Siluman Ular Putih 9 - Iblis Pemanggil Roh(2)


6

Malam bergerak merambat. Hawa dingin menu-
suk kulit. Di atas Bukit Menjangan, tepatnya di pinggir
makam Penghuni Alam Maut, duduk bersila satu so-
sok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Sepasang
matanya terpejam rapat-rapat. Kedua bibirnya berke-
mik-kemik. Entah membacakan mantra apa.
Disaput oleh sinar rembulan tampak jelas wa-
jah tirus seorang lelaki tua. Rambutnya putih tergerai
di bahu. Di depannya tampak asap putih kebiruan

mengepul ke atas, menebarkan bau kemenyan yang
menyengat. Memang, lelaki tua yang tengah duduk di
dekat makam Penghuni Alam Maut itu tidak lain ada-
lah Iblis Pemanggil Roh!
Ketika malam telah mencapai titik tengahnya,
tiba-tiba di hadapan Iblis Pemanggil Roh telah berdiri
sebuah orang-orangan sawah. Namun kepala tempu-
rung dan badan kayunya tampak seperti hidup! Ya, ia
tak lain adalah si Jerangkong.
Begitu matanya terbuka, Iblis Pemanggil Roh
tertawa senang.
"Bagus, bagus! Kau memang pesuruh baik, Je-
rangkong!" sambut Iblis Pemanggil Roh.
Seperti tak ingin menanggapi sosok aneh Je-
rangkong tetap tenang di tempatnya. Sedikit pun tak
mengeluarkan kata-kata. Sepasang tangan kayu dan
kepala tempurungnya pun tidak bergerak. Tetap diam,
siap menunggu perintah berikutnya.
"Baik, baik! Tampaknya kau memang sudah ti-
dak sabar untuk menjalankan perintahku lagi," ujar
Iblis Pemanggil Roh seraya mengangguk-angguk. "Se-
karang, dengarlah baik-baik. Tugas kali ini cukup be-
rat. Kau harus dapat membunuh pemuda sakti yang
bergelar Siluman Ular Putih. Kalau perlu, sekalian si-
kat gurunya yang bernama Eyang Begawan Kamasetyo
di puncak Gunung Bucu! Kau paham? Aku ingin men-
guasai dunia persilatan!"
Jerangkong tetap tidak mengeluarkan suara
sedikit pun. Ia tetap berdiri tegak di tempatnya, tanpa
membuat gerakan apa-apa.
"Nanti kalau kau sudah membunuh kedua
orang itu, baru kuberitahukan tokoh-tokoh mana yang
harus ditundukkan. Sekarang, mendekatlah! Ada se-
suatu yang ingin kuberikan padamu!" ujar Iblis Pe-

manggil Roh lagi.
Seperti memiliki nyawa si Jerangkong mende-
kati Iblis Pemanggil Roh. Caranya aneh sekali! Bagian
bawah tubuhnya yang berbentuk lancip terangkat, lalu
meluncur. Dan ia berhenti persis di hadapan lelaki ti-
rus itu.
Iblis Pemanggil Roh tidak begitu memperhati-
kan bagaimana caranya si Jerangkong mendekat tadi.
Saat itu, tubuhnya sudah berbalik. Tangan kanannya
lalu meraih cawan kayu berisi cairan kuning yang
mendidih!
"Menurutlah! Aku ingin menyiramkan kuning
ini ke sekujur tubuhmu. Kau tentu belum tahu. Hanya
dengan cara inilah aku ingin menurunkan semua ke-
pandaianku padamu. Sebab, orang-orang yang kau
hadapi nanti bukanlah tokoh-tokoh sembarangan.
Nah, sekarang bersiap-siaplah!"
Iblis Pemanggil Roh beranjak berdiri. Sementa-
ra tangan kanannya menggenggam cawan kayu. Kedua
bibirnya sejenak berkemik-kemik, membacakan man-
tra-mantra. Lalu dengan wajah menegang, mulai ditu-
angkannya cairan kuning dari cawan kayu ke kelapa
tempurung Jerangkong.
Ajaib sekali! Begitu cairan kuning itu memba-
sahi kepala tempurung, mendadak terdengar bunyi
bergemeletak seperti terbakar! Namun anehnya sosok
Jerangkong itu tidak rusak sedikit pun! Hanya kain
putih pembalut badan kayunya sajalah yang berubah
berwarna kuning yang menebarkan bau wangi keme-
nyan!
Iblis Pemanggil Roh tertawa senang. Cawan di
tangan kanannya dibuang ke semak belukar.
"Nah! Sekarang, kau telah mewarisi semua ke-
pandaianku. Kesaktianku sekarang berlipat ganda.

Kau tidak dapat dikalahkan oleh tokoh sakti papan
atas dunia persilatan mana pun! Biar sepuluh orang
sakti maju bersamaan, kau tetap dapat mengalahkan
mereka. Nah! Sekarang, cobalah pukulan maut 'Roh
Pembawa Petaka'-ku!"
Jerangkong memutar tubuhnya ke samping.
Kedua tangan kayunya tiba-tiba telah berobah menjadi
hitam legam! Dan sekali didorong ke depan, seketika
terlihat dua leret sinar hitam legam melesat cepat ke
arah pohon beringin tua di sampingnya. 
Blaaarrr...!
Pohon beringin sebesar dua lingkaran tangan
manusia dewasa ini kontan tumbang! Bagian batang-
nya yang terkena pukulan 'Roh Pembawa Petaka' ber-
lobang, mengepulkan asap hitam! Lalu....
Brrrrukkk...!
Selang beberapa saat, terdengar suara berge-
muruh dari batang pohon beringin yang tumbang sal-
ing tumpang tindih dengan pohon beringin yang tum-
bang tempo hari. Debu-debu membubung tinggi. Bu-
rung-burung yang bersarang di pohon beringin itu be-
terbangan! Namun, mereka tidak dapat berbuat ba-
nyak selain riuh berkicau, kemudian terbang tinggi di
antara kegelapan malam.
Iblis Pemanggil  Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak ke atas memandang angkasa biru!
"Bagus, bagus! Dengan kesaktianmu sekarang
ini, aku yakin kau dapat melaksanakan semua perin-
tahku, Jerangkong! Kukira sekarang tidak ada lagi
yang dikhawatirkan. Sebentar lagi aku pasti akan da-
pat merajai dunia persilatan. Kini semua tugas berat
itu terpikul di pundakmu, Jerangkong. Nah. Berang-
katlah! Bunuh pemuda sakti yang bergelar Siluman
Ular Putih!" perintah Iblis Pemanggil Roh penuh keku-

atan sakti.
Dengan gerakan kaku si Jerangkong segera
berbalik ke samping. Kemudian dengan gerakan aneh,
badan kayunya tahu-tahu telah melenting tinggi ke
udara. Gerakannya kali ini makin bertambah ringan
dan cepat. Dan begitu ujung kayu pada bagian bawah
tubuhnya menyentuh tanah, Jerangkong kembali me-
lenting tinggi ke udara. Dan sebentar kemudian
bayangan pendeknya menghilang di antara kegelapan
malam.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak ke atas, memandang angkasa biru.
Seolah-olah ia ingin menantang semua penghuni ang-
kasa raya!


7

Tanah kering pecah berpetak-petak oleh musim
kemarau kali ini. Sesekali debu-debu beterbangan ter-
tiup angin kering. Siang ini terasa lengang. Tiada suara
unggas maupun binatang liar lainnya. Hanya desiran
angin dataran tandus di luar Hutan Minden yang
membuat suasana terasa sedikit nyaman.
Dalam terpaan lembut angin pedataran, tam-
pak dua sosok anak manusia tengah berkelebat menu-
ju Hutan Minden. Yang berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan adalah seorang pemu-
da tampan berambut gondrong sebatas bahu. Di da-
danya terdapat rajahan bergambar ular putih kecil
yang terlihat dari balik rompi tanpa kancingnya. Ia tak
lain dari Soma alias Siluman Ular Putih.
Di sebelah Soma adalah seorang gadis cantik

berpakaian ketat warna kuning. Usianya kira-kira de-
lapan belas tahun. Rambutnya hitam panjang dikuncir
ke belakang. Gadis cantik itu tidak lain dari Pulasari,
putri angkat Malaikat Kaki Seribu.
Memang, kini kedua anak muda itu tengah
mencari orang yang tengah menebar maut di Pergu-
ruan Kaki Angin. Setelah menguburkan mayat Malai-
kat Kaki Seribu beserta kedelapan orang muridnya,
Soma dan Pulasari sempat bermalam di Perguruan Ka-
ki Angin. Baru pagi harinya mereka memulai penca-
rian.
"Kita beristirahat sebentar, Soma. Aku letih,"
pinta Pulasari.
Pulasari menghentikan langkahnya di pinggiran
jalan setapak di samping Hutan Minden. Keringat
membasahi wajah gadis itu. Pipinya menjadi kemerah-
merahan setelah hampir seharian berlari.
Tanpa banyak cakap Soma pun menghentikan
langkahnya di samping Pulasari. Sejenak dipandan-
ginya gadis cantik di hadapannya disertai senyumnya
yang dianggap paling manis. Namun belum sempat
membuka suara....
"Jangan cengengesan! Kau pikir aku senang
melihat tampang jelek mu, he?!" bentak si gadis, ga-
rang.
Senyum Soma berubah jadi cengiran. Tangan
kanannya lalu menggaruk-garuk kepala.
"Mau istirahat, mengapa pakai bentak-bentak
begitu?!" tukas Soma seraya berjalan mendekati se-
buah pohon rindang. Lalu dengan seenaknya, tubuh-
nya direbahkan di tanah rerumputan. Sebelah tangan-
nya dipergunakan untuk menopang kepala. Sedang
sepasang matanya terus menatap Pulasari dengan se-
nyum terkembang di bibir.

Pulasari jengkel sekali ditatap seperti itu. Na-
mun disadari, tak ada gunanya bertengkar mulut den-
gan pemuda di hadapannya. Ia hanya berjalan mende-
kati rindangnya sebuah pohon, lalu duduk merenung
membelakangi murid Eyang Begawan Kamasetyo itu.
Sepasang matanya terus memperhatikan tanah kering
di hadapannya dengan pikiran semrawut. Tampak pula
matanya mulai merembang oleh air mata.
"Langit cukup cerah. Matahari bersinar terang.
Tapi, mengapa aku tidak merasa nyaman di tempat ini.
Debu-debu beterbangan, membuat sesak napasku sa-
ja," celoteh Soma. Entah, ditujukan pada siapa.
Sepasang matanya terus memperhatikan tanah
tandus di hadapannya. Seolah-olah bicaranya dituju-
kan pada tanah tandus itu.
Sementara, tiba-tiba Pulasari balikkan tubuh-
nya. Sepasang matanya yang indah berkilat-kilat pe-
nuh kemarahan.
"Kau  menyindir ku, he?!" bentak si gadis ter-
singgung.
Soma tersentak kaget. Lebih kagetnya lagi keti-
ka melihat sepasang mata indah Pulasari berkilat-kilat
penuh kemarahan.
"Lho lho...? Siapa yang menyindir? Aku tidak
menyindir siapa-siapa. Aku hanya menyayangkan
keindahan alam ini," kilah Soma.
"Menyayangkan... menyayangkan! Tapi bicara-
mu tadi menyindir ku, tahu!" dengus Pulasari ketus.
Soma menggaruk-garuk kepala dengan sikap
bingung.
"Heran! Mengapa kau selalu bicara ketus begi-
tu? Apa salahku?" gumam Soma seraya menggeleng-
geleng. "Hm...! Maunya aku sih ya... mbok bicaranya
sedikit lembut. Sedikit mesra. Biar enak didengar

orang, begitu."
Hati Pulasari kian kesal. Sepasang matanya
makin berkilat-kilat memandangi si gondrong di hada-
pannya. Namun sayangnya, Soma sedang asyik mem-
perhatikan dataran tandus di hadapannya. Lalu entah
karena apa, tiba-tiba mata dan telinganya menegang,
seperti ada sesuatu yang mengusiknya.
"Kau jangan bertingkah macam-macam, Soma!
Apa kau ingin aku mem...."
Pulasari tidak dapat melanjutkan bicara ketika
melihat tangan Soma mengisyaratkan dirinya agar di-
am.
"Tunggu, Pulasari! Apa kau tidak mendengar
sesuatu?" kata Soma dengan pendengaran dipertajam.
Pulasari pun kontan diam. Diam-diam penden-
garannya pun ikut dipertajam.
"Kalau kau belum menemukan pemuda yang
bergelar Siluman Ular Putih, sebaiknya lekas pergi ke
puncak Gunung Bucu. Di sanalah orang tua sakti ber-
nama Eyang Begawan Kamasetyo bertapa. Cepat ke
sana. Dan bunuh tua bangka itu!"
Lapat-lapat telinga kedua anak muda itu men-
dengar suara seseorang tak jauh dari tempat mereka.
Suara bisikan itu halus sekali, seperti suara desau an-
gin pegunungan. Namun, cukup terdengar oleh Pula-
sari.
Kening Pulasari berkerut dalam. Suara bisikan
itu demikian halus seperti dikirim dari jarak jauh. Di-
am-diam si gadis kagum sekali dengan sang empunya
suara yang mampu mengirimkan dari jarak sejauh itu.
Lalu, siapakah orang yang diperintahnya itu? Dan,
siapa pula pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih?
Juga, siapa pula orang tua sakti Eyang Begawan Ka-
masetyo?

"Hm...! Jangan-jangan pemuda sakti yang dis-
ebut-sebut dalam bisikan itu adalah pemuda sinting di
hadapanku ini. Sebab, Ayah pun pernah bercerita ka-
lau di rimba persilatan ada seorang pemuda sakti yang
bergelar Siluman Ular Putih. Ciri-cirinya berpakaian
rompi dan celana bersisik warna putih keperakan. Ju-
ga, memiliki rajahan gambar ular putih kecil di da-
danya. Ah... ya! Pemuda ini memiliki ciri-ciri yang co-
cok dengan apa yang pernah diceritakan Ayah. Pasti
pemuda sakti bergelar Siluman Ular Putih itu adalah
pemuda sinting di hadapanku ini. Tapi, mengapa si-
kapnya ugal-ugalan sekali...?"
"Pulasari! Apa kau tidak mendengar bisikan ta-
di?"
Sebelum pertanyaan Pulasari terjawab, Siluman
Ular Putih telah. membuka suara.
"Hh...!" Pulasari menghela napas panjang.
"Yah...! Aku memang mendengar suara bisikan itu. Ta-
pi, apakah... apakah, pemuda sakti yang bergelar Si-
luman Ular Putih itu adalah kau, Soma?"
Soma tidak menjawab pertanyaan Pulasari. Ka-
rena saat ini perhatiannya tengah tertuju pada sesosok
bayangan aneh yang tengah melintasi jalan setapak di
depannya. Sosok yang tengah melesat cepat itu ber-
bentuk orang-orang yang sering digunakan para petani
di sawah untuk mengusir burung. Kepalanya terbuat
dari tempurung kelapa. Sekujur badan dan kedua tan-
gan dan kakinya terbuat dari kayu terbalut kain ber-
lumuran bercak-bercak kuning. Dan anehnya lagi, so-
sok benda aneh itu menebarkan bau kemenyan!
Soma menggeleng-geleng saking takjubnya.
Dan belum sempat pemuda murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu buka suara....
"Hentikan langkahmu, Jerangkong! Kau tak

usah repot-repot mencari pemuda sakti yang bergelar
Siluman Ular Putih. Calon korbanmu itu kini berada di
depanmu bersama seorang gadis cantik! Cepat bunuh
mereka!"
Kembali terdengar bisikan halus yang sampai di
telinga Soma dan Pulasari.

***

"Jerangkong...?!" gumam Soma dan Pulasari
hampir bersamaan.
Sejenak Soma dan Pulasari saling bersitatap
penuh keheranan. Sosok benda aneh yang kini tegak
di hadapan mereka sungguh mengagumkan. Bagaima-
na mungkin orang-orangan itu dapat berlari secepat
ini?! Siapa pula yang telah mengendalikannya? Dan
bagaimana mungkin si pengendali orang-orangan itu
mampu melihat kalau orang yang sedang dicarinya?
"Hm...! Tampaknya ada orang yang berkepan-
daian tinggi yang akan membuat kacau dunia persila-
tan dengan cara mengendalikan orang-orangan yang
disebut Jerangkong ini?" gumam Soma dalam hati.
"Siapa yang mengendalikan mu, Jerangkong?"
tanya Soma, lalu cepat meloncat bangun.
Pulasari pun cepat meloncat bangun. Sepasang
mata jelinya terus memperhatikan si Jerangkong di
hadapannya dengan kening berkerut.
Seperti biasa, tak sepatah kata pun yang teru-
cap dari sosok benda aneh di hadapan Soma dan Pula-
sari. Bahkan kedua tangan kayunya yang sudah bero-
bah menjadi kuning tahu-tahu mendorong ke depan.
Wesss! Wesss!
Maka seketika itu juga dua leret sinar kuning
dari tangan kayu si Jerangkong melesat ke depan me-

nyerang Soma dan Pulasari!
"Uts...!"
Brakkk!
Siluman Ular Putih dan Pulasari sama-sama
membuang tubuh ke samping. Dan dua sinar kuning
itu terus melesat, langsung menghantam dua batang
pohon minden besar hingga tumbang saling tumpang
tindih! Debu-debu kontan membubung tinggi begitu
dua pohon itu jatuh berdebam di tanah berdebu! Pada
bagian batang pohon yang terkena sinar kuning tadi
tampak berlobang besar mengepulkan asap kuning!
Itulah pukulan 'Darah Mayat' yang mengiriskan dari si
Jerangkong.
"Hm...! Jangan-jangan kesaktian Jerangkong
inilah yang telah membuat Malaikat Kaki Seribu dan
kedelapan orang muridnya tewas, sesuai hasil penyeli-
dikanku," gumam Soma dalam hati, begitu bangkit.
Dengan gerakan ringan Siluman Ular Putih me-
lompat ke hadapan si Jerangkong.
"Jangkrik! Tak kusangka kau mampu melepas
kesaktian demikian keji, Jerangkong!" kata Soma pe-
nuh kagum. "Apa kesaktianmu itu yang telah mene-
waskan Malaikat Kaki Seribu beserta kedelapan orang
muridnya, Jerangkong?"
Pulasari tersentak kaget. Tak disangka kalau
Jerangkong itulah yang telah menewaskan ayah ang-
katnya beserta kedelapan saudara seperguruannya.
"Jahanam! Ternyata kau yang telah mene-
waskan Ayah dan kedelapan orang saudara seperguru-
anku, Jerangkong! Siapa yang menyuruhmu menebar
maut di Perguruan Kaki Angin, he?!" bentak Pulasari,
tak dapat lagi mengendalikan amarahnya.
Kedua tangannya yang telah berobah menjadi
merah menyala segera melontarkan pukulan 'Pulung

Geni' ke arah sosok benda aneh di hadapannya!
Wesss! Wesss!
Dua leret sinar merah menyala melesat dari ke-
dua telapak tangan Pulasari, siap menghancurkan so-
sok benda aneh itu.
Namun Jerangkong itu ternyata sudah bersiap-
siap dari semula. Kedua tangan kayunya yang berwar-
na kuning tahu-tahu telah mengibas, melepas pukulan
'Darah Mayat'.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Terdengar ledakan hebat di udara ketika puku-
lan 'Pulung Geni' Pulasari terpapak oleh pukulan
'Darah Mayat'. Tubuh Jerangkong sedikit bergoyang-
goyang. Sedang tubuh tinggi ramping Pulasari lang-
sung terpental beberapa tombak ke belakang, berpu-
tar-putar sebentar dan akhirnya jatuh berdebuk di ta-
nah! Wajahnya pucat pasi! Menderita sekali keadaan-
nya. Perutnya pun terasa bergolak. Lalu....
"Hooeeekh...!"
Pulasari muntahkan darah merah kekuningan
dari mulutnya! Lalu tubuhnya terkulai ke tanah tak
bergerak-gerak lagi!
Bukan main terkejutnya Soma melihat Pulasari
dapat dirobohkan sosok benda aneh itu hanya dalam
satu gebrakan! Ia sendiri belum tentu mampu mero-
bohkan Pulasari dalam satu gebrakan. Tapi, Jerang-
kong ini...? Benar-benar mengagumkan!
"Semprul! Tak kusangka kepandaianmu seting-
gi ini, Jerangkong!" desis Soma.
Si Jerangkong tak mengeluarkan sepatah kata
pun. Kedua tangan kayunya yang kini telah berobah
menjadi hitam legam siap melontarkan pukulan 'Roh
Pembawa Petaka' yang telah diturunkan oleh Iblis Pe-

manggil Roh. Dan begitu tangan kayunya mengibas.
Wesss! Wesss...!
Seketika itu dua leret sinar hitam legam dari
kedua tangan kayu Jerangkong kontan melesat cepat
menyerang murid Eyang Begawan Kamasetyo!
Soma menggerendeng kesal. Dua kali perta-
nyaannya tidak digubris sosok benda aneh di hada-
pannya. Maka begitu dua leret sinar hitam legam dua
tombak lagi menghantam tubuhnya, cepat pukulan te-
naga 'Inti Bumi' dikerahkan. Seketika melesat dua si-
nar putih dari kedua tangannya.
Wesss! Wesss! 
Blaaarrr..!!!
Terdengar satu letusan hebat kala empat buah
sinar berlainan jenis saling bertemu di satu titik. Bumi
bergetar hebat laksana gempa! Daun-daun minden
berguguran. Malah sebagian layu!
Sosok Jerangkong hanya sedikit bergoyang-
goyang. Namun tidak demikian halnya Siluman Ular
Putih. Saat itu pula tubuh tinggi kekarnya terjajar be-
berapa langkah ke belakang dengan wajah berubah
seperti kapas. Jelas, tenaga dalam Siluman Ular Putih
kalah satu tingkat ketimbang si Jerangkong.
Sembari membesut darah yang mengalir di su-
dut-sudut bibir, Soma cepat meloncat ke depan. Begitu
tenaga dalamnya dilipatgandakan, tangan kanannya
yang mengandung tenaga 'Inti Api' telah berobah men-
jadi merah menyala. Sementara tangan kirinya pun te-
lah berobah menjadi putih terang penuh tenaga 'Inti
Bumi'.
"Chiaaat...!"
Dan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih' diguna-
kan, Soma berkelebat cepat menyerang si Jerangkong
di hadapannya hebat. Kedua telapak tangannya yang

membentuk kepala ular mematuk-matuk, berusaha
menyelinap di antara gulungan-gulungan kuning ke-
dua tangan Jerangkong.
Wesss! Wesss!
Namun si Jerangkong pun tak mau kalah.
Sambil berkelit menghindar ia terus mengurung Soma.
Sehingga berkali-kali Siluman Ular Putih harus berke-
lit ke sana kemari. Walaupun terus berusaha meng-
hindar, tetap saja si pemuda belum mampu keluar dari
gulungan-gulungan kuning kedua tangan kayu Je-
rangkong.
Sampai sepuluh jurus berlalu, Siluman Ular
Putih pun belum mampu balas menyerang. Jangankan
untuk membalas. Untuk keluar dari kurungan sepa-
sang tangan kayu Jerangkong pun tidak mampu!
"Hyaaat! Hyaaat!"
Siluman Ular Putih mencoba merubah gaya
bertarungnya. Kedua telapak tangannya yang mem-
bentuk kepala ular cepat ditekuk sedikit ke samping.
Lalu ditangkisnya serangan tangan kayu Jerangkong!
Plakkk!
Kendati tangan kayu si Jerangkong dapat ter-
tangkis, tapi tak urung Siluman Ular Putih meringis
kesakitan. Kedua telapak tangannya bahkan terasa
mau remuk! Untungnya saat menangkis tadi tenaga
dalamnya dikerahkan sepenuhnya. Hingga, ia hanya
menderita kulit luarnya saja.
Wuuut...!
Di saat telapak tangan kanan Siluman Ular Pu-
tih hendak meneruskan serangan, tiba-tiba sembari
meloncat tinggi ke udara tangan kayu kiri Jerangkong
telah mengibas mengirimkan pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss!
Siluman Ular Putih terkesiap kaget! Tak mung-

kin serangan maut Jerangkong dapat dihindari. Apala-
gi dalam jarak demikian dekat. Maka tak ada pilihan
lain, kecuali harus menangkis. Maka tanpa banyak pi-
kir lagi, tangannya mengibas melepas pukulan sakti
tenaga 'Inti Api'!
Bummm...!!!
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam di udara kali ini. Sosok Jerangkong tergetar hebat.
Tubuhnya bergoyang-goyang. Namun, yang dialami Si-
luman Ular Putih lebih hebat lagi. Karena saat ini tu-
buh tinggi kekarnya terpental beberapa tombak ke be-
lakang bak layangan putus. Begitu tubuhnya memben-
tur batang pohon di belakangnya, langsung melorot ke
tanah berdebu.
"Hooeeekh...!"
Siluman Ular Putih muntahkan darah merah
kekuningan dari mulutnya. Wajahnya pias bagaikan
kapas. Tampak sisa-sisa darah terlihat di sudut-sudut
bibir. Siluman Ular Putih menggereng penuh kemara-
han. Saking tidak kuatnya menahan amarah, tiba-tiba
sekujur tubuhnya mulai dipenuhi asap putih tipis.
Sampai akhirnya sosok bayangan tubuhnya tidak keli-
hatan sama sekali!
Dan ketika asap putih tebal yang menyelimuti
tubuh Siluman Ular Putih hilang tertiup angin.
"Ggggeeerrr...!!!"

8

Laksana petarung sejati yang ingin melihat apa
yang akan dilakukan lawan selanjutnya, sejenak Je-
rangkong menghentikan serangan. Di hadapannya kini
tampak sesosok tubuh putih panjang sebesar pohon

kelapa! Sepasang matanya berwarna merah saga den-
gan taring-taring mengerikan! Terkadang di balik asap
putih terlihat punggung ular putih sebesar pohon ke-
lapa itu yang menyembul-nyembul. Sebentar kemu-
dian, tampak kepala ular putih itu yang menyembul
tinggi ke atas.
Dan si Jerangkong ternyata hanya sebentar sa-
ja menghentikan serangan. Kedua tangan kayunya kini
kembali berwarna kuning sampai ke pangkal lengan.
Lalu tahu-tahu si Jerangkong telah mengibaskan ke-
dua tangan kayunya untuk melepas pukulan 'Darah
Mayat'.
Wesss! Wesss!
Bukkk! Bukkk!
Dua sinar kuning dari tangan kayu Jerangkong
telak sekali mengenai tubuh ular putih raksasa perwu-
judan dari murid Eyang Begawan Kamasetyo. Tubuh
panjang ular putih itu terpental ke samping, mencipta-
kan debu-debu yang membubung  tinggi memenuhi
tempat pertempuran. Namun anehnya, tubuh Siluman
Ular Putih tidak sedikit pun terluka.
Malah kini sepasang matanya makin berwarna
merah saga. Dan disertai gerengan panjang, ular putih
raksasa itu menerjang garang si Jerangkong. 
Wesss! Wesss!
Sebelum serangan-serangan Siluman Ular Pu-
tih mengenai sasaran, terlebih didahului oleh angin
berkesiur kencang. Namun, sosok Jerangkong sedikit
pun tidak menunjukkan rasa takut. Malah dipapaknya
serangan-serangan Siluman Ular Putih dengan puku-
lan 'Darah Mayat'.
Wesss! Wesss!
Bukkk! Bukkk!
Sekali lagi tubuh besar Siluman Ular Putih ter-

pental ke belakang. Bumi bergetar keras begitu tubuh-
nya jatuh berdebum ke tanah! Debu-debu jalanan
kembali membubung tinggi memenuhi tempat itu. Si-
luman Ular Putih menggereng penuh kemarahan. Tar-
ing-taringnya yang runcing tampak demikian mengeri-
kan. Kembali disertai gerengan yang mampu mengge-
tarkan tanah di sekitarnya, ular putih raksasa itu
kembali menerjang dengan terkaman-terkaman dan
kibasan-kibasan ekor.
"Ggggeceerrr...!!!"
Seperti tak mengenal takut lagi-lagi si Jerang-
kong mengibaskan kedua tangan kayunya. Maka,
kembali dua larik sinar kuning melesat dari kedua
tangan kayunya untuk memapaki serangan-serangan
Siluman Ular Putih.
"Ggggeeerrrr...!"
Namun kali ini Siluman Ular Putih sedikit ber-
tindak cerdik. Begitu dua larik sinar kuning siap mela-
brak tubuhnya, dengan gerakan lincah tubuhnya me-
rendah untuk menghindar. Bersamaan dengan mele-
satnya serangan-serangan si Jerangkong ekornya diki-
baskan kuat-kuat.
Prakkk!
Kibasan ekor Siluman Ular Putih telak sekali
menghantam sasaran. Akibatnya, tubuh kayu dan ke-
pala tempurung si Jerangkong hancur berantakan.
Kepalanya terpental ke belakang. Kedua tangan dan
sebagian tubuhnya berpencaran ke samping kanan ki-
ri! Namun selang beberapa saat....
Tap! Tap!
Tiba-tiba terjadi sesuatu hal yang di luar piki-
ran manusia! Tubuh aneh si Jerangkong yang hancur
berpencaran mendadak berlompatan, lalu saling ber-
sambungan seperti semula! Pertama, kedua tangan

kayunya. Baru kemudian disusul kepala tempurung
yang terlempar jauh ke belakang.
Sementara sosok panjang ular putih raksasa
itu pun sempat terlongong melihat kejadian aneh di
hadapannya. Untuk beberapa saat, serangan-
serangannya dihentikan.
Dan kesempatan ini digunakan si Jerangkong
untuk balas menyerang. Kini kedua tangan kayunya
telah berubah menjadi hitam legam! Berarti ia telah
menyiapkan pukulan maut 'Roh Pembawa Petaka'-nya
yang diturunkan Iblis Pemanggil Roh.
Wesss! Wesss!
Buukk! Buuukk!
Sosok panjang ular putih itu kembali terpental
beberapa  tombak ke belakang. Tubuhnya berdebum
menciptakan debu-debu yang membubung tinggi! Dan
sebelum Siluman Ular Putih mampu bersiap kembali,
si Jerangkong kembali melancarkan serangan-
serangan maut.
"Gggeeeerrr...!!!"
Ular putih raksasa itu menggereng hebat, lalu
segera berkelit ke samping. Ujung ekornya dikibaskan,
berusaha menghantam si Jerangkong.
Namun dengan gesit sekali sosok Jerangkong
meloncat tinggi ke udara. Dan begitu ujung runcing
bagian bawah tubuhnya menyentuh tanah, tubuhnya
kembali menyerang Siluman Ular Putih hebat!
Siluman Ular Putih kewalahan bukan main.
Meski tubuhnya kebal terhadap berbagai macam pu-
kulan maut, namun keadaan ini tetap saja membuat-
nya kewalahan! Berkali-kali tubuh panjangnya terkena
sambaran-sambaran sinar kuning dari kedua tangan
kayu si Jerangkong. Dan berkali-kali pula tubuhnya
jatuh berdebam ke tanah!

Dan pada saat Siluman Ular Putih tengah ter-
desak hebat....

Kucari tempat semayam yang nyaman di bumi
Tapi bumi bukanlah tempat yang nyaman. 
Berjalanlah aku menurut kehendakku, dan aku
diperbudaknya. 
Kalau ku puas apa adanya, aku pun akan mer-
deka!

Terdengar lantunan syair dari seseorang.
Belum hilang gaung merdu suara sajak itu, ta-
hu-tahu di luar tempat pertempuran telah berdiri tegak
seorang lelaki tua tinggi kurus berpakaian putih-putih!


9

Tak jauh di luar pertarungan antara Siluman
Ular Putih melawan si Jerangkong, berdiri seorang le-
laki tua renta berpakaian putih-putih! Wajahnya putih
bersih. Sepasang matanya yang tajam bersinar terang.
Rambutnya yang memutih dibiarkan meriap di bahu.
Usianya sulit sekali ditaksir. Mungkin di atas delapan
puluhan atau sembilan puluh tahunan. Yang jelas, le-
laki tua renta tak lain adalah Penyair Sinting!
Habis mendendangkan bait-bait sajaknya,
orang tua itu pun lantas gerak-gerakkan lonceng di
tangan kanannya ke sana kemari.
Klinting! Klinting!
Aneh sekali! Suara lonceng itu demikian keras-
nya seperti hendak menulikan telinga, walau Penyair
Sinting hanya menggerak-gerakkan biasa saja. Bahkan

kalau yang mendengar hanya memiliki tenaga dalam
rendah, bukan mustahil gendang telinganya akan pe-
cah.
Namun, tentu saja hal itu sama sekali tidak
mempengaruhi si Jerangkong. Jangankan terusik oleh
suara lonceng, melihat kehadiran lelaki tua sakti dari
Gunung Slamet itu tidak! Malah kini dengan kedua
tangan kayunya berwarna kuning kembali diserangnya
Siluman Ular Putih dengan hebat!
Dengan segenap kemampuannya. Siluman Ular
Putih terus melayani gempuran-gempuran si Jerang-
kong. Sedang Penyair Sinting hanya menonton dengan
sikap heran. Bagaimana mungkin sosok benda mati itu
dapat menyerang Siluman Ular Putih dengan demikian
hebat? Dan siapa pula yang mengendalikannya?
"Hm...! Sungguh keji orang yang tega mengusik
arwah yang sudah mati! Ini pasti perbuatan Iblis Pe-
manggil Roh dari Lembah Duka. Kalau tidak, siapa lagi
tokoh dunia persilatan yang mampu memanggil sekali-
gus mengendalikan arwah orang mati! Hm...! Ya ya
ya...! Dan kalau tidak salah, pukulan Jerangkong itu
bernama pukulan 'Darah Mayat' milik mendiang Peng-
huni Alam Maut...."
Sehabis menggumam begitu,  Penyair Sinting
memandang liar Siluman Ular Putih.
"Bocah tolol! Kenapa tidak lekas-lekas kau ba-
wa gadismu yang cantik itu pergi dari sini. Lekas! Biar
aku main-main sebentar dengan makhluk aneh ini,"
bentak Penyair Sinting pada Soma yang masih berben-
tuk Siluman Ular Putih.
Belum habis gema bentakannya, Penyair Sint-
ing segera berkelebat. Dipapaknya serangan-serangan
Jerangkong dengan ajian andalan 'Pancar Surya'! Ke-
dua tangannya yang telah berobah menjadi putih ber-

kilauan bergerak-gerak laksana kitiran.
Bummm!
Terdengar ledakan hebat di udara yang mem-
buat bumi berguncang. Debu-debu pun beterbangan
menutupi pandangan. Tubuh Penyair Sinting ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Ia se-
perti merasa dikeroyok dua tenaga dalam berbeda. Se-
dang sosok Jerangkong hanya bergetar-getar sebentar.
Lalu tanpa mempedulikan keadaan Penyair Sinting
kembali diserangnya Siluman Ular Putih dengan hebat!
"Hm...! Tak kusangka kalau Iblis Pemanggil Roh
telah menurunkan ilmu andalannya pada Jerangkong
ini. Sungguh dunia persilatan akan tertimpa petaka
kalau aku tidak dapat mengatasinya. Tapi, bagaimana
caranya? Rupanya tenaga dalam Penghuni Alam Maut
telah menyatu dengan tenaga dalam Iblis Pemanggil
Roh. Rasanya sulit sekali aku mengalahkannya...,"
gumam Penyair Sinting dalam hati.
Sementara saat itu, tubuh Siluman Ular Putih
tengah diselimuti asap tebal. Sehingga, sosok panjang-
nya tidak kelihatan sama sekali. Namun ketika dua la-
rik sinar kuning menyerangnya, tak urung juga Silu-
man Ular Putih menggereng hebat penuh kemarahan.
Sebab pada saat hendak menjelma kembali menjadi
manusia biasa, rasanya tidak mungkin membalas se-
rangan.
Wesss! Wesss!
Untungnya di saat Siluman Ular Putih kebin-
gungan, mendadak dua larik sinar putih terang mele-
sat dari kedua telapak tangan Penyair Sinting.  Cepat
dipapakinya pukulan 'Darah Mayat' si Jerangkong.
Blarrr...!
Tepat ketika terjadi ledakan, Siluman Ular Pu-
tih telah menjelma kembali jadi manusia biasa. Namun

tak urung tubuhnya terlempar, terkena pengaruh le-
dakan.
Sementara lagi-lagi tubuh tinggi kurus Penyair
Sinting terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah segar
membasahi bibir, pertanda orang tua renta dari Gu-
nung Slamet mendapat guncangan keras pada bagian
dada.
Sedang si Jerangkong hanya sedikit bergoyang-
goyang. Kemudian tanpa menghiraukan Penyair Sint-
ing, kembali diserangnya Siluman Ular Putih. Untung
saja, saat itu Soma telah kembali menjelma jadi manu-
sia biasa, sehingga dapat menghindarinya dengan me-
liuk-liukkan tubuhnya.
"Wah wah wah...! Kenapa aku saja yang dis-
erang? Hey, Jerangkong Goblok?! Tuh, serang orang
tua yang sedang jual lagak itu! Cepat!" celoteh Soma
alias Siluman Ular Putih terus meliuk-liuk ke sana
kemari menghindari serangan
Namun anehnya, si Jerangkong terus saja
menggempur hebat Siluman Ular Putih. Hal ini tentu
saja sangat mengherankan Soma dan Penyair Sinting
yang telah kembali berdiri kokoh.
"Bocah tolol! Tak mungkin kita mengalahkan
benda aneh ini. Lekas bawa temanmu yang cantik itu
pergi! Nanti aku menyusul! Lekas!"
Kening Soma berkerut dalam.
"Benarkah aku dan Penyair Sinting yang sakti
tidak dapat mengalahkan benda aneh ini? Tapi... tapi
buktinya saja aku tidak sanggup menghadapinya.
Bahkan Penyair Sinting pun sudah terluka. Ah, bagai-
mana ini?" gumam Soma sambil garuk-garuk kepala
dengan sikap bingung.
"Hey, tolol! Lekas bawa gadismu itu pergi! Nih,

nanti minum obat pulung ini pada gadismu itu! Tapi,
ingat! Jangan pakai air!" ujar Penyair Sinting, mem-
bentak kesal.
Dan ketika dua larik sinar kuning dari tangan
kayu si Jerangkong kembali menyerang Siluman Ular
Putih, Penyair Sinting mengibaskan kedua tangannya
dengan pukulan andalan 'Pancar Surya'!
Wesss! Wesss! 
Bumm...!!!
Lagi-lagi tubuh Penyair Sinting terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Darah segar
kembali membasahi sudut-sudut bibirnya!
"Dasar orang tua sinting! Bagaimana mungkin
aku dapat meminumkan obat pulung pada temanku
kalau tidak pakai air?!" gerutu Soma.
"Hm...! Bocah goblok! Kalau saja bahaya maut
sedang tidak menghadang kita, sudah kurobek-robek
mulut dowermu itu! Lekas bawa gadismu itu pergi!
Kau boleh meminumkan obat pulung itu pakai kayu
atau... pakai mulutmu juga boleh!"
Soma sebenarnya ingin tertawa. Namun ketika
melihat wajah sungguh-sungguh Penyair Sinting, niat-
nya segera diurungkan.
"Lantas? Siapa sebenarnya yang telah mengen-
dalikan benda sakti itu, Orang Tua?" tanya Soma pe-
nasaran.
"Dia.... Dia...."
"Ha ha ha...! Kenapa kau bingung-bingung, Je-
rangkong?! Sikat saja tua bangka keparat itu! Lekas!
Laksanakan perintahku!"
Belum sempat Penyair Sinting bicara, tiba-tiba
di tempat pertempuran terdengar satu bisikan halus
mirip desau angin!
Mendengar bisikan halus dari orang yang men-

gendalikannya, si Jerangkong sejenak menghentikan
serangan. Tampak kalau ia tengah bersiap-siap meng-
hadapi pengeroyoknya. Lalu dengan gerakan cepat, so-
sok aneh itu pun kembali meloncat tinggi ke udara.
Tangan kayunya sebelah kiri didorong ke arah Siluman
Ular Putih. Sedang tangan kayu sebelah kanan diki-
baskan ke arah Penyair Sinting.
"Siapa orang yang mengendalikan Jerangkong
ini, Orang Tua?" tanya Soma seraya membuang tu-
buhnya ke samping menghindari serangan si Jerang-
kong.
Tanpa menjawab, Penyair Sinting bertindak se-
rupa. Dengan sekali menghentakkan kakinya ke tanah,
tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah melompat ke
samping. Sehingga, serangan si Jerangkong hanya
menghantam gundukan tanah di belakangnya.
Bummm...!
Gundukan tanah itu hancur menciptakan ke-
pulan debu amat pekat! Sisa-sisa gundukan tanah itu
hangus terbakar, mengepulkan asap kekuningan!
"Siapa lagi kalau bukan manusia laknat Iblis
Pemanggil Roh?! Lekas cari dia! Ia pasti berada di ma-
kam Penghuni Alam Maut di atas Bukit Menjangan tak
jauh dari sini! Lekas sekalian bawa gadismu yang can-
tik itu! Biar aku bermain-main sebentar dengan benda
edan ini," buru Penyair Sinting menjawab seraya mem-
beri perintah.
Siluman Ular Putih bukannya berjiwa pengecut.
Tapi bila mengingat keadaan Pulasari yang mengkha-
watirkan, kekerasan hatinya untuk menghadapi si Je-
rangkong lumer juga. Maka Soma pun segera berkele-
bat menyambar tubuh si gadis, lalu cepat meninggal-
kan tempat ini.
"Terima kasih, Orang Tua. Hati-hatilah! Jan-

gan-jangan pantatmu kena gebuk tangan kayu benda
edan itu! Selamat tinggal, Orang Tua!"
Si Jerangkong adalah budak yang taat. Melihat
salah seorang calon korbannya kabur, segera ia me-
lompat tinggi. Langsung dikejarnya Siluman Ular Putih
yang tengah berlari kencang menuju timur sambil
memondong tubuh Pulasari. Kedua tangannya yang te-
lah berobah menjadi kuning itu segera mendorong ke
arah Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss!
Namun pada saat yang mengkhawatirkan, Pe-
nyair Sinting pun menghentakkan kedua tangannya.
Saat itu pula dua larik sinar putih berkilauan melesat
dari kedua telapak tangannya, langsung memapak si-
nar-sinar kuning dari si Jerangkong.
Blaaarrr...!
Penyair Sinting kembali terhuyung-huyung be-
berapa langkah ke belakang begitu terjadi ledakan aki-
bat bertemunya sinar-sinar berlainan jenis. Namun,
setidak-tidaknya lelaki sinting itu telah memperlancar
Siluman Ular Putih dalam melarikan diri. Dan kenya-
taannya memang demikian. Siluman Ular Putih yang
tengah memondong tubuh Pulasari kini telah menghi-
lang ditelan kerimbunan hutan depan sana.
Kalau saja si Jerangkong dapat bicara, sudah
pasti akan memaki habis-habisan. Namun sayang, ia
hanyalah benda mati. Hanya karena roh Penghuni
Alam  Maut yang masuk ke dalam tubuhnya sajalah
yang membuatnya jadi hidup!
Dan ketika Soma telah jauh meninggalkan tem-
pat pertempuran, si Jerangkong kembali menghadapi
Penyair Sinting. Sebentar saja pertarungan sengit yang
mengandalkan ajian-ajian tingkat tinggi pun berlang-
sung.

Kali ini Penyair Sinting makin kewalahan saja.
Rasanya sulit baginya untuk mengalahkan lawan
anehnya. Sejengkal pun, si Jerangkong tidak pernah
memberi kesempatan lolos bagi Penyair Sinting.
"Jangkrik! Kalau begini terus caranya, malah
bisa modar aku!" gerutu Penyair Sinting dalam hati.
Melihat serangan-serangan demikian hebatnya,
Penyair Sinting cepat memutar lonceng kecil di tangan
kanan. Ditangkisnya serangan tangan kanan si Je-
rangkong. Sedang tangan kirinya dipergunakan untuk
memapak pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss! Wesss!
Prakkk! 
Bummm!
Tangkisan lonceng yang diakhiri dengan satu
letusan hebat di udara, membuat wajah Penyair Sint-
ing pucat pasi. Tampak darah segar menyembur dari
mulutnya. Sedang tubuhnya yang sempat terhuyung-
huyung cepat digulingkan ke samping. Sambil bergu-
lingan begitu, kedua telapak tangannya yang telah be-
robah menjadi putih berkilauan buru-buru dihentak-
kan ke depan.
Wesss! Wesss!
Serangan Penyair Sinting berhasil dihindari si
Jerangkong dengan memutar tubuhnya.
Namun kesempatan baik ini tidak disia-siakan
lelaki tua itu.
"Hup...!"
Saat itu pula Penyair Sinting segera berkelebat
cepat meninggalkan tempat ini.
"Kejar! Jangan sampai lolos!"
Tiba-tiba kembali terdengar bisikan halus mirip
angin kepada si Jerangkong.
Meski tanpa diperintah sekalipun si Jerangkong

pasti menjalankan tugasnya hingga calon korbannya
tewas.
10

Soma menghentikan larinya di pinggiran pa-
dang rumput yang cukup luas. Sejenak matanya edar-
kan ke segenap penjuru. Di hadapannya tampak se-
buah bukit hijau. Entah bukit apa itu. Pemuda ini ti-
dak begitu tertarik. Melihat Pulasari masih pingsan da-
lam pondongannya, hatinya jadi gelisah sekali. Buru-
buru diturunkannya tubuh Pulasari dan direbahkan di
tanah rerumputan.
Wajah cantik Pulasari tampak demikian pucat-
nya. Kedua telapak tangannya hingga ke pangkal siku
berwarna kuning terkena racun pukulan 'Darah Mayat'
si Jerangkong. Rasanya Soma tidak tega membiarkan
gadis itu tersiksa lebih lama. Maka buru-buru diro-
gohnya obat pulung berwarna kuning pemberian Pe-
nyair Sinting.
Besarnya obat pulung itu kira-kira hampir se-
besar biji kelengkeng. Cukup besar memang. Perlahan-
lahan Soma pun mulai membuka mulut Pulasari. Dije-
jalkannya obat itu ke mulut si gadis. Ajaib sekali! Ter-
nyata, obat pemberian Penyair Sinting tidak dapat ter-
telan.
"Ah...! Sebaiknya pakai air," desah Soma dalam
hati sambil memasukkan kembali obat pulung itu ke
saku. "Tapi... tapi Penyair Sinting pesan kalau obat ini
tidak dapat ditelan dengan air? Ah...! Masa bodohlah!
Mana ada sih menelan obat tidak pakai air? Ada-ada
saja Penyair Sinting itu. Dasar orang tua sinting! Po-
koknya, sekarang aku harus secepatnya mendapatkan
air!"

Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
segera berkelebat mencari air. Kebetulan sekali tak
jauh dari padang rumput tadi ia melewati sendang
dengan sebuah pancuran. Maka kini larinya diarahkan
ke sana.
Dalam waktu singkat Soma telah tiba di sen-
dang kecil yang dimaksudkan.
"Air pancuran ini jernih sekali. Aku jadi ingin
mandi," gumam Soma lagi dalam hati.
Namun ketika teringat akan keselamatan Pula-
sari, si pemuda cepat urungkan niatnya. Sebentar ma-
tanya beredar ke sekeliling seperti mencari sesuatu.
Dan ketika melihat daun talas timbul gagasan untuk
memetiknya. Daun talas itu akan digunakannya untuk
membawa air. Dengan daun talas yang  tangkupkan,
Soma menadahi air pancuran. Tidak terlalu sulit me-
mang. Sebentar saja daun talas itu sudah penuh air.
Soma kini buru-buru kembali menemui Pulasa-
ri. Sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuh tinggi ke-
karnya pun telah berkelebat menuju tempat Pulasari
ditinggalkan.
Karena jarak yang tak terlalu jauh, Siluman
Ular Putih kini tiba di dekat Pulasari.
Ternyata, si gadis masih terbaring di tempat-
nya. Soma lega sekali. Padahal tadi ia khawatir sekali
kalau-kalau ada orang jahat menculik gadis itu.
Dengan sikap mantap Soma segera berjongkok
di samping gadis itu. Tangan kirinya buru-buru mero-
goh obat pulung kuning pemberian Penyair Sinting ta-
di. Lalu sambil memegangi daun talas berisi air di tan-
gan kanan, Soma berusaha menjejalkan obat itu ke da-
lam mulut Pulasari. Setelah obat itu masuk, baru So-
ma menuangkan air dalam daun talas ke dalam mulut
Pulasari.

Namun apa yang terjadi? Ternyata obat kuning
itu kembali mencelat keluar dari dalam mulut Pulasari.
Buru-buru Soma memungutnya dan membersihkan-
nya dengan baju.
"Aneh...! Masa' sih, didorong pakai air obat ini
malah menceliat keluar?" desah si pemuda sambil
menggeleng-geleng. "Ah, coba ku ulang sekali lagi. Sia-
pa tahu bisa."
Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
kembali memasukkan obat pulung ke dalam mulut Pu-
lasari. Lalu, segera dituangkannya air dalam daun ta-
las hingga habis.
Namun anehnya, obat kuning itu kembali men-
celat keluar. Hal ini membuat Soma kembali garuk-
garuk kepala dengan sikap bingung. Boro-boro obat
kuning itu tertelan. Malah sebagian baju atas Pulasari
basah terkena air, membuat lekuk-lekuk tubuh bagian
atasnya tercetak.
"Ah...! Dasar orang tua sinting. Membuat obat
pemunah racun pun masih pakai cara sinting!" gerutu
Soma lagi-lagi selalu menyalahkan Penyair Sinting.
Dan ketika teringat ucapan Penyair Sinting ta-
di, si pemuda jadi garuk-garuk kepala lagi. Pipinya me-
rona merah saking jengahnya.
"Masa' sih, aku harus memasukkan obat ini
dengan cara meniup ke dalam mulut Pulasari?" gu-
mam Soma bingung. "Tapi... tapi kalau ku dorong pa-
kai kayu itu  lebih tidak mungkin! Ah...! Bagaimana
ini?"
Siluman Ular Putih kembali garuk-garuk kepa-
la. Bingung. Entah, sudah berapa kali murid Eyang
Begawan Kamasetyo menggaruk-garuk kepala saking
bingungnya. Padahal rambutnya tidak terasa gatal.
"Hm...! Tak ada jalan lain. Mungkin ucapan

orang tua sinting itu benar. Aku harus memasukkan
obat keparat ini ke dalam mulut Pulasari dengan mu-
lut. Berarti... berarti aku bisa juga dikatakan mencuri
cium? Ah, bagaimana ini? Pasti Pulasari akan marah
besar kalau aku berbuat tidak senonoh padanya!" lagi-
lagi Soma menggumam bingung.
Sejenak dipandanginya wajah cantik yang pu-
cat itu dengan perasaan jengah. Bagaimana tidak jen-
gah kalau baru pertama kali murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu harus menempelkan bibirnya ke bibir
seorang gadis?!
"Hm...! Tidak ada jalan lain! Terpaksa aku ha-
rus menuruti saran orang tua sinting itu. Tapi, awas!
Kalau aku bertemu orang tua sinting itu, pasti aku
akan membalasnya!" ancam Soma jengkel.
Namun, toh akhirnya Siluman Ular Putih mau
juga menuruti saran Penyair Sinting. Maka dengan
menekan perasaan jengahnya, mulai dimasukkannya
obat pemberian Penyair Sinting ke dalam mulut Pula-
sari.
Namun, meski Soma telah menekan perasaan
jengahnya, tetap saja merasa ragu-ragu ketika akan
mendekatkan mulutnya ke bibir merah Pulasari.
"Maafkan aku, Pulasari! Demi Tuhan aku tidak
bermaksud berlaku tidak senonoh padamu," ucap So-
ma.
Dan sambil memejamkan matanya rapat-rapat,
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai mende-
katkan bibirnya ke bibir Pulasari. Aneh sekali! Begitu
bibirnya menempel, murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu jadi enggan sekali melepaskannya. Betapa dari bibir
merah Pulasari, Soma merasakan kehangatan yang be-
lum pernah dirasakan seumur hidupnya. Sehingga, ia
sampai lupa apakah obat tadi sudah tertelan oleh Pu-

lasari atau belum. Yang jelas, perasaan Soma makin
melambung tinggi. Apalagi ketika merasakan ada se-
suatu yang bergerak-gerak dalam mulut Pulasari.
Soma jadi benar-benar lupa diri. Namun di saat
si pemuda tengah terbuai dalam kehangatan, tiba-tiba
Pulasari terbangun. Lalu....
"Hih...!"
Plakkk! Plakkk! 
"Ohh...?!"
Setelah mendorong tubuh Soma, si gadis cepat
menggerakkan tangan kanannya. Dua kali. Maka, dua
kali pula pipi Soma terkena tamparan tangannya.
Soma membelalakkan matanya lebar. Bukan-
nya sakit akibat tamparan Pulasari tadi, melainkan
kaget melihat Pulasari ternyata sudah siuman!
"Kunyuk gondrong tak tahu malu. Cih...! Begi-
nikah caramu memperdayai seorang gadis? Memalu-
kan! Pendekar macam apa kau ini?!" bentak Pulasari,
kalap bukan main.
Sekali menggerakkan tubuhnya, Pulasari telah
berdiri. Sepasang mata jelinya berkilat-kilat penuh
kemarahan. Kemudian dengan kemarahan meluap,
diserangnya Soma yang tadi jatuh terduduk.
Bukkk! Bukkk!
Entah sudah berapa kali tendangan Pulasari
mendarat telak di sekujur tubuh murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Namun, si pemuda masih tetap diam
saja. Ia seolah-olah masih terpana melihat bibir merah
Pulasari yang bergerak-gerak di hadapannya penuh
kemarahan.
"Aku.... Aku... ah! Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud berbuat tidak senonoh padamu, Pulasari. Per-
cayalah!" sergah Soma gugup bukan main.
"Percuma saja kau sebut-sebut Tuhan! Toh,

kau melakukannya juga, kan?!" tukas Pulasari tak da-
pat lagi menahan amarahnya yang menggelegak. Tu-
buhnya kembali mencelat membawa serangan ganas.
Buk! Bukk! Plakk!
Tendangan dan tamparan gadis itu kembali
menghajar sekujur tubuh murid Eyang Begawan Ka-
masetyo tanpa ampun.
"Semprul! Ini semua gara-gara orang tua sinting
itu! Sial-sial!" gerutu Soma kesal dengan tubuh bergu-
lingan tanpa melawan.
"Jangan menyalahkan orang lain! Sekarang, ja-
wab! Sudah kau apakan aku, he?!" dengus si gadis.
"Ya, ampun! Kau masih belum percaya juga
dengan keteranganku? Demi Tuhan, aku tidak ber-
maksud berlaku tidak senonoh padamu. Tadi... tadi
Penyair Sinting memang memberi ku sebuah obat kun-
ing untuk memunahkan racun akibat pukulan 'Darah
Mayat' si Jerangkong. Dan menurut keterangannya,
memang dengan cara seperti tadi itulah aku mesti
memasukkan obat ke dalam mulutmu," jelas Soma,
kali ini terpaksa berkelebat ke sana kemari menghin-
dari amukan Pulasari.
"Aku tidak percaya! Mana ada meminumkan
obat dengan cara sinting itu!" geram Pulasari penuh
kemarahan.
Tamparan-tamparan dan tendangan kaki gadis
cantik itu makin menghebat. Sementara Siluman Ular
Putih harus berloncatan ke sana kemari, sambil men-
jelaskan duduk persoalannya.
"Semula aku sendiri juga tidak percaya, Pulasa-
ri. Tapi setelah ku coba memang kenyataannya gagal.
Kalau tidak percaya, coba lihat! Pakaian atasmu basah
semua, kan? Nah! Itu tadi aku sudah mencoba mema-
sukkan obat sinting itu dengan air. Tapi toh, aku tetap

saja gagal. Maka dengan sangat terpaksa sekali, ter-
paksa aku melakukan itu seperti yang telah disaran-
kan Penyair Sinting!"
"Hm...!" Pulasari menggumam tak jelas. Namun
amarahnya masih belum reda. Dan ketika melihat baju
bagian atasnya memang basah kuyup, hatinya jadi ra-
gu-ragu. Maka seketika serangan-serangannya dihen-
tikan.
"Be... benar kau... kau tidak bermaksud kurang
ajar padaku, Soma?" tanya Pulasari ragu-ragu.
"Ya, ampun! Memangnya aku sudah gila! Orang
yang memberi obat pemunah racun itulah yang gila!"
"Tapi kalau kau memang terbukti berlaku ku-
rang ajar padaku, demi Tuhan aku akan membunuh-
mu, Soma!" geram Pulasari akhirnya.
"Baik, baik! Kalau tidak percaya, tanyakan saja
pada orang tua gila itu!" sungut Soma kesal.
"Maksudmu, orang tua sakti bergelar Penyair
Sinting?"
"Yah...! Siapa lagi?!" 
"Hm...! Baik! Nanti kalau aku bertemu dengan-
nya, aku pasti akan menanyakan hal ini padanya," ka-
ta Pulasari. "Sekarang kita berada di mana? Dan mana
Jerangkong yang telah mencelakakan ku itu?"
"Aku tidak tahu, di mana kita sekarang. Yang
jelas, sekarang benda edan Jerangkong itu tengah ber-
tempur hebat melawan Penyair Sinting yang juga me-
nyarankan agar aku mencari Iblis Penggali Roh. Kare-
na tokoh sesat itulah yang telah mengendalikan si Je-
rangkong!"
"Lalu, kita akan mencari ke mana?" tanya Pula-
sari, sudah dapat mulai mengendalikan amarahnya.
"Kalau menurut keterangan Penyair Sinting,
aku harus mencari makam Penghuni Alam Maut di

atas Bukit Menjangan. Tapi aku sendiri belum tahu, di
mana letaknya Bukit Menjangan."
"Hm...! Bukit di depan kita itulah Bukit Men-
jangan!" sambut Pulasari cepat.
"Dari mana kau tahu kalau bukit di depan kita
itu Bukit Menjangan?"
"Letak markas padepokan tidak berjauhan den-
gan bukit itu. Jadi, kau tak perlu banyak tanya lagi.
Hayo, sekarang kita ke sana. Aku sudah gatal ingin
menghajar orang yang telah menebar maut di padepo-
kanku!" ajak Pulasari.
"Baik, baik! Tapi senyum dulu dong! Biar enak
dipandang mata, begitu!" goda Soma.
"Apa kau belum kapok kugebuk, he?!" dengus
Pulasari dengan mata melotot lebar.
"Eh...! Jangan, jangan! Maksudku, jangan ragu-
ragu kalau ingin menggebuk ku!" goda Soma lagi.
Pulasari makin melotot lebar. Namun belum
sempat melayangkan tangan kanannya untuk menam-
par, Soma telah menyingkir. Si pemuda segera berke-
lebat meninggalkan Pulasari.
Pulasari hanya dapat menahan jengkel. Kemu-
dian dengan sekali menjejak tanah, gadis cantik putri
angkat Malaikat Kaki Seribu itu pun telah berkelebat
cepat menyusul Soma.


11

Dengan menahan luka dalamnya, Penyair Sint-
ing terus berkelebat cepat meninggalkan Hutan Min-
den. Itu memang jalan satu-satunya. Tak mungkin Je-
rangkong itu dilawan terus menerus.

Namun sayangnya, si Jerangkong pun tidak
mau membiarkan calon korbannya pergi begitu saja.
Begitu melihat si tua berwajah tirus meninggalkan
tempat pertarungan, tubuhnya pun segera melenting
tinggi ke udara. Dan dengan caranya yang aneh, si Je-
rangkong telah berkelebat cepat mengejar Penyair Sint-
ing.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Penyair Sinting te-
rus berkelebat menuju timur. Namun ternyata ilmu
meringankan tubuh si Jerangkong pun juga tak kalah
hebat. Meski dengan cara melenting-melenting tinggi
ke udara lalu menapak ke tanah, si Jerangkong akhir-
nya dapat mendekati Penyair Sinting.
Begitu berada beberapa tombak di belakang
Penyair Sinting, kedua tangan Jerangkong yang ber-
warna kuning segera mengibas.
Wesss! Wesss!
Seketika melesat dua larik sinar kuning dari
pukulan 'Darah Mayat', mengancam punggung Penyair
Sinting!
Lelaki tua berwajah tirus tahu kalau di bela-
kang ada bahaya mengancam. Sungguh ia tidak me-
nyangka kalau Jerangkong mampu menyusul larinya.
Dan begitu merasakan hawa panas menyambar pung-
gungnya, tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera
dibuang ke kiri.
"Hup!"
Brakkk...!
Dua larik sinar kuning yang melesat dari tan-
gan kayu Jerangkong menerabas ke depan, langsung
menghantam batang pohon hingga berlobang dan han-
gus terbakar! Tidak lama kemudian pohon itu pun
tumbang dengan suara bergemuruh. Debu-debu beter-

bangan begitu batang pohon itu menimpa tanah den-
gan daun-daunnya layu!
Di saat Penyair Sinting hendak bangkit, sosok
Jerangkong tahu-tahu telah tegak di hadapannya pada
jarak enam tombak. Kedua tangannya yang berwarna
kuning kembali siap melontarkan pukulan 'Darah
Mayat'.
Penyair Sinting mengeluh. Baru seumur hidup-
nya ia menemui musuh setangguh itu. Dan musuhnya
kali ini tak ubahnya seperti malaikat maut yang siap
merenggut nyawanya!
"Jangkrik! Benda edan ini benar-benar mengin-
ginkan jiwaku!" dengus Penyair Sinting.
Dan kenyataannya memang demikian. Sebelum
Penyair Sinting bertindak, sosok Jerangkong telah ber-
kelebat cepat menyerang dengan jurus-jurus andalan
milik Penghuni Alam Maut! Kedua tangannya yang
berwarna kuning sesekali melontarkan pukulan 'Darah
Mayat'!
Penyair Sinting mengeluh. Keringat dingin telah
membasahi sekujur tubuhnya. Sementara si Jerang-
kong pun telah meningkatkan serangan-serangan
mautnya.
"Uts...!"
Penyair Sinting kini jadi kalang kabut. Baju pu-
tihnya sudah compang-camping tidak karuan terkena
sambaran-sambaran tangan kayu Jerangkong. Namun
tokoh sakti dari Gunung Slamet itu tampak sudah ne-
kat akan mengadu nyawa. Kini, ia tidak lagi berusaha
menghindari atau berkelit. Melainkan juga sudah be-
rani membalas dengan cara sangat berani!
Begitu kedua tangan kayu Jerangkong hendak
menghantam dada, Penyair Sinting nekat menangkis
dengan lonceng di tangan kanannya!

Prakkk!
Lonceng di tangan kanan Penyair Sinting mele-
sak dalam. Sedang tangannya terasa panas bukan
main. Tapi lelaki tirus itu tidak begitu menghiraukan.
Begitu si Jerangkong kembali menyerang den-
gan pukulan 'Darah Mayat', Penyair Sinting nekat me-
mapak dengan pukulan 'Pancar Surya'. Tentu saja un-
tuk itu ia harus mengerahkan tenaga dalam sampai
puncaknya.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat  bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam kali ini. Dan karena Penyair Sinting mengerahkan
tenaga dalam sepenuhnya, akibatnya tubuhnya kem-
bali terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang!
Wajahnya pucat pasi!
Sedang si Jerangkong hanya terjajar dua tindak
ke belakang. Namun begitu dapat menguasai keseim-
bangan badannya, kembali diserangnya Penyair Sint-
ing.
Penyair Sinting mengeluh. Keringat dingin ma-
kin membanjiri tubuhnya. Rasanya hawa kematian
makin dekat saja dengan dirinya....


12

Jarak antara padang rumput tempat Siluman
Ular Putih dan Pulasari beristirahat dengan Bukit
Menjangan memang tidak begitu jauh. Tak heran ka-
lau dalam waktu yang tidak lama kedua anak muda ini
telah tiba di bukit yang dimaksudkan.
Di atas Bukit Menjangan, matahari tampak mu-

lai rebah di pangkuan cakrawala. Sinarnya yang merah
tembaga menyinari sebagian puncak bukit. Soma dan
Pulasari terus melangkah mencari makam Penghuni
Alam Maut. Selang beberapa saat, sepuluh tombak da-
ri mereka menghadang dua pohon beringin tua yang
telah tumbang.
"Menilik keadaannya, bisa jadi baru beberapa
hari belakangan ini kedua pohon beringin itu tumbang.
Kalau memang iya, berarti ada orang sakti yang telah
menumbangkannya," gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
"Ada apa, Soma? Kok malah bengong saja?"
tanya Pulasari, heran dengan sikap Siluman Ular Pu-
tih.
"Sssst...!" Soma memalangkan telunjuk jari ke
depan mulut, mengisyaratkan gadis itu untuk diam.
Lalu dengan isyaratkan tangannya, si pemuda segera
berkelebat ke arah reruntuhan pohon beringin. Se-
dangkan Pulasari cepat mengikutinya.
Ternyata apa yang dilihat di balik rindangnya
pohon beringin yang tumbang benar-benar membuat
hati dua anak muda itu tercekat. Di atas makam, tam-
pak seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam kedo-
doran tengah khusuk bersemadi. Usianya kira-kira tu-
juh puluh atau delapan puluh tahun. Rambutnya pu-
tih memanjang tergerai di bahu. Tampak sekali kalau
semadinya tak ingin diganggu.
Soma tercenung memperhatikan lelaki tua di
belakangnya yang tak henti-hentinya berkemik-kemik.
Entah, sedang membaca mantra apa. Yang jelas, sepa-
sang matanya terpejam rapat-rapat.
"Heran? Kalau dia orang sakti yang telah me-
numbangkan dua pohon beringin besar ini, lalu men-
gapa tidak mendengar kehadiranku?" gumam murid

Eyang Begawan Kamasetyo tak dapat menahan rasa
heran.
Tapi, kenyataannya memang demikian. Lelaki
tua berpakaian hitam-hitam yang tidak lain Iblis Pe-
manggil Roh saat ini memang tengah menajamkan ma-
ta batinnya untuk mengikuti jalannya pertarungan an-
tara Penyair Sinting dengan Jerangkong. Maka tak he-
ran meski ia punya kepandaian tinggi, tetap saja tidak
dapat mendengar kehadiran dua anak muda di bela-
kangnya.
Satu hal yang menjadi kelemahannya, ternyata
Iblis Pemanggil Roh tidak tahu kalau Penyair Sinting
telah memerintahkan Soma untuk mencari tempat
persembunyiannya! Karena dalam semadinya, ia hanya
dapat melihat apa yang tengah dilakukan Jerangkong
dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan kalau Iblis Pe-
manggil Roh mampu mengirim suara jarak jauh, tetap
saja tidak mampu mendengar apa yang dibicarakan
orang-orang di sekitar Jerangkong. Sehingga sewaktu
Penyair Sinting memerintahkan Soma untuk menyeli-
nap ke dalam tempat persembunyiannya, lelaki sesat
ini tidak tahu!
"Orang tua! Benarkah kau yang bergelar Iblis
Pemanggil Roh?" tegur Soma.
Lelaki berpakaian hitam-hitam itu tidak me-
nyahut sepatah kata pun. Tampak keningnya makin
berkerut-kerut. Kedua bibirnya pun terus berkemik-
kemik.
Soma penasaran sekali. Meski demikian, ia te-
tap yakin kalau lelaki tua di hadapannya adalah Iblis
Pemanggil Roh. Apalagi, dalam papan nisan yang lapuk
jelas terdapat tulisan 'KI DADUNG KAWUK alias
PENGHUNI ALAM MAUT'. Maka, berarti itu adalah na-
ma Penghuni Alam Maut. Dan seperti yang telah dika-

takan Penyair Sinting, lelaki tua yang khusuk berse-
madi di pinggir makam Penghuni Alam Maut itu tidak
lain dari Iblis Pemanggil Roh!
"Orang tua! Benarkah kau orang tua yang ber-
gelar Iblis Pemanggil Roh?" tegur Soma sekali lagi sedi-
kit mengeraskan suaranya.
Iblis Pemanggil Roh terkesiap kaget. Entah
mengapa, tiba-tiba wajahnya jadi pucat pasi. Mungkin
karena pikirannya yang tengah terpusatkan pada ja-
lannya pertarungan antara Jerangkong dengan Penyair
Sinting. Sehingga, orang tua itu tersentak kaget!
"Jahanam! Siapa yang berani datang mencari
mati di tempat ini, he?!" bentak Iblis Pemanggil Roh ga-
rang.
"Lho...? Siapa yang mau cari mati? Aku kan
hanya tanya, apa benar kau orang tua sakti yang ber-
gelar Iblis Pemanggil Roh?" tukas Soma seenak deng-
kul.
"Sudah tahu kalau aku Iblis Pemanggil Roh,
mengapa kalian tidak lekas-lekas angkat kaki dari
tempat ini?!" bentak lelaki tua itu lagi garang.
Namun ketika pandangan mata Iblis Pemanggil
Roh tertumbuk pada wajah Pulasari yang berdiri agak
jauh dari Siluman Ular Putih, entah kenapa tiba-tiba
jadi gelisah sekali. Memang, ada sesuatu pada wajah
gadis itu yang membuat hatinya tergugah.
"Hm.... Jangan-jangan, gadis cantik di hada-
panku ini putri kandungku! Wajahnya mirip benar
dengan Winarsih. Apalagi, setelah dibawa kembali oleh
Malaikat Kaki Seribu, aku memang sering mengintai
perkembangan istri dan putriku. Dan tak kusangka,
kini ia telah jadi seorang gadis cantik mirip ibunya.
Tapi, apa boleh buat? Kalau dia menghalangi niatku
untuk menguasai dunia persilatan, terpaksa aku akan

melenyapkannya juga...."
Sinar kerinduan yang semula terpancar di wa-
jah lelaki tua ini perlahan-lahan berubah menjadi si-
nar kebengisan. Rupanya, nafsu untuk menguasai du-
nia persilatan lebih menguasai nuraninya.
"Jahanam! Kau mempermainkan ku, Bocah?!
Apa kau sudah bosan hidup? Nih, makanlah pukulan
'Roh Pembawa Petaka'-ku!" bentak Iblis Pemanggil Roh
seraya mendorong kedua telapak tangannya yang telah
berobah menjadi hitam legam ke arah soma alias Si-
luman Ular Putih. 
Wesss! Wesss!
Seketika itu, melesat dua larik sinar hitam dari
kedua telapak tangan Iblis Pemanggil Roh ke arah Si-
luman Ular Putih!
"Hup!"
Soma cepat melenting tinggi ke udara sehingga
dua larik sinar hitam legam itu hanya lewat di bawah
kakinya. Kedua sinar hitam itu terus menerabas ke be-
lakang, menghantam batang pohon beringin yang
tumbang.
Braakk!
Batang pohon beringin yang terkena pukulan
'Roh Pembawa Petaka' milik Iblis Pemanggil Roh kon-
tan berlobang besar, mengeluarkan asap hitam!
"Setan! Rupanya kau punya sedikit kepandaian
juga, Bocah!" bentak Iblis Pemanggil Roh geram bukan
main.
Kemudian dengan gerakan cepat laksana kilat,
tahu-tahu orang tua sakti dari Lembah Duka itu telah
melenting tinggi ke udara. Namun belum sempat me-
lontarkan serangan....
"Tunggu, Orang Tua! Apa benar kau yang telah
menewaskan ayahku yang berjuluk Malaikat Kaki Se-

ribu beserta kedelapan orang muridnya?"
Iblis Pemanggil Roh menahan gerakannya, lalu
mendarat empuk di tanah. Sepasang matanya lang-
sung menatap gadis cantik di hadapannya seksama.
"Kalau memang iya, kau mau apa?!" tantang Ib-
lis Pemanggil Roh.
"Bedebah! Kalau begitu aku akan menuntut
pertanggungjawaban mu, Orang Tua!"
Habis membentak begitu, kini Pulasari yang
menyerang hebat Iblis Pemanggil Roh. Kedua telapak
tangannya yang berobah jadi merah menyala meng-
hentak, melontarkan pukulan 'Pulung Geni'.
Wesss! Wesss!
Bersamaan dengan melesatnya dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangannya, gadis
itu pun segera meluruk dengan kedua tangan mem-
buat beberapa gerakan. Cepat dikirimkannya totokan-
totokan maut ke ubun-ubun kepala Iblis Pemanggil
Roh.
Hebat bukan main serangan-serangan Pulasari.
Namun yang dihadapinya kali ini bukanlah tokoh ke-
marin sore. Begitu dua larik sinar merah menyala
hampir menghantam tubuhnya, Iblis Pemanggil Roh
pun segera menghentakkan tangan kirinya yang telah
berobah menjadi hitam legam! Dan begitu sinar hitam
melesat, lelaki tua ini melenting ke udara, dengan tan-
gan kanan menangkis totokan Pulasari!
Bumm...!
Plak! Plak!
Tubuh Pulasari yang masih melayang-layang
tinggi di udara kembali mencelat tinggi ke udara. Ke-
dua tangannya seperti membentur lempengan baja
yang kuat sekali saat tertangkis tangan Iblis Pemanggil
Roh.

Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Dan baru
saja Pulasari mendarat di tanah, lelaki tua sakti dari
Lembah Duka itu pun telah meluruk deras. Kembali
diserangnya Pulasari. Namun sebelum serangan Iblis
Pemanggil Roh tiba, Siluman Ular Putih telah mengha-
dangnya dengan senyum terkembang di bibir! Maka
terpaksa Iblis Pemanggil Roh menghentikan gerakan-
nya.
"Eh...! Tunggu dulu, Orang Tua! Melihat sikap-
nya yang pongah ini, aku malah jadi ingin menggebuk
pantatmu! Awas! Bersiap-siaplah kau menerima gebu-
kanku, Orang Tua!" ejek Soma.
Lalu si pemuda bermaksud menyerang Iblis
Pemanggil Roh. Namun sebelum niatnya terlaksana....
"Minggir kau, Soma! Akulah yang berhak meng-
gebuk pantat orang tua itu!" bentak Pulasari, garang.
"Tapi... tapi...."
"Sudahlah! Kau kan tahu, ayah kandungku te-
was di tangan iblis tua ini. Untuk itu, aku akan me-
minta pertanggungjawabannya! Hutang nyawa harus
dibayar nyawa!"
Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali
membantah. Namun karena takut menyinggung pera-
saan Pulasari, akhirnya mengalah. Dengan berat, So-
ma keluar dari tempat pertempuran.
"Sekarang kau bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu, Orang Tua!" desis Pulasari penuh kemarahan. 
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak tinggi-tinggi ke atas.
"Kenapa kalian tidak maju sekalian? Aku masih
sanggup mengirimkan nyawa kalian ke neraka!" ejek
Iblis Pemanggil Roh sinis.
"Bedebah! Kau pongah sekali, Orang Tua! Ma-
kanlah pukulan 'Pulung Geni'-ku!" dengus Pulasari se-

raya menghentakkan kedua tangannya yang berisi te-
naga dalam tinggi.
Wusss...! Wusss...!
Seketika dua larik sinar merah menyala melesat
dari kedua telapak tangan Pulasari.
Iblis Pemanggil Roh masih sempat tertawa ber-
gelak kala dua larik sinar merah menyala menyerang
dirinya. Baru ketika dua serangan itu mendekat kedua
telapak tangan yang berwarna hitam legam didorong-
kan.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!!
Terdengar ledakan hebat akibat pertemuan dua
kekuatan dahsyat. Tanah di sekitarnya berhamburan
seperti ada gempa! Angin panas akibat bentrokan dua
pukulan membuat pohon-pohon di sekitarnya layu.
Tubuh Pulasari tampak terjajar beberapa lang-
kah ke belakang. Wajahnya kini bagaikan mayat. Da-
rah segar mulai membasahi bibirnya yang indah.
Iblis Pemanggil Roh yang hanya tergetar, terta-
wa bergelak. Bahkan kini kedua telapak tangannya
yang berwarna hitam legam kembali melepas serangan.
Pulasari mengerutkan gerahamnya kuat-kuat.
Melihat hasil bentrokan tadi, jelas kalau tenaga
dalamnya kalah dua tingkat di bawah tokoh sesat dari
Lembah Duka. Menyadari hal ini si gadis pun lebih se-
nang mengandalkan jurus-jurus silatnya.
Ketika meloncat tinggi, sepasang kaki Pulasari
segera bergerak cepat menyambar-nyambar tubuh Iblis
Pemanggil Roh. Sementara kedua tangannya sesekali
menyusup di antara gulungan tangan lawannya.
Hebat bukan main serangan-serangan Pulasari
kali ini. Ia yang merasa penasaran melihat sepak ter-
jang Iblis Pemanggil Roh tak sabar lagi untuk segera

mengerahkan jurus 'Kaki Angin Menyambar Batang
Pohon'.
Meski kepandaiannya masih berada di atas Pu-
lasari, kali ini Iblis Pemanggil Roh tidak segan-segan
mengerahkan jurus-jurus andalannya pula. Padahal,
yang dihadapinya adalah anak kandungnya sendiri. Ini
terbukti kalau mata hatinya telah tertutup oleh hawa
nafsu.
Soma yang menonton pertarungan hidup mati
itu jadi gelisah. Bagaimanapun, ia sangat mence-
maskan keselamatan Pulasari. Namun untuk memban-
tu, pemuda ini tidak berani. Karena, takut menying-
gung perasaan Pulasari. Namun diam-diam murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu pun tengah mencari ja-
lan, bagaimana caranya membantu Pulasari.
"Ah...! Mengapa aku tidak menggunakan ilmu
sihir ku?!" desah Soma seraya menepuk jidatnya sen-
diri, ketika mendapat akal bagus.
Sejenak pemuda gondrong itu memperhatikan
jalannya pertarungan. Tampak sekali kalau perlahan-
lahan namun pasti, Pulasari mulai terdesak hebat.
Kendati begitu, Siluman Ular Putih belum juga bertin-
dak. Agaknya, ia masih menunggu saat yang tepat.
Dan tepat ketika Pulasari mulai menyerang
dengan pukulan 'Pulung Geni', sementara Iblis Pe-
manggil Roh masih tertawa-tawa pongah, Soma mulai
mengerahkan kekuatan batinnya!
"Hey..., Orang Tua! Lihat! Celanamu melorot!
Hik-hik-hik...! Memalukan sekali! Pantatmu hitam,
Orang Tua!" teriak Soma dengan suara bergetar-getar
aneh, menyerang jalan pikiran Iblis Pemanggil Roh.
Iblis Pemanggil Roh terkesiap kaget ketika ber-
maksud memapaki pukulan maut Pulasari. Matanya
kontan terbelalak lebar. Betapa tidak? Menurut pengli-

hatannya ternyata celana hitamnya merosot ke bawah,
menampakkan pantatnya yang hitam!
Iblis Pemanggil Roh gugup bukan main. Tanpa
banyak pikir panjang lagi, buru-buru celananya yang
melorot dibetulkan kembali. Pada saat yang sama, pu-
kulan Pulasari telah meluncur datang. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk!
Dua larik sinar merah menyala dari kedua tela-
pak tangan Pulasari mendarat telak di dada Iblis Pe-
manggil Roh! Seketika tubuh tinggi kurus lelaki tua itu
terpental beberapa tombak ke belakang. Setelah berpu-
tar-putar sebentar, tubuhnya jatuh bergedebuk ke ta-
nah! Wajahnya kontan pucat pasi. Darah segar tampak
menyembur keluar!
Soma tersenyum gembira. Sementara Iblis Pe-
manggil Roh dan Pulasari sendiri pun tidak habis pikir.
Karena, ternyata celana hitam lelaki tua itu masih te-
tap seperti semula. Tidak melorot seperti yang dikata-
kan Soma!
Lelaki sesat dari Lembah Duka ini menggeram
penuh kemarahan. Sepasang matanya mencorong be-
ringas ke arah Siluman Ular Putih. Namun ketika hen-
dak meloncat bangun, tubuhnya kembali limbung ke
samping. Tangan kanannya buru-buru mendekap da-
danya yang terasa mau jebol. Dan.... 
"Hoooeeekh...!"
Sedangkan Pulasari yang menyangka kalau Ib-
lis Pemanggil Roh hendak kembali menyerang kembali,
segera melepas pukulan 'Pulung Geni'.
Wesss! Wesss!
Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, dua larik sinar merah me-
nyala yang melesat dari kedua telapak tangan Pulasari

kembali menghantam dada, membuat Iblis Pemanggil
Roh berteriak menyayat. Tubuhnya terpental deras,
dan berhenti ketika menghantam sebuah pohon. Wa-
jahnya tampak demikian pucatnya. Darah segar tam-
pak menggembung dalam mulutnya, lalu  tersembur
keluar.
Lelaki sesat dari Lembah Duka ini terkulai di
batang pohon. Nafasnya turun naik tak berirama. Da-
danya terasa sesak.
"Terimalah kematianmu hari ini, Orang Tua!
Dosamu sudah terlalu banyak bertumpuk!" kata Pula-
sari penuh kemarahan.
Kedua telapak tangan si gadis yang berwarna
merah menyala telah membuka di sisi pinggang. Agak-
nya, ia siap melepas pukulan 'Pulung Geni' kembali.
"Tunggu, Pulasari!" cegah Iblis Pemanggil Roh
dengan napas tersengal. "Aku memang keterlaluan,
Pulasari. Tapi apa kau  tega membunuh Ayah kan-
dungmu?"
"Apa?!"
Betapa terkejutnya si gadis mendengar penutu-
ran lelaki sesat yang berhasil dilumpuhkannya ini.
Iblis Pemanggil Roh tertawa sumbang. Namun
mendadak suara tawanya terhenti. Darah segar dalam
mulutnya kembali menyembur keluar! Wajahnya tam-
pak demikian mengerikan, saking pucatnya!
"Apa tua bangka Malaikat Kaki Seribu itu tidak
pernah  bercerita kalau Iblis Pemanggil Roh adalah
Ayah kandungmu?" lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Bohong! Aku tidak percaya ocehanmu, Orang
Tua!" sentak Pulasari, berusaha mengenyahkan ke-
mungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
"Orang yang mau modar memang biasanya su-
ka bicara aneh-aneh, Pulasari! Biarkan ia mengigau

seenak dengkulnya!" timpal Soma.
Pemuda itu kini telah tegak di samping si gadis.
Senyum nakalnya tampak masih terkembang di bibir.
"Kau boleh percaya, boleh tidak, Pulasari! Yang
jelas, kenyataannya memang demikian. Pertama, apa
kau tidak heran kalau aku tadi memanggil namamu?"
lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Terus terang aku heran, Orang Tua. Tapi itu
bukan merupakan alasan kuat untuk membuktikan
kalau kau Ayah kandungku!" sergah Pulasari.
"Baik, baik. Aku maklum kalau kau belum per-
caya. Karena, memang itu bukan alasan kuat. Tapi,
apa kau akan mungkir kalau di punggungmu terdapat
tanda hitam sebesar jempol kaki?"
Pulasari terkesiap kaget. Sepasang matanya
yang indah langsung membelalak liar.
"Ah...! Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Kema-
tian sudah di depan mata saja masih bertingkah. Bi-
lang saja kalau kau sering mengintip Pulasari mandi,"
gerutu Soma kesal.
Iblis Pemanggil Roh tertawa sumbang.
"Ini alasan yang ketiga, Pulasari. Mungkin ka-
lau kau sudah mendengar cerita ku, kau pasti akan
mengakui kalau aku adalah Ayah kandungmu," lanjut
Iblis Pemanggil Roh, tak mempedulikan ocehan Silu-
man Ular Putih.
"Hm...!" gumam Pulasari tak jelas. Ia yang me-
rasa penasaran hanya diam sambil menunggu apa
yang akan dikatakan Iblis Pemanggil Roh.
"Kau tentu tidak akan mungkir kalau kukata-
kan ibumu bernama Winarsih, bukan?"
Sekali lagi Pulasari terkesiap kaget. Sepasang
matanya yang indah kembali membelalak lebar.
"Jangan kaget, Pulasari! Karena memang Wi-

narsih adalah istriku! Tapi gara-gara tua bangka Ma-
laikat Kaki Seribu, aku jadi merana seperti ini. Dialah
yang menculik sekaligus membunuh istriku, Winarsih!
Juga merampas kau dari pangkuanku!" tegas Iblis Pe-
manggil Roh diiringi senyum licik.
"Aku tidak percaya! Aku tidak percaya...," desis
Pulasari gelisah. "Bagaimana aku dapat percaya kalau
aku belum menanyakan pada Malaikat Kaki Seribu?"
"Kalau begitu, kau boleh menanyakannya di
akhirat, Pulasari!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga-duga Iblis
Pemanggil Roh menghentakkan kedua tangannya den-
gan sisa-sisa tenaga dalam ke arah Pulasari dan Soma!
Soma dan Pulasari kaget bukan main. Dua larik
sinar hitam legam dari kedua telapak tangan Iblis Pe-
manggil Roh melesat dalam jarak demikian dekat.
Tapi sebagai pendekar berkepandaian tinggi,
Soma selalu siap siaga walau dalam keadaan bagaima-
napun. Maka begitu dua larik sinar hitam legam itu
hampir menghantam, kedua tangannya yang penuh
tenaga 'Inti Bumi' dihentakkan pula. Lalu....
Bummm...!!!
"Aaa...!"
Disertai teriakan kematian, Iblis Pemanggil Roh
terlempar beberapa tombak ke belakang. Begitu jatuh
ke tanah, tubuhnya tidak dapat bergerak-gerak lagi!
Tewas!
Soma dan Pulasari segera berkelebat mendekati
Iblis Pemanggil Roh. Ternyata, tokoh sesat dari Lem-
bah Duka itu telah tewas dengan mata membeliak le-
bar!
Ketika berbalik, Pulasari justru makin gelisah.
"Bagaimanapun juga, ocehan tua bangka itu membuat
hatiku tidak tenang. Sekarang juga aku akan segera

pulang ke padepokan. Siapa tahu ayah angkatku me-
nyimpan surat untukku!"
Habis berkata begitu, Pulasari pun segera ber-
kelebat turun dari atas Bukit Menjangan!
Entah kenapa, Soma malah garuk-garuk kepa-
la. Padahal, rambutnya tidak gatal. Kemudian sambil
menggerutu kesal, murid Eyang Begawan Kamasetyo
ini segera berkelebat menyusul Pulasari.


13

Di lain tempat, tepat saat nyawa Iblis Pemanggil
Roh melayang, justru Penyair Sinting yang sudah di-
banjiri keringat dingin menarik napas lega.
Karena ketika si Jerangkong siap melepas pu-
kulan terakhirnya untuk menghabisi Penyair Sinting
yang siap dijemput maut, tiba-tiba kedua tangan
kayunya terhenti di udara, lalu terkulai ke bawah! 
Prak!
Selang beberapa saat, tubuh kayu Jerangkong
yang masih melayang-layang di udara ambruk ke ta-
nah! Kepala tempurungnya menggelinding jauh! Kedua
tangan kayunya pun berpencaran ke samping kanan-
kiri!
Mata Penyair Sinting terbelalak tak percaya.
Seolah, ia tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sak-
ing tak percaya kedua bola matanya dikucek-kucek. Di
saat seperti ini mendadak seleret sinar kuning keluar
dari dalam tubuh kayu Jerangkong. Lalu bak sebuah
bintang jatuh, sinar kuning itu terus melesat tinggi ke
udara, dan menukik tajam di atas Bukit Menjangan!
Tanpa sadar, Penyair Sinting bergerak dengan

sisa-sisa tenaganya, mengikuti ke arah hilangnya sinar
kuning tadi. Sepasang matanya yang mencorong tajam
tak berkedip memandangi bukit hijau di hadapannya.
Pakaian putih-putihnya yang compang-camping tidak
karuan berkibar-kibar tertiup angin sore.
"Hm...! Rupanya arwah Penghuni Alam Maut
sudah kembali ke tempatnya semula! Ke makamnya!"
Setelah puas memperhatikan bukit hijau di ha-
dapannya, Penyair Sinting berbalik. Lalu tubuhnya ce-
pat berkelebat, meninggalkan tempat ini. Namun baru
saja beberapa tombak bergerak....
"Orang tua sinting! Kau tidak boleh meninggal-
kan tempat ini seenak dengkulmu! Kau harus bertang-
gung jawab atas ulah mu, Orang Tua!"
Penyair Sinting tersentak mendengar bentakan
keras dari belakang. Buru-buru badannya berbalik
kembali. Tampak jauh di hadapannya tengah berkele-
bat dua anak manusia mendekatinya. Dan dua anak
manusia itu tidak lain dari Soma dan Pulasari yang ba-
ru saja menewaskan Iblis Pemanggil Roh di atas Bukit
Menjangan.
Tak sampai sepuluh kedipan mata, Soma dan
Pulasari pun telah berdiri tegak di hadapan Penyair
Sinting.
"Kau harus bertanggung jawab, Orang Tua!
Akibat obat sintingmu itu, tubuhku jadi babak belur
begini!" bentak Siluman Ular Putih, kalap.
"Tanggung jawab? Apa yang harus kupertang-
gungjawabkan padamu? Bukankah beruntung kau
kuberi obat itu?" tukas Penyair Sinting dengan kening
berkernyit dalam.
"Beruntung kau bilang? Babak belur begini kau
bilang beruntung?" sungut Soma kesal. "Akibat obat
sinting itulah temanku jadi mengamuk hebat hingga

aku babak belur begini!"
Penyair Sinting terkekeh senang. Sekali lihat
saja, ia tahu kalau gadis cantik di samping murid
Eyang Begawan Kamasetyo tidak lagi marah pada So-
ma.
Lalu entah kenapa orang tua sakti dari Gunung
Slamet itu mendongak ke atas. Matanya asyik meman-
dang awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa,
Lalu dari kedua bibirnya yang bergerak-gerak, terden-
gar bait-bait sajaknya.

Pendaki langit lintas
Beterbangan debu di udara
Ia tepis, lalu melesat
Debu ditinggalkan dan mengangkasa.

"Dasar orang tua sinting! Ditanya malah ber-
syair!" sungut Soma mengkelap bukan main.
Penyair Sinting sejenak menghentikan sajak-
nya. Kepalanya berpaling ke samping.
"Bocah tolol! Justru obat pemberianku itulah
yang dapat memunahkan racun pukulan 'Darah
Mayat' benda edan itu. Kalau tidak, apa kau pikir, te-
manmu yang cantik ini masih dapat berdua-duaan
denganmu, he?!" dengus si tua sinting.
"Tapi, kenapa mesti dengan cara itu?!" tukas
Soma, jengah kalau harus mengucapkan kata
'mencium’
"Jangan kau tanyakan padaku! Justru, tanya-
lah pada dirimu sendiri! Apa kau senang melakukan-
nya atau tidak?!"
Habis berkata begitu, Penyair Sinting menjejak-
kan kakinya ke tanah. Lalu dengan caranya yang aneh,
tahu-tahu orang tua sakti dari Gunung Slamet itu me-

lenggang meninggalkan tempat ini. Hanya beberapa
saat, sosok bayangannya telah lenyap di kejauhan sa-
na. Namun bait-bait sajaknya masih menggema di
tempat Soma dan Pulasari.
Soma yang ditanya Penyair Sinting tadi hanya
menggaruk-garuk kepala saja. Kalau mau jujur, tentu
ia akan bilang senang saat mengobati Pulasari. Namun
untuk mengatakannya jelas tidak mungkin. Karena bi-
sa jadi Pulasari kembali mengamuk hebat.
"Kau kenapa sih? Kok, sejak tadi garuk-garuk
kepala saja?" tanya Pulasari.
"Aku.... Aku.... Ah...!" Sekali lagi Soma garuk-
garuk kepalanya gelisah. "Hm...! kau.... Kau tidak ma-
rah lagi, kan?" 
"Kenapa harus marah? Toh, kau melakukannya
atas dasar ingin menolongku, bukan?" sahut Pulasari
dengan senyum terkembang di bibir.
"Terima kasih. Kau baik sekali, Pulasari. Tapi,
sayang. Aku tidak dapat menemanimu pulang ke pa-
depokan. Selamat tinggal, Pulasari!"
Habis berkata begitu, Soma segera menjejakkan
kakinya ke tanah, Saat itu pula tubuhnya berkelebat
meninggalkan tempat ini. Namun baru beberapa lang-
kah....
"Soma...! Apa kau tega membiarkan ku pulang
ke padepokan sendiri?" teriak Pulasari dengan suara
bergetar.
Soma menghentikan langkahnya. Tangannya
kembali garuk-garuk kepala. Bingung.
"Aku.... Aku...! Ah! Bagaimana, ya? Terpaksa
sekali, kali ini aku harus meninggalkanmu, Pulasari.
Selamat tinggal!" ucap Soma agak gugup.
Walau dalam hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo merasa kasihan terhadap Pulasari, namun tetap

terus melangkah. Dan kini, bayangan putih keperakan
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menghilang di
kerimbunan hutan depan sana.
Sementara Pulasari tetap berdiri tegak di tem-
patnya. Sepasang matanya tak henti-hentinya meman-
dangi arah kepergian Soma tadi. Dan tanpa sadar, air
matanya pun mulai merembes membasahi pipi!

 SELESAI

 Segera terbit!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:

MISTERI DEWA LANGIT