Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 02. Pusaka Tuak Setan
E-book : paulustjing
1
SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi
pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu
arah tertentu. Kuda itu ditunggangi oleh seorang perempuan muda bersenjatakan
cambuk di
pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam
keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya
nyaris terjungkal dari punggung kuda. Mata perempuan muda itu terpejam bagai
tak mampu lagi untuk
memandang ke arah depan. Bahkan ketika
kudanya melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu jatuh tertelungkup di
belakang leher kuda.
Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata
memar membiru. Dari telapak kaki sampai
bagian kepala seperti habis kejatuhan pohon besar. Bahkan pada bagian wajahnya
sedikit tampak membengkak.
Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan
rontokan helai rambutnya berjatuhan di
sekitar pundak dan punggung.
la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi
sang kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur perjalanan tersebut, sehingga
tanpa kendali pun sudah mengerti arah yang dituju. Seolah-olah sang kuda
mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan luka dalam yang cukup berat dan perlu
segera dibawa pulang ke perguruan.
Itulah sebabnya begitu mendekati pintu
gerbang perguruan yang bagian atasnya bertuliskan :
"Perguruan Merpati Wingit", kuda
itu memperlambat sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang yang
kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga pintu gerbang terperanjat dengan
mata membelalak.
Salah seorang berseru,
"Murbawati...?! Oh, kenapa dia?!"
"Kelihatannya terluka cukup berat!"
"Lekas antarkan dia menghadap Nyai
Guru!"
Murbawati masih belum bisa bicara. Namun
kedua penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui bahwa Murbawati masih
bernapas. Kudanya segera dituntun oleh salah satu dari kedua penjaga tersebut
menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di sana, murid-murid Perguruan
Merpati Wingit sedang berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka.
Seorang perempuan berwajah cantik, namun
sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang
duduk di sebuah bangku berupa kotak sederhana.
Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk
jubah dengan warna kuning gading. Kain itu tipis, sehingga pakaian dalamnya
yang berwarna biru tua itu terlihat membayang di balik jubah kuningnya.
Rambutnya yang panjang sebatas pinggang
dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di
dada kiri sebagian lagi di dada kanan, la mengenakan ikat kepala bukan dari
kain, melainkan dari tali sutera yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning
emas.
Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa
ikatannya jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap bagian ujung tali
sutera itu mempunyai semacam logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih
berkilauan.
Orang yang mengantarkan Murbawati berseru
beberapa jarak sebelum sampai di tempat
berkumpul itu.
"Nyai Guru...! Murbawati terluka!"
Perempuan berselubung kain jubah kuning
gading itu segera bangkit, karena memang dia itulah yang disebut Nyai Guru
Betari Ayu. Melihat Murbawati terkulai bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai
Guru Betari Ayu segera bangkit dengan mata
terperanjat. Para murid yang sedang duduk
bersila dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera mengerumuni kuda
tunggangan Murbawati.
"Jangan dipakai buat tontonan!"
seru Betari Ayu.
"Angkat dia dan bawa masuk dengan
segera!"
Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk
penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak
berdaya itu dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu yang dilapisi kain
tebal.
"Tinggalkan kami!" kata Betari Ayu
kepada para penggotong tubuh Murbawati itu. Mereka pun patuh, segera pergi
meninggalkan ruang penyembuhan. Kini yang ada di situ hanya Murbawati dan
Betari Ayu.
Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan
sorot pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi menggeletuk, mata pun
menjadi menyipit.
Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh
di dalam dadanya yang terasa hampir meledak
melihat orang utusannya terkapar dalam
keadaan sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam,
mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal
namun tampak indah itu.
"Keparat! Ini pasti perbuatan Bidadari
Jalang!"
Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu
memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu
Dewi
Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang
mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda itu segera masuk ke ruang
penyembuhan. Wajah
mereka juga memancarkan ketegangan dan
kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat
keadaan saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat hati Dewi Murka tak
sabar menanti tugas
pembalasan.
"Kalian tentunya tahu, apa yang membuat
tubuh Murbawati membiru seperti itu!" kata Betari Ayu tanpa memandang
kedua muridnya.
Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan
beracun yang dinamakan pukulan 'Guntur Perkasa', milik Bidadari Jalang itu,
Nyai Guru."
"Benar! Dan rupanya dia sudah campur
tangan dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu dengan nada geram.
"Nyai Guru," sela Selendang Kubur
yang mengenakan pakaian merah dadu bak buah jambu
yang ranum dengan pinggang dililit selendang
putih.
la berucap kata dengan sikap hormat kepada
sang guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih kepadanya.
"Lanjutkan kata-katamu, Selendang
Kubur!"
"Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati
bukan terkena pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang."
Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau
tentang pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui ciri pukulan itu!"
"Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur
Perkasa'
milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah
melihat ia menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut.
Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati
bukan pukulan 'Guntur Perkasa'."
"Alasanmu?!" sergah Betari Ayu.
"Kalau saja Murbawati telah menderita
pukulan
'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti
saat ini tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain
membuat tubuh lawan menjadi memar membiru,
juga membuat tubuh lawan menjadi cepat membusuk.
Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk
sampai sekarang, Guru?"
"Kurasa sebentar lagi!" sahut Dewi
Murka. Sikap dan wajahnya menampakkan seakan ia sangat tahu dalam hal ini.
Betari Ayu melangkah ke bagian kepala
Murbawati, memandangnya beberapa saat, kemudian berkata
kepada kedua muridnya.
"Kurasa benar apa katamu, Selendang
Kubur!"
"Benar bagaimana, Guru?!" sergah
Dewi Murka.
"Jika memang Murbawati terkena pukulan
'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya menguarkan bau
busuk. Pada bagian sudut matanya mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat
menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata
Murbawati tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan pukulan 'Guntur
Perkasa' dari Bidadari Jalang."
Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi,
karena semua keputusan gurunya tak berani
disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian
hitam dengan trisula di pinggang, hanya diam dan
memandangi tubuh Murbawati.
Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka
bertanya,
"Jadi, apa yang harus kami lakukan
sekarang ini, Guru?"
"Lupakan dulu tentang siapa penyerang
Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku
menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki
Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku
melalui bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang Kubur, di telapak
kiri. Jangan berhenti sebelum kulepaskan tanganku dari dada Murbawati."
"Baik, Guru," jawab Selendang Kubur
dengan sikap patuh.
"Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas
semuanya, Guru?"
"Hmmm..., sebagian saja, sebagian
atasnya saja...!"
Di luar ruang penyembuhan itu, para murid
Perguruan Merpati Wingit saling
berkasak-kusuk membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling
menduga-duga, tapi tak satu pun mempunyai
kepastian tentang siapa penyerang Murbawati
sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam,
merasa marah melihat saudara seperguruan
mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi
tak satu pun dari mereka yang berani ambil tindakan sendiri, sebelum ada
keputusan dan perintah dari sang Guru yang mereka segani itu.
Murbawati dikenal di lingkungan perguruan
sebagai murid yang cekatan dan pandai
menyusup.
Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu
bangga jika mendapat perintah dari gurunya. Seolah-olah sebuah perintah
merupakan suatu penghormatan
besar baginya.
Dua hari yang lalu, Murbawati diutus menemui
Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar
Ratu Lembah Asmara, guna menyampaikan undangan dari Nyai Guru Betari Ayu.
Pertemuan itu akan diadakan tepat di malam purnama. Betari Ayu meminta
kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk
membicarakan masalah tanah di Bukit Garinda
yang
dulu dipinjamkan kepada Ratu Lembah Asmara.
Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena
hubungan baik, maka Betari Ayu meminjamkan tanah tersebut kepada Ratu Lembah
Asmara sebagai tempat
bercokolnya perempuan-perempuan penabur
cinta.
Tetapi belakangan hari, Betari Ayu
membutuhkan tanah itu untuk memperluas wilayah perguruannya yang berkembang
kian pesat itu.
Tetapi, agaknya Betari Ayu kecewa dengan
sikap Ratu Lembah Asmara. Kehadiran Murbawati sebagai utusan Perguruan Merpati
Wingit disambut dengan permusuhan. Sang utusan dilukai sedemikian
parahnya, sehingga untuk mengobatinya, Betari
Ayu terpaksa mengerahkan banyak tenaga hingga
beberapa waktu lamanya.
Murbawati tersentak dan segera memuntahkan
cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya.
Ini pertanda racun pukulan itu terdesak keluar, dan jiwa Murbawati tertolong.
Namun perempuan muda itu belum bisa bicara apa-apa. Tubuhnya masih lemas,
hingga Betari Ayu membiarkan Murbawati beristirahat beberapa waktu lamanya.
Menjelang malam tiba, Betari Ayu duduk di
serambi depan kamarnya. la termenung
mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya.
Jelas, melukai muridnya sama saja menantang
pertempuran dengannya. Tetapi, apakah benar
Ratu Lembah Asmara yang menyerang Murbawati? Seingat Betari Ayu, Ratu Lembah
Asmara tidak memiliki pukulan yang mirip sekali dengan pukulan 'Guntur Perkasa'
milik Bidadari Jalang.
"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan
pukulan, selalu saja pukulan yang mematikan yang
dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung
seperti
ini!" pikir Betari Ayu. "Andaikata
benar bahwa Murbawati menderita pukulan dari Ratu Lembah
Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu?
Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku?
Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku?
Apa alasannya ia bertindak begitu? Bukankah
aku pernah menolong nyawanya dari ancaman maut
Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit
Menoreh?"
Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam
hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi
oleh seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus menuntut sikap yang
menantang itu. Satu-satunya wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah
Bidadari Jalang. Karena antara dia dengan Bidadari Jalang pernah terjadi
bentrokan ketika
memperebutkan seorang lelaki yang bernama
Datuk Marah Gadai.
Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada
seraut wajah pria tampan berkesan jantan: Datuk Marah Gadai. Ada hati yang
bersemi di dalam dada Betari Ayu. Ada cinta yang tumbuh di dalam hati Betari
Ayu.
Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh
godaan Bidadari Jalang. Mata jeli Betari Ayu masih terbayang saat ia memergoki
Datuk Marah Gadai bercinta
dengan Bidadari Jalang.
Terbakar hati Betari Ayu pada saat itu.
Diterjangnya Bidadari Jalang dengan amukan
rasa cemburu yang mendidihkan darahnya. Tetapi,
Bidadari Jalang cukup tangguh, tak mudah
dirobohkan. Justru Betari Ayu sendiri yang
terluka dalam oleh satu pukulan dahsyat dari Bidadari Jalang.
Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di
dalam raga Betari Ayu.
Yang lebih menyakitkan lagi, Datuk Marah
Gadai
tidak peduli keadaan Betari Ayu kala itu.
Datuk Marah Gadai justru pergi bersama Bidadari Jalang,
melanjutkan cengkeramanya di tempat lain.
Sementara bekas luka pukulan tenaga dalam
Bidadari Jalang sampai sekarang masih
sesekali menyumbat pernapasan Betari Ayu. Apabila bekas pukulan itu bekerja
kembali, pernapasan Betari Ayu jadi tersumbat, membuat Betari Ayu mengalami
kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa
bagai mau mati. Sampai sekarang Betari Ayu belum bila
melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang
bermukim di bagian jantung dan paru-parunya.
Betari Ayu bagaikan luka di kedua sisi hati,
terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk
Marah Gadai. Kedua orang itu menjadi musuh utama Betari Ayu, yang tidak tahu
kapan akan dibalaskan
dendamnya. Karena selama bekas pukulan
'Regangpati' itu belum bisa dilenyapkan,
Betari Ayu belum berani menghadapi mereka berdua. Jika bekas pukulan itu kambuh
pada saat pertarungan, maka jelas nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh
salah satu dari mereka.
Selendang Kubur dan Dewi Murka itulah yang
selalu menolong Betari Ayu jika sedang
kambuh.
Tanpa melalui hawa murni mereka, maka
penyumbatan pada pernapasan dan pembekuan
darah yang terjadi akibat pukulan
'Regangpati', akan menewaskan nyawa sang Guru yang banyak
menurunkan ilmu putihnya kepada para
muridnya.
Malam itu, Selendang Kubur melihat sang Guru
sedang termenung. la mencoba mendekati dengan
hati-hati. Agaknya sang Guru tidak keberatan untuk didekati, sehingga sang Guru
menegur lebih dulu.
"Ada yang ingin kau sampaikan padaku,
Selendang
Kubur?"
Langkah Selendang Kubur terhenti sejenak. la
biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang
segera berkata,
"Bicaralah. Tak ada yang perlu kau
ragukan!"
"Saya hanya ingin membicarakan tentang
Murbawati, Guru."
"Apa pendapatmu tentang dia?"
"Murbawati telah siuman. Agaknya ia
ingin bicara dengan Guru."
Sedikit tersentak kepala Betari Ayu. Ada
kelegaan di hatinya. Tanpa bicara sepatah kata lagi, ia segera bergegas menuju
ruang penyembuhan. Selendang
Kubur mengikuti langkah gurunya dari
belakang. Di sebuah tikungan lorong, Dewi Murka melihat
kelebatan sang Guru dan Selendang Kubur.
Hatinya segera membatin.
"Hmmm... apa yang akan dilakukan Nyai
Guru dengan Selendang Kubur. Pasti Selendang Kubur sedang cari muka agar
mendapat pujian di hati Nyai Guru. Baiklah. Aku harus segera menyusul mereka supaya
Selendang Kubur tidak punya kesempatan untuk mengambil hati Nyai Guru."
Maka, bergegaslah Dewi Murka menyusul langkah gurunya dan
Selendang Kubur.
Diam-diam Selendang Kubur mendengar langkah
kaki di belakangnya yang berjarak antara lima
belas langkah. Selendang Kubur memejamkan mata
sejenak. Suara langkah itu semakin jelas, dan
ia segera mengenali langkah dan napas yang ada di belakangnya adalah milik Dewi
Murka. Selendang Kubur hanya tersenyum sinis di dalam hatinya.
Belakangan ini, keduanya memang saling
bersaing. Persaingan itu terjadi sejak Betari
Ayu
berkata, bahwa ia mau mengundurkan diri dari
dunia persilatan. Dia juga akan menyerahkan kekuasaan di perguruan tersebut
kepada seseorang. Tapi sampai saat itu dia belum punya pilihan, siapa yang akan
menggantikan kedudukannya sebagai Ketua
Perguruan Merpati Wingit Itu. Jelas orang
pilihannya ada dua, yaitu Dewi Murka atau Selendang Kubur, karena hanya mereka
berdualah yang mempunyai
ilmu paling tinggi dari murid-murid lainnya.
Bahkan Murbawati masih berada dua tingkat di bawah
mereka.
Orang yang jelas-jelas berkeinginan keras
untuk menjadi pengganti Nyai Guru Betari Ayu adalah Dewi Murka. Dengan menjadi
pewaris kedudukan Nyai
Guru, maka dialah orang yang berhak memegang
Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi
kunci utama dari semua ilmu yang dimiliki Nyai Guru. Kitab Wedar Kesuma itulah
yang menjadi incaran utama bagi Dewi Murka.
Sementara itu, Selendang Kubur juga
mengetahui tentang kitab tersebut. la juga merasa menjadi calon pengganti
gurunya. la juga mengincar kedudukan dan Kitab Wedar Kesuma, tapi ia tak mau
kelihatan menyolok. la tetap bersikap tenang, walau mata hatinya penuh waspada
terhadap gerak-gerik Dewi Murka.
Pada waktu Betari Ayu memasuki ruang
penyembuhan, Selendang Kubur pun segera masuk
dan menutup pintunya, bahkan menguncinya dari dalam. Maksudnya supaya Dewi
Murka tidak ikut menyusul masuk dan tak dapat membuka pintu
ruangan seenaknya saja.
Tetapi, rupanya Dewi Murka mengetahui niat
licik Selendang Kubur. Maka, dengan merabakan jemari
tangannya pada pintu tersebut, kunci pintu
pun bergerak sendiri. Klik...! Dan pintu dapat dibuka. Dewi Murka pun segera
masuk. Matanya beradu pandang dengan Selendang Kubur. Senyum sinis dipamerkan
di hadapan Selendang Kubur. Perempuan berpakaian merah dadu dengan selendang
putih di pinggangnya itu hanya diam saja, dan segera mengalihkan
pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar
birunya sudah banyak berkurang.
"Murbawati," sapa Nyai Guru Betari
Ayu dengan sikap tegasnya. "Ceritakan, siapa orang yang menyerangmu
sedemikian rupa?"
Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan,
"Apakah Bidadari Jalang orangnya,
Murbawati?"
"Bukan," jawab Murbawati masih
dengan suara lemah.
"Apakah Ratu Lembah Asmara? tanya Betari
Ayu.
"Juga bukan, Nyai Guru."
"Lantas siapa?"
"Pujangga Kramat," jawab Murbawati.
Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki
kecantikan tersendiri itu kini saling beradu
pandang.
Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama
tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka
merasa asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya tidak merasa asing.
Hanya sedikit heran, mengapa Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga
Kramat.
"Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan
saya yang telah membuat saya terluka seperti ini,"
tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan
sikap menyesal. Nyai Guru Betari Ayu hanya diam saja, mata tetap memandang
Murbawati, mulut terkatup rapat, kedua tangan berlipat di dada. Murbawati
melanjutkan kata-katanya.
"Saya terpancing oleh kemunculan seorang
pemuda tampan yang berkelebat melintasi perjalanan saya, pada saat saya menuju
ke Bukit Garinda. Saya ikuti pemuda tampan yang menawan hati itu.
Ternyata dia adalah murid dari saudara perguruan
Bidadari Jalang. Pemuda itu adalah murid si Gila Tuak...."
Tersentak wajah Betari Ayu mendengar nama
tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati.
Pandangan matanya menjadi lebih tajam lagi. Tapi mulutnya masih tetap terkatup
rapat, seakan tak mau memberi ucapan apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan
Selendang Kubur juga ikut terkesiap mendengar
nama si Gila Tuak. Mereka juga tidak asing lagi dengan nama tokoh tua yang
sangat disegani oleh orang-orang di rimba persilatan.
Hanya saja, mereka merasa sangat heran
mendengar si Gila Tuak mempunyai seorang
murid.
Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita
adanya si Gila Tuak mempunyai murid jelas akan
menghebohkan dunia persilatan, karena selama
ini si Gila Tuak tidak pernah mau mempunyai murid siapa pun juga.
Murbawati melihat wajah gurunya dan kedua
temannya itu mengalami sedikit ketegangan.
Namun ia tetap melanjutkan kata-katanya,
"Saya sangat tertarik dengan murid si
Gila Tuak itu, sehingga saya berusaha mencuri percakapan antara si Gila Tuak
dengan muridnya itu dari balik gugusan batu cadas. Saya mendengar adanya
rahasia penting yang dibicarakan oleh mereka berdua...."
"Tentang apa?" tukas Betari Ayu.
"Sebuah pusaka yang bernama Tuak
Setan."
"Hah...?!" kembali lagi Betari Ayu
terperanjat kaget dengan mata makin melebar. Sebentar matanya
singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang
Kubur, sebentar kemudian sudah kembali menatap tajam kepada Murbawati yang
masih terbaring lemah.
"Apa yang kau ketahui tentang pusaka
Tuak Setan itu?"
"Gila Tuak memerintahkan muridnya itu
untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang sangat
berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain.
Gila Tuak tidak ingin pusaka itu masih berada di bumi kita, karena sangat
membahayakan jika digunakan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Dan... pada
saat saya mencuri percakapan mereka itu, tiba-tiba muncul di hadapan saya
Pujangga Kramat, pelayan setianya si Gila Tuak. la menyerang saya dengan dua
jurus, dan saya terluka parah begini!"
Tanpa sadar tangan Betari Ayu meremas gelang
logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer
karena asap yang mengepul dari telapak tangannya. Buru-buru ia menyadari hal
itu dan membuang gelang dari bahan baja mengkilap dari tangannya.
"Pujangga Kramat bukan tandinganmu,
Murbawati!" geram Betari Ayu. "Dewi
Murka adalah lawan yang imbang untuk berhadapan dengan
Pujangga Kramat. Orang itu selain tidak bisa
bicara dengan benar, juga tidak bisa bersikap bijaksana dan lebih sering main
hukum sendiri. Memang dia pelayan setia si Gila Tuak, tapi aku yakin Gila Tuak
tidak menyuruh dia untuk bertindak seenaknya sendiri begitu."
"Saya dianggap pencuri, Guru," kata
Murbawati sambil bernada sedih, seakan sakit hati sekali dengan tuduhan
tersebut.
Dewi Murka yang tadi disebut-sebut namanya
sebagai orang yang layak menandingi Pujangga
Kramat, segera berkata dengan hati masih
merasa bangga.
"Haruskah saya berangkat sekarang,
Guru?!"
"Tahan sebentar!" kata Betari Ayu,
yang segera memandang ke arah Murbawati. "Apalagi yang kamu ketahui
tentang Pusaka Tuak Setan itu?!"
"Tidak banyak, Guru. Yang saya tahu Tuak
Setan akan dimusnahkan oleh murid si Gila Tuak itu."
Betari Ayu menarik napas. Sepertinya ada
sesuatu yang sedang dipikirkan. Lalu, ia menggumam sendiri,
"Tuak Setan...!" Sejurus kemudian
ia menatap Selendang Kubur dan Dewi Murka secara bergantian, lalu berkata,
"Tuak Setan adalah pusaka maut yang
tidak pernah digunakan oleh si Gila Tuak. Pusaka itu disembunyikan oleh si Gila
Tuak, entah di mana tempatnya. Pusaka itu menjadi incaran setiap orang, baik
dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak sendiri tidak berani menghancurkan
pusaka itu karena pusaka tersebut mempunyai pertalian nyawa dengan dirinya.
Tetapi jika orang lain yang
menghancurkannya, pertalian nyawa itu menjadi
hilang dan Gila Tuak tidak mengalami bahaya apa pun."
Selendang Kubur mengajukan pertanyaan,
"Apa kehebatan Pusaka Tuak Setan itu, Nyai Guru?"
"Tuak Setan berbentuk guci yang berisi
tuak ribuan tahun usianya. Apabila tuak tersebut diminum oleh seseorang, maka
napas orang tersebut bisa berubah menjadi badai yang amat dahsyat jika
dihentakkan dengan sedikit dorongan tenaga dalam. Badai itu dapat menyapu habis
pohon-pohon besar di hutan,
atau menggelindingkan batu sebesar rumah
sekalipun. Karena itu, jika Tuak Setan
diminum oleh orang yang punya sifat angkara murka; maka bumi ini akan hancur
sebelum waktunya. Air laut bisa meluap dan menenggelamkan gunung setinggi apa
pun. Tuak Setan memang berbahaya, seperti bahayanya jika si Gila Tuak
mengamuk."
"Mengapa si Gila Tuak tidak meminumnya
sendiri?" tanya Dewi Murka.
"Karena dia takut menghadirkan bencana
besar.
Dia merasa masih bisa terpancing oleh
kemarahan.
Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi
jika digunakan oleh seseorang yang sedang memendam kemarahan. Sebagai tokoh
golongan putih, si Gila Tuak tidak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan.
Mungkin berdasarkan itulah, maka ia
memutuskan untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan. Tapi..., mengapa muridnya
yang disuruh menghancurkan?
Mengapa bukan Bidadari Jalang?"
Murbawati menyahut, "Menurut yang saya
dengar, si Gila Tuak mengatakan tidak akan ada orang yang bisa menghancurkan
guci Pusaka Tuak Setan itu kecuali sang murid itu sendiri."
"Berarti murid si Gila Tuak bukan orang
sembarangan?" gumam Betari Ayu sambil
termenung.
Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati,
"Siapa murid si Gila Tuak itu?"
"Kudengar, kakek tua itu menyebutnya
Suto Sinting!"
"Suto Sinting...?!" gumam mereka
berbarengan.
*
* *
2
DERU suara air terjun memekakkan telinga.
Curahan airnya yang bening menghantam
bebatuan, pecah dan berubah menjadi gumpalan air yang
mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu.
Sungai yang penuh dengan batu-batu gurung berwarna hitam kelam, menjadi tempat
melejitnya tubuh kekar berikat kepala kulit ular hijau pupus.
Kaki pemuda itu melompat dari satu batu ke
batu lainnya hanya menggunakan ujung jempol kakinya saja pada waktu menapak di
salah satu batu. Bekas tapakan ujung jempol kaki itu menimbulkan asap tipis,
yang lama kelamaan membuat batu itu menjadi hancur sebagian kecil. Sepertinya
batu itu mengalami kerapuhan dimakan usia beratus-ratus tahun.
Kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui
ujung jempol kakinya itulah yang membuat batu menjadi rapuh dan hancur dalam
bentuk serpihan lembut.
Lima buah pisau kecil melesat dari suatu
tempat.
Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang
cepat bagaikan kilat, menuju ke arah pemuda yang sedang bersalto dari batu ke
batu. Putaran saltonya tampak lebih cepat lagi hingga tak terlihat gerakan
jungkir baliknya, sampai akhirnya pemuda itu berdiri tegak di atas sebuah batu
runcing dengan menggunakan satu kaki.
la segera memeriksa tabung bambu berisi tuak
yang digendongnya di bagian punggung.
Ternyata kelima pisau terbang tadi berhasil ditangkisnya dengan tabung bambu.
Kelima pisau itu menancap berjajar dari atas ke bawah di tabung tuak yang
disebutnya bumbung itu.
Pemuda, berkemeja komprang warna hijau muda
dengan celananya yang juga berwarna hijau
muda itu,
tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang
menancap di bumbungnya. la melirik ke arah
daratan, di bawah sebuah pohon, seorang kakek berjubah kuning sedang tersenyum
pula kepadanya. Kakek itulah yang tadi melemparkan lima pisau
berkecepatan bagai kilat itu.
Pemuda yang mengenakan ikat pinggang dari
kain warna merah tua tak lain adalah Suto, si bocah tanpa pusar yang diangkat
murid oleh si Gila Tuak, (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah
Tanpa Pusar"). Kakek berjubah kuning yang berdiri di bawah pohon besar
itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada murid
tunggalnya tersebut. la merasa puas melihat kecepatan gerak Suto dengan
ketajaman mata dan otak yang cukup tinggi, sehingga mampu melihat dan menangkis
gerakan lima pisau tadi.
"Suto, kemari!" perintah si Gila
Tuak sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah satu kali.
"Baik, Kek...!" jawab Suto dengan
tegas.
la hendak melompat dari batu itu, tetapi
tiba-tiba ia merasa seluruh urat tubuhnya menjadi kaku, kecuali di bagian
kepala. la ingin menurunkan satu kakinya yang terangkat, namun tak bisa. Bahkan
untuk menggerakkan tangannya, juga tak mampu.
Semuanya menjadi kaku dan beku.
"Uh... uh... eh....'" Suto berusaha
sekuat tenaga menggerakkan anggota tubuhnya, tapi usahanya itu sia-sia.
Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari
tempatnya. Suto segera memandang ke arah
gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa dirinya
sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang
Guru.
"Sial! Dia menotokku dari sana lewat
hentakan
tongkatnya tadi," kata Suto dalam hati
dengan sedikit dongkol. "Baik. Akan kutunjukkan kemampuanku melepaskan
totokan dari jarak jauh itu." Suto memejamkan mata sebentar, menarik napas
dalam-dalam, dan seketika itu ia memekik panjang,
"Hiaaat...!"
Maka tubuh Suto pun berhasil melenting tinggi
dan jungkir balik di angkasa. Batu yang tadi dipijaknya menjadi hancur seketika
oleh sentakan kaki Suto tadi.
Prakkk...! Batu itu menjadi
bongkahan-bongkahan yang segera berjatuhan masuk ke aliran arus sungai berair
bening.
Tubuh Suto yang telah bebas dari pengaruh
totokan gurunya segera melesat ke daratan,
kedua kakinya menapak di tanah tepian sungai. Jligg...!
Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak
yang terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak tuak yang tersimpan dari dalam
tongkatnya.
"Hiaaah...!" Suto mengambil bumbung
tuak dari punggungnya. Lalu, bumbung itu dihentakkan ke tanah. Jluug...! Tepat
pada saat itu tubuh si Gila Tuak tersentak naik ke atas di luar dugaan sang
guru.
Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas
dengan kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang
disalurkan lewat bumbung dan melalui jalan
tembus tanah.
Karena cepat dan kuatnya sentakan tenaga
dalam Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak melayang cepat membentur dahan pohon
kepalanya. Plokkk...!
"Aaauh...!" Gila Tuak menyeringai
kesakitan. la segera berkelebat jungkir balik di angkasa dalam keadaan mulutnya
tersumpal bagian atas tongkat yang tadi hendak ditenggak isinya.
Kaki si Gila Tuak mendatar di tanah dengan
sigap dan tegap. Ia segera menarik tongkatnya yang
menyumpal mulut, sementara Suto tertawa
terkakak-kakak melihat wajah gurunya merengut akibat
dipermainkan oleh sang murid.
"Hati-hati kau, Suto!" sentak si
Gila Tuak sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit terkena
benturan dahan tadi.
Suto sendiri segera membuka tutup bumbungnya,
dan menenggak tuak yang tersimpan di dalam
bumbung itu. Glek... glek... glek...! Pada
waktu wajah Suto terdongak menenggak tuak itulah si Gila Tuak segera
meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Suto. Wusss...!
Dengan sigap tangan kiri Suto yang tidak
memegang bumbung segera disentakkan ke depan.
Wuuggg...! Gelombang tenaga dalam dilancarkan
pula oleh Suto. Gelombang itu berbenturan dengan hawa pukulan jarak jauh dari
si Gila Tuak, dan akibatnya menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh
dari pohon.
Beeegh...!
Suto tersentak mundur satu langkah. Tetapi si
Gila Tuak tersentak mundur tiga langkah. Rupanya Suto mengirim kekuatan tenaga
dalamnya lebih besar dari pukulan jarak jauhnya si Gila Tuak, membuat tubuh
kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima sentakan. Tubuh itu membentur pohon.
Bukkk...!
"Kurang ajar kau!" geram si Gila
Tuak karena merasakan sakit pada bagian punggungnya yang
terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan
menggenggam.
Suto tertawa keras sambil menuding-nuding
gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian
punggung. Wajah sang Guru cemberut, dan
membuat Suto semakin geli. Sang Guru hanya menahan napas beberapa saat,
sementara Suto sudah memutar-mutarkan bumbungnya yang berukuran sedikit lebih
besar dari tongkat sang Guru.
Ketika bumbung itu diputar dengan cara
memegangi talinya, timbullah suara berdengung
yang membisingkan telinga. Putaran bumbung itu pun memancarkan angin kencang
bergelombang-gelombang. Rambut sang Guru tersingkap nyaris copot dari kulit
kepalanya. Jubahnya beterbangan naik dan terkait pada salah satu patahan
ranting.
"Hentikan, Suto! Itu jurus
berbahaya!" sentak si Gila Tuak.
Suto memang menghentikan gerakan bumbungnya
itu, namun ia masih tertawa terbahak-bahak
memandangi gurunya yang bersungut-sungut.
Sang Guru mau bergerak maju, namun gerakannya bagai ada yang menahan dari
belakang. Segera si Gila Tuak pasang waspada, la melirik sedikit tegang ke
belakang sambil membatin,
"Siapa orang yang berani menahan
gerakanku ini?!"
Si Gila Tuak segera pasang kuda-kuda, bersiap
menyerang sesuatu yang menahan gerakan majunya.
Namun melihat Suto tertawa terkakak-kakak
sambil menuding-nuding ke arahnya, si Gila Tuak menjadi ragu-ragu. Pelan-pelan
ia palingkan kepalanya, dan ia pun jadi menghempaskan napas kesal. Karena ia
tahu pada saat itu jubahnya tersangkut patahan ranting, sehingga menahan
gerakan majunya.
"Kucing Kurap!" makinya dengan
dongkol, segera menyentakkan jubah dan jubahnya segera lepas dari patahan
ranting.
Suto tertawa terpingkal-pingkal melihat
gurunya menahan kedongkolan. Tawanya sampai membuat
Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung
tuaknya.
"Diam, Suto! Diam....!" sentak si
Gila Tuak.
Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan
semakin bertambah kegelian mendengar bentakan
gurunya. Secepatnya si Gila Tuak melemparkan
tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu
pun meluncur cepat ke arah wajah Suto, dengan tujuan mulut Suto.
Tetapi dengan cepat Suto berguling di
rerumputan sambil mengibaskan bumbungnya. Kibasan bumbung tuak Suto begitu
cepat dan kuat, sehingga pada waktu menangkis tongkat yang meluncur cepat itu
menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam
berbenturan. Taaang...!
Bunyi itu menggema ke mana-mana, mengungguli
suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri
kekuatan tenaga dalam baik tongkat maupun bumbung Suto, tidak mungkin bisa
menimbulkan suara berdentang sedemikian hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur
datar tadi saat itu bisa melesat naik, tinggi dan lebih cepat dari luncuran semula,
sampai akhirnya tongkat itu menancap pada batang pohon di bagian atas.
Jruub...!
"Ambil tongkatku!" sentak si Gila
Tuak setelah mengetahui tempat menancapnya tongkat cukup
tinggi. "Suto, lekas ambil tongkat itu
dan kembalikan padaku!"
"Salah Guru sendiri, mengapa membuang
tongkatnya?!" bantah Suto sambil
menghabiskan tawanya. Kemudian ia berdiri dengan sedikit limbung.
Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh
tuak
yang tadi ditenggaknya untuk yang kesekian
kalinya, Si Gila Tuak bergegas menghampiri Suto dengan langkah cepat. Suto
berjalan mundur dengan limbung dan sedikit membungkuk. la mengangkat kedua
tangannya dengan lemah. Satu tangan masih
memegangi bumbung tuak. la tahu gurunya akan
marah jika perintah itu tidak dikerjakan.
Maka dengan sikap orang mabuk yang menyerah, Suto
berkata diiringi sisa tawanya.
"Iya, iya...! Baik, akan saya kembalikan
pada Kakek Guru!"
"Kupelintir batang lehermu kalau tidak
kau kembalikan tongkatku. Dasar murid sinting!"
Suto segera melompat dan bersalto di udara
satu kali. Kakinya menjejak pohon tempat menancapnya tongkat itu. Dengan satu
sentakan keras dan
bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan
menimbulkan bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok sebagian.
Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi
melesat mundur dan jatuh di bawah pohon tempat si Gila Tuak tadi berdiri
mengawasi latihan sang murid.
Pluk...! Tongkat itu jatuh tergeletak di
rerumputan.
Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun,
baru saja ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba-tiba badannya bergerak
mundur. Karena pada saat itu Suto menghentakkan jari tengahnya ke depan dengan
satu hembusan napas kencang. Wuuus...!
Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak,
kemudian segera berubah menjadi seekor ular sanca.
Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget.
Suto kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu menatap si Gila Tuak,
sejurus kemudian segera melesat menyambar kepala si Gila Tuak. Namun
dengan cepat tangan si Gila Tuak
menangkapnya.
Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu
tangan kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor, dan dengan satu
tahanan napas, ternyata ular itu sudah berubah menjadi tongkat seperti sediakala.
Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di
rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping,
dan ia bertepuk tangan sambil berkata,
"Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku
namanya.
Hebat...!"
Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto.
Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan,
ujung bawahnya menyentuh tanah.
"Rupanya kau telah menerima warisan ilmu
sihir dari bibi gurumu; Bidadari Jalang itu!"
"Tinggal sebagian ilmu yang belum saya
miliki dari Bibi Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya.
"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan
penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila
Tuak sambil mendekati Suto.
"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek.
Bibi Guru hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya, karena saya telah
melakukan penyembuhan terhadap penyakit racun birahinya."
"Apa kau percaya dengan omongan bibi
gurumu itu? Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto."
"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek.
Akan saya buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai dia membohong
aku."
Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid
gila! Bibi gurunya akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa saja
terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan kepadanya. Tinggal satu ilmu
yang belum, yaitu
'Candra Geni' yang dapat membakar lautan
walau hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah
ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu?
Aku harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila Tuak di dalam hatinya.
Memang tinggal satu ilmu yang belum
diturunkan oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi bukan berarti si
Gila Tuak merasa sayang untuk menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih
belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan
bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada
Suto, pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu
menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian
ilmu Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto, pemuda tampan yang punya
senyum memikat hati
setiap perempuan itu tentu sudah lebih
tangguh menghadapi musuh mana pun.
Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian
tersebut, ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto untuk menghilangkan
racun birahi dari dalam dirinya.
Pada waktu itu si Gila Tuak berkata,
"Boleh saja kau meminta bantuan bocah
tanpa pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan kepadanya. Aku tak
rela kalau penyembuhan yang akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti,
justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba persilatan."
"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata
Bidadari Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku sendiri sudah
menyadari, bahwa kekuatan ilmuku yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih
bisa dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin membuatku kehilangan
banyak tenaga dan ilmuku kian hilang satu persatu."
"Jangan merasa lebih tinggi dari yang
lain. Ada yang lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal
itu, Nawang Tresni!"
"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun
birahiku ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari rimba persilatan. Aku
sudah terlalu lelah untuk melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba
persilatan jika tidak ada keperluan yang penting."
"Aku mendukung rencanamu, Nawang
Tresni."
"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah
tanpa pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk pemusatan tenaga
intinya, yang kelak bisa digunakan untuk melawan racun birahiku."
"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap
dalam pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah itu semakin dewasa
semakin kelihatan
ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati
kepadanya."
Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku
tak keberatan kau mengawasinya, karena memang aku sangat membutuhkan tenaga
intinya."
Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh
Bidadari Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid, kecuali
orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa anak buah yang dibekali jurus-jurus
ringannya.
Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang
menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam
pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila
Tuak.
Kadang-kadang mereka melatih Suto secara
berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-
jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua
jurus mereka itu.
Bidadari Jalang kini telah terbebas dari
racun birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke dalam diri Bidadari
Jalang. Untuk melakukan
penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat
mata Suto menjadi buta sementara dengan racun
tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si
Gila Tuak, supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat melakukan
penyembuhan terhadap diri Bidadari
Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut
dilakukan dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua
pakaiannya di dalam sebuah kamar.
"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di
punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu penyembuhan dulu. Suto
melakukannya dengan
sedikit gemetar, karena ia merasakan
kelembutan kulit punggung Bidadari Jalang.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan,
Suto!
Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu.
Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak
tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang
menjadi menggigil pada saat hawa murni Suto
disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati
Bidadari Jalang berkata,
"Besar sekali hawa murni yang keluar
darinya? Oh, tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam gunung es. Kalau
saja ia mempunyai pusar, tidak akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga
intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!"
Bidadari Jalang tetap duduk bersila
memunggungi Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan
hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh
tanpa pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto yang kala itu sudah
berusia lima belas tahun jadi bermandikan keringat hingga mirip orang habis
kehujanan.
"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku.
Tekan tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil Bidadari Jalang
berbaring. Suto meraba bagian ulu
hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu
memekik keras.
"Hai, jangan yang itu yang kau
pegang!"
"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah
pegang!"
"Nakal kamu!"
Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto
tetap tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa yang dipegangnya tadi
adalah gundukan dada yang sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu
segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik napas panjang-panjang.
Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh
belas tahun. Suto sudah menjadi pria tampan yang
menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia
sering bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya.
Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto
muncul di rimba persilatan sebagai pendekar pembela
kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak
oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai pemuda yang sering mabuk, dan
ke mana-mana
selalu membawa tabung bambu yang disebut
bumbung. Benda itu berukuran satu depa
panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari
tongkat milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto,
bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja.
Bumbung itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di dada jika bumbung itu
sedang dibawa di
punggungnya.
"Suto," kata si Gila Tuak setelah
mereka selesai latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan kutunjukkan
di mana letak penyimpanan Pusaka
Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau
hancurkan itu!"
Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti
angin, menerobos curah air terjun, dan Suto
mengikutinya. Ternyata di balik curah air
terjun itu terdapat gua, sebagai tempat bermukimnya si Gila Tuak selama ini.
*
* *
3
PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda
yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh seorang perempuan berpakaian
serba hitam, berikat pinggang sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang panjang
disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari bambu kuning. Tangan kirinya
mengenakan gelang dari logam putih mengkilat, sebagai tanda bahwa ia adalah
orang Perguruan Merpati Wingit.
Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak
lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah Dewi Murka. Rupanya dialah
yang mendapat tugas menemui si Gila Tuak ke Jurang Lindu untuk
menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru
Betari Ayu tidak ingin masalah tersebut menjadi berbuntut panjang. Selama ini
hubungannya dengan si Gila Tuak cukup baik, sekalipun hubungannya dengan
Bidadari Jalang bermusuhan. Tetapi selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau
ikut campur urusan pribadi saudara seperguruannya itu, sehingga permusuhan
tersebut tidak membuat retak hubungan baiknya dengan
Betari Ayu.
Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi
masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak,
yaitu Pujangga Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus Dewi Murka untuk
menyelesaikan secara baik-baik.
Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk
yang dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun sebenarnya Betari Ayu
memahami maksud hati
Murbawati yang terpikat oleh sebentuk
ketampanan seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap-endap dan bersembunyi
itu dianggap salah oleh Betari Ayu.
Dengan diutusnya Dewi Murka untuk
menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak,
ini merupakan kebanggaan yang amat menggembirakan hati Dewi Murka. Karena,
menurutnya tugas ini sudah merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari Nyai
Guru kepadanya. Tidak menutup kemungkinan lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang
dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit, dan
berhak pula memiliki Kitab Wedar Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat
bersemangat memacu kudanya menuju Jurang
Lindu.
Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas
yang tak seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda
menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras
sekali sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun jatuh terpental ke depan
bersama ringkik suara kuda.
Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup
tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena
dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera menguasai keseimbangan.
Bersalto satu kali dan segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri kokoh
berpijak. Kedua tangannya segera mengambil sikap menunggu serangan berikutnya.
Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka
menunggu dengan mata memandang tajam ke
sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu
yang tampak mencurigakan yang akan membahayakan
dirinya.
"Aku merasakan ada pukulan dari jarak
jauh yang menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka dengan tetap
waspada. "Tetapi penyerang gelap itu tidak segera menyerangku lagi. Apa
maksudnya dia begitu? Siapa dia sebenarnya?"
Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera
mendekati kudanya yang masih sedikit liar
akibat pukulan gelap tadi. Dewi Murka segera berhasil memegangi tali kekang
kuda dan mengusap-usap
bagian tengah kepala kuda agar sang kuda
menjadi tenang.
"Tenang, tenang...," katanya pelan
kepada sang kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak mungkin dia membiarkan
aku lolos. Kita tunggu saja di sini sambil beristirahat sebentar, Kliwon!"
seraya ia menyebutkan kudanya.
Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-
usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi
baru saja kuda itu tampak tenang, kali ini kaki kuda menjadi tersentak ke depan
dan naik tinggi-tinggi sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan kuda
hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau saja ia tidak segera mundur dengan
melompat dua langkah. Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut adalah putusnya
tali kekang kuda. Tali itu putus hampir di dekat bagian yang digenggam tangan
kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu
menimbulkan asap yang menandakan adanya sebuah pukulan
tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari
salah satu sisi. Pukulan itu mengenai tali kuda.
Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah
ia segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la mengenali pukulan itu.
"Tapak Merpati Murka'.,.!" gumamnya
menyebut nama pukulan jarak jauh tersebut. "Pasti ada orang Merpati Wingit
di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati Murka' hanya dimiliki orang-orang
Perguruan Merpati Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang
menggunakan pukulan berbahaya itu untuk
menyerangku. Jelas, ini bukan serangan
main-main.
Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud
jahat."
Dewi Murka segera memejamkan mata dengan
kedua tangannya saling bertaut di depan dada.
Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah
menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika
itu tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju pada gugusan batu cadas yang
ada di lereng bukit.
Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam
cukup tinggi dilancarkan.
Wuuugh...! Blaarrr...!
Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah
karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari gugusan tersebut segera muncul
sesosok tubuh
bergerak lincah, melenting tinggi dan
bersalto di udara dua kali. Sosok itu dalam sekilas
menampakkan warna merah dadu, dan segera
mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari
tempat Dewi Murka berdiri.
"Oh, kau rupanya?!" Dewi Murka
sedikit terperanjat dan segera mundur satu tindak. la sangat mengenali
penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah
Selendang Kubur.
"Apa maksudmu menyerangku, Selendang
Kubur?!" ketus suara Dewi Murka dengan
sikap tetap siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya pun memandang tajam
berkesan bermusuhan.
Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis,
demikian pula senyumnya yang tipis menandakan senyum kesinisan.
"Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi
Murka. Guru telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas bertemu dengan
si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh kata-katamu yang suka memuji diri sendiri
itu."
Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya
yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu
ia pun berkata dengan ketus.
"Guru bukan orang bodoh, ia tidak
mungkin mengutus muridnya yang masih hijau untuk
berurusan dengan tokoh tua itu."
Selendang Kubur menggeram menahan
kemarahannya. la membatin.
"Usianya memang tiga tahun lebih tua
dariku, tapi tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang masih hijau.
Agaknya mulut perempuan licik ini perlu diberi pelajaran...!"
Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang
putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat gerakan seperti itu, Dewi
Murka mulai bersiap mencabut trisulanya dari pinggang, karena lepasnya
selendang putih dari pinggang merupakan tantangan maut buat dirinya, karena
memang begitulah
kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya
mempunyai niat bertarung dengan siapa pun.
"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi...,
menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku.
Aku lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika sewaktu-waktu ia bertindak
keras."
"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si
Gila Tuak tidak akan bertindak keras kepada siapa pun, selama ia tidak melihat
sikap kita berniat kurang ajar
padanya."
"Tapi aku punya rencana sendiri dalam
tugas ini!"
ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.
Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di
sudut bibirnya yang mungil namun tampak judes itu.
"Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu
penasaran, Selendang Kubur. Rencana
tersendiri yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan jelas, seperti
apa murid si Gila Tuak yang menurut pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan
memikat hati itu!"
"JahanamI" geram Selendang Kubur.
Kemudian mulutnya terkatup rapat, hatinya berkata, "Dia tahu jalan
pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat kecilku itu. Aku tak boleh
kelihatan terlalu penasaran ingin melihat murid si Gila Tuak yang kata
Murbawati mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat
mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam
hati kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang sama dengan niat hati kecilku
ini?"
Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya,
"Celaka. Kurasa dugaanku itu benar.
Buktinya Selendang Kubur tidak membantah tuduhanku.
Rupanya apa yang terpikir dalam otakku,
terpikir pula dalam otaknya. Kabar tentang adanya murid Gila Tuak itulah yang
membuatku lebih bersemangat lagi menunaikan tugas ini. Aku juga ingin
membuktikan kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang mempunyai wajah
menggetarkan hati setiap
perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika
kata-kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang Selendang Kubur ini
berdiri sebagai calon penghalang utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan
sebentuk kematian?!"
Sepertinya percakapan batin mereka saling
didengar oleh lawannya, sehingga Selendang
Kubur pun segera berkata,
"Rupanya kita punya maksud yang sama,
Dewi.
Maksud pribadi yang terlepas dari urusan
perguruan ini memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara kita
sendiri!"
"Apa maumu, Selendang Kubur?! Jangan
pikir aku akan mundur setapak pun menghadapi
kecuranganmu ini!"
"Sangat kebetulan jika kau tak mundur
setapak pun, itu akan memudahkan diriku untuk
membunuhmu dengan cepat, Dewi!"
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan
sesuatu, selendang putih di tangan Selendang
Kubur itu berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi Murka. Kibasan
selendang itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi
Murka segera melompat ke kanan menghindarinya. Serta-merta tubuh Dewi Murka
meluncur bagaikan terbang dengan ujung trisulanya mengarah ke tubuh
Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat,
sampai-sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula yang memancarkan
udara panas dalam jarak satu depa di depannya.
"Hiaaat...!" Selendang Kubur
melesat naik bagaikan terbang. Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi Murka yang
melayang menembus tempat kosong di bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang
Kubur dijejakkan ke bawah, tepat mengenai punggung Dewi Murka dengan kerasnya,
Bukkk...!
"Uuhg...!" Dewi Murka sempat
memekik tertahan dan segera berguling di tanah. Hampir saja tubuhnya
membentur batu runcing ketika dijejali
punggungnya dari atas tadi.
Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu
berdiri dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya terangkat ke atas,
sejajar dengan pundak kanannya.
Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan
dengan menahan napas beberapa saat dan
menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi
Murka memandang lebih tajam lagi ke arah
Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan
trisulanya ke depan. Wuuugh...!
Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa
panas yang diperkirakan dapat membakar
selendang putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru
mengibaskan selendangnya ke depan dengan
melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung
gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga
dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing itu bertemu di pertengahan
jarak dan menimbulkan bunyi teredam yang cukup jelas. Dubbb...! Blaarrr...!
Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua
tenaga dalam bergelombang berlawanan itu
mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak.
Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit,
daun-daun berjatuhan dari atas pohon, seakan tanah di sekeliling mereka berdiri
mengalami guncangan gempa yang lumayan keras, kuda pun meringkik
ketakutan.
Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama
berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap
saling pandang dan tangan mereka tetap bersikap seperti tadi. Makin lama
semakin terlihat jelas, kedua lutut mereka sama-sama bergerak ke bawah
pelan-pelan.
Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama
jatuh
terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai
kelihatan sama-sama lemah.
Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar.
Sedikit namun jelas terlihat oleh mata
Selendang Kubur. Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat
jelas pula ada nya darah segar yang mengalir
dari mulut Selendang Kubur bagian sudutnya.
Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh
yang melesat ke segala arah akibat benturan
dua tenaga dalam mereka. Hawa aneh itu menghantam dada masing-masing dan sempat
membuat luka di bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak seberapa,
namun mereka sama-sama sadar jika hal itu diteruskan akan membuat mereka
sama-sama
tewas tanpa hasil. Alias mati konyol.
Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran
mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing-masing?
*
* *
4
JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan
mampu menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di dalam gua, di balik
curah air terjun raksasa itulah Suto digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak.
Anak itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai ilmu peringan tubuh dan
tenaga dalam yang cukup kuat. Karena tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan
bisa menembus curah air terjun raksasa itu.
Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua
sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil,
hanya cukup untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar
air terjun. Setiap orang yang melompat masuk
menembus air terjun itu harus tepat tiba di
bibir mulut gua. Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir dan menjadi
santapan batu-batu runcing di
bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa
tidak semua orang bisa mencapai mulut gua.
Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian
dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai
lapisan tanah bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang lebih dari seratus
langkah terhitung dari mulutnya.
Dan mempunyai langit-langit yang tinggi,
lebih dari sepuluh tombak tingginya.
Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor
penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa. Lebih dari tiga puluh
obor mengelilingi dinding gua, dan lebih dari dua puluh lampu minyak
berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar
sebagai tempat berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak.
Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan
jurus-jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila dengan dikelilingi
nyala dian kecil. Si Gila Tuak sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil
sesekali menenggak tuaknya.
Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya.
Dan, rupanya sudah sejak tadi Suto dibiarkan duduk bersila dengan kedua mata
terpejam. Jelas hal itu sudah lama dilakukan oleh Suto karena sekujur tubuhnya
berkeringat. Baju yang dilepaskan dari awal semadinya itu menampakkan punggung
lebar dan
kekar itu berkilauan oleh butir-butir
keringatnya.
Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak
memandang ketekunan muridnya. la terkekeh
sendiri setelah meneguk tuaknya untuk yang kesekian kali.
Dalam hatinya ia berkata,
"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di
situ.
Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan
tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada
dirinya untuk memburu tugas yang diberikan. Dia dalam kesulitan menyelesaikan
tugasnya, namun dia tidak mau menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa menunggu
menyerah dirinya. Aku harus membangun semadinya!"
Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping
logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu
runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat
oleh mata telanjang. Benda itu akan menancap di
punggung Suto yang berkulit sawo matang.
Zingng...!
Tappp...!
Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa
berpaling sedikit pun. Benda yang melayang
itu ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu bergerak menyentak pelan,
namun membuat benda yang ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari gerakan
terbangnya yang tadi.
Crangng!
"Ait...!" si Gila Tuak melompat
dari tempat duduknya. Hampir saja benda itu mengenai
pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri
dan melompat turun dari balai-balai bambu.
"Konyol!" geram hati si Gila Tuak.
"Dia selalu membalikkan seranganku. Lebih cepat dari dugaanku semula. Dan,
kali ini aku tak menyangka kalau dia akan membalikkan benda itu. Untung sisa
kegesitanku masih ada, sehingga benda itu
menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa
jadi pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga sentakan tenaga
dalamnya. Dalam gerakan tangan pelan sudah dapat membuat benda besi itu
meluncur
melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm...
agaknya bocah tanpa pusar itu memang
mempunyai kelebihan dalam kekuatannya. Mungkin juga
pengaruh jurus-jurus pernapasan yang
diturunkan oleh Bidadari Jalang kepadanya, sehingga
menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari
kekuatan yang ada adaku maupun pada Bidadari
Jalang."
Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak
mendekati sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh curiga. Karena pada
saat itu, Suto tidak segera menyelesaikan semadinya, melainkan melanjutkan
semadinya dengan cara memejamkan mata, dan
kedua tangan tetap terletak lurus di kedua
lututnya yang bersila. Kedua tangan itu sama-sama
menggenggam walau tak terlalu kencang.
"Suto, berhentilah! Aku mau bicara
padamu!"
Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar
ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu
dilontarkan dengan nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak bergerak
sedikit pun kecuali pernapasannya.
"Keras kepala kau ini, hah?!"
bentak si Gila Tuak.
Suto masih tidak bergeming bagaikan patung
batu.
Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh
langkah dari tempat Suto bersila. Dengan jengkel ia
lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto.
Tongkat itu meluncur dengan ujung bagian bawahnya terarah ke dada Suto seperti
anak panah.
Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya.
Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan
ujung tongkat yang melesat cepat.
Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto.
Mata Suto tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak menyentak ke depan
dengan pelan. Wuugh...!
Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam
keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak
panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu
cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat
terkesima.
la tak menyangka Suto akan mengembalikan
tongkatnya dalam satu sentakan jari yang
pelan, namun menghasilkan kekuatan tampar cukup besar.
Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila
Tuak.
Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke
samping dan tongkatnya kembali membentur dinding batu.
Duaaang...!
Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng.
Berguncang menggetarkan semua obor dan benda-
benda yang menempel di dinding. Salah satu
obor jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak. Apinya nyaris menyambar ujung
jubah Gila Tuak. Cepat-cepat kakek berjubah kuning itu melompat sambil
berteriak antara kaget dan jengkel.
"Kucing Kurap! Semut Bunting!"
makinya sambil mengibas-ngibaskan api yang hendak membakar
ujung jubahnya.
Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh
dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang curiga kepada muridnya.
Tongkatnya diambil dan digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata,
"Ada yang tidak beres pada dirinya.
Hmmm... ada apa sebenarnya? Dia kusuruh mencoba mencari
Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun
kenapa sampai tiga hari belum selesai juga?
Padahal seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan Pusaka Tuak Setan, karena
semua ilmuku sudah
kuturunkan padanya."
Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya
Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar
yang
ada di depan Suto, berjarak empat langkah
darinya. la bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk sambil sesekali
menenggak tuak dari dalam guci besar yang tadi diambilnya dari pembaringan
bambu.
Beberapa saat lamanya setelah menunggu,
akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi
Suto melalui suara batinnya.
"Suto, bangunlah. Buka matamu!"
Maka, pelan-pelan Suto membuka matanya. Seketika itu
terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat
kedua mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik kelopak mata, membasahi
pipi Suto bagaikan air mata seorang lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam
dengan mata tak berkedip memandangi muridnya.
"Apa yang terjadi, Suto!" sentak si
Gila Tuak. Suto menarik napas panjang, kemudian menjawab, "Tidak apa-apa,
Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang meleleh dari matanya.
Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari
adanya darah yang keluar dari kelopak
matanya. la terkejut ketika melihat tangannya berlumur darah setelah mengusap
pipinya. Mata itu segera
memandang gurunya dengan tajam dan tegang.
"Apa yang terjadi pada diri saya,
Guru?!" ia justru balik bertanya, membuat si Gila Tuak menjadi
kebingungan menjawabnya.
Segera sang murid didekati. Gila Tuak
memeriksa mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang
murid. Darah yang keluar dari mata Suto
dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari,
bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala si Gila Tuak mengangguk-angguk
kecil seperti
menemukan sesuatu dalam hatinya.
"Guru, mengapa kedua mata saya
mengucurkan
darah? Apakah saya terkena pukulan tenaga
dalam dari luar gua?"
"Tidak! Kau menangis!" jawab si
Gila Tuak sambil berdiri untuk mengambil kain pembersih. Sementara itu, Suto
menjadi terbengong mendengar jawaban tersebut.
"Saya menangis, Guru?!"
"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu
telah bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi tangis air mata,
melainkan tangis darah."
Gila Tuak mendekati kembali sambil
melemparkan kain pembersih. Suto menangkapnya, lalu
membersihkan darah dari wajahnya, juga dari
kedua sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya berkata,
"Pasti kau telah melakukan pengembaraan
sukma terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk mencari di mana Pusaka Tuak
Setan itu kusembunyikan.
Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui
apakah kau mempunyai tali hubungan dengan
pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau
punya hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan mampu menghancurkan
pusaka tersebut. Tetapi jika kau tidak punya hubungan batin, kau tidak akan
bisa menghancurkan pusaka Tuak Setan."
Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi.
Suto selesai mengeringkan darah dari sudut matanya.
Pandangan matanya tetap terang, tidak
mengalami buram sedikit pun. Gila Tuak berkata dengan tegas.
"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari
tempat persembunyian Pusaka Tuak Setan, melainkan
mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka,
Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"
"Saya sudah menemukan di mana pusaka itu
disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto
juga dengan tegas.
"Di mana?" pancing Gila Tuak.
"Di sebuah telaga, di bagian dasar
telaga itulah guci Tuak Setan terkubur!"
Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya
berkata,
"O, kalau begitu dia memang sudah
menemukan Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali hubungan batin.
Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu
dengan kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!"
Terdengar suara Suto menuntut kepastian,
"Apakah penglihatan sukma saya salah,
Kek?"
"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan
Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau
sampai mencucurkan air mata berdarah, Suto? Apa yang telah terjadi pada
sukmamu?"
Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya.
la menenggak beberapa teguk tuak dari bumbung
tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati
gurunya sambil masih memegangi bumbung dari bambu
pilihan itu.
"Kakek Guru, sejujurnya saya katakan,
sukma saya telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang sangat menarik hati.
Wanita itu berwajah duka. Saya kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau
menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia
sempat menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan saya biarkan dia
menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut
berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih dalam dari kesedihan yang
disandangnya. Apa artinya itu, Kek?"
Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan
kata-kata Suto. Sang murid menjadi berkerut dahi
ditertawakan demikian. Hatinya menjadi
dongkol dan ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang Guru. Beberapa
saat setelah sang Guru puas tertawa, ia pun berkata,
"Itulah perempuan yang bakal menjadi
jodohmu kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang nakal
menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang,
dan menemukan wanita yang menjadi
jodohmu."
"Begitukah?"
"Ya," jawab Gila Tuak sambil
melirik ke samping, memandangi sang murid yang termenung dengan
dahi masih berkerut.
"Siapa nama perempuan itu, Suto?"
tanya Gila Tuak setelah menenggak tuaknya kembali.
"Namanya...?" Suto semakin
mengerutkan dahinya, mengingat-ingat sebuah nama. Sejurus kemudian ia pun
menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum, itu namanya!" Sambil
tetap tersenyum, si Guru menggumamkan nama itu,
"Dyah Sariningrum...?! Bagus sekali nama
itu.
Cantik sekali!" Gila Tuak
manggut-manggut.
"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih
cantik dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang."
"Ssst...! Jangan keras-keras. Kalau
kebetulan bibi gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar, dia bisa
melabrakmu! Dia tidak pernah mau
kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana
pun juga!"
Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini
pertanda otaknya masih tertuju pada seraut
wajah cantik yang ditemukan dalam pengelanaan sukmanya tadi. Karena itu, Suto
pun segera bertanya,
"Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon
jodoh saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman
biasa?"
"Jika ia calon teman biasa, tangismu tak
akan berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan yang sesungguhnya
milik Dyah Sariningrum. Jika sampai kau mencucurkan air mata berdarah, itu
pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum sungguh besar dan dalam
sekali. Jika tak begitu besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan air mata
darah, Suto."
Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut
sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya,
"Di mana saya bisa menjumpainya,
Kek?"
"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu
dengan pasti.
Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya
saja padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu, karena dia adalah
jodohmu."
"Tapi saya tak sabar ingin segera
menemuinya, Kek!"
"Berlatih sabar adalah hal yang baik
dalam hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu pribadi. Itu justru akan mencelakakan
dirimu," kata si Gila Tuak sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya
lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus menghancurkan Pusaka Tuak Setan
itu! Musnahkan pusaka itu, supaya tidak menjadi sumber bencana bagi sesama
manusia, juga sesama makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa."
"Baik. Saya sudah paham dengan maksud
Kakek Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai mengubur pusaka itu,
Kek?"
"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya
ada di sebelah barat pegunungan Suralaya."
"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal
yang belum saya mengerti, tentang adanya benda
berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya
ketika menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di samping Guci Tuak Setan.
Benda apakah itu
sebenarnya, Kek?"
"Kau melihatnya dengan jelas?"
"Tidak terlalu jelas."
Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil
menggumam.
"Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu
adalah sebuah cincin. Namanya; Cincin Manik Intan,
warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu
warisan dari guru bibi burumu yang bernama Eyang Nini Galih.
Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk
dari tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam murkanya begitu hebat,
hingga hanya bisa menangis."
"Apa keistimewaan batu itu, Kek?"
"Sangat berbahaya jika dipakai oleh
orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu bisa memancarkan
kekuatan dahsyat hanya dengan menyalurkan tenaga dalam melalui cincin tersebut.
Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur
lewat batu itu akan berubah menjadi tenaga dahsyat yang
mampu melelehkan baja setebal satu
depa."
"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum.
"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah
menggunakan cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa
mengendalikan kemarahan. Cincin itu
memancarkan kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi gurumu sedang
memendam kemarahan. Ke mana
pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu
telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan
menghantam apa saja yang ada di depannya.
Banyak korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam yang keluar melalui
cincin tersebut."
"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di
dasar telaga juga?"
"Aku membujuknya agar ia tidak memakai
cincin itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir saja menjadi
korban tak bersalah. Akhirnya, bibi gurumu mau menguburkan cincin itu asalkan
aku mau menguburkan satu-satunya pusaka andal yang kumiliki. Kami pun
bersepakat, aku menguburkan Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin Manik
Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Aku
sendiri tidak berani menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir
malah nantinya menjadi penyebar bencana di
seluruh pulau Jawa."
Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut.
Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas
orang yang meminumnya dapat mendatangkan badai yang begitu dahsyatnya hingga
bisa menyapu permukaan pulau Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut
menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan,
terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada
saat percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa pasang telinga yang
mencuri dengar melalui kekuatan telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua,
bahkan ada yang jauh dari gua, namun dengan suatu ilmu kekuatan batin mereka
mampu mendengar
percakapan tersebut.
Karena pada saat selesai berbicara tentang
Cincin Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya sendiri. Wajahnya
berubah menjadi tegang dan
cemas.
"Ada apa, Guru?" tanya Suto.
"Ada yang mencuri percakapan kita,"
jawabnya
dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang
menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata,
"Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan,
hancurkan kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu
menemukannyal"
"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu,
mengapa bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam hal ini?"
"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak
Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku yang tidak kusukai. Tapi jika
kau yang
menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya,
tidak mati karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi, aku sudah
berjanji pada diriku sendiri, tidak akan turun ke rimba persilatan lagi jika
aku sudah mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan turun kembali ke dunia
persilatan jika dalam keadaan yang benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan
banyak manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau muncul di permukaan rimba
persilatan untuk menjadi wakilku!"
"Saya mengerti, Guru!"
"Kerjakan!"
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5
DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara
bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan
mereka melainkan karena adanya pukulan
berbahaya yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki bertubuh sedikit gemuk,
mengenakan baju merah dan celana hitam dengan ikat pinggangnya yang hitam juga
itu.
Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan
Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan keinginan masing-masing untuk
menemui si Gila Tuak.
Tetapi ketika mereka sedang bertempur,
tiba-tiba saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak ketiga.
"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita
bersama-sama menghadapi lelaki tambun itu! Dan nanti kita bersama-sama saja
menghadapi si Gila Tuak!" ujar Dewi Murka mengajak berdamai.
"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau
menghendaki kita bersatu."
Mereka berdua memang tidak menyangka jika
kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut
oleh sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama julukan:
Pujangga Kramat. Pelayan setia si Gila Tuak itu adalah orang yang mudah curiga.
Tak satu pun manusia yang berada di sekitar
wilayah air terjun itu yang luput dari sasaran kecurigaan.
Bahkan seorang penggembala kambing pun
pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga
penggembala kambing itu nyaris mati di tangan
Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang Kubur serta Dewi Murka pun
dianggapnya suatu niat yang jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka berdua
sudah menjelaskan akan bertemu dengan si
Gila Tuak. Tetapi, Pujangga Kramat itu
berkata,
"Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak
kalian kepada!"
Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka sama-
sama ingin tertawa geli mendengar kata-kata
Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum,
karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru mereka, bahwa Pujangga Kramat
adalah manusia
yang tidak pernah benar dalam menggunakan
tata bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap ucapan kata Pujangga Kramat,
yang menurutnya
mempunyai seni sastra tersendiri.
"Kami datang dengan maksud baik,"
kata Dewi Murka.
"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu
untuk si Gila Tuak dari," kata Pujangga Kramat.
Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka,
"Apa maksudnya?"
"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila
Tuak untuk menerima tamu!"
"Ooo...," Selendang Kubur
manggut-manggut. "Jika begitu, kita desak saja dia dengan rayuan."
"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh
rayuan wanita."
Belum sempat kedua perempuan itu berunding
lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan
nada membentak.
"Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di
sekitar sini orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak mendidik sedang muridnya.
Kuusir paksa kalian kalau segera tak pergi!"
"Kami tak akan pergi sebelum bertemu
dengan si Gila Tuak!" kata Dewi Murka.
Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan
pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya.
Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke
belakang.
Kini, kedua perempuan itu sama-sama
rentangkan tangan siap hantamkan pukulan 'Kepak Sayap
Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat
segera ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang rendah dengan kedua
tangan diangkat setinggi
pundak. Matanya tertuju tajam pada
masing-masing perempuan yang bersebelahan itu.
Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama
memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan
mereka dihentakkan ke depan dengan keras.
Wuuggh...! Wuggh...!
Duubh...!
Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat
dengan menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya.
Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang
Merpati Liar' itu lebih besar kekuatannya, sehingga tubuh yang sedikit gemuk
dan agak pendek itu
terjengkang ke belalang, lima langkah
jauhnya.
Brrukk...!
Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam
di dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya
sempat mendelik. Namun buru-buru ia
mengeraskan semua uratnya dan melesat cepat dengan
menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah
kembali berdiri dengan wajah memerah.
"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia
mampu berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan kita berdua!"
kata Dewi Murka.
Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera
ia melepas kain selendangnya seraya berkata pelan kepada Dewi Murka.
"Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia
perlu
mendapat pelajaran yang layak dari selendang
ini!"
Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat
kata, namun ia melangkah mundur beberapa tindak,
membiarkan Selendang Kubur maju ke depan.
Pada saat itu, Pujangga Kramat berkata,
"Aku salahkan jangan, jika melayang kau
punya nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini cepatlah pergi!"
Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi
Murka dan bertanya, "Apa maksudnya?"
"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja
dia!"
Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la
melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat
pun melangkah maju dengan bersiap mengirimkan
pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar
dan kekar. Namun sebelum tangan itu sempat bergerak melancarkan pukulan tenaga
dalamnya, selendang putih berkelebat dengan cepatnya, bagai hembusan angin di
siang hari bolong. Wusss...! Srettt...!
Kain selendang menjerat lengan Pujangga
Kramat.
Kuat dan erat sekait lilitan kain selendang
itu.
Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk
menarik selendang tersebut, sementara
Selendang Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat-kuat. Keduanya saling
beradu kerahkan tenaga.
Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan
tangan gemetaran.
Selendang Kubur membatin, "Besar juga
kekuatan orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku akan patah dalam
satu hentakan. Tapi agaknya
tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih
mengerahkan tenaga lagi!"
Maka memekiklah Selendang Kubur dengan
suaranya yang nyaring.
"Hiaaat....!"
la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan
tubuh Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan
terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan
itu segera menyongsongnya dengan satu lompatan
bertenaga.
"Heaaah...!"
Plak, plak...!
"Huggh.,.!"
Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur
tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang mengenakan baju komprang tanpa
dikancingkan
bagian depannya itu tersentak mundur akibat
pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la
jatuh berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti nangka busuk jatuh dari
pohon.
Bluuugh...!
Lelaki berikat kepala kulit rusa itu
menyeringai kesakitan. Namun seringainya hanya sebentar,
karena ia telah menarik napas dalam-dalam
menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera
teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat
di dadanya membekas dua telapak tangan merah memar, la
segera membatin.
"Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau
aku tidak mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini sudah jebol sampai ke
belakang."
Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi
Murka saat berdiri di sampingnya.
"Dia punya pelapis di dalam dadanya.
Pasti dia melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja.
Mestinya dia punya dada sudah hangus dan
terbakar, tapi nyatanya hanya membekas merah saja!"
"Apakah kau sudah menyerah?" tanya
Dewi Murka berkesan mengejek. "Kalau kau sudah kewalahan
menghadapi dia, biarlah aku yang maju!"
"Selendang Kubur tak pernah mengenal
kata menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai nama asli Larasati.
"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan
pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang
baik."
Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan
kemampuan Selendang Kubur. Tetapi sikapnya
itu tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan itu segera bergerak maju
dengan selendang putih dikalungkan di lehernya.
"Pujangga Kramat, satu kali lagi kau
menentang kemauanku bertemu dengan si Gila Tuak,
kupatahkan batang lehermu memakai selendang
kuburku ini!"
Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la
bertolak pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak bisa dijebol oleh
kekuatan pukulan lawannya. Lalu, Pujangga Kramat pun berkata,
"Hebatnya apa selendang itumu?! Tak
hebat adanya sama sekali!"
"Apakah kau tak melihat bekas telapak
tanganku di dadamu?"
"Tak lihat kau pula bekas di tangan
pergelanganmu?"
Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan
kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi
Murka dan bertanya, "Apa arti kata-katanya?"
"Lihat pergelangan tanganmu!" kata
Dewi Murka.
"Oh...?!" Selendang Kubur terpekik
dalam hatinya, la melihat noda hitam menghangus di pergelangan tangan kirinya.
Ternyata pada waktu terjadi bentrokan di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil
menotokkan
jarinya ke pergelangan tangan Selendang
Kubur.
Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan
darah, sehingga tidak mengakibatkan apa-apa kecuali bekas hangus, biru
kehitam-hitaman pada kulit yang kuning langsat itu.
"Keparat!" geram hati Selendang
Kubur. "Hampir saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan itu
bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat bekas seperti ini di kulit
pergelangan tanganku.
Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup
cepat dan membahayakan jika tidak diperhatikan!"
"He, he, he... diam mengapa, Selendang
Kubur?
Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat
jebol kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah sebaiknya sekarang kau
juga, sebelum kujebol pusar dan lainnya pusarmu."
Geram hati Selendang Kubur bertambah
mengganas. Maka, ia pun segera menarik
selendangnya ke belakang dan melecutkannya
dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.
Wusss...!
Dueaarr...!
Ujung selendang memercikkan api. Suara
menggelegar tersentak keluar dari kibasan
angin selendang. Tubuh lelaki bergelang akar bahar
terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai
tepian tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang Petir' itu telah
dilancarkan. Pujangga Kramat tidak menduga akan mendapat serangan sehebat itu.
Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan
berkekuatan besar.
Untung saja sikunya menghantam gugusan batu
di tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke tebing sungai itu.
Napasnya sendiri terasa bagaikan
hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia
temukan lagi napasnya, ia terengah-engah dengan mata
berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan
kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam
penglihatannya itu.
"Samber gledek!" makinya dalam
hati. "Untung ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau saja
tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur disambar ekor petir yang keluar
dari ujung selendang keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku
harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu
perempuan itu bagaimana rasanya orang
disambar angin petir."
Pujangga Kramat segera bangkit, tidak
menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia
maju satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar tak kentara gontainya, ia
berhenti dan tetap berdiri dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai
kecamuk batin.
"Orang ini manusia apa banteng?!
Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya rambutnya terbakar
atau pakaiannya terbakar oleh percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'-ku
tadi.
Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh!
Berarti ia cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan
tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga
rupanya."
Dari arah belakang terdengar Dewi Murka
berkata merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur.
"Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak
tadi tak ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!"
"Diamlah kau!" sentak Selendang
Kubur, tanpa memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau
belajar dari
jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti
dia!"
Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak
mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan
maju dua langkah dengan memutar-mutarkan kain
selendangnya di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya
kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya
mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing
tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua
tangan itu segera berkelebat ke depan dalam
satu sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya.
Wuugh...!
Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar
dari keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu tidak menghantam,
melainkan mendorong tubuh
Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya
terdorong mundur mendekati Dewi Murka.
Setelah itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya.
Putarannya semakin kencang. Tubuh itu
terangkat sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut terangkat dan
berputar dengan kuat. Wusss...
wuuss... wuusss...!
Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan
diri. Mereka berdua sama-sama berusaha
melawan kekuatan yang memutarkan tubuh. Namun semakin dilawan terasa semakin
cepat saja putaran tersebut.
Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin
lesus yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu
jika dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka yang tampak mau
melawannya dengan kekuatan
tenaga dalamnya. Namun begitu mendengar kata-
kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan
kata-kata itu. Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat
yang telah membuatnya seperti baling-baling.
Bahkan kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika tangan Pujangga
Kramat menghentak ke samping, bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.
Buuk... buukkk...! Kedua tubuh perempuan itu
berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai
tak mampu bergerak untuk sesaat. la ditertawakan oleh Pujangga Kramat. Dan tawa
itu tiba-tiba berhenti melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam
sekejap.
"Edan! Perempuan itu tidak merasakan
pusing sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang
Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi
Murka.
Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain
selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...!
Sreett...!
Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga
Kramat, bagai terikat kuat dengan selendang putih itu.
Brukkk...! Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena
selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki bergeleng akar hitam itu sempat
menggeragap
sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret
tanpa mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga
merasakan tubuhnya mulai melayang.
Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh
itu dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan cara memutarkan
selendangnya. Tubuh pria berusia antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan,
diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin lama semakin cepat putarannya.
Membentur pohon sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu.
Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari
selendang, maka tubuh itu akan meluncur
cepat, terbuang entah ke mana dan jika membentur benda
keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah.
Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat
menjadi panik. la memekik dengan suara mirip
gaung sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa
pusing yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan
Selendang Kubur. Maka dengan cepat ia menghunus trisulanya. Gerakan tubuh
Pujangga Kramat akan disongsong dengan
pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan
berhenti dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung trisula.
Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak
dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga
Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang
berkelebat membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka.
Perempuan itu sempat terbengong melompong
melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika
melihat sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah membuat tubuh Pujangga
Kramat lenyap. Tinggal selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa
berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk
Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa
keheranan melihat Selendang Kubur
berputar-putar bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh
Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu
telah lenyap!" seru Dewi Murka. Dan seruan itu didengar oleh Selendang
Kubur.
"Hah...?!" Selendang Kubur terkejut
melihat ujung selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak memandang
sekeliling, kemudian sepasang matanya
itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri
dalam jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok yang ditangkap matanya
itu berpakaian coklat tua dengan celana putih. Rambutnya panjang sebatas
punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun
menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian
coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada di bagian punggungnya,
melintang miring bagaikan sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang dengan mata
tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu
sunggingkan senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut menjadi berdesir,
berdebar-debar penuh bunga-bunga indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur,
"Tak salah lagi, pasti dialah murid si
Gila Tuak yang disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti dia.
Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut
Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.
"Paman Sugiri," kata Suto kepada
Pujangga Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan biarlah urusan ini
saya yang selesaikan."
"Baiklah, Suto," jawab Pujangga
Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali berusaha menjaga
keseimbangan tubuh yang mau
rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan
geli di hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.
"Pasti dia pusing akibat kau
putar-putarkan!" bisik Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman
pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian
Selendang Kubur telah kembali tertuju pada
pemuda tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar
dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan
berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang
ia melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam jarak tiga langkah di depan
mereka.
"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman
Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi Murka.
"Hmmm... maksudku... maksudku...."
Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba
Suto yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat menerjang tubuh Dewi
Murka. Perempuan itu sempat terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya
berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp...!
Jliiggg...!
Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua
perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke
belakang, senyumnya kembali mekar indah
mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris
tak sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu cepat. Bahkan Dewi Murka
terbelalak kaget melihat trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi,
persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya! Melebihi angin
menurutku.
Sampai tak terasa ia telah mengembalikan
trisulaku pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi Murka sambil mundur
mendekati Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan
kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah dengan sedikit sayu akibat
pengaruh tuak yang diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat
tersendiri di hati kedua perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa
dengan Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur melawannya?" tanya
Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk dilepas dari punggung.
"Kami orang-orang Perguruan Merpati
Wingit,"
jawab Selendang Kubur. "Kami... kami...
kami..,,"
ucapannya tak mampu dilanjutkan karena
sepasang mata Suto menatap dengan kelembutan yang
meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang
Kubur merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto,
maka ia segera
mengalihkan pandangannya ke arah lain dan
berkata lagi.
"Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak,
untuk menyampaikan permohonan maaf dari guru kami,
Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo
hari, yang membuat teman kami menderita sakit akibat pukulan tenaga dalam dari
Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga seorang
perempuan muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri dengar percakapanku
dengan guruku itu?"
"Buk... bukan... buk... bukan...,'' Dewi
Murka ingin ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya berdebar-debar
menikmati ketampanan seraut wajah lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana
pun juga.
Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa
melontarkan kata-kata dengan baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak
memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud
temannya,
"Temanku itu bukan menyadap percakapanmu
dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan
saja ia mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian
bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu
hanya...
hanya merasa tertarik padamu dan ingin
melihat lebih jelas ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa
terkekeh mirip orang tua, sambil berkata,
"Jadi dia hanya ingin mengintip
ketampananku?
Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini
kalian juga ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak bermaksud mencuri
dengar pembicaraanku dengan Guru?"
"Tidak," jawab Selendang Kubur.
"Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal yang
kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini untuk meluruskan salah
duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke
pepohonan sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di sana. Tetapi sesuatu
itu telah pergi dengan melesat cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan
wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia merasa masih perlu bicara
dengan kedua perempuan tersebut.
"Siapa namamu?" tanyanya kepada
Selendang Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola matanya segera blingsatan karena
hatinya makin berdebar pada saat beradu pandang. la tak berani terlalu lama
beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan bisa bicara jika dalam keadaan
beradu pandang.
"Namaku Selendang Kubur," jawab
Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka.
Sambungnya lagi, "Dan ini saudara
seperguruanku yang bergelar Dewi Murka."
"Bagus sekali. Nama kalian tak ada
hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang perlu
kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak, telah menerima
penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa
lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika sikap teman kami
ini tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang Kubur dengan mata
sengaja memandang ke arah
gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf kuterima," jawab
Suto. "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang sopan."
"Harus bagaimana aku bicara
padamu?"
"Pandanglah orang yang kau ajak bicara.
Itu sikap yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka
ini, sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa
padamu."
Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali
ditenggak sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang Kubur.
"Persoalan sudah selesai. Kalian boleh
pulang."
"Tid... tidak... tidakkah... kam...
kami...," Dewi Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-katanya, membuat
Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam... kam...."
'Kambing?" sahut Suto menerka.
Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat.
Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya
tidak bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip sejak tadi.
"Ak... ak... aku... aku...."
"Sudahlah, jangan bicara," potong
Suto. "Napasku bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang,
sebaiknya kalian lekas pergi dari sini,
karena aku pun akan segera pergi."'
Selendang Kubur menatap sebentar, lalu
memalingkan pandangan ke arah lain, sambil
melontarkan pertanyaan.
"Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik
Intan?"
"Kau tak perlu tahu."
"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba
bicara lagi.
"Ak... aku... aku dal... dal... dalam...
ke... keadaan...
bah... bah...." . El
"Bahagia?" sahut Suto.
"Bah... bah... bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur berpaling
menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu,
Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap
memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol...
tolong... ak... aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah
kian memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka.
Ternyata punggung perempuan itu telah
berdarah karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang kelingkingnya.
"Dewi...?!" sentak Selendang Kubur
dengan sangat terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian
memucat. la telah menjadi salah sasaran dari
seseorang yang ingin menyerang Suto dengan
menggunakan jarum beracun.
*
* *
6
PADA saat Suto menenggak tuak dengan
mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah
seseorang di balik persembunyiannya
melepaskan jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan dengan itu pula tubuh
Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga yang
menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-
putus itu bukan lantaran gugup melihat
ketampanan Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari jarum di
punggungnya. Jarum itu yang membuat
napas Dewi Murka menjadi terputus-putus.
Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh,
namun ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan tenaga
dalamnya secara diam-diam. Tetapi, usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang berilmu
tinggi," kata Suto kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya sampai
tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai telinga guruku,
mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah
kau berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"
"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai
dengan namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."
"Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak
bisakah si Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang yang bijak dan suka
menolong?"
"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah
dia mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau orang yang pelit."
Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat
Selendang Kubur berani menahan tangan Suto
sambil berkata,
"Tak perlu kau tanyakanl Aku akan segera
pergi membawa temanku ini pulang ke perguruan."
"Itu langkah yang bagus!" kata
Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung bambunya.
"Manusia yang tak berperasaan adalah
kamu, Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata memandang menyipit,
memancarkan benci.
"Mengapa kau berkata begitu, Selendang
Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa memberi
pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak mau
melakukannya."
"Apakah kau percaya betul bahwa aku
sanggup menolongnya?"
"Aku percaya!" sentak Selendang
Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum
banyak.
"Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan
menolong menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit
merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di
hatinya, karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin
membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan tubuhnya," kata Suto
kepada Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum di
punggungnya?"
"O, iya! Jarum itu harus dicabut
dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum itu pun
dicabut oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari lubang bekas
jarum. Suto menarik wajahnya supaya tidak terkena semburan darah hitam. Setelah
darah itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera meneguk tuaknya
lagi. Kali ini tidak semua tuak ditelannya. Sebagian disimpan di mulut.
Kemudian, tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung
Dewi Murka. Bruusss...! Air tuak ada yang
memercik ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu menyentak berani.
"Kau mau mengobati temanku atau mau
meludahi aku, hah?!"
Suto hanya tertawa sambil berkata,
"Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu,
wajahmu pasti hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah,
mengusap air tuak yang melekat di pipi dan
rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang dengan
segera!" kata Suto.
"Pengobatan macam apa ini?! Baru
disembur satu kali sudah disuruh membawanya pulang!"
"Kau percaya atau tidak kalau dia akan
sembuh?"
"Yah, percaya!" jawab Selendang
Kubur dengan bimbang.
"Kalau kau percaya, dia akan sembuh.
Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini
debaran indah di hatinya tidak terlalu
membuatnya gugup, sehingga ia berani menatap agak lama.
Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran
indah dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat berkata dengan
lancar, tidak segeragap tadi. "Apa maksud kata-katamu sebenarnya?"
"Tidak ada maksud apa-apa," kata
Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat karena terlalu
banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat
kaget melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, warna biru di wajahnya
berkurang menjadi tipis. Hal itu membuat mata Selendang Kubur tak mau
berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama
ia semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum itu telah hilang. Karena
wajah Dewi Murka pun sudah berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai
mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur membatin,
"Luar biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya
dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya,
racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata
bekas luka jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan yang cukup aneh
dan cukup tinggi. Jarang dimiliki oleh pendekar lain."
Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar.
Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang
Kubur sedikit lega melihat temannya semakin
membaik. la segera berkata sambil berpaling
ke arah Suto yang ada di belakangnya.
"Dia benar-benar telah...."
Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak
ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa
meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur
sama sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia memandang ke arah
belakangnya yang ternyata telah kosong.
Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang
Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah ditinggal pergi oleh Suto Sinting
itu. Maka, ia segera bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di tanah. la
segera memeriksa sekeliling. Ternyata memang tak ada lagi Suto di sekitar
tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali dengan
siluman! Pergi tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana perginya?
Mungkinkah dia langsung menuju ke
Telaga Manik Intan?" pikir Selendang
Kubur sambil
masih tetap mengawasi sekeliling.
"Haruskah aku menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa pulang Dewi
Murka kepada Nyai Guru?"
"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka
yang saat itu sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah menderita luka
berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat
berdiri tegak.
"Apa yang telah terjadi pada diriku?
Mengapa aku terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa basah?"
Selendang Kubur makin berkerut dahi. la
bertanya,
"Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang
telah menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur karena lelah.
Tapi begitu aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu membawaku
kemari, hah?"
"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau
tadi terluka."
"Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang
yang bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan oleh Suto."
"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi
Murka menampakkan keheranannya. Setelah hening
sejurus, Selendang Kubur berkata,
"Apakah kau tak ingat seorang pemuda
tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji
ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa
orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari
Murbawati!"
Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada
bagian ingatan Dewi Murka yang terhapus karena
penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia
benar-
benar tak ingat dengan pertemuannya bersama
Suto.
Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan kesabarannya,
Selendang Kubur berkata, "Kau tadi
benar-benar telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua telah melihat
ketampanannya yang menggiurkan
hati!"
"Ah, omong kosong! Aku merasa tidak
bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."
"Kita telah bertemu dengannya!"
Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan itu tetap
bersikeras mengatakan belum pernah
bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya
Selendang Kubur berkata.
"Kalau begitu, ada baiknya jika kita
susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin bisa menemukan
ingatanmu kembali tentang
ketampanan Suto."
"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak
untuk menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan si Gila Tuak."
"Itu sudah kita lakukan saat kita
bertemu Suto.
Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita
dengan pihak si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya
tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga Kramat, seperti
tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka.
Selendang Kubur menyadari, jika hal itu
diteruskan maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka akan terjadi
lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak mau banyak bicara. la hanya berkata,
"Kalau kau tetap berkeras hati untuk
menemui si Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga
Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto
dicelakai orang di sana! Kita berpisah di
sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa
menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak
dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya
merasuk dalam jiwa Dewi Murka.
Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi
Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah
satu akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur.
Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula
hilang ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi
dengan kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata-mata menuju Telaga
Manik Intan, namun karena ingin mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di
balik kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat itu adalah orang yang
mengirimkan jarum beracun itu.
Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin
mencelakainya dengan jarum beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan
begitu cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya mau tak mau ia
terbawa sampai di sebelah barat pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang
kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu
itu juga lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya itu.
"Apakah orang itu bermaksud membunuhku
agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu menjadi tujuannya, berarti
orang itu telah menyadap percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah cukup
lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan. la pasti sudah sangat lama
mengincar pusaka tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti karena ia
mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya
ada di sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik pertarungan itu.
Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat
suara pekik pertarungan itu terdengar
lantang, Suto jadi sedikit terperanjat. Karena kedua orang yang sedang adu
kesaktiannya itu berada di tepi sebuah danau berair bening bagian atasnya, dan
berair keruh di pertengahannya. Danau itulah sebenarnya Telaga Manik Intan.
*
* *
7
SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika
sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan
keras, orang itu hanya tersentak sedikit. la
masih tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara mengaduh sedikit pun. Hanya saja,
beberapa saat kemudian ia membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan
asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap
supaya keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat
pukulan di
punggungnya tadi.
Sementara itu lawannya yang tadi berhasil
memukul punggung dengan pukulan yang
mengandung tenaga dalam cukup besar, segera
mundur setindak dan berdiri dengan tegar.
Matanya yang memang kecil terkesan sipit itu menatap orang bertubuh kurus
kering dengan tajam. Wajah dingin, tanpa keramahan sedikit pun. Orang ini
mempunyai tubuh sedikit lebih gemuk dari lawannya. la
mengenakan baju berlengan panjang kombor
warna
hitam dengan bagian tepinya dililit kain
kuning emas.
Celananya juga hitam dan punya lilitan kain
emas. Di pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung pedang warna perak.
Sementara di bagian kepalanya ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat
penampilannya kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini mempunyai kumis sedikit
tebal dan cambang tipis yang menambah angker wajahnya, yang berusia
antara empat puluh lima tahun.
Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung,
berjenggot abu-abu dan rambut acak-acakan tanpa ikat kepala. Pakaiannya serba
biru dengan baju potongan jubah yang tidak pernah dikancingkan bagian depannya.
Dadanya terlihat tipis bertonjolan tulang iga. Orang ini dalam keadaan basah
kuyup, sepertinya habis terendam air dalam telaga tersebut.
"Siapa mereka itu?! Ada persoalan apa
sehingga mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya aku tak perlu ikut
campur urusan mereka. Lebih baik aku duduk di balik semak ini sambi! menonton
pertarungan mereka," kata Suto dalam
hatinya, la segera menggeser bumbung tuak dari punggung, lalu menengadahkan
kepala dan menenggak tuak sedikit.
Terdengar orang berpakaian serba hitam itu
berkata kepada lawannya, yang masih tegar
berdiri dengan kedua tangan berkuku panjang siap
menyambut serangan.
"Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan
nyawamu minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah!
Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan
benda itu dan selamatkan nyawamu dari amukanku!"
Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus
berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap
di mata kanan dibiarkan saja membuat wajah itu
semakin berkesan bengis dalam usia antara
lima puluh tahunan.
"Kau salah alamat, Datuk Marah
Gadai!" katanya,
"Benda yang kau cari itu tidak ada di
tanganku."
"Omong kosong! Kau telah menyelam di
dalam telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!"
sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai
itu.
Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang
kurus yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-usap jenggot
abu-abunya.
Suto membatin, "O, orang yang berpakaian
hitam itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu.
Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai
kebiasaan menggadaikan barang-barangnya,
sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi,
hi...!"
Suto cekikikan sendiri di balik
persembunyiannya.
Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang
masih bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan.
Orang kurus kering itu berkata, "Aku
memang telah menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana tidak ada apa-apa.
Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga kecuali kekecewaan!"
"Puih! Mana ada orang yang mau percaya
dengan mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!" Datuk meludah.
"Orang paling licik di seantero jagat adalah kau, Cadaspati! Dan mulut
orang licik selalu
menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa
harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan dengan menghancurkan mulutmu
lebih dulu,
Cadaspati!"
Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak
Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati kecilnya berkata,
"Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak
Setan?
Orang yang basah kuyup itu ternyata murid
Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah mendengar kisahnya
dari cerita Guru, dan aku ingat orang kurus itulah yang semasa kecilku
menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga tubuhku seakan
menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan Kakek Guru sendiri. Hmmm...
sekarang ilmu
'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba
saatnya aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."
Suto bergeser dari tempat persembunyiannya.
la mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk
memandang daerah tepian telaga. Satu-satunya
tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di
atas pohon.
Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup
tinggi. Dalam sekali hentakan kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan
dari pohon berdaun lebat.
Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak
menimbulkan guncangan sedikit pun pada
dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin
dalam gerakannya.
"Nah, dari sini lebih enak menonton
pertarungan orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya.
"Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar
Pusaka Tuak Setan itu sudah berhasil jatuh di tangan Cadaspati atau belum.
Kubiarkan dulu ia didesak oleh Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan
terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau
ternyata yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena
kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati
tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk Marah Gadai."
Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap
lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua
tangannya
terangkat sampai batas dada. Kemudian tangan
itu saling menyilang dengan gemetar. Telapak tangan yang mengembang kaku dengan
jari-jarinya mengeras itu mulai kelihatan berasap tipis.
Cadaspati tidak tinggal diam. la mengerahkan
tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku
tangannya memercik-mercikkan bunga api.
Seperti ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang satu ke kuku yang
satunya lagi.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai
menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara.
"Hiaaah...!" Cadaspati juga menjejakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah Datuk Main Gadai.
Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat
mereka saling menghantamkan pukulan masing-
masing.
Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...!
"Hugh...!" keduanya sama memekik
tertahan.
Tubuh mereka saling terpental ke belakang.
Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur
masuk ke dalam telaga. la jatuh dalam posisi terduduk di tepian telaga. Namun
kakinya segera dihentakkan hingga ia bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati
setelah mengadu pukulan segera bersalto ke
belakang satu kali dan kakinya mendarat di
tanah dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya yang cekung itu memantang
penuh nafsu membunuh.
Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin
telaga.
Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat
Cadaspati menyeringai bagai mengejek
kekuatannya.
"Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan
bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk
bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya
kucabut nyawamu! Hiaaat...!"
Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya
ke depan dengan satu tendangan miring. Dari
telapak kakinya berkelebat sinar putih keperakan yang melesat ke arah
Cadaspati. Sinar putih keperakan itu segera dihindari oleh Cadaspati dengan
satu
lompatan ke atas. Dan bersamaan dengan itu,
Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek
angin. Wuuusss...!
Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku
tangan kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat menerjang tubuh Datuk
Marah Gadai. Segera orang berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan
akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan
tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk
ke dalam telaga hingga airnya berguncang hebat.
Sebagian air ada yang muncrat ke tanah
tepiannya.
Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat
gelombang di permukaan air telaga. Telaga
bagai ada yang mengguncang-guncangnya dari dalam.
Sementara itu, sinar putih perak dari kaki
Datuk Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang membuat gugusan batu itu
sirna dalam sekejap.
Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai
tanda hancurnya gugusan batu tersebut.
"Rupanya keduanya sama-sama berilmu
tinggi,"
pikir Suto dari atas pohon. la meneguk
tuaknya kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan
mabuknya. Bahkan tak sengaja ia
melontarkan suara legukan satu kali.
"Huk...!"
Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut
suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh
sakti
itu. Di hati Suto ada rasa waswas karena
setelah suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai memandang
sekelilingnya penuh curiga.
"Celaka!" gumam Suto dalam hati.
"Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"
Cadaspati sendiri membatin, "Dia mulai
lengah.
Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku
segera tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"
Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui
oleh Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik
memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai
segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak tangan. Wuuugh...!
Beegh...!
"Huggh...!" tubuh Cadaspati
melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak jauh Datuk
Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah semakin mendendam bengis.
"Keparat kau, Datuk!"
"Mau lari ke mana kau, hah? Jangan lari
dulu kau.
Selesaikan dulu urusan kita ini!" Mata
cekung yang memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi lunak, sayu dan
kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut dahi karena merasa heran. Ia berkata
dalam hatinya.
"O, rupanya pukulanku tadi telah
mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya mulai
terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik kelemahan Cadaspati.
Rupanya ada di bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis punggungnya!"
Cadaspati memang berdiri dengan oleng.
Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan
bicaranya bernada mengambang.
"Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau
marah,
nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he,
he, he...!"
Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin
merasa aneh melihat sikap Cadaspati.
Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu
membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot
mata cekungnya.
Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang
pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh
tergagap-gagap. la segera bangkit dan
menggerutu sendiri.
"Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada
tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang menyingkirkan pohon ini waktu
mau kusandari!
Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar
aku bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"
Datuk Marah Gadai tertawa sinis. "Aku
tak mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"
"Tidak perlu pakai arah!" sentaknya
dengan suara mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak mata bagai menggantung.
la menuding Datuk dengan
tangan lemas. Katanya lagi.
"Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!"
Datuk masih diam, tapi ia membatin,
"Hmm... ada yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan akibat
pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah mengacaukan urusanku dengan
Cadaspati."
Dugaan itu memang benar. Suto telah
menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri
Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah
menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh
Suto sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan
Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa
Pusar").
Datuk Marah Gadai pun segera membentak,
"Siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Apa kau lupa pada tampang gantengku,
Datuk?"
Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto
sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang
pantas. Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh
orang yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput dengan tulang-tulang pipi
bertonjolan, sungguh ungkapan kata yang lucu jika wajah seperti itu dikatakan
ganteng. Namun Datuk Marah Gadai tidak mau tertawa lebar-lebar. la hanya
tertawa sinis dan segera berkata kepada Cadaspati.
"Jangan kau campuri urusanku dengan
Cadaspati!
Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu
sekarang juga, nah?"
"Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he
he...!"
"Jahanam kau! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan
tangan kosongnya ke wajah Cadaspati.
Plook...!
"Uts...!" Cadaspati mundur
selangkah, ia mendekap mulutnya. Sedikit bengkak bibir atasnya. Untung saja
pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak
mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja
Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga
dalamnya, pasti mulut itu akan hancur
berantakan ke mana-mana giginya.
Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini
segera mendekat kembali dan berkata sambil menuding-nuding dengan tangan lemas.
"Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan.
Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"
"Tutup mulutmu, hiiih...!"
Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke
mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih
kuat dari yang pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis pukulan itu dengan
kelebatan tangan kanannya, lalu punggung pergelangan tangan kanan itu
disodokkan ke ulu hati Datuk.
Bukkk...!
"Ugh...!" Datuk Marah Gadai
tersentak kaget.
Pukulan punggung tangan itu terasa begitu
keras bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah
Gadai sempat terbeliak lebar. la segera
mengeraskan perut dan menahan napas.
"Kurang ajar! Aku dibuat mainan
seenaknya saja!"
geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah
pukulan bertenaga dalam melesat dalam jarak empat langkah darinya.
Wuuugh...!
"Aaahg...!" Cadaspati terpekik,
Pukulan itu mengenai dadanya. la tersentak ke belakang.
Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian
tubuhnya jatuh di bawah pohon. Punggungnya
membentur akar pohon yang bertonjolan keras
itu.
Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti
Neraka'
dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati
menjadi dirinya sendiri. Dan ia terkejut
menyadari sudah terbaring di bawah pohon dengan dada sakit dan tulang punggung
bagai mau patah.
"Apa yang kualami tadi?" pikir
Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan menyeringai
menahan sakit. Melihat keadaan
Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun
segera memanfaatkan dengan melancarkan
pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.
"Hiaaat...!" tangan kanan
disentakkan ke depan
dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu
mempunyai gelombang panas yang mampu
membakar kulit pohon.
Cadaspati segera menghadang pukulan itu
dengan sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan tangan itu tidak
sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu menerjang telapak tangan kiri
Cadaspati.
Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan
hangus sampai di bagian ketiak dan dada
sebelah kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga membentur pohon besar
di belakangnya.
"Uughh...!" Cadaspati mengaduh
tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai segera mengerahkan
tendangan intinya yang mempunyai
kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan
gugusan batu tadi.
"Lebih baik matilah kau daripada tetap
tak mau menyerahkan Pusaka Tuak Setan!" seru Datuk Marah Gadai, lalu kaki
kanannya pun dihentakkan
menendang ke depan. Sinar putih keperakan
melesat dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.
Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah
melesat cepat dan membentur sinar putih keperakan itu.
Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang
mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blarrr...!
Datuk Marah Gadai belalakkan mata
lebar-lebar.
Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok
tua berambut putih yang muncul dari balik semak
belukar. Sosok orang berambut putih panjang
tanpa ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk
Marah Gadai. Posisinya lebih dekat ke Cadaspati.
"He, he, he...," orang tua yang
lebih kurus dari
Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh.
Tongkatnya yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la mengenakan celana
hitam dan kain putih yang
diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian
melilit di pinggang. Di pinggang itu pun ia
mengenakan sabuk besar dari kulit binatang
warna hitam berbulu.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin,
"Siapa tokoh tua yang baru saja muncul
ini?
Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati."
"Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai.
Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil
melukai adikku, Cadaspati!"
"Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal
Pikun!
Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi
korban kemarahanku!"
"He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir
kalau kau ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah
adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan
lagi.
Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang
lalu sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita harus bikin persoalan baru
lagi, Datuk Marah Gadai?"
"Aku membutuhkan benda pusaka yang
dibawa oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah sejengkal pun sebelum
Pusaka Tuak Setan itu
diserahkan kepadaku!"
Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera
bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau
membawa Pusaka Tuak Setan?"
"Tidak!" jawab Cadaspati sambil
berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan dari Datuk Marah Gadai tadi.
"Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak
Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya
kepadamu!"
"Omong kosong!" sentak Datuk Marah
Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya berkata, "Sebenarnya aku sudah
enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini.
Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang
lalu aku melawannya gara-gara persoalan perempuan. Hampir saja aku habis binasa
diterjang ilmunya yang tinggi.
Untung waktu itu Rindani segera ketahuan
bahwa dia pun punya lelaki simpanan lainnya, sehingga kami memutuskan untuk
menghentikan perselisihan dan membiarkan Rindani dengan lelaki simpanannya.
Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil
keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku
akan mati di tangannya. Dan sekarang, ilmuku memang sudah bertambah. Tapi
tentunya Peramal Pikun itu juga semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah
aku melawannya lagi?"
"Hei, Datuk..., mengapa diam saja?
Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau
melepaskan adikku? Atau kita teruskan
persoalan ini dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?" tantang Peramal
Pikun.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin,
"Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih
punya nyali juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai kesan bengis
seperti wajah adiknya. Wajah itu malah berkesan selalu ceria dan
tersenyum."
Datuk Marah Gadai berkata dengan suara
lantang,
"Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak
memiliki Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul dari dalam telaga
itu. Pasti dia sudah menemukan pusaka tersebut!"
"Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk
Marah Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak
Setan itu milik si Gila Tuak?"
Diam-diam Suto terkejut mendengar nama
gurunya disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara cegukannya tidak
berbunyi.
"Aku memang tahu, pusaka itu milik si
Gila Tuak.
Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!"
kata Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si Gila Tuak dengan
muridnya, bahwa pusaka itu akan dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku
harus sudah lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata,
adikmulah yang sudah
mendahului langkahku masuk ke dalam telaga
ini!"
"He, he, he..., siapa tahu adikku masuk
ke dalam telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia tak pernah mandi
sampai badannya bau terasi!"
"Tidak mungkin! Dia pasti telah
memperoleh Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik pakaiannya
itu!"
Sekali lagi Suto membatin, "Iya.
Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya.
Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah
itu sepertinya mempunyai kantong untuk menyimpan
Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain
yang tak berharga yang ada di kantong jubah belakangnya itu?"
Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap
menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan
sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap
tenang dan cengar-cengir saja.
"Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu
kukirim ke neraka karena membela adikmu yang punya urusan denganku!"
"Tunggu, tunggu...," Peramal Pikun
tetap kalem.
"Bukan soal ke neraka yang kupikirkan,
tapi kesia-
siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan.
Sebab menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak akan jatuh ke tangan
siapa-siapa, kecuali ke tangan murid tunggalnya si Gila Tuak."
"Ramalanmu semakin tua semakin tak
manjur!"
"Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si
murid Gila Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia pun siap berhadapan
denganmu, Datuk Marah
Gadai."
"Persetan dengan murid si Gila Tuak.
Yang kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di tangan adikmu itu!"
"Murid si Gila Tuak tidak bisa
dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."
Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la
melirik sekelilingnya.
"Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau
hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang lain di sini, kecuali
kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati bersama adikmu!"
Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser
merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku.
Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua
tindak.
"Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di
sini hanya ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya, menurut ramalanku di
sini ada empat orang, Datuk."
"Mana yang seorang lagi!" sentak
Datuk Marah Gadai dengan suaranya yang besar.
"Ada di atas sana," jawab Peramal
Pikun sambil tangannya seperti menebarkan sesuatu namun
sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang
melesat ke dalam tempat Suto bersembunyi. Datuk Marah Gadai pun terkejut ketika
memandang ke atas dan
melihat seorang pemuda bertengger di sana.
Pemuda itu kini melompat turun dengan dua kali salto, karena ia harus
menghindari tenaga dalam yang dilemparkan oleh Peramal Pikun. Tenaga dalam itu
membentur dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah dan jatuh ke tanah.
Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di
antara Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya mata Datuk Marah Gadai
yang terperanjat, namun mata Cadaspati pun ikut terbelalak melihat kehadiran
Suto.
*
* *
8
MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa
tegak, melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat bumbung tuak yang masih
dipegang dengan tangan kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat
menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah
yang tadi mengganggunya dengan menggunakan raga
Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa
lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati
bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di atas sejak
tadi!" geram Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun
memandang lebih menyipit kepada Suto yang
saat itu sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun.
"Menurut ramalanku, kau yang bernama
Suto Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun.
Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau
kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal
Pikun."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari tadi!" jawab Suto dengan
suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto tertawa bersama
Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki
orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti.
Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa
menjadi seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja kau akan
mempunyai murid yang sinting-sinting semua. He he he he...!"
"Kalau... huk... kalau begitu, huk...
aku buka perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja, huk...!" sambil
Suto cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan
urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi, huk... Paman.
Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan menjadi setan,
huk!"
"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar
kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah
ingusan!"
"He he he...," Suto tertawa dan
bicara kepada Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah ingusan,
huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, huk... he he he...!"
Rupanya kesempatan itu digunakan oleh
Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan
sisa tenaganya ia segera melarikan diri dari arena pertarungan. Karena pada
waktu itu Cadaspati
membatin.
"Aku tak akan mampu menghadapi Datuk
Marah Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di tangannya! Sebaiknya
aku melarikan diri, biar masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan
sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya.
Maka ia pun segera berteriak.
"Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari,
Jahanam!"
Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk
mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula
Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu
kali di udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk Marah Gadai.
Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah
Gadai bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena kibasan angin tongkat
itu terjerembab jatuh ke tanah dengan wajah membentur semak-semak. Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah
dengan tongkat digenggam tangan kanan. la
menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang
segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap
wajahnya. Wajah itu menjadi merah
tergores-gores akibat duri semak yang ditabraknya.
"Keparat kau, Peramal Pikun! Terang
sudah kau turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin persoalan baru
denganku!" geram Datuk Marah Gadai dengan wajah menampakkan kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku bikin urusan
lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"
Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah.
Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat
itu, terucap dalam batin Datuk Marah Gadai.
"Angin pukulannya lebih hebat dari yang
dulu.
Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini,
tapi aku akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar
bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh
larut melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak
mungkin ia bisa berlari jauh
karena ia dalam keadaan terluka oleh
pukulanku tadi."
Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak
tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai
pembasah tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil menyaksikan
pertarungan tersebut, sambil sesekali memperdengarkan suara cegukannya.
Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk
Marah Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak
jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang
punya nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu membuat tanah tempat
berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang
terdorong ke belakang.
Broolll...!
Wusss...! Tubuh Peramal Pikun bagai didorong
kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak
mau manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto satu kali.
Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi,
Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan
pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan
kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin
besar melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya
ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia
menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan
tenaga dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya yang berbentuk kepala
burung garuda itu.
Duub...!
Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling
berbenturan di pertengahan jalan. Satu
benturan itu mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke belakang dan
oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu
runcing.
"Aaauh...!" Datuk Marah Gadai
memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit dan mencabut
ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat
Datuk Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh
Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun
sendiri hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri pada tempatnya. la
berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang kecocok paku?
Nah, lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"
Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu
semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh
mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk Marah Gadai semakin panas.
Maka, ia pun segera mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan tenaga dalam
ke arah depan. Dari tendangan kaki itu melesatlah sinar putih keperakan.
Meluncur dengan cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.
Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal
Pikun melompat ke samping dan bersalto satu
kali.
Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat
terus ke arah Suto yang sedang duduk di batu.
Melihat kilatan cahaya putih keperakan
melesat ke arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung
tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai
bumbung, namun tidak segera meledakkan
bumbung, juga tidak segera padam, melainkan
justru berbalik melesat ke tempat asalnya. Wusss...!
Kecepatannya melebihi kecepatan semula.
Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan
kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan
tubuh, menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, hingga dalam kejap
berikutnya ia sudah berada di
atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar
putih keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah pohon lain. Pohon itu
segera lenyap seketika, tinggal serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah itu!" geram
hati Datuk Marah Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan sambil
cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang bisa menangkis jurus
'Tapak Dewa'
dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke
asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!"
Datuk Marah Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat
terkejut melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa'
yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu.
Jurus
'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan
Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa ditangkis kecuali
dihindari atau diadu dengan kekuatan yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika
sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk
Marah Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut. Dulu,
ia belum punya ilmu yang bisa menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah
mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan
sinar merah dari kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani
menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia
sangat terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan menangkis jurus itu
menggunakan bumbung tempat tuaknya. Peramal Pikun pun membatin.
"Bumbung itu pasti bukan sembarang
bumbung.
Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi
ilmunya si
Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama
ini selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu sedahsyat apa pun.
Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak
bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu tinggi, mempunyai
kesaktian tingkat atas, tak mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus
mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku
berani bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal namanya di rimba
persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang ada urusan dengan Datuk Marah Gadai!
Bukan
mengagumi kehebatan bocah sinting
itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun terlambat.
Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata
tempat itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai
bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai
menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah
Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya kepada Suto Sinting.
"Ke mana orang itu tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi.
Lari ke sana!"
ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.
"Mungkin dia mengejar adikmu, huk...
yang bernama Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan Kadaspati!"
sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto hanya tertawa
sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak menahannya?!"
kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila Tuak itu menjawab.
"Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi
kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil merebut Guci
Pusaka Tuak Setan dari tangan adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu,
Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, untuk apa aku
menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi
kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu palsu!"
"Palsu atau tidak, itu tergantung
anggapan orang.
Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak
Setan itu dari tangan si Datuk Marah Gadai!"
"Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka
Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau ingin agar aku membunuh
adikmu untuk merebut
Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus berurusan
denganku Suto Sinting!"
"Aku malas berurusan denganmu! Bukan
karena aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang lemah, huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan
sebagai orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak melepaskan kemarahannya.
la hanya berkata dalam hati.
"Kalau bukan karena aku sedang
membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu!
Sayang aku harus membujuknya untuk ikut
mengejar Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng dan menambah
kekuatanku jika ia ada di pihakku.
Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai
menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu,
Cadaspati terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi
melawan Datuk Marah Gadai."
Suto berdiri dari duduknya dengan
sempoyongan.
la berkata dengan suara mabuknya.
"Aku mau mandi, biar segar
badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan
Pusaka Tuak Setan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila
Tuak dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga,
huk...! Aku mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar sinting!"
kata Peramal Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera menyusul Datuk Marah
Gadai, sebelum ia menewaskan
Cadaspati!"
*
* *
9
PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat
bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi dengan kepergian
Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan
dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu
dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum pernah
bertemu ini akan terpupus habis."
Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru
sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru-buru merapatkan
bajunya kembali dengan wajah
celingak-celinguk penuh curiga.
Dari kerumunan semak di seberang telaga,
muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam.
Suto menghempaskan napas dan menggeram
jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut, Paman
Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu
tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar dalam bicaranya.
Orang tersebut segera mendekati Suto dan berkata dengan napas masih
terengah-engah.
"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu
perempuan!"
"Paman ini mau ngomong apa kok
desak-desakan sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam
suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa wajahmu memar begitu,
Paman? Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia
sama Guru."
"Maksud Paman Giri, ada perempuan
mendesak Paman untuk bertemu dengan Guru?"
"Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto membenarkan
susunan katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman
menyusulku kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan.
Dia masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya pasti."
"Guru ditantang perempuan itu?"
"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa
guru olehnya."
"Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak
mungkin itu, Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang
perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu Guru
selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!" sentak Suto
membetulkan kalimat.
"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari
keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu,
Paman!
Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk..., tak bisa kutahan. Aku mau
bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak segera mandi."
"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia
oleh perempuan itu?!"
"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh,
kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"
"Pergi cepatlah ke sana!"
"Aku mau mandi! Tahu...?!" sentak
Suto merasa jengkel akhirnya. Sentakan itu membuat Pujangga Kramat menjadi ciut
nyali. Sentakan itu sepertinya mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa
mempengaruhi keberanian seseorang menjadi
surut.
Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan
menjadi penurut. Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh
Bidadari Jalang kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan
susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat
diminta untuk membantu menarikkan bajunya.
Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat
menuruti perintah itu tanpa banyak bicara.
Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar
detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata
Suto yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke arah rimbunan pohon.
Baju yang telah dilepaskan segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat
memandang dengan heran, tak mengerti maksud
Suto.
la segera menghentakkan kaki kanannya ke
tanah.
Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan.
Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam
yang bisa membuat air telaga di tepian
sebelah seberang memercik ke arah rimbunan semak yang dicurigai Suto.
Crattt...!
"Auh...!" terdengar suara pekik
dari rimbunan semak.
Pujangga Kramat terperanjat dan berkata,
"Orang ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan
semak.
Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan
bicara padaku apa maunya!"
"Itu suara perempuan. Perempuan itu
jangan-jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan
mukaku."
"Kau takut, Paman?" Suto tersenyum
geli.
"Takut tidak. Jera iya."
Suto tertawa terkekeh, la berseru,
"Perempuan di balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi.
Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau
intip aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah diketahui,
perempuan yang ada di balik rimbunan semak
itu pun akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana dengan satu lompatan
tanpa menimbulkan suara
gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas
menyentuh dedaunan.
"Aku tidak bermaksud mengintipmu,
Suto!" kata perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak sedikit
merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!"
Suto memandang dengan mata merahnya yang mirip orang
mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat
ke sorot pandangan mata Selendang Kubur. Pada saat itu, Pujangga Kramat
berbisik,
"Ini perempuan bersama tadi dengan
perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke gua, temui Ki Gila
Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan
maksudmu,"
sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan
Selendang Kubur berjalan mendekat.
Suto segera berkata, "Selendang Kubur,
temanmu mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku.
Tolong ingatkan padanya, aku segera datang
dan akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat
menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa
persoalan tadi sudah kita selesaikan. la
bahkan tidak ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat masuk ke dalam
gua untuk menemui gurumu dan
meminta maaf atas sikap mencurigakan dari
Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka
tidak akan perbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia
masih sesekali celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah Paman Giri
ini?"
"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi
niat baiknya hingga ia melakukan kekerasan."
"O, begitu?"
"Kami orang-orang Perguruan Merpati
Wingit tidak suka mencari persoalan dengan orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu datang
kemari?"
"Menjagamu," jawab Selendang Kubur
sambil memalingkan pandangan mata ke arah lain.
"Jawabanmu sungguh lucu bagiku,"
Suto tertawa.
"Jawaban itu hanya alasan belaka yang
dibuat-buat.
Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip
aku mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka
dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan berkesan ketus.
"Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu
mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah bisa melihatmu
telanjang."
"Hah...?l" Pujangga Kramat
terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan
tangannya ke bawah.
Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa
pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Kubur. la berkata,
"Jangan menyombongkan ilmu di depanku,
Selendang Kubur."
"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang
aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan baju rangkap
tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'.
Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan
Merpati Wingit yang menoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'."
Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak
percaya.
"Kau mempunyai tahi lalat di bawah
pinggulmu!"
kata Selendang Kubur setelah menatap Suto
beberapa saat.
Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu
memang benar. Lebih terkejut lagi setelah
Selendang Kubur berkata,
"Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda
hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan,
dekat dengan tulang pinggul."
Menggeragap bingung Suto menghadapi
perempuan berhidung mancung dan bermata
bundar itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena apa yang dikatakan
Selendang Kubur mengandung kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa
Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata
tembus pandang. Akibatnya, Suto segera
bersembunyi di belakang Pujangga Kramat.
Tetapi Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya, pindah ke belakang Suto
sambil merapatkan kaki dan kedua tangan mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia segera berpindah
tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat.
Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari
dan bersembunyi di balik pohon besar. Hanya kepalanya yang nongol dan berseru,
"Bersembunyi cepat pohon di balik!"
Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari
ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu
dan berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia berseru.
"Pohon itu pun masih bisa kutembus
dengan pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah
berdiri saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa di atas gua,
dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani menatapku. Rupanya dia
punya kekuatan
tembus pandang, dan tak enak hati melihat
tembus keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu segera mengambil
keputusan untuk menceburkan diri ke telaga.
Setidaknya dengan begitu ia bisa
menyembunyikan
tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk
mandi.
Maka, serta-merta Suto melompat dari balik
pohon setelah melemparkan bumbungnya ke tangan
Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu
kali dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera
menatap ke arah telaga. la sedikit tegang
dengan berseru kepada Pujangga Kramat.
"Apakah dia bunuh diri?"
"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi,"
jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang Kubur
merenungkan arti kata sebenarnya. Setelah
memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur
tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya dengan menggunakan ilmu peringan
tubuh yang cukup tinggi, melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas sebuah
pohon. Duduk di dahan berukuran besar.
la bagai seorang penjaga yang menunggu
majikannya sedang mandi. Matanya memandang
sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya
datang pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau bahaya itu sebelum
bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut cemas dahi
Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke
permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur
menjadi cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di telaga itu. Maka, ia
pun berseru kepada Pujangga Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia
bisa berenang?"
"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat.
"Tak pernah melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku
tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto
mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama.
Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu
menjadi punya minat lain, yaitu ingin
menyelam ke dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan. Suto
ingin mengetahui apakah Cadaspati benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan,
atau memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu.
Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di
bagian mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata Sumo sempat melihat
benda yang separonya
terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat
mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar telaga. Suto bergegas berenang
mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda berbentuk
guci?!" pikir Suto.
Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun
separo benda itu. Dan, ternyata benda
tersebut adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman pandan sebagai tempat
guci yang juga berlumut, bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil
melekat di anyaman pandan.
"Inilah guci yang kulihat pada saat aku
bersemadi di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka Tuak Setan?!
Hmmm... kelihatannya keras sekali dan sukar dihancurkan dengan tangan kosong.
Sebaiknya kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul ke
permukaan!"
Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia
sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh Cadaspati dan Datuk Marah
Gadai itu? Ternyata Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak
Setan!"
Selendang Kubur merasa lega begitu melihat
kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga.
la
tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal
itu akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat.
Selendang Kubur hanya duduk diam di atas
pohon.
Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada
tubuh Suto yang berpakaian basah kuyup.
Pandangan mata yang semula menemukan
keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan
senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang.
Rupanya pandangan mata perempuan berselendang
putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah benda berukuran kecil di tangan
Suto. Benda itu berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar
genggaman tangan Suto.
"Pusaka Tuak Setan!" gumam
Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang dikatakan
sebagai Tuak Setan dan dapat
menimbulkan bencana besar jika
disalahgunakan?
Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan
tuak itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat hembusan napas orang yang
meminum tuak tersebut.
Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan
tak terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi
raja di atas segala raja di tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur
masih tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Paman Giri, Pusaka Tuak Setan
kutemukan!" kata Suto kepada Pujangga Kramat. Orang berperut agak buncit
itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum. Hatinya berdebar-debar.
Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan
oleh Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan pada dirinya. la berkata
dalam hati, "Rasa puyeng di kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi
tidak
limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang
akibat aku menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang akibat aku memegang
Guci Tuak Setan ini?"
"Suto," kata Pujangga Kramat.
"Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"
"Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang
terkubur bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin Manik Intan."
"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh
menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat, kemudian
kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan.
"Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru
masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku tadi melihatnya
di sana!"
"Ambillah, orang lain sebelum
mengambilnya!"
"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci
kuno ini, aku akan menyelam kembali ke dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti hilang
napasmu."
Suto segera melompat kembali ke dalam telaga.
Tindakannya itu membuat Selendang Kubur
merasa heran dan perlu berkerut dahi.
"Mengapa ia kembali masuk ke dalam
telaga?"
pikir Selendang Kubur. "Apakah dia
meneruskan mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar kubur? Mungkin
sebuah atau dua buah pusaka lagi yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya
kutunggu saja hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di dasar telaga
kembali, tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada sesuatu yang membuat
hatinya begitu. la berusaha melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari
Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak
ditemukan.
Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak
Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak
ada.
Suto bertambah gelisah karena tidak mudah
menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke
permukaan air menjadi semakin besar. Sampai-sampai timbul pertanyaan di
batinnya.
"Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin
muncul ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin itu sendiri hilang?
Tadi kulihat kilau batuannya ada di sini? Ke mana larinya cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan kegundahan hati.
Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin
itu.
Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan
hatinya, maka ia pun segera muncul di permukaan telaga.
"Paman Giri, aku tidak...,"
kata-kata Suto terhenti seketika. Pandangan matanya menemukan sesuatu yang amat
mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la segera jejakkan kakinya yang ada di
dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia bersalto
satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan tegar di samping sesosok tubuh yang
terbujur kaku membiru.
"Paman Giri...!" Suto menyentakkan
kata untuk membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu masih belum bisa
membuka matanya. Sekujur
tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di
bagian lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu.
Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum
itu serupa dengan jarum beracun yang mengenai
punggung Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di
tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau merebutnya dengan terlebih
dulu merubuhkan Paman
Giri memakai jarum beracun. Hmmmm...
Selendang Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun hilang? Benarkah
Selendang Kubur yang merebut Pusaka Tuak Setan itu?"
Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak
yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi
dalam hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang Kubur telah
mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah satu-satunya
orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya
Selendang Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak mungkin! Jadi, ke
mana aku harus mencari
Selendang Kubur?"
SELESAI
Segera menyusul!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode:
DARAH ASMARA GILA
Emoticon