geram Peri Malam
yang tambah penasaran itu. Maka,
serta-merta ia
lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih besar lagi.
Wuungh...!
Weuung...!
Cepat sekali
pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri Malam terpental hingga dua kakinya
terangkat dari
tanah. Tubuh itu
melesat ke belakang dan jatuh
membentur bongkahan
batu karang.
"Uhhg...!"
Peri Malam menyeringai sakit pada punggungnya. Napas Peri Malam tertahan
beberapa saat untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya
terhempas lepas.
Peri Malam
bangkitkan tubuh dengan hati membatin,
"Tangguh juga
gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku tak mempan mendobraknya. Bangsat!
Terhina aku
jadinya
diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya aku harus menggunakan salah satu
jurus intiku!"
Saat pemuda itu
tertawa bagai mengejek ilmu Peri
Malam, perempuan
itu segera angkat kedua tangannya
dengan urat-urat
mengeras. Kakinya merenggang ke
samping belakang
dengan sedikit merendah. Kemudian, membalikkan tangannya dengan telapak tangan
menghadap ke
mukanya. Tangan itu pun menyentak
keduanya ke arah
depan. Dari punggung telapak tangan itu melesatlah sebuah sinar kuning
berbentuk bola
sebesar kelereng.
Sinar kuning itu melesat cepat ke arah Dirgo Mukti. Tapi pemuda, itu tetap diam
dan
tersenyum-senyum.
"Hiaaat...!"
Peri Malam lompatkan diri, berjungkir balik di udara, karena pada saat itu bola
kuning berpijar-pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali lebih
besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.
Wuuuooss...!
Blaar...! Benda itu
menghantam gugusan batu hitam
yang ada di
belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.
Gugusan batu hitam
sebesar kuda duduk itu menjadi
putih seketika. Dan
angin laut menaburkan serbuk-
serbuk putih itu
sampai akhirnya batu sebesar kuda
bersimpuh itu
tinggal tersisa sebesar katak.
"Edan!"
geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis dirinya itu. Sukar ditembus
oleh tenaga intiku. Tapi bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah
masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya
itu?"
Dari tempatnya,
Dirgo Mukti berseru dengan jelas
sekali, "Peri
Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau menyerangku. Jangan sampai aku bertindak
keras dan membalas kesombonganmu, Peri Malam!"
"Aku sengaja
menunggu balasanmu, Dirgo!"
Belum sekejap suara
Peri Malam hilang, tiba-tiba
terdengar sebuah
ledakan yang menggelegar guncangkan bumi. Blaarrr...!
Tubuh Dirgo Mukti
terjungkal dan berguling-guling
di pasiran. Peri
Malam lebarkan mata karena kaget dan heran, ia merasa belum menyerang lagi,
tapi Dirgo
Mukti sudah
terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat
dan mampu
menembus gelombang
pelapis diri Dirgo Mukti.
"Jahanam!"
sentak Dirgo mulai tampak
kemarahannya, ia
tidak memandangi Peri Malam, tapi
menatap sekeliling
dengan bingung. Matanya itu
memancarkan
kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.
"Siapa yang
berani campuri urusanku ini, hah?!"
sentaknya lagi.
Peri Malam juga
lirikkan mata ke sekeliling, mencari penyerang gelap yang sudah pasti berilmu
tinggi itu.
Sementara, di
sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti
berdiri dengan
mendekap dada kirinya. Tampak ada
cairah merah yang
mengalir dari hidung. Tidak banyak, namun sempat membuat Peri Malam tersenyum
kegirangan.
"Mampuslah
kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada Dirgo Mukti dengan suara tak
terdengar, sebab saat itu Dirgo berseru,
"Siapa yang
berani menyerangku, hah?! Keluar kau, Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu,
Bangsat!"
Dirgo Mukti
benar-benar marah, ia sama saja dibuat
malu di depan
perempuan yang sedang ditaksirnya.
Maksud hati unjuk
kebolehan ilmunya di depan Peri
Malam, tak tahunya
terpental dan berjungkir balik
dengan hidung
berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang membuat Dirgo Mukti benar-benar
marah pada
orang yang
mengganggunya.
"Kalau kau
benar-benar berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah aku,
Manusia
Sontoloyo!"
teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja
salurkan tenaga
dalamnya lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar, Peri Malam
tutupkan tangan ke telinganya.
Kejap berikutnya,
dari celah bebatuan karang di
belakang Dirgo
Mukti melompatlah sesosok tubuh
berpakaian coklat,
berwajah tampan dan menggendong
bumbung tempat
tuak. Seketika itu hati Peri Malam
terpekik kaget.
"Oh...?!
Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"
*
* *
5
DIRGO Mukti segera
kibaskan tangan kanannya ke
arah Suto. Dengan
cepat Suto meraih bumbung dari
punggung dan
halangkan bumbung ke depannya.
Craap...!
Sebuah pisau kecil
bertali rumbai merah dari benang sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu
kepulkan asap
sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil itu dan membuangnya dengan
seenaknya ke samping.
"Untuk apa kau
pamerkan mainan anak kecil itu? He he he...!" Suto melompat turun dari
atas batu, melangkah dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau kecil
tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup banyak minum tuak dan
sedikit mabuk. Tapi matanya
belum sayu, hanya
sedikit merah di tepiannya.
Dirgo Mukti
terkejut melihat kenyataan yang ada.
Rasa herannya makin
bertambah setelah melihat pisau
itu dibuang
seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan mengenai sebongkah batu. Batu itu
pecah dengan
menimbulkan bunyi
yang pelan.
"Bisa
menangkis lemparan pisauku saja sudah
termasuk hebat,
apalagi bisa mengisi pisau itu dengan tenaga dalamnya hingga bikin batu itu
pecah tanpa suara, jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam hatinya yang
terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak ketika tertancap
pisauku, tapi mengapa kali ini tidak?
Hmmm... siapa
sebenarnya orang ini?! Aku belum
pernah jumpa
dengannya."
Lain lagi kata hati
Peri Malam saat melihat kenyataan itu.
"Pemuda tampan
itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya inilah kesempatan yang baik untuk menghajar
Dirgo
Mukti. Kuadu saja
Dirgo dengan murid sinting Gila
Tuak itu. Pasti
Dirgo tak akan berani menggangguku
lagi, dan aku tak
perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo, sesuai pesan Guru."
Langkah gontai Suto
menuju ke arah Peri Malam.
Perempuan itu
sengaja mendekat untuk memancing
kemarahan Dirgo.
"Siapa kau
sebenarnya, sehingga berani mengusik urusanku dengan Peri Malam, hah?!"
Dirgo Mukti menyentak dengan melangkah setindak ke samping
kirinya. Kini Suto
dan Peri Malam sama-sama berdiri berjajar menghadap Dirgo Mukti.
Saat itu, Suto
menyuruh Peri Malam untuk menjawab
pertanyaan Dirgo
itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau
pasti tahu!"
Tanpa banyak ragu,
Peri Malam pun berkata dengan
suara jelas.
"Dia adalah
Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang punya julukan Pendekar Mabuk."
"Nah, sudah
jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti dengan mengejek sinis.
Dirgo Mukti diam.
Tapi batinnya berkata, "Murid Si Gila Tuak...?! Oh, ya... aku kenal nama
si Gila Tuak, tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang pernah
cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang namanya ada di papan atas dunia
persilatan. Lalu, apa urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam? Apakah dia
kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah musuh utamaku dalam merebut
hati Peri Malam!"
Sebenarnya hati
Dirgo Mukti mulai ciut begitu
mendengar Suto
adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena ia menganggap Suto adalah kekasih Peri
Malam,
keberaniannya
kembali menyala-nyala. Bahkan dengan
beraninya dia
berucap kata kepada Suto.
"Kita perlu
beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi
murid sinting si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta, mari kita
tentukan nyawa siapa yang berhak hidup
berdampingan dengan
Peri Malam!"
"Kau
menantangku, Dirgo?!"
"Ya!"
Dirgo Mukti segera
mencabut senjatanya, kapak dua
mata. Sambil cabut
senjata Dirgo Mukti berseru,
"Lekas, cabut
senjatamu, Suto! Aku ingin tahu
apakah senjatamu
bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-
ku ini!"
"Jangan...."
Peri Malam
menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang sebaiknya jangan di pantai
ini."
Suto terbengong
lagi dan ingin berkata kepada Peri
Malam, tapi selalu
didahului oleh Dirgo Mukti.
"Baik. Di mana
tempatnya terserah dirimu, Sutol Di mana pun tempatnya aku siap mengadakan
pertarungan
berdarah denganmu,
demi mendapatkan cinta Peri
Malam!"
Suto tarik napas,
tahan rasa dongkol atas
kesalahpahaman itu.
Kali ini ia ingin bicara lagi tapi selalu disahut Peri Malam.
"Maksudku
begini, Dirgo...."
"Soal tempat
pertarungan, silakan kau yang
menentukan,"
kata Peri Malam. "Kapan waktunya, silakan pilih sendiri. Karena kau yang
menantang
pertarungan, maka
kau yang tentukan segalanya."
"Baik! Aku
suka dengan ketegasan seperti itu!" kata Dirgo Mukti. "Kita tentukan
pertarungan kita di Bukit Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid
si Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama
mendatang di Bukit
Jagal. Di sana aku sudah
menunggumu!"
Selesai bicara
begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan melesat pergi secepat kilat. Suto tak
sempat lagi ucapkan kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti
yang melesat lincah
bagaikan terbang dari batu ke batu lainnya.
Peri Malam juga
ikut pandangi kepergian Dirgo
Mukti sambil
hamburkan tawa mengikik geli bagaikan
kuntilanak pulang
pagi.
"Kik kik
kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu
rasa dia. Berulang kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin aku muak
dan mau muntah, seperti orang habis telan
anak tikus. Hik hik
hik...!"
Suto tidak ikut
hamburkan tawa. Senyum pun
tersimpan dalam
sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya dia bisa bicara apa yang ingin dia
bicarakan sejak tadi.
"Apa maksudmu
menyambung ucapanku dengan
yang tidak benar
begitu?"
"Apakah
maksudmu bukan seperti yang kukatakan
tadi?" Peri
Malam berlagak bodoh.
"Aku tidak
ingin bertarung melawannya!"
"O, kalau
begitu aku salah duga tadi!"
"Memang
salah!"
"Maaf kalau
begitu!' ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki menuju bawah
pohon mahoni
yang rindang itu.
Sampai di sana ia
duduk. Matanya memandang Suto
yang masih berdiri
dalam jarak sepuluh langkah.
Berdebar hati Peri
Malam setiap menatap mata murid si Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya menerima rasa
indah
yang mekar
berbunga-bunga di dalam hatinya.
"Luar biasa
daya pikatnya. Ingin aku tenggelam
dalam pelukannya.
Ah, setan! Sulit sekali aku menolak kehadiran bayangannya!" gerutu resah
hati Peri Malam.
Suto menghentikan
langkah tiga tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke
wajah Peri Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,
"Duduklah,"
sambil ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Suto duduk di batu
sebelahnya
itu.
"Aku sedang
memikirkan tantangan Dirgo."
"Apakah kau
takut?"
Suto masih berdiri.
Kali ini ia tersenyum indah
mengarah pada wajah
Peri Malam. Darah Peri Malam
bagai disedot naik
ke ubun-ubun kepalanya hingga
dirinya terasa
melayang-layang nikmat melihat
senyuman itu.
"Aku bukan
takut kepadanya. Aku hanya benci
kesalahpahaman ini.
Seharusnya kau tidak menyambung kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung
melawan orang yang
tidak punya salah padaku."
"Tapi kau tadi
menyerangnya."
"Itu sekadar
mengingatkan sikapnya. Aku tak suka melihat perempuan dibuat mainan, seperti
kau tadi."
"Benar. Aku
juga tidak suka dipaksa untuk menjadi istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan
paksa aku melayani nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan
menderita
begitu?"
"Tidak."
"Itulah
sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak tadi."
"Apa maksudmu?
Jelaskan!"
"Kalahkanlah
dia, biar tidak semena-mena mengejar cintaku karena merasa berilmu
tinggi."
"Jadi aku
harus bertarung dengan Dirgo?"
"Tak ada jalan
lain untuk menyingkirkan cintanya."
"Kenapa tidak
kau hadapi sendiri?"
"Pesan guruku,
aku tak boleh memancing keributan dengan Dirgo."
"Kenapa?"
"Tak
dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.
"Kalau begitu,
carilah pendekar lain untuk
menyingkirkan
cintanya. Jangan aku!"
"Tak ada
pendekar lain yang bisa membuat hatiku terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa
menumbuhkan cinta di hatiku."
"Tapi aku juga
tidak mempunyai cinta padamu."
Peri Malam bangkit
dari duduknya, ia melangkah
lebih dekat.
Jaraknya kurang dari satu langkah dari depan Suto. Pandangan matanya lebih
dalam menatap,
dan ucapannya lirih
berkata,
"Anggap saja
kau punya cinta padaku, supaya kau mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo
itu!"
"Mana
bisa...?!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai idaman hati
sendiri."
"Untuk saat
ini saja, anggap kau mencintaiku.
Singkirkan cintanya
supaya kita bebas memadu kasih, Suto."
"Mana bisa?!
Aku tak pernah tahu hangatnya
pelukanmu."
Peri Malam dibuat
gemas-gemas mesra. Kemudian,
dengan tanpa ragu
dan tak mampu menahan gejolak
hatinya, ia
dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah ciuman hangat melekat di pipi murid
sinting si Gila Tuak itu.
Ciuman yang kedua
dari Peri Malam mendarat saat
Suto sedikit
palingkan wajah. Karena Suto palingkan wajah maka ciuman itu tidak melekat di
pipi, melainkan menyentuh di bibir Suto. Crupp...!
"Oh...?!"
Peri Malam cepat undurkan wajah.
"Kenapa?"
"Terlalu hangat,"
jawab Peri Malam dalam bisik tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan
tundukkan wajahnya.
Terdengar suara tawa Suto mirip gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan
itu
diusapnya dengan
lembut. Terasa usapannya sampai
melingkupi permukaan
hati Peri Malam. Begitu indah
dan mendebarkan.
Pelan-pelan Peri
Malam angkatkan wajahnya, lalu
berucap lirih.
"Tak inginkah
kau mengulang ciuman tadi?"
"Mana
bisa?"
"Kenapa tidak
bisa?"
"Karena ada
sepasang mata yang memperhatikan
kita."
Terkesip Peri Malam
seketika, ia segera palingkan
muka ke belakang,
dan ternyata di sana sudah berdiri seorang perempuan berpakaian merah dadu
dengan
rambut digulung
naik ke atas.
Cepat-cepat Peri
Malam jauhkan jarak dengan Suto
Sinting. Wajah Peri
Malam menjadi berang, ia
layangkan pandang
mata bencinya ke wajah perempuan
yang berdiri antara
sepuluh tindak darinya itu.
"Keparat!"
geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau belum jera juga mengusik
pribadiku, Selendang
Kubur?!"
"Justru
sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri Malam!" kata Selendang
Kubur dengan suara dingin memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan
dirinya telah siap
bertempur mengadu nyawa dengan
Peri Malam.
*
* *
6
MATAHARI pantai
semakin tinggi, tapi dua
perempuan itu tak
peduli sengatan panas dari langit itu.
Mereka
berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar
mata memancarkan
permusuhan.
Murid sinting si
Gila Tuak hanya duduk di atas
gundukan batu, di
tempat yang teduh dengan sesekali menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut
campur urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu
menyelesaikan
urusan mereka, dan Suto hanya menjadi pihak penonton saja.
Suto tidak tahu,
bahwa perselisihan kedua perempuan itu adalah karena kecemburuan terhadap
dirinya. Suto tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab
perselisihan
Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto hanya membatin,
"Kebetulan
sekali aku tidak perlu susah-susah mencari Selendang Kubur. Selesai urusan
dengan Peri Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku
tentang Pusaka Tuak
Setan itu. Tapi bagaimana kalau Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku
tidak bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak
Setan sudah ia
sembunyikan di suatu tempat dan hanya dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku
harus
menjaganya jangan
sampai ia mati dan jangan sampai ia kabur lagi!"
Kedua perempuan itu
sama-sama berdiri dengan kaki
tegak dan sedikit
melebar. Dada mereka sama-sama
membusung ke depan,
karena memang keduanya sama-
sama montok. Wajah
mereka sama-sama keras, karena
mereka sama-sama
menahan rasa cemburu.
"Selendang
Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus dan tegas. "Tinggalkan tempat
ini atau kuhabisi riwayat hidupmu?"
"Aku mau pergi
dari sini kalau kau serahkan kedua hal yang kucari itu!" jawab Selendang
Kubur tak kalah ketus dan tegas.
"Tak perlu kau
banyak bicara, Selendang Kubur!
Yang jelas kau
telah mengganggu kemesraanku dengan
Suto Sinting!"
Peri Malam sengaja
batasi omongan, supaya
Selendang Kubur
tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur
melontarkan
keinginannya untuk
meminta Pusaka Tuak Setan, maka
Suto yang ada di
bawah pohon itu akan mendengar, dan tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka
Tuak Setan
ada di tangan Peri
Malam. Ini yang dihindari Peri
Malam. Karena
menurutnya, Suto belum mengetahui di
mana Pusaka Tuak
Setan itu berada.
"Peri Malam!
Kau tidak layak mendapatkan
kemesraan darinya,
karena kau seorang perempuan hina.
Kau durjana dan
kotor!"
"Tutup mulutmu
Selendang Kubur!" sentak Peri Malam memotong. "Jangan sangka dirimu
bukan
perempuan kotor!
Aku tahu kau sudah bukan perawan
lagi. Aku tahu kau
sudah serahkan kehormatanmu
kepada
Trenggono!"
"Jahanam!
Kaulah yang telah menyerahkan
kesucianmu kepada
Trenggono, lima purnama sebelum
dia kita
hancurkan!"
Peri Malam sengaja
serukan suara ketika berkata
begitu, supaya
didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu bahwa Selendang Kubur sudah tidak
perawan lagi. Ini adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang menurut
dugaannya ada di dalam hati Suto.
Siasat itu
diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia
pun membalas
tuduhan serupa dengan suara lebih keras lagi, walau apa yang dikatakan itu
tidak benar. Tapi ia berharap agar Suto pun mendengar dan
mempertimbangkan
keputusannya untuk tetap mendekati Peri Malam atau meninggalkannya.
Sementara itu, Suto
yang duduk santai sambil
memperhatikan
perselisihan kedua perempuan itu hanya manggut-manggut dan membatin,
"Ooo... ke-duanya sudah sama-sama blong. He he he...!"
Mata Selendang
Kubur melirik sekejap ke arah Suto.
Ia melihat Suto
tertawa kecil. Hatinya semakin panas dan geram kepada Peri Malam, karena
menurutnya tawa kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang
dianggap sudah tak
perawan lagi itu.
Sebaliknya, Peri
Malam juga lirikkan matanya ke
arah Suto dan ia
juga melihat senyum tipis Suto. Hati Peri Malam bertambah benci kepada
Selendang Kubur,
karena sangkanya
senyuman Suto itu sebagai senyuman ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan
gadis lagi.
Tak heran jika
kejap berikutnya kedua perempuan itu sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di
udara
dengan cepat.
Pukulan mereka beradu di udara dalam
gerakan yang cukup
cepat. Plak, plak!
Keduanya sama-sama
bersalto ke belakang. Kejap
berikut keduanya
telah sama-sama mendaratkan kaki ke tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak
sedikit melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan
dada tetap
membusung.
Selendang Kubur
berdiri dengan kaki tegak, tapi
tangan kanannya
memegangi dada kiri, dan wajahnya
tampak menahan
sakit. Dari sudut mulutnya tampak
darah kental keluar
tak seberapa banyak, itu pertanda ia terkena pukulan langsung dari tangan Peri
Malam.
Pukulan itu sudah
tentu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang dapat
meremukkan tulang dada. Kalau saja
Selendang Kubur
tidak melapisi dirinya dengan
kekuatan tenaga
dalam juga, maka tulang dadanya saat itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi
melihat matahari pantai.
Selendang Kubur
membatin, "Jahanam itu punya
kecepatan yang luar
biasa! Berat juga pukulannya.
Dadaku seperti
terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku harus membalasnya.
Malu kalau
harus menyerah di
depan Suto. Rendah sekali harga
diriku!"
Melihat Peri Malam
maju dua tindak, Selendang
Kubur pun segera
melangkah maju dua tindak juga.
Tangan kanannya
sudah tidak lagi memegangi dada yang terkena pukulan tadi.
"Selendang
Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan
paksakan diri
melawanku, karena ilmumu masih cetek.
Kau masih perlu
berguru lagi selama belasan tahun
untuk menyamai
ilmuku!"
"Pukulanmu
belum seberapa berat buatku, Peri
Malam! Seratus
pukulan seperti itu masih sanggup
kuterima dengan
dada terbuka. Tapi coba kau rasakan pukulan 'Merpati Puber' dariku,
hiaaat....!"
Tubuh berpakaian merah
dadu itu meluncur cepat di
udara dan berputar
bagaikan baling-baling hendak
menerobos gunung.
Begitu cepat putarannya sampai
mata Peri Malam tak
bisa melihat gerakan tangan
Selendang Kubur, ia
coba sentakkan kaki kanannya
dalam gerak
tendangan berputar. Tapi belum sempat
kaki itu mengenai
sasarannya, Selendang Kubur sudah
lebih dulu
menghantam punggung Peri Malam dengan
satu pukulan
telapak tangan bertenaga dalam cukup
besar. Buugh...!
"Ahhg...!"
Bruuk...! Peri Malam
tersentak jatuh dalam keadaan
tengkurap. Wajahnya
hampir-hampir beradu dengan batu di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam
sentakkan kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga wajahnya tak
jadi terbentur batu.
Selesai lancarkan
pukulan 'Merpati Puber', Selendang Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua
tangan siap
direntangkan ke
atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan dan itu pasti akan membuat tubuh Peri
Malam hancur
lebur. Karena
pukulan yang mau dilancarkan adalah
pukulan andal yang
menjadi simpanan ilmunya dari
ketiga jurus sakti
simpanannya itu.
"Tahan!"
tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.
Mau tak mau
Selendang Kubur palingkan muka ke arah
Suto Sinting. Saat
itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi langkahnya sedikit limbung.
"Apa maksudmu
menahan pukulanku, hah?!" bentak Selendang Kubur.
Suto nyengir lalu
perdengarkan suara sumbangnya,
"Membunuh itu
hal yang mudah, tapi mengampuni
lawan adalah hal
yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar
kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan macam dia,
hah?!"
Peri Malam sudah
berusaha bangkit. Mulutnya
semburkan darah
segar saat tadi terkena pukulan
'Merpati Puber'.
Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau
saja ia
teruskan
pertarungan itu, ia masih sanggup
menumbangkan
Selendang Kubur dengan jurus-jurus
maut yang belum
sempat dikeluarkan.
Tetapi ia menangkap
adanya bahaya dari percakapan
Suto dengan
Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan terbongkar dari mulut Selendang Kubur.
Sudah tentu
Suto akan berada di
pihak Selendang Kubur dan segera menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada
padanya.
Demi menyelamatkan
pusaka dari tangannya, juga
demi menyelamatkan
hubungannya dengan Suto di kelak kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus
menghilang sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu
sedikit pun. Peri
Malam sentakkan kakinya dan
melesatlah tubuh
sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia telah mencapai dahan di atas sebuah pohon.
Dari sana ia serukan kata,
"Kutangguhkan
niat membunuhmu, Selendang
Kubur! Aku harus
menghadiri pertemuan penting
dengan para tokoh
tua. Tapi ingat, suatu saat kita
bertemu, kita harus
tentukan siapa yang berhak hidup lebih lama lagi di antara kita berdua!"
Selesai berkata
begitu, tubuh Peri Malam melenting
lebih tinggi lagi.
Mencapai dahan berikutnya dengan satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia
menghilang pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.
"Jahanam!
Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak
Selendang Kubur.
Dengan satu
hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur
pun segera melesat
cepat. Tujuannya mengejar Peri
Ma!am. Tapi Suto
segera mengibaskan tangan kirinya
seperti menghalau
ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di
samping batu besar. Brukkk...!
Satu gerakan tangan
yang sepertinya tidak bertenaga itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur
tertunda.
Perempuan itu
semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat berdiri dan menatap Suto dengan mata
melotot garang.
"Mengapa kau
halangi aku yang mau mengejarnya?!
Rupanya kau memang
ada di pihaknya, Suto!"
"He he
he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu karena pengaruh tuaknya.
"Siapa bilang aku ada di pihaknya?"
"Lalu, mengapa
kau menahanku dan tak rela jika aku mengejarnya?"
"Karena kau
punya urusan pribadi denganku, Anak Cantik!" Suto kembali tertawa sambil
memegangi bumbung tuak.
Begitu mendengar
Suto menyebutkan adanya urusan
pribadi, hati
Selendang Kubur jadi berdebar-debar.
Hatinya membatin.
"Apakah dia
bermaksud bicarakan masalah
perasaanku dan
perasaannya? Apakah dia sebenarnya
tidak menaruh hati
pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat mereka berciuman, iih... jijik aku
mengenangnya!"
Wajah itu semakin
cemberut. Selendang Kubur
singkapkan
rambutnya yang terjurai ke depan wajah.
Hidungnya yang
bangir dengan bibir bak kuncup mawar itu terpasang jelas menantang sorot
pandangan mata
Suto. Ia berdiri
dengan satu kaki naikkan ke atas
permukaan batu yang
agak tinggi, ia biarkan Suto dekati dirinya sampai jarak tiga langkah.
"Urusan
pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya dengan ketus. "Bukankah kau
punya urusan pribadi dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas
bermesraan dengan peri
bobrok tadi?! Masih kurang
puaskan kau
memperoleh kemesraan darinya?!"
Suto tahu nada
cemburu meluncur lewat kata-kata itu, Suto tertawa karena ada salah anggapan di
antara dirinya dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur menyangka
urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah dari hati ke hati, padahal yang
dimaksud Suto adalah urusan Pusaka Tuak Setan.
Sengaja Suto duduk
di batu agak tinggi, hingga
kakinya tetap
menapak di tanah tapi pantatnya
diletakkan di
tepian batu itu. Ia berada di samping kanan Selendang Kubur dalam jarak hanya
satu langkah.
Selendang Kubur
layangkan pandangan matanya ke
arah laut dengan
sedikit menyipit, karena saat itu ia berkata,
"Tak kusangka
kau jatuh cinta pada durjana! Hal seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa
aku ingin menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan
perempuan lain
itulah aku menjagamu. Karena pelukan dan sentuhan tangan perempuan lain itu
lebih tinggi
bahayanya dari ilmu
kesaktian mana pun juga!"
"He he he...,
kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.
Sekian waktu aku
mencarimu, sampai kudatangi
perguruanmu,
ternyata setelah kutemukan dirimu, kau curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka
kalau akan mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"
"Aku tidak
cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia palingkan wajah menatap Suto dengan
mata tajam.
Lalu ia katupkan
mulut dan diam, tak peduli dengan
suara tawa Suto
yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan
itu terjadi suatu percakapan kecil.
"Benarkah dia
datang ke Perguruan Merpati Wingit?
Untuk apa dia ke
sana? Oh, dia bilang tadi untuk
mencariku? Benarkah
sampai sebegitu repot dia
mencariku? Oh, tak
kusangka jika hal itu benar
dilakukannya. Tak
mungkin ia tak memiliki hasrat
padaku jika sampai
memburuku ke sana. Sayang dia tak mau tunjukkan hasratnya secara
terang-terangan padaku, sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti.
Sebab aku sendiri
tak mau tunjukkan hasratku lebih
dulu. Aku
malu."
Suto perdengarkan
suaranya setelah ia meneguk dua
kali tuak dari
bumbungnya.
"Aku bertemu
dengan Dewi Murka, juga bertemu
dengan gurumu Nyai
Guru Betari Ayu. Bahkan aku
sempat bicara
panjang lebar dengan gurumu di taman
yang indah
itu."
"Apa...?! Kau
bicara dengan Guru? Kau diajak ke taman itu?!"
"Ya,"
jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada
guruku?"
"Kagum pada
taman yang indah itu," jawab Suto mengalihkan sangkaan, karena ia tahu
arah pertanyaan Selendang Kubur itu.
Selendang Kubur
kembali katupkan mulutnya.
Kembali pula
hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh Guru ke taman itu, berarti Guru
punya perhatian
istimewa padanya.
Oh, apakah Guru juga mempunyai
rasa suka pada
Suto?"
"Bahkan aku
sempat bermalam di sana. Satu malam,"
tambah Suto.
Selendang Kubur
semakin terperanjat. "Kau
bermalam di sana?!
Hmmm... dengan siapa? Dengan
siapa kau tidur di
sana?'
"Dengan
seseorang," jawab Suto menggoda,
membuat hati
Selendang Kubur semakin penasaran.
"Siapa orang
itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu
siapa? Siapa orang yang tidur denganmu, Suto?"
"Pembayun!"
jawab Suto.
"Oooh..,"
Selendang Kubur menghempaskan
napasnya dengan
lega. Pembayun adalah lelaki yang
paling rajin dan
mencintai pekerjaannya sebagai perawat
kuda. Usianya sudah
empat puluh lima tahun, dan sangat setia merawat kuda milik Betari Ayu.
"Sangkamu aku
tidur dengan perempuan?"
"Jangan lagi
kau datang ke sana!" Selendang Kubur tak sadar berkata bagai seorang ratu
memberi perintah larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan
dengan suara pelan.
Selendang Kubur jadi malu sendiri setelah menyadari larangannya itu.
"Kehadiranmu
di sana hanya akan mengganggu
perhatian para
murid yang sedang belajar dan berlatih memusatkan pikiran," Selendang
Kubur menutupi
kecemasannya.
"Ke mana aku
harus mencarimu jika tidak ke sana, Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung
saat itu.
Aku tak tahu kau
ada di mana. Karena ketika aku
muncul dari Telaga
Manik Intan itu, kau sudah hilang dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar
luka."
Hati Selendang
Kubur masih berdebar indah
mendengar Suto
bingung mencarinya. Bahkan ia sangka dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang
karena
rindu ingin
bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan indahnya itu, Selendang Kubur pun
menanyakannya
kepada Suto.
"Untuk apa kau
mencariku sampai kebingungan
begitu?"
"Karena aku
harus meminta Pusaka Tuak Setan
darimu."
"Apa...?!"
Selendang Kubur terkejut dan segera kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah
itu.
Suto hanya
tersenyum kalem dengan mata seperti
orang mengantuk
karena mulai mabuk, ia pandangi mata Selendang Kubur yang tak berkedip itu,
lalu ia tertawa geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok.
He he he...!"
"Suto!"
sentak Selendang Kubur. "Jadi kau mencariku ke mana-mana hanya untuk
mendapatkan
Pusaka Tuak
Setan?"
"Ya.
Benar."
"Kau kira
akulah orang yang merampas Guci Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'
"Siapa lagi
kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.
Karena saat itu
yang ada di tepi sendang hanya kau dan Paman Sugiri."
Kecewa hati
Selendang Kubur. Bunga-bunga indah
yang mekar di hati
karena dugaan mesra tadi, kini
menjadi layu dan
sebagian rontok berguguran, ia pun sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata
dengan dahi masih berkerut tegang.
"Ketahuilah,
Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak
Setan, kejarlah Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas Pusaka
Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada
saat kau menyelam
ke dalam telaga untuk yang kedua
kalinya."
"Jangan
bergurau. Selendang Kubur!"
"Aku tidak
bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri Malam itulah orang yang
mempunyai senjata jarum
beracun, yang juga
mengenai tubuh Dewi Murka
beberapa waktu yang
lalu. Pada saat dia menyerang
Pujangga Kramat
dengan jarum beracunnya, aku ada di atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di
situ,
karenanya ia mudah
saja mengambil Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku
ada di atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak
Setan, maka kukejar
dia sampai ke mana pun larinya.
Dan yang terakhir
kutemukan dia di sini sedang
berpelukan
denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat benci padamu. Kau bercinta dengan
pencuri pusaka yang menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak,
sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu untuk menyelamatkannya
dari tangan orang-orang tak
bertanggung jawab,
seperti halnya Peri Malam dan
gurunya."
Suto terbengong
sejenak, kemudian bertanya, "Apa hubungannya Tuak Setan dengan gurunya
Peri
Malam?!"
"Dia mencuri
Pusaka Tuak Setan bukan untuk
dirinya, tapi untuk
gurunya! Dia lakukan hal itu hanya sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau
kau tak percaya, mari kita buktikan!"
Suto tertegun.
Matanya semburat merah karena
mabuk.
*
* *
7
MENURUT Suto,
mereka tidak perlu mengejar Peri
Malam. Sebab tadi
ia melihat ada perahu di celah
bebatuan karang.
Suto ingat cerita Peramal Pikun
tentang gurunya
Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua yang sedang menunggu saat terbaik untuk
melawan
Bidadari Jalang.
Suto ingat, bahwa Guru dari Peri
Malam adalah Mawar
Hitam yang tinggal di Pulau
Hantu. Tentunya
menjadi penguasa di Pulau Hantu
tersebut. Menurut
perhitungan Suto, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan kembali datang ke
pantai itu dan menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.
Tetapi, Selendang
Kubur mempunyai pemikiran lain
lagi.
"Mungkin saja
dia akan pulang ke Pulau Hantu
menyerahkan Pusaka
Tuak Setan kepada gurunya. Tapi
bagaimana jika ia
nekat menjadi murid murtad?!"
"Apa
maksudmu?"
"Karena dia
tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak
tersebut.
Bukankah dengan
begitu dia bisa kalahkan gurunya
sendiri?"
"Hmmm... ya.
Memang bisa saja terjadi begitu!" kata Suto sambil menutup bumbung yang
habis diteguk
isinya. Kemudian ia
bertanya kepada Selendang Kubur.
"Apa dia
berani menjadi murid murtad?"
"Aku lihat dia
mulai jatuh cinta padamu."
"Hei, apa
hubungannya murid murtad dengan jatuh cinta?"
"Dia bernafsu
ingin mendapatkan kau. Dia harus singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku.
Untuk itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.
Tak heran jika ia
paksakan diri untuk menjadi murid murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan
minum Tuak Setan,
dia akan berilmu tinggi dan dapat menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat
memiliki
dirimu."
"He he he...
aku tidak cinta sama dia, juga sama yang lainnya. Aku sudah punya kekasih
sendiri."
"Kau akan
dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya, dan dipaksa juga agar mau menerima
cintanya, agar mau melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau
kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan
itu."
Suto kerutkan dahi
setelah mencerna kata-kata
Selendang Kubur.
Lalu, dia bertanya dengan suara
semakin sumbang.
"Apa dia tahu
kekuatan yang ada pada Tuak Setan itu?"
"Tahu atau
tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.
Rebut kembali Tuak
Setan itu. Aku akan
mendampingimu dan
menjagamu!"
Suto tertawa parau,
"He he he he... aku mau kau mendampingiku, tapi jangan sering-sering
memandangi tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang yang bisa
menembus pakaianku dan bisa melihat bagian dalamku. Aku malu jika kau begitu,
Selendang Kubur!
He he he
he...!"
"Kututup
kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak akan bisa menahan gejolak
birahiku."
Sambil ucapkan kata
begitu, Selendang Kubur
melangkah ke
celah-celah karang. Rupanya ia mencari perahu yang disembunyikan Peri Malam.
Begitu perahu itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan
tangannya ke arah
perahu itu. Melesat seberkas sinar kuning, dan meledaklah perahu itu terkena
kilatan sinar kuning. Blaarrr...! Praakkk...!
"Hei, mengapa
kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.
"Biar dia
tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab Selendang Kubur.
"Dia bisa
pakai ilmu peringan tubuhnya untuk
menyeberangi lautan
ini!"
"Tak mungkin
bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu artinya dia tak bisa menyeberangi lautan
dengan
mengandalkan ilmu
peringan tubuhnya."
"Yah, bisa
juga dia buat lagi!"
"Kita
berangkat sekarang, Suto!"
"Boleh
saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.
Mereka bersiap
untuk meninggalkan Pantai Karang
Saru. Tapi
tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari belakang mereka.
"Tunggu!"
Serta-merta mereka
palingkan wajah. Selendang
Kubur terperanjat
melihat orang yang baru saja datang dan menahan langkahnya.
"Dewi...?!"
desis Selendang Kubur dengan perasaan tak suka.
"O, ya! Dia
yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"
kata Suto sambil
cengar-cengir karena mabuk.
"Untuk apa kau
menahanku, Dewi! Dan untuk apa
kau datang kemari
menemui kami?!" suara Selendang Kubur bernada ketus,
"Jangan ikut
campur urusan orang lain, Selendang Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau
juga punya urusan sendiri!"
"Apa hakmu
melarangku?"
"Aku telah
diangkat resmi menjadi wakil Guru.
Tugasku kemari
untuk menjemputmu. Kau dipanggil
oleh Nyai Guru, Selendang
Kubur!"
Selendang Kubur
bingung sejenak, ia membatin,
"Apa benar
Guru memanggilku? Apa benar Dewi
diangkat menjadi
wakil Guru secara resmi? Jangan-
jangan dia hanya
ingin mengelabuhiku, supaya aku
meninggalkan Suto
dan dia sendiri akan menggantikan kedudukanku di samping Suto!"
Terdengar Dewi
Murka keluarkan perintah tegas,
"Cepat pulang
sekarang juga, Selendang Kubur!"
"Bagaimana
dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan ke
tempat lain, karena ada tugas dari Guru!"
Selendang Kubur
sunggingkan senyum dingin. "Tadi kau bilang mau menjemputku, itu berarti
kau dan aku pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke
tempat lain, itu
berarti aku harus pulang sendiri. Aku tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau
ingin
menggantikan diriku
sebagai pendamping Suto!"
"Jaga bicaramu
dengan wakil Guru, Selendang
Kubur!"
"Persetan
dengan kedudukanmu yang sekarang!
Kurasa kududukan
itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus
segera pulang! Guru memanggilmu!"
sentak Dewi Murka.
"Persetan juga
dengan panggilan Guru!" Lalu, Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil
berkata,
"Jangan
hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat sekarang juga!"
"Larasati..!"
seru Dewi Murka memanggil nama asli Selendang Kubur, ia melangkah beberapa
tindak.
"Jangan
memaksa diriku berlaku kasar padamu,
Larasati!"
Selendang Kubur
terpancing kemarahannya dan
membalikkan badan
serta memisahkan diri dari Suto. Ia melesat lompat ke tempat yang datar dan
bersuara
lantang.
"Dewi, apa
maumu sebenarnya, hah?!"
"Menyuruhmu
pulang!"
"Kalau aku tak
mau, apa tindakanmu?!"
"Terpaksa aku
harus menyeretmu pulang, Larasati!"
"Apa kau kira
mampu, hah?!" tantang Selendang Kubur yang merasa kedamaiannya bersama
Suto
diganggu oleh
kemunculan Dewi Murka.
Kejap berikutnya
tubuh Dewi Murka melesat dan
hinggap di atas
gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak dan tampak menantang juga. Kejap lain,
Selendang
Kubur pun melompat
ke atas gugusan karang dan berdiri
dengan sigap, siap
menghadapi serangan Dewi Murka.
Sejurus kemudian,
Dewi Murka perdengarkan
suaranya yang
tegas.
"Dengar,
Larasati...! Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup,
mati pun tak apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang dalam keadaan
hidup atau mati! Paham?!"
"Tak mungkin
Guru keluarkan tugas begitu untukmu!
Aku bukan murid
bersalah. Aku tidak melanggar
peraturan
perguruan!"
"Siapa
bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi murid bersalah dan dianggap
telah murtad!"
"Hei, apa
salahku?!" Selendang Kubur kian keras kerutkan keningnya karena heran.
"Jangan
berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan, ternyata
kau telah berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!"
"Gila
kau!"
"Kitab Wedar
Kesuma telah hilang dari tempatnya.
Siapa lagi
pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena sejak saat itu kau tidak berani
pulang ke perguruan!"
"Itu fitnah!
Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan memilihku
sebagai
penggantinya!"
sanggah Selendang Kubur sambil
menuduh balik
kepada Dewi Murka.
"Jika kau
tidak merasa bersalah, kau pasti pulang, Larasati!"
"Aku akan pulang,
tapi tidak sekarang! Aku masih harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu
persoalan
yang amat
penting!"
"Tidak bisa.
Sekarang juga kau harus pulang atau kuseret dalam keadaan sudah menjadi
bangkai?!'
"Kalau kau
memang mampu, lakukanlah!" sentak Selendang Kubur dengan berani.
"Baik. Akan
kulakukan tugasku!" geram Dewi Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan
sekadar menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari pinggang.
Diam-diam Suto juga
punya dugaan yang sama
dengan kata hati
Selendang Kubur tadi.
"Tak mungkin
Dewi Murka dapat tugas dari Guru
untuk menyuruh
Selendang Kubur pulang. Kudengar
tadi dia mau pergi
ke tempat lain. Mana mungkin dia akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri
tanpa
pengawalan ketat?
Bohong dia! Aku tahu dia punya
maksud ingin
mendekatiku. Karena waktu aku ada di
perguruannya, dia
sempat dekati aku dan berbisik saat gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin
membantuku
mencari Selendang
Kubur, ia bilang, dirinya siap
menjadi pendampingku
ke mana saja aku pergi. Jelas dia punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur.
Dan
juga kepentingan
pribadi padaku. Pasti dia iri melihat Selendang Kubur dekat denganku."
Suto tertawa pelan
sambil geleng-gelengkan kepala.
Sejenak ia menjadi
penonton pertarungan Selendang
Kubur dengan Dewi
Murka. Saat berikutnya hatinya
berkata,
"Aku tahu,
kedua perempuan itu ingin mendapat
tempat di hatiku.
Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku hanya tersedia tempat untuk Dyah
Sariningrum. Mereka tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum
dari ingatanku.
Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua perempuan itu."
Maka, tanpa setahu
Selendang Kubur maupun Dewi
Murka, Suto melesat
pergi dari Pantai Karang Saru.
Sekalipun keadaan
mabuk, tapi Suto tetap mampu
melesat bagaikan
kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.
Sampai di tengah
hutan, Suto berhenti untuk
membuka bumbung
tuaknya, ia meneguk beberapa kali,
sedikit-sedikit
tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto sempat ucapkan kata,
"Aku harus
temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu tentang Dyah Sariningrum. Dia
merahasiakannya dariku.
Tapi nanti aku
harus bisa mendesaknya dengan berbagai cara."
Tapi tiba-tiba
hatinya diguncang kebimbangan.
"Mencari si
tua Peramal Pikun atau mencari Peri Malam?" kata hati Suto. "Keduanya
sama-sama penting.
Menurutku dugaan
Selendang Kubur tadi memang bisa
saja terjadi. Tuak
Setan diminum oleh Peri Malam.
Kalau tuak itu
sudah telanjur diminumnya, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan
Peri
Malam. Bisa jadi
pertempuranku dengannya membawa
korban lain yang
tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya kucari lebih dulu Peri Malam untuk
menyelamatkan
Pusaka Tuak Setan
itu!"
Kepak sayap seekor
burung hinggap di atas pohon
yang dipakai
beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung lainnya, hinggap juga di pohon
satunya lagi. Makin lama kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas
Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati Suto berucap kata,
"Aku harus
cari desa. Aku mau menumpang tidur di salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai
menipis. Aku harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"
Sebuah desa
ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa tersebut termasuk desa nelayan. Di sana
ada kedai, dan di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam
bumbungnya.
Seorang lelaki
berkumis lebat melintang sedang
makan di kedai
tersebut. Matanya yang lebar itu
sebentar-sebentar
melirik Suto dengan perasaan tak suka.
Lelaki berkumis itu
mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala
dari kain batik. Duduknya tak kenal sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar-sebentar
tangannya dikibaskan membuat makanan yang
menempel di
jari-jemarinya yang sebesar pisang itu
memercik ke
mana-mana.
Salah satu butiran
sisa makanan jatuh dan menempel
di lengan Suto.
Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa makanan itu. Sentilan tersebut di
arahkan ke suatu
tempat. Sisa
makanan itu melesat ke arah kendi yang ada di depan lelaki berkumis tebal itu.
Tang...! Prakkk...!
Kendi itu pecah
bagai dilempar batu sebesar
genggaman tangan.
Lelaki berkumis yang punya badan
tinggi besar itu
menggeram dengan mata jelalatan. Ia mencari di sekelilingnya orang yang
melemparkan batu dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun ada yang
dicurigainya.
"Bangsat!
Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!"
bentaknya ke arah
tiga lelaki lain yang ada di bangku samping.
Pemilik kedai
seorang perempuan tua yang sudah
keriput wajahnya.
Perempuan itu ketakutan melihat mata lelaki berkumis membelalak lebar, penuh
luapan amarah.
"Sudahlah,
Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan
minuman."
"Iya. Tapi
kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya mahal!"
Pemilik kedai itu
berkata, "Di sini juga jual arak Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi
penuh!"
"Baiklah kalau
kau mau menggantinya. Sebab aku tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing
kuda itu!
Aku harus minum
arak Kebalen, arak paling terkenal dan paling mahal!"
"Ini,
Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri
aku sekendil tuak!"
"Untuk apa,
Kang?"
"Buat cuci
tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik kedai itu menggeragap sambil bergegas
menyiapkan
tuak satu kendil
berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki
berkumis melintang
dan berbadan seperti kebo itu
melirik sinis pada
Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam saja dan pura-pura tidak memperhatikan
lelaki yang sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.
"Ini tuaknya,
Kang? Apa masih kurang?" tanya pemilik kedai.
"Sudah.
Cukup."
Seorang lelaki
kurus berbaju merah lusuh bertanya
kepada lelaki
berkumis tebat itu.
"Kang, apa
tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu banyak dipakai untuk cuci tangan?'
"Sudah
biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis makan, cuci tangannya
harus pakai tuak. Tuak seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat
cuci tangan atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"
Tangan lelaki
berkumis itu segera masuk ke kendil
berisi tuak. Tapi
kejap berikutnya dia memekik keras, kaget dan heran. Tangannya ditarik
kuat-kuat.
"Bangsat!
Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak meja. Pemilik kedai semakin
gemetar.
"Ta... tadi...
tadi tidak panas, Kang."
"Tidak panas
dengkulmu! Pegang! Celupkan
tanganmu ke dalam
tempat ini! Ayo, coba celupkan
tanganmu!"
perintah itu mendesak dan membuat pemilik kedai menurutinya karena takut.
Tangan pemilik
kedai dicelupkan ke dalam kendil
berisi tuak.
Perempuan itu tidak merasa kepanasan,
bahkan agak lama
merendamkan tangan ke dalam
kendi!.
"Tidak panas,
Kang. Dingin begini kok dibilang panas?"
Lelaki berkumis
tertegun bengong melihat tangan
perempuan keriput
itu direndam di dalam kendil berisi tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi
dalam hatinya ia tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.
"Coba...!"
kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai diangkat, tangan lelaki itu masuk ke
dalam kendil.
"Aaauh...!"
ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat tangannya keluar dari kendil. Tangan
itu mengepul.
Jarinya bengkak
lebih besar dan berwarna kemerah-
merahan. Pemilik
kedai pun belalakkan mata dengan
rasa heran dan
takut. Begitu pula orang lain yang ada di situ. Hanya Suto yang tetap tenang
dan tak perhatikan hal itu.
Suto tahu, bahwa
dirinya sedang dicurigai oleh lelaki berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa
lelaki itu tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto.
Sebagai pelampiasan
kemarahannya, lelaki berkumis itu segera menampar wajah pemilik kedai sambil
berkata,
"Pasti kamu
yang bikin usil. Hihh...!"
Tap...! Tangan yang
berkelebat mau menampar pipi
pemilik kedai itu
jadi terhalang oleh bumbung tuak yang disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki
berkumis
menggeram dengan
mata melotot bagai ingin menelan
Suto bulat-bulat.
"Kau mau unjuk
diri di kampung ini, hah? Kau belum tahu kondangnya Singo Bodong ini!"
sambil lelaki berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.
"Kenalkan,
kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo Bodong, tukang beset kulit manusia!"
Suto
tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi
semakin geram.
"Rupanya kau
perlu diberi pelajaran sedikit, Anak Ingusan!"
Tangan kiri Singo
Bodong berkelebat meluncurkan
pukulan ke wajah
Suto. Tapi dengan cepat Suto
merundukkan kepala
dan tangannya berkelebat
menghantam iga
Singo Bodong menggunakan punggung
telapak tangan.
Plook...!
Tubuh Singo Bodong
mental lebih dari lima langkah
jauhnya. Padahal
hanya mendapat pukulan ringan dari punggung tangan Suto yang kiri. Tapi
menurutnya
pukulan itu melebihi
serudukan tiga ekor kerbau.
Bukan hanya Singo
Bodong, tapi setiap orang yang
ada di situ mulai
menaruh curiga pada Suto. Pemuda
tampan itu pasti
bukan orang sembarangan dan sudah
tentu berilmu
tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong berdiri sambil menyeringai, ia segera
mundur beberapa pijak dengan rasa takut.
"Apa yang mau
kau sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm...
hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.
Maafkan aku, Satria
gagah...!"
"Namaku bukan
Satria! Namaku Suto Sinting...!"
Suto memperkenalkan
diri. Kebetulan ada orang yang
mendengarnya, yaitu
lelaki berpakaian merah lusuh yang tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki
tersebut segera mendekati Suto dengan sopan.
"Mak....
Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak?"
"Betul. Dari
mana kau tahu?"
"Mak....
Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting, yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!"
sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana kamu?"
Orang kurus
berpakaian merah itu menjawab dengan
masih gemetar.
"Tad... tadi,
saya dengar ada orang yang bercerita tentang diri Tuan Pendekar,
menyebut-nyebut nama Suto Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak
yang kesohor di rimba persilatan itu."
"Siapa yang
menceritakan diriku?"
"Orangnya ada
di rumah tetangga saya. Dia... dia numpang bermalam di sana."
"Siapa yang
menceritakan diriku? Itu
pertanyaannya!"
"O, anu...
anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia banyak cerita pada keluarga tetangga
saya tentang
kehidupan di rimba
persilatan. Dia... dia jagoan
perempuan. Cantik
dan montok. Eh... anu... maksud
saya... dadanya...
anu...!"
"Jagoan
perempuan? Cantik dan montok?"
"Bet... betot,
eh... betul!"
"Memakai
pakaian kuning?"
"Iya!"
"Hmmm... Peri
Malam ada di sini rupanya!" pikir Suto, lalu ia berkata kepada orang itu,
"Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba...
baik!"
*
* *
8
ALANGKAH kaget hati
Peri Malam melihat
kehadiran Suto di
rumah penduduk desa itu. Cepat sekali ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan
dan
bayangan Selendang
Kubur. Peristiwa di Pantai Karang Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri
Malam.
"Kucari-cari
kau, ternyata ada di sini," kata Suto dengan suara sumbang karena pengaruh
mabuknya
masih ada.
Peri Malam segera
ambil sikap tenang seakan tidak
merasa pernah
berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam berkata riang.
"Kuharap kau
datang sendirian di malam ini. Bukan bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang
aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."
Pemilik rumah yang
dihuni Peri Malam segera
muncul dan ikut
menemui Suto. Peri Malam
memperkenalkan Suto
kepada keluarga Kriyo Suntuk
yang terdiri dari
istrinya dan kelima anaknya.
"Ini orang
yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si
orang sakti yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor
bergelar si Gila
Tuak itu!"
Anak-anak Kriyo
Suntuk tampak bangga dan kagum
melihat tubuh
perkasa Suto, Belum lagi anak gadis
Kriyo Suntuk yang
sudah berusia antara delapan belas tahun, sangat terpesona melihat ketampanan
Suto walau bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi
dikerumuni oleh
mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan dipaksa untuk
bercerita tentang
kehebatan
ilmu-ilmunya.
Suto sempat
berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan ini sebenarnya? Mengapa mereka
terkagum-kagum
sekali
padaku?"
"Kuceritakan
tentang kehebatanmu dan kehebatan gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita
kependekaran.
Mereka kagum mendengar ceritaku.
Kagum terhadap
dirimu. Jadi, jangan kecewakan
mereka, toh mereka
berikan kita tumpangan untuk
bermalam di rumah
ini!"
"Bermalam?
Siapa bilang aku mau bermalam di sini?
Aku hanya akan
numpang tidur saja!" kata Suto sedikit mengacau.
Mereka duduk di
tikar, di pelataran samping rumah.
Bahkan kala itu
datang juga beberapa tetangga sekeliling rumah Kriyo Suntuk.
Pendekar Mabuk yang
saat itu memang sedang
mabuk bercerita apa
saja yang pernah dialaminya.
Bahkan apa yang
pernah didengarnya dari mulut para
tokoh tua di dunia
persilatan, diceritakan pula kepada mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut
dalam cerita tersebut.
Satu-satunya orang
yang datang ke situ dan sangat
tertarik sekali
dengan cerita Suto adalah seorang lelaki berkumis tebal. Dialah yang tadi
mengaku bernama
Singo Bodong.
Lelaki ini bahkan sering berdecak
terkagum-kagum
terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti yang pernah dilihat oleh Suto.
Sampai menjelang
pagi, mereka baru merasa puas.
Anak bungsu Kriyo
Suntuk tertidur di pangkuan
emaknya. Tetapi
Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang berusia antara delapan belas tahun itu,
masih betah memandangi wajah ganteng Suto Sinting.
Suto tak tahan
kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika
ia terbangun, hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan galak. Dan
Katri adalah orang pertama yang menyambut kebangunan Suto dengan senyum manis,
semanis
senyum perawan desa
yang berkulit hitam manis.
"Mau kubuatkan
secangkir teh manis, Kang Suto?"
"Tidak. Terima
kasih. Aku sudah cukup puas kalau sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam?
Masih tidur?"
"Peri
Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu Yu Sundari? Pendekar
perempuan temanmu itu toh,
Kang?"
"Iya. Mana
dia?"
"Ooo... sudah
dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum pergi, dia larang kami membangunkan Kang
Suto.
Katanya kalau Kang
Suto sedang tidur dan dibangunkan, rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami
tidak ada
yang berani
membangunkan Kang Suto!"
"Celaka! Ini
pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak sempat bicara padanya
tentang Tuak Setan itu. Hmmm...
pandai sekali ia
mengalihkan suasana sampai aku tak punya kesempatan bicara padanya."
Suto hanya
mengetahui arah kepergian Peri Malam,
yaitu ke arah
selatan. Dalam perhitungan Suto,
perempuan licik itu
tak mungkin berlari cepat, karena ia masih punya luka bekas pukulan Selendang
Kubur. Tak mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu
keyakinan penuh,
Suto mengejar Peri Malam ke arah
selatan dengan
kecepatan larinya yang melebihi
melesatnya anak
panah.
Tepat ketika Suto
tiba di kaki bukit, ia memandang
kelebatan orang
berpakaian kuning kunyit yang sedang berada di lereng bukit. Tak salah lagi
dugaan Suto, orang itu adalah Peri Malam.
Suto berkelebat
lewat. Daun-daun di kanan kirinya
berserakan jatuh
akibat hembusan angin larinya Suto. Ia sengaja memotong jalan melalui tepian
jurang, ia
melompat di atas
daun demi daun yang digunakan
sebagai pijakan
kakinya.
Bukit itu bagian
atasnya gundul. Tak ada tanaman
kecuali rumput dan
ilalang tak seberapa tinggi. Tapi pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa
tanaman. Hanya
bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-bisul tersumbul dari dada seorang
perawan.
Di salah satu batu,
Suto duduk menunggu. Karena ia
tahu arah
perjalanan Peri Malam akan melewati puncak
bukit, lalu
menuruninya dan menyeberang sebuah desa nelayan, setelah itu akan mencapai
pantai. Dari pantai itu pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk
menemui gurunya si Mawar Hitam.
Perhitungan Suto
tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul
juga
perempuan cantik
berotak licik itu.
"Lamban sekali
gerakanmu!" sapa Suto pertama kali saat mata Peri Malam itu beradu pandang
dengannya.
Peri Malam tampak
kaget dan cemas, tapi segera
disembunyikan
perasaan itu.
"Kupikir kau
masih tidur," kata Peri Malam menutup keresahan.
"Tak bisa
tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak Setan kau serahkan padaku."
Terkesiap mata Peri
Malam mendengar ucapan itu. Ia
berusaha menutup
rahasianya yang sudah jelas
terbongkar dari
mulut Selendang Kubur. Lagak
bodohnya masih
dicoba sebagai penutup rahasia.
"Pusaka Tuak
Setan apa maksudmu, Suto?"
"Guci kecil,
berisi tuak. Kau rampas dari tangan Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik
Intan. Kau lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun
milikmu itu!"
"Kau sedang
mabuk saat ini, Suto."
"Aku sudah
tidur, itu berarti aku sudah bebas dari mabuk," kata Suto tetap dengan
kalem. Matanya tak berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam, membuat
perempuan itu makin gelisah.
"Aku tidak
tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku menyerang Pujangga Kramat di tepi
telaga? Telaganya yang mana, aku juga tidak tahu."
"Selendang
Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri Malam. Jangan kau berdusta lagi!"
"Itu rekaan
Selendang Kubur! Jangan mau percaya dengan mulut perempuan macam dia! Dia
berusaha
mengarang cerita
seperti itu, supaya kau bermusuhan denganku dan dia bebas mencintaimu."
"Ini persoalan
pusaka! Bukan persoalan asmara!"
"Tapi asmara
itulah yang membikin ribut tentang pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto!
Aku tak tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"
"Serahkan Tuak
Setan itu padaku, Sundari," sambil tangan Suto terjulur tengadah meminta
pusaka tersebut.
Sambungnya lagi.
"Aku tak ingin
bertarung melawanmu hanya untuk berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai
wanita secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku
menyakitimu...."
Dengan tutur kata
pelan, Sundari berkata, "Apakah kau mencintaiku sungguh, Suto?"
"Kau bisa tahu
setelah kau berikan pusaka itu padaku, karena dengan memberikan pusaka itu
padaku, itu
berarti aku harus
membalas kebaikan yang setimpal,
kebaikan yang
setimpal itu tentunya merupakan sesuatu yang amat berharga dalam hidupmu!"
Dalam pengertian
Peri Malam, sesuatu yang amat
berharga dalam
hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari
pria seperti Suto.
Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya
sendiri,
sehingga pada
akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu. Tapi
setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun
mengeluarkan guci
kecil satu genggaman tangan yang
disembunyikan di
balik pinggangnya. Guci itu pun
diserahkan kepada
Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti bahwa aku sungguh
mencintaimu...."
Seperti badai
melintas di depan mereka berdua, tiba-tiba guci kecil itu lenyap dari tangan
Peri Malam
sebelum jatuh ke
tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang secara bersamaan.
Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin berkekuatan
tenaga dalam cukup tinggi.
Suto terjengkang
dan sempat terkapar, sedangkan
Peri Malam
terpental dan punggungnya membentur batu.
Ia menyeringai dan
merasakan sesak pernapasan
dadanya, ia
berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua
mata mereka
memandang ke arah
samping, dan tak salah lagi dugaan Suto, seseorang telah berdiri di atas batu
dengan tawa yang terkekeh-kekeh.
Orang itu berambut
abu-abu digulung naik. Badannya
agak bungkuk,
pakaiannya abu-abu dengan jubah biru
lusuh hampir serupa
dengan warna pakaian dalamnya
yang abu-abu itu.
Orang itu menyelipkan sebuah senjata berupa tengkorak kambing bertongkat pendek
kira-kira dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang
punggung binatang
sejenis kerbau atau entah apa. Orang itu mempunyai wajah yang keriput kempot
dan peot
dengan gigi
berjarak renggang karena ompong.
Siapa lagi si tua
bongkok dan kempot itu selain
gurunya Peri Malam
yang bergelar si Mawar Hitam.
Rupanya ia datang
tepat pada waktunya. Dan sekarang Pusaka Tuak Setan itu berada dalam
genggamannya, ia tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.
"Guru...,"
sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan lemah itu membuat tawa Mawar Hitam
hilang seketika.
Mata cekungnya
memandang tajam pada Peri Malam,
dan ia mengumpat.
"Mulid sesat!
Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak
kebo!"
"Guru, maafkan
aku! Karena... karena aku tahu
pusaka itu
sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan milik Suto Sinting ini!"
"Pelsetan
dengan Suto! Kamu telgoda sama
ketampanan
wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah
lacun! Lacun yang
mematikan!" sentak perempuan tua yang tidak bisa menyebutkan huruf R.
"Mawar
Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap tenang. "Jangan bikin perkara
denganku. Aku memang masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan
membunuh raga tuamu
jika pusaka itu tak kau serahkan padaku!"
"Hik hik hik
hik...," Mawar Hitam tertawa.
"Beltahun-tahun
kutunggu kesempatan ini, tak mungkin bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si
Gila Tuak,
kasih tahu sama
gulumu, sekalanglah saatnya dia halus tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku
akan minum
Tuak Setan ini, dan
aku akan jadi olang telkuat di antala tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"
"Kuingatkan
sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan pusaka itu atau aku bertindak sekarang
juga?!"
"Hih, anak
ingus mau coba tantang aku? Hih,
kuhanculkan batok
kepalamu dengan pusaka Tengkolak
Lial ini...!"
Melihat Mawar Hitam
mencabut senjatanya yang
bernama Tengkorak
Liar itu, Peri Malam menjadi sangat cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang
menggunakan
senjata Tengkorak
Liar itu. Jika senjata itu digunakan, atau dicabut dari pinggangnya, itu
pertanda akan ada korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam segera
mendekati Suto dan berbisik,
"Mundurlah,
Suto...! Kalau dia cabut senjata itu, sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku
yang
menjinakkan
kemarahannya, Suto!"
"Aku tak
peduli, Peri Malam!"
"Hei,
Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia pengeltian, jangan
coba-coba menantang kemarahanku, supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu!
Kalau dia mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan
saja kalian siap!"
"Tidak, Guru!
Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.
Berikan pusaka itu,
Guru!" sentak Peri Malam dengan beraninya.
"Mulid sesat!
Kau pun belani menentangku, hah?!
Kau pellu tahu,
bagaimana aku hanculkan si tampan
yang bodoh itu!
Hiaaah...!"
Mawar Hitam
sentakkan tangan kanannya yang sudah
memegang senjata
Tengkorak Liarnya itu. Kilatan
cahaya perak
meluncur cepat dari kedua mata tengkorak kambing. Suto segera silangkan bumbung
tuaknya
dengan badan
sedikit merendah. Tapi, Peri Malam
berteriak cemas.
"Suto, jangan
tahan serangan itu! Hindari!"
Karena Suto tak ada
tanda-tanda akan bergerak
menghindar, maka
Peri Malam pun melesat maju
menghadang sinar
perak itu. Ia berdiri di depan Suto sambil berteriak,
"Jangan,
Guru...!"
Suto menyapu kaki
Peri Malam dengan cepat. Tubuh
Peri Malam rubuh
seketika. Sinar perak melesat
melewati atas tubuh
Peri Malam, dan segera diterima oleh bumbung tuaknya Suto.
Craasss...! Cahaya
memercik ketika sinar perak itu
mengenai bumbung
tuak. Cahaya tersebut membalik ke
arah Mawar Hitam.
Serta-merta nenek keriput itu
kibaskan senjatanya
dari samping kiri ke samping kanan.
Wuuugh...!
Kibasan angin itu
membentur sinar perak dan
terjadilah ledakan
kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!
Suto melompat dan
bersalto di udara. Tetapi Peri
Malam terlambat
menghindari gelombang ledakan
tersebut.
"Uhhg...!"
Bruukk...! Tubuh
Peri Malam terlempar tiga langkah
ke belakang.
Mulutnya menyemburkan darah segar,
membasah di pakaian
kuningnya. Wajahnya pucat
seketika, ia masih
bisa membuka matanya, namun tak
mampu lagi bicara,
ia ingin bangkit, namun hanya
mampu duduk
bersandar pada batu sambil memegangi
bagian dada.
"Sundari...?!"
desis Suto dalam cemas.
"Awas...!"
ucapnya lirih, membuat Suto berpaling pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar
Hitam
lancarkan serangan
kembali dengan sentakkan tengkorak kambingnya.
Suto merasakan
datangnya gelombang panas yang
menyerang ke
arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke
tanah dan
berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga dalam
yang mempunyai
daya panas cukup
tinggi itu melesat menemui tempat
kosong. Tapi pada
saat itu, kaki Suto sudah berpijak di batu atasnya Mawar Hitam.
"Hiaaah...!"
sentak Suto sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.
Plakkk...!
Mawar Hitam terkena
tendangan pada pelipisnya.
Tendangan itu
bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar
Hitam terpental
melayang akibat tendangan itu. Suto segera mengejarnya dengan satu kali
sentakan kaki,
tubuhnya melayang
ke arah Mawar Hitam.
Jlig...! Kakinya
berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan kakinya menendang
pangkal
paha Suto. Namun
tangan Suto lebih cepat gerakkan
bumbung bambu tuak.
Plokk...! Kaki itu dihantam
memakai bumbung
yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Pukulan itu bukan
saja membuat kaki Mawar Hitam
terpelanting ke
samping, namun juga merasa tulang
keringnya remuk,
hingga ia sempat memekik tertahan.
"Uuhhg...!"
Suto segera
sodokkan bumbung bambu ke wajah
Mawar Hitam. Tapi
dengan cepat Mawar Hitam
berguling ke
samping. Wuusss...! Proook...!
Batu sebesar kerbau
duduk itu hancur tanpa
memercikkan debu
sedikit pun akibat terkena sodokan bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut
dan
menjadi
serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.
Pada saat itu Mawar
Hitam segera bangkit dan duduk, lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak
kalah lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung jempol kakinya, ia
melenting di udara dan bersalto
mundur satu kali.
Sementara angin yang ditimbulkan
dari kibasan
senjata tengkorak kambing itu begitu
besarnya, hingga
batu besar setinggi tubuh Suto itu terlempar dan menggelinding jatuh melintasi
lereng
bukit.
"Jahanam busuk
kau, Suto!" geram gurunya Peri Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri
walau satu kakinya telah remuk.
Kejap berikutnya,
Suto kerahkan tenaganya dengan
kembangkan jemari
tangan yang terangkat sebatas dada.
Rupanya ia
melakukan kekuatan menghisap dari jarak
jauh hingga jemari
tangan kirinya yang tidak memegangi bumbung tuak itu tampak bergetar.
Mawar Hitam tak
jadi kirimkan pukulan jarak
jauhnya, karena ia
harus mempertahankan guci kecil di tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi
guci yang nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga Suto, sampai kulit
tubuh nenek itu terkelupas sedikit demi sedikit, khususnya di bagian
pergelangan tangan kiri.
Mawar Hitam tetap
bertahan menggenggam Guci
Tuak Setan dengan
mati-matian. Kekuatannya terpusat pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya
tampak berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya hisap tenaga Suto
yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', warisan ilmunya si Gila Tuak.
Rupanya kekuatan ilmu
'Serap Sukma' sudah tak bisa
dilawan lagi. Guci
itu pun melesat terbang, lepas dari genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk
itu
sentakkan tangan
kanannya yang masih memegang
tengkorak kambing,
dan tangan kiri pun menyentak ke arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di
udara itu pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada saat ia
berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk
melompat meraih
guci itu.
"Aaahhg...!"
Suto jatuh
berlutut, sedikit melengkung ke belakang karena terkena pukulan punggungnya.
Kepala Suto
terdongak ke atas
dengan mulut ternganga melontarkan suara pekik tertahan. Pada saat itulah guci
di atasnya
pecah, cairan hijau
kehitam-hitaman yang kental itu tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut
Suto.
Glek...! Cairan itu
tertelan oleh Suto. Mawar Hitam berteriak keras karena kecewanya.
"Jahanaaam...!
Hiaaah...!"
Mawar Hitam
bergerak maju dengan satu lompatan
dan memukul kepala
Suto dengan senjatanya. Tapi dari arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah
berkilat cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.
Cahaya itu datang
dari tangan Peri Malam.
"Aaahg...!"
tubuh Mawar Hitam pun jatuh
terpelanting dan menyemburkan
darah kental dari
mulutnya. Tetapi ia
tampak masih tangguh untuk
memberi pukulan
balasan. Tangan kirinya yang berdarah karena kulitnya hampir copot itu
disentakkan ke arah Peri Malam.
Wuugh...! Sebuah
pukulan menghantam ke arah dada
Peri Malam. Dalam
keadaan lemas, Peri Malam sempat
jatuhkan diri dari
sandarannya. Akibatnya, pukulan itu mengenai batu, dan batu itu hancur lebur
dalam sentakan keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.
Peri Malam sudah
tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi
Mawar Hitam masih
bisa sentakkan kakinya dan melesat pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia
lakukan hal itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,
termasuk akibat
serangan dari muridnya sendiri itu. Dan juga, ia melihat Suto terkapar tak
bergerak dengan tubuh mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan
bukit.
Tubuh Suto sendiri
terus berasap, makin lama makin
jelas kepulan asap
putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam keadaan terbaring di samping bumbungnya,
tubuh itu
bergerak-gerak
bagai ayam disembelih. Kakinya
berkelojotan,
disusul dengan kedua tangan yang
tersentak-sentak.
Suto maupun Peri
Malam tak tahu bahwa kejap
berikutnya, seorang
perempuan cantik berdiri tertegun memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang
saat ia menyebut
nama, "Suto...?!"
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Ikuti kisah
selanjutnya
Serial Pendekar
Mabuk Suto Sinting dalam episode:
Emoticon