Siluman Ular Putih 17 - Maling Tanpa Bayangan(2)



"Ah...! Kau ini! Aku ini tabib! Bukan du-
kun!" kata Tabib Agung, ketika Rondo Kasmaran
terus mendesaknya
"Tapi...."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa menolongmu,"
sahut Tabib Agung. Sebentar-sebentar kepalanya
berpaling ke samping. Entah ada apa. 
Rondo Kasmaran memberengut. Kesal seka-
li hatinya tak dapat membujuk Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib! Aku benar-benar membu-
tuhkan pertolonganmu!" bujuk Rondo Kasmaran.
Tabib Agung rupanya tak begitu mendengar
ucapan Rondo Kasmaran. Saat itu, pendengaran-
nya asyik diarahkan ke samping. Lalu, keningnya
berkerut-kerut.
Tentu saja hal ini membuat Rondo Kasma-

ran curiga. Setelah menenteramkan hatinya, baru-
lah wanita cantik ini mendengar langkah-langkah
halus mendekati tempat itu. 
Diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu se-
kali. Pipinya kontan memerah begitu teringat apa
yang dibicarakan tadi dengan Tabib Agung. Dia
berharap agar apa yang dibicarakan tadi tidak ter-
dengar orang lain.         
"Kalau mau datang berkunjung, kenapa
mesti sembunyi? Cepat tunjukkan batang hidung
kalian!" kata Tabib Agung tiba-tiba. Sepasang ma-
tanya yang tajam terus memperhatikan tempat
yang dicurigainya.
Benar! Sejurus kemudian sepasang anak
muda tengah keluar dari balik sebuah batu besar.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Pemuda itu tengah memanggul
dua sosok tubuh yang terkulai lemas.
Sedang di sebelah si pemuda adalah seo-
rang gadis cantik. Namun berpenampilan amat
mengundang perhatiannya. Pakaiannya beraneka
warna, merah, kuning, dan hijau. Demikian juga
pita yang melilit di rambutnya yang dikuncir dua
ke belakang. Gadis itu juga tengah memondong sa-
tu sosok tubuh berpakaian bayi.
Bukan main terkejutnya hati Rondo Kasma-
ran melihat siapa yang datang. Seketika pipinya
kian merona merah. Jangan tanya lagi. Berbagai
macam perasaan bercampur aduk dalam hatinya.
Siapakah sebenarnya sepasang anak muda yang

dapat membuat hati Rondo Kasmaran jadi jengah
seperti itu? Mereka tak lain adalah Siluman Ular
Putih dan Putri Manja!
Dan diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu
hati, apalagi orang yang baru saja dibicarakan te-
lah berdiri di hadapannya. Bahkan ia curiga kalau
Siluman Ular Putih mendengar apa yang tadi dibi-
carakan dengan Tabib Agung.
"Permisi, Bib! Biasa. Ada rezeki buatmu,"
sapa Siluman Ular Putih sumringah. Matanya
sempat melirik Rondo Kasmaran sebentar. "Eh...!
Rupanya lagi kedatangan tamu, ya?" 
Rondo Kasmaran kecewa berat. Entah ke-
napa ia jadi tak menyukai kedatangan Siluman
Ular Putih. Terutama setelah melihat kenyataan
kalau kedatangan si pemuda ditemani seorang ga-
dis cantik. Tentu saja hal ini membuat hatinya pa-
nas sekali. Seperti bisul mau pecah. Mau tidak
mau Rondo Kasmaran jadi menatap penuh keben-
cian pada gadis cantik di samping Siluman Ular
Putih.
Demikian juga Putri Manja sendiri. Apalagi,
gadis ini tadi juga mendengar percakapan Rondo
Kasmaran dengan Tabib Agung. Ia merasa wajib
untuk memelototi wanita di hadapannya. Soal
cemburu, jangan tanya lagi. Sudah pasti gadis
manja itu cemburu berat.
Kini, tanpa dapat dicegah jadilah mereka se-
teru. Walaupun belum secara terang-terangan.
Masalahnya ini menyangkut perasaan!
"Monyet Gondrong! Kalau mau datang ber-
kunjung, pakai permisi! Jangan nyelonong saja se-

perti maling!," tegur Tabib Agung yang sudah men-
genal cukup akrab dengan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih menyeringai. Puas me-
nyeringai, lalu garuk-garuk kepala. Biasa, kumat!
Dalam keadaan senang, susah, malu, atau pera-
saan lainnya, selalu garuk-garuk kepala. Seper-
tinya, bisanya hanya itu. 
Siluman Ular Putih tak menyahut teguran
Tabib Agung, alias terima salah. Namun bukan be-
rarti harus berdiri terus  di tempatnya. Tubuhnya
terasa pegal-pegal karena memanggul tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur. Maka sudah pasti hatinya me-
rasa kesal sekali. Apalagi orang yang sedang dito-
longnya adalah Dewa Bogel, Orang yang telah
mengejek dan menamparnya beberapa waktu yang
lalu.        
"Nih...! Ada oleh-oleh buatmu!" 
Siluman Ular Putih meletakkan tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur ke hadapan Tabib Agung. Se-
pasang matanya yang tajam sempat melirik kesal
ke arah dua tokoh dari Hutan Pring Apus itu.
"Untung benar manusia-manusia kampret
ini. Sudah menghinaku habis-habisan, sekarang....
Ah, sudahlah!" gerutu Soma kesal, lalu ngeloyor
seenaknya dan duduk di samping Rondo Kasma-
ran.
Tentu saja wajah Rondo Kasmaran yang di-
tekuk jadi berubah cerah. Senyumnya kontan ter-
kembang. Manis. Amat manis. Harus yang paling
manis kalau tidak ingin Siluman Ular Putih kabur.
Melihat gelagat Siluman Ular Putih, ganti
wajah. Putri Manja yang ditekuk berat. Matanya

sempat melirik Soma yang sedang bercakap-cakap
dengan Rondo Kasmaran. Kelihatannya amat
akrab, membuat si gadis makin rajin saja mene-
kuk wajahnya. Bibirnya dicibirkan sedemikian ru-
pa. Lalu dengan muka kecut segera diletakkannya
tubuh gurunya yang terluka parah ke hadapan
Tabib Agung. 
Sebenarnya, Tabib Agung ingin sekali
menggoda Rondo Kasmaran dan Putri Manja. Na-
mun begitu pandangannya tertuju pada tiga tubuh
di hadapannya, seketika sinar matanya jadi berbi-
nar. Ia seperti menemukan keasyikan lain daripa-
da sekadar menggoda orang. Apalagi dia tabib. Su-
dah pasti sebagai seorang tabib akan senang begi-
tu melihat penyakit-penyakit aneh terhidang di de-
pan mata.       
"Cukup aneh kelihatannya penyakit ketiga
orang ini. Sekali lihat aku jadi tertarik sekali," gu-
mam Tabib Agung dalam hati. Tangannya yang
sudah gatal-gatal tak memeriksa orang segera me-
raba-raba tubuh ketiga orang itu. Cukup seksama
dan teliti, tanpa mempedulikan ‘perang urat saraf’
dua orang wanita cantik di samping.
Putri Manja terus memberengut habis-
habisan. Naluri kewanitaannya tidak rela melihat
Soma berakrab-akrab dengan Rondo Kasmaran.
Apa pun yang terjadi, ia merasa lebih berhak di-
banding wanita itu. Dia lebih muda. Lebih cantik.
Lebih menggairahkan. Lebih segala-galanya! 
Untuk mewujudkan pikirannya, tak ada pi-
lihan lain. Terpaksa Putri Manja harus nimbrung.
Meski tidak langsung membuka suara tapi dari

raut wajahnya yang masam jelas menyiratkan si-
kap perang terhadap Rondo Kasmaran. Maka ma-
kin parah saja kedua orang wanita itu saling meli-
rik benci.
"Sudah tua, tak tahu malu. Beraninya men-
gumbar cinta. Pada seorang pemuda lagi. Memalu-
kan!" sindir Putri Manja. 
Rondo Kasmaran kontan tersinggung berat.
Ia yang tengah bercakap-cakap dengan Siluman
Ular Putih jelas merasa terganggu! Maka ia pun
berhak marah. Berhak membalas sindiran Putri
Manja!
"Soma...! Ah...! Enak sekali namamu sebe-
narnya," desah Rondo Kasmaran. Suaranya dibuat
semerdu mungkin. Tangannya pun lincah bermain

di lengan Siluman Ular Putih. Kelihatan sekali ka-
lau sikapnya sangat dibuat-buat. Rondo Kasmaran
tak peduli. Yang penting, dapat memanas-manasi
gadis cantik saingannya. "Ah...! Enak ya, kalau
seandainya obrolan kita ini terjadi di malam hari.
Apalagi waktu terang bulan. Hm...! Tak dapat ku-
bayangkan betapa enaknya. Kita dapat mengobrol
sesuka hati tanpa ada gangguan nyamuk!" 
Panas sudah hati Putri Manja mendengar
sindiran Rondo Kasmaran yang jelas ditujukan ke-
padanya. Jelas harga dirinya tak sudi dikatakan
'nyamuk malam' yang hanya mengganggu kese-
nangan orang. Sebagai seorang gadis yang bi-
asanya dimanja gurunya, Putri Manja tak dapat
lagi menyembunyikan sikap aslinya.
"Eh.... Perempuan Sundal! Jaga mulutmu,
ya! Hati-hati kalau ngomong! Sembarangan saja

mengataiku 'nyamuk malam'. Apa kau pikir kau
sudah kecakepan, he?!" bentak Putri Manja, tanpa
tedeng aling-aling.
"Eh.... Gadis Tengil! Tak ada hujan tak ada
angin, kenapa marah-marah padaku, he?! Bilang
saja cemburu. Begitu, kan?" balas Rondo Kasma-
ran tak kalah sengit.
"Perempuan keparat! Siapa yang cemburu?!
Beraninya kau menuduhku cemburu! Apa kau kira
aku tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan
Tabib Agung, he?! Enak saja  menuduh! Justru
kaulah yang tak tahu malu. Dasar Pengemis Cin-
ta!" sambung Putri Manja, galak
"Bacotmu sungguh lancang! Apa kau tak
pernah dididik sopan santun oleh gurumu, he?!"
"Jangan membawa-bawa nama Guru! Pe-
rempuan tak tahu malu macam kau, mana pantas
menyebut guruku?! Sekarang, enyahlah dari ha-
dapanku mumpung kesabaranku belum habis!"
"Jadi kau menantangku, Tengil?" desis
Rondo Kasmaran, penuh kemarahan.
"Kalau kau menginginkan itu, siapa takut?!"
sahut si gadis, tak kalah gertak. 
"Eh..., tunggu! Ada apa ini? Kenapa kalian
jadi uring-uringan begini? Apa ada ayam kalian
yang dicolong maling?" lerai Soma setelah sebe-
lumnya menatap penuh heran. Dan pemuda ini
jadi kaget bukan main melihat gelagat kedua orang
temannya.      
Tapi, mana sudi Putri Manja dan Rondo
Kasmaran menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Tanpa diperintah, kedua orang wanita cantik

itu kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan
mata saling menatap tajam. Kemudian entah siapa
yang lebih dahulu memulai, kedua wanita itu telah
bertarung sengit.
Tentu saja Soma yang jadi kewalahan sendi-
ri. Pemuda ini sibuk melerai dua sahabatnya yang
tengah bertarung. Tapi, percuma saja. Rondo
Kasmaran dan Putri Manja malah makin hebat sa-
ja bertarung.
"Eh eh eh...! Kenapa sih kalian jadi berteng-
kar begini? Seperti anak kecil saja. Ayo, hentikan!"
bentak Soma, langsung berdiri di tengah-tengah
kedua wanita yang bertarung itu.
Kedua tangan Siluman Ular Putih memben-
tang lebar-lebar. Seolah ingin menghalangi gerak
dua orang wanita yang telah sama-sama menghen-
tikan pertarungan, walaupun masih saling tatap.
"Memalukan! Apa yang sebenarnya kalian
ributkan, he?!" bentak Siluman Ular Putih lagi, pe-
nuh wibawa. Putri Manja dan Rondo Kasmaran te-
tap berdiri di tempat masing-masing dengan napas
memburu. Gigi-gigi geraham mereka saling berge-
meletakkan pertanda masih dikuasai hawa ama-
rah.
"Aku tidak meributkan sesuatu. Tapi, gadis
tengil itulah yang terlebih dulu memulai!" tuding
Rondo Kasmaran kesal. 
"Siapa yang memulai? Kaulah yang terlebih
dulu menantangku bertarung!" sambar Putri Man-
ja sengit. Runyam sudah urusannya. Siluman Ular
Putih tak tahu harus berbuat apa. Ia bingung, ha-
rus menyalahkan siapa. Apalagi untuk menentu-

kan siapa yang salah dan siapa yang benar. 
"Sudah-sudah! Kalian tidak boleh berta-
rung! Memalukan! Lekas kembali ke tempat mas-
ing-masing! Duduk!" bentak Siluman Ular Putih
saking kesalnya.
Putri Manja dan Rondo Kasmaran saling
memberengut. Tak puas dengan keputusan Silu-
man Ular Putih.
Maka tak heran kalau kedua wanita itu ma-
sih tetap berdiri di tempat masing-masing.
"Tolol! Apa kalian tuli? Aku  menyuruh ka-
lian duduk! Bukan saling pelotot begitu, he!"
Putri Manja dan Rondo Kasmaran tak ber-
geming dari tempatnya berdiri.
Soma jadi bingung bukan main. Kedua
orang wanita itu sama-sama ngotot ingin melan-
jutkan pertarungan. Bagaimana mungkin dapat di-
lerai? Namun si pemuda juga tidak ingin mereka
melanjutkan pertarungan.
Di saat Siluman Ular Putih tengah kebin-
gungan, tiba-tiba Tabib Agung yang merasa ter-
ganggu dengan percekcokan Rondo Kasmaran dan
Putri Manja sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Yang merasa tidak berkepentingan, baik-
nya tinggalkan saja tempat ini. Daripada membuat
onar di tempatku!"    
Rupanya cukup manjur juga ucapan Tabib
Agung ini. Buktinya, Rondo Kasmaran jadi gelisah
sekali. Sebentar-sebentar matanya memandang ke
arah Putri Manja, sebentar beralih pada Siluman
Ular Putih. Dan terakhir ke arah Tabib Agung.
Seperti tak pernah menghiraukan kegelisa-

han Rondo Kasmaran, kakek penghuni puncak
Gunung Perahu itu kembali memeriksa tubuh ke-
tiga orang tamunya. Terkadang kening orang tua
itu terlihat berkerut-kerut. Lalu kepalanya teran-
tuk-antuk seperti telah menemukan sesuatu. Dan
kenyataannya memang demikian. Karena menda-
dak, Tabib Agung ke luar rumahnya, lalu berkele-
bat cepat ke barat. Entah mau apa. Mungkin hen-
dak mencari beberapa ramuan obat.
Rondo Kasmaran membantingkan kakinya
kesal. Kilatan sepasang matanya yang indah sem-
pat menyambar ke arah Putri Manja dan Siluman
Ular Putih, sebelum akhirnya berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa
kelebatan saja, sosoknya telah jauh dari tempat
ini.
Siluman Ular Putih menggeleng-gelengkan
kepala, lalu disusul dengan gerutuannya yang tak
jelas....    

6

Rondo Kasmaran terus berkelebat cepat.
Tanpa arah tujuan. Ke mana saja kakinya melang-
kah, ke sanalah yang dituju. Isak tangisnya sejak
turun dari puncak Gunung Perahu terus menema-
ni perjalanan. Dalam hati tak henti-hentinya mu-
lutnya mencaci Siluman Ular Putih dan Putri Man-
ja. Ia merasa kalau Siluman Ular Putih pilih kasih.
Buktinya pemuda itu tak mengejarnya sebagai
tanda kalau benar-benar mencintai. Inilah yang

sebenarnya mengusik hati Rondo Kasmaran!
Dari pandang mata. Rondo Kasmaran tahu
kalau Siluman Ular Putih memihak Putri Manja.
Meski tidak ditunjukkan secara nyata, namun se-
bagai wanita sudah berpengalaman dalam cinta.
Rondo Kasmaran jelas dapat merasakannya. 
"Oh...! Kenapa nasibku buruk amat...?"
Rondo Kasmaran menjatuhkan tubuhnya di
tanah rerumputan. Sambil tengkurap isak tangis-
nya kembali diteruskan. Memelaskan sekali tam-
paknya. Bahunya bergerak-gerak. Isak tangisnya
pun terdengar amat menyayat hati.
"Oh...! Apakah ini karena salahku? Karena
aku tak mencintai Kakang Sungkono lagi...?"
Lagi-lagi Rondo Kasmaran menyebut men-
diang kekasihnya dulu. Teringat akan pendekar
muda yang dulu amat dicintainya, tangis Rondo
Kasmaran jadi makin memelaskan. Perasaannya
kalut bukan main. Hatinya hancur, oleh derita
yang haus akan kasih sayang.
"Maafkan aku, Kang! Kiranya cintaku pa-
damu sudah luntur. Karena kupikir, tak mungkin
aku selalu mencintaimu. Kau sudah enak-enakan
di alammu. Tinggal aku yang merana seperti ini.
Huh huh huh...."    
Di tengah harunya Rondo Kasmaran, men-
dadak telinganya dikejutkan gerutuan seseorang
yang entah dari mana datangnya. Buru-buru Ron-
do Kasmaran meloncat bangun. Disekanya air ma-
ta dengan ujung lengan bajunya seraya mengamati
keadaan sekitarnya.
Dan tak jauh dari jalan setapak di hada-

pannya, tampak seorang kakek renta tengah me-
lenggang santai menuju ke tempat Rondo Kasma-
ran. Usianya sudah amat lanjut. Mungkin sudah
mencapai delapan puluh tahunan lebih. Tubuhnya
tinggi kurus mirip orang cacingan. Pakaiannya
tambal-tambalan, seperti pakaian pengemis. Wa-
jahnya tirus. Matanya sipit. Saking sipitnya, ma-
tanya harus mengerjap-ngerjap bila mengamati
keadaan sekitar. Bibirnya yang hitam pun tak hen-
ti-hentinya berkemik. Entah bersenandung apa?
Melihat siapa yang datang, jelas Rondo
Kasmaran kaget bukan main. Kakek tua yang
tampak tersuruk-suruk dengan tongkat di tangan
kanan tak lain adalah Raja Penyihir! Seorang to-
koh bangkotan dunia persilatan dari puncak Gu-
nung Tidar! (Mengenai Raja Penyihir, silakan baca
dalam episode: "Manusia Rambut Merah" dan
"Sengketa Takhta Leluhur").
Sesampainya di dekat Rondo Kasmaran, Ra-
ja Penyihir hanya memperhatikan wanita cantik
itu seketika. Kedua bibirnya  terus berkemik-
kemik.
Rondo Kasmaran mengira kalau Raja Penyi-
hir akan menyapa. Namun setelah ditunggu, ter-
nyata yang keluar bukanlah sapa ramah tua
bangka itu, melainkan gerutuannya yang tak jelas.
"Huh...! Ke mana aku harus mencari bocah
edan itu? Aku khawatir sekali. Dua hari lalu aku
mimpi buruk. Jangan-jangan bocah edan itu su-
dah tak bernyawa. Hm...."
Rondo Kasmaran kecewa berat. Dilihatnya
Raja Penyihir kembali melenggang santai. Tanpa

mempedulikannya sedikit pun.
"Maaf, Raja Penyihir! Kalau boleh tahu, se-
benarnya kau sedang mencari siapa?" sapa Rondo
Kasmaran, akhirnya. Hatinya yang panas rupanya
masih dapat dikalahkan oleh mulutnya yang gatal.
Mendengar kata-kata Rondo Kasmaran, ter-
paksa Raja Penyihir menghentikan langkahnya.
Badannya berbalik sebentar. Diamatinya Rondo
Kasmaran tanpa berkedip. Keningnya berkerut-
kerut. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik.
"Aku sedang mencari bocah edan itu. Aku
khawatir, ia sedang dalam bahaya. Dua hari lalu,
aku mimpi buruk! Bocah edan itu seperti hendak
dilumat setan atau naga gondrong. Aku tak tahu.
Tapi yang jelas, ia dalam bahaya. Aku harus cepat
mencarinya. Apakah kau tahu, Cah Ayu?" papar
Raja Penyihir panjang lebar.
"Maksudmu bocah edan siapa yang kau cari
itu, Raja Penyihir?" balik Rondo Kasmaran.   
"Ya sudah pasti muridku! Pakai tanya lagi!"
sungut Raja Penyihir.
Rondo Kasmaran menelan ludahnya seben-
tar. "Sabar-sabar," ucapnya dalam hati seraya
mengelus dada.
"Iya, tapi siapa namanya?"
"Oh oh oh...!" Raja Penyihir tergagap. "Ya ya
ya...! kau benar. Muridku memang punya nama.
Tapi siapa, ya? Ah ah...! Namanya, Soma. Julu-
kannya Siluman Ular Putih. Apakah kau tahu di
mana bocah edan itu berada?"
Mau tidak mau hati Rondo Kasmaran men-
celos juga mendengar nama orang yang sangat di-

cintainya disebut. Bagaimana tidak? Dia baru saja
mencaci maki sekaligus meratapinya. Kini, tahu-
tahu ada orang mencari Siluman Ular Putih. Su-
dah pasti Rondo Kasmaran tahu, di mana Siluman
Ular Putih berada. Cuma untuk menjawabnya.
Rondo Kasmaran agak keberatan.
"Aku tahu. Raja Penyihir. Tapi...," sengaja
Rondo Kasmaran menggantung kalimatnya sampai
di situ.
"Tapi apa? Cepat katakan!" sambar Raja Pe-
nyihir.
Rondo Kasmaran tersenyum-senyum. Sen-
gaja senyumnya diumbar untuk memancing kepe-
nasaran Raja Penyihir. 
"Jangan senyum-senyum! Kau pikir aku ter-
tarik dengan senyummu, he?!" bentak Raja Penyi-
hir galak.
"Yah...! Barangkali saja! Siapa tahu tua-tua
keladi?" tukas Rondo Kasmaran seenaknya.
Raja Penyihir jadi gemas bukan main. Na-
pasnya tiba-tiba memburu. Tak henti-hentinya
tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke
tanah. Seketika, tanah di sekitarnya berlubang be-
sar terkena ketukan tongkatnya. 
Rondo Kasmaran tersenyum samar. Diam-
diam hatinya kagum sekali melihat kehebatan Raja
Penyihir. Hanya menggerak-gerakkan tongkatnya
begitu saja, mampu membuat lubang sebesar itu!
"Jawab pertanyaanku tadi, Cah Ayu! Di
mana Siluman Ular Putih berada?!" bentak Raja
Penyihir lagi, tak sabar. 
"Ya ya ya...! Aku akan memberitahukan pa-

damu. Tapi, ada syaratnya!" sahut Rondo Kasma-
ran.
"Semprul! Pakai syarat segala macam!" maki
Raja Penyihir.
"Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Su-
dah pasti aku menginginkan balasanmu. Raja Pe-
nyihir," jawab Rondo Kasmaran diiringi senyum
kemenangan.
"Baik. Katakan, apa syaratmu, Cah Ayu?!"
sahut Raja Penyihir akhirnya. Namun menilik kila-
tan matanya, patut dicurigai apakah Raja Penyihir
akan memenuhi syarat itu atau tidak.
"Nah, begitu baru adil namanya. Tapi, kau
tentu tidak akan mengecewakan aku, kan? Kau
pasti mau memenuhi syaratku, kan?" berondong.
Rondo Kasmaran khawatir juga kalau dikibuli. 
"Iya."    
"Benar?" 
"Benar!"
"Baik. Kalau begitu, akan kukatakan sya-
ratku."
"Katakan saja!"
"Baik," Rondo Kasmaran menelan ludahnya
sebentar. "Terus terang, aku hanya punya satu
syarat saja. Raja Penyihir. Kuharap, kau tidak
akan mengecewakan aku. Kau harus membantu-
ku! Kau harus...."
"Iya, iya! Tapi, apa syaratnya? Cepat kata-
kan! Jangan plintat-plintut seperti pesinden ke-
siangan!" hardik Raja Penyihir.
"Ini aku mau bicara. Kau sendiri yang tidak
sabaran."

"Mana aku bisa sabar melihat muridku da-
lam bahaya," gerutu Raja Penyihir.
"Mau tahu syaratnya tidak?" tukas Rondo
Kasmaran. 
"Iya. Cerewet amat, sih!" sungut Raja Penyi-
hir.
"Dengar, Raja Penyihir! Aku ingin kau
membantuku mendapatkan Siluman Ular Putih
secepatnya. Aku sangat mencintainya. Kau sang-
gup, Raja Penyihir?"
Raja Penyihir kontan tersentak kaget. Tak
disangka kalau syarat macam itu yang diajukan
Rondo Kasmaran. Namun buru-buru Raja Penyihir
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hm...! Cuma segitu. Sudah pasti aku dapat
memenuhi syaratmu. Sekarang katakan, di mana
muridku berada!" 
"Dia..., dia sedang berada di puncak Gu-
nung Perahu. Sedang berdua-duaan dengan seo-
rang gadis cantik," jawab Rondo Kasmaran ketus.
Manakala mengucapkan 'sedang berdua-duaan
dengan seorang gadis cantik', mendadak hatinya
nyeri sekali. Seperti ada sembilu yang menyayat
hatinya. 
"Bagus. Kalau begitu, sekarang juga aku
akan ke sana."
"Tunggu, Orang Tua!" teriak Rondo Kasma-
ran, menahan langkah Raja Penyihir.
"Ada apa lagi?" sahut Raja Penyihir seraya
berbalik lagi.
"Ingat, Orang Tua! Kau harus dapat melu-
nakkan hati muridmu agar mau denganku!"

"Baik.., baik." 
 "Awas kalau kau mungkir!"      
"Baik.... Tenang saja...."     

***

Soma senang sekali melihat hasil pengoba-
tan Tabib Agung. Tak disangka orang tua sakti da-
ri Gunung Perahu itu mampu mengobati luka da-
lam Bayi Kawak, Dewa Bogel, dan Lamdaur sece-
pat itu.
"Hebat! Kau memang hebat, Orang Tua! Tak
sia-sia rupanya kau mendapat gelar Tabib Agung!
Nanti kalau aku sakit, pasti aku akan kemari. Mu-
lai hari ini, kau jadi tabib langgananku. Asal ong-
kosnya jangan mahal-mahal, ya?" seloroh Siluman
Ular Putih.
Putri Manja sendiri begitu melihat gurunya
mulai duduk bersila dan bersemadi, tak luput dari
rasa gembira. Namun bila teringat akan keakraban
Rondo Kasmaran dengan Soma  tadi, mendadak
senyumnya hilang berganti wajah masam. 
"Eh...! Kenapa kau cemberut saja, Putri?
Masa' gurumu sembuh malah sedih? Aku sendiri
yang bukan murid kakek bau pesing itu senang.
Kenapa kau tidak?" tanya Soma, heran melihat si-
kap Putri Manja.
Putri Manja tak menyahut. Hanya kilatan
matanya saja sebagai jawaban.
"Lho, kok malah melotot? Senyum dong!" se-
loroh Soma.
"Bodo!" sungut Putri Manja, kesal.

"Lho? Kok, malah marah-marah? Ada apa?"
"Diam kau! Aku tak sudi lagi berteman den-
ganmu!"
"Itu lagi! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata
lain yang lebih enak didengar telinga selain kata-
kata itu?"
"Aku benci padamu, Mata Keranjang!" sem-
bur Putri Manja kasar.
"Oh...! Jadi kau masih ingat kejadian tadi,
ya? Kau merasa sakit hati, ya? Atau..., jangan-
jangan kau tersinggung dengan kekasaranku tadi,
ya? Ah...! Jangan begitu, dong! Masa' begitu saja
tersinggung. Memangnya tadi aku ngomong apa?
Jangan begitu, ah! Kau sendiri juga salah, sih! Ke-
napa omonganku tadi dimasukkan ke hidung. Eh,
salah! Dimasukkan ke hati? Jadi, ya.... Kau ma-
nyun terus! Ha ha ha...!" goda Siluman Ular Putih
yang diakhiri tawa berderai.
"Diam kau, Bocah Edan! Lekas, duduk di
sana!" bentak Tabib Agung tiba-tiba. "Kau pikir
aku senang melihat tingkahmu apa?"
"Yah...! Kau sendiri malah ikut-ikutan  ma-
nyun, Orang Tua! Harusnya kau senang dapat
menyembuhkan ketiga orang itu," tunjuk Siluman
Ular Putih ke arah  Dewa Bogel, Bayi Kawak, dan
Lamdaur.
"Harusnya! Harusnya...!" omel Tabib Agung.
"Kau sendiri harusnya berterima kasih padaku,
karena ketiga orang kawanmu itu telah kusem-
buhkan! Eh..., malah bertingkah!" 
"Lho lho lho...?! Mereka itu bukan kawanku.
Bukan apa-apanya aku," kilah Soma.

"Tapi bukan berarti kau tidak harus mengu-
capkan terima kasih padaku!" tukas Tabib Agung.
"Ya...!" 
"Kau keberatan, Bocah?" Tabib Agung cepat
meloncat bangun. Tangannya yang terkepal siap
mengemplang jidat Siluman Ular Putih.
"Baik-baik!" sahut Soma. "Terima kasih, ya!
Kau telah menyembuhkan luka dalam Bayi Kawak
dan kedua kakek itu," 
"Nah, begitu...," kata Tabib Agung latah se-
raya menoleh pada Dewa Bogel dan Lamdaur. "Hai,
Bogel! Dan kau, Lamdaur! Cepat kemari!"
"Ada apa kau memanggilku, Tabib Agung?"
sahut Dewa Bogel dan Lamdaur hampir bersa-
maan.
"Kemari! Kalian pun harus mengucapkan
terima kasih pada bocah edan ini! Karena, dialah
yang membawa kalian kemari."
Dewa Bogel dan Lamdaur sejenak saling
berpandangan. Tampak sekali kalau dua orang to-
koh sakti dari Hutan Pring Apus itu merasa heran
sekali melihat Siluman Ular Putih yang telah diker-
jainya dua hari lalu telah berada di puncak Gu-
nung Perahu. Ditambah, pemuda itu pulalah yang
telah membawa mereka menemui Tabib Agung.
"Ya ya ya...! Aku memang patut mengu-
capkan terima kasihku padamu, Pendekar Muda.
Maaf, kalau dua hari lalu aku sempat mengerjai-
mu!" ucap Lamdaur kaku. Kurang enak didengar
telinga, karena hatinya masih merasa sungkan.
"Iya, Pendekar Muda. Untung saja ada kau.
Kalau tidak, tak tahulah apa jadinya nasib kami,"

timpal Dewa Bogel. 
"Eh...! Kau juga harus mengucapkan terima
kasih padaku, Cah Edan!" sentak Tabib Agung ke-
lupaan.
"Yah...! Tadi aku kan sudah mengucapkan
terima kasih," sungut Siluman Ular Putih tak se-
nang.
"Kapan?"
"Tadi" 
"Aku tidak dengar."
"Salahmu sendiri. Punya telinga tak pernah
dibersihkan!" cemooh Soma.
"Eh...! Malah memaki! Ayo ulangi lagi!" 
"Aduuuh...! Tadi aku kan sudah ngomong."
"Bodo! Pokoknya kau harus mengulangi.
Ayo, cepat!"
"Baik," sahut Soma malas-malasan. "Terima
kasih ya. Kau telah menyelamatkan Kakek Bogel
dan Kakek Jangkung itu."
"Nah...! Itu baru enak didengar," sahut Ta-
bib Agung seraya mengipas-ngipas dengan tangan.
"Maunya siih begitu!" cemooh Soma lagi se-
raya menjebikkan bibir.
"Apa kau bilang?"
"Eh..., tidak. Aku tidak ngomong apa-apa
kok," sahut Siluman Ular Putih celingukan.
Tabib Agung menggerutu kesal. Dan men-
dadak matanya jadi liar.
"Eh...! Kalian semua dengar, ya! Buka telin-
ga lebar-lebar! Luka dalam kalian bertiga telah ku-
sembuhkan. Sekarang, sudah waktunya angkat
kaki dari tempat kediamanku ini! Cepat!" usir Ta-

bib Agung yang memiliki watak aneh.
Siluman Ular Putih, dan semua yang berada
di puncak Gunung Perahu jadi saling berpandan-
gan. Tak mengerti dengan perubahan watak tuan
rumah.
"Kenapa kalian malah bengong saja? Apa
kalian semua tuli, he?! Cepat tinggalkan tempatku
ini!"
"Apa termasuk aku juga, Orang Tua?" tanya
Soma memberanikan diri.
"Ya. Kalian semua. Cepat tinggalkan tempat
ini!" tegas Tabib Agung.
"Yah..., tega amat! Kenapa kau buru-buru
mengusirku, Orang Tua?"       
"Bocah Edan! Lekas tinggalkan tempat ini!"
hardik Tabib Agung, galak. 
"Baiklah...."
Soma  garuk-garuk kepala. Mulutnya ma-
nyun berat. Selangkah demi selangkah Soma mu-
lai bergerak meninggalkan Tabib Agung. Namun
kepalanya sesekali masih dipalingkan ke belakang.
Ketika Tabib Agung tidak mempedulikannya, baru
Soma mempercepat langkahnya meninggalkan
tempat itu. 

7

Begitu Maling Tanpa Bayangan keluar dari
gua tempatnya bertapa, entah dari mana selalu
ada kekuatan gaib yang selalu menyertai. Ke mana
kedua kakinya melangkah, seolah kekuatan gaib

itu pun menyertai. Dan Maling Tanpa Bayangan
sendiri tak mau melawan kekuatan gaib itu. Diiku-
tinya saja kekuatan gaib itu.
Tanpa terasa, Maling Tanpa Bayangan terus
dituntun menuju utara. Terus disusurinya hulu
Sungai Serayu. Dan akhirnya, sampailah lelaki se-
sat ini di suatu tempat terpencil yang diapit oleh
bukit-bukti terjal. Di sanalah langkahnya berhenti. 
Sejenak Maling Tanpa Bayangan memper-
hatikan keadaan sekitarnya. Keningnya berkerut,
seolah tak mengerti kenapa dirinya 'dibawa' ke
tempat itu. Sebuah lembah kecil di tepian telaga.
Maling Tanpa Bayangan tahu, telaga di hadapan-
nya bernama Telaga Menjer. Sebuah telaga yang
konon menyimpan banyak kekuatan gaib pula. 
"Heran? Kenapa aku sampai di sini? Kenapa
aku tidak mencoba melawan kekuatan gaib yang
menuntun langkahku? Bukankah aku mengingin-
kan nyawa Siluman Ular Putih, sekaligus juga in-
gin menguasai dunia persilatan. Tapi, kenapa aku
malah kemari?" gumam Maling Tanpa Bayangan
tak habis pikir. Makin dalam saja keningnya ber-
kerut-kerut. "Hm...! Sulit kumengerti. Kenapa ke-
kuatan gaib itu menuntunku kemari? Apa tidak
sebaiknya mulai sekarang saja aku melawan ke-
kuatan gaib yang menuntun setiap langkahku dan
segera mencari Siluman Ular Putih? Ah...! Kupikir,
baiknya memang demikian!"
Maling Tanpa Bayangan siap menjejakkan
kakinya untuk berkelebat, tapi mendadak telin-
ganya mendengar langkah-langkah halus mende-
kati tempat itu. Kemudian disusul berkelebatnya

beberapa sosok bayangan yang tahu-tahu telah
mengepungnya.
"Ada larangan bagi siapa saja yang berani
memasuki Lembah Duka ini. Siapa kau berani
lancang kemari, he?!" bentak seorang pemuda
yang mengepung Maling Tanpa Bayangan, garang.
Pemuda itu berperawakan tinggi kekar. Wa-
jahnya tidak terlalu tampan, namun menyiratkan
kekerasan sikapnya. Rambutnya gondrong dikun-
cir ke belakang. Menilik otot-otot lengannya yang
bertonjolan, jelas menandakan kalau pemuda ga-
gah berpakaian ringkas warna kuning ini gemar
sekali berlatih ilmu olah kanuragan.
Sementara Maling Tanpa Bayangan hanya
mendengus. Kilatan-kilatan matanya mendadak
jadi mencorong beringas.
"Tikus-tikus comberan! Beraninya kau
menghadang Maling Tanpa Bayangan!" bentaknya,
tak kalah garang.
Pemuda gagah berpakaian kuning itu sem-
pat melengak kaget begitu mendengar bentakan
orang tua di hadapannya. Demikian juga kesepu-
luh orang pemuda temannya yang turut menge-
pung. Karena, sudah pasti mereka mengenal gelar
Maling Tanpa Bayangan yang menjadi salah satu
momok dunia persilatan!
"Ditanya baik-baik malah berlagak! Orang
Tua! Siapa takut dengan nama besarmu!" bentak
yang lain, geram.
"Orang Tua! Di antara kita tidak pernah ada
silang sengketa. Kenapa kau berani menginjakkan
kaki ke Lembah Duka tanpa izin. Mengingat kau

seorang tokoh dunia persilatan yang sangat dis-
egani, kuharap sudilah meninggalkan tempat ini!"
kata pemuda berbaju kuning cukup bersahabat.
"Bedebah! Beraninya kau main perintah
terhadapku, Bocah bau kencur! Apa kau sudah
bosan hidup?!"
Rupanya hanya bentakan garang saja seba-
gai jawaban atas keramah-tamahan pemuda ber-
baju kuning tadi. Hal ini tentu saja membuat ama-
rah kesebelas pemuda itu siap meledak. Mereka
kini tak gentar lagi pada nama besar Maling Tanpa
Bayangan.
"Kakang Juwono! Kiranya kita tak perlu lagi
berbasa-basi. Manusia maling satu ini memang pa-
tut diusir dengan kekerasan!" teriak salah seorang
pemuda berbaju merah pada pemuda berbaju kun-
ing yang dipanggil Juwono. 
"Benar, Kang. Buat apa kita buang-buang
waktu meladeni maling satu ini?! Pasti ada niat ja-
hat yang tersembunyi di batok kepalanya!" sahut
yang lain penuh kemarahan. 
"Hm...! Kau dengar apa yang diinginkan te-
man-temanku, Orang Tua? Jadi harap  kau men-
gerti. Lekas tinggalkan tempat ini secepatnya!"
gumam Juwono, wibawa.
"Hahaha...!"
Maling Tanpa Bayangan mendadak tertawa
bergelak padanya yang kerempeng bergerak turun
naik saking gelinya. Dalam hatinya melecehkan.
Bagaimana mungkin ia yang kini telah menguasai
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan bisa diremehkan demikian rupa. Apalagi,

hanya oleh segerombolan pemuda kemarin sore.
Baginya mereka tak ubahnya gerombolan anjing
yang minta digebuk.
"Bagus! Manusia-manusia pencari mati,
majulah kalau ingin lekas menemui Raja Akhirat!"
tantang Maling Tanpa Bayangan.
"Serang!"
Juwono mengibaskan tangannya ke depan.
Maka tanpa banyak cakap, kesepuluh orang pe-
muda itu segera menerjang Maling Tanpa Bayan-
gan dengan pedang di tangan. Sekilas serangan-
serangan Juwono dan kesepuluh temannya cukup
hebat. Namun bagi Maling Tanpa Bayangan, se-
rangan-serangan mereka tak ubahnya segerombo-
lan laron yang menyerang api.
Maka begitu datang serangan, Maling Tanpa
Bayangan segera bertindak. Sekalian mencoba il-
mu yang baru didapat dari Kitab Paguyuban Se-
tan, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah berke-
lebat cepat luar biasa menerjang ke depan.
"Heh...?!"
Juwono dan kesepuluh temannya terkesiap
bukan main. Mereka tak menyangka akan menda-
pat serangan balik demikian cepatnya. Belum
sempat berpikir lebih jauh, tahu-tahu jari-jari tan-
gan Maling Tanpa Bayangan telah mengancam
laksana tangan-tangan maut.
Dess! Dess! Dess! 
Bret! Bret! 
"Aaa...!"
Juwono dan lima temannya hanya sempat
mengeluarkan keluhan, sebelum akhirnya ambruk

satu persatu dengan dada jebol dan perut sobek.
Belum puas dengan gebrakan pertama, Mal-
ing Tanpa Bayangan kembali berkelebat melancar-
kan serangan berikut,
"Hea...! Heaaa...!" 
Bukkk! Bukkk! 
Lima kali tangannya bergerak melayangkan
bogem mentah, maka terdengar pekik menyayat
dari lima orang pengeroyok. Mereka kontan ter-
jungkal ke tanah, tak mampu bangun lagi. Semu-
anya terkapar dengan luka amat mengenaskan.
Kepala pecah mengeluarkan cairan kemerah-
merahan, sementara perut ambrol dengan usus
terburai.
"Tikus-tikus comberan tak tahu diri! Mam-
puslah kalian semua! Ha ha ha...," tawa Maling
Tanpa Bayangan bergelak. Suaranya menggema ke
seantero penjuru. Seolah, ingin mengabarkan hari
kemenangannya pada segenap alam dan isinya.
Maling Tanpa Bayangan puas menikmati
kemenangannya. Tak henti-henti suara tawanya
diumbar. Dan di saat demikian, tiba-tiba nalurinya
merasakan angin dingin berkesiur menyerangnya
dari belakang. 
"Bedebah! Siapa berani main gila dengan-
ku!"
Maling Tanpa Bayangan terperanjat. Buru-
buru tubuhnya dilemparkan ke samping. Namun
sayang, gerakannya terlambat. Serangan itu da-
tang lebih cepat dibanding gerak tubuhnya. Aki-
batnya.... 
Bukkk! Bukkk!

"Aaakh...!"
Maling Tanpa Bayangan menggembor penuh
kemarahan. Tanpa ampun tubuhnya kontan ter-
pental jauh ke belakang, langsung menghantam
batang pohon di belakangnya.
Siapakah orang yang menyerang Maling
Tanpa Bayangan?

***

Sementara itu di lereng Gunung Perahu,
Sesosok bayangan tinggi kurus terus berkelebat
cepat menuju puncak. Bak seekor capung raksasa,
ringan sekali tubuhnya berlompat-lompatan dari
tempat yang satu, ke tempat yang lain.
Begitu di puncak gunung, sosok tinggi ku-
rus ini menghentikan langkahnya. Ternyata, ia
adalah seorang kakek berusia amat tua. Tak ku-
rang dari delapan puluh tahun. Tubuhnya yang
tinggi kurus dibalut pakaian compang-camping
mirip pakaian pengemis. Di tangan kanannya ter-
genggam tongkat butut berlekuk-lekuk. Dia tak
lain dari Raja Penyihir yang sedang mencari Silu-
man Ular Putih!     
Sesuai keterangan yang didapat dari Rondo
Kasmaran, tanpa membuang-buang waktu Raja
Penyihir segera menuju tempat kediaman Tabib
Agung. Namun ketika menemukan puncak Gu-
nung Perahu terasa lengang, mau tidak mau ha-
tinya jadi jengkel juga.
"Mana itu muridku Siluman Ular Putih? Ka-
tanya sedang berdua-duaan dengan seorang gadis

cantik? Mana pula tua bangka jelek itu?" gumam
hati Raja Penyihir tak henti. Sepasang matanya
yang tajam pun terus mengamati keadaan sekitar-
nya. Namun tak ada tanda-tanda kalau di tempat
itu ada orang. Yang ditemukan hanya beberapa
bekas telapak kaki. Ini jelas membuktikan kalau
tak lama sebelum itu banyak orang yang berda-
tangan kemari. Begitu dugaannya.
Raja Penyihir tak puas hanya menemukan
telapak-telapak kaki di puncak gunung. Saat ini
keinginannya untuk bertemu Siluman Ular Putih
benar-benar menggebu-gebu. Tapi sekarang, tak
seorang pun ada di sini. Apalagi, Tabib Agung juga
tak ditemukan di tempat itu. Maka satu-satunya
sasaran kemarahannya tidak lain adalah Tabib
Agung sendiri!
"Tabib Agung...! Keluar kau! Di mana kau
sembunyikan muridku, he?!" teriak Raja Penyihir
lantang, Suaranya yang berat terdengar sampai di
delapan penjuru mata angin.
Tak ada jawaban.
Raja Penyihir jadi geram bukan main. Di-
ulanginya lagi teriakannya berulang-ulang, sehing-
ga akhirnya....
"Kau...? Mau apa datang kemari?"
Mendadak terdengar bentakan galak seseo-
rang di belakang Raja Penyihir. Buru-buru lelaki
tua ini berbalik. 
"Tabib Jelek! Kenapa kau tak muncul waktu
kupanggil? Apa telingamu budek?" terabas Raja
Penyihir, tak kalah galak.
"Aku yang tanya, mau apa datang kemari?

Bukan menyuruhmu membentak. Apa kau kemari
juga mau berobat? Iya? Maaf, aku tak bisa mene-
rima," sahut Tabib Agung, galak.
"Slompret! Aku kemari bukannya untuk be-
robat, tahu?!"
"Lalu, mau apa kalau tidak berobat?"
"Aku mencari muridku!"
"Ya, cari saja! Kenapa marah-marah?" sahut
Tabib Agung, seenaknya. Segera badannya berba-
lik bermaksud meninggalkan Raja Penyihir begitu
saja.
"Hei...! Tabib Jelek! Di mana kau sembunyi-
kan muridku?" tanya Raja Penyihir tahu-tahu,
menahan langkah Tabib Agung. Sepasang matanya
yang mencorong terus memandangi Tabib Agung.
Curiga.
"Ah...! Kau ini! Apa otakmu sedang kumat?
Apa perlu kucuci dengan air garam? Seenaknya
saja menuduh orang. Kapan kau punya murid?"
tukas Tabib Agung kesal. "Lagi pula, siapa sudi ja-
di muridmu? Paling juga disuruh belajar main su-
lap!"
"Tabib Jelek! Jangan membuatku naik da-
rah, ya? Apa kau ingin kukemplang sampai modar,
he?!"
"Siapa takut? Ayo kemplang kalau berani?"
tantang Tabib Agung, seraya menyorongkan kepala
ke depan.
Disuguhi kue apem begitu, Raja Penyihir
malah jadi salah tingkah. Bagaimanapun juga tak
mungkin kepala Tabib Agung dikemplang begitu
saja. Apalagi, lelaki yang ahli dalam pengobatan itu

sahabat akrabnya.
"Kau... kau memang setan, Kerempeng! Se-
karang katakan, di mana Siluman Ular Putih be-
rada! Tadi, Rondo Kasmaran memberitahuku ka-
lau pemuda sialan itu bersembunyi di sini. Pasti
kau yang menyuruhnya sembunyi!" tuding Raja
Penyihir.
"Ooo...! Jadi kau mencari bocah edan itu?"
Tabib Agung mengangguk-angguk
"Iya. Di mana dia sekarang?" 
"Sudah kuusir."
"Apa? Kau usir? Lancang benar kau mengu-
sir muridku. Apa kau sudah tak doyan nas..." 
"Sabar-sabar!"
Tabib Agung mengangkat tangannya. Seke-
tika tangan Raja Penyihir yang sudah terangkat
tinggi siap mengemplang diturunkan kembali.
"Sekarang aku mau tanya. Sejak kapan kau
punya murid, Tua Bangka Jelek?" sambung Tabib
Agung.
"Kau tak perlu tahu. Punya murid, kek! Ti-
dak, kek. Itu bukan urusanmu. Sekarang katakan,
di mana Siluman Ular Putih?" sahut Raja Penyihir
kesal.
"Lho? Kau kan sudah tahu?" 
"Tahu-tahu! Aku belum tahu, tahu!"
"Lho? Marah lagi? Tadi kan sudah kubilang
dia telah kuusir," sahut Tabib Agung dengan se-
nyum terkembang di bibir. Senang sekali dapat
mempermainkan sahabatnya. 
"Slompret! Dasar sahabat tak berguna. Per-
cuma saja aku datang kemari," gerutu Raja Penyi-

hir.
"Ya, memang percuma. Tapi, cobalah cari
bocah edan itu ke selatan. Sepertinya dia ke sana!"
"Bodo!" sahut Raja Penyihir ketus.
Dan tanpa banyak cakap lagi. Raja Penyihir
pun segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dan
hanya sekali pijakan saja, tahu-tahu tubuhnya te-
lah melenting tinggi ke udara, dan terus berkelebat
cepat ke selatan.
Sementara Tabib Agung menggeleng-geleng
kepala melihat ilmu meringankan tubuh yang di-
keluarkan Raja Penyihir barusan. Makin hebat sa-
ja kehebatan tua bangka satu itu, pikirnya dalam
hati.

8

"Ha ha ha...! Percuma saja kau membo-
kongku. Kau tetap tidak akan mampu membu-
nuhku. Siapa pun juga tidak akan mampu mem-
bunuhku!"
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Punggungnya yang semula terasa remuk terkena
pukulan si pembokong kini telah sembuh seperti
semula. Itu tidak lain berkat ilmu yang dipelajari
dari Kitab Paguyuban Setan. Tak sia-sia rupanya
lelaki ini mendapatkan ilmu tangguh itu. Begitu
bagian tubuhnya terluka, kontan saja uap hitam
yang keluar dari balik jubah hitamnya menyelimuti
bagian luka, hingga akhirnya sembuh seperti se-
mula.

Sementara itu si pembokong yang kini be-
rada di hadapan Maling Tanpa Bayangan membe-
lalakkan matanya lebar. Sinar matanya menyi-
ratkan kalau ia tak mempercayai  apa yang telah
dialami Maling Tanpa Bayangan tadi. Jangankan
punggung manusia. Tubuh gajah bengkak pun
akan hancur lebur bila terkena pukulannya. Tapi
ini? Melukainya pun tidak. Benar-benar aneh!
Si pembokong adalah seorang nenek bertu-
buh amat kerempeng dan bungkuk mirip udang.
Pakaiannya serba merah. Sebenarnya kurang pas
dengan kulit tubuhnya yang hitam. Namun entah
kenapa, nenek bertongkat panjang ini sepertinya
lebih menyukai warna merah. Wajahnya jelek pe-
nuh keriput, menyiratkan garis-garis kehidupan-
nya yang telah dimakan usia.
"Maling Tua! Dari dulu kita selalu beda
pendapat. Berkali-kali aku mengingatkanmu un-
tuk kembali ke jalan kebenaran. Tapi, tidak digu-
bris. Kini saatnyalah aku mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka!" geram si nenek tetap dengan
suara santun, walau dalam hatinya dipenuhi hawa
amarah.
Makin meriah saja tawa Maling Tanpa
Bayangan. Seolah, mendengar lelucon tidak lucu,
"Nenek peot Dewi Merah! Bagaimana mung-
kin kau mampu membunuhku? Pukulan 'Racun
Darah Mayat'-mu tadi pun tak berasa apa-apa.
Lantas dengan cara apa kau dapat membunuhku,
he? Ha ha ha...!" ejek Maling Tanpa Bayangan, lalu
disusul tawa bergelak.
Si nenek yang ternyata berjuluk Dewi Merah

menggeretakkan gerahamnya penuh kemarahan.
Sebenarnya, Dewi Merah adalah masih terhitung
kakak seperguruan Iblis Mayat Merah dan Setan
Mayat Merah dari Lembah Duka. Namun berhu-
bung sejak masih muda sudah terjadi silang seng-
keta, jadilah mereka menempuh jalan masing-
masing. Dewi Merah yang berhati welas asih memi-
lih jalan kebenaran. Sedang Setan Mayat Merah
dan Iblis Mayat Merah memilih jalan sesat. (Untuk
lebih jelasnya mengenai Setan Mayat Merah dan
Iblis Mayat Merah, silakan ikuti episode: "Perseku-
tuan Maut" dan "Lukisan Darah"). Dan sebenarnya
pula julukan Dewi Merah tak sesuai dengan kea-
daan si nenek.
Tapi memang, julukan itu diberikan ketika
si nenek masih muda.
"Dengan tongkat bututku inilah aku akan
memaksa nyawamu minggat Maling Tanpa Bayan-
gan!" bentak Dewi Merah.
Habis membentak, begitu Dewi Merah pun
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Maka seke-
tika tubuh kerempengnya telah meluruk cepat luar
biasa. Tongkat di tangan kanannya dalam waktu
singkat telah berubah jadi gulungan-gulungan hi-
tam, siap mengancam tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan dari delapan jurusan!
Melihat jurus yang dikeluarkan Dewi Merah,
Maling Tanpa Bayangan hanya tersenyum dingin.
Ia tahu persis, jurus apa yang tengah dikeluarkan
nenek renta itu, yakni jurus 'Delapan Penjuru Ma-
ta Pedang' andalan Dewi Merah. Sementara Maling
Tanpa Bayangan pun segera bertindak. Sengaja ju-

rus andalannya selama malang melintang jadi mal-
ing tidak dikeluarkan. Dan ia ingin menjajal kehe-
batan ilmu yang dipelajarinya dari Kitab Paguyu-
ban Setan!
Srat! Srat!
Tak henti-hentinya tongkat hitam di tangan
Dewi Merah terus mencecar tubuh Maling Tanpa
Bayangan. Merasakan angin yang berkesiur cukup
keras dari setiap gerakan tongkat itu, jelas kalau
Dewi Merah telah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam dengan kekuatan penuh. Namun, Maling

Tanpa Bayangan tetap saja dapat mengimban-
ginya. Bahkan ke mana saja setiap tongkat hitam
itu bergerak, lelaki sesat itu seolah bisa memba-
canya dengan mudah. Tak heran bila serangan
Dewi Merah selalu bisa dihindari dengan mudah.
"Sudah cukup kita main-main, Nenek Peot!
Sekaranglah saatnya kau menemui ajal!" bentak
Maling Tanpa Bayangan seraya melemparkan tu-
buh jauh ke belakang.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah,
mendadak kedua telapak tangan Maling Tanpa
Bayangan telah berubah jadi hitam legam! Itulah
pukulan 'Darah Para Durjana', salah satu pukulan
maut yang dipelajarinya dari Kitab Paguyuban Se-
tan!
Melihat Maling Tanpa Bayangan hendak
mengakhiri pertarungan dengan pukulan maut,
Dewi Merah yang tadi hendak menyerang segera
mengurungkan niatnya. Tongkat hitamnya segera
ditancapkan ke tanah. Dipasangnya kuda-kuda,
siap-siap mengeluarkan pukulan maut 'Racun Da-

rah Mayat' yang membuatnya dijuluki Dewi Merah.
"Apa kau tak punya jenis pukulan maut lain
selain pukulan 'Racun Darah Mayat, Nenek Peot?"
ejek Maling Tanpa Bayangan.
"Jangan banyak bacot! Justru dengan pu-
kulan 'Racun Darah Mayat'-ku inilah nyawa bu-
sukmu akan minggat!" balas Dewi Merah. 
"Ha ha ha...! Boleh. Coba saja kalau bisa!"
"Bagus! Bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu hari ini, Maling Tua!"
Dewi Merah menggeretakkan geraham pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang
telah berubah jadi kuning berkilauan segera di-
hantamkan ke depan. Seketika meluruk deras dua
larik sinar kuning berkilauan dari kedua telapak
tangannya siap melabrak tubuh Maling Tanpa
Bayangan. 
Wesss! Wesss!
Maling Tanpa Bayangan masih sempat juga
mengumbar tawanya yang bergelak. Namun begitu
merasakan hawa dingin yang bukan kepalang mu-
lai menyambar kulit, barulah kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan. Dan....
Blaaaammm...!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga
dalam barusan. Bumi bergetar hebat. Angin sam-
baran bentrokan tadi mampu membuat ranting-
ranting pohon di sekitar tempat pertarungan ter-
bakar!
Sementara, sewaktu terjadinya bentrokan
tadi, Dewi Merah kontan memekik menyayat. Tan-
pa ampun, tubuh kerempengnya terpental jauh ke

belakang. Sebentar tubuhnya berputar-putar sebe-
lum akhirnya terbanting keras!
Dewi Merah menggeram hebat dengan wa-
jah pucat pasi. Dari rahangnya yang menggem-
bung tampak cairan berwarna merah darah! Dan
guncangan dalam dadanya tak mampu ditahan la-
gi. Akhirnya....
"Hoekh!"
Darah merah kental kontan berhamburan
dari mulut Dewi Merah. Nenek ini merintih kesaki-
tan. Seisi bagian dalam tubuhnya seolah tergun-
cang hebat. Namun, Dewi Merah tetap bertekad
untuk melanjutkan pertarungan. Dengan susah
payah akhirnya tubuhnya dapat tegak kembali wa-
lau masih sempoyongan.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Puas hatinya melihat hasil pukulannya tadi. Apa-
lagi melihat tubuh kerempeng Dewi Merah yang
masih limbung. Jelas kalau nenek-nenek peot itu
tengah menderita luka dalam hebat. Rasanya se-
perti membalikkan telapak tangan saja kalau ingin
menghabisi nyawa Dewi Merah.
"Apa kubilang tadi? Kau tak mungkin dapat
membunuhku. Malah nyawa busukmu sendirilah
yah sebentar lagi akan kukirim ke neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Nenek
Peot!" ancam Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki sesat itu kembali mengerahkan pu-
kulan 'Darah Para Durjana'. Seketika kedua tela-
pak tangannya kembali berubah hitam legam
sampai ke pangkal, pertanda telah mengerahkan
tenaga dalam dengan kekuatan penuh!

Seolah melihat tangan-tangan malaikat
maut, mau tak mau paras Dewi Merah pun jadi
pias juga. Keringat dingin sempat membasahi tela-
pak tangannya. Namun wanita tua ini tetap men-
coba tabah.
"Mungkin memang sudah nasibku mampus
di tangan Maling Tanpa Bayangan...," desis Dewi
Merah nyaris tak kentara.
"Sekaranglah saatnya kau menemui ajal,
Dewi Merah! Heaaa...!"
Berbareng teriakan menggetarkan, tiba-tiba
kedua telapak tangan Maling Tanpa Bayangan te-
lah menghentak ke depan. Seketika meluruk dua
larik sinar hitam legam dari kedua telapak tan-
gannya, siap meluluhlantakkan tubuh kerempeng
lawan.
Dewi merah mengeluh dalam hati. "Rasanya
tak mungkin saat ini lolos dari lubang kematian..
Jangankan untuk lolos, untuk menghindar saja
rasanya tak kuasa."
Namun pada saat yang paling mence-
maskan bagi keselamatan tokoh sakti dari Lembah
Duka ini, mendadak melesat dua larik sinar putih
terang dari belakang si nenek, namun agak me-
nyamping. Kedua sinar itu menerabas cepat, me-
mapak pukulan Maling Tanpa Bayangan.
 Blaaammm! 
"Aaakh...!"
Sebuah pekik kesakitan terdengar di sana.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Niatnya untuk
menghabisi nyawa Dewi Merah tersunat sudah. Ia

heran sekali. Bagaimana mungkin kedua kakinya
sempat surut beberapa langkah ke belakang akibat
bentrokan barusan. Ini jelas membuktikan kalau
sang penolong Dewi Merah juga memiliki kepan-
daian.
"Keparat! Siapa berani mencampuri uru-
sanku, he?!" bentaknya garang.

***

"Aku!"
Terdengar sahutan dari semak belukar tem-
pat pekikan tadi berasal. Begitu muncul ternyata
si penolong Dewi Merah masih amat muda. Umur-
nya tak lebih dari sembilan belas tahun. Wajahnya
tampan. Rambutnya gondrong tergerai di bahu.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar terbungkus
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan. Siapa lagi pemuda ugal-ugalan yang
memiliki ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman
Ular Putih.
Tentu saja Maling Tanpa Bayangan terpe-
rangah kaget. Sungguh tak disangka kalau bocah
edan yang sedang dicari-carinyalah yang memapak
pukulannya tadi.
Sebenarnya Siluman Ular Putih sampai
nyasar ke tempat itu bukan tak kebetulan belaka.
Pemuda ini semula merasa kesal melihat Putri
Manja ngambek, sehingga jadi uring-uringan sen-
diri. Ternyata kesalahan yang baginya dianggap
sepele itu berbuntut panjang. Putri Manja tak mau
berkawan lagi dengannya. Bahkan kini dipaksa

gurunya untuk kembali ke puncak Gunung Mera-
pi. Sedang Dewa Bogel dan Lamdaur langsung
menuju Hutan Pring Apus, begitu turun dari pun-
cak Gunung Perahu. Sementara tanpa terasa. So-
ma terus melangkah hingga sampai ke tempat itu.
Terutama, ketika mendengar suara pertarungan
yang membawa langkahnya kemari.     
"Lagi-lagi kau, Manusia Maling! Di mana
ada kau, di situ pasti ada keonaran!" 
"Kuakui, Bocah Edan! Aku bukan saja ingin
membuat onar di tempat ini, tapi juga akan mem-
balaskan sakit hati muridku. Raja Maling. Maka,
sekarang kau harus modar di tanganku!" dengus
Maling Tanpa Bayangan.
"Wihhh...! Jangan galak-galak, ah! Kan ke-
marin dulu sudah kubilang, bukannya aku yang
membunuh Raja Maling. Tapi, dia sendiri yang cari
mati. Masa' bermain maut dengan malaikat maut.
Ya, pasti koit!" cerocos Siluman Ular Putih asal
bunyi.
Sementara di tempatnya, Dewi Merah heran
sekali. Bagaimana mungkin bocah itu berani ber-
tindak ayal-ayalannya. Sedang dia sendiri tak
mampu menghadapi Maling Tanpa Bayangan. Lalu
bagaimana dengan bocah sinting itu? Barangkali
otaknya sudah miring? Tapi menilik pukulannya
tadi, sudah pasti kepandaiannya cukup lumayan.
Kalau tidak, mustahil berani bermain maut. Begi-
tu, pikir Dewi Merah.
Habis berpikir begitu Dewi Merah tak dapat
lagi memperhatikan murid Eyang Begawan Kama-
setyo. Karena luka dalamnya cukup parah, wanita

ini duduk bersila dan bersemadi untuk mengobati
luka dalamnya.
"Jadi, ceritanya kau ini mau menuntut ba-
las, ya? Bilang saja dari tadi, kenapa sih? Pakai
berbelit-belit segala!" oceh Siluman Ular Putih.
"Siapa yang berbelit-belit? Aku memang in-
gin membunuh, tahu?" bentak Maling Tanpa
Bayangan.
"Aku sudah tahu. Tapi sayang, tampangmu
tak seseram tampang malaikat maut. Bisa jadi
tampangmu malah lebih mirip badut. Jadi, mana
bisa kau menuntut balas. He he he...."
"Setan Alas! Jangan panggil aku Maling
Tanpa Bayangan kalau aku tak dapat membu-
nuhmu, Bocah!"
"Jadi, aku harus memanggil  apa? Badut
tua, begitu?"
Bukan main mengkelapnya hati Maling
Tanpa Bayangan setelah dua kali dikatakan badut
tua. Penghinaan itu tak dapat diterima. Terdorong
amarahnya yang menggelegak, tiba-tiba Maling
Tanpa Bayangan menggembor keras. Sementara,
tubuh tinggi kurusnya sudah menerjang hebat Si-
luman Ular Putih. Tangan kanannya bergerak ce-
pat dari atas ke bawah. Tangan kirinya bermaksud
mencengkeram perut Siluman Ular Putih.
Srat! Srat!
"Uts!"
Tentu saja Siluman Ular Putih tak rela tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan Maling Tan-
pa Bayangan. Sekali menjejak tanah, tahu-tahu
tubuhnya telah melenting ke samping sambil me-

lepas tendangan putar
Desss!      
"Ughhh...'"
Telak sekali perut Maling Tanpa Bayangan
terhantam tendangan Siluman Ular Putih. Seketi-
ka tubuhnya terjajar beberapa langkah ke bela-
kang. Memang tidak sakit. Namun, tendangan itu
cukup membuat amarahnya seperti hendak mele-
dak di ubun-ubun kepala.
"He he he...! Cukup mujarabkan tendan-
ganku tadi? Itu belum seberapa, lho? Untung aku
masih sedikit menaruh iba. Siapa tahu kau mau
melawak di sini. Jadi, kubiarkan saja kau kena
tendanganku," ejek Siluman Ular Putih membuat
Maling Tanpa Bayangan sulit sekali mengendali-
kan amarah.
"Bocah Edan! Makanlah pukulan 'Darah Pa-
ra Durjana'-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba kedua
telapak tangan Maling Tanpa Bayangan yang su-
dah berubah jadi hitam legam segera menghantam
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar hitam
legam yang disertai berkesiurnya hawa panas bu-
kan kepalang mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih!
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih terperangah kaget.
Sungguh tak disangka akan mendapat serangan
sedahsyat itu.
"Edan! Bagaimana mungkin tua bangka ini
dapat memiliki ilmu pukulan sehebat ini? Bukan-
kah beberapa hari lalu kepandaiannya masih be-

lum seberapa? Tapi kenapa kepandaiannya seka-
rang jadi berlipat ganda?" gumam Siluman Ular
Putih tak habis berpikir.
Namun Soma tak sempat melanjutkan kata-
kata dalam hati kalau masih ingin melihat terang-
nya sinar matahari esok hari. Begitu merasakan
hawa panas dari pukulan Maling Tanpa Bayangan
mulai menyambar kulit, tubuhnya segera dibuang
ke samping. Sehingga, serangan Maling Tanpa
Bayangan terus menerabas ke belakang, langsung
menghantam batang pohon.
Brakkk!
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan
manusia dewasa itu kontan bergoyang-goyang he-
bat. Selang beberapa saat, disusul suaranya yang
menggemuruh sebelum akhirnya tumbang. Dari
akar sampai pucuk-pucuk daunnya hangus terba-
kar!   
Bukan main! 
Melihat kejadian itu, tanpa sadar Siluman
Ular Putih berdecak-decak kagum. Kepalanya pun
ikut menggeleng-geleng biar kelihatan yakin kalau
sedang terheran-heran.
"Busyet! Hebat juga pukulanmu tadi, Mal-
ing. Belajar dari mana?" kata Siluman Ular Putih,
polos.
Mana sudi Maling Tanpa Bayangan melade-
ni ocehan bocah sinting itu. Melihat serangannya
gagal, segera disusunnya serangan berikut. Tanpa
banyak cakap lagi, kedua telapak tangannya kem-
bali dihantamkan ke depan.
"Hea...!" 

Wesss! Wesss!
Lagi-lagi melesat dua larik sinar hitam yang
mengerikan mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih. Soma yang sudah melihat kehebatan pukulan
'Darah Para Durjana' milik Maling Tanpa Bayan-
gan tak segan-segan lagi segera memapaki dengan
pukulan 'Inti Bumi'.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Siluman Ular
Putih segera mendorongkan kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi putih terang hing-
ga ke pangkal lengan.
Wesss! Wesss! 
Blaaarrr!
Terdengar ledakan hebat di udara ditingkahi
pekik kesakitan. Sementara mata Maling Tanpa
Bayangan berbinar-binar. Tampak tubuh murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu melayang jauh ke
belakang, lalu terbanting keras ke tanah!
"Mampuslah kau, Bocah Edan! Sekaranglah
saatnya aku membalaskan dendam sakit hati mu-
ridku!"
Siluman Ular Putih yang memekik tadi me-
nyeringai hebat. Orang yang mau buang hajat pun
masih kalah seru dibanding seringai Siluman Ular
Putih saat itu. Parasnya pucat pasi. Dari  telapak
tangan hingga ke pangkal lengannya berwarna hi-
tam. Jelas, murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
menderita luka dalam cukup lumayan.
Bahkan ketika Siluman Ular Putih mencoba
bangkit, dadanya terasa nyeri bukan main. Ribuan
jarum seolah tengah asyik  berpesta pora mengo-

brak-abrik isi dadanya. Bahkan....
"Hoeeekh...!" 
Akhirnya Siluman Ular Putih tak tahan ju-
ga. Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur keluar. Rasanya, jangan tanya lagi! Un-
tung saja nyawanya tidak melayang saat itu juga!
"Heran! Dari mana tua bangka ini mempero-
leh pukulan demikian hebat?" gumam Siluman
Ular Putih tak puas karena belum menemukan ja-
wabannya tadi. 
Dewi Merah yang tadi mendengar jeritan Si-
luman Ular Putih jadi cemas sekali. Keadaan mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo saat itu benar-
benar mengenaskan. Pakaiannya robek di sana si-
ni. Ingin rasanya wanita ini menolong, namun
sayang tak bisa. Akibat pukulan 'Darah Para Dur-
jana' milik Maling Tanpa Bayangan sekujur tu-
buhnya terasa lemas. Jangankan untuk menolong.
Untuk menggerakkan tubuhnya saja, rasanya tak
kuasa. Maka terpaksa matanya saja yang bisa
memandangi Siluman Ular Putih dengan sinar ce-
mas.
"Anak muda! Baiknya, cepat tinggalkan
tempat ini!" teriak Dewi Merah akhirnya.
Maling Tanpa Bayangan tersenyum berin-
gas. Kilatan-kilatan matanya yang berwarna hijau
mencorong tajam. Mengerikan sekali. Sepasang
matanya tak ubahnya orang yang telah kerasukan
setan. Dan ia hanya akan puas kalau sudah mem-
bunuh lawannya. 
"Boleh saja kau tinggalkan tempat ini kalau
memang bisa. Kenapa hanya diam saja!" ejek Mal-

ing Tanpa Bayangan.
Tak ada gunanya bagi Siluman Ular Putih
menyahuti ucapan Maling Tanpa Bayangan. Kare-
na saat itu, diam-diam tengah dikerahkannya
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'.
Melihat ulah Siluman Ular Putih, tahulah
Maling Tanpa Bayangan. Ternyata bocah edan di
hadapannya tengah mengerahkan aji 'Titisan Si-
luman Ular Putih'. Buktinya sekujur tubuh pemu-
da itu  mulai dipenuhi uap putih tipis hingga so-
soknya tidak kelihatan sama sekali.
Sebenarnya, Maling Tanpa Bayangan ingin
cepat bertindak. Namun baru saja niat itu terber-
sit, tiba-tiba saja.... 
"Ggggeeerrr...!" 

9

"Si... Siluman Ular Putih…!" desis Dewi Me-
rah penuh takjub.
Betapa di hadapan wanita itu kini terlihat
jelas sesosok ular putih raksasa sebesar pohon ke-
lapa dengan taring-taring yang runcing mengeri-
kan. Belum lagi kilatan sepasang matanya yang
mencorong tajam berwarna merah saga. Dan sepa-
sang mata merah itu terus menghujam ke bola
mata Maling Tanpa Bayangan sambil mengibas-
ngibaskan ekornya ke sana kemari.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bo-
cah Sinting! Kau tetap tak akan mampu membu-
nuhku!" tantang Maling Tanpa Bayangan, pongah.

"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat seba-
gai jawaban. Suaranya mampu menggetar-
getarkan tempat di sekitarnya. Bahkan begitu ge-
rengannya habis, diterjangnya Maling Tanpa
Bayangan ganas. Taring-taringnya yang runcing
dan kibasan-kibasan ekornya yang keras laksana
palu godam, siap merajam tubuh lawan.
Serrr!
Crok! Crokkk!
Belum sempat Maling Tanpa Bayangan
menghindar, tahu-tahu tubuhnya telah tercengke-
ram taring-taring runcing Siluman Ular Putih. Le-
laki ini geram bukan main. Saat itu juga tangan-
nya menghantam kepala ular raksasa itu.
Desss!
Seketika lepaslah cengkeraman taring-
taring ular raksasa itu dari tubuh Maling Tanpa
Bayangan. 
"Gggeeerrr!"
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Ke-
palanya oleng ke sana kemari sambil mengibas-
ngibaskan ekornya. Meski demikian, ular putih
raksasa itu tidak cedera sedikit pun akibat hanta-
man Maling Tanpa Bayangan barusan. Dan me-
mang, ular raksasa itu kebal terhadap segala pu-
kulan maupun senjata tajam. 
"Ggggeeerrr! Gggeeerrr...!"
Ular putih raksasa itu tak henti-hentinya
menggereng hebat. Namun anehnya belum juga
melanjutkan serangan. Hanya sepasang matanya
saja yang terus mengawasi Maling Tanpa Bayan-

gan. Mungkin merasa heran dengan kejadian aneh
yang tengah dialami musuhnya. Betapa tubuh
Maling Tanpa Bayangan tadi pun tidak mengalami
cedera. Ternyata, tubuh lelaki tua sesat itu pun
kebal terhadap terkaman taring-taring tajamnya!
"Sudah kubilang kau tak dapat  membu-
nuhku. Melukaiku pun, kau tak sanggup. Jadi,
mana mungkin membunuhku?!" ejek Maling Tan-
pa Bayangan, penuh tawa kemenangan.
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya ke sana kemari. Kepalanya sedikit dirun-
dukkan, siap melancarkan serangan berikut. 
Werrr!
Tiba-tiba sosok putih panjang ular raksasa
itu telah menerjang Maling Tanpa Bayangan. He-
bat sekali terjangannya. Taring-taring yang runc-
ing dan kibasan-kibasan ekornya kembali siap
mengancam tubuh Maling Tanpa Bayangan,
Maling Tanpa Bayangan tak berani meman-
dang ringan lagi, Dan pertarungan harus dapat
diselesaikan secepatnya. Untuk itu, segera dike-
rahkannya pukulan 'Darah Para Durjana'.
"Mampuslah kau, Bocah Edan! Hea…!" 
Dikawal bentakan nyaring, Maling Tanpa
Bayangan segera menghentakkan kedua tangan-
nya memapaki terjangan Siluman Ular Putih. Se-
ketika meluruk dua larik sinar hitam legam dari
kedua telapak tangannya, langsung menghantam
telak tubuh Siluman Ular Putih.
Bukkk! Bukkk!    
"Gggeeerrr...!" 
Ular raksasa itu menggereng hebat. Tubuh-

nya kontan terpental ke samping. Menggeliat-geliat
sebentar.
Dan.... 
Werrr!
Tahu-tahu ekor ular raksasa itu mengibas
cepat dari samping. Sungguh, Maling Tanpa
Bayangan yang mengira kalau ular raksasa itu
akan cedera atau bahkan mati saat itu juga, tidak
menyangka akan mendapat serangan hebat. Maka
tanpa ampun.... 
Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...!"
Dua kali ekor Siluman Ular Putih mengha-
jar telak tubuh lelaki tua itu. Maling Tanpa Bayan-
gan hanya sempat memekik tertahan sebelum ak-
hirnya terlempar jauh ke belakang. Pada saat ter-
lempar inilah ular raksasa itu kembali menerjang
hebat! Mulutnya menganga, mengarahkan taring-
taringnya yang tajam. Lalu....
Crok! Crokkk!
Tanpa dapat dicegah lagi tiba-tiba taring-
taring runcing ular raksasa itu mengganyang tu-
buh Maling Tanpa Bayangan. Seketika darah me-
rah berhamburan dari luka di tubuh lelaki tua ini. 
"Gggeeerrr!"
Siluman Ular Putih ternyata tak mau mele-
paskan mangsanya begitu saja. Terus saja tubuh
Maling Tanpa Bayangan diganyang sambil mengge-
rak-gerakkan kepala ke sana kemari.
Mau tidak mau Maling Tanpa Bayangan jadi
kalang kabut juga. Berkali-kali tangannya meng-
hantam tubuh ular raksasa itu. Namun, Siluman

Ular Putih tak mau melepaskan gigitannya. Malah
semakin lama semakin kuat mengganyang tubuh-
nya!
"Gggeeerrr! Geeerrr...!"
Tiba-tiba ular raksasa itu meraung hebat
ketika dari balik jubah Maling Tanpa Bayangan
mengepul uap hitam menyerang Siluman Ular Pu-
tih. Bahkan segera menggulung kepala ular raksa-
sa itu penuh kekuatan gaib yang entah dari mana
datangnya!
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih tak tahan menghadapi
serangan gaib dari uap hitam dari jubah Maling
Tanpa Bayangan. Maka tak ada pilihan lain, ter-
paksa mangsanya harus dilepaskan.
"Gggeeerrr! Gggeeerrr...!" 
Ular putih raksasa itu kalap bukan main.
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Sementara uap
hitam tebal dari balik jubah Maling Tanpa Bayan-
gan terus menyerang tanpa ampun. Lambat laun,
Siluman Ular Putih jadi lemas kehabisan tenaga!
Siluman Ular Putih tersadar. Meski masih
menjelma menjadi ular putih, namun masih mam-
pu berpikir  seperti manusia kebanyakan. Untuk
sesaat ular raksasa itu  tercenung di tempatnya.
Nalurinya mengatakan, kalau Maling Tanpa
Bayangan memiliki ilmu hitam yang amat dahsyat.
Dan ia tahu bagaimana cara mengatasinya. Tak
ada pilihan lain, wujudnya harus segera  diubah
menjadi manusia kembali. Namun baru saja hen-
dak melaksanakan niatnya, mendadak...
"Bocah Tolol! Kenapa tidak kau lawan den-

gan kekuatan batinmu!"
Mendadak terdengar teriakan keras meng-
getarkan.

***

"Setan Alas! Beraninya kau menggangguku,
he?!"
Maling Tanpa Bayangan geram bukan main
ketika tahu-tahu telah berdiri seorang kakek renta
berpakaian tambal-tambalan mirip pakaian pen-
gemis di depan Siluman Ular Putih. Siapa lagi to-
koh tua dunia persilatan yang mempunyai ciri-ciri
demikian, kalau bukan Raja Penyihir?!
"Kenapa tidak berani, Maling? Dari dulu
kau selalu membuat onar dunia persilatan. Kau
memang layak mampus di tanganku!" hardik Raja
Penyihir, membalas.
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Dulu, nyalinya boleh ciut menghadapi Raja Penyi-
hir. Tapi setelah menguasai ilmu yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan, biar seribu orang
macam Raja Penyihir ada di depannya, tetap saja
tidak akan takut. Karena memang ia tidak bisa di-
bunuh!
"Tua bangka bau tanah! Lagakmu pongah
sekali! Apa kau pikir aku takut menghadapimu,
he?!" desis Maling Tanpa Bayangan.
"Aku tidak bicara takut atau tidak. Tapi aku
ingin mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!"
ancam Raja Penyihir.
"Boleh, boleh. Memang ucapan itu yang ku-

tunggu. Tapi ingat! Jangan sampai malah nyawa-
mu yang melayang!"
"Bah! Maling tua macammu bisa apa, he?!"
sembur Raja Penyihir saking kesalnya.
Maling Tanpa Bayangan tertawa. Senang
sekali melihat Raja Penyihir jadi penasaran seperti
itu.
"Hati-hati, Orang Tua! Maling tua itu mem-
punyai kekuatan gaib yang sulit dimengerti!" teriak
Soma yang telah menjelma menjadi manusia biasa.
Raja Penyihir menoleh sekilas. 
"Aku tahu, Tolol! Tapi, kenapa kau tak me-
manggilku guru?" semprot Raja Penyihir dengan
kening berkerut.
"Lho? Bukankah dalam perjanjian dulu kau
cuma ingin menurunkan ilmu padaku, kan? Jadi
kenapa harus memanggilmu guru? Toh, dulu kau
juga menyetujuinya?" tukas Siluman Ular Putih
tak mau kalah. (Mengenai perjanjian antara Silu-
man Ular Putih dan Raja Penyihir, harap baca da-
lam episode: "Manusia Rambut Merah").
"Setan! Dari dulu kau selalu saja pintar
membantah! Awas kau nanti! Setelah selesai aku
mengurung maling tua satu ini, giliranmu yang pa-
tut kuhajar, Bocah!"
"Yeahhh...! Ngambek! Kau sendiri yang janji.
Tapi, mau mungkir," ejek Siluman Ular Putih se-
raya menjebikkan bibir.
Aneh sekali memang watak murid Eyang
Begawan Kamasetyo satu ini. Padahal baru saja
menghadapi bahaya maut. Tapi, bisa-bisanya ber-
sikap ayal-ayalan seperti itu. 

"Diam! Aku belum ingin bicara denganmu,
tahu?!" bentak Raja Penyihir.
"Tak ingin bicara denganku ya sudah. Asal,
jangan kau suruh aku memanggilmu guru. Pamali
namanya!" celoteh Siluman Ular Putih seenak pe-
rut. Tangan kanannya cepat meraih keluar senjata
andalan dan siap membantu Raja Penyihir.
Raja Penyihir sengaja tak menyahuti  uca-
pan Soma. Percuma saja menyahut. Pasti bocah
sinting itu akan membantah. Ya, kalau cuma
membantah. Tapi kalau balik memperolok. Nah...!
Itu yang dikhawatirkan Raja Penyihir! Sebab ha-
tinya paling sebal kalau sudah digoda murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu.
"Maling Tua! Tadi kau sudah dengar tujua-
nku kemari, bukan? Nah...! Daripada tanganku
kotor oleh darah busukmu, lebih baik bunuh diri
saja!" hardik Raja Penyihir kasar. Mungkin sengaja
melampiaskan kedongkolan hatinya pada Maling
Tanpa Bayangan. Atau bisa jadi memang sudah
dari dulu tak menyukai lelaki sesat itu.
"Jaga bacotmu, Tua bangka keparat! Justru
kaulah yang patut modar di tanganku!" geram Mal-
ing Tanpa Bayangan penuh kemarahan. 
Sekilas mata Maling Tanpa Bayangan me-
mandang ke arah Siluman Ular Putih yang tengah
meniup senjata andalannya. Keningnya berkerut.
Tubuhnya terasa agak terusik oleh tiupan senjata
andalan Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Ia
tak percaya kalau tiupan senjata andalannya sama
sekali tak berpengaruh bagi Maling Tanpa Bayan-

gan. Dan pemuda ini jadi menggeleng-geleng tak
mengerti.
Habis memperhatikan Siluman Ular Putih
sekilas. Maling Tanpa Bayangan segera menerjang
hebat Raja Penyihir. Tak tanggung-tanggung sege-
ra dikeluarkannya jurus andalan yang dipelajari
dari Kitab Paguyuban Setan. Tangan kanannya
menyerang dari atas ke bawah. Tangan kirinya
siap merobek perut Raja Penyihir dari samping.
Dengan jurus itu, ia berharap akan dapat mero-
bohkan Raja Penyihir dalam sekali gebrak. 
Sekali lihat saja. Raja Penyihir tahu maksud
serangan yang sebenarnya. Justru serangan tan-
gan kiri, Maling Tanpa Bayangan yang tampaknya
berbahaya, merupakan gerak tipu belaka. Sedang
serangan tangan kanan yang mengarah ubun-
ubun kepala itulah serangan sebenarnya.
Raja Penyihir tak ingin terkecoh. Dibiarkan-
nya cengkeraman tangan kiri Maling Tanpa
Bayangan. Pada saat cengkeraman itu hendak
menyambar perutnya, mendadak tongkat hitam di
tangan kanannya berkelebat mengancam ulu hati
lawan. Begitu cepat sehingga....
Duk! Dukkk!
Dua kali Raja Penyihir menggerakkan tong-
katnya, dua kali pula ulu hati Maling Tanpa
Bayangan terkena sodokan. Telak sekali. Akibat-
nya tubuh Maling Tanpa Bayangan terjajar bebe-
rapa langkah ke belakang.
Tentu saja Maling Tanpa Bayangan mengge-
ram penuh kemarahan. Ulu hatinya yang terkena
sodokan tongkat terasa nyeri bukan main. Gera-

hamnya bergemeletuk penuh kemarahan. Cukup
sudah bermain-main dengan Raja Penyihir. Ia tak
ingin membuang-buang waktu lagi, dan harus da-
pat membunuh Raja Penyihir secepat mungkin.
Baru kemudian, menghabisi Siluman Ular Putih.
"Hebat! Harus kuakui kau memang hebat,
Pengemis. Tapi jangan bangga dulu. Sedikit pun
aku belum merasa kalah. Sekarang, saatnyalah
menerima kematian!" 
Maling Tanpa Bayangan menelungkupkan
kedua telapak tangan ke depan dada. Dan ketika
kedua telapak tangannya telah berubah jadi hitam
legam, diputar-putarnya sebentar. Lalu diiringi te-
riakan keras, segera dihantamkannya ke depan.
Sret! Srettt!
Seketika meluruk dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangan Maling Tanpa
Bayangan ke arah Raja Penyihir. Tentu saja Raja
Penyihir tak ingin jadi sasaran empuk. Maka sege-
ra dikerahkannya pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan', dan saat itu pula kedua tangannya meng-
hentak.     
"Heaaa...!"
Blaaammm! 
Hebat bukan main dahsyatnya bentrokan
dua tenaga dalam barusan. Tanah di sekitar tem-
pat pertarungan kontan bergetar hebat. Angin
kencang berkesiuran memporak-porandakan apa
saja yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon tum-
bang! Sebagian lainnya hangus terbakar!
Maling Tanpa Bayangan tidak  mengira ka-
lau Raja Penyihir mampu memapaki pukulan

'Darah Para Durjana' miliknya. Tampak tokoh sak-
ti dari Gunung Tidar itu hanya sempat terjajar be-
berapa langkah ke belakang. Itu jelas menandakan
kalau tenaga dalam Raja Penyihir tak jauh berbeda
dengannya.
Meski demikian, Maling Tanpa Bayangan
masih sedikit lebih untung. Akibat bentrokan tadi,
tubuhnya hanya sempat terguncang sebentar, dan
sama sekali tidak membahayakan nyawanya. 
"Heaaat...!" 
Saat melihat tubuh Raja Penyihir terjajar ke
belakang, Maling Tanpa Bayangan kembali melon-
tarkan pukulan 'Darah Para Durjana' miliknya.
Wesss...! Wesss!
Dua larik sinar hitam legam yang amat
mengerikan kembali meluruk dari kedua telapak
tangan Maling Tanpa Bayangan. 
Raja Penyihir rupanya tak ingin mengadu
tenaga dalam lewat ajian. Menilik kekuatan gaib
yang membantu Maling Tanpa Bayangan jauh di
atas kemampuannya. Raja Penyihir tak ingin me-
rugi. Ia harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Rupanya benar juga ucapan bocah tolol itu
tadi. Maling tua ini ternyata memiliki  kekuatan
gaib luar biasa. Hm...! Baiknya aku harus segera
mengatasinya dengan Tali Gaib-ku...." gumam Raja
Penyihir
Meski telah menemukan bagaimana cara
mengatasi Maling Tanpa Bayangan, bukan berarti
Raja Penyihir harus menerima serangan begitu sa-
ja. 
"Hup!"

Dan saat satu tombak lagi dua larik sinar
hitam legam dari kedua telapak tangan Maling
Tanpa Bayangan mengancam. Raja Penyihir segera
membuang tubuhnya ke samping. Sehingga, se-
rangan lawan hanya mengenai angin kosong! Pada
saat inilah tiba-tiba Raja Penyihir mengarahkan
kedua telapak tangannya yang tahu-tahu telah ke-
luar sebuah tali hitam menyerang Maling Tanpa
Bayangan.
Werrr! Weeerrr!          
"Heh...?!"
Maling Tanpa Bayangan terkesiap kaget.
Dan belum sempat bertindak lebih jauh, tahu-tahu
Tali Gaib  milik Raja Penyihir telah melibat leher-
nya. Lelaki sesat ini gusar bukan main. Berkali-
kali dicobanya memutuskan tali hitam itu. Namun
anehnya, setiap tangannya menebas selalu saja
seperti menebas angin kosong. Malah libatan tali
hitam itu makin erat menjerat lehernya.
Tak dapat dibayangkan betapa gusarnya
Maling Tanpa Bayangan saat ini. Padahal uap hi-
tam dari balik jubahnya telah pula membantunya.
Namun, tetap tak berhasil melepaskan Tali  Gaib
milik Raja Penyihir. Paling-paling  hanya menghi-
langkan rasa sakit saja. Sedang untuk mele-
paskannya tidak dapat sama sekali.
"He he he...! Ayo, lekas keluarkan semua
kekuatan gaibmu! Kau tadi selalu menggembar-
gemborkan tak dapat dibunuh. Sekarang, aku jadi
ingin membuktikannya!" ejek Raja Penyihir.
Habis mengejek, Raja Penyihir segera me-
nyentakkan Tali Gaib-nya ke atas. Akibatnya tu-

buh Maling Tanpa Bayangan terbawa ke atas. Be-
gitu di atas, Raja Penyihir membantingnya keras-
keras ke batu cadas.
Prakkk! 
Keras sekali tubuh kurus Maling Tanpa
Bayangan menghantam batu cadas. Namun aneh-
nya, tubuh itu tidak cedera sedikit pun! Malah ba-
tu cadas itu yang hancur berantakan. Mau tidak
mau. Raja Penyihir jadi terperangah juga. Padahal
tadi, tenaga dalamnya telah dikerahkan dengan
kekuatan penuh!
Aneh memang. Namun, itulah kenyataan-
nya. Tubuh Maling Tanpa Bayangan tidak dapat
mati walau telah disakiti berulang kali. Hal ini
membuat Raja Penyihir penasaran sekali. Kendati
begitu tubuh Maling Tanpa Bayangan terus di-
banting-bantingkan ke batu-batu cadas. Hasilnya
tetap saja sama. Tubuh itu sedikit pun tidak cede-
ra! Malah batu-batu cadas itulah yang hancur be-
rantakan.
"Edan! Kenapa maling satu ini tak bisa ma-
ti!" dengus Raja Penyihir sarat keheranan.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau membunuh-
ku. Raja Penyihir! Aku tidak bisa dibunuh!" kata
Maling Tanpa Bayangan tertawa, bangga dan me-
nyakitkan hati Raja Penyihir.
"Diceburkan ke dalam telaga saja, Orang
Tua!" teriak Siluman Ular Putih tiba-tiba. "Aku ta-
hu, dia tak bisa berenang. Kalau sudah dicebur-
kan, lepaskan saja. Dengan demikian kau tidak
membunuhnya. Biar saja ia mati dengan sendi-
rinya!"

Kening Raja Penyihir berkerut sebentar. La-
lu kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju.
Dalam hati lelaki tua jago sihir ini kagum juga
dengan kecerdikan Siluman Ular Putih. Ya! Kenapa
baru terpikir sekarang? Bila Maling Tanpa Bayan-
gan mengatakan tidak bisa mati dibunuh, tentu
maksudnya dibunuh dengan pukulan atau senja-
ta. Dan bagaimana bila ditenggelamkan?        
Mendengar teriakan Siluman Ular Putih ta-
di, entah kenapa paras Maling Tanpa Bayangan
jadi pucat pasi. Seolah bayangan maut bermain di
pelupuk matanya. Dan di saat tengah kebingungan
ini, tiba-tiba Raja Penyihir menyentakkan Tali Gaib
yang menjerat leher Maling Tanpa Bayangan ke te-
laga. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Mal-
ing Tanpa Bayangan ke permukaan air Raja Penyi-
hir pun ikut menceburkan diri ke dalam telaga
yang dikenal sangat dalam. 
Byurrr! Byurrr...!
Maling Tanpa Bayangan kini tak dapat
mengendalikan diri lagi. Begitu tubuhnya tengge-
lam, kekuatan gaib yang selalu membantunya se-
perti tak berguna lagi. Begitu Tali Gaib dilepaskan,
lelaki ini berusaha mencari-cari pegangan di dasar
telaga. Namun tindakannya tak menghasilkan apa-
apa.
Sementara itu Raja Penyihir hanya menyak-
sikan tubuh Maling Tanpa Bayangan di dalam air
yang terus megap-megap. Begitu banyak air yang
tertelan! Menyebabkan tubuhnya kandas di dalam
telaga. Tiba-tiba dari dalam tubuhnya bergolak.
Dan....

Blarrr...!
Mendadak, perut Maling Tanpa Bayangan
meledak! Isinya langsung tumpah ke dasar telaga
disertai asap hitam pekat. Dari ledakan itu tercipta
gejolak luar biasa hingga ke permukaan telaga.
"Hm... ilmu setan apa lagi yang akan dike-
luarkan dedengkot maling itu?" gerutu Siluman
Ular Putih dari tepian telaga.
Setelah menunggu beberapa saat, gejolak
air di permukaan telaga itu pun mereda. Samar-
samar Siluman Ular Putih melihat sosok tubuh
Maling Tanpa Bayangan telah mengambang di
permukaan air dengan perut pecah tanpa gerak
sama sekali.
"Huahhh...! Mampus sudah bajingan tua
satu itu! Sekarang kita tak perlu khawatir lagi,"
kata Raja  Penyihir tahu-tahu telah nyembul di
permukaan telaga,
"Eh...! Kau sudah nongol? Bagaimana saran
ku tadi, Orang Tua?" tanya Siluman Ular Putih be-
gitu melihat Raja Penyihir.
"Ya! Saranmu hebat juga. Rupanya kekua-
tan gaib yang selama ini membantunya punah be-
gitu tubuhnya tenggelam. Apalagi, dia tidak bisa
berenang. Hm.... Ternyata dia termakan oleh uca-
pannya sendiri...."
Memang, kematian Maling Tanpa Bayangan
bukan karena secara langsung dibunuh oleh Raja
Penyihir. Kematiannya terjadi begitu saja saat tu-
buhnya tenggelam! Raja Penyihir hanya sebagai
perantara saja.
"Tapi ngomong-ngomong, mengapa kau be-

lum memanggilku guru juga? Apa kau minta diha-
jar, he?" lanjut Raja Penyihir, tiba-tiba.
Siluman Ular Putih tersenyum masygul.
"Perjanjian. Dalam perjanjian, kau telah
mengatakan tak apa-apa. Jadi buat apa aku me-
manggilmu guru?" sahut Soma, kalem. 
"Kau.... Kau...," Raja Penyihir tak mene-
ruskan ucapannya saking jengkelnya.      
"Sudahlah! Masalah sepele seperti itu tak
perlu diperpanjang."
"Eh...! Tidak bisa! Sebagai gantinya, kau ha-
rus ikut aku!" tukas Raja Penyihir
"Ke mana?" tanya Soma.
"Ke mana saja aku suka."
"Tapi..., nenek baju merah itu...?"
"Sudahlah.... Jangan mencemaskan nenek-
nenek peot itu! Tadi aku sudah memberinya obat
pemunah racun."
"Ooo…!" 

SELESAI


Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com