Pendekar Romantis 8 - Buronan Darah Dewa(1)


SATU 
PARA pengunjung kedai ramai mem-
bicarakan tentang selebaran. Pemuda 
tampan bertato bunga mawar di dadanya 
ada di situ, ia ikut dengerin omongan 
orang-orang di kanan kirinya. Pemuda 
yang pakai anting-anting satu dan be-
rambut punk-rock itu tak lain adalah 
Pandu Puber si Pendekar Romantis, tapi 
para pengunjung kedai nggak ada yang 
tahu kalau pemuda berpakaian ungu itu 
adalah Pandu Puber. 
Pandu diam saja, tidak kasih ko-
mentar apa-apa kepada siapa pun. Dia 
tetap menikmati sarapan paginya yang 
sederhana; nasi pecel tanpa lele. Tapi 
kupingnya nyadap ke mana-mana. Orang-
orang kedai nggak ada yang tahu kalau 
percakapan mereka disadap oleh pemuda 
beranting-anting sebelah kiri. 
Pokok pembicaraan mereka berki-
sar tentang isi selebaran yang terse-
bar di mana-mana itu. Selebaran terse-
but ditulis di atas kertas karton teb-
al lalu ditempelkan di pohon-pohon, 
batu-batu, dinding-dinding rumah pen-
duduk, bahkan ada yang ditempelkan di 
pintu-pintu gua. Ada juga yang ditem-
pelkan di layar sebuah perahu. Yang 
dibagi-bagikan kepada sekelompok ma-
syarakat pun ada juga. 
Pandu Puber sendiri sebelum ma-
suk ke kedai sempat membaca selebaran 
yang ditemukan di jalanan tergeletak 
begitu saja. Pasti kertas selebaran 
itu disebarkan lewat udara, mungkin 
dengan cara menunggang seekor burung 
atau si petugas penyebar kertas itu 
terbang ke sana-sini mirip tupai. Dan 
isi selebaran itu tadi sempat bikin 
Pandu kaget. Cuma kaget sebentar sih, 
nggak sampai bikin jantungnya berhenti 
berdetak. Soalnya isi selebaran itu 
menyangkut nama Pandu Puber. Bunyi se-
lebaran itu begini: 
Sayembara 
Kepada khalayak ramai maupun 
khalayak sepi, terutama bagi mereka 
yang tidak buta huruf dan bisa membaca 
tulisan ini tanpa salah, diberitahukan 
bahwa Penguasa Bukit Gulana yang ber-
nama Ratu Cadar Jenazah adalah perem-
puan cantik yang serba sexy dan moy. 
Terima kasih. 
Lalu dibawahnya ada tambahan la-
gi yang bunyinya begini:  
NB: 
Barang siapa bisa menangkap dan 
menyerahkan Pendekar Romantis yang 
bergelar Pandu Puber, atau Pandu Puber 
yang bergelar Pendekar Romantis, jika 
yang menangkap itu wanita akan diang-
kat sebagai saudara kandung Ratu, jika 
yang menangkap seorang lelaki, ganteng 
ataupun jelek, maka dia akan diberi 
kesempatan untuk menjadi suami Ratu 
tanpa mas kawin apa-apa. 
Barang siapa berminat menjadi 
suami Ratu Cadar Jenazah dipersilakan 
menangkap dan menyerahkan Pendekar Ro-
mantis hidup-hidup. Sayembara ini ter-
tutup bagi staf istana Bukit Gulana. 
Sekian dan terima kasih. 
Tertanda: Panitia penangkap Pan-
du Puber, 
Ratu Cadar Jenazah sendiri. 
Cherio. 
Beberapa orang ada yang berpen-
dapat, "Ini pengumuman sayembara apa 
daftar riwayat hidup sih? Kok bertele-
tele begini?"  
Seseorang lantas nyeletuk, "Mak-
lum, namanya aja ratunya jenazah, mana 
bisa menyusun pengumuman dengan be-
nar."  
Yang lain menimpali, "Mungkin 
semasa sekolahnya dulu dia sering 
'cabut' alias bolos pada saat pelaja-
ran Ilmu Pengumuman, sehingga ia nggak 
tahu metode dasar penyusunan pengumu-
man." 
Memang aneh. Pada umumnya mereka 
tidak langsung bicarakan tentang Pandu 
Puber, tapi soal susunan pengumuman 
itu dulu. Lama-lama mereka baru bica-
rakan tentang Pandu Puber. 
Tadi waktu Pandu membaca seleba-
ran itu sambil jalan, dia juga 
mengkritik susunan bahasanya dulu, se-
telah itu baru ingat karena sadar bah-
wa dirinya kini menjadi seorang buro-
nan bagi Ratu Cadar Jenazah. Setelah 
kaget, baru bertanya dalam hati, 
"Mengapa aku dianggap buronan 
oleh Ratu Cadar Jenazah? Apa yang ia 
kehendaki dari diriku? 
Apakah ada hubungannya dengan 
kasus kematian si Dalang Setan itu? 
Memang kata orang-orang sih Dalang Se-
tan punya hobi melamar sang Ratu, tapi 
toh selalu ditolaknya. Berarti sang 
Ratu nggak suka sama Dalang Setan. Ta-
pi kenapa setelah Dalang Setan kuka-
lahkan, kok sang Ratu menyebar sayem-
bara kayak begitu? Apa dia ingin mene-
bus kematian Dalang Setan sebab dia 
secara diam-diam naksir Dalang Setan? 
Wah, perempuan ini kayaknya memang ca-
ri penyakit aja! Apakah aku harus 
ngumpet? Ah, cuek ajalah! Ngapain pake 
ngumpet segala. Pendekar kok ngumpet, 
nggak seru dong!" (Eh, kalau mau tahu 
Dalang Setan, baca aja serial Pendekar 
Romantis episode: "Dendam Dalang Se-
tan" nggak usah malu-malu deh), 
Karena sudah diputuskan untuk 
cuek terhadap sayembara itu, maka Pan-
du Puber nggak sungkan-sungkan makan 
di kedai tanpa ngumpet di kolong meja. 
Memang ia cari tempat buat mojok, tapi 
bukan berarti takut kelihatan mereka, 
melainkan biar dapat memandang lebih 
leluasa lagi siapa-siapa yang punya 
rencana mau tangkap dirinya. 
Salah seorang yang tergabung da-
lam tiga lelaki kurus di meja kiri 
berkata, "Pendekar Romantis itu kayak 
apa sih? Kalau aku tahu orangnya sih, 
bisa kutangkap dalam waktu yang se-
singkat-singkatnya!" 
"Sok lu!" ujar temannya yang ku-
rus juga. "Pendekar Romantis itu be-
rilmu tinggi. Dicucup ubun-ubunmu in-
feksi parah lu!" 
Yang kurus berkumis bilang juga, 
"Gue sih nggak mau ikut-ikutan tangkap 
Pandu Puber. Masalahnya ilmu gue ce-
kak. Baru dibentak sudah merangkak. 
Kan 'mokal' juga, ya nggak Kak?" 
Yang sok jago tadi ngomong, 
"Percuma jadi preman dong kalau sama 
Pandu Puber aja takut?!" 
"Yaah... elu Jang! Elu jangan 
sok jago gitu. Tahu nggak, Dalang Se-
tan aja mati di tangannya, apalagi 
elu, yang cuma dalang pencurian. Bisa 
mati di ujung jempol kakinya, Jang!" 
"Aaah... gue nggak takut! Gue 
kan punya jurus baru." 
"Jurus apaan?"  
"Langkah Seribu Setan." 
"Wih, angker juga nama jurusnya. 
Itu jurus untuk apaan, Jang?" 
"Untuk melarikan diri. Sebelum 
kita adu muka dengan musuh, kita harus 
melarikan diri lebih dulu, cari sela-
mat!" 
"Kapan tarungnya?!" ujar si ku-
rus berkumis sambil bersungut-sungut. 
Pandu Puber mendengar obrolan 
itu. Ia hanya senyum-senyum saja sam-
bil sesekali melirik kelompok tiga 
orang kurus itu. Lalu, matanya melirik 
di meja lain. Di sana ada dua orang 
berbadan gemuk. Keduanya berkumis le-
bat, wajahnya menyeramkan. Yang satu 
berambut pendek, botak tengahnya, yang 
satu berambut panjang agak berombak. 
"Aku pernah mengidam-idamkan in-
gin jadi kekasih Ratu Cadar Jenazah, 
tapi aku tahu ilmu perempuan itu ting-
gi. Jadi aku nggak berani melamar dia. 
Nah, dengan adanya sayembara ini sama 
saja kesempatan baik untuk menjadi ke-
kasih sang Ratu terbuka lebar di depan 
mataku. Akan kutangkap orang yang ber-
nama Pandu Puber itu, akan kuserahkan 
kepada sang Ratu dan hadiahnya akan 
kuambil saat itu juga di depan tawa-
nanku. Paling tidak, yaah... ciuman di 
pipi aja boleh dong, ya nggak, ya 
nggak? He, he, he...!" sambil alis le-
batnya tersendat-sendat naik. 
Yang berambut pendek ikut terke-
keh dan berkata, "Aku pernah bayang-
kan, kalau seandainya aku jadi sua-
minya si ratu cantik dan montok itu, 
wah... mungkin aku nggak bisa membeda-
kan mana celanaku dan mana selimutku. 
Pasti enjoy terus, he, he, he...!" 
"Kamu juga mau tangkap buronan 
itu?" 
"Iya dong! Dengan ilmu 'Sendok 
Sakti' akan kulumpuhkan pendekar itu!" 
"Wah, nggak bisa! Pendekar Ro-
mantis itu jatahku. Aku yang harus 
tangkap dia! Kalau kamu serobot buro-
nan itu, aku bisa tega sama kamu!" 
"Lho, siapa saja kan boleh tang-
kap dia? Emangnya cuma kamu aja yang 
boleh tangkap buronan itu?" orang itu 
agak melotot. Temannya juga melotot. 
"Iya. Emang cuma aku yang boleh 
tangkap dia, sebab cuma aku yang boleh 
jadi suami Ratu Cadar Jenazah! Mau apa 
lu?!" 
"Eh, kamu jangan ngotot gitu di 
depanku, Min?! Bisa kena tampar mukamu 
yang kayak codot itu!" 
"Coba! Coba kalau kamu memang 
berani tampar aku? Nih...!" orang itu 
sodorkan wajahnya. Tentu saja wajah 
ekstra begitu sangat enak buat ditam-
par. Maka temannya pun segera menampar 
dengan keras. 
Plookk...! 
"Aduh...!" orang yang ditampar 
kaget dan usap-usap pipinya. "Kok be-
naran sih?!" 
"Biar kamu tahu kalau aku pun 
mampu tangkap pendekar celeng itu!" 
bentaknya yang membuat semua orang me-
mandang kepada kedua orang tersebut. 
"Jadi kamu benar-benar nantang 
aku nih?! Boleh! Kita tarung di luar, 
kita tentukan siapa yang berhak tang-
kap Pendekar Romantis!" 
"Oke...! Ayo, keluar!" 
Kedua orang berkumis itu sama-
sama pergi cari tempat lega buat ta-
rung. Pandu Puber dan beberapa orang 
hanya senyum-senyum sambil geleng-
gelengkan kepala. Ada seorang lelaki 
yang baru datang dan sedang bingung 
cari tempat duduk. Orang itu sempat 
mendengar cekcok kedua orang berkumis 
tadi. Ia juga geleng-geleng kepala, 
lalu segera memperhatikan tempat ko-
song di depan Pandu. Orang itu pun se-
gera duduk di depan Pandu Puber, lalu 
memesan makanan kepada pemilik kedai. 
Sambil tersenyum-senyum lelaki 
berusia sekitar lima puluh tahun itu 
berkata, tujuannya kepada Pandu tapi 
pandangannya ke arah pintu kedai yang 
dipakai keluar dua orang tadi. 
"Manusia  bodoh! Belum apa-apa 
kok sudah mau tarung sendiri. Padahal 
yang mestinya dilawan kan si Pendekar 
Romantis itu. Bukan temannya sendiri. 
Ya, nggak?" sambil berpaling memandang 
Pandu, maka Pandu pun memberi jawaban 
cukup dengan menganggukkan kepala da-
lam senyuman nya. 
Orang yang baru datang itu agak 
pendek. Badannya nggak begitu gemuk, 
juga nggak kurus. Pakaiannya abu-abu. 
Pakai ikat kepala merah, rambut pen-
dek, kumis tipis. Ia membawa bungkusan 
kain yang tadi dipikul pakai bambu ke-
cil seperti tongkat pramuka, tapi 
ujungnya lancip. Kulitnya hitam, me-
nandakan ia sering menjemur diri di 
bawah terik sinar matahari. 
"Orang mau tangkap buronan kok 
banyak omong. Bisa-bisa dibacok sama 
si buronan sendiri, ya nggak?" 
"Iya," jawab Pandu seperti ma-
las-malasan. 
"Kamu juga berminat ikuti sayem-
bara itu, Dik?" 
"Nggak, Pak," jawab Pandu berna-
da sopan karena menghormati orang yang 
lebih tua darinya itu. 
"Kenapa nggak mau ikut sayemba-
ra? Siapa tahu kamu bisa tangkap orang 
yang bernama Pandu Puber itu. Kamu bi-
sa jadi Suami Ratu Cadar Jenazah lho. 
Jadi suami seorang ratu kan enak, apa-
lagi ratu itu seksi dan cantik. Kamu 
kayaknya pantas deh jadi suami Ratu 
Cadar Jenazah." 
"Ah, Paman bisa aja," Pendekar 
Romantis tersipu dipaksakan. 
"Benar kok. Kamu pantas jadi su-
ami ratu, soalnya kamu ganteng. Maaf, 
ini pengakuan jujur lho. Biasanya pe-
muda ganteng kayak kamu itu disukai 
para ratu." 
"Ah, kata siapa?" 
"Lho, soalnya dulu aku pernah 
punya sahabat yang jadi juru taman di 
sebuah negeri. Negeri itu dipimpin 
oleh seorang ratu, jadi aku tahu pria 
yang membuat seorang ratu berselera. 
Yah, model-modelnya kayak situlah!" 
Senyum sekilas mengesankan kera-
mahan Pandu, walau dalam hati sebenar-
nya Pandu tertawa mendengar ucapan 
orang berkumis tipis itu. Pandu berla-
gak cuek kembali dengan sayembara-
sayembara itu. Malah ia bertanya ten-
tang diri orang tersebut. 
"Paman dari mana?" 
"O, aku...? Aku dari tempat 
jauh. Jauh sekali deh pokoknya. Dan 
aku punya nama; Duda Dadu. Pasti baru 
sekarang kau dengar nama Duda Dadu. 
iya, kan?" 
"Betul, Paman. Nama itu agak 
aneh  buat telingaku. Mengapa namanya 
Duda Dadu?" 
"Itu cuma julukan saja," ujarnya 
sambil menerima pesanan dari si pemi-
lik kedai. "Nama asliku sih bukan Duda 
Dadu. Tapi karena dulunya aku sejak 
remaja sampai setua ini gemar main da-
du koprok, bahkan jabatanku terakhir 
adalah bandar dadu, sedangkan statusku 
adalah seorang duda, maka teman-teman 
banyak yang panggil aku Duda Dadu." 
Sambil menuang ten dari poci ke 
cangkir, Duda Dadu tertawa sendiri se-
perti orang menggumam. "Aku menjadi 
duda gara-gara dadu juga. Istriku 
nggak suka aku jadi bandar dadu, ak-
hirnya kuceraikan. Waktu itu aku ber-
pikir, lebih baik jadi duda daripada 
jadi suami tanpa dadu." 
"Rupanya Paman suka dengan judi, 
ya?" 
"Ya. Tapi itu dulu. Sekarang aku 
sudah tobat kok. Nggak mau berjudi la-
gi. Benar. Berani taruhan berapa deh, 
aku nggak bakalan tertarik sama judi 
lagi." 
Sambil tertawa Pandu berkata, 
"Kata-kata Paman saja masih mengandung 
judi. Buktinya Paman bilang 'berani 
taruhan', itukan judi juga, Paman. 
Nggak baik tuh." 
"Eh, iya, ya...? He, he, he...." 
Duda Dadu tertawa sendiri. "Tapi itu 
hanya spontanitas saja. Maklum, lagak-
lagu masa laluku belum hilang secara 
tuntas. Jadi ngomongnya masih nggak 
jauh dari taruhan." 
Duda Dadu meneguk teh hangatnya. 
Sepotong pisang rebus bertabur kelapa 
parutan dicaploknya. Kaki kanannya 
naik ke bangku dan tampaknya cuek-cuek 
aja dengan sikap noraknya itu. Pandu 
Puber hanya memperhatikan dengan te-
nang, sambil sesekali mendengarkan 
percakapan orang-orang kedai. 
"Menurutku, sebaiknya kau ikut 
sayembara itu saja, Dik." 
"Nggak berani, Paman," jawab 
Pandu melemah. 
"Kok nggak berani? Tinggal cari 
yang namanya Pandu Puber atau Pendekar 
Romantis, lalu tangkap dia dan bawa ke 
Ratu, jadilah kau suami Ratu. Mudah 
kan?" 
Pendekar Romantis hanya nyengir. 
"Menangkap Pandu Puber itu sama saja 
menangkap seribu petir." 
"Kok gitu?" 
"Dia bukan orang sembarangan. 
Ilmunya tinggi. Dia kan anak dewa, Pa-
man!" 
"Ya memang sih, kemarin kudengar 
percakapan orang-orang pantai juga se-
but-sebut 'anak dewa', tapi itu kan 
cuma isu. Jangan percaya dengan  isu. 
Nggak ada dewa beranak di bumi. Berte-
lurnya aja di kayangan, masa' beranak-
nya di bumi?" Duda Dadu tertawa. "Lagi 
pula, dia belum tentu berilmu tinggi 
benaran, Dik. Itu pun menurutku juga 
cuma isu." 
"Apakah Paman belum pernah den-
gar cerita kehebatan Pandu Puber?" 
"Pernah sih, tapi yaah... kua-
nggap itu sekadar dongeng di dunia 
persilatan saja. Sebab kalau memang 
dia sakti, tentunya Ratu Cadar Jenazah 
sudah dilabraknya karena nyebarin 
sayembara kayak gitu. Sebagai seorang 
pendekar mestinya dia tersinggung 
dong. Ya, nggak? Masa' dia diam saja? 
Masa' nggak ada kabar kalau Pendekar 
Romantis melabrak sang Ratu? Aaah... 
sudahlah, jangan takut. Ikut sayembara 
saja sana. Aku kasih spirit deh buat 
kamu. Tapi kalau kamu berhasil jadi 
suaminya Ratu, jangan lupa komisi un-
tukku, Dik. Syukur kamu bisa usulkan 
supaya aku kerja di istana." 
Geli sekali hati Pandu menden-
garnya. Orang itu bicara seenak bo-
dongnya saja. Dia nggak tahu kalau 
yang diajak bicara adalah si buronan 
sendiri. 
Malahan dia berkata lagi, "Kalau 
memang dia berilmu tinggi, kamu nggak 
usah khawatir. Aku punya banyak ilmu." 
"Begitukah?" Pandu berlagak ter-
tarik.      
"Sebelum aku jadi bandar dadu 
dan suka judi, dulunya aku pernah ber-
guru dan pernah bikin perguruan sendi-
ri. Tapi murid-muridku habis karena 
kubuat taruhan dengan perguruan lain." 
Pendekar Romantis tertawa pen-
dek, masih berpenampilan tenang, ka-
lem, dan senyumnya selalu memancarkan 
keramahan. Enak dipandang mata. Nggak 
seperti senyumnya Duda Dadu yang enak 
ditendang kuda. 
"Justru sekarang ini aku berto-
bat," kata Duda Dadu lagi, "... aku 
berhenti berjudi, dalam rangka ingin 
menurunkan ilmuku kepada salah seorang 
yang mau jadi muridku." 
"O, jadi Paman Duda Dadu cari 
murid?" 
"Iya! Dan menurut teropong inde-
ra keenamku, kau adalah seorang pemuda 
yang pantas menjadi muridku dan akan 
kuat menerima warisan ilmu-ilmuku. Ja-
di kalau kau mau, akan kuajarkan ilmu-
ku padamu dalam waktu singkat. Nggak 
susah-susah kok. Sehari saja kau bisa 
dapat serap ilmuku sekitar tiga atau 
empat jurus. Dan ilmuku itu ampuh-
ampuh. Kalau cuma buat kalahkan Pende-
kar Romantis sih, keciiil...!" Duda 
Dadu menjentik pakai kelingkingnya. 
Senyum Pandu masih mewakili hati 
yang ingin tertawa geli. Tapi sikapnya 
seolah-olah sangat antusias dengan ka-
ta-kata Duda Dadu. Walaupun dalam hati 
Pandu  mengecam orangtua itu terlalu 
sombong, tapi ia tidak menampakkan si-
kap mengecamnya itu. Akibatnya Duda 
Dadu makin bersemangat dalam mempromo-
sikan ilmunya. 
"O, ya... namamu siapa, Dik?" 
"Hmmm... namaku sederhana, Pa-
man..." 
"Jadi begini, Sederhana. Ka-
lau...." 
"Maksudku, sederhana itu kata 
sifat, bukan sebuah nama, Paman. Nama-
ku sangat sederhana." 
"Ooo... gitu. Kukira namamu si 
Sederhana." 
Pandu redakan tawa dalam gumam 
sebentar, lalu berkata, "Namaku... Pe-
ro, Paman." 
"Pero...? Wah, itu nama yang ha-
dir dalam wangsitku," kata Duda Dadu. 
"Waktu aku tidur di hutan, aku mimpi 
ditemui kakek tua berjenggot panjang 
sampai ke tanah. Kata kakek itu, aku 
hanya boleh turunkan ilmuku kepada pe-
muda yang bernama Pero. Tapi aku nggak 
mau peduli dengan wangsit itu. Ternya-
ta benar juga, bahwa akhir dari perja-
lananku ini aku bertemu dengan pemuda 
bernama Pero. Berarti kau cocok mene-
rima ilmuku." 
Duda Dadu sangat bersemangat, 
sedangkan Pandu hanya manggut-manggut 
saja, itu pun dilakukan sesekali sam-
bil menahan tawa di hati. Duda Dadu 
makin dekatkan wajah agar bicaranya 
tak didengar orang lain. 
"Gini aja, Pero.... Kuajarkan 
jurus-jurus mautku kepadamu dalam tem-
po singkat. Lalu, cari orang yang ber-
nama Pandu Puber dan lawan dia. Kalah-
kan dia dengan jurus maut dariku itu. 
Lumpuhkan dia, lalu bawa dia ke ista-
nanya Ratu Cadar Jenazah. Tapi jangan 
lupa... komisi untukku harus kau bica-
rakan pula kepada sang Ratu. Bilang 
saja, aku adalah gurumu, dan gurumu 
butuh biaya untuk bikin padepokan, gi-
tu! Setuju nggak?!" 
"Boleh juga," jawab Pandu yang 
jadi penasaran dan ingin tahu seberapa 
tinggi ilmunya Duda Dadu itu. 
DUA 
SAYEMBARA itu ternyata menyebar 
sampai ke seberang tanah Jawa. Bagi 
tokoh silat yang cukup kawakan maupun 
yang setengah kawakan saling tertarik 
untuk membicarakannya. Bagi tokoh le-
laki yang masih doyan cinta, tertarik 
pula untuk mengikuti sayembara terse-
but. Sebab mereka tahu, seperti apa 
kecantikan dan keseksian Ratu Cadar 
Jenazah itu. 
Menurut orang yang pernah meli-
hat, perempuan berjuluk Ratu Cadar Je-
nazah itu mempunyai wajah yang meman-
carkan gelombang cinta begitu besar. 
Lelaki mana pun yang memandang bibir-
nya akan dibakar oleh hasrat untuk 
mencumbunya. Pria yang menatap matanya 
tergugah gairahnya dan sulit dipadam-
kan sebelum mendapat 'mangsanya'. Po-
koknya, wajah dan potongan tubuh Ratu 
Cadar Jenazah mempunyai kekuatan gaib 
berupa getaran gelombang yang dapat 
mempengaruhi otak dan saraf lelaki da-
ri yang punya niat membunuhnya menjadi 
berniat mencumbunya. Karena itu sang 
Ratu mengenakan cadar kain tipis warna 
hitam transparan untuk menutupi wajah-
nya. Cadar itu untuk mengurangi geta-
ran gaib yang keluar dari wajahnya. 
Sekalipun sudah diberi cadar, eh... 
masih saja punya pancaran gaib seperti 
itu walaupun bertaraf kecil-kecilan. 
Habis cadarnya dari kain tipis trans-
paran  sih. Coba kalau dari kain ter-
pal, pasti getaran gaibnya terbendung 
total. 
Setiap lelaki yang sudah bertemu 
muka dengan Ratu Cadar Jenazah, pasti 
punya hasrat ingin menjadi suaminya. 
Nggak tua, nggak muda, kalau sudah 
pernah beradu muka dengan sang Ratu, 
khayalannya tak jauh dari ranjang dan 
kemesraan. Kecuali bagi yang berilmu 
tinggi, ia dapat menahan getaran ge-
lombang asmara itu dengan kekuatan te-
naga dalamnya. Kekuatan getaran gelom-
bang asmara itu begitu besarnya, se-
hingga tak heran Dalang Setan mati-
matian ingin menjadi suami sang Ratu 
walau akhirnya memang mati benaran. 
Kabarnya sih yang jadi korban 
kayak Dalang Setan itu cukup banyak. 
Pria yang mati gara-gara jatuh cinta 
pada sang Ratu lebih dari seratus, 
terhitung dari tiga dasawarsa belakan-
gan ini. Ada yang matinya bunuh diri 
dengan mengantongi selembar surat cin-
ta untuk sang Ratu. Ada yang matinya 
karena duel untuk mendapatkan sang Ra-
tu. Ada pula yang matinya di tangan 
sang Ratu sendiri karena ngotot ingin 
diterima lamarannya. 
"Perempuan itu bukan saja penye-
bar asmara, namun juga penyebar maut 
bagi kaum pria," ujar salah seorang 
tokoh tua yang cukup beken juga di ka-
langan para tokoh rimba persilatan. 
Katanya lagi, 
"Jangan coba-coba ingin menemui 
perempuan itu, dan jangan coba-coba 
ingin membuka cadarnya untuk melihat 
kecantikannya. Sebab kecantikannya 
adalah liang kubur bagi setiap lelaki. 
Pada tubuhnya terdapat liang surga 
yang menyemburkan api neraka bagi pria 
mana saja." 
"Tapi saya berminat mengikuti 
sayembara itu, Guru. Saya akan mencari 
Pendekar Romantis dan menangkapnya." 
"Muridku, menangkap Pendekar Ro-
mantis sendiri sudah merupakan bencana 
alam bagi sejarah hidupmu. Apakah kau 
lupa bahwa Pendekar Romantis itu ada-
lah anak dewa yang mendapatkan ilmu 
titisan dari ayahnya, yaitu Batara Ka-
ma? Dia adalah cucu raja Jin yang ber-
nama Kala Bopak." 
"Ya, ya, saya tahu soal kakeknya 
itu, Guru. Saya pernah dengar Guru ce-
ritakan hal itu. Tapi apakah Guru ang-
gap saya nggak bisa menandingi kesak-
tiannya dengan pergunakan jurus-jurus 
maut yang Guru ajarkan itu? Lagi pula, 
bukankah Guru punya pusaka yang berna-
ma 'Cangkul Bedah Guntur', dan ten-
tunya Guru akan izinkan saya meminjam 
cangkul itu, bukan?"  
"Muridku, 'Cangkul Bedah Guntur' 
memang pusaka yang dahsyat. Tapi jika 
kau berhadapan dengan Pendekar Roman-
tis, walau kau bersenjatakan pusaka 
'Cangkul Bedah Guntur', kau tetap akan 
kalah. Sebab Pendekar Romantis mempu-
nyai pusaka maha dahsyat yang bernama 
'Pedang Siluman', yaitu pedang ungu 
jelmaan kakeknya; si raja Jin itu. 
Bayangkan saja, tempat penyimpanan pe-
dang itu saja sudah termasuk hebat, 
yaitu disimpan di dalam kulit kakinya. 
Kelihatannya Pendekar Romantis tak 
pernah membawa senjata, tapi sebenar-
nya dari dalam kulit kaki kanannya bi-
sa keluar pedang sakti yang bernama 
'Pedang Siluman', dan pedang itu mampu 
menghancurkan pusaka apa pun, termasuk 
pusaka 'Cangkul Bedah Guntur'." 
"Ah, itu tergantung kecepatan 
kita menggunakan senjata saja, Guru. 
Kalau dia lengah dan saya lebih cepat, 
maka dia pun akan mati di ujung 
'Cangkul Bedah Guntur'." 
"Kalau dia sudah mati apakah be-
rarti kau bisa kawin dengan Ratu Cadar 
Jenazah? Bukankah sang Ratu kehendaki 
Pendekar Romantis ditangkap dan dis-
erahkan padanya dalam keadaan hidup-
hidup?" 
"O, iya, ya...?" sang murid tun-
dukkan pandangan matanya merenungi 
perhitungannya yang nyaris salah total 
itu. 
"Sudahlah, lupakan saja sayemba-
ra itu, Muridku. Nanti kau mati di 
tangan Pendekar Romantis. Kalau kau 
ingin kawin dan sudah tak dapat dita-
han lagi, cari gadis lain aja yang 
nggak mengandung risiko, syukur yang 
nggak mengandung lemak babi," kata 
sang Guru. "Pilihlah gadis yang mana 
saja asal bukan Ratu Cadar Jenazah, 
maka aku akan melamarkannya untukmu. 
Kecuali kalau memang gadis itu nggak 
mau dilamar olehmu, maka aku akan me-
lamarnya sendiri." 
"Ah, Guru ini tua-tua kok masih 
berminat juga melamar wanita?" ujar 
sang murid sambil bersungut-sungut 
sambil menahan geli. 
Tokoh tua berjenggot sepanjang 
dada warna putih itu dikenal dengan 
nama Ki Parma Tumpeng. Kepalanya ber-
bentuk kerucut seperti nasi tumpeng, 
jadi ia dijuluki Ki Parma Tumpeng. As-
linya sih bernama Ki Parma Pratikta. 
Orangnya tinggi, badannya kurus, gemar 
memakai pakaian jubah kuning, rambut-
nya tipis yang tumbuh di bagian tepi 
kepala saja, bagian tengah kepala bo-
tak. Wajahnya kalem-kalem konyol. Ar-
tinya, kelihatannya kalem tapi sering 
berbuat  konyol. Misalnya, kalau ada 
perempuan yang tampaknya sekal, mulus, 
dan menggiurkan, suka melirik dan ber-
suit menggoda. Lalu mengajaknya terse-
nyum. Biar usianya sudah mencapai de-
lapan puluh tahun, tapi ia masih keli-
hatan segar dan gagah. Jiwa mudanya 
masih  suka muncul terutama jika ada 
cewek di sekitarnya. 
Muridnya bernama Balak Lima. Pe-
muda berusia dua puluh empat tahun itu 
adalah anak kelima dari keluarga Wira 
Balak, mantan saudagar kaya yang ke-
luarganya mati dibantai oleh kawanan 
perampok, dan hanya Balak Lima yang 
selamat dari pembantaian tersebut. 
Waktu anak kelima itu masih berusia 
delapan tahun. Ia ditemukan Ki Parma 
Tumpeng di reruntuhan rumahnya yang 
dibakar habis oleh kawanan perampok 
tersebut. 
Balak Lima tergolong murid yang 
bandel dan malas. Karena itu ilmunya 
Ki Parma Tumpeng nggak bisa dikuasai 
semuanya oleh Balak Lima. Hanya bebe-
rapa saja yang berhasil dikuasai Balak 
Lima, padahal usianya sudah cukup ba-
nyak untuk ukuran seorang pemuda. Mak-
lum, pemuda yang gemar memakai pakaian 
serba merah itu lebih suka menangkap 
ikan di laut ketimbang menekuni pela-
jaran silat yang diturunkan oleh gu-
runya. Mungkin memang cita-citanya in-
gin jadi nelayan, sehingga sang Guru 
pun mau tak mau harus memaklumi kelam-
banan sang murid dalam menerima aja-
rannya. 
"Tamatkan dulu pelajaranmu, baru 
pergilah berkelana!" kata sang Guru. 
Tapi Balak Lima sudah telanjur 
tergoda oleh sayembara itu. Maka seca-
ra diam-diam, Balak Lima pergi dari 
Pantai Buaya Dampar, tempat kediaman 
gurunya itu. Ia sengaja nggak mau pa-
mit dan mohon doa restu dari gurunya, 
sebab dia nggak mau dicegah oleh sang 
Guru. Selain membawa golok di ping-
gang, ia juga membawa cangkul andalan 
yang akan digunakan melawan Pandu Pu-
ber nanti. 
Pantai Buaya Dampar mempunyai 
perbukitan bercadas. Cadas itu bercam-
pur unsur karang sehingga keras. Di 
salah satu perbukitan yang sepi, tam-
pak seorang lelaki berambut abu-abu 
sedang memberi pelajaran jurus-jurus 
maut kepada seorang anak muda. Anak 
muda itu memperhatikan dengan tenang, 
berdiri di bawah pohon teduh. Ia men-
genakan gelang kulit hitam berpaku 
metal. Tato bunga mawarnya kelihatan 
jelas karena baju ungunya selalu tidak 
dikancingkan, walau sebagian bawahnya 
diikat rapi dengan sabuk hitam. Pemuda 
itulah yang dicari Balak Lima. 
Pandu Puber sengaja dibawa oleh 
Duda Dadu ke tempat itu, sebab tempat 
itu sepi, cocok untuk belajar ilmu ka-
nuragan. Duda Dadu tampak bersemangat 
memberikan pelajaran ilmunya kepada 
Pandu. 
"Ini namanya jurus 'Paruh Ban-
gau'," kata Duda Dadu sambil mengem-
bangkan kedua tangan dengan ujung tan-
gan saling menguncup seperti paruh 
siap mematuk. Kakinya diangkat satu, 
seperti anjing mau pipis. Badannya se-
dikit dimiringkan. 
"Gerakan kedua tanganmu nanti 
harus cepat dan punya arah tertentu; 
ke kiri dua kali, ke kanan dua kali, 
membuka dua kali, ke bawah dua kali, 
ke depan dua kali, lalu kedua tangan 
menyodok dari bawah ke depan secara 
bersamaan. Nah, pada saat menyodok ke 
depan, sentakkan napasmu dalam keadaan 
tertahan di perut. Maka tenaga dalam 
dahsyat akan keluar dari ujung-ujung 
tanganmu yang menguncup begini!" 
"Contohnya bagaimana?" 
"Nih, lihat...! Hiaaat, hiiiat, 
heeaah...!" 
Wut, wut, wut, wuutt... bruutt! 
"EH, kok yang keluar bagian be-
lakang, ya?" sambil Duda Dadu menang-
kap pantatnya sendiri dengan senyum 
malu karena buang gas dengan suara ke-
ras. Pandu Puber tertawa geli hingga 
badannya terguncang-guncang. 
"Tenaga dalamnya kok keluar dari 
belakang, Paman? Katanya dari ujung 
tangan?" 
Duda Dadu menjawabnya dengan 
berlagak dongkol, "Itu bukan tenaga 
dalam. Itu tadi bagian dalamnya tena-
ga." 
Pandu buru-buru hentikan ta-
wanya. Duda Dadu berkata lagi, "Lihat, 
kekuatan tenaga dalam yang terpusat di 
ujung jari-jari yang menguncup ini da-
pat untuk menjebolkan benda keras. Mi-
salnya batang pohon di sebelahmu itu. 
Nih, perhatikan...! Hiaaatt...!" 
Wuuttt... duug, duug, duug, 
duug, duug! 
Pohon dihantam dengan kedua tan-
gan yang menguncup berkali-kali. Den-
gan cepat Duda Dadu menarik diri, juga 
menarik tangannya di kebelakangkan, 
berdirinya tegak, senyumnya mengem-
bang. 
"Nah, lihat... pohon itu hampir 
jebol, kan?" 
Pandu memeriksa pohon itu lalu 
berkata, "Mananya yang jebol, Paman?" 
"Ya bagian yang kupukul tadi. 
Tapi jebolnya nggak sekarang. Pohon 
itu menerima luka dalam, dua-tiga hari 
lagi akan mati kekeringan! Percaya 
deh!" 
"Ooo...," Pandu Puber berlagak 
percaya dengan manggut-manggut. "Te-
rus, tangan yang buat memukul pohon 
itu apa nggak sakit, Paman?" 
"O, nggak dong! Aku sudah terla-
tih untuk menghantam benda sekeras ba-
ja sekalipun. Nantinya kau juga nggak 
akan rasakan sakit walau memukul pohon 
seratus kali." 
Tangan yang di belakangkan itu 
mengembang pelan dan bergerak-gerak. 
Duda Dadu membatin, "Sialan! Jari ten-
gahku kayaknya patah nih? Uh, sakitnya 
bukan main." 
"Coba Paman pukul lagi pohon ini 
biar langsung jebol." 
"O, nggak bisa! Jurus itu tadi 
harus dilakukan dengan sabar. Penggu-
naannya cukup satu kali dalam sehari." 
Lalu, batinnya melanjutkan sendiri. 
"Kalau lebih dari satu kali bisa remuk 
jarimu, Nak! Jariku aja sekarang 
kayaknya remuk tiga nih?!" 
Duda Dadu berkata sambil mendon-
gak ke atas, "Lihat, sudah ada dua 
daun yang langsung kering dan yang se-
belah sana itu langsung membusuk, kan? 
Nah, itu akibat tenaga dalam yang ke-
luar dari tanganku saat memukul pohon 
ini tadi!" 
"Wah, hebat juga, ya?" gumam 
Pandu sambil manggut-manggut, lalu 
membatin, "Padahal sebelumnya aku me-
mang sudah lihat ada dua daun menger-
ing di sana dan yang di sana berwarna 
coklat busuk. Ah, orang tua ini banyak 
ngibulnya. Tapi menarik juga untuk di-
permainkan, bisa buat hiburan diriku 
agar tak memikirkan sayembara itu." 
"Pero," panggil Duda Dadu dengan 
suara dipertegas biar kelihatan wiba-
wa. "Sekarang coba tirukan gerakan ju-
rus yang kuajarkan tadi!" 
"Pakai mukul pohon segala, Pa-
man?" 
"Iya dong! Biar tanganmu terla-
tih memukul benda keras!" 
Pendekar Romantis segera tirukan 
gerakan jurus tadi. Hanya sekali lihat 
saja ia sudah bisa menirukan karena 
gerakan jurus tadi sangat mudah. Lalu 
dengan langkah kaki selalu merendah, 
Pandu Puber dekati pohon yang lebih 
besar dari yang dipukul Duda Dadu ta-
di. Dengan kedua tangan menguncup, po-
hon itu dihantamnya dua kali. 
Duub, duub...! 
Duurr...! Pohon itu guncang, 
bergetar dari akar sampai puncaknya. 
Daun pohon berhamburan bagaikan hujan 
serentak. Tubuh mereka ditaburi daun 
kecil-kecil itu. Kejap berikutnya, 
ternyata pohon itu sudah tidak berdaun 
sedikit pun. Tak ada selembar daun 
yang tersisa di tangkainya. Pohon itu 
menjadi gundul, plontos! Bahkan rant-
ing-ranting kecilnya pun ikut rontok 
berhamburan. Tanah jadi kotor penuh 
daun dan ranting kecil. 
Duda Dadu diam terbengong melom-
pong nyaris tak bisa bicara melihat 
pukulan Pandu mengakibatkan pohon men-
jadi polos, bagai ditelanjangi secepat 
itu. Dalam hati Duda Dadu membatin, 
"Edan! Kok jadi sehebat ini, ya? 
Padahal aku sendiri nggak mampu laku-
kan begini? Bikin kulit pohon lecet 
aja belum mampu, tapi si Pero kok udah 
mampu bikin pohon ini gundul seketika? 
Padahal hanya dua pukulan saja lho? 
Kalau begitu, jurus ciptaanku tadi 
ternyata punya kekuatan sehebat ini, 
ya? Wah, kayaknya aku memang pantas 
jadi guru silat nih!" 
Sementara itu Pandu sendiri mem-
batin, jurus apa yang kugunakan tadi? 
Yang jelas kekuatan tenaga dalam yang 
keluar dari gerakan tadi bukan lanta-
ran keluar dari jurus ajaran Paman Du-
da Dadu. Pasti ini jurusnya Ayah nih! 
Ayah nggak bilang kalau aku punya ju-
rus titisan kayak gini. Hmm... sebaik-
nya jurus ini kuberi nama jurus 'Duda 
Gundul' aja deh. Habis munculnya  saat 
aku bertemu Paman Duda Dadu dan kekua-
tannya bisa bikin pohon jadi gundul 
begitu sih. Tapi, kalau kenai tubuh 
orang jadi apa, ya? Masa' bisa bikin 
orang gundul juga? Ah, kapan-kapan ku-
coba pada lawan yang bandel...." 
Melihat mantan bandar dadu itu 
terbengong mirip sapi ompong lihat po-
cong, Pandu Puber segera menyapa den-
gan mendekatinya lebih dulu. "Pa-
man...! Paman Duda Dadu!" 
"Oh, eh, emm... iya, kenapa?" 
Duda Dadu menggeragap.   
"Jurusmu hebat sekali, Paman. 
Pohon itu bisa gundul seketika. Kalau 
boleh kuusulkan, jurus itu akan kuberi 
nama jurus 'Duda Gundul' saja, Paman." 
"Nggak boleh! Nama jurus yang 
kusebutkan tadi mengandung mantera 
gaib, jadi nggak boleh diganti. Na-
manya tetap jurus 'Paruh Bangau'!" 
"Baik, Paman," jawab Pandu walau 
dalam hatinya ia tetap ingin namakan 
jurus itu 'Duda Gundul'. 
Duda Dadu bersuara bisik sambil 
pandangi pohon itu, "Ngomong-ngomong 
kamu apakan sih pohon itu tadi, kok 
jadi gundul begitu?" 
"Cuma menyentakkan napas yang 
tertahan di perut, Paman." 
"Masa'...? Kok bisa gitu ya?" 
Keheranan Duda Dadu tiba-tiba 
buyar dengan munculnya sesosok tubuh 
dari balik semak ilalang  di belakang 
mereka. Gusraak...! Jlug...! Dan kedua 
orang itu berbalik ke belakang. Duda 
Dadu sempat terlonjak kaget karena ke-
munculan orang tersebut yang secara 
tiba-tiba. Lompatan kaki yang mendarat 
di tanah menimbulkan suara pelan tapi 
mengejutkan hati yang sedang terheran-
heran itu. 
Seorang pemuda berpakaian merah 
memanggul cangkul di pundaknya. Dia 
adalah Balak Lima yang secara kebetu-
lan tadi lewat di dekat tempat situ, 
lalu mendengar suara getaran pohon 
yang dihantam Pandu tadi. Rasa ingin 
tahu Balak Lima membawanya muncul di 
situ dan membuat Pandu Puber berkerut 
dahi, tapi kerutan dahinya lebih tajam 
milik Duda Dadu yang benar-benar mera-
sa asing dengan wajah dan sosok Balak 
Lima. Sekalipun Pandu Puber sendiri 
belum kenal dan baru jumpa Balak Lima 
kali itu, tapi keheranannya tidak ter-
lalu menonjol. Bahkan ia segera bersi-
kap tenang dengan menghilangkan keru-
tan dahi dan membiaskan seulas senyum 
tipis. Sangat tipis sekali. Hampir 
nggak kelihatan kalau lagi tersenyum. 
Yang tampak cuma wajah ramahnya saja. 
Tetapi Duda Dadu bersikap ang-
ker. Angker yang dipaksakan sih. Ia 
ingin tampakkan wibawanya di depan 
Pandu dalam menghadapi orang tak di-
kenal. Ia maju tiga langkah dari depan 
Pandu, lalu bertolak pinggang dan me-
nyapa Balak Lima dengan sok galak. 
"Siapa kau? Nak? Mau apa kemari? 
Kesasar apa sengaja mau temui kami? 
Atau... jangan-jangan kau tak tahu ja-
lan menuju ke sawah, sehingga kau ne-
kad mau bikin sawah di sini?" 
"Siapa kau, Pak Tua?" 
"Lho, kok malah ganti nanya?" 
sambil Duda Dadu memandang Pandu Pu-
ber. Lalu segera memandang Balak Lima 
dan bicara lebih ketus lagi, 
"Eh, yang kutanyakan tadi adalah 
siapa namamu? Kenapa kau malah ganti 
bertanya?" Ia menoleh Pandu, "Wah, ini 
anak kayaknya nggak ngerti tata baha-
sa, Pero!" 
"Sebaiknya kita perkenalkan diri 
lebih dulu, Paman. Mungkin memang be-
gitulah kemauannya." 
"Nggak bisa! Kita sudah sejak 
tadi di sini kok, kenapa mesti kita 
yang perkenalkan diri? Mestinya dia 
dong, sebab dia kan kaum pendatang?!" 
"Kaum pendatang, Dengkulmu som-
plak!" bentak Balak Lima dengan som-
bongnya. "Justru kalianlah yang jadi 
kaum pendatang. Kalian memasuki wi-
layah kekuasaan kami tanpa izin! Masih 
untung kutanyakan namamu dulu, Pak 
Tua, daripada tahu-tahu ku cangkul le-
hermu dengan cangkul pusaka ini!" 
"Eh, kamu bicara sama orangtua 
yang sopan, ya?" hardik Duda Dadu. 
"Biar jelek-jelek gini, aku ini gu-
runya muridku! Jangan bicara begitu di 
depan muridku ini! Bisa ditabok satu 
kali, celeng tujuh kali kau!" 
"Kau...? Kau gurunya dia? 
Hmm...!" Balak Lima mencibir. "Nggak 
mungkin! Nggak mungkin deh, Cing!" 
"Lho, nggak mungkin gimana? Mau 
bukti? Mau bukti, hah?!" bentak Duda 
Dadu sambil dekati Balak Lima dengan 
nada tersinggung. "Nih, kalau kau mau 
bukti, huup...!" 
Duda Dadu menghantamkan tangan 
kanannya ke wajah Balak Lima, lurus ke 
depan. Tapi tangan kiri Balak Lima se-
gera menangkis, badannya memutar dan 
kakinya menendang ke belakang. 
Wuuut...! Duug...! 
"Uhg...!" Duda Dadu terpental 
karena jejakan kaki itu tepat mengenai 
dadanya. Tubuh yang terpental itu sam-
pai di tangan Pandu dan segera dito-
pang dari belakang, sehingga Duda Dadu 
tak jadi rubuh. Tapi napasnya sesak 
dan tersendat-sendat. 
"Sialan. Anak itu kurang ajar 
sekali sama orang tua! Dadaku sakit 
sekali, Pero. Coba periksa, apakah bo-
long sampai belakang atau... ouh...! 
Gila! Buat bernapas terasa panas lho!" 
"Paman nyodok duluan sih, jadi 
akibatnya ya kena sodok sendiri." 
"Lawan, Pero! Lawan dia! Kau 
adalah muridku, masa' kau diam saja 
lihat gurumu dibuat bengek mendadak 
kayak gini! Lawan dia pakai jurus yang 
tadi, Pero!" 
"Hei, Pak Tua... apakah kau tak 
salah panggil?" kata Balak Lima. "Men-
gapa kau panggil dia dengan nama Pero? 
Bukankah nama aslinya adalah Pandu Pu-
ber, dan bergelar Pendekar Romantis?!" 
"Apa...?!" Duda Dadu kaget, me-
lotot dan menganga mulutnya. 
"Hei, Bung... kau yang bernama 
Pandu Puber, kan?! Ngaku aja! Iya, 
kan?!" bentak Balak Lima. 
"Apakah kau yakin aku Pandu Pu-
ber?" 
"Yakin sekali. Sebab aku tahu 
ciri-cirimu, pakaian ungu, ada tato 
bunga mawar di dada, pakai anting se-
belah kiri, dan ciri-cirimu itu sudah 
menyebar di mana-mana! Kau pasti Pandu 
Puber. Ngaku aja sebelum ku cangkul 
kepalamu!" 
Pandu tersenyum tenang. Mencabut 
sehelai rambut dan digigit-gigitnya. 
Setelah memandang lawannya sesaat, 
Pandu Puber berkata, 
"Ya, memang aku Pandu Puber! Mau 
apa kau?!" 
"Edaaan...!" sentak Duda Dadu 
dengan mendelik super melotot. "Jadi 
kamu yang namanya Pandu Puber?! Kok 
ngakunya bernama Pero?" 
"Pero singkatan dari kata Pende-
kar Romantis, Paman!" 
"Sapi lu!" sentak Duda Dadu lagi 
merasa dongkol dikelabuhi begitu. 
"Pandu Puber, jujur saja kukata-
kan padamu, aku akan mengikuti sayem-
baranya Ratu Cadar Jenazah!" seru Ba-
lak Lima. "Untuk itu, demi keselamatan 
jiwa dan ragamu, kuharap kau menurut 
padaku, kutangkap dan kuserahkan kepa-
da Ratu Cadar Jenazah! Jangan melawan-
ku supaya nyawamu agak awet sedikit, 
Pandu!" 
"Aku nggak akan melawanmu, tapi 
aku ingin tahu seberapa tingginya il-
mumu hingga berani berkoar seenak bo-
dongmu di depanku." 
Tiba-tiba kaki si tampan Pandu 
menghentak ke tanah satu kali. 
Jluug...! Tubuh Balak Lima tiba-tiba 
terpental ke atas dan menerabas dahan-
dahan pohon. Guzraak...! Kraak...! 
Bluukk...! Tubuh itu jatuh terbanting 
tanpa keseimbangan badan. 
Jurus 'Sentak Bumi' telah mem-
buat Balak Lima bagaikan dilemparkan 
ke atas tanpa bisa kuasai diri. Kepa-
lanya menjadi sakit karena dahan pohon 
yang bersilang-silang itu diterabasnya 
hingga ada yang patah, lalu tubuh itu 
pun jatuh ke tanah bagaikan dibanting 
oleh tangan raksasa. Untung saja mata 
cangkul yang dibawanya tak sampai lu-
kai punggung. 
Namun keadaan itu cukup membuat 
Balak Lima menyeringai kesakitan dan 
Duda Dadu membelalakkan mata dengan 
terheran-heran. 
"Gila! Dengan sekali menghentak 
ke tanah saja sudah bisa bikin lawan-
nya terpental sekuat itu, apalagi ka-
lau sentakan kakinya kayak orang baris 
di tempat, mungkin lawannya akan me-
luncur cepat menembus matahari di lan-
git!" pikir Duda Dadu dengan mulut me-
lompong mirip lubang tikus. 
Balak Lima tersengat api amarah. 
Ia segera bangkit dan menahan rasa sa-
kitnya. Cangkul segera digenggam kuat, 
terangkat ke atas dengan satu tangan, 
sementara tangan yang satunya siap-
siap membantu memegangi gagang cangkul 
juga. 
"Bangsat kau Pandu! Belum tahu 
siapa si Balak Lima ini, hah?! Rasakan 
cangkul pusaka guruku yang bernama 
'Cangkul Bedah Guntur' ini, hah?! Ber-
siaplah hancur di ujung cangkul ini!" 
Pandu Puber diam tak bergerak.