Siluman Ular Putih 15 - Pengasuh Setan(2)


7

Siang terasa cerah, angin bertiup kencang
membuat debu-debu beterbangan. Berputar-putar
ke mana saja arah angin membawa. Pohon-pohon
pun berderak. Daun-daun berguguran. Beterban-
gan ke hamparan tanah di sekitarnya.
Dari sebelah timur Hutan Besiar Kembar
seorang lelaki tua renta berpakaian hitam lusuh
tengah berkelebat cepat ke arah putaran angin.
Hidungnya yang pesek tak henti-hentinya men-
gendus-endus bak seekor anjing pelacak.
Sebentar-sebentar lelaki tua renta yang tak
lain Pengasuh Setan memperlambat gerakan ka-
kinya dalam keadaan masih mengendus-endus.
Seolah-olah ia tidak ingin kehilangan jejak bau
anyir darah muridnya yang dari tadi terus diikuti.
Namun begitu sampai di putaran angin, Pengasuh
Setan menggeram penuh kemarahan. Mendadak,
bau darah muridnya menghilang. 
Sejenak Pengasuh Setan ragu-ragu. Mung-
kinkah si pembunuh muridnya lari ke utara?
Atau ia memang terkecoh oleh angin kencang
yang berkesiur? Sebab bukan mustahil angin
kencang itu bisa menyesatkan! 
Untuk beberapa saat, Pengasuh Setan hanya
terpaku di tempatnya. Ia masih belum tahu apa
yang akan diperbuat. Yang dilakukan kini hanya
menatapi debu-debu dan daun-daun kering yang

beterbangan. Sementara hatinya sangat gelisah
kalau tidak dapat menemukan pembunuh murid-
nya. Padahal, ia ingin sekali menuntut balas atas
kematian muridnya. "Angin keparat! Bukannya
membantuku, malah mengacaukanku. Aku kehi-
langan jejak bau darah muridku. Huh...!" dengus
Pengasuh Setan penuh kemarahan. Hidung pe-
seknya kembali mengendus-endus. Namun, bau
darah muridnya hanya tercium samar-samar.
Bahkan bisa jadi ia malah akan terkecoh.
Tiba-tiba Pengasuh Setan mendongak. Langit
amat cerah di atas sana. Gumpalan-gumpalan
awan putih bergerak cepat ke utara. Tak seperti
biasanya. Angin kali ini memang cukup kencang.
Hal ini sudah biasa bila musim kemarau berke-
panjangan.
Pengasuh Setan tidak tertarik lagi memper-
hatikan sekitarnya. Perhatiannya kali ini kembali
tersita oleh bau darah muridnya yang sempat
menghilang. Bau di saat tiupan angin sedikit me-
reda, tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro ini
dapat mencium bau darah muridnya. Tidak ke
utara, melainkan ke barat. Berarti pelacaknya bi-
sa diteruskan.
"Jelas sekali kalau pembunuh muridku lari
ke barat. Hm...! Untung saja aku belum bertin-
dak. Kalau tadi aku tidak sabar, sudah pasti akan
terkecoh. Sial! Benar-benar sial. Hampir saja aku,
terkecoh oleh tiupan angin," rutuk Pengasuh Se-
tan dalam hati.
Dan Pengasuh Setan memang tidak ingin lagi
berlama-lama di tempat itu. Sekali menjejak ta-

nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah ber-
kelebat cepat ke barat. Hidungnya yang pesek tak
henti-hentinya mengendus mengikuti bau darah
muridnya yang hanya tercium samar-samar. Na-
mun belum jauh melangkah, mendadak penden-
garannya yang tajam menangkap langkah-
langkah halus di belakangnya.

***

"Mungkin inilah yang dinamakan pucuk di-
cinta ulam tiba. Dicari-cari ke mana-mana, eh ti-
dak tahunya kutemukan di sini!"
"Kau...!"
Sepasang mata indah Putri Manja membela-
lak lebar ketika Siluman Ular Putih memergo-
kinya di sebuah sendang. Gadis ini benar-benar
tidak ingin bertemu kembali dengan pemuda sint-
ing yang telah mengganggu kesenangannya se-
waktu di kedai makan milik Sukiat. Pertemuan-
nya kali ini benar-benar membuat hatinya meng-
kelap.
Bila Putri Manja merasa menyesal sekali atas
pertemuan itu, tidak demikian halnya Soma. Pe-
muda ini dari tadi sudah kesal karena tidak me-
nemukan air untuk membasuh tubuhnya. Tapi
mendadak ia jadi tersenyum senang saat mene-
mukan Putri Manja kembali di sendang Hutan
Besiar Kembar.
"Ya, aku. Senangkah bertemu kembali den-
ganku?" tukas Soma gembira. Senyum manisnya
mendadak diumbar lebar. Seolah dengan senyum

itu, ia ingin memikat kecantikan gadis di hada-
pannya.
"Pergi-pergi! Aku benci padamu! Aku tak in-
gin bertemu lagi dengan kau!" usir Putri Manja.
Saat itu, Putri Manja memang bermaksud
mandi. Maka begitu melihat Soma telah berada di
hadapannya, pakaiannya urung dibuka. Sedang
Soma yang berada persis di hadapannya hanya
bersiul-siul gembira. Ia tadi memang sempat me-
lihat belahan dada gadis manja di hadapannya.
Maka tak heran kalau pandang matanya masih
lekat pada dua bukit kembar itu. Walau si gadis
cantik telah mengenakan pakaiannya kembali.
Putri Manja mendelik, gusar. Kesal sekali ha-
tinya diperhatikan seperti itu oleh mata Soma.
"Pergi? Cepat tinggalkan tempat ini! Aku tak
sudi lagi melihat tampangmu!" usir si gadis.
Soma meringis. Sungguh tidak disangka ka-
lau Putri Manja masih marah padanya.
"Kita kan teman. Apa kita tak bisa berbaikan
lagi, Putri Manja?" bujuk Soma.
"Tidak. Aku benci padamu. Kau bukan te-
manku. Pergi!" usir si gadis, sekali lagi
"Oh..., begitu. Jadi kau mengusirku? Sejak
kapan kau jadi pemilik sendang ini. Kulihat kau
mau mandi. Aku juga. Aku mengusulkan bagai-
mana kalau kita mandi bersama?" goda Soma la-
gi.
"Cih! Tak tahu malu! Pemuda macam apa
kau ini?! Diusir malah berkata jorok. Pergi! Pergi!"
Putri Manja gusar bukan main. Cepat dica-
butnya senjata andalan yang terselip di pinggang.

Lalu dengan kemarahan meluap, gunting di tan-
gannya telah menyerang Siluman Ular Putih.
Crik! Crikkk!
"Uts...!"
Soma berkelit ke samping. Sebenarnya kalau
mau, mudah saja Putri Manja dilumpuhkannya.
Tapi si pemuda tidak ingin melakukannya. Ia ti-
dak ingin Putri Manja membenci dirinya. Ma-
kanya, otaknya kini berputar mencari akal.     
"Ciaaat...!"
Crikkk! Crikkkk!
Tanpa ampun gunting di tangan Putri Manja
terus memburu tubuh Siluman Ular Putih. Malah
kali ini gadis itu tak segan-segan mengeluarkan
jurus Tarian Bidadari setelah serangan perta-
manya tadi gagal. Tentu saja hal ini membuat Si-
luman Ular Putih kewalahan dan tak mungkin
menghindar terus menerus. Bisa-bisa tubuhnya
dijadikan serpihan daging oleh gunting Putri Man-
ja. Namun untuk balas menyerang, itu lebih tidak
mungkin. Makanya meski sesulit apa pun Silu-
man Ular Putih terus berusaha menghindar.
"Tunggu, Putri! Ada ulat bulu di pundakmu!
Hiy...! Aku takut. Aku.... Aku...," pekik Siluman
Ular Putih, berdusta.
Akibatnya sungguh di luar dugaan. Putri
Manja menghentikan serangannya dan langsung
berteriak-teriak kalap. Ia berjingkrak-jingkrak ke-
takutan. Berkali-kali ujung gunting di tangannya
digerakkan ke pundak berusaha mengusir ulat
bulu yang menurut Soma menempel di pundak.
"Belum jatuh. Ulatnya masih menempel di

pundakmu. Malah sebentar lagi akan merayap ke
tengkuk. Hiy! Ngeri. Aku takut. Sebaiknya aku
cepat pergi dari tempat ini. Selamat tinggal!" kata
Soma, terus menakut-nakuti.
"Soma...! To... tolong aku!" ratap Putri Manja,
berteriak ketakutan. Wajahnya kian pucat pasi.
"Lho? Bukankah tadi kau mengusirku? Ke-
napa sekarang aku harus menolongmu? Aku ti-
dak mau. Aku juga takut dengan ulat bulu," goda
Soma. Diam-diam Soma tersenyum senang meli-
hat siasatnya berjalan lancar.
"Soma...! Aku tidak lagi mengusirmu. Cepat
ambil ulat bulu di pundakku!" pinta Putri Manja
penuh harap.
Soma tetap jual mahal. Hatinya begitu se-
nang melihat kekalapan Putri Manja.
"Soma...! Cepat tolong aku, Soma. Aku ta-
kut...!" pinta Putri Manja memelas.
Lama-lama, Soma jadi kasihan. Kali ini Putri
Manja benar-benar mulai menitikkan air mata.
Tak mungkin gadis itu dibiarkan tersiksa lebih
lama.
"Baik. Tapi ada syaratnya," kata Soma me-
nyanggupi
"Iya, iya. Syarat apa pun akan kupenuhi, as-
al yang bukan-bukan," sahut Putri Manja.
"Benar?"
"Benar. Cepat ambil ulat itu!" pekik Putri
Manja tak sabar. 
"Baik."
Soma tersenyum gembira. Memang siasat
itulah yang diinginkannya. Tanpa banyak cakap

segera didekatinya Putri Manja. Namun kini ma-
lah Soma yang jadi bingung sendiri. Karena me-
mang, di pundak Putri Manja tidak ada ulat bulu.
Tadi itu hanya akalnya saja. Sekarang setelah
disuruh mengambil ulat bulu di pundak Putri
Manja, Soma jadi berpikir. Ia harus menemukan
ulat bulu. Kalau tidak, bisa jadi Putri Manja ma-
kin kalap karena telah dibohongi. Ini berarti ma-
kin memperdalam kemarahan gadis manja itu.
"Kenapa diam saja? Cepat ambil, Soma!" te-
riak Putri Manja, melihat Soma hanya terpaku.
"Aku... Aku tid... tid… Eh, maksudku.... Aku
takut, Putri. Ngeri! Aku tak berani mengambil,"
sahut Soma beralasan.
"Soma...!!!" pekik Putri Manja makin kalap.
"I... Iya. Aku.... Aku... bagaimana kalau
kuambil pakai kayu saja?" kata Soma, gugup.
"Soma! Kau benar-benar menjengkelkan. Ce-
pat ambil ulat itu!" teriak Putri Manja. 
Tanpa peduli, Soma malah melompat ke se-
buah pohon. Dalam hatinya, ia harus cepat men-
dapatkan ulat bulu. Kalau tidak, bisa kapiran.
Untungnya di saat Soma mendarat di sebuah po-
hon, tiba-tiba matanya melihat seekor ular bulu
besar berwarna hitam mirip warna ranting pohon
di depannya.
Soma bersorak kegirangan. Buru-buru dipa-
tahkannya ranting pohon itu lalu segera meloncat
turun.
Di bawah, Putri Manja masih saja berteriak-
teriak kalap. Ia benar-benar takut pada ulat bulu.
Sementara hatinya juga tak melihat Soma pun ta-

kut pada ulat bulu. Maka begitu melihat Soma tu-
run, Putri Manja pun segera menghampiri murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Tanpa banyak cakap, Soma pura-pura
menggerak-gerakkan ranting kayu di tangannya
ke pundak Putri Manja. Lalu segera ditunjukkan-
nya ranting kayu di tangan kanannya ke arah Pu-
tri Manja.
Putri Manja memekik senang. Tanpa sadar
segera dirangkulnya Soma.
Siluman Ular Putih tersenyum. Senang seka-
li mendapat pelukan hangat dari gadis manja itu.
"Cepat, Soma! Bunuh ulat itu. Aku takut.
Takut sekali!" rajuk Putri Manja, menggemaskan.
"Baik."
Soma segera menjentikkan jari-jarinya. Se-
kali saja. Akibatnya, tubuh ulat bulu itu telah
mencelat jauh dengan tubuh hancur.
"Nah, sudah. Ulat bulu itu sudah mati. Seka-
rang tinggal giliranmu. Kau tidak boleh memben-
ciku. Kau harus patuh padaku. Kau harus jadi
teman baikku. Kau harus...."
"Soma!" potong Putri Manja. "Cepat kau
membelakangiku! Aku tak ingin kau melihatku."
"Lho? Jadi, kau masih membenciku?" Soma
terperangah.
Putri Manja tersenyum. Manis sekali, mem-
buat Soma melongo. 
"Tidak. Aku tidak membencimu. Aku cuma
mau mandi. Sejak tadi pagi aku belum mandi.
Nah sekarang cepat belakangi aku!" seru Putri
Manja.

"Tapi aku juga mau mandi. Bagaimana kalau
kita mandi bersama," usul Soma.
"Enak saja! Cepat belakangi aku!"
"Ba... baik."
"Nah, begitu. Awas kalau kau coba-coba
mengintip. Kupotong lehermu dengan guntingku
ini!"
"Iya, iya. Cepat. kalau kau mau mandi. Aku
juga panas. Sudah dua hari aku belum mandi.
"Pantas baumu mirip kerbau!" ledek Putri
Manja, lalu disusul suara tawanya yang menggeli-
tik.
Soma hanya diam saja. Meski dalam hatinya
menggerutu, namun toh menurut juga. Sedikit
pun kepalanya tak berani dipalingkan ke bela-
kang. Selain tak berani, juga malu pada dirinya
sendiri.     
Selang beberapa saat Soma baru mendengar
suara tawa saat gadis manja itu tengah bermain
air. Diam-diam pemuda itu jadi iri. Tubuhnya te-
rasa panas. Bukannya karena membayangkan so-
sok tubuh mulus di belakangnya, melainkan ka-
rena memang sudah kebelet sekali ingin mandi. 
"Cepat, Putri! Memangnya hanya kau saja
yang ingin mandi?!" ujar Soma tak sabar. 
"Hik hik hik...! Enak sekali, Soma. Segar.
Rasa-rasanya ingin sekali aku berlama-lama
mandi. Awas, Soma! Kau tidak boleh mengin-
tipku. Aku masih ingin berenang sebentar" sahut
Putri Manja seenaknya.
Soma manyun berat. Suara kecipak-kecipuk
di belakangnya benar-benar menggoda hatinya.

Hatinya tak sabar lagi untuk berendam dalam air.
Syukur bisa bersama-sama gadis manja itu. Na-
mun sialnya, gadis di belakangnya malah seperti
menggoda.
"Cepat, Putri! Aku tidak sabar  lagi. Kalau
kau tidak mau cepat-cepat, terpaksa aku akan
nekat menemanimu mandi," ancam Soma.      
"Jangan, Soma! Jangan!" teriak Putri Manja.
"Makanya cepat!" 
"Baik, baik." 
"Soma tersenyum. Senang sekali hatinya me-
lihat gadis itu ketakutan mendengar ancamannya.
Namun bukan itu saja yang membuat hatinya se-
nang. Melainkan air di belakangnya.

***

"Ompong! Bagus kau datang menemuiku.
Kali ini tak mungkin kau luput dari kematianmu!"
Dengan bentakan kasar, Pengasuh Setan
menghentikan langkahnya dan berbalik. Sepa-
sang matanya yang cekung tampak berwarna me-
rah saga menatap lelaki tua berjubah kuning ke-
dodoran yang tak lain Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Dengusan napasnya memburu, pertanda
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro itu mu-
lai dipenuhi hawa membunuh. Hawa yang akan
diwarnai pertumpahan darah!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang. Sungguh tidak disangka ia akan bertemu
musuh besarnya di tempat ini.
"Manusia bejat! Beruntung sekali aku berte-

mu denganmu. Beruntung sekali karena sebentar
lagi aku akan mengirim nyawa busukmu ke dasar
neraka. Belum puas aku kalau belum melam-
piaskan sakit hatiku," sahut Pelukis Sinting Tan-
pa Tanding terkekeh senang.
Pengasuh Setan mendengus angkuh. Kilatan
sepasang matanya yang berwarna merah saga
semakin mengerikan. Seolah ia ingin menelan
musuhnya hidup-hidup dalam kilatan matanya.
"Tak perlu banyak bacot! Kalau kau ingin
melampiaskan sakit hatimu, majulah! Aku ingin
melihat sampai di mana kehebatanmu," tantang
Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan mengangguk-angguk, mera-
sa yakin kalau tua bangka di hadapannya bukan-
lah pembunuh muridnya. Hidungnya sama sekali
tidak mencium bau darah muridnya pada diri Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding. Yang tercium hanya
bau keringat tua bangka di hadapannya. Apek!
"He he he...! Lagakmu dari dulu selalu pon-
gah, Pengasuh Setan. Aku benar-benar benci
dengan lagakmu. Kau memang patut mampus di
tanganku," kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Pengasuh Setan menggereng penuh kemara-
han. Hawa membunuh dalam dirinya makin ber-
kobar. Rahangnya mengembung, tak ubahnya se-
perti bisul yang siap pecah.
"Heaaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, Pen-
gasuh Setan meluruk ke arah musuh besarnya.
Tanpa banyak cakap kedua telapak tangannya
yang telah berubah jadi hitam legam segera dido-

rongkan ke depan.
Wuuttt...!
"Uts...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding cepat melent-
ing ke atas, sehingga serangan dua larik sinar hi-
tam dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan
melesat di bawah kakinya.
Blarrr...! 
"Heh...?!"
Begitu mendarat, Pelukis Sinting Tanpa
Tanding terkesiap. Matanya terbelalak lebar saat
melirik ke arah tempat kedua sinar hitam tadi
menghantam. Sebuah batang pohon berukuran
lima pelukan orang dewasa di belakang Pelukis
Sinting Tanpa Tanding kontan hancur berkeping-
keping. Pada bagian batang pohon yang terkena
pukulan kontan menjadi abu.
"Pukulan 'Bara Setan'...!" desis Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding
Pengasuh Setan menggeretakkan geraham-
nya penuh kemarahan. Hawa membunuh dalam
dirinya makin berkobar. Bahkan makin sulit di-
kendalikan!

8

"Soma! Apakah kau tadi sudah mengirim be-
gundal-begundal itu ke kadipaten?" tanya Putri
Manja mengusik kesenangan Soma di tengah
sendang. 
"Begundal-begundal yang mana?" sahut So-

ma tak senang.
Putri Manja memberengut. Tak senang men-
dengar jawaban Soma yang ketus.
"Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak
buahnya, Soma. Apakah kau sudah membawa
mereka ke kadipaten?" seru Putri Manja kesal.
"Belum."
"Apa? Belum?" Sepasang mata indah milik
Putri Manja kontan membelalak indah. Ia kecewa
sekali atas jawaban Soma. 
"Kau sudah mendengar. Kenapa pakai tanya-
tanya segala?"
"Bodoh! Seharusnya kau mengirim mereka
ke kadipaten. Tapi, mengapa kau malah dibiarkan
berkeliaran. Kau ini bagaimana, sih?! Kerja begitu
saja tidak becus!" semprot Putri Manja kasar.
Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini
terus saja asyik berenang ke sana kemari mem-
biarkan Putri Manja uring-uringan di tepi sen-
dang.
"Soma...! Kau benar-benar menjengkelkan.
Aku tak sudi berkawan lagi denganmu!" teriak Pu-
tri Manja.
Soma terkesiap, baru menyadari kebodohan-
nya. Namun mana kala kepalanya berpaling, So-
ma jadi menyesal Putri Manja kini sudah tidak
berada di tempatnya. Buru-buru Soma keluar da-
ri sendang.
"Putri...! Tunggu! Kau jangan marah-marah
begitu! Aku tadi sudah menyuruh laki-laki pemi-
lik kedai itu untuk membawa mereka ke kadipa-
ten," teriak Soma lantang, saat melihat Putri Man-

ja melangkah menjauhi.
"Dasar bodoh. Bisa saja laki-laki mata keran-
jang itu? Kenapa kau suruh ia membawa Juragan
Lanang dan para anak buahnya ke kadipaten?
Benar-benar bodoh kau, Soma!" sahut Putri Man-
ja dari kejauhan.
"Putri...! Tunggu! Kau sendiri kenapa tadi
meninggalkanku? Kau curang! Kau mau menang-
nya sendiri, Putri?" teriak Soma.
"Biar!"
Soma menggerutu kesal. Sebenarnya ia ingin
menyusul Putri Manja, namun tak jadi. Bukannya
tidak mau, tapi karena menyadari dirinya masih
telanjang. Bila tidak ingin ditertawakan orang,
maka pemuda ini harus kembali ke tempatnya
semula dan mengenakan pakaiannya kembali
Dan meski dengan hati berat, terpaksa Soma
mengenakan pakaiannya kembali. Sedang sosok
tubuh Putri Manja tampak terus berkelebat cepat
di kejauhan.
Soma mengeluh, tapi tak ada pilihan lain. 

***

Sepasang mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan setelah serangan per-
tamanya terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding
gagal. Bahkan amat mudahnya serangan itu di-
mentahkan musuh bebuyutannya.
Sifat angkuhnya jelas tidak bisa menerima
kegagalan barusan. Ia yang merasa setingkat le-
bih tinggi dibanding. Pelukis Sinting Tanpa Tand-

ing jelas tidak ingin kalah unjuk gigi. Apalagi Pen-
gasuh Setan yakin sekali dapat menundukkan
musuh bebuyutannya.
"Bagus! Rupanya kau masih ingat pukulan-
ku. Berarti kau pun harus mengingat-ingat kalau
pukulan 'Bara Setan' milikku akan segera mengi-
rim nyawa busukmu ke dasar neraka. Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini, Ompong!"
ancam Pengasuh Setan, congkak.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terke-
keh senang. Meski disadari betul kalau Pengasuh
Setan bukanlah lawan enteng, namun sikapnya
masih saja ayal-ayalan. Malah tindak tanduknya
makin dibuat-buat.
"Kau memang hebat sekaligus juga congkak,
Pengasuh Setan. Dulu kau boleh mempecundan-
giku. Tapi kali ini...," Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing sebentar berhenti berkata seraya memamer-
kan giginya yang ompong. Kuas di tangan kanan-
nya dikibas-kibaskan seenaknya. "Mungkin na-
sibku akan sedikit mujur. Kujamin kau akan ber-
susah payah menundukkanku. Tidak seperti yang
kau bayangkan. Malah bisa jadi kau akan lari
terbirit-birit meninggalkan tempat pertarungan
begitu melihat cat-cat minyakku. Kau pasti telah
siap kuberi hadiah. Kau mau minta gambar apa?
Gambar anjing buduk? Atau, gambar ular belu-
dak sepertimu?"
Bukan main geramnya Pengasuh Setan
mendengar ejekan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Rahangnya kini mengembung. Kedua pelipisnya
bergerak-gerak pertanda tokoh sesat dari puncak

Gunung Sindoro itu tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya yang menggelegak.
"Keparat! Kau harus membayar mahal atas
penghinaanmu ini, Ompong! Heaaa!" 
Dikawal teriakan nyaring, Pengasuh Setan
segera menerjang ganas Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hitam legam segera didorong ke depan. Se-
ketika tampak dua larik sinar hitam legam dari
kedua telapak tangannya, mengancam lawan.
Wesss! Wesss!
"Hup!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tak mau sem-
brono. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, ia cukup
tahu betapa hebatnya pukulan 'Bara Setan' milik
Pengasuh Setan. Maka seketika tubuhnya mence-
lat tinggi ke udara. Sekali tubuhnya berputaran.
Pada saat kepala di bawah, tubuhnya meluncur
dahsyat membuka serangan balik. Ujung kuas di
tangan kanannya segera diarahkan ke ubun-ubun
kepala lawan. Sedang nampan kayu mirip berben-
tuk mainan congklak telah siap pula mengancam
dada.
"Ah...!"
Pengasuh Setan terperangah kaget. Sungguh
tidak disangka musuh bebuyutannya mampu me-
lancarkan serangan balik demikian cepat dan
berbahaya. Untuk melindungi bagian yang amat
mematikan, segera kedua telapak tangannya di-
angkat ke atas.
Dukkk! Dukkkk! 
Begitu dua tangan masing-masing berbentu-

ran, kedua-duanya sama-sama tergetar. Tubuh
Pengasuh Setan limbung ke samping. Sedang tu-
buh Pelukis Sinting Tanpa Tanding mental balik
ke udara.
Pengasuh Setan menggeram penuh kemara-
han. Kedua lengannya terasa panas bukan main.
Bukan itu saja. Pada saat ia kehilangan keseim-
bangan, mendadak Pelukis Sinting Tanpa Tanding
yang telah mendarat kembali menyerang dengan
kuas di tangan.
Srat! Srattt!    
Dada Pengasuh Setan yang sedikit terbuka
tahu-tahu tergores kuas di tangan musuh besar-
nya, membentuk dua garis setengah melingkar
menyerupai sebuah kepala. Entah kepala apa.
Yang jelas Pengasuh Setan merasa gusar bukan
main. Bahkan dadanya yang terkena goresan
kuas tadi terasa mau jebol. Maka tanpa ampun,
tubuhnya pun terjajar ke belakang!
"Bedebah! Demi iblis sesembahanku, kali ini
aku benar-benar tak ingin melepaskan nyawa bu-
sukmu begitu saja. Kau harus modar di tangan-
ku!" dengus Pengasuh Setan menggereng penuh
kemarahan.
Habis menggereng, tanpa banyak cakap lagi
Pengasuh Setan segera menerjang Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Tidak tanggung-tanggung. Lang-
sung dikeluarkannya salah satu ajian andalan-
nya.
"Hm.... Aji ‘Tangkal Petir’...!" desis Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, menyebut ajian yang dike-
luarkan Pengasuh Setan.      

Dari raut wajahnya yang jenaka sedikit pun
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tidak merasa takut
melihat musuh besarnya mengeluarkan aji
'Tangkal Petir'. Malah seketika dia membuat bebe-
rapa gerakan dengan kuasnya.
"Akan kutandingi dengan aji 'Cat Hati Suci',"
gumamnya.
Begitu Pengasuh Setan menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan dada, seketika
tampak sekujur tubuhnya telah dipenuhi cahaya
merah berpendar. Sementara kedua telapak tan-
gannya pun juga berwarna merah menyala. Lalu
disertai teriakan keras kedua tangannya dihen-
takkan ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss! Wesss!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh. En-
tah karena musuh besarnya telah mengeluarkan
ajian andalannya, entah karena tak sabar meng-
hadapi pertarungan besar ini. Yang jelas begitu
melihat dua larik sinar merah menyala meluruk
ke arahnya, buru-buru nampan kayu di tangan
kirinya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika cairan cat beraneka warna itu mendi-
dih di dalam nampan kayu berhamburan, dengan
kekuatan tenaga dalam tinggi Pelukis Sinting
Tanpa Tanding meniupnya keras!
"Fhuhhh...!"
Werrr! Werrrr!
Besss!
Tak terdengar ledakan hebat ketika dua si-
nar merah milik Pengasuh Setan saling mendo-

rong dengan hamburan cat milik Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Tubuh kedua tokoh tua dunia
persilatan itu sama-sama tergetar hebat menan-
dakan kalau mereka sama-sama mengerahkan
tenaga dalam tinggi. Namun mereka tetap ngotot
untuk tetap bertahan. Sedikit pun  mereka tidak
mau mengalah. Bahkan kedua tokoh sakti dunia
persilatan itu makin melipatgandakan tenaga da-
lam, hingga membuat gulungan-gulungan cat mi-
nyak Pelukis Sinting Tanpa Tanding tertahan di
udara.
Tanpa dapat dicegah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding mengeluarkan keringat dingin. Demikian
juga Pengasuh Setan. Mereka pun sama-sama
mengeluarkan keluhan kecil. Tubuh kedua orang
itu pun makin bergetar hebat. Sebentar-sebentar
Pengasuh Setan merasakan tubuhnya menggigil
kedinginan. Sebentar kemudian gantian Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang merasakan tubuhnya
seperti terbakar.
"Heaaa...!"
Begitu berhasil menambah kekuatan tenaga
dalamnya, dengan kekuatan penuh mendadak Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding meniup keras. Aki-
batnya tubuh Pengasuh Setan limbung, kehilan-
gan keseimbangan. Bahkan bukan itu saja. Seca-
ra mendadak, gulungan-gulungan semburan cat
minyak milik Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus
merangsak dua larik sinar merah menyala dari
kedua telapak tangannya. 
Blasss...!!!
"Aaaakh...!"

Pengasuh Setan meraung setinggi langit.
Tanpa ampun gulungan cat minyak dari nampan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding merangsak da-
danya, membentuk gambar seekor anjing buduk
seperti yang dikatakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding tadi.
Bukan main geramnya hati tokoh sesat dari
Gunung  Sindoro itu melihat dirinya dapat dipe-
cundangi musuh besarnya. Bagian dadanya yang
terkena hantaman semburan cat minyak Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dingin luar biasa, seolah
dingin membekukan jantungnya.
Tentu saja hal ini membuat Pengasuh Setan
kalap. Tekadnya, serangan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding harus dibalasnya. Tapi sayang baru Saja
hendak membuat kuda-kudanya, samar-samar
matanya melihat kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding telah menyerang dadanya. Begitu
cepatnya, sehingga ia tak mampu menghindar.
Dan.... 
Srakkk! Srakkk!
"Aaakh...!"
Sekali lagi Pengasuh Setan meraung hebat.
Tubuhnya seketika terpelanting ke belakang, dan
jatuh berdebam. Bagian dadanya yang terkena
goresan kuas terasa nyeri bukan main. Seolah-
olah, ingin mengoyak isi dadanya.
Sembari bertolak pinggang Pelukis Sinting
Tanpa Tanding terkekeh ujung kuas di tangan
kanannya dituding-tudingkan ke arah Pengasuh
Setan. Gayanya mirip benar nenek-nenek cerewet
yang tengah memarahi cucunya. 

"Kubilang apa? Dasar bandel. Lebih baik bu-
nuh diri saja daripada tanganku kotor oleh darah
busukmu. Hayo, lekas minta ampun padaku. Pas-
ti aku akan mengampuni. Tapi kalau kau masih
bandel, pasti aku akan menjewer telingamu sam-
pai merah!" ancam Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing, galak. Tapi karena diucapkan sambil cen-
gengesan bukannya jadi tampak galak, malah se-
baliknya. 
"Heaaahh...!"
Pengasuh Setan menggeram murka. Dengan
sekali loncat, tubuhnya kembali tegak di hadapan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Kali ini, ia tidak
langsung menyerang, melainkan memandangi
musuh besarnya seksama. 
"Hebat! Rupanya kau sengaja menghilang
dari dunia persilatan hanya untuk mencari ajian
yang dapat melumpuhkan aji 'Tangkal Petir'-ku,
Ompong. Tapi jangan bangga dulu. Aku belum
kalah. Sekaranglah gantian aku mengalahkanmu.
Bahkan aku bukan hanya ingin mengalahkanmu,
tapi juga ingin mengirim nyawa busukmu ke da-
sar neraka dengan aji 'Panglipur Setan'! Bersiap-
siaplah menerima kematianmu, Ompong!" 
Makin renyah saja tawa terkekeh Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Namun diam-diam tokoh
sakti dari Goa Bedakah ini gelisah sekali. Baru
saja Pengasuh Setan mengerahkan  aji 'Tangkal
Petir' yang demikian hebat. Apalagi dengan aji
'Panglipur Setan' yang tentu lebih hebat diband-
ing ajiannya yang pertama.
"Boleh saja kalau kau bisa, Pengasuh Setan.

Ayo, jangan mengancam saja! Buktikan! Dari tadi
kau hanya pintar berkoar!" ejek Pelukis Sinting
Tanpa Tanding hanya sekadar menutupi rasa ge-
lisahnya. Hatinya khawatir kalau-kalau tidak
mampu mengatasi aji 'Panglipur Setan' milik Pen-
gasuh Setan. Maka  diam-diam tenaga dalamnya
makin dilipatgandakan kalau-kalau ada seran-
gan-serangan yang tak terduga. Namun serangan
yang ditunggu-tunggu tidak datang. Sementara
Pengasuh Setan malah duduk bersila di hada-
pannya. Kedua telapak tangannya ditangkupkan
di depan dada. Bibirnya berkemik-kemik dengan
mata tertutup. Entah, apa yang akan dilakukan.
Yang jelas, Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus
berjaga-jaga.
Di saat tengah berjaga-jaga, mendadak tokoh
sakti dari Goa Bedakah ini dikejutkan oleh bunyi-
bunyi aneh yang keluar dari mulut Pengasuh Se-
tan. Mula-mula bunyi gerengan itu hanya perla-
han. Selang beberapa saat, gerengannya jadi
menghentak-hentak. Keras. Amat keras!
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terperanjat.
Gendang telinganya terasa mau pecah. Buru-buru
tenaga dalamnya dikerahkan ke telinga untuk
melindungi gendang telinganya. Namun suara-
suara gerengan semakin menyerang luar biasa.
Suara-suara gerengan itu terus menerobos gen-
dang telinga Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Iba-
rat tangan-tangan setan mengaduk-aduk ke da-
lam kubangan air!
"Celaka! Bisa modar kalau begini terus ca-
ranya. Aku harus bertindak. Aku tak mau mati

konyol seperti ini. Tapi, bagaimana?" gumam hati
Pelukis Sinting Tanpa Tanding gelisah.
Suara-suara gerengan Pengasuh Setan pun
makin menghebat menghentak-hentak gendang
telinga Pelukis Sinting Tanpa Tanding tanpa am-
pun. Akibatnya tubuh lelaki tua dari Goa Beda-
kah itu terguncang. Dari kedua lobang telinganya
bahkan telah mengeluarkan darah segar!
"Sekaranglah saat kematianmu, Ompong!
Heaa...!" 
Tiba-tiba  tubuh Pengasuh Setan meloncat
tinggi ke udara. Kedua telapak tangannya yang
berisi aji 'Panglipur Setan' siap meremukkan
ubun-ubun kepala lawan. 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terperangah.
Tak mungkin serangan maut itu dipapak. Tubuh-
nya tengah limbung akibat serangan suara-suara
dahsyat tadi. Apalagi perhatiannya terpusat pada
gerengan-gerengan Pengasuh Setan yang men-
gandung tenaga dalam kuat luar biasa!
"Heaaa...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding berusaha
berkelit sebisanya. Namun sayangnya, gerakan
tubuhnya terlalu lamban. Maka tanpa ampun la-
gi....
Crakkk!
"Aaah...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding menggembor
setinggi langit. Tubuhnya seketika terpental jauh
ke belakang, berputar-putar sebentar, dan jatuh
berdebam ke tanah. Untung saja serangan Penga-
suh Setan tidak mengenai ubun-ubun kepalanya.

Kalau luput sedikit saja, bukan mustahil kepala
gundulnya hancur berkeping-keping!
Namun meski serangan Pengasuh Setan
hanya mengenai pundak, hal ini tak urung mem-
buat Pelukis Sinting Tanpa Tanding meringis ke-
sakitan. Pundak yang terkena hantaman tadi te-
rasa ngilu bukan main. Dan..... 
"Hoeeeekh...!!!" 
Dan saking tidak tahannya, Pelukis Sinting
Tanpa Tanding kontan menyemburkan darah se-
gar kehitam-hitaman dari mulutnya.
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Perlahan-
lahan didekatinya tubuh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding yang ambruk di tanah. Pandang matanya
mengerikan, siap merenggut nyawa musuh be-
buyutannya!

9

Saat ini keadaan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding benar-benar sangat mencemaskan. Tu-
buhnya terluka parah. Pakaiannya compang-
camping tidak karuan. Banyak darah keluar dari
mulut, lobang hidung, maupun lobang telinga.
Sementara Pengasuh Setan terbahak-bahak
penuh kemenangan. Selangkah demi selangkah,
terus didekatinya Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dengan tangan terkepal. Matanya-memancar ben-
gis.
Kalau sudah begini, apa yang bisa diperbuat
Pelukis Sinting Tanpa Tanding? Nyawanya sudah

di ujung tanduk. Sekali tangan Pengasuh Setan
mengibas, bukan mustahil nyawa tokoh sakti dari
Goa Bedakah itu akan minggat untuk selama-
lamanya!
Tentu saja Pelukis Sinting Tanpa Tanding ti-
dak menginginkannya. Meski nyawanya sudah di
ujung tanduk, mana sudi ia menyerah begitu sa-
ja. Selembar nyawanya harus dipertahankan. Ha-
rus! Apa pun yang akan terjadi, ia harus berusa-
ha. Baginya, tak ada kata menyerah sebelum
nyawanya melancong entah ke mana.
"Ha ha ha...! Sekarang kau bisa apa, Om-
pong? Beginikah caramu membalas sakit hati?
Ayo, Ompong! Bangun! Tunjukkan sampai di ma-
na kehebatanmu!" ejek Pengasuh Setan.
"Manusia jadah! Kau kira.... Kau dapat
membunuhku, he?! Tidak! Sama sekali tidak! Jika
aku kalah, itu bukan berarti mati di tanganmu.
Melainkan karena aku memang sudah muak me-
lihat tampang busukmu, tahu?" balas Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, menyakitkan.
"Jahanam! Kau memang tidak patut dikasih
ampun! Kau harus modar di tanganku!" dengus
Pengasuh Setan penuh kemarahan.
Melihat Pengasuh Setan makin mendekat,
Pelukis Sinting Tanpa Tanding mulai mengatur
siasat. Ia tak sudi mati konyol di tangan musuh
besarnya tanpa sedikit pun berusaha melawan.
"Haaap...!"
Pengasuh Setan mengangkat kedua telapak
tangannya, bermaksud meremukkan kepala Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding dari samping kanan ki-

ri. Di saat kedua telapak tangannya bergerak....
"Hup...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding yang berusa-
ha mengumpulkan tenaga dalamnya cepat meng-
gulingkan tubuhnya ke belakang. Sembari bertin-
dak begitu, cat di tangan kirinya segera diham-
burkan ke depan.
"Ah...!"
Pengasuh Setan terpekik kaget, tidak me-
nyangka kalau Pelukis Sinting Tanpa Tanding
masih mampu melancarkan serangan demikian
mendadak sekaligus amat membahayakan. 
Namun sebagai seorang tokoh sakti dunia
persilatan, sedikit pun ia tidak gugup
"Hup...!"
Begitu gulungan-gulungan cat minyak me-
luncur dengan kecepatan luar biasa, Pengasuh
Setan segera menjatuhkan diri. Dan dengan satu
perhitungan tepat, tahu-tahu kaki kanannya te-
lah menendang pantat Pelukis Sinting Tanpa
Tanding telak sekali.
Bukkk...!! 
"Auuhh...!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding menggembor
setinggi langit. Seketika tubuhnya terlempar jauh
ke belakang, berguling-gulingan bak trenggiling.
Dan ia baru berhenti saat menghantam batang
pohon.
"Hoeeekh...!" 
Sekali lagi Pelukis Sinting Tanpa Tanding
muntahkan darah segar. Parasnya tampak pucat
pasi. Kedua bibirnya berkemik-kemik hebat, per-

tanda tengah menderita luka dalam amat parah.
Belum lagi bagian pantatnya yang baru saja ter-
kena tendangan kaki Pengasuh Setan.
Lelaki tua dari Goa Bedakah ini meringis ke-
sakitan, seolah tak tahan dengan luka dalam tu-
buhnya. Lebih hebatnya lagi, sekujur tubuhnya
terasa lemas tak bertenaga. Tendangan Pengasuh
Setan barusan benar-benar dahsyat, membuat di-
rinya sulit sekali untuk berdiri!
"Ompong...! Kali ini tak mungkin kau lepas
dari tangan mautku. Bersiap-siaplah kau mene-
rima kematianmu hari ini!" ancam Pengasuh Se-
tan.     
Pengasuh Setan menarik mundur kedua te-
lapak tangannya ke belakang yang telah berubah
jadi merah menyala penuh aji 'Tangkal Petir'.
"Celaka! Tamatlah sudah riwayatku hari ini.
Tak mungkin aku lepas dari tangan mautnya to-
koh edan dari puncak Gunung Sindoro ini. Ah...!" 
Mata Pelukis Sinting Tanpa Tanding terbela-
lak lebar. Ia ingin menyambut kematiannya den-
gan mata terbuka. Kalau saja masih dapat meng-
gerakkan tubuhnya, sudah pasti ia tak sudi mati
dengan cara itu. Malah kalau bisa mati dalam pe-
lukan seorang gadis!
"Ah...! Kenapa dalam keadaan terjepit begini,
sempat-sempatnya aku berpikir ngeres?"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding mengutuk di-
rinya sendiri dalam hati. Memang bila dalam ba-
haya maut, tak ada pilihan lain, kecuali menghi-
bur diri sendiri. Ia malah membayangkan wajah
seorang gadis! Edan! Apa yang diinginkan sebe-

narnya?       
"Hiaaa...!"
Disertai bentakan membelah angkasa, kedua
telapak tangan Pengasuh Setan mendorong ke
depan. Seketika tampak melesat dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangannya,
siap melabrak tubuh lawan.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding makin mem-
belalakkan matanya lebar. Dipandanginya dua la-
rik sinar merah yang siap merenggut nyawanya
dengan senyum terkembang di bibir.
Wesss? Wesss! 
Namun sebelum dua sinar itu mengenai sa-
saran, mendadak  serangkum angin dingin dari
samping melesat ke arah pukulan aji 'Tangkal Pe-
tir' milik Pengasuh Setan. 
Blammm...!
Seketika bumi bergetar hebat. Ranting-
ranting pohon berderak dengan daun-daunnya
yang hangus terkena sambaran dari beradunya
dua kekuatan dahsyat barusan.
"Jahanam...! Siapa berani main gila dengan
Pengasuh Setan, he?!" bentak Pengasuh Setan,
geram bukan main. Tubuhnya sempat terjajar be-
berapa langkah ke belakang begitu pukulannya
terpapak.
"Memalukan! Bisanya membunuh lawan
yang sudah tak berdaya. Apa ini tidak memalu-
kan? Huh,..! Dasar manusia kampret dari puncak
Gunung Sindoro tak berperasaan. Akulah yang
tadi menghalangi niat busukmu!"
Terdengar suara cempreng, membuat Penga-

suh Setan langsung berpaling.

10

Sepasang mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan menatap seorang lela-
ki berpakaian aneh dua tombak di hadapannya.
Bagaimana tidak aneh kalau kakek tua renta itu
berpakaian seperti bocah berusia tua tahun. Ben-
tuk tubuhnya pun mirip benar dengan bentuk tu-
buh seorang bayi. Namun rambut, alis, dan bulu
matanya berwarna putih. Hal itu jelas menunjuk-
kan kalau sosok di hadapan Pengasuh Setan ada-
lah seorang kakek.
Tubuh si kakek pun tak lebih dari setengah
tombak. Kulitnya gembur berwarna putih bersih.
Namun tatapan matanya jelas menyiratkan kalau
ilmunya tak bisa dianggap remeh. Buktinya, aji
'Tangkal Petir' milik Pengasuh Setan bisa dikan-
daskannya.
"Bayi Kawak...!" sebut Pengasuh Setan terke-
siap. Saking terkejutnya, tokoh sesat dari puncak
Gunung Sindoro ini tanpa sadar mundur bebera-
pa langkah ke belakang. 
Namun tidak demikian halnya Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding. Begitu melihat, mulutnya
langsung mengukir senyum. Kini ia tahu, siapa
penolongnya. Dia adalah seorang tokoh aneh dari
puncak Gunung Merapi. Dan seperti perawakan
tubuhnya, sosok aneh itu memang tidak lain dari
Bayi Kawak.

"Ah...! Rupanya kau masih mengenaliku.
Pengasuh Setan? Sungguh beruntung aku. Tapi
kenapa kulihat perangaimu malah makin menye-
ramkan. Hiy...! Ngeri aku...!" ujar Bayi Kawak.
"Sobatku, Bayi Kawak. Tampang manusia
edan satu ini memang menyeramkan. Aku ngeri
melihatnya. Kukira, kau pun ngeri melihatnya,
bukan?" timpal Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Betul. Aku ngeri sekali. Kok ada manusia
seseram dia, ya? Apa, jangan-jangan manusia se-
ram itu jelmaannya iblis? Hiy...! Ngeri aku!" Bayi
Kawak menciutkan kedua bahunya. Matanya
membelalak liar seolah takut melihat sosok di ha-
dapannya.
"Benar. Dialah biangnya segala biang iblis.
Apa kau berani melawannya?" tanya Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding.
"Berani. Aku berani. Meski aku ngeri melihat
tampang seramnya, aku ingin sekali menghajar-
nya. Tapi, kulihat kau terluka. Coba kau minum
obat pemunah racunku!" sahut Bayi Kawak.
Bayi Kawak segera merogoh saku baju
bayinya. Lalu dengan tangan kiri, segera dilem-
parkannya obat itu ke arah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding cepat me-
nangkapnya. Bentuk obat pemberian Bayi Kawak
memang cukup aneh. Bulat bergerigi. Baunya
pun cukup tajam menyengat. Sejenak hatinya ra-
gu-ragu. Saking baunya, tokoh sakti dari Goa Be-
dakah itu sampai memencet hidungnya. Namun,
ton akhirnya obat itu ditelannya juga

"Jangan sok berlagak, Bayi Kawak! Nama be-
sarmu memang sudah cukup lama menggetarkan
dunia persilatan. Tapi Pengasuh Setan sedikit
pun tidak gentar menghadapimu. Malah hari  ini
juga, aku harus memenggal kepalamu. Karena
kau telah lancing mencampuri urusanku!" ancam
Pengasuh Setan, garang.
"Aku tahu! Terus terang aku pun sangat pe-
nasaran denganmu. Bahkan aku juga penasaran
dengan sepak terjangmu!" sahut Bayi Kawak,
mantap.
"Bagus! Kalau begitu, buat apa bersilat lidah.
Aku tak sabar lagi untuk meremukkan batok ke-
palamu. Majulah, Bayi Kawak! Sekarang juga ku-
tentukan hari inilah hari kematianmu!"
"Aku tidak takut. Menghadapi iblis jejadian
macammu, siapa takut? Hayo, serang aku!"
Bayi Kawak berkacak pinggang seenaknya.
Sesekali matanya mengerjap-ngerjap nakal. Den-
gan begitu, ia menunggu datangnya serangan. 
Pengasuh Setan mendengus tak sabar. Ke-
dua pelipisnya bergerak-gerak. Gigi-gigi geraham-
nya bergemeletakkan, pertanda tak dapat men-
gendalikan amarahnya yang menggelegak. Apalagi
ketika melihat sikap Bayi Kawak yang angin-
anginan. Maka tanpa banyak cakap…
"Heaaa...!!!"
Dikawal teriakan nyaring, tahu-tahu tubuh
tinggi kurus Pengasuh Setan telah meluruk ke
arah Bayi Kawak. Tidak tanggung-tanggung.
Langsung dikeluarkannya aji "Tangkal Petir' saat
kedua tangannya mendorong ke depan. Seketika,

tampak dua larik sinar merah menyala telah me-
lesat cepat menyerang Bayi Kawak.
Wesss! Wesss!!! 
"Hup!"
Bayi Kawak yang cukup tahu keampuhan aji
'Tangkal Petir' tidak ingin mengadu tenaga dalam
dengan Pengasuh Setan. Dengan loncatan manis
ke udara dihindarinya serangan. Gerakan tubuh-
nya ringan sekali dengan kecepatanya sangat
mengagumkan.
Braaakkk!!!
"Bangsaaattt...!" 
Pengasuh Setan menggeram penuh kemara-
han melihat pukulan aji 'Tangkal Petir'-nya nya-
sar menghantam batang pohon di belakang Bayi
Kawak. Seketika itu pula batang pohon itu han-
gus terbakar!.
Pada saat tubuhnya masih melayang di uda-
ra, Bayi Kawak terkekeh senang. Matanya men-
gerjap-ngerjap  nakal. Kemudian dengan satu ge-
rakan indah, tahu-tahu tangan-tangan mungilnya
telah mengancam sepasang mata Pengasuh Setan
dari udara!
"Heh?!"
Bukan main terkejutnya Pengasuh Setan
melihat kedua bola matanya terancam serangan.
Tentu saja ia tidak sudi. Maka sambil menggeram
penuh kemarahan tubuhnya segera dilempar ke
samping.
"Heaaa...! Heaaa...!"
Bayi Kawak terus mengejar. Tapi Pengasuh
Setan juga terus berjumpalitan ke sana kemari.

Pada satu kesempatan tamparan tangan ka-
nan Bayi Kawak yang begitu cepat melesat me-
nyerang Pengasuh Setan yang baru saja berkelit
menghindar. Begitu cepat datangnya, sehingga....
Plakkk!
Telak sekali tamparan Bayi Kawak menghan-
tam jidat Pengasuh Setan. Namun anehnya, seke-
tika itu pula sekujur tubuh tokoh hitam dari Gu-
nung Sindoro itu menyala merah. Lebih anehnya
lagi, sedikit pun tidak mendapat luka. Pengasuh
Setan hanya sempat kehilangan keseimbangan
sebentar, lalu dengan kemarahan meluap dialir-
kannya tenaga dalam ke tangan setelah membuat
beberapa gerakan tangan di depan dada.
Sejenak Bayi Kawak melongo di tempatnya,
seolah tak percaya dengan hasil serangannya ba-
rusan. Namun begitu menyadari. kalau musuh-
nya adalah Pengasuh Setan yang memiliki aji
'Tangkal Petir', baru maklumlah tokoh sakti dari
puncak Gunung Merapi itu
Dan baru saja Bayi Kawak memasang kuda-
kudanya, Pengasuh Setan telah meluruk deras.
"Makanlah aji 'Tangkal Petir'-ku, Bayi Ka-
wak! Heaaa...!"
Dikawal teriakan keras menggelegar, Penga-
suh Setan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangannya,
mengancam keselamatan Bayi Kawak.
Diam-diam tokoh yang berwajah seperti bayi
ini mengeluh. Serangan Pengasuh Setan demikian
dekatnya. Sulit rasanya untuk dihindari. Memang

tak ada pilihan lain. Terpaksa serangan Pengasuh
Setan harus dipapak bila masih ingin melihat te-
rangnya sinar matahari esok hari.
"Heaaa...!!!"
Bayi Kawak menggembor keras. Kedua tela-
pak tangannya yang telah berubah kuning berki-
lauan segera dihantamkan ke depan. Seketika
meluncur dua larik sinar kuning berkilauan dari
kedua telapak tangannya yang disertai bau me-
nyesakkan bukan kepalang. Dan....
Blaaam...!!! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara saat
empat buah sinar berbeda beradu di satu titik.
Bumi saat itu pula laksana diguncang prahara.
Debu-debu beterbangan. Ranting-ranting pohon
hangus terbakar. Asap merah dan asap kuning
berkilauan mengepul di udara.     
Pada waktu terjadinya ledakan tadi, tubuh
Bayi Kawak sendiri kontan terpental jauh ke be-
lakang. Begitu jatuh di tanah, parasnya pucat pa-
si, pertanda mengalami luka dalam lumayan. Itu
bisa dilihat dari lelehan darah yang mengalir di
sudut bibir.
Lain halnya yang dialami Pengasuh Setan.
Meski tubuh tokoh sesat dari puncak Gunung
Sindoro itu sempat terguncang hebat, namun ma-
sih dapat menguasai keseimbangan tubuhnya.
Hanya kedua kakinya saja yang melesak beberapa
dim ke dalam tanah!
"Ha ha ha...! Tak kusangka hanya begini ke-
pandaianmu, Bayi Kawak! Percuma saja kau
menghadapiku. Daripada tanganku kotor, lebih

baik bunuh diri saja," ejek Pengasuh Setan juma-
wa.
Terseok-seok Bayi Kawak mencoba bangun.
Mulutnya meringis menahan luka dalam dada.
"Setan! Rupanya Pengasuh Setan, bukanlah
gelar kosong belaka. Padahal tadi aku telah men-
gerahkan pukulan 'Sukma Bayi'. Tapi kenapa ma-
lah aku sendiri yang terluka?" rutuk Bayi Kawak
dalam hati.
"Ha ha ha...! Hari ini aku akan berpesta po-
ra. Dua bangkotan tua yang menjadi sesepuh du-
nia persilatan sebentar lagi akan kubuat dendeng
bakar!"
"Kuakui, nama besarmu bukanlah pepesan
belaka, Pengasuh Setan. Tapi demi menegakkan
kebenaran di muka bumi ini, aku Bayi Kawak
akan mengadu nyawa denganmu. Untuk itu aku
rela mati di tanganmu!" tandas Bayi Kawak, mulai
nekat.     
Bayi Kawak kembali memasang kuda-kuda
setelah berusaha mengumpulkan tenaga dalam-
nya. Tekadnya untuk mengadu nyawa dengan
Pengasuh Setan benar-benar telah bulat. Maka
begitu kedua telapak tangannya kembali berwar-
na kuning berkilauan, segera dilontarkannya ke
depan. 
"Heaaa...!!!"
Pengasuh Setan tersenyum dingin. Dari ge-
brakan pertama tadi, jelas kekuatan Bayi Kawak
telah bisa diukurnya. Namun ini bukan berarti
menyepelekan. Disadari betul kalau pukulan
'Sukma Bayi' milik Bayi Kawak cukup dahsyat.

Untuk itu tak segan-segan lagi aji 'Tangkal Petir'
dikerahkan kembali dengan penambahan tenaga
dalam tinggi.
"Bagus! Memang inilah yang kunanti, Bayi
Kawak! Hayo, kita lihat siapa yang akan modar
terlebih dahulu! Hea...!" 
Pengasuh Setan segera menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan. Maka seketika
melesat dua larik sinar merah menyala dari kedua
telapak tangannya, langsung melabrak sinar kun-
ing berkilauan dari kedua telapak tangan Bayi
Kawak.
Blaaammm...!!
"Aaa...!"
Kali ini tubuh Bayi Kawak melayang jauh ke
belakang disertai jeritan keras. Sebentar tubuh-
nya berputaran, lalu jatuh berdebam ke tanah.      
Melihat sang penolongnya terkapar tak ber-
daya. Pelukis Sinting Tanpa Tanding jadi tidak
dapat menahan diri. Maka tanpa menghiraukan
luka dalamnya yang belum sembuh benar, ia se-
gera bangkit dan memasang kuda-kuda.
"Bajingan...! Beraninya kau melukai sobatku,
he?! Kau harus bayar mahal perbuatan itu, Pen-
gasuh Setan! Hea...!"      
Dikawal bentakan nyaring, Pelukis Sinting
Tanpa Tanding segera menerjang garang Penga-
suh Setan. Nampan cat di tangan kirinya segera
dilemparkan ke atas dan ditiupnya kuat-kuat
dengan tenaga dalam tinggi. Seketika percikan-
percikan cat yang berhamburan itu segera menye-
rang Pengasuh Setan hebat

Werrr! Werrr! 
Tanpa mengenal ampun sedikit pun Penga-
suh Setan segera menghentakkan kedua tangan-
nya, melepas aji 'Tangkal Petir'. Maka begitu dua
tombak lagi percikan-percikan cat minyak Pelukis
Sinting Tanpa Tanding menghantam, dua larik si-
nar merah dari kedua telapak tangannya segera
memapakinya. Akibatnya, percikan-percikan cat
minyak itu terdesak ke belakang, balik menyerang
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Bukkk! Bukkk...!!!
Dua kali tubuh Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing terhantam dua larik sinar merah sekaligus
percikan-percikan cat minyak sendiri. Tanpa
mengeluarkan erangan sedikit pun tubuh tokoh
sakti dari goa Bedakah itu kontan melayang jauh
ke belakang, dan jatuh menimpa tubuh Bayi Ka-
wak yang hendak meloncat bangun. 
Bayi Kawak menggeram murka. Sebentar-se-
bentar kepalanya menoleh ke arah Pelukis Sinting
Tanpa Tanding, sebentar kemudian beralih pada
Pengasuh Setan dengan sinar mata menyala. Na-
mun belum sempat tokoh sakti dari puncak Gu-
nung Merapi ini bertindak....
"Guru...! Apa yang terjadi disini? Siapa yang
melukaimu seperti ini?"
Terdengar teriakan dari arah samping.

***

Perhatian Bayi Kawak terusik buru-buru ke-
palanya dipalingkan ke samping. Seketika kening

tokoh sakti dari puncak Gunung Merapi itu kon-
tan berkerut. Di hadapannya kini telah berdiri
seorang gadis cantik, berpenampilan manja. Siapa
lagi gadis itu kalau bukan Putri Manja.
"Mawangi muridku! Lekas tinggalkan tempat
ini! Berbahaya!" seru Bayi Kawak, khawatir ter-
hadap gadis yang ternyata muridnya.
"Tidak, Guru. Aku tidak akan meninggalkan
tempat ini. Kulihat Guru terluka. Pasti memedi
sawah itu yang telah mencelakakan Guru. Aku
harus menuntut balas," tolak Mawangi alias Putri
Manja, tegas.
"Tidak, Mawangi. Kau bukan lawannya. Le-
kas tinggalkan tempat ini!" sergah sang guru.
"Kenapa kau menyuruhku pergi, Guru? Apa
kau takut menghadapi memedi sawah ini? Kalau
begitu, mari kita hajar dia ramai-ramai!"
"Betina cantik! Aku senang sekali melihat
keberanianmu. Tidak seperti gurumu. Sungguh
beruntung aku bertemu denganmu, Manis. Apa
kau juga berani melayaniku? He he he...?" kata
Pengasuh Setan, pongah.
Pengasuh Setan tersenyum-senyum senang.
Sepasang matanya yang tajam tak henti-hentinya
menjilati lekuk-lekuk tubuh Putri Manja yang
menggairahkan. Tanpa sadar ia jadi menelan lu-
dahnya sendiri.
"Melayani apa, Memedi Sawah? Apa kau in-
gin menantangku bertarung? Sudah pasti aku
akan melayanimu. Apalagi, kau telah mencelaka-
kan guruku. Dan aku akan menuntut balas!" sa-
hut Putri Manja, ketus.

Pengasuh Setan tertawa bergelak
"Di samping kau pemberani, rupanya kau
lugu juga, Manis. Hm...! Alangkah menyenang-
kannya bila kau mau suka rela melayaniku, Ma-
nis. Hayo, lekas tanggalkan pakaianmu!" ujar
Pengasuh Setan keterlaluan.
"Apa?" Sepasang mata indah Putri Manja
terbelalak lebar. "Jorok! Tua bangka jorok. Siapa
sudi melayanimu?"
"Mundur, Putri! Kau bukanlah tandingan-
nya!"
Bayi Kawak yang sudah bisa bangkit berdiri
menyingkirkan muridnya ke samping.
Putri  Manja memberontak. Bahkan dengan
kemarahan meluap, tubuhnya mencelat menye-
rang Pengasuh Setan. Tidak tanggung-tanggung,
segera dikeluarkannya jurus 'Tarian Bidadari'.
"Hea! Hea...!!!"
Hebat bukan main serangan-serangan Putri
Manja. Namun Pengasuh Setan hanya meliuk-
liukkan tubuhnya, menghindari serangan dengan
mudah. Bahkan belum sempat Bayi Kawak ber-
tindak, tahu-tahu tangan Pengasuh Setan telah
berkelebat cepat ke tubuh Putri Manja…
Tuk! Tuk!   
"Oh…!"
Disertai keluhan tertahan, tubuh Putri Man-
ja kaku tak dapat digerakkan lagi. Dua buah to-
tokan Pengasuh Setan di atas dua bukit kembar-
nya langsung membuat urat geraknya tak ber-
daya lagi.
"Ha ha ha...! Diamlah sebentar, Manis. Aku

akan membereskan gurumu sebentar."
Bayi Kawak geram bukan main. Wajahnya
menegang penuh amarah. Ia bukannya tidak tahu
apa yang diinginkan Pengasuh Setan. Dan hal in-
ilah yang membuat Bayi Kawak nekat.
"Berani kau sentuh muridku, aku benar-
benar akan mengadu nyawa denganmu, Manusia
Setan!" teriak Bayi Kawak kalap.
"Dari tadi kau hanya bisa mengancam. Buk-
tikan kalau memang mampu mengalahkanku,
Bayi Kawak!" ejek Pengasuh Setan.
Bayi Kawak tak lagi ingin menanggapi ejekan
Pengasuh Setan. Amarahnya telah membuatnya
kalap. Maka diiringi teriakan nyaring, segera di-
terjangnya Pengasuh Setan hebat. Kedua telapak
tangannya yang sudah berwarna kuning berki-
lauan kembali dihantamkan ke depan.
Wuttt! Wuttt...!
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Kali ini le-
laki sesat itu tidak membalas serangan, melain-
kan membuang tubuhnya ke samping. Sehingga,
serangan Bayi Kawak hanya mengenai angin ko-
song.
Bayi Kawak tidak terima melihat serangan-
nya gagal. Dengan kemarahan membuncah kem-
bali diserangnya Pengasuh Setan. Tetapi karena
luka dalamnya masih mendera, serangannya jadi
lamban. Hal ini tentu saja bisa mudah dihindari
Pengasuh Setan dengan menggeser tubuhnya ke
samping.
"Percuma saja kau melawanku, Bayi Kawak!
Tapi, baiklah. Aku tidak ingin membunuhmu ter-

lebih dahulu. Aku ingin kau melihat apa yang
akan kulakukan terhadap muridmu yang cantik
itu. Tentu ini akan menyenangkan hatimu, bu-
kan?" ejek Pengasuh Setan.
Begitu habis kata-katanya, tahu-tahu Penga-
suh Setan berkelebat cepat luar biasa ke arah
Bayi Kawak.
"Setan alas! Kenapa gerakanku jadi begini
lamban? Ah...! Tak kusangka hari inilah hari ke-
hancuran ku. Sedang sobatku Pelukis Sinting
Tanpa Tanding tak mungkin kuharapkan ban-
tuannya. Ia sudah roboh di tangan Pengasuh Se-
tan. Entah pingsan, entah... ohh...!"
Sebelum umpatan dalam hati Bayi Kawak
habis, jari-jari tangan Pengasuh Setan telah ber-
kelebat, menotok tubuhnya.        
"Nah! Diamlah kau di tempatmu, Bayi Ka-
wak! Lihat apa yang akan kulakukan terhadap.
muridmu yang cantik ini!" ujar Pengasuh Setan,
begitu menghentikan gerakannya.
Kini Pengasuh Setan bergerak mendekati Pu-
tri Manja dengan seringai di bibir. Lalu tanpa
mengenal belas kasihan sedikit pun, tahu-tahu
jari-jari tangannya telah merenggut pakaian Putri
Manja. 
Brat! Bret!
Dua kali tangan Pengasuh Setan bergerak,
dua kali pula pakaian Putri Manja robek menjadi
dua bagian. Dan kini satu pemandangan indah
terpampang jelas di depan matanya.
"Setan! Bunuh saja aku dan muridku, Kepa-
rat!"

Bayi Kawak berteriak-teriak kalap, namun
Pengasuh Setan tidak mempedulikannya. Perha-
tiannya seolah tersihir melihat lekuk-lekuk tubuh
Putri Manja yang tidak tertutup selembar benang
pun. Dan tanpa sadar ia menelan ludahnya sendi-
ri melihat pemandangan indah di hadapannya.
"Bukan main...! Sungguh beruntung nasibku
hari ini. Bertahun-tahun aku tak pernah melihat
tubuh seindah ini. Dan hari ini pula aku akan
menikmati tubuh yang amat menggiurkan ini se-
puas-puasnya," desah Pengasuh Setan tak kenta-
ra.
"Bedebah! Setan laknat! Lepaskan aku!"
Putri Manja menjerit-jerit, ngeri. Meski be-
lum tahu petaka apa yang akan dialami, namun
naluri kewanitaannya mengatakan kalau dirinya
sedang terancam bahaya.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Apa yang
akan kau lakukan, Tua Bangka Keparat!"
Pengasuh Setan tersenyum senang.
"Tenanglah, Manis! Jangan menangis! Aku
malah ingin membuatmu melayang jauh ke ang-
kasa."
"Ya ya ya...! Buat apa membawanya jauh ke
angkasa, kalau di sini saja kau tidak becus!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba terdengar suara sahutan. Bahkan
begitu sahutan itu terhenti, mendadak Pengasuh
Setan merasakan hawa dingin yang bukan kepa-
lang telah menyambar tubuhnya. Lebih dari itu,
hidungnya pun mencium sesuatu yang sangat di-
kenalinya!

"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"
teriak Pengasuh Setan kalap sembari menggu-
lingkan tubuhnya ke samping.
"Ah...! Kau ini kenapa sih? Katanya ingin
melancong ke angkasa? Tapi kenapa sekarang
malah ingin membunuhku? Kenapa?"


11

Pengasuh Setan tidak mempedulikan tubuh
indah Putri Manja lagi. Hidungnya yang kecil te-
rus mengendus-endus bak anjing pelacak. Bau
anyir darah muridnya itulah yang membuatnya
tidak mempedulikan apa-apa lagi, kecuali pada
sosok pemuda tampan mengenakan rompi dan ce-
lana bersisik keperakan. 
"Kau.... Kau pasti yang telah membunuh
muridku!" tunjuk Pengasuh Setan pada pemuda
yang tak lain Soma alias Siluman Ular Putih.
"Aha...? Benarkah? Kau ini bermimpi apa
kurang waras? Tak ada angin tak ada hujan te-
ganya kau menuduhku begitu?" celoteh Soma
seenaknya. Pandang matanya yang nakal sempat
melirik tubuh polos Putri Manja. Tanpa sadar bi-
birnya menyeringai, lalu garuk-garuk kepala.
"Tutup mulutmu, Monyet Gondrong! Kau
pasti yang telah membunuh muridku yang berju-
luk Penguasa Alam!"       
"O..., itu. Aku memang yang membunuhnya.
Tapi kau ini siapa? Kenapa kau sewot mendengar

kematian manusia iblis itu? Apa kau ingin men-
gucapkan bela sungkawa? Kalau begitu, kau sa-
lah alamat. Aku bukan kerabat Penguasa Alam,"
sahut Soma, keterlaluan.    
"Keparat...! Kau jangan menjual lagak di ha-
dapanku, Monyet Gondrong! Apa kau tidak tahu
tengah berhadapan dengan siapa, he?!" hardik
Pengasuh Setan penuh ancaman.
"Sudah pasti aku tahu siapa kau ini? Kau
adalah kawan dekat Penguasa Alam, bukan?"
"Aku gurunya!"
"Tidak masalah. Guru maupun kawan dekat
tidak masalah bagiku. Lalu kau mau apa? Apa
kau ingin menuntut balas atas tewasnya murid-
mu?" pancing Siluman Ular Putih.
"Sudah pasti!" sahut Pengasuh Setan man-
tap. 
"Kalau begitu kau salah alamat, Manusia
Peot! Karena sebenarnya aku bukanlah yang
membunuh muridmu."
"Apa? Kau mau mungkir? Kau tahu, aku te-
lah mencium bau darah muridku di bagian tu-
buhmu. Itu menandakan kalau kaulah yang
membunuh muridku! Hayo, sekarang bersiaplah
untuk modar!"
"Ah...! Kau ini tak sabar betul. Apa kau tidak
ingin tahu ceritaku yang sebenarnya?"
"Aku tidak butuh segala bualan kosongmu.
Jelas, kaulah yang telah membunuh muridku.
Maka hari ini juga aku, Pengasuh Setan, akan
menuntut balas atas tewasnya muridku!"
Siluman Ular Putih terperangah kaget ken-

dati hanya sebentar. Sejurus kemudian senyum-
nya telah terkembang di bibir.
"Tidak butuh bualanku juga tak apa. Tapi
yang jelas, sebenarnya aku bukan pembunuh
muridmu," kilah Siluman Ular Putih.
"Lalu, siapa yang telah membunuh murid-
ku?!" teriak Pengasuh Setan penasaran. Hidung
peseknya kembali kembang-kempis, mengendus-
endus bau anyir darah muridnya yang tercium
makin nyata.
"Kau tentu ingin tahu siapa yang menyebab-
kan kematian murid tersayangmu, bukan? Dan
kau pun tentu ingin menuntut balas, bukan? Ka-
lau begitu, bunuh saja Malaikat Maut! Karena di-
alah sebenarnya yang telah membunuh muridmu.
Aku hanyalah perantara. Sebab Malaikat Maut
malas mencabut nyawa manusia berhati iblis. Ja-
di, akulah wakilnya Malaikat Maut. Apa kau ma-
sih penasaran!"
"Bajingan...! Beraninya kau mempermainkan
aku, Kunyuk Gondrong! Apa nyawamu rangkap,
he?!" dengus Pengasuh Setan.
"Oh...! Sudah pasti nyawaku rangkap. Kalau
tak percaya, sekarang dengarkan!"
Siluman Ular Putih menepuk-nepuk perut-
nya  beberapa kali. Tapi sayang, 'nyawa rangkap'
yang dimaksudkan belum keluar juga. Soma pe-
nasaran sekali, dan terus memaksakan diri men-
geluarkan 'nyawa rangkap'-nya. Saking penasa-
rannya, mukanya meringis mirip kambing minta
kawin. Namun akhirnya....
Pessss! Pessss! 

Nyawa rangkap Soma pun meletus dari pan-
tatnya. 
"Nah, apa kau dengar nyawa rangkapku,
Manusia Peot? Tapi sayang, tampaknya nyawa
rangkapku malu-malu. Mungkin sedih melihat
tampangmu," kelakar Soma.
Bukan main geramnya hati Pengasuh Setan
mendengar kelakaran pemuda gondrong di hada-
pannya. Sepasang matanya kontan menyala. Ra-
hangnya mengembung saking tidak tahan mena-
han gejolak amarahnya yang menggelegak. Lalu....
"Heaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, tahu-tahu tubuh
Pengasuh Setan telah menerjang ganas Siluman
Ular Putih. Tak tanggung-tanggung kedua telapak
tangannya segera melontarkan aji ‘Tangkal Petir’.
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar merah me-
nyala dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan,
siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih bersiul-siul seenaknya
setelah mencabut keluar senjata pusakanya,
Anak Panah Bercakra Kembar. Tapi senjata itu
hanya ditimang-timangnya saja. Padahal, saat itu
pukulan aji 'Tangkal Petir' siap meluluhlantakkan
tubuhnya.
Melihat hal itu, sudah pasti Putri Manja,
Bayi Kawak, dan juga Pelukis Sinting Tanpa
Tanding yang baru saja siuman sempat menahan
napas. Jantung mereka berdebar-debar, tak tega
melihat betapa sebentar lagi tubuh murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu akan hancur!

"Awas, Soma! Jangan gegabah!" teriak Putri
Manja.
"Jangan khawatir, Putri! Manusia peot ini
tak mungkin dapat membunuhku! Tenang saja
kau di tempatmu, Putri! Lihat...!"
Habis berteriak, tiba-tiba Siluman Ular Putih
menggulingkan tubuhnya ke samping. Gerakan
tubuhnya cepat  luar biasa sehingga sulit diikuti
pandangan mata. Lalu seperti yang pernah dila-
kukan terhadap Penguasa Alam, tiba-tiba senjata
anak panahnya dilemparkan. Namun lemparan-
nya kali ini tidaklah seperti biasanya, melainkan
dilemparkan ke tanah terlebih dahulu, baru me-
nyerang Pengasuh Setan. 
"Ah...!" 
Pengasuh Setan terperangah kaget. Bukan-
nya saja kaget melihat serangannya dapat dimen-
tahkan dengan amat mudah, melainkan juga ka-
get melihat cara musuhnya menyerang. Sebab
memang dengan cara itulah aji 'Tangkal Petir' da-
pat dilumpuhkan!
"Bedebah! Jadi dengan cara inikah kau
membunuh muridku, Kunyuk Gondrong?! Jangan
mimpi! Aku adalah Pengasuh Setan. Tak mungkin
aku dapat dikalahkan dengan cara ini!" teriak
Pengasuh Setan nyaring, langsung mengegoskan
tubuhnya ke samping. Maka senjata anak panah
itu pun terus melesat ke belakang. 
Pengasuh Setan tertawa senang sama sekali
tidak disadari kalau tiba-tiba saja senjata anak
panah Siluman Ular Putih telah berputar, dan
kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa.

Baru ketika merasakan hawa dingin menyerang
punggungnya, terperangahlah Pengasuh Setan.
Dan....
Clep! 
"Aaakh...!"
Pengasuh Setan menggembor keras ketika
senjata Anak Panah Bercakra Kembar menancap
di dadanya. Namun seketika semburat cahaya
merah memancar dari tubuhnya.
Siluman Ular Putih dan juga semua yang be-
rada di tempat ini membelajakkan matanya lebar.
Hati mereka tegang menunggu datangnya ajalnya
Pengasuh Setan. 
"Ha ha ha,..! Bocah bodoh. Sudah kubilang
kau tak dapat mengalahkanku dengan cara ini!
Dasar bodoh! Muridku boleh mati dengan cara
ini. Tapi aku... ha ha ha...! Tak mungkin kau da-
pat membunuhku dengan cara ini!" tawa Penga-
suh Setan bergelak.
Siluman Ular Putih menggaruk-garuk kepa-
lanya. Bingung. 
"Slompret! Kenapa manusia peot ini tidak
modar? Ilmu apakah yang telah dimiliki?" gumam
Siluman Ular Putih dalam hati.    
"Bocah tolol! Jangan dikira aji 'Tangkal Petir'
yang kumiliki sama dengan milik muridku, Bo-
cah! Kau keliru. Aji ‘Tangkal Petir’-ku kini sudah
mendekati kesempurnaan. Kau tak mungkin da-
pat membunuhku, walau berbagai macam senjata
tajam maupun pukulan mau menyerangku!" te-
riak Pengasuh Setan.
Pengasuh Setan menepuk-nepuk dadanya

bangga. Anak panah milik Siluman Ular Putih
yang baru saja dicabut sejenak ditimang-
timangnya. Pandang matanya bersinar bengis. Se-
langkah demi selangkah, mulai didekatinya Silu-
man Ular Putih.
"Celaka! Tua bangka ini tidak mampus den-
gan cara yang pernah kulakukan terhadap mu-
ridnya. Bagaimana ini?" gerutu Siluman Ular Pu-
tih dalam hati.
Wajah si pemuda menegang. Baru kali  ini
hatinya merasakan ketegangan yang amat sangat.
Padahal, sebagai pendekar yang malang melin-
tang dalam dunia persilatan, ia sudah sering
menghadapi ketegangan. Namun kali ini entah
mengapa hatinya tegang sekali.    
"Bocah gondrong! Jawab pertanyaanku! Kau
pilih kematian dengan cara apa, he?!" bentak
Pengasuh Setan.
Siluman Ular Putih bersiul-siul untuk men-
genyahkan ketegangan.
"Kau ini ada-ada saja, Manusia Peot! Tentu
saja aku masih ingin hidup. Aku masih doyan
tempe. Kau ini aneh-aneh saja!" tukas Siluman
Ular Putih.
"Keparat! Kau memang memuakkan, Bocah.
Baik. Yang jelas, kau tetap akan modar di tan-
ganku! Nah, makanlah senjata andalanmu ini!"
dengus Pengasuh Setan seraya melemparkan sen-
jata Anak Panah Bercakra Kembar ke arah si em-
punya.
Wuttt...!
"Hup...!"

Siluman Ular Putih mengegoskan  tubuhnya
ke samping, membuat senjata anak panah itu te-
rus melesat cepat ke belakang. Namun pada saat
itu, Pengasuh Setan juga menghentakkan kedua
tangannya. Seketika dua sinar merah menyala
melesat dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
"Heaaa...!"        
Tak ada pilihan lain. Begitu menegakkan tu-
buhnya Siluman Ular Putih menghentakkan ke-
dua telapak tangan melontarkan pukulan maut
tenaga 'Inti Bumi'. Seketika dua larik sinar putih
terang meluruk dari kedua telapak  tangannya
yang disertai berkesiurnya hawa dingin bukan
kepalang. Dan...
Blaaam...!
Terdengar ledakan hebat di udara saat dua
buah kekuatan dahsyat bertemu di satu titik.
Bumi laksana diguncang prahara. Debu-debu
membubung tinggi ke udara. Ranting-ranting po-
hon berderak. Sebagian hangus terbakar. Seba-
gian lainnya membeku terkena pengaruh ledakan
yang disertai bunga api ke segala arah. 
Dan sewaktu terjadinya bentrokan, tanpa
ampun tubuh Siluman Ular Putih terpental jauh
ke belakang bak layangan putus benang. Dan
saat murid Eyang Begawan Kamasetyo meloncat
bangun, wajahnya terlihat pias. Bibirnya berke-
mik-kemik. Kedua telapak tangannya terasa pa-
nas bukan main, seolah ingin menghanguskan
bagian dalam tubuhnya.    
Pengasuh Setan yang sempat menyurutkan

langkah  beberapa langkah ke belakang lagi-lagi
hanya mengumbar suara tawa. Sedikit pun tu-
buhnya tidak terluka akibat bentrokan tenaga da-
lam tadi. Malah dengan kekuatan tenaga dalam
penuh kedua tangannya menghentak ke depan. 
"Hea...!!!" 
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar merah menyala meluruk dari
kedua telapak tangan Pengasuh Setan. Hebat! Le-
bih hebat daripada serangan-serangan sebelum-
nya.
Siluman Ular Putih mengeluh dalam hati.
Dadanya terasa nyeri bukan main. Tak mungkin
serangan Pengasuh Setan ditangkis kali ini.
Putri Manja, Bayi Kawak, dan juga Pelukis
Sinting Tanpa Tanding jadi tegang dibuatnya. Me-
reka cukup tahu, betapa hebatnya serangan Pen-
gasuh Setan kali ini. Jangankan tubuh Siluman
Ular Putih. Batu sebesar gajah pun akan hancur
berantakan begitu terkena pukulan aji ‘Tangkal
Petir'.
Tidak ada pilihan lain. Siluman Ular Putih
memang harus memapaki serangan Pengasuh Se-
tan dengan pukulan tenaga 'Inti Bumi'. Begitu ke-
dua tangannya menghentak.... 
Blaaammm...!
Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih terlem-
par jauh ke belakang sebelum akhirnya menghan-
tam batang pohon.   
Brakkk!!!
Batang pohon itu tumbang. Demikian pula
Siluman Ular Putih. Begitu menghantam batang

pohon, tubuhnya kontan luruh ke tanah. Untung
saja batang pohon itu tidak menimpa tubuhnya.
Namun tetap saja luka dalamnya makin parah.
Pucat sudah wajah Soma. Tampak darah se-
gar membasahi sudut-sudut bibirnya, pertanda
menderita luka dalam lumayan. Bahkan seisi da-
danya seolah terbakar. 
"Hm...! Kukira Sudah saatnya aku mengelu-
arkan aji ‘Titisan Siluman Ular Putih'. Mungkin
dengan ajian ini aku dapat mengalahkannya...,"
desah Siluman Ular Putih dalam hati. 
Maka saat itu pula Siluman Ular Putih pun
segera merapalkan mantra ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih'. Selang beberapa saat, tampak sekujur
tubuhnya telah dipenuhi asap putih. Sehingga,
sosok bayangan murid Eyang Begawan Kama-
setyo kini tidak kelihatan sama sekali. Dan saat
asap putih yang menyelimuti tubuhnya hilang ter-
tiup angin....     
"Ggggeeerrr...!!!"    
Seketika terdengar suara raungan yang
menggetarkan dada....
Sepasang mata merah Pengasuh Setan
membelalak liar dengan kening berkerut. Namun
tak lama senyum dinginnya tersungging di bibir.
"Hm...! Jadi kaukah yang bergelar Siluman
Ular Putih? Pantas?" Pengasuh Setan mengang-
guk-angguk.
Putri Manja, Bayi Kawak, dan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding terkejut bukan main. Mereka tidak
menyangka kalau pemuda gondrong itulah yang
bergelar Siluman Ular Putih. Meski demikian hati

ketiga orang itu tetap saja ragu. Apakah Siluman
Ular Putih dapat mengalahkan Pengasuh Setan?
"Ggggeerrr...!!!".
Sosok ular putih sebesar pohon kelapa itu
mengibas-ngibaskan ekornya beberapa saat. Tar-
ing-taringnya yang runcing berkilauan tertimpa
sinar matahari."
Melihat ular putih raksasa di hadapannya
bersiap-siap menyerang, Pengasuh Setan memilih
untuk menyerang terlebih dahulu. Begitu melon-
cat ke depan, kedua telapak tangannya yang ber-
warna merah menyala  kembali  melabrak tubuh
Siluman Ular Putih
Bukkk! Bukkkk!
"Ggggeeerrr…!!!"
Tanpa ampun sosok tubuh Siluman Ular Pu-
tih terlempar ke belakang, langsung jatuh berde-
bam. Seketika debu-debu beterbangan menutupi
sosok tubuh ular putih raksasa itu. 
Pengasuh Setan gembira bukan main. Dalam
benaknya terbayang kalau tubuh ular putih rak-
sasa itu pasti sudah hancur berkeping-keping be-
gitu terkena pukulan  aji 'Tangkal Petir'. Namun
rupanya apa yang dibayangkan hanyalah tinggal
bayangan. Begitu debu yang menyelimuti sirna
tertiup angin, saat itu juga tampak sosok tubuh
Siluman Ular Putih tengah bersiap-siap membalas
serangan Pengasuh Setan. 
"Ggggeeerrr...!!"
Diiringi gerengan keras, tiba-tiba ular putih
raksasa itu telah menerjang Pengasuh Setan he-
bat. Kecepatan geraknya pun sungguh menga-

gumkan. Sehingga, hal ini tak urung juga mem-
buat hati Pengasuh Setan terkesiap. Dan belum
sempat Pengasuh Setan menghindar, tahu-tahu
taring-taring runcing Siluman Ular Putih telah
mengancam kepalanya!
Crakkk!
Mantap sekali taring-taring Siluman Ular Pu-
tih memangsa kepala Pengasuh Setan. Namun
anehnya, kepala tokoh sesat dari Gunung Sindoro
itu sedikit pun tidak terluka. Bahkan begitu tar-
ing-taring Siluman Ular Putih menghujan kepala,
seketika sekujur tubuh Pengasuh Setan meman-
carkan cahaya merah menyala!
"Ggggeeerrr...!!!" 
Bersamaan itu pula, Siluman Ular Putih
menggereng hebat. Taring-taringnya yang runcing
seketika merasakan satu aliran dahsyat balik me-
nyerang dirinya!
Siluman Ular Putih meraung setinggi langit.
Kini, ia tidak berani lagi menghujamkan taringnya
ke kepala Pengasuh Setan. Namun bukan berarti
harus melepaskan cengkeraman pada kepala la-
wannya. Dengan nekat ekor Siluman Ular Putih
telah melibat tubuh Pengasuh Setan kuat-kuat.
Pengasuh Setan kewalahan bukan main. Na-
pasnya mulai terasa sesak. Tulang dalam tubuh-
nya terasa bergemeletakkan!
Siluman Ular Putih makin mempererat liba-
tannya pada tubuh Pengasuh Setan. Kini baru di-
ketahui kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik lawan-
nya. Ternyata meski tubuh Pengasuh Setan kebal
terhadap berbagai macam senjata tajam maupun

berbagai macam pukulan maut, namun ternyata
tubuhnya tidak kebal terhadap libatan ekor Silu-
man Ular Putih.
Kini keadaan benar-benar berbalik. Perla-
han-lahan tubuh Pengasuh Setan terasa lemas.
Sebenarnya, lelaki sesat ini ingin sekali mengelu-
arkan aji 'Panglipur Setan'. Namun sayang, na-
pasnya terasa sesak sehingga tak mungkin men-
gerahkan tenaga dalam begitu cepat. Mulutnya
terkunci, tak dapat mengeluarkan gerengan-
gerengan gaibnya untuk balik menyerang Siluman
Ujar Putih. Malah yang terjadi justru sebaliknya.
Libatan ekor Siluman Ular Putih makin mengunci
tubuhnya. 
"Kuuukkkk...!!!"
Pada saat yang genting bagi keselamatan
Pengasuh Setan, mendadak meluncur satu
bayangan  hitam dari angkasa. Begitu cepat
bayangan itu meluncur, bahkan langsung menye-
rang sepasang mata Siluman Ular Putih!
Siluman Ular Putih kaget bukan main. Tentu
saja kedua matanya tidak sudi dijadikan sasaran
empuk serangan bayangan hitam yang ternyata
seekor burung hantu raksasa sebesar kambing,
peliharaan Pengasuh Setan. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih menarik kepalanya ke
belakang. Namun, burung hantu raksasa berna-
ma Meruya itu mencecar kedua bola mata Silu-
man Ular Putih. Hal ini tentu saja sangat mem-
buat gusar Siluman Ular Putih. Saking gusarnya
libatan ekornya dari tubuh Pengasuh Setan sege-

ra dilepas.
Namun anehnya, begitu Siluman Ular Putih
melepaskan tubuh Pengasuh Setan, burung han-
tu  itu tidak lagi menyerang, melainkan segera
menyambar tubuh majikannya dan membawanya
terbang tinggi ke angkasa! 
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih dan semua yang berada
di tempat pertarungan menjadi kecewa melihat
Pengasuh Setan dapat diselamatkan oleh burung
peliharaannya. Untuk mengejarnya jelas tidak
mungkin. Karena burung hantu raksasa itu telah
terbang tinggi ke angkasa membawa tubuh maji-
kannya. Dengan hati dongkol, mereka hanya da-
pat memperhatikan sosok hitam tubuh burung
hantu raksasa yang membawa  Pengasuh Setan
hilang di batas langit sebelah utara!
Siluman Ular Putih berkali-kali menggereng
hebat, melampiaskan kekecewaannya. Namun se-
lang beberapa saat, sekujur tubuhnya telah dipe-
nuhi asap putih tipis. Sehingga sosoknya tidak
kelihatan sama sekali.  Dan saat asap putih itu
sirna tertiup angin, maka yang tampak saat itu
bukan lain sosok ular putih raksasa. Melainkan,
sosok seorang pemuda tampan berpakaian rompi
dan celana bersisik warna putih keperakan. Itu-
lah sosok murid Eyang Begawan Kamasetyo! 
Pelukis Sinting Tanpa Tanding yang tak
mendapat totokan dari Pengasuh Setan segera
membebaskan totokan Bayi Kawak. Dan lelaki tua
itu tak mungkin membebaskan totokan Pengasuh
Setan di tubuh Putri Manja, karena itu tak mung-

kin dilakukannya. Sebab, keadaan tubuh bagian
atas gadis itu masih tak tertutup oleh pakaian.
"Cepat kau bebaskan totokan muridmu, se-
belum perhatian pemuda itu tercurah pada tubuh
indah itu," ujar Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
menunjuk Putri Manja.
Cepat Bayi Kawak menghampiri  Putri Man-
ja. Setelah membebaskan totokan, segera dibena-
hinya pakaian Mawangi
"Soma...! Maafkan atas kelancanganku sela-
ma ini. Tak kusangka kau adalah Siluman Ular
Putih yang sangat terkenal itu!" teriak Putri Manja
setelah membenahi pakaiannya yang robek di dua
tempat. Yang penting, bagian-bagian terlarang bi-
sa tertutup.
Soma hanya menoleh ke arah Putri Manja
sebentar. Lalu perhatiannya tercurah ke angkasa,
ke arah burung hantu yang membawa tubuh ma-
jikannya pergi tadi.
"Kau.... Kau tak mau memaafkanku, Soma?"
kata gadis manja itu lagi sedih. Rasa malunya ka-
rena bagian tubuh indahnya sempat terlihat oleh
pemuda itu berusaha dienyahkan.
"Menyesal sekali...!" gumam Soma lirih. Pan-
dangan matanya masih ditujukan ke angkasa. 
"Jadi... jadi kau menyesali perbuatanku,
Soma? Kau tak mau memaafkanku?" rajuk Putri
Manja. Kali ini si gadis benar-benar mulai tak da-
pat mengendalikan perasaannya. Nada bicaranya
tadi pun memelaskan sekali. Ada cairan bening
berpendar-pendar di kedua bola matanya.
"Menyesal sekali aku tak dapat membunuh-

nya. Mestinya aku tadi tak boleh melepaskannya.
Huh...! Brengsek! Baru kali ini aku ditipu men-
tah-mentah oleh seekor binatang!" rutuk Siluman
Ular Putih, membanting-banting kakinya kesal.
Entah kenapa, mendadak sepasang mata indah
Putri Manja jadi berbinar-binar indah. Namun
masih saja ada satu hal yang mengganjal hatinya.
Yaitu, Soma belum memaafkan kelancangannya!
"Sudahlah, Anak Muda! Percuma saja kau
menyesali yang sudah terjadi. Untuk beberapa
saat, sekarang lupakan saja manusia iblis itu!"
bujuk Pelukis Sinting Tanpa Tanding, tak lagi
memanggil 'monyet buduk'.
"Dia pasti akan terus mencariku. Karena
memang akulah yang membunuh muridnya," kata
Soma.
"Ah...! Bukankah itu satu kesempatan bagus
untuk membunuhnya, bukan?" sahut Bayi Ka-
wak.
"Betul. Tapi... tapi...," Soma ragu-ragu. Ha-
tinya masih belum puas dengan kemenangannya
barusan. Bagaimanapun juga, Pengasuh Setan
patut diperhitungkan. Tindakannya jelas tidak bo-
leh gegabah lagi bila nanti berhadapan dengan
tokoh sesat itu.
"Tapi apa, Soma?" tanya Putri Manja.
Si gadis tampak ragu-ragu untuk mendekati
Soma, dan hanya bisa diam di tempatnya. Namun
sepasang matanya tak henti-hentinya terus mem-
perhatikan Soma penuh kagum.
"Ah... sudahlah! Tak ada gunanya kita mem-
bicarakan manusia iblis satu itu," ujar Soma se-

raya mengibaskan tangan. "Sekarang kau sendiri
mau ke mana, Putri?"
"Aku... Aku tidak tahu. Aku hanya ingin kau
memaafkan atas kelancanganku selama ini," ucap
Putri Manja, gugup.
"Ah... sudahlah! Lupakan saja! Asal kau mau
bersahabat denganku, pasti aku memaafkanmu,"
tukas Soma dengan senyum manis terkembang di
bibir.
Putri Manja tersenyum simpul. Entah kena-
pa kali ini matanya tidak berani membalas pan-
dang mata Soma. Hatinya jadi tak karuan. Wajah
tampan Soma terus mengubek-ubek lubuk ha-
tinya yang paling dalam. 
"Kau harus pulang ke puncak Gunung Me-
rapi, Putri! Kepandaianmu masih perlu ditambah.
Aku belum mengizinkanmu pergi kalau belum
mempelajari semua yang kuajarkan dengan baik,"
ujar Bayi Kawak tiba-tiba.
"Tidak, Guru. Aku tidak mau pulang ke pun-
cak Gunung Merapi. Aku masih ingin berpetua-
lang," tolak Putri Manja, berani. 
"Tapi...."
"Sobatku, Bayi Kawak!" potong Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding. "Apa matamu lamur? Sia-sia
saja kau mencegah anak gadis yang sedang kas-
maran."
"Oh, ya? Tapi.... Tapi... baiklah! Kau kuizin-
kan berpetualang untuk beberapa saat. Tapi jan-
gan lama-lama, ya! Aku sendirian di puncak Gu-
nung Merapi," ingat Bayi Kawak akhirnya.
"Baik, Guru. Terima kasih  atas pengertian-

mu. Dan tentu aku akan segera pulang," sahut
Putri Manja. 
"Baik. Kutunggu kau di puncak Gunung Me-
rapi, Putri," kata Bayi Kawak, lalu menoleh ke
arah Pelukis Sinting Tanpa Tanding. "Ayo, Om-
pong! Ikut aku. Aku masih ingin ngobrol dengan-
mu!"
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum. Lelaki tua ini tahu benar, apa yang tengah
melanda hati dua anak muda di hadapannya. Un-
tuk itu segera diturutinya ajakan Bayi Kawak
"Selamat, Sobat!" ujar Pelukis Sinting Tanpa
Tanding seraya mengerlingkan sebelah mata dan
segera meninggalkan tempat itu.
Soma mengangkat bahu tak mengerti. Lalu
entah kenapa tangannya telah menggaruk-garuk
kepala. Saat itu, Putri Manja tengah tersenyum
kepadanya. Entah senyum apa. Soma tidak tahu.
Yang jelas, tampaknya Putri Manja mulai menyu-
kainya. Duh...! Gede rasa juga pendekar satu ini!

SELESAI

Segera terbit!! 
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
PASUKAN KUMBANG NERAKA


Scan/E-Book: Abu Keisel
Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com