Siluman Ular Putih 13 - Penguasa Alam(2)


8

Siluman Ular Putih melengak kaget. Di hadapan-
nya kini telah berdiri tegak Penguasa Alam yang mena-
tap beringas dengan sinar mata berkilatan.
Soma hanya tersenyum. Sedikit pun hatinya tidak
gentar menghadapi kehebatan Penguasa Alam.
"Kukira aku pun harus berkata demikian. Kaulah
giliranku berikutnya. Sekarang, tunjukkan letak harta
karun itu," ujar Siluman Ular Putih.
"Setan alas! Jadi, kau pun menginginkan harta
karun itu, Bocah?!" teriak Penguasa Alam garang.

"Bukan. Tepatnya, bukan aku. Aku hanya ingin
mengembalikan harta karun itu pada Kanjeng Adipati
Pleret."
"Bagus! Kalau begitu majulah! Aku tak sabar lagi
untuk segera meremukkan batok kepalamu, Bocah!"
dengus Penguasa Alam sengit.
Lelaki bertubuh raksasa ini segera memutar-
mutar gada besi kuning di tangan kanannya, mencip-
takan angin kencang yang menyambar-nyambar kulit
tubuh Siluman Ular Putih.
Soma makin meningkatkan kewaspadaan. Ia tahu,
Penguasa Alam amat sakti. Untuk itu segera dikelua-
rkannya jurus andalan ‘Terjangan Maut Ular Putih’ be-
gitu serangan Penguasa Alam meluncur datang.
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Alam men-
gayunkan gada di tangan kanannya dari samping ka-
nan. Sementara, kaki kanannya pun siap pula men-
gancam iga Siluman Ular Putih.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih sedikit merundukkan kepala.
Kemudian dengan gerakan cepat sekali dihindarinya
tendangan kaki Penguasa Alam, menggulingkan tu-
buhnya sambil bergerak demikian kedua tangannya
melepas patukan-patukan dahsyat.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali Soma bisa mendaratkan patukan di
paha Penguasa Alam dua kali. Namun anehnya, justru
telapak tangannya yang merasa kesemutan. Kedua te-
lapak tangannya tadi seolah membentur tembok baja
yang kuat sekali. Jangankan meremukkan tulang pa-
ha. Membuat lecet kulit tubuhnya pun tidak. Malah
sekujur tubuh Penguasa Alam kini menyala. Dan he-
batnya lagi, Siluman Ular Putih merasakan satu geta-
ran hebat saat Penguasa Alam balik menyerang.

Siluman Ular Putih meraung keras. Buru-buru
tubuhnya dibuang ke samping. Tanpa sadar, keringat
dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Jangkrik! Tak kusangka tubuh Penguasa Alam
mampu mengeluarkan satu getaran hebat yang mam-
pu menyedot tenaga lawan! Hm...! Aku harus berhati-
hati sambil terus mencari titik kelemahannya...," gu-
mam murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Wajahnya tam-
pak demikian garangnya.
"Jangankan bocah ingusan macam kau! Sepuluh
orang gurumu disuruh maju sekali pun, aku masih
sanggup menghadapi!" ejek Penguasa Alam. Saat itu
pula gada di tangan kanannya diayunkan kesana ke-
mari seirama gerakan tubuh Siluman Ular Putih yang
terus berlompatan menghindar.
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Rasanya ia makin kesulitan menghindari gempu-
ran-gempuran Penguasa Alam yang kian mengganas.
Apalagi untuk menemukan titik kelemahannya. Silu-
man Ular Putih kini benar-benar kewalahan bukan
main. Entah sudah berapa kali tubuhnya dibuat jatuh
bangun oleh amukan gada di tangan Penguasa Alam.
"Modar! Makanlah, gadaku ini, Bocah!"
Wuttt...!
Tiba-tiba Penguasa Alam mengayunkan gada dari
samping dengan menggunakan gerak tipu yang bagus
sekali. Soma yang mengira lelaki tinggi besar itu akan
menendang tubuhnya, mendadak terperangah kaget
ketika melihat gada yang meluruk begitu cepat. Silu-
man Ular Putih berusaha menghindar sebisa mungkin.
Tapi sayang gerakannya terlambat. Maka tanpa ampun
lagi....
Bukkk!
"Aaakh...!"

Siluman Ular Putih memekik dahsyat. Kepalanya
kontan terdongak akibat hantaman gada Penguasa
Alam pada bagian punggungnya. Karena tidak tahan
lagi, tubuhnya pun kontan jatuh bergulingan.
Penguasa Alam terus mengejar dengan sabetan-
sabetan gada di tangan. Hantaman-hantaman gadanya
yang tak menemui sasaran hanya membuat tanah di
puncak Gunung Kembang berhamburan tinggi di uda-
ra. Namun itu tidak digubrisnya. Tubuhnya terus saja
berkelebat mengejar Siluman Ular Putih dengan ayu-
nan gadanya.
"Sontoloyo! Kalau begini terus caranya aku bisa
cepat modar!" keluh murid Eyang Begawan Kamasetyo
kebingungan melihat kesaktian Penguasa Alam.
Namun untuk beberapa saat Siluman Ular Putih
masih sanggup bertahan dengan terus bergulingan
menghindar.
Hingga pada satu kesempatan, akhirnya Siluman
Ular Putih dapat keluar dari tekanan-tekanan seran-
gan-serangan Penguasa Alam. Dan saat itu pula, sege-
ra dikeluarkannya senjata andalan yang berupa Anak
Panah Bercakra Kembar.
Sesuai namanya, senjata pemberian Eyang Bega-
wan Kamasetyo itu memang berupa anak panah. Na-
mun bentuknya tidaklah lazim seperti anak panah ke-
banyakan. Bagian ujung runcingnya melengkung ke
atas, membentuk kepala ular yang di kanan-kirinya
terdapat dua cakra kembar terbuat dari baja murni.
Sedang pada bagian batang anak panah, hampir se-
muanya berbentuk badan ular yang dihiasi beberapa
lubang mirip lubang suling.       
Dan begitu Siluman Ular Putih mengerahkan te-
naga dalam, mendadak sekujur tubuhnya terasa jadi
ringan sekali. Tenaga dalamnya pun bertambah bebe-
rapa kali lipat!

"Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tak percu-
ma kau menyandang gelar itu. Tapi sayang, kela-
kuanmu bobrok! Kau rampas kekayaan kadipaten
hanya untuk kepentingan pribadi! Sungguh memalu-
kan sikapmu ini, Penguasa Alam!" ejek Siluman Ular
Putih begitu mendapatkan kesempatan mencari napas.
Pemuda ini kini telah siap menanti serangan.
"Jangan banyak bacot! Kematian sudah di depan
mata, pakai berkhotbah lagi!" hardik Penguasa Alam.
Gada besi kuning di tangan kanan Penguasa Alam
kembali bergerak-gerak mengerikan siap menghantam
tubuh lawan. Dan kini Siluman Ular Putih tak segan-
segannya untuk segera mengeluarkan jurus 'Ular
Kembar Mengejar Mangsa'. Kedua telapak tangannya
pun kini telah berubah jadi merah menyala penuh te-
naga ‘Inti Api’
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bocah! Kau
tetap tidak akan mampu mengalahkanku!" ejek Pengu-
asa Alam.
Habis mengejek, Penguasa Alam segera menge-
rahkan kekuatan tenaga dalamnya setinggi mungkin,
hingga membuat otot-otot lehernya bertonjolan. Maka-
seketika tangan kirinya telah berubah jadi kuning den-
gan bau busuk menusuk hidung.
"Kau lihat pukulan apa ini, Bocah? Dengan puku-
lan 'Belatung Kuning' inilah aku akan membuat nya-
wamu meregang! Hea...!"
Diiringi teriakan nyaring, Penguasa Alam segera
mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat selarik sinar kuning dari telapak tangan
kirinya.
Siluman Ular Putih sendiri pun tidak mau tang-
gung-tanggung lagi. Begitu melihat datangnya seran-
gan, segera dilontarkannya senjata anak panahnya ke
depan. Bersamaan itu, segera pula dilepaskannya pu-

kulan tenaga 'Inti Api' untuk memapak.
Wesss! Wesss!
Blaammm...!
"Aaakh...!"
Siluman Ular Putih memekik menyayat. Tubuhnya
kontan terpental ke belakang akibat bentrokan tadi.
Seketika parasnya berubah seperti kapas pertanda
mengalami luka dalam.
Sementara, melihat lesatan anak panah yang
mendahului serangan Siluman Ular Putin tadi, Pengu-
asa Alam hanya tertawa bergelak. Apalagi, ketika meli-
hat hasil serangannya barusan. Dan dengan sedikit
menggerakkan gada di tangan kanan,  senjata anak
panah Siluman Ular Putih pun melenceng ke samping.
"Bocah bau kencur! Terimalah kematianmu hari
ini!"
Sambil tertawa bergelak, Penguasa Alam siap me-
remukkan batok kepala Siluman Ular Putih dengan
gada di tangan. Sedikit pun tidak dipedulikannya kea-
daan sekitar. Padahal, saat itu senjata Anak Panah
Bercakra Kembar yang tadi melenceng kini telah me-
mutar balik. Bahkan kembali menyerang tubuh Pen-
guasa Alam dengan kecepatan luar biasa!
Di tempatnya, Siluman Ular Putih sudah terlihat
parah. Sulit rasanya menghindari hantaman gada di
tangan Penguasa Alam. Apalagi dalam jarak demikian
hebat. Namun ketika dilihatnya senjata Anak Panah
Bercakra Kembar kembali menyerang Penguasa Alam,
diam-diam murid Eyang Begawan Kamasetyo ini gem-
bira bukan main. 
Clap!
Seperti yang diduga, senjata anak panah Siluman
Ular Putih ternyata memang menancap di punggung
Penguasa Alam. Namun lagi-lagi satu hal aneh terjadi.
Tubuh Penguasa Alam langsung menyala begitu pung-

gungnya terhantam. Sedangkan Anak Panah Bercakra
Kembar kembali terpental balik. Siluman Ular Putih
benar-benar tidak habis pikir melihat senjata pusa-
kanya tidak mampu menembus kulit tubuh Penguasa
Alam.
"Edan! Tak kusangka demikian hebatnya aji
'Tangkal Petir' milik Penguasa Alam! Mungkin hanya
dengan ajian 'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku
dapat menundukkannya...," puji Soma dalam hati se-
raya menangkap kembali senjata pusakanya yang ter-
pental ke arahnya.
Selang beberapa saat, tiba-tiba sekujur tubuh mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo, telah diselimuti asap
putih tipis. Sehingga kini bayangan tinggi kekarnya ti-
dak kelihatan sama sekali! Dan ketika asap putih tipis
yang menyelimuti tubuh Soma hilang tertiup angin,
maka seketika itu....
"Ggggeeerrr...!”

***

Sepasang mata merah milik Penguasa Alam kon-
tan berkilat-kilat penuh keheranan. Ternyata, sosok
murid Eyang Begawan Kamasetyo kini telah menjelma
menjadi seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taringnya yang mengerikan!
"Si... Siluman Ular Putih...!" desis Penguasa Alam
penuh takjub.
Namun, keterkejutan Penguasa Alam hanya se-
bentar. Setelah dapat menguasai perasaan, tawanya
pun berkumandang.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bocah! Se-
dikit pun aku tidak gentar menghadapi ular jejadian-
mu!" leceh Penguasa Alam.
Ular raksasa di hadapan Penguasa Alam  mengi-

bas-ngibaskan ekornya kesana kemari, membuat de-
bu-debu beterbangan. Sedang sepasang matanya yang
mencorong terus memperhatikan Penguasa Alam ta-
jam.
"Ggggeeerrr...!!!"
Tiba-tiba ular putih jelmaan Soma mengeluarkan
gerengan hebat yang menggetar-getarkan puncak Gu-
nung Kembang. Lalu seketika sosok panjangnya mele-
sat cepat menerjang.
Wesss!
Angin kencang berkesiur menyambar-nyambar
kulit tubuh Penguasa Alam ketika mulut Siluman Ular
Putih menganga lebar, menampakkan langit-langit mu-
lutnya yang berwarna merah semangka. Taring-
taringnya yang berkilauan tampak demikian mengeri-
kan, seolah siap memangsa tubuh Penguasa Alam. Be-
lum lagi kibasan-kibasan ekornya yang mampu meme-
cahkan batu sebesar gajah!
Melihat datangnya serangan, Penguasa Alam
hanya mendengus. Secepatnya tubuhnya sedikit diges-
er ke samping. Dan tiba-tiba, gada di tangannya
menghantam tubuh ular raksasa itu.
Bukkk! Bukkk!
Dua kali gada di tangan Penguasa Alam mendarat
telak. Siluman Ular Putih menggeliat hebat sebelum
akhirnya jatuh berdebam ke tanah. Debu-debu kontan
membubung tinggi, menutupi sebagian sosok ular rak-
sasa itu.
"Ha ha ha...!"
Penguasa Alam kembali mengumbar suara tawa.
Namun mendadak terhenti kala melihat sepasang mata
mencorong berwarna merah menyala milik Siluman
Ular Putih yang demikian mengerikan di balik gulun-
gan debu yang membubung tinggi! Dan belum sempat
lelaki tinggi besar itu bertindak, tahu-tahu sosok pan-

jang Siluman Ular Putih kembali menerjang hebat dis-
ertai kibasan ekornya.
Bukkk!
Seketika tubuh Penguasa Alam menyala meski
sempat terbanting keras ke tanah. Namun sedikit pun
ia tidak mengalami luka berarti! Malah sebaliknya, Si-
luman Ular Putih-lah yang meraung hebat seolah-olah
ingin memecah angkasa raya! Sosoknya yang besar
panjang pun tampak bergetar hebat, merasakan geta-
ran aneh yang datangnya dari dalam tubuh Penguasa
Alam!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan ekornya
demikian rupa. Lalu kembali diterjangnya Penguasa
Alam hebat. Seperti biasa, ekornya pun digerakkan
demikian rupa. Namun kali ini gerakannya bukan lagi
ingin menghantam, melainkan ingin melibat tubuh
Penguasa Alam.
Plekkk!
Tubuh Penguasa Alam kini terlilit tubuh meman-
jang Siluman Ular Putih. Semakin lama lilitannya ma-
kin mengencang. Sementara moncongnya yang men-
ganga lebar tak ampun lagi segera mencaplok kepala
Penguasa Alam!
Krakkk!
Telak sekali taring-taring runcing Siluman Ular
Putih melumat kepala Penguasa Alam. Namun apa
yang terjadi berikutnya sungguh membuat Siluman
Ular Putih mengejang hebat. Kilatan cahaya merah da-
ri tubuh Penguasa Alam langsung masuk ke dalam tu-
buh ular raksasa ini.
"Grrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng laksana terkena
sambaran kilat. Perlahan-lahan tubuhnya melorot.
Dan begitu menyentuh tanah, seketika sosok panjang

Siluman Ular Putih itu pun kembali diselimuti  asap
putih tipis, sehingga bayangannya tidak kelihatan sa-
ma sekali!
Untuk beberapa saat, Penguasa Alam hanya me-
mandangi Siluman Ular Putih dengan kewaspadaan
tinggi. Gada besi kuning di tangan kanannya digeng-
gam erat-erat, siap menghadapi kemungkinan yang
bakal terjadi. Dan seketika sikap tegang Penguasa
Alam sirna saat samar-samar dari bidik asap putih ter-
lihat sesosok pemuda berambut gondrong dengan pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan. Ya, Soma kini tengah menggeletak tak berdaya!
Pingsan!
Penguasa Alam tertawa bergelak. Kepalanya men-
dongak ke atas memandang angkasa raya. Bulan sepo-
tong tampak bersembunyi di balik awan hitam, seolah
takut menghadapi apa yang akan terjadi.
"Ha ha ha...! Rupanya tidak percuma aku menda-
pat gelar Penguasa Alam! Siapa berani bertindak lan-
cang padaku, berarti mati!" teriak Penguasa Alam ber-
gema di angkasa raya. Tampak dadanya bergerak tu-
run naik dengan kedua tangan saling bertolak ping-
gang. Pongah sekali sikapnya.
Selang beberapa saat, Penguasa Alam kembali
memandangi tubuh pemuda gondrong di hadapannya
dengan seksama. Entah kenapa, mulutnya menggerutu
kesal. Lalu dengan lagak pongah, segera diangkatnya
gada besi kuningnya tinggi-tinggi.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah! Heaaa...!"
Bummm...!
Tanah dan debu di puncak Gunung Kembang kon-
tan terbongkar ke udara! Bagian yang terkena hanta-
man gada langsung berlubang besar!
Namun anehnya di dasar kubangan itu tidak
nampak lagi sosok tubuh murid Eyang Begawan Ka-

masetyo yang terkapar tak berdaya. Kecuali, hanya
gundukan-gundukan pasir!
Bukan main murkanya Penguasa Alam melihat ca-
lon korbannya hilang tak berbekas. Ia tadi memang
sempat melihat selarik sinar putih menggulung tubuh
Siluman Ular Putih, sebelum gadanya menghantam.
Namun betapa terkejutnya saat gadanya hanya meng-
hantam tanah!
"Setan alas! Siapa berani bermain gila dengan
Penguasa Alam, he?!"

***

9

Sepasang mata Penguasa Alam merah menyala
berkilat-kilat penuh kemarahan menjilati sosok yang
kini tegak di hadapannya yang telah menyelamatkan
Siluman Ular Putih. Entah dengan menggunakan ilmu
apa, ia tidak tahu.
Sosok di hadapan Penguasa Alam adalah seorang
lelaki tua renta berambut panjang memutih sebahu.
Tubuhnya kurus kering seakan tak bertenaga. Pa-
kaiannya hanya berupa kain putih panjang yang hanya
diselempangkan begitu saja. Namun menilik sepasang
matanya yang mencorong, entah kenapa Penguasa
Alam jadi ciut nyalinya!
"E.... Eyang.... Bromo!" desis Penguasa Alam, seo-
lah tak percaya dengan penglihatannya.
Sosok tua berpakaian kain putih yang dipanggil
Eyang Bromo hanya mengangguk-angguk, lalu meng-
geleng-gelengkan kepala. Kedua bibirnya berkemik-
kemik seolah-olah tidak mempedulikan Penguasa
Alam.


Apalah artinya sebuah nama, kalau kita tak dapat
menjaga harkat dan martabat. 
Sebagaimana semestinya gunung dan lautan yang
selalu tegak pasrah menerima kodrat.. 
Lalu kenapa anak manusia mesti berlaku pongah!

Bukan main murkanya Penguasa Alam mendengar
sindiran lelaki tua yang merupakan tokoh nomor satu
di dunia persilatan yang jarang sekali menampakkan
diri. Dan konon bila Eyang Bromo telah menampakkan
diri di dunia persilatan bakal gempar! Semua orang
dunia persilatan percaya ini. Termasuk juga Penguasa
Alam.
"Eyang Bromo...! Di antara kita tidak ada silang
sengketa! Kenapa hari ini kau mencampuri urusanku,
he?!"  bentak Penguasa Alam berusaha menutupi ke-
gentarannya.
Eyang Bromo hanya tersenyum arif. Sedikit pun
tidak tersinggung mendengar bentakan Penguasa Alam
barusan.
"Rasa welas asih seseorang tidak akan membiar-
kan orang berlaku semena-mena. Kekuasaan mutlak
adalah ada pada Yang Maha Tunggal. Kenapa kau
hendak membunuh musuhmu yang tidak berdaya?"
ucap Eyang Bromo arif.
"Bedebah! Bicaramu kedengarannya enak di telin-
ga. Tapi, tetap saja kau ingin mencampuri urusanku!
Apa kau pikir aku takut menghadapimu, he?!" bentak
Penguasa Alam.
"Tidak semestinya kau takut pada sesamamu. Me-
lainkan, takutlah pada apa yang kau perbuat di muka
bumi! Kukira kau sudah cukup malang melintang di
dunia persilatan. Kenapa kau tidak cepat-cepat kem-
bali pada kiblatmu?" tegur Eyang Bromo halus.      

"Setan alas! Bicaramu terlalu petitak-petitik,
Orang Tua! Aku jadi ingin melihat, apakah ilmu silat-
mu juga selihai lidahmu, he?! Rasakan gada besiku!
Heaa...!"
Disertai bentakan keras, Penguasa Alam segera
mengangkat gadanya tinggi-tinggi. Lalu dengan kekua-
tan tenaga dalam penuh, tiba-tiba gada di tangan ka-
nannya dihantamkan keras ke tubuh Eyang Bromo
yang sama sekali tak bergerak menghindar. Sehingga...
Blesss!
Telak sekali gada di tangan Penguasa Alam meng-
hantam dada Eyang Bromo. Namun anehnya, sedikit
pun Eyang Bromo tidak mengalami cedera! Pukulan
gada besi kuning Penguasa Alam seolah menghantam
gundukan kapas yang teramat lembut.
Penguasa Alam melotot tak percaya dengan hati
cemas bukan main. Keringat dingin mulai membasahi
kening. Dan lebih hebatnya lagi, perlahan-lahan tenaga
dalamnya terus tersedot ke dalam tubuh Eyang Bromo.
Sehingga lama kelamaan tubuhnya lemas tak bertena-
ga!
Kalau saja Eyang Bromo menghendaki, bukan
mustahil nyawa Penguasa Alam melayang saat itu ju-
ga. Untung saja lelaki tua arif itu buru-buru menyam-
bar tubuh Siluman Ular Putih. Seketika tubuhnya ber-
kelebat cepat meninggalkan puncak Gunung Kembang.
Hanya dalam beberapa kelebatan saja sosoknya telah
menghilang di balik kegelapan malam!
Sejenak Penguasa Alam diam membisu di tempat-
nya. Hanya sepasang matanya yang berkilat-kilat me-
nyimpan bara dendam.
"Keparat! Kali ini terpaksa aku menerima penghi-
naanmu, Eyang Bromo. Tapi, demi iblis! Aku bersum-
pah akan menuntut balas penghinaanmu ini! Tunggu-
lah pembalasanku, Eyang Bromo!" geram Penguasa

Alam dengan geraham gemeletukkan menahan amarah
menggelegak.
***

Siluman Ular Putih mengerjap-ngerjapkan kelopak
matanya pedih. Cahaya matahari siang terasa teramat
menusuk bola matanya.
"Ah...! Di manakah aku ini? Bukankah semalam
aku... pingsan sewaktu bertarung melawan Penguasa
Alam. Ah...! Jangan-jangan memang aku sudah di
alam baka? Tapi kenapa aku.... Augh...!"
Soma buru-buru mendekap dadanya kuat-kuat.
Dadanya tiba-tiba terasa nyeri bukan main sewaktu
mau beranjak bangun.
"Ah...! Rupanya aku masih di dunia! Tak mungkin
orang mati dapat merasakan rasa nyeri demikian he-
bat!" gerutu murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam
hati
Selang beberapa saat, perlahan-lahan si pemuda
mencoba bangun. Dengan agak susah payah, akhirnya
Soma dapat juga duduk bersila. Pertama-tama yang di-
lihatnya adalah sebuah air terjun yang dikelilingi teb-
ing-tebing curam dengan pohon-pohon rindang yang
batangnya sebesar dua kali lingkaran tangan manusia
dewasa. Tak jauh dari air terjun, tampak sesosok lelaki
tua renta berkain putih panjang sebagai penutup tu-
buhnya. Ia tengah khusuk bersemadi di atas batu pu-
tih pipih.
Rambutnya yang panjang memutih dibiarkan ter-
gerai di bahu. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik
sambil memilin-milin tasbih di tangan kanannya.
"Pasti orang tua  itulah yang telah menyela-
matkanku. Sebab tidak mungkin aku sampai di tempat
ini begitu saja. Tapi... tapi.... Ah! Bukankah orang tua
itu Eyang Bromo?" sentak murid Eyang Begawan Ka-

masetyo dalam hati.
Siluman Ular Putih terus memperhatikan sosok
tua di atas batu pipih dekat air terjun.
"Ah, iya! Kenapa aku jadi pikun begini?" gumam
Soma lagi seraya menepuk jidatnya sendiri.
Perlahan-lahan Soma mulai bangkit berdiri. Dide-
katinya tempat Eyang Bromo bersemadi, lalu duduk
berlutut di hadapannya.
"Terima kasih, Eyang. Lagi-lagi kaulah yang telah
menyelamatkanku," ucap Soma penuh hormat.
Perlahan-lahan Eyang Bromo mulai membuka ke-
lopak matanya. Dalam jarak dekat seperti ini, paras
Eyang Bromo tampak demikian tua penuh kerut-
merut. Alis dan bulu matanya berwarna putih, pertan-
da usianya sudah sangat lanjut. Namun anehnya ia
masih memiliki gigi yang putih bersih!
"Bangunlah, Cucuku! Jangan terlalu berlebihan
padaku! Hanya pada Yang Maha Kuasa sajalah kau
patut berlebihan!" tegur Eyang Bromo dengan suara
arif.
"Iya, Eyang."
"Sekarang dengarlah, Cucuku! Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan padamu!" ujar Eyang Bromo.
"Apa itu, Eyang?"
Eyang Bromo tidak langsung menjawab, melain-
kan hanya menghela nafasnya berulang-ulang.
"Apa kau tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam
itu sebenarnya, Cucuku?" Eyang Bromo balik ber-
tanya.
"Tentu, Eyang. Aku penasaran sekali. Siapa sih
dia sebenarnya? Dan mengapa pula aji 'Tangkal Petir'
miliknya sulit sekali dikalahkan?" tuntut Siluman Ular
Putih penuh semangat.
"Aji ‘Tangkal Petir’ adalah satu ajian yang sangat
hebat dan sulit sekali dicari tandingannya. Ajian itu

dulu diciptakan oleh sahabatku yang bergelar Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Dia pulalah yang telah melukis
Lukisan Darah yang telah raib dicuri orang."
"Ah...! Maaf, Eyang! Lukisan itu...."
"Jangan khawatir, Cucuku! Eyang sempat mem-
bawa lukisan itu kemari. Itu!" tukas Eyang Bromo lalu
menunjuk Lukisan Darah yang disandarkan di sebuah
batang pohon. "Sebenarnya, secara kebetulan aku me-
lihatmu saat menyembunyikan Lukisan Darah. Dan
setelah lukisan itu kuambil kembali aku mengikutimu,
sampai akhirnya aku menolongmu."
"Terima kasih, Eyang. Ternyata kau pun sudi ber-
susah payah membawa lukisan itu kemari," ucap So-
ma lega. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa Penguasa
Alam mengakui kalau dirinyalah yang berhak atas har-
ta karun itu?"
"Harta karun itu memang sebenarnya milik Pen-
guasa Alam."
Soma melengak kaget, mendengar penjelasan
Eyang Bromo.
"Lho? Kok bisa begitu, Eyang? Apa bukan milik
kadipaten?" tanya Soma heran.
"Sabar, Cucuku! Nanti juga sampai ke sana. Seka-
rang, apa kau tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam?"
"Tentu, Eyang."
"Dia adalah murid sobatku yang berjuluk Pelukis
Sinting Tanpa Tanding!"
"Hm... ya! Aku juga sudah menduga demikian,
Eyang. Tapi, kenapa Penguasa Alam melenceng dari ja-
lan kebaikan? Bukankah Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing itu dari golongan putih?"
"Pintar! Rupanya otakmu bekerja  juga, Cucuku.
Penguasa Alam memang murid Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Tapi bukan berarti harus menempuh jalan
seperti jalan yang telah ditempuh gurunya. Sebab Pen-

guasa Alam pun memiliki pribadi sendiri. Meski men-
jadi murid sahabatku, ternyata diam-diam ia berguru
pada tokoh sesat yang bergelar Pengasuh Setan. Bah-
kan bukan itu saja. Penguasa Alam pun paling suka
menimbun harta kekayaan yang semuanya hasil  dari
rampokannya!"
"Oh...!" desah murid Eyang Begawan Kamasetyo
seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu, kejadian
selanjutnya bagaimana, Eyang?"
"Akhirnya sobatku tahu semua sepak terjang mu-
ridnya di luar. Pelukis Sinting murka. Ia terus mencari
muridnya  untuk dimintai pertanggungjawaban. Tapi
sayang, muridnya tidak ditemukannya. Ia hanya me-
nemukan tumpukan harta karun yang disembunyikan
di suatu tempat. Sobatku marah bukan main. Lalu
harta karun milik muridnya yang murtad itu pun sege-
ra diboyong ke tempat lain. Sebelumnya sobatku me-
ninggalkan pesan pada si murid murtad agar datang
menemuinya. Singkat cerita, akhirnya Penguasa Alam
datang menemui gurunya. Lalu, terjadi pertarungan
hebat antara guru dan si murid murtad. Berkat ilmu
yang telah diajarkan Pengasuh Setan, akhirnya so-
batku dapat dikalahkan oleh muridnya sendiri. Mung-
kin karena mengira gurunya sudah tewas, Penguasa
Alam pun akhirnya meninggalkan begitu saja. Padahal
saat itu sobatku hanya pingsan walaupun lukanya cu-
kup parah. Dan sewaktu aku datang berkunjung, kuli-
hat sobatku tengah asyik melukis. Lagi-lagi lukisan
wanita tanpa busana! Itu memang satu kesukaan so-
batku.  Dan lebih herannya lagi, ternyata lukisan itu
dibuat dengan darah! Darahnya sendiri lagi! Memang
sinting sahabatku itu. Tapi, apa boleh buat? Memang
itulah wataknya."
"Lalu, di manakah dia sekarang, Eyang?" potong
Soma.

"Maksudmu... sobatku?" 
"Iya, Eyang."
"Terakhir aku melihatnya di Goa Bedakah. Ka-
tanya ia ingin segera mencari Penguasa Alam dan Pen-
gasuh Setan untuk melampiaskan dendam kesumat-
nya."
"Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham, Eyang.
Lalu, kenapa Lukisan Berdarah itu bisa berada di
ruang pusaka Kadipaten Pleret?"
"Akulah yang menyerahkannya pada Kanjeng Adi-
pati Pleret Tua. Sobatku memang menyuruhku men-
gantarkan lukisan itu pada Kanjeng Adipati. Katanya,
lukisan itu berisi peta tempat penyimpanan harta ka-
run milik Penguasa Alam."
"Hm...! Sekarang jelas sudah persoalannya, Eyang.
Aku sekarang merasa mantap untuk menyelamatkan
harta karun itu pada pemiliknya yang sebenarnya,
yakni Kanjeng Adipati Pleret."
"Itu sudah menjadi kewajibanmu, Cucuku. Untuk
itu, kau harus berhati-hati berhadapan lagi dengan
Penguasa Alam. Sebab di samping memiliki kesaktian
yang hebat, ia pun palang pintu terakhir untuk men-
dapatkan harta karun," kata Eyang Bromo mengin-
gatkan.
"Terus terang, itulah yang membuatku bingung,
Eyang. Ternyata sampai sekarang, aku belum juga
menemukan kelemahannya. Di samping itu aku juga
bingung, kenapa Penguasa Alam yang jadi palang pin-
tu terakhir untuk mendapatkan harta karun?"
"Mengenai kenapa Penguasa Alam yang menjadi
palang pintu terakhir, sebenarnya demikian, Cucuku.
Waktu sebelum terjadi pertarungan, sebenarnya so-
batku memang sedang melukis peta tempat disembu-
nyikannya harta karun milik Penguasa Alam. Namun
sebelum  sempat lukisan itu selesai, Penguasa Alam

keburu datang. Dan sewaktu si murid murtad itu da-
pat mengalahkan gurunya, harta karunnya ingin sege-
ra didapatkan kembali dengan membawa peta dalam
lukisan yang belum jadi. Namun kenyataannya sampai
sekarang, Penguasa Alam belum mendapatkannya
kembali. Maka sekaranglah kesempatanmu untuk me-
nyelamatkan harta karun itu pada Kanjeng Adipati!
Sebab, harta kekayaan Penguasa Alam itu adalah hasil
rampokan dari kekayaan Kadipaten Pleret itu sendiri."
"Baiklah, Eyang. Aku memang ingin segera me-
nyerahkan harta karun itu pada Kanjeng Adipati. Tapi
sayang, aku belum tahu kelemahan Penguasa Alam,"
desah Soma.
"Hm...! Sebenarnya kau dapat mengalahkannya,
Cucuku."
Soma mendongak. Dipandanginya orang tua renta
di hadapannya dengan sinar mata tak percaya.
"Bagaimana mungkin, Eyang? Buktinya aku di-
buat babak belur begini. Untung saja Eyang segera da-
tang menolong. Kalau tidak, tak tahulah bagaimana
nasibku."
"Aku mengerti, Cucuku. Tapi, bukankah kau pun
telah menguasai ilmu tenaga sakti 'Inti Kapas' yang te-
lah diajarkan eyangmu di Gunung Bucu, kan?"
"Hm...! Iya, Eyang. Memangnya kenapa?"
"Sebenarnya dengan menggunakan ilmu itu pun,
kau dapat mengalahkan Penguasa Alam. Hanya saja
aku sangsi. Sebab bila tenaga dalammu kalah jauh di
bawah  Penguasa Alam, bukan mustahil malah kau
sendiri yang akan celaka."
"Lalu aku mesti bagaimana, Eyang?" tanya Soma
putus asa.
"Hm...!" gumam Eyang Bromo sambil, mengelus-
elus jenggotnya sebentar. "Seperti kukatakan tadi. Be-
berapa hari lalu, aku sempat menemui sobatku, Pelu-

kis Sinting Tanpa Tanding di tempatnya Goa Bedakah.
Dia yang telah bertapa bertahun-tahun, kini sudah
mengetahui kelemahan ilmu Penguasa Alam. Menurut
sobatku, ada dua cara yang paling ampuh untuk men-
galahkan Penguasa Alam," ungkap Eyang Bromo sete-
lah diam untuk beberapa saat.
"Apa itu, Eyang?" kejar Soma semangat. "Pertama.
Kau harus bisa mengulur waktu agar dapat bertarung
dengan Penguasa Alam hingga matahari terbit. Karena
di saat seperti itulah Penguasa Alam sudah tidak me-
miliki kesaktian  apa-apa. Maka kau dapat membu-
nuhnya dengan mudah. Tapi, rasa-rasanya kau akan
mengalami kesulitan untuk melakukan cara yang per-
tama. Sebab biasanya, Penguasa Alam tidak pernah
malang melintang di dunia persilatan sampai terdengar
kokok ayam jantan tiga kali. Biasanya sebelum ayam
jantan berkokok tiga kali, ia sudah kembali ke tempat
persembunyiannya."
"Ah...! Kenapa rumit begini, Eyang? Dan seper-
tinya tak masuk akal. Masa' sih semua kesaktian Pen-
guasa Alam akan punah bila matahari terbit?" keluh
Soma seolah tak percaya.
"Itulah keanehan ilmu yang diajarkan Pengasuh
Setan. Demikian pula ilmu yang diajarkan sobatku. Il-
mu itu pun akan punah bila tubuh Penguasa Alam su-
dah ter-kena sinar matahari. Namun keuntungannya,
sesuai julukannya, Penguasa Alam tidak dapat  mati
selama matahari belum terbit."
"Lalu cara yang kedua apa, Eyang?" tanya Soma
tak lagi bergairah. 
"Nah! Ini mungkin cara termudah bagimu, Cucu-
ku. Kulihat senjatamu adalah anak panah. Ini cocok
sekali. Kau dapat membunuhnya dengan mudah, asal
tahu caranya."
"Caranya bagaimana, Eyang?" kejar murid Eyang

Begawan Kamasetyo mulai berbinar.
"Hm... begini! Kalau ingin membunuhnya, kau ha-
rus dapat menyerang Penguasa Alam dengan senjata
anak panah itu. Tapi syaratnya, ujung runcing anak
panahmu harus menyentuh tanah, sebelum menyen-
tuh tubuh Penguasa Alam. Kalau tidak, jangan harap
kau dapat membunuhnya. Kukira hanya cara itulah
yang paling mudah untuk melumpuhkan Penguasa
Alam, Cucuku. Lekas, kembali ke puncak Gunung
Kembang. Dan, temui Penguasa Alam!"
"Baiklah kalau memang Eyang menghendaki de-
mikian juga. Sekarang juga aku mohon pamit. Selamat
tinggal, Eyang!" ucap Siluman Ular Putih seraya hen-
dak berkelebat.
"Eh... tunggu!" cegah Eyang Bromo, membuat So-
ma menghentikan gerakannya. 
"Ada apa lagi, Eyang?"
"Bawalah lukisan itu! Katanya kau ingin menye-
rahkan harta karun pada Kanjeng Adipati!" ujar Eyang
Bromo, mengingatkan.
"Oh, iya! Hampir aku lupa!"
Soma menepuk jidatnya sendiri. Lalu dengan
langkah terburu, segera diambilnya Lukisan Darah
yang disandarkan di batang pohon tak jauh dari Eyang
Bromo bersemadi. Dan tubuhnya segera berkelebat ce-
pat meninggalkan tempat Eyang Bromo.
Eyang Bromo hanya memperhatikan kepergian
murid Eyang Begawan Kamasetyo, lalu kedua kelopak
matanya pun kembali terpejam.

***




10

Matahari pagi bersinar cerah. Awan putih meng-
hampar di angkasa biru. Angin seolah malas berhem-
bus, membuat suasana mayapada terasa lengang.
Hanya kicauan beberapa burung jalak yang beterban-
gan dari sebuah ranting ke ranting pohon satunya se-
sekali memecahkan kelengangan.
Di puncak Gunung Kelud embun pagi baru saja
tersibak pergi. Namun, masih menebar ke segenap
penjuru. Di sebuah padang yang cukup luas beberapa
orang berpakaian rimba persilatan tampak duduk me-
lingkari sebuah perapian yang telah padam. Melihat
pakaian mereka, jelas kalau orang-orang itu adalah
para pendekar yang akan mengadakan pertemuan di
puncak gunung ini. Wajah-wajah mereka menyiratkan
perasaan ingin tahu apa yang akan dibicarakan.
Seorang lelaki tua tak henti-hentinya selalu terse-
nyum menyambut kedatangan para pendekar yang ba-
ru datang. Usia lelaki itu kira-kira enam puluh tahun.
Meski usianya sudah tergolong senja, namun tubuh-
nya yang tinggi besar masih tampak segar dan kekar.
Itu dapat dilihat dari otot-otot lengannya yang berton-
jolan.  Wajahnya pun tidak menunjukkan kalau
usianya sudah lanjut. Wajah itu tampak demikian ga-
gah dengan rambutnya yang gondrong dibiarkan terge-
rai di bahu. Pakaiannya putih bersih. Di pergelangan
tangan kanan-kirinya terdapat dua gelang akar bahar.
Lelaki itu dikenal sebagai Penguasa Gunung Kelud.
Namanya, Ki Rombeng.
Kali ini wajah Ki Rombeng tampak demikian mu-
ram. Dia baru saja menerima laporan tentang
pengkhianatan Pangeran Pemimpin terhadap Kadipa-
ten Pleret dari kedua orang murid kembarnya yang

bernama Ken Umi dan Ken Sari. Kedua orang gadis
cantik berpakaian ketat warna hijau muda itu kini du-
duk bersimpuh di sampingnya.
Ki Rombeng menggumam tak jelas. Jiwa kepende-
karannya merasa tergugah oleh pemberontakan Pange-
ran Pemimpin. Namun untuk beberapa saat, lelaki ini
hanya membungkam. Tak sepatah kata pun terucap
dari bibirnya yang berkemik-kemik. Padahal puluhan
orang pendekar yang berkumpul di tempat ini sudah
tak sabar menunggu jalannya pertemuan.
"Ki Rombeng! Kenapa tidak dimulai saja perte-
muan ini. Apa kau sedang menunggu tokoh-tokoh sak-
ti lainnya?" ujar seorang lelaki gagah berusia lima pu-
luh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Rambutnya di-
kuncir sebagian di belakang. Jubahnya besar berwarna
kuning keemasan. Tokoh ini dikenal sebagai Pendekar
Bintang Emas.
Di samping Pendekar Bintang Emas, tampak pula
tokoh-tokoh tua dunia persilatan seperti Tabib Agung
ataupun Raja Penyihir. Dan mereka sepertinya sudah
tak sabar menunggu Ki Rombeng membuka suara.
Namun ternyata lelaki tua itu tetap membungkam. Ke-
palanya hanya menggeleng perlahan sewaktu menden-
gar pertanyaan Pendekar Bintang Emas tadi.
"Hm...! Aku mengerti, kau sedang menunggu
Eyang Bromo, Penyair Sinting, Pendekar Kilat Buana
maupun beberapa tokoh tua lainnya. Tapi, orang-orang
yang kusebutkan tadi memiliki watak aneh. Meski kita
telah mengundang, belum tentu mereka sudi berkun-
jung kemari. Mereka hanya akan keluar dari tempat
persembunyiannya  bila dunia persilatan benar-benar
terancam!" tandas Pendekar Bintang Emas lagi tanpa
diminta.
"Ya ya ya...! Aku tahu itu," desah Ki Rombeng ak-
hirnya mau membuka suara seraya mengangguk-

angguk. "Lalu, bagaimana dengan Eyang Begawan
Kamasetyo sendiri? Apakah ia juga tidak sudi berkun-
jung ke puncak Gunung Kelud ini?"
"Apalagi tua bangka itu! Mana sudi ia turun gu-
nung? Anaknya saja masih berwujud ular putih. Ka-
tanya, ia tidak akan turun gunung sebelum putrinya
belum dapat menjelma kembali menjadi manusia bi-
asa."
Kali ini yang menyahut adalah Raja Penyihir.
Orang tua ini memang pernah berkunjung ke puncak
Gunung Bucu. Memang, alasan Eyang Begawan Ka-
masetyo dimakluminya.  Namun wataknya yang aneh
tetap saja menunjukkan kejengkelan hatinya melihat
tokoh-tokoh tua dunia persilatan banyak yang tidak
hadir di tempat ini.
"Baiklah! Kalau begitu, sebaiknya kita mulai saja,"
sahut Ki Rombeng akhirnya.
Sejenak Ki Rombeng mengedarkan pandangan ke
segenap penjuru, memperhatikan beberapa orang pen-
dekar yang menghadiri jalannya pertemuan.
"Mungkin saudara-saudara sekalian sudah dapat
menebak, apa yang akan kita bicarakan dalam perte-
muan para pendekar kali ini. Pembicaraan ini tidak
lain adalah mengenai pengkhianatan Raden Sembodo
yang kini bergelar Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud akan merebut takhta Kadipaten Pleret. Apakah
saudara-saudara sekalian ada yang ingin melaporkan
sesuatu atau ingin mengusulkan sesuatu barangka-
li...?"
Ki Rombeng sejenak menghentikan bicara. Sepa-
sang matanya yang tajam kembali menyapu semua
yang hadir di puncak Gunung Kelud satu persatu.
Namun tidak ada tanda-tanda kalau para pendekar
yang ingin angkat bicara.
"Tampaknya saudara-saudara sekalian tidak ada

yang ingin melapor maupun mengusulkan sesuatu.
Baiklah. Kalau begitu, sekarang aku ingin bertanya.
Tindakan apakah yang akan kita lakukan atas
pengkhianatan Pangeran Pemimpin?"
"Aku ada pendapat, Ki Rombeng!" teriak salah seo-
rang pendekar yang duduk tepat berhadapan dengan
Ki Rombeng, seraya mengacungkan telunjuk jarinya ke
atas.
Dia adalah seorang pemuda tampan berusia dua
puluh lima tahun. Jubahnya berwarna biru muda.
Rambutnya dikuncir sebagian ke belakang. Tubuhnya
tinggi  tegap. Tampak gagang pedangnya menyembul
dari balik punggung.
"Baiklah! Silakan kau mengeluarkan pendapatmu,
Manik Biru!" ujar Ki Rombeng.
"Begini...," buka pemuda tampan yang dipanggil
Manik Biru sambil membetulkan letak duduknya. "Kita
semua sudah tahu kalau Pangeran Pemimpin bermak-
sud memberontak Kadipaten Pleret. Dan kita semua
juga tahu kalau Pangeran Pemimpin pun mempunyai
banyak sekutu yang kebanyakan terdiri dari tokoh se-
sat dunia persilatan. Sebagai seorang pendekar, ten-
tunya aku ingin kita semua turut membantu Kadipa-
ten Pleret guna menumpas Pangeran Pemimpin. Teru-
tama sekali, menumpas sekutu-sekutunya!  Begitulah
kiranya pendapatku, Ki Rombeng!"
"Baik, baik! Pendapatku pun demikian," ujar Ki
Rombeng seraya mengangguk-angguk.
Lalu Ki Rombeng pun kembali meminta pendapat
pada beberapa orang pendekar yang hadir.
Dengan semangat tinggi, beberapa orang pendekar
muda mendukung usul Manik Biru agar golongan
pendekar memberantas sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin.  Namun ada beberapa orang pendekar yang
mengusulkan agar Ki Rombeng mengutus seseorang

lebih dulu untuk melaporkan kesediaan para pendekar
pada Adipati Pleret dalam membantu prajurit-prajurit
kadipaten.
Ki Rombeng menerima usul dan pendapat para
pendekar muda dengan hati senang. Memang begitu-
lah sifat para pendekar muda. Selalu meledak-ledak,
dan tinggi semangatnya. Ki Rombeng tahu itu.
"Baiklah! Kita semua memang sadar. Tak mungkin
kita berpangku tangan melihat keamanan Kadipaten
Pleret terancam. Dan kukira tidak ada jeleknya kalau
kita harus mengirim salah seorang utusan guna mem-
bicarakan hal ini pada Kanjeng Adipati. Dan kukira
orang yang paling tepat untuk melakukan tugas ini
adalah Pendekar Bintang Emas. Karena aku tahu, ia
sudah mempunyai hubungan yang cukup akrab den-
gan pihak kadipaten. Bagaimana, Saudara Pendekar
Bintang Emas?"
"Dengan senang hati aku menerima tugas itu, Ki.
Kebetulan sekali aku pun mempunyai murid yang ma-
sih terhitung adik tiri Kanjeng Adipati," sahut Pende-
kar Bintang Emas.
"Maaf, saudara-saudara sekalian! Aku datang ter-
lambat. Aku adalah utusan Kanjeng Adipati!"
Ki Rombeng dan semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud buru-buru memalingkan kepala ke arah
datangnya suara. Dari arah barat puncak Gunung Ke-
lud tampak seorang gadis cantik tengah berkelebat ce-
pat menuju tempat pertemuan.
Sebentar saja, tak jauh dari mereka telah berdiri
seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Wa-
jahnya bulat telur dengan rambut digelung ke atas.
Tubuhnya yang tinggi ramping dibalut pakaian ketat
warna kuning. Di punggungnya tampak menyembul
gagang pedang.
"Sekartaji...! Apa yang kau lakukan di tempat ini?"

tegur Pendekar Bintang Emas begitu mengenali gadis
cantik itu.
"Maaf, Guru! Juga saudara-saudara sekalian!"
ucap gadis yang ternyata Putri Sekartaji seraya menju-
ra hormat pada gurunya, Pendekar Bintang Emas. Lalu
gadis ini menjura hormat pada semua yang hadir di
puncak Gunung Kelud. "Terus terang, aku datang atas
nama Kanjeng Adipati. Setelah menimbang persoalan
yang tengah dihadapi kadipaten, dengan sangat ren-
dah hati Kanjeng Adipati meminta bantuan pada para
pendekar untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang
bermaksud memberontak Kadipaten Pleret! Terutama
sekali, menumpas sekutu-sekutunya yang kebanyakan
dari golongan sesat dunia persilatan."
"Ya ya ya...! Dengan senang hati kami para pende-
kar bersedia membantu pihak kadipaten. Untuk itulah
kami berkumpul di tempat ini. Tapi terlebih dahulu,
sudilah Tuan Putri duduk! Maaf, tempatnya tidak se-
suai dengan yang Tuan Putri bayangkan!" ucap Ki
Rombeng berbasa basi.
"Terima kasih, Ki. Begini juga sudah cukup," sa-
hut Putri Sekartaji sopan, lalu segera menghenyakkan
pantatnya di antara para pendekar lain.
"Sekartaji! Aku tidak percaya kalau Kanjeng Adi-
pati mengutusmu kemari?" tegur Pendekar Bintang
Emas.
"Maaf, Guru. Murid memang utusan Kanjeng Adi-
pati," ucap Putri  Sekartaji, berdusta. Padahal keper-
giannya dari kadipaten pun tidak diketahui Kanjeng
Adipati, melainkan atas perintah Siluman Ular Putih.
"Hm...!" gumam Pendekar Bintang Emas tak jelas.
Tampak sekali kalau omongan muridnya tidak diper-
cayanya.
"Sudahlah, Sobatku Pendekar Bintang Emas! Ku-
kira masalah ini tak perlu diperpanjang. Pokoknya

baik diminta maupun tidak, sudah semestinya kita ha-
rus membantu kadipaten," kata Ki Rombeng menenga-
hi. "Dan patut kau ketahui, Tuan Putri! Kami sebenar-
nya sudah mengutus gurumu, Pendekar Bintang Emas
untuk menemui Kanjeng Adipati."
Putri Sekartaji hanya membungkam. Tampak se-
kali kalau hatinya sangat cemas. Entah mencemaskan
Siluman Ular Putih yang sedang mengikuti kepergian
Pendidik Ulung dan kawan-kawannya, atau karena ta-
kut kalau gurunya akan melaporkan perihal dirinya
pada Kanjeng Adipati.
"Ada apa, Sekartaji? Tampaknya kau tidak menye-
tujui kalau gurumu ini yang menjadi utusan para pen-
dekar untuk menemui Kanjeng Adipati?" tanya Pende-
kar Bintang Emas mencium kecemasan Putri Sekartaji.
"Tidak, Guru. Malah aku senang kalau Guru sen-
diri yang akan menemui Kanjeng Adipati," kilah Putri
Sekartaji gugup.
"Begitu? Tapi kenapa kau tampak cemas sekali?"
kejar Pendekar Bintang Emas tak puas.
"Hm...," Putri Sekartaji menggigit bibirnya sendiri.
"Sebenarnya iya, Guru. Tapi bukannya aku mence-
maskan diriku sendiri. Melainkan, sedang mence-
maskan seseorang."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu persis namanya, Guru. Katanya...
katanya ia juga ingin menghadiri pertemuan para pen-
dekar di puncak Gunung Kelud. Tapi entah kenapa,
dua hari yang lalu aku melihat orang itu pergi bersama
Raja Racun dan kawan-kawan. Terus terang aku curi-
ga sekali, Guru. Sebab dalam rombongan Raja Racun
itu, terdapat juga Raja Maling yang membawa Lukisan
Darah!"
"Apa? Lukisan Darah?! Jadi, Raja Malingkah yang
telah mencuri Lukisan Darah?" sentak Pendekar Bin-

tang Emas terkejut. Semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud ini pun tampak terkejut mendengar kete-
rangan Putri Sekartaji.
"Benar. Tapi sebenarnya bukan hal itu yang aku
cemaskan, Guru. Melainkan orang tua itu, Guru. Kami
memang pernah bertemu. Katanya, ia adalah gurunya
Pelajar Agung yang kini menjadi kaki tangan Pangeran
Pemimpin!"
"Celaka! Dia pasti Pendidik Ulung! Pantas dari tadi
aku tidak melihat batang hidungnya. Harusnya ia su-
dah berada di sini!" kata Ki Rombeng. "Tapi.... Tapi,
apakah Tuan Putri tahu ke mana perginya Pendidik
Ulung dan Raja Racun itu?"
"Sayang sekali tidak, Ki. Tapi, bukan mustahil ka-
lau mereka ingin mencari harta karun seperti yang ter-
gambar dalam peta Lukisan Darah."
Ki Rombeng menggertakkan gerahamnya kuat-
kuat, lalu mengangguk-angguk.
"Tampaknya ini bukan urusan main-main. Aku
tahu betul, siapa Pendidik Ulung. Ia bukanlah tokoh
sesat. Tapi, kenapa ia mau bergabung dengan Raja Ra-
cun dan kawan-kawan? Ini pasti ada apa-apanya!" de-
sis Ki Rombeng penuh kemarahan.
"Jangan khawatir, Ki! Sekarang temanku, Siluman
Ular Putih sedang mengikuti kepergian mereka. Malah
kalau bisa, temanku ingin menyelamatkan orang tua
itu!" ujar Putri Sekartaji.
"Tidak! Mereka pasti akan mendapat celaka," sen-
tak Ki Rombeng cemas bukan main. "Kalau kepergian
mereka memang benar ingin mendapatkan harta ka-
run, pasti akan berhadapan dengan seorang tokoh
yang bergelar Penguasa Alam. Sebab, dialah yang se-
benarnya memiliki harta karun itu!"
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki? Tampak-
nya urusan ini bukan urusan sembarangan," tanya

Manik Biru angkat bicara.
"Kita harus membantu Siluman Ular Putih untuk
menyelamatkan Pendidik Ulung. Sebab, Penguasa
Alam sangat sakti. Konon ia tidak bisa mati.  Inilah
yang mencemaskanku!"
"Kalau begitu, aku ingin mengajak beberapa para
pendekar untuk membantu Siluman Ular Putih menye-
lamatkan Pendidik Ulung!" tegas Manik Biru lagi ber-
semangat.
"Begitu juga boleh. Tapi harap hati-hati! Penguasa
Alam sangat sakti. Belum lagi Raja Racun dan kawan-
kawannya. Kukira kau harus membawa teman-
temanmu yang kira-kira dapat menghadapi mereka,
Manik Biru."
"Tentu, Ki. Sekarang juga kami akan berangkat,"
sahut Manik Biru semangat.
"Pergilah!"
Manik Biru segera beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu dipilihnya beberapa orang pendekar yang ki-
ra-kira dapat menghadapi Penguasa Alam maupun Ra-
ja Racun dan kawan-kawan. Dan kebetulan pula Raja
Penyihir pun sudi bergabung dengan Manik Biru.
Setelah semuanya beres, rombongan pendekar
yang dipimpin Manik Biru pun segera meninggalkan
puncak Gunung Kelud.
"Kukira, aku pun harus segera menemui Kanjeng
Adipati, Ki Rombeng," cetus Pendekar Bintang Emas
sepeninggal Manik Biru dan kawan-kawan.
"Itu juga baik, Sobat. Jangan lupa, sampaikan sa-
lamku pada Kanjeng Adipati!" ujar Ki Rombeng.
"Tentu," sahut Pendekar Bintang Emas, lalu sege-
ra berbalik. "Sekartaji! Kau ikut aku!" lanjutnya.
"Tapi, Guru. Aku.... Aku...," Putri Sekartaji terga-
gap. Karena, ia memang lebih senang menunggu keda-
tangan Siluman Ular Putih daripada mengikuti keper-

gian gurunya ke Kadipaten Pleret.
"Ayo!"
Pendekar Bintang Emas segera menyambar lengan
muridnya. Segera dipaksanya gadis itu meninggalkan
puncak Gunung Kelud.
Sepeninggal guru dan murid itu, Ki Rombeng pun
segera membubarkan jalannya pertemuan para pende-
kar.

***

11

"Bodoh! Benar-benar bodoh! Menghadapi Pengua-
sa Alam seorang saja tidak becus!"
Pangeran Pemimpin yang marah bukan main
sampai terlonjak tubuhnya dari kursi kebesarannya
begitu mendengar laporan Raja Racun. Seketika kedua
telapaknya mencengkeram kedua lengan kursi kebesa-
rannya erat-erat. Sehingga lengan kursi itu kontan
hancur, mengepulkan asap tipis berwarna hitam.
Raja Racun dan Raja Golok diam menekuri lantai.
Pendidik Ulung pun diam tak bergerak. Hanya sepa-
sang  matanya saja yang jelalatan memperhatikan se-
putar ruangan dengan pandang mata kosong. Hal ini
makin mengundang kemarahan Pangeran Pemimpin.
"Bedebah! Apakah tua bangka ini juga tidak ber-
guna, he?!" hardik Pangeran Pemimpin kasar seraya
menuding ke arah Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung tetap diam seperti semula. Sama
sekali tidak dipedulikannya bentakan Pangeran Pe-
mimpin.
"Kami, termasuk tua bangka ini, sudah berusaha
keras untuk mendapatkan harta karun itu. Tapi

sayang, kesaktian Penguasa Alam benar-benar sulit di-
cari tandingannya. Aji 'Tangkal Petir'-nya benar-benar
membuat kami kewalahan," jelas Raja Racun.
"Apa pun alasannya, kalian tetap tolol! Bagaimana
ini bisa terjadi? Kalian berenam! Masa' menghadapi
Penguasa Alam yang hanya seorang diri saja tidak be-
cus! Benar-benar memuakkan! Malah dua orang di an-
tara kalian tewas! Pakai ini!" hardik Pangeran Pemim-
pin gusar bukan main seraya menuding keningnya
sendiri.
"Tapi, Pangeran! Kesaktian Penguasa Alam benar-
benar hebat. Tidak seorang pun mampu menandingi
kesaktiannya. Dia tidak bisa mati!" kilah Raja Racun
membela diri.
"Mustahil!" Pangeran Pemimpin bangkit dari kursi
saking gusarnya. "Tak mungkin ada orang yang tak bi-
sa mati! Bilang saja kalian tidak becus! Habis perkara!"
Lelaki setengah baya ini memang paling benci
mendengar orang lain membicarakan kesaktian Pen-
guasa Alam. Baginya, dialah satu-satunya orang sakti
tanpa tanding. Dan ia yakin sekali mampu menunduk-
kan Penguasa Alam. 
"Benar. Sahabatku benar. Bilang saja kalian tidak
becus. Pakai alasan lagi!" timpal Pelajar Agung makin
memojokkan Raja Racun dan Raja Golok.
"Tapi sebenarnya bukan itu saja persoalannya,
Pangeran," kilah Raja Golok mulai angkat bicara.
"Alasan apa lagi, Raja Golok?!" hardik Pangeran
Pemimpin tak suka. Sepasang matanya berkilat-kilat
penuh kemarahan.
"Sebenarnya kami masih sanggup melawan kesak-
tian Penguasa Alam, Pangeran. Tapi sayang, pemuda
sinting itu kembali menghalang-halangi maksud kita
untuk mendapatkan harta karun."
"Siapa pemuda sinting yang kau maksud, Raja Go-

lok?" tanya Pangeran Pemimpin penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Siluman Ular Putih, Pan-
geran!"
"Setan alas! Bocah sinting itu benar-benar lan-
cang! Aku harus secepatnya membereskannya!" desah
Pelajar Agung tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Sekarang, di mana Siluman Ular Putih berada, Raja
Golok?!"
"Aku tidak tahu persis, Pelajar Agung. Mungkin
pemuda sinting itu sedang merayu Penguasa Alam un-
tuk mendapatkan harta karun. Sebab, pemuda itu pun
telah merampas Lukisan Darah dari tangan Raja Mal-
ing," jelas Raja Golok.
"Jahanam! Ini tidak bisa didiamkan. Lukisan Da-
rah harus secepatnya didapatkan kembali berikut
bunga, bila kita masih ingin mendapatkan harta ka-
run," geram Pangeran Pemimpin gusar
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan mencari Si-
luman Ular Putih sekaligus merampas harta karun da-
ri tangan Penguasa Alam," tegas Pelajar Agung tiba-
tiba.
"Baik. Kukira saat ini kau memang harus turun
tangan sendiri, Sobat," sambut Pangeran Pemimpin
akhirnya. "Tapi untuk lebih amannya, ajaklah tua
bangka itu beserta Raja Racun dan Raja Golok!"
"Sebenarnya aku tidak memerlukan mereka. Den-
gan kedua tanganku, aku masih sanggup melenyapkan
Siluman Ular Putih. Sekaligus, mendapatkan harta ka-
run dari tangan Penguasa Alam. Tapi kalau kau me-
mang menghendaki demikian, aku hanya menurut,"
sahut Pelajar Agung angkuh. 
Pangeran Pemimpin tertawa. Entah kenapa tiba-
tiba saja Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Mung-
kin juga merasa kesal melihat sikap angkuh Pelajar
Agung.

"Aku tahu. Kau memang hebat, Sobat. Aku senang
mendapat teman sepertimu. Berangkatlah kalau kau
memang menginginkannya, Sobat!" ujar Pangeran Pe-
mimpin di antara tawanya yang bergelak.
"Baik."
Pelajar Agung lantas beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu tanpa banyak cakap lagi, segera tangannya
mengisyaratkan pada Raja Racun dan Raja Golok un-
tuk segera mengikuti.
Raja Racun dan Raja Golok mengangguk. Lalu di-
ikuti Pendidik Ulung, mereka segera menyusul Pelajar
Agung.

***

12

Bulan sepotong yang masih menggantung di ang-
kasa tak mampu menerangi puncak Gunung Kembang.
Langit sedikit dipoles warna keperakan. Namun tetap
saja tak mampu menembus kegelapan malam.
Dalam kegelapan malam, tampak sesosok bayan-
gan putih keperakan terus berkelebat cepat dari lereng
barat menuju puncak Gunung Kembang. Gerakan ke-
dua kakinya ringan sekali laksana terbang. Sejurus
kemudian sosok bayangan itu tiba di puncak Gunung
Kembang.
Ternyata sosok bayangan yang mampu berlari ce-
pat laksana terbang itu adalah seorang pemuda be-
rambut gondrong. Pakaiannya rompi dan celana bersi-
sik warna putih keperakan. Melihat ciri-cirinya, sudah
pasti pemuda itu memang murid Eyang Begawan Ka-
masetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
Soma alias Siluman Ular Putih yang kini sudah

mengetahui kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik Pengu-
asa Alam sengaja tidak langsung bertindak. Sepasang
matanya yang tajam ini terus bergerak-gerak ke sege-
nap penjuru mencari-cari orang yang diinginkan. Na-
mun setelah beberapa saat, Penguasa Alam belum juga
ditemukannya.
"Penguasa Alam! Keluar! Kau masih hutang ba-
rang satu dua jurus padaku! Malam ini juga kau harus
segera melunasinya!" teriak Soma lantang memecah
keheningan malam.
Tidak ada sahutan. Namun tiba-tiba puncak Gu-
nung Kembang terasa bergetar hebat. Selang beberapa
saat, terdengar satu gerengan hebat seolah-olah ingin
merobek angkasa!
"He he he...! Rupanya kau mendengar juga, Pen-
guasa Alam. Aku senang sekali. Hayo, lekas tunjukkan
batang hidungmu yang besar, Penguasa Alam!"
Kembali tak ada sahutan. Hanya saja, puncak
Gunung Kembang kembali bergetar hebat.
"Setan alas! Tak tahunya hanya kau, Kunyuk
Gondrong!" terdengar berat dan kasar. Tampak sekali
nadanya sangat merendahkan Siluman Ular Putih.
Baru saja gema suara itu menghilang, berkelebat
satu bayangan yang langsung mendarat di hadapan
Soma.
"Ya... aku! Memangnya kenapa? Terkejut? Tidak,
kan?" sahut Soma seenaknya
Geraham Penguasa Alam bergemeletukkan mena-
han geram. Tampak sekali parasnya demikian menge-
rikan. Rahangnya mengembung. Sepasang matanya
menyala!
"Bagus! Rupanya kau masih punya nyali juga, Bo-
cah! Apa kau punya nyawa rangkap, heh?!"
"Nyawa rangkap? Tentu, tentu! Aku punya. Lihat-
lah!" sahut Soma asal-asalan. Telapak tangannya lalu

menepuk-nepuk perutnya beberapa kali. Selang bebe-
rapa saat.
Brut! Brut!
Terdengar suara aneh dari lubang pantat Siluman
Ular Putih disertai bau busuk menyengat.
Soma tertawa terpingkal-pingkal.
"Nah, itulah nyawa rangkapku, Penguasa Alam!
Apa kau juga punya nyawa cadangan?" lanjut Siluman
Ular Putih, makin sulit dikendalikan.
"Setan alas! Tak ada gunanya bicara denganmu,
Bocah! Makanlah gada besiku! Hea...!"
Disertai gerengan murka, Penguasa Alam segera
memutar-mutar gada di tangannya. Begitu deras puta-
rannya membuat angin kencang berkesiur menyam-
bar-nyambar kulit tubuh.
Melihat jurus pembuka Penguasa Alam, Siluman
Ular Putih masih tersenyum-senyum menggoda. Na-
mun diam-diam otaknya terus bekerja keras sembari
mencabut keluar senjata andalannya, Anak Panah
Bercakra Kembar!
"Hm...! Menurut keterangan Eyang Bromo, dengan
senjata inilah aku dapat mengalahkan Penguasa Alam.
Sebab kalau menunggu sampai fajar tiba, itu jelas ti-
dak mungkin," gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
Penguasa Alam hanya mendengus. Tampak sekali
kalau sikapnya sangat merendahkan Siluman Ular Pu-
tih.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu mumpung
belum modar, Bocah!" ejek Penguasa Alam.
"Tentu, tentu! Tapi, mungkin bukannya aku yang
modar. Melainkan nyawamulah yang akan melawat ke
dasar neraka. Maka cepatlah kau bertobat! Siapa tahu
malaikat penjaga kubur masih sudi mengampuni nya-
wa busukmu," balas Siluman Ular Putih. 
"Bedebah! Bicaramu terlalu kelewatan, Bocah!

Kau memang patut dimusnahkan!"
"Boleh. Asal izinkan dulu aku merampas harta ka-
run yang kau kangkangi! Kalau kau keberatan, terpak-
sa ya... nyawamulah yang jadi taruhan," ejek Siluman
Ular Putih.
Bukan main murkanya Penguasa Alam mendengar
ejekan Siluman Ular Putih yang makin keterlaluan. Gi-
gi-gigi gerahamnya bergemeletakkan. Rahangnya ber-
tonjolan, pertanda amarahnya tak dapat lagi dikenda-
likan. Maka....
"Heaaa...!"
Diiringi gemboran keras, Penguasa Alam mener-
jang Siluman Ulir Putih hebat. Gada di tangan kanan-
nya diayunkan dari atas ke bawah, bermaksud memu-
kul hancur batok kepala si pemuda. Sedang telapak
tangan kirinya yang telah berubah menjadi kuning
hingga ke pangkal lengan siap pula melontarkan puku-
lan maut 'Kelabang Kuning'.
"Hup...!"
Siluman Ular Putih segera melemparkan tubuhnya
ke samping. Pada saat yang sama, Penguasa Alam
mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat selarik sinar kuning dari telapak tangan-
nya yang disertai angin berhawa busuk.
Untungnya murid Eyang Begawan Kamasetyo te-
lah  siap siaga. Begitu membuang tubuhnya, telapak
tangan kirinya telah berubah menjadi putih terang se-
gera didorong ke depan disertai tenaga sakti 'Inti Bu-
mi'. 
Wesss! Wesss!
Blaaammm...!!!
Terdengar satu ledakan hebat ketika dua kekua-
tan dahsyat bertemu pada satu titik. Puncak Gunung
Kembang bergetar hebat laksana ada gempa! Tanah
dan pasir kontan terbongkar, berhamburan tinggi ke

udara.
Tubuh Penguasa Alam sendiri pun bergetar hebat.
Kedua telapak kakinya melesak beberapa dim ke da-
lam tanah! Namun keadaan ini masih jauh mengun-
tungkan dibandingkan keadaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang terpental beberapa tombak ke bela-
kang. Parasnya pias. Kedua bibirnya berkemik-kemik
menahan guncangan dalam dada!
"Sontoloyo! Manusia hitam ini benar-benar lihai.
Sulit rasanya aku mengalahkannya. Kukira senjata
andalanku harus segera kugunakan," gumam Soma
dalam hati.
Melihat musuh mudanya masih bersimpuh di ta-
nah, Penguasa Alam mulai mengumbar tawanya. Sebe-
lah lengannya bertolak pinggang dengan kepala men-
dongak ke atas. Seolah-olah ia ingin menunjukkan ke-
perkasaannya.
"Siapa pun juga tidak ada yang mampu membu-
nuhku! Biar Raja Akhirat sekalipun datang kemari!"
desis Penguasa Alam, jumawa.
"Jangan takabur, Manusia Hitam! Siapa pun juga
tak luput dari kematian. Termasuk juga kau! Apalagi
sekarang, aku mencium bau tanah dari tubuhmu. Itu
jelas menandakan kalau masa hidupmu di dunia ini
akan berakhir!" balas Siluman Ular Putih yang kini te-
lah tegak kembali di hadapan Penguasa Alam. 
"Keparat! Aku tidak bisa mati, tahu! Berkat aji
'Tangkal Petir', aku tetap tidak dapat mati sampai seri-
bu tahun kemudian."
"Hari ini adalah hari yang keseribu tahun, Manu-
sia Hitam! Maka hari ini pulalah hari kematianmu!"
sahut Siluman Ular Putih seraya menimang-nimang
senjata pemberian Eyang Begawan Kamasetyo. Sepa-
sang matanya memandang tajam Penguasa Alam.
"Kiranya aku harus berlaku cerdik. Aku tidak bo-

leh gagal. Aku harus mempertimbangkannya matang-
matang...," desah Soma dalam hati.
"Kuhormati nyali besarmu, Bocah! Namun kau te-
tap tidak dapat membunuhku. Apalagi ingin merampas
harta karun itu!" dengus Penguasa Alam.
"Aku tidak butuh rasa hormatmu. Aku butuh har-
ta karun itu, Penguasa Alam. Mengenai nyawamu, bi-
arlah Yang Maha Kuasa yang menentukannya sendiri!"
tukas Siluman Ular Putih.
"Baik. Kalau begitu, hari inilah aku yang ingin
menjadi malaikat maut untuk mencabut nyawamu,
Bocah!" 
"Boleh. Asal kau sanggup." 
Diam-diam Siluman Ular Putih pun mulai menge-
rahkan tenaga dalam ke dalam batang senjata anda-
lannya. Seketika hawa dingin yang bukan kepalang
kontan memenuhi tempat itu.
Penguasa Alam hanya sempat mengerutkan  ken-
ing  sebentar. Kemudian dengan kemarahan meluap,
segera diserangnya Siluman Ular Putih.
"Makanlah gada besiku, Bocah! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Alam segera
meluruk deras sambil mengayunkan gada di tangan
kanannya.
Siluman Ular Putih mempertimbangkannya den-
gan cermat. Untung saja jaraknya dengan Penguasa
Alam masih cukup jauh, kira-kira tiga tombak. Hal ini
membuatnya tersenyum senang.
"Kukira, sekaranglah saat yang tepat untuk me-
lumpuhkan Penguasa Alam. Hanya saja aku harus ha-
ti-hati terhadap gada lelaki itu maupun pukulan
'Kelabang Kuning'-nya...," pikir Siluman Ular Putih da-
lam hati.
Seketika Siluman Ular Putih segera melontarkan
senjata anak panahnya ke depan. Namun dengan se-

nyum meremehkan Penguasa Alam menggerakkan ga-
danya untuk menangkis datangnya serangan. Namun
alangkah terkejutnya ketika senjata anak panah itu ti-
dak langsung menyerang dirinya, melainkan malah
melesat ke tanah. Begitu menyentuh tanah, baru sen-
jata pusaka itu menyerang Penguasa Alam dengan ke-
cepatan luar biasa!
"Setan alas! Rupanya bocah sinting itu telah men-
getahui kelemahan aji 'Tangkal Petir'! Pasti Eyang
Bromo-lah yang memberitahukannya. Siapa lagi kalau
bukan orang tua itu!" geram Penguasa Alam kalang
kabut.
Ketika senjata Anak Panah Bercakra Kembar me-
nyerang, Penguasa Alam segera memutar gadanya se-
demikian rupa.
Wesss!
"Heh?!"
Penguasa Alam terkejut bukan main saat merasa-
kan berkesiurnya angin dingin yang tahu-tahu me-
nyambar gada di tangan kanannya. Dan ketika Pengu-
asa Alam memperhatikan, ternyata Siluman Ular Putih
baru saja melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' ke
arah gadanya.
Bukkk!
"Hghhh...!"
Penguasa Alam menggembor penuh kemarahan.
Untuk beberapa saat, gada di tangannya tergetar. Na-
mun pada saat itu, Anak Panah Bercakra Kembar telah
mengancam ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa!
Seketika paras Penguasa Alam pucat pasi. Kerin-
gat dingin kontan membasahi sekujur tubuhnya. Un-
tuk menangkis jelas tidak mungkin. Karena ujung
anak panah sudah demikian dekat, maka tanpa am-
pun lagi....
Clep!

"Aeeehhh...!!!"
Penguasa Alam menjerit setinggi langit saat Anak
Panah Bercakra Kembar menembus ulu hatinya. Sua-
ranya nyaring seolah-olah ingin merobek angkasa. Tu-
buhnya yang biasanya menyala begitu terkena senjata
tajam maupun berbagai macam pukulan maut, entah
kenapa kali ini tubuhnya tidak menyala lagi seperti bi-
asa. Jelas, aji 'Tangkal Petir' berikut aji-aji lainnya te-
lah sirna!
Namun dengan kemarahan meluap, Penguasa
Alam terus berusaha menyerang Siluman Ular Putih.
Sayang, serangannya kini tak berarti apa-apa lagi. Se-
hingga, Siluman Ular Putih dapat menghindarinya
dengan mudah. Dan makin lama, tubuh Penguasa
Alam yang limbung makin kehilangan keseimbangan.
"Budak hina! Kau harus mod.... Uhughh...!" Pen-
guasa Alam terbatuk keras.
Darah merah makin merembes keluar dari balik
ulu hati. Penguasa Alam tidak tahan lagi dengan sik-
saan itu. Dan tiba-tiba dicabutnya senjata Anak Panah
Bercakra Kembar.
Presss!
"Aaah...!"
Begitu senjata tercabut, seketika Penguasa Alam
kontan meraung hebat. Keseimbangan tubuhnya ma-
kin sulit dikendalikan. Dan tanpa ampun lagi, Pengua-
sa Alam ambruk ke tanah. Tangannya menggapai-
gapai sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak la-
gi. Tewas!

***

Siluman Ular Putih melangkah mendekati tubuh
Penguasa Alam. Dibalikkannya tubuh tinggi besar itu
dengan kaki kiri. Ternyata matinya Penguasa Alam da-

lam keadaan melotot. Telapak tangan kirinya mende-
kap erat dadanya yang bersimbah darah.
"Ah...! Seharusnya kau tidak boleh mati dulu,
Penguasa Alam. Kau belum menunjukkan letak harta
karun itu," gumam Siluman Ular Putih.
Memang, untuk mendapat keterangan dari sosok
Penguasa Alam yang telah tewas membeku, jelas tidak
mungkin. Maka tidak ada pilihan lain bagi Siluman
Ular Putih kecuali harus segera mencari sendiri. Untuk
itu segera diambilnya Lukisan Darah yang tadi disan-
darkan di batang pohon tak jauh dari tempat pertem-
puran. Sejenak diamatinya lukisan buatan Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dengan seksama.
"Hm...! Letak harta karun itu berada di atas tonjo-
lan ini. Dan ini adalah menunjukkan puncak Gunung
Kembang. Tapi, apa maksud titik-titik merah kecil di
peta ini? Dan apa pula maksud tanda anak panah ini?
Ah...! Pasti di sinilah letaknya harta karun itu!" duga
Siluman Ular Putih. Segera perhatiannya diarahkan
pada puncak Gunung Kembang sambil terus melang-
kah.
Agak lama juga murid Eyang Begawan Kamasetyo
menyusuri puncak Gunung Kembang sambil sesekali
mencocokkan keadaan sekitar dengan peta yang ter-
dapat dalam Lukisan Darah.
Selang beberapa saat, akhirnya Soma dapat me-
nemukan tempat yang dimaksud. Karena Lukisan Da-
rah itu memang asli buatan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding yang sudah selesai dikerjakan, maka dalam
waktu yang tak lama, Soma telah tiba di tempat yang
dimaksudkan.
"Ah...! Jangan-jangan titik-titik merah dalam Lu-
kisan Darah ini adalah semak-semak belukar di hada-
panku. Lalu tanda anak panah ini menunjuk ke ba-
wah? Yah.... Kukira aku harus meloncat turun. Siapa

tahu di balik semak belukar inilah letaknya harta ka-
run?" pikir Siluman Ular Putih mantap.
Sehabis berpikir, Soma segera meneliti semak be-
lukar itu, dan terus menelusurinya. Kini ia telah sam-
pai di ujung jurang.
Soma memekik kegirangan. Ternyata, ia menemu-
kan sebuah batu besar yang terdapat sebuah tanda
anak panah terbuat dari semak belukar! Itulah tanda
terakhir di mana letaknya harta karun!
"Pasti! Pasti di bawah batu itulah letaknya harta
karun! Kalau tidak, bisa jadi malah berada di dasar ju-
rang...," pikir Soma lagi, menduga-duga. "Yah...! Kuki-
ra aku harus secepatnya meneliti tempat ini. Pertama
aku harus membongkar batu ini terlebih dahulu. Tapi
sebelumnya, aku ingin menyelidiki keadaan jurang ini
terlebih dahulu. Ya ya ya...."
Soma mulai melongokkan kepala ke dasar jurang.
Samar-samar dari terangnya sinar rembulan, pemuda
itu bisa melihat lekukan kecil di tebing bawah. Dan di
mulut lekukan, terdapat pula tanda anak panah yang
terbuat dari semak belukar!
"Di sini! Ya ya ya...! Di sinilah letaknya harta ka-
run itu!" pekik Soma kegirangan.
Lalu dengan agak terburu-buru, Siluman Ular Pu-
tih segera menuju tempat yang dimaksud. Memang
agak sulit. Tapi bagi Soma yang sudah memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi, bukanlah satu pe-
kerjaan sulit. Dengan menancapkan jari-jari tangannya
ke dinding-dinding tebing, akhirnya murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo ini sampai di lekukan tebing bagian
bawah
Dan begitu menjejakkan kakinya di sana, Soma
kontan membelalakkan matanya penuh takjub!
"Bukan main...!" desah Siluman Ular Putih penuh
takjub seraya menepuk jidatnya sendiri.

Di hadapan si pemuda kini tampak setumpuk
emas permata yang memancarkan sinar beraneka
warna!
"Gila! Buat apa menumpuk harta sebanyak ini?
Dasar manusia-manusia serakah! Kukira aku harus
segera melaporkan harta karun ini pada Kanjeng Adi-
pati..," desis Soma tak henti-hentinya sambil terus
menggeleng-gelengkan kepala.

***

13

Mendung di puncak Gunung Kembang telah teru-
sir oleh angin. Hamparan kabut tipis yang menyelimuti
badan gunung pun perlahan pudar tersibak oleh sinar
matahari. Kini suasana berganti terang benderang. Be-
berapa ekor burung jalak beterbangan ke sana kemari
dengan kicau merdunya.
Dari bawah lereng sebelah barat, tampak empat
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju pun-
cak Gunung Kembang. Gerakan kedua kaki mereka
ringan sekali. Laksana capung, keempat sosok bayan-
gan itu akhirnya menghentikan lesatan di puncak Gu-
nung Kembang.
Sejenak sosok yang berada paling depan memper-
hatikan keadaan seputar dengan seksama. Dan ke-
ningnya pun berkerut melihat puncak Gunung Kem-
bang berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan
hebat.
"Mana orang yang bergelar Penguasa Alam?" tanya
sosok yang ternyata seorang pemuda tampan berjubah
hitam dengan penutup kepala memanjang berwarna
hitam. Melihat penampilannya yang mirip seorang ter-

pelajar pada masa itu, pemuda itu tidak lain adalah
Prameswara alias Pelajar Agung. 
Di belakang Pelajar Agung ternyata adalah Pendi-
dik Ulung, Raja Racun, dan Raja Golok. Mereka juga
tengah memperhatikan keadaan sekitar. 
"Tampak sekali kalau di sini baru saja terjadi per-
tarungan hebat. Mungkin pemuda sinting yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu sudah tewas di tangan Pen-
guasa Alam. Atau kalau tidak, malah sebaliknya. Pe-
muda sinting itu telah dapat mengalahkan Penguasa
Alam sekaligus mengangkangi harta karun itu!" duga
Raja Racun.
"Hm...! Aku harus mendapatkan semuanya. Harta
karun itu, Siluman Ular Putih, juga Penguasa Alam
yang katanya sakti tanpa tanding!" desis Pelajar Agung
ketus.
"Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya kalau seka-
rang kita harus mencari Penguasa Alam terlebih dahu-
lu. Sebab bukan mustahil Siluman Ular Putih telah te-
was di tangannya," ujar Raja Racun.
"Yah...! Bisa jadi," dengus Pelajar Agung.
Dan dengan rahang mengembung, Pelajar Agung
kembali memperhatikan seputar puncak Gunung
Kembang seksama.
"Penguasa Alam! Keluar! Aku datang ingin menan-
tangmu bertarung!" teriak Pelajar Agung.
Tidak ada sahutan. Puncak Gunung Kembang pun
tidak bergetar seperti biasa. Hal ini membuat Pelajar
Agung penasaran.
"Manusia pengecut! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu!" teriak Pelajar Agung, lebih lantang.
"He he he.... Menantang bertarung atau memang
menginginkan harta karun?"
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring yang datang-
nya dari lereng sebelah timur. Pelajar Agung mengge-

ram penuh kemarahan. Buru-buru kepalanya berpal-
ing ke arah datangnya suara. Tampak beberapa sosok
bayangan anak manusia tengah berkelebat cepat me-
nuju puncak Gunung Kembang dari lereng sebelah ti-
mur. 
"Siapa lagi manusia-manusia pencari mati itu,
he?!"

***

Beberapa tokoh bayangan yang datang dari lereng
sebelah timur puncak Gunung Kembang kini telah te-
gak di hadapan Pelajar Agung dan kawan-kawannya.
Rombongan yang baru datang itu tidak lain adalah
pendekar yang dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru.
"Jaga bacotmu, Bocah! Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan  dengan  siapa, he?!" bentak Raja Penyihir
galak.
Meski mulutnya berkata demikian, sebenarnya
Raja Penyihir merasa heran sekali melihat Pendidik
Ulung berada pula di sana. Dan lebih herannya lagi ke-
tika melihat guru Pelajar Agung itu tak ubahnya seper-
ti mayat hidup. Wajahnya pucat pasi. Tindak tanduk-
nya pun kaku dengan tatapan kosong.
"Hm...! Jadi yang dikatakan Putri Sekartaji benar.
Ternyata telah terjadi sesuatu terhadap sahabatku."
Sehabis menggumam begitu, Raja Penyihir mena-
tap tajam Pendidik Ulung.
"Marabunta! Apa kau tidak keliru? Buat apa ber-
gabung dengan manusia-manusia ular ini?!" tegur Raja
Penyihir memanggil nama asli Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung memalingkan kepala ke arah Raja
Penyihir. Gerakannya kaku. Sepasang matanya yang
mencorong terus memperhatikan Raja Penyihir dengan
sinar kosong.

"Siapa Marabunta? Aku bukan sahabatmu! Aku
bukan siapa-siapa! Aku hanya tunduk pada laki-laki
ini!" sahut Pendidik Ulung datar, sambil menunjuk pa-
da Raja Racun.
Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Jadi benar! Tak kusangka sobatku yang sakti ini
dapat dilumpuhkan oleh Raja Racun. Kukira aku ha-
rus menyelamatkannya terlebih dahulu," lanjut Raja
Penyihir dalam hati.
Diam-diam Raja Penyihir pun mulai mengerahkan
ilmu sihirnya, siap mempengaruhi jalan pikiran Pendi-
dik Ulung.
"Orang tua! Lagakmu pongah sekali. Aku tidak
percaya kalau kau bisa menggonggong senyaring ini!"
ejek Pelajar Agung.
"Hmmm...! Mungkin memang beginilah tampang-
tampang manusia penjilat. Pantas...!" balas Raja Pe-
nyihir seraya mengangguk-angguk.
"Hati-hati, Pelajar Agung! Orang tua sinting ini ti-
dak lain adalah Raja Penyihir! Mungkin kita harus me-
lenyapkan tua bangka itu terlebih dahulu! Sebab bu-
kan mustahil mereka juga menginginkan harta karun,"
bisik Raja Racun pada Pelajar Agung.
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Senyum licik-
nya tampak terkembang di bibir.
"Memang tidak ada maling yang mau mengaku.
Bilang saja kalian juga menginginkan harta karun.
Habis perkara!" hardik Pelajar Agung.
Raja Penyihir tertawa bergelak. Tongkat hitam di
tangan kanannya diketuk-ketukkan ke tanah seenak-
nya.  Hebatnya, puncak Gunung Kembang langsung
berguncang hebat. Bagian tanah yang terkena ketukan
tongkat kontan berlubang besar!
"Lucu! Lucu sekali! Bisa-bisanya manusia setolol
ini bicara seperti ini. Hm...! Jangan-jangan hanya

buang air saja! Tapi kalau buang air, kok lewat atas.
Hih...!" ejek Raja Penyihir tanpa ampun.
"Manusia penjilat macam dia sama saja. Bicara
dengan buang air tetap saja bau!" ejek pula Manik Bi-
ru.
"Setan alas! Kaulah yang pertama kali harus ku-
musnahkan, Tua Bangka Keriputan! Makanlah puku-
lan 'Cahaya Kilat Biru'-ku! Hea...!" bentak Pelajar
Agung seraya menghentakkan kedua tangannya yang
telah berubah menjadi biru. 
Werrr...!
Seketika terdengar bunyi menggemuruh tatkala
dua larik sinar biru melesat dari kedua telapak tangan
Pelajar Agung ke arah Raja Penyihir.
Raja Penyihir hanya tersenyum sebelum akhirnya
segera melontarkan pukulan maut 'Tangan Gaib Pe-
nindih Setan'. Begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke depan, seketika meluruk dua gulungan
asap tebal berwarna putih. 
Besss...!!!
Tak ada bunyi ledakan hebat kala dua tenaga da-
lam beradu di udara. Namun anehnya, tubuh Raja Pe-
nyihir dan Pelajar Agung sama-sama terguncang hebat!
Selang beberapa saat, tubuh Pelajar Agung terpental
ke belakang dengan paras pias!
"Setan alas! Hajar tua bangka keriputan ini!" te-
riak Pelajar Agung seraya menuding ke arah Raja Pe-
nyihir.
Tanpa banyak cakap Raja Racun dan Raja Golok
yang dibantu Pendidik Ulung segera menyerang Raja
Penyihir. Namun baru saja ketiga orang itu berkelebat,
Manik Biru dan beberapa pendekar lain telah mengha-
dang.
"Kau jangan gegabah, Manik Biru! Pendidik Ulung
ini sahabatku! Biar aku yang melumpuhkannya. Kau

boleh ajak beberapa orang temanmu untuk menghajar
penjilat itu!" tunjuk Raja Penyihir ke arah Pelajar
Agung.
"Baik!"
Manik Biru segera mengajak dua orang kawannya
untuk menyerang Pelajar Agung yang tengah bersiap-
siap membantu Raja Racun dan Raja Golok.
"Pelajar Agung! Biarlah kedua orang tua itu bera-
du otot. Akulah lawanmu!" bentak Manik Biru. Lalu
dibantu kedua orang kawannya, mereka segera menye-
rang Pelajar Agung.
"Bagus! Manusia penjilat macammu memang pan-
tas dicincang ramai-ramai, Bocah! Bersiap-siaplah kau
pesan peti mati terlebih dulu, Bocah!" ejek Raja Penyi-
hir.
Habis mengejek, Raja Penyihir segera berkelebat
ke arah ketiga orang kawannya yang tampak kewala-
han menghadapi serangan-serangan Pendidik Ulung,
Raja Racun, dan Raja Golok.
"Marabunta! Tahan! Kau tidak boleh berlaku se-
wenang-wenang! Hayo, lekas tetap di tempatmu!" ben-
tak Raja Penyihir dengan suara bergetar-getar aneh
yang menyerang jalan pikiran Pendidik Ulung.
Tubuh Pendidik Ulung kontan terguncang hebat.
Sepasang matanya mencorong aneh, pertanda mulai
terpengaruh sihir Raja Penyihir.
Raja Penyihir tertawa senang. Pada saat tubuh
Pendidik Ulung terguncang, tiba-tiba Raja Penyihir
berkelebat cepat. Kemudian dengan gerakan cepat luar
biasa, tahu-tahu jari tangannya telah menotok iga
Pendidik Ulung.
Tuk! Tuk!
Seketika tubuh Pendidik Ulung kaku tak dapat
bergerak. Buru-buru Raja Penyihir menyambar tubuh
lelaki tua itu, lalu meletakkannya di tempat yang

aman.
"Ha ha ha...! Sekarang bebas sudah kita mengha-
jar manusia-manusia penjilat ini, Kawan-kawan!" te-
riak Raja Penyihir di antara tawanya yang bergelak.
Meski Pelajar Agung, Raja Racun, dan Raja Golok
masih di atas angin menghadapi pengeroyokan para
pendekar muda, namun saat melihat Pendidik Ulung
dapat diamankan oleh Raja Penyihir, mereka menda-
dak jadi gelisah. Apalagi kini Raja Penyihir mulai ter-
jun dalam kancah pertarungan.
"Manik Biru! Biarkan aku main-main dengan ma-
nusia penjilat ini! Kau sekarang bebas memilih lawan.
Mau menjewer telinga Raja Racun sampai memerah,
boleh! Mau menggebuk pantat Raja Golok yang besar
juga boleh! Suka-suka kaulah, Manik Biru!" kata Raja
Penyihir mengejek.
"Baik, Raja Penyihir!"
Manik Biru dan kedua orang kawannya serempak
bergerak lincah meninggalkan Pelajar Agung. Mereka
segera berkelebat, membantu mengeroyok Raja Racun
dan Raja Golok.
"He he he...! Tampaknya kau gusar sekali, Bocah.
Jangan khawatir! Aku tidak akan menyakitimu. Aku
hanya ingin menotokkan gigimu biar tak banyak men-
jual lagak. Hayo, maju!" ejek Raja Penyihir seraya
menggerak-gerakkan tangannya menggoda.
Pelajar Agung menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda murid murtad
ini tak dapat lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak.
"Bacotmu sungguh memerahkan telingaku, Tua
Bangka Keriputan! Aku tak segan-segan lagi meme-
cahkan batok kepalamu! Bersiap-siaplah menerima
kematianmu, Bangsat!" teriak Pelajar Agung, memben-
tak.

Habis menggeram, Pelajar Agung tak tanggung-
tanggung lagi segera mengeluarkan salah satu jurus
andalan yang dipelajari dari Pendidik Ulung, yakni ‘Tu-
lisan Maut Dewa Kayangan’. Kemudian tanpa banyak
cakap, kedua telunjuk kirinya menggurat-gurat ke
udara membentuk sebuah huruf gaib yang diciptakan
Pendidik Ulung.
Telunjuk kanannya bergerak lemah gemulai dari
kanan ke kiri. Sementara telunjuk kiri bergerak dari
kiri ke kanan. Dari guratan-guratan kedua telunjuk-
nya, terdengar bunyi mencicit yang teramat memekak-
kan telinga!
Melihat jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar
Agung, Raja Penyihir jadi terperanjat. Bukannya kaget
melihat kehebatan jurus itu, melainkan heran kenapa
Pelajar Agung dapat menguasai jurus-jurus andalan
Pendidik Ulung sahabatnya.
"Hebat! Memang hebat jurus itu, Bocah Tengil.
Tak kusangka kau bisa mengelabui sahabatku untuk
mengajari jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Entah
dengan cara apa kau dapat merayu sahabatku. Tapi
jangan dikira aku takut menghadapi jurusmu! Hayo
tunjukkan kebolehanmu, Bocah!"    
"Jahanam! Kematian sudah di depan mata, masih
juga menjual lagak!" dengus Pelajar Agung.
Suara mencicit dari guratan-guratan kedua telun-
juk jari Pelajar Agung terdengar makin memekakkan
telinga. Hal ini membuat Raja Penyihir tak berani
main-main lagi. Meski telah mengetahui kelemahan ju-
rus itu, namun tetap saja harus bertindak hati-hati.
Dan pada saat Pelajar Agung telah mempertemu-
kan kedua ujung telunjuk jarinya ke udara, seketika
dua larik sinar putih berkilauan melesat menyerang
Raja Penyihir.
Wesss! Wesss!

Pada saat yang sama, Raja Penyihir segera meng-
hantamkan kedua telapak tangannya ke depan, men-
gerahkan pukulan ‘Tangan Gaib Penindih Setan’. Seke-
tika asap putih bergulung-gulung meluruk memapak
serangan Pelajar Agung.
Besss...!
Kembali tak ada letusan hebat manakala tenaga
dalam kedua orang itu beradu di udara. Namun dari
paras  mereka jelas menandakan kalau Raja Penyihir
dan Pelajar Agung tengah melipatgandakan tenaga da-
lam. 
"Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Raja Penyihir
menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan. 
Bukkk!
"Aaa...!"
Bak layangan putus dari benangnya, tubuh Pela-
jar Agung kontan terpental disertai teriakan menyayat.
Begitu jatuh berdebam ke tanah, parasnya pucat pasi.
Darah segar tampak mengalir dari sudut-sudut bibir,
pertanda telah menderita luka dalam cukup parah.
Pelajar Agung kecewa bukan main. Tubuhnya te-
rasa lemas akibat luka dalamnya. Tangan kanannya
pun tak henti-hentinya memegangi dada, berusaha
menahan guncangan luka dalamnya.
"Teman-teman, cepat tinggalkan tempat ini!" teriak
Pelajar Agung tiba-tiba.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, lelaki ini sege-
ra berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan.
Kebetulan, Raja Racun dan Raja Golok pun baru saja
tegak berdiri setelah mendapat hajaran dari lawan-
lawannya. Maka begitu mendapat kesempatan, mereka
cepat berkelebat, melarikan diri.
"Teman-teman, jangan kejar! Berbahaya! Lekas
cari Siluman Ular Putih!" perintah Raja Penyihir ketika

beberapa orang pendekar muda itu bermaksud menge-
jar Pelajar Agung dan kawan-kawannya. 
"Tapi...," tukas Manik Biru keberatan.
"Jangan tapi-tapian! Keselamatan Siluman Ular
Putih lebih penting dibanding mereka, tahu?! Lekas ca-
ri Siluman Ular Putih!" hardik Raja Penyihir.
"Baik."
Sebenarnya para pendekar muda itu merasa kebe-
ratan melepas ketiga penjilat Pangeran Pemimpin begi-
tu saja. Namun untuk mengabaikan keselamatan Si-
luman Ular Putih, mereka juga tak kalah beratnya.
Maka meski dengan hati berat, mereka segera mencari
Siluman Ular Putih.
Sementara, Raja Penyihir sendiri segera meng-
hampiri tubuh Pendidik Ulung di luar tempat pertem-
puran dan berusaha mengobatinya. Kini yang tinggal
hanya keheningan sebagai saksi bisu atas sebuah pra-
hara yang baru saja terjadi.

SELESAI

Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
SENGKETA TAKHTA LELUHUR


Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com