Siluman Ular Putih 10 - Misteri Dewa Langit(2)


6

Kendati sinar matahari berusaha menembus
kerimbunan hutan di Bukit Karang Kajen, tetap saja
suasana dalam hutan terasa lengang dan lembab.
Di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh
rindang di tengah hutan, seorang pemuda berambut
gondrong tergerai di bahu tengah asyik menikmati dag-
ing kelinci panggang. Sepasang mata pemuda berpa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepera-
kan itu sebentar-sebentar mengerjap-ngerjap penuh
nikmat. Lalu begitu daging kelinci telah pindah ke da-
lam perutnya, buru-buru dipotesnya paha kelinci yang
sedikit hangus dan menebarkan aroma kurang sedap.
"Semprul! Tak seharusnya paha kelinci kesu-
kaanku ini terlalu hangus. Tapi, tak apa-apalah! Biar
hangus, toh masih terasa daging," celoteh pemuda
yang tak lain Soma pada diri sendiri.
Sehabis mengoceh begitu, pemuda berjuluk Si-

luman Ular Putih ini segera menyantap paha kelinci
panggang. Terlalu panas memang, tapi tidak dipeduli-
kannya. Meski lidahnya terasa seperti terbakar, mu-
lutnya terus mengunyah lahap.
Namun di saat Siluman Ular Putih tengah asyik
menikmati paha kelinci kesukaannya, tiba-tiba kesu-
nyian hutan terusik oleh suara tangis seseorang.
Sejenak Soma pun menghentikan kunyahan-
nya. Sepasang matanya bergerak-gerak ke arah da-
tangnya suara sambil beranjak bangun.
"Eh...! Siapa yang menangis di hutan sesepi ini?
Menilik suara tangisnya, tampaknya ia seorang gadis.
Ya ya ya...! Benar seorang gadis. Sebaiknya, kulihat sa-
ja sebentar. Siapa tahu ia gadis cantik? Atau malah,
jangan-jangan peri hutan ini yang tengah kesepian
mencari mangsa? Hih.... Jadi ngeri aku! Tapi, tak ada
jeleknya kalau aku melihatnya sebentar," gumam Si-
luman Ular Putih dalam hati.
Segera Soma melemparkan paha kelincinya ke
semak-semak belukar di depannya. Lalu dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, tubuhnya berkelebat cepat ke arah datangnya
suara.
Tidak lama kemudian, Soma segera menemu-
kan asal suara tangis tadi. Dan rupanya, harapan Si-
luman Ular Putih terkabul. Ternyata, yang tengah me-
nangis di balik batang pohon adalah seorang gadis
cantik!
"Huh! Baik benar nasibku kali ini. Tak kusang-
ka harapanku terkabul. Tak kuduga, ternyata yang
menangis seorang gadis cantik!" oceh Siluman Ular Pu-
tih lagi dalam hati.
Namun, Soma belum juga beranjak dari tem-
patnya bersembunyi. Malah dengan senyum nakal ter-

kembang di bibir, sepasang mata tajamnya terus men-
jilati gadis cantik di hadapannya, penuh kagum.
Sosok gadis yang tengah diperhatikan memang
cantik. Usianya paling baru delapan belas tahun. Na-
mun wajahnya yang berbentuk bulat telur terlihat
kuyu dengan air mata membasahi pipi. Bentuk kedua
bibirnya tipis kemerah-merahan bak delima merekah.
Bentuk hidungnya mancung. Belum lagi dengan ram-
butnya yang hitam panjang dikuncir dua ke belakang!
Sementara bentuk tubuhnya yang ramping dibalut pa-
kaian ringkas warna hijau.
"Bukan main! Benar-benar cantik gadis satu
ini. Tak kusangka di tengah hutan sesepi ini ternyata
ada penghuninya seorang gadis cantik!" celoteh Soma
dalam hati.
Lalu dengan langkah hati-hati, Siluman Ular
Putih pun mulai mendekati si gadis.
Mendengar langkah-langkah halus mendekati,
si gadis buru-buru mengangkat wajahnya seraya me-
nyeka airmata dengan sedikit agak gugup. Lalu kepa-
lanya menoleh ke arah Soma.
"Kenapa kau hapus air matamu, Nona? Kukira
kau malah tambah manis dengan airmata bercucuran
begitu," usik Soma mulai membuka percakapan.
Si gadis kembali menunduk, menyembunyikan
kepalanya dalam-dalam. Sewaktu bersitatap dengan
pemuda tampan di hadapannya, tiba-tiba saja hatinya
jadi berdegup aneh. Namun secepat itu pula ia berusa-
ha menguasai perasaannya. Segera kepalanya diangkat
kembali. Sepasang matanya pun lantas bergerak-gerak
aneh, memperhatikan sosok Siluman Ular Putih sek-
sama.
"Jangan buang air matamu  percuma, Nona!
Aku takut burung-burung akan beterbangan dan ma-

tahari malas bersinar begitu mendengar suara tangis-
mu yang teramat menyayat hati," usik Siluman Ular
Putih lagi, mulai kambuh penyakitnya.
"Diam! Namaku bukan Nona! Aku Ningtyas!
Dan lagi, tak seharusnya kau mencampuri urusanku,
Pemuda Usil! Mau aku menangis di sini kek, di tempat
lain kek. Apa pedulimu?" bentak si gadis yang ternyata
Ningtyas, murid tunggal si Raja Pedang.
"Cccck...! Cccckkk...! Oh... jadi namamu Ning-
tyas? Bagus juga namamu. Oh, ya Ningtyas. Apa kau
tidak lihat kalau burung-burung kontan beterbangan,
begitu mendengar suara tangismu?" goda Siluman Ular
Putih.
"Pemuda nyinyir! Apa telingamu budek? Aku bi-
lang diam! Kenapa kau masih ngoceh tidak karuan?"
sungut si gadis jengkel.
Si pemuda tersenyum-senyum nakal. Lalu tan-
pa mempedulikan kemarahan si gadis, Soma meletak-
kan pantat di depannya. 
"Uh... genit!"
Sambil memaki begitu, si gadis menyingkir
agak menjauh. Sementara Soma hanya garuk-garuk
kepala melihat sikap Ningtyas.
"Ah...! Kenapa menyingkir, Ningtyas? Apa kau
tak tahan dengan bau tubuhku? Sudah dua hari ini
aku memang tak sempat mandi. Jadi, ya maklumlah
kalau bau badanku sedikit kurang sedap. Tapi, kau
mau kan kalau aku ingin bersahabat denganmu?" celo-
teh Soma seolah-olah tidak menyadari kejengkelan
Ningtyas. "Atau...? Jangan-jangan kau sewot melihat
pemuda setampan aku ini? Jangan begitu, ah! Nanti
aku jadi besar kepala, lho!"
"Tak ada gunanya bicara dengan pemuda sint-
ing macam kau!" sungut Ningtyas jengkel, seraya

bangkit.
Namun di saat gadis itu hendak beranjak me-
ninggalkan tempat ini, entah bagaimana tiba-tiba len-
gan tangan kanannya telah terpegang oleh tangan Si-
luman Ular Putih.
"Eh...! Mau apa kau ini, he?! Beruntung aku ti-
dak merobek-robek mulutmu. Pakai pegang-pegang
tangan lagi. Lepaskan!" bentak Ningtyas kesal.
Tangan kanan si gadis yang terpegang Soma
segera disentakkan keras-keras. Namun sedikit pun Si-
luman Ular Putih tidak mau mengendurkan pegangan-
nya. Begitu Ningtyas kembali menyentakkan tangan-
nya, si pemuda makin memperketat pegangannya. Se-
hingga, gadis cantik itu meringis kesakitan.
Siluman Ular Putih tidak peduli. Malah bibirnya
terus mengumbar senyum nakal.
"Aku paling ngenes kalau mendengar suara
tangis. Apalagi suara tangisnya gadis cantik sepertimu,
Ningtyas,"
"Sekali ini kau tidak mau lepaskan tanganku,
jangan dikira aku tidak berani menamparmu, Keparat!"
bentak Ningtyas penuh kemarahan.
"Namaku bukan Keparat. Namaku Soma. Kau
sendiri, kenapa menangis seorang diri di tengah hutan
sunyi ini?" tukas Siluman Ular Putih, terus menggoda
seraya memamerkan giginya yang putih-putih.
Ningtyas gusar bukan main. Sepasang matanya
yang indah berkilat-kilat penuh kemarahan,
"Ah...! Kenapa kau tampak uring-uringan begi-
ni? Baiklah. Aku akan melepaskan pegangan tangan-
mu. Tapi tolong ceritakan, kenapa kau menangis di si-
ni!" susul Soma sambil melepaskan tangannya
"Pemuda sinting! Mana sudi aku bicara den-
ganmu?!" sentak Ningtyas kasar.

Soma garuk-garuk kepala. Entah kenapa, meli-
hat sikap gadis cantik di hadapannya, tiba-tiba saja
rambut murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman Ular Putih itu jadi gatal.
Ningtyas mencibir sinis. Mungkin muak melihat
sikap Soma. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, si ga-
dis segera berkelebat cepat meninggalkan tempat ini
Kembali Soma hanya bisa menggaruk-garuk
kepala. Sementara matanya masih menatapi sosok
tinggi ramping yang terus berkelebat.
"Ah...! Dasar nasib sial! Sebenarnya aku ingin
bercakap-cakap barang sebentar untuk sekedar men-
gusir sepi. Tapi, sayang. Rupanya gadis cantik itu tidak
tertarik padaku. Baiklah. Kukira, lain waktu aku ma-
sih bisa menemuinya. Sekarang, sebaiknya aku meng-
habiskan daging kelinciku dulu, baru meneruskan per-
jalanan," desah Soma dalam hati.


***

7

Ningtyas terus berkelebat cepat meninggalkan
puncak Bukit Karang Kajen. Saat ini, rasa dendam
bercampur kekecewaan berkecamuk dalam hati murid
Raja Pedang itu. Gurunya tewas di tangan Dewa Lan-
git. Dan ia sebagai murid, merasa harus berbakti ter-
hadap gurunya. Makanya, kini Ningtyas bertekad men-
cari Dewa Langit untuk meminta pertanggung-
jawabannya.
"Dewa Langit...!" desis Ningtyas penuh kemara-
han. "Kini tak ada pilihan lain lagi. Terpaksa aku ha-

rus menuruti keinginanmu. Tapi, ingat! Walau sebe-
narnya aku tak sealiran dengan guruku, tapi sebagai
murid bagaimanapun juga harus berbakti. Aku harus
meminta pertanggungjawabanmu Dewa Langit atas te-
wasnya guruku!"
Ningtyas sejenak menghentikan langkahnya.
Dadanya yang membusung bergerak turun naik, me-
mendam kemarahan membludak. Udara segar di luar
hutan Bukit Karang Kajen terasa sesak.
"Tapi, ke mana aku harus mencari orang. Seo-
rang anak manusia yang terlahir dengan cara aneh,
sekaligus memiliki ilmu aneh pula seperti yang di in-
ginkan Dewa Langit? Hm...! Rasanya mustahil. Mana
mungkin di dunia ini ada anak manusia yang terlahir
aneh? Huh! Aku bagai mencari jarum ditumpukan je-
rami saja! Sungguh bukan satu pekerjaan mudah,"
dengus murid Raja Pedang gelisah.
Dan baru saja Ningtyas akan melanjutkan per-
jalanan, mendadak telinganya mendengar suara angin
berkesiur kencang ke arahnya,
Werrr! Werrr!
Bagaikan ada angin puting beliung, ranting-
ranting pohon, debu-debu jalanan bercampur daun-
daun kering kontan beterbangan tinggi ke udara. Po-
hon-pohon besar di sekitar tempat itu pun meliuk-liuk
ke sana kemari mengikuti arah angin.
Tubuh Ningtyas pun mulai limbung dipermain-
kan angin. Pakaian hijau-hijaunya berkibar-kibar
membuat beberapa kancing baju bagian atasnya tang-
gal. Sehingga menampakkan sebagian dadanya yang
membusung indah. Tapi si gadis tidak menyadarinya.
Perhatiannya saat ini tengah dipusatkan pada angin
puting beliung yang tiba-tiba menyerangnya. Bahkan
pusaran angin itu makin kencang. Sementara tubuh-

nya pun mulai limbung tak terkendali. Padahal tenaga
dalamnya pun telah dikerahkan.
"Setan alas! Pasti ada orang sakti yang usil di
sekitar tempat ini!" maki Ningtyas, ketika setangan an-
gin puting beliung mulai berhenti.
Dan baru saja murid Raja Pedang itu menarik
napas lega, tiba-tiba....
"Ha ha ha...! Selamat datang di tempatku, Ga-
dis Cantik! Senang sekali aku menerima kedatangan-
mu!"
Ningtyas menggeram penuh kemarahan ketika
mendengar suara berat ditingkahi suara tawa yang
menggetarkan. Suara tawa itu terdengar menggema ke
segenap penjuru. Seketika si gadis mengedarkan pan-
dangan mencari sumber suara. Namun sayang, asal
suara tawa itu seperti berubah-rubah. Terkadang ter-
dengar di timur, namun sebentar kemudian seperti da-
tang dari barat. Bahkan kemudian sudah pindah ke
sebelah lain, sebelum si gadis bisa menentukannya.
"Keparat! Tunjukkan dirimu, Manusia Penge-
cut!" bentak Ningtyas penuh kemarahan, disertai pen-
gerahan tenaga dalam pada suaranya.
Tapi suara tawa itu kian terdengar bergelak.
Dan karena disertai dorongan tenaga dalam, membuat
sekujur tubuh Ningtyas menggigil hebat. Namun buru-
buru murid Raja Pedang itu mengerahkan hawa murni
hingga sedikit dapat mengusir pengaruh suara baru-
san.
"Hm...! Sudah jelas, orang itu pasti memiliki te-
naga dalam hebat. Kukira aku harus berhati-hati
menghadapinya," keluh si gadis perlahan sekali.
Sejenak Ningtyas menunggu kemunculan orang
yang menyerangnya lewat suara tawa barusan. Namun
yang ditunggu tak juga menampakkan batang hidung-

nya.
"Bedebah! Kau belum juga menunjukkan ba-
tang hidungmu, he?! Baik! Kalau begitu. Makanlah
pukulan 'Bara Neraka'-ku! Heaaa...!"
Dikawal bentakan nyaring, mendadak Ningtyas
mendorongkan kedua telapak tangannya yang telah
berubah jadi merah kekuningan ke arah semak-semak
belukar. Seketika dua buah sinar merah kekuningan
meluncur cepat menghantam semak-semak belukar.
Prasss! 
Semak belukar yang jadi sasaran kemarahan
gadis cantik itu terpapas habis. Sebagian lainnya han-
gus terbakar, dan masih mengobarkan api di sana-sini! 
Geraham Ningtyas bergemeletak penuh kema-
rahan. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau si pe-
milik suara terpengaruh oleh sambaran pukulan 'Bara
Neraka'. Malah selang beberapa saat.... 
"Bagus, bagus! Rupanya kau punya sedikit ke-
pandaian juga, Nona? Senang sekali kalau Algojo Dari
Timur dapat berkenalan denganmu. Apalagi, kalau
mau menemaniku barang dua atau tiga malam," lanjut
suara tanpa wujud itu. 
Ningtyas muak sekali mendengar ocehan suara
yang berbau cabul itu. Namun kali ini mendadak kepa-
lanya berpaling ke belakang. Dan betapa terkejutnya
gadis itu ketika melihat di atas ranting kecil sebesar ja-
ri kelingking tampak seorang lelaki tinggi besar ter-
bungkus pakaian merah dan kuning. Rambut kepa-
lanya dikuncir ke atas. Hanya itu saja rambutnya. Se-
lebihnya, plontos! Sebuah anting besar pun tampak
menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-
bayangkan kekejian luar biasa. Hidungnya besar den-
gan mata bulat besar. Rahangnya besar menyiratkan
kelicikan. Ia tak lain memang Algojo Dari Timur. (Un-

tuk mengetahui siapa Algojo Dari Timur silakan baca:
"Misteri Bayi Ular" dan "Manusia Rambut Merah").
"Kenapa menghadang langkahku, he?!" bentak
Ningtyas mengkelap.
Algojo Dari Timur hanya memperdengarkan su-
ara sumbang. Dan begitu tawanya mereda, tubuhnya
segera melenting tinggi ke udara, membuat pakaiannya
yang kedodoran berkibar-kibar.
Tepat ketika lelaki kasar itu mendarat, seketika
tanah di sekitar tempat ini bergetar hebat! Pada bagian
yang terkena injakan kontan berlobang besar!
"Kenapa? Kau tanyakan kenapa, Cah Ayu?" tu-
kas Algojo Dari Timur disusul suara tawa bergelak.
"Baik, baik! Aku Algojo Dari Timur yang menguasai
Hutan Karang Kajen ini tentu saja mengharapkan upe-
ti dari orang yang melintas!"
Ningtyas mengeluh dalam hati. Meski belum
pernah bertemu, namun menurut keterangan dari
mendiang gurunya, tokoh sesat dari timur itu memiliki
kesaktian tinggi. Bahkan sama sekali tidak mengenal
belas kasihan.
"Hm...! Rupanya hari ini aku tengah berhada-
pan dari tokoh sesat dari timur itu. Agaknya aku harus
hati-hati. Sebab menurut keterangan Guru, tokoh se-
sat ini sangat licik dan keji!" kata Ningtyas dalam hati. 
"Hm...! Algojo Dari Timur! Kukira, dosamu su-
dah bertumpuk. Alangkah akan nyamannya bila
orang-orang macam kau ini lekas-lekas enyah dari
bumi. Dan akulah yang akan mengirim nyawa busuk-
mu menemui kakek moyangmu di alam kubur!" den-
gus murid Raja Pedang ketus.
Algojo Dari Timur tertawa bergelak. Saking ge-
linya, tokoh sesat dari Hutan Karang Kajen ini sampai
mengeluarkan airmata!

"Lucu! Lucu sekali! Baru kali ini aku melihat
seorang gadis segalak dirimu. Baik, baik! Tunjukkan
kebolehanmu, bagaimana caranya menghajarku! Tapi
kalau  tak sanggup, kau harus membalas serangan-
serangan di atas tempat itu, Nona."
Ningtyas mengkelap bukan main. Saking ama-
rahnya tak dapat dikendalikan segera kedua telapak
tangannya yang telah berubah jadi merah kekuningan
didorongkan ke depan.
Wesss! Wesss! 
Seketika meluruk dua sinar merah kekuningan
dari kedua telapak tangan murid Raja Pedang siap me-
labrak tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur!
Tentu saja tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu
tak sudi tubuhnya dijadikan sasaran. Ketika sedikit la-
gi kedua sinar itu melabrak tubuhnya, secepatnya ke-
dua tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihen-
takkan.
"Aji 'Pemecah Bumi'! Heaaa...!"
Bummm...!
Terjadi ledakan hebat bukan main ketika dua
kekuatan dahsyat bertemu. Seketika bumi pun ber-
guncang! Ranting-ranting  pohon berderak dengan
daun-daun hangus terbakar!
Algojo Dari Timur yang baru saja melepas ajian
'Pemecah Bumi' tertawa bergelak. Kedua kakinya sem-
pat melesak beberapa dim ke dalam. Sedang sewaktu
terjadinya bentrokan tadi, tubuh si gadis kontan lim-
bung.
Melihat calon mangsanya belum bisa mengen-
dalikan keseimbangan, tokoh sesat dari Hutan Karang
Kajen itu pun segera melompat cepat. Jari-jari tangan-
nya terkembang, siap menotok tubuh Ningtyas. Begitu
cepat gerakannya, sehingga....

Tukkk! Tukkk!
"Aaahh...!" Ningtyas memekik tertahan saat to-
tokan  Algojo  Dari Timur mendarat di atas dadanya.
Seketika tubuh murid Raja Pedang itu pun kaku tak
dapat bergerak
"Ha ha ha...!"
Saat mendarat, Algojo Dari Timur tertawa ber-
gelak. Sepasang matanya berkilat-kilat terus menjilati
tubuh Ningtyas tanpa berkedip. Apalagi ketika sepa-
sang mata bengisnya tertumbuk pada bagian membu-
sung di dada murid Raja Pedang yang sedikit terbuka.
Seolah gejolak hatinya tak kuasa lagi ditahan untuk
segera menikmati tubuh Ningtyas.
"Kau cantik sekali, Nona! Rasanya tak mungkin
lagi kubiarkan tubuhmu yang montok begini," desah
Algojo Dari Timur sambil menelan ludahnya sendiri
Habis berkata begitu, tokoh sesat dari Hutan
Karang Kajen ini segera mendekati tubuh Ningtyas. Ja-
ri-jari tangannya yang besar segera bergerak cepat.
Dan....
Bret! Bret! 
"Aauww...!"
Ningtyas menjerit ngeri. Tanpa ampun lagi pa-
kaian hijaunya di bagian dadanya robek, menampak-
kan sepasang buah dadanya yang besar menggairah-
kan.
"Bajingan! Lepaskan aku! Lepaskan aku...!!!" te-
riak Ningtyas kalang kabut.
Algojo Dari Timur tak peduli lagi. Begitu meli-
hat sepasang buah dada yang terasa mengundang,
tangan-tangan kekarnya segera meraih tubuh Ning-
tyas. Langsung direbahkannya gadis itu di atas rerum-
putan.
Ningtyas berteriak-teriak menyayat, menyadari

kalau sebentar lagi sebuah petaka bakal merenggut
kehormatannya. Gigi-giginya yang runcing berkali-kali
mencoba menggigit ke sana kemari. Namun dengan
mudahnya Algojo Dari Timur mempermainkannya.
Bahkan kemudian tangannya bergerak-gerak liar,
menjamah  dua bukit kembar milik Ningtyas setelah
menindihnya.
Menyadari kehormatannya terancam, murid
Raja Pedang itu mulai putus asa. Tanpa disadari air-
mata pun menitik. Dengan suara tersendat-sendat,
berkali-kali Ningtyas minta dirinya dilepaskan. Namun
suara-suara itu dianggap sebagai rintihan penuh nik-
mat oleh lelaki kasar itu.
"Jangan menangis, Cah Ayu! Kau tidak akan ku
sakiti. Aku malah akan membawamu terbang jauh ke
langit tingkat tujuh," desis Algojo Dari Timur.
"Boleh-boleh saja kau ajak gadis cantik itu ter-
bang jauh. Tapi, hati-hati! Nanti malah kau sendiri
yang jatuh ke comberan!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah samping
yang disertai serangkum angin dingin ke arah Algojo
Dari Timur. Lelaki sesat ini cepat menggulingkan tu-
buhnya, kalau tak ingin celaka. 
Brakkk!
Batang pohon sebesar satu lingkaran tangan
manusia yang tak jauh dari tempat itu kontan tum-
bang dan jatuh berdebam ke tanah terkena serangan
nyasar. Debu-debu pun langsung membubung tinggi
menyelimuti tempat itu!
Sewaktu menggulingkan tubuhnya ke samping,
sial bagi Algojo Dari Timur. Ternyata di sampingnya te-
lah menunggu sebuah kubangan Lumpur
"Nah nah...! Kubilang apa? Akhirnya jatuh ke

comberan, kan?" ejek sosok penyerangnya.
Algojo Dari Timur marah bukan main. Apalagi
ketika mendengar suara tawa yang mencemooh di-
rinya.
Melihat siapa yang datang menolong, Ningtyas
tak dapat lagi kendalikan perasaannya. Airmatanya
yang membasahi pipinya pun makin dibiarkan mem-
banjir. Kedua bibirnya bergetar-getar. Matanya terus
memandangi sosok pemuda yang berdiri tak jauh da-
rinya. 
"Kau.... Kau! Terima kasih atas pertolonganmu,
Soma," ucap murid Raja Pedang bergetar.


***

8

Sosok pemuda berambut gondrong yang me-
mang Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum-senyum nakal. Sementara sepasang matanya
yang tajam pun terus menatap sepasang bukit kembar
Ningtyas yang membusung indah.
Sementara Ningtyas yang tidak menyadari kea-
daan dirinya hanya menangis sesenggukan. Namun
sepasang matanya yang indah pun sesekali mencuri
pandang pada sesosok pemuda tampan di hadapan-
nya.
Algojo Dari Timur yang sudah cukup mengenal
siapa pemuda tampan di hadapannya kontan membe-
liakkan matanya liar. Selang beberapa saat, kedua pe-
lipisnya bergerak-gerak penuh kemarahan.
"Bangsat! Lagi-lagi kau yang menghalang-

halangi niatku, Siluman Ular Putih!" bentak Algojo Da-
ri Timur, langsung meloncat bangun.
Mendengar nama pemuda tampan itu disebut,
kekaguman Ningtyas pun makin bertambah. Meski be-
lum pernah bertemu sebelumnya, namun dari kabar
yang tersiar ia tahu kalau pemuda itu adalah seorang
pendekar muda yang akhir-akhir ini menggemparkan
dunia persilatan.
"Selamat bertemu kembali, Algojo Dari Timur.
Aku memang senang menghalang-halangi maksud bu-
sukmu. Juga maksud orang-orang yang telengas lain-
nya," kata Soma, kalem.
"Setan  alas! Kali ini aku tidak akan mele-
paskanmu lagi, Siluman Gondrong! Jangan dikira sete-
lah kau mengalahkan aku waktu itu, aku sudi mene-
rima kekalahan begitu saja, he?! Sekaranglah saatnya
untuk membalas kekalahanku!" dengus Algojo Dari
Timur, kalap.
Memang, setelah dikalahkan oleh Siluman Ular
Putih di puncak Gunung Merapi, diam-diam tokoh se-
sat dari Hutan Karang Kajen itu pulang ke tempat per-
sembunyiannya. Dan di tempat itu, giat melatih jurus-
jurus silat dan kesaktian selama berbulan-bulan tanpa
mengenal lelah. Dan kini setelah jurus-jurus silatnya
dan kesaktiannya dapat disempurnakan, maka tak he-
ran kalau Algojo Dari Timur kini tidak merasa gentar
menghadapi Siluman Ular Putih.
"Sekarang kau muncul di hadapanku, Siluman
Ular Putih! Kebetulan sekali. Tangan-tanganku sudah
lama sekali ingin membeset jantungmu," geram Algojo
Dari Timur penuh kemarahan.
Algojo Dari Timur segera mementangkan ka-
kinya lebar-lebar. Perlahan-lahan, tangan kanannya
yang terkepal bergerak menyilang di atas kepala. Tan-

gan kirinya yang juga terkepal diletakkan di sisi ping-
gang. Lalu.... 
"Hea...! Hea...!"
Diiringi bentakan nyaring, tubuh tinggi besar
Algojo Dari Timur segera berkelebat cepat menyerang
Siluman Ular Putih. Tangan kanannya yang terkepal
erat cepat melepas bogem mentah ke wajah si pemuda.
Sedang tangan kiri yang juga terkepal erat siap pula
didaratkan ke ulu hati.
Hebat bukan main serangan-serangan tokoh
sesat dari Hutan Karang Kajen itu. Sebelum serangan-
nya tiba, terlebih dahulu telah berkesiur angin dingin
menyambar-nyambar kulit tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat datangnya serangan, murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu segera membuka jurus-jurus
'Terjangan Maut Ular Putih' yang menjadi andalannya.
Sedang kedua telapak tangannya yang kini berubah
jadi putih terang siap melontarkan pukulan maut te-
naga 'Inti Bumi'.
"Heaaa...!"
Dan begitu serangan-serangan Algojo Dari Ti-
mur mulai mendekati sasaran, kedua telapak tangan
Siluman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
pun segera bergerak lincah.
Plakkk! Plakkk!
Begitu terjadi benturan tangan, dengan gerakan
sulit terduga Algojo Dari Timur melayangkan bogem
mentah ke beberapa bagian yang mematikan di tubuh
Siluman Ular Putih. Namun pada saat itu, si pemuda
segera dapat membaca arah gerakan. Cepat bagai kilat
segera dipapakinya pukulan-pukulan  Algojo Dari Ti-
mur dengan gerakan patukan-patukan kedua telapak
tangannya. 
Plakkk! Plakkk! 

Serangan-serangan Algojo Dari Timur berhasil
ditangkis oleh patukan-patukan kedua tangan Siluman
Ular Putih. Seketika buku-buku tangan lelaki sesat
membiru seperti membentur lempengan baja yang kuat
sekali!
Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-
han. Namun sebelum sempat melancarkan serangan
susulan, tanpa terduga-duga tubuh Siluman Ular Pu-
tih telah berkelebat cepat. Patukan-patukan kedua
tangannya tahu-tahu telah mengancam dada lelaki se-
sat itu.
Tukkk! Tukkk!
Telak sekali patukan kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih yang membentuk dua kepala ular
mendarat di dada Algojo Dari Timur. Seketika tubuh
tokoh itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Pa-
rasnya pucat pasi! Seisi dadanya yang terkena patukan
tadi terasa mau jebol!
Algojo Dari Timur menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang besar berkilat-kilat. Lalu
dengan kasar, senjata andalannya yang berupa parang
besar dikeluarkan. Kilatan-kilatan mata parang yang
terkena sinar matahari memendarkan cahaya mengi-
riskan. Lalu disertai teriakan membelah langit, Algojo
Dari Timur kembali menerjang Siluman Ular Putih
dengan parang berputar-putar kencang.
"Ah...! Kau ini tak ubahnya seperti penjagal sa-
pi saja,  Algojo Dari Timur. Hei! Ingat, ya! Aku bukan
sapi yang seenaknya dapat dijagal!" ejek Siluman Ular
Putih.
Algojo Dari Timur sedikit pun tak tertarik untuk
meladeni ocehan murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Malah parang di tangannya makin bergerak-gerak
mengiriskan. Namun anehnya, Siluman Ular Putih

enak-enakan berkelit ke sana kemari sambil bersiul-
siul gembira. Bahkan sesekali disusupkannya patu-
kan-patukan kedua tangannya ke tubuh Algojo Dari
Timur.
"Hia...! Kena!"
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!"
Algojo Dari Timur menjerit kesakitan. Batok ke-
palanya yang terkena patukan tangan Siluman Ular
Putih terasa mau pecah. Untung saja tadi tenaga da-
lamnya telah dikerahkan. Sehingga patukan-patukan
Siluman Ular Putih tidak terlalu membahayakan, wa-
lau kepalanya masih berdenyut-denyut.
Menyadari serangan-serangannya hanya me-
nemui kesia-siaan, Algojo Dari Timur menggembor pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya yang telah
berubah kuning berkilauan siap melontarkan pukulan
'Badai Gurun Pasir'. Dan begitu kedua telapak tangan-
nya dihantamkan ke depan. Seketika serangkum angin
panas yang bukan kepalang meluncur dari kedua tela-
pak tangannya.
Melihat serangan yang demikian hebat, Silu-
man Ular Putih tak berani lagi bersikap ayal-ayalan.
Segera dikeluarkannya pukulan maut tenaga 'Inti Bu-
mi'. Seketika kedua telapak tangannya pun berubah
jadi putih terang. Kemudian dengan menggunakan se-
pertiga bagian tenaga dalamnya, segera dipapakinya
serangan Algojo Dari Timur.
Wesss! Wesss!
Memang tak ada ledakan hebat dari bentrokan
dua tenaga dalam barusan. Namun selang beberapa
saat, tiba-tiba angin panas dari kedua telapak tangan
Algojo Dari Timur telah buyar, langsung menyambar-
nyambar ranting-ranting dan daun-daun di sekitar

tempat pertarungan. Seketika di sekitar tempat perta-
rungan pun bagai hangus terbakar! 
"Hup...!"
Algojo Dari Timur segera buang tubuhnya ke
samping. Dan ketika kembali tegak, wajah garang to-
koh sesat dari Hutan Karang Kajen itu berubah pias-
nya. Telapak tangannya pun mendekap erat ke dada,
seolah-olah ingin menahan guncangan dalam  tubuh-
nya. Namun sayangnya Algojo Dari Timur tak kuasa.
Dari rahangnya yang mengembung pun segera me-
nyemburkan darah segar!
"Nah! Sekarang baru aku pinjam parangmu.
Aku ingin lihat seperti apa sih, enaknya jadi pejagal
manusia-manusia sapi macammu," celoteh Siluman
Ular Putih menggoda, lalu segera mendekati Algojo Da-
ri Timur.
Paras Algojo Dari Timur tampak makin pucat
bagai mayat. Seketika nyalinya pun lumer. Dan saat
melihat Siluman Ular Putih mulai melangkah mende-
kati, segera tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat ini.
Siluman Ular Putih tak berhasrat mengejar.
Perhatiannya kini tertuju pada gadis cantik yang sem-
pat menggoda hatinya dan masih terbaring di atas re-
rumputan.

***

Wajah cantik murid si Raja Pedang mendadak
jadi berseri-seri. Senyum manisnya pun tampak ter-
sungging di bibir. Namun ketika menyadari sikapnya
tadi sewaktu mereka masih berada di puncak Bukit
Karang Kajen, mendadak sikapnya jadi salah tingkah.
"Ah...! Aku benar-benar minta maaf, Soma.

Demi Tuhan, aku tidak menduga kalau kau adalah Si-
luman Ular Putih yang sedang banyak dibicarakan
orang," ucap Ningtyas gugup.
Soma alias Siluman Ular Putih hanya terse-
nyum. Sementara sepasang matanya yang tajam tak
henti-hentinya memandangi buah dada Ningtyas yang
membusung indah. Dan tanpa sadar,  si pemuda jadi
menelan ludahnya sendiri.
Ningtyas yang kini menyadari keadaan dirinya
jadi malu bukan main. Semburat rona merah pun kon-
tan menghiasi kedua pipinya. Namun ketika hendak
menutupi buah dadanya, gadis cantik itu jadi menge-
luh. Ternyata tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan. 
"To.... Tolonglah bebaskan totokanku, Soma!"
pinta Ningtyas malu-malu.
Soma yang masih terpaku pada sepasang buah
dada yang terpentang di depan mata itu mendadak jadi
tersentak kaget dan salah tingkah. Saking kagetnya,
tanpa sadar dadanya ditarik ke belakang.
"Ah, ya? Apa tadi kau bilang, Ningtyas?" Ning-
tyas mengeluh. Sebenarnya, mulutnya ingin sekali
mengeluarkan cacian. Namun buru-buru niatnya di-
urungkan.
"Aku tertotok. Tolonglah bebaskan totokanku,
Soma," pinta Ningtyas sedikit lebih lancar.
"Oh...!" Soma menepuk jidatnya. "Kenapa aku
jadi lupa begini? Baiklah!"
Dengan menahan perasaan jengah, terpaksa
Ningtyas hanya memejamkan kedua bola matanya se-
waktu murid Eyang Begawan Kamasetyo menotok pu-
lih tubuhnya. Dan begitu terbebas, murid Raja Pedang
segera menggulingkan tubuhnya ke samping.
"Tolong belakangi aku sebentar, Soma! Aku in-

gin membetulkan pakaianku," ujar Ningtyas.
"Baik."
Tanpa banyak cakap, Soma segera berbalik.
Sambil menunggu gadis itu membetulkan pakaian,
murid Eyang Begawan Kamasetyo mencoba membuka
percakapan.
"Sebenarnya, kenapa tadi kau menangis demi-
kian menyedihkan di dalam hutan?"
Ningtyas yang tengah sibuk membetulkan pa-
kaian sengaja tidak langsung menjawab. Dan dengan
agak gugup pakaiannya yang robek memanjang di sa-
na sini diikat. Memang tidak begitu rapi dan masih
menampakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tapi
itu sudah cukup. Baru kemudian Ningtyas segera
mendekati pemuda penolongnya. 
"Sebelumnya aku minta maaf atas kelakuanku
tadi, Soma! Aku memang  sedang bersedih. Guruku,
Raja Pedang tewas di tangan manusia durjana yang
bergelar Dewa Langit."
"Ya ya ya...! Tapi, sekarang aku sudah diperbo-
lehkan melihat tubuh..., eh! Maksudku, bolehkah aku
berbalik?" kata Soma buru-buru mengulangi ucapan-
nya.
Sebenarnya sewaktu gadis cantik di belakang-
nya tadi berbicara, murid Eyang Begawan Kamasetyo
masih sangat terkesan dengan tubuh Ningtyas yang te-
rus membayang di benaknya.
"Tentu! Tentu! Kenapa tidak?"
Soma pun segera berbalik. Senyum nakalnya
pun kontan tersungging di bibir begitu melihat gadis
cantik di hadapannya. Sejenak pandang matanya pun
terus menelusuri tubuh tinggi ramping di hadapannya. 
"Kau... kau tampak cantik sekali dalam kea-
daan begini, Ningtyas."

Sekali lagi Ningtyas tersenyum. Hatinya merasa
tersanjung mendengar perkataan pemuda tampan di
hadapannya.
"Oh, iya. Tadi kau menyebut-nyebut Raja Pe-
dang dan Dewa Langit. Ada apa sih sebenarnya? Kena-
pa kau tadi menangis demikian menyedihkan?" ulang
Soma.
Ningtyas bungkam. Kedua bibirnya yang tipis
berwarna kemerahan tampak bergetar bila teringat se-
pak terjang Dewa Langit yang telah menewaskan gu-
runya, sekaligus membuat dirinya menderita.
Sementara itu Soma yang kurang memperhati-
kan gadis cantik di hadapannya sudah meletakkan
pantatnya di atas rerumputan. Lalu ditariknya lengan
Ningtyas.
"Hayo, duduk! Kan enak kalau bicara sambil
duduk begini," ujarnya.
Ningtyas yang merasa lamunannya dibuyarkan
oleh tarikan tangan Soma pun segera tersadar. Namun
untuk sesaat, ia belum juga buka suara. Perasaannya
yang menggemuruh sejenak dibiarkan bermain dalam
hati. Namun perlahan ia mulai dapat kendalikan pera-
saannya yang galau. Dan mulailah si gadis bercerita.
Selama Ningtyas bercerita, Soma hanya men-
gangguk-angguk saja. Tak ada keinginan untuk memo-
tong cerita Ningtyas. Namun ketika Ningtyas berkali-
kali menyebut nama Dewa Langit, si pemuda jadi mu-
lai tertarik.
"Apa? Kau bilang, kau diberi tugas untuk dapat
menemukan seorang anak manusia yang dilahirkan
secara aneh dan sekaligus memiliki ilmu aneh pula,
Ningtyas?"
"Iya. Dan untuk itu pula manusia durjana De-
wa Langit itu melukaiku. Entah kenapa, sejak terkena

totokan tua bangka keparat itu, ulu hatiku terasa nyeri
bukan main. Tapi, tak apalah. Nanti kalau aku sudah
menemukan orang yang dicari Dewa Langit, baru aku
boleh menemuinya di Hutan Watu Malang," sungut
murid Raja Pedang.
"Dewa Langit...? Rasa-rasanya aku pernah
mendengar nama itu. Kalau tidak salah, dulu eyang
pernah bercerita. Dewa Langit adalah serang tokoh
sakti yang jarang sekali mendapat lawan tanding. Ko-
non hanya Eyang Bromo sajalah yang dapat menan-
dingi kesaktiannya. Tapi, kenapa menebar angkara
murka di dunia persilatan? Bukankah ia dari golongan
putih? Ah...! Bisa jadi bukan Dewa Langit yang seperti
diceritakan Eyang. Sebab menurut cerita Eyang, tokoh
itu sudah sangat tua. Dan kini sudah lama tidak me-
nampakkan diri di dunia persilatan. Entah ia menyem-
bunyikan diri, atau memang sudah mati. Tapi menurut
perkiraanku, pasti bukan Dewa Langit yang dicerita-
kan Eyang," gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo
dalam hati.
Sambil melamun begitu, Soma mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Memang sulit untuk mencari anak manusia
yang seperti diinginkan Dewa Langit. Tapi, tak apa-
apalah! Aku pasti akan membantumu. Cuma sekarang,
ke mana aku mesti mencari manusia yang bergelar
Dewa Langit itu, Ningtyas?" tanya Soma.
"Aku sendiri tidak tahu, Soma. Tapi, kau berha-
ti-hatilah kalau bertemu dengannya. Kesaktiannya
tinggi sekali. Bahkan guruku pun dapat ditewaskan-
nya hanya dalam satu gebrakan. Sungguh tidak ma-
suk akal. Guruku yang sakti itu dapat dirobohkan
hanya dalam satu gebrakan. Kuharap kau... kau...."
Ningtyas tak jadi melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Semburat rona merah
pun kembali menghiasi pipi.
"Kau berharap apa, Ningtyas? Kenapa kau tidak
melanjutkan?" usik Soma.
"Aku.... Aku...." Ningtyas gelagapan. Debar-
debar aneh dalam hatinya makin membuat rona merah
di kedua pipinya terlihat jelas.
Mendadak Soma pun tertawa bergelak, mem-
buat Ningtyas memandangi dengan kening berkerut.
"Apa kau mengkhawatirkan keselamatanku,
Ningtyas? Kulihat wajahmu selalu merona merah. Pasti
kau mengkhawatirkan keselamatanku. Tak mungkin
meleset tebakanku, bukan?" tebak murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo, besar kepala.
Ningtyas gelisah sekali. Tapi memang benar apa
yang diucapkan pemuda tampan di sampingnya. Dan
untuk mengakuinya, mana mungkin gadis cantik ini
berani. Dan hal ini pula yang membuat tawa murid
Eyang Begawan Kamasetyo makin bergelak.
Dan di saat Soma hendak membuka suara
kembali, mendadak pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan halus beberapa orang ten-
gah mendekati tempat ini.
"Kalau ada apa-apa tenang saja, Ningtyas!
Tampaknya ada dua orang tengah mendengarkan
pembicaraan kita."

***

9

Ningtyas melengak kaget. Diam-diam hatinya
makin kagum pada pemuda tampan di sampingnya.

Namun, rupanya ia pun tak dapat menahan rasa ingin
tahunya. Dan ketika kepalanya berpaling ke samping,
keningnya lantas berkerut.
Tak jauh dari tempat mereka, tampak dua
orang lelaki tua tengah tegak mengamati. Kedua orang
lelaki tua itu sama-sama sudah berusia lanjut. Yang
sebelah kanan mengenakan pakaian kafan warna pu-
tih. Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya yang panjang
memutih digelung ke atas. Wajahnya pun pucat mirip
mayat.
Sedang lelaki tua di sebelahnya memiliki paras
lucu menyerupai wajah bayi. Rambutnya putih dibiar-
kan riap-riapan di bahu. Tubuhnya yang pendek kurus
dibalut pakaian ringkas warna hitam. Melihat ciri-
cirinya, mereka tidak lain dari Hantu Pocong dan Iblis
Muka Bayi.
Sejak mereka dikalahkan oleh Dewa Langit,
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi jadi kesal sekali.
Untung saja mereka dapat membebaskan diri dari to-
tokan Dewa Langit. Kemudian mereka sepakat untuk
mencari Siluman Ular Putih.
"Cepat jawab pertanyaanku! Benarkah kau ber-
gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong ga-
rang.
Soma alias Siluman Ular Putih tenang saja, se-
perti tak mempedulikan kehadiran kedua orang tua
itu.
"Kau ini bertanya pada siapa, Pak Tua," kata
Soma, kalem.
"Keparat! Aku bertanya padamu, tahu?" bentak
Hantu Pocong lagi. "Sekarang katakan! Benarkah kau
yang bergelar Siluman Ular Putih?"
"Oh...! Jadi kau bertanya padaku? Kenapa ka-
sar amat? Sopan sedikit dong?"

"Jangan banyak bacot! Apa kau tidak tahu ten-
gah berhadapan dengan siapa, he?!" bentak Iblis Muka
Bayi garang.
Siluman Ular Putih sebenarnya heran, karena
kedua orang tua itu seperti mempunyai maksud yang
tidak baik. Lebih heran lagi, karena rasa-rasanya ia be-
lum pernah bertemu mereka. Jadi, tak ada alasan me-
reka memusuhinya.
"Heran-heran! Kenapa selalu saja ada orang
yang meributkan siapa aku? Hey, dengar! Kenapa sih
kalian usil bertanya tentang siapa aku sengaja? Dasar
kurang kerjaan! Sudah tua bukannya sadar, malah
mau cari penyakit!" gerutu si pemuda kesal.
"Bedebah! Kau bilang apa, Bocah?!" sentak Iblis
Muka Bayi gusar bukan main.
"Aku tidak ingin apa-apa. Kenapa kalian uring-
uringan begini? Maaf deh kalau bicaraku tadi sedikit
menyinggung perasaan. Makanya omonganku jangan
dimasukin ke hati. Coba dimasukkan ke mulut, aku
jamin pasti kalian kenyang," celoteh Soma seenak
dengkul.
"Bajingan! Kau jangan  berlagak pilon, Bocah!
Melihat ciri-cirimu, pasti kaulah kunyuk kudisan ber-
gelar Siluman Ular Putih!" bentak Hantu Pocong.
Soma sejenak hanya cengar-cengir sambil ga-
ruk-garuk kepala. Namun belum sempat murid Eyang
Begawan Kamasetyo buka suara, tiba-tiba....
"Goblok! Dasar orang tua-orang tua goblok! Ke-
napa pakai tanya-tanya segala?! Kunyuk gondrong itu-
lah yang bergelar Siluman Ular Putih!"
Sebuah bentakan keras terdengar, disertai ber-
kelebatnya satu bayangan biru ke arah mereka.

***


Seketika paras Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi memerah. Keningnya pun berkerut-kerut melihat
seorang lelaki tua berpakaian biru telah berdiri tegak
di tempat itu. Rambutnya awut-awutan tak terawat.
Wajahnya kasar dipenuhi tonjolan daging. Sedang tu-
buhnya yang tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna
biru.
"Peramal Maut! Berani kau menghinaku seperti
itu?!" bentak Hantu Pocong garang.
"Apa kau sudah bosan hidup hingga berani
membacot begitu, Peramal Maut?!" bentak pula Iblis
Muka Bayi tak kalah garang.
Lelaki tua yang memang Peramal Maut hanya
tertawa bergelak seraya ketuk-ketukkan tongkat di
tangan kanannya ke tanah. Aneh! Meski tongkatnya
diketuk-ketukkan. Perlahan, namun seketika tanah di
sekitar tempat itu bergetar! Pada bagian yang terkena
ketukan tongkat pun kontan berlobang!
Sementara Siluman Ular Putih merasa dongkol
bukan main melihat kemunculan Peramal Maut. De-
mikian juga Ningtyas. Meski mulutnya terkunci rapat-
rapat, namun menilik kilatan sepasang matanya yang
indah itu jelas kalau murid Raja Pedang ini tak me-
nyukai kehadiran lelaki tua jago meramal itu.
"Kenapa tak berani? Memang kenyataannya ka-
lian semua tolol. Pemuda yang sedang kalian cari-cari
itulah yang berjuluk Siluman Ular Putih; Hayo, kenapa
kalian hanya memandangi aku! Kunyuk gondrong itu
masih punya hutang barang satu dua gebukan pada-
ku. Dan aku tak sabar lagi untuk menagih, berikut
bunganya," teriak Peramal Maut nyaring.
Habis berteriak begitu, Peramal Maut segera
menerjang Siluman Ular Putih hebat. Dalam sekali ke-

lebatan saja, tongkat hitam di tangan kanannya telah
berubah jadi gulungan hitam yang terus mendesak la-
wannya.
Melihat Peramal Maut mendahului, tentu saja
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi tak mau ketingga-
lan. Dengan senjata masing-masing, mereka pun sege-
ra menyerang hebat. 
"Hea...! Hea...!"
Dikeroyok bertiga begitu, Siluman Ular Putih
kewalahan bukan main. Gempuran-gempuran ketiga
lawannya, berkali-kali mengancam beberapa jalan ke-
matian di tubuhnya. Untung saja sampai sejauh ini se-
rangan-serangan ketiga orang pengeroyoknya dapat
dihindari dengan melompat ke sana kemari.
Tapi, tentu saja murid Eyang Begawan Kama-
setyo  itu tidak ingin diserang habis-habisan. Apalagi
paduan serangan ketiga orang pengeroyok makin be-
ringas saja. Maka tidak ada pilihan lagi, kecuali mem-
balas ketiga serangan. Namun kali ini jurus-jurus an-
dalan yang dipelajarinya dari eyangnya di Gunung Bu-
cu tidak dikeluarkan, justru si pemuda kini berniat
mengerahkan ilmu yang dipelajarinya di Lembah Ko-
dok Perak untuk membalas serangan ketiga orang
pengeroyoknya.
Begitu Soma terbebas dari serangan dengan
membuat lentingan tubuh menjauh, Siluman Ular Pu-
tih pun segera menekuk kedua lututnya. Lalu sambil
berloncatan ke sana kemari mirip seekor kodok, segera
diserang ketiga lawannya.
"Kooook...!!!"
Tiba-tiba terdengar bunyi mirip kodok dari mu-
lut Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan itu, kedua
telapak tangannya cepat didorong ke depan. Maka se-
ketika serangkum angin dingin dari ilmu 'Kodok Perak

Sakti' melesat cepat.
Wesss! Wesss!
Bumm...!!!
Hebat bukan main bunyi ledakan barusan, saat
'Kokok Perak Sakti' Siluman Ular Putih hanya meng-
hantam tanah. Untung saja ketiga orang pengeroyok-
nya bisa menghindar dengan membuang tubuh mas-
ing-masing. Seketika bumi pun bergetar hebat laksana
ada gempa!
Selagi Siluman Ular Putih hendak menyerang
kembali, tiba-tiba Ningtyas meluruk menyerang para
pengeroyok Siluman Ular Putih yang telah bangkit ber-
diri. Pedang di tangan kanannya segera berkelebat liar
mencari sasaran. Namun sayangnya yang dihadapi ga-
dis cantik itu bukan tokoh sembarangan.
Ketiga tokoh itu adalah para dedengkot dunia
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga
tak heran bila serangan gadis itu mudah sekali dimen-
tahkan.
Wesss!
Bahkan pada saat Ningtyas hendak melontar-
kan pukulan maut 'Bara Neraka', tiba-tiba melesat an-
gin berkesiur menyerang. Seketika Ningtyas segera
mengurungkan serangan. Lalu, melirik ke belakang.
Ternyata punggungnya tengah terancam gebukan
tongkat di tangan Peramal Maut.
"Uts!"
Si gadis cepat berkelit ke samping. Namun
sayangnya, saat itu Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi
telah menunggu dengan sambaran tulang paha manu-
sia dan cemeti berekor sembilan.
"Ah...!" pekik Ningtyas gugup.
Belum sempat Si gadis bertindak lebih lanjut,
tahu-tahu senjata-senjata kedua tokoh sesat itu telah

menghantam tubuh Ningtyas.
Bukkk! Ctarr...!
"Augh...!"
Siluman Ular Putih hanya bisa terpana melihat
tubuh Ningtyas jatuh berdebam ke tanah dan tak da-
pat bangun lagi. Soma yang semula sengaja memberi
kesempatan gadis itu untuk mengumbar serangan jadi
menyesali kebodohannya. Maka hatinya kontan tersa-
put kemarahan. Saking tak dapat mengendalikan ama-
rah, mendadak rambut kepalanya telah berubah jadi
ratusan ular putih hidup yang meliuk-liuk!
"Jahanam! Kalian benar-benar manusia jaha-
nam tak tahu malu! Demi Tuhan aku tidak akan mem-
biarkan kalian menebar angkara murka di depan ma-
taku!" bentak Siluman Ular Putih penuh kemarahan. 
Srat!
Saat itu pula Siluman Ular Putih mengeluarkan
senjata andalan, sebuah anak panah berbentuk aneh.
Bagian ujung runcing anak panah yang sedikit me-
lengkung ke atas berbentuk kepala ular. Di kanan kiri
kepala ular terdapat dua buah cakra kembar dari besi
putih. Sedang pada bagian badan yang berupa badan
ular, terdapat beberapa lobang suling. Itulah Anak Pa-
nah Bercakra Kembar, sebuah senjata pusaka yang ja-
rang tandingannya.
Bahkan begitu murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini mengerahkan tenaga dalam, seketika hawa
dingin yang bukan kepalang telah memenuhi tempat
itu. Entah bagaimana, baik ilmu meringankan tubuh
maupun tenaga dalam si pemuda kontan bertambah
begitu senjata andalannya dikeluarkan. 
"Heaaa...!"
Dan dengan teriakan membelah angkasa, Silu-
man Ular Putih kembali menerjang ketiga orang penge-

royoknya. Telapak tangan kirinya yang berwarna putih
terang siap melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi'.
Tangan kanannya yang memegang Anak Panah Berca-
kra Kembar berputar-putar menerbitkan angin panas.
Begitu murid Siluman Ular Putih menerjang,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar segera dilem-
parkan ke arah Iblis Muka Bayi. Tepat saat senjata itu
melesat, Siluman Ular Putih pun melancarkan seran-
gan dengan kedua telapak tangannya yang telah penuh
tenaga 'Inti Bumi' dan tenaga ‘Inti Api’. Arahnya tertuju
pada Hantu Pocong dan Peramal Maut.
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar merah dan si-
nar putih terang dari kedua telapak tangan Siluman
Ular Putih. Hantu Pocong dan Peramal Maut tentu saja
tidak ingin jadi sasaran empuk. Maka dengan ajian
andalan mereka pun segera memapaki.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan main ledakan yang terjadi ketika
satu kekuatan dahsyat bertemu kekuatan dahsyat
lainnya. Bumi pun bergetar. Tanah-tanah berhambu-
ran tinggi ke udara. Bahkan batang-batang pohon di
sekitar tempat pertarungan hangus terbakar!
Sementara sewaktu Siluman Ular Putih melem-
parkan senjata pusakanya, Iblis Muka Bayi hanya ter-
senyum dingin seperti meremehkan. Tetapi ketika sen-
jata anak panah itu berhasil dihindari, Iblis Muka Bayi
kontan terperanjat. Ternyata senjata itu mampu berba-
lik, dan menyerangnya kembali. Meski demikian Iblis
Muka Bayi tidak gugup. Segera cemeti di tangan ka-
nannya digerakkan beberapa kali.
Ctarrr! Ctaaarrr!
Taakkk!

Telak sekali senjata anak panah itu tertangkis
lecutan cemeti di tangan Iblis Muka Bayi. Seketika sen-
jata andalan Siluman Ular Putih melesat ke samping. 
Kebetulan sekali arahnya menuju ke tubuh
Soma yang sempat terhuyung-huyung beberapa lang-
kah ke belakang. Maka dengan napas tersengal, murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu kembali dapat menang-
kap senjata andalannya.
Siluman Ular Putih kini telah berdiri tegak di
luar pertarungan. Senjata anak panahnya telah dis-
elipkan kembali ke balik rompi. Kemudian jalan piki-
rannya mulai dipusatkan, siap mengerahkan ajian
pamungkas ‘Titisan Siluman Ular Putih’. Namun
sayangnya baru saja hendak membacakan mantra
ajian....
"Sungguh memalukan! Tua bangka-tua bangka
memalukan! Beraninya cuma mengeroyok anak ingu-
san!"  Terdengar bentakan nyaring yang disusul mele-
satnya angin dingin ke arah tiga orang pengeroyok Si-
luman Ular Putih.

***

10

Tiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih seke-
tika melengak kaget. Dan ketika merasakan angin
dahsyat yang mendadak menyerang, tanpa pikir pan-
jang lagi mereka membuang tubuh masing-masing ke
samping. Sehingga, lesatan angin itu terus menerabas
ke belakang, menghantam batang-batang pohon di be-
lakang.
Brakkk!!!

Batang pohon di belakang ketiga orang penge-
royok Siluman Ular Putih kontan berderak, lalu jatuh
berdebam ke tanah. Daun-daunnya pun membeku.
Begitu ketiganya terbebas dari serangan maut,
ketiga tokoh sesat itu pun kontan membeliakkan mata
lebar-lebar. Saat itu di hadapan mereka telah berdiri
tegak seorang lelaki amat tua berpakaian putih-putih.
Rambutnya memutih digelung ke atas. Wajahnya telah
penuh keriput. Namun tubuhnya yang kurus kering
tak bertenaga, ternyata menyimpan kekuatan luar bi-
asa!
"Dewa Langit...!!!" desis ketiga orang pengeroyok
Siluman Ular Putih hampir bersamaan
Siluman Ular Putih sendiri pun sempat terke-
jut. Ia tidak menyangka kalau lelaki tua renta di sam-
pingnya itulah yang tadi menyerang ketiga orang pen-
geroyoknya dengan demikian hebat.
"Sungguh tak kusangka orang tua renta. Tam-
paknya tak bertenaga, tapi mampu melancarkan se-
rangan hebat. Dan tampaknya ketiga orang tokoh sesat
di hadapanku ini jerih sekali menghadapi orang tua
renta ini. Dewa Langit...! Hm...! Inikah manusia durja-
na yang dimaksudkan Ningtyas? Tapi, kenapa ia meno-
longku?" gumam hati Siluman Ular Putih.
"Dewa Langit! Apa matamu buta?! Pemuda yang
sedang kami keroyok itulah yang sedang kau cari-cari!
Dialah yang bergelar siluman Ular Putih. Tapi, kenapa
kau malah menyerang kami?" teriak Peramal Maut
nyaring.
"Hm...!"  lelaki tua yang tak lain Dewa Langit
menggumam tak jelas. Kepalanya pun segera berpaling
ke arah Siluman Ular Putih sambil mengangguk-
angguk.
"Jadi? Pemuda inikah yang telah dilahirkan

dengan cara aneh? Sungguh kebetulan sekali...," desis
Dewa Langit dalam hati.
"Bagaimana, Dewa Langit? Kenapa diam saja?
Bukankah kau menginginkan pemuda itu? Hayo, kita
hajar kunyuk gondrong ini ramai-ramai! Atau kau in-
gin menghajarnya sendiri? Jadi biarlah kami menonton
saja," kata Peramal Maut lagi.
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. 
"Ah...! Bagaimana ini kalau sampai orang tua
renta di sampingku termakan kata-kata Peramal Maut.
Benar-benar celaka tiga belas! Menghadapi Peramal
Maut yang dibantu kedua orang temannya saja ra-
sanya sulit. Apalagi sekarang ditambah lelaki renta di
sampingku yang tampaknya sangat ditakuti Peramal
Maut dan kedua orang kawannya? Ah...! Bagaimana
mungkin aku dapat menghadapi mereka?!" gumam ha-
ti Siluman Ular Putih.
"Aku paling benci melihat cara bertarung ke-
royokan. Dengan dalih apa pun juga, aku tak sudi me-
nuruti keinginan kalian. Malah, justru sebaliknya aku
ingin melindunginya!" tunjuk Dewa Langit pada Silu-
man Ular Putih. "Dan bagi siapa saja yang mengingin-
kan nyawa pemuda ini, maka akulah orang yang per-
tama akan membelanya. Apa kalian bertiga masih in-
gin mengeroyoknya?"
Hantu Pocong, Iblis Muka Bayi, dan Peramal
Maut terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau De-
wa Langit malah justru melindungi Siluman Ular Pu-
tih.
"Sungguh aneh watak manusia sinting ini. Ke-
marin ingin mencari Siluman Ular Putih. Tapi begitu
ketemu, kenapa mendadak pikirannya berubah? Dasar
orang tua sinting!" gerutu Iblis Muka Bayi penuh ke-
marahan.

Dewa Langit tersenyum hambar. Selangkah
demi selangkah mulai didekati Hantu Pocong dan ke-
dua orang kawannya.
Siluman Ular Putih yang merasa di atas angin
membusungkan dada. Lalu dengan langkah mantap, ia
berjalan mengekor di belakang Dewa Langit.
"Hayo, sekarang kalian mau apa lagi?! Aku ti-
dak takut lagi menghadapi keroyokan kalian. Majulah
kalau ingin kugebuk pantat kalian!" ejek Siluman Ular
Putih.
Peramal Maut dan Hantu Pocong mengkelap
bukan main. Kalau saja di situ tidak ada Dewa Langit,
sudah pasti akan kembali diserangnya Siluman Ular
Putih. Namun berhubung tokoh sakti itu berada pada
pihak Siluman Ular Putih, terpaksa mereka hanya bisa
melotot gusar.
Namun rupanya tidak demikian halnya Iblis
Muka Bayi. Meski telah merasakan kehebatan Dewa
Langit, namun ia sedikit pun tidak gentar.
"Dewa Langit! Kuakui, waktu itu aku kalah da-
rimu. Namun, sedikit aku tidak gentar menghadapimu!
Sekarang kalau kau ingin melindungi pemuda tengil
itu, majulah! Aku siap melayanimu!"
Mendengar ucapan Iblis Muka Bayi, seketika
nyali Hantu Pocong dan Peramal Maut yang semula
menciut kini mendadak berkobar-kobar.
"Setan alas! Kau boleh ditakuti banyak tokoh
dunia persilatan, Dewa Langit! Tapi seperti yang dika-
takan Iblis Muka Bayi, sekali lagi kami belum kalah!"
"Nah! Sekarang, kau bisa berbuat apa, Dewa
Langit? Apa kau sanggup menghadapi kami?" tantang
pula Peramal Maut.
"Jangan banyak bacot, Peramal Maut! Akulah
lawanmu," teriak Siluman Ular Putih jengkel.

Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih me-
lompat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang membentuk dua kepala ular segera berke-
lebat cepat ke arah tubuh Peramal Maut. Namun
sayangnya baru saja  Siluman Ular Putih berada di
udara, Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi segera da-
tang menghadang.
"Makanlah cemetiku, Bocah Gondrong!" teriak
Iblis Muka Bayi garang.
Ctarrr...!
Wuttt...!
Cemeti berekor sembilan di tangan kanan Iblis
Muka Bayi pun segera menyambar-nyambar ganas
menyerang Siluman Ular Putih yang terpaksa harus
menarik serangannya. Sedang tulang paha manusia di
tangan Hantu Pocong menyambar deras ke arah Silu-
man Ular Putih.
"Hea...! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Peramal Maut pun
turut pula mengeroyok Siluman Ular Putih. Dalam se-
kali kelebatan saja, mendadak tongkat hitam di tangan
kanannya telah berubah jadi gulungan hitam yang te-
rus mendesak sosok putih keperakan si pemuda.
"Manusia-manusia durjana tak tahu malu! Ka-
lian semua memang patut diberi pelajaran!" geram De-
wa Langit murka.
Maka dengan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi, Dewa Langit berkele-
bat. Segera diserangnya ketiga orang pengeroyok Silu-
man Ular Putih. Jari-jari tangannya yang telah beru-
bah putih berkilauan pun segera menyosor-nyosor ke
sana kemari siap menotok tubuh ketiga tokoh sesat
itu.
Wesss! Wesss!

Ketiga orang pengeroyok Siluman Ular Putih se-
rentak menghentikan serangan. Tubuh mereka segera
dibuang ke belakang. Namun meski totokan-totokan
Dewa Langit hanya mengenai tempat kosong, tak
urung ketiga tokoh sesat itu pun masih saja merasa-
kan hawa dingin menyambar-nyambar dada.
"Mampuslah kalian! Sekarang aku pun juga in-
gin menghajar kalian. Tapi mana ya lawan yang akan
ku pilih? Ah, iya? Sebaiknya aku akan menghajar ma-
nusia culas bergelar Peramal Maut saja!" celoteh Silu-
man Ular Putih, setelah beberapa saat mendarat di ta-
nah seraya memperhatikan pertarungan.
Habis berceloteh, Siluman Ular Putih pun sege-
ra meluruk ke arah Peramal Maut. Kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi putih terang segera di-
dorong ke depan. Seketika dua larik sinar putih terang
melesat dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss!
Tentu saja Peramal Maut tidak ingin jadi sasa-
ran empuk serangan-serangan Siluman Ular Putih.
Dengan mengandalkan pukulan 'Gelap Ngampar' pun
segera dipapaki serangan Siluman Ular Putih. Saat itu
pula kedua tangannya menghentak disertai tenaga da-
lam tinggi.
Blaaar...!
Seketika tubuh Peramal Maut mencelat ke be-
lakang. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan! Pa-
rasnya pun tampak pucat pasi, pertanda menderita lu-
ka dalam cukup hebat.
Sementara begitu Siluman Ular Putih kembali
menerjang Peramal Maut, Dewa Langit telah mencecar
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi. Dengan ajian
'Sukma Sejati' kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah jadi putih berkilauan menghentak ke arah ke-

dua tokoh sesat itu.
Tentu saja Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong
tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-serangan
Dewa Langit. Begitu melihat dua sinar putih berki-
lauan menyerang, mereka segera menggabungkan te-
naga dalam. Lalu secara bersamaan, mereka menghen-
takkan kedua telapak tangannya, memapak pukulan
'Sukma Sejati' milik Dewa Langit.
Wesss! Wesss!
Bumm...! Bummm...!
Terdengar dua kali ledakan hebat di udara.
Bumi laksana diguncang angin prahara! Ranting-
ranting pohon di sekitar pertarungan kontan berderak!
Sebagian daun-daunnya ada yang hangus terbakar.
Sebagian lainnya membeku!
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, seketika tu-
buh Iblis Muka Bayi dan Hantu Pocong kontan lim-
bung ke samping dengan wajah pucat pasi. Seisi dada
mereka terasa terguncang hebat!
Dewa Langit tersenyum kecut. Dan ia memang
tidak ingin membiarkan kedua tokoh sesat itu berting-
kah di muka bumi. Segera diserangnya kedua lawan-
nya.
Hantu Pocong dan Iblis Muka Bayi yang belum
bisa menguasai keadaan kontan mengeluarkan kerin-
gat dingin. Mereka berusaha menghindar, namun ge-
rakan Dewa Langit lebih cepat. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk!
"Aaah...!"
"Akh...!"
Telak sekali tepukan kedua tangan Dewa Langit
mendarat di ulu hati Hantu Pocong dan Iblis Muka
Bayi. Disertai semburan darah segar mereka berteriak
menyayat dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke

belakang. Ketika tubuh mereka membentur batang po-
hon, langsung luruh ke atas tanah. Pingsan!
Sejenak Dewa Langit memperhatikan dua tokoh
sesat  yang terbujur pingsan. Lalu pandang matanya
dialihkan ke arah Siluman Ular Putih yang tengah ber-
tarung hebat melawan Peramal Maut.
Dalam pertarungannya murid Eyang Begawan
Kamasetyo tengah melontarkan pukulan tenaga 'Inti
Bumi'. Peramal Maut yang tampak kewalahan meng-
hadapi Siluman Ular Putih terpaksa harus memapak
pukulan maut 'Gelap Ngampar'.
Blarrr...!
Karena Peramal Maut ragu-ragu, tubuhnya pun
kontan melayang-layang bak layangan putus begitu
terjadi bentrokan di udara yang menimbulkan ledakan
dahsyat. Kemudian begitu kedua kakinya menjejak ta-
nah, tubuhnya segera berkelebat meninggalkan tempat
ini.
Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali
mengejar. Namun karena teringat akan keselamatan
Ningtyas niatnya diurungkan. Dan meski tampaknya
merelakan kepergian Peramal Maut, namun tidak de-
mikian mulutnya. 
"Jangkrik! Kalau saja aku tidak ingat akan ke-
selamatan Ningtyas, sudah pasti kubuat pepesan teri
tubuhmu, Peramal Maut!" teriak Siluman Ular Putih
seraya berbalik. Kakinya segera melangkah lebar men-
dekati tubuh Ningtyas, Namun baru saja melangkah,
mendadak....
"Tetap di tempatmu, Siluman Ular Putih! Kalau
tidak, biarkan gadis itu mati sekarang juga!"
Terdengar bentakan keras, membuat langkah
Soma terhenti.


11

Kening Siluman Ular Putih berkerut dalam me-
natap sosok yang mengeluarkan bentakan. Sosok yang
tak lain Dewa Langit itu kini malah melangkah mende-
kati tubuh Ningtyas. Semula si pemuda merasa cemas
bukan main. Namun ketika dilihatnya orang tua renta
itu menotok beberapa jalan darah dan mengurut teng-
kuk tubuh gadis itu, baru Soma merasa lega.
"Aneh...! Rasanya belum pernah aku bertemu
orang macam dia. Ternyata Ningtyas yang telah dicela-
kakan, eh, malah sekarang diobati," gumam Soma da-
lam hati
Selang beberapa saat, Ningtyas pun mulai si-
uman. Perlahan-lahan kelopak matanya pun mulai
membuka. Namun saat itu pula, Ningtyas memekik
tertahan. Sepasang matanya yang semula bersinar in-
dah, mendadak berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Cah Ayu...!
Luka dalammu belum begitu pulih.  Minumlah obat
ini!" kata Dewa Langit lembut seraya menyerahkan ob-
at pulung yang diambil dari dalam saku bajunya.
Sejenak Ningtyas membelalak heran melihat pe-
rubahan sikap orang tua renta yang telah menewaskan
gurunya. Dan ketika Dewa Langit mengulurkan obat
pemunah racun, Ningtyas pun tampak masih ragu-
ragu.
"Ambillah, Cah Ayu." Ujar Dewa Langit lembut.
"Mungkin kau tidak menyadari kalau sebenarnya toto-
kanku tempo hari masih mempengaruhi tubuhmu.
Aku menyesal sekali, Cah Ayu. Untuk itu telanlah obat
pemunah racun ini" 
Ningtyas masih membisu. Hanya sepasang ma-

tanya yang berkilat-kilat, terus memandang paras De-
wa Langit tak percaya.
"Hm...! Apakah kau masih ingat mendiang gu-
rumu, Cah Ayu?" lanjut Dewa Langit, seolah-olah da-
pat menebak jalan pikiran Ningtyas. "Ah...! Aku me-
nyesal sekali Aku sendiri tidak tahu, kenapa sampai
demikian keji aku mencelakakan gurumu. Mungkin
aku terlalu kecewa dengan jalan hidupku akhir-akhir
ini, sehingga membuatku jadi khilaf. Maka, kalau kau
tidak keberatan, sebagai tebusan atas kesalahanku,
sudilah kau mempelajari kitab-kitab  peninggalan ku.
Dan kau bisa mengambilnya sendiri di goa kecil, di
luar Hutan Watu Malang"
Ningtyas yang semula merasa geram bukan
main melihat gurunya tewas di tangan Dewa Langit,
entah kenapa kemarahannya lumer.  Malah kini ha-
tinya sangat terharu dengan apa yang diucapkan orang
tua renta di hadapannya.
"Kau... Kau mau ke mana, Orang Tua? Tam-
paknya kau ingin pergi jauh?" tanya Ningtyas dengan
suara bergetar.
Dewa Langit tersenyum gusar. Namun ketika
sepasang matanya yang berwarna kelabu tertumbuk
pada pemuda berpakaian putih keperakan yang masih
berada di tempatnya, Dewa Langit pun melebarkan se-
nyum.
"Tetaplah tenang di tempatmu, Cah Ayu! Kuha-
rap kau jangan terlalu banyak ulah bila terjadi sesuatu
denganku," ujar Dewa Langit, lalu buru-buru meloncat
bangun.
Soma yang masih berdiri di tempatnya hanya
menggaruk-garuk kepala seraya berpaling ke tempat
lain. Seolah-olah, ia tidak menyadari dirinya tengah
diperhatikan Dewa Langit dan Ningtyas!

"Siluman Ular Putih! Demi Tuhan aku senang
sekali bertemu denganmu. Sekarang kuminta tun...."
Dewa Langit menghentikan bicaranya. Namun
sepasang matanya yang berwarna kelabu terus perha-
tikan pemuda tampan di hadapannya.
"Ah...! Kukira tidak seharusnya aku berterus
terang mengatakan maksud tujuanku. Bila aku berke-
ras kepala meminta pemuda itu menunjukkan ilmu
anehnya untuk membunuhku, sudah pasti pemuda ini
keberatan. Dan bisa jadi malah tidak mau menuruti
keinginanku. Sedang aku tidak menginginkannya. Ya
ya ya...! Memang sebaiknya aku tak usah memberita-
hukannya," gumam Dewa Langit dalam hati.
Mendengar Dewa Langit menghentikan bicara,
murid Eyang Begawan Kamasetyo tetap saja tenang di
tempatnya. Seolah-olah, tak ingin lagi bicara dengan
orang tua renta di hadapannya.
"Anak muda! Kukira sudah saatnya kita berta-
rung. Aku tak ingin kita buang-buang waktu lagi!" kata
Dewa Langit, mengejutkan.
"Eh...! Apa tadi kau bilang, Orang Tua? Kita
bertarung? Yang benar, ah?! Mana berani aku kurang
ajar padamu. Toh, di antara kita tak ada silang sengke-
ta. Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Tadi kau sibuk
membantuku menghadapi keroyokan. Tapi sekarang,
kau malah memintaku untuk bertarung!" tukas Soma
tak dapat menahan perasaan herannya lagi.
"Terserah kau mau omong apa, Anak Muda!
Pokoknya, aku harus menantangmu bertarung!" tan-
das Dewa Langit.
"Kenapa harus?"
"Karena aku...," hampir saja Dewa Langit kele-
pasan bicara. Untung saja ia segera teringat akal bu-
lusnya. "Karena... karena memang aku menginginkan

nyawamu, Anak Muda."
"Kau plintat-plintut, Orang Tua! Aku tak per-
caya omonganmu. Kalau memang iya, pasti kau men-
ginginkan sesuatu dariku. Entah apa? Yang jelas, ma-
na sudi aku bertarung denganmu tanpa sebab pasti,"
tolak Soma. 
"Sudah kuduga! Pemuda di hadapanku ini pasti
akan keberatan," gumam Dewa Langit lagi dalam hati.
"Kalau begitu aku harus memaksamu Bocah?!" 
"Kau ini sebenarnya menginginkan apa, sih?
Kenapa nafsu sekali ingin bertarung denganku?" 
"Jangan banyak tanya! Cepat sambut pukulan-
ku!" teriak Dewa Langit lantang.
Habis berkata begitu, Dewa Langit pun segera
membuka jurusnya. Jari-jari tangannya yang telah be-
rubah jadi putih berkilauan telah terangkat. Namun
sayangnya baru saja bermaksud akan menyerang, ti-
ba-tiba Ningtyas telah berkelebat menghadang lang-
kahnya.
"Jangan, Orang Tua! Kalau  kau benar-benar
menyesal telah menewaskan guruku, kau tidak boleh
menyerang Soma. Kalau kau tetap keras kepala, lang-
kahi dulu mayatku. Baru kau boleh menyerang Soma!"
teriak Ningtyas lantang
Dewa Langit menggeram penuh kemarahan.
Tampak sekali kalau hatinya sangat bimbang. Namun,
bila teringat akan maksud tujuannya, kebimbangan di
hatinya pun sirna.
"Kau tetap tenang di tempatmu, Cah Ayu! Aku
tidak bermaksud mencelakakan pemuda itu," ujar De-
wa Langit, tandas.
"Aku tak percaya. Kau pasti akan mencelaka-
kan Soma," sergah si gadis.
"Ah...! Kau hanya menghalang-halangi mak-

sudku saja. Sebaiknya tonton saja, apakah aku ingin
membunuh Siluman Ular Putih atau tidak," kata Dewa
Langit lagi.
Lalu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
luar biasa, tahu-tahu tubuh Dewa Langit telah berke-
lebat cepat, langsung menotok tubuh Ningtyas.
Tuk! Tuk!
Begitu tubuhnya terkena totokan, seketika itu
juga kaku, tak dapat digerakkan. Kemudian dengan
menahan perasaan gusar, Ningtyas pun terpaksa
hanya dapat menonton apa yang akan dilakukan Dewa
Langit. 
"Sekarang tunjukkan kehebatanmu, Bocah!
Kudengar kau memiliki ilmu aneh, hingga mendapat
julukan Siluman Ular Putih. Hayo, sekarang tunjukkan
ilmu anehmu padaku!" teriak Dewa Langit tak sabar
lagi. 
Saat itu pula, Dewa Langit meluruk deras me-
nyerang Siluman Ular Putih. Ia yang ingin segera me-
nemui kematian, tidak tanggung-tanggung lagi untuk
mengeluarkan ajian 'Sukma Sejati' agar Siluman Ular
Putih mau mengerahkan ilmu pamungkasnya. Maka
begitu, 'Sukma Sejati' dikerahkan, seketika kedua tela-
pak tangan Dewa Langit telah berubah jadi putih ber-
kilauan hingga sampai ke pangkal siku! Kemudian
dengan sebagian tenaga dalamnya, lelaki tua itu segera
menghantamkan kedua tangannya ke depan. 
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan Dewa Langit. Sebe-
lum pukulan 'Sukma Sejati' mengenai sasaran, terlebih
dahulu berkesiur angin dingin mendahului!
Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Kendati tak berhasrat untuk bertarung, tentu sa-
ja tubuhnya tidak ingin jadi sasaran empuk serangan-

serangan Dewa Langit. Maka begitu menyadari da-
tangnya bahaya, segera tubuhnya melenting ke samp-
ing. Sehingga dua larik sinar putih terang dari kedua
telapak tangan Dewa Langit terus menerabas ke bela-
kang, menghantam batang pohon.
Brakkk!!!
Seketika batang pohon di belakang Siluman
Ular Putih tumbang, lalu jatuh berdebam ke tanah!
Debu-debu membubung tinggi, memenuhi tempat per-
tarungan!
Begitu Siluman Ular Putih mendarat, Dewa
Langit yang sudah merasa geram karena serangannya
hanya dihindari, kembali menerjang. Jurus-jurus sak-
tinya langsung digelar, diiringi pukulan 'Sukma Sejati'. 
"Jangkrik! Rupanya orang tua sinting ini benar-
benar menginginkan nyawaku! Padahal dari tadi aku
sudah berusaha mengalah. Tapi entah kenapa, Dewa
Langit terus mendesakku seperti orang kesurupan!"
"Ah...! Kalau begini terus, bisa modar aku!" ke-
luh Siluman Ular Putih dalam hati.
Serangan-serangan Dewa Langit makin meng-
hebat. Malah dengan kekuatan tenaga dalam sepe-
nuhnya, tokoh sakti dari Hutan Watu Malang ini kem-
bali melontarkan pukulan 'Sukma Sejati'.
"Hea...! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Dewa Langit segera
mendorong kedua telapak tangan ke depan. Seketika,
melesat dua larik sinar putih berkilauan dari kedua te-
lapak tangannya.
"Sontoloyo! Rupanya orang tua renta ini me-
maksaku bertarung! Baiklah! Daripada mati konyol,
kukira tak ada jeleknya meladeni serangan-serangan
orang tua sinting ini!" omel murid Eyang Begawan Ka-
masetyo dalam hati.

Saat itu Siluman Ular Putih mendorongkan ke-
dua telapak tangannya yang telah penuh tenaga 'Inti
Bumi' ke depan. Maka melesat pula dua larik sinar pu-
tih terang dari kedua telapak tangan Soma, memapaki
pukulan ‘Sukma Sejati’.
Blaammm...!
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
di udara kali ini! Bumi berguncang hebat. Tanah-tanah
di sekitar pertarungan kontan terbongkar ke udara!
Bak karung basah, tubuh Siluman Ular Putih
mencelat beberapa tombak ke belakang. Untung saja
tubuhnya mampu membuat putaran. Sehingga, daya
luncur tubuhnya bisa dipatahkan. Namun begitu ke-
dua kakinya menjejak tanah, tetap saja keseimbangan
tubuhnya tak dapat dikendalikan. Malah parasnya pun
tampak demikian pias dengan darah segar berleleran
di sudut-sudut bibir. Jelas murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu mengalami luka dalam.
"Semprul! Tak kusangka aku dapat dirobohkan
tua bangka di hadapanku ini hanya dalam satu gebra-
kan!" dengus hati Siluman Ular Putih.
Saat itu, Dewa Langit pun kembali menyerang
hebat. Diam-diam Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Kali ini sulit rasanya menghindari gempuran-
gempuran lawan. Dan kenyataannya memang demi-
kian. Belum sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini bertindak, tiba-tiba tepukan tangan Dewa Langit te-
lah mengancam dadanya. Dan.... 
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali hantaman tangan Dewa Langit
mendarat di dada Siluman Ular Putih. Seketika tubuh
si pemuda limbung ke samping, lalu jatuh berdebam
ke tanah! Parasnya kian pucat bagai mayat! Sedang
dadanya yang terkena hantaman tangan terasa mau

jebol!
Siluman Ular Putih mengerang hebat. Dan begi-
tu meloncat bangun, darah segar tersembur dari mu-
lutnya.
"Slompret! Benar-benar slompret! Tua bangka
ini rupanya benar-benar menginginkan nyawaku. Ku-
kira sudah saatnya aku mengeluarkan ajian 'Titisan
Siluman Ular Putih' seperti yang diinginkan orang tua
itu," pikir Soma dalam hati.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Soma segera
memusatkan jalan pikirannya. Sementara itu, kedua
bibirnya mulai berkemik-kemik, membaca mantra
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Dan begitu selesai,
seketika itu pula sekujur tubuhnya diselimuti asap pu-
tih tipis. Sehingga, bayangan tinggi kekarnya tidak ke-
lihatan sama sekali!
Melihat ilmu aneh yang tengah dikeluarkan Si-
luman Ular Putih, sejenak Dewa Langit pun menghen-
tikan serangan. Sepasang matanya yang berwarna ke-
labu terus memandangi asap putih yang bergulung-
gulung di hadapannya tanpa berkedip. Dan ketika
asap yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular
Putih sirna, seketika itu pula....
"Ggggeeerrr...!!!"

* * *

"Si.... Siluman Ular Putih...!" pekik Dewa Lan-
git.
Ningtyas pun tak urung terperangah dengan
mata melotot. Namun ketika gadis ini berniat berlari
karena ngeri, tetap saja tubuhnya masih terpaku kare-
na tertotok,
"Hm...! Rupanya inikah yang disebut-sebut il-

mu aneh yang dapat membunuhku...?" gumam Dewa
Langit menegang, saking gembiranya melihat ilmu
yang tengah dikeluarkan murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
Sejenak tokoh sakti dari Hutan Watu Malang
itu belum melanjutkan serangan. Hanya sepasang ma-
tanya saja yang terus memandang takjub pada sosok
panjang sebesar pohon kelapa berwarna putih.
"Oh...! Hyang Widi! Rupanya kau telah menga-
bulkan permintaanku. Terima kasih, Hyang Widi. Se-
karang juga aku siap menerima jalan kematianku," de-
sah Dewa Langit seraya mendongakkan kepala.
Dan dengan wajah berseru, Dewa Langit kem-
bali memperhatikan sosok mengerikan di hadapannya.
Hatinya kini lapang. Apalagi saat itu sosok panjang Si-
luman Ular Putih mulai mengibas-ngibaskan ekornya
ke sana kemari, siap menyerang Dewa Langit.
Diam-diam Dewa Langit jadi gembira. Dan se-
perti dugaannya, ternyata ular putih raksasa itu kini
menerjang hebat dengan terkaman-terkaman  mengi-
riskan.
Aneh! Dengan senyum terkembang, Dewa Lan-
git siap menerima serangan-serangan Siluman Ular
Putih tanpa sedikit pun berusaha mengelak. Hal ini
tentu saja sangat mencemaskan hati Ningtyas yang
menonton jalannya pertarungan tanpa dapat mengge-
rakkan tubuhnya.
Buk! Buk!
"Ohh...!"
Ketika terjangan Siluman Ular Putih mengenai
sasaran, Ningtyas memekik lirih. Matanya terpejam ra-
pat-rapat. Lalu....
"Aaa...!"
Saat mata murid si Raja Pedang terpejam tiba-

tiba terdengar satu lengking kematian yang teramat
menyayat hati.
Ningtyas penasaran bukan main. Buru-buru
kelopak matanya kembali dibuka. Dan saat itu pula, si
gadis memekik, melihat tubuh bersimbah darah milik
Dewa Langit yang telah terkapar di atas tanah di sam-
pingnya. Dadanya bergerak turun naik. Kembali terjadi
keanehan. Meski mendapat luka teramat parah, Dewa
Langit tampak berusaha tersenyum.
"Kau.... Kau, kenapa tidak berusaha menghin-
dar, Orang Tua?" tanya Ningtyas, tak dapat menahan
perasaan heran.
"Me... memang inilah yang kuinginkan, Cah
Ayu. Aku sudah jenuh. Aku sudah muak melihat kehi-
dupan ini. Dan hanya dengan cara inilah aku dapat
menemukan kematian," jelas Dewa Langit, tersengal.
Ningtyas terharu sekali. Tak disangka, Dewa
Langit memang menginginkan kematian di tangan Si-
luman Ular Putih.
Saat yang sama sekujur tubuh Siluman Ular
Putih mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga,
bayangan sosok panjang sebesar pohon kelapa itu ti-
dak kelihatan sama sekali. Lalu saat asap putih itu
sirna tertiup angin, maka yang tampak kini hanya so-
sok pemuda berambut gondrong murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo!
"Ah...! Kenapa jadi begini?" teriak Soma begitu
kembali menjelma jadi manusia biasa.
Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih se-
gera berlari ke arah Dewa Langit. Rasa menyesal yang
teramat sangat tiba-tiba membaluri hatinya. Lalu den-
gan agak gugup, segera diraihnya kepala Dewa Langit
ke atas pangkuannya.
Meski dengan susah payah, Dewa Langit tetap

berusaha tersenyum.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali.
Kau telah antarkan aku menemui Pendampingku Yang
Setia. Kalau kau tertarik, sekalian ajak gadis itu mem-
pelajari kitab-kitab peninggalan ku. Asal, jangan Kitab
Sukma Sejati! Itu amat berbahaya, Anak Muda. Kukira
hanya itu pesanku, Anak Muda! Selamat tinggal!" ucap
Dewa Langit lirih. 
Dan perlahan-lahan, Dewa Langit pun meme-
jamkan matanya rapat-rapat. Dadanya yang tadi ter-
sengal, perlahan-lahan tenang kembali. Tokoh sakti
dari Hutan Watu Malang ini pun telah berangkat ke
tempat kekal yang diinginkannya.
"Sungguh orang tua hebat! Tak kusangka ia
menginginkan kematian dari tanganku," desah Silu-
man Ular Putih dalam hati.
Siluman Ular Putih lantas bangkit sambil
membopong tubuh Dewa Langit yang telah menjadi
mayat. Murid Eyang Begawan Kamasetyo ini segera
mendekati Ningtyas yang masih tertotok.
"Bagaimana ini, Ningtyas? Apa tidak sebaiknya
kita kuburkan saja di tempat kediamannya, di Hutan
Watu Malang? Kukira ini akan lebih baik bagi ketente-
raman arwahnya?" tanya Soma meminta pendapat.
"Baiklah. Aku menurut saja. Asal...." 
"Asal apa?" potong Soma. "Asal berduaan den-
ganku, kan?"
"Apa?! Enak saja!" sungut Ningtyas kesal. 
"Lantas?"
"Aku memang ingin mengikutimu. Tapi, aku ju-
ga ingin mempelajari kitab-kitab peninggalannya," jelas
Ningtyas.
"Oh, begitu...?" desah Soma.
"Iya. Makanya cepat bebaskan totokanku!"

"Baik."
Soma cepat menotok tubuh Ningtyas, hingga
dapat kembali menggerakkan tubuhnya. Kemudian si
pemuda segera mengajak pergi meninggalkan tempat
ini. Kedua tangannya masih memondong jasad Dewa
Langit yang perlahan-lahan mulai dingin dan kaku.
Angin pun berbisik-bisik, seolah membicarakan
keanehan Dewa Langit yang menginginkan kematian-
nya di tangan seorang pendekar yang dilahirkan secara
aneh, serta memiliki ilmu aneh.



SELESAI


Segera hadir kembali!!! 
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
PERSEKUTUAN MAUT
 Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com