Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 04. Perawan Sesat
1
SEMILIR angin menghembus ke
permukaan telaga.
Air telaga bergerak-gerak
bagai digelitik jemari perawan. Telaga yang tidak begitu luas itu dikelilingi
oleh pepohonan rindang berbatang tinggi. Teduh sekali suasana di sekeliling
telaga.
Tiba-tiba tanpa angin tanpa
badai, air telaga berkecipak dan muncrat ke atas. Sesosok tubuh melesat keluar
dari kedalaman telaga. Tubuh itu segera bersalto ke depan dan kejap berikutnya
sepasang kaki kekarnya telah menapak tanah. Jliggg...!
Napas orang itu terhempas.
Sebagian air ikut menyembur keluar dari mulutnya. Matanya yang kecil tapi tajam
itu menatap sekeliling dengan penuh waspada. Orang berpakaian hitam dengan alis
kuning emas pada tepiannya itu segera kibaskan kepala.
Rambut dan sekujur tubuhnya
yang basah siratkan air ke kanan-kiri. Ikat kepalanya dilepas dan diperas.
Melihat dari bentuk kumisnya
yang sedikit tebal dengan cambang tipis, sebuah pedang sarung perak berukir
yang tetap tersemat di pinggang kirinya, ia cukup dikenal di rimba persilatan.
Para tokoh mengenalnya dengan nama: Datuk Marah Gadai. Ia tergolong salah satu
dari sekian tokoh sakti yang punya hasrat untuk menguasai rimba persilatan di
seluruh tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa tanah Jawa, hingga
tak segan-segan turunkan tangan dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun
yang menjadi penghalangnya.
Datuk Marah Gadai memandangi
air telaga dengan perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu semakin
tampak bengis, karena sebuah perasaan kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal
semakin menggerogoti jiwanya. Datuk Marah Gadai menggeram dalam keraguan
bertindak.
"Kutinggalkan telaga
keparat ini, atau kucoba sekali lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila
perlu kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"
Belum sampai Datuk Marah
Gadai putuskan
langkah, tiba-tiba ia
mendengar suara tawa terkekeh dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai
palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas.
"Turun kau,
Monyet!" sentak Datuk Marah Gadai dengan kasar.
"Tak perlu kau suruh
aku turun, aku memang sudah berniat turun sendiri. Karena kaulah orang yang
kucari-cari beberapa waktu ini dan ternyata kutemukan di sini! He, he,
he...!"
Orang di atas pohon itu
segera melompat turun.
Tubuhnya yang kurus kering
bagaikan kipas dihembus angin. Rambutnya yang putih panjang meriap panjang
bagaikan serabut akar kering melayang ke mana-mana.
Orang yang bercelana hitam,
berkain putih penutup dada, dan menggenggam tongkat kayu putih itu tak lain
adalah Peramal Pikun dengan nama asli Renggono. Dia adalah kakak dari
Cadaspati, murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang tempo hari telah dibunuh oleh Datuk
Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara
Gila").
Tokoh tua yang lebih banyak
cengengesan itu memang mempunyai kesaktian melebihi adiknya, tapi ia tidak
termasuk sebagai murid Malaikat Tanpa Nyawa.
Bahkan dulu ia pernah
bentrok dengan Malaikat Tanpa Nyawa, dan ia segera kabur karena sang adik
membela gurunya. Namun sebagai seorang kakak, Peramal Pikun tak bisa tinggal
diam melihat kematian adiknya di tangan Datuk Marah Gadai. Untuk itulah ia
merasa gembira karena bisa bertemu dengan pembunuh adiknya di tepi Telaga Manik
Intan.
Peramal Pikun hentikan
tawanya sejenak.
Pandangan matanya menjadi
lebih tajam. Kata-katanya terasa sedingin es.
"Kau yang membunuh
Cadaspati, adikku!"
"Benar!" jawab
Datuk Marah Gadai bersikap menantang. "Apakah kau ingin menyusulnya? Aku
bersedia membantumu!"
"Kau yang akan
kususulkan ke sana untuk meminta maaf padanya!"
Datuk Marah Gadai
sunggingkan senyum tipis dan sinis, pertanda meremehkan gertakan Peramal Pikun.
"Rupanya biar tua kau
masih punya nyali juga, Peramal Pikun! Seharusnya kau bisa bayangkan, adikmu
yang terhitung lebih muda dan lebih lincah darimu itu bisa kubunuh tanpa ampun
lagi, apalagi kamu yang sudah tua renta tinggal tulang terbungkus kulit? Sama
saja aku melawan ranting kering yang sudah waktunya rengas!"
Peramal Pikun menyipitkan
pandangan matanya.
Tangan kanannya yang
menggenggam tongkat meremas kuat. Kejap berikutnya ia sentakkan kepala tongkat
ke depan, kaki merendah terbentang, tangan terangkat ke atas.
Wuuugh....!
Sebuah gumpalan tenaga dalam
dilancarkan melalui kepala tongkatnya. Tenaga dalam itu melesat ke dada Datuk,
tapi dengan cepat tangan kanan Datuk terangkat di depan dada dengan dua jari
mengeras berdiri dan punggung tangan itu menghadap ke arah depan. Dari punggung
tangan itu keluar gelombang tenaga penangkis, sehingga di depan mereka
terdengar suara seperti dua benda empuk beradu.
Beggh...!
Kedua tubuh masih sama-sama
tegak. Hanya kain dan rambut Peramal Pikun yang tersibak bagai dihembus angin
balik. Sementara itu, Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum karena ia pun merasa
sedikit terdorong oleh benturan tenaga dalam itu.
Peramal Pikun mengendurkan
urat-urat tangannya dan kembali bersikap seperti tadi. Tongkatnya ditapakkan ke
tanah. Seakan apa yang dilakukan tadi hanya untuk menguji kesigapan lawannya.
Sang lawan pun menurunkan
tangan dan berdiri dalam sikap tenang seperti semula. Datuk Marah Gadai
melangkah ke samping dua tindak. Sengaja ia berdiri bersandar pohon supaya
timbul kesan menganggap enteng kehadiran Peramal Pikun.
"Kalau kau menuntut
kematian adikmu itu kuanggap tuntutan yang wajar. Tapi aku sangsi, apa kamu
bisa mengungguli ilmuku, Peramal Pikun?"
Merasa diremehkan, Peramal
Pikun sentakkan tongkatnya ke tanah.
Duggg...!
Tak diduga-duga tubuh Datuk
Marah Gadai
tersentak ke atas dan nyaris
jatuh ke tanah. Rupanya Peramal Pikun salurkan tenaga dalamnya melalui tongkat,
dan tenaga dalam itu melesak masuk ke tanah, lalu menyentak ke atas, membuat
tubuh Datuk Marah Gadai tersentak naik. Ada separo tombak tinggi sentakan itu.
Kalau saja Datuk Marah Gadai tidak bisa cepat kuasai keseimbangan, ia akan
jatuh terduduk di tanah. Untung ia segera kuasai keseimbangan tubuhnya yang
sedikit gemuk itu, sehingga ia hanya terhuyung-huyung dan berhasil berpegangan
batang pohon.
"Datuk Marah
Gadai!" kata Peramal Pikun dengan tegas. "Perlu kau ketahui,
kehadiranku menemui dirimu bukan hanya menuntut balas atas kematian adikku,
tapi juga ingin merebut Pusaka Tuak Setan yang kau ambil dari Cadaspati, adikku
itu."
"Pusaka apa yang bisa
diperoleh adikmu itu?! Tidak ada pusaka apa-apa yang bisa diperolehnya, karena
adikmu itu sebenarnya manusia tanpa isi, tak punya ilmu apa-apa, sehingga tak
bisa memperoleh pusaka apa pun! Menyesal juga aku telah bersusah payah
mengejarnya, buang-buang waktu saja, dan ternyata Pusaka Tuak Setan memang
tidak ada padanya."
"Hmmm... begitukah
pengakuanmu, Datuk Marah Gadai? Jika memang Cadaspati tidak memegang pusaka
itu, tentunya kau sekarang telah memegangnya! Aku lihat sendiri kau muncul dari
kedalaman telaga!"
"Ya. Memang aku muncul
dari kedalaman telaga ini.
Lantas apa maksudmu?"
"Tentunya kau yakin
jika Pusaka Tuak Setan itu masih ada di dasar telaga, dan kau segera memburunya
setelah kau bunuh adikku itu. Tentunya juga kau sekarang sudah mendapatkannya,
Marah Gadai!"
Tawa Datuk Marah Gadai
terlepas keras. Pada saat yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya.
"Pasti dia sudah
dapatkan pusaka itu. Kalau dia tidak memperoleh Pusaka Tuak Setan dari
Cadaspati, tak mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam keadaan tanpa melepas
pakaian. Sengaja dia menyelam dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu
bisa dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka Tuak Setan di balik baju
atau pinggangnya itu."
Datuk Marah Gadai hentikan
tawa. Tapi bibirnya masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia
perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu.
"Lucu sekali buatku.
Dulu, sangkaku Cadaspati membawa Pusaka Tuak Setan dari dasar telaga, sebab aku
lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku kejar dia sampai akhirnya
kubunuh, dan ternyata dia tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari
dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka berhasil memperoleh pusaka
itu. Tentunya kau tidak percaya jika kukatakan bahwa aku tidak memperoleh benda
apa pun di dalam dasar telagaiItu! Satu pasir pun tidak kubawa naik ke
permukaan ini, Peramal Pikun.
Harap kau mau percaya agar
tak terjadi salah duga yang berakibat buruk, seperti nasib adikmu itu!"
Peramal Pikun membatin,
"Apa benar dia tidak dapatkan pusaka itu? Jika benar, lantas ke mana
perginya pusaka itu? Siapa yang sudah berhasil membawanya pergi? Atau... masih
ada di dalam telaga ini?" Sejurus setelah keduanya sama-sama diam, Datuk
Marah Gadai kembali perdengarkan suaranya,
"Peramal Pikun, kurasa
kau tak perlu curiga padaku. Pusaku itu memang tidak ada. Mungkin juga yang
namanya Pusaka Tuak Setan hanya merupakan kabar bohong saja. Pusaka itu tidak
pernah ada dari dulu sampai sekarang. Jadi, tak ada guna kita bersitegang
memperebutkannya. Dan, aku tak bisa terlalu lama tinggal di sini, karena aku
punya banyak urusan di tempat lain. Aku harus segera pergi!"
"Tunggu!" cegah
Peramal Pikun sambil melangkah satu tindak.
"Urusan kita belum
beres, Marah Gadai!"
"Sudah kukatakan, Tuak
Setan itu tidak ada!"
"Barangkali benar. Tapi
urusan soal kematian adikku belum selesai. Kau harus menebusnya dengan nyawa
pula, Marah Gadai!"
"Aku tidak tega jika
harus meremukkan tulang-tulang tuamu, Renggono!" kata Datuk Marah Gadai
menyebutkan nama asli Peramal Pikun. Tetapi agaknya orang berkumis putih dan
beralis tebal putih itu tidak mau membiarkan lawannya pergi begitu saja.
Saat Datuk Marah Gadai
balikkan badan dan siap melangkah, Peramal Pikun segera kibaskan tongkatnya ke
arah depan, dari kanan ke kiri. Wuuung...! Bunyi kibasannya mirip suara gasing.
Datuk Marah Gadai segera
balikkan badan untuk menangkis pukulan tenaga dalam itu. Tapi ia telat
bergerak. Tenaga dalam tanpa bentuk itu telah menghantam bagian punggungnya.
Bugg...! Tubuh orang berpakaian basah itu terjungkal ke depan tanpa ampun lagi.
Pakaian yang basah menjadi kotor karena tanah. Peramal Pikun melihat adanya
peluang emas untuk membunuh Datuk Marah Gadai. Maka, ujung tongkatnya yang
bawah disentakkan ke depan dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Zuuut...!
Crasss...!
Ujung tongkat itu keluarkan
cahaya merah yang membentuk seperti lempengan logam bundar. Sinar merah itu
melesat cepat ke arah Datuk Marah Gadai.
Melihat kelebatan sinar
merah, Datuk Marah Gadai tak punya kesempatan untuk menangkisnya, ia hanya
tolakkan kaki kanannya ke tanah, dan tubuhnya melesat naik dengan ringan dalam
keadaan masih berbaring. Tubuh yang terangkat bagaikan terbang itu selamat dari
sasaran sinar merah. Tetapi sinar itu menghantam bagian bawah pohon, memotong
batang pohon itu bagaikan gergaji yang luar biasa tajamnya.
Brukkk...! Pohon itu pun
tumbang dengan potongan rapi bak irisan kue lapis. Datuk Marah Gadai sempat
terhenyak melihat potongan serapi itu. Segera ia sigapkan diri kembali dan
palingkan wajah ke arah Peramal Pikun.
"Bersyukurlah kau bisa
selamat dari jurus 'Kepak Garuda'-ku. Andai tidak, tubuhmu akan terpotong
seperti pohon itu, Marah Gadai!"
Datuk Marah Gadai menggeram
sambil genggamkan dua tangannya kuat-kuat. Matanya menatap bengis tanpa senyum
sedikit pun.
"Tua pikun bikin
penyakit kau ini, Renggono!
Jangan merasa bangga dengan
jurus mainanmu seperti itu. Coba kau terima jurus 'Tapak Dewa'-ku ini,
hiat...!"
Kaki kanan Datuk Marah Gadai
menendang ke
depan dalam satu sentakan
keras. Dari telapak kaki itu keluar sinar putih keperakan yang dulu nyaris
melenyapkan nyawa Cadaspati di telaga itu juga.
Peramal Pikun pernah melihat
kehebatan jurus 'Tapak Dewa' itu. Ia tidak menghindar, karena ia mempunyai jurus
tandingan sendiri.
Maka ketika sinar putih
keperakan itu melesat ke arahnya, Peramal Pikun sentakkan jari tengah dari
tangan kanannya. Jari yang menyentak ke depan itu keluarkan nyala pijar api
merah juga, dan menghantam sinar putih keperakan itu. Duarrr...!
Benturan dua tenaga dalam
dahsyat itu timbulkan dentuman yang sempat membuat permukaan air telaga
berguncang. Tubuh Datuk Marah Gadai terpental ke belakang, membentur batang
pohon yang tadi tumbang. Sementara itu, tubuh Peramal Pikun hanya terdorong ke
belakang, dua langkah jaraknya.
Datuk Marah Gadai cepat
bangkitkan diri. Satu kaki sentakkan ke tanah dan tubuhnya melesat bagai
terbang disertai pekik kemarahan. "Hiaaaaat...!"
Melihat Datuk Marah Gadai
melompat ke arahnya, Peramal Pikun tak mau tinggal diam, sehingga ia pun
sentakkan tumit sedikit dan tubuhnya melayang terbang menyongsong lawan. Mereka
beradu pukulan tenaga dalam di udara.
Plak plak plak...! Begg...!
Telapak tangan Datuk Marah
Gadai berhasil
menghantam dada Peramal
Pikun. Tak ayal lagi tubuh kurus kering itu tersentak ke belakang dan jatuh
berguling-guling.
Darah keluar dari mulut
Peramal Pikun. Kain putih yang menyilang dari pundak ke pinggang itu tampak
hitam, terbakar oleh pukulan telapak tangan Datuk Marah Gadai. Bekas pukulan
itu masih mengepulkan asap tipis dan menyebarkan bau hangus sebuah kain.
Datuk Marah Gadai sendiri
masih berdiri tegak tanpa luka. Ia memandang lawannya dengan senyum sinis
meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah, tanpa penghalang benda apa pun.
Pada saat itu, tongkat
Peramal Pikun tergeletak di tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu
pukulan di udara tadi.
Melihat tongkat ada di dekat
kaki kanan, keadaan tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal Pikun
jejakkan kakinya ke kepala tongkat. Dalam satu jejakan kaki, tongkat itu
melesat sendiri menuju arah lawan. Wuuugh...!
Trak... trak...! Dua tangan
Datuk Marah Gadai sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir mengenai
dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat tongkat membalik dan terlempar kuat,
hingga melayang tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata Peramal Pikun.
Jlubh...! Tongkat itu jatuh
dalam keadaan berdiri dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap
menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang sudah terluka itu menangkap
tongkat dan berusaha untuk bangkitkan badan.
Tetapi Datuk Marah Gadai tak
mau diam saja. Ia segera sentakkan kakinya lagi bagai menendang udara kosong,
dan jurus 'Tapak Dewa' kembali dilancarkan ke arah Peramal Pikun. Sinar putih
keperakan itu melesat cepat menghantam Peramal Pikun, Wuuush...!
Seperti dalam kisah Pusaka
Tuak Setan, jurus maut
'Tapak Dewa' itu pernah
ditendangkan ke arah Cadaspati. Tapi waktu itu Cadaspati bisa menghindar, dan
yang menjadi sasaran adalah batu di belakangnya.
Batu itu lenyap begitu saja
ketika terhantam sinar putih keperakan. Batu itu tiba-tiba berubah menjadi
bubuk hitam yang lembut sekali.
Begitu pula saat sinar putih
keperakan itu menerjang tubuh Peramal Pikun, tiba-tiba tubuh itu lenyap.
Bekasnya tak ada, bahkan tongkatnya pun ikut lenyap. Tapi batu besar yang
semula dipakai sandaran tubuh Peramal Pikun ikut lenyap. Hilangnya batu Itu
meninggalkan bekas bubuk hitam yang menggunduk kecil di tanah.
Datuk Marah Gadai heran dan
membatin, "Aneh.
Mengapa lenyapnya tubuh
Peramal Pikun tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bekas darahnya yang
tadi keluar dari mulut? Mestinya tubuh itu pun meninggalkan bekas debu seperti
batu tersebut."
Ketika Datuk Marah Gadai
palingkan wajah ke seberang telaga, ternyata tubuh Peramal Pikun ada di sana,
bersandar pada sebatang pohon. Orang itu masih dalam keadaan duduk dan menahan
sakit di dadanya.
"Setan! Cepat sekali ia
berpindah tempat sejauh itu?" pikir Datuk Marah Gadai. Kemudian ia pun
serukan kata,
"Jangan harap kau bisa
lolos dari seranganku, Renggono!"
Tanpa menghampiri lawannya,
Datuk Marah Gadai kembali lancarkan tendangan mautnya yang dinamakan jurus
'Tapak Dewa'. Sinar putih keperakan kembali meluncur cepat melebihi anak panah
ke arah Peramal Pikun yang keadaannya semakin parah. Wuuush...!
Pohon yang dipakai sandaran
Peramal Pikun itu ikut lenyap seketika karena dihantam sinar putih keperakan.
Pohon itu tinggalkan sisa serbuk putih kehijauan yang menggunduk di tanah. Tapi
tubuh Peramal Pikun lenyap tanpa bekas lagi.
Datuk Marah Gadai melebarkan
matanya mencari ke kanan-kiri, ternyata dia temukan tubuh lawannya sedang
terbaring di atas tanah, di depan dua gugusan batu cadas. Tongkatnya masih
tergenggam di tangan kanan. Wajahnya makin pucat pasi.
"Hebat sekali dia. Bisa
menghilang bagaikan siluman!" ucap batin Datuk Marah Gadai dengan nada
heran. "Padahal keadaannya separah itu, tapi ia masih bisa menghindari
pukulanku dengan melesat cepat tak terlihat oleh mataku. Agaknya, orang tua
renta itu tidak bisa ditumbangkan semudah menumbangkan adiknya. Kalau kugunakan
pedangku, pastilah dia tak akan bisa berkutik lagi. Tapi, haruskah aku
menggunakan pusaka Pedang Lidah Iblis ini untuk urusan seperti ini? Ah, tidak!
Cukup dengan pukulanku yang melukai bagian dalamnya, tua renta itu akan mati
sendiri. Karena pukulan itu tidak akan mudah terobati!
Sebaiknya kutinggalkan saja
dia, supaya aku tidak boros tenaga!"
Tanpa tinggalkan pesan dan
pamit. Datuk Marah Gadai sentakkan kakinya dan melesat pergi dari Telaga Manik
Intan. Kepergiannya itu hanya bisa dilihat saja oleh Peramal Pikun, tak dapat
lagi ia cegah kepergian musuhnya karena luka dalamnya terasa semakin parah.
Peramal Pikun hanya bisa
bicara dalam hatinya.
"Tukang gadai itu
minggat begitu saja! Setan! Aku tak bisa mencegahnya. Pukulan tenaga dalamnya
ini sungguh luar biasa tingginya. Hampir saja aku tak kuat menahan. Kalau saja
jurus 'Tapak Dewa'-nya tadi mengenaiku, habis sudah riwayatku di telaga ini.
Hanya saja... siapa orang yang telah memindahkan tubuhku dari tempat satu ke
tempat yang lain? Pastilah dia orang berilmu tinggi, sampai gerakannya tak bisa
terlihat oleh mataku sendiri!" *
* *
2
TAMAN Perguruan Merpati
Wingit dibangun dengan berbagai keindahan, kenyamanan, dan keanehan.
Selain air mancur yang muncrat
ke atas tapi tak pernah kembali ke kolamnya, juga terdapat sebuah ayunan
bertiang gawang. Ayunan itu mempunyai kursi tempat duduk untuk dua orang dengan
punggung kursi terbuat dari bahan kayu berukir yang mempunyai bantalan empuk.
Ayunan itu mempunyai atap tak terlalu lebar.
Yang menjadi keanehan dari
ayunan tersebut adalah tempat duduk itu tidak mempunyai tali atau besi pengait.
Kursi itu bagaikan mengambang di udara, tapi bisa diayunkan maju mundur.
Di atas ayunan itu, duduklah
seorang pemuda bercelana putih dan berbaju coklat tanpa lengan.
Rambutnya riap-riapan
dibiarkan begitu saja. Pemuda tampan yang selalu berada tak jauh dari bumbung
bambu tempat menyimpan tuaknya itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak,
yaitu Suto Sinting!
Kala itu Suto duduk di
ayunan aneh dengan ke dua mata lurus memandang ke setangkai mawar ungu, tapi
jelas pikirannya tidak berada di ujung kuncup-kuncup bunga mawar itu. Suto
masih tak habis pikir mengapa orang-orang Perguruan Merpati Wangit itu bersikap
begitu baik padanya, namun juga begitu bodoh tindakannya.
Sejak Suto dirawat di
Perguruan Merpati Wingit akibat tubuhnya mengepulkan asap dan berkelejotan
bagaikan terbakar itu, ternyata banyak kejadian bodoh yang dilakukan oleh
murid-murid Merpati Wingit, yang pada umumnya perempuan itu.
Seperti dikisahkan dalam
episode : "Darah Asmara Gila", tubuh Suto menjadi seperti terbakar
saat cairan dari Tuak Setan itu tertelan masuk ke dalam mulutnya, ia terkapar
di atas bukit itu, ditinggalkan oleh lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu,
sedangkan Peri Malam yang waktu itu membela Suto dan menyerang gurunya sendiri,
dalam keadaan parah akibat pukulan sang Guru.
Pada saat itulah Nyai Guru
Betari Ayu datang dan terkejut melihat keadaan Suto yang mirip sedang sekarat
itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati, muridnya, kemudian segera membawa
lari tubuh yang berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari Ayu
duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.
Enam hari lamanya Suto dalam
perawatan Betari Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat berbeda kamar,
sebab Betari Ayu selalu
mengistimewakan Suto dalam
segala hal. Peri Malam yang sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam itu
dirawat di dalam ruang penyembuhan, sedangkan Suto dirawat di dalam kamar
pribadi Betari Ayu, yang tentu saja jauh labih bersih, lebih indah, dan lebih
wangi dari ruang-ruang lainnya.
Sebenarnya bagi Suto
sendiri, tak perlu ia harus dirawat sedemikian khususnya. Karena Gila Tuak
gurunya, pernah jelaskan bahwa siapa pun orangnya yang pernah telan Tuak Setan,
tubuhnya akan menjadi seperti terbakar dan lemas tak berdaya selama satu hari
penuh. Hari berikutnya orang itu akan sehat kembali dengan mempunyai satu
kekuatan dalam maha dahsyat. Dan untuk pengendapan Tuak Setan di dalam tubuh
orang yang meminumnya itu dibutuhkan waktu satu hari penuh.
Tetapi, Nyai Betari Ayu
tidak mengetahui hal itu. Ia menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Suto,
sebab sangkanya Suto terluka dalam karena suatu pertarungan hebat. Tak disadari
oleh Betari Ayu yang ada di dalam raga Suto itu menjadi lebih besar dan punya
kekuatan tersendiri, yaitu membentuk gelombang tenaga yang dapat memancarkan
daya pikat luar biasa lewat sorotan matanya. Daya pikat itu hanya berlaku untuk
lawan jenisnya.
Selama dua hari Suto selalu
mendapat saluran hawa murni dari Nyai Betari Ayu. Sekalipun Suto sudah merasa
enak badannya, tapi Nyai Betari Ayu masih tetap mendesak Suto untuk tetap
beristirahat dan jangan banyak bergerak.
Empat hari lamanya Suto
selalu berada di kamar pribadi Nyai Betari Ayu. Selama empat hari itu pula
sudah lima orang murid perempuan di situ yang minggat karena mereka begitu
terpikat melihat ketampanan Suto, tak terkuasai amukan birahi dan cintanya,
akhirnya mereka pergi satu persatu, beda waktu dan beda tempat, tanpa
kesepakatan.
Betari Ayu sendiri hampir
saja larut dalam kepicikan otaknya dan ingin pergi dari perguruan yang
dipimpinnya. Karena selama tiga hari ia berada di dalam kamar bersama Suto,
namun Suto tidak mau memberikan sebentuk kemesraan yang diharapkan hatinya dan
dituntut jiwanya. Pada hari ketiga itu, Nyai Betari Ayu sempat berkata,
"Rasa-rasanya aku juga
ingin pergi karena tak kuat lagi menahan rasa sakit yang menyiksa hati."
"Apa yang membuat
hatimu sakit dan tersiksa, Nyai?"
"Sebentuk keinginan
yang tak tersampaikan."
"Apa keinginanmu itu,
Nyai?"
Lama sekali Betari Ayu yang
memang ayu itu terdiam dan tundukkan wajahnya. Suto memandangi dengan satu
keheranan yang tidak dimengerti. Bahkan keheranannya itu kian bertambah besar
setelah mengetahui Nyai Betari Ayu itu teteskan air mata.
Perempuan itu bagaikan tak
mau ingat lagi
kedudukannya, kewibawaannya
dan kharismanya sebagai guru yang sangat dihormati dan ditakuti di perguruan
tersebut. Perempuan itu menangis nyata-nyata di depan tamu istimewanya itu. Tak
terpikir lagi rasa malu, tak terpikir lagi akan jatuh harga dirinya, Nyai
letari Ayu ucapkan kata di sela tangisnya,
"Aku ingin bercumbu
denganmu, Suto...."
Betari Ayu seperti bukan
orang sakti lagi. Nyai Betari Ayu seperti bukan seorang Guru yang bijak dan
berkharisma lagi. Ia seperti tidak punya harga diri lagi.
Ia menangis setelah
mengucapkan kata itu sambil menciumi telapak tangan Suto yang sejak tadi
digenggam dan diremas-remasnya.
Kala itu, Suto Sinting
ucapkan kata lembut, "Nyai, aku tidak ingin memberikan kehangatan tubuhku
kepada perempuan siapa pun juga. Karena guruku pernah bilang, setitik air yang
tersembur keluar dari kemesraanku, akan menghasilkan darah pendekar yang sukar
dicari tandingannya. Jadi aku tidak berani sembarangan memberikan setitik air
kemesraan kepada perempuan yang belum jelas kedudukannya di dalam hatiku."
"Ya. Aku percaya. Semua
ini memang kelemahanku.
Aku tidak bisa bertahan
lagi. Hasratku ingin bercinta denganmu begitu besarnya, sehingga menutup
kesabaranku, menutup kewibawaanku, menutup perasaan maluku, dan yang lebih
parah, melemahkan jiwaku serta meracuni sukmaku!"
"Nyai, maafkan
aku," ucap Suto sambil usapkan tangan ke rambut Nyai Betari Ayu dengan
lembut sekali. Air mata Betari Ayu kian deras, kian gemetar tubuhnya, kian
berdebar hatinya dan detak jantung terasa kian cepat mendobrak dada. Pada
saat-saat seperti ini, Nyai Betari Ayu merasa cemas, ingat bahwa dirinya sedang
mengidap penyakit laknat yang ditimbulkan akibat pukulan 'Renggangpati' dari
lawannya.
Pukulan 'Renggangpati' itu
membuat sesak
pernapasan jika Betari Ayu
sedang dilanda birahi, dan membuat tubuhnya bisa kejang-kejang. Pukulan
'Renggangpati' itu
mengakibatkan penyumbatan pada saluran jantung dan paru-paru.
Tapi anehnya, sejak bibirnya
pernah dikecup oleh Suto Sinting yang mempunyai bau aroma tuak (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila"), sesak napas dan
kejang-kejang tak pernah lagi dialaminya. Betari Ayu tak tahu, bahwa saat
bibirnya dikecup oleh Suto, pemuda itu merasakan adanya penyakit yang melanda
diri perempuan cantik itu.
Pemuda itu segera salurkan
kekuatan dalamnya untuk penyembuhan melalui sisa aroma tuak dalam mulutnya.
Pemuda tampan itu pun tak
pernah mengatakan hal itu, hingga sering membuat Betari Ayu terheran-heran
kepada dirinya sendiri.
Cemas akan penyakit
Renggangpati itu tetap saja ada, tetapi Betari Ayu tidak bisa menghilangkan
perasaan ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk yang punya daya pikat begitu
tinggi itu. Hanya tangis lembut yang bisa dilakukan oleh Betari Ayu. Hanya
meremas-remas jemari tangan Suto yang bisa diresapi oleh Betari Ayu. Tak ayal
lagi hal itu timbulkan iba di hati Suto.
"Besok, atau lusa, atau
malam nanti..., kalau aku tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini,
biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Suto,"
tutur Betari Ayu begitu
lirih dan mengharukan.
"Jangan, Nyai,"
bisik Suto yang menempelkan mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu.
"Jangan lakukan
kebodohan hanya karena nafsu birahi.
Kau orang terhormat, kau
orang bijak, kau punya sikap dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia
lain, agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat angkara murka,
yang bergolongan hitam, yang sesat dan tidak tahu kehidupan manusiawi."
Betari Ayu bisikkan kata di
sela isak tangis, "Lebih baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang
berilmu tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu sendiri, Suto."
"Ya. Memang lawan
terberat adalah nafsu diri sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai
kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang hanya bisa diwajibkan melawan
nafsu pribadinya, karena memang itulah syarat yang dibutuhkan agar layak
dikatakan atau dijuluki sebagai pendekar sejati.
Dia harus bisa mengalahkan
lawan terberatnya jika ingin disebut oleh dirinya sebagai pendekar sejati,
Nyai."
"Aku mengerti, Suto.
Aku mengerti. Tapi hanya bisa mengerti, tak mampu lagi menjalani, Suto!"
Tangis itu semakin mengisak haru. Tangan Suto kini semakin sering
diremas-remasnya, juga diciumnya.
"Nyai, agaknya tak ada
jalan lain untuk menyelamatkan dirimu agar tidak pergi."
Terdongak wajah Betari Ayu.
Genangan air matanya ditembus oleh sinar mata yang berbinar-binar penuh harap.
Bibirnya yang lembut dan sangat menawan itu berucap kata,
"Kau mau menuruti
keinginanku, Suto?"
"Ya."
"Oh...!" cepat
sekali Betari Ayu memeluk tubuh Suto. Tangisnya terisak di sana. Terpeluk erat
tubuhnya oleh tangan pemuda tampan itu. Terdengar pula sebuah bisikan lembut di
telinganya.
"Akan kuberikan
kemesraan yang kau harapkan, tapi dengan caraku sendiri, Nyai...!"
"Terserah caramu, Suto.
Malu tak malu, aku memang pasrah padamu. Biarlah rendah kau pandang diriku ini,
yang penting aku tetap bisa membimbing murid-muridku seterusnya...!"
Suto sunggingkan senyum.
Betari Ayu menerima senyuman itu dengan jiwa bagaikan terbang dari raganya.
Indah sekali rasa yang ada di dalam hati.
Betari Ayu sangat
menyukainya.
"Kita duduk di lantai,
Nyai."
Betari Ayu anggukkan
kepalanya, lalu turun dari pembaringan mengikuti Suto. Sejenak terdengar suara,
klik... klik...! Pintu-pintu dikunci oleh Betari Ayu dari jarak jauh. Suto tahu
hal itu, sebuah cara mengunci pintu dari jarak jauh yang hanya dilakukan oleh
orang-orang berilmu tinggi. Lalu, Suto ucapkan kata,
"Duduklah bersila di
sana, saya duduk di sini, Nyai."
"Perlukah kubuka
sanggul rambutku?"
"Tidak perlu."
"Pakaianku?"
'Tidak perlu," jawab
Suto lembut. "Kita akan bercumbu dalam bayangan, Nyai. Tapi nikmatnya
melebihi kenyataan."
Betari Ayu desiskan tawa
malu namun penuh kegembiraan, ia segera duduk bersila. Badannya tegak, sama
seperti badan Suto yang duduk bersila tanpa jarak di depan Betari Ayu. Kedua
lutut Suto saling bersentuhan erat dengan lutut Betari Ayu.
Suto angkatkan kedua tangan
sebatas dada dengan telapak tangan terbuka, ia suruhkan demikian pula pada
Betari Ayu. Lalu, kedua telapak tangan saling bertemu. Jemari mereka saling
menelusup dan menggenggamlah tangan mereka.
"Pejamkan mata, Nyai.
Kosongkan pikiran agar aku bisa masuk dalam pikiranmu," ucap Suto lirih
sekali.
Betari Ayu lakukan perintah.
Lama ia pejamkan mata dan kosongkan pikiran. Makin lama makin terasa dirinya
disentuh hangat oleh jemari Suto. Terasa saat itu Suto menciumi wajahnya dengan
lembut. Kedua bibir itu saling berpagut mesra. Betari Ayu merasa menerima
lumatan bibir Suto yang cukup hangat dan nikmat. Kemudian ia pun merasa
dirayapi oleh ciuman mesra Suto di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya ia merasa
dibaringkan oleh Suto dan dipeluk erat-erat dalam satu irama cinta yang
menggelora.
Dalam sikap masih duduk
berhadapan dan lutut bersentuhan, Betari Ayu tak sadar ucapkan kata mendesah,
"Oh, Suto..!"
Betari Ayu tak sadar
lontarkan ratapannya. Betari Ayu tak sadar gigitkan bibirnya sendiri. Betari
Ayu tak lagi mampu bertahan, maka menjeritlah ia sekeras-kerasnya.
Lalu malam dibiarkan
melenggang dalam sepi.
Betari Ayu mulai buka
matanya pelan, tepat pada saat itu Suto pun buka matanya sedikit-sedikit. Kedua
mata yang seolah-olah selesai melakukan pelayaran cinta itu sama-sama memandang
lembut. Betari Ayu tersenyum, seolah memberi tanda bahwa ia telah mencapai
kepuasan dari kencan mesra dalam
bayangan.
Napas Suto tetap tenang dan
teratur, ia seperti tidak melakukan satu gerakan pun. Tetapi napas Nyai Betari
Ayu terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat yang tercurah ruah.
Ketika tangan yang saling
genggam itu terlepaskan, Betari Ayu usapkan tangan menyapu keringatnya. Ia
tertawa malu, namun segera hamburkan diri memeluk Suto. Ia bisikkan kata di
telinga Suto.
"Aku lega. Aku puas,
Suto. Aku... aku seperti telah menerima apa yang kuharapkan darimu. Indah
sekali, Suto. Aku menyukainya walau itu dalam bayanganku.
Aku ingin mengulangnya entah
nanti atau esok pagi."
"Tak bisa terlalu
sering bercumbu dalam bayangan, Nyai. Karena kekuatan yang kusalurkan lewat
detak nadi kita itu, dua kali lipat besarnya dengan kekuatanku bertarung
melawan musuh yang tangguh.
Aku tak berani melakukannya
terlalu sering, Nyai.
Karena hal itu akan cepat
membuat kekuatanku semakin berkurang."
"Oh, kalau begitu kau
memang harus istirahat Suto.
Tapi, tentunya esok malam
kekuatanmu sudah kembali pulih, Suto," sambil Betari Ayu sunggingkan
senyum dan lirikkan mata yang punya makna tersendiri. Suto hanya tertawa kecil.
Dicubitnya pipi Betari Ayu, dan perempuan itu tidak mengelak, melainkan justru
bersandar rebah di dada Suto.
Bayangan itu sempat melintas
di pikiran Suto.
Duduknya di atas bangku
ayunan masih tetap tenang.
Hatinya membatin,
"Nyai Betari Ayu.
memang cantik, lembut, dan menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Dyah
Sariningrum. Mengapa yang
hadir dalam ingatanku hanya wajah Dyah Sariningrum, bukan wajah Nyai Betari
Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera dapat menemukan wanita idaman
hatiku yang sering hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus temukan dia? Kalau
kutanyakan pada Nyai Betari Ayu apakah pertanyaan itu tidak menyinggung hatinya
dan melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama aku. Tapi Nyai tidak
memaksaku untu membalas. Dia hanya memohon padaku agar aku tidak melarang
dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah, perempuan itu sungguh aneh,
namun menyenangkan sekali sikapnya."
Kala ia duduk di ayunan itu,
adalah hari ketujuh ia berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit.
Mestinya siang itu ia
baringkan tubuh di atas ranjang berlapis kain lembut. Tapi ia lebih suka duduk
merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan teduh dan damai itu.
Kejap berikutnya, mata Suto
melirik ke arah serambi, dan di sana tampak seorang perempuan ayu berjubah
kuning sutera mendekatinya. Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu
sendiri. Langkahnya agak cepat, menandakan ada sesuatu yang amat penting untuk
segera dibicarakan.
"Suto," sapa Nyai
Betari Ayu dengan nada cemas tersembunyi.
"Ada apa, Nyai?"
"Seorang lagi muridku
telah pergi, baru saja tadi!"
"Oh...," Suto
hanya mengeluh dengan sikap turut prihatin atas langkah picik yang diambil oleh
sang murid.
Betari Ayu ucapkan kata
lagi, "Muridku yang pergi tadi, mengatakan kepada temannya bahwa ia ingin
sekali berdekatan denganmu. Sebagai bukti gairahnya begitu besar padamu, ia
tunjukkan dengan minggat dari perguruan."
"Kalau begitu, aku
harus cepat pergi dari sini, Nyai.
Jangan kau tahan lagi
diriku, supaya muridmu tak pergi seluruhnya, gara-gara kehadiranku di
sini."
"Haruskah begitu,
Suto?"
"Ya. Dan..., bagaimana
dengan Peri Malam? Apakah dia sudah sembuh dari luka dalamnya?"
"Sudah. Dan dia sudah
pergi tanpa pamit kemarin sore."
"Dia pergi tanpa pamit?
Tanpa berterima kasih padamu?"
"Dia bahkan menantangku
ingin mengadakan pertarungan pribadi di suatu tempat. Dia akan kembali untuk
menentukan waktunya. Karena dia cemburu padaku, melihat kau berada dalam
perawatanku dan tidur di kamar pribadiku. Dia cemburu, Suto!"
*
* *
3
SEJAUH ini, Nyai Betari Ayu
masih belum tahu bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang. Padahal
perempuan yang menamakan dirinya Bidadari Jalang adalah lawan berat Nyai Betari
Ayu. Malah di dalam hati Betari Ayu masih menyimpan dendam kepada Bidadari Jalang,
sebab pukulan 'Renggangpati' itu diterimanya dari jurus maut Bidadari Jalang.
Dulu, Betari Ayu adalah
kekasih Datuk Marah Gadai.
Tetapi sang kekasih digoda
terus oleh Bidadari Jalang, hingga akhirnya terpikat dan meninggalkan Betari
Ayu.
Perginya Datuk Marah Gadai
meninggalkan bekas luka yang sulit sembuh di hati Betari Ayu. Sejak saat itu,
Betari Ayu tidak mau turun ke dunia persilatan, dan ia lebih suka mengasingkan
diri dengan membentuk pasukan tersendiri, yaitu dengan cara mendirikan
perguruan yang kebanyakan muridnya adalah
perempuan. Kelak, Betari Ayu
punya cita-cita untuk menyerang Bidadari Jalang dan Datuk Marah Gadai dengan
mengerahkan murid-muridnya yang dianggap pasukan tempurnya.
Andai saja Betari Ayu tahu,
bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang, entah apa jadinya. Mungkin Betari
Ayu akan memusuhi Suto dan menaruh benci pula pada pemuda tampan itu, atau
justru
melenyapkan dendam dan
cita-citanya karena terpikat oleh kemesraan Suto Sinting. Dan karena Suto tahu
dua hal itu akan terjadi salah satunya, maka Suto tetap tidak mau
menyebut-nyebut nama Bidadari Jalang di depan Nyai Betari Ayu.
Suto memang jarang
menyebutkan nama gurunya yang satu ini, sebab ada sedikit rasa malu menyebutkan
nama yang banyak cacat di kalangan para tokoh persilatan. Namun Bidadari Jalang
seakan selalu menjadi musuh dari tiap masing-masing tokoh, karena memang
sebelum bertemu dengan Suto, tingkah Bidadari Jalang selalu menghadirkan
perselisihan, terutama urusan lelaki. Suto tak mau dikatakan sebagai murid
jalang. Karenanya, ia lebih dikenal sebagai murid si Gila Tuak, tokoh dari
aliran putih yang namanya tertera pada urutan paling atas dari nama-nama tokoh
yang sulit ditumbangkan itu.
Tak heran jika seseorang
menyebutkan nama: murid si Gila Tuak, maka orang yang satunya akan segera
terbayang wajah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang ke mana-mana membawa bumbung
tuaknya itu.
Seperti halnya saat itu,
saat sore mulai menua, seorang perempuan berpakaian serba ungu muda yang ketat
dengan tubuhnya, melesat bagaikan terbang membawa lari Peramal Pikun.
Tiba di suatu gua, tubuh
renta Peramal Pikun yang habis terkena pukulan hebat dari Datuk Marah Gadai itu
diletakkan oleh perempuan itu. Kemudian, tangan perempuan itu saling terkatup
yang kiri dan yang kanan, ia duduk bersila di samping tubuh tua renta
bertongkat putih. Perempuan itu melakukan semadi beberapa saat, kemudian kedua
tangannya ditempelkan di dada Peramal Pikun.
Kejap berikutnya, tubuh
Peramal Pikun tersentak-sentak bagai meregang nyawa. Tapi asap kuning yang
keluar dari kedua telapak tangan yang menempel di dada Peramal Pikun itu
ternyata bukan asap beracun.
Sebuah cara penyembuhan
sedang dilakukan. Peramal Pikun tersentak lagi dalam satu kejutan, lalu diam
lemas dan terkulai. Ia bagaikan orang tertidur dengan nyenyak.
Kala ia bangun di pagi hari,
badannya sudah kembali segar seperti sediakala. Napasnya longgar, nyeri di dada
sudah tak ada. Tapi perempuan yang menolongnya membawa ke gua itu tak diketahui
di mana dia berada. Peramal Pikun mencari-carinya sejenak.
"Seingatku dia seorang
perempuan cantik," kata hati Peramal Pikun. "Seingatku dia berpakaian
ungu muda, ketat dan badannya yang aduhai itu. Baju ungu tanpa lengan, tapi
rambutnya yang panjang sepunggung acak-acakan, seperti orang gila. Ia
menyandang pedang di punggungnya. Seingatku, sarung pedang dan gagangnya
terbuat dari gading berukir. Seingatku, di gagang pedangnya ada benang-benang
berumbai warna merah darah. Tapi, Siapa dia? Belum pernah kutemukan dirinya
selama aku berkelana di rimba persilatan.
Mungkinkah dia siluman dari
negeri seberang?"
Peramal Pikun yakin,
perempuan berambut mirip orang gila itu pastilah orang berilmu tinggi.
Gerakannya begitu cepat saat memindahkan tubuh Peramal Pikun agar terhindar
dari serangan jurus 'Tapak Dewa' milik Datuk Marah Gadai. Luka dalam yang berat
dan mampu disembuhkan dalam waktu cepat, merupakan ciri orang berilmu tinggi.
Peramal Pikun percaya, bahwa perempuan itu jelas punya maksud tertentu sehingga
melakukan pertolongan terhadap dirinya,
"Aku harus mencari
perempuan itu. Paling tidak aku harus mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya,"
pikir Peramal Pikun. Maka,
ia pun keluar dari dalam gua yang bau oleh kotoran kelelawar itu.
Peramal Pikun terkejut
begitu tiba di mulut gua, ternyata gua itu terletak di tebing curam, di
bawahnya laut yang bergolak dengan batu-batu karang runcing mirip gigi ikan
raksasa. Meleset sedikit, habis sudah nyawa orang dihujam karang-karang
runcing.
"Kucing kudis!"
umpat Peramal Pikun. "Bagaimana caranya keluar dari gua ini? Tak ada jalan
setapak pun untuk ke tempat datar. Gua ini seperti menempel pada dinding karang
yang merupakan tebing curam. Gua ini seperti tembok raksasa yang berlubang. Mencapai
ke daratan di atasnya sungguh tinggi, mencapai ke laut juga dalam. Lalu aku
harus lewat mana?"
Peramal Pikun garuk-garuk
kepala. Matanya
memandang sekeliling mencari
jalan untuk memanjat tebing ke atas atau menuruni tebing ke bawah. Tak ada
jalan sama sekali. Dinding tebing di samping kanan-kiri gua sangat licin
berlumut. Kalau memang harus melompat ke laut, ujung-ujung karang runcing belum
tentu ramah kepada kakinya. Bisa jadi tubuhnya yang tua renta itu menancap di
salah satu karang runcing itu.
"Monyet monyong!"
Peramal Pikun umpatkan kata.
"Orang itu menolongku,
tapi juga membunuhku kalau begini caranya. Mengapa ia taruh aku di gua ini? Apa
gua-gua di tempat lain sudah penuh penghuninya? Dan lagi, bagaimana caranya
membawaku kemari? Apakah ia membawaku dalam keadaan tubuhku disampirkan di
pundak dan dia merayap turun dari atas sampai mencapai mulut gua ini?"
Renggono sesalkan diri,
mengapa saat ia dibawa ke gua itu ia dalam keadaan pingsan? Padahal ketika
perempuan itu mendekatinya dan hendak mengangkat tubuhnya, ia masih bisa
memperhatikan ciri-ciri perempuan itu. Tapi ketika sudah berada di atas
gendongan perempuan cantik, ia malahan pingsan.
Andai tidak pingsan, ia bisa
melihat bagaimana caranya perempuan itu membawanya ke gua bertebing terjal lurus
itu.
Wuusss...! Wuusss...!
Seekor kelelawar masuk ke
dalam gua. Kejap berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir menyambar
kepala Peramal Pikun. Mata tua itu memandang ke langit-langit gua. Tak ada
lubang keluar di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar menggantung dan
mencicit menjelang petang. Peramal Pikun gumamkan kata,
"Mati aku kalau begini!
Apa mungkin aku harus hidup bersama kampret-kampret ini?!"
Lelaki tua berkumis dan alis
serba putih itu termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba-tiba di
mulut gua telah berdiri sosok bayangan berambut mekar acak-acakan.
"Nah, ini dia!"
Peramal Pikun ucapkan kata bernada lega.
Perempuan berpakaian ketat
warna ungu muda itu datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat'
lelaki itu terlihat jelas
terselempang di punggungnya.
Pedang bergagang dan
bersarung dari gading ukuran itu jelas menandakan bukan sembarang pedang.
Sisa cahaya sore masih
merambah masuk melalui mulut gua. Peramal Pikun sengaja tidak berdiri, masih
tetap duduk di tempatnya sambil memeluk tongkat putihnya. Perempuan itu
mendekat, memandang tanpa senyum sedikit pun. Pandangan matanya bening tapi
tajam, seakan mempunyai kekuatan tersendiri dalam dirinya.
"Terima kasih atas
pertolonganmu," kata Peramal Pikun setelah sempat salah tingkah dipandangi
lama tanpa diajak bicara.
"Aku tidak butuh terima
kasihmu!" kata perempuan berpedang gading. Suaranya serak-serak galak.
"Jadi apa yang kau
butuhkan dariku?" tanya Peramal Pikun.
"Aku mencari pemuda
tanpa pusar."
Peramal Pikun terkekeh geli
mendengarnya.
Perempuan itu cepat
sentakkan kaki kanannya, berkelebat menampar pipi Peramal Pikun.
Plakkk...!
Peramal Pikun hentikan tawa.
Kalau ia tak ingat bahwa dirinya telah diselamatkan oleh perempuan itu dari
jurus mautnya Datuk Marah Gadai, pasti ia sudah membalas dan melawan saat itu.
Tapi ingat ke sana, Peramal Pikun tak mau kasih balasan. Ia hanya cemberutkan
wajah dan berkata,
"Kenapa kau menamparku?
Kenapa pakai kaki?"
"Karena kau
menertawakan diriku! Aku bertanya sungguh-sungguh!"
"Aku juga tertawa
sungguh-sungguh," balas Peramal Pikun. "Aku baru dengar ada pemuda
tanpa pusar. Itu sesuatu yang lucu bagiku!"
"Aku tidak sedang
melucu!" sentak perempuan itu.
"Aku butuh pemuda tanpa
pusar. Aku mencarinya."
"Pemuda tanpa
pusar...?!" gumam Peramal Pikun.
Diam-diam, ia segera membuka
kain penutup parutnya sendiri, meliriknya sebentar dan menggumam dalam hatinya,
"Hmmm... yang ini ada pusarnya!"
Perempuan itu kembali
sentakkan suara, "Kalau kau tak mau menunjukkan, aku terpaksa
meninggalkanmu di gua ini sendirian!"
"Mengapa kau
mengancamku begitu? Kau
memaksaku harus menunjukkan
pemuda tanpa pusar, sedangkan aku sendiri tidak tahu. Setiap laki-laki punya
pusar, Jabrik!" geram hati Peramal Pikun.
"Aku tahu. Tapi aku
mencari yang tanpa pusar!"
"Aku tidak tahu! Aku
sendiri punya pusar! Apa harus ditutup supaya kelihatannya tanpa pusar?!"
Plakkk...!
Cepat sekali kelebatan kaki
itu menampar pipi Peramal Pikun menggunakan punggung telapakannya.
Tangan Peramal Pikun
berkelebat namun telat. Dua kali sudah pipinya ditampar perempuan. Ditamparnya
pakai kaki. Jelas itu hal yang merendahkan dirinya sendiri.
Tapi Peramal Pikun tetap
sabarkan diri. Bahkan ia sediakan diri untuk satu kali tamparan lagi.
Menurutnya, tiga kali
tamparan pakai kaki sudah cukup untuk membayar jasa pertolongan perempuan
berambut jabrik itu.
"Mengapa kau bertanya
padaku, Jabrik? Mengapa kau seolah-olah yakin betul bahwa aku tahu di mana
adanya pemuda tanpa pusar?"
"Karena kulihat kau
lebih tua dari lawanmu di telaga itu. Kau tua renta, dan aku yakin kau memang
tokoh tua di rimba persilatan. Tentunya kau punya banyak pengalaman!"
"Pengalaman bertarung
memang banyak, tapi pengalaman memeriksa pusar orang belum punya,"
jawab Peramal Pikun.
"Jangan kau coba
mendustai aku, Tua renta!"
"Aku tidak mendustaimu,
Jabrik! Aku benar-benar tidak tahu."
Perempuan jabrik itu menatap
mata Peramal Pikun lekat-lekat. Ia temukan kejujuran dari sorot pandangan mata
Peramal Pikun. Akhirnya ia mengalah, tak mau desak lagi orang tua renta itu. Ia
duduk di sebuah batu datar. Ia pandangkan mata ke arah luar, matahari makin
hilangkan sinarnya. Gelap bertambah pekat di dalam gua jika tidak segera ia
lakukan sesuatu.
Sebongkah batu diambilnya.
Batu itu agak runcing ujungnya. Lalu kedua telapak tangannya menggosok batu itu
dengan cepat. Mata Peramal Pikun hanya memperhatikan tanpa mau berucap kata.
Dan mata Peramal Pikun sedikit terperanjat melihat batu itu menyala dan
kepulkan asap api.
Gua menjadi terang. Batu itu
bagaikan obor besar yang tergeletak berdiri di tanah gua. Peramal Pikun cuma
sunggingkan senyum tipis. Segera ia angkat tongkat, ia sodokkan ujungnya ke
arah batu bernyala itu. Jarak sodokan antara dua depa dari batu menyala.
Blaap...!
Batu itu padam seketika
bagai ditiup angin kencang yang keluar dari ujung tongkat Peramal Pikun.
Terdengar suara perempuan
jabrik itu menggeram.
Terbayang dalam gelap sebuah
kaki akan bergerak menampar seperti tadi. Maka, Peramal Pikun cepat angkat
tongkat dan sodokkan ke arah tadi.
Buusss...!
Batu itu menyala kembali.
Tampak wajah
perempuan jabrik menatap
penuh kemarahan. Peramal Pikun nyengir. Kemarahan di wajah perempuan itu pun
reda setelah melihat batu nyala kembali.
"Agaknya kita harus
bermalam di sini," kata Peramal Pikun seperti bicara pada diri sendiri.
Perempuan jabrik tidak beri
jawaban apa-apa. Ia panggangkan kedua tangannya di atas batu berapi.
Peramal Pikun pindah duduk
agak dekat api. Lalu, ia melontarkan pertanyaan dengan sikap baik-baik.
"Menurut ramalanku, kau
orang berilmu tinggi."
Perempuan cantik berambut
jabrik hanya menatap wajah Peramal Pikun sebentar, lalu kembali memandang api
yang menyala, panggangkan kedua tangannya.
"Menurut ramalanku, kau
perempuan yang keras, tegar, dan pemberani. Dan menurut ramalanku... kau tidak
punya suami!"
"Apakah kerjamu
meramal?" suara serak-serak galak itu terdengar tanpa irama. Datar-datar
saja.
"Dulu, kerjaku memang
meramal, itulah sebabnya aku punya julukan Peramal Pikun. Julukan itu muncul
dengan sendirinya, karena ramalanku selalu meleset.
He he he...!"
Perempuan jabrik menatap
cepat. Tawa Peramal Pikun terhenti dalam sekejap. Ia tarik napas panjang dan
menghindar dari tatap mata si perempuan jabrik.
"Boleh aku tahu
namamu?" tanya Peramal Pikun tanpa pandang.
"Tak perlu kau tahu
namaku. Tapi kau perlu tahu julukanku."
"Siapa julukanmu?"
"Perawan Sesat!"
"He he he...!"
Plakk...!
Tamparan ketiga pakai kaki
mendarat tepat di pipi Peramal Pikun. Tangannya berkelebat tapi telat
menangkis. Peramal Pikun hanya tudingkan tangan ke arah perempuan itu sambil
ucapkan kata,
"Sudah tiga kali.
Impas! Aku tak punya hutang jasa lagi padamu! Kali ini kau tampar pipiku lagi,
kubalas dengan melemparkanmu ke laut sana!"
"Kalau kau bisa,
lakukan sekarang!"
"Nanti saja!"
sambil peramal sial itu bersungut-sungut. Tapi tiba-tiba ia ingat nama julukan
tadi, dan perlu menegaskan sekali lagi dengan sebuah tanya,
"Apa benar julukanmu
Perawan Sesat?"
"Ya."
Peramal Pikun cepat tutup
mulutnya dengan
telapak tangan, serta
palingkan wajah membelakangi Perawan Sesat. Hanya badannya yang tampak bergerak
diguncang tawa geli. Perawan Sesat tahu hal itu, tapi ia tidak ambil peduli.
"Dari mana asalmu,
Perawan Sesat?"
"Bukit Garinda,"
jawab Perawan Sesat tanpa memandang Peramal Pikun.
"Bukit
Garinda...?!" Peramal Pikun belalakkan mata sedikit. "Bukankah itu
wilayah Partai Perempuan Sakti?"
"Ya."
"O, jadi kau orang dari
Perempuan Sakti?"
"Ya."
"Aku kenal dengan salah
seorang anggota Perempuan Sakti. Dulu aku pernah bentrok dengannya karena salah
paham, tapi sekarang sudah tak ada masalah lagi. Orang itu bernama Nyai Lembah
Asmara!
Apa kau kenal dengan nama
itu?"
Perawan Sesat tatapkan mata
tajam-tajam ke mata cekung Peramal Pikun. Lalu, kejap berikutnya ia ucapkan
kata tegas-tegas.
"Itu nama guruku!"
"Ooo... jadi kau
muridnya Nyai Lembah Asmara?!"
"Betul!"
Peramal Pikun angguk-anggukkan
kepala dalam senyum kemenangan masa lalunya. Tak sadar dia ucapkan kata,
"Cantik sekali dia...."
Plakkk...!
Satu tendangan kaki menampar
kena di pipi
Peramal Pikun. Cepat ia
angkat tongkatnya. Tapi hasrat untuk mengibaskan tongkat ke kepala Perawan
Sesat terhenti dan hilang seketika, karena ia ingat, Perawan Sesat murid Nyai
Lembah Asmara. Perempuan cantik itu dikenalnya sebagai perempuan berdarah
dingin. Musuh tak pernah lolos dari tangannya. Pasti mati sebelum minta ampun.
Peramal Pikun ingat, dulu ia
pernah terdesak melawan Nyai Lembah Asmara, hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ilmu Ketua Partai Perempuan Sakti itu cukup tinggi. Menurut ukuran Peramal
Pikun, sangat tinggi. Ia dulu hampir mati di tangan Nyai Lembah Asmara. Ia jadi
jera bertemu dalam bentrokan dengan perempuan itu. Karenanya, saat ia akan
membalas tamparan Perawan Sesat, ia urungkan niat, karena tak mau punya urusan
dengan Nyai Lembah Asmara.
Peramal Pikun kendorkan
ketegangannya, dan lontarkan tanya,
"Apakah mencari pemuda tanpa
pusar itu utusan dari gurumu?"
"Ya."
"Hmmm...," Peramal
Pikun manggut-manggut. "Aku tahu sekarang maksudnya."
"Jika kau tahu,
tunjukkan di mana tempat pemuda tanpa pusar itu!"
"O, kalau tempat pemuda
tanpa pusar aku tidak tahu. Siapa orangnya pun aku tidak tahu. Aku cuma tahu
tujuan dari gurumu itu dan...."
"Kabar burung yang
didengar oleh Guru,!" sahut Perawan Sesat. "Pemuda tanpa pusar itu
telah diangkat murid oleh tokoh tua dari golongan putih yang bergelar si Gila
Tuak."
"Hah...?!" Peramal
Pikun sentakkan suara, belalakkan mata. Kaget ia mendengar nama si Gila Tuak
dibawa-bawa. Ia segera lontarkan tanya pada Perawan Sesat.
"Jadi, menurut gurumu,
pemuda tanpa pusar itu muridnya si Gila Tuak?"
"Betul! Apa kau kenal
dengan murid si Gila Tuak?"
"Kenal sekali. Dia yang
bernama Suto Sinting, bergelar Pendekar Mabuk. Tapi..., aku tidak tahu apakah
dia punya pusar atau tidak! Aku belum pernah memeriksa perutnya!"
"Suto Sinting...?!"
geram suara serak Perawan Sesat.
*
* *
4
SINAR matahari pagi
menerobos mulut gua. Peramal Pikun terpaksa bersedia membantu Perawan Sesat
mencari Suto Sinting. Tapi orang tua renta itu tidak tahu ke mana arahnya. Suto
bisa ada di mana saja, menurutnya.
Satu hal yang membuat
Peramal Pikun bingung, bagaimana ia harus keluar dari gua bertebing tegak lurus
itu. Tapi hatinya segera merasa lega setelah dia ingat pada Perawan Sesat di
sampingnya, tentunya Perawan Sesat tidak akan tinggal diam.
"Naiklah ke
punggungku," kata Perawan Sesat.
"Aku...?!" Peramal
Pikun menepuk dadanya sendiri.
"Iya. Kamu naik ke
punggungku. Kugendong memanjat tebing terjal ini!" kata Perawan Sesat
sambil menyentak.
Sambil tetap memegangi
tongkat, Peramal Pikun mau tak mau naik ke punggung, digendong belakang oleh
Perawan Sesat.
"Pegang yang
erat!"
"Ya," jawab
Peramal Pikun sambil membayangkan, mungkin dulu beginilah ia dibawa oleh
Perawan Sesat ke dalam gua itu.
"Hei, ada yang
mengganjal di punggungku dengan keras! Apa ini? Jangan main-main kamu, Tua
renta!"
"Tongkatku yang
mengganjal!"
"Tongkat yang
mana?!"
"Tunggu kucabut
sebentar," dan Peramal Pikun membetulkan letak tongkat putihnya. Sebentar
diunjukkan kepada Perawan Sesat.
"Tongkat yang ini
maksudku!"
"Ya sudah! Pegangan
yang kuat. Jatuh tidak kutanggung!"
Peramal Pikun sangka dirinya
akan dibawa terbang oleh Perawan Sesat. Tapi nyatanya tidak begitu.
Dengan menggunakan ilmu
aneh, Perawan Sesat merayap dinding tebing bertegak lurus itu dengan cepat.
Kaki dan tangannya bagaikan mengandung perekat yang amat kuat. Ia merayap cepat
seperti seekor cicak menggendong makanannya.
Crap... crap... crap...
crap...!
Dalam waktu singkat, tubuh
mereka sudah sampai di dataran atas tebing. Perawan Sesat sentakkan punggungnya
ke depan, dan tubuh Peramal Pikun terlempar jatuh telentang dengan meringis.
"Uh...! Patah tulang
pinggangku kalau begini caranya!"
"Cepatlah bangkit!
Jangan seperti bayi yang belum disapih!" perintah Perawan Sesat dengan
tegasnya.
Peramal Pikun berjingkat
bangkit dalam satu sentakan pinggang. Jleeg...! Kejap berikutnya ia sudah
berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merendah.
Lalu, kedua kaki itu
ditegakkannya. Ia berkata kepada perempuan yang punya keahlian merayap dinding
itu.
"Aku tak tahu arah mana
yang pertama kali harus kita tuju. Seperti kataku tadi, Suto bisa ada di mana
saja. Artinya dia susah dicari dan ditentukan tempatnya."
"Baik. Kalau begitu
kita berpencar. Kau ke utara dan aku ke selatan!" kata Perawan Sesat.
"Kalau aku temukan
Suto, bagaimana aku harus menghubungimu?"
"Tahan napasmu, panggil
namaku tiga kali, hembuskan napas ke atas. Paham?"
"Paham. Kalau itu
kulakukan, kau pasti akan datang?"
"Kalau tidak, untuk apa
aku memberi tahu caranya!"
Setelah ucapkan kata itu,
Perawan Sesat melesat pergi bagaikan kilat menuju ke arah selatan. Peramal
Pikuh sempat terbengong dalam gerutuannya.
"Siapa saja kalau
mendengar namanya dipanggil ya akan datang!" sambil ia segera langkahkan
kaki ke arah utara.
Perawan Sesat tiba di sebuah
desa. Desa itu pernah disinggahi Suto. Bahkan Suto pernah bermalam di rumah
keluarga Kriyo Suntuk yang amat kagum dengan kisah kependekaran. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila"). Didesa itu ada
kedai, dan di kedai itu Suto pun pernah singgah untuk mengisi tuak dalam
bumbungnya. Di sana, ia pun pernah bertemu dengan lelaki berkumis tebal dan
berbadan besar, tinggi, jari tangannya sebesar pisang dalam arti kiasannya.
Lelaki itu bernama Singo Bodong.
Kedai itu sekarang dalam
keadaan ramai pembeli.
Perawan Sesat sengaja datang
bersinggah di kedai itu.
Sekadar minum adalah alasan
yang tepat untuk bertanya ke sana-sini tentang Suto Sinting. Ia duduk di bangku
pojok, sementara di bangku sudut
berseberangan ada pula
perempuan yang ikut nongkrong di situ, berpakaian serba hitam dengan trisula
terselip di pinggang kanannya.
Kehadiran Perawan Sesat
menjadi pusat perhatian para pembeli di kedai itu, karena rambut acak-acakan
dan wajah cantik sangat menarik perhatian setiap orang. Pedang gading berukir
itu pun membuat banyak mata mengaguminya.
"Minum...!"katanya
kepada pemilik kedai, seorang perempuan berbadan kurus.
"Kopi atau teh panas,
Nona?"
"Arak!" jawab
Perawan Sesat.
Wajah cantik yang sangar
sempat bikin gemetar pria muda yang ada di samping kirinya. Pria muda itu pun
segera pindah tempat duduk, dan mata Perawan Sesat memperhatikan dengan tajam,
berkesan liar dan ganas.
Minggirnya pria muda itu,
lelaki berikat kepala putih dengan baju merah lusuh menjadi orang terdekat
jaraknya dari Perawan Sesat. Kepada lelaki itu Perawan Sesat serukan tanya,
"Hei, kau kenal dengan
lelaki bernama Suto Sinting?! Kalau kenal, tunjukkan di mana tempatnya.
Aku perlu bertemu
dengannya!"
"Hmmm... anu... saya...
saya tidak mengenalnya, Nona!"
"Bodoh!"
"Iya. Hmmm... memang
bodoh saya ini!" lelaki berbaju merah itu merendahkan diri dengan wajah
pucat. Baru disentak dengan kata 'bodoh' saja wajahnya sudah langsung serupa
dengan mayat.
Arak pesanan disediakan oleh
pemilik kedai.
Perawan Sesat meneguknya
dengan rakus. Dua orang pemuda berseberangan arah dengannya saling
ber-kasak-kusuk,
"Sayang sekali,
cantik-cantik tapi rakus, ya?"
"Ssst...! Bukan begitu.
Yang benar, sayang sekali rakus-rakus tapi cantik. Itu tidak akan menyinggung
perasaannya kalau dia mendengarnya."
"Ih, eh... rambutnya
habis terkena racun apa ya, kok bisa awut-awutan begitu? Jangan-jangan dia
habis diperkosa?"
"Ssst...! Jangan bilang
begitu. Yang benar, rambutnya habis memperkosa siapa. Itu tidak akan
menyinggung perasaannya...."
Wuuut...! Sepotong jadah
atau ketan bakar tiba-tiba melesat cepat masuk ke mulut orang yang sedang
bicara. Jruub...! Orang itu jadi mendelik, tak lagi bisa berucap kata apa pun
kecuali,
"Uhmm... uhhmmm...
uuhmmm...!'' sambil tuding-tuding mulutnya sendiri. Maksudnya minta bantuan
temannya untuk mencopotkan ketan bakar yang melesak masuk ke mulut. Tapi
temannya berlagak tidak mendengar, berlagak tundukkan kepala tak berani
berkutik.
Perawan Sesat serukan kata,
"Siapa di antara kalian yang tahu lelaki bersama Suto?! Ada atau
tidak?!"
Tak ada yang menjawab. Semua
diam dan
ketakutan. Perawan Sesat
lemparkan pandangan ke pemilik kedai. Perempuan tua yang kurus kering itu
buru-buru gelengkan kepala sebelum ditanya.
Perawan Sesat sentakkan
suara kepada lelaki yang tertunduk di samping kirinya orang yang tersumbat
ketan bakar di mulutnya.
"Hai, kau tahu tentang
Suto Sinting?! Hei... aku tanya padamu, Baju kuning!"
Orang itu merasa ditanya,
tapi tak berani jawab apa pun. Tak berani juga dongakkan wajah atau tatapkan
matanya ke arah perempuan berambut awut-awutan itu. Sikap takutnya bikin hati
Perawan Sesat makin jengkel. Sepotong pisang goreng dicomot, lalu dilemparkan
ke orang itu. Wuuttt...!
Tapp...!
Ada tangan yang bisa
menangkap lemparan cepat pisang goreng tersebut. Tangan itu milik perempuan
berpakaian hitam dan bermata sedikit lebar. Sekarang perempuan itu tatap mata
Perawan Sesat dengan berani.
Entah apa yang ada di benak
Perawan Sesat, yang jelas ia tidak ulangi lagi lemparan tersebut. Ia diam dan
meneguk arak pesanannya. Tetapi pada saat itu perempuan yang pegang pisang
goreng lemparan Perawan Sesat tadi mengibaskan tangannya cepat-cepat. Pisang
itu berubah jadi busuk dan mengeluarkan belatung menjijikkan. Beberapa orang di
dekatnya tersentak sampai ada yang menumpahkan makanan.
Perawan Sesat hanya melirik
sekejap sambil bangkit berdiri. Ia lemparkan sekeping uang kepada pemilik
kedai, lalu ia tinggalkan kedai itu dengan langkah-langkah tegasnya.
Perempuan yang berpakaian
hitam segera
mengikuti Perawan Sesat
secara diam-diam. Bulu kuduknya merinding sebentar membayangkan gumpalan
belatung yang terpegang oleh tangannya tadi. Jelas belatung itu bikinan dari
perempuan berambut jabrik.
Ia tahu hal itu, sehingga ia
makin penasaran mengikutinya.
Perawan Sesat bukan tidak
tahu dirinya diikuti. Ia sengaja memancing di satu tempat sepi. Penguntitnya
sebentar-sebentar bersembunyi di balik pohon.
Perawan Sesat pura-pura tak
tahu.
Tapi pada satu tikungan
jalan, penguntitnya terperangah karena kehilangan jejak. Orang yang diikutinya
itu hilang bagaikan asap tersapu angin begitu membelok di gugusan cadas yang
menjadi bagian dari salah satu lereng bukit kapur. Penguntit itu layangkan pandangan
mata ke mana-mana sampai ke atas bukit kapur itu.
"Oh, dia sudah di
sana?!" gumam hati perempuan bersenjatakan trisula putih berkilauan itu.
Perawan Sesat sengaja
berdiri di atas bukit kapur menghadap ke arah penguntitnya. Ia gerakkan
telunjuknya memanggil si penguntit dengan sikap menantang. Perempuan berpakaian
serba hitam merasa ditantang dan segera sentakkan kaki. Wesss...!
Tubuhnya melompat ke salah
satu lereng pendek, melompat lagi ke lereng yang lebih tinggi, sampai akhirnya
sama-sama berdiri di atas puncak bukit kapur yang tak seberapa tinggi itu.
"Sejak dari warung
matamu sudah menguntitku terus!" kata Perawan Sesat dengan nada dingin.
"Apa perlumu mengikutiku?!"
"Aku tak suka kau
menyebutkan nama kekasihku!"
"Siapa kekasihmu?"
"Suto Sinting!"
Wajah dingin Perawan Sesat
sunggingkan senyum yang amat kaku. Ia perdengarkan ejekannya.
"Suto Sinting amat
bodoh kalau mau jadi kekasih orang macam kau! Masih banyak perempuan cantik di
dunia ini, mengapa dia pilih seekor kambing gunung untuk menjadi
kekasihnya?"
"Bangsat kau! Jaga
mulutmu, Perempuan busuk! Di dunia ini tidak ada perempuan lain yang pantas
jadi kekasih Pendekar Mabuk kecuali Dewi Murka."
Perawan Sesat perdengarkan
tawanya yang
mengikik penuh kesan hinaan.
Perempuan yang berpakaian serba hitam itu geletukkan giginya.
Perawan Sesat tak tahu,
bahwa Dewi Murka saat itu sebenarnya dalam keadaan rapuh. Mudah dilumpuhkan.
Karena, Dewi Murka baru
beberapa hari yang lalu terkena pukulan hebat dari Selendang Kubur, teman
seperguruannya.
Mereka bertarung di sebuah
pantai karena perasaan iri Dewi Murka melihat Selendang Kubur tampak mesra
bersama Suto. Keduanya sama-sama menaruh hati pada Suto Sinting. Sampai-sampai
Dewi Murka tega memfitnah teman seperguruannya dan mendesak Selendang Kubur
untuk segera pulang ke padepokan dengan alasan dipanggil oleh gurunya, yaitu
Nyai Betari Ayu. Padahal tujuan Dewi Murka hanya untuk menyingkirkan Selendang
Kubur dari sisi Suto Sinting.
Pertarungan itu membuat
keduanya sama-sama terluka berat. Keduanya sama-sama saling menghindar untuk
menunggu waktu penyembuhan tiba. Setelah itu keduanya sama-sama akan bertarung
lagi sampai mati.
(Untuk jelasnya baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Kini dalam perjalanan
pulangnya, Dewi Murka memerlukan waktu beristirahat beberapa hari. Dan ia
mendapat tumpangan di sebuah rumah salah satu penduduk desa tadi. Mestinya Dewi
Murka masih harus beristirahat dua hari lagi, sambil melakukan penyembuhan
terhadap dirinya. Tapi, kehadiran Perawan Sesat membuatnya panas hati dan
merasa tidak rela jika Suto dicari perempuan berambut acak-acakan itu.
Pikirnya,
"Perempuan ini harus
kusingkirkan juga, supaya kelak hubunganku dengan Suto tak ada yang
mengganggu lagi!"
Itulah sebabnya dia
menguntit Perawan Sesat dan melayani tantangan di atas bukit kapur. Sekalipun
kesehatannya belum pulih, Dewi Murka tak pernah merasa gentar beradu tanding
dengan Perawan Sesat.
"Dewi Murka! Tak peduli
siapa dirimu, yang jelas kau tahu di mana Suto Sinting! Tunjukkan padaku
tempatnya atau kau kutelan habis di bukit ini juga!"
"Jangan anggap diriku
kecil, Perempuan Jabrik!
Gunung pun bisa kuhancurkan
apalagi kepalamu yang mirip landak itu!"
"Jahanam!" geram
Perawan Sesat dengan kedua tangan telah menggenggam kuat-kuat. "Boleh kau
berkoar di depan orang lain, tapi jangan sekali-kali berkoar di depan Perawan
Sesat!"
"Berkoar di depanmu
sama saja berkoar di depan orang gila! Kenapa harus takut?!" sambil Dewi
Murka tersenyum sinis.
Panas hati Perawan Sesat tak
bisa dikendalikan lagi. Ia segera menggeram panjang bagaikan seekor macan, lalu
kakinya menghentak satu kali ke tanah.
Duuggg...!
Buurrr...!
Bukit kapur itu bergetar.
Bagian bawahnya rontok sebagian. Bongkah-bongkah tanah kapur yang ada di bagian
bawah melesat ke sana-sini. Dewi Murka merasakan bukit kapur itu sedikit rendah
dan menyusut dari ketinggian semula. Itu pertanda bagian bawah bukit itu
melesat ke dalam tanah atau hancur di beberapa bagian.
Dewi Murka berkata dalam
hatinya, "Gila! Bukit ini menjadi rendah sedikit dari semula. Hentakan
kakinya terasa dahsyat walaupun mungkin berlaku hanya untuk seonggok bukit
kapur seperti ini. Tapi aku tak perlu gentar menghadapinya. Dia belum tahu
jurus-jurus dahsyatku!"
Terdengar suara Perawan
Sesat menghentak,
"Tunjukkan kesaktianrnu
kalau kau benar-benar bisa meruntuhkan sebuah gunung!"
Dewi Murka tersenyum tipis.
Berkesan lebih kalem dari Perawan Sesat. Lalu, ia pun menghentakkan kaki
kanannya ke tanah dengan keras. Duugg...!
Krakk...! Tanah bagian atas
bukit terbelah retak.
Terpisah bagian tengah jarak
antara Dewi Murka dengan Perawan Sesat. Dengan satu hentakan kaki pula, Perawan
Sesat kembalikan posisi retaknya tanah itu. Duug...! Kreep...!
Terkesiap mata Dewi Murka
melihat keretakan kembali merapat dan pulih seperti sediakala.
Sepertinya tak pernah
terjadi keretakan.
Di sisi lain, jauh di bawah
bukit kapur itu, sepasang mata mengawasi peristiwa itu dari balik semak pohon.
Sepasang mata itu berulang
kali terbelalak melihat kedua perempuan tersebut beradu kesaktian ilmunya.
Sepasang mata itu milik
seorang lelaki berkumis yang memperkenalkan dirinya kepada Suto beberapa waktu
yang lalu dengan nama: Singo Bodong.
Percakapan Perawan Sesat di
kedai itu
didengarnya, karena
kebetulan ia sedang buang air kecil di belakang kedai. Mestinya ia ada di kedai
itu.
Tapi karena ingin buang air
kecil, ia minta izin kepada pemilik kedai untuk ke kamar mandi. Ketika ia mau
keluar kembali, ia dengar suara Perawan Sesat menyebutkan nama Suto Sinting. Ia
tak jadi keluar, karena ingin tahu apa yang dilakukan perempuan berambut jabrik
itu. Dan diam-diam ia pun menguntit kepergian Perawan Sesat yang diikuti oleh
Dewi Murka sampai di bukit kapur.
Dari tempat persembunyiannya
Singo Bodong
membatin, "Kedua
perempuan itu manusia atau iblis sampai punya kekuatan tenaga dalam seperti
itu. Aku saja yang berbadan sebegini besar belum tentu bisa gerakkan bukit
kapur itu, eh... mereka yang jenisnya perempuan dengan badan selangsing itu
bisa bikin bukit retak dan menjadi rendah sedikit dari asalnya. Gila itu dua
perempuan."
Mata Singo Bodong yang lebar
itu kembali
mengikuti peristiwa di atas
bukit kapur. Agaknya kali ini Perawan Sesat sudah merasa cukup pamer ilmunya.
Melihat lawannya tidak
merasa gentar sedikit pun, Perawan Sesat segera sentakkan kedua kakinya dan
tubuhnya pun melesat terbang bagaikan seekor harimau hendak menerkam mangsanya.
Pada saat itu Dewi Murka pun
melompat
menyambut tubuh lawan yang
melayang. Kedua perempuan itu saling beradu kecepatan pukulan di udara.
Plak, plak, plak...! Buugh,
bugh...!
"Heegh...!"
terdengar suara Dewi Murka memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan
jatuh bagai karung basah.
Brukkk...!
Perawan Sesat sudah sejak
tadi daratkan kakinya dengan sigap di tanah berkapur itu. Ia berdiri tegak
dengan tegarnya, memandang lawannya yang jatuh terkulai dan memuntahkan darah
hitam dari mulutnya.
Bahkan dari telinga dan
hidung Dewi Murka juga mengeluarkan darah hitam kemerah-merahan.
Dewi Murka berusaha untuk
bangkit. Ia mencabut trisula dari pinggangnya. Matanya memandang dengan sedikit
membeliak. Tetapi sebelum ia sempat bangkit, ia sudah kembali jatuh terkulai.
Tubuhnya terjajar di tanah berkapur. Telantang menghadap langit.
Semburan darah hitam
kemerahan itu kembali keluar dari mulutnya bersama tubuh yang menyentak kejang
satu kali.
Perawan Sesat hempaskan
napas lega, lalu
tinggalkan tempat itu tanpa
mengucap sepatah kata pun. Ia tampak tidak peduli sekali dengan keadaan
lawannya. Cepat ia melompat, cepat pula ia melesat hilang.
Singo Bodong kehilangan
jejaknya. Bingung mencari ke mana perginya Perawan Sesat, sebagai sosok
perempuan yang dikagumi ilmu dan kecepatan gerak tangannya tadi. Karena tak
bisa mengejar dan mengikuti jejak kepergian Perawan Sesat, lelaki berkumis
tebal melintang itu segera naik dengan susah payah ke bukit kapur. Tepat ketika
ia sampai di sana, Dewi Murka hembuskan napasnya yang terakhir.
*
* *
5
HANYA Singo Bodong yang tahu
persis mengenai kematian Dewi Murka. Hanya Singo Bodong yang melihat jelas
Perawan Sesat telah membuat jiwa Dewi Murka benar-benar nungging. Tapi siapa
yang kenal Dewi Murka di antara penduduk desa itu? Toh pada saat Dewi Murka
menginap beberapa hari di rumah keluarga Gito Gepuk, ia memperkenalkan diri
sebagai Wulansih, nama aslinya.
Kalau saja mereka tahu nama
Dewi Murka, maka kematiannya akan tersebar ke mana-mana sebagai kematian murid
Perguruan Merpati Wingit. Kalau kematian Dewi Murka tersebar, maka seorang
pemuda berparas ganteng berpakaian hitam-hitam dengan senjata kapak dua mata
itu tidak akan terus-menerus mencarinya. Pemuda yang memiliki senjata kapak
Kebo Geni ini tidak lain adalah Manusia Sontoloyo, yang dikenal dengan nama
panggilan Dirgo Mukti.
Mengapa Dirgo mencari Dewi
Murka beberapa hari ini? Itu adalah tugas. Tugas yang turun dan dikeluarkan
dari mulut Selendang Kubur, Selendang Kubur bersedia memberikan kehangatan
tubuhnya kepada Dirgo, jika Dirgo Mukti sudah kembali memengal kepala Dewi
Murka.
Kala itu, pertempuran
Selendang Kubur dengan Dewi Murka sama-sama mengakibatkan luka dalam di kedua
belah pihak. Mereka saling berpisah untuk lakukan pengobatan masing-masing.
Selendang Kubur bertemu dengan Dirgo, lalu ditolong dari keadaan parahnya,
dibawa ke dalam gua tempat tinggal Dirgo, di pesisir pantai Karang Siru.
Sebagai lelaki yang normal,
Dirgo bisa menilai kecantikan dan kemulusan tubuh Selendang Kubur yang tidak
jauh berbeda nilainya dengan Peri Malam.
Sekalipun hati Dirgo
terbakar cinta kepada Peri Malam, namun melihat kemontokan dada Selendang Kubur
dan daya tarik lainnya, Dirgo tidak menolak untuk mengulurkan tangannya mencari
pelepas dahaga.
Selendang Kubur kala itu
dalam keadaan pingsan, lalu segera dibawa masuk ke dalam gua dan
dirawatnya.
"Lukanya terlalu
parah," gumam Dirgo Mukti sambil memperhatikan tubuh Selendang Kubur yang
dibujurkan di atas pembaringannya.
"Dia terkena pukulan
tenaga dalam yang tinggi di dua tempat, jantung dan ulu hati. Terlambat sedikit
pengobatannya, melayang sudah nyawa si cantik yang menggairahkan ini. Hmmm...
aku harus segera menolongnya. Dengan begitu, dia berhutang nyawa padaku dan
setidaknya tidak keberatan membayar hutangnya dengan kehangatan tubuhnya
beberapa kali."
Tetapi Manusia Sontoloyo itu
sedikit ragu setelah mempertimbangkannya. Ia membatin kembali,
"Pengobatan ini tidak
cukup dengan penyaluran hawa murni ke dalam tubuhnya. Ia harus mendapat resapan
getar nadi dari sekujur tubuhku. Dan resapan getar nadi ini belum pernah
kulakukan kepada siapa pun. Guru pernah berpesan untuk tidak melakukan
pengobatan melalui resapan getar nadi jika tidak benar-benar terpaksa. Karena
jika aku gagal melakukan resapan getar nadi, maka nyawaku sendiri akan melayang
pergi dari ragaku. Tapi..., keadaan perempuan cantik ini mempunyai dua luka
yang berbahaya dan harus cepat penanganannya. Hmmm...
wajahnya makin pucat dan
membiru. Agaknya pukulan tenaga dalam yang tepat mengenai sudut jantungnya ini
mengandung kekuatan racun berbahaya...!"
Manusia Sontoloyo akhirnya
memutuskan untuk melakukan pengobatan resapan getar nadi. Tanpa ragu-ragu ia
melepas pakaian Selendang Kubur. Kalau saja Selendang Kubur tidak dalam keadaan
pingsan lama, tentu ia akan memberontak dan menolak. Justru karena keadaan
pingsan itulah Manusia Sontoloyo berani melakukan pengobatan cara resapan getar
nadi.
"Wah, indah sekali
tubuh perempuan ini...?!"
gumam Dirgo. Matanya tak
berkedip menatap
kemulusan tubuh yang sudah
tanpa selembar benang pun itu. "Kalau saja tak ada luka membiru di bagian
ulu hati dan dada kirinya, sudah pasti tubuh ini akan mulus dan menggiurkan.
Hmmm... dadanya begini montok dan kencang. Benar-benar sepasang dada yang menantang
untuk bertanding cinta. Sayang sekali dia dalam keadaan terluka parah.
Setidaknya kusalurkan dulu hawa murniku melalui telapak tanganku!."
Pada umumnya orang melakukan
penyaluran hawa murni ke dalam tubuh si sakit dengan cara
menempelkan kedua telapak
tangan ke bagian yang terluka. Tetapi Manusia Sontoloyo membalikkan tangannya,
ia menggunakan punggung telapak tangan untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam
tubuh Selendang Kubur.
Beberapa saat lamanya hal
itu ia lakukan, hingga akhirnya detak jantung Selendang Kubur kembali normal.
Tapi Selendang Kubur masih belum siuman!
Tentu saja, sebab masih ada
luka berat di ulu hatinya.
Luka itu memang berhubungan
dengan luka dibagian jantung, sebab mempunyai saluran darah yang membawa racun.
Racun itu menyebar di seluruh tubuh dan menjadi beku pada bagian ulu hati yang
terluka. Ini bisa menyebabkan pembusukan segera terjadi pada bagian ulu hati
tersebut. Pembekuan racun pada luka itulah yang harus disembuhkan dengan
resapan getar nadi.
Maka, Manusia Sontoloyo pun
segera melepaskan seluruh pakaiannya. Kini ia telungkupkan badan ke tubuh
Selendang Kubur. Kedua kakinya diusahakan menggapit bagian paha dan betis
Selendang Kubur.
Kedua tangannya memeluk
bagian dada sampai punggung. Mulutnya mengatup rapat ke mulut Selendang Kubur.
Lalu, pelukan dan gapitan itu diperkuat.
Beberapa helaan napas
berikutnya, tubuh Dirgo Mukti mulai tampak berkeringat. Tubuh itu menjadi pucat
sedikit demi sedikit. Keringatnya semakin bertambah. Bahkan pada bagian betis
kakinya yang berbulu itu pun mengeluarkan butiran keringat. Sampai pada telapak
kakinya pun berkeringat pula. Dan tubuh perempuan yang dipeluk erat dalam
keadaan seperti itu, mengeluarkan keringat berwarna kekuning-kuningan dari tiap
lubang pori-pori tubuhnya.
Setelah keringat yang keluar
dari pori-pori kulit tubuh Selendang Kubur itu berubah menjadi bening, maka
Dirgo pun segera menghentikan resapan getar nadinya. Ia terengah-engah dan
jatuh lemas begitu turun dari ranjang. Sementara perempuan yang habis menjalani
pengobatan aneh itu dalam keadaan seperti tertidur nyenyak. Wajah pucatnya
mulai surut, warna legam di dada dan ulu hati pun mulai memudar.
Dirgo membiarkan perempuan
itu masih telentang tanpa selembar benang pun. Beberapa saat setelah itu,
manakala napas Dirgo sudah kembali teratur, keletihannya lenyap sudah, maka
Dirgo Mukti segera ambil kain dan air tawar untuk membersihkan tubuh Selendang
Kubur.
Dengan penuh gairah Dirgo
membasuh tubuh yang kini benar-benar tampak mulus, karena warna legam di kedua
lukanya sudah hilang. Tetapi Selendang Kubur masih belum bisa siuman walau
napasnya telah teratur.
Ketika ia dibasuh dengan
kain basah sekujur tubuhnya, ia masih diam saja.
"Indah sekali tubuh
ini. Semuanya serba kencang, sampai ke bagian pantatnya. Hmm, hmm,
hmm...!"
gemas Dirgo dengan nakal, ia
remas gumpalan-gumpalan yang bisa menimbulkan birahi itu.
Semakin lama kenakalannya
semakin bertambah jalang. Bukan hanya diremas saja bagian-bagian yang
menggumpal penuh tantangan itu, namun juga dipagut-pagutnya beberapa saat.
"Selagi pingsan kurasa
ia tak akan tahu kalau aku telah menikmati tubuhnya," pikir Dirgo dengan
binal.
Maka, ia pun bergegas
kembali melepas apa saja yang melekat di tubuhnya. Ia kembali bersikap seakan
hendak melakukan resapan getar nadi.
Tetapi lelaki yang bergelar
Manusia Sontoloyo itu mulai dilanda rasa kecewa.
"Kurang ajar! Dia
mengunci kedua pahanya hingga tak bisa dibuka sedikit pun!" geram Dirgo Mukti.
Rupanya ia menjadi
penasaran. Dirgo sentakkan tangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam
untuk mendorong sesuatu yang berat. Tetapi kedua paha Selendang Kubur terkunci
rapat, tetap saja tak bisa direnggangkan sedikit pun. Dirgo mencobanya sekali
lagi dengan jurus 'Sigar Jambe'. Kedua tangannya merapat pada bagian
pergelangan, lalu disentakkan ke depan dengan bergerak membuka tanpa menyentuh
paha itu. Tapi ternyata kedua paha tetap merapat kuat. Hanya sedikit terguncang
tubuh Selendang Kubur, namun tidak membuat terpisah kedua kakinya.
"Edan!" sentak
Dirgo, yang akhirnya menyerah kalah. Ia tak bisa lakukan apa yang ia inginkan.
Tanpa sadar hasratnya kala itu sudah hilang karena kedongkolan hati dan
lelahnya tenaga untuk membuka paha. Bahkan penggunaan jurus 'Sigar Jambe' itu
telah menguras tenaganya karena selalu membalik masuk ke dalam dirinya.
Hari berikutnya, saat
Selendang Kubur telah lama sadar dari pingsannya, Dirgo mencoba mendekati
dengan kenakalan tangannya. Tetapi Selendang Kubur berkelit dan menepisnya
dengan perasaan tak suka kepada tindakan itu.
"Jangan begitu,
Selendang Kubur. Aku telah bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu
dari luka parah itu, jika aku meminta upah satu kali saja, bukankah itu
tindakan yang bijaksana?"
"Aku tidak mempunyai
kebijakan seperti itu."
"Tapi aku telah
menyembuhkan lukamu, Selendang Kubur!"
"Aku tak keberatan kau
kembalikan diriku seperti keadaan semula," jawab Selendang Kubur dengan
keras kepala.
Terdengar helaan napas Dirgo
dalam kejap
berikutnya, "Nasibku
selalu buruk jika sudah berurusan dengan perempuan!"
Selendang Kubur tetap tegak
terbujur dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun yang Dirgo
Mukti ucapkan.
"Berulang kali aku
jatuh cinta pada perempuan, berulang kali cintaku selalu ditolak."
"Urusan pribadi seperti
itu sulit sekali dijajaki maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu.
Barangkali kau sangka aku
menghinamu. Dan barangkali kau sangka aku jijik padamu. Tapi menurutku memang
begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."
Selendang Kubur geserkan
langkah dan duduk di atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana, tertuju
untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.
"Manusia punya
pendirian dan sikap, punya penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan
lainnya sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan gairahmu, aku lebih banyak
berpikir dengan dendamku.
Kalau kau lebih bangga
dengan kemesraanmu, aku lebih bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua
punya alasan masing-masing yang tak mudah dipahami orang lain."
Dirgo Mukti geserkan langkah
dan bungkukkan badan, lalu ia berucap, "Kau sungguh simpan dendam kesumat
dengan Dewi Murka?"
"Ya. Aku ingin penggal
kepalanya. Siapa pun dapat hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap sebagai
orang yang patut dihormati!"
Termasuk aku?"
"Tak peduli dirimu atau
gelandangan mana pun juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa penggalan
kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang patut kuhormati dan kudekati
hatinya."
Kata-kata itu punya
pengertian lain buat Manusia Sontoloyo. Ia anggap dirinya mendapat tugas dan
perintah langsung dari mulut Selendang Kubur. Ia merasa, dengan menghadiahkan
penggalan kepada Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah menyerahkan
kehangatan tubuhnya yang makin lama makin menantang gairah membakar birahi itu.
Dengan modal anggapan itu,
Manusia Sontoloyo memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai keterangan dari
Selendang Kubur tentang arah pelarian Dewi Murka. Tak heran jika Manusia
Sontoloyo itu merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang perempuan
berbaju serba hitam, bersenjata trisula, dan bernama Dewi Murka.
Tapi ketika langkahnya
hendak beralih dari menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak langkah itu
terhenti. Dirgo Mukti melompat mundur dalam satu sentakan kaki yang melenting
tinggi di udara. Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya halangi langkahnya.
"Tak mungkin pohon itu
rubuh sendiri. Batang dan daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak
berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang langkahku! Hemmm... mana orang
itu?" pikir Dirgo.
*
* *
6
ORANG yang dicari Dirgo
muncul di belakangnya.
Kehadirannya tanpa hawa dan
tanpa suara, Dirgo sempat terperanjat sebentar melihat munculnya perempuan
jabrik berpakaian ungu muda ketat. Bukan rambut yang bikin Dirgo kaget, tapi
bentuk tubuh yang begitu menggiurkan yang bikin Dirgo terkesiap tak berucap.
Hati Dirgo jadi
berdebar-debar memandang belahan dada perempuan itu yang tampak mulus, menonjol
dan sekal-sekal montok. Sungguh suatu pemandangan yang harus diperhatikan tanpa
kedipan mata barang sejenak.
Tapi wajah perempuan itu
tetap tanpa senyum.
Kecantikan itu bagai gunung
batu tersaput gumpalan es. Dingin sekali. Walaupun Dirgo sunggingkan senyum,
perempuan berhidung kecil bangir dan bermata bundar itu tak tertarik untuk
membalas senyuman Dirgo.
"Luar biasa...,"
gumam Dirgo di dalam hatinya. Ia pandangi perempuan yang berpinggul meliuk
indah dengan pantat menonjol sekal itu. Ia nikmati kemolekan yang begitu langka
itu sambil langkahkan kaki kelilingi tubuh perempuan tersebut. Yang di pandang
tak bergerak sedikit pun kecuali matanya yang melirik dengan liar. Wajah
bekunya sedikit tegak terdongak naik dagunya, menampakkan sebentuk keangkuhan
yang angker.
"He he he...!"
Dirgo perdengarkan tawanya yang pelan mirip orang menelan minuman. Tiba di
depan perempuan cantik berambut jabrik, Dirgo Mukti hentikan langkahnya. Jarak
mereka hanya tiga langkah.
"Kaukah yang rubuhkan
pohon itu?" tanya Dirgo dengan kedua tangan selipkan jempol ke ikat
pinggang di depan perutnya. Perempuan itu sedikit miringkan wajah dalam pandang
sipitnya. Semakin tajam mata itu bak ujung tombak yang baru diasah dengan gerinda.
"Kaukah yang tumbangkan
pohon untuk
menghadang langkahku?"
ulang Dirgo.
Perempuan itu menjawab
dengan suara serak-serak angker namun menggairahkan.
"Ya. Aku yang lakukan!
Mau apa kau?!"
Dirgo Mukti lebarkan senyum.
"Justru aku yang seharusnya bertanya begitu mau apa kau menghadang
langkahku dengan cara begitu?"
"Mau memastikan
dirimu!" jawab perempuan yang kemudian mengaku bernama Perawan Sesat itu.
"Apa yang perlu kau
pastikan dari diriku, Perawan Sesat?"
"Apakah benar kau yang
bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu?!"
"Mengapa kau tanyakan
hal itu?"
"Aku mencarinya."
"Untuk apa?"
"Suatu keperluan
penting."
"Menyenangkan atau
menyusahkan?!"
"Sangat
menyenangkan."
Dirgo manggut-manggut dalam
senyuman,
melangkah ke samping tiga
pijak sambil membatin,
"Perempuan ini boleh
juga. Cantik tapi berkesan liar. Merangsang tapi berkesan angker. Perempuan
seperti ini pasti punya gairah besar dalam bercinta.
Tubuhnya serba kencang dan
itu menunjukkan jaminan kenikmatan yang luar biasa. Perempuan ini jauh lebih
menggiurkan dari Selendang Kubur atau pun Peri Malam. Hmmm... dia mencari Suto
Sinting. Dia punya kepentingan yang menyenangkan. Apakah dia punya kencan
dengan Suto Sinting? Atau barangkali dia ingin membuat kencan dengan murid si
Gila Tuak itu?"
Perawan Sesat ikuti gerakan
langkah Dirgo.
Matanya bagai tak mau lepas
dari wajah Dirgo Mukti. Ia membatin pula di dalam hatinya,
"Kurasa memang ini
orangnya. Peramal Pikun itu memberi ciri ketampanan. Suto orang yang tampan,
gagah, dan perkasa. Orang ini punya ciri seperti itu.
Tapi apakah benar dia yang
bernama Suto?"
Kejap berikutnya keduanya
saling pandang lagi.
Lalu, Dirgo Mukti lontarkan
tanya,
"Dari mana asalmu,
Perawan Sesat?"
"Jawab dulu
pertanyaanku tadi, kaukah yang bernama Suto?!" sentak perempuan berpedang
gading.
"Ya. Aku Suto
Sinting!" jawab Manusia Sontoloyo dalam tipuannya.
Perawan Sesat hembuskan
napas lepas, seperti mengalami perasaan lega. Wajah dinginnya sedikit mencair.
Keangkerannya mulai surut. Keangkuhannya kian menipis. Kekakuan sikapnya pun
menjadi berubah sedikit santai.
"Ada kepentingan apa
kau mencariku?!" tanya Dirgo.
"Aku harus membawamu ke
Bukit Garinda, Suto!"
"Untuk apa aku ke
sana?"
"Guru ingin
menemuimu."
"Perlu apa gurumu
menemuiku?" Dirgo ganti berlagak angkuh.
"Itu urusan pribadi
Guru. Sebaiknya ikut saja perintahku, jangan bikin aku paksa dirimu dengan
kekerasan."
"Bagaimana jika aku
ingin kekerasan itu?" goda Dirgo Mukti.
"Kau akan menyesal
nantinya, Suto!"
"Bagaimana jika aku
ingin menyesal lebih dulu?"
sambil Dirgo mendekati
Perawan Sesat. Senyumnya makin mekar, membuat Perawan Sesat menganggap
kata-kata Dirgo tadi tidak bersungguh-sungguh.
Karenanya perempuan itu
tidak cepat tunjukkan kekerasan sikapnya, ia diam saja ketika Suto palsu
berdiri jarak satu langkah di depannya. Ia pandang terus lelaki tampan itu.
"Aku mau kau bawa
menghadap gurumu, tapi aku inginkan sesuatu darimu sebagai syarat utama."
"Apa yang kau
inginkan?"
"Kemesraan." jawab
Manusia Sontoloyo itu.
Perempuan berbibir
menggemaskan itu tampak gelisah. Dirgo pegang kedua pundak Perawan Sesat.
Hati perempuan itu makin
resah. Dirgo melihat sikap pasrah yang bergumul rasa gelisah. Dirgo gunakan
kesempatan itu untuk mencium pipi Perawan Sesat.
"Jangan...," bisik
perempuan itu. Tapi Dirgo nekat lakukan.
Ciumannya mendarat penuh
semangat di wajah kanan Perawan Sesat. Perempuan itu berusaha mengelak walau
tak banyak.
"Jangan, Suto...."
Perempuan itu
menggelinjangkan kepala samping.
Lehernya terbuka, dan
Manusia Sontolo merenggut leher itu dengan sebuah kecupan memburu.
"Jangan...,"
bisiknya lagi, lalu berlanjut, "Jangan di sini, Suto!"
Mendengar lanjutan kata
Perawan Sesat, Dirgo justru hentikan ciumannya. Ia tarik kepala ke belakang dan
pandang mata perempuan itu sambil tersenyum dalam tawa terkulum.
"Apakah syarat itu
harus kupenuhi?" bisik Perawan Sesat sambil biarkan tangan Dirgo
menelusuri masuk ke belahan dadanya.
"Ya. Harus kau sendiri
yang penuhi. Kalau kau tidak penuhi syarat itu, aku tak mau menghadap
gurumu."
"Aku takut kau laporkan
pada Guru."
"Aku tak akan bilang
apa pun padanya nanti."
"Kau berani
berjanji?"
"Aku berjanji dengan
berbagai sanksi."
"Apakah kau berani
kehilangan nyawa jika sampai bocorkan rahasia?"
"Ambillah nyawaku jika
aku dusta padamu!"
Tap ..! Tangan Dirgo
ditangkapnya kuat, lalu disentakkan lepas dari belahan dadanya yang membengkak
itu. Tanpa berucap kata apa pun, Perawan Sesat sentakkan ujung kakinya.
Tubuhnya melenting ke udara dan bersalto dua kali untuk mencapai
bawah pohon rindang. Dirgo
pun
mengikutinya dengan satu
lompatan ringan dan bersalto dua kali di udara.
Kejap berikut tubuh mereka
sudah saling
berhadapan. Tangan Dirgo
mulai meraih lengan Perawan Sesat. Tubuh itu tertarik ke depan dan terpeluk
Dirgo. Kepala perempuan itu sengaja tengadah dengan bibir yang merekah. Dirgo
segera melumat bibir itu dengan tangan meremasi punggung Perawan Sesat.
Mulut perempuan itu terlepas
dan lontarkan desah bersuara serak. Ia biarkan Dirgo menjamah sekujur tubuhnya.
Karena ia sendiri merasa tidak bisa menghindar dari gairah yang kian
memberontak dan melonjak-lonjak itu.
Kejap berikut, keduanya
sama-sama berpeluh.
Kejap lain lagi, mereka
telah siap berdiri untuk tentukan langkah. Pakaian mereka sudah kembali rapi.
Dan saat itu senyuman manis
Perawan Sesat tampak mekar disuguhkan di depan Dirgo Mukti dengan sinar
kepuasan.
"Sudah kuduga, kau
memang galak dalam bercinta,"
kata Manusia Sontoloyo
dengan senyum kemenangan.
Perawan Sesat tersipu malu,
namun ia lontarkan kata lirih.
"Memang begitulah aku.
Tak boleh tersenggol kemesraan sedikit saja."
Manusia Sontoloyo serukan
tawanya, membuat Perawan Sesat makin tersipu namun penuh bangga diri.
Tanpa terpikir oleh mereka,
sepasang mata
mengintai sejak lompatan
tubuh mereka mencari tempat bercumbu tadi. Sepasang mata itu mengikuti terus
gerak-gerik dan suara mereka dari balik semak belukar. Sepasang mata itu
menahan napasnya kuat-kuat agar tidak didengar oleh kedua pasang insan yang
tadi dilihatnya begitu bergelora mencapai puncak birahinya.
"Syarat sudah
kupenuhi," kata Perawan Sesat
"Sekarang kau harus mau
menghadap Guru, Suto."
"Ya. Aku akan menghadap
gurumu!"
"Guru akan senang
melihat aku datang bersamamu Suto Sinting!"
"Karena kau telah
menyenangkan hatiku, maka aku harus menyenangkan dirimu, juga menyenangkan
gurumu!"
"Aku kagum pada sikap
ksatriamu, Suto. Dan...,"
ucapan itu terhenti.
Menandakan adanya sesuatu yang membuatnya ragu. Dan mendadak tangan perempuan
berambut makin awut-awutan itu berkelebat ke belakang sambil balikkan badan.
Rupanya lemparkan selembar daun yang tadi sempat dipetiknya sebelum melangkah
pergi dari ranjang alamnya. Daun itu kini melesat terbang bagaikan lempengan
logam dan menancap tepat di batang sebuah pohon bersemak bawahnya.
Jruub...!
"Ada apa?!" tanya
Dirgo Mukti kaget.
Pertanyaan itu belum
terjawab, tiba-tiba dari semak bawah pohon yang tertancap daun itu melesat
sesosok bayangan kuning. Kejap berikutnya telah berdiri seorang perempuan
berpakaian kuning kunyit dengan dada yang sekal juga, walau kalah montok dengan
Perawan Sesat.
Perempuan yang baru hadir
dan keluar dari
persembunyiannya itu
berambut lurus sebatas pundak lewat sedikit. Rambutnya itu dililit rantai emas
kecil melingkar kepala. Di bagian tengah kening rantai itu mempunyai batuan
hias merah delima sebesar kacang tanah. Perempuan itu mempunyai tahi lalat di
ujung dagu kanannya. Siapa lagi dia jika bukan Peri Malam, murid si Mawar Hitam
yang sudah dianggap murtad itu.
"Peri Malam...!"
desis Manusia Sontoloyo mulai cemas.
Perawan Sesat tatap wajah
Peri Malam dengan sikap bermusuhan. Sedangkan yang ditatap hanya senyum-senyum
sinis dengan lagak berkesan
meremehkan keangkeran wajah
cantik Perawan Sesat.
"Apa maksudmu mengintip
dari semak sana?!"
geram Perawan Sesat.
"Hanya ingin melihat
orang bodoh bercinta!" jawab Peri Malam.
"Sekali lagi kau bilang
begitu, tak kuberi ampun dirimu!" sambil si jabrik sipitkan mata.
Peri Malam tertawa lepas
terkikik-kikik. "Lucu sekali kau ini. Kudengar namamu Perawan Sesat.
Pantas jika kau bernafsu
besar hanya karena tersesat kemesraan lelaki dungu di sampingmu itu, sebab kau
berotak udang, alias bodoh!"
Wuuttt...! Tangan Perawan
Sesat sentakkan ke depan dengan gerakan cepat. Pukulan tenaga dalam jarak jauh
melesat ke arah Peri Malam. Namun Peri Malam sempat hantamkan tangan kanan ke
kiri sambil liukkan badan menyamping. Wuusss...! Greebb...!
Kedua pukulan tenaga dalam
saling beradu dan terbuang ke gundukan tanah dekat pohon rindang yang tadi
dipakai payung kencan.
"Perawan Sesat, jangan
layani dia!" kata Dirgo Mukti dalam kecemasan yang tersimpan. Ia berusaha
menarik lengan Perawan Sesat, tapi dikibaskan oleh perempuan itu.
"Aku harus menghajar
perempuan itu biar tahu sopan!" geram Perawan Sesat sambil angkat kedua
lengan ke atas dengan tenaga terkerahkan.
Peri Malam segera serukan
kata, "Jangan salah sangka! Aku datang hanya untuk mengatakan bahwa kau
salah memilih orang!"
Cepat-cepat Dirgo kembali
menarik lengan Perawan Sesat dan berkata, "Lekaslah, jangan buang-buang
waktu! Gurumu pasti sudah menunggu lama!"
"Tunggu!" Perawan
Sesat sentakkan lengan, mata tetap arahkan tajam ke arah Peri Malam. Lalu ia
serukan tanya,
"Apa maksud
kata-katamu, Perempuan Burik?!"
"Kau sangka lelaki di
sampingmu itu Suto Sinting?"
Peri Malam segera tertawa
lepas.
Dirgo cepat hentakkan suara,
"Tutup mulutmu, Peri Malam!"
"Oh, oh... lihat, dia
ketakutan! Dia bentak aku karena dia takut aku bocorkan siapa dirinya di
depanmu! Lihat...! Hi hi hi...!"
Tangan Peri Malam menuding ke
arah Dirgo Mukti, membuat Perawan Sesat memperhatikan wajah Dirgo dengan
curiga. Dirgo jadi gemas dan segera lancarkan pukulan jarak jauhnya. Wuugh...!
"Woww...!" teriak
Peri Malam sambil tertawa ia lompatkan badan, melesat tinggi dan kembali jatuh
berpijak kaki tegap. Tawanya dilanjutkan seraya ia serukan kata,
"Suto Sinting bukan
dia! Suto Sinting sekarang ada di Perguruan Merpati Wingit! Dia dalam perawatan
lukanya di sana. Sedangkan orang yang ada di sampingmu itu adalah Dirgo Mukti,
alias Manusia Sontoloyo!?"
"Bohong! Aku Suto
Sinting!" sentak Dirgo dengan mata melotot.
Perawan Sesat kian kerutkan
dahi dalam tatap matanya ke arah Dirgo. Sementara itu, Dirgo masih tampakkan
kegusarannya seraya membentak Peri Malam.
"Jangan turut campur
urusanku, Peri Malam! Jangan kau fitnah Perawan Sesat dengan kelicikanmu.
Akulah Suto Sinting!"
"Dirgo...!" seru
Peri Malam. "Setahuku, Suto Sinting lebih tampan dan lebih memikat
daripada dirimu. Suto Sinting tidak mau bertindak ceroboh kotor seperti yang
kau lakukan di bawah pohon tadi. Setahuku, Suto Sinting itu lelaki tanpa pusar
yang bergelar Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak. Sedangkan kau, hmm...
murid siapa kau? Gelar mu saja Manusia Sontoloyo! Jangan mengaku-aku nama Suto
Sinting hanya untuk memperoleh kemesraan dan kenikmatan tubuh seorang
perempuan. Kau bisa mati di tangan Perawan Sesat itu!"
"Diam...!" teriak
Dirgo. Ia hendak lepaskan pukulan jarak jauh kepada Peri Malam. Tapi, dengan
kasar pundaknya ditarik ke belakang oleh Perawan Sesat hingga ia tersentak dan
berpaling ke arahnya.
"Sontoloyo...!" geram
Perawan Sesat. Tajam matanya memandang.
"Jangan hiraukan
kata-kata itu. Aku Suto Sinting murid sinting si Gila Tuak. Akulah orang yang
kau cari, Perawan Sesat!"
Tiba-tiba tangan Perawan
Sesat bergerak cepat bagaikan kilat. Tak mampu terlihat oleh mata Dirgo.
Wuusss...! Bret, breett...!
Perawan Sesat membuka baju
Dirgo. Tampak ada pusar di perut lelaki itu yang tadi tak sempat diperhatikan
Perawan Sesat. Seketika itu, Dirgo cepat raih bajunya dan dekap pusarnya sambil
sedikit membungkuk malu.
"Apa-apaan
ini...?!" Dirgo berlagak sewot.
"Jahanam kau!"
geram Perawan Sesat.
"Aku Suto Sinting.
Bukan jahanam!"
"Dusta! Di perutmu ada
pusar. Aku tahu itu pusar bukan kerupuk mentah! Dan itu berarti kau bukan Suto
Sinting!"
Plookkk...!
Begitu cepat dan kuat tangan
Perawan Sesat menghantam telak wajah Dirgo Mukti. Pukulan itu membuat Dirgo
menggeragap sambil terhuyung mundur tiga tapak.
Wuuut...! Plokkk...!
Sebuah tendangan samping
dilancarkan ke depan oleh Perawan Sesat. Dirgo tak sempat menangkis karena
kecepatannya yang luar biasa. Akibatnya, wajah yang belum sempat menemukan
titik sakitnya akibat tonjokan tadi, sekarang menjadi semakin panas sekujur
kepala.
Tendangan dan pukulan itu
kosong tanpa kekuatan tenaga dalam. Tapi sudah cukup bikin pandangan mata Dirgo
berkunang-kunang. Ia cepat kibaskan kepala untuk membuang kunang-kunangnya.
Sedangkan Perawan Sesat kali ini siap hantamkan pukulan jarak jauhnya bertenaga
dalam. Dirgo pun bergegas bangkit dan siap menghadapi pukulan itu. Dengan satu
gerakan jarinya ia sentakkan gelombang pelapis yang tak mudah ditembus oleh
pukulan siapa pun, kecuali pukulan dari Suto Sinting.
Tetapi, ketika pukulan
Perawan Sesat dihantamkan, ternyata Dirgo terpental ke belakang dengan mata
terpejam. Jatuh telentang setelah mendengar suara ledakan keras. Blarrr...! Itu
pertanda gelombang pelapisnya mampu didobrak oleh pukulan tenaga dalam Perawan
Sesat.
Dirgo Mukti berdarah di
bagian hidungnya. Ia bergegas bangkit lagi. Perawan Sesat sudah siapkan pukulan
kembali. Tapi Peri Malam segera berseru,
"Tahan! Dia punya
urusan pribadi dengan Suto Sinting pada dua purnama mendatang. Mereka akan
bertarung sampai mati di Bukit Jagal! Beri kesempatan dia hidup biar buktikan
kehebatannya dalam pertarungan nanti! Sebaiknya...," kata-kata itu henti,
karena tiba-tiba tubuh Perawan Sesat bagaikan lenyap karena kecepatan lompatnya
yang begitu tinggi.
Dirgo tak sempat berseru
menahan kepergian perempuan yang liar dalam bercinta itu. Ia hanya mengeram
dongkol pada Peri Malam. Peri Malam tertawa cekikikan melihat wajah Dirgo
bonyok.
*
* *
7
PERAWAN Sesat bukan hanya
tajam mata namun juga tajam ingatannya. Ucapan Peri Malam sempat lekat dalam
ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan Merpati Wingit dalam perawatan lukanya.
Ini suatu kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa Suto ke Bukit Garinda.
Tetapi, ke mana arah
Perguruan Merpati Wingit?
Perawan Sesat tak pernah
tahu arah perguruan itu.
Satu-satunya jalan ia harus
mencari sebuah desa dan menanyakan kepada beberapa orang di sana.
Perawan Sesat kembali
berkelebat ke satu arah.
Tujuannya adalah kaki bukit
yang tampak dari tempatnya singgah di atas pohon. Namun baru beberapa kejap ia
bergerak, telinganya menangkap suara deru kaki kuda. Perawan Sesat telengkan
kepala untuk menyimak suara kaki kuda itu. Setelah jelas arahnya, Perawan Sesat
sentakkan kaki dan melesat pergi menuju arah derap kaki kuda.
Tiga orang berkuda melaju
melintasi kaki bukit.
Dua dari mereka adalah
perempuan berparas manis, satu penunggang kuda lainnya seorang pemuda berparas
imut-imut. Pemuda itu tampak bersemangat pula dalam memacu kudanya walau tetap
tertinggal dari kedua perempuan yang berpakaian ungu dan putih.
Perempuan yang berpakaian
ungu adalah
Murbawati, murid Perguruan
Merpati Wingit yang mendapat tugas untuk mencari Dewi Murka dan Selendang
Kubur. Ia membawa dua anak buahnya, yaitu Widarti, yang berpakaian putih dan
Sungko, pemuda berpakaian hitam.
Laju kuda mereka terpaksa
berhenti, karena seorang perempuan berambut acak-acakan
menghadang di depan mereka
dengan rentangkan tangan, Widarti sempat berbisik,
"Terus saja. Dia pasti
orang gila!"
Tapi Murbawati membantah,
"Belum tentu. Siapa tahu dia habis diperkosa dan butuh pertolongan kita.
Lihat saja rambutnya
acak-acakan begitu!"
Sungko menyahut, "Temui
saja dia. Akan kuawasi dari atas kuda."
Kuda tunggangan Widarti
melonjak naik sambil meringkik ketika mendekati Perawan Sesat. Widarti
kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia jatuh dari punggung kuda.
Beruntung ia tak cedera apa pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui
Perawan Sesat. Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih tinggi dari kedua
teman atau anak buahnya itu, juga turun dari punggung kuda.
"Apa maksudmu menghadang
kami, Sobat?" tanya Widarti.
"Aku mencari arah
Perguruan Merpati Wingit!"
jawab Perawan Sesat dengan
tegas, tanpa ada keramahan sedikit pun. Matanya sempat layangkan lirikan ke
wajah Sungko yang ganteng imut-imut itu.
Sungko cepat alihkan pandang
karena hatinya berdesir aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.
Widarti saling bertatap
pandangan dengan
Murbawati. Kemudian,
Murbawati maju setindak dan bertanya dengan kalem.
"Ada perlu apa kau
mencari arah Perguruan Merpati Wingit?"
"Itu urusanku. Kalau
kalian tahu, lekas tunjukkan saja dan jangan banyak bertanya!"
Murbawati segera membatin,
"Orang ini agaknya tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau
menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru yang ingin membalas dendam?"
Perawan Sesat menyentak
keras, "Lekas jawab pertanyaanku!"
Dari atas punggung kuda,
Sungko berseru agak lantang, "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit!
Mau apa kau, hah?!"
"Bagus!" seru
Perawan Sesat. "Pucuk dicinta ulam pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan
dimana letak perguruan kalian itu!"
"Tidak bisa!" seru
Murbawati supaya Sungko pun mendengar suaranya dan tahu maksudnya, "Kami
tidak akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami, sebelum kamu sebutkan apa
keperluan mencari perguruan kami!"
Perawan Sesat menatap liar
pada Murbawati.
Mulutnya tampak
menggeletakkan gigi gerahamnya.
Kedua tangan mulai mengepal
keras dalam sikap tetap berdiri tegak dan kaki sedikit merenggang.
"Kalian tidak perlu
tahu apa perlunya aku ke sana, karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya
menunjukkan arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!"
"Sekalipun kau marah,
kami tetap tak akan tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke
sana!" kata Widarti dengan berani.
"Kalian ini benar-benar
mencari mampus di sini!
Hiihhh...!"
Perawan Sesat sentakkan
tangannya, layangkan pukulan jarak tujuh langkah itu. Widarti segera melompat
dengan ringan dan pukulan tenaga dalam itu mengenai pohon di belakang Sungko.
Pohon itu tumbang dalam keadaan patah besar di bagian tengahnya. Sungko sempat
terkejut melihat pohon tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah
darinya.
"Murbawati, biar
kutangani kunyuk satu ini!" kata Widarti sambil melangkah maju dua tindak.
Lalu, di situ ia berseru,
"Manusia landak! Kami
tidak bikin perkara denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap
membeli!"
"Hah...!" Perawan
Sesat mendesis meremehkan ucapan Widarti. "Mestinya kalian sayang nyawa
sendiri dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak pernah kasih ampun
pada orang yang sengaja menantangku, tahu?!"
"Sikapmu sendiri yang
menantangku!" sentak Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang
yang berjajar melingkari pinggangnya itu.
"Rupanya kalian memang
perlu bukti!"
Setelah menggeramkan kata
itu, Perawan Sesat jejakkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan terbang.
Widarti menyambutnya dengan satu lompatan ringan. Mereka beradu kecepatan
pukulan udara sambil saling membenturkan diri.
Plak, plak...! Beegh...!
Tubuh Widarti tersentak ke
belakang, melayang jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko. Mata pemuda itu
terbeliak kaget lihat temannya
mengucurkan darah dari
mulutnya. Darah merah kental itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.
Murbawati pun merasa cemas.
Ia segera berlari mendekati Widarti dan menolongnya bangkit. Widarti sempat
berkata,
"Aku tidak apa-apa. Aku
masih sanggup kalahkan dia!"
"Hati-hati, dia berilmu
tinggi. Kulihat caranya melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu
menandakan dia berilmu
tinggi. Juga kecepatan pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari jarak
dekat, Widarti."
"Ya, ya! Aku mengerti.
Minggirlah, biar dia kuhadapi lagi!"
Widarti perempuan yang
pantang menyerah.
Sekalipun dadanya terasa
sakit, ia masih bisa bangkit dan melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya
segera berkelebat cepat mengambil dua pisau terbangnya dan melemparkannya ke
arah Perawan Sesat.
Pisau itu meluncur searah
sejajar dengan cepat.
Perawan Sesat hanya
sunggingkan senyum tipis tanpa meremehkan. Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya
melalui kelebatan tangan kanan yang seperti membuang sesuatu dari bawah ke
atas. Wusss...!
Kedua pisau terbang itu
terpental berlainan arah dan melesat ke tempat kosong. Kibasan angin tenaga
dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat.
Kesempatan itu digunakan
oleh perempuan bermata buas untuk melompat dan bersalto dua kali.
Gerakannya itu begitu cepat
dan tak terlihat, sehingga tahu-tahu ia sudah berada di depan Widarti jarak
satu jangkauan. Widarti terkesiap melihat lawannya sudah ada di depannya.
Ia tak sempat bergerak
karena Perawan Sesat lebih dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal
pergelangan tangan ke dada Widarti.
Begh... begh... beg...!
"Heeghh...!"
Widarti tersentak kejang dengan kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat
naik.
Lalu, pukulan Perawan Sesat
yang menggunakan punggung telapak tangannya itu mengakhiri
pertarungan tersebut.
Kuat sekali pukulan itu,
membuat Widarti kembali tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah.
Tubuhnya rubuh di samping
kudanya sendiri dengan mulut memuntahkan darah merah kehitaman. Dari telinga
dan hidung pun mengucurkan darah merah kehitaman. Mata Widarti mendelik dengan
mulut masih ternganga.
"Widarti...!"
Sungko melompat turun dan buru-buru menolong temannya. Tapi ketika kepala
Widarti diangkatnya, napas perempuan itu menghempus panjang dan lepas tanpa
helaan lagi.
"Biadab!" geram
Murbawati melihat Widarti hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan
wajah yang memerah karena marah. Matanya
memandang tajam pada
lawannya yang berdiri dengan sikap siap bertarung kembali.
"Jangan buang-buang
nyawa!" seru Perawan Sesat.
"Cepat tunjukkan arah
perguruan kalian, dan dua nyawa kalian akan tertolong!"
"Persetan dengan
ancamanmu! Kau telah membuka pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan
Merpati Wingit!"
"Terpaksa kulakukan
karena kalian mengharap kan sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa
sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu itu. Tapi kalian perlu melihat
permainanku tadi.
Barangkali dengan begitu
kalian mau jawab
pertanyaanku!"
"Tak ada jawaban untuk
manusia sekeji kamu!"
sentak Murbawati sambil
mencabut pedang panjang dari pelana kudanya. Sreet...! Ia berdiri dengan
kuda-kuda kokoh sambil memegang pedang panjang memakai kedua tangannya. Pedang
itu lebih tepat jika disebut samurai. Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan
tidak ada istilah samurai buat orang-orang Perguruan Merpati Wingit.
"Kau pikir aku akan
ciut nyali melihat pedang panjangmu itu?" ejek Perawan Sesat sambil
melangkah ke samping, mencari celah.
"Tak peduli kau takut
atau tidak, kalau kau tidak minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap
teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!"
&jj$M
"Pohon pisang boleh kau
tebas, tapi Perawan Sesat adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali
pula nyawamu amblas!"
"Banyak mulut!"
geram Murbawati sambil melangkah satu tindak, lalu memutar mencari kesempatan
untuk menyerang.
Perawan Sesat pun bergerak
mengitar, tak mau kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak mengitar, ia
masih bisa serukan kata,
"Kau benar-benar
manusia yang tak bisa merawat nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika
tetap melawanku, Monyet Bunting!"
"Aku ke alam kubur
untuk menyusulmu! Cabut pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat siapa
yang harus pergi ke alam kubur di antara kita berdua"
"Cabut pedang? O, tidak
untuk sekarang! Membasmi tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang!
Cukup dengan satu kedipan
mata kau akan tak bernyawa!"
"Manusia sombong!
Buktikan sesumbarmu itu.
Hiaaat...!"
Murbawati sentakkan kakinya
dan tubuhnya
melayang cepat dengan pedang
siap tebas ada di atas pundak kanannya.
Perawan Sesat tidak ikut
melompat, tapi lebih bersikap menunggu datangnya serangan. Begitu pedang
ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan Perawan Sesat segera berbalik
memunggungi lawannya dengan sedikit melompat ke samping kanan.
Wuuusss...!
Pedang menebas tempat
kosong. Secepat kilat tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak
tangannya yang sudah mengepulkan asap menghantam ketiak kiri Murbawati.
Beeegh...! Lalu sikunya bergerak menyodok kuat ke pinggang Murbawati. Deeg...!
Murbawati pekikkan suara
tertahan dengan mata terbelalak tak mampu berkedip. Saat ia mendaratkan
kakinya, ia menggeloyor ke depan. Perawan Sesat melompat mengangkangi tubuh
Murbawati, dua pukulan telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala
lawan.
Duub...! Duub...!
"Hooeek...!"
Seketika itu darah segar
sontak ruah dari mulut Murbawati. Lubang telinga dan hidung pun semburkan darah
segar pada saat tubuh itu roboh dan muka menciumi tanah. Tubuh Murbawati
berkelojot sebentar, kemudian menyentak kuat satu kali. Setelah itu lemas.
Tubuh Murbawati tak lagi
berkutik akibat pukulan beruntun dari perempuan bertenaga dalam tinggi itu.
Sungko membelalakkan mata
melihat Murbawati mati di tangan perempuan bermata liar itu. Mulai ciut
nyalinya saat itu. Tapi demi membela perguruan, Sungko segera sentakkan
tumitnya dan melesat di udara dengan berjungkir balik satu kali. Kaki itu pun
mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam jarak tiga langkah.
"Temanmu mati,"
kata Perawan Sesat dengan nada mengejek.
"Ya. Tapi aku belum
mati!" jawab Sungko memaksakan keberaniannya.
"Kau ingin
menyusulnya?"
"Aku ingin menyusulkan
nyawamu agar bertemu dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"
"Hah...!" Perawan
Sesat senyumkan kesinisan.
"Bocah bawang, bocah
bawang...! Tidakkah kau lihat gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa
kau pikir kau punya gerakan lebih cepat dari si baju ungu?"
"Ya!"
"Dan kau punya senjata
sepanjang senjata baju ungu?"
"Ya!"
"Boleh kulihat
senjatamu?" seraya Perawan Sesat tersenyum nakal. Arti kalimatnya juga
berkesan nakal.
Sungko yang masih tampak
ingusan itu mulai gundah dan gusar tatap matanya. Bibirnya yang ranum dan
kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi oleh Perawan Sesat. Lalu, terucap
kata dari mulut Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.
"Tak tega aku harus
membunuhmu. Hmmm..., sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau aku
memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama pemuda tampan yang ingusan ini?"
"Namaku Sungko!"
jawab Sungko dengan tegas.
"Sungko?! Oh, itu nama
yang bagus. Sayang kalau harus dihias di batu nisan dalam usia semuda
ini!"
"Persetan dengan
kata-katamu! Aku menuntut kematian kedua teman perguruanku ini?!"
"Dengan apa kau mau
menuntutnya, Sungko?
Hmm...?!"
"Dengan nyawamu,
Bodoh!"
"Dengan nyawaku? O,
boleh saja! Tapi jangan sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab kalau
tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku berkobar dan kita tak jadi
bertarung dengan permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan.
Hi hi hi...!" Perawan
Sesat perdengarkan tawa seraknya.
Ia lebih puas mempermainkan
pemuda itu
ketimbang harus cepat
melenyapkan nyawanya.
Perawan Sesat paham betul,
pemuda seusia Sungko itu mudah sekali goyah pendiriannya. Juga mudah untuk
membunuhnya. Karena itu, Perawan Sesat tetap memandangnya dan sesekali membuang
lirikan mesumnya ke arah Sungko. Pemuda itu kian salah tingkah.
Di dalam hatinya Sungko
berkata, "Apa yang harus kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya.
Aku hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak mungkin bisa untuk
mengalahkan perempuan nakal ini.
Haruskah aku menyerah kalah?
O, tidak! Guru selalu berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah.
Kita akan terhina tujuh
turunan jika menyerah kalah.
Apa pun yang terjadi, aku
harus melawan perempuan ini!" geram hati Sungko timbulkan semangat dalam
jiwanya.
Tetapi ketika ia kembali
menatap ke arah
lawannya, mata itu tak mampu
lagi berkedip. Perawan Sesat telah melebarkan belahan bajunya yang tanpa lengan
itu. Kedua bukit mulus dipamerkan sebagian.
Tapi justru karena sebagian
itulah maka debar jantung Sungko menjadi kiat cepat detakannya.
Perawan Sesat sengaja
melangkah ke arah
pepohonan rindang sambil
sesekali mengerlingkan mata dalam tatap pandangnya. Sungko mengikuti dengan
pandangan mata yang tak bisa dikedipkan lagi itu.
Jemari tangan Perawan Sesat
berkutik memanggil Sungko saat ia berdiri dan bersandar di bawah pohon rindang.
"Tidak. Aku tidak boleh
mendekatinya!" kata Sungko kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap
di sini.
Aku tak boleh tergoda!"
Kata hati berucap begitu,
tapi kaki tetap
melangkah mendekati Perawan
Sesat. Sungko bagai terkena kekuatan gaib yang membuat dirinya melangkah tanpa
disadari. Ketika ia sadar, ia sudah berada di depan Perawan Sesat dalam jarak
satu langkah ke depan.
Sungko makin terpaku di
tempat ketika belahan baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat.
Suara tawa pelan dari
Perawan Sesat menghadirkan nada serak-serak menantang birahi. Tentu Sungko
bertambah gemetar kedua lututnya.
"Lepaskan pakaianmu,
Sungko," kata Perawan Sesat dalam desah serak yang enak didengar di
kesunyian tempat itu.
"Tidak," kata hati
Sungko. "Aku tidak boleh melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan
godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku murid Perguruan Merpati
Wingit! Aku harus tunjukkan belapatiku kepada perguruan!"
Hati berkata begitu tapi
tangan tetap saja bergerak melepasi pakaiannya. Sampai akhirnya Sungko
menyadari bahwa dirinya telah polos tanpa selembar benang pun. Ia buru-buru
menutup bagian tertentu dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan
mulut melongo. Kepalanya celingak-celinguk ke kiri kanan dengan malunya,
"Lepaskan...! Lepaskan
tanganmu, Sungko...!"
"Aku tidak mau!"
sentak Sungko. Matanya menatap pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat
berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil melepaskan kedua
tangannya.
"Aku tahu, kau inginkan
sesuatu dariku!" kata Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko,
dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap rambut kepala Sungko sambil
bicara.
"Kau butuh kenikmatan
saat ini juga, Sungko?!"
Pemuda itu tak bisa menjawab
tapi ia anggukkan kepalanya.
"Akan kuberi kau
kenikmatan segunung besarnya.
Tapi ke mana arah
perguruanmu itu? Aku butuh mengantarmu pulang."
"Ke... ke arah barat.
Ikuti saja sungai berbatu-batu dan kau akan temukan bangunan besar berpagar
tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit," jawab Sungko bagai tak
sadar.
"O, bagus sekali! Kalau
begitu, sekarang tiba saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah, pejamkan
matamu, Sungko!"
*
* *
8
MANUSIA Sontoloyo sengaja
menghajar Peri Malam dengan tangan kosong. Sebuah tendangan disentakkan miring
ke arah wajah Peri Malam. Tangan perempuan bertahi lalat di sudut dagu kanannya
itu mengibas sentak ke arah samping. Tendangan itu meleset dari sasaran. Tapi
kejab berikutnya Dirgo Mukti berbalik dan kaki satunya lagi berkelebat ke
belakang.
Plook...!
Wajah Peri Malam telak-telak
terkena tendangan keras itu. Walau tak bertenaga dalam, namun sempat membuat
Peri Malam terhuyung-huyung tiga tindak.
Setelah berhasil menendang
wajah Peri Malam, Dirgo segera hentikan gerakan. Napasnya tetap teratur walau
ia telah lakukan banyak gerakan.
"Ini sebuah pelajaran
berharga untukmu, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti dengan menahan kedongkolan
hatinya. "Lain kali, jangan suka ikut campur urusan orang!"
"Aku tidak rela kau
mengaku-ngaku sebagai Suto!"
"Apa urusanmu?!"
sanggah Dirgo dengan kerutkan dahi.
"Nama itu nama
terhormat. Tak pantas dipakai oleh orang berpenyakit kudis seperti kamu!"
ejek Peri Malam.
"Heh...," Dirgo
tertawa satu sentakan. "Nama Suto Sinting kok dikatakan nama terhormat!
Menurutku namaku lebih terhormat daripada nama Suto Sinting!"
"Tutup bacotmu!"
sentak Peri Malam dengan kasar.
Serta-merta ia jejakkan kaki
dan melayang menyerang dengan tendangan bertenaga dalam. Tendangan itu
dihindari oleh Dirgo Mukti dengan cara merundukkan kepala. Tubuh Peri Malam
lewat di atas kepala Dirgo, dan tangan Dirgo bergerak nakal ke atas bagai
mencomot buah jambu.
"Aaauw...!" jerit
Peri Malam kaget karena sesuatu yang disembunyikan selama ini tercomot oleh
tangan Dirgo.
"Sontoloyo kotor!"
sentaknya marah.
Kemudian tangan kirinya
disodokkan ke depan dalam keadaan menggenggam. Pukulan bertenaga dalam melesat
tanpa menyentuh sasaran. Gelombang tenaga itu meluncur kuat ke arah Dirgo.
Secepatnya Dirgo melompat menghindari, tapi sentakan tangan kedua dari Peri
Malam berhasil mengenai sasaran.
Beegh...!
Tubuh Dirgo Mukti tersentak
ke belakang dan kedua kakinya sempat terangkat sedikit dari tanah. Ia merasa
seperti diseruduk seekor banteng mabuk. Dadanya sedikit terasa sesak dan
tubuhnya jatuh terhempas di pasir pantai.
"Ini sebuah pelajaran
berharga untukmu, Dirgo,"
kata Peri Malam mengutip
kata-kata Dirgo tadi. "Lain kali jangan coba-coba berani memegang bagian
terlarang dari tubuhku!"
Dirgo bangkit dengan menarik
napas panjang-panjang. Ia sunggingkan senyum meremehkan dan berkata,
"Kalau begitu, aku
boleh pegang tubuhmu yang tidak terlarang!"
"Semua tubuhku
terlarang dipegang oleh tanganmu!" sentak Peri Malam dengan
bersungut-sungut cemberut. Ia palingkan wajah kembali menatap Dirgo dan
berkata,
"Hanya Suto yang boleh
memegangnya!"
Benci sekali Dirgo jika
mendengar nama murid sinting si Gila Tuak itu disebutkan oleh Peri Malam.
Rasa-rasanya ia menjadi
sangat rendah jika dibandingkan dengan Suto. Panas hati mendengar ucapan Peri
Malam tadi membuat Dirgo ucapkan kata pedas,
"Lelaki hina macam dia
tak patut disebut namanya di depanku!"
"Aku akan menyebutnya
setiap saat. Karena Suto memang seorang pendekar tanpa tanding yang layak
namanya diagungkan!"
"Dia tidak pantas
bergelar pendekar!"
"Dia lebih pantas dari
pada kamu!" bantah Peri Malam dengan nada makin tegas dan keras.
Mulut Manusia Sontoloyo
mencibir, "Hanya kebetulan saja dia pernah belajar silat dari si Gila
Tuak, lantas orang kasih gelar pendekar padanya!
Sebenarnya dia tidak punya
isi apa-apa! Kosong melompong seperti rumah keong!"
Peri Malam tidak suka
mendengar Suto diremehkan.
Ketus nadanya ia bicara pada
Dirgo Mukti.
"Kau bilang dia kosong,
tapi kau tak bisa memukulnya! Hmm...! Pendekar tidak bisa memukul lawan, itu
namanya bukan pendekar, pendekar, yang kerjanya tarik dokar ke mana-mana!"
"Aku bukan kusir!"
"Iya. Tapi kau
kudanya!" sentak Peri Malam.
Wuug...! Sebuah tendangan
bertenaga dalam kali ini dilancarkan oleh Dirgo. Secepatnya Peri Malam
sentakkan tangan kanan menyamping dengan kekuatan tenaga dalam juga.
Breeg...!
Kedua tenaga dalam itu
bentrok. Peri Malam berhasil membuang ke arah samping kanannya. Di sana ada
batu, dan batu itu pecah menjadi empat bagian.
Peri Malam palingkan pandang
ke arah Dirgo.
Ternyata kedua tangan Dirgo
sudah angkatkan sampai batas pundaknya. Jari-jarinya mekar mengeras, kedua
kakinya merendah. Lalu tangan kanan berkelebat ke depan dengan membengkokkan
pergelangan tangannya.
Melalui punggung telapak
tangan itu, Dirgo lepaskan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.
"Haiit...!" Peri
Malam sentakkan tangannya ke depan dada dalam keadaan jari-jari lurus ke atas.
Dari sisi telapak tangan keluar cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu melesat dan
meledak di pertengahan jarak.
Duaaar...!
Dirgo Mukti berguncang
tubuhnya akibat sentakan ledakan tadi. Tapi Peri Malam terlempar dua langkah
jauhnya akibat sentakan ledakan tersebut. Ia jatuh dalam posisi miring, lalu
segera berguling.
Kemarahan Dirgo Mukti karena
dibandingkan oleh Suto belum habis. Ia masih ingin menghajar Peri Malam yang
menurutnya dianggap sebagai perempuan lancang mulut.
Pada saat Peri Malam
bergegas bangkit, sebuah pukulan bertenaga tinggi melesat melalui dua totokan
jari tangannya. Pukulan itu mempunyai cahaya sinar merah api. Wuuusss...!
Slaaap..! Duaar...!
Peri Malam terkesiap
mendapat serangan sinar merah api. Ia baru saja ingin melompat menghindari.
Tapi sinar api itu meledak
di pertengahan karena datangnya sinar hijau bening dari arah pepohonan tepi
pantai.
Dirgo Mukti cepat palingkan
wajah memandang ke arah pepohonan, begitu pula halnya dengan Peri Malam. Lalu,
keduanya sama-sama lihat kemunculan seorang lelaki berpakaian serba coklat
dengan menenteng bumbung tuaknya. Siapa lagi dia kalau bukan Suto Sinting,
murid si Gila Tuak?
"Suto...!" pekik
Peri Malam kegirangan.
Suto melangkah dengan santai
dan tersenyum-senyum kepada Dirgo. Tapi arah langkahnya menuju ke Peri Malam,
membuat Dirgo menjadi semakin dongkol.
"Suto...! Syukurlah kau
tahu aku di sini..!" Peri Malam memeluk tanpa canggung-canggung lagi. Suto
pun memeluk Peri Malam karena ingat perjuangannya mempertahankan Tuak Setan
dari tangan si Mawar Hitam.
"Jahanam!" geram
Dirgo Mukti dengan pelan.
Kemudian ia segera kirimkan
kembali pukulan bertenaga tinggi melalui kedua jari tangan yang disentakkan ke
depan. Sinar merah api menyala lagi dan melesat ke arah Suto dan Peri Malam
yang masih berpelukan hangat.
Walau dalam keadaan sedang
berpelukan, namun mata Suto bisa melihat kilasan sinar merah api menuju ke
arahnya. Ia tidak melepaskan pelukan itu, melainkan hanya menggeser bumbung
tuaknya ke samping kiri Peri Malam, dan sinar merah api itu menghantam bumbung
tuak dengan suara lirih, deeg...! Lalu, melesat kembali ke arah semula tanpa
padamkan sinarnya.
Melihat sinar merah api
kembali ke arahnya, Dirgo tercengang kaget dan buru-buru melompat ke arah
samping dengan satu sentakan ujung jempol kakinya.
Wuuttt...!
Sinar merah api itu lewat ke
tempat kosong. Tapi pada akhirnya membentur tebing karang yang agak jauh dari
tempat mereka. Benturan itu membuat karang meledak.
Blaarr...!
Sebagian tebing karang
menyembur dalam
pecahan, sisanya berguguran
jatuh di perairan laut.
Ombak menelan guguran karang
tersebut, membuat mata Dirgo masih terasa memandanginya.
"Dari mana kau tahu aku
di sini?"
"Ada kemungkinan kau
rindu pada gurumu dan berusaha menatap Pulau Hantu dari sini," jawab Suto
dengan tenang, seakan ia tidak melihat keberadaan Dirgo Mukti di sebelah sana,
dalam jarak tujuh langkah.
"Memang aku rindu pada
guruku, tapi aku tak berani pulang ke sana. Itu sama saja aku menyerahkan nyawa
kepada Guru!"
Makin panas hati Dirgo
melihat tangan Peri Malam merapi-rapikan pakaian Suto. Ia segera mengirim
pukulan bertenaga tinggi dari jarak jauh tanpa rupa.
Pukulan itu diarahkan ke
bagian kaki. Karena Dirgo Mukti sengaja ingin membuat kemesraan itu jadi
berantakan dengan tubuh berjungkir balik tak karuan.
Maka, tangan kirinya pun
menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka dan jari-jarinya mengarah ke
bawah.
Gelombang pukulan jarak jauh
itu bagai merayap di atas permukaan tanah. Pada saat itu, Suto sedang mencubit
pipi Peri Malam dan berkata,
"Kupikir kau mati kena
pukulan gurumu sendiri.
Ternyata kau masih hidup dan
semakin nakal!"
Duug...! Kaki Suto
menghentak pelan ke tanah.
Gelombang pukulan jarak jauh
milik Dirgo itu berbalik arah dan lebih cepat serta lebih besar kekuatannya.
Dirgo Mukti merasakan
kembalinya pukulan itu, hingga ia perlu secepatnya berkelit pindah tempat.
Namun ia terlambat bergerak.
Pukulan itu sudah lebih dulu menghantam bagian kakinya hingga membuat tanah
menyembur naik. Dirgo Mukti
terpelanting bagai
dilemparkan ke atas. Ia kurang menjaga keseimbangan tubuhnya akibat rasa
kagetnya tadi. Maka, mau tak mau ia pun jatuh bergedebuk di atas tanah
berpasir.
Suara bergedebuk itulah yang
membuat Peri Malam sadarkan diri dan cepat palingkan wajah ke arah Dirgo.
Suto pun palingkan wajah ke
sana sambil tersenyum.
Peri Malam merasa heran
melihat Dirgo bagai orang pontang-panting tanpa sebab. Perempuan itu pun
bertanya pelan, tujuannya kepada Suto.
"Kenapa dia?"
"Entahlah! Mungkin
encoknya kambuh!"
Dirgo yang mendengar jawaban
itu segera
menyentak dengan segunung
kedongkolan di dalam hatinya.
"Encok gundulmu!"
"Hei, sopan sedikit
bicara dengan seorang pendekar!" Peri Malam bernada galak mengingatkan
Dirgo Mukti. Makin panas hati Dirgo jadinya.
"Kalian yang tidak tahu
sopan! Main peluk di depanku!"
Peri Malam maju setindak
dengan tolak pinggang kiri, "Ih, kami mau main peluk atau main mata itu
hak kami? Tak perlu harus hiraukan kamu! Kenapa kamu marah? Kalau merasa kurang
terima, majulah sini...!
Biar kuremukkan seluruh
gigimu itu!"
Dirgo mendengus kesal dan
membatin "Hmmm...!
Terang saja dia berani
bilang begitu karena di belakangnya ada Suto. Pemuda itu benar-benar bangsat!
Kuserang dua kali dengan sembunyi-sembunyi masih juga bisa membalikkan
seranganku. Kurasa memang dia punya ilmu sedikit lebih tinggi dariku.
Rasa-rasanya aku perlu
memperdalam juru jurusku lagi, dan mempelajari jurus 'Cakar Naga' secepatnya.
Akan kulawan ilmunya dengan 'Cakar Naga'-ku pada pertarunganku kelak di Bukit
Jagal!"
Tanpa mau bikin perkara
lagi, Dirgo segera angkat kaki dari tempat itu. Ia melesat tanpa pamit dengan
cepatnya. Peri Malam mau mengejar, tapi tangannya ditahan oleh Suto. Dan ia
senang sekali mendapat sentakan menahan dari Suto. Hatinya bangga, seakan dirinya
sangat dikhawatirkan oleh Suto.
"Biar kukejar
dia!" Peri Malam memancing sikap.
"Jangan. Tak
perlu!" kata Suto dengan kalem.
"Kalau tidak kukejar
dan kuremukkan dia masih tetap akan menggangguku terus!"
"Jauhi dia supaya tidak
diganggu olehnya," kata Suto yang kedengaran lebih kalem sekarang dari
pada dulu. Sebab sekarang Suto memang menyadari bahwa di dalam tubuhnya sudah
bermukim Pusaka Tuak Setan.
Kalau dia mengumbar nafsu
kemarahan, bisa-bisa napasnya menyemburkan badai yang sangat dahsyat dan membawa
korban tak bersalah.
Sikap tenang dan kalem itu
membuat Peri Malam semakin menyukai Suto. Menurut pandangannya, Suto semakin
menarik saja. Hatinya kian ditumbuhi bunga rimbun jika bertatap pandang dengan
pendekar tampan itu. Rasa-rasanya pelukan yang tadi dilakukan Suto akan
membekas selamanya dan meresap hangat sepanjang masa di dalam hati.
Tiba-tiba Manusia Sontoloyo
itu tampakkan diri kembali dengan sebuah seruan dari atas batu karang berjarak
antara lima belas langkah di belakang Suto.
"Sutooo...!"
Peri Malam dan Suto
sama-sama memandang. Peri Malam denguskan napas tanda kesal hatinya.
"Hah...! Dia lagi, dia
lagi...!"
"Dengar, Suto...!"
seru Manusia Sontoloyo. "Ada seorang perempuan cantik mencarimu. Dia
bernama Perawan Sesat! Sekarang sedang menuju ke Perguruan Merpati Wingit
karena menyangka dirimu ada di sana!
Dia membutuhkan kamu dan
ingin membawamu pergi!"
"Jangan dengarkan
omongannya!" sentak Peri Malam mulai cemburu dan waswas. Ia sentakkan pula
tubuh Suto agar berpaling memandang ke arahnya. Tapi kepala Suto masih kembali
palingkan pandang ke arah Dirgo Mukti, sebab Dirgo masih lanjutkan seruannya.
"Hati-hati, dia berilmu
tinggi! Mungkin akan membabi buta mengamuk jika kamu tidak mau ikuti dengannya!
Satu lagi, dia adalah perempuan cantik yang menggairahkan! Dia lebih cantik
dari Peri...!"
Wuuus...! Duaar..!
Kata-kata Dirgo tak
terlanjutkan karena Peri Malam mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang lebih
bertenaga dalam tinggi lagi. Pukulan itu bersinar biru dan melesat jauh ke
tempat Dirgo. Tapi Dirgo cepat menghindar dan menghilang, hingga sinar biru itu
mengenai batu yang dipakai pijakan kaki Dirgo Mukti.
Batu itu pun meledak menjadi
serpihan-serpihan lembut.
"Jangan dengarkan
celoteh si Gila Sontoloyo itu!"
ucap Peri Malam dengan
cemberut kesal.
"Perawan
Sesat...?!" gumam Suto dengan kerutkan dahi.
"Lupakan tentang
perempuan itu!"
"Apa kau kenal dia?"
"Tidak. Tapi aku tadi
melihat dia bercumbu di sebelah sana dengan Dirgo. Tadi kudengar Dirgo mengaku
sebagai dirimu. Lalu, aku keluar dan membeberkan rahasianya. Dirgo ditinggalkan
oleh Perawan Sesat. Aku salah ucap tadi. Untuk meyakinkan perempuan itu,
kukatakan bahwa Suto yang asli ada di Perguruan Merpati Wingit. Lalu dia
bergegas kesana mencarimu dengan meninggalkan kemarahan kepada Dirgo Mukti!
Sudahlah, jangan pikirkan tentang dia!"
Peri Malam merajuk manja.
"Aku tidak memikirkan
dia, tapi memikirkan orang-orang Perguruan Merpati Wingit! Mereka bisa jadi
korban tak bersalah jika benar perempuan itu mengamuk karena tidak menemukan
aku di sana!"
"Itu urusan orang-orang
Merpati Wingit! Bukan urusanmu!"
"Aku pernah ditolong
oleh mereka. Kau pun diselamatkan dari luka dalammu oleh mereka! Tak bisa kita
berdiam diri begini saja!"
"Aku tak setuju kalau
kau kembali ke Merpati Wingit!"
"Aku harus kembali ke
sana!" Suto bergegas melangkah, tapi segera Peri Malam melompat dan cepat
menghadang langkah Suto.
"Jangan ke sana,
Suto!"
"Aku hanya ingin
melihat apa yang dilakukan perempuan yang tak kukenal itu!"
"Kau pasti akan kembali
kepada Betari Ayu!" nada cemburu makin tampak jelas dari raut muka Peri
Malam.
"Aku memang harus
kembali kepada Nyai Betari Ayu untuk menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan perempuan yang bernama Perawan Sesat itu!" "Tidak!
Kamu tidak boleh ke sana! Betari Ayu akan semakin kegirangan jika kau datang.
Aku tahu dia mencintaimu, Suto!"
"Itu hak dia! Aku tak
bisa melarang!"
"Tapi kau melayaninya!
Kau tidur dengannya dan...."
"Cukup! Urusan itu kita
bicarakan nanti saja!
Sekarang aku mau ke sana dan
jangan halangi aku!"
"Tidak boleh!"
Peri Malam rentangkan kedua tangannya.
Suto nekat sentakkan kaki
dan melesat pergi menabrak tubuh Peri Malam. Akibatnya perempuan itu
terjengkang ke belakang dan jatuh di atas tanah berpasir. Ia segera bangkit begitu
melihat Suto sudah lenyap dari pandangan matanya. Ia berseru,
"Sutooo...! Tunggu! Aku
ikut...!"
Karena pada saat itu
terlintas dalam pikiran Peri Malam, jika ia tidak ikut mengawasi Suto,
bisa-bisa hubungan Suto dengan Betari Ayu semakin lengket. Ini membuat ia
kehilangan kesempatan untuk
menempatkan cintanya di
samping hati Suto. Ia harus mencegah hubungan itu agar tidak selengket karet.
Kelebatan Suto memang susah
diikuti. Tapi Peri Malam masih bisa menggunakan penciumannya melalui udara. Bau
keringat Suto telah melekat dalam ingatannya. Bau keringat Pendekar Mabuk yang
mengandung tuak itulah yang menjadi penuntun Peri Malam untuk menyusul
kepergian Suto.
Suto sendiri tidak peduli
apakah dia diikuti Peri Malam atau tidak. Tetapi yang jelas firasatnya
mengatakan ada yang tak beres di Perguruan Merpati Wingit. Firasat itu semakin
kuat setelah di perjalanan Suto menemukan tiga kuda tanpa penunggang. Bahkan ia
menemukan mayat Murbawati dan Widarti terkapar di sekitar kuda itu.
"Gila! Ini pasti
perbuatan Perawan Sesat. Mungkin mereka bertemu dan didesak mengenai tempat
perguruan mereka namun tidak mengaku, akibatnya mereka dibunuh secara keji!
Hmmm...! Siapa perempuan yang mengaku berjuluk Perawan Sesat itu?
Tak pernah kudengar
namanya!" kata Suto sambil matanya memandang ke sana-sini.
Saat itu Peri Malam datang
menyusul. Ia ikut terperanjat kaget melihat dua nyawa amblas dari raga dua
orang dari Merpati Wingit yang kala itu dikenal pula olehnya. Peri Malam
memandang Suto dan berkata dengan nada pelan.
"Ada tiga kuda. Tapi
mengapa hanya ada dua mayat? Pasti ada satu lagi yang menjadi korban!"
"Ya. Benar. Lihatlah ke
arah bawah pohon sana...!"
Peri Malam terkejut melihat
mayat Sungko dalam keadaan tanpa selembar benang di tubuhnya. Mayat Sungko biru
legam sekujur tubuhnya, pertanda dihantam dengan pukulan tenaga dalam cukup
tinggi.
*
* *
9
PERAWAN Sesat sungguh
perempuan yang ganas.
Dia ibarat iblis cantik
berdarah dingin. Siapa pun yang menghalangi langkahnya, dibabatnya habis.
Repotnya lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi. Sukar dijatuhkan lawan.
Ketika ia menemukan
Perguruan Merpati Wingit, ia dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang. Kedua
penjaga itu melarang dia masuk. Tanpa banyak berdebat, kedua penjaga pintu
gerbang itu dihantam secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak bernyawa.
Brakkk...! Pintu gerbang Itu
didobraknya dengan sebuah tendangan berkekuatan tinggi. Pintu gerbang itu bukan
hanya membuka, namun juga terlepas dari engselnya dan sempat terbang sampai
tujuh langkah jauhnya dari pintu.
Suara gaduh itu membuat mata
para murid Merpati Wingit terperanjat dan terbelalak kaget. Sosok penampilan
yang berambut awut-awutan dengan pedang gading di punggung, mata tajam, wajah
angker, jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus segera diatasi.
Beberapa murid mengepung
Perawan Sesat. Tak ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat. Ia bahkan
berseru,
"Mana yang namanya
Suto! Aku butuh bertemu dengan Suto!"
Salah seorang dari wakil
para murid itu berkata, "Di sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah
pergi!"
"Dusta!" sentak
Perawan Sesat. "Kudengar dia berada di sini dalam perawatan lukanya!"
"Tidak ada! Keluar kau
atau kami rajang-rajang tubuhmu!" bentak salah satu wakil dari para murid.
"Aku tak akan pergi
sebelum membawa Suto!"
"Bedebah kau!
Seraaang...!"
Serentak para pengepung
menyerang Perawan
Sesat. Mulanya mereka belum
menggunakan senjata.
Namun, ketika kedua tangan
Perawan Sesat
disentakkan ke samping
dengan satu kekuatan tinggi, para penyerang itu berjumpalitan. Ada yang
terlempar sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik ke atas dan jatuh dalam
keadaan patah lehernya. Ada pula yang langsung menyemburkan darah kental dari
mulutnya. Pendek cerita, satu kali gebrakan delapan nyawa melayang.
Melihat delapan korban jatuh
akibat gebrakan Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut pendek
sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah maju ke depan. Ia memberi
isyarat agar para murid tidak menyerang. Orang itu adalah wakil dari Murbawati
selama Murbawati pergi. Mereka tak tahu bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah
menjadi mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu.
Perempuan yang tampil lebih
kalem itu adalah Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati.
"Siapa kamu dan mengapa
mengamuk di wilayah kami?"
"Tak perlu kau tahu
siapa aku! Yang penting, aku harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila
Tuak itu!" "Suto sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Memang mulanya dia
kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia pergi dari sini! Dia memang bukan
murid perguruan kami," tutur Suryadani dengan lebih kalem dan sabar.
"Aku perlu
membuktikannya!" kata Perawan Sesat dengan mata memancarkan kesan angker.
"Dengan cara apa kau
mau membuktikannya?""
"Menggeledah tempat
ini!"
"O, ini tempat
terhormat! Tak bisa seenaknya kau mengacak-acak tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus
memaksa untuk menggeledah tempat ini!" sentak Perawan Sesat.
"Kalau kau memaksa
begitu, maka aku pun memaksa bertindak keras!" Suryadani tak mau kalah
gertak.
"Bagus!" Perawan
Sesat melangkah ke samping dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara
semakin bermusuhan,
"Menyingkirlah, aku
akan menggeledah tempat ini.
Atau berikan Suto supaya aku
cepat pergi dari sini!"
"Tak ada Suto. Tak mau
menyingkir!"
"Berarti kau memang
cari mampus! Hiaaat...!"
Perawan Sesat hanya
membentak dengan kaki
menghentak kuat ke tanah,
tangan terangkat ke atas.
Belum lagi ia maju
menyerang, Suryadani sudah tumbang karena gelombang bentakannya yang
mempunyai kekuatan tenaga
dalam cukup besar itu.
Suryadani segera bangkit
berdiri dan membatin,
"Suaranya tak seberapa
keras, tapi gelombang kekuatan tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku
berdarah...?!"
Suryadani memegangi cairan
yang mengalir ke pipi kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari telinganya.
Kemudian dia memegang bagian depan hidung. Darah juga mengalir walau tak
banyak.
"Aku harus hati-hati
dengannya," pikir Suryadani.
"Majulah kalau kau
memang ingin mengusirku!"
sentak Perawan Sesat. Maka,
Suryadani pun melompat maju tiga langkah. Ia segera mencabut keris yang
terselip di pinggang kiri.
Srettt...!
Baru saja keris dicabut,
Perawan Sesat
menghantamkan pukulannya
dari jarak jauh melalui sentakan tangan kirinya. Wuusss...!
Krak...!
Keris itu patah tiga tempat.
Suryadani terperangah kaget. Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa
bikin lawan terbeset perutnya. Tapi mengapa sekarang semudah itu dipatahkan
oleh lawannya tanpa disentuh sedikit pun.
Keris yang tinggal sisa
gagangnya yang digenggam itu segera dibuang. Suryadani sentakkan ujung kakinya
dan melesat naik ke udara. Bertepatan dengan itu, Perawan Sesat pun sentakkan
kakinya tanpa suara, dan melesat naik tanpa maju. Ia hanya menunggu serangan di
atas.
Suryadani lancarkan pukulan
gandanya. Wuuttt, wuuttt...!
Plak, plak...! Pukulan ganda
bisa ditangkis oleh telapak tangan Perawan Sesat. Sebelum mereka bergerak
turun, tangan Perawan Sesat menghantam kuat di dada Suryadani. Bagh...!
"Aahg...!"
terpekik Suryadani dengan suara tertahan.
Ia jatuh ke tanah, rubuh tak
berkutik selain hanya mengucurkan darah kental dari mulutnya. Pukulan di dada
itu membekas hangus bagai habis terbakar api yang maha panas. Perawan Sesat
segera sentakkan kaki menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu.
Tubuh tersebut terjerembab
dan telentang, kemudian meregang nyawa. Mati.
Melihat Suryadani tak
bernyawa lagi, para murid sempat terbelalak kaget. Salah seorang memberi
aba-aba. "Kepuuung...!"
Lebih dari lima belas murid
mengepung Perawan Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan
penyerangan serempak, terdengar suara bijak berseru dari depan bangunan joglo
itu.
"Minggir
semua...!"
Perintah pelan itu ditaati
oleh para murid Merpati Wingit. Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan Sesat
menatap seraut wajah ayu berjubah kuning dengan ikat kepala dari kain merah
berbintik-bintik kuning emas. Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya mempunyai
logam seperti mata tombak ukuran kecil.
Perempuan ayu itu tak lain
adalah Nyai Betari Ayu, guru dan ketua di situ.
"Selamat datang di
perguruan kami!" sapa Nyai Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang
Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak.
Matanya teduh memandang mata
liar Perawan Sesat.
"Tak perlu basa-basi
padaku! Yang kubutuhkan adalah Suto!"
"Kalau tak salah
penglihatanku," kata Betari Ayu,
"Kau adalah murid Nyai
Lembah Asmara yang berjuluk Perawan Sesat."
Terkesiap mata Perawan
Sesat. Sedikit menyipit dia memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke
atas itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun sikapnya masih jelas
bermusuhan.
"Kau kenal dengan
guruku?"
"Jelas kenal! Apa
gurumu tak pernah bercerita tentang Nyai Betari Ayu...?"
"Ya. Pernah. Beliau
pernah punya teman bernama Nyai Betari Ayu!"
"Itulah aku!"
"Oh...?!" semakin
mengendur kekerasan urat tangan Perawan Sesat. Semakin surut kebengisan di
wajahnya.
Tapi kewaspadaannya masih
tetap tinggi. Terbukti ketika salah seorang murid membokongnya dengan
melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan Sesat segera sentakkan
jempol kakinya dan ia melesat ke atas lalu putarkan tendangan dengan cepat.
Tendangan itu membuat pisau
terbang melesat balik dengan cepat sekali, dan menancap di leher pemiliknya.
"Aaahg...!"
terdengar suara pekik tertahan dari si pembokong.
Untuk beberapa saat suasana
hening kembali setelah suara rubuhnya si pembokong. Perawan Sesat kembali
berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari Ayu. Kala itu Betari Ayu hanya
sipitkan mata melihat anak muridnya rubuh tertancap pisau. Betari Ayu hanya
tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan.
"Perawan Sesat,
pulanglah dan sampaikan salamku kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"
"Guruku akan menerima
salammu kalau aku pulang bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"
"Suto tidak ada di
sini, Perawan Sesat!"
"Aku belum percaya jika
belum menggeledahnya!"
"Gurumu pasti
percaya!" seraya Betari Ayu sunggingkan senyum.
"Guru boleh percaya,
tapi aku tidak semudah itu mempercayaimu!"
"Aku keberatan jika kau
menggeledah tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus
memaksanya!"
"Aku akan
bertahan!"
"Kau akan kehilangan
nyawamu, Betari Ayu!"
"Apa boleh buat demi
pertahankan martabat perguruan!"
Perempuan berpedang gading
itu mendengus kesal.
Ia membatin, "Hmm...
kalem-kalem tapi nyalinya besar juga orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru
akan menyalahkan aku? Ah, kurasa tidak! Karena tugasku adalah merebut Suto dari
tangan siapa pun!"
Betari Ayu sendiri sedang
mencari jalan agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya
Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai.
Mungkin karena didikan dari
gurunya yang pantang melepaskan lawan jika sudah beradu pandang.
"Perawan Sesat, apakah
artinya kau mengobrak-abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau
hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan gurumu! Padahal aku sudah bertahan
sabar untuk tidak merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya kusewakan kepada
gurumu, tapi sekarang agaknya mau dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku,
sudahlah...
jangan kita bersitegang
untuk masalah yang tidak penting!"
"Kehadiran Suto di
depan Nyai Guru Lembah Asmara adalah hal yang sangat penting!" jawab
Perawan Sesat.
"Apakah gurumu dalam
keadaan sakit?"
"Tidak. Tapi Guru
membutuhkan keturunan. Dia butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki
tanpa pusar!"
"Aneh!" Betari Ayu
kerutkan dahi.
"Memang aneh. Tapi itu
bukan urusanmu. Itu urusan pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi
urusan pribadi guruku!"
"Aku tidak menghalangi.
Kalau di sini ada Suto, silakan bawa sendiri pemuda Itu. Tapi kurasa Suto akan
menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah Sariningrum
namanya...!"
Perawan Sesat diam termenung
sebentar. Lalu, matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia berkata
bagaikan menggumam,
"Jangan kau dustai
diriku, Betari Ayu!"
"Tidak ada dusta dalam
mulutku, Perawan Sesat!
Suto Sinting sangat
mencintai perempuan itu sehingga tak pernah mau bercinta dengan perempuan
lain!"
"Omong kosong! Tak ada
lelaki yang tak terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti
akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi pembibit keturunan Nyai Guru
Lembah Asmara!"
"Terserah. Itu urusanmu
dengan Suto. Tapi urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak ada di
sini!"
"Aku curiga kau
menyimpan di dalam kamar pribadimu!"
"Itu tidak benar!"
"Kalau begitu aku harus
masuk ke sana dan membuktikan!"
"Kau harus melewati aku
dulu, Perawan Sesat!"
"O, kau
menantangku?!"
"Karena kau menghendaki
pertarungan denganku!"
"Baik! Jangan menyesal
kalau nyawamu kucabut dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"
"Yang kusesali kalau
nyawaku tak bisa kau cabut!"
"Bersiaplah untuk mati
sekarang juga!"
"Aku sudah bersiap
sejak tadi!"
Perawan Sesat merasa semakin
ditantang. Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua-duanya.
Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga dalam yang amat besar menghantam
tubuh Nyai Betari Ayu.
Tapi dengan gerakan seperti
menari, Betari Ayu hadangkan tangan kanannya ke depan dada. Gelombang pukulan
yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan dada. Betari Ayu tetap berdiri
dengan kedua kaki merapat dan tangan kanan menahan di depan dada.
Wajahnya tak ada kekerasan
sedikit pun. Bahkan berkesan senyum tipis yang membikin Perawan Sesat menjadi
tambah penasaran.
Kedua tangan perawan gila
itu mendorong ke depan agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak membalik
arah. Ia bagaikan mendorong sebongkah batu sebesar gajah. Sekujur tubuhnya
menjadi keras.
Berkeringat di sekitar
kening dan lehernya. Tangannya gemetar jelas karena dorongan yang memerlukan
pengerahan tenaga itu. Sementara yang menahan hanya tenang-tenang saja. Tangan
kirinya berada di belakang, tangan kanannya tetap tegak dengan jari menghadang
ke atas.
Dalam satu kesempatan, Nyai
Betari Ayu melihat letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu sisi.
Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan seperti gerakan orang menari.
Dan, tubuh perempuan jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima langkah
jauhnya. Di sana ia rubuh dan terguling-guling bagai dihempas badai besar.
Murid-murid yang
memperhatikan adu tenaga
dalam itu menjadi tertegun
bengong melihat kehebatan gurunya. Tetapi murid yang ada di belakang gurunya
menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu menjadi berdarah. Tangan kiri itu
semenjak tadi menggenggam menahan kekuatan dorongan tenaga dalam lawan, sampai
kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak tangan. Maka basahlah tangan kiri itu
oleh darah merah segar.
Perawan Sesat merasa
mendapat lawan yang cukup tangguh. Ia segera bangkit dan mencoba
menghantamkan pukulan jurus
lain yang lebih berbahaya dari yang pertama tadi. Tetapi dengan badan sedikit
merendah dan tangan melambai bagai menebarkan bunga, pukulan Perawan Sesat
dapat dihantam balik.
Untuk kedua kali Perawan
Sesat terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling. Ia pun segera menggeram
kasar,
"Bangsat! Tak boleh
dibuat main-main orang itu!"
Perawan Sesat terpaksa
mencabut pedang
gadingnya itu. Srettt...!
Tiba-tiba angin badai datang bertiup di sekeliling wilayah perguruan itu.
Pedang tersebut ternyata bukan terbuat dari logam, melainkan terbuat dari
gading tanpa ukuran. Bentuknya pipih dengan bagian kedua sisinya tipis bak
pedang logam yang tajam.
Beberapa murid perguruan
berkerut dahi dan menyangsikan ketajaman pedang gadis itu. Sebagian dari mereka
sempat mencibir dan merasa aneh melihat pedang gading. Tetapi ketika pedang itu
ditebaskan ke depan, badai besar datang dengan cepatnya. Bukan hanya tubuh
manusia yang terpental, namun atap bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan
berantakan sebagian. Salah satu tiang penyangga atap patah.
Tubuh Nyai Betari Ayu juga
terpental hingga membentur dinding bangunan lainnya.
"Maju kau, Betari
Ayu...!" teriak Perawan Sesat dengan kedua tangan menggenggam gagang
pedang yang siap diayunkan lagi. Ia berdiri di tengah arena, memandang
orang-orang yang mengucurkan darah lewat lubang telinga, hidung, dan mulut.
Pada umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu berdiri lagi.
Darah juga keluar dari
lubang hidung, mulut, dan telinga Nyai Betari Ayu. Tapi ia masih mampu berdiri
dan melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali sutera itu. Ia
memutar-mutar tali kepala yang mempunyai logam runcing di ujungnya itu.
Wuung...!
Wuung...! Bunyinya
mendengung bagai jutaan lebah bergaung.
Tali sutera itu segera
dilepaskan dan meluncur ke arah Perawan Sesat. Ujung logamnya
memercik-mercikkan api melayang dengan berputar-putar. Namun semua itu segera
ditebas oleh pedang gading Perawan Sesat. Wuuussh...!
Tali itu terpental membalik
dalam putaran cepat.
Badai datang dari angin
tebasan pedang gading. Tubuh-tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali
terpental dan mengeluarkan darah pada tiap lubangnya.
Nyai Betari Ayu sempat
bertahan berdiri sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Pada saat itu tali ikat
kepalanya itu meluncur ke arahnya. Dengan sigap tangan diajukan ke depan dan
segera menyambar tali yang melesat cepat itu.
"Pusaka Jerat Petir ini
tidak mampu mengalahkan pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang
gading itu!" pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan berdiri. Tapi
kelemahan kakinya tak tertahankan hingga ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar
dari mulutnya.
"Keluarkan Suto atau
kuporak-porandakan tempat ini!" teriak Perawan Sesat. Ia siap kibaskan
pedang gadingnya lagi.
Tetapi pada saat itu,
sekelebat bayangan melintas di atas kepala Perawan Sesat. Hampir saja Perawan
Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera terperanjat melihat sosok pria
berpakaian coklat, menenteng tabung tuak di tangan kiri. Orang itu menatap
Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan senyum indah.
"Kau mencariku, Perawan
Sesat?"
Tak bisa cepat Perawan Sesat
menjawab, karena matanya segera terpaku pandang ke arah wajah tampan itu.
Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya pikat Suto yang sungguh membuat
tangannya gemetar.
Namun, rupanya Perawan Sesat
mencoba menentang batinnya sendiri. Ia masih berusaha untuk bersikap keras dan
ganas.
"Kaukah yang bernama
Suto Sinting?!"
"Tak salah dugaanmu,
Perawan Sesat."
"Kau harus ikut aku
menghadap guruku sekarang juga!"
"Aku tidak bisa sebelum
kau sembuhkan orang-orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang
mati!"
"Kalau begitu aku perlu
menyeretmu, Suto!"
"Jika itu yang terbaik
bagimu, lakukanlah!" Suto angkat bahu seakan pasrah.
"Kau tidak takut dengan
pedangku ini, Suto?!"
"Pedang apa?! Kau tidak
memegang pedang!"
Perawan Sesat mendongak ke
atas memandang
pedangnya. Ia terperanjat
setengah mati melihat pedang itu hilang lenyap tanpa bekas. Yang tinggal hanya
bagian gagangnya yang masih dengan kuatnya digenggam memakai kedua tangan.
Seketika itu wajah Perawan Sesat pucat pasi merasa kehilangan pedang. Ia tak menyadari
saat Suto melompati atas kepalanya, Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya.
Memang hanya sedikit, tapi punya kekuatan ilmu yang mampu menghilangkan benda
yang tersentuh percikan tuak itu.
Benda tersebut adalah pedang
gading yang kini hilang tak berbekas.
Pada saat mata Perawan Sesat
memandang
terkesiap melihat pedangnya
hilang, Suto
menyentakkan bumbung tuaknya
ke depan. Bumbung itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat.
Bumbung itu menyodok dada
Perawan Sesat dengan kerasnya. Buueeggh...!
'Heegh....'" Perawan
Sesat memekik tertahan, tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai
tempat pintu gerbang jatuh. Di sana tubuh itu rubuh tertindih tubuh Suto yang
tidak bisa mengendalikan tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya. Bruukkk...!
"Heeegh...!"
Perawan Sesat makin memekik tertahan karena tertindih tubuh Suto. Dan pada saat
itu meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang memejamkan mata menahan sakit.
Suto bergegas bangkit.
Perawan Sesat mengerang menahan rasa sakit di dadanya. Suto memperdengarkan
suara.
"Pulanglah dan jangan
coba-coba temui aku lagi di tempat ini!"
"Aku... harus pulang
bersamamu, Suto!"
"Tidak bisa!"
"Kau harus bertemu
dengan guruku!"
"Siapa gurumu
itu?"
Perawan Sesat diam sebentar,
lalu menjawab lirih.
"Dyah
Sariningrum...."
"Hah...?!" Suto
terpekik tertahan karena kaget.
Jantungnya pun
berdetak-detak, kakinya gemetar mendengar nama itu disebutkan.
"Beliau menunggumu sekian
lama. Ingin sekali bertemu denganmu!"
"Baik! Aku akan ke
sana! Aku harus berikan beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati
mereka yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat gurumu!"
Segera Suto melompat cepat
dan menemui Betari Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah cawan dan
menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari
Ayu bertanya,
"Kau sendiri mau ke
mana, Suto...?"
"Urusan pribadi, Nyai!"
jawab Suto menyembunyikan tujuannya.
Segera ia menemui Perawan
Sesat dan
mengajaknya pergi. Tapi
karena Perawan Sesat dalam keadaan luka parah di bagian dalam, maka Suto
terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan anak panah menuju
sasarannya.
"Sutooo...!"
teriak Peri Malam yang baru tiba di perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar
Suto walau harus tertinggal beberapa jauh.
SELESAI
Segera terbit!!! Serial
Pendekar Mabuk
Suto Sinting dalam episode:
Emoticon