Siluman Ular Puth 14 - Sengketa Tahta Leluhur(2)


Sebuah pembantaian besar-besaran mulai ber-
langsung. Batu-batu sebesar kerbau yang meluruk ce-
pat dari atas bukit dan berpuluh-puluh batang anak 
pariah yang datang bak air hujan, rasanya sulit dihin-
dari. Semua bergerak pada satu titik sasaran, yakni 
prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret!  
Menyadari diri mereka masuk dalam jebakan, Se-
nopati Gajah Keling murka bukan main. Lebih lagi ke-
tika tadi mendengar tipuan sangkala yang saling susul. 
Jelas ini merupakan petaka  bagi  Kadipaten Pleret! 
Isyarat sangkala itu mengabarkan kalau keamanan 
Kadipaten Pleret terancam! 
"Bajingan pemberontak! Aku akan mengadu nya-
wa dengan kalian!" geram Senopati Gajah Keling tak 
dapat lagi mengendalikan amarah. 
Sekali menghentakkan kaki ke tanah, tahu-tahu 
tubuh tinggi kekar Senopati Gajah Keling telah mence-
lat tinggi ke udara. Kemudian dengan ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, lelaki 
gagah ini terus berusaha naik ke atas bukit. Namun 
sayang, serangan-serangan batu Sebesar kerbau dari 
atas bukit langsung menghadang langkahnya. Senopa-
ti Gajah Keling berusaha bertahan dan terus memak-
sakan diri untuk naik ke atas bukit. Hingga pada ak-
hirnya....  
Dukkk! 
Tiba-tiba sebuah batu sebesar kerbau yang dihan-
curkan dari bukit menghantam punggung Senopati 
Gajah Keling hingga memekik penuh kemarahan. Se-
ketika keseimbangan tubuhnya hilang. Maka tanpa 
ampun lagi, tubuhnya terus berguling-gulingan ke ba-
wah. 
Untung  saja Siluman Ular Putih segera melesat 
cepat. Langsung disambarnya tubuh Senopati Gajah 
Keling dan dibawa ke tempat aman.    
Sementara Senopati Gajah Keling telah diamankan 
Siluman Ular Putih, mendadak jerit-jerit kematian di 
bawah sana terdengar makin mengerikan. Tanpa am-
pun, batu-batu gunung yang  dimuntahkan dari atas 
bukit terus meluncur cepat, langsung menghantam pa-
ra prajurit Kadipaten Pleret di bawahnya. Belum lagi 
serangan anak-anak panah di belakang mereka. 
Keadaan ini benar-benar sangat memprihatinkan. 
Hampir separo prajurit Kadipaten Pleret tewas terkena 
hantaman batu dan anak-anak panah. Seketika sua-
sana di dataran tandus di bawah sana berubah menja-
di ajang pembantaian mengerikan.  
Siluman Ular Putih bergidik menyaksikan keja-
dian mengenaskan ini. Untuk beberapa saat ia masih 
belum tahu apa yang harus dilakukan. Dari tadi, pe-
muda ini hanya berusaha menghindari setiap serangan 
yang mengarah ke tubuhnya sambil sesekali menolong 
beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret yang terde-
sak. 
"Kita harus melakukan sesuatu, Soma! Tak 
mungkin kita membiarkan prajurit-prajurit itu mati 
konyol," kata Putri Sekartaji tiba-tiba. 
"Aku sedang memikirkannya, Putri. Apa kau su-
dah menemukan jalan keluar?" sahut Soma.     
"Hm,..! Tampaknya kita harus menggempur pasu-
kan-pasukan pemanah itu! Kita robek pertahanannya 
biar para prajurit bisa menyelamatkan diri dari jalan 
yang kita robek!" cetus si gadis yang tak mau ketingga-
lan untuk ikut berperang.  
"Bagus! Otakmu cukup cemerlang, Putri! Kukira 
kau tadi kebingungan untuk menyelamatkan diri. Eh 
ternyata otakmu boleh juga," puji Soma, lalu disusul 
senyum menggoda. 
"Aku tidak butuh pujianmu, Soma. Hayo, lekas ki-
ta bertindak!" tukas Putri Sekartaji cepat.    
"Tunggu!"  
''Apalagi?!" 
Putri Sekartaji berbalik kesal. Soma yang dipan-
dangi Putri Sekartaji tajam malah mengumbar senyum. 
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mau tanya. Apa 
kau tidak marah lagi padaku? Sebab sejak bar...." 
"Sudahlah, Soma!" potong Putri Sekartaji. "Kalau 
aku masih marah padamu, buat apa aku mengajakmu 
bicara!" 
"Jadi, kau...?"  
Soma tak meneruskan ucapannya, ketika melihat 
Putri Sekartaji telah melesat dengan pedang di tangan 
menuju ke pasukan pemanah lawan. Tentu saja Soma 
tidak ingin gadis itu melakukan tugas berat seorang di-
ri. Maka tanpa banyak cakap, tubuhnya segera berke-
lebat menyusul Putri Sekartaji. 
"Ha  ha ha...! Prajurit-prajurit tolol! Mampuslah! 
Kalian semua!" 
Tiba-tiba terdengar suara tawa seseorang dari atas 
bukit. Soma yang sudah dapat menyusul Putri Sekar-
taji, segera mendongak ke atas dan menggeram penuh 
kemarahan. Ia cukup tahu, siapa lelaki berpakaian 
surjan yang berkacak pinggang di atas bukit itu. Dia 
tidak lain memang Pangeran Pemimpin! 
"Pangeran tengik! Tak tahu malu! Kau harus ber-
tanggung jawab atas perbuatanmu!" teriak Soma nyar-
ing. 
Pangeran Pemimpin hanya tertawa bergelak. 
Soma tidak mempedulikannya. Segera diikutinya 
gadis cantik murid Pendekar Bintang Emas itu dalam 
menerjang pasukan pemanah yang bersembunyi di ba-
lik celah-celah bukit. Tidak gampang memang melaku-
kan tugas berat itu. Soma menyadarinya. Untuk itu 
kedua tangannya mengebut-ngebut untuk menangkis 
serangan anak panah sambil terus berkelebat maju.  
Perlahan-lahan Soma dan Putri Sekartaji mende-
kati pasukan pemanah lawan. Kemudian dengan satu 
loncatan indah, mereka telah melepas serangan. 
Set! Set! 
"Heaaa...!"  
Meski hujan anak panah terus menyerang, Soma 
dan Putri Sekartaji terus berusaha balik menyerang. 
Sambil melayang di udara, mereka menghentakkan 
kedua tangan melontarkan pukulan maut ke arah ta-
nah dengan maksud untuk menakut-nakuti.    
Blam!    
Kenyataan siasat Soma dan Putri Sekartaji berha-
sil. Begitu pukulan mereka menghantam tanah, pulu-
han pasukan pemanah langsung kocar-kacir. Saat itu-
lah kedua anak muda ini melancarkan serangan se-
sungguhnya 
Blam! 
Blam! 
Meski hanya dua orang, dalam waktu yang tidak 
lama pasukan pemanah lawan telah lari tunggang 
langgang bergabung dengan pasukan-pasukan lain 
Kesempatan ini tentu saja segera digunakan Se-
nopati Gajah Keling untuk menarik mundur pasukan-
nya beberapa saat. Sebab atas kejadian tadi, banyak 
prajurit Kadipaten Pleret yang jadi ciut nyalinya. 
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang menggagalkan ren-
canaku, Siluman Ular Putih!" desis Pangeran Pemim-
pin di atas bukit 
Siluman Ular Putih hanya tertawa bergelak. 
"Serang...!" teriak Pangeran Pemimpin lantang se-
raya mengibaskan tangan kanannya.  
Pangeran  Pemimpin segera meloncat ke atas 
punggung kudanya. Lalu dengan kasar disentakkan-
nya tali kekangnya kuat-kuat. Binatang tunggangan 
itu meringkik keras dengan kedua kaki depan terang-
kat tinggi-tinggi. 
Ketua Partai Kawula Sejati ini tidak mempeduli-
kannya. Tangan kanannya segera menggebah badan 
kuda tunggangannya. Sehingga kuda hitam itu pun 
berlari kencang menuruni bukit diikuti kuda-kuda 
tunggangan anggota Partai Kawula Sejati.  
"Hea...! Hea...!" 
Sementara itu berpuluh-puluh pasukan berkuda 
Partai Kawula Sejati mulai berdatangan dari empat 
penjuru mata angin. Jumlahnya jauh lebih banyak tiga 
kali lipat daripada pasukan Partai Kawula Sejati yang 
pertama. 
Keadaan ini benar-benar di luar dugaan Senopati 
Gajah Keling. Ia tidak mengira Pangeran Pemimpin 
masih menyimpan pasukan-pasukan di balik bukit. 
Sungguh nyali mereka jadi ciut. Apalagi mereka baru 
saja digempur habis-habisan oleh pasukan Pangeran 
Pemimpin dalam jebakan tadi.  
"Sontoloyo! Rupanya Pangeran Pemimpin itu pin-
tar juga mengatur siasat perang!" gerutu Soma kesal. 
Sepasang mata si pemuda tertumbuk pada pasu-
kan-pasukan Pangeran Pemimpin yang mulai datang 
menyerang dari empat penjuru. Senopati Gajah Keling 
dan Putri Sekartaji pun tampak gelisah sekali.     
"Putri!  Mari kita menghadang jalan Pangeran Pe-
mimpin! Biar Senopati Gajah Keling dan prajuritnya 
menggempur pasukan-pasukan itu!" teriak Soma tiba-
tiba.  
"Baik," sahut Putri Sekartaji penuh semangat. 
"Harap kalian hati-hati! Pangeran Pemimpin dan an-
tek-anteknya sangat berbahaya!" pesan Senopati Gajah 
Keling. 
"Terima kasih, Paman," sahut Putri Sekartaji 
hampir bersamaan dengan Soma.  
Soma dan Putri Sekartaji segera berkelebat cepat 
menghadang Pangeran Pemimpin beserta beberapa 
orang sekutunya. Bahkan saat ini Rondo Kasmaran 
pun ikut membantu, meski tidak mendapat perintah 
dari murid Eyang Begawan Kamasetyo.  
"Terima kasih! Ternyata kau mau membantu ka-
mi, Rondo Kasmaran," ucap Soma begitu tiba di jalan 
yang diduga bakal dilalui Pangeran Pemimpin beserta 
para sekutunya dan masih di sekitar ajang pertarun-
gan. 
Rondo Kasmaran tersenyum manis. 
"Diminta atau tidak, aku harus membantu kalian 
menumpas manusia-manusia gila pangkat itu!" sahut 
Rondo Kasmaran, lalu kembali mengumbar senyum. 
"Heaaa...! Hea...!" 
Pangeran Pemimpin dan pasukannya mulai berda-
tangan. Tangan kirinya yang memegang tali kekang te-
rus disentak-sentakkannya kasar. Sementara tangan 
kanannya yang memegang keris pusakanya diacung-
acungkan ke atas. Di belakangnya, beberapa tokoh se-
sat dunia persilatan turut menyertai. 
"Siluman Ular Putih! Kaulah orang pertama yang 
harus ku enyahkan!" teriak Pangeran Pemimpin penuh 
kemarahan, ketika berhenti pada jarak lima tombak di 
depan Siluman Ular Putih. 
"Kebetulan sekali. Aku juga menginginkannya. 
Apalagi tanganku. Rasa-rasanya sudah tidak sabar un-
tuk menghajar pantatmu!" ejek Siluman Ular Putih. 
"Setan alas! Jangan menyesal kalau kau telah ber-
temu aku, Bocah!" geram Pangeran Pemimpin, lang-
sung melompat dari punggung kuda. Karena memang 
hanya dengan cara itu ia dapat menyerang Siluman 
Ular Putih dengan leluasa.  
"Nah! Begitu juga boleh. Sebab, aku takut kalau-
kalau kudamu yang tak bersalah malah jadi sasaran." 
"Jangan banyak bacot, Bocah! Ingat! Kematianmu 
sudah di depan mata!" dengus Pangeran Pemimpin ka-
sar. "Teman-teman! Hajar bocah sinting ini!" lanjut 
Pangeran Pemimpin seraya meluruk menerjang. 
Pertarungan tak seimbang tak dapat dielakkan la-
gi. Pangeran Pemimpin yang dibantu hampir dua pu-
luh tokoh sesat dunia persilatan sudah melepas seran-
gan ke arah Siluman Ular Putih beserta Putri Sekartaji 
dan Rondo Kasmaran. 
Siluman Ular Putih sedikit pun tidak berani me-
mandang ringan. Meski bibirnya selalu menyungging-
kan senyum, namun diam-diam telah pula mengelua-
rkan jurus andalan 'Terjangan Maut Ular Putih'. Kedua 
telapak tangannya yang berwarna putih terang hingga 
ke pangkal siku pun siap melontarkan pukulan tenaga 
‘Inti Bumi’  
Seperti yang telah dilakukan murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo, Putri Sekartaji dan Rondo Kasmaran 
pun telah mengeluarkan jurus-jurus andalan. Dengan 
sebilah pedang pusaka, adik tiri Adipati Reksopati ini 
segera memainkan jurus 'Pedang Bintang Emas' cip-
taan Pendekar Bintang Emas.  
Demikian pula Rondo Kasmaran. Sebagai seorang 
murid tokoh sakti dari wilayah timur, segera dikelua-
rkannya jurus-jurus andalan. Meski hanya mengguna-
kan tangan kosong, namun jurus-jurusnya untuk be-
berapa saat mampu memudarkan serangan-serangan 
lawan. 
"Bedebah! Kalian memang patut modar di tangan 
kami!" geram Pangeran Pemimpin. 
Kedua telapak tangan lelaki setengah baya ini 
yang mendadak berubah jadi hitam legam pun segera 
didorongkan ke depan. Seketika melesat dua larik si-
nar hitam legam yang disertai bau busuk luar biasa ke 
arah murid Eyang Begawan Kamasetyo. Bahkan sebe-
lum serangan itu mengenai sasaran, terlebih dahulu 
berkesiut hawa panas bukan kepalang menampar-
nampar kulit tubuh.  
Siluman Ular Putih menggeretakkan gerahamnya 
kuat-kuat. Sungguh berbahaya sekali bila serangan 
dihindari. Sebab dibelakangnya masih ada Putri Sekar-
taji dan Rondo Kasmaran. Tidak ada pilihan lain. Se-
rangan itu pun harus dipapaki.  
"Hea...!"     
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Siluman Ular 
Putih menghentakkan kedua tangannya melontarkan 
pukulan tenaga ‘Inti Bumi’. Seketika meluruk dua larik 
sinar putih terang dari telapak tangannya. 
Wesss! Wesss!  
Blaaam...!!! 
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam 
barusan. Bumi laksana diguncang prahara. Angin pa-
nas akibat bentrokan berkesiur ke segenap penjuru, 
menghantam apa saja di sekitarnya. Beberapa orang 
prajurit Kadipaten Pleret dari beberapa orang anak 
buah Pangeran Pemimpin seketika menjerit menyayat 
dengan sekujur tubuh hangus terbakar!    
Siluman Ular Putih sendiri terdorong beberapa 
langkah ke belakang. Parasnya pias. Kedua telapak 
tangannya terasa bagai terpanggang bara api!  
"Semprul! Tak kusangka akan begini akibat tang-
kisan ku. Bukan saja aku hampir celaka, bahkan aki-
bat angin sambarannya mampu membunuh beberapa 
orang prajurit di sekitar tempat ini!" desah Siluman 
Ular Putih dalam hati. 
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Tubuhnya 
yang tadi sempat tergetar kini sudah dapat terkuasai. 
Malah kini dengan pukulan maut yang teramat meng-
giriskan, kembali diterjangnya Siluman Ular Putih. 
Siluman Ular Putih terus berusaha menghindar 
sebisanya. Karena kalau ditangkis, bukan mustahil 
akibatnya akan seperti tadi. 
"Paman Senopati! Bawa pasukanmu minggir dari 
pertarungan kami!" teriak Soma. 
Namun sayang apa yang tengah dialami Senopati 
Gajah Keling dan para prajuritnya tak jauh berbeda, 
malah jauh lebih parah. Serangan-serangan pasukan 
Partai Kawula Sejati yang saat ini jumlahnya jauh lebih 
banyak, benar-benar membuat Senopati Kadipaten 
Pleret dan para prajurit kalang kabut. Padahal di sana 
Pendekar Bintang Emas pun turut membantu. Namun, 
tetap saja Senopati Gajah Keling belum mampu men-
gatasi serangan-serangan. 
Ini benar-benar memprihatinkan. Lambat laun pa-
ra prajurit Kadipaten Pleret pasti dapat dikalahkan. 
Sedang Soma yang dibantu Putri Sekartaji dan Rondo 
Kasmaran belum sanggup menghadapi gempuran-
gempuran Pangeran Pemimpin yang dibantu dua pu-
luh orang tokoh sesat.    
"Ha ha ha...! Apa lagi yang ingin kau pamerkan, 
Bocah?! Kematian kalian sudah di depan mata! Tak 
ada gunanya berkoar. Kalian tetap saja akan modar!"      
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Wajahnya 
yang berkulit putih bersih kini tampak menyiratkan 
kekejian luar biasa.  
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku, Bocah!"   
Pangeran Pemimpin segera mengempos tenaga da-
lamnya. Dan baru saja cucu Eyang Pamekasan itu 
hendak mendorongkan kedua telapak tangan ke de-
pan, mendadak.... 
"Manusia laknat! Sungguh memalukan perbua-
tanmu ini! Kau tak pantas mengumbar maut dengan 
pukulan 'Pelebur Bumi'-mu di sini!"         
Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar 
yang disusul berkelebatnya berpuluh-puluh bayangan 
ke arah pertarungan. 
*** 
Sepasang mata culas Pangeran Pemimpin berkilat-
kilat penuh kemarahan, menatap serombongan orang 
berpakaian sebagaimana kaum persilatan yang seper-
tinya dari golongan putih; Sementara orang yang tadi 
membentak sekaligus mengenali pukulan maut Pange-
ran Pemimpin adalah seorang lelaki gagah berusia 
enam puluh, tahun. Tubuhnya tinggi besar, menam-
pakkan otot-otot lengan yang bertonjolan meski 
usianya sudah di ambang senja. Pakaiannya putih. 
Dua gelang akar bahar menghiasi pergelangan tangan-
nya. 
"Keparat kau, Ki Rombeng!" desis Pangeran Pe-
mimpin menggeram penuh kemarahan. 
Kedua telapak tangan Ketua Partai Kawula Sejati 
yang berwarna hitam legam hingga ke pangkal siku ini 
kembali mendorong ke depan. Sedikitpun tidak dihi-
raukan teriakan lelaki berpakaian putih-putih yang 
memang Ki Rombeng. Maka saat itu pula melesat dua 
larik sinar hitam legam yang disertai bau busuk bukan 
kepalang menyerang Siluman Ular Putih! 
Namun sebelum Siluman Ular Putih melontarkan 
pukulan tenaga dalam 'Inti Bumi', mendadak Ki Rom-
beng telah mendorongkan kedua telapak tangannya ke 
depan. 
Wesss!  
Seketika dari kedua telapak tangan tokoh sakti 
dari Gunung Kelud itu telah meluruk asap putih ber-
gulung-gulung, langsung membungkus sinar hitam le-
gam pukulan Pangeran Pemimpin.    
Besss! 
Tidak ada ledakan yang berarti akibat bentrokan 
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun 
anehnya, tubuh Pangeran Pemimpin dan Ki Rombeng 
sama-sama bergetar hebat. Paras mereka pucat pasi 
dengan tubuh terhuyung-huyung beberapa langkah ke 
belakang.  
"Setan alas kau, Tua Bangka dari Gunung Kelud. 
Hm...!" desis Pangeran Pemimpin.    
"Itu belum seberapa Pangeran Pemimpin!" ejek Ki 
Rombeng.    
"Bajingan! Kau akan menyesal telah berlaku lan-
cang terhadapku, Ki Rombeng!"  
"Aku  tidak  akan menyesal membunuh manusia 
pengecut macam kau, Sembodo!" ucap Ki Rombeng 
dingin. 
Pangeran Pemimpin tak lagi menyahuti ucapan Ki 
Rombeng, kecuali hanya menggeretakkan gerahamnya 
penuh kemarahan. Kemudian dibuatnya beberapa ge-
rakan tangan dengan kuda-kuda rendah. Terakhir ke-
dua telapaknya menangkup di depan dada. Kedua bi-
birnya pun lantas berkemik-kemik kebat. 
Ki Rombeng terhenyak  melihat ajian yang akan 
dikeluarkan Pangeran Pemimpin. Saking kagetnya, da-
danya sampai tertarik ke belakang.  
"Hm...! Tak kusangka! Rupanya Eyang Pamekasan 
telah menurunkan aji 'Setan Kober' padamu, Bocah. 
Sungguh berbahaya. Manusia berhati ular macammu 
sampai memiliki aji 'Setan Kober'...!"  
"Bagus! Rupanya kau sudah cukup mengenal aji 
'Setan Kober'. Berarti kau tidak akan mati penasaran. 
Sekarang bersiap-siap menerima kematianmu hari ini, 
Tua Bangka Keparat!"  
Ki Rombeng menarik kaki kirinya ke belakang 
membuat kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya 
yang telah berubah jadi putih berkilauan membuka di 
sisi pinggang dengan jari-jari mengarah ke bawah. 
Namun....      
"Toeettt...!" 
"Heh...?!" 
Mendadak kesiagaan Ki Rombeng terusik oleh 
bunyi sangkala yang saling susul di kejauhan sana. 
Dan belum sempat mengerti apa yang terjadi.....      
"Ki Rombeng! Tolong cepat ajak beberapa orang 
pendekar ke Kadipaten Pleret. Tiupan sangkala itu 
menandakan kalau Kadipaten Pleret terancam ba-
haya!" Terdengar teriakan seseorang dari samping.     
Ki Rombeng gusar bukan main. Baginya keama-
nan Kadipaten Pleret  adalah segala-galanya. Maka 
tanpa mempedulikan Pangeran Pemimpin, kepalanya 
segera dipalingkan ke samping.  
Ternyata yang berteriak tadi adalah Senopati Ga-
jah Keling, setelah meninggalkan dua orang penge-
royoknya. Wajah kerasnya menegang. 
"Apa kau bilang, Senopati Gajah Keling? Keama-
nan Kadipaten Pleret terancam?" tanya Ki Rombeng, 
seolah minta kepastian.  
"Benar, Ki. Tiupan sangkala itu menandakan ka-
lau keamanan kadipaten benar-benar terancam. Cepat, 
Ki! Ajak beberapa orang pendekar lain untuk memban-
tu prajurit-prajurit yang berjaga di dalam kadipaten," 
ujar Senopati Gajah Keling cemas bukan main. 
"Hm...! Baiklah," kata Ki Rombeng akhirnya. Bu-
ru-buru lelaki tua ini memalingkan kepala ke arah Si-
luman Ular Putih.      
"Kau pasti pendekar muda yang akhir-akhir ini 
membuat gempar dunia persilatan. Apa kau sanggup 
menahan manusia pemberontak itu?" lanjut Ki Rom-
beng seraya menudingkan telunjuk jarinya ke arah 
Pangeran Pemimpin. 
Pangeran Pemimpin yang saat itu hendak melon-
tarkan aji 'Setan Kober' hanya menggeram penuh ke-
marahan. Kedua pelipisnya  bergerak-gerak pertanda 
tak dapat lagi mengendalikan amarah. 
"Aku akan berusaha dengan segenap tenagaku, 
Orang Tua," sahut Siluman Ular Putih mantap. 
"Baik. Kalau begitu, hati-hatilah. Di samping me-
miliki aji 'Pelebur Bumi', ia juga memiliki aji 'Setan Ko-
ber' yang amat berbahaya. Selamat tinggal, Anak Mu-
da. Terpaksa kita harus membagi pekerjaan," ingat Ki 
Rombeng seraya berkelebat cepat. 
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Saat ini, So-
ma memang harus menghadapi Pangeran Pemimpin. 
"Kau gantinya tua bangka keparat itu, Bocah Sint-
ing! Makanlah aji 'Setan Kober'-ku! Hea...!"    
Dikawal bentakan nyaring Pangeran Pemimpin se-
gera menghantam kedua telapak tangannya ke depan. 
Kali ini bukan lagi dua larik sinar hitam legam yang 
melesat cepat, melainkan dua gulungan asap hitam 
tebal yang baru memanjang ke depan. Dan hebatnya, 
sejurus kemudian dua gulungan asap tebal itu telah 
berubah menjadi sesuatu yang teramat mengerikan! 
Wutt...! 
Dua kepala bayi yang memiliki taring panjang 
dengan kulit hitam dengan tiba-tiba menjulurkan tan-
gannya ke depan. Lama kelamaan tangan kedua bayi 
itu menjadi besar, dan terus mengejar Siluman Ular 
Putih! 
Siluman Ular Putih sejenak terkesima. Sungguh 
baru kali ini murid Eyang Begawan Kamasetyo mene-
mui ajian yang demikian aneh. Untuk beberapa saat, 
pemuda ini pun hanya melongo menyaksikan dua so-
sok mengerikan. Akibatnya, ia terlupa untuk melon-
tarkan pukulan tenaga ‘Inti Bumi’. Maka tanpa ampun 
lagi.... 
Crep!  
"Aakh...!" 
Leher Siluman Ular Putih tahu-tahu telah ter-
cengkeram tangan-tangan bayi aneh di hadapannya!  
Siluman Ular Putih kewalahan bukan main. Na-
pasnya mendadak sesak. Tubuhnya menyentak-
nyentak seperti orang menjelang menemui ajal. Sedang 
sepasang matanya melotot tak berkedip!  
"Nggghhh...! Nggghhh...!" 
Siluman Ular Putih terus melejang-lejang sembari 
menggerak-gerakkan kepalanya ke sana kemari. 
"Soma...!" pekik Putri Sekartaji cemas bukan 
main. 
Sejenak gadis cantik murid Pendekar Bintang 
Emas itu terpana melihat dua sosok bayi aneh dari ke-
dua telapak tangan Pangeran Pemimpin yang tengah 
menyerang Siluman Ular Putih. Putri Sekartaji tak ta-
han lagi melihat penderitaan Siluman Ular Putih. Maka 
dengan lengkingan tinggi, tubuhnya berkelebat cepat 
meninggalkan lawannya. Pedang di tangan kanannya 
dikibaskan untuk menebas sosok bayi aneh yang ten-
gah menjerat leher Siluman Ular Putih. 
Wessss! 
"Heh...?!" 
Putri Sekartaji melongo. Tebasan pedangnya se-
perti menebas angin. Sedang dua sosok bayi aneh itu 
tetap saja mencengkeram leher Siluman Ular Putih! 
Pada saat demikian, tiba-tiba gulungan hitam tangan 
bayi aneh itu telah meluruk ke dadanya 
Dess...!  
"Aaakh...!" 
Cepat dan telak sekali tangan bayi aneh itu meng-
hantam dada Putri Sekartaji hingga memekik kesaki-
tan. Tubuhnya terpental ke belakang, dan jatuh berde-
bam ke tanah. 
Putri Sekartaji mencoba merangkak bangun. Na-
mun sayang, tubuhnya kembali luruh. Dadanya yang 
terkena hantaman tadi terasa mau jebol. 
"Hoeekh...!"  
Putri Sekartaji tak tahan lagi. Darah merah kehi-
taman kontan menyembur keluar dari mulutnya. Tu-
buhnya menggigil. Parasnya mendadak jadi pias! 
"Ba... bajingan...!!!" pekik Siluman Ular Putih su-
sah bukan main.  
Karena terdorong rasa sakit yang mencengkeram 
leher dan juga melihat Putri Sekartaji telah terluka, Si-
luman Ular Putih jadi tak dapat mengendalikan diri la-
gi. Diam-diam mulai dikerahkannya aji Titisan Silu-
man Ular Putih. Begitu kedua bibirnya berkemik-
kemik membaca mantra ajian ciptaan Eyang Begawan 
Kamasetyo di Gunung Bucu, maka seketika mengepul 
asap putih tipis yang segera menyelimuti tubuh Soma. 
Dan ketika asap yang menyelimuti tubuh Soma 
hilang tersapu angin, maka yang terlihat kini adalah 
sosok panjang berwarna putih sebesar pohon kelapa 
dengan taring-taring mengerikan! Itulah sosok Siluman 
Ular Putih! 
"Ggggeeerrr...!!!" 
*** 
"Si...! Siluman Ular Putih...!" 
Pekikan nyaring seseorang membuat pertempuran 
mendadak jadi berhenti. Sepasang mata mereka mem-
beliak lebar seolah tak percaya melihat sosok besar 
panjang berwarna putih dengan taring runcing. Semua 
bagai mimpi. Semua di luar angan mereka. 
"Gggeeerrr...!"    
Sosok ular putih raksasa itu mengeluarkan geren-
gan hebat. Suaranya berat menggiriskan, seolah ingin 
merobek angkasa! 
Sambil menggereng, Siluman Ular Putih mengge-
liatkan tubuhnya sedemikian rupa. Gerakannya tam-
pak biasa saja. Namun akibatnya, bumi laksana di-
guncang prahara!  
Pangeran Pemimpin sendiri pun terkesiap kaget. 
Sepasang matanya membelalak liar. Perlahan-lahan 
tangan hitam bayi anehnya mengendur. Namun masih 
tetap berwujud dua sosok bayi hitam mengerikan. 
"Hebat, hebat! Jadi inikah sosok Siluman Ular Pu-
tih yang menggemparkan dunia persilatan? Hem...!" 
Tiba-tiba Pangeran Temimpin tertawa. Entah 
hanya untuk menindih perasaan ngerinya, atau me-
mang memandang rendah lawan. Yang jelas, langkah-
nya sempat tersurut beberapa tindak ke belakang. 
Mungkin gentar. Mungkin malah sebaliknya! 
Siluman Ular Putih tak banyak membuat gerakan 
berarti kecuali hanya mengibas-ngibaskan ekor ke ka-
nan kiri. Kilatan sepasang matanya yang berwarna me-
rah saga seolah ingin menelan musuhnya bulat-
bulat....  
*** 
Fajar di Kadipaten Pleret mulai menyingsing. Tak 
seperti biasanya, fajar terasa demikian mencekam, 
mengerikan. Jerit kematian, bau anyir darah yang 
mengambang di mana-mana, serta dentingan senjata 
tajam beradu mewarnai suasana pagi itu. Sementara 
matahari seolah malas beranjak dari singgasananya. 
Sinarnya yang ramah hangat tertutup awan kelabu. 
Seolah tak kuasa menyaksikan kejadian mengerikan di 
mayapada ini. 
Kini apa yang terjadi di  Kadipaten Pleret, tak 
ubahnya seperti pembantaian besar-besaran. Tokoh-
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin 
dengan leluasa mengayunkan tangan maut sekehen-
dak hati. Tanpa ada yang menghalangi. 
Nyaris hanya Tumenggung Batu Ampel dan Ki 
Demang Jarakan saja yang masih sanggup bertahan. 
Itu saja keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan. 
Pakaiannya compang-camping. Banyak luka bacokan 
senjata tajam di sekujur tubuhnya. Namun kedua 
orang perwira kadipaten itu tetap berusaha bertahan, 
walau nyawa taruhannya.  
"Reksopati! Adipati keparat! Keluar kau! Lihat! Li-
hat yang kami lakukan pada prajurit-prajuritmu! Apa 
kau tega membiarkan mereka mati konyol? Lekas se-
rahkan kepalamu pada kami!" teriak Bajing Ireng nyar-
ing. 
Bersama Bajing Ireng gurunya, Bajing Biru terus 
mengeroyok Tumenggung Batu Ampel. Sambil mem-
permainkan lawannya tak henti-hentinya ia berteriak 
begitu. Bahkan dengan menggunakan jurus andalan-
nya, hampir saja kepala Tumenggung Batu Ampel di-
penggalnya. 
Untung saja Tumenggung Batu Ampel cukup sia-
ga. Begitu melihat bahaya mengancam, segera ditang-
kisnya kilatan mata pedang di tangan Bajing Biru den-
gan keris 
Tranggg! 
"Akh..,!" 
Tumenggung Batu Ampel mengeluh tertahan. Ke-
ris di tangannya mental entah ke mana. Pada saat 
yang sama tongkat hitam milik Bajing  Ireng kembali 
mengancam. Tumenggung Batu Ampel mengeluh. Ia 
hanya melihat gulungan sinar hitam kemudian....  
Bukkk!  
"Aaakh...!" 
Telak sekali tongkat hitam di tangan Bajing Ireng 
mendarat di dada, membuat Tumenggung Batu Ampel 
memekik tertahan. Tubuhnya kontan mencelat ke be-
lakang. Dadanya yang terkena hantaman tongkat tera-
sa mau jebol, meremukkan tiga tulang iga! 
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa denganmu, 
Manusia-manusia Pemberontak!" geram Tumenggung 
Batu Ampel penuh kemarahan.  
Karena terdorong amarah menggelegak, mendadak 
Tumenggung Batu Ampel jadi nekat. Disertai gerengan 
keras, tiba-tiba diterjangnya Bajing Ireng. 
"Hea...!" 
"Bajing Ireng tersenyum dingin. Tubuhnya digeser 
sedikit ke samping. Lalu dengan satu gerakan memati-
kan, tahu-tahu tongkat hitam di tangannya telah ber-
kelebat cepat.  
Prakkk! 
Tumenggung Batu Ampel tak sempat mengelua-
rkan keluhan ketika tongkat hitam milik Bajing Ireng 
mendarat telak di kepala. Seketika tubuhnya jatuh 
berdebam ke tanah. Kepalanya yang terkena hantaman 
kontan retak, mengeluarkan darah merah keputihan. 
Ki Demang Jarakan murka bukan main. Melihat 
Tumenggung Batu Ampel telah menemui ajal, lelaki ini 
jadi menggembor penuh kemarahan. Ingin rasanya ia 
membalas kematian rekannya. Namun sayang, gempu-
ran-gempuran lawan sedikit  pun tidak memberi ke-
sempatan padanya untuk bertindak.        
"Bajingan kau, Rantai Kumala! Kau sama saja 
dengan tua bangka keparat itu! Demi Tuhan, aku akan 
menghabisi kalian semua!" dengus Ki Demang Jarakan 
penuh kemarahan. Tubuhnya gemetaran saking tak 
kuatnya menahan amarah menggelegak terhadap la-
wannya, seorang tokoh sesat bernama Rantai Kumala. 
"Boleh. Boleh saja. Asal kau sanggup. Awas, jaga 
batok kepalamu!" ejek Rantai Kumala. 
Habis mengejek, Rantai Kumala telah mendahului 
menyerang. Rantai baja berwarna kuningnya kembali 
diputar-putar hingga menimbulkan suara menderu, 
siap meremukkan tubuh Ki Demang Jarakan. 
Meski dengan susah payah, akhirnya Ki Demang 
Jarakan dapat keluar dari tekanan-tekanan Rantai 
Kumala. Namun ketika Bajing Ireng dan Bajing Biru 
ikut turut mengeroyok, keadaan benar-benar jadi be-
rubah. 
Jangankan untuk membalas. Untuk keluar dari 
tekanan-tekanan ketiga orang pcngeroyoknya pun su-
lit! 
Rupanya keadaan ini pun tak jauh berbeda den-
gan prajurit-prajurit Kadipaten Pleret lain. Ibarat laron 
bertemu api, satu persatu para prajurit gagah kadipa-
ten menemui ajal. Jumlah mereka lambat laun menyu-
sut, benar-benar mencemaskan! 
Meski demikian, semangat juang para prajurit Ka-
dipaten Pleret patut diacungi jempol. Demi menegak-
kan kebenaran di muka bumi, mereka terus berusaha 
bertahan. 
Sebaliknya, tokoh-tokoh sesat yang menjadi seku-
tu Pangeran Pemimpin tak segan-segannya terus 
membantai. Ibarat mendapat permainan baru, tangan-
tangan maut mereka terus merenggut korban dengan 
jurus andalan masing-masing. 
Dengan mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi', Pelajar 
Agung terus membetoti dan mengubur satu persatu 
prajurit Kadipaten Pleret tanpa ampun. Dan bilamana 
tanah di hadapan bergerak-gerak, paras para prajurit 
sudah jadi pias. Mereka tahu, petaka apa yang akan 
dialami. Terkubur hidup-hidup! 
Brolll...! 
Namun kini mendadak tanah di hadapan para 
prajurit Kadipaten Pleret membuncah tinggi ke udara. 
Dari buncahan tanah, samar-samar muncul sesosok 
bayangan hitam tengah berdiri sambil berkacak ping-
gang dengan angkuh. Meski tersenyum, namun tam-
pak mengundang maut!  
Beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret jadi ciut 
nyalinya. Ketakutan mendera hati mereka. Semangat 
juang pun luluh. Sepasang mata mereka membelalak 
ngeri, memperhatikan sosok seorang pemuda tampan 
dengan rambut dikuncir sebagian ke belakang. Jubah-
nya besar berwarna hitam, serta topi hitam yang me-
manjang pada bagian atasnya. Dialah sosok Pelajar 
Agung yang telah membuat ciut nyali para prajurit! 
"Kalian para prajurit Kadipaten Pleret! Dengar! 
Buka telinga lebar-lebar! Lekas, suruh adipati keparat 
itu keluar! Kalau tidak, jangan harap kami mengam-
puni kalian! Kami akan menumpas habis kalian se-
mua!" teriak Pelajar Agung nyaring, disertai pengera-
han tenaga dalam melalui suara. 
Sebelum ada yang menyahut, mendadak....  
"Cck cck cck...! Pongah benar lagak manusia satu 
ini! Sepertinya dia saja yang punya jagat!" 
Tiba-tiba terdengar seseorang menyahut. Kemu-
dian, berkelebat beberapa sosok bayangan ke tempat 
pertempuran.         
Pelajar Agung melengak kaget. Seketika sepasang 
matanya membelalak liar. Di hadapan mereka kini 
tampak beberapa orang pendekar yang dipimpin Ki 
Rombeng telah hadir di tempat pertempuran. Bahkan 
tanpa basa-basi langsung menyerang beberapa tokoh 
sesat sekutu Pangeran Pemimpin.  
Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Le-
bih lagi ketika orang yang menyahut tadi tak lain dari 
Raja Penyihir! Seorang tokoh sakti yang telah mem-
permalukan dirinya sewaktu terjadi pertarungan di 
puncak Gimung Kembang. Maka tak heran betapa gu-
sarnya hatinya melihat kehadiran Raja Penyihir di an-
tara rombongan para pendekar yang dipimpin Ki Rom-
beng. (Untuk mengetahui pertarungan antara Raja Pe-
nyihir dan Pelajar Agung, silakan baca : "Penguasa 
Alam"). 
"Keparat! Kalian semua mengacaukan rencana 
kami!" geram Pelajar Agung murka 
"Rencana busuk sudah pasti akan kacau. Kenapa 
kalian masih juga berencana?" ejek Raja Penyihir. 
"Setan! Jaga bacotmu, Tua Bangka Keparat! Apa 
kau pikir, aku dapat menerima kekalahanku begitu sa-
ja, he?! Sekaranglah saatnya membalas kekalahanku!"     
"Boleh, boleh! Asal kau sanggup," kata Raja Pe-
nyihir memanas-manasi.  
Pelajar Agung mendongkol bukan main. Diam-
diam mulai dikerahkannya ilmu 'Amblas Bumi'nya 
kembali. Begitu ilmu yang dipelajarinya dari mendiang 
'Manusia Rambut Merah' dikeluarkan, seketika tubuh-
nya berputar-putar laksana gasing. Tanah tempat ber-
pijak kedua kakinya pun kontan membuncah ke uda-
ra. Dan perlahan-lahan tubuh Pelajar Agung telah am-
blas ke dalam bumi!   
Raja Penyihir tercekat. 
"Semprul! Rupanya ia juga murid dari si biang ke-
rok Manusia Rambut Merah!" gerutu Raja Penyihir da-
lam hati.     
Melihat Pelajar Agung mulai bertindak, Raja Pe-
nyihir makin meningkatkan kewaspadaan. Apalagi saat 
tanah di hadapannya bergerak-gerak. cepat ke arah-
nya. 
Tuk! Tuk! 
Raja Penyihir mengetuk-ngetukkan tongkatnya 
beberapa kali. Saat itu pula tanah di sekitar tempat 
pertempuran bergetar hebat! Sementara gundukan ta-
nah di hadapan Raja Penyihir makin mendekati sasa-
ran.  
"Hup!" 
Tiba-tiba Raja Penyihir melompat tinggi ke udara. 
Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk 
deras dengan tongkat hitam mengarah pada tanah 
yang bergerak-gerak. Lalu... 
Blesss! 
Tanah itu bergetar hebat laksana ada gempa. Se-
dang begitu mendarat, Raja Penyihir membiarkan un-
tuk beberapa saat tanah yang bergetar. Indra keenam-
nya terus ditujukan pada tanah dibawahnya.  
Broll…!! 
Mendadak tanah di hadapan Raja Penyihir mem-
buncah tinggi ke udara disertai menyeruaknya satu 
sosok bayangan hitam dari dalam tanah. Sebelum Raja 
Penyihir menyadari apa yang terjadi, telah berkelebat 
dua cahaya biru yang menggemuruh ke arahnya. Bu-
ru-buru Raja Penyihir menghentakkan kedua tangan-
nya melontarkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih Se-
tan'.   
"Hea...!" 
Blaaam...!!! 
Terdengar satu ledakan hebat saat dua kekuatan 
dahsyat beradu pada titik tengah. Tampak sosok hitam 
tubuh Pelajar Agung terpental ke belakang, lalu jatuh 
menimpa beberapa orang kawannya di belakang! Pa-
rasnya pias. Darah segar meleleh membasahi sudut-
sudut bibir, pertanda menderita luka dalam cukup pa-
rah. 
Tepat saat tubuh Pelajar Agung melayang tadi, Ki 
Rombeng melancarkan tendangan sampingnya ke tu-
buh Bajing Ireng.  
Bukkk! 
Telak sekali tendangan kaki kiri Ki Rombeng men-
genai iga Bajing Ireng. Seketika tubuh tokoh sesat ini 
melintir ke samping. Pada saat yang sama, di sana te-
lah menanti kilatan mata pedang dari salah seorang 
pendekar. Dan.... 
Crakkk! 
Ada sebuah benda yang jatuh dan menggelinding. 
Sementara darah merah menyembur dari leher Bajing 
Ireng. Lelaki itu bergoyang-goyang sebentar, lalu am-
bruk ke tanah! 
Satu persatu sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin 
menemui ajal. 
Para pendekar yang dipimpin Ki Rombeng terus 
menggempur sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin tanpa 
ampun. Bajing Biru yang kalap melihat kematian gu-
runya jadi mengamuk hebat. Kilatan-kilatan pedang di 
tangan kanannya berkelebatan mengerikan. 
Ken Umi dan Ken Sari cepat datang menghadang 
dengan pedang masing-masing. 
Bajing Biru terus mengamuk hebat. Namun teba-
san-tebasan pedangnya dapat dipatahkan Ken Umi 
dan Ken Sari. Malah hampir saja bahu kanan Bajing 
Ireng terkena tebasan pedang di tangan Ken Sari. 
"Wanita sundal! Kaulah yang harus membayar 
nyawa guruku!" 
Bajing Biru menggeram. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak, pertanda tak dapat lagi mengendalikan 
amarah. Sehabis menggeram, kembali diterjangnya 
Ken Umi dan Ken Sari.  
Wutt...! Wuuttt...! 
Tebasan-tebasan pedang Bajing Biru makin mem-
bahayakan. Namun percuma saja menjadi murid Ki 
Rombeng kalau Ken Umi dan Ken Sari tidak dapat me-
layaninya. Dengan satu gerakan nyilang, tiba-tiba pe-
dang di tangan Ken Umi telah mengancam leher Bajing 
Biru.  
"Akh...!" 
Bajing Biru terperangah. Sulit rasanya menghin-
dari serangan itu. Namun tentu saja tubuhnya tidak 
sudi jadi sasaran empuk serangan Ken Umi. Dengan 
gerakan tidak terduga, Bajing Biru nekat mengayun-
kan pedang ke arah Ken Umi dari arah berlawanan.  
"Ah...!" 
Kini ganti Ken Umi yang terperangah kaget. Si ga-
dis sadar, ternyata Bajing Biru bermaksud mengadu 
nyawa. Namun untuk menghindar jelas tidak mungkin. 
Tak ada pilihan, karena memang itu jalan satu-
satunya! Tapi.... 
Crakkk! 
"Aaah...!" 
Terdengar satu pekik setinggi langit. Bukan dari 
mulut Ken Umi, melainkan dari mulut Bajing Biru! 
Sejenak Ken Umi gemetar di tempat. Tadi matanya 
memang sempat melihat kilatan, pedang di tangan 
saudaranya ke arah Bajing Biru. 
"Ja.... Jahanam...!" 
Bajing Biru terhuyung-huyung  ke belakang. Pe-
rutnya yang terkena tebasan pedang Ken Sari terkuak 
berikut isinya. Lelaki ini meringis menahan sakit. Ke-
dua tangannya menyangga isi perut. Namun sayang, 
keseimbangan tubuhnya tak tertahankan lagi. Tanpa 
ampun tubuhnya ambruk ke tanah. Melejang-lejang 
sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama sekali. 
Satu lagi sekutu Pangeran Pemimpin menemui aj-
al. 
*** 
Sebuah pertarungan tingkat tinggi mulai digelar. 
Siluman Ular Putih yang kini telah menjelma menjadi 
sosok ular putih raksasa hanya mengibas-ngibaskan 
ekornya untuk beberapa saat. Bumi bergetar! Debu-
debu beterbangan! 
Di depannya, kedua tangan Pangeran Pemimpin 
makin terjulur panjang, membentuk dua sosok bayi hi-
tam yang mengerikan. Tangan-tangan bayi hitam itu 
pun menjulur ke depan, menggapai-gapai tubuh Silu-
man Ular Putih! 
"Gggeeerrr...!!!"  
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Ujung 
ekornya dikibaskan ke samping. 
"Hup!" 
Pangeran Pemimpin hanya perlu mengangkat ke-
dua kakinya bergantian, menghindari kibasan ekor Si-
luman Ular Putih. Sedang kedua tangan bayi hitam itu 
terus menjulur ke depan. 
"Hoaahhh...!"        
Crap! 
Siluman Ular Putih mencaplok salah satu tangan 
aneh berbentuk bayi. Tak ada pengaruh apa-apa. Tan-
gan itu tidak mengalami apa-apa. Kejadiannya tak 
jauh berbeda saat Putri Sekartaji membabat tangan 
aneh itu. Sewaktu Siluman Ular Putih mencaplok, se-
perti memangsa angin saja. 
"Gggeeerrr...!"  
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sedangkan 
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. 
Tangan-tangan berbentuk bayi itu kini malah me-
lilit tubuh Siluman Ular Putih. Semakin lama libatan-
nya semakin mengencang. Siluman Ular Putih mengi-
baskan ekornya kesana kemari. Meski tidak terpenga-
ruh oleh libatan tangan-tangan bayi, namun kemara-
hannya makin tersulut.  
Wuttt...! 
Ekor Siluman Ular Putih mendadak mengibas 
jauh ke depan. Begitu cepatnya sehingga....         
Bukkk!  
"Aaakh...!" 
Pangeran Pemimpin meraung setinggi langit. Kiba-
san ekor ular putih raksasa itu membuat tubuhnya 
terlempar ke samping. Bagian punggungnya yang ter-
kena kibasan terasa mau remuk! Akibatnya libatan 
tangan-tangan bayi itu jadi mengendur! 
Pangeran Pemimpin geram bukan main. Tak 
mungkin libatan tangan bayi itu tidak mempengaruhi 
Siluman Ular Putih sama sekali. Mustahil! Jangankan 
tubuh Siluman Ular Putih yang hanya sebesar batang 
pohon kelapa. Batu sebesar gajah pun akan hancur 
berkeping-keping bila terkena libatannya. 
Didorong rasa penasaran bukan main, Pangeran 
Pemimpin kembali merapalkan aji 'Setan Kober' lebih 
hebat. Maka dua sosok bayi aneh di pergelangan ke-
dua tangannya pun menyerang kembali. Sepasang ma-
tanya  menyorot merah. Tangan-tangan itu pun bak 
tangan-tangan raksasa hitam yang terus menjulur, 
meraih tubuh Siluman Ular Putih. Melibat dan mence-
kik leher kuat-kuat! 
"Ggggeeerrr...! Gggggeeerrr...!!!"  
Buk! Buk! 
Siluman Ular Putih mengibaskan ekornya ke sana 
kemari. Percuma. Libatan-libatan tangan-tangan aneh 
itu makin mencekik leher. Sulit rasanya keluar dari li-
batan.  
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Wajahnya 
mendadak jadi mengerikan. Sepasang matanya meme-
rah seperti sepasang mata bayi aneh miliknya. 
"Mampus kau, Siluman Ular Putih! Sekarang bisa 
apa, he?!" 
Pangeran Pemimpin tertawa gembira melihat liba-
tan-libatan tangan-tangan bayi makin kokoh. Namun 
mendadak sekujur tubuh Siluman Ular Putih telah di-
penuhi asap putih tipis.  
"Heh...?!" 
Pangeran Pemimpin tersentak. Libatan tangan-
tangan anehnya di tubuh Siluman Ular Putih pun 
mengendur.  
Sementara dari gulungan asap putih tebal yang 
menyelimuti, sosok panjang Siluman Ular Putih me-
nyeruak keluar. Taring-taringnya yang runcing siap 
mencabik-cabik tubuh Pangeran Pemimpin.  
"Bangsat! Siluman Ular Putih keparat!"    
Pangeran Pemimpin geram bukan main, karena 
merasa tertipu oleh Siluman Ular Putih. Dan ketika ta-
di libatan tangan-tangan bayinya sempat dikendurkan, 
tubuhnya kini jadi sasaran empuk taring-taring Silu-
man Ular Putih 
Krakkk! 
"Aaa...!" 
Pangeran Pemimpin menggembor setinggi langit 
seraya memberontak melepaskan diri. Pakaiannya ro-
bek di sana sini menampakkan cairan berwarna merah 
darah di sekujur tubuh. Untung saja ia dapat keluar 
dari, moncong Siluman Ular Putih. Namun, tetap saja 
tubuhnya terasa ngilu bukan alang kepalang hingga 
limbung ke samping. 
Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan Si-
luman Ular Putih. Begitu tubuh Pangeran Pemimpin 
menjauh, ekornya telah dikibaskan cepat luar biasa. 
Dan.... 
Blakkk! 
"Aaakh...!" 
Sekali lagi Pangeran Pemimpin menggembor se-
tinggi  langit. Tubuhnya terpental jauh ke belakang, 
meliuk-liuk sebentar dan jatuh berdebam ke tanah. 
Bagian punggung yang terkena hantaman terasa mau 
remuk! Seketika parasnya pun jadi pucat pasi! Gigitan 
taring-taring Siluman Ular Putih tadi pun terasa nyeri 
bukan kepalang seperti menusuk-nusuk dada! 
Mendadak pemandangan di hadapan Pangeran 
Pemimpin jadi kabur. Ia tidak tahu kalau gigitan Silu-
man Ular Putih mengandung racun berbahaya hampir 
sulit dicari obat pemunahnya! 
"Setan alas!" geram Pangeran Pemimpin murka. 
Karena terdorong rasa sakit, mendadak Pangeran 
Pemimpin menyilangkan kedua kakinya dan duduk 
bersemadi. Kedua bibirnya segera berkemik-kemik 
dengan mata terpejam rapat-rapat. 
Sejenak sosok ular putih raksasa itu terlonglong. 
Mungkin menyangka kalau Pangeran Pemimpin tengah 
menyembuhkan luka dalamnya. Hingga hal ini me-
maksa Siluman Ular Putih menghentikan serangan. 
Sementara Pangeran Pemimpin terus khusuk ber-
semadi. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik. Sege-
nap rasa dan pikirannya tengah ditujukan ke sebuah 
tempat yang cukup jauh dari tempat pertempuran. 
Yakni, ke Sendang Kenjeran!  
"Eyang! Datanglah, Eyang! Aku membutuhkan 
kehadiranmu.:.," desah Pangeran Pemimpin berulang-
ulang dalam hati.  
*** 
Aneh! 
Seketika air Sendang Kenjeran mendadak bergo-
lak. Makin lama golakannya makin menghebat, laksa-
na ada naga besar tengah mengguncang dasar sen-
dang! 
Selang beberapa saat, tampak sesosok bayangan 
berpakaian hitam-hitam muncul ke permukaan sen-
dang masih dalam keadaan bersemadi! Kedua kakinya 
dilipat rapat. Kedua telapak tangannya bersedekap 
dengan mata terpejam. Sosok lelaki tua inilah yang ta-
di dipanggil Pangeran Pemimpin. Siapa lagi kalau bu-
kan Eyang Pamekasan! Kakek sekaligus guru Pangeran 
Pemimpin?! 
Perlahan-lahan Eyang Pamekasan pun membuka 
kelopak matanya. Parasnya yang pucat tampak keme-
rah-merahan. Sepasang matanya bersinar nyalang! 
Berkilat-kilat penuh kemarahan. Panggilan cucu ter-
sayangnya itulah yang membuatnya bangun dari se-
madi.  
"Cucuku...! Aku datang...!" 
Hanya itu yang diucapkan Eyang Pamekasan. Ke-
mudian sosok yang masih bersemadi itu terus melun-
cur ketepian sendang dalam sikap bersemadi. 
"Hup!" 
Baru ketika mendekati bibir sendang, Eyang Pa-
mekasan meloncat tinggi ke udara. Anehnya air sen-
dang itu sedikit pun tidak bergolak manakala Eyang 
Pamekasan meloncat dari permukaannya. Lebih he-
batnya lagi, pakaian di tubuhnya sedikit pun tidak ba-
sah! 
Hebat! Entah menggunakan ilmu apa hingga 
orang tua itu mampu berbuat demikian. Yang jelas, 
sekarang sosok tinggi kurus Eyang Pamekasan  terus 
berkelebat cepat ke arah timur. Gerakan kedua ka-
kinya ringan sekali, laksana anak panah terlepas dari 
busur. Hingga dalam beberapa kelebatan saja sosok 
Eyang Pamekasan telah berubah menjadi satu titik hi-
tam di kejauhan  sana. Tepat di mana matahari me-
nampakkan sinarnya yang berwarna kuning keema-
san.  
*** 
Matahari merah di ufuk timur mulai menjarah 
bumi. Menjarah segenap yang ada dialam mayapada. 
Namun sinarnya seperti tak bergairah! Tak seharusnya 
demikian! Seolah sang raja slang merasa ikut berdosa 
menyaksikan pembantaian demi pembantaian yang 
terjadi di mayapada! 
Mengerikan! 
Itulah yang terjadi di Kadipaten Pleret. Lambat 
laun, berkat bantuan para pendekar, satu persatu se-
kutu Pangeran Pemimpin dapat dilumpuhkan. Kini 
keadaan mulai berbalik. Semangat juang para prajurit 
Kadipaten Pleret yang semula menciut, kini kembali 
berkobar-kobar. 
Pedang kembali digenggam erat. Tameng diangkat. 
Perang!  
Pelajar Agung dan kawan-kawan nyaris tak dapat 
melakukan perlawanan. Satu persatu mereka dijemput 
ajal dengan cara sama. Sama-sama mengerikan. Tu-
buh-tubuh penuh sayatan dan hujaman tergelar di si-
ni. 
"Bajingan! Kalian memporak-porandakan rencana 
kami! Demi iblis! Aku akan membunuh kalian semua!" 
teriak Pelajar Agung murka. 
"Jangan banyak mengumbar suara, Bocah Pon-
gah! Menghadapiku saja masih kalang kabut. Pakai 
mau membunuh kami semua lagi! Huh!" ejek Raja Pe-
nyihir memerahkan telinga Pelajar Agung. 
"Bajingan! Kaulah yang pertama kuremukkan ba-
tok kepalamu, Tua Bangka Keparat!"  
"Biasa.  Lagu kuno. Tadi kau juga bilang begitu. 
Buktinya apa?" ejek Raja Penyihir menyakitkan.  
Bukan main murkanya hati Pelajar Agung kali ini. 
Teman-temannya sudah banyak yang memenuhi ajal. 
Bahkan Raja Racun dan Raja Golok sekutu dekatnya 
pun telah menemui ajal, Hal ini pulalah yang menyulut 
kemarahannya.        
"Heaaa...!" 
Dengan menggembor penuh kemarahan, tiba-tiba 
Pelajar Agung segera mengeluarkan jurus-jurus ampuh 
‘Tulisan Maut Dewa Kayangan’. Sebuah jurus maut 
ciptaan Pendidik Ulung yang telah dikhianati.     
Begitu Pelajar Agung mengeluarkan jurus anda-
lan, seketika kedua telunjuk jarinya telah menggurat-
gurat ke udara. Jari telunjuk kanan menggurat-gurat 
lemah gemulai dari kanan ke kiri. Sedang jari-jari te-
lunjuk kiri menggurat lemah gemulai dari kiri ke ka-
nan, membentuk sebuah huruf gaib ciptaan Pendidik 
Ulung.  
"Ciit..! Sritt...!" 
Memang hebat bukan main jurus-jurus Pelajar 
Agung ciptaan Pendidik Ulung itu. Di samping gura-
tan-guratan telunjuknya mampu mengeluarkan suara 
mencicit yang teramat memekakkan  telinga, jurus-
jurus itu pun mampu menjebol tembok baja selembar 
tiga jengkal hanya dengan telunjuk jari! 
Melihat jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar 
Agung, anehnya Raja Penyihir hanya tersenyum-
senyum saja. Bukannya ia ingin memandang remeh 
lawan. Melainkan, diam-diam tengah bersiap-siap 
mengeluarkan pukulan "Tangan Gaib Penindih Setan'-
nya.  Karena memang hanya pukulan itulah yang 
mampu melumpuhkan jurus ‘Tulisan Maut Dewa 
Kayangan’ ciptaan Pendidik Ulung. 
"Majulah, Bocah! Akan kulihat, sampai di mana 
kepongahanmu!" tantang Raja Penyihir lagi.     
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya 
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas amarah 
bekas murid Pendidik Ulung itu sudah mencapai pun-
cak ubun-ubun. Kemudian dengan segenap tenaga da-
lam yang dimiliki, Pelajar Agung mempertemukan dua 
telunjuk jarinya di udara.  
Sraaatt...! 
Seketika melesat seleret sinar putih menyilaukan 
mata dari pertemuan dua telunjuk jari Pelajar  Agung 
ke arah Raja Penyihir!  
"Hmm...!" Raja Penyihir bergumam tak jelas. Lela-
ki tua ini tak berani main-main lagi. Begitu melihat da-
tangnya serangan, segera kedua telapak tangannya 
yang juga berwarna putih berkilauan dihantamkan ke 
depan. 
Blaaammm...! 
Terdengar satu ledakan hebat manakala tenaga 
dalam kedua orang itu bertemu pada satu titik. Seketi-
ka angin dingin akibat bentrokan bertiup kencang, 
memporak-porandakan apa saja yang berada di sekitar 
tempat pertarungan. Daun-daun membeku! Beberapa 
orang prajurit Kadipaten Pleret yang berkepandaian 
rendah kontan menggigil kedinginan!  
Tubuh Pelajar Agung sendiri limbung ke samping. 
Parasnya pias! Seisi dadanya terasa berguncang hebat! 
Hampir saja keseimbangan tubuhnya tak dapat diken-
dalikan kalau saja tidak cepat-cepat menjejakkan ka-
kinya ke tanah. Namun baru saja kedua kakinya men-
jejak tanah, mendadak segulung sinar hitam di tangan 
Raja Penyihir telah menyerang dari samping. 
"Hup...!" 
Pelajar Agung berusaha menghindar sebisa mung-
kin. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Tapi 
sayang, gerakan tubuhnya masih kalah cepat. Akibat-
nya.... 
Bukkk! Bukkk!       
Dua kali tongkat hitam di tangan Raja Penyihir 
menghajar punggung. Pelajar Agung menggereng pe-
nuh kemarahan. Untung saja tadi tenaga dalamnya te-
lah dikerahkan sebelum serangan lawan mengenai sa-
saran sehingga meski punggung terasa berdenyut, na-
mun masih sedikit menolongnya dari luka dalam yang 
bisa membahayakan nyawa.  
"Bagaimana dengan gebukan tongkatku, Bocah? 
Enakkan?" ejek Raja Penyihir.  
Pelajar Agung tidak menyahut. Amarahnya makin 
membakar darah dalam dada. Tanpa banyak cakap la-
gi, segera kedua  telunjuk jarinya digurat-guratkan 
kembali ke udara. Kali ini gerakan-gerakan tubuh 
maupun jari-jari tangannya tampak demikian lamban. 
Namun anehnya, malah membuat suara mencicit ma-
kin memekakkan telinga!  
"Kuakui, jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'-mu 
memang hebat, Bocah. Tapi sayang, kau tetap tidak 
mampu mengalahkanku," oceh Raja Penyihir. 
"Setan alas! Jangan dikira kau sudah di atas an-
gin, Tua Bangka Keparat! Aku belum kalah!" 
"Bagus! Kalau begitu, kau masih ingin merasakan 
gebukan tongkatku, he?! Majulah! Sebenarnya aku 
mudah saja merobohkanmu. Dengan kekuatan sihir-
ku, kujamin kau pasti merangkak-rangkak memohon 
ampun padaku. Tapi, itu tidak kulakukan. Aku tidak 
akan mengerahkan kekuatan sihirku. Aku malah lebih 
senang mempermainkan manusia pengecut macammu! 
Hayo, majulah!" 
"Setan alas! Kuakui, tua bangka di hadapanku ini 
memang lihai. Baik ilmu sihir maupun ilmu silatnya. 
Rasanya tak mungkin aku dapat mengalahkannya. Ta-
pi, apa boleh buat? Kalau memang terpaksa, tak ada 
pilihan lain. Aku harus melarikan diri...," kata hati Pe-
lajar Agung. 
"Hey? Kenapa berhenti? Hayo, serang aku! Apa 
kau takut? Baik. Kalau begitu, aku yang akan mengha-
jarmu. Hitung-hitung membalas sakit hati Adipati Ple-
ret."  
Raja Penyihir mulai memasang kuda-kuda. Na-
mun belum sempat bertindak, mendadak.... 
"Bedebah! Kau tidak patut menghukum bocah itu, 
Raja Penyihir! Melainkan akulah yang berhak..." 
Terdengar bentakan keras  yang disusul berkele-
batnya satu sosok bayangan hitam ke arah pertarun-
gan. 
*** 
10 
Raja Penyihir mendengus gusar. Di hadapannya 
kini telah berdiri tegak seorang lelaki tua seusia den-
gannya. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya putih 
nyaris tak kentara oleh penutup kepala berwarna hi-
tam yang memanjang pada bagian atas. Jubahnya hi-
tam besar kedodoran sampai lutut. Siapa lagi tokoh 
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu kalau bukan Pen-
didik Ulung? 
Lelaki tua ini memang telah mendapat perawatan 
dari Tabib Agung di puncak Gunung Kelud. Begitu ra-
cun ular kobra putih milik Raja Racun dapat dikelua-
rkan, Pendidik Ulung pun segera menyusul Ki Rom-
beng dan para pendekar Jain. Namun ketika sampai di 
tempat pertempuran di luar Kadipaten Pleret, Pendidik 
Ulung jadi kecewa. Untung saja Senopati Gajah Keling 
memberi tahu kemungkinan kalau Pelajar Agung ju-
stru turut menyerang Kadipaten Pleret.  
Atas keterangan Senopati Gajah Keling, maka 
Pendidik Ulung segera menuju Kadipaten Pleret. Se-
dang Tabib Agung diminta Senopati Gajah Keling un-
tuk menghadapi sekutu-sekutu Pangeran Pemimpin 
lain-nya. (Untuk mengetahui bagaimana Pendidik 
Ulung sampai terkena racun ular kobra putih, silakan 
baca : "Lukisan Darah" dan "Penguasa Alam"). 
"Apa kau bilang, Pendidik Ulung? Hanya kau yang 
berhak menghukum Bocah Tengil ini?! Aku juga ber-
hak!" tukas Raja Penyihir. 
Raja Penyihir uring-uringan. Sepasang matanya 
membelalak. Tongkat hitam di tangan kanannya dike-
tuk-ketuk gusar. 
'"Apa pun katamu, itu bukan urusanmu. Minggir!" 
sentak Pendidik Ulung, mengusir. Tangan kanannya 
dikibaskan ke belakang. 
Raja Penyihir yang terdorong ke belakang jadi ma-
kin gusar dibuatnya.  
"Tua bangka tak tahu diri! Sudah ditolong, pakai 
mengusir lagi! Huh!" dengus Raja Penyihir kesal. Na-
mun, akhirnya lelaki tua ini mau juga menyingkir. Ia 
kemudian membantu menumpas sekutu-sekutu Pan-
geran Pemimpin lainnya.  
Pendidik Ulung tak menyahut. Sepasang matanya 
berkilat-kilat penuh kemarahan memandangi bekas 
muridnya. 
"Murid murtad! Sekaranglah saatnya aku meng-
hukummu! Cepat cabut senjatamu! Kita bertarung 
sampai ada yang modar!" bentak Pendidik Ulung se-
raya mencabut senjata andalannya. Sepasang pena 
berbulu! 
Pelajar Agung ragu-ragu. Namun karena memang 
tidak ada pilihan lain, terpaksa dicabutnya keluar sen-
jata andalan, walau sebenarnya bukan senjata andalan 
miliknya sendiri. Melainkan, senjata andalan Pendekar 
Kujang Emas yang berupa kujang berwarna kuning 
keemasan. Kujang Emas! 
"Hm...! Senjata itu milik mendiang Pendekar Ku-
jang Emas. Kau tak berhak memiliki senjata pusaka 
itu. Aku harus mengembalikannya pada yang berke-
pentingan!" gumam Pendidik Ulung.      
"Jangan banyak omong, Orang Tua! Kalau mau 
menghukumku, silakan! Tapi, ingat! Jangan dikira aku 
pasrah saja!" tantang Pelajar Agung. 
"Bagus! Memang itu yang kuinginkan!" sahut Pen-
didik Ulung cepat  
Tanpa banyak cakap lagi segera lelaki tua ini me-
masang kuda-kuda. Kedua pena di tangannya segera 
digurat-guratkan ke udara. Seketika terdengar bunyi 
mencicit yang teramat memekakkan telinga dari gura-
tan-guratan kedua pena di tangan Pendidik Ulung. 
Perlahan-lahan tokoh sakti dari Lembah Kaliurang itu 
pun mulai melangkah lemah gemulai mendekati Pela-
jar Agung. 
Pelajar Agung tidak mau mengeluarkan jurus yang 
sama. Ia tahu, betapa hebatnya bekas gurunya kalau 
sudah mengeluarkan jurus-jurus 'Tulisan Maut Dewa 
Kayangan' ciptaannya. Maka untuk menandingi segera 
dikeluarkannya jurus milik Pendekar Kujang Emas 
yang bernama jurus 'Pedang Pembawa Maut'! 
Meski hanya menggunakan sebilah kujang, na-
mun tidak jadi soal bagi Pelajar Agung. Karena ia su-
dah terbiasa melatih jurus 'Pedang Pembawa Maut' 
dengan sebilah kujang! Maka begitu melihat bekas gu-
runya mulai mendekat, segera diserangnya. Sedang 
tangan kirinya yang telah berubah jadi biru siap me-
lontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'. 
Cring! Cring! 
Beberapa kali sambaran kujang di tangan Pelajar 
Agung dapat tertangkis sepasang pena yang bergerak 
lemah gemulai di tangan Pendidik Ulung. Entah kena-
pa, Pelajar Agung merasa tangannya kesemutan. 
"Bedebah! Rupanya tua bangka ini telah menge-
rahkan segenap kekuatan tenaga dalamnya. Aku harus 
segera mengeluarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru' se-
belum tua bangka itu mempertemukan ujung kedua 
penanya. Yah...!"  
Berpikir demikian, Pelajar Agung lantas meng-
gembor keras. Tangan kirinya yang telah berubah jadi 
biru sampai ke pangkal lengan segera dihentakkan ke 
depan. Maka seketika melesat selarik sinar biru yang 
menggemuruh dari telapak tangan kiri Pelajar Agung, 
siap melabrak tubuh Pendidik Ulung. 
Namun Pelajar Agung kecele. Dengan satu gera-
kan tak terduga, tiba-tiba Pendidik Ulung telah mem-
pertemukan kedua ujung penanya di udara. Seketika 
itu pula meluruk seleret sinar putih berkilauan dari 
ujung-ujung  pena yang dipertemukan, ke arah sinar 
biru milik Pelajar Agung!  
Blaaaarrrr...!!! 
Terdengar satu ledakan hebat begitu kedua suara 
itu berbenturan di udara. Bumi laksana diguncang 
prahara. Hawa panas akibat bentrokan dua tenaga da-
lam tadi menebar ke mana-mana, membakar prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang berkepandaian rendah. 
Juga, membakar ranting-ranting pohon di sekitar tem-
pat pertarungan! 
Tubuh Pendidik Ulung sendiri sempat terguncang 
hebat. Kedua telapak kakinya melesak beberapa dim 
ke dalam tanah. Namun keadaan ini masih jauh lebih 
menguntungkan dibanding Pelajar Agung 
Pelajar Agung yang sebenarnya sudah menderita 
luka dalam yang cukup lama akibat pertarungannya 
dengan Raja Penyihir tadi, tak dapat lagi mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya. Maka tanpa ampun ia 
langsung terpental jauh ke belakang!  
Pelajar Agung mengeluh dalam hati. Parasnya 
pias! Tampak darah segar membasahi sudut-sudut bi-
bir, pertanda luka dalamnya makin parah! 
Pendidik Ulung mendengus dingin. Sedikit puri ia 
tidak ingin memberi kesempatan pada Pelajar Agung 
untuk membalas serangan. Namun belum sempat to-
koh sakti dari Lembah Kaliurang  itu bertindak, men-
dadak terdengar suara ribut-ribut dari teriakan para 
prajurit Kadipaten Pleret. 
Sekilas Pendidik Ulung melirik dengan ekor mata. 
Ternyata, pertempuran di sebelah telah usai. Sekutu-
sekutu Pangeran Pemimpin sudah banyak yang dilum-
puhkan. Namun, banyak juga yang melarikan diri. 
Pendidik Ulung tak mempedulikan lagi. Keingi-
nannya saat itu hanya untuk membunuh Pelajar 
Agung. 
"Kau akan secepatnya menyusul teman-temanmu 
itu, Bocah! Bersiap-siaplah menerima kematianmu!" 
ancam Pendidik Ulung dingin dan menggetarkan. Ke-
dua penanya pun kembali digurat-guratkan di udara 
membentuk huruf gaib ciptaannya sendiri.  
Pelajar Agung merasa cemas bukan main. Tak 
mungkin ia melanjutkan pertempuran seorang diri. 
Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus melarikan di-
ri. Namun ketika hendak melarikan diri dengan ilmu 
'Amblas Bumi', mendadak Pendidik Ulung telah melon-
tarkan pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'. 
"Hea...!" 
Bukkk!       
Pelajar Agung menjerit setinggi langit saat seran-
gan Pendidik Ulung mengenai sasaran. Seketika tu-
buhnya melayang bak layangan putus. Namun akibat-
nya Pelajar Agung tetap mengerahkan ilmu 'Amblas 
Bumi'. Maka saat kedua kakinya mendarat, tubuhnya 
pun amblas ke dalam bumi!  
Pendidik Ulung gusar bukan main. Cepat dikejar-
nya gerakan gundukan pasir di hadapannya. Lalu 
kembali dilontarkannya pukulan 'Tangan Penggebuk 
Dewa' secara membabi buta. 
Blaaam! Blaaam...!!!      
"Kendalikan amarahmu, Sobat! Dia  telah pergi!" 
cegah Raja Penyihir yang tahu-tahu telah tegak di 
sampingnya.  
"Aku harus menghukumnya...! Aku harus meng-
hukumnya...!" desis Pendidik Ulung penuh kemarahan. 
"Belum puas aku kalau belum memecahkan batok ke-
palanya! Ia telah mencemarkan nama baikku! Hea...!" 
"Tunggu...!" cegah Raja Penyihir. 
Pendidik Ulung mana sudi mendengar ucapan Ra-
ja Penyihir. Ia terus saja berkelebat cepat ke arah ba-
rat, dan menghilang di kerapatan hutan depan sana. 
Raja Penyihir hanya menggeleng-geleng disertai 
dengusan napas prihatin.  
*** 
"Cucuku, bangun! Kau tak pantas bersimpuh be-
gitu! Kau adalah calon adipati. Bangun!" 
Pangeran Pemimpin yang masih duduk bersimpuh 
tersentak kaget mendengar sebuah suara penuh tena-
ga dalam. Kelopak matanya buru-buru dibuka. Bibir-
nya lantas tersenyum. Senyum bangga melihat sosok 
yang diharapkan bantuannya telah datang. Dialah 
Eyang Pamekasan!         
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar bi-
asa. Eyang Pamekasan telah tiba di tempat pertempu-
ran dalam waktu singkat. Dan getaran-getaran  suara 
batin Pangeran Pemimpin itulah yang menuntun lang-
kah Eyang Pamekasan menuju tempat pertempuran! 
"Terima kasih, Eyang. Ternyata kau sudi memban-
tuku," ucap Pangeran Pemimpin sambil menang-
kupkan kedua telapak tangan di depan dada penuh 
hormat. 
Eyang Pamekasan mengibaskan tangan sebagai 
isyarat. Pangeran Pemimpin tahu. Cepat ia melompat 
bangun. 
"Gggggeeerrr...!!!"    
Sementara sosok ular putih raksasa penjelmaan 
Soma menggereng. Sepasang matanya yang berwarna 
merah saga mencorong tajam, memperhatikan lelaki 
tua renta di hadapannya penuh tanda tanya. 
Eyang Pamekasan sendiri pun tampak heran. Ke-
ningnya berkerut-kerut. Sepertinya ia sudah tahu, sia-
pa yang menjelma jadi sosok ular putih raksasa. 
"Dia.... Dia Siluman Ular Putih, Eyang,!!, jelas 
Pangeran Pemimpin dapat membaca keheranan eyang-
nya. Eyang Pamekasan mengangguk-angguk. "Sebaik-
nya cepat kita bertindak, Eyang. Mumpung anak bua-
hku masih sanggup bertahan. Kalau saja eyang dapat 
membunuh ular keparat itu dan juga semua pendekar 
yang turut membantu, pasti kita akan menang, 
Eyang."  
Eyang Pamekasan tak menyahuti. Selangkah demi 
selangkah mulai didekatinya Siluman Ular Putih. 
Langkahnya baru berhenti ketika tokoh dari Sendang 
Kenjeran itu kembali mendengar gerengan ular putih 
raksasa di hadapannya. 
"Hhh...! Kau pasti ada sangkut pautnya dengan 
tua bangka dari Gunung Bucu itu. Begawan Kama-
setyo. Bah!" dengus Eyang Pamekasan dapat menduga 
siapa sosok yang menjelma menjadi Siluman Ular Pu-
tih. 
Siluman Ular Putih hanya menggereng. Ekornya 
dikibaskan ke sana kemari. Seolah hatinya gusar meli-
hat Pangeran Pemimpin mulai membantai prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret tanpa ampun dengan meng-
gunakan aji 'Setan Kober'.  
"Ggggeeerrrr...!!!" 
Siluman Ular Putih makin mengibas-ngibaskan 
ekornya tak sabar. Lalu dengan gerengan hebat, tahu-
tahu sosok besar panjang Siluman Ular Putih telah 
menerjang Pangeran Pemimpin garang. 
Namun pada saat yang sama Eyang Pamekasan 
telah menghentakkan kedua tangan ke arah Siluman 
Ular Putih.     
Bukkk! 
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Tubuhnya 
meliuk sebentar, lalu terlempar jauh ke samping. Se-
pasang matanya mencorong mengerikan memandangi 
sosok tua yang tadi melontarkan pukulan maut terha-
dapnya saat menerjang Pangeran Pemimpin. 
Siluman Ular Putih kembali mengibas-ngibaskan 
ekornya penuh kemarahan. Sepasang matanya menco-
rong tampak demikian mengerikan. Lalu disertai ge-
rengan hebat, Siluman Ular Putih balik menerjang 
Eyang Pamekasan. Moncongnya yang besar dibuka le-
bar-lebar, menampakkan taring-taringnya yang runc-
ing.  
"Ggggeeerrr...!!!" 
Eyang Pamekasan tersenyum dingin, seraya sedi-
kit menggeser tubuhnya ke samping. Dan sebelum 
ekor Siluman Ular Putih menghajar tubuhnya, kembali 
tangannya menghentak. 
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku! Hea...!" 
Begitu Eyang Pamekasan menghantamkan kedua tela-
pak tangannya ke depan, seketika melesat dua larik 
sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya.  
Bukkk! Bukkk!  
Sekali lagi Siluman Ular Putih menggereng hebat. 
Tubuhnya yang terhantam pukulan 'Pelebur Bumi' 
kontan terlempar ke samping dan jatuh berdebam me-
nerbangkan debu-debu! 
Namun anehnya sedikit pun tubuh Siluman Ular 
Putih tidak mengalami cedera. Padahal tadi Eyang Pa-
mekasan telah membayangkan kalau tubuh Siluman 
Ular Putih akan hancur berkeping-keping. 
"Keparat! Rupanya kau kebal terhadap pukulan 
'Pelebur  Bumi'-ku, he?!" Eyang Pamekasan membela-
lakkan matanya heran. 
Siluman Ular Putih menggeliat ke sana kemari se-
bentar. Kemudian dengan sepasang matanya yang 
mencorong, sejenak diperhatikannya kakek tua renta 
di hadapannya sengit.  
"Majulah! Aku ingin lihat! Apa tubuhmu juga keb-
al terhadap ‘Cemeti Api’-ku!"  
Cttttaaarr...! 
Eyang Pamekasan tahu-tahu telah mengeluarkan 
sebuah cambuk berwarna merah dari pinggang dan 
langsung melecutkannya ke bawah. Seketika tanah di 
bawahnya yang terkena lecutan kontan menyala! 
"Ggggeerrrr! Gggggeeeerrr...!!!"  
Siluman Ular Putih gusar bukan main. Dari tadi ia 
hanya mengibas-ngibaskan ekornya. Tampak sekali 
kalau hatinya ragu-ragu, apakah sanggup menerima 
lecutan cemeti di tangan tokoh sesat dari Sendang 
Kenjeran atau tidak. 
"Ggggeeeerrrr...!!!" 
Namun akhirnya Siluman Ular Putih menerjang 
juga ke arah Eyang Pamekasan disertai gerengan be-
ringas. 
Eyang Pamekasan menyunggingkan bibirnya, ter-
senyum dingin. Cemeti di tangan kanannya segera di-
lecutkan ke udara menyambut lesatan Siluman Ular 
Putih 
Ctarrr! Ctaaarrr!!! 
Prakkk! Prakkk! 
Dua kali lecutan ‘Cemati Api’ di tangan Eyang Pa-
mekasan mendarat di sasaran. Namun, Siluman Ular 
Putih hanya menggereng hebat. Bagian tubuhnya yang 
terkena lecutan Cemeti Api sempat menyala, namun 
hanya sebentar. Selang beberapa saat, api yang mem-
bakar tubuhnya hilang dengan sendirinya! 
"Heh...?!" 
Eyang Pamekasan melongo kaget. Sungguh tak 
disangka kalau tubuh Siluman Ular Putih ternyata ti-
dak mengalami luka sedikit pun akibat lecutan Cemeti 
Api-nya! Eyang Pamekasan tak percaya. Ia harus 
membuktikannya lagi. Maka sekali tubuhnya berkele-
bat, cemeti di tangan kanannya kembali menderu-deru 
di sekujur tubuh Siluman Ular Putih.      
Ctarrr! Ctarrrr! 
Berkali-kali tubuh Siluman Ular Putih terkena le-
cutan cemeti, namun tidak mengalami cedera sedikit 
pun. Memang, tubuh Siluman Ular Putih sempat me-
nyala, tapi hanya sebentar. Selang beberapa saat, api 
di sekujur tubuhnya padam sendiri.         
Bukan main geramnya hati Eyang Pamekasan. 
Kali ini sepasang matanya yang kelabu harus dipaksa 
untuk terbelalak kembali. Bahkan kibasan ekor Silu-
man Ular Putih tadi sempat menghajar tubuhnya. 
Meski Eyang Pamekasan tidak mengalami luka sedikit 
pun, namun sudah cukup menyulut amarahnya. 
"Jahanam! Kali ini kalau kau masih sanggup ber-
tahan, aku patut berguru padamu, Siluman Ular Pu-
tih!" dengus Eyang Pamekasan penuh kemarahan. 
Cemeti Api di tangan kanan lelaki tua ini kembali 
disimpan di pinggang. Lalu kedua telapak tangannya 
digosok-gosokkan sedemikian rupa. Seketika kedua te-
lapak tangannya telah berubah jadi putih berkilauan 
disertai kepulan asap putih yang menebarkan hawa 
dingin bukan kepalang!     
"Hebat! Kau memang hebat, Siluman Ular Putih! 
Tapi aku belum percaya kalau kau juga sanggup me-
nerima aji 'Panglarut Banyu Putih'-ku! Majulah! Aku 
ingin lihat sampai di mana kehebatanmu!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sepasang 
matanya yang berwarna merah semakin menggidikkan. 
Kemudian dengan kemarahan meluap, sosok ular pu-
tih raksasa itu kembali menerjang hebat Eyang Pame-
kasan! 
Eyang Pamekasan sempat menyurutkan langkah-
nya setindak ke belakang. Lalu disertai kekuatan tena-
ga dalam penuh, kedua telapak tangannya segera dido-
rongkan ke depan. Seketika tampak asap putih berki-
lauan bergulung-gulung memapak serangan Siluman 
Ular Putih. 
Pesss!  
Siluman  Ular Putih menggereng setinggi langit. 
Asap putih yang dingin bukan kepalang makin mem-
bungkus tubuhnya yang terus menggeliat-geliat hebat 
ke sana kemari. Rasa dingin yang teramat menusuk 
kulit tubuh benar-benar membuatnya jadi tidak tahan. 
Selang beberapa saat, sosok ular putih raksasa itu 
diam tak bergerak-gerak lagi. Sekujur tubuhnya mem-
beku tak dapat digerakkan. Hanya sepasang matanya 
saja yang mencorong penuh kemarahan. 
Eyang Pamekasan tertawa sumbang. Selangkah 
demi selangkah, didekatinya Siluman Ular  Putih. Ke-
dua telapak tangannya yang berwarna putih berki-
lauan kembali siap melontarkan aji 'Panglarut Banyu 
Putih'. Namun belum sempat tokoh dari Sendang Ken-
jeran bertindak mendadak perhatiannya terusik oleh....  
Klinting! Klinting!  
Terdengar suara lonceng yang memekakkan telin-
ga. 
"Bedebah! Siapa berani bermain gila denganku?!" 
geram Eyang Pamekasan dengan sepasang mata berki-
lat-kilat penuh kemarahan. 
Tak ada sahutan. Hanya samar-samar terdengar 
seseorang tengah membacakan bait syair.... 
Kawan...... 
Kuberi kau pengetahuan, 
Jika kau inginkan tirai terbuka. 
Datanglah ke jalanku, 
Dan ikuti aturanku mencinta.  
Sebab mata air Sabda yang melimpah, 
ada bersamaku.... 
*** 
11 
"Keparat! Tua bangka itu lagi!" dengus Eyang Pa-
mekasan kalap bukan main. 
Di kejauhan sana, tampak seorang lelaki tua renta 
berpakaian putih bersih. Rambutnya digelung ke atas! 
Dengan lenggang seenaknya, lelaki tua itu menuju 
tempat pertempuran. 
Meski melenggang seenaknya, namun dalam wak-
tu singkat si kakek telah berada di tempat pertempu-
ran. Mulutnya terus mengoceh membacakan bait-bait 
sajak sambil terus membunyikan lonceng kecil di tan-
gan kanannya. 
Klinting! Klinting!  
"Hm...! Cck cck cck...! Bocah sinting itu...! Kasi-
han...," gumam si kakek. 
Lelaki tua ini menggeleng-gelengkan kepala. Entah 
heran, entah takjub melihat tubuh Siluman Ular Putih 
membeku. Lalu kakinya melangkah mendekati Silu-
man Ular Putih. 
"Pasti kau biang keroknya! Heran?! Sudah tua 
bangka begini, masih juga bertingkah! Dasar tua 
bangka kurang kerjaan!" lanjut si kakek mengomel. 
Habis mengomel, si kakek segera menepuk tubuh 
Siluman Ular Putih sekali. Hebatnya, seketika tubuh 
Siluman Ular Putih kontan dapat bergerak-gerak lagi. 
Sebenarnya siapakah kakek tua renta yang dapat 
memunahkan aji 'Panglarut Banyu Putih' milik Eyang 
Pamekasan dengan demikian mudah? Dia tak lain ada-
lah Penyair Sinting. Seorang sesepuh sakti dunia persi-
latan yang jarang sekali menampakkan diri di dunia 
ramai, kecuali bila ada keperluan. Satu di antara ke-
munculannya adalah sewaktu membantu Siluman Ular 
Putih  menghadapi jelangkung. (Baca kisah: "Iblis Pe-
manggil Roh"). 
Melihat Penyair Sinting telah memunahkan aji 
'Panglarut Banyu Putih'-nya, Eyang Pamekasan jadi 
murka. Ia tadi memang ingin mencegah perbuatan Pe-
nyair Sinting. Namun entah kenapa, ia tak mampu me-
lakukannya. 
"Keparat! Kau lancang sekali, Penyair Sinting! Kau 
harus membayarnya mahal!" 
Eyang Pamekasan membentak penuh kemarahan. 
Kedua telapak tangannya yang telah berwarna putih 
berkilauan segera didorongkan ke depan. Seketika me-
luruk dua asap putih tebal berkilauan ke arah Penyair 
Sinting dan Siluman Ular Putih. 
"Eh... tunggu! Aku belum sempat mengurus bocah 
sinting ini. Kenapa kau malah mengurusku? Apa kau 
kurang urusan, he?!" teriak Penyair Sinting mulai 
kambuh penyakitnya. 
Sembari berteriak begitu, Penyair Sinting berkelit 
dengan melompat ke atas. Saat meluruk, segera dis-
ambarnya ekor Siluman Ular Putih dan ditariknya 
kuat-kuat ke samping. Dengan demikian, serangan 
Eyang Pamekasan hanya mengenai angin kosong.       
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang mencorong terus mem-
perhatikan Eyang Pamekasan tajam-tajam. 
"Har-her-har-her! Sudah sana! Minggir! Ini ba-
gianku!" usir Penyair Sinting.       
Tangan kanan lelaki tua ini segera mendorong ke 
depan. Seketika ada satu kekuatan yang tidak terlihat 
telah mendorong tubuh Siluman Ular Putih hingga ter-
lempar jauh, langsung menimpa beberapa orang yang 
tengah bertarung. 
Penyair Sinting melonjak-lonjak gembira.  
"Mampus kalian! Ada yang tergencet! Ada yang 
ngacir ketakutan!" 
"Tua bangka sinting! Berani kau bertingkah ma-
cam-macam di hadapanku, he!" bentak Eyang Pame-
kasan. 
Buru-buru Penyair Sinting berbalik. 
"Eh, iya! Sampai aku lupa. Apa kabar, Pameka-
san?" sapa Penyair Sinting, kebodoh-bodohan. 
"Jangan banyak bacot! Kita selesaikan urusan kita 
disini!" 
"Eh eh eh...! Rupanya kau sudah tidak sabar, Pa-
mekasan. Baik! Apa kita mau adu gebuk-gebukan? 
Atau mau adu mulut? Atau mau adu...." 
"Setan alas!"  
'Tidak mau! Aku tidak mau adu setan alas. Aku 
tidak punya setan. Aku tidak punya alas. Sawah apa-
lagi!"  
Bukan main mengkelapnya hati Eyang Pamekasan 
dipermainkan seperti itu. Tanpa banyak cakap segera 
kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Seketika 
tangan tokoh sesat dari Sendang Kenjeran telah beru-
bah jadi putih berkilauan. 
Penyair Sinting bukannya tidak tahu betapa he-
batnya aji 'Panglarut Banyu Putih'- milik Eyang Pame-
kasan. 
Namun, sikapnya masih saja ayal-ayalan. Seenak-
nya sendiri. Meski begitu, diam-diam mulai disiapkan-
nya pukulan 'Tameng Selaksa Prahara' yang sengaja 
diciptakan untuk menghadapi aji 'Panglarut Banyu Pu-
tih'. 
Kening Eyang Pamekasan sempat berkerut. Ia 
memang belum tahu pukulan apa yang akan dikelua-
rkan musuh bebuyutannya nanti. Namun begitu ia ti-
dak mau ambil peduli. Dengan raut wajah menegang, 
pertanda segenap kekuatan tenaga dalamnya telah di-
kerahkan, tahu-tahu Eyang Pamekasan telah melon-
tarkan aji 'Panglarut Banyu Putih'.  
Wesss! Wesss! 
Seketika dua gulungan asap putih tebal yang 
mengandung hawa dingin bukan kepalang telah bergu-
lung-gulung cepat ke arah Penyair Sinting. 
Penyair Sinting sempat berceloteh menggoda sebe-
lum menghentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Lalu.... 
Blesss!  
Tak ada bunyi ledakan yang berarti. Namun, gu-
lungan-gulungan putih dari kedua telapak tangan 
Eyang Pamekasan sempat terhadang di tengah jalan. 
Kedua tokoh sakti itu terus menambah kekuatan tena-
ga dalam. Tak ada yang mau mengalah satu sama lain. 
Paras-paras mereka kini pun memucat. Keringat dingin 
membasahi sekujur tubuh.  
"Mampus kau, Pamekasan! Hea...!" 
Tiba-tiba Penyair Sinting melipatgandakan tenaga 
dalamnya serentak, membuat tubuh Eyang Pamekasan 
bergoyang-goyang. Sementara dua gulungan asap pu-
tih tebal pun makin mendekati tubuh Eyang Pameka-
san. Paras Eyang Pamekasan makin pias. Keringat 
dingin membanjir di sekujur tubuh. Ia terus berusaha 
bertahan mati-matian. Celaka besar bila gulungan-
gulung-an dari kedua telapak tangannya sampai 
menghantam dirinya. Tentu saja lelaki ini tidak ingin 
tubuhnya mati membeku karena ajian miliknya sendi-
ri.  
Selang beberapa saat, adu tenaga dalam tingkat 
tinggi itu makin menegangkan. Terutama sekali bagi 
Eyang Pamekasan. Karena, gulungan-gulungan asap 
tebalnya terhalang oleh sesuatu tameng yang kuat luar 
biasa. 
Eyang Pamekasan berusaha bertahan. Namun 
percuma. Gulungan-gulungan asap putih tebal itu ma-
kin mendekati tubuh. Ia harus bertindak cerdik kalau 
tidak ingin celaka! 
"Hea...!" 
Tiba-tiba Eyang Pamekasan melipatgandakan te-
naga dalamnya sampai puncaknya. Di saat gulungan-
gulungan asap tebalnya tertahan, saat itulah lelaki tua 
ini melompat tinggi ke udara. Sehingga, gulungan-
gulungan asap tebal itu terus menerabas ke belakang 
dan....  
Blaaar...!!!  
Terdengar satu ledakan hebat saat gulungan-
gulungan asap tebal itu menghantam bukit. Tak lama 
terdengar suara menggemuruh dari lereng-lereng bukit 
yang berguguran.  
Penyair Sinting sempat terkejut, namun tetap ti-
dak kehilangan akal. Begitu melihat tubuh Eyang Pa-
mekasan masih melayang-layang di udara, tubuhnya 
berkelebat cepat. Segera dilontarkannya tusukan 'Jari-
jari Suci'-nya. 
Tukkk! Tukkk!  
"Aaakh...!" 
Eyang Pamekasan meraung keras. Tubuhnya me-
lintir ke samping, lalu jatuh berdebam ke tanah. Ba-
gian tubuhnya yang terkena tusukan jari kontan ber-
lobang mengucurkan darah segar!  
"Keparat! Kau.... Kau.,.." 
Eyang Pamekasan gemetar di tempatnya. Paras-
nya pias. Tampak sekali kalau hatinya mulai ciut 
menghadapi musuh bebuyutannya. Sialnya lagi, ter-
nyata cucunya pun mulai terdesak hebat oleh Siluman 
Ular Putih! 
"Sembodo! Cepat tinggalkan tempat ini!" perintah 
Eyang Pamekasan tiba-tiba begitu bangkit. Lalu tu-
buhnya segera berkelebat cepat meninggalkan tempat 
pertempuran. 
"Eh..., Sontoloyo! Kau hendak ke mana? Urusan 
kita belum selesai. Kenapa kau ngacir, he?! Aku belum 
puas menggebukmu. Hayo, berhenti!" teriak Penyair 
Sinting kalang kabut. 
Tapi, mana Sudi Eyang Pamekasan  yang sudah 
terluka parah menuruti teriakan Penyair Sinting. Ma-
lah dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cepat 
luar biasa, Eyang Pamekasan malah menambah kece-
patan larinya. 
"Ah...! Kau tidak boleh meninggalkanku! Aku ha-
rus menggebuk pantatmu sampai merah!" sungut Pe-
nyair Sinting kesal.    
Beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret yang me-
lihat tingkah Penyair Sinting sempat tersenyum geli. 
Lebih-lebih ketika Penyair Sinting terus berteriak-
teriak kalang kabut sambil terus mengejar Eyang Pa-
mekasan di kejauhan sana. 
Jelas tak mungkin Penyair Sinting dapat mengejar 
Eyang Pamekasan. Namun dasar orang tua sinting, te-
rus dikejarnya Eyang Pamekasan. Dan baru langkah-
nya berhenti kala tidak lagi menemukan bayangan 
Eyang Pamekasan. 
Penyair Sinting uring-uringan bukan main dan te-
rus berteriak-teriak kalang kabut. 
*** 
Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Bukannya 
lelaki ini tidak mau menuruti perintah Eyang Pameka-
san untuk melarikan diri, namun karena keadaannya 
memang tidak memungkinkan. Beberapa orang pende-
kar yang sudah menyelesaikan pertarungan telah 
membentuk lingkaran, membuat semacam arena per-
tarungan antara Pangeran Pemimpin melawan Siluman 
Ular Putih.  
 Seketika paras Pangeran Pemimpin berubah pias. 
Tak mungkin ia melarikan diri. Satu-satunya jalan ha-
nyalah mengadu nyawa dengan Siluman Ular Putih! 
Berpikir demikian, Pangeran Pemimpin makin melipat-
gandakan tenaga dalamnya. Berkat ajian 'Setan Kober' 
dua sosok bayi hitam di pergelangan tangannya tam-
pak demikian mengerikan. Tangan-tangannya menju-
lur-julur ke depan, siap mencengkeram tubuh Siluman 
Ular Putih. 
Berdasarkan pengalamannya berulang-ulang, Si-
luman Ular Putih tentu saja tidak ingin tubuhnya ter-
cengkeram tangan-tangan hitam milik bayi aneh di 
pergelangan tangan Pangeran Pemimpin. Ia harus ber-
tindak cerdik. Begitu tangan-tangan bayi hitam itu 
menjulur ke depan, tiba-tiba Siluman Ular Putih me-
liuk cepat. Dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke arah 
Pangeran Pemimpin. 
Pangeran Pemimpin kaget bukan main. Tangan-
tangan hitam si bayi tak mungkin dapat bertindak se-
cepat itu untuk menghambat laju Siluman Ular Putih. 
Dan kenyataannya memang demikian. Baru saja hen-
dak menggerak-gerakkan tangan-tangan bayinya, 
mendadak Siluman Ular Putih telah melihat tubuhnya 
kuat!  
Rrapp!  
Pangeran Pemimpin menggeliat-geliat kesakitan. 
Tubuhnya terus meronta berusaha melepaskan libatan 
Siluman Ular Putih. Namun percuma. Libatan Siluman 
Ular Putih malah makin kuat, walau tangan-tangan hi-
tam bayi itu berusaha keras untuk menarik-narik.  
"Ggggeeeerrrr...!!!"       
Pucat pasi paras Pangeran Pemimpin kini. Pada 
saat yang sama tiba-tiba moncong Siluman Ular Putih 
telah berada persis di depan wajahnya. Taring-
taringnya yang runcing siap meremukkan batok kepa-
la. 
"Aaaahhh...!"  
Pangeran Pemimpin mengeluh dalam hati. Ia be-
rusaha menghindar dari terkaman Siluman Ular Putih. 
Namun....  
Kresss!  
"Aaa...!" 
Tanpa ampun bahu kanan Pangeran Pemimpin ja-
di santapan empuk ular putih raksasa itu. Seketika 
Pangeran Pemimpin meraung setinggi langit. Hanya 
yang terkena taring-taring terasa nyeri bukan main. 
Darah segar pun menetes keluar. 
Sementara Siluman Ular Putih sendiri tak mau 
melepaskan mangsanya. Taring-taringnya yang runc-
ing terus saja ditancapkan di bahu Pangeran Pemim-
pin. Bahkan tubuh Pangeran Pemimpin diputar-putar 
demikian rupa di udara.     
"Tahan! Lepaskan Kangmas. Sembodo!"  
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memasuki 
tempat pertarungan.  
"Ggggeeerrrr...!!'' 
Siluman Ular Putih menggereng hebat, melihat sa-
tu sosok yang berlari ke tengah pertempuran. Ia adalah 
seorang lelaki gagah berusia empat puluh tahun. Pa-
kaiannya menunjukkan kalau ia adalah Adipati Pleret. 
"Soma! Lepaskan Kangmas Sembodo!" teriak lelaki 
yang tak lain Adipati Reksopati penuh harap. 
Siluman Ular Putih ragu-ragu. Sejenak diperhati-
kannya ke sekeliling tempat pertempuran yang ternya-
ta telah dipenuhi para pendekar yang tadi ikut bertem-
pur di lingkungan kadipaten. Dan setelah dapat me-
lumpuhkan tokoh-tokoh sesat sekutu Pangeran Pe-
mimpin, mereka pun segera menuju tempat pertempu-
ran di luar Kadipaten Pleret atas perintah Adipati Ple-
ret sendiri. 
"Soma! Lepaskan Kangmas Sembodo!" pinta Adi-
pati Pleret lagi. 
Andai saja sosok ular putih raksasa itu dapat bi-
cara, sudah pasti akan bertanya, mengapa? Namun, 
rupanya Siluman Ular Putih hanya menggereng. Lalu 
segera dilemparkannya tubuh Pangeran Pemimpin ke 
sembarang tempat.        
Bukkk! 
Habis melempar, mendadak sekujur tubuh ular 
putih raksasa ini telah dipenuhi asap putih tipis. Se-
hingga sosok besar panjangnya tidak kelihatan sama 
sekali. Dan saat asap putih tipis yang menyelimuti tu-
buhnya hilang tertiup angin, maka seketika yang tam-
pak bukan lagi sosok Siluman Ular Putih. Melainkan, 
sosok pemuda bertubuh tinggi besar berpakaian rompi 
dan celana bersisik warna putih keperakan. Itulah so-
sok murid Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Si-
luman Ular Putih! 
Melihat kejadian langka di hadapannya, beberapa 
orang prajurit Kadipaten Pleret dan juga beberapa 
orang pendekar muda yang belum pernah melihat ke-
hebatan Siluman Ular Putih hanya melongo sambil 
menggeleng-geleng penuh kagum. 
"Terimakasih, Soma. Kau baik sekali!" ucap Adipa-
ti Pleret.  
Lelaki setengah baya ini bukannya tidak menga-
gumi kehebatan murid Eyang Begawan Kamasetyo, 
melainkan karena merasa memelas  dengan keadaan 
Pangeran Pemimpin.  
"Kangmas Sembodo! Kenapa Kangmas menempuh 
jalan seperti ini? Kalau saja Kangmas meminta takhta 
Kadipaten Pleret dengan cara baik-baik, sudah pasti 
aku menyerahkannya. Tapi, kenapa Kangmas melaku-
kan ini?" tanya Adipati Reksopati.  
Pangeran Pemimpin yang mendapat luka parah di 
sekujur tubuhnya hanya mendengus penuh kebencian. 
Sepasang matanya berkilat-kilat mengerikan. 
"Kenapa, Kangmas?"    
Pangeran Pemimpin tak menyahut. Amarahnya 
membuatnya sulit mengendalikan diri. Di samping ia 
juga menderita luka dalam yang cukup parah. 
"Tai kucing! Kau hanya berkhotbah. Padahal se-
mua tahu, kau berjiwa busuk! Apa kau pikir aku bo-
doh dengan sikap lembutmu ini. Tidak! Aku tidak bo-
doh! Aku tahu, apa yang kau maksud. Bukankah kau 
ingin merebut hati para prajuritmu, bukan? Juga me-
rebut hati para pendekar gagah yang membantu praju-
ritmu?" tukas Pangeran Pemimpin penuh kemarahan. 
Tubuh lelaki ini limbung ke sana kemari. Namun 
Pangeran Pemimpin tetap memaksakan diri untuk ber-
tahan.  
"Jawab, Reksopati! Kenapa hanya membisu?!" 
bentak Pangeran Pemimpin garang. 
"Kau salah, Kangmas. Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud demikian," sanggah Adipati Reksopati. 
"Keparat! Kau memang berhati ular, Reksopati! 
Kau patut mampus di tanganku!" teriak Pangeran Pe-
mimpin kalap.  
Sambil berteriak, Pangeran Pemimpin berlari ke 
arah Adipati Pleret dengan keris terhunus di tangan 
kanan. 
Semua yang berada di tempat pertempuran terpe-
kik kaget. Jarak antara Pangeran Pemimpin dan Adipa-
ti Pleret demikian dekat. Sulit sekali rasanya bagi Adi-
pati Pleret untuk menghindar. Namun....  
Crakkk! 
Ada sesuatu yang jatuh dan menggelinding. Darah 
segar yang menyembur keluar. Tapi bukan dari leher 
Adipati Reksopati, melainkan dari leher Pangeran Pe-
mimpin. Kepala tokoh sesat ini telah menggelinding en-
tah kemana!  
Adipati Reksopati gemetar dibuatnya. Sepasang 
matanya membelalak liar ke arah tubuh Pangeran Pe-
mimpin. Lalu sepasang matanya bergerak-gerak liar ke 
arah Putri Sekartaji yang telah berdiri di samping 
mayat Pangeran Pemimpin. Dialah yang berkelebat ce-
pat, langsung tadi menebas kepala Pangeran Pemim-
pin. 
"Maafkan aku, Kangmas Adipati! Kukira Kangmas 
Sembodo memang patut mendapat hukuman mati," 
ucap Putri Sekartaji lembut. Pedang di tangan kanan-
nya tampak masih berlumuran darah Pangeran Pe-
mimpin. 
Adipati Reksopati hanya menggeleng-geleng. Tak 
sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar-
getar. 
Semua yang berada di tempat pertempuran itu 
pun seperti dicekam sepi. Hanya angin saja yang terus 
berhembus, seolah ingin mengabarkan pada alam ka-
lau telah terjadi banjir darah di tempat ini!     
SELESAI 
Segera terbit!!! 
Serial Siluman Ular Putih dalam episode: 
PENGASUH SETAN 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com