di tangan kirinya. Matanya memandang tajam ke sekeliling, sampai
akhirnya ia
temukan sosok perempuan muncul dari celah dua batu
besar. Lelaki yang sudah dikenal Selendang Kubur
sebagai pelayan si Gila Tuak, gurunya Suto, yang
berjuluk Pujangga Keramat itu, segera serukan kata
kemarahan,
"Selendang Kubur, kau serang mengapa aku dari
belakang?!"
Buat Selendang Kubur, dia sudah tidak asing lagi
mendengar ucapan aneh Pujangga Keramat. Sebab ia
tahu persis Pujangga Keramat adalah manusia yang tidak
pernah bisa menyusun kalimat. Dengan mudah
Selendang Kubur mengerti maksud kata-kata Pujangga
Keramat, ia dekati lelaki itu dengan tenang, tiada gentar sedikit
pun.
"Kau menyerangku lebih dulu, Pujangga Keramat."
"Bilang siapa?! Aku datang baru saja, kau serang aku tahu-tahu dari
belakang! Maksud apamu, hah?!"
Melihat kerut dahi dan kecemberutan wajah Pujangga
Keramat, Selendang Kubur temukan kejujuran kata
orang itu. Tapi dalam hati Selendang Kubur segera
tanyakan pada diri sendiri, "Lantas, siapa yang membuat lereng itu longsor
dan batu-batu menggelinding
menyerangku jika bukan Pujangga Keramat?!"
*
* *
2
MELIHAT sikapnya tidak bermusuhan, Pujangga
Keramat pun ajukan tanya kepada Selendang Kubur,
"Selendang Kubur, kau tahukah di mana Pendekar
Mabuk ada?"
"Ada perlu pentingkah kau mencari Pendekar Mabuk, Pujangga Keramat?"
"Penting sangat! Ki Gila Tuak mencari Suto suruh aku. Ke mana-mana aku cari
sudah dia, tapi kudengar
tidak kabarnya," kata Pujangga Keramat sambil ikuti langkah kaki Selendang
Kubur pelan-pelan. Mereka
bagaikan jalan seiring melewati bekas longsoran tanah.
"Aku dapat dari Ki Gila Tuak pesan penting untuk
Pendekar Mabuk," tambah Pujangga Keramat.
"Penting sekalikah itu?"
"Penting biasa luar!" jawab Pujangga Keramat dengan sedikit ngotot, yang
maksudnya menyatakan
bawah pesan itu luar biasa penting. Kemudian, kejap
berikutnya Pujangga Keramat serukan kata lagi dengan
semangat,
"Suto punya tugas satu kerjakan ia belum. Pusaka Manik Intan yang ada di
dasar telaga bersama Tuaknya
Setan itu, belum ambil ianya. Cemas Ki Gila Tuak
jadinya. Takut ia kalau Pusaka Manik Intan jatuh di
orang-orang sesat tangan."
"Pusaka Manik Intan?!" gumam Selendang Kubur sambil menghentikan langkah di
luar kesadarannya. Saat ia termenung memikirkan kabar itu, Pujangga
Keramat
sudah ucapkan kata lagi,
"Ki Gila Tuak suruh jaga aku itu telaga, sampai
datang Suto aku tak tahu. Karena itu aku carilah dia!"
Selendang Kubur sendiri baru ingat bahwa menurut
kabarnya, Pusaka Tuak Setan itu terkubur di dasar telaga bersama satu
pusaka lagi milik Bidadari Jalang, yaitu Pusaka Manik Intan. Sedangkan
Bidadari Jalang juga
merupakan gurunya Pendekar Mabuk yang dulu sering
tampil sebagai tokoh sesat, tapi sekarang sudah beralih ke golongan putih
sejak mempunyai murid Suto (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Terawang ingatan Selendang Kubur kepada Suto,
bahwa Pendekar Mabuk itu beberapa kali ia temui tapi
tak terlihat Cincin Manik Intan tersemat di jarinya. Itu pertanda Pusaka
Manik Intan belum ditemukan oleh
Suto. Sedangkan Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh Suto pada saat
diperebutkan dari tangan si Mawar Hitam dari Pulau Hantu (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tuak Setan"). Selendang Kubur belum mengetahui hal itu,
sehingga hatinya pun bertanya-tanya, apakah Tuak Setan berhasil dilenyapkan
oleh Suto, atau diminum oleh seseorang dari golongan sesat?
"Selendang Kubur," ucap Pujangga Keramat lagi,
"Jika tahu kau Suto di mana, tolong kasih aku tahu tentang dianya. Dia
harus cepat cari itu pusaka sebelum jatuh ke orang-orang sesat
tangan."
"Pujangga Keramat, sebenarnya aku tahu di mana
Pendekar Mabuk. Tapi keadaannya sangat tidak
memungkinkan untuk dihubungi secepat ini."
"Kasihlah tahu aku!" desak Pujangga Keramat.
"Dia ada di Bukit Garinda, sedang dalam bahaya.
Aku sendiri sedang menuju ke sana untuk membebaskan
Suto dari rencana jahat Nyai Lembah Asmara, penguasa
Bukit Garinda itu!"
Pujangga Keramat kerutkan dahi tajam-tajam. "Aku pernah seperti dengarnya
itu nama Nyai. Kalau tak salah, dia ratu keji dingin darah!"
"Memang benar! Menurut keterangan dari guruku
juga begitu. Tapi aku tak takut, Pujangga Keramat. Aku tidak gentar. Aku
harus bisa membebaskan Suto dari
cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara itu!"
"Oho, ada cengkeraman mesra jugalah? Itu tanda
cemburu kau padanya! He he he...!" Pujangga Keramat terkekeh jelek, tapi
tidak menyakitkan hati, hanya
membuat Selendang Kubur sunggingkan senyum
malunya sedikit.
Pujangga Keramat goda hati perempuan itu, "Ada
hatilah kau padanya, Selendang Kubur?"
"Ya," jawab Selendang Kubur singkat tapi tegas.
"Suto cintalah juga dengan kau?"
"Aku tak tahu apakah dia cinta juga padaku atau
tidak, yang jelas aku tak rela kalau Pendekar Mabuk
berada dalam cengkeraman mesra Nyai Lembah
Asmara! Lebih baik aku bertarung sampai mati dengan
nyai keji itu!" Selendang Kubur tak sadar ucapkan kata dalam geram amarah
tertahan.
"Kuingat-ingatkan, jangan kaulah gegabah serang dia
nyai! Kau bisa binasalah di tangannya, Selendang
Kubur," Pujangga Keramat tampakkan sikap bijaknya.
Tapi Selendang Kubur agaknya kurang peduli dengan
saran itu, sehingga ia cepat ucapkan kata,
"Aku sudah siap mati untuk Pendekar Mabuk!"
Pujangga Keramat angguk-anggukkan kepala.
Renungkan kata-kata itu beberapa saat sambil
melangkahkan kaki pelan-pelan, lalu pada kejap berikut dia berkata,
"Begitu kalau, ikut sajalah aku ke sana! Sama-sama kita bebaskan Suto dari
itu tangan nyai!"
"Kau mau ikut ke Bukit Garinda?"
"Iyalah! Kupunya tugas untuk Suto-nya sendiri!"
"Tapi bagaimana dengan tugasmu menjaga Manik
Intan itu?"
"Cepatlah aku pulangkan telaga setelah selesai
sampaikan pesan dari Suto gurunya."
Selendang Kubur tidak merasa keberatan. Sekalipun
susah diajak bicara, tapi Pujangga Keramat bisa menjadi penambah kekuatan
dalam penyerangan ke Bukit
Garinda. Tetapi ada satu hal yang membuat hati
Selendang Kubur gelisah, ia menangkap suara napas
orang dari suatu persembunyian, ia pun bisikkan kata
pada Pujangga Keramat,
"Tahukah kau ada yang mengintai kita, Pujangga
Keramat?"
"Ya, aku tahulah!" jawab Pujangga Keramat dengan bahasa yang menurutnya
sudah benar dan selalu indah.
"Kita jebak dia, Pujangga Keramat! Kita cepat
menghilang di balik gerombolan bebatuan di sebelah
kanan sana."
Pujangga Keramat hanya anggukkan kepala pelan.
Kejap berikutnya dua tokoh itu jejakkan kaki dan
melesat cepat bagaikan terbang. Menghilang di balik
gerombolan bebatuan yang menggugus. Dari sanalah
mata mereka saling berpencar, menyusuri tiap jengkal
tempat dengan liar.
"Ssst...!" colek Pujangga Keramat. "Ke timur lihatlah!"
Selendang Kubur tetapkan pandang matanya ke arah
timur. Kepalanya kian tunduk merunduk. Di sana
tampak sosok tubuh sedikit gemuk berpakaian serba
hitam. Tepian pakaian orang itu dililit kain kuning emas
kecil. Wajah orang itu berkumis dan bercambang tipis.
Matanya sedikit sipit memancarkan kebengisan. Sebuah
pedang bersarung perak berukir ada di pinggang kirinya.
Pujangga Keramat kembali bisikkan kata,
"Ingatkah kau itu orang?"
"Ya. Kalau tak salah dia yang bernama Datuk Marah Gadai!"
"Dia yang intai kita tadi sejak."
"Kurasa begitu. Tapi untuk apa dia intai kita?"
"Tak tahu akulah!" sambil Pujangga Keramat sedikit angkat kepala dan
pundaknya tanda tidak tahu-menahu
maksud Datuk Marah Gadai.
"Kita sikat dia sajalah!" bisik Pujangga Keramat lagi.
"Jangan dulu. Kita kepingin tahu dulu, apa maksud dan tujuannya intai kita
dari sana!" seraya Selendang
Kubur tahankan tangannya ke pundak Pujangga
Keramat.
Datuk Marah Gadai salah satu dari tokoh sakti yang
ingin menguasai tanah Jawa kelihatan sedang mencari-
cari barang intaiannya. Ia berdiri di sebuah batu,
terlindung semak ilalang tinggi bagian depannya, ia tak tahu ada yang
mengintainya dari samping kirinya.
Kejap berikutnya Datuk Marah Gadai tampak
kecewa. Kemudian ia tinggalkan tempat itu dalam satu
lompatan bertenaga ringan. Dan pada saat ia melesat
pergi, tampak pula sosok bayangan berpakaian hitam
pula yang menyusul kepergiannya. Sosok yang
menyusul itu sempat tertangkap oleh mata Selendang
Kubur. Hatinya mengucap kata bernada heran,
"Dirgo Mukti...?! Untuk apa dia menyusul Datuk
Marah Gadai? Atau mungkin mereka memang
bersepakat mengintaiku dari kejauhan?"
Dirgo Mukti, seorang pemuda tampan yang mengaku
dirinya Manusia Sontoloyo. Selama ini, Selendang
Kubur mengira Dirgo Mukti tidak punya niat jahat
kepadanya, selain niat ingin mencicipi kehangatan
tubuhnya dengan kenakalan hidung belangnya itu. Tapi
memang hal itu tak pernah diberikan oleh Selendang
Kubur. Dirgo Mukti yang pernah menolongnya dari luka
parah itu memang kecewa, tapi haruskah kekecewaan
Dirgo Mukti itu membuatnya bergabung dengan Datuk
Marah Gadai dan bekerja sama untuk menundukkan
dirinya? Atau, mungkin memang sejak dulu mereka
mempunyai jalinan hubungan akrab yang baru sekarang
diketahui Selendang Kubur?
Ternyata keadaan sesungguhnya tidak seperti dalam
kecamuk hati Selendang Kubur. Dirgo Mukti adalah
Dirgo Mukti, Datuk Marah Gadai adalah Datuk Marah
Gadai. Mereka tak punya hubungan, bahkan mereka
belum saling kenal secara hadap-hadapan. Mereka hanya saling kenal nama
dari mulut ke mulut saja. Jika hari itu Dirgo Mukti melesat di belakang
Datuk Marah Gadai,
itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan saja.
Kebetulan mereka sama-sama mendengar keterangan
Pujangga Keramat tadi mengenai cincin pusaka Manik
Intan, sehingga di dalam hati mereka saling mempunyai keinginan untuk
memiliki cincin tersebut.
Dari balik persembunyiannya tadi, Dirgo Mukti
sempat menangkap adanya orang lain yang juga
bersembunyi mengintai Selendang Kubur. Pada awal
tujuan Dirgo bersembunyi hanya untuk menjaga
keselamatan Selendang Kubur. Sebab bagaimanapun
juga alotnya perempuan itu, Dirgo Mukti masih punya
gairah untuk bercumbu dengan Selendang Kubur.
Namun demi ia melihat orang lain bersembunyi
mengintai Selendang Kubur, ia jadi curiga. Lebih curiga lagi setelah dengar
pula penuturan dari Pujangga
Keramat tentang pusaka cincin Manik Intan itu. Ketika ia melihat lelaki
sedikit gemuk itu melesat pergi, naluri Dirgo mengatakan, bahwa lelaki itu
pergi ke Telaga
Manik Intan. Maka segera ia ikuti kepergiannya. Karena tiba-tiba dalam
pikiran Dirgo Mukti timbul niat untuk memiliki pusaka tersebut.
Dirgo Mukti mendengar adanya Pusaka Tuak Setan
dan Pusaka Manik Intan dari gurunya. Konon, Pusaka
Tuak Setan mampu mengeluarkan badai yang dapat
menyapu tanah Jawa dalam satu kali hembusan napas
seseorang yang telah meminumnya. Sedangkan Pusaka
Manik Intan adalah cincin yang bisa menyalurkan tenaga dalam seratus kali
lipat dari tenaga dalam yang
dikeluarkan oleh pemakainya. Dalam pikiran Dirgo
terbetik kata-kata.
"Kalau aku bisa memiliki cincin itu, maka aku pasti bisa mengalahkan
Pendekar Mabuk dalam pertarungan
bulan depan di Bukit Jagal. Dan kalau aku bisa
mengalahkan Suto, maka sebagai taruhannya Peri
Malam akan tunduk kepada cintaku, mau menerima
cintaku dan mau kuajak tidur bersama sepanjang masa.
Bisa tak bisa aku harus bisa mendapatkan Cincin Pusaka Manik Intan
itu!"
Memang benar pemikiran Dirgo Mukti. Ia perlu
memiliki cincin tersebut karena kekuatan dahsyat yang ada di dalamnya.
Cincin Pusaka Manik Intan adalah
cincin yang bukan sembarang cincin. Menurut penuturan para tokoh tua di
rimba persilatan, cincin itu adalah jelmaan dari air mata seorang bidadari
yang menangis.
Karena dendam tak bisa terlampiaskan, amarah bidadari itu hanya bisa
tercurah dalam bentuk tangis. Air mata itu menggumpal dan membeku keras
menjadi batu, yang
kemudian ditemukan oleh tokoh sakti pada zaman dulu
yang menjadi Guru dari si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, yaitu pasangan suami-istri Eyang Purbapati dan
Eyang Nini Galih.
Karena pusaka itu berbahaya di tangan Bidadari
Jalang yang lebih sering mengumbar nafsu angkara
murkanya, maka si Gila Tuak bersepakat untuk saling
menghancurkan atau menguburkan pusaka-pusaka yang
berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Gila Tuak
menguburkan Pusaka Tuak Setan dan Bidadari Jalang
menguburkan Pusaka Manik Intan. Dan inilah adalah
siasat dari Gila Tuak yang ingin mengurangi ilmu
saudara seperguruannya itu agar kesesatan langkahnya
tidak terlalu banyak menimbulkan korban. Sebab jika
Bidadari Jalang memiliki cincin pusaka yang tercipta
dari tetesan air mata bidadari murka itu, maka habis
sudah seluruh penduduk bumi ini dibinasakan oleh
kemurkaannya.
Tetapi sejak Bidadari Jalang mengangkat Suto
sebagai muridnya juga, setelah banyak ilmunya
diturunkan kepada bocah tanpa pusar itu, maka
persoalan Cincin Manik Intan diserahkan sepenuhnya
kepada Suto. Bidadari Jalang tidak mau peduli apakah
cincin itu akan dimusnahkan atau dipakai sendiri oleh Pendekar Mabuk, yang
penting jangan sampai jatuh ke
tangan orang-orang sesat. Memang, si Gila Tuak
menyarankan agar cincin itu ikut dimusnahkan saja. Tapi agaknya cincin itu
punya pertalian jiwa dengan Pusaka Tuak Setan. Di mana Tuak Setan berada di
situ pula
cincin itu tinggal. Padahal Tuak Setan ada di dalam
tubuh Pendekar Mabuk, apakah cincin itu juga harus
berada di antara jari tangan Pendekar Mabuk?
Yang jelas cincin itu sekarang sedang dalam incaran
Datuk Marah Gadai. Dalam hati orang yang dari dulu
mengejar-ngejar Pusaka Tuak Setan itu berkata,
"Tak kuperoleh Pusaka Tuak Setan, asalkan Pusaka Cincin Manik Intan itu
kudapatkan, puaslah hatiku!
Sungguh aku tak menyangka kalau cincin itu masih ada
di dasar telaga. Tempo hari aku mencarinya sampai
susah payah, belum juga kutemukan. Kupikir telah
diambil oleh Suto Sinting, ternyata menurut keterangan pelayan si Gila Tuak
tadi, cincin tersebut masih ada di dasar telaga. Sampai sehari penuh harus
berendam pun, aku tak merasa keberatan!"
Namun baru saja Datuk Marah Gadai pijakkan
kakinya di tanah tepi telaga, tahu-tahu hatinya
dikejutkan oleh munculnya sesosok pemuda tampan
yang melompat bagaikan terbang melalui atas kepalanya.
Pemuda itu mendaratkan kakinya tepat di depan Datuk
Marah Gadai dalam keadaan memunggungi. Jaraknya
antara lima langkah. Pemuda bersenjata kapak dua mata itu tak lain adalah
Dirgo Mukti yang mengangkat diri
sebagai Manusia Sontoloyo.
Dirgo Mukti segera balikkan badan menjadi saling
berhadapan dengan Datuk Marah Gadai. Orang yang
usianya antara sepuluh tahun lebih tua darinya itu segera kerutkan kening
sambil usapkan kumis sedikit. Dadanya terbusung ke depan dengan kepala
sedikit ditarik ke
belakang, lalu melontarkan tanya dengan suaranya yang tergolong
besar,
"Siapa kau, Anak Muda?!" tanya Datuk Marah Gadai
dengan lagak bijaknya.
"Rupanya kau tokoh baru di rimba persilatan ini, sehingga tidak mengenali
diriku!" kata Dirgo Mukti dengan angkuhnya.
Datuk Marah Gadai serukan tawa bernada mengejek.
"Kau itu anak ingusan, mana mungkin aku
mengenalimu? Bukan karena aku tokoh baru di dunia
persilatan, tapi karena kau terlambat muncul karena
masih menetek ibumu, jadi aku tidak mengenalimu!"
"Bicaralah dengan tutur kata yang baik dan sopan, Pak Tua!"
Makin terkekeh geli Datuk Marah Gadai dipanggil
dengan sebutan 'pak tua'. Baginya itu panggilan yang
belum waktunya muncul. Tapi karena yang menyerukan
adalah mulut bocah ingusan, Datuk Marah Gadai pun
merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Yang
menjadi masalah adalah maksud dan tujuan anak muda
di depannya itu.
"Sebutkan namamu atau kuhabiskan nyawamu
sekarang juga?" Datuk mulai mengawali ancamannya dengan sudut mata menatap
bengis.
"Kurasa kau tak perlu mengancam Dirgo Mukti yang sudah kesohor kesaktiannya
ini, Pak Tua! Tentunya kau pun pernah mendengar gelar kejayaanku
sebagai
Manusia Sontoloyo, yang merupakan satu-satunya tokoh
tangguh yang sulit ditumbangkan!"
"Ha ha ha ha.... Manusia Sontoloyo! Nama baru yang benar-benar nama untuk
orang loyo. Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Kambing tua!" sentak Dirgo Mukti
dengan mata menatap tajam. Tetapi sentakannya itu
tidak membuat Datuk Marah Gadai hentikan tawanya,
melainkan justru pertambah keras tawanya yang
bergelak-gelak itu. Dirgo Mukti menggeram sambil
keraskan kepalan tangannya.
Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai ucapkan kata,
"Dirgo Mukti, seharusnya kau berhati-hati dalam
bicara dengan Datuk Marah Gadai ini!" sambil Datuk tepukkan dada
sendiri.
Dirgo Mukti sedikit picingkan mata pertanda pikirkan
sesuatu, ia pernah mendengar nama Datuk Marah Gadai,
tapi bukan dari gurunya, melainkan dari mulut
Selendang Kubur. Seingatnya, Selendang Kubur pernah
menceritakan bahwa orang yang bernama Datuk Marah
Gadai itu juga tokoh sakti yang sukar ditumbangkan. Hal itu membuat Dirgo
Mukti ingin sekali menjajalnya.
Datuk berkata lagi, "Ketahuilah, Dirgo Mukti, Datuk Marah Gadai adalah
orang yang sulit memberikan
ampunan bagi lawannya. Jadi kusarankan cepat angkat
kaki dari depanku jika kau punya maksud memusuhiku,
Sontoloyo!"
Dirgo Mukti sunggingkan senyum sinisnya. 'Tidak
ada aturan mundur dalam sejarah kependekaran Dirgo
Mukti! Apalagi aku tahu maksudmu datang ke telaga ini, yaitu ingin
mendapatkan Pusaka Cincin Manik Intan!
Hhmm...! Tak akan kubiarkan pusaka itu jatuh ke
tanganmu, Datuk Marah Gadai!"
Tadi, ketika Dirgo menyebutkan Cincin Manik Intan,
mata Datuk Marah Gadai terperanjat sekejap. Perasaan
bermusuhan tiba-tiba meletup keras di hatinya, sebab
Dirgo Mukti adalah orang pertama yang dianggapnya
jadi penghalang niatnya yang sudah yakin bahwa cincin itu masih ada di
dasar telaga. Karena itu, Datuk Marah Gadai pun segera kepalkan kedua
tangannya dan berkata geram,
"Jangan harap kau bernapas esok pagi jika kau ingin menguasai cincin pusaka
itu juga, Sontoloyo!"
"Buktikan omonganmu! Aku ingin menakar seberapa
tinggi ilmu yang kau miliki sebenarnya, Datuk Marah
Gadai!"
"Kurang ajar! Anak kambing muda berani
menantangku?! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai melancarkan pukulan jarak jauh
dengan sentakkan tangan kirinya ke depan. Tapi Dirgo
segera hentakkan kakinya dan melesat terbang ke arah
Datuk Marah Gadai dengan kaki miring melayang.
Datuk Marah Gadai segera silangkan tangan di atas
kepala untuk menangkis tendangan kaki lawannya.
Plakkk...! Kaki tertangkis, tangan kanan Datuk Marah
Gadai menghentak tepat mengenai dada si Manusia
Sontoloyo. Blegh...!
"Hegh...!" Dirgo Mukti tersentak dengan napas tertahan, ia tak menyangka
pukulan Datuk Marah Gadai
begitu keras, berat, dan cepat. Tubuhnya terlempar
cukup jauh dari pukulan itu. Datuk Marah Gadai segera melompat mengejar
Dirgo Mukti yang terjerembab
dalam jarak sepuluh langkah darinya. Sebuah pukulan
jarak jauh dihantamkan oleh Datuk Marah Gadai,
membuat Dirgo Mukti terpaksa melesat jauh lagi untuk
menghindari.
Ketika mereka baku hantam di sebelah sana, diam-
diam seseorang yang telah mendengar percakapan tadi
masuk ke dalam telaga. Melihat cara menceburkan diri
ke tengah telaga tanpa suara sedikit pun, jelaslah dia orang berilmu
tinggi. Air pun tak memercik banyak.
Jelas pula orang itu mengincar Pusaka Cincin Manik
Intan.
*
* *
3
CAHAYA pagi menerobos dedaunan hutan. Pendekar
Mabuk berlari sambil memanggul Perawan Sesat yang
terluka parah karena pukulannya. Pendekar Mabuk
terpaksa berhenti sejenak untuk memeriksa luka dalam
Perawan Sesat itu. Ternyata keadaan bertambah
membahayakan jiwa perempuan yang berambut acak-
acakan itu.
"Perjalanan ini tak bisa dilanjutkan," pikir Suto.
"Bisa-bisa perempuan ini mati sebelum kutemukan
daerah yang bernama Bukit Garinda. Aku harus
berusaha menyembuhkannya dulu. Kalau dia mati, aku
akan kehilangan jejak tentang tempat tinggal kekasihku, Dyah
Sariningrum."
Suto memang tidak tahu bahwa dirinya telah
dikelabui oleh Perawan Sesat. Rasa cinta Suto kepada
seseorang yang bernama Dyah Sariningrum dijadikan
kesempatan melumpuhkan amukan Suto pada saat geger
di Perguruan Merpati Wingit. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat"). Suto Sinting percaya, bahwa Perawan
Sesat diutus oleh gurunya
untuk membawa Suto ke Bukit Garinda, dan gurunya itu
bernama Dyah Sariningrum. Suto memang tak pikir-
pikir lagi begitu mendengar nama Dyah Sariningrum
disebutkan. Bahkan ia sendiri yang mendesak Perawan
Sesat agar segera dibawa ke Bukit Garinda. Karenanya, walau susah payah ia
harus menggendong Perawan Sesat
yang terluka oleh pukulan tabung tuaknya, Suto merasa masih punya tenaga
untuk berlari satu hari satu malam
lagi. Sayang, hal itu tidak bisa ia lanjutkan mengingat keadaan Perawan
Sesat kian bertambah parah.
Sekujur tubuh Perawan Sesat bukan hanya pucat
kebiru-biruan, tapi juga mengeluarkan bintik-bintik
merah dari setiap pori-porinya. Ini yang mencemaskan
Suto. Sebab dia tahu pukulan jurus 'Bumbung Bernyawa'
itu punya akibat sangat buruk bagi orang yang ilmu
tenaga dalamnya tidak terlalu tinggi. Darah bisa
memercik keluar dari pori-pori tubuh, dan orang itu akan menemui ajal
secara mengerikan.
Baru saja Suto Sinting yang berpakaian coklat tua
dengan celana putih itu ingin melakukan penyembuhan
terhadap luka Perawan Sesat, tiba-tiba ia dikejutkan
dengan hembusan angin cepat di arah belakangnya.
Hembusan angin itu dirasakan bukan hembusan angin
sembarangan. Cepat pula Pendekar Mabuk kibaskan
bumbung tuaknya ke belakang sambil putar tubuhnya.
Wuuut...!
"Aahg...!"
Kibasan angin bumbung itu membuat seseorang
bertubuh kurus kering terpental jatuh ke belakang dalam jarak empat
langkah. Orang itu menyeringai memegangi
pinggangnya yang terasa mau patah itu. Ia bangkit
dengan menggeliat sakit dan menggerutu,
"Sial! Begitukah sambutanmu kepada orang yang
tidak memusuhimu, Suto?"
"O, maafkan aku, Peramal Pikun! Kukira kau musuh yang ingin memukulku dari
belakang!"
Peramal Pikun, orang yang sudah berambut uban
merata dengan alis dan jenggotnya pun putih semua,
sedikit terpincang-pincang mendekati Suto. Dari mulut tuanya masih
mengeluarkan gerutuan yang membuat
Pendekar Mabuk jadi tersenyum geli,
"Aku tak pernah membokong musuhku, kecuali
kepepet!"
Peramal Pikun hentikan langkah setelah jaraknya
hanya dua tindak dari Suto. Matanya terkesiap sekejap ketika memandang
sosok tubuh Perawan Sesat yang
dibaringkan oleh Pendekar Mabuk di rerumputan. Kejap
berikutnya orang tua kurus kering itu terkekeh dalam
tawanya, sambil ia lirikkan mata kepada Suto dengan
menggoda,
"He he he... aku tahu, aku tahu! Kau ingin perkosa gadis ini, bukan? He he
he boleh!" Peramal Pikun
manggut-manggut. "Menurut ramalanku, kau akan
berhasil perkosa gadis ini, Suto. Lakukanlah, aku
bersembunyi dulu!"
Cepat tangan Pendekar Mabuk menarik kain
pembalut tubuh Peramal Pikun di bagian pundak. Bett...!
Langkah lelaki tua yang mirip tulang dibungkus kulit itu jadi berhenti.
Wajahnya dipalingkan ke belakang dengan malu-malu. Suto tersenyum dan
berkata,
"Tetaplah di sini! Aku tidak akan perkosa dia. Dia pingsan. Kalau dia tidak
pingsan, mungkin aku yang
akan diperkosanya, atau barangkali kau juga, Pak Tua!"
"Aku...?! O, itu tidak mungkin. Aku sudah tidur
semalaman dengan Perawan Sesat ini dalam sebuah gua,
tapi dia agaknya tidak berminat menikmati tubuh
kurusku ini!"
"Kau sudah bersamanya sebelum ini?"
"Ya. Dia yang desak aku dan ancam aku untuk
menunjukkan di mana dirimu berada. Dia memang ingin
sekali bertemu denganmu. Lalu, kami berpencar, aku ke utara dan dia ke
selatan. Rupanya dia yang beruntung, bisa bertemu denganmu. Tapi..., oh,
ya... kenapa ia
pingsan, Suto?"
"Terkena pukulanku!" jawab Suto sambil membuka tutup bumbung tuaknya, ia
menenggak beberapa teguk
ketika Peramal Pikun bertanya,
"Apakah lukanya parah?"
"Sangat parah. Karena itu aku membutuhkan tempat untuk menyembuhkan
luka-lukanya. Aku tahu, pukulan
itu sebentar lagi akan membuat ia semaput!"
"Lalu, kenapa kau ingin menyembuhkannya?
Bukankah kau yang telah memukulnya dengan sengaja?"
"Ya. Tapi aku waktu itu tidak tahu, bahwa ia akan membawaku kepada
seseorang yang menjadi kekasihku,
yaitu orang yang bernama Dyah Sariningrum!"
Terkesiap mata Peramal Pikun seketika itu juga.
Terperanjat ia dalam kejut tertahan. Ada napas yang
ditariknya satu sentakan. Dan pada saat itu, Suto melihat ada darah
mengalir keluar dari lubang telinga Peramal Pikun. Keluarnya darah itu
pernah dilihat oleh Suto
beberapa waktu yang lalu, ketika, ia menyebutkan nama Dyah Sariningrum
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Darah Asmara Gila"). Melihat keanehan itu, hati Suto jadi
bertanya-tanya,
"Mengapa tiap kali kusebutkan nama Dyah
Sariningrum telinga Peramal Pikun itu jadi berdarah?!
Wajahnya pun kulihat terperanjat dan sorot matanya
secepatnya beralih pandang ke arah lain. Dalam indera penglihatanku, ada
rasa takut dan waswas dalam hati
Peramal Pikun jika kusebutkan nama perempuan yang
sangat kurindukan dan ingin kutemui itu. Mengapa ia
begitu? Pasti ada rahasia aneh yang tersimpan dalam
olehnya."
Darah itu hanya menggumpal di tepi lubang telinga
Peramal Pikun. Tapi agaknya Peramal Pikun tidak
menyadari atau memang berpura-pura tidak mengetahui
keluarnya darah kental itu. Bahkan Peramal Pikun segera alihkan pembicaraan
kepada masalah lukanya Perawan
Sesat itu.
"Suto, kalau kau butuh tempat untuk mengobati
perempuan ini, bawalah dia ke pondokku yang kebetulan tak jauh dari
sini!"
"Ada siapa saja di pondokmu itu, Peramal Pikun?"
"Tak ada siapa pun selain diriku!" jawab Peramal Pikun.
"Baiklah. Tapi sebelum itu aku ingin ajukan satu pertanyaan tentang
kekasihku yang...."
"Ikutilah aku!" potong Peramal Pikun, ia segera menjejakkan kaki ke tanah
dan tubuh kurusnya
melenting di udara, melesat ke arah tikungan jalan. Suto terkesiap sejenak,
lalu bergegas mengangkat tubuh
Perawan Sesat dan membawanya lari menyusul Peramal
Pikun.
Pendekar Mabuk memang sangat penasaran dengan
perempuan cantik idaman hatinya yang ia temukan
dalam semadinya di dalam gua, tempat tinggal gurunya.
Kalau saja waktu ia bersemadi sukmanya tidak dipakai
melayang ke mana-mana, hanya khusus untuk mencari
Pusaka Tuak Setan, mungkin ia tak sempat jumpa
dengan perempuan cantik bernama Dyah Sariningrum.
Tetapi menurut si Gila Tuak, gurunya itu, jika Suto
sempat bertemu dengan perempuan dalam semadinya,
maka perempuan itulah yang kelak menjadi jodoh Suto
dalam waktu yang tak terbatas. Tapi di mana Dyah
Sariningrum berada, sampai saat ini Pendekar Mabuk
belum bisa menemukan tempatnya yang pasti. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Satu-satunya orang yang dianggap mampu menjadi
penunjuk jalan untuk menemukan tempat tinggal Dyah
Sariningrum adalah Peramal Pikun. Hanya orang kurus
kering itulah yang menjadi satu-satunya orang yang
dicurigai Suto telah menyimpan rahasia tentang jati diri kekasih idaman
hatinya itu. Tapi agaknya tak mudah
mengorek keterangan dari mulut Peramal Pikun
mengenai Dyah Sariningrum. Karena setelah mereka tiba di pondok tempat
bernaungnya Peramal Pikun, lelaki tua renta itu langsung mengajaknya bicara
mengenai
kesaktian dan kehebatan ilmu-ilmu yang dimiliki
Perawan Sesat itu.
"Aku tahu dia punya guru yang sangat tinggi
ilmunya," kata Peramal Pikun.
"Apakah gurunya itu yang bernama Dyah
Sariningrum?!" pancing Suto, tapi Peramal Pikun tidak menjawab. Hanya
tubuhnya kentara sedikit mengalami
sentakan halus. Kemudian kembali telinganya tampak
mengeluarkan darah tak banyak. Peramal Pikun pun
kembali alihkan bicara,
"Lakukanlah penyembuhan dengan segera, sebelum
nyawa perempuan liar ini melayang. Agaknya dia
memang orang yang kau butuhkan. Dia bisa
membantumu."
"Kau yakin begitu?"
"Tidak," jawab Peramal Pikun sambil keluar dari pondoknya yang beratap
rumbia, yang terletak di tengah kerimbunan hutan liar.
Malam mulai datang. Cahaya purnama berpendar di
atas memandangi bumi. Sejenak Pendekar Mabuk ingat
janji pertarungannya dengan Manusia Sontoloyo pada
purnama kedua nanti. Tapi untuk sementara ia
kesampingkan dulu tantangan Dirgo Mukti tersebut, ia
masih membutuhkan pemusatan pikiran untuk
penyembuhan luka Perawan Sesat.
Ketika malam semakin kelam, selesai sudah
penyembuhan yang dilakukannya terhadap Perawan
Sesat. Suto tinggal menunggu perempuan itu siuman.
Untuk membuang rasa penat di dalam pondok
berdinding anyaman pandan itu, Suto melangkah keluar.
Ditatapnya Peramal Pikun yang duduk di atas sebuah
batu, lima langkah dari pondoknya, merenung sambil
dongakkan kepala, bak sedang mengamati indahnya
rembulan.
Pendekar Mabuk mendekatinya sambil menenteng
bumbung tuak yang tak pernah jauh dari jangkauannya
itu. Ia duduk di batang pohon kering yang tumbang
miring. Di sana ia teguk tuaknya beberapa kali,
kemudian ia segera ajukan tanya kepada Peramal Pikun,
"Aku ingin sekali mengetahui suatu rahasia yang amat penting bagi hidupku.
Maukah kau menjawabnya?"
Peramal Pikun tidak menjawab, melainkan justru
bertanya, "Bagaimana keadaan Perawan Sesat itu?"
"Sudah membaik. Sebentar waktu dia akan siuman."
"Dia cantik. Kau sepaham dengan pendapatku?"
"Ya. Memang cantik. Tapi jiwanya liar dan buas."
"Itulah yang amat kusayangkan. Barangkali memang begitulah perangai jati
dirinya yang tak bisa dipungkiri
lagi. Sebagai orang tua, aku menaruh rasa kagum
terhadap keberanian dan jiwanya. Dia pemberani dan
tegas, pendiriannya sekeras batu gunung! Tak ada
ruginya punya istri macam dia."
Suto hanya sunggingkan senyum malas. Sepertinya ia
tidak tertarik dengan percakapan itu. Tapi demi
menyenangkan hati si kurus kering itu, Suto tetap
mendengarkan kata-katanya.
"Perempuan itu bukan hanya bisa melindungi dirinya sendiri, tapi juga akan
bisa melindungi suami dan anak-anaknya kelak. Semangat cintanya pun
menggebu-gebu.
Menurut ramalanku, dia seorang perempuan yang
mempunyai kehangatan cinta yang akan berkobar
sepanjang masa."
Sekali lagi Suto sunggingkan senyum dan lontarkan
tawa pendek serta pelan, ia tidak kasih ulasan, sehingga Peramal Pikun
segera ajukan pertanyaan,
"Apa kau tidak tertarik padanya, Suto?"
"Tidak!" jawab Pendekar Mabuk tegas.
"Jangan lihat liarnya, tapi lihatlah hasil akhirnya nanti!"
Suto makin kekehkan tawa geli. "Aku tak ada minat sedikit pun untuk jatuh
cinta kepada perempuan lain,
kecuali kekasihku yang...."
"Hentikan!" sergah Peramal Pikun dengan wajah tegang dan
bersungguh-sungguh. Bahkan ia cepat berdiri dengan tutupkan telinga memakai
kedua tangannya. Suto memandang dengan heran. Sebelum lontarkan tanya,
Peramal Pikun sudah lebih dulu bicara,
"Jangan sebut lagi nama itu!"
"Kenapa?"
"Kali ini aku bisa marah jika kau sebutkan nama
orang yang kau rindukan itu!"
"Aku butuh alasan, Peramal Pikun!"
"Tidak ada alasan!"
"Kau membuatku bingung!"
"Tidak perlu bingung! Aku hanya minta, jangan sebut nama itu. Tak sulit
menuruti permintaanku, bukan?!"
Suto menarik napas panjang. Ketegangan yang terjadi
ingin diredakan kembali. Untuk itu Suto tak berani
mendesak Peramal Pikun lagi, dan dia memilih diam
adalah yang terbaik untuk suasana malam itu. Hening
pun menembus hati sanubari mereka masing-masing,
sehingga Peramal Pikun mendahului bicara.
"Sejak kapan kau kenal perempuan yang menjadi
idaman hatimu itu, Suto?"
"Sejak kutemukan dia, Peramal Pikun!" jawab Suto kalem.
"Di mana kau temukan dia?"
"Di alam semadiku!"
Terkesiap mata Peramal Pikun menatap wajah Suto
dalam cahaya rembulan malam,. Suto diam saja walau
tahu dipandang dalam keheningan. Lama kemudian
Peramal Pikun kembali bertanya,
"Sejauh mana kau bertemu dengan dia di alam
semadimu?"
"Hanya sekadar pertemuan biasa. Dia menangis
memandangiku. Dia sebutkan namanya tiga kali, seakan
mengharap kehadiranku. Dan aku tak sadar, ternyata aku telah melelehkan air
mata darah."
Sekali lagi wajah Peramal Pikun terperanjat
mendengarnya. Mulutnya sedikit ternganga bengong,
seakan tak bisa dipakai bicara.
Pendekar Mabuk tetap tenang, ia meneguk tuaknya
dua kali tegukan, kemudian menghempaskan napas
lewat mulut, pertanda menikmati rasa enak dalam
kecapan rasa tuaknya. Pada saat itulah terdengar suara Peramal Pikun
berkata pelan,
"Barangkali memang kaulah orang yang ditunggu-
tunggunya!"
"Tapi aku tak tahu siapa dia dan di mana dia berada!
Aku tak bisa menemukan arah tempat tinggalnya. Dan
aku yakin, kau pasti banyak tahu tentang dia, Peramal Pikun. Aku berharap
kau mau menolongku
menunjukkan di mana dia tinggal."
Setelah bungkam sejenak, Peramal Pikun ucapkan
kata pelan lagi,
"Aku tak berani, Suto!"
"Maksudmu bagaimana, Peramal Pikun?"
"Aku tak berani tunjukkan di mana dia berada."
"Kenapa?"
"Aku takut dia murka!"
"Murka kepadaku atau kepadamu?"
"Kepadaku!"
"Mengapa di murka?" desak Pendekar Mabuk
semakin penasaran.
"Karena...," Peramal Pikun berhenti bicara, ia melirik
ke kanan-kiri, takut ada yang mencuri dengar
percakapan itu. Dan ternyata dugaannya benar. Memang
ada yang mencuri dengar. Peramal Pikun segera
menjebaknya dengan kata-kata,
"Kalau sudah merasa enak badanmu, keluarlah
Perawan Sesat! Duduklah di sini bersama kami!"
Perawan Sesat sudah sembuh. Badannya terasa lebih
segar dari sebelum ia jatuh terluka parah. Perempuan
berambut acak-acakan lurus berkesan jabrik itu segera langkahkan kaki
keluar dari pondok. Merasa sedikit
malu karena perbuatannya diketahui oleh Peramal Pikun.
Pendekar Mabuk memandang kehadiran Perawan
Sesat yang berpakaian ketat. Dalam cahaya rembulan,
wajah Perawan Sesat semakin cantik, menggairahkan
lelaki. Peramal Pikun terkekeh lirih bagai gumam
melihat kehadiran Perawan Sesat yang kelihatan segar
itu. Walau tak ada senyum di wajahnya, tapi menurut
pandangan dua mata lelaki yang ada di situ, Perawan
Sesat memang bisa membuat pikiran setiap lelaki
menjadi sesat karena daya tariknya. Namun di balik
semua dugaan itu, justru Perawan Sesat dalam hatinya
memuji dan mengagumi wajah tampan yang dimiliki
Suto Sinting itu.
Ada rasa kecewa terselip di hati Suto, karena
kehadiran Perawan Sesat membuat penjelasan rahasia
dari mulut Peramal Pikun itu terputus. Tetapi, Suto yakin dia akan
memperoleh keterangan lebih lanjut setelah
Perawan Sesat pergi tidur. Mungkin setelah hari
melewati pertengahan petang nanti.
"Ada di mana aku ini?" tanya Perawan Sesat.
"Di pondokku," jawab Peramal Pikun.
"Siapa yang membawaku kemari?"
"Aku," jawab Suto tegas dengan pandangan mata mendebarkan hati. Namun
Perawan Sesat tak mau
tunjukkan debaran hatinya, ia tetap berwajah angkuh dan berkesan
dingin.
"Kau telah menyerangku dan membuatku hampir
mati?!"
"Ya!"
"Lalu siapa yang sembuhkan lukaku?"
"Aku juga!"
"Kenapa kau sembuhkan aku?"
"Iseng-iseng saja," jawab Suto dengan santai,
berkesan menyepelekan pertanyaan itu.
Cepat sekali kaki Perawan Sesat berkelebat
menampar pipi Suto. Cepat pula tangan kanan Pendekar
Mabuk berkelebat naik sampai telapak tangannya yang
merapatkan jari itu berhenti di depan pipinya. Kaki yang sudah meluncur itu
membalik sebelum menyentuh
tangan Pendekar Mabuk. Hampir membuat Perawan
Sesat terpelanting jatuh kalau tidak segera ditopang oleh tangan kurus
Peramal Pikun.
"Jangan coba-coba meremehkan aku!" hardiknya kepada Suto.
"Perawan Sesat, kau ini sudah diselamatkan
nyawamu oleh Suto. Bukannya berterima kasih malah
mengancam!" tukas Peramal Pikun.
Perawan Sesat menuding tegas di depan hidung
Peramal Pikun,
"Kau jangan turut campur urusanku kalau mau punya umur panjang!"
Peramal Pikun dan Pendekar Mabuk justru terkekeh
geli melihat kegalakan perempuan yang tadi hampir mati itu. Perawan Sesat
menggeram gemas.
*
* *
4
CEPAT sekali Perawan Sesat berlari dalam satu
lompatan demi lompatan bertenaga ringan, ia sengaja
menyuruh Suto mengikuti arah kepergiannya dengan
maksud untuk mengukur kecepatan gerak Suto
dibandingkan dirinya. Perawan Sesat tetap menunjukkan kekerasan jiwanya,
dan tak mau menampakkan rasa
tertariknya kepada Pendekar Mabuk. Bahkan ia sering
unjuk ilmu kepada Suto, yang oleh Suto hanya
ditertawakan dalam hati.
Seperti kali ini, ia berlari cepat sekali bagaikan
kilasan anak panah yang kecepatannya tak mampu
diikuti oleh pandangan mata. Ia sengaja menyuruh Suto mengikutinya dan ia
yakin Suto kebingungan mengikuti
gerakannya.
Pada satu tempat rindang, Perawan Sesat sengaja
berhenti dan berpaling ke belakang, ia tidak melihat Suto di sana. Ia
tertawa sendiri merasa berhasil memperdaya Suto sehingga pria tampan
bertubuh kekar itu tidak
mampu mengikuti kecepatan geraknya. Perawan Sesat
pun berseru,
"Hoi, Suto...! Ayo lekas susul aku! Jangan seperti pengantin sunat
langkahmu, Suto!"
Terdengar jawaban agak jauh, "Aku di sini, Perawan Sesat!"
Seketika itu juga Perawan Sesat terperanjat kaget. Ia palingkan wajah ke
arah depan. Ternyata Pendekar
Mabuk sudah berdiri di atas sebuah pohon kira-kira dua puluh langkah lebih
dulu darinya. Suto berdiri sambil bersandar pada sebatang pohon. Senyumnya
mekar di
wajah tampannya, yang membuat Perawan Sesat
menggeram gemas sekali.
"Edan! Ternyata dia lebih cepat dariku! Dia sudah ada di depanku...! Malu
aku kalau tidak bisa melecehkan
dirinya!"
Wuuut...! Perawan Sesat melompat satu jejakan kaki.
Tubuhnya sudah mencapai tempat di mana Pendekar
Mabuk berdiri sambil menenggak tuaknya. Mata Suto
sudah mulai memerah, tanda mulai dihinggapi perasaan
mabuk. Tetapi agaknya Suto Sinting tetap mampu
mengendalikan segala rasa dan pikiran, bahkan tampak
lebih tajam dari sebelum
ia dikuasai oleh
kemabukannya.
"Apakah arah Bukit Garinda masih jauh?" tanya Suto.
"Masih beberapa hari lagi," jawab Perawan Sesat.
"Kalau kita tempuh dengan kecepatan lari seperti tadi, mungkin hanya
memakan waktu sehari semalam. Kita
harus bisa tempuh dengan kecepatan siluman!"
"Apa itu kecepatan siluman?" Suto kerutkan dahi
mirip orang tolol. Sikapnya membuat Perawan Sesat
tertawa mirip kuntilanak. Tawa bersuara serak itu
terhenti, dan berganti kata-kata yang tetap bersuara
serak-serak basah,
"Kecepatan siluman adalah kecepatan batin yang tidak menggunakan otot tubuh
kita. Seperti misalnya kita akan mencapai gundukan tanah yang membukit itu,
kita
tak perlu berlari cepat seperti tadi. Cukup dengan satu kedipan mata sudah
bisa sampai ke puncak gundukan
tanah itu. Contohnya seperti ini...!"
Perawan Sesat segera tunjukkan kebolehan ilmu
silumannya, ia memejamkan mata sambil menarik napas
panjang-panjang. Dadanya menjadi penuh dengan
gumpalan napas. Tangannya bergerak memutar di depan
wajah bagai orang menari lemah gemulai. Jika napas
dihentakkan lewat hidung, maka tubuhnya akan lenyap
dan muncul di puncak gundukan tanah yang membukit
itu.
Sebelum ia hentakkan napas lewat hidung, tiba-tiba ia mendengar suara Suto
Sinting berseru, "Hoii... lekas!
Jangan lama-lama!"
Napas tak jadi dihentakkan. Begitu mata dibuka
Perawan Sesat kembali terperangah melihat Suto sudah
lebih dulu ada di atas gundukan tanah yang membukit
itu. Ia melambai-lambaikan tangan memanggil Perawan
Sesat.
Geram Perawan Sesat semakin menjadi. "Kurang
ajar! Dia lebih cepat pindahkan diri ke sana! Tinggi juga ilmu orang itu!
Aku kalah cepat dengan ilmu
silumannya. Rupanya ia tadi berlagak bodoh di
depanku!"
Segera Perawan Sesat menyusul Suto ke atas bukit.
Jllig...! Tubuhnya tiba dengan cepat di atas bukit-bukitan itu. Tetapi ia
kehilangan Pendekar Mabuk. Ia mencari-cari Suto, yang ternyata sudah berada
di bawah pohon
rindang, jauh darinya. Gerakan menenggak bumbung
tuak terlihat samar-samar. Sekali lagi Perawan Sesat
menggeram penuh kejengkelan.
"Dasar sinting! Didekati malah sudah kabur sejauh itu. Edan betul dia! Aku
tak bisa mencapai tempat sejauh itu hanya dengan satu jurus saja. Harus
memakai dua
jurus alias dua langkah siluman. Hmmm...! Dia benar-
benar mempermainkan aku! Membuatku malu jika
begini! Sayang sekali dia tampan dan menggairahkan.
Kalau tidak, sudah kuhajar habis dia!"
"Cepat...!" Suto Sinting melambai dengan suara kecil karena jauhnya.
Perawan Sesat hanya menggeram dalam hati dan
berkata, "Pantas kalau Nyai Lembah Asmara terpikat pada lelaki tanpa pusar
itu, selain tampan dan
menggairahkan, ia juga berilmu tinggi! Ah, sulit sekali aku menghindari
rasa tertarikku kepadanya. Hasratku
sejak tadi menyala-nyala ingin mencumbunya. Tapi
agaknya ia tidak tergiur padaku. Hmmm... aku harus
menggunakan ilmu 'Pelet Sukma' biar dia terpikat dan
mau diajak bercumbu di bawah pohon itu!"
Kejap, berikutnya Perawan Sesat sudah tiba di tempat
Suto duduk santai di bawah pohon rindang. Dengan
cepat ia tatapkan pandangan matanya ke mata Suto.
Senyum Suto mekar ketika dipandang perempuan itu.
Kejap kemudian napas Perawan Sesat disentakkan lewat
hidung. Wusss...! Pelan tapi berbahaya, karena itulah yang dinamakan ilmu
'Pelet Sukma' yang mampu
membuat setiap lelaki mabuk birahi.
Tetapi ada satu keanehan yang dirasakan oleh
Perawan Sesat. Ketika napasnya terhempas lewat hidung tadi, tiba-tiba napas
itu memantul balik terasa masuk kembali ke dalam hidung. Namun hati Perawan
Sesat
sangsi akan hal itu, karena perasaan seperti itu belum pernah dialami.
Peristiwa berbaliknya hembusan napas
itu belum pernah terjadi. Perawan Sesat tetap harapkan Suto mulai tergiur
dengan kemolekan tubuhnya.
Perawan Sesat mulai memamerkan belahan dadanya
yang sungguh montok itu.
Pendekar Mabuk tertawa kecil dengan mata merah
karena mabuk, ia segera berdiri dan Perawan Sesat ikut berdiri. Kemudian
dalam sekejap Suto melompat pergi
bagai tak peduli.
"Sutooo...!" Perawan Sesat bagai merengek tak mau ditinggal, ia menyusul
Suto dengan gairah cinta yang
meledak-ledak dalam dadanya, ia ingin memeluk Suto
dan mencumbunya habis-habisan. Tapi Suto sukar
ditangkapnya. Suto melesat lagi menjauh sambil
menghamburkan tawa bagaikan menggoda. Perawan
Sesat bertambah penasaran mendengar suara tawa Suto.
Ia mengejar untuk menangkap Suto dalam pelukan. Tapi
Suto melesat ke atas dan hinggap di salah satu dahan
pohon.
"Suto, turunlah! Peluklah aku, Suto!" seru Perawan Sesat sambil sibuk
merayapi tubuhnya sendiri.
Suto Sinting tertawa-tawa sambil duduk di dahan,
menenggak tuak dalam bumbung. Sesekali ia
memandang ke bawah, dan tawanya makin bertambah
melihat Perawan Sesat sibuk sendiri. Perawan Sesat baru menyadari bahwa
ilmu 'Pelet Sukma' yang membuat
seseorang jadi terpancing gairahnya itu telah membalik dan mengenai dirinya
sendiri. Akibatnya, Perawan Sesat sendiri yang tak bisa mengendalikan gairah
birahinya.
Setelah apa yang diinginkan tercapai oleh dirinya
sendiri, barulah Perawan Sesat menyadari hal itu dan
berkata di hatinya,
"Jahanam orang itu! Ilmu 'Pelet Sukma'-ku membalik mengenai diriku sendiri.
Sebaiknya aku tidak
menyerahkan Suto kepada Nyai Lembah Asmara! Akan
kupakai sendiri orang itu dengan segala caraku
menundukkan hatinya! Aku tak rela dan akan merasa
kehilangan besar jika Suto berada dalam pelukan Nyai
Lembah Asmara. Sebaiknya kubawa lari ke tempat lain
saja Pendekar Mabuk yang benar-benar memabukkan
hatiku itu! Peduli amat dengan tugas ini! Aku tak
sanggup menjalankan tugas, karena aku tak mampu
menghindari godaan hatiku ini!"
Kejap berikutnya, Perawan Sesat mendongak ke atas
dan berseru, "Kita lanjutkan perjalanan kita, Suto!"
"Apakah kau sudah selesai dengan pekerjaan
tanganmu?" ledek Suto membuat wajah Perawan Sesat
menjadi merah. Perempuan itu tidak melayani ejekan
tersebut, ia seolah-olah tidak mendengarnya. Kini ia
berseru kembali,
"Tidakkah kau ingin bertemu dengan kekasihmu;
Dyah Sariningrum?!"
Pancingan ini membuat Pendekar Mabuk turun dari
atas pohon dalam satu lompatan bagaikan terbang.
Rambutnya yang panjang meriap ke atas pada saat ia
meluncur ke bawah. Indah sekali dilihatnya, bagai
seekor rajawali gagah yang siap menerkam mangsanya.
Suto mulai oleng berdirinya karena pengaruh mabuk
tuak itu. Bahkan bicaranya pun mulai mengambang tak
tentu arah.
"Bawalah cepat aku kepadanya! Jangan bikin aku
bertambah rindu lagi kepada Dyah Sariningrum!"
"Ya, aku akan membawamu lekas-lekas ke sana. Dia juga sudah lama
menunggumu! Tapi ada satu
permintaan dariku sebagai syarat!"
"He he he... kamu mulai banyak tingkah, Perawan
Sesat! Apa syarat yang kau inginkan itu, hah?!" hardik Pendekar Mabuk
kemudian.
"Kau telah membuat pedang gadingku lenyap tak
berbekas!"
"He he he... itulah kehebatan ilmu 'Sembur Siluman'
yang kumiliki. Jangan hanya pedangmu, gunung pun
kalau kusembur dengan tuak dalam mulutku mampu
lenyap dalam sekejap. Tapi, itu hanya kekuatan ilmu
siluman yang serupa dengan sihir. Kudapatkan ilmu itu perpaduan dari ilmu
kakek guruku dan bibi guruku! He
he he...."
"Aku tak berani menghadap Dyah Sariningrum jika aku kehilangan pedang
gading itu. Sebab ia akan marah padaku habis-habisan. Pedang itu adalah
pedang
miliknya yang dipinjamkan padaku!"
"O ho ho ho... jadi itu pedang milik kekasihku?"
"Ya! Kalau kau tak bisa mengembalikan, aku tak
berani membawamu ke sana!" bujuk Perawan Sesat
dengan hati berdebar-debar.
"Untuk mengembalikan pedangmu, itu bukan
pekerjaan yang sulit. Tapi untuk menahan niatmu agar
tidak menggunakan pedang gading sebagai alat
pengumbar nafsu amarah, itu yang sulit! Aku tak berani membuat pedang itu
kembali lagi."
"Jika begitu, kita tak jadi menemui Dyah
Sariningrum. Karena Nyai Lembah Asmara akan murka
jika pedang gadingnya hilang."
"Nyai...?! O, jadi Dyah Sariningrum itu seorang
Nyai?"
"Ya!"
"Pantas Peramal Pikun tak berani menyebutkannya,"
kata Suto dengan suara mengayun bergelombang.
"Lekas wujudkan pedang itu!" kata Perawan Sesat sambil serahkan gagang
pedang yang masih dibawanya
dengan tujuan digunakan sebagai bukti kepada teman
atau gurunya tentang kehebatan ilmu Suto.
Gagang pedang dengan benang sutera merah di
bagian ujung bawahnya digenggam kuat oleh Pendekar
Mabuk. Matanya yang mulai seperti orang mengantuk
itu sebentar waktu melirik Perawan Sesat. Ia nyengir dan berkata,
"Janjilah padaku, kau tidak akan mengumbar
amarahmu dengan menggunakan pedang ini!"
"Iya, iya! Aku berjanji! Cerewet kamu!" sentak Perawan Sesat.
"O, kalau kamu katakan aku cerewet aku akan isi pedang ini dengan sebuah
pisang!"
"Sudahlah!" sentaknya lagi tak sabar. "Kau tidak cerewet! Tapi cepat
kembalikan pedangku itu!"
"Hei, kau bilang ini pedang milik Nyai Dyah
Sariningrum! Tapi sekarang kau bilang pedangku?!
Mana yang benar?!"
"Maksudku, itu pedang dalam tanggung jawabku.
Jadi sudah kuanggap seperti pedangku sendiri!"
"O ho ho ho... begitu rupanya!" Suto manggut-manggut.
"Iya. Lekas, jangan banyak bicara lagi!" bentak Perawan Sesat.
"Aih, kau bentak-bentak aku?! Aku tak mau!"
"Tidak, tidak! Aku tidak bentak kamu lagi!"
"Aku tidak mau!" Suto Sinting menggeleng dan membuang pedang itu ke semak
belukar.
"Jahanam kau! Kenapa kau buang gagang pedang
itu?! Dasar sinting!" Perawan Sesat bergegas ke semak belukar untuk
mengambil gagang pedangnya. Suto
hanya tertawa-tawa sambil buka tutup bumbung dan ia
kembali tenggak tuak di dalamnya.
"Benar-benar edan orang itu!" gerutu Perawan Sesat
sambil mencari gagang pedang yang tadi dibuang Suto.
"Habis ini kuhajar sebentar dia, biar tahu adat sedikit terhadapku!
Seenaknya saja dia buang gagang pedang
itu. Dia tidak tahu kalau di dalam gagang pedang masih tersimpan racun yang
mematikan dan bisa kugunakan
untuk membunuh dirinya!"
Langkah kaki menyusuri semak terhenti. Mata
Perawan Sesat terbelalak lebar, ia melihat gagang
pedangnya tergeletak di antara rerumputan ilalang. Tapi kali ini mata
pedangnya sudah kembali utuh seperti
sediakala. Rupanya Pendekar Mabuk telah
mengembalikan mata pedang gading yang lenyap oleh
ilmu 'Sembur Siluman'-nya itu. Tapi ia sengaja membuat susah Perawan Sesat
agar perempuan itu menggerutu
dan bersungut-sungut, ia sengaja permainkan perawan
galak berambut acak-acakan itu. Padahal Suto Sinting
bisa mengembalikan pedang itu seperti sediakala dengan kekuatan matanya.
Tapi ia tidak mau mengembalikan
dan menyerahkan pedang begitu saja kepada perempuan
bermata liar itu.
Melihat mata pedang kembali seperti sediakala, hati
Perawan Sesat merasa girang. Tapi keberaniannya untuk bertindak semena-mena
juga lebih membara. Dengan
bekal Pusaka Pedang Gading itu, Perawan Sesat merasa
sanggup melumpuhkan lawannya.
"Pedangmu sudah kembali, Nona! Alangkah baiknya
jika kita cepat-cepat menemui Nyai yang menungguku!"
kata Suto.
Perawan Sesat berkata, "Tidak sekarang, Suto! Aku
masih punya satu syarat lagi yang harus kau penuhi!"
"Kau punya syarat berapa sebenarnya, Nona?" tanya Pendekar Mabuk
gusar.
"Satu syarat lagi! Hanya satu! Setelah ini kau kuantar menghadap Nyai! Aku
bersumpah, tidak akan minta
syarat lagi!"
"He he he he... apa syarat yang kau inginkan, Nona?!"
"Layanilah cintaku!" Perawan Sesat segera mendekat.
Suto membelalakkan mata ngantuknya. Ia tertawa
keras sambil mundur beberapa langkah, tangannya
menuding-nuding Perawan Sesat.
"Kalau kau tak mau, kau tidak kuajak menghadap
Nyai, Suto!" bentak Perawan Sesat memanfaatkan rindu di hati Suto sebagai
senjata untuk mengancam dan
memperdayai Pendekar Mabuk itu.
Suto gelengkan kepala. "Itu tidak boleh terjadi, Nona manis!"
"Harus terjadi!" tegas Perawan Sesat. "Dekatlah kemari, Suto. Peluklah aku,
Sayang...!"
"Hua ha ha ha ha... aku dipanggil sayang? Aduh,
Mak... kering darahku, melorot jantungku. Hua ha ha
ha...!" Pengaruh mabuk Pendekar Mabuk semakin tinggi.
Tawanya kian keras membuat Perawan Sesat bertambah
dongkol hatinya. Bahkan ia sempat berniat mencabut
pedang untuk memaksa Suto. Tapi ketika ingat bahwa
Suto Sinting masih bisa membuat lenyap pedangnya itu, maka niat tersebut
dibunuhnya sendiri. Perawan Sesat
hanya bisa membatin,
"Agaknya butuh kesabaran untuk menundukkan
lelaki yang satu ini. Bukan dengan kekuatan ilmu,
melainkan dengan kekuatan hati yang sabar dan tekun!
Percuma saja adu kekerasan dengan dia, tidak akan
membawa hasil apa-apa kecuali suasana yang semakin
lebih kacau lagi. Biarlah kusabarkan hatiku sampai tiba saatnya ia sendiri
membutuhkan diriku."
Segera Perawan Sesat ucapkan kata, "Baiklah, Suto!
Lupakan satu persyaratan itu. Jika kau tak bisa sekarang, kapan waktu pun
masih bisa kau melunasinya. Sekarang
kita pergi dari sini secepatnya, Suto!"
"Tapi aku tidak punya hutang janji padamu, Perawan Sesat!"
"Terserah anggapanmu saat ini, karena aku tahu kamu sedang kebanyakan minum
tuak! Lupakan dulu
persyaratan satu itu!"
Perawan Sesat segera mengajak Pendekar Mabuk
untuk tinggalkan tempat, menjauhi arah Bukit Garinda.
Perawan Sesat memang bermaksud membawa lari Suto
ke tempat lain, yang sudah ada dalam benaknya.
Tetapi tiba-tiba di depan langkah Perawan Sesat dan
Pendekar Mabuk melesat benda kecil berbentuk bintang
dari lempengan baja tajam. Dan benda kecil itu melesat cepat menimbulkan
bunyi, ziing...! Kemudian benda itu menancap di pohon persis di depan
sebelah kiri Perawan Sesat.
Juub... jub...!
Tertahan serentak langkah Perawan Sesat. Tertahan
pula tubuh limbung Pendekar Mabuk. Mata mereka
berkilas cepat menyapu sekeliling, tapi si pelempar
senjata rahasia berbentuk bintang itu tidak kelihatan tempat
persembunyiannya. Perawan Sesat segera sigap
dan berdiri dalam posisi siap menyerang. Matanya liar penuh waspada.
*
* *
5
TANGAN Perawan Sesat hendak mencabut senjata
rahasia berbentuk bintang segi enam. Tapi dengan cepat kaki Pendekar Mabuk
menendang tangan Perawan Sesat.
Plakk...! Cepat sekali Perawan Sesat menarik tangannya
kembali, tapi gerakan itu terlambat. Mata liar Perawan Sesat memandang
lurus ke arah Suto yang bermata sayu.
"Apa maksudmu menendang tanganku?!" geram
Perawan Sesat.
"Senjata itu beracun. Hanya pemiliknya yang bisa memegang dan tidak terkena
racunnya!"
"Aku lebih tahu daripada kau, Suto!" sentak Perawan Sesat. "Senjata bintang
persegi enam seperti itu adalah senjata milik temanku sendiri. Itu
senjatanya Putri Alam Baka! Senjata itu tidak beracun dan tidak
berbahaya.
Hanya sebagai senjata peluka saja, Suto!"
"Lantas mengapa daun-daun pohon ini menjadi layu semua. Lihatlah ke atas!
He he he...!"
Terkesiap mata Perawan Sesat setelah memandang ke
atas. Daun-daun pohon itu benar-benar menjadi layu
berkeriput. Bahkan sebagian besar langsung berubah
menjadi kuning. Dalam hati Perawan Sesat membatin,
"Gila! Apa yang dikatakannya memang benar. Senjata itu memang beracun. Jika
begitu, senjata itu pasti bukan milik Putri Alam Baka. Setahuku, senjata
Putri Alam
Baka tidak beracun! Dan lagi, jika benar senjata itu milik Putri Alam Baka,
dengan maksud apa ia menyerangku
menggunakan senjata berbahaya itu?"
Sebelum Perawan Sesat ucapkan kata, Suto lebih dulu
bertanya, "Apakah kau yakin bahwa kedua senjata itu milik temanmu?"
"Aku jadi sangsi. Aku tak bisa mengenalinya.
Seingatku, senjata milik Putri Alam Baka mempunyai
goresan gambar panah cakra pada bagian sisi
pinggirnya."
Perawan Sesat mencoba mengamat-amati kedua
senjata itu, tapi ia merasa kesulitan mengenalinya,
karena kedua senjata itu melesak masuk ke batang pohon hampir seluruhnya.
Tinggal sedikit sisa yang terlihat belum masuk ke batang pohon. Perawan
Sesat kembali
berkata dalam hatinya,
"Aku jadi sangsi juga, apakah senjata ini berbentuk bintang segi enam atau
segi berapa? Jika melihat ukuran runcing pada bagian yang tak masuk ke dalam
batang,
kelihatannya bintang segi enam. Tapi siapa tahu dia
bersegi lima atau delapan?"
"Minggirlah, Perawan Sesat. Biar kukeluarkan senjata itu dari batang
pohon!" kata Pendekar Mabuk lalu ia tersentak satu kali karena cegukan.
Kejap berikutnya ia
sentakkan tabung bambunya itu ke batang pohon dengan
pelan. Dugh...! Hhrrr...! Daun-daun pun rontok banyak akibat sodokan bambu
tabung itu. Jika bukan dialiri
tenaga dalam cukup besar, tak mungkin pohon sebesar
itu terguncang dan daunnya berguguran hanya dengan
gerakan sepelan itu. Perawan Sesat menyimpan kagum
sambil mengibaskan tangannya menghindari rontokan
daun di kepala.
Sodokan itu membuat dua senjata berbentuk
lempengan bintang dari logam baja putih itu tersentak keluar dari batang
pohon, jatuh tepat di kaki pohon
depan yang tak berumput. Perawan Sesat pun segera
menghampiri dan memeriksanya dengan sebatang
ranting kayu kering. Dan ternyata kedua senjata itu
memang mempunyai goresan gambar panah cakra.
"Hmmm... jelas ini milik Sumbi, atau Putri Alam
Baka!" gumam Perawan Sesat tanpa memandang Suto.
"Apa benar itu milik temanmu?"
Perawan Sesat menjawab jujur, "Ya. Ini milik
temanku."
"Apa temanmu itu suka memakai baju kuning?"
"Ya. Dari mana kau tahu?" Perawan Sesat kerutkan dahinya.
Suto tertawa dalam tawa mabuk, ia segera garuk-
garuk kepalanya sambil berkata, "Sebentar lagi ia akan muncul!"
Tiba-tiba Suto bergerak cepat memutar dan kakinya
menendang pohon yang tadi terkena senjata bintang itu.
Duugh...!
Pohon tidak bergerak, seperti kena tendangan tanpa
tenaga sedikit pun. Bahkan satu daun pun tak ada yang jatuh, padahal daun
pohon itu telah layu. Perawan Sesat juga merasa heran melihat tendangan
cepat Pendekar
Mabuk itu tidak mengguncangkan daun pohon sedikit
pun.
Tetapi kejap berikutnya empat pohon yang berjejeran
sederet dengan pohon yang ditendangnya itu mulai
tergucang bagai dihembus badai. Perawan Sesat
terkesima melihat pohon yang keempat dari jajaran
pohon itu saja yang berguncang kuat, hingga dahan-
dahannya meliuk terombang-ambing. Dan dari atas
pohon berdaun rimbun itu melesatlah dua sosok manusia turun dalam gerakan
bersalto satu kali. Wuuus...!
Wussh...!
Jleg...! Jleg...!
Dua sosok manusia mendaratkan kakinya dengan
tepat di depan Perawan Sesat dalam jarak lima langkah.
Perawan Sesat kembali terkesiap melihat kemunculan
dua perempuan yang sudah dikenalnya. Untuk sesaat
mereka beradu pandang dalam wajah tegang. Pada saat
itu Perawan Sesat sempat berkata dalam hati mengenai
tendangan Suto tadi, "Luar biasa dia menyalurkan tenaga dalamnya. Pohon
yang ditendang tetap tenang, pohon
keempatnya yang terkena sasaran! Jelas hal itu jurus
penyaluran tenaga dalam yang sangat tinggi!"
Perawan Sesat cepat singkirkan bayangan tendangan
Pendekar Mabuk tadi dari otaknya, kembali ia curahkan perhatian pada kedua
perempuan yang masing-masing
mengenakan pakaian ketat merah dan kuning. Bentuk
potongan pakaiannya sama dengan bentuk potongan
pakaian yang dikenakan Perawan Sesat. Hanya berbeda
pada warnanya saja.
Potongan pakaian yang sama menunjukkan bahwa
mereka berasal dari satu perguruan.
Yang berpakaian merah dengan baju tanpa lengan
dan belahan dada sedikit terbuka lebar adalah Maharani.
Rambutnya dikepang dua, ditaruh di depan dada. Di
tangannya tergenggam sebuah kipas warna merah
berbunga-bunga hitam. Perawan Sesat kenal betul,
bahwa Maharani mempunyai tingkat ilmu yang setaraf
dengannya. Maharani juga sering menjadi utusan bagi
Nyai Lembah Asmara.
Perempuan satunya lagi mempunyai rambut dikepang
satu. Cukup panjang rambutnya itu hingga bisa melilit di sekitar leher,
sisanya jatuh di depan dada kanan.
Perempuan berkepang satu itu mengenakan ikat
pinggang tali merah. Di sana terselip sebatang bambu
kuning berukuran satu hasta. Bambu itu adalah seruling berlilit pita merah
di bagian ujung tempat meniupnya.
Perempuan yang mempunyai senjata seruling itulah yang bernama Sumbi, alias
Putri Alam Baka. Tingkat ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari Perawan
Sesat ataupun
Maharani. Selain sering menjadi utusan bagi Nyai
Lembah Asmara, Putri Alam Baka juga merupakan
orang kepercayaan Nyai Lembah Asmara yang menjadi
wakil tertinggi dan dikenal sebagai orang kedua di Bukit Garinda.
Jelas Perawan Sesat sedikit gentar melihat Putri Alam Baka sampai turun
tangan dan menyerangnya dari
tempat persembunyian. Cara memandangnya pun
tampak bermusuhan. Perawan Sesat semakin curiga dan
waswas. Sekalipun Putri Alam Baka adalah teman
sendiri, tetapi tingkat perbedaan ilmu dan kedudukan, membuat Perawan Sesat
merasa sungkan kepada Putri
Alam Baka. Karena itu, kehadiran Putri Alam Baka
membuat Perawan Sesat ajukan tanya,
"Sepenting apakah keperluanmu hingga datang
menemuiku, Sumbi?"
"Sejak keberangkatanmu, kami memang sudah
membuntuti!" jawab Putri Alam Baka. Tak ada senyum di bibirnya. Sikapnya
pun kelihatan dingin. Dalam
keadaan rambut lebih rapi, Putri Alam Baka dan
Maharani tampak lebih cantik dari Perawan Sesat.
Tetapi kecantikan itu tidak membuat Pendekar
Mabuk tertarik, ia bahkan bersikap sebagai pendengar
dan penonton yang baik. Ia duduk di tanah yang sedikit lebih tinggi,
punggungnya bersandarkan batang pohon,
sambil sesekali menenggak tuak.
Perawan Sesat merasa heran mendengar dirinya
diikuti oleh Maharani dan Sumbi sejak
keberangkatannya dari Bukit Garinda. Tentang
bagaimana cara mereka menguntit hingga tidak
diketahui gerakannya, bukan hal yang dipikirkan
Perawan Sesat, karena ia merasa mampu melakukan
penguntitan tanpa suara. Tapi apa sebab mereka
menguntitnya, itu yang menjadi pikiran Perawan Sesat.
Mengapa mereka harus menguntitnya? Mengapa seorang
wakil Nyai Lembah Asmara sampai turun tangan dan
mau menjadi penguntit? Pasti ada sesuatu yang tak lazim menurut dugaan
Perawan Sesat.
Lalu, hal itu pun ditanyakan oleh Perawan Sesat
dengan nada tetap tegas dan berkesan angker,
"Untuk apa kalian mengikutiku sejak dari
keberangkatan?"
"Nyai menugaskannya!" jawab Putri Alam Baka dengan sikap berdiri tegap
dengan kedua kaki tegak
sedikit merenggang.
"Untuk apa Nyai menugaskan kalian?"
"Kecurigaan, menjaga kewaspadaan, sekaligus
memberikan perlindungan padamu, Perawan Sesat!"
"Omong kosong!" sentak Perawan Sesat
menyanggah. "Buktinya kalian tidak muncul saat lelaki itu menyerangku di
Perguruan Merpati Wingit!" sambil Perawan Sesat menuding Suto Sinting.
"Ketika kami hendak turun tangan, pemuda tampan
itu sudah lebih dulu membawamu pergi," jawab Putri Alam Baka lebih berkesan
kalem dan berwibawa.
Perawan Sesat melirik Suto sesaat. Pendekar tampan
itu hanya senyum-senyum saja memandang perdebatan
tersebut. Sesekali badannya tersentak karena cegukan.
Tapi agaknya ia sengaja tidak mau ikut campur urusan
ketiga perempuan itu.
Kembali mata Perawan Sesat memandang Maharani
dan Putri Alam Baka, setelah ia mendengar suara
Maharani yang kecil itu berkata,
"Kurasa kau salah arah, Rukmi. Bukit Garinda ada di sebelah barat, mengapa
kau membawa lari pemuda itu ke arah timur?"
"Itu urusanku, Maharani!"
"Tugas kami adalah meluruskan jalanmu, Rukmi,"
kata Maharani dengan memanggil nama asli Perawan
Sesat.
Putri Alam Baka segera berkata pula, "Aku
menangkap adanya pengkhianatan tugas dalam hal ini!
Pasti kau akan menguasai pemuda itu dan tidak akan
menyerahkannya kepada Nyai Lembah Asmara!"
"Itu pun urusanku, Sumbi!" kata Perawan Sesat dengan tetap perlihatkan
ketegasannya dalam bersikap.
Sambungnya lagi,
"Susah payah kucari dan kutemukan pemuda itu,
mengapa ia harus kuserahkan pada perempuan lain,
hah?! Lihatlah sendiri, betapa tampan dan
menggairahkan Suto tanpa pusar itu? Lihatlah...!
Haruskah aku serahkan pemuda setampan itu, kepada
orang lain?!"
Mata kedua teman Perawan Sesat itu melirik ke arah
Pendekar Mabuk. Yang dilirik justru memperlebarkan
senyum sambil melambai kecil penuh goda. Putri Alam
Baka cepat palingkan wajah, memandang ke arah
Perawan Sesat. Tapi Maharani masih menikmati
ketampanan yang begitu mengagumkan hatinya. Tak
sadar hatinya berdebar-debar.
Perawan Sesat berkata lagi, "Kalian pikir aku
perempuan bodoh yang tidak bisa membedakan, mana
lelaki mahal mana lelaki murahan?! Kupertaruhkan
nyawaku untuk mendapatkan dia, wajar kan kalau
sekarang aku memilikinya?"
"Tapi kau mengemban tugas, Perawan Sesat! Kita
selalu dididik untuk tidak mengutamakan kepentingan
pribadi dalam menunaikan tugas dari Nyai "
Lanjut ke Bagian 2
Lanjut ke Bagian 2
Emoticon