Siluman Ular Puth 14 - Sengketa Tahta Leluhur(1)


"Benar-benar laknat!" 
Adipati Reksopati mendesis geram di kursi kebe-
sarannya. Kedua telapak tangannya mencengkeram 
lengan kursi kuat-kuat. Sepasang matanya beringas 
menyapu semua yang hadir di ruang pendopo Kadipa-
ten Pleret. 
Saking gusarnya, lelaki gagah berusia empat pu-
luh tahun yang menguasai Kadipaten Pleret itu sampai 
terlonjak dari tempat duduknya. Sementara semua 
yang hadir di ruang pendopo membungkam. Ketika le-
laki yang memiliki wajah tampan itu kembali luruh di 
kursi kebesarannya, wajahnya terlihat muram. Tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian kebesaran 
terguncang. Dadanya bergerak turun naik, seolah ten-
gah menahan gejolak amarah.    
"Kangmas Adipati Reksopati! Apa maksud ucapan, 
Kangmas?" tanya seorang gadis cantik berusia tujuh 
belas tahun setelah memberanikan diri. 
Wajah si gadis yang berbentuk bulat telur nampak 
putih bersih. Rambutnya yang hitam panjang digelung 
ke atas. Pakaiannya yang ringkas warna kuning. Dan 
ia memang masih adik tiri Adipati Pleret, yakni Putri 
Sekartaji. 
Di sebelah Putri Sekartaji, duduk bersila seorang 
lelaki gagah berusia lima puluh lima tahun. Tubuhnya 
tinggi besar. Rambutnya dikuncir ke belakang. Pa-
kaiannya berupa jubah kuning keemasan. Sebilah pe-
dang berwarna kuning menyembul dari balik pung-
gungnya. Menilik pakaiannya, jelas lelaki ini berasal 
dari dunia persilatan. Memang, ia adalah Pendekar 
Bintang Emas yang merupakan guru Putri Sekartaji!  
"Putri! Harap jaga ucapanmu!" ujar Pendekar Bin-
tang Emas berbisik cemas. Kata-katanya tadi di-
ucapkan sedikit sopan. Tak seperti biasanya bila guru 
dan murid itu sedang di luar lingkungan kadipaten.       
"Memangnya kenapa, Guru? Apa aku salah ber-
tanya demikian? Kukira justru Kangmas Adipati-lah 
yang harus segera bertindak terhadap pemberontakan 
laknat. Yah...! Kangmas Sembodo yang kini bergelar 
Pangeran Pemimpin itu memang laknat! Tak tahu diri! 
Teganya ingin menggulingkan kekuasaan Kadipaten 
Pleret.  Tanah kelahirannya!" sergah Putri Sekartaji 
tanpa  mempedulikan kecemasan gurunya. (Untuk 
mengetahui tentang sepak terjang Pangeran Pemimpin, 
baca episode: "Penguasa Alam").  
Adipati Pleret membetulkan letak duduknya. Se-
pasang matanya tajam memperhatikan adik tirinya. 
Lalu perhatiannya beralih pada Pendekar Bintang 
Emas juga semua yang hadir di ruang pendopo. Sua-
sana pun jadi tegang.  
''Nimas...!" panggil Adipati Reksopati bergetar. 
"Sebenarnya apa yang kau ketahui belum seberapa. 
Kau hanya mengetahui sikap Kangmas Sembodo seka-
rang saja. Tapi, kau tak tahu dengan apa yang dilaku-
kan Kangmas Sembodo terhadapku beberapa puluh 
tahun lalu sewaktu kau masih kecil?"   
"Hm... Tentu saja tidak, Kangmas," jawab Putri 
Sekartaji kalem.  
Adipati Pleret menghela napas sebentar. Tampak 
sekali kalau gejolak amarahnya berusaha ditahan. 
"Nimas! Tentunya kau tahu, Kangmas Sembodo 
itu sangat licik. Tapi apa kau pikir kelicikannya hanya 
ingin menggulingkan kekuasaanku saja? Tidak! Sama 
sekali tidak. Dulu sewaktu kau masih kecil, berkali-
kali ia ingin mencelakakanku. Entah dengan cara apa, 
selalu saja ia ingin menjatuhkanku. Bahkan pernah 
pula meracuniku. Untung saja Ibunda Permaisuri tahu 
dan segera membawaku pada tabib kadipaten.  Kalau 
tidak, bukan mustahil nyawaku melayang. Sekarang 
apa yang diinginkannya, benar-benar membuatku 
jengkel." 
Putri Sekartaji semakin geram mendengarnya.  
"Sudahlah, Aku pun mengerti perasaanmu. Oh, 
ya. Sekarang bagaimana kau sampai datang bersama 
gurumu? Bukankah tempo hari kau sudah pulang?" 
kata Adipati Reksopati, mengalihkan pembicaraan. 
"Maaf,  Kangmas Adipati! Sebenarnya aku masih 
belum puas dengan hasil penyelidikanku. Untuk itu, 
diam-diam aku kembali bergabung dengan Siluman 
Ular Putih untuk menyelidiki Kangmas Sembodo. Juga, 
menyelidiki Lukisan Darah yang raib. Namun karena 
satu hal, tiba-tiba Siluman Ular Putih memutuskan 
untuk membagi pekerjaan. Dan akhirnya aku bertemu 
Guru," jelas Putri Sekartaji. 
"Hm...! Tampaknya kau menyembunyikan sesua-
tu, Nimas? Apakah benar demikian, Paman Jayaraka?" 
tanya Adipati Pleret meminta pendapat Pendekar Bin-
tang Emas yang bernama asli Jayaraka. 
Pendekar Bintang Emas sejenak menghela napas 
panjang. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan dili-
batkan pembicaraan antara Putri Sekartaji dengan ka-
kaknya.  
"Terus terang, hamba kurang tahu apa yang dis-
embunyikan murid hamba. Lebih lagi dengan kedatan-
gannya selaku utusan Kanjeng Adipati untuk meminta 
bantuan para pendekar guna menghadapi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Benarkah demikian, Kan-
jeng Adipati?"  
Setelah berkata demikian, Pendekar Bintang Emas 
melirik Putri Sekartaji.  
Si gadis jadi gelisah sekali di tempat duduknya. 
Sebentar-sebentar ia selalu meremas-remas tangannya 
sendiri. 
"Nimas! Apa benar kau telah mengaku sebagai 
utusanku?" tegur Adipati Pleret tak senang seraya 
menggeleng. 
"Maaf, Kangmas Adipati! Hal ini terpaksa kulaku-
kan. Sebenarnya kepergianku ke puncak Gunung Ke-
lud hanya ingin memberitahukan Ki Rombeng kalau 
orang tua sakti yang bergelar Pendidik Ulung kini be-
rada dalam cengkeraman Pangeran Pemimpin. Sewak-
tu aku dan Siluman Ular Putih memergoki utusan-
utusan Pangeran Pemimpin hendak pergi ke suatu 
tempat,  kelihatan  sekali kalau sikap Pendidik Ulung 
amat mencurigakan. Sikapnya kaku mirip mayat hi-
dup. Sikapnya berbeda jauh sekali sewaktu kami per-
tama kali bertemu. Di samping itu, kami pun melihat 
salah  seorang dari rombongan utusan Pangeran Pe-
mimpin tengah membawa-bawa Lukisan Darah. Atas 
dasar itulah kemudian kami membagi pekerjaan. Si-
luman Ular Putih terus mengikuti kepergian para utu-
san Pangeran Pemimpin, sedang aku terus berkunjung 
ke puncak Gunung Kelud." 
"Tapi bukan berarti kau harus seenaknya menga-
ku utusanku, Nimas!"  
"Maaf, Kangmas Adipati! Mula-mula aku memang 
tidak berpikir ke sana. Tapi, waktu kulihat banyak 
pendekar berkumpul di puncak Gunung Kelud, tiba-
tiba pikiranku berubah. Lantas, aku mengaku saja se-
bagai utusan Kangmas Adipati." 
"Hm…!" gumam Adipati Pleret seraya menggeleng-
geleng. "Seharusnya kau tak  boleh  selancang  itu, Ni-
mas! Terus terang aku sangat mencemaskan kesel..."  
"Maaf, Kanjeng Adipati! Aku datang melapor." 
Sebuah suara membuat Adipati Reksopati meng-
hentikan pembicaraan. Keningnya berkerut tak se-
nang. Namun ketika melihat sesosok manusia yang di-
kenalnya di depan pintu masuk ruang pendopo, men-
dadak jadi tersenyum senang. 
*** 
Di depan pintu ruang pendopo, berdiri seorang 
pemuda tampan dengan rambut gondrong tergerai di 
bahu. Tubuhnya tinggi kekar. Pakaiannya rompi dan 
celana bersisik warna putih keperakan. Di pinggang-
nya tampak terselip senjata berupa sebatang anak pa-
nah yang memiliki  dua cakra kembar di kanan kiri 
ujung anak panah yang berupa kepala ular. 
"Siluman Ular Putih!" pekik Putri Sekartaji se-
nang. 
Dengan sikap santai pemuda yang dipanggil Silu-
man Ular Putih segera masuk ke dalam ruang pendo-
po. Dua orang prajurit yang tadi mengawal pun segera 
kembali ke tempat jaga masing-masing.     
"Sobatku Siluman Ular Putih! Apa yang ingin kau 
laporkan?" sambut Kanjeng Adipati Pleret disertai se-
nyum terkembang.  
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum sebentar 
seraya melangkah ke arah Putri Sekartaji. 
"Ada, Kanjeng Adipati. Tapi, tunggu!" sahut Soma. 
Segera pantatnya dihenyakkan di samping Putri Sekar-
taji seenaknya. 
"Eh...! Kau jangan duduk di situ, Sobat! Mari du-
duk di sampingku," ujar Kanjeng Adipati seraya me-
langkah turun mendekati murid Eyang Begawan Ka-
masetyo. 
Mendapat kehormatan besar, Soma malah meng-
garuk-garuk kepala Senyumnya pun tampak aneh ter-
sungging di bibir.  
"Apes memang! Mau duduk di samping Putri Se-
kartaji saja tidak boleh. Baik. Kuturuti kemauanmu, 
Kanjeng," gerutu Soma seperti berkata pada diri sendi-
ri: 
Kanjeng Adipati yang mendengar gerutuan Soma 
hanya tersenyum lebar. Sedikit pun tidak merasa ter-
singgung dengan tingkah laku nyeleneh Siluman Ular 
Putih.  
"Kau selalu saja bersikap begitu, Sobat. Apa kau 
tidak bisa sedikit berlaku hormat padaku?" tegur Adi-
pati Pleret lalu disusul tawa berderai.  
Entah kenapa Soma pun ikut tertawa. 
"Kalau Kanjeng Adipati dapat terbang seperti bu-
rung, bolehlah aku menghormat. Dia di atas. Bukan 
begitu, Kanjeng?" oceh Soma di antara tawa gelaknya. 
Kanjeng Adipati makin melipatgandakan tawanya. 
Lalu diraihnya lengan Siluman Ular Putih. 
"Kau memang nyeleneh, Soma! Beraninya berkata 
begitu padaku. Hayo, duduk di sampingku!" lanjut le-
laki Penguasa Kadipaten Pleret ini. 
"Kenapa tidak berani kalau aku sudah tahu bah-
wa Kanjeng Adipati tidak akan murka?" sahut Soma 
seenaknya, lalu duduk di kursi samping Kanjeng Adi-
pati. 
"Ah..,! Kau ini!" ujar Kanjeng Adipati Pleret. "Su-
dah! Sekarang kau mau lapor apa?" 
Siluman Ular Putih tersenyum. Mendadak pan-
dang matanya membentur sepasang mata indah Putri 
Sekartaji.  Senyum murid Eyang Begawan Kamasetyo 
pun makin melebar. 
"Tidak bertemu sehari saja kau sudah demikian 
cantiknya, Putri. Apalagi kalau tidak bertemu satu 
atau dua tahun. Hm...! Sungguh aku tak dapat mem-
bayangkan betapa cantiknya wajahmu nanti!" celoteh 
Soma. 
Entah kenapa, mendengar pujian Siluman Ular 
Putih hati Putri Sekartaji jadi tak karuan. Kedua pi-
pinya kontan dihiasi rona merah. Sikapnya pun jadi 
serba salah tingkah.  
Siluman Ular Putih dan semua yang berada di 
ruang pendopo hanya tersenyum saja. Apalagi ketika si 
pemuda kembali menggoda. Maka semua yang berada 
di ruang pendopo jadi tidak tahan menahan tawa. 
"Sudah, sudah! Katanya mau melapor! Malah me-
lantur tak jelas juntrungnya!" tegur Adipati Pleret, tak 
tega melihat adik tirinya jadi makin salah tingkah. 
"Ah...! Rupanya kau membela adikmu, Kanjeng. 
Tapi tak apa-apalah. Mungkin memang begitulah sifat 
seorang kakak," lanjut Soma 
"Iya, iya! Tapi kau mau melapor apa?" tukas Kan-
jeng Adipati tak sabar. 
Soma tidak langsung menjawab. Dan senyumnya 
malah makin diumbar. 
"Begini, Kanjeng Adipati. Mudah-mudahan Kan-
jeng Adipati tak terkejut bila kukatakan kalau aku su-
dah menemukan harta karun yang terkandung dalam 
Lukisan Darah," lapor Soma seenaknya. 
"Jadi kau sudah mendapatkan harta karun itu?! 
Kau sudah mendapat Lukisan Darah?" sentak Kanjeng 
Adipati, memberondong. Sungguh tak disangka kalau 
Siluman Ular Putih akan melaporkan kejadian penting 
itu dengan cara demikian santai. 
"Ya. Memangnya kenapa? Kaget?" goda Soma. 
"Tunggu! Sebaiknya kau jangan mengatakan sem-
barangan, Soma!" pinta Kanjeng Adipati, takut Soma 
kelepasan bicara. 
"Tentu. Aku mengerti, kok," sahut Soma. Lalu bi-
birnya didekatkan ke telinga Kanjeng Adipati. "Seka-
rang aku telah menemukan harta karun itu, Kanjeng." 
"Di mana?" sahut Kanjeng Adipati berbisik pula. 
"Di puncak Gunung Kembang. Tepatnya, di dalam 
sebuah goa di lereng sebelah barat puncak Gunung 
Kembang." 
"Ah...!" desah Kanjeng Adipati penuh keterkejutan.  
"Kenapa ah? Apa Kanjeng Adipati cemas kalau 
aku mengangkangi harta karun itu?" 
"Bukan! Bukan itu! Tapi, kenapa tidak kau bawa 
sekalian kemari?"         
"Jumlah harta karun itu terlampau banyak. Tak 
mungkin aku membawa kemari seorang diri. Baiknya, 
Kanjeng Adipati segera mengutus beberapa orang pra-
jurit kepercayaan untuk mengambilnya! Ini petanya!" 
jelas Soma. Segera diambilnya gulungan besar yang 
disembunyikan di balik punggung dan diserahkannya 
pada Kanjeng Adipati. 
Adipati Reksopati mengamati gulungan pemberian 
murid Eyang Begawan Kamasetyo seksama. Lalu alis-
nya bertautan. 
"Bukankah ini Lukisan Darah, Soma? Kenapa jadi 
begini tak karuan?" bisik Kanjeng Adipati heran,  
"Aku sendiri tidak tahu, kenapa Lukisan Darah 
yang semula bergambar seorang wanita tanpa busana 
itu jadi demikian rupa. Sayang memang. Aku jadi tidak 
dapat melihat keindahan tubuhnya dalam lukisan itu. 
Apa kau juga menyenanginya, Kanjeng?" oceh Soma 
seenak udelnya.  
"Hush...! Kau jangan melantur! Maksudku, kena-
pa lukisan ini jadi gulungan begini?" 
"Oh... itu! Sebenarnya memang sayang. Tapi un-
tuk lebih amannya, aku sengaja mencopot lukisan itu 
dari bingkainya. Apa kau keberatan? Kalau keberatan, 
ya... nantilah kucarikan bingkainya," sahut Soma ka-
lem. 
"Tak usah. Aku bisa menyuruh beberapa orang 
ahli ukir di kadipaten ini untuk membuatnya yang sa-
ma persis." 
"Nah...! Begitu juga boleh...."  
"Ah...! Kau ini...," ujar Kanjeng Adipati. Lalu per-
hatiannya dialihkan pada Pendekar Bintang Emas. 
"Paman Jayaraka! Seperti yang telah kita bicarakan 
tadi, apakah para pendekar sudi membantu kami guna 
menumpas kaum pemberontak pimpinan Kangmas 
Sembodo?" 
"Hamba datang kemari justru diutus teman-teman 
pendekar, Kanjeng. Dan sekarang terserah, Kanjeng 
Adipati. Kami hanya tinggal menunggu perintah," jelas 
Pendekar Bintang Emas. 
"Baik. Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki 
Rombeng, dan juga para pendekar lain. Nanti kalau 
ada kabar baik, aku pasti akan mengutus seorang pra-
juritku untuk memberi tahu kalau kalian di puncak 
Gunung Kelud," ujar Adipati Pleret akhirnya. 
"Baik," sahut Pendekar Bintang Emas singkat. 
Adipati Pleret mengangguk-angguk  penuh kepua-
san. 
*** 
Pangeran Pemimpin gusar bukan main setelah 
menerima laporan kalau Pelajar Agung, Raja Racun, 
dan Raja Golok tidak dapat menjalankan tugas dengan 
baik. Bahkan kini Pendidik Ulung telah diamankan 
oleh para pendekar yang dipimpin Raja Penyihir dan 
Manik Biru! (Untuk mengetahui kegagalan tugas Pela-
jar Agung dan kawan-kawan, silakan baca: "Penguasa 
Alam"). 
Meski Pangeran Pemimpin merasa gusar menden-
gar laporan Pelajar Agung, namun tak sepatah kata 
pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya memukul-
mukulkan tinju ke telapak tangan sambil berjalan 
mondar-mandir di hadapan sekutu dan anggota Partai 
Kawula Sejati. Memang, ada hal lain yang mengganggu 
pikirannya. Bagaimanapun juga ia cukup tahu watak 
Pelajar Agung yang tinggi hati. Kalau Pangeran Pemim-
pin mencaci kegagalannya, bukan mustahil Pelajar 
Agung akan balik memusuhi. Bahkan tidak mau lagi 
membantu perjuangannya. Maka wajar kalau Pangeran 
Pemimpin tidak mengeluarkan caci makinya, meski da-
lam hatinya merasa gusar bukan main. 
"Sungguh aku tidak tahu lagi apa yang harus ku-
lakukan! Kegagalan demi kegagalan benar-benar bisa 
membuatku sinting! Nimas Putri Sekartaji yang sebe-
narnya dapat kumanfaatkan untuk menggulingkan 
kekuasaan Adipati Pleret telah lenyap dari genggaman 
tanganku. Sekarang harta karun yang sebenarnya su-
dah di depan mata pun lenyap! Benar-benar menjeng-
kelkan! Bisa sinting aku memikirkannya!" desis Pange-
ran Pemimpin, tanpa bermaksud menyinggung pera-
saan Pelajar Agung. 
"Aku tahu apa yang kau maksudkan, Pangeran. 
Tampaknya kau menyalahkanku?" tukas Pelajar 
Agung, ternyata tersinggung juga. 
Pangeran Pemimpin mendadak menghentikan 
langkahnya. Sepasang matanya langsung bertumbuk 
pada pembantu utamanya. Pelajar Agung hanya terse-
nyum-senyum kecut. Kendati hatinya makin gusar, 
namun sekali ini Pangeran Pemimpin pun tetap beru-
saha mengendalikan gelegak amarahnya. 
"Kau terlalu perasa, Sobat. Terus terang alangkah 
gusarnya aku melihat kegagalan demi kegagalan. Tapi 
amarahku bukan kutujukan kepadamu," kata Pange-
ran Pemimpin mencoba meminta pengertian Pelajar 
Agung. 
"Memang, aku sendiri maklum kalau kau gusar. 
Tapi semua kegagalan itu di luar kehendakku. Teru-
tama sekali, kepergianku untuk merampas harta ka-
run dari tangan Penguasa Alam. Belum sempat kami 
menemukan Penguasa Alam di puncak Gunung Kem-
bang, mendadak  muncul rombongan pendekar yang 
dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru. Merekalah 
yang telah menggagalkan semua rencana kita," jelas 
Pelajar Agung membela diri. 
Pangeran Pemimpin menggeretakkan gerahamnya 
kuat-kuat seraya mengangguk-angguk. Sebenarnya 
amarahnya ingin sekali dilampiaskan. Namun  entah 
kenapa, mulutnya seperti terkunci. Ia bingung pada 
siapa kemarahannya harus dilampiaskan.  
"Tak ada gunanya menyesali kegagalan demi ke-
gagalan, Pangeran. Yang penting, bagaimana kita ha-
rus secepatnya merebut kekuasaan Adipati Pleret! Itu-
lah yang penting!" usul seorang lelaki tua, memberani-
kan diri.  
Usia lelaki itu sekitar enam puluh tahun. Wajah-
nya garang. Rambutnya gondrong awut-awutan tak ka-
ruan. Tubuhnya yang tinggi kurus mirip orang cacin-
gan dibalut pakaian warna hitam. Tokoh sesat dari 
Gunung Lawu yang bersenjatakan tongkat hitam ini 
dikenal se-bagai Bajing Ireng.  
Di samping Bajing Ireng duduk seorang pemuda 
berusia dua puluh dua tahun. Tubuhnya juga kurus, 
namun otot-otot lengannya bertonjolan. Dari sinar ma-
tanya yang garang, jelas kalau pemuda berpakaian bi-
ru-biru itu pun memiliki kepandaian. Apalagi di balik 
punggungnya pun tersembul gagang pedang, yang me-
nandakan kalau pemuda itu juga dari dunia persila-
tan. Dan dia tidak lain memang murid Bajing Ireng 
yang bergelar Bajing Biru.    
Guru dan murid itu memang telah bergabung 
dengan Partai Kawula Sejati setelah terlebih dahulu 
menangkap Putri Sekartaji sebagai tanda kesetiaan. 
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode: "Perse-
kutuan Maut"). 
Di samping guru dan murid dari Gunung Lawu itu 
tampak duduk beberapa tokoh sesat lain di ruang 
pendopo Partai Kawula Sejati ini. Di antaranya ada Ib-
lis Mayat Merah yang sebelumnya terluka parah di 
tangan Siluman Ular Putih, Ia duduk di samping adik 
seperguruannya yang berjuluk Setan Mayat Merah. Di 
sebelah mereka adalah Iblis Muka Merah, Rantai Ku-
mala Kuning, dan masih banyak tokoh sesat lainnya. 
"Bicara memang gampang, Bajing Ireng! Tapi apa 
kau tidak sadar betapa kegagalan demi kegagalan ini 
bisa membuatku sinting, he?!"  dengus Pangeran Pe-
mimpin lantang, seperti mendapat tempat untuk me-
lampiaskan kemarahannya.  
Bajing Ireng tertawa sumbang. 
"Aku tahu. Tapi, apa gunanya menyesali kejadian 
yang sudah lewat? Seperti tidak ada jalan lain saja!" 
sahut Bajing Ireng seenaknya. 
"Bedebah! Kau memanas-manasiku, Bajing Ireng! 
Kalau kau tidak dapat memberi jalan keluar, jangan 
harap dapat melihat terbitnya matahari esok hari!" an-
cam Pangeran Pemimpin beringas. "        
"Ah...! Kenapa jadi begini? Kau... kau tampaknya 
seperti memojokkanku, Pangeran? Tapi baik kalau 
memang itu yang kau inginkan!" 
Sejenak Bajing Ireng menghentikan ucapannya. 
Keningnya tampak berkerut-kerut bertanda tengah 
berpikir keras.  
"Ah...! Gampang! Gampang sekali! Kenapa kita ja-
di pusing begini? Coba Pangeran perhatikan. Apa ke-
kuatan kita selama ini kurang? Coba perhatikan baik-
baik, Pangeran! Kekuatan kita sekarang ini jauh mele-
bihi kekuatan prajurit-prajurit kadipaten. Apalagi, 
dengan banyak tokoh dunia persilatan dari golongan 
sesat yang memiliki ilmu hebat sudi bergabung den-
ganmu. Apa ini bukan suatu kekuatan besar? Kenapa 
kita tidak lekas memanfaatkannya?" kilah Bajing Ireng 
penuh semangat. 
"Apa maksudmu sebenarnya, Bajing Ireng? Coba 
bicara yang jelas! Kalau jalan keluarmu ini kurang 
menguntungkan, maka nyawamulah tebusannya!" 
bentak Pangeran Pemimpin gusar. 
Bajing Ireng tersenyum dingin. Tampak sekali ka-
lau uneg-unegnya sebenarnya ingin sekali dikeluarkan. 
Namun entah kenapa, ia tidak berani.  
"Tidak ada pilihan lain, Pangeran. Sebelum kekua-
tan menyusut, terpaksa kita harus secepatnya me-
nyerbu kadipaten! Itulah jalan satu-satunya yang ter-
baik!" tutur Bajing Ireng akhirnya dengan hati kecut.    
Pangeran Pemimpin terdiam, seperti mempertim-
bangkan usul Bajing Ireng. Sejurus kemudian kepa-
lanya manggut-manggut dengan kening berkernyit.  
"Kali ini kita tidak ada pilihan lain. Kukira me-
mang itulah jalan satu-satunya yang terbaik, Pange-
ran," timpal Raja Racun, menyetujui usul Bajing Ireng. 
Tiba-tiba semangat Pangeran Pemimpin yang 
mengendur kembali menggebu-gebu. Namun sampai di 
sini lelaki setengah baya itu belum membuka suara. 
Garis-garis keningnya tampak makin berlipat-lipat.    
"Kenapa harus bingung, Pangeran? Kalau itu me-
mang satu-satunya jalan terbaik, kenapa tidak lekas-
lekas dilakukan?" kali ini yang angkat bicara  adalah 
Pelajar Agung. 
"Menurutmu bagaimana?" tanya Pangeran Pe-
mimpin, meminta pendapat Pelajar Agung. 
"Dalam urusan ini yang paling menentukan ada-
lah kau! Kalau kau masih ingin mengincar singgasana 
Kadipaten Pleret, maka sudah waktunya berpikir lebih 
cermat!" 
"Hm...!" Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. "Kukira memang sudah saatnya ki-
ta menggempur Kadipaten Pleret!" 
"Nah! Akhirnya, usulku diterima juga, kan?" kata 
Bajing Ireng dengan senyum terkembang.  
Tidak  ada sahutan dari mulut Pangeran Pemim-
pin. 
Sepasang matanya yang tajam sejenak memperha-
tikan semua yang berada di ruang pendopo Partai Ka-
wula Sejati dengan sinar penuh wibawa.      
"Saudara-saudara anggota Partai Kawula Sejati, 
dan juga sekutu-sekutuku yang setia dari dunia persi-
latan! Aku mengumumkan mulai besok pagi kita harus 
mulai mengangkat senjata untuk menggulingkan ke-
kuasaan Adipati Pleret! Namun, tentu saja aku tidak 
akan melupakan budi kalian. Bilamana kelak aku da-
pat menggulingkan kekuasaan Adipati Tamak itu, aku 
berjanji akan membalasnya dengan berlipat ganda!" 
Genderang perang baru saja ditabuh oleh Pange-
ran Pemimpin. Semua anggota dan sekutu Partai Ka-
wula Sejati menyambut gembira. Tak henti-hentinya 
semua yang berada di ruang pendopo Partai Kawula 
Sejati berteriak lantang, menyambut keputusan Pange-
ran Pemimpin.  
Pangeran Pemimpin membusungkan dadanya. 
Angkuh. Sambutan para anggota Partai Kawula Sejati 
dan sekutu-sekutu dekatnya makin membuat seman-
gatnya berkobar!  
*** 
Malam terasa lengang, tanpa kerlip bintang mau-
pun sinar bulan di angkasa. Alam mayapada seolah 
dikungkung sepi. Kesunyian malam pun juga men-
gungkung sebuah sendang berkelilingkan  pohon-
pohon besar. Bahkan angin pun seolah enggan ber-
hembus. 
Keadaan semacam ini membuat seorang lelaki se-
tengah baya yang duduk bersila di depan sendang ma-
kin khusuk bersemadi. Wajahnya kaku dengan kulit 
putih bersih. Tubuhnya tinggi kekar, terbungkus pa-
kaian surjan dan kain batik. Sebuah keris berlekuk tu-
juh menyembul di sisi pinggang belakang. Melihat ciri-
cirinya, jelas lelaki itu tak lain dari Raden Sembodo 
atau yang lebih terkenal dengan Pangeran Pemimpin! 
Sebenarnya apa yang tengah dilakukan Pangeran 
Pemimpin seorang diri di pinggir sendang? Kenapa se-
kujur tubuhnya basah kuyup? 
Memang, Pangeran Pemimpin baru saja mengada-
kan upacara suci  seorang diri sebelum maju perang, 
yakni dengan cara mandi 'jamas' yang dilengkapi pula 
dengan berbagai macam bunga. Itu dapat dilihat dari 
sisa-sisa bunga yang masih menempel di rambutnya. 
Dan itu memang sudah menjadi kebiasaannya yang 
kemudian dilanjutkan dengan bersemadi. 
Walau keadaan malam itu kurang menguntung-
kan, namun Pangeran Pemimpin terus saja bersemadi. 
Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Telapak tan-
gannya disedekapkan di depan dada, seolah-olah tidak 
mempedulikan hawa dingin yang menusuk kulit. 
Ketika semadi lelaki setengah baya itu mencapai 
titik puncaknya, air telaga di hadapannya bergolak. 
Tubuh Pangeran Pemimpin berguncang hebat. Bukan-
nya menahan dingin yang teramat menusuk kulit, me-
lainkan seolah-olah tengah menghadapi serangan te-
naga gaib yang entah datang dari mana. 
Menyadari ada sesuatu yang aneh, perlahan-lahan 
Pangeran Pemimpin membuka kelopak matanya. Ke-
dua bibirnya terus berkemik-kemik membaca mantra. 
Air sendang di hadapannya makin bergolak, seperti 
ada seekor naga besar yang tengah murka di dasar 
sendang. 
"Eyang Pamekasan! Tunjukkanlah dirimu, Eyang! 
Aku datang memanggilmu," kata Pangeran Pemimpin 
dengan bibir bergetar. 
Tak ada sahutan. Hanya air sendang yang-makin 
bergolak hebat. Namun setelah itu perlahan-lahan dari 
dasar sendang  menyembul sesosok tubuh ke permu-
kaan. 
Sosok tubuh itu adalah seorang lelaki tua berpa-
kaian hitam. Wajahnya tirus dengan rambut yang pu-
tih digelung ke atas. Dan kini lelaki tua yang dipanggil 
Eyang Pamekasan telah muncul di permukaan air da-
lam sikap semadi! 
Melihat kemunculan Eyang Pamekasan, sejenak 
Pangeran Pemimpin terkesima. Namun buru-buru ke-
dua telapak tangannya ditangkupkan di depan hidung 
penuh hormat. 
"Sembodo! Apa yang kau inginkan? Kenapa kau 
mengusik semadiku?" tegur Eyang Pamekasan dengan 
suara serak.  
Sekali lagi Pangeran Pemimpin menangkupkan 
kedua telapak tangannya di depan hidung penuh hor-
mat. "Maaf, Eyang! Seperti yang telah Eyang janji bah-
wa akan membantuku bila aku akan menggulingkan 
kekuasaan  Adipati  Pleret, maka aku Sekarang mem-
bangunkan semadimu."    
"Hm...! Jadi kau sudah merencanakan untuk me-
rebut takhta Kadipaten Pleret, Cucuku? Kapan?" tanya 
Eyang Pamekasan penuh minat. 
"Kalau tidak ada halangan, besok pagi pasukanku 
mulai bergerak menuju Kadipaten Pleret, Eyang."  
"Bagus! Lebih cepat lebih baik! Rasanya aku be-
lum puas kalau Cokro Ningrat belum turun takhta dan 
mampus di tanganku!" desis Eyang Pamekasan, penuh 
kegeraman 
"Sekarang bukan Romo Cokro Ningrat yang ber-
kuasa di Kadipaten Pleret, Eyang. Melainkan Dim...." 
"Cih! Tak tahu malu!" potong lelaki tua itu, mem-
buat kata-kata Pangeran Pemimpin tertahan. "Dia itu 
bukan romomu! Dia itu hanya romo tirimu! Kau tidak 
pantas menyebutnya romo, Cucuku! Lalu, siapa yang 
sekarang berkuasa di Kadipaten Pleret?" 
"Dimas Reksopati, Eyang. Tapi, kenapa tadi Eyang 
mengatakan kalau aku adalah anak tiri Cokro Nin-
grat?" tanya Pangeran Pemimpin dengan kening berke-
rut. 
Eyang Pamekasan tidak langsung menjawab. Ia 
malah mengumbar tawanya untuk beberapa saat. Se-
mentara Pangeran Pemimpin tidak berani mengusik. 
Dibiarkannya Eyang Pamekasan mengumbar tawanya.  
"Tolol! Kau ini cucuku! Kau bukan anak dari Co-
kro Ningrat!" hardik Eyang Pamekasan kasar. 
"Lalu, sebenarnya aku ini anak siapa, Eyang?" 
tuntut Pangeran Pemimpin makin heran.   
Eyang Pamekasan melipat gandakan tawanya. Wa-
jahnya yang tirus tampak demikian mengerikannya. 
"Ketahuilah, Cucuku! Sebenarnya kau adalah 
anak dari Prabangkoro, yakni anakku sendiri. Dan 
berhubung juga mencintai Sundari, mendiang ibumu, 
maka Cokro Ningrat pun memfitnah Prabangkoro 
hingga dihukum gantung! Akhirnya ia berhasil mempe-
ristri mendiang ibumu, Cucuku!" tutur Eyang Pameka-
san dengan kemarahan meluap.  
"Keparat! Jadi Cokro Ningrat yang telah membu-
nuh ayahku, Eyang? Kenapa Eyang baru mencerita-
kannya sekarang?" sentak Pangeran Pemimpin, tak ka-
lah gusar. 
"Kusengaja, Cucuku. Karena waktu itu kau masih 
kecil. Tak mungkin aku menceritakan rahasia besar 
ini. Namun ketika aku hendak bertapa di Sendang 
Kenjeran ini, bukankah aku telah memerintahkanmu 
untuk bersiap-siap memberontak?" tukas Eyang Pa-
mekasan tajam.  
"Benar, Eyang. Tapi, terus terang aku menyayang-
kan kenapa baru sekarang rahasia besar ini dicerita-
kan," keluh Pangeran Pemimpin sedih. 
"Sudahlah! Jangan diteruskan! Itu memang satu 
di antara sekian rencanaku!" sergah Eyang Pamekasan 
tak senang. "Sekarang, lekaslah kembali ke markasmu! 
Aku ingin melanjutkan semadiku."  
"Tapi, Eyang. Bukankah Eyang telah berjanji akan 
membantuku bila aku memberontak? Kenapa Eyang 
malah ingin melanjutkan semadi?" kejar Pangeran Pe-
mimpin, merasa khawatir kalau usahanya hanya me-
nemui kesia-siaan.  
"Aku memang akan membantumu, Cucuku. Tapi 
bukan sekarang. Sekarang, aku harus ingin menga-
mat-amati dari jarak jauh. Nanti kalau kau benar-
benar memerlukan bantuan, baru aku datang. Sudah-
lah! Sekarang, lekas tinggalkan Sendang Kenjeran ini!" 
"Baik, Eyang."  
Pangeran Pemimpin sejenak menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan hidung penuh hormat. 
Eyang Pamekasan pun memejamkan matanya. 
Maka seketika air sendang pun bergolak hebat. Semen-
tara perlahan-lahan tubuh tuanya yang tengah berse-
madi terus amblas ke dalam permukaan air, hingga ti-
dak kelihatan sama sekali. 
"Hebat! Tak kusangka ilmunya demikian tinggi! 
Entah dengan ilmu apa Eyang Pamekasan dapat ber-
semadi di dalam air...!" puji Pangeran Pemimpin men-
desah penuh kagum 
Kalau saja Pangeran Pemimpin tahu bahwa Eyang 
Pamekasan memiliki aji 'Panglarut Banyu Putih', su-
dah pasti akan terkesima dibuatnya. Ajian itu memang 
sangat langka. Barang siapa yang dapat memiliki ajian 
ini, tubuhnya akan kebal terhadap berbagai macam 
pukulan maut maupun berbagai macam senjata tajam. 
Namun sayangnya, Pangeran Pemimpin tidak 
sempat berpikir ke sana. Kemarahannya yang mengge-
legak membuat cucu Eyang Pamekasan ini sudah tidak 
sabar lagi untuk segera memberontak Kadipaten Ple-
ret. Sekaligus, merebut takhta dari tangan Dimas Rek-
sopati! 
"Jahanam! Kalau saja Cokro Ningrat belum mam-
pus, ingin rasanya aku memecahkan batok kepalanya. 
Tapi sayang, tua bangka itu telah mampus. Terpaksa 
aku harus membalaskan sakit hatiku ini pada Dimas 
Reksopati dan keluarganya! Tunggulah pembalasanku, 
Dimas Reksopati!" desis Pangeran Pemimpin dengan 
jari-jari tangan terkepal erat. 
*** 
Pagi menjelang. Matahari mulai menempati takh-
tanya. Sinarnya menyirami beratus-ratus anak buah 
dan sekutu Partai Kawula Sejati yang lelah siaga di ha-
laman dengan berbagai macam senjata perang. 
Kebanyakan yang baris di depan adalah para ang-
gota Partai Kawula Sejati. Sedang di belakangnya ber-
diri berpuluh-puluh tokoh sesat dunia persilatan yang 
menjadi sekutu Pangeran Pemimpin, Dan ketika Ketua 
Partai Kawula Sejati itu muncul bersama Pelajar 
Agung, mendadak suasana hiruk pikuk di depan mar-
kas makin sulit dikendalikan. Mereka menyambut ke-
datangan ke-tua dan wakil ketua Partai Kawula Sejati. 
"Hidup Pangeran Pemimpin!" 
"Hidup wakil ketua Pelajar Agung!" 
"Kita ganyang Adipati Reksopati. Ia tak pantas lagi 
duduk di singgasana Kadipaten Pleret!" 
Teriakan-teriakan dari beberapa orang anggota 
Partai Kawula Sejati terdengar saling sahut. Sementara 
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung hanya men-
gangguk-angguk dengan sepasang mata tajam mem-
perhatikan lautan manusia yang penuh semangat 
tempur. Dan ketika Pangeran Pemimpin pun men-
gangkat tangannya tinggi-tinggi, seketika teriakan-
teriakan jadi terhenti.  
Pangeran Pemimpin senang sekali melihat ketaa-
tan dan kesetiaan anak buahnya. Dada pun dibusung-
kan, jumawa sekali sikapnya.  
"Saudara-saudaraku anggota Partai Kawula Sejati! 
Seperti yang telah direncanakan, hari ini adalah hari 
penentuan bagi perjuangan kita. Di hari ini pulalah 
nasib kita ditentukan. Maka sebelum maju berperang, 
harap saudara-saudara sekalian harus saling bahu 
membahu dengan yang lain! Jangan biarkan musuh 
bertindak se-wenang-wenang di hadapan kita! Kita si-
kat habis siapa saja yang menghadang. Mari kita ang-
kat senjata! Kita tumpas adipati itu dari muka bumi!" 
teriak Pangeran Pemimpin lantang. Suaranya bergema 
sampai ke pelosok hutan. 
Semua yang berada di depan markas Partai Kawu-
la Sejati bertepuk tangan menyambuti ucapan ketua 
mereka. Pangeran Pemimpin sejenak membiarkan sua-
ra hiruk pikuk itu. 
"Aku mengerti perasaan saudara-saudara seka-
lian!" lanjut cucu Eyang Pamekasan ini lantang. "Dan 
seperti yang telah kita rencanakan, harap saudara-
saudara sekalian mematuhi pimpinan kalian. Pasukan 
pemanah harap segera bergabung dengan Ki Tunggul 
Yudho! Demikian juga pasukan lain, harap segera ber-
gabung dengan pimpinan masing-masing. Sementara 
aku sendiri yang mengambil pucuk pimpinan." 
Tanpa diperintah sekali lagi, beberapa orang anak 
buah Partai Kawula Sejati segera bergabung dengan 
pimpinan masing-masing. Kini pasukan telah terben-
tuk seperti yang diinginkan Pangeran Pemimpin. Lelaki 
ini mengangguk-angguk puas. 
"Sobatku, Pelajar Agung!" panggil Pangeran Pe-
mimpin pada sobatnya di sebelah: "Tolong pimpin se-
kutu-sekutu kita dari dunia persilatan!" 
"Baik." 
Tanpa banyak cakap lagi, Pelajar Agung segera 
berkelebat menghampiri sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin yang berasal dari golongan sesat dunia persila-
tan. 
"Saudara-saudara sekalian anggota Partai Kawula 
Sejati! Juga, sekutu-sekutuku dari dunia persilatan! 
Hari ini juga, mari kita berangkat menuju Kadipaten 
Pleret!" teriak Pangeran Pemimpin lantang. 
Semua yang berada di halaman depan markas 
Partai Kawula Sejati menyambuti ucapan Pangeran 
Pemimpin dengan teriakan-teriakan riuh rendah. Maka 
hari itu pula, pasukan  Partai Kawula Sejati yang di-
pimpin Pangeran Pemimpin segera bergerak menuju 
Kadipaten Pleret. 
Pada saat pasukan Partai Kawula Sejati mulai be-
rangkat meninggalkan markas, tanpa disadari dari ja-
rak yang agak jauh sesosok bayangan di atas pohon te-
rus memperhatikan. Tampak sekali kalau sosok di atas 
sebuah ranting pohon itu berkali-kali mengerutkan 
kening.  
"Hm...! Tak kusangka manusia-manusia pembe-
rontak itu akan melancarkan serangan sekarang. Ku-
kira aku harus secepatnya melaporkan kejadian ini 
pada Ki Rombeng di puncak Gunung Kelud!" gumam 
sosok itu dalam hati. 
Habis menggumam, dengan sangat hati-hati 
bayangan itu segera berkelebat cepat meninggalkan 
tempat ini. Gerakan kedua kakinya ringan sekali, lak-
sana seekor tupai. Dan sebentar saja ia telah menghi-
lang di balik kerapatan hutan depan sana. 
*** 
Puncak Gunung Kelud masih berselimut awan. 
Padahal matahari telah menapak jauh. Namun, sinar-
nya tak kuasa menembus tebalnya kabut, hingga uda-
ra dingin masih terus bergelayut. 
Di hadapan para pendekar yang masih berkumpul 
di puncak Gunung Kelud, seorang lelaki berusia enam 
puluh tahun tengah bercakap-cakap dengan seseo-
rang. Meski berusia senja, namun tubuh tinggi besar-
nya tampak masih kekar dengan otot-otot lengan ber-
tonjolan. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai 
sampai ke bahu. Pakaiannya putih bersih. Dua gelang 
akar bahar besar di pergelangan tangan menambah 
angker penampilannya 
Sementara orang yang diajak bercakap-cakap ada-
lah lelaki tua renta berusia delapan puluh tahun. Tu-
buhnya tinggi kurus. Pakaiannya tambal-tambalan mi-
rip pengemis. Wajahnya tirus dengan sepasang bibir 
hitam. Dari tadi tongkat di tangan kanannya terus di-
ketuk-ketukkan dengan sikap gelisah. 
"Raja Penyihir! Aku maklum kalau kau tampak ge-
lisah. Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini 
juga mengalaminya. Bukan saja gelisah memikirkan 
keamanan Kadipaten Pleret, namun juga melihat kea-
daan dunia persilatan saat ini," kata lelaki berpakaian 
putih pada kakek renta di hadapannya yang dipanggil 
Raja Penyihir.  
Raja Penyihir makin mengetuk-ngetukkan tong-
katnya gelisah. 
"Ki Rombeng!" panggil Raja Penyihir memanggil le-
laki berpakaian putih yang memang Ki Rombeng. "Ke-
gelisahanku bukan itu saja." 
"Kalau begitu, pasti ada sesuatu yang luar biasa, 
Raja Penyihir?" Tanya Ki Rombeng menyahuti 
"Bukan luar biasa lagi namanya kalau muridku 
yang bergelar Siluman Ular Putih belum jelas jun-
trungnya. Jangan-jangan bocah sinting itu telah tewas 
di tangan Penguasa Alam. Buktinya, aku dan para 
pendekar lain sudah menelusuri seluruh puncak Gu-
nung Kembang, namun tetap saja tak menemukannya. 
Itulah yang sebenarnya  merisaukan hatiku, Ki Rom-
beng," ungkap Raja Penyihir sedih. "Di samping itu aku 
juga gelisah memikirkan Pendidik Ulung. Apakah ra-
cun yang mengeram dalam tubuhnya dapat dikelua-
rkan oleh Tabib Agung atau tidak. Aku tak tahu. Se-
moga saja tua bangka dari Gunung Perahu itu dapat 
menyembuhkan Pendidik Ulung." 
"Hm...! Yah...! Semoga saja demikian, Raja Penyi-
hir," desah Ki Rombeng seraya mengangguk-angguk. 
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa sobat kita Pendekar 
Bintang Emas belum datang kemari? Jangan-jangan 
mendapat halangan di tengah jalan?" 
Ki Rombeng langsung mengedarkan pandangan ke 
seputar puncak Gunung Kelud.  
"Ada yang datang," kata Ki Rombeng tiba-tiba. 
Semua yang berada di puncak Gunung Kelud se-
ketika mengalihkan perhatian mengikuti pandang ma-
ta Ki Rombeng. Tampak di lereng sebelah barat puncak 
Gunung Kelud sesosok bayangan hijau tua tengah 
berkelebat cepat menuju puncak Gunung Kelud. 
*** 
"Maaf, sobat-sobat sekalian! Ada kabar penting 
yang harus kusampaikan pada kalian." 
Sebuah suara langsung meluncur saat bayangan 
berpakaian hijau tua tadi menjejakkan kakinya di ha-
dapan Ki Rombeng dan kawan-kawan. 
Kini jelas, siapa sosok yang ternyata berpakaian 
hijau tua itu. Ia adalah seorang wanita cantik berusia 
tiga puluh tahun.  Tubuhnya teramat menggiurkan 
dengan pakaian agak seronok, menampakkan lekuk-
lekuk buah dadanya. Sedang rambutnya yang hitam 
panjang digelung ke atas. 
"Rondo Kasmaran! Apa yang ingin kau laporkan?" 
kata seorang pendekar muda yang mengenali wanita 
itu agak jengah melihat penampilan perempuan cantik 
yang baru saja muncul.  
Rondo Kasmaran tersenyum simpul. Sengaja tidak 
langsung dijawab pertanyaan pendekar itu. Seolah 
dengan senyumnya, ia ingin memikat semua yang be-
rada di puncak Gunung Kelud. Konon sejak ditinggal 
mati suaminya, wanita cantik ini lantas menjalin hu-
bungan asmara dengan seorang pendekar sakti dari 
wilayah timur. Tapi sayang, cintanya bertepuk sebelah 
tangan.  Apalagi  sang pendekar yang teramat dicintai 
ternyata sudah beristri. Dan karena cintanya teramat 
dalam,  wanita cantik itu mengalami gangguan jiwa. 
Dan dalam setiap pengembaraannya, tak henti-
hentinya wanita cantik yang sebenarnya bernama Su-
kesi itu terus memanggil-manggil nama pendekar yang 
dicintai. Maka tak heran, sejak saat itu orang-orang 
persilatan menjulukinya Rondo Kasmaran! Untung sa-
ja, berkat pertolongan seorang sakti dari puncak Gu-
nung Anjasmoro, akhirnya Sukesi dapat disembuhkan. 
Bahkan kemudian diangkat menjadi murid oleh sang 
penolongnya, sehingga ilmunya pun bertambah. 
"Kau mau melaporkan apa, Rondo Kasmaran? 
Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini se-
dang gelisah. Kau jangan bertingkah macam-macam!" 
ingat Raja Penyihir sambil menatap lekat-lekat. Sung-
guh ia tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya me-
lihat kecantikan Rondo Kasmaran. 
"Kau tua bangka jelek! Tutup mulutmu! Aku tak 
sudi bicara denganmu. Kau tidak mirip Kangmas 
Sungkono. Aku hanya ingin bicara dengan orang yang 
mirip Kangmas Sungkono. Oh...! Ini dia!" ujar Rondo 
Kasmaran tiba-tiba begitu melihat Ki Rombeng. "Siapa 
namamu, Ki? Sepertinya aku ingin bicara denganmu 
saja. Kau mirip Kangmas Sungkono. Meski usiamu su-
dah agak tua, tapi aku senang sekali melihat tubuhmu 
yang masih berotot. Pasti banyak wanita cantik yang 
dulu menyukaimu, ya?"  
Rondo Kasmaran kemudian melangkah mendekati 
Ki Rombeng. 
Ki Rombeng gelisah bukan main. Tanpa sadar wa-
jahnya kontan memerah mirip udang rebus. 
Rondo Kasmaran tertawa senang. 
"Ah... kau! Seperti masih muda saja! Pakai malu-
malu! Ayo dong, sebutkan namamu?" 
Ken Umi dan Ken Sari yang duduk di samping gu-
runya, entah kenapa jadi tidak menyukai Rondo Kas-
maran. Namun untuk mengeluarkan kekesalan ha-
tinya, kedua gadis kembar itu tidak berani. Sebab me-
nurut kabar yang tersiar, meski tingkah lakunya agak 
berlebihan bila bertemu laki-laki tampan, namun se-
benarnya Rondo Kasmaran adalah tokoh sakti golon-
gan putih. Mungkin karena itulah Ken Umi dan Ken 
Sari memilih diam. 
"Ki Rombeng! Turuti saja kemauannya! Kenapa 
malu-malu?" ujar Raja Penyihir menggoda. 
"Ya. Tua bangka jelek itu benar. Kenapa malu-
malu? Kabar yang akan kusampaikan ini teramat pent-
ing. Apa kalian tidak mau mendengar?" lanjut Rondo 
Kasmaran makin mengumbar senyum. 
Ki Rombeng makin salah tingkah. Sebentar-
sebentar matanya mencuri pandang ke arah Rondo 
Kasmaran. 
"Ba... baik! Aku memang Ki Rombeng. Katakanlah! 
Kau mau melaporkan apa, Rondo Kasmaran?" ujar Ki 
Rombeng kaku. 
"Ah...! Kurang mesra sedikit, Ki. Tapi tak apa. Jadi 
kau yang bernama Ki Rombeng, ya? Hm...! Kukira yang 
namanya Ki Rombeng itu sudah tua. Eh...! Tak ta-
hunya masih cukup muda. Tampan lagi!" 
Ki Rombeng makin salah tingkah. 
Rondo Kasmaran tersenyum-senyum gembira. 
"Ketahuilah, Ki! Juga, semua yang berada di pun-
cak Gunung Kelud ini. Buka telinga kalian lebar-lebar." 
Lanjut Rondo Kasmaran bersungguh-sungguh. "Seperti 
yang tengah kalian bicarakan di tempat ini, saat ini se-
sungguhnya Pangeran Pemimpin telah menggerakkan 
pasukannya menuju ke Kadipaten Pleret. Untuk apa? 
Tentu saja ingin menggulingkan kekuasaan Adipati 
Reksopati!"       
Ki Rombeng dan semua yang berada di puncak 
Gunung Kelud kontan melengak kaget. Paras mereka 
menegang penuh gejolak amarah. 
"Kau jangan main-main, Rondo Kasmaran!" ingat 
Raja Penyihir mendesis tak percaya.       
"Tua bangka jelek! Mulutmu bau! Siapa sudi bica-
ra denganmu! Pokoknya kalau kalian tidak percaya, ya 
sudah! Lebih baik kulaporkan saja pada Adipati Ple-
ret!" dengus Rondo Kasmaran jengkel.  
"Eh... tunggu! Kau hendak ke mana?" teriak Raja 
Penyihir begitu melihat Rondo Kasmaran bermaksud 
meninggalkan puncak Gunung Kelud. 
Namun Rondo Kasmaran yang sedang kesal tak 
sudi bagi menuruti perintah Raja Penyihir. Malah 
langkahnya makin dipercepat, meninggalkan tempat 
ini. 
Raja Penyihir menyesal sekali. Buru-buru tubuh-
nya berkelebat cepat menyusul Rondo Kasmaran. Se-
bentar kemudian wanita itu berhasil dihadangnya. 
"Tunggu, Rondo Kasmaran! Aku bukannya tidak 
mempercayai keteranganmu. Tapi... Tapi..." 
"Jangan banyak bacot, Mulut Bau! Siapa sudi bi-
cara denganmu?!" sahut Rondo Kasmaran kesal. Kem-
bali tubuhnya berkelebat setelah menggeser ke kiri, 
mencari jalan.  
Raja Penyihir jadi salah tingkah. Ia menyesal seka-
li telah menggoda Rondo Kasmaran tadi. 
"Ah...! Kenapa jadi begini?" desah Raja Penyihir 
sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya. 
Sementara itu tubuh Rondo Kasmaran telah beru-
bah jadi titik hijau kecil di kejauhan sana, di lereng 
puncak Gunung Kelud sebelah barat. 
Raja Penyihir menyesal bukan main. Ingin rasanya 
kembali  menyusul Rondo Kasmaran. Namun sayang-
nya baru saja hendak menjejakkan kakinya di tanah, 
tiba-tiba.... 
"Keparat! Aku harus menuntut balas atas penghi-
naan ini!" 
*** 
Raja Penyihir, juga semua yang berada di puncak 
Gunung Kelud buru-buru memalingkan kepalanya ke 
arah sumber suara barusan. Tampak dari tempat yang 
agak terpisah berjalan seorang lelaki tua renta berju-
bah hitam kedodoran sampai lutut. Kepalanya menge-
nakan penutup dari kain hitam sambil berjalan, lelaki 
itu terus memberontak dari pegangan tangan seorang 
kakek tua berjubah kuning. 
"Sobatku Pendidik Ulung! Kendalikan amarahmu! 
Siapa pun merasa geram sekali melihat sepak terjang 
Pangeran Pemimpin," ujar kakek berjubah kuning pa-
da lelaki tua yang dipanggil Pendidik Ulung. 
"Kau tidak tahu, Tabib Agung! Betapa sakitnya ha-
tiku ini! Aku harus menuntut balas atas penghinaan 
ini! Juga meminta pertanggungjawaban Pelajar Agung 
yang kini telah menjadi murid murtad. Ia telah menco-
reng arang hitam di mukaku! Aku malu bertemu den-
gan kalian semua kalau belum dapat membunuh mu-
rid murtad ku!" teriak Pendidik Ulung kalap. 
"Aku mengerti perasaanmu, Sobat. Tapi badanmu 
masih lemah. Racun ular kobra putih yang mengeram 
dalam tubuhmu belum sepenuhnya dapat dikeluarkan. 
Kau masih membutuhkan perawatan barang satu atau 
dua hari," hibur Tabib Agung.  
"Aku tidak peduli! Buat apa aku kau obati kalau 
hanya untuk menanggung malu, Tidak! Aku harus 
menuntut balas atas penghinaan ini! Aku harus me-
remukkan batok kepala Raja Racun. Juga batok kepala 
Pangeran Pemimpin. Lepaskan aku, Tabib Agung!"     
Ketika tiba di hadapan  Ki Rombeng dan kawan-
kawan, Pendidik Ulung memberontak sekuat tenaga. 
Tapi, sayang. Tubuhnya kembali luruh ke tanah kala 
jari-jari tangan Tabib Agung tiba-tiba menotok pung-
gungnya. 
"Ah... kau! Kenapa tidak kau biarkan aku menun-
tut balas, Tabib Agung?" keluh Pendidik Ulung, lirih 
sekali. 
"Tubuhmu masih lemah. Kau belum sembuh se-
penuhnya. Aku harus mengeluarkan racun dalam tu-
buhmu dulu, baru kau boleh menuntut balas." 
Pendidik Ulung menggeretakkan gerahamnya pe-
nuh kemarahan, seolah tak tahan lagi menerima peng-
hinaan yang pernah dilakukan Raja Racun dan Pange-
ran Pemimpin. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: 
"Lukisan Darah"). 
"Sudahlah, Pendidik. Ulung! Semua yang berada 
di puncak Gunung Kelud ini juga merasa prihatin se-
kali atas musibah yang menimpamu. Tapi bukan be-
rarti kami harus mencemoohmu. Tidak! Tidak sama 
sekali! Justru kami akan segera membantu prajurit 
Kadipaten Pleret guna menumpas Pangeran Pemimpin 
berikut sekutu-sekutunya!" jelas Ki Rombeng mencoba 
memberi pengertian pada Pendidik Ulung. 
Pendidik Ulung tersenyum pahit, menatap kuyu 
pada Ki Rombeng yang tengah menghampirinya. 
Ki Rombeng menepuk-nepuk bahu Pendidik Ulung 
sebentar, sebelum akhirnya kembali berkumpul den-
gan para pendekar lain. 
"Teman-teman! Seperti yang telah dilaporkan 
Rondo Kasmaran tadi, rupanya kita tidak bisa tinggal 
di tempat ini lebih lama lagi. Sekarang juga, kita harus 
membantu prajurit-prajurit Kadipaten Pleret!" kata Ki 
Rombeng lantang di hadapan para pendekar yang ber-
kumpul di puncak Gunung Kelud. 
Mendengar ucapan Ki Rombeng, beberapa orang 
pendekar muda yang sudah tidak sabar lagi untuk se-
gera membantu prajurit-prajurit Kadipaten Pleret sege-
ra menyambut hangat keputusan Ki Rombeng. Kemu-
dian tanpa banyak cakap lagi, mereka segera bangkit 
dan langsung meninggalkan puncak Gunung Kelud. 
"Tabib Agung! Kau temani dulu Pendidik Ulung! 
Nanti kalau ia sudah sembuh, kalian boleh menyusul," 
ujar  Ki Rombeng. Lalu segera tangannya mengisya-
ratkan pada kedua orang muridnya untuk segera me-
ninggalkan tempat ini. 
Udara di dalam Istana Kadipaten Pleret terasa pa-
nas. Sementara di dalam salah satu kamar Istana Ka-
dipaten Pleret, Soma susah sekali memejamkan mata. 
Berkali-kali ia membolak-balikkan badan, namun ma-
tanya belum juga terpejam. Akhirnya pemuda ini jadi 
kesal. 
Rasa kesalnya inilah yang membuat murid Eyang 
Begawan Kamasetyo melangkah turun dari ranjang. 
Langsung dihampirinya jendela dan dibukanya. Angin 
segar seketika menerpa tubuhnya. Untuk sesaat Soma 
membiarkan tubuhnya diterpa angin. Sementara ma-
tanya terus memperhatikan suasana malam itu. 
Suasana malam ini memang cukup cerah. Jutaan 
bintang bertaburan di angkasa. Sinar bulan yang kepe-
rakan pun membuat orang betah memandanginya. 
Soma terus memperhatikan suasana malam itu. Piki-
rannya dibiarkan mengembara menikmati indahnya 
malam. 
Namun mendadak perhatian Soma terusik ketika 
samar-samar pendengarannya yang tajam menangkap 
suara dari gerakan-gerakan halus yang datangnya dari 
pintu kadipaten sebelah barat. Belum sempat Siluman 
Ular Putih bertindak, matanya telah menangkap kele-
batan satu sosok bayangan hijau menuju istana kadi-
paten. 
"Pasti mata-mata Pangeran Pemimpin! Kalau ti-
dak, siapa sudi kelayapan malam-malam begini di da-
lam lingkungan kadipaten!" duga murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo dalam hati.  
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, Soma pun 
segera mengempos tenaganya. Seketika tubuhnya telah 
melesat lewat jendela, berkelebat menyusul sosok 
bayangan tadi. Dengan ilmu meringankan tubuh 
'Menjangan Kencono', murid Eyang Begawan Kama-
setyo pun telah menyusul sosok bayangan. 
"Cekitir!" 
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian hijau 
tua itu terperanjat. Ia tadi memang merasakan ber-
hembusnya angin kencang. Namun baru saja menya-
dari, tahu-tahu kini di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana 
bersisik warna putih keperakan. 
Soma sendiri juga tak kalah terkejutnya. Sama 
sekali tidak disangka kalau sosok berpakaian hijau tua 
di hadapannya adalah seorang wanita cantik bertubuh 
amat menggiurkan. Apalagi pakaian yang dikenakan 
pun sedikit seronok, menampakkan lekuk-lekuk dua 
buah bukit kembarnya. Sedang rambutnya yang hitam 
panjang digelung ke atas. 
"Ah...! Tak kusangka ada mata-mata secantik ini!" 
desah Soma penuh kagum. 
Sepasang mata indah wanita cantik itu yang se-
mula berbinar-binar melihat pemuda tampan di hada-
pannya, mendadak jadi berkilat-kilat penuh kemara-
han. 
"Siapa mata-mata? Aku bukan mata-mata! Aku 
datang sengaja ingin menemui Kanjeng Adipati. Kau 
sendiri siapa?!" bentak wanita cantik ini. 
Soma tertawa seenaknya. 
"Hm...! Jadi kau bukan mata-mata? Tapi kenapa 
mengendap-endap seperti maling? Ah, iya! Kau pasti 
mata-mata musuh kadipaten! Kalau tidak, jangan-
jangan kau wanita nakal yang suka mengganggu lela-
ki," celoteh Soma menggoda. 
"Keparat! Bicaramu teramat melewati batas, Bo-
cah! Aku bukan mata-mata. Aku Rondo Kasmaran, 
utusan para pendekar untuk menemui Kanjeng Adipa-
ti," pekik wanita cantik yang ternyata Rondo Kasmaran 
gusar bukan main.         
"Ah...! Jadi kau Rondo Kasmaran? Kasmaran pada 
siapa? Yang jelas bukan padaku, kan?" goda Soma 
makin menjadi.  
"Bocah sinting! Kau akan merasakan akibat kata-
katamu!" sentak Rondo Kasmaran jengkel. 
"Boleh, boleh! Malah aku akan menangkapmu dan 
kuhadapkan pada Kanjeng Adipati." 
"Cih!" Rondo Kasmaran mencibir. "Dan kau akan 
mendapat malu besar karena aku sebenarnya teman 
Adipati Reksopati!" 
"Mana mungkin Adipati Reksopati punya teman 
macammu. Melihat tampangmu saja, aku yakin dia ju-
ga terpesona. Apalagi aku. Hayolah menurut! Biar ku-
tangkap!" ejek Soma menggoda.  
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular Putih 
berkelebat cepat sekali, sehingga sulit sekali diikuti 
pandangan mata. Dan belum sempat Rondo Kasmaran 
bertindak tahu-tahu. 
Tuk! Tuk!     
"Aahh...!" 
Rondo Kasmaran mengeluh ketika jari-jari tangan 
Soma menotok urat geraknya. Kini wanita itu tak bisa 
lagi menggerakkan tubuhnya. 
Begitu mendarat Soma hanya tersenyum-senyum 
nakal. Sepasang matanya yang tajam sempat melirik 
lekuk-lekuk sepasang payudara Rondo Kasmaran yang 
amat mengundang. Malah tanpa sadar murid Eyang 
Begawan Kamasetyo menelan ludahnya sendiri. Dan 
sebelum syahwatnya bergejolak, Siluman Ular Putih 
segera menyambar tubuh Rondo Kasmaran. Seketika 
tubuhnya berkelebat ke kanan sambil memondong 
Rondo Kasmaran. 
"Kau rebahan dululah sesukamu! Biar aku mene-
mui Kanjeng Adipati," kata Soma begitu telah tiba di 
kamarnya. Langsung dilemparkannya tubuh Rondo 
Kasmaran seenaknya.  
Bukkk! 
Rondo Kasmaran meringis kesakitan. 
"Kau akan menyesal memperlakukanku seperti 
ini, Monyet Gondrong!" sungut Rondo Kasmaran kesal 
Siluman Ular Putih hanya tertawa bergelak. Lalu, 
buru-buru tubuhnya berbalik, dan melangkah ke pin-
tu. Namun belum juga dibuka, pintu telah terbuka dis-
ertai munculnya sesosok tubuh ramping. 
"Memalukan! Wanita mana yang kau bawa ke ka-
mar, Soma!" bentak sosok bertubuh ramping di am-
bang pintu. 
Soma terperanjat, seperti mau copot jantungnya. 
Apalagi saat melihat sepasang mata yang berkilat-kilat 
penuh kemarahan menatapnya. 
"Eh...! Ada-apa Putri Sekartaji? Kenapa kau uring-
uringan begini?" tukas Soma, pura-pura bodoh. 
Sosok ramping yang ternyata Putri Sekartaji men-
cibir kesal. Ia tadi memang tidak melihat percekcokan 
Siluman Ular Putih dengan Rondo Kasmaran. Adik tiri 
Adipati Reksopati ini hanya sempat melihat Soma ten-
gah memondong tubuh seorang wanita cantik ke da-
lam kamar ketika baru Saja membuka jendela kamar. 
Itulah sebabnya, Putri Sekartaji langsung menyusul ke 
kamar Soma 
"Hoh! Benar-benar memalukan! Jangan dikira aku 
tidak tahu apa yang akan dilakukan seorang wanita 
dan seorang lelaki di dalam kamar! Dasar lelaki hidung 
belang!" semprot Putri Sekartaji kasar. 
Tiba-tiba Soma tertawa bergelak. Kini ia tahu, apa 
yang tengah dipikirkan gadis cantik di hadapannya. 
Cemburu! 
"Soma! Jangan cengengesan! Aku bersungguh-
sungguh!" 
"Aku juga sungguh-sungguh! Tapi sepertinya hi-
dungku tak belang? Malah kalau tak salah, hidungku 
cukup mancung kok. Cukup untuk memikat hati seo-
rang wanita cantik. Seperti kau, misalnya!" oceh Soma. 
"Soma!" pekik Putri Sekartaji tak tahan lagi. Tela-
pak tangannyapun sudah tidak sabar lagi untuk bica-
ra. Kemudian.... 
Plakkk! 
Soma meringis, pura-pura menahan sakit. Telapak 
tangan kirinya mengelus-elus pipinya yang terkena 
tamparan Putri Sekartaji. 
"Heran? Kenapa setiap gadis selalu suka menam-
par pipiku? Apa mereka pikir pipiku ini barang rong-
sokan hingga perlu dikemplang?" gerutu Soma kesal. 
"Tutup mulutmu, Soma! Aku harus segera mela-
por pada Kangmas Adipati," sungut Putri Sekartaji. 
Lalu tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera 
meninggalkan Soma.  
"Sana kalau mau lapor! Toh, nanti kau juga tahu 
sendiri siapa yang salah," ujar Soma.  
Putri Sekartaji tidak menggubris ocehan Soma. 
Kakinya terus melangkah.  
Soma menggaruk-garuk kepala. Entah kenapa ti-
ba-tiba ia jadi ingin sekali menggaruk-garuk kepala. 
Padahal rambutnya tidak gatal. 
*** 
"Mampus kau! Kubilang apa?" goda Rondo Kasma-
ran.  
"Diam kau! Nasibmu pun akan ditentukan setelah 
Kanjeng Adipati kemari. Kalau kau terbukti mata-mata 
musuh, hm.... Aku pasti akan mencubit pipimu yang 
gembur itu sampai memerah!" balas Soma. 
Entah kenapa tiba-tiba Rondo Kasmaran malah 
tertawa terpingkal. Sepasang matanya yang tadi berki-
lat-kilat penuh kemarahan, kini berganti kilatan penuh 
kagum melihat Soma.  
"Kau memang menjengkelkan, Pemuda. Tapi kau 
cukup tampan. Kukira ketampananmu cukup melebihi 
ketampanan Kangmas Sungkono. Siapa namamu, Pe-
muda Tampan? Apa kau bernama Soma seperti gadis 
tadi memanggilmu?" kata Rondo Kasmaran diiringi 
kerling nakal.  
"Kalau memang iya, kau mau apa?" sahut Soma. 
"Yah...! Setidak-tidaknya, bolehkan aku berkena-
lan. Kukira aku tidak rugi berkenalan dengan pemuda 
tampan macammu,"" oceh Rondo Kasmaran makin 
mengumbar senyum. 
Soma sebenarnya jengkel sekali. Namun manakala 
sepasang matanya tertumbuk pada lekuk-lekuk sepa-
sang payudara wanita cantik di hadapannya, entah 
kenapa sikapnya jadi berubah.  
"Boleh! Tapi sayang, kau mata-mata. Mungkin aku 
harus berpikir seribu kali untuk berkenalan dengan-
mu, Rondo Kasmaran."  
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, Soma." 
"Mungkin. Tapi mungkin juga aku senang sekali 
melihat kecantikanmu. Terutama sekali, tubuhmu 
yang teramat menggiurkan itu," kata Soma terus te-
rang. 
Perasaan Rondo Kasmaran jadi melambung tinggi. 
Tingkahnya makin dibuat-buat genit. 
"Kau memang pintar merayu seorang wanita, So-
ma. Pantas gadis tadi marah-marah pad...'' 
"Hush...!" 
Soma memalangkan telunjuk jarinya di depan bi-
bir. 
"Rupanya Kanjeng Adipati sedang kemari. Mam-
pus kau sekarang, Rondo Kasmaran!" lanjutnya. 
Rondo Kasmaran tersenyum manis. Sedikit pun 
tidak membayangkan rasa takut mendengar ancaman 
Soma. Hal ini malah membuat si pemuda jadi terhe-
ran-heran. 
"Jangan-jangan apa yang dikatakan Rondo Kas-
maran benar? Dia bukan mata-mata musuh, melain-
kan utusan para pendekar. Mampus aku!" gumam 
Soma dalam hati gelisah.  
Pintu kamar terbuka. Ternyata yang muncul me-
mang Kanjeng Adipati Reksopati. Di belakangnya Putri 
Sekartaji masih memberengut kesal. 
"Kau.... Kau Sukesi! Ah...! Kenapa kau meringkuk 
begitu? Siapa yang mcmperlakukanmu seperti ini?" be-
rondong Adipati Pleret, cemas bercampur terkejut. 
Rondo Kasmaran hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang nakal sempat melirik ke arah Soma penuh 
kemenangan. 
Si pemuda hanya bisa menggaruk-garuk kepala 
sebagai tanda kesalahannya. Kemudian tanpa diperin-
tah, Soma segera melepaskan totokan Rondo Kasma-
ran. 
"Betul, kan? Untung saja aku tidak minta kau di-
gantung!" goda Rondo Kasmaran. 
Putri Sekartaji pun gelisah sekali. Tadi, gadis ini 
sama sekali tidak mengira kalau wanita cantik yang 
dipondong Soma ke kamar adalah Rondo Kasmaran. 
Hatinya yang kelewat panas membuat matanya seolah 
tertutup. 
"Sebenarnya ada apa, Soma? Kenapa temanku ini 
berada di sini? Apa kau tadi menangkapnya?" tanya 
Adipati Pleret. 
"Benar, Kanjeng. Tadi aku memang menangkap-
nya. Kukira ia mata-mata musuh," jawab Soma kaku. 
"Dia bukan mata-mata. Dia temanku!" sahut Adi-
pati Pleret cepat. 
"Ah...!" sahut Soma gelisah.  
"Sudahlah! Sekarang kau mau melaporkan apa, 
Sukesi?" Kanjeng Adipati mengalihkan perhatian pada 
Rondo Kasmaran. Dan itu cukup membebaskan Soma 
dari rasa gelisah. 
"Aku cuma ingin memberitahukan kalau pasukan-
pasukan Pangeran Pemimpin mulai bergerak menuju 
kemari. Maksudku dalam waktu dekat-dekat ini mere-
ka akan menyerang Kadipaten Pleret," lapor Rondo 
Kasmaran.  
"Ah...!" desah Adipati Pleret hampir bersamaan 
dengan Soma dan Putri Sekartaji.  
"Dari mana kau dapat mengetahui berita ini, Su-
kesi?" tanya Adipati Pleret lagi. 
"Aku melihatnya sendiri, Kanjeng. Di samping itu, 
aku memang sudah lama mengawasi sepak terjang 
Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya," jelas Ron-
do Kasmaran.  
"Hm...!" Kanjeng Adipati Pleret menggeretakkan 
gerahamnya penuh kemarahan. "Apa para pendekar 
yang berkumpul di puncak Gunung Kelud sudah, tahu 
hal ini, Sukesi?"         
"Sudah, Kanjeng. Tadi siang, aku sempat mela-
porkan hal ini pada Ki Rombeng di  puncak Gunung 
Kelud." 
"Bagus! Kalau begitu aku harus secepatnya me-
nyiapkan prajurit-prajurit," kata Adipati Pleret seraya 
bergegas keluar kamar. 
Dengan langkah mantap, Rondo Kasmaran pun 
segera mengikuti langkah Kanjeng Adipati Pleret. 
Soma dan Putri Sekartaji yang masih berada di be-
lakang sejenak saling termangu. Seolah mereka terba-
wa arus pikiran masing-masing.  
"Rupanya kita sama-sama salah paham, ya?" ce-
tus Soma. 
"Maksudmu?" Putri Sekartaji mengangkat alisnya 
heran. 
"Aku telah mencurigai kalau Rondo Kasmaran 
adalah mata-mata musuh. Kau sendiri menuduhku te-
lah berbuat macam-macam dengan wanita itu. Apa ini 
bukan salah paham namanya?" papar Soma. 
Putri Sekartaji memberengut. Entah kenapa tiba-
tiba wajahnya merona merah. 
"Kau menyindirku?' desis Putri Sekartaji. 
"Eh...! Siapa yang menyindir? Aku tidak menyin-
dirmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. 
Atau... jangan-jangan kau memang mencemburui wa-
nita itu?" tukas Soma sambil memperhatikan Putri Se-
kartaji. 
"Tidak lucu! Siapa yang cemburu? Mau bermain 
gila dengan Rondo cantik itu, kek. Mau tidak, kek. Sia-
pa peduli? Itu urusanmu!" sergah Putri Sekartaji ke-
tus. Ketus sekali Bahkan si gadis bergegas keluar ka-
mar. 
"Eh... tunggu! Kenapa kau jadi uring-uringan be-
gini?"  
Buru-buru Soma mengejar, segera menangkap 
pergelangan tangan Putri Sekartaji. Namun dengan ka-
sar si gadis menepiskan tangan Siluman Ular Putih. 
"Lepaskan! Aku benci kau!" teriak Putri Sekartaji. 
"Iya, iya! Tapi kenapa kau jadi uring-uringan begi-
ni? Apa salahku?" tanya Soma masih belum mengerti 
"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!" 
Putri Sekartaji mempercepat langkahnya. Diam-
diam, sebenarnya ia pun mengharap kalau murid 
Eyang Begawan Kamasetyo akan mengejar. Namun 
sayang, Siluman Ular Putih malah menggaruk-garuk 
kepala. Si gadis jadi kesal bukan main. Saking tidak 
kuat menahan perasaan kesal, ia berlari ke kamarnya, 
dan langsung menangis di balik pintu. 
*** 
Malam kian menegang dengan bulan sepotong 
menggantung di angkasa. Ratusan prajurit Kadipaten 
Pleret mulai bergerak menuju luar batas kadipaten. 
Memang di sanalah ajang pertempuran akan digelar. 
Sebuah tempat sengketa yang siap dibanjiri darah 
Kuda-kuda tunggangan meringkik. Debu-debu be-
terbangan diterjang kaki-kaki kuda para panglima pe-
rang. Derap langkah ratusan prajurit berderak mem-
bahana. 
Di sebuah ladang kering yang dikelilingi bebukitan 
tandus, sebuah peristiwa mengerikan tidak lama lagi 
akan terjadi. Darah-darah prajurit perkasa, darah-
darah manusia laknat, maupun darah-darah manusia 
penjilat akan tumpah ruah menjadi satu dalam sebuah 
peperangan.  
Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret mulai 
memasuki dataran tandus. Seorang lelaki gagah ber-
pakaian perang dengan pangkat senopati mendadak 
menghentikan langkah kudanya. Para perwira pun 
yang masing-masing mengepalai lima puluh prajurit 
yang berjalan kaki juga menghentikan langkah kuda. 
Di depan sana, telah bersiaga pula sosok-sosok 
berpakaian warna-warni dengan senjata di tangan. Se-
bagian dari mereka berpakaian sebagaimana orang 
persilatan. Mereka berteriak riuh rendah sambil men-
gacungkan senjata tinggi-tinggi. Di antara mereka, 
tampak seorang lelaki berpakaian surjan tengah men-
gacung-acungkan keris di tangan kanan. Sementara 
tangan kirinya memegangi tali kendali kuda.  
"Serang...!!!" teriak lelaki yang tak lain Pangeran 
Pemimpin lantang 
Tangan kiri Pangeran Pemimpin pun segera mena-
rik tali kekang, membuat kuda hitam tunggangannya 
mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi sebelum 
akhirnya berlari cepat ke depan. 
Melihat Pimpinan Partai Kawula  Sejati itu telah 
bertindak, berpuluh-puluh pengikutnya segera berla-
rian mencari lawan masing-masing diiringi teriakan-
teriakan lantang. 
"Hea..! Hea...!" 
Sementara itu beberapa sekutu Pangeran Pemim-
pin ikut mengiringi di belakang dengan teriakan-
teriakan membahana.  
Begitu melihat pasukan Pangeran Pemimpin mulai 
bergerak menyerang, senopati itu pun segera meniup 
terompet di tangan kanan yang terbuat dari tanduk 
kerbau.         
"Huuuunggg...! Huuuungggg...!" 
Terompet perang telah berbunyi. Suara riuh ren-
dah ratusan prajurit Kadipaten Pleret menyambuti pe-
nuh semangat. Senopati yang memimpin prajurit Kadi-
paten Pleret segera memacu kudanya cepat-cepat.  Di 
tangan kanannya kini telah tergenggam sebilah keris 
yang memancarkan sinar biru. Setiap orang yang hi-
dup di lingkungan kadipaten ini tahu kalau senopati 
yang  dikenal sebagai pemilik keris Dayang Biru ber-
nama Gajah Keling. 
"Hea...! Hea...!" 
Senopati Gajah Keling terus memacu kudanya ce-
pat. Di belakangnya, empat perwira dan dua ratus pra-
jurit Kadipaten Pleret turut pula menyertai dengan 
senjata terhunus. Mereka semua siap menyabung 
nyawa. 
Trang! Trang! 
Terdengar dentang senjata beradu yang disertai 
pijaran bunga api. Jerit-jerit kematian dan teriakan 
penambah semangat pertarungan saling bersahutan. 
Satu persatu tubuh-tubuh  bersimbah darah ambruk 
ke tanah. Di sini nyawa mereka kembali dipertaruh-
kan. Kalau beruntung, mereka akan kembali mencari 
lawan baru. 
Tak ada kekejaman melebihi kekejaman perang. 
Inilah gambaran nyawa sebuah peperangan. Bagi para 
prajurit, mereka bertempur untuk mempertahankan 
kedaulatan kadipaten. Tak heran bila mereka berta-
rung penuh semangat tanpa mengenal takut sedikit 
pun.  
"Sembodo, Manusia Pemberontak! Kaulah lawan-
ku!"  
Gajah Keling memekik penuh kemarahan ketika 
melihat Sembodo atau yang lebih terkenal dengan ju-
lukan Pangeran Pemimpin tanpa malu tengah menga-
muk hebat membunuhi prajurit-prajurit Kadipaten Ple-
ret. Sementara senopati Kadipaten Pleret itu sendiri 
susah sekali keluar dari keroyokan Sepasang Mayat 
Merah dari Lembah Duka yang dibantu Iblis Muka Me-
rah. 
Namun meski dikeroyok demikian hebat oleh tiga 
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin, 
Senopati Gajah Keling tampak masih sanggup melade-
ni. Bahkan serangan-serangan baliknya sempat pula 
membuat ketiga orang pengeroyoknya kocar-kacir. 
"Makanlah keris Dayang Biruku! Hea!" Dikawal benta-
kan nyaring, tiba-tiba Gajah Keling berkelebat cepat 
sambil menggerakkan keris di tangan kanannya ke 
arah dada Iblis Muka Merah. Sambil menyerang, Gajah 
Keling membuat satu gerakan aneh untuk berkelit dari 
serangan-serangan Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka.  
Melihat datangnya serangan yang sama sekali tak 
terduga, Iblis Muka Merah jadi terperangah. Meski ter-
desak namun akal sehatnya untuk menghindar belum 
hilang. Maka dengan cepat, tiba-tiba pedangnya dige-
rakkan sedemikian rupa.  
"Uts..., ohh...!" 
Namun betapa terkejutnya Iblis Muka Merah keti-
ka tiba-tiba di tangan Gajah Keling berkelit dari samp-
ing kanan. Dan dengan satu gerakan indah, keris itu 
meluncur deras ke dadanya. Lalu....  
Cleppp!  
"Aaa...!" 
Telak sekali keris di tangan Gajah Keling menghu-
jam ulu hati Iblis Muka Merah hingga meraung setinggi 
langit. Dan begitu keris tercabut, tubuh Iblis Muka Me-
rah pun kontan jatuh berdebam ke tanah bersimbah 
darah. Sebentar ia menggelepar-gelepar, namun seju-
rus kemudian tidak bergerak-gerak lagi dengan seku-
jur tubuh membiru! 
Sepasang Mayat Merah murka bukan main. Sung-
guh sulit dipercaya kalau Iblis Muka Merah akan me-
nemui ajal secepat itu. Padahal ia merupakan seorang 
tokoh berilmu tinggi. Namun anehnya, ia tak berdaya 
menerima serangan Senopati Gajah Keling. 
"Jahanam...! Kau harus membayar nyawa teman-
ku, Senopati Keparat!" dengus Iblis Mayat Merah pe-
nuh kemarahan. Parasnya yang kemerah-merahan 
tampak demikian mengerikan. Lalu dikawal teriakan 
membelah angkasa, kembali diserangnya Senopati Ga-
jah Keling. 
"Enyahlah kalian dari hadapanku! Aku tak sudi 
melayani kalian!" bentak Senopati Gajah Keling sengit. 
Lebih lagi ketika melihat sepak terjang Pangeran Pe-
mimpin yang tengah membantai prajurit-prajurit Kadi-
paten Pleret. Maka kemarahannya kian meledak-ledak 
saja. 
"Bajingan! Kaulah lawanku, Pangeran Pemberon-
tak! Minggir! Beri aku jalan!" hardik Senopati Gajah 
Keling kasar. 
Sang panglima menggerakkan kerisnya ke kanan 
kiri, bermaksud mengusir Sepasang Mayat Merah dari 
Lembah Duka. Namun mana sudi kedua tokoh sesat 
itu menuruti kemauan Senopati Gajah Keling. Malah 
dengan rasa penasaran memuncak, mereka kembali 
menghadang jalan sang senopati. 
"Jangan terburu-buru, Senopati Keparat! Urusan 
di sini belum selesai!" cegat Iblis Mayat Merah seraya, 
menghujamkan pedang di tangan kanan dari atas ke 
bawah. 
Senopati Gajah Keling tak sudi lagi berurusan 
dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka. Ba-
ginya keselamatan anak buahnya yang terancam amu-
kan Pangeran Pemimpin justru lebih penting. Maka ke-
tika mendapat kesempatan, segera tubuhnya melent-
ing tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, 
ia berkelebat cepat meninggalkan kedua orang penge-
royoknya. 
"Ki Prenjak! Dan kau, Ki Jalak Manuro! Hajar tua 
bangka dari Lemah Duka itu! Biar aku yang mengurus 
manusia pemberontak bergelar Pangeran Pemimpin!" 
perintah Senopati Gajah Keling pada dua dari empat 
perwiranya, sebelum membuat serangan. 
Tanpa banyak cakap dua perwira yang bernama Ki 
Prenjak dan Ki Jalak Manuro segera berkelebat ke arah 
Sepasang Mayat Merah. Sementara, Senopati Gajah 
Keling terus berkelebat mendekati Pangeran Pemimpin. 
Anehnya Pangeran Pemimpin hanya tertawa-tawa. 
"Mundur...!!!" 
"Keparat! Mau lari ke mana, Pangeran Pemberon-
tak?! Akulah lawanmu!" bentak Senopati Gajah Keling 
penuh kemarahan. 
'"Hati-hati, Kawan! Mungkin manusia pemberon-
tak itu tengah merencanakan sesuatu!" 
Senopati Gajah Keling menoleh sebentar ketika 
terdengar sebuah suara bernada memperingatkan. 
Ternyata, suara itu berasal dari mulut Siluman Ular 
Putih. 
Melihat siapa yang memperingatkan, Senopati Ga-
jah Keling hanya mengangguk. Lalu dengan kemara-
han meluap kembali tubuhnya berkelebat mengejar 
Pangeran Pemimpin yang terus bergerak mundur, wa-
lau sebenarnya keadaannya saat itu belum terjepit. 
Siluman Ular Putih heran bukan main. Sebenar-
nya, ia ingin sekali berhadapan dengan Pangeran Pe-
mimpin. Namun berhubung takut menyinggung pera-
saan Senopati Gajah Keling, terpaksa murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo hanya menghadapi beberapa orang 
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin. 
Dengan ban-tuan Putri Sekartaji, para pengeroyoknya 
dapat dipermainkan dengan mudah. 
"Tak mungkin Pangeran Pemimpin bermaksud 
mengalah. Padahal kedudukannya belum terjepit. Pasti 
ini sebuah siasatnya!" gumam murid Eyang Begawan 
Kamasetyo dalam hati. 
Dan ketika pertempuran mulai memasuki dataran 
tandus yang diapit dua bukit kecil di kanan kiri, ter-
nyata dugaan Siluman Ular Putih. Tiba-tiba.... 
"Suiiit...!" 
Pangeran Pemimpin bersuit nyaring. Sebentar ke-
mudian, Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya 
berlari meninggalkan tempat pertarungan. Dan bersa-
maan itu, tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh yang 
datang dari atas bukit! 
Siluman Ular Putih terkejut bukan main. Seketika 
kepalanya dipalingkan ke atas. Ternyata berpuluh-
puluh batu sebesar kerbau tengah meluncur cepat 
menyerang para prajurit-prajurit Kadipaten Pleret! 
"Ah...!" pekik Senopati Gajah Keling gusar bukan 
main. 
Keadaan kali ini benar-benar kurang mengun-
tungkan bagi para prajurit. Ternyata mereka telah ter-
jebak! Tentu saja keadaan ini sangat mengkhawatir-
kan. Maka tanpa banyak cakap, prajurit-prajurit itu 
segera berlarian ke sana kemari menghindari serangan 
batu-batu. Tapi keadaan ini malah makin memperbu-
ruk beberapa orang prajurit di belakang! 
Tentu saja beberapa orang prajurit itu kontan ber-
lari kalang kabut. Namun di saat berpaling ke bela-
kang, di celah-celah bukit bagian belakang telah 
menghadang sepasukan pemanah! 
Bukan main geramnya hati Senopati Gajah Keling 
melihat bahaya besar mengancam pasukannya. Se-
mentara serangan-serangan batu sebesar kerbau dari 
puncak bukit pun tak dapat tertahankan lagi! Tanpa 
ampun, beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret ter-
lindas batu-batu sebesar kerbau! 
Keadaan ini makin bertambah parah manakala 
beberapa orang prajurit-prajurit Kadipaten Pleret me-
nemui ajal oleh batang anak panah yang menembus 
tubuh! 
*** 
Di tempat lain, tepatnya di Kadipaten Pleret itu 
sendiri, ternyata Pangeran Pemimpin pun telah mene-
rapkan satu siasat jitu. Diam-diam beberapa orang to-
koh sesat yang dipimpin Pelajar Agung telah menyusup 
ke dalam lingkungan kadipaten. 
Hal ini tentu saja sangat di luar perhitungan Se-
nopati Gajah Keling maupun Kanjeng Adipati Pleret. 
Untungnya, sang senopati tidak membawa semua pra-
jurit ke kancah pertempuran. Tidak kurang dari dua 
ratus prajurit Kadipaten Pleret sengaja ditinggal seba-
gai pasukan cadangan. Dan hal ini pulalah yang sedi-
kitnya dapat menolong keselamatan Adipati Pleret. 
Begitu beberapa orang tokoh sesat yang dipimpin 
Pelajar Agung memasuki lingkungan kadipaten, maka 
tak heran kalau kedatangan pasukan kecil Pangeran 
Pemimpin itu telah diketahui beberapa orang prajurit 
jaga. 
"Bajingan! Pasukan-pasukan pemberontak ini me-
nyusup ke kadipaten!" teriak seorang prajurit jaga 
nyaring.  
Teriakan ini telah menyadarkan beberapa orang 
prajurit lain. Maka dengan teriakan-teriakan nyaring 
penuh kemarahan, beberapa orang prajurit segera 
memanggil prajurit-prajurit. Akibatnya dalam waktu 
yang tidak lama pasukan kecil Pangeran Pemimpin 
yang di pimpin Pelajar Agung telah dikepung prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret. 
"Prajurit-prajurit tolol! Enyahlah kalian dari hada-
pan kami!" dengus Pelajar Agung, beringas. 
"Justru kalianlah yang angkat kaki dari tempat ini 
Manusia-manusia Pemberontak!" hardik seorang lelaki 
gagah berpangkat perwira yang menjadi pimpinan pra-
jurit Kadipaten Pleret 
Dikalangan Kadipaten Pleret, lelaki gagah ini di-
kenal bernama Ki Ageng Selo!  
"He he he...! Tua bangka ini bisa juga membacot! 
Tak kusangka sudah setua ini masih-bisa menggong-
gong nyaring!" ejek Pelajar Agung, memerahkan telinga 
Ki Ageng Selo. 
Ki Ageng Selo menggeram penuh kemarahan. Tan-
gan kirinya langsung dikibaskan ke depan. 
"Prajurit! Hajar manusia-manusia pemberontak 
ini!" teriaknya lantang. 
Ki  Ageng  Selo cepat mencabut keris dari balik 
punggung. Sambil menggembor lantang, diterjangnya 
Pelajar Agung. Keris di tangan kanannya membuat ge-
rakan menusuk mengarah dada. Sedang tangan ki-
rinya siap melontarkan pukulan maut. 
Melihat Ki Ageng Selo telah bertindak, prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang jumlahnya hampir dua 
ratus orang pun tidak mau ketinggalan. Dengan ber-
bagai macam senjata di tangan, mereka segera maju 
menyerang. 
Meski berjumlah tak kurang dari empat puluh 
orang, namun pasukan Pangeran Pemimpin yang di-
pimpin Pelajar Agung tidak bisa dianggap sembaran-
gan. Mereka adalah para tokoh sakti dunia persilatan 
yang bersekutu dengan Pangeran Pemimpin. Di anta-
ranya terlihat guru dan murid, yakni Bajing Ireng dan 
Bajing Biru. Maka tak heran kalau serangan prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret dapat diladeni dengan mu-
dah. 
Begitu tokoh-tokoh sesat itu bertindak jerit-jerit 
kematian dari para prajurit pun mulai terdengar susul 
menyusul. Satu persatu mereka roboh ke tanah dalam 
keadaan bersimbah darah. Sementara dengan kejinya 
tokoh-tokoh sesat itu terus menuntut korban nyawa 
para prajurit. 
Darah merah telah melumuri bumi pertiwi. Para 
prajurit Kadipaten Pleret yang bertekad membela bumi 
pertiwi rela mempertaruhkan selembar nyawa! 
Sementara Ki Ageng Selo sendiri tak bisa berbuat 
banyak. Apalagi, serangannya tadi dapat diatasi Pelajar 
Agung dengan mudah. Begitu kerisnya dihujamkan, ti-
ba-tiba dengan kecepatan luar biasa Pelajar Agung te-
lah melepas tendangan ke tangannya. 
Plak! 
Keris di tangan Ki Ageng Selo terpental. Dan se-
waktu hendak melontarkan pukulan maut; Pelajar 
Agung memutar tubuhnya sambil melepas sapuan kaki 
kiri ke dada.    
Bukkk! 
"Aaahhh...!"       
Telak sekali tendangan kaki kanan Pelajar Agung 
menghajar dada. Seketika tubuh tinggi kekar Ki Ageng 
Selo terpental ke belakang. Darah segar langsung me-
nyembur keluar saat tubuhnya jatuh berdebam ke ta-
nah. Sebentar ia melejang-lejang, lalu tidak bergerak-
gerak lagi. Tewas! 
Bukan main kagetnya prajurit-prajurit Kadipaten 
Pleret melihat pimpinan mereka dapat dirobohkan mu-
suh hanya dalam sekali gebrak! Ini sungguh di luar 
dugaan. Akibatnya bak anak ayam kehilangan induk, 
prajurit-prajurit Kadipaten Pleret makin dibuat kocar-
kacir. Tanpa, ampun, tokoh-tokoh sakti itu terus me-
nebar kematian terhadap prajurit-prajurit Kadipaten 
Pleret. 
Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret itu 
benar-benar tak berdaya menghadapi amukan sekutu 
Pangeran Pemimpin. Apalagi ketika Pelajar Agung telah 
mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Bukan main kecut-
nya hati mereka. Satu persatu para prajurit tewas ter-
kubur hidup-hidup setelah terbetot ke dalam tanah! 
Keadaan benar-benar genting. Keamanan kadipa-
ten terancam. Keselamatan Adipati Pleret pun tak ter-
jamin. Perlahan namun pasti, tokoh-tokoh sesat itu te-
rus memasuki lingkungan kadipaten. Para prajurit Ka-
dipaten Pleret yang berusaha menahan sekuat tenaga, 
hanya mendapat kesia-siaan. Bahkan kemudian tewas 
begitu mendapat serangan dari sekutu Pangeran Pe-
mimpin! 
Tiba-tiba suasana hiruk pikuk yang diiringi bera-
dunya senjata tajam, telah dikejutkan oleh bunyi-
bunyi sangkala yang mengangkasa. Rupanya ada salah 
seorang prajurit Kadipaten Pleret yang telah meniup 
sangkala sebagai tanda bahaya. Kemudian suara te-
rompet itu pun terdengar saling sahut menyahut, seo-
lah ingin mengabarkan  pada alam semesta bahwa 
angkara murka kembali merajalela... 
*** 
Adipati Reksopati terlihat tegang di tempatnya. 
Suara tiupan sangkala tadi seolah-olah ingin meluluh-
lantakkan apa saja yang ada di muka bumi. Tangan-
nya gemetar, pertanda jiwanya tengah terguncang.  
Beberapa orang punggawa kadipaten yang turut 
menemani di ruang pendopo merasa cemas bukan 
main.  
Mereka tahu, perasaan apa yang tengah-dialami 
junjungannya. Mereka juga tahu, apa yang akan di-
alami bila takhta Kadipaten Pleret jatuh ke tangan 
Pangeran Pemimpin.       
"Maaf, Kanjeng Adipati! Rasanya hamba tidak bisa 
berpangku tangan saja. Hamba harus membantu te-
man-teman," ucap seorang lelaki berpangkat tumeng-
gung mengusik kecemasan Adipati Pleret.  
"Benar, Kanjeng Adipati. Tampaknya prajurit-
prajurit kita kewalahan menghadapi serangan musuh. 
Hamba harus secepatnya membantu, Kanjeng," tam-
bah seorang punggawa.         
"Hhh...!" Adipati Pleret menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Tampak-
nya memang demikian. Tumenggung Batu Ampel. Dan 
kau, Ki Demang Jarakan! Lekas bawa beberapa tokoh 
sakti kadipaten untuk membantu!" 
"Maaf, Kanjeng Adipati! Hamba datang melapor!" 
Tiba-tiba seorang prajurit datang tergopoh-gopoh, 
langsung menghadap. Buru-buru Kanjeng Adipati Ple-
ret dan juga semua yang berada di ruang pendopo me-
noleh. Mereka menatap dengan kening berkerut pada 
prajurit yang baru datang dengan sembah penuh hor-
mat. 
"Apa yang ingin kau laporkan, Prajurit?" tanya 
Adipati Reksopati, tak sabar.  
"Keadaan benar-benar genting, Kanjeng. Beberapa 
tokoh sakti dunia persilatan yang menjadi sekutu Pan-
geran Pemimpin diam-diam menyusup ke dalam ling-
kungan kadipaten. Mereka membantai prajurit-prajurit 
kita tanpa ampun. Bahkan Ki Ageng Selo pun tewas di 
tangan mereka, Kanjeng," lapor sang prajurit.  
"Keparat!" desis Kanjeng Adipati Pleret penuh ke-
marahan. "Tumenggung Batu Ampel! Dan kau, Ki De-
mang Jarakan. Lekas hadang mereka! Jangan biarkan 
mereka masuk kemari!" 
"Baik, Kanjeng! Tapi apa tidak sebaiknya untuk 
sementara Kanjeng Adipati menyingkir terlebih dahu-
lu," usul Tumenggung Batu Ampel, cemas.  
Kanjeng Adipati Pleret menggeleng mantap dengan 
geraham berkerut-kerut geram. 
"Tidak, Tumenggung! Apa pun yang terjadi, aku 
harus tetap di takhtaku. Biar nyawa sekalipun taru-
hannya!" tandas Kanjeng Adipati Pleret, mantap. "Se-
karang lekas kalian berangkat!"  
"Baik, Kanjeng. Hamba mohon pamit." 
"Hati-hatilah! Aku merestui kepergian kalian!" 
Tumenggung Batu Ampel dan Ki Demang Jarakan 
sejenak menangkupkan kedua telapak tangan di depan 
hidung penuh hormat. Lalu dengan sigap mereka sege-
ra melangkah keluar diikuti beberapa orang punggawa 
lain. 
Adipati Pleret mendesis-desis penuh kemarahan. 
Samar-samar suara denting senjata beradu mulai 
mendekati lingkungan istana kadipaten....  
***