Siluman Ular Putih 4 - Pedang Kelelawar Putih(1)


Serial Siluman Ular Putih 
Dalam Episode  : 
Pedang Kelelawar Putih 
 
 
"Kau sekarang paham, siapa dalang dari 
semua peristiwa ini, Anak Muda?" 
Suara serak namun cukup menggema 
meluncur dari seorang laki-laki tua di dalam 
sebuah ruangan bawah tanah. 
Laksana akar-akar  pepohonan yang 
mencengkeram ke dalam tanah, rambut laki-
laki tua itu menjuntai dan menancap kokoh 
ke dalam tanah. Nyala lampu di atas batu pu-
tih semakin memperjelas kalau lelaki tanpa 
anggota tubuh itu ditopang oleh rambut-
rambut kakunya agar bisa berdiri tegak. 
Wajah si tua ini penuh kerut merut di 
kening. Matanya sayu, pertanda sudah terlalu 
banyak mengalami penderitaan batih. Hi-
dungnya mancung. Kumis dan jenggotnya 
panjang, tak terawat dan berwarna putih. Pa-
kaian putih-putihnya pun sudah compang-
camping tidak karuan.  Memelaskan sekali 
keadaannya walau sebenarnya baru berusia 
lima puluh lima tahunan, namun karena su-
dah terlalu lama mengalami penderitaan ba-
tin, membuat keadaannya seperti itu. 
Kata-kata laki-laki buntung itu dituju-
kan pada seorang pemuda tampan berusia 
delapan belas tahun. Rambutnya yang gon-
drong dibiarkan tergerai di bahu. Wajahnya 
tampan dengan kulit putih bersih. Matanya 
agak kebiru-biruan. Pas sekali dengan alis 
matanya yang tebal serta hidungnya yang 
mancung. Tubuhnya tinggi  kekar dibalut 
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Dan dari rompinya yang terbuka tanpa 
kancing, di dada kanannya tampak sebuah 
rajahan bergambar ular putih. Sementara pa-
da bagian belakang rompinya menyembul se-
buah senjata  pusaka. Dan pemuda tampan 
yang mempunyai ciri-ciri seperti itu tidak lain 
dari Soma yang lebih terkenal sebagai Silu-
man Ular Putih. 
Memang, saat itu Soma berada di dalam 
Sumur Kematian. Pendekar berjuluk Siluman 
Ular Putih ini tengah berusaha memecahkan 
suatu teka-teki yang terjadi dalam Sumur 
Kematian. Sebuah sumur yang tengah dis-
ayembarakan oleh seorang tokoh sesat yang 
kini menjadi biang keladi kekisruhan di dunia 
persilatan.  (Untuk mengetahui awal mula  So-
ma berada di Sumur Kematian, baca serial Si-
luman Ular Putih dalam episode: "Sumur Ke-
matian"). 
"Paham Ki Lowo Kuru. Siapa lagi kalau 
bukan Kelelawar Hutan?!" jawab Soma. "Tapi 
aku belum mengerti semuanya, mengapa Ke-
lelawar Hutan membuat sayembara untuk 
menyelidiki Sumur Kematian ini?" 
"Seperti yang diceritakan, Kelelawar Hu-
tan menginginkan pasangan Pedang Kelelawar 
Putih yang dulu terlempar ke dalam Sumur 
Kematian ini. Dan aku memang sudah me-
nemukannya di balik tumpukan mayat yang 
berserakan," jelas laki-laki tua yang bernama 
Lowo Kuru. 
"Jadi, kau sudah menemukan Pedang 
Kelelawar Putih yang hilang itu, Ki?" 
"Sudah." 
"Lantas, mengapa tidak digunakan keti-
ka menghadapi aku tadi?" 
"Aku memang tidak pernah mengguna-
kan Pedang Kelelawar Putih, Anak Muda. Ka-
rena sebenarnya, pedang itu memang tidak 
cocok kugunakan, maupun murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih lainnya. Hanya mu-
rid-murid perempuan Perguruan Kelelawar 
Putih sajalah yang berhak memiliki sepasang 
Pedang Kelelawar Putih, sekaligus berhak 
mewarisi Kitab Inti Sari Jurus 'Kelelawar Sak-
ti'  peninggalan mendiang guru kami, Pende-
kar Lowo Putih." 
"Hmm...," gumam Siluman Ular Putih 
sambil mengangguk-angguk. Keningnya ber-
kerut-kerut. Ada sesuatu yang masih meng-
ganjal dalam hatinya. "Lantas, mengapa Kele-
lawar Hutan sendiri tidak mau masuk ke da-
lam Sumur Kematian? Rasanya aneh? Bu-
kankah ia sendiri mampu mengalahkanmu? 
Jadi, apa yang ditakutkan?" 
"Selama aku mendekam dalam Sumur 
Kematian, sebenarnya sudah dua kali Jaha-
nam Kelelawar Hutan itu menemuiku. Berun-
tung sekali, waktu itu aku dapat memunah-
kan ilmu sihirnya. Sekaligus, membuatnya la-
ri terbirit-birit keluar dari Sumur Kematian. 
Dan mungkin karena merasa kapok, Kele-
lawar Hutan mengundang banyak tokoh per-
silatan untuk memaksaku supaya menyerah-
kan Pedang Kelelawar Putih." 
"Tunggu, Ki!  Bagaimana caranya kau 
mengalahkan Kelelawar Hutan? Bukankah 
dulu kau dapat dikalahkannya dengan mu-
dah?" ujar Siluman Ular Putih, menukas. 
"Sebenarnya yang ku takutkan hanyalah 
ilmu sihirnya. Selama aku mendekam dalam 
Sumur Kematian, aku terus bertapa sekaligus 
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa 
agar dapat menggunakan rambutku sebagai 
senjata, setelah Kelelawar Hutan membun-
tungi kedua tangan dan kakiku. Beruntung 
sekali, Yang Maha Kuasa sudi mengabulkan 
permintaanku. Maka begitu  Kelelawar Hutan 
dan orang-orang suruhannya masuk ke da-
lam Sumur Kematian, aku sudah tidak punya 
pikiran lain, Mereka harus kubunuh. Dan 
kau pun hampir jadi sasaranku. Apalagi, ku-
lihat kau pun dapat menggunakan ilmu sihir." 
"Ya ya ya...! Sekarang aku mulai paham, 
Ki," Soma mengangguk-angguk. 
"Berarti, jantung para korban murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih memang 
sengaja digunakan untuk tumbal ilmu hitam-
nya...." 
"Bisa jadi begitu, Anak Muda. Eh, kau 
bilang tadi yang menjadi korban adalah mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih?" tanya 
Lowo Kuru dengan kening berkerut dalam. 
"Jadi, kau belum tahu kalau murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
jadi korban, Ki?" tukas Soma. 
Lowo Kuru menggeleng. Matanya yang 
sayu menatap tajam pemuda gondrong di ha-
dapannya. Rahangnya mendadak mengeras. 
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda 
orang tua buntung itu sedang menahan gejo-
lak amarah. 
"Kau tahu siapa yang telah membantai 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih, 
Anak Muda?" tanya Lowo Kuru mulai berubah 
nada bicaranya menjadi garang. 
"Aku belum tahu pasti, Ki. Tapi menurut 
keterangan Aryani, orang yang membunuh 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih 
mempunyai kepandaian sangat tinggi. Ia juga 
menguasai jurus-jurus sakti 'Cengkeraman 
Maut Kelelawar Sakti' dan juga  jurus-jurus 
'Cakar Maut Kelelawar Hutan?". 
"Bedebah! Lagi-lagi manusia jahanam itu 
yang membuat ulah!" dengus Lowo Kuru pe-
nuh kemarahan. 
"Siapa maksudmu, Ki?" 
"Siapa lagi kalau bukan si Jahanam Ke-
lelawar Hutan itu". 
Lowo  Kuru memandang beringas pada 
Soma. Matanya memerah penuh api dendam. 
Lalu kepalanya mendongak memandangi 
dinding-dinding Sumur Kematian. Kedua ba-
hunya tampak bergetar. Napasnya turun 
naik. 
"Anak Muda! Terus terang aku sangat 
khawatir dengan keselamatan istriku. Dan 
mungkin juga dengan anaknya yang dikan-
dung dulu. Oh...! Sungguh aku tak dapat 
membayangkan, bagaimana penderitaan batin 
istri dan anakku. Apa kau pernah bertemu is-
triku, Anak Muda?" keluh Lowo Kuru dengan 
suara bergetar. Bahunya terguncang-guncang 
keras. Kini kepalanya tidak lagi mendongak 
seperti tadi, melainkan menunduk dalam-
dalam. 
"Mungkin aku pernah melihatnya sekilas 
saja, Ki. Tapi yang jelas, aku cukup mengenal 
Aryani yang mengaku sebagai anak kandung 
Kelelawar Hutan, Orang Tua." 
"Oh...," desah Lowo Kuru menyedihkan. 
"Mungkinkah gadis yang kau katakan itu 
anak kandungnya. 
Kelelawar Hutan dengan Surtini, istriku? 
Atau, jangan jangan Aryani yang kau katakan 
justru anak kandungku sendiri?" 
"Bisa jadi Aryani itu anak kandungmu 
sendiri, Ki. Sebab  menurut  keterangannya 
Aryani sudah beberapa kali akan dibunuh 
oleh Kelelawar Hutan. Jadi, bisa jadi Aryani 
anak kandungmu sendiri. Kalau tidak, mana 
mungkin ada ayah yang tega akan membu-
nuh anak kandungnya?" 
"Kau benar, Anak Muda! Gadis yang kau 
maksudkan pasti anakku!" tandas orang tua 
buntung itu dengan mata berbinar. "Kalau 
kau cukup mengenalnya, tolonglah kau ajak 
gadis itu kemari! Aku ingin sekali melihatnya. 
Kau mau menolongku, Anak Muda?" 
"J angan khawatir, Ki! Aku pasti akan 
membantumu. Sekarang kau tenangkan ha-
timu dulu! Aku akan keluar sebentar. Dan 
yang jelas, aku pasti akan mengajak putri 
kandungmu kemari." 
Siluman Ular Putih cepat meloncat ban-
gun. Pandangan matanya sejenak menyapu 
ke seputar ruangan dalam lorong bawah ta-
nah. 
"Oh ya, Ki. Kalau boleh tahu, apakah ju-
rus-jurus silat yang tertulis di dinding-dinding 
ini yang tadi kau pergunakan untuk mela-
wanku?" tanya Soma sebelum melangkah ke-
luar. 
"Benar, Anak Muda. Itulah jurus-jurus 
sakti 'Sumur Kematian' ciptaanku." 
"Jurus-jurus yang hebat, Ki. Hampir saja 
aku tidak sanggup menghadapinya." 
"Sudahlah jangan banyak omong! Buk-
tinya saja, aku tidak sanggup meremukkan 
batok kepalamu seperti orang-orang yang ma-
suk ke dalam Sumur Kematian ini. Sekarang 
cepat panggilkan putri ku kemari, syukur ka-
lau kau bisa mengajak istriku sekalian." 
"Kau sudah mulai berani memerintahku, 
Ki? Aneh! Padahal, kita baru saja saling ken-
al," seloroh Soma seraya menutulkan kaki 
kanannya ke tanah. Dan seketika tubuhnya 
berkelebat cepat menuju ke dasar Sumur Ke-
matian. 
Lowo Kuru mendelik gusar. Namun be-
lum  sempat memaki, bayangan pemuda be-
rambut. gondrong yang berjuluk Siluman Ular 
Putih itu telah lenyap dari pandangan. 
Lowo Kuru sempat melongokkan kepa-
lanya ke dasar Sumur Kematian. Di sana, ti-
dak ada siapa-siapa kecuali mayat-mayat dan 
tulang-tulang yang berserakan, menebarkan 
bau anyir menusuk hidung. Lantas matanya 
pejamkan rapat-rapat. Dalam beberapa saat 
kemudian, dia sudah tenggelam dalam sema-
dinya. 
 
* * * 
 
 
Sejak ditinggal pergi anak  dan istrinya, 
Kelelawar Hutan makin keranjingan mempela-
jari kitab peninggalan gurunya, yang direbut 
dari kakak seperguruannya delapan belas ta-
hun lalu. Berhari-hari, ia terus membolak-
balik kitab dengan perasaan tegang. Kalau-
pun keluar dari rumah batunya hanya seper-
lunya saja. 
Namun sampai sejauh ini, Kelelawar Hu-
tan  tetap saja menjalani kesulitan untuk 
mempelajari isi kitab. Gambar-gambar dalam 
kitab bukannya berisi gerakan-gerakan orang 
bersilat, melainkan beberapa buah gambar 
gerakan kelelawar. Itu saja acak-acakkan dan 
tidak jelas. Tapi, laki-laki yang kini memimpin 
Perguruan Kelelawar Putih itu terus memak-
sakan diri sambil memperhatikan gambar, 
tangan dan kakinya mengikuti petunjuk da-
lam gambar kitab itu. Namun sebentar-
sebentar gerakan gerakannya harus dihenti-
kan, karena selanjutnya seperti tak tahu apa 
yang harus dilakukan. 
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Wajahnya menegang. Matanya yang 
beringas terus memperhatikan gambar-
gambar dalam kitab dengan perasaan gemas. 
Selang beberapa saat kemudian....  
Brakk! 
Laki-laki ini mendadak menggebrakkan 
kedua tangannya kemeja. Seketika itu juga 
meja batu dalam rumah batu itu hancur be-
rantakan. 
Tangan kanan Kelelawar Hutan gemeta-
ran saking penasarannya. Segera dimasuk-
kannya kitab kuning peninggalan gurunya ke 
dalam pakaian hitam-hitamnya. Dan dengan 
mata beringas,  tubuhnya berkelebat keluar 
dari rumah batunya. 
Hanya beberapa kali hentakan kaki, 
sampailah Ketua Perguruan Kelelawar Putih 
itu di Sumur Kematian yang memang tak be-
gitu jauh. Dan baru saja Kelelawar Hutan be-
rada di atasnya, mendadak terdengar alunan 
suling yang sangat lembut menyayat hati dari 
dalam lubang Sumur Kematian. 
"He he he...!" 
Kelelawar Hutan tertawa dingin. Dipan-
danginya lubang Sumur Kematian. 
"Kakang Lowo Kuru! Kau telah meniup 
seruling hitammu lebih dari delapan belas ta-
hun. Bukannya masa yang pendek kau bera-
da di dalam sumur ini. Tapi, mengapa tidak 
mau menyerah, Kakang?" 
Kelelawar Hutan tampak puas sekali me-
lihat penderitaan Lowo Kuru yang ternyata 
kakak seperguruannya. Sementara itu alunan 
seruling dari dalam lubang Sumur Kematian 
telah berubah. Dari lembut menyayat hati 
menjadi tiupan angin kencang menerjang lan-
git tinggi. 
Di angkasa raya, sang bulan juga telah 
ditelan oleh tebalnya awan hitam  yang bera-
rak-arak. Dan diiringi pekikan seruling yang 
melengking tinggi, serangkum angin puyuh 
menderu-deru dari dalam Sumur Kematian 
terus menerabas keluar, sebagai tanda kalau 
Lowo Kuru sedang marah besar. 
"Kakang! Sudah sejak dulu kukatakan, 
jangan mempelajari hal-hal yang tak berguna, 
kalau akhirnya pun kau harus mengakui ke-
pandaianku. Bahkan istrimu si Bidadari Baju 
Putih pun tidak dapat kau jaga, hingga akhir-
nya jatuh ke tanganku. Sekarang, lekaslah 
serahkan Pedang Kelelawar Putih mumpung 
anak dan istrimu masih selamat di tangan-
ku," ujar Kelelawar Hutan sengaja berdusta. 
Padahal, Aryani dan Bidadari Putih telah lama 
meninggalkannya. 
"Manusia Pengecut! Siapa peduli omon-
gan mu! Ayo! Kalau kau memang laki-laki se-
jati, lekaslah turun! Kita bertarung sampai 
ada yang mampus!” 
Terdengar satu bentakan nyaring penuh 
tenaga dalam dari dalam Sumur Kematian. 
Suaranya menggema, merambat dan terus 
menerabas keluar dari lubang sumur. 
Kelelawar Hutan menggeram penuh ke-
marahan. Berkali-kali ia mondar-mandir di 
pinggir sumur. Kemudian kepalanya dilon-
gokkan ke bawah. 
"Siapa sudi menuruti keinginan  orang 
putus asa? Kalau kau ingin mampus, mam-
puslah sendiri di bawah sana! Tapi, kau ha-
rus menyerahkan Pedang Kelelawar Putih itu 
padaku!" kata Kelelawar Hutan, jerih juga 
mendengar tantangan Lowo Kuru.  
"Ha ha ha...! Bilang saja kau tidak bera-
ni!" Kelelawar Hutan menggereng. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak.  Gigi-gigi gerahamnya 
bergemeletukan, menahan amarah menggele-
gak. Namun laki-laki licik itu tidak mau me-
nurutkan hawa amarahnya. 
"Aku tahu, kali ini kau bisa bicara pon-
gah seperti ini. Tapi, tunggu sebentar, Ka-
kang! Kau tentu akan menyesal dengan kata-
katamu!" 
"Hidupku sudah hancur. Buat apa me-
nyesali?" teriak Lowo Kuru nyaring, namun 
suaranya kali ini sedikit melemah. Mungkin 
terpengaruh juga dengan ancaman Kelelawar 
Hutan. 
Kelelawar Hutan tidak lagi  meladeni 
omongan-nya. Hanya matanya saja yang ber-
kilat-kilat, memperhatikan lubang Sumur 
Kematian. Kemudian dengan perasaan panas, 
segera ditinggalkan tempat ini. 
Begitu kaki kanannya menutul ke tanah, 
bayangan tinggi besar Kelelawar Hutan pun 
tahu-tahu telah berkelebat cepat keluar dari 
Pekarangan Terlarang. Gerakan kedua ka-
kinya cepat sekali laksana terbang, pertanda 
ilmu meringankan tubuhnya telah sangat 
tinggi 
Sebentar saja Kelelawar Hutan telah 
sampai di padepokannya. Beberapa orang 
murid asuhannya berlari-lari menyambut ke-
datangannya, ia langsung duduk berlutut 
mengitari. 
"Semuanya berkumpul di ruang utama!" 
perintah Kelelawar Hutan galak. 
"Baik, Guru!" sahut murid-murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih serempak 
Dan sehabis berkata begitu, murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih segera me-
nuju ruang utama. Dengan langkah angkuh-
nya Kelelawar Hutan mengikuti dari belakang. 
Tepat ketika murid-murid Perguruan Kelela-
war Putih sudah duduk bersila di ruang uta-
ma, Kelelawar Hutan masuk. 
"Selamat memasuki ruang utama. 
Guru!" sambut para murid. 
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk 
angkuh. Langkahnya tegap kala. Mendekati 
tempat duduknya. Sejenak pandangannya 
menyapu ke seputar ruangan. Seluruh murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih diam mem-
bisu dengan kepala menunduk dalam-dalam. 
Kelelawar Hutan menghenyakkan pan-
tatnya kasar di kursi kebesarannya. 
"Kalian semua murid-murid  Perguruan 
Kelelawar Putih, kuperintahkan untuk me-
nangkap hidup-hidup Bidadari Kecil dan Bi-
dadari Putih! Siapa saja yang dapat menang-
kap mereka hidup-hidup, cepat beri tahu aku 
di rumah batu,  Kalian paham?!" ujar Kelela-
war Hutan, dengan  pandangannya  menebar 
ke sekeliling. 
"Paham, Guru!" sahut murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih serempak. 
"Tapi... tapi, bagaimana kalau mereka 
melawan, Guru?" tanya salah seorang murid 
yang mengenakan pita warna kuning berani. 
"Kau lancang sekali,  Panuluh! Kapan 
kau kusuruh bertanya, he?.!" hardik Kelela-
war Hutan garang. 
"Ma... maaf, Guru! Aku tidak sabar," ja-
wab murid yang dipanggil Panuluh itu geme-
tar. Wajahnya seketika pucat pasi. 
"Baik. Kali ini kau ku maafkan, Panuluh. 
Tapi tidak untuk yang kedua kalinya," kata 
Kelelawar Hutan angkuh. Sejenak pandangan 
matanya kembali menyapu paras murid-
muridnya. Tak ada satu pun yang berani 
membuka suara. Semuanya diam dengan pe-
rasaan tegang. 
Kelelawar Hutan angguk-anggukkan ke-
palanya. 
"Baik. Kalau mereka melawan, bunuh! 
Paham?! Aku perintahkan kalian semua un-
tuk membunuh mereka!" 
Semua murid Perguruan Kelelawar Hu-
tan  terkesiap.  Sejenak mereka mendongak, 
memandang Kelelawar Hutan, kemudian bu-
ru-buru diam membisu seperti semula. Dalam 
hati, mereka tidak henti-hentinya menduga-
duga apa kesalahan Bidadari Kecil dan Bida-
dari  Putih sehingga harus dibunuh. Namun 
keheranan mereka hanya dapat disimpan da-
lam hati. 
Sekarang, lekas kalian semua enyah dari 
hadapanku! Dan jangan lupa lakukan semua 
perintahku!" tegas Kelelawar Hutan garang. 
 
* * * 
 
 
Kaki langit sebelah timur terusap sinar 
matahari yang berwarna merah jingga. Ayam 
jantan liar sejak tadi mengumandangkan ko-
koknya yang gagah, menyapa pagi. Gumpalan 
awan  putih laksana kapas berserakan di ca-
krawala. Sementara, tiupan angin lembut te-
rasa. semakin menambah indahnya suasana. 
Di sebuah hutan bambu yang tak jauh 
dari Lembah Kruisan, berkelebat  sesosok 
bayangan putih-putih melalui jalan setapak di 
pinggiran hutan. Gerakannya cepat sekali 
laksana terbang, pertanda ilmu meringankan 
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. 
Sosok itu adalah seorang wanita cantik 
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Ram-
butnya panjang sebahu,  dengan ikat kepala 
warna putih. Wajahnya  berbentuk lonjong 
dengan sepasang mata lebar dan alis tebal. 
Hidungnya mancung. Pas sekali dengan ben-
tuk bibirnya yang tipis. Sedang tubuhnya 
yang langsing dibalut pakaian warna putih-
putih. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Surti-
ni atau yang lebih terkenal  sebagai Bidadari 
Putih. Wanita ini telah pergi meninggalkan 
markas Perguruan Kelelawar Putih karena in-
gin mencari obat pemunah racun yang ham-
pir delapan belas tahun mengeram dalam tu-
buhnya. 
Tanpa mengenal lelah, Bidadari Putih te-
rus berlari kencang menuju puncak Gunung 
Perahu, tempat petapaan Tabib Agung. Na-
mun ketika wanita itu sampai di persimpan-
gan jalan di luar hutan bambu, mendadak....  
"Berhenti!" 
Terdengar bentakan keras menggelegar 
yang membuat Bidadari Putih kontan berhen-
ti. Dan belum hilang gaung bentakan itu, ta-
hu-tahu di hadapan Bidadari Putih telah ber-
diri seorang wanita cantik berpakaian kuning 
keemasan. Usianya kira-kira sama dengan-
nya, Rambutnya panjang digelung ke atas. 
Wajahnya yang putih kepucatan berbentuk 
bulat telur. Sepasang matanya lebar, alis ma-
tanya tebal. Bulu-bulu matanya lentik, hi-
dungnya pun mancung. Dan tokoh wanita ini 
pun sudah cukup banyak malang melintang 
di dunia persilatan. Gelarnya cukup menye-
ramkan, Setan Cantik! 
Melihat siapa yang menghadang, gera-
kan Bidadari Putih langsung berkerut. Pe-
rempuan yang menghadangnya tidak lain dari 
orang yang menyebabkan suaminya merana 
dalam Sumur Kematian. Karena. dia adalah 
salah seorang tokoh sesat yang turut  mem-
bantu Kelelawar Hutan mengeroyok Lowo Ku-
ru, hingga akhirnya dicemplungkan ke dalam 
Sumur Kematian dalam keadaan sangat men-
genaskan. 
"Bedebah!  Rupanya kau, Setan Cantik! 
Kebetulan sekali kau mengirim nyawa bu-
sukmu kemari," desis Bidadari Putih, penuh 
kemarahan. 
"Hm...! Rupanya kau pun masih galak 
juga seperti dulu, Bidadari Putih. Baik. Akan 
kulihat, sampai di mana kegalakan mu  ini!" 
ejek Setan Cantik sinis. 
"Keparat! Dosamu sudah bertumpuk, 
Setan Cantik! Kau tidak layak lagi berkeliaran 
di muka bumi ini!" hardik Bidadari Putih ga-
rang. 
Kedua tangan Bidadari Putih yang sudah 
membentuk cengkeraman cepat bergerak me-
nyerang.  Tidak tanggung-tanggung,  langsung 
dikeluarkannya jurus sakti 'Cengkeraman 
Maut Kelelawar Sakti' yang merupakan salah 
satu  jurus  andalan Perguruan Kelelawar Pu-
tih. Sebelum serangan Bidadari Putih itu sen-
diri mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur angin dingin mengarah ke beberapa jalan 
darah Setan Cantik. 
"Hup..,!"  
Setan Cantik cepat melempar tubuhnya 
ke belakang. Dan sambil berloncatan, tan-
gannya mengibas cepat. 
Set! Set! 
Seketika, beberapa sinar keemasan me-
luncur ke arah tubuh Bidadari Putih. Begitu 
dahsyat, dan nampak berkeredepan memba-
wa maut. 
Namun Bidadari Putih  tidak gentar di-
buatnya. Melihat  Sinar-sinar  keemasan yang 
berupa puluhan jarum-jarum emas itu,  baju 
putihnya cepat dikebutkan secara memutar. 
"Hih...!" 
Dan begitu jarum-jarum emas rontok ke 
tanah, Bidadari Putih cepat meloncat tinggi ke 
udara. Begitu meluruk  tangan kanannya 
membentuk cengkeraman ke arah ubun-ubun 
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya 
siap  mencengkeram pula dada perempuan 
itu. 
Hebat bukan main serangan-serangan 
Bidadari Putih ini.  Apalagi  tenaga dalamnya 
dikerahkan sepenuhnya. 
Setan Cantik tidak berani memandang 
remeh. Cepat tubuhnya digulingkan ke samp-
ing. Dan lagi-lagi, sambil berguling-gulingan 
seperti itu, kembali tangannya mengibas. Ma-
ka, kembali jarum-jarum emas berkeredepan 
meluncur deras. 
Wess! Wesss! 
Di udara Bidadari Putih mengebutkan 
baju putihnya sekali, membuat jarum-jarum 
emas kembali rontok Dan begitu kedua ka-
kinya memapak ke tanah, tubuhnya kembali 
melompat tinggi ke udara. Gerakannya cepat 
sekali, laksana seekor kelelawar yang sedang 
mengejar mangsa dengan kedua tangan men-
garah ubun-ubun kepala Setan Cantik. 
Setan Cantik yang baru saja melompat 
bangun, merasa tidak ada pilihan lagi. Kalau 
ingin selamat serangan-serangan Bidadari Pu-
tih harus ditangkisnya. Apalagi, saat itu kea-
daannya kurang begitu menguntungkan. 
Plak! Plak! 
Terdengar benturan dua telapak tangan 
di udara, yang disusulnya dengan bergetarnya 
dua sosok tubuh. Namun keseimbangan Bi-
dadari Putih  sedikit lebih menguntungkan. 
Sedangkan Setan Cantik tampak sempat ter-
huyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. 
Tentu saja Bidadari Putih tidak menyia-
nyiakan kesempatan saat melihat tubuh Se-
tan Cantik terhuyung-huyung.  Maka tenaga 
dalamnya cepat dikerahkan saat mengirim se-
rangan berikutnya, Namun.... 
"Hoeekkhh.” 
Mendadak saja begitu mengerahkan te-
naga dalamnya, Bidadari Putih memuntahkan 
darah segar berwarna merah kehitaman den-
gan wajah pucat pasi. Kedua tangannya me-
megangi dada yang terasa sesak. Bibirnya 
bergetar-getar dan mulut meringis menahan 
nyeri di dada. 
Di tempatnya, Setan Cantik yang semula 
ciut nyalinya melihat gebrakan Bidadari Putih 
jadi tersenyum senang. 
"Ha..! Rupanya racun kelelawar putih 
masih mengeram dalam tubuhmu, Bidadari 
Putih. Sekarang jangan harap bisa jual lagak 
di depanku, he?!" ejek Setan Cantik dingin. 
Bidadari Putih hanya bisa menggerutkan 
gerahamnya. Memang racun kelelawar putih 
akibat pukulan 'Tangan Hitam Kelelawar Hu-
tan' delapan belas tahun lalu masih menge-
ram dalam tubuhnya. Dan sekarang, karena 
terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam, 
membuat racun yang mengeram dalam tu-
buhnya semakin bekerja hebat. 
"Hoeekh...!" 
Bidadari Putih kembali memuntahkan 
darah segar berwarna merah kehitaman. Wa-
jahnya kian pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar menahan nyeri di dada. 
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan pemba-
lasanku, Bidadari Putih! Agar kau tidak seng-
sara dengan racun dalam tubuhmu, aku ingin 
membantumu menemui Malaikat Kematian di 
dasar neraka. Sekarang terimalah kematian-
mu, Bidadari Putih!" desis Setan Cantik sinis. 
Wajah Setan Cantik yang cantik menda-
dak berubah menjadi bengis. Matanya berki-
lat-kilat, menyembunyikan kekejaman luar 
biasa.  Dan sehabis berkata begitu, tubuhnya 
meluruk ke arah Bidadari Putih dengan ju-
rus-jurus andalan dari Istana Ular Emas yang 
diiringi jarum-jarum emas berkeredepan. 
Bed! Bed! 
Set! Set! 
"Utss...!" 
Bidadari Putih kewalahan bukan main 
saat menghindar dengan melompat ke sana 
kemari.  Bahkan  berapa kali dia harus ber-
jumpalitan. Perlahan namun pasti, kini Bida-
dari Putih mulai terdesak hebat. Jangankan 
untuk membalas serangan. Untuk meng-
hindar saja harus mengerahkan segenap ke-
mampuannya. 
Sedang Setan Cantik malah semakin ga-
nas mengurung pertahanan Bidadari Putih. 
Jarum-jarum emasnya yang berkeredepan 
benar-benar membuat Bidadari Putih kewala-
han. Dalam beberapa jurus lagi, Bidadari Pu-
tih tentu akan sulit menghindar dari tangan 
maut Setan Cantik. 
Plak! Plak! 
Dua buah tamparan mendarat telak di 
wajah, membuat Bidadari Putih terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Se-
dang kedua pipinya yang terkena tamparan 
tadi terasa nyeri bukan main. 
Setan Cantik tersenyum senang. Pada 
saat tubuh Bidadari Putih terhuyung-huyung 
cepat dilontarkannya tendangan maut ke pe-
rut. 
Bukkk! 
"Aaakhh...!" 
Bidadari Putih memekik tertahan. Seke-
tika itu juga tubuhnya mencelat beberapa 
tombak ke belakang, langsung  membentur 
batang pohon di belakangnya. Perutnya yang 
terkena terasa mau jebol dan nyeri bukan 
main. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya ber-
getar-getar hebat. Dan dari sudut-sudut  bi-
birnya nampak menggulir darah merah, per-
tanda tengah menderita luka dalam yang cu-
kup parah. 
Melihat musuhnya terkapar tak berdaya, 
Setan Cantik makin beringas. Kedua tangan-
nya yang berwarna kuning keemasan hingga 
sampai ke siku, siap melontarkan pukulan 
maut 'Ular Emas' ke arah tubuh Bidadari Pu-
tih. 
Wesss!. 
Wuuttt...! 
Satu tombak lagi pukulan itu mengenai 
sasaran, mendadak berkelebat sesosok 
bayangan putih-putih menyambar tubuh Bi-
dadari Putih. 
Blarm..! 
Pukulan sakti 'Ular Emas' milik Setan 
Cantik terus menerabas ke belakang, lang-
sung menghantam batang pohon di belakang-
nya hingga langsung hangus terbakar. Bebe-
rapa saat kemudian terdengar derak pohon 
yang jatuh melintang di tengah jalan. 
"Keparat! Siapa yang berani main-main 
dengan Setan Cantik!" hardik Setan Cantik 
penuh kemarahan. Matanya yang tajam terus 
memperhatikan sosok berpakaian putih-putih 
yang menolong Bidadari Putih. Dan kini sosok 
itu telah melangkah ke arah tiga sosok lain 
yang juga telah berada di tempat ini. 
 
* * * 
 
 
Setan Cantik kini terkepung oleh empat 
orang gagah berpakaian putih-putih yang ra-
ta-rata berusia empat puluhan. Di kepala me-
reka melingkar ikat kepala berwarna putih. 
"Kakang Sindu! Sebaiknya Kakang urus 
saja Bibi Bidadari Putih! Biar kami bertiga 
yang mencincang wanita sundal ini!" kata sa-
lah satu dari empat laki-laki berpakaian pu-
tih-putih pada temannya yang masih memon-
dong tubuh Bidadari Putih. 
"Baiklah, Naroko. Harap kalian hati-hati 
dengan jarum-jarum emasnya!" sahut laki-
laki bernama Sindu yang memondong Bidada-
ri Putih. Kemudian dengan sekali mengempos 
tubuhnya, dia berkelebat membawa Bidadari 
Putih. 
"Hm...! Murid-murid utama Lowo Kuru! 
Apa kalian belum kapok kugebuk delapan be-
las tahun lalu, he?! Menyesal sekali aku dulu 
membiarkan pergi. Tapi, jangan harap kali ini 
aku melepaskan nyawa busuk kalian!" 
Sehabis berkata begitu, Setan Cantik se-
gera meloloskan pedang tipisnya yang ber-
warna kuning keemasan di pinggang. Gagang 
pedang berbentuk kepala ular emas. Begitu 
pedang terangkat, bias-bias sinar keemasan 
memendar akibat jilatan sinar matahari. 
Seperti yang dikatakan Setan Cantik, 
keempat  orang berpakaian putih-putih itu 
memang murid utama Lowo Kuru. Delapan 
belas tahun yang lalu ketika terjadi pertem-
puran hebat antara Lowo Kuru dengan Kele-
lawar Hutan yang dibantu oleh  beberapa 
orang tokoh sesat dunia persilatan, mereka 
pun turut membantu sang guru. Cuma 
sayangnya, mereka yang dibantu beberapa 
murid lainnya belum sanggup menghadapi ja-
rum-jarum beracun milik Setan Cantik dan 
Cantrik  Tudung Pandan. Akibatnya ketika 
Lowo Kuru dan Bidadari Putih roboh di tan-
gan Kelelawar Hutan, keempatnya dapat diro-
bohkan pula. 
Namun pada saat tubuh keempat orang 
murid utama Lowo Kuru itu hendak di buang 
ke dalam Sumur Kematian oleh beberapa 
orang adik seperguruan yang secara terpaksa 
menjadi anak buah Kelelawar Hutan, Sindu 
tersadar dari pingsannya. Dan karena terdo-
rong rasa iba tanpa sepengetahuan Kelelawar 
Hutan, Sindu diperbolehkan memeriksa keti-
ga orang temannya. Tidak disangka sama se-
kali, ketiga temannya ternyata masih hidup, 
walau keadaannya sangat mengenaskan! 
Sindu lantas meminta kepada adik-adik 
seperguruannya untuk membawa pergi ketiga 
temannya. Sekali lagi karena terdorong rasa 
iba, Sindu akhirnya diperbolehkan. Dan me-
nyadari akan kehebatan pukulan 'Tangan Hi-
tam' ketiga orang temannya dibawa ke Gu-
nung Perahu tempat tinggal Tabib Agung. 
Setelah dapat disembuhkan Tabib 
Agung, Sindu dan ketiga orang murid utama 
Lowo Kuru tidak langsung turun gunung. Se-
lama berpuluh-puluh tahun, mereka mem-
perdalam ilmu silat, hingga dapat menguasai 
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kele-
lawar Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hu-
tan'. Baru kemudian, mereka turun gunung. 
Kebetulan sekali, di tengah perjalanan mereka 
bertemu Bidadari Putih yang tengah terdesak 
menghadapi Setan Cantik. 
Kini menghadapi salah seorang yang du-
lu turut mengeroyok guru mereka, tiga dari 
empat murid utama Lowo Kuru pun tak dapat 
lagi menahan amarahnya lagi. Apalagi ketika 
melihat bibi gurunya, Bidadari Putih pun 
hampir celaka di tangan Setan Cantik. Maka 
tanpa  banyak  membuang-buang  waktu lagi, 
ketiga orang itu pun segera melolos pedang 
dari balik pinggang masing-masing. 
Sret! Sret! Sret! 
"Demi Tuhan kami akan membalaskan 
sakit hati guru dan bibi guru kami, Setan 
Cantik! Untuk itu, lekaslah serahkan  nyawa 
busukmu untuk menebus dosa-dosamu yang 
sudah bertumpuk!" dengus laki-laki yang 
bernama Naroko penuh kemarahan sambil 
mengisyaratkan kepada kedua orang kawan-
nya untuk bersiap-siap. 
"Majulah! Kalau kalian ingin mencari 
mati di tempat ini, Tikus-tikus busuk!" tan-
tang Setan Cantik pongah. 
"Jahanam! Terimalah kematianmu hari 
ini, Setan Cantik!" 
Naroko tak dapat lagi mengendalikan 
amarahnya, tanpa banyak cakap lagi kakinya 
menjejak tanah. Dan tahu-tahu, tubuh tinggi 
kekarnya telah melesat. Pedang di tangan ka-
nannya bergetaran, mengancam ubun-ubun 
kepala Setan Cantik. Sedang tangan kirinya 
telah  membentuk  cengkeraman, siap men-
cengkeram ulu hati. 
Melihat Naroko telah mendahului me-
nyerang, kedua orang murid utama Lowo Ku-
ru itu pun segera membantu. Gerakan-
gerakan mereka cepat sekali dengan bacokan-
bacokan pedang yang mengurung pertahanan 
Setan Cantik. 
Setan Cantik tersenyum dingin. Pedang 
Ular Emasnya digerakkan sedemikian rupa, 
menangkis serangan-serangan ketiga murid 
utama Lowo Kuru. 
Trang! Trang! 
Terdengar suara  berdentang disertai  pi-
jaran bunga api ketika pedang di tangan Se-
tan Cantik berbenturan saat menangkis se-
rangan, Kontan tangan wanita ini terasa ke-
semutan. Sungguh tidak disangka kalau keti-
ga orang murid utama Lowo Kuru ini telah 
mengalami kemajuan pesat. Maka tanpa be-
rani  memandang ringan lagi, cepat dikelua-
rkannya jurus-jurus dari Istana Ular Emas. 
Pedang di tangan kanannya mendadak berge-
rak menusuk ulu hati Naroko. 
Wuttt! 
Naroko berkelit ke samping. Namun 
sungguh tidak disangka kalau gerakan pe-
dang di tangan Setan Cantik  mendadak me-
nyerong ke samping, lantas bergerak ke leher. 
Naroko makin mengkelap, karena di 
samping harus menghadapi bacokan pedang, 
ia pun juga harus siap pula menghadapi pu-
kulan sakti 'Ular Emas'. 
"Hyaaattt...!" 
Akhirnya dengan nekat Naroko memutar 
pedangnya menangkis serangan bacokan pe-
dang Setan Cantik. Sedang tangan kirinya 
yang berwarna putih menyilaukan mata siap 
menangkis pukulan 'Ular Emas'.  
Trang! 
Bunga api berpijar disertai suara ber-
dentang keras, kala pedang di tangan kanan 
Naroko berkelebat menangkis bacokan pe-
dang Setan Cantik. Akibatnya, tangan laki-
laki bergetar hebat. Sedang pada saat itu dari 
telapak tangan kiri lawan cepat menerjang. 
Namun pada saat yang paling genting 
bagi keselamatan Naroko, dua larik sinar pu-
tih menyilaukan mata melabrak ke arah Se-
tan Cantik 
Wesss! Wesss! 
Setan Cantik  terpaksa menarik seran-
gannya. Tubuhnya cepat melompat ke bela-
kang beberapa tombak Namun begitu menje-
jak tanah, ia segera menerjang ke arah kedua 
orang murid utama Lowo Kuru yang tadi 
menghalang-halangi niatnya. 
Naroko yang baru saja diselamatkan ke-
dua orang kawannya segera datang memban-
tu. Sehingga dalam waktu sebentar saja, 
kembali Setan Cantik dibuat sibuk mengha-
dapi serangan-serangan ketiga murid Lowo 
Kuru. Beberapa kali pedangnya berusaha di-
putar untuk  menekan ketiga lawannya. Na-
mun tetap saja ia terdesak. Padahal Setan 
Cantik telah mengeluarkan jurus-jurus 
mautnya. 
 
* * * 
 
Sementara tak jauh dari pertarungan, 
Sindu, baru saja berhasil menyadarkan Bida-
dari Putih dari pingsannya. Meski telah luka 
dalam wanita itu dapat berkurang, namun te-
tap saja wajahnya masih nampak kepucatan. 
Kening Sindu berkerut dalam. Ia tidak 
mengerti, mengapa wajah bibi gurunya masih 
nampak kepucatan. Di samping itu juga dira-
sakannya hawa dingin mengaliri jalan darah 
Bidadari Putih. Bisa ditebak kalau dalam tu-
buh bibi gurunya terkandung satu hawa ra-
cun yang keji sekali. 
"Nampaknya Bibi Guru terkena pukulan 
yang mengandung hawa racun jahat. Tapi..., 
tapi  menurut pandanganku bukan Racun 
Ular Emas yang mengeram dalam tubuh Bibi. 
Lantas, siapa yang telah mencelakakan Bibi 
Guru hingga seperti ini, Bibi?" tanya Sindu 
tak mengerti. 
"Aku, memang terkena racun, Sindu. 
Seperti pendapatmu, aku  memang tidak ter-
kena Racun Ular Emas. Melainkan, terkena 
racun keji milik Kelelawar Hutan. Entah, ra-
cun apa itu. Yang jelas racun ini sudah men-
geram dalam tubuhku selama delapan belas 
tahun," jelas Bidadari Putih seraya menggigit 
bibir bawahnya. menahan nyeri dalam dada. 
"Ah...! Tak kusangka Paman Kelelawar 
Hutan demikian keji menyiksa Bibi seperti ini. 
Lantas, bagaimana aku harus membantu Bibi 
mengeluarkan racun yang mengeram dalam 
tubuhmu?" keluh Sindu sedih. 
"Sudahlah! Jangan kau terlalu mence-
maskan ku! Sebaiknya, cepat bantu kawan-
kawanmu menghadapi Setan Cantik!" ujar Bi-
dadari Putih seraya mengibaskan tangan ka-
nannya. 
Sindu sebenarnya ingin membantah 
omongan bibi gurunya. Namun ketika melihat 
Bidadari Putih mulai pejamkan mata, niatnya 
diurungkan. Rasanya tak tega mengganggu 
bibi gurunya yang sedang bersemadi untuk 
memulihkan tenaga dalam. Maka ketika meli-
hat ketiga  adik seperguruannya terus meng-
gempur Setan Cantik, tanpa  banyak pikir 
panjang lagi pedangnya segera diloloskan. 
Dan seketika tubuhnya berkelebat membantu 
serangan. 
Setan Cantik yang sudah kewalahan, 
makin repot saja begitu Sindu itu membantu 
mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan 
saja entah sudah berapa kali Setan Cantik 
terpaksa harus berjumpalitan  di udara. Ja-
rum-jarum emasnya seolah-olah tidak ber-
manfaat menghadapi serangan keempat orang 
murid utama Lowo Kuru. Malah entah sudah 
berapa kali pula tubuhnya hampir saja terke-
na sambaran pedang di tangan para penge-
royoknya. 
"Hiaaa...!" 
Disertai teriakan membelah angkasa, Se-
tan Cantik mengibaskan tangannya. Seketika 
jarum-jarum beracunnya meluncur ke arah 
empat orang pengeroyoknya. Bersamaan den-
gan itu tangan kirinya yang sudah berwarna 
kuning keemasan sampai ke pangkal lengan 
menghentak ke arah Sindu melontarkan pu-
kulan 'Racun Ular Emas'. 
Wesss! Weesss! 
Keempat orang murid utama Lowo Kuru 
cepat memutar pedangnya demikian rupa, 
menangkis rontok jarum-jarum  emas yang 
berkeredepan. Sementara Sindu yang baru 
saja memutar pedangnya, segera menghen-
takkan tangannya melepas pukulan 'Kepakan 
Kelelawar Sakti' untuk memapak sinar kuning 
dari pukulan 'Racun Ular Emas'. 
Blarrr...! 
Tubuh Sindu sempat terhuyung-huyung 
beberapa langkah ke belakang. Sedang Setan 
Cantik sendiri pun sempat bergetar hebat. 
Kemudian sebelum sempat ketiga orang mu-
rid Lowo Kuru menyusul serangan berikut-
nya, wanita itu cepat. mengempos tubuhnya. 
Langsung berkelebat meninggalkan keempat 
orang pengeroyoknya. 
Naroko yang merasa paling gemas den-
gan sepak terjang Setan Cantik cepat berkele-
bat menyusul. Namun baru beberapa tom-
bak.... 
"Naroko! Biarkan wanita sundal itu me-
larikan  diri! Kita sebagai ksatria tak pantas 
mengejar musuh yang melarikan diri!" cegah 
Sindu. 
Naroko menghentikan larinya. Laki-laki 
itu berbalik seraya menatap heran pada Sin-
du. 
"Tapi, wanita sundal itulah yang telah 
mencelakakan guru kita, dan bibi guru kita, 
Kakang," kata Naroko kecewa. 
"Yayaya.,.! Aku tahu. Tapi lebih baik kita 
menolong bibi guru!" 
"Baiklah kalau begitu. Tapi lain kali, aku 
berjanji tidak akan melepaskan wanita sundal 
itu! Belum puas rasanya kalau aku belum 
membalaskan sakit hati Guru," geram Naroko 
penuh kemarahan. 
"Hm...! Lain kali aku juga akan membuat 
perhitungan dengan tokoh sesat itu. Seka-
rang, sebaiknya cepat kita menolong bibi 
guru," ujar Sindu lagi. 
Di tempatnya, Bidadari Putih masih 
tenggelam dengan semadinya. Wajahnya yang 
cantik nampak makin kepucatan. Melihat hal 
ini, Sindu merasa gelisah sekali. Kemudian 
dia buru-buru berlutut di samping wanita 
cantik itu. Dan seperti ada kata sepakat, keti-
ga orang adik seperguruannya pun ikut pula 
duduk berlutut, menunggu Bidadari Putih se-
lesai dengan semadinya. 
Beberapa saat kemudian, Bidadari Putih 
pun kembali membuka kelopak matanya per-
lahan-lahan. Namun, wajahnya tetap pucat 
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda racun 
yang mengeram dalam tubuhnya tengah be-
kerja hebat. 
"Bibi Guru! Kau kenapa?" tanya Sindu 
tak sabar. 
"Racun itu kembali bekerja menggerogoti 
tubuhku...," desah Bidadari Putih seraya 
menggigit bibirnya menahan nyeri di ulu hati. 
"Lantas, apa yang harus kami perbuat 
untuk menolong Bibi Guru mengeluarkan ra-
cun itu?" tanya Sindu putus asa. 
Bidadari Putih menggeleng-geleng.  Ia 
sendiri pun sepertinya sudah mulai putus asa 
dengan racun yang mengeram dalam tubuh-
nya. 
"Aku tidak tahu pasti, Sindu. Aku hanya 
ingin menemui Tabib Agung. Barang kali saja 
tokoh sakti dari Gunung Perahu itu mau 
mengeluarkan racun yang hampir delapan be-
las tahun mengeram dalam tubuhku. Sebab 
untuk mengambil Daun Lontar Merah di da-
sar Sumur Kematian, rasanya tidak mungkin. 
Aku tidak tega melihat keadaan suamiku. Di 
samping itu, aku pun tidak tahu jebakan apa 
yang ada di Sumur Kematian." 
"Ya ya ya.... Aku dapat memahami pera-
saanmu, Bibi," sahut Sindu. Tapi kupikir, ti-
dak ada pilihan lain. Kita harus secepatnya 
mengambil Daun Lontar Merah itu. Kalau Bibi 
ragu-ragu, biar kami berempat yang men-
gambilnya. 
 
* * * 
 
 
"He he he...! Rupanya kau penurut juga, 
Aryani! Ayo, lekas bangun! Masa' anak pera-
wan bangun sesiang ini?!" tegur pemuda ber-
pakaian rompi dan celana bersisik warna pu-
tih keperakan yang tidak lain Soma alias Si-
luman Ular Putih dengan senyum menggoda. 
Suaranya pun terdengar bergetar-getar aneh 
mempengaruhi jalan pikiran Aryani. 
Ajaib sekali! Aryani yang tertidur pulas 
mendadak tersentak bangun. Matanya meme-
rah. Wajahnya kuyu. Namun anehnya, sepa-
sang matanya yang memerah mendelik gusar. 
Mulutnya bersungut-sungut pertanda sedang 
jengkel. 
"Tidak ada angin tidak ada hujan, men-
gapa kau bersungut-sungut seperti ini?" 
tanya si pemuda kalem. 
"Manusia kampret! Rupanya kau ber-
main-main dengan ilmu sihiran lagi! Kau mau 
mempermainkan aku ya?!" hardik Aryani pe-
nuh kemarahan. 
"Siapa? Siapa yang mau mempermain-
kan mu? Tadi malam kulihat kau mengantuk, 
lalu tertidur. Apa aku salah kalau meninggal-
kanmu sebentar? Jangan menuduhku semba-
rangan begitu, dong!" tukas Soma memungki-
ri perbuatannya semalam. 
Aryani bangkit. Matanya mendelik gusar. 
"Apa kau bilang?! Kau pikir aku tidak 
tahu apa yang kau perbuat semalam sebelum 
meninggalkan ku, he?!" hardik Aryani lagi. 
Soma yang dibentak seperti itu hanya 
tersenyum. Malah matanya mengerjap-
ngerjap nakal. 
"Sudahlah, jangan marah-marah seperti 
ini! Aku takut nanti kau malah bisa cepat tua. 
Ayo, sekarang lekas ikut aku! Ada seseorang 
ingin bertemu denganmu," ajak Soma kalem. 
"Enak saja kau main perintah. Pikir mu, 
kau ini siapa, he?!" sungut Aryani jengkel. 
Tangan kanannya tahu-tahu telah menyodok 
keras perut Soma. Pada bagian pusar. 
Dukkk! 
Soma meringis. Bukannya sakit karena 
sodokan Aryani, melainkan bagian pusarnya 
itu merupakan bagian yang sangat peka dari 
ilmu pamungkasnya. Ajian 'Titisan Siluman 
Ular Putih'! Maka seketika itu, Soma pun mu-
lai merasakan sesuatu yang berputar-putar 
aneh pada perutnya. Dan benar saja. Belum 
sempat hawa panas yang berpusar-pusar da-
lam perutnya dikendalikan, mendadak saja 
sekujur tubuhnya mulai dipenuhi uap putih 
tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuhnya 
tidak kelihatan sama sekali. 
"Hah?" 
Aryani terbelalak heran. Dan ketika asap 
putih tipis yang menyelimuti sekujur tubuh 
Soma sirna tertiup angin, seketika itu juga... 
"Gggeerrr...!" 
Aryani kaget bukan alang kepalang 
mendengar suara gerengan yang keras luar 
biasa. Wajahnya pucat pasi. Matanya kini ter-
belalak ngeri. Di hadapannya saat itu terlihat 
seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan taring-taring mencuat berkilauan, sebesar 
tanduk kerbau liar. Matanya pun berwarna 
merah saga! 
"Sil... Siluman Ular Putih...!" desis Arya-
ni dengan suara bergetar. 
Siluman Ular Putih sebesar pohon kela-
pa menggeliat-geliat membuat debu-debu be-
terbangan terkena kibasan-kibasan ekornya. 
Sebentar kemudian, sekujur tubuh ular rak-
sasa itu kembali diselimuti uap putih tipis, 
hingga bayangan besar memanjangnya tidak 
kelihatan sama sekali. 
Wesss...! 
Dan saat asap putih tipis itu sirna ter-
tiup angin, maka tampak seorang pemuda be-
rambut gondrong dengan pakaian rompi dan 
celana bersisik warna putih keperakan. Soma! 
"Kau... kaukah Sil..., Siluman Ular Putih 
itu, Soma?" tanya Aryani masih dengan mata 
terbelalak. 
Soma tidak menjawab. Hanya dipandan-
ginya gadis itu dengan senyum terkembang di 
bibir sembari garuk-garuk kepala. 
"Ah...! Tak kusangka kau Pendekar Si-
luman Ular Putih yang sedang diperbincang-
kan orang banyak itu," desah Aryani lagi. 
Namun kali ini gadis itu mulai sedikit dapat 
menenangkan hatinya. 
Soma masih tersenyum-senyum nakal. 
Dalam hatinya sendiri pun juga merasa heran 
dengan kejadian barusan. Ia belum begitu ta-
hu, mengapa ketika gadis itu menyodok pu-
sarnya, mendadak saja jadi berubah menjadi 
Siluman Ular Putih. 
"Mungkinkah bagian pusar ku  merupa-
kan salah satu kelemahan atau pantangan-
ku?" gumam Soma dalam hati. Sebab eyang-
nya di Gunung Bucu belum menjelaskan hal 
itu. 
"Kau ini bagaimana, sih? Mengapa kau 
menatap ku seperti itu? Ayo, lekas ikut aku! 
Ada seseorang yang ingin sekali bertemu den-
ganmu," tukas Soma. 
"Tapi... tapi, kau kan yang bergelar Si-
luman Ular Putih itu?" 
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi nyinyir se-
perti ini, Aryani?! Apa kau tidak ingin berte-
mu seseorang yang sangat merindukan mu?" 
tegur Soma. 
"Ya ya ya...! Tapi, siapa?" 
"Ayahmu! Ayah kandungmu yang sebe-
narnya. Lowo Kuru." 
"Maksudmu, orang tua buntung yang 
berada di dalam Sumur Kematian?" tanya 
Aryani, dengan kening berkerut heran. 
"Apakah..., apakah orang  tua buntung 
yang berada di dalam Sumur Kematian itu 
ayah kandungku? Bukankah ayah kandung-
ku Kelelawar Hutan?" 
"Nanti bisa kau tanyakan  padanya. Se-
karang, ayo lekas ikut aku!" 
"Ya ya ya...! Tapi, aku harus mandi du-
lu." 
"Ya, ampun! Dalam keadaan seperti ini 
kau pun masih sempat berpikir untuk man-
di?!" tegur Soma, lalu berkelebat cepat me-
ninggalkan Aryani. 
"Baiklah!" kata Aryani akhirnya. 
Walau merasa agak jengkel, toh Aryani 
mau juga diajak menemui orang tua kan-
dungnya dalam Sumur Kematian. Dengan se-
kali menutulkan kakinya gadis itu pun telah 
berkelebat di samping Soma. 
 
* * * 
 
Baru saja Soma dan Aryani hendak 
membelokkan langkahnya menuju ke Peka-
rangan Terlarang, mendadak... 
"Berhenti!" 
Bersamaan dengan bentakan itu, men-
dadak pula dari balik semak-semak  belukar 
telah berloncatan puluhan murid Perguruan 
Kelelawar Putih dengan pedang di tangan. 
Mereka langsung membuat lingkaran, mengu-
rung kedua anak muda itu. 
Kening Aryani berkerut dalam. Satu per-
satu dipandanginya murid Perguruan Kelela-
war Putih yang masih terhitung adik sepergu-
ruannya dengan alis berkerut. 
"Ada apa ini? Mengapa kalian berani ku-
rang ajar menyuruh kami berhenti, heh?!" 
bentak Aryani galak. 
"Maaf, Nona Bidadari Kecil! Terus terang, 
kami, mendapat perintah Guru untuk me-
nangkapmu serta Bidadari Putih hidup-
hidup," jelas murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang tadi membentak. 
"Kurang ajar!" desis Aryani penuh kema-
rahan. 
"Sekali lagi maafkan kelancangan kami, 
Nona Bidadari Putih. Terpaksa kami harus 
menangkapmu," kata murid Perguruan Kele-
lawar Putih itu  lagi seraya mengisyaratkan 
teman-temannya untuk menangkap Aryani 
dan Soma. 
"Minggirlah kalian semua! Kami tidak 
ada urusan dengan kalian!" ujar Soma, te-
nang. 
"Maaf! Kami benar-benar tidak berdaya," 
ucap murid itu lagi. 
"Keparat!  Lekaslah kalau kalian ingin 
menangkapku! Mengapa hanya berkoar-koar 
saja?!" teriak Aryani yang berjuluk Bidadari 
Kecil garang. Tangan kanannya cepat meraih 
pedang di pinggang. 
Sret! 
"Majulah, kalau kalian ingin mencari 
mampus!" tantang Aryani sengit. 
"Kuharap kau jangan terlalu kasar pada 
mereka, Aryani! Mereka terpaksa menjalan-
kan perintah," bisik Soma lirih. 
Aryani mengangguk-angguk. Meski ha-
tinya panas dengan kekurang  ajaran adik-
adik seperguruannya, namun masih dapat 
mengendalikan perasaannya. Dan ketika mu-
rid-murid Perguruan Kelelawar Putih itu mu-
lai menyerang, Aryani dan Soma pun segera 
menghadapi 
"Heasa...!" 
Maka dalam waktu sebentar saja, di luar 
markas sebelah timur Perguruan Kelelawar 
Putih telah terjadi pertempuran seru. Murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih yang men-
dapat tugas untuk menangkap hidup-hidup 
Aryani dengan gigih berusaha menjalankan 
tugas. Padahal, sebenarnya dalam hati mere-
ka tidak menyetujui keputusan gurunya. Na-
mun berhubung takut hukuman yang akan 
dijatuhkan Kelelawar Hutan, maka tak heran 
kalau akhirnya mereka menyerang Aryani dan 
Soma dengan sungguh-sungguh. 
"Keparat! Apa kalian benar-benar ingin 
mencari mampus, he?!" bentak Aryani penuh 
kemarahan. 
Sementara itu dari balik tembok markas 
Perguruan Kelelawar Putih telah berdatangan 
puluhan murid perguruan itu. Bahkan mere-
ka langsung menyerang. Hal ini tentu saja 
sangat merepotkan kedua anak muda itu. Di 
samping enggan menurunkan tangan kasar, 
Aryani dan Soma pun tidak ingin membuang-
buang waktu. 
"Bagaimana ini, Aryani? Apa tidak se-
baiknya kita tinggalkan saja tempat ini?" 
tanya Soma di antara gerakan-gerakan tangan 
dan kakinya yang berkelebat cepat mengha-
lang para pengeroyok 
Dess!  
Plak! 
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih langsung roboh begitu terkena 
tendangan dan tamparan Siluman Ular Putih. 
Untung saja Soma tidak mengerahkan tenaga 
dalamnya, karena hanya ingin membuat jera 
para pengeroyoknya saja. 
Namun rupanya para pengeroyok bu-
kannya menjadi jera, malah semakin bertam-
bah kalap dalam menyerang. Tentu  saja hal 
ini membuat gemas Aryani dan Soma. Bagai-
manapun juga lama kelamaan mereka bisa 
tertangkap juga kalau hanya sekadar mena-
han gempuran murid-murid Perguruan Kele-
lawar Putih. 
"Aryani! Kita  tidak mungkin terus-
terusan begini. Ayo, lekas tinggalkan tempat 
ini!" teriak Soma di antara tebasan-tebasan 
pedang murid-murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih. 
Aryani yang merasa jengkel, tak dapat 
lagi membantah omongan Soma. Kemudian 
ketika melihat pemuda itu mengamuk hebat 
di bagian utara untuk membuka jalan, ia pun 
segera melakukan hal sama. Dengan meng-
gunakan jurus-jurus 'Cengkeraman Maut Ke-
lelawar Sakti' akhirnya gadis itu dapat mengi-
kuti jejak Soma keluar dari kepungan. 
Namun begitu Aryani dan Soma dapat 
keluar dari kepungan, mendadak sepuluh 
orang murid Perguruan Kelelawar Putih yang 
baru saja keluar dari markas telah kembali 
mengepung. 
Mau tidak mau, Aryani dan Soma harus 
menghadapi para pengeroyoknya yang baru 
datang. Hal ini tentu saja digunakan para 
pengeroyoknya yang sebelumnya untuk sege-
ra mengepung kembali. 
"Setan Alas! Rupanya kalian benar-benar 
ingin mencari mampus, he?!" bentak Aryani 
jengkel, melihat tidak kurang dari empat pu-
luh orang murid Perguruan Kelelawar Putih 
telah mengepung dengan senjata di tangan. 
Soma yang melihat kenekatan para pen-
geroyoknya tak urung juga jadi jengkel di-
buatnya. Maka diam-diam kekuatan batinnya 
mulai dikerahkan untuk  melumpuhkan  para 
pengeroyoknya. Setelah memusatkan pikiran-
nya sebentar, bibirnya berkemik-kemik. La-
lu.... 
"Murid-murid tak tahu diri! Apa mata 
kalian buta, he?! Berani benar kalian menge-
royok guru kalian? Lihat baik-baik! Buka ma-
ta lebar-lebar! Aku ini Kelelawar Hutan, guru 
kalian!" bentak Soma dengan suara bergetar-
getar aneh, menyerang jalan pikiran murid-
murid Perguruan Kelelawar Putih. 
Seketika itu juga, hampir empat puluh 
murid Perguruan Kelelawar Putih terbelalak 
lebar-lebar. Apa yang terlihat di hadapan me-
reka bukan lagi sosok pemuda berpakaian 
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan, melainkan sosok Kelelawar Hutan! 
Saat itu juga para pengeroyok Aryani 
dan Soma langsung berlutut. 
"Guru! Maafkan kelancangan kami!" 
ucap murid yang pertama membentak tadi se-
raya menyembah-nyembah diikuti murid-
murid lainnya. 
Aryani yang melihat perubahan sikap 
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sem-
pat juga heran dibuatnya. Dan ketika pan-
dangan matanya dialihkan ke samping, kon-
tan matanya terbelalak liar. Apa yang dilihat 
di sampingnya bukan lagi sosok pemuda gon-
drong yang diam-diam mulai mengusik ha-
tinya, melainkan sosok ayah kandungnya, Ke-
lelawar Hutan! 
"Keparat! Ternyata kau..., kau orang 
yang mengaku sebagai ayah kandungku, Ke-
lelawar Hutan! Sekarang, aku akan mengadu 
nyawa denganmu!" bentak gadis berpakaian 
putih-putih itu kalap. 
"Aryani! Aku bukan Kelelawar Hutan! 
Aku Soma. Sahabat barumu!" cegah sosok 
yang menyerupai Kelelawar Hutan itu kaget 
melihat perubahan sikap Aryani. 
Mata Aryani makin terbelalak lebar. Ia 
memang cukup mengenal suara itu. Suara 
seorang pemuda tampan yang sering menggo-
da hatinya. Siapa lagi kalau bukan Soma yang 
pandai ilmu sihir? 
Berpikir demikian, gadis ini jadi sedikit 
lega. Meskipun, ia belum sepenuhnya mem-
percayai kalau sosok di hadapannya  adalah 
Soma. 
"Be..., benarkah kau Soma...?" tanya 
Aryani masih ragu-ragu. 
"Ya, ampun! Kenapa kau jadi linglung 
seperti ini? Ayo, lekas tinggalkan tempat ini 
mumpung murid-murid blo'on itu masih ber-
lutut!" ujar Soma, setengah menghardik 
Sembari berkata demikian, Soma cepat 
meraih lengan Aryani. Tubuhnya langsung 
berkelebat meninggalkan tempat itu, bersama 
Aryani. 
Beberapa orang murid Perguruan Kele-
lawar Putih yang mulai  tersadar dari penga-
ruh sihir Perguruan Kelelawar Putih kontan 
terperangah. 
"Teman-teman! Ia bukan guru kita, tapi 
pemuda yang tadi bersama Nona Bidadari Ke-
cil!" teriak salah seorang. 
"Iya, benar! Lekas tangkap mereka! Kita 
cincang mereka!" timpal yang lain, menyadar-
kan teman-temannya. 
"Iya! Tangkap mereka! Kita cincang me-
reka!"  
"Tangkap mereka!" 
Saat itu juga, murid-murid Perguruan 
Kelelawar Putih segera berkelebat mengejar. 
Aryani dan Soma yang melihat para pen-
geroyok mulai melakukan pengejaran, tanpa 
membuang-buang waktu lagi makin memper-
cepat lari menuju ke Pekarangan Terlarang. 
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah mencapai tingkat tinggi, se-
bentar kemudian kedua anak muda itu pun 
sampai di bibir lubang Sumur Kematian. 
Namun ketika mereka hendak masuk ke 
dalam Sumur Kematian, tiba-tiba Aryani me-
lihat satu sosok hitam-hitam berkelebat dari 
rumah batu, tak jauh dari Sumur Kematian. 
"Manusia Jahanam! Aku ingin mengadu 
nyawa denganmu!" teriak Aryani penuh kema-
rahan begitu melihat laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dan berikat kepala yang juga hitam 
yang tidak lain Kelelawar Hutan. 
"Sudahlah! Buat apa membuang-buang 
waktu percuma?! Tak ada gunanya kita mela-
deni tikus hitam itu. Ayo, lekas kita menemui 
ayahmu!" ujar Soma seraya menarik lengan 
Aryani. 
Agaknya, pemuda itu belum mengenali 
laki-laki berpakaian serba hitam yang sedang 
menuju ke Sumur Kematian ini. Segera di-
ajaknya gadis itu meloncat ke dalam lubang 
Sumur Kematian. 
Aryani memberontak dari genggaman 
tangan Soma. Namun berhubung saat itu tu-
buhnya mulai melayang-layang dalam Sumur 
Kematian, terpaksa diturutinya kemauan So-
ma. 
Sebenarnya  tidak mudah mengajak 
Aryani masuk ke dalam Sumur Kematian da-
lam keadaan seperti itu. Di samping memang 
dalam, gerakan-gerakan tangan si gadis pun 
dapat membuat keseimbangan tubuh mereka 
hilang. Untung saja sebelum keluar dari da-
lam Sumur Kematian tadi, Soma sempat me-
nancapkan berpuluh-puluh tulang ke dind-
ing-dinding sumur. Sehingga dengan bantuan 
tulang-tulang yang menancap di dinding-
dinding Sumur Kematian, mereka akhirnya 
sampai ke dasar. 
Sementara itu Kelelawar Hutan yang ba-
ru sampai di Sumur Kematian hanya mengge-
ram  penuh kemarahan. Wajahnya yang ga-
rang menegang dengan rahang bertonjolan. 
Untuk beberapa saat, Kelelawar Hutan 
hanya dapat memandangi lubang Sumur Ke-
matian. Bibirnya berkemik-kemik siap melon-
tarkan makian. Namun belum sempat mem-
buat suara, mendadak terdengar suara gaduh 
dari belakang. 
Laki-laki tinggi besar ini segera mema-
lingkan kepala ke belakang. Tampak beberapa 
orang muridnya tengah berloncatan  ke atas 
tembok Pekarangan Terlarang yang kemudian 
disusul yang lain. Dengan menahan amarah 
menggelegak, Kelelawar Hutan menunggu 
murid-muridnya mendekat. 
"Guru! Maafkan kami! Kami belum ber-
hasil menangkap Nona Bidadari Kecil," ucap 
salah seorang murid Kelelawar  Hutan, lang-
sung berlutut di hadapan laki-laki tinggi be-
sar itu. 
Kelelawar Hutan mengangguk-angguk 
garang. Wajahnya menegang. Sedang ma-
tanya yang memerah memperhatikan murid-
muridnya yang sudah berlutut di hadapan-
nya. 
"Kenapa sampai gagal, he?!" bentak Kele-
lawar Hutan garang. 
"Non... Nona Bidadari Kecil tidak datang 
sendirian. Melainkan, dengan seorang pemu-
da sakti yang dapat menjelma  menyerupai 
Guru. Terus terang, kami belum tahu menga-
pa pemuda itu dapat merubah wujud menjadi 
sosok yang mirip Guru," jelas murid yang ber-
lutut paling depan, melaporkan. 
"Hm...! Kau bilang pemuda itu dapat 
menjelma menjadi aku, Sungkono?" gumam 
Kelelawar Hutan menggiriskan seraya menge-
lus-elus jenggot panjangnya. 
"Benar,  Guru,"  jawab  murid yang di-
panggil Sungkono, sedikit agak lega melihat 
perubahan sikap Kelelawar Hutan. 
"Tapi, bukan berarti kalian harus gagal 
dengan tugas kalian, mengerti?!" bentak Kele-
lawar Hutan tiba-tiba. 
Sungkono dan beberapa orang murid 
Perguruan Kelelawar Putih yang berlutut di 
hadapan Kelelawar Hutan kontan pucat pasi. 
Tubuh mereka gemetaran saking takutnya 
menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan 
Kelelawar Hutan. 
"Ma..., maafkan kami, Guru! Kami..., 
kami  sedang melakukan pengejaran. Tadi 
kami lihat Nona Bidadari Kecil dan pemuda 
itu  berlari menuju Pekarangan Terlarang," 
ucap Sungkono gemetaran. 
"Mereka masuk ke dalam Sumur Kema-
tian!" bentak Kelelawar Hutan seperti tidak 
tahu apa yang harus diucapkan. 
"Masuk ke dalam Sumur Kematian...?!" 
ulang beberapa orang murid-murid Perguruan 
Kelelawar Hutan dengan paras makin pias. 
Kelelawar Hutan jengkel sekali melihat 
perubahan sikap murid-muridnya. Namun ke-
tika hendak menjelaskan, laki-laki tinggi be-
sar itu buru-buru mengurungkannya. Dengan 
wajah beringas ia mondar-mandir di bibir 
Sumur Kematian. Sesekali pula kepalanya 
melongok ke dalam Sumur Kematian. 
"Ham...! Kalau begini terus caranya, tak 
mungkin aku bisa mendapatkan pasangan 
Pedang Kelelawar Putih. Rasanya, aku harus 
menemui beberapa orang sahabat lamaku un-
tuk meminta bantuannya. Hm...!  Tunggulah 
pembalasanku, Lowo Kuru!" gumam Ke-
lelawar Hutan dalam hati. 
 
 
 
* * * 
 
 
 
Bau anyir darah, tumpukan tulang-
belulang dan mayat-mayat berserakan me-
warnai suasana dalam Sumur Kematian. Be-
gitu Soma dan Aryani menjejakkan kaki di 
dasarnya, langsung disambut bau yang me-
mualkan perut. Untung saja, Soma yang sebe-
lumnya sudah merasakan bau seperti itu te-
lah mengatur jalan pernapasannya. Sementa-
ra Aryani agaknya belum terbiasa dengan 
keadaan gelap dalam dasar Sumur Kematian. 
Sehingga ia harus menyesuaikan  diri seben-
tar, baru kemudian dapat melihat jelas. 
Dan gadis itu jadi terpekik ngeri, melihat 
dasar sumur yang dipenuhi tumpukan tu-
lang-belulang manusia dan mayat-mayat bu-
suk berserakan. Aryani juga tidak menyangka 
kalau dasar Sumur Kematian ini demikian 
luasnya  dengan beberapa lorong yang me-
manjang. 
Sejenak Aryani mengedarkan pandangan 
keseputar ruangan, dan tiba-tiba berhenti pa-
da sebuah kerlip nyala lampu berpijar di sa-
lah sebuah lorong. 
"Di... di sanakah A... Ayah berada,  So-
ma?" tanya Aryani. Suaranya tergagap karena 
lidahnya terasa kelu. 
"Benar. Mari kuantar kau menemuinya!" 
Soma berjalan lebih dahulu. Sementara 
dengan hati berdebar-debar, Aryani berjalan 
ke belakangnya. 
Selang beberapa saat, sampailah mereka 
di dalam lorong yang dimaksudkan. Aryani 
menghentikan langkahnya sebentar. Tubuh-
nya tegak tak bergerak. Wajahnya pucat pasi. 
Kedua bibirnya bergetar. Inikah ayahnya, se-
perti yang diceritakan Soma? Kalau memang 
betul, sosok di hadapannya itu benar-benar 
membuat hatinya terpukul!. 
Betapa sosok buntung di hadapan si ga-
dis demikian menyedihkan. Wajahnya tua 
yang penuh kerutan di kening sebagai  per-
tanda kalau laki-laki bermuka tirus itu sudah 
terlalu banyak mengalami penderitaan batin. 
Pakaian putih-  putihnya  sudah compang-
camping tak karuan. Demikian juga kumis 
dan jenggotnya  yang memanjang berwarna 
putih. Dan dengan menggunakan rambutnya 
yang putih panjang berjuntaian menancap 
kokoh ke dalam tanah itulah sosok tanpa kaki 
dan tangan itu tengah 'duduk' bersemadi. 
"A.. Ayah...?!" desis Bidadari Kecil agak 
ragu-ragu. Air matanya yang merembang di 
kelopak matanya pun mulai merembes mem-
basahi pipi. 
Sosok buntung yang tidak lain Lowo Ku-
ru itu perlahan-lahan mulai membuka kelo-
pak matanya. Sepasang matanya sayu, tak 
berkedip memandang Aryani. 
"Kau... kaukah anaknya Surtini, Nak?" 
tanya Lowo Kuru dengan suara bergetar. 
"Ayaaah…!" pekik Aryani tak ragu lagi. 
Suaranya pecah menjadi tangis yang me-
nyayat. Dan tahu-tahu gadis itu telah menu-
bruk sosok buntung di hadapannya seraya 
memeluk erat-erat. 
“Be... benar, Ayah. Aku..., aku Aryani. 
Anakmu, Ayah," tangis Aryani semakin ter-
dengar memilukan. 
"Oh...!" keluh  Lowo Kuru dengan sege-
nap perasaan. Laksana sepasang tangan 
rambut-rambut yang berjuntaian ke tanah itu 
telah memeluk Aryani erat-erat. "Tidak ku-
sangka kau sudah sebesar ini, Anakku. Lan-
tas, di mana ibumu? Mengapa tidak kau ajak 
kemari sekalian?" 
Aryani tidak menjawab pertanyaan 
ayahnya. Namun tangisnya malah semakin 
bertambah. Kedua bahunya bergerak turun 
naik. Wajahnya terus disembunyikan ke da-
lam dada kurus Lowo Kuru. 
Sementara itu Soma yang melihat ade-
gan memelaskan di depannya, pura-pura ti-
dak melihat. Ia justru lebih senang memper-
hatikan keadaan dalam dasar Sumur Kema-
tian. 
"Ibu... Ibu pergi, Ayah. Si Jahanam Kele-
lawar Hutan itulah yang membuat Ibu me-
ninggalkan Perguruan Kelelawar Putih. Mari 
kita cari Ibu, Ayah!" ratap Aryani. 
Lowo Kuru melepaskan pelukannya. Ke-
palanya menggeleng-geleng lemah. Bibirnya 
bergetar. 
"Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bi-
sa. Ayah malu. Dalam keadaan buntung se-
perti ini, aku tidak berani menampakkan diri 
ke dunia ramai. Di samping itu. Ayah juga 
sudah bersumpah tidak akan keluar dari da-
lam Sumur Kematian ini. Inilah tempat ting-
galku selama-lamanya. Dan di dalam Sumur 
Kematian ini pulalah aku ingin dikuburkan," 
ucap Lowo Kuru sedih. 
Suara laki-laki buntung itu terdengar 
bergetar. Wajahnya kuyu. Sepasang matanya 
berair. Namun, buru-buru orang tua buntung 
itu mengeraskan hatinya. 
"Sekali lagi maafkan Ayah, Anakku! Aku 
tidak bisa," ucap Lowo Kuru, bergetar. 
Aryani membelalakkan matanya lebar. 
Wajahnya yang cantik itu penuh air mata. 
"Kenapa, Ayah?" 
"Aku sudah bersumpah, tak mungkin 
menjilat ludah sendiri," jawab Lowo Kuru ke-
lu. 
"Jadi? Ayah tega membiarkan  ibu pergi 
begitu saja?" . 
Lowo Kuru tak mampu menjawab perta-
nyaan putri tunggalnya. Ia hanya mampu 
menggeleng lemah. ... 
"Bukannya aku tega, Anakku. Namun 
aku sudah terikat sumpah, Jangan paksa 
Ayah, Anakku! Sekarang sebaiknya duduklah 
di atas batu putih itu! Ada sesuatu yang ingin 
kuberikan padamu," ujar Lowo Kuru. 
Sehabis berkata begitu, dengan meng-
gunakan ujung rambutnya yang mendadak 
menjadi kaku laksana puluhan batang-batang 
ijuk, sosok buntung Lowo Kuru pun melang-
kah mendekati dinding utara. Di sana, terda-
pat gambar orang sedang memperagakan ge-
rakan-gerakan ilmu silat. 
Aryani terharu sekali melihat cara ayah-
nya melangkah mendekati  dinding sebelah 
utara. Pantas saja ayahnya enggan keluar da-
ri Sumur Kematian. Namun ketika pandangan 
matanya tertumbuk pada gambar orang yang 
sedang memperagakan gerakan-gerakan ilmu 
silat, mendadak  keterharuan terhadap ayah-
nya  pun sirna. Sebagai orang persilatan, 
Aryani sangat tertarik dengan jurus-jurus 
yang terdapat pada dinding-dinding Sumur 
Kematian. Sekali lihat saja, ia tahu kalau itu 
adalah jurus-jurus hebat. 
"Jurus-jurus apakah itu, Ayah? Kok, da-
sar-dasar ilmu silatnya mirip jurus-jurus sak-
ti 'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan 
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'?" tunjuk Aryani 
saking herannya. 
"Itulah jurus-jurus sakti Sumur Kema-
tian, Anakku. Berpuluh-puluh tahun aku 
mencoba menciptakan jurus-jurus baru se-
suai keadaanku yang buntung. Kukira jurus-
jurus itu pun sangat cocok denganmu. Coba 
perhatikan baik-baik! Jurus-jurus itu hanya 
mengandalkan  rambut sebagai senjata uta-
manya. Kalau memang tertarik, kau boleh 
mempelajarinya sekarang. Tapi sebelumnya, 
ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu, 
Anakku."  
"Apa itu, Ayah?" 
Lowo Kuru tersenyum. Mungkin itulah 
senyumnya yang pertama kali sejak mende-
kam dalam Sumur Kematian. Lagi, Ujung-
ujung rambutnya yang kaku seperti ijuk baja 
mendadak bergerak meraih tonjolan batu ke-
cil di samping kiri pintu masuk dalam lorong. 
Bed! 
Begitu melingkari tonjolan batu, lantas 
ujung-ujung rambut Lowo Kuru pun menyen-
takkan ke bawah. Maka mendadak terdengar 
bunyi  berkerit. Dan, perlahan-lahan keluar 
sebuah kotak kayu dari dalam dinding Sumur 
Kematian di samping tonjolan batu kecil. Ke-
mudian dengan ujung-ujung rambutnya Lowo 
Kuru membuka kotak kayu itu, lalu mengam-
bil isinya. 
Aryani melongo. Ternyata isi dalam ko-
tak kayu adalah sebuah pedang terbuat dari 
baja putih murni. 
Sedang pada gagangnya terdapat kepala 
dan badan kelelawar yang juga berwarna pu-
tih. Itulah pasangan Pedang Kelelawar Putih 
yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hutan. 
Dan begitu dikeluarkan dari dalam kotak 
kayu, seketika ruangan dalam dasar Sumur 
Kematian  dipenuhi  cahaya putih yang ber-
pendar-pendar dari batang pedang. 
"Itukah pasangan Pedang Kelelawar Pu-
tih yang selama ini dicari-cari Kelelawar Hu-
tan, Ayah?" tanya Aryani. 
"Benar, Anakku," jawab Lowo Kuru se-
raya menutup kotak kayu itu dan mendorong 
kembali ke dinding seperti semula. "Dan pe-
dang ini pulalah yang akan kuwariskan pa-
damu, Anakku. Kau tahu, untuk apa pedang 
ini, bukan?" 
"Tahu, Ayah. Pasangan pedang itu ada-
lah untuk membuka kitab peninggalan Eyang 
Guru, Ayah. Tapi, tapi mengapa pedang itu 
diberikan padaku?" tanya Aryani tak dapat 
menyembunyikan keheranan hatinya. 
"Sebenarnya pedang ini akan diberikan 
pada ibumu. Cuma sayang, ibumu tidak begi-
tu berbakat. Dan kebetulan sekali, kau berjo-
doh mempelajari Kitab Kelelawar Sakti pe-
ninggalan Eyang gurumu. Di samping itu, Ki-
tab Kelelawar Sakti memang hanya diperun-
tukkan bagi murid-murid perempuan Pergu-
ruan Kelelawar Putih.  Dan  kulihat, susunan 
tulang-tulang dalam tubuhmu sangat cocok 
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan da-
lam kitab peninggalan Eyang gurumu itu," 
papar Lowo Kuru. 
"Apa ini berarti aku harus merebut kitab 
peninggalan Eyang Guru dari tangan Kelela-
war Hutan, Ayah?" tanya Aryani menggebu-
gebu. 
"Ya! Namun di samping itu, kau pun ha-
rus membalaskan sakit hatiku. Apa kau mau 
menjalankan tugas ini, Anakku?" 
"Tentu, Ayah! Tentu. Biarpun Ayah tidak 
menyuruh pun, aku pasti akan mengadu jiwa 
dengannya. Aku tak mungkin dapat mem-
biarkan iblis tua itu berkeliaran menebar 
maut di Perguruan Kelelawar Putih ini," sahut 
Aryani penuh semangat. 
"Bagus! Aku senang sekali mende-
ngarnya, Anakku. Sekarang terimalah pedang 
ini!" 
Lowo Kuru 'melangkah' mendekati pu-
trinya yang telah tegak di hadapannya. Dan 
dengan menggunakan rambut-rambutnya 
yang kaku, pasangan Pedang Kelelawar Putih 
diulurkan kepada Aryani. 
Aryani menerimanya dengan tangan ge-
metar. Sejenak dipandanginya sarung pedang 
itu seksama. Lalu, perlahan-lahan dicabutnya 
dari dalam sarungnya. 
Aryani angguk-anggukkan kepalanya. 
"Aku bersumpah akan mengadu nyawa 
dengan manusia jahanam itu dengan meng-
gunakan pedang ini, Ayah!" desis Aryani alias 
Bidadari Kecil penuh kemarahan. 
"Yayaya,,.!Tapi, kau harus ingat, Anak-
ku. Kelelawar Hutan bukanlah lawan enteng. 
Terutama sekali, ilmu sihirnya. Dan sebelum 
menemui Kelelawar Hutan terlebih dahulu, 
kau harus mempelajari  jurus-jurus sakti 
'Sumur Kematian' yang tertulis di dinding-
dinding ini, Anakku!" 
"Dengan senang hati aku akan mempela-
jarinya, Ayah," sahut Aryani bersemangat. 
Lowo Kuru mengangguk-angguk. Pan-
dangan matanya sejenak dialihkan ke arah 
Soma. 
"Anak Muda! Kau temanilah  putri ku 
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian' 
itu! Aku ingin melanjutkan bersemadi." 
Soma yang dari tadi diam-diam mengi-
kuti apa yang dibicarakan Lowo Kuru dan pu-
trinya, pura-pura kaget. Segera badannya 
berbalik. 
"Apa, Ki?" 
"Aku minta sudilah kau temani putri ku 
mempelajari jurus-jurus 'Sumur Kematian'. 
Aku akan melanjutkan bersemadi," ulang Lo-
wo Kuru agak meninggi nada bicaranya. 
Soma menggaruk-garuk kepala. Nampak 
sekali kalau pemuda gondrong murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu ogah-ogahan. 
"Kau keberatan, Anak Muda?" 
"Satu tindakan bodoh kalau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini, Ki," sahut Soma 
alias Siluman Ular Putih seraya tersenyum ke 
arah Aryani. 
Mata Aryani melotot lebar-lebar. 
Soma tertawa bergelak. 
"Kalau kau keberatan, ya sudah. Aku 
malah senang menemani ayahmu bersemadi." 
"Jadi... jadi, kau tidak mau menemaniku 
berlatih, Soma?" tukas Aryani gemas sekali. 
Entah mengapa hatinya jadi resah sekali. 
"Habis kau tak menyukaiku sih!" jawab 
Soma seenak dengkul. 
"Kau... kau..," ujar Aryani jengkel bukan 
main. 
Lagi-lagi Soma tertawa bergelak 
"Baik-baik! Aku akan menemanimu ber-
latih. Tapi, kau jangan marahi aku, ya!" kata 
Soma menggoda. Lalu kepalanya menoleh pa-
da orang tua buntung di sampingnya. "Nah, 
sekarang kau boleh melanjutkan semadi mu, 
Ki!" 
Lowo Kuru tersenyum. Dalam hati, ia 
merasa geli juga melihat tingkah laku pemuda 
gondrong di hadapannya. 
"Ya ya ya...!  Aku memang akan melan-
jutkan semadi ku. Kalau kalian ingin menca-
riku, carilah di lorong nomor tiga!" kata Lowo 
Kuru. 
"Baik, Ayah." 
Lowo Kuru sempat memandangi pemuda 
gondrong di sampingnya, sebelum akhirnya 
'melangkah' meninggalkan tempat itu. 
Sedang Soma hanya menggaruk-garuk 
kepala melihat cara orang tua buntung itu 
melangkah meninggalkan mereka. 
"Sudah! Buruan kalau kau mau berlatih. 
Tunggu apalagi?!" sentak Soma. 
“Tapi.... Tapi, kau beri tahu kalau ada 
yang salah ya?" pinta Aryani. Entah mengapa, 
suaranya jadi sedikit manja. 
"Yah...! Mana aku bisa? Mengenal jurus-
jurus itu pun tidak. Pelajari saja sendiri!" de-
sah Soma ogah-ogahan. 
Sekali lagi Aryani melotot. 
Soma tidak mempedulikannya. Si pemu-
da hanya berjalan mendekati batu putih di 
pinggir ruangan. Seketika tubuhnya dijatuh-
kan seenaknya sembari menonton Aryani ber-
latih. 
 
* * *