Siluman Ular Putih 7 - Tombak Raja Akhirat(2)


Siluman Ular Putih tiba di simpang jalan, di 
luar Lembah Kodok Perak. Di tempat ini, pemuda itu 
tidak menemukan siapa-siapa, kecuali desaan  angin 
perbukitan yang berhembus lembut mempermainkan 
rambutnya yang gondrong. Meski sepasang matanya 
tertuju pada hamparan padang luas di hadapannya, 
namun sebenarnya telinganya tengah diarahkan pada 
gerakan-gerakan halus di batang pohon belakangnya. 
Ia yakin, sosok itulah yang tadi mengirimkan suara da-
ri jarak jauh. 
Soma tetap diam saja di tempatnya. Ia tahu di 
dahan pohon itu tengah mengintai satu sosok tubuh. 
Namun pemuda ini pura-pura tidak menyadarinya. 
Sementara diam-diam hatinya gelisah juga memikirkan 
keselamatan gadis yang bersama sosok pengintai yang 
mengirimkan suara tadi. Entah Siluman Ular Putih ju-
ga tidak tahu, untuk apa orang itu menyusupkan sua-
ra. Kalau memang Bunda Kurawa, mengapa memin-
tanya menemui di simpang jalan? Lantas siapakah 
orang yang tengah berada di atas pohon itu? 
"Bagus! Rupanya kau mau menuruti permin-
taanku juga," kata sosok di atas pohon itu mulai buka 
suara. 
Soma tersenyum kecut seraya sedikit menoleh. 
Rasa-rasanya ia memang pernah kenal suara itu. Na-
mun, pemuda ini belum tahu pasti. Yang pasti, sang 
empunya suara adalah seorang perempuan cantik, 
menilik suaranya yang merdu. 
Jalanan setapak di samping murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih itu 
memang tidak terlalu lebar, tidak lebih dari setengah 
tombak. Di kanan-kirinya banyak ditumbuhi semak 
belukar. Tampak pula akar-akar pohon di pinggir jalan 
yang mencuat ke tengah berwarna kuning kemerahan. 
Setelah sosok di atas pohon tak berkata-kata 
lagi, perlahan-lahan Soma mulai membalikkan badan-
nya. Kepalanya langsung melihat ke atas. Tampak se-
sosok perempuan cantik berpakaian ketat warna kun-
ing keemasan dengan rambut disanggul ke atas tengah 
berdiri tegak di atas sebuah dahan pohon. Kedua tan-
gannya mengepit seorang gadis cantik berpakaian ser-
ba hitam. 
Yang membuat murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu terkejut, bukan karena sosok ramping berpa-
kaian kuning keemasan itu tengah berdiri tegak di atas 
sebuah dahan kecil sebesar jari kelingking! Melainkan 
karena melihat gadis cantik tawanan sosok berpakaian 
kuning keemasan itu yang tidak lain adalah Aryani 
alias Bidadari Kecil. 
Melihat Aryani menjadi tawanan perempuan 
cantik berpakaian kuning keemasan yang tak lain Te-
ratai Emas, Soma tak dapat lagi menahan amarahnya. 
Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat penuh 
kemarahan. 
"Teratai Emas! Kalau kau berani menyentuh 
seujung rambut pun gadis itu, demi Tuhan aku akan 
menguliti batok kepalamu!" bentak Soma, tak dapat la-
gi mengendalikan amarahnya. 
Teratai Emas hanya menyunggingkan senyum 
dingin. Lalu dengan sekali menghentakkan kakinya, 
sosoknya pun telah meloncat turun. Gerakan kedua 
kakinya ringan sekali. Sedikit pun tak menimbulkan 
suara saat kedua kakinya menjejak ke tanah, sambil 
memondong tubuh Bidadari Kecil. 
"Aku tidak akan melukai gadismu yang cantik 
ini sedikit pun. Asal, kau mau menuruti permintaan-
ku!" sahut Teratai Emas, enteng. 
"Semprul! Rupanya kau menginginkan sesuatu 
dariku, he?!" bentak Soma geram bukan main. 
"Tepat! Aku memang menginginkan sesuatu da-
rimu. Dan kau harus  menuruti kemauanku! Kau pa-
ham?" Teratai Emas tersenyum-senyum penuh keme-
nangan. 
Sepasang matanya yang indah tak henti-
hentinya memperhatikan lembaran sutera berwarna 
merah di tangan Soma dan sebatang tombak berwarna 
kuning dengan ujung berwarna merah penuh kagum. 
"Apa yang kau inginkan dariku, Teratai Emas?" 
tanya Soma gelisah sekali. Sementara itu gadis cantik 
dalam kepitan tangan Teratai Emas tampak demikian 
pucat. Bulu matanya yang lentik terpejam rapat-rapat. 
Sekali lihat saja. Soma tahu kalau Aryani mengalami 
luka dalam cukup parah. Dan karena tidak tahan den-
gan luka dalamnya itu, Aryani pun jatuh tak sadarkan 
diri. 
Soma geram bukan main. Apalagi ketika meli-
hat sepasang mata Teratai Emas tak henti-hentinya 
memandangi benda pemberian Eyang Prana Supit yang 
disembunyikan Soma di balik saku celana, yang sem-
pat terlihat oleh Teratai Emas. Dan ketika Soma meli-
rik ke samping, buru-buru dimasukkannya benda itu 
lebih dalam lagi. 
"Kau tentu sudah tahu apa yang kuinginkan, 
Siluman Ular Putih? Apalagi kalau bukan Kitab Kodok 
Perak Sakti dan Tombak Raja Akhirat?! Lekas lempar-
kan kedua benda yang kumaksudkan itu padaku, ka-
lau masih menginginkan gadismu yang cantik ini!" pe-
rintah Teratai Emas galak. 
Telapak tangan kanannya yang berwarna kun-
ing keemasan hingga ke siku telah diangkat tinggi-
tinggi, siap meremukkan batok kepala Aryani. 
"Jangkrik buntung! Babi gempul! Rupanya kau 
menginginkan kedua benda ini, Teratai Emas? Apa kau 
lupa kalau Bunda Kurawa menginginkan kedua benda 
ini?" 
"Aku tidak peduli lagi dengan nenek-nenek can-
tik itu. Kalau memang menginginkan kedua benda itu, 
maka ia sendirilah yang harus turun tangan," sahut 
Teratai Emas dingin. 
"Kau mengkhianati gurumu, Teratai Emas?" 
tukas Soma. 
"Kau tidak perlu ikut campur urusanku. Setiap 
saat pikiran manusia bisa berubah. Sekarang, lekas 
lemparkan kedua benda yang kumaksudkan padaku!" 
Soma tertawa bergelak. 
"Dasar pengkhianat! Enak saja main perintah 
padaku! Kau pikir, aku tidak tahu akal bulus mu? Be-
gitu aku menyerahkan Kitab Kodok Perak Sakti dan 
Tombak Raja Akhirat, kau pasti akan membunuh gadis 
itu. Bukankah percuma namanya, Teratai Emas?" tu-
kas murid Eyang Begawan Kamasetyo di antara ta-
wanya.      
Teratai Emas menggeram penuh kemarahan. 
Telapak tangannya yang telah berubah kuning keema-
san terlihat siap akan meremukkan batok kepala 
Aryani. 
Diam-diam Soma cemas bukan main. Kalau Te-
ratai Emas gelap mata, bukan mustahil batok kepala 
Bidadari Kecil akan remuk seketika itu juga. Sedang 
pemuda ini tidak menginginkannya. Jelas ia ingin ga-
dis itu selamat. 
"Jadi, kau menginginkan gadismu yang cantik 
ini modar di tanganku, Bocah?!" ancam Teratai Emas, 
saking jengkelnya. 
"Aku cuma tidak ingin kau berlaku curang, Te-
ratai Emas?" desis Soma. 
"Baik," desis Teratai Emas, penuh kemarahan. 
"Sekarang cepat lemparkan Kitab Kodok Perak  Sakti 
dan Tombak Raja Akhirat ke dekat pohon di samping-
ku. Baru aku akan melemparkan tubuh gadismu yang 
cantik ini padamu." 
Sejenak Soma menggaruk-garuk kepalanya 
bingung. Memang, jarak antara pohon yang dimaksud-
kan Teratai Emas dengan dirinya tidak terlalu berjau-
han. Demikian juga bagi Teratai Emas. Kalau Teratai 
Emas bertindak curang, bukankah Siluman Ular Putih 
dapat bertindak cepat dan kembali memungut kedua 
benda yang telah dilemparkan? 
"Bagaimana, Bocah Sinting? Apa kau kebera-
tan?" desak Teratai Emas. 
"Sama sekali tidak," sahut Siluman Ular Putih, 
tegas. 
"Kalau begitu, lekas lemparkan Kitab Kodok Pe-
rak Sakti dan Tombak Raja Akhirat ke tempat yang ku-
tunjukkan tadi" 
"Baik." 
Soma bersiap-siap melemparkan kedua benda 
yang diinginkan Teratai Emas ke dekat pohon yang 
dimaksudkan. Namun di saat tengah mengangkat ke-
dua benda itu, mendadak.... 
"Mbakyu Teratai Emas! Kau..., kau pengkhia-
nat!" Terdengar teriakan dari balik sebuah pohon. Ke-
mudian dengan gerakan cepat, berkelebat satu sosok 
bayangan kuning keemasan meninggalkan tempat itu. 
Mendengar bentakan barusan, Teratai Emas se-
jenak menautkan kedua alisnya. Lalu dengan senyum 
tersungging di bibir, pandang matanya kembali dialih-
kan ke arah murid Eyang Begawan Kamasetyo. 
"Cepat lemparkan kedua benda yang kumak-
sudkan itu, Bocah!" desak Teratai Emas gugup. 
"Hm...! Rupanya kau gugup juga melihat salah 
seorang adik seperguruanmu memergoki kepengecu-
tanmu, Teratai Emas. Tapi, baiklah. Aku akan segera 
melemparkan kedua benda ini ke tempat yang kau 
maksudkan," gumam Soma. 
Habis berkata begitu, Soma pun segera melem-
parkan Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak Raja Ak-
hirat ke dekat pohon yang dimaksudkan. Tepat pada 
saat yang sama tiba-tiba Teratai Emas telah menyodok 
punggung Aryani dengan telapak tangan yang telah 
berwarna kuning keemasan hingga pangkal siku!  
Bukkk! 
Tubuh ramping Aryani yang tengah pingsan 
kontan melayang cepat ke arah Soma, begitu terkena 
pukulan 'Racun Ular Emas' Teratai Emas. Siluman 
Ular Putih geram bukan main. Namun secepat itu tu-
buhnya berkelebat, menangkap tubuh Aryani. 
Dan ketika Teratai Emas tengah berkelebat ce-
pat menyambar Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak 
Raja Akhirat yang tadi dilemparkan, buru-buru murid 
Eyang Begawan Kamasetyo meletakkan tubuh Aryani 
ke tanah rerumputan. Dan saat itu pula tubuhnya 
kembali berkelebat cepat mengejar Teratai Emas. Dan, 
tahu-tahu Siluman Ular Putih itu pun telah berdiri te-
gak di hadapan Teratai Emas! 
"Jangan harap bisa kabur dari hadapanku, 
Pengkhianat! Sekarang, cepat serahkan kembali kedua 
benda yang kau rampas itu! Atau, kalau terpaksa aku 
mengirim nyawa busukmu ke neraka!" desis Soma, da-
lam kemarahan menggelegak 
Saking tidak dapat mengendalikan amarahnya, 
tiba-tiba rambut Siluman Ular Putih telah berubah 
menjadi ribuan ular putih hidup dengan kepala te-
rangkat tinggi-tinggi! 
Teratai Emas terkesiap kaget. Sepasang ma-
tanya membelalak liar. Apa yang dilihatnya benar-
benar membuat nyalinya ciut. Namun ketika sadar ka-
lau Tombak Raja Akhirat berada dalam genggaman 
tangannya, wanita itu langsung dapat menekan rasa 
takutnya. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin. 
"Bedebah! Kau pikir aku takut padamu! Nih, 
rasakan Tombak Raja Akhirat ku!" bentak Teratai 
Emas lantang seraya menyerang Siluman Ular Putih 
dengan Tombak Raja Akhirat. Sedang tangan kirinya 
pun siap pula melontarkan pukulan 'Racun Ular 
Emas'! 
Wesss! Wesss!  
Siluman Ular Putih cepat melenting ke bela-
kang, menyelamatkan diri. Disadari betul akan kehe-
batan tombak di tangan Teratai Emas. Makanya, ia tak 
berani bertarung dalam jarak dekat. Karena jangankan 
terkena tajamnya  ujung tombak. Terkena kilatan-
kilatan merah ujung tombak itu saja mampu membuat 
tubuhnya tercerai-berai. 
Brakkk...!  
Buktinya, pohon-pohon besar yang tumbuh di 
pinggir jalan setapak itu kontan tumbang saling tum-
pang tindih begitu terkena kilatan-kilatan merah ujung 
pedang di tangan Teratai Emas. 
"Tombak hebat! Tombak hebat!" puji Siluman 
Ular Putih penuh kagum begitu mendarat di tanah. 
"Tapi, sayang. Dunia persilatan bisa kacau kalau tom-
bak sehebat itu sampai jatuh ke tangan manusia ber-
hati ular!" 
Teratai Emas geram bukan main melihat seran-
gannya gagal. Saat itu juga Tombak Raja Akhirat di 
tangannya kembali mengibas-ngibas dengan tubuh 
meluruk tajam. Kilatan-kilatan tombak di tangannya 
berkali-kali membuat pepohonan di sekitar tempat per-
tarungan jadi porak-poranda, seperti dilanda angin to-
pan. Sementara Siluman Ular Putih melompat kesana 
kemari menghindari kilatan-kilatan sinar merah yang 
mengurung dirinya. 
"Ah...! Kalau menghindar terus begini, bukan 
mustahil tenagaku akan terkuras. Hm... sebaiknya ku 
coba  mengandalkan pukulan-pukulan jarak jauh ku. 
Ya ya ya...! Sebaiknya memang begitu," pikir murid 
Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati, seraya mem-
buat satu lompatan menjauh untuk mengambil jarak. 
Begitu mendarat, Siluman Ular Putih segera 
mengerahkan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'-nya 
yang juga digabungkan dengan pukulan sakti 'Tenaga 
Inti Api'. Maka seketika itu, tangan kirinya telah beru-
bah jadi putih terang. Sedang tangan kanannya telah 
berubah jadi merah menyala hingga sampai ke pangkal 
siku. Dan ketika Teratai Emas mulai melontarkan pu-
kulan 'Racun Ular Emas', buru-buru Siluman Ular Pu-
tih memapakinya.  
Wesss! Wesss! 
Bummm...!  
Terdengar satu ledakan hebat di udara. Tanah 
di sekitar tempat pertarungan kontan berhamburan 
tinggi ke udara! Ranting-ranting pohon berderak den-
gan daun-daunnya yang layu! 
Begitu terjadi bentrokan, tubuh Teratai Emas 
terhuyung-huyung beberapa tombak ke belakang dis-
ertai lengkingan tinggi. Wajahnya pucat pasi. Tampak 
pula darah segar membasahi sudut-sudut bibir per-
tanda menderita luka dalam cukup parah. 
Pada kesempatan yang amat sempit ini Siluman 
Ular Putih segera meloloskan senjata pusaka secepat 
kilat, dilontarkannya senjata berupa sebuah anak pa-
nah berbentuk badan ular dengan dua cakra kembar 
di kanan-kiri kepalanya yang berbentuk ular pula. Itu-
lah senjata Anak Panah Bercakra Kembar pemberian 
eyangnya di Gunung Bucu. Dan begitu senjata itu me-
lesat cepat, maka seketika hawa dingin yang bukan 
kepalang telah memenuhi tempat itu. Bersamaan den-
gan itu putaran-putaran cakra kembar di kanan kiri 
kepala ular telah menyebabkan angin kencang berke-
siur menyerang Teratai Emas!  
Wesss! 
Teratai Emas terkesiap kaget. Namun setengah 
tombak lagi anak panah Siluman Ular Putih itu men-
capai sasaran, Teratai Emas cepat memutar tombak di 
tangannya. 
Cring! Cring! 
Dua kali tombak di tangan Teratai Emas berha-
sil menangkis Anak Panah Bercakra Kembar hingga 
terpental ke samping. Namun anehnya, tiba-tiba saja 
senjata anak panah itu cepat memutar balik dan kem-
bali menyerang! 
Teratai Emas yang tengah kaget akibat tangan-
nya bergetar setelah menangkis, tidak sempat lagi 
menghindar. Ia hanya mampu memutar tombak di 
tangan kanannya asal saja. Akibatnya... 
Cring! 
Meski dapat menangkis senjata Anak Panah 
Bercakra Kembar, namun tak urung juga Tombak Raja 
Akhirat sempat oleng ke samping. Sedang saat itu tan-
gan kirinya tengah terangkat tinggi. Maka tanpa am-
pun lagi.... 
Crakkk! 
"Aaahhh...!" 
Tangan kiri Teratai Emas kontan terkena sam-
baran cahaya kilat merah ujung tombak di tangan ka-
nannya! Wanita itu kontan melengking setinggi langit. 
Pergelangan tangan kirinya yang terkena kilatan ca-
haya merah kontan putus dan keluarkan darah segar! 
Di saat Teratai Emas tengah menahan sakit, Si-
luman Ular Putih cepat berkelebat. Langsung diram-
pasnya Tombak Raja Akhirat di tangan Teratai Emas 
setelah menangkap kembali senjata Anak Panah Ber-
cakra Kembar. 
Tap! 
Teratai Emas tidak dapat berbuat banyak. Ia 
hanya sempat melihat kelebatan sesosok pemuda gon-
drong berpakaian rompi dan celana bersisik warna pu-
tih keperakan murid Eyang Begawan Kamasetyo, sebe-
lum akhirnya tombak di tangan kanannya terampas. 
Siluman Ular Putih tertawa gembira. 
"Rasakan, tuh! Senjata makan tuan! Eh, salah! 
Senjata makan nona!" celoteh Siluman Ular Putih. 
Teratai Emas geram bukan main. Ujung tangan 
kirinya yang putus akibat terkena kilatan cahaya me-
rah Tombak Raja Akhirat terasa nyeri bukan main! Ia 
sadar, kalau racun ular emas milik suami Bunda Ku-
rawa mulai menjalar ke dalam tubuhnya. 
"Nah, sekarang kematianmu ada di ujung mata. 
Kau tak dapat lari dari kematian, kecuali memenuhi 
permintaanku," ancam Siluman Ular Putih sambil 
menggerak-gerakkan Tombak Raja Akhirat di tangan-
nya. 
"Baik! Kali ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat! 
Aku, tidak pernah mau menerima kekalahan ku begitu 
saja. Awas, pembalasanku nanti, Bocah Sinting! Seka-
rang, apa permintaanmu?!" geram Teratai Emas penuh 
kemarahan. 
"Kau harus memberikan obat pemunah racun 
mu dulu baru boleh meninggalkan tempat ini!" sahut 
Siluman Ular Putih. 
Sekali lagi Teratai Emas hanya dapat mengge-
ram penuh kemarahan. Namun karena tidak ada pili-
han lain, terpaksa diturutinya permintaan Soma. 
Dengan memendam rasa jengkelnya, Teratai 
Emas mengambil dua buah obat pemunah racunnya 
yang berwarna kuning. Langsung dilemparkannya ke-
dua obat pulung itu ke arah Siluman Ular Putih. 
Tap! Tap! 
Siluman Ular Putih cepat menangkap dua butir 
obat pulung pemberian Teratai Emas. Kedua tangan 
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sempat tergetar 
hebat, menandakan kalau lemparan itu disertai tenaga 
dalam. 
Sementara begitu habis melempar obat pemu-
nah racun, wanita itu sudah berkelebat dari tempatnya 
semula. Sebentar saja, murid pertama Bunda Kurawa 
itu telah jauh meninggalkan tempat ini. 
Soma kini melangkah santai, menemui Aryani 
yang masih tak sadarkan diri agak terpisah dari tem-
pat pertarungan tadi. Pemuda itu ingin segera me-
nyembuhkan Bidadari Kecil. 
"Ah...! Kau sudah siuman, Aryani?" desah So-
ma, begitu melihat mata Bidadari Kecil membuka per-
lahan-lahan. Soma tadi telah memberinya hawa murni, 
untuk mengembalikan kekuatan gadis ini sekaligus 
menyadarkannya. 
Aryani tidak langsung menjawab pertanyaan 
Soma. Buru-buru tubuhnya digulingkan ke samping 
menghindari penolongnya. Lalu entah kenapa gadis 
cantik itu malah menangis sesenggukan. 
"Lho? Kok, malah menangis?" tanya Soma he-
ran.  
Anehnya Aryani malah makin memperkeras 
tangisnya. Wajahnya yang pucat pasi tampak demikian 
memelaskan. Soma tidak tahan lagi. Perlahan-lahan 
didekatinya gadis itu. 
"Lukamu cukup parah, Aryani. Sebaiknya mi-
num dulu obat pemunah racun ini! Nanti kalau sudah 
sembuh, baru boleh meneruskan tangismu, ya!" ujar 
Soma dengan senyum terkembang di bibir. 
Bidadari Kecil yang saat itu tengah kesal kare-
na dirinya sempat jadi tawanan Teratai Emas samar-
samar kini mulai tersenyum. Soma buru-buru membe-
rikan dua butir obat pulung berwarna kuning pembe-
rian Teratai Emas pada Aryani. Gadis itu tampak ma-
lu-malu kala menerimanya. 
"Minumlah! Sebentar lagi racun ular emas yang 
mengeram dalam tubuhmu akan musnah," ujar pemu-
da itu lagi. 
Aryani segera menelan dua obat pemberian 
Soma. Selama obat itu bekerja memunahkan racun 
yang mengeram dalam tubuhnya, perlahan-lahan 
Aryani mulai menuturkan kenapa sampai tertawan 
oleh Teratai Emas. 
Selama Bidadari Kecil bercerita, Soma lebih ba-
nyak diam. Hanya seperlunya saja menyela cerita 
Aryani. 
"Makanya jadi orang itu jangan sok keburu naf-
su,"  kata Soma, setelah gadis itu menutup ceritanya. 
"Bukankah kau sekarang Ketua Perguruan Kelelawar 
Putih? Lantas, kenapa malah turun tangan sendiri un-
tuk mengejar pembuat onar di perguruan itu? Bukan-
kah kau dapat memerintahkan beberapa orang murid 
untuk mencari Tiga Setan Ruyung Baja?"  
Aryani diam membisu. Jelas tak mungkin mak-
sud yang sebenarnya turun gunung dituturkan. Kare-
na alasan yang sebenarnya, ia memang ingin bertemu 
pemuda tampan yang diam-diam mulai mengusik ha-
tinya. Dan pemuda tampan itu tidak lain dari Soma. 
Namun entah kenapa, begitu bertemu, Aryani jadi sa-
lah tingkah. 
"Kau selalu saja menyalahkan ku  setiap kita 
bertemu. Kalau tidak marah-marah, pasti menuduhku 
macam-macam!" sungut Aryani kesal, saking tidak ta-
hunya apa yang harus dikatakan pada pemuda tam-
pan di hadapannya. 
"Lho? Kok malah cemberut. Tadi nangis, seka-
rang cemberut. Ini bagaimana, sih? Aku kan cuma 
tanya. Jangan cemberut begitu dong!" goda Siluman 
Ular Putih. "Tapi, ngomong-ngomong, apa betul kau 
turun gunung hanya untuk mengejar Tiga Setan 
Ruyung Baja?" 
Aryani diam membisu. Tampak rona merah mu-
lai menjalari kedua pipinya. Bagaimanapun juga, ia 
merasa kalau Soma telah menelanjangi maksud tu-
juannya turun gunung. 
"Kau jangan ngawur! Aku turun gunung untuk 
mencari bajingan-bajingan yang  bergelar Tiga Setan 
Ruyung Baja!" sungut Aryani jengkel. 
"Yang benar...," ledek Soma seraya memamer-
kan  gigihnya  yang putih bersih. "Apa bukan karena 
mencari aku?" 
"Kau... kau...?!" Aryani memelototkan matanya 
lebar-lebar saking geram untuk menutupi rasa ma-
lunya. 
Sementara Soma tertawa bergelak. Senang se-
kali melihat rona merah di kedua pipi Aryani. 
"Tapi, kalau memang alasanmu demikian, aku 
senang kok. Siapa sih yang tak senang dicari-cari gadis 
secantikmu, Aryani?" 
Kali ini Aryani tak dapat lagi menahan kejeng-
kelannya. Gurauan Soma kali ini telah kelewatan. 
Tanpa banyak cakap, tangan kanannya segera berke-
lebat cepat, bermaksud menampar. Namun Soma ke-
buru menangkap pergelangan tangannya. 
"Heit...! Tunggu! Gadis secantikmu, jangan 
sembarangan marah-marah! Tak  baik. Pamali tahu?!" 
kata Soma seenaknya.  
"Lepaskan tanganku!" bentak Aryani bukan 
main marahnya. 
"Iya, iya...! Tapi, jangan marah-marah lagi, ya?!" 
Aryani mencibir. Sepasang matanya berkilat-
kilat. 
Sebenarnya Soma ingin melanjutkan gurauan-
nya. Namun ketika melihat Aryani tampak uring-
uringan demikian rupa, niatnya diurungkan. 
"Sekarang rencanamu mau ke mana? Mau ikut 
aku ke Istana Ular Emas atau ingin terus pulang ke 
perguruanmu?" 
"Untuk apa kalau hanya untuk menemanimu 
menemui gadismu!" sungut Aryani asal bunyi saking 
jengkelnya. 
"Eh...!" desah Soma seraya menarik mundur 
kepalanya kaget. "Jadi.... Jadi kau cemburu, Aryani? 
Aku memang ingin membebaskan salah seorang te-
manku yang kini tengah ditawan Bunda Kurawa." 
"Mau membebaskan temanmu kek, tidak kek! 
Itu bukan urusanku!" dengus Aryani tak dapat lagi 
menyembunyikan perasaan hatinya. 
"Ah...! Kau pasti cemburu, ya?!" 
"Siapa yang cemburu? Kau gandeng sepuluh 
orang gadis cantik di hadapanku pun, aku tidak akan 
cemburu!" 
"Benar?" 
"Benar!" 
"Baik! Kalau kau memang tidak cemburu, seka-
rang ayo ikut aku ke Istana Ular Emas! Aku memang 
ingin membebaskan salah seorang teman gadisku yang 
paling cantik," kata Soma memanas-manasi. 
"Apa?!" Aryani terkesiap kaget. Entah kenapa 
tiba-tiba saja hatinya nyeri sekali mendengar apa yang 
dikatakan Soma barusan. 
"Nah... ketahuan. Kau cemburu, Aryani...!" le-
dek Soma, lalu cepat meloncat bangun. Seketika tu-
buhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
"Tidak! Aku tidak cemburu! Kalau kau tidak 
percaya, sekarang juga aku akan mengikutimu ke Is-
tana Ular Emas!" sahut Aryani jengkel. 
Sekali menggerakkan tubuhnya, putri tunggal 
Pendekar Lowo Kuru itu pun telah meloncat bangun 
dan berkelebat cepat mengejar Soma. 
Matahari sore baru saja rebah dalam pelukan 
cakrawala. Namun cahayanya yang merah tembaga 
masih memoles sebagian langit sebelah barat. Sege-
rombolan burung jalak hitam yang hendak pulang ke 
sarang melintas dari selatan menuju ke lamping bukit 
dengan kicauan riuh. Angin sore ini pun tampak malas 
berhembus, membuat suasana tampak lengang. 
Sementara suasana di depan Istana Ular Emas 
seolah mati tak berpenghuni. Berpuluh-puluh pohon 
besar tampak tegak kaku mengelilingi bangunan yang 
sangat besar, dikelilingi parit lebar berisi ratusan ekor 
ular emas kelaparan. 
Tidak seperti biasanya, pada sore-sore seperti 
itu, di halaman depan Istana Ular Emas tampak sepi. 
Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Keadaan ini 
menandakan kalau murid-murid Istana Ular Emas 
tengah berkumpul di ruang pendopo. 
Dan kenyataannya memang demikian.  
Di kursi kebesarannya, dengan penuh wibawa 
tampak seorang perempuan cantik tengah duduk di 
hadapan murid-murid Istana Ular Emas. Wajahnya 
tampak demikian cantik dan mudanya. Padahal 
usianya sudah sangat lanjut. Tak heran, karena wanita 
yang tak Iain Bunda Kurawa memiliki semacam ilmu 
awet muda yang membuatnya tampak masih seperti 
seorang gadis berusia dua puluh tahun. 
Bunda Kurawa tampak anggun sekali di hada-
pan puluhan orang muridnya yang sebenarnya ber-
jumlah seratus orang. Namun pada saat ini, jumlah 
muridnya tidak genap seratus orang. Karena pada ha-
ri-hari belakangan ini, banyak murid Bunda Kurawa 
tewas di tangan musuh. Dan pada saat-saat seperti ini 
Ketua Istana Ular Emas itu belum mampu mencari 
murid pengganti agar murid-muridnya tetap seratus 
orang. Memang ada hal lain yang lebih penting ketim-
bang mencari murid pengganti. 
"Murid-muridku! Kini banyak sudah orang-
orang dunia persilatan yang memusuhi golongan kita. 
Mulai hari ini, kita harus makin meningkatkan kewas-
padaan. Dan ini memang sudah kita sadari. Di antara 
sekian banyak tokoh dunia persilatan yang kita satro-
ni, ada juga yang mau takluk di bawah kekuasaan ki-
ta. Nah! Sekarang, setelah menyadari keadaan ini, ma-
ka saat ini kita sangat merasa butuhkan Kitab Kodok 
Perak Sakti guna menghadapi mereka yang membang-
kang," kata Bunda Kurawa, di depan murid-muridnya. 
Habis berkata begitu, wanita ini sejenak men-
gedarkan pandangan ke arah murid-muridnya. Teru-
tama sekali, pada bangku tempat Teratai Emas biasa 
duduk. Beberapa orang murid Istana Ular Emas yang 
menyadari ketidakhadiran Teratai Emas juga merasa 
heran sekali. Namun karena tidak tahu sebab-
sebabnya, mereka lebih senang tutup mulut. 
"Sekarang, di antara murid-muridku sekalian, 
apakah ada yang mengetahui kabar tentang pemuda 
sakti yang bergelar Siluman Ular Putih? Apakah ia su-
dah mendapatkan Kitab Kodok Perak Sakti yang san-
gat kita dambakan? Kenapa sudah tiga hari ini belum 
kembali?" lanjut Bunda Kurawa penuh harap. 
"Maafkan hamba, Bunda!" cetus salah seorang 
murid yang berparas paling cantik, memberanikan diri 
buka suara. "Kami belum mengetahuinya, Bunda. 
Yang jelas, terakhir kali kami bertemu dengannya, ia 
tengah bertempur hebat melawan Tengkorak Serigala 
yang dibantu Iblis Kelabang Merah, Raja Toya, dan ju-
ga sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Srandil." 
"Hm...! Kelima orang yang kau sebutkan itu 
adalah orang-orang satu golongan dengan kita, Setan 
Cantik. Lantas, kenapa mereka memusuhi Siluman 
Ular Putih? Apa tidak kau jelaskan kalau Siluman Ular 
Putih itu utusan kita? Dan kenapa pula kau tidak 
membantu Siluman Ular Putih menghadapi keroyokan 
itu?" kata Bunda Kurawa dengan kening berkerut, per-
tanda tidak suka mendengar laporan Setan Cantik. 
"Kami sudah menjelaskannya, Bunda. Dan ka-
mi pun juga bermaksud membantu Siluman Ular Putih 
menghadapi keroyokan itu. Tapi, pemuda itu keras ke-
pala. Ia tidak sudi menerima bantuan kami. Malah, ia 
lebih senang mati di tangan para pengeroyok daripada 
menerima bantuan kami, Bunda." 
"Bodoh!" sentak Bunda Kurawa penuh kemara-
han. Entah ditujukan pada siapa. 
Berpuluh-puluh murid Istana Ular Emas yang 
berada di ruang pendopo bungkam seribu bahasa. Mu-
lut mereka terkunci rapat-rapat, tak berani buka sua-
ra. Mereka semua takut kalau-kalau akan jadi sasaran 
kemarahan Bunda Kurawa. 
"Setan Cantik! Kenapa kau diam saja?! Bukan-
kah kau kuserahi tugas untuk mengamat-amati Silu-
man Ular Putih?!" bentak Bunda Kurawa penuh kema-
rahan. 
"Ma..., maafkan hamba, Bunda! Ham... hamba 
telah berusaha mengamat-amati Siluman Ular Putin," 
jawab Setan Cantik gugup. 
Wajah gadis itu yang cantik tampak demikian 
pias. Bibirnya bergetar-getar. Tanpa sadar keringat 
dingin pun mulai membasahi sekujur tubuh, saking 
takutnya. 
"Hm...! Begitukah?" gumam Bunda Kurawa, 
dingin. 
"I... iya, Bunda! Meski tidak membantu Siluman 
Ular Putih, namun sebenarnya kami terus mengamat-
amatinya. Dan  sewaktu pemuda itu tengah terdesak 
hebat menghadapi kelima orang pengeroyoknya, kami 
pun siap pula membantu. Namun sayang, tiba-tiba 
seorang lelaki tua sakti keburu membantu Siluman 
Ular Putih. Dan berkat bantuannya pemuda itu pun 
dapat lolos dari keroyokan. Dan ia langsung menuju 
Lembah Kodok Perak," jelas Setan Cantik begitu dapat 
mengendalikan perasaan gugupnya. 
Bunda Kurawa menghela napas lega. Baginya, 
yang penting Siluman Ular Putih dapat melanjutkan 
perjalanannya ke Lembah Kodok Perak. Dengan demi-
kian ia masih punya harapan untuk mendapatkan Ki-
tab Kodok Perak Sakti. 
"Kau tahu, siapa lelaki tua yang telah memban-
tu Siluman Ular Putih, Setan Cantik?" tanya Bunda 
Kurawa. 
"Hm... Dari jarak jauh, kami samar-samar 
mendengar ketika salah seorang pengeroyok Siluman 
Ular Putih menyebut lelaki tua renta itu adalah Eyang 
Bromo, Bunda." 
"Eyang Bromo...?" desis Bunda Kurawa seperti 
untuk dirinya sendiri. 
"Benar, Bunda." 
"Hm...!" gumam Bunda Kurawa. 
Wanita Ketua Istana Ular Emas mengangguk-
angguk. Keningnya berkerut-kerut. Entah apa yang 
tengah bergejolak dalam hatinya. 
"Konon lelaki tua dari Gunung Bromo itu mem-
punyai kepandaian sulit diukur. Bahkan mampu pula 
menirukan jurus-jurus lawan hanya dengan sekali li-
hat. Hm...! Kalau saja ada kesempatan baik, ingin ra-
sanya aku menjajal kesaktiannya," ucap Bunda Kura-
wa dalam hati. 
Kembali pandangan Bunda Kurawa beredar ke 
sekeliling. Sinar matanya menyapu wajah-wajah mu-
ridnya yang tertunduk. 
"Lantas, siapakah di antara kalian yang pernah 
melihat Teratai Emas? Kenapa selama beberapa hari 
belakangan ini tidak muncul?" lanjut Bunda Kurawa 
penasaran sekali melihat murid kesayangannya belum 
juga muncul. 
Berpuluh-puluh orang murid Istana Ular Emas 
yang berkumpul di ruang pendopo kembali bungkam. 
Wajah mereka makin tertunduk dalam. Tak sepatah 
kata pun terucap dari bibir yang bergetar-getar. Mere-
ka semua lebih baik memilih diam daripada memberi-
kan laporan yang tidak benar, yang bisa membuat 
Bunda Kurawa murka. 
"Bodoh! Kalian semua bodoh! Kalau tetap 
membisu, aku tak segan-segan akan menghukum ka-
lian! Kalian tahu apa hukuman itu?" bentak Bunda 
Kurawa lantang. 
"Tahu, Bunda," jawab beberapa orang murid Is-
tana Ular Emas dengan wajah tetap tertunduk.  
"Apa?" 
"Menjadi santapan ular emas...," sahut bebera-
pa orang murid Istana Ular Emas, ngeri. 
"Nah! Kalau sudah tahu, kenapa kalian membi-
su?!" sentak Bunda Kurawa penuh kemarahan. 
Berpuluh-puluh orang murid Istana Ular Emas 
yang berkumpul di ruang pendopo makin tegang. 
Meski saat ini tengah membutuhkan tenaga untuk 
menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan yang memu-
suhi golongan Ular Emas, namun bukan mustahil 
Bunda Kurawa yang sedang murka akan segera me-
laksanakan ucapannya. Yakni, menjebloskan mereka 
ke dalam kubangan yang berisi ribuan ular emas satu 
persatu! 
Pada saat murid-murid Istana Ular Emas dice-
kam perasaan tegang mendengar ucapan Bunda Ku-
rawa, mendadak.... 
"Maafkan hamba, Bunda! Hamba datang mela-
por." 
*** 
Kening Bunda Kurawa berkerut dalam-dalam. 
Sepasang matanya yang indah terus memandangi seo-
rang muridnya yang tengah berjalan ke hadapannya. 
Setelah menjura, murid itu duduk berlutut di 
hadapan Bunda Kurawa.  
Murid itu adalah seorang gadis cantik berusia 
delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk lonjong 
dengan kulit putih bersih. Rambutnya yang hitam pan-
jang dibiarkan tergerai di bahu. Dan  tubuhnya yang 
ramping dibalut pakaian ketat warna kuning keema-
san. 
"Kau mau melaporkan apa, Kunti?!" tanya 
Bunda Kurawa dengan suara lantang. 
"Maafkan hamba, Bunda!" ucap murid yang di-
panggil Kunti seraya menangkupkan kedua telapak 
tangan ke depan hidung. 
Bunda Kurawa mengangguk-angguk angkuh. 
"Cepat katakan, apa yang akan kau laporkan, 
Kunti!" bentak Bunda Kurawa tak sabar. 
"Hamba.... Hamba baru saja bertemu Teratai 
Emas, Bunda. Hamba melihat, Teratai Emas mengin-
ginkan Kitab Kodok Perak Sakti dan Tombak Raja Ak-
hirat yang telah didapatkan Siluman Ular Putih," lapor 
Kunti sedikit mulai lancar. 
"Apa?! Siluman Ular Putih berhasil menda-
patkan Kitab Kodok Perak Sakti berikut Tombak Raja 
Akhirat milik mendiang suamiku?! Dan, Teratai Emas 
menginginkan kedua benda keramat itu?!" pekik Bun-
da Kurawa geram, sekaligus senang. Senang menden-
gar Siluman Ular Putih berhasil mendapatkan Kitab 
Kodok Perak Sakti yang sangat diinginkan. Bahkan 
dapat pula mendapatkan Tombak Raja Akhirat milik 
mendiang suaminya. Namun kegembiraannya itu ber-
campur rasa geram mendengar Teratai Emas yang 
sangat disayangi ternyata berubah menjadi pengkhia-
nat. 
"Benar, Bunda!" jawab Kunti. 
"Maksudmu? Teratai Emas berkhianat padaku, 
Kunti?" desak Bunda Kurawa, merasa kurang yakin. 
"Iya, Bunda." 
"Keparat!" 
Bunda Kurawa bangkit dari tempat duduknya. 
Lengan kursi kebesarannya yang tadi tercengkeram 
erat-erat oleh tangannya kontan hancur berkeping-
keping! 
"Lalu, kenapa kau tidak berusaha mencegah-
nya, Kunti?" tanya Bunda Kurawa dengan sepasang 
mata berkilat-kilat penuh kemarahan. 
"Hamba.... Hamba tidak berani, Bunda. Kepan-
daian Teratai Emas jauh dia atas tingkatan hamba," 
jawab Kunti gemetaran.  
"Keparat! Kau pun sama tidak bergunanya den-
gan Teratai Emas!" geram Bunda Kurawa, tak dapat 
lagi mengendalikan amarah  yang menggelegak dalam 
dada. 
Telapak tangan kanannya yang telah berubah 
jadi kuning keemasan hingga ke pangkal siku segera 
diangkat. Wanita ini telah siap melontarkan pukulan 
'Racun Ular Emas'! 
Mata Kunti terbelalak liar. Parasnya pucat pasi. 
Tanpa sadar keringat dingin telah membasahi sekujur 
tubuhnya. 
Berpuluh-puluh murid Istana Ular Emas yang 
sedang berkumpul di ruang pendopo pun tercekat den-
gan perasaan tegang, melihat hukuman mati yang se-
bentar lagi akan merenggut nyawa Kunti. 
Namun sewaktu Bunda Kurawa hendak mendo-
rongkan telapak tangan kanannya ke depan, menda-
dak.... 
"Aaa...!" 
Semua orang yang tengah berkumpul di pendo-
po dikejutkan suara lengking kematian beberapa orang 
murid Istana Ular Emas dari halaman depan. 
Seketika itu, Bunda Kurawa menautkan alis 
matanya dalam-dalam. Perlahan-lahan telapak tangan 
kanannya diturunkan seperti semula. Sedang sepa-
sang matanya yang indah terus memandangi halaman 
depan istananya. 
"Setan Cantik! Coba ajak beberapa orang te-
manmu melihat kejadian di luar!" perintah Bunda Ku-
rawa dengan pandangan ditujukan ke halaman depan 
istana. 
"Baik, Bunda," sahut Setan Cantik, seraya 
memberi isyarat pada orang-orang pilihannya. 
Sejenak Setan Cantik dan beberapa orang te-
mannya menangkupkan kedua telapak tangan ke de-
pan hidung. Dan secepat itu pula mereka berkelebat 
untuk melihat kejadian di luar! 
*** 
Di luar halaman depan Istana Ular Emas, tam-
pak seorang gadis cantik berpakaian kuning keemasan 
yang mirip pakaian murid-murid Istana Ular Emas 
tengah mengamuk hebat menyerang empat orang mu-
rid Istana Ular Emas yang sedang berjaga di halaman 
depan. 
Gadis cantik berkulit putih bersih itu berusia 
dua puluh dua tahun. Wajahnya yang cantik berben-
tuk bulat telur. Sepasang matanya indah bak bintang 
kejora. Hidungnya pun mancung. Kedua bibirnya tipis 
kemerah-merahan. Rambutnya yang panjang dibiarkan 
tergerai di bahu. 
Keempat orang murid jaga Istana Ular Emas 
tampak terdesak hebat. Pakaian kuning keemasan me-
reka tampak robek di sana-sini. Darah segar tampak 
meleleh terkena sambaran-sambaran pedang di tangan 
gadis cantik itu. 
Melihat siapa yang mengamuk, mata Setan 
Cantik terbelalak penuh kejut. 
"Setan Alas! Tak mungkin! Tapi jelas, ia adalah 
Angkin Pembawa Maut!" kata Setan Cantik di tengah 
keterkejutannya. 
Sekali menjejakkan kakinya di tanah, tubuh 
Setan Cantik meloncat ke tempat pertarungan. Kedua 
telapak tangannya yang berwarna kuning keemasan 
pun segera melontarkan pukulan 'Racun Ular Emas' ke 
arah gadis yang memang Angkin Pembawa Maut 
Sementara kelima orang pilihan Setan Cantik 
yang ikut membantu segera melompat ke tempat perta-
rungan. Mereka segera menyerang hebat Angkin Pem-
bawa Maut. 
Mendapat serangan bertubi-tubi, Angkin Pem-
bawa Maut segera meloncat tinggi ke udara. Setelah 
berputaran beberapa kali, kedua telapak tangannya 
yang telah berubah jadi kuning keemasan berkilau-
kilau didorongkan ke depan menyambut pukulan 
'Racun Ular Emas' yang tadi dilontarkan Setan Cantik! 
Wesss! Wesss! Bummm...! 
Terdengar satu ledakan hebat. Bumi kontan 
bergetar. Ranting-ranting pohon di sekitar pertarungan 
berderak! Daun-daunnya pun berguguran terkena an-
gin sambaran akibat bentrokan barusan. 
Tubuh Setan Cantik tampak terjengkang bebe-
rapa tombak ke belakang! Parasnya pucat pasi! Tam-
pak darah segar membasahi sudut-sudut bibir, per-
tanda mengalami luka dalam cukup parah! 
Mendapati kenyataan demikian Setan Cantik 
membelalakkan matanya liar. Sungguh sulit dipercaya 
kalau dirinya dapat dirobohkan Angkin Pembawa Maut 
hanya dalam satu gebrakan! 
Sewaktu terjadi bentrokan tadi, tubuh Angkin 
Pembawa Maut pun sempat terguncang hebat. Namun 
tidak begitu membahayakan keselamatannya. Bahkan 
begitu mendarat, tubuhnya kembali melenting ke de-
pan. Pedangnya langsung diputar sedemikian rupa, 
menyerang kelima orang teman Setan Cantik. 
Crakkk! Crakkk! 
"Aaa...!" 
Lima kali Angkin Pembawa Maut menggerakkan 
pedang di tangan kanannya. Maka lima kali pula ter-
dengar lengking kematian yang teramat menyayat hati 
di halaman depan Istana Ular Emas. Dan kelima orang 
teman Setan Cantik itu pun kontan roboh ke tanah 
dengan dada robek lebar! 
Sekali lagi Setan Cantik membelalakkan ma-
tanya liar. Ia yang bermaksud meloncat bangun, men-
dadak mengurungkan niatnya saat melihat kelima 
orang temannya telah tewas hanya sekali gebrak. 
Wanita ini benar-benar heran bukan main me-
lihat kehebatan Angkin Pembawa Maut. Rasanya Bun-
da Kurawa sendiri pun belum tentu dapat mengalah-
kannya. 
"Dari manakah Angkin Pembawa Maut menda-
patkan jurus-jurus yang demikian hebatnya? Bukan-
kah ia tengah terkurung di kamar tahanan? Lalu, ke-
napa dapat keluar dan mendapatkan jurus-jurus sakti 
yang demikian hebat...?" 
Setan Cantik terus bertanya-tanya dalam hati. 
"Kau tak perlu heran, Setan Cantik. Agar kau tak pe-
nasaran bagaimana aku bisa keluar dari tahanan, aku 
akan senang sekali menceritakannya," kata Angkin 
Pembawa Maut, seolah bisa melihat keheranan Setan 
Cantik. 
*** 
"Hm...! Kurasa aku harus mengakali para pen-
jaga. Mumpung sebentar lagi akan berdatangan mem-
bawakan makanan. Yah, yah...! Kurasa aku harus 
menggunakan siasat kalau ingin selamat," gumam 
Angkin Pembawa Maut di dalam ruang tahanan bawah 
tanah. Bibirnya tersenyum senang dengan kepala 
mengangguk-angguk. 
Angkin Pembawa Maut pun segera meloloskan 
senjata andalannya yang berupa angkin kuning pan-
jang yang melilit di pinggang. Sejenak diperhatikannya 
langit-langit kamar tahanan seraya mainkan angkin di 
tangan seenaknya. Beruntung sekali di langit-langit 
kamar tahanan bawah tanah ini terdapat sebuah ton-
jolan batu yang memanjang sebesar lengan dengan 
bentuk meruncing. 
Angkin Pembawa Maut tersenyum senang. Ke-
mudian dengan sekali menjejakkan kakinya di tanah, 
tonjolan batu memanjang itu diraihnya. Sambil berge-
lantungan, tangan kirinya segera mengikatkan angkin-
nya di tonjolan batu itu kuat-kuat. 
Merasa ikatannya sudah kuat, gadis ini sambil 
bergelantungan menggunakan angkin, cepat melilitkan 
ujung angkin satunya ke leher setelah memindahkan 
pernafasannya ke perut Dengan demikian, keadaannya 
mirip orang gantung diri! 
"Hm.... Sekaranglah saatnya aku main sandi-
wara. Semoga murid-murid penjaga itu segera berda-
tangan," gumam Angkin Pembawa Maut dalam hati. 
Sambil bergelantung begitu, Angkin Pembawa 
Maut juga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 
agar ikatan ujung angkin di tonjolan batu tidak lepas 
menahan berat badannya. Kemudian untuk meyakin-
kan sandiwaranya, lidahnya sendiri lekas digigit sedi-
kit. Darah segar pun keluar dan membasahi sudut bi-
birnya. 
Angkin Pembawa Maut makin tersenyum se-
nang ketika samar-samar mendengar langkah-langkah 
halus mendekati kamar tahanan. Makin jelas suara 
itu, makin terlihat ada satu sosok yang bergerak 
menghampiri. 
Kini di depan pintu penjara, tampak seorang 
gadis membawa makanan. Dan seketika itu juga gadis 
ini terperanjat kaget melihat Angkin Pembawa Maut 
menggantung diri Dengan agak tergopoh-gopoh, gadis 
cantik berpakaian kuning keemasan itu segera mem-
buka pintu kamar tahanan. 
Diam-diam Angkin Pembawa Maut tersenyum 
senang. Apalagi ketika menyadari kalau gadis itu 
hanya seorang diri. Diam-diam tenaga dalamnya mulai 
dikerahkan di kedua kakinya. Dan ketika gadis itu ma-
suk ke dalam kamar tahanan untuk memastikan kea-
daan Angkin Pembawa Maut, tanpa diduga-duga sama 
sekali, Angkin Pembawa Maut melepas tendangan 
mautnya ke dada. 
Dukkk! Dukkk! 
Tubuh murid penjaga itu kontan melayang de-
ras, membentur dinding-dinding kamar tahanan. Kebe-
tulan sekali kepalanya yang terlebih dahulu memben-
tur dinding, hingga tak dapat bangun lagi dengan ke-
pala retak! 
Angkin Pembawa Maut segera melepas angkin 
yang melilit lehernya dan cepat meloncat turun. Seje-
nak dipandanginya bekas adik seperguruannya yang 
malang itu. Lalu tubuhnya cepat berkelebat keluar dari 
kamar tahanan. 
Sebagai bekas penghuni Istana Ular Emas, ter-
nyata tidak membuat Angkin Pembawa Maut hafal 
dengan lorong-lorong bawah tanah yang dilaluinya. 
Kini gadis itu berhenti di sebuah lorong yang 
berhubungan langsung dengan sebuah ruangan yang 
hanya diterangi oleh obor dari gas alam. 
"Kenapa kau berdiri di situ, Cah Ayu. Masuk-
lah...." 
"Hah...?!" 
Angkin Pembawa Maut tercekat ketika terden-
gar suara dari dalam ruangan. Sejenak matanya bere-
dar, dan segera bertumbukan dengan satu sosok tu-
buh yang tengah duduk di atas batu pipih, di pojok 
ruangan. 
"Siapa kau sebenarnya, Orang Tua?" tanya 
Angkin Pembawa Maut tak dapat menahan rasa ingin 
tahunya. 
Orang tua di hadapan si gadis adalah seorang 
wanita tua. Wajahnya tirus. Kulit tubuhnya putih ber-
sih. Rambutnya yang panjang memutih digelung ke 
atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kurus dibalut pa-
kaian ringkas warna putih. 
Wajah tirus wanita tua itu sebenarnya masih 
menampakkan sisa-sisa kecantikannya di waktu mu-
da. Namun yang membuat hati Angkin Pembawa Maut 
ngeri adalah, ketika melihat sepasang mata perempuan 
itu. Ternyata kedua bola mata perempuan itu tidak 
ada. Sehingga, yang terlihat hanya dua lubang hitam 
yang sangat mengerikan! 
"Ah...! Kau menanyakan siapa aku, Cah  Ayu? 
Sayang sekali aku sendiri hampir lupa siapa aku. 
Mungkin karena terlalu lamanya aku dikurung di tem-
pat terkutuk ini. Tapi kalau tidak salah, dulu aku di-
kenal sebagai Dewi Kumara. Kau sendiri siapa? Men-
cium bau harum tubuhmu, kau pasti masih muda dan 
cantik. Dan kalau tidak salah, kau pun salah seorang 
murid Istana Ular Emas ini. Lalu, kenapa kau sampai 
ada di sini?" kata perempuan tua bergelar Dewi Kuma-
ra itu. Suaranya terdengar lembut, menampakkan kea-
rifannya. 
"Ceritanya panjang, Nyi Dewi Kumara. Tapi, se-
belumnya aku akan menceritakan  diriku dulu. Aku 
adalah anak seorang yatim piatu yang telah dibesarkan 
Bunda Kurawa. Namaku Puspa Sari. Namun, aku lebih 
sering dipanggil dengan julukan Angkin Pembawa 
Maut. Dan mengenai kenapa aku sampai ada di sini, 
karena aku sudah muak bercampur dengan orang-
orang licik berhati ular. Lalu karena bergaul dengan 
seorang pemuda, aku ditawan. Dan karena siasat ku, 
aku berhasil meloloskan diri hingga sampai di sini. 
Kau sendiri kenapa sampai dikurung di tempat ini? 
Dan siapa orang yang telah melakukannya, Nyi?" urai 
Angkin Pembawa Maut yang diakhiri dengan perta-
nyaan. 
Diam-diam Angkin Pembawa Maut makin men-
gagumi perempuan buta di hadapannya. Apalagi sete-
lah perempuan tua itu mampu menduga kalau dirinya 
adalah salah seorang murid Istana Ular Emas. 
Perempuan buta itu menggerutkan gerahamnya 
kuat-kuat. Apalagi sewaktu Angkin Pembawa Maut ta-
di menyebut-nyebut Bunda Kurawa. Wajah tirusnya 
tampak demikian tegangnya. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak penuh api dendam. 
"Siapa lagi. kalau bukan manusia durjana yang 
bergelar Bunda Kurawa!" desis Dewi Kumara penuh 
kemarahan. "Kau tahu! Dia itu sebenarnya kakak se-
perguruanku. Dan karena berkali-kali aku menentang 
perbuatannya yang kejam tak berperikemanusiaan, 
maka aku pun dijebloskannya ke tempat terkutuk ini. 
Bahkan bukan itu saja. Kedua bola mataku pun diko-
rek. Tangan kananku ditebas hingga putus!" 
Habis berkata begitu, perempuan tua buta yang 
ternyata adik seperguruan Bunda Kurawa itu pun 
mengangkat tangan kanannya. Ternyata, tangan itu 
memang buntung sebatas lengan. 
Angkin Pembawa Maut yang bernama asli Pus-
pa Sari membelalakkan matanya, tak menduga melihat 
kenyataan itu. Hanya karena tertutup pakaian putih 
panjangnya sajalah yang membuat Angkin Pembawa 
Maut tidak tahu kalau tangan kanan perempuan tua 
ini buntung. 
"Hm...! Perbuatan Bunda Kurawa memang su-
dah melewati takaran. Tapi, kau sendiri kenapa tidak 
berusaha keluar dari tempat terkutuk ini, sekalian 
membalas sakit hatimu?" tanya Angkin Pembawa 
Maut, penasaran. 
"Aku tak mungkin melakukan itu, Cah Ayu. 
Aku telah dipaksa bersumpah untuk tidak keluar dari 
tempat terkutuk ini selama manusia durjana itu masih 
berkuasa di Istana Ular Emas." 
"Kenapa kau mau dipaksa bersumpah seperti 
itu, Nyi?" 
"Waktu itu aku memang bodoh, Cah Ayu. Aku 
masih menyayangi nyawaku. Tapi kalau tahu akan be-
gini penderitaan ku, lebih baik aku mati di tangan ma-
nusia durjana itu saja dulu. Tapi, sudahlah. Semuanya 
sudah terlambat. Dan bagiku sumpah adalah segala-
galanya, walau sebenarnya tidak tulus keluar dari ha-
tiku. Namun api dendam yang bergolak dalam hatiku 
tak dapat ditahan lagi. Cuma sayang, aku tidak tahu 
bagaimana caranya harus menuntut balas." 
"Aku sanggup mewakilimu, Nyi," tandas Puspa 
Sari bersemangat. 
"Memang itulah yang sedang ku pikirkan, Cah 
Ayu. Kalau kau memang tidak keberatan, aku ingin 
mewariskan jurus-jurus ciptaanku selama berada di 
tempat ini. Mudah-mudahan, jurus-jurus itu dapat 
mengalahkan jurus-jurus 'Ular Emas' milik manusia 
durjana itu padamu. Mendekatlah kemari, Cah Ayu!" 
Puspa Sari sama sekali tak menduga kalau 
akan diwarisi jurus-jurus milik Dewi Kumara yang di-
ciptakan selama berada di ruang bawah tanah ini. Di-
am-diam hatinya pun senang bukan main. Maka tanpa 
banyak cakap lagi, gadis ini segera bergerak makin 
mendekati Dewi Kumara. 
"Sebelum kuajarkan jurus-jurusku, terlebih 
dahulu aku ingin mewariskan pukulan 'Lahar Biru'."  
"Baik, Nyi. Dan sebelumnya aku pun mengu-
capkan terima kasih atas bimbingan mu  ini, Orang 
Tua." 
"Nah! Sekarang, pejamkanlah matamu rapat-
rapat! Pusatkanlah pikiranmu pada Yang Maha Kuasa! 
Hanya dengan cara itulah aku dapat mewariskan pu-
kulan 'Lahar Biru' padamu." 
Tanpa diperintah dua kali, Angkin Pembawa 
Maut segera memejamkan matanya. Segenap jalan pi-
kirannya pun segera dipusatkan kepada Yang Maha 
Kuasa. 
Untuk beberapa saat, Dewi Kumara pun hanya 
memandangi Puspa Sari seksama dengan indera kee-
namnya yang sudah sangat terlatih. Kemudian Dewi 
Kumara pun segera mengeluarkan botol kecil berisi 
cairan biru dari dalam saku. Cairan itu berasal dari 
sari pati jamur-jamur biru yang tanpa sengaja dipero-
leh Dewi Kumara di ruang tahanannya. Kegunaan sari 
pati jamur biru, bagi Dewi Kumara memang tak asing 
lagi. Yakni, untuk membangkitkan dan melipatganda-
kan tenaga dalam. 
"Minumlah saripati jamur biru ini, Cah Ayu...." 
Tanpa banyak cakap, Angkin Pembawa Maut 
pun segera meminum cairan biru pemberian Dewi Ku-
mara. Begitu cairan biru itu masuk ke dalam perut, 
tubuh Angkin Pembawa Maut kontan bergetar hebat. 
Dirasakannya di sekujur tubuhnya mengalir hawa pa-
nas yang bukan kepalang dan terus berputar-putar di 
bawah pusar! 
"Kendalikan  hawa panas yang berputar-putar 
dalam tubuhmu, Cah Ayu!" ujar Dewi Kumara membe-
ri petunjuk. 
Seraya menempelkan telapak tangan kirinya ke 
punggung Angkin Pembawa Maut untuk membantu 
gadis itu dalam mengendalikan hawa panas yang ber-
putar-putar di bawah pusarnya. 
Angkin Pembawa Maut menuruti saja perintah 
Dewi Kumara. Selang beberapa saat, hawa panas yang 
berputar-putar di bawah pusarnya segera dapat diken-
dalikan. 
Dewi Kumara tampak lega sekali setelah men-
gangkat tangan kirinya. Wajah tirusnya tampak pucat 
pasi dengan keringat membanjir! Namun, rupanya wa-
nita tua itu sendiri tidak begitu pedulikan keadaan di-
rinya. 
"Sekarang, kau boleh melatih jurus-jurus cip-
taanku, Cah Ayu!" ujar Dewi Kumara kemudian. 
Sebenarnya Angkin Pembawa Maut agak sedih 
melihat paras Dewi  Kumara yang tampak demikian 
pucat. Namun meski demikian, semangat perempuan 
tua itu demikian menggebu-gebu. Sehingga Puspa Sari 
tak tega menolak permintaannya. 
*** 
Dan mulai malam itulah, Angkin Pembawa 
Maut mempelajari jurus-jurus ciptaan Dewi Kumara. 
Hingga menjelang tengah hari, jurus-jurus 'Tendangan 
Maut Dewa Ruci' baru dapat dikuasai. 
"Nah, sekarang kau telah menguasai pukulan 
'Lahar Biru'-ku dan jurus ciptaanku yang bernama 
'Tendangan Maut Dewa Ruci'. Sekarang kau boleh 
tinggalkan tempat ini!" kata Dewi Kumara. "Agar kau 
tak tersesat lagi, begitu keluar ruangan ini, beloklah ke 
kiri. Di sana kau akan menemukan dua buah lorong. 
Ambil lorong sebelah kanan. Maka kau akan melihat 
udara luar." 
Angkin Pembawa Maut sebenarnya tak tega 
meninggalkan perempuan tua buta di hadapannya 
yang tampak demikian pucatnya. Namun untuk meno-
lak perintah, Angkin Pembawa Maut pun tak tega. 
"Baik, Guru. Harap kau pun dapat menjaga diri 
baik-baik di tempat terkutuk ini. Nanti kalau sean-
dainya aku dapat membunuh Bunda Kurawa, aku ber-
janji akan membawamu keluar dari tempat terkutuk 
ini!" kata Puspa Sari, kini memanggil 'Guru' pada Dewi 
Kumara. 
"Tidak perlu. Tempat inilah kediamanku yang 
terakhir. Aku senang tinggal di tempat terkutuk ini. 
Namun aku lebih senang jika kau dapat membunuh 
manusia durjana itu," tolak Dewi Kumara, tegas. 
"Baik, Guru. Tentu aku akan berusaha keras 
untuk membalaskan sakit hatimu." 
Habis berkata begitu, Angkin Pembawa Maut 
pun segera menangkupkan kedua telapak tangannya 
ke depan hidung penuh hormat. 
Dewi  Kumara hanya mengibaskan tangan ki-
rinya. Puspa Sari tahu, itu sebagai isyarat kalau di-
rinya harus segera meninggalkan tempat itu. 
Tanpa banyak cakap lagi, Angkin Pembawa 
Maut pun segera keluar dari tempat kurungan Dewi 
Kumara. Kini Angkin Pembawa Maut tidak kebingun-
gan lagi untuk keluar dari lorong bawah tanah Istana 
Ular Emas. 
"Anak Setan! Aku yakin, pasti yang membe-
baskan mu si keparat Dewi Kumara. Dan dia pula yang 
memberimu kepandaian!" 
Tahu-tahu Bunda Kurawa telah berada di ha-
laman, setelah Angkin Pembawa Maut menuturkan ki-
sahnya pada Setan Cantik. Walaupun tidak seluruh-
nya dugaan Bunda Kurawa benar, namun cukup 
membuat Puspa Sari kagum. Karena dari gerakan-
gerakan silat yang dimainkan Ketua Istana Ular Emas 
ia tahu kalau Angkin Pembawa Maut telah memiliki 
kepandaian lebih. 
Kedua telapak tangan Bunda Kurawa kini telah 
berubah jadi kuning keemasan. Begitu tubuhnya me-
lompat, langsung dilontarkannya pukulan 'Racun Ular 
Emas' ke arah Angkin Pembawa Maut. 
Wesss...! Wesss...! 
Maka seketika itu dua larik sinar kuning kee-
masan dari kedua telapak tangan Bunda Kurawa mele-
sat menyerang Angkin Pembawa Maut! 
Pada saat yang sama, berpuluh-puluh murid Is-
tana Ular Emas telah berhamburan keluar. Mereka 
siap menyerang Angkin Pembawa Maut dengan pedang 
di tangan. 
Puspa Sari sedikit pun tidak gentar menghada-
pi serangan Bunda Kurawa. Kedua telapak tangannya 
yang telah berubah jadi biru segera menghentak, me-
lontarkan pukulan 'Lahar Biru'. Maka seketika itu, dua 
larik sinar biru dari telapak tangannya melesat ke de-
pan.  
Wesss! Wesss! 
Buuunm...! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara ketika 
dua tenaga dalam berbentrokan di udara! Bumi berge-
tar hebat! Ranting-ranting pohon di sekitar tempat per-
tarungan berderak dengan daun-daun hangus seperti 
terbakar. 
Tubuh Bunda Kurawa yang membuat salto ke 
belakang tergetar hebat! Kala kedua kakinya menjejak 
tanah, parasnya langsung pias. Seisi dadanya terasa 
mau remuk akibat bentrokan tadi! 
Sedang tubuh Angkin Pembawa Maut sendiri 
pun tampak terhuyung-huyung beberapa langkah ke 
belakang. 
Bunda Kurawa menggeram penuh kemarahan. 
Sungguh tak dipercaya kalau Angkin Pembawa Maut 
kini mampu menahan pukulan 'Racun Ular Emas'. 
Bahkan hampir saja berbalik menyerang dirinya! 
"Bedebah! Kau memang patut modar di tangan-
ku, Bocah Setan!" maki Bunda Kurawa, tak dapat lagi 
mengendalikan amarah yang menggelegak. 
Habis menggeram begitu, Bunda Kurawa kem-
bali menerjang Angkin Pembawa Maut. Angkin pan-
jangnya yang telah diloloskan langsung meliuk-liuk, 
mengancam beberapa jalan darah di tubuh Angkin 
Pembawa Maut. Sedang telapak tangan kirinya yang 
kini makin jadi kuning keemasan sesekali melontarkan 
pukulan 'Racun Ular Emas'. 
Angkin Pembawa Maut tersenyum dingin. 
"Justru kaulah yang patut modar di tanganku, 
Bunda Kurawa! Dosamu sudah bertumpuk. Bahkan 
adik seperguruan sendiri kau tega mencelakakannya! 
Kau memang tidak layak lagi hidup di alam mayapada 
ini, Bunda Kurawa!" desis Puspa Sari. 
Meski Bunda Kurawa adalah bekas gurunya, 
kini Angkin Pembawa Maut tak segan-segan lagi men-
gerahkan segenap kepandaiannya. Tanpa banyak ca-
kap lagi, tenaga dalamnya segera dilipatgandakan. Dan 
itu berkat meminum sari pari jamur biru. Sementara 
pedang rampasan di tangan kanannya bergerak cepat 
di antara gulungan-gulungan kuning angkin panjang 
di tangan Bunda Kurawa. Sedang telapak tangan ki-
rinya segera memapas dengan pukulan 'Lahar Biru'. 
Wesss! Wesss! 
Bummm...! 
Sekali lagi, terdengar ledakan hebat ketika ter-
jadi pertemuan tenaga dalam. Seolah seisi alam ini 
hendak runtuh akibat getaran yang terjadi. 
Yang lebih hebat lagi, tubuh ramping Bunda 
Kurawa pun kontan terjajar beberapa langkah ke bela-
kang dengan wajah pucat. Bahkan sudut-sudut bibir-
nya dibasahi darah pertanda mengalami luka dalam 
cukup parah! 
Puspa Sari sendiri pun terjengkang beberapa 
tombak ke belakang. Seisi dadanya terasa mau jebol. 
Dan tak lama darah segar pun termuntah dari mulut-
nya. Kemudian setelah membesut darah yang memba-
sahi sudut-sudut bibir, gadis itu pun segera meloncat 
bangun. 
Saat itu, Bunda Kurawa tengah mengerahkan 
kekuatan sihirnya. Tampak kedua bibirnya berkemik-
kemik, membacakan mantera-mantera ilmu sihirnya. 
Angkin Pembawa Maut terjingkat. Sungguh ti-
dak disadari kalau ternyata Bunda Kurawa memiliki 
kepandaian ilmu sihir hebat! 
Kini Angkin Pembawa Maut seolah kehilangan 
akal. Ia tidak tahu, bagaimana caranya memunahkan 
kekuatan sihir Bunda Kurawa. Dan untuk sesaat, ga-
dis ini hanya dapat memandangi Bunda Kurawa den-
gan paras pias! 
"Anak Setan! Apa kau kini masih berani jual la-
gak di depanku?! Apa kau lupa kalau aku adalah gu-
rumu? Ayo, lekas berlutut dan mohon ampun!" 
Puspa Sari membelalakkan matanya. Wajahnya 
tampak demikian pias. Ia berusaha mengerahkan ke-
kuatan batin untuk memunahkan kekuatan sihir 
Bunda Kurawa. Namun, sayangnya ia tak sanggup. 
Bahkan kedua lututnya terasa mulai goyah. Dan ham-
pir saja ia duduk berlutut di hadapan Bunda Kurawa. 
Untung saja.... 
"Bunda Kurawa! Justru kaulah yang patut ber-
lutut dan mohon ampun pada bekas muridmu yang 
cantik itu! Dosamu sudah bertumpuk! Dan jangan lu-
pa, kalau kau sebenarnya adalah manusia laknat no-
mor satu di muka bumi ini, ya?! Iya, kan? Ayo, jawab! 
Kalau tidak kugebuk pantatmu! He he he...!" 
*** 
Sebuah suara berisi kekuatan sihir maha hebat 
membuat kedua alis Bunda Kurawa bertaut dalam-
dalam. Bukan saja wanita ini sampai kaget, karena ke-
kuatan sihirnya mendadak sirna. Bahkan suara itu 
pun malah mulai menyerang jalan pikirannya! Sehing-
ga tanpa disadari, hampir saja wanita sesat ini duduk 
berlutut. Untung saja kekuatan sihirnya buru-buru di-
lipatgandakan. 
Menyadari ada seseorang yang mampu memu-
kul balik kekuatan sihirnya, Bunda Kurawa mengge-
ram penuh kemarahan. Sepasang matanya yang indah 
kontan berkilat-kilat memandangi dua sosok anak ma-
nusia yang tengah menyeberangi parit yang mengeli-
lingi halaman Istana Ular Emas, menggunakan batang 
pohon bambu yang ditumbangkan. 
Sosok yang depan adalah seorang pemuda 
tampan berambut gondrong tergerai di bahu. Tubuh-
nya tinggi besar, berbalut pakaian rompi dan celana 
bersisik warna putih keperakan. Pada bagian dadanya 
terdapat rajahan bergambar ular putih kecil. Melihat 
ciri-cirinya, jelas  kalau pemuda tampan itu tidak lain 
dari Siluman Ular Putih! 
Sedang sosok ramping di belakang Siluman 
Ular Putih adalah seorang gadis cantik dengan rambut 
panjang tergerai di bahu. Tubuhnya yang tinggi ramp-
ing dibalut pakaian ketat warna hitam. Gadis cantik 
bersenjatakan sepasang pedang kembar di tangan itu 
tidak lain dari Aryani yang berjuluk Bidadari Kecil. 
"Siluman Ular Putih!" pekik Angkin Pembawa 
Maut gembira begitu melihat pemuda yang sangat di-
cintainya. 
Namun entah kenapa, tiba-tiba kegembiraan 
gadis cantik itu sirna begitu melihat Soma datang ber-
sama seorang gadis cantik. Wajahnya yang cantik 
mendadak memberengut. Entah disadari entah tidak, 
diam-diam api cemburu mulai membakar hatinya. 
Dan keadaan ini pun rupanya tak jauh berbeda 
dengan Aryani. Apalagi kala menyadari kalau ucapan 
Soma sebelum menuju ke Istana Ular Emas tadi, ter-
nyata benar. Rupanya, gadis yang dimaksudkan Soma 
memang cantik. Bahkan mungkin melebihi kecantikan 
Aryani. 
Bidadari Kecil makin kecewa saat melihat Soma 
tampak gembira sekali  mendengar sapaan Angkin 
Pembawa Maut. Hal ini pulalah yang membuat hatinya 
uring-uringan. Tanpa sadar, ia pun mulai terbakar api 
cemburu! 
"Kau baik-baik saja di sini, Angkin? Apa Bunda 
Kurawa dan cecunguk-cecunguknya itu menyakitimu?" 
tanya Soma penuh perhatian. 
"Mereka memang menggangguku, Soma. Tapi 
untungnya, aku dapat mengatasinya," sahut Angkin 
Pembawa Maut dengan mata berbinar. 
Melihat keakraban Soma dengan Angkin Pem-
bawa Maut, mendadak Aryani jadi bungkam. Api cem-
buru makin membakar putri tunggal Pendekar Lowo 
Kuru itu. 
"Bagus, bagus! Rupanya kau telah menda-
patkan Kitab Kodok Perak Sakti itu, Siluman Ular Pu-
tih. Bahkan kau telah mendapatkan pula Tombak Raja 
Akhirat milik mendiang suamiku. Sekarang, lekas se-
rahkan kedua benda itu padaku! Dan kau pun boleh 
mengajak gadismu yang cantik itu pergi dari sini!" kata 
Bunda Kurawa, memecah kebisuan yang sejenak ter-
jadi. 
"Memang aku akan menyerahkan Kitab Kodok 
Perak Sakti ini padamu. Tapi tidak untuk Tombak Raja 
Akhirat," sahut Siluman Ular Putih enteng. 
"Jadi kau ingin mengangkangi milikku, Siluman 
Ular Putih?" tukas Bunda Kurawa tak sabar. 
"Kau sendiri menyuruhku mencuri Kitab Kodok 
Perak Sakti milik orang-orang penghuni Lembah Kodok 
Perak. Kenapa aku tidak boleh mengangkangi milik-
mu? Lagian, aku yakin dunia persilatan akan tambah 
kacau kalau kau juga memiliki Tombak Raja Akhirat. 
Nah, sekarang terimalah benda yang kau inginkan ini!" 
ujar Soma, lalu melemparkan lembaran sutera Kitab 
Kodok Perak Sakti ke arah Bunda Kurawa. 
Meski lemparan murid Eyang Begawan Kama-
setyo tampak seperti biasa, namun anehnya lembaran 
Kitab Kodok Perak Sakti melesat bagaikan kilat. 
Tap! 
Tangkas sekali Bunda Kurawa menangkap lem-
baran Kitab Kodok Perak Sakti. Dan seketika itu, tan-
gannya bergetar hebat. Padahal, ia sudah mengerah-
kan tenaga dalam hampir sepertiga bagian. Namun, 
tangan kanannya masih saja bergetar! 
"Bedebah! Kau mempermainkan ku, Bocah?" 
maki Bunda Kurawa penuh kemarahan. 
"Maaf, Bunda Kurawa! Sebenarnya aku tak ada 
keinginan  mempermainkan mu. Aku malah lebih se-
nang mengantar nyawamu menemui Raja Akhirat. Ba-
gaimana? Apa kau tidak keberatan?" goda Soma. 
"Bangsat! Belum puas aku kalau belum mem-
beset jantungmu, Bocah! Nih, terimalah pukulan 
'Racun Ular Emas'!" bentak Bunda Kurawa seraya 
mengibaskan tangan kirinya sebagai isyarat pada mu-
rid-muridnya untuk maju menyerang! 
Dan pada saat yang hampir bersamaan, Bunda 
Kurawa mendorongkan telapak tangan kanannya yang 
telah berubah jadi kuning keemasan ke arah Siluman 
Ular Putih.  
Wesss! Wesss! 
Seketika itu melesat dua larik sinar kuning 
keemasan yang didahului berkesiurnya angin dingin ke 
arah Siluman Ular Putih. 
Soma segera mengangkat kedua telapak tangan 
yang telah penuh pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. 
Dan seketika didorongkannya ke depan. Maka melesat-
lah dua larik sinar putih terang dari kedua telapak 
tangannya. Lalu....  
Bummm....! Bummm...! 
Terdengar dua kali ledakan hebat di udara 
membuat bumi bagai terjadi gempa. Asap tampak 
mengepul, tepat di tengah-tengah benturan. 
Dari tempatnya tubuh Bunda Kurawa terjajar 
beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat pa-
si. Darah segar meluncur dari sudut-sudut bibirnya, 
pertanda tengah menderita luka dalam cukup parah! 
Bersamaan dengan serangan Bunda Kurawa 
tadi, berpuluh-puluh murid Bunda Kurawa segera me-
nerjang Siluman Ular Putih. Namun, Aryani dan Ang-
kin Pembawa Maut keburu menghadang. Kedua gadis 
yang masing-masing dibakar api cemburu itu langsung 
menyerang murid-murid Bunda Kurawa. 
Aryani yang merasa cemburu atas sikap berle-
bihan Angkin Pembawa Maut, kini tak dapat lagi men-
gendalikan marahnya. Dan murid-murid Bunda Kura-
walah yang jadi sasaran kemarahannya. Dengan sepa-
sang pedang kembarnya, gadis itu terus mengamuk 
hebat. Tebasan-tebasan kedua pedangnya tampak de-
mikian menggiriskan. Belum lagi gulungan-gulungan 
rambutnya yang tak kalah hebat! 
"Hyaaat...! Hyaaat...!" 
Cring! Cring! 
Bidadari Kecil terus mengamuk hebat. Namun 
sayangnya tebasan-tebasan pedang di kedua tangan-
nya, berkali-kali bisa dipapaki. Dan hampir berkali-kali 
pula tubuhnya terkena sambaran-sambaran pedang di 
tangan murid-murid  Istana Ular Emas. Untung saja 
sampai saat ini ia masih dapat menghindar. 
Meski demikian, Siluman Ular Putih yang ten-
gah bertarung hebat melawan Bunda Kurawa merasa 
cemas bukan main melihat serangan-serangan Aryani 
yang membabi buta. 
"Aryani! Cepatlah bergabung dengan Angkin 
Pembawa Maut agar kalian dapat saling melindungi!" 
teriak murid Eyang Begawan Kamasetyo gusar. 
"Heh...! Kalau memang ia punya kepandaian, 
kenapa tidak dapat melindungi diri sendiri?!" teriak 
Aryani jengkel. 
"Tapi kalian harus saling bahu-membahu un-
tuk menghadapi keroyokan murid-murid Bunda Kura-
wa itu!" 
"Buat apa?" tukas Aryani. 
Siluman Ular Putih gusar bukan main. Namun 
belum sempat membuka suaranya kembali, mendadak 
Bunda Kurawa telah menyerang garang dengan puku-
lan 'Racun Ular Emas'. 
Terpaksa Siluman Ular Putih harus memapaki 
kalau masih ingin melihat indahnya matahari pagi. 
Maka kedua tangannya segera menghentak, menge-
rahkan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi' 
Wesss! Wesss! 
Bummm...! 
Tubuh Bunda Kurawa kembali terjajar bebera-
pa langkah ke belakang! Wajahnya makin pias saja! 
Darah segar pun kembali membasahi sudut-sudut bi-
birnya.  
Sedangkan tubuh Siluman Ular Putih sendiri 
bergetar hebat! Kedua kakinya melesak beberapa jeng-
kal ke dalam tanah! Keadaan ini tentu saja jauh lebih 
menguntungkan dibanding Bunda Kurawa yang ter-
huyung-huyung.  
"Heaaat...! 
Di saat demikian Siluman Ular Putih cepat me-
nyerang Bunda Kurawa dengan jurus 'Terjangan Maut 
Ular Putih'. 
Kali ini Bunda Kurawa benar-benar kewalahan 
menghadapi serangan-serangan murid Eyang Begawan 
Kamasetyo. Berkali-kali tubuh rampingnya dibuat 
jumpalitan menghindari serangan. Namun sepandai-
pandainya menghindari, tetap saja ada titik lemahnya. 
Dan hal itu cepat dimanfaatkan Siluman Ular Putih. 
Pada satu kesempatan, patukan tangan kanan 
Siluman Ular Putih mendarat telak sekali di dada 
Bunda Kurawa! 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Seketika Bunda Kurawa menghamburkan da-
rah segar. Tubuhnya langsung terjajar beberapa lang-
kah ke belakang! 
Kini dalam keadaan terdesak seperti itu, tak 
urung Bunda Kurawa mengeluarkan keringat dingin. 
Apalagi ketika dilihatnya Siluman Ular Putih mulai me-
rangsek dengan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'! 
Mendapat desakan seperti ini Bunda Kurawa 
jadi nekat. Maka kali ini, ia bertekad untuk mengadu 
nyawa. Tanpa pikir panjang lagi tenaga dalamnya pun 
segera dilipatgandakan. Kedua telapak tangannya 
hingga ke pangkal siku makin berubah kuning keema-
san. Namun belum sempat melontarkan pukulan 
'Racun Ular Emas', tiba-tiba... 
"Bunda! Kami datang membantu. Bocah edan 
itu memang patut kita musnahkan demi mewujudkan 
cita-cita kita, Bunda!" 
Sebuah teriakan yang disertai berkeredepnya 
beberapa sinar kuning keemasan tiba-tiba menyerang 
Siluman Ular Putih. Akibatnya, terpaksa murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu mengurungkan serangan-
serangannya! 
Alis Bunda Kurawa bertaut dalam, Di hada-
pannya kini berdiri sesosok perempuan cantik berpa-
kaian kuning keemasan dengan rambut digelung ke 
atas. Wajahnya yang cantik berbentuk bulat telur. Hi-
dungnya mancung. Sepasang matanya tajam dengan 
bentuk bibirnya tipis  kemerah-merahan. Di belakang 
sosok perempuan itu berdiri lima lelaki bertampang 
kasar. Mereka tak lain adalah para tokoh sesat yang 
menginginkan kematian Siluman Ular Putih. 
"Bagus, bagus! Rupanya kau datang ingin men-
gantar nyawa busukmu, Teratai Emas! Dasar 
pengkhianat!" maki Bunda Kurawa penuh kemarahan 
pada sosok perempuan cantik yang kini buntung pada 
tangan kirinya. Dia memang Teratai Emas. 
"Maafkan hamba, Bunda! Hamba memang ber-
salah. Dan untuk menebus kesalahan, izinkan hamba 
membantu Bunda melenyapkan pemuda sinting berge-
lar Siluman Ular Putih itu!" sahut Teratai Emas itu, 
penuh sesal. 
Bunda Kurawa mendengus dingin. Sepasang 
matanya menatap tajam Teratai Emas. Terutama sekali 
pada pergelangan tangan kiri Teratai Emas yang bun-
tung. 
Siluman Ular Putih hanya geleng-geleng kepala 
melihat kemunculan Teratai Emas yang disertai kelima 
tokoh sakti berperangai menyeramkan. Kelima tokoh 
itu adalah Tengkorak Serigala, Raja Toya, Ki Julung 
Pucut, Iblis Tunggal dari Gunung Tugel, dan Datuk Bi-
su dari Gunung Slamet. 
Memang, setelah dikalahkan Siluman Ular Pu-
tih ketika ingin merebut Kitab Kodok Perak Sakti dan 
Tombak Raja Akhirat, Teratai Emas yang menyimpan 
dendam merasa harus menuntut balas. Ia benar-benar 
menginginkan kematian Siluman Ular Putih. Kebetulan 
sekali  sewaktu ingin mencari bantuan, ia bertemu 
Tengkorak Serigala dan kawan-kawan yang memang 
menginginkan nyawa murid Eyang Begawan Kama-
setyo. Berkat hasutannya, tanpa banyak kesulitan ke-
lima tokoh sesat itu dapat dibujuk Teratai Emas untuk 
datang ke Istana Ular Emas kembali. Sebab, Teratai 
Emas yakin kalau Siluman Ular Putih sedang menuju 
Istana Ular Emas untuk menyerahkan Kitab Kodok Pe-
rak Sakti. 
"Begitukah? Bukankah kau menginginkan Ki-
tab Kodok Perak Sakti ini, sekaligus untuk merebut 
takhta ku?" tukas Bunda Kurawa, mendengar ucapan 
Teratai Emas tadi. 
"Tidak, Bunda. Demi Iblis, aku sekarang tidak 
punya maksud itu. Aku ingin kembali mengabdi pa-
damu, Bunda," tandas Teratai Emas lantang. 
Bunda Kurawa menautkan alis. Sepasang ma-
tanya terus menatap Teratai Emas penuh selidik. 
"Ha ha ha...! Kalian guru dan murid sama saja! 
Kenapa kalian masih saja meributkan urusan itu? Ke-
napa tidak cepat-cepat mencincang kunyuk gondrong 
ini!" tunjuk Tengkorak Serigala ke arah Siluman Ular 
Putih, seraya mengetuk-ngetukkan tongkat putih ber-
kepala serigala ke tanah. 
Tanah di sekitarnya kontan bergetar hebat! Ba-
gian yang terkena ketukan tongkat kontan berlubang 
besar. 
"Heh..! Kau benar, Tengkorak Serigala. Untuk 
sementara urusanku dengan Teratai Emas ku tang-
guhkan. Yang jelas, nanti Teratai Emas akan menda-
pat hukuman dariku sesuai dosa-dosanya!" kata Bun-
da Kurawa dingin. 
"Hamba terima salah, Bunda. Dan bila Bunda 
ingin membunuh kunyuk gondrong ini, biar hamba 
membantu bersama kelima orang teman hamba," kata 
Teratai Emas. 
Tanpa menyahut Bunda Kurawa mengalihkan 
pandangannya ke arah murid Eyang Begawan Kama-
setyo. 
Sementara diam-diam Siluman Ular Putih mu-
lai menyalurkan tenaga dalamnya ke gagang Tombak 
Raja Akhirat. Ujung runcing tombak di tangan Siluman 
Ular Putih yang berwarna merah kontan berkilauan 
oleh cahaya merah menggiriskan! 
"Harap kalian hati-hati! Jangan sampai terkena 
kilauan cahaya merah ujung tombak milik mendiang 
suamiku itu kalau tak ingin celaka!" kata Bunda Ku-
rawa memperingatkan. 
Begitu habis kata-katanya, Bunda Kurawa 
mengerahkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan-
nya sehingga berwarna kuning keemasan sampai ke 
pangkal siku. Rasanya, ia sudah gatal ingin segera me-
lontarkan pukulan 'Racun Ular Emas'. 
"Heaaa...!" 
Disertai teriakan keras, Bunda Kurawa pun 
mendahului menyerang. Kedua telapak tangannya se-
gera didorongkan ke depan. Seketika itu, dua larik si-
nar kuning keemasan dari kedua telapaknya melesat 
ke arah Siluman Ular Putih. 
Bersamaan dengan itu, serangan-serangan Te-
ratai Emas dan kelima kawannya pun segera menyu-
sul. Wanita itu menyerang Siluman Ular Putih dengan 
lontaran bunga-bunga teratai kuningnya. Sedang keli-
ma orang kawannya pun menyerang dengan senjata di 
tangan. 
Wesss! Wesss! 
Hebat bukan main serangan mereka, bagai air 
bah yang tak tertahankan. Saat itu pula, Siluman Ular 
Putih segera mendorongkan kedua telapak tangannya 
yang telah berubah jadi merah menyala penuh puku-
lan sakti 'Tenaga Inti Api'. 
Wesss! Wesss! 
Bummm...! Bummm...! 
Terdengar dua kali ledakan dahsyat di udara. 
Bumi bergetar! Daun-daun di sekitar tempat pertarun-
gan berguguran, dan hangus terbakar terkena samba-
ran angin dari bentrokan tadi! 
Tubuh Bunda Kurawa terjengkang ke belakang. 
Parasnya tampak demikian piasnya. Darah pun mem-
basahi sudut-sudut bibirnya. 
Siluman Ular Putih yang juga sempat ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke belakang, lang-
sung memutar Tombak Raja Akhirat untuk menahan 
gempuran Teratai Emas dan kelima orang kawannya. 
Seketika itu pula tampak kilatan-kilatan cahaya keme-
rahan dari ujung tombak di tangannya menyambar-
nyambar ganas. 
Werrr! Werrr! 
Crakkk! 
"Aaakh...!" 
Teratai Emas menjerit setinggi langit. Saking 
bernafsunya ingin cepat membunuh Siluman Ular Pu-
tih, serangan-serangannya tak dapat dikendalikan. Di 
saat tengah menerjang dengan bunga-bunga teratai 
kuning, mendadak kilatan cahaya merah ujung tom-
bak di tangan Soma menyambar dadanya. Maka tanpa 
ampun lagi tubuh wanita itu roboh ke tanah dan tidak 
bergerak-gerak lagi dengan dada robek memanjang! 
"Bedebah! Kau gunakan Tombak Raja Akhirat 
milik mendiang suamiku untuk membunuh muridku, 
Kunyuk Gondrong! Kau harus bayar mahal atas per-
buatanmu ini, Kunyuk Gondrong!" maki Bunda Kura-
wa penuh kemarahan. 
Bunda Kurawa pun kembali menerjang Silu-
man Ular Putih garang. Kedua telapak tangannya 
kembali didorongkan ke depan dengan sepenuh kekua-
tan tenaga  dalamnya. Seketika itu, dua larik sinar 
kuning keemasan yang didahului lesatan angin dingin.       
Bersamaan itu, Raja Toya pun telah melontar-
kan pukulan 'Gelap Sekati'. Sementara Tengkorak Se-
rigala, melabrak dengan tongkat putih berkepala seri-
gala yang sesekali disertai luncuran jarum-jarum putih 
mengandung racun keji dari mulut kepala tengkorak! 
Sedang Ki Julung Pucut pun telah siap dengan cemeti 
berekor sembilan di tangan kanan!  
Wesss! Wesss! 
Hebat bukan main serangan-serangan para 
pengeroyok Siluman Ular Putih kali ini. Belum sempat 
serangan-serangan itu mengenai sasaran, Siluman 
Ular Putih terlebih dahulu telah merasakan hawa te-
ramat dingin menyambar-nyambar kulit tubuhnya. 
Siluman Ular Putih kewalahan bukan main. 
Tak mungkin rasanya menghindari gempuran para 
pengeroyoknya. Tak ada pilihan lain, segera tangannya 
menghentak beberapa kali. Dipapaknya serangan-
serangan itu dengan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi' 
Wesss! Wesss! Bummm! Bummm...! 
Bak layangan putus tali, tubuh tinggi kekar Si-
luman Ular Putih terpental dan melayang-layang jauh 
ke belakang. Pada saat demikian, mendadak Datuk Bi-
su dari Gunung Slamet pun telah melontarkan puku-
lan maut ke tubuh Siluman Ular Putih. 
Desss...! 
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kekar Siluman 
Ular Putih makin jauh melayang, dan jatuh keras di 
tanah. 
Siluman Ular Putih menggeram penuh kemara-
han. Wajahnya pias. Dadanya yang terkena pukulan 
Datuk Bisu serasa mau jebol! Disertai kemarahan 
menggelegak, Soma menghujamkan Tombak Raja Ak-
hirat ke dalam tanah dengan tenaga dalam penuh. 
Clap! 
Tombak itu kontan menembus bumi, sampai 
sejauh belasan depa dari permukaan. Sehingga tak 
mungkin bagi Bunda Kurawa mengambil begitu saja. 
Setelah merasa yakin Tombak Raja Akhirat 
aman, Siluman Ular Putih berniat mengerahkan ilmu 
pamungkasnya, 'Titisan Siluman Ular Putih'! Maka se-
gera dirapalkannya ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. 
Begitu Soma merapalkan, seketika itu juga se-
kujur tubuhnya mulai dipenuhi uap putih tipis. Se-
hingga sosok tinggi besarnya tidak kelihatan sama se-
kali. 
"Sial! Aku tak bakal bisa merebut Tombak Raja 
Akhirat. Apalagi ia akan mengerahkan ajian 'Titisan Si-
luman Ular Putih'!" desis Bunda Kurawa. Sementara 
kelima tokoh sesat itu mendengus penuh kemarahan. 
Namun belum sempat mereka bertindak lebih lanjut, 
mendadak....  
"Gggeeerrr...!"  
*** 
Bunda Kurawa dan kelima tokoh sesat itu ter-
paksa menunda serangan. Di hadapan mereka kini 
yang terlihat bukan lagi sosok tinggi kekar murid 
Eyang Begawan Kamasetyo, melainkan sesosok pan-
jang sebesar batang pohon kelapa berwarna putih. Itu-
lah sosok Siluman Ular Putih!  
"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih yang berbentuk ular raksa-
sa menggeliat-geliat sebentar. Terkadang kepalanya 
menyembul ke atas dari balik uap putih tipis yang me-
nyelimuti sekujur tubuhnya. Sebentar kemudian baru 
badannya yang sebesar pohon kelapa menyembul ke 
atas. 
"Setan Alas! Rupanya pemuda edan itu telah 
menjelma Siluman Ular Putih! Kita harus cepat men-
genyahkannya!" maki Raja Toya penuh kemarahan. 
Kedua telapak tangan Raja Toya yang telah be-
rubah menjadi hitam legam siap melontarkan pukulan 
mautnya 'Gelap Sekati' Dan begitu kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan, seketika melesat dua larik 
sinar hitam legam ke arah tubuh Siluman Ular Putih 
Wesss! Wesss! 
Bukkk! 
Telak sekali dua larik sinar hitam legam milik 
Raja Toya menghantam tubuh Siluman Ular Putih. 
Namun ular raksasa itu hanya menggeliatkan tubuh-
nya. Sedikit pun tidak mengalami cedera! 
Raja Toya geram bukan main. Ia seolah lupa 
kalau tubuh Siluman Ular Putih kebal terhadap berba-
gai macam pukulan sakti maupun tebasan-tebasan 
berbagai macam senjata pusaka 
"Raja Toya! Ular keparat ini kebal terhadap ber-
bagai macam pukulan dan senjata tajam. Sebaiknya 
cari akal untuk membunuh ular jejadian ini!" teriak 
Tengkorak Serigala lantang. 
Sebenarnya Raja Toya ingin menyahuti ucapan 
Tengkorak Serigala. Namun ketika dilihatnya Siluman 
Ular Putih telah menerjang para pengeroyoknya ga-
rang, terpaksa toyanya segera diputar demikian rupa. 
Langsung dipapakinya serangan-serangan Siluman 
Ular Putih. 
Demikian juga Bunda Kurawa dan para penge-
royok lainnya. Dengan senjata di tangan, mereka kem-
bali menyerang hebat. 
Wesss! Wesss!  
Bukkk! Bukkk! 
Berkali-kali senjata di tangan para pengeroyok 
menghantam tubuh besar Siluman Ular Putih. Namun 
seperti serangan Raja Toya pertama, sedikit pun tubuh 
ular raksasa itu tidak cedera. Malah dengan kibasan-
kibasan ekornya, Siluman Ular Putih kembali mem-
buat para pengeroyoknya pontang-panting menyela-
matkan diri. 
Wesss! Wesss!  
Bukkk! Bukkk! 
Pada satu kesempatan Ki Julung Pucut dan Ra-
ja Toya memekik setinggi langit, terhantam kibasan 
ekor Siluman Ular Putih. Tubuh mereka kontan me-
layang jauh ke belakang, berputar-putar sebentar dan 
jatuh bergedebuk di tanah. Wajah mereka pucat pasi 
dengan dada serasa mau jebol. Darah segar tampak 
membasahi sudut-sudut bibirnya.  
"Heaaa...!" 
Raja Toya dan Ki Julung Pucut menggembor 
penuh kemarahan. Lalu mereka cepat melompat ban-
gun. Saat itu, Bunda Kurawa dan para pengeroyok 
lainnya tengah menyerang Siluman Ular Putih. Tanpa 
banyak buang waktu, Raja Toya dan Ki Julung Pucut 
ikut membantu. 
Namun rupanya Siluman Ular Putih tidak mu-
dah untuk ditundukkan. Bahkan dengan terkaman-
terkaman dan kibasan-kibasan ekornya ular jelmaan 
Soma itu mampu mengimbangi serangan-serangan pa-
ra pengeroyok. Padahal, berkali-kali harus menerima 
pukulan-pukulan maut para pengeroyok. 
Keadaan ini tidak jauh berbeda bila dibanding-
kan jalannya pertarungan Aryani dan Angkin Pembawa 
Maut yang tengah sibuk menghadapi keroyokan pulu-
han murid Istana Ular Emas. Meski kedua gadis itu 
dapat mengatasi gempuran-gempuran para penge-
royoknya, namun tak jarang pula terkena tebasan-
tebasan pedang para pengeroyok. Sehingga pakaian 
mereka kayak di sana-sini dengan darah segar me-
rembes. 
Kalau saja mereka mau saling bahu-membahu 
seperti yang diperintahkan Soma, tentu akan dapat 
mendesak para pengeroyok dengan mudah. Namun, 
rupanya mereka lebih senang memilih bertarung sen-
diri-sendiri. Rasa cemburu yang membakar diam-diam 
membuat mereka saling bermusuhan. 
"Teman-teman! Mari kita cincang kedua gadis 
bengal ini sampai lumat!" teriak Setan Cantik lantang. 
Gerakan-gerakan pedang di tangan wanita te-
lengas ini tampak demikian menggiriskan, siap mera-
jam tubuh Angkin Pembawa Maut. Belum lagi jarum-
jarum emasnya yang berkeredepan itu. 
Mendengar aba-aba Setan Cantik, puluhan mu-
rid-murid Istana Ular Emas makin memperhebat se-
rangan. Meski Bidadari Kecil mampu menggabungkan 
jurus 'Sumur Kematian' dengan jurus 'Kelelawar Sakti', 
sedangkan Angkin Pembawa Maut mengerahkan jurus-
jurus yang diwarisi dari Dewi Kumara, tetap saja be-
lum mampu melumpuhkan para pengeroyok. Namun 
kedua gadis itu terus mengamuk hebat. 
Di saat murid-murid Istana Ular Emas memper-
longgar kepungan, mendadak Setan Cantik mengi-
baskan tangan kanannya. Murid-murid Istana Ular 
Emas yang tahu isyarat segera mengibaskan tangan, 
melepas jarum-jarum emas.  
Werrr! Werrr! 
Aryani dan Puspa Sari alias Angkin Pembawa 
Maut mendengus gusar. Dilihatnya jarum-jarum emas 
yang berkeredepan kontan berhamburan bagaikan hu-
jan. Bahkan kemudian disusul pula dengan tebasan-
tebasan pedang. 
Bukan main terkejutnya hati kedua orang gadis 
itu. Wajah mereka pucat pasi. Sulit rasanya mereka 
menghindari serangan-serangan itu. Namun kedua ga-
dis itu tentu saja tidak sudi membiarkan dari jadi sa-
saran empuk. Begitu melihat puluhan jarum-jarum 
emas yang berkeredepan menyerang, Aryani dan Ang-
kin Pembawa Maut cepat putar pedang. 
"Hyaaat! Hyaaat!" 
Cring! Cring! 
Berpuluh-puluh jarum emas milik murid-murid 
Istana Ular Emas rontok ke tanah. Dan saat itu pula 
Angkin Pembawa Maut dan Aryani membuang tubuh 
ke belakang, menghindari serangan susulan. 
Tak ingin buruannya lolos, murid-murid Istana 
Ular Emas terus mengejar.       
Dan di saat Aryani dan Angkin Pembawa Maut 
sibuk menghadapi gempuran-gempuran, mendadak... 
"Bunuh Bunda Kurawa! Cincang manusia dur-
jana itu sampai lumat!" 
Tahu-tahu di seputar luar parit yang mengeli-
lingi Istana Ular Emas terdengar suara hiruk-pikuk 
beberapa orang yang tengah menyeberangi parit. Me-
reka menggunakan batang bambu yang dipentangkan 
ke seberang parit untuk menyeberang. 
10 
Sepasang mata Bunda Kurawa membelalak liar. 
Sama sekali tidak diduga kalau tempat kediamannya 
akan kedatangan banyak orang yang tak lain para to-
koh sakti dunia persilatan yang memusuhinya. 
Yang paling depan adalah seorang lelaki tua 
bertubuh pendek serta berkulit hitam legam yang dulu 
pernah dihukum gantung. Namun karena berkat perto-
longan Siluman Ular Putin, akhirnya lelaki berpakaian 
hitam kumal itu bisa selamat. Dia tak lain dari Ki So-
rogompo. (Untuk mengetahui kenapa Ki Sorogompo 
dulu pernah dihukum gantung oleh Bunda Kurawa, si-
lakan baca Siluman Ular Putih dalam episode: "Istana 
Ular Emas"). 
Di sebelah Ki Sorogompo, tampak seorang lelaki 
tua bertubuh tinggi kurus. Mukanya tirus dengan hi-
dung melengkung mirip betet. Rambutnya gondrong. 
Pakaian hitam-hitamnya tampak kumal tak terawat. 
Dia adalah salah seorang sahabat akrab Ki Sorogompo. 
Namanya Ki Mayang Kekek. 
Sedang jauh di sebelah barat halaman depan 
Istana Ular Emas, tampak pula rombongan pendekar. 
Dan begitu sampai di tempat pertarungan, mereka se-
gera membantu Aryani dan Angkin Pembawa Maut 
Bagaimana Ki Sorogompo dan juga para pende-
kar lain bisa serempak menyerang Istana Ular Emas? 
Sewaktu dibebaskan Soma dari tiang gantun-
gan, sebenarnya Ki Sorogompo tidak langsung pergi 
begitu saja tanpa membuat perhitungan dengan Bunda 
Kurawa yang telah menebar maut di dunia persilatan. 
Ia yang berotak cerdik tentu tidak ingin mati konyol 
menyerang Istana Ular Emas sendirian. Maka dica-
rinya bala bantuan. 
Kebetulan sekali di tengah perjalanan lelaki itu 
bertemu sahabatnya, Ki Mayang Kekek. Setelah men-
ceritakan kejadian di Istana Ular Emas, akhirnya Ki 
Sorogompo pun dapat mengajak Ki Mayang Kekek un-
tuk menghimpun kekuatan yang terdiri dari para pen-
dekar persilatan. Dalam waktu yang tidak lama mereka 
pun segera menyerang Istana Ular Emas. 
Banyak tokoh persilatan dari golongan putih 
yang mau membantu. Termasuk juga seorang tokoh 
yang bernama Ki Bagus Jelantik. Juga berpuluh-puluh 
orang murid-murid Perguruan Perisai Hati dan Pergu-
ruan Naga Hijau. Dan setelah kekuatan terkumpul, pa-
ra pendekar yang dipimpin Ki Sorogompo sepakat un-
tuk menyerang Istana Ular Emas. 
Sementara beberapa orang pendekar tengah si-
buk menyerang murid-murid Istana Ular Emas, seje-
nak Ki Bagus Jelantik memperhatikan sosok panjang 
Siluman Ular Putih yang tengah mengamuk. 
"Bunda Kurawa! Sekaranglah saatnya aku me-
nuntut balas atas tewasnya kakak seperguruanku, 
Tangan Baja!" bentak Ki Bagus Jelantik lantang. 
"Dan aku Karno, murid tertua Perguruan Naga 
Hijau, akan menuntut balas atas tewasnya guru kami, 
Naga Buta! Maka, bersiap-siaplah kamu menerima 
kematianmu!" timpal seorang pemuda gagah berpa-
kaian tambal-tambalan garang, lalu menyerang Bunda 
Kurawa. 
Melihat Karno telah mendahului menyerang, Ki 
Bagus Jelantik yang amat mendendam langsung me-
nyerang Bunda Kurawa. Sedang Ki Sorogompo dan Ki 
Mayang Kekek, sejenak seperti tidak menghiraukan ja-
lannya pertarungan. Kedua orang tua aneh itu malah 
asyik memperhatikan sosok Siluman Ular Putih yang 
tengah mengamuk hebat pada Datuk Buta dari Gu-
nung Slamet 
"Sorogompo! Jangan melotot saja! Kau mau pi-
lih lawan yang mana?! Aku malah ingin mengorek biji 
mata orang tua keblinger dari Gunung Tugel itu," te-
riak Ki Mayang Kekek pada Ki Sorogompo. 
"Ah...! Aku pilih lawan yang mana, ya?" tukas 
Ki Sorogompo seraya menjulurkan kepala ke depan, 
seolah-olah sedang memilih lawan. 
"Mana yang kau pilih, Sorogompo?" tanya Ki 
Mayang Kekek lagi.  
"Ah...! Kupikir, aku akan menghajar manusia 
buta dari Gunung Slamet itu. Biar orang mengira ka-
lau aku lebih hebat dibanding kunyuk gondrong yang 
dapat menjelma jadi ular putih itu. Ayo, lekas hajar ca-
lon musuh-musuh kita, Mayang Kekek!" 
Habis berkata begitu, Ki Sorogompo menyerang 
Datuk Buta dari Gunung Slamet. Siluman Ular Putih 
yang saat itu tengah sibuk menghadapi serangan-
serangan Datuk Buta yang dibantu Iblis Tunggal dari 
Gunung Tugel dan Raja Toya, seolah-olah seperti men-
dengar percakapan kedua orang tua aneh itu. Maka 
begitu melihat Ki Sorogompo melancarkan serangan ke 
arah Datuk Buta dari Gunung Slamet, Siluman Ular 
Putih pun membiarkannya saja. Apalagi saat itu Ki 
Mayang Kekek terlihat sudah menggempur Iblis Tung-
gal dari Gunung Tugel hebat. 
Kini Siluman Ular Putih jadi merasa lega. Maka 
serangan-serangannya mulai diarahkan pada Tengko-
rak Serigala. Sedang Ki Julung Pucut dan Raja Toya 
kini pun dipaksa berhadapan melawan dua orang pen-
dekar yang merasa dendam dengan sepak terjang 
Bunda Kurawa di dunia persilatan. 
"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat sebelum 
menerjang Tengkorak Serigala. Terkaman-terkaman 
dan kibasan ekornya tampak demikian kuat. 
Tengkorak Serigala mengeluh dalam hati. Na-
mun melihat serangan-serangan Siluman Ular Putih 
demikian hebatnya, jelas tubuhnya tidak ingin dijadi-
kan sasaran empuk. Saat itu juga segera tongkat pu-
tihnya diayunkan kuat-kuat ke tubuh Siluman Ular 
Putih. 
Prakkk! 
Tongkat putih di tangan Tengkorak Serigala 
kontan hancur! Telapak tangannya pun terasa panas! 
Tengkorak Serigala menggembor penuh kema-
rahan. Sulit dipercaya kalau ternyata tongkat pusa-
kanya hancur berkeping-keping begitu membentur tu-
buh Siluman Ular Putih. Sedangkan tubuh ular raksa-
sa itu hanya sedikit bergetar hebat. Lalu tanpa diduga-
duga sama sekali, tiba-tiba kibasan ekornya telah me-
luncur deras.... 
Bukkk! 
Bak layangan putus tali, Tengkorak Serigala 
kontan melayang jauh ke belakang. Tubuhnya berpu-
tar-putar sebentar dan jatuh bergedebuk di tanah tak 
dapat bangun lagi. Wajahnya pucat pasi. Darah segar 
tampak menyembur dari mulut dan lubang hidung! 
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Sejenak 
kepalanya seperti tengah perhatikan jalannya perta-
rungan di hadapannya. Tampak Ki Sorogompo dan Ki 
Mayang Kekek dapat mengatasi lawan-lawannya den-
gan mudah. Sedangkan Aryani dan Angkin Pembawa 
Maut tidak lagi terdesak hebat seperti tadi. Malah ke-
dua gadis itu dapat memukul balik murid-murid Istana 
Ular Emas berkat bantuan murid-murid Perguruan Pe-
risai Hati dan Perguruan Naga Hijau. 
Siluman Ular Putih kini mengarahkan perha-
tian pada Ki Bagus Jelantik dan murid tertua Naga Bu-
ta. Kedua orang itu tampak mulai kewalahan mengha-
dapi Bunda Kurawa. Tanpa banyak pikir lagi, Siluman 
Ular Putih pun lantas menerjang Ketua Istana Ular 
Emas. 
"Gggeeerrr...!" 
Bunda Kurawa kaget bukan main. Ia yang ten-
gah sibuk menggempur Ki Bagus Jelantik dan murid 
tertua Naga Buta tak dapat lagi melanjutkan serangan. 
Kedua telapak tangannya yang berwarna kuning kee-
masan lantas didorongkan ke depan, menghantam tu-
buh Siluman Ular Putih.  
Bukkk! Bukkk! 
Siluman Ular Putih menggereng hebat. Tubuh-
nya yang panjang memutih hanya menggeliat sebentar, 
namun sedikit pun tidak mengalami cedera! 
Hal ini membuat Ki Bagus Jelantik dan Karno 
sempat terbelalak penuh kagum. Dan karena merasa 
tidak mampu menghadapi kehebatan Bunda Kurawa, 
kedua orang itu segera berkelebat, langsung memban-
tu teman-temannya menyerang Raja Toya dan Ki Ju-
lung Pucut. 
Ki Julung Pucut dan Raja Toya yang memang 
sedang terdesak menghadapi serangan-serangan ke-
dua lawannya, jadi geram bukan main begitu melihat 
Ki Bagus Jelantik dan Karno datang membantu. Sudah 
tentu keadaan mereka makin membahayakan. 
Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, 
sambil terus menghindari gempuran-gempuran para 
pengeroyok, diam-diam Raja Toya dan Ki Julung Pucut 
berusaha melarikan diri. Dan ketika mendapat kesem-
patan yang baik, secepatnya mereka berkelebat me-
ninggalkan tempat pertarungan. Untung saja para to-
koh golongan putih tak berniat mengejar. Karena tu-
juan mereka hanyalah Bunda Kurawa. 
Bunda Kurawa yang melihat Ki Julung Pucut 
dan Raja Toya melarikan diri jadi geram bukan main. 
Apalagi ketika melihat murid-muridnya mulai kocar-
kacir di tangan Aryani dan Angkin Pembawa Maut 
yang dibantu puluhan murid Perguruan Perisai Hati 
dan Perguruan Naga Hijau. 
Ketua Istana Ular Emas itu sebenarnya ingin 
memaki. Namun sayangnya, kibasan ekor Siluman 
Ular Putih keburu mengancam dada. Terpaksa buru-
buru tubuhnya dilempar ke samping. Namun sayang, 
gerakan tubuhnya kalah cepat Dan.... 
Bukkk!  
"Aaakh...!" 
Bunda Kurawa menjerit setinggi langit. Da-
danya yang terkena kibasan ekor Siluman Ular Putih 
terasa mau jebol! Wajahnya pucat pasi, lalu memun-
tahkan darah segar. 
Sementara serangan Siluman Ular Putih tak 
berhenti sampai di situ. Baru saja Bunda Kurawa me-
loncat bangun, tanpa mampu dicegah lagi kibasan 
ekor Siluman Ular Putih telah meluruk deras. 
Bukkk! 
"Aaa...!" 
Sekali lagi Bunda Kurawa memekik setinggi 
langit. Tubuhnya yang terkena kibasan kontan me-
layang jauh ke belakang bak layangan putus tali, dan 
jatuh bergedebuk ke dalam parit. 
Begitu menyadari tubuhnya jatuh ke dalam pa-
rit yang penuh ratusan ular emas kelaparan, Bunda 
Kurawa kembali menjerit-jerit menyayat. Apalagi ketika 
tubuhnya terasa lemas tak dapat digerakkan setelah 
terkena kibasan ekor Siluman Ular Putih. 
Ratusan ular emas dalam kubangan parit yang 
tengah kelaparan segera merayap cepat sekali, mende-
kati tubuh Bunda Kurawa. Wanita telengas yang biasa 
menghukum orang dengan ular-ular emas, kali ini be-
nar-benar tak berdaya. Ia hanya bisa berteriak-teriak 
saat ratusan ular peliharaannya justru mulai mengge-
rogoti tubuhnya. Wanita itu melejang-lejang dengan 
tubuh mulai koyak.  
Dan akhirnya, jeritannya melemah seiring ke-
matian yang memilukan. 
Sosok Siluman Ular Putih yang berada di tepi 
parit, sejenak menjulur-julurkan kepalanya ke bawah. 
Selang beberapa saat, sekujur tubuh Siluman Ular Pu-
tih pun kembali dipenuhi uap putih tipis. Sehingga, 
sosoknya kini tidak kelihatan sama sekali. Dan saat 
uap putih tipis itu sirna tertiup angin, maka yang ter-
lihat bukan lagi sosok panjang Siluman Ular Putih, 
melainkan pemuda tampan berpakaian rompi dan ber-
celana sisik warna putih keperakan. Itulah sosok mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo! 
"Ah..., sayang sekali! Ternyata ular-ular emas 
peliharaan  mu  tak lagi ramah padamu. Sehingga, 
tuannya sendiri pun dimangsa," gumam murid Eyang 
Begawan Kamasetyo seperti pada diri sendiri. Lalu pe-
muda itu menghampiri tempat di mana Tombak Raja 
Akhirat dihujamkan. Dan dengan kekuatan tenaga da-
lamnya, tombak itu berhasil ditarik keluar. 
Saat itu pertarungan antara Ki Sorogompo me-
lawan Datuk Buta dari Gunung Slamet dan Ki Mayang 
Kekek melawan Iblis Tunggal dari Gunung Tugel ten-
gah berlangsung seru. Ki Sorogompo dan Ki Mayang 
Kekek yang sedikit berada di atas angin hampir saja 
dapat menewaskan para lawan. Untung saja kedua to-
koh sesat itu cepat menjejakkan kakinya ke tanah, dan 
berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan. 
Ki Sorogompo dan Ki Mayang Kekek tak beru-
saha mengejar. Mereka hanya tersenyum kecut melihat 
sifat pengecut Datuk Buta dari Gunung Slamet dan Ib-
lis Tunggal dari Gunung Tugel. 
Sementara itu murid-murid Istana Ular Emas 
yang tadi melihat Bunda Kurawa tewas dalam parit be-
risi ratusan ular emas kontan melempar senjata ke ta-
nah dan duduk berlutut mohon ampun. Ki Bagus Je-
lantik beserta beberapa orang pendekar lain segera 
memberi pengarahan. 
"Kalian semua dengar! Kali ini kami memaafkan 
dosa-dosa kalian. Tapi sekali lagi kalian membuat 
onar, kami tak akan segan-segan membunuh kalian!" 
kata Ki Bagus Jelantik lantang. 
"Terima kasih, Pendekar. Kami berjanji akan 
kembali ke jalan yang benar," kata Setan Cantik me-
wakili teman-temannya. 
"Baik, baik! Akan kuingat selalu janji kalian 
ini," ujar Ki Bagus Jelantik seraya angguk-anggukkan 
kepala. 
Pada saat Ki Bagus Jelantik memberikan pen-
garahan, mendadak entah karena sebab apa Angkin 
Pembawa Maut telah berkelebat meninggalkan hala-
man depan Istana Ular Emas. Selang beberapa saat, 
Aryani pun segera menyusul 
"Eh...! Kalian mau ke mana?" teriak Soma lan-
tang. 
Habis berteriak begitu, Siluman Ular Putih ber-
kelebat cepat menyusul Angkin Pembawa Maut dan 
Aryani. Namun baru beberapa langkah meninggalkan 
tempat itu, tiba-tiba Ki Sorogompo telah menghadang 
langkahnya. 
"Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini see-
nak dengkul mu, Bocah! Urus dulu murid-murid Ista-
na Ular Emas itu, baru kau boleh tinggalkan tempat 
ini!" 
"Apa kau bilang?! Aku tidak boleh meninggal-
kan tempat ini? Lantas, kau sendiri kenapa mening-
galkan teman-temanmu? Ah, sudahlah. Aku ada uru-
san dengan mereka. Selamat tinggal!" kata murid 
Eyang Begawan Kamasetyo, lalu cepat berkelebat kem-
bali. 
11 
Sebenarnya mengapa Angkin Pembawa Maut 
buru-buru meninggalkan halaman depan Istana Ular 
Emas? Kenapa gadis itu tidak bercakap-cakap barang 
sebentar dengan Soma? Bukankah ia sangat mencintai 
murid Eyang Begawan Kamasetyo? Dan, mengapa pula 
Aryani buru-buru menyusul? 
Semua itu tidak lain hanya karena cemburu. 
Puspa Sari merasa dirinya dipermainkan Soma. Kalau 
pemuda itu memang mencintainya, mengapa masih 
menggandeng gadis lain? 
Begitulah antara Lain yang tengah bergejolak 
dalam hati Angkin Pembawa Maut. Gadis ini merasa 
dirinya sebagai bekas murid Istana Ular Emas, sehing-
ga ia beranggapan dirinya tak patut bersaing dengan 
Aryani. Maka diputuskannya untuk meninggalkan So-
ma! 
Dalam kegelapan malam yang menyelimuti bu-
mi, sosok Angkin Pembawa Maut terus berkelebat 
menjauh meninggalkan Istana Ular Emas. Air matanya 
merembes membasahi pipi. Hatinya terasa pilu. Ia se-
mula telah berharap lebih terhadap murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo. Namun, kini terpaksa harus mene-
lan kenangan pahit. 
Sambil sesekali menoleh ke belakang kalau-
kalau Soma akan mengejar, Puspa Sari makin mem-
percepat larinya. Namun, ternyata murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo tidak kelihatan batang hidungnya se-
perti yang diharapkan. Malah samar-samar dari balik 
kegelapan malam, matanya melihat sesosok bayangan 
hitam-hitam tengah berkelebat cepat di belakangnya. 
"Hentikan langkahmu, Angkin Pembawa Maut! 
Kita selesaikan urusan di antara kita di sini!" teriak 
sosok di belakang. 
Dengan hati mendongkol, Angkin Pembawa 
Maut terpaksa menghentikan langkahnya. Suara mer-
du itu tidak lain adalah suara milik gadis cantik yang 
tadi datang bersama Soma di Istana Ular Emas. Siapa 
lagi kalau bukan gadis galak berpakaian hitam-hitam 
bernama Aryani? 
Dan belum sempat hilang suara bentakan tadi, 
tahu-tahu di hadapan Angkin Pembawa Maut telah 
berdiri seorang gadis cantik berpakaian hitam-hitam 
dengan rambut panjang tergerai di bahu. 
Dari balik keremangan cahaya bulan, Puspa 
Sari alias Angkin Pembawa Maut dapat melihat kalau 
sepasang mata gadis cantik yang memang Aryani ber-
kilat-kilat penuh kemarahan. Hati Puspa Sari yang se-
dang rusuh, kontan mengkelap begitu mendengar ben-
takan Aryani tadi 
"Keparat! Bilang saja kau mencintai Soma! Ke-
napa kau hadang langkahku segala, he?! Dasar gadis 
bengal tak tahu malu!" balas Puspa Sari, membentak. 
"Bedebah! Berani kau mencaci ku seperti itu?! 
Kau pikir aku tidak tahu? Kau pun juga mencintai 
Soma, kan? Kalau tidak, buat apa mewek seperti itu?" 
balas Bidadari Kecil. 
"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang Angkin 
Pembawa Maut, tak dapat mengendalikan amarah. 
"Baik! Sekarang kita selesaikan urusan di sini! 
Siapa di antara kita yang berhak mencintai Soma? Kau 
atau aku?" teriak Aryani geram. 
"Majulah! Kau pikir aku takut menghadapi ga-
dis tak tahu malu sepertimu, he?!" ejek Angkin Pem-
bawa Maut.  
"Keparat! Makanlah pukulan 'Kelelawar Sakti'-
ku, Gadis Bengal!" 
Namun sebelum terjadi pertarungan, menda-
dak.... 
"Tunggu! Kalian tidak boleh bertarung! Kalian 
adalah teman!" 
Aryani dan Angkin Pembawa Maut yang hendak 
melontarkan pukulan maut segera menghentikan ge-
rakan. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada so-
sok yang membentak barusan. 
*** 
Sosok orang yang baru datang memang seorang 
pemuda tampan dengan rambut gondrong tergerai di 
belakang. Tubuhnya yang tinggi kekar dibalut pakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. Ia 
tidak lain dari Siluman Ular Putih yang tengah diri-
butkan oleh kedua gadis itu. 
"Oh, ya, Angkin! Aku ada sesuatu yang ingin 
kuberikan padamu," lanjut Soma, seolah tak mempe-
dulikan Aryani. 
"Apa itu, Soma?" tanya Angkin Pembawa Maut 
dengan hati berbunga, sekaligus meledek Aryani. 
"Ini!" kata Soma seraya menunjukkan Tombak 
Raja Akhirat di tangan kanan. "Terimalah! Kukira tom-
bak ini cocok sekali untukmu." 
Dengan hati berbunga-bunga, Angkin Pembawa 
Maut segera menerima tombak yang disodorkan Soma. 
Sejenak sepasang matanya yang indah bak bintang ke-
jora terus memandangi Tombak Raja Akhirat di tan-
gannya. Lalu sepasang mata indahnya dialihkan ke se-
raut wajah tampan di hadapannya seksama. 
"Terimakasih, Soma. Kau baik sekali. Aku..., 
aku bahagia sekali menerima pemberianmu ini. Tapi, 
aku akan lebih bahagia lagi kalau kau mau mencium-
ku, Soma," kata Angkin Pembawa Maut dengan bibir 
bergetar. Lalu gadis cantik itu pun segera  memejam-
kan matanya rapat-rapat. Ini dilakukan sekaligus un-
tuk menjatuhkan Aryani 
Murid Eyang Begawan Kamasetyo sejenak ter-
pana melihat bibir merah merekah di hadapannya. Ia 
tidak tahan lagi untuk segera melakukan apa yang di-
minta gadis itu. Lalu perlahan-lahan sekali, kedua bi-
birnya mulai didekatkan ke bibir Angkin Pembawa 
Maut. Dan....  
Cup!  
"Soma! Kau..., kau mencintai gadis itu?" sentak 
Aryani. 
Suaranya bergetar. Telunjuk jarinya bergetar 
kala menunjuk ke arah Angkin Pembawa Maut. Wajah 
cantiknya pun tampak bersimbah air mata! 
Bagai tersengat kalajengking, Soma terjingkat. 
Wajah cantik Aryani tampak demikian memelaskan, 
membuat pemuda itu sedih dan menyesal sekali 
"Maafkan aku, Aryani! Aku.... Aku tak senga-
ja...," ucap Soma salah tingkah seraya berjalan mende-
kati Bidadari Kecil. 
Aryani hanya menggeleng-geleng seraya terus 
bergerak mundur. Air matanya tampak makin mem-
banjir membasahi pipi. 
"Aku tidak butuh maafmu, Soma. Aku butuh 
ketegasan mu," kata Aryani dengan bibir bergetar. 
"Ketegasan apa maksudmu, Aryani?" tukas So-
ma tak mengerti. 
Aryani tersenyum sedih. Sepasang matanya 
yang penuh air mata sejenak melirik ke arah Angkin 
Pembawa Maut. Tampak Puspa Sari sendiri pun sudah 
berdiri tegak di belakang Soma dengan wajah pucat 
pasi 
"Sekarang katakan terus terang, Soma! Kau le-
bih mencintai Angkin Pembawa Maut atau aku!" tegas 
Aryani. 
"Aku.... Aku...." 
Soma bingung bukan main. Sepasang matanya 
yang tajam sejenak memperhatikan Aryani. Sejenak 
kemudian, Soma mengalihkan pandang matanya ke 
arah Angkin Pembawa Maut. 
"Ah...! Bagaimana aku harus mengatakannya? 
Aku memang menyayangi kalian. Tapi kalau cinta...? 
Aku... aku tidak akan jatuh cinta pada siapa pun," lan-
jut Soma terus terang, walau terasa kelu. 
"Ah...!" pekik Aryani dan Angkin Pembawa Maut 
hampir bersamaan. Wajah mereka yang cantik tampak 
demikian pias. Sepasang matanya yang berair pun te-
rus menatap Soma. 
"Kau menyakiti hatiku, Soma," desah Angkin 
Pembawa Maut dengan bibir bergetar. "Kukira aku ti-
dak ada gunanya bicara banyak denganmu! Selamat 
tinggal! Kalau kau memang mencintai  ku, susul aku! 
Kalau tidak, sampai di sini saja pertemuan kita!" 
Habis berkata begitu, dengan menahan luka 
hati, Angkin Pembawa Maut segera berkelebat cepat 
meninggalkan tempat itu. 
Soma tak tahu harus berbuat apa. Dilihatnya 
dengan langkah tertatih-tatih, Angkin Pembawa Maut 
terus berkelebat cepat di antara kegelapan malam. Dan 
belum sempat ia bertindak.... 
"Dan kau juga harus bertindak tegas padaku, 
Soma! Kalau kau memang mencintai ku, sekarang juga 
aku akan menunggu kedatanganmu di puncak Gu-
nung Sumbing. Tepatnya di padepokan Perguruan Ke-
lelawar Putih. Itu kalau kau benar-benar  mencintai 
ku!" kata Aryani, lalu segera berkelebat cepat ke arah 
barat. 
Bukan main bingungnya hati Siluman Ular Pu-
tih saat ini Sejenak sepasang matanya memperhatikan 
Angkin Pembawa Maut yang tengah berkelebat menuju 
ke timur, sebentar kemudian beralih ke arah Aryani 
yang berkelebat ke arah barat. 
"Ah...! Kenapa urusanku jadi kacau?" keluh 
Soma kesal. Lalu tanpa sadar tangannya telah meng-
garuk-garuk kepala. Bingung. "Maafkan aku, Angkin! 
Maafkan aku, Aryani! Saat ini aku benar-benar belum 
jatuh cinta. Tugas di pundak  ku  masih terlalu berat 
untuk dipikul. Dan aku belum puas kalau belum dapat 
menenteramkan dunia persilatan! Sekali lagi, aku mo-
hon maafmu, Angkin! Juga kau, Aryani!" 
Habis berkata begitu, Soma pun berkelebat ce-
pat ke jurusan yang berbeda dengan Aryani maupun 
Angkin Pembawa Maut. 
SELESAI 
Akan segera hadir!!! 
Serial Pendekar Siluman Ular Putih 
dalam episode: 
SAYEMBARA ANGKIN PEMBAWA 
MAUT 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa