Siluman Ular Putih 16 - Pasukan Kumbang Neraka(2)


6

Malam ini angkasa berselimut cahaya pur-
nama putih keperakan. Terasa nyaman sekali un-
tuk dinikmati. Kerlip berjuta bintang seolah ber-
lomba saling membanggakan sinar yang berwarna
putih keperakan. 
Dalam keindahan malam itu tampak dua
sosok bayangan berkelebat ke utara.  Tujuannya
jelas, puncak Gunung Merapi. Namun belum be-
gitu jauh mereka tiba di lereng, tiba-tiba salah sa-
tu bayangan itu menghentikan langkah. Terpak-
sa, sosok di sebelahnya ikut-ikutan menghentikan
langkah, seraya memandangi sosok di samping
tak mengerti.
Dari terangnya sinar bulan, terlihat kalau
sosok yang memandang tak mengerti itu memiliki
wajah aneh. Parasnya saja mirip bayi. Padahal, ia
adalah seorang kakek tua. Buktinya rambut, bulu

mata, dan alisnya sudah berwarna putih. Kulit
tubuhnya juga putih bersih namun penuh keru-
tan, terbalut pakaian bayi. Perawakannya bagai
bocah berusia lima tahun.
Sementara sosok yang satu lagi mengena-
kan jubah kuning kedodoran sampai lutut. Kepa-
lanya plontos, serta memiliki sepasang mata kecil
yang selalu bersinar jenaka. Tubuhnya tinggi ku-
rus. Wajahnya kasar penuh keriput. 
"Katanya mau ke tempatku, ke puncak
Gunung Merapi? Kok malah berhenti?" tanya ka-
kek bermuka bayi, tak dapat menyembunyikan
rasa kesalnya.
"Hm...! Anu...! Sepertinya aku berubah pi-
kiran,  Bayi Kawak...," sahut kakek berkepala
plontos. Nada bicaranya terdengar ragu-ragu.
"Apa? Berubah pikiran? Berubah pikiran
bagaimana, Pelukis Sinting Tanpa Tanding?" tu-
kas kakek berwajah bayi yang tak lain Bayi Ka-
wak. Nada suaranya terdengar jengkel.
"Ya berubah pikiran," sahut lelaki tua ber-
jubah kuning yang memang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding,
"Maksudmu...?"
"Aku tak ingin ke puncak Gunung Merapi
sekarang."
"Kau... kau.... Ah...!" Bayi Kawak memban-
tingkan kakinya. Kesal. "Kau ini bicara plintat-
plintut amat, sih?! Katanya mau ke tempatku, se-
karang malah mem...."
"Aku ingin mencari Pengasuh Setan," po-
tong Pelukis Sinting Tanpa Tanding, cepat.

"Apa?" lagi-lagi bola mata Bayi Kawak
membeliak lebar, seolah tak percaya mendengar
ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kukira telingamu belum tuli, kan? Aku in-
gin mencari Pengasuh Setan. Paham?"
"Iya. Tapi... tapi...! Bukankah tempo hari
kau dapat dikalahkannya dengan mudah? Kenapa
sekarang kau malah mencari mati?"  
"Aku tidak mencari mati. Aku akan mem-
bunuh manusia iblis itu, tahu?!" sentak Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, sengit.
"Tahu! Tapi itu sama saja dengan bunuh
diri!"
"Biar. Lebih baik mati di tangan manusia
iblis itu daripada hidup menanggung malu."
"Eh...! Ngomong apa sebenarnya kau ini?
Tadi katanya ingin mencari Pengasuh  Setan, se-
karang malu-malu? Kau ini bagaimana, sih? Apa
otak tuamu itu perlu dicuci?"
"Justru otakmulah yang perlu dicuci! Ba-
gaimana aku tidak malu kalau orang yang telah
mencelakakan muridku masih gentayangan di
dunia persilatan?!" sergah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding, kesal bukan main. (Untuk mengetahui
bagaimana Pelukis Sinting Tanpa Tanding dika-
lahkan Pengasuh Setan dan bagaimana muridnya
bisa dipengaruhi Pengasuh Setan, silakan ikuti
"Persekutuan Maut"" dan "Pengasuh Setan").
Dibentak seperti itu, Bayi Kawak bukannya
sadar. Malah hatinya jadi tambah sewot. Bagai-
manapun juga ia kecewa, karena temannya mem-
batalkan niatnya berkunjung ke puncak Gunung

Merapi. Juga, kecewa karena menganggap te-
mannya tak tahu diri.
"Dasar orang sinting, tetap saja sinting.
Untung saja aku tidak ketularan sinting," gerutu
Bayi Kawak, tak mau mengakui kekalahannya.
"Eh...! Dengar, Orang Sinting! Bagaimana mung-
kin kau membunuh Pengasuh Setan, kalau tempo
hari saja kau dapat dikalahkan? Jangan mimpi,
Orang Sinting! Kau tak mungkin  dapat menga-
lahkan Pengasuh Setan."
"Kali ini aku yakin sekali dapat mengalah-
kannya. Asal, kau mau membantuku," tegas Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding. 
"Yah...! Buntut-buntutnya juga minta to-
long. Baiklah kalau begitu. Tapi, bagaimana ca-
ranya? Apakah kau sudah punya akal?" meski
bersungut, toh akhirnya Bayi Kawak meluluskan
juga permintaan temannya.
"Belum. Justru aku sedang mencari-cari
kelemahannya. Tapi, kau mau kan membantu-
ku?" bujuk Pelukis Sinting Tanpa Tanding.    
Sebenarnya Bayi Kawak ingin sekali men-
cemooh. Tapi baru saja akan membuka mulut,
mendadak.... 
"Eh..., Manusia! Aku mau tanya. Apa ka-
lian melihat seseorang lewat sini? Cepat beri tahu
kami!"
Terdengar teriakan mengejutkan yang ke-
mudian disusul berkelebatnya dua sosok bayan-
gan ke tempat itu.

***


Tambah dongkol saja hati Bayi Kawak
mendengar teriakan barusan. Kilatan sepasang
matanya kontan dialihkan ke arah datangnya su-
ara. Kini dua sosok kakek telah berdiri di hada-
pannya. Yang satu bertubuh jangkung, yang lain-
nya bertubuh bogel.
"Huh..., kalian! Lamdaur dan Dewa Bogel.
Mau apa kalian mengusik kami, he?!" bentak Bayi
Kawak, tak senang.
"Lho? Ditanya kok malah membentak?" se-
ru kakek jangkung yang memang Lamdaur, he-
ran. Sementara lelaki tua di sebelahnya yang tak
lain Dewa Bogel masih tenang-tenang saja.
"Bagaimana tidak membentak kalau kalian
tidak tahu adat? Bicara baik-baik, dong," sahut
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, ikut-ikutan.
"Maaf! Cuaca cukup gelap. Jadi maklumlah
kalau kami tak mengenali kalian," ucap Lamdaur,
terima salah.
"Sudah dibentak baru terima salah. Manu-
sia macam apa kalian, he?!" bentak Bayi Kawak,
belum puas.
"Bayi Kawak! Kami sudah berlaku baik.
Kenapa kau masih membentak? Sekarang kata-
kan saja! Apa kalian melihat Maling Tanpa
Bayangan lewat kemari atau tidak?!" kata Dewa
Bogel tak sabar. Kali ini tak kuasa menahan ke-
tersinggungannya.
"Tidak tahu. Dari tadi kami tidak melihat
apa-apa. Hanya kalian berdua sajalah yang
mengganggu kami," sahut Pelukis Sinting Tanpa

Tanding, mendahului Bayi Kawak.
"Sudah dengar? Kami tidak melihat Maling
Tanpa Bayangan lewat kemari. Jadi, buat apa ka-
lian berlama-lama di tempat ini?" timpal Bayi Ka-
wak.
"Bayi Kawak! Tak kau suruh pun kami
akan pergi dari sini. Tapi melihat sikapmu, mau
tidak mau kami jadi muak. Apa kau pikir tempat
ini milik nenek moyangmu hingga berani mengu-
sir kami?" sahut Dewa Bogel, tak suka diusir ka-
sar begitu.
"Jadi mau kalian apa?" tantang Bayi Kawak
Dewa Bogel menggeretakkan gerahamnya
kesal. Jelas Sekali kalau hatinya sangat tersing-
gung atas tantangan Bayi Kawak. Apalagi watak-
nya memang berangasan. 
"Ha ha ha...! Kenapa jadi tegang begini?
Sudahlah! Buat apa kita bersitegang? Toh, kita
masih sama-sama satu golongan," lerai Pelukis
Sinting Tanpa Tanding.
"Tidak! Manusia bogel ini harus diberi pela-
jaran biar tahu adat," sambar Bayi Kawak.
"Boleh," sahut Dewa Bogel, tak mau kalah.
Dewa Bogel melangkah selangkah ke bela-
kang. Kuda-kuda telah dipasang. Siap menunggu
apa yang akan terjadi.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding dan Lam-
daur sengaja membiarkan. Percuma saja mereka
melerai. Yang  satu berwatak berangasan, yang
lainnya suka ngambek. Suasana memanas. Per-
tengkaran Dewa Bogel clan Bayi Kawak pun se-
pertinya tak dapat dihindari lagi.

7

Senyum kecut tak putus-putusnya meng-
hiasi bibir Siluman Ular Putih. Berkali-kali dico-
banya melepaskan  totokan Putri Manja, namun
belum berhasil juga. Rupanya totokan gadis man-
ja murid Bayi Kawak itu cukup alot juga. Buk-
tinya, Soma sampai kewalahan. Meski demikian,
bukan berarti harus putus asa. Ia telah berusaha
melepaskan pengaruh totokan Putri Manja di tu-
buhnya, hingga akhirnya....
Senyum kecut Soma berganti seringai lucu.
Perlahan-lahan anggota tubuhnya digerakkan.
Lega sekali hati pemuda ini. Tanpa banyak mem-
buang waktu tubuhnya segera bangkit, lalu ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Malam pekat tak membuat kelebatan Soma
terhenti. Cahaya bulan purnama di angkasa tak
mampu menembus kerapatan pohon di Hutan Ka-
lierang. Soma terus berkelebat di antara kerapa-
tan pohon sambil tak henti-hentinya menggerutu.
Entah kenapa kali ini Siluman Ular Putih
ingin sekali mencari Dewa Bogel dan Lamdaur.
Hatinya kesal harus dilampiaskan. Padahal cuma
karena perkara sepele.
"Awas kau, Dewa Bogel! Kalau ketemu nan-
ti, pasti akan kubalas tamparanmu. Juga kau,
Kakek Jangkung! Aku juga akan membalasmu!"
umpat Soma tak putus-putus.
Pemuda ini yakin, Dewa Bogel dan Lam-
daur belum begitu jauh meninggalkan dirinya.

Untuk itu segera kecepatan larinya ditambah.
Dan di luar Hutan Kalierang Soma menghentikan
larinya. Pandangannya segera beredar ke sekelil-
ing. Cahaya bulan purnama tampak bersinar te-
rang. Langit cerah. Berjuta bintang seolah saling
membanggakan sinarnya yang putih keperakan.
Tepat di dataran rumput Soma berdiri. Su-
asana cerah membuat murid Eyang Begawan
Kamasetyo menikmatinya barang sejenak. Walau
hatinya rusuh, coba ditenteramkannya dengan te-
rus memperhatikan keindahan malam purnama.
Bulan bulat penuh di angkasa seolah menyapa
ramah, penuh persahabatan. Cukup menyejuk-
kan hati.
Tanpa sadar, rasa jengkelnya terhadap De-
wa Bogel dan Lamdaur hilang begitu saja. Bahkan
kini berganti senyum manis tersungging di bibir.
Aneh memang. Tapi, itulah kenyataan yang sulit
dimengerti.
Dan karena saking asyiknya Soma mem-
perhatikan bulan di angkasa, pikirannya malah
jadi ngelayap tak karuan. Tiba-tiba rasa sepi
mendera hatinya. Perasaan  ingin bercanda dan
disayang begitu kuat mempengaruhi hatinya. Ka-
lau sudah begini. Soma jadi tidak tahan. Satu
persatu kembali dibayangkannya perjumpaan
manis dengan beberapa orang gadis cantik yang
diyakini juga menyayangi sekaligus mencintainya.
Pertama-tama yang terlintas dalam benak-
nya adalah Angkin Pembawa Maut. Lalu disusul
beberapa orang gadis cantik lain seperti Ningtyas,
Putri Sekartaji, Salindri, Ratih, Ken Umi, Ken Sa-

ri, dan yang terakhir adalah Mawangi atau yang
lebih terkenal sebagai Putri Manja.
Diam-diam Soma jadi tersenyum geli bila
membayangkan sikap dan pembawaan gadis
manja satu, ini. Manja, tapi amat menggemaskan.
Sikapnya pun sulit ditebak. Terkadang seperti
mencintainya, terkadang membenci dirinya. Sulit
ditebak secara pasti.
Dalam hati. Soma menyesal telah begitu
keterlaluan mempermainkan gadis manja itu.
"Ah...! Aku harus segera mencarinya. Aku
ingin sekali bersahabat dengannya. Tapi..., tapi
apakah ia mau memaafkanku?" gumam hati mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo ragu. Inilah yang
merepotkanku. Tapi aku tidak akan menyerah.
Kalau perlu, aku akan merayunya habis-habisan!
Entah kenapa menyeringai, membuat wa-
jahnya jadi tampak jelek sekali. Apalagi pakai di-
tambah dengan garuk-garuk kepala. Makin jelek
saja pendekar satu itu!
Di saat Soma tengah sibuk memikirkan Pu-
tri Manja, mendadak pendengarannya yang tajam
menangkap suara-suara aneh yang ditingkahi je-
rit-jerit kesakitan. Lalu, disusul pula suara tawa
yang bergelak. Siluman Ular Putih yakin, tak jauh
dari tempat itu pasti tengah terjadi pertarungan.
Apa pun yang akan terjadi, sebagai seorang pen-
dekar. Soma tak dapat menahan gejolak hatinya.
Ia harus cepat melihat, apa yang tengah terjadi.
Siapa tahu ada yang membutuhkan pertolongan.
Hanya dalam sekali hentakan kaki ke ta-
nah, tahu-tahu sosok Siluman Ular Putih telah

berkelebat cepat. Selang beberapa saat bayangan
sosok tubuhnya telah menghilang di balik kegela-
pan malam.

***

Soma mengendap-endap mendekati tempat
pertarungan. Gerakannya cukup hati-hati, nyaris
tak menimbulkan bunyi. Namun begitu  melihat
siapa yang tengah bertarung, keningnya jadi ber-
kerut.
"Ah...! Itu dia Dewa Bogel. Tapi kenapa ber-
tarung dengan Bayi Kawak? Lalu Pelukis Sinting
Tanpa Tanding dan Lamdaur malah asyik menter-
tawakan. Ada apa ini?" tanya Soma pada diri sen-
diri.
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mela-
brak Dewa Bogel yang telah memberi tamparan
dua kali di pipinya. Tapi dendamnya itu diusirnya
jauh-jauh begitu ingat kalau dirinyalah yang se-
benarnya memulai dengan memancing kemara-
han Dewa Bogel.
Dan dari tindakan Dewa Bogel serta Lam-
daur terhadapnya. Soma yakin kalau mereka ada-
lah dari golongan putih. Buktinya, tamparan De-
wa Bogel tak disertai tenaga dalam tinggi. Apalagi
waktu itu Soma dalam keadaan tertotok. Dan ka-
lau mau, bisa saja Dewa Bogel membunuhnya se-
perti membalikkan telapak tangan saja. Tapi itu
tidak dilakukan. Karena Soma tahu hanya tokoh-
tokoh telengas saja yang mau bertindak keji. De-
mikian pula Lamdaur. Lelaki jangkung itu malah

mengajak Dewa Bogel pergi, tanpa memperpan-
jang urusan.
Berpikiran begitu, Siluman Ular Putih ber-
niat melerai pertarungan antara Dewa Bogel den-
gan Bayi Kawak. Maka dengan sekali loncat, tu-
buhnya tahu-tahu telah berdiri di antara Dewa
Bogel dan Bayi Kawak.
"Eh...! Hentikan pertarungan! Mengapa ka-
lian bertarung?" bentak Soma.
Bayi Kawak dan Dewa Bogel sama-sama
kaget dan menyurutkan langkah ke belakang. Ma-
ta mereka masih garang. Namun anehnya, ber-
pengaruh juga teriakan murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu. Buktinya Bayi Kawak dan Dewa
Bogel tak lagi saling serang.
"Kenapa kau lerai mereka, Bocah Tengik?
Bukankah itu merupakan tontonan menarik?" se-
la Lamdaur.
"Ah..., iya! Kau mengganggu kesenangan
kami saja! Biarkan saja mereka bertarung. Kita
yang nonton. Kan enak?" tambah Pelukis Sinting
Tanpa Tanding.
Soma tak begitu menanggapi ocehan kedua
orang kakek renta itu. Matanya tajam menatap
Bayi Kawak, lalu beralih ke arah Dewa Bogel.
Tingkah lakunya sengaja dibuat-buat galak. Tak
seperti biasanya.
"Pepesan kosong macam apa yang kalian
ributkan?" tanya Soma seraya berkacak pinggang.  
"Dia.... Dia yang mulai dulu, Bocah. Dialah
yang pertama kali membentak. Aku tersinggung.
Aku tak menyukai caranya," lapor Bayi Kawak,

persis anak kecil yang menginginkan mainan ba-
ru. Mulutnya mewek, seolah mau menangis.
"Bohong! Justru bayi bangkotan  itulah
yang mendahului. Kami tanya baik-baik, eh dia
malah berteriak balas membentak. Sudah pasti
aku jadi marah!" kilah Dewa Bogel, sengit.
Soma celingukan. Tak tahu mana yang be-
nar.
"Kakek ompong! Ini yang benar mana?"
tanya Soma, menatap Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Mana aku tahu? Dari tadi kami hanya
nonton. Tanyakan saja sendiri!" sahut Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, malas-malasan. 
"Ah...!" Mau tak mau Soma jadi garuk-
garuk kepala. Percuma saja bicara pada kakek
sinting itu. "Masa' kalian bertengkar tak ada se-
bab musababnya? Mustahil!"
"Ada, Tapi bukan aku yang mendahului,
Bocah. Dewa Bogel itulah yang mendahului!" tud-
ing Bayi Kawak.
"Sudah!" Soma mengibaskan tangan. "Apa
kau tak dapat memberi keterangan, Kakek Jang-
kung?" tanya Soma pada Lamdaur.
"Lebih lagi aku. Mana aku tahu?" Lamdaur
mengangkat bahu. Lagaknya santai sekali.
"Edan! Percuma saja aku ngomong dengan
orang-orang sinting. Tak ada gunanya. Sekarang
aku tanya, mau tidak kalian menghentikan per-
tengkaran ini?"
"Mau!" jawab Bayi Kawak dan Dewa Bogel
serempak. 

"Aku juga mau." 
"Aku juga mau!"
"Aku tidak tanya kalian, tahu!" damprat
Soma terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dan Lamdaur.
"Kalau tidak, ya sudah," sungut Pelukis
Sinting Tanpa Tanding.
"Dengar! Kalian semua dengar! Buka telin-
ga lebar-lebar! Aku tidak ingin melihat lagi kalian
bertengkar. Titik."
"Aku juga," sahut mereka berempat lebih
kompak. 
Justru yang kini mendongkol Soma. Ba-
gaimana mungkin mereka kini tampak kompak?
Ah...! Dasar orang-orang sinting. Percuma saja
meladeni mereka.
"Ya, sudah! Kalau kulihat kalian masih ber-
tengkar, aku pasti akan datang menggebuk ka-
lian. Paham?"
"Paham, Bocah...."
Soma mendengus. 
"Kalau sudah paham, ya... sudah. Aku mau
pergi," sahut Soma singkat.
Habis berkata begitu, Siluman Ular Putih
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Dan sebentar saja tubuhnya telah menghilang di
balik kegelapan malam. Mungkin untuk mene-
ruskan niatnya mencari Putri Manja.
Dewa Bogel dan Bayi Kawak sendiri pun
rupanya sudah tak bernafsu meneruskan per-
tengkaran.
Mereka kini malah tampak akrab ngobrol

ngalor-ngidul tak ketahuan juntrungannya.
Sementara Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dan Lamdaur jadi melongo.
"Sekarang kau mau ke mana, Gel? Kalau
aku sih ingin mencari muridku," kata Bayi Ka-
wak. "Tapi..., ah! Bodohnya aku! Kenapa aku lupa
menanyakannya pada bocah edan tadi. Bukankah
Putri Manja ikut bersamanya! Kenapa sekarang
tak kelihatan?"   
"Ah, dari dulu kau memang bodoh. Sudah-
lah, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku dan Ka-
kang Lamdaur akan terus mencari Kakang Maling
Tanpa Bayangan sampai dapat."
"Kalian ini ngomong apa lagi, he? Tadi ber-
tengkar. Sekarang baik-baikan. Sudah! Cepat kau
ikut aku, Bayi Kawak!" terabas Pelukis Sinting
Tanpa Tanding.
"Ke mana?" tanya Bayi Kawak.
"Ke mana-ke mana?! Ya ikut aku. Mencari
Pengasuh Setan. Ayo pergi!"
"Ba..., baik. Aku pergi dulu. Gel," pamit
Bayi Kawak, merasa risau akan nasib muridnya.
"Sampai ketemu!" sahut Dewa Bogel.
"Kau juga harus ikut aku. Gel! Urusan kita
masih belum selesai. Ayo, cepat tinggalkan tempat
ini!" ajak Lamdaur.
"Baik, Kang."
Dewa Bogel menurut. Segera diikutinya
langkah Lamdaur. Kini dalam sekejap saja sosok-
sosok mereka telah menghilang di balik kegelapan
malam.
Dewa Bogel dan Lamdaur terus mene-

ruskan perjalanan ke barat, sedang Bayi Kawak
dan Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus melang-
kah ke selatan.

8

Puncak Gunung Sindoro tersaput awan.
Kerlip berjuta bintang  di angkasa seolah malas
membanggakan warna keperakannya. Malam ini
tak tampak kegairahan. Malam terbalut duka.
Dari lereng sebelah barat, sesosok bayan-
gan hitam terus berkelebat cepat menuju puncak.
Gerakannya ringan sekali. Terkadang sosok
bayangan itu menghilang di balik kerapatan po-
hon, terkadang muncul kembali.
Srakkk!   
Kejap selanjutnya, sosok bayangan  hitam
itu telah berdiri angkuh di puncak Gunung Sin-
doro. Tepatnya, tak jauh dari bongkahan batu be-
sar di tengah-tengah Segoro Pasir. Jubah hitam-
nya yang bersambung dengan penutup kepala
berkibaran ditiup angin.
Sepasang mata sosok ini terus memperha-
tikan seputar tempat itu seksama. Memang tak
ada gerakan berarti. Hanya kilatan-kilatan sepa-
sang matanya saja yang bergerak-gerak ke kanan
kiri.
Tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Sosok bayangan hitam yang tak lain Maling
Tanpa Bayangan itu tidak putus asa. Ia yakin se-
kali kalau Kitab Paguyuban Setan yang banyak

diributkan orang itu tersimpan di puncak Gunung
Sindoro. Ingin sekali kitab itu didapatkan. Den-
damnya terhadap Siluman Ular Putih yang berka-
rat tak mungkin dibiarkan begitu saja. Itu sebab-
nya lewat bantuan kitab itu, Maling Tanpa
Bayangan ingin menuntut balas. Karena hanya
kitab itu sajalah yang diyakini dapat mengalah-
kan Siluman Ular Putih dan juga tokoh-tokoh
sakti lainnya.
Kini sosok Maling Tanpa Bayangan mulai
bergerak. Sementara matanya yang mencorong
kembali menyapu seputar puncak Gunung Sindo-
ro penuh perhatian. Ditelitinya seputar tempat itu
seksama. Satu persatu tempat yang dianggap
mencurigakan didatangi.
 Tetap tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Maling Tanpa Bayangan terus melangkah.
Perlahan-lahan menuju kawah di puncak gunung.
Kepalanya sesekali menoleh ke kanan kiri kalau-
kalau kedatangannya telah diketahui orang. Ha-
tinya agak lega, karena ternyata tempat itu sepi-
sepi saja. Tak seorang pun yang melihat kedatan-
gannya.
"Tapi bagaimana dengan makhluk-
makhluk halus penghuni puncak gunung ini?"
tanya hatinya  tiba-tiba sambil menghentikan
langkahnya. "Konon mereka pun turut menjaga
Kitab Paguyuban Setan? Apakah mereka tidak
melihat kedatanganku? Mustahil!" Kembali Maling
Tanpa Bayangan menebar pandangan ke sekitar-
nya. 
"Aku harus hati-hati. Aku yakin, makhluk-

makhluk halus penghuni puncak gunung ini telah
mengetahui kedatanganku. Hanya yang kuheran-
kan, kenapa mereka belum juga bertindak. Juga,
ke mana perginya Pengasuh Setan yang men-
gangkangi kitab itu?" lanjut Maling Tanpa Bayan-
gan dalam hati.
Maling Tanpa Bayangan terus melangkah
menuju kawah. Amat perlahan, namun pasti. Ke-
palanya berpaling ke kanan kiri sambil terus me-
langkah.
"Kuuuk! Kuuukkk...!" 
Mendadak terdengar suara burung hantu.
Seketika Maling Tanpa Bayangan mendongak.
Tampak seekor burung hantu sebesar kambing
terbang berputar-putar di angkasa. Tepat di atas
Maling Tanpa Bayangan.
Maling Tanpa Bayangan gelisah bukan
main. Ia yakin kedatangannya telah diketahui…

***

Maling Tanpa Bayangan terbelalak lebar
dengan wajah berkerut bukan main. Tatapannya
seolah tak percaya pada sumber suara di angkasa
yang ternyata suara burung hantu raksasa sebe-
sar kambing. Burung peliharaan Pengasuh Setan
itu tengah terbang berputar-putar, mengawasi
Maling Tanpa Bayangan.
"Kuk! Kuuukkk!"
Suara-suara burung hantu raksasa itu
makin lama makin memekakkan telinga, mem-
buat Maling Tanpa Bayangan jadi terheran-heran.

Sulit dimengerti. Bagaimana mungkin seekor bu-
rung mampu bersuara demikian keras. Bahkan
mampu menggetar-getarkan tubuhnya.
"Enyahlah kau, Burung Keparat! Aku tak
sudi mendengar ocehanmu!" bentak Maling Tanpa
Bayangan, seraya melontarkan pukulan maut ke
arah burung hantu raksasa.
Tak diduga-duga, burung hantu raksasa
bernama Meruya itu mengepakkan sayapnya. Se-
ketika melesat pula serangkum angin dingin dari
kebutan sayapnya, memapak pukulan Maling
Tanpa Bayangan.
Dukkk!
Maling Tanpa Bayangan tak habis pikir.
Bukan saja heran melihat burung hantu raksasa
itu mampu memapak serangannya, tapi juga he-
ran mengapa tubuhnya sendiri sampai bergetar
hebat.
"Keparat! Rupanya  kau memiliki kepan-
daian juga, ya?! Baik! Akan kulihat sampai di
mana kehebatanmu!" dengus Maling Tanpa
Bayangan penuh kemarahan.
Seketika, Maling Tanpa Bayangan segera
mencabut keluar senjata andalannya, cemeti be-
rekor sembilan. Di setiap ekornya, terselip sebilah
pisau kecil berkilauan tertimpa sinar bulan. Na-
mun belum sempat cemeti di tangan kanannya
digerakkan mendadak....
"Keak! Keaaakkk!"
Maling Tanpa Bayangan terperangah kaget
mendengar suara dari sampingnya. Begitu meno-
leh tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar

hampir mencapai dua tombak lebih telah berada
di tempat itu. Ototnya bertonjolan di sana sini
dengan pakaian dari kulit ular sanca. Sementara
kedua kakinya begitu besar.
Melihat ciri-ciri itu, Maling Tanpa Bayan-
gan dapat mengenali lelaki berparas dingin me-
nyeramkan itu. Dia tak lain dari Telapak Gajah,
seorang tokoh sakti dari Hutan Krajan yang kini
menjadi salah satu anggota Pasukan Kumbang
Neraka yang ditugasi menjaga Kitab Paguyuban
Setan.
"Te... Telapak Gajah..,!" sebut Maling Tanpa
Bayangan penuh keterkejutan.
Sulit sekali rasanya Maling Tanpa Bayan-
gan memahami apa yang telah menimpa Telapak
Gajah. Betapa wajah Ketua Perguruan Telapak
Gajah itu yang dulu gagah penuh wibawa, kini
berubah pucat pasi. Sepasang matanya yang ta-
jam kini mencorong aneh, seperti menyembunyi-
kan kekuatan kasat mata! 
"Keak! Keaaakkk!"
Lengkap sudah keheranan Maling Tanpa
Bayangan. Ternyata, Telapak Gajah hanya mam-
pu mengeluarkan serak bagai burung gagak. Kini
hatinya makin yakin bahwa telah terjadi sesuatu
atas diri Telapak Gajah. Sayang sekali, lelaki yang
lihai mencuri itu tidak tahu petaka apa yang telah
menimpa Ketua Perguruan Telapak Gajah. Yang
diyakininya, semua itu pasti perbuatan Pengasuh
Setan.
"Keak! Keaaakkk!"
Telapak Gajah mengibas-ngibaskan tan-

gannya, mengisyaratkan agar Maling Tanpa
Bayangan segera meninggalkan puncak Gunung
Sindoro.
"Hm...! Kau mengusirku, Telapak Gajah?
Sayang sekali, aku keberatan. Aku tak akan me-
ninggalkan puncak Gunung Sindoro kalau belum
membawa pulang Kitab Paguyuban Setan. Kau
paham, Telapak Gajah?" sahut Maling Tanpa
Bayangan, mantap.
"Keak! Keaaakkk!" 
Hanya itu yang keluar dari mulut Telapak
Gajah. Selanjutnya, tokoh sakti dari Hutan Krajan
itu telah menerjang garang Maling Tanpa Bayan-
gan. Tidak tanggung-tanggung, dikirimkannya
'Tendangan Kaki Gajah' ke arah Maling Tanpa
Bayangan. 
"Ust!"
Maling Tanpa Bayangan terperanjat bukan
kepalang. Tendangan Telapak Gajah benar-benar   
mengarah pada bagian yang mematikan. Dan tak
mungkin tubuhnya sudi dijadikan sasaran empuk
serangan.  Maka dengan ilmu meringankan tu-
buhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Mal-
ing Tanpa Bayangan melenting tinggi ke udara.
Lalu seketika cemeti di tangan kanannya segera
dikibaskan ke bawah.
Srang! Srang!
Seketika sembilan mata pisau kecil yang
berkilauan  dari ekor-ekor cemeti Maling Tanpa
Bayangan siap merajam tubuh Telapak Gajah dari
sembilan penjuru. Bersamaan itu, tangan kirinya
telah melontarkan pukulan maut.

"Kuuukkk!" 
Tepat ketika Telapak Gajah menghindar,
terdengar suara burung hantu raksasa meme-
kakkan telinga. Dan ini membuat kewaspadaan
Maling Tanpa Bayangan meningkat. Dilihatnya
burung hantu raksasa itu menukik tajam, siap
menyerang dengan paruh dan kuku-kukunya
yang runcing!
Terpaksa Maling Tanpa Bayangan harus
menjaga serangan. Kini, ia tidak lagi menyerang
Telapak Gajah sepenuhnya. Melainkan harus
membagi serangan. Cemeti di tangan kanannya
yang semula ditujukan ke tubuh Telapak Gajah
segera dikibaskan ke arah burung hantu raksasa.
Sedang pukulan telapak tangan kirinya, meng-
hentak ke arah Telapak Gajah. 
Classs! Classs! 
Bukkk!
Telapak Gajah dan Meruya memekik kesa-
kitan. Tubuh mereka sama-sama terlempar ke
samping. Akibat sambaran mata pisau kecil di
ujung cemeti Maling Tanpa Bayangan, sebagian
bulu Meruya berhamburan ke udara. Darah hi-
tam mengucur dari lukanya yang menganga.
Keadaan ini pun tak jauh berbeda dengan
Telapak Gajah. Akibat pukulan jarak jauh Maling
Tanpa Bayangan, sekujur tubuh tokoh sakti dari
Hutan Krajan itu mengalami luka dalam parah.
Sebagian kulitnya hangus terbakar!        
Akan tetapi, betapa mencelosnya hati Mal-
ing Tanpa Bayangan saat melihat tubuh burung
hantu raksasa dan Telapak Gajah kembali seperti

semula hanya dalam waktu amat singkat.
Ini benar-benar merupakan suatu kejadian
aneh. Maling Tanpa Bayangan tak habis pikir.
Begitu kakinya menjejak tanah, bukannya kem-
bali menyerang, tapi malah bengong seolah meli-
hat naga gondrong di siang hari.
"Edan! Ilmu apakah yang mereka gunakan?
Kenapa tubuh mereka jadi berubah seperti sedia-
kala?" sentuh hati Maling Tanpa Bayangan sarat
keheranan. 
"Keakkk!"
Telapak Gajah memekik nyaring. Suaranya
terdengar makin mendirikan bulu roma. Bersa-
maan pekikannya tadi, mendadak kedua telapak-
nya telah didorong ke depan. Seketika meluruk
dua larik sinar kuning dari kedua telapak tan-
gannya.
Sementara itu, Meruya yang juga peliha-
raan Pengasuh Setan menyerang dari atas. Paruh
dan kuku-kukunya yang runcing siap mencabik-
cabik tubuh Maling Tanpa Bayangan tanpa am-
pun.
Maling Tanpa Bayangan terperangah kaget.
Saat itu, ia tidak begitu siap menghadapi seran-
gan kedua lawannya. Kejadian yang baru saja di-
alami benar-benar belum dapat diterima akal se-
hatnya.
Maka pada saat serangan datang, Maling
Tanpa Bayangan hanya sempat menangkap dua
larik sinar kuning dan seonggok bayangan di
angkasa yang siap memangsa korban. Namun se-
bagai tokoh dunia persilatan, ia tak mau menye-

rah begitu saja. Seketika tubuhnya melenting ke
belakang, menghindari serangan.

***
Putri Manja terus saja berlari tanpa meng-
hiraukan apa pun sambil membawa kebencian
mendalam pada Siluman Ular Putih. Ini hanya
semata-mata terdorong sikap manjanya yang ke-
lewatan.
Sikapnya, sebenarnya tak pantas dimiliki
gadis seusia Putri Manja. Tapi, apa lacur? Me-
mang itulah tingkahnya. Selisih pahamnya den-
gan Siluman Ular Putih yang tak seberapa diang-
gapnya sebagai bencana besar. Aneh kedengaran-
nya memang. Itu tak heran, karena gadis itu bi-
asa dimanja oleh gurunya, Bayi Kawak. Maka
sah-sah saja bila Mawangi alias Putri Manja tak
dapat menerima sikap Siluman Ular Putih yang
berkesan amat melecehkan sikapnya. Sikap yang
ingin dimanja dan disanjung, Putri Manja terus
saja melangkah tanpa tujuan. Tanpa terbebani
perasaan bersalah sedikit pun.
Tanpa sadar, hari telah berubah senja. Ma-
tahari terpuruk di kaki langit sebelah barat. Lan-
git memerah tembaga. Suasana hening menyeli-
muti seputar Hutan Kranggan. Kicauan burung
yang tadi terdengar ramai kini telah sepi, larut
dalam suasana hening mencekam.
Di sebuah dataran rerumputan, Putri Man-
ja menghentikan langkahnya. Air matanya mem-
banjir membasahi pipi. Dan si gadis membiar-
kannya saja. Kini kepalanya menengadah ke atas,

memandang kerlip berjuta bintang yang mulai
menghiasi angkasa.
Cukup lama Putri Manja menengadahkan
kepala. Kedua bahunya bergerak-gerak. Isak tan-
gisnya kian menderu.
"Tuhan...! Kenapa kau pertemukan aku
dengan pemuda gondrong itu kalau hanya mem-
buat hatiku sedih!" keluh Putri Manja nyaris tak
kentara.
Raut wajahnya kian memelas. Itu semua
membuat hatinya terlihat nelangsa sekali, seperti
tersayat sembilu. Berulang-ulang Putri Manja
mengeluh.
Hari menjarah malam. Putri Manja kembali
meneruskan langkah tanpa beban dan tanpa tu-
juan pasti. Hal ini membuatnya makin jauh me-
ninggalkan Siluman Ular Putih. Seorang pemuda
tampan yang baru pertama kali menyiram lubuk
hatinya yang kering. Haus akan belaian cinta ka-
sih.
Kalau saja Putri Manja mau bersikap tegar,
tentu tak kan nelangsa seperti itu. Tak mungkin
perasaannya terombang-ambing tak menentu.
Tapi yang terjadi memang demikian. Benih-benih
cinta pertama yang meninabobokan hatinya, kini
malah mendera hatinya setiap saat. 
Baginya, tak ada harapan lagi yang tersisa.
Semua hampa. Semua hanya khayalan semata.
Putri Manja terus melangkah, terseok di
antara rumput-rumput dan semak belukar.
Pada saat Putri Manja kian dicekam pera-
saan  nelangsa, mendadak telinganya mendengar

suara-suara aneh mirip suara dengungan ribuan
kumbang yang datangnya entah dari mana. Ma-
kin lama, suara-suara aneh itu makin jelas ter-
dengar, membuat matanya beredar ke sekitarnya.
Namun anehnya, ia tidak menemukan apa-apa.
Sementara suara-suara aneh itu terus mendekat.
Kening Putri Manja jadi berkerut. Lebih lagi
ketika bulu kuduknya terasa meremang. Gadis ini
jadi bergidik ngeri. Memang belum jelas, bahaya
apa yang tengah mengancam keselamatannya.
Namun nalurinya mengatakan kalau tak jauh dari
tempat itu ada bahaya maut tengah mengancam
dirinya!
Putri Manja diam di tempat. Matanya ber-
gerak-gerak liar ke kanan kiri. Tanpa sadar, gunt-
ing besar senjata andalannya yang terselip di
punggung dicengkeramnya kuat-kuat, pertanda
tengah dalam sikap penuh kewaspadaan.
Tapi, yang ditunggu-tunggu ternyata tak
menampakkan batang hidungnya. Putri Manja
mendengus gusar. Tadi suara-suara aneh itu be-
gitu jelas terdengar, tapi kenapa sekarang hilang
begitu saja? Tak mungkin! Pasti masih ada di se-
kitar tempat ini, pikir Putri Manja gelisah, merasa
dipermainkan lawan.
"Hai, Biang Kunyil! Kalau mau berurusan
denganku, lekas tampakkan dirimu!" bentak Putri
Manja.
Tak ada jawaban.
Putri Manja mendengus gusar. Dan baru
saja akan berteriak lagi....
"Selamat bertemu kembali, Anak Manis!

Kau tentu teman dari Siluman Ular Putih, bu-
kan?"
Bukan main terkejutnya Putri Manja begitu
mendengar sebuah suara di belakangnya. Buru-
buru kepalanya berpaling ke arah datangnya sua-
ra. Dan ia makin terkejut melihat siapa yang da-
tang. Perlahan-lahan tubuhnya berbalik.
Di depan Putri Manja, tampak berdiri seo-
rang kakek tua renta dengan paras amat menge-
rikan. Kedua bola matanya melesak ke dalam.
Saking dalamnya, yang terlihat hanya kilatan-
kilatan yang berwarna merah saga. Tubuhnya
amat kurus, dibalut pakaian warna hitam-hitam.
Sebuah bandul kalung berbentuk tengkorak sebe-
sar buah salak menggantung di dada. Siapa lagi
tokoh ini kalau bukan Pengasuh Setan?!
Di belakang Pengasuh Setan, tampak tiga
puluh lelaki berpakaian hitam-hitam turut pula.
Dan paras mereka tak kalah mengerikan diband-
ing paras Pengasuh Setan. Pucat pasi dengan si-
nar mata kosong. Dari kilauan pandang mata ke-
tiga puluh orang itu, Putri Marija merasakan
adanya suatu kekuatan aneh yang terpancar. Su-
atu kekuatan dahsyat yang datangnya entah dari
mana.
Kalau saja tahu siapa ketiga puluh orang
lelaki berpakaian hitam-hitam yang berdiri di be-
lakang Pengasuh Setan, tentu gadis cantik murid
Bayi Kawak itu akan terkejut bukan kepalang.
Karena, mereka bukan lain adalah Pasukan
Kumbang Neraka. Sebuah pasukan yang dibentuk
Pengasuh Setan dengan bantuan makhluk-

makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro!
"Kau...! Lagi-lagi kau, Pengasuh Setan!
Mau apa menghadang langkahku, he?! Tak tahu
malu! Beraninya menghadangku! Apa kau tak
puas dihajar Siluman Ular Putih, he?!" bentak Pu-
tri Manja, berusaha mengusir rasa takutnya.
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Aneh-
nya, sedikit pun mulutnya tak terbuka. Namun
suara tawa itu terdengar amat bergema, pertanda
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro itu me-
miliki tenaga dalam amat tinggi.
Disertai tawa Pengasuh Setan, suara-suara
aneh yang sejak tadi mengusik perhatian Putri
Manja kembali terdengar. Ternyata, suara-suara
aneh yang menyerupai dengungan ribuan kum-
bang itu berasal dari ketiga puluh lelaki berpa-
kaian hitam-hitam di belakang Pengasuh Setan.
Seperti Pengasuh Setan, ketiga puluh lelaki
itu pun sama sekali tak membuka mulut. Mereka
tetap di tempat sambil terus memperdengarkan
suara-suara aneh. Seolah-olah, sebagai tanda ka-
lau mereka siap melaksanakan perintah Penga-
suh Setan!
"Kebetulan sekali aku juga ingin meringkus
pemuda tolol itu. Sekarang, tunjukkan di mana
bocah keparat itu, Gadis!" hardik Pengasuh Setan
tidak main-main. Kilatan kedua bola matanya
kian mengerikan. 
"Kalau pun aku tahu, tak mungkin membe-
ritahukan padamu. Cari saja sendiri!" balas Putri
Manja, bersungut tak senang.

Dan Putri Manja pun bermaksud mening-
galkan Pengasuh Setan. Namun dengan satu lon-
catan indah, tahu-tahu tubuh Pengasuh Setan te-
lah mendarat di hadapan si gadis.
"Tunggu, Bocah Manis! Kau tak boleh me-
ninggalkanku begitu saja! Harus menunjukkan di
mana, Siluman Ular Putih!"
"Cih...! Siapa sudi menuruti perintahmu!
Biar dibunuh pun aku tak sudi menurutimu!"
Pengasuh Setan menggeram penuh kema-
rahan. Kedua pelipisnya bergerak-gerak dengan
gigi-gigi  bergemeletuk. Jelas, tokoh sesat dari
puncak Gunung Sindoro itu tak dapat lagi mena-
han amarah.
"Anak-anakku! Tangkap gadis bengal ini!"
perintah Pengasuh Setan disertai kibasan tangan
kanan.
Sebenarnya kalau mau, bisa saja Pengasuh
Setan merobohkan gadis  manja di hadapannya
hanya sekali gebrak. Namun, ia tidak melaku-
kannya, dan malah memerintah pasukannya.
Bukannya apa-apa, Pengasuh Setan hanya
ingin mengetahui sampai di mana kehebatan pa-
sukan buatannya.
"Majulah! Siapa takut menghadapi boneka-
boneka hitammu itu, Orang Tua jelek!" tantang
Putri Manja, mulai galak.       
Pengasuh Setan tersenyum dingin.
"Ayo, Anak-anak! Tangkap gadis bengal
itu!"
Seketika ketiga puluh lelaki berpakaian hi-
tam-hitam yang dinamakan Pasukan Kumbang

Neraka ini segera mengerumuni Putri Manja. Bu-
kan langsung menyerang melainkan hanya berlari
berputar-putar sambil perdengarkan suara-suara
aneh dari mulut.
"Keaaak...! Keaaakkk...!"
Putri Manja terperangah. Bukannya terpe-
rangah melihat cara menyerang para anak buah
Pengasuh Setan, melainkan karena jalan pikiran-
nya mulai dipengaruhi oleh suara-suara aneh se-
perti ribuan kumbang itu. Di samping itu, men-
dadak sekujur tubuhnya terasa lemas. Seolah, te-
naga dalamnya tersedot entah ke mana!
"Celaka! Kenapa bisa begini? Ilmu apakah
yang sedang mereka keluarkan? Kenapa aku jadi
sulit sekali bergerak!" sentak murid Bayi Kawak,
gelisah.
Sementara suara-suara aneh dari mulut
Pasukan Kumbang Neraka terus mengganggu ja-
lan pikiran si gadis. Lambat laun kepala Putri
Manja jadi pening. Namun serangan aneh itu ba-
rusan ditahannya sebisa mungkin. Dengan keku-
atan penuh, tenaga dalamnya segera dikeluarkan.
Nihil! Ternyata Putri Manja tetap tak dapat
mengerahkan tenaga dalamnya! Malah makin la-
ma tenaga dalamnya terasa amblas entah ke ma-
na. Putri Manja terheran-heran. Keningnya terus
berkerut.
"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres. Bisa
jadi mereka mengerahkan ilmu sihir atau sema-
cam ilmu hitam lainnya. Aku harus cepat bertin-
dak, mumpung tenaga dalamku belum habis ter-
sedot!" gumam Putri Manja.

Saat itu pula si gadis mengerahkan kekua-
tan batinnya yang pernah diajarkan Bayi Kawak.
Namun apa yang terjadi? Tetap saja serangan itu
tak dapat ditahan. Malah makin lama matanya
mulai kabur. Sosok-sosok hitam di hadapannya
terlihat mulai berubah jadi makhluk-makhluk hi-
tam mengerikan.
Putri Manja sadar. Tak mungkin gelom-
bang serangan-serangan gaib itu dilawan....

***

Keadaan Putri Manja benar-benar amat
mengkhawatirkan. Namun gadis ini tak putus
asa. Apa pun yang akan terjadi, ia terus berusaha
mengatasi serangan-serangan mengandung tena-
ga gaib yang sulit dimengerti.
Di pinggir tempat pertarungan, tak henti-
hentinya Pengasuh Setan mengumbar tawa. Ha-
tinya puas sekali melihat bagaimana Pasukan
Kumbang Neraka melumpuhkan lawannya. Kalau
ia mau, bukanlah satu pekerjaan sulit untuk me-
lumpuhkan Putri Manja. Tapi, rupanya tokoh
mengerikan ini tidak menginginkan itu. Ia masih
ingin melihat, sampai di mana kehebatan Pasu-
kan Kumbang Neraka.
"Cepat tangkap gadis bengal itu, Anak-
anak!" perintah Pengasuh Setan dengan suara
menggema.
Tanpa Pengasuh Setan mengulangi perin-
tahnya, ketiga puluh lelaki bekas murid Pergu-
ruan Telapak Gajah yang kini telah menjadi ang-

gota Pasukan Kumbang Neraka segera meloloskan
pedang. Dan seketika mereka menyerang hebat
Putri Manja.
Si gadis terkesiap. Namun begitu suara-
suara aneh dari mulut ketiga puluh lawan aneh-
nya terhenti, seketika itu juga pengaruh gaib yang
menindih tenaga dalamnya hilang. Sehingga, Pu-
tri Manja kembali dapat mengerahkan tenaga da-
lam.
Meski hati si gadis terheran-heran melihat
perubahan, tapi begitu melihat datangnya seran-
gan bergelombang segera senjata andalannya di-
cabut keluar. Saat itu pula gunting di tangannya
segera menghadapi keroyokan Pasukan Kumbang
Neraka.
Crak! Crakkk...!
Berkali-kali gunting di tangan Putri Manja
berusaha menindih gulungan-gulungan pedang di
tangan anggota-anggota Pasukan Kumbang Nera-
ka. Namun sayang, serangannya tak menghasil-
kan apa-apa. Bahkan hampir saja tubuhnya ter-
kena sambaran-sambaran pedang di tangan ang-
gota-anggota Pasukan Kumbang Neraka. Untung
saja ilmu meringankan tubuh Putri Manja cukup
lumayan. Sehingga setiap hampir menjadi sasa-
ran sambaran pedang, seketika tubuhnya berke-
lebat cepat menghindar. 
Werrr! Werrr...!
Tapi rupanya kali ini Putri Manja salah
perhitungan. Di saat tubuhnya melenting meng-
hindari  sambaran  pedang, mendadak salah seo-
rang anggota Pasukan Kumbang Neraka telah

menyambutnya dengan satu lompatan dan sam-
baran pedang. "Akh...!"
Putri Manja mendesah gugup. Dan ketika
sambaran pedang di tangan anggota Pasukan
Kumbang Neraka tinggal beberapa jengkal men-
genai sasaran, buru-buru gunting di tangan ka-
nannya diputar sekenanya.
Cring! 
Suara berdenting yang disertai pijaran
bunga api memenuhi sebagian tempat pertarun-
gan. Sementara senjata gunting di tangan Putri
Manja terpental ke samping. Tangannya kesemu-
tan  akibat bentrokan dengan tubuh kehilangan
keseimbangan saat mendarat. Di saat tubuhnya
limbung, mendadak seorang anggota Pasukan
Kumbang Neraka meluruk maju disertai hanta-
man ke ulu hati.
Desss...!
"Akh...!"
Putri Manja menjerit tertahan ketika telak
sekali terhantam pukulan lawan. Tubuhnya ter-
pental jauh ke belakang, nabrak batang pohon
dan luruh ke tanah. Parasnya pucat pasi. Kedua
bibirnya bergetar-getar menahan guncangan da-
lam dada.
"Hoeeekh...!"
Akhirnya Putri Manja menyemburkan da-
rah merah kental dari mulut. Dadanya nyeri bu-
kan main, membuat mulutnya meringis. Sebentar
dadanya diurut-urut.
Dan gadis ini memang tak menerima keka-
lahan begitu saja. Begitu rasa nyeri di dada agak

berkurang.
Putri Manja kembali meloncat bangun. Ma-
tanya sempat mampir di guntingnya yang terpen-
tal tadi. Namun untuk mengambilnya jelas tidak
mungkin, karena jauh dari jangkauannya. Di
samping itu, ketiga puluh orang anggota Pasukan
Kumbang Neraka kini telah maju hendak menye-
rang kembali. Tak ada pilihan lain, harus dihada-
pinya Pasukan Kumbang Neraka dengan tangan
kosong.
"Majulah! Siapa takut menghadapi manu-
sia-manusia tak berjantung seperti kalian!" desis
Putri Manja penuh kemarahan, langsung mema-
sang kuda-kuda.
Sambil bersikap waspada menanti datang-
nya serangan, tak henti-hentinya mata Putri Man-
ja memperhatikan gerak-gerik Pasukan Kumbang
Neraka. Gadis itu berusaha mencari-cari peluang
untuk menyerang terlebih dahulu. Sayang pe-
luang itu tak ditemukannya.
Diiringi teriakan aneh, kembali ketiga pu-
luh anggota Pasukan Kumbang Neraka mengi-
baskan pedang di tangan.
Wuttt! Wuttt!
Berpuluh-puluh pedang berseliweran, ber-
kilauan terjilat sinar bulan sebelum akhirnya
mengancam Putri Manja tanpa ampun. Sedikit
pun gadis manja itu tak diberi kesempatan untuk
membalas serangan. Jangankan untuk membalas
serangan. Untuk menarik napas barang sejenak
pun tak diberikan. Mereka terus mendesak Putri
Manja, hebat.

Bolehlah juga cara Putri Manja menghinda-
ri serangan beruntun itu. Namun bagaimana pun
juga tak mungkin bisa menghadapi keroyokan itu
terus menerus. Buktinya pada saat baru saja
menghindari serangan-serangan pedang, salah
seorang anggota Pasukan Kumbang Neraka men-
dadak melompat sambil melepas tendangan lurus
yang begitu cepat. 
Desss! 
Putri Manja tak sanggup berkelit sedikit
pun saat tendangan salah seorang anggota Pasu-
kan Kumbang Neraka menghantam iganya dari
samping. Tanpa ampun tubuhnya limbung.
Iganya yang terkena tendangan terasa nyeri bu-
kan main, seolah-olah mau remuk! Dan di saat
Putri Manja kehilangan keseimbangan, serangan-
serangan pedang di tangan Pasukan Kumbang
Neraka kembali datang.
Bukan main kalang kabutnya Putri Manja.
Rasanya tak mungkin gadis itu menghindari se-
rangan-serangan Pasukan Kumbang Neraka. Tu-
buhnya yang masih limbung seolah kaku, sulit
sekali untuk bergerak. Padahal pedang di tangan
anggota-anggota Pasukan Kumbang Neraka siap
merajam tubuhnya.
"Tamatlah sudah riwayatku hari ini. Tak
mungkin aku meminta pertolongan!" desis dalam
hati Putri Manja.
Si gadis tetap berusaha tabah saat dijem-
put maut. Dengan menggigit bibir bawahnya
kuat-kuat, sepasang mata indahnya menatap
sayu pedang-pedang di tangan Pasukan Kumbang

Neraka. Namun di saat yang mengkhawatirkan
itu....
"Memang asyik mempermainkan seorang
gadis cantik! Apalagi tanpa senjata. Tapi, kenapa
kau harus dengan keroyokan begini! Huh...! Me-
malukan! Dasar manusia-manusia bejat tak tahu
aturan!"
Mendadak terdengar gerutuan seseorang
yang disusuli dengan luncuran serangkum angin
dingin laksana topan prahara ke arah anggota-
anggota Pasukan Kumbang Neraka.
Brasss...! 
Pekik-pekik kesakitan para anggota Pasu-
kan Kumbang Neraka terdengar di sana sini. Tan-
pa ampun tubuh mereka berhamburan ke kanan
kiri bak layangan putus begitu terkena sambaran
angin dahsyat barusan.
"Ha ha ha...! Tikus-tikus kecil macam ka-
lian, mana pantas menginginkan gadis cantik itu.
Hayo, lekas tinggalkan tempat ini!"

9

Pengasuh Setan terkesiap bukan kepalang.
Seketika tawanya tersumbat. Kilatan sepasang
matanya yang berwarna merah menyala makin
mencorong beringas. Napasnya memburu. Sung-
guh ia tak terima ada orang yang mengganggu ke-
senangannya. Siapa pun juga yang mengganggu
kesenangannya berarti mati.
Sosok yang tadi menolong Putri Manja kini

telah berdiri berkacak pinggang. Enak sekali
gayanya mengumbar tawa. Ia adalah seorang le-
laki tua berkepala plontos. Jubah besar warna
kuning yang dikenakannya tampak kedodoran
sampai lutut. Siapa lagi tokoh satu ini kalau bu-
kan Pelukis Sinting Tanpa Tanding?
Sedang di sebelah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding adalah seorang kakek tua yang memiliki
paras maupun perawakan mirip tubuh bayi. Pa-
kaian yang dikenakannya juga pakaian bayi. Ti-
dak salah! Siapa lagi tokoh satu ini kalau bukan
Bayi Kawak?
"Selamat bertemu kembali, Pengasuh Se-
tan! Kukira kau masih mengenali aku, bukan? In-
gat! Hutang nyawa harus dibayar nyawa!" sapa
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, kalem.
Pengasuh Setan menggeram murka. Jelas
lelaki sesat ini masih mengenali kakek di hada-
pannya. Namun pandang mata Pengasuh Setan
terlihat amat merendahkan. Seolah yang dihadapi
kali ini adalah cecurut tua yang hanya sekali ge-
buk akan lari tunggang langgang.
"Pelukis Sinting! Bagus! Kali  ini aku tak
akan mungkin melepaskanmu! Kau harus modar
di tanganku!" desis Pengasuh Setan.
"Dari dulu lagakmu selalu pongah, Penga-
suh Setan. Senang sekali aku mendengar kepon-
gahanmu.  Hayo, maju kalau kau ingin mele-
nyapkan ku!" kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding
sambil diam-diam mencolek tangan Bayi Kawak
untuk membantu.
Bayi Kawak malah jadi resah. Di sisi lain,

ia harus menolong muridnya. Tapi di sisi lain lagi
ia pun juga harus membantu Pelukis Sinting
Tanpa Tanding menghadapi musuh besarnya.
Maka yang bisa dilakukan hanyalah memandang
muridnya, lalu beralih pada Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Guru! Kenapa malah celingak-celinguk?
Tolong aku, Guru!" teriak Putri Manja, memelas.
"Eh eh eh...! Aku harus menolong muridku.
Sebentar, Ompong!"
Buru-buru Bayi Kawak menghampiri mu-
ridnya yang tengah terbujur di bawah rindangnya
sebuah pohon. Wajahnya yang cantik tampak pu-
cat pasi. Kedua bibirnya bergetar-getar pertanda
menderita luka dalam cukup parah.
"Kau.... Kau kenapa, Putri? Siapa yang
mencelakaimu?" tanya Bayi Kawak segera memijit
kaki Putri Manja. Tingkahnya mirip anak kecil.
Putri Manja dengan segenap kemanjaannya
terus merengek-rengek kesakitan. Tak henti-
hentinya tangannya menunjuk ke bagian tubuh-
nya yang dirasakan sakit. Maka, Bayi Kawak pun
segera memijit tempat yang ditunjuk murid ke-
sayangannya.
''Ke mana saja, sih? Kok, Guru tidak me-
nyusulku? Kan Putri kesakitan. Masa' Guru tega
membiarkan Putri begini?" rajuk Putri Manja.
"Aku sendiri sebenarnya ingin pulang ke
puncak Gunung Merapi. Tapi kakek ompong itu
tiba-tiba berubah pikiran. Katanya, ia belum puas
kalau belum membunuh Pengasuh Setan. Dan
aku dipaksa untuk mengikutinya," jelas Bayi Ka-

wak. Lagaknya persis anak kecil yang bercerita
tanpa arah. "Di samping itu, aku juga mengkha-
watirkan keselamatanmu. Apalagi, aku sempat
bertemu Siluman Ular Putih tanpa dirimu."
"Iya, iya. Tapi kenapa Guru lama sekali?
Apa Guru senang kalau Putri mati merana seperti
ini?"
"Tidak, tidak. Kau tidak boleh mati, Putri!
Siapa pun juga yang mengganggumu, pasti akan
kubunuh. Apa bocah gondrong itu yang telah
mengganggumu, Putri?" kata Bayi Kawak, mengi-
ra kalau Siluman Ular Putih yang telah meng-
ganggu muridnya. Apalagi disadari kalau Putri
Manja tak lagi bersama Siluman Ular Putih. 
"Bukan," jawab Putri Manja, mantap.
"Lalu siapa?" 
"Mereka, Guru! Merekalah yang telah
mengganggu Putri!" tunjuk Putri Manja ke arah
Pasukan Kumbang Neraka yang tengah bersite-
gang dengan Pelukis Sinting Tanpa Tanding. 
"Oh...! Jadi mereka yang telah menggang-
guku. Baik. Sekarang lihat, bagaimana gurumu
menghajar mereka. Kau tunggu saja di sini, Pu-
tri!" ujar Bayi Kawak seraya bangkit dengan dada
tegak.
"Tunggu, Guru! Aku juga ingin menghajar
mereka," Putri Manja cepat melompat bangun.
"Ayo, Putri! Tapi hati-hati. Aku tak ingin
kau celaka," ingat Bayi Kawak.
"Kan masih ada Guru. Mana mungkin me-
reka dapat mencelakakanku!" rajuk Putri Manja.
"Ya ya ya...,!" sahut Bayi Kawak pendek. 

Habis menyahut, Bayi Kawak dan Putri
Manja segera melompat ke tempat pertarungan.
"Ompong! Aku dan muridku datang mem-
bantu," teriak Bayi Kawak.
"Bagus, bagus! Kau memang sobatku yang
baik, Bayi Kawak. Manusia iblis ini memang patut
dienyahkan. Tapi, boneka-boneka hitam itu juga
harus dilenyapkan. Baiknya, kau hajar saja dulu
boneka-boneka hitam itu, Sobat! Biar aku yang
membereskan manusia pongah ini!" tuding Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding ke arah Pengasuh Se-
tan.
Pengasuh Setan menggeram murka. Dili-
hatnya Bayi Kawak dan muridnya segera mener-
jang ketiga puluh orang pasukannya.
"Kali ini kau akan menyesal bertemu aku,
Orang Sinting! Jangan dikira aku ingin mele-
paskan nyawa busukmu begitu saja. Makanlah aji
‘Tangkal Petir’-ku! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Penga-
suh Setan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika, melesat dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Melihat datangnya serangan, Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding masih sempat tersenyum
menggoda. Meski demikian, tetap ia tak berani
memandang remeh. Ia sudah cukup mengenai,
siapa Pengasuh Setan. Apalagi terhadap keheba-
tan aji 'Tangkal Petir'. Maka tanpa banyak cakap,
segera dikerahkannya pukulan aji 'Cat Hati Suci'
andalannya. 

"Hea...!"
Terdengar satu ledakan hebat di udara.
Bumi laksana diguncang prahara. Hawa panas
akibat bentrokan dua tenaga dalam barusan me-
nebar ke seputar tempat pertarungan, membuat
ranting-ranting pohon berderak dengan daun-
daun hangus terbakar!
Sementara tubuh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding dan Pengasuh Setan sendiri sama-sama
terjajar beberapa langkah ke belakang. Ini jelas
menandakan kalau tenaga dalam kedua tokoh
dunia persilatan itu tak jauh berselisih banyak.
"Bagaimana, Pengasuh Setan? Rupanya
kau belum sanggup melenyapkan ku, bukan?
Buktinya aku masih segar bugar. He he he...!"
ejek Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Geraham Pengasuh Setan makin bergeme-
letuk  penuh kemarahan. Ia tak ingin meladeni
ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding, karena le-
bih senang menyerang. Maka lelaki sesat ini sege-
ra duduk bersila. Tak tanggung-tanggung, hendak
dikeluarkannya aji 'Panglipur Setan'. Di saat ke-
dua telapak tangannya menelungkup di depan
dada, bibir Pengasuh Setan mulai berkemik.
"Awas, Ompong! Tua bangka itu hendak
mengeluarkan aji 'Panglipur Setan'!" teriak Bayi
Kawak sambil berkelebat ke sana kemari, meng-
hindari serangan-serangan pedang ketiga puluh
orang anggota Pasukan Kumbang Neraka.
"Aku sudah tahu, Sobat. Cepat bantu aku!"
teriak Pelukis Sinting Tanpa Tanding, kalang ka-
but.

"Bantu bagaimana? Aku dan muridku saja
kewalahan menghadapi boneka-boneka hitam
ini!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding makin
menggerutu tak karuan. Aji 'Panglipur Setan' itu-
lah yang sebenarnya ditakuti. Bahkan kini dari
kedua bibir Pengasuh Setan keluar suara-suara
aneh mirip ribuan kumbang. Mula-mula biasa sa-
ja, namun tak lama kemudian suara-suara aneh
itu menghentak-hentak. Seolah-olah dengan begi-
tu manusia sesat itu ingin merontokkan jantung
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, bahkan juga Bayi
Kawak, dan Putri Manja.
Hal itu jelas amat membahayakan bagi ke-
selamatan ketiga orang itu. Apalagi suara-suara
aneh Pengasuh Setan segera diikuti ketiga puluh
orang anggota Pasukan Kumbang Neraka yang
mendadak saja menghentikan serangan terhadap
Bayi Kawak dan Putri Manja.
Makin hebat saja getaran-getaran gaib yang
terdengar membuat paras Pelukis Sinting Tanpa
Tanding, Bayi Kawak, dan Putri Manja pucat pasi.
Bahkan perlahan-lahan mereka jatuh bersimpuh
dengan kedua tangan menutup telinga dan diser-
tai pengerahan tenaga dalam. Namun, usaha me-
reka sia-sia saja. Tetap saja telinga mereka bagi
ditusuk-tusuk. Sementara dada mereka tergun-
cang hebat.
Di kejap berikutnya, dari telinga dan mulut
mereka telah merembes lelehan darah akibat se-
rangan suara-suara gaib yang berisi tenaga dalam
amat dahsyat itu.


***

Di saat yang gawat bagi Pelukis Sinting
Tanpa Tanding, Bayi Kawak, dan Putri Manja,
mendadak gema-gema suara aneh bertenaga da-
lam tinggi itu lenyap. Namun pada saat itu kesa-
daran mereka telah hilang, hingga jatuh pingsan.
Sementara Pengasuh Setan kini telah
membuka matanya dengan hidung mengendus-
endus. Rupanya bau amis darah Pengasuh Setan
membuat serangannya lewat aji ‘Panglipur Setan’
terhenti. Bahkan kini matanya menyorot tajam
pada sosok yang telah berdiri di dekat Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, Bayi Kawak, dan Putri
Manja.
Memang, di saat yang gawat tadi, seorang
pemuda gondrong berpakaian rompi dan bercela-
na bersisik keperakan telah muncul. Dia tak lain
dari Siluman Ular Putih.
Diam-diam hati Siluman Ular Putih heran
melihat sikap kaku ketiga puluh  orang di hada-
pannya. Dan ketika melihat  Bayi Kawak, Putri
Manja dan Pelukis Sinting Tanpa Tanding mende-
rita luka-dalam parah, bisa ditebak kalau Penga-
suh Setan dan ketiga puluh orang itulah yang te-
lah mencelakakan mereka.   
"Kau keterlaluan, Pengasuh Setan. Diberi
hati bukannya bertobat, malah  bertingkah me-
muakkan. Sebenarnya maumu itu apa, sih?" kata
Siluman Ular Putih, enteng.
"Kunyuk gondrong! Nyawamulah yang

kuinginkan!" sembur Pengasuh Setan kasar.
"Oh..., itu! Dari kemarin-kemarin kau sela-
lu minta itu. Tapi, buktinya mana? Jangan hanya
bisa berkoar dong!"
"Keparat! Hari inilah hari kematianmu!"
bentak Pengasuh Setan penuh kemarahan. Kedua
telapak tangannya yang telah berubah jadi merah
menyala siap dilontarkan ke depan.
"Tunggu, Tua Bangka jelek! Yang kau in-
ginkan adalah aku. Dan lagi kau ingin menan-
tangku bertarung, bukan. Nah, kalau begitu aku
ingin tempat yang leluasa. Jadi biarkan aku me-
nyingkirkan ketiga orang yang pingsan itu dulu.
Baru kemudian kita bertarung. Bagaimana?" ke-
jar Siluman Ular Putih, tenang.
Hidung pesek Pengasuh Setan kembang
kempis. Mana sudi mulutnya menjawab permin-
taan musuh besarnya. Hanya diperhatikannya
perbuatan Siluman Ular Putih yang mulai men-
gangkat tubuh Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
Bayi Kawak, dan Putri Manja secara bergantian.
Dibawanya tubuh mereka ke luar tempat perta-
rungan tadi.
"Putri! Kau istirahat dulu di sini, ya! Tua
bangka jelek satu itu memang patut dihajar. Li-
hatlah, bagaimana caranya aku menghajarnya,"
celoteh Soma seraya meletakkan Putri Manja yang
terakhir mendapat giliran di rerumputan.
Baru saja diletakkan di rerumputan, men-
dadak gadis manja itu membuka matanya. Si-
uman. Semula sepasang mata indah itu berkilat-
kilat penuh kemarahan. Namun begitu melihat

siapa yang menolong, mendadak jadi berbinar-
binar indah.
"So..., Soma! Terima kasih. Ternyata kau
sudi menolongku...," desah Putri Manja, lalu me-
rengkuh leher Siluman Ular Putih yang tengah
berjongkok.
Siluman Ular Putih membalas pelukan Pu-
tri Manja erat. Mata sebelah kirinya diam-diam
mengerling nakal ke arah Pengasuh Setan.
"Tentu, Putri! Tentu aku akan menolong-
mu. Bukankah kau kawanku yang paling cantik
dan paling manis? Jangan menangis, dong. Malu
kan dilihat orang," bujuk Soma.
Putri Manja masih terisak dalam pelukan
Siluman Ular Putih. Hatinya nyeri sekali melihat
gurunya terluka parah. Namun, toh akhirnya si
gadis mau juga melepaskan pelukannya.
"Soma! Hati-hatilah! Tua bangka itu lihai
sekali!" ingat Putri Manja, bernada khawatir.
"Aku tahu, Putri. Tua bangka itu memang
lihai," jawab Siluman Ular Putih dengan senyum.
Habis menjawab. Soma segera melompat
bangun. Selangkah demi selangkah didekatinya
tokoh sesat berwajah mengerikan itu. Lima tom-
bak di hadapan Pengasuh Setan, Siluman Ular
Putih berhenti. Kedua telapak tangannya bertolak
pinggang.
"Tua bangka brengsek! Kau selalu saja
membuat onar di dunia persilatan. Hari ini aku
akan memberimu pelajaran!" kata Soma, menud-
ing Pengasuh Setan. 
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Geli se-

kali telinganya mendengar ucapan Siluman Ular
Putih. Matanya berbinar-binar sampai keluar air
mata. Setelah puas tawanya berhenti. Kilatan-
kilatan sepasang matanya yang berwarna merah
saga kini kembali mencorong beringas. Hidungnya
kembang kempis tak tahan menahan amarah
yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Jangan mimpi, Bocah. Hari ini pula aku
akan mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!
Jaga nyawamu, Bocah!"
Tanpa banyak cakap lagi Pengasuh Setan
segera menerjang Siluman Ular Putih dengan ke-
dua telapak tangan mengepal. 
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Pengasuh Setan
melontarkan jotosan ke tubuh Siluman Ular Pu-
tih. Keras dan disertai tenaga dalam tingkat ting-
gi.
Untung saja Siluman Ular Putih cukup
waspada. Secepatnya kepalanya merunduk. Ke-
dua telapak tangannya yang telah membentuk
kepala ular segera menyelinap di antara serangan
Pengasuh Setan.
"Hap!"
Sayang sekali Pengasuh Setan dapat mem-
baca gerakan lawan. Begitu Siluman Ular Putih
membalas serangan, kaki kanannya tahu-tahu te-
lah mengancam rahang.
"Uts...!"
Siluman Ular Putih terperanjat. Namun
bukan berarti harus kehilangan akal. Cepat digu-
nakannya jurus 'Ular Kembar Mengejar Mangsa',

membuat tubuhnya bisa berkelit bak seekor ular.
Sehingga, tendangan Pengasuh Setan hanya men-
genai tempat kosong.
Pada saat inilah mendadak Siluman Ular
Putih mengirimkan patukan tangan ke dada la-
wan. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss! Desss!
Telak sekali dua patukan tangan Siluman
Ular Putih mendarat di dada lawan. Pengasuh Se-
tan menggembor keras saat tubuhnya terjengkang
ke belakang. Dadanya yang terkena patukan tan-
gan tadi serasa mau jebol.  
Pengasuh Setan tidak terima. Amarahnya
yang meluap membuatnya segera mengeluarkan
aji 'Tangkal Petir'. Seketika, kedua telapak tan-
gannya telah berubah jadi merah menyala!
"Makanlah aji ‘Tangkal Petir’-ku ini, Bocah!
Heaaa...!"
Pengasuh Setan segera mendorongkan ke-
dua telapak tangannya ke depan. Maka dua larik
sinar merah menyala melesat dari kedua telapak
tangannya.
Wesss! Wesss! 
Siluman Ular Putih tidak gentar. Diam-
diam telah disiapkannya pukulan tenaga 'Inti
Bumi' untuk meredam serangan Pengasuh Setan.
Dan dua tombak lagi serangan menghantam, se-
gera kedua telapak tangannya didorong ke depan
disertai tenaga dalam tinggi.
Blaaar! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara saat
dua kekuatan dahsyat bertemu. Bumi terguncang

keras bagai terjadi gempa. Ranting-ranting pohon
berderak. Sebagian hangus terbakar, sebagian
membeku begitu terkena pengaruh kekuatan
dahsyat tadi.
Sementara tubuh Siluman Ular Putih dan
tubuh Pengasuh Setan sama-sama terjengkang
jauh ke belakang dengan wajah pucat. Ini semua
jelas menandakan kalau tenaga dalam mereka
seimbang. 
"Hup!"
Siluman Ular Putih yang merasa kedudu-
kannya lebih menguntungkan, tanpa membuang
waktu segera meluruk cepat. Kedua telapak tan-
gannya yang membentuk kepala ular kembali
mengancam Pengasuh Setan. Kali ini sengaja
yang dituju adalah bagian tubuh yang amat me-
matikan. Yakni, ubun-ubun kepala!
"Ah...!"
Pengasuh Setan tercekat. Sungguh disang-
ka akan mendapat serangan demikian cepat dan
mendadak. Kalau saja ada kesempatan, ingin ra-
sanya ia  melontarkan aji 'Tangkal Petir' di saat
tubuh Siluman Ular Putih masih melayang-layang
di udara. Namun sayang, gerakan Siluman Ular
Putih demikian cepat. Lelaki sesat ini hanya sem-
pat melindungi ubun-ubun kepalanya dengan aji
'Tangkal Petir' sebelum dua patukan tangan Si-
luman Ular Putih mendarat telak.
Plak! Plakkk!      
Srat! Srattt! 
Seketika, sekujur tubuh Pengasuh Setan
menyala begitu dua telapak tangan Siluman Ular

Putih mendarat telak di ubun-ubun kepalanya.
Meski telah mengerahkan aji 'Tangkal Petir', tetap
saja tubuhnya limbung ke samping. Bagian kepa-
lanya yang terkena patukan seolah mau pecah.
Namun, tidak membahayakan jiwanya.
Hal ini saja sudah cukup membuat Penga-
suh Setan murka. Ia tak sabar lagi untuk segera
menghabisi Siluman Ular Putih. Maka untuk me-
wujudkan niatnya hendak diarahkannya aji
'Panglipur Setan'. Ia yakin sekali kalau hanya
dengan ajian itu Siluman Ular Putih dapat dika-
lahkan.
Dalam sekejap Pengasuh Setan cepat men-
jatuhkan diri ke tanah. Lelaki ini segera duduk
bersila dengan menangkupkan kedua telapak
tangan di depan dada. Kedua bibirnya berkemik-
kemik membaca mantera aji 'Panglipur Setan'.
Selang beberapa saat, bibir yang berkemik-
kemik telah mengeluarkan suara-suara aneh mi-
rip suara makhluk-makhluk halus penghuni ku-
bur. Begitu mendengar sang majikan telah ber-
tindak, seketika itu juga tiga puluh anggota Pasu-
kan Kumbang Neraka yang sejak tadi hanya ber-
diri kaku di tempatnya segera riuh mengeluarkan
suara-suara aneh, persis seperti yang dilakukan
Pengasuh Setan!
Akibatnya,...
Sungguh luar biasa. Siluman Ular Putih
merasakan tenaga dalamnya seperti lenyap entah
ke mana. Sekujur tubuhnya terasa lemas tak ber-
tenaga.
"Kenapa tubuhku jadi lemah begini? Tena-

ga dalamku pun seperti lenyap...?"
Keanehan ajian 'Panglipur Setan' adalah,
tidak berlaku bagi orang yang tidak dimaksud
oleh Pengasuh Setan. Jadi bila Pengasuh Setan
mengarahkan ajiannya pada lawan, orang lain
yang ada di sekitar tempat itu tak terpengaruh.
Maka itu sebabnya, mengapa Soma saat datang
ke tempat ini tak terpengaruh oleh ajian
'Panglipur Setan' yang ditujukan Pengasuh Setan
untuk melenyapkan Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing, Bayi Kawak, dan Putri Manja. Tapi kini, ajian
itu diarahkan pada Siluman Ular Putih! Jelas,
pemuda itu jadi blingsatan sendiri.
Sementara itu di luar pertarungan, Pelukis
Sin-ting Tanpa Tanding telah sadarkan diri. Lelaki
ini langsung melihat, apa yang terjadi terhadap
Siluman Ular Putih. 
"Awas, Bocah! Tua bangka itu telah menge-
luarkan aji 'Panglipur Setan'!" teriak Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding cemas.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding sendiri tak
dapat berbuat banyak. Akibat ajian itu tadi tu-
buhnya menderita luka dalam amat parah. Bah-
kan bisa jadi merenggut nyawa. Maka setelah ber-
teriak, Pelukis Sinting Tanpa Tanding kembali
duduk bersemadi tanpa terpengaruh oleh ajian
'Panglipur Setan' yang ditujukan ke Siluman Ular
Putih.
Sementara itu suara-suara aneh Pengasuh
Setan yang ditingkahi suara-suara riuh ketiga pu-
luh orang anggota Pasukan Kumbang Neraka ma-
kin menggila saja. Bahkan tubuh Siluman Ular

Putih terasa lumpuh! 
Kini keadaan benar-benar amat mengkha-
watirkan bagi keselamatan Siluman Ular Putih. Di
luar tempat pertarungan, tak henti-hentinya Putri
Manja menghela napasnya berulang-ulang. Rasa
cemas gadis manja itu benar-benar telah menca-
pai ubun-ubun kepala. Berkali-kali ia berteriak
memperingatkan, namun Siluman Ular Putih ma-
sih mampu bertahan. Sebentar-sebentar murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu memalingkan ke-
pala ke kanan dan kiri. Bukannya takut mengha-
dapi aji 'Panglipur Setan' milik Pengasuh Setan,
melainkan tengah sibuk mencari jalan keluar un-
tuk menghadapinya. 
"Keak! Keakkk!"
Sambil bersuara riuh ketiga puluh anggota
Pasukan Kumbang Neraka terus berlari memutari
Siluman Ular Putih. Lama kelamaan, kepala pe-
muda itu pening, tapi Siluman Ular Putih tidak
menyerah begitu saja. Diam-diam kekuatan ba-
tinnya yang dipelajarinya dari Raja Penyihir mulai
dikerahkan.
Hasilnya, tetap saja. Tak ada perubahan.
"Aneh! Benar-benar aneh! Kenapa aku tak
dapat memunahkan pengaruh suara-suara riuh
ini?" gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
"Sekaranglah kau saatnya modar di tan-
ganku, Bocah! Hea...!"
Berbareng teriakan nyaring, tiba-tiba Pen-
gasuh Setan menghentakkan kedua tangannya,
melepas aji 'Tangkal Petir'. Seketika dua larik si-
nar merah menyala melesat dari kedua telapak

tangannya mengancam Siluman Ular Putih yang
tak mungkin bisa menghindar dalam keadaan be-
gitu. Akibatnya....
Desss! Desss! 
"Aaakh...!"
Siluman Ular Putih menggembor setinggi
langit saat dua sinar itu telah menghantam da-
danya. Tubuhnya kontan terlempar jauh ke bela-
kang, berputar-putar sebentar dan menghantam
batang pohon.
Sebenarnya, Siluman Ular Putih tadi ingin
sekali memapak aji 'Tangkal Petir' milik Pengasuh
Setan. Tapi bagaimana mungkin kalau tenaga da-
lamnya seperti lenyap entah ke mana? Sekujur
tubuhnya pun lemas tak bertenaga. Jangankan
untuk mengerahkan tenaga dalam, untuk meng-
hindar dari serangan saja tak sanggup. 
Kini Siluman Ular Putih menggereng hebat.
Luka dalam akibat pukulan Pengasuh Setan
membuatnya jadi beringas. Hawa amarahnya be-
nar-benar mulai mengubek-ubek ubun-ubun ke-
pala.
Saking tak tahannya, mendadak sekujur
tubuh Siluman Ular Putih dipenuhi asap putih ti-
pis. Saat asap putih itu hilang tertiup angin, ma-
ka seketika itu juga....
"Gggeeerrr...!"


10


"Siluman Ular Putih keparat! Walaupun
kau menjelma jadi ular putih raksasa, tetap saja
kau tak dapat luput  dari tangan mautku!" desis
Pengasuh Setan, sarat ancaman.
Pengasuh Setan hanya tertawa meremeh-
kan melihat lawannya telah berubah menjadi ular
raksasa dengan badan sebesar pohon kepala.
Enak sekali gayanya. Seolah-olah, ia telah me-
nang dalam pertarungan. Sambil tetap duduk
bersila, Pengasuh Setan terus mengerahkan aji
'Panglipur Setan'. Dan dibantu suara-suara riuh
rendah dari anggota-anggota Pasukan Kumbang
Neraka membuat aji 'Panglipur Setan' makin he-
bat menyerang Siluman Ular Putih. 
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng murka.
Ekornya dikibaskan ke sana kemari. Sepasang
matanya yang mencorong tak henti-hentinya
mengamati Pengasuh Setan seksama dan para
anggota Pasukan Kumbang Neraka yang terus
mengeluarkan suara-suara aneh sambil terus ber-
lari memutarinya.
"Anak-anak! Bantai ular jejadian satu ini!"
perintah Pengasuh Setan dengan suara mengge-
muruh.
"Keak! Keaaakkk!"
Suara riuh rendah anggota Pasukan Kum-
bang Neraka makin ramai terdengar. Pedang di
tangan kanan berkilatan terjilat cahaya bulan.
Dan  berbareng teriakan-teriakan bergemuruh,
Pasukan Kumbang Neraka mulai menerjang Si-

luman Ular Putih.
Sementara sambil tetap bersila Pengasuh
Setan tak kalah ganas menghentakkan kedua te-
lapak tangannya yang berwarna merah menyala
ke arah Siluman Ular Putih. Seketika dua larik
sinar merah menyala meluruk dari kedua telapak
tangannya
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali kedua sinar itu menghantam,
membuat Siluman Ular Putih menggereng hebat.
Tubuhnya oleng ke samping. Pada saat yang sa-
ma, berpuluh-puluh mata pedang pasukan berke-
lebat menyerang pula.
Crakkk! Crakkk!
Siluman Ular Putih menggeliat hebat. Ba-
cokan-bacokan Pasukan Kumbang Neraka sedikit
pun tak dapat melukai tubuhnya yang putih. De-
mikian juga pukulan aji 'Tangkal Petir' milik Pen-
gasuh Setan tadi!
Memang, itulah salah kehebatan Siluman
Ular Putih. Bila telah menjelma menjadi seekor
ular putih raksasa tubuhnya akan menjadi kebal
terhadap segala macam senjata pusaka maupun
terhadap berbagai macam pukulan mematikan.
Lebih hebatnya lagi, ternyata Siluman Ular Putih
sama sekali tidak terpengaruh oleh suara-suara
aneh yang terus didengungkan Pengasuh Setan
dan ketiga puluh anak buahnya.
Kenyataan ini tak luput dari pengamatan
Pengasuh Setan, sehingga membuatnya terheran-
heran. Sungguh, ia tak percaya melihat keheba-
tan Siluman Ular Putih.

"Keparat! Kau tetap tidak akan luput dari
tangan mautku, Siluman Ular Putih! Jangan diki-
ra aku tak dapat mengalahkanmu!"     
Pengasuh Setan membentak penuh kema-
rahan. Sulit sekali membayangkan kemarahannya
saat ini. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Gigi-
gigi bergemeletukkan. Ini jelas menandakan kalau
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro tak in-
gin tanggung-tanggung lagi. 
"Gggeeerrr...!"
Tapi mendadak Siluman Ular Putih telah
lebih dulu menerjang ke depan. Taringnya yang
runcing siap memangsa siapa saja yang berada di
depannya. Sementara, kibasan-kibasan ekornya
siap pula meremukkan siapa saja yang ada di de-
katnya.
"Keak! Keaaakkk!"
Dan tanpa mengenai rasa takut sedikit
pun, Pasukan Kumbang Neraka malah menyam-
but serangan Siluman Ular Putih. Pedang di tan-
gan kanan mereka tak henti-hentinya menyambar
tubuh ular raksasa itu.
Kresss!
Mulut besar Siluman Ular Putih berhasil
mencengkeram salah satu anggota Pasukan
Kumbang Neraka. Dilumatnya tubuh itu hingga
hancur berkeping-keping, bahkan langsung ter-
bakar.
Tanpa mempedulikan api di mulutnya
kembali Siluman Ular Putih mencari mangsa lain.
Seperti korban pertama, tubuh seorang anggota
Pasukan Kumbang Neraka yang tertangkap segera

dilumatnya hingga terbakar. 
"Gggeeerrr...!"
Sepasang mata Siluman Ular Putih menco-
rong tajam siap mencari mangsa lain. Kepalanya
digerak-gerakkan sedemikian rupa, mungkin me-
rasa heran atas kejadian di depan matanya. Na-
mun hal itu bukan berarti Siluman Ular Putih
bertindak sampai di situ. Malah dengan kecepa-
tan mengagumkan tubuhnya kembali meluruk.
Baik terkaman maupun kibasan-kibasan ekornya
kembali mencari korban hingga tubuh anggota-
anggota Pasukan Kumbang Neraka tercerai-berai
dan kontan terbakar.
Bukan main!
Andai saja Siluman Ular Putih tidak dapat
mengatasi sepak terjang Pengasuh Setan dan pa-
sukannya, bukan mustahil dunia persilatan akan
mendapat bencana besar. Siapa yang dapat me-
nandingi Pengasuh Setan dan pasukannya?
Mungkin tidak ada! Inilah yang diam-diam men-
gusik hati Siluman Ular Putih, juga mengusik hati
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Dan kini lelaki tua
berjubah kuning kedodoran itu terus saja asyik
mengikuti jalannya pertarungan di hadapannya
dengan seksama. 
"Tak percuma rupanya kau mendapat gelar
Siluman Ular Putih, Bocah. Tubuhmu pun ternya-
ta ke-bal. Bagus-bagus! Senang sekali aku men-
dapat lawan imbang begini!" teriak Pengasuh Se-
tan, pongah. Walau dalam hatinya cemas meng-
hadapi kehebatan Siluman Ular Putih, tapi seba-
gai seorang tokoh sakti dunia persilatan jelas ha-

tinya amat senang menghadapi lawan seimbang
"Gggeeerrr,..!"      
Entah kenapa Siluman Ular Putih diam tak
bergerak di tempatnya. Sepasang matanya yang
mencorong seolah menerawang jauh ke depan.
Meski berbentuk seekor ular, pada dasarnya itu
perwujudan dari seorang manusia biasa yang
mempunyai akal pikiran. Begitu melihat ketang-
guhan Pengasuh Setan dan pasukannya, tak
urung juga membuat Siluman Ular Putih berpikir
untuk mencari cara menemukan kelemahan la-
wan.
Sementara terus berpikir, sengaja Siluman
Ular Putih membiarkan tubuhnya jadi sasaran
empuk serangan-serangan Pasukan Kumbang Ne-
raka yang tersisa maupun serangan-serangan
Pengasuh Setan. Sepenuhnya ular raksasa ini
percaya kalau tubuhnya kebal. Maka kesempatan
itu dimanfaatkan untuk terus berpikir hingga ak-
hirnya....
"Gggeeerrr...!"
Mendadak sosok ular putih raksasa itu te-
lah dipenuhi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya
bayangannya tidak kelihatan sama sekali. Dan
ketika uap tipis itu sirna tertiup angin, yang tam-
pak kali ini adalah seorang pemuda gondrong
berpakaian putih keperakan. Itulah sosok Soma
yang kini tahu-tahu telah memegang senjata pu-
sakanya.
Soma berdiri di antara kerumunan Penga-
suh Setan dan sisa anggota Pasukan Kumbang
Neraka yang menghentikan serangan saat tubuh

Siluman Ular Putih tertutup asap tadi. Tampak
santai sekali sikap murid Eyang Begawan Kama-
setyo kali ini. Sebaris senyum nakal tersungging
di bibirnya. 
"Tolol! Kenapa cara ini baru muncul seka-
rang?! Bukankah kekuatan Pengasuh Setan ju-
stru terletak pada suara-suara aneh yang keluar
dari mulutnya maupun mulut para anak buah-
nya? Sudah jelas kalau suara-suara aneh itu
mengandung kekuatan gaib yang hebat bukan
main. Kenapa aku tidak segera menghadapi kehe-
batan mereka dengan senjata andalanku ini. Bu-
kankah Eyang Begawan Kamasetyo pernah berka-
ta kalau senjata andalanku ini pun mampu men-
gatasi serangan-serangan tenaga gaib? 
Tenaga-tenaga yang bersumber dari segala
macam setan atau ilmu arwah-arwah gentayan-
gan? Ah...! Bodohnya aku!" 
Sejenak Siluman Ular Putih masih terman-
gu-mangu di tempatnya. Soma kini seolah baru
saja bangun dari mimpi buruk. Dan begitu Pen-
gasuh Setan dan pasukannya kembali bertindak... 
Tuuut....Tut...tulittt...! 
Tanpa membuang-buang waktu lagi Silu-
man Ular Putih segera meniup senjata andalan-
nya. Mula-mula perlahan saja. Selang beberapa
saat, tiupan senjata anak panah yang sekaligus
juga berupa sebuah suling itu berubah jadi
menghentak-hentak! Akibatnya.....
Seketika Pengasuh Setan dan sisa-sisa pa-
sukannya berteriak kalap. Mata mereka membe-
liak lebar, seolah melihat malaikat maut di depan

mata.
"Kaaakh... kaaakh...!"
Selang beberapa saat, teriakan-teriakan
anggota Pasukan Kumbang Neraka dan Pengasuh
Setan terdengar makin mengerikan. Mirip suara-
suara aneh makhluk-makhluk halus penghuni
kubur yang tengah sekarat menghadapi maut.
Hingga akhirnya....
Blaaammm...!
Mendadak terdengar satu ledakan hebat di
udara. Bumi laksana diguncang prahara. Bersa-
maan dengan itu tubuh anggota-anggota Pasukan
Kumbang Neraka luruh ke tanah, tak dapat ban-
gun lagi. Hanya Pengasuh Setan sajalah yang ma-
sih terus berteriak-teriak mengerikan.
Siluman Ular Putih tak mempedulikannya.
Senjata andalannya terus saja ditiup.
Pretak! Pretak!
Perlahan-lahan tubuh Pengasuh Setan mu-
lai menyala. Mula-mula hanya diselimuti kobaran
api tipis. Tapi sejurus kemudian kobaran api itu
makin menjadi-jadi. Teriakan-teriakan Pengasuh
Setan pun makin menggila. Bahkan kini berlari-
lari kalap ke sana kemari. Lalu..... 
Blaaam!
Tubuh Pengasuh Setan mendadak hancur
kali ini. Ledakan dahsyat dari dalam jasadnya
membuat anggota tubuhnya tercerai-berai. Tewas
seketika itu juga.
Semua yang berada di tempat pertarungan
terheran-heran dibuatnya. Sungguh sulit dimen-
gerti. Ternyata dengan cara itulah Pengasuh Se-

tan menemui ajal!
Sedangkan Siluman Ular Putih sendiri se-
makin mengagumi senjata andalannya. Sejenak
senjata pusaka itu ditimang-timang, lalu dis-
usupkan ke balik jubahnya.

***

Pada saat Pengasuh Setan tewas....
Mendadak kawah di puncak Gunung Sin-
doro bergolak hebat. Angin badai seolah-olah in-
gin memporak-porandakan apa saja yang ada di
puncak.
Sementara pada saat itu Maling Tanpa
Bayangan terus menahan gempuran Telapak Ga-
jah dan burung hantu raksasa bernama Meruya.
Maka melihat perubahan alam yang mendadak
hatinya langsung tersaput keheranan. Dan kehe-
ranannya makin bertambah saat melihat tubuh
burung hantu raksasa itu mendadak jadi terba-
kar! Menggelepar-gelepar sebentar, lain luruh ke
tanah dengan tubuh hangus!
Demikian pula yang terjadi pada Telapak
Gajah. Mungkin karena saking tidak tahan me-
nahan getaran-getaran tenaga gaib dalam tubuh-
nya yang ingin meronta keluar, membuat  tubuh
Telapak Gajah luruh ke tanah dengan tubuh han-
gus terbakar!
Melihat para penyerangnya telah menemui
ajal, tanpa mempedulikan gejolak alam yang ten-
gah murka, Maling Tanpa Bayangan bergegas
berkelebat ke sana kemari mencari Kitab Paguyu-

ban Setan yang sangat diidamkan.
Mungkin karena sudah suratan takdir, ru-
panya nasib baik berpihak pada Maling Tanpa
Bayangan. Di saat tengah menuju batu besar
tempat Pengasuh Setan biasa duduk di situ, se-
pasang matanya jadi berbinar-binar.
Ternyata kitab yang sangat diidam-
idamkan itu disembunyikan di balik bongkahan
batu besar di tengah-tengah lautan pasir puncak
Gunung Sindoro. Mungkin karena guncangan ke-
ras bagai gempa bumi, mengakibatkan batu itu
bergeser. Maka tampaklah kitab yang diidamkan
Maling Tanpa Bayangan dan juga tokoh-tokoh
dunia persilatan lain!
Bukan main girangnya hati Maling Tanpa
Bayangan saat itu. Matanya kontan membelalak
lebar. Segera diambilnya kitab yang diyakininya
dapat mengalahkan Siluman Ular Putih. Lantas
bencana apa yang bakal terjadi lagi...?

SELESAI

Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com