Siluman Ular Putih 12 - Lukisan Darah(1)


1

Rona merah tembaga masih menghiasi seba-
gian  langit  di sebelah  barat. Gumpalan awan hitam
yang berarak makin membuat suasana malam itu te-
rasa mencekam. Sementara kerlip berjuta bintang ter-
lihat terpuruk, tak berdaya menembus kegelapan ma-
lam.
Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di
antara kerapatan pohon di luar hutan Kadipaten Ple-
ret. Gerakan kaki sosok berpakaian hitam yang begitu
ringan membuat langkahnya terayun cepat, hingga da-
lam waktu yang tidak lama telah sampai di luar tem-
bok batas kadipaten. Sosok ini segera menyelinap ke
balik rindangnya sebatang pohon. Sepasang matanya
yang mencorong tajam terus memperhatikan tembok
tinggi di hadapannya. Dengan senyum sinis terkem-
bang di bibir. Sosok bayangan hitam mengalihkan
pandangan matanya pada keempat prajurit jaga di de-
pan pintu gerbang sebelah barat Kadipaten Pleret.
Sosok ini terlihat semakin memperlebar se-
nyum. Wajahnya yang kasar penuh cambang dan ku-
mis tampak demikian menyeramkan. Rambutnya pan-
jang tergerai sebahu. Berperut buncit dengan Sepa-
sang mata mencorong  tajam. Tubuh sosok itu tinggi
besar.
Di kepalanya melingkar ikat kepala berwarna
hitam. Sosok berpakaian hitam-hitam itu tidak lain
Raja Maling.
Seperti dituturkan dalam Persekutuan Maut,
Raja Maling kini telah bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin dan Pelajar Agung. Atas perintah kedua orang
itu pulalah Raja Maling hendak mencuri Lukisan Da-
rah yang disimpan dalam ruang pusaka Kadipaten Ple-

ret.
"Hm...! Hanya prajurit-prajurit bodoh tak ber-
guna. Sebaiknya secepatnya aku masuk ke dalam,"
gumam Raja Maling seraya mengangguk-anggukkan
kepala.
Senyum sinisnya masih terkembang di bibir.
Dengan sekali menjejakkan kaki sosok Raja Maling
meloncat ke atas tembok. Sejenak diperhatikannya
keadaan sekitar dengan seksama. Setelah dirasanya
aman, karena tak ada satu prajurit jaga pun yang me-
mergoki dirinya, Raja Maling meloncat turun lalu ber-
lari menuju istana kadipaten.
Tiba di samping bangunan utama istana, Raja
Maling melesat naik ke atas wuwungan atau atap ban-
gunan istana Kadipaten Pleret. Berkat ilmu meringan-
kan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi itu
Raja Maling dengan mudah mengecoh para prajurit ja-
ga di sekitar istana. Kini ia telah berada di atas wu-
wungan. Raja Maling sejenak memperhatikan keadaan
sekitar. 
"Aku memang sudah tahu Lukisan Darah ter-
simpan di ruang pusaka lorong bawah tanah. Tapi aku
tidak tahu pasti di mana tempat yang dimaksudkan
guru itu. Yang pasti di satu tempat yang sangat raha-
sia. Kukira aku harus mengorek keterangan dari seo-
rang prajurit," pikir Raja Maling.
Raja Maling segera mengedarkan pandangan-
nya kembali. Malam belum begitu larut. Tampak bebe-
rapa prajurit jaga kadipaten siap siaga di tempat mas-
ing-masing. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari bi-
asanya. Mungkin dikarenakan akan meletusnya pem-
berontakan hingga Adipati Pleret memerintahkan un-
tuk memperketat penjagaan. Hal ini memaksa Raja
Maling harus berhati-hati.
Sebenarnya mudah saja bagi tokoh sesat itu

untuk melumpuhkan para prajurit jaga dengan ajian
'Sirep Sukma'. Tapi menurutnya hal tersebut tak ada
gunanya. Ia hanya ingin mengetahui di mana letak
ruang pusaka tempat tersimpannya Lukisan Darah. Ia
cuma perlu melumpuhkan salah seorang prajurit. Tapi
di bagian belakang istana itu terdapat empat orang
prajurit jaga.
Raja Maling mengeretakkan gerahamnya seben-
tar. Lalu, dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, Raja Maling berkelebat lincah di atas wuwungan.
Sementara di bawah bangunan dekat taman kesa-
triaan empat orang prajurit tengah berjaga. Sepasang
mata mereka dengan awas memperhatikan keadaan
sekitar.
Mendadak keempat prajurit jaga itu dikejutkan
oleh berkelebatnya sesosok tubuh dari atas wuwun-
gan. Keempatnya yang memang dalam keadaan siaga
cepat menyambuti sosok hitam itu dengan pedang di
tangan. Namun sayang gerakan mereka terlalu lamban
dibandingkan gerak tangan sosok hitam.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Empat kali tangan Raja Maling bergerak cepat.
Terdengar pekik keempat prajurit jaga kala tubuh me-
reka tertotok. Sehabis menotok kaku keempat prajurit
jaga, Raja Maling menotok urat-urat leher mereka. Se-
ketika teriakan para prajurit jaga itu terhenti. Namun
teriakan mereka tadi telah mengundang perhatian pra-
jurit lain hingga ingin melihat apa yang terjadi. Men-
dengar suara ribut-ribut, Raja Maling buru-buru me-
nyembunyikan ketiga orang prajurit jaga ke balik seba-
tang pohon. Sedang yang seorang diseretnya ke tempat
yang aman.
"Aku tidak ingin menyakitimu. Tapi kalau kau
tidak mau menuruti kemauanku, terpaksa aku akan
membunuhmu! Sekarang cepat katakan di mana letak

ruang pusaka?!" bentak Raja Maling garang. Suaranya
tidak begitu lantang karena takut terdengar oleh para
prajurit.
Sepasang mata prajurit jaga itu membelalak
liar. Kedua bibirnya hanya berkemik-kemik tanpa se-
patah kata pun yang terucap. Namun perasaan ngeri
mendengar ancaman Raja Maling tampak terbayang je-
las di wajahnya. Raja Maling cukup tahu itu. Namun ia
belum juga bertindak. Malah lelaki itu kembali mem-
bentak garang.
"Sekali lagi kau tidak mau menuruti kemaua-
nku, jangan harap aku akan mengampuni nyawamu,
Prajurit. Cepat katakan di mana letak ruang pusaka?!"
Prajurit jaga kembali membelalakkan matanya
liar. Dari kilatan mata itu Raja Maling mendapat kesan
kalau prajurit tersebut akan membuka suara.
"Baik. Aku berjanji tidak akan membunuhmu
kalau kau mau bicara," Raja Maling lalu menotok pulih
jalan suara di tenggorokan prajurit itu. "Nah, sekarang
katakan di mana letak ruang pusaka. Kalau kau berte-
riak, aku akan segera meremukkan batok kepalamu!"
"Kau.... Kau siapa?" kata prajurit itu gemeta-
ran.
"Jangan banyak tanya! Cepat katakan di mana
letak ruang pusaka!"
Prajurit jaga menelan ludahnya sebentar.
"Ruang pusaka terletak persis di belakang ista-
na. Kau dapat memasukinya setelah membuka pintu
batu di samping taman. Tapi meski kau dapat masuk,
belum tentu bisa mengalahkan orang tua aneh yang
bergelar Penjaga Pintu."
"Jangan banyak bacot! Aku, Raja Maling, tidak
pernah takut pada siapa pun!" bentak Raja Maling.
Lalu jari-jari tangannya yang besar kembali
menotok jalan suara prajurit jaga.

Prajurit itu kembali terbungkam walau sebe-
narnya ia masih ingin berkata. Raja Maling sendiri se-
gera berkelebat ke belakang istana. Gerakan kedua
kakinya ringan sekali. Dalam beberapa kelebatan saja
Raja Maling telah sampai di halaman belakang taman
kadipaten.
Sejenak Raja Maling memperhatikan keadaan
seputar taman. Sepasang matanya yang mencorong ta-
jam kini tertuju pada batu sebesar kerbau di dekat po-
hon nangka.
"Hm...! Ini pasti pintu batu yang dimaksud pra-
jurit itu. Sebab di seputar taman hanya ada batu itu
saja. Aku harus membuka pintu batu itu terlebih da-
hulu. Mengenai orang tua aneh yang bergelar Penjaga
Pintu tak perlu ku khawatirkan. Dengan menggunakan
aji 'Sirep Sukma' pasti dapat kulumpuhkan orang tua
aneh itu," kata Raja Maling dalam hati.
Raja Maling melangkah lebar mendekati batu
sebesar kerbau. Sesampainya di dekat batu besar Raja
Maling tertegun bingung tak tahu apa yang harus di-
perbuat. Ia belum menemukan cara bagaimana mem-
buka pintu batu.
Kalau dihancurkan jelas tidak mungkin. Di
samping batu itu belum tentu terbuka, suara ribut dari
pecahan batu akan mengundang para prajurit untuk
berdatangan. Raja Maling tak menginginkan hal itu
terjadi. Maka diputuskannya untuk mengerahkan te-
naga dalam guna menggeser pintu batu. Sebab, keba-
nyakan tempat rahasia yang ditutup dengan batu da-
pat dibuka dengan cara menggesernya atau menemu-
kan alat rahasia untuk membukanya.
"Ya. Kukira aku harus mencari alat rahasia itu
terlebih dahulu. Kalau tidak berhasil terpaksa aku
menggeser pintu batu," pikir Raja Maling lebih lanjut.
Kedua telapak tangan yang sudah gatal ingin

mendapatkan Lukisan Darah segera meraba beberapa
bagian batu. Sementara sepasang mata Raja Maling
begitu seksama memperhatikan keadaan batu. Setelah
beberapa saat lamanya Raja Maling tidak juga mene-
mukan alat rahasia yang dicari. Raja Maling menyu-
rutkan langkahnya setindak.
"Setan alas! Aku hanya membuang-buang wak-
tu saja. Seharusnya sudah sedari tadi ku geser pintu
batu keparat itu. Baik. Sekarang juga aku akan meng-
geser pintu batu ini!"
Raja Maling mempersiapkan diri sejenak. Dis-
ingsingkannya lengan baju sebelum menempelkan ke-
dua telapak tangannya ke batu. Perlahan namun pasti
Raja Maling mengerahkan tenaga dalam.
Krek! Krek!
Ternyata pintu batu itu bergeser. Raja Maling
gembira bukan main. Sedikit demi sedikit tampaklah
lobang menganga di hadapannya. Lobang itu memang
tidak terlalu lebar, namun cukup untuk menerobos ke
dalam. Tanpa banyak cakap Raja Maling segera masuk
ke dalam lobang. 
Wesss!
Laksana segumpal kapas kedua telapak kaki
Raja Maling mendarat di lantai ruangan dengan tanpa
menimbulkan bunyi. Sejenak Raja Maling memperha-
tikan suasana dalam ruangan bawah tanah itu. Dari
temaramnya sinar obor di sudut ruangan dapat terlihat
jelas berbagai macam senjata pusaka Kadipaten Pleret.
Dan, sepasang mata Raja Maling membeliak lebar.
Pandang matanya tertumbuk pada sebuah lukisan
wanita telanjang berwarna merah darah.
Raja Maling gemetaran di tempatnya melihat
barang yang akan dicuri itu. Lukisan di sudut ruangan
tersebut memang cukup menggetarkan hati. Bukan sa-
ja karena Raja Maling ingin mencuri lukisan itu, ha-

tinya juga tergetar melihat sepasang buah dada yang
membusung dalam lukisan berwarna merah darah.
Bagian pahanya tertutup kain tipis berwarna putih.
Raja Maling terangsang melihat pemandangan indah di
hadapannya. Padahal ia tahu itu hanyalah sebuah lu-
kisan. Konon, warna merah dalam lukisan itu adalah
darah perawan yang digunakan untuk melukis.
"Lukisan hebat.... Aku harus secepatnya men-
gambil lukisan itu!" desis Raja Maling.
Perlahan-lahan Raja Maling mulai melangkah
mendekati. Baru saja dua langkah kakinya terayun,
mendadak ia dikejutkan oleh bentakan garang seseo-
rang. Disusul berkelebatnya sesosok bayangan.
"Siapa pun adanya kau pasti mempunyai mak-
sud tidak baik! Nyawamulah sebagai tebusan kelan-
canganmu memasuki ruang pusaka bawah tanah ini!"

***

Raja Maling membelalakkan mata lebar-lebar.
Di hadapannya kini telah tegak seorang kakek berusia
delapan puluh tahunan. Rambutnya yang panjang
memutih digelung ke atas. Tubuhnya tinggi kurus, di-
balut jubah besar warna kuning. Tangan kanan kakek
itu menggenggam sebatang tongkat berkepala ular ko-
bra yang juga berwarna kuning.
"Hm...! Inikah orang tua aneh yang bergelar
Penjaga Pintu?" gumam Raja Maling dalam hati. "Aku
harus berhati-hati. Melihat kemunculannya yang sama
sekali tidak terdengar olehku, bukan mustahil orang
tua di hadapanku ini memiliki kepandaian tinggi"
"Sebaiknya enyahlah kau dari hadapanku, Tua
Bangka Busuk! Percuma saja kau menghadapi Raja
Maling. Aku memang mempunyai maksud tidak baik.
Aku menginginkan Lukisan Darah!"

Orang tua aneh yang bergelar Penjaga Pintu
terkesiap kaget. Dadanya sedikit ditarik ke belakang.
Lalu, dengan sepasang mata berkilat-kilat Pen-
jaga Pintu membentak Raja Maling.
"Bedebah! Kau pikir gampang mewujudkan
niatmu, Raja Maling? Boleh saja kau curi lukisan itu
kalau dapat melangkahi mayatku terlebih dahulu!"
Raja Maling tersenyum sinis. Tampak sekali ka-
lau ia tidak takut menghadapi Penjaga  Pintu. Malah
dengan sedikit mencibirkan bibir Raja Maling terus
melangkah tanpa peduli. Namun baru beberapa lang-
kah, Raja Maling merasakan berkesiurnya angin dingin
yang menyambar dada.
"Keparat! Berani kau menghalangi maksudku,
he?!" bentak Raja Maling seraya mengibaskan tangan
kanan. Seketika, serangkum angin dingin dari kibasan
tangan itu memapaki pukulan Penjaga Pintu.
Bummm...!
Raja Maling memekik kaget. Tubuhnya terpen-
tal ke belakang hingga membentur dinding.
"Setan alas! Tak kusangka tenaga dalam orang
tua ini begitu tinggi. Tak salah apa yang dikatakan
prajurit jaga tadi. Aku harus berhati-hati!" geram Raja
Maling.
Penjaga Pintu kembali menyerang Raja Maling.
Diiringi teriakan nyaring kedua telapak tangannya
yang berubah kekuningan hingga ke pangkal siku me-
luruk maju.
Raja Maling menggerutu dalam hati. Belum
sempat serangan Penjaga Pintu mengenai sasaran, an-
gin dingin telah berkesiur menyambar-nyambar tu-
buhnya.
Raja Maling kesal bukan main. Bukan kesal
melihat datangnya serangan, melainkan kesal men-
dengar teriakan Penjaga Pintu yang tentu mengundang

para prajurit jaga. Maka begitu melihat datangnya se-
rangan, Raja Maling segera mendorong kedua telapak
tangannya dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
"Heaaa...!"
Dikawal bentakan keras Raja Maling memapaki
pukulan Penjaga Pintu. Terdengar ledakan dahsyat
memenuhi ruangan. Batu-batu kecil dari atap ruangan
jatuh berguguran.
Raja Maling sendiri memekik keras. Tubuhnya
terlempar, dan untuk kedua kali membentur tembok di
belakangnya. Parasnya langsung berubah pias. Darah
segar mengalir dari sudut-sudut bibir. Agaknya Raja
Maling menderita luka dalam cukup hebat.
Di hadapannya Penjaga Pintu terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Namun hanya
sebentar. Setelah dapat menguasai keseimbangan ba-
dan, Penjaga Pintu kembali menyerang Raja Maling.
Kedua telapak tangannya yang berwarna kuning siap
menghajar tubuh lawan.
Raja Maling mengeluh. Dalam dua kali gebra-
kan, jelas tadi tenaga dalamnya masih kalah beberapa
tingkat di bawah lawan.
"Kalau begini caranya aku bisa modar. Aku ha-
rus secepatnya mengeluarkan aji 'Sirep Sukma'," pikir
Raja Maling.
Lelaki itu segera mengerahkan kekuatan batin-
nya. Kedua bibirnya berkemik-kemik membacakan
mantra ajian 'Sirep Sukma'. Selang beberapa saat,
mendadak Penjaga  Pintu menghentikan serangannya.
Sepasang matanya membelalak lebar. Namun, menda-
dak pula sepasang mata itu meredup seolah-olah dis-
erang rasa kantuk yang luar biasa.
Raja Maling tertawa gembira. Di saat Penjaga
Pintu berusaha melawan rasa kantuk yang menye-
rangnya, kedua telapak tangan Raja Maling menghan-

tam ke depan.
Bukkk! Bukkk!
Penjaga Pintu memekik keras. Tanpa ampun
lagi tubuhnya yang tinggi kurus langsung terlempar ke
belakang bak layangan putus dari benangnya, lalu
menghantam dinding ruangan.
"Itulah akibatnya bagi orang yang berani mela-
wan Raja Maling!" desis Raja Maling penuh kemenan-
gan.
Penjaga Pintu merintih kesakitan. Telapak tan-
gannya mendekap dada erat-erat. Sebelah tangan yang
lain menggapai-gapai dinding ruangan berusaha untuk
bangkit. Namun sayang tubuhnya kembali luruh ke
lantai. Dan di saat Raja Maling melangkah mendekati
Lukisan Darah yang keramat, dengan napas tersengal
Penjaga Pintu berteriak sekeras mungkin.
"Ma.... Maling...!"
Habis berteriak, kepala Penjaga Pintu jatuh ter-
kulai dan tidak bergerak-gerak lagi. Mendengar teria-
kan tadi Raja Maling jadi gusar bukan main. Buru-
buru didekatinya Lukisan Darah lalu segera menyam-
barnya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi, Raja Maling berkelebat cepat
keluar dari ruangan bawah tanah.
"Hea...!"
Sekali menjejakkan kakinya tubuh tinggi besar
Raja Maling telah melesat cepat. Namun baru saja ke-
dua telapak tangan Raja Maling mendarat di luar
ruangan, terdengar teriakan-teriakan beberapa orang.   
"Maling! Ia mencuri Lukisan Darah!"
"Tangkap maling itu!"
"Kita cincang sampai lumat!"
Raja Maling menggeram penuh kemarahan. Ka-
lau menurutkan perasaan ingin ia menghajar prajurit-
prajurit jaga itu. Namun Raja Maling berpikir lain. Ba-

gaimanapun juga ia tidak ingin bentrok dengan para
prajurit Kadipaten Pleret. Jika akhirnya harus kehilan-
gan Lukisan Darah. Malah bukan mustahil nyawanya
turut melayang.
Begitu melihat beberapa prajurit Kadipaten Ple-
ret berlarian mengejar dirinya, Raja Maling menjejak-
kan kakinya ke tanah dan berkelebat meninggalkan
tempat itu. Sosok tinggi besar Raja Maling dengan ce-
pat menghilang di kegelapan malam.
Sambil berteriak-teriak nyaring para prajurit
Kadipaten Pleret terus melakukan pengejaran. Bahkan
beberapa tokoh sakti kadipaten turut mengejar. Sa-
yang, ilmu meringankan tubuh tokoh-tokoh sakti Ka-
dipaten Pleret masih di bawah kepandaian ilmu Raja
Maling. Sebentar saja mereka telah kehilangan jejak
buruannya.
Prajurit-prajurit kadipaten merasa kecewa. Na-
mun apa boleh buat. Mereka telah kehilangan jejak si
pencuri. Dengan sangat terpaksa mereka segera mela-
porkan hilangnya Lukisan Darah pada Adipati Pleret.
Sang adipati murka bukan main. Saat itu juga
Adipati Pleret memerintahkan beberapa tokoh sakti
kadipaten untuk mencari sampai ketemu orang yang
telah mencuri Lukisan Darah.

***

2

Malam itu angin berhembus sangat kencang.
Ranting-ranting pohon di luar Kadipaten Pleret saling
berderak, seolah-olah mengisyaratkan pada seluruh
penghuni alam mayapada agar selalu mengingat Yang
Maha di Atas. Karena hanya Yang Maha di Atas sajalah

yang memiliki kekuasaan begitu besar. Mendatangkan
angin dan membiarkan rembulan bersinar terang, se-
perti suasana malam itu.
Dalam terangnya sinar rembulan sesosok tu-
buh berpakaian putih keperakan tampak berdiri tegak
di bibir sebuah jurang  dalam Hutan Pager Kukuh.
Suatu hutan lebat di sebelah barat Kadipaten Pleret.
Bak tonggak kaku sosok berpakaian putih keperakan
itu terus memperhatikan nyala obor di bawah jurang.
Sosok itu adalah seorang pemuda tampan ber-
wajah polos kekanak-kanakan. Usianya kira-kira dela-
pan belas tahun. Rambutnya tergerai di bahu. Rompi
bersisiknya yang berwarna putih keperakan terlihat
berkibar-kibar tertiup angin. Tampaklah senjata pusa-
ka yang berupa anak panah bercakra kembar. Cukup
unik memang senjata anak muda bergelang akar bahar
di kedua pergelangan tangannya itu. Pemuda tampan
tersebut tidak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sepasang matanya yang tajam bak sepasang mata ra-
jawali terus memperhatikan nyala obor. Entah kenapa
tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menge-
rutkan kening.
"Heran. Tak kusangka di tempat sesunyi ini
terdapat sebuah bangunan megah. Aku dapat melihat-
nya dengan samar-samar. Jangan-jangan tempat itu
yang menjadi markas gerombolan pemberontak Partai
Kawula Sejati? Bisa jadi!" gumam Soma pelan.
Dan kenyataannya, di bawah jurang Sana me-
mang terdapat banyak nyala obor. Dibantu dengan te-
rangnya sinar rembulan tampaklah sebuah bangunan
megah. Tempat itulah yang menjadi sarang kaum
pemberontak Partai Kawula Sejati.
"Ya...! Aku yakin pasti tempat itulah markas
kaum pemberontak Pimpinan Pangeran Pemimpin. Ka-
lau tidak, di mana lagi? Aku sudah berputar-putar di

sekitar hutan ini. Aku harus secepatnya ke sana. Salah
seorang Putri Kadipaten Pleret yang bernama Putri Se-
kartaji saat ini tengah menjadi tawanan Pangeran Pe-
mimpin. Aku harus secepatnya membebaskan Putri
Sekartaji.  Kalau perlu sekalian menumpas manusia-
manusia pemberontak itu!" kata Soma lagi berkata
sendirian. 
Murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar
Siluman  Ular Putih itu pun hendak meninggalkan
tempat tersebut. Namun baru saja kakinya akan di-
ayunkan, sepasang matanya yang tajam melihat se-
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam tengah mengen-
dap-endap menuruni jurang itu.
Soma curiga dibuatnya. Sosok hitam itu seo-
rang laki-laki bertubuh tinggi besar. Tangan kanannya
menenteng sebuah pigura berisi lukisan dalam kea-
daan terbalik. Tatkala sosok hitam itu membalikkan
badan barulah Soma dapat melihat kalau lukisan ter-
sebut ternyata bergambar seorang wanita telanjang.
Itulah Lukisan Darah yang baru saja dicuri Raja Mal-
ing! Dan melihat ciri-ciri sosok berpakaian hitam me-
mang dialah tokoh sesat itu.
"Ooooi...! Siapa di situ?!" teriak Soma lantang.
Tubuhnya segera berkelebat mendekati Raja Maling.
Raja Maling terkesiap kaget. Tidak disangka dia
akan bertemu seseorang yang tak dikenal di dekat
markas Partai Kawula Sejati.
"Hm...! Siapakah kunyuk gondrong ini? Apakah
ia salah seorang tokoh sakti kadipaten yang ditu-
gaskan untuk menangkap aku? Atau, bisa jadi seorang
mata-mata Kadipaten Pleret?" gumam Raja Maling.
Soma mengerutkan kening. Sepasang matanya
terus memperhatikan lukisan telanjang di tangan Raja
Maling. Tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
tersenyum.

"Lukisanmu sungguh menarik, Orang Tua? Ta-
pi kenapa harus bergambar wanita telanjang? Meski
sebenarnya aku senang sekali melihatnya. Hebat! Ru-
panya kau seorang pelukis andal. Siapa namamu,
Orang Tua?"
Raja Maling menyipitkan mata. Dipandanginya
pemuda gondrong di hadapannya lekat-lekat.
"Kau ini bagaimana sih, Orang Tua? Ditanya
kok malah memandangi. Apa memang begini watak
seorang pelukis. Kukira tidak, kan? Lantas kenapa kau
tampak uring-uringan begitu?"
"Jangan banyak bacot! Siapa kau sebenarnya.
Dan mau apa kau datang ke tempat ini?!" bentak Raja
Maling.
"Ah...! Rupanya benar. Ternyata kau pemarah,
Orang Tua. Tapi tidak apa-apa. Aku senang berkenalan
dengan seorang pemarah. Namaku Soma. Seorang
pengembara miskin lagi bodoh. Mengenai maksudku
menemuimu sekarang, aku hanya ingin bertanya apa
benar tempat di bawah jurang sana itu markas Partai
Kawula Sejati yang ingin memberontak?"
Raja Maling makin menyipitkan mata. Ia ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa pemuda di ha-
dapannya ini sebenarnya? Melihat sikapnya yang keto-
lol-tololan pasti ia bukan mata-mata kadipaten mau-
pun tokoh sakti yang ditugaskan untuk menangkap di-
rinya. Tapi kenapa ia menanyakan markas Partai Ka-
wula Sejati? Apa ia ingin bersekutu dengan tokoh-
tokoh lainnya yang ingin membantu perjuangan Pan-
geran Pemimpin? 
"Kalau memang itu adalah markas Partai Kawu-
la Sejati, kau mau apa, Bocah? Apa kau ingin berga-
bung dengan Pangeran Pemimpin? Kau kira mudah,
he! Jangankan pemuda dungu macam kau, aku sendiri
belum tentu diterima menjadi anggota Partai Kawula

Sejati kalau tidak berhasil mencu...," hampir saja Raja
Maling kelepasan bicara.
"Mencuri maksudmu? Jadi kau pencuri? Apa
kau mencuri lukisan itu, Orang Tua?"
"Jangan banyak bacot! Aku pencuri kek, tidak
kek, itu bukan urusanmu!" bentak Raja Maling.
Habis membentak, Raja Maling bergegas hen-
dak meninggalkan tempat itu. Namun pemuda gon-
drong di hadapannya telah menghadang langkahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua. Kau belum menja-
wab pertanyaanku. Kau tidak boleh meninggalkanku
begitu saja."
"Kau mau apa sebenarnya? Apa kau tidak tahu
tengah berhadapan dengan siapa, he?!"
"Aku... aku memang belum tahu  siapa kau,
Orang Tua. Tapi melihat gerak-gerikmu bukan musta-
hil kau seorang pencuri. Kalau tidak, kenapa kau ta-
kut bertemu aku? Jadi benar kau pencuri kan?"
Raja Maling tertawa bergelak.
Entah kenapa Soma jadi ikut-ikutan tertawa.
Dan sambil menuding-nudingkan telunjuk jarinya ke
muka Raja Maling, Soma pun berkata, "Melihat tam-
pangmu yang memuakkan kau pasti seorang pencuri
cabul. Mana ada maling yang sudi mencuri lukisan
bergambar wanita telanjang. Ah...! Jangan-jangan kau
orang sakit, Orang Tua. Kau menginginkan gambar
wanita telanjang itu daripada melihat tubuh seorang
wanita. Untuk apa? Untuk dikeloni, ya?" ejek Soma.
Seketika Raja Maling menghentikan tawanya.
Sepasang matanya mendadak mencorong tajam mem-
perhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Tutup mulutmu, Bocah! Aku, Raja Maling, be-
lum pernah membiarkan orang lain menghinaku. Dan
karena kau telah menghinaku, maka nyawamulah se-
bagai tebusannya!"

Soma alias Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak takut mendengar ancaman Raja Maling. Malah ia
makin memperkeras suara tawanya.
"Jadi kaukah yang bergelar Raja Maling? Pan-
tas! Tampangmu memang seram. Tapi aku benar-
benar tidak mengerti. Tak kusangka Raja Maling yang
kesohor itu hanyalah seorang laki-laki sakit. Senang-
nya mengeloni gambar wanita telanjang dibandingkan
memeluk tubuh seorang wanita cantik!" ejek Siluman
Ular Putih makin menjadi.
"Setan alas! Kau harus membayar mahal peng-
hinaanmu ini, Bocah! Terimalah kematianmu hari ini.
Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Raja Maling lang-
sung mengirimkan serangan untuk menggempur Silu-
man Ular Putih. Sambil memegangi lukisan di tangan
kiri, Raja Maling melontarkan bogem mentahnya ke
muka Soma. Dengan jurus itu ia ingin merobohkan
pemuda gondrong di hadapannya.
Plak!
Siluman Ular Putih mengayunkan tangan ka-
nan untuk menangkis jotosan Raja Maling. Akibatnya,
Raja Maling kontan memekik kaget. Tangan kanannya
terasa ngilu bukan main seperti membentur tembok
baja.
Menyadari musuhnya memiliki kepandaian
yang lumayan, Raja Maling menggembor penuh kema-
rahan. Tanpa disadari telapak tangan kanannya hingga
ke pangkal siku telah berubah hitam legam.
"Hea...!"
Raja Maling menggembor keras seraya mendo-
rong telapak tangan kanannya ke depan. Seketika sele-
ret sinar hitam melesat siap melabrak tubuh Siluman
Ular Putih. Bersamaan dengan datangnya serangan,
bertiup angin panas yang menyambar-nyambar tubuh

lawan. Tentu saja Siluman Ular Putih tidak membiar-
kan tubuhnya jadi sasaran empuk. Dengan mengerah-
kan pukulan sakti tenaga 'Inti Bumi', Soma memapaki
pukulan Raja Maling. 
Bummm...!!
Satu ledakan dahsyat tercipta akibat perte-
muan dua tenaga dalam. Tenaga pukulan Raja Maling
berhamburan menghantam ranting-ranting pohon
hingga hangus terbakar.
Tubuh Raja Maling sendiri terpental ke bela-
kang menghantam batang pohon. Seisi dadanya ter-
guncang hebat. Soma memegangi dadanya, Raja Mal-
ing segera meloncat bangun. Bukannya hendak me-
nyerang Siluman Ular Putih, melainkan berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat itu.
"Tunggu pembalasanku, Kunyuk Gondrong!
Sayang sekali hari ini aku tak ada nafsu untuk men-
jajal kepandaianmu. Tapi, ingat. Raja Maling tidak
pernah membiarkan orang yang telah menghinanya
hidup lebih lama!" teriak Raja Maling dari kejauhan.
Siluman Ular Putih hanya menggaruk-garuk
kepala. Ia tidak berkeinginan mengejar Raja Maling.
Karena menurutnya ia tidak pernah mempunyai masa-
lah dengan tokoh sesat itu. Di samping itu Soma be-
lum yakin kalau Raja Maling telah mencuri seperti
yang dikatakannya tadi.
Jika saja Siluman Ular Putih tahu kalau luki-
san di tangan Raja Maling adalah lukisan keramat mi-
lik Kadipaten Pleret, bukan mustahil ia akan mengejar
Raja Maling untuk merebut kembali lukisan itu. Na-
mun sayang Siluman Ular Putih tidak tahu. Ini suatu
keberuntungan bagi Raja Maling. Dengan lukisan itu-
lah Pangeran Pemimpin ingin menyingkap harta karun
yang tersembunyi.
"Ah...! Kenapa tadi kubiarkan Raja Maling me-

larikan diri. Harusnya aku menangkapnya. Terus te-
rang aku mulai curiga. Kulihat Raja Maling terus ber-
kelebat ke dasar jurang di mana markas Partai Kawula
Sejati berada. Jangan-jangan Raja Maling memang sa-
lah seorang anggota partai itu. Bodohnya aku! Se-
karang aku mulai mengerti. Raja Maling akan diterima
jadi anggota partai asal ia berhasil mencuri sesuatu.
Ya.... Lukisan itu. Tapi ada apa sebenarnya dengan lu-
kisan itu hingga Pangeran Pemimpin memerintahkan
Raja Maling untuk mencurinya? Pasti mengandung se-
suatu yang berharga. Aku harus menyelidikinya," kata
murid Eyang Begawan Kamasetyo sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Tekad Soma untuk menyelidiki Partai Kawula
Sejati makin menjadi. Tanpa banyak pikir lagi murid
Eyang Begawan Kamasetyo berkelebat cepat menuruni
jurang. Tujuannya sudah pasti bangunan markas Par-
tai Kawula Sejati.

***

3

"Bagus! Cepat serahkan gadis itu!" kata seseo-
rang dari kursi kebesarannya.
Ia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun.
Mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Wajahnya pu-
tih bersih. Sikapnya lembut seperti kebanyakan priyayi
kadipaten. Dan, kenyataannya ia memang masih ketu-
runan Adipati Pleret Tua dari seorang selir. Namanya
Raden Sembodo atau lebih terkenal dengan julukan
Pangeran Pemimpin.
Orang yang diperintah laki-laki itu adalah seo-
rang guru dan murid dari Gunung Lawu. Yang sebelah

kanan seorang kakek berusia enam puluh tahun. Wa-
jahnya garang. Tubuhnya yang pendek kurus mirip
orang cacingan dibalut pakaian ketat warna hitam. La-
ki-laki yang tidak lain Bajing Ireng itu mengangguk-
anggukkan kepala sambil mengetuk-ngetukkan tong-
kat hitamnya di lantai.
Di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah
berusia dua puluh dua tahun. Mengenakan pakaian
ketat warna biru. Rambutnya yang panjang sebahu di-
kuncir sebagian ke belakang. Di pinggangnya tam-pak
tergantung sebilah pedang. Pemuda ini bergelar Bajing
Biru.
Kedua guru dan murid dari Gunung Lawu itu
berkeinginan untuk bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin. Maka sebagai tanda kesungguhan, mereka
menangkap seorang gadis cantik yang masih terhitung
adik Adipati Pleret yang sekarang.
Melihat tengah berhadapan dengan orang yang
sangat dikenalnya, gadis cantik di samping Bajing
Ireng dan Bajing Biru melototkan mata heran. Kalau
saja jalan suaranya tidak tertotok sudah pasti Putri
Sekartaji akan bertanya. Untuk apa ia dihadapkan pa-
da Pangeran Pemimpin yang masih terhitung kakak ti-
rinya?
"Apa ini berarti kau telah menerima kami seba-
gai anggota Partai Kawula Sejati, Pangeran Pemimpin?"
kata Bajing Ireng membuka suara.
"Pasti. Asal kau mau tunduk dan setia di bawah
perintahku, aku akan menerima kalian menjadi anggo-
ta Partai Kawula Sejati," sahut. Pangeran Pemimpin
penuh wibawa.
"Terima kasih. Kami pasti tidak akan mengece-
wakan mu, Pangeran Pemimpin."
"Baik. Sekarang serahkan gadis itu padaku.
Kau lepaskan dulu totokannya!" kata Pangeran Pe-

mimpin seraya mengerling ke arah Bajing Ireng.
Bajing Ireng yang sudah cukup pengalaman
tentu saja mengerti maksud kerlingan mata Pangeran
Pemimpin. Tanpa banyak, cakap Bajing Ireng mele-
paskan totokan gadis itu. Namun tidak melepaskan to-
tokan di tubuhnya. Habis menotok pulih jalan suara
Putri Sekartaji, Bajing Ireng menyerahkan gadis cantik
itu di hadapan Pangeran Pemimpin dan kembali ke
tempatnya semula.
"Kangmas Sembodo! Apa sebenarnya yang
Kangmas inginkan? Untuk apa Kangmas menang-
kapku?" Putri Sekartaji tak dapat menyembunyikan
perasaan heran. Meski dalam hatinya marah sekali
dengan tindakan kakak tirinya, namun Putri Sekartaji
masih dapat menahan.
"Tenanglah, Nimas Putri Sekartaji. Kalau kau
mau menuruti kemauanku, tentu aku tidak akan me-
nyakitimu," bujuk Pangeran Pemimpin.
"Tidak, Kangmas. Aku tidak akan tenang kalau
Kangmas belum mengatakan maksud Kangmas mena-
hanku dan mengapa Kangmas keluar dari kadipaten?
Apa yang Kangmas inginkan? Apa Kangmas tidak ingin
berkumpul dengan Kangmas Adipati?"
Pangeran Pemimpin yang bernama asli Raden
Sembodo hanya tersenyum tipis. Namun dari tarikan
senyumannya jelas ia tengah menyembunyikan suatu
kelicikan. Entah kelicikan apa, Putri Sekartaji belum
tahu.
"Sudahlah, Nimas. Kau tak usah banyak tanya.
Pokoknya kau turuti saja kemauanku. Nanti kau akan
tahu sendiri apa yang Kangmas inginkan," habis ber-
kata begitu, Pangeran Pemimpin memalingkan kepa-
lanya ke arah salah seorang anggota Partai Kawula Se-
jati. "Sentono! Tolong kau bawa adikku ini ke kamar!"
"Baik, Ketua!"

Orang yang dipanggil Sentono segera meloncat
bangun. Namun ketika ia hendak melangkah mende-
kati Putri Sekartaji, semua yang berada di ruang pen-
dopo markas Partai Kawula Sejati mendengar suara
tawa bergelak dari pintu masuk pendopo.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang bernasib
mujur, Pangeran Pemimpin! Kini aku telah menda-
patkan apa yang kau inginkan!"

***

Seketika Pangeran Pemimpin dan semua orang
di ruang pendopo memalingkan kepala ke arah da-
tangnya suara. Di depan pintu masuk tampak seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar tengah melangkah ma-
suk. Di tangan kanan lelaki itu tergenggam sebuah lu-
kisan bergambar seorang wanita telanjang. Itulah Lu-
kisan Darah yang sangat diinginkan Pangeran Pemim-
pin.
"Lukisan Darah...!" desis Pangeran Pemimpin
hampir bersamaan dengan Pelajar Agung yang duduk
di sampingnya.
Putri Sekartaji kontan membelalakkan mata le-
bar-lebar. Ia yang semula tidak begitu tertarik melihat
kedatangan Raja Maling kini segera menolehkan kepa-
la memandang sosok berpakaian hitam-hitam itu. Se-
ketika Putri Sekartaji memekik kaget.
"Ya, ampun! Apa sebenarnya yang diinginkan
Kangmas Sembodo? Kenapa Kangmas menyuruh se-
seorang mencuri Lukisan Darah? Untuk apa?!" desis
Putri Sekartaji gusar bukan main. "Kangmas! Kau...
kau...," saking gusarnya Putri Sekartaji tak dapat me-
neruskan ucapannya. Hanya sepasang matanya berki-
lat-kilat memperhatikan Pangeran Pemimpin dan Raja
Maling bergantian.

"Diamlah kau, Nimas!" bentak Pangeran  Pe-
mimpin tak senang. Lalu kembali meneruskan uca-
pannya kepada Sentono. "Sentono! Kenapa kau tidak
lekas membawa adikku yang cantik ini ke kamar?
Hayo, lekas bawa Nimas Putri Sekartaji ke kamar!"
"Baik!"
Sentono kembali meneruskan langkahnya
mendekati Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu
menggeram penuh kemarahan. Namun ketika tangan
kekar Sentono menyambar lengannya, Putri Sekartaji
hanya bisa melontarkan umpatan serapah. Apalah
yang bisa ia perbuat. Dalam keadaan tertotok seperti
itu tak mungkin Putri Sekartaji bisa berbuat banyak.
Paling hanya bisa melototkan mata ketika tubuhnya
diseret masuk ke kamar.
Pangeran Pemimpin mencibirkan bibir sinis.
Sedikit pun ia tidak merasa kasihan mendengar ratap-
tangis Putri Sekartaji. Malah kini dengan sikap yang
angkuh Pangeran Pemimpin kembali memalingkan ke-
pala ke arah Raja Maling.
"Raja Maling! Kuhargai hasil kerjamu kali ini.
Aku senang sekali kau berhasil mendapatkan Lukisan
Darah yang sangat kuinginkan. Majulah kemari, Raja
Maling!"
"Baik."
Raja Maling melangkah ke depan dan duduk di
hadapan ketuanya. Pangeran Pemimpin segera memin-
ta lukisan di tangan Raja Maling. Dan dengan senang
hati Raja Maling menyerahkan lukisan hasil curiannya.
Pangeran Pemimpin mengamatinya dengan
seksama. Di sampingnya Pelajar Agung turut memper-
hatikan lukisan tersebut.
"Bagaimana sobatku, Pelajar Agung? Apakah
lukisan ini asli?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Hm...!" Pelajar Agung sejenak menghela napas.

"Tampaknya lukisan ini asli, Pangeran Pemimpin. Tapi
apakah kau sudah tahu bagaimana cara menyingkap
rahasia dalam lukisan ini?"
Pangeran Pemimpin tidak menyahut. Ia hanya
mengangguk-anggukkan kepala seraya mengalihkan
perhatiannya pada Raja Maling.
"Apakah kau tahu bagaimana caranya me-
nyingkap rahasia dalam Lukisan Darah ini, Raja Mal-
ing?" kata Pangeran Pemimpin pada Raja Maling yang
tengah menegakkan dadanya di tempat duduk karena
rasa bangga. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa
dialah yang paling berjasa.
"Sebagai murid Maling Tanpa Bayangan tentu
saja aku tahu bagaimana cara menyingkap rahasia da-
lam Lukisan Darah itu, Pangeran Pemimpin!" kata Raja
Maling dengan suara lantang.
"Kalau begitu cepat katakan bagaimana ca-
ranya aku menyingkap rahasia itu. Nanti kalau per-
juangan kita berhasil, aku akan mengangkatmu men-
jadi pejabat tinggi di Kadipaten Pleret!" sahut Pangeran
Pemimpin tak sabar.
Raja Maling sejenak mengedarkan pandangan
ke arah semua yang hadir di ruang pendopo. Lalu den-
gan senyum terkembang di bibir, Raja Maling pun ber-
kata, "Tanpa kau perintah pun aku akan mengatakan-
nya padamu. Nah. Sekarang kau perintahkanlah bebe-
rapa orang anak buah kita untuk mencari darah pera-
wan kembar. Sebab hanya dengan menyiramkan darah
perawan kembar pada lukisan itu, rahasia Lukisan Da-
rah akan tersingkap. Dan dengan mudah kau akan
mendapatkan harta karun yang berlimpah dari peta
yang tergambar dalam Lukisan Darah, Pangeran Pe-
mimpin!"
Tanpa sadar, Pangeran Pemimpin menelan lu-
dahnya sendiri saking girangnya mendengar keteran-

gan Raja Maling. Kemudian dengan tanpa pikir pan-
jang lagi, Pangeran Pemimpin memerintahkan bebera-
pa anak buahnya untuk mencari darah perawan kem-
bar.
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah yang
diperintahkan untuk mencari darah perawan kembar
segera meloncat bangun dan berkelebat meninggalkan
ruangan pendopo.
"Sekarang apa rencana kita selanjutnya, So-
batku Pelajar Agung? Apa kau ada rencana lain?"
tanya Pangeran Pemimpin pada pembantu utamanya
yang duduk di sampingnya.
"Kukira kita tak perlu banyak mengatur renca-
na. Sekarang kita tinggal menunggu hasil kerja Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah. Nanti kalau kita
sudah dapat menyingkap rahasia dalam Lukisan Da-
rah, baru kita mengatur siasat bagaimana caranya
menggempur Kadipaten Pleret," kata Pelajar Agung ka-
lem.
Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala. "Tapi sebentar!" ujar Pangeran Pemimpin tiba-
tiba. Mulutnya didekatkan ke telinga Pelajar Agung.
"Dengarlah rencanaku, Sobatku. Bagaimana kalau aku
memaksa Adipati Pleret untuk menyerahkan kekua-
saannya padaku? Ia pasti tidak akan berkutik kalau
ku paksa."
"Maksudmu kau ingin memanfaatkan adik tiri-
mu yang cantik itu?" kata Pelajar Agung yang dapat
menebak maksud Pangeran Pemimpin.
"Ah...! Tak kusangka kau juga demikian licik-
nya, Sobatku. Tapi kukira untuk menghemat biaya se-
kaligus untuk mengurangi jatuhnya korban sebaiknya
aku memang harus memanfaatkan adik tiriku. Kalau
aku mengancam ingin membunuhnya, mustahil adipa-
ti keparat itu tidak mau menyerahkan kekuasaannya

padaku!" kata Pangeran Pemimpin setengah mengge-
ram.
"Lalu bagaimana dengan rahasia Lukisan Da-
rah itu? Apa kau juga masih tertarik?"
"Tentu saja, Sobatku. Dengan mendapatkan
harta karun yang terkandung dalam Lukisan Darah,
sudah pasti aku akan bisa memanfaatkannya. Kita
membutuhkan banyak biaya untuk perjuangan ini...."
"Baiklah kalau begitu. Sekarang uruslah adik
tirimu yang cantik itu. Aku ingin menghirup udara se-
gar di luar," kata Pelajar Agung menukas.
"Pergilah! Kalau kau sudah bosan di luar, kau
boleh memilih beberapa gadis yang ada di markas ki-
ta!" kata Pangeran Pemimpin. Disusul dengan suara
tawanya yang bergelak.
"Baik.  Nanti aku akan memilih sendiri," kata
Pelajar Agung dengan diiringi senyum.
Pangeran Pemimpin melipatgandakan suara
tawanya sambil memandangi punggung Pelajar Agung
yang melangkah keluar pendopo. Ketika dilihatnya
bayangan Pelajar Agung menghilang di balik pintu ger-
bang, Pangeran Pemimpin membubarkan orang-orang
yang ada di ruang pendopo. Dia sendiri kemudian se-
gera masuk ke dalam kamar.

***

4

Melakukan perjalanan di malam hari bukanlah
pekerjaan mudah. Apalagi perjalanan memasuki sa-
rang lawan. Di samping angin malam itu bertiup san-
gat kencang, di sekitar markas Partai Kawula Sejati
tentu banyak sekali dipasang jebakan maut.

Murid Eyang Begawan Kamasetyo tidak berani
bersikap gegabah. Dengan kewaspadaan tinggi, Soma
terus berkelebat dari dahan pohon satu ke dahan po-
hon lain. Ia sengaja melakukan perjalanan melalui ja-
lur atas. Sebab, kemungkinan jebakan maut dipasang
di atas pohon tidaklah sebanyak yang dipasang di ba-
wah. Hal itu tentu saja sangat menguntungkan Soma.
Meski demikian Soma tetap berhati-hati.  Ke-
mungkinan terperangkap jebakan bukan mustahil lagi.
Dan, kenyataannya memang demikian. Baru saja ia
meloncat ke dahan pohon di hadapannya, mendadak
berkesiur angin dingin menyambar tubuh.
Soma menggerutu kesal. Dilihatnya dua bayan-
gan hitam bergerak cepat menyerang dirinya dari arah
yang berlawanan. Soma cepat meloncat ke dahan po-
hon di sebelah, hingga dua bayangan hitam yang me-
nyerang  dirinya terus melesat berlawanan arah. Na-
mun, mendadak bayangan hitam yang ternyata tum-
pukan ranting-ranting pohon yang mencuat tajam
kembali menyerang Soma dengan kecepatan menga-
gumkan.
Soma memekik. Samar-samar ia melihat dua
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam di atas pohon
sana yang menggerakkan ranting-ranting pohon. Maka
ketika bayangan hitam ranting-ranting pohon yang
menyerang dirinya makin dekat, Soma segera mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke samping kiri dan
kanan. Seketika dua rangkum angin kencang melesat
cepat mendorong ranting-ranting pohon ke tempat
asalnya.
Wesss! Wesss!
Prakkk!
Bersamaan dengan kembalinya ranting-ranting
pohon ke tempat semula, terdengar dua lengking ke-
matian yang teramat menyayat hati. Selang beberapa

saat tampak dua sosok tubuh berpakaian hitam dari
pohon di kanan kiri Soma jatuh bergedebukan ke ta-
nah.
"Salah kalian sendiri kenapa bermain-main
dengan jebakan maut. Rasakan itu senjata makan
tuan!" gerutu Soma kesal.
Soma kembali berkelebat dari dahan pohon sa-
tu ke pohon lain. Seperti yang dialami tadi, ternyata
jebakan yang dipasang di atas pohon bukan hanya sa-
tu.
Jenisnya pun beragam. Namun dengan meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh 'Menjangan Kenco-
no' Soma dapat melewati jebakan maut itu hingga ak-
hirnya sampai di sebuah tanah datar berumput.
Soma tidak langsung meloncat turun. Sepasang
matanya yang tajam memperhatikan keadaan sekitar.
Dilihatnya di atas tanah datar di hadapannya terdapat
empat atau lima buah bangunan besar. Di sekeliling
bangunan tampak beberapa anggota Partai Kawula Se-
jati tengah berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Se-
mentara di seputar halaman luar markas Partai Kawu-
la Sejati terdapat kubangan lumpur hidup. Soma me-
renung sesaat di tempatnya.
"Sungguh suatu tempat persembunyian yang
amat berbahaya. Orang luar yang tidak tahu jalan ra-
hasia masuk ke dalam markas pasti akan celaka. Cer-
dik sekali orang yang bergelar Pangeran  Pemimpin.
Kukira aku harus berhati-hati bila menghadapinya
nanti," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo. "Se-
karang aku harus meloncat turun. Tak ada pilihan
lain, aku harus mengerahkan ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih' untuk menerobos masuk ke dalam mar-
kas."
Soma pun meloncat turun. Ternyata tanah
tempat berpijak kedua kaki murid Eyang Begawan

Kamasetyo sangat lembek. Untung saja ilmu merin-
gankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Begi-
tu merasakan kelembekan tanah tempatnya berpijak,
Soma melenting tinggi ke udara dan berpijak jauh dari
kubangan lumpur hidup.
Paras murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
tampak berubah. Dilihatnya tanah lumpur tempatnya
berpijak tadi mencekung ke dalam siap memangsa tu-
buh siapa saja. Selang beberapa saat lumpur hidup itu
kembali bergerak seperti keadaan semula.
"Jangkrik gempul! Hampir saja aku modar ter-
sedot lumpur keparat itu!" Soma mengomel sendirian.
Sejenak Soma kemudian berdiam diri. Lalu ke-
dua bibirnya berkemik-kemik membacakan mantra,
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Sekujur tubuh mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo diselimuti asap putih
hingga bayangan tubuhnya tidak kelihatan lagi. Dan
ketika asap putih yang menyelimuti tubuh Soma sirna
tertiup angin, terdengar suatu desisan lirih.
"Ssssst...! Ssssst...!"
Itulah salah satu kehebatan ajian 'Titisan Silu-
man Ular Putih'. Ilmu tersebut dapat mengatur besar
kecilnya jelmaan ular putih sesuai dengan kemauan
Soma. Dalam keadaan berupa seekor ular putih kecil
kini 'Soma' dengan leluasa dapat menerobos masuk ke
dalam markas Partai Kawula Sejati.
Meski demikian, ular putih sebesar ibu jari kaki
manusia dewasa itu memperhatikan keadaan sekitar
seperti masih takut dengan jebakan lumpur hidup
yang siap menyedot tubuhnya. Ketika dirasanya cukup
aman, perlahan-lahan ular putih kecil jelmaan Soma
itu merayap dan menghilang di balik semak belukar.

***


Seperti layaknya seorang manusia saja, ular
putih kecil itu menjulur-julurkan kepalanya keluar da-
ri balik semak di halaman depan markas Partai Kawula
Sejati. Beberapa anggota Partai Kawula Sejati yang
tengah berjaga-jaga tidak melihat kemunculan ular pu-
tih jelmaan tersebut. Dan meski sepasang mata mere-
ka terus memperhatikan keadaan sekitar, tetap saja ti-
dak melihat kala ular putih kecil merayap mendekati
sebatang pohon di halaman samping.
"Sssst...! Sssst...!"
Ular putih kecil itu terus mendekati batang po-
hon lalu menyelinap ke tempat yang aman. Sesam-
painya di sana, ular putih kecil menjulur-julurkan ke-
palanya seperti tengah mengintip anggota Partai Kawu-
la Sejati yang tengah berjaga.
Perlahan  sekujur tubuh ular putih kecil dipe-
nuhi asap putih. Sosok memanjang ular putih itu tidak
kelihatan lagi. Ketika asap putih sirna tampaklah so-
sok pemuda tampan murid Eyang Begawan Kamasetyo
yang bergelar Siluman Ular Putih.
"Penjaga-penjaga taat! Tapi sayang mereka se-
mua tidak becus. Mata mereka saja yang melotot tanpa
mengetahui kedatanganku. Huh!" cemooh Soma. Per-
lahan.
Saat itu suasana di dalam markas Partai Kawu-
la Sejati terasa lengang. Bunyi jangkrik terdengar sal-
ing bersahutan. Bulan bersinar purnama.  Sinarnya
yang keperakan berpendar-pendar menerangi tempat
itu. Dengan sangat hati-hati Soma berkelebat ke atas
wuwungan. Mulailah ia mencari di mana Putri Sekarta-
ji ditawan.


***


5

Sepasang mata indah gadis dalam kamar itu
berkilat-kilat penuh kemarahan. Sentono yang ditu-
gaskan Pangeran Pemimpin untuk membawa masuk
gadis itu hanya tersenyum kaku. Lalu dengan sikap
kaku pula anggota Partai Kawula Sejati tersebut me-
langkah keluar. Namun, gadis cantik berpakaian serba
hijau yang tidak lain Putri Sekartaji itu tahu kalau
Sentono berjaga-jaga di luar pintu.
"Apa sebenarnya yang diinginkan Kangmas
Sembodo? Kenapa ia menahanku seperti ini? Kangmas
Sembodo juga banyak mengumpulkan tokoh-tokoh
sakti dunia persilatan. Bahkan memerintahkan Raja
Maling untuk mencuri Lukisan Darah. Apakah Kang-
mas Sembodo memang ingin memberontak? Kalau iya,
sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya...," pikir
Putri Sekartaji dengan kemarahan yang menggelegak.
Putri Sekartaji mengeretakkan  gerahamnya
kuat-kuat. Sepasang matanya yang indah berkilauan
sejenak memperhatikan keadaan kamar. Kamar itu tak
ubahnya kamar putri kadipaten. Ada ranjang merah
bersepraikan kain indah berwarna merah jingga. Di-
lengkapi meja kursi tempat berhias dengan berbagai
macam alat kecantikan yang menebarkan bau harum.
Namun pikiran Putri Sekartaji saat itu tengah
rusuh bukan main. Ia sama sekali tidak tertarik meli-
hat keadaan kamar. Pandangan matanya segera di-
alihkan ke arah pintu ketika perlahan-lahan terdengar
pintu dibuka dari luar. Muncullah seraut wajah gagah
yang sangat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Raden
Sembodo yang kini bergelar Pangeran Pemimpin.
"Kangmas! Untuk apa sebenarnya Kangmas
menahanku?" kata Putri Sekartaji tak dapat lagi me-

nahan perasaan. Suaranya terdengar seperti orang
membentak.
Laki-laki gagah yang mengenakan pakaian
bangsawan Jawa itu hanya tersenyum tipis untuk me-
nyembunyikan sifat liciknya. Lalu dengan senyum ma-
sih terkembang di bibir Pangeran Pemimpin mendekati
adik tirinya dan duduk di tepi ranjang.
Putri Sekartaji sebenarnya ingin meloncat ban-
gun. Namun totokan Bajing Ireng masih mempengaru-
hi jalan darahnya. Putri Sekartaji hanya bisa menggigit
bibir.
"Tenanglah, Nimas Sekartaji. Kenapa kau ber-
kata sekasar ini? Aku memang menginginkan mu  di
sini. Tapi kalau kau mau bersikap manis, tak mungkin
kau diperlakukan seperti ini."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kangmas," ka-
ta Putri Sekartaji seraya menautkan alis matanya.
Pangeran Pemimpin makin memperlebar se-
nyum. Kini tampaklah betapa licik senyum laki-laki
itu.
"Aku tak perlu banyak bicara denganmu, Ni-
mas. Kau pasti tahu apa yang tengah kurencanakan.
Maka untuk menghemat biaya maupun jatuhnya kor-
ban, aku ingin kau membantuku merebut takhta Ka-
dipaten Pleret."
"Apa?! Kangmas ingin merebut takhta Kadipa-
ten Pleret? Gila!" pekik Putri Sekartaji. "Kenapa,
Kangmas? Apa Kangmas tidak puas dengan kedudu-
kan yang sekarang?"
"Sudahlah, Nimas! Kau tak perlu menggurui
ku. Mau tidak mau kau harus menandatangani surat
perjanjian ini!" tukas Pangeran Pemimpin tak sabar.
Putri Sekartaji memandang penuh kebencian
pada kakak tirinya. Mana mau ia menandatangani su-
rat perjanjian yang berisikan pemaksaan pada Adipati

Pleret untuk menyerahkan takhtanya kepada Pangeran
Pemimpin. Biar dibunuh sekalipun gadis cantik itu te-
tap akan bertahan.  
"Aku tak sudi menandatangani segala tetek
bengek surat perjanjian itu, Pangeran Pemberontak!"
teriak Putri Sekartaji keras-keras.
"He he he...! Kalau begitu kau tak sayang pada
dirimu sendiri, Nimas!" Pangeran Pemimpin tampaknya
tidak main-main. Sepasang matanya kini memperhati-
kan dada membusung Putri Sekartaji. Tanpa sadar la-
ki-laki yang masih terhitung kakak tiri Putri Sekartaji
itu menelan ludahnya sendiri.
"Biar dibunuh sekalipun aku tak sudi menan-
datangani surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji menan-
tang pandang mata Pangeran Pemimpin.
"Hm...! Rupanya kau ingin melihat apa yang in-
gin kulakukan, Nimas?!" kata Pangeran Pemimpin se-
raya menatap sekujur tubuh Putri Sekartaji dengan ja-
kun turun naik. Lalu, didekatinya tubuh menantang
Putri Sekartaji yang tak berdaya di atas ranjang. Tanpa
ampun lagi kain penutup tubuh Putri Sekartaji direng-
gut dengan kasar.
Bret!
Pakaian hijau-hijau di tubuh Putri Sekartaji ro-
bek. Seketika tampaklah sepasang buah dada yang
membusung terpampang jelas di pelupuk mata Pange-
ran Pemimpin.
"Ah...!" Putri Sekartaji memekik tertahan. Ingin
rasanya ia menutupi dadanya yang terpentang. Namun
apalah dayanya. Tubuhnya kaku tak dapat digerakkan
akibat totokan Bajing Ireng. Putri Sekartaji hanya da-
pat memandang Pangeran Pemimpin dengan dada tu-
run naik saking tak dapat mengendalikan amarahnya.
Melihat dada Putri Sekartaji yang bergerak tu-
run naik, dada Pangeran Pemimpin tiba-tiba menjadi

sesak. Nafasnya memburu seolah tak sanggup lagi me-
nahan hasratnya yang bergejolak. Tanpa mengenal be-
las kasihan Pangeran Pemimpin segera melemparkan
robekan kain hijau. Pangeran Pemimpin masih beru-
saha menahan hasratnya.
"He he he...! Kau masih bersikeras tak mau
menandatangani surat perjanjian itu, Manis?!" kata
Pangeran Pemimpin setelah menelan ludahnya bebera-
pa kali. Matanya sedari tadi tak lepas memandangi
keelokan tubuh Putri Sekartaji.
"Tidak!" jerit Putri Sekartaji histeris. 
"Kalau begitu, sayang sekali. Terpaksa aku
akan sedikit menyakiti kulit tubuhmu yang mulus ini."
Kembali tangan Pangeran Pemimpin merenggut
kain penutup tubuh Putri Sekartaji. Sehingga, gadis
cantik itu kini benar-benar tanpa selembar benang
pun menutupi kulit tubuhnya yang putih bersih.
Pangeran Pemimpin mengumbar senyum licik-
nya. "Apa kau masih bersikeras juga, Manis?"
"Biadab! Manusia licik! Siapa sudi menanda-
tangani surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji berteriak-
teriak karena kalutnya.
"Kalau begitu kau menginginkan aku memper-
kosamu!"
Putri Sekartaji hanya memejamkan mata. Tak
tahu apa yang harus diperbuat. Air matanya merembes
keluar membasahi kedua pipi.
"Baik. Kehendakmu memang demikian ru-
panya."
Pangeran Pemimpin segera naik ke atas ran-
jang. Kedua tangannya yang kekar mulai menjamah
tubuh Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu sema-
kin memejamkan mata. Mau muntah rasanya kala mu-
lut laki-laki yang masih terhitung kakak tirinya itu
menciumi wajah dan bibir. Namun tidak ada yang bisa

diperbuat Putri Sekartaji. Terpaksa ia menerima semua
perlakuan Pangeran Pemimpin.
"Ingatlah, Kangmas. Aku ini masih terhitung
adikmu. Apakah kau tega memperlakukan adikmu se-
perti ini, Kangmas?" bujuk Putri Sekartaji di sela-sela
isak tangisnya.
Pangeran Pemimpin sejenak menghentikan per-
buatannya. Sepasang matanya meneliti wajah Putri
Sekartaji dengan seksama. Sedikit pun tidak terbersit
rasa welas asih sebagaimana layaknya seorang kakak.
"Demi apa yang kucita-citakan, terpaksa aku
harus menutup mata. Kecuali kalau kau mau menan-
datangani surat perjanjian itu, tentu aku tidak akan
memaksamu seperti ini, Nimas," kata Pangeran Pe-
mimpin lembut.  Namun tetap sama saja masih men-
gandung ancaman.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan, Kang-
mas?"
"Apa aku harus mengulangnya sampai seribu
kali? Aku menginginkan takhta Kadipaten Pleret, ta-
hu!" bentak Pangeran Pemimpin tanpa mengindahkan
bagaimana perasaan adik tirinya. Kemudian, dengan
jari-jari tangan bergetar Pangeran Pemimpin kembali
menjamah tubuh Putri Sekartaji yang teramat menan-
tang hasratnya itu.
Belum sampai Pangeran Pemimpin meneruskan
niatnya merusak kehormatan adik tirinya, ia menden-
gar langkah seseorang mendekati kamar. Langkah itu
terhenti di luar pintu kamar.
"Siapa di luar?!" bentak Pangeran Pemimpin tak
senang.

***

Orang yang menghentikan langkahnya di luar

segera menampakkan diri di hadapan Pangeran Pe-
mimpin. Orang itu berusia lima puluh tahunan. Wa-
jahnya yang tirus menyembunyikan kebengisan yang
luar biasa. Rambutnya putih memanjang digelung ke
atas. Tubuhnya tinggi kekar. Mengenakan pakaian ke-
tat berwarna hitam. Sepasang matanya melirik ke arah
tubuh polos Putri Sekartaji.
"Ada apa, Ki Caringin?!" bentak Pangeran Pe-
mimpin jengkel bukan main.
Orang tua yang dipanggil Ki Caringin tergagap
kaget. Seketika pandang matanya dialihkan pada Pan-
geran Pemimpin. Lalu, dengan suara bergetar Ki Ca-
ringin pun berkata.
"Ma... maaf, Pangeran. Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah ingin melapor."
"Keparat! Apa matamu buta, he?! Kau kan bisa
menunggu di luar?!"
Meski mulutnya berkata demikian, Pangeran
Pemimpin mau juga turun dari ranjang. Ki Caringin
yang merasa bersalah berkali-kali memohon ampun.
Untung saja Pangeran Pemimpin tidak segera menu-
runkan tangan mautnya. Ia hanya sejenak memperha-
tikan tubuh Putri Sekartaji, lalu dengan tanpa banyak
cakap lagi dia pergi meninggalkan kamar.
Ki Caringin maklum kalau Pangeran Pemimpin
tak menyukai kehadirannya. Begitu lelaki tersebut
berkelebat keluar, Ki Caringin pun melangkah pergi.
Baru saja Ki Caringin melangkah beberapa tindak
pendengarannya yang tajam tiba-tiba mendengar geru-
tuan seseorang.
"Huh, slompret! Asam betul buah sawo ini! Da-
sar buah-buahan milik kaum pemberontak. Meski su-
dah masak tetap saja asam rasanya. Huh!"

***

6

Ki Caringin mengerutkan kening heran. Demi-
kian juga dua orang penjaga yang ada di dekatnya. Se-
ketika mereka mendongakkan kepalanya ke atas.
Tampak di atas dahan pohon sesosok tubuh tengah
asyik memakan buah sawo. Mulutnya tak henti-henti
mengunyah sambil terus mengomel tak karuan.
"Siapa di situ?!" bentak Ki Caringin garang.
Sosok berpakaian rompi dan celana bersisik
putih keperakan yang tidak lain murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu sengaja tidak menyahuti. Tapi sebelum
Ki Caringin dan dua orang penjaga mencabut senjata,
Soma cepat melayang turun. Kedua kakinya mendarat
ringan sekali laksana kapas. Dan begitu kedua kaki
Soma menjejak tanah, segera berkelebat dengan jari-
jari tangan terkembang, siap menotok Ki Caringin dan
kedua anggota Partai Kawula Sejati.
Tukkk! Tukkk!
Ki Caringin dan kedua orang itu hanya sempat
memekik tertahan. Jari-jari Soma telak sekali menotok
kaku tubuh mereka. Ketika ketiganya sudah tertotok,
Soma tidak langsung masuk ke dalam kamar. Ia masih
harus menotok jalan suara ketiga orang itu.
"Kenapa kalian melototi aku? Apa kalian tidak
percaya kalau buah-buah sawo ini asam? Kalau tak
percaya, cobalah kalian cicipi!" Setelah berkata begitu,
Soma cepat membagi buah sawo di tangan menjadi ti-
ga bagian. Dijejalkannya bagian-bagian sawo itu ke
mulut Ki Caringin dan kedua kawannya.
Ketiga orang itu gelagapan tidak karuan. Sepa-
sang mata Ki Caringin melotot penuh kemarahan. So-
ma hanya tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup asam, kan? Makanya ka-

lian harus mempercayai omonganku!" kata Soma ber-
celoteh.
Ki Caringin dan kedua orang penjaga makin
membelalakkan mata. Soma tak ingin melanjutkan
guyonannya. Keselamatan Putri Sekartaji yang diuta-
makan. Begitu teringat akan putri tersebut, Siluman
Ular Putih segera berkelebat masuk ke dalam kamar.
Sebab sewaktu tadi ia masih mengintai dari balik ke-
rimbunan pohon sawo samar-samar terdengar jeritan
seorang gadis yang datangnya dari arah kamar itu.
Soma yakin Putri Sekartaji ditawan di kamar tersebut.
Soma mendobrak pintu kamar. 
Brak! 
Pintu kamar pun terbuka. Soma segera menye-
lonong masuk begitu saja. Mendadak, sepasang mata
murid Eyang Begawan Kamasetyo membelalak liar me-
lihat pemandangan indah di hadapannya. Agak jengah
ia sebenarnya. Namun entah kenapa Soma senang se-
kali melihat pemandangan indah itu.
"Kau...?!" pekik Putri Sekartaji, tak percaya me-
lihat pemuda gondrong yang dijumpainya di kedai ma-
kan telah berada di hadapannya. (Mengenai pertemuan
Soma dengan Putri Sekartaji, silakan baca : "Perseku-
tuan Maut").
"Ya. Aku. Kaget, ya?" ujar Soma seraya men-
gumbar senyum. "Hayo, lekas bangun! Tunggu apa la-
gi? Apa kau senang aku melototi tubuhmu, he?"
Putri Sekartaji sedikit merundukkan kepala.
Seketika paras gadis cantik itu memerah. Namun un-
tuk menyembunyikan aurat tubuhnya dari sepasang
mata nakal pemuda gondrong di hadapannya jelas ti-
dak mungkin. Tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan.
"Aku... aku masih tertotok," ucap Putri Sekarta-
ji malu-malu.

"Oh...! Pantas!" Soma menepuk jidatnya sendiri.
Lalu dengan pandang mata sedikit melirik pada tubuh
polos Putri Sekartaji, Soma buru-buru mendekati.
Putri Sekartaji makin jengah dibuatnya. Ketika
Soma membebaskan totokan tubuhnya, Putri Sekartaji
memejamkan mata. Dan begitu terbebas dari totokan
Putri Sekartaji segera mengenakan pakaiannya kemba-
li walau terkoyak di sana-sini.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nya-
waku," kata Putri Sekartaji agak gugup melihat sepa-
sang mata Soma terus memandangi tubuhnya.       
Soma tersenyum manis. Seolah-olah ingin me-
mikat gadis cantik di hadapannya dengan senyum
yang terkembang.
"Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!" ucapan
Putri Sekartaji mengagetkan Soma. Matanya yang ber-
binar-binar indah sejenak memperhatikan senyum
pemuda tampan itu penuh kagum.
"Ayo! Tapi siapa dong namamu? Apa benar kau
yang  bernama Putri Sekartaji?" kata Soma sebelum
melangkah keluar.
Putri Sekartaji sejenak menghentikan langkah.
Sepasang matanya kini balik memperhatikan Soma.
"Dari mana kau mengetahui namaku?"
"Gampang! Prajurit sandi itulah yang memberi-
tahuku. Katanya kau ditawan oleh orang yang bergelar
Pangeran Pemimpin. Tapi benar kan kau yang berna-
ma Putri Sekartaji?"
"Ya."
"Kalau begitu maafkan kelancanganku, Tuan
Putri. Aku benar-benar tidak menyangka akan berte-
mu dengan Tuan Putri di tempat ini," kata Soma se-
raya menyatukan kedua telapak tangannya di depan
dada.
Putri Sekartaji tidak suka diperlakukan seperti

itu. Dengan agak gugup, ia segera menukas, "Sudah-
lah. Sebaiknya mari cepat kita tinggalkan tempat ini."
"Baik. Apakah Tuan Putri tidak ingin mengenal
namaku?" kata Soma. Kakinya menjajari langkah Putri
Sekartaji yang telah mendahului.
"Boleh-boleh. Tapi kuminta kau jangan me-
manggilku Tuan Putri. Panggil saja aku seperti kau
memanggil kawan-kawanmu yang lain."
"Oh.... Jadi kau menganggapku sebagai teman,
Putri Sekartaji?" Soma gembira bukan main dapat ber-
kenalan dengan gadis cantik itu. Masih keturunan
Adipati Pleret lagi.
"Asal kau tidak macam-macam."
"Aku janji tidak akan macam-macam. Karena
sebenarnya aku sendiri cuma semacam. Tapi aku se-
nang sekali bisa berkenalan denganmu. Namaku So-
ma. Kau tidak malu berkenalan denganku kan?"
"Tidak," sahut Putri Sekartaji pendek.
"Kalau beg...."
"Sudahlah, Soma. Sebaiknya kita jangan berca-
kap-cakap dulu. Kita masih berada di markas Partai
Kawula Sejati. Sekarang kita harus secepatnya me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!" Putri Sekartaji menukas
sambil mempercepat langkah.
"Baik," sahut Soma tanpa banyak membantah.
Ia pun mempercepat langkahnya menyusul Putri Se-
kartaji.
Baru beberapa belas langkah Soma dan Putri
Sekartaji meninggalkan kamar, mereka telah dihadang
oleh puluhan anggota Partai Kawula Sejati.
"Berhenti!"
"Minggir! Siapa pun adanya kalian tak berhak
menghalangi jalanku!" bentak Putri Sekartaji.
Tapi para anggota Partai Kawula Sejati yang di-
bantu beberapa tokoh sakti dunia persilatan telah

mengepung dirinya dengan senjata di tangan. Siluman
Ular Putih tampak mengerutkan keningnya da-lam-
dalam.
"Bodohnya aku! Kenapa tadi aku malah ber-
tanya yang tidak-tidak pada Putri Sekartaji. Memang
aku senang sekali dapat berkenalan dengan gadis can-
tik itu. Pemuda mana sih yang tidak senang berkena-
lan dengannya. Namun seharusnya aku lebih mengu-
tamakan keselamatan kami. Kalau sudah begini, aku
juga yang kapiran," gerutu murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
"Tuan Putri maafkan kami. Kami tidak bermak-
sud menghalangi Tuan Putri. Tapi saat ini Tuan Putri
masih sangat dibutuhkan Ketua. Untuk itu sudilah
Tuan Putri tinggal barang satu atau dua malam di
markas kami," kata orang yang tadi membentak. Ke-
dengarannya memang sangat santun, tapi sesungguh-
nya dalam ucapannya yang penuh hormat itu terkan-
dung maksud-maksud tertentu. Dan Putri Sekartaji
tahu apa yang diinginkan orang-orang Partai Kawula
Sejati.
"Lucu sekali kedengarannya. Satu permintaan
yang tidak mungkin dituruti. Bagaimana Tuan Putri
sudi menuruti keinginan Ketua kalian kalau hanya in-
gin mendapat celaka? Apa ini bukan yang dina-makan
pemaksaan secara halus? Begitu, kan?" kata Siluman
Ular Putih menanggapi permintaan itu. "Ada-ada saja!
Dasar manusia-manusia pemberontak tak tahu atu-
ran!"
"Diam kau, Kunyuk Gondrong! Kau tak patut
bicara. Melihat tampangmu saja aku mau muntah,
apalagi mendengar bacotmu!" bentak orang itu jengkel.
"Sudahlah. Buat apa membuang-buang waktu.
Sebaiknya kita tangkap saja Tuan Putri. Si kunyuk
gondrong itu dicincang pun tak jadi soal," kata anggota

Partai Kawula Sejati lainnya menyahuti.
"Mau enaknya saja kalian ini! Mentang-
mentang aku laki-laki kalian mau sembarangan men-
cincangku, he!" gerutu Soma. Murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu lantas menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
"Diam! Sekali lagi kau membacot, kupecahkan
batok kepalamu!" Orang yang pertama membentak ga-
rang.
"Baik-baik. Aku sih mau saja diam. Tapi tolong
jangan kau apa-apakan temanku yang cantik ini! Dan
sekali lagi kuminta berilah temanku yang cantik itu ja-
lan keluar."
"Setan alas! Kau memang patut modar di tan-
ganku, Kunyuk Gondrong!" Tangan kiri orang pertama
segera memberi isyarat pada teman-temannya. "Hayo,
Teman-teman. Kita cincang kunyuk gondrong ini. Yang
lainnya cepat tangkap Tuan Putri!"
Anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu be-
berapa tokoh sesat dunia persilatan merangsek maju.
Putri Sekartaji merapatkan tubuhnya pada Siluman
Ular Putih. Ia berbisik lirih pada pemuda itu.
"Hayo, kita lawan iblis-iblis itu sampai titik da-
rah penghabisan, Kawan. Seandainya aku mati, aku
tidak menyesal karena mati secara gagah di samping-
mu."
"Benarkah? Suatu kehormatan besar kalau kau
sudi mati di sampingku, Putri Sekartaji. Tapi aku tak
mau mati dengan cara konyol seperti ini. Aku malah
ingin mati di pangkuanmu. Mungkin di kamar pengan-
tin, Putri. Asal bersamamu," kata Siluman Ular Putih
menggoda.
"Kau ini bagaimana sih, Soma?! Dalam keadaan
terdesak seperti ini masih juga bercanda. Hayo, lekas
kita hadapi manusia-manusia pemberontak itu!"

"Baik," sahut Siluman Ular Putih dengan se-
nyum nakal terkembang di bibir. Dan senyum itu sen-
gaja ditujukan pada Putri Sekartaji.
Namun saat itu Putri Sekartaji tidak begitu
memperhatikan senyum Soma. Perhatiannya tengah
ditujukan ke arah datangnya serangan para anggota
Partai Kawula Sejati. Dan di saat gadis cantik adik tiri
Pangeran Pemimpin mencabut keluar pedangnya, se-
mua yang ada di halaman samping markas Partai Ka-
wula Sejati dikejutkan oleh bentakan seseorang.
"Tahan senjata! Kalian tidak boleh membunuh
Kunyuk Gondrong itu! Akulah yang berhak menguliti
batok kepalanya!"
Para pengeroyok Siluman Ular Putih dan Putri
Sekartaji langsung menghentikan serangan. Di hada-
pan mereka kini telah tegak seorang pemuda tampan
berusia dua puluh dua tahun. Pakaiannya putih dila-
pisi jubah hitam panjang sampai ke lutut. Di kepa-
lanya bertengger topi hitam yang pada bagian atasnya
memanjang. Penampilan sosok berjubah hitam itu mi-
rip seorang pelajar.
"Pelajar Agung...!" desis beberapa anggota Par-
tai Kawula Sejati.
Pelajar Agung hanya menganggukkan kepala
dengan angkuh. Sepasang matanya yang menyiratkan
kelicikan tak henti-hentinya menatap Siluman Ular Pu-
tih.
Soma sendiri tampak tak dapat mengendalikan
amarahnya begitu melihat sosok di hadapannya. Di-
alah Prameswara, musuh besar Siluman Ular Putih
yang telah mencelakakan ayah kandungnya, Pendekar
Kujang Emas! (Mengenai Prameswara yang kini telah
bergelar Pelajar Agung, silakan baca : "Misteri Bayi
Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Prameswara! Meski kau bersembunyi ke lo-

bang semut sekalipun tak mungkin aku melepaskan-
mu begitu saja. Dosamu sudah bertumpuk. Aku ingin
menuntut balas atas tewasnya ayahku, sekaligus me-
minta kembali Kujang Emas yang kau rampas!" bentak
Siluman Ular Putih penuh kemarahan.
"Kau bisa apa, Siluman Ular Putih. Apa mata-
mu buta? Meski kesaktianmu setinggi langit, tak
mungkin kau dapat mengalahkanku!" sahut Pelajar
Agung yang bernama asli Prameswara itu.
"Jangan banyak bacot. Makanlah pukulan 'Inti
Bumi'-ku. Hea...!"
Diiringi teriakan lantang kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang telah menjadi putih terang
segera didorongkan ke depan. Seketika melesat cepat
siap melabrak tubuh Pelajar Agung.
Prameswara tersenyum sinis. Sebelum menge-
rahkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru', Pelajar Agung
memerintahkan anggota Partai Kawula Sejati dan to-
koh-tokoh sakti dunia persilatan untuk menangkap
Putri Sekartaji.
"Hea...!"
Bummm...!!!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam itu. Bumi bergetar hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding bangunan markas Partai Kawula Seja-
ti sampai berguncang.
Tubuh Prameswara dan Siluman Ular Putih
sama-sama terjajar ke belakang, pertanda tenaga da-
lam  kedua orang itu berimbang. Bersamaan dengan
bentroknya dua tenaga dalam tadi, anggota Partai Ka-
wula Sejati yang dibantu tokoh-tokoh dunia persilatan
mengeroyok Putri Sekartaji.
Soma menggereng penuh kemarahan. Dilihat-
nya Putri Sekartaji berjumpalitan ke sana kemari
menghindari serangan para pengeroyoknya. Hampir

saja gadis cantik itu terkena totokan salah seorang to-
koh sesat. Untung saja Siluman Ular Putih segera
mengirimkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' untuk meng-
hadang serangan tokoh sesat itu. Untuk sementara Pu-
tri Sekartaji pun selamat.
"Putri, lekas tinggalkan tempat ini. Biar aku
yang menahan serangan mereka!" teriak Siluman Ular
Putih.
"Tidak, Soma. Tak mungkin aku meninggalkan
tempat pertarungan. Apalagi kau demikian baiknya te-
lah menolongku!" Putri Sekartaji menyahuti seraya
menghindari gempuran para pengeroyoknya.
Soma sebenarnya ingin menjawab, namun saat
itu Pelajar Agung telah menyerangnya. Kedua telapak
tangan bekas murid Pendekar Kujang Emas itu makin
membiru hingga sampai ke pangkal lengan. Dengan
pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itulah Prameswara kemba-
li mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Gggguuurrr...!
Bunyi mengguruh yang diiringi berkesiurnya
hawa panas menghantam ke depan. Siluman Ular Pu-
tih  mengeretakkan  gerahamnya kuat-kuat. Belum
sempat serangan Putri Sekartaji mengenai sasaran ti-
upan angin panas telah lebih dulu membakar kulit tu-
buh.
Soma menggembor penuh kemarahan. Ia mulai
melipatgandakan tenaga dalamnya. Begitu dilihatnya
dua larik sinar biru semakin mendekat, tanpa banyak
pikir panjang lagi Soma melontarkan pukulan tenaga
'Inti Api'.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!!
Sekali lagi terdengar ledakan hebat akibat ben-
trokan dua tenaga dalam. Hawa panas akibat bentrok
itu berhamburan menghantam apa saja. Beberapa

anggota Partai Kawula Sejati yang memiliki kepandaian
rendah kontan menjerit hebat. Sekujur tubuhnya han-
gus terbakar!
Siluman Ular Putih dan Pelajar Agung sendiri
terpental jauh ke belakang. Wajah mereka pias. Darah
segar membasahi sudut-sudut bibir. Tampaknya ke-
dua orang itu menderita luka dalam cukup hebat.
Dari luar tempat pertarungan Pangeran Pe-
mimpin memperhatikan jalannya pertarungan. Ia yang
tadi sempat menemui Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah segera keluar dari ruang pendopo untuk
melihat apa yang terjadi. Ternyata di halaman samping
markas Partai Kawula Sejati tengah terjadi pertarun-
gan sengit.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Pange-
ran Pemimpin tahu kalau pemuda gondrong yang tam-
pak kedungu-dunguan itu memiliki kepandaian hebat.
Malah mungkin sedikit lebih hebat dibanding Pelajar
Agung. Kenyataan itu membuat hati Pangeran Pemim-
pin girang bukan main.
"Hea...!"
Dengan menggunakan jurus 'Terjangan Maut
Siluman Ular Putih' murid Eyang Begawan Kamasetyo
kembali menerjang Pelajar Agung. Sambil menyerang
demikian, Siluman Ular Putih terus berusaha meno-
long Putri Sekartaji dari gempuran para pengeroyok-
nya. Hal ini tentu saja sangat merepotkan Soma.
Pelajar Agung yang mengetahui perhatian  la-
wan terpecah, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Melalui jurus 'Pedang Pembawa Maut' yang dimainkan
dengan menggunakan senjata Kujang Emas, Pelajar
Agung meladeni serangan Siluman Ular Putih.
"Jahanam! Itu senjata milik mendiang ayahku
Pendekar Kujang Emas. Lekas kembalikan senjata ter-
sebut, Bangsat!" bentak Siluman Ular Putih dengan

amarah yang menggelegak.
Pelajar Agung hanya tersenyum sinis. Gulun-
gan sinar kuning keemasan tampak demikian menge-
rikan terus mendesak Siluman Ular Putih. Bahkan tak
jarang gulungan sinar kuning tersebut hampir menge-
nai tubuh Soma. Di saat tengah hebat-hebatnya Pela-
jar Agung mendesak Siluman Ular Putih, seseorang ti-
ba-tiba menghentikan serangannya.
"Sobatku Pelajar Agung! Tahan senjata!"

***

Pelajar Agung mendengus gusar.  Namun toh
akhirnya ia mau juga menghentikan serangannya. Se-
pasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan
menatap Pangeran Pemimpin yang telah tegak di sam-
pingnya.
"Kenapa kau suruh aku menahan serangan,
Pangeran Pemimpin!"
"Sabar, Sobatku," bisik Pangeran Pemimpin li-
rih di telinga Pelajar Agung. "Aku mempunyai rencana
bagus. Kulihat pemuda gondrong itu memiliki kepan-
daian yang hebat. Aku ingin sekali menjadikan pemu-
da itu pembantuku, Sobat."
Pelajar Agung mendengus sinis.
"Dia itu musuh besarku, Pangeran. Aku harus
mengenyahkannya secepat mungkin!" geram Pelajar
Agung tak senang.
"Begitukah?" Pangeran Pemimpin menautkan
alisnya. "Tapi... bagaimanapun perjuangan kita adalah
segala-galanya. Kukira untuk sementara kau bisa me-
nangguhkan urusan pribadimu. Turutilah permin-
taanku kali ini, Sobat. Kalau misalnya perjuangan kita
berhasil, kau tentunya dapat dengan mudah membu-
nuh pemuda gondrong itu. Kesaktianmu pun tak kalah

dibandingkan dengan pemuda itu," bujuk Pangeran
Pemimpin.
"Hm.... Baiklah!" Pelajar Agung akhirnya me-
nyanggupi.
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat," ujar
Pangeran Pemimpin seraya menepuk pundak Pelajar
Agung.
Sejenak ia mengedarkan pandangan ke seputar
tempat pertarungan. Ternyata pengeroyokan terhadap
Putri Sekartaji telah berhenti begitu Pangeran Pemim-
pin berteriak tadi. Pangeran Pemimpin segera menga-
lihkan tatapannya ke arah murid Eyang Begawan Ka-
masetyo,