Siluman Ular Putih 16 - Pasukan Kumbang Neraka(1)


1

"Bagus, Meruya! Tidak percuma bertahun-
tahun aku memeliharamu. Rupanya kau tahu
budi juga. Kalau tidak, sudah pasti aku tewas di
tangan Siluman Ular Putih."
Keheningan puncak Gunung Sindoro ter-
pecah oleh suara serak seorang kakek tua renta.
Usianya sulit sekali ditaksir. Pakaiannya hitam-
hitam kumal. Wajahnya mengerikan, penuh ber-
cak-bercak hitam.
Sewaktu bicara tadi, bandul kalung ber-
bentuk tengkorak manusia kecil yang menggelan-
tung di depan dada si tua renta ini bergoyang-
goyang. Sementara, angin terus saja memper-
mainkan rambutnya yang putih sebatas bahu.
Kini kakek tua yang tak lain Pengasuh Se-
tan segera membuka kelopak matanya yang amat
cekung. Saking cekungnya, membuat kedua bola
mata itu menjorok ke dalam. Hanya kilatan-
kilatan yang mencorong tajam sajalah tanda ka-
lau dia memiliki mata.
"Kuuukkk! Kuuukkk!"
Berkali-kali burung hantu raksasa yang di-
panggil Meruya mengangguk-angguk sebagai ja-
waban pertanyaan majikannya tadi. Kedua
sayapnya digerak-gerakkan demikian rupa, seolah
ingin mengeluarkan isi hatinya.
"Apa? Kau menginginkan aku menuntut
balas?!" sentak Pengasuh Setan menanggapi sua-
ra burung peliharaannya. "Bodoh! Sudah pasti

aku akan menuntut balas. Siluman Ular Putih
harus mampus di tanganku!"
Burung hantu raksasa berbulu kuning tua
itu sesaat terpekur di tempatnya. Seolah, menger-
ti betul, dengan kata-kata Pengasuh Setan. Kedua
bola matanya bulat besar berwarna hitam pekat
berkilat-kilat mendengar makian majikannya ba-
rusan. Namun, hanya sebentar. Setelah itu Me-
ruya yang memiliki paruh kuat kembali mengang-
guk-angguk.      
"Kuuuk! Kuuukkk!" 
"Sudahlah, Meruya! Jangan banyak cin-
cong. Aku memang patut berterima kasih pada-
mu. Tapi bukan berarti kau harus mengguruiku,
tahu?!" hardik Pengasuh Setan. Dari suara Me-
ruya, lelaki tua ini tahu kalau burung hantu itu
menyebut-nyebut pertolongannya. Dan itu yang
paling tidak disukai Pengasuh Setan.
Burung hantu raksasa itu memang pernah
menyelamatkan Pengasuh Setan dari tangan Si-
luman Ular Putih. Jika tidak ada Meruya, sudah
pasti nyawa si tua ini sudah melayang di tangan
Siluman Ular Putih. Namun sayang, Pengasuh Se-
tan tidak pernah menghormati pertolongan pihak
lain. Ia malah memaki-maki burung peliharaan-
nya. (Untuk mengetahui sepak terjang Pengasuh
Setan dan Meruya, silakan baca, "Pengasuh Se-
tan").
Pengasuh Setan bersungut-sungut, merasa
malas meladeni ocehan burung peliharaannya.
Dan, sekali menghentakkan tangannya ke bawah,
tubuhnya telah membuat salto dua kali di udara,

lalu mendarat di hadapan Meruya. Tubuhnya kini
terasa segar setelah hampir setengah harian ber-
semadi. Luka dalamnya pun berangsur pulih se-
perti sedia kala.
Meruya sempat mengeluarkan pekikan be-
berapa kali sewaktu melihat tangan majikannya
menghentak ke bawah. Dikira, majikannya akan
menyerang dirinya. Karena bukan mustahil, da-
lam keadaan gusar seperti itu, Pengasuh Setan
suka ringan tangan. Malah terkadang dengan
seenaknya burung peliharaannya suka dipukul
tanpa sebab. Maka melihat kegusaran majikan-
nya Meruya telah terbang tinggi ke udara.
Saat Pengasuh Setan memaki-maki, Me-
ruya masih terbang berputar-putar di sekitar ma-
jikannya. Ia tidak berani terbang lebih jauh sebe-
lum diperintah.
"Ikut aku, Meruya!" perintah Pengasuh Se-
tan tiba-tiba.
"Kukkk...!" Disertai pekikan panjang, Me-
ruya segera melesat mendahului majikannya.
Pengasuh Setan tidak mau ketinggalan.
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat tinggi, segera disusulnya Me-
ruya ke suatu tempat.

***

Di puncak Gunung Sindoro sebelah timur,
sebuah padang  luas berpasir menghampar. Ke
mana mata memandang, selalu saja gundukan
pasir yang terlihat. Gundukan pasir yang tertata

halus bak hamparan sutera, menghiasi puncak
gunung.
Bulan bulat penuh di angkasa makin
memperjelas tempat yang dinamakan Segoro Pa-
sir.  Bukan itu saja. Ternyata tempat itu pun di-
warnai suara riuh rendah tanpa wujud. Konon,
suara-suara aneh itu berasal dari makhluk-
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro. 
Benar atau tidak, masih sulit dicari buk-
tinya. Dan konon beberapa orang penduduk kam-
pung di sekitar lereng menamakan padang pasir
itu sebagai Pasar Setan. Betapa tidak? Suara-
suara riuh rendah itu yang amat aneh benar-
benar tak memperlihatkan adanya kegiatan satu
pun di sana. Hanya orang-orang sakti saja yang
tahu, apa yang terjadi di tempat itu.
"Kuuukkk!"
Suara pekikan burung hantu raksasa peli-
haraan Pengasuh Setan terdengar dari kejauhan,
menindih suara-suara gaib di Pasar Setan. Aneh!
Mendadak suara-suara gaib itu berhenti. Keadaan
kini berganti sepi. Hanya sesekali terdengar sua-
ra-suara binatang malam yang mengusik kehe-
ningan malam. Itu pun tidak begitu nyaring.
Mungkin ngeri menyaksikan apa yang akan terja-
di di puncak gunung.
Keadaan sunyi ini kian bertambah, ketika
Pengasuh Setan muncul dari sebelah barat. Mak-
hluk-makhluk halus penghuni puncak Gunung
Sindoro itu kini bagai dirundung duka. Memang,
bertahun-tahun sejak Pengasuh Setan bermukim

di puncak Gunung Sindoro, mereka merasakan
ketakutan luar biasa.
Sebenarnya ini memang suatu kejadian
langka. Bagaimana mungkin makhluk-makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindoro takut
terhadap seseorang? Namun kenyataannya me-
mang demikian. Dengan ilmu yang dipelajari dari
Kitab Paguyuban Setan, ternyata Pengasuh Setan
mampu menguasai makhluk-makhluk halus
penghuni puncak Gunung Sindoro. Meski  sebe-
narnya, kitab itu belum tuntas dipelajarinya.
"Sayang sekali aku belum tuntas mempela-
jari Kitab Paguyuban Setan. Kalau sudah,
hmmmh! Pasti aku dapat membunuh Siluman
Ular Putih! Lagi pula, kemarin aku belum sempat
mengeluarkan aji 'Panglipur Setan'. Aku yakin
dengan aji itu pun Siluman Ular Putih akan tewas
di tanganku," gumam Pengasuh Setan nyaris tak
kentara.
Kini, lelaki tua itu telah berdiri tegak di
atas sebongkah batu besar di tengah-tengah lau-
tan pasir. Sembari bertolak pinggang terus diper-
hatikannya keadaan sekitarnya. Sepasang ma-
tanya betapa mengerikan. Berkilat-kilat seolah-
olah tak kuasa menahan bara dendam dalam da-
da. Dan dendamnya ingin sekali dilampiaskan
saat ini juga, tanpa menunggu selesai mempelaja-
ri ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban
Setan secara tuntas. Hanya saja kali ini ia sangat
membutuhkan bantuan anak-anak asuhnya.
Yakni, makhluk-makhluk halus penghuni puncak
Gunung Sindoro. Dengan begitu ia ingin sekali

membentuk sebuah pasukan tangguh. Pasukan
Kumbang Neraka!
"Wahai anak-anakku penghuni Gunung
Sindoro! Dengarlah! Buka telinga kalian lebar-
lebar! Seperti yang telah kalian ketahui, beberapa
hari lalu aku memang bermaksud membunuh
orang yang telah menewaskan muridku, Penguasa
Alam. Tapi, sayang! Aku dapat dikalahkan oleh
Siluman Ular Putih. Untuk itu, kali ini aku ingin
meminta bantuan kalian. Dan seharusnya kalian
memang harus tunduk dan taat padaku. Kalau
tidak, tahu sendiri akibatnya. Apa di antara ka-
lian ada yang ingin membangkang?" kata Penga-
suh Setan dengan suara nyaring, memenuhi pun-
cak gunung. 
Tak ada jawaban. Hanya saja saat itu kem-
bali suara riuh rendah di puncak Gunung Sindo-
ro. Malah lebih riuh dari semula. Mungkin mere-
ka merasa keberatan dengan permintaan Penga-
suh Setan. Namun, mereka tak berani mengung-
kapkannya. Maka mereka hanya mengeluarkan
suara riuh.
"Bagaimana? Apa kalian keberatan?" lanjut
Pengasuh Setan.
Tetap sama saja. Tak ada jawaban.
"Baik! Pokoknya keberatan atau tidak, ka-
lian harus taat kepadaku. Kalian harus memban-
tuku untuk membunuh Siluman Ular Putih. Juga
tokoh-tokoh dunia persilatan yang bermaksud
merintangi maksudku!" tandas Pengasuh Setan.
Titah penguasa puncak Gunung Sindoro
telah terucap. Tak ada kata lain, kecuali memang

harus dilaksanakan. Walau sebenarnya para
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro merasa keberatan, tetapi mereka tidak ingin ce-
laka di tangan tokoh sesat satu ini.
"Sekarang aku ingin pergi sebentar. Jangan
ke mana-mana! Awas kalau minggat! Jangan diki-
ra aku tak dapat menghukum kalian!" ancam
Pengasuh Setan, penuh tekanan. 
Suara riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro makin ramai. Namun Pengasuh Setan tidak
mempedulikannya. Malah tanpa banyak cakap la-
gi kakinya segera menutul di bongkahan batu. La-
lu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang su-
dah mencapai tingkat tinggi, segera ditinggalkan
tempat itu. Gerakan kedua kakinya ringan sekali.
Bahkan gundukan-gundukan pasir di bawahnya
sedikit pun tidak membekas. Hingga dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok Pengasuh Setan telah
lenyap dalam kegelapan membawa satu niat!

2

Malam makin merayap, menjarah alam
semesta. Dibalut hawa dingin yang menusuk se-
sosok bayangan hitam terus berkelebat ke timur.
Gerakannya ringan laksana terbang. Terkadang
sosok bayangan hitam itu menghilang di kegela-
pan, di antara rapatnya batang pohon. Sebentar
kemudian, sosoknya muncul kembali dari kerapa-
tan pohon di Hutan Krajan. 
Di sebuah hamparan tanah luas berumpu-

tan sosok bayangan hitam itu berhenti, tegak
berdiri. Cahaya bulan terang di angkasa makin
memperjelas, siapa sosok bayangan hitam itu. Dia
adalah  seorang kakek tua berpakaian hitam-
hitam kumal. Parasnya mengerikan. Kedua bola
matanya melesak ke dalam, be-warna merah sa-
ga. Sebuah bandul berbentuk tengkorak manusia
kecil tampak menggelantung di depan dada. Siapa
lagi tokoh satu ini kalau bukan Pengasuh Setan?!
Untuk sesaat Pengasuh Setan tetap diam
tak bergerak. Sepasang matanya mencorong
memperhatikan bangunan gedung yang berada
lima tombak di hadapannya. Dengan sinar mata
mengerikan niat hatinya yang bengis tersirat jelas
dari tarikan senyumnya. Mau apa dia sebenar-
nya? Apa maksud kedatangannya di markas Per-
guruan Telapak Gajah yang dikenal sebagai per-
guruan silat beraliran putih.
Melihat tamu tak diundang datang berdiri
mencurigakan, lima orang penjaga Perguruan Te-
lapak Gajah segera menghampiri dan mengurung
Pengasuh Setan. Pedang di tangan kanan mereka
berkilauan tertimpa sinar bulan dengan tatapan
orang penuh selidik atas kehadiran Pengasuh Se-
tan.
"Siapa kau?! Mau apa datang malam-
malam begini di perguruan kami?!" tegur seorang
murid Perguruan Telapak Gajah, membentak. Si-
kapnya terlihat hati-hati, takut kesalahan tangan.       
Pengasuh Setan mengangguk-angguk. Ra-
hangnya mengeras. Kilatan sepasang matanya te-
rus menjilati kelima orang murid Perguruan Tela-

pak Gajah yang mengurungnya.
"Orang Tua! Sebenarnya apa maksudmu
menyambangi perguruan kami malam-malam be-
gini? Seandainya kau ingin bertemu Guru, me-
nyesal sekali kami tak bisa mengizinkan. Baiknya,
besok saja kau datang kemari. Pasti kami mene-
rimamu baik-baik," timpal salah seorang murid
lainnya, lebih halus. Tak seperti saudara sepergu-
ruannya di sebelahnya yang berwatak kasar.
"Kalian berlima, juga semua yang berada di
perguruan ini, harus ikut aku ke puncak Gunung
Sindoro. Malam ini juga! Cepat panggil teman-
teman kalian lainnya. Semuanya!"
Saat Pengasuh Setan mulai membuka sua-
ra, nada bicaranya sama sekali tidak ramah. Dan
ini sudah diduga murid-murid Perguruan Telapak
Gajah.
"Menyesal sekali kami tak dapat menuruti
permintaanmu, Orang Tua. Kami tak mengenal-
mu. Buat apa harus menuruti permintaanmu?"
tukas murid Perguruan Telapak Gajah yang tadi
berbicara halus.
"Bagus! Aku memang menyukai kekerasan.
Dan aku akan lebih senang kalau harus memaksa
dengan kekerasan."   
"Respati! Buat apa kita bermanis muka
dengan pengacau satu ini! Kalau memang ber-
maksud baik, sudah pasti ia tahu kalau kita tak
mengizinkan. Tapi, tua bangka ini malah memak-
sa kita dengan kekerasan, Ayo, teman-teman! Kita
usir pengacau satu ini!" teriak murid yang berwa-
tak kasar tadi, garang.

"Benar! Kau benar, Kakang. Hayo, kita usir
pengacau satu ini!" sahut murid-murid yang lain
serempak.
"Manusia-manusia bodoh! Apa kalian tidak
tahu tengah berhadapan dengan siapa, he?! Sebe-
lum kalian mengusirku, terlebih dahulu nyawa
kalianlah yang akan kubuat mampus! Hea...!"
Berbareng bentakan keras, tubuh tinggi
kurus Pengasuh Setan telah berkelebat cepat me-
nyerang kelima murid penjaga Perguruan Telapak
Gajah. Saking cepatnya gerakan tangannya,
membuat kelima orang murid penjaga itu hanya
bisa melongo sebelum akhirnya.....
Dukkk! Dukkk!
Crakkk!
Lima kali tangan Pengasuh Setan bergerak,
tahu-tahu sudah meminta korban. Kelima tubuh
orang murid Perguruan Telapak Gajah itu kontan
terjungkal ke tanah tanpa dapat bergerak-gerak
lagi. Dua orang murid dengan kepalanya pecah.
Dua orang dengan perut robek hingga ususnya
terburai keluar.
Sisanya dengan dada berlubang tanpa-
jantung lagi. Mengerikan! Semua kejadian menge-
rikan ini hanya dalam waktu amat singkat saja.
Tanpa ampun, Pengasuh Setan membantai mu-
rid-murid Perguruan Telapak Gajah secara keji.
Pengasuh Setan tertawa bergelak. Sua-
ranya  membahana di angkasa, seolah ingin me-
mamerkan pada Sang Penguasa bahwa dialah
yang terhebat di kolong jagat raya ini!.
"Telapak Gajah! Keluar! Lihat! Apa yang

kulakukan ini!"
Pengasuh Setan bertolak pinggang dengan
tangan kiri. Sementara jantung salah seorang
murid Perguruan Telapak Gajah yang tergenggam
di tangan kanannya diacung-acungkan tinggi ke
udara. Baru saja kata-kata Pengasuh Setan tun-
tas, dari dalam bangunan meluncur satu bayan-
gan yang langsung mendarat di depannya.
"Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini? Apa
yang kau lakukan di tempat ini, Pengasuh Se-
tan?"

***

Pengasuh Setan makin melipatgandakan
tawanya. Sepasang matanya yang mencorong ta-
jam kini tertuju lurus pada sosok bayangan di
hadapannya, seorang lelaki gagah bertubuh tinggi
besar. Tak seperti tubuh manusia kebanyakan,
tingginya hampir mencapai dua tombak! 
Lelaki berbadan kekar itu memiliki otot-
otot bertonjolan. Pakaiannya dari kulit ular. Lela-
ki ini memiliki kaki yang amat besar. Hampir se-
besar batang pohon kelapa. Bukan main! Maka
tak heran kalau dunia persilatan menjulukinya
Telapak Gajah!
Tak lama Telapak Gajah mendarat di luar
bangunan perguruan, dua lusin murid Perguruan
Telapak Gajah telah bermunculan dengan pedang
di tangan kanan. Walau sudah mengurung, mere-
ka belum berani bertindak dan hanya tinggal me-
nunggu perintah. Sekali perintah itu turun, su-

dah pasti mereka akan menyerang si pembuat
onar itu.
"Bagus-bagus! Rupanya kali ini aku tak
perlu susah-susah mencari beberapa orang yang
akan kujadikan pasukanku. Kau dengar, Telapak
Gajah! Aku, ingin menjadikanmu, juga murid-
muridmu, sebuah pasukan. Yah, Pasukan Kum-
bang Neraka!" kata Pengasuh Setan disertai tawa
berderai.
"Bedebah! Di antara kita tak pernah ada si-
lang sengketa! Tapi, mengapa malam ini kau me-
nyatroni perguruanku, Pengasuh Setan?" hardik
Telapak Gajah menahan sabar.
Kalau menurutkan perasaan, ingin rasanya
ketua Perguruan Telapak Gajah segera menerjang
manusia pengacau di hadapannya. Apalagi sete-
lah melirik salah satu mayat muridnya yang da-
danya bolong. Jelas, jantung di tangan Pengasuh
Setan itu adalah milik muridnya yang kini terbu-
jur kaku.
"Jangan banyak berdalih, Telapak Gajah.
Ada sengketa maupun tidak, aku memang ingin
menyatroni perguruanmu. Dan mau atau tidak,
kalian semua harus kubawa ke puncak Gunung
Sindoro!" tegas lelaki tua sesat itu.
"Haram jadah! Siapa sudi menuruti mak-
sud kejimu?! Lagi pula, aku tak akan membiar-
kanmu menebar maut di perguruanku. Hm....
Baiklah. Aku masih sedikit berbaik hati padamu.
Kesalahanmu kumaafkan, asal kau mau memo-
tong sebelah lenganmu. Dan urusan kita berakhir
sampai di sini!"

Telapak Gajah masih bersikap santun. Wa-
lau amarah dalam dada bergelora, namun tetap
berusaha bersikap tenang. Sebagai tokoh persila-
tan, ia cukup tahu siapa Pengasuh Setan yang
merupakan momoknya dunia persilatan. Bukan,
bukannya ia takut menghadapi lelaki berhati iblis
itu. Kalau hanya nyawanya yang melayang, itu
bukan soal. Yang jelas Telapak Gajah justru ten-
gah menghindarkan adanya korban dari murid-
muridnya yang lain. Ia tak ingin nyawa murid-
muridnya terancam.
"Apa?! Kau menyuruhku memotong sebe-
lah lengan?" tukas Pengasuh Setan, terus men-
gumbar tawanya.
"Kau keberatan, Pengasuh Setan?"
"Kau terlalu banyak bacot, Telapak Gajah!
Kau pikir, kau ini siapa, he?! Berani kau menga-
tur Pengasuh Setan?! Apa matamu buta? Lihat
apa yang kupegang ini? Jantung muridmu! Apa
tidak sebaiknya kau menyerah secara baik-baik?"
"Keparat! Kau terlalu merendahkanku,
Pengasuh Setan! Kalau tadi tawaranku kau re-
mehkan, maka kini aku akan menuntut balas
atas tewasnya kelima orang muridku. Juga atas
jantung muridku itu!" dengus Telapak Gajah,
menggeram penuh kemarahan yang menggelegak.
"Bagus! Memang itulah yang kuinginkan!"
sambut Pengasuh Setan seraya membuang jan-
tung murid Perguruan Telapak Gajah seenaknya.
"Sekarang aku ingin memaksa semua yang berada
di tempat ini untuk kubawa ke puncak Gunung
Sindoro! Hea...!"

Dikawal bentakan nyaring, Pengasuh Setan
segera menerjang Telapak Gajah hebat. Tidak
tanggung-tanggung segera dikeluarkannya aji
'Tangkal Petir'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya mendorong ke depan, melesat cepat dua
larik sinar merah menyala ke arah Telapak Gajah.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Murid-
muridku!" teriak Telapak Gajah, memperingatkan
murid-muridnya.
"Tidak, Guru! Tak mungkin kami mening-
galkan  guru seorang diri dalam bahaya!" tolak
seorang murid, gagah.     
Sebenarnya Telapak Gajah ingin menyahut,
namun saat ini serangan aji 'Tangkal Petir' mulai
mendekati sasaran. Maka, tak ada pilihan lain
kecuali harus segera membuang tubuhnya ke
samping. Akibatnya, dua larik sinar merah me-
nyala dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan
terus menerabas ke belakang. Maka tanpa ampun
lagi....
Bukkk! Bukkk! 
Saat itu juga, tubuh beberapa orang murid
Perguruan Telapak Gajah kontan terkena samba-
ran aji 'Tangkal Petir'. Mereka kontan terlempar
jauh ke belakang. Begitu ambruk di tanah tubuh
mereka melejang-lejang sebentar, lalu diam tak
bergerak-gerak lagi dalam keadaan hangus terba-
kar! Mati!
Bukan main marahnya Telapak Gajah me-
lihat hampir selusin muridnya tewas di tangan
Pengasuh Setan hanya dalam satu gebrakan saja.
Sebagai seorang gagah sudah pasti hatinya amat

murka melihat kekejaman yang dilakukan tokoh
sesat itu. Apa lagi, kekejaman itu menimpa diri
murid-muridnya.
"Jangan buang nyawa kalian percuma, Mu-
rid-muridku! Cepat tinggalkan tempat ini!" teriak
Telapak Gajah kalang, cemas juga hatinya.
"Tidak, Guru. Tidak mungkin kami me-
ninggalkan Guru seorang diri dalam bahaya. Biar
pun nyawa taruhannya, kami tetap akan mem-
bantu Guru!" teriak salah seorang murid Telapak
Gajah, membandel.
Penegasan itu membuat hati Telapak Gajah
makin gusar. Namun karena memang tidak ada
pilihan lain, terpaksa pilihan murid-muridnya di-
ikhlaskan. Hatinya yakin, apa yang terjadi telah
diatur oleh Yang Maha Kuasa. Semua ini dilaku-
kan hanya demi menegakkan kebenaran. Demi
memberantas keangkaramurkaan yang merajalela
di muka bumi, walau nyawa taruhannya.
Sementara melihat serangan-serangan
Pengasuh Setan yang diarahkan kepadanya ma-
kin menggila, Telapak Gajah kini mulai balas me-
nyerang. Tak percuma ia dijuluki Telapak Gajah.
Maka segera dikeluarkannya jurus 'Telapak Ga-
jah'. Saling berganti kedua kakinya menghentak
bumi. Seketika bumi berguncang hebat! 
Bummm! Bummm...! 
Setapak demi setapak Telapak Gajah men-
dekati Pengasuh Setan. Satu lusin sisa murid
Perguruan Telapak Gajah turut pula membantu
serangan. Namun ibarat laron bertemu api, tubuh
mereka kontan berhamburan ke samping kanan

kiri terkena tendangan dan tamparan Pengasuh
Setan. Agak aneh memang.  Entah kenapa, kali
ini lelaki sesat itu tidak  menurunkan tangan
mautnya. Meski demikian, tetap saja tubuh kedua
belas murid Telapak Gajah roboh dan tak dapat
bangun lagi. Entah tewas entah pingsan!
"Bajingan! Demi Tuhan aku akan mengadu
nyawa denganmu, Pengasuh Setan!" teriak Tela-
pak Gajah mengguntur.
Habis berteriak, tiba-tiba Telapak Gajah
berkelebat cepat sekali. Tubuhnya yang tinggi be-
sar bergerak-gerak lincah menyerang Pengasuh
Setan. Sampai-sampai, sambaran tendangan ka-
kinya mampu menghasilkan angin berkesiur ken-
cang sekali. Belum lagi totokan-totokan jari-jari
tangannya. Sulit dibayangkan, betapa tubuh ku-
rus kering Pengasuh Setan akan hancur berkep-
ing-keping jika terkena tendangan Telapak Gajah.
Tapi, tunggu dulu! Karena....
Bukkk! Bukkk...!
Memang telak sekali tendangan berantai
Telapak Gajah mendarat di dada Pengasuh Setan.
Namun anehnya, jangankan akan hancur berkep-
ing-keping seperti yang dibayangkan Telapak Ga-
jah. Tubuh Pengasuh Setan bergoyang sedikit pun
tidak. Malah begitu tendangan kaki Telapak Ga-
jah mendarat di tubuhnya, seketika tubuh Penga-
suh Setan memancarkan sinar merah menyala!
"Aughhh...!"
Telapak Gajah meraung setinggi langit. Ti-
ba-tiba sekujur tubuhnya merasakan satu hawa
panas yang bukan kepalang menyerang balik tu-

buhnya lelaki kekar tidak tahan. Tubuhnya yang
masih melayang di udara kontan terbanting keras
dengan kaki melepuh!
Melihat musuhnya terkapar, Pengasuh Se-
tan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Den-
gan sekali meloncat, tahu-tahu kaki kanannya te-
lah menghajar tubuh Telapak Gajah keras sekali.
Desss!
"Aaakh...!"
Telapak Gajah memekik tertahan. Tanpa
ampun, tubuhnya menghantam batang pohon di
samping, begitu terkena tendangan Pengasuh Se-
tan. Lelaki kekar ini coba bangkit. Tangannya
menjulur-julur ke atas, namun sayang tubuhnya
luruh dan tak bergerak-gerak lagi! 
Bukan main gembiranya Pengasuh Setan.
Suara tawanya langsung meledak, menggema
memenuhi Hutan Krajan. Kini apa yang direnca-
nakan telah terlaksana. Tinggal saat-saat terakhir
membentuk Pasukan Kumbang Neraka. Itulah
keinginan gilanya untuk membunuh Siluman
Ular Putih! Atau siapa pun yang menghalanginya
untuk membunuh orang yang telah menewaskan
muridnya, Penguasa Alam!
"Tunggulah pembalasanku, Siluman Ular
Putih! Sebentar lagi pasti kau akan modar di tan-
ganku!"
Kepala Pengasuh Setan mendongak ke
atas. Bulan purnama di angkasa bermuram durja
dengan senyum hambar. Tak ada kegairahan di
sana. Tak ada semangat  di balik sinarnya yang
berkilauan. Petaka apakah ini? 

3

Ketegangan demi ketegangan boleh saja
mewarnai dunia persilatan. Namun tidak untuk
matahari di atas sana. Sang raja siang malah ngo-
tot membanggakan sinar kuning keemasannya,
menerangi apa saja yang ada di muka bumi.
Membuat suasana pagi itu terasa riang, seperti
kegembiraan bocah kecil.
Keadaan ini rupanya tak jauh berbeda
dengan Soma. Dengan berbantalkan akar pohon
di bawahnya, murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu terlihat nyaman sekali dibuai mimpi. Kedua
telapak tangannya ditelangkupkan di depan dada.
Senyumnya tersungging manis di bibir. Sikapnya
sarat dengan ketenangan. Padahal, sebenarnya
tugas berat masih membebani pundaknya setiap
kakinya melangkah.
Di sebelah Soma, seorang gadis cantik se-
sekali mencuri perhatiannya. Gadis itu masih
sangat muda, kira-kira tujuh belas tahun. Ram-
butnya dikuncir dua ke belakang, dihiasi pita be-
raneka warna. Pakaiannya pun juga berwarna-
warna, merah, kuning, dan hijau. Belum lagi dua
anting bundar besar yang menghiasi lubang telin-
ganya. Sementara sikapnya manja meng-
gemaskan.
Melihat ciri-cirinya, gadis manja satu ini
tak lain dari Mawangi yang lebih terkenal dengan
julukan Putri Manja. Memang, sejak Siluman Ular
Putih mengalahkan Pengasuh Setan, Putri Manja

kemudian diizinkan gurunya untuk berpetualang.
Meski hanya diberi kesempatan beberapa pekan,
tapi kesempatan itu tak disia-siakannya. Namun
anehnya kali ini ia senang sekali melakukan per-
jalanan bersama Soma. (Baca dalam episode:
"Pengasuh Setan").
Hal inilah yang sebenarnya membuat hati
Putri Manja heran. Betapa ia kini senang melaku-
kan perjalanan bersama Siluman Ular Putih. Pa-
dahal tadinya ia amat membenci pada murid
Eyang Begawan Kamasetyo. Apakah ini yang di-
namakan cinta?      
Bisa jadi!
Kalau tidak, mana mungkin si gadis betah
bersama Soma. Lebih dari itu, diam-diam Putri
Manja pun makin mengagumi ketampanan Silu-
man Ular Putih. Lantas, apa itu kalau bukan yang
dinamakan cinta? Namun sebagai seorang gadis,
jelas perasaannya tak mungkin diungkapkan ter-
lebih dulu. Maka ia hanya bisa berharap Siluman
Ular Putihlah yang mendahuluinya.     
Tapi sayang, Siluman Ular Putih tampak
angin-anginan. Meski sikapnya baik, namun Putri
Manja ragu kalau Soma juga mencintainya. Inilah
yang sebenarnya mengganggu pikiran murid Bayi
Kawak dari puncak Gunung Merapi.
Putri Manja mengeluh. Sekilas ekor ma-
tanya melirik ke arah Siluman Ular Putih. Pemu-
da itu tampak masih terbuai mimpi. Sederet se-
nyum  manis tersungging di sana. Entah mimpi
apa? Mungkin tengah mimpi indah dikerumuni
puluhan bidadari.

"Soma! Kau ini tidur apa mati, sih?! Hayo,
lekas bangun!" hardik Putri Manja.
Soma tersentak kaget. Mulutnya manyun
berat, karena merasa belum puas menikmati
buaian puluhan bidadari dalam mimpinya. 
"Kau...? Mengapa kau ganggu tidurku?
Aku..., ah! Sayang benar! Bidadari-bidadari cantik
itu kabur. Kau sih!" gerutu Soma kesal, disusul
mulutnya yang menguap lebar. Nikmat sekali ke-
lihatannya.
Putri Manja tak menanggapi kekesalan
Soma. Ia pun wajib membesengut dengan mulut
membentuk kerucut. Bukan saja kesal melihat
sikap Soma, melainkan juga kesal dengan pera-
saan hatinya sendiri.
"Kalau kau mau tidur, teruskan saja! Aku
tak sudi menemanimu di sini!" ancam Mawangi.
Putri Manja meloncat bangun. Daging ke-
linci panggang sisa semalam dilemparkannya be-
gitu saja.
Soma melongo, tidak menyangka kalau Pu-
tri Manja akan jadi gusar seperti itu. Buru-buru
pemuda ini meloncat bangun. Direngkuhnya ba-
hu Putri Manja lembut. 
Terpaksa Putri Manja menahan langkah.
Rengkuhan lembut di bahunya terasa benar me-
nyelusup dalam kalbu. Dan si gadis menikma-
tinya malu-malu. Kepalanya ditekuk dalam-
dalam. Entah ke mana sikap manjanya yang ter-
kadang amat menggemaskan hati Soma.
"Maaf, kalau tadi aku berlaku kasar. Kau
tidak marah, kan?" bujuk Siluman Ular Putih.

Mendengar ucapan si pemuda yang berna-
da lembut, akhirnya runtuh juga kekesalan hati
Putri Manja. Tanpa disadari gelora cinta dalam
dadanya makin berkobar. Dibiarkannya perasaan
hatinya terbuai dalam pelukan Siluman Ular Pu-
tih. Hatinya bernyanyi, walau hanya untuk se-
saat. Putri Manja tidak menyesalinya. Malah ia
menikmati kehangatan yang baru kali ini dirasa-
kan. 
"Kau tampak segar sekali hari ini, Putri.
Tentu kau sudah mandi, bukan?" kata Siluman
Ular Putih seraya memamerkan deretan giginya
yang putih bersih.
Putri Manja tersenyum. Sempat matanya
membalas tatapan Siluman Ular Putih sesaat.
Namun entah kenapa, buru-buru kepalanya dite-
kuk dalam-dalam. Diam-diam senyum manisnya
pun tersungging di sana.
"Sayang sekali daging kelinci panggang itu
tadi kau buang, Tapi, tak apa! Masih ada sepo-
tong paha tersisa. Hayo, kita bagi berdua!"
Siluman Ular Putih menuntun Putri Manja
duduk di tempatnya semula. Di sebelahnya si ga-
dis. Soma membagi paha kelinci panggang. Sepo-
tong diserahkan pada Putri Manja, sepotong lain-
nya untuk dirinya.
"Hayo...! Kenapa jadi malu-malu begini?
Ayo dong, senyum!" bujuk Siluman Ular Putih. 
Putri Manja jadi tambah merah wajahnya.
Dengan senyum malu mulai dinikmatinya daging
kelinci pemberian Soma.
Soma tertawa senang.

Aneh! Suara tawa itu amat ringan. Bahkan
ringan sekali. Tak ada beban sedikit pun dalam
hatinya. Putri Manja pun turut menikmatinya.
Hatinya terus saja bernyanyi merdu.
Siluman Ular Putih terkekeh. Apa yang ha-
rus dilakukannya sekarang? Hatinya tiba-tiba
bertanya. Pemuda ini tergugu sejenak. Mulutnya
melongo, persis orang telat buang hajat.
Kini malah Putri Manja yang kebingungan.
Matanya yang indah mengerjap-ngerjap penuh
keheranan.
"Kau..., kau? Kenapa kau Soma? Jangan
melongo begitu saja, dong? Ada apa?" tanya Putri
Manja. 
"Aku..., aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku
ingin sekali buang hajat. Ada apa, ya? Heran?"
sahut Soma seraya menggeleng-geleng kepala ke-
heranan.
"Ah...! Kau ini ada-ada saja. Tadi dalam
mimpimu kau bilang dikerubuti puluhan bidada-
ri. Kini, kau bilang mau buang hajat. Yang benar,
ah! Kau ini mimpi atau ngigau!" desah Putri Man-
ja. Sebaris senyum manis tersungging di sana. 
Siluman Ular Putih senang sekali menda-
pat perhatian besar dari gadis manja di samping-
nya. Satu kejadian langka sebenarnya memang.
Bagaimana mungkin pemuda gembel macam Si-
luman Ular Putih mendapat anugerah besar se-
perti itu? Cinta Putri Manja! Hm..., bagaimana,
ya? Mungkinkah itu karena sebuah anugerah,
atau justru memang ketampanan  Siluman Ular
Putih?

Mendadak di saat sepasang anak muda itu
tengah asyik masyuk dalam diam, dikejutkan oleh
datangnya suara-suara halus yang entah dari
mana.
Putri Manja sendiri kurang menyadari se-
benarnya. Tapi, tidak dengan Siluman Ular Putih.
Begitu telinganya yang tajam menangkap gera-
kan-gerakan halus, pandangan matanya segera
beredar ke segenap penjuru. Tapi sayang di sana
tidak ditemukannya sebentuk manusia pun.
Aneh, gumam hati Siluman Ular Putih. Ini
suatu kejadian langka. Sikapnya harus waspada.
Sedikit pun tak boleh menyepelekan firasat di te-
linga.
"Pasti di balik semak belukar depan sana,
seseorang tengah memperhatikan aku dan Putri
Manja!" desisnya.
"Ada apa Soma? Kau..., kau seperti melihat
sesuatu?" tanya Putri Manja. Kepalanya dipaling-
kan ke kanan kiri, namun tidak menemukan apa-
apa. Putri Manja jadi makin heran dibuatnya.
"Soma! Ada apa?! Kenapa kau diam saja, Soma!
Cepat katakan!"
Soma masih tetap tenang di tempatnya. Si
pemuda hanya sempat tersenyum manis saat me-
lihat sepasang mata indah Putri Manja berbinar-
binar penuh keheranan. Ia tahu, gadis manja ini
ingin sekali tahu apa yang tengah terjadi. 
"Tidak ada apa-apa," jawab Soma, kalem.
"Tapi...."   
"Sudahlah!" potong Soma. "Sebaiknya se-
karang habiskan saja daging kelinci panggangmu.

Aku juga ingin menghabiskannya, kok. Ayo!"
Putri Manja mengerti. Memang itu satu-
satunya jalan yang terbaik kalau ingin mengeta-
hui apa yang terjadi. Sedikit demi sedikit daging
kelinci panggang semalam dikunyahnya dengan
lahap.
Kendati merasa senang melihat Putri Manja
mau mengerti, namun hatinya tetap saja merasa
risau sekali. Siapa sebenarnya sosok bayangan
yang tengah bersembunyi di balik semak itu?
Orang atau hewan. Inilah yang membuat Soma
penasaran. Sulit sekali rasa penasarannya dile-
nyapkan. Satu-satunya jalan ia harus cepat ber-
tindak. "Hm...!" 
Baru saja Soma bersiap-siap menyergap ke
balik semak, tiba-tiba melompat satu sosok
bayangan ke hadapannya. Dengan gumaman tak
jelas, pemuda itu menatap tajam sosok yang baru
saja mendarat.
Sementara itu, Putri Manja jadi terkesiap.
Jadi inikah yang menyebabkan Soma bersikap
aneh tadi. Hm...! Siapa sosok lelaki berpenampi-
lan aneh ini? Tubuhnya tinggi sekali, hampir
mencapai satu setengah tombak. Sepasang ma-
tanya berkilat-kilat penuh selidik. Seluruh tu-
buhnya tertutup  jubah hitam yang disambung
penutup kepala, berujung lancip.
Wajah lelaki ini bukan saja mengerikan.
Wajahnya yang tirus itu memiliki mata sipit yang
bersinar hijau, seperti mengandung tenaga dalam
dahsyat. Mungkin itulah letak kekuatan tokoh sa-
tu ini? Siapa dia?

"Kaukah yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih?!" tanya sosok berwajah mengerikan itu,
membentak. Sepasang matanya tak berkedip te-
rus memperhatikan Siluman Ular Putih. Pada ba-
gian matanya yang berwarna hijau memancarkan
sinar aneh yang amat mempengaruhi batin murid
Eyang Begawan Kamasetyo ini.
Soma mengeluh. Entah kenapa tubuhnya
tiba-tiba terasa lemas. Mulutnya pun begitu. Tadi
ia ingin sekali berkata dusta. Namun ketika pan-
dang matanya bertumbuk dengan mata hijau tua
bangka di hadapannya, Siluman Ular Putih jadi
bersikap lain.
"I..., iya. Banyak orang yang menyebutku
Siluman Ular Putih. Ada apa? Kenapa kau ber-
tanya begitu?" kata Soma. Sama sekali Siluman
Ular Putih tak berpura-pura tolol, walaupun tetap
saja tampak konyol. Padahal ini tak disengaja.
"Hm...! Bagus! Rupanya ini yang bergelar
Siluman Ular Putih. Benar sekali dugaanku. Ru-
panya kau yang telah membunuh muridku Raja
Maling. Pantas! Sekaranglah saatnya aku menun-
tut balas, Bocah! Bersiap-siaplah menerima ke-
matianmu!"
Langsung merenggang kaki dan menekuk
kedua lututnya. Dilihat dari kuda-kudanya, jelas
kalau lelaki yang secara tidak langsung mengaku
sebagai guru dari Raja Maling itu sudah bersiap-
siap untuk melabrak. Tubuhnya meliuk-liuk ke
kanan kiri. Matanya yang berwarna hijau sebelah
memancarkan hawa membunuh yang amat dah-
syat.

Soma bergidik, ngeri. Namun kesadarannya
segera bangkit. Langsung dikerahkannya kekua-
tan batin untuk mengusir perasaan yang menda-
dak tak menentu itu.
"Putri! Kau lihat apa yang ingin dilakukan
orang satu ini?" tanya Soma pada gadis manja di
sampingnya. Nada suaranya kini ganti meleceh-
kan lelaki tua di hadapannya.
Kening Putri Manja sejenak berkerut.
"Kok bertanya begitu? Sudah pasti orang
satu ini ingin membunuhmu. Soma. Kau ini ba-
gaimana, sih?!" bibir merah Putri Manja membe-
sengut indah, membuat pemuda terpesona.
"Oh...! Jadi, manusia jangkung satu ini in-
gin membunuhku?" Soma melirik guru dari Raja
Maling lewat ekor matanya saja.
Lelaki tua bangka itu geram bukan main.
Belum pernah rasanya ia direndahkan demikian
rupa oleh tokoh sakti dunia persilatan mana pun.
Apalagi hanya oleh seorang bocah kemarin sore.
Disertai gerengan sarat ancaman, selangkah demi
selangkah didekatinya Siluman Ular Putih.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Kau
telah membunuh muridku, maka nyawamulah
tebusannya, Bocah!" 
"Aku tahu. Aku memang yang telah mem-
bunuh Raja Maling. Tapi, aku tidak tahu kalau
Raja Maling adalah muridmu. Jadi, maafkanlah.
Aku tak sengaja membunuhnya. Mungkin Raja
Maling saja yang sudah bosan hidup. Kenapa ia
mesti terjun ke jurang. Tapi ngomong-ngomong,
kaukah yang bergelar Maling Tanpa Bayangan?"

tebak Soma.
Memang sebenarnya jarang sekali Maling
Tanpa Bayang menampakkan diri ke dunia ramai.
Sebelumnya, ia lebih senang menyembunyikan di-
ri di tempatnya. Itu sebabnya, jarang sekali orang
mendengar julukannya. Namun beberapa puluh
tahun silam, beberapa tokoh sakti golongan lurus
sempat mendengar adanya tokoh hitam berjuluk
Maling Tanpa Bayangan. Dialah yang sebenarnya
menjadi guru dari Raja Maling yang pernah dite-
waskan Siluman Ular  Putih. Soma sendiri men-
dengar-julukan itu dari gurunya.
"Bagus! Rupanya nama besarku sampai ju-
ga di telingamu, Bocah!" jawab lelaki tua itu,
sombong.
"Orang satu ini lagaknya congkak sekali,
Soma. Daripada mengganggu pandangan mata,
hajar saja! Aku tak senang melihat tampangnya.
Dan aku juga yakin kalau memedi sawah satu ini
bukanlah orang baik-baik. Lihat saja matanya!
Hi..., ngeri...!" timpal Putri Manja. Putri Manja
langsung menyembunyikan kepalanya dalam pe-
lukan Siluman Ular Putih. Sepasang matanya.
yang indah mengerjap-ngerjap liar sebentar, lalu
kemudian kembali bersembunyi dalam pelukan
Soma.
"Bocah Manis! Kau akan menyesal dengan
ucapanmu tadi! Nanti sehabis kunyuk gondrong
satu ini kubereskan pasti kau akan mendapat gi-
liran. Tunggulah, Bocah Ayu!" desis lelaki yang
memang berjuluk Maling Tanpa Bayangan.
Maling Tanpa Bayangan melangkah setin-

dak demi setindak ke hadapan Siluman Ular Pu-
tih. Kedua telapak tangannya terkepal erat. Pan-
dangan matanya makin menggiriskan.
Soma mendorong pundak Putri Manja lem-
but ke samping. Sayang Putri Manja tak mau
mengerti. Wajahnya langsung merengut dengan
bibir membentuk kerucut. Tapi tak sepatah kata
pun keluar dari kedua bibirnya yang berwarna
merah. Hanya diturutinya kemauan Soma.
"Soma, hati-hati! Aku tak ingin kau babak
belur," cegah Putri Manja khawatir. Nada bica-
ranya amat menggemaskan. Sehingga, mau tidak
mau hal ini sempat mengundang senyum Siluman
Ular Putih.
"Tentu, Putri. Siapa sudi yang ingin babak
belur? Lihat saja. Aku atau tua bangka satu ini
yang babak belur!"
"Jahanam! Kau banyak berlagak, Bocah
Gondrong! Apa kau belum merasakan panasnya
api neraka, heh?!" hardik Maling Tanpa Bayangan
sarat kemarahan.
Maka tanpa banyak cakap lagi Maling Tan-
pa Bayangan segera meloncat ke depan. Kedua te-
lapak tangannya membuat gerakan tipuan dari
samping ke kiri.      
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih dapat mengenali seran-
gan tipuan Maling Tanpa Bayangan dengan mu-
dah. Sekali lihat saja dapat diketahui ke arah
mana serangan ditujukan.
"Aku tahu, kau amat murka sekali padaku,
Maling Kesiangan! Tapi sayang, seranganmu amat

lamban. Kau tak pantas jadi tukang tipu. Sebaik-
nya, bertobat saja sebelum terlambat!" ejek Soma
seraya bergeser ke samping dan meliuk-liukkan
tubuhnya menghindari serangan.     
Maling Tanpa Bayangan menggeram mur-
ka. Serangannya tadi memang hanya sekadar un-
tuk menjajagi lawan. Namun bagaimanapun juga
ia sempat melongo manakala serangannya dapat
dihindari Siluman Ular Putih hanya dengan sedi-
kit menggeser dan meliuk-liukkan tubuhnya ke
samping.
"Heaaah...!" 
 Bahkan tanpa diduga Siluman Ular Putih
memutar tubuhnya dengan kaki menyapu wajah
Maling Tanpa Bayangan.
"Bah! Tak sia-sia rupanya kau bergelar Si-
luman Ular Putih, Bocah! Tapi sayang, nama be-
sarmu hanya akan tertulis di batu nisan. Hari ini
juga kau akan kubuat melayang sampai dasar ne-
raka. Bersiap-siaplah, Bocah! Hea...!"
Sehabis merunduk menghindari serangan,
Maling Tanpa Bayangan mengebutkan jubahnya
sekali. Seketika serangkum angin dingin meluruk
cepat, siap menghajar tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman Ular Putih ternganga kaget. Se-
rangan Maling Tanpa Bayangan ini belum sempat
dihindari. Dan akibatnya angin berkesiur dari ke-
butan jubah yang mampu membuat pohon-pohon
di sekitar tempat pertarungan berderak membuat
Soma oleng ke samping. 
"Hiah!"
Siluman Ular Putih berusaha tegak seperti

semula disertai pengerahan tenaga dalam ke ke-
dua kakinya. Namun sayang, angin kasat mata
dari kebutan jubah Maling Tanpa Bayangan terus
menyerang hebat. Akibatnya, Soma harus berlon-
catan ke sana kemari.
Maling Tanpa Bayangan terkekeh senang
melihat Siluman Ular Putih pontang-panting
menghadapi serangannya. Keadaan ini tentu saja
tak disia-siakannya. Cepat diloloskannya senjata
andalan yang berupa cemeti berekor sembilan. 
"Hiah!"
Melihat musuh mudanya masih kewalahan
menghadapi kebutan jubahnya, Maling Tanpa
Bayangan segera meloncat ke depan. Cemeti be-
rekor sembilan yang telah terpegang di tangan
kanan segera dilecutkan ke arah tubuh Siluman
Ular Putih. 
Ctaaar! Ctaaar...! 
"Sial!"
Bukan main kewalahannya Siluman Ular
Putih menghadapi serangan-serangan Maling
Tanpa Bayangan. Bukan hanya karena serangan-
serangan cemeti, tapi juga gerakan tubuh Maling
Tanpa Bayangan yang cepat luar biasa. Sehingga
benar-benar membuat Siluman Ular Putih mati
kutu. Rupanya, tak percuma tua bangka itu men-
dapat gelar Maling Tanpa Bayangan. Mungkin ka-
rena gerakannya yang cepat luar biasa inilah se-
hingga ia digelari Maling Tanpa Bayangan.
Ctaaar! Ctaaar...!
"Akh...!"
Dua kali cemeti di tangan Maling Tanpa

Bayangan membelah udara, dua kali pula tubuh
Siluman Ular Putih terkena lecutan. Pakaiannya
robek memanjang. Darah segar dari luka tubuh-
nya mulai merembes. Geraham Soma bergemele-
tuk, menahan kesal. 
"Hati-hati, Soma! Jangan terlalu gegabah!
Seranglah dari jarak dekat. Ayo, Soma!" teriak Pu-
tri Manja dari luar tempat pertarungan. 
Saat itu Siluman Ular Putih memang ten-
gah hebat-hebatnya menghadapi gempuran-
gempuran Maling Tanpa Bayangan. Kemana saja
tubuhnya menghindar, selalu saja kilatan cemeti
di tangan lawan selalu mengejar. Kendati begitu
diam-diam pun segera dikerahkannya juru anda-
lan 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Sepuluh jurus setelah mengeluarkan jurus
'Terjangan Maut Ular Putih', perlahan-lahan Soma
mulai dapat mengatasi kecepatan gerak lawan.
Malah beberapa kali patukan-patukan kedua te-
lapak tangannya mengancam tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
Pada jurus kelima belas. Soma membuat
liukan ke kanan. Tubuhnya merendah dengan
tangan kanan mencecar pinggang kiri lawan. 
"Uts!"
Maling Tanpa Bayangan menggeser tubuh-
nya ke kanan, untuk menghindar. Tapi tanpa di-
nyana,  tangan kiri Siluman Ular Putih bergerak
dari atas dengan kecepatan mengagumkan. Se-
hingga....
Desss...!
Satu patukan tangan kiri Siluman Ular Pu-

tih mendadak menghantam dada Maling Tanpa
Bayangan telak sekali hingga memekik nyaring.
Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang.
Bagian dadanya yang terkena hantaman terasa
remuk dan nyeri bukan main.
"Juahhh...! Kau memang hebat, Siluman
Ular Putih. Tapi jangan bangga dulu. Bagaimana-
pun kau tetap masih jauh di bawahku. Jadi lebih
baik bunuh diri saja. Percuma kau melawanku!"
leceh Maling Tanpa Bayangan.
"Percuma tidak percuma, hajar saja. Soma!
Buat apa banyak cincong menghadapi memedi
sawah satu ini!" teriak Putri Manja, menyemanga-
ti. 
"Jangan khawatir Putri! Tidak percuma kau
punya sahabat seganteng ini, kalau tak dapat
menuruti perintahmu!" sambut Siluman Ular Pu-
tih seraya menepuk dadanya bangga. Bukannya
bermaksud sombong, melainkan ingin memanas-
manasi musuhnya.
"Lakukanlah, Soma." 
"Tentu!" 
Paras Maling Tanpa Bayangan sebentar
memerah, sebentar kemudian tampak pucat pasi
mendengar godaan lawan di hadapannya. Setelah
rasa nyeri di dadanya sedikit berkurang, perlahan
lelaki tua ini kembali memutar-mutar cemeti di
tangannya perlahan. Tapi mendadak, gerakan
cemeti itu berubah cepat laksana kilat siap me-
nyambar-nyambar tubuh Siluman Ular Putih.
Sementara telapak tangannya yang telah berubah
jadi kuning siap pula melontarkan pukulan maut.

"Terimalah pukulan 'Kincir Emas'-ku!
Heaaa...!"
Dengan teriakan nyaring, mendadak Mal-
ing Tanpa Bayangan berkelebat cepat sekali. Ce-
meti di tangan kanannya terus melecut udara.
Sementara telapak tangan kirinya didorongkan ke
depan melepas pukulan jarak jauh yang dinama-
kan 'Kincir Emas'!
Ctaaar! Ctaaar...! '    
Wesss!
Seleret sinar kuning keemasan yang diirin-
gi berkesiurnya angin dingin menderu-deru telah
menyambar-nyambar ganas, bersama lecutan-
lecutan cemeti di tangan Maling Tanpa Bayangan.
Kali ini amat terasa kalau Siluman Ular Pu-
tih kewalahan. Gempuran-gempuran Maling Tan-
pa Bayangan laksana air bandang yang tak terta-
hankan, terus mendesak bayangan putih kepera-
kan tubuh Soma. Lebih hebat lagi, saat seleret si-
nar kuning keemasan itu mulai mendekati sasa-
ran mau tidak mau, Siluman Ular Putih harus
bertindak waspada.
Melihat kehebatan serangan ganda Maling
Tanpa Bayangan yang tak henti-hentinya meng-
gempur Siluman Ular Putih, tak urung Putri Man-
ja jadi gusar bukan main. Hatinya merasa ngeri
sekali, membayangkan tubuh Siluman Ular Putih
akan cerai-berai mendapati serangan sehebat itu. 
"Hup! Heaaa...!" 
Dengan satu perhitungan matang, Siluman
Ular Putih mendadak menggulingkan tubuhnya
ke samping. Sebelum tubuhnya menyentuh ta-

nah, kedua tangannya segera menghentak mele-
pas pukulan ‘Inti Bumi’. untuk memapak pukulan
'Kincir Emas' milik Maling Tanpa Bayangan. La-
lu.... 
Blaaammm...!
Bumi kontan bergetar hebat saat kedua
pukulan dahsyat itu beradu di satu titik. Debu-
debu membumbung tinggi ke udara, menutupi
tubuh Siluman Ular Putih dan Maling Tanpa
Bayangan. Namun samar-samar tampak sosok
tubuh Maling Tanpa Bayangan mencelat ke bela-
kang, dan terbanting di luar tempat pertarungan!
Brakkk...!
Tanpa ampun tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan menghantam batang pohon di belakangnya
hingga tumbang. Suaranya berderak sebelum po-
hon itu jatuh berdebam ke tanah.
Siluman Ular Putih yang telah bangkit ber-
diri tersenyum tanpa makna. Ia tak menyangka
akibat pukulan 'Inti Bumi'-nya akan sehebat itu.
Dan pemuda ini sempat melihat paras Maling
Tanpa Bayangan pucat pasi. Darah segar menga-
lir di sela-sela bibirnya. Mulutnya mendesis-desis
penuh kemarahan.
"Kau..., kau? Apa hubunganmu dengan tua
bangka dari Gunung Bucu, he?! Apa kau murid
dari Eyang Begawan Kamasetyo?" desis Maling
Tanpa Bayangan, mengenali jenis pukulan Silu-
man Ular Putih.
Siluman Ular Putih kembali tersenyum
simpul. Sedikit pun tidak ditanggapinya ocehan
Maling Tanpa Bayangan. Ia malah berjalan men-

dekati Putri Manja.
"Apa kubilang, Putri? Aku tidak apa-apa,
kan? Kau harus percaya. Biar begini, aku bisa sa-
ja mengirim nyawa tua bangka itu ke neraka!"
tunjuk Siluman Ular Putih ke arah Maling Tanpa
Bayangan yang masih luruh di tanah.
"Kau hebat. Soma. Aku benar-benar kagum
padamu," puji Putri Manja sarat kekaguman.
"Sudah pasti dong. Kan ada sahabatku
yang cantik ini," balas Siluman Ular Putih seraya
mengerling nakal pada Putri Manja.
Putri Manja tersenyum senang. Rasanya
betah sekali kalau terus berlama-lama meman-
dangi senyum pemuda tampan itu.
"Ah...! Kau bisa saja. Soma!" ujar Putri
Manja malu-malu kucing.
"Ya jelas dong," sahut Siluman Ular Putih
bangga.
"Kau memang hebat, Siluman Ular Putih.
Tapi buka telingamu lebar-lebar, Bocah! Aku be-
lum kalah. Kalau kau sanggup menahan aji 'Sirep
Sukma'-ku, baru aku mengaku kalah," geram
Maling Tanpa Bayangan tiba-tiba sambil bergerak
duduk bersila. Suaranya membahana memendam
amarah menggelegak.
"Aha...? Benarkah?" tukas Siluman Ular
Putih, memalingkan kepala ke arah Maling Tanpa!
Bayangan. "Apa kau masih belum mengaku ka-
lah?"
"Keparat! Aku belum kalah, Bocah. Ber-
siap-siaplah kau menerima aji 'Sirep Sukma'-ku!"
bentak Maling Tanpa Bayangan penuh kemara-

han.
Habis membentak, Maling Tanpa Bayangan
segera memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua
telapak tangannya disedekapkan di depan dada.
Selang beberapa saat, kedua bibirnya bergerak-
gerak seperti membaca mantera-mantera.
Namun Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak gentar menghadapi ajian yang dikeluarkan
Maling Tanpa Bayangan. Sewaktu menghadapi
pemberontakan Pangeran Pemimpin, pendekar
satu ini memang pernah merasakan kehebatan aji
'Sirep Sukma' milik Raja Maling. Dan kini meng-
hadapi aji 'Sirep Sukma' milik Maling Tanpa
Bayangan, segera dikerahkannya kekuatan batin.
Maka begitu merasakan getaran-getaran halus
menyerang batinnya dan saat kedua kelopak ma-
tanya terasa berat terserang kantuk luar biasa,
Siluman Ular Putih tak segan-segan lagi merapal
mantera yang pernah diajarkan Raja Penyihir.
"Ah...!" desah Maling Tanpa Bayangan gu-
sar bukan main. Mendadak parasnya pucat pasi.
Dari getaran-getaran mantera Siluman Ular Putih,
jelas sekali terasa kalau kekuatan aji 'Sirep Suk-
ma'-nya mulai tertindih kekuatan aneh dari man-
tera Siluman Ular Putih.
Maling Tanpa Bayangan mengeluh. Kedua
bibirnya kian berkemik-kemik hebat pertanda
tengah melipatgandakan ajiannya.
"Orang Tua! Aku maklum kalau kau amat
marah padaku, karena muridmu tewas di tangan-
ku. Tapi, ingatlah! Apa kau tak tahu kalau se-
sungguhnya muridmu yang memaksaku untuk

membunuhnya! Ah, aku tak sudi lagi meladehi-
mu," kata Siluman Ular Putih dengan nada suara
bergetar-getar aneh, menyerang jalan pikiran Mal-
ing Tanpa Bayangan.
Karena didesak dorongan aneh maha he-
bat, entah kenapa mendadak Maling Tanpa
Bayangan mengendurkan aji 'Sirep Sukma'-nya.
Kedua telapak tangannya pun tidak lagi bersede-
kap di depan dada, melainkan malah ditumpang-
kan di atas paha. Sedang kelopak matanya mem-
beliak tak karuan. Mungkin sedang mengingat-
ingat, apa yang pernah dilakukan mendiang mu-
ridnya. Namun karena wataknya memang telen-
gas, maka yang terlintas di batok kepalanya ada-
lah bagaimana Raja Maling tewas di tangan Silu-
man Ular Putih. Hal ini tentu saja membuatnya
makin tersulut api dendam.
"Setan alas! Kau...  kau telah membunuh
muridku! Kau harus tewas di tanganku, Bocah!"
bentak Maling Tanpa Bayangan tiba-tiba 
Suaranya mengguntur seolah ingin menin-
dih kekuatan gaib yang keluar dari mulut Silu-
man Ular Putih.
"Ah...! Rupanya kau pun sama saja. Sama-
sama tak mau bertobat. Tapi, sudahlah. Kuberi
peringatan sekali lagi. Kalau kau masih tetap di
jalan kebejatan dan tidak mau mengakhiri silang
sengketa di antara kita, terpaksa aku akan mem-
buat perhitungan padamu. Lekas tinggalkan tem-
pat ini sebelum pikiranku berubah!" bentak Silu-
man Ular Putih, tak kalah garang.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan

gerahamnya penuh kemarahan. Sulit sekali ra-
sanya membayangkan kemarahannya saat itu.
Kedua telapak tangannya pun mengepal-ngepal
penuh kemarahan. Lalu dengan kilatan mata be-
ringas, dari duduk bersilanya Maling Tanpa
Bayangan segera meloncat tinggi ke udara. Dan
begitu kedua telapak kakinya menjejak tanah, so-
sok tubuhnya segera berkelebat meninggalkan
tempat itu.
"Ah...! Benar-benar hebat kau. Soma. Terus
terang aku kagum sekali padamu. Tapi, ngomong-
ngomong bagaimana caranya melumpuhkan aji
'Sirep Sukma' milik tua bangka itu? Kok tiba-tiba
tua bangka itu jadi kaget dengan mata membeliak
liar? Apa yang kau lakukan. Soma?" tanya Putri
Marija sepeninggalnya Maling Tanpa Bayangan.
Siluman Ular Putih tak menyahut, kecuali
mengumbar senyum manis saja.
"Kenapa, Soma? Kau jangan hanya terse-
nyum-senyum saja, dong! Apa yang kau lakukan
tadi?" desak Putri Manja.   
"Aku tidak melakukan apa-apa, kecuali
hanya menyuruh mengingat-ingat tentang kela-
kuan muridnya. Itu saja," sahut Soma enteng.
Putri Manja masgul sekali. Bibirnya mem-
berengut. Gadis ini tak percaya kalau Soma
hanya melakukan seperti yang dikatakannya ba-
rusan.
"Tampaknya kau belum puas dengan jawa-
banku tadi, ya?" tebak Siluman Ular Putih.
"Iya," jawab Putri Manja, lugas.
"Kalau iya, ya sudah. Pokoknya sekarang

tua bangka itu sudah tak mengganggu kita lagi.
Ayo, kita teruskan perjalanan."
"Tapi..., tapi...."
Putri Manja tak dapat meneruskan uca-
pannya saat Siluman Ular Putih berkelebat me-
ninggalkan tempat itu. Dengan hati mendongkol
bukan main, terpaksa segera disusulnya Siluman
Ular Putih. Karena, memang tak ada pilihan lain.

4

Puncak Gunung Sindoro.
Puncak gunung yang kini dirundung duka.
Malam terjaga manakala suara-suara gaib yang
menjarah, membelah angkasa. Kini, alam seolah
mati. Seolah terpedaya oleh suasana aneh yang
amat menyeramkan.        
Dalam kegelapan yang hanya diterangi bu-
lan sabit di angkasa, Pengasuh Setan berkelebat
cepat menuju puncak gunung. Di belakangnya,
hampir lima belas orang murid Perguruan Tela-
pak Gajah yang telah siuman dipaksa oleh Penga-
suh Setan untuk membawa mayat teman-teman
mereka ke puncak Gunung Sindoro. Termasuk,
mayat Telapak Gajah. 
Srak! Srak!
Langkah-langkah kaki murid-murid Pergu-
ruan Telapak Gajah bergerak serabutan mengiku-
ti langkah Pengasuh Setan di depannya. Ketika le-
laki sesat ini berhenti dan berdiri di atas sebong-
kah batu besar untuk beberapa saat, pandang

matanya beredar ke segenap penjuru. Di bela-
kangnya, lima belas murid Perguruan Telapak Ga-
jah ikut berhenti. Sementara itu, suara-suara gaib
yang berasal dari makhluk-makhluk halus peng-
huni puncak Gunung Sindoro makin riuh rendah.
"Diam...!" hardik Pengasuh Setan garang
pada para mahkluk halus asuhannya. Pandangan
matanya bengis memperhatikan keadaan sekitar-
nya.
Aneh bin ajaib. Suara-suara gaib dari para
makhluk halus itu pun sirna tanpa sedikit pun
membangkang. Kasak-kusukpun tidak. Bahkan
binatang-binatang malam pun malas memperden-
garkan suaranya. Inilah salah satu kehebatan
Pengasuh Setan yang mampu memerintah mak-
hluk-makhluk halus itu sesukanya.
"Kalian, murid-murid Perguruan Telapak
Gajah! Mendekatlah! Baringkan mayat teman-
teman kalian di atas pasir!" perintah Pengasuh
Setan pada kelima belas murid Perguruan Tela-
pak Gajah yang masih memondong guru maupun
teman-teman mereka.
Tanpa banyak cakap, kelima belas orang
murid Perguruan Telapak Gajah segera meletak-
kan mayat-mayat itu di gundukan-gundukan pa-
sir. Dalam hati diliputi kengerian luar biasa, na-
mun sedikit pun mereka tak berani melarikan di-
ri. Mereka seperti tersirap oleh kekuatan batin
Pengasuh Setan. Kini, mereka hanya bisa pasrah
dan patuh pada perintah penguasa puncak Gu-
nung Sindoro itu.
"Bagus! Sekarang kalian rebahlah seperti

mayat-mayat itu! Cepat!" perintah Pengasuh Se-
tan lagi, garang.
Kelima belas murid .Perguruan Telapak Ga-
jah kembali menuruti perintah Pengasuh Setan
dengan hati diliputi sejuta tanda tanya. Mereka
tak tahu apa yang akan menimpa. Mereka hanya
tahu kalau Pengasuh Setan ingin membentuk se-
buah pasukan yang diberi nama Pasukan Kum-
bang Neraka. Apakah itu? Inilah yang sebenarnya
membuat hati mereka resah.
Kalau saja mampu, sudah pasti mereka
akan memberontak. Bahkan menyerang Pengasuh
Setan. Tapi sayang, hati kelima belas murid Per-
guruan Telapak Gajah seperti telah membeku. Pe-
rasaan mereka pun seolah mati. Bahkan seperti
tak lagi mengenali satu nama lain.
Kalau saja tahu, sebenarnya hati dan pera-
saan mereka telah dipengaruhi kekuatan gaib
Pengasuh Setan. Dengan menggunakan semacam
aji sirep yang dipelajari dari Kitab Paguyuban Se-
tan, rupanya Pengasuh Setan telah membuat ke-
lima belas murid Perguruan Telapak Gajah itu ja-
di hilang sifat-sifat kemanusiaannya. Hilang inga-
tan dan hilang rasa belas kasihan. Mereka kini
tak ubahnya seperti boneka-boneka hidup!
"Wahai, anak-anakku penghuni puncak
Gunung Sindoro. Seperti kalian ketahui, malam
ini aku ingin sekali membentuk sebuah pasukan
yang akan kuberi nama Pasukan Kumbang Nera-
ka. Di sini aku menyuruh kalian untuk memban-
tuku. Maka, lekaslah tampakkan diri kalian!" ujar
Pengasuh Setan. Suaranya menggema memenuhi

puncak Gunung Sindoro. Meski diucapkan kalem,
namun sebenarnya nada suara Pengasuh Setan
barusan terdengar sarat ancaman. Tentu saja hal
ini membuat makhluk-makhluk penghuni puncak
Gunung Sindoro jadi kian ketakutan. Mereka
yang telah bertahun-tahun tersiksa dalam kung-
kungan Pengasuh Setan tetap saja tak dapat ber-
buat banyak. Mereka hanya dapat menuruti pe-
rintah tanpa banyak membantah.
Begitu suara perintah Pengasuh Setan te-
rucap, seketika suara riuh rendah di puncak gu-
nung kembali terdengar ramai. Lalu dari segala
penjuru muncul sosok-sosok mengerikan. Seba-
gian bertubuh pendek dengan kepala botak dan
perut buncit. Sebagian bertubuh tinggi besar den-
gan kulit hitam legam serta mata mencorong ber-
warna merah saga. Sebagian lain bertubuh kurus
kering bak mayat hidup. Bahkan kemudian ben-
tuk-bentuk aneh lainnya ikut muncul di tempat
ini.
"Bagus! Kalian memang anak-anak asuhku
yang patuh. Sekarang lekas kalian semua masuk
ke dalam jasad orang-orang itu! Lekas!"
Suara riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro itu terdengar makin ramai. Sementara keli-
ma belas orang murid Perguruan Telapak Gajah
yang masih sadar entah kenapa tiba-tiba didera
rasa takut luar biasa. Meski telah kehilangan akal
sehatnya, namun anehnya kali ini mereka semua
dapat merasakan sekaligus melihat sosok-sosok
mengerikan di hadapan mereka.
Untuk bertindak lebih lanjut, tetap saja

mereka tidak mampu. Mereka hanya dapat mem-
belalakkan mata liar saat sosok-sosok mengeri-
kan itu mendadak berubah jadi gulungan-
gulungan asap hitam pekat berputar-putar di
angkasa, sebelum akhirnya masuk ke dalam ja-
sad Telapak Gajah serta ketiga puluh orang mu-
ridnya. Baik yang sudah menjadi mayat, maupun
yang belum. "Keaaakkk...!" Terdengar suara-suara
aneh dari rongga mulut Telapak Gajah dan ketiga
puluh orang muridnya begitu gulungan-gulungan
asap hitam pekat itu telah masuk ke dalam tubuh
masing-masing. Maka seketika itu juga tubuh ke-
tua Perguruan Telapak Gajah dan tubuh ketiga
puluh orang muridnya merangkak bangun. Perla-
han. Amat perlahan!
Paras-paras mereka kini terlihat amat
mengerikan, tak seperti sebelumnya. Kini paras-
paras itu mendadak berubah menjadi pucat se-
perti mayat hidup. Sepasang mata mereka mem-
belalak liar berwarna merah. Saat menyeringai,
terlihat taring-taring panjang mereka yang menge-
rikan.
Bukan main. Entah kejadian apa yang
akan melanda dunia persilatan bila Pengasuh Se-
tan benar-benar ingin melaksanakan nafsu gi-
lanya. Membunuh Siluman Ular Putih, sekaligus
menguasai dunia persilatan! 
Melihat Telapak Gajah berikut ketiga puluh
orang muridnya telah berubah jadi sosok-sosok
mengerikan, Pengasuh Setan tersenyum puas. Se-
jurus kemudian tawanya yang berat meledak,
menggema ke seluruh alam. Seolah ia ingin men-

gabarkan kalau sebentar lagi keangkaramurkaan
akan mengguncang dunia persilatan!
"Meruya! Ke sini kau!" teriak Pengasuh Se-
tan memanggil burung peliharaannya yang dari
tadi hanya terbang berputar-putar di atas puncak
gunung. 
"Kuuukkk...!"
Terdengar sahutan membahana dari ang-
kasa, kemudian disusul meluncurnya titik hitam
kecil ke bawah. Kini di bongkahan batu di samp-
ing Pengasuh Setan telah hinggap burung hantu
raksasa yang tak lain Meruya. 
"Dengar, Meruya! Malam ini juga aku dan
pasukanku akan turun gunung. Kau kuperintah-
kan untuk menjaga puncak Gunung Sindoro dari
jarahan siapa pun juga. Terutama sekali, kau ha-
rus menjaga Kitab Paguyuban Setan yang belum
kupelajari semuanya. Kau paham, Meruya?!" ujar
Pengasuh Setan, penuh tekanan.
"Kuuukkk...! Kuuukkk...!" 
Seolah mengerti, burung hantu raksasa se-
besar kambing itu menggerak-gerakkan kepa-
lanya menyahuti kata-kata Pengasuh Setan. Se-
pasang matanya yang bulat besar berwarna hitam
pekat terlihat amat mengerikan.
"Telapak Gajah! Kau pun kuperintahkan
untuk menemani burung peliharaanku menjaga
puncak Gunung Sindoro ini. Awas, jika sampai
gagal. Kau akan kubuat merana seumur hidup-
mu. Nyawamu akan kubuat gentayangan, sebe-
lum hari akhir menjelang. Kau paham, Telapak
Gajah?" Pengasuh Setan menatap tajam Telapak

Gajah. Dan sebenarnya, kini ketua Perguruan Te-
lapak Gajah kurang tepat kalau dipanggil Telapak
Gajah. Karena, kali ini bukanlah sebagai Telapak
Gajah seperti sebelumnya, melainkan sebagai sa-
lah seorang anak buah Pengasuh Setan!
"Keaaakkk...!"
Telapak Gajah menyahut. Suaranya kali ini
bukan lagi seperti suara manusia kebanyakan,
melainkan  mirip suara gaib penghuni liang ku-
bur.
"Nah! Sekarang laksanakan tugasmu, Tela-
pak Gajah. Lekas ikuti burung peliharaanku!" pe-
rintah Pengasuh Setan, penuh wibawa.
Sementara Meruya sudah menggerak-
gerakkan kepalanya sebentar. Kilatan sepasang
matanya yang mencorong tajam sejenak memper-
hatikan Telapak Gajah seksama. Dan lalu, bu-
rung raksasa peliharaan Pengasuh Setan ini sege-
ra terbang tinggi ke udara.
Tanpa diperintah sekali lagi, Telapak Gajah
pun segera menyusul. Tubuhnya terus berkelebat
cepat ke utara, mengikuti ke arah mana burung
hantu raksasa itu terbang. Sebentar kemudian
sosok bayangan Telapak Gajah menghilang di ba-
lik mulut kawah di puncak Gunung Sindoro.
"Sekarang, kalian semua ikuti aku!" lanjut
Pengasuh Setan.

***

"Kita mau ke mana. Soma?" tanya  Putri
Manja ketika seperti tak peduli Siluman Ular Pu-

tih melangkah pergi meninggalkan tempat perta-
rungannya tadi dengan Maling Tanpa Bayangan.
"Cerewet! Ikuti saja aku!" bentak Soma ka-
sar. Sengaja pemuda itu memang berlaku demi-
kian. Maksudnya untuk meledek gadis manja di
belakangnya.
Putri Manja bersungut-sungut cemberut.
Tapi terus diikutinya langkah Soma.
Soma terus saja tak peduli dan terus berja-
lan seenaknya. Diam-diam ditunggunya sambu-
tan gadis di belakangnya. Hanya karena didorong
ingin meledek saja Soma tetap bersikap angkuh.
"Cih...! Tak tahu malu! Siapa sudi mengi-
kutimu!" sentak Putri Manja tiba-tiba.
Soma melengos. Kaget juga pemuda ini me-
lihat perubahan sikap Putri Manja. Dari sorot ma-
tanya ia tahu, Putri Manja ngadat dengan meng-
hentikan langkahnya. Wajahnya ditekuk, me-
nampakkan ketidaksukaan.
Mau tidak mau Soma menghentikan lang-
kah, namun tetap pada berdirinya. Hanya perha-
tiannya saja yang diam-diam terus mengamati ge-
rak-gerik gadis manja di belakangnya.
Putri Manja tak bergeming sedikit pun.
Soma tersenyum dalam hati. Kena kau, so-
rak hatinya.
"Tak mau, ya sudah!" sungut Soma.
"Heh?! Memalukan! Aku benci padamu!
Seumur hidupku, aku tak sudi berkawan den-
ganmu!" sentak Putri Manja, langsung berbalik
dan melangkah pergi.
"Eh, tunggu!" Soma kaget bukan main. Kali

ini justru pemuda itu yang kalang kabut saat me-
lihat gadis manja itu melangkah lebar meninggal-
kannya.
Soma buru-buru berbalik dan mengejar.
Ketika tangan Soma hendak meraih pundak, den-
gan kasar Putri Manja menepis.
"Lepaskan! Aku tak sudi berkawan den-
ganmu! Aku benci padamu!" teriak Putri Manja,
kalap.
"Putri! Aku tadi hanya main-main. Ayolah
kita teruskan perjalanan! Kenapa kau ngambek
begini?" bujuk Soma habis-habisan. 
Putri Manja berhenti dengan mata membe-
liak.
Soma tersenyum. Malah sebelah  matanya
mengerling nakal. Tapi tiba-tiba tangan Putri
Manja melayang hendak menampar.
Soma terkesiap. Tapi hanya sebentar. Se-
lanjutnya, tangannya bergerak menangkis.      
Plakkk!
Melihat tamparannya gagal Putri Manja
membantingkan kakinya kesal. Matanya sempat
membeliak liar sebelum akhirnya kembali berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. 
"Eh, Putri! Tunggu!" 
Soma terperangah. Si pemuda merasa me-
nyesal telah mempermainkan gadis manja itu.
Namun untuk menyesali sikapnya jelas tak ada
waktu. Tak ada pilihan lain, terpaksa dikejarnya
Putri Manja. "Tunggu aku, Putri! Tungguuu...!" te-
riak Soma kalang kabut.
Putri Manja tak menggubris sama sekali.

Tubuhnya terus berkelebat cepat meninggalkan
Soma. Walau berat, hatinya dipaksakan untuk ti-
dak lagi menemui Siluman Ular Putih.
"Tunggu, Putri! Kau tak boleh meninggal-
kanku!" Soma cepat melenting melewati Putri
Manja, dan kini berdiri tegak di hadapan si gadis.
"Minggir! Aku tak sudi bertemu denganmu
lagi!" bentak Putri Manja seraya menghentikan
kelebatannya.
Mendadak, Putri Manja mendorong tubuh
Siluman Ular Putih, kasar. Soma terjengkang ke
samping, namun buru-buru meloncat bangun.
Langsung dihadangnya jalan Putri Manja kembali.
"Minggir...!" bentak Putri Manja bengis. Ki-
ni tak segan-segan lagi gadis ini mencabut keluar
senjata andalannya yang berupa gunting besar.
Tapi Siluman Ular Putih malah tersenyum.
Kedua tangannya dikembangkan lebar seolah in-
gin menyambut gadis itu dalam pelukannya.
Putri Manja menyorongkan guntingnya ke
leher Siluman Ular Putih. 
"Kalau kau tak mau pergi dari sini kubu-
nuh kau, Soma!" pekik Putri Manja sarat anca-
man.
"Coba saja kalau kau bisa!" tantang Silu-
man Ular Putih, tak bergerak sedikit pun.
"Kau..., kau!" Putri Manja mendelik, gusar.
"Kenapa ragu-ragu? Ayo, bunuh aku!"
Putri Manja menggeretakkan gerahamnya
penuh kemarahan. Padahal sekali tangannya ber-
gerak sudah pasti leher Siluman Ular Putih tang-
gal dari tempatnya. Namun diam-diam gadis ini

tak menginginkan hal itu terjadi. Jelas, ia tak in-
gin Siluman Ular Putih celaka. Yang diinginkan-
nya agar pemuda gendeng satu ini lekas mening-
galkan dirinya. Dan yang membuat hatinya tam-
bah mengkelap, Siluman Ular Putih malah men-
cibirnya. Ini benar-benar tak diampunkan lagi.
Maka tanpa ampun, tiba-tiba tangan si gadis ber-
gerak cepat. Dan.... 
Tukkk! Tukkk!
Dua kali tangan kiri Putri Manja berkelebat
cepat, menotok iga Siluman Ular Putih. Seketika
tubuh Soma kaku tak dapat bergerak. 
"He he he...! Kau malah menotokku, Putri?
Kenapa tak jadi membunuhku? Apa kau ingin
memperkosaku?" celoteh Siluman Ular Putih,
seenak dengkul. Senyumnya pun makin bertam-
bah meriah.
"Kau memang menjengkelkan, Soma! Aku
tak sudi berteman denganmu!"
Putri Manja membantingkan kakinya. Kes-
al. Kilatan kedua bola matanya sempat menyam-
bar Siluman Ular Putih. Begitu garang. Setelah itu
kakinya menjejak tanah, lalu berkelebat cepat
meninggalkan tempat ini.
Siluman Ular Putih terperangah kaget.
Sungguh tak disangka kalau Putri Manja akan
meninggalkan dirinya masih dalam keadaan terto-
tok. Padahal, ia masih ingin melakukan perjala-
nan bersama gadis nyentrik itu.
"Oooi...! Lepaskan totokanku, Putri! Le-
paskan totokanku!" teriak Soma kalang kabut.
Putri Manja tak peduli. Tubuhnya terus

berkelebat cepat meninggalkan Siluman Ular Pu-
tih. Terpaksa Soma hanya dapat mencaci maki.
Dilihatnya sosok tubuh Putri Manja terus berke-
lebat cepat ke timur hingga menghilang di kerim-
bunan hutan depan sana.
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini?
Huh...! Tak seharusnya aku mempermainkannya.
Sekarang semuanya sudah terlambat. Aku harus
melepaskan totokanku lebih dulu kalau ingin
mengejar gadis itu. Tapi... tapi... Ah...! Bagaimana
aku harus melepaskan totokannya?" gerutu Soma
dalam hati.
Berkali-kali Siluman Ular Putih coba men-
gerahkan tenaga dalam untuk melepaskan toto-
kan Putri Manja. Namun hasilnya, tetap sama sa-
ja. Tubuhnya masih kaku tak dapat bergerak.

5

Apa enaknya berdiri tegak dalam keadaan
kaku tertotok? Tentu amat menyiksa. Begini tidak
bisa, begitu tidak bisa. Semua serba susah. Tak
dapat berbuat apa-apa, kecuali menunggu sampai
pengaruh totokan punah.
Begitulah yang dialami Siluman Ular Putih.
Soma yang terkena totokan Putri Manja sampai
hari menjelang malam tetap saja tak dapat me-
munahkan pengaruh totokan. Berkali-kali men-
coba, hasilnya hanya sumpah serapah dari mu-
lutnya.
"Slompret! Tak kusangka totokan gadis

nyentrik itu sangat hebat. Mau tidak mau aku ha-
rus menunggu sampai pengaruh totokan punah.
Daripada kesal tak ketahuan juntrungannya,
mendingan tidur!" umpat Siluman Ular Putih me-
nekan rasa dongkol.
Siluman  Ular  Putih segera memejamkan
matanya. Namun baru saja dua hitungan meme-
jamkan mata, mendadak pendengarannya yang
tajam menangkap langkah-langkah halus mende-
kati tempat ini. Mau tidak mau niatnya tertunda.
Matanya kini dipaksa untuk memperhatikan kea-
daan sekitar. Tapi sayang, kedua bola matanya
hanya bisa bergerak-gerak. Sedikit pun kepalanya
tak dapat digerakkan.
"Seumur hidupku baru kali ini aku melihat
pemuda begini tolol. Huh! Menyebalkan!"
Terdengar suara dari belakang. Ingin ra-
sanya Soma memutar kepalanya, melihat siapa
orang di belakang. Tapi berhubung totokan Putri
Manja masih mempengaruhi jalan darahnya, ter-
paksa hanya bisa mencaci dalam hati. Itu saja
sudah cukup. Sebab dalam keadaan tertotok begi-
tu, alangkah sangat riskan kalau sampai salah
bersikap. Ya, kalau orang di belakangnya dari go-
longan baik-baik. Tapi kalau dari golongan mu-
suh, bukan mustahil nyawanyalah taruhannya!
"Ah...! Bisanya kau berkata begitu, Sobat.
Apa kau juga bisa bertingkah macam-macam ka-
lau kau tertotok begini?" gerutu Soma, akhirnya
tak dapat mengendahkan perasaan.
"Cih...! Tak tahu malu! Bertahun-tahun
aku bertapa, buat apa kalau tak dapat membuka

totokan sendiri!" dengus orang di belakang Silu-
man Ular Putih, gusar. 
"Iya. Buat apa kalau tak dapat membuka
totokan sendiri, lebih baik bunuh diri saja!" sahut
satu suara lain dari belakang.
Siluman Ular Putih menggerutu.
"Hm...! Jadi di belakangku ada dua orang.
Pantas! Apa yang harus kulakukan sekarang?"
tanya Siluman Ular Putih dalam hati.
Kini langkah-langkah di belakang Siluman
Ular Putih berhenti di samping dengan tatapan
menyelidik.     
Siluman Ular Putih memaksakan kedua
bola matanya ke samping. Memang kelihatan
agak lucu. Karena letak dua sosok bayangan di
sampingnya cukup jauh dari pandangan ma-
tanya. Sehingga membuat matanya terasa pegal.
Meski demikian. Soma masih  dapat melihat dua
sosok manusia di sampingnya.
Yang paling dekat dengannya adalah seo-
rang kakek tua kurus dan amat tinggi. Mungkin
bisa mencapai dua setengah tombak. Pakaiannya
ketat warna hijau. Seperti pakaiannya, ternyata
kedua bola mata kakak tua itu berwarna hijau.
Di samping kakek tua yang memiliki tubuh
amat jangkung, berdiri seorang kakek tua. Hanya
saja sosok kakek ini ternyata memiliki tubuh
amat pendek. Tak lebih dari satu tombak. Kepa-
lanya botak dengan tubuh tambun mirip bola
raksasa. Saking tambunnya, membuat pakaian
hijaunya terbuka, menampakkan pusarnya yang
bodong.

Sementara itu sepasang mata Siluman Ular
Putih terasa pegal sudah. Bahkan hatinya pun
merasa tidak enak juga melihat dua sosok kakek
aneh di sampingnya. Perlahan-lahan urat ma-
tanya yang mengencang dikendurkan. Sejenak ia
termangu-mangu. Dalam hati ia bertanya, siapa-
kah sebenarnya dua orang kakek aneh ini?
"Enak saja kalian ngomong! Coba saja ka-
lau kalian sendiri yang tertimpa musibah ini. Aku
tidak yakin kalian dapat melepaskan totokan!"
Soma memanas-manasi.
"Apa kau bilang, Bocah Edan? Kau mele-
cehkan kepandaian Lamdaur dan Dewa Bogel
hah?!" dengus kakek jangkung yang bergelar
Lamdaur jengkel.
Soma mendengus dengan gaya enak sekali.
"Hm... jadi mereka bernama Lamdaur dan Dewa
Bogel," gumamnya. 
"Bocah tak tahu diuntung! Sudah bagus
kami tidak menghajarmu. Eh, malah pakai mele-
dek!" semprot kakek bertubuh pendek tambun
yang berjuluk Dewa Bogel.
"Kalau begitu, tunjukkan saja kehebatan
kalian. Kalau kalian mampu, coba bebaskan toto-
kanku!" pancing Soma. 
"Baik!" sahut Dewa Bogel, rupanya ia kena
terpancing.
"Tunggu!"
Buru-buru Lamdaur mencegah. Kedua te-
lapak tangannya direntangkan ke belakang me-
nahan langkah adik seperguruannya.
"Bocah Gendeng! Ternyata kau punya akal

bulus juga. Apa kau pikir aku dapat dikelabui,
he?! Enak saja memerintah kami melepaskan to-
tokan! Tak usah ya!" ejek Lamdaur.
Siluman Ular Putih tersenyum samar. Me-
mang, itulah yang diinginkan.
"Ya, sudah. Bilang saja kalian tidak becus.
Habis perkara. Pakai banyak dalih segala. Seka-
rang cepat kalian enyah dari hadapanku! Buat
apa menjual lagak di hadapanku kalau mele-
paskan totokan saja tak becus!"
"Aku sanggup, Bocah Edan!" Dewa Bogel
melotot.
"Iya, iya! Tapi, mana buktinya?!" tantang
Siluman Ular Putih. 
"Kau..., kau...!"
Dewa  Bogel kehabisan kata-kata. Kedua
bola matanya yang juga berwarna hijau membela-
lak lebar.
Ingin rasanya ia menghajar Siluman Ular
Putih saat itu. Akan tetapi entah kenapa tak bisa.
Matanya kian membelalak lebar. Hidungnya kem-
bang kempis menahan rasa penasaran.
"Bogel! Tak ada gunanya buang-buang
waktu meladeni ocehan bocah edan satu ini.
Baiknya, mari kita teruskan perjalanan," ajak
Lamdaur pada adik seperguruannya.
"Nah, itu juga bagus! Lekas enyah dari ha-
dapanku!" sambar Soma memanas-manasi.
"Setan! Bocah tak tahu diuntung! Kau me-
mang patut mendapat pelajaran dariku, Bocah
Edan!" teriak Dewa Bogel, langsung melompat ke
depan. Tangan kanannya yang sudah gatal-gatal

segera menampar pipi Siluman Ular Putih dua
kali. 
Plak! Plakkk!
Tanpa bisa dicegah pipi Siluman Ular Putih
terkena tamparan, tubuh Siluman Ular Putih pun
terbanting keras. Kedua pipinya yang terkena
tamparan Dewa Bogel terasa panas bukan main.
Untung saja lelaki tambun itu tidak mengerahkan
tenaga dalam. Karena, bukan mustahil kedua pipi
Siluman Ular Putih itu akan porak-poranda. Bisa
jadi nyawanya pun ikut melayang!
"Bagaimana? Cukup nyaman kan, tampa-
ranku tadi?" leceh Dewa Bogel.   
"Bisa saja kau ngomong, Dewa Bogel! Su-
dah pasti kau dapat merobohkanku. Coba kalau
aku tidak tertotok. Belum tentu kau dapat mero-
bohkanku. Iya kan, Kakek Jangkung?" kata Silu-
man Ular Putih melemparkan pendapatnya pada
Lamdaur.
"Kau memang benar, Bocah," jawab Lam-
daur, polos. 
"Kang...! Kenapa kau malah membela bo-
cah tengil itu? kenapa kau tidak menghajarnya!
Kau pilih kasih, Kang!" sembur Dewa Bogel tiba-
tiba.
Lamdaur kebingungan. Sebentar-sebentar
diperhatikannya adik seperguruannya. Sebentar
pandangan matanya dialihkan pada Siluman Ular
Putih. Meski sebenarnya amat mengagumi pemu-
da itu karena sedikit pun pemuda itu tidak cedera
akibat tamparan Dewa Bogel tadi, namun jelas ia
harus berpihak pada Dewa Bogel, adik sepergu-

ruannya.
"Aku.... Aku tidak pilih kasih, Bogel. Kau
sendiri saja yang salah. Mana mungkin aku ber-
sikap pilih kasih. Kenal pun tidak," kilah Lam-
daur.
"Buktinya?" 
"Bukti apa?"
"Kau tidak ikut menghajar bocah tengil itu.
Itu berarti kau pilih kasih, Kang!"
"Ah...!" desah Lamdaur gelisah.
"Ayo hajar bocah tengil itu, Kang!"
"Tidak, Bogel. Urusan kita masih banyak.
Kukira tak ada gunanya meladeni bocah tolol itu!
Baiknya cepat kita tinggalkan tempat ini!" ajak
Lamdaur.
"Kang...!"
Dewa Bogel tak meneruskan kata-katanya
saat melihat kakak seperguruannya telah berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Dewa Bogel
gusar bukan main.
"Awas, Bocah Tengil! Lain kali aku pasti
akan menghajarmu!" sungut Dewa Bogel. 
Saat itu juga Dewa Bogel segera menjejak-
kan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya melent-
ing tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat menyu-
sul Lamdaur. Sekejap saja sosoknya yang bundar
menghilang di kegelapan malam.
Siluman Ular Putih menggerutu tak ka-
ruan. Bukan saja kesal mendapat tamparan Dewa
Bogel, melainkan juga kesal mendapati tubuhnya
terbanting di kubangan Lumpur
"Sial benar nasibku hari ini! Sudah terto-

tok, masih pula kecebur dalam kubangan lumpur
lagi! Ugh...!" semprot Soma.
Tak henti-hentinya. Siluman Ular Putih
mengomel. Dalam hatinya, ia berjanji akan mem-
balas perlakuan Dewa Bogel tadi.

***

Kalau orang sudah terbakar api dendam,
sudah pasti akan menuntut balas. Apa pun yang
akan terjadi, walau nyawa taruhannya. Namun ini
bukan berarti tanpa perhitungan. Dengan berba-
gai macam upaya niatnya akan dilampiaskan. Ka-
lau perlu dengan kelicikan sekalipun.
Seperti juga yang dialami Maling Tanpa
Bayangan. Walau telah dikalahkan Siluman Ular
Putih dengan mudah, tetap akan menuntut balas
dendam muridnya yang tewas di tangan Siluman
Ular Putih. Bila mana tidak menuntut atas te-
wasnya Raja Maling, ia merasa malu besar. Dunia
persilatan akan mencemoohnya. Dan Maling Tan-
pa Bayangan tak menginginkannya.
Dan Maling Tanpa Bayangan kini berusaha
mencari cara jitu untuk melumpuhkan Siluman
Ular Putih. Dengan cara apakah? Itu yang dipi-
kirkannya.
Kini setelah hampir setengah harian beru-
saha menyembuhkan luka dalamnya akibat per-
tarungan melawan Siluman Ular Putih, Maling
Tanpa Bayangan duduk merenung di bawah rin-
dangnya sebuah pohon. Udara segar siang itu tak
lagi dihiraukan. Demikian juga luka dalamnya

yang belum sembuh benar.
"Tak ada pilihan lain. Aku harus menemu-
kan Kitab Paguyuban Setan. Tak mungkin aku
dapat melampiaskan dendam pada pemuda kepa-
rat itu kalau belum memiliki sekaligus mempela-
jari kitab itu!" tandas Maling Tanpa Bayangan,
dalam hati.
Tapi sebagai seorang tokoh sakti yang
mendapat gelar Maling Tanpa Bayangan, mencuri
kitab sehebat Kitab Paguyuban Setan bukanlah
satu pekerjaan mudah. Di samping tempatnya
cukup sulit, kitab itu pun dijaga makhluk-
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro. Maling Tanpa Bayangan tahu itu. Inilah yang
menjadi kesulitannya.
Seperti sudah menjadi rahasia umum, se-
jak dulu memang tersiar kabar kalau Kitab Pa-
guyuban Setan memang menjadi incaran banyak
tokoh sakti dunia persilatan. Ada kabar kalau ki-
tab itu tersimpan di puncak Gunung Merapi. Tapi
ada pula kalau tersimpan di puncak Gunung Sin-
doro yang dijaga makhluk-makhluk halus. Dan
mereka yang memperebutkannya tak ada yang
tahu secara pasti. Apalagi sudah banyak tempat
yang dicurigai telah dijelajahi, namun belum ada
yang berhasil. Tentu saja, lain persoalannya den-
gan Maling Tanpa Bayangan dan Pengasuh Setan.
Memang hanya dua orang yang mengetahui
keberadaan kitab itu. Maling Tanpa Bayangan
dan Pengasuh Setan. Namun untuk merebut Ki-
tab Paguyuban Setan dari tangan Pengasuh Se-
tan, jelas bukan satu pekerjaan mudah. Kalau ti-

dak, sudah dari dulu Maling Tanpa Bayangan da-
pat menjarahnya.
"Apa pun  yang akan terjadi, aku harus
mencuri Kitab Paguyuban Setan dari tangan Pen-
gasuh Setan. Tak mungkin dendamku yang ber-
karat ini didiamkan begitu saja. Hanya kematian
Siluman Ular Putih sajalah api dendam dalam
dadaku bisa reda!" geram Maling Tanpa Bayangan
penuh kemarahan.
Saking tegangnya, paras Maling Tanpa
Bayangan jadi kian mengerikan. Matanya membe-
lalak liar. Keningnya berkerut-kerut dengan ra-
hang bergemeletakkan.
"Yah...! Kukira sekarang juga aku harus
menyatroni puncak Gunung Sindoro," lanjut Mal-
ing Tanpa Bayangan, tak dapat lagi mengendah-
kan gelegak amarahnya.
Namun baru saja bangkit, mendadak sepa-
sang matanya yang mencorong tajam melihat dua
sosok tubuh telah melenggang ke arahnya. Bah-
kan Maling Tanpa Bayangan segera bersembunyi
di balik pohon yang besarnya tiga kali pelukan
orang dewasa itu.
Sosok sebelah kanan yang terlihat Maling
Tanpa Bayangan adalah seorang lelaki tua bertu-
buh tinggi sekali, hampir mencapai dua setengah
tombak. Sepasang matanya berwarna hijau. Tu-
buhnya yang kurus kerempeng dibalut pakaian
ringkas warna hijau.
Tak seperti sosok di sebelahnya, sosok ka-
kek renta yang satu lagi justru memiliki ukuran
tubuh yang jauh berlawanan. Tubuhnya teramat

pendek, tak lebih dari setengah tombak. Perutnya
buncit dengan pusar moncong ke depan. Kepa-
lanya botak. Matanya juga berwarna hijau. Seki-
las pandang, sosok kakek yang juga berpakaian
hijau tampak seperti bola raksasa yang tengah
menggelinding.
Siapakah dua sosok manusia aneh ini?
Mau apa mereka gentayangan di dunia persila-
tan? Dan mengapa pula Maling Tanpa Bayangan
tampak terperangah kaget melihat dua manusia
aneh itu?
"Hm...! Lamdaur dan Dewa Bogel. Mereka
berdua pasti sedang mencari aku...," gumam Mal-
ing Tanpa Bayangan dalam hati,
Sedikit pun lelaki ini tidak berani membuat
gerakan-gerakan mencurigakan, takut terdengar
oleh dua manusia aneh yang tak lain Lamdaur
dan Dewa Bogel. Bahkan hembusan napasnya
sengaja dibuat sehalus mungkin. 
"Setan! Kalau saja aku tak terluka, sudah
pasti kuhajar dua manusia edan itu. Tapi sayang.
Luka dalamku belum sembuh...," lanjut Maling
Tanpa Bayangan, tetap bersembunyi di balik po-
hon.
"Kang! Kenapa tadi kita tidak bertanya pa-
da bocah edan yang kita tinggal itu?" tanya Dewa
Bogel.
"Bertanya apa? Bocah sinting macam dia,
mana tahu urusan kita?" sahut Lamdaur yang
bertubuh jangkung.       
"Kakang Lamdaur! Jangan suka meremeh-
kan orang! Siapa tahu bocah edan itu pernah me-

lihat Kakang Maling Tanpa Bayangan? Kenapa
tadi kita tidak menanyakannya?." tukas Lamdaur,
tak mau kalah.
"Tadi aku kesal sekali. Tak henti-hentinya
bocah edan itu meledek kita. Siapa yang tidak
kesal?" kilah Dewa Bogel. Lelaki tua tambun ini
jadi kesal, karena Lamdaur sepertinya justru le-
bih memihak Siluman Ular Putih yang tadi mere-
ka tinggalkan.
"Aku jadi heran. Kenapa tiba-tiba kau jadi
tak menyukaiku, Kang? Kenapa kau justru me-
mihak bocah edan itu? Apa benar kau mulai pilih
kasih? Kau mulai tidak menyukaiku...," sungut
Dewa Bogel, akhirnya tak dapat lagi mengendah-
kan perasaannya.
"Ah...! Kau ini ada-ada saja. Mana mungkin
aku pilih kasih. Mana mungkin aku tak menyu-
kaimu. Kau adalah adik seperguruanku. Jadi tak
ada alasan kalau tak menyukaimu. Tapi kalau
kau masih penasaran, ayo balik saja. Kita tanya-
kan apakah bocah edan itu pernah melihat Ka-
kang Maling Tanpa Bayangan atau tidak!"
Saat ini Lamdaur dan  Dewa Bogel telah
melewati pohon tempat Maling Tanpa Bayangan
bersembunyi. Dengan demikian, lelaki yang pan-
dai mencuri itu harus memutari pohon agar tidak
terlihat. Tentu saja dengan pengerahan tenaga da-
lam tinggi, agar tak diketahui Lamdaur dan Dewa
Bogel.
Sementara itu bibir Dewa Bogel tambah
lancip saja saat memberengut begitu. Namun ma-
nakala tangan Lamdaur menyeretnya, Dewa Bogel
menurut saja.
Dan menyadari dua orang yang tengah
mencari dirinya memutar balik, diam-diam. Mal-
ing Tanpa Bayangan menggerutu kesal. Jelas tin-
dakan mereka itu menghambat Maling Tanpa
Bayangan untuk keluar dari tempat persembu-
nyian. Padahal mereka tadi sudah cukup jauh da-
ri tempat Maling Tanpa Bayangan bersembunyi.
Saat kedua kakek itu mulai melewati tem-
pat persembunyiannya, Maling Tanpa Bayangan
bergerak memutar balik agar keberadaannya tak
diketahui. Dan saat mereka telah cukup jauh me-
lewati pohon, buru-buru Maling Tanpa Bayangan
keluar dari tempat persembunyiannya. Sialnya,
tanpa disadari kakinya menginjak ranting kering.
Dan.... 
Krakkk!
"Eh...! Siapa di belakang?"
Dewa Bogel dan Lamdaur memalingkan
kepala ke belakang.
Maling Tanpa Bayangan menggerutu kesal.
Tubuhnya yang telanjur keluar dari tempat per-
sembunyian tentu saja tak dapat berkelit lagi dari
mata Lamdaur dan Dewa Bogel. Tak ada pilihan
lain, Maling Tanpa Bayangan segera berkelebat
cepat meninggalkan tempat itu.
"Eh..., itu dia! Maling Tanpa Bayangan!"
tunjuk Dewa Bogel pada Maling Tanpa Bayangan.
"Kejar!" teriak Lamdaur pula.
Tanpa banyak membuang waktu, Dewa
Bogel dan  Lamdaur segera menjejakkan kakinya
ke tanah. Tubuh mereka berkelebat cepat, menge-

jar Maling Tanpa Bayangan. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok Lamdaur dan Dewa
Bogel telah jauh dari tempat semula.
Tapi sayangnya, sosok Maling Tanpa
Bayangan sendiri pun juga telah berkelebat jauh
di depan. Meski luka dalamnya belum sembuh
benar, namun tak percuma mendapat gelar Mal-
ing Tanpa Bayangan. Gerakan kedua kakinya ce-
pat luar biasa. Hingga dalam beberapa kelebatan
saja, sosoknya telah menghilang di balik rimbun-
nya hutan depan sana.
Dewa Bogel dan Lamdaur tak putus asa.
Mana mungkin mereka melepaskan orang yang
sedang dicarinya begitu saja. Meski sudah ter-
tinggal cukup jauh, mereka terus mengejar hingga
masuk ke dalam hutan.
Sesampainya di dalam hutan, mendadak
Dewa Bogel dan Lamdaur kehilangan buruan.
Bak ditelan bumi, sosok Maling Tanpa Bayangan
tak ditemukan di sekitar tempat itu. Mau tidak
mau, mereka harus menghentikan langkah.
"Setan Alas! Tak kusangka kakak sepergu-
ruan kita dapat lari secepat itu. Tak heran kalau
ia digelari Maling Tanpa Bayangan!" gerutu Dewa
Bogel pada Lamdaur. Diam-diam hatinya menga-
gumi ilmu meringankan tubuh Maling Tanpa
Bayangan yang ternyata kakak seperguruan me-
reka berdua.
"Meski kepandaiannya tinggi, tetap saja
maling. Kau tak pantas mengagumi maling. Ia ha-
rus segera kita bawa ke makam guru untuk
mempertanggungjawabkan sepak terjangnya di

dunia persilatan!" tukas Lamdaur, tak senang.
"Siapa yang mengagumi. Aku tak menga-
gumi maling! Bagaimanapun juga aku tetap akan
meringkus bajingan satu itu!" tukas Dewa Bogel
sengit.
"Ya, sudah! Kukira kau mengaguminya,"
ujar Lamdaur. "Ayo, kita kejar dia! Aku yakin Ka-
kang Maling Tanpa Bayangan belum terlalu jauh
meninggalkan kita. Pasti masih berada di sekitar
tempat ini!"
"Baik."