PUASA-PUASA SUNNAH,
HARI-HARI YANG DILARANG
BERPUASA,
MENGGANTI PUASA PADA
BULAN RAMADHAN: KAFARAT ATAU FIDYAH?
A. PUASA-PUASA SUNNAH
1. ENAM HARI PADA BULAN SYAWWAL
Berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ
كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang
berpuasa ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan syawwal, maka
dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim)
Menurut Ahmad, puasa
tersebut dapat dilakukan berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tak ada
kelebihan antara cara pertama dan yang kedua, sedangkan menurut golongan Hanafi
dan Syafi’i, lebih utama melakukannya secara berturut-turut,yaitu
setelah hari raya.
2. HARI ARAFAH SELAIN ORANG YANG SEDANG
MELAKSANAKAN IBADAH HAJI
Berdasarkan hadits Abu Qatadah ra. bahwa
Rasulullah saw. ditanya tentang puasa pada hari arafah. Beliau menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Menghapus dosa setahun yang lalu dan
setahun yang akan datang.” (HR Muslim)
Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah
saw. Melarang berpuasa pada hari Arafah ketika berada di Arafah.” (HR Ahmad,
Abu Dawud, an-Nasa’I, dan Ibnu Maajah)
Tirmidzi berkata, “Para
ulama memandang sunnah berpuasa pada hari Arafah kecuali apabila berada di
Arafah.”
Ummul Fadhal berkata, “Mereka
merasa bimbang mengenai puasa Nabi saw. di Arafah, lalu aku bawakan susu, maka
beliau meminumnya, sedangkan ketika itu beliau berkhutbah di depan kaum
Muslimin di Arafah.” (HR Bukhari dan Muslim)
3. HARI ASYURA
DAN SEHARI SEBELUM DAN SESUDAHNYA
Dari
Aisyah ra., dia berkata, hari Asyura merupakan hari puasa orang-orang Quraisy
pada masa jahiliah. Rasulullah saw. juga berpuasa pada hari Asyura. Begitu
datang ke Madinah, beliau tetap berpuasa Asyura dan menyuruh orang-orang untuk
berpuasa pada hari itu. Tapi, setelah diwajibkan puasa Ramadhan, beliau
bersabda,
ﻣﻦ ﺷﺎﺀ ﺻﺎ ﻣﻪ ﻭ ﻣﻦ ﺷﺎﺀ ﺗﺮﻛﻪ
“Siapa yang menghendaki, dia boleh
berpuasa, dan siapa yang menghendaki, dia boleh meninggalkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari
Ibnu Abbas ra., dia berkata, tatkala Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura
dan memerintahkan berpuasa pada hari itu, mereka berkata, wahai Rasulullah saw.,
hari ini merupakan hari yang di agungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Beliau bersabda,
ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎ ﻥ ﺍﻟﻌﺎ ﻡ ﺍﻟﻤﻘﺒﻞ ﺇ ﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﷲ ﺻﻤﻨﺎ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺘﺎ
ﺳﻊ
“Jika
masih bertemu dengan tahun depan, insya Allah, kita berpuasa pada hari
kesembilan.”
Ibnu Abbas berkata, tapi belum juga sampai
pada tahun depan, Rasulullah saw. telah wafat. (HR
Muslim dan Abu Daud)
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
ﻟﺌﻦ ﺑﻘﻴﺖ ﺇﻟﻰ ﻗﺎﺑﻞ ﻷ ﺻﻮﻣﻦ ﺍﻟﺘﺎ ﺳﻊ ﻳﻌﻨﻰ ﻣﻊ ﻳﻮﻡ ﻋﺎ
ﺷﻮﺭﺍﺀ
“Seandainya
usiaku masih sampai pada tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari
kesembilan.” (HR Ahmad dan Muslim). Maksudnya beserta hari Asyura.
Para
ulama menyebutkan bahwa puasa Asyura ada tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, puasa selama tiga hari,
yaitu hari kesembilan, kesepuluh, dan
kesebelas.
Kedua, puasa pada hari kesembilan dan kesepuluh.
Ketiga, puasa hanya pada hari kesepuluh saja.
4. HUKUM MERAYAKAN HARI ASYURA
Dari Jabir bin Abdullah ra.bahwa Rasulullah
saw. bersabda,
ﻣﻦ ﻭﺳﻊ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺃﻫﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﺎ ﺷﻮﺭﺍﺀ ﻭﺳﻊ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﺎ
ﺋﺮ ﺳﻨﺘﻪ
“Barangsiapa yang memberi kelapangan bagi
dirinya, dan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberi kelapangan
baginya sepanjang tahun.” (HR Baihaki dalam asy-Syu’ab dan Ibnu
Abdul Barr)
Hadits ini mempunyai
riwayat lain, namun semuanya lemah. Tetapi riwayat yang satu dan yang lain bisa
saling menguatkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Sakhawi.
5. BULAN SYA’BAN
Diantara bulan yang
dianjurkan memperbanyak puasa adalah dibulan sya’ban. Berdasarkan hadits Aisyah
ra. bahwa beliau berkata:
اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إلا رَمَضَانَ وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ
صِيَامًا منه في شَعْبَانَeفما رأيت رَسُولَ اللَّهِ
“Aku tidak pernah
melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam menyempurnakan puasa sebulan penuh
kecuali ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau senantiasa berpuasa pada
bulan sya’ban dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Usamah bin Zaid r.a. berkata,
“Aku bertanya, ‘ya
rasulullah, kelihatannya tidak satu bulan pun yang lebih banyak engkau puasakan
dibanding bulan sya’ban!’ Rasulullah bersabda, ‘Bulan itu sering dilupakan
orang karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedangkan pada bulan itulah
diangkatnya amalan-amalan kepada Tuhan Rabbil alamin. Maka aku ingin amalanku
dibawa naik dalam keadaan aku berpuasa.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan
dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah)
6. BULAN-BULAN SUCI
Maksud bulan-bulan suci
adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada
bulan-bulan ini disunahkan untuk banyak berpuasa.
Diterima dari seorang laki-laki dari Bahilah,
“ia datang menemui
rasulullah saw. Ia berkata, ’Ya Rasulullah, aku adalah laki-laki yang datang
menemui engkau pada tahun pertama.’ Rasulullah berkata, ’mengapa keadaanmu
telah jauh berubah, padahal dahulunya kelihatan baik?’ Laki-laki itu
berkata, ‘sejak berpisah dengan engkau, aku tidak makan melainkan di waktu
malam.’ Rasulullah saw.bersabda, ’Mengapa engkau siksa dirimu?’ Lalu
sabda beliau, ‘Berpuasalah pada bulan Shabar, yakni bulan Ramadhan, dan satu
hari dari setiap bulan.’ ‘Tambah lagi karena aku kuat melakukannya,’ kata
laki-laki itu.’ Berpuasalah dua hari, ’ujar Nabi’. ‘Tambah lagi,’ mohon
laki-laki itu. Maka sabda Nabi saw., ’berpuasalah pada bulan suci, lalu
berbukalah, kemudian berpuasalah, pada bulan suci lalu berbukalah, kemudian
berpuasalah pada bulan suci lagi, lalu berbukalah!’ Sambil mengucapkan hal
itu, Nabi saw. memberi isyarat dengan jari-jarinya yang tiga, mula-mula
digenggamnya lalu dilepaskannya.’” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Baihaqi dengan sanad yang baik)
Ibnu Hajar berkata, “Tidak
ada hadits shahih yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum terkait keutamaan
bulan itu, puasa padanya, puasa pada hari-hari tertentu darinya atau melakukan
ibadah pada malam harinya.”
7. HARI SENIN DAN KAMIS
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah ra. bahwa Rasulullah saw.
ditanya tentang puasa pada hari senin? Maka beliau menjawab:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فيه وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أو أُنْزِلَ عَلَيَّ
فيه
“Itu adalah hari yang
aku dilahirkan padanya, dan aku diutus, atau diturunkan kepadaku (wahyu).”
(HR Muslim)
Juga diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra. bahwa Nabi saw. berpuasa pada hari senin dan kamis. Lalu ada yang
bertanya: sesungguhnya engkau senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis?
Beliau menjawab:
تُفَتَّحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يوم الإثنين وَالْخَمِيسِ
فَيُغْفَرُ فِيهِمَا لِمَنْ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شيئا إلا الْمُهْتَجِرَيْنِ
يُقَالُ رُدُّوا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا
“Dibuka pintu-pintu
surga pada hari senin dan kamis, lalu diampuni (dosa) setiap orang yang tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,kecuali dua orang yang saling
bertikai,dikatakan: biarkan mereka berdua sampai keduanya berbaikan.” (HR
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi dan Ibnu
Majah)
8. TIGA HARI DALAM SETIAP BULAN
Berdasarkan hadits Abdullah
bin Amr bahwa Rasulullah saw. berkata kepadanya:
وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ
كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فإن لك بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فإن
ذلك صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
“Dan sesungguhnya cukup
bagimu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, karena sesungguhnya bagimu pada
setiap kebaikan mendapat sepuluh kali semisalnya, maka itu sama dengan berpuasa
setahun penuh.” (HR Bukhari dan Muslim)
Puasa tiga hari
dipertengahan bulan ini disebut dengan hari-hari putih. Dalam riwayat lain dari
hadits Abu Dzar ra., beliau berkata:
“Rasulullah shallahu
‘alaihi wasalam memerintah kami untuk berpuasa tiga hari-hari putih dalam
setiap bulan:13,14 dan 15.” (HR Nasai dan menurut Ibnu Hibban
shahih)
disebut sebagai “hari-hari putih”
disebabkan karena malam-malam yang terdapat pada tanggal tersebut bulan bersinar
putih dan terang benderang.
Yang lebih menunjukkan
keutamaan yang besar dalam berpuasa pada hari-hari putih tersebut, dimana
Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkan amalan ini. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa beliau berkata:
كان رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لا يَدَعُ صَوْمَ أَيَّامِ
الْبِيضِ في سَفَرٍ وَلا حَضَرٍ
“Adalah Rasulullah
shallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari putih, baik
diwaktu safar maupun disaat mukim.” (HR At-Thabarani, dishahihkan
Al-Albani dalam shahihul jami’).
9. PUASA DAUD
Berdasarkan hadits yang
datang dari Abdullah bin Amr bin ‘Al-Ash ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Puasa yang paling dicintai Allah Ta’ala
adalah puasa Dawud, beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang
paling dicintai Allah adalah shalat Dawud, beliau tidur dipertengahan malam, lalu
bangun (shalat) pada sepertiga malam, dan tidur pada seperenamnya.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah
saw. bersabda:
“Tidak ada puasa (yang
lebih utama) diatas puasa Daud as., setengah tahun, berpuasalah sehari dan
berbukalah sehari.” (HR Bukhari dan Muslim)
HUKUM MEMBATALKAN PUASA SUNNAH
Dari Abu Sa’id al-Khudri
ra., dia berkata, aku membuat makanan untuk Rasulullah saw. Beliaupun datang
kepadaku bersama para sahabat. Tatkala makanan dihidangkan, salah seorang
sahabat berkata, aku sedang berpuasa. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda,
ﺩﻋﺎﻛﻢ ﺃﺧﻮﻛﻢ ﻭﺗﻜﻠﻒ ﻟﻛﻢ ﺛﻢ ﻗﻞ ׃ ﺃﻓﻄﺮﻭﺻﻢ ﻳﻮﻣﺎ ﻣﻜﺎ ﻧﻪ ﺇ ﻥ
ﺷﺌﺖ
‘Saudaramu telah
mengundangmu makan dan bersusah payah untuk menyiapkan hidangan untuk kalian.’
Kemudian beliau bersabda, “Berbukalah! Dan puasalah untuk
menggantikannya jika engkau mau.” (HR. Baihaki dengan sanad hasan,
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar)
Mayoritas ulama membolehkan
berbuka bagi orang yang berpuasa sunnah dan menyatakan sunnah hukumnya untuk
mengqadha’ hari yang ditinggalkannya.
B. HARI-HARI YANG DILARANG BERPUASA
1. PADA HARI RAYA IDUL FITRI DAN IDUL ADHA
Para ulama sepakat bahwa
berpuasa baik wajib maupun sunnah pada hari Idul Fitri dan Idul Adha hukumnya
adalah haram. Hal ini berdasarkan pada perkataan Umar r.a., bahwasanya Rasulullah
saw. melarang puasa pada dua hari ini. Sebab, hari raya Idul Fitri merupakan
hari di mana kalian harus berbuka setelah puasa, sedangkan hari raya Idul Adha
agar kalian dapat memakan hasil ibadah kurban. (HR Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai)
2. PADA HARI TASYRIK
Puasa hari tasyrik, yaitu
tiga hari berturut-turut setelah hari raya Idul Adha, juga haram hukumnya. Hal
ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah
saw. mengutus Abdullah bin Hudzafah berkeliling di Mina untuk menyeru, janganlah
kalian berpuasa pada hari-hari ini, karena hari-hari ini merupakan hari makan,
minum, dan berdzikir kepada Allah swt. (HR Ahmad dengan sanad
yang baik)
Sementara itu, para
penganut mazhab Syafi’i membolehkan puasa pada hari-hari tasyrik, jika
ada sebab-sebab tertentu untuk berpuasa, seperti puasa nazar, kifarat, atau
puasa qadha’. Tetapi jika tidak ada sebab-sebab yang membolehkan, maka tidak
dibolehkan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Alasan mereka adalah
dianalogikan dengan shalat yang mempunyai sebab tertentu pada waktu yang
dilarang mengerjakannya.
3. PADA HARI JUM’AT SECARA KHUSUS
Hari Jum’at merupakan hari raya mingguan bagi kaum Muslimin. Oleh
karena itu, syari’at Islam melarang puasa pada hari tersebut. Tetapi, mayoritas
ulama berpendapat bahwa larangan itu hanya bersifat makruh, bukan haram.
Tapi, apabila seseorang berpuasa sehari sebelum atau sehari sesudahnya, atau
dia sudah terbiasa puasa pada hari tersebut yang bertepatan dengan hari Arafah atau
hari Asyura, dalam keadaan demikian, tidak makruh berpuasa pada hari Jum’at.
Menurut riwayat Muslim,
ﻻ ﺗﺨﺘﺼﻮﺍ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﺑﻘﻴﺎﻡ ﻣﻦ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻠﻴﺎﻟﻲ ﻭﻻ ﺗﺨﺼﻮﺍ
ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﺑﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺇﻻ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ ﻳﺼﻮﻣﻪ ﺍﺣﺪ ﻛﻡ
“Janganlah kalian
mengkhususkan malam Jum’at di antara sekian malam yang ada untuk shalat malam,
dan jangan pula kalian mengkhususkan hari Jum’at di antara hari-hari yang ada
untuk berpuasa, kecuali apabila bertepatan dengan kebiasaan puasa yang
dilakukan oleh seorang di antara kalian.”
4. HARI SABTU SECARA KHUSUS
Dari Busr as-Sullami dari
saudara perempuannya yang bernama Shamma, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
ﻻ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺒﺖ ﺇﻻ ﻓﻲ ﻣﺎﺍﻓﺘﺮﺽ ﻋﻠﻴﻜﻡ ﻭﺇﻥ ﻟﻡ ﻳﺠﺪ
ﺍﺣﺪ ﻛﻡ ﺍﻻ ﻟﺤﺎﺀ ﻋﻨﺐ ﺍﻭﻋﻮﺩ ﺷﺠﺮﺓ ﻓﻠﻴﻤﻀﻐﻪ
“Janganlah kalian
berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan kepada kalian.
Seandainya seseorang di antara kalian tidak mendapatkan kecuali kulit anggur atau
dahan kayu (untuk makan), maka hendaknya dia memakannya.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, Nasa’I, Abu Daud, dan Ibnu Majah). Hakim yang mengatakan bahwa
hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Tirmidzi
menyatakan hadits ini hasan. Dia juga mengatakan, yang dimaksud makruh
disini adalah jika seseorang mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa, sebab
orang-orang Yahudi merayakan hari Sabtu.
Menurut mazhab Hanafi,
mazhab Syafi’I, dan mazhab Hambali, berpuasa hanya pada hari
Sabtu hukumnya makruh, berdasarkan pada keterangan dan beberapa alasan
di atas. Tetapi Imam Malik mengemukakan pendapat yang berbeda. Dia membolehkan
puasa secara khusus pada hari Sabtu, disertai hukum makruh.
5. PADA HARI YANG
DIRAGUKAN
Ammar bin Yasir r.a.
berkata, “Siapa yang berpuasa pada hari yang di ragukan, berarti dia telah
berbuat durhaka terhadap Abul Qasim, Rasulullah saw.” (HR. Tirmidzi,
Nasai, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Menurut Tirmidzi,
hadits ini hasan shahih dan menjadi amalan bagi kebanyakan ulama. Inilah
pendapat Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin
Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka memandang makruh
apabila seseorang berpuasa pada hari yang masih diragukan.
Kebanyakan mereka juga
berpendapat jika hari puasa itu ternyata masuk bulan Ramadhan, hendaknya dia
mengqadha’ satu hari sebagai gantinya. Jika puasa pada hari itu, karena hanya
kebetulan bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan, maka dibolehkan tanpa
dinyatakan makruh. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda.
ﻻ ﺗﻘﺪ ﻣﻮﺍ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺑﻴﻮﻡ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﻴﻦ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺻﻮﻡ
ﻳﺼﻮﻣﻪ ﺭﺟﻞ ﻓﻠﻴﺼﻢ ﺫ ﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ
“Janganlah kalian
mendahului puasa Ramadhan sehari atau dua hari, kecuali jika bertepatan dengan
puasa pada hari yang biasa di lakukan oleh sesorang, maka hendaknya dia
berpuasa pada hari itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Nasai,
Ibnu Majah, Abu Daud). Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih
dan menjadi hujjah bagi para ulama, di mana mereka menyatakan makruh jika
seseorang mendahului puasa sebelum tiba bulan Ramadhan dengan tujuan puasa
Ramadhan semata. Tetapi, apabila seseorang sudah terbiasa melakukan puasa
sunnah dan secara kebetulan bertepatan dengan hari tersebut, maka menurut
ulama, hal yang sedemikian tidak diperbolehkan.”
6. PUASA SEPANJANG TAHUN
Berpuasa
sepanjang tahun termasuk hari-hari yang dilarang oleh agama. Hal ini
berdasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
ﻻ ﺻﺎ ﻡ ﻣﻦ ﺻﺎ ﻡ ﺍﻷ ﺑﺪ
“Tidaklah
(sah) puasa bagi orang yang berpuasa sepanjang masa.” (HR. Ahmad,
Bukhari, dan Muslim)
Namun,
apabila seseorang berniat berpuasa pada sepanjang tahun, tapi pada hari raya
Idul Fitri dan Idul Adha serta hari-hari tasyrik tidak berpuasa, maka hal
seperti ini hukumnya tidak makruh, jika memang dia sanggup melakukannya. Tirmidzi
berkata, “Sejumlah ulama menyatakan makruh apabila seseorang berpuasa
sepanjang tahun, jika tidak berbuka pada hari raya Idul Fitri, hari raya Idul
Adha, dan hari-hari tasyrik. Bagi yang tidak berbuka pada hari-hari tersebut,
tidak makruh hukumnya, dan tidak disebut sebagai puasa sepanjang tahun.”
Pendapat ini dikemukakan Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.
Rasulullah telah menyetujui Hamzah al-Aslami ketika puasa secara berturut-turut
dengan bersabda kepadanya,
ﺻﻡ ﺇ ﻥ ﺷﺌﺖ ﻭﺃ ﻓﻄﺮ ﺇ ﻥ ﺷﺌﺖ
“Puasalah jika kamu mau, dan berbukalah jika
kamu mau.” (HR. Muslim, Nasai, Ibnu Majah)
Menurut
yang pendapat yang lebih utama, puasa secara berselang hari,
yaitu puasa satu hari, tidak berpuasa satu hari, kemudian puasa lagi, dan
seterusnya. Puasa seperti ini, lebih disukai Allah, sebagaimana yang akan
dijelaskan dalam pembahasan berikutnya.
7.
PUASA BAGI SEORANG ISTRI JIKA SUAMINYA BERADA DI RUMAH, KECUALI SEIZIN SUAMI
Rasulullah
saw. melarang seorang istri berpuasa jika suaminya ada di rumah, kecuali
setelah mendapat persetujuan dan izin darinya. Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw. bersabda,
ﻻ ﺗﺻﻡ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﺍﺣﺪﺍ
ﻭﺯﻭﺟﻬﺎ ﺷﺎﻫﺪ ﺇﻻ ﺑﺈﺫ ﻧﻪ ﺇﻻ ﺭﻣﻀﺎﻥ
“Hendaknya
seorang istri tidak berpuasa satu hari ketika suaminya berada di rumah, kecuali
dengan izinnya, selain (puasa) Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para
ulama memandang larangan ini sebagai pengharaman, bahkan mereka membolehkan
suami membatalkan puasa istrinya, jika dia berpuasa tanpa mendapat persetujuan
dari suaminya. Sebab, dengan demikian istri telah melanggar dan tidak
memperdulikan hak suami.
Hal ini
berlaku selain di bulan Ramadhan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
hadits di atas. Seorang istri tidak perlu meminta persetujuan suaminya terlebih
dahulu untuk puasa Ramadhan. Seorang istri dibolehkan berpuasa tanpa izin
suaminya, jika suaminya sedang bepergian (tidak berada di rumah). Namun apabila
suaminya pulang ke rumah, suaminya boleh membatalkan puasa istrinya.
Para
ulama yang membolehkan istri berpuasa tanpa seizin dari suami terlebih dahulu
apabila suami dalam keadaan sakit dan tidak mampu menyetubuhinya, mereka
beralasan karena yang demikian sama halnya dengan bepergian.
8. PUASA WISHAL[1]
Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
ﺍﻳﺎﻛﻡ ﻭﺍﻟﻭﺻﺎﻝ ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺙ
ﻣﺮﺍﺕ ﻗﺎﻟﻮﺍ׃ ﻓﺈ ﻧﻚ
ﺗﻮﺍﺻﻞ ﻳﺎ ﺭ ﺳﻮﻝ ﺍﷲ؟ ﻗﺎﻝ׃ ﺍﻧﻜﻡ
ﻟﺴﺘﻢ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺜﻠﻲ ﺍﻧﻲ ﺍﺑﻴﺕ ﻳﻄﻌﻤﻨﻲ ﺭﺑﻲ ﻭﻳﺴﻘﻴﻨﻲ ﻓﺎﻛﻠﻔﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﻣﺎ ﺗﻂﻴﻘﻮﻥ
“Hendaknya kalian (tidak
berpuasa) wishal.” Beliau mengucapkan demikian sebanyak tiga kali. Para
sahabat bertanya, tetapi engkau sendiri melakukan wishal, wahai Rasulullah?
Beliau menjawab, “Sesungguhnya kalian tidak sama denganku. Sesungguhnya aku
diberi makan oleh Tuhanku pada malam hari. Maka, lakukanlah amalan semampu
kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para
ulama fikih menyatakan larangan ini makruh. Tetapi Ahmad, Ishaq, dan Ibnu
Mundzir membolehkan wishal hingga tiba waktu sahur selama tidak memberatkan
orang yang melakukannya. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
ﻻ ﺗﻮﺍ ﺻﻠﻮﺍ ﻓﺄ ﻳﻜﻢ ﺇﺫﺍ ﺍﺭﺍﺩ
ﺍﻥ ﻳﻮﺍﺻﻞ ﻓﻠﻴﻮﺍﺻﻞ ﺣﺘﻰ ﺍﻟﺴﺤﺮ
“Janganlah
kalian melakukan wishal. Siapapun di antara kalian yang hendak melakukan
wishal, hendaknya dia melakukan hingga waktu sahur.” (HR. Bukhari, Abu
Daud, Darimi, Ahmad)
C. MENGGANTI PUASA PADA BULAN RAMADHAN: KAFARAT ATAU FIDYAH?
SEBAB KAFARAT
Hadits abu Hurairah bahwa seseorang lelaki menghadap Rasulullah
saw., ”Celaka diri saya wahai ya Rasulullah saw.!”. Rasulullah saw. bertanya, ”Apa
yang mencelakaimu?.” Dia menjelaskan, ”Saya telah menyetubuhi istri saya di
bulan Ramadhan.” Rasulullah saw. bertanya, ”Apakah engkau bisa memerdekakan
seorang budak?.” Ia menjawab, “ Tidak.” Rasulullah saw. bertanya, ”Apakah
kau sanggup berpuasa dua bulan berturut turut?.” Dia menjawab, ”Tidak.” Rasulullah
saw. bertanya, ”Apakah kau sanggup memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab, ”Tidak sanggup.” Selang
beberapa kemudian, datang seseorang memberi sekeranjang kurma kepada Rasulullah
saw., lantas beliau bersabda, ”Sedekahkanlah ini!.” Orang itu bertanya,
”Apakah akan saya sedekahkan kepada orang yang lebih miskin dari kami? Sungguh
di Madinah tidak ada orang yang membutuhkan kurma ini dari pada keluarga saya.”
Nabi pun tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya, lalu beliau bersabda, ”Pergilah,
dan berikan kurma ini kepada keluargamu.”
Hal yang membatalkan
puasa, wajib
mengqadha’ dan membayar
kafarat menurut jumhur ulama adalah bersenggama diwaktu puasa ramadhan
tanpa alasan yang syar’i.
Menurut pendapat
jumhur ulama,
wanita dan laki laki sama sama berkewajiban membayar kafarat, jika
dilakukan dengan sengaja dan atas kemauan mereka sendiri. Jika dalam
keadaan lupa atau suami istri itu dipaksa atau
mereka tidak niat puasa, maka tidak wajib kafarat. Seandainya
istri dipaksa oleh suami atau jika istri berbuka karena suatu halangan,
maka kafarat wajib atas suami saja.
URUTAN DALAM KAFARAT
1. Menurut jumhur ulama, hendaklah
melakukan sesuai urutan dan tidak boleh memilih urutan yang disukainya. Urutan
kafarat sebagai berikut yaitu, memerdekakan budak, jika tidak sanggup maka
berpuasa dua bulan berturut turut. Jika tidak sanggup berpuasa maka memberi
makan 60 orang miskin.
2. Menurut mazhab Maliki dan mazhab
Ahmad, ia boleh memilih mana yang disuka. Berdasarkan dalil yang
diriwayatkan Malik dan Ibnu Juraij dari Hamid bin Abdur Rahman dari Abu
Hurairah, bahwa seorang
laki laki berbuka pada bulan ramadhan, maka Rasulullah saw.
menyuruhnya membayar kafarat dengan memerdekakan seorang budak atau berpuasa
dua bulan berturut turut atau memberi makan 60 orang miskin. (HR. Muslim)
SEBAB FIDYAH
ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺬ ﻳﻦ ﻳﻄﻳﻘﻮ ﻧﻪ ﻓﺩ ﻳﺔ ﻃﻌﺎ م ﻣﺴﻜﻴﻦ
“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib
membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah: 184)
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ikrimah, “Bahwa Ibnu
Abbas berkata mengenai firman Allah Ta’ala, “Dan bagi orang orang yang berat
menjalankannya.” merupakan keringanan bagi orang tua yang sudah lanjut
usia, baik laki-laki dan wanita yang telah payah untuk berpuasa, agar mereka
berbuka, dan memberi untuk setiap hari itu seorang miskin. Begitu pula wanita
hamil, dan menyusui. Jika mereka khawatir akan keselamatan anak anak mereka,
mereka boleh berbuka dan memberi makan.” (Riwayat Bazar)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak puasa
ramadhan dan wajib fidyah adalah :
1. Orang sakit yang tidak ada harapan untuk
sembuh.
2. Orang yang sudah tua renta, baik laki
laki atau wanita.
3. Pekerja berat dan tidak ada pilihan lain
selain pekejaan itu, contoh: pekerja tambang batu bara, para narapidana
yang dihukum berat untuk melakukan pekerjaan berat terus menerus.
4. Wanita hamil dan menyusui, jika khawatir
akan keselamatan diri dan anaknya setelah konsultasi dokter. Menurut Imam
Ahmad,
dan Imam Syafi’i, mereka wajib membayar fidyah dan mengqadha’.
5. Orang yang lalai dalam mengqadha’ puasa
Ramadhan, yakni sebenarnya ia mampu berpuasa, namun ia menunda-nunda sampai datang
bulan Ramadhan berikutnya. Besarnya fidyah sesuai dengan hari yang
ditinggalkan. Orang tersebut harus membayar fidyah dan qadha’.
MARAJI’
1.
Az- Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah.
2011. Fiqih Islam Wa Adillatuha, jil.3. Jakarta: Gema Insani Press.
2.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih
Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
3. Sabiq, Sayyid. 2011. Fiqih
Sunnah, Tahkik dan Takhrij Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Jakarta: Cakrawala
Publishing.
Sumber
Emoticon