ANGIN laut berhembus guncangkan dahan dan
dedaunan. Suara deru yang timbul dari hembusan angin itu menandakan di
tengah samudera telah terjadi badai lautan yang melemparkan
gulungan-gulungan ombak. Ketika sampai di tepi pantai, gulungan ombak
itu sudah menjadi anak ombak. Tak begitu besar, namun cukup kuat
berdebur menghantam bebatuan ataupun tebing karang.
Hembusan angin laut yang masih terasa kencang itu menerpa dua wajah
perempuan disela-sela hutan tepi pantai. Dua wajah itu sudah
semalaman berada di hutan tepi pantai menunggu mangsanya tiba.
Dua wajah perempuan yang masing-masing mempunyai nilai kecantikan
sendiri-sendiri itu tak lain adalah wajah Selendang Kubur dan wajah
Peri Malam.
Melihat dari bibir-bibir mereka yang tanpa seulas senyum, terlihat sikap bermusuhan mereka yang
terpendam untuk sementara waktu. Peri Malam sebentar- sebentar memandang
ke arah lorong kecil yang menyerupai gua, yang ada di atas
tebing karang tepi pantai. Lorong kecil itu hanya bisa dimasuki oleh
satu tubuh manusia dalam keadaan merangkak. Tapi sejak tadi, bahkan
sejak kemarin Peri Malam tidak melihat sosok tubuh keluar dari
lorong tersebut.
Selendang Kubur sering hembuskan napas bersama desah kekesalan hatinya.
Sudah cukup lama dipandangi lorong kecil itu, lalu ia palingkan
wajah kepada Peri Malam dan berkata dengan nada ketus,
"Mana orang itu?! Sampai sekarang belum juga muncul dari sana!"
"Jangan-jangan dia mati dibunuh Pendekar Mabuk di dalam lorong!" ucap Peri Malam dengan wajah bersungut-sungut.
"Atau mungkin angan-anganku yang mati dibunuh bualanmu!" Selendang
Kubur berkata begitu karena kecemasan di dalam hatinya
semakin kuat, yaitu kecemasan dipermainkan oleh Peri Malam.
"Kalau aku mau membual, tak perlu membual untukmu! Tak
pernah ada untungnya menebar bualan untukmu, Selendang Kubur!"
Debur ombak kembali terdengar bergemuruh panjang, lalu lenyap bagai
ditelan sepi. Selendang Kubur kembali merenungi peristiwa yang
membawanya terpatok di hutan tepi pantai itu. Semua itu terjadi gara-
gara perasaan cintanya terhadap murid sinting Si Gila Tuak, yaitu Suto
Sinting, Pendekar Mabuk. Kalau bukan
karena cinta yang begitu dalam. Selendang Kubur tak sudi menghadang kemunculan Nyai Lembah Asmara di hutan tepi pantai itu.
Seperti dikisahkan dalam cerita "Murka Sang Nyai" sebelum kisah ini,
bahwa Pendekar Mabuk terpedaya oleh tipuan Perawan Sesat yang
membuat Suto merasa gembira karena ingin dipertemukan dengan
kekasih idamannya yang bernama Dyah Sariningrum. Suto sudah telanjur
beranggapan bahwa Nyai Lembah Asmara yang berkuasa di lereng Bukit
Garinda itu adalah perempuan yang bernama Dyah Sariningrum, yang
wajahnya ditemukan Pendekar Mabuk di alam semadi, maupun di alam
mimpi. Tetapi, ternyata Pendekar Mabuk kecewa. Nyai Lembah Asmara
adalah perempuan yang tidak mirip sama sekali dengan Dyah
Sariningrum.
Suto terjebak dalam Racun Darah Asmara yang dimiliki oleh sang
Nyai itu. Pendekar Mabuk hanya ingin dijadikan pembenih bagi
keturunan sang Nyai. Dan hal itu membuat murka para perempuan yang
mencintai Suto. Maka, melabraklah Peri Malam, Selendang Kubur yang
dibantu oleh Pujangga Keramat dan Betari Ayu, guru dari Selendang
Kubur. Bukit Garinda diobrak-abrik oleh keempat orang itu. Sayang,
Pujangga Keramat tewas di tangan Maharani dan Putri Alam Baka, murid
Nyai Lembah Asmara sendiri.
Betari Ayu berhasil mendobrak pintu kamar peraduan yang menjadi tempat
kencan Nyai Lembah Asmara dan Pendekar Mabuk. Tetapi di dalam kamar itu,
Betari Ayu tidak menemukan Pendekar Mabuk maupun Nyai
Lembah Asmara. Rupanya Nyai Lembah Asmara sudah lebih dulu melarikan
Suto dengan menunda kencan birahinya yang telah menggebu-gebu
itu. Ke mana larinya, hanya Peri Malam yang bisa menduga, karena Peri
Malam pernah menjadi murid sekaligus pelayan kamar peraduan Nyai
Lembah Asmara. Menurut dugaan Peri Malam, kamar itu mempunyai pintu
rahasia yang tembus ke tepi pantai. Atau dugaan lain, Nyai Lembah
Asmara membawa lari Suto ke puncak bukit. Karenanya, tugas pun dibagi.
Peri Malam dan Selendang Kubur menghadang pelarian Nyai Lembah
Asmara ke pantai, dan Betari Ayu mencoba pengejarannya ke puncak
bukit.
Sayangnya Betari Ayu tidak segera menghubungi Peri Malam dan
Selendang Kubur untuk memberitahukan, bahwa ia sudah berhasil menemukan
Suto yang selamat dari ancaman Nyai Lembah Asmara. Peri Malam dan
Selendang Kubur tidak tahu hal itu, sehingga mereka berdua masih
tetap menunggu di dekat lorong tembus yang diduga akan menjadi ujung
pelarian Nyai Lembah Asmara dan Suto. Padahal saat itu Nyai Lembah
Asmara sudah dibawa lari oleh Si Mawar Hitam, nenek keriput peot
yang dulu menjadi guru dari Peri Malam.
Tentu saja penantian mereka adalah penantian yang sia-sia. Selendang
Kubur berulang kali melontarkan gerutu kejengkelannya, tapi Peri
Malam tak pernah mau peduli. Bahkan Peri Malam berkata,
"Kalau kau bosan menunggu, pergilah sana! Biar
kuhadapi sendiri Nyai. Kau pikir aku tak mampu merebut Suto dari tangan Nyai?!"
"Dan kau pikir aku tak mampu merebut Suto dari
tanganmu?!"
Peri Malam lemparkan pandang ke wajah Selendang Kubur dengan tajam. Ia
masih duduk dengan kaki kiri melonjor dan punggung bersandar pada batang
pohon tumbang.
Tatapan mata itu makin ditentang oleh mata Selendang Kubur. Ia tetap
berdiri dengan satu kaki menumpang di atas batang kayu tumbang,
sedangkan kaki satunya lurus berpijak tanah, badannya sedikit
membungkuk karena lengannya digunakan bertumpu pada paha kaki.
Setelah mereka saling pandang bermusuhan dan sama-sama bungkamkan
mulut, Peri Malam palingkan wajah ke arah lain sambil ucapkan kata,
"Kelak, suatu saat, aku yakin satu di antara kita ada yang terbunuh. Kau
membunuhku atau aku membunuhmu. Sebab tanpa ada satu yang kalah,
tak mungkin Pendekar Mabuk mengawini keduanya."
"Dan yang kalah itu adalah kamu!" kata Selendang Kubur berlagak acuh tak acuh, memandang dedaunan pohon di atas.
Terdengar suara tawa Peri Malam yang lirih, disusul oleh ucapan,
"Jangan merasa yakin dulu bahwa kau bisa membunuhku. Kau belum
menyadari betapa kecilnya ilmu yang kau miliki itu sebenarnya, betapa
ceteknya
kekuatanmu itu untuk melawanku. Sebenarnya kau memang bukan tandinganku."
Panas hati Selendang Kubur menyengat ubun-ubun.
Kedua tangannya telah menggenggam kuat, menahan luapan kemarahan
yang ingin dihajarkan ke wajah Peri Malam. Tapi agaknya Peri Malam
pun sudah siaga menghadapi serangan sewaktu-waktu. Posisi kakinya
yang dilipat dengan lutut tegak ke atas itu dapat menyambar
pukulan sewaktu-waktu. Mata Peri Malam pun tampak tajam melirik penuh
waspada.
"Sekali lagi kau memancing kemarahanku, kujadikan tempat ini sebagai
pertarungan kita yang terakhir!" ancam Selendang Kubur seraya
menurunkan kakinya yang bertengger di batang pohon tumbang.
Peri Malam hanya sunggingkan senyum tipis bernada sinis. Ia pun segera
bangkit dan melangkah dua tindak membelakangi Selendang Kubur sambil
berkata, "Kalau memang rasanya itu yang terbaik, mengapa harus tunda
pertarungan? Tak keberatan diriku menjadikan tempat ini sebagai
pertarungan kita yang terakhir!"
Sreet...! Selendang Kubur segera mencabut selendangnya dari pinggang.
Peri Malam cepat balikkan badan dan angkat kedua tangannya ke
atas, siap lancarkan pukulan jarak jauhnya.
"Cobalah serang aku kalau kau ingin kehilangan nyawa secepatnya!" gertak Selendang Kubur.
"Kau sendiri tak berani menyerangku, karena aku tahu kau takut kehilangan nyawamu!"
"Keparat kau! Hiaah...!"
Wuuut...!
Kain selendang dikibaskan ke depan. Gerakannya begitu cepat
bagaikan seekor ular yang gesit mematuk mangsanya. Tapi pada saat itu,
Peri Malam tak kalah gesit. Ia keraskan tangan kanannya dengan
jari-jari terbuka, ia sentakkan ke depan dan melesatlah suatu
kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Weeegh...!
Selendang Kubur sentakkan ujung kakinya hingga tubuhnya melesat
naik lurus ke atas dan hinggap di salah satu dahan pohon. Peri Malam
juga sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat lurus ke atas, lalu
hinggap di salah satu dahan dalam pohon itu juga. Keduanya
sama-sama menghindari pukulan, sehingga kedua pukulan bertenaga dalam
itu tidak mengenai sasaran, kecuali mengenai benda-benda lain di
sekitar mereka.
Peri Malam melihat pukulannya nyasar ke sebongkah batu dan batu
itu menjadi terbelah tiga bagian. Selendang Kubur melihat tenaga
dalam yang keluar dari ujung selendangnya mengenai bongkahan akar
pohon kering, dan akar pohon itu menjadi hangus seketika.
Kini keduanya sama-sama di atas pohon beda dahan. Keduanya sama-sama
siap lancarkan serangan lagi. Tapi sebelumnya Peri Malam berkata
dengan sungging senyum sinisnya.
"Kulunakkan pukulanku, karena aku masih memberimu kesempatan untuk
berpikir dalam menghadapiku. Sekali lagi kuingatkan, aku bukan lawan
tandingmu, Selendang Kubur!"
"Kupikir memang benar, aku bukan lawan tandingmu. Karena kau merasa
tak akan bisa mengungguli ilmuku, sehingga kau hanya bisa berkoar-
koar seperti itu sejak dulu!"
Hinaan balik itu membuat hati Peri Malam makin menggeram. Tapi hatinya berkata,
"Memang kuakui dia punya ilmu lumayan tinggi.
Kalau pertarungan ini kulakukan sekarang juga, aku atau dia yang kalah,
dan hal itu akan menguntungkan Ratu. Untuk merebut Suto dan mengalahkan
Ratu, aku masih membutuhkan bantuannya. Tak cukup imbang ilmuku jika
sendirian dalam melawan Ratu! Sebaiknya, kutunda dulu dendamku
kepadanya."
Melihat tangan kekar Peri Malam mengendurkan urat-uratnya,
Selendang Kubur pun sedikit demi sedikit mengurangi ketegangannya. Saat
itu terucap di dalam hati Selendang Kubur,
"Kalau kulayani dia sekarang, bisa habis tenagaku melawan Nyai
Lembah Asmara nanti. Sebaiknya kuhemat dulu tenagaku untuk
menghimpun kekuatan. Tanpa kekuatan yang penuh seperti saat ini,
sepertinya mustahil aku bisa mengalahkan Nyai dan merebut Pendekar
Mabuk dari tangannya!"
Kedua perempuan itu kembali memandang ke arah lorong di atas tebing
karang. Lorong itu masih sepi, tanpa seekor tikus pun keluar
masuk di dalamnya. Bungkamnya kedua mulut mereka yang menciptakan
keheningan cukup panjang itu telah membuat Selendang Kubur mempunyai
gagasan lain,
"Bagaimana kalau kita periksa saja ke dalam lorong itu?! Siapa tahu
justru Nyai Lembah Asmara sedang "menggarap' Suto di dalam lorong!"
"Atau mungkin mereka memang tidak lewat pintu rahasia di dalam
kamar itu? Jika Nyai Lembah Asmara tidak membawa lari Suto melalui
pintu rahasia, biar sampai mampus tak akan kita temukan mereka di
sini!"
"Kalau begitu, biarlah kuperiksa sendiri lorong itu sampai ke
bagian dalamnya!" kata Selendang Kubur bersiap untuk pergi. Tapi
Peri Malam segera palingkan wajah dan pandangannya lebih tajam,
"Pergilah ke sana kalau kau ingin cepat mati dihujam jebakan maut yang dipasang di dalam lorong itu!"
"Jebakan...?!" gumam perempuan berpakaian merah dadu itu.
"Nyai memasang banyak jebakan di sana, sehingga
tidak sembarangan orang bisa masuk ke lorong itu! Siapa yang
terkena jebakan di sana tak akan hanya sekadar menderita luka
saja, tapi pasti mati tanpa nyawa sedikit pun!"
Selendang Kubur menggerutu pelan, "Yang namanya mati ya tanpa nyawa!"
Kemudian, ia menatap lorong tersebut sambil memutar otaknya,
mencari jalan menuju kepastian; tetap menunggu di situ, atau pergi
dengan kesimpulan lain?
Kejap berikutnya Selendang Kubur melompat ke dahan yang dipijak Peri Malam. Sambil melompat ia berkata,
"Bagaimana kalau kita cari di tempat lain? Barangkali
bukan lorong itu yang menjadi tempat keluar mereka?!" Peri Malam hampir kaget sedikit dan hampir
kibaskan tangannya ketika Selendang Kubur tahu-tahu
ada di sampingnya. Setelah melihat tak ada gelagat untuk
menyerang pada diri Selendang Kubur, Peri Malam pun turunkan
tangannya dan menjawab pertanyaan tadi,
"Kurasa tak ada jalan keluar lainnya! Cuma lorong itulah satu-satunya jalan keluar!"
"Atau, barangkali saja mereka tidak melalui pintu rahasia? Mungkin
saja mereka pergi ke puncak bukit? Dan di sana mereka pasti akan
bertemu dengan Nyai Guru Betari Ayu!"
"Ya. Memang itu satu kemungkinan! Tapi aku tak yakin apakah gurumu punya ilmu yang cukup untuk menandingi Nyai Lembah Asmara?!"
Selendang Kubur tersinggung gurunya diremehkan. Cepat berkelebat
tangannya menghantam rusuk Peri Malam dengan menggunakan punggung
telapak tangan. Tapi, cepat pula tangan Peri Malam menangkisnya
dengan cara mengadu telapak tangannya dengan pukulan lawan, Plakk...!
"Sekali lagi kau meremehkan guruku, kurobek jantungmu!" geram Selendang Kubur dengan mata mendelik garang.
"Kau tak akan bisa, Selendang Kubur!" ucap Peri Malam dengan senyum sinis. Tapi dalam hatinya ia membatin,
"Boleh juga pukulan tangannya. Tulang lenganku jadi
ngilu dan telapak tanganku kesemutan akibat menahan pukulan tangannya."
Selendang Kubur kendurkan urat, lepaskan
ketegangan. Tapi wajahnya masih terlihat kaku dan penuh
kedongkolan. Diam-diam rupanya Selendang Kubur juga membantin
kata,
"Sial! Gerakan tangkisnya begitu cepat! Tak bisa aku mencuri kesempatan
untuk meremukkan tulang rusuknya. Tenaga dalamnya begitu cepat
mengalir ke telapak tangannya, membuat kulit tanganku terasa panas
sekali mendapat tangkisan telapak tangannya!"
Selendang Kubur mengambil posisi duduk di antara tiga dahan yang
berjajar mirip balai-balai kecil. Punggungnya dipakai bersandar
pada dahan besar lainnya. Sementara itu, Peri Malam pun merasa perlu
sedikit santai, ia duduk dengan satu kaki berjuntai dan satunya lagi
menapak di salah satu dahan. Punggungnya yang bersandar di bagian
batang utama pohon itu. Ia memetik segerumbul buah yang mirip duku
itu dan memakannya dengan menyipit-nyipitkan mata karena kecut.
"Peri Malam," sapa Selendang Kubur setelah merasakan jenuhnya dilanda sepi dalam keadaan berduaan seperti itu.
"Hmmm...!" Peri Malam menggumam tak berpaling memandang.
"Apakah kau benar-benar mencintai Pendekar
Mabuk?!"
"Apa perlunya kau bertanya begitu?" Peri Malam
ganti bertanya.
"Jawab saja pertanyaanku, daripada aku harus memaksamu dengan ancaman mencekik lehermu!"
Peri Malam lepaskan tawa kecil. "Hi hi hi.... Kalau aku tidak
benar-benar mencintai Suto, untuk apa aku bersusah payah begini,
sampai kubela-bela menjadi murid murtad dan hidup tanpa
naungan! Perasaanku terhadap Suto begitu dalam, kadang
menyenangkan, kadang menyakitkan. Karena sikap Suto kepadaku tak pernah
punya kepastian."
Selendang Kubur tarik napas panjang, lalu berkata, "Seingatku sudah dua kali kita bentrok gara-gara lelaki dan cinta."
"Apakah menurutmu kita ini perempuan-perempuan bodoh? Apakah menurutmu
kita ini wanita yang dungu, yang mau diperbudak oleh ketampanan seorang
lelaki sehingga mau-maunya bertaruh nyawa untuk mendapatkannya?"
"Mungkin juga," jawab Selendang Kubur kecil sekali. Tangannya masih memainkan daun-daun pohon yang dicabut-cabut tepiannya.
"Apakah menurutmu, seorang perempuan mempertaruhkan nyawa untuk seorang lelaki itu adalah tindakan yang keliru?"
"Tergantung lelakinya," jawab Selendang Kubur. "Kalau lelakinya
punya cinta dan kesetiaan kepada kita, nyawa yang dipertaruhkan adalah
suatu kemuliaan yang tinggi dari seorang wanita."
"Tapi jika ternyata Pendekar Mabuk tidak mencintai
satu di antara kita, apakah kita harus tetap bertaruhkan nyawa, saling bertarung dan saling berusaha membunuh?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Peri Malam! Kau atau aku yang
mati nantinya, belum tentu ditangisi oleh Suto. Kau atau aku yang menang
nantinya, belum tentu dicintai oleh Suto!"
"Ya. Aku juga berpikir begitu. Tapi dia sangat tampan dan menawan
hati. Dia punya daya tarik yang luar biasa, yang membuat hatiku
terjerat lekat!"
"Hatiku pun terjerat lekat, Peri Malam. Tak bisa kubohongi lagi, aku sangat merindukan kehangatan cintanya!"
"Jadi kesimpulan yang ada ialah, bahwa ketampanan dan daya tariknya
itulah yang membuat kaum wanita saling bunuh seperti binatang!
Ketampanan Pendekar Mabuk itulah racun bagi kita, Selendang Kubur!"
"Barangkali memang begitu. Sebab kupikir-pikir, seandainya tak ada
Suto, mungkin kita tidak akan berselisih lagi, mungkin kita
tidak saling membunuh lagi!"
"Bagaimana kalau kita lenyapkan saja dia, Selendang
Kubur?!"
Usul itu membuat Selendang Kubur terperanjat bagai sadar dari lamunan
panjangnya, ia menggumam, "Maksudmu, kita bunuh dia supaya tidak menjadi
racun permusuhan bagi kita?"
"Ya. Bukan hanya bagi kita, tapi bagi kaum perempuan lainnya!"
*
* *
2
ANGIN berhembus entah dari mana datangnya. Pikiran kedua
perempuan itu jadi berubah. Hati yang jatuh cinta menjadi benci.
Jiwa yang rindu berubah menjadi kering. Sikap terpikat menjadi dendam
kesumat.
Maka mereka berdua pun bergegas pergi mencari Suto dengan tujuan
membunuh Pendekar Mabuk itu. Arah pertama yang mereka tuju
adalah puncak Bukit Garinda. Tapi di sana mereka tidak menentukan
siapa pun.
"Tapi aku yakin, Suto beberapa waktu ada di sini sebelum kita tiba," kata Peri Malam. "Dari mana kau tahu?"
"Sisa bau keringatnya masih bisa tercium oleh hidungku!"
jawab Peri Malam sambil menghirup-hirup udara, mendengus-dengus ke
sana-sini. Sampai akhirnya arah hidungnya berhenti menghadap timur.
"Hmm... dia pergi ke arah timur. Kita kejar dia ke timur, Selendang Kubur!"
Cepat mereka melesat secepat angin dari barat. Hembusan angin
dari barat membuat Peri Malam kehilangan penciumannya. Bau
keringat Pendekar Mabuk tak terlacak lagi. Mereka kehilangan arah dan
berhenti di salah satu gugusan tanah cadas yang membukit.
"Aku kehilangan penciumanku," kata Peri Malam.
"Bagaimana kalau kita kejar terus ke timur?"
"Belum tentu dia ke sana. Mungkin membelok arah utara atau ke selatan, mana kita tahu?"
"Jika begitu, kita berpencar! Kau ke utara aku ke selatan!"
Usul Selendang Kubur direnungkan sebentar oleh Peri Malam, sesaat kemudian terdengar suara Peri Malam berkata,
"Jika aku ke utara, kau ke selatan, lantas siapa yang timur?"
Tiba-tiba terdengar jawaban di belakang mereka, "Aku...!"
Serentak kedua perempuan itu palingkan muka ke belakang, dan
terperanjat mereka melihat seraut wajah cantik dengan rambut
acak-acakan telah berdiri tegak dengan sepasang kaki sedikit
merentang. Wajah berambut acak-acakan itu mengenakan pakaian ketat
warna ungu muda dengan ikat pinggang kuning.
Ia juga menyandang pedang gading di punggungnya, dengan wajah dan sorot pandangan mata berkesan beringas.
Selendang Kubur dan Peri Malam tak asing lagi dengan perempuan
berambut jabrik itu, yang tak lain adalah Perawan Sesat. Selendang
Kubur segera sigap pasang kuda-kuda untuk menyerang. Peri Malam hanya
pasang kewaspadaan yang sewaktu-waktu tangan dan kakinya siap
hadapi serangan pula. Tapi Perawan Sesat tampak tenang-tenang saja.
"Apa maksudmu ikut menjawab percakapan kami,
Perawan Sesat?!" sentak Peri Malam dengan mata tak bergeser sedikit pun dari wajah cantik berkesan beringas itu.
"Aku mengikuti percakapan kalian sejak dari hutan tepi pantai!" kata
Perawan Sesat. "Dan aku sangat tertarik dengan rencana kalian
itu! Pendekar Mabuk memang harus dilenyapkan, karena dia menyebar
racun cinta yang membuat sesama perempuan saling membunuh!"
"Rupanya kau mengalami nasib yang sama dengan kami, Perawan Sesat? Dan kau ingin bergabung dengan kami?"
"Tak ada salahnya!" Perawan Sesat mengangkat pundak sambil
langkahkan kaki dekati sebuah batu. Di sana dia duduk dengan kedua
sikunya diletakkan di kedua pahanya, hingga sedikit membungkuk
tubuhnya. Di sana ia perdengarkan kata,
"Aku jatuh cinta pada Pendekar Mabuk. Bahkan lebih gila dari kalian!
Tugasku membawa Pendekar Mabuk menghadap Nyai Lembah Asmara
kuselewengkan. Aku berani mengkhianati guruku sendiri, yaitu Nyai Lembah
Asmara. Aku berani melawan kekuatan Maharani dan Putri Alam Baka,
sampai aku terluka dalam dan diselamatkan oleh Peramal Pikun.
Semua itu kulakukan karena kegilaanku terhadap Suto."
Perawan Sesat membayangkan semua itu dalam satu renungan yang menyimpan
bara dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Murka Sang
Nyai"). Kejap berikutnya ia ucapkan kata lagi.
"Sampai sekarang hatiku masih disiksa rindu dan hasrat ingin
bercumbu. Semua itu gara-gara Pendekar Mabuk, si murid sinting itu!
Untuk itu aku harus meleyapkannya!"
Selendang Kubur angkat bicara, "Tapi kau masih harus berhadapan
denganku, Perawan Sesat! Kau masih hutang banyak nyawa padaku, karena
kau telah banyak menewaskan saudara-saudara seperguruanku!"
"O, kau dari Perguruan Merpati Wingit?!"
"Ya!" jawab Selendang Kubur dengan mata menantang.
"Mereka mati gara-gara Suto Sinting, jadi tuntutlah
Suto! Jangan aku!"
"Tapi di tanganmu mereka mati, Bangsat!" bentak Selendang Kubur.
Rupanya ia semakin terpancing dendam kesumatnya hingga bergegas
untuk melepas kain selendang pusakanya.
"Tahan...!" Peri Malam mencoba menengahi perselisihan itu dengan maju
satu tindak berada di antara Perawan Sesat dan Selendang Kubur. Peri
Malam pun ucapkan kata,
"Kalau kalian berdua punya perhitungan pribadi, lakukan perhitungan itu setelah kita selesaikan masalah Suto!"
Perawan Sesat tarik napas sesaat, lalu berkata dengan suara serak.
"Aku tak keberatan kalau memang kau ngotot ingin nuntut balas padaku,
Selendang Kubur! Aku siap menghadapimu kapan saja! Tapi jangan salahkan
diriku
jika kau harus kehilangan kepalamu!"
Selendang Kubur menggeram. Matanya menyipit benci saat ia ucapkan
kata, "Kalau bukan karena tujuan yang sama, sudah kuhancurkan mulut
busukmu itu, Perawan Sesat!"
Peri Malam menyahut, "Hancurkan nanti saja!" Akhirnya Selendang Kubur kendurkan
ketegangannya. Matanya terlempar jauh ke arah utara. Saat itu, terdengar suara Perawan Sesat berkata,
"Rasa-rasanya memang kita harus berpencar! Dan untuk menghabisi
nyawa Pendekar Mabuk itu, tak mungkin kita lakukan secara
sendiri-sendiri. Perlu kerja sama yang baik. Karena si tampan sinting
itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, ia hanya bisa dikalahkan
jika kita gempur secara bersama-sama."
"Jadi bagaimana jika salah satu dari kita nanti menemukan dia?" tanya Peri Malam.
"Bawa dulu dia ke arah kita masing-masing. Jangan buru-buru bertindak sebelum kita bertiga saling bertemu!"
"Aku setuju," jawab Peri Malam. "Ada baiknya kalau...."
"Ssst...!" tukas Selendang Kubur memberi isyarat dengan tangan.
Cepat ia lompatkan tubuh ke balik pohon. Melihat gelagat bahaya
dari Selendang Kubur, Peri Malam pun bergegas melompat di balik
pohon sebelah Selendang Kubur. Tak ketinggalan Perawan Sesat juga
cepat sentakkan kaki dan melesat bersembunyi di balik rimbun daun-daun
semak berduri.
Jaraknya tak berapa jauh dari Selendang Kubur dan Peri
Malam.
"Ada apa? Suto lewat?!" bisik Perawan Sesat ke arah
Peri Malam.
"Mana aku tahu?! Selendang Kubur yang melihat nya!" Peri Malam pun menyapa Selendang Kubur dengan suara lirih,
"Hei, ada apa? Kau melihat Pendekar Mabuk lewat?" "Bukan Pendekar Mabuk, tapi... lihatlah ke sana!"
tuding Selendang Kubur.
Perawan Sesat dan Peri Malam sama-sama memandang ke arah tempat
yang ditunjuk Selendang Kubur. Lalu, mereka berdua sama-sama
hempaskan napas panjang bernada dongkol, serta sama-sama
lepaskan ketegangan. Perawan Sesat terdengar menggerutu,
"Sial! Kupikir ada bahaya datang!"
"Buatku itu memang bahaya. Karena aku muak ketemu dia!" cetus
Selendang Kubur yang segera ikut- ikutan keluar dari tempat
persembunyiannya, karena dilihatnya Peri Malam juga keluar dari balik
persembunyiannya. Mereka bertiga sama-sama berada di tempat bebas dan
memandang ke satu arah.
Apa yang dipandang mereka tak lain adalah kemunculan Dirgo Mukti
yang mengaku Manusia Sontoloyo itu. Jaraknya cukup jauh, namun bisa
dilihat mata telanjang mereka bertiga.
"Agaknya dia sedang dikejar oleh seseorang!" kata
Peri Malam.
"Benar! Pasti ia dalam perselisihan," sahut Perawan Sesat. "Wajahnya
terlihat tegang. Keringatnya mengucur. Hm... siapa orang yang
mengejarnya?"
"Mudah-mudahan setan dari neraka yang mengejarnya!" kata Selendang Kubur.
"Seharusnya aku yang bilang begitu, karena aku sangat benci kepadanya!" kata Peri Malam.
"Mengapa kalian benci sekali kepadanya?" tanya
Perawan Sesat.
"Dia mengejar-ngejarku dan selalu mendesakku untuk menerima cintanya! Aku muak sekali!"
Selendang Kubur pun ikut berkata, "Aku juga begitu!
Dia selalu berusaha membujukku agar mau melayaninya! Aku tak bisa
banyak melawan dan memberontak karena aku berhutang nyawa
dengannya! Menyesal sekali aku karena ditolong dan diselamatkan olehnya!
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat").
Perawan Sesat tertawa serak. "Aku sendiri punya kedongkolan dengannya,
saat dia menipuku dengan mengaku sebagai Pendekar Mabuk!"
Peri Malam menyahut, "Ya, ya, aku pernah memergoki kau bercumbu dengannya!"
"Jangan singgung-singgung soal itu! Rasa sesalku berubah jadi
dendam jika aku teringat peristiwa itu!" kata Perawan Sesat.
"Hei, lihat...!" seru Selendang Kubur sambil tangannya menunjuk ke
arah Dirgo Mukti. "Rupanya orang itu yang mengejar Dirgo Mukti!"
"Hmmm... siapa orang yang berpakaian hitam itu?" tanya Perawan Sesat.
"Aku hanya bisa menandai bahwa orang sedikit gemuk itu berilmu
tinggi. Terlihat dari gerakan lompatnya begitu ringan dan cepat! Tapi
aku belum pernah tahu siapa dia?"
"Datuk Marah Gadai!" jawab Selendang Kubur. "Dia orang sesat dari
seberang yang ingin menguasai tanah Jawa. Dia ingin menjadi raja
tertinggi di rimba persilatan tanah Jawa!"
"Ada persoalan apa Sontoloyo bentrok sama Datuk
Marah Gadai?" tanya Peri Malam.
Selendang Kubur menjawab, "Mana aku tahu?! Tapi kelihatannya mereka sama-sama tangguh!"
"Kurasa tidak," bantah Perawan Sesat. "Kurasa lebih tangguh si Datuk Marah Digadai itu!"
"Datuk Marah Gadai! Bukan Datuk Marah Digadai!"
Peri Malam membetulkan ucapan Perawan Sesat. "Ya. Kurasa orang itu lebih
tangguh dari si Sontoloyo. Aku jadi tertarik ingin menjajal ilmunya!"
"Bodoh!" tukas Selendang Kubur. "Kalau mau, jajal saja ilmunya si
Sontoloyo, jadi kalau kau berhasil membunuhnya, kau telah
membayar tipu muslihatnya yang merugikan dirimu itu!"
"Membunuh si Sontoloyo lebih mudah! Dalam satu gebrakan saja dia tidak akan memiliki nyawa lagi!"
"Hem... belum tentu!" Selendang Kubur mencibir. "Kau pikir ilmu
yang kau miliki lebih tinggi darinya? Ilmu sedangkal itu mau
disombongkan di depan si Sontoloyo, bisa hancur berkeping-keping
kau dihajar
habis oleh pukulan tenaga dalamnya yang hebat itu!" "Hei, kau jangan sepelekan aku, Selendang Kubur!
Saat ini pun aku sanggup meremukkan kepalamu tanpa
harus bergerak dari tempatku!"
"Coba saja!" tantang Selendang Kubur. Perawan Sesat lemparkan
daun kecil yang sejak tadi dibuat mainan. Lemparan daun itu begitu
cepat dan mendesing bunyinya bagai logam tipis melayang melewati depan
mata Peri Malam. Wiiing...!
Craat...!
Selendang Kubur lengkungkan badan ke samping sambil berpaling. Daun
itu lewat di depan dadanya dan menancap di batang pohon bagaikan
lempengan logam tajam dari bahan baja. Jika bukan dialiri kekuatan
tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin daun itu bisa menancap di batang
pohon sedemikian dalam. Kalau saja tidak segera menghindar dengan
gesitnya, Selendang Kubur akan mati ditembus daun yang berubah jadi
mata pisau itu.
Sebelum Selendang Kubur memberi balasan, Peri
Malam sudah menghadang di depannya seraya berkata, "Cukup! Jangan terpancing nafsu!"
"Dia yang menyerangku lebih dulu!"
Perawan Sesat membantah, "Dia menghinaku lebih dulu!"
"Kalian ini memang seperti anak kecil!" sentak Peri Malam. "Aku
menyesal bergabung dengan kalian menyusun rencana seperti tadi.
Mana bisa orang-orang berjiwa anak kecil mengalahkan Suto? Untuk
mengalahkan Pendekar Mabuk itu, bukan hanya ilmu tinggi yang dibutuhkan tapi juga jiwa dewasa dan otak cerdas!"
Selendang Kubur menghembuskan napas pelan-pelan walau matanya masih
memandang tajam pada Perawan Sesat. Yang dipandang hanya tersenyum
sinis dengan sikap siap tarung kapan pun juga.
"Jangan dulu kita berselisih sebelum cita-cita kita bersama
tercapai! Jika belum-belum kita sudah saling bunuh, lantas kapan kita
bisa bunuh Suto Sinting itu?!" omel Peri Malam yang bertindak menjadi
orang yang lebih dewasa dari mereka, walau sebenarnya ia hanya sebagai
penengah saja.
"Lihatlah," kata Peri Malam lagi, "Dirgo Mukti sudah semakin terpojok
oleh serangan-serangan Datuk! Tak perlu kita memberikan pujian
atau penilaian apapun selain menjadi penonton yang baik!"
Selendang Kubur bahkan berkata, "Seharusnya ia bisa segera cabut
senjatanya itu! Dirgo Mukti mempunyai senjata kapak yang cukup
hebat, sebenarnya!"
"Kalah hebat dengan pedangnya Datuk Marah Gadai! Kulihat sendiri
kehebatan pedang itu saat ia mengalahkan Cadaspati di tepi sebuah
sungai!" kata Peri Malam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Darah Asmara Gila").
Perawan Sesat kasih pendapat, "Orang-orang seperti mereka jelas tidak
akan semudah itu mencabut pedangnya! Hanya pada saat-saat terakhir
dari pertarungan itu ia akan mencabut pedangnya!"
"Aku berharap Dirgo Mukti kalah dan mampus di tangan Datuk!" kata Peri Malam.
"Aku juga!" sahut Selendang Kubur.
"Kuharap juga begitu," sela Perawan Sesat.
"Hai, ternyata kita sama-sama punya kebencian pula dengan si Sontoloyo
itu?! Mengapa kita tidak sepakat gunakan Sontoloyo untuk melawan Suto?"
Ucapan Peri Malam itu membuat mereka saling memandang. Perawan Sesat dan
Selendang Kubur sama- sama tatapkan mata ke wajah Peri Malam.
Sepertinya mereka menuntut penjelasan lebih rinci lagi dari kata- kata
Peri Malam tadi. Karenanya, Peri Malam pun lanjutkan kata,
"Dirgo Mukti lelaki mata keranjang! Dia ingin aku menerima cintanya. Dia
ingin Selendang Kubur melayani gairahnya. Dia pasti inginkan tubuh dan
kehangatanmu lagi, Perawan Sesat. Sebab dia pernah merasakan
gairahmu. Dia pasti tergiur kembali padamu."
"Lalu, apa rencanamu?" tanya Selendang Kubur. "Jadikan dia umpan untuk bertarung melawan
Pendekar Mabuk. Beri dia semangat agar bisa
membunuh Suto Sinting. Upah yang akan kita berikan padanya adalah tubuh kita masing-masing!"
"Aku tidak sudi!" sentak Selendang Kubur bersungut- sungut.
"Ini hanya siasat saja! Sontoloyo jelas tak akan bisa mengalahkan
Pendekar Mabuk. Tapi dengan mendapat semangat dari kita, dia
akan bertarung melawan Pendekar Mabuk mati-matian. Hal itu akan
membuat
Suto semakin terdesak, sekurang-kurangnya Pendekar Mabuk akan
menguras tenaganya untuk mengalahkan Sontoloyo. Walaupun pada
akhirnya nanti Sontoloyo mampus di tangan Suto, tapi kita punya
peluang bagus untuk menyerang Suto secara bersama. Kekuatan Suto yang
sudah berkurang karena pertarungannya dengan Dirgo Mukti, membuat
kita lebih mudah menghancurkan dirinya!"
"Gagasan yang bagus!" sela Perawan Sesat lalu ia tertawa serak.
"Kebetulan aku ingat bahwa Dirgo Mukti pernah janji pertarungan dengan
Suto di Bukit Jagal! Bulan ini adalah bulan saat pertarungan
itu dilakukan!" tambah Peri Malam.
"Bagus! Aku setuju dengan rencanamu," kata
Selendang Kubur.
"Kalau begitu, kita bantu Sontoloyo untuk mengalahkan Datuk Marah Gadai
itu! Biar Sontoloyo tidak mati di tangan Datuk!" kata Peri Malam.
"Aku setuju!" kata Perawan Sesat dengan menyeringai liar.
"Tapi, tunggu dulu...!" Selendang Kubur mencegah, sepertinya Datuk Marah
Gadai sudah merasa kewalahan melawan Dirgo Mukti! Datuk Marah Gadai
melarikan diri!"
"Ya, tapi Dirgo Mukti kelihatannya terluka dan tak bisa mengejarnya! Ada baiknya jika kita tolong dia!" kata Peri Malam.
Tapi sebelum mereka mencapai tempat Dirgo Mukti
terkapar, orang itu sudah bangkit lebih dulu dan melesat pergi
mengejar lawannya. Rupanya ia tadi terkena pukulan tenaga dalam
dari Datuk Marah Gadai, namun bisa segera ditawarkan oleh kekuatan
batinnya sendiri. Dan melihat Dirgo Mukti lari mengejar Datuk Marah
Gadai, ketiga perempuan itu juga lari mengejar Dirgo Mukti.
Apa yang mereka pertarungkan sebenarnya berasal dari kabar tentang
Pusaka Cincin Manik Intan. Datuk Marah Gadai dan Dirgo Mukti
sama-sama ingin mendapatkan Cincin Manik Intan yang konon masih ada di
dasar telaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Murka
Sang Nyai"). Mereka saling halang- menghalangi ketika sama-sama
mau menyelam ke dasar telaga.
Pertarungan itu membuat mereka saling kejar dan tanpa sadar
menjauhi Telaga Manik Intan. Saat mereka jauh dari telaga itulah,
sesosok tubuh masuk dan menyelam ke dasar telaga. Orang itulah
yang menemukan Pusaka Cincin Manik Intan. Orang itu adalah Betari
Ayu, yang kemudian segera menggunakan Pusaka Cincin Manik Intan
untuk melabrak Nyai Lembah Asmara yang ingin menjadikan Suto
sebagai pembenih dalam keturunannya.
Datuk Marah Gadai dan Dirgo Mukti sama-sama tidak tahu, bahwa apa
yang mereka rebutkan itu sudah menjadi milik seseorang. Bahkan ketika
Datuk Marah Gadai meninggalkan Dirgo Mukti, dalam benaknya ia merasa
lebih baik meninggalkan pertarungan dan segera
menyelam ke dasar telaga untuk mencari Cincin Manik Intan yang dahsyat
itu. Jika Cincin Manik Intan berhasil ditemukan olehnya, maka
urusannya dengan Manusia Sontoloyo itu akan cepat terselesaikan.
Pasti lawannya itu akan mati dan hancur oleh kekuatan Pusaka Manik
Intan itu.
Karena Datuk Marah Gadai tidak tahu bahwa cincin itu sudah ditemukan
Betari Ayu beberasa saat berselang, maka ketika ia tiba di tepi
telaga, ia langsung saja menceburkan diri ke permukaan air telaga,
dan menyelam di kedalamannya.
Lama kemudian, Dirgo Mukti tiba pula di tepi telaga. Ia mencari
lawannya. Memandangi sekeliling telaga. Ternyata tak ada sesuatu yang
mencurigakan. Air telaga pun tampak tenang. Pikirnya, sebelum
Datuk Marah Gadai menemukan diriku, ia harus sudah lebih dulu
mencari Cincin Manik Intan di dasar telaga.
"Mampuslah kau, Tukang Gadai! Jika kutemukan itu lebih dulu akan
kuhancurkan mulutmu yang sangat kubenci itu!" kata Dirgo Mukti. Lalu,
ia pun melompat dan terjun ke dalam genangan air telaga. Byurrr...!
*
* *
E-book by: paulustjing
3
GEMERISIK dedaunan bambu dihembus angin siang. Gemerisik itu
masuk ke telinga Pendekar Mabuk ibarat musik penghantar duka.
Gundukan tanah di depannya masih dipandangi dengan wajah duka.
Gundukan tanah itu adalah kuburan bagi si pelayan setia gurunya. Suto
memberi nama pada kayu patok kuburan itu dengan tulisan besar: Sugiri.
Di bawahnya ada tulisan kecil yang berbunyi: Lahir tak diketahui, mati
pun tak diketahui.
"Kalau saja aku tidak terbujuk oleh anggapan tentang Dyah Sariningrum di
Bukit Garinda, Paman Sugiri tak akan mati di sana. Kasihan Paman
Sugiri, ia mati hanya untuk membela diriku yang tak berharga ini.
Mudah- mudahan arwahnya diterima di sisi Yang Maha Kuasa," kata hati
Pendekar Mabuk yang segera bergegas bangkit dari kesedihan. Ia tak
berlarut-larut tenggelam dalam perasaan duka atas kematian Pujangga
Keramat.
Suto memakamkan jenazah Pujangga Keramat di Jurang Lindu, tak jauh
dari pancuran air yang menjadi pintu masuk menuju persinggahan si Gila
Tuak. Sayang sekali waktu itu si Gila Tuak tak ada di tempat, sehingga
Suto tak bisa melaporkan kematian Pujangga Keramat. Ke mana arah
perginya si Gila Tuak, Suto tak tahu. Hanya ada satu kemungkinan
dalam benak Suto, bahwa gurunya itu mungkin sedang bertandang ke
Limbah Badai, tempat persinggahan bibi gurunya Suto yang di kenal
dengan nama kondangnya: Bidadari Jalang.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk jadi ingat dengan bibi
gurunya. Ingatan itu berkait dengan Pusaka Cincin Manik Intan yang
ditemukan oleh Betari Ayu. Cincin itu warisan terkubur dari Bidadari
Jalang. Sekarang ada di tangan Betari Ayu, sedangkan Betari Ayu
menyimpan dendam kepada Bidadari Jalang. Pendekar Mabuk belum sempat
meminta cincin itu dari tangan Betari Ayu.
Ketika Pendekar Mabuk selamat dari cengkeraman Nyai Lembah Asmara,
ia segera pergi mengurus jenazah Pujangga Keramat yang mati di bangsal
pertemuan, di persinggahannya Nyai Lembah Asmara. Pada waktu itu, Betari
Ayu berkata kepada Suto,
"Aku harus pergi membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Jika kau mau
ikut aku, aku tak keberatan. Jika kau ingin mengurus mayat
Pujangga Keramat yang tergeletak di sana, aku juga tidak
melarang. Yang penting kau ketahui, saat ini adalah saat yang baik
untuk melampiaskan dendamku yang selama ini kupendam dalam hati!"
Suto masih dalam keadaan mabuk tuak waktu itu, sehingga ia tidak
terlalu peduli dengan kepergian Betari Ayu. Ia segera bergegas
mencari mayat Pujangga Keramat dan segera membawanya ke Jurang
Lindu.
Sekarang Pendekar Mabuk jadi ingat semua kata-kata Nyai Betari Ayu. Tak
salah lagi dugaan Suto, bahwa dendam yang akan dilampiaskan oleh
Betari Ayu itu adalah dendamnya kepada Bidadari Jalang,
karena Bidadari Jalang dianggap telah merebut kekasih hati Betari
Ayu. Hal itu yang membuat Betari Ayu tidak pernah mau jatuh
cinta lagi dengan seorang lelaki.
Namun kehadiran Suto sempat membuat Betari Ayu tergugah oleh cinta lagi, meski ia dapat memendamnya.
Tentu saja Nyai Betari Ayu menganggap saat ini
adalah saat yang tepat untuk melampiaskan dendamnya kepada seseorang,
karena Betari Ayu memakai Cincin Manik Intan. Jelas, cincin itulah yang
akan dipakai untuk melawan Bidadari Jalang, yang namanya masuk dalam
deretan kedua; setelah si Gila Tuak, sebagai nama-nama tokoh yang sukar
ditumbangkan. Tanpa pusaka cincin dahsyat itu, Nyai Betari Ayu tak akan
berani berhadapan dengan Bidadari Jalang.
"Celaka! Bibi Guru pasti akan hancur oleh pusakanya sendiri," pikir
Pendekar Mabuk. "Seharusnya waktu itu kurebut dulu Cincin Manik Intan
dari tangan Betari Ayu! Jika begini, sama saja aku membiarkan
Bibi Guru terancam nyawanya! Betari Ayu tidak tahu bahwa Bibi Guru
yang sekarang bukan orang sesat seperti dulu. Karenanya Bibi Guru
Bidadari Jalang tidak mau turun ke dunia persilatan kembali, karena dia
ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada
sang Maha Pencipta!"
Suto Sinting sempat terlihat gelisah, ia berjalan mondar-mandir
di depan makam Pujangga Keramat. Hatinya kembali berkecamuk,
"Apa yang harus kulakukan jika begini? Merampas cincin itu dari tangan
Nyai Betari Ayu? Itu berarti aku harus bertarung dengan Nyai. Haruskah
aku bertarung dengan orang yang selama ini bersikap baik padaku?
Tapi jika hal itu tidak kulakukan, berarti aku ikut
mendukung rencana Betari Ayu untuk membunuh Bibi
Guru?!"
Sekelebat bayangan melesat di atas pohon. Banyangan itu mendarat tepat di depan Suto, hingga Suto terkesiap memandangnya.
"Nyai Betari...?!" gumam Suto dengan hati berdebar. Orang ini yang
sedang dipikirkan oleh Suto, tapi orang ini pula yang tahu-tahu
muncul dalam kenyataan di depan Suto.
"Kebetulan sekali Nyai datang kembali," kata Suto menatap perempuan cantik yang menyunggingkan senyum bersahaja.
"Aku mendengar gemuruh kegelisahanmu, Suto. Jadi aku kembali
menemuimu," kata Nyai Betari Ayu yang berikat kepala dari tali
sutera merah berbintik-bintik kuning keemasan.
"Nyai mendengar gemuruh kegelisahanku?" Suto heran.
"Apa yang terjadi pada diri orang yang kusayangi selalu kudengar
lewat telinga hatiku, dan kulihat lewat mata hatiku, Suto."
"O, jadi... saya orang yang Nyai sayangi?"
"Mungkin lebih dari itu," jawab Betari Ayu pelan sambil palingkan
wajah ke arah curahan air terjun yang menjadi pintu gerbang
persinggahan si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk menjadi kikuk mendengar jawaban itu. Tapi ia segera
tenangkan diri dan tetap bersikap lembut kepada Nyai Betari Ayu.
Ia mendekati Betari Ayu dari samping kanan, ikut memandang jurang
berair
terjun itu, tapi mulutnya ucapkan kata tanya, "Sudahkah dendam Nyai terlampiaskan?"
"Belum," jawab Betari Ayu sambil tetap pandang air
terjun.
"Mengapa tak jadi membalas dendam?" tanya Suto. "Aku berubah pikiran."
"Berubah bagaimana, Nyai?"
"Untuk apa aku hidup menuruti dendam?" Betari Ayu palingkan wajah dan
lempar pandangan pada Suto. Lembut sekali pandangannya. Selembut
rona kecantikan sang Nyai.
Katanya lagi, "Aku harus menjadi orang yang bisa mengalahkan diriku
sendiri. Orang hebat adalah orang yang bisa melawan nafsunya sendiri.
Kalau aku masih turuti dendamku kepada Bidadari Jalang, maka aku
bukan sebagai orang hebat. Aku orang lemah yang tak mampu melawan
nafsuku sendiri."
"Saya menyukai kata-kata Nyai," Pendekar Mabuk sunggingkan senyum yang
sangat menawan. Nyai Betari Ayu pun tundukkan kepala karena merasa teduh
hatinya mendapat senyuman seperti itu. Tapi kejap berikut ia kembali
pandang Suto dan ucapkan kata,
"Ada sesuatu yang lupa kukembalikan padamu." "Tentang apa itu, Nyai?"
Tangan kiri Nyai melepaskan cincin di jari tangan
kanannya, lalu Pusaka Cincin Manik Intan itu diserahkan kepada Suto.
"Ambillah cincin ini, Suto."
Pendekar Mabuk tidak segera mengambil cincin itu,
tapi matanya menatap lama pada cincin dan wajah Betari
Ayu yang polos dan lugu itu.
"Mengapa Nyai kembalikan cincin itu kepadaku? Bukankah Nyai tahu kehebatan Pusaka Cincin Manik Intan itu?"
"Ya, tapi ini bukan milikku."
"Tapi Nyai yang mengambilnya dari dasar telaga!" "Benar. Karena ada dua alasan. Pertama, aku takut
Cincin ini jatuh ke tangan Datuk Marah Gadai atau pemuda tampan
yang mengaku punya gelar Manusia Sontoloyo itu. Kedua, karena
waktu itu aku membutuhkan Cincin ini untuk melawan Nyai Lembah Asmara.
Tanpa bekal pusaka dahsyat ini, aku belum tentu bisa menyerang
Bukit Garinda dan dengan tujuan membebaskan kamu dari cengkeraman
Nyai Lembah Asmara. Jujur saja kukatakan kepadamu, Suto... aku tak rela
kau tanamkan benih kependekaranmu, benih darah ksatriamu, ke dalam
kandungan Nyai Lembah Asmara! Aku tak ingin kau punya keturunan sesat,
Suto."
"Sejauh itukah Nyai berpikir tentang saya?"
Betari Ayu tak menjawab. Ia alihkan pembicaraan itu sambil sekali lagi sodorkan cincin tersebut.
"Terimalah cincin ini. Kau yang berhak memiliki. Bukan aku! Karena
kaulah yang punya tugas mengambil dua pusaka di dasar telaga tersebut,
yaitu Pusaka Tuak Setan dan Pusaka Cincin Manik Intan ini."
"Mengapa Nyai tidak memilikinya saja, atau membawanya lari?"
"Bukan sifatku menjadi pencuri, Suto."
Senyum Suto melebar, bahkan berubah menjadi tawa yang mirip orang
menggumam. Tawanya itu pun bagaikan memancarkan daya tarik
tersendiri bagi hati yang sudah berbunga indah itu.
Ketika Pendekar Mabuk menerima cincin itu, tangan Betari Ayu
dipegangnya dengan lembut. Betari Ayu menatap dan merasakan aliran
hawa hangat di sekujur tubuhnya. Ia segera bertanya dalam nada bisik,
"Suto, apa yang kau salurkan ke dalam tubuhku?" "Kasih sayang," bisik Suto membalas.
"Apa maksudnya kasih sayang?"
"Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu, Nyai."
"Tentunya itu bukan berarti sebuah cinta yang lahir dari hati sanubarimu."
"Memang bukan cinta. Tapi, barangkali kasih sayang
melebihi dari segala cinta yang ada. Kasih sayang boleh ada di dalam
jiwa kita masing-masing, tapi tak harus memiliki raga kita
masing-masing."
"Dalam sekali pengertianmu, Suto. Aku semakin suka padamu."
Suto tersenyum dengan mata memandang kian lembut. Seakan
kelembutan pandang mata Suto itu bagaikan sinar halus yang menembus
ke dalam dasar hati Betari Ayu.
Sebelum cincin itu tergenggam oleh Suto, Betari Ayu lekas-lekas
mengambil alih cincin itu. Ia mengangkat jari manis Suto yang
kanan, lalu cincin itu dimasukkan ke dalam jari manis cincin itu dengan
pelan-pelan sekali.
Kedua mata mereka saling memandang ke arah cincin. "Semoga kau dapat mengenang peristiwa ini
selamanya, Suto."
"Semoga kau pun dapat mengenangnya pula. Nyai." Kemudian, wajah Nyai Betari Ayu tengadah
memandang Pendekar Mabuk. Matanya yang bening teduh itu bagai
digenangi air. Suto pelan-pelan mendekatkan wajah dan menempelkan
ciumannya di kening Nyai. Mata itu terpejam, bibir itu merekah, dan
akhirnya Suto tempelkan bibir ke mulut Nyai. Bibir Suto dilumatnya
dengan lembut oleh Nyai Betari Ayu. Suto membalasnya dengan seribu kali
lebih lembut, hingga Nyai Betari Ayu meremaskan genggaman tangannya di
ujung pundak Suto.
Pelan-pelan pula ciuman dan kehangatan itu dilepaskan. Senyum mereka saling bermekaran. Suto berbisik lirih,
"Indah, Nyai?"
"Luar biasa indahnya, Suto," jawab Nyai Betari semakin lirih.
"Sayang sekali bukan aku perempuan yang kau cintai. Seandainya aku
adalah orang yang kau cintai, mungkin selamanya aku akan
merebah di dadamu, Suto."
"Apakah hal itu membuatmu kecewa, Nyai?"
"Tidak," jawab Nyai dalam ketegasan yang lembut. "Aku tidak kecewa,
karena memang kau dan aku memiliki garis kehidupan yang
berbeda. Aku tak salahkan dirimu, Suto. Kau bebas memburu cinta dan
kasih sayang untuk dirimu, Suto. Aku hanya ingin
merawat agar cinta ini tetap mekar di hatiku, sampai masa tuaku tiba."
Tiba-tiba Nyai Betari Ayu memeluk Pendekar Mabuk
erat-erat. Suto pun membalas pelukan itu dengan hangat. Nyai pasti ingin
mencurahkan tangis keharuannya, pikir Suto. Dan sengaja Suto tidak
melarang tangis itu tercurah karena memang suasana haru tercipta
atas dasar saling menyadari keadaan masing-masing.
Betari Ayu diam. Pelukannya tetap erat. Tak ada guncangan tangis
atau pun suara mengisak. Pastilah Nyai Betari Ayu tak ingin
cucurkan air mata di depan seorang ksatria. Pastilah Nyai Betari Ayu
merasa malu dan takut wibawa kharismanya jatuh di depan Suto.
Tetapi tubuh Nyai Betari Ayu makin lama semakin dingin. Suto menjadi
curiga. Cepat-cepat ia tarikkan diri dari tubuh Betari Ayu. Mata
Suto terkesiap melihat wajah Betari Ayu pucat dan kepalanya terkulai
lemas.
"Nyai...?!" sentak Suto sambil guncangkan tubuh Nyai. Namun
keadaan Nyai semakin memucat dan dingin. Matanya terpejam
mulutnya terbuka sedikit bagai menahan rasa sakit yang menyentak.
"Nyai...?! Kenapa kau, Nyai...?!"
Pendekar Mabuk berdebar-debar melihat keadaan Nyai Betari Ayu
seperti itu. Suto buru-buru memeriksa tubuh Betari Ayu. Ternyata di
bagian punggungnya terdapat noda merah membekas di kulit. Noda merah
itu sebesar biji sawo, tepat bersebelahan dengan pedang Jalaganda
yang sejak tadi disandang di punggungnya. Noda merah itu menembus
jubah kuningnya, yang
terbuat dari kain sutera. Tapi jubah itu tidak membekas lubang. Hanya sedikit hangus tepat di bagian noda merahnya itu.
"Kurang ajar! Ada yang menyerang Nyai secara diam-diam. Hmm...!
Siapa orangnya?!" geram Suto dengan mata memandang liar.
Gemuruh suara air terjun masih terdengar. Di atas curahan air terjun
itu, mata Suto memandang jelas sesosok tubuh berpakaian kuning
ketat. Pendekar Mabuk mengenal orang itu sebagai orang Bukit Garinda.
Orang tersebut tak lain adalah Putri Alam Baka. Di tangannya tergenggam
seruling kuning. Pasti dialah yang telah menyerang Nyai Betari Ayu
memakai seruling pusakanya itu.
"Kau...!" geram Pendekar Mabuk dengan wajah merah. Matanya menatap tajam ke arah Putri Alam Baka.
Tak sadar kemarahan Pendekar Mabuk itu membuat tenaga dalamnya mengalir
melalui Cincin Manik Intan. Pada waktu itu, cincin tersebut dalam
keadaan menghadap ke arah Putri Alam Baka. Maka, dengan tiba-tiba
cincin itu mengeluarkan cahaya putih menyilaukan, melesat bagaikan
lidi ke arah perempuan di atas air terjun. Clappp...! Duarrr...!
Arah cincin tidak tepat persis, sehingga batuan di samping Putri
Alam Baka hancur menjadi serbuk ketika dihantam sinar putih
menyilaukan itu. Ledakan itu membuat Putri Alam Baka terlempar ke
samping dan jatuh di rerumputan.
"Aku harus menyelamatkan Nyai Betari Ayu dulu! Aku sudah tahu siapa orang yang menyerangnya!" pikir Suto.
Secepat kilat ia angkat tubuh yang terkulai lemah itu, lalu ia jejakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang melompati batu demi batu,
akhirnya menerobos masuk ke curahan air terjun. Di balik air terjun itu
ada pintu gua. Slaap...! Suto masuk ke dalam gua dan segera meletakkan
Nyai Betari Ayu di atas pembaringan tak berkaki. Pembaringan itu dulu
bekas tempat tidur Suto selama Pendekar Mabuk menjadi murid si Gila
Tuak.
Pendekar Mabuk segera menggenggam telapak kaki Nyai Betari Ayu, lalu ia menggumam sendiri, "Hmmm... masih sedikit hangat!"
Segera ia meneguk tuaknya. Sebagian tuak tersimpan di mulut hingga
pipinya menggelembung. Pendekar Mabuk pejamkan mata sebentar, lalu
segera tempelkan mulutnya ke mulut Nyai Betari Ayu. Tuak dalam
mulutnya itu segera disemburkan ke dalam tenggorokan Nyai Betari Ayu.
Bruuus...!
Tersentak tubuh Nyai Betari Ayu seketika bagai mendapat kejutan. Kemudian Suto mengulanginya sekali lagi.
Bruuus...!
Tersentak lagi tubuh Nyai Betari Ayu, lalu terdengar suaranya mengerang
lirih. Suto merasa lega. Itu pertanda jiwa Betari Ayu bisa
tertolong, tinggal menunggu kesembuhan berikutnya.
Pendekar Mabuk memiringkan tubuh Nyai Betari Ayu, memeriksa noda
merah di punggung Nyai. Noda itu makin menipis. Itu tandanya pengaruh
tuak bertenaga dalam yang berguna untuk pendingin hawa panas telah
bekerja. Andaikata Pendekar Mabuk tidak segera bertindak cepat,
maka bagian dalam tubuh Nyai Betari Ayu akan hangus terbakar ilmu
tenaga dalam yang sangat tinggi dan berbahaya itu.
"Aku harus segera mengejar Putri Alam Baka!" geram Suto,
merasa keasyikannya terganggu oleh serangan mendadak dari murid
Nyai Lembah Asmara itu.
"Tetapi Nyai Betari Ayu tidak ada yang menunggui. Jika sewaktu-waktu
musuh datang dan mengancam nyawanya, bisa berbahaya. Untuk sementara
dia akan lumpuh karena pukulan tenaga dalam yang tinggi itu. Dia hanya
akan mempunyai luapan kemarahan namun tak akan bisa banyak
melakukan gerakan. Uuh...! Kemana Guru?! Mengapa sampai
sekarang belum datang juga?"
Pendekar Mabuk sempat bimbang sebentar. Hatinya gelisah, dadanya
bergemuruh. Hasratnya ingin segera memburu lawan, tapi cemas
meninggalkan Nyai Betari Ayu.
"Hmmm... begini saja! Cincin ini kusematkan di jarinya saja!
Kalau ada ancaman bahaya datang, kemarahan Nyai Betari Ayu bisa
membuat cincin ini melancarkan kekuatan tenaga dalamnya dan menyerang
musuh!"
Maka, setelah Suto menyematkan Cincin Manik Intan, ia pun segera
tinggalkan Nyai Betari Ayu. Pada saat itu keadaan Betari Ayu belum
sadar sepenuhnya, namun napasnya tampak terengah-engah dan kepalanya
bergerak-gerak pelan.
"Sebelum ia lari jauh, aku harus sudah bisa mendapatkannya!" pikir Pendekar Mabuk saat meninggalkan gua tersebut.
Dalam kejap berikutnya, Suto sudah berada di tempat Putri Alam Baka
tadi berdiri. Tempat itu telah kosong. Pendekar Mabuk tak melihat
gerakan-gerakan yang mencurigakan. Tetapi ia melihat patahan daun
ilalang dan beberapa ranting lainnya. Jelas, ranting itu patah
karena terabasan larinya Putri Alam Baka. Maka, Pendekar
Mabuk pun segera mengejarnya ke arah tersebut.
Pendekar Mabuk mengejar dengan menggunakan ilmu silumannya, sehingga
gerakan Pendekar Mabuk tak dapat terlihat oleh mata karena
kecepatannya yang luar biasa. Dalam kejap yang singkat, Pendekar Mabuk
telah berada jauh dari Jurang Lindu. Bahkan sekarang
tubuhnya telah hinggap di atas pohon, seperti menunggu mangsanya lewat.
Dugaan Suto benar. Tak lama kemudian, terlihat dua sosok manusia
berkelebat lari dengan cepat bagai anak panah yang terlepas dari
busurnya.
Duarrr...! Duarrr...!
Pendekar Mabuk hantamkan pukulan tenaga dalamnya yang membuat dua pohon tumbang seketika,
menghadang langkah kedua sosok yang berlari cepat itu. Dan pada saat dua
sosok itu berhenti, Pendekar Mabuk pun segera sentakkan ujung jari
kakinya pada dahan, lalu tubuhnya melesat terbang dan bersalto
satu kali, akhirnya mendarat di tanah di hadapan kedua orang itu
Dengan bumbung tuak tersandang di punggung bagaikan pedang
maut, Suto berdiri pancarkan kemarahan kepada dua orang yang ada
di depannya. Suaranya menggeram saat ia berkata,
"Rupanya kau tidak sendirian, Putri Alam Baka!"
"Ya. Aku yang mendampinginya!" jawab orang yang ada di samping Putri Alam Baka.
Dia adalah seorang lelaki, berbadan masih segar tapi kelihatannya sudah
cukup umur, antara lima puluh tahunan. Tak terlalu besar
badannya, juga tak terlalu kurus. Ia mengenakan caping hitam dengan
kumis dan jenggotnya yang mulai ditumbuhi uban. Orang itu
mengenakan pakaian abu-abu dan kancing bajunya tidak dirapatkan. Orang
itu juga menyandang pedang di punggungnya, dan jari-jari tangannya
mempunyai kuku yang panjang dan runcing. Dari balik capingnya, wajah itu
terlihat angker dan bengis. Suara tuanya terdengar menggeram jika
bicara.
"Aku tidak mengenal siapa dirimu, Pak Tua. Aku hanya mengenal Putri Alam Baka itu!"
Yang menyahut Putri Alam Baka dengan suara ketusnya, "Dia suamiku!
Aku terpaksa kembali berada di sampingnya, karena dia bersedia
membantuku melawanmu, juga melawan Betari Ayu untuk menebus
kekalahanku di Bukit Garinda!"
"O, jadi kau menghilang dari Bukit Garinda untuk meminta bantuan kepada
bekas suamimu?! Hmm... ada berapa orang yang menjadi bekas suamimu?
Mengapa tidak semuanya saja kau bawa kemari untuk menghadapi aku dan
Betari Ayu?!"
"Jangan sesumbar bacotmu, bocah ingusan!" geram orang bertudung hitam.
"Mulutmu bisa kurobek tanpa ampun lagi jika kau sesumbar di depanku!"
"Pak Tua...!" kata Suto dengan tegas. "Jangan merasa terlalu mudah
merobek mulutku sebelum kau coba dulu merobek mulutmu sendiri! Karena
merobek mulut orang itu pekerjaan yang sulit, apalagi orang itu
mampu berkelit!"
"Jangan mengguruiku, Setan!" bentak orang berhidung hitam. "Kau tak
patut mengguruiku. Bahkan gurumu sendiri, Bidadari Jalang, tak punya
kepatutan mengguruiku!"
"Hei, Pak Tua... siapa dirimu sehingga kau bawa- bawa nama bibi guruku itu?!"
"Apakah gurumu. Bidadari Jalang, tak pernah
bercerita tentang hutang nyawanya dengan guruku?" "Siapa nama gurumu, Pak Tua?"
"Iblis Pulau Bangkai!"
Suto terkesiap sejenak. Mencoba mengingat cerita bibi gurunya tentang Iblis Pulau Bangkai. Lalu Suto berkata,
"Ya. Memang Bibi Guru pernah bercerita tentang musuhnya yang berjuluk Iblis Pulau Bangkai. Tapi dia
sudah mati dan dengan mudahnya dikalahkan oleh Bibi
Guru!"
"Tapi dia masih punya satu murid lagi, Suto!" kata orang bertudung hitam, dengan mudahnya menyebut nama Pendekar Mabuk.
"Hmm... ya, seingatku Bibi Guru pernah bercerita tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang bernama Nagadipa."
"Akulah Nagadipa...!"
Orang itu berkata dalam geram, kemudian membuka tudungnya dan
menampakkan wajahnya yang ber tampang bengis itu. Rambutnya
sedikit botak di bagian atasnya, tapi yang lainnya panjang sampai
melewati pundaknya.
"O, jadi kaulah murid tersisa dari Iblis Pulau
Bangkai?!"
"Ya. Dan bagaimana jika murid bertemu murid untuk membereskan hutang
gurunya, hah?! Setelah kubereskan muridnya, segera akan kubereskan
gurunya! Biar sama- sama meratap di dasar neraka!" geram Nagadipa dengan
matanya yang menampakkan kebengisan. Sepertinya ia sangat tak sabar
ingin segera merobek-robek tubuh Pendekar Mabuk dengan
kuku-kukunya yang panjang
dan runcing itu.
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
4
BIDADARI Jalang memang pernah bercerita kepada Suto tentang
pertarungannya dengan Iblis Pulau Bangkai. Juga, cerita tentang murid
Iblis Pulau Bangkai yang masih penasaran menuntut balas atas
kematian gurunya.
Tapi seingat Suto, Bidadari Jalang menceritakan tentang murid
Iblis Pulau Bangkai yang bernama Nagadipa itu sebagai pemuda
yang tampan dan menawan. Waktu Bidadari Jalang terakhir
kalinya melawan Nagadipa di sebuah pantai, orang itu dengan
ketampanannya hampir menjerat Bidadari Jalang, yang waktu itu terkena
racun birahi dari Tiga Pendekar Tibet (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Hati Pendekar Mabuk sempat ragu melihat penampilan pak tua yang mengaku
sebagai Nagadipa itu. Mulanya Suto menganggap orang itu hanya mengaku-
ngaku saja sebagai Nagadipa supaya punya alasan bermusuhan dengan
Suto. Tapi kejap berikutnya Suto menyadari, bahwa waktu Nagadipa
melawan Bidadari Jalang di pantai, keadaan Suto masih kecil,
masih berusia delapan tahun.
Terbayang samar-samar dalam ingatan Pendekar Mabuk waktu ia
menyaksikan pertarungan itu dari suatu tempat bersama gurunya; si Gila
Tuak. Wajah Nagadipa memang masih tampan, berusia tiga puluhan, tapi
sudah mampu membuat Bidadari Jalang terdesak mundur beberapa
kali.
Sekarang, dalam keadaan usia sudah semakin menua, tentu saja ilmunya
semakin tinggi. Dua puluh tahun Nagadipa tidak pernah bertemu dengan
Bidadari Jalang maupun Suto, tentunya ia sudah punya bekal cukup
banyak untuk mengalahkan Bidadari Jalang.
Agaknya Putri Alam Baka sangat mengunggulkan bekas suaminya itu.
Dengan suaranya yang berat ia lontarkan kata kepada Pendekar Mabuk,
"Rasa-rasanya usiamu tinggal sejengkal waktu lagi, Pendekar Mabuk.
Sebaiknya pergilah bercinta dengan mayat Betari Ayu agar kau bisa
merasakan kehangatan tubuhnya yang terakhir kalinya, karena suamiku ini
tak akan lamban dalam mencabut nyawamu!"
"Kau salah duga, Putri Alam Baka! Betari Ayu tidak mati, justru akan bangkit menghadapimu dan menghancurkan tubuhmu!"
"Omong kosong! Suamiku telah melepaskan pukulan dahsyatnya yang bernama
'Mata Iblis'! Tak mungkin ada lawan yang bisa selamat dari pukulan 'Mata
Iblis'-nya!"
Suto sunggingkan senyum meremehkan. Katanya, "Apa hebatnya
pukulan 'Mata Iblis' kalau nyatanya Betari Ayu masih bisa
tertolong?"
"Dusta!" bentak Nagadipa. "Pukulan 'Mata Iblis' tak bisa diselamatkan oleh ilmu apa pun!"
"Nyatanya bisa!"
Putri Alam Baka mengalihkan pandang pada Nagadipa dengan tatap kecewa.
Kelihatannya ia mulai tampak bimbang dengan kesanggupan dan
kehebatan Nagadipa. Melihat kebimbangan Putri Alam Baka,
Nagadipa segera unjuk ilmu di depan bekas istrinya itu.
Ia jejakkan kaki kanannya ke tanah satu kali. Jlegg...! Jejakan kaki itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tersalur, membuat tubuh Pendekar
Mabuk tersentak naik ke atas bagai terlonjak. Ilmu seperti itu juga
dimiliki beberapa tokoh sakti, termasuk Datuk Marah Gadai.
Tetapi, Pendekar Mabuk tetap tenang walau ia hampir tergelincir jatuh
saat terlempar ke atas tadi. Ia pun sentakkan kakinya ke bawah
dengan sangat pelan. Jliggg...! Dan, mendadak tubuh Nagadipa
bagaikan amblas ke bumi sebatas mata kaki.
Putri Alam Baka terkesiap melihat Nagadipa terbenam sebatas mata kaki.
Nagadipa sendiri buru-buru hentakkan tubuh dan lepas dari tanah penjepit
kakinya. Wiiigh...! Jlegg...!
Kembali ia berdiri di samping Putri Alam Baka dan membatin,
"Kurang ajar! Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi' rupanya! Ilmu itu
jarang dimiliki orang, kecuali si Gila Tuak! Untung ilmuku cukup
tinggi, jika tidak bisa amblas ke bumi sekujur tubuhku!"
Putri Alam Baka masih memandangi Nagadipa dengan curiga, ia
kecewa melihat Nagadipa bisa tersedot ke dalam tanah, padahal
Pendekar Mabuk hanya menjejakkan kaki dengan pelan. Jika Pendekar
Mabuk menghentakkan kakinya dengan kuat, habis sudah tubuh Nagadipa
ditelan bumi, pikir Putri Alam Baka. Perempuan bersenjata seruling itu
lalu berbisik,
"Mana kehebatanmu? Jangan-jangan kau tak mampu
melawan Suto!"
Bisikan itu ditangkap Pendekar Mabuk dalam jarak lima langkah. Tapi
Pendekar Mabuk hanya diam saja, hanya sunggingkan senyum tipis.
Nagadipa merasa diremehkan oleh Suto, lalu ia membalas
dengan lemparan tudungnya ke arah Pendekar Mabuk.
Tudung diambil dari kepala dan dilemparkan memutar dengan gerakan
begitu cepat. Wuuut...! Pendekar Mabuk merendahkan kepalanya
menghindari hempasan tudung hitam. Tetapi ternyata tudung itu
mempunyai gelombang tenaga dalam yang membuat tubuh Pendekar Mabuk
merunduk jadi tersungkur jatuh ke tanah. Sementara itu, tudung tersebut
berputar terus dan kembali ke tempatnya semula. Tapp...! Tangan
Nagadipa menangkapnya. Putri Alam Baka tersenyum lebar dengan wajah
ceria. Ia merasa senang dan bangga melihat kebolehan jurus tudung
Nagadipa.
Wajah Pendekar Mabuk hampir saja mencium tanah karena tersungkur, bagai
ada tenaga yang sangat kuat menghantam tengkuk kepalanya. Kalau saja
tangannya tidak cepat mencagak, maka hidung dan mulutnya habis terbentur
bebatuan yang ada di bawahnya. Pendekar Mabuk segera bangkit
dan berhasil menggenggam kerikil di tangannya. Kerikil itu segera
disentilkan ke arah tudung Nagadipa yang sudah dipakai di
kepala. Zlappp...! Kerikil itu melesat tak dapat dilihat, tapi tiba-
tiba tudung Nagadipa terhempas terbang dalam satu sentakan keras.
Prakkk...!
Putri Alam Baka dan Nagadipa sama-sama
terperanjat kaget. Tudung itu jatuh antara tiga langkah dari tempat
Nagadipa berdiri. Ketika diambil kembali, ternyata ada bagian tepinya
yang bolong melompong sebesar biji salak. Nagadipa semakin
terbelalak kaget.
Ia membatin, "Gila! Tudung ini kulapisi dengan satu kekuatan baja yang
tak bisa dirusak oleh kekuatan apa pun! Pedang setajam apa pun tak akan
mampu melukai tudung ini. Tapi kenapa, sekarang bisa menjadi bolong
begini? Hmmm... tentu ini ulah bocah ingusan itu! Jahanam...!
Ilmunya tak bisa disepelekan!"
Terdengar suara Putri Alam Baka berbisik, "Kenapa bisa berlubang tudungmu itu?!"
"Entahlah!" jawab Nagadipa. Ia merasa kesal mendapat pertanyaan seperti itu, karena merasa malu pada diri sendiri.
Suto berkata dalam hatinya, "Putri Alam Baka ini agaknya terlalu
banyak menuntut dari Nagadipa. Aku bisa mempengaruhi mereka dengan
caraku sendiri agar mereka tidak saling bantu-membantu."
Tapi sebelum Pendekar Mabuk sempat melakukan rencananya, Nagadipa sudah lebih dulu berkata,
"Pendekar Mabuk! Sudah waktunya kau menjadi tumbal kesalahan gurumu, si Bidadari Jalang itu!"
"Aku sudah siap menghadapi kalian berdua!"
"O, tak perlu berdua. Cukup aku saja yang membereskan dirimu. Biar istriku jadi penonton yang baik!"
"Majulah, Nagadipa. Tapi aku tak tanggung jika istrimu kecewa melihat polahmu seperti anak kecil!"
"Bocah tak tahu diuntung!" geram Nagadipa. "Hiaaat...!"
Cepat sekali tangan Nagadipa bergerak berkelebat
depan seperti orang melemparkan pasir ke atas. Dan pada saat itu,
Pendekar Mabuk segera bersalto mundur satu kali, karena ia merasakan
akan datangnya gelombang panas yang hampir menyambar tubuhnya.
Dengan bersalto ke belakang satu kali, semburan gelombang
panas itu terhindar darinya. Melesat mengenai sebatang dahan pohon,
dan dahan itu tiba-tiba menjadi kering dalam sekejap.
Putri Alam Baka kelihatan kagum dan bangga melihat serangan itu walaupun meleset, ia berkata kepada Nagadipa,
"Desak terus dia. Jangan kasih kesempatan sedikit pun!"
Baru saja diam mulut Putri Alam Baka, tiba-tiba Suto Sinting sudah
meraih bumbung tuaknya yang sejak tadi berselempang di punggung.
Bumbung itu dipegang bagian talinya dan kini diputar-putarkan di atas
kepala. Wuung...! Wuuung....! Wuuung...!. Bunyi putaran bumbung
menggaung bagaikan suara gangsing.
Pada saat itu, tubuh Nagadipa pun ikut berputar-putar tak bisa
dikendalikan berhentinya. Tubuh itu makin lama makin cepat berputar dan
hampir saja menabrak Putri Alam Baka. Perempuan itu segera
melompat ke samping, dan tubuh Nagadipa tertabrak batang pohon
besar. Brusss...! Bluggg...! Tubuh itu pun jatuh dalam geram kesakitan
dan kemarahan.
"Bangun! Lekas bangun!" sentak Putri Alam Baka kepada Nagadipa.
Dengan perasaan masih pusing, Nagadipa pun
berusaha untuk bangkit.
"Lemah sekali kau! Baru menghadapi jurus begitu saja sudah sempoyongan seperti orang mabuk!"
Pendekar Mabuk sengaja melontarkan ejekan,
"Bawalah dia pergi. Aku yakin, dia tak tahu arah pulang ke rumahnya, Putri Alam Baka!"
Perempuan itu menggeram marah karena bekas suaminya yang
dibanggakan itu dihina oleh Suto. Maka, sambil mencabut serulingnya
perempuan itu berkata,
"Jangan merasa bangga dengan ilmumu itu, Suto! Tandingilah seruling saktiku ini jika kau berilmu tinggi!"
Tuiiit...! Tulalit, tulalit, tulalit, tuiiii...!
Seruling ditiup dengan suara lengking tinggi, iramanya tak pasti.
Kalau tidak buru-buru Suto menutup telinganya dengan kedua tangan,
maka gendang telinganya pasti akan pecah.
Suara seruling itu ternyata merupakan suara tenaga dalam yang merayap
melalui gelombang nada seruling. Bukan hanya membuat gendang telinga
pecah, melainkan juga membuat hidung Suto mulai berdarah. Tubuhnya
limbung karena menahan rasa sakit di setiap lubang yang ada pada
tubuhnya, termasuk pada mulutnya.
Tetapi anehnya, Nagadipa tidak merasakan sakit sedikit pun walau ia
tidak menutup telinganya. Ia bahkan berdiri di samping Putri Alam Baka
dan memperhatikan
Pendekar Mabuk sempoyongan sambil menggeram kesakitan. Darahnya makin banyak keluar dari hidung.
"Bunyikan terus serulingmu biar aku yang
menyelesaikannya sekarang juga! Hiaaat...!"
Kedua tangan Nagadipa terangkat dengan gemetar. Setiap kuku
tangannya memercikkan bunga api warna biru, bagai tali-tali menyala
yang berkeliaran mengelilingi kuku ke kuku, Pendekar Mabuk tak bisa
bersiap menghadapi pukulan Nagadipa, karena tangannya mendekap lubang
telinga kuat-kuat. Hanya saja, ia masih bisa melihat kelebatan
kedua tangan Nagadipa yang mirip gerakan orang memercikkan
tangan basahnya.
Craaat...!
Berkilap sinar biru yang menyerupai benang-benang menyala itu. Melesat
sinar itu ke arah Suto. Dengan cepat kaki Suto menjejak ke tanah
dan melompat lima langkah ke samping kanannya. Brukk...! Ia jatuh di
sana dan melompat lima langkah ke samping kanannya. Brukkk...! Ia
jatuh di sana sambil berguling dan tetap mendekap telinga.
Bleger...!
Suara ledakan menggema keras akibat cahaya biru dari kuku-kuku
Nagadipa itu mengenai sebatang pohon yang tadi ditumbangkan oleh
Pendekar Mabuk. Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tak
berbentuk sedikit pun.
Tulalit, tuiiit... tuiit... tulaliiiit... tuiit...!
Seruling semakin nyaring. Kepala Pendekar Mabuk
bagaikan mau pecah rasanya. Ia menahan tangisnya kuat-kuat untuk
menutup telinga agar tak ditembus suara seruling itu. Sementara darah
sudah mulai banyak keluar dari lubang hidung, sudut mata dan mulut. Ia
terpisah dari bumbung tuaknya, sehingga ia tidak bisa meggunakan
bumbung itu untuk menangkis atau melawan serangan Nagadipa dan Putri
Alam Baka.
Pendekar Mabuk berdiri dengan lututnya sambil mulutnya ternganga
menahan rasa sakit di kepala. Pada waktu itu ia melihat Nagadipa melepas
tudungnya, dan melingkari tudung itu dengan jari tangannya. Maka,
tudung itu tersebut menjadi menyala biru.
"Mampuslah kau sekarang, murid sinting! Hiaaat...!" Nagadipa melemparkan tudung itu ke arah Pendekar Mabuk. Wusss...!
Suto Sinting yang dalam keadaan tak bisa menghindar dan menangkis serangan itu akhirnya menyentakkan napasnya dari mulut.
"Hahhh...!" Wuuuoosss...!
Terlepaslah badai topan yang begitu mengganas
menyerang Nagadipa dan Putri Alam Baka. Sentakan napas Pendekar
Mabuk itu tak seberapa keras, tapi telah membuat tubuh Nagadipa
terlempar jauh, lebih dari sepuluh langkah, sedangkan Putri Alam Baka
terlempar lebih jauh, bahkan sampai terseret-seret dan berdarah. Pohon
besar meliuk nyaris tumbang. Sedangkan pohon yang berukuran sedang
telah rubuh ke tanah. Beberapa pohon berukuran satu pelukan tangan
lebih sedikit,
tumbang dengan akarnya terangkat naik, bahkan terseret ke mana-mana,
menghantam apa saja yang ada hingga dahannya menjadi retak, patah tak
karuan.
Gerakan pohon yang patah itu menghantam pula tubuh Nagadipa
beberapa kali. Orang itu berusaha berpegangan pada salah satu akar
pohon yang tumbang. Tapi karena kuatnya pegangan, pohon itu justru
ikut terseret menjauhi Suto. Akhirnya pegangan tangan itu terlepas,
Nagadipa terguling-guling. Tudungnya entah ada mana. Sedangkan Putri
Alam Baka pun entah ke mana.
Badai topan yang datang begitu mengerikan. Sepertinya bumi akan
terbelah, langit akan runtuh. Seketika itu pula kabut hitam mendung
menggantung di angkasa. Gumpalan-gumpalan kabut itu meliuk-liuk
bagai ada topan dahsyat di atas sana. Matahari tertutup oleh kabut
tebal yang bergulung-gulung mengerikan. Suara gemuruh tak jelas dari
jenis apa saja. Binatang- binatang hutan saling berjeritan membuat
suasana alam menjadi semakin gaduh dan riuh.
Beberapa saat kemudian, badai menjadi reda. Sedikit demi sedikit
kabut hitam di angkasa itu menyisih, cahaya matahari kembali tampak
menyinari bumi. Suara gemuruh gaduh pun mulai reda. Suto berdiri
dengan mata terbelalak tak berkedip. Ia sama sekali tak
menyangka kalau sentakan napasnya menjadi sedemikian dahsyat dan
mengerikan. Bumi seperti habis dilanda kiamat setempat. Bahkan Suto
melihat tanah yang longsor pada sebuah lereng. Ada yang terbongkah
dari keadaan aslinya. Batu-batu yang semula terpendam di tanah dan hanya
muncul di permukaan sedikit itu juga ada yang terpental keluar dan
menggelinding jauh dari tempat awalnya. Entah berapa yang tumbang dan
rusak berat akibat badai dahsyat tadi. Bahkan pohon besar pun sampai
sekarang masih meliuk dan tak bisa kembali tegak dari posisinya
semula.
"Pusaka Tuak Setan...?!" gumam Suto menjadi tegang dan ngeri sendiri.
"Aku telah menghempaskan napasku, dan napas itu adalah napas Tuak Setan!
Oh, mengerikan sekali?! Lantas bagaimana nasib Nagadipa dan Putri
Alam Baka...?! Di mana mereka?!"
*
* *
5
Maharani sungguh terkejut dan menjadi berang melihat teman
seperguruannya dalam keadaan terkoyak- koyak sekujur tubuhnya. Mata
kakinya remuk karena terhimpit batu besar, serulingnya pecah dalam
genggaman sendiri, darah membungkus seluruh bagian
tubuh Putri Alam Baka, hingga hampir-hampir wajahnya tak dikenalinya
lagi. Jika tak melihat seruling pecah di tangannya, Maharani tak dapat
mengetahui siapa tubuh yang terkapar berlumur darah itu.
"Sumbi!" panggil Maharani menyebut nama asli Putri Alam Baka. "Apa yang terjadi si sini, Sumbi? Mengapa jadi begini?!"
Putri Alam Baka masih punya sisa napas walau sejengkal. Matanya
yang kiri nyaris keluar dari rongganya, namun mata yang kanan masih bisa
dipakai untuk melihat walau hanya terbuka kecil sekali. Bibirnya yang
hancur karena benturan dengan benda keras beberapa kali itu
mencoba bergerak-gerak untuk bicara.
"Oh, Sumbi... tak bisakah kau bicara lebih jelas lagi?" Maharani terpaksa dekatkan telinga ke mulut Putri Alam Baka
Samar-samar terdengar Putri Alam Baka ucapkan kata,
"Su... to...!"
Setelah itu ada napas kecil yang terlepas dari mulut Putri Alam Baka.
Lepasnya napas itu bersamaan dengan tergoleknya kepala ke samping.
Lemas dan lunglai. Setelah itu, tak ada lagi gerakan maupun suara dari
Putri Alam Baka.
"Sumbi!" seru Maharani menyentak dalam nada tegang. "Sumbi! Apa maksudmu dengan Suto?! Jawablah, Sumbi! Sumbiii...!"
Maharani guncangkan tubuh berlumur darah itu. Tapi si pemilik tubuh tetap diam membisu tanpa napas sedikit
pun. Lalu, meraunglah tangis Maharani begitu menyadari temannya sudah tidak bernyawa lagi.
Hati Maharani diguncang duka dan kemarahan yang
begitu hebat. Tak tahu pasti apa penyebab kematian satu- satunya teman
yang tersisa dari perguruannya, Maharani mengamuk tanpa arah dan
sasaran. Hanya batang-batang pohon, bongkahan-bongkahan batu, dan
benda-benda di sekitarnya yang menjadi sasaran kemarahan Maharani.
Benda-benda itu dihancurkan dengan pukulan dan tendangan
bertenaga tinggi. Senjata kipasnya pun ikut ambil bagian menghantam ke
sana-sini hingga timbulkan suara ledakan yang menggetarkan tanah
sekitarnya.
"Hentikan! Hentikan!" seru seseorang dengan suara gemetar.
Maharani cepat palingkan wajah dengan napas terengah-engah.
Ia segera kenali orang yang tanpa tudung lagi namun masih
berpakaian abu-abu itu. Pakaiannya compang-camping bagai habis
dikoyak cakar beruang. Kulit tubuhnya pun terluka banyak,
seolah habis dirobek-robek oleh dua ekor harimau jantan. Orang
berkumis dan berambut banyak uban itu tak lain adalah Nagadipa.
Maharani tertegun melihat keadaan Nagadipa seperti itu. Setahunya,
Nagadipa orang berilmu tinggi yang jarang bisa dilukai oleh lawan.
Tapi mengapa sekarang keadaan lukanya sedemikian parah? Maka,
Maharani pun segera ajukan tanya kepada Nagadipa yang berdiri dengan
bersandarkan tubuh pada pohon yang masih tegak berdiri.
"Apa yang terjadi, Nagadipa?! Mengapa bumi bagaikan habis
dilanda banjir dan badai yang buas begini? Mengapa Putri Alam
Baka menderita luka sebegitu parahnya hingga tak bernyawa lagi?!"
"Bawalah aku pergi ke tempat yang aman. Lekas! Nanti kuceritakan
apa yang sebenarnya terjadi. Aku butuh tempat aman untuk
mengobati luka-lukaku ini, Maharani!"
"Nagadipa...."
"Bawalah aku! Tenagaku tak kuat lagi untuk bertahan!"
Tak ada pilihan lain buat Maharani. Ia harus segera
membawa Nagadipa pergi. Tempat yang dipilihnya juga tak ada yang lain
kecuali ke tempat asal Nagadipa, yaitu sebuah pulau yang dikenal dengan
nama Pulau Bangkai.
Pendekar Mabuk melihat kelebatan Maharani yang membawa pergi
Nagadipa. Tapi Pendekar Mabuk sengaja tidak mengejarnya. Ia masih
ingin memeriksa keadaan alam sekitarnya, sejauh mana bencana yang
ditimbulkan oleh kekuatan dahsyat dari napas Tuak Setan.
Sebenarnya Pendekar Mabuk sudah sering mendengar akibat yang
ditimbulkan dari napas Tuak Setan. Tapi untuk kali ini Suto
benar-benar merasa heran dan juga menyesal. Karena pada waktu ia
sentakkan napas dari mulutnya, ia tidak bermaksud melepaskan
Pusaka Tuak Setan dari dalam napasnya itu. Ia menyentakkan
napas karena ingin membuang rasa sakit yang tak tertahankan lagi, yang
ditimbulkan akibat suara
seruling Putri Alam Baka itu.
Terngiang kembali ucapan gurunya, si Gila Tuak, saat membicarakan tentang Pusaka Tuak Setan,
"Orang yang menelan atau meminum Pusaka Tuak Setan, akan mempunyai napas
yang luar biasa dahsyatnya. Sedikit napas tersentak dari mulut
orang yang diliputi kemarahan, maka badai topan yang amat dahsyat
akan menghembus keluar dan memporak- porandakan alam sekitarnya.
Karena itu, aku tak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan, karena
aku masih sering dihinggapi amarah yang walau dipendam tetap akan
menghasilkan napas badai yang dapat membawa korban tak bersalah...."
Korban tak bersalah memang ada. Bukan harus dalam wujud manusia, tapi
hancurnya sebidang tanah hutan juga bisa digolongkan sebagai
korban tak bersalah. Binatang-binatang hutan yang mati tergencet
pohon, atau pecah terbentur benda keras dengan kekuatan tinggi,
juga sebagai korban tak bersalah.
Pendekar Mabuk bergidik sendiri melihat seekor babi hutan pecah
kepalanya di dekat bongkahan batu besar. Kulit babi hutan itu
tercabik-cabik terkelupas dari tubuhnya. Pohon-pohon hutan
bagaikan rata dengan tanah. Ambruk tak tertolong lagi. Akar-akar
pohon terpental keluar dari dalam bumi. Persawahan pun hancur
lebur tak berbentuk barisan tanaman padi lagi.
Badai yang ganas itu untung tak sampai memporak- porandakan sebuah desa
yang letaknya jauh dari lereng bukit itu. Namun dari tempat Suto
berdiri, ia melihat
sebatang pohon kelapa tumbang dan beberapa genteng melorot dari atap.
Suto pun segera lari ke desa untuk melihat lebih jelas lagi.
Ternyata memang tidak ada korban manusia di sana kecuali dua ekor kerbau
yang sedang dilepas di tepian sawah dekat tanah lapang. Dua ekor kerbau
itu masing- masing dalam keadaan kepala pecah dan tubuh terkoyak-
koyak. Dua ekor kerbau itu mati dalam keadaan telentang,
keempat kakinya mengeras ke atas.
Dari percakapan orang-orang desa itu terpetik satu kesimpulan dalam
benak Suto, bahwa mereka hanya mengalami rasa takut yang begitu
hebat. Bahkan ada yang menyangka langit akan rubuh dan bumi
akan mengalami kiamat. Kerugian yang ditimbulkan dan diderita
oleh penduduk desa itu tak seberapa banyak, kecuali pemilik dua
ekor kerbau yang genteng atap rumahnya hampir melorot semua. Kepada
pemilik dua ekor kerbau itu, Suto memberikan sejumlah uang
sebagai ganti ruginya.
"Uang untuk apa itu, Anak Muda?"
"Terimalah saja, Pak. Kurasa cukup untuk membeli dua ekor kerbau dan membenahi genteng rumahmu."
Pendekar Mabuk memang tidak jelaskan apa yang terjadi dan apa
yang menjadi penyesalannya. Mereka belum tentu mau percaya dengan
omongan Suto Sinting. Buatnya yang penting sudah menebus penyesalan
itu dengan memberikan uang ganti rugi secukupnya kepada korban tak
bersalah.
"Mudah-mudahan jangan lagi aku menggunakan
napas Tuak Setan-ku ini. Aku harus bisa mengendalikan amarahku dan
menahan diri untuk tidak melampiaskan amarah dengan hembusan napas.
Kalau tidak sangat terpaksa dan tak punya jalan lain, jangan lagi
kugunakan napas Tuak Setan-ku ini! Kasihan mereka yang tak
bersalah menjadi korban keganasan napas Tuak Setan!" pikir Suto sambil
langkahkan kaki meninggalkan desa itu. Ia ingin memeriksa alam di sisi
lain, barangkali ada korban lain yang menderita akibat amukan badai
dahsyat dari napas Tuak Setan-nya itu.
Tiba di pinggiran sungai bertanggul tinggi, langkah Suto terhenti
seketika karena anak panah yang meluncur cepat dan jatuh menancap tanah
di depan langkahnya. Secara gerak naluri Pendekar Mabuk melenting ke
atas dan bersalto mundur satu kali. Kemudian setelah
sepasang kakinya tegak berdiri di atas sebuah batu besar yang tingginya
dua depa dari tanah, Suto memandang arah datangnya anak panah itu.
Ternyata dari atas tanggul, dan diluncurkan dari busur seorang
lelaki kerdil berambut jarang. Bagian tengah kepalanya tak ditumbuhi
rambut sedikit pun. Botak polos dan mengkilap. Tapi dari bagian
atas telinga memutar sampai di telinga satunya lagi ditumbuhi rambut
sedikit lebat. Panjangnya kurang dari batas pundak. Karena tak terlalu
lebat, rambut itu seolah-olah bisa dihitung jumlahnya.
Lelaki kerdil yang tingginya sebatas perut Suto itu melompat dengan
gerakan lincah dan ringan. Dari atas tanggul ia bersalto turun dua kali.
Kejap selanjutnya ia
sudah berdiri di depan Suto. Kepalanya mendongak keatas, karena di
samping Pendekar Mabuk lebih tinggi, juga karena keadaan Pendekar
Mabuk saat itu di atas batu tinggi. Ia berseru dengan tangan masih
menggenggam busur panah, sedangkan tempat menaruh anak panah lainnya
ada di punggung. Tempat menaruh anak panah itu terbuat dari kulit
berbentuk kantung panjang warna hitam kecoklatan, mempunyai tali
pengait yang membuat anak panahnya tidak jatuh berantakan walau
dipakai jungkir balik di udara.
"Kaukah yang... yang... namanya Sut... Suto?!" serunya sambil
menyunggingkan senyum yang lebih tepat dikatakan sebagai seringai
yang konyol.
Suto melompat turun dari atas batu. Wuuttt...! Kejap berikut ia sudah
berada di depan lelaki kerdil yang bertampang tua itu. Dilihat
dari ketuaan wajahnya, Suto menduga lelaki itu berusia antara lima puluh
tahun lebih, namun belum sampai enam puluh tahun.
Cukup waspada Suto memperhatikan gerak-gerik orang aneh itu.
Yang diperhatikan ternyata tidak menimbulkan kesan bermusuhan.
Orang itu mencabut anak panahnya yang tadi menancap di tanah
sambil berlari-lari diiringi bibir yang cengar-cengir. Kemudian kembali
menemui Suto setelah mendapatkan anak panahnya.
"Siapa kau, Pak Tua?"
"He he he... ja... jawab du... dulu pertanyaanku! Kau... kau yang bernama Sut... Sut... Suto?"
"Ya. Aku Suto, murid sinting si Gila Tuak!" jawab
Suto dengan tegas sambil tetap pandangi orang kerdil berpakaian serba
putih dari bahan kulit binatang berbulu putih. Bentuk celananya pendek,
bentuk bajunya mirip rompi panjang. Semuanya dari kulit binatang,
yang menurut dugaan Suto adalah kulit beruang putih. Di
pinggang orang itu terselip dua pisau bersarung yang panjangnya satu
setengah jengkal. Masing-masing ada di pinggang kiri dan kanan.
"Sen... senang sekali aku bis... bisa bertemu denganmu, Suto!"
Dalam hati Pendekar Mabuk membatin, "Orang ini bicaranya
tersendat-sendat. Apakah karena dia gugup bertemu denganku atau
karena memang begitulah lagak bicaranya?"
Orang itu segera ucapkan kata lagi, "Nam... nam... namaku... Gatra Laksana, tap... tapi julukanku... Dewa Racun!"
Pendekar Mabuk akhirnya tertawa seperti orang menggumam, ia merasa geli
sendiri melihat Dewa Racun bicaranya seperti orang tertelan biji
kedondong. Dan melihat Suto tertawa, Dewa Racun kerutkan dahi dalam
tatap matanya yang sedikit menyipit itu.
"Ken... ken... kenapa kamu ter... ter... tertawa?"
"Aku menertawakan diriku sendiri. Alangkah bodohnya aku ini, tak bisa
mengenali tokoh tua yang berjuluk Dewa Racun," jawab Suto mengalihkan
anggapan, walau sebenarnya ia memang tak kenal dan belum pernah
mendengar nama Dewa Racun.
Mendengar jawaban itu, Dewa Racun tampaknya tak
jadi tersinggung, ia segera ucapkan kata gagapnya, "Kal... kal...
kalau begitu, kau termasuk or... orang beruntung."
"Mengapa beruntung?"
"Kar... karena kau sekarang sudah bisa mengenal dan berhadapan langsung de... dengan... Dewa Racun!"
"Apa hebatnya orang ini sehingga aku dianggap
beruntung bisa berhadapan dengan Dewa Racun?!" pikir
Suto.
Dewa Racun berkata lagi, "Nam... namamu juga cuk... cuk... cuk...."
"Cukur?!" sahut Suto
"Bukan. Cuk... cukup dikenal di kalangan rim... rimba persilatan. Ak...
aku dengar kau murid si Gila Tuak yang cuk... cukup terkenal itu.
Dan... dan... aku dengar kau cari-cari pe... pe..."
"Penyamun?!"
"Bukan. Perempuan! Ya, aku dengar kau cari-cari pe... perempuan
yang ber... bernama Dyah Sariningrum." Tersentak kaget Pendekar
Mabuk mendengarnya. Senyumnya hilang seketika begitu mendengar
nama Dyah Sariningrum disebutkan oleh Dewa Racun. Ia maju setindak dan
rendahkan badan, setengah jongkok di depan Dewa Racun agar wajahnya
sejajar dengan wajah
si kerdil itu.
"Apakah kau mengenal Dyah Sariningrum?"
"Ya. Ak... aku kenal nama itu," jawab Dewa Racun. "Tap... tap... tapi aku tidak tahu siapa dia dan di mana dia."
"Dari siapa kau tahu nama Dyah Sariningrum?" "Dar... dar... dar... dar...."
"Cepat katakan! Jangan hanya main dar-daran saja?!"
sentak Suto tak sabar.
"Maksudku, dar... dari mulut Peramal Pikun!" Pendekar Mabuk tertegun sejenak, ia berdiri dari
jongkoknya. Terbayang wajah bermata cekung bertubuh
kurus kering milik Peramal Pikun. Suto hampir saja melupakan
seraut wajah pikun. Dialah orang yang menjadi kunci tentang rahasia
nama Dyah Sariningrum. Tapi apa perlunya Peramal Pikun
memberitahukan kepada Dewa Racun?
"Apa maksudmu menemuiku, Dewa Racun?" tanya Suto. "Bukankah kau
tidak mengenal siapa Dyah Sariningrum kekasihku itu, dan tidak
tahu di mana dia berada?"
"Ya. Tap... tap.... Tapi aku disuruh Peramal Pikun untuk mencarimu.
Dia... dia dalam keadaan sakit parah kar... karena... sebutkan nama
Dyah Sariningrum di depanku."
Pendekar Mabuk kerutkan dahinya tajam-tajam, ia dekatkan kembali wajahnya kepada Dewa Racun dengan bungkukkan badan.
"Dia sakit parah karena sebutkan nama Dyah
Sariningrum?"
"Ya. Dia... tak boleh sebutkan nama itu, bah... bahkan mendengar nama
itu pun dia tak... tak boleh. Telinganya akan ber... ber...."
"Berkumis?"
"Bukan. Akan ber... berdarah jika mendengar nam... nama Dyah
Sariningrum. Sewaktu ia lup... lupa sebutkan nama itu di depanku, ia
langsung meng... meng...."
"Menghilang?!"
"Bukan, ia langsung mengeluarkan darah dari mul... mulutnya. Dia
langsung ter... ter... ter... terluka dalam. Dia but... butuh bantuanmu
secepatnya, Suto!"
"Aneh! Mengapa dia jadi terluka dan berdarah begitu? Apa
hubungannya antara nama Dyah Sariningrum lengan lukanya itu?"
"Entahlah! Yang... yang... yang jelas dia minta kau segera da... datang menemuinya!"
Suto menarik napas panjang, ia ambil bumbung tuak, dan menenggak
tuaknya beberapa teguk. Dewa Racun hanya memperhatikan dengan
senyum-senyum tak ada manisnya sama sekali, tapi tidak berkesan
bermusuhan.
"Apa hubunganmu dengan Peramal Pikun?" tanya Pendekar Mabuk mengawali langkahnya mendaki tanggul sungai yang tinggi itu.
"Hanya sebagai te... te... tetangga, eh... bukan! Hanya sebagai teman
biasa. Teman baik. Dul... dulu dia pernah tolong aku dan aku pun pernah
selamatkan nyawanya dari bahaya racun. Sejak itu ka... kami
mengikat tali persahabatan yang cuk... cuk... cukup baik."
"Hmmm...!" Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut.
Terbayang lagi dalam benak Suto Sinting wajah seorang perempuan
yang pertama kali hadir di alam semadinya itu. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tuak Setan"). Wajah cantik yang muncul di alam
semadinya itu membuat Suto mencucurkan air mata berdarah. Cucuran
air mata berdarah itu tidak disadari olehnya, namun dipahami oleh
gurunya, si Gila Tuak. Sejak itu, wajah yang mengaku bernama
Dyah Sariningrum itu sering hadir di alam mimpi Pendekar Mabuk dan
membuat Pendekar Mabuk sering dicekam rindu. Itulah sebabnya Suto tak
bisa menerima cinta Betari Ayu, karena ia sudah telanjur jatuh cinta
pada seraut wajah milik Dyah Sariningrum. Sayang sekali si Gila Tuak
juga tidak menjelaskan, siapa perempuan itu dan di mana letak
persinggahannya. Si Gila Tuak hanya mengatakan, bahwa wajah yang hadir
di alam semadinya Suto Sinting itu adalah calon jodoh Suto.
Itulah sebabnya Pendekar Mabuk memburu seraut wajah cantik bernama
Dyah Sariningrum dengan seribu godaan yang datang dari
perempuan-perempuan cantik lainnya. Perempuan-perempuan itu
terang-terangan jatuh cinta kepada Suto sampai siap korbankan nyawa,
tapi Suto tetap tak bisa menerima cinta dari perempuan
Sikap Suto Sinting yang menutup diri terhadap cinta perempuan lain
itulah yang membuat mereka jadi kecewa. Yang dulunya cinta
kepada Suto, sekarang berubah menjadi benci. Tetapi Pendekar Mabuk
tidak mengetahui adanya perubahan sikap mereka. Suto Sinting
tidak tahu bahwa jiwanya sedang dalam ancaman tiga perempuan
patah hati, yaitu Peri Malam, Selendang Kubur, dan Perawan Sesat.
Satu dari tiga perempuan patah hati itu sengaja menghadang
langkah Suto. Sebuah pukulan tenaga dalam dilancarkan dari
jarak jauh. Pukulan itu hanya sebagai pengganggu langkah saja,
tidak bermaksud menghabisi nyawa Pendekar Mabuk saat itu juga.
Pukulan tersebut segera dihadang dengan kelebatan tubuh kerdil Dewa
Racun yang melompat cepat di depan Suto. Lalu dengan sentakkan
tangan kirinya, Dewa Racun menghantam kilatan cahaya hijau yang menuju
ke arah Suto.
Wuugh...! Duub...! Kedua tenaga dalam itu beradu di udara.
Blarr...! Meledaklah benturan tenaga dalam tersebut, membuat Dewa Racun
terpental ke belakang membentur Suto, membuat keduanya berjumpalitan di
tanah.
"Apa-apaan kau ini, Dewa Racun!" sentak Pendekar Mabuk sedikit dongkol
karena matanya hampir tercolok busur di tangan Dewa Racun.
"Ada yang... yang... yang ingin menghantammu dari tempat jauh!"
"Aku tahu. Tapi aku bisa atasi sendiri. Tak perlu kau
yang menghalangi pukulan itu."
"Ak... aku... cuma mau selamatkan kam... kam...." "Kambing?!" sentak Suto.
"Kamu!" Dewa Racun ganti membentak. Keduanya
segera tegak berdiri, karena dari atas pohon meluncur sesosok tubuh
berambut acak-acakan. Siapa lagi dia kalau bukan Perawan Sesat yang
bertampang liar dan beringas itu.
Dewa Racun segera berkata kepada Pendekar Mabuk, "Ad... ada... ada perempuan can... can... can..."
"Cantengan?!" sergah Suto Sinting menebak.
"Hmmm... iya," jawab Dewa Racun. "Perempuan cantik yang mungkin
berpenyakit cantengan, menghadang langkah kita. Ap... apa maksudnya
ak... aku tidak tahu. Sumpah, aku tidak tahu!"
"Siapa yang menuduhmu tahu maksudnya? Tak perlu pakai sumpah segala!"
sentak Suto agak dongkol dengan sikap gagapnya Dewa Racun.
Kemudian, Pendekar Mabuk maju setindak dan berkata kepada
Perawan Sesat.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Perawan
Sesat?!"
Dengan mata tajam bersikap bermusuhan, Perawan
Sesat menjawab,
"Aku hanya ingatkan kamu, dua hari lagi purnama tiba!"
"Apa maksudmu dengan purnama tiba?"
"Kau punya janji pertarungan dengan Manusia Sontoloyo yang
bernama Dirgo Mukti itu! Apakah kau masih ingat dengan pertarungan
yang akan terjadi di Bukit Jagal itu?"
Pendekar Mabuk tertawa berkesan meremehkan. "Ya, ya... sekarang aku
ingat. Hampir saja aku lupa kalau aku mendapat tantangan dari Dirgo
Mukti. Tapi... sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi. Masalahnya tidak
penting dipertarungkan!"
"Buat Dirgo Mukti kau punya urusan dengannya yang
amat penting! Menentukan siapa yang berhak menerima cinta Peri Malam,
itu adalah masalah yang sangat penting buat Dirgo Mukti!"
Sekali lagi Suto lontarkan tawa meremehkan. "Bilang kepada Dirgo, suruh
dia ambil perempuan itu. Aku tak akan mempertahankannya!"
"Hmm... kau takut menghadapi tantangan itu rupanya."
"Ya. Aku memang takut. Takut membunuhnya. Kasihan dia kalau
harus mati sia-sia di tanganku. Kasihan tanganku kalau harus
membunuh orang yang tidak punya masalah penting denganku!"
"Hadapilah dia kalau kau memang murid sinting si Gila Tuak! Aku hanya mengingatkan saat pertarunganmu itu, Suto!"
"Aku tidak akan hadir!"
"Harus hadir! Jangan kecewakan musuhmu, Suto! Jangan jatuhkan
martabat gurumu yang kesohor sebagai orang sakti di papan teratas!"
bujuk Perawan Sesat.
"Pertarungan itu tidak penting, Perawan Sesat! Aku tidak mau terlibat urusan yang sangat sepele!"
"Kalau begitu, lepaskan gelar kependekaranmu biar
Dirgo Mukti yang menyandangnya!"
Suto hanya tersenyum heran sambil geleng-gelengkan kepala, ia ucapkan
kata pelan tapi penuh tatap pesona yang membuat hati Perawan Sesat
berdebar keras.
"Mengapa kau harus mendesakku bertarung melawan Dirgo Mukti? Apakah kau
punya dendam dengan Dirgo Mukti dan ingin meminjam tanganku untuk
membunuhnya? Apakah kau tak mampu membunuh
Dirgo Mukti sendiri?"
"Jangan picik otakmu, Suto Sinting! Ini bukan soal dendam. Ini soal
harga diri, antara harga dirimu dengan harga diri Dirgo Mukti!"
"Tidak. Aku tetap tidak mau hadir dalam pertarungan nanti!"
"Kau kalah!"
"Biarlah dianggap kalah! Tapi aku punya kemenangan sendiri di
balik kekalahan itu!" kata Pendekar Mabuk dengan tetap tenang.
"Kau harus menghadapinya, Suto!" bentak Perawan Sesat yang merasa jengkel karena bujukannya tidak berhasil.
Akhirnya, Dewa Racun ikut angkat bicara, ia berkata kepada Perawan Sesat sambil bertolak pinggang.
"Aku yang akan mewakili Suto! Aku yang akan menghadapi Dirgo Mukti itu!"
"Hmmm...!" Perawan Sesat mencibir sinis, ia sengaja tidak kasih
tanggapan terhadap kata-kata orang kerdil itu. Ia segera pergi setelah
berkata, "Jangan kecewakan orang-orang yang mencintai dan mengagumi
kehebatanmu, Suto. Kami ingin menyaksikan kehebatan orang yang kami
puji-puji itu!" Lalu, ia melesat pergi
dengan ilmu siluman.
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
6
SUNGGUH tak habis pikir Pendekar Mabuk terhadap kemunculan Perawan
Sesat. Mengapa perempuan itu begitu besar harapannya agar
Suto melaksanakan pertarungan dengan Dirgo Mukti di Bukit Jagal? Pasti
perempuan itu mempunyai satu alasan dan tujuan lain yang tersembunyi.
Suto merasa bukan hanya ingin ditonton dan dipuji kehebatan
pertarungannya nanti, tapi karena ada sesuatu yang ingin dilakukan oleh
Perawan Sesat. Ia merasa dirinya akan dijadikan alat oleh
Perawan Sesat, yaitu alat pembantai Dirgo Mukti.
Satu hal lagi yang membuat Pendekar Mabuk heran adalah pembelaan yang
dilakukan oleh Dewa Racun, baru saja mereka saling kenal, mengapa
Dewa Racun melakukan pembelaan sebesar itu. Saat pukulan tenaga dalam
Perawan Sesat hendak menyerang Suto, Dewa Racun cepat ambil sikap
menahan dan menghancurkan pukulan tersebut. Mestinya hal itu tidak perlu
ia lakukan. Pada saat Suto ngotot tidak mau melayani tantangan
Dirgo Mukti, tiba-tiba Dewa Racun menyediakan diri sebagai pengganti
Suto dalam pertarungan nanti. Mestinya Dewa Racun tak perlu ikut
campur, toh dia tidak tahu duduk perkaranya tentang pertarungan
dan tantangan Dirgo Mukti Itu.
Suto sendiri tidak tahu, bahwa sebenarnya Perawan Sesat hanya bertugas
mengingatkan saat pertarungan yang sebentar lagi akan tiba itu. Tiga
perempuan patah hati telah menugaskan Perawan Sesat untuk mengingatkan
Suto, sementara Peri Malam dan
Selendang Kubur bertugas memberi semangat pada Dirgo Mukti.
Tetapi, agaknya Perawan Sesat kurang pintar main siasat.
Bujukannya terlihat jelas melalui desakan yang bersifat memaksa,
sehingga Suto tetap berkeputusan untuk tidak melayani tantangan
Dirgo Mukti.
Sementara itu di tempat lain, Peri Malam dan Selendang Kubur
tetap memberi bujukan agar Dirgo Mukti bersemangat melawan Suto.
Sebelumnya, saat mereka bertiga menunggu kemunculan Dirgo Mukti dan
Datuk Marah Gadai dari dasar telaga, mereka sudah atur siasat seperti
itu.
Mereka sudah menyangka bahwa Dirgo Mukti pasti bertarung melawan Datuk
Marah Gadai, karena keduanya sama-sama menyelam ke dasar telaga mencari
Cincin Manik Intan. Tetapi tiba-tiba kedua tubuh mereka tersentak keluar
dari dalam telaga dan masing-masing terlempar tak tentu arah. Air
telaga bergolak begitu kuat, hingga sebagian airnya tumpah ke
samping dan sekelilingnya, mengguyur tubuh tiga perempuan patah hati
itu.
Ketiga perempuan itu berpegangan pada pohon karena tubuh
mereka terhempas badai kencang dari arah wetan. Bahkan sebagian pohon di
dekat telaga ada yang tumbang ke sana kemari. Hal itu terjadi saat Suto
Sinting melepaskan napas Tuak Setan-nya tadi. Badai itu
ternyata sampai pula di sekitar telaga dan menipis ke arah barat.
"Pasti ada yang menggunakan ilmu kesaktian tinggi!"
seru Perawan Sesat kala itu. Ia sendiri hampir terbang terpental oleh
hembusan angin badai yang cukup kuat itu. Seruan tersebut tak mendapat
tanggapan dari kedua temannya, karena masing-masing sibuk bertahan
agar tak ikut terbuang oleh badai keras tersebut.
Pada waktu Dirgo Mukti dan Datuk Marah Gadai terlempar dari
dasar telaga, sang Datuk Marah Gadai segera terpental bagaikan kapas
tertiup angin. Mungkin karena tenaganya sudah sangat berkurang
selama pertarungan dengan Dirgo Mukti yang berlanjut di dasar telaga,
hingga ia tak mampu bertahan diri dari hembusan badai. Tubuhnya
melayang menerabas semak berduri. Suaranya pun hilang dari
pendengaran tiga perempuan patah hati itu.
Dirgo Mukti sendiri sebenarnya juga terhempas ke mana-mana. Mungkin
akan lebih jauh terpentalnya dibanding Datuk Marah Gadai.
Tetapi, tangan Peri Malam berhasil memegangi kaki Dirgo Mukti
yang hampir terbawa terbang hembusan badai dahsyat itu. Sambil
berpegangan pada pohon, Peri Malam mempertahankan tubuh Dirgo Mukti
yang merayap- rayap bagaikan buaya tanpa kaki.
"Bantu aku menahan tubuhnya!" teriak Peri Malam saat itu, dan
Selendang Kubur pun menahan pundak Dirgo Mukti dengan kedua kakinya.
Pundak itu tak bisa maju karena mendapat tahanan dua kaki dari
depan, sedangkan kedua tangan dan pundak Selendang Kubur menahan diri
ke salah satu batang pohon. Ia pun bertahan sekuat tenaga agar
tidak ikut terlempar oleh
hembusan angin badai yang menggila itu.
Saat-saat berikutnya, badai itu reda. Suasana di sekitar telaga
persis bumi yang habis mengalami kiamat, itulah kekuatan dahsyat dari
napas Tuak Setan. Padahal dari tempat Pendekar Mabuk hembuskan
napas itu sampai ke Telaga Manik Intan jaraknya cukup jauh.
Memakan waktu setengah hari untuk berjalan menuju kesana. Tapi toh
badai napas Tuak Setan sempat bikin gaduh di sekitar telaga itu.
Mereka tidak tahu, pada saat badai mengamuk di sekitar telaga,
keadaan di tempat Suto sudah kembali tenang. Jadi bentuk badai itu
bergulung-gulung yang makin lama semakin tipis gulungannya dan
semakin pudar hembusannya. Kalau saja mereka tahu, badai
sedahsyat itu datang dari mulut Suto, sudah pasti mereka urungkan niat
untuk mengadukan kesaktian Dirgo Mukti dengan Suto. Dan karena mereka
tidak tahu hal itu, maka mereka pun akhirnya tetap membujuk Dirgo
Mukti untuk melaksanakan janji pertarungannya dengan Suto Sinting.
Waktu itu, suasana sudah reda dan tenaga mereka sudah pulih
seperti sediakala. Dirgo Mukti berkata kepada Peri Malam.
"Tenagaku terkuras habis melawan Datuk Marah Gadai itu!
Rasa-rasanya aku harus menunda pertarungan sampai purnama mendatang!"
"Itu sama saja kau mengakui kekalahanmu, Dirgo! Dan berarti Suto-lah
yang berhak memiliki cintaku," kata Peri Malam mempengaruhi pikiran
Dirgo Mukti.
"O, tidak! Kau tidak akan kuserahkan kepada Suto
Sinting! Kau harus kumiliki, Peri Malam!"
"Jika kau ingin memiliki aku, kau harus tunjukkan kesaktianmu di depanku
dengan mengalahkan Pendekar Mabuk di pertarungan nanti!"
Dirgo Mukti tarik napas panjang-panjang. Matanya menerawang dalam satu
renungan pertimbangan. Pada saat itu, Selendang Kubur segera angkat
bicara dari samping kanan Dirgo Mukti,
"Aku pun bertaruh untuk dirimu, Dirgo. Kau pasti menang melawan Suto, dan aku siapkan hadiah untukmu yang sangat istimewa!"
Cepat-cepat Dirgo Mukti palingkan wajah, memandang Selendang Kubur dengan senyum berseri,
"Hadiah istimewa apa yang akan kau berikan padaku jika aku menang melawan Suto Sinting?"
Mata Selendang Kubur melirik nakal sambil ia berkata, "Apa yang kau harapkan dariku selama ini akan kuberikan padamu!"
"Betulkah?!" Dirgo Mukti kian berbinar-binar matanya.
"Ya. Aku hanya ingin menyerahkan tubuhku pada laki-laki yang benar-benar jantan dan perkasa sebagai seorang pendekar!"
Perawan Sesat segera lontarkan kata sambil berdiri di depan Dirgo Mukti,
memamerkan belahan dadanya, merenggangkan kedua kakinya dengan senyum
menggoda.
"Rasa-rasanya aku juga perlu kasih hadiah kepada
siapa yang unggul dalam pertarungan nanti!"
"Kau...?! Kau juga akan kasih hadiah yang sama seperti Selendang Kubur?"
"Kurasa kau pernah merasakannya, Dirgo! Tapi yang tempo hari kau rasakan
itu belum istimewa. Kau akan memperoleh yang paling istimewa jika
bisa kalahkan Suto Sinting!"
"Oh, menyenangkan sekali...?!" si Manusia Sontoloyo berseri-seri dan lebih bersemangat lagi.
Peri Malam berkata kepada Perawan Sesat, "Cari Suto, ingatkan
padanya tentang pertarungan di Bukit Jagal, supaya dia tidak lupa,
dan supaya Dirgo Mukti tidak kecewa atas ketidakhadirannya nanti!"
"Aku akan cari dia dan akan kuingatkan demi pendekar pujaan kita
itu, Peri Malam!" kata Perawan Sesat, lalu ia cubitkan tangannya
di pipi Manusia Sontoloyo. Setelah itu, segera tinggalkan tempat
untuk mencari Pendekar Mabuk.
Pada saat itu, Dirgo Mukti sempat ucapkan kesangsiannya,
"Tapi aku belum menguasai jurus 'Cakar Naga'?
Mana bisa aku mengalahkan dia?"
"Kau pasti punya jurus simpanan lainnya!" sahut Selendang Kubur.
"Gunakan jurus-jurus intimu. Keluarkan ilmu-ilmu simpananmu. Jangan
tanggung- tanggung kalau melawan Pendekar Mabuk. Dia juga tak pernah
tanggung-tanggung gunakan ilmunya!"
Peri Malam menimpali, "Bila perlu, gunakan pusaka kapakmu itu! Aku yakin Pendekar Mabuk tak akan
mampu menandingi kesaktian kapakmu itu!"
Dirgo Mukti semakin sombong hatinya. Kepalanya bagaikan bengkak mendapat
sanjungan seperti itu. Lalu, ia cabut senjata kapaknya dan ia
amat-amati beberapa saat. Kapak bermata dua itu mempunyai ujung
mata tombak yang bisa melesat memburu sasaran dan tumbuh lagi mata
tombak lainnya dari dalam gagang. Kapak itu mempunyai gagang yang bisa
ditarik dan menjadi rantai sehingga bisa dipakai menebas leher dari
jarak dua tindak atau tiga langkah di depannya.
"Seharusnya Datuk Marah Gadai sudah kuhabisi nyawanya pakai kapakku ini! Kenapa aku jadi lupa pada pusaka sendiri?!"
"Itu tak perlu. Melawan Datuk Marah Gadai tidak harus pakai kapak
pusakamu! Tidak terhormat rasanya jika kapak itu kau gunakan untuk
melawan Datuk Marah Gadai. Akan lebih terhormat lagi jika kau gunakan
untuk membunuh Suto Sinting! Kurasa hanya kapak ini yang bisa
menandingi semua ilmu Pendekar Mabuk!" kata Peri Malam yang
membuat hati Dirgo Mukti menjadi semakin berbunga-bunga.
"Kurasa kau perlu istirahat banyak, Dirgo," kata Selendang Kubur
dengan senyum manisnya. "Jangan buang-buang tenaga sebelum hari
pertarungan tiba. Mari kuantar pulang ke Pantai Saru. Kau perlu
persiapkan diri di sana."
"Kau akan menemaniku di sana sebelum pertarungan tiba?"
"Ya, aku dan Peri Malam akan mendampingi masa
istirahatmu!"
"Dan... dan akan berikan kehangatan padaku di sana?"
Peri Malam cepat menjawab, "Kehangatan itu akan tiba jika kemenanganmu
tergenggam di tangan. Kurasa Perawan Sesat juga akan memberikan
kehangatan yang lebih indah lagi setelah kau berhasil membunuh Suto
Sinting!"
Selendang Kubur menambahkan kata, "Kau akan memperoleh kemenangan ganda,
Dirgo! Selain namamu jadi cepat dikenal di rimba persilatan sebagai
seseorang yang mampu mengalahkan murid si Gila Tuak, juga kau akan
memperoleh kemenangan batin yang luar biasa tingginya, yaitu
memperoleh tiga istri sekaligus!"
"Tiga istri?! Waaah..., ha ha ha ha...!" Dirgo Mukti tertawa kegirangan.
Kedua perempuan itu dirangkulnya kanan-kiri. Kedua perempuan itu
juga membiarkan dicium wajahnya oleh Dirgo Mukti yang tampak jelas
serakah dengan kemesraannya.
Di Pantai Saru, ketika malam hadirkan sunyi, Perawan Sesat
renungkan diri, duduk di atas bebatuan tak berlumut. Satu persatu Peri
Malam dan Selendang Kubur mendekat, lalu mereka saling bergunjing
tentang Suto. Perawan Sesat yang mengawali percakapan itu.
"Lain kali jangan aku yang harus temui Pendekar
Mabuk sendirian."
"Mengapa?" tanya Peri Malam.
"Aku tak tahan memandang matanya. Gairahku terbakar dan rasa cintaku meletup-letup jika bertatap
muka dengannya."
"Apakah kau masih tertarik pada Suto?"
"Justru karena aku masih punya rasa cinta, maka aku harus
menghadirkannya jika inginkan kematiannya!" kata Perawan Sesat
sambil menatap Peri Malam. Tapi, Selendang Kubur segera angkat bicara,
"Dasar perempuan binal!"
Sreeg...! Perawan Sesat berdiri, Selendang Kubur juga sigap
menantang. Mata Perawan Sesat tajam menembus bola mata Selendang
Kubur yang memancarkan dendam itu. Lalu, terdengar Perawan Sesat
menggeram dalam ucapan kata,
"Jangan memancing kemarahanku kalau tak ingin kubinasakan di sini sekarang juga!"
"Lebih baik kita adu nyawa daripada akhirnya nanti kamu masih menyukai Suto!"
"Aku tak pungkiri hal itu. Tapi aku toh berusaha untuk tidak mau menemuinya secara sendirian?!"
"Bagaimana jika nantinya kau menjadi pengkhianat?!" sentak Selendang
Kubur. "Lebih baik kuhabisi sekarang nyawamu ketimbang nantinya
kau menjadi pengkhianat!"
"Sudah, sudah...!" Peri Malam menengahi dengan suara tegasnya.
"Sekarang bukan saatnya bicara soal urusan pribadi! Aku ingin kalian
bedakan antara urusan pribadi dengan urusan bersama!"
"Dia masih mencintai Suto!" tuding Selendang Kubur kepada Perawan Sesat.
"Kurasa itu hal yang wajar," kata Peri Malam dengan
lantang. "Karena ada cinta itulah maka timbul kebencian kepada Suto.
Kalau kita tak punya cinta pada Suto, tak mungkin kita sakit hati dengan
sikap acuh tak acuhnya!"
Selendang Kubur kendorkan ketegangan uratnya, demikian pula Perawan
Sesat. Keduanya saling bisu, tapi Peri Malam tetap bicara dalam keadaan
berada di tengah mereka.
"Secara jujur aku sendiri mengakui masih punya rasa cinta pada Suto
Sinting. Tapi cinta ini dibungkus oleh kebencian, dan karena itu
kita merencanakan untuk membunuh Suto. Sekarang yang perlu kita
pikirkan, andaikata Suto tidak hadir dalam pertarungan nanti, apa yang
harus kita lakukan?"
"Ya. Sejak tadi itulah yang kupikirkan!" kata Perawan Sesat.
"Karena agaknya dia merasa tidak ada perlunya melayani tantangan
Dirgo Mukti! Persoalan yang dihadapi dianggap persoalan kecil. Bahkan
dia tak mau peduli akan dirimu, Peri Malam. Dia berniat membiar
kan dirimu dimiliki oleh Dirgo Mukti!"
"Karena dia tidak mencintaimu, Peri Malam," sahut Selendang Kubur dengan
cepat. Peri Malam menggeletukkan giginya menahan kegeraman hati.
"Menurutku," kata Perawan Sesat. "Kaulah yang membujuknya agar dia tetap
hadir melayani tantangan Dirgo Mukti. Kau bisa gunakan
kemanjaanmu dan mengadu yang bukan-bukan tentang sikap Dirgo!"
"Aku tak berani! Aku takut terjerat cinta yang makin membara," kata Peri
Malam. "Bagaimana jika Selendang Kubur saja yang temui dia dengan
pengaduan palsu
tentang Dirgo Mukti? Dia pasti ada di pihakmu, Selendang
Kubur, karena antara dia dan gurumu ada hubungan baik! Dia
pasti mau membelamu jika kau katakan Dirgo Mukti akan mengganggu,
juga mengganggu gurumu itu!"
"Tidak. Aku juga tidak berani berhadapan sendiri dengan Suto. Aku takut semakin mencintainya!"
"Kalau semuanya takut makin jatuh cinta, lantas bagaimana kita bisa membunuh dia?!" tukas Peri Malam
bernada jengkel.
*
* *
7
PERAMAL Pikun memang terluka pada bagian dalamnya. Wajahnya
yang berkulit hitam memancarkan rona pucat pias. Bibirnya membiru dengan
darah masih sesekali keluar dari mulutnya, Peramal Pikun terbaring
lunglai bagai cucian basah tak terawat.
Ketika ia melihat kehadiran Suto, tampak cahaya penuh harapan
terpancar dari matanya yang sayu itu. Dahi Suto berkerut melihat
keadaan Peramal Pikun. Separah itukah sakitnya hingga ia
sendiri tak dapat mengobati? Pikir Suto. Iba hati murid si Gila Tuak
itu melihat keadaan Peramal Pikun, sepertinya lelaki tua renta itu
memikul dosa yang amat berat disandangnya.
Terlontarlah kalimat tanya dari mulut Suto yang sengaja bernada pelan agar tidak mengganggu
keheningan pondok ini.
"Apa penyebabnya? Katakan saja sejujurnya, Peramal
Pikun?!"
"Sebuah nama yang kau sebutkan." "Nama kekasihku?"
"Ya. Mestinya aku tak boleh sebutkan nama itu, Suto. Aku lupa, dan aku sebutkan nama itu!"
Pendekar Mabuk memeriksa sesaat tubuh Peramal Pikun. Ia terkesiap
melihat bagian perut memar biru. Dari perutnya itu bergurat garis
merah sebesar lidi yang menuju ke tengah leher, melewati
pertengahan ulu hatinya. Suto bergumam,
"Apa arti jalur merah ini?"
"Itulah yang dinamakan jalur kutukan. Jalur merah itu dikenal julukan ilmu 'Rentang Kutuk'! Hanya dia yang memilikinya!"
"Maksudmu...."
"Jangan sebut namanya, Suto! Kumohon, jangan...!" sergah Peramal Pikun
memelas. Pendekar Mabuk buru- buru menunda ucapannya, ia segera
ingat bahwa Peramal Pikun tak bisa mendengar nama Dyah Sariningrum.
Jika ia mendengar nama itu, telinganya akan mengucurkan darah
lagi.
"Jalur Kutukan atau ilmu 'Rentang Kutuk' ini akan merenggut nyawaku
pada saat tepat bulan menjadi purnama!" tambah Peramal Pikun
dengan suara lemahnya "Jadi aku mohon bantuanmu untuk menghilangkan
ilmu 'Rentang Kutuk' ini sebelum purnama tiba."
"Sebelumnya aku ingin tahu mengapa ilmu 'Rentang
Kutuk' itu menimpa dirimu?"
"Apakah Dewa Racun belum bicarakan hal itu padamu?"
"Belum! Dewa Racun mendengar nama kekasihku dari mulutmu, tapi
dia tidak kenal siapa orang yang punya nama itu dan di mana tempat
persinggahannya. Dewa Racun hanya bertugas mencari aku dan membawaku
kemari untuk menolongmu!"
"Dewa gila!" geram Peramal Pikun sambil matanya mencari Dewa Racun di
dalam pondoknya. Tapi orang kerdil itu tidak ada di dalam pondok. Orang
kerdil tadi menyuruh Suto masuk sendirian dan ia bergegas menuju ke
sungai, katanya mau mandi sebentar di sana.
"Siapa Dewa Racun itu sebenarnya, aku belum jelas, Peramal Pikun. Dia
tidak banyak menceritakan dirinya sepanjang perjalanan kemari. Dia
bahkan lebih banyak membicarakan tentang pertarunganku dengan manusia
Sontoloyo dua hari lagi."
Mata Peramal Pikun berkedip-kedip seperti orang menunggu ajal. Cukup
lama ia bungkamkan mulutnya, sampai akhirnya Suto mengulang
pertanyaannya yang tadi,
"Aku ingin tahu mengapa ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu, Peramal Pikun. Ceritakanlah!"
"Ini rahasia hidupku, Suto."
"Untuk apa kau simpan rahasia kalau sebentar lagi kau mati?"
"Memang benar katamu. Tapi...." Peramal Pikun ragu
sejenak, sehingga Pendekar Mabuk perlu mendesaknya. "Katakanlah apa adanya, supaya aku bisa mengambil
sikap bagaimana harus menolongmu, Peramal Pikun."
"Baiklah," katanya, lalu Peramal Pikun mencoba tarik napas panjang.
Darah keluar lagi dari mulutnya tanpa batuk sedikit pun. Ia mengusap
darah itu memakai kain yang kumal dan tak berbentuk kain lain,
melainkan bentuk kumpulan darah mengering.
Dengan suara pelan, Peramal Pikun tuturkan kata, "Aku melakukan kesalahan semasa mudaku."
"Kesalahan apa?" "Mencintai guruku sendiri."
"Apakah gurumu seorang perempuan?"
"Ya. Usianya sudah banyak, tapi masih awet muda dan cantik. Ia memiliki
ilmu kecantikan abadi, seperti yang dimiliki oleh tokoh-tokoh
sakti lainnya. Rasa cintaku kepada Guru begitu dalam,
sehingga aku menjadi gila, dan nekat ingin memperkosanya. Tapi
dalam satu jurus aku tumbang, tak bisa mengalahkan Guru. Lalu, aku
diusir dari Puri Gerbang Surgawi...."
"Apa itu yang dimaksud Puri Gerbang Surgawi?" "Sebuah negeri Pulau Serindu, jauh dari sini
letaknya," jawab Peramal Pikun sambil matanya menerawang bagai mempunyai sebaris kenangan masa lalunya.
Peramal Pikun menyambung ucapannya lagi, "Aku diusir dari sana dengan
satu kutukan yang membekas selamanya dalam hidupku. Aku dianggap
murid sesat dan sangat tidak terhormat. Karenanya, ilmu 'Rentang
Kutuk' selalu menyertaiku."
"Siapa yang mengusirmu dan siapa yang melancarkan kutuk itu?"
"Siapa lagi kalau bukan penguasa tunggal Puri Gerbang Surgawi, yang namanya menjadi nama kekasihmu itu!"
Terbelalak mata Suto seketika itu. Tertegun ia sampai beberapa saat
lamanya. Sama sekali tak menyangka bahwa Dyah Sariningrum itu
adalah penguasa sebuah negeri, yang menjadi guru dari Peramal Pikun.
Hampir- hampir Pendekar Mabuk tidak mempercayai kata-kata si Peramal
Pikun.
Kembali setelah hening tercipta beberapa helaan napas, Peramal Pikun melanjutkan ceritanya,
"Aku terancam kutukan itu, tak boleh mendengar nama guruku dan tak
boleh menyebut nama Nyai Guru. Jika aku mendengar nama guruku disebut
orang, maka telingaku akan luka, dan jika aku menyebutkan nama guruku,
maka jalur kutukan itu akan bekerja dalam diriku dan menancapkan
jalur kematian yang akan tiba pada saat bulan terang purnama!
Itulah hukum kekal untuk murid sesat seperti aku ini, Suto! Sekali pun
aku menyesali tindakan masa mudaku, tapi tetap saja aku
dibayang-bayangi kutuk yang mematikan!"
"Hebat sekali!"
"Aku akan mati, mengapa kau katakan hebat?!" "Yang kumaksud hebat adalah
ilmu kutukannya." "Kuharap kau bisa menolongku, Suto. Karena setingi-
tingginya ilmu Nyai guruku, dia masih tunduk dan takut
kepada gurumu, si Gila Tuak!"
"Jadi, menurutmu guruku mengenal dia?"
"Kurasa mengenalnya! Nyai Guru itu adalah orang yang dikenal sebagai
Mahkota Sejati, karena sampai saat ini, walau usianya sudah
menyamai si Gila Tuak, gurumu, tapi ia masih sebagai perawan suci
yang belum pernah ternoda oleh cinta dan birahi lelaki siapa pun
juga!'
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk menggumam kagum, jatungnya berdetak-detak
bagai ingin melompat keluar dari rongga dada. Rasa bangga dan
rindu bergumul menjadi satu, membuat hati Suto gemetar.
"Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Nyai
Guru, tanyakanlah kepada Dewa Racun."
"Apakah Dewa Racun benar-benar tahu banyak tentang penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?"
"Jelas banyak tahu, karena dia adalah orang ketujuh kepercayaan Nyai Guru!"
"Hahh...?! Jadi dia orang dari Puri Gerbang
Surgawi?!"
"Benar. Apakah dia tidak bilang begitu padamu?" "Tidak!"
"Dasar Dewa gila! Terlalu rapat ia menyembunyikan ilmunya, terlalu
rendah ia menundukkan dirinya. Tapi memang begitulah ajaran dari Nyai
Guru, agar setiap murid menjadi padi, semakin berisi semakin menunduk
kepada siapa pun!"
"Lalu, untuk apa dia datang kemari menemuimu?" "Mencari kamu," jawab Peramal Pikun.
"Mencari aku, untuk mengobatimu?"
"Tidak! Hanya kebetulan saja sewaktu aku menjelaskan tentang dirimu,
aku tak sadar telah menyebutkan nama Nyai Guru, lalu aku
jatuh sakit seperti ini. Tapi tujuannya datang padaku
adalah menanyakan tentang kamu. Dia mendapat tugas dari Nyai
Guru untuk membawa pulang seseorang yang bernama Suto, murid si
Gila Tuak."
"Memang gila dia itu!" geram Suto. "Dia tak pernah bilang apa-apa padaku soal itu!"
"Temuilah dia dan bicaralah apa saja yang ingin kau bicarakan kepada
Dewa Racun itu! Tapi terlebih dulu, tolonglah aku. Selamatkan aku
dari ilmu 'Rentang Kutuk' ini, Suto!"
"Apakah kau masih ingin hidup dalam usiamu setua ini?!"
"Masih," jawab Peramal Pikun dengan sedikit dongkol. "Aku ingin
mati sebagai ksatria! Aku ingin mati dipertarungan, bukan mati
karena kutukan!"
"Tegar sekali pendirianmu, Peramal Pikun. Jika memang begitu kemauanmu, aku akan mencoba menyembuhkanmu!"
Sementara Suto melakukan penyembuhan terhadap diri Peramal Pikun,
di luar pondok itu Dewa Racun mencoba memancing ikan untuk
santapan nanti. Ia memancing ikan bukan dengan kail maupun pancingan
bila, melainkan menggunakan sehelai daun ilalang. Daun ilalang itu
dibelah menjadi dua pada tiap sisi kanan- kirinya, tinggal bagian
tengahnya yang keras, tapi di tiap
sisa daun kanan-kiri itu tidak dihabiskan belahannya. Helai daun
di kanan-kiri itu diselipkan di antara jari telunjuk dan jari
tengah, sisanya yang keras ada di atas telunjuk, lalu dengan satu
kali tarikan, bagian tengah ilalang itu melesat bagai dipanahkan
dari dua jari. Slaattt...! Jeebbb...!
Ilalang itu menancap pada tubuh seekor ikan, yang segera
menggelepar-gelepar. Dewa Racun segera mengangkatnya dari kedalaman air.
Ikan itu ditumpuk di salah satu tempat berbatu, lalu ia kembali
mengambil daun ilalang untuk dipanahkan pada ikan-ikan lainnya.
Jika bukan disertai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, tak
mungkin daun ilalang itu bisa sekeras dan setajam jarum baja. Tak
mungkin pula gerakan panah daun ilalang itu sama cepat dan tajamnya
dengan panah biasa. Alhasil, setiap ikan yang dikumpulkan
mempunyai sisa daun ilalang yang menancap di tubuh ikan, kadang tembus
kadang hanya sebagian saja yang terbenam di daging ikan.
Dewa Racun segera mengumpulkan kayu kering. Salah satu ranting
kering digosokkan pada salah satu anak panahnya. Srettt...! Dan
memerciklah bunga api, lalu menyala. Dewa Racun membakar ikan-ikan
tersebut di depan batang kayu tumbang yang tak seberapa jauh dari
pondok persinggahan Peramal Pikun.
Bau sedap ikan bakar membuat hidung Pendekar Mabuk kembang kempis,
kemudian ia segera bergegas keluar dari pondok, ia dekati Dewa
Racun dari arah belakang secara diam-diam. Pendekar Mabuk ingin
menjajal ilmu orang kerdil itu. Lalu, dengan serta-merta
Suto menendang punggung si orang kerdil itu. Wuuttt...!
Plasss...!
Tendangan itu mengenai tempat kosong, karena kejap berikutnya Dewa Racun
ternyata sudah pindah tempat duduknya di seberang tempat duduk
semula, ia tetap tekun membakar ikan-ikan itu tanpa merasa terganggu
oleh kedatangan Suto. Sementara, Suto sempat terkesiap sebentar
melihat gerakan pindah Dewa Racun yang begitu cepat, bagaikan
menghilang dalam sekejap.
"Boleh, boleh...," Suto manggut-manggut sambil membatin, "Tinggi
juga ilmunya jika begitu. Kurasa dia memang orangnya Dyah Sariningrum
yang tak pernah mau sombongkan diri di depanku."
Sambil mengamati ikan yang habis dibaliknya dari pembakaran, Dewa Racun bicara pada Suto tanpa memperhatikan Suto,
"Bagaimana sakitnya temanku itu? Bisa kau atasi?" "Dia sedang tidur."
"Tidur...?!" Dewa Racun memandang Suto dengan dahi berkerut.
"Ya. Mengapa?"
"Orang yang terkena Ilmu 'Rentang Kutuk' tak akan bisa tidur, kecuali
jalur kutukan yang berwarna merah belum tampak di kulit perutnya!
Jika jalur merah itu sudah kelihatan dari pusar menggaris sampai ke
leher, orang itu tidak akan bisa tidur sedikit pun!"
Pendekar Mabuk tersenyum sambil mengambil satu|
ekor ikan yang sudah matang, lalu ia berkata dengan
santai,
"Nyatanya sekarang Peramal Pikun sudah tertidur." "Berarti kau berhasil membuat pengaruh kutukan
menjadi tawar, Suto?!"
"Mungkin saja!" jawab Suto sambil mengunyah ikan bakar.
Sejenak dipandanginya Suto, lalu bergumam mulut
Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Belum pernah ada orang yang bisa menawarkan pengaruh kutukan Nyai Guru itu!"
"Nyai Guru siapa?" tanya Suto sambil lalu, sepertinya tidak tertarik dengan sebutan 'Nyai Guru' itu.
Dewa Racun menjelaskan sambil tetap mengerjakan kesibukannya, bahkan kini ikut-ikutan melahap ikan bakarnya,
"Menurut penjelasan Peramal Pikun, sebelum ia terjebak ilmu
'Rentang Kutuk' kemarin, kau sedang mencari-cari kekasihmu yang
bernama Dyah Sariningrum. Apakah benar begitu, Suto?"
"Kalau benar mau apa?"
"Dyah Sariningrum adalah guruku, juga termasuk gurunya Peramal Pikun itu!"
"Penjelasanmu terlambat!" kata Suto acuh tak acuh, karena merasa
jengkel atas sikap bungkamnya Dewa Racun sejak diperjalanan tadi.
Kenapa baru sekarang ia mau jelaskan? Kenapa tidak di perjalanan tadi?
Itulah yang bikin Suto ingin membalas kejengkelannya.
"Nyai Gusti Dyah Sariningrum mengutusku untuk mengajukan dua pilihan kepadamu kau mau datang
kesana atau tidak!"
"Kalau aku bilang tidak mau datang menghadapnya, mau apa?"
"Aku pulang, tak boleh aku paksa dirimu." "Kalau aku mau datang menghadapnya?"
"Aku antar kamu ke sana! Karena Nyai Gusti Dyah Sariningrum memang
ingin bertemu denganmu. Kau sering hadir dalam mimpinya dan
memanggil-manggil namanya."
Suto tertawa kecil bersikap meremehkan, padahal dalam hatinya ia
berdebar-debar bahkan berjingkrak- jingkrak kegirangan. Tapi toh
dia mampu menahan perasaannya yang jika diluapkan bisa menjadi
seperti anak kecil itu. Dan tiba-tiba ia berkata,
"Hei, mengapa kegagapanmu hilang? Kau lupa bahwa kau bicara dengan gagap!"
Dengan tenang orang kerdil itu sunggingkan senyum dan berkata,
"Sebelum kau datang dari dalam pondok, sudah kumakan dua ekor ikan bakar kesukaanku ini!"
"Apa hubungannya dua ekor ikan bakar dengan
bicara gagapmu?"
"Jika mulutku sudah bau ikan bakar, walau secuil saja, maka aku
sudah bisa bicara dengan lancar. Tapi jika aroma ikan bakar hilang
dari mulutku, maka kegagapan bicaraku timbul kembali."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Pendekar Mabuk sambil tertawa pelan.
"Entahlah," jawab Dewa Racun sambil sentakkan
pundak sekejap, lalu berkata lagi, "Mungkin memang sudah kodratnya aku punya keanehan seperti ini."
Pendekar Mabuk geleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum geli, merasa aneh dengan sifat orang kerdil itu.
"Tentukan pilihanmu sekarang juga, Suto, agar aku bisa bertindak secara pasti, mana yang harus kulakukan!"
"Aku bersedia menghadap gurumu, tapi aku harus menunggu lewat dari saat purnama tiba."
"Kenapa? Apakah kau akan memenuhi tantangan lawanmu itu?"
Suto menggeleng. "Aku hanya ingin mengetahui apakah pengobatanku
berhasil atau tidak. Aku harus tahu nasib Peramal Pikun setelah
lewat dari saat purnama nanti, apakah dia hidup atau mati!"
"O, ya. Aku paham," Dewa Racun manggut-manggut. "Lalu, bagaimana dengan
pertarungan di Bukit Jagal itu? Apakah kau tetap akan menolak
pertarungan itu?"
"Kurasa memang aku tak perlu melayani tantangan Dirgo Mukti! Hanya
buang-buang waktu dan tenaga saja! Aku sendiri sebenarnya tidak
berminat untuk bertarung dengannya."
"Tapi menurut adat, seseorang yang tidak memenuhi tantangan, namanya
akan disepelekan dari dunia persilatan! Kau dianggap kalah dan tidak
jantan, Suto. Orang yang telah mundur dari arena pertarungan
sebelum ia mencoba kalah atau menang, maka ia tak berhak menggunakan
gelar pendekar lagi!"
"Apakah begitu peraturan adat di rimba persilatan?!" "Setahuku memang begitu!"
"Guruku tidak pernah mengatakannya begitu!"
"Guruku pernah bilang begitu!" "Tapi gurumu dan guruku berbeda!"
"Terserah kamu," akhirnya Dewa Racun tak mau berdebat lagi. Tapi Suto jadi merenungkan kata-kata Dewa Racun.
Haruskah ia membuktikan kependekarannya melalui pertarungan yang
tanpa perkara besar itu? Hanya masalah cinta dan melindungi
kekasaran Dirgo Mukti terhadap Peri Malam, haruskah Suto bertarung
secara tanding laga di Bukit Jagal? Bukankah sebenarnya Peri Malam
yang menciptakan pertarungan itu dengan berlagak menjadi
penterjemah bahasa Pendekar Mabuk? Sedangkan Pendekar Mabuk sendiri
sebenarnya tidak bermaksud menyetujui tantangan pertarungan di Bukit
Jagal. Ini semua ulah Peri Malam, sehingga Suto merasa terjebak dalam
arena pertarungan yang menurutnya dianggap pertarungan konyol.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
"Kalau kau tak mau muncul di pertarungan itu, biarlah aku yang mewakilimu," kata Dewa Racun.
"Aneh kau ini. Kenapa kau selalu tampil sebagai orang yang
melindungiku? Kau hanya utusan nyai gurumu itu. Kau bukan
apa-apaku!"
"Karena perintah Nyai Gusti agar aku membawamu datang padanya tanpa luka ataupun lecet sedikit pun!"
"Dia berpesan begitu?!"
"Ya."
"Apa lagi pesannya?"
"Hanya itu, dan hanya tangis yang sering mengalir dari matanya yang indah itu."
"Tangis? Mengapa dia menangis?"
"Hasrat ingin bertemu denganmu sangat besar dan menyiksa hatinya
sepanjang hari. Ia tak sanggup menahannya, lalu ia
perintahkan aku untuk menemuimu!"
"Kalau begitu, pulanglah sekarang juga ke Pulau Serindu dan
katakan padanya bahwa aku akan segera datang setelah lewat purnama tiba
itu!"
"Baik. Aku akan pulang. Tapi apakah kau tahu jalan dan arah menuju Pulau Serindu?"
"Tidak!" jawab Suto Sinting polos dan tegas. Dewa
Racun tertawa sendiri.
*
* *
8
"Ak... aku harus ikut kamu ke... ke... ke mana pun kau pergi!"
"Mengapa begitu? Kau bukan pengawalku. Aku
bukan buronanmu!"
"Pe... pe... perintah Nyai Gusti, aku harus menjaga ke... ke...."
"Kepompong?!"
"Bukan! Keselamatanmu!" Dewa Racun terengah- engah. Suto tersenyum menahan geli dalam hatinya.
Sebenarnya Suto hanya ingin menengok keadaan gurunya di Jurang
Lindu dan menengok keadaan Betari Ayu yang ditinggalkannya dalam keadaan
luka pukulan dari Nagadipa. Untuk menemui Betari Ayu dan gurunya, Suto
tak enak hati jika harus dikawal oleh Dewa Racun.
Karenanya, Suto terpaksa menggunakan ilmu yang bernama 'Seberang
Raga', yaitu ilmu pemberian dari Bidadari Jalang. Seonggok batu
yang ada di pinggir sungai tiba-tiba berubah wujud menjadi dirinya
setelah Pendekar Mabuk heningkan cipta secara diam-diam di belakang
pondok.
Dewa Racun tidak mengetahui Pendekar Mabuk mempunyai ilmu siluman
'Seberang Raga', sehingga ketika ia keluar dari pondok, ia langsung
saja mendekati Suto yang terlihat duduk merenung di pinggiran sungai.
Padahal saat itu juga Suto sudah melesat pergi jauh menuju
Jurang Lindu.
"Men... menurut... menurutku, jiwa Peramal Pikun selamat dari
bahaya 'Rentang Kutuk'. Ja... ja... jalur merahnya telah hilang
dan wa... wajahnya kelihatan
kembali segar se... sep... seperti semula!"
"Bagus," jawab Suto kalem, bahkan berkesan datar. "Malam purnama be... be... besok, dia akan tetap
hidup. Ini satu per... per... peristiwa yang luar biasa bagi orang-orang
Puri Gerbang Surgawi. Nyai Gusti ak... ak... akan senang dan ka...
kagum jika mendengar ke... ke... kesaktian ilmumu!"
Pendekar Mabuk masih diam merenung, tidak memandang ke arah
Dewa Racun. Diam-diam Dewa Racun merasakan keanehan itu,
tapi tidak terlalu dihiraukan, berkata lagi kepada Pendekar Mabuk
palsu,
"Tan... tanpa menunggu pur... purnama tiba, kita sudah bisa
berangkat ke... ke... ke Pulau Serindu. At... atau kau mau layani
tantangan di Bukit Ja... Jagal itu?"
"Ya."
"Ya, bagaimana maksudmu?" "Bagus!"
"Bagus apa?" "Ya."
Dewa Racun makin heran dan curiga. Mata Suto memandang dengan datar
sekali, sepertinya tidak punya rasa apa pun. Dewa Racun
mencoba menendang pinggang Suto dengan sulu kali lompatan. Duug...!
Pendekar Mabuk diam saja. Tidak mengadakan gerakan menangkis
atau menghindar, tidak merasakan sakit atau apa pun. Padahal tendangan
itu cukup keras. Menurut perkiraan Dewa Racun, orang akan menyeringai
kesakitan jika ditendang pinggangnya oleh tendangan seperti itu.
Melihat Suto Sinting tidak ada perubahan apa-apa, Dewa Racun semakin bertambah heran, ia kembali berkata,
"Ma... mau... maukah kau bicara ke dalam pondok?" "Ya."
"Mari kita bicarakan de... de... dengan Peramal
Pikun!" "Bagus!"
Jawaban yang hanya 'ya' dan 'bagus' juga membuat Dewa Racun kerutkan dahi. Semakin penasaran hatinya. Bahkan ia pun membatin,
"Jangan-jangan orang ini bukan Suto?"
Dewa Racun segera mundur dua langkah. Tangannya diangkat dengan
gerakan pelan-pelan seperti orang menari, dan tiba-tiba kedua
tangan itu menghentak ke depan. Wuuuttt...!
Memerciklah sinar putih ke arah Pendekar Mabuk yang masih tetap
duduk itu. Dewa Racun sendiri terkejut melihat Pendekar Mabuk
tidak memberi tangkisan terhadap pukulan tenaga dalamnya, juga tidak
menghindar sedikit pun. Bahkan sempat timbul rasa sesal di hati
Dewa Racun.
Percikan sinar putih itu membuat tubuh Suto pecah berasap dan berupa
wujud aslinya, yaitu sebongkah batu hitam sebesar ukuran orang duduk di
tepi sungai. Dewa Racun segera menggeram sambil hempaskan napas
kekesalan hatinya.
"Kurang ajar! Dia mengecohku!" geramnya dalam hati. "Dia pasti telah pergi dan meninggalkan aku! Hebat
juga ilmu anak muda itu. Tak sia-sia aku diutus jauh- jauh untuk
membawanya menghadap Nyai Gusti. Pasti Nyai Gusti sangat kagum
kepadanya kalau kuceritakan setinggi apa ilmu yang dimiliki
Suto Sinting itu! Hmmm... tapi tugasku adalah mendampingi dan menjaga
Pendekar Mabuk. Jika sekarang dia pergi, aku harus segera
mencarinya. Ke mana arah perginya? Kurasa aku bisa bertanya kepada
Peramal Pikun. Setidaknya Peramal Pikun bisa kasih perkiraan arah
yang dituju Suto!"
Suto sendiri membayangkan wajah Dewa Racun yang terkecoh. Suto tertawa
sendiri saat mendekati Jurang Lindu, di mana ada air terjun yang
cukup tinggi dan besar itu. Suto berkata dalam hati,
"Dewa Racun pasti akan mencak-mencak kalau dia tahu orang yang
disangkanya aku itu adalah seonggok batu! Hi hi hi.... Pasti jika ia
mengajak bicara orang yang disangka aku itu, ia hanya akan menerima
jawaban ya dan bagus. Karena memang aku hanya menitipkan dua kata itu
dalam bayangan ragaku di sana! Mudah- mudahan hal itu tidak
membuat Dewa Racun mengamuk berlarut-larut...!"
Suto segera melesat masuk menembus curah air terjun. Dalam kejap
berikut, Suto sudah berada di dalam gua. Ternyata di sana si Gila
Tuak masih belum kelihatan. Yang ada hanya Betari Ayu dalam keadaan
sedang melakukan semadi.
"Ke mana perginya Guru? Sampai sekarang belum datang juga?!" pikir Pendekar Mabuk sambil menunggu
Betari Ayu selesaikan semadinya, ia sempat mengisi tuak ke dalam
bumbungnya dari persediaan tuak di dalam gentong besar. Setelah
itu, ia mendengar suara mendehem dari Nyai Betari Ayu, itu
pertanda sang Betari Ayu sudah selesaikan semadinya yang dilakukan
dengan berdiri satu kaki, dan hanya jempol kakinya yang berpijak di
tanah.
"Bagaimana keadaanmu, Nyai?" tanya Suto mengawali percakapan.
"Sejak kemarin sudah terasa segar sekujur tubuh ku. Tapi aku tak berani tinggalkan tempat ini."
"Kenapa?"
"Gurumu kasih wanti-wanti padaku agar jangan tinggalkan tempat ini sebelum ada perintah darimu."
"O, kau sudah bertemu dengan guruku?"
"Ya. Sudah. Beliau tahu aku dalam perawatanmu." "Hmm... lalu, ke mana beliau?"
"Pergi ke Lembah Badai untuk menemui Bidadari Jalang, yang baru kutahu bahwa orang itu ternyata juga gurumu."
Suto malu, tak berani tatap mata Nyai Betari Ayu. Namun begitu, Pendekar Mabuk tetap berkata,
"Ya, memang sebagian ilmuku adalah pemberian darinya. Tapi aku tak
enak kepadamu jika aku jelaskan bahwa aku adalah juga murid dari
Bidadari Jalang. Aku tahu kau punya dendam padanya. Aku takut
jika kukatakan bahwa aku murid Bidadari Jalang, kau jadi bermusuhan
denganku atau membenciku, Nyai!"
"Sudahlah, lupakan soal itu!" Betari Ayu agaknya
tidak mau mempermasalahkan lagi tentang Bidadari Jalang. Suto
Sinting pun tidak mau kembali ke pembicaraan itu. Ia meneguk
tuak, dan duduk di depan Betari Ayu.
"Syukurlah jika kau sudah sehat. Kau tambah kelihatan
cantik, Nyai!" sambil tatapan mata Suto tertuju lurus ke wajah Nyai.
Yang ditatap tersipu malu, segera palingkan wajah dan berkata,
"Jangan puji aku begitu, nanti aku makin tersiksa tak kau rengkuh dalam hatimu, Suto."
Tawa Pendekar Mabuk berderai yang membuat Betari Ayu kian tersipu malu.
Maka cepat ia alihkan suasana itu kepada pertanyaan mengenai lukanya.
"Siapa yang menyerangku dari belakang, Suto? Aku tidak bisa merasakan
datangnya hawa dari pukulan melainkan tiba-tiba saja punggungku
merasa seperti tersengat."
"Pukulan itu memang sangat berbahaya." "Siapa pelakunya?"
"Kurasa kau tak perlu tahu."
"Kenapa? Kau takut aku membalas dendam pada pelakunya? O, tidak. Aku
tidak akan membalas dendam, Suto. Cukup banyak aku bicara dengan gurumu
tentang hakikat suatu kehidupan dan kematian. Bahkan aku sudah
sepakat untuk mengasingkan diri dan menjadi seorang pertapa yang
dibantu oleh gurumu, Ki Sabawana itu."
"Kau ingin menjadi seorang pertapa?"
"Ya. Ki Sabawana mendukung rencanaku itu.
Gurumu banyak kasih saran padaku. Itulah sebabnya aku tak ingin mengadakan pembalasan walau aku tahu siapa penyerangku itu."
"Baiklah. Kau diserang oleh Putri Alam Baka!" "Hmmm... berarti dugaanku memang benar."
"Tapi bukan dia pelakunya, melainkan suaminya!" "Nagadipa?"
"Ya. Nagadipa pelakunya." "Lalu kau mengejarnya?"
"Ya. Karena aku harus menuntut balas atas kejahatannya terhadap dirimu. Aku tak bisa tinggal diam melihat kamu dilukai, Nyai."
"Lalu... kau bunuh mereka?"
"Secara tak sengaja, Putri Alam Baka mati dan
Nagadipa terluka parah."
"Kau menggunakan napas Tuak Setan?" "Dari mana kau tahu. Nyai?"
"Gurumu yang mengatakannya. Dia merasakan ada badai aneh dan badai itu
pasti datangnya dari napas Tuak Setan-mu! Tapi beliau tahu kau
menggunakannya secara tidak sengaja."
Pendekar Mabuk diam berpikir tentang gurunya, Ternyata segala
kegiatannya selalu dipantau oleh sang gurunya. Suto jadi riskan dan tak
enak untuk berbuat bebas, ia menjadi gelisah, dan kegelisahan itu
dilihat oleh Betari Ayu, kemudian Betari Ayu berkata,
"Bukan hanya si Gila Tuak yang memantau kegiatanmu, Suto. Tapi aku
pun banyak mengikuti kegiatanmu dari sini, atau dari tempatku
yang jauh.
Semua itu hanya sekadar menjaga kalau-kalau kau dalam bahaya yang
membutuhkan bantuan. Hanya hal-hal yang bersifat berbahaya yang dipantau
terus oleh gurumu."
"Apakah Guru juga membicarakan tentang pertarunganku di Bukit Jagal, yang akan terjadi esok malam?"
"Tidak. Apakah kau akan melakukan pertarungan?" "Aku ditantang."
"Siapa yang menantang?" "Dirgo Mukti."
"O...," Nyai Betari Ayu manggut-manggut. "Hati-hati kau berurusan dengan Dirgo Mukti."
"Kenapa?" Suto jadi ingin tahu.
"Dia murid tunggalnya Pendekar Tanduk Dewa yang bersemayam di Gunung
Tujuh Batu. Pendekar Tanduk Dewa adalah bekas suami dari penguasa Pulau
Hantu yang dikenal dengan nama si Mawar Hitam, orang ini juga
menyimpan dendam pada Bidadari Jalang, karena merasa suaminya direbut
oleh bibi gurumu itu!"
"O, pantas waktu itu Peri Malam dipesan oleh gurunya, si
Mawar Hitam, agar jangan membuat perselisihan dengan Dirgo
Mukti!"
"Mungkin karena Mawar Hitam tidak mau berurusan dengan mantan suaminya,
jika muridnya bentrok dengan murid Pendekar Tanduk Dewa itu. Yang
jelas, hati- hatilah jika berhadapan dengan Dirgo Mukti. Pende kar
Tanduk Dewa bisa turun tangan kalau sampai muridnya itu mati."
"Apakah Pendekar Tanduk Dewa berilmu tinggi?!"
"Ya. Tapi tidak lebih tinggi dari gurumu sendiri."
Suto Sinting manggut-manggut dan diam beberapa saat. Setelah itu baru ia kembali bertanya,
"Apakah menurutmu sebuah tantangan tanding laga harus dipenuhi,
Nyai? Bagaimana jika aku tidak memenuhi tantangan itu?"
"Apakah karena kata-kataku tadi kau jadi takut dengan Dirgo
Mukti, si Manusia Sontoloyo yang tak jelas juntrungannya itu?",
"Bukan karena takut, tapi karena aku merasa pertarungan itu
bukan merupakan pertarungan yang bermasalah penting, Nyai.
Urusannya cuma sepele, mengapa harus kulayani tantangan itu? Maksudku,
aku tidak ingin datang pada malam purnama nanti! Kalau aku bisa
membunuhnya, aku merasa menyesal, hanya persoalan anak kecil saja
sampai harus membunuhnya. Apalagi kalau aku yang kalah, jelas
sangat menyesal tujuh turunan aku, Nyai!"
"Jika tak mau hadir, mengapa kau buat janji pertarungan?"
"Aku terjebak. Bukan aku yang bikin janji, bukan aku
yang menjawab tantangannya, Nyai! Tapi Perawan
Sesat!"
Betari Ayu tarik napas panjang, ia bangkit dan langkahkan kaki ke
mulut gua. Ia memandang curahan air terjun dari sana. Kemudian ia
palingkan wajah dan berkata kepada Suto,
"Sebagai seorang pendekar, kau harus penuhi tantangan itu! Jika tidak, gelar pendekarmu akan
disepelekan oleh mereka yang mendengar ketidakhadiranmu."
"Pertarungan ini sungguh pertarungan yang tidak
punya arti!"
"Walau begitu, kau tetap harus hadir. Toh bukan berarti kau harus
membunuh Dirgo Mukti. Cukup kau beri pelajaran padanya, agar harga diri
kependekaranmu masih ada."
Seperti apa yang dikatakan Dewa Racun, rupanya Pendekar Mabuk
tetap tidak bisa menghindari pertarungan dengan Dirgo Mukti. Ia
harus menjaga nama baik kependekarannya, agar dunia persilatan tidak
memandang rendah terhadap dirinya. Tapi menurut Suto pertarungan itu
bukan pertarungan demi membela kehomatan, pertarungan itu
tetap saja pertarungan konyol yang harus dihadirinya.
Kalau saja ia tahu rencana di balik pertarungan itu, ia semakin tidak
mau melaksanakannya. Sayang sekali Suto tidak tahu rencana tiga
perempuan patah hati yang ingin memanfaatkan pertarungan itu.
Tetapi niat licik dari tiga perempuan patah hati itu tanpa disengaja
didengar oleh Dewa Racun. Saat itu, Dewa Racun sedang mengejar
arah kepergian Suto. Di perjalangan, ia berhenti karena melihat
tiga kelebat banyangan ke arahnya. Dewa Racun bergegas lompat ke pohon
berdaun rindang. Wuuttt...!
Ternyata, tiga perempuan cantik itu justru berhenti di bawah pohon tempat persembunyian Dewa Racun.
Segera Dewa Racun menggunakan ilmu serap
napasnya, supaya hembusan napas tak bisa didengar oleh orang yang
berilmu tinggi di sekitarnya. Dan dari balik kerimbunan pohon itu, Dewa
Racun mendengar percakapan Selendang Kubur, Peri Malam, dan Perawan
Sesat.
"Ke mana kita harus mencari Pendekar Mabuk? Sejak kemarin kita tidak temukan dia."
''Apakah masih perlu kita mencarinya?"
"Nanti kalau dia tidak datang ke pertarungan di Bukit Jagal, kita kehilangan kesempatan untuk menyerang dia!"
"Kurasa dia tetap akan datang, walau sekadar mengatakan
penundaan pertarungannya. Dan saat itu kita perdaya dia supaya tetap
maju melawan Dirgo Mukti. Aku nanti yang akan mempengaruhinya," kata
Selendang Kubur.
"Baiklah. Kita yakinkan diri saja bahwa dia akan datang. Aku
capek mencarinya ke mana-mana!" keluh Peri Malam. "Yang jelas, kita
harus bisa tetap bikin Dirgo Mukti bersemangat melawan dia, dan
mendesaknya terus sampai Suto merasa kehabisan tenaga. Walau
nantinya Dirgo Mukti mati di tangan Suto Sinting, tak jadi masalah. Tapi
kita punya kesempatan menggempur Pendekar Mabuk yang tenaganya
sudah banyak berkurang dari pertarungan itu!"
"Kurasa Dirgo Mukti sekarang sudah bersemangat sekali, sebab kita
sudah memberi janji-janji gombal, bahwa kita bertiga bersedia
menjadi istrinya jika dia menang melawan Suto. Itu sudah
merupakan iming-
iming yang sangat berharga sekali buat Dirgo Mukti. Setidaknya dia akan berjuang sekuat tenaga mengalahkan Pendekar Mabuk!"
Dewa Racun mendengar semua percakapan itu. Sampai mereka
bertiga pergi, Dewa Racun masih termangu-mangu di atas pohon
tersebut. Dalam hatinya ia berkata,
"Ternyata perempuan yang mengaku bernama Perawan Sesat itu punya
komplotan untuk membunuh Suto dengan kelicikannya. Benar apa
kata Suto, pertarungan itu sebenarnya tidak punya arti apa-apa.
Hanya sebagai pertarungan konyol saja. Dan pertarungan itu digunakan
oleh ketiga perempuan tadi untuk mencari kelemahan Pendekar Mabuk.
Hmm... sebuah pertarungan konyol ada baiknya dibuat semakin konyol
saja!"
Menurut keterangan Peramal Pikun, Suto mempunyai tempat persingahan di
Jurang Lindu. Tetapi apakah Suto ke sana atau tidak, Peramal Pikun tak
bisa memastikan. Petunjuk itu sudah cukup buat Dewa Racun, karena ia
punya arah tujuan dalam mencari Suto walau mungkin nantinya tidak
ditemukan. Tapi dari sanalah Dewa Racun akan melacak terus ke mana
perginya orang yang harus dikawalnya itu.
Di pertengah jalan, Dewa Racun mulai mencium bau tuak. Segera ia
arahkan larinya ke pusat bau tuak itu. Dan akhirnya ia temukan
Pendekar Mabuk sedang beristirahat di bawah pohon untuk menenggak
tuaknya dari dalam bumbung bambu.
Jleeg...!
Suto terkejut melihat Dewa Racun sudah berdiri didepannya. Wajah Dewa
Racun cemberut, Suto nyengir tertawa ingat tipuannya. Pasti orang
kerdil ini sudah mengetahui tipuan di tepi sungai.
'Ku... ku... kurang ajar kau!" maki Dewa Racun yang membuat Pendekar
Mabuk tak bisa tahan tawanya lagi, lalu meledak terbahak-bahak.
"Ka... ka... kalau tidak kuingat, aku harus mengawalmu, sudah ku... ku... kurontokkan gigimu dengan panahku ini!
"Maafkan aku, Dewa Racun! Aku memang senang bercanda denganmu!"
"It... it... itu bukan bercanda, tapi ku... ku...." "Kunang-kunang?"
"Bukan! Itu kurang ajar namanya! Kau sen... sendiri
akan dibuat bercanda dalam pertarunganmu nan... nan... nanti!"
"Apa maksudmu?"
"Tig... tiga... tiga perempuan ingin ambil bagian dalam
pertarunganmu nan... nan... nanti! Satu perempuan sudah pernah
ku... kulihat, yaitu yang rambutnya awut-awutan tempo hari."
"Tiga perempuan ambil bagian dalam pertarunganku dengan Dirgo Mukti nanti?!"
"Bet... bet... bet...." "Betot?!"
"Betul! Bukan betot!" Dewa Racun bersungut-sungut, merasa jengkel jika omongannya diteruskan dengan kata
yang salah. Kemudian, ia segera jelaskan kepada Suto apa yang
didengarnya dari ketiga perempuan tadi. Mendengar ciri-ciri
ketiga perempuan itu, Pendekar Mabuk bisa menduga mereka adalah
Perawan Sesat, Selendang Kubur, dan Peri Malam. Tapi Suto belum
tahu alasan ketiga perempuan itu, mengapa ingin membunuhnya?
Dewa Racun berkata, "Ak... ak... aku jadi punya rencana lain! Kau harus ha... ha...."
"Hamil?"
"Bukan! Kau harus ha... hadir dalam pertarungan itu! Harus! Ka, ka, ka... kalau tidak mau, kau akan kupak... pak... pak...."
"Kupakai?!"
"Kupaksa!" bentak Dewa Racun jengkel. "Kau akan kupaksa untuk hadir.
Karena aku punya rencana bagus untuk tiga pe... perempuan itu!"
"Rencana apa?"
*
* *
9
MALAM bulan purnama, sungguh benderang sinar rembulan menyorot ke bumi.
Langit bersih, memantulkan cahaya makin cerah. Puncak Bukit Jagal tampak
jelas tanpa pepohonan apa pun di sana. Bukit itu adalah bukit yang
tandus, yang biasa digunakan untuk pertarungan tanding laga bagi para
tokoh persilatan.
Bukit Jagal, terletak di sebuah pantai yang bertebing curam. Sebagian
lapisan tanah bawah adalah bebatuan karang, sebagian di atasnya
adalah cadas putih yang keras. Sebuah pertarungan jika dipandang
dari lautan akan kelihatan sangat indah dan menawan, karena gerak
kedua orang yang bertarung akan terlihat jelas tanpa penghalang
sedikit pun.
Biasanya, orang yang mati dalam pertarungan di atas Bukit Jagal,
mayatnya akan langsung dibuang ke laut yang ganas, bergelombang
besar dan konon banyak dihuni ikan-ikan buas. Mereka yang terlempar
ke laut dalam keadaan hidup-hidup pun tak akan bisa selamat menghindari
keganasan ombak dan ikan-ikannya. Tinggi tebing dari puncak bukit
sampai ke permukaan laut ada lima puluh tombak. Itulah sebabnya orang
yang jatuh dari atas bukit tak akan bisa selamat dari ancaman maut di
kaki bukit, karena di sana juga ada karang-karang runcing
menunggu mangsanya. Di sela karang itu, banyak tulang-tulang
manusia yang berserakan terselip di sana-sini. Tengkorak-tengkorak
manusia tergeletak tak beraturan, tanpa nama dan tanda-tanda
semasa hidupnya. Tak heran jika Bukit Jagal juga sering disebut Kuburan
Tanpa Nama.
Dalam siraman cahaya purnama, tampak sesosok tubuh kekar berdiri di
atas bukit gundul itu. Orang itu didampingi tiga perempuan yang
masing-masing mempunyai gerak kelincahan tersendiri. Siapa lagi orang
bersenjata kapak dua mata itu kalau bukan Dirgo Mukti yang menjuluki
dirinya sebagai Manusia Sontoloyo.
"Aku sudah tidak sabar lagi menunggu kehadirannya," kata Dirgo Mukti
dengan kedua tangan meremas-remas bagai melampiaskan kegelisahannya.
"Percayalah, dia pasti datang!" kata Peri Malam. "Kalau beberapa
saat lamanya dia tidak datang, Selendang Kubur akan
menyusul Suto ke tempat gurunya, dan melaporkan kebodohan sang
murid! Pasti gurunya Pendekar Mabuk akan mengamuk dan mencari muridnya
yang menghadapi tantanganmu!"
"Kau harus menang, Dirgo!" kata Selendang Kubur sambil mengusap-usap
punggung Dirgo Mukti. "Kami akan bersedih tiada habisnya jika kau
kalah. Tapi jika kau menang dan bisa membunuh Suto, kami akan
bersorak kegirangan, karena itu berarti kami bertiga dengan senang
hati menjadi istrimu, Dirgo!"
"Itulah semangatku!" kata Dirgo Mukti yang kemudian disusul dengan tawa terbahak-bahak.
Perawan Sesat yang sejak tadi mondar-mandir, memandang
sekeliling bagai orang memeriksa keamanan lingkungan, tiba-tiba berkata
dengan suara seraknya,
"Seseorang sedang menuju kemari! Bersiaplah!" Kedua mata teman sekongkolnya itu segera
lemparkan pandangan ke arah yang ditunjuk Perawan
Sesat. Peri Malam segera berkata, "Itu dia! Dia telah datang!"
"Lantas bagaimana dengan kita?" Selendang Kubur berdebar-debar.
"Kita... kita bersembunyi saja di balik batu itu!" "Terlalu rendah ke lereng, nanti kita tidak bisa jelas
melihat pertarungan ini!"
Perawan Sesat cepat ucapkan kata tegas, "Kita tetap di sini! Mengapa
harus sembunyi? Justru kita tunggu kesempatan baik untuk menyerang
Pendekar Mabuk pada saat ia tampak terdesak oleh Dirgo Mukti!"
"O, benar! Benar sekali pendapatmu!" Peri Malam menepuk-nepuk pundak
Perawan Sesat, namun tangan Perawan Sesat cepat kibaskan tangan
Peri Malam. Agaknya ia tak suka ditepuk-tepuk begitu oleh orang
sejenisnya.
"Kurasa kalian tak perlu jauh-jauh. Diam saja di pinggiran sana
dan saksikan kemenanganku!" kata Dirgo Mukti. "Akan kutumbangkan dia
dalam dua jurus saja!"
"Tak perlu malu-malu menggunakan lebih dari sepuluh jurus,
yang penting kau bisa menang melawannya, Dirgo Mukti!" kata Peri Malam.
Orang yang ditunggu datang. Pendekar Mabuk muncul dengan
badan terbungkuk-bungkuk, seperti keberatan bumbung tuak yang
disandang di punggungnya. Peri Malam berbisik kepada Selendang Kubur
yang berdiri di samping kirinya.
"Dia dalam keadaan mabuk!''
"Bahaya! Justru dalam keadaan mabuk begitulah ilmunya semakin tinggi," bisik Selendang Kubur.
"Diamlah!" hardik Perawan Sesat yang merasa
terganggu dengan kasak-kusuk mereka.
Pendekar Mabuk berwajah kaku saat itu. Tak ada sapa dan senyum
untuk ketiga perempuan yang sudah dikenalnya. Bahkan Peri Malam sempat
berbisik kepada
Perawan Sesat.
"Dia acuh tak acuh pada kita. Tak menyapa sedikit pun!"
"Mungkin dia sudah tahu persekongkolan kita, atau dia sedang memusatkan perhatiannya kepada Dirgo Mukti!"
"Ssst...! Diamlah!" Selendang Kubur ganti menghardik.
Terdengar suara Dirgo Mukti menyapa kasar kepada
Suto,
"Sudah siapkah kau menemui ajalmu, Suto?!" "Sudah!" jawab Suto datar dan berkesan ketus.
"Kau siap menderita malu di depan tiga perempuan ini?!"
"Sudah!"
"Bagus. Tapi sebelum kau menemui ajalmu, barangkali kau punya pesan
untuk ketiga perempuan yang menjadi saksi pertarungan ini?"
"Tidak!"
"Kalau begitu, kita mulai saja pertarungan kita, Suto!"
"Baik!"
Dirgo Mukti segera kembangkan tangannya. Langsung saja di tangan
kanannya sudah tergenggam kapak bermata dua yang mempunyai ujung mata
tombak kecil. Tapi tidak secepat itu ia menggunakan senjata
tersebut, ia masih mencari celah baik untuk menyerang Suto dengan
pukulan jarak jauhnya. Ia bergerak pelan mengelilingi Suto, sementara
Suto sendiri hanya diam
sambil melirik dengan mata sayu yang tidak meyakinkan sebagai mata seorang pendekar tangguh.
"Aih, gila! Semakin tampan saja dia!" pikir
Selendang Kubur. "Hatiku berdebar-debar digelitik bayangan indah
dalam cumbuannya. Oh, apakah nantinya aku akan tega menyerang dia?"
Hati Perawan Sesat pun membatin, "Kurang ajar! Semakin terkena
cahaya rembulan, semakin menggairahkan wajahnya. Aku jadi gundah
membayangkan cumbuannya. Oh, sepertinya aku tak sampai hati jika
harus menyerangnya!"
Peri Malam bahkan palingkan wajah, tak berani menatap Pendekar
Mabuk. Dalam hatinya ia membatin, "Celaka kalau begini! Dia semakin
memikat hatiku! Aku terbayang saat dia menciumku di pantai. Oh, luar
biasa indahnya kala itu. Kakiku sekarang pun jadi gemetaran
membayangkannya. Lantas, bagaimana nanti jika aku harus
menyerangnya? Apakah aku bisa menyerang seorang kekasih yang
kucintai dan kurindukan itu?"
Sementara hati ketiga perempuan itu berkecamuk sendiri-sendiri,
Dirgo Mukti segera sentakkan tangan kosongnya ke depan bagai mencakar
perut harimau.
Wuuttt..!
Pendekar Mabuk melompat, namun terlambat. Tubuhnya tersentak ke belakang
dan berguling dua kali. Lalu ia segera berdiri sambil menggeram. Ia
bergerak kembali, bersamaan dengan itu Dirgo pun bergerak
berkeliling. Langkah demi langkah ia perhatikan. Sedang Suto masih tetap
membungkuk-bungkuk dengan kedua
tangan lurus ke bawah dan menggantung, seakan sewaktu-waktu siap melompat untuk menerkam lawannya.
Dirgo Mukti segera jejakkan kakinya ke tanah, tubuhnya pun cepat
melesat terbang dalam satu putaran salto ke depan.Wuuttt...!
Pendekar Mabuk mundur satu tindak. Di belakangnya jurang maut. Suto
bagaikan tidak menyadari hal itu. Ketika Dirgo Mukti pijakkan
kaki ke tanah di depan Pendekar Mabuk dalam jarak empat langkah,
cepat-cepat ia sentakkan tangan kanannya ke depan, dan ujung kapak yang
dipegangnya itu melesat lepas dari tangkai. Ujung kapak yang berupa
mata tombak kecil itu mempunyai nyala pijar api merah. Zuuittt...!
Pendekar Mabuk tak bisa mengelak kecepatan mata tombak itu. Langsung
mata tombak bergerak tanpa ampun, menembus dada Suto. Jruub....!
Tubuh Suto seketika menjadi berasap. Sebelum tumbang dan hancur, Dirgo
Mukti segera lompatkan kaki dan memberi tendangan samping
yang cukup keras.
"Hiaaattt...!" Beeg...! .
"Aaahg...!" Suto mengerang, tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh ke
jurang yang amat dalam itu. Suara jeritannya menggema bagai memecah
sepi di malam purnama. Sementara itu, ujung kapak Dirgo Mukti yang
sudah kehilangan mata tombaknya itu kembali muncul mata tombak baru.
Creekk...!
Tetapi kapak itu hanya digenggamnya dengan hati
puas. Ia berseru geram,
"Mampuslah kau, Suto Sinting! Ternyata kehebatanmu tak seperti apa yang digembar-gemborkan tiap manusia!"
Segera Dirgo Mukti balikkan badan. Ia menatap ketiga perempuan itu
dengan senyum lebar dan tawa pun terdengar berkumandang. Sedangkan
ketiga perempuan itu sama-sama terpaku tak bergerak di tempatnya. Mata
mereka tak berkedip sama sekali. Karena mereka terpukau
melihat kematian Suto yang begitu cepat dan mudahnya dikalahkan oleh
Dirgo Mukti.
"Celaka...!" bisik Peri Malam kepada kedua teman di kanan-kirinya.
"Dirgo Mukti menang melawan Pendekar Mabuk! Ini berarti kita bertiga
bakal menjadi istrinya!"
"Aku tidak sudi!" bisik Selendang Kubur dengan tegang.
"Aku juga tidak bergairah dengan dia!" bisik Perawan
Sesat.
"Lantas bagaimana?"
"Kita serang saja dia! Bunuh!" geram Selendang
Kubur.
"Kalau begitu, biarlah aku yang maju melawannya!" bisik Perawan Sesat dengan dada naik turun. Dalam hatinya ia berkata,
"Bangsat si Dirgo Mukti ini! Dia telah membunuh orang yang kuharapkan
kemesraannya! Dia telah menghancurkan gairahku! Dia harus kubunuh
juga!"
Sedangkan Selendang Kubur berkata pula dalam hatinya, "Aku tak rela! Sungguh tak rela Suto
ditumbangkan begitu saja! Aku harus membalas kematian Suto, karena
dialah yang telah menghilangkan orang yang kucintai! Dia telah
menghancurkan cintaku! Jahanam kau, Dirgo Mukti!"
Mata perempuan bertahi lalat di sudut dagunya juga menjadi nanar penuh kobaran api amarah. Peri Malam berkata geram dalam hati,
"Orang ini benar-benar memuakkan! Akan kutebus kematian Pendekar Mabuk
dengan nyawanya! Akan kubela orang yang kucintai itu,
walau aku harus korbankan nyawa dalam pertarungan ini!"
Dirgo Mukti melangkah dengan gagahnya mendekati ketiga perempuan itu. Tawanya masih berkepanjangan sambil ia serukan kata,
"Kalian sekarang menjadi istri-istriku! Harapan kalian terkabul!
Aku melihat sendiri mayat Pendekar Mabuk tertancap bebatuan karang
di bawah sana! Ha ha ha...! Dekatlah kemari istri-istriku! Mari
kita rayakan kemenangan ini dengan sejuta kemesraan dan kehangatan
bercinta, ha ha ha...!"
Perawan Sesat maju dua tindak, tangannya siap untuk melancarkan pukulan
jarak jauhnya. Tapi kain selendang putih telah lebih dulu berkelebat
menghantam tubuh Dirgo Mukti. Wuuugh...!
Selendang Kubur melepaskan pukulan tenaga dalamnya menggunakan kibasan
selendang putihnya. Pukulan itu membuat Dirgo Mukti tersentak ke
samping dan oleng mencari keseimbangan.
"Hai...! Mengapa kalian menyerangku?!"
Wuuttt...! Perawan Sesat sentakkan tangan kirinya dan sebuah
pukulan tenaga dalam cukup tinggi tak dapat dihindari Dirgo Mukti.
Pukulan itu tepat mengenai dada Dirgo Mukti. Beeegh...!
"Heegh...?!" Dirgo Mukti memekik tertahan. Tubuhnya tersentak ke
belakang, tiga langkah jauhnya. Mulutnya mulai mengeluarkan darah.
Tapi ia belum jatuh, ia masih berdiri dengan terbungkuk-bungkuk. Ia
menarik gagang kapaknya, sreekkk...! Gagang itu mengulurkan
rantai, sehingga mata kapak bisa diputar- putarkan di atas kepala.
"Jahanam kalian semua! Kalian ingkar janji! Kalian hanya pergunakan aku untuk membunuh Suto!"
"Tak perlu banyak bicara, Dirgo Mukti! Kami memang gunakan
kamu sebagai alat! Tak satu pun dari kami yang sudi menjadi
istrimu!" sentak Peri Malam yang segera melompat ke atas dan
menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
Bangng...! Pukulan itu tertangkis oleh kibasan kapak yang berputaran
cepat di atas kepala. Memercikkan cahaya merah menyala dalam
sekejap. Lalu, tiba-tiba kapak itu bagaikan terbang dalam ikatan
rantainya yang bisa mulur panjang. Wungng...! Sreekkk...!
Kalau saja kepala Perawan Sesat tidak segera merunduk dan
berguling di tanah, sudah pasti akan terpenggal mata kapak itu.
Juga kalau Selendang Kubur yang berdiri sejajar dengan Perawan
Sesat itu tidak segera gulingkan badan ke tanah, lehernya akan putus
seketika karena ditebas kilasan kapak terbang itu.
Peri Malam yang berada tepat di garis lurus depan Dirgo itu segera
keluarkan sumpit bambunya dari belahan dadanya yang montok
itu. Lalu, ia tiupkan napasnya melalui lubang sumpit yang panjangnya
hanya sejengkal. Slup...! Maka meluncurlah senjata andalannya yang
bernama Jarum Iblis itu ke arah Dirgo Mukti. Crasss...!
Duaarrr...!
Jarum Iblis tak berhasil menembus sasaran, karena kapak Dirgo Mukti yang
mengeluarkan bunyi dengung berkumandang itu menangkis jarum tersebut.
Tangkisannya itu menimbulkan percikkan nyala api bersama bunyi
ledakan yang menggema.
Pada kesempatan lengah sedikit itu, Selendang Kubur segera sabetkan
selendangnya dengan satu hentakkan kaki ke bumi. Jurus 'Selendang
Petir' diganaskan. Dari ujung kain selendang itu keluar percikkan
api yang mampu membakar lawan.
Craapp... craapp...!
Melihat datangnya bahaya dari samping, Dirgo Mukti segera sentakkan kaki
dan melenting di udara dengan kapaknya tetap berputar membentengi
dirinya. Wuusss...! Sabetan 'Selendang Petir' hanya membuat nyala
api sekejap, menyambar tempat kosong. Sementara itu, ujung kapak
Dirgo Mukti keluarkan sinar merah membara yang meluncur cepat ke
arah Peri Malam. Sinar merah membara itulah yang tadi digunakan
menghantam Suto.
Wuusssh...! Cepat sekali gerakan sinar merah membara dari logam berbentuk mata tombak itu.
Sebelum mencapai tubuh Peri Malam, Perawan Sesat cepat sentakkan
tangan kanannya dan melesatlah sinar kuning menghantam logam membara
itu.
Duaarrr...!
Pecah logam membara itu tepat di atas kepala Peri Malam. Dentumannya
membuat tubuh Peri Malam tersentak dan jatuh tersungkur. Tetapi ia
segera bangkit lagi dan dalam posisi duduk ia luncurkan Jarum Iblis di
kaki Dirgo Mukti. Slaappp...!
"Uuhf...!" Dirgo Mukti menahan rasa sakit yang mengagetkan, karena
begitu ia mendaratkan kakinya ke tanah, jarum beracun itu telah
menyambut betisnya dengan empuk. Jruubb...!
Dua pasang mata yang memperhatikan pertarungan tak imbang itu menjadi
tegang. Dua pasang mata itu ada di atas pohon, di lereng bukit agak ke
bawah. Karena posisinya ada di atas pohon, jadi kedua pasang
mata milik dua manusia itu dapat melihat dengan jelas
pertarungan tersebut.
"Dirgo Mukti bisa mati! Dia terdesak terus dan telah berkena Jarum Iblis milik Peri Malam!"
"Jar... jar... jarum itu kulihat mempunyai serbuk racun! Sangat
ber... ber... berbahaya racun itu. Kedipan serbuknya dapat tertangkap
oleh mat... mata... mataku!"
"Kasihan Dirgo Mukti! Bagaimana kalau aku membantunya, meleraikan pertarungan itu?"
"Jang... jang... jangan! Kkkau... kau sudah dianggap mat... mati oleh mereka!"
Ya, Suto telah dianggap mati oleh tiga perempuan
patah hati. Tapi sebenarnya dia sedang menjadi penonton pertarungan di atas Bukit Jagal itu bersama Dewa Racun.
Ini semua gagasan Dewa Racun, si kerdil yang cerdik itu. Ia berhasil
menemukan seekor orang hutan. Ia cepat jinakkan orang hutan itu. Lalu,
ia suruh Suto menggunakan ilmu 'Seberang Raga'-nya sehingga orang hutan
itu bisa menjadi wujud dirinya di mata orang- orang yang ada
di atas bukit tadi. Orang hutan yang sudah berubah wujud Suto itu
masuk arena pertarungan dan tentu saja dengan mudahnya dikalahkan
Dirgo Mukti. Dengan begitu, Dirgo Mukti berhak menuntut janji
dari ketiga perempuan licik itu, dan ketiga perempuan licik
menjadi kebingungan, karena tidak menyangka bahwa Dirgo
Mukti benar-benar dapat membunuh Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk tertawa geli melihat tiga perempuan licik itu berontak,
tak mau ditagih janjinya oleh Dirgo Mukti. Rupanya mereka
benar-benar bernafsu untuk membunuh Dirgo Mukti. Sehingga, walaupun
keadaan Dirgo Mukti sudah lemah dan parah, mereka masih terus
menyerangnya. Sampai akhirnya Dirgo Mukti tersungkur jatuh dengan luka
dalam dan luar, namun ia masih bisa berlutut dan mencoba berdiri lagi.
"Habislah nyawamu sekarang juga, Jahanam!" geram Perawan Sesat sambil
lancarkan pukulan pamungkasnya yang amat berbahaya itu. Tapi tiba-tiba
kilatan cahaya merah dari tangan Perawan Sesat tersentak ke samping,
didorong oleh kilatan cahaya hijau yang datang secara
tiba-tiba.
Glegaaar...!
Tabrakan cahaya bertenaga dalam tinggi itu membuat bukit bagaikan mau
rubuh. Dentumannya mengguncang bumi, membuat ketiga tubuh perempuan
itu terpental berlainan arah. Jatuh telentang dengan erangan
yang lirih. Ketiganya cepat berusaha untuk bangkit kembali.
"Hi hi hi hi...!" terdengar suara tawa mirip kuntilanak yang berdiri di
depan mereka bertiga. Suara itu berasal dari seorang nenek berjubah
biru lusuh, pakaiannya serba abu-abu. Badannya agak bungkuk,
rambutnya digulung naik, berwarna abu-abu juga. Di pinggangnya terselip
tengkorak kambing bergagang tulang ikan berukuran antara dua
jengkal.
Peri Malam tak asing lagi dengan wajah bermata cekung angker itu.
Karena dulu ia pernah menjadi murid nenek keriput bergigi ompong dan
tak bisa menyebutkan huruf 'r'.
"Guru,..?!"
"Hei, jangan sebut aku gulumu lagi, Peli Malam!" kata nenek angker yang
dikenal dengan nama Mawar Hitam dari Pulau Hantu itu. "Kamu sudah
bukan lagi mulidku! Kamu sesat, dan perlu kuhajal juga lupanya!"
"Tunggu!" sentak Perawan Sesat ketika Mawar Hitam ingin menghantamkan
pukulan jarak jauhnya. "Apa urusanmu ikut campur pertarungan
kami ini, Nenek Peot!"
"Aku memang cali-cali anak muda ini! Dia punya kesaktian cukup lumayan buat kuselap, sama dengan
kesaktian gulumu si Nyai Lembah Asmara itu! Aku akan jadi olang yang
paling tinggi ilmunya setelah kuselap banyak ilmu dali olang-olang
yang kuselamatkan dali peltalungan!"
Wuttt...! Dengan sekali sentak kaki, tubuh Dirgo Mukti sudah
melesat sendiri dan jatuh di pundak Mawar Hitam. Badannya yang bungkuk
semakin bungkuk lagi menggendong tubuh Dirgo Mukti yang sudah
nyaris mati itu.
"Akan kau bawa ke mana dia? Kami harus membunuhnya lebih dulu, baru
kamu boleh membawa mayatnya pergi!" sentak Selendang Kubur.
"Benar, Guru!" sahut Peri Malam yang sudah terbiasa memanggil 'guru'
kepada Mawar Hitam. "Kami harus hancurkan Dirgo Mukti, karena
dia telah membunuh Suto!"
"Hik hik hik hik...! Pendekal Mabuk belum mati! Dia masih sembunyi!
Kalian telah dikecohkan oleh Pendekal Mabuk! Hi hi hi hi...! Kalian
tidak akan sanggup melawan Suto, kalena Suto itu adalah
lawanku! Aku halus tebus kekalahanku dalam lebutan Pusaka Tuak
Setan, setelah aku tebus kekalahanku tempo hali, aku halus bunuh
gulunya yang belnama Bidadali Jalang! Tapi itu lanti, kalau aku
sudah selap banyak ilmu dali olang-olang bodoh macam Dilgo Mukti
ini! Hik hik hik...!"
Mawar Hitam bergerak mau tinggalkan tempat. Tapi Perawan Sesat cepat
lompat dan hadang langkah Mawar Hitam. Dengan berani ia menyentak Mawar
Hitam.
"Tinggalkan manusia itu di sini!"
"Ah, kamu mau cali-cali mati lupanya?"
Mawar Hitam segera kibaskan tangannya bagai menyambar nyamuk.
Wuuttt...! Tepat pada saat itu sinar merah berbentuk bulat seperti bola
kecil itu melesat dari siku Mawar Hitam, melesat ke dada Perawan Sesat.
Kejap berikut, Dewa Racun lepaskan anak panahnya dari atas pohon.
Wuuttt....! Panah itu meluncur bagai kilat menyambar bola merah.
Blaarrr...!
Tubuh Mawar Hitam tersentak mundur karena hempasan angin
dari ledakan bola merahnya itu. Perawan Sesat terpentang dan
nyaris jatuh ke jurang dalam itu.
Ledakan itu menimbulkan hentakkan gelombang yang cukup besar.
Mawar Hitam sendiri segera berpaling ke arah datangnya anak panah tadi.
"Kulang ajal...!" geramnya dengan beringas. Slapp...! Tiba-tiba tubuh
Pendekar Mabuk sudah berada di samping Mawar Hitam dalam satu
lompatan berkecepatan tinggi sekali itu. Pendekar Mabuk langsung
berkata,
"Kalau kau mau hadapi aku, sekaranglah kita tentukan pertarungan kita di sini, Mawar Hitam!"
Yang terkejut bukan hanya Mawar Hitam, tapi ketiga
perempuan itu sama-sama tersentak kaget dan mundur dalam jarak tertentu.
"Dia masih hidup!" bisik Selendang Kubur kepada
Peri Malam. Tapi yang diajak bicara hanya terbengong.
Perawan Sesat juga hanya berdiri mematung tak berkedip.
"Suto, saatnya belum tiba untuk peltalungan kita!
Tunggu bebelapa waktu lagi! Akan kuhanculkan kamu sampai selembut selbuk
tepung! Jangan sangka aku tidak bisa ungguli ilmumu, Suto!"
"Telselah kamu!" tak sadar Pendekar Mabuk ikut cadel bicaranya,
namun buru-buru ia perbaiki lagi, "Terserah kamu, Mawar
Hitam! Kapan saja kau menghendaki pertarungan kita, aku siap
menunggumu!"
"Tunggu saatnya!" dan tiba-tiba, Mawar Hitam seperti
membanting sesuatu. Wuugh...! Asap mengepul tebal dari sebuah
letupan. Asap itu menipis, Mawar Hitam ternyata sudah hilang
dari pandangan bersama tubuh Dirgo Mukti.
"Ada yang masih bernafsu membunuhku?!" tantang Pendekar Mabuk kepada
ketiga perempuan itu. Tapi tak satu pun menyahut, tak satu pun bergerak.
Bahkan ketika Suto tertawa sambil tinggalkan tempat itu, mereka hanya
bisa mengikuti dengan pandangan mata bengong.
Dewa Racun datang menyambut langkah Suto. Orang kerdil itu tersenyum-senyum sambil berkata,
"Kkku... kurasa sudah tidak adalah masalah dengan Bukit Jagal ini, Suto. Kit... kkkit... kita langsung saja pergi ke sana!"
"Baik! Aku sependapat denganmu, Dewa Racun!" "Nyai Gusti pas... pass... pasti akan sen... sen... sen..." "Seneb?!"
"Bukan! Akan sen... senang menerima
kedatanganmu. Nyai Gusti pasti sudah tidak sabar men... men... men...."
"Menungging?"
"Menunggumu! Bukan menungging!" sentak Dewa
Racun yang segera ditertawakan oleh Suto.
Langkah kaki Suto begitu cepat, seiring dengan langkah kaki
Dewa Racun. Dalam kejap berikut Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
sudah sama-sama menghilang dari pandangan tiga perempuan salah
tingkah itu.
"Hei, mengapa kita tidak membunuhnya? Suto sudah ada di depan kita!" kata Peri Malam.
Selendang Kubur berkata. "Adakah dari kita yang tega membunuhnya?"
Tak satu pun ada yang menjawab dari mulut mereka. Semua diam, bingung, dan hanya bisa saling pandang satu dengan yang lainnya.
SELESAI
Ikuti kisah selanjutnya!!! serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode :
Emoticon