Pendekar Romantis 8 - Buronan Darah Dewa(3)


LIMA 
MASIH ingat Janda Keramat? itu 
tuh yang dulu pernah berskandal dengan 
Pandu Puber sampai teler-teler segala 
tuh. Gara-garanyakan dulu Pandu dis-
erang pakai jurus 'Rendang Belatung' 
yang membuat Pandu nyaris mati dike-
royok para belatung, tapi waktu itu 
segera dapat disembuhkan oleh si Janda 
Keramat. Upahnya adalah kehangatan 
Pandu yang diberikan dengan segenggam 
kemesraan darah mudanya. 
Nah, dulu kan Janda Keramat sam-
pai ketagihan asmara Pandu, karena di 
dalam darah kemesraan Pandu terdapat 
racun 'Pemikat Surga' yang bikin pe-
rempuan jika pernah tidur sama Pandu 
pasti 'celeng' seumur hidup. Maunya 
cuma bermesraan dengan Pandu. Tapi 
waktu itu Pandu segera lumpuhkan Janda 
Keramat dan perempuan itu diserahkan 
kepada Sultan Danuwija di kesultanan 
Sangir. Masih ingat kan? (Kalau nggak 
ingat, baca deh serial Pandu Puber da-
lam kisah: "Skandal Hantu Putih" han-
tunya sexy banget lho). 
Nah, sekarang rupanya si Janda 
Keramat yang punya nama asli Hapsari 
dengan usia banyak tapi masih seperti 
usia tiga puluhan itu, punya maksud 
tertentu dalam membawa lari Pandu Pu-
ber. Tentu saja Pandu dilumpuhkan dulu 
pakai jurus 'Rendang Belatung'. Sebe-
lum pengaruh jurus itu membusukkan tu-
buh, Pandu sudah disembuhkan. Ia diba-
wa ke sebuah gua yang selama ini dipa-
kai tempat bersembunyi si Janda Kera-
mat dari kejaran orang-orang kesulta-
nan Sangir. Sebab dia kan tawanan yang 
berhasil meloloskan diri dari kesulta-
nan. Nggak jadi dihukum gantung. Ha-
bis, gimana mau digantung kalau belum-
belum udah kabur, malah tali gantun-
gannya dibawa kabur juga. Mungkin mau 
dipakai tali jemuran atau untuk apa, 
entahlah. Itu urusan si Janda Keramat 
sendiri. Yang jelas, sekarang ia ber-
hasil menyekap Pandu di dalam sebuah 
gua. 
Ingat, Janda Keramat itu murid-
nya Tabib Teh Kolak dan punya kekuatan 
pembangkit gairah lelaki. Dengan keku-
atan PLTA-nya, Pusat Listrik Tenaga 
Asmara, si pemuda bertato mawar itu 
dibangkitkan gairahnya. Tentunya si 
Janda Keramat juga menggunakan jurus 
rayuan lidah, hingga Pandu Puber men-
jadi gemetar dan panas dingin menda-
patkan rayuan itu. 
"Hapsari," kata Pandu mencoba 
bertahan, "Sekarang bukan saatnya lagi 
bagi kita untuk saling bercumbu seper-
ti dulu. Aku nggak mau, Hapsari!" 
"Kau akan menyesal kalau menolak 
keinginanku, Pandu. Karena aku seka-
rang punya jurus baru. Ada dua jurus 
baru yang berhasil kupelajari baru-
baru ini." 
"Jurus apa itu?" 
"Yang satu kunamakan jurus 
'Lampah Lumpuh',  yang satunya lagi 
kunamakan jurus 'Asmara Semberani'. 
Aku dapat membuat  dirimu lumpuh tak 
berdaya dengan sekali pandang dalam 
jarak satu langkah seperti saat ini. 
Itu yang dinamakan jurus 'Lampah Lum-
puh'. Sedangkan yang dinamakan jurus 
'Asmara Semberani' itu begini.... Kau 
tahu kekuatan apa yang ada dalam besi 
semberani?"   
"Mempunyai daya magnit tinggi, 
dapat menyedot benda logam dan menjadi 
melekat pada besi semberani itu." 
"Betul," Janda Keramat terse-
nyum. "Asmaraku kali ini pun akan de-
mikian. Seperti magnit yang mampu me-
nyedot logam dengan kuat. Kalau kau 
nggak mau bercinta denganku, kau akan 
merasa rugi tujuh turunan dan tujuh 
tanjakan. Pengalaman ini belum pernah 
kuberikan kepada lelaki mana pun, Pan-
du. Karena selama ini yang kurindukan 
hanya dirimu," sambil Janda Keramat 
menciumi tengkuk Pandu dari belakang, 
tapi tangannya menjelajah ke mana-
mana, sesekali kesasar, sesekali lewat 
jalan tol untuk mempercepat tujuan. 
Pandu bagaikan terpantek nggak biasa 
menolak. Ia memang ingin tahu sampai 
di mana kesungguhan Janda Keramat da-
lam mengancam dirinya. Ia biarkan da-
rah asmara si Janda Keramat berkobar 
dulu, baru nanti akan meninggalkannya 
sebagai pembalasan atas serangan dari 
belakang yang tadi melumpuhkan dirinya 
itu.  
"Pandu," bisiknya sambil mencium 
di sekitar telinga. "Kau lihat sendi-
ri, badanku menjadi kurus karena memi-
kirkan  dirimu, Pandu. Karena sangat 
berharap mendapatkan kehangatan dari-
mu. Aku nggak bisa berselera dengan 
pria lain, atau dengan wanita lain se-
perti dulu lagi. Kurasakan seleraku 
hanya tumbuh apabila kubayangkan wa-
jahmu atau dekat denganmu seperti saat 
ini!" 
Memang perempuan itu agak kurus 
dari dulu. Kulit tubuhnya yang putih 
mulus pun tampak tak segar. Kayak po-
hon cabe nggak pernah disiram air. 
Layu dan kusam. Janda Keramat kan ter-
masuk wanita dengan dua cinta; artinya 
sama lelaki oke, sama perempuan juga 
yes.  Tapi sejak ia berskandal dengan 
Pandu, hal itu tak bisa dilakukan la-
gi. Itu disebabkan oleh racun 'Pemikat 
Surga' yang ada pada darah kemesraan 
Pandu sudah menyatu dengan darahnya si 
janda. 
Kasihan sebetulnya, tapi apa bo-
leh buat, Pandu sendiri nggak tahu sih 
kalau darah kemesraannya bisa bikin 
perempuan 'celeng' seumur hidup. Be-
gonya Pandu, sampai saat ini dia masih 
belum sadar bahwa darahnya mengandung 
racun 'Pemikat Surga', sebab racun itu 
hanya dipunyai oleh orang berdarah 
campuran dewa dengan jin. 
Makanya Pandu sendiri nggak per-
caya dengan omongan Janda Keramat. Ia 
menyangka Janda Keramat sudah mengum-
bar cinta dengan pria lain. Walaupun 
si janda sudah sumpah sengotot mung-
kin, tapi Pandu Puber nggak yakin. Ha-
bis wataknya si janda itu memang doyan 
lelaki sih. Mana mungkin dia akan be-
tah hidup tanpa kemesraan lelaki. Be-
gitu mendapat Pandu, sehingga kini ia 
pun berkata kepada Hapsari yang sudah 
mirip bisul mau pecah itu, 
"Aku nggak mau melayanimu lagi 
seperti dulu." 
"Pandu, jangan begitu!" rengek-
nya. "Mendekatlah kemari, Pandu. Aku 
benar-benar masih suci" 
"Kupingmu itu yang suci," ujar 
Pandu setengah geli. 
"Maksudku, selama aku nggak ke-
temu kamu, aku nggak pernah melayani 
lelaki mana pun. Dilayani juga nggak 
pernah. Swear! Berani sumpah kejatuhan 
langit deh!" 
"Kalau kamu kejatuhan langit, 
aku juga ikut kejatuhan dong! Bego 
lu!" 
"Tapi benar kok, Say... aku 
nggak pernah berbuat sama siapa pun. 
Cuma kamulah harapanku sebagai pemuas 
dahagaku selama ini, Pandu. Makanya 
aku mencarimu ke mana-mana, makanya 
aku nggak mau membenci dan memusuhimu 
walau kau telah hampir bikin aku cela-
ka di tangan Sultan Danuwija, tapi aku 
memaafkanmu asal aku dapatkan secawan 
anggur kehangatanmu, Pandu." 
"Ah, ngomongmu kayak pujangga 
aja!" sambil Pandu menjauh karena Jan-
da Keramat mendekat. "Aku nggak mau! 
Nggak mau. Titik!" 
"Hapuslah titiknya, Pandu." 
"Baik, titiknya kuganti koma! 
Pokoknya aku nggak mau layani kamu. 
Aku ini pendekar lho! Masa' pendekar 
kok kerjanya gituan melulu, nanti di-
kecam orang gimana?" 
"Pendekar bukan hanya penakluk 
kejahatan saja, tapi juga penakluk 
cinta, Pandu." 
Pandu diam sebentar, merenung, 
lalu bertanya, "Gimana, gimana...?" 
"Pendekar itu memang kerjanya 
menaklukkan kejahatan, berjaya di per-
tarungan, tapi pendekar juga harus 
berjaya di atas kemesraan lawan jenis-
nya. Kalau kau nggak bisa berjaya di 
atas kemesraanku, kau bukan pendekar 
lagi namanya." Pandu menggumam,  
"Masa' gitu sih?"  
"Iya! Kalau kau takut menghadapi 
tantangan kemesraanku, kau sama seper-
ti banci yang baru lahir."  
"Banci apa bayi?"  
"Bayi yang banci!" jawab si jan-
da. Pandu mencibir setengah senyum. 
Cibirannya merupakan tantangan buat 
Janda Keramat. Perempuan itu pun makin 
mendekat. Pandu sudah bosan menghin-
dar. Dibiarkan tangannya mulai diraih. 
Dibiarkan pangkal lengan dekat pundak 
yang tak tertutup kain baju ungunya 
itu digigit-gigit kecil oleh Janda Ke-
ramat. Mata si janda melirik nakal. 
Nakal sekali. Tak salah Pandu andaika-
ta saat itu Pandu mencolok mata terse-
but pakai telunjuknya. Cuma, Pandu kan 
orangnya nggak mau sekasar itu. Ia cu-
ma bilang dengan sikap lembut, 
"Sudahlah, lupakan masa lalu ki-
ta dan hiduplah normal. Jangan jadi 
orang sesat lagi. Apa sih untungnya 
jadi orang sesat? Malah banyak musuh-
nya, salah-salah cepat mati. Apa nggak 
bosan jadi orang sesat? Hiduplah yang 
wajar-wajar saja dan baik-baik." 
"Iya, Iya...! Aku mau jadi orang 
baik-baik, tapi... tapi aku minta 
stempel dulu darimu." 
"Memangnya aku petugas kelura-
han, pakai minta stempel padaku sega-
la!" Pandu bersungut-sungut, menggeli-
kan Janda Keramat. Malahan si janda 
meremas pundak, meraih dagu, lalu di-
kecupnya bibir Pandu Puber dengan ne-
kat. 
Cup.... Wuuss...! 
Terbang deh tuh khayalan penuh 
cinta. Melayang-layang di udara, ka-
dang membentur langit-langit gua, ka-
dang singgah di pucuk api unggun yang 
dibuat Janda Keramat sebelum sembuhkan 
Pandu. Pokoknya sang gairah melayang-
layang terus. Habis, Pandu kasih bala-
san juga sih. Makanya si janda makin 
ditikam sejuta tombak cinta. Nyut-
nyutan banget deh... kepalanya! 
Gelora cinta yang menggebu itu 
tiba-tiba  diputus  oleh Pandu Puber. 
Pendekar Romantis sengaja hentikan ke-
romantisannya dan jauhi Janda Keramat 
tiga langkah ke samping. Ia nyengir, 
kentara sekali kalau mempermainkan 
Janda Keramat. Sedangkan napas Janda 
Keramat sudah ngos-ngosan, matanya su-
dah sayu, pakaiannya sudah 'open air', 
pokoknya sudah mabuk deh. Tentu saja 
sang janda jadi kesal hatinya. 
"Panduuu...!" rengeknya kayak 
anak kecil minta permen coklat. 
Pandu menggeleng, "Aku nggak bi-
sa lagi berbuat kayak dulu. Aku punya 
calon istri yang menuntut sikapku men-
jadi benar dan nggak mudah jatuh dalam 
pelukan perempuan. Aku harus menjaga 
harga diriku sebagai pendekar." 
"Pandu, kau tega menyiksaku, ya? 
Tega?"  
"Terpaksa tega, habis aku sendi-
ri juga harus menahan siksaan jiwa 
agar nggak dianggap pendekar 'maruk', 
doyan gituan dan...." 
"Nggak deh, nggak...! Kamu nggak 
maruk, Pandu. Kamu tetap pendekar ga-
gah perkasa penuh selera. Aku nggak 
bakalan ngomong sama siapa-siapa ten-
tang hubungan intim kita ini. Sumpah 
deh! Nggak bakal bocor sampai ke te-
linga calon istrimu. Siapa sih calon 
istrimu?" 
"Bidadari," jawab Pandu tegas. 
"Terserah deh, mau bidadari atau 
daribida, pokoknya aku nggak bakalan 
bocorkan skandal kita. Pandu, dekatlah 
kemari, jangan siksa batinku seperti 
ini, Pandu...!" 
"Nggak mau!" tegas Pandu dengan 
suara agak keras. "Nanti kalau aku 
layani kamu, aku dikritik orang. Pen-
dekar kok digitukan aja langsung KO, 
hmm... pendekar cap apa tuh? Nah, ka-
lau aku dikecam dan dikritik orang 
kayak gitu kan bisa nggak laku seumur 
hidup!" 
"Pandu!" sentak Janda Keramat 
yang rupanya sudah kehabisan kesaba-
ran. Hatinya disumbat kedongkolan yang 
menyesakkan pernapasan. Matanya mulai 
menatap tegas-tegas dengan mulut mulai 
cemberut mirip marmut. 
"Kau benar-benar menolak keingi-
nanku, Pandu?!" 
"Ya," jawab Pandu tegas juga. 
"Jangan menyesal kalau akhirnya 
aku bertindak kasar padamu!" 
"Mau apa kau? Ngajakin tarung? 
Boleh! Aku bersedia tarung sama kamu 
demi menjaga mahkotaku dan perjakaku." 
"Hidungmu itu yang perjaka!" 
sentak Janda Keramat. "Kalau begitu, 
rupanya kau memang nggak bisa diajak 
hidup damai dan mesra lagi. Nggak sa-
lah kalau aku berbuat keji padamu. Ku-
balas kekejianmu dulu yang membuat aku 
hampir mati ditiang gantungan kesulta-
nan Sangir!" 
Tiba-tiba ketika Janda Keramat 
ada dalam jarak dekat dengan Pandu, 
matanya mengeluarkan sekilas cahaya 
merah kecil mirip kacang tanah. 
Claap...! 
"Eit, apa itu tadi?!" Pandu ka-
get, dan lebih kaget lagi setelah ia 
jatuh terpuruk dalam keadaan duduk. 
Brruk...! 
"Lho, kenapa aku ini?" ucapnya 
bingung. Kepalanya masih tegak, tapi 
tangan dan kakinya seperti kehilangan 
tulang. Ia menjadi pendekar presto, 
berduri lunak kayak bandeng presto. 
Hanya tulang leher saja yang masih be-
lum dilunakkan oleh Janda Keramat. 
"Hei, kau apakah aku ini?!" 
Janda Keramat tersenyum sinis. 
"Itulah yang kukatakan tadi sebagai 
jurus 'Lampah Lumpuh'. Kau akan kehi-
langan tenaga, urat dan semangat. Satu 
kali lagi kulepaskan jurus itu, maka 
lehermu tak bisa dipakai berdiri tegak 
seperti saat ini!" 
"Apa maksudmu, Janda Keramat?! 
Jangan gitu, ah! Ayo pulihkan lagi 
keadaanku, Hapsari sayang...!" 
"Hemm... merayu! Kalau sudah gi-
ni baru berani merayu kamu, ya? Aku 
sudah telanjur muak padamu, walau se-
benarnya... ngebet juga sih. Tapi aku 
punya rencana sendiri untukmu, Pende-
kar Romantis. Sayang sekali jurus 
'Lampah Lumpuh' juga akan melumpuhkan 
bagian tertentu yang kubutuhkan, jadi 
sia-sia saja kalau aku berusaha mem-
bangkitkan semangat cintamu. Sebaiknya 
kulampiaskan dendamku padamu yang se-
benarnya sudah kukubur jauh ke dasar 
hati." 
"Dendam apaan? Jangan gitu dong, 
Sayang...!"  
"Kau pernah menangkapku dan me-
nyerahkan diriku kepada Sultan Danuwi-
ja. Nah, sekarang aku pun akan menang-
kapmu dan menyerahkan kepada Ratu Ca-
dar Jenazah...!"  
"Ah, bercanda kamu!" 
"Beberapa hari yang lalu aku su-
dah temui sang Ratu dan kubicarakan 
tentang hadiah istimewa untukku! Ratu 
setuju akan mengangkat diriku sebagai 
tangan kanannya alias menjadi wakil 
Ratu. Aku akan diberi kekuasaan penuh 
apabila aku bisa tangkap kamu dan se-
rahkan kamu kepadanya! Sekaranglah 
saatnya untuk serahkan dirimu yang su-
dah banyak membuat aku kecewa, Pandu!" 
"Hei, hei... tunggu dulu! Kita 
bisa menyusun kesepakatan baru lagi. 
Hmmm... hmmm... anu, mungkin aku me-
mang harus berikan kehangatan yang kau 
butuhkan. Aku... terus terang saja, 
aku tadi hanya sekadar menggodamu su-
paya kau tambah galak, Hapsari," sam-
bil Pandu tersenyum-senyum, lalu ter-
tawa pelan. Hapsari memandanginya da-
lam kebimbangan. Pandu berkata lagi, 
"Aku jadi geli kalau lihat kau 
marah dan sewot begitu! Aku tahu kau 
pun nggak bakalan berani serahkan aku 
kepada Ratu Cadar Jenazah. Nggak mung-
kin kau tega. Sebab aku pun juga nggak 
benar-benar tega membiarkan kau kehau-
san. Ayolah, Hapsari..., mumpung hari 
masih sore, kita bisa berlayar sampai 
pagi."  
"Kau... kau...," Hapsari ragu-
ragu. Pandu menertawakan. 
"Buktikan jurus barumu yang ber-
nama 'Asmara Semberani' itu. Kayak apa 
sih, aku jadi kepingin merasakannya." 
"Tapi, kau...." 
"Ayolah, jangan anggap candaku 
tadi serius, Hapsari! Kalau kau selalu 
anggap candaku serius, lain kali aku 
nggak mau bercanda lagi denganmu lho!" 
"Oh, Pandu...." 
Janda Keramat memeluk Pandu, bi-
bir Pandu sengaja disodorkan. Janda 
Keramat menangkap bibir itu, ternyata 
Pandu memberikan reaksi yang menggugah 
gairah. Hapsari rasakan kesungguhan 
Pandu, maka ia pun pulihkan kekuatan 
Pandu. 
Siasat Pandu menemui kegagalan. 
Pikirannya, kalau ia dipulihkan kemba-
li, ia akan lumpuhkan Janda Keramat 
dan dengan begitu ia selamat dari pe-
nangkapan juga terhindar dari tuntutan 
mesra sang janda. Namun begitu Pandu 
menjadi kuat dan menghantamkan puku-
lannya, ternyata pukulan itu bisa di-
tangkap oleh Janda Keramat. 
Plak, plak, plak...! Buuhg! 
Pandu Puber malah melintir kare-
na dapat tendangan Janda Keramat yang 
sudah benar-benar bersifat terbuka 
itu. Siasat Pandu ketahuan, maka Janda 
Keramat pun menggeram penuh kemarahan. 
"Rupanya kau mau main licik, 
ya?!" 
"Ah, aku cuma bercanda kok!" 
"Nggak ada canda-candaan! Keme-
sraan apa itu kalau pakai acara main 
pukul segala!" bentak Janda Keramat. 
Ia masih diamkan tubuhnya bersifat 
terbuka tanpa jendela. Ia mendekati 
Pandu Puber yang cengar-cengir memanc-
ing keluluhan hati sang janda. Tapi 
tiba-tiba sang janda keluarkan sinar 
merah dari matanya setelah ia pun ter-
senyum dan berlagak mau mencium Pandu. 
Claap...! Brruk...! 
"Yah, kena lagi gue," pikir Pan-
du dalam keluh, karena tubuhnya lang-
sung jatuh terpuruk dalam keadaan du-
duk bersimpuh. Jurus 'Lampah Lumpuh' 
kembali kenai dirinya karena tertipu 
oleh senyuman kalem sang janda. 
"Sekarang nggak ada ampun lagi 
bagimu, Pandu Puber! Aku akan membawa 
ke Bukit Guiana, menyerahkanmu kepada 
sang Ratu Cadar Jenazah!" 
"Hapsari, kau anggap candaku se-
lalu serius, ya?" 
"Persetan dengan candamu! Hatiku 
telanjur luka dengan tipu muslihatmu 
yang nyaris membuatku celaka tadi!" 
Malam itu juga, Pandu Puber di-
panggul Hapsari yang cantik dan berda-
da montok itu meninggalkan gua. Mereka 
menuju ke Bukit Guiana.  Mulut Pandu 
sudah tak bisa bicara apa-apa. Soalnya 
sebelum dibawa pergi, Janda Keramat 
telah menotok pita suara Pandu. Jadi 
pemuda tampan itu hanya bisa ah-uh, 
ah-uh, tanpa suara yang jelas. 
Cahaya rembulan yang muncul se-
paro bagian membuat Janda Keramat da-
pat melihat dengan jelas jalanan yang 
menuju ke Bukit Guiana. Tetapi cahaya 
rembulan itu pun membuat sepasang mata 
melihat keadaan Pandu dipanggul Janda 
Keramat. Sepasang mata itu langsung 
melompat dari atas pohon bagaikan bu-
rung terbang dalam satu ayunan gerak 
yang indah. Wuuttt...! 
Kaki orang yang melompat dari 
pohon itu langsung kenai kepala Janda 
Keramat. Plook...! 
Wuuss, bruuss...! 
Janda Keramat jatuh terjungkal, 
tubuh Pandu pun terpental, lepas dari 
gendongannya. Cahaya rembulan menam-
pakkan sosok penyerang yang berdiri 
tegak memandangi si Janda Keramat se-
bentar, lalu ia segera menghampiri 
Pandu yang terkapar tanpa daya. Mulut-
nya ternganga-nganga mirip mujair ke-
kurangan air. 
"Jangan sentuh dia atau kau mati 
sekarang juga?!" gertak Janda Keramat 
dengan suara keras. 
ENAM 
OTAK si tampan Pandu masih be-
kerja. Ia sempat melihat sosok yang 
menyerang Janda Keramat. Orangnya 
tinggi, badannya sekal. Dia seorang 
perempuan cantik berhidung mancung. 
Rambutnya disanggul rapi. Usianya 
yaah... sekitar tiga puluhanlah. 
Keremangan cahaya rembulan me-
nampakkan wajah cantiknya pucat. Tapi 
biar pucat, terlihat jelas bentuk bi-
birnya yang sensual, agak tebal namun 
indah. Sekali caplok pantang dile-
paskan oleh lawan jenisnya. Pandu pun 
sempat berpikiran begitu. Padahal ia 
sendiri dalam keadaan bahaya, tapi 
sempat-sempatnya berpikir begitu. 
Perempuan itu mengenakan jubah 
tipis dari sutera warna hijau berbin-
tik-bintik merah mengkilap. Kalau pa-
kaian Pandu kan ungu berbintik-bintik 
putih mirip embun bening, tapi kalau 
perempuan itu hijau berbintik merah 
mengkilap. Pakaian itu menampakkan be-
lahan dadanya yang membusung kencang, 
penuh tantangan. Dalam keadaan parah 
begitu mata Pandu Puber masih sempat-
sempatnya memandangi bagian ujung dada 
yang kelihatan berani itu. Dasar mata 
romantis, memang nggak boleh lihat ba-
rang begituan. Bawaannya kepingin 
menggasak habis aja 
Janda Keramat agaknya belum ken-
al dengan perempuan itu. Pandu pun ma-
sih merasa asing, karenanya ia menyi-
mak jawaban perempuan itu ketika Janda 
Keramat bertanya dengan nada menyen-
tak, 
"Siapa kau dan ada urusan apa 
tahu-tahu menyerangku, hah?!" 
"Kau lupa padaku, Hapsari? Per-
hatikan baik-baik, kenanglah masa tu-
juh tahun yang lalu kala kita berebut 
Kembang Ayu Abadi!" 
Suara perempuan itu penuh wiba-
wa. Janda Keramat memperhatikan sambil 
mengenang masa lalunya. Tapi ketika ia 
ingat Kembang Ayu Abadi sebagai bunga 
berkhasiat bikin awet muda dan awet 
cantik sepanjang masa, Janda Keramat 
pun segera kenali perempuan itu. 
"O, jadi kau yang dulu merebut 
Kembang Ayu Abadi dari tanganku itu? 
Ya, ya... aku masih ingat tentang di-
rimu, Payung Cendana!" 
"Busyet!" kata Pandu dalam ha-
tinya."Rupanya perempuan itulah yang 
bernama Payung Cendana, gurunya Bunga 
Taring Liar?! Kusangka sudah tua, se-
tidaknya berusia nggak jauh dari Ki 
Parma Tumpeng, sebab dia adiknya. Tapi 
kok nyatanya masih cantik dan montok 
begitu? Aih, gila! Murid sama guru kok 
sama-sama cantiknya. Gawat, bisa-bisa 
murid dan guru saling berebut kekasih 
kalau gini caranya?!" 
Payung Cendana memang sosok pe-
rempuan yang masih membangkitkan gai-
rah cinta bagi kaum lelaki mana saja, 
kecuali yang perabotnya sudah nggak 
normal. Suaranya pun masih tegas dan 
jelas. Mestinya usia sudah banyak, se-
bab kakaknya saja sudah setua Ki Parma 
Tumpeng. Tapi karena dulu Payung Cen-
dana berhasil memakan Kembang Ayu Ab-
adi, maka ia menjadi cantik seperti 
kecantikan masa usia tiga puluh tahu-
nan. Badannya pun berisi dan penampi-
lannya pun masih menampakkan gairah 
mudanya. 
"Muridku kasih laporan padaku 
tentang pencuri lelaki tampan berambut 
putih perak," kata Payung Cendana. 
"Sudah kuduga kaulah perempuan beram-
but putih perak itu, Hapsari! Dan aku 
segera melacak dengan teropong batin-
ku. Kulihat kau sedang merayunya di 
sebuah gua. Maka aku pun menuju ke gua 
itu, tapi ternyata kita bertemu di si-
ni! Sangat kebetulan sekali!" 
"Lalu apa maumu, hah?! Kau telah 
menendang kepalaku dengan tenaga dalam 
yang kau simpan di kaki. Untung aku 
orang keras kepala, jadi kepalaku 
nggak sampai pecah. Tendanganmu bisa 
kutepiskan dengan hawa murniku. Seka-
rang kita sama-sama sehat dan berhada-
pan. Kamu mau apa?!" 
Perempuan yang menyandang sesua-
tu di punggungnya, tapi bukan pedang, 
segera berkata dengan tetap tenang. 
Sebelumnya matanya melirik ke arah 
Pandu, dan kebetulan dalam keadaan te-
lentang Pandu sempat melirik ke wajah 
perempuan itu. 
Shrr...! Hati Pandu berdesir ka-
rena digoda oleh daya pikat yang ada 
di wajah cantik berhidung mancung itu. 
"Hapsari! Kurasa kau sudah tahu 
apa yang kuinginkan. Aku akan membawa 
pulang pemuda itu agar selamat dari 
tangan kotor si Wulandita, alias Ratu 
Cadar Jenazah itu!" 
"Hmm...!" Janda Keramat mencibir 
berkesan meremehkan. "Rupanya kamu 
nggak kuat menahan kesepian, akhirnya 
ingin memperoleh kemesraan juga dari 
seorang lelaki, ya? Kenapa kamu nggak 
cari lelaki lain saja? Pemuda ini 
punya harga tinggi, nilainya sama den-
gan satu takhta di dalam sebuah ista-
na!" 
"Tak perlu banyak kujelaskan pa-
damu, yang penting aku membutuhkan pe-
muda ini. Serahkan padaku supaya kita 
tidak saling mencelakai!" 
"Enak aja! Dapatnya susah payah 
kok mau diserahkan begitu aja! Langka-
hi dulu mayat orang mati, baru kuse-
rahkah pemuda itu!" 
Pandu membatin, "Ngapain mau ta-
rung pakai melangkahi mayat orang mati 
dulu? Hapsari bermaksud sesumbar apa 
memang bego sih? Mestinya kan 
'Langkahi dulu mayatku', gitu. Baru 
namanya sesumbar penuh tantangan! Ah, 
masa bodolah. Yang penting aku menung-
gu hasil akhirnya saja. Siapa dari me-
reka yang menang dan bisa bawa kabur 
aku. Harapanku sih Nyai Payung Cendana 
yang menang, tapi kalau memang Janda 
Keramat yang unggul ya apa boleh buat! 
Gimana nanti aja!" 
Gurunya si Bunga Taring Liar 
punya senjata antik, yaitu sebuah 
payung. Payung itulah yang ada di 
punggungnya dalam keadaan menguncup, 
punya tempat sendiri seperti tempat 
pedang. Gagangnya yang nongol lewat 
pundak itu mirip gagang pedang. Ketika 
gagang itu dicabut, langsung payungnya 
mengembang, jrrab...! 
Payung itu mempunyai rumbai-
rumbai di tepiannya dari benang manik-
manik bening. Payung itu terbuat dari 
semacam lempengan baja yang tersusun 
rapi baris demi baris. Ujung payung 
berbentuk runcing mirip mata tombak. 
Tentu saja ujung payung itu berbahaya 
sekali bagi lawan yang nggak tahu soal 
senjata tersebut. 
Sambil memutar-mutarkan payung 
dengan santai, gurunya Bunga Taring 
Liar berkata kepada Janda Keramat, 
"Kalau memang syarat untuk mem-
bawa Pendekar Romantis harus menum-
bangkan dirimu, aku terpaksa lakukan, 
Hapsari! Lebih baik aku kehilangan da-
rah daripada membiarkan anak sebaik 
Pandu kau serahkan kepada si rakus Wu-
landita!" 
"Rupanya kau memaksaku untuk 
membalas kekalahanku tujuh tahun yang 
lalu, Payung Cendana! Terimalah jurus 
'Sigar Nyawa'ku. Hiaah...!" 
Slappp...! Sinar merah seperti 
laser yang keluar dari ujung telunjuk 
Janda Keramat itu menghantam Payung 
Cendana. Tapi dengan tetap tenang di 
tempat, Payung Cendana hanya menadah-
kan payung pusakanya yang berwarna pe-
rak itu ke depan dalam keadaan mengem-
bang. Payung itu diputar gagangnya, 
wuusss...! Memancarlah bau wangi cen-
dana yang segar dan harum. Sinar merah 
itu memantul balik ketika menghantam 
payung perak tersebut. Debb...! 
Clapp...! 
Janda Keramat melompat dengan 
sentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya me-
lenting di udara untuk hindari kemba-
linya sinar merah yang dinamakan jurus 
'Sigar Nyawa' itu. Akibatnya, sebong-
kah batu di jajaran belakang Janda Ke-
ramat menjadi sasaran sinar merah ter-
sebut. Duarrr...! 
Batu itu pecah menjadi delapan 
bongkahan. Warna batu yang merah men-
jadi menyala berpijar merah, seperti 
batu dari dalam endapan lumpur lahar. 
Mengerikan sekali. Bau hangus tak se-
dap juga menyebar ke mana-mana. 
"Heaat...!" Janda Keramat lompat 
kembali ke udara dalam gerakan salto. 
Tiba-tiba ia hinggap di atas payung 
dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya 
ke arah bawah. Payung yang ditegak lu-
ruskan oleh pemiliknya itu cukup kuat 
menyangga tubuh Janda Keramat. Tapi 
sempat tersentak dalam guncangan kuat 
ketika sinar merah terlepas dari tela-
pak tangan Janda Keramat. 
Blarrr...! 
Bunyi ledakan memecah keheningan 
malam. Payung itu guncang dan berasap, 
tapi tidak sampai rusak. Sedangkan tu-
buh Janda Keramat terlempar ke atas 
lebih tinggi lagi karena hentakan ge-
lombang daya ledak yang memantul dari 
permukaan payung perak tersebut. 
Wuuttt...! 
Nyai Payung Cendana sedikit 
oleng ke kiri, tapi tak sampai jatuh. 
Melihat lawannya melenting di udara, 
ia segera lepaskan satu serangan dalam 
keadaan payung yang tiba-tiba mengun-
cup sendiri itu. Srubb...! Dan ujung 
payung yang berbentuk mata tombak 
runcing  itu tiba-tiba melesat keluar 
dari tempatnya. Rupanya logam runcing 
itu mempunyai rantai yang dikaitkan 
dengan bagian dalam payung. Zrakkk...! 
Ketika mata tombak runcing itu 
melesat, rantai pun tertarik keluar. 
Mata tombak runcing itu berkelebat 
dengan cepatnya hingga mengenai Janda 
Keramat. Jrubb...! 
"Aaahg...!" pekik si Janda Kera-
mat dalam keadaan melayang  turun ke 
tanah. Rupanya logam runcing itu men-
genai betisnya dengan telak. Logam itu 
dapat kembali sendiri bagaikan ditarik 
oleh rantainya, hingga dalam sekejap 
sudah berada di ujung payung lagi. 
Srakk...! 
"Uuhg...!" Janda Keramat mengge-
liat tak mampu berdiri. Dia menahan 
rasa sakit yang menyerang sekujur tu-
buh, seakan juga meretakkan tulang-
tulangnya. Itu akibat racun berbahaya 
yang ada di logam putih runcing tadi. 
Bahkan beberapa kejap berikutnya Janda 
Keramat benar-benar tak mampu berdiri 
selain hanya mengerang kesakitan sam-
bil menggelepar di tanah. 
"Kubunuh kau, Payung Cendana! 
Setan alas! Aaaoww...!" Janda Keramat 
menjerit-jerit sendiri. Tapi Nyai 
Payung Cendana nggak mau peduli lagi. 
Cuek dengan jeritan itu. Ia segera me-
masukkan payung pada tempatnya di 
punggung, lalu dengan gerakan cepat 
yang mengagetkan tahu-tahu tubuh Pandu 
sudah ada di pundaknya mirip handuk 
mau dipakai buat mandi di sungai. 
Wesss...! Payung Cendana pergi 
tinggalkan tempat. Suara Janda Keramat 
penuh makian dan ancaman, tapi tetap 
dicuekin oleh Payung Cendana. 
"Mau dibawa ke mana nih?" pikir 
Pandu Puber yang masih belum bisa apa-
apa, mirip bayi rindu mimik sang Ibu. 
Rupanya ia dibawa Payung Cendana 
ke sebuah pondok yang ada di atas bu-
kit berbatu karang. Bukit itulah yang 
dinamakan Tebing Galah. Mencuat tinggi 
mirip menara sehingga dikatakan seper-
ti galah. Makanya bukit itu disebut 
Tebing Galah. 
Pondok itu tidak terlalu lebar, 
tapi mempunyai tiga kamar. Salah satu 
kamar sering dipakai semadi Nyai Guru 
Payung Cendana. Dua kamar lainnya un-
tuk tidur sang guru dan sang murid; 
Bunga Taring Uar. Gadis cantik itu 
nggak ada di tempat. Pondok itu sepi, 
hanya Pandu dan Payung Cendana yang 
ada. Maka ketika Payung Cendana sudah 
berhasil pulihkan kekuatan Pandu yang 
bikin Pandu segar kembali, pemuda ber-
mata kebiru-biruan mirip bule itu pun 
ajukan pertanyaan, 
"Ke mana Bunga Taring Liar?" 
"Dia kuutus ke Pantai Bunga Dam-
par untuk temui kakakku; Parma Tum-
peng. Ada sesuatu yang harus kami bi-
carakan, karenanya Bunga kusuruh minta 
kepastian kepada kakakku, kapan aku 
dan dia bisa bicara berduaan saja." 
"Masalah pribadikah?" 
"Setengah pribadi," jawab Payung 
Cendana dengan tegas. "Tapi barangkali 
kakakku nggak keberatan kalau kau pun 
mengetahui masalahnya." 
"Aku siap mendengarnya, Nyai 
Payung Cendana." 
"Panggil aku Widuri saja."  
"Widuri...?" 
"Itu nama asliku. Aku suka di-
panggil nama asliku oleh orang-orang 
tertentu." 
"Ooo...," Pandu Puber manggut-
manggut, membiarkan wajahnya dipandan-
gi oleh perempuan cantik yang punya 
postur tubuh mengguncangkan iman dan 
bibir menggetarkan kalbu itu. Pandu 
menambahkan kata dengan senyum yang 
menawan dan menambah ketampanannya. 
"Nama aslimu bagus sekali, se-
perti judul sebuah tembang." 
"Begitukah?" Payung Cendana mu-
lai tersenyum tipis sebagai sikap ma-
lu-malu mendengar pujian itu. 
"Ada syair tembang 'Widuri' yang 
kusukai; 'Widuri, elok bagai telaga, 
oh kasih. Widuri, indah bagai pelangi, 
oh sayang...." 
Pandu diam dalam senyuman, dan 
bibir sensual itu kian mekar dalam ke-
ceriaan. Bahkan bibir sensual itu se-
gera bergerak-gerak menyebutkan kata, 
"Suaramu merdu sekali. Enak di-
dengar, melenakan bila disimak. Menga-
pa nggak jadi pesinden saja?" 
Pandu Puber tertawa dalam gumam 
yang membuat tubuhnya berguncang-
guncang. Payung Cendana ikut tertawa 
bersuara lirih, masih menjaga wibawa 
dan karismanya. Lalu perempuan itu me-
lempar pandangan ke arah lain, seper-
tinya tak tahan jika harus beradu pan-
dang terus dengan si mata biru itu. 
Kejap berikutnya Pandu Puber 
perdengarkan suaranya dalam kelembutan 
tanya, "Jelaskan persoalan yang ingin 
kau katakan tadi." 
"Ada hubungannya dengan Ratu Ca-
dar Jenazah." 
"O, ya...? Kebetulan sekali, ka-
rena aku punya masalah dengannya." 
"Itulah sebabnya Bunga Taring 
Liar, muridku, kuutus membawamu kema-
ri, tapi ia gagal karena keusilan Hap-
sari." 
Payung Cendana tarik napas se-
bentar, menampakkan keseriusannya, la-
lu berkata lagi dengan pandangan mata 
lebih sering memandang ke arah lain. 
"Bukit Gulana dulu merupakan ke-
kuasaan kakakku; Parma Pratikta alias 
Parma Tumpeng itu. Istana yang diban-
gun di sana sebenarnya bekas pe-
sanggrahan tempat kakakku mendirikan 
Perguruan Candra Baruna. Kedatangan 
Ratu Cadar Jenazah membumihanguskan 
perguruan itu, membantai semua murid 
kakakku, tapi kakakku berhasil kusela-
matkan. Kini ia hanya punya satu murid 
yang tidak tahu-menahu sejarah Bukit 
Gulana. Aku bermaksud  merebut Bukit 
Gulana kembali melalui bantuanmu." 
"Bantuanku?" 
"Karena kau adalah orang terkuat 
untuk masa sekarang. Kesaktianmu sudah 
kudengar dari berbagai mulut para sak-
si mata. Kebetulan juga kau punya uru-
san dengan Ratu Cadar Jenazah itu, ja-
di kau punya alasan untuk menyerang-
nya." 
"Mengapa bukan kau saja yang me-
nyerangnya, Widuri?" 
"Ilmuku kalah tinggi dengan il-
munya Wulandita atau Ratu Cadar Jena-
zah. Kakakku pun kalah tinggi ilmunya. 
Dia mempunyai ilmu yang bernama' Aji 
Baja Geni', salah satu ilmu andalan 
utamanya." 
"Apa kehebatan 'Aji Baja Geni' 
itu?" 
"Kebal senjata, kebal tenaga da-
lam apa pun. Jika ilmu itu dipakai, 
maka tangannya bisa menghanguskan ba-
rang apa saja yang dipegangnya. Hanya 
dipegang saja tanpa kekuatan apa-apa, 
sebatang pohon bisa hangus dari akar 
sampai pucuknya. Itulah kehebatan 'Aji 
Baja Geni'-nya Wulandita." 
Pandu manggut-manggut, menampak-
kan antusias sekali dengan penjelasan 
Payung Cendana. Perempuan itu tampak 
senang melihat sikap Pandu yang men-
dengarkan dengan serius apa yang dije-
laskannya itu. Maka ia pun menyambung 
kata, 
"Tapi belakangan ini aku menda-
pat wangsit dari dewata yang menye-
butkan, bahwa kelemahan 'Aji Baja Ge-
ni' ada di pusarnya." 
"Pusarnya?!" Pandu Puber menggu-
mam heran. Matanya memandang dalam te-
rawang, membayangkan sebentuk pusar 
perempuan. Lalu ia tertawa geli sendi-
ri. Payung Cendana seperti tahu apa 
yang terbayang di benak Pendekar Ro-
mantis yang ganteng menawan hati itu. 
Maka, Payung Cendana pun segera berka-
ta dengan suara pelan bercampur senyum 
menawan pula,  
"Jangan bayangkan lebih dari pu-
sar. Nanti kau terjebak oleh bayangan-
mu sendiri." 
"Apa maksudmu?" 
"Aku ingin kau bayangkan perta-
runganmu dengan Ratu Cadar Jenazah. 
Apakah kau berani melawannya?" 
"Mengapa tidak?" 
Payung Cendana manggut-manggut. 
"Sekalipun dia punya kelemahan di pu-
sarnya, tapi tak semua senjata mampu 
menembus pusarnya. Hanya senjatamu 
yang bisa menembusnya." 
"Senjata yang mana?" Pandu ber-
lagak bingung. 
"Pedang Siluman!" 
Kini si tampan Pandu terperan-
jat. Agaknya rahasia kekuatannya juga 
sudah diketahui oleh Payung Cendana, 
dan Pandu nggak bisa bohong lagi. Per-
cuma saja ia berlagak bego, karena 
kayaknya perempuan itu punya teropong 
batin cukup kuat. Bahkan si cantik 
bernama asli Widuri itu berkata lagi, 
"Wangsit dari dewata yang kute-
rima beberapa waktu yang lalu mengata-
kan, bahwa pusar itu bisa dilukai atau 
ditembus oleh Pedang Siluman milik 
seorang pendekar bertato mawar di da-
danya. Ingatanku kembali ke cerita 
orang-orang tentang Pendekar Romantis 
yang bertato bunga mawar. Karenanya, 
ketika kudengar ada sayembara menang-
kap dirimu, aku segera mengutus murid-
ku untuk membawamu kemari, bersembunyi 
di sini sambil mengatur siasat." 
"Ya, ya... aku mengerti, karena 
Bunga Taring Liar pernah bilang begi-
tu. Cuma, apa hubungannya dengan Ki 
Parma Tumpeng tentang rencanamu ini, 
Widuri?" 
"Aku hanya ingin minta bantuan-
nya jika ia setuju merebut tanah keku-
asaannya kembali. Bantuan yang kuha-
rapkan adalah menemukan lorong bawah 
tanah yang bisa tembus ke kamar Wulan-
dita." 
"Oh, ada lorong tembus ke kamar-
nya Ratu?" Pandu kaget. 
"Kakakku pernah menggali lorong 
itu buat meloloskan diri sewaktu-
waktu. Tapi ketika disergap Wulandita, 
dia tidak sedang ada di kamar. Bahkan 
sedang ada di pantai melatih para mu-
ridnya. Kabarnya, lorong itu kini be-
rada di kamar pribadi sang Ratu. Kau 
harus masuk melalui lorong itu dan 
membunuhnya tanpa harus menghadapi be-
berapa pengawalnya." 
"Apakah kau tak bisa meneropong 
dengan kekuatan batinmu tentang di ma-
na lorong itu berada?" 
"Lorong itu sudah diberi kekua-
tan getaran batin yang sukar ditero-
pong dengan mata batinku. Hanya kakak-
ku yang tahu tempat itu!" 
Pemuda ganteng. berambut  cepak 
depan itu manggut-manggut. Renungannya 
berkepanjangan. Sementara itu Payung 
Cendana memandangi secara diam-diam, 
lalu mendesah lirih karena ada kegeli-
sahan di hatinya. 
Payung Cendana sengaja keluar 
dari pondok, menikmati semilir angin 
dan suara deburan ombak karena bukit 
itu memang dekat dengan laut. Cahaya 
rembulan masih memancar, bahkan lebih 
terang dari sebelumnya. Bintang-
bintang bertengger memancar di langit, 
seakan anak sekolah yang sedang menik-
mati jam istirahat. 
Pandu Puber ikut keluar setelah 
dia bengong-bengong terus di dalam 
pondok. Matanya menemukan Payung Cen-
dana sedang berdiri dengan tubuh ber-
sandar pada sebuah pohon berdaun lebat 
mirip payung itu. Perempuan tersebut 
memandang ke arah laut, sepertinya se-
dang menghitung berapa ikan yang teng-
gelam karena nggak bisa berenang. 
Pandu Puber mendekati dengan ha-
ti-hati. Langkahnya didengar Payung 
Cendana, sehingga perempuan itu sem-
patkan diri melirik pemuda yang mende-
katinya. Senyumnya tersungging tipis. 
Cahaya rembulan yang sempat menerobos 
celah dedaunan membuat senyum itu tam-
pak jelas di mata Pandu Puber. 
"Ada sesuatu yang kau sedihkan, 
ya?" tanya Pandu Puber mencoba meya-
kinkan dugaan hatinya. 
"Nggak ada," jawab Payung Cenda-
na. 
"Atau mungkin ada sesuatu yang 
mengelisahkan hatimu?" 
"Kenapa kau tanyakan hal itu?" 
ia menatap Pandu yang jaraknya satu 
langkah di sampingnya. 
"Kulihat senyummu agak hambar. 
Mungkin kau memikirkan seorang keka-
sih? Begitu?" 
Senyum hambar sengaja diperle-
bar. Lalu pandangan mata berbulu len-
tik itu mengarah ke lautan. Suaranya 
terdengar lirih. 
"Aku sudah lupa bagaimana wujud-
nya kekasih." 
"Sudah lupa? Apakah... apakah 
kau...." Pandu bingung, apa yang mau 
dikatakannya? Seakan semua rencana 
yang tadi muncul di otak sirna secara 
mendadak. Heningnya malam membuat 
Payung Cendana bersuara jelas walau 
diucapkan dengan pelan,   
"Tiga kali aku dikhianati oleh 
kekasih. Tiga kali aku ditipu dan di-
buang  begitu saja. Selanjutnya aku 
nggak pernah mau lagi punya kekasih." 
"Ooo... kau wanita yang patah 
hati rupanya." 
"Mungkin begitu, Sejak aku dino-
dai oleh kekasihku yang terakhir, aku 
jadi benci pada lelaki. Tapi setelah 
beberapa tahun kemudian, kebencian itu 
sirna sendiri dan sadar bahwa nggak 
semua lelaki gemar menodai dan menya-
kiti hati wanita. Buktinya, kakakku 
sendiri justru dikhianati oleh is-
trinya, padahal ia seorang suami yang 
sayang pada istri dan sangat setia."    
"Lalu apa tindakanmu setelah kau 
sadari hal itu?"  
"Nggak bertindak apa-apa. Rasa-
rasanya masih trauma jika harus paca-
ran lagi." 
"Jadi sampai sekarang kau belum 
pernah bersuami?"  
Payung Cendana menggeleng sambil 
memandang Pandu Puber. "Nggak ada co-
wok yang bisa melekat di hatiku. Jadi 
aku nggak pernah merasakan nikmatnya 
jatuh cinta dan indahnya kemesraan 
sang kekasih. Hanya saja...."  
Payung Cendana sengaja berhenti 
bicara. Kenapa coba? Karena ada sesua-
tu yang mengganjal hatinya dan mem-
buatnya takut meneruskan ucapannya. 
Namun bagi Pandu Puber itu sesuatu 
yang menjengkelkan. Ia harus tahu apa 
kelanjutan ucapan itu supaya hatinya 
nggak penasaran, supaya kalau makan 
pun bisa habis banyak. Maka Pandu Pu-
ber mendesak agar Payung Cendana mau 
teruskan kata-katanya... 
"Rasanya nggak ada yang perlu 
kau ketahui lagi tentang pribadiku." 
"Kalau kamu nggak mau teruskan 
ucapanmu, aku akan terjun ke bawah dan 
mati di lautan sana!" 
"Terjunlah," kata Payung Cendana 
sambil sunggingkan senyum. Tapi Pandu 
Puber toh nggak benar-benar berani 
terjun. Dia malah tersenyum dan berka-
ta penuh kelembutan, 
"Kalau aku terjun, aku akan ma-
ti. Kalau aku mati, lalu siapa yang 
akan menangisi kematianku? Wanita mana 
yang akan merasa kehilangan diriku? 
Aku nggak mau, ah! Kecuali kalau me-
mang ada wanita yang mau menangisi ke-
matianku, mau merasa kehilangan diri-
ku, maka aku akan terjun ke bawah dan 
mati di sana!" 
"Aku mau...!" kata Payung Cenda-
na. "Aku mau menangisimu, aku mau me-
rasa kehilangan kamu. Sebab itu, ter-
junlah sana! Nanti mayatmu akan kutan-
gisi tujuh hari tujuh malam!" 
Pandu cengar-cengir salah ting-
kah sambil bergeser memperpendek ja-
rak. Ia berkata sambil memandang ke 
lautan, 
"Kalau aku mati, dan kau menan-
gisiku, sama saja aku menyiksa batin-
mu. Aku nggak ingin hatimu luka oleh 
kematianku. Aku juga nggak kepingin 
batinmu menderita karena nasibku. Roh-
ku akan bergentayangan jika aku melu-
kai hatimu dan membuat batinmu mende-
rita." 
Payung Cendana serius sekali me-
natap ke arah Pandu. Perempuan itu ba-
gai terkunci mulutnya karena suatu ra-
sa yang mendesah haru di hatinya. 
Pandu yakin perempuan itu terpa-
ku oleh kata-kata manisnya. Buktinya 
ketika Pandu kian mendekati wajah, pe-
rempuan itu diam saja, bahkan bersan-
dar lekat-lekat di pohon. Pandu pun 
bisikkan kata lirih untuknya, 
"Kau perempuan yang menggemaskan 
sebenarnya. Tapi hatimu sudah terlan-
jur tertutup untuk lelaki, sehingga 
aku harus melawan keinginanku untuk 
mengecup bibirmu yang menggoda sejak 
tadi." 
"Jangan dilawan," ucapnya lirih 
sekali. 
"Maksudnya bagaimana?" 
Setelah diam tiga hitungan dan 
saling pandang, Payung Cendana pun le-
paskan kata lirihnya, nyaris tak ter-
dengar oleh Pandu Puber. 
"Kecuplah kalau kau ingin." 
"Kau seorang guru." 
"Tapi aku manusia juga," katanya 
sambil sedikit mendongakkan kepala dan 
memejamkan mata. Bibir itu pun merekah 
dengan sendirinya. Pandu gemetar seku-
jur tubuhnya. Tapi dengan tekad bulat 
dan keberanian yang besar, akhirnya ia 
pun menempelkan bibirnya ke bibir 
Payung Cendana. Cup...! 
"Oh,  hangat dan indah sekali!" 
desah hati Payung Cendana yang tak sa-
dar telan jatuh dalam rayuan Pandu Pu-
ber si Pendekar Romantis. Hati yang 
selama ini membeku tiba-tiba menjadi 
cair dan luluh oleh kehadiran Pendekar 
Romantis. Apalagi Pandu pintar memper-
mainkan rasa dan lidahnya yang lincah 
itu terasa bikin betah, Payung Cendana 
bagaikan tak bertulang lagi. Lemas se-
kali. 
Bahkan ketika Pandu melepas ke-
cupannya, bibir itu masih merekah ten-
gadah. Mata indah menatap sayu seakan 
terkesima mendapat kemesraan seindah 
itu. Kejap berikut terdengar suara 
Payung Cendana berkata pelan, 
"Jangan lakukan hal ini kepada 
Ratu Cadar Jenazah jika kau bertemu 
dengannya nanti." 
"Mengapa kau sangsikan diriku?" 
"Karena dia lebih cantik dari-
ku."  
"O, ya...?!" Pandu sunggingkan 
senyum menawan. Ia menyentil pelan hi-
dung mancung itu dan berkata, "Jangan 
berpikiran nakal! Aku datang ke Bukit 
Gulana untuk membunuhnya." 
"Sungguh?" 
"Lebih dari sungguh, Widuri. Se-
bab kalau aku nggak mau membunuhnya, 
maka aku yang akan dibunuh olehnya." 
"Kau... kau berjanji akan datang 
lagi setelah dari sana?"      
"Gagal atau berhasil, aku pasti 
akan menemuimu lagi, Widuri!" 
"Doaku menyertaimu secara diam-
diam, Pandu." 
"Doa yang secara diam-diam bi-
asanya cepat dikabulkan daripada doa 
yang berisik," kata Pandu dalam can-
danya. Lalu ia meraih kepala Payung 
Cendana, dan kepala itu disandarkan di 
dada bidang sang pendekar. Pandu meme-
luknya seraya berbisik, 
"Kita seperti sudah lama saling 
kenal, ya?" 
"Barangkali roh kita pernah sal-
ing bertemu dan bercumbu," balas 
Payung Cendana. 
Pelukan itu saling merenggang, 
sama-sama melepaskan diri dengan satu 
sentakan menegang. Ketegangan meliputi 
mereka bukan karena gigitan mesra 
Payung Cendana, tetapi suara orang 
mendaki bukit batu karang itu semakin 
jelas didengar oleh mereka. Pandu Pu-
ber segera mengikuti Payung Cendana 
yang bergegas ke luar pagar pondok 
yang tingginya sebatas perut itu. 
Hanya pagar sederhana saja, bukan pa-
gar pelindung. Dan dari depan pintu 
pagar mereka memandang ke arah tangga 
yang berkelok-kelok dari bawah menuju 
ke atas. Dua orang sedang berlari sal-
ing lompat meniti tangga. 
"Oh, itu dia muridku dan kakakku 
datang," ujar Payung Cendana merasa 
tegang, karena semula ia menyangka ada 
musuh yang datang menyergapnya sedang 
bercinta.        
"Ada apa malam-malam begini me-
manggilku dengan memaksa, Payung Cen-
dana?!" ujar Ki Parma Tumpeng sedikit 
dongkol dipaksa datang malam-malam be-
gitu. Tapi kedongkolannya segera sirna 
ketika matanya menatap Pandu Puber ada 
di situ. Bunga Taring Liar pun tampak 
lega melihat Pandu sudah ada di dekat 
gurunya.    
"Kau telah berhasil selamatkan 
anak itu dari tangan perempuan beram-
but perak rupanya?" 
"Benar. Perempuan yang melarikan 
dia adalah Hapsari, dan aku sudah ber-
hasil merebutnya dari tangan Hapsari, 
seperti aku merebut Kembang Ayu Abadi 
dulu!" 
"Bagus, bagus...!" Ki Parma Tum-
peng manggut-manggut. "Aku sempat ce-
mas ketika muridmu ceritakan tentang 
si rambut perak yang menggondol bocah 
tampan itu!" ' 
"Justru sekarang aku ingin bica-
ra denganmu, Kakang Parma. Maaf kalau 
aku memanggilmu, karena  kupikir aku 
sibuk merebut Pandu Puber dari tangan 
penggondolnya. Kalau aku nggak sibuk 
merebut Pandu, pasti aku sendiri yang 
akan datang ke Pantai Buaya Dampar. 
Tapi karena Pandu digondol oleh...." 
Pandu memotong, "Tunggu, tung-
gu...! Dari tadi kok soal gondol-
menggondol, apa disangkanya aku ini 
tulang yang digondol anjing?!" 
Payung Cenda tertawa tanpa suara 
dan tundukkan wajah, Bunga Taring Liar 
tersenyum takut kedengaran suaranya. 
Ki Parma Tumpeng sendiri terkekeh pe-
lan, merasa lucu melihat Pandu bersun-
gut-sungut. Kemudian, tawa mereka ber-
ganti keseriusan. Payung Cendana kemu-
kakan maksudnya. Ki Parma Tumpeng se-
tuju dan segera memberi penjelasan 
tentang rahasia jalan tembus lorong 
yang bisa sampai ke kamar pribadi sang 
Ratu Cadar Jenazah. 
"Hanya ada enam jebakan di lo-
rong itu. Semua jebakan bisa dihindari 
dengan tidak menginjak lantai berhias 
bunga putih. Karena lantai berhias 
bunga putih itu adalah kunci pembuka 
jebakan maut. Jangan diinjak, ya?!" 
ujar Ki Parma Tumpeng kepada Pandu Pu-
ber. 
Pesan itu diingat betul oleh 
Pandu Puber. Maka ketika Pandu Puber 
temukan lorong tersebut, ia sudah tahu 
bagaimana caranya masuk lorong. Letak 
lorong itu ada di celah tebing karang. 
Jalan menuju mulut lorong terhi-
tung sempit. Hanya cukup untuk satu 
orang. Kanan-kirinya dinding tebing 
yang tinggi. Tak ada orang jualan apa-
apa di sana. 
Lorong itu sendiri juga bermulut 
kecil. Hanya cukup dimasuki satu orang 
dalam keadaan merundukkan kepala. Kea-
daan di dalamnya memang gelap, sebab 
nggak ada yang pasang patromaks di sa-
na. Tapi Pandu sudah siapkan obor dari 
pelepah daun pepaya. Obor itu disulut 
dengan menggunakan ilmu tenaga dalam 
yang bisa keluarkan api. 
Dengan menggunakan obor itu, 
Pandu Puber menyusuri lorong bongkok. 
Dikatakan oleh Ki Parma Tumpeng bahwa 
lorong pertama adalah 'Lorong Bong-
kok', karena orang yang masuk ke situ 
harus tahan berbongkok ria selama tiga 
puluh langkah. Setelah itu barulah me-
nemukan lorong beratap tinggi dan bisa 
berdiri. Maksudnya yang berdiri orang-
nya, bukan 'obornya'. Keadaan lorong 
pun agak luas. Bisa dipakai jalan tiga 
orang berjejeran. 
Karena sudah dapat penjelasan 
tempat-tempat berbahaya dan arah yang 
harus ditempuh, maka Pendekar Romantis 
nggak sulit-sulit untuk mencapai ujung 
lorong rahasia itu. Dari tanah lorong 
yang tidak berlantai sampai yang ber-
lantai ubin keramik sudah dilalui. 
Ubin yang bergambar bunga warna putih 
dilompati. Tentu saja ia selamat, 
nggak kena jebakan. Coba kalau belum 
diberitahu Ki Parma Tumpeng, bisa mam-
pus kena jebakan. 
Apalagi jebakannya serem. Menu-
rut cerita Ki Parma Tumpeng, jebakan 
pertama dari mulut lorong adalah dela-
pan tombak runcing turun dari atas ke-
pala. Menancap di lantai dan menutup 
jalan, di samping tentu saja membuat 
orang yang terjebak menjadi sate men-
dadak. Jebakan kedua, dari dinding lo-
rong keluar seekor kelabang kecil, ta-
pi temannya berjumlah ratusan ekor dan 
besar-besar. Ada pula jebakan yang ta-
hu-tahu keluar asap berbau kemenyan 
bisa bikin mati orang. Sebab begitu 
asap bau kemenyan menyembur dari dind-
ing tembok, batu sebesar kerbau yang 
dipasang di langit-langit turun dengan 
mengagetkan. Jatuh di kepala orang 
itu, lalu orang itu mati bukan karena 
kaget tapi karena gepeng mendadak. Po-
koknya macam-macam deh ide Ki Parma 
Tumpeng saat bikin lorong jebakan itu. 
"Mengapa Ki Parma Tumpeng nggak 
membunuh Ratu Cadar  Jenazah melalui 
jalan lorong itu?" 
"Masalahnya bukan nggak mau, ta-
pi nggak bisa. Karena sang Ratu punya 
'Aji Baja Geni' itu tadi!" jawab Ki 
Parma Tumpeng kala ditanya oleh Pandu. 
Sekarang Pandu sudah sampai ke 
lorong bertangga. Nah, lorong bertang-
ga itu tembusnya ke kamar pribadi sang 
Ratu. Jumlah anak tangga ada tiga pu-
luh dua. Sudah dihitung oleh Ki Parma 
Tumpeng. Pada anak tangga ke sepuluh 
dan kedua puluh ada jebakan kecil tapi 
bikin mampus orang, yaitu menyemburnya 
paku beracun dari samping tangga dan 
lobang di bawah anak tangga yang akan 
menjebloskan orang masuk ke sumur tua 
dalamnya bukan main. Tapi jebakan itu 
bisa dihindari Pandu berkat pelajaran 
dari Ki Parma Tumpeng. 
Ujung tangga ternyata berdinding 
pintu. Cara membuka pintu itu pun su-
dah diajarkan oleh Ki Parma Tumpeng. 
Pelan-pelan Pandu Puber membuka pintu 
tersebut. Pertama dibuka sedikit lalu 
diintip dengan mata merem satu. Sebab 
kalau merem dua-duanya nggak bisa me-
lihat. Setelah itu pintu dilebarkan, 
karena suasana kamar tampak sepi. Hari 
masih pagi, sekitar pukul lima kurang, 
untuk ukuran zaman sekarang. Tapi tem-
pat tidur sudah kosong. Bau aroma di 
kamar itu adalah bau bawang. Pandu cu-
riga, "Wah, jangan-jangan ini kamar 
pembantunya? Tempat tidurnya juga se-
derhana tuh. Alat riasnya juga cuma 
sisir dan gincu. Wah, aku yakin ini 
kamar pembantunya. Jadi, kamar yang 
dulunya dipakai sebagai kamar pribadi 
ratu, ternyata sudah diganti sebagai 
kamar pembantu. Lalu di mana kamar 
sang Ratu sendiri?" pikir Pandu sambil 
garuk-garuk kepala.  
"O, ya... kata Ki Parma Tumpeng, 
kamar ini mempunyai pintu tembus ke 
kamar lain. Nah, berarti pintu yang 
itu adalah pintu tembus ke kamar lain. 
Coba kubuka pelan-pelan, ah...!" 
Pintu dibuka pelan-pelan, diusa-
hakan tanpa ada suara. Pintu memang 
tidak bersuara tapi Pandu sempat batuk 
satu kali. 
"Uhuk...!" Pandu kaget sendiri. 
Mestinya yang kaget orang lain, tapi 
malah dia sendiri yang kaget dan men-
jadi tegang. Untung suara batuk itu 
tak didengar oleh siapa pun, sehingga 
Pandu lanjutkan membuka pintu terse-
but, lalu masuk ke kamar tembusannya. 
Ternyata di samping kamar pe-
layan pribadi itu memang kamar sang 
Ratu. Susunan perabot dan jenis keme-
wahannya menampakkan betul bahwa kamar 
itu adalah kamar seorang ratu. Masa-
lahnya sekarang, di mana letak ra-
tunya? Maksudnya, si Ratu ada di mana 
kalau keadaan kamar menjadi kosong 
tanpa manusia secuil pun? Di ranjang 
yang empuk berlapis kain lembut warna 
merah muda itu nggak ada siapa-siapa. 
Tapi kondisi seprai memang lusuh, tam-
pak bekas ditiduri orang. 
Selagi Pandu clingak-clinguk, 
tiba-tiba  terdengar langkah seseorang 
menuju pintu utama kamar. Pandu segera 
sembunyi di dalam almari yang ting-
ginya sekitar satu tombak setengah 
itu. Almari itu menghadap ke cermin 
rias dan ranjang. Pintunya sedikit di-
buka sehingga Pandu bisa mengintip 
keadaan di luar almari. 
"Astaga! Ternyata bukan sang Ra-
tu. Ditilik dari pakaiannya yang se-
derhana, pasti dia pelayan pribadi 
sang Ratu. Apalagi badannya gemuk 
kayak kaleng kerupuk gitu, pasti bukan 
ratulah yaow...! Eit... dia menuju ke-
mari? Waduh, gawat nih...!" 
Sang pelayan melihat pintu alma-
ri terbuka sedikit. Ia bicara sendiri 
sambil menghampiri almari tersebut. 
"Gusti Ratu memang sering teledor. 
Pintu almari nggak dikunci, nanti ka-
lau ada maling masuk gimana? Pasti 
yang dituduh aku juga kan, karena cuma 
aku yang diizinkan masuk kamar ini?! 
Ah, sebaiknya kukunci saja biar nggak 
jadi masalah!" 
Klik...! Pintu almari ditutup 
rapat lalu dikunci. Yang di dalam al-
mari jadi kelabakan. 
"Sial! Pintunya malah dikunci 
dari luar! Gimana nih? Nggak bisa ke-
luar dong?!" gerutu Pandu Puber di da-
lam almari yang khusus untuk menggan-
tungkan pakaian. 
Pandu membatin lagi, "Wah, kacau 
kalau gini! Pendekar kok terjebak ma-
suk dalam almari. Malu-maluin aja! Mau 
nggak mau harus kujebol dengan kekua-
tan tenaga dalamku! Tapi, eh... tunggu 
dulu. Aku seperti mendengar suara per-
cakapan seseorang. Pasti ada yang bi-
cara di sekitar almari ini." 
Terdengar percakapan antara pe-
layan dengan sang Ratu yang bersuara 
sedikit serak itu. 
"Hari ini, Gusti jadi berangkat 
berburu Pandu Puber?" 
"Jadi. Siapkan pakaian perang-
ku." 
"Pakaian perang yang mana?" 
"Yang seronok, Goblok! Yang ke-
lihatan dadanya sedikit dan pahaku bi-
ar tampak menantang pria. Itu namanya 
pakaian perang!" 
"O, iya! Baik, saya siapkan, 
Gusti Ratu. Tapi... bukankah Gusti Ra-
tu mau berburu Pandu Puber  lalu mau 
membunuhnya? Kenapa harus pakai pa-
kaian yang seksi?" 
"Kudengar yang namanya Pandu Pu-
ber itu orangnya tampan dan menggai-
rahkan. Kalau omongan orang-orang itu 
ternyata benar maka pemuda itu nggak 
jadi kubunuh. Setidaknya nggak secepat 
itu aku harus membunuhnya. Tapi kalau 
kenyataannya ia bukan pria yang mena-
wan, maka kesalahannya itu nggak bisa 
kuampuni lagi. Harus kubunuh dengan 
tanganku sendiri!"  
"Apa sih kesalahan orang itu se-
benarnya, Gusti Ratu?" 
"Mau tahu? Kesalahannya cukup 
banyak. Pertama, dialah orang yang 
menghancurkan Kitab Panca Longok, se-
hingga aku nggak bisa mempelajari ju-
rus maut yang ada di dalamnya. Sebagai 
pelampiasan kemarahanku; temannya yang 
bernama Ken Warok itu kubunuh dan ku-
gantung di pinggir hutan sana." 
"Kesalahan kedua apa, Gusti?" 
"Kesalahan kedua, dia telah mem-
bunuh Dalang Setan, sehingga aku nggak 
jadi memiliki pusaka 'Cemeti Mayat' 
milik Nyai Titah Bumi, neneknya Dalang 
Setan. Yang ketiga, dia menyuruh teman 
gembrotnya untuk melukaiku. Teman wa-
nitanya yang gemuk dan mengaku bernama 
Dewi Lemakwati itu yang bikin aku mur-
ka kepada Pandu Puber. Sebab gadis 
gembrot itu bisa mengetahui kelemahan-
ku dan aku diserang dengan racun ganas 
tepat di bagian kelemahanku. Hampir 
saja aku mati jadi serpihan abon kan? 
Untung aku punya obat penangkal racun 
itu! Pokoknya semua itu gara-gara Pan-
du Puber. Maka anak itu harus kule-
nyapkan biar kelak nggak bikin kacau 
rencanaku lagi!" 
Di dalam almari Pandu Puber 
menggumam dalam hati, "Ooo... jadi itu 
masalahnya? Pantas dia benci banget 
sama aku sampai bikin sayembara kayak 
gitu? Aku harus segera bertindak. Cu-
ma, gimana cara keluarnya nih?" 
Persoalannya sudah jelas, apa 
sebab Pandu jadi buronan Ratu Cadar 
Jenazah, yaitu karena tiga persoalan 
yang hadir dalam kisah: "Kitab Panca 
Longok" dan "Dendam Dalang Setan", 
tinggal bagaimana cara menyelesaikan 
kemurkaan sang Ratu. 
Pendekar Romantis punya dua pi-
lihan, melawan sang Ratu dengan keke-
rasan atau dengan kemesraan? Keduanya 
bisa mematikan sang Ratu, tapi kedua-
nya juga punya bahaya besar bagi di-
rinya sendiri. Lalu, apa jadinya jika 
sang Ratu buka almari dan menemukan 
buronannya sudah ada di dalam almari 
itu? 
Kalau mau tahu lanjutannya, si-
lakan baca serial Pendekar Romantis 
dalam kisah: "Ratu Cadar Jenazah". 
Bayangin aja, Ratu kok memakai cadar 
jenazah, kayak apa jadinya tuh orang, 
ya? 
 SELESAI 
 Scan/E-Book: Abu Keisel 
 Juru Edit: Fujidenkikagawa 
 convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com