Siluman Ular Putih 13 - Penguasa Alam(1)


1

"Ha ha ha...! Rupanya apa yang kau inginkan ter-
kabul sudah, Pangeran Pemimpin! Lihatlah! Apa yang
telah kulakukan terhadap Pendidik Ulung!"
Suara sember namun cukup menggema terdengar
dari dalam sebuah pendopo di sebuah bangunan besar
yang kini berdiri kokoh di Bukit Prewangan. Di tengah
ruangan pendopo yang tidak begitu luas itu berdiri
seorang lelaki tua. Usianya sekitar tujuh puluh tahun.
Wajahnya yang pucat terlihat mengerikan oleh mata
sebelah kiri yang rusak. Hidungnya gerowong dengan
bibir robek memanjang. Sedang sosoknya yang tinggi
kurus dibalut pakaian ketat warna hitam.
Telunjuk tangan kanan lelaki yang barusan bicara
ini menuding lelaki berjubah hitam panjang sampai lu-
tut. Di kepala lelaki berusia tujuh puluh enam tahun
itu bertengger penutup kepala berwarna hitam. Sekilas
penampilannya memang mirip orang terpelajar pada
masa itu.
Melihat cirri-cirinya, kakek tinggi bermata kelabu
itu tidak lain dari Pendidik Ulung. Namun entah kena-
pa, penampilannya kini tampak demikian menge-
naskan. Wajahnya yang putih bersih tampak seperti
kapas. Sepasang matanya yang biasanya mencorong
tajam kini bersinar aneh mirip orang linglung. Dan kini
lelaki tua itu duduk meringkuk tak jauh dari lelaki
berwajah menyeramkan. (Untuk mengetahui, kenapa
Pendidik Ulung berada di tempat ini, silakan baca:
"Lukisan Darah").
"Bagus-bagus! Rupanya tidak percuma kau men-
dapat gelar Raja Racun Dari Selatan, Sobat!" puji seo-
rang lelaki gagah berusia empat puluh tahun. Wajah-
nya putih bersih tanpa kumis dan jenggot. Tubuhnya

yang tinggi besar terbungkus pakaian surjan lengkap
dengan blangkon di kepala. Sekali lihat, sepertinya ia
berhati lembut. Namun menilik sepasang matanya
yang mencorong, jelas hatinya culas. Lelaki inilah yang
dikenal sebagai Pangeran Pemimpin, yang menguasai
bangunan besar Partai Kawula Sejati ini. Dan dengan
angkuhnya lelaki itu duduk di sebuah bangku kebesa-
ran berlapiskan emas murni.
Lelaki berwajah menyeramkan yang dipanggil Raja
Racun menegakkan dadanya bangga. Sejenak pandan-
gannya beredar ke segenap penjuru, seolah-olah ingin
pamer pada semua yang ada di ruangan pendopo.
"Lagakmu memuakkan sekali, Raja Racun! Kau
pikir aku tak bisa melakukannya?! Dengan mengguna-
kan racun kepitingku, aku yakin tua bangka ini pun
dapat kulumpuhkan!" sergah sebuah suara cempreng
dari salah satu sudut ruangan pendopo ini.
Raja Racun menggeram. Sepasang matanya berki-
lat-kilat, langsung ke arah seorang wanita cantik beru-
sia dua puluh delapan tahun. Dengan senyum-senyum
genit, lagak si wanita terlihat sangat melecehkan.
Meski demikian, wanita berpakaian ringkas serba kun-
ing itu tak dapat menyembunyikan sikap genitnya.
"Denok Supi! Mulutmu terlalu lancang! Apa kau
sudah bosan hidup, he?!" dengus Raja Racun, penuh
kemarahan.
Beberapa tokoh sesat lain yang berada di ruang
pendopo melengak kaget. Seketika mereka mengalih-
kan perhatian ke arah wanita cantik yang dikenal se-
bagai tokoh sesat dari barat itu. Memang cukup cantik
sekali sosok Denok Supi yang sebenarnya sudah beru-
sia lanjut. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang
matanya berbinar-binar indah. Rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas, dihiasi untaian-untaian
permata yang sangat indah.  Meski tangan kanannya

buntung sebatas lengan, namun kesaktiannya tak da-
pat diragukan lagi.
"Lancang maupun tidak, itu bukan urusanmu!
Yang jelas aku pun sanggup melakukan pekerjaan se-
pele seperti yang telah kau kerjakan!" dengus Denok
Supi jengkel.
"Setan alas! Dari dulu kau memang selalu mele-
cehkan ku, Denok Supi! Sekarang kalau kau memang
mengaku mempunyai sedikit kepandaian, ayo kita te-
ruskan percekcokan ini di luar!" tantang lelaki berwa-
jah seram itu sengit.
"Tunggu! Kalian tidak boleh bertindak di luar pen-
getahuanku! Kalian adalah sekutu-sekutuku! Kalau
kalian masih mengakuiku sebagai sekutu, mulai seka-
rang juga harus mentaati perintahku!" cegah Pangeran
Pemimpin. Suaranya keras penuh wibawa.
Raja Racun dan Denok Supi sejenak hanya saling
berpandangan. Sepasang mata mereka berkilat-kilat
penuh kemarahan. Namun akhirnya  kedua orang to-
koh sesat itu pun mau menuruti perintah Pangeran
Pemimpin.
Denok Supi kembali duduk seperti semula. Se-
dang Raja Racun pun kembali menatap Pangeran Pe-
mimpin.
"Baik, Pangeran. Aku telah melumpuhkan jalan
pikiran orang tua ini. Lalu, apa lagi yang harus kula-
kukan?" tanya Raja Racun seraya menuding ke arah
Pen-didik Ulung.
Bak orang yang kehilangan akal Pendidik Ulung
hanya memperhatikan Raja Racun dan Pangeran Pe-
mimpin sekilas. Lalu kepalanya kembali menunduk
menekuri lantai di hadapannya.
Pangeran Pemimpin sejenak memperhatikan sek-
sama Pendidik Ulung. Keadaan lelaki tua itu memang
sangat mengenaskan. Meski demikian penguasa Partai

Kawula Sejati ini masih waswas.
"Apa kau yakin kalau racun yang mengeram da-
lam tubuh tua bangka ini sudah mempengaruhi jalan
pikirannya, Raja Racun?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Kenapa hal itu meski ditanyakan lagi, Pangeran?
Apa kau tidak mempercayai kehebatan racun bisa ular
kobra putihku yang telah kucampur beberapa ra-
muan?" sahut Raja Racun tak senang.
"Bukan begitu, Raja Racun. Bukankah wajar kan
kalau aku ragu-ragu. Sebab bukankah kita tahu, sebe-
rapa hebatnya kesaktian orang tua ini?" tukas Pange-
ran Pemimpin kalem. 
"Ya ya ya...! Tapi aku yakin, Pangeran. Sehebat
apa pun tua bangka ini, tak mungkin dapat memu-
nahkan racunku. Jangankan untuk memunahkannya.
Untuk mengetahui siapa dirinya saja belum tentu ia
mampu. Kalau kurang percaya, silakan menanyakan-
nya sendiri, Pangeran!" ujar Raja Racun.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tangan
kanannya sejenak mengelus-elus dagu. Sementara se-
pasang matanya terus memperhatikan Pendidik Ulung
seksama.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
berada di tempat ini?" tanya Pangeran Pemimpin pada
Pendidik Ulung. Ia ingin mengetahui seberapa jauh ja-
lan pikiran lelaki tua itu dapat dilumpuhkan.
Pendidik Ulung mendongak kaget. Sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus memperhatikan
Pangeran Pemimpin mirip orang linglung. Sambil ber-
tingkah demikian, sesekali kepalanya bergerak-gerak
seolah-olah sedang menafsirkan sesuatu.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
berada di tempat ini?" ulang Pangeran Pemimpin.
"Aku.... Aku tid... tidak tahu. Kenapa aku sampai
di tempat ini? Kau sendiri mau apa di tempat ini?" sa-

hut Pendidik Ulung, yang tampaknya telah benar-
benar linglung.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Tampak
sekali kalau Penguasa Partai Kawula Sejati ini puas
dengan hasil kerja Raja Racun.
"Ya, sudah! Teruskan saja mainanmu, Orang Tua!
Tapi kalau misalnya aku menyuruhmu untuk melaku-
kan sesuatu, kau harus mematuhi perintahku!"
Pendidik Ulung hanya mengangguk-angguk. Kela-
kuannya kali ini benar-benar seperti anak kecil. Sam-
bil mengangguk-angguk tadi, matanya terus menekuri
lantai di hadapannya dengan tatapan kosong!
Entah kenapa tiba-tiba Pangeran Pemimpin terta-
wa bergelak. Kepalanya mendongak ke atas sambil
menyandarkan punggungnya ke bangku kebesaran.
"Bagus-bagus! Aku senang sekali dengan hasil
kerjamu ini, Raja Racun. Sekarang aku ingin beberapa
orang segera mengawal tua bangka ini untuk menyeli-
diki siapa Penguasa Alam seperti yang tercantum da-
lam Lukisan Darah!"
"Baik," sahut beberapa orang tokoh sesat yang
menjadi sekutu Pangeran Pemimpin serempak.
"Nah! Kalau begitu, cepatlah kalian berangkat!
Termasuk juga kau, Raja Racun! Kau harus mengawal
tua bangka ini!" ujar Pangeran Pemimpin.
"Tanpa diperintah pun, aku akan mengawal tua
bangka ini! Sekarang juga aku akan mengajaknya un-
tuk segera menyelidiki siapa Penguasa Alam!" sahut
Raja Racun.
Lalu tatapan Raja Racun beralih pada Pendidik
Ulung yang tampak seperti orang linglung.
"Hayo ikut aku! Kau mendapat tugas penting dari
Ketua Partai Kawula Sejati!" ujar Raja Racun seraya
menarik lengan Pendidik Ulung.
"Ba...baik."

Pendidik Ulung segera melompat bangun. Gerakan
kedua kakinya masih ringan seperti semula, seolah-
olah tidak terpengaruh sedikit pun dengan kesaktian
orang tua itu.
Pangeran Pemimpin sejenak mengangguk-
anggukkan kepalanya sambil terus mengikuti arah ke-
pergian Pendidik Ulung yang diikuti oleh beberapa
orang  tokoh  sesat lainnya. Namun belum sempat
bayangan tinggi kurus  Pendidik Ulung menghilang di
balik pintu ruang pendopo....
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh mengajak pergi
tua bangka itu begitu saja!"
Terdengar bentakan nyaring yang disusul berkele-
batnya sesosok bayangan ke tengah ruangan.

***

2

Pangeran Pemimpin melengak kaget dengan kepa-
la berpaling ke arah datangnya suara. Dan matanya
langsung bertumbukan dengan mata seorang pemuda
tampan berusia dua puluh tahun yang tahu-tahu telah
berdiri tegak di tengah ruangan. Wajahnya berbentuk
lonjong dengan kulit putih bersih. Sepasang matanya
tajam bak mata rajawali. Hidungnya mancung. Ram-
butnya yang gondrong sebagian digelung ke belakang.
Sedang tubuhnya yang tinggi kekar dibalut jubah ber-
warna hitam yang panjang sampai lutut.
"Ah...! Rupanya kau, Sobatku Pelajar Agung! Ada
apa? Tampaknya kau kurang menyukai kalau tua
bangka itu menyelidiki Penguasa Alam? Kemarilah!
Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu!" sam-
but Pangeran Pemimpin begitu melihat siapa yang da-

tang.
Pemuda tampan yang baru datang sebenarnya
memang murid Pendidik Ulung yang bergelar Pelajar
Agung. Dengan dengusan, ekor mata Pelajar Agung se-
jenak memperhatikan gurunya yang tertahan di dekat
pintu keluar. Sekali lihat saja ia tahu kalau dalam diri
orang tua itu telah mengeram racun keji. Entah racun
apa, ia sendiri belum tahu pasti.
"Hm...! Rupanya orang tua tolol ini telah diracuni
seseorang. Mungkin oleh Raja Racun, mungkin juga
oleh Pangeran Pemimpin sendiri. Aku tidak tahu pasti.
Yang jelas Pangeran Pemimpin pasti tengah merenca-
nakan sesuatu!" desis si murid murtad Pendidik Ulung
sambil menatap gurunya.
Kemudian tatapan pemuda ini beralih pada Pan-
geran Pemimpin.
"Sebenarnya hendak kau bawa ke mana orang tua
itu, Pangeran? Kenapa kulihat beberapa orangmu tu-
rut pula menyertainya?" tanya Pelajar Agung dengan
ke-ning berkerut.
"Tenanglah, Sobat! Aku memang tengah merenca-
nakan sesuatu," jelas Pangeran Pemimpin seraya be-
ranjak dari tempat duduk. Lalu kakinya melangkah
mendekati Pelajar Agung, sekutu utamanya.
Si pemuda hanya melirik sebentar tangan Pange-
ran Pemimpin yang merangkul pundaknya dan menga-
jaknya duduk.
"Kau tidak ingin menceritakan apa yang tengah
kau rencanakan, Pangeran?" tanya Pelajar Agung ka-
ku.
"Ah...! Sabarlah, Sobat! Aku memang ingin mence-
ritakannya," ujar Pangeran Pemimpin menukas.
"Kalau begitu, ceritakanlah!" tuntut si pemuda,
tak sabar. 
Lelaki setengah baya Penguasa Partai Kawula Se-

jati tersenyum. Dimakluminya tabiat pembantu uta-
manya.
"Aku memang tengah memanfaatkan orang tua itu
untuk menyelidiki siapa Penguasa Alam. Kenapa nama
Penguasa Alam tercantum dalam Lukisan Darah?" je-
las Pangeran Pemimpin kalem. 
"Lalu, kau menyuruh beberapa tokoh sakti itu un-
tuk mengikuti orang tua itu?" tukas Pelajar Agung, ta-
jam.
"Sudah pasti. Bagaimanapun juga aku tak ingin
tua bangka itu mampus tanpa mendapatkan hasil bagi
kita dari Lukisan Darah!"
"Berarti kau telah melupakanku, Pangeran! Apa
kau tidak mempercayaiku lagi?"
"Bukan begitu maksudku, Sobat. Aku tetap mem-
percayaimu. Bahkan, kaulah pembantu utamaku.
Kaulah yang berhak menggantikan kedudukanku bila
aku keluar. Kenapa kau tanyakan itu lagi?"
"Hm...!" Pelajar Agung menggumam tak jelas. "Ta-
pi, bukankah kau tahu kalau akulah yang ingin me-
nyelidiki siapa manusia yang bergelar Penguasa Alam?
Lalu, kenapa kau menyuruh orang-orang itu untuk
menyelidik?"
"Ah...! Rupanya kau terlalu perasa, Sobat!" desah
Pangeran Pemimpin seraya menggeleng-geleng. Lalu di-
tekuknya pundak Pelajar Agung beberapa kali. "Apa-
kah kau lupa bahwa kau tadi pingsan setelah berta-
rung dengan tua bangka itu? Untuk itu, aku ingin kau
beristirahat barang sebentar. Nanti bila tua bangka itu
belum juga dapat menyelidiki siapa Penguasa Alam,
sudah pasti kau yang harus menyelidiki, sekaligus
mengambil harta karun yang seperti tercantum dalam
peta Lukisan Darah."
Pelajar Agung mengangguk-angguk. Memang pe-
muda ini baru saja siuman dari pingsan setelah berta-

rung dengan gurunya sendiri. Dan si murid murtad ini
tidak tahu, siapa yang telah membantu meringankan
luka dalamnya selama pingsan. Yang jelas luka dalam-
nya kini perlahan mulai sembuh. (Untuk mengetahui
pertarungan Pelajar Agung dengan Pendidik Ulung si-
lakan baca: "Lukisan Darah").
"Sebenarnya aku ingin sekali menyelidiki siapa
manusia pongah yang bergelar Penguasa Alam. Tapi,
baiklah. Kukira aku harus menjaga luka dalamku ter-
lebih da-hulu. Nanti kalau luka dalamku sudah benar-
benar sembuh, pasti aku akan segera menyelidiki Pen-
guasa Alam!"
"Terima kasih atas pengertianmu, Sobat!" ucap
Pangeran Pemimpin seraya kembali menepuk-nepuk
pundak Pelajar Agung.
Lalu perhatian lelaki setengah baya itu beralih pa-
da Raja Racun beserta beberapa orang tokoh dunia
persilatan yang masih tertahan di ambang pintu ber-
sama Pendidik Ulung.
"Raja Racun! Lekaslah ajak tua bangka itu beserta
teman-teman sekalian untuk menyelidik Penguasa
Alam!" ujarnya.
"Baik," sahut Raja Racun beserta beberapa tokoh
sesat serempak.
Pangeran Pemimpin mengangguk-angguk. Semen-
tara, Raja Racun telah mengajak Pendidik Ulung me-
ninggalkan ruang pendopo markas Partai Kawula Seja-
ti, diikuti beberapa tokoh sesat lainnya.
"Kalau begitu, bukankah sudah tidak ada lagi
yang patut dibicarakan, Pangeran?" kata Pelajar Agung
tak sabar.
"Tunggulah, Sobat! Jangan buru-buru! Aku ingin
membicarakan sesuatu padamu," ujar Pangeran Pe-
mimpin cepat, seraya menahan lengan Pelajar Agung
yang bermaksud beranjak dari tempat duduk.

"Ada apa lagi, Pangeran? Tampaknya kau sudah
merencanakan sesuatu lagi?" tukas Pelajar Agung,
kembali duduk seperti semula.
"Aku sebenarnya tidak sedang merencanakan se-
suatu. Aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.
Apa kau sendiri punya rencana?" tanya Pangeran Pe-
mimpin setelah diam beberapa saat.
"Hm...! Aku sendiri belum mempunyai rencana.
Aku hanya ingin selekasnya membunuh musuh besar-
ku. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera
memecahkan batok kepalanya!" sahut Pelajar Agung
dengan kegeraman yang amat sangat.
"Maksudmu, pemuda sinting bergelar Siluman
Ular Putih?" duga Pangeran Pemimpin.
"Yah...! Siapa lagi kalau bukan dia!"
"Aku mengerti kegusaranmu, Sobat. Aku sendiri
juga merasa penasaran dengan pemuda sinting itu.
Kalau saja Nimas  Putri Sekartaji tidak diselamatkan
olehnya, barangkali kita sudah dapat menyusun ren-
cana untuk menyingkirkan Adipati Pleret yang seka-
rang. Dan kau pun segera dapat mematahkan batang
leher Siluman Ular Putih."
Pelajar Agung tidak menyahut, kecuali hanya
mengangguk-angguk dengan gerahamnya bergemele-
tuk.
"Kukira, kita sekarang tak perlu lagi membicara-
kan sesuatu. Pokoknya, kita tinggal menunggu Raja
Racun dan kawan-kawannya! Apakah mereka dapat
menyelidiki Penguasa Alam atau tidak?" kata Pelajar
Agung seraya beranjak dari tempat duduk. 
Pangeran Pemimpin hanya mengangkat bahu. Ia
sendiri pun sependapat dengan Pelajar Agung. Dan ke-
tika si pemuda melangkah menuju kamar, Pangeran
Pemimpin membiarkannya.  
"Hm...! Kukira aku pun perlu beristirahat barang

sejenak. Urusan perjuangan ini benar-benar menyita
tenaga dan pikiranku...," gumam Pangeran Pemimpin
dalam hati.

***

3

"Ayo dong panggil aku Kangmas, Putri Sekartaji.
Katanya kau akan memperkenalkan pada Adipati Ple-
ret sebagai calon adik ipar?"
Sambil berjalan mengekor di belakang wanita yang
dipanggil Putri Sekartaji, tak henti-hentinya pemuda
yang berada di belakangnya terus menggoda. Paras
pemuda itu memang tidak mengecewakan. Gadis can-
tik mana pun akan selalu betah bila berduaan den-
gannya. Di samping tampan, wajah pemuda itu pun
tampak polos kekanak-kanakan. Sepasang matanya
tajam bak sepasang mata rajawali. Hidungnya man-
cung dengan rahang menonjol. Rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sedang tubuhnya
yang tinggi kekar dibalut pakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan. Di kanan kiri perge-
langan tangannya melingkar dua gelang  akar bahar.
Sementara di dadanya terdapat rajahan kecil bergam-
bar ular putih yang terlihat di balik rompi tanpa kanc-
ing.  Anak Panah Bercakra Kembar pun tampak me-
nyembul dari balik pinggang. Siapa lagi pemuda ini ka-
lau bukan Siluman Ular Putih, seorang pendekar yang
sekarang ini tengah menggegerkan dunia persilatan?
Dan entah karena sebal mendengar godaan pemu-
da di belakang, mendadak gadis cantik yang tak lain
murid Pendekar Bintang Emas itu berbalik kasar.        
"Soma! Jangan cerewet! Aku tak suka gurauanmu,

tahu?!" bentaknya.
Pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
hanya tersenyum-senyum menggoda. Malah sepasang
matanya yang nakal terus memperhatikan kecantikan
gadis di hadapannya penuh kagum. Paras adik tiri
Pangeran Pemimpin itu memang benar-benar menga-
gumkan. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit
putih bersih. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
mancung dengan kedua bibir berbentuk tipis kemerah-
merahan. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna kuning. Sungguh membuat
setiap laki-laki akan selalu betah memandangnya. Apa-
lagi dengan rambutnya digelung ke atas yang mene-
barkan harum bunga melati!
Soma benar-benar menikmati pemandangan indah
di hadapannya. Malah saking asyiknya menikmati ke-
cantikan Putri Sekartaji, murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini bersiul-siul kecil!
"Edan! Rasa-rasanya baru kali ini aku bertemu
seorang gadis secantik ini. Hm...! Alangkah berun-
tungnya aku dapat berkawan dengannya...," gumam
Soma.
"Kau beruntung! Aku yang rugi, tahu?! Hayo le-
kas! Kita meneruskan perjalanan! Sebentar lagi kita
akan sampai di pintu gerbang Kadipaten Pleret!" hardik
Putri Sekartaji.
"Hm...! Ini berarti sebentar lagi aku pun akan ber-
kenalan dengan calon kakak iparku. Menyenangkan
sekali!"
"Menyenangkan.... Menyenangkan, gundulmu!"
semprot Putri Sekartaji kasar.
"Tapi kau senang kan melakukan perjalanan ber-
dua denganku?"
"Soma!" Putri Sekartaji membanting kaki kanan-
nya kesal namun penuh manja. Sepasang matanya

berkilat-kilat penuh kemarahan. 
"Kangmas Soma dong! Kan kau sudah berjanji
akan memanggilku Kangmas?" tukas Soma tak mem-
pedulikan kegusaran Putri Sekartaji.
"Sekali lagi kau menggoda, persahabatan kita pu-
tus!"
"Ampun! Ampun! Jangan begitu dong, ah! Kau
memang semakin cantik kalau sedang marah begini.
Tapi aku juga tidak mau persahabatan kita putus,"
oceh Soma, memasang wajah memelas.
"Makanya jangan cerewet! Hayo, lekas kita mene-
ruskan perjalanan!"
"Baik."

***
 
Putri Sekartaji segera berkelebat cepat. Meski ha-
tinya saat itu gusar bukan main, namun diam-diam
sebenarnya makin terpesona dengan ketampanan
maupun sikap Siluman Ular Putih.
Sementara, Soma sendiri segera mengekor di bela-
kang Putri Sekartaji. Sambil berlari di belakang, ru-
panya Soma belum kapok juga. Tak henti-hentinya Pu-
tri Sekartaji terus digoda. Namun kali ini si gadis tidak
mempedulikannya. Tubuhnya terus saja berkelebat ke
timur, menuju pintu gerbang Kadipaten Pleret. Dan bi-
sa ditebak kalau ilmu meringankan tubuh si gadis te-
lah begitu tinggi, maka kepandaiannya pun tak bisa di-
remehkan. Terpaksa Siluman Ular Putih harus mem-
percepat larinya kalau tidak ingin tertinggal.
Kini mereka, telah tiba di depan pintu gerbang
Kadipaten Pleret sebelah barat. Tampak puluhan pra-
jurit jaga kadipaten tengah siaga di tempat masing-
masing dengan senjata di tangan. Begitu melihat dua
sosok anak muda berhenti pada jarak tiga tombak di

depan pintu gerbang, prajurit-prajurit jaga itu segera
menghadang. Namun ketika mengenali siapa gadis
cantik itu, buru-buru sikap garang mereka jadi sirna.
"Oh.... Tuan Putri! Silakan masuk!" kata pemimpin
prajurit jaga itu penuh hormat.
Tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera berke-
lebat cepat masuk ke dalam halaman kadipaten. Meli-
hat Putri Sekartaji telah mendahului, dengan dada di-
busungkan tinggi-tinggi Siluman Ular Putih pun hen-
dak mengikuti. Putri Sekartaji yang terus berkelebat
cepat tanpa menghiraukan dirinya. Dan baru saja si
pemuda hendak melangkah mendadak berpuluh-puluh
prajurit jaga langsung menghadang.
"Tunggu! Pemuda sinting macammu tak boleh ma-
suk ke dalam lingkungan kadipaten seenak perut! Kau
harus kami geledah dulu sebelum masuk!" bentak ke-
pala prajurit jaga itu garang. 
Dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi kekar.
Wajahnya gagah dengan rahang menonjol menandakan
ketegasan sikapnya. Rambutnya yang hitam panjang
di-gelung ke atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kekar
dibalut pakaian prajurit berwarna hijau.
Mendengar bentakan tadi, Siluman Ular Putih jadi
melengak kaget. Saking kagetnya, sampai tubuhnya
mundur selangkah ke belakang.
"Eh...! Beraninya kau bertindak lancang di hada-
pan teman tuan putrimu yang tampan ini he?! Apa ma-
ta kalian buta? Aku ini teman istimewa tuan putrimu,
tahu?!" balas Soma, membentak.
Beberapa orang prajurit jaga tersenyum-senyum.
Mungkin merasa geli melihat sikap Siluman Ular Putih
sewaktu bicara tadi. Malah ada seorang prajurit jaga
yang meletakkan miring telunjuk jarinya di kening, se-
bagai isyarat kalau pemuda tampan itu gila. Tentu saja
hal ini makin membuat Siluman Ular Putih sewot. Na-

mun belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
membuka suara
"Pemuda sinting tak tahu malu! Mana pantas kau
jadi sahabat istimewa Tuan Putri. Aku saja tidak di-
anggap. Apalagi pemuda sinting macam kau! Huh! Da-
sar pemuda sinting!" bentak lelaki gagah, kepala praju-
rit itu.
"Eh.... Eh...! Seenaknya saja kau memakiku pe-
muda sinting! Aku ini temannya Tuan Putri. Masa’ ka-
lian tak percaya?" tukas Soma.
"Jangan mengigau dapat berkawan dengan Tuan
Putri, Kunyuk Gondrong! Lekaslah enyah dari hada-
panku sebelum kesabaran kami habis!" hardik kepala
prajurit jaga itu lagi, garang.
"Ah...! Jadi kalian tidak mempercayaiku? Baik!
Kalau begitu aku akan membuktikannya!"
Tawa beberapa orang prajurit jaga makin bergelak.
Namun Siluman Ular Putih tidak mempedulikan-
nya. Sambil melongok-longokkan kepalanya, ia terus
mencari sosok Putri Sekartaji. Namun sayang, sosok
gadis tadi telah berkelebat cepat di kejauhan sana.
Soma tidak peduli.
"Ooooi... Putri! Prajurit-prajurit tengil ini mengha-
dangku! Lekaslah kau kemari! Biar mereka tahu, siapa
aku! Masa' mereka tidak percaya kalau aku ini teman-
mu! Lekas kemari, Putri!" teriak Soma dengan kedua
telapak tangan di depan mulut.
Sebentar Putri Sekartaji di kejauhan sana berhen-
ti. Lalu tubuhnya berbalik.
"Ki Suroso! Biarkan pemuda itu lewat!" teriaknya.
"Ba.... Baik, Tuan Putri," sahut kepala prajurit ja-
ga yang dipanggil Ki Suroso lantang.
Siluman Ular Putin tersenyum-senyum penuh
kemenangan.
"Benar, kan? Sudah kubilang, aku ini teman isti-

mewa tuan putrimu! Untung saja tuan putrimu tidak
menyuruhku mengemplang kepala kalian," oceh murid
Eyang Begawan Kamasetyo kesal.
Lalu dengan dada membusung bangga, si pemuda
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Se-
gera disusulnya langkah Putri Sekartaji.

***

4

Malam baru saja merambat. Lampu-lampu blen-
cong di seputar Kadipaten Pleret telah menyala sejak
tadi. Membuat suasana di seputar bangunan kadipa-
ten jadi terang benderang.
Suasana ini rupanya tak jauh berbeda dengan di
dalam istana kadipaten. Meski tak dipungkiri, saat ini
keamanan cukup tegang oleh ulah Pangeran Pemimpin
yang bermaksud menggulingkan takhta kadipaten.
Namun setelah mendengar keterangan beberapa telik
sandi, wajah arif Adipati Pleret tidak terlalu mence-
maskan memikirkan keamanan.
Dari kursi kebesarannya, Adipati Pleret yang baru
saja menerima laporan hanya menghela napas beru-
lang-ulang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng, seolah-
olah tidak mengerti maksud Pangeran Pemimpin yang
masih terhitung kakak tirinya.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang harus
kulakukan dengan sikap Kangmas Sembodo yang ber-
maksud menggulingkan takhta Kadipaten Pleret. Kalau
saja ia meminta secara baik-baik dan dengan alasan
masuk akal, sudah pasti aku akan menyerahkan ke-
kuasaan dengan suka rela. Tapi sikapnya kali ini be-
nar-benar membuatku harus segera bertindak. Kira-

kira tindakan apa yang harus kulakukan, Paman Pa-
tih?" tanya Adipati Pleret dengan paras sedih. 
Seorang lelaki tua berpakaian surjan lengkap den-
gan blangkon di kepala duduk bersimpuh di hadapan
Adipati Pleret. Sejenak kedua  telapak tangannya di-
tangkupkan ke depan hidung penuh hormat.
"Hamba mohon maaf, Adipati. Kiranya tidak ada
pilihan lain. Kita harus secepatnya menumpas Pange-
ran Pemimpin berikut para pengikut Partai Kawula Se-
jati," katanya.
"Sebenarnya aku sudah memikirkannya, Paman
Reksopati. Tapi apakah tidak sebaiknya meminta ban-
tuan pada tokoh golongan putih guna menghadapi se-
kutu Kangmas Sembodo yang kebanyakan tokoh sesat
dunia persilatan? Sebab kalau memaksakan diri untuk
segera menyerang, terus terang aku khawatir dengan
prajurit-prajurit kita yang bakal kewalahan. Apalagi,
saat ini Nimas Putri Sekartaji menjadi tawanannya.
Meski Pringgondani telah meminta bantuan seorang
pendekar sakti untuk menyelamatkan Nimas Putri Se-
kartaji, namun tetap saja aku merasa khawatir," desah
Adipati Pleret.
"Hamba mengerti kesulitan, Kanjeng Adipati. Apa-
lagi Lukisan Darah pun telah dicuri seseorang yang
menurut dugaan pasti salah seorang sekutu Pangeran
Pemimpin. Kalau tidak, siapa yang dapat melumpuh-
kan para prajurit yang menjaga pintu dengan demikian
mudahnya? Pasti dialah sekutu Pangiran Pemimpin!"
ungkap Patih bernama Reksopati.   
"Lebih dari itu, Kangmas Sembodo pasti mempu-
nyai maksud-maksud lain. Cuma sayang, aku belum
tahu apa maksudnya di samping ingin merebut takhta
Kadipaten Pleret."
"Kukira apa yang Kangmas Adipati khawatirkan
tidaklah akan terjadi, Kangmas. Sebab aku telah dis-

elamatkan seseorang!"
Tiba-tiba terdengar sahutan nyaring yang datang-
nya dari pintu masuk pendopo. Semua mata langsung
tertuju ke sana.

***

Adipati Pleret melengak kaget ketika sepasang ma-
tanya yang tajam mengarah ke pintu masuk pintu
pendopo. Tampak Putri Sekartaji tengah menyeret len-
gan seorang pemuda berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan. 
Beberapa orang punggawa kadipaten sempat men-
gerutkan kening melihat sikap pemuda gondrong yang
tak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman Ular Putih. 
Seperti tanpa mempedulikan keadaan sekeliling,
Siluman Ular Putih terus mengikuti tarikan tangan Pu-
tri Sekartaji. Sementara tangannya terus menggaruk-
garuk kepala. Senyum nakalnya pun tampak tersungg-
ing di bibir. 
"Nimas Putri Sekartaji...!" desis Adipati  Pleret pe-
nuh keterkejutan. Lelaki ini segera bangkit dari tempat
duduknya. Langsung menghampiri dan dipeluknya ga-
dis itu. "Aku benar-benar bahagia kau bisa selamat
sampai di tempat ini. Apakah kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Berkat pemuda ini," sahut
Putri Sekartaji.      
Melihat sikap Soma di belakang Putri Sekartaji,
mata Adipati Pleret jadi menyipit setelah melepas pelu-
kannya. Namun selaku adipati, ia cukup bijaksana un-
tuk tidak mengusik teman adik tirinya.
"Apakah pemuda itu yang telah menyelamatkan-
mu?" duga Adipati Pleret.
Putri Sekartaji tidak langsung menjawab, melain-

kan segera menarik lengan Soma untuk bersimpuh di
hadapan Adipati Pleret. Soma celingak-celinguk seben-
tar, lalu menirukan gaya Putri Sekartaji yang tengah
menghaturkan sembah sungkem. Sikap pemuda ini
kaku sekali.
"Benar, Kangmas Adipati. Pemuda inilah yang te-
lah menyelamatkanku dari cengkeraman tangan
Kangmas Sembodo," sahut si gadis.
"Kalau begitu, sungguh besar sekali jasamu, Anak
Muda, Aku selaku Adipati Pleret tak segan-segannya
untuk mengucapkan rasa terima kasih atas pertolon-
ganmu terhadap Nimas Putri Sekartaji," ucap Adipati
Pleret seraya menepuk pundak kedua anak muda itu
untuk bangun. "Duduklah di sampingku, Anak Muda!
Tak usah malu-malu! Aku yakin kau pasti pendekar
sakti yang dimaksudkan Pringgondani."
Siluman Ular Putih jadi jengah bukan main diper-
lakukan seperti itu. Tanpa sadar kepalanya menoleh
ke arah Putri Sekartaji yang malah mengerdipkan ma-
ta. Dan diisyaratkannya agar Siluman Ular Putih itu
untuk menuruti ajakan kakak tirinya. 
Adipati Pleret telah melangkah dan duduk di
bangku kebesarannya diikuti Putri Sekartaji. Sementa-
ra Siluman Ular Putih malah menggaruk-garuk kepa-
lanya bingung. Namun akhirnya toh menurut juga du-
duk di samping Adipati Pleret tak jauh dari tempat du-
duk Putri Sekartaji.
"Sebagai seorang yang menyukai ilmu silat, tentu
aku juga ingin tahu gelarmu di dunia persilatan, Anak
Muda?" tanya Adipati Pleret langsung dengan senyum
terkembang. 
"Dia seorang pendekar hebat, Kangmas. Meski ke-
pandaian Kangmas cukup hebat, namun jangan dikira
mampu bertahan barang satu atau dua jurus mela-
wannya!" Putri Sekartaji yang menyahut seraya meng-

gedikkan kepalanya ke arah pemuda tampan di sam-
pingnya penuh kagum.
"Oh, ya?" ujar Adipati Pleret makin kagum. Seben-
tar matanya memandang pada Siluman Ular Putih. Se-
bentar kemudian beralih ke arah Putri Sekartaji diser-
tai rasa penasaran.
"Benar, Kangmas. Kalau saja Kangmas Adipati ta-
hu gelarnya di dunia persilatan, tentu akan terkejut
dibuatnya," tambah Putri Sekartaji bersemangat. En-
tah kenapa tiba-tiba saja gadis ini jadi semangat sekali
menceritakan kehebatan Siluman Ular Putih pada ka-
kaknya.
"Ah...! Kalau begitu, cepat katakan siapa gelarmu
di dunia persilatan, Anak Muda!" pinta Adipati Pleret
penasaran. 
"Aku.... Aku tidak punya gelar, Kanjeng Adipati.
Namaku Soma. Itu saja!" jawab murid Eyang Begawan
Kamasetyo malu-malu. 
"Bohong! Dialah yang bergelar Silurian Ular Putih,
Kangmas!" lagi-lagi Putri Sekartaji yang menyahut.
Terdengar pekik kaget beberapa orang punggawa
kadipaten. Termasuk juga Adipati Pleret, begitu men-
dengar penjelasan Putri Sekartaji kalau pemuda tam-
pan itu adalah pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Si-
luman Ular Putih!
"Sungguh merupakan satu kehormatan besar! Tak
kusangka Siluman Ular Putih sudi menyambangi Ka-
dipaten Pleret!" decak Adipati Pleret penuh kagum.
Bukan main jengahnya Siluman Ular Putih diper-
lakukan seperti itu. Entah sudah berapa kali tangan-
nya menggaruk-garuk kepala saking jengahnya.
Putri Sekartaji malah tersenyum-senyum. Rasanya
puas sudah gadis itu membalas godaan-godaan Silu-
man Ular Putih selama ini. 

"Sekarang ceritakan, apa saja yang telah kau ke-
tahui, Nimas! Aku yakin kau pasti mendapat beberapa
keterangan selama ditawan Kangmas Sembodo," pinta
Adipati Pleret, sedikit memberi napas pada Siluman
Ular Putih.
Putri Sekartaji yang sedang memperolok Siluman
Ular Putih,  mendadak menghentikan senyum keme-
nangannya. Parasnya segera dibuat bersungguh-
sungguh. 
Adipati Pleret dan juga semua yang ada di ruang
pendopo ini mulai mendengarkan keterangan Putri Se-
kartaji. Bahkan mereka berkali-kali mendesis penuh
ke-marahan begitu mendengar rencana keji Pangeran
Pemimpin. Untuk beberapa saat suasana di ruang
pendopo seperti dicekam perasaan tegang, terbawa
arus pikiran masing-masing.
"Hm...! Benar-benar tak kusangka kalau Kangmas
Sembodo mempunyai rencana selicik ini. Mengapa ia
tega-teganya memaksa Nimas Putri Sekartaji untuk
menandatangani surat perjanjian agar aku sudi me-
nyerahkan takhta Kadipaten Pleret padanya? Benar-
benar licik!" geram Adipati Pleret penuh kemarahan
Semua yang berada di ruang pendopo membisu.
Mereka seperti makin tenggelam dengan perasaan te-
gang.
"Lalu, bagaimana dengan Lukisan Darah yang te-
lah raib dari ruang pusaka? Apakah kau juga menge-
tahuinya, Nimas?" tanya Adipati Pleret lagi.
Putri Sekartaji mendesah sebentar.
"Sebenarnya aku tidak tahu pasti, Kangmas. Na-
mun Siluman Ular Putih sempat melihat seseorang te-
lah membawa Lukisan Darah sewaktu hendak masuk
ke dalam markas Partai Kawula Sejati. Dan kalau tidak
salah, sewaktu aku diringkus Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, aku sempat mendengar kalau Raja

Maling-lah yang telah mencuri Lukisan Darah!" papar
si gadis.
"Raja Maling...!" desis Adipati Pleret penuh kema-
rahan. "Hm...! Sudah kuduga. Pasti sekutu-sekutu
Kangmas Sembodolah yang mencuri Lukisan Darah!"
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus menumpas
Raden Sembodo selagi kekuatan mereka belum besar!"
usul Patih Reksopati tiba-tiba. 
"Hm...! Ya ya ya...! Aku memang sedang merenca-
nakan itu, Paman. Tapi apa tidak sebaiknya kita me-
minta bantuan para pendekar guna menghadapi to-
koh-tokoh sesat yang bersekutu dengan Kangmas
Sembodo?"
"Menurut hematku, memang demikianlah, Kan-
jeng Adipati," timpal Siluman Ular Putih. "Jika Kanjeng
Adipati tidak keberatan, sekarang juga aku akan
menghubungi beberapa orang pendekar. Kebetulan se-
kali, saat ini mereka tengah mengadakan pertemuan
untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang sepak ter-
jangnya sudah kelewatan!"
"Boleh, boleh! Tapi, bukan berarti harus kau yang
ke sana, Soma!" sahut Adipati Pleret langsung me-
manggil nama Siluman Ular Putih.
"Kukira Kangmas Adipati benar. Kau jangan buru-
buru, Soma. Kangmas Adipati dapat menyuruh bebe-
rapa orang punggawa kadipaten yang berkepandaian
tinggi untuk menghadapi pertemuan para pendekar,"
timpal Putri Sekartaji keberatan.
Entah kenapa tiba-tiba si gadis merasa gelisah se-
kali bila berpisah dengan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini. Walau tadi uring-uringan melihat sikap
Soma yang selalu menggoda dirinya, namun kali ini
benar-benar tidak rela kalau harus berpisah. 
"Tidak, Putri. Keamanan kadipaten adalah segala-
galanya bagiku," tukas Siluman Ular Putih cepat.

Kembali Soma memandangi Adipati Pleret.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Bukan berarti aku me-
mandang rendah punggawa-punggawa kadipaten. Jika
tidak keberatan, aku ingin Kanjeng Adipatilah yang
mengutusku  untuk menghadiri pertemuan para pen-
dekar yang sebentar lagi akan dilangsungkan," lanjut-
nya.
"Hhh...!" Adipati Pleret menghela  napas dalam-
dalam seraya mengangguk-angguk. "Baiklah kalau
memang itu kemauanmu, Soma. Sebenarnya aku ingin
kau beristirahat barang satu atau dua malam di kadi-
paten. Tapi, sudahlah!  Kalau kau memang ingin be-
rangkat, aku hanya bisa mengiringi kepergianmu den-
gan penuh persahabatan."
"Terima kasih atas kepercayaan ini, Kanjeng. Se-
karang juga aku akan berangkat," ucap Siluman Ular
Putih.
Saat itu juga, Siluman Ular Putih bergegas beran-
jak dari tempat duduknya. Kakinya segera melangkah
lebar-lebar meninggalkan pendopo kadipaten.

***

"Soma! Tunggu!"
Soma buru-buru menghentikan langkahnya di
luar Istana Kadipaten Pleret ketika mendengar suara
panggilan dari belakang. Ketika berbalik, dilihatnya
Putri Sekartaji tengah berkelebat cepat ke arahnya.
Soma hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat si
gadis yang tengah menyusulnya.   
"Ada apa lagi, Putri Sekartaji?" tanya Soma begitu
Putri Sekartaji menghentikan langkah dua tombak di
depannya. 
"Aku ikut. Aku ingin menemanimu menghadiri
pertemuan para pendekar," sahut Putri Sekartaji agak

tersengal.
"Tapi... tapi nanti Kangmas Adipati mencemaskan
mu? Ya, kalau kau selamat? Kalau misalnya kembali
tertawan oleh Pangeran Pemimpin, bagaimana?" tukas
Siluman Ular Putih. 
"Kan ada kau! Aku yakin, kau tentu tidak mem-
biarkan aku tertawan Pangeran Pemimpin, kan?" Putri
Sekartaji merajuk manja.
"Tapi... tapi...."
"Tapi kenapa, Soma?" potong  si gadis. "Apakah
kau keberatan melakukan perjalanan berdua dengan-
ku?"
"Bukan begitu! Aku justru takut Kanjeng Adipati
akan  mencemaskan mu. Terus terang, aku pun kha-
watir dengan keselamatanmu, Putri," sahut Siluman
Ular Putih bingung.
"Bilang saja kau keberatan melakukan perjalanan
denganku! Pakai alasan lagi! Pokoknya, aku akan
menghadiri pertemuan para pendekar itu!" tandas Pu-
tri Sekartaji kesal.
"Baiklah! Tapi...."
"Ah, sudahlah! Kau memang menyebalkan, Soma!"
sungut Putri Sekartaji jengkel. Lalu tubuhnya berkele-
bat bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Putri! Apa kau tidak ingin minta izin du-
lu pada Kanjeng Adipati?" teriak Soma, menahan lang-
kah Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji sedikit pun tidak mempedulikan te-
riakan Siluman Ular Putih. Malah langkahnya semakin
dipercepat keluar halaman istana.
"Aku sudah dewasa. Kukira aku tak perlu memin-
ta izin. Toh aku sudah dapat menentukan jalan hi-
dupku!" sahut Putri Sekartaji kesal.
Entah kenapa, Siluman Ular Putih hanya mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian ketika bayangan Putri

Sekartaji makin menjauh, pemuda sakti ini buru-buru
berkelebat menyusul.
"Baiklah, Putri. Kalau begitu, mari kita melakukan
perjalanan bersama," kata Siluman Ular Putih seperti
berkata pada diri sendiri. Dan tubuhnya langsung ber-
kelebat cepat mengejar bayangan Putri Sekartaji.
Putri Sekartaji yang semula kecewa melihat Silu-
man Ular Putih belum juga menyusul, entah kenapa
kini menjadi gembira bukan main. Senyum tipisnya
pun tampak terkembang di bibir. Meski demikian, ke-
lebatan tubuhnya tak ingin diperlambat. Sehingga, hal
ini membuat Siluman Ular Putih harus mengerahkan
segenap ilmu meringankan tubuhnya.

***

5

Malam merambat perlahan. Bulan sepotong seolah
malas bergelantung di bentangan langit sebelah timur.
Meski cuaca cukup cerah, namun suasana malam di
luar Kadipaten Pleret tampak demikian mencekam.
Angin pun seolah malas berhembus. Hanya sesekali
terdengar nyanyian jangkrik di balik semak belukar
yang mengusik kelengangan malam.
Dalam kelengangan malam itu tampak dua sosok
bayangan tengah berkelebat cepat menuju timur. Ge-
rakan kaki mereka cepat luar biasa, di antara kerapa-
tan pohon Hutan Minden.
"Putri Sekartaji! Kenapa sih dari tadi kau hanya
membisu saja? Apa kau sudah bosan melakukan per-
jalanan bersamaku?!" oceh sosok di sebelah kanan pa-
da sosok bayangan yang dipanggil putri Sekartaji.
Sosok bayangan di sebelah kiri yang tak lain Putri

Sekartaji hanya menggerutu kesal. Sama sekali tidak
tertarik mendengar ocehan sosok di sebelahnya yang
tak lain Soma alias Siluman Ular Putih. Malah larinya
makin dipercepat.
"Kau ini kenapa sih?! Tak seharusnya kau mem-
berengut seperti ini! Kasihan kan bulan sepotong di
atas sana. Nanti malah jadi tambah sedih," goda Silu-
man Ular Putih lagi.
"Banyak omong! Sebel aku!" sahut gadis ini den-
gan suara ketus.
"Nah, begitu dong! Kan jadi enak kedengarannya.
Jangan memberengut terus. Jangan-jangan kau se-
dang memikirkan kekasihmu, ya?" tebak murid Eyang
Begawan Kamasetyo asal-asalan.
"Soma!" pekik Putri Sekartaji jengkel.
Seketika gadis itu menghentikan langkahnya. Se-
pasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. So-
ma pun menghentikan langkahnya. Dan dengan enak-
nya ia menggaruk-garuk kepala, seolah merasa tak
berdosa.
"Soma! Jangan seenaknya bicara! Aku sebel, ta-
hu!" hardik Putri Sekartaji.
"Ah...! Bukankah sebel itu berarti senang betul?
Duh, senangnya hatiku bila kau senang padaku!" oceh
Soma seraya mendekap dada.
Putri Sekartaji mengkelap bukan main. Telapak
tangan kanannya sudah gatal. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi tangan kanannya segera melayang ke arah pi-
pi Soma.
"Tunggu! Apakah kau tidak mendengar langkah-
langkah halus menuju kemari?" cegah Soma tiba-tiba
seraya mengangkat tangannya.
Putri Sekartaji buru-buru menahan gerakan tan-
gannya. Seketika telinganya dipasang tajam. Samar-
samar telinganya memang mendengar langkah-langkah

halus beberapa orang yang tengah menuju ke tempat
ini.
"Iya. Aku mendengar langkah beberapa orang ten-
gah menuju kemari," sahut Putri Sekartaji seraya me-
nurunkan tangannya kembali.
Soma makin mempertajam pendengarannya. Lalu
buru-buru ditariknya lengan Putri Sekartaji. Dan den-
gan gerakan cepat, Siluman Ular Putih membawa gadis
itu melesat cepat ke atas sebuah pohon. Tepat ketika
mereka mendarat di atas sebuah dahan, tampak enam
sosok bayangan tengah berkelebat cepat menuju ke
tempat ini. Yang paling depan adalah seorang kakek
tua renta. Jubahnya yang kedodoran sampai lutut
berwarna hitam. Kepalanya mengenakan penutup yang
memanjang pada bagian atasnya. Dia tidak lain adalah
Pendidik Ulung.
"Hm.... Pendidik Ulung.... Mengapa ia bersama Ra-
ja Racun, Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja Maling? Ada apa dengannya?" gumam hati Si-
luman Ular Putih.
Memang di samping Pendidik Ulung tampak bebe-
rapa tokoh sesat yang sudah sangat dikenal Soma.
Putri Sekartaji hampir memekik melihat keenam
sosok yang sangat dikenalnya. Hampir saja gadis ini
memekik kaget kalau Soma tidak buru-buru mengisya-
ratkan dengan telunjuk jarinya di depan bibir.
Keenam sosok bayangan itu kini makin mendekati
tempat Soma dan Putri Sekartaji. Namun, Pendidik
Ulung yang berkelebat cepat bak mayat hidup yang di-
kendalikan mendadak menghentikan langkahnya.
"Tunggu! Rasa-rasanya aku mendengar gerakan-
gerakan halus tak jauh dari tempat ini!" ujar Pendidik
Ulung tiba-tiba. Sepasang matanya yang mencorong te-
rus memperhatikan keadaan sekitarnya.
Raja Racun beserta keempat orang kawannya se-

gera menghentikan langkah di samping Pendidik
Ulung. Kemudian seperti mendapat perintah, segera
memperhatikan seputar  tempat itu. Namun sayang,
mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencuriga-
kan.
"Apa kau melihat sesuatu, Tua Bangka Keparat?!
Kami tidak melihat sesuatu. Ah...! Kau ini mengada-
ada saja!" tukas Raja Racun jengkel. 
Di tempat persembunyiannya, Putri Sekartaji me-
rasa heran bukan main melihat Pendidik Ulung ber-
sama kelima orang tokoh sesat itu. Lebih herannya lagi
ketika melihat sikapnya yang mirip orang linglung.
Demikian pula Siluman Ular Putih yang tak habis
pikir sejak tadi. 
"Sungguh aku tak mengerti, mengapa orang tua
itu bisa bersama-sama Raja Racun dan kawan-kawan?
Bukankah ia ingin menghadiri pertemuan para pende-
kar di puncak Gunung Kelud? Tapi, kenapa sekarang
berada di sini? Dan mengapa pula sikapnya tampak
aneh sekali. Wajahnya pucat pasi. Tingkah lakunya
kaku mirip mayat. Ah...! Pasti ada sesuatu terhadap
orang tua itu! Kalau tidak, mana mungkin sudi mela-
kukan perjalanan bersama Raja Racun dan kawan-
kawan," gumam Soma lagi. 
"Aneh! Aku tak tahu, apa yang telah terjadi terha-
dap orang tua itu? Ada apa sebenarnya? Dan bukan-
kah di tangan orang tua tinggi besar itu Lukisan Da-
rah? Mengapa bisa jatuh ke tangannya? Dan juga,
mengapa gambarnya bisa berubah menjadi gambar se-
buah peta? Atau, jangan-jangan lukisan itu bukan Lu-
kisan Darah? Ah...! Tak mungkin! Sewaktu aku kecil,
aku pernah iseng-iseng masuk ke ruang pusaka dan
melihat-lihat pusaka kadipaten, termasuk Lukisan Da-
rah itu! Ya ya ya...! Sekarang aku ingat. Itu pasti Luki-
san Darah yang telah dicuri orang!" pikir Putri Sekarta-

ji pula dalam hati.
Seketika Putri Sekartaji menggeretakkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Ingin rasanya gadis itu se-
gera merampas Lukisan Darah kalau tidak merasakan
sentuhan lembut di jari-jari tangannya. Si gadis tersa-
dar. Dilihatnya Soma tengah menggeleng-gelengkan
kepala sambil menunjuk-nunjukkan jari ke bawah.
Putri Sekartaji mengangguk seraya menggigit bi-
bir. Di bawah sana tampak Raja Racun tengah mema-
rahi Pendidik Ulung. Anehnya lagi, yang dimarahi tam-
pak demikian tunduk dan takut.  
"Dasar tua bangka bau tanah! Mau modar saja
pakai bertingkah macam-macam! Hayo, lekas tinggal-
kan tempat ini!" hardik Raja Racun kasar pada Pendi-
dik Ulung.
Pendidik Ulung hanya menunduk. Lalu setelah
lengannya disentak kasar, terpaksa tubuhnya segera
berkelebat di belakang Raja Racun yang kemudian
disusul yang lain.    
"Ini bukan urusan main-main, Putri! Kulihat ada
sesuatu yang tidak beres menimpa orang tua yang
pernah kita jumpai itu," kata Soma setelah keenam so-
sok itu menghilang di balik kegelapan malam.     
"Ya ya ya...! Aku juga dapat melihat kejadian yang
tidak beres tengah menimpa orang tua itu. Kasihan se-
kali!" desah Putri Sekartaji.
"Dan kukira, sekarang kita harus membagi tugas!
Sebenarnya, berat memang. Tapi, apa boleh buat? Ter-
paksa kita harus berpisah untuk sementara waktu.
Aku ingin menyelidiki sekaligus menyelamatkan orang
tua itu. Dan kau harus segera menuju puncak Gunung
Kelud, guna mengikuti jalannya pertemuan para pen-
dekar. Nanti kalau sudah selesai menyelamatkan orang
tua itu, baru aku menyusulmu ke puncak Gunung Ke-
lud."

"Tapi...," keluh Putri Sekartaji keberatan. Tanpa
sadar jari-jari tangannya makin erat menggenggam ja-
ri-jari tangan Soma.
"Tidak ada tapi-tapian, Putri. Ini bukan urusan
main-main," ujar Siluman Ular Putih dengan senyum
manis terkembang di bibir.
"Ba... baiklah," sahut Putri Sekartaji seraya me-
nunduk dalam-dalam. Tak kuat rasanya ia mendapat
senyum manis pemuda tampan di hadapannya.
"Ya, sudah! Kalau begitu, lekas lepaskan tangan-
ku. Dan kau boleh langsung menuju ke puncak Gu-
nung Kelud!" ujar Soma, kali ini diiringi senyum meng-
goda.
Putri Sekartaji buru-buru melepaskan pegangan
tangannya. Parasnya pun mendadak jadi merona me-
rah. Untung saja kegelapan malam cukup menyembu-
nyikan wajahnya yang merah dadu, menahan malu.
"Kau memang sialan, Soma! Bisanya hanya meng-
godaku. Padahal, kau sendiri yang mulai menggeng-
gam tanganku!"
Soma hanya tertawa bergelak. Namun, juga tidak
menyangkal ucapan Putri Sekartaji.
"Iya, kan? Kau yang memulai?" sungut Putri Se-
kartaji kesal.
"Sudahlah! Soal sepele begitu saja dibesar-
besarkan. Sana kalau mau pergi!" kata Soma seraya
mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar Putri
Sekartaji cepat pergi.
"Enak saja bilang sudah!"
"Iya iya! Aku  memang yang mulai. Tapi sudah,
dong! Sana kalau mau pergi!" kata Soma mengalah
"Baik. Tapi benar, ya? Kau harus menyusulku di
puncak Gunung Kelud!"
"Iya, iya!"


6

Menjelang pagi hari, Pendidik Ulung beserta lima
tokoh sesat yang mengikutinya tiba di puncak Gunung
Kembang. Sering kali lelaki tua itu memalingkan kepa-
la ke belakang sambil mengamati keadaan sekitar den-
gan seksama. Seolah, ia merasa ada penguntit sejak
mereka meninggalkan Hutan Minden.
Raja Racun yang tidak begitu mempedulikan Pen-
didik Ulung hanya mendengus geram.
"Hm...! Bisa jadi apa yang dikatakan tua bangka
ini benar. Ada seseorang yang terus mengikuti perjala-
nanku bersama teman-teman. Sebab aku tahu, Pendi-
dik Ulung memiliki kesaktian tinggi. Rasa-rasanya aku
sendiri pun sulit sekali menundukkannya...," gumam
lelaki berwajah seram ini.
Raja Racun lantas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Lalu tatapannya berhenti pada Raja Maling.
"Raja Maling! Apa benar ini tempat yang dimaksud
seperti yang tergambar peta Lukisan Darah?" tanya
Raja Racun.
"Benar! Benar sekali! Tempat inilah yang seperti
tercantum dalam peta Lukisan Darah. Aku yakin seka-
li, Raja Racun. Hayo, sekarang kita harus mencari
Penguasa Alam!"
"Tapi apa kau yakin kalau Penguasa Alamlah yang
telah mengangkangi harta karun milik Kadipaten Pleret
selama ini, Raja Maling?" tanya Algojo Dari Timur ingin
tahu.
Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Usianya li-
ma puluh tahun. Pakaiannya jubah besar berwarna
kuning dan merah. Wajahnya menyeramkan. Matanya
besar dan hidung besar. Di telinga  kirinya menggan-
tung anting bundar besar. Kepalanya hampir plontos,

kecuali kuncir rambutnya di bagian atas.
"Aku sendiri kurang tahu pasti. Tapi bisa jadi
orang yang bergelar Penguasa Alam sedikit banyak
mengetahui letaknya harta karun itu. Sebab di dalam
Lukisan Darah pun, tercantum nama Penguasa Alam,"
sahut Raja Maling menjelaskan.
Tanpa ada yang tahu, tak jauh dari tempat itu se-
pasang mata tengah mengawasi. Pemilik sepasang ma-
ta itu adalah penguntit yang tadi sempat ditangkap ge-
rakannya oleh Pendidik Ulung. Dan sosok itu memang
Siluman Ular Putih. Kini Soma terkejut bukan main
begitu mendengar penjelasan Raja Maling.
"Hm...! Jadi Lukisan Darah yang telah dicuri Raja
Maling menyimpan harta karun Kadipaten Pleret. Pan-
tas-pantas! Kepergian mereka kemari pun tentu atas
perintah Pangeran Pemimpin. Sebab, mereka semua
adalah kaki tangannya. Hm...! Kukira aku harus me-
nyelamatkan harta karun itu terlebih dahulu..," gu-
mam Siluman Ular Putih dalam hati.
Habis menggumam, Siluman Ular Putih kembali
memperhatikan gerak-gerik enam orang yang diin-
tainya. Tampak sekali kalau Raja Racun tak sabar me-
nunggu munculnya Penguasa Alam.
"Penguasa Alam, keluar! Aku, Raja Racun Dari Se-
latan, ingin bertemu!" teriak Raja Racun nyaring.
Tidak ada sahutan. Hanya suara kasar dan berat
milik Raja Racun saja yang bergema di lereng-lereng
jurang. Lelaki berwajah menyeramkan ini gusar bukan
main.
"Penguasa Alam! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu! Aku ingin tahu, di mana kau sembunyikan
harta karun milik mendiang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding!"
Kali ini yang berteriak Raja Maling. Sebagai murid
Maling Tanpa Bayangan, sudah pasti ia tahu akan Lu-

kisan Darah. Berikut pembuatnya yang sekaligus juga
pemilik harta karun.
Kembali tidak ada sahutan. Pendidik Ulung beser-
ta kelima tokoh sesat yang berada di puncak Gunung
Kembang mulai dicekam perasaan tegang. Namun se-
lang beberapa saat....
"Ha ha ha...!"
Bummm...!
Mendadak terdengar suara tawa bergelak yang
kemudian disusul bunyi keras bagai ledakan di kejau-
han yang mampu mengguncangkan puncak Gunung
Kembang!
"Manusia bermulut kotor! Beraninya kau berkata
begitu padaku, he?! Akulah pemilik harta karun yang
sebenarnya!"
Mendadak terdengar bentakan nyaring. Anehnya
meski diucapkan dari jarak jauh, tapi mampu mengge-
tarkan jantung semua orang yang berada di puncak
Gunung Kembang. Jelas, orang yang membentak tadi
memiliki tenaga dalam luar biasa. Bahkan kemudian
disusuli oleh suara langkah yang cukup menggun-
cangkan tempat ini.

***

Pendidik Ulung dan semua yang berada di puncak
Gunung Kembang terkesiap kaget. Apalagi saat melihat
seorang lelaki bertubuh tinggi besar seperti raksasa
berkulit hitam legam dari balik kegelapan malam. So-
sok itu demikian mengerikan. Sepasang matanya ber-
warna merah menyala. Wajahnya garang. Rambutnya
yang ikal dibiarkan awut-awutan di bahu. Sedang tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian ketat warna
hitam.
"Penguasa Alam...!" desis Raja Racun.

Sosok tinggi besar yang dikenal sebagai Penguasa
Alam menghentikan langkah beberapa tombak di de-
pan rombongan kecil utusan Pangeran Pemimpin itu.
Kedua kakinya dipentangkan lebar. Sepasang matanya
menatap satu persatu para tamu yang tak diundang.
"Siapa yang tadi bertingkah menyuruhku menun-
jukkan harta karun milikku?!" bentak Penguasa Alam
garang.
Raja Racun dan kelima orang lainnya sempat me-
nyurutkan langkah setindak ke belakang. Diam-diam
mereka mulai dicekam rasa tegang.
"Kau tidak berhak mengangkangi harta karun mi-
lik Kadipaten Pleret, Penguasa Alam! Sekarang salah
seorang keturunan Adipati Pleret Tua yang bergelar
Pangeran Pemimpin ingin meminta harta karun itu
kembali. Harap kau sudi menyerahkannya secara baik-
baik!" kata Raja Maling lantang.
Penguasa Alam tertawa bergelak. Suaranya berat
dan kasar, seolah ingin merobek kesunyian malam.
Dan begitu tawanya berhenti, sepasang matanya berki-
lat-ki-lat penuh kemarahan dengan dada bergerak tu-
run naik.
"Dengar, tikus-tikus comberan! Buka telinga ka-
lian lebar-lebar! Akulah pemilik harta karun itu yang
sebenarnya. Siapa pun juga tidak boleh merampas
harta karun itu dari tanganku!"
"Siapa percaya bacotmu, Penguasa Alam?! Lekas
tunjukkan letak harta karun itu! Atau kalau tak bisa,
lekaslah kau enyah dari hadapanku! Biar aku yang
men-cari sendiri," bentak Raja Maling jengkel.
Penguasa Alam mendengus. Sepasang matanya
sejenak memperhatikan Lukisan Darah di tangan Raja
Maling yang tidak lagi bergambar seorang wanita telan-
jang berwarna merah darah, tapi gambar sebuah peta
yang menunjukkan letak harta karun yang tengah di-

perebutkan!
"Setan alas! Jadi kalian sudah mendapatkan peta
itu?! Berarti kalian semua harus modar di tanganku!"
geram Penguasa Alam penuh kemarahan.
Habis menggeram, Penguasa Alam segera menca-
but senjata andalan berupa gada besi berwarna kuning
yang terselip di punggung. Dan disertai suara mengge-
legar tubuhnya meluruk menyerang. Senjata andalan-
nya segera diputar-putar hebat.
Bet! Bet! 
Sebelum gada di tangan Penguasa Alam mengenai
sasaran, terlebih dahulu berkesiur angin kencang me-
nyambar-nyambar kulit tubuh. Keenam utusan Pange-
ran Pemimpin segera berloncatan ke sana kemari,
membuat hantaman gada di tangan Penguasa Alam sa-
lah sasaran.
Blaaam...!
Bumi bergetar hebat laksana ada gempa saat gada
itu menghantam tanah. Bagian yang terkena hanta-
man kontan berlubang besar setelah tanahnya ter-
bongkar.
Penguasa Alam menggeram penuh kemarahan.
Sepasang matanya yang berwarna merah menyala ma-
kin berkilat-kilat mengerikan.
"Jahanam...! Jangan dikira aku tidak dapat me-
lumat kalian semua! Makanlah gadaku! Heaaa...!"
Dengan teriakan membelah langit, Penguasa Alam
melesat deras. Gada besi di tangan kanannya kembali
diayunkan dari samping kanan ke kiri. Begitu ganas
serangan itu, sampai-sampai Pendidik Ulung tak
mampu menghindarinya. Lalu....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tubuh Pendidik Ulung limbung ke samping. Tapi
seketika tubuhnya cepat diputar. Lalu dengan satu

ayunan  tubuh, jari-jarinya berkelebat ke pinggang
Penguasa Alam.
Wutt...!
Penguasa Alam melompat setindak ke belakang,
membuat serangan Pendidik Ulung hanya menyambar
angin. Bahkan gada di tangan kanannya kembali me-
layang ke arah kepala Pendidik Ulung. Untungnya pa-
da saat yang sama, Algojo Dari Timur cepat meluruk
sambil mengibaskan parang besar, memapas gerakan
gada si tangan Penguasa Alam. 
Trang!
Bunga api kontan berpijar saat parang besar yang
berisi tenaga dalam tinggi berbenturan dengan gada
Penguasa Alam. Tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur
sendiri sempat terhuyung-huyung beberapa tindak ke
belakang, pertanda tenaga dalam tokoh sesat dari wi-
layah timur itu masih kalah beberapa tingkat di bawah
Penguasa Alam.
Melihat Algojo Dari Timur kewalahan menghadapi
Penguasa Alam, Raja Racun segera berkelebat cepat
menerjang. Di belakangnya, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja Maling pun segera membantu.
Wuttt! Wuttt!
Empat senjata berbeda milik Raja Racun, Denok
Supi, Raja Golok, dan Raja Maling berkelebatan siap
mencincang tubuh Penguasa Alam. Namun anehnya,
lelaki bertubuh raksasa ini hanya diam di tempatnya.
Sedikit pun tidak ada keinginan untuk menghindar,
seolah siap menyambut datangnya maut.
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan hati para
pengeroyok. Namun karena sudah telanjur ingin segera
mendapatkan harta karun, maka tanpa mengenal be-
las kasihan sedikit pun mereka malah makin melipat-
gandakan tenaga dalam.
Crakkk! Crakkk!

Telak sekali empat senjata tajam itu mengenai tu-
buh Penguasa Alam. Namun anehnya sedikit pun tu-
buhnya tak terluka! Malah begitu senjata-senjata itu
menghantam seketika tampak semburat cahaya merah
menyala dari tubuh Penguasa Alam!
"Aaah...!"
Hebatnya lagi, mendadak keempat orang penge-
royok itu kontan menjerit setinggi langit. Buru-buru
mereka membuang tubuh masing-masing ke belakang!
"Aji.... Aji 'Tangkal Petir'...!" desis Denok Supi ter-
kesima.
Tubuh wanita sesat ini tadi sempat merasakan sa-
tu getaran hebat begitu pedangnya membabat tubuh
Penguasa Alam. Bahkan kini tubuhnya luruh ke tanah
dengan wajah pias! 
Hal yang sama pun dialami ketiga orang penge-
royok Penguasa Alam lainnya. Seketika mereka kontan
merasakan satu getaran hebat yang tiba-tiba menye-
rang. Bahkan dengan napas tersengal, mereka luruh di
tanah, seolah-olah telah kehilangan banyak tenaga!
"Bagus! Rupanya kalian sudah tahu ajian 'Tangkal
Petir'-ku! Maka saat ini pulalah kalian semua harus
modar di tanganku!" dengus Penguasa Alam garang,
langsung meluruk deras.
Gada besi kuning di tangan kanan lelaki raksasa
ini kembali bergerak mengerikan. Keempat orang pen-
geroyok Penguasa Alam yang masih bersimpuh di ta-
nah tak bertenaga semakin pucat pasi. Rasanya sulit
bagi mereka menghindari serangan. Dan sedikit lagi
gada di tangan kanan Penguasa Alam menemui sasa-
ran, mendadak Penguasa Alam menghentikan  seran-
gannya disertai dengusan penuh kemarahan. Saat ini
dirasakannya angin panas yang bukan kepalang telah
menyambar punggungnya. Lalu....
Bukkk! Bukkk!

"Heeah...!"
Penguasa Alam menggembor penuh kemarahan.
Seketika tubuhnya terpental jauh ke belakang, mem-
buat amarahnya makin memuncak ke ubun-ubun.
Namun hebatnya, tubuh tinggi besarnya sedikit pun
tidak mengalami cedera!
"Heaaa...!"
Bahkan dengan teriakan ganas, Penguasa Alam
bangkit berdiri. Seketika, diserangnya Algojo Dari Ti-
mur yang tadi melontarkan serangan dengan pukulan
jarak jauh.
"Setan alas! Kaulah yang pertama kali modar di
tanganku, Setan Gundul!" bentak Penguasa Alam di
antara ayunan gada di tangannya yang mengerikan.
"Uts...!"
Algojo Dari Timur segera merunduk ke bawah. Di
saat gada di tangan Penguasa Alam menyambar tem-
pat kosong, mendadak ujung runcing parang di tan-
gannya telah menyodok ulu hati dengan kekuatan pe-
nuh.
Clep!
"Augh...!"
Seketika Penguasa Alam memekik setinggi langit.
Begitu parang menembus ulu hati, mendadak sekujur
tubuh Penguasa Alam menyala! Pada saat itulah Pen-
guasa Alam kembali menggerakkan gadanya menye-
rang balik Algojo Dari Timur tanpa ampun! 
"Makanlah gada besiku, Setan Gundul!" bentak
Penguasa Alam, di antara kelebatan gadanya yang dis-
ertai tenaga dalam penuh. Dan....
Prakkk!
Darah merah seketika berhamburan dari kepala
Algojo Dari Timur ketika gada Penguasa Alam meng-
hantam kepala. Tanpa mengeluarkan erangan tubuh
tokoh sesat dari timur itu ambruk. Tubuhnya yang

tinggi besar melejang-lejang, lalu tak bergerak-gerak
lagi. Tewas!
Melihat salah seorang pengeroyok tewas, nafsu
membunuh Penguasa Alam malah makin menjadi. Dan
di saat lelaki tinggi besar ini hendak menghabisi Raja
Racun yang baru saja merangkak bangun, menda-
dak....
"Heaaat...!"
"Uts...!"
Pendidik Ulung datang menghadang. Jari-jari tan-
gannya yang berwarna putih berkilauan gantian men-
gancam sepasang mata Penguasa Alam!
Penguasa Alam melompat mundur beberapa tin-
dak. Walau dirinya kebal terhadap berbagai macam
pukulan maut dan senjata tajam berkat aji 'Tangkal
Petir', namun tetap saja tidak mampu melindungi ba-
gian mata. Itu sebabnya ia harus segera menghindar.
Pada saat yang sama, Denok Supi telah bangkit
dan kembali menyerang. Pedang di tangannya kembali
siap mengancam sepasang mata Penguasa Alam. Bu-
ru-buru lelaki tinggi besar ini memutar gada untuk
menangkis. Sementara tangan kirinya menyusup me-
nyerang dada kiri wanita sesat itu.
Trang! Crap!
"Aaa...!"
Denok Supi menjerit menyayat. Tubuhnya kontan
ambruk dan melejang-lejang sebentar. Kemudian keti-
ka nyawanya lepas dari badan, tubuhnya diam tak
bergerak dengan dada berlubang!
"Grrahhh...!"
Penguasa Alam mendengus mirip kerbau mau dis-
embelih. Jantung Denok Supi yang telah tercengkeram
di tangan kiri, segera dilontarkan ke arah Pendidik
Ulung yang kembali datang menyerang.
"Tua bangka macammu pun tak pantas lagi ber-

hadapan denganku! Majulah! Aku juga ingin melihat
apakah jantungmu juga berwarna merah?" ejek Pengu-
asa Alam.    
"Uts...!"
Srett! Srett!
Pendidik Ulung hanya mengegoskan tubuh ke
samping seraya meloloskan senjata andalan yang be-
rupa sepasang pena. Kali ini tidak tanggung-tanggung
lagi. Segera dikeluarkannya jurus pamungkas ‘Tulisan
Maut Dewa Kayangan’ yang dipadukan dengan totokan
'Jari Putih Dewa Kayangan'!
Penguasa Alam tersenyum dingin. Dilihatnya,
Pendidik  Ulung mulai menggurat-guratkan kedua
ujung penanya di udara membentuk huruf-huruf gaib
ciptaannya sendiri. Pena di tangan kanan menggurat-
gurat lembut dari kanan ke kiri. Pena di tangan kiri
menggurat-gurat lembut dari kiri ke kanan. Dan....
Ciit...! Ciiittt...! 
Seketika terdengar suara mencicit yang teramat
memekakkan telinga.
Penguasa Alam yang semula memandang remeh
jurus yang dikeluarkan Pendidik Ulung, sejenak
menghentikan serangan. Kini sepasang matanya berki-
lat-kilat penuh kagum melihat jurus hebat yang tengah
dikeluarkan Pendidik Ulung. Maka saat itu juga ajian
‘Tangkal Petir’-nya makin dilipatgandakan.
"Hea...!"
Tiba-tiba Pendidik Ulung mempertemukan kedua
ujung senjata di tangannya di udara. Seketika tampak
selarik sinar putih yang menyilaukan mata telah mele-
sat menyerang tubuh Penguasa Alam!
Bukkk!
Penguasa Alam menggereng hebat. Suaranya yang
keras dan berat seakan-akan ingin merobek angkasa
raya. Sedang tubuhnya pun kontan terbanting keras di

tanah, begitu selarik sinar putih tadi mengenai da-
danya.
Namun berkat aji ‘Tangkal Petir’, kembali tubuh
Penguasa Alam tidak terluka! Jangankan terluka, ter-
gores kulit tubuhnya pun tidak! Bahkan begitu bang-
kit, lelaki bertubuh raksasa itu segera menyerang ga-
nas.
Memang sungguh hebat bukan main aji ‘Tangkal
Petir’ milik Penguasa Alam. Hal ini diam-diam mem-
buat hati Raja Racun dan kawan-kawan mulai ciut.
Apalagi menyadari kalau dua dari mereka telah terbu-
jur kaku menjadi mayat Entah sudah berapa kali me-
reka mencari akal untuk menundukkan Penguasa
Alam. Namun anehnya lelaki tinggi besar itu tetap saja
sulit ditundukkan. Malah kini serangan-serangan ba-
liknya kocar-kacir.
"Bedebah! Kau belum mau juga menunjukkan di
mana letaknya harta karun. Penguasa Alam?!" bentak
Raja Maling garang.
"Jangan banyak bacot! Kau tidak layak menyebut-
nyebut harta karun milikku! Kematian macam apa
yang kau inginkan sekarang! Biar aku lebih mudah
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" bentak
Penguasa Alam sambil terus menyerang hebat.
"Bagus! Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tapi
kalau  kau masih bersikeras tidak mau menunjukkan
letak harta karun, apa kau pikir kau sanggup meng-
hadapi aji 'Sirep Sukma'-ku he?!" balas Raja Maling.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu! Aku tidak
takut! Siapa pun juga yang berani mengusik harta ka-
run milikku, berarti mati!" dengus Penguasa Alam tak
kalah gertak.
"Betul! Apalagi meminta hak yang bukan miliknya!
Termasuk juga kau, Penguasa Alam! Kau pun tak pan-
tas memiliki harta karun itu!"

Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan yang entah
dari mana datangnya.

***

7

Penguasa Alam, Raja Maling, Raja Racun, dan Ra-
ja Golok terperangah kaget. Seketika sepasang mata
mereka melotot ke arah datangnya suara. Tak jauh di
hadapan mereka kini berdiri seorang pemuda beram-
but gondrong yang memiliki rajahan bergambar ular
putih kecil di dada yang terbungkus rompi bersisik
warna putih keperakan. Celananya pun bersisik warna
putih keperakan. Dia tidak lain adalah murid Eyang
Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
"Setan alas! Tak tahunya hanya seekor monyet ke-
sasar!" dengus Penguasa Alam jengkel.
Namun rupanya tidak demikian halnya para utu-
san Pangeran Pemimpin. Dari raut wajah jelas mereka
sangat terkejut melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu. Terutama, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan Raja Maling yang sedikit  pernah merasakan
kehebatan Siluman Ular Putih. Sedang Pendidik Ulung
hanya tegak kaku mirip orang linglung. Sedikit pun ti-
dak terpengaruh oleh kemunculan Siluman Ular Putih
yang sempat dikenalnya. Malah sepasang matanya
yang mencorong tajam memperhatikan Penguasa
Alam, karena memang diperintahkan untuk membu-
nuh lelaki bertubuh raksasa itu.
"Hm...! Jadi rupanya benar. Pasti ada apa-apanya
dengan orang tua di hadapanku. Kalau tidak salah, da-
lam tubuhnya telah mengeram satu hawa racun yang
mempengaruhi jalan pikirannya. Entah hawa racun

apa. Dan kalau aku ingin menyelamatkannya sekaligus
merebut Lukisan Darah di tangan Raja Maling, aku ha-
rus berlaku hati-hati. Kalau perlu, harus menghindari
bentrokan dengan Penguasa Alam. Kulihat tokoh sesat
dari Gunung Kembang memiliki aji ‘Tangkal Petir’ yang
sangat dahsyat...," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati.
Dan mendengar bentakan Penguasa Alam tadi, Si-
luman Ular Putih hanya tersenyum-senyum nakal.
Namun otaknya yang cerdik terus bekerja, bagaimana
caranya agar Penguasa Alam tetap menghadapi para
utusan Pangeran Pemimpin.
"Selamat bertemu kembali, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan kau Raja Maling! Apa kabar? Apa kalian ber-
maksud membuat onar di tempat ini? Pantas saja Pen-
guasa Alam tidak menyukai kedatangan kalian!" oceh
Siluman Ular Putih cerdik.
"Tutup bacotmu, Bocah! Kau pun mau apa datang
kemari?! Mau merampas harta karun itu, kan?!" ben-
tak Penguasa Alam garang.
"Sabar, Penguasa Alam! Kukira kau sedikit lebih
bermurah hati dibanding tiga bangkotan tua itu! Aku
tidaklah selicik ketiga orang utusan Pangeran Pemim-
pin!" tangkis Siluman Ular Putih, seraya menunjuk Ra-
ja Racun dan dua orang kawannya.
"Setan alas! Kau belum menjawab pertanyaanku,
Bocah! Mau apa kau datang kemari, he?!" hardik Pen-
guasa Alam lagi garang.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum. Lalu entah
kenapa, tangannya sudah menggaruk-garuk kepala.
"Aku tidak mau apa-apa. Tapi kalau kau ingin li-
hat apa yang akan kulakukan, baiklah! Sekarang,
minggirlah sebentar! Atau kalau kau tidak ada kerjaan,
boleh menghajar Raja Racun dan Raja Golok yang
pongah itu. Terus terang, aku ada sedikit urusan den-

gan manusia gembur ini!" tuding Soma yang dikenal
sebagai Siluman Ular Putih pada Raja Maling.
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular Putih se-
gera berjalan mendekati Raja Maling. Tanpa sadar, le-
laki gembur itu menyurutkan langkah setindak ke be-
lakang.
"Hayo, Penguasa Alam! Cepat hajar dua bangkotan
tua itu! Biar aku mengurus manusia gembur ini!" kata
Soma, seraya menatap Penguasa Alam.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Kau pun tak akan
lepas dari tangan mautku!" hardik Penguasa Alam.
Namun, akhirnya ia mau juga menuruti kata-kata Si-
luman Ular Putih.
"Iya, iya! Masalah urusanmu denganku gampang.
Asal, urus dulu dua bangkotan tua itu. Biar aku yang
mengurus manusia gembur ini. Nanti kalau sudah se-
lesai, baru urusan kita diselesaikan," sahut murid
Eyang Begawan Kamasetyo sekenanya.
Habis berkata, perhatian Siluman Ular Putih pun
kembali tertuju pada Raja Maling.
"Ayo, Raja Maling! Kenapa melotot saja? Apa nya-
limu sekarang sudah terbang? Ah...! Kenapa mesti ta-
kut padaku? Hayo, maju! Aku ingin lihat, seperti apa
sih kehebatan Raja Maling yang telah berani mencuri
Lukisan Darah di kadipaten!" ejek Siluman Ular Putih
memanas-manasi.
"Kunyuk gondrong! Kalau kami tidak sedang
mempunyai urusan besar, sudah pasti kuremukkan
batok kepalamu! Lekas enyah dari hadapanku!" bentak
Raja Maling, menutupi rasa gentarnya.
Soma hanya tertawa kecil. Sementara saat itu,
Penguasa Alam sudah kembali bertarung hebat mela-
wan ketiga orang pengeroyoknya. Melihat hal ini Silu-
man Ular Putih tersenyum senang. Ternyata, siasat
mengadu dombanya berjalan lancar.

"Memang sebenarnya aku malas berurusan den-
ganmu. Takut! Takut ketularan penyakit jahilmu. Mal-
ing? Hih...! Aku tak sudi jadi maling! Hayo, sekarang
lekas serahkan barang  curianmu padaku, Biang Mal-
ing!" lanjut Soma.
"Hm...! Rupanya kau pun berminat memiliki Luki-
san Darah, Bocah! Jangan mimpi!"
"Ah...! Kau ini sebenarnya ngomong apa buang air
sih? Kalau ngomong kok bau. Tapi, kalau buang air
kok lewat mulut, hih!"
Bukan main marahnya Raja Maling mendengar
ejekan pemuda berjuluk Siluman Ular Putih kali ini. Ia
hanya sempat menggereng penuh kemarahan, sebelum
akhirnya menyerang hebat dengan rantai baja di tan-
gan.
"Jahanam! Mulutmu terlalu lancang, Bocah! Ma-
kanlah rantai bajaku!" bentak Raja Maling tak dapat
lagi mengendalikan amarah.
Sambil masih memegang Lukisan Darah di tangan
kiri, Raja Maling mengayunkan rantai baja di tangan
kanan dari atas ke bawah. Dengan cara demikian Si-
luman Ular Putih hendak dirobohkannya hanya dalam
satu gebrakan.
"Jangan terlalu bernafsu, Raja Maling! Awas jaga
kumismu! Nanti brondol baru tahu," ejek Siluman Ular
Putih.
Siluman Ular Putih terus memanas-manasi sambil
berkelebat cepat ke sana kemari. Dan dengan gerakan
yang cepat luar biasa, tahu-tahu tangan kirinya telah
berkelebat ke arah kumis Raja Maling.
Bret!
"Auuhh...!"
Raja Maling meraung kesakitan saat kumisnya di-
buat brondol oleh Soma. Seketika darah segar menetes
dari kumisnya yang tercabut paksa sebagian. Dan di

saat Raja Maling terperangah kaget, tahu-tahu Silu-
man Ular Putih telah merampas Lukisan Darah di tan-
gan kirinya.
Raja Maling menggeram penuh kemarahan.
Soma hanya tertawa bergelak.
"Ah...! Sekarang kau kelihatan lucu sekali, Raja
Maling! Kumismu brondol sebagian! Kau.... Kau kini
mirip benar orang-orangan yang dipajang di tengah
sawah!" ejek Soma sambil menuding muka Raja Mal-
ing.
Bukan main gusarnya Raja Maling saat itu. Belum
pernah ia mendapat hinaan demikian rupa. Apalagi,
oleh seorang pemuda bau kencur seperti itu.
"Jahanam...! Belum puas aku kalau belum mere-
guk darah busukmu, Bocah! Sekarang, terimalah ke-
matianmu hari ini dengan aji 'Sirep Sukma'-ku!"
Mendadak Raja Maling menangkupkan kedua te-
lapak tangan di depan dada. Kedua bibirnya pun ber-
kemik-kemik membaca mantra aji 'Sirep Sukma'. Se-
lang beberapa saat, Siluman Ular Putih merasakan tu-
buhnya lemas sekali. Kelopak matanya terasa berat,
seolah mendapat serangan kantuk luar biasa! Bahkan
kini mulai limbung tak bertenaga.
"Celaka! Kenapa tiba-tiba mataku jadi berat seka-
li? Ah...! Jangan-jangan tua bangka itu mulai menge-
rahkan aji 'Sirep Sukma'!" gumam Soma berusaha se-
kuat tenaga melawan kekuatan gaib yang tiba-tiba
menyerang dirinya. "Hm...! Mumpung kekuatan gaib
Raja Maling belum bertambah, kukira aku harus sege-
ra mengerahkan ilmu sihirku yang kupelajari dari Raja
Penyihir...."
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih segera mengerahkan kekuatan batin. Tam-
pak kedua bibirnya mulai berkemik-kemik menyerang
balik kekuatan gaib Raja Maling.

"Semprul! Kau menggunakan ilmu sulap macam
apa, he?! Kenapa mataku jadi mengantuk begini? Kau
curang, Raja Maling! Jangan-jangan malah kau yang
ku-rang tidur! Hayo, buruan tidur! Kulihat matamu
mengantuk sekali!"
Hebat bukan main getaran suara murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang mengandung kekuatan sihir,
langsung menyerang balik kekuatan gaib Raja Maling.
Seketika tubuh Raja Maling jadi bergetar hebat. Tu-
buhnya limbung tak bertenaga! Kedua kelopak ma-
tanya tiba-tiba merasakan kantuk luar biasa. Lelaki ini
berusaha mengerahkan kekuatan gaibnya. Namun
sayang, yang keluar hanya keluhan kecil. Ia tak sang-
gup melawan getaran kekuatan ilmu sihir Siluman
Ular Putih.
Selang beberapa saat, perlahan-lahan tubuh Raja
Maling luruh ke tanah dan tidur mendengkur!
Soma tertawa bergelak, puas melihat kehebatan
ilmu sihirnya.
"Ah...! Kau ini bagaimana sih, Raja Maling?! Tadi
menyuruhku tidur. Sekarang, malah kau yang ngorok!
Sudah, ah! Sana kalau mau ngorok! Jangan di sini!"
ejek Soma, seraya menendang tubuh Raja Maling.
Bukkk!
Tanpa ampun, tubuh Raja Maling langsung men-
celat tinggi ke udara dan jatuh bergulingan dari pun-
cak Gunung Kembang tanpa sedikit pun mampu men-
geluarkan erangan!
Siluman Ular Putih menatapi Lukisan Darah di
tangannya penuh kagum. Lalu tubuhnya berkelebat
cepat. Begitu sampai di tempat yang aman, disembu-
nyikannya Lukisan Darah di sebuah semak-semak
tebal. Sehingga tak seorang pun yang akan menyangka
kalau di tempat itu terdapat benda berharga.
Selesai dengan pekerjaannya, Siluman Ular Putih

kembali berkelebat ke tempat semula. Dan baru saja
kakinya berhenti melangkah....
"Bedebah! Kau telah membunuh Raja Maling, Bo-
cah!" bentak Raja Racun yang sempat melihat perbua-
tan Soma tadi.

***

Entah kenapa Siluman Ular Putih malah mengga-
ruk-garuk kepala. Senyum nakalnya pun tak tersungg-
ing di bibir.
"Siapa yang membunuh? Aku tidak membunuh.
Aku hanya sebal melihat Raja Maling ngorok di sini.
Lalu kutendang saja dia," kilah Siluman Ular Putih pu-
ra-pura bersikap bodoh.
Raja Racun mengeretakkan geraham penuh kema-
rahan.
"Jahanam...! Kau harus bertanggung jawab atas
tewasnya Raja Maling, Bocah!" geram Raja Racun.
Sekali  memijakkan  kakinya ke tanah, tahu-tahu
Raja Racun telah meninggalkan pertarungannya den-
gan Penguasa Alam. Lalu, mantap sekali kakinya men-
darat beberapa tombak di depan Siluman Ular Putih.
Dan saat melihat sikap Siluman Ular Putih yang pura-
pura berlagak pilon, Raja Racun tidak kuat menahan
gejolak amarahnya.
"Kau memang patut modar di tanganku, Bocah!
Terimalah aji ‘Telapak Tangan Kelabang Hitam’-ku ini!
Heaaa...!" bentak Raja Racun garang.
Tanpa banyak cakap lagi, Raja Racun segera
menghentakkan kedua tangannya ke depan melontar-
kan pukulan maut 'Telapak  Tangan  Kelabang Hitam'.
Seketika melesat dua larik sinar hitam legam dari ke-
dua telapak tangannya yang disertai gemuruh angin
dingin, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih.

Melihat datangnya serangan maut, Siluman Ular
Putih pun tidak berani bersikap seenaknya lagi. Kedua
telapak tangannya yang telah berubah jadi putih te-
rang penuh dengan tenaga 'Inti Bumi' segera didorong-
kan ke depan.
Wesss! Wesss! 
Blammm...!
Terdengar satu ledakan dahsyat di udara begitu
dua kekuatan dahsyat beradu. Puncak Gunung Kem-
bang kontan bergetar hebat seolah ada gempa! Tanah
di seputar tempat pertarungan pun berhamburan ting-
gi ke udara!
Tubuh Raja Racun sendiri pun terpental beberapa
tombak ke belakang. Parasnya pias! Tampak darah se-
gar membasahi sudut-sudut bibir pertanda telah men-
derita luka dalam.
Sementara tubuh Siluman Ular Putih hanya tersu-
rut beberapa tindak ke belakang. Namun sedikit pun
tidak membahayakan bagi keselamatan murid Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Bajingan! Kau selalu menghalang-halangi mak-
sudku, Bocah! Demi iblis aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!" dengus Raja Racun penuh kemarahan.
Siluman Ular Putih hanya tersenyum menggoda.
Mulutnya dimoncongkan ke depan mengejek Raja Ra-
cun.
"Manusia-manusia berhati ular macammu me-
mang patut kubasmi, Raja Racun! Enyahlah ke tempat
asalmu di dasar neraka!" desis Soma tak kalah gertak.
Kedua telapak tangan Siluman Ular Putih yang
berwarna putih berang kembali didorongkan ke depan.
Seketika kembali meluruk dua larik sinar putih terang
dari kedua telapak tangannya.
"Hup!"
Blarrr...!

Raja Racun menggulingkan tubuhnya ke samping
hingga pukulan tenaga 'Inti Bumi' menghantam batu
sebesar gajah di belakangnya hingga hancur berkep-
ing-keping! Kalau saja Raja Racun sedikit terlambat,
bukan mustahil tubuhnyalah yang akan hancur!
Hal ini tentu saja makin membuat nyali Raja Ra-
cun menciut. Apalagi saat itu, Penguasa Alam tampak
masih sanggup meladeni gempuran-gempuran kedua
orang pengeroyoknya dengan mudah. Malah berkali-
kali tubuh Pendidik Ulung dan Raja Golok dibuat jum-
palitan ke sana kemari.
Raja Racun gusar bukan main. Kalau keadaan itu
dibiarkan lebih lama, bukan mustahil Pendidik Ulung
dan Raja Golok akan tewas di tangan Penguasa Alam.
Sedang hal itu tidak diinginkannya. Maka melihat kea-
daan yang kurang menguntungkan, ia merasa harus
bertindak.
"Teman-teman! Kita harus melaporkan kejadian
ini pada Pangeran Pemimpin! Kita tak mungkin mene-
ruskan pekerjaan ini selama masih ada kunyuk gon-
drong itu!" teriak Raja Racun.
"Ya  ya ya...! Begitu juga boleh! Daripada nyawa
kalian melayang percuma di tempat ini!"celoteh Soma
menimpali.
Raja Racun hanya melototkan matanya. Lalu
hanya sekali menjejak tanah, tahu-tahu tubuh tinggi
kurusnya telah berkelebat cepat menuruni puncak
Gunung Kembang.
Di tempat lain, Pendidik Ulung dan Raja Golok se-
dikit mendapat kesulitan saat hendak meninggalkan
tempat pertarungan. Karena Penguasa Alam terus
men-desak. Namun setelah Pendidik Ulung dan Raja
Golok melontarkan pukulan jarak jauh mereka dapat
meninggalkan tempat pertarungan walau harus men-
derita luka dalam cukup parah.

Dan begitu melihat sosok Pendidik Ulung berkele-
bat cepat menuruni puncak Gunung Kembang, Silu-
man Ular Putih yang semula tidak ada niat mengejar
karena lebih mengutamakan merebut harta karun dari
tangan Penguasa Alam, tiba-tiba telah berkelebat ce-
pat. Langsung dihadangnya Pendidik Ulung. Namun
sayangnya lelaki tua itu malah segera menghentakkan
kedua tangannya ke arah Siluman Ular Putih.
Soma menggerutu kesal, saat melihat dua larik si-
nar putih menyilaukan mata melesat dari kedua tela-
pak tangan Pendidik Ulung. Dengan gerakan menga-
gumkan tubuhnya segera dibuang ke samping. Dan
saat selamat dari pukulan jarak jauh, Soma melihat
bayangan Pendidik Ulung dan Raja Golok telah meng-
hilang entah ke mana.    
Siluman Ular Putih kembali menggerutu kesal.
Namun belum sempat bertindak, mendadak....
"Sekarang giliranmu, Bocah! Kau harus modar di
tanganku!"

***