Siluman Ular Putih 15 - Pengasuh Setan(1)


1

Puncak Gunung Sindoro.
Malam berkabut. Langit kelam hanya dite-
rangi cahaya bulan sepotong. Angin dingin ber-
hembus berusaha mengusir kabut pekat yang
menyelimuti puncak gunung penuh teka-teki ini.
Tak terasa malam makin menikam jauh. En-
tah kenapa suara binatang-binatang malam di
puncak Gunung Sindoro terdengar makin riuh
dan saling sambut. Itu pun masih ditingkahi oleh
riuh rendah yang datangnya dari lautan pasir di
puncak gunung. Makin lama suara itu makin ra-
mai, tak ubahnya seperti sebuah pasar. Namun
anehnya, ternyata di puncak Gunung Sindoro tak
ada keramaian apa-apa, kecuali kabut yang terus
berarak-arakan.
Suara-suara apakah itu sesungguhnya?
Sulit untuk dapat dijawab. Dan itu memang
sebuah rahasia gaib yang sampai sekarang belum
juga terpecahkan. Menurut cerita dari mulut ke
mulut penduduk kampung yang tinggal tak jauh
dari Gunung Sindoro, suara-suara aneh itu ada-
lah para dedemit atau hantu penjaga yang sedang
berpesta pora di puncak gunung. Namun ada juga
satu kepercayaan kalau di puncak Gunung Sin-
doro memang terdapat sebuah pasar. Pasar Se-
tan!
Benarkah?
Sebelum kesimpangsiuran itu terjawab....
"Kuuukkk...!"

Sebuah suara dahsyat dan mengerikan men-
dadak menjegal.
Keriuhan itu pun terhenti seketika. Yang ada
hanya suasana lengang seperti dicekam kenge-
rian. Bulan sepotong di angkasa pun merinding
seolah tak berani menatap mayapada pekat.
Semua diam terpaku. Semua diam membisu.
Seekor burung hantu besar berwarna kuning
tua diam terpekur di atas bongkahan batu besar.
Sepasang matanya yang besar berwarna hitam
nyalang memperhatikan keadaan sekitar, seolah
ingin menunjukkan pada alam mayapada bahwa
malam ini adalah miliknya.
"Kuuukkk...!" 
Dengan suara yang ingin membelah angka-
sa, burung hantu raksasa sebesar kambing itu
meloncat dari terbang membubung tinggi. Kedua
sayapnya yang besar bergerak-gerak gemulai
mengitari puncak Gunung Sindoro. Tubuhnya te-
rus melesat cepat ke tengah puncak gunung,
membentuk sebuah bayangan hitam di antara
pancaran redup sang rembulan.
"Kuuuukkk...!!!"
Sejenak burung hantu raksasa itu berputar-
putar di atas kawah mati puncak Gunung Sindo-
ro. Sepasang matanya yang besar nyalang terus
menyorot ke dalam kawah. Terutama sekali pada
sosok hitam yang tengah duduk bersila di pinggi-
ran kawah.
Seperti mendapati apa yang diinginkannya,
sang burung meluncur turun ke arah sosok hitam
itu. Pelan tanpa suara, kakinya mendarat di paha

kanan sosok yang ternyata seorang lelaki tua ren-
ta. Sulit sekali menaksir usia si kakek. Yang jelas,
rambut si kakek berpakaian jubah hitam ini telah
memutih. Demikian pula alis dan bulu matanya.
Wajahnya mengerikan. Sepasang matanya yang
cekung ke dalam terpejam rapat-rapat. Kedua bi-
birnya berwarna hitam. Kulitnya pun berwarna
hitam legam. Di kedua pergelangan tangannya
melingkar dua gelang akar bahar. Sebuah kalung
berbandul tengkorak manusia berukuran kecil
menggelantung dileher.     
"Kuuukkk...!!!"
Burung hantu raksasa itu mematuk-
matukkan patuknya yang berwarna kuning ke
paha si tua yang tengah khusuk bersemadi ini.
"Ada apa, Meruya? Kenapa kau memban-
gunkan semadiku?" tegur lelaki tua itu kasar, be-
gitu membuka matanya perlahan-lahan. 
Burung hantu raksasa yang dipanggil Me-
ruya meloncat ke tanah. Lalu paruhnya dipatuk-
patukkan ke tanah, seolah-olah sedang mengata-
kan sesuatu.
"Kau ingin mengatakan sesuatu, Meruya?"
tanya lelaki tua ini.
Burung hantu raksasa itu kembali mema-
tuk-matukkan kepalanya ke tanah disertai suara
mendekur berkali-kali dan gerakan badan.
"Apa? Kau bilang muridku si Penguasa Alam
tewas?" lonjak si tua renta ini kaget. "Siapa yang
membunuh muridku, Meruya?"
Meruya menggerak-gerakkan kepalanya ke
kanan kiri.

"Apa? Kau tidak tahu?! Bodoh! Dasar burung
sialan. Kau tak pantas menjadi peliharaan si Pen-
gasuh Setan! Kau akan mendapat hukuman nan-
ti!"
Lelaki tua yang menyebut dirinya Pengasuh
Setan itu kecewa bukan main. Namun tampaknya
ia masih dapat menyimpan kekesalan hatinya.
Meski demikian perasaan gelisahnya tetap tidak
dapat disembunyikan. Mendadak kepalanya men-
dongak ke atas.
Memang, Pengasuh Setan adalah seorang to-
koh sesat yang jarang sekali menampakkan diri di
dunia ramai. Di samping itu kesaktiannya pun
nyaris tak tertandingi. Maka tak heran bila dia di-
anggap sebagai momok dunia persilatan dengan
julukan yang cukup seram.
Dan entah mengapa sebagai tokoh sakti Pen-
gasuh Setan bisa gelisah sedemikian rupa. Malah
kini sepasang matanya terus memperhatikan bu-
lan sepotong di atasnya. Beringas!
"Burung goblok! Sekali ini kau salah. Aku ti-
dak akan mengampunimu! Kau akan kubunuh
saat ini juga! Sekarang, katakan! Apakah malam
ini adalah malam Jumat Kliwon yang keempat pu-
luh?" maki Pengasuh Setan, makin kalap. Kata-
katanya sarat dengan ancaman. Kilatan sepasang
matanya yang mencorong tajam menandakan ka-
lau ancamannya tidak main-main.
Meruya mengangguk-angguk, membuat Pen-
gasuh Setan kali ini merasa lega. Kilatan sepa-
sang matanya yang mencorong perlahan-lahan
meredup.

"Hm...! Sekarang legalah sudah hatiku. Den-
gan berakhirnya semadiku ini, berarti aku telah
dapat mengendalikan semua setan-setan peliha-
raanku. Bahkan aku dapat pula memanggil mere-
ka untuk membantuku dalam menguasai dunia
persilatan!"" gumam Pengasuh Setan dalam hati.
Senyumnya terkembang. Amat mengerikan.
"Kuuukkk! Kuuuukkk...!!!"
Burung hantu raksasa bernama Meruya
mengkukuk berkali-kali. Kepalanya dan kedua
sayapnya digerakkan ke sana kemari, seolah-olah
ingin mengatakan sesuatu pada Pengasuh Setan.
"Hm...! Kau mau bilang apa lagi, Meruya?
Oh...! Jadi kau sempat melihat jalannya perta-
rungan antara muridku dengan si pembunuh
itu?" tebak Pengasuh Setan gembira.
Meruya menggerak-gerakkan kepalanya ke
kanan kiri.
"Bukan! Jadi apa yang kau lihat, Meruya?
Oh...! Kau hanya mendengar jeritan kematian
muridku. Lalu, kau terbang berputar-putar di
puncak Gunung Kembang sewaktu melihat seo-
rang pemuda berlari turun. Ya ya ya...! Aku men-
gerti kalau kau tak berani membangunkan tapa-
ku sebelum waktunya. Dan kau menunggu hing-
ga malam Jumat Kliwon yang keempat puluh ini.
Tapi, siapa yang membunuh muridku, Meruya?"
cecar Pengasuh Setan melengking pada akhir ka-
limat.
Burung hantu raksasa itu gelisah bukan
main. Sebentar-sebentar kepalanya ke sana ke-
mari digerakkan.

"Kau tidak tahu? Kau hanya mengatakan
yang membunuh muridku hanyalah seorang pe-
muda? Bodoh! Di penjuru bumi ini bukan hanya
terdiri dari seorang pemuda saja! Dasar burung
bodoh! Tak berguna!" 
Di akhir kalimatnya, Pengasuh Setan me-
layangkan telapak tangannya. Cepat sekali.
Plak! 
"Kuuukkk...!!!"
Burung hantu peliharaan Pengasuh Setan
itu kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terja-
tuh ke dalam kawah begitu terkena tamparan ma-
jikannya. Namun dengan gerakan gesit Meruya
segera berputar balik dan terbang tinggi di angka-
sa.
Pengasuh Setan sempat mengeluarkan ge-
raman. Entah kesal pada kebodohan burung per-
liharaannya, atau karena mendengar berita kema-
tian muridnya. Yang jelas, tubuhnya tahu-tahu
sudah berkelebat cepat meninggalkan tempatnya
bertapa. Gerakan kedua kakinya tampak seperti
melenggang biasa. Namun hebatnya, dalam bebe-
rapa kelebatan saja sosok Pengasuh Setan telah
menghilang di balik mulut kawah.

***

Seperti yang terdapat di puncaknya, hampa-
ran lautan pasir di puncak Gunung Sindoro me-
mang pantas disebut Segoro Pasir. Di mana-mana
dipenuhi lautan pasir yang menggunduk dalam
belaian angin malam. 

Dari tempat inilah suara-suara aneh tanpa
wujud itu berasal. Bahkan suara riuh rendah itu
terdengar makin ramai dan aneh. Terkadang ter-
dengar lirih seperti tengah berbisik, terkadang
melengking-lengking tinggi seperti tengah meri-
butkan sesuatu. Dan, ke sanalah Pengasuh Setan
pergi!
"Diam! Siapa yang menyuruh kalian beri-
sik?!" bentak Pengasuh Setan, garang.
Lelaki tua ini berdiri berkacak pinggang di
atas sebuah bongkahan batu besar. Sepasang
matanya yang mencekung terus memperhatikan
keadaan sekitar, seolah-olah tengah memarahi
beberapa orang anak kecil yang nakal. 
Aneh!      
Mendadak suara riuh rendah di puncak Gu-
nung Sindoro terhenti. Demikian pula suara bina-
tang-binatang malam. Dan kini yang terdengar
hanya desau angin malam saja yang menyapa
lembut mayapada.
"Bagus! Kalian memang harus patuh terha-
dapku. Kalau tidak, tentu kalian akan kuhukum.
Sekarang, lekas tunjukkan diri kalian!" lanjut
Pengasuh Setan sarat ancaman. 
Entah ancaman atau hukuman apa yang
akan diberikan Pengasuh Setan bila makhluk-
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro itu membangkang perintahnya. Buktinya saja,
entah dari mana datangnya satu persatu mak-
hluk-makhluk halus penghuni puncak Gunung
Sindoro mulai menampakkan diri!
Kini yang terlihat sungguh pemandangan

ganjil sekaligus mengerikan. Wujud-wujud mak-
hluk halus itu begitu  menyeramkan. Sebagian
berwujud raksasa hitam dengan sepasang mata
yang menyala dan taring-taring yang melengkung
keluar. Sebagian lagi berwujud bocah kecil berpe-
rut buncit. Bahkan ada pula yang berwujud seo-
rang wanita cantik yang juga bertaring. Belum la-
gi wujud-wujud mengerikan lainnya yang juga
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro!
"Bagus, bagus! Aku senang sekali memiliki
anak buah seperti kalian yang harus patuh pada-
ku. Akulah pengasuh kalian. Siapa membangkang
berarti siap mendapat siksa di atas seribu siksa!
Kalian paham?!"
Tak ada sahutan kecuali suara riuh rendah
makhluk-makhluk penghuni puncak Gunung
Sindoro saja. Mereka saling kasak-kusuk satu
sama lainnya.
"Diam! Apa kalian tidak patuh lagi terhadap
perintahku? Apa kalian ingin merasakan huku-
manku, heh?!" ancam Pengasuh Setan, garang.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam men-
gerikan terus memperhatikan anak buahnya
Seperti semula, makhluk-makhluk halus
penghuni puncak Gunung Sindoro pun mendadak
menghentikan kasak-kusuk mereka. Malah ada
sebagian lainnya yang tidak berani membalas
pandang mata lelaki tua renta di hadapannya.
"Sekarang, dengarkan! Buka telinga kalian
lebar-lebar! Bila suatu saat aku membutuhkan
tenaga, kalian harus membantuku! Kalian harus

menuruti perintahku. Akulah yang mengasuh ka-
lian! Akulah yang mendidik kalian! Maka tak ada
bakti lain, kecuali harus membantuku untuk
menguasai dunia persilatan! Kalian paham?!" lan-
jut si Pengasuh Setan.
Tetap tak ada sahutan. Namun para mak-
hluk halus penghuni puncak Gunung Sindoro itu
tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Mu-
lut mereka seolah terkunci rapat-rapat dengan
kepala terus tertunduk.
"Bagus! Meski kalian tidak dapat bicara, na-
mun aku yakin akan ketaatan kalian. Sekarang
aku ingin meninggalkan kalian untuk beberapa
saat. Aku ingin mencari orang yang telah mem-
bunuh muridku, Penguasa Alam. Dan kuminta,
kalian harus tetap menjaga puncak Gunung-
Sindoro dari jarahan siapa saja! Terutama sekali,
kalian harus tetap menjaga Kitab Paguyuban Se-
tan yang belum sempat kupelajari! Awas! Jangan
sampai kitab itu hilang! Kalau sampai kitab itu
hilang, berarti kalian semua harus bertanggung
jawab. Kalian semua harus mendapat hukuman!
Biar lari sampai ke ujung langit, jangan dikira
aku tak dapat menangkap kalian!" perintah Pen-
gasuh Setan sarat ancaman.
Habis mengeluarkan perintah, sejenak tokoh
sesat dari puncak Gunung Sindoro itu menyapu
pandangan ke arah pengikutnya. Lalu kepalanya
mendongak. Sepasang matanya yang mencekung
ke dalam bergerak-gerak mencari sesuatu di ang-
kasa. Sejenak kemudian ia melihat titik hitam ke-
cil yang bergerak-gerak di atas bukit kawah mati.

"Meruya! Ke sini kau!" teriaknya.
"Kuuukkkk...!!!"
Terdengar suara sahutan burung hantu di
kejauhan sana. Selang beberapa saat burung pe-
liharaan Pengasuh Setan bernama Meruya itu
terbang mendekat, dan hinggap dibongkahan ba-
tu besar tepat di depan majikannya.
"Meruya! Kau awasi anak-anak asuhanku itu
baik-baik! Jangan sampai mereka lengah! Apalagi
sampai ada seseorang yang mencuri Kitab Pa-
guyuban Setan! Kaulah yang pertama kali men-
dapat hukuman bila kitab itu hilang. Kau paham,
Meruya?!"
"Kuuukkk...!!!"
"Bagus! Aku senang sekali mendengar ke-
sanggupanmu. Sekarang aku akan meninggalkan
kalian. Jaga puncak Gunung Sindoro ini baik-
baik!"
Tak ada lagi kata-kata perintah yang melun-
cur dari bibir Pengasuh Setan. Karena sebelum
gema suaranya lenyap, tokoh sesat dari puncak
Gunung Sindoro itu telah berkelebat cepat menu-
runi puncak gunung. Dan hanya dalam beberapa
kelebatan saja, sosoknya telah menghilang di ba-
lik kegelapan malam.
Begitu sosok Pengasuh Setan menghilang,
suara-suara riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro kembali terdengar. Makin lama makin riuh.
Dan entah siapa yang terlebih dahulu memulai,
makhluk-makhluk haus itu mulai berjingkrak-
jingkrak, menari-nari. Seolah-olah mereka baru
saja  terbebas dari orang yang menguasainya se-

lama ini.

2

Tidak seperti biasanya, siang ini matahari te-
rasa garang memanggang apa saja yang ada di
muka bumi. Tanah pecah berpetak-petak. Sawah
sekarat. Angin kering berhembus kencang dari se-
latan, menerbangkan apa saja. Bahkan sampai
rumah-rumah penduduk kampung.
Mengerikan!
Sudah tiga bulan ini alam memang tak lagi
ramah. Pertanda apakah ini. Mungkinkah Tuhan
telah murka dengan menimpakan petaka di muka
bumi? Memang bisa jadi demikian bila hukum
rimba berlaku di salah satu muka bumi. Siapa
yang kuat, dia yang menang. Maka, makin sem-
purnalah kesengsaraan. Yang kaya makin tertawa
yang miskin makin menjerit.
Orang miskin hanya bisa mengharap dan bi-
sa memohon. Walau sebenarnya mereka tak pan-
tas mendapat hukuman seperti ini. Sawah mere-
ka kering. Biji-biji padi tak berisi. Mengerikan!
Ibarat setitik nila, rusak air susu sebelanga.
Satu yang berbuat tercela, maka semua yang me-
nanggung akibatnya. Tak terkecuali, petaka tetap
berlalu  di mana-mana. Tangis-tangis kelaparan
dan jerit-jerit kematian tetap bergaung setiap
saat!
Bagi seorang pemuda yang kini tengah me-
lenggang santai di pematang kering, siksa kelapa-

ran yang mendera perutnya tak begitu mengusik
hari-harinya.
Kakinya terus saja melangkah tanpa beban
dan tanpa arah tujuan.
Wajah pemuda itu tampan. Tubuhnya kekar
berotot. Rambutnya panjang tergerai di bahu. Pa-
kaiannya rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan. Senjata anak panahnya tampak ter-
sembul dari balik pinggang. Di pergelangan tan-
gannya melihat pula gelang akar bahar.
Sejenak pemuda tampan yang tak lain murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu menghentikan
langkahnya di persimpangan pematang. Sepasang
matanya memperhatikan keadaan sekitar dengan
hati menangis. Di sana-sini tampak hanya ham-
paran sawah kering. Batang-batang padi yang
menguning bertumpukan di pinggir-pinggir pema-
tang.
Tak jauh dari tumpukan jerami, tampak seo-
rang bocah lelaki terus merengek minta makan
pada ibunya yang masih tergolong muda. Sang
ibu berkali-kali menghiburnya. Namun bocah be-
rusia lima tahun itu seperti tak mau mengerti. Ia
terus saja merengek dengan wajah memelas.
"Ibu, makan! Lapar. Aku lapar sekali...!" ren-
gek si bocah kecil.
Sang ibu muda yang sedang membereskan
tumpukan jerami sejenak menatap anaknya den-
gan sinar mata trenyuh. Tak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Ubi atau singkong tak punya. Apa-
lagi nasi.
"Tahan sebentar, Nak! Nanti Ibu mintakan

ubi pada tetangga sebelah," bujuk ibu muda itu.
"Tapi aku lapar sekali, Bu. Aku ingin makan
sekarang," desak si bocah.
Sang ibu menarik napasnya. Getir. Kalau be-
gitu, apa yang bisa dilakukan? Kini yang paling
hanya bisa dilakukan adalah mengalihkan perha-
tian pada suaminya di tengah sawah. Seolah, ia
ingin menumpahkan penderitaan anaknya pada
sang suami, seorang lelaki berusia tiga puluh ta-
hun.
Sang suami yang mendengar rengekan
anaknya hanya mengangkat bahu. Bibirnya me-
nyeringai kecut. Pancaran matanya sayu, seolah
tak tega melihat penderitaan anaknya. Namun, ia
tak bisa berbuat apa-apa kecuali meneruskan pe-
kerjaannya. Dikumpulkannya batang-batang padi
yang berserakan dan ditumpuk di pinggir pema-
tang. Entah itu berguna buat dirinya, entah tidak.
"Ibu! Lapar. Bu....Lapar..."
Bocah kecil itu tak dapat meneruskan uca-
pannya. Mendadak perutnya dipegangi kuat-kuat.
Kedua kakinya gemetaran.
Sang ibu kelabakan bukan main. Buru-buru
dihampirinya si bocah di pinggir pematang sawah.
"Ah..., Anakku! Kasihan sekali kau! Tunggu
sebentar, Nak! Ibu akan mencarikan ubi untuk-
mu," ujar ibu muda itu.
"Cepat, Bu. Aku lapar sekali"
"Iya, iya."
Tergopoh-gopoh sang ibu  segera meninggal-
kan pematang sawah. Sementara sang suami
hanya dapat memandangi kepergian istrinya den-

gan hati trenyuh.
Sampai di sini, Soma tak tahan lagi. Tanpa
sadar tangannya merogoh saku celana. Tapi
sayang, ia tak punya uang sepeser pun. Soma
meringis. Hatinya ngilu sekali tak dapat menolong
keluarga petani itu.
"Kasihan sekali mereka. Seharusnya aku da-
pat menolong mereka. Tapi sayang, aku tak
punya uang...," gumam hati Soma, kecut. 
Pemuda berjuluk Siluman Ular Putih ini
menggaruk-garuk kepala. Bingung. Perutnya sen-
diri sudah melintir minta diisi. Sejak kemarin
siang ia memang tak sempat makan, karena tidak
ada makanan. Jangankan makan. Seteguk air
pun belum menyentuh perutnya. Padahal, tenggo-
rokannya sudah kering.

***

Bencana kelaparan tahun ini benar-benar
luar biasa. Tangis bocah kecil bergema di mana-
mana. Tak ada bahan makanan yang dapat dima-
kan untuk hari ini. Apalagi hari-hari esok. Bila
ada yang memiliki bahan makanan, mereka tentu
akan berpikir tujuh kali untuk memberikan pada
orang yang membutuhkan. Bagaimana mungkin
mereka dapat membagi-bagikan makanan kalau
anak dan istrinya sendiri juga membutuhkan? Di
sini akan lebih terasa, betapa berharganya sepo-
tong ubi.
Dengan tergopoh-gopoh sang ibu muda yang
tadi ditangisi anaknya berlari-lari ke tengah desa.

Matanya jelalatan ke sana kemari mencari-cari te-
tangganya yang barangkali dapat memberi sepo-
tong ubi untuk pengganjal perut anaknya. Namun
sayang, semua tetangganya pun kelaparan. Ka-
laupun ada yang punya sepotong makanan, tentu
saja keluarga sendiri yang didahulukan. Kini wa-
nita muda itu hanya berdiri bingung di samping
jalan desa. Tangannya tak henti-hentinya mere-
mas-remas pakaian.
Sang ibu muda itu mengeluh. Air matanya
mulai merembes keluar. Ia sudah keluar masuk
rumah tetangganya. Dan ibu muda itu hanya bisa
menangis, menyesali musim kemarau yang ber-
kepanjangan. Menyesali lumbung padinya yang
kosong. Menyesali tetangganya yang kikir.
Sejenak ibu muda itu tercenung. Tampak
sekali kalau kakinya ragu-ragu dengan tatapan
hampa ke arah simpang jalan desa. Di sana se-
buah kedai berdiri. Kakinya ingin segera melang-
kah ke sana. Namun, tak sepeser pun ia mempu-
nyai uang. Padahal anaknya tengah menunggu
kedatangannya di pematang sawah. Terbayang
olehnya, anaknya kini tengah melejang-lejang
menahan lapar. Kalau dibiarkan, bukan mustahil
anaknya akan mati.
Ibu muda itu menjerit lirih. Kedua telapak
tangannya ditangkupkan ke muka. Air matanya
bercucuran membasahi jari-jari tangan. Tampak
sekali kalau hatinya makin dihinggapi keraguan.
Bukan saja karena tak memiliki uang yang mem-
buat ragu-ragu melangkah. Melainkan pemilik
kedai itu terkenal kikir. Bahkan berkali-kali pemi-

lik kedai itu menggodanya walau ia sudah bersu-
ami. Itulah yang membuatnya ragu.
"Duh... Gusti! Mohon ampunan-Mu! Kenapa
Kau timpakan bencana di desa kami? Kenapa Kau
timpakan pula pada keluarga kami? Oh....."
Ibu muda itu menangis sesenggukan. Air
matanya makin bercucuran membasahi jari-jari
tangan. Namun mengingat penderitaan anaknya,
mendadak tekadnya timbul kembali. Kepalanya-
segera tegak kembali. Wajahnya yang cantik tam-
pak demikian pias. Kedua bibirnya gemetaran.
Sepasang matanya yang indah terus memperhati-
kan kedai dengan dada naik turun.
Ibu muda itu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Berusaha menekan perasaannya yang berkeca-
muk. Lalu dengan  tergopoh-gopoh ibu muda itu
melangkah menuju kedai. Dan kebetulan saat itu
seorang lelaki berperut buncit tengah berada di
depan kedai. Dialah si pemilik kedai.
"Tolonglah anakku, Sukiat! Tolonglah anak-
ku! Anakku kelaparan. Aku mohon padamu! Beri-
lah aku barang sepotong ubi untuk pengganjal
perut anakku!" ratap ibu muda itu meledak-ledak,
begitu berada dua tombak di depan pemilik kedai
yang bernama Sukiat
Si pemilik kedai menoleh malas-malasan.
Tapi begitu melihat wajah cantik si ibu muda, wa-
jahnya yang jelek berubah berbinar. Malah ma-
tanya berkali-kali melirik ke arah beberapa orang
tamunya, takut tindakannya diketahui.
"Boleh, boleh! Tapi mana uangnya?" tanya
Sukiat, berbasa-basi.

"Aku tidak punya uang, Sukiat. Tolonglah
aku, Sukiat. Nanti aku rela mengerjakan apa saja
yang kau perintahkan," ratap si ibu muda.
Kembali sepasang mata pemilik kedai itu
berkilat-kilat penuh kegembiraan. Dengan otak
ngeresnya, terus diperhatikannya tubuh ibu mu-
da itu. Terutama sekali pada belahan dada yang
membusung indah.
"Benarkah? Kau mau melakukan apa saja
yang kuperintahkan?" terabas lelaki pemilik kedai
itu dengan jakun turun naik.
"I... iya. Tapi… tapi...."
"Jangan ragu-ragu, Marni!" potong Sukiat se-
raya melangkah mendekati. "Ambillah makanan
yang paling enak di kedaiku ini untuk anakmu.
Tapi nanti malam, kau harus datang kemari!"
Senyum penuh hasrat si lelaki tampak ter-
sungging di bibir.
"Aku.....Aku...," sahut ibu muda yang di-
panggil Marni, kelu. "To..., tolonglah. Jangan kau
perintahkan aku seperti itu. Aku.... aku...."
"Apa? Kalau begitu, buat apa kau datang
kemari, heh?! Lekas tinggalkan kedaiku!" hardik
si pemilik kedai kasar. Sepasang matanya melotot
penuh kemarahan.
"Tolonglah aku, Sukiat! Anakku kelaparan.
Tolonglah aku. Tolong...!" ratap Marni memelas.
Sukiat kesal  bukan main. Beberapa orang
yang sedang asyik makan minum di kedai mulai
terusik. Dan kini pemilik kedai itu gelisah sekali.
Dengan kasar segera diusirnya Marni.
Marni menjerit-jerit, memelaskan. Tapi pemi-

lik kedai itu sedikit pun tidak menaruh rasa iba.
Dengan kasar didorongnya tubuh Marni hingga
jatuh bergulingan. Pada saat inilah, mendadak....
"Ada apa ini, he?! Kenapa ribut-ribut?"
Terdengar bentakan galak dari seseorang,
membuat Sukiat terhenyak.

***

Sepasang mata sembab Marni menukas pe-
nuh harap ke arah seorang pemuda yang berdiri
di sisinya. Langsung dirangkulnya kedua kaki si
pemuda.
"Marni! Memalukan sekali kau! Lekas, ting-
galkan kedaiku!" hardik Sukiat, gusar.
"Ada apa ini, he?! Kenapa kau kasar sekali
pada perempuan ini, Paman?" bentak pemuda
tampan berambut gondrong sebatas bahu. Pa-
kaiannya rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi pemuda
tampan itu kalau bukan murid Eyang Begawan
Kamasetyo.
"Dia selalu mengganggu kedaiku. Sebal aku?
Jadi kuusir saja dia daripada tamu-tamu langga-
nanku kabur," kilah Sukiat.  
"Itu tidak benar, Tuan Muda. Aku tidak per-
nah mengganggu kedai ini. Aku hanya minta ba-
rang sepotong ubi untuk pengganjal perut anakku
yang kelaparan," sergah Marni.
"Hm... begitu? Lalu, kenapa kau tidak mem-
berikan barang sepotong ubi pada perempuan ini,
Paman? Apa hanya sepotong ubi yang diminta pe-

rempuan ini membuat kedaimu rugi? Lekas, bua-
tkan tiga bungkus makanan yang paling enak di
kedai untuk ibu muda ini!" perintah Soma.
Lagak si pemuda persis juragan kaya men-
dadak. Padahal untuk mengganjal perutnya sen-
diri hari ini saja ia belingsatan tidak karuan. Tadi
diam-diam Soma memang mengikuti si ibu muda.
Dan mereka mendengar suara-suara ribut baru-
lah murid Eyang Begawan Kamasetyo itu melang-
kah mendekati. Dan betapa kesalnya hatinya kala
melihat pemilik kedai berlaku semena-mena ter-
hadap ibu muda yang dilihatnya di pematang sa-
wah tadi. 
Sebenarnya Soma gelisah sekali kalau-kalau
pemilik kedai itu menanyakan uang. Namun un-
tungnya, pemilik kedai itu tidak menanyakannya.
"Baik, baik! Aku akan membuatkan tiga
bungkus makanan yang paling, enak di kedaiku
pada perempuan ini. Tapi kau sendiri mau makan
apa, Tuan Muda?" tanya Sukiat.
"Hm…!" Entah kenapa Soma malah garuk-
garuk kepala. "Sama dengan ibu muda ini, Pa-
man."
"Baik. Silakan masuk, Tuan Muda!" sambut
pemilik kedai itu sumringah. Namun sewaktu
akan masuk, Soma menangkap kilatan kebencian
pemilik kedai itu pada perempuan di hadapannya.
Soma tidak mempedulikannya. Segera di-
angkatnya bahu ibu muda itu. Dibawanya Marni
ke dalam, dan didudukkan di sebuah kursi.
"Terima kasih, Tuan Muda. Kau baik sekali.
Semoga Tuhan selalu memberkatimu," ucap Mar-

ni.
"Sudahlah! Jangan diteruskan! Tak adanya
mengungkit pertolongan yang tak berarti ini. Se-
karang, duduk saja di tempatmu. Dan, tunggu
manusia kikir itu selesai membungkuskan maka-
nanmu dan keluargamu," ujar Soma, halus.
"Terima kasih."
Selang beberapa saat, Sukiat telah keluar
dengan tangan membawa tiga bungkusan nasi.
Begitu tiba di dekatnya, Marni buru-buru men-
gambilnya. Setelah mengucapkan terima kasih
sekali lagi pada Soma, perempuan itu pun segera
berlalu.
Soma tersenyum senang. Diam-diam dapat
dibayangkan betapa senangnya bocah kecil yang
kelaparan itu melihat ibunya membawa nasi Ten-
tu saja suaminya akan heran. Tapi bila juga curi-
ga melihat istrinya membawa tiga bungkusan nasi
yang hampir tiga bulan ini tak ditemukan.
Sembari menikmati makanan yang dihi-
dangkan laki-laki pemilik kedai, Soma sendiri di-
am-diam terus berpikir. Sepeser pun ia tidak
punya uang. Bagaimana mungkin  dapat mem-
bayar makanan yang telah dipesannya?
"Aku harus mencari akal! Orang kikir ini ha-
rus diberi pelajaran. Pada masa sulit seperti ini,
teganya ia memperlakukan semena-mena terha-
dap perempuan itu. Padahal, yang diminta pe-
rempuan itu hanya meminta sepotong ubi. Men-
jengkelkan! Ingin rasanya aku merobek mulutnya
yang lancang itu. Mudah saja melakukannya se-
benarnya. Tapi sayang, aku tak ingin melibatkan

perempuan itu. Tapi, bagaimana caranya? Inilah
yang sulit...."
Soma terus terpekur di tempat duduknya.
Makanan yang dihidangkan sudah amblas masuk
ke dalam perut. Sekarang, gilirannya yang harus
bertanggung jawab.
Mungkin karena saking lamanya si pemuda
duduk ongkang-ongkang kaki di kedainya, berka-
li-kali pemilik kedai itu mondar-mandir di depan
mejanya. Sebentar-sebentar matanya melirik ke
arah Soma kalau-kalau akan segera membayar
makanannya. Tapi sayang, Soma tidak mempedu-
likannya. Kakinya malah diangkat seenaknya.
Terpaksa Sukiat kembali ke tempatnya semula.
Namun baru saja pemilik kedai itu melang-
kah, mendadak terdengar derap kaki-kaki kuda
tengah menuju kedai. Seketika sepasang matanya
membelalak lebar. Parasnya pias. Tanpa sadar ke-
ringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Celaka! Celaka dua belas! Mereka datang
kemari!" kata Sukiat, kalang kabut ketika serom-
bongan orang berkuda memasuki halaman ke-
dainya.

3

Soma sebenarnya tak ingin peduli. Namun
ketika melihat enam orang berkuda itu turun dan
melangkah menuju kedai, ingin tahunya terusik
juga. Ingin dilihatnya apa yang akan dilakukan
orang-orang itu.

Melihat tampang-tampang mereka, jelas ke-
enam orang berkuda ini tak bermaksud baik. Tapi
Siluman Ular Putih masih ingin menanti kelanju-
tannya. Ia ingin tahu, siapa yang jadi dalang di
balik semua ini.      
"Sebenarnya aku tidak tega. Tapi kelakuan
pemilik kedai ini memang kelewatan. Teganya
berbuat semena-mena pada perempuan tadi. Apa-
lagi pada masa-masa sulit seperti ini," gumam
Soma dalam hati, masih di tempat duduknya.
"Sukiat! Kali ini tidak ada alasan lagi untuk
tidak membayar upeti kepada Juragan Lanang!
Kau harus membayar sepuluh kali lipat dari
tunggakan bulan kemarin. Dan kau pun harus
membayar upeti bulan ini sekarang juga!" bentak
lelaki bertubuh tinggi kekar yang berdiri paling
depan setelah memasuki kedai. Wajah dan da-
danya dipenuhi bulu lebat. Pakaiannya hitam
dengan ikat kepala berwarna hitam juga. Agak-
nya, dialah pemimpin rombongan yang ternyata
orang-orang suruhan Juragan Lanang.
"Ingat, Sukiat! Semuanya harus kau bayar
sekarang juga! Kalau tidak, kedaimu ini akan ku-
bakar!" bentak lelaki berwajah codet menimpali.
Paras pemilik kedai itu kontan pucat. Seku-
jur tubuhnya gemetar. Keringat dingin mulai
membanjiri tubuhnya. 
"Tapi... Tapi, bukankah peraturan yang dulu
tidak demikian? Mengapa sekarang jadi sepuluh
kali lipat? Apakah... Apak..."
Braaak...!!!
Kata-kata Sukiat terpenggal ketika pimpinan

anak buah Juragan Lanang itu menggebrak meja
hingga hancur berantakan.
"Jangan banyak bacot! Juragan Lanang telah
menentukan demikian. Lekas bayar seperti yang
kusebutkan tadi!" bentaknya.
Sukiat makin kalut. Lebih kalut lagi ketika
melihat beberapa orang tamu langganannya mulai
kabur tanpa membayar. Yang masih berada di
tempatnya hanyalah tinggal Soma seorang. Na-
mun, apakah pemuda itu akan kabur pula?     
"Aku... aku tidak punya uang sebanyak itu,
Perbowo. Seperti yang kau lihat kedaiku baru saja
ditinggalkan pembeli tanpa..."
Plakkk!
"Akh...!" 
Pemilik kedai itu tak mampu melanjutkan
kata-katanya kecuali memekik kesakitan. Tubuh-
nya kontan terlempar dan menghantam dinding.
Pipinya yang terkena tamparan pemimpin rom-
bongan yang bernama Perbowo pecah-pecah,
mengeluarkan darah segar!   
"Alasan! Sekarang, lekas bayar kalau tidak
ingin kedaimu ini kubakar!" ancam Perbowo.
"Ba... baik."
Sukiat jadi gugup bukan main. Seluruh tu-
buhnya terasa lemas saat bangkit berdiri. Ingin
rasanya ia menangis, namun tak kuasa. Terpaksa
diturutinya kemauan pimpinan anak buah Jura-
gan Lanang. Langkahnya terseret saat menuju
tempat penyimpanan uang. Diambilnya uang
simpanannya di peti. Dihitung sebentar, lalu di-
masukkan ke kantong. Dan  langkahnya kembali

terseret saat menghampiri para begundal itu.
Perbowo dan lima orang anak buahnya ter-
tawa bergelak saat menerima uang dari Sukiat.
"Kalau kau mau menurut, tentu aku dapat
berlaku lembut padamu. Tapi karena kau sendiri
yang cari penyakit, ya apa boleh buat!" kata Per-
bowo gembira.
Pemilik kedai itu memberengut kesal. Saking
kesalnya, tak sepatah kata pun keluar dari bibir-
nya yang gemetaran. Hanya pandang matanya sa-
ja yang terus memperhatikan kantong kecil di
tangan Perbowo. Jelas, hatinya tak iklas.
Sementara, Soma tak mungkin membiarkan
penindasan berlangsung di depan mata. Walau,
orang yang ditindas jelas orang kikir.
"Eh, Manusia Berbulu! Kok aku tak ditarik
upeti?" celoteh murid Eyang Begawan Kamasetyo,
tenang.
Perbowo dan lima bawahannya yang ber-
maksud meninggalkan kedai makan mendadak
menghentikan langkahnya. Pandang mata mereka
yang beringas langsung menghujam tajam ke
arah Soma.
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum. Ma-
lah enak sekali duduk ongkang-ongkang kaki se-
perti itu. Hal ini membuat Perbowo dan kelima
anak buahnya jadi gusar.
"Kunyuk sinting! Apa kau bilang tadi, he?!"
bentak Perbowo.        
Si pemuda tampan itu tetap tenang dengan
senyum manis.
"Aku heran. Heran sekali. Kok masih ada sa-

ja manusia berhati binatang. Apa barangkali du-
nia sudah terbalik? Kok bisa-bisanya memeras
orang seenak perut sendiri. Di zaman paceklik be-
gini  lagi. Hm hm...! Edan!" gerutu Soma kalem.
Sejenak ia berdecak-decak seraya menggeleng-
geleng.
"Apa kau bilang, Kunyuk Sinting? Kau bilang
kami manusia berhati binatang, he?!" bentak Per-
bowo, kontan bangkit amarahnya.
"Nah, kau sudah mengatakannya sendiri."
"Setan alas! Kunyuk sinting macam kau
memang patut mendapat pelajaran!"
Perbowo langsung melangkah lebar ke arah
Soma. Jari-jari tangannya sudah terkepal erat
siap menghajar.
"Eh, tunggu!"   
Soma mengangkat tangan. Dan entah kena-
pa Perbowo menghentikan langkahnya. Padahal
Soma langsung mengalihkan perhatian pada Su-
kiat.
"Eh, manusia tengik pemilik kedai! Enaknya
diapakan manusia-manusia penolak bala ini? Apa
tidak sebaiknya dijadikan pelengkap sayur asem-
mu?" oceh Soma seenak dengkul.
Perbowo menggeram penuh kemarahan.
Ucapan Soma benar-benar sudah melampaui ba-
tas. Jelas harga dirinya merasa diinjak-injak bila
dikatakan sebagai manusia-manusia penolak
bala. Maka tanpa diperintah, kelima orang anak
buahnya telah mengurung Siluman Ular Putih. 
Soma tetap tenang-tenang saja. Malah kaki
sebelah diangkat seenaknya.

"Hey, Pemilik Kedai! Jawab dong, perta-
nyaanku! Ah, dasar pengecut! Kau pun tak ubah-
nya manusia-manusia penolak bala ini!" lanjut
Soma.  
"Bajingan! Beraninya kau menghina kami
demikian rupa? Apa kau tidak tahu tengah ber-
hadapan dengan siapa, he?!" bentak Perbowo, tak
dapat lagi mengendalikan amarah. Jari-jari tan-
gannya yang sudah terkepal erat segera dihan-
tamkan ke wajah Soma. 
"Eh, apa telinga kalian sudah budek? Bu-
kankah kalian ini bangsanya manusia-manusia
penolak bala? Kenapa kau sendiri malah jadi lu-
pa? Dasar manusia-manusia tak berguna!" celo-
teh Soma sambil mengibaskan tangannya.
Plak! 
"Aaah...!"   
Tampaknya, Siluman Ular Putih seperti
mengusir seekor lalat yang mengganggu saja.
Namun anehnya, seketika Perbowo menjerit kesa-
kitan. Buku-buku tangannya seperti menghantam
tembok baja yang kuat bukan main!
Lelaki kekar itu gusar bukan main. Rasa sa-
kit yang menjalar buku-buku tangannya tak dihi-
raukan lagi. Segera dicabutnya golok di pinggang.
Sedang tanpa diperintah, kelima orang anak
buahnya pun segera mencabut golok pula. 
Sret! Sret!
"Eh, kalian ini mau apa mengeluarkan golok
segala? Mau potong kambing?  Justru kalianlah
yang pantas jadi kambing!" ejek Soma memanas-
manasi.

Hati Perbowo yang sudah panas, makin ter-
bakar mendengar ejekan Soma kali ini. Tanpa ba-
nyak cakap, segera diterjangnya pemuda itu.
Bahkan kelima anak buahnya pun tak mau ke-
tinggalan. Dengan golok di tangan mereka segera
menyerang Soma dari segala arah.
Melihat berkelebatannya enam bilah golok
menyerang dirinya, Siluman Ular Putih masih
sempat-sempatnya tertawa menggoda. Sedikit
pun hatinya tidak gentar menghadapi keroyokan
anak buah Juragan Lanang. Dan dengan satu ge-
rakan cepat luar biasa, Soma bangkit dari du-
duknya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke sana
kemari dengan bergerak menotok.
Tukkk! Tukkk!
Enam kali jari-jari tangan Soma bergerak,
maka tubuh keenam orang anak buah Juragan
Lanang pun kaku tak dapat digerakkan dengan
mata terbelalak tak percaya. 
Ini benar-benar di luar dugaan mereka.
Sungguh tak disangka kalau mereka yang sangat
ditakuti di Dusun Karang Kobar ini hanya dapat
dirobohkan oleh seorang pemuda dalam sekali
gebrakan. Benar- benar sulit dipercaya!
Soma tersenyum-senyum senang begitu ber-
henti berkelebat.
"Nah, begitu juga boleh! Kan enak? Daripada
ngamuk," goda Soma.
Perbowo dan kelima orang anak buahnya tak
banyak tingkah lagi. Kini mereka tahu, pemuda
gondrong itu adalah seorang pendekar sakti. Se-
bab hanya orang berkepandaian tinggi saja yang

mampu merobohkan mereka hanya dalam sekali
gebrak.
"Kalian dengar! Buka telinga lebar-lebar! Apa
mata kalian sudah buta, hingga tega-teganya
memeras orang seenak perut?! Pikir! Jangan me-
longo saja! Sudah tahu banyak penduduk kam-
pung yang sekarat, eh kalian malah membuat
ulah. Memalukan! Dasar manusia-manusia tak
berotak!" omel Soma, lagaknya persis nenek-
nenek kehilangan sirih.
Soma berjalan mondar-mandir. Kedua tela-
pak tangannya disembunyikan di balik punggung.
Dan bila perlu, telunjuk tangannya menuding ke
arah Perbowo dan kelima antek-anteknya.
"Coba bayangkan! Kalau seandainya kalian
yang diperas, apa akan begitu saja menyerahkan
harta bendamu? Iya? Pikir! Mentang-mentang ka-
lian punya sedikit kepandaian, lantas mau meme-
ras orang seenak perut. Begitu? Hm...! Menyebal-
kan! Apa kalian pikir orang-orang yang diperas ti-
dak menderita? Goblok! Bisa saja aku membuat
hidup kalian menderita seumur hidup. Biar ka-
lian dapat merasakan, betapa sedihnya orang
menderita. Apa kalian mau kalau kedua tangan
dan kaki kalian kubuntungi?"
"Tid... tidak!" sahut Perbowo, tergagap.
"Makanya jangan sok bertingkah tengik be-
gini!" tukas Siluman Ular Putih, sewot. "Sekarang
aku mau tanya. Siapa yang menyuruh kalian me-
narik upeti?"
"Ju.... Juragan Lanang..,."
"Goblok! Kenapa tidak Juragan Wadon saja

sekalian?! Huh! Kalau sudah begini, apa kalian
mau tobat?"
"I.... Iya, Tuan Pendekar. Sa.... Kami me-
nyesal...," ucap Perbowo mewakili teman-
temannya.
"Menyesal-menyesal!  Kalau sudah kena ba-
tunya kalian bilang menyesal. Huh! Menyebalkan!
Percuma saja bicara panjang lebar dengan manu-
sia-manusia pengecut macam kalian! Sudah sana
pergi!"
Siluman Ular Putih mengibaskan tangan, la-
lu buru-buru menghampiri si pemilik kedai. Na-
mun  karena tidak mendengar langkah-langkah
kaki di belakang, mendadak badan Soma berba-
lik.
"Sudah sana pergi! Kenapa malah melotot!"
usir Soma.
"Kami... kami masih tertotok...," jelas Perbo-
wo.
Soma jadi tersenyum geli sendiri. Hampir sa-
ja ia menepuk jidatnya. Namun mana sudi Silu-
man Ular Putih mengakui ketololannya begitu sa-
ja. Apalagi di hadapan Perbowo dan kelima orang
anak buahnya.
"Dasar goblok! Masa' kalian yang mengaku
anak buah Juragan Lanang tak mampu membe-
baskan totokanku! Memalukan!"
Soma bersungut-sungut. Kesal. Namun toh
akhirnya kakinya melangkah juga mendekat. Dan
saat pandang matanya membentur pada kantong-
kantong kecil di pinggang Perbowo, tanpa banyak
pikir panjang lagi segera direnggutnya. Lalu dibe-

baskannya totokan di tubuh Perbowo dan kelima
orang anak buahnya.
"Sudah, sana pergi!" usir Siluman Ular Putih,
seenaknya.
"Tapi, kantong-kantong itu...," kata Perbowo,
keberatan.
"Jangan banyak tanya! Lekas tinggalkan
tempat ini! Toh, uang ini juga bukan milik kalian!"
Perbowo tak berani lagi membantah. Tanpa
banyak cakap, diajaknya kelima orang bawahan-
nya untuk segera meninggalkan kedai makan.
Siluman Ular Putih kini tersenyum-senyum
senang. Puas hatinya bisa mengerjai Perbowo dan
kelima orang anak buahnya yang kini telah lari
terbirit-birit meninggalkan kedai makan. Ia tadi
memang pura-pura berlaku galak dan kasar. Se-
bab, orang-orang macam mereka memang patut
diperlakukan demikian.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Tak disangka
sama sekali Tuan adalah seorang pendekar sakti,"
ucap Sukiat, si pemilik kedai penuh hormat.
Melihat sikap lelaki pemilik kedai yang ber-
lebihan, Soma jadi kesal. Apalagi kalau teringat
akan perbuatan semena-menanya terhadap pe-
rempuan muda tadi. Hatinya jadi muak.
"Sudah! Jangan banyak cincong! Kau pun
sama-sama menyebalkannya dengan mereka!"
hardik Soma, kembali pura-pura bersikap galak.
Sukiat kontan diam membisu. Kepalanya di-
tundukkan dalam-dalam.
Sementara Soma segera mengeluarkan isi
kantong hasil pemerasan Perbowo dan kawan-

kawan. Cukup banyak memang. Bahkan teramat
banyak untuk membayar uang makannya dan ti-
ga nasi bungkus yang dibawa perempuan muda
tadi.
"Ini semua untuk membayar makanku dan
tiga nasi bungkus yang dibawa perempuan muda
tadi. Sisanya, boleh kau ambil sendiri. Hitung-
hitung untuk mengganti kedaimu yang rusak aki-
bat ulah begundal-begundal itu!" ujar Soma se-
raya menyerahkan kantong di tangan kirinya ke
tangan laki-laki pemilik kedai itu.
Kening  Sukiat  berkerut dalam. Kantong itu
bukan lain adalah kantong miliknya yang tadi di-
berikan pada Perbowo. Berarti, ia tidak menda-
patkan bayaran sepeser pun. Ini benar-benar ce-
laka dua belas!
"Dan kantong yang satu ini, aku sendiri be-
lum tahu siapa yang punya. Daripada pusing, aku
ingin agar kau membagi-bagikannya pada pendu-
duk kampung. Termasuk juga perempuan muda
yang kau hina tadi. Ingat! Jangan sampai disunat!
Kalau kau melanggar perintahku, akan kusunat
juga!"
"Ba.... Baik," sahut laki-laki pemilik kedai,
kelu.
Siluman Ular Putih segera menyerahkan
kantong di tangan kanannya pada laki-laki pemi-
lik kedai. Tapi saat hendak berbalik....
"Aduuuh…! Ini rumah makan kok beranta-
kan begini! Apa barusan ada orang ngamuk?"

***

Kening Soma dan Sukiat berkerut penuh ke-
heranan. Di hadapan mereka kini berdiri seorang
gadis cantik. Penampilannya amat menyolok. In-
ilah yang membuat mereka keheranan. Bagaima-
na tidak menyolok kalau gadis itu berpakaian
dengan warna beraneka ragam. Merah, kuning,
hijau dipadu jadi satu. Rambutnya dikuncir dua
ke belakang. Juga dihiasi pita yang beraneka
warna. Kedua telinganya dipasangi anting bundar
besar. Benar aneh penampilan gadis itu.
Belum lagi logat bicara si gadis. Manja. Te-
ramat manja. Entah disengaja, atau memang be-
gitu logat bicaranya. Demikian juga sikapnya. Tak
kalah manjanya dengan logat bicaranya. Sikapnya
benar-benar menggemaskan bagi siapa saja yang
melihat. Kenes, manja, sekaligus juga menawan.
Soma dan Sukiat-sampai melongo dibuatnya.
Persis sapi ompong.
"Gadis centil...," tegur Soma asal bunyi. 
"Aduuuh..! Kenapa kalian jadi melongo? Ke-
napa pelayan jelek itu malah mengataiku gadis
centil? Uhhh...! Menjengkelkan! Masa' rumah ma-
kan begini bagusnya kok punya pelayan jelek se-
perti itu. Rambutnya gondrong lagi!! Hey, Pelayan
Jelek! Lekas ambilkan makanan yang paling enak
di rumah makan ini!" kata si gadis, seenaknya.
Bukan main menggemaskannya cara bicara
gadis satu ini. Sambil bicara, tangannya pun ber-
gerak-gerak ke sana kemari menawan. Kalau saja
yang bicara sejenis perempuan nakal, sudah pasti
akan menambah muak orang yang melihat. Na-
mun yang bicara adalah seorang gadis cantik.

Muda lagi! dan tampaknya dari golongan orang
baik-baik. Hal ini justru makin menambah mena-
rik penampilannya. Hingga tak heran kalau murid
Eyang Begawan Kamasetyo kian terpesona!
"Aduuuuh...! Siapa yang pelayan? Aku bu-
kan pelayan. Aku tamu rumah makan ini," sahut
Soma, ikut-ikutan latah. Sewaktu bicara, ping-
gulnya digerak-gerakkan ke kanan kiri. Hingga
bukannya menggemaskan, malah sebaliknya.
"Ah! Curang! Kau niru aku! Kau harus kuha-
jar! Biar tahu rasa!" 
Habis berkata, si gadis manja itu segera me-
lompat ke depan. Ringan sekali gerakannya, per-
sis seperti orang menari. Namun sewaktu tangan
kanannya mengayun, baru Soma terperanjat! Ka-
rena sebelum tangan mungil gadis manja itu
mengenai  sasaran, terlebih dahulu telah berke-
siur angin keras menyambar kulit tubuh.
"Ihhh...! Kenapa kau jadi uring-uringan be-
gini? Aku kan cuma niru sedikit. Masa' kau jadi
galak seperti ini?" goda Soma sambil membuang
tubuhnya ke samping kalau tidak ingin jadi sasa-
ran empuk tamparan tangan gadis manja itu. 
Brakk...! 
Akibatnya, dinding kedai makan itu jadi be-
rantakan begitu terkena sambaran angin pukulan
si gadis manja.
"Pelayan jelek! Sekali lagi berani meniru-niru
aku robek-robek mulutmu!" ancam si gadis man-
ja.
Si gadis gusar bukan main, karena tak me-
nyangka serangannya dapat dihindari pemuda

gondrong di hadapannya dengan begitu mudah.
Hatinya tersinggung berat. Mulutnya memberen-
gut kesal. Dan tangannya pun ikut-ikutan mem-
berengut.
"Hiaaa...!"       
Dengan sekali menjejakkan kakinya ke ta-
nah, tubuh tinggi ramping gadis manja itu telah
berkelebat cepat menyerang Siluman Ular Putih.
"Oh… hancur sudah kedaiku...," keluh lelaki
pemilik kedai.
Semula Sukiat hanya melongo melihat pe-
nampilan gadis manja di hadapannya. Namun ki-
ni mendadak jadi gelisah sekali. Tentu saja lelaki
ini tidak ingin kedai makannya jadi langganan
ajang pertarungan.
"Tunggu! Kalian tidak boleh berkelahi di ke-
dai makanku! Bisa hancur kedai makanku gara-
gara kalian!"
"Orang tua jelek! Apa tadi kau bilang? Kau
juga ikut-ikutan latah? Kau pun akan kuhajar,
Orang Tua!" bentak gadis manja itu, seraya
menghentikan serangannya dan langsung meno-
leh pada Sukiat.
"Ampun! Aku tidak sengaja, Nona! Tolong
jangan berkelahi di sini! Kasihanilah aku. Kedai
ini akan hancur berantakan kalau kalian terus
berkelahi di sini!" ratap Sukiat memelaskan.
"Baik! Aku akan berhenti. Tapi pemuda ceri-
wis ini harus kutampar dulu mulutnya!"
"Ampun! Ampun! Aku tadi juga tidak sengaja
kok. Aku hanya main-main. Kau jangan marah-
marah lagi, ya! Jangan menampar pipiku! Kasi-

hanilah aku, Gadis!" ratap Soma pura-pura me-
melas.
Entah kenapa tiba-tiba gadis manja ini ma-
lah tertawa. Sikapnya pun jadi lembut, tidak me-
ledak-ledak seperti tadi.
Soma sampai melongo dibuatnya. Sungguh
hatinya tak percaya kalau sikap gadis di hada-
pannya dapat berubah demikian cepatnya.
"Jadi... kau sudah memaafkanku, Gadis?"
tanya Siluman Ular Putih, ragu-ragu.
Gadis manja itu tersenyum. Manis sekali.
Dan jantung murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu pun seperti berloncat-loncatan.
"Tidak," sahut gadis itu masih dengan se-
nyum.
Soma masih ragu-ragu. Menilik sikapnya,
hatinya yakin kalau gadis itu sudah memaafkan.
Maka dibiarkannya saja saat gadis itu melenggak-
lenggok lemah gemulai mendekati dirinya. Na-
mun....
Plakkk!  
Soma sempat terkejut ketika tiba-tiba tangan
gadis itu tahu-tahu telah menampar pipinya. Se-
benarnya mudah saja kalau si pemuda mau
menghindar. Namun berhubung tidak ingin mem-
buat marah hati gadis itu, maka dibiarkannya sa-
ja. Semula dipikirnya, tamparan gadis itu tidak
keras. Tapi justru Soma terpekik kaget. Pipinya
terasa panas bukan main. Bahkan tubuhnya
sampai meliuk ke samping.
Gadis manja itu malah tersenyum. Manis se-
kali. Namun bagi Soma, tetap saja menjengkel-

kan.     
"Hik hik hik...! Sudah kuduga, kau pasti be-
rilmu. Makanya kau kutampar sedikit keras. Tapi
tidak apa-apa, kan? Aku tadi memang hanya in-
gin menjajal. Dan kenyataannya, kau memang
hebat. Kau sanggup menerima tamparanku tanpa
sedikit pun terluka," oceh si gadis seenak deng-
kul.
"Iya. Tapi sakit...!"
Gadis itu tertawa.
"Sudah, ah! Jangan cemberut terus dong!
Yok, kuajak makan!"
Tanpa minta persetujuan dulu, tahu-tahu
tangan si gadis telah melingkar di pinggang Soma,
dan mengajaknya duduk di sebuah bangku. Si-
luman Ular Putih yang semula memberengut,
mendadak jadi tersenyum cerah. Habis, siapa
orang yang tidak senang dirangkul oleh gadis can-
tik?
"Nah.... Kalau akur begitu kan enak. Aku ja-
di senang melihatnya," cetus Sukiat sumringah.
"Tapi ngomong-ngomong, kalian mau makan apa?
Sayur lodeh atau...?"
"Lho? Itu kan sayur kesukaanku dan nenek!"
sahut gadis itu tiba-tiba.
"Oh, ya? Kalau begitu, aku akan segera
membuatkan sayur lodeh untuk kalian berdua,"
kata lelaki pemilik kedai, lalu segera masuk ke
dapur.
Sebenarnya Soma ingin menolak ajakan ma-
kan gadis manja itu. Bukannya tidak mau. Tapi,
perutnya sudah kenyang. Namun kalau menolak

berdua-duaan dengan gadis itu, berarti tolol. Dan
kenyataannya, pemuda ini tidak ingin dikatakan
tolol. Ia memilih berdua-duaan dengan gadis can-
tik di hadapannya.
"Ada apa? Kok senyum-senyum saja?" tanya
gadis manja itu mengusik lamunan Soma.
Soma tersenyum.
"Aku senang sekali berduaan denganmu.
Kau cantik. Berkepandaian tinggi lagi. Siapa pun
juga pasti akan senang berduaan denganmu," sa-
hut Soma.
Gadis manja itu memejamkan matanya. Ke-
dua telapak tangannya ditelangkupkan di depan
dada, seolah-olah meresapi apa yang dikatakan
Soma barusan.
"Duh...! Betapa senangnya hatiku! Rupanya
kau pintar merayu, ya? Apa kau selalu merayu
setiap gadis yang kau temui?"
"Tidak tentu. Tapi begitu melihatmu, aku ja-
di senang sekali bergaul denganmu." 
"Boleh-boleh saja. Asal jangan menggauliku!
Hik hik hik...!" tukas si gadis mulai kambuh pe-
nyakitnya.
Soma sendiri sampai memerah telinganya.
Tak disangka gadis itu demikian berani.
"Boleh aku mengetahui nama dan julukan-
mu?" tanya Soma.
"Kau curang! Kau sendiri belum menye-
butkan namamu. Masa' aku  disuruh menye-
butkan dulu!" tukas si gadis manja. Kepalanya di-
gerak-gerakkan demikian rupa dengan bibir ter-
sungging manis.

"Namaku Soma. Aku tidak memiliki julukan
apa-apa. Kau?" jawab Soma.
"Aku Mawangi. Julukanku, hm...," gadis
manja itu tak melanjutkan ucapannya. Entah ke-
napa, tiba-tiba pipinya merona merah. 
"Kenapa tidak diteruskan?!" kejar Soma.
"Aku malu. Kau pasti akan menertawakan
julukanku."
"Tidak. Apa pun julukanmu, aku tidak akan
menertawakanmu" 
"Benar?" 
"Benar."
"Hm.... Hm...!" Mawangi mengulum-ngulum
bibirnya sebentar. "Mendiang... mendiang nenek-
ku menyuruhku memakai gelar, Put... Putri Man-
ja."
Hampir saja Soma tertawa tergelak kalau ti-
dak teringat janjinya pada gadis cantik di hada-
pannya. Tentu saja hal ini dapat terlihat Mawangi
yang ternyata bergelar Putri Manja. Namun belum
sempat gadis itu membuka suara, mendadak ter-
dengar derap beberapa ekor kuda.
"Celaka! Juragan Lanang beserta anak
buahnya datang kemari!" teriak Sukiat kalang ka-
but.

4

Betapa pucat pasinya wajah Sukiat saat
orang-orang itu telah turun dari kuda, langsung
memasuki kedainya dengan langkah lebar-lebar.

Kedua tangannya kontan gemetar membuat pesa-
nan makanan Soma dan Putri Manja jatuh beran-
takan. Saking takutnya melihat siapa yang da-
tang, lelaki pemilik kedai itu sampai terkencing-
kencing di celana.
"Sukiat! Mana pendekar yang kau sewa un-
tuk menjebak kami, he?! Kunyuk sinting itukah?"
tuding seorang lelaki tinggi besar berpakaian in-
dah dari sutera biru ke arah meja Soma dan Putri
Manja.
"Aku... aku... tid... tid...," suara lelaki pemilik
kedai itu tersendat-sendat.
"Benar, Juragan! Pemuda itulah yang disewa
Sukiat!" sahut Perbowo, yang ternyata tobatnya di
hadapan Siluman Ular Putih hanya tobat sambal.
Hidung bulat besar Juragan Lanang kem-
bang kempis. Sepasang matanya tajam memper-
hatikan Soma dan Putri Manja. Dalam keadaan
marah seperti itu, parasnya jadi makin beringas
mengerikan. Tubuhnya yang tinggi besar berge-
tar-getar.
Di belakang Juragan Lanang, tampak bebe-
rapa anak buahnya. Wajah mereka pun seram-
seram dengan tangan siap mencabut golok yang
menggantung di pinggang. Dan bila diperintah-
kan, dengan tidak mengenal ampun mereka siap
menebar maut demi menegakkan peraturan sang
juragan.
"Ihhh...! Takut aku. Mereka kok seram-
seram, Soma? Ihhh,..! Ngeri aku! Suruh mereka
pergi, Soma! Aku ngeri...!" desah Putri Manja.
Entah karena saking takutnya atau entah

pura-pura, tiba-tiba pegangan tangan Putri Manja
makin erat di lengan Soma. Kedua bahunya dite-
kuk dalam-dalam. Kepalanya disembunyikan di
dada bidang Soma, seolah-olah ingin meminta
perlindungan. Namun sewaktu pandang matanya
tertumbuk pada lelaki pemilik kedai, mendadak
sikap takut si gadis lenyap!
"Eh, Soma! Lihat! Pemilik rumah makan ini
kok pipis sembarangan. Ihhh...! Jorok!" tunjuknya
ke arah Sukiat.
Siapa yang tidak akan tertawa melihat sikap
Putri Manja yang amat aneh ini. Tadi berteriak-
teriak ketakutan, kini malah tertawa-tawa geli.
Soma yang tidak sempat memperhatikan lelaki
pemilik kedai, mau tidak mau juga ikut-ikutan
tertawa.
"Ah...! Kau ini! Dalam keadaan tegang begini
masih saja membuat ulah!" tegurnya lembut.
"Aku tidak membuat ulah, Soma. Orang tua
itu jorok. Masa' sudah tua begitu masih ngompol?
Kan lucu?" kata Putri Manja bersungut-sungut.
"Sukiat! Keterlaluan sekali kau! Beraninya
mereka mengejek kami seperti itu, heh?!"
Juragan Lanang gusar bukan main. Ia men-
gira kalau kedua anak muda itu sedang mengejek
mereka. Tanpa banyak cakap, segera dicabutnya
golok di pinggang. Lalu kakinya melangkah lebar
mendekati Sukiat.
"Aku... Aku...."
Bukan main gugupnya hati laki-laki pemilik
kedai itu. Parasnya makin pias. Kedua lututnya
goyah. Dan...

Brukkk!
"Nah...! Apa lagi yang dilakukan orang tua
itu, Soma? Kok malah tiduran? Tadi ngompol. Se-
karang tiduran. Huh!" celoteh Putri Manja meng-
gemaskan, saat melihat si pemilik kedai ambruk
tak sadarkan diri. Sepasang matanya yang  tadi
berkilat-kilat penuh ketakutan kini berganti jena-
ka bagai seorang bocah kecil.
Soma yang juga berwatak jenaka pun tak
dapat menahan geli. Ia tertawa terbahak-bahak.
Sementara tangan kanannya mengacak-acak
rambut gadis manja di sampingnya.
Juragan Lanang menggeretakkan geraham-
nya penuh kemarahan. Ia tak bernafsu lagi men-
dekati lelaki pemilik kedai. Sepasang matanya
yang mencorong tajam kini mengarah beringas ke
arah Soma dan Putri Manja.
"Para pengawalku!  Mari kita tangkap gadis
itu! Kalau perlu si gondrong itu sekalian!" 
"Wah.... hati-hati, Putri. Jangan-jangan kita
babak belur nanti…!" Soma pura-pura mengeluh.
"Ah..! Tak mungkin! Mereka tak bisa apa-
apa. Mereka hanya pintar menggorok babi. Lihat
'Tarian Bidadari'-ku!"
Putri Manja cepat melompat bangun. Senja-
tanya yang berupa gunting besar di tangan kanan
meliuk-liuk indah seirama gerakan tubuhnya.
Langsung dihadangnya para pengeroyok.
Crakkk! Crakkk! 
Gunting di tangan Putri Manja terus mence-
car Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak
buahnya.

"Benar kan, Soma? Mereka hanya pintar
berkoar. Padahal mereka tak becus berbuat apa-
apa. Memegang golok pun belum becus!" ejek si
gadis sambil tertawa. 
Putri Manja terus memanas-manasi. Ting-
kahnya pun makin menggemaskan. Tubuhnya
yang meliuk-liuk indah, terkadang bergerak lam-
ban. Terkadang pula bergerak cepat laksana kilat,
hingga makin membuat Juragan Lanang dan ke-
sepuluh anak buahnya kewalahan. Untung saja
Putri Manja tidak menurunkan tangan maut. Pa-
dahal kalau saja mau, bukan mustahil para pen-
geroyoknya itu sudah tewas menemui ajal.
"Soma...! Aku jadi ingin mencukur gundul
rambut mereka. Bagaimana, Soma? Tidak apa-
apa, kan?" celoteh Putri Manja meminta pendapat
Soma.
"Lakukanlah! Tapi jangan terlalu galak. Bisa-
bisa mereka tewas," kata Soma.
"Baik, baik. Aku memang tidak bermaksud
menurunkan tangan maut. Aku hanya ingin
main-main sebentar dengan manusia-manusia se-
ram ini."       
Soma tidak menyahut, tapi justru lebih se-
nang memperhatikan jurus-jurus yang dikerah-
kan Putri Manja sambil duduk ongkang-ongkang
kaki. Namun walaupun sudah berpengalaman
malang melintang di dunia persilatan, Siluman
Ular Putih belum dapat mengenali jurus-jurus
yang dikeluarkan si gadis. Sementara gunting ga-
dis itu kini telah berhasil memangkas rambut be-
berapa orang anak buah Juragan Lanang dengan

tawa cerianya.        
"Sudah, Putri! Jangan terus bermain-main!
Orang-orang seram ini harus secepatnya menda-
pat hukuman!" ujar Soma tiba-tiba.
Dan tahu-tahu, tubuh Soma telah berkeleba-
tan cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga sulit
diikuti pandang mata Juragan Lanang dan kese-
puluh orang anak buahnya.
Tuk! Tuk!
Putri-Manja samar-samar dapat menangkap
sosok tubuh Siluman Ular Putih sudah bergerak
cepat, menotok kaku tubuh Juragan Lanang dan
kesepuluh anak buahnya.
"Ah.... Kau mengganggu kesenanganku saja,
Soma! Kenapa mereka dilumpuhkan?" rajuk Putri
Manja. Kedua bibirnya yang merah merekah
memberengut. Sepasang matanya yang indah bak
bintang kejora memandang Juragan Lanang dan
kesepuluh orang anak buahnya, seperti tak puas. 
"Aku benci kau, Soma! Aku benci!" jerit Putri
Manja. Kakinya dibanting-banting ke tanah. Dan
belum sempat Soma mencegah, tahu-tahu Putri
Manja telah berkelebat cepat meninggalkan kedai
makan.
"Tunggu, Putri! Aku.... Aku...!" 
Soma tak meneruskan kalimatnya, karena
gadis itu tak mungkin dapat dikejar. Apalagi ia
harus secepatnya menyelesaikan urusan dengan
Juragan Lanang berikut kesepuluh orang anak
buahnya yang harus mendapat hukuman setim-
pal atas perbuatan mereka yang tega-teganya
memeras penduduk kampung. Untuk itu Siluman

Ular Putih harus membangunkan lelaki pemilik
kedai itu. Diguncang-guncangkannya tubuh Su-
kiat, namun tak juga siuman. Soma jadi kesal se-
kali. Sejenak matanya melirik ke atas meja tempat
ia makan tadi. Pemuda itu bangkit, mengambil
secangkir air. Lalu diguyurkannya air dalam
cangkir ke wajah lelaki pemilik kedai. 
Pyarr...!
"Uft.... Eh...! Ada apa? Kenapa kau meng-
guyur ku?" teriak Sukiat gelagapan.
"Cepat bangun! Kau harus secepatnya mela-
porkan perbuatan Juragan Lanang dan kesepuluh
orang anak buahnya itu pada kepala desa di sini.
Atau, kalau perlu laporkan saja pada adipati! Me-
reka harus mendapat hukuman setimpal! Biar ti-
dak lagi mengganggu keamanan penduduk kam-
pung. Juga kau! Kuingatkan sekali lagi! Kalau
kau masih kikir, apalagi enggan menolong orang
yang sangat membutuhkan, aku tak akan segan-
segan lagi menggantungmu di tengah pasar! Biar
semua tahu bahwa kau juga orang pengecut!
Mengerti?" ujar Soma, tegas.
"Ya ya ya...! Aku mengerti!" sahut Sukiat, ke-
takutan.
"Kalau sudah mengerti, cepat bangun! Dan,
laksanakan apa yang kuperintahkan!" 
"Baik"
Begitu beranjak bangkit, Sukiat sangat ter-
kejut melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepu-
luh anak buahnya kaku tak dapat bergerak. Lela-
ki pemilik kedai itu tidak tahu, apa yang telah ter-
jadi pada mereka. Ia ingin bertanya pada Soma.

Namun sayang, pemuda itu sudah tak ada di
tempatnya.
"Celaka! Benar-benar celaka! Sudah kedai
porak-poranda tidak karuan, masih disuruh ke
sana ke sini! Huh! Apes benar nasibku hari ini...!"

***

Soma terus berkelebat cepat ke arah Putri
Manja tadi menghilang. Tidak tanggung-tanggung
lagi segera dikerahkannya ilmu lari cepatnya
'Menjangan Kencono.'. Hingga tak heran kalau da-
lam beberapa kelebatan saja sosok bayangannya
telah jauh dari kedai makan.
Sambil terus berkelebat, mata Soma tak hen-
ti-hentinya memperhatikan keadaan sekitarnya.
Pemuda itu berharap gadis manja itu mau
menemuinya. Namun sayang, ketika tiba di ham-
paran sawah kering, ia tidak menemukan siapa-
siapa. Yang terlihat hanya hamparan tanah kering
yang retak-retak di sana sini.
Soma menggedumel.       
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini? Kena-
pa tadi aku mengganggu kesenangan gadis manja
itu? Huh! Dasar sial! Juga goblok! Mau berteman
gadis manja itu saja tidak terkabul. Malah ia ka-
bur. Sial! Sial!" 
Soma menggerutu tak karuan. Tak henti-
hentinya jidatnya ditepuk-tepuk sendiri, saking
kesalnya.
"Terus terang aku sangat mencemaskan ke-
selamatannya. Tampaknya, ia belum berpengala-

man. Sikapnya masih lugu. Mungkin baru saja
turun gunung. Ah...! Aku harus secepatnya me-
nemukan gadis itu. Tapi, kenapa aku jadi mele-
dak-ledak begini? Apakah... apakah aku mencin-
tainya?" tanya hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo. "Bodo, ah! Mau jatuh cinta kek, tidak kek!
Peduli setan! Pokoknya aku harus segera bertemu
gadis itu!"
Habis bersungut-sungut begitu Siluman Ular
Putih segera berkelebat cepat ke barat. Sementara
sembari terus berkelebat, pandang matanya terus
jelalatan ke sana kemari.
Lama berputar-putar mencari Putri Manja,
akhirnya Soma menghentikan langkahnya dengan
hati kesal. Ia tetap tak menemukan gadis manja
itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Gadis
itu tak kutemukan. Ah...! Daripada bingung men-
cari gadis tengil itu mendingan pergi ke mana aku
suka," gumam hati Soma.
Namun belum sempat Siluman Ular Putih
melangkah, mendadak....
Wuutt...!
Bletakkk!
"Aaah...!"
Soma terpekik kaget ketika sebuah benda
menghantam jidatnya. Kepalanya kontan berputar
dengan tubuh limbung ke samping. Lalu....
Brukkk!
Soma jatuh berdebam di tanah. Apa yang
terjadi?


5

Belum begitu lama Siluman Ular Putih me-
ninggalkan kedai makan, seorang lelaki tua renta
tengah berdiri tegak di halaman depan kedai milik
Sukiat. Usianya sulit sekali ditafsirkan. Rambut-
nya memutih tergerai di bahu. Alis mata dan bulu
mata juga berwarna putih. Tubuhnya kurus ker-
ing seolah tak bertenaga. Pakaiannya berwarna
hitam kumal.
Siapakah sebenarnya kakek renta berwajah
menyeramkan ini? Ia tak lain dari Pengasuh Se-
tan. Seorang tokoh sesat dari Gunung Sindoro
yang ingin menuntut balas atas kematian murid-
nya yang berjuluk Penguasa Alam.
Setelah hampir sehari semalam melakukan
perjalanan, penciuman Pengasuh Setan menang-
kap bau anyir yang sangat dikenalnya. Bau anyir
darah si Penguasa Alam! Sungguh hebat bukan
main penciuman tokoh sesat dari puncak Gunung
Sindoro itu. Meski Penguasa Alam telah tewas be-
berapa pekan lalu, namun hidungnya masih
mampu mencium darah muridnya! Darah yang
barangkali masih melekat pada tubuh atau senja-
ta si pembunuh muridnya!
Untuk beberapa saat hidung Pengasuh Setan
terus mengendus-endus. Sayangnya, angin ber-
hembus cukup kencang. Hal ini membuat hatinya
kesal sekali.
"Keparat! Aku yakin kalau pembunuh mu-
ridku baru saja berada dari tempat ini. Tapi

sayang, angin berhembus cukup kencang hingga
aku sulit melacak jejak pembunuh muridku.
Hm...!" geram Pengasuh Setan dalam hati.
Lelaki tua sakti ini segera mendekati kedai
makan. Hatinya yakin, pembunuh muridnya baru
saja meninggalkan kedai makan. Untuk itu harus
secepatnya diselidiki kalau tidak ingin kehilangan
buruan.
Saat itu Sukiat masih terpana heran melihat
tubuh Juragan Lanang beserta kesepuluh anak
buahnya kaku tak dapat bergerak. Bagaimana
mungkin tubuh mereka kaku tak dapat bergerak?
"Ih...! Jangan-jangan mereka terkena sihir
pemuda sinting itu? Aku... aku harus secepatnya
melaporkan Juragan Lanang pada Ki Lurah kalau
tidak ingin kaku seperti mereka. Hih...!" kata Su-
kiat, bergidik.
Sukiat buru-buru berbalik. Dan baru saja
hendak melangkah, di hadapannya kini telah ber-
diri Pengasuh Setan dengan sepasang mata men-
corong tajam.
"Si.... Siapa kau, Orang Tua?" tanya Sukiat,
makin bergidik.
Kaku sekali lidah lelaki pemilik kedai itu ka-
la menegur Pengasuh Setan. Kedua kakinya pun
sulit sekali digerakkan, seolah menancap di tem-
pat.
"Berani kau buka-mulut sebelum kutanya,
he?!" desis Pengasuh Setan, garang. Selangkah
demi selangkah kakinya mulai mendekati Sukiat.
Sukiat hanya mampu menggeleng-gelengkan
kepala. Tanpa sadar kedua kakinya bergerak

mundur. Mungkin baru kali ini sajalah lelaki itu
melihat sosok manusia yang demikian menye-
ramkan. Dalam hatinya ia mengira sosok lelaki
tua renta di hadapannya adalah arwah gentayan-
gan yang sering mengganggu Dusun Karang Ko-
bar.
"Aku mencium bau darah muridku di tempat
ini. Cepat katakan! Siapa di antara kalian yang te-
lah membunuh muridku? Jawab!" bentak Penga-
suh Setan.
"Iya, iya!" Sukiat gugup dan tersendat.
"Apa?" 
"Aku... aku tid... tidak tahu." 
"Apa? Kau tidak tahu?"
Sepasang mata Pengasuh Setan membelalak
liar. Rahangnya bergemeletukkan membuat lelaki
pemilik kedai makin ketakutan.
"Aku.... Aku tidak tahu. Sungguh aku tidak
tahu siapa orang yang kau maksudkan."
"Bedebah! Manusia tak berguna. Aku jelas
mencium bau muridku. Kau masih bilang tidak
tahu, heh?!" cecar Pengasuh Setan. 
Pengasuh Setan mengendus-enduskan hi-
dung. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mengiku-
ti bau darah muridnya yang hanya dapat dicium
oleh hidungnya. Sama sekali hatinya tak terusik
oleh adanya Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang berdiri kaku di tempat itu.
Kening Sukiat berkerut heran. Ia masih be-
lum mengerti yang dimaksudkan. Tanpa sadar
hidungnya pun ikut-ikutan mengendus.
Tiba-tiba paras Pengasuh Setan menegang.

Bau darah muridnya jelas tercium hidungnya.
Maka bak seekor anjing pelacak, kakinya mulai
bergerak mengikuti arah bau anyir darah murid-
nya hingga keluar kedai, dan terus mengikutinya
sampai kejauhan.
Sukiat hanya bisa melongo. Hampir saja ma-
lapetaka yang lebih besar akan menimpa ke-
dainya bila salah bertindak. Untung saja ia hanya
diam. Dan sosok menakutkan Pengasuh Setan
pun telah jauh meninggalkan kedai.
"Busyet!  Manusia apa memedi sawah?! Kok
seram amat. Hih…! Kukira aku harus segera me-
laporkan Juragan Lanang ini pada Ki Lurah. Tapi,
bagaimana dengan Juragan Lanang dan kesepu-
luh orang anak buahnya ini? Ah...! Baiknya seka-
lian saja kulaporkan. Beres!" gumam Sukiat ma-
sih terpana membayangkan sosok Pengasuh Se-
tan yang amat menyeramkan. 
Sebelum meninggalkan kedai, sejenak sepa-
sang mata Sukiat yang sipit sempat memperhati-
kan tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang masih tegak kaku di tempatnya.
Lelaki ini tidak tahu, apa yang tengah menimpa
orang-orang itu. Kepalanya hanya menggeleng-
geleng sebentar sebelum akhirnya meninggalkan
kedai.

***

"Sukiat! Kau lari-lari seperti dikejar setan.
Ada apa?"
Sukiat buru-buru menghentikan langkah ke-

tika tiba di depan seorang lelaki tua yang me-
nyambutnya. Napasnya masih memburu. Seben-
tar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang. 
"Tenang, Sukiat! Ada apa? Apa anak buah
Juragan Lanang membuat onar kedaimu?" ujar
lelaki berusia enam puluh lima tahun yang diken-
al sebagai Ki Lurah. 
Sukiat menelan ludah. Ditatapnya wajah Ki
Lurah yang gagah penuh kearifan. Entah kenapa
rasa takut yang mendera hatinya mendadak ber-
kurang  begitu berhadapan dengan lelaki gagah
berpakaian surjan lengkap di hadapannya.
"Ki Lurah! Aku... aku mau lapor.  Memang
Juragan Lanang dan anak buahnya membuat
onar di kedaiku. Tapi yang lebih penting, baru sa-
ja kedaiku kedatangan memedi sawah, Ki," lapor
Sukiat.
"Ah...! Yang benar saja? Masa' ada memedi
sawah mengganggu kedaimu? Jangan ngawur,
Sukiat!" sergah Ki Lurah seraya mengumbar se-
nyum.
"Benar, Ki. Baru saja memedi sawah itu da-
tang ke kedaiku. Wajahnya menyeramkan sekali.
Kalau bukan memedi sawah atau arwah gen-
tayangan, mana mungkin ada manusia demikian
menyeramkan? Matanya merah. Wajahnya pucat
mirip mayat. Hiyyy...! Pokoknya menyeramkan
sekali! Apalagi, katanya ia mencium bau darah
muridnya. Apa itu tidak menakutkan? Mana
mungkin ia mampu mencium darah seseorang ka-
lau bukan setan?" papar Sukiat.
"Sudah, sudah! Bicaramu makin ngelantur

tidak karuan. Sebaiknya mari kita membicarakan
tentang Juragan Lanang dan anak buahnya yang
membuat onar di kedaimu itu. Sudah lama aku
memang ingin meringkusnya. Apalagi sepak ter-
jangnya kali ini memang sudah keterlaluan. Hayo,
sekarang tunjukkan di mana Juragan Lanang be-
rada! Aku ingin menangkapnya, Sukiat," tukas Ki
Lurah, tak sabar.
"Me..., mereka ada di kedaiku. Aku... aku ti-
dak tahu apa yang terjadi. Tubuh Juragan La-
nang dan kesepuluh anak buahnya kaku tak da-
pat bergerak. Aneh! Benar-benar aneh! Baru kali
ini aku melihat kejadian ganjil ini, Ki," sahut Su-
kiat bersemangat.
"Hm...! Tubuh Juragan Lanang dan anak
buahnya kaku tak dapat bergerak?" gumam Ki
Lurah seraya mengangguk-angguk.
"Benar, Ki."
"Pasti ada seorang pendekar sakti yang telah
melumpuhkan mereka. Aku harus cepat menang-
kapnya...," gumam Ki Lurah nyaris tak terdengar.
"Apa? Kau tadi bilang apa, Ki?"
"Sudah, sudah! Sekarang cepat ikut aku!"
Dengan langkah lebar Ki Lurah keluar dari
halaman rumah. Sedangkan Sukiat mengekor da-
ri belakang. Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang berkumpul di depan rumah Ki Lurah
segera diperintahkan untuk mengikuti.
Sukiat yang berjalan di samping Ki Lurah
menegakkan dadanya gagah. Seolah-olah dirinya-
lah yang paling berjasa. Senyumnya pun dibuat
penuh wibawa. Satu persatu, penduduk lain ke-

luar dari rumah sepanjang jalan yang dilalui Ki
Lurah dan Sukiat. Mereka juga ingin tahu, apa
yang terjadi. Dari kasak-kusuk itu, mereka tahu
kalau Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya yang selama ini meresahkan, telah tak-
luk tak berdaya di kedai milik Sukiat.
Maka berbondong-bondong pula mereka
mengikuti langkah Ki Lurah dan Sukiat. Diiringi
sorak sorai para penduduk, Sukiat makin mene-
gakkan dadanya.
Sebentar kemudian, kini mereka tiba di de-
pan kedai. 
"Nah itulah orangnya. Dengan dibantu seo-
rang  pendekar muda tadi, aku berhasil melum-
puhkan Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya!" tunjuk Sukiat, bangga. Kakinya terus
melangkah memasuki kedai.
Begitu tiba di dalam, Ki Lurah tidak meng-
gubris ucapan sok pahlawan yang dilontarkan
Sukiat. Ia justru lebih tertarik melihat tubuh Ju-
ragan Lanang dan kesepuluh anak buahnya yang
kaku tak dapat bergerak. Sekali lihat saja ia tahu
kalau perbuatan itu hanya dilakukan oleh seo-
rang pendekar muda. Sama sekali bukan oleh
Sukiat!
"Cepat, Ki! Seret manusia-manusia pembuat
onar ini ke hadapan adipati! Aku muak sekali me-
lihat tampang-tampang mereka!" sungut Sukiat.
"Iya. Tanpa kau suruh pun aku akan mela-
kukannya, Sukiat. Diamlah di tempatmu!" ujar Ki
Lurah agak jengkel melihat tingkah Sukiat yang
berlebihan.

Sukiat terdiam. Namun matanya melotot le-
bar.
Ki Lurah tidak mempedulikan. Segera dipe-
rintahkannya beberapa orang penduduk kam-
pung untuk segera mengikat Juragan Lanang dan
kesepuluh orang anak buahnya. Mereka pun se-
gera diseret untuk dibawa ke kadipaten. 
Ketika beberapa orang penduduk kampung
mulai menarik Juragan Lanang dan kesepuluh
anak buahnya keluar kedai, Sukiat malah kecewa
berat. Bibirnya yang dower manyun beberapa jari.
"Kau juga boleh ikut, Sukiat. Kaulah sak-
sinya!" seru Ki Lurah.
"Yayaya...! Aku memang harus ikut. Aku bu-
kan saja sebagai saksi, melainkan juga yang me-
nangkap Juragan Lanang berikut anak buahnya!"

6

Sesungguhnya apa yang terjadi terhadap
Soma? Siapa yang telah membokongnya? Bukan-
kah pemuda itu berkepandaian tinggi? Lalu kena-
pa mudah sekali diperdayai?
Jawabnya hanya satu. Sudah pasti si pem-
bokong memiliki kepandaian yang jauh lebih ting-
gi daripada Siluman Ular Putih. Kalau tidak, mus-
tahil murid Eyang Begawan Kamasetyo dapat se-
mudah itu diperdayai!
Dasar nasib lagi sial. Sudah dibokong lawan,
tulang ekor si pemuda pakai mencium batu lagi.
Maka makin hebat saja Soma meringis kesakitan.

Kambing yang mau beranak saja masih kalah se-
ru dibanding seringaian Siluman Ular Putih.
"Babi buntung! Kambing congek! Seenak ji-
datnya saja membokong orang!" maki  Soma ka-
lang kabut pada sosok yang tahu-tahu telah ber-
diri di depannya. Kedua telapak tangannya sibuk
mengelus-elus pinggang. Namun sebentar kemu-
dian tangannya sudah mengelus-elus jidatnya
yang berdenyut.
Sosok di hadapan Soma terkekeh senang.
Dia adalah seorang lelaki tua tak bergigi. Bajunya
berbentuk jubah kuning yang kedodoran sampai
lutut. Kepalanya plontos. Hanya alis, bulu mata,
dan jenggotnya yang memutih menandakan kalau
usianya telah lanjut. Tubuhnya tinggi kurus. Se-
pasang matanya yang kelabu bersinar jenaka.
"Hehehe...! Baru kali ini kulihat ada pemuda
setolol kau, Monyet Buduk. Apa begitu ya caranya
mengejar-ngejar gadis? Memalukan! Tak tahu
adat! Pemuda tolol macam kau memang patut di-
permainkan gadis cantik!" kata kakek ini terkekeh
gembira. Ia tadi memang melihat Soma tengah
mengejar-ngejar Putri Manja.
Soma terperangah. Bukan saja kesal dirinya
dibokong, melainkan juga kesal mendengar eje-
kan lelaki tua aneh di hadapannya. Belum lagi
melihat sikap si kakek yang tengik. Kalau menu-
rutkan perasaannya, ingin rasanya ia mendam-
prat. 
"Tidak ada hujan, tidak ada angin, kenapa
kau menyerangku, Kek. Siapa kau sebenarnya?"
kata Soma hati-hati. 

"Jangan banyak tanya! Cepat bangun! Siapa
sudi berkenalan denganmu!" semprot si kakek
kasar.
"Sial! Seharusnya aku yang marah. Bukan
dia!" gerutu Soma dalam hati. 
Siluman Ular Putih hanya bisa menggeleng-
geleng. Namun wajahnya tetap dipasang kalem.
"Baiklah kalau kau tidak mau menyebutkan
namamu. Tapi setidak-tidaknya tolong jelaskan,
mengapa kau menyerangku? Apa salahku, Kek?"
tuntut Siluman Ular Putih, seraya melompat ban-
gun dengan mulut meringis. 
Tangan si pemuda mengebut-ngebut pakaian
sebentar, lalu menatap orang tua di hadapannya.
Cukup aneh penampilannya memang. Namun,
Soma belum tahu siapa sebenarnya orang tua di
hadapannya.
"Jangan melangkah! Tetap di tempatmu! Aku
tak sudi mencium bau keringatmu!" ujar si kakek,
saat Siluman Ular Putih hendak bergerak me-
langkah.
"Baik, baik!" sahut Soma, seraya menahan
langkahnya.
"Nah begitu, Monyet Buduk. Tetap di tem-
patmu! Aku ingin memberimu hadiah."
"Apa yang ingin kau lakukan, Kek?"
"He he he...! Diam saja kau! Jangan banyak
tanya! Seharusnya kau mengucapkan terima ka-
sih. Bukannya cerewet seperti ini. Jarang aku
memberikan hadiah pada seseorang. Namun, kali
ini kau beruntung."
Habis berkata, lelaki tua aneh itu segera me-

rogoh saku jubahnya. Begitu tangan itu tercabut,
Soma terkesiap. Apa yang diambil orang tua di
hadapannya membuat keningnya berkerut. Di
tangan si kakek tampak sebuah nampan kecil
dengan beberapa cekungan seperti bentuk mai-
nan congklak dan sebuah kuas. Lalu tanpa
menghiraukan keheranan Soma, tangan kanan-
nya yang memegang kuas segera mengaduk-aduk
cekungan-cekungan kecil di dalam nampan.
Kening Soma makin berkerut heran. Kuas di
tangan orang tua di hadapannya itulah yang tadi
mencium jidatnya. Panjangnya hanya sejengkal
dengan lingkaran tengah tak lebih dari setengah
kuku. Tapi saat menghantam jidatnya tadi terasa
bagai sebuah balok besar.
"Slompret! Sebenarnya siapa orang tua di ha-
dapanku ini? Apa yang ingin ia lakukan?"
Soma terus bertanya-tanya dalam hati. Ha-
tinya penasaran sekali, ingin tahu siapa kakek
ompong di hadapannya itu?
"Bersiap-siaplah menerima hadiahku, Mo-
nyet Buduk! Sekarang cepat kau..."
"Maaf, Kek!" potong Soma dengan sangat
menyesal, terpaksa aku tak dapat menerima ha-
diahmu."
"Apa? Kau menampik, Monyet Buduk?" sen-
tak si kakek ompong, gusar. Hidungnya yang pe-
sek kembang kempis. "Tidak bisa! Siapa pun juga
tidak bisa menolak hadiah yang kuberikan. Tetap
di tempatmu. Dan, jangan banyak tanya!"
Soma sebenarnya ingin membantah. Namun
belum sempat membuka mulut, mendadak kuas

di tangan si kakek ompong yang telah berlumuran
cat telah menyerang dirinya. Tentu saja Soma ti-
dak sudi tubuhnya  dicorat-coret. Maka seketika
Siluman Ular Putih segera berkelit ke samping.
"Bodoh! Tetap di tempatmu! Apa kau tak in-
gin menerima hadiahku, he?! Ingat! Seharusnya
kau berterima kasih padaku, karena aku akan
memberimu hadiah. Tapi kau malah bertingkah!
Hayo, cepat tetap di tempatmu!" hardik si kakek
ompong.
"Enak saja! Badan mau dicorat-coret kok
disuruh berterima kasih. Beruntung lagi katanya.
Huh!" dengus hati Siluman Ular Putih kesal.
"Kalau kau tetap bersikeras menolak ha-
diahku, terpaksa aku akan memaksamu, Monyet
Buduk."
"Kau sungguh keterlaluan, Kek. Sudah me-
nyerang kepalaku, sekarang masih mau menco-
ret-coret tubuhku. Tentu saja aku menolak, Kek."
"Bagus! Mau tidak mau, aku tetap akan
memberimu hadiah," tandas si kakek ompong se-
raya menyerang Siluman Ular Putih dengan kuas
berlumur darah.
Kesabaran Siluman Ular Putih pun habis. Ia
kini tidak lagi sekadar menggerutu, melainkan ju-
ga sudah mencari maki saat diserang begitu. Na-
mun anehnya kakek ompong itu hanya terkekeh
senang. Sementara kuas di tangan kanannya te-
rus memburu tubuh Siluman Ular Putih yang
hanya berusaha berkelit
''Sontoloyo! Siapakah sebenarnya kakek om-
pong ini? Kenapa ia bernafsu sekali memberiku

hadiah? Ah...! Ya, ampun! Dia... dia...!"
Mendadak Siluman Ular Putih memekik da-
lam hati. Kini ia teringat cerita gurunya, Eyang
Begawan Kamasetyo sewaktu masih di puncak
Gunung Bucu.
"Tunggu, Kek! Apakah kau yang bergelar Pe-
lukis Sinting Tanpa Tanding dari Goa Bedakah?"
cegah Siluman Ular Putih, berharap agar Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang sebenarnya masih
terhitung sahabat dekat eyangnya itu mau meng-
hentikan perbuatan sintingnya.
Kakek ompong yang ternyata bergelar Pelu-
kis Sinting Tanpa Tanding sempat menghentikan
serangannya seraya terkekeh senang.
"He he he...! Meski kau telah mengenalku,
bukan berarti aku harus mengurungkan membe-
rimu hadiah. Cepat diam di tempatmu!" ujar si
kakek. 
Soma memang tetap diam di tempatnya, na-
mun kali ini malah menelangkupkan kedua tela-
pak tangannya di depan hidung penuh hormat.
"Terimalah hormatku, Kek! Aku yang bodoh
ini adalah murid sekaligus cucu Eyang Begawan
Kamasetyo dari puncak Gunung Bucu, Kek," ucap
Soma.
"Hm...! Bagus! Dasar bodoh, tetap saja bo-
doh. Kau sudah mengakuinya sendiri. Apa kau
pikir kalau aku tahu kau murid sekaligus cucu
sahabatku, aku harus mengurungkan memberi-
mu hadiah?! Tidak! Dengan dalih apa pun, aku
akan tetap memberimu hadiah. Seperti tadi aku
memanggil, aku akan memberimu hadiah lukisan

seekor monyet buduk di dadamu! Cepat tetap di
tempatmu! Dan bila kali ini kau bertingkah, ter-
paksa aku harus melumuri sekujur tubuhmu
dengan cat ini!"
Siluman Ular  Putih menggaruk-garukkan
kepalanya. Bingung. Sulit memang menghadapi
kakek sinting itu. Dia yang biasanya bersikap ug-
al-ugalan, kini mati kutu dibuatnya.
"Jangan dong, Kek! Masa' kau tega melumuri
tubuh cucumu sendiri dengan cat," rayu Soma.
"Tutup mulutmu, Monyet Buduk! Kau pikir
aku luruh dengan rayuan gombalmu itu, he?!"
hardik Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Tapi... tapi aku tidak mau tubuhku dicoreng
moreng dengan catmu, Kek."
"Itu berarti aku harus memaksamu!"    
Memang percuma saja Siluman Ular Putih
meladeni kakek sinting itu. Bagaimanapun berki-
lah, tetap saja si kakek mendesaknya.
"Hm... lebih baik kutinggalkan saja...." 
Habis menggumam begitu, Siluman Ular Pu-
tih berbalik dan berkelebat cepat.
"Hey...! Tunggu! Kau tidak boleh meninggal-
kan ku! Aku belum memberimu hadiah!" teriak si
kakek.
Dengan sekali menghentakkan kaki ke ta-
nah, tahu-tahu tubuh tinggi kurus Pelukis Sint-
ing Tanpa Tanding telah berkelebat cepat menge-
jar Siluman Ular Putih. Dan hanya dalam bebera-
pa kali menghentakkan kaki, tokoh sakti itu telah
berdiri tegak di hadapan Siluman Ular Putih.
Bahkan bukan itu saja. Begitu berada di hadapan

murid Eyang Begawan Kamasetyo, kuas di tangan
kanannya telah digerakkan. 
Wuttt...!
"Heit! Tidak kena!" ejek Soma cepat berkelit
ke samping.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus membu-
ru. Bahkan gerakan kuas di tangan kanannya
semakin cepat. Hal ini tentu saja membuat Silu-
man Ular Putih kewalahan dibuatnya. Berkali-kali
tubuhnya harus berjumpalitan ke sana kemari
menghindari serangan-serangan kuas Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Tapi sayang, berkali-kali
pula tubuh Siluman Ular Putih tergores kuas mi-
lik lelaki tua aneh dari Goa Bedakah itu.
Srattt! Srattt! 
"Sial...!"
Siluman Ular Putih menggerutu kesal dari
guratan-guratan kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding, samar-samar kini mulai memben-
tuk kepala seekor monyet di dadanya.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang.
"Ah, tidak percuma rupanya aku. Lukisanku
ternyata masih cukup lumayan. Kau sungguh be-
runtung, Monyet Buduk. Tapi, tunggu dulu. Ada
beberapa bagian yang belum sempurna," kata si
kakek ompong ini.
"Beruntung kepalamu!" umpat Soma, mem-
batin. "Badan dicoreng moreng begini, dibilang
beruntung. Huh...! Dasar tua bangka sinting! Ku-
rang kerjaan!"
Siluman Ular Putih terus menyumpah sera-

pah dalam hati. Tindakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding benar-benar sudah melampaui batas.
Mana sudi bangkotan tua dari Goa Bedakah itu
dibiarkan mempermainkan dirinya? Meski Pelukis
Sinting Tanpa Tanding adalah sahabat dekat
eyangnya, namun Siluman Ular Putih tetap tidak
dapat menerima tindakan yang merendahkan di-
rinya itu.
Kini Siluman Ular Putih tidak lagi hanya
menghindar begitu melihat kuas di tangan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding kembali memburu. Ia ha-
rus bertindak. Hadiah sinting dari tua bangka
sinting itu  harus dihentikan. Maka kini kedua
tangannya mulai mengibas untuk memapak.
Plakkk! Plakkk!
Soma berhasil menangkis tangan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Namun anehnya, tangan-
nya sendiri yang malah bergetar hebat. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempa-
tan inilah segera dimanfaatkan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Sambil terkekeh-kekeh senang
kembali kuas di tangannya bergerak cepat meng-
gores dada Siluman Ular Putih beberapa kali.
Srattt! Srattt!
Siluman Ular Putih terperangah. Matanya
makin membelalak lebar saat melirik ke dada.
Gambar seekor monyet kurus mulai terlihat nyata
di dadanya. Hatinya geram bukan main. Kalau sa-
ja tua bangka di hadapannya bukan sahabat
eyangnya, sudah pasti akan dibalasnya kekuran-
gajaran Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sementara Pelukis Sinting Tanpa Tanding

malah makin terkekeh senang. Ujung kuas di
tangan kanannya dituding-tudingkannya ke arah
Siluman Ular Putih.      
"Ya ya ya...! Cukup bagus. Kukira kau me-
mang tak ubahnya seperti gambar lukisanku di
dadamu, Monyet  Buduk. Sekarang, kau boleh
pergi! Eh, tunggu! Ada sesuatu yang ingin kuta-
nyakan Bocah. Apakah kau pernah melihat Pen-
gasuh Setan?" kata Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing tiba-tiba mengubah alur pembicaraan.
Siluman Ular Putih yang sedang mengkelap
mana sudi menjawab pertanyaan Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. Soma hanya menggerutu kesal,
lalu menggeloyor pergi seenaknya.
"Monyet buduk! Kau tidak boleh meninggal-
kanku begitu saja. Kau harus menjawab perta-
nyaanku baru kau boleh pergi!" teriak Pelukis
Sinting Tanpa. Tanding seraya berkelebat, meng-
hadang jalan Siluman Ular Putih. 
Soma melotot garang. Namun diam-diam ha-
tinya jadi heran. Buat apa bangkotan tua itu
mencari Pengasuh Setan? Ia memang pernah
mendengar tentang Pengasuh Setan dari Eyang
Bromo. Dan baru sekarang disadari kalau Penga-
suh Setan adalah musuh besar Pelukis Sinting
Tanpa Tanding. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Siluman Ular Putih dalam episode : "Penguasa
Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur").
"Meski tahu, belum tentu aku sudi menja-
wab pertanyaanmu, Kakek Ompong!" sahut Soma,
seenaknya. 
"Apa? Kau tidak mau menunjukkan di mana

Pengasuh Setan berada, Monyet Buduk?!" sentak
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kau sendiri yang punya keperluan. Buat
apa tanya-tanya aku segala. Tadi kau bilang, aku
bodoh. Kalau kau sendiri merasa lebih pintar, ke-
napa tidak kau tanyakan saja pada setan-setan
gentayangan penghuni hutan ini. Siapa tahu me-
reka mau berbaik hati padamu!" 
"Ah...! Rupanya kau kecewa dengan hadiah-
ku, ya? Tapi kupikir, hadiahku tidak buruk. Ke-
napa kau tidak mau menunjukkan di mana Pen-
gasuh Setan berada, Monyet Buduk?!" kata si ka-
kek.
"Mau kecewa kek, tidak kek. Yang jelas, kau
telah menggangguku. Karena kau masih terhitung
sahabat dekat eyangku, maka kuampuni kelan-
canganmu ini. Tapi untuk menjawab perta-
nyaanmu, aku tak sudi! Dan lagi aku memang ti-
dak tahu di mana dia berada!" sahut Soma ketus.
Habis menyahut, tanpa banyak cakap murid
Eyang Begawan Kamasetyo meninggalkan tempat
itu. 
Kali ini Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya
terpaku di tempatnya. Tak ada keinginan lagi un-
tuk mengejar murid Eyang. Begawan Kamasetyo.
Yang dilakukannya hanya menggumam kecil, se-
belum akhirnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu.