Siluman Ular Putih 12 - Lukisan Darah(2)


 "Hm...!" Pangeran Pemimpin mendengus seraya
mengangguk-anggukkan kepala. "Siapa kau sebenar-
nya, Bocah? Kenapa berani mengacau di tempat ka-
mi?"
"Siapa yang mengacau? Aku tidak mengacau di
tempatmu. Justru kalianlah yang telah mengacau
keamanan Kadipaten Pleret. Apa itu namanya bukan
pengacau?" kata Siluman Ular Putih seenak dengkul-
nya.
"Hm.... Begitu?!" Pangeran Pemimpin menden-
gus. Kedua kupingnya tampak bergerak-gerak, pertan-
da laki-laki yang mengenakan pakaian bangsawan Ja-
wa itu tengah menahan gejolak amarah. "Bocah som-
bong! Apakah kau tidak tahu tengah berhadapan den-
gan siapa, he?!"
"Dia itu yang bergelar Pangeran Pemimpin, Ka-
wan," bisik Putri Sekartaji di telinga Siluman Ular Pu-
tih.
"Ya ya.... Aku sudah tahu. Aku sudah cukup
tahu kalau tampang manusia pemberontak ya sema-
cam dia itu!" kata Soma seraya menudingkan telunjuk
jarinya ke wajah Pangeran Pemimpin.

Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Namun
ia berusaha menahan amarahnya.
"Terserah kau mau bilang apa, Bocah. Yang je-
las saat ini keadaanmu sudah terjepit. Tak mungkin
kau lolos dari tempat ini. Untuk itu cepatlah serahkan
diri. Kalau kau berlaku manis terhadapku, aku pun
akan berlaku  manis terhadapmu pula. Terlebih bila
kau mau diajak kerjasama," Pangeran Pemimpin ber-
kata lunak. Akalnya yang cerdik cepat bekerja agar
dapat merengkuh Siluman Ular Putih untuk menjadi
pembantunya.
"Cih...! Tak tahu malu! Mana sudi kawanku ini
kau ajak merebut takhta Kadipaten Pleret, Pangeran
Pengkhianat!" teriak Putri Sekartaji dengan berapi-api.
Bagaimanapun ia khawatir kalau Soma yang nampak
polos kekanak-kanakan akan bersedia diajak bekerja-
sama oleh Pangeran Pemimpin.
"Tutup mulutmu, Nimas! Aku tidak bicara den-
ganmu!" hardik Pangeran Pemimpin kesal.
Putri Sekartaji mengeretakkan gerahamnya.
Pangeran Pemimpin tidak begitu memperhati-
kan. Sepasang matanya yang licik kini dialihkan pada
Siluman Ular Putih.
"Apa pendapatmu, Bocah? Aku bermaksud baik
padamu.  Aku berkeinginan mengajakmu turut mere-
but takhta Kadipaten Pleret seperti yang dikatakan
adikku itu. Bila nanti perjuangan kita berhasil tentu
aku tidak mungkin melupakan jasamu. Kau boleh
memilih kedudukan apa saja. Apa kau keberatan, Bo-
cah?"
Soma tersenyum-senyum menggoda. Putri Se-
kartaji cemas bukan main. Ia khawatir Soma mulai
terpengaruh tawaran Pangeran Pemimpin.
Soma bergumam sambil mengangguk-
anggukkan kepala. "Jadi benar kan? Kalian memang

gerombolan pemberontak yang tengah dikejar-kejar
pasukan kadipaten. Kau telah mengakuinya sendiri.
Dan mengenai tawaranmu tadi, sebenarnya memang
sangat menggiurkan. Tapi sayang aku tidak mau. Aku
takut Kanjeng Adipati akan murka lalu menggantung-
ku. Mampuslah aku nantinya. Padahal aku masih
doyan makan nasi. Tapi  nggak tahu kalau dirimu.
Mungkin kau sudah bosan makan nasi tempe sehingga
nekat mau bunuh diri dengan jalan seperti ini!" kata
Siluman Ular Putih asal bunyi.
Bukan main marahnya Pangeran Pemimpin
mendengar ucapan Soma. Kedua pelipisnya tampak
bergerak-gerak. Ketua Partai Kawula Sejati itu agaknya
tak dapat lagi mengendalikan amarah. Sementara, di-
am-diam Putri Sekartaji makin mendekati murid Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Tangkap kunyuk gondrong itu!" teriak Pange-
ran Pemimpin tiba-tiba didorong oleh rasa marahnya.
Para anggota Partai Kawula Sejati yang dibantu
tokoh-tokoh sakti dunia persilatan segera melangkah
maju. Namun Pelajar Agung telah lebih dulu memben-
tak garang.
"Mundur! Akulah yang berhak mengirim nyawa
kunyuk gondrong ini ke dasar neraka!"
"Bagus! Yang lainnya boleh menangkap gadis
itu!" kata Pangeran Pemimpin menimpali.
"Sebaiknya kita beradu punggung, Soma," Putri
Sekartaji mengajukan usul.
"Baik. Tapi aku lebih senang kalau kau sele-
kasnya meninggalkan tempat ini, Putri."
"Sekali lagi kau bicara seperti itu, aku tak sudi
jadi kawanmu, Soma!" sungut Putri Sekartaji kesal.
"Ah...! Kenapa kau cemberut begini, Putri?
Baik. Hayo, kita hadapi monyet-monyet pemberontak
ini. Aku pun akan rugi besar kalau kau tidak lagi men-

ganggapku sebagai kawan," kata Soma dengan diiringi
senyuman.
Siluman Ular Putih mencabut keluar senjata
pusaka Anak Panah Bercakra Kembar. Seperti na-
manya, senjata andalan murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu memang sebatang anak panah yang sedikit
melengkung pada bagian ujungnya. Dari bagian ujung
panah yang melengkung melilit kepala ular hingga ke
badan anak panah. Di kepala ular itu tampak dua
buah cakra kembar di kanan kirinya. Sedang di bagian
badan terdapat lobang mirip lobang suling.
Begitu Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga
dalam, hawa dingin yang menggigilkan tubuh meme-
nuhi tempat pertarungan. Sejenak Pangeran Pemimpin
berdecak kagum melihat senjata aneh di tangan Soma.
Ketika dirasakannya hawa dingin menusuk-nusuk ku-
lit, Pangeran Pemimpin gusar bukan main. Rasa ka-
gumnya melihat kehebatan senjata lawan mendadak
sirna, berganti dengan rasa jengkel yang memuncak.
Dilihatnya beberapa anak buahnya yang memiliki ke-
pandaian rendah jatuh bergelimpangan tak kuat me-
nahan amukan hawa dingin. Malah beberapa tokoh si-
lat segera bersemadi untuk mengusir hawa dingin itu.
Pangeran Pemimpin tak ingin membiarkan
anak buahnya sengsara. Beberapa anak buahnya
kembali bergelimpangan dengan wajah pias. Pangeran
Pemimpin kontan menggembor penuh kemarahan.
"Bocah edan! Berani kau menjual lagak di de-
panku. Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!"
Namun belum sempat Pangeran Pemimpin me-
lancarkan serangan, Pelajar Agung telah memegang
lengannya.
"Kunyuk gondrong ini bagianku, Pangeran. Ku-
kira sebaiknya kau urus saja adik tirimu yang cantik
itu. Katanya kau ingin memanfaatkan gadis itu!" kata

Pelajar Agung mengingatkan. 
"Hm...!"
Pangeran Pemimpin mendengus tak senang.
Namun ketika dilihatnya Pelajar Agung telah menye-
rang Siluman Ular Putih, terpaksa ia segera menyerang
Putri Sekartaji dari arah berlawanan. Meski dengan
menggunakan tangan kosong serangan Pangeran Pe-
mimpin yang dibantu beberapa anggota Partai Kawula
Sejati dan tokoh sakti dunia persilatan membuat Putri
Sekartaji kalang kabut.
Keadaan ini tentu saja sangat menyita perha-
tian Siluman Ular Putih. Untung saja Pelajar Agung ti-
dak ingin dibantu para anggota Partai Kawula Sejati,
hingga sedikit banyak Soma dapat membantu Putri
Sekartaji bila mengalami desakan dari para penge-
royoknya.
"Hea...!"
Siluman Ular Putih menghantamkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Seketika dua larik sinar
putih melesat cepat siap melabrak tubuh Pelajar
Agung.
Pelajar Agung rupanya telah siap menghadapi
pukulan tenaga 'Inti Bumi' lawan. Begitu melihat dua
larik sinar putih menyerang dirinya, Pelajar Agung
mencoba memapaki dengan pukulan  'Kelabang Geni'
yang dipelajarinya dari mendiang Manusia Rambut
Merah. 
"Hea...!"
Pelajar Agung melengking tinggi. Dari kedua te-
lapak tangannya membersit sinar merah menyala. 
Blaarrr...!!!
Hebat bukan main benturan dua tenaga dalam
itu. Angin kencang berhamburan memporak-
porandakan semua yang ada di sekitar tempat perta-
rungan. Ranting-ranting pohon hangus terbakar terke-

na sambaran pukulan 'Kelabang Geni'. Sebagian lain
kontan membeku begitu terkena pukulan tenaga 'Inti
Bumi' Siluman Ular Putih.
Tubuh Soma dan Pelajar Agung sendiri terjeng-
kang ke belakang. Isi dada mereka serasa mau jebol.
Pada saat Siluman Ular Putih terjengkang men-
dadak Putri Sekartaji menjerit histeris. Bahunya yang
terkena sambaran pedang salah seorang pengeroyok
mengeluarkan darah segar. Soma cemas bukan main.
Gempuran para pengeroyok Putri Sekartaji tampak
demikian hebat. Putri Sekartaji dipaksa berjumpalitan
ke sana kemari menghindari serangan.
"Hea...! Hea...!"
Pangeran Pemimpin yang dibantu anak buah-
nya dan beberapa tokoh sakti dunia persilatan terus
mendesak Putri Sekartaji. Kalau saja Siluman Ular Pu-
tih tidak cepat bertindak bukan mustahil gadis cantik
itu akan roboh. Untung saja pada saat totokan jari-jari
Pangeran Pemimpin hampir mengenai sasaran, dengan
kecepatan yang luar biasa Siluman Ular Putih melem-
parkan senjata andalannya. 
Wesss!
Pangeran Pemimpin terkesiap kaget. Kalau ne-
kat meneruskan serangan tubuhnya akan jadi sasaran
empuk serangan anak panah. Tentu saja Pangeran
Pemimpin tidak ingin tubuhnya terluka. Dengan san-
gat terpaksa sekali Pangeran Pemimpin kemudian
membuang tubuhnya ke samping. Senjata anak panah
Siluman Ular Putih terus melesat ke belakang.
Pangeran Pemimpin tersenyum girang. Tanpa
mengenai belas kasihan sedikit pun, ia dan beberapa
anak buahnya kembali menyerang Putri Sekartaji. Me-
reka tidak tahu kalau secara tiba-tiba anak panah Si-
luman Ular Putih membalik dan kembali menyerang
para pengeroyok itu dengan kecepatan yang menga-

gumkan.
Clep!
Anggota Partai Kawula Sejati yang berada pal-
ing belakang memekik setinggi langit. Anak panah Si-
luman Ular Putih telak mengenai punggungnya. Pange-
ran Pemimpin dan beberapa anak buahnya seketika
memalingkan kepala. Dilihatnya salah seorang anggota
Partai Kawula Sejati ambruk ke tanah dengan seba-
tang anak panah menancap di punggung.
Pangeran Pemimpin menggembor penuh kema-
rahan. Dilanjutkan lagi serangannya yang tadi tertun-
da. Putri Sekartaji kembali dibuatnya kalang kabut.
Untung saja lagi-lagi Siluman Ular Putih yang
tengah sibuk menghadapi gempuran Pelajar Agung
masih sempat memberi bantuan. Sayang, tindakan ini
telah membahayakan keselamatan Siluman Ular Putih
sendiri. Baru saja pukulan tenaga 'Inti Bumi' dilontar-
kan tiba-tiba Pelajar Agung mengirimkan pukulan
'Cahaya Kilat Biru' ke arah dirinya. 
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih meloncat tinggi ke udara.
Namun dengan gerakan yang sangat tidak terduga, Pe-
lajar Agung telah memapaki lesatan tubuh Soma den-
gan telapak tangan terkembang.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali hantaman dua telapak tangan pe-
nuh pukulan 'Cahaya Kilat Biru' mengenai dada Soma.
Tubuh Siluman Ular Putih langsung terlempar jauh ke
belakang lalu jatuh berdebum di tanah.
Soma mengerang kesakitan. Ia berusaha bang-
kit dengan susah payah. Sayang, tak sanggup. Malah
darah segar menghambur dari mulutnya.
Melihat keadaan Siluman Ular Putih, Putri Se-
kartaji memekik histeris. Hal ini malah memperburuk
keadaannya. Tanpa diduga, jari-jari Pangeran Pemim-

pin berhasil menotok punggung Putri Sekartaji.
Tukkk! Tukkk!
Putri Sekartaji hanya bisa memekik tertahan.
Seketika tubuhnya kaku tak dapat digerakkan.
Melihat Putri Sekartaji telah tertawan, Siluman
Ular Putih menggeram marah. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak. Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu tam-
paknya tak dapat lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak. Mendadak, rambut Soma berubah men-
jadi ratusan ular putih dengan kepala terangkat tinggi-
tinggi!
"Manusia pengecut! Lepaskan gadis itu! Kalau
kalian mengganggu seujung rambut pun, demi Tuhan
aku akan mengobrak-abrik markas kalian!"
Pangeran Pemimpin hanya tersenyum sinis, Se-
dikit pun ia tidak gentar mendengar ancaman Siluman
Ular Putih. Baginya Soma hanyalah seorang pemuda
sakti yang memiliki otak bebal.
"Keadaanmu terjepit, Bocah. Kau tak patut
memerintah aku. Justru kaulah yang harus patuh pa-
da perintahku. Sekarang lekas letakkan senjatamu!"
bentak Pangeran Pemimpin ketika melihat senjata
anak panah telah tergenggam di tangan Soma. Padahal
tadi senjata itu sempat diambil salah seorang anggota
Partai Kawula Sejati.
Pangeran Pemimpin tahu bagaimana cara Si-
luman Ular Putih merebut senjata andalannya itu. Di-
am-diam kekaguman Pangeran Pemimpin makin ber-
tambah. Meski Soma tengah sibuk menghadapi seran-
gan Pelajar Agung. Pemuda itu masih sempat menca-
but senjata anak panahnya dari tubuh sang korban.
"Aku akan melepaskan senjataku kalau kau
pun melepaskan gadis itu, Pangeran Pemberontak!" Si-
luman Ular Putih tak kalah gertak.
Entah kenapa Pangeran Pemimpin tertawa ber-

gelak. Pelajar Agung tampak tak begitu menyukai si-
kap Pangeran Pemimpin. Agaknya ia tidak ingin Silu-
man Ular Putih tewas di tangan Pangeran Pemimpin.
"Jangan banyak bacot, Bocah! Turuti saja ke-
mauanku jika masih ingin melihat gadis cantik ini ber-
kepala utuh!" ancam Pangeran Pemimpin. Jari-jari
tangannya yang membentuk patukan ular siap mere-
mukkan batok kepala Putri Sekartaji.
"Sebenarnya apa maumu, Pangeran Pemim-
pin?" kata Siluman Ular Putih kesal melihat kelicikan
Pangeran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin kembali tertawa bergelak.
"Seperti yang kukatakan tadi, aku hanya ingin
kau bergabung dengan para anggota Partai Kawula Se-
jati untuk merebut takhta Kadipaten Pleret. Kalau kau
masih keberatan tentu aku tak akan segan-segan me-
remukkan batok kepala gadis ini. Sekarang jawab! Kau
sudi bergabung denganku atau tidak?!"
Siluman Ular Putih dicekam kebimbangan. Un-
tuk membiarkan Putri Sekartaji tewas di depan ma-
tanya tanpa dapat membela sedikit pun, jelas ia tidak
rela. Namun kalau menuruti kemauan Pangeran Pe-
mimpin untuk membantu perjuangannya, itu jelas ti-
dak mungkin. Soma akhirnya memutuskan untuk
mengelabui Pangeran Pemimpin dengan ilmu sihirnya.
Siluman Ular Putih mulai mengerahkan kekua-
tan batinnya. Kedua bibir Soma berkemik-kemik. Se-
pasang matanya yang tajam mendadak mencorong ta-
jam mengerikan.
Putri Sekartaji sendiri yang melihat sepasang
mata Soma jadi bergidik ngeri. Namun ketika Siluman
Ular Putih membentak, Putri Sekartaji merasakan
adanya getaran aneh menyerang jalan pikirannya.
"Pangeran Pemimpin! Lepaskan gadis itu. Apa
matamu buta? Coba perhatikan aku baik-baik! Bu-

kankah aku Romomu Adipati Pleret Tua?"
Sekujur tubuh Pangeran Pemimpin bergetar
hebat. Apa yang dilihatnya saat itu benar-benar mem-
buat hatinya heran bukan main. Di hadapannya bu-
kan lagi sosok pemuda gondrong yang mengenakan
pakaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Yang ada sosok lelaki tua berusia tujuh pulu-
han tahun dengan rambut putih digelung ke atas dan
mengenakan pakaian bangsawan Jawa. Itulah pakaian
kebesaran yang biasa dikenakan Adipati Pleret Tua.
"Ba... baik, Romo. Aku akan segera melepaskan
gadis ini," kata Pangeran Pemimpin dengan suara ber-
getar. Perlahan-lahan ia melepaskan Putri Sekartaji
dari ancamannya.
"Bagus! Rupanya kau masih mentaatiku, Pan-
geran Pemimpin. Sekarang lekaslah kalian semua yang
ada di tempat ini untuk bersujud. Kalian tak pantas
menemuiku dengan cara berdiri begini. Hayo, lekas
berlutut!" bentak Siluman Ular Putih lagi. Suaranya
bergetar-getar aneh menyerang jalan pikiran semua
yang ada di halaman samping markas Partai Kawula
Sejati.
Seperti yang diperintahkan Soma, Pangeran
Pemimpin dan juga semua yang ada di halaman samp-
ing langsung menjatuhkan diri ke tanah dan berlutut
di hadapan pemuda itu.
Sebenarnya Soma ingin sekali menggoda Putri
Sekartaji, namun ketika dilihatnya gadis itu tampak
ketakutan maka niatnya diurungkan. Disambarnya
tubuh Putri Sekartaji lalu berkelebat cepat meninggal-
kan tempat itu. Sosok murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu hilang di balik kegelapan malam.
Bersamaan dengan lenyapnya bayangan Silu-
man Ular Putih pengaruh sihir itu pun sirna. Pangeran
Pemimpin murka bukan main. Sadarlah dia kalau te-

lah diperdaya. Sambil berteriak-teriak penuh kemara-
han diperintahkannya beberapa anak buahnya untuk
menangkap Siluman Ular Putih dan Putri Sekartaji.
"Tangkap mereka! Cepat tangkap Siluman Ular
Putih dan Putri Sekartaji!"

***

8

"Soma! Lepaskan totokanku! Aku masih sang-
gup berlari sendiri!" teriak Putri Sekartaji dari pondon-
gan murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Soma tidak mempedulikan. Sambil terus berke-
lebat cepat dari dahan satu ke dahan pohon lain, Soma
hanya tersenyum-senyum menggoda. Putri Sekartaji
jengkel sekali. Tak henti-henti ia terus berteriak hingga
suaranya serak. Namun Soma tetap membawanya per-
gi tanpa menghiraukan teriakan-teriakan itu.
"Soma! Jangan gila! Kau mau bawa aku ke ma-
na? Hayo, lekas lepaskan totokanku, Soma!"
"Kenapa kau berteriak-teriak minta dilepaskan
totokanmu, Putri? Bukankah enak di atas pondongan-
ku? Kau ini bagaimana sih. Orang enak-enak digen-
dong malah minta dituruni. Aku senang sekali kalau
kau mau gantian menggendongku. Apa kau ingin
menggendongku, Putri?" kata Soma menggoda.
Meski Soma berkata demikian, namun sebe-
narnya dalam hati murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu berkata lain. Ia tidak ingin keselamatan Putri Se-
kartaji terancam meski adik tiri Pangeran Pemimpin itu
memiliki kepandaian lumayan. Namun Soma tetap me-
rasa khawatir jika Putri Sekartaji berlari sendiri. Di
samping perjalanan malam itu memang cukup sulit, di

seputar markas Partai Kawula Sejati banyak sekali je-
bakan maut.
"Soma! Apa sebenarnya yang kau inginkan?
Apa kau ingin mencelakakanku? Terkutuklah kau,
Soma! Awas nanti kalau kau  melepaskan totokanku.
Aku pasti tidak akan memaafkan kekurangajaranmu
ini!"
Soma tetap tidak mempedulikan ancaman gadis
cantik dalam pondongannya. Sambil sesekali menggo-
da Putri Sekartaji, Soma terus berkelebat meninggal-
kan markas Partai Kawula Sejati. Sampailah murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu di luar hutan. Baru saja
Soma menghentikan langkah dan bermaksud menu-
runkan tubuh Putri Sekartaji, terdengar bentakan ga-
rang dari sesosok bayangan yang berkelebat datang.
"Berani kau menyentuh tubuh gadis itu berarti
kau tak sayang lagi pada nyawamu, Bocah!"
Soma menautkan alis matanya dalam-dalam.
Sosok di hadapannya benar-benar membuat hatinya
terperanjat. Dia seorang kakek tua renta. Berusia kira-
kira tujuh puluh tahunan. Wajahnya putih bersih. Se-
pasang matanya kelabu dengan alis dan bulu mata
berwarna putih. Ia mengenakan topi hitam panjang mi-
rip topi seorang pelajar. Jubahnya hitam kedodoran
sampai ke lutut. Sosok tinggi kurus yang mirip pe-
nampilan seorang pelajar itu tak lain Marabunta atau
lebih dikenal dengan julukan Pendidik Ulung.
Soma heran bercampur kecut melihat sosok di
hadapannya. Bukan heran melihat penampilannya,
melainkan heran karena melihat kemunculannya.
"Sosok di hadapanku ini jelas memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Apalagi dengan sepa-
sang mata yang mencorong. Aku yakin orang tua renta
ini memiliki tenaga dalam hebat. Siapakah sebenarnya
dia? Kalau ia salah seorang sekutu Pangeran Pemim-

pin, ini benar-benar celaka. Keamanan Kadipaten Ple-
ret dan dunia persilatan terancam!" gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
"Memalukan sekali perbuatanmu, Bocah! Bera-
ninya kau bertindak kurang ajar di hadapanku. Hayo,
lekas lepaskan gadis itu!" bentak Pendidik Ulung ga-
rang.
"Eh eh eh...! Kau menuduhku telah bersikap
kurang ajar. Apa tidak budek telingaku? Jangan-
jangan malah matamu yang lamur? Siapa yang berani
bersikap kurang ajar di hadapanmu? Kenal saja tidak
kok menuduh sembarangan. Enak saja!"
"Apa kau bilang? Kau tidak bersikap kurang
ajar di hadapanku? Apa dengan melarikan seorang ga-
dis di tengah hutan sesunyi ini bukan perbuatan ku-
rang ajar? Kau ini benar-benar memuakkan. Aku pal-
ing benci melihat pemuda pengecut sepertimu! Aku ta-
hu apa yang akan kau lakukan. Kalau saja aku tidak
segera muncul, kau pasti sudah menelanjangi gadis itu
dan memperkosanya. Iya, kan?!"
Soma bersiul-siul kecil mendengar tuduhan
Pendidik Ulung.
"Bocah sinting! Orang ditanya malah bersiul-
siul. Pakai melototi aku lagi. Kau demikian beraninya
menjual lagak di hadapanku Pendidik Ulung!" Kedua
telapak tangan Pendidik Ulung yang telah berubah pu-
tih berkilauan sudah gatal ingin melontarkan pukulan
mautnya.
"Ah...! Jadi... kau.... Pendidik Ulung?! Ibu dan
eyangku bisa marah besar kalau aku tahu tak berlaku
hormat padamu, Orang Tua. Maaf. Aku benar-benar
tidak tahu kau orang tua sakti yang bergelar Pendidik
Ulung," Soma sangat terkejut mendengar keterangan
orang tua di hadapannya. Pendidik Ulung adalah salah
seorang sahabat eyangnya di Gunung Bucu.

"Diam! Kau pikir aku tidak tahu sifat manusia
pengecut sepertimu. Benar-benar memuakkan, Bocah.
Setelah mendengar nama besarku beraninya kau men-
jilat seperti ini. Padahal dalam hati kau tengah berpikir
bagaimana caranya agar dapat selekasnya menikmati
kehangatan tubuh gadis itu. Hayo, sekarang lepaskan
gadis itu!"
"Ba... baik. Tanpa kau suruh pun aku akan me-
lepaskan temanku ini," sahut Soma. Murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu segera menurunkan tubuh gadis
cantik dalam pondongannya. Namun ketika jari-jari
tangannya hendak menotok pulih jalan darah di tubuh
Putri Sekartaji, segulung sinar hitam dari tangan Pen-
didik Ulung telah melesat cepat ke arahnya.
Soma terperanjat kaget. Ia mengira Pendidik
Ulung  akan menyerang dirinya. Tanpa pikir panjang
murid Eyang Begawan Kamasetyo menggeser tubuh-
nya ke samping. Ternyata gulungan sinar hitam itu
bukan menyerang dirinya. Sinar itu bergerak cepat
menyambar tubuh Putri Sekartaji dan melemparkan-
nya ke samping.
Soma tak dapat lagi menyembunyikan rasa ka-
gum. Berkali-kali mulutnya berdecak melihat sinar hi-
tam yang ternyata ikat pinggang orang tua itu me-
nyambar tubuh Putri Sekartaji dengan demikian mu-
dah. Sungguh suatu pertunjukan tenaga dalam tingkat
tinggi. Begitu tubuh Putri Sekartaji berguling ke samp-
ing, gadis cantik itu segera meloncat tinggi ke udara
dan menjejakkan sepasang kakinya yang jenjang ke
tanah dengan sangat ringannya.
"Hebat! Tak kusangka ikat pinggang kakek ini
mampu melepaskan totokan di tubuh Putri Sekartaji!"
gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo penuh ka-
gum.
"Kau menjengkelkanku, Soma. Aku benci kau.

Benci!" teriak Putri Sekartaji.
"Benar! Pemuda sinting ini memang menjeng-
kelkan. Kukira ia patut mendapat sedikit pelajaran.
Minggirlah kau, Gadis. Tangan-tanganku yang rapuh
ini kukira masih sanggup mematahkan batang leher-
nya. Lihatlah bagaimana caranya aku menghajar pe-
muda tak tahu malu ini!" kata Pendidik Ulung.
Habis berkata, Pendidik Ulung melangkah be-
berapa tindak ke depan. Dimainkannya jurus 'Tangan
Maut Dewa Kayangan'.
Siluman Ular Putih terkejut. Bukan karena me-
rasakan berkesiurnya angin dingin sebelum serangan
itu menerpa dirinya, jurus-jurus yang dikeluarkan
Pendidik Ulung benar-benar sama seperti yang di-
miliki Prameswara alias Pelajar Agung.
"Tunggu, Orang Tua! Menilik jurus-jurus yang
tengah kau keluarkan, apakah kau guru Prameswara
yang kini bergelar Pelajar Agung?" kata Soma seraya
menyurutkan langkahnya setindak ke belakang.
Seketika Pendidik Ulung menghentikan seran-
gan. Sepasang matanya yang tajam mencorong mem-
perhatikan pemuda gondrong di hadapannya.
"Benar. Apakah kau pernah bersilang sengketa
dengan muridku?" hardik Pendidik Ulung.
"Bukan hanya bersilang sengketa. Bahkan aku
menginginkan nyawanya!"
"Kenapa?" Pendidik Ulung menautkan alis ma-
ta.
"Karena dia telah mempengaruhi Manusia
Rambut Merah untuk membunuh ayah kandungku
Pendekar Kujang Emas."
"Kau... anaknya Pendekar Kujang Emas?!" Pen-
didik Ulung tak dapat menyembunyikan rasa terkejut-
nya.
"Buat apa aku mengaku-aku, Orang Tua. Seka-

rang aku benar-benar tidak mengerti. Ternyata saha-
bat eyangku yang terkenal itu telah ditipu mentah-
mentah. Bukannya mencari murid baik-baik. Eh... ma-
lah mencari murid bejat macam Prameswara."
"Siapa sebenarnya Prameswara itu? Kalau kau
tidak dapat menjelaskannya, jangan harap aku akan
melepaskanmu begitu saja."
Siluman Ular Putih tersenyum.
"Dia adalah bekas murid Pendekar Kujang
Emas. Namun entah karena apa kemudian ia berguru
pada Manusia Rambut Merah. Aku tahu hal ini karena
Prameswara mampu menguasai ilmu ‘Amblas Bumi’
milik Manusia Rambut Merah. Sedang ayahku tewas di
tangan Manusia Rambut Merah. Mungkinkah kejadian
ini tidak ada sangkut pautnya dengan Prameswara?
Dan apakah kau tidak mengenal siapa Manusia Ram-
but Merah?"
"Manusia Rambut Merah? Ya ya aku kenal dia.
Dia seorang tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar,"
ujar Pendidik Ulung seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Sepasang matanya yang kelabu terus memper-
hatikan murid Eyang Begawan Kamasetyo. Namun se-
benarnya orang tua sakti itu tengah mengingat kembali
pertemuannya dengan Prameswara beberapa bulan la-
lu. Tiba-tiba Pendidik Ulung bergumam sendirian. "Ya
ya ya. Tentu Manusia Rambut Merah telah terkena bu-
juk rayunya. Aku cukup tahu siapa Manusia Rambut
Merah...."
Soma mengerutkan kening. Samar-samar ia
mulai mengerti duduk persoalannya. "Apakah kau juga
terkena bujuk rayu manusia culas itu, Orang Tua?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang jelas
saat itu aku sangat terkesan dengan sikapnya yang
santun. Apalagi ketika itu aku sedang kecewa dengan
kelakuan bekas muridku yang bergelar Samber Nyawa.

Kalau aku tahu dia seorang pengecut, sudah pasti ti-
dak sudi aku menerimanya sebagai murid. Huh! Sung-
guh bodoh aku yang tua ini!" keluh Pendidik Ulung
jengkel.
"Kalau sekarang kau tahu apa yang tengah di-
rencanakan oleh muridmu yang bergelar Pelajar
Agung, tentu kau akan terkejut, Orang Tua. Dia kini
bergabung dengan Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud menggulingkan kekuasaan Adipati Pleret."
"Hm...!" Pendidik Ulung mengeretakkan  gera-
hamnya. "Tak kusangka muridku seculas ini. Aku se-
benarnya juga sudah mendengar desas-desus ini.
Bahkan Ki Rombeng memintaku untuk bertemu den-
gan para pendekar lain. Tentu mereka akan membica-
rakan sepak terjang muridku. Huh! Benar benar men-
gecewakan. Tak kusangka aku memiliki murid-murid
bejat. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menyeli-
diki sepak terjang muridku atau terus menemui Ki
Rombeng di puncak Gunung Anjasmoro?"
Soma membiarkan orang tua itu kebingungan
sendiri. Dalam hati ia merasa sedikit lega karena Pen-
didik Ulung telah melupakan perselisihan dengan di-
rinya.
"Ah...! Kukira sebaiknya aku menemui Ki Rom-
beng terlebih dahulu," gumam Pendidik Ulung tiba-
tiba. Kedua kakinya siap berkelebat meninggalkan
tempat itu. Namun ketika pandang matanya bertemu
dengan Putri Sekartaji, mendadak orang tua itu meng-
hentikan langkah dan berbalik memandang Siluman
Ular Putih.
"Ada apa lagi, Orang Tua? Kenapa kau tidak le-
kas-lekas pergi dari hadapanku?" kata Soma menggo-
da. Senyum nakalnya tersungging di bibir.
"Memang aku akan meninggalkan tempat ini.
Tapi apa kau kira aku bodoh. Tidak! Aku tidak bodoh!

Aku takkan mungkin membiarkan kehormatan gadis
itu kau rusak. Meski saat ini aku sedang bingung
mendengar sepak terjang muridku, aku tidak akan
membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata.
Sekarang aku ingin meminta pertanggungjawaban mu
mengapa kau melarikan gadis itu!" kata Pendidik
Ulung. Jari telunjuknya menuding ke arah Putri Sekar-
taji yang sedari tadi hanya membisu mendengarkan
percakapan Pendidik Ulung dan Soma.
"Tunggu, Orang Tua. Kau salah paham. Aku
melarikan gadis itu justru karena ingin menyela-
matkannya dari cengkeraman Pangeran Pemimpin dan
muridmu yang bejat itu."
"Heh?! Jadi kau bermaksud menyelamatkan
gadis itu. Apa tidak budek telingaku?" Pendidik Ulung
mengerutkan keningnya. Dengan pandang mata curiga
tatapannya dialihkan pada Putri Sekartaji. "Benarkah
apa yang dikatakan pemuda sinting itu, Gadis?"
"Be... benar, Orang Tua," jawab Putri Sekartaji
agak gugup.
Bagaimanapun ia tidak ingin pemuda yang te-
lah menolong dirinya celaka di tangan Pendidik Ulung.
Namun sebenarnya hati gadis itu mulai terusik dengan
ketampanan Soma.
Mendengar ucapan Putri Sekartaji, Pendidik
Ulung jadi gelisah. Pandang matanya kini tidak lagi
memusuhi Siluman Ular Putih. Malah dengan kening
berkerut Pendidik Ulung kembali membuka suara.
"Jadi kau telah menyelamatkan gadis itu dari
cengkeraman Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung?"
"Iya, dong. Makanya jadi orang jangan semba-
rang menuduh. Kalau salah kan malu sendiri!" ujar
Soma seraya menepuk dada.
"Berarti kau telah bertemu dengan muridku,
Bocah," kata Pendidik Ulung tak menghiraukan gu-

rauan Siluman Ular Putih.
"Bukan hanya bertemu. Malah kami saling ber-
tukar jotosan barang satu-dua jurus. Sayang, mereka
terlalu pengecut. Ingin rasanya aku meremukkan ba-
tok kepala muridmu, Orang Tua."
"Hm...! Tampaknya kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah. Kukira kau pun harus hadir di puncak
Gunung Anjasmoro guna membicarakan sepak terjang
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung!"
"Usulmu sebenarnya baik sekali, Orang Tua.
Tapi sayang aku tidak bisa menuruti."
"Kenapa?"
"Aku lebih senang berduaan dengan temanku
yang cantik ini daripada bepergian denganmu, Orang
Tua," kata Soma menggoda.
"Berani kau menggodaku seperti ini, Bocah?"
Pendidik Ulung marah karena merasa dipermainkan.
"Eh eh eh...! Jangan marah dulu, Orang Tua.
Siapa pun juga akan lebih senang berduaan dengan
seorang gadis cantik dibandingkan dengan seorang la-
ki-laki tua. Nanti dikira apa aku ini."
"Mulutmu terlalu lancang. Tapi, aku yakin kau
pasti memiliki hati yang baik."
"Jelas dong. Setidak-tidaknya lebih baik diban-
dingkan kelakuan muridmu yang bejat itu!" sahut So-
ma asal-asalan.
"Hm...!"
Pendidik Ulung mengeretakkan  gerahamnya.
Ingin sebenarnya ia memberi sedikit pelajaran pada
pemuda gondrong di hadapannya. Namun niat itu di-
urungkan. Sepasang mata Pendidik Ulung malah
memperhatikan rajahan ular putih kecil di dada Soma.
"Jangan-jangan saat ini aku tengah berhadapan
dengan pemuda edan yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih. Apakah kau pemuda edan itu, Bocah?"

Soma tertawa bergelak. Ia tidak menampakkan
rasa tersinggung dimaki 'pemuda edan' oleh Pendidik
Ulung. Malah sambil menuding-nudingkan telunjuk-
nya, murid Eyang Begawan Kamasetyo kembali meng-
goda guru Pelajar Agung.
"Kalau mau mengigau sebaiknya jangan di sini,
Orang Tua. Mana berani aku yang rendah ini bergelar
Siluman Ular Putih."
"Ya ya ya.... Sudah. Lupakan saja. Tapi sekali
lagi kuperingatkan. Kalau terjadi sesuatu dengan gadis
itu, akulah orang yang pertama akan meremukkan ba-
tok kepalamu!" ancam Pendidik Ulung serius.
Siluman Ular Putih makin memperlebar tawa.
Pendidik Ulung tidak menggubris. Sepasang
matanya dipelototkan sebelum berkelebat meninggal-
kan tempat itu.
"Kau  memang keterlaluan, Soma. Pada orang
tua saja berani bertindak seenak dengkulmu, apalagi
terhadapku. Mungkin akan lebih kurang ajar!" kata
Putri Sekartaji tiba-tiba.

***

Soma terperanjat kaget. Ia yang tengah mem-
perhatikan kepergian Pendidik Ulung buru-buru me-
malingkan kepala. Putri Sekartaji tengah bersungut-
sungut seraya memperhatikan dirinya.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Putri?"
"Kau memang menjengkelkan, Soma. Sebenar-
nya aku ingin menamparmu. Tapi tadi aku sudah me-
maafkan kelancanganmu."
"Kenapa? Apa tadi aku bersikap lancang pada-
mu? Yang benar saja. Bukankah enak digendong? Kau
dapat memejamkan mata seperti terlelap dalam pon-
dongan ibumu. Kalau aku sih pasti akan minta tam-

bah. Tapi sudahlah. Ngomong-ngomong tadi kau su-
dah memaafkan aku. Kenapa?"
Ditanya seperti itu Putri Sekartaji jadi keki. Ia
yang diam-diam terpesona melihat ketampanan pemu-
da di hadapannya hanya terus memperhatikan Soma.
"Kok jadi diam. Ada apa? Jangan-jangan kau
mulai ketularan penyakit orang tua itu. Atau, jangan-
jangan kau naksir  aku?" Lalu disusul dengan suara
tawa Soma yang bergelak.
Semburat rona merah mewarnai kedua pipi Pu-
tri Sekartaji. Beruntung saat itu malam masih menye-
limuti bumi, sehingga murid Eyang Begawan Kama-
setyo tidak sempat melihat rona merah di pipinya. Pu-
tri Sekartaji jadi jengkel mendengar godaan Siluman
Ular Putih. Tangan kanannya kemudian bergerak ce-
pat.
Plak! Plak!
Dua kali telapak tangan Putri Sekartaji menda-
rat di pipi Soma, hingga kepalanya oleng ke kanan kiri.
"Aduuuh...! Sudah kuduga tanganmu pasti ha-
lus, Putri. Rasanya aku ingin tambah. Tapi jangan
kencang-kencang. Kalau perlu dielus-elus saja pipiku
ini," rupanya murid Eyang Begawan Kamasetyo belum
jera juga.
Putri Sekartaji mendelikkan mata. Tangan ka-
nannya kembali siap menampar pipi Soma. Namun
anehnya Soma malah menyorongkan pipinya ke depan.
Tentu saja Putri Sekartaji jadi mengurungkan niatnya.
"Kenapa tidak diteruskan, Putri? Kau tidak te-
ga? Jangan-jangan kau memang naksir aku?"
"Soma! Jangan kurang ajar!" pekik Putri Sekar-
taji saking jengkelnya. Tangan kanannya kini tampak
tak segan-segan lagi akan menampar pipi Soma.
Soma tertawa bergelak. Melihat tangan Putri
Sekartaji sudah terangkat tinggi-tinggi, Soma pun bu-

ru-buru menyingkir.
"Baik, baik. Aku berjanji tidak akan kurang ajar
lagi. Sekarang rencanamu mau ke mana?" kata Soma
mulai serius.
Putri Sekartaji menurunkan tangannya kemba-
li. Mulutnya masih memberengut. Ditanya seperti itu
Putri Sekartaji jadi kebingungan sendiri.
"Aku tidak tahu. Mungkin akan segera mela-
porkan Kangmas Sembodo pada Kangmas Adipati. Aku
tidak tahu pasti, Soma."
"Sebaiknya kau melaporkan pengkhianatan
Pangeran Pemimpin pada Adipati Pleret, Putri. Ini bu-
kan masalah kecil. Lekaslah pulang ke kadipaten,"
usul Soma.
"Tapi... aku ingin laporanku lebih nyata," Putri
Sekartaji keberatan. Ia merasa betah berduaan dengan
murid Eyang Begawan Kamasetyo. Walau terkadang
gurauan Soma keterlaluan, namun sebenarnya Putri
Sekartaji sangat menyukai.
"Laporan yang lebih nyata. Maksudmu bagai-
mana, Putri? Aku kok malah jadi bingung sendiri. Bu-
kankah Pangeran Pemimpin bermaksud memberontak
terhadap Kadipaten Pleret? Apakah itu bukan laporan
yang nyata?"
"Aku ingin kau turut serta." 
"Apa?"
"Soma! Apa telingamu tuli? Aku ingin kau ikut
denganku untuk melaporkan sepak terjang Pangeran
Pemimpin. Apa kau keberatan?" kata Putri Sekartaji
setengah berteriak.
"Bagaimana, ya? Sebenarnya aku keberatan.
Tapi baiklah. Asal mulai sekarang kau harus memang-
gilku Kangmas Soma!"
"Apa?"
Soma tertawa bergelak. Rasanya senang sekali

bisa menggoda Putri Sekartaji seperti itu.

***

9

Pangeran Pemimpin melangkah lebar menuju
ruang pendopo. Di sana telah menunggu Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah. Tanpa banyak cakap
Pangeran Pemimpin segera duduk di kursi kebesaran-
nya. Pelajar Agung menyusul kemudian duduk di kursi
samping Pangeran Pemimpin.
Sementara dua orang gadis kembar di samping
Iblis Muka Merah dan Setan Mayat Merah terlihat ke-
takutan. Mereka baru saja diculik Iblis Muka Merah
dan Setan Mayat Merah dari sebuah dusun tak jauh
dari markas Partai Kawula Sejati. Wajah kedua gadis
itu tidaklah terlalu mengecewakan. Wajahnya bulat te-
lur dengan kulit tubuh yang putih bersih. Rambutnya
hitam panjang dibiarkan tergerai sampai ke punggung.
Kedua gadis kembar ini sama-sama mengenakan kem-
ben hitam dengan kain panjang biru tua.
Melihat hasil tangkapan Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat Merah, wajah Pangeran Pemimpin sedikit
menunjukkan keceriaan. Hal ini terlihat jelas oleh Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
"Bagaimana, Pangeran Pemimpin? Apakah ke-
dua gadis kembar ini cukup memenuhi syarat?" kata
Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin hanya mengangguk-ang-
gukkan kepala sambil tangan kanannya memegangi
jenggot.
"Aku belum tahu pasti. Mungkin kedua gadis
kembar ini cukup memenuhi syarat. Tapi, sebaiknya

kita tanyakan dulu pada Raja Maling. Dialah yang
mengetahui rahasia Lukisan Darah. Bukan begitu, So-
batku Pelajar Agung?" ujar Pangeran Pemimpin me-
nyahuti.
"Ya ya.... Sebaiknya cepat panggil Raja Maling
kemari. Hanya dia yang tahu rahasia Lukisan Darah,"
ujar Pelajar Agung membenarkan pendapat Pangeran
Pemimpin.
Pangeran Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala. Tangan kanannya yang sedari tadi mengelus-
elus jenggot segera mengisyaratkan agar salah seorang
anak buahnya mendekat. Seorang anak buah Partai
Kawula Sejati yang merasa dipanggil buru-buru men-
dekati.
"Lekas kau panggil Raja Maling kemari!" perin-
tah Pangeran Pemimpin.
"Baik, Pangeran!" Laki-laki berusia empat puluh
tahunan itu bergegas pergi meninggalkan ruang pen-
dopo.
"Sekarang tidak ada pilihan lain. Terpaksa kita
harus menjalankan rencana kita yang terakhir, So-
batku Pelajar Agung. Kalau saja pemuda keparat yang
bergelar Siluman Ular Putih itu tidak membawa lari
Nimas Putri Sekartaji, kita tentu dapat dengan mudah
merebut takhta Kadipaten Pleret. Tapi sekarang tidak
ada pilihan  lain. Terpaksa kita harus mengumpulkan
banyak dana dengan cara menyingkap rahasia Lukisan
Darah."
"Ya. Aku juga marah sekali dengan Siluman
Ular Putih. Suatu saat aku pasti akan membuat perhi-
tungan dengannya. Belum puas rasanya kalau belum
dapat meremukkan batok kepalanya!" geram Pelajar
Agung.
"Ya! Dan kau harus berhati-hati dengan ilmu
sihirnya," kata Pangeran Pemimpin mengingatkan.

"Tentu. Itu sudah aku perhitungkan."
"Aku percaya denganmu, Sobat. Sekarang kita
harus secepatnya mengetahui rahasia Lukisan Darah.
Nah, itu Raja Maling sudah datang!"
Di pintu ruang pendopo tampak Raja Maling
tengah melangkah lebar mendekati Pangeran Pemim-
pin. Di belakangnya mengikuti anggota Partai Kawula
Sejati yang diperintah tadi. Begitu berada di dekat
Pangeran Pemimpin, Raja Maling segera membuka su-
ara.
"Ha ha ha...! Tak kusangka sobatku Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah berhasil secepat ini
mendapatkan dua orang gadis kembar. Hebat. Aku sa-
lut pada kalian."
"Raja Maling, duduklah. Aku ingin bicara den-
ganmu!" kata Pangeran Pemimpin memerintah.
Sejenak Raja Maling memperlebar suara ta-
wanya. Lalu ia segera menghenyakkan pantat di samp-
ing Iblis Muka Merah.
"Nah, sekarang aku sudah duduk. Apa yang in-
gin kau tanyakan, Pangeran Pemimpin?"
"Mengenai dua orang gadis kembar itu. Apakah
sudah memenuhi syarat?" Pangeran Pemimpin menun-
juk ke arah dua orang gadis kembar di samping Iblis
Muka Merah dan Setan Mayat Merah.
Raja Maling buru-buru menolehkan kepalanya
ke samping. Sepasang mata garang Raja Maling mem-
perhatikan kedua gadis kembar itu lekat-lekat. Tanpa
sadar jakun murid Maling Tanpa Bayangan itu berge-
rak-gerak. Sepasang matanya terus memperhatikan le-
kuk-lekuk tubuh kedua gadis kembar itu.
"Bagaimana, Raja Maling? Apakah kedua gadis
kembar itu sudah memenuhi syarat?" tanya Pangeran
Pemimpin tak sabar.
"Oh, ya ya.... Sangat memenuhi syarat!" kata

Raja Maling buru-buru setelah menelan ludahnya sen-
diri. Kalau saja kedua gadis kembar itu tidak sedang
dibutuhkan, sudah pasti Raja Maling ingin menikmati
hangatnya tubuh mereka. Namun sayang terpaksa kali
ini Raja Maling harus menunda keinginannya.
"Bagus! Kalau begitu, buat apa kita membuang-
buang waktu? Mengapa tidak sekarang saja kita mem-
bereskan urusan ini?"
"Sabar, Pangeran Pemimpin. Kita memang ha-
rus selekasnya membereskan urusan ini. Tapi kita se-
baiknya menunggu saat yang tepat, yaitu tengah ma-
lam nanti. Sekarang aku harus menyiapkan peralatan
terlebih dahulu."
"Baiklah. Cepat kerjakan apa yang ingin kau
lakukan, Raja Maling."
"Baik!"
Raja Maling segera beranjak dari tempat du-
duknya. Sejenak sepasang mata berwarna merah saga
itu memperhatikan kedua gadis kembar. Lalu ia segera
pergi meninggalkan ruang pendopo.

***

Di tengah ruang khusus yang hanya diterangi
nyala lilin tampak lukisan seorang wanita telanjang
berwarna merah darah telah dipersiapkan oleh Raja
Maling. Keadaan Lukisan Darah itu terlihat sedikit
aneh. Wajahnya yang berwarna kemerah-merahan kini
tampak demikian memelas. Sorot matanya layu, seo-
lah-olah tidak rela dirinya jatuh ke tangan orang ber-
hati culas. Sorot mata lukisan wanita telanjang itu
seakan tahu kekejian apa yang sebentar lagi akan ter-
jadi di ruang tersebut.
Di hadapan Lukisan Darah sosok tinggi besar
Raja Maling tengah duduk bersila. Kedua bibirnya

yang hitam berkemik-kemik membaca mantra. Semen-
tara tangan  kanannya terus mengaduk-aduk keme-
nyan dalam tungku kecil di hadapannya. Maka tak he-
ran kalau ruang khusus itu dipenuhi bau kemenyan
yang teramat menusuk hidung.
Di samping Raja Maling tergeletak di lantai dua
sosok gadis kembar. Tubuh mereka kaku tak dapat di-
gerakkan. Wajah mereka pun pucat pasi. Hanya sepa-
sang matanya saja yang bergerak-gerak liar seolah in-
gin berteriak minta tolong pada dinding-dinding ka-
mar.
"Sudah saatnya...!" desis Raja Maling pada di-
rinya sendiri. Tangannya tak lagi mengaduk-aduk ke-
menyan di tungku. Raja Maling beranjak dari duduk
untuk mendekati tubuh kedua calon korbannya.
Meski kedua gadis kembar itu mengetahui ke-
kejian apa yang akan menimpa dirinya, namun naluri
mereka mengisyaratkan kalau keselamatan dirinya
tengah terancam. Saking tidak tahannya didera oleh
perasaan takut, kedua gadis kembar itu menitikkan
airmata. Raja Maling hanya tertawa bergelak mem-
bayangkan permainan maut yang sebentar lagi akan
dilakukannya.
"Gadis-gadis cantik yang malang. Sebenarnya
sayang sekali kalian harus mati percuma tanpa terle-
bih dahulu aku menikmati kehangatan tubuh kalian!"
de-sis Raja Maling semakin membuat kedua gadis
kembar itu ketakutan.
Raja Maling makin melipatgandakan tawanya.
Setelah reda, dengan perlahan-lahan diambilnya dua
butir pil hitam yang telah dipersiapkan dari dalam sa-
ku.
"Ha ha ha...! Telanlah pil pemberianku ini, Ga-
dis!"
Raja Maling tak ragu-ragu untuk menjejalkan

kedua pil hitam itu ke dalam mulut mereka. Dengan
sedikit memaksa, Raja Maling berhasil melakukannya.
Perlahan-lahan kedua pil hitam memasuki kerongkon-
gan kedua gadis kembar.
Raja Maling girang bukan main. Di tangan ka-
nannya kini telah tergenggam dua batang jarum kecil
yang baru saja diambilnya dari dalam saku. Lalu, ke-
dua batang itu ditusukkan ke pergelangan tangan ke-
dua calon korbannya. Setelah menusuk pergelangan
tangan, Raja Maling segera menghisap darah mereka
bergantian.
Kedua gadis kembar itu meringis kesakitan. Ra-
ja Maling tidak mempedulikannya. Ia terus menghisap
darah mereka hingga mulutnya menggembung. Kemu-
dian Raja Maling menyemburkan campuran darah ke-
dua gadis itu ke permukaan lukisan.
Wurrr...!!!
Ajaib sekali! Begitu darah kedua gadis kembar
itu membasahi Lukisan Darah, seketika warna merah
dalam lukisan mendadak pudar, berganti dengan gura-
tan-guratan merah yang membentuk sebuah peta.
Bukan main girangnya Raja Maling. Begitu me-
lihat Lukisan Darah mulai menunjukkan gambar se-
buah peta, Raja Maling kembali menghisap darah di
pergelangan tangan kedua korbannya. Dan seperti ta-
di, darah di mulutnya kembali disemburkan pada Lu-
kisan Darah hingga akhirnya lukisan itu membentuk
sebuah peta yang jelas.
"Ha ha ha...! Aku telah mendapatkan peta harta
karun! Aku telah mendapatkan peta harta karun!!!"
Raja Maling berteriak-teriak penuh kegembiraan.
Sementara, keadaan kedua gadis kembar itu
tampak sangat memprihatinkan. Wajahnya pias kare-
na darah mereka telah banyak terkuras. Dan ketika
Raja Maling mendekati kedua gadis itu, ternyata mere-

ka telah menemui ajal karena kehabisan darah.

***

10

Di ruang pendopo markas Partai Kawula Sejati,
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung tidak sabar lagi
menunggu hasil kerja Raja Maling. Iblis Muka Merah
dan Setan Mayat Merah pun demikian. Kedua tokoh
sesat itu berkali-kali memalingkan kepalanya ke bela-
kang, namun Raja Maling belum juga muncul.
"Bagaimana pendapatmu, Pelajar Agung? Apa-
kah Raja Maling dapat menyingkap rahasia yang ter-
sembunyi dalam Lukisan Darah?" tanya Pangeran Pe-
mimpin tak sabar.
"Hm...!" Pelajar Agung mengeretakkan  gera-
hamnya seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Me-
nurut perkiraanku, Raja Maling dapat menyingkap ra-
hasia itu. Percuma saja ia menjadi murid Maling Tanpa
Bayangan kalau tak dapat menyingkap rahasia Luki-
san Darah."
"Kukira pendapat wakil ketua benar, Pangeran.
Sebab hanya Raja Maling seorang yang tahu rahasia
Lukisan Darah. Kenapa Pangeran segusar ini?" kata
Iblis Muka Merah menyahuti.
"Aku memang gusar sekali, Iblis Muka Merah.
Apalagi setelah kepergian Nimas Putri Sekartaji. Kukira
untuk sementara kita harus menunda rencana kita.
Meski demikian kita harus terus mengamati perkem-
bangan kadipaten."
"Benar. Kita harus terus menyebar mata-mata.
Aku takut pasukan kadipaten keburu datang menye-
rang markas ini sebelum kita siap siaga," kata Pelajar

Agung membuka suara.
"Ha ha ha...! Rupanya mimpi kalian semua da-
pat terwujud. Tak kusangka dengan demikian mudah-
nya aku dapat menyingkap rahasia Lukisan Darah!"

***

Pangeran Pemimpin melengak kaget. Namun
ketika mengenali suara tawa itu, mendadak senyum-
nya terkembang. Seketika Pangeran Pemimpin mema-
lingkan kepala ke arah datangnya suara.
Raja Maling melangkah gagah memasuki ruang
pendopo. Tangan kanannya menggenggam Lukisan
Darah yang telah berubah gambarnya. Bukan lagi ber-
gambar seorang wanita telanjang berwarna merah da-
rah, melainkan guratan-guratan mirip sebuah peta.
"Bagus! Aku senang sekali mendengar keberha-
silanmu. Lekaslah kau mendekat, Raja Maling!" kata
Pangeran Pemimpin.
Sambil melangkah lebar mendekati Pangeran
Pemimpin, Raja Maling terus mengumbar tawanya.
Lalu dengan membusungkan dada, Raja Maling
menyerahkan Lukisan Darah yang telah berubah. Pan-
geran Pemimpin dan Pelajar Agung yang duduk ber-
dampingan mengamati Lukisan Darah dengan seksa-
ma. Lukisan itu memang telah berubah.
"Kalau tidak salah tonjolan besar dalam peta ini
adalah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ya-
kin ini. Lalu...."
"Salah, Pangeran. Tonjolan besar dalam lukisan
itu bukanlah gambar Gunung Merbabu atau Merapi.
Cobalah Pangeran amati tonjolan-tonjolan kecil di seki-
tar tonjolan besar sebelah kiri. Apa di sekitar Gunung
Merapi maupun Gunung Merbabu ada gunung-gunung
kecil seperti dalam gambar?" kata Raja Maling tiba-

tiba.
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung men-
dongakkan kepala. Sepasang matanya memperhatikan
Raja Maling. Diperhatikan seperti itu, Raja Maling ma-
lah mengumbar tawa.
"Kalau bukan Gunung Merapi dan Merbabu, la-
lu gunung apa lagi, Raja Maling? Kau jangan seenak-
nya menafsirkan rahasia peta ini!" hardik Pangeran
Pemimpin tak suka.
Raja Maling tersenyum-senyum kecil. Bibirnya
sedikit mencibir sinis, seolah hanya dia seorang yang
tahu rahasia itu.
"Kukira tidak percuma Pangeran Pemimpin
memiliki pembantu seperti aku. Apa Pangeran lupa
siapa aku. Raja Maling, murid Maling Tanpa Bayangan
yang kesohor itu. Sudah pasti aku tahu rahasia dalam
peta Lukisan Darah," kata Raja Maling ringan sekali.
"Kenapa tidak lekas kau katakan, Raja Maling!"
tukas Iblis Muka Merah kesal melihat tingkah Raja
Maling.
"Memang aku ingin mengatakannya, tapi kau
keburu menyela!" Sepasang mata Raja Maling yang
berwarna merah saga berkilat-kilat memandangi Iblis
Muka Merah. Namun Iblis Muka Merah tidak takut
melihat kemarahan Raja Maling.
"Sudahlah. Kenapa kalian bersitegang begini?"
tegur Pangeran Pemimpin. "Sekarang kalau kau tahu
lekas katakan gunung apa yang terdapat dalam peta
ini, Raja Maling."
"Baik," Raja Maling melangkah lebar mendekati
Pangeran Pemimpin. "Coba perhatikan tonjolan-
tonjolan kecil di sekitar tonjolan besar ini, Pangeran.
Apa tonjolan ini bukan menunjukkan Gunung Sindo-
ro? Sedang di sebelah kanannya adalah Gunung
Sumbing."

"Hm...," Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. Dari raut wajahnya nampak kalau
Pangeran Pemimpin belum puas dengan penjelasan
tersebut. "Lalu, tonjolan-tonjolan kecil ini menunjuk-
kan gunung apa?"
"Tonjolan yang agak besar ini pasti Gunung
Kembang. Sedang tonjolan yang kecil ini tidak lain Gu-
nung Batu. Kemungkinan besar letak harta karun be-
rada di sekitar Gunung Kembang. Coba perhatikan
tanda anak panah kecil yang menunjuk ke tonjolan
Gunung Kembang ini." 
"Hm... Ya ya...."
"Kalau begitu sudah jelas. Sekarang kita bisa
lekas ke sana untuk mendapatkan harta karun," kata
Pelajar Agung menukas.
"Bukan begitu persoalannya," sahut Raja Mal-
ing. "Sekarang pun kita bisa berangkat mencari harta
karun. Tapi apa kita tidak ingin mendapat petunjuk
yang lebih jelas?"
"Apakah kau mendapat petunjuk lain,  Raja
Maling?"
"Tadi aku sudah meneliti Lukisan Darah ini.
Dan aku sedikit mendapat petunjuk. Cobalah buka li-
patan kecil yang tersembunyi di belakang lukisan,
Pangeran. Mungkin petunjuk itu yang dapat memban-
tu kita mendapatkan harta karun."
Pangeran Pemimpin buru-buru membuka lipa-
tan kecil yang ditunjukkan Raja Maling. Jari-jari tan-
gannya sedikit gemetaran waktu membuka lipatan di
belakang lukisan. Seketika sepasang mata Pangeran
Pemimpin membelalak lebar.
"Apa maksudnya ini, Raja Maling? Kenapa
hanya bertuliskan 'Penguasa Alam'?"
Raja Maling tersenyum.
"Apakah Pangeran belum pernah mendengar ju-

lukan Penguasa Alam. Dia seorang tokoh sakti yang
sulit sekali dicari tandingannya. Penguasa Alam-lah
yang mengetahui di mana harta karun berada. Dialah
kunci terakhir untuk mendapatkan harta karun ini,
Pangeran."
"Kita bujuk saja dia. Siapa tahu mau?" kata
Pangeran Pemimpin bersemangat. "Sebelumnya aku
mengucapkan terima kasih atas semua keteranganmu
ini, Raja Maling. Kalau perjuangan kita berhasil aku
berjanji akan mengangkatmu menjadi pejabat tinggi.
Kau boleh menunjuk wanita mana saja untuk dijadi-
kan selir," lanjut Pangeran Pemimpin menambahi.
Raja Maling tertawa bergelak. Sepasang ma-
tanya yang berkilat-kilat jelas menunjukkan kalau mu-
rid Maling Tanpa Bayangan itu senang sekali dengan
tawaran Pangeran Pemimpin. Raja Maling jadi menelan
ludah membayangkan beberapa orang selir yang can-
tik-cantik tengah mengerumuni dirinya.
"Aku tahu, Pangeran. Tapi bukan itu persoa-
lannya. Yang jelas, sekarang kita harus mendapatkan
harta karun itu secepatnya."
"Memang itulah yang kuinginkan, Raja Maling."
"Dan itu tidak mudah. Di samping Penguasa
Alam memiliki hati yang kejam luar biasa. Dia pun
memiliki kesaktian hebat."
"Setan alas! Kau tidak memandang sebelah ma-
ta padaku, Raja Maling!" bentak Pelajar Agung tiba-
tiba. Ia yang memiliki watak tinggi hati tak mau dika-
lahkan oleh siapa pun. Rasanya sudah tidak sabar lagi
untuk segera berhadapan dengan Penguasa Alam.
"Aku percaya. Kau memang memiliki kepan-
daian hebat, Pelajar Agung. Tapi kalau berhadapan
dengan Penguasa Alam, aku ragu. Apakah kau dapat
mengatasi Penguasa Alam? Kau akan tewas di tangan-
nya," sahut Raja Maling sinis.

Bukan main geramnya hati Pelajar Agung. Jari-
jari tangannya mencengkeram lengan kursi kuat-kuat.
Seketika terdengar bunyi kayu jati hancur diiringi
mengepulkan asap putih.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, kupecahkan
batok kepalamu, Raja Maling! Aku, Pelajar Agung, se-
dikit pun tidak gentar menghadapi Penguasa Alam.
Untuk membuktikannya sekarang juga aku akan men-
cari Penguasa Alam dan merampas harta karun yang
kita butuhkan darinya!"
Habis berkata, Pelajar Agung berkelebat keluar
dari ruangan pendopo. Pangeran Pemimpin gelisah se-
kali setelah teriakannya untuk mencegah tidak di-
gubris oleh Pelajar Agung.
"Cepat ikuti dia. Aku khawatir ia akan menda-
pat celaka di tangan Penguasa Alam!" perintah Pange-
ran Pemimpin.
"Baik," sahut Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah bersamaan. Dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, kedua tokoh sesat itu berkelebat menyusul Pela-
jar Agung.
Tidak demikian dengan Raja Maling. Ia yang
gemas sekali dengan sifat tinggi hati Pelajar Agung
hanya memandangi kepergiannya.
"Kenapa kau tidak turut membantu Pelajar
Agung, Raja Maling?" tegur Pangeran Pemimpin.
"Terus terang aku muak sekali melihat ting-
kahnya. Tapi kalau memang Pangeran memerintahkan,
dengan senang hati aku akan menyusul manusia pon-
gah itu!" kata Raja Maling ketus.
"Kalau begitu, lekaslah kau pergi!"
"Baik."

***

11

Malam masih menyelimuti bumi. Di belahan
langit sebelah barat cahaya bulan purnama mulai me-
redup. Tiada kegairahan yang terpancar dari suasana
malam itu. Sementara angin seolah malas berhembus,
hingga membuat suasana malam bertambah lengang.
Dalam kegelapan malam, sesosok tubuh berpa-
kaian serba hitam berkelebat cepat di antara kerapa-
tan pohon di luar Kadipaten Pleret. Entah kenapa
mendadak sosok bayangan itu menghentikan langkah-
nya. Wajahnya yang tua tampak demikian gelisah. Ke-
dua bibirnya pun berkemik-kemik.
"Keparat! Kalau begini caranya aku bisa mati
penasaran. Aku harus memeriksa kebenaran itu. Ka-
lau memang muridku yang bergelar Pelajar Agung te-
lah berbuat kesalahan, maka akulah orang pertama
yang akan memecahkan batok kepalanya," gumam so-
sok berjubah hitam yang tidak lain Pendidik Ulung.
"Aku harus menangguhkan urusanku untuk menemui
Ki Rombeng. Aku tak mungkin membiarkan begitu saja
sepak terjang muridku."
Pendidik Ulung kembali menjejakkan kakinya
ke tanah dan berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Gerakan kedua kakinya ringan sekali laksana ter-
bang. Dalam beberapa kelebatan saja sosok tinggi ku-
rus Pendidik Ulung telah hilang di balik kerapatan po-
hon.

***

Sosok Pendidik Ulung berkelebatan dari dahan
pohon yang satu ke pohon lain. Sebagai seorang tokoh
tua yang sudah kenyang  malang melintang di dunia

persilatan, Pendidik Ulung tentu tak mau melakukan
perjalanan melalui bawah. Apalagi perjalanan malam
itu memasuki markas Partai Kawula Sejati.
Pendidik Ulung sadar benar tentu di seputar
markas telah ditebar banyak jebakan. Dan ia tidak
mau terkecoh oleh jebakan-jebakan itu. Atas dasar
perhitungan itulah Pendidik Ulung melakukan perjala-
nan melalui jalan atas.
Pendidik Ulung makin bergerak masuk ke da-
lam hutan. Tiba-tiba sepasang mata Pendidik Ulung
bersinar terang. Tak jauh di hadapannya tampak lima
buah bangunan megah di atas tanah rerumputan. Di
sekitar bangunan berpuluh-puluh anak buah Partai
Kawula Sejati tengah berjaga-jaga dengan senjata di
tangan.
Pendidik Ulung memperhatikan keadaan seki-
tar. Lalu sosok tinggi kurus itu berkelebat menuju ha-
laman depan markas Partai Kawula Sejati. Beberapa
anggota Partai Kawula Sejati yang tengah berjaga-jaga
tersentak kaget. Ketika menyadari kemunculan orang
asing yang belum dikenal, mereka segera mengurung
Pendidik Ulung.
"Siapa kau? Berani kau memasuki markas Par-
tai Kawula Sejati, he?!"
"Minggir! Aku tak ada urusan dengan  cecurut
macam kalian. Aku ingin bertemu dengan muridku
yang bergelar Pelajar Agung!" bentak Pendidik Ulung
tak kalah garang.
Para anggota Partai Kawula Sejati itu melengak
kaget. Di saat mereka tertegun inilah Pendidik Ulung
berteriak lantang.
"Pelajar Agung! Keluar kau! Aku, Pendidik
Ulung, ingin meminta pertanggungjawaban mu!"
Tak ada sahutan. Para anggota Partai Kawula
Sejati semakin curiga. Kalau mengaku gurunya, men-

gapa  Pendidik Ulung ingin meminta pertanggung-
jawaban muridnya? Dan kalau hanya meminta per-
tanggungjawaban karena Pelajar Agung telah berseku-
tu dengan Pangeran Pemimpin, jelas Pendidik Ulung
mempunyai maksud tidak baik terhadap Partai Kawula
Sejati. Begitu antara lain kesimpulan anak buah Pan-
geran Pemimpin.
"Setan alas! Jadi benar kau telah bersekongkol
dengan kaum pemberontak, Pelajar Agung!" bentak
Pendidik Ulung lagi. Suaranya bergema memenuhi se-
genap penjuru.
Sayang, kembali tidak terdengar sahutan dari
Pelajar Agung. Pendidik Ulung marah bukan main.
Jangankan menampakkan diri untuk menemuinya, Pe-
lajar Agung menyahuti teriakannya pun tidak.
"Keparat! Berani kau tidak mempedulikan
panggilanku, Murid Murtad! Baik kalau begitu. Aku
yakin kini kau pasti telah bersekongkol dengan manu-
sia-manusia pemberontak. Patut kau ketahui, Murid
Murtad! Akulah orang pertama yang akan memenggal
kepalamu!"
"Jangan bodoh, Orang Tua! Kau bisa apa hing-
ga berani mengacau di tempat ini!" bentak seseorang
dari samping.
Dia seorang laki-laki berusia empat puluh ta-
hunan. Wajahnya garang. Rambutnya yang hitam pan-
jang digelung ke atas. Laki-laki itu mengenakan jubah
besar berwarna kuning.
Di kanan kiri laki-laki berjubah kuning berdiri
dua orang kakek berusia enam puluh tahunan. Yang
sebelah kanan seorang kakek bermata juling. Tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna hi-
tam. Sedang di sebelah kiri berdiri kakek bercodet
memanjang di pipi. Ia mengenakan ikat kepala biru
serta jubah besar yang juga berwarna biru.

Pendidik Ulung kaget bukan main melihat keti-
ga orang laki-laki itu. Menilik pakaiannya jelas mereka
bukanlah anggota Partai Kawula Sejati. Mereka ada-
lah sekutu Pangeran Pemimpin yang terdiri dari tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan. Tak jauh dari ketiga
orang tokoh sesat itu tampak pula Algojo Dari Timur,
Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, serta Raja Racun
Dari Selatan.
"Hm...! Tak kusangka di tempat ini banyak ber-
kumpul tokoh-tokoh sesat dunia persilatan. Tampak-
nya aku harus berhati-hati. Untuk menghadapi mere-
ka satu persatu mungkin aku masih dapat melayani.
Namun kalau maju bersama, inilah yang merepotkan-
ku," gumam Pendidik Ulung dalam hati.
"Tua bangka tak tahu diri. Berhubung kau te-
lah mengotori tempat ini, maka nyawamulah tebusan-
nya!" bentak pimpinan anak buah Partai Kawula Sejati.
"Hm.... Pemberontak-pemberontak kecil. Ming-
girlah kalian semua. Aku tidak ada urusan dengan ka-
lian. Aku hanya ingin menemui muridku Pelajar
Agung. Benarkah muridku telah bersekongkol dengan
ketua Partai Kawula Sejati?" kata Pendidik Ulung den-
gan menahan gejolak amarah.
"Kalau memang iya, kau mau apa, he?!"
"Bagus! Kalau begitu kabar yang kuterima me-
mang benar adanya. Sekarang cepat suruh keluar ma-
nusia durjana yang bergelar Pelajar Agung!" kali ini
Pendidik Ulung tak dapat mengendalikan amarahnya
lagi.
"Tua bangka sepertimu mana pantas menemui
wakil ketua. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini.
Atau, barangkali kau sudah bosan hidup?!" bentak to-
koh sesat dunia persilatan yang mengenakan jubah
kuning.
"Tidak ada satu manusia pun yang bosan hi-

dup. Apalagi aku. Cepat suruh keluar murid murtad
itu. Mumpung kesabaranku belum habis!" Pendidik
Ulung semakin tak sabar.
"Kau memang benar-benar ingin mencari mati,
Orang Tua! Makanlah rantai bajaku! Hea...!"
Dikawal dengan bentakan nyaring, tokoh sesat
berjubah kuning yang bergelar Rantai Kumala Kuning
segera menerjang Pendidik Ulung. Rantai bajanya yang
berwarna kuning menyambar-nyambar ganas diiringi
berkesiurnya angin kencang. Bersamaan dengan ber-
kelebatnya rantai baja di tangan Rantai Kumala Kun-
ing, beberapa anak buah Pangeran Pemimpin serentak
menyerang Pendidik Ulung.
Melihat datangnya serangan, Pendidik Ulung
tak segan-segan lagi segera bertindak. Sekali kakinya
dihentakkan ke tanah, tubuh tinggi kurus itu bergerak
cepat laksana kilat. Jari-jari tangannya terkembang
untuk melontarkan totokan 'Jari-jari Putih Dewa
Kayangan'.
Tukkk! Tukkk!
Totokan jari-jari Pendidik Ulung telak mengenai
dada dua orang anak buah Pangeran Pemimpin. Seke-
tika keduanya memekik setinggi langit. Tubuh mereka
limbung ke kiri dengan dada berlobang. Dan bilamana
kedua anak buah Pangeran Pemimpin itu jatuh berge-
debukan di tanah maka dapat dipastikan keduanya
meregang nyawa.
"Setan alas! Berani kau membunuh dua orang
anggota kami. Rasakan pembalasanku!" geram pimpi-
nan anak buah Pangeran Pemimpin.
Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu
kembali menerjang Pendidik Ulung. Pedang di tangan
kanannya digerakkan sedemikian rupa seolah-olah in-
gin membelah tubuh Pendidik Ulung menjadi dua ba-
gian. Sedang tangan kirinya siap pula melontarkan

pukulan maut.
"Hea...! Hea...!"
Pendidik Ulung sedikit menggeser tubuh ke
samping hingga serangan itu hanya menemui angin
kosong. Kemudian Pendidik Ulung melontarkan ten-
dangan samping kanannya ke dada lawan.
Bukkk!
Telak sekali tendangan tersebut mendarat di
dada lawan. Darah segar menyembur dari mulut pim-
pinan anak buah Pangeran Pemimpin. Sedang tubuh-
nya yang masih melayang di udara terus meluncur ke
belakang.
Bukan main marahnya para tokoh sesat dunia
persilatan yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Tanpa diperintah, mereka segera menerjang Pendidik
Ulung. Menghadapi serangan yang datangnya laksana
banjir bandang, Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya 'Tangan Maut Dewa Kayangan'. Seketika
kedua telapak tangan Pendidik Ulung berubah putih
berkilauan. Dengan menggunakan jurus 'Tangan Maut
Dewa Kayangan' inilah Pendidik Ulung balik menye-
rang para pengeroyoknya.
Sayang, serangan balik Pendidik Ulung hanya
sebentar saja dapat mengatasi gempuran lawan. Bebe-
rapa jurus kemudian Pendidik Ulung mulai kewalahan.
Apalagi saat itu Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja
Golok, dan Raja Racun Dari Selatan turut mengeroyok.
Tanpa ampun lagi tubuh tinggi kurus Pendidik Ulung
dipaksa berjumpalitan di udara menghindari gempu-
ran-gempuran lawan. Bahkan tak jarang tubuhnya
terkena serangan lawan pada bagian-bagian yang me-
matikan. Untung saja tenaga dalam Pendidik Ulung
cukup tinggi. Kalau tidak, bukan mustahil orang tua
itu sudah menemui ajal di tangan para pengeroyoknya.
"Bertobatlah pada malaikat maut sebelum nya-

wa busukmu kukirim ke dasar neraka, Pendidik
Ulung!" ejek Raja Racun memerahkan telinga lawan.
Pendidik Ulung hanya tertawa sumbang men-
dengar ejekan Raja Racun. Meski ia tengah sibuk
menghadapi gempuran, sepasang matanya terus men-
cari-cari sosok muridnya. Tapi sosok Pelajar Agung be-
lum juga menampakkan batang hidungnya. Pendidik
Ulung geram bukan main. Dengan kemarahan meluap
kemudian dilancarkannya serangan balik melalui jurus
pamungkas ‘Tulisan Maut Dewa Kayangan’ yang diga-
bungkan dengan totokan 'Jari-jari Putih Dewa Kayan-
gan'.
"Tahan senjata! Tua bangka ini bukanlah uru-
san kalian!"

***

Pendidik Ulung melengak kaget. Ia amat men-
genal pemilik suara bentakan itu. Ketika memalingkan
kepala ke arah datangnya suara, Pendidik Ulung pun
menggeram penuh kemarahan.
Dari arah pintu pendopo markas Partai Kawula
Sejati sosok Pelajar Agung melangkah mendekati tem-
pat pertarungan dengan lagaknya yang angkuh. Ia saat
itu keluar dari markas Partai Kawula Sejati untuk me-
nemui Penguasa Alam. Niatnya jadi diurungkan begitu
melihat sosok gurunya tengah dikeroyok beberapa to-
koh sesat dunia persilatan.
"Apa kau bilang, Prameswara? Kau memanggil-
ku tua bangka?!" tegur Pendidik Ulung dengan kening
berkerut.
Prameswara alias Pelajar Agung hanya terse-
nyum sinis. Tangan kanannya dikibaskan ke samping,
mengisyaratkan pada tokoh-tokoh sesat yang tengah
mengeroyok Pendidik Ulung untuk menyingkir.

"Memangnya kenapa? Kenyataannya kau sudah
tua bangka!" kata Pelajar Agung menyakitkan.
"Haram jadah! Jadi benar kau sudah membe-
rontak, Bocah?!" geram Pendidik Ulung dengan gigi
bergemeletukkan.
"Tidak usah banyak bacot, Orang Tua. Kalau
saja kau bukan guruku, sudah kupenggal batang le-
hermu!"
"Setan alas! Tak kusangka kau akan tersesat
sejauh ini! Akulah orang yang akan memenggal batang
lehermu. Hayo, lekas cabut senjatamu. Atau kau ingin
mengandalkan pengeroyokan?!" ejek Pendidik Ulung
memanas-manasi.
"Jangan banyak bacot. Kedua tanganku ini ma-
sih sanggup untuk meremukkan batok kepalamu!"
"Bagus! Kalau begitu terimalah kematianmu
hari ini, Bocah!"
Pendidik Ulung segera memainkan jurus anda-
lan 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang semula hen-
dak digunakan untuk menyerang para pengeroyoknya.
Dengan menggunakan senjata sepasang pena, Pendi-
dik Ulung mulai memainkan jurus pertama. Pena di
tangan kanannya bergerak lemah gemulai dari kanan
ke kiri. Pena di tangan kiri bergerak dari kiri ke kanan
membentuk sebuah huruf gaib yang hanya diketahui
Pendidik Ulung dan Pelajar Agung.
Melihat Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya, tanpa banyak pikir lagi Pelajar Agung
mengeluarkan jurus yang sama. Kedua telunjuk Pela-
jar Agung menggurat di udara. Terdengarlah bunyi
men-cicit yang teramat memekakkan telinga. Dan saat
kedua ujung pena Pendidik Ulung menyatu, selarik si-
nar putih yang berkilauan melesat cepat menyerang
Pelajar Agung.
Pelajar Agung mengeretakkan  gerahamnya pe-

nuh kemarahan. Kedua telunjuk jarinya buru-buru
disatukan. Seketika itu tampak pula selarik sinar pu-
tih berkilauan melesat cepat memapaki serangan gu-
runya.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
itu. Bumi berguncang hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding markas Partai Kawula Sejati bergetar
hebat.
Sewaktu terjadi bentrokan di udara, tubuh
tinggi kekar Pelajar Agung terlempar beberapa tombak
ke belakang. Parasnya pucat pasi. Darah segar mem-
basahi sudut-sudut bibir. Agaknya murid durhaka
Pendekar Kujang Emas itu menderita luka dalam cu-
kup parah.
Dan apa yang dialami Pelajar Agung juga me-
nimpa Pendidik Ulung. Namun keadaan Pendidik
Ulung sedikit lebih beruntung. Tubuh Pendidik Ulung
hanya terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
paras pias. Beberapa saat kemudian Pendidik Ulung
sudah dapat mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Pendidik Ulung kembali menggurat-guratkan kedua
ujung penanya di udara. Kali ini gerakan kedua pe-
nanya tampak demikian lamban. Namun anehnya ter-
dengar suara mencicit dari guratan pena Pendidik
Ulung. Itulah jurus kedua dari rangkaian jurus
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
"Terimalah kematianmu hari ini, Bocah. Aku
tak segan-segan lagi untuk membunuhmu. Dulu kau
berjanji akan mematuhi segala pesanku. Tapi apa yang
kau janjikan hanyalah omong kosong. Hayo, maju! Le-
kas hadapi gurumu!"
Prameswara  mengeretakkan  geraham penuh
kemarahan.

"Hm...! Tak mungkin aku menghadapi tua
bangka ini dengan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'. Dia lebih ahli dibandingkan aku. Tak ada pilihan
lain. Terpaksa aku harus mengeluarkan ilmu yang te-
lah kupelajari dari mendiang guruku Manusia Rambut
Merah!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
Tanpa banyak cakap Pelajar Agung segera men-
gerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Prameswara yang kini
bergelar Pelajar Agung memutar tubuhnya laksana
gasing. Seketika tanah di sekitar Pelajar Agung mem-
buncah tinggi ke udara begitu tubuh tinggi kekarnya
cepat amblas ke dalam bumi.
Pendidik Ulung dan semua yang berada di ha-
laman depan markas Partai Kawula Sejati berdecak
penuh kagum. Beberapa saat tidak ada tanda-tanda
kalau Pelajar Agung akan melakukan serangan. Meski
demikian, Pendidik Ulung tetap waspada.
Manakala dilihatnya gundukan tanah di hada-
pannya bergerak cepat menuju dirinya, Pendidik Ulung
melontarkan pukulan maut ke arah gundukan tanah
yang bergerak itu.
Bummm...!
Gundukan tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah tinggi ke udara dan membentuk lobang
yang cukup dalam. Namun dalam lekukan tanah yang
berlobang Pendidik Ulung tidak menemukan sosok Pe-
lajar Agung. Pendidik Ulung gusar bukan main. Kedua
telapak tangannya makin putih berkilauan sampai ke
pangkal siku. Agaknya Pendidik Ulung telah menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tiba-tiba tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah tinggi ke udara. Bersamaan dengan itu
tubuh Pelajar Agung menyembul dari dalam tanah
dengan kedua telapak tangan siap melontarkan puku-
lan 'Cahaya Kilat Biru'.

Pendidik Ulung kaget bukan main. Untung saja
indera keenamnya cukup tajam. Secepat kilat dilontar-
kannya pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'. Dua larik
sinar putih berkilauan dari kedua telapak tangan Pen-
didik Ulung melesat cepat ke depan.
Bummm...!!!
Bumi bergetar hebat. Ranting-ranting pohon di
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar. Bak
layangan putus benangnya, tubuh Pelajar Agung lang-
sung limbung ke samping dan tak dapat bangun lagi.
Pingsan!
Pendidik Ulung sendiri tak dapat mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya. Dadanya terguncang he-
bat serasa mau jebol. Pada saat Pendidik Ulung kehi-
langan keseimbangan badan mendadak serangkum
angin dingin yang datangnya dari belakang telah me-
nyambar tubuh. Pendidik Ulung berusaha mengelak.
Sayang, gerakan tubuhnya kurang cepat. Tanpa am-
pun lagi dadanya terkena sambaran angin dingin itu!
Bukkk! Bukkk!
Pendidik Ulung menggembor keras-keras. Tu-
buhnya terpental beberapa tombak ke belakang dan ja-
tuh berdebam di tanah. Kakek itu mengeretakkan ge-
rahamnya penuh kemarahan. Sambil memegangi da-
danya yang serasa mau pecah, sepasang mata tajam
Pendidik Ulung memperhatikan sosok tubuh di hada-
pannya.
"Pembokong keparat! Rasakan pembalasanku!"

***

Sosok di hadapan Pendidik Ulung hanya terta-
wa bergelak. Ia adalah seorang laki-laki gagah berusia
empat puluh tahunan. Tubuhnya tinggi kekar dibalut
pakaian bangsawan Jawa. Siapa lagi sosok itu kalau

bukan Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar Pange-
ran Pemimpin.
"Bagaimana mungkin kau dapat membalasku
kalau membawa tubuhmu saja masih susah payah!"
ejek Pangeran Pemimpin.
Dan kenyataannya memang demikian. Begitu
Pendidik Ulung ingin melontarkan pukulan 'Tangan
Penggebuk Dewa', mendadak ia muntah darah. Perla-
han-lahan tubuhnya luruh ke tanah. Meski demikian
Pendidik Ulung berusaha tetap tegak di tempatnya.
Namun Pangeran Pemimpin melontarkan totokannya
dengan kecepatan kilat.
Tukkk! Tukkk!
Tanpa ampun tubuh Pendidik Ulung yang ten-
gah sekarat terpelanting ke tanah dan tak dapat berge-
rak lagi. Sepasang matanya yang mencorong tajam te-
rus memperhatikan Pangeran Pemimpin penuh keben-
cian.
Pangeran Pemimpin tersenyum Sinis.
"Seret tua bangka ini ke kamar tahanan!" perin-
tah Pangeran Pemimpin pada beberapa orang anak
buahnya.
"Kenapa tidak kita habisi saja tua bangka ini,
Ketua?" kata Setan Mayat Merah mengusulkan.
"Iya, Ketua! Kenapa tidak kita habisi saja tua
bangka ini? Nanti malah jadi batu sandungan di ke-
mudian hari!" tambah Iblis Muka Merah.
Pangeran Pemimpin menggelengkan kepala.
Saat itu akalnya yang licik telah mendapatkan satu
rencana. Dan ia yakin akan berhasil dengan renca-
nanya tersebut.
"Tidak! Sayang sekali kalau orang  sehebat itu
dihabisi begitu saja. Sebenarnya saat ini aku memang
ingin membunuhnya. Tapi terpaksa aku harus mengu-
rungkan niatku. Aku lebih senang memanfaatkan tua

bangka itu!" kata Pangeran Pemimpin. Lalu disusul
dengan senyumnya yang licik.
"Kalau boleh tahu rencana apa itu, Ketua?" Se-
tan Mayat Merah kembali membuka suara.
"Nanti. Nanti aku terangkan. Sekarang lekas se-
ret tua bangka itu ke kamar tahanan. Yang lainnya se-
gera mengobati teman kita yang terluka."
"Baik."
Beberapa anak buah Pangeran Pemimpin sege-
ra menyeret tubuh Pendidik Ulung ke kamar tahanan.
Yang lainnya membawa para anggota Partai Kawula
Sejati yang terluka ke dalam markas.
Pangeran Pemimpin melambaikan tangan ka-
nannya ke arah Raja Racun. Raja Racun buru-buru
menghampiri sekutunya.
"Ada yang bisa kubantu, Pangeran?"
"Hm.... Ya ya...," ujar Pangeran Pemimpin. "To-
long persiapkan racun yang dapat mempengaruhi jalan
pikiran seseorang, Raja Racun."
"Tampaknya kau serius sekali dalam masalah
ini, Pangeran. Apakah kau tengah merencanakan se-
suatu?"
"Aku ingin mendapatkan harta karun itu sece-
patnya. Untuk itu aku harus memanfaatkan tua bang-
ka tadi. Kulihat kepandaiannya tinggi sekali. Mungkin
ia dapat melumpuhkan Penguasa Alam."
"Ah...! Kau licik sekali, Pangeran. Tak kusangka
otakmu demikian liciknya. Baik-baik. Dengan senang
hati aku akan membantumu, Pangeran!" sahut Raja
Racun bersemangat.
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Laki-laki
berpakaian bangsawan Jawa itu senang sekali. Tu-
buhnya berguncang-guncang di antara suara tawanya
yang membahana memenuhi angkasa raya.


SELESAI




Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode :
PENGUASA ALAM