Siluman Ular Putih 17 - Maling Tanpa Bayangan(1)


1

Malam ini Gunung Sindoro murka. Suara
bergemuruh dengan letupan-letupan berwarna
merah membuat penduduk yang tinggal di sekitar
gunung mulai kalang kabut. Batu-batu gunung,
pasir-pasir membara berhamburan tinggi ke uda-
ra. Lahar panas begitu cepat merambat, menerjang
apa saja yang jadi penghalang.
Apakah saat ini Tuhan ingin menunjukkan
kekuasaan-Nya?
Yang jelas, gejolak alam yang tiba-tiba ini
membuat penduduk kampung berbondong-
bondong berlarian ke sana kemari untuk mencari
selamat. Mereka berteriak-teriak memanggil sanak
saudara sambil menyambar apa saja yang bisa
diselamatkan.
Jerit tangis bocah kecil, suara-suara teria-
kan saling tumpang tindih dengan gemuruh Gu-
nung Sindoro. Sementara pasir dan awan panas
berhamburan menyambar apa saja. Menyambar
pohon-pohon, menyambar tubuh-tubuh tua yang
tak kuasa berlari. Juga, menyambar penduduk
kampung yang salah jalan.
Mengerikan!
Pohon-pohon hangus terbakar diterjang la-
har dan awan panas. Mayat-mayat mulai bercece-
ran terlibas aliran lahar merah. Semua menyi-
ratkan ketidakberdayaan manusia atas kuasa Tu-
han.
Tapi kenapa sebagian manusia tak mau

berpikir? Bahkan banyak manusia yang congkak,
yang merasa dirinya paling sakti. Padahal, Tuhan
hanya memberi mereka setitik ilmu.... 
Kalau sudah begini, baru mereka menyebut
nama Tuhan.
Ini berlaku bagi semua orang. Termasuk,
orang-orang dunia persilatan yang memiliki ke-
pandaian tinggi. Mereka juga diliput perasaan ce-
mas melihat Gunung Sindoro murka. Meski ke-
pandaian mereka tinggi, tetap saja tak mampu
menghadapi gejolak alam yang menggila.

***

Jauh dari pusat kejadian tampak sebuah
bayangan hitam tiba-tiba menghentikan langkah-
nya. Badannya berbalik memperhatikan puncak
Gunung Sindoro yang tengah murka dengan sinar
mata ngeri. Mulutnya menggumam tak jelas. Na-
mun, dari sinar matanya yang tegang bisa ditebak
kalau sosok yang berpakaian serba hitam itu baru
saja mengalami peristiwa luar biasa yang meng-
guncangkan hati.
Dari terangnya sinar bulan yang sesekali di-
tingkahi semburan cahaya merah dari puncak gu-
nung bisa terlihat kalau sosok itu adalah seorang
kakek tua bertubuh amat kurus. Tubuhnya jang-
kung hampir mencapai dua tombak. Matanya ber-
kilat-kilat dengan raut wajah tirus.
Dari rambut sampai kaki mengenakan ju-
bah hitam yang disambung penutup kepala beru-
jung lancip. Sekilas pandang wajah kakek renta ini

memang amat mengerikan. Lebih lagi sepasang
matanya yang hijau mencorong tajam, tak beralih
dari puncak gunung yang tengah murka.
Siapakah sebenarnya kakek tua renta ini?
Dia tak lain dari Maling Tanpa  Bayangan.
Karena terdorong untuk melampiaskan dendam-
nya kepada Siluman Ular Putih, membuat Maling
Tanpa Bayangan pergi ke puncak Gunung Sindoro.
Untung sekali nasibnya masih mujur. Kalau tidak,
jangan harap dapat selamat dari semburan kawah
puncak Gunung Sindoro. Untuk apa lelaki tua ini
ke puncak Gunung Sindoro?
Konon di puncak gunung itu tersimpan se-
buah kitab milik Pengasuh Setan. Kitab Paguyu-
ban Setan! Dengan mengambil dan mempelajari ki-
tab itu, Maling Tanpa Bayangan berharap bisa
mengalahkan Siluman Ular Putih. 
Sebelum berhasil mengambil kitab itu, Mal-
ing Tanpa Bayangan bertarung habis-habisan me-
lawan Telapak Gajah yang dibantu burung hantu
raksasa. Namun tiba-tiba kedua pengeroyoknya itu
mengalami kejadian luar biasa. Tubuh Telapak Ga-
jah yang tak ubahnya seperti boneka hidup itu
hangus terbakar. Demikian pula tubuh burung
hantu raksasa. Selang beberapa saat, baru disusul
gejolak alam yang datangnya juga tiba-tiba. Pun-
cak Gunung Sindoro bergetar. Kawah di tengah-
tengah puncak gunung menyemburat tinggi ke
udara menebarkan apa saja yang ada di sekitar.
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode:
"Pasukan Kumbang Neraka").
Setelah berhasil mendapatkan kitab yang

diidam-idamkan, tanpa banyak membuang waktu
Maling Tanpa Bayangan segera berkelebat cepat
pergi dari puncak gunung dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Dan kini, lelaki tua itu telah berdiri
di sebuah padang luas bererumputan sembari me-
nyaksikan kilatan-kilatan cahaya merah di puncak
gunung yang ditingkahi jerit-jerit kematian pendu-
duk kampung! 
Meski kini telah selamat, namun dalam hati
Maling Tanpa Bayangan terus bertanya-tanya. Ke-
jadian-kejadian hebat yang baru saja dialami be-
nar-benar membuat hatinya penasaran. Maling
Tanpa Bayangan terus berpikir. Bagaimana mung-
kin tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Tela-
pak Gajah mendadak terbakar? Sulit dimengerti!
Sebenarnya ada apakah? Bahkan kemudian dis-
usul dengan meletusnya Gunung Sindoro?
"Hm...! Benar-benar satu kejadian langka.
Tak mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada apa-
apanya. Jangan-jangan berhubungan dengan Ki-
tab Paguyuban Setan yang ku sembunyikan diba-
lik jubahku? Hm...! Bisa jadi!" gumam Maling Tan-
pa Bayangan dalam hati.
Kalau saja Maling Tanpa Bayangan tahu
kenapa tubuh burung hantu raksasa dan tubuh
Telapak Gajah mendadak hangus terbakar, kemu-
dian disusul meletusnya Gunung Sindoro, tentu
hatinya akan lebih terkesima. Betapa tidak? Ter-
nyata tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Te-
lapak Gajah terbakar disebabkan oleh tewasnya
Pengasuh Setan! Penguasa puncak Gunung Sindo-

ro! Sementara mengenai meletusnya Gunung Sin-
doro, bisa jadi hanya kejadian kebetulan belaka.
Yang jelas, begitu Pengasuh Setan tewas, puncak
Gunung Sindoro kontan bergemuruh. Bumi berge-
tar. Kawah di puncak gunung menyemburat tinggi
ke udara.
Benarkah ini semua disebabkan tewasnya
Pengasuh Setan? Atau karena jatuhnya Kitab Pa-
guyuban Setan ke tangan Maling Tanpa Bayan-
gan? Kalau sekiranya kedua-duanya benar, betapa
hebatnya pengaruh Pengasuh Setan dan Kitab Pa-
guyuban Setan?
Berpikir sampai demikian, Maling Tanpa
Bayangan jadi tak sabar lagi untuk segera mempe-
lajari Kitab Paguyuban Setan. Ia yakin sekali kitab
yang disembunyikan di balik jubahnya mengan-
dung kekuatan hebat! Bahkan bila sudah mempe-
lajari Kitab Paguyuban Setan ia yakin akan dapat
mengalahkan Siluman Ular Putih! Bukan saja
hanya ingin mengalahkan, tapi juga ingin membu-
nuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu. Sekali-
gus, menguasai dunia persilatan!
"Kunyuk Gondrong! Tunggulah pembala-
sanku nanti! Tunggulah setelah aku mempelajari
Kitab  Paguyuban Setan ini," desis Maling Tanpa
Bayangan, geram. Rahangnya mengeras. Dari kila-
tan-kilatan mata hijaunya yang mencorong, jelas
ancamannya barusan bukan hanya sekadar gertak
sambal saja. Tapi, niatnya pasti akan dilaksana-
kan.
Habis menggumam begitu, Maling Tanpa
Bayangan segera menghentakkan kakinya ke ta-

nah. Seketika tubuhnya berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. Namun sayang baru saja bebe-
rapa tombak....
"Bagus! Inilah yang mungkin dinamakan
pucuk dicinta ulam tiba! Selamat bertemu kemba-
li, Kakang Maling Tanpa Bayangan!"
Terdengar bentakan, yang membuat lang-
kah Maling Tanpa Bayangan terhenti seketika den-
gan wajah kaget.

2

Sepasang mata hijau Maling Tanpa Bayan-
gan berkilat-kilat penuh kemarahan. Rahangnya
menggembung. Jelas sekali kalau hatinya tak suka
atas bentakan barusan, sehingga membuat niat-
nya tertunda. 
Di hadapan Maling Tanpa Bayangan kini te-
lah berdiri dua orang lelaki tua. Yang sebelah ka-
nan bertubuh jangkung. Tingginya tak kurang dari
dua setengah tombak lebih. Jubahnya besar warna
hijau. Raut wajahnya tirus. Sepasang matanya ju-
ga berwarna hijau mencorong, menandakan tenaga
dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Yang seorang lagi, lelaki tua bertubuh jauh
berlawanan dengan kakek jangkung di sebelahnya.
Tubuhnya amat pendek, tak lebih dari setengah
tombak. Perutnya buncit, pusarnya bodong mon-
cong ke depan. Kepalanya botak dengan mata juga
berwarna hijau. Sedang tubuhnya yang tambun
dibalut jubah besar, juga berwarna hijau.

"Bedebah! Rupanya Dewa Bogel dan Lam-
daur yang datang menghadang! Cih!" dengus Mal-
ing Tanpa Bayangan. Kedua bola matanya berkilat-
kilat, memperhatikan dua sosok kakek renta di
hadapannya.
"Ya, aku! Kenapa? Kaget?" sambar kakek
bertubuh pendek yang memang Dewa Bogel, seper-
ti bentuk tubuhnya. Sedang di sampingnya adalah
kakak seperguruannya yang bernama Lamdaur.
"Bedebah! Mau apa kalian menghadangku,
he?!"
"Pakai tanya?! Sudah jelas kami mencari-
cari untuk menuntut tanggung jawabmu. Kau ma-
sih punya urusan dengan Guru!" sahut Lamdaur.
Menghadapi dua orang kakek yang sebe-
narnya dari Hutan Pring Apus ini, mau tak mau
Maling Tanpa Bayangan jadi gusar. Ia tahu, betapa
hebatnya dua kakek yang sebenarnya masih adik
seperguruannya. Apalagi, kini mereka maju ber-
sama. Jelas tak mungkin Maling Tanpa Bayangan
sanggup menghadapi Dewa Bogel dan Lamdaur. 
"Cih.,.! Bisanya kau membacot demikian!
Dari dulu, kita bertiga selalu bersaing. Tapi untuk
mengalahkan kami, kau malah mempelajari ilmu
sesat! Kau malah jadi maling. Apa itu bukan men-
cemarkan nama baik Guru?" cibir Dewa Bogel.
"Ditambah lagi, sepak terjangmu dan mu-
ridmu yang bergelar Raja Maling tak dapat dimaaf-
kan lagi oleh Guru. Apalagi, Raja Maling pun baru
saja membuat onar di Kadipaten Pleret. Tak
mungkin kau tidak tahu, kalau muridmu telah
mencuri Lukisan Darah. Ini saja sudah amat cu-

kup untuk mewakili Guru untuk membunuh-mu!"
sahut Lamdaur, menambahi.
Maling  Tanpa  Bayangan tertawa bergelak.
Baginya, ucapan bekas adik seperguruannya di-
anggap lucu. Meski tak ada yang pantas untuk di-
tertawakan sebenarnya.
"Kau ini masih polos seperti  dulu, Adik-
adikku! Untuk menjadi pemenang, kita harus
menggunakan ini!" Maling Tanpa Bayangan me-
nunjuk keningnya sendiri. "Bukannya mengguna-
kan dengkul. Pokoknya untuk mengalahkan ka-
lian, aku harus mempelajari ilmu apa saja. Tak
peduli ilmu putih atau ilmu hitam. Seharusnya ka-
lian berdua mengakui keunggulanku. Apa di anta-
ra kalian berdua ada yang mampu jadi maling se-
pertiku?"
"Sundal! Otakmu rupanya sudah miring,
Maling Tanpa Bayangan. Seharusnya kau malu
dengan ucapanmu barusan. Sebagai kakak seper-
guruan yang tertua, seharusnya kau memberi con-
toh yang baik. Eh..., ini malah sebaliknya! Menga-
jak adik-adiknya untuk menjadi maling!" sambar
Dewa Bogel, tak lagi menaruh hormat pa-da Mal-
ing Tanpa Bayangan.
"Siapa yang ingin mengajarkan kalian jadi
maling? Aku kan hanya ingin mengalahkan kalian.
Nah! Sekarang setelah tak dapat mengalahkanku,
kalian malah menuduhku yang bukan-bukan,"
tangkis Maling Tanpa Bayangan.
"Menuduh apa? Kenyataannya kau memang
maling. Muridmu pun maling. Ini sudah jelas
membuktikan kalau kalian telah keblinger. Kami

sebagai adik seperguruanmu, wajib mengin-
gatkanmu. Juga, muridmu yang brengsek itu!" sa-
hut Lamdaur jengkel. Kedua bola matanya yang
berwarna hijau berkilat-kilat penuh kemarahan. 
Maling Tanpa Bayangan malah makin men-
gumbar tawa. Dadanya bergerak-gerak saking ge-
linya mendengar ucapan adik seperguruannya.
"Rupanya, kalian memang sengaja mencari
penyakit. Sudah jelas. Siapa berani berbuat, ia ha-
rus berani bertanggung jawab. Seperti katamu ta-
di, muridku telah mencuri Lukisan Darah di Kadi-
paten Pleret. Maka, ia pun berani pula bertang-
gung jawab. Dan Siluman Ular Putih-lah yang te-
lah menghukum muridku! Sebagai adik sepergu-
ruan, seharusnya kalian malu membiarkan aku
menuntut balas seorang diri!" kata Maling Tanpa
Bayangan, bermaksud melibatkan kedua orang
adik seperguruannya untuk membantu membu-
nuh Siluman Ular Putih.
"Syukur! Senang sekali aku mendengarnya.
Rupanya murid brengsek mu  itu sudah modar.
Kenapa kau tidak lekas menyusul?" sahut Dewa
Bogel seenaknya.
"Bedebah! Adik seperguruan macam apa ka-
lian!" sentak Maling Tanpa Bayangan, terperangah.
"Tunggu! Pembicaraan kita makin melantur.
Kita kemari bukan untuk membicarakan Siluman
Ular Putih. Pokoknya sekarang, demi menjaga na-
ma baik Guru, terpaksa kami harus menghukum
mu, Maling Tanpa Bayangan!" sambar Lamdaur
tak sabar.
"Ya ya ya...! Kau benar, Lamdaur! Rupanya

maling tengik satu ini sengaja akan melibatkan ki-
ta dengan Siluman Ular Putih! Tunggu dulu, ya!
Sekarang, selesaikan urusan di antara kita lebih
dulu. Baru selesaikan urusan lainnya!" sahut De-
wa Bogel.
"Jadi apa mau kalian?" tanyai Maling Tanpa
Bayangan gusar. Kini hatinya mulai cemas melihat
sikap Dewa Bogel dan Lamdaur. Apalagi, Kitab Pa-
guyuban Setan masih berada dibalik jubahnya. Ia
khawatir kalau-kalau kedua orang bekas adik se-
perguruannya juga menginginkan kitab yang di-
idam-idamkannya.
"Pakai tanya?! Kami hanya minta kau ber-
tanggung jawab, tahu?!" dengus Dewa Bogel.
"Baiklah. Mengingat kita masih satu pergu-
ruan, sebaiknya kau menyerahkan diri untuk kami
hukum, Kang. Buat apa bertarung kalau akhirnya
kau akan tewas juga?" kata Lamdaur yang lebih
sabaran.
"Keparat! Bacot kalian makin memerahkan
telingaku! Apa kalian pikir aku takut menghadapi
kalian, he?! Majulah kalau kalian bermaksud
menghukumku!" tantang Maling Tanpa Bayangan,
sengit.
"Ccck ck ck...! Berani benar kau, Kang! Baik
kulayani tantanganmu!" sahut Dewa Bogel sambil
menggeleng-geleng. 
"Jangan banyak bacot! Majulah kalian kalau
ingin mampus!" teriak Maling Tanpa Bayangan,
kalap.
Maling Tanpa Bayangan langsung saja me-
mentangkan kedua kakinya lebar-lebar membuat

kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya disilangkan di
depan dada, siap menghadapi keroyokan kedua
orang bekas adik seperguruannya dengan jurus-
jurus andalan.
"Lagakmu makin memuakkan, Kang! Kau
memang patut mendapat hukuman. Bukan saja
telah mencemarkan nama baik Guru, tapi juga-
telah membuat onar dunia persilatan! Maka seba-
gai adik seperguruan, sudah menjadi kewajiban
kami untuk menghukum mu. Bahkan kalau perlu,
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" desis
Lamdaur.
Maling Tanpa Bayangan menggeram murka.
Kedua telapak tangannya yang telah berwarna hi-
jau segera dilontarkan ke depan. Seketika melesat
dua larik sinar hijau disertai angin dingin berke-
siur siap melabrak tubuh Dewa Bogel dan Lam-
daur.
"Pukulan 'Kelabang Hijau'...!" desis Lamdaur
dan Dewa Bogel hampir bersamaan, menyebut
ajian yang dikeluarkan Maling Tanpa Bayangan.
Satu tombak serangan datang, Dewa Bogel
dan Lamdaur cepat mendorong kedua telapak tan-
gan yang juga telah berwarna hijau sampai ke
pangkal. Mereka langsung memapaki serangan
Maling Tanpa Bayangan. 
Wesss! Wesss! 
Blaaammm...! 
Satu ledakan hebat langsung terjadi di uda-
ra saat pukulan masing-masing bertumbukan.
Bumi kontan bergetar hebat. Ranting-ranting po-
hon berderak dengan daun-daun membeku!

Maling Tanpa Bayangan tetap berdiri kokoh.
Sementara tubuh Dewa Bogel dan Lamdaur terja-
jar beberapa langkah. Namun kedua tokoh sakti
dari Hutan Pring Apus ini cepat memasang kuda-
kuda kembali. Dari sini bisa dilihat kalau Maling
Tanpa Bayangan mengalami kemajuan pesat.
Begitu melihat kenyataan itu, tanpa mem-
buang waktu lagi Dewa Bogel dan Lamdaur segera
mencabut keluar senjata andalan berupa rantai
baja yang melilit pinggang. Demikian pula Lam-
daur. Segera diloloskannya pedang tipis yang juga
melilit di pinggang. 
Sret! Sret!
Maling Tanpa Bayangan tertawa sumbang.
Tak mau kalah, segera dicabut senjata andalan-
nya. Maka kini di tangan kanannya telah tergeng-
gam cemeti berekor sembilan. Dari tiap ekor cemeti
tampak pisau-pisau kecil yang berkilatan.
"Majulah! Aku tak takut menghadapi manu-
sia-manusia tolol macam kalian!" tantang Maling
Tanpa Bayangan, lantang.
Dewa Bogel dan Lamdaur geram bukan
main. Bukan saja geram mendengar hinaan dari
Maling Tanpa Bayangan yang menyebut manusia
tolol. Tapi juga geram melihat kenyataan bahwa
kepandaian lawan telah mengalami kemajuan pe-
sat. Apalagi kakak seperguruan mereka itu telah
mencampuradukkan ilmu perguruan dengan ilmu-
ilmu hitam yang dipelajari entah dari mana.
"Aku tak akan mengampuni nyawa busuk-
mu, Maling!" dengus Dewa Bogel, geram.
"Akan kukuliti tubuhmu sebelum ku  ha-

dapkan  ke makam Guru, Manusia Bejat!" teriak
Lamdaur kaku.
"Jangan banyak bacot! Buktikan saja kalau
kalian mampu!" balas Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki tua sesat itu memutar cemeti di tan-
gan. Dari putarannya langsung tercipta angin ken-
cang berkesiur menyambar-nyambar tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur.
Geraham Dewa Bogel dan Lamdaur berge-
melutuk makin kuat. Mereka kini tahu, ternyata.
tenaga dalam Maling Tanpa Bayangan makin ber-
tambah saja. Itu bisa dibuktikan ketika terjadi
benturan tadi.
"Tahanlah jurus "Bambu Kuning Pencabut
Sukma' yang baru kami ciptakan, Maling!
Heaaa...!"
Dikawal bentakan nyaring, Dewa Bogel dan
Lamdaur memilih bertindak terlebih dahulu. Meski
tidak menggunakan bambu kuning sebagai senja-
ta, namun serangan-serangan pedang di tangan
Lamdaur dan rantai baja di tangan Dewa Bogel tak
kalah hebatnya bila menggunakan bambu kuning.
Srat! Srat!
Dewa Bogel menyerang ganas dari sebelah
kanan. Rantai bajanya terus berputar-putar beru-
saha mendesak gulungan-gulungan cemeti berekor
sembilan milik Maling Tanpa Bayangan. Sedang
Lamdaur menyerang dari sebelah kiri. Pedang ti-
pisnya yang berkilatan tak henti-hentinya mence-
car tubuh Maling Tanpa Bayangan tanpa ampun.
"Modar kau, Maling!" seru Lamdaur berin-
gas.

Pedang tipis di tangan kanan Lamdaur
mendadak diputar sedemikian rupa, membuat sa-
tu serangan tipuan. Maling Tanpa Bayangan yang
saat itu tengah sibuk menghadapi sambaran rantai
baja terperangah kaget. Sulit rasanya menghindari
serangan Lamdaur kali ini. Kalau nekat menghin-
dar atau menangkis, rasanya akan sia-sia saja.
Karena pasti rantai baja Dewa Bogel sudah me-
nunggu.
"Hup!"
Dengan satu perhitungan yang cukup ma-
tang, tiba-tiba Maling Tanpa Bayangan menggu-
lingkan tubuhnya ke bawah menghindari pedang
tipis Lamdaur. Sementara,  cemeti berekor sembi-
lan segera memapak rantai baja yang memang su-
dah menunggu. 
Trang! Trang! 
Berkali-kali cemeti Maling Tanpa Bayangan
memapak sambaran rantai baja Dewa Bogel. Na-
mun saat itulah kelemahannya terbaca.
Selagi Maling Tanpa Bayangan baru saja
bangkit berdiri, Dewa Bogel dan Lamdaur tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu seran-
gan tak terduga, Dewa Bogel dan Lamdaur kembali
meluruk dengan sambaran rantai baja dan sabe-
tan pedang tipis.
Maling Tanpa Bayangan memekik lirih.
Keadaannya kali  ini benar-benar terjepit. Tanpa
sadar keringat dingin di sekujur tubuhnya kian
membanjir menyadari dua gulungan senjata di
tangan lawan siap merajam tubuhnya. Dan....
Crak! Crak!

Prakkk!
"Aaakh...!"
Maling Tanpa Bayangan melolong setinggi
langit. Tubuhnya  seketika limbung ke samping
terkena bacokan-bacokan pedang di tangan Lam-
daur dan hantaman rantai baja di tangan Dewa
Bogel. Sekujur tubuhnya langsung bermandikan
darah! Tulang-tulangnya seperti mau hancur. Un-
tung saja kedua lawannya tak meneruskan seran-
gan. Seolah memberi kesempatan  pada Maling
Tanpa Bayangan.
"Menyerahlah, Maling! Niscaya aku men-
gampunimu!" seru Lamdaur lantang.
"Atau kau memang belum puas mendapat
hajaran rantai bajaku, he?!" teriak Dewa Bogel
menambahi.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Dan sekali meng-
hentakkan kaki ke tanah, tubuhnya telah berdiri
tegak di hadapan kedua adik seperguruannya. Ma-
tanya yang hijau tak henti-hentinya menghujam
pada Dewa Bogel dan Lamdaur bergantian.
"Setan! Siapa pedulikan bacotmu, Tolol! Bi-
ar kau bunuh sekalipun, tak mungkin aku menye-
rah!" dengus Maling Tanpa Bayangan.
Dewa Bogel dan Lamdaur tertawa dingin.
Dan ketika tawa kedua tokoh sakti dari Hutan
Pring Apus itu terhenti, tiba-tiba sepasang mata
mereka jadi berkilat-kilat penuh keheranan. Beta-
pa samar-samar dari luka di sekujur tubuh Maling
Tanpa Bayangan kini telah dipenuhi uap hitam.
Mula-mula kening Maling Tanpa Bayangan

berkerut tak mengerti. Namun ketika melihat ke-
heranan Dewa Bogel dan Lamdaur makin kentara,
lelaki ini jadi curiga. Dan ketika menyaksikan kea-
daan tubuhnya, seketika terperangahlah hatinya.
Betapa luka di sekujur tubuhnya kini telah dipe-
nuhi uap hitam tipis. Bahkan perlahan-lahan lu-
ka-luka itu merapat dan sembuh seperti sediakala!
Maling Tanpa Bayangan melongo. Kening-
nya terus berkerut-kerut menyaksikan kejadian
aneh yang tengah dialami. Ketika disadari, barulah
lelaki ini tertawa bergelak. Kini hatinya yakin seka-
li kalau kejadian aneh itu tak lain karena Kitab
Paguyuban Setan yang tersimpan di balik jubah
hitamnya!

***

"Hugh...! Hugh,..!"       
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi
dan celana bersisik putih keperakan menghentikan
semadinya ketika mendengar suara batuk di sam-
pingnya. Pandangan matanya segera dialihkan ke
arah datangnya suara.
Ternyata suara itu datangnya dari seorang
lelaki berpakaian bayi. Wajahnya pun mirip bayi.
Hanya rambut alis serta bulu mata saja yang
membuktikan kalau lelaki itu sudah amat tua, di
samping kulitnya yang keriput. Lelaki tua yang tak
lain Bayi Kawak itu tengah terengah-engah. Lu-
kanya yang menganga pada bagian dadanya tam-
pak demikian mengerikan. Darah membanjir
membasahi pakaian bayinya. Ia kini berada dalam

pelukan seorang gadis berpakaian warna-warni.
Rambutnya hitam panjang dikepang dua. Juga,
dihiasi pita beraneka warna. Tubuh rampingnya
yang tampak dari samping tampak demikian
mempesona, membentuk lekuk-lekuk indah men-
gundang. 
Tak jauh dari yang tak lain Putri Manja,
tampak duduk bersila seorang kakek renta berpa-
kaian jubah kuning yang kedodoran. Kepalanya
plontos, tanpa sehelai rambut pun. Dari bulu ma-
ta, alis mata, dan jenggotnya yang panjang semua
berwarna putih, menandakan kalau kakek bertu-
buh tinggi kurus itu berusia amat lanjut.
Sekali lihat saja pemuda yang tak lain Silu-
man Ular Putih tahu kalau kakek berjubah kuning
yang memang Pelukis Sinting Tanpa Tanding men-
derita luka dalam yang parah. Namun karena saat
itu luka Bayi Kawak jauh lebih parah, maka ke sa-
nalah Soma mendekat.
"Guru...! Jangan tinggalkan aku, Guru! Aku
tak mau kau mati!" isak Putri Manja tak henti.
Hati Siluman Ular Putih trenyuh. Ia mak-
lum akan cobaan berat yang mengguncang hati
gadis manja yang kini di sampingnya. Putri Manja
yang biasa bersikap berlebihan sekaligus juga
amat menggemaskan, kini tampak demikian me-
melaskan. Wajahnya yang cantik bersimbah air
mata. Sambil terus mengguncang-guncangkan tu-
buh Bayi Kawak, si gadis terus saja terisak-isak.
"Sudahlah, Putri! Percuma saja menangis.
Tak mungkin gurumu sembuh kalau kau menan-
gis terus!" ujar Siluman Ular Putih. 

"Cerewet! Lekas kau tolong guruku!" tukas
Putri Manja.
"Baik. Tapi... Tapi..."
Mendadak Siluman Ular Putih menggaruk-
garuk kepala. Betapa tidak? Pemuda ini hanya se-
dikit mengerti ilmu pengobatan. Apalagi melihat
luka Bayi Kawak yang mengerikan itu. Saking bin-
gungnya, Soma terus menggaruk-garuk kepala.
Entah karena kepalanya jadi sarang kutu, atau
memang kebingungan. Pokoknya Soma terus
menggaruk tanpa peduli.
Melihat kelakuan Siluman Ular Putih, mau
tak mau Putri Manja jadi kesal. Wajahnya yang
cantik ditekuk demikian rupa. Mulutnya membe-
sengut.
"Kau.... Kau ini bagaimana, sih? Orang dis-
uruh menyembuhkan guruku, malah garuk-garuk
kepala! Apa dikira dengan menggaruk-garuk kepa-
la guruku akan sembuh!" damprat Putri Manja.
"Iya iya...! Aku tahu. Justru aku sedang
memikirkan, bagaimana caranya menyembuhkan
luka dalam gurumu. Jadi jangan marah-marah
dulu, dong...," tangkis Siluman Ular Putih.
"Habis kau menjengkelkan, sih! Selalu saja
membuatku marah!" sungut Putri Manja mulai ke-
lihatan sikap aslinya.
"Ya, deh. Aku mengalah. Terus terang, aku
hanya sedikit mengerti ilmu pengobatan. Seka-
rang, baiknya kita cari saja Tabib Agung, karena
luka dalam gurumu amat parah. Kujamin orang
tua dari Gunung Perahu itu dapat menyembuhkan
luka gurumu!"

"Baik. Kalau begitu, cepat angkat guruku!
Jangan membuang-buang waktu!" perintah Putri
Manja.
Lagi-lagi Soma hanya menggaruk-garuk ke-
pala. "Sial!" rutuk si pemuda dalam hati.
"Kenapa diam saja? Ayo, cepat angkat guru-
ku!" bentak Putri Manja.
"Iya iya...! Tapi, apa tidak baiknya orang lain
saja."
"Bodoh! Mana mungkin di tempat sesunyi
ini ada orang? Ayo, lekas angkat!" bentak Putri
Manja lagi.
"Baik."
Entah kenapa Siluman Ular Putih tunduk
juga oleh perintah gadis manja itu. Mungkin kare-
na rasa bersalahnya waktu itu dengan memper-
mainkan Putri Manja. Akibatnya, si gadis ngambek
dan lari darinya. Karena tak ingin mengecewakan
si gadis untuk yang kedua kali. Soma segera men-
gangkat kakek bau pesing guru dari Putri Manja
itu.
"Percuma saja orang menjulukimu Siluman
Ular Putih, kalau hatimu pilih-pilih kasih. Percu-
ma saja tua bangka macam kami meminta perto-
longan kalau hati pendekar kita sudah terpaut
seorang gadis...." 
Mendadak Siluman Ular Putih dikejutkan
suara orang yang disusul suara siulan. Buru-buru
kepalanya berpaling ke arah datangnya suara.
Ternyata orang yang bersuara tadi bukan lain ada-
lah Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Aneh sekali!
Walau tengah menderita luka dalam cukup parah,

namun kakek sakti dari Gua Bedakah itu masih
sempat-sempatnya menggoda.
Terpaksa Siluman Ular Putih menahan
langkahnya. Jelas, pemuda ini merasa disindir
oleh ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding hingga
hatinya mendadak jadi gelisah.
"Heran! Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Apakah benar ucapan tua bangka itu? Aku sudah
terpaut kecantikan Putri Manja? Ah...! Mengapa
aku harus memikirkan satu hal yang tak pasti. Pu-
tri Manja sendiri belum tentu sudi memikirkanku!"
sungut Soma dalam hati.
"Baik-baik. Aku akan menyembuhkanmu,
Orang Tua. Tapi sekali lagi, jangan bilang kalau
aku pilih kasih. Karena pertimbanganku, Bayi Ka-
wak menderita luka paling parah. Hm.... Tapi ada
baiknya aku memeriksa lukamu dulu," kata Soma,
seraya meletakkan kembali tubuh Bayi Kawak.
"Duh...! Senangnya hatiku. Hati siapa yang
tidak akan senang mendapatkan pertolongan pe-
muda tampan macam kau. Terima kasih, Bocah.
Kau memang baik hati. Memang inilah yang kuin-
ginkan sebenarnya," celoteh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding cerewet.
"Ompong! Diam kau! Tak ada gunanya kau
menggoda. Aku tak yakin kalau kau benar-benar
membutuhkan pertolongannya!" damprat Bayi Ka-
wak yang dari tadi hanya membisu.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum-senyum menggoda. Wajahnya yang tadi ke-
lihatan pucat, kini tampak kemerah-merahan.
Agaknya luka dalam tokoh sakti dari Gua Bedakah

itu mulai berangsur sembuh. Dan Soma yang me-
meriksa tersenyum lega. Berarti ia tak perlu lagi
memberi pertolongan pada Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Maaf, Anak Muda. Tadi aku hanya meng-
godamu. Aku sudah menyembuhkan luka dalam-
ku sendiri, kok," ucap Pelukis Sinting Tanpa Tend-
ing, seenaknya.
"Orang Tua! Kau memang terlalu banyak
bercanda. Luka dalam yang diderita Bayi Kawak
jauh lebih parah dibanding luka dalammu. Tapi
kenapa kau cerewet amat?" kata Soma agak kesal
juga.
"Ya, sudah. Kalau kau mau membawa Bayi
Kawak ke Tabib Agung, ya... bawa saja. Kenapa
marah-marah?" sungut Pelukis Sinting Tanpa
Tanding, seenak dengkul. Menyebalkan sekali si-
kapnya! 
Siluman Ular Putih hanya bisa geleng-
geleng kepala disertai dengusan kesal. Namun un-
tuk mendamprat Pelukis Sinting Tanpa Tanding, ia
tak berani. Tak enak rasanya membentak-bentak
orang tua. Yang dilakukannya kini adalah men-
gangkat kembali tubuh Bayi Kawak.
"Ayo, Soma! Lekas kita tinggalkan tempat
ini! Kenapa kau malah melongo saja!" teriak Putri
Manja mengagetkan.
"Ba..., baik."
Tanpa banyak cakap Putri Manja segera
meraih lengan Siluman Ular Putih dan segera ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu. Meski
sambil memondong tubuh Bayi Kawak, tampak

sekali kalau Siluman Ular Putih mampu mengim-
bangi ilmu meringankan tubuh Putri Manja. Malah
kalau mau, bisa saja mendahului. Namun Soma
hanya mengikuti langkah si gadis sesuai kemam-
puannya.
"Sekarang apa yang harus kulakukan? Ra-
sanya aku belum puas. Meski manusia jahanam
Pengasuh Setan sudah modar, tetap saja belum
puas. Karena aku tak dapat membunuhnya. Malah
sekarang aku menderita luka bakar. Huh..,! Men-
jengkelkan. Enak benar jahanam itu modar sebe-
lum aku sempat membalaskan sakit hati. Seka-
rang apa yang harus kulakukan, huh?!" keluh Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding begitu sosok bayan-
gan Putri Manja dan Siluman Ular Putih menghi-
lang di balik kegelapan malam. Habis menggu-
mam, Pelukis Sinting Tanpa Tanding segera bang-
kit dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Tam-
pak langkahnya terhuyung-huyung sebelum ak-
hirnya menghilang di balik kegelapan malam.... 


3

"Hahaha...! Rupanya percuma saja berta-
hun-tahun kalian belajar silat kalau menghadapi-
ku seorang diri saja tak becus!"
Maling Tanpa Bayangan itu tak henti-
hentinya terus mengumbar tawa serta ejekan. Ke-
jadian aneh yang baru saja dialami benar-benar
membuat semangat bertarungnya meledak-ledak.

Luka akibat bacokan pedang tipis di tangan Lam-
daur, dan luka dalam akibat hantaman rantai baja
Dewa Bogel, kini telah sembuh seperti semula. Le-
laki ini yakin kalau itu berkat Kitab Paguyuban Se-
tan yang disembunyikan di balik jubah.
Sementara di pihak Dewa Bogel dan Lam-
daur yang melihat kejadian itu, mereka menduga
kalau ilmu bekas kakak seperguruannya benar-
benar telah mencapai tingkat yang tinggi sekali.
Bahkan mungkin sulit ditandingi oleh kepandaian
mereka berdua. Namun ini bukan berarti harus
tunduk begitu saja, walau nyawa taruhannya. 
"Kuakui, kesaktianmu kini telah melampaui
jauh kesaktian kami. Namun jangan dikira kami
mengalah begitu saja. Bagaimanapun juga dan apa
pun akibatnya, kami tetap meminta pertanggung-
jawabanmu. Kau harus kami hukum!" dengus De-
wa Bogel.
"Bagus-bagus! Kalau kalian ingin cepat
modar, majulah! Jangan tanggung-tanggung! Le-
kas keluarkan aji 'Penuntun Dewa' kebanggaan ka-
lian, juga kebanggaan Guru!" ejek Maling Tanpa
Bayangan.
Sembari mengejek demikian, diam-diam
Maling Tanpa Bayangan sendiri pun telah menge-
rahkan pukulan 'Kelabang Hijau'. Seketika kedua
telapak tangannya kembali dijalari warna hijau,
hingga sampai ke siku. Ini saja sudah jelas mem-
buktikan kalau Maling Tanpa Bayangan tak segan-
segan lagi menghadapi bekas-bekas adik-
seperguruannya. Dan ia yakin, aji 'Penuntun De-
wa' tak akan sanggup menahan pukulan 'Kelabang

Hijau' yang telah dicampur aduk dengan aji 'Sirep
Sukma'.
"Baik Manusia Maling! Hari ini aku akan
mengadu nyawa! Meski nyawa melayang, aku ma-
lah bangga. Karena aku tewas demi membela ke-
benaran. Tidak seperti kau, yang selalu berkubang
dalam lumpur dosa!" geram Lamdaur penuh kema-
rahan.
"Terserah kalian, mau bilang apa. Yang je-
las, hari inilah kematian kalian!" balas Maling
Tanpa Bayangan.
Sementara Dewa Bogel menggeretakkan ge-
raham-nya penuh kemarahan. Ia yang berwatak
berangasan tak sabar lagi mendengar ejekan Mal-
ing Tanpa Bayangan. Maka saat itu juga segera di-
labraknya Maling Tanpa Bayangan dengan aji
'Penuntun Dewa'.
"Hea...! Mampus kau, Maling!"
Berbareng teriakan nyaringnya yang mem-
belah angkasa, Dewa Bogel telah menghantamkan
kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi
biru tua ke arah Maling Tanpa Bayangan. 
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar biru yang
disertai hawa panas luar biasa, dari kedua telapak
tangan Dewa Bogel.
"Hiaaah...!"
Maling Tanpa Bayangan masih sempat
mengumbar tawa, sebelum akhirnya segera meng-
hentakkan kedua tangannya disertai teriakan
mengguntur.
Blaaammm!

"Aaakh...!" 
Hebat, bukan main bentrokan dua tenaga
dalam barusan. Bumi laksana diguncang prahara.
Berkesiurnya angin dingin dan panas akibat ben-
trokan barusan mengakibatkan ranting-ranting
pohon hangus terbakar dan sebagian membeku! 
Sewaktu terjadi bentrokan, Dewa Bogel
menjerit setinggi langit. Tanpa ampun tubuhnya
kontan terbanting keras. Wajahnya kini pucat ba-
gai kapas. Bentrokan tadi seakan-akan mengaduk-
aduk isi dalam dadanya.
"Hoekh...!"
Dewa Bogel tak tahan. Dari mulutnya men-
dadak meluncur darah segar
Melihat adik seperguruannya dapat diro-
bohkan, Lamdaur geram bukan main. Tanpa
menghiraukan keadaan Dewa Bogel, segera diter-
jangnya Maling Tanpa Bayangan. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikerahkannya aji 'Penuntun
Dewa' seperti yang dilakukan Dewa Bogel tadi.
Sementara Maling Tanpa Bayangan yang
tubuhnya tengah limbung ke samping akibat ben-
trokan tadi, terperangah kaget. Rupanya, ia belum
siap menerima serangan. Dan manakala melihat
serangan datang, ia hanya bisa mengeluh. Kemu-
dian....
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali dua larik sinar biru tua dari
kedua telapak tangan Lamdaur menghantam dada
Maling Tanpa Bayangan. Maka tanpa ampun tu-
buhnya terlempar jauh ke belakang bak layangan
putus. Sebentar tubuhnya berputar-putar sebelum

akhirnya menghantam batang pohon.
Brakkk! 
Perlahan-lahan tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan luruh ke tanah. Parasnya tampak pucat pasi.
Dari lubang hidung dan mulut mengeluarkan da-
rah segar, pertanda guru mendiang Raja Maling ini
menderita luka dalam.
Namun, lagi-lagi seperti yang dialami tadi.
Uap hitam dari balik jubahnya kembali menyeli-
muti sekujur tubuh Maling Tanpa Bayangan. Se-
hingga dalam waktu yang tidak lama lelaki tua se-
sat itu pun meloncat bangun dengan tubuh segar
bugar! Luar biasa!
"Kau tak mungkin dapat mengalahkanku,
Lamdaur! Percuma saja! Lebih baik bunuh diri sa-
ja daripada tanganku kotor oleh darah busukmu!"
ejek Maling Tanpa Bayangan.
Lamdaur menyeringai. Apa yang diucapkan
Maling Tanpa Bayangan barusan memang sempat
mempengaruhi nyalinya. Tapi disadari, dalam kea-
daan terjepit begitu bukan berarti harus melarikan
diri dari pertarungan. Apalagi Dewa Bogel telah di-
robohkan dengan mudah. Maka justru inilah yang
menyulut amarah Lamdaur.
Dan tanpa mengenal takut sedikit pun,
mendadak Lamdaur menggembor penuh kemara-
han. Kedua telapak tangannya yang kian berubah
jadi biru tua segera dihantamkan ke depan.
Wesss! Wesss!
Dua larik sinar biru tua meluruk dari kedua
telapak tangan Lamdaur, menyambar-nyambar
mengerikan. Dan sebelum serangan tokoh sakti

dari Hutan Pring Apus itu mengenai sasaran, hawa
hangus telah mendahului! Ini jelas membuktikan
kalau Lamdaur telah  mengerahkan tenaga dalam
sampai pada kekuatan penuh.
Maling Tanpa Bayangan kini telah siap
waspada. Maka begitu melihat serangan, kedua
tangannya juga menghentak. Langsung dile-
paskannya pukulan 'Kelabang Hijau' yang telah di-
campur baur dengan aji 'Sirep Sukma'! Selanjut-
nya.....    
Blaaarrr...!
"Aaakh...!"
Bersama pekik mengerikan, tanpa ampun
tubuh jangkung Lamdaur kontan terlempar jauh
ke belakang. Begitu terbanting di tanah, tubuhnya
sempat mengejang-ngejang sebentar, sebelum ak-
hirnya tidak bergerak-gerak sama sekali! Entah
pingsan, entah tewas!
"Hahaha...!"
Maling Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Kepalanya mendongak ke atas. Puas sekali ra-
sanya dapat mengalahkan kedua orang adik se-
perguruannya. Dalam benaknya pun membayang-
kan dengan cara itu pulalah tubuh Siluman Ular
Putih maupun tubuh tokoh-tokoh sakti lain akan
dilumatkan. Terutama bila menghalang-halangi
niatnya menguasai dunia persilatan!
"Haha ha...! Siapa berani menentang Maling
Tanpa Bayangan, berarti mati!"
Suara tawa Maling Tanpa Bayangan kian
membahana. Seolah dengan begitu, ia ingin men-
gabarkan ke segenap penjuru kalau dialah yang

paling sakti di kolong langit.
"Manusia maling tak berperasaan! Mampus-
lah kau! Hea...!"
Tiba-tiba Dewa Bogel yang telah dikira te-
was oleh Maling Tanpa Bayangan segera mener-
jang hebat. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna biru tua segera dihantamkan ke arah Mal-
ing Tanpa Bayangan. Maka seketika meluruk dua
larik sinar biru tua dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Merasakan ada hawa panas menyengat ku-
lit tubuh,  tanpa pikir panjang Maling Tanpa
Bayangan segera berbalik seraya menghentakkan
kedua tangannya. Pukulan 'Kelabang Hijau' lang-
sung diarahkan pada sumber hawa panas baru-
san. Dan....,
Buuummm! 
"Aaa...!" 
Satu pekik menyayat hati terdengar mewar-
nai tempat pertarungan mengiringi bunyi mengge-
legar akibat bentrokan tadi. Tanpa ampun, tubuh
Dewa Bogel melayang jauh ke belakang bak se-
buah bola yang melesat jauh, sebelum akhirnya
menghantam batang pohon di belakangnya. 
Brakkk!
Seperti yang dialami Lamdaur, Dewa Bogel
luruh ke tanah. Tubuhnya melejang-lejang seben-
tar, sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak sama
sekali.
"Ha ha ha...! Kubilang apa?! Percuma saja
kalian menentang Maling Tanpa Bayangan! Begini
inilah nasib orang-orang yang akan menentangku!"

Tak henti-hentinya Maling Tanpa Bayangan
mengumbar tawa. Hatinya puas bukan main. Ha-
tinya yakin sekali, dengan kemampuannya seka-
rang dapat mengalahkan Siluman Ular Putih.
Meski demikian Kitab Paguyuban Setan tetap ha-
rus dipelajari. Bagaimanapun juga, ia tak ingin
menelan kekalahan untuk yang kedua kali.
Berpikir sampai di sini, Maling Tanpa
Bayangan segera berkelebat tanpa menghiraukan
Dewa Bogel dan Lamdaur yang terkapar di tanah.
Hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya
yang tinggi kurus telah menghilang di balik kege-
lapan malam.

***

Pagi menjelang.
Kabut tipis masih mewarnai puncak Gu-
nung Sindoro yang hampir semalaman menunjuk-
kan kekuasaannya. Suasana pagi ini benar-benar
lengang. Kicauan burung yang biasanya ramai
menyambut sinar matahari, kini seolah sepi. Larut
dalam suasana duka mencekam.
Dalam kelengangan pagi itu, dua sosok
bayangan tengah berjalan dari timur. Sosok yang
di sebelah kanan tampak tengah menggendong se-
suatu. Sedang sosok di sebelahnya melenggang
santai. Sosok yang menggendong sesuatu itu ter-
nyata seorang pemuda tampan. Tubuhnya tinggi
kekar. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Di dada kirinya tampak raja-
han kecil bergambar seekor ular putih. Pakaiannya

rompi bersisik warna putih keperakan tanpa kanc-
ing. Celananya pun bersisik
Menilik ciri-cirinya, sudah jelas kalau pe-
muda tampan yang memiliki senjata anak panah
terselip di pinggang itu adalah Siluman Ular Putih
yang sedang memondong Bayi Kawak. Sedang ga-
dis di sampingnya yang mengenakan pakaian ber-
warna merah, kuning, dan hijau, seperti pita yang
dikenakannya adalah murid Bayi Kawak. Siapa la-
gi kalau bukan Mawangi alias Putri Manja!
Rupanya, perjalanan mereka kali ini tidak
ditingkahi suara canda tawa. Hal ini makin me-
nambah kelengangan suasana pagi di lereng Gu-
nung Sindoro.
Saking  tidak tahannya mendapati suasana
lengang pagi itu dan ditingkahi sikap cemberut Pu-
tri Manja, lama kelamaan Siluman Ular Putih jadi
tidak tahan. Mulutnya gatal untuk bertegur sapa.
Namun ia malas mengusik ketenangan Putri Man-
ja. Maka untuk melampiaskan rasa dongkol ha-
tinya Siluman Ular Putih terus menggerutu. Entah
untuk siapa ditujukan.
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?! Apa kau tak
bisa diam?!" bentak Putri Manja, galak. 
"Habis dari tadi kau diam saja, sih! Aku kan
tidak betah. Masa' orang jalan berduaan terus
membisu. Memangnya aku patung?!" balas. Soma
menggoda. Mulutnya ditarik ke samping. Makin je-
lek saja tampang murid Eyang Begawan Kama-
setyo kalau sedang begitu.
Putri Manja menggeretakkan gerahamnya
kuat. Kesal sekali hatinya melihat tingkah pemuda

tampan yang diam-diam mulai mengusik hatinya.
Namun karena terdorong kecemasannya akan ke-
selamatan gurunya, Putri Manja makin sengit.
"Tutup mulutmu. Soma! Aku tak senang ka-
lau kau terus bertingkah!" bentaknya.
"Baik-baik! Aku akan tutup mulut. Tapi,
kau jangan marah, ya!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menghentikan
langkah. Mulutnya dikunci rapat-rapat. Ia diam
saja sembari berdiri tegak menghadap ke puncak
Gunung Sindoro. Tentu saja hal ini makin mem-
buat hati Putri Manja jengkel.
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?! Aku menyu-
ruhmu diam, bukan diam seperti patung! Ayo, te-
rus jalan!" bentak si gadis.
"Egh...! Egh...!"
Soma menggeleng-gelengkan kepala, Kedua
tangannya digerak-gerakkan demikian rupa, mirip
orang gagu. 
Habis sudah kesabaran Putri Manja. Tan-
gannya yang sudah gatal rasanya ingin segera me-
nampar pipi Siluman Ular Putih. Namun baru saja
mengangkat tangan, mendadak pendengarannya
yang tajam mendengar erangan halus seseorang. 
"Eh...! Siapakah di situ?" 
Putri Manja celingukan ke sana kemari, tapi
tak menemukan apa-apa. Kecuali, semak belukar
yang meranggas.       
Namun Siluman Ular Putih yang memiliki
pendengaran lebih tajam telah meloncat ke arah
datangnya suara. Sesekali menjejakkan kakinya ke
tanah, tubuhnya telah berdiri di samping semak

belukar yang dicurigai. Dan seketika keningnya ja-
di berkerut-kerut heran.    
"Dewa Bogel...?" desah Soma.
Memang, apa yang dilihat Soma adalah De-
wa Bogel yang pernah mengganggunya kemarin
petang. Lelaki pendek tambun itu tengah tergele-
tak tak berdaya di atas semak belukar. Parasnya
pias. Dari lubang mulut dan lubang hidung tam-
pak darah kering memenuhi parasnya.  
Kalau saja Soma teringat akan tingkah De-
wa Bogel kemarin siang, ingin rasanya membiar-
kan lelaki tua berpusar bodong itu begitu saja.
Namun sebagai seorang pendekar yang memiliki
rasa welas asih, hatinya tak tega melihat keadaan
Dewa Bogel. Maka begitu meletakkan tubuh Bayi
Kawak, Siluman Ular Putih segera memeriksa tu-
buh Dewa Bogel. 
"Soma! Apa yang kau lakukan di situ?" te-
riak Putri Manja yang rupanya masih belum me-
nyadari kalau Soma telah menemukan Dewa Bogel
di tempat itu.
Namun... belum sempat si gadis mengung-
kapkan kekesalannya, mendadak sepasang ma-
tanya yang indah melihat sesosok tubuh lain ter-
kapar di atas tanah rerumputan.
"Soma! Cepat kemari!" pekik Putri Manja,
berteriak-teriak bingung.
Soma yang tengah mengobati luka dalam
Dewa Bogel mana mau menuruti panggilan Putri
Manja. Ia terus saja memeriksa sekaligus mengo-
bati luka dalam lelaki tua tambun itu sebisanya.
"Kau keterlaluan. Soma! Cepat ke sini!"

sungut Putri Manja saking kesalnya.
Tetap saja tak ada jawaban.
Habis sudah kesabaran Putri Manja dibuat-
nya. Sekali menghentakkan kakinya ke tanah, tu-
buh tinggi ramping Putri Manja melompat ke arah
Siluman Ular Putih. Dan.... 
"Kau.... Kau! Ah...! Kenapa kau tak ngo-
mong kalau sedang mengobati seseorang?!" kata
Putri Manja, begitu mendarat di samping Soma.
Putri Manja membantingkan kakinya kesal.
Mulutnya membesengut. Kesal sekali diperlakukan
seperti itu oleh Soma. Lebih kesalnya lagi manaka-
la tetap tidak mempedulikan  pertanyaannya. Pe-
muda itu hanya menggerak-gerakkan tangannya,
mirip orang gagu!
"Soma! Apa-apaan kau ini, he?!" sentak si
gadis.
"Lho? Kenapa kau marah? Tadi kau menyu-
ruhku diam. Dan kau berjanji tidak akan marah.
Tapi, kenapa sekarang uring-uringan seperti ne-
nek-nenek kehilangan sirih?" akhirnya Siluman
Ular Putih membuka suara untuk si gadis.
"Kau.... Kau...! Ah...!"
Sekali lagi Putri Manja membantingkan ka-
kinya kesal. Kalau menurutkan amarah, sudah
pasti akan dikemplangnya kepala murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu. Namun ternyata toh gadis
itu tak melakukannya.
"Di..., di sana juga ada orang tergeletak.
Soma!" tunjuk Putri Manja mengarahkan telunjuk
jarinya ke samping.
"Oh, ya? Sayang sekali aku belum selesai

memeriksa manusia bogel satu ini. Kau sendiri sa-
ja yang memeriksa di sana!" ujar Siluman Ular Pu-
tih.
Putri Manja menyumpah serapah dalam ha-
ti. Marah dan benci bercampur aduk jadi satu. In-
gin rasanya ia tak menggubris perintah Siluman
Ular Putih. Namun entah kenapa tak sanggup. Ji-
wa kependekarannya melarang berbuat demikian.
Apalagi saat itu seseorang tengah membutuhkan
pertolongannya. Maka meski hatinya mengkelap,
akhirnya Putri Manja mau juga menuruti perintah
Siluman Ular Putih.
Sekali lihat saja Putri Manja tahu kalau ka-
kek jangkung yang tak lain Lamdaur itu tengah
menderita luka dalam cukup parah. Tanpa me-
nunggu perintah sekali lagi, segera diperiksanya
tubuh Lamdaur.
Lama juga Siluman Ular Putih dan Putri
Manja memeriksa sekaligus mengobati luka dalam
Dewa Bogel dan Lamdaur. Dan ini membuat hati
kedua anak muda itu jadi heran bukan main. En-
tah kenapa, tubuh kedua kakek itu belum siuman
juga. Padahal mereka sudah berulang kali menya-
lurkan tenaga dalam!
Malah, yang terjadi sebaliknya. Tubuh Lam-
daur dan Dewa Bogel tampak jadi makin kehi-
jauan. Dari paras sampai kuku-kuku jari berwarna
hijau! Jelas sekali kalau kedua orang tokoh sakti
dari Hutan Pring Apus itu telah terkena racun ga-
nas. Di samping itu, ada satu kekuatan gaib yang
menguasai jalan pikiran mereka. Kelihatannya
memang tak mungkin Siluman Ular Putih dan Pu-

tri Manja mampu mengobati kedua kakek itu.
"Payah...! Kukira tua bangka brengsek ini
pun harus dibawa menemui Tabib Agung. Kau
sendiri bagaimana, Putri? Apa dapat menyembuh-
kan luka dalam orang itu?"
Soma memalingkan kepala ke arah Putri
Manja. Dilihatnya gadis manja itu tengah sibuk
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Lamdaur.
Padahal wajah cantiknya telah dipenuhi keringat.
Siluman Ular Putih tahu, Putri Manja pun
tak mampu menyembuhkan luka dalam Lamdaur.
Buktinya begitu mendengar pertanyaannya, Putri
Manja segera mengangkat bahu. Ini jelas membuk-
tikan kalau si gadis benar-benar tak sanggup.
"Mungkin ucapanmu benar, Soma. Terpak-
sa kita harus membawa mereka menemui Tabib
Agung di puncak Gunung Perahu. Aku telah beru-
saha menyembuhkan luka dalamnya, juga beru-
saha mengeluarkan racun hijau yang mengeram
dalam tubuhnya. Namun ya..., tetap saja tak bisa.
Ayo! Sebaiknya mereka segera kita bawa menemui
Tabib Agung!" ujar Putri Manja, akhirnya menyetu-
jui usul Siluman Ular Putih
"Ayo, ya ayo! Tapi bagaimana mungkin aku
harus membawa tubuh ketiga orang ini," sahut
Soma, sedikit kesal.
"Sekarang biar aku yang membawa tubuh
guruku. Kau yang menggendong tubuh kedua
orang kakek itu. Mau, kan?" cetus si gadis.     
"Tentu. Kukira tadi kau akan menyuruhku
kerja borongan. Maksudku menyuruhku memang-
gul ketiga orang tua itu. Tapi ternyata kau punya

sedikit perasaan juga."
"Cerewet! Sudah pasti aku punya perasaan.
Kalau tidak, sudah pasti mulutmu kurobek-robek
saking cerewetnya!"
"Apa?" Soma membeliakkan matanya se-
nang. "Kau ingin menciumku. Tentu. Tentu aku
senang sekali!"
"Cih! Tak tahu malu! Pemuda macam apa
kau ini Soma?! Belum apa-apa sudah minta cium!"
bentak Putri Manja sengit.
"Lho? Siapa yang bilang belum apa-apa?
Jangan begitu, ah. Aku sudah apa-apa dari tadi.
Kalau kau tak percaya, pegang dadaku?" canda
Soma kelewatan.
Putri Manja membesengut berat. Kalau saja
saat itu berdekatan, dijamin tangan mungilnya
akan mendarat di pipi Siluman Ular Putih. Namun
berhubung jarak mereka berjauhan terpaksa Putri
Manja hanya memberengut.
"Sudah-sudah! Jangan memberengut saja!
Nanti pipimu yang kemerah-merahan itu hangus
terbakar!" ujar Soma.
Putri Manja tak menggubris godaan Silu-
man Ular Putih. Hatinya mengkelap sekali. Kemu-
dian saat Soma menyerahkan tubuh Bayi Kawak,
Putri Manja segera menyodok perut Siluman Ular
Putih kesal.
Siluman Ular Putih hanya tertawa. Bisa jadi
hatinya senang diperlakukan begitu oleh Putri
Manja.


4

Sosok hitam Maling Tanpa Bayangan terus
berkelebat cepat menembus kegelapan malam. Tak
dipedulikannya rasa lelah dan penat. Rasanya su-
dah tak sabar lagi hasratnya untuk mempelajari
Kitab Paguyuban Setan. Untuk itu, sengaja ia
kembali ke tempatnya bertapa. Yakni, di sebuah
gua di tepian Sungai Serayu.
Tak kurang dari sehari semalam melakukan
perjalanan, akhirnya sampailah Maling Tanpa
Bayangan di sebuah lereng terjal, seolah memagari
aliran Sungai Serayu yang deras. Keadaan di seki-
tar sungai tampak lengang saja, seperti tak ber-
penghuni. Mungkin dikarenakan banyak ditumbu-
hi semak-semak belukar, hingga orang akan segan
datang ke tempat sunyi itu. Burung di ranting po-
hon seolah malas memperdengarkan kicauannya
yang merdu. Padahal, di sekitar tempat itu cukup
sepi.
Maling Tanpa Bayangan tak mempedulikan
itu semua. Keinginannya untuk mempelajari Kitab
Paguyuban Setan demikian menggebu. Rasanya
tak sabar hatinya untuk segera kembali ke dalam
tempat pertapaannya. Maka sekali menghentakkan
kakinya pada batang pohon yang tumbang, tubuh
jangkungnya pun segera melenting tinggi ke udara.
Begitu kedua kakinya mendarat, tahu-tahu telah
berada di sebuah tanah bererumputan. Tak begitu
luas memang. Lebarnya tak kurang dari dua atau
tiga tombak. Di sekitarnya pun banyak ditumbuhi

semak-semak belukar yang meranggas.
Maling Tanpa Bayangan lantas melangkah
mendekati semak-semak belukar sebelah kiri. Se-
kali singkap, tampaklah sebuah lubang kecil mu-
lut gua. Tak begitu besar, paling pas untuk masuk
satu orang. Tanpa membuang waktu kakinya sege-
ra melangkah. Mula-mula merunduk. Tapi makin
masuk ke dalam perut gua, tempat itu makin lebar
dan membesar sehingga tak perlu lagi merunduk.
Dengan, leluasa kakinya melangkah menuju batu
putih besar, tempatnya biasa bertapa.
Begitu duduk di atas batu putih itu, Maling
Tanpa Bayangan menghela napasnya lega. Kesaba-
rannya yang sudah mencapai ubun-ubun kepala
membuatnya tak sabar. Segera dibukanya Kitab
Paguyuban Setan. Berulang kali Maling Tanpa
Bayangan membolak-balik lembar demi lembar ki-
tab itu. Dan ternyata yang ditemuinya hanya lem-
baran kosong!
Maling Tanpa Bayangan geram bukan main.
Rahangnya mengeras. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak, pertanda merasa dipermainkan. Entah di-
permainkan siapa. Nasibnya barangkali!
"Keparat! Kenapa lembaran-lembaran ini
kosong?!" desisnya, mengkelap.
Hampir saja Maling Tanpa Bayangan mem-
banting Kitab Paguyuban Setan yang sangat di-
idam-idamkan itu ke tanah. Untung saja sepasang
matanya yang mencorong hijau menangkap huruf-
huruf samar di lembar berikutnya. Maka sepasang
mata hijaunya kembali mendadak berbinar. Den-
gan penuh nafsu lembar-lembar terakhir Kitab Pa-

guyuban Setan segera dibaca

Pelajaran terakhir.
Bagi siapa saja yang dapat mempelajari pe-
lajaran akhir ini akan mendapatkan kesaktian luar
biasa. Sebuah kekuatan gaib yang datang dari de-
lapan penjuru mata angin. Di samping itu siapa sa-
ja yang dapat menguasai pelajaran ini tidak akan
mati karena dibunuh!

"Ckckck...!"
Tanpa sadar Maling Tanpa Bayangan berde-
cak kagum. Rasa kecewanya yang semula menjalar
ke dalam lubuk hati, mendadak sirna begitu mem-
baca bagian akhir. Sepasang matanya yang hijau
semakin bersinar-sinar penuh kegembiraan. Di pe-
lupuk matanya terbayang jelas kalau dunia persi-
latan akan berada dalam genggaman tangannya.
Jangankan untuk membunuh Siluman Ular Putih.
Membunuh Eyang Bromo yang jadi tokoh nomor
satu dunia persilatan pun ia merasa sanggup.
Mendapati kenyataan yang membuat ha-
tinya berbunga, Maling Tanpa Bayangan kembali
menelusuri kata demi kata yang terkandung dalam
pelajaran terakhir dalam Kitab Paguyuban Setan.

Syaratnya...
Bila ingin tidak mendapatkan akibat apa
pun, lakukanlah semadi selama empat puluh hari
Jum'at Kliwon di tempat tersembunyi
Bila ingin meringkas, lakukanlah semadi tiga
hari tiga malam menjelang hari Jum'at Kliwon. Bila

gagal akibatnya mati!

Maling Tanpa Bayangan bergidik ngeri. Ha-
tinya kecut membaca tulisan-tulisan terakhir. Ra-
sa takut yang demikian luar biasa tiba-tiba me-
nyentak-nyentak nyalinya. Tanpa sadar tubuhnya
mengeluarkan keringat dingin. Wajahnya pucat
pasi. Sepasang matanya yang hijau membelalak
liar!
"Setan Alas! Kenapa syaratnya demikian be-
rat?!" Maling Tanpa Bayangan menggeram. Batu
putih pipih tempatnya bertapa dicengkeramnya
kuat-kuat hingga kontan hancur. Dan kepingan-
kepingan batu putih di tangan kanan dilempar-
kannya begitu saja.
"Keparat! Apa pun akibatnya, demi membu-
nuh Siluman Ular Putih, juga demi menguasai du-
nia persilatan, tak ada pilihan lain! Aku harus
mempelajari kitab ini!" lolong Maling Tanpa Bayan-
gan seperti kerasukan setan.
Wajah yang tadi pucat pasi kini kemerah-
merahan. Sepasang matanya yang hijau berkilat-
kilat mengerikan. Lalu sepasang mata hijau itu
membaca huruf-huruf terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Ternyata huruf-
huruf terakhir itu hanya berisi beberapa kelema-
han ilmu yang akan dipelajari. 
"Hm.... Biar lebih cepat, aku akan melaku-
kan cara yang kedua! Semadi tiga hari tiga ma-
lam!"
Maling Tanpa Bayangan mengangguk-
angguk mantap. Kini bulat sudah tekadnya untuk

mempelajari pelajaran terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Apa pun akibatnya.  

***

Puncak Gunung Perahu masih berselimut
kabut. Hawa dingin masih membungkus puncak-
nya. Dari ketinggian puncak gunung tampak ca-
haya merah tembaga berpendar-pendar di ufuk ti-
mur, membentuk bulatan samar-samar.
Meski matahari sudah mulai merayap ting-
gi, suasana pagi masih terasa benar. Kabut pagi
masih merayap. Embun bergelayutan di ranting-
ranting pohon, di dahan-dahan, juga di rerumpu-
tan.
Dalam keadaan selimut dingin seperti ini,
tampak sesosok bayangan berpakaian hijau tua te-
rus berkelebat cepat menuju puncak Gunung Pe-
rahu, melewati lereng sebelah timur.
Menilik gerakannya yang ringan laksana
kapas tertiup angin, jelas sosok bayangan berpa-
kaian hijau tua itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi. Buktinya dalam waktu yang ti-
dak lama, sosok berpakaian hijau itu kini telah
berdiri di puncak gunung.
Sambil bertolak pinggang, sosok berpakaian
hijau tua itu sejenak memperhatikan puncak gu-
nung. Menilik perawakan tubuhnya yang tinggi
ramping dan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat
dengan kulit putih bersih, jelas kalau sosok berpa-
kaian hijau tua itu adalah seorang wanita. Usianya
kira-kira tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik

berbentuk bulat telur. Rambutnya digelung ke
atas. Dari tubuhnya yang sintal dibalut pakaian
ketat  warna hijau tua, membuat lekuk-lekuk
payudaranya terlihat jelas.
Siapakah sebenarnya wanita cantik berpa-
kaian hijau tua itu? Mau apa ia menyambangi Ta-
bib Agung yang tinggal di puncak Gunung Perahu
sepagi itu?
Agak aneh kedatangan wanita cantik satu
ini memang. Kelihatannya sehat-sehat saja. Tak
kurang satu apa pun. Lalu kenapa berada di sini?
Akan berobatkah dia? 
Bisa jadi! 
Sosok wanita cantik berpakaian hijau tua
itu kini mulai gelisah. Segenap mata memandang
belum juga menemukan Tabib Agung. Satu-
satunya orang yang mungkin dapat menolong di-
rinya.     
"Tabib Agung! Keluarlah kau! Aku datang
ingin menemuimu!"
Akhirnya, suara merdu namun cukup lan-
tang meluncur dari mulut wanita cantik itu, me-
manggil orang yang dicari. Sekali dua kali berte-
riak, tak ada jawaban. Sehingga, membuat wanita
cantik itu jadi gusar sekali. Ia tidak tahu, di mana
Tabib  Agung bertapa. Yang diketahuinya Tabib
Agung bertapa di puncak Gunung Perahu.
Untuk mengobati rasa penasarannya, tak
ada pilihan lain. Terpaksa wanita cantik itu harus
mengulang teriakannya berulang-ulang. Seperti te-
riakan sebelumnya, tetap saja orang yang dicari
tak didapati.

"Tabib Agung! Keluar kau! Kalau sekali ini
tak sudi menunjukkan batang hidungmu, jangan
salahkan kalau aku mengobrak-abrik puncak Gu-
nung Perahu ini!" teriak wanita cantik itu sarat an-
caman.
"Hei he he...! Ada apa? Dari tadi aku di sini,
kenapa kau berteriak-teriak mirip kerbau mau di-
jagal, he?"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang,
membuat si wanita cantik terkejut bukan main.
Betapa tidak? Ia memiliki kepandaian cukup lu-
mayan, tapi kedatangan orang di belakangnya tak
diketahuinya sama sekali. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh
orang di belakangnya jauh lebih tinggi.
Begitu si wanita berbalik, ternyata orang
yang tengah dicarinya kini tengah asyik duduk
ongkang-ongkang kaki di sebuah bongkahan batu.
Usianya kira-kira enam puluh tahun. Wajahnya ti-
rus. Rambutnya digelung ke atas. Sedang tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut jubah warna kuning.
Dialah Tabib Agung yang sedang dicari si wanita
cantik.
"Keparat! Berani kau mempermainkan aku,
he?! Kenapa tidak menyahut dari tadi?" maki si
wanita
"Ah...! Siapa berani mempermainkanmu?
Dari tadi aku duduk di sini. Kau saja yang tak me-
lihat. Apa barangkali matamu lamur, ya?"
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas tak
mungkin matanya salah lihat. Tadi ia sudah mem-

perhatikan sekitar tempat itu. Tak mungkin tua
bangka itu datang begitu saja!
"Hm...! Rupanya kabar yang tersiar di dunia
persilatan memang benar. Tua bangka ini memiliki
kepandaian tinggi. Pantas saja ia dapat mengecoh-
ku," gumam wanita cantik itu dalam hati.
"Oooi...! Ditanya kok malah bengong! Tuli,
ya?" ledek si kakek renta yang lak lain Tabib
Agung
"Keparat! Jadi kaukah yang bergelar Tabib
Agung?"
" Ya. Kau sendiri siapa? Apakah kau..., yang
bergelar Rondo Kasmaran?" tebak Tabib Agung ji-
tu.
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu ter-
sentak kaget. Sungguh tak disangka kalau Tabib
Agung mengenali julukannya.
"Matamu sungguh tajam, Tabib Agung. Ku-
akui, aku memang Rondo Kasmaran. Tapi, dari
mana kau bisa mengetahui gelarku?" tanya si wa-
nita  yang ternyata Rondo Kasmaran, tak dapat
menyembunyikan rasa penasaran.
Tabib Agung terkekeh senang. Kedua ka-
kinya yang saling bersilangan digoyangkan ke sana
kemari.
"Jelas sekali aku mengenai julukanmu. Bu-
kankah kau orang yang sok jadi pahlawan sewaktu
ada pertemuan para pendekar di puncak Gunung
Kelud? Kau seolah-olah, orang yang paling disega-
ni di Kadipaten Pleret, sewaktu terjadi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Buktinya saja, kau
langsung marah-marah begitu digoda  Raja Penyi-

hir.  Kemudian, kau lari tunggang langgang men-
dahului para pendekar untuk melapor ke kadipa-
ten," sindir Tabib Agung.
"Tua bangka jelek! Jaga mulutmu! Aku pergi
ke Kadipaten Pleret dengan izin Ki Rombeng, ta-
hu?!" bentak Rondo Kasmaran.
"Huh...!" Tabib Agung menjebikkan bibir.
"Enak saja ngomong! Kau bukannya minta izin,
tapi karena ngadat. Lalu kau pergi begitu saja.
Jangan mungkir, ah!"
Rondo Kasmaran kesal bukan main. Kare-
na, memang itulah kenyataannya. Waktu itu ha-
tinya kesal mendapat tanggapan sepele dari para
pendekar. Maka ia pun  memutuskan melapor ke
Kadipaten  Pleret seorang diri. (Untuk mengetahui
kejadian ini, silakan baca dalam episode: "Pengua-
sa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur")
"Kau.... Kau memang keparat, Tua Bangka
Jelek! Beraninya mempermainkanku demikian ru-
pa, he?!" bentak Rondo Kasmaran saking kesalnya.
Kedua telapak tangannya yang mendadak berubah
hijau tua siap dilontarkan ke arah Tabib Agung.
Tapi....
"Sabar! Sabar! Kuharap jangan lekas naik
darah. Tak baik wanita secantikmu marah-marah?
Ada apa sebenarnya kau datang kemari, he? Ten-
tunya tidak akan menantangku bertarung, kan?"
ujar Tabib Agung menyabarkan hati Rondo Kas-
maran.
Mau tidak mau, kedua telapak tangan Ron-
do Kasmaran yang siap dihantamkan ke depan di-
turunkan kembali, begitu mendengar ucapan Ta-

bib Agung yang tidak bermaksud memusuhi.
Meski hatinya mengkelap, jelas tak mungkin nekat
menyerang Tabib Agung. Karena, ia memang se-
dang membutuhkan pertolongannya!
"Benar, aku datang kemari memang bukan
mengajakmu bertarung. Aku..., aku cuma.., ah!"
ragu-ragu Rondo Kasmaran ingin mengucapkan
maksudnya yang sebenarnya. Mendadak semburat
warna merah meronai kedua pipinya
Tabib Agung makin terkekeh senang. Seba-
gai tabib, jelas lelaki ini sudah biasa menghadapi
tamu-tamunya yang akan berobat. Kalau seorang
wanita sampai malu-malu untuk mengutarakan
penyakitnya, jelas itu pasti satu penyakit pribadi.
Dan mungkin hanya orang tertentu yang boleh
mengetahui.
"Apa penyakitmu Rondo Kasmaran? Kenapa
kau malu-malu? Bukankah kau ingin berobat?"
desak Tabib Agung, halus. 
"Iya. Tapi..., tapi penyakitku ini...."
"Sudahlah! Katakan saja kalau kau ingin
sembuh dari penyakitmu," ujar Tabib Agung.
"Baik!" 
Rondo Kasmaran menggigit bibir bawahnya.
Sikapnya saat itu benar-benar lucu. Mirip anak
perawan di malam pertama. Malu-malu kucing!
"Lho? Kok, malah diam? Katanya mau bica-
ra?" desak Tabib Agung lagi.
"Aku..., aku sekarang tak ingat lagi dengan
Kakang Sungkono," sahut Rondo Kasmaran buru-
buru.
Mau tak mau Tabib Agung wajib melongo

heran. "Aneh benar penyakit orang satu ini?"
"Bisakah kau menolongku, Tabib Agung?"
Belum tahu apa penyakit yang diderita
Rondo Kasmaran, sekarang Tabib Agung sudah di-
todong pertanyaan berikutnya. Bagaimana tidak
jadi heran? Tak henti-hentinya lelaki tua ini me-
longo.
"Ah...! Bagaimana aku dapat menolongmu
kalau  belum tahu penyakitmu," tukas Tabib
Agung, sarat keheranan.
''Ya, ampun! Jadi kau ini tabib macam apa,
he?!" bentak Rondo Kasmaran, menukas.
"Eh...!" Tabib Agung menarik mundur  da-
danya ke belakang. "Jangan sembarangan kau
menghina, Rondo Kasmaran! Namaku sudah ter-
kenal di delapan penjuru angin. Penyakit macam
apa pun, pasti dapat kuobati."
"Jadi? Kau dapat menolongku?" 
"Ya, jelas. Tapi..., tapi apa penyakitmu?" bu-
ru-buru Tabib Agung meralat ucapannya.
"Sekarang aku..., aku sepertinya tak men-
cintai Kakang Sungkono lagi," jelas Rondo Kasma-
ran malu-malu sembari menyembunyikan wajah-
nya dalam-dalam. "Kuharap, kau jangan mengata-
kan aku mata keranjang, ya?"
"Ya sudah kalau kau tak mencintai keka-
sihmu itu. Lantas kenapa aku harus mengataimu
mata keranjang?"
"Tapi.... Tapi sekarang aku justru mencintai
orang lain!" jelas Rondo Kasmaran tanpa diminta.
"Itu kan wajar. Kau masih muda. Kau ber-
hak jatuh cinta lagi. Kenapa minta pertolongan

padaku?"
"Tapi aku harus meminta pertolonganmu,
Bib. Karena, pemuda yang kucintai tampaknya tak
membalas cintaku," ungkap Rondo Kasmaran. 
"Bodoh benar pemuda itu. Apa matanya la-
mur? Kau cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan. Kenapa pemuda itu tak membalas cinta mu?
Siapa nama pemuda itu?" tanya Tabib Agung.
"Namanya aku tidak tahu, Bib. Tapi ia ter-
kenal sebagai Siluman Ular Putih," jawab Rondo
Kasmaran malu-malu.
"Apa? Kau mencintai Siluman Ular Putih?
Dasar tolol!" Sentak Tabib Agung.
"Siapa yang tolol. Bib?" Rondo Kasmaran
mendongakkan kepalanya. Berani. Hatinya ter-
singgung sekali mendengar ucapan Tabib Agung,
"Kunyuk gondrong itu!"
"Ooo...!" 
Rondo Kasmaran lega sekali. Tadi disang-
kanya Tabib Agung mengatakan tolol untuknya.
Untung saja hatinya masih berlaku sabar. Kalau
tidak, bukan mustahil bogem mentah sudah men-
darat di wajah Tabib Agung.
"Sekarang aku harus menolong apa?" tanya
Tabib Agung, masih belum mengerti.
Rondo Kasmaran menundukkan kepala da-
lam-dalam. Bibirnya berkemik-kemik. Sulit sekali
rasanya mengutarakan maksud hatinya. Ia hanya
mengeluh berulang-ulang, sebelum akhirnya
membuka suara. Itu pun dengan tersendat-sendat.
"It..., itulah yang meresahkanku. Bib. Tapi
aku yakin, kau pasti dapat menolongku," tuturnya.

Rondo Kasmaran makin dalam saja menun-
dukkan kepala. Keluhan-keluhan kecilnya sesekali
masih terdengar. Kemudian tanpa diminta, ditu-
turkannya pertemuan dengan Siluman Ular Putih.
Dari pertemuan pertama sampai pertemuan beri-
kut di Kadipaten Pleret. Semua diceritakan sejelas-
jelasnya. (Untuk mengetahui pertemuan Rondo
Kasmaran dengan Siluman Ular Putih, silakan ba-
ca dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa
Takhta Leluhur").
Tabib Agung menelan ludah berulang kali.
Lama mendengar cerita Rondo Kasmaran, maka
makin rajin pulalah menelan ludah. Lalu kepa-
lanya menggeleng-geleng sambil terus memperha-
tikan Rondo Kasmaran dengan pandang mata tak
mengerti.
"Bagaimana, Bib? Sekarang kau mau kan
menolongku?" tutur Rondo Kasmaran memelas.
"Ya yaya...! Tentu aku mau menolongmu.
Hanya aku belum tahu, aku mesti berbuat apa?"
"Tolonglah, Bib! Aku.... Aku sangat mencin-
tai Siluman Ular Putih. Usahakanlah agar aku da-
pat memilikinya!" desah Rondo Kasmaran meme-
las.
"Kau kan tahu, aku ini tabib. Jadi kalau
kau meminta pertolongan ini, kukira aku tak
sanggup," sergah Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib. Usahakanlah agar aku da-
pat memiliki Siluman Ular Putih! Tolong aku. Den-
gan cara apa pun, kau harus menolongku. Kau
pasti bisa. Bib!"
"Maksudmu...?" Kening Tabib Agung makin

berkerut-kerut heran. Sama sekali belum tahu,
apa yang diinginkan wanita cantik di hadapannya.
"Maksudnya...," Rondo Kasmaran menelan
ludahnya sebentar. "Maksudku..., kalau perlu beri-
lah aku mantera guna-guna agar Siluman Ular Pu-
tih mencintaiku!"
"Apa?!"

5

Sebelum melakukan semadi, Maling Tanpa
Bayangan diwajibkan mandi jamas terlebih dulu
dengan tubuh dililit kain kafan. Dan di dalam gua
di tepi Sungai Serayu-lah Maling Tanpa Bayangan
mulai bersemadi. Semula, hatinya diliputi keragu-
raguan. Tapi akhirnya tekadnya makin mantap
untuk mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab Paguyuban Setan dengan bersemadi tiga hari
tiga malam. Bila gagal, ancamannya mati!
Malam pertama bersemadi, Maling Tanpa
Bayangan merasakan sekujur tubuhnya panas se-
perti dikepung dalam kubangan bara api. Hal ini
tentu saja membuat darah dalam tubuhnya meng-
gelegak bagai terbakar kekuatan gaib yang entah
dari mana datangnya. Hingga tanpa disadari seku-
jur tubuhnya dipenuhi keringat sebesar biji-biji ja-
gung. Parasnya memerah, seolah melepuh oleh
hawa panas dari dalam tubuh. Untung saja cobaan
itu bisa diatasinya.
Pada malam kedua, pertahanan Maling
Tanpa Bayangan mulai goyah. Sekujur tubuhnya

tetap seperti dibakar api. Sementara telinganya ju-
ga mendengar suara-suara gaib yang datang dari
delapan penjuru angin. Lama kelamaan suara-
suara gaib itu terdengar makin aneh. Bahkan tera-
sa makin menghentak-hentak gendang telinga.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya kuat-kuat.
"Aku harus kuat menghadapi semua cobaan
ini. Aku harus kuat! Kalau tidak, nyawakulah ta-
ruhannya!" tandas hatinya, tak henti.
Paras lelaki ini tampak makin memerah.
Bahkan mendekati gosong saking tidak tahannya
menerima rongrongan hawa panas luar biasa. Di
hari pertama Maling Tanpa Bayangan masih sang-
gup menghadapi rongrongan hawa panas itu. Na-
mun di hari kedua, segenap ketabahannya harus
dikerahkan. Apalagi kini ditambah suara-suara
aneh dari delapan penjuru angin yang tak kalah
hebatnya menyiksa.
Tidak ada kata menyerah dalam kamus hi-
dup Maling Tanpa Bayangan. Meski sekujur tu-
buhnya melepuh, lubang telinga, lubang hidung,
dan dari mulutnya mengeluarkan darah merah
kehitam-hitaman, pendiriannya tak berubah. Lela-
ki ini tidak ingin mati sebelum dapat mempelajari
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Entah mungkin karena nasib baik masih
berpihak pada Maling Tanpa Bayangan, akhirnya
semadi hari kedua dapat dilalui dengan baik. Dan
ketika pagi menjelang tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan sudah terasa lemas tak bertenaga. Masih da-

lam sikap bersemadi, akhirnya tubuh lelaki itu
terkapar di lantai. Sepasang matanya yang menco-
rong tampak demikian mengerikan. Melotot tak
berkedip sedikit pun. Mungkin karena masih me-
rasakan siksaan selama bersemadi semalam.
Maling Tanpa Bayangan saat ini tak lagi
menghiraukan sekujur tubuhnya yang melepuh.
Demikian pula rasa sakit di gendang telinganya
yang pecah akibat suara-suara gaib mengandung
kekuatan luar biasa. Suara-suara gaib itu tak
hanya menusuk-nusuk telinga, tapi juga menu-
suk-nusuk jiwanya. Seolah-olah kekuatan suara
gaib itu ingin membetot keluar nyawanya!
Kini saat-saat tegang masih menunggu di
depan mata. Menghadapi malam ketiga, bisa jadi
nyawa Maling Tanpa Bayangan akan melayang. Di
malam kedua saja, lelaki ini nyaris tidak tahan
menghadapi cobaan. Membayangkan itu semua,
diam-diam Maling Tanpa Bayangan jadi bergidik
ngeri. Sudah jelas, bila tak sanggup, nyawanya
akan melayang!
Inilah taruhannya!
Menghadapi saat-saat yang paling memba-
hayakan bagi keselamatannya, diam-diam hati
Maling Tanpa Bayangan jadi tegang bukan main.
Meski saat-saat tegang itu belum dilalui, namun
sekujur tubuhnya telah dipenuhi keringat dingin.
Parasnya yang kemerahan kini tampak kehijauan,
saking ngerinya membayangkan kejadian nanti
malam.
"Demi iblis! Kuatkanlah hatiku! Aku tak in-
gin mati merana seperti ini," tegasnya dalam hati.

Berulang-ulang Maling Tanpa Bayangan
menguatkan hatinya. Keadaannya saat ini benar-
benar sangat memprihatinkan. Sebenarnya, ter-
bersit pula niat untuk urung mempelajari ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Setan.
Namun berhubung sudah kepalang basah, terpak-
sa tekadnya tetap dibulatkan. Apalagi, ia juga me-
rasa akan mendapat laknat dari iblis-iblis di dela-
pan penjuru mata angin bila niatnya dibatalkan.
Mau tidak mau, akhirnya Maling Tanpa
Bayangan  harus  menunggu sampai saat semadi
berakhir, meski tidak tahu akan nasibnya. Entah
mati merana, entah akan berhasil mendapatkan
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Sekarang hari mulai menjelang petang. Hati
Maling Tanpa Bayangan makin dibaluri ketegan-
gan. Cobaan apa yang akan kuhadapi nanti?
Maling Tanpa Bayangan terus menduga.
Hingga tak terasa malam makin merangkak. Se-
perti yang dialami di malam pertama dan kedua,
begitu malam merangkak, sekujur tubuhnya pun
mulai dibakar hawa panas dari dalam tubuh. Bah-
kan kini jauh lebih hebat dibanding malam-malam
sebelumnya.
Maling Tanpa Bayangan melejang-lejang
hebat. Tubuhnya bergulingan ke sana ke mari,
Sementara gejolak hawa panas dalam tubuhnya
kian membara. Bersamaan itu, suara-suara gaib
yang semalam menghentak-hentak gendang telin-
ganya pun kembali terdengar.
Bukan main dahsyatnya siksaan yang di-

alami Maling Tanpa Bayangan. Keadaan ini terus
dialami sampai jauh malam. Nyaris Maling Tanpa
Bayangan tidak tahan dibuatnya. Sekujur tubuh-
nya terasa perih dan nyeri bukan main.
Untung saja, Maling Tanpa Bayangan tetap
bersikeras tak mau menyerah. Hingga pada tengah
malam, mendadak ia dikejutkan oleh makhluk-
makhluk  aneh berkulit hitam legam entah dari
mana datangnya. Wujud makhluk-makhluk aneh
itu beraneka ragam dan sangat mengerikan. Se-
muanya lengkap di situ. Seolah-olah mereka tum-
pah ruah, mengelilingi Maling Tanpa Bayangan
yang terus bersemadi. 
"Keak! Keakkk!"
Suara-suara riuh rendah makhluk-makhluk
halus itu terus mengusik ketabahan hati Maling
Tanpa Bayangan. Makin lama terdengar aneh dan
menggidikkan. Tanpa sadar, bulu kuduk Maling
Tanpa Bayangan pun berdiri!
Seperti tidak mengenal belas kasihan sedikit
pun, makhluk-makhluk halus itu terus menari-
nari memutari tubuh Maling Tanpa  Bayangan
sambil terus memperdengarkan suara-suara gaib-
nya. Pada saat mereka bergerak memutari tubuh-
nya, Maling Tanpa Bayangan merasakan ada satu
kekuatan gaib yang luar biasa  kuatnya. Seolah-
olah suara itu ingin membetot nyawanya! Bahkan
makin lama tenaga betotan itu terasa makin kuat
luar biasa. 
Maling Tanpa Bayangan menggerung se-
tinggi langit. Siksaan yang diterimanya kali ini be-
nar-benar hebat! Tubuhnya kembali bergulingan

ke sana kemari. Menghantam dinding gua yang sa-
tu, lalu menghantam dinding gua yang lainnya.
Semua dilakukan karena saking tidak tahan men-
galami siksaan itu. Dari semakin pedih dan tidak
tahan menerima siksaan, pandangan matanya jadi
gelap dan gelap....
Entah antara sadar atau tidak, pada saat
pandangan matanya gelap, mendadak Maling Tan-
pa Bayangan mendengar suara dinding-dinding
gua menggemuruh melemparkan bebatuan yang
ada di dalam! Bersamaan itu, terdengar kilat me-
nyambar-nyambar ganas di luar sana. 
Maling Tanpa Bayangan tak peduli apa yang
tengah terjadi. Saat ini nyawanya benar-benar be-
rada di ujung tanduk. Namun pada saat yang pal-
ing genting bagi keselamatannya, mendadak terasa
ada sesuatu menyentuh tubuhnya,
"Bangunlah, wahai anak manusia!" 
Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-
tiba Maling Tanpa Bayangan meloncat bangun.
Begitu kedua bola matanya membuka seketika itu
hatinya terkejut bukan kepalang. Di hadapannya
saat ini telah berdiri sesosok makhluk halus ber-
wajah amat mengerikan. Wajahnya besar. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat mengerikan sebesar
mata kerbau. Namun anehnya, bentuk tubuhnya
amat kecil. Bahkan tulang-tulangnya pun tampak
bertonjolan di sana sini.
Maling Tanpa Bayangan yakin kalau mak-
hluk halus itulah yang tadi membangunkannya.
Kini berhadapan  dengan sesosok makhluk halus
yang tampaknya sangat disegani di kalangan mak-

hluk-makhluk halus lainnya, mau tak mau hati le-
laki ini jadi tegang juga dibuatnya. Dilihatnya pu-
luhan makhluk halus yang sedari tadi menggang-
gu semadinya kini diam terpaku di tempat masing-
masing. Mereka hanya memperhatikan sosok
makhluk di hadapan Maling Tanpa Bayangan pe-
nuh hormat.
"Dengarlah, wahai anak manusia! Sesung-
guhnya mulai saat ini kau telah menjadi sekutuku.
Kau tidak akan mati hanya karena dibunuh. Kau
akan langgeng hidup di dunia. Karena, kau kini
adalah biangnya dari segala biang iblis! Maka, kau
wajib bersyukur menerima karunia kami. Terima-
lah karunia kami!"
Usai berkata begitu, mendadak kedua bola
mata sosok makhluk halus itu mencorong aneh
yang disusul keluarnya dua  larik sinar hitam le-
gam, langsung bersemayam dalam tubuh Maling
Tanpa Bayangan.
Seketika tubuh Maling Tanpa Bayangan ter-
getar hebat. Namun hanya sebentar. Setelah itu,
sekujur tubuhnya terasa ringan sekali laksana ka-
pas. Di samping itu, luka melepuh di sekujur tu-
buhnya pun mendadak sirna. Kini tubuhnya segar
bugar seperti sediakala. Hanya yang sedikit aneh,
entah kenapa kain kafan yang membungkus tu-
buhnya kini menyatu dengan kulit tubuhnya! 
Maling Tanpa Bayangan memperhatikan
keadaan dirinya dengan mata terbelalak. Seolah
tak percaya menghadapi kejadian aneh saat ini.
"Sekarang kau bebas, wahai anak manusia.
Dengan sendirinya dalam Kitab Paguyuban Setan

telah tergambar pukulan-pukulan ampuh. Pelajari-
lah. Dengan pukulan-pukulan itu, kau bebas
mengumbar segala nafsu yang mengeram dalam
tubuhmu. Karena kaulah nafsu itu. Laksanakan,
wahai anak manusia! Laksanakan apa yang men-
jadi keinginanmu!"
Darrr!!
Begitu suara gaib sosok makhluk halus itu
usai, mendadak di luar sana terdengar kilat me-
nyambar ganas. Dinding-dinding gua tempat ber-
semadi Maling Tanpa Bayangan pun bergetar he-
bat!
Maling Tanpa Bayangan tidak tahu, menga-
pa tiba-tiba saja sering terdengar bunyi kilat me-
nyambar. Bumi tempatnya berpijak pun seakan-
akan bergetar hebat!
Selang beberapa saat, baru Maling Tanpa
Bayangan menyadari kalau kilat yang menyambar-
nyambar dan bumi yang bergetar itu adalah isya-
rat bahwa kawanan makhluk halus itu telah me-
ninggalkan tempatnya. Buktinya, begitu suara ki-
lat dan guncangan bumi yang bergetar itu terhenti,
kawanan makhluk halus itu telah lenyap entah ke
mana."
Maling Tanpa Bayangan segera mengambil
Kitab Paguyuban Setan dari balik jubahnya. Kem-
bali dibukanya halaman terakhir kitab itu. Di situ
tergambar jelas, bagaimana menciptakan pukulan-
pukulan dahsyat dalam waktu singkat.
Diam-diam Maling Tanpa Bayangan berso-
rak gembira. Kini ia tak perlu gentar lagi mengha-
dapi Siluman Ular Putih maupun tokoh-tokoh sak-

ti dunia persilatan lainnya. Ia yakin dapat menga-
lahkan mereka semua. Bahkan bukan saja menga-
lahkan, tapi juga ingin membunuh siapa saja yang
berani menentang dirinya. Di samping itu sebe-
narnya ilmu Maling Tanpa Bayangan telah mampu
melebihi kepandaian Pengasuh Setan, karena Pen-
gasuh Setan sendiri belum sempat mempelajari il-
mu terakhir yang terkandung dalam Kitab Pa-
guyuban  Setan. (Untuk lebih jelasnya mengenai
hal ini, silakan baca dalam episode: "Pengasuh Se-
tan").
"Sekaranglah saatnya aku membalas den-
dam...!"

***