"Ya. Lantas
siapa yang bisa memenuhi kebutuhan
pribadi kita?
Nyai...?! Apakah beliau sanggup memenuhi kebutuhan pribadi kita, jika pribadi
kita menghendaki seorang kekasih seperti pemuda itu?!"
"Rukmi...!"
sentak Maharani. "Jelasnya kau akan melakukan pembangkangan terhadap
perintah nyai kita!"
"Aku hanya
menuntut hakku dan perasaanku! Aku
suka pada Suto
Sinting itu!"
"Sudah lama
kita berteman, Rukmi," ucap Putri Alam Baka dengan nada rendah dan lebih
berkesan tenang dari Maharani. Lalu ia berkata lagi,
"Jangan sampai
aku mengambil tindakan tegas
untukmu. Jangan
sampai aku menjatuhkan hukuman
berat untuk teman
sendiri, Rukmi. Kuingatkan, jaga
nafsumu. Serahkan
Suto kepada Nyai Lembah Asmara
sesuai tugasmu.
Kurasa Nyai Ratu punya kebijaksanaan
tersendiri untuk
dirimu, Perawan Sesat!"
"Aku tetap
tidak akan menyerahkan Pendekar Mabuk kepada Nyai!"
"Kalau begitu
kau menghendaki kami menghajarmu,
Rukmi!" sentak
Maharani lagi sambil hentikan gerakan tangan yang sejak tadi mengipas-ngipas di
depan
dadanya yang sekal
itu.
Mendengar gertakan
itu, Perawan Sesat
menyunggingkan
senyum sinis meremehkan, ia berkata,
"Apa pun
tindakan yang akan kau ambil, aku sudah siap menghadapinya, Maharani! Kalian
boleh paksa aku
dengan cara apa
pun. Tapi aku tetap tidak akan
menyerahkan Suto ke
tangan Nyai!"
Terdengar ucapan
pelan bernada sinis dari Maharani
kepada Putri Alam
Baka.
"Ternyata apa
yang dikhawatirkan Nyai Lembah
Asmara memang
benar-benar terjadi, Sumbi! Perawan
Sesat melakukan
pembangkangan!"
"Cuih...!"
Perawan Sesat meludah dengan benci.
"Kau memang
layak mendapat julukan penjilat kotor, Maharani! Sejak dulu kau selalu menjadi
penjilat agar
mendapat perhatian
dari Nyai Lembah Asmara!"
"Itu urusanku,
Rukmi!" jawab Maharani menirukan jawaban Perawan Sesat tadi. Kini ia maju
dua langkah, berada lebih depan dari Putri Alam Baka. Rupanya ia
ambil alih sendiri
perkara itu, sehingga Putri Alam Baka mundur satu tindak.
"Perawan
Sesat!" geramnya dengan mata menyipit tajam. "Jika kau bersikeras untuk
tidak menyerahkan pemuda itu kepada Nyai Lembah Asmara, kau harus
melangkahi mayatku
dulu!"
"Aku tak
keberatan!" jawab Perawan Sesat. "Seribu mayat dirimu akan kulangkahi
dalam sekejap,
Maharani!"
"Cabut
pedangmu!" sentak Maharani sambil ia mulai pasang kuda-kuda untuk
menyerang.
Perawan Sesat
melangkah pelan ke kiri, kembali lagi
ke kanan sambil
matanya melirik ke arah Maharani
dengan senyum
meremehkan.
"Pedangku tak
akan kucabut! Karena untuk
membuatmu menjadi
mayat cukup menggunakan
kelingkingku,
Maharani!"
"Mulut sombong
busuk!" geram Maharani, kemudian ia kibaskan kipasnya dari kiri ke kanan
dalam keadaan terbuka dan miring. Wuuus...!
Tenaga dalam
bagaikan ditebarkan dalam gerakan
cepat, melesat ke
arah Perawan Sesat. Dengan lincah
perempuan berambut
acak-acakan itu sentakkan ujung
jempol kakinya ke
tanah dan tubuhnya melesat naik ke
atas sambil ia
sentakkan pula tangan kirinya ke depan.
Wuugh...!
Tenaga dalam dari
kipas mengenai tempat kosong.
Sementara itu
tenaga dalam dari tangan Perawan Sesat
menghempas ke wajah
perempuan berkelabang dua.
Dengan gerakan
cepat Maharani menutup wajah dengan
cara bentangkan
kipasnya di depan mata. Brett...!
Begggh...!
Pukulan tenaga
dalam Perawan Sesat bagai
menghantam lereng
sebuah gunung. Hempasannya
membalik ke arah
Perawan Sesat, tapi ketika itu Perawan Sesat sudah pijakkan kakinya ke tanah,
sehingga yang
menjadi sasaran
adalah dahan pohon yang segera retak
dan jatuh berdebum
dalam jarak dua langkah dari tempat duduk Pendekar Mabuk.
Brruk...! Suto
tersentak kaget, namun tak ada kata
yang keluar dari
mulut Suto selain suara cegukan. Di
dalam hatinya Suto
berkata,
"Kurasa
Perawan Sesat akan tumbang di tangan salah satu dari kedua perempuan lawannya
itu. Bila Perawan
Sesat tak mampu
menghadapi dua lawannya, bisa-bisa
aku tak jadi
ditemukan dengan Dyah Sariningrum. Tapi, haruskah aku ikut campur tangan dalam
urusan mereka?
Atau sebaliknya
kutinggal pergi saja?"
Dugaan Pendekar
Mabuk itu ternyata benar. Dalam
satu kesempatan
Putri Alam Baka tahu-tahu menyerang
Perawan Sesat yang
sedang menghadapi Maharani.
Sungguh di luar
dugaan Perawan Sesat, bahwa Putri
Alam Baka sampai
hati melawan teman dengan
menggunakan
seruling pusakanya. Seruling itu
disentakkan dari
jarak jauh. Lubang di bagian ujung
bawah seruling
mengeluarkan cahaya biru berkilap bagai lidah-lidah petir.
Dalam sekejap,
tubuh Perawan Sesat bagaikan
dikurung oleh
kilauan-kilauan cahaya biru yang
berbentuk mirip
ranting-ranting pohon. Perawan Sesat
terjerat. Tubuhnya
mengeras dan akhirnya jatuh
berdebum ke tanah.
Ketika kilatan-kilatan cahaya biru itu berhenti mengelilingi tubuhnya, Perawan
Sesat
berusaha bangkit
dalam keadaan mulut berdarah dan
kulit mengelupas
kecil-kecil.
"Habiskan saja
dia, Maharani!" perintah Putri Alam Baka.
Maka, perempuan
berbaju merah itu menutupkan
kipasnya dan
menebaskan kipas itu ke depan. Cahaya
merah menyembur
bagai semburan dari dasar gunung
berapi. Woos...!
Bukan tak mungkin tubuh Perawan
Sesat akan terbakar
habis oleh jurus maut itu.
Tetapi, pada saat
itu jari telunjuk Pendekar Mabuk
melakukan gerakan
menyentil dari depan lututnya.
Tuus...! Tak ada
yang melihat gerakan jari menyentil itu.
Tetapi ternyata
jurus 'Jari Guntur' itu telah membuat tubuh Maharani terpental keras bagai
ditendang kuda.
Mulutnya sampai
memperdengarkan suara, "Heeegh...!"
Dan tubuhnya segera
melayang ke belakang, jatuh dalam jarak tiga langkah di samping Perawan Sesat.
Tentu saja jatuhnya
Maharani membuat Putri Alam
Baka menjadi
tercengang kaget, ia menyangka kekuatan
tenaga dalam itu
datang dari tubuh Perawan Sesat.
Maka, dengan
semangat membunuh lebih menyala-nyala
lagi, Putri Alam
Baka segera sentakkan tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka, ia bagai
mendorong
sesuatu dari
samping ke depan dengan keras. Pukulan
jarak jauh itu akan
menghancurkan kepala Perawan
Sesat yang sudah
tak berdaya itu.
Tetapi, Suto segera
melakukan gerakan kecil. Jempol
tangannya
dirapatkan dengan jari telunjuk. Lalu, ia
sentakkan kedua
jari itu seperti memanggil ayam atau
burung, triik...!
Gerakan tangan
Putri Alam Baka hampir mencapai
ujungnya, tahu-tahu
kedua kakinya bagai ada yang
menyepak dari
belakang. Wuus...! Kedua kaki itu
terangkat
kuat-kuat, tubuh Putri Alam Baka terpelanting jatuh. Bruuk...!
Pukulan
pamungkasnya tidak jadi dilancarkan. Tetapi
pada saat itu, Suto
menangkap kelebatan sosok tubuh
yang menyambar
Perawan Sesat. Wesss...! Cepat sekali
gerakannya.
Tahu-tahu orang tersebut telah
menggendong tubuh
Perawan Sesat di pundak kirinya,
berdiri agak jauh
dari kedua lawan, juga agak jauh dari Suto sendiri. Melihat keadaan tubuh orang
yang baru
datang berbadan
kurus kering, tak salah lagi penglihatan Suto, bahwa orang itu adalah Peramal
Pikun.
"Suto, uruslah
kedua perempuan itu! Aku akan
membawa Perawan
Sesat ke pondokku. Dia terluka
parah!"
"Hei...!"
Suto hanya bisa memanggil tak bisa berkata apa pun karena Peramal Pikun segera
melesat pergi
meninggalkan tempat
itu.
"Kejar...!"
perintah Putri Alam Baka kepada Maharani.
Tapi sebelum
Maharani bergerak mengejar, Suto
melentingkan tubuh
ke udara dengan menggunakan
tumitnya untuk
menjejak tanah. Dalam satu gerakan
jungkir balik,
Pendekar Mabuk sudah berada di depan
Maharani. Ia
terkekeh-kekeh dengan suara sumbang.
"Tak perlu
dikejar. Ada baiknya kalau kalian segera bawa aku menghadap nyaimu itu. Aku
sendiri ingin
segera
bertemu!" kata Pendekar Mabuk kemudian karena ia menyangka nyai mereka
adalah Dyah Sariningrum.
*
* *
6
SEBUAH bangunan
mirip istana kecil bertengger
megah di lereng
sebuah bukit. Bukit itu adalah Bukit
Garinda. Dulu
wilayah itu dikuasai oleh Nyai Guru
Betari Ayu. Kala
itu, Betari Ayu punya persahabatan
baik dengan seorang
teman yang bernama Wulandari.
Dan pada waktu
Wulandari mendirikan Partai
Perempuan Sakti,
Betari Ayu tidak mau bergabung,
tetapi sebagai
tanda persahabatan ia pinjamkan tanah di lereng Bukit Garinda itu kepada
Wulandari. Waktu demi waktu berlalu akhirnya tanah di lereng Bukit Garinda
dikuasai sepenuhnya
oleh Wulandari, yang kemudian
dikenal dengan
julukan Nyai Lembah Asmara.
Bangunan yang mirip
istana kecil itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang menyerupai benteng. Batas
salah
satu sisi tembok
ada yang mencapai tepian pantai laut utara. Bangunan itu berkesan megah,
mempunyai pintu
gerbang yang
jaraknya lebih dari seratus langkah dari pusat bangunannya sendiri.
Di tanah yang
jaraknya lebih dari seratus langkah itu, dibangun pula rumah-rumah kecil yang
merupakan
pemukiman para anak
buah Nyai Lembah Asmara. Juga
dibangun
tempat-tempat khusus untuk berlatih ilmu. Di sana dipersiapkan
sepasukan-prajurit wanita yang kelak akan menjadi benteng utama dari negeri
yang ingin
didirikan oleh Nyai
Lembah Asmara. Mereka adalah
kaum wanita yang
tangguh dan terpilih. Cantik dan
menggiurkan, adalah
syarat utama untuk menjadi anak
buah Nyai Lembah
Asmara. Di sana, cinta bebas
berkeliaran. Pria
hanya merupakan barang yang bisa
dibeli dan
dijadikan satu kebutuhan hidup bila sewaktu-waktu diperlukan.
Nyai Lembah Asmara
dan anak buahnya dikenal
sebagai
perempuan-perempuan pemburu cinta yang tak
segan-segan
membantai lelaki yang habis dikencaninya.
Mereka ditempa oleh
Nyai Lembah Asmara untuk
menjadi perempuan
yang berjaya di atas kaum lelaki
mana pun juga.
Karena menurut ramalan seorang ahli
nujum dari Mongol
yang pernah bertemu dengan Nyai.
Sang Nyai akan bisa
berdiri sebagai ratu di atas segala ratu di bumi ini, jika ia bisa mempunyai
negara yang
seluruh punggawa
dan prajuritnya adalah perempuan.
Sang Nyai rupanya
benar-benar ingin menjadi ratu di
atas segala ratu di
bumi.
Kaum lelaki jarang
hadir di lingkungan kekuasaan
sang Nyai. Kalaupun
ada lelaki di sana, mereka hanyalah alat pemuas dahaga para wanita Bukit
Garinda. Tak ada lelaki yang masuk ke benteng tinggi itu keluar dalam
keadaan segar.
Paling tidak mereka meninggalkan Bukit Garinda dalam keadaan layu dan pucat
bagai mayat.
Bahkan sering
sekali mereka keluar dalam keadaan luka parah dan tewas sebelum mencapai kaki
bukit.
Nyai Lembah Asmara
selalu menempa jiwa anak
buahnya untuk tidak
terlalu banyak memberi kemanisan
kepada kaum lelaki.
Bahkan mereka selalu dianjurkan
untuk tidak mudah
memberi maaf atau ampun kepada
kaum lelaki. Sekali
cabut pedang, pantang dimasukkan
kembali sebelum
memenggal kepala seorang lelaki.
Tetapi terhadap
lawan wanita, Nyai tidak menyalahkan
anak buahnya jika
ada yang punya kebijakan ataupun
tenggang rasa.
Satu-satunya mantan
murid Nyai yang melarikan diri
dari Bukit Garinda
karena tak tahan terhadap kekangan peraturan di sana adalah Peri Malam, yang
kemudian
bertemu dengan
penguasa Pulau Hantu berjuluk Si
Mawar Hitam, lalu
diangkat sebagai muridnya. Pada
waktu itu, Peri
Malam belum mempunyai ilmu tinggi
dan masih berada di
jajaran para murid tingkat dasar.
Sayang pada waktu
Peri Malam melihat Perawan
Sesat bersama
Dirgo, si Manusia Sontoloyo itu, ia tidak mengenali siapa Perawan Sesat. Karena
pada waktu Peri
Malam meninggalkan
Bukit Garinda, Perawan Sesat
belum menjadi anak
buah Nyai Lembah Asmara. Peri
Malam hanya bisa
simpulkan, bahwa Perawan Sesat
adalah perempuan
yang membahayakan, karena dapat
merebut hati
Pendekar Mabuk dengan kecantikan dan
daya tariknya yang
aneh itu (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode: "Perawan Sesat').
Pengejaran Peri
Malam saat melihat Suto melarikan
Perawan Sesat
ternyata menemui jalan buntu, ia
kehilangan jejak
Pendekar Mabuk. Tapi rasa cinta yang makin berkembang di hatinya, membuat Peri
Malam
pantang menyerah
untuk tetap mencari Suto Sinting, ia selalu mengandalkan indera penciumannya
untuk
melacak ke mana
arah perginya Suto.
Sampai tiba pada
langkah berikutnya, Peri Malam
mulai mencium bau
keringat Suto yang punya aroma
tuak bumbung. Mata
tajam Peri Malam segera melirik
sekeliling. Bahkan
ia sentakkan kaki dan melenting di udara untuk hinggap di salah satu dahan
pohon. Dari
sana ia memandang
segala penjuru, terutama ke arah
datangnya aroma
keringat tuak itu.
"Pasti dia ada
di sekitar sini," pikir Peri Malam. "Bau keringatnya hanya
samar-samar, itu berarti jaraknya
cukup jauh dari
sini. Hmmm... agaknya aroma keringat
Pendekar Mabuk
lebih tajam ke arah utara. Itu berarti dia berada di sebelah utara sana! Aku
harus melacaknya
terus!"
Kelebat bayangan
kuning adalah kelebat gerakan Peri
Malam yang
berpakaian kuning kunyit. Rambutnya yang
lurus melewati
pundak masih diikat dengan rantai emas berbatu merah delima di keningnya.
Bayangan kuning
kunyit itu hinggap kembali ke
dahan pohon lain.
Peri Malam lemparkan pandangan
mata ke arah jauh.
Ia terkesiap sekejap dan hatinya
berkata,
"Oh, rupanya
aku mendekati Bukit Garinda?!
Dinding bentengnya
terlihat jelas dari sini. Dan anehnya aroma keringat Suto semakin jelas pula.
Apakah Suto
berada di dalam
benteng sana? Celaka! Celaka kalau dia ada di sana! Bukan hal mudah membebaskan
Pendekar
Mabuk dari dalam
benteng Bukit Garinda itu. Pasti aku harus berhadapan dengan anak buah Nyai
Lembah
Asmara. Ilmuku tak
seimbang. Dia bukan lawanku.
Tapi, aku harus
bisa menyelamatkan Suto dari
cengkeraman Nyai.
Suto hanya akan dijadikan sapi
perahan saja di
sana. Aku sendiri sangsi, apakah Suto bisa melawan ilmunya Nyai jika ia
melakukan
pembangkangan?! Dan
yang paling berbahaya adalah
ilmu 'Racun Darah
Asmara' milik Nyai! Suto tak akan
bisa melawan racun
yang amat ganas itu!"
Peri Malam hentikan
kecamuk hatinya. Bahkan ia
pun alihkan
perhatian ke bawah pohon. Ternyata di sana ada dua manusia yang terhenti
langkahnya karena
memandang bangunan
di lereng Bukit Garinda. Mereka
adalah seorang
lelaki agak pendek dan sedikit gemuk,
bersama seorang
perempuan berlilit selendang putih di bagian pinggangnya, menyandang pedang di
punggungnya. Mereka
adalah Pujangga Keramat dan
Selendang Kubur.
Rupanya mereka sibuk mengamat-
amati bagian pintu
gerbang benteng itu, sampai tak
menyadari ada
sesosok tubuh bertahi lalat di sudut
dagunya diam
mengawasi di atas kepala mereka.
"Aku yakin
Suto ada di dalam benteng itu, Paman
Pujangga
Keramat," kata Selendang Kubur menirukan panggilan Suto terhadap Pujangga
Keramat.
"Harus kita
masuk bisa ke sana!" kata Pujangga Keramat dengan susunan kata yang selalu
harus disusun kembali oleh lawan bicaranya.
"Tapi sebelum
kita mendobrak masuk, ada baiknya
kalau kita selidiki
dulu apakah Suto benar-benar ada di sana, dan di sebelah mana. Jadi kita tidak
buang-buang waktu dan tenaga jika harus membantai habis orang-orangnya Nyai
Lembah Asmara."
"Setuju aku
gagasanmu dengan!"
Kemudian, Pujangga
Keramat memasukkan jari
telunjuknya ke
mulut. Sebentar kemudian dikeluarkan
lagi. Jari telunjuk
yang basah oleh ludahnya itu diangkat ke atas dengan tangan teracung naik. Ia
pejamkan mata sebentar. Selendang Kubur memandangi dengan dahi
kerut. Heran
melihat apa yang dilakukan Pujangga
Keramat.
Kejap berikut,
Pujangga Keramat turunkan tangan
dan berkata,
"Suto memang
ada benteng di dalam."
"Maksudmu,
Suto ada di dalam benteng itu?"
"Ya!"
jawabnya tegas.
Selendang Kubur
manggut-manggut sambil menatap
bangunan itu.
Hatinya membatin geli melihat cara
Pujangga Keramat
melacak Suto.
"Cara yang
dipakai seperti cara orang yang mencari tahu arah angin berhembus. Tapi hebat
juga dia, bisa
lacak Suto pakai
jari telunjuk yang dibasahi."
Peri Malam yang
bertengger di atas mereka juga
ingin tertawa geli
melihat cara Pujangga Keramat
melacak Suto.
Hampir saja ia hamburkan tawa kalau
tidak segera tutup
mulutnya pakai tangan.
Pujangga Keramat
berkata kepada Selendang Kubur,
"Aku tangkap
Pendekar Mabuk dan seorang
perempuan."
"Pasti dia si
Perawan Sesat itu!"
"Sesat bukan!
Perempuan itu ada lalat bertahi di dagunya, ada kuning kunyit di
pakaiannya...."
"Peri
Malam!" sahut Selendang Kubur cepat dan terkejap. Ia segera palingkan
wajah pandang Pujangga
Keramat. "Itu
ciri-ciri Peri Malam!" katanya menegaskan.
"Mungkin,
ya!"
"Apakah dia
berada bersama Suto?" tegang wajah Selendang Kubur tak bisa disembunyikan.
"Bersama Suto
tidak! Itu perempuan tidak ada Suto di sampingnya."
"Lantas, ada
di mana perempuan itu jika tidak ada di samping Pendekar Mabuk?"
"Bertengger
dia kepala kita di atas," jawab Pujangga Keramat membingungkan Selendang
Kubur.
Di atas pohon, Peri
Malam menggerutu dalam hati,
"Sial! Rupanya
orang itu tadi bukan hanya melacak Suto, namun juga melacak diriku yang ada di
atasnya.
Hm... tak ada guna
aku tetap diam di sini!"
Saat Selendang
Kubur kerutkan dahi untuk susun
kembali kata-kata
Pujangga Keramat tadi, tahu-tahu
angin berhembus
cepat dari atas kepalanya. Selendang
Kubur cepat
lompatkan tubuh ke kanan, hindari
hembusan angin yang
mencurigakan itu.
Jleeg...!
Hembusan angin
hilang, Peri Malam menampakkan
diri. Ia tampakkan
kedua kaki di tanah dengan mantap, jarak empat langkah dari Selendang Kubur
yang
bersebelahan dengan
Pujangga Keramat. Peri Malam
segera sunggingkan
senyum sinis pada Selendang
Kubur.
"Kita bertemu
lagi, Selendang Kubur!" ucap Peri Malam dengan sorot mata tajam.
Selendang Kubur tak
mau kalah, ia ucapkan kata
pedas,
"Mungkin kau
ingin serahkan nyawa padaku, Peri
Malam! Aku pun siap
menebas lehermu dengan
pedangku!"
Tangan Selendang
Kubur bergerak ke belakang, mau
pegang gagang
pedang Jalaganda. Tapi itu hanya
gertakan belaka.
Buktinya ia segera turunkan tangan
setelah Peri Malam
sunggingkan senyum lebar dan
ucapkan kata,
"Tak mungkin
kau mau tebas leherku pakai
pedangmu. Kau akan
merasa sayang jika darahku
melumuri pedangmu.
Aku tahu, kau bawa pedang itu
hanya untuk melawan
Nyai Lembah Asmara! Pedang itu
adalah senjata
pamungkasmu untuk merebut Suto dari
tangan Nyai!"
"Tapi jika kau
ingin merampas Pendekar Mabuk, aku pun siap tebaskan pedang ini ke lehermu,
kapan saja aku mau!"
"Kau tak akan
mampu, Selendang Kubur," Peri Malam cibirkan bibir dan berpaling
membelakangi
Selendang Kubur,
menatap ke arah bangunan ber-
benteng hitam
keabu-abuan itu.
Selendang Kubur
menghempaskan napas jengkel, ia
perdengarkan geram
dari mulutnya. Saat ia ingin
bergerak maju,
tangan Pujangga Keramat menghalangi
langkahnya.
Selendang Kubur cepat menatap.
"Biar
kubuktikan bahwa aku mampu menebas batang
lehernya!"
"Tak perlunya
ada!" kata Pujangga Keramat.
Peri Malam balikkan
badan, lalu berkata pada
Selendang Kubur,
"Tepat apa kata dia, tak perlu kau tebas batang leherku untuk saat ini.
Kau hanya akan
buang-buang waktu
dan tenaga. Aku tahu, saat ini waktu dan tenagamu amat berguna buat loloskan
Suto keluar
dari benteng itu!
Tapi ketahuilah, Selendang Kubur... tak semudah menimba air jika kau ingin
loloskan Pendekar
Mabuk keluar dari
benteng itu. Kau harus berhadapan
dengan Nyai Lembah
Asmara yang punya ilmu cukup
tinggi, dan lebih
tinggi dari kita bertiga! Kau akan mati sia-sia jika nekat masuk ke sana dan
mencari Suto."
"Mati itu
nomor sepuluh. Nomor satu adalah loloskan Suto dari cengkeraman mesra Nyai
Lembah Asmara!"
Selendang Kubur
ucapkan kata itu dengan mata
menyipit dendam.
"Itu pun tak mudah
kau lakukan," kata Peri Malam sambil lepaskan tawa mengikik. "Kau
akan mati sebelum sampai berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara. Dia
punya anak buah
berilmu tinggi semua. Tak ada yang
bisa masuk ke sana
untuk menarik keluar Suto kecuali
aku!"
"Cuih...!"
Selendang Kubur meludah ke samping.
"Ilmu
kanuraganmu belum ada seujung kuku hitamku, beraninya berlagak mau selamatkan
Pendekar Mabuk
dari dalam sana?!
Bercerminlah dulu, Peri Malam!"
"Jangan
remehkan aku, Setan!" geram Peri Malam.
"Nyatanya
beberapa kali kau bertemu denganku, kau tak sanggup mengalahkan aku! Kalau aku
tak punya rasa
kasihan padamu,
sudah sejak kemarin nyawamu kukirim
ke neraka!"
"Mulut besar!
Mari kita buktikan sekarang, siapa yang harus pergi ke neraka. Kau atau aku! Hiaaat...!"
Selendang Kubur
sentakkan kaki kirinya ke tanah dan
tubuhnya melayang
terbang ke arah Peri Malam. Kaki
kanannya lurus ke
samping dan berusaha menendang
kepala Peri Malam
dengan tendangan miring.
"Hup...!"
Plak...!
Peri Malam sedikit
lompatkan badan sambil kibaskan
tangannya untuk
menangkis kaki Selendang Kubur.
Tangkisan itu cukup
pelan, tapi membuat Selendang
Kubur terjengkang
jatuh. Sementara itu, Peri Malam
sigap kembali
berdiri, menunggu serangan berikutnya.
Selendang Kubur
bisikkan kata di hatinya, "Lumayan juga tangkisan tangannya. Dia salurkan
tenaga dalamnya tadi hingga bikin kakiku sedikit kesemutan!"
Di sisi lain, Peri
Malam juga bisikkan kata dalam
hatinya,
"Setan! Linu juga tulangku menangkis
tendangannya. Pasti
dia salurkan tenaga dalamnya ke
kaki. Agaknya dia
tidak main-main! Aku harus lebih
waspada lagi."
Melihat Selendang
Kubur bangkit kembali, Peri
Malam segera
sentakkan kaki ke tanah dan melesat naik tubuhnya, berjungkir balik satu kali
di udara.
Wuuus...!
Tepat pada saat
itu, Selendang Kubur pun melesat
naik ke udara dan
bersalto satu kali di udara. Wusss...!
Kedua tangan mereka
siap di udara dengan tenaga
dalam yang tidak
main-main. Wajah mereka sama-sama
tampakkan kegeraman
dan nafsu untuk saling
membunuh.
Tiba-tiba Pujangga
Keramat hentakkan kakinya ke
tanah dan lompatlah
tubuhnya melayang maju ke
pertengahan antara
dua perempuan itu. Dengan cepat
kedua kaki Pujangga
Keramat sentakkan kaki ke kiri dan ke kanan secara bersamaan.
Beegh... begh...!
Dua tendangan
samping yang dilakukan secara
serentak itu
mengenai perut dua perempuan itu.
Tendangan tersebut
juga bukan tendangan main-main.
Buktinya dua-duanya
sama-sama tersentak ke belakang,
bahkan sama-sama
membentur pohon.
Jleeg...! Pujangga
Keramat kembali berdiri sigap di
tanah setelah
melakukan tendangan serentak, ia pandangi kedua perempuan yang saling menahan
rasa mual di
perut mereka, dan
berusaha sama-sama berdiri lagi.
"Kebo
dekil!" sentak Peri Malam. "Mengapa kau ikut campur urusan kami, hah?
Ini urusan perempuan!"
"Tak maksud
punya aku ikut campur. Hanya aku
sekadar unjukkan
rasa tak suka aku perselisihan kalian dengan!"
"Ngomong apa
kau ini, hah?!" Peri Malam makin menyentak.
"Singkir dulu
permusuhan!" kata Pujangga Keramat
kepada Selendang
Kubur, lalu palingkan wajah pada Peri Malam dan ucapkan kata,
"Sama-sama
kalian punya ingin, sama-sama
selamatkan Suto,
jadi sama-sama kalian satukan untuk
kekuatan
menyerang!"
"O, kau
berharap kita bersatu menyerang benteng itu untuk selamatkan Pendekar
Mabuk?!"
"Ya. Itulah
maksud yang aku!"
"Selendang
Kubur!" ketus Peri Malam setelah merasa tetap bingung mengartikan
kata-kata Pujangga Keramat.
"Coba jelaskan
apa maksudnya?"
"Dia ingin
kita bersatu menembus benteng itu,
membawa lari
Suto!"
"Hmm...! Lalu,
kau sendiri bagaimana?"
"Gagasannya
cukup bagus. Kita satukan kekuatan
kita untuk
mengalahkan Nyai Lembah Asmara. Kita
keluarkan Suto dari
sana. Setelah itu kita adu nyawa
kita, siapa hidup
dapatkan Suto!"
"Baik! Aku
setuju!" jawab Peri Malam dengan tegas, tanpa ada sedikit pun keraguan dan
kegentaran.
*
* *
7
ORANG-ORANG Bukit
Garinda seperti hanyut
dalam mimpi semua
saat melihat kedatangan Suto
Sinting. Tak ada
mata yang berkedip ketika Pendekar
Mabuk melintas di
depan mereka di bawah pengawalan
Maharani dan Putri
Alam Baka.
Suto dibawa masuk
ke sebuah ruangan lebar beratap
tinggi, mempunyai
pilar-pilar kokoh dan lantai yang
mengkilap. Agaknya
ruangan itu merupakan bangsal
pertemuan bagi
mereka. Di sana hanya ada satu tempat
duduk yang menyerupai
singgasana raja berwarna
kuning keemasan.
Letaknya pada lantai yang bertangga
empat baris. Lebih
tinggi dari lantai lainnya.
Tepat di belakang
singgasana itu ada lorong bertirai
kain ungu. Dari
lorong itu segera muncul seorang
perempuan bertubuh
tinggi dan sekal. Wajahnya cantik
namun berkesan
keras. Pakaiannya hijau pupus, atau
hijau muda dengan
mengenakan pakaian model jubah
warna merah dadu.
Rambutnya panjang diriap,
mengenakan mahkota
kecil berhias batu-batuan permata
putih, ia juga
mengenakan kalung permata bersusun dua, gelang gemerincing di tangan kanan-kiri
dan anting
panjang berkilap
sebagai pelengkap perhiasannya.
Ia mempunyai bentuk
wajah lonjong; berhidung
mancung, bibirnya
agak tebal dan lebar, ia mempunyai
mata lebar berbulu
lentik. Tepian matanya berwarna
hitam, menampakkan
kesan buas dan galak.
Orang itulah yang
dihormati oleh mereka sebagai
Nyai Lembah Asmara.
Ketika ia muncul dari lorong
bertirai ungu,
semua yang ada di situ merendahkan
badan dengan satu
kaki berlutut di lantai dan kepala
menunduk sekejap.
Hanya Suto yang masih berdiri
sambil pandang
kanan-kiri dengan heran dan kagum
melihat bangunan
mewah itu. Ia bahkan tidak begitu
tertarik untuk
memperhatikan Nyai Lembah Asmara
yang segera duduk
di singgasananya.
"Putri Alam
Baka!" Nyai Lembah Asmara mengawali suaranya yang lantang. "Di mana
Perawan Sesat yang kau kawal itu?"
"Dia melakukan
pembangkangan, Nyai!"
Wajah sang Nyai
tampak makin mengeras menahan
amarah mendengar kabar
tersebut, ia menggeram,
"Sudah kuduga
sebelumnya!" Kemudian ia serukan kata kepada Putri Alam Baka,
"Apa
tindakanmu terhadap dia?!"
"Membunuhnya."
"Bagus! Ha ha
ha...!" Nyai Lembah Asmara tertawa lepas, berkesan kasar dan liar.
Maharani dan Putri Alam
Baka saling pandang
dalam senyum kebanggaan. Hanya
Suto yang tidak
tertawa karena merasa heran saat
memandangi Nyai
Lembah Asmara itu.
"Di mana orang
yang bernama Dyah Sariningrum?"
pikir Pendekar
Mabuk, "Sejak tadi tak kulihat wajah Dyah Sariningrum. Apakah Perawan
Sesat telah
menipuku?"
Terdengar suara
Nyai Lembah Asmara serukan tanya
kepada Putri Alam
Baka,
"Siapa pemuda
yang kau bawa ini, Sumbi?!"
"Orang bawaan
Perawan Sesat. Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk, lelaki tanpa pusar
yang Nyai
cari-cari
itu."
"Ha ha ha
ha...! Bagus, bagus, bagus...!" makin meledak tawa Nyai Lembah Asmara,
makin tampak
kegirangannya,
makin terpana pula ia memandangi
Pendekar Mabuk.
Kejap berikutnya ia melambaikan
jemarinya yang
berkuku panjang dan runcing, ia
memanggil Suto agar
mendekatinya.
"Datanglah
kemari, Suto. Dekatlah padaku."
Suto diam dengan
mata merah bagai orang
mengantuk karena
mabuk. Mulutnya sedikit terbuka
berkesan bengong,
seakan tidak mengerti apa maksud
kata-kata Nyai
Lembah Asmara.
"Dekatlah
padaku, Suto!" suara Nyai agak meninggi, ini menandakan ia mulai tak sabar
lagi.
Putri Alam Baka
segera bangkit dan mendekati Suto,
lalu ia bisikkan
kata ke telinga Suto.
"Kau
dipanggil. Dekatlah sana!"
"Siapa?"
"Kau...!"
"Ah, aku tak
pernah butuhkan dia," kata Pendekar Mabuk bersuara sumbang. "Kalau
dia butuh aku, biarlah dia yang mendekatiku."
"Jangan bikin
dia marah, Suto! Cepatlah
mendekatinya."
"Tak mau! Aku
tak butuh dia!" Suto Sinting
bersungut-sungut
dan buang muka. Sikap Suto
mencemaskan hati
Maharani, Putri Alam Baka, dan
orang-orang yang
ada di situ. Selama ini tak ada orang yang berani menolak panggilan Nyai Lembah
Asmara.
Penolakan itu bisa
membuat Nyai menjadi murka.
Tapi agaknya Nyai
Lembah Asmara tidak bersikap
seperti biasanya,
ia justru tertawa semakin kegirangan
melihat Suto
menolak panggilannya, ia berseru kepada
anak buahnya,
"Lihat!
Lihatlah dia! Penolakannya itu menandakan bahwa ia tidak mudah tertarik dengan
seorang
perempuan. Itu
pertanda dia punya harga diri yang cukup tinggi dan sudah sepantasnya aku
mendapatkan pria
yang punya harga
diri tinggi. Penolakannya itu
menandakan pula
bahwa dia... masih perjaka! Ha ha
ha...!"
Yang lain ikut
tertawa bagai mendukung
kegembiraan Nyai
Lembah Asmara. Tapi Suto tetap
tidak mau ikut
tertawa, ia bahkan menatap tiap wajah
yang ada di situ,
mencari seraut wajah yang pernah ia temui di alam semadinya, juga yang sering
hadir di alam
mimpinya. Wajah itu
adalah wajah Dyah Sariningrum.
Nyai Lembah Asmara
bangkit dan langkahkan kaki
menuruni tangga
dengan pelan-pelan. Sisa tawanya
masih sesekali
terdengar bagaikan gumam, ia mendekati Suto dengan tatapan mata yang tajam
berseri-seri. Orang yang ada di dekat Suto segera menyingkir jauh, memberi
jalan untuk sang Nyai Lembah Asmara.
"Perkasa
sekali...," ucap sang Nyai Lembah Asmara dengan suara mirip orang mendesah
kagum. "Tampan, gagah, dan sungguh menggairahkan...!"
Nyai Lembah Asmara
mengelilingi Suto Sinting
dengan sorot
pandangan mata tak berkedip. Suto hanya diam dengan sedikit mulut terbuka
melongo, sambil
matanya ikut
memandangi Nyai Lembah Asmara dengan
perasaan heran.
"Lihat
ototnya," kata Nyai kepada Maharani,
"Ototnya
tampak keras, besar, tapi halus lembut. Laki-laki gagah perkasa seperti inilah
yang akan memberiku keturunan seorang penerus kesaktianku. Dia yang akan
merajai seluruh
kekuatan di rimba persilatan. Dia tak akan ada tandingnya! Dan anakku nanti
jika perempuan
tentu akan secantik
ibunya, jika lelaki tentu akan
setampan
ayahnya."
Wajah mereka
berseri-seri, seakan ikut menyambut
rencana kehadiran
sang bayi dengan gembira. Nyai
Lembah Asmara
semakin bangga melihat wajah-wajah
anak buahnya
berseri gembira, dia semakin yakin bahwa sebentar lagi dia akan mempunyai
keturunan dari
seorang pendekar
tampan yang bertubuh kekar perkasa
itu.
"Kalian
tahu!" serunya lagi, "Pendekar Mabuk inilah satu-satunya lelaki yang
bisa memberiku keturunan,
sebab ia lelaki
tanpa pusar. Kalian tahu kehebatan lelaki tanpa pusar? Oh, dia adalah orang
yang punya napas
panjang, tidak
cepat lelah, punya ketangguhan dalam
bercinta dan punya
kesanggupan memberikan
kehangatan."
"Woww...!"
mereka menyahut serempak penuh
ungkapan rasa
kagum.
"Tapi sayang,
hanya aku yang bisa menikmati dia!
Karena dia
laki-laki istimewa yang tak bisa kubagikan kepada Putri Alam Baka, atau kepada
Maharani, atau
kepada kalian
semua!"
Suto tak peduli
celoteh itu. Dengan tenangnya ia buka
tutup bumbung tuak,
dan ia tenggak beberapa teguk
dengan rasa lega.
Mata mereka memandang tanpa kedip.
Sebagian perempuan
yang ada di situ saling berdebar-
debar gemas ketika
melihat Pendekar Mabuk dongakkan
kepala untuk
menenggak tuak dalam bumbung.
Pendekar Mabuk yang
tampak bidang dadanya,
kelihatan lebih
perkasa dan menggairahkan.
Nyai Lembah Asmara
tersenyum-senyum dan berkata
kepada Maharani,
"Aku sudah tak
tahan lagi. Bawa dia ke kamarku,
Maharani! Tapi
awas, jangan sampai kau menyentuhnya
lagi. Dia sudah
menjadi kekuasaanku, dari ujung rambut sampai ujung kakinya!"
"Baik,
Nyai!" Maharani berikan hormat pertanda
patuh dan taat.
Lalu ia bicara kepada Suto,
"Mari kuantar
ke kamar, Suto!"
"Ke
mana...?!" mata Suto makin sayu.
"Ke kamar peraduan,"
jawab Maharani. "Nyai sudah tak bisa bersabar lagi. Kau harus segera masuk
ke kamar peraduan bersama beliau!"
"Aku kemari
bukan mencari kamar," kata Suto Sinting. "Aku mencari kekasihku yang
selalu hadir dalam mimpiku!"
Nyai Lembah Asmara
menyahut, "Akulah
kekasihmu,
Suto!"
"Bukan! Kau
bukan kekasihku. Wajahnya tidak
seperti kamu! Dia
lebih cantik dan lebih anggun
dibandingkan
dirimu, Nyai!"
Maharani mundur
dari Suto ketika dilihatnya wajah
Nyai Lembah Asmara
menegang. Mata Nyai Lembah
Asmara mulai
memancarkan murka yang tertahan. Nyai
Lembah Asmara
mendekati Suto, sementara Suto masih
berdiri dengan
tubuh goyang karena mabuk. Agaknya
Nyai berusaha
menahan murkanya dengan napas ditarik
dalam-dalam dan
diendapkan di dalam dada. Saat itu,
Suto Sinting
berkata sumbang,
"Aku kecewa
datang ke sini! Perawan Sesat
mendustaiku. Aku
kecewa ketemu kamu, Nyai!"
"Kekecewaanmu
akan sirna setelah kita berada di
dalam kamar!"
kata Nyai Lembah Asmara geram.
Pendekar Mabuk
gelengkan kepala sambil bersungut-
sungut.
"Kurasa sama saja. Di dalam kamar dan di luar kamar, sama saja kau bikin
aku kecewa, karena kau
bukan orang yang
ada dalam mimpiku!"
"Aku bisa
hadir kapan saja kau ingin kehadiranku, Suto!"
Suto kembali
gelengkan kepala. "Aku mau pulang
saja," katanya
seenaknya, ia melangkah dengan limbung.
Nyai Lembah Asmara
segera mencekal lengan Suto.
Ditariknya tubuh
itu, didekatkan wajahnya, ditatapnya lekat-lekat, lalu dengan nada geram ia
berkata,
"Kekasihmu ada
di dalam kamar, Suto!"
"Benarkah
begitu?" Pendekar Mabuk tampak tertarik.
Nyai Lembah Asmara
memanfaatkan itu dengan berkata,
"Dia sudah
menunggumu lama di sana."
"Kalau begitu,
antarkan aku ke kamar!"
Nyai Lembah Asmara
tersenyum lebar. Maka ia pun
segera menggandeng
Suto dan melangkahkan kaki
menuju lantai yang
tinggi, melewati singgasana,
menerobos tirai
ungu, dan hilang ke dalam lorong
tersebut.
Orang-orang yang
ada di luar, di sekeliling Maharani
dan Putri Alam
Baka, mulai bergaung seperti lebah.
Mereka saling
memuji ketampanan Pendekar Mabuk,
mereka saling
menyanjung daya pikat Suto yang
membakar gairah
mereka. Bahkan di salah satu sudut
ada perempuan yang
berusaha memuaskan khayalan
indahnya bersama
Suto.
Kamar peraduan Nyai
Lembah Asmara sangat indah,
luas, dan bersih.
Baunya wangi cendana. Di sana ada
pembaringan yang
berlapis sutera merah jambu, empuk,
dan lebar.
Lantainya berlapiskan permadani tebal warna
hijau muda. Ruangan
itu diterangi oleh cahaya api dari tungku berbatu bara yang ada di sisi
kanan-kiri ruangan.
Sungguh romantis
sebenarnya suasana di peraduan itu,
sayangnya Suto
tidak tergugah kemesraannya, ia bahkan masih bingung mencari kekasihnya di
dalam kamar
tersebut.
"Mana
kekasihku? Tak kulihat ada di kamar ini!"
katanya seperti
bicara sendiri, tapi didengar oleh Nyai Lembah Asmara.
"Akulah
kekasihmu, Suto," kata Nyai Lembah
Asmara sambil
melepas mahkota dan melepas pula
jubah merah jambunya.
Suto
bersungut-sungut memandangnya, lalu berkata,
"Bukan kamu!
Sudah kubilang wajahnya lebih cantik dan lebih menggairahkan dari dirimu,
Nyai!"
"Jangan bicara
begitu, Suto. Itu sama saja kau
membangkitkan
amarahku!"
"Aku tidak
peduli! Memang menurut penilaianku dia lebih cantik dari dirimu, Nyai! Aku tak
mau bohongi
diriku
sendiri."
"Jangan banyak
bicara, Suto! Sebaiknya lekas lepasi pakaianmu. Aku sudah tak sanggup menahan
gejolak
hasratku untuk
mencumbumu!" sambil Nyai Lembah
Asmara mendekat, ia
meraih pundak Pendekar Mabuk,
menatap dengan mata
berbinar-binar penuh gairah.
Suto Sinting
mengelak dan melangkah ke perapian.
"Kau bohong
padaku, Nyai. Kau sama dustanya dengan Perawan Sesat.
Napas panjang
ditarik oleh Nyai Lembah Asmara
untuk meredam
kemarahannya. Selama ini belum pernah
ada lelaki yang
menolak ajakan mesra Nyai. Belum
pernah ada lelaki
yang menjauhi saat Nyai Lembah
Asmara
mendekatinya. Tapi kali ini Suto ternyata berani melakukan hal itu. Nyai merasa
terhina, tapi ia tetap meredam amarahnya, karena ia berpikir,
"Mungkin
ciri-ciri lelaki tanpa pusar memang begini.
Harus ditundukkan
dulu sebelum ia memberiku
keindahan yang
kudamba!"
Pendekar Mabuk
meneguk tuaknya lagi. Sisa air tuak
di bibir disapu
dengan tangan kirinya. Bumbung itu
dipegang dengan
tangan kiri. Kemudian
dilangkahkannya
kaki mendekati pintu.
"Aku mau
pulang!" ucapnya kemudian.
Nyai Lembah Asmara
segera melompat ke depan
Suto. Melihat Nyai
menghadang langkahnya, Suto
berkata dengan
tubuh limbung.
"Minggirlah,
Nyai. Aku mau keluar dari kamar ini."
"Berbaringlah
di ranjangku, Suto. Kau akan
kuterbangkan
tinggi-tinggi mencapai awan-awan indah.
Kita akan berlayar
mengarungi lautan cinta yang penuh dengan kenikmatan dan kemesraan, Suto!"
"Aku tidak
bersedia, Nyai!"
"Jangan bantah
perintahku, Suto!" Nyai Lembah Asmara menyentak agak pelan.
"Aku tak mau
tunduk dengan perintah siapa pun,
kecuali perintah
dari guruku dan kekasihku!"
"Kau memancing
kemarahanku, Suto. Kau akan
menerima
akibatnya!"
"Aku tak
menghendaki keributan di antara kita. Tapi kalau kau mau lampiaskan marah
padaku, silakan saja,
Nyai! Aku juga bisa
lampiaskan kekecewaanku atas
kebohonganmu
itu!"
Mata Nyai Lembah
Asmara mulai menyipit tanda
menahan kemarahan
yang dalam. Tangannya
menggenggam kuat,
napasnya mulai tak teratur. Suto
masih memandang
dengan mata sayu tanpa senyum.
Sesekali tubuhnya
tersentak karena cegukan.
Tiba-tiba kaki
kanan Nyai Lembah Asmara bergerak
menyentak ke depan,
menendang dada Suto. Beegh...!
Dada Suto terkena
tendangan itu dengan telak. Pendekar Mabuk tersentak ke belakang, mundur tiga
tindak. Tapi ia justru tersenyum dalam keadaan masih tetap berdiri walau
tubuhnya limbung.
"Tak seberapa
berat tendanganmu, Nyai. Adakah
yang lebih berat
lagi dari yang tadi?" kata Suto Sinting sambil menyunggingkan senyum.
"Aku tak ingin
mencelakai dirimu, Suto!"
"Kenapa?
Bukankah kau marah padaku?"
"Memang kau
adalah lelaki yang menjengkelkan.
Seharusnya kau
menerima hukuman dariku. Tapi kau
adalah pembenihku.
Aku tak akan hancurkan
pembenihku
sendiri."
"Pembenih? Apa
itu pembenih?" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku harus
dapatkan benih kesuburan darimu, supaya aku bisa mengandung dan melahirkan
keturunanku."
"Mengapa aku
yang kau pilih?"
"Jika bukan
kamu, tak akan bisa aku mengandung
bayi. Kau adalah
lelaki tanpa pusar. Menurut guruku,
aku hanya bisa
mengandung dari benih lelaki tanpa
pusar. Kaulah
orangnya, Suto."
"Jadi aku
dibawa ke sini hanya untuk menjadi
pembenih? Hanya
untuk memberimu keturunan?"
"Ya!"
jawab Nyai Lembah Asmara tegas. "Di samping itu... hatiku sesungguhnya
telah terpikat
padamu begitu
kutatap dirimu dari singgasana tadi."
Pendekar Mabuk
tertawa terkekeh dengan suara
sumbang karena
mabuknya itu.
"He he he...
cepat sekali kau terpikat pada seorang pria, Nyai. Alangkah murahannya hatimu
itu!"
"Baru sekarang
kualami perasaan itu, Suto! Kepada lelaki lain aku hanya terpikat karena birahi
semata.
Kepadamu, bukan
hanya karena birahi yang ingin
dipenuhi, tapi
karena hati yang selama ini kosong dan ingin dipenuhi cinta seorang lelaki
sepertimu!"
"He he he
he...! Rayuanmu merontokkan gunung
batu, Nyai. Tapi
tak akan bisa melelehkan hatiku.
Sebaiknya, lupakan
saja tentang pembenih. Carilah
lelaki lain yang
tanpa pusar! Aku tidak mau
melayanimu, Nyai.
Aku harus segera pergi dari sini!"
"Suto...!"
sentak Nyai Lembah Asmara mulai
tampakkan
ketidaksabarannya. "Kau tak punya pilihan lain. Kau harus mau memberiku
benih dan melayani
asmaraku, Suto!
Kalau sekali lagi kau menolaknya, kau akan menyesal!"
"Aku pilih
menyesal," kata Pendekar Mabuk semakin
nekat bicara.
Kata-kata itu membuat Nyai Lembah
Asmara semakin
geram, penuh dengan kejengkelan hati.
Crrap...! Tiba-tiba
dari mata lebar Nyai Lembah
Asmara memancarkan
sinar ungu dalam sekejap. Sinar
itu menembus masuk
ke bola mata Suto yang mengantuk
itu. Suto merasa
silau sejenak dan kibaskan tangannya, tapi sinar ungu itu sudah telanjur masuk
ke dalam kedua bola matanya. Sinar ungu itulah yang dikhawatirkan
Betari Ayu sebagai
sinar 'Racun Darah Asmara'.
Tubuh Pendekar
Mabuk tiba-tiba merasa panas.
Keringat pun mulai
bermunculan dari tiap pori-pori
tubuhnya.
Jantungnya berdetak cepat, hatinya berdesirdesir. Dalam hati Suto Sinting
bertanya pada diri sendiri,
"Kenapa aku
ini? Mengapa aku jadi berdebar-debar dan darahku seperti sedang mengalir dengan
cepatnya.
Oh, begitu indahnya
wajah di depanku itu. Alangkah
menggairahkannya
perempuan ini. Aku-aku terpikat
olehnya. Oh, aku
jadi ingin memeluknya. Aneh sekali.
Ini pasti gairah
yang hadir di luar kemauan hati kecilku.
Oh, aku telah
terkena kekuatan hitam yang membuat
gairahku
meledak-ledak. Aku harus melawan! Harus
melawan."
Tapi ketika
Pendekar Mabuk didekati Nyai Lembah
Asmara, ia tidak
mengelak dan diam saja menerima
sentuhan jemari
Nyai Lembah Asmara di bagian
dadanya. Bahkan
ketika Nyai Lembah Asmara sedikit
tengadah kepala
dengan bibir merekah, Suto
memandangnya makin
penuh gairah.
"Ciumlah
aku...," perintah Nyai Lembah Asmara
bernada bisik.
Suto pun mencium
bibir itu. Mengecup dan
melumatnya yang
segera mendapat perlawanan tak kalah
panas dari Nyai
Lembah Asmara sendiri. Hanya saja di dalam hati Suto, terlintas
pertanyaan-pertanyaan yang menggundahkan hatinya.
"Mengapa aku
mau? Mengapa aku menurut?
Mengapa bibir ini
kupagut? Apakah aku harus pasrah
dan membiarkan
hasratku dipenuhi oleh kehangatan
tubuhnya? Ah...,
mengapa jiwaku jadi bimbang begini?!"
Pendekar Mabuk
menurut ketika tubuhnya di dorong
ke belakang dan
jatuh terbaring di ranjang empuk itu.
Blukkk...! Nyai
Lembah Asmara menerkamnya.
*
* *
8
CINTA mengamuk di
hati dan jiwa Nyai Lembah
Asmara. Amukan
cinta itu begitu gemuruhnya, hingga
menutup kedua
gendang telinga Nyai Lembah Asmara
dari seruan dan
pekikan di luar kamar. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk pun tampak ingin meronta
dan
melawan kekuatan
racun Darah Asmara dengan
kekuatan batinnya.
Suara-suara pekik,
jerit, dan seruan keras itu datang dari orang-orang yang sedang menghadapi tiga
sosok
manusia nekat,
yaitu Pujangga Keramat, Selendang
Kubur, dan Peri
Malam. Mereka mengamuk di pintu
gerbang, lalu
menerobos masuk membantai orang-orang
yang menghalangi
langkah mereka.
Jarum beracun milik
Peri Malam mulai beraksi
kembali. Bambu
kecil berukuran yang sejengkal yang
selalu diselipkan di
belahan dadanya itu meluncurkan
jarum beracun saat
bambu itu ditiup oleh Peri Malam.
Banyak leher yang
jadi sasaran jarum beracun itu dan
membuat korbannya
membusuk lalu mati.
Selendang putih
milik murid Nyai Betari Ayu itu pun
melecut ke
sana-sini. Selendang Kubur mengamuk
bersama selendang
pusakanya yang mampu
mengeluarkan
percikan api petir dan menyambar kepala-
kepala anak buah
Nyai Lembah Asmara, ia sengaja
belum mau
menggunakan pedang Jalaganda-nya, karena
pedang itu
dipersiapkan untuk melawan Nyai Lembah
Asmara yang kesohor
keji dengan tingginya ilmu yang
dimiliki.
Pujangga Keramat
pun tak mau hanya sebagai
penonton, ia
sebagai pelayan dari si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting, merasa lebih
bertanggung jawab terhadap keselamatan Suto. Karena itu, ia menerobos masuk ke
bangsal pertemuan
mencari Suto di sana.
"Cari Suto di
dalam, biar aku dan Peri Malam yang menghadapi tikus-tikus ini, Paman!"
seru Selendang Kubur sebelum Pujangga Keramat menerobos masuk ke
bangsal pertemuan.
Sampai di sana ia
berseru, "Sutooo...! Di mana ada kau, Suto!"
Tiba-tiba dari arah
samping melesatlah gelombang
panas yang menuju
ke arah Pujangga Keramat. Wuuss...!
Pukulan jarak jauh
disentakkan dari kipas Maharani.
Merasakan adanya
gelombang hawa panas yang ingin
menghantamnya,
Pujangga Keramat segera sentakkan
kaki dan lompat
tinggi dengan bersalto di udara satu kali. Tapi tangannya pun bergerak
menyentak ke arah
samping memberi
pukulan jarak jauh sebagai balasan
Wuugh...! Pukulan
ini lebih besar dari milik
Maharani. Tapi
Maharani sangat waspada dan sudah
menduga hal itu
akan terjadi. Maka sebelum pukulan itu itu melesat lebih jauh, Maharani
sentakkan kakinya ke lantai dan tubuhnya melenting di udara.
Hiaaat...!"
Dueerrr...!
Brusss..!
Tenaga dalam
Maharani menghantam pilar, tenaga
dalam Pujangga
Keramat menghantam dinding. Pilar
menjadi gompal,
dinding menjadi retak. Tapi keduanya tak pernah peduli. Keduanya sudah saling
berhadapan
dan siap menyerang
sewaktu-waktu.
"Suto
mana?!" sentak Pujangga Keramat.
"Kau langkahi
bangkaiku baru kau bisa melihat di mana Suto!' kata Maharani sambil tetap
membuka
kipasnya di dada.
Kedua kakinya merenggang rendah,
satu tangannya naik
di atas kepala.
Pujangga Keramat
menggeram. "Mati kau jangan aku salahkan."
Setelah
berkata demikian,
Pujangga Keramat
melejitkan tubuh ke
depan dengan tangan siap
dihantamkan.
Maharani pun segera sentakkan kaki dan
tubuhnya melayang
naik, melesat cepat dengan kipas
terbuka di depan.
Saat Pujangga Keramat hantamkan
kedua tangannya
Maharani menahan pukulan itu dengan
kipasnya.
Braagh.. !
Wuusssh...!
Tubuh mereka
sama-sama terpental ke belakang,
sama-sama jatuh ke
lantai, hampir membentur pilar. Tapi keduanya sama-sama jatuh dalam posisi
berdiri
merendah.
"Haaaghh...!
Pujangga Keramat hembuskan napas
berat untuk
mengumpulkan tenaganya kembali.
Sama juga yang
dilakukan oleh Maharani, hanya saja
hembusan napas
berat Maharani tak menimbulkan
bunyi.
"Besar juga
tenaga dalamnya," pikir Maharani. "Siapa
orang ini? Aku tak
pernah melihatnya! Tapi agaknya ia punya urusan penting dengan Pendekar Mabuk.
Mungkin juga ada
hubungan lain dengan Suto. Aku tak
boleh gegabah
melawannya."
Pujangga Keramat
menggerak-gerakkan tangan di
depan wajah sampai
kesepuluh jarinya menjadi keras
sekali. Ketika
tangan kanannya ditarik sampai di telinga, tangan kirinya tetap sedikit
terlipat di depan dada, ia berhenti dari segala gerakannya. Matanya memancarkan
penglihatan yang
tajam dan bernafsu untuk membunuh.
"Suto katakan
di mana?!" bentaknya.
"Sudah
kubilang, Suto ada di balik bangkaiku!"
"Hiaaat...!"
Pujangga Keramat bagaikan terbang menuju lawannya. Maharani pun cepat jejakkan
kaki lagi
dan melesat terbang
menyambut kehadiran jurus
lawannya.
Tapi tiba-tiba
sebelum mereka saling bertemu,
seberkas sinar
putih keperakan melesat cepat
menghantam tubuh
Pujangga Keramat.
Craas...!
"Haagh...!"
Pujangga Keramat lebarkan mata. Sinar putih itu bagai mata pedang yang amat
tajam. Merobek
perutnya dari
pinggang kanan sampai ke pinggang kiri.
Tak disangkal lagi,
tubuh itu pun jatuh tanpa daya.
Darah memercik ke
mana-mana. Pujangga Keramat
masih sempat
erangkan suara dan berusaha bangkit.
Namun baru satu
kaki yang bisa menapak, ia sudah
rubuh lagi tak
berkutik selamanya.
Maharani cepat
gerakkan kepalanya berpaling ke
samping. Di sana ada
wajah Putri Alam Baka yang
sedang berdiri
dingin dan tajam tatap matanya. Putri
Alam Baka serukan
kata,
"Terlalu
lamban kau, Maharani! Dalam satu jurus
orang itu
sebenarnya harus sudah bisa kau robohkan!"
"Dia terlalu
kuat untukku!"
"Omong kosong!
Kau hanya coba-coba tadi. Terlalu lama untuk membunuh orang macam dia!"
"Baiklah! Aku
memang terlalu lamban untuk kali
ini!"
Putri Alam Baka
bergegas langkahkan kaki menuju
luar sambil ia
berkata,
"Hancurkan dua
kunyuk tak tahu sopan itu! Salah
satunya kukenal dia
sebagai Sundari! Bekas orang kita
yang lari menjadi
murid si Mawar Hitam!"
"Tapi kita
tidak punya urusan dengan penguasa Pulau Hantu itu!" kata Maharani sambil
ikuti langkah Putri Alam Baka dan lompati mayat Pujangga Keramat.
"Tak peduli
apa urusan mereka mengamuk di sini,
tugas kita adalah
hancurkan mereka jika perlu tanpa sisa sedikit pun!"
Selendang Kubur
sedang terpojok di salah satu
bangunan seperti
barak, ia menghadapi tiga lawannya
yang bersenjata
tombak semua. Selendangnya berkelebat cepat bagaikan kilat, menyambar ke
sana-sini, dan
akhirnya tiga
lawannya itu pun tumbang tak berkutik
lagi.
Baru saja ia hendak
lentingkan tubuh menuju ke arah
Peri Malam yang
dikeroyok oleh lima lawan itu, tiba-
tiba sesosok tubuh
meluncur turun dari atap barak.
Jleeg...! Orang itu
berdiri di depan Selendang Kubur
dengan mata memandang
tajam.
"Nyai...?!"
sentak Selendang Kubur. Ia terkejut sekali memandang orang yang muncul di depan
itu. Sekejap ia
tak bisa bicara.
Orang yang ada di depannya itu cepat ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan
pedang itu!"
"Tidak bisa,
Nyai. Saya sudah siap mati demi
Pendekar
Mabuk!"
"Jangan bodoh,
Selendang Kubur! Serahkan pedang itu padaku!"
Selendang Kubur
sempat sangsi dan ragu-ragu. Kalau
saja yang meminta
orang lain, sudah pasti ia tak ragu-ragu untuk mempertahankan. Tapi kali ini
yang
memintanya adalah
gurunya sendiri, Nyai Betari Ayu.
Selendang Kubur
punya rasa takut untuk
mempertahankan
pedang Jalaganda itu, ia memang tidak
pernah menduga Nyai
Betari Ayu mau turun tangan
untuk urusan di
Bukit Garinda itu.
' Nyai,
saya...."
"Serahkan
pedang itu, dan aku yang akan menghadapi Nyai Lembah Asmara!" kata Betari
Ayu tanpa senyum dan keramahan seperti biasanya. Selendang Kubur
melihat kemarahan
mulai merona di wajah Nyai Guru
Betari Ayu.
Selendang Kubur melihat kesungguhan
sikap gurunya yang
ingin melawan Nyai Lembah
Asmara itu.
Karenanya, Selendang Kubur pun segera
menyerahkan pedang
Jalaganda itu kepada Nyai Guru
Betari Ayu.
"Kalau Nyai
gunakan pedang itu, berarti Nyai akan mati di ujung kemenangan," Selendang
Kubur
memberanikan diri
ingatkan gurunya tentang pusaka
keramat pedang
Jalaganda.
Nyai Guru Betari
Ayu berkata, "Tidak akan
kugunakan pedang
ini!"
"Tapi... tapi
Nyai Guru akan kalah menghadap Nyai Lembah Asmara jika tanpa menggunakan pedang
pusaka
itu, Nyai!"
Seorang penyerang
bersenjata kapak melesat terbang,
sasarannya adalah
punggung Betari Ayu, Selendang
Kubur tersentak
kaget melihat serangan mendadak yang
mengancam gurunya
itu. Tapi, belum sampai Selendang
Kubur lepaskan
pukulan jarak jauhnya, tubuh Nyai Guru
Betari Ayu sudah
lebih dulu berkelebat memutar, tangan kanannya terangkat tegak di depan mata
dengan kelima jari tangan merapat. Lalu, melesatlah sinar putih
menyilaukan sebesar
lidi.
Zuiitt...!
Crrasss...!
Cras, craasss...!
Sinar putih
menyilaukan itu menembus tubuh lawan
yang memegang
kapak. Orang tersebut jatuh ke tanah,
bagian ulu hatinya
berlubang sebesar bumbung tuak
milik Pendekar
Mabuk. Orang itu tak bergerak ataupun
bersuara sedikit
pun. Matanya tetap mendelik namun
nyawanya telah
melesat pergi tinggalkan raga.
Selendang Kubur
masih terkesima melihat kekuatan
dahsyat yang
dimiliki gurunya. Lebih terbengong lagi
ketika Selendang
Kubur mengetahui, dua orang yang ada di belakang korban pertama itu juga
terkena tembusan
sinar putih
menyilaukan. Kedua orang yang sedang
melawan Peri Malam
itu tumbang tak berkutik dengan
luka bolong seperti
luka orang bersenjata kapak tadi.
Rupanya sinar
menyilaukan itu bisa menembus dua-tiga
tubuh lawan
sekaligus. Dan hal itu belum pernah
disaksikan oleh
Selendang Kubur selama ia menjadi
murid Nyai Betari
Ayu.
"Tak kusangka
Guru mempunyai simpanan ilmu
sedahsyat
itu!" katanya di dalam hati.
Sinar putih
menyilaukan itu keluar cepat bagaikan
kilat dari sebuah
cincin di jari tengah tangan kanan
Betari Ayu. Cincin
itulah yang dinamakan Pusaka Manik
Intan. Melihat
keindahan cincin berwarna putih berlian itu, Selendang Kubur ajukan tanya,
"Mengapa baru
sekarang Guru gunakan cincin itu?"
"Karena baru
kudapatkan dari Telaga Manik Intan."
"Hah....?!"
Selendang Kubur terperanjat. "Jadi...
itukah yang
dinamakan Cincin Manik Intan?"
"Betul,
Selendang Kubur. Nah, sekarang hadapilah mereka, aku akan menerobos masuk ke
kamar Nyai
Lembah
Asmara!"
"Baik,
Guru...!"
Seperti kilat tubuh
Betari Ayu melesat. Selendang
Kubur masih
terkesima dengan cincin pusaka yang
ternyata ada di
tangan gurunya.
"Pantas Nyai
Guru tidak mau menggunakan pedang
itu tapi berani
menghadapi Nyai Lembah Asmara,
rupanya dia sudah
punya pusaka lain yang bisa
diandalkan untuk
mengalahkan lawannya! Heran sekali
aku, mengapa cincin
itu bisa ada di tangan Guru?
Padahal tokoh
persilatan sedang memperebutkan cincin
yang seharusnya
menjadi milik Suto Sinting itu?!"
Selendang Kubur tak
tahu, gurunya telah menyelam
ke dalam Telaga
Manik Intan saat Datuk Marah Gadai
mengejar Dirgo
Mukti. Sampai cincin itu ditemukan
oleh Betari Ayu,
kedua orang itu masih sibuk saling
kejar dan saling
adu kekuatan. Betari Ayu cepat
tinggalkan Telaga
Manik Intan tanpa diketahui oleh
Datuk Marah Gadai
maupun Manusia Sontoloyo, Dirgo
Mukti itu.
Nyai Betari Ayu
merasa memperoleh kekuatan yang
tak lagi
menyangsikan hatinya. Cincin Manik Intan
disematkan di jari
tengah kanan. Dengan bersenjatakan cincin dahsyat itu, ia yakin bisa kalahkan
Nyai Lembah Asmara tanpa harus menggunakan pedang Jalaganda.
Tetapi di ujung
tangga menuju bangsal pertemuan,
dua sosok perempuan
berwajah garang menghadangnya.
Mereka adalah
Maharani dan Putri Alam Baka. Langkah
Betari Ayu pun
terhenti karenanya.
"O, rupanya
kau yang menjadi biang keributan ini, Betari Ayu?!"
"Maharani dan
Putri Alam Baka!" sahut Betari Ayu yang sudah mengenal mereka sejak dulu.
"Barangkali dugaan kalian benar, akulah biang keributan ini. Tapi jika
Perawan Sesat, orangmu itu, tidak lebih dulu
melakukan
pembantaian perguruanku, aku tidak akan
datang kemari
menuntut balas!"
"Kau menuntut
balas atau menuntut kembalinya
Suto?' Maharani
sunggingkan senyum sinis menyindir.
"Mana yang
terbaik, itu yang kuambil!" jawab Betari Ayu dengan sikap kalem, ia harus
bisa menahan luapan amarahnya agar Cincin Manik Intan tidak
menyemburkan
kekuatannya ke sembarang arah. Ia pun
menahan tenaga
dalamnya agar tidak mudah terlepas
sebelum cincin itu
diarahkan pada sasarannya.
Nyai Betari Ayu
tenangkan diri dan tetap bisu
sebelum kedua
lawannya bergerak. Mata Betari Ayu tak
pernah lepas dari
gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika Maharani tebarkan kipasnya dalam gerakan
kecil, Betari Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk mena
han pukulan jarak
jauh yang dilepas kan secara diam-
diam itu.
Deeb...!
Pukulan itu bisa
tertahan. Maharani mundur setindak
karena tersentak.
Tapi dari cincin di tangan kirinya
melesat sinar
menyilaukan ke arah samping secara tak
sengaja. Sinar itu
mengenai seorang lawan yang sedang berhadapan dengan Selendang Kubur.
Melihatan kilatan
sinar menyilaukan dari cincin itu,
maka Maharani dan
Putri Alam Baka terbelalak seketika.
Karena mereka
melihat ada satu orang lagi yang rubuh
dalam keadaan tubuh
bolong karena terkena tembusan
sinar putih
menyilaukan itu. Orang yang rubuh dan
menjadi korban
kedua adalah orang yang sedang
berhadapan dengan
Peri Malam.
Cepat-cepat Putri
Alam Baka menutupi
kekagumannya dengan
sunggingkan senyum sinis di
bibir, ia berkata
kepada Betari Ayu,
"Kau pamer
ilmu, Betari Ayu? Kau pikir kami takut dan menjadi gentar melihat pusaka pada
cincinmu itu?
Hmm...! Itu satu
permainan anak kecil saja!"
"Alangkah
memalukan sekali jika murid Nyai
Lembah Asmara akan
mati karena permainan anak
kecil!" kata
Betari Ayu.
"Mulut
congkak! Kau pikir kau mampu menghadapi
kami berdua?!"
sentak Maharani.
"Barangkali
perlu ditambah gurumu sekalian suruh menghadapiku! Tak akan mundur setindak pun
aku
menghadapi kalian
bertiga, yang sepatutnya telah kuusir
dari tanahku
ini!"
"Jahanam...!"
geram Maharani. Lalu ia sentakkan kipasnya dalam keadaan tertutup. Dari ujung
kipas itu keluar sinar merah berkilap melesat ke arah tubuh Nyai Betari Ayu.
Betari Ayu cepat
sentakkan telapak tangan kirinya ke
depan. Cahaya
pendar keluar dari telapak tangan itu.
Bersifat menahan
cahaya merah dari kipas Maharani.
Tapi ternyata
justru cahaya merah itu berbalik arah
setelah membentur
cahaya pendar di telapak tangan
Betari Ayu.
Wuuugh...!
"Heegh...!"
Maharani buka mulut dengan napas tersentak tertahan. Pukulan dari kipasnya
membalik dan mengenai dirinya, ia jatuh terjengkang ke belakang
dengan sukar
bernapas.
Melihat temannya
jatuh oleh pukulan tangan kiri
Betari Ayu, Putri
Alam Baka segera cabut serulingnya
dari pinggang
sambil menggeram.
"Rupanya kau
memang cari mampus, Betari Ayu!
Hiaaat...!"
Putri Alam Baka
lompatkan diri sambil tebaskan
serulingnya dari
atas ke bawah, berhenti ke arah dada Betari Ayu. Tapi dengan lincah tubuh
Betari Ayu
melesat lompat ke
samping, dan kakinya menendang
kepala Putri Alam
Baka. Plakkk...!
Tendangan itu
berhasil ditangkis Putri Alam Baka
yang berkekuatan
tenaga dalam. Nyai Betari Ayu
tersentak limbung
dan jatuh ke tangga. Putri Alam Baka cepat lancarkan serangannya yang kedua,
setelah
serangan pertama
terhindar dan justru mengenai tubuh
orangnya sendiri
yang sedang berlari ke pintu gerbang.
Wuusss...! Seruling
itu diacungkan ke depan, keluar
cahaya kuning dari
dalam lubang seruling. Cahaya
kuning itu melesat
ke punggung Betari Ayu. Tapi
dengan cepat Betari
Ayu palingkan badan dan sentakkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka.
Cahaya
pendar kembali
berkilap dari telapak tangan itu. Tenaga dalam yang dilepaskan Putri Alam Baka
itu membentur
cahaya pendar, dan
membalik mengenai dada Putri Alam
Baka. Beeegh...!
"Nggkk...!"
Putri Alam Baka tersentak mendelik ketika ulu hatinya terkena pukulannya
sendiri, ia
terhuyung ke
belakang dan jatuh.
Nyai Betari Ayu
cepat lari tinggalkan mereka, ia
masuk ke bangunan
megah itu. Semua pintu ditendang,
didobrak paksa,
sambil sesekali menghantam rubuh
orang yang
menghalanginya. Dan ketika semua pintu
kamar telah
didobrak habis, ternyata Suto tidak
ditemukan di
dalamnya, maka Betari Ayu pun masuk ke
lorong bertirai
ungu. Satu pintu di kamar lorong itu
didobraknya.
"Hiaaat...!"
Dengan satu
tendangan lompat, Betari Ayu
menendang pintu
tersebut. Namun sebelum ia
menyentuh pintu,
tubuhnya telah terpental ke belakang dengan sendirinya. Bruukkk...!
"Sial! Rupanya
pintu itu dilapisi tenaga dalam
berperisai. Pasti
di kamar itulah Suto disekap oleh Nyai
Lembah
Asmara!" pikir Betari Ayu, kemudian ia bangkit dan segera menyentakkan
tenaga dalamnya yang
disalurkan melalui
Cincin Manik Intan.
Duaarrr...!
Pintu itu hancur
menjadi serpihan-serpihan yang
menebar ke
mana-mana. Asap mengepul menghalangi
penglihatan Betari
Ayu. Untuk sejenak ia diamkan asap sampai menipis. Kemudian, kejap berikutnya
ia
lompatkan diri
masuk ke dalam kamar itu.
Ternyata kamar itu
kosong. Tak ada Suto, tak ada
Nyai Lembah Asmara.
Tapi keadaan ranjang porak-
poranda. Barang-barang
di situ pun berantakan semua.
Entah karena
ledakan pintu tadi atau karena sesuatu hal?
Yang jelas, di sana
masih tergeletak jubah merah jambu milik Nyai Lembah Asmara. Juga sebuah
mahkota masih
ada di atas meja
dekat ranjang, dan salah satu dinding kamar itu ternyata jebol membentuk lubang
besar.
Apakah dinding itu
juga jebol karena sinar dari Cincin Manik Intan, atau karena hal lain. Nyai
Betari Ayu tak bisa pastikan diri.
"Tapi aku
yakin, mereka berdua tadi ada di sini!"
pikir Betari Ayu.
"Wulandari pasti membawa Suto
kemari dan bercumbu
di sini. Lantas, ke mana ia
membawa Pendekar
Mabuk pergi? Apakah mereka
bersembunyi? Lalu
di mana letak persembunyian
mereka?!"
*
* *
9
BUKIT Garinda
menjadi porak-poranda. Di mana-
mana mayat
bertebaran bagai sisi lain dari neraka
jahanam. Sebagian
dari mereka ada yang sengaja
meloloskan diri,
lari tunggang-langgang entah ke mana tujuannya. Ada yang berusaha menyusuri
pantai, ada
pula yang berusaha
mendaki ke atas bukit.
Mereka yang belum
mati sempat menyerukan erang
kesakitan. Ada yang
berusaha bangkit untuk
menyembunyikan diri
atau lari, ada pula yang hanya
diam saja menahan
sakit sambil menunggu pertolongan.
Sementara yang
pingsan tetap saja pingsan, entah kapan akan siuman.
Yang jelas, sosok
tubuh Maharani dan Putri Alam
Baka sudah tak
terlihat di anak tangga menuju ruang
pertemuan itu.
Entah mereka bersembunyi atau
melarikan diri,
yang jelas suasana di situ kembali sepi.
Hanya
langkah-langkah kaki Selendang Kubur dan Peri
Malam saja yang
tampak melesat ke sana-sini mencari
lawan yang perlu
ditumbangkan.
Peri Malam terluka
di lengan sisi kirinya. Darah
mengucur dari luka
senjata tajam. Tapi ia tidak
menghiraukan.
Justru semangatnya kian bertambah.
Selendang Kubur
terluka di dada kiri. Biru lebam
dada itu. Tapi
agaknya ia juga tidak menghiraukan
lukanya, ia masih
tetap memburu mangsa yang perlu
ditumbangkan dengan
selendang pusakanya.
Suasana lenggang
menimbulkan suara langkah jelas
dari bangsal
pertemuan sebuah pedang disambarnya dan
berdenting memecah
sepi. Kedua wajah cepat berpaling
ke arah suara itu.
Peri Malam dan Selendang Kubur
sama siapnya
menghadapi serangan dari arah itu.
Tapi ternyata yang
muncul adalah Nyai Betari Ayu
dengan mata
bergerak liar mencari lawannya. Ketika
mata itu bertatap
pandang dengan mata Peri Malam dan
Selendang Kubur,
keliaran mata Betari Ayu pun surut.
Tak menjadi
segarang tadi, melainkan kembali tampak
bijak dan
berwibawa.
"Bagaimana
dengan Suto, Nyai?" tanya Selendang Kubur.
"Hilang entah
ke mana!"
"Hilang...?!"
Peri Malam tersentak kaget. Wajahnya kian menegang.
"Nyai Lembah
Asmara sendiri bagaimana?"
"Juga
hilang!" jawab Betari Ayu. Nadanya seperti hampir putus asa.
Peri Malam gusar.
"Tak mungkin mereka hilang
begitu saja! Pasti
Suto telah dilarikan oleh perempuan liar itu!"
"Ke mana arah
larinya mereka?" tanya Selendang Kubur kepada Peri Malam.
Jawab Peri Malam,
"Ada dua arah yang bisa untuk
melarikan diri.
Melalui lantai di dalam kamar itu, atau menjebol dinding kamar!"
"Lantai...?!"
Selendang Kubur kerutkan dahi.
"Ada pintu
rahasia di lantai kamar Nyai Lembah
Asmara. Gunanya
untuk meloloskan diri sampai ke
pantai. Ada jalan
tembus ke sana. Atau mereka lari
dengan menjebol
dinding menuju puncak bukit!"
"Kau bisa tahu
hal itu dari mana?" tanya Betari Ayu.
"Dulu aku
bekas murid Nyai Lembah Asmara dan
pernah tinggal di
sini sebagai pelayan Nyai. Tugasku
membersihkan
kamarnya!"
Selendang Kubur dan
Nyai Betari Ayu angguk-
anggukkan kepala
sambil pandangi Peri Malam. Yang
dipandang tampak
masih gusar dan cemas. Kemudian
setelah sama-sama
bungkam sesaat, Peri Malam ucapkan
kata,
"Aku akan
mengejarnya ke pantai! Akan kuhadang di jalan tembus sana!"
"Aku ikut
kamu!" kata Selendang Kubur dengan rasa waswas, takut kalau ganti Peri
Malam yang bawa kabur
Pendekar Mabuk.
Betari Ayu berkata,
"Baiklah. Aku akan periksa
puncak bukit!"
Agaknya memang
Betari Ayu yang mujur. Karena,
pada waktu terjadi
keributan yang menimbulkan suara
gaduh bersama
ledakan-ledakan menggelegar itu. Nyai
Lembah Asmara mulai
curiga dengan suasana di luar
kamar, ia segera
bergegas memeriksa keadaan di luar
kamar, ia melihat
kemunculan Betari Ayu saat
menyerang orang
bersenjata kapak dengan Cincin Manik
Intan.
"Celaka! Dia
memiliki pusaka yang dahsyat!" pikir Nyai Lembah Asmara kala itu.
"Mudah saja untuk
mengalahkannya,
tapi aku tak punya waktu. Bisa-bisa
Pendekar Mabuk
sadar dari pengaruh racunku, lalu ia
melarikan diri.
Hmmm...! Sebaiknya, selagi Suto masih dalam pengaruh racunku itu, aku harus
mencari tempat
yang aman supaya ia
cepat-cepat membuahiku!"
Pendekar Mabuk
bukan hanya mabuk oleh tuak,
namun juga mabuk
oleh racun Darah Asmara yang tak
mampu dilawannya
itu. Tubuhnya berkeringat dan
wajahnya memerah
menahan gairahnya.
Nyai Lembah Asmara
segera berkata kepada Suto,
"Kita harus
cepat menyingkir untuk sementara, Suto!"
"Tak perlu,
Nyai! Dekatlah padaku sekarang juga, peluklah aku!"
"Mereka akan
menemukan kita di sini, Suto! Kita
harus pergi supaya
kemesraan kita tidak diganggu. Aku punya tempat yang aman untuk memadu kasih
kita!"
"Ah, Nyai...
mengapa kamu takut dengan suara
gaduh? Aku tidak
merasa takut sedikit pun, Nyai!
Lupakan tentang
urusan mereka. Sebaiknya kita kerjakan urusan kita sendiri, Nyai!"
"Tidak, Suto!
Aku tidak suka dengan suasana ini!
Jelas akan
mengganggu kemesraan dan kenikmatan
bercumbu kita,
Suto!"
"Oh, ho ho
ho...! Benar juga, Nyai. Benar!" Pendekar Mabuk tertawa dan bicara dalam
pengaruh tuak dan
racun birahinya
itu. "Kalau begitu, lekas bawa aku pergi ke tempat yang lebih mesra lagi,
Nyai!"
Nyai Lembah Asmara
berpikir, "Aku tadi melihat ada Sundari, bekas murid dan pelayan di
kamarku ini! Kalau aku lewat pintu lantai, pasti Sundari tahu ke mana arah
lariku. Hmmm... sebaiknya aku ke puncak saja. Kubawa
Pendekar Mabuk ke
dalam gua yang cukup aman untuk
memadu kemesraan
dengannya!"
Nyai Lembah Asmara
sentakkan tangan kirinya ke
depan. Wuuut...!
Blarrr...! Dinding
kamar jebol dengan satu sentakan
tenaga dalam tanpa
sinar itu, ia segera membawa lari Pendekar Mabuk. Tapi keadaan Suto sangat
lemah dan
lamban untuk
bergerak lari. Tanpa ragu-ragu, Nyai
Lembah Asmara
menggendong tubuh Suto,
memanggulnya di
pundak. Pendekar Mabuk hanya diam
saja sambil tetap
memegang tabung bumbung bambu.
Sesekali ia
tersentak karena cegukan, mulutnya
berceloteh apa saja
karena pengaruh mabuknya, sampai
Nyai Lembah Asmara
sempat membentak agar Pendekar
Mabuk diam dan
tidak bersuara.
Keadaan mereka yang
belum sampai lepas pakaian
itu segera melesat
keluar dari kamar melalui jebolan
tembok. Nyai Lembah
Asmara membawa lari Suto ke
arah puncak bukit.
Gerakannya tetap seperti anak panah yang melesat dari busurnya, walau saat itu
ada beban di pundaknya.
Sebuah gua yang
pintunya tertutup oleh ilalang lebar
menjadi sasaran
arah Nyai Lembah Asmara. Gua itu
tidak mudah
ditemukan orang, tidak pula mudah dilihat karena kerimbunan semak ilalang yang
menutup mulut
gua. Tapi buat Nyai
Lembah Asmara, gua itu sudah
bukan tempat asing
lagi, karena ia sering membawa
seorang pria untuk
bercinta di dalam gua tersebut. Gua itu terletak pada satu lereng, hampir
mencapai puncak
bukit.
Ketika Nyai Lembah
Asmara tiba di depan gua itu, ia
turunkan tubuh
Pendekar Mabuk dari pundaknya.
Pendekar Mabuk pun
berdiri dengan sempoyongan.
Matanya semakin
sayu karena mabuk, juga karena racun
birahi yang
menyerangnya.
"Di sini saja,
Nyai!" kata Suto dengan suara sumbang sambil meraih baju Nyai Lembah
Asmara dan ingin
melepaskannya. Tapi
Nyai Lembah Asmara menolak
sambil berkata,
"Jangan di
sini! Kita masuk ke dalam gua itu!"
"Mana ada gua,
Nyai?"
"Itu, di depan
kita. Kau tidak melihatnya karena kerimbunan semak ilalang di mulut gua!"
Pendekar Mabuk
dituntun mendekati gua. Tiba-tiba
kakinya yang lemas
terkulai dan jatuhlah Suto, merosot ke bawah tebing sambil tetap berpegangan
bumbung
tuaknya.
"Sutooo...?!"
sentak Nyai Lembah Asmara dengan cemas. Cepat-cepat ia lompatkan tubuh dan
bersalto dua kali. Tubuh Nyai Lembah Asmara mendahului gerakan
Pendekar Mabuk yang
meluncur ke bawah tebing.
Sebatang ranting
kering dipakai berpijak kaki Nyai
Lembah Asmara.
Ranting itu seharusnya patah, tapi
karena ilmu
peringan tubuh yang digunakan Nyai
Lembah Asmara cukup
tinggi, sehingga ia bisa berdiri
dengan tenang di
atas ranting kering yang besarnya dua kali ukuran lidi.
Tubuh Pendekar
Mabuk yang meluncur ke bawah itu
ditangkap oleh
kedua tangan Nyai Lembah Asmara.
Andai tidak, tubuh
Pendekar Mabuk akan jatuh ke
jurang yang cukup
dalam. Mungkin juga Suto akan mati
dihujam bambu-bambu
runcing yang sengaja dipasang
oleh Nyai Lembah
Asmara sebagai jebakan para musuh
yang hendak
menyerangnya dari atas bukit.
Sentakan halus kaki
Nyai Lembah Asmara segera
membuat tubuhnya
melesat ke atas sambil menopang
tubuh Suto. Kini,
ia berhasil membawa Pendekar Mabuk
ke tanah sedikit
datar dan aman dari bahaya kemiringan tebing.
"Enak sekali
terbang denganmu, Nyai!" Suto
menceracau.
"Aku juga bisa terbang seperti kamu.
Huup...!"
Pendekar Mabuk
menyentakkan kakinya dan dalam
sekejap tubuhnya
melayang ke atas dan berjungkir balik dua kali. Tubuh itu segera hinggap di
salah satu batu yang ada di puncak bukit. Pendekar Mabuk berdiri
dengan keadaan
limbung, mencemaskan hati Nyai
Lembah Asmara.
Ia berseru dari sana,
"Nyai...! Aku bisa sampai di sini! He he he... he he...!"
Bruukkk...! Suto
jatuh dari batu besar itu. Tubuhnya
terhempas di tanah.
Nyai Lembah Asmara menggeram
jengkel dan
menggerutu,
"Bocah
sinting! Katanya ingin kemesraan malah
mengajak bercanda
gila-gilaan begitu. Huuup...!"
Nyai Lembah Asmara
menyusul Pendekar Mabuk di
atas puncak bukit
dengan melesatkan diri dan bersalto
dua kali juga. Suto
sedang menggeliat bangkit ketika
kedua kaki Nyai
Lembah Asmara mendarat di tanah
sampingnya.
Jleeg...!
"Aku jatuh,
Nyai. He he he.... Enak sekali jatuhnya!"
kata Suto yang
semakin parah dipengaruhi tuaknya.
"Suto, kita
tak punya waktu untuk bercanda. Lekaslah ke dalam gua, Suto. Aku tak sabar
menunggu kemesraan
dan kehangatan tubuhmu!"
"Di sini
sajalah, Nyai! Di alam bebas ini lebih mesra!
He he he...!"
Pendekar Mabuk makin mengacau, ia berdiri dengan sempoyongan, ia merenggut
tubuh Nyai
Lembah Asmara,
sehingga wajah mereka saling tatap
dalam jarak dekat.
Nyai berpikir saat itu,
"Kalau memang
dia maunya di sini, biarlah di sini!
Aku pun sudah tak
tahan lagi!"
Pendekar Mabuk
tersenyum-senyum ketika wajah
Nyai Lembah Asmara
mendekat ingin mencium
bibirnya. Jemari
Suto sedikit menaikkan dagu Nyai
Lembah Asmara, dan
mata Nyai jadi terpejam. Tapi tiba-tiba tangan Suto menyentak, mendorong dagu
itu ke
belakang membuat
tubuh Nyai pun tersentak limbung
dalam keadaan
mundur tiga tindak.
"Oh, maaf
Nyai... aku hampir jatuh!" kata Suto sambil sempoyongan. Nyai Lembah
Asmara ingin marah
namun segera
memaklumi keadaan Pendekar Mabuk
yang dalam pengaruh
mabuk tuak itu.
"Suto,
lekaslah berbaring saja! Biar aku yang menjadi pelayan cintamu, Suto,"
kata Nyai Lembah Asmara
sambil berkemas
untuk melepasi pakaiannya.
"Baik. Baik.
Aku akan berbaring, tapi... tapi di atas batu itu! Aku ingin berbaring ke sana!
Huupp...!"
Tiba-tiba Pendekar
Mabuk melompat ke atas batu
besar yang
tingginya dua kali tinggi tubuhnya, Suto
bagaikan terbang
dan hinggap di atas batu datar dalam keadaan sudah berbaring.
Tetapi pada waktu
ia melompat tadi, ada satu batu
kecil sebesar
genggaman tangan anak-anak melesat pula dari sentakan kakinya. Batu itu melesat
ke arah Nyai
Lembah Asmara dengan
cepat. Plokkk!
Nyai Lembah Asmara
tak sempat menghindari batu
yang di luar dugaan
kedatangannya. Maka, tersentaklah ia ketika batu itu mengenai tulang pipinya
dan
membekas biru. Ia
menyeringai kesakitan sambil
tundukkan wajahnya,
memengangi luka memar dari
hantaman batu
tersebut.
"Gila,
tingkahnya aneh-aneh saja, sampai wajahku terkena batu yang begini sakitnya.
Uuh... kurasakan
sentakan batu itu
sangat kuat dan berat. Mungkin hanya karena keadaan tubuhku sedang dilanda
gairah, sehingga terkena batu begitu kecil saja terasa sakit."
Terdengar Suto
berseru, "Nyaiii... aku berbaring di sini...!" nada suaranya
meliuk-liuk tak jelas iramanya.
"Kalau kau tak
segera datang aku akan turun, Nyai...!"
Segera Nyai Lembah
Asmara yang jantungnya sudah
berdetak-detak
karena dorongan nafsu yang makin
menggelora itu,
melesat dengan satu lompatan kecil,
menghampiri
Pendekar Mabuk yang berbaring di atas
batu. Pikir sang
Nyai, "Biarlah di atas batu itu aku
bercumbu, yang
penting gairahku segera terpenuhi
dulu!"
Ketika Nyai Lembah
Asmara sampai di atas batu,
berdiri di dekat
Pendekar Mabuk, tiba-tiba Suto bangkit dengan satu gerakan memutar, hingga
kakinya menyapu
kaki Nyai Lembah
Asmara. Plakkk...!
Brukkk...!
Nyai terpelanting
jatuh dan terjungkal turun dari atas batu. Pundaknya menghantam tanah lebih
dulu.
Sebongkah batu
terpendam menjadi benturan telinga
kirinya.
Prukkk....!
"Aauh...!"
ia memekik kesakitan.
"Waduh,
maaf...! Maaf, Nyai...! Kupikir kau belum datang, karenanya aku bangkit dengan
cepat ingin
menyusulmu turun
dari batu ini! Maaf, aku tak sengaja
menendang kakimu,
Nyai!"
Nyai Lembah Asmara
berpikir juga, "Sapuan kakinya tak mungkin bisa merobohkan kuda-kudaku
jika tidak
diiringi kekuatan
tenaga dalam! Oh, daun telingaku luka berdarah. Sial! Dalam keadaan mabuk dia
masih dialiri tenaga dalam di sekujur tubuhnya. Oh, alangkah
indahnya jika
cumbuannya nanti juga dialiri tenaga
dalam. Jelas ia
akan mampu mempertahankan gairahnya
yang menurutku
sudah meluap-luap seperti yang
kurasakan saat
ini...."
"Nyai,
naiklah! Lekas! Aku sekarang berdiri biar bisa melihat kedatanganmu! Naiklah,
Nyai!" seru Suto
sambil berdiri di
tepian batu dengan tubuh meliuk ke
sana-sini, bagaikan
diombang-ambingkan oleh angin.
Tangannya pun
menggapai-gapai seperti ingin jatuh.
Nyai berteriak,
"Suto, awas! Nanti kau jatuh! Jangan ke tepian!"
"Lekaslah naik
sebelum aku sempat jatuh, Nyai!"
Takut Pendekar
Mabuk jatuh, Nyai Lembah Asmara
pun segera melompat
menyongsong gerakan tubuh
Pendekar Mabuk yang
mulai limbung ke depan. Tangan
Pendekar Mabuk
bergerak-gerak mencari keseimbangan
sambil berseru,
"Eee, eh eh eh...!"
"Awas,
Suto...!" Nyai Lembah Asmara makin berseru cemas.
Ketika tubuhnya
mendekati Pendekar Mabuk, tiba-
tiba Suto jatuh ke
depan. Tangannya bergerak-gerak
bagai ingin mencari
pegangan.
"Waaaoow...!"
Suto berteriak dalam nada kegirangan.
Tubuhnya beradu
dengan tubuh Nyai Lembah
Asmara di udara.
Tangan Suto cepat bergerak dan
mengenai dada Nyai
Lembah Asmara. Plak plak plak...!
Lalu, Nyai Lembah
Asmara tersentak ke belakang dalam
keadaan terbang,
Suto jatuh ke bawah dalam keadaan
terguling dua kali.
Ia jatuh terduduk sambil mengerang kesakitan memegangi pinggangnya. Bumbung
tuak
masih menyilang di
punggungnya.
"Aduh.
sakitnya punggungku...!" rintihnya pelan.
Tetapi Nyai Lembah
Asmara tidak hiraukan rintihan
itu. Ia melihat
dadanya hangus tiga tempat akibat
gerakan tangan
Pendekar Mabuk tadi. Napasnya pun
mulai terasa sesak.
Dada itu terasa panas sekali bagian dalamnya. Nyai Lembah Asmara mulai
membatin,
"Kurang ajar!
Rupanya sejak tadi dia menyerangku dengan jurus mabuknya! Uuh... sakit sekali
dadaku.
Gerakan tangannya
tak seberapa keras, tapi mempunyai
kekuatan tenaga
dalam yang menghanguskan kulit
dadaku! Aduh, sesak
sekali napasku, jangan-jangan
racun Darah Asmara
telah membalik meracuni tubuhku
sendiri! Tak biasanya
aku mempunyai gairah sebegini
besarnya!"
Terdengar Pendekar
Mabuk berseru, "Nyai, tolong
aku berdiri!"
ia mengulurkan tangan, minta ditarik. Tapi Nyai Lembah Asmara hanya diam saja.
Nyai Lembah
Asmara hanya
memandang dengan mata kian nanar,
antara sayu dicekam
birahi dengan sayu menahan sakit.
Tak disadari dari
mulut Nyai Lembah Asmara mulai
melelehkan darah
segar ketika ia terbatuk satu kali.
Bahkan batuk yang
kedua membuat darah kental
menyembur ke luar
dari mulut. Nyai Lembah Asmara
sangat kaget
melihat mulutnya mengeluarkan darah
kental sedikit
kehitaman.
"Jahanam!"
geramnya dalam hati. "Rupanya dia telah berhasil melukaiku secara
diam-diam! Ini sudah bukan luka ringan saja. Ini sudah bukan satu hal yang
bersifat kebetulan tapi pasti direncanakan olehnya! Aku harus menyerangnya! Aku
harus membalasnya! Tapi
bagaimana jika ia
terluka? Aku tak bisa menikmati
kemesraannya.
Padahal aku sudah tak bisa menahan
gairahku lagi. Oh,
aku ingin dicumbunya sekarang juga!
Ya, sekarang
juga!"
Masih saja Suto
menyerukan kata, "Nyai, tolonglah
aku! Tarik tanganku
agar aku bisa berdiri...!"
Nyai Lembah Asmara
segera melompat bagai singa
menerkam mangsanya.
Wuuttt...! Ia menerkam tubuh
Pendekar Mabuk dan
mengajaknya berguling untuk
bercumbu. Tetapi
saat tubuh itu melayang, Pendekar
Mabuk segera
menyentakkan tangannya yang sejak tadi
teracung ke atas.
Gerakan tangan itu seperti orang ingin bangkit dan menggunakan tangan itu untuk
bertolak dari sebuah batu di sampingnya. Tapi gerakan lembut itu
ternyata
memancarkan satu kekuatan tenaga dalam yang
membuat kepala Nyai
Lembah Asmara tersentak naik ke
atas dengan pekik
tertahan.
Beegh..! Leher Nyai
Lembah Asmara jadi sasaran
tenaga dalam Suto.
Akibatnya, mulut Nyai Lembah
Asmara kembali
menyemburkan darah kental dan
berwarna kehitam
hitaman. Pendekar Mabuk berlagak
kaget dan berseru,
"Nyai.. ?
Kenapa kau, Nyai?! Kenapa...?!"
Nyai Lembah Asmara
yang terkenal keji dan buas itu
tergeletak dalam
keadaan tersengal-sengal. Matanya
terbeliak sambil
sesekali menyemburkan darah dari
mulutnya.
Pendekar Mabuk
berjalan mundur seperti orang
ketakutan melihat
Nyai Lembah Asmara tersentak-
sentak tubuhnya.
Padahal itu hanya kepura-puraan
Pendekar Mabuk.
Tiba-tiba sekelebat
bayangan melesat di atas kepala
Suto. Cepat sekali
Pendekar Mabuk sentakkan
tangannya ke atas
sambil menundukkan kepalanya.
"Wah, burung
apa itu yang datang?!"
Sentakkan tangan
itu rupanya mengeluarkan kekuatan
tenaga dalam. Dan
kelebat bayangan itu juga
menyentakkan tenaga
dalam ke ubun-ubun Suto.
Akibatnya, dua
tenaga dalam itu beradu dan
menimbulkan gelegar
yang teredam.
Beeggh...!
Wuuut...! Suto
tersentak ke samping dan hampir
jatuh, ia hanya
sempoyongan saja dan segera
berpegangan dinding
batu. Sedangkan bayangan itu
segera jatuh dengan
kaki sigap ke tanah. Bayangan itu milik seorang nenek berkulit keriput, yang
bersenjatakan tengkorak seekor kambing.
"Oh, kau
rupanya, si Mawar Hitam!" kata Pendekar Mabuk.
"Syukul kau
ingat padaku, Suto! Kau masih punya hutang pusaka Tuak Setan padaku! Sekalang
aku belum
ingin menagihnya,
tapi suatu saat nanti, aku ingin
menagihnya
dalimu," kata Mawar Hitam yang tak bisa menyembulkan hufur 'r' itu. Ia
adalah penguasa Pulau
Hantu, bekas
gurunya Peri Malam.
"Lalu,
sekarang kau mau apa, Mawar Hitam?!"
"Aku tahu
sejak tadi kau selang pelempuan ini
dengan lagak
mabukmu! Dia tidak melasa, dan akhil-nya dia jatuh begini. Kasihan!"
"Mata tuamu
memang jeli, Mawar Hitam! Tak sejeli mata perempuan yang sedang dimabuk birahi
karena
racunnya yang
berhasil kukembalikan tadi. Kalau kau
tahu begitu,
sekarang mau apa kau?"
"Aku belum mau
ulusan sama kamu, mulid sinting!
Tapi tunggu kalau
aku sudah ambil semua ilmu yang ada dalam dili pelempuan ini! Aku akan balas
kekalahanku
tempo hali!"
Sebelum Pendekar
Mabuk lontarkan kata, tiba-tiba
nenek kempot
keriput itu bergerak cepat. Tubuh Nyai
Lembah Asmara
diangkatnya bagai mengangkat batang
pisang, lalu ia
segera jejakkan kaki dan melesat pergi dengan cepat menuruni lereng bukit.
Pendekar Mabuk
hanya mengejar
sampai tiga langkah ke depan, lalu
membiarkan nenek
kempot itu pergi membawa Nyai
Lembah Asmara.
Tiba-tiba dari arah
belakang Pendekar Mabuk ada
suara memanggil,
"Suto...?!"
Oh, rupanya Nyai
Betari Ayu datang agak terlambat,
ia tidak
menyaksikan pertarungan Pendekar Mabuk yang
mirip pertarungan
sinting itu. Ia tidak melihat bagaimana Pendekar Mabuk merubuhkan Nyai Lembah
Asmara, ia
hanya melihat
Pendekar Mabuk melangkah dengan
sempoyongan
mendekatinya.
"Kau tidak
apa-apa, Suto?"
"Tidak, Nyai.
Racun kiriman Nyai Lembah Asmara
berhasil kubalikkan
saat dia mencium bibirku... he he he...."
"Dia mencium
bibirmu, Suto?!" Betari Ayu sempat kaget dan punya perasaan tak suka mendengarnya.
Ia
palingkan wajah dan
cemberut. Pendekar Mabuk tertawa
terkekeh-kekeh.
Tapi tawanya menjadi hilang ketika ia melihat jari tengah tangan kanan Betari
Ayu
mengenakan cincin
bermata putih berlian. Pendekar
Mabuk terbayang
penuturan dari gurunya tentang ciri-
ciri Cincin Manik
Intan. Dan, saat itulah mata Pendekar Mabuk terbelalak melihat Cincin Manik
Intan ada di
tangan Nyai Betari
Ayu.
"Haruskah aku
bertarung dengannya merebut cincin itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan hati
gundah gulana.
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Ikuti kisah
selanjutnya
Serial Pendekar
Mabuk Suto Sinting dalam episode:
Pembuat E-book:
DJVU & E-book
(pdf): Abu Keisel
Emoticon