Pendekar Romantis 9 - Ratu Cadar Jenazah(1)


SATU
MASIH ingat almari? Maksudnya almari yang ada di kamar
Ratu Cadar Jenazah. Itu tuh, yang di dalamnya ada makhluk antik
suka menggelitik. Ingat nggak? Kalau nggak ingat, oke deh kita kilas
balik sebentar soal si makhluk antik yang gemar menggoda
perempuan cantik.
Ceritanya begini... Ratu Cadar Jenazah keqi berat sama yang
namanya Pandu Puber alias Pendekar Romantis. Masalahnya,
banyak program kerja sang Ratu yang dikacaukan oleh tingkah laku
Pendekar Romantis; termasuk program mempelajari jurus maut
dalam Kitab Panca Longok, menyiasati Dalang Setan untuk
dapatkan pusaka 'Cemeti Mayat', dan sebagainya. Ulah Pandu Puber
itu dianggap merusak AD-ART Istana Bukit Gulana, tempat sang
Ratu bercokol.
Kejengkelan sang Ratu membuahkan ide untuk bikin
sayembara; barangnya siapa, eh... salah. Barang siapa bisa
menangkap Pendekar Romantis dan menyerahkan ke Istana Bukit
Gulana, maka jika orang itu perempuan akan mendapat kedudukan
di istana dan dianggap saudara kandung sang Ratu, jika lelaki boleh
menjadi suami sang Ratu. Tentu saja banyak lelaki yang berlomba-
lomba ingin tangkap Pandu Puber, sebab hadiahnya sangat besar,
lebih besar dari dapat hadiah TV 350 inch! Alias layar tancep. Siapa
orangnya yang nggak ngiler jadi suaminya Ratu Cadar Jenazah sih?
Soalnya sang Ratu itu dikenal perempuan cantlk, menarik, sexy dan
menggairahkan setiap lelaki. Belum lagi terhitung kekayaannya
yang cukup wah jika dibandingkan pengemis kolong jembatan.
Nah, sayembara itu yang membuat Pandu Puber diburu
oleh orang banyak, termasuk si Malaikat Bisu yang usianya sudah
enam puluh tahun itu. Tapi orang yang pantasnya sudah dipanggll
sebagai 'mbah' itu terpaksa mati di ujung pedang Bunga Taring Liar.
Terpaksa lho, bukan sengaja mematikan diri.
Bunga Taring Liar itu muridnya Nyai Guru Payung
Cendana. Nyai Guru ini ternyata punya obat awet muda dan
kecantikan abadi, karena pernah makan Kembang Ayu Abadi,
rebutan dengan si Janda Keramat. Pada dasarnya, sekalipun si
Payung Cendana ini cantik dan wow sekali, tapi ia tokoh sakti dari
golongan putih yang nggak rela kalau Pendekar Romantis dibuat
bahan buruan kayak babi hutan. Padahal wajah Pandu dan babi
hutan jauh berbeda. Sumpah deh, jauh berbeda sekali kok.
Payung Cendana akhirnya menyelamatkan Pandu Puber.
Bukan lantaran dia muda dan naksir dengan ketampanan Pandu
Puber, tapi karena ada misi tertentu. Selain melindungi
kelangsungan hidup si Pendekar Romantis, juga karena Payung
Cendana ingin merebut Bukit Gulana yang dulu kepunyaan
kakaknya; Ki Parma Tumpeng alias Parma Pratikta. Ditambah lagi,
Payung Cendana dapat wangsit dari Dewata, bahwa Ratu Cadar
Jenazah hanya bisa dibunuh jika menggunakan senjata Pedang
Siluman tepat pada bagian kelemahannya.
Di mana letak kelemahan sang Ratu yang punya 'Aji Baja
Geni' itu? Letak kelemahan sang Ratu ada di bagian pusarnya. Idih,
kok pusarnya sih?
Ya memang maunya Dewata begitu kok. Nggak usah ngotot
deh. Pokoknya sekali pusar tetap pusar! Asyik nggak asyik, pusar
yang harus dituju. Karena itu Payung Cendana memanfaatkan
kesaktian Pendekar Romantis untuk mengalahkan Ratu Cadar
Jenazah. Kenapa yang dipilih Pandu? Sebab Pandu punya Pedang
Siluman dan kebetulan sedang ada kasus dengan sang Ratu.
Untuk mempercepat cara kerja Pandu, guru cantik yang
pernah patah hati itu memanggil kakaknya; Ki Parma Pratikta untuk
meminta penjelasan mengenai lorong bawah tanah yang merupakan
jalan rahasia tembus ke kamar pribadi Ratu Cadar Jenazah. Soalnya
dulu ketika Bukit Gulana dikuasai Ki Parma Tumpeng, ia
membangun jalan bawah tanah di tempat pesanggrahannya berdiri.
Pesanggrahannya itu kini dipugar dijadikan Istana. Jadi Ki Parma
Tumpeng tahu dong jalan rahasia itu? Apalagi kabar-kabarnya jalan
rahasia itu tembus di kamar pribadi sang Ratu.
Dengan bekal doa restu sang guru cantik dan penjelasan
dari Ki Parma Tumpeng tentang lorong rahasia itu, Pandu Puber
berangkat menuju Bukit Gulana, langsung masuk ke kamar pribadi
Ratu Cadar Jenazah. Ternyata jalan itu tembusannya di kamar
pelayan sang Ratu. Tapi dari kamar itu ada pintu tembus ke kamar
sebelah, dan kamar sebelah itulah kamarnya sang Ratu yang punya
nama asli Wulandita.
Saat Pandu Puber 'ngamar', tahu-tahu ada suara langkah
kaki menuju kamar itu. Pandu bingung tiga keliling, bukan tujuh
keliling, tapi tiga keliling saja biar nggak kelamaan. Bingungnya
Pandu itu karena ia merasa belum siap, belum mempelajari situasi
medan tapi sudah harus terjebak. Maka Pandu segera bersembunyi.
Kebetulan di situ ada almari tinggi, Pandu masuk ke dalam almari
yang digunakan menggantung baju itu.
Eh, yang datang ke kamar itu ternyata pelayan sang Ratu.
Pandu agak kesal. Sudah capek-capek mengintip, nggak tahunya si
pelayan yang datang. Hati Pandu tambah kesal lagi setelah si
pelayan menutup pintu almari yang terbuka sedikit itu.
Disangkanya sang Ratu teledor, belum mengunci almari, padahai
isinya pakaian-pakaian bagus mode mutakhir. Takut ada
kehilangan, si pelayan mengunci almari itu. Klik...!
Apes deh! Pandu Puber terkunci di dalam almari. Mau
gedor-gedor takut ketahuan, nggak gedor-gedor kelabakan. Tapi
terperangkapnya makhluk ganteng di dalam almari itu merupakan
peristiwa malang yang punya hikmah sendiri. Pandu jadi bisa
dengerin omongan sang Ratu dengan pelayannya tentang alasan
sang Ratu membuka sayembara memburu Pandu Puber. Dan lagi...,
(Ah, baca sendiri aja deh di serial Pendekar Romantis episode:
"Buronan Darah Dewa" capek nyeritain terus).
Pokoknya di dalam almari itu Pandu penuh gerutu dan
kejengkelan. Perlu dicatat pula, salah satu gerutuannya berbunyi
demikian:
"Dasar pelayan nggak tahu diri, seenaknya aja ngunci
almari! Apa nggak tahu ada orang di sini? Kalau begini kan bisa
bikin aku mati kehabisan udara inti?! Sial! Kudoakan biar nggak
laku kawin seumur hidup!" Pandu nggak tahu kalau pelayan itu
sudah punya suami dan punya dua anak.
Suasana di dalam kamar sudah sepi. Itu artinya kamar
dalam keadaan kosong. Sang Ratu nggak ada, sang pelayan pun
nggak ada, Pandu Puber segera nekat menjebol almari dengan
menyentakkan kedua tangan ke depan dalam tiga hitungan.
"Satu... dua... tigaaa...!"
Blukk...!
Yang terjadi cuma timbulnya suara kayak gitu. Pintu almari
nggak jebol juga tuh. Padahal Pandu sudah pakai tenaga cukup kuat
dalam sentakan tadi. Kayaknya nggak masuk akal deh; lengan kekar
berotot mirip Arnold Schwarzenegger kok nggak bisa menjebol
pintu almari, kan aneh tuh. Ya, nggak? Otomatis sang pemuda
bermata biru kayak bule itu jadi penasaran dong. Maka diulangnya
lagi menyentakkan kedua tangan ke depan untuk menjebol pintu al-
mari. Kali ini dibumbul tenaga dalam sedikit.
"Satu, dua... tiga!"
Blukk...!
"Busyet! Pintu almari ini dari kayu apa dari batu sih?
Jangan-jangan si pelayan tadi mengganjal pintu pakai gunung?!"
pikir Pandu dengan terheran-heran sebab pintu itu masih utuh.
Bahkan almari itu nggak bergerak sedikit pun. Aneh kan?
Wajar saja kalau Pandu Puber tambah penasaran lagi. Maka
dikerahkan tenaga dalamnya untuk mendobrak pintu almari itu.
Kali ini nggak pakai hitungan lagi. Begitu tenaga dalam terkumpul
di telapak tangan, langsung saja kedua telapak tangan itu
dihantamkan ke depan menghentak pintu almari tersebut.
Wutt...!
Blukk...!
"Edan! Masih saja nggak bisa jebol? Wah, kayaknya pintu ini
punya penyakit saraf! Sudah dihantam dengan tenaga dalam
berkualitas impor kok masih ngotot nggak mau jebol?! Kalau gini
caranya aku harus pakai jurus bertenaga tinggi nih. Hmmm... o, ya...
pakai jurus 'Salam Sayang' saja. Jurus itu kan bisa bikin lawan
terpental jungkir balik dan biru memar. Masa' iya nggak bisa
menjebol pintu almari ini?!"
Jurus 'Salam Sayang' dipergunakan dengan sungguh-
sungguh. Pandu nggak main-main menggunakannya. Tapi hasilnya
toh masih nihil. Pintu almari tetap kokoh tak bergeming. Rasa
penasaran bertambah lagi sampai ke ubun-ubun, maka jurus lain
pun digunakan. Jurus 'Duda Gundul' yang ditemukan Pandu pada
saat membodohi tokoh separo baya bernama Duda Dadu itu
sekarang digunakan untuk menjebol pintu almari.
Wutt...!
Bluk, bluk, bluk...!
Eh, nggak retak sedikit pun! Kebangetan kan itu namanya?
Makin panas hati Pandu, makin tinggi ilmu yang dipakainya.
Sampai ilmu yang dinamakan jurus 'Pukulan Salju Kaget' pun
digunakan. Tapi hentakannya malah memantul balik dan membuat
Pandu Puber gubrak-gubrak sendiri di dalam almari. Hampir saja ia
jadi korban pukulan sendiri karena pintu almari itu nggak bisa jebol
tapi malah memantulkan pukulan tersebut. Beberapa pakaian yang
digantungkan di situ jatuh dan lusuh semua, bahkan ada yang
rusak. Uap salju dari hasil pukulannya tadi ada yang membungkus
pakaian mewah itu dengan busa saljunya. Pandu malah sibuk
membersihkan badan di dalam almari konyol itu. Kasihan.
"Agaknya almari ini bukan almari sembarangan. Nggak
main-main nih, pasti ada isinya! Lho, isinya kan aku dan pakaian
ini?! Eh, tapi maksudku, ada kekuatan tenaga dalam yang paten dan
membuat almari ini nggak bisa dijebol. Kekuatan daya pantulnya
tadi menandakan adanya gelombang pelapis yang berkekuatan
tenaga dalam tinggi. Kalau kugunakan jurus yang lebih tinggi lagi,
misalnya seperti jurus 'Surya Pamungkas' atau jurus 'Pukulan Inti
Dewa', bisa-bisa akan mengenai diriku sendiri. Nggak lucu dong,
masa' Pendekar Romantis yang terkenal gagah kok matinya dalam
almari perempuan. Nanti apa kata masyarakat tentang moralku?"
Pada saat Pandu Puber kepanasan di dalam almari yang tak
ber-AC itu, rupanya Ratu Cadar Jenazah kedatangan seorang tamu
yang sedang sekarat. Tamu itu adalah Hapsari alias Janda Keramat.
Wajahnya pucat pasi, badannya lemas lunglai, napasnya
tersendat-sendat, sepertinya saat ia bernapas paru-parunya
digantungi kereta dorong. Beraaat... sekali! Bisa sampai di situ pun
sudah untung. Dan itu pun ditemukan oleh pengawal pintu gerbang
Istana Bukit Gulana, ia ditemukan dalam keadaan nungging, karena
jatuh tersungkur nggak kuat jalan lagi.
Kenapa begitu sih? Oh, ternyata Janda Keramat terluka pada
betisnya. Lukanya nggak seberapa sih, yahh... kira-kira seukuran
tutup botol bir. Tapi racunnya yang beredar ke seluruh tubuh lewat
aliran darahnya itu yang amat berbahaya. Racun itu ada di pucuk
logam berbentuk mata tombak. Logam itu ada di pucuk payungnya
Nyai Guru Payung Cendana. Dan payungnya itu ada di pucuk
tangan saat disentakkan ke atas, lalu si logam melesat menancap
betis Janda Keramat, (Baca juga serial Pendekar Romantis episode:
"Buronan Darah Dewa" pucuknya ada di sana kok).
Rembulan Pantai, pengawal pribadi sang Ratu, adalah orang
yang membawa Janda Keramat dari halaman istana sampai ke
bangsal paseban atau ruang pertemuan. Dia yang membaringkan
Janda Keramat di depan kursi singgasana sang Ratu. Dan bagi
Wulandita yang memang tahu seluk-beluk racun, dari racun tikus
sampai racun ketombe, ia dapat menduga racun apa yang
menyerang tubuh Janda Keramat.
"Racun Tengkuk Setan'!" ucapnya menggumam, seolah-olah
bicara sendiri. Tapi karena di situ ada Rembulan Pantai, maka gadis
berpotongan tomboy itu ajukan tanya kepada ratunya,
"Dari mana Gusti Ratu tahu kalau dia kena racun 'Tengkuk
Setan'?"
"Lihat saja sayatan-sayatan halus pada kulit tubuhnya, juga
bercak-bercak merah pada bola matanya yang terbeliak-beliak itu.
Hanya racun Tengkuk Setan yang bisa bikin orang sekarat kayak
gini!" jawab Ratu Cadar Jenazah. Gadis tomboy berwajah cantik
manggut-manggut.
"Mungkinkah Pendekar Romantis punya racun 'Tengkuk
Setan'? Sebab bukankah tempo hari Janda Keramat bertekad ingin
tangkap si Pendekar Romantis?"
"Hmm... mungkin juga!" gumam Ratu Cadar Jenazah sambil
merenung. "Gawat juga tuh anak kalau memang punya racun
'Tengkuk Setan'. Soalnya racun itu termasuk jenis racun langka."
"Apakah dengan begitu Gusti Ratu tidak bisa membuat
tawar racun tersebut?"
Ratu Cadar Jenazah yang memakai cadar dari kain sutera
transparan warna hitam itu tampak memandang Rembulan Pantai
dengan mata tak berkedip. Ia agak tersinggung dengan ucapan
Rembulan Pantai, sampai-sampai sang pengawal cantik itu
menundukkan kepaia dengan rasa takut dan menyesal atas
ucapannya tadi!
"Jangan meremehkan kemampuanku di bidang racun-
meracun, ya? Racun apa yang nggak bisa ku-tawarkan kekuatannya?
Semuanya nggak bisa! Maksudku... semuanya nggak bisa
diremehkan. Sedangkan racun yang sangat berbahaya yang kuderita
akibat serangan temannya Pandu yang gembrot itu saja akhirnya
bisa kulawan, apalagi hanya racun 'Tengkuk Setan'! Racun
tengkukmu pun bisa kule-yapkan dalam sekejap, tahu?!"
"Maaf, Gusti Ratu!"
"Lain kali kalau bicara hati-hati, ya?"
"Baik Gusti!"
"Ambil Kitab Pawang Racun!"
"Untuk apa, Gusti?!"
"Aku mau cari di kitab itu, apakah ada ramuan atau cara
untuk sembuhkan racun 'Tengkuk Setan' itu, Tolol!"
"O, iya... baik! Baik, Gusti!" kata Rembulan Pantai dengan
tergopoh-gopoh saking takutnya. Setelah jauh dari sang Ratu, gadis
berusia dua puluh satu tahun itu menggerutu sendiri,
"Katanya semua racun bisa ditangkal, kok masih mau coba-
coba cari penangkalnya dalam kitab aneka resep racun?l Uuh... dasar
egois!"
Kitab Pawang Racun diserahkan oleh Rembulan Pantai.
Kitab itu agak tebal, di depannya tertulis kalimat: Sedia Payung
Sebelum Keracunan, disusun oleh: Empu Gambreng. Lalu di
bawahnya ada tulisan semacam cap yang berbunyi: Tidak Untuk
Dijual.
Ratu Cadar Jenazah sibuk membuka-buka kitab itu mencari
penangkal racun 'Tengkuk Setan'. Hatinya sempat cemas, karena
menyangka pemllik racun itu adalah Pendekar Romantis. Soainya si
Janda Keramat nggak bisa diajak ngomong iagi, jadi nggak bisa
kasih jawaban saat Rembulan Pantai tadi bertanya,
"Siapa yang menyerangmu dengan racun 'Tengkuk Setan'
ini? Siapa? Pandu Puber, ya?"
Hanya mulut Janda Keramat yang bisa menjawab dengan
bergerak-gerak tidak jelas. Padahal gerakan itu adalah gerakan
menghirup udara. Rembulan Pantai sempat menempelkan
telinganya, tapi yang didengar hanya suara,
"Haaghh... haaghh... haaghh...!"
"Ngomong apa sih ini orang?" gumam Rembulan Pantai
sambil menarik kepala dan tegak kembali. Ia berkata kepada
ratunya, "Dia nggak mau bicara siapa penyerangnya, Gusti!
Mungkin ia bermaksud merahasiakan sebuah nama."
"Bukan merahasiakan, tapi memang dia nggak mau bicara
lagi. Soalnya racun 'Tengkuk Setan', katanya, selain menyerang
peredaran darah juga mengeringkan tenggorokan. Pantas kalau dia
nggak bisa bicara dan susah bernapas."
"Ooo... gitu!" Rembulan Pantai manggut-manggut.
"Ambil air putih!"
"Apakah cukup dengan air putih racun itu bisa tawar dari
dalam tubuhnya, Gusti?!"
"Air putih buat kuminum sendiri, Tolol!" sentak sang Ratu
dengan jengkel. Rembulan Pantai nyaris tertawa geli, lalu cepat-
cepat pergi, menyuruh pelayan membawakan air putih buat sang
Ratu.
Sibuknya sang Ratu mencari resep penangkal racun
'Tengkuk Setan' membuat Rembulan Pantai jadi jenuh sendiri berdiri
di samping sang Ratu. Ia ingin menyuruh temannya yang seprofesi
dengannya untuk menggantikan dirinya mendampingi sang Ratu.
Tapi niatnya tertunda karena sesuatu hal yang baru saja disadarinya.
Ia memeriksa sebentar, lalu berkata,
"Gusti Ratu, saya rasa lebih baik kitab itu dikembalikan di
ruang pustaka saja."
"Nanti dulu. Aku masih penasaran. Sebab seingatku, resep
penangkal racun 'Tengkuk Setan' itu adanya di kitab ini! Cuma di
halaman berapa, aku lupa. Mungkin di halaman belakang?" sang
Ratu membalik kitab, membuka dari belakang ke depan.
"Tidak mungkin, Gusti. Di halaman belakang malah penuh
jemuran."
"Maksudku halaman belakang kitab ini, Goblok!" sentak
Ratu sambil nekat mencari. Rembulan Pantai mendekat dan berkata
lebih pelan lagi,
"Maksud saya, Gusti tidak perlu repot-repot lagi mencari
resep penangkal racun 'Tengkuk Setan'."
"Jangan mengecilkan kemampuanku, ya?! Memangnya aku
nggak mampu menemukan resep itu dalam buku ini?! Apa
dikiranya aku sudah pikun, hah?!"
"Bu... bukan begitu maksud saya, Gusti," ujarya dengan
takut.
"Lalu apa maksudmu kasih saran begitu?!"
"Andai kata resep itu ketemu pun percuma, Gusti. Sebab...
Janda Keramat sudah tak bernyawa lagi, Gusti."
"Hahh...?!" Ratu Cadar Jenazah terbengong kaget. Ia segera
memeriksa keadaan Janda Keramat, lalu berkata dalam gumam
panjang,
"Hmmm... jadi orang kok nggak sabaran! Sedang dicarikan
obatnya sudah keburu minggat nyawanya! Bikin capek orang aja!
Uuh... dasar Janda Keramat kurang jimat!"
"Terus bagaimana ini, Gusti Ratu?"
"Ya dikubur dong! Masa' mau direbus?!" jawab sang Ratu
sambil bergegas pergi.
Cantik sih memang cantik, sexy memang sexy, tapi
karakternya masih suka slebor. Maklum, sebenarnya ia sudah
berusia lebih dari tujuh puluh tahun, hanya saja masih awet muda,
tapi karakter ketuaannya ternyata nggak bisa hilang. Tokoh sesat ini
masih belum bisa bawa diri sebagai seorang ratu yang mestinya
bersikap kalem dan bertutur kata lebih halus lagi. Yah, namanya
bekas preman cewek, diapa-apain juga tetap aja konyol.
"Gusti...! Gusti Ratu...!" seru seorang penjaga gerbang yang
datang dengan tergopoh-gopoh. Ratu Cadar Jenazah tak jadi
tinggalkan paseban dan memandang kaget pada penjaga gerbang
yang wajahnya berlumur darah. Sang Ratu berseru,
"Kenapa, Jim?! Kamu ketumpahan sirup apa mandi saus?!"
"Saya berdarah, Gusti! Di luar ada tamu yang ngamuk dan
membunuh dua penjaga gerbang!"
"Hah...?! Siapa orang itu?! Mana dia orangnya?!" sang Ratu
berang dan segera naik pitam, nggak mau naik kuda. Ia hampiri
pintu gerbang dengan langkah macho dan suaranya yang cablak.
DUA
PEREMPUAN berpakaian hijau muda dengan jubah merah
jambu sedang dikepung beberapa prajurit Istana Bukit Gulana.
Perempuan itu menggenggam sebatang kayu kering yang
diambilnya dari jalanan. Tapi rupanya kayu kering yang kira-kira
sedepa itu punya kekuatan tenaga dalam, sehingga bisa bikin mati
orang dengan sekali pukul saja. Terbukti sudah tiga orang yang mati
di situ dan lima orang luka-luka. Padahai waktu Sujimin masuk dan
melapor pada sang Ratu, yang mati baru dua orang, yang luka baru
dua orang juga termasuk dirinya.
"Kalau ngomong jangan plin-plan, ya?!" hardik sang Ratu
kepada Sujimin yang akrab dipanggil; Jimi itu. "Tadi katanya yang
mati dua orang, nyatanya lebih!"
"Tadi memang cuma dua, Gusti. Saya nggak sangka kalau
ditinggal lapor saja sudah tambah satu korban lagi."
Ratu Cadar Jenazah mendenguskan napas kesalnya. Ia maju
dalam kepungan dan berseru,
"Ada apa ini?! Minggir, minggir, minggir…!"
Para pengepung melebarkan jarak membuka jalan, Ratu
Cadar Jenazah masuk ke tengah lingkaran mereka, berhadapan
dengan perempuan sebayanya yang tampak sedikit bungkuk.
"Oh, kamu rupanya yang berani bikin onar di si-ni,
Dardanila?!"
"Ya, aku sengaja bikin onar di sini karena nggak boleh
ketemu kamu, Wulandita!"
Wah, seru nih. Ratu Cadar Jenazah ketemu dengan Ratu
Geladak Hitam. Sama-sama ratu tapi kesaktiannya berbeda. Entah
unggul mana. Yang jelas Ratu Geladak Hitam yang bernama asli
Dardanila itu menampakkan sikap keberaniannya di depan Ratu
Cadar Jenazah.
Masih ingat Dardanila?
Dardanila itu dulunya juga tokoh sesat yang diam di Pulau
iblis, lalu pulau itu dikuasai kakeknya Pandu, si raja jin, ia pindah ke
sekitar Bukit Bara. Perempuan cantik dan jalang ini menjadi orang
baik-baik setelah bertemu dengan ayahnya Pandu Puber, yaitu dewa
yang menjelma menjadi manusia bernama Yuda Lelana, nama
aslinya sih Batara Kama. Karena menjelma jadi manusia maka nama
dewanya nggak dipakai.
Dardanila salah satu korban 'Racun Pemikat Surga' yang
dimiliki Pandu Puber. Soalnya dia pernah merasakan bercumbu
dengan Pendekar Romantis itu, dan dia nggak tahu kalau dalam
darah kemesraan Pandu itu mengandung racun yang bikin orang
'celeng' seumur hidup. Harapan ingin bercumbu dengan Pandu
muncul sepanjang masa, yah... pokoknya modelnya kayak si Janda
Keramat itulah. Nggak mau sama lelaki lain, maunya sama Pandu
dan Pandu saja. Racun itu memang membuat perempuan jadi picik
dan fanatik, (Baca aja deh dalam serial Pendekar Romantis episode:
"Geger Di Kayangan" dan "Hancurnya Samurai Cabul" cukup
menggeiitik lho).
Lamanya nggak ketemu Pandu, bikin Dardanila mudah
tersinggung dan gampang marah. Sebab hawa cintanya nggak bisa
tersalurkan. Semua orangkan gitu. Cuma perempuan ini sudah
kelewat parah menahan rindunya sampai badannya kurus kering.
Dulu badannya bahenol, montok, dan sexy sekali. Sekarang ia
terserang TBC, sering batuk-batuk, napas Senin-Kemis, artinya Senin
disedot, Kamis sudah kempot.

Karena itu Ratu Cadar Jenazah yang sudah lama kenal
Dardanila jadi sempat 'pangling' dulu tadi. Soalnya raut wajah
Dardanila tampak kurus, tulangnya bertonjolan, agak bungkuk,
kerempeng, dadanya melorot sampai ke perut (ibaratnya), sebentar-
sebentar terdengar batuknya yang mirip kereta direm mendadak.
Sekalipun demikian, Dardanila toh masih menampakkan
keberaniannya. Sama-sama bekas preman, kenapa harus takut?
Pikirnya.
"Apa maksudmu bikin onar seenak busungmu, Dardanila?!"
sentak Ratu Cadar Jenazah sambil maju dua langkah.
"Sudah kukatakan tadi, mereka melarangku masuk
istanamu. Padahal dulu kalau kau masuk ke istanaku di Benteng
Bara, kau bebas keluar-masuk mirip jarum jahit! Aku tersinggung
sekali dengan sikap bawahanmu ini, Wulandita!"
"Apakah matamu buta, tak bisa baca aturan yang kami tulis
di papan depan gerbang itu? Di situ kan ada tulisan berbunyi 'Tamu
Harap Lapor Selama Dua Puluh Empat Hari'. Artinya selama dua
puluh empat hari kamu hams lapor terus, baru bisa bertemu diriku!
Buta huruf sih lu!" ujar sang Ratu cantik tapi bermulut cablak itu.
"Buatku aturan itu nggak perlu!"
"Lalu, mau apa kau?! Mau apa ketemu aku, hah?!" sambil
sang Ratu tolak pinggang, maju lebih dekat lagi.
"Batalkan sayembaramu!"
"Enak aja! Nulisnya tujuh hari tujuh malam kok suruh
dibataikanl" sang Ratu bersungut-sungut di balik cadar hitamnya.
"Apa maksudmu menyuruhku begitu?!"
"Kalau kau ingin menangkap Pandu Puber, berarti kau ingin
menangkapku juga. Karena antara aku dan Pandu Puber ibarat
sepasang merpati yang tak bisa dipisahkan lagi!"
"Cuih! Enak aja kalau ngomong! Kalian sih bukan sepasang
merpati, tapi sepasang selop butut buat pergi ke kamar mandi!"
sentak sang Ratu dengan sinisnya.
"Wulandita!" suara Dardanila ganti menyentak, tapi ia
segera terbatuk-batuk karena penyakit TBC-nya. "Uhuk, uhuk, uhuk,
ngik, ngiiik, ngik, ngiiiik...!"
"Sudahlah, pulang saja daripada penyakitmu parah di sini!"
"Tidak bisa! Kau harus batalkan sayembara memburu
Pendekar Romantis itu, atau kalau memang Pendekar Romantis
sudah ada di tanganmu, serahkan padaku demi keselamatanmu,
Wulandita!"
Rembulan Pantai yang berdiri di samping Wulandita, sedikit
ke belakang, segera dipandangi oleh Wulandita yang berkata,
"Wah, ini orang sudah penyakitan masih cari penyakit lagi!
Rembulan Pantai...!"
"Siap, Gusti!" jawab gadis itu dengan tegas.
"Mana si Kumis Ranting?! Suruh Kumis Ranting usir
perempuan ini dengan cara sekasar apa pun!"
"Baik!" Rembulan Pantai berseru, "Kumis Ranting...! Kumis
Ranting... usir orang gila ini?! Hoi, Kumis Rantiiing...!"
Salah seorang prajurit menjawab sambil acungkan tangan ke
atas, "Kumis Ranting tidak masuk, Bu! Dia izin, istrinya melahirkan!
Bayinya kembar empat. Yang dua lelaki, yang...."
"Cukup!" bentak Ratu Cadar Jenazah dengan keqi banget.
"Kalau begitu kau saja yang hadapi orang itu, Rembulan Pantai!"
"Dengan senang hati, Gusti!" jawab Rembulan Pantai dengan
tegas.
Tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba Dardanila lepaskan
satu pukulan jarak jauh bercahaya merah seperti telur bebek belum
didadar. Wuttt...!
Cahaya merah bulat telur itu menghantam dada Rembulan
Pantai karena tak sempat ditangkis dan dihindari.
Bubbb...! Wusss...!
"Aaagh...!" Rembulan Pantai tersentak mundur dan
membungkuk. Dadanya berasap bagai terbakar tanpa api. Ia segera
limbung dan jatuh dengan tubuh terkapar. Wajahnya pucat dan
mulai membiru. Mulutnya tercengap-cengap bagaikan sukar
memperoleh oksigen.
"Jahanam kau, Dardanila!" geram Ratu Cadar Jenazah muiai
memuncak amarahnya melihat Rembulan Pantai terkapar kejang-
kejang. Tangan Ratu Cadar Jenazah segera disentakkan ke tubuh
pengawalnya yang terkapar itu, lalu dari telapak tangan keluar
seberkas sinar hijau muda yang langsung membungkus tubuh
Rembulan Pantai. Hanya tiga hitungan saja sinar itu menyorotkan
kesaktiannya, lalu wajah pucat itu berangsur-angsur segar kembali.
Tapi sang Ratu Cadar Jenazah sudah telanjur Lerang kepada
Dardanila. Menyerang dan melumpuhkan pengawal pribadinya
sama saja menantang dirinya terang-terangan. Maka Wulandita pun
tak jadi menepi, melainkan justru mau dekati Dardanila. Dalam
jarak lima langkah ia berhenti dan menatap tajam lawannya dari
baiik cadar transparan itu.
"Rupanya kau benar-benar cari mampus, Dardanila! Kubalas
serangan licikmu tadi, hiaah...!"
Wulandita menyodokkan dua jarinya ke depan dengan kakl
merendah dan tangan lurus ke depan. Dari ujung jari keluar dua
sinar merah seperti besi lurus tak bisa dibelokkan.
Clappp...!
"Heaah...!" Dardanila lompat dan bersaito di udara satu kali.
Sepasang sinar merah itu luput dari sasaran, lewat di bawah kakl
Dardanila.
Wuttt..!
Duarr...!
Terdengar suara ledakan di belakang Dardanila yang sudah
berdiri tegak kembali itu. Rupanya sinar merah itu mengenai dua
prajurit yang mengepung di belakang Dardanila. Kedua prajurit itu
tubuhnya entah ke mana. Yang jelas tangannya ke selatan, kakinya
ke utara, kepalanya ada di timur dan yang lainnya menyebar tak
tentu arah tanpa tinggalin alamat segala. Kedua prajurit itu pecah
dihantam sinar merah dari ratunya.
"Sadis!" gumam prajurit yang lain, lalu menepi pelan-pelan,
takut jadi korban salah sasaran.
Jarak Dardanila dan Wulandita menjadi lebih dekat lagi,
sehingga dengan satu lompatan cepat Dardanila menyerang
Wulandita. Wuttt...! Kakinya berkelebat menendang kepala bercadar
hitam itu. Tapi tangan Wulandita cukup trampil. Kaki itu dihantam
dengan kepalan tangan bertenaga dalam sambil tubuhnya geser
sedikit ke kiri dan agak miring.
Prakk...!
"Aauh...!" Dardanila memekik, tulang keringnya remuk
dihantam tangan lembut itu. Ia tak bisa berdiri tegak lagi. Wajahnya
menyeringai.
"Tulang keropos mau dipakai menendang! Kurang ajar
banget kakimu itu, iblis! Hiaaat...!" Ratu Cadar Jenazah ganti
menyerang dengan gerakan berputar bagaikan klpas. Wuttt...! Angin
tendangannya saja bisa membuat Rembulan Pantai yang berdiri tak
jauh dari situ tersentak mundur dua langkah. Apalagi hasil
tendangannya.
Tetapi Dardanila masih malas menjadi korban tendangan
lawannya. Dengan cepat ia hantamkan kayu yang sejak tadi
digenggamnya itu.
Wuttt...! Prakkk!
"Aoow...!" Ratu Cadar Jenazah terpekik kesakit-an. Lututnya
dihantam dengan kayu itu dan remuk seketika. Ia jatuh beriutut
dengan satu kaki.
Dalam keadaan tubuh rendah begitu, ia segera bentangkan
dua tangannya dan kerahkan tenaga dalam untuk saiurkan hawa
murni yang mampu sembuhkan luka remuk dalam seperti itu.
Kedua tangan itu merapat di dada setelah ditarik dengan kekuatan
penuh hingga tubuh bergetar.
Dardanila tahu lawannya mau lakukan penyembuhan.
Maka ia segera menerjang iagi dengan serangan pukulan bersinar
sebelum sang lawan berhasil sembuhkan luka.
Slaabbb...!
Sinar merah sebesar tongkat gembala melesat ke arahnya,
cuma dalam jarak empat langkah. Tapi seketika itu kedua tangan
Wulandita yang merapatdi dada segera disodokkan ke depan dalam
keadaan tetap saling merapat. Suttt...! Clapp...! Melesatlah sinar
hijau lurus sama besarnya dengan sinarnya Dardanila. Kedua sinar
itu bertemu dan cahaya merah terang menyebar lebar ke berbagai
penjuru.
Blegarrr...!
Dardanila terpental dalam keadaan terbang terbuang.
Rembulan Pantai pun terpelanting jatuh ke belakang dalam jarak
empat langkah. Beberapa prajurit lainnya ada yang saiing
bertabrakan karena terhempas angin ledakan dahsyat yang
menyesakkan pernapasan itu.
Tapi Ratu Cadar Jenazah tetap berada di tempat semula, tak
bergeming sedikit pun. Ia masih menggerak-gerakkan kedua
tangannya dengan tarikan tenaga lebih kuat iagi. Lalu berdiri tegak
dengan kaki sedikit merenggang. Matanya memandang Dardanila
yang terjungkal tujuh langkah dari tempatnya semula.
"Keparat kau, Wulandita! Rupanya kau benar-benar
inginkan kita beradu nyawa! Terimalah jurus "Rengginang Iblis' ini!
Heaaah...!"
Kayu dilepaskan, kedua tangan disentakkan ke depan, dan
dari masing-masing telapak tangan keluar sinar merah bundar-
bundar seperti gerigi sepeda. Jumlah sinar merah itu lebih dari
delapan buah. Sinar itu menyerang Ratu Cadar Jenazah secara
rombongan, menyebar bagai mengepung gerak lawan.
Crap, crap, crap, crap...!
Busss...!
Ratu Cadar Jenazah berasap tebal. Asap itu membungkus
tubuh sang Ratu. Ketika sinar-sinar merah dari jurus 'Rengginang
Iblis' itu masuk dalam gumpalan asap, terdengar suara letupan kecil
seperti kayu terbakar: pluk, pletok, plok, pletuk, plok, pluk...!
"Jurus apa yang digunakannya? Aneh sekali? Jurus
'Rengginang Ibiis'-ku masa' seperti berondong jagung digoreng sih?"
pikir Dardanila terheran-heran. "Mestinya meledak lebih dahsyat
dari ledakan yang tadi."
Ketika asap itu lenyap, ternyata sosok Ratu Cadar Jenazah
tidak ada di tempat, ia lenyap, dan itu membuat Dardanila semakin
tegang karena bingung. Dardanila yang sudah kempot itu clingak-
clinguk, malah sempat batuk karena hembusan asap masuk
hidungnya.
"Uhuk, uhuk, ngiik.... Uhuk, uhuk, ngiiik.... Ngik, ngik,
uhuk!"
"Kau mencariku, Dardanila?!"
Dardanila kaget, ternyata Ratu Cadar Jenazah sudah ada di
belakangnya. Jaraknya sangat dekat. Begitu ia berpaling ke
belakang, telapak tangan Ratu Cadar Jenazah menghantam cepat di
bagian rusuk.
Blamm...!
"Uhkk...!" Tubuh Dardanila tersodok naik ke atas, matanya
mendelik, mulutnya memuntahkan darah. Pukulan telapak tangan
tadi menghasilkan kilatan cahaya biru yang memecah sebagai tanda
terlepasnya jurus sakti sang Ratu.
Pukulan telapak tangan yang memancarkan cahaya biru itu
tidak bisa dikuasai lagi oleh Dardanila. Sekujur tubuhnya terasa
panas. Darahnya bagaikan berubah menjadi cairan lahar yang
bergolak. Akhirnya, Dardanila pun tumbang.
Brrukk…!
"Uuhgg...!" suara erangannya masih terdengar tipis.
Matanya mulai memutih. Tubuh itu berasap, kulitnya melepuh
seperti gelembung-gelembung kapur terkena air. Kejap berikutnya,
Dardanila hembuskan napas terakhir tanpa sempat pamitan kepada
siapa pun. Matinya mengerikan. Iih... nggak perlu diceritain deh.
Nanti pada jijik.

Yang jelas, ada sepasang mata yang memperhatikan
pertarungan itu dari jarak jauh. Sepasang mata itu diam saja ketika
Dardanila mati tanpa ngotot. Bahkan ia masih tetap ada di
tempatnya, memperhatikan Ratu Cadar Jenazah yang segera
memerintahkan para prajuritnya yang dari tadi terbengong-bengong
mengagumi kesaktian ratunya. "Buang mayat itu jauh-jauh!"
"Ke mana, Gusti?!"
"Ke mulutmu juga boleh!" sentaknya dengan hati dongkol.
"Kasar amat? Cantik-cantik kok mulutnya kasar, ya?" bisik
prajurit itu kepada temannya. Temannya tak berani menjawab atau
bereaksi mengangguk, karena saat itu sang Ratu menatapnya dan
memandang tajam di balik cadar penutup wajahnya, Ia bergegas
pergi menuju gerbang. Langkahnya terhenti ketika meiihat
Rembulan Pantai bicara dengan Sujimin yang lukanya sedang
diobati dengan param kocok.
"Rembulan Pantai, siapkan kuda!"
"Yang jantan atau yang betina, Gusti?"
"Apakah kita punya kuda betina?"
"Tidak, Gusti!"
"Nah, kenapa masih tanya juga?!" ketus sang Ratu, dan
Rembulan Pantai diam menunduk, tapi hatinya membatin,
"Memang kita nggak punya kuda betina, habis elu takut
bersaing sih!"
Rembulan Pantai segera perintahkan salah seorang prajurit
untuk siapkan kuda tunggangannya sang Ratu. Langkah sang Ratu
pun segera diikuti, karena memang begitulah tugas Rembulan
Pantai; selalu siap mendampingi sang Ratu ke mana pun perginya,
kecuali ke kamar pribadi dan ke kamar mandi.
Tapi langkah mereka tertahan oleh sapaan lelaki yang
datang dari kejauhan.
"Wulandita...!"
Lelaki itu berlari cepat bagaikan daun dihembus angin.
Tahu-tahu sudah ada di depan pintu gerbang dalam jarak sekitar
iima tombak dari sang Ratu.
"Lagi-lagi kau yang datang, Panji Gosip!" ujar sang Ratu
dengan nada muak. "Apakah kau sudah berhasil menangkap Pandu
Puber?"
"Belum, tapi...."
"Pulanglah!" sahut sang Ratu. "Sudah kukatakan, kau boleh
datang menemuiku kalau kau sudah membawa buronan itu! Jika
kau belum, jangan sekali-kali temui aku! Ngerti?!"
"Aku mengerti, Wulandita. Tapi...."
"Urus dia, Rembulan Pantai!" perintahnya dengan kaku, lalu
ia pergi masuk ke benteng istana. Rembulan Pantai tinggal di
tempat, menahan gerakan Panji Gosip yang ingin ikut masuk
mengikuti sang Ratu.
"Jangan halangi aku, Rembulan Pantai!"
"Ini tugasku!" jawab Rembulan Pantai dengan tegas.
"Kusarankan jangan ngotot kalau mau tundukkan hati ratuku. Dia
nggak suka pria yang ngotot, kecuali dalam hal-hal tertentu."
"Maksudmu dalam hal apa?"
"Misalnya disuruh angkat meja marmer atau memindahkan
almari, itu kan perlu ngotot?" Rembulan Pantai tersenyum
dipaksakan. "Sabarlah. Cara meluluhkan hati sang Ratu nggak bisa
dengan cara bandel begini. Salah-salah nyawamu dicabut nggak
diizinkan beredar kalau masih membandel."
Panji Gosip tarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya lepas-lepas dengan tubuh mengendur. Pemuda
berpakaian serba hijau itu dikenal pihak Ratu Cadar Jenazah sebagai
penjaga makam Nyai Titah Bumi, neneknya Dalang Setan. Tapi sejak
Dalang Setan mati, Panji Gosip nggak lagi menjadi penjaga makam,
sebab nggak ada yang menggajinya. Lagi pula Dalang Setan sudah
mati, berarti sudah nggak ada ilmu lagi yang akan diperolehnya dari
Dalang Setan atas jasanya menjaga makam Nyai Titah Bumi.
Selama ini, pemuda yang berusia sekitar dua puluh empat
tahun dan berambut panjang, tinggi, tegap, agak tampan, menjadi
pengikut setia Dalang Setan yang dikhususkan merawat makam
Nyai Titah Buml. Sebagian besar ilmu yang ada padanya diperoleh
dari Dalang Setan. Tapi agaknya ia memperoleh ilmu tambahan dari
seseorang yang tak pernah mau diceritakan siapa orangnya. Ilmu
itulah yang membuat ia lebih tinggi daripada murid Dalang Setan
lainnya. Ilmu itu tak lain berasal dari Nyai Titah Buml, yang sering
hadir dalam mimpinya selama menjadi penjaga makam tokoh tua
tersebut. Sejak kematian Dalang Setan, Panji Gosip tak pernah
bermimpi lagi tentang Nyai Titah Bumi, jadi ia tambah bosan dan
akhirnya cuek dengan makam tersebut.
Panji Gosip pernah terlibat kencan dengan Ratu Cadar
Jenazah. Kencan itu terjadi lebih dari tiga kali, yaitu manakala Ratu
Cadar Jenazah berziarah ke makam gurunya; Eyang Sumpah Sapi.
Makam itu nggak jauh dari makamnya Nyai Titah Bumi, sebab
kabarnya dua tokoh tua itu semasa mudanya pernah pacaran. Dan
mereka pernah sepakat agar kelak dimakamkan dalam jarak yang
berdekatan.
Kehadiran Ratu Cadar Jenazah ke makam gurunya
menimbulkan kesan sendiri di hati Panji Gosip. Pemuda itu terpikat,
dan sang Ratu tergoda oleh kekarnya tubuh dan lumayannya wajah
Panji Gosip. Maka secara diam-diam, sedikit berisik, mereka sering
ber-haha-hihi di balik semak-semak nggak jauh dari makam itu.
Pada dasarnya Ratu Cadar Jenazah hanya sekadar iseng saja.
Nggak serius sih. Yaah... sekadar cari hiburan segar sama bocah
berotot kekar itu. Tapi penerimaan Panji Gosip nggak begitu.
Disangkanya sang Ratu jatuh cinta padanya. Ia langsung
menyatakan cinta kepada sang Ratu dengan harapan sang Ratu akan
membalasnya. Tapi ternyata sang Ratu nggak mau jatuh cinta sama
dia. Panji Gosip sudah telanjur ketagihan cinta sang Ratu, maka ia
pun mengejar sang Ratu, merayu-rayu dengan berbagai cara. Salah
satu cara dilakukan ialah dengan sering berkunjung menemui Ratu
Cadar Jenazah, kadang bawa oleh-oleh segala, kadang bawa
masalah yang dibuat-buat supaya ada bahan bicara.
Akhirnya sang Ratu muak. "Kencanmu membosankan.
Monoton!" kata sang Ratu. "Kau boleh datang lagi kemari
menemuiku, bahkan boleh memperistri aku selama-lamanya kalau
kau bisa menangkap dan menyerahkan Pendekar Romantis
kepadaku."
"Kau jatuh cinta padanya, Wulandita?"
"Aku justru ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri!"
jawab sang Ratu dengan tegas sekali, giginya sedikit menggeletuk.
Tak heran jika Panji Gosip pun mencari-cari pemuda yang
bergelar Pendekar Romantis, tapi sampai saat itu ternyata ia belum
berhasil menemukan Pendekar Romantis. Rindunya ingin bertemu
Wulandita bikin hatinya gundah gulana. Panji Gosip nggak kuat
menahan rindu, lalu datang ke istana, tapi yaah... begitulah. Seperti
yang dikisahkan tadi, ia ditolak, Ratu Cadar Jenazah nggak mau
temui dia. Sang Ratu malah masuk ke kamar pribadinya untuk ganti
pakaian. Sebab hari itu ia punya rencana untuk pergi berburu Pandu
Puber.
"Kalau pemuda itu kutemukan sendiri, berarti tak seorang
pun pria yang harus kuterima menjadi suamiku. Aku masih punya
kebebasan untuk memilih lelaki," begitu pikirnya. Doi nggak tahu
kalau buronan yang akan diburunya itu sudah ada di dalam
kamarnya. Sangat dekat dengannya, yaitu di dalam almari.
Pandu Puber yang sejak tadi gagal mendobrak almari itu,
kini menjadi tegang sendiri sebab ia tahu sang Ratu masuk ke
kamar. Pandu yang berkeringat karena udara panas di dalam almari
menjadi tambah berkeringat ketika mendengar suara sang Ratu bica-
ra sendiri nggak jauh dari almari.
"Aku harus ganti pakaian perang. Sasaran utamaku adalah
ke kaki Gunung Ismaya. Karena kudengar Pandu Puber itu berasal
dari puncak Gunung Ismaya. Dan... o, ya... sebaiknya aku pakai
pakaian yang belahan dadanya agak lebar, ah! Siapa tahu pemuda
itu benar-benar tampan dan menawan seperti omongan orang-orang
dan pengaduan si Janda Keramat beberapa waktu yang lalu. Ah,
tapi... dia tertarik dengan tubuhku nggak, ya? Kalau dilihat di kaca
seperti saat ini sih, tubuhku sangat indah tanpa selembar kain
begini."
Di dalam almari Pandu Puber panas dingin. Ia ingin
mengintip tapi nggak ada lubang yang bisa dipakai ngintip. Padahal
ia punya bayangan yang menggugah kenakalan otaknya.
"Sialan! Dia pasti nggak pakai selembar benang pun nih.
Aduh, padahal ini kesempatan baik untuk membuktikan kata-kata
Payung Cendana bahwa sang Ratu itu cantik dan sexy. Kayak apa
sih sexynya?"

Pandu diam tak bergerak, karena suara sang Ratu semakin
dekat, tepat di depan almari.
"Jubah kuningnya udah dimasukkan ke lemari belum, ya?
Coba kuperiksa dulu!"
Pandu tegang. Almari mau dibuka.
Klik...!